Walet Emas 03 Dewi Kelelawar Bagian 1
DEWI KELELAWAR http://cerita-silat.mywapblog.com Daftar Judul Cersil Bag 13 :721 Pengemis Binal
- Bangkitnya Kebo Ireng722 Pengemis Binal - Cinta Bernoda Darah723 Pengemis
Binal - Dewa Guntur724 Pengemis Binal - Petaka Kerajaan Air725 Pengemis Binal Dendam Ratu Air726 Pengemis Binal - Prahara Di Kuil Saloka727 Pengemis Binal Sengketa Orang-orangBerkerudung728 Pengemis Binal - Pemberontakan Subandria729
Pengemis Binal - Misteri Pusaka Pedang Gaib730 Pengemis Binal - Tengkorak Kaki
Satu731 Pengemis Binal - Pewaris Mustika Api732 Pengemis Binal - Asmara Putri
Racun733 Wiro Sableng - Guci Setan734 Wiro Sableng - Dendam Di Puncak
Singgalang735 Wiro Sableng - Harimau Singgalang736 Wiro Sableng - Ku Tunggu Di
Pintu Neraka737 Wiro Sableng - Kepala Iblis Nyi Gandasuri738 Wiro Sableng Pendekar Gunung Fuji739 Wiro Sableng - Ninja Merah740 Wiro Sableng - Sepasang
Manusia Bonsai741 Wiro Sableng - Dendam Manusia Paku742 Wiro Sableng - Dewi
Ular743 Wiro Sableng - Wasiat Iblis744 Wiro Sableng - Wasiat Dewa745 Wiro
Sableng - Wasiat Sang Ratu746 Jodoh Rajawali - Bunga Penyebar Maut747 Jodoh
Rajawali - Prasasti Tonggak Keramat748 Jodoh Rajawali - Pedang Jimat Lanang749
Jodoh Rajawali - Geger Perawan Siluman750 Jodoh Rajawali - Pusaka Hantu Jagal751
Jodoh Rajawali - Jejak Tapak Biru752 Jodoh Rajawali - Rembulan Berdarah753 Jodoh
Rajawali - Setan dari Biara754 Jodoh Rajawali - Penobatan di Bukit Tulang
Iblis755 Jodoh Rajawali - Tengkorak Hitam756 Dewa Linglung - Raja Raja Gila757
Dewa Linglung - Geger Pedang Inti Es758 Dewa Linglung - Siluman Gila Guling759
Dewa Linglung - Mengganasnya Siluman GilaGuling760 Dewa Linglung - Munculnya
Pedang MustikaNaga Merah761 Dewa Linglung - Dewi Lintah762 Dewa Linglung - Lodra
Si Ular Sanca Beracun763 Dewa Linglung - Pertarungan Dua Naga764 Dewa Linglung Iblis Hitam Tangan Delapan765 Dewa Linglung - Rahasia Istana Kuno766 Dewa
Linglung - Iblis Gila Pembangkit Arwah767 Dewa Linglung - Raksasa Gunung
Bromo768 Dewa Linglung - Iblis Seruling Maut769 Dewa Linglung - Dewi Mutiara
Hijau770 Dewa Linglung - Orang Orang Lapar771 Dewa Linglung - Keris Kutukan
Iblis772 Dewa Linglung - Munculnya Keris Kiyai JaranGoyang773 Dewa Linglung Iblis Pulau Hantu774 Dewa Linglung - Pendekar Tanpa Bayangan775 Dewa Linglung Pinangan Iblis776 Dewa Linglung - Tangan Darah777 Wiro Sableng - Delapan Sabda
Dewa778 Wiro Sableng - Muslihat Para Iblis779 Wiro Sableng - Muslihat Cinta
Iblis780 Wiro Sableng - Geger di Pangandaran
Cetakan Pertama 1991
Novel Silat Karya
TEGUH SANTOSA Serial Pendekar Walet Emas
Dalam Episode ke 3
DEWI KELELAWAR Dilarang mengutip tanpa seizin penulis
Hak cipta dilindungi undang-undang
ALL RIGHTS RESERVED
SATU GEROBAK yang ditarik seekor sapi itu dengan
santai menapak di atas jalan menuju pusat
perdagangan di Kadipaten Wonoboyo. Penumpangnya
ada tiga orang. Satu kusir pedati, yang lain sang
juragan dengan seorang anaknya laki-laki berumur
lima belas tahunan.
"Saya kira pasaran kali ini adalah pasaran yang
ramai, Ki," kata si kusir pedati sambil menghentakkan tali kekang kendali sapi
yang menarik gerobak itu.
"Mudah-mudahan," jawab sang juragan yang duduk
di sampingnya. "Hanya yang kukeluhkan itu tentang
pajak penjualan yang harus kita bayar kepada pamong kadipaten. Kalau untuk
kepentingan pembangunan,
aku tak keberatan. Tapi lha wong pajak itu dibajak
petugasnya untuk kantong sendiri. Hm, ini memang
menyangkut moral manusianya. Bagaimana pun
baiknya suatu peraturan kalau pelaksanannya terdiri dari orang-orang yang
berwatak tikus, ya rugi
kadipaten ini. Aku tahu betul adipati yang saat ini memegang tampuk pemerintahan
di kadipaten adalah
pimpinan yang wajib didukung kepemimpinannya.
Tapi tikus-tikus yang mengelilinginya itu yang sangat membahayakan
pemerintahannya."
"Yang dimaksud dengan 'tikus-tikus' itu siapa, Ki?"
tanya kusir pedati.
"Lhadalah! Tikus yang kumaksud bukan tikus yang
berkaki empat dan berekor panjang, tapi...."
"Oh... ya, ya, saya mengerti Ki," sela si kusir sambil melepas ketawanya. Tapi
tiba-tiba ketawanya terhenti seketika. Pandangannya dengan tajam tertuju ke arah
depan sana, dimana terlihat sekelompok manusia
berdiri menghadang jalan.
"Begal!" kata si kusir sambil memberi isyarat
kepada juragannya yang sedang berbincang dengar
anaknya di belakang.
"Ada apa, Won"!" tanya sang juragan kepada kusir
pedati bernama Kliwon.
Tapi Ki Braja Amparan, sang juragan itu, tak perlu
menunggu jawaban Kliwon. Dia melihat dengan mata
sendiri apa yang dilihat kusirnya.
"Begal"! Masih saja mereka berani menghadang di
jalanan walaupun sudah berkali-kali ditindak oleh
pasukan bhayangkara kadipaten," gerutu Ki Braja
Amparan sambil memberi isyarat kepada anaknya.
Bocah itu mengerti apa yang dimaksud ayahnya.
Dia menyambar sebuah pedang yang sewaktu-waktu
siap dipergunakan dalam menghadapi keadaan seperti
ini. "Mereka cuma tahu bahwa di gerobak ini banyak
barang berharga. Tapi tidak tahu siapa aku," kata Ki Braja Amparan dengan
mempersiapkan pedangnya.
"Kendalikan pedati ini agar lari kencang, Won.
Terjang saja mereka."
Mendengar perintah itu, Kliwon segera memacu
pedatinya. Sapi penarik gerobak itu memang jenis sapi pilihan. Dia bisa lari
secepat kuda walaupun menarik beban gerobak yang sarat muatan.
"Yheeeaah..!" teriak Kliwon memberi semangat
kepada binatang itu. Pecut di tangannya disabetkan di udara.
Ctar! Ctaaarr! Ctaaarr!
"Edan! Nekad mereka. Awass!" teriak kepala begal
sambil berkelit ke samping pada saat gerobak itu
menerjang lari kencang.
Tujuh orang anak buahnya minggir menghindar.
"Ayoh, kejar!" teriak kepala begal begitu melihat
buronannya berlalu dengan cepat.
Serentak semua anak buahnya mengejar gerobak
itu. Pengejarannya berlangsung dengan seru. Betapa
tidak, sementara gerobak itu terus melesat di atas
jalanan, maka para begal dengan gesit pula memburu
di belakangnya.
Beberapa saat hal itu berlangsung. Tapi karena
jalan yang menembus hutan tidak begitu rata dan
berbatu-batu, maka laju pedati agak terganggu.
Akhirnya pada sebuah tikungan, roda pedati ketanggor seonggok batu. Ini yang
membuat gerobak itu terguling setelah rodanya pecah berantakan.
"Ha ha ha ha ha...!" ledakan tawa menggema dari
mulut kepala begal begitu melihat buronannya
ketanggor musibah yang tak bisa terelakkan.
Untung ketiga penumpangnya selamat, karena
mereka jatuh menimpa semak belukar yang berdaun
lebat. Para begal segera menjarah barang-barang
dagangan yang berceceran di sana-sini.
Ki Braja Amparan dan anaknya, bernama Sikatan,
serta Kliwon, dengan terengah-engah bangkit dari
tempatnya. "Bajingan tengik! Kalian para begal tidak jera
dengan hukum yang berlaku di wilayah ini! Kalian bisa jadi buronan pengawal
bhayangkara kalau merampok
barangku!" seru Ki Braja Amparan dengan berusaha
meraih senjatanya. Tapi hal itu hanya menambah
penderitaannya saja, sebab sebuah tendangan kaki
melanda pergelangan tangannya...
"Aahh!" hanya itu yang keluar dari mulut Ki Braja
Amparan. Selebihnya, tubuhnya terguling karena
lambung perutnya diterjang tendangan serupa.
"Masih ngotot mau bela ini" Ha ha ha ha ha...!" seru
kepala begal. Ki Braja Amparan mencoba mengamati sosok tubuh
kepala begal yang mekangkang di depannya.
"Demit alasan! Kiranya kau, Jlitheng Kasongan.
Kukira kau telah mampus dibantai pengawal
bhayangkara kadipaten!" kata Ki Braja Amparan
dengan suara terengah-engah. Sementara anaknya,
Sikatan, dan kusir pedatinya, Kliwon, hanya jadi
penonton yang masih merasakan kesakitan karena
terlempar dari gerobak itu.
"Dibantai pengawal bhayangkara" Ha ha ha ha...!
Bagaimana mereka bisa membantai aku kalau mereka
butuh duit" Aku memang pernah tertangkap mereka,
tapi duit lebih berkuasa daripada peraturan yang
berlaku. Ha ha ha ha...! Duit adalah kekuatan!"
sumbar kepala begal bernama Jlitheng Kasongan.
"Ayo, ambil semua barang-barang itu dan cepat pergi dari sini," katanya lagi
sambil beranjak dari sana
setelah meludahi wajah korbannya.
Tapi mendadak beberapa anak buahnya yang
mengangkut barang-barang jarahan itu berteriak
kesakitan dengan tubuh terlempar terjerembab ke
tanah. Ini karena tindakan berkelebatnya sesosok
tubuh sambil menendang ke arah mereka. Tendangan
itu rupanya menghunjam ke bagian tubuh yang rawan
sehingga rasa sakit yang menghinggapi cukup lama
bisa sirna. Mereka mrecang-mrecing sambil menggigit bibir dengan mata mencari
biang keladi siapa yang
telah campur tangan dalam peristiwa itu. Akhirnya
mata mereka melihat sesosok tubuh semampai
berkemben kuning nangkring di atas dahan pohon.
"Jahanam keparat! Siapa kau, brani-braninya unjuk
kebolehan terhadap kami, hah"!" seru Jlitheng
Kasongan setelah melihat beberapa orang anak
buahnya klekaran di tanah sambil mrecang-mrecing
kesakitan. "Ayo kalian cepat bangkit! Apamu yang
kena pukul anak ingusan itu, hah"! Kemaluanmu"!
Dasar!" Jlitheng Kasongan benar-benar penasaran melihat
anak buahnya bisa dibuat mainan seperti itu. Sesosok tubuh semampai berkemben
kuning itu dengan
gerakan mulus lalu meloncat turun. Gerakannya
benar-benar membuat mata anggota begal tak
berkedip. Gerakan wanita muda itu meliuk seperti
burung walet meninggalkan sarang untuk mencari
mangsa. Siapa lagi punya gaya begini kalau bukan
seorang gadis pendekar bernama Pusparini yang punya gelar kependekaran sebagai
Walet Emas"
"Jlitheng Kasongan, kepala begal yang jadi buronan!
Kukira aku tak salah kalau ikut turut campur dalam
mengendus jejakmu. Kau telah menyuap beberapa
orang pengawal bhayangkara kadipaten sehingga bisa
meloloskan diri dari penjara. Petugas itu telah
ditindak, tapi kini kau yang jadi buronan," kata
Pusparini dengan tenang.
"Ha ha ha ha ha...!" ketawa Jlitheng Kasongan
terdengar seakan-akan meremahkan omongan
Pusparini alias Walet Emas. "Banyak orang yang bisa ngomong seperti kamu, Nduk!
Mereka umumnya berotot kekar dan bernyali besar. Tapi gagal meringkus aku kembali. Dan kini kau
nongol di sini sambil
mengumbar omongan busuk!"
"Boleh dibuktikan! Perintahkan anak buahmu
mengeroyok aku!" sumbar Pusparini dengan agak jijik melihat perangai para begal
yang rupanya berhari-hari tidak mandi.
Lebih-lebih ketika disadari bahwa pandangan
mereka yang tertuju ke arahnya disertai pandangan
penuh nafsu berahi. Dalam hati Pusparini mengumpat, mengapa setiap penjahat yang
ditemui selalu punya
pandangan hina terhadap wanita. Mereka selalu
menganggap bahwa wanita hanya sarana pelampias
nafsu ranjang belaka. Sesaat kemudian renungan ini
mendadak dibuyarkan oleh teriakan para begal yang
bergerak menerjang ke arahnya.
Pusparini dengan sigap mengatasi serangan
mereka. Ujung tangan, siku, dan tendangan kaki
Pusparini bagaikan senjata ganda yang sulit
ditandingi. Hanya beberapa kali gebrakan, anak buah Jlitheng Kasongan kehilangan
nyali untuk menyerang lagi.
"Goblok!" teriak Jlitheng Kasongan beringas. "Buat
apa golok-golok itu kalian simpan di pinggang" Bantai dia! Jangan kedanan dengan
keayuannya!"
Mendengar seruan dedengkot mereka, tak ayal lagi
para begal bergerak mencabut golok masing-masing.
Bunyi "shhriing!" beruntun terdengar dari golok para begal yang telah tercabut
dari sarungnya. Kemudian
mereka mendekat ke arah Pusparini yang telah siap
menghadapi serangan semacam itu.
Pusparini masih mempergunakan tangan kosong,
tapi tenaga pukulannya sudah dibebani tenaga dalam.
Pergelangan tangan lawan berhasil disentil dengan
pukulan sehingga golok terlepas dari tangan itu. Golok terpelanting ke udara,
dan disambar dengan
tendangan kaki Pusparini. Gerakan serangan semacam
ini sangat membingungkan lawan, sebab mereka tidak
tahu tendangan itu akan tertuju ke arah mana.
Tampaknya terlihat ke arah selatan. Tidak tahunya
dengan menggeser tendangan sedikit saja, maka golok itu melesat ke arah yang
berlawanan, yaitu utara, di mana Jlitheng Kasongan masih berkacak pinggang
melihat sepak terjang anak buahnya.
Golok berhasil ditangkis oleh si Jlitheng dengan
sabetan golok yang memang telah lama berada di
tangannya. Golok itu mencelat, dan sialnya
menghunjam ke salah seorang anak buahnya sendiri.
Pusparini sempat melempar senyum melibat hal itu
sambil melesat ke atas menghindarkan serangan
empat orang lawan yang bergerak sekaligus.
Begitu tubuhnya melambung kembali ke bawah,
maka di tangan Pusparini telah terpegang Pedang
Merapi Dahana yang sejak tadi tersimpan rapi di
Walet Emas 03 Dewi Kelelawar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tempatnya, bertengger di punggungnya. Pedang yang
kena cahaya matahari bisa memancarkan sinar merah
itu, kini dibabatkan ke arah empat orang lawannya.
Bukan nyawa yang dia incar. Tapi golok lawan.
Keempat golok itu hancur berantakan kena babat
Pedang Merapi Dahana. Kontan semua terkesima
heran. Mereka plonga-plongo.
Sebelum sadar dengan apa yang terjadi, tendangan
Pusparini telah memualkan isi perut mereka.
Kawannya yang lain segera hengkang dari sana ketika melihat kehebatan Pusparini
menandangi mereka.
"Aku tak mau membunuh anak buahmu! Aku
masih punya rasa perikemanusiaan," kata Pusparini
sambil mengawasi Jlitheng Kasongan. "Kini kau yang
seharusnya maju menghadapi aku!"
"Oh, pedang semacam itu yang pernah kudengar
kabar slentingan, hanya dimiliki oleh pendekar
bernama Walet Emas! Jadi... kaukah orangnya?" kata
Jlitheng Kasongan dengan nada suara gemetar. Tidak
imbang sama sekali dengan penampilannya yang galak
dengan kumis melintang. "Baik. Aku tak akan
melawan kau, Cah Ayu. Aku akan pergi. Dengan
kepergianku ini berarti aku telah takluk kepadamu.
Aku akan tobat tidak akan membegal lagi...!"
Jlitheng Kasongan segera memberi isyarat anak
buahnya yang masih berada di sana. Kemudian
mereka meninggalkan tempat itu dengan membawa
seorang temannya yang luka parah akibat sambaran
golok yang terpental.
"Mereka telah pergi, Pak!" seru Sikatan sambil
memapah ayahnya yang sejak tadi tersungkur di
tanah. Kliwon membantu Ki Braja Amparan berdiri.
Kemudian mereka bertiga menghampiri Pusparini yang
telah menyarungkan pedangnya.
"Trima kasih. Trima kasih, Nduk!" ucap Ki Braja
dengan wajah kelelahan.
"Sudah menjadi tugas saya," jawab Pusparini sambil
membenahi barang dagangan Ki Braja Amparan yang
berserakan. Kliwon segera bertindak serupa. Kemudian mereka
sibuk membenahi dan mengumpulkan barang-barang
itu. "Tadi... kudengar si Jlitheng itu menyebut namamu.
Enghmmm... Walet Emas" Nama gelar kependekaran?"
tanya Ki Braja.
"Nama saya Pusparini. Walet Emas adalah nama
kependekaran saya," jawab Pusparini dengan mantap
tanpa mengalihkan perhatiannya yang sibuk
membantu Kliwon dan Sikatan.
"Saya tak akan lupa dengan pertolonganmu ini.
Kalau kau tak keberatan, kami akan mengundangmu
ke rumah. Hari ini aku tak akan pergi ke pusat
perdagangan. Bagaimana, Nduk?" kata Ki Braja penuh
harap. Pusparini hanya tersenyum tanda setuju.
*** DUA PUSPARINI dijamu keluarga Ki Braja Amparan.
Rasa terima kasih yang tak terhingga membuat
perjamuan itu dilaksanakan dengan semarak. Dalam
kesempatan ini tak henti-hentinya Ki Braja Amparan
menanyakan hal-hal tentang dunia pengembaraan
Pusparini yang banyak mengundang marabahaya.
Lain halnya dengan Sikatan, putra Ki Braja
Amparan yang berumur lima belas tahunan itu.
Sebagai remaja yang memasuki usia pancaroba, maka
yang menarik perhatiannya adalah penampilan
Pusparini sebagai pendekar muda yang cantik. Siapa
tidak kepencut dengan nilai-nilai keindahan wanita yang dimiliki oleh Pusparini.
Tanpa dipoles sarana
kecantikan saja Pusparini sudah menawan hati,
apalagi kalau dipoles dengan alat kecantikan seperti putri-putri bangsawan. Ah,
inilah yang membuat
Sikatan pemuda puber itu tidak bosan-bosannya
memandangi Pusparini kapan saja ada kesempatan.
"Dia lebih tua dari usiaku. Mungkin sekitar tiga
atau empat tahun di atasku," renung Sikatan seorang diri.
Seperti halnya malam ini, Sikatan melamun di
kamarnya. Di sebelahnya adalah kamar yang
diperuntukkan bagi Pusparini yang telah tiga hari ini berada di rumah Ki Braja
Amparan. Darah mudanya
mendorong dirinya untuk melakukan hal-hal yang tak
terpuji. Dia mencoba mengintip kamar Pusparini dari selasela dinding kamar yang terbuat dari anyaman bambu.
Tapi tak ada lubang secelah pun yang bisa dipakai
untuk mengintip ke dalam kamar Pusparini. Lalu
dilakukan cara nekat. Sikatan mencari alat untuk
melubangi dinding bambu itu. Dengan pelan dan hatihati dia mulai bertindak.
Di sisi lain, Pusparini yang inderanya peka, tiba-tiba tersengat oleh bunyi yang
mencurigakan di arah
dinding bambu yang dianyam dengan indah. Dia
menunggu apa yang bakal terjadi. Dan di arah suara
yang dicurigai itu, tiba-tiba terlihat sesuatu yang muncul, yaitu ujung senjata
tajam. Nyaris saja
Pusparini mengirim pukulan ke arah dinding itu.
Pikirannya curiga, bahwa ada lawan yang hendak
mengganggu dirinya. Tapi kemudian dia sadar. Di
sebelah itu adalah kamar Sikatan, putra Ki Braja
Amparan. "Hm, apa yang dilakukan anak itu?" pikir Pusparini.
"Mengintip aku?" Pusparini seolah-olah tak tahu akan hal itu. Dibiarkan lubang
itu dikorek semakin lebar, sehingga memungkinkan mata untuk mengintip.
"Dasar anak lelaki. Apa dikira aku tidur dengan
telanjang" Ah, mengapa aku berprasangka buruk"
Mungkin dia mengintip untuk melihat apakah aku
mengadakan latihan di kamar ini. Kemarin tak hentihentinya dia bertanya tentang jurus-jurus silat. Ya, mungkin itu yang dia ingin
ketahui. Pasti ingin tahu apakah aku latihan dalam kamar ini," Pusparini
mencoba menghilangkan prasangka buruknya
terhadap Sikatan.
Tapi tiba-tiba terjadi sesuatu yang sangat
mengejutkan. Di kamar Sikatan terdengar jeritan.
Jelas itu suara Sikatan yang kedengaran dengan
nyata. Jeritan ketakutan, bukan jerit aduhan rasa
sakit. Pusparini ragu-ragu untuk menengok. Janganjangan itu hanya ulah permainan Sikatan untuk
mengecoh dia. Ketika didengar banyak langkah kaki
yang menuju kamar Sikatan, barulah Pusparini
beranjak ke sana. Terdengar suara menyeramkan,
serak bernada tinggi. Lalu disusul bunyi dinding jebol.
"Sikatan, buka pintunya! Apa yang terjadi?" teriak
Ki Braja Amparan yang diikuti orang-orang seisi
rumah. Pusparini telah sampai di sana pula. Tidak srantan, kemudian pintu kamar
didobrak. Jebol berantakan.
Semua orang masuk ke dalam. Apa yang mereka temui
benar-benar membuat mata terbelalak. Betapa tidak"
Sebab jendela kamar Sikatan terlihat menganga lebar.
Angin malam menerpa ke dalam dengan suhu sangat
dingin. Dari kejauhan suara anjing melolong. Suasana jadi menyeramkan. Bulu
kuduk tiba-tiba meremang
tegak. "Ada sesuatu yang masuk ke kamar ini," kata
Pusparini sambil meneliti keadaan jendela yang sisi-sisinya rusak.
"Dan sesuatu itu menculik Sikatan?" tanya Ki Braja
cemas. "Apakah mungkin para begal yang kita hadapi
kemarin lusa itu?"
"Banyak kemungkinannya Ki," jawab Pusparini. "Ki
Braja dipandang sebagai saudagar kaya. Mungkin
penculik itu menghendaki tebusan. Sikatan adalah
putra tunggal. Jadi kemungkinan bisa saja terjadi."
"Lalu... kemungkinan yang lain?" tanya Ki Braja
dengan nada putus asa.
"Entahlah. Saya tak bisa mengatakan dengan pasti,"
jawab Pusparini sambil mengawasi kegelapan malam
lewat jendela yang menganga rusak.
Terdengar isak tangis istri Ki Braja. Orang-orang
satu persatu meninggalkan ruangan itu. Tinggal
Pusparini sendirian. Matanya tak lepas menembus
kegelapan malam yang semakin dingin. Hati nuraninya terusik oleh bau sesuatu
yang aneh. Dia mencium bau
'lengur' yang masih menggenang di ruangan itu.
*** Esok harinya berita tentang hilangnya Sikatan jadi
buah perbincangan orang-orang di desa itu.
Kebanyakan orang menduga bahwa itu perbuatan para
begal yang tempo hari mencegat Ki Braja Amparan.
"Saya harap kau bisa bertindak menemukan
Jlitheng Kasongan itu," saran Ki Braja. "Dia pasti biang keladinya."
"Maaf, Ki. Itu mungkin juga bisa terjadi. Tapi hati nurani saya semalam terasa
terusik oleh sesuatu yang tidak semestinya. Sesuatu yang aneh yang
kelihatannya mustahil."
"Maksudmu?"
"Bau yang tidak enak di kamar Sikatan."
"Bau?"
"Bau lengur! Bau seperti bulu binatang!" jawab
Pusparini tegas.
"Aneh-aneh saja dugaanmu, Rini. Apakah naluri
kependekaranmu membuat inderamu lebih peka dari
kami semua" Kami tak mencium bau apa-apa di
kamar Sikatan. Mungkin itu bau orang yang telah
menculik Sikatan karena berhari-hari tidak mandi,"
sanggah Ki Bajra.
Baru saja Pusparini akan berkata lagi, tiba-tiba
muncul seorang abdi yang memberitahu Ki Bajra
bahwa ada tamu di luar.
"Kalau dia orang yang datang untuk cari
sumbangan, bilang lain kali saja. Seharusnya kau
katakan kepadanya bahwa kami baru kehilangan anak
karena diculik orang," kata Ki Bajra dengan gemas.
"Justru hal itu telah saya katakan. Dan orang itu
datang kemari untuk membantu masalah tentang
hilangnya Den Sikatan," jawab si abdi dengan terbata-bata memberanikan diri.
Ki Braja termenung sejenak. Dia mengawasi
Pusparini seakan minta persetujuan untuk menerima
tamu itu atau tidak. Tapi rupanya Pusparini tidak
menanggapi apa-apa.
"Suruh tamu itu masuk," kata Ki Braja.
Sesaat kemudian mereka melihat kehadiran
seseorang berperawakan ceking seolah tak punya
kekuatan apa-apa. Bahkan kesannya, kalau ditiup
orang itu bisa roboh! Pakaiannya agak kumal dengan
membawa bungkusan, pertanda telah menempuh
perjalanan jauh. Ki Bajra menyilakan tamunya untuk
duduk. "Nama kisanak siapa?" tanya Ki Bajra dengan nada
datar. "Panggil saja... Ki Catradana," jawab orang itu
dengan penuh hormat.
"Ki Catradana" Nama itu kan... artinya 'memberikan
payung'. Apakah namamu ada sangkut-pautnya
dengan tugasmu?" tanya Ki Bajra sambil matanya
menyelidik penampilan tamunya.
"Memang benar. Memberikan payung berarti
memberi perlindungan. Saya akan memberikan
perlindungan kepada keluarga ini. Saya mendengar
berita bahwa anak juragan telah diculik oleh
seseorang," kata laki-laki bernama Catradana.
"Memberikan perlindungan" Dengan cara
bagaimana?" sela Pusparini.
Ki Catradana mengawasi Pusparini dengan awasan
menyelidik. Penampilan Pusparini mengundang
perhatiannya. "Gendhuk ini siapa?" tanyanya.
"Saya juga tamu, Ki," jawab Pusparini. "Saya juga
akan mencari Sikatan, putra Ki Braja ini."
"Ketahuilah, hilangnya putra Ki Braja tidak
sendirian. Banyak pemuda seusia dia yang diculiknya,"
kata Ki Catradana.
"Yang Aki maksud siapa yang menculiknya?" tanya
Ki Braja yang mulai menaruh perhatian.
"Dewi Kelelawar!" jawab Ki Catradana mantap.
"Dewi Kelelawar?" tanya Ki Braja ragu-ragu. "Jjj...
jadi... dia benar-benar ada?"
"Orang mempergunjingkan sebagai dongengan
untuk menakut-nakuti anak yang tak mau tidur.
Mereka selalu menina-bobokan dengan dongeng
tentang Dewi Kelelawar yang ganas..!" kata Ki
Catradana. "Saya telah memburunya dari satu tempat
ke tempat lain. Tapi sampai sekarang tak pernah
berhasil mengetahui di mana sarangnya. Segenap
hutan saya jelajahi. Saya punya dendam kepadanya.
Satu-satunya anak lelaki saya telah menjadi
korbannya!"
"Korbannya" Oh, tidak! Hal itu tak boleh terjadi
terhadap anakku!" jerit Ki Braja.
"Tenang, Ki. Tenang!" bujuk Pusparini. "Kita akan
mencari Dewi Kelelawar itu dan mudah-mudahan tidak
terlambat menyelamatkan putra Ki Braja."
"Lakukanlah! Lakukanlah! Berapa pun sarana yang
kalian butuhkan untuk menemukan siluman itu, akan
aku berikan. Oh..., anakku Sikatan. Malang benar
nasibmu...!" keluh Ki Braja Amparan yang akhirnya
tersungkur di tempat duduknya. Dia pingsan. Orang
seisi rumah bertambah bingung.
*** "Jadi kita berburu Dewi Kelelawar...?" tanya
Walet Emas 03 Dewi Kelelawar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pusparini kepada Ki Catradana yang berjalan
beriringan dengan berkuda. Di belakang mereka ada
enam orang lagi yang disediakan oleh Ki Braja
Amparan untuk memperkuat tugas mencari sarang
Dewi Kelelawar yang tiba-tiba menjadi tumpuan
masalah. "Hampir lima tahun aku mengejarnya. Dari desa
yang satu ke desa lain, selalu kupantau siapa-siapa yang mengalami peristiwa
tentang hilangnya setiap
pemuda desa yang dalam usia pancaroba," kata Ki
Catradana. "Lima tahun" Lama sekali?" Pusparini menggarami.
Mendengar kisah Ki Catradana tentang pemuda yang
memasuki usia pancaroba yang menjadi sasaran
penculikan Dewi Kelelawar, bisa dipastikan kalau hal itu ada hubungannya dengan
tumbal. "Apakah Dewi
Kelelawar menjadikan mereka sebagai tumbal?"
"Aku tak tahu. Yang penting kita harus
menemukannya agar tidak merajalela mencari
korbannya," jawab Ki Catradana. Mereka bertujuan
memasuki hutan di sekitar tempat itu. Sudah
dipastikan bahwa Dewi Kelelawar selalu berpindah dari satu tempat ke tempat
lain. Dan menurut pengamatan
Ki Catradana, perpindahan itu terjadi enam bulan
sekali. "Daerahnya ya seputar Gunung Lawu," kata Ki Catradana lagi. "Dan dia
tidak sendirian."
"Tidak sendirian" Apa maksud Ki Catra" Atau...
pengikut Dewi Kelelawar itu banyak?" tanya Pusparini.
"Ada pengawalnya. Mereka manusia biasa seperti
kita-kita ini."
"Hih, semakin tak mengerti aku. Dewi Kelelawar
tampaknya masalah asik untuk ditangani. Dan ini
benar-benar merupakan tantangan," gumam Pusparini
membanggakan dirinya.
"Ya. Asal kita tidak menjadi korban keganasannya.
Dewi Kelelawar mempunyai ilmu iblis. Kau tahu, iblis tak bisa dimatikan. Kita
hanya bisa mengalahkannya,"
ucap Ki Catradana memberi tanggapan. Dalam hati
kecilnya dia bangga mendapat pendamping seperti
Pusparini. Biasanya orang enggan untuk diajak
berburu Dewi Kelelawar yang banyak menyebar maut
di sekitar Gunung Lawu.
*** TIGA PERJALANAN mereka tiba di Desa Jumpolo.
Delapan orang berkuda memasuki desa seperti itu
jelas mengundang perhatian. Desa itu memang sangat
terbelakang kalau dibanding dengan desa lain. Ki
Catradana menyarankan untuk beristirahat di sana.
"Apa alasan Ki Catra untuk bermalam di desa ini"
Bukankah hari masih panjang untuk bisa melanjutkan
perjalanan?" tanya Pusparini sambil turun dari
kudanya. "Aku punya kenalan di sini. Dia tahu banyak
tentang ilmu-ilmu hitam yang menyesatkan manusia,"
jawab Ki Catradana dengan menambatkan kudanya di
pagar tepi jalan.
Semua kuda mereka ditambatkan di sana.
Kemudian berjalan meniti jembatan dua batang glugu untuk menyeberang ke halaman
sebuah rumah yang
tampak tak terurus dengan baik.
"Spada"!" Ki Catradana uluk salam untuk orang
yang berada di dalam rumah.
Baru saja akan mengulang panggilannya, tiba-tiba
dari dalam rumah muncul seseorang dengan gerak
mencurigakan. Tentu saja bisa disebut demikian,
sebab larinya orang itu dengan mendobrak dinding
rumah. Orang itu melesat keluar dan menghindari
orang-orang yang baru datang ke sana.
Melihat hal ini Pusparini tak bisa menahan diri.
Langsung dia mengejar. Orang itu lari ke arah ladang di belakang rumah. Gesit
juga gerak larinya. Tapi
Pusparini tak mau kalah. Dia mengerahkan lari
Terbang Burung Walet, seolah kakinya hanya
menyentuh ujung rerumputan yang dilalui. Dan
gerakan ini tak memerlukan waktu lama untuk bisa
mencapai lawan.
Dengan sigap Pusparini berhasil mencengkal lengan
orang yang dikejarnya. Tapi perhitungan Pusparini
keliru kalau orang itu menyerah begitu saja. Ternyata buronannya menggerakkan
kaki kirinya untuk
melepaskan diri. Kaki itu melayang dengan ganas ke
leher Pusparini. Dan pasti akan menghunjam ke arah
sasaran kalau Pusparini tidak berkelit menghindar
dengan merebahkan tubuhnya. Dengan gerakan ini dia
mengimbangi mengirimkan sabetan pukulan ke arah
betis lawan yang nyaris melahap lehernya. Sang lawan merasakan kesakitan karena
tulang keringnya terasa
retak dilanda pukulan itu.
Rasa sakit ini segera diredam. Dengan
mengandalkan kegesitan gerak sikunya, orang itu ingin memberi balasan serangan.
Kali ini berhasil mengenai dada Pusparini. Ada semacam rasa sesak kena
gamparan ujung siku lawan. Mengetahui Pusparini
agak kendor memberi perlawanan, sang lawan
mengulang serangan dengan tonjokan kepalan tangan.
Untung Pusparini berhasil menangkis dengan tapak
tangan yang sekaligus menyambar tangan itu, lalu
dipelintir sehingga tubuh lawan terseret meliuk ke
bawah. Dalam keadaan begini Pusparini menambahi
dengan tendangan lututnya. Persis mendarat ke dagu.
Kepala lawan mendongak. Lalu digampar dengan
pukulan tapak tangan.
Pusparini memang berniat meringkus orang itu.
Karenanya tak dibiarkan sejengkal pun sang lawan
menjauh dari dirinya. Tahu keadaan lawan sulit
mengatur diri, Pusparini mengunci serangan dengan
pukulan ke arah pusarnya. Orang itu langsung
menggeliat dan roboh!
"Bagaimana dia?" terdengar teguran di sampingnya.
Ki Catradana telah berada di dekatnya sambil
mengawasi biang kerok kegaduhan yang ndlosor di tanah dalam keadaan pingsan.
"Ya... agak ngotot untuk melarikan diri. Ki Catra
kenal orang ini?" tanya Pusparini dengan membenahi
pakaiannya. "Tidak. Tapi bisa kita korek keterangannya kalau
dia telah sadar. Rupanya dia mencari sesuatu dalam
rumah itu ketika tuan rumah tak ada di tempat,"
jawab Ki Catra dengan memeriksa keadaan orang yang
tetap tak berkutik.
"Jadi... kenalan Ki Catra tak ada di rumah?"
"Rupanya begitu. Kudapati keadaan rumah dalam
keadaan porak-poranda. Pasti perbuatan orang ini."
Kemudian Ki Catra memanggil beberapa orang
pengikut agar orang itu dibawa ke dalam rumah.
"Siapakah nama orang yang kita datangi itu, Ki?"
tanya Pusparini dengan berjalan beriringan menuju
rumah itu. "Sudamala! Tapi entah kemana. Kita tunggu saja di
sana," jawab Ki Catra.
Mereka memasuki rumah itu. Pusparini mengawasi
keadaan di dalamnya. Penuh barang-barang yang
berkaitan dengan upacara ritual. Ada beberapa
tengkorak binatang digantungkan di blandar ruangan.
Bau dupa dan kembang tercium menusuk hidung.
Orang yang bikin kisruh tadi telah siuman. Itupun
karena disiram air oleh Pusparini. Dia tahu orang itu telah sadar tapi pura-pura
tetap pingsan. "Jangan mencoba mengecoh kami lagi dengan
muslihatmu," kata Pusparini. Kalau diamati agak
tampan juga wajahnya.
"Siapa kau sebenarnya maka masuk ke rumah Ki
Sudamala dengan niat buruk?" tanya Ki Catra.
"Akulah yang sebenarnya harus bertanya kepada
kalian mengapa datang ke tempat pamanku!" jawab
pemuda itu. "Pamanmu" Ki Sudamala itu pamanmu" Ah, yang
bener. Jangan ngaku-ngaku. Kalau kau benar-benar
keponakan Ki Sudamala, mengapa kedatangan kami
membuatmu hengkang lari dengan cara itu" Kau
maling, ya?" tuduh Ki Catra.
"Aku menduga kalau kalian adalah orang-orang
yang tempo hari menculik pamanku," jawab pemuda
itu dengan rasa putus asa.
Keadaan ini tiba-tiba merubah suasana. Dakwaan
serta kecurigaan terhadap pemuda itu berangsur sirna.
"Ehmm... ini... mungkin kesalah-pahaman," sela
Pusparini. "Jawaban pemuda ini perlu dipertimbangkan. Atau... kita anggap dia sebagai tuan rumah karena pamannya tak ada di
sini." "Aku mengenal baik pamanmu. Tapi aku benarbenar tak tahu kalau dia mempunyai keponakan.
Siapa namamu?" tanya Ki Catradana dengan suara
sareh. Agaknya dia menyesal dengan peristiwa yang barusan terjadi. Tapi
bagaimana pula kalau hal itu
memang di luar dugaan. Masing-masing memang
belum pernah bertemu, dan keadaan di sana
memungkinkan untuk saling mencurigai.
"Saya... Sancaka!" jawab pemuda itu dengan
membenahi diri karena pakaiannya basah disiram air
oleh Pusparini.
"Maafkan aku," ucap Pusparini karena tindakannya
tadi. "Tapi... kau tadi kulihat sudah siuman, kenapa pakai siasat tetap purapura pingsan?"
"Tempo hari dengan siasat itu aku bisa
mendengarkan omongan orang-orang yang menculik
pamanku," jawab Sancaka.
"Ah, aku bisa menebak peristiwanya. Ketika itu kau
bersama pamanmu, kemudian muncul orang-orang
yang akan menculik pamanmu. Kau membela diri, tapi
berhasil dilumpuhkan. Atau... pura-pura pingsan, dan sempat mendengarkan omongan
mereka! Apakah pamanmu tidak mengadakan perlawanan?" tanya
Pusparini. "Ya! Aku mendengar omongan sebelum mereka
membawa pergi pamanku. Mereka mencari tongkat
dan lembaran kulit sapi yang bertulis mantra. Benda itu diperoleh paman lewat
seorang musafir dari
Hindustan Selatan yang kebetulan berkelana ke
tempat-tempat pemujaan di Jawadwipa. Dia memberikan kedua benda itu sebelum dia meninggal
karena sakit mendadak. Kedua benda itu katanya
berasal dari pegunungan Erramala di Hindustan
Selatan sana untuk penangkal roh jahat," ucapan ini meluncur dari mulut Sancaka
dengan lancar. "Menyeramkan juga kedengarannya," sela
Pusparini. "Justru kedatangan kita kemari untuk
membicarakan hal itu dengan Ki Sudamala," kata Ki
Catradana. "Tempo hari dia pernah menjelaskan hal
itu kepadaku. Tapi aku tidak menanggapi karena
merasa tidak berkepentingan. Dunia gaib bukan
bidangku. Sampai akhirnya aku sendiri ketanggor
masalah yang kupikir ada hubungannya dengan rohroh jahat, maka aku teringat dengan Ki Sudamala yang berkecimpung dengan masalah
dunia kegelapan, dunia
roh yang tak bisa mati."
*** Hari berikutnya, Ki Catradana masih memutuskan
untuk tinggal di tempat Ki Sudamala.
Dengan adanya Sancaka, mereka tidak rikuh
berada di sana. Dan ini tidak untuk beristirahat
dengan santai, tapi membicarakan langkah-langkah
yang akan ditempuh. Mengingat keberadaan tentang
Dewi Kelelawar yang jadi masalah, maka kalau
dihubungkan, rasanya ada kaitannya satu sama lain.
Tapi apakah demikian, belum bisa dipastikan.
Langkah pertama, mereka akan mencari para penculik
Ki Sudamala. Walaupun kedengarannya agak
menyimpang dari tujuan semula, dengan keberadaan
Ki Sudamala yang diharapkan bisa diketemukan,
maka tujuan mereka untuk mencari Dewi Kelelawar
dan menghadapinya, ada yang bisa diandalkan.
Pagi itu Pusparini merendamkan tubuhnya di
sungai tak jauh dari rumah Ki Sudamala. Air sungai
yang bening membuat Pusparini kerasan merendam
diri berlama-lama menikmati sejuknya suasana. Tanpa rasa was-was dia berenang ke
sana ke mari. Tapi kalau dia berpikir tak akan ada orang yang melihat
keberadaannya di sana, maka anggapan itu keliru. Ada
sepasang mata yang mengawasi. Dan itu adalah mata
si Sancaka. Dari tempat ketinggian di atas padas, Sancaka
memperhatikan dengan seksama lemah gemulai tubuh
Pusparini yang terendam air. Dengan pemandangan
dari atas itu, Sancaka secara samar-samar bisa
menyaksikan lekuk-lekuk tubuh Pusparini. Darah
mudanya bergetar. Sampai dia tidak sadar kalau
kakinya beringsut dengan pelan makin ke depan dan
melongsorkan kerikil-kerikil kecil. Hal itu membuat ketenangan Pusparini
terusik. Dia mendongak ke atas.
Perasaannya tersirap ketika mengetahui Sancaka
mengintip dirinya.
"Jaga moralmu, Sancaka! Apakah pantas mengintip
orang lagi mandi?" seru Pusparini dengan berusaha
menyilangkan kedua tangan menutup dadanya.
Tak ada jawaban dari Sancaka. Bahkan pemuda ini
tiba-tiba membelalakkan mata dan menerjunkan diri
ke sungai. "Jangan gila kau!" seru Pusparini.
Sancaka telah menyembulkan tubuhnya di
permukaan air dap terus berenang ke arah Pusparini.
Walet Emas 03 Dewi Kelelawar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Si Walet Emas ini kontan merinding walaupun dia
seorang pendekar yang bisa mengatasi serangan
lawan. Tapi apakah menghadapi Sancaka harus tanpa
busana" Belum sadar apa yang hendak dilakukan
Sancaka terhadap dirinya, maka Pusparini berusaha
menghindar. Aneh! Sancaka tidak menyergap dirinya seperti yang
dikhawatirkan. Tapi pemuda itu yang terus berenang
ke arah lurus, tiba-tiba bergulat dengan sesuatu.
Pusparini terbelalak kaget. Ternyata yang dihadapi
Sancaka adalah ular! Ya, ular! Binatang itu cukup
besar dan disebut ular Sanca.
Pusparini benar-benar tak tahu apa yang harus
diperbuat. Membantu Sancaka yang bergelut dengan
ular yang dipastikan tadi mengincar dirinya, jelas tak mungkin. Dia dalam
keadaan tanpa busana. Pakaian
dan pedangnya terletak jauh di seberang sana. Melihat keadaan Sancaka rupanya
sulit menghadapi ular
sebesar itu, maka Pusparini nekat membantu
walaupun keadaan dirinya serba polos tak tertutup
selembar kain pun. Sasaran yang diincar Pusparini
adalah kepala ular itu, yang tampaknya dipegang
dengan dua belah tangan Sancaka. Sebab apabila
Sancaka tidak memegang kepala ular itu, sudah bisa
dipastikan tubuhnya akan dicaplok.
"Dongakkan ke atas kepala ular itu!" seru
Pusparini. "Sulit! Binatang ini terus meronta dan lilitannya
semakin menghimpit tubuhku...!" ucapan Sancaka
terdengar dengan susah payah karena napasnya
semakin sesak. Akhirnya Pusparini yang harus mencari peluang itu.
Satu-satunya untuk mendekati kepala ular di tangan
Sancaka hanya dengan merapatkan tubuhnya ke
pemuda itu. Padahal dirinya dalam keadaan telanjang.
Dia harus membuang jauh-jauh tentang moral dan
kesopan-santunan. Dia langsung mendekat ke
Sancaka dan mengincar kepala ular tersebut.
"Yhiieaaa...!" jeritan Pusparini terdengar mengiringi tenaga dalam yang
disalurkan lewat tangannya. Dan
pukulannya mendarat tepat di kepala ular sasarannya.
"Phrraakk!"
Darah muncrat dari kepala ular itu dengan disertai
gumpalan putih. Yang putih adalah otak ular yang
berantakan. Akibat dari peristiwa itu bukan menjadi selesai, tapi sang ular
tampaknya masih sekarat dan
sempat menggerakkan tubuhnya. Celakanya, hal itu
menambah eratnya belitannya ke tubuh Sancaka.
"Aaahh...," jerit Sancaka.
Pusparini bertindak menarik tubuh ular yang melilit Sancaka. Dengan usaha keras,
akhirnya belitan itu
mengendor. Kemudian dengan terengah-engah
keduanya berenang ke tepian. Pusparini lebih awal
sampai. Dengan cepat dia meraih pakaiannya.
Kemudian Sancaka mencapai tepian. Pemuda ini
langsung tertelungkup di atas padas dengan napas
terengah-engah.
Pusparini yang kini berpakaian ala kadarnya segera
mendekati Sancaka. Dia khawatir Sancaka mengalami
patah tulang rusuk akibat belitan ular.
"Sancaka" Kau tidak apa-apa?" suara Pusparini
lirih terdengar.
Sancaka tak menjawab.
"Sancaka..., jawablah!" keluh Pusparini lirih sambil meraba-raba dada dan perut
Sancaka yang dikhawatirkan ada kelainan patah tulang.
Sancaka masih tak menjawab. Lalu tubuhnya
ditelentangkan oleh Pusparini.
"Sancaka...!" bisik Pusparini. "Sadarlah! Aku sangat berterima kasih karena kau
telah menyelamatkan
diriku dari sergapan ular itu. Jangan berpura-pura
pingsan lagi. Sadarlah agar aku lega bahwa kau tidak apa-apa!"
Sancaka masih pada sikapnya yang tak bergerak
sedikit pun kecuali napasnya yang turun naik terlihat pada dadanya. Pusparini
mengguncang-guncang tubuh
Sancaka dengan cemas.
"Sancaka! Sadarlah!"
Tiba-tiba Sancaka membuka matanya dengan
pelan. Dia melihat Pusparini di hadapannya dengan
tubuh yang basah.
Pusparini tersenyum. "Sukurlah kau telah sadar.
Apamu yang sakit?"
"Kukira ada tulang rusukku yang patah...," keluh
Sancaka. "Sebelah mana" Yang di sini?" sela Pusparini sambil meraba bagian perut di mana
tangan Sancaka menempel di sana.
"Aku tak tahu sebelah mana. Tapi rasanya sakit
semua." Pusparini bertindak untuk mengurangi rasa sakit.
Sedikit banyak, Pusparini pernah diajari gurunya
untuk mengobati tulang keseleo atau salah urat. Dia memijit-mijit bagian tubuh
Sancaka yang dikeluhkan.
Tampaknya Pusparini sungguh-sungguh dalam
bertindak sehingga tidak mempedulikan dirinya. Kain yang dikenakan menutup tubuh
sekedarnya, tanpa
disadari telah melorot ke bawah sehingga dadanya
yang membukit indah itu tersibak. Sadar akan hal ini cepat-cepat dia membenahi
diri. Wajahnya merah
padam, sebab pemandangan itu sempat tertangkap
pandangan mata Sancaka. Pemuda itu tersenyum.
Pusparini cepat berdiri. "Jangan mengaku-ngaku
sakit, Sancaka. Aku tahu sebenarnya kau tak apaapa." Pusparini cepat meninggalkan tempat itu dan
menyambar pakaiannya yang lain.
"Sialan! Dia berprasangka buruk. Dia tak percaya
kalau aku benar-benar kesakitan," keluh Sancaka
sambil berdiri tertatih-tatih. Dilihatnya Pusparini sudah pergi dari tempatnya.
Kemudian, dengan
langkah gontai dia berjalan menuju rumah.
*** EMPAT PUSPARINI yang telah selesai berpakaian segera
melangkahkan kaki menuju rumah Ki Sudamala. Ini
bukan karena dia ingin cepat-cepat meninggalkan
Sancaka, tapi karena melihat asap mengepul di rumah itu. "Kebakaran" Apa yang
telah terjadi di sana?" pikir Pusparini sambil terus melesat mempercepat
langkah. Hiruk-pikuk memang terjadi disana. Keadaan gawat
menimpa Ki Catradana dan para pengikutnya. Mereka
terlibat bentrokan dengan sekelompok orang yang
berpakaian seragam entah dari mana asalnya.
Sedangkan rumah Ki Sudamala bagian belakang,
tepatnya arah dapur, dilahap api. Untung bangunan
itu letaknya tidak berhimpitan. Kalau tidak, pasti
bangunan rumah utama dilahap api juga.
Melihat situasinya, kalau tidak ditindak secara
fatal, pasti pihaknya akan kalah dengan serangan
orang-orang berseragam itu. Maka Pusparini bertindak langsung. Pedang Merapi
Dahana dikeluarkan dari
sarungnya. Cahaya matahari yang menimpanya
membuat bilah pedang itu memancarkan cahaya
merah. Inilah yang tiba-tiba menarik perhatian semua orang.
"Katakan apa kepentingan kalian maka menyerbu
rumah ini!" seru Pusparini dengan lantang.
Semua yang baku hantam terhenti. Belum ada
korban jiwa yang jatuh selain babak belur saja.
"Kuharap pemimpin kalian maju untuk berbicara
padaku!" seru Pusparini lagi dengan mata menyapu
sekelilingnya mencari orang yang dia maksud.
"Aku yang memimpin orang-orangku!" tiba-tiba
terdengar suara dari arah lain dengan disusul
kemunculan yang punya suara itu. Gerakannya
melayang dengan lompatan bergulir yang tujuannya
pameran bahwa dia menguasai ilmu bela diri dengan
baik. Pusparini mengawasi tokoh yang baru muncul ini.
Dia seorang laki-laki sebaya dengan Ki Catradana. Tapi perawakannya agak kekar.
Pedangnya berukuran
besar melintang di punggungnya. Hulunya berkepala
kelelawar! "Kau muncul dengan pamer pedangmu yang
membiaskan cahaya merah. Aku kenal pedang
semacam itu. Pedang Merapi Dahana!"
"Tentunya kau tahu kehebatan pedang milikku ini,"
kata Pusparini dengan pandangan ketus.
Kecurigaannya bahwa kelompok yang dihadapi
adalah orang-orang berniat jahat, atas dasar bukti
hulu pedang pimpinan mereka. Hulu pedang berkepala
kelelawar itu sangat meyakinkan sekali.
Sebelum terdengar pembicaraan lagi, tiba-tiba
Sancaka muncul di sana.
"Merekalah yang menculik Ki Sudamala!" kata
Sancaka dengan berdiri di samping Pusparini. Sejenak dia terkesima heran
menyaksikan pedang yang
memancarkan cahaya merah di tangan gadis pendekar
itu. "Hai, bocah tengik! Sejak kapan nyalimu jadi
membengkak, hah" Tempo hari dengan sekali gebrak
oleh anak buahku kau sudah klenger. Kini tampaknya
kau bregas-akas karena ada pendekar yang punya pedang ampuh. Kiramu dengan
pedang itu dia mampu
mengalahkan kami" Menggagalkan rencana kami,
hah"! Tidak bakalan terjadi. Lihat pedangku ini!"
sumbar laki-laki itu sembari mencabut pedangnya.
"Shhriinngg!"
Pedang di tangan laki-laki itu tiba-tiba
mengeluarkan asap hitam.
"Ha ha ha ha..." terdengar suara tawanya. "Kalau
ingin tahu, inilah Pedang Kelelawar! Dan namaku
adalah Lowo Brangah!" sehabis berkata begitu,
langsung dia melompat ke arah Pusparini.
Thhrraanngg! Dua pedang beradu. Pedang
Kelelawar dan Pedang Merapi Dahana saling
menunjukkan kekuatannya.
Pusparini terperangah. Dalam naungan sinar
matahari ternyata ada pedang yang mampu bertahan
terhadap gempuran pedangnya. Selama ini memang
Pedang Merapi Dahana tidak bisa menghancurkan
pedang lain selama hal itu terjadi di luar jangkauan cahaya matahari. Tapi kini
masih ada masalah lain
yang mampu bertahan. Pedang Kelelawar milik Lowo
Brangah ternyata mampu bertahan. Pasti ada sarana
lain yang membuat Pedang Kelelawar mampu bertahan
seperti itu. Kemudian Pusparini dan Lowo Brangah terlibat
pertarungan seru. Pedang mereka saling beradu.
Setiap kesempatan dipergunakan untuk bisa
menerobos pertahanan lawan. Bukan itu saja, gerak
kelincahan kaki pun menentukan. Keduanya saling
menggunakan kaki sebagai senjata tambahan. Jelas
terlihat jurus-jurus yang mereka kembangkan adalah
jurus gerakan Kelelawar dan Walet. Caranya meliuk,
caranya menerjang dan mengelak benar-benar
seimbang. Baru kali ini Pusparini ketanggor lawan
yang bisa membaca jurus-jurus yang hendak
diserangkan. Dan asap hitam yang keluar dari Pedang Kelelawar itu hanya
menghambat pandangan saja.
Semula asap itu dicurigai sebagai asap beracun.
Ternyata tidak.
Selama dua tokoh ini terlibat perang tanding, maka
yang lain telah melarutkan diri dalam baku hantam
yang tidak kalah serunya. Ki Catradana yang berbadan ceking itu ternyata
memiliki ketangkasan dalam ilmu bela diri. Beberapa lawan berhasil dilumpuhkan
dengan sodokan ujung jarinya. Banyak orang yang
tidak tahu bahwa Ki Catradana inilah yang digelari
orang Pendekar Bangau Jenar. Sodokan jari-jari
tangannya yang bagaikan paruh burung bangau itu
bisa mencoblos mata lawan dengan gerakan yang sulit diikuti mata.
Di sisi lain, Sancaka menunjukkan kebolehannya
pula. Pemuda ini sebenarnya agak rendah hati ketika menyaksikan sepak terjang
Pusparini yang tangguh
dalam menghadapi Lowo Brangah.
Tengah adegan baku hantam itu berlangsung, tibatiba Lowo Brangah merasakan dirinya kehilangan
tenaga untuk melanjutkan perang tandingnya.
"Sialan! Ternyata belum sempurna juga ilmu ini!"
keluhnya dalam hati. "Kalau dia tahu kelemahanku,
bisa celaka aku. Akan kucari peluang untuk
meninggalkan kancah perang tanding ini."
Maka yang dilakukan Lowo Brangah mengadakan
gerak pancingan agar Pusparini terlibat dengan anak buahnya sehingga mereka
menyerang Pusparini.
Kesempatan inilah yang dipergunakan oleh Lowo
Brangah untuk meninggalkan arena baku hantam.
Pusparini kini harus menangani anak buah Lowo
Brangah ketika dilihatnya lawan tangguhnya itu
meloloskan diri. Tentu saja dengan perlawanan
Pusparini, maka senjata anak buah Lowo Brangah tak
ada yang mampu menandingi. Semua senjata hancur
berantakan dibabat Pedang Merapi Dahana.
"Kita harus bisa mengorek keterangan dari mulut
mereka!" seru Ki Catradana.
Tapi harapannya sia-sia. Kiranya anak buah Lowo
Brangah lebih baik mati daripada harus memberi
keterangan kepada pihak lawan. Ketika melihat anak buah Lowo Brangah semua bunuh
diri, tahulah Pusparini bahwa mereka rupanya telah terikat sumpah untuk mati berkalang tanah
daripada harus tunduk
kepada lawan.
Walet Emas 03 Dewi Kelelawar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
*** Ki Catradana termenung mengawasi para korban
yang berserakan di sana. Sebagian besar adalah anak buah Lowo Brangah. Sedangkan
di pihak mereka
hanya seorang yang tewas, dua lainnya luka-luka
ringan. "Lalu sekarang bagaimana" Apakah kemunculan
Lowo Brangah tadi telah memberi gambaran kepada Ki
Catra tentang tugas kita?" tanya Pusparini.
"Tampaknya begitu. Tapi aku tak tahu sampai
sejauh mana peranan Lowo Brangah kalau hal ini ada
sangkut paut dengan Dewi Kelelawar," jawab Ki
Catradana dengan menghela napas berat. Berbagai
pertimbangan kini ada dalam benaknya "Semua ada
kaitannya. Tak bisa disangsikan lagi, kini kita harus mencari jejak Lowo Brangah
itu. Kulihat dia
meloloskan diri ke arah timur laut. Ke Gunung Lawu!"
"Ki Catra pikir apa tujuan Lowo Brangah tadi
kemari?" tanya Pusparini.
"Pasti tetap mencari barang milik Ki Sudamala
pemberian musafir dari Hindustan itu."
"Jadi kau sendiri benar-benar tidak tahu di mana
barang tersebut disimpan?" tanya Pusparini kepada
Sancaka. "Aku tidak tahu. Aku sendiri dalam beberapa hari
ini mencari benda itu, tapi tak kuketemukan," jawab Sancaka.
"Tapi kau pernah melihat benda itu, bukan?"
"Ki Sudamala memang pernah memperlihatkan
kepadaku. Tongkat itu terbuat dari jenis logam ringan.
Ketika dicoba dicobloskan ke batang beringin, bisa
amblas tembus. Sungguh tak masuk akal kalau dilihat ringannya logam yang dipakai
sebagai bahannya.
Sedangkan lembaran kulit sapi itu disimpan di dalam kantung. Ada sederetan
tulisan, yang katanya rapalan mantra," jawab Sancaka dengan gerak tangan untuk
meyakinkan pendengarnya.
"Sancaka, tidaklah kau pernah melihat suatu
tempat rahasia di rumah ini?" tanya Ki Catradana.
"Tempat rahasia?" jawab Sancaka dengan
mengerutkan dahinya. Terlihat bahwa dia sungguhsungguh untuk mengingat-ingat apakah pertanyaan
tersebut dapat diperoleh jawaban yang bisa memberi
jalan keluar. "Seingat saya..., enghm... tidak...! Tidak sama sekali! Tapi...
tunggu...! Saya pernah lihat
beberapa kali Ki Sudamala pergi ke tempat di pinggir sungai itu. Di sana ada
batu yang menjulang tinggi.
Pada saat-saat bulan purnama beliau sering semadi di sana."
"Tempat di pinggir sungai?" tanya Pusparini.
Dan omongan itu akhirnya menyeret mereka untuk
menyelidiki tempat yang diceritakan oleh Sancaka.
"Inilah tempatnya," kata Sancaka setelah mereka
tiba di tempat yang dituju.
Mereka menyelidiki tempat itu. Di sana, di tepi
sungai, memang terdapat tanah ketinggian sehingga
kalau berada di tempat itu bisa dengan jelas
mengawasi keadaan di sekelilingnya. Apalagi kalau
berdiri di atas batu yang menjulang tinggi di sana. Dan batu itu satu-satunya
tempat yang sering
dipergunakan oleh Ki Sudamala untuk mengheningkan
diri di kala bulan purnama.
Pusparini satu-satunya orang yang terlihat
memeriksa dengan teliti di sekitar tempat itu. Setiap relung batu dan bagianbagian yang sekiranya bisa
dipakai untuk menyembunyikan sesuatu, dia amati
dengan teliti. "Kau temukan sesuatu?" tanya Ki Catradana
kepada Pusparini yang tampak asyik mengamati
bagian sisi batu yang sering diduduki Ki Sudamala
untuk semadi. "Tampaknya sisi batu ini dapat diambil bagian
atasnya. Akan saya buka," kata Pusparini sambil
menyungkit dengan pisau kecil celah yang melingkar
sebesar kelapa itu.
Tidak terlalu sulit. Dengan mudah penutup batu itu
bisa dilepas, dan kini terlihat sebuah lubang yang
cukup dalam. Dengan hati-hati Pusparini merogohkan
tangannya ke dalam.
Ada sesuatu yang tersentuh oleh ujung jarinya.
"Agaknya kita menemukannya!" katanya dengan
mata berbinar gembira. Kemudian ditarik tangannya
yang telah memegang sesuatu yang dapat diraih dari
lubang itu. "Ini dia!" katanya lagi sambil menarik sebuah benda yang berupa tongkat logam
berwarna putih. Dan pada
tongkat itu terdapat ikatan bungkusan.
"Ini dia benda yang diincar Lowo Brangah," kata
Pusparini sambil mengamati benda itu dengan teliti.
Sancaka tak kalah pula telitinya mengamati benda
itu meskipun dia sudah pernah melihatnya. Kemudian
Ki Catradana meraih bungkusannya, dan dari dalam
dikeluarkan lembaran kulit sapi bertulis manteramantera. Dan beberapa saat kemudian...
"Hm. Ini tulisan huruf Pallawa yang masih
dipengaruhi bentuk-bentuk huruf Hindustan Utara,"
kata Ki Catradana.
Dari peristiwa ini Pusparini baru tahu bahwa Ki
Catradana adalah seorang 'Mpu' yang menguasai
sastra kuno mancanegara. Terutama dari Hindustan.
"Ki Catra bisa membacanya, bukan?" tanya
Sancaka. "Kebetulan bisa. Ini memang mantera untuk
memerangi roh jahat, yang tingkatnya tinggi," jawab Ki Catradana sambil meneliti
tulisan-tulisan yang ditulis dengan warna merah. "Tapi harus berani menanggung
akibatnya."
"Menanggung akibat bagaimana?" tanya Pusparini.
Sejenak Ki Catradana meneruskan membaca tulisan
tersebut. Terlihat dia mengerutkan dahi. Ada
pemilahan perangai tercermin di wajahnya.
"Ada apa, Ki" Apakah ada sesuatu yang tidak
beres?" tanya Pusparini.
"Mantera ini bisa menyerang balik kepada
pembacanya apabila lawan yang kita hadapi mengerti
kunci penangkalnya...!" jawab Ki Catradana dengan
suara pelan. *** LIMA AKHIRNYA mereka memutuskan untuk memburu
Lowo Brangah. Arah yang mereka tempuh menuju
Gunung Lawu, atau oleh penduduk di sana menurut
kisah para leluhur disebut Gunung Katong.
Mula-mula jalan setapak yang biasa dilalui oleh
para pemburu dibuat pegangan untuk menuju Gunung
Katong. Lama-lama jalan setapak itu tak ada lagi, dan terhamparlah kawasan '
gung lewang lewung' yang harus ditempuh.
Mereka menempuh perjalanan itu secara naluri
saja. Tanpa pengetahuan sedikit pun dimana letak
sarang Lowo Brangah. Mereka menembus hutan
rimba. "Bagaimana kalau Lowo Brangah ini tak ada
hubungan dengan Dewi Kelelawar yang kita kejar sejak semula?" tanya Pusparini.
"Kita memang dihadapkan pada masalah yang
rumit. Tapi mudah-mudahan Sang Hyang Widhi
memberi bimbingan kepada kita," jawab Ki Catradana.
Perjalanan mereka memang penuh hambatan. Satusatunya pegangan yang dipakai adalah mencari jejak
orang yang pernah melewati daerah itu. Jejak tersebut bisa berupa bekas tapak
kaki di tanah atau
rerumputan. Boleh juga pada semak belukar yang
daun serta dahan-dahannya bekas dilanda tubuh
seseorang. Akhirnya pada suatu malam setelah dua hari
berjalan... Sancaka mendapat giliran jaga. Api unggun
diperbesar nyalanya agar menambah kehangatan di
sekelilingnya. Semua tidur di bawah, kecuali
Pusparini. Si Walet Emas ini memilih tempat tidurnya di atas pohon. Tapi kalau
diamati, tindakan Pusparini bukan kerja yang ugal-ugalan. Dia memilih tempat
tidur di atas pohon karena ingin mengawasi keamanan keadaan di sekelilingnya.
Seperti halnya saat ini,
ketika semua tidur lelap dan Sancaka masih terjaga di tempatnya, maka mata
Pusparini tak sekejap pun
terpejam. Dia memasang indera pendengarannya,
menjaga kalau-kalau ada pendatang yang menyatroni
tempat itu dengan tujuan tidak bersahabat.
Sampai akhirnya...
Tiba-tiba indera pendengaran Pusparini terusik oleh sesuatu yang melintas di
atas pohon tempatnya
berbaring. Sesosok bayangan hitam tampak terbang
mengitari tempat itu. Karena bentuknya yang besar
maka gerak terbangnya menimbulkan desau angin
agak keras. Hal ini membuat api unggun meliuk-liuk
tak tentu arah. Perhatian Sancaka tertuju ke atas
untuk melihat sesuatu yang bergerak di angkasa. Dia membangunkan Ki Catradana
dan orang-orang
lainnya. "Apa yang terjadi?" tanya Ki Catradana sambil
mengusap matanya.
"Sesuatu melintas di atas sana. Bentuknya besar
sekali," jawab Sancaka. "Seharusnya Pusparini
melihatnya, kalau dia tidak tertidur."
Sesungguhnya Pusparini sejak tadi sudah siap siaga
begitu sosok tubuh yang melintas terbang di atas
tempat itu sudah membuat gaduh dengan kepakan
sayapnya. Sesosok tubuh dengan rentangan sayap yang lebar,
dan bulan yang sepotong di langit, cukup memberi
penerangan tentang bentuk yang menjadi perhatian
mereka. "Kelelawar!" seru di antara mereka yang melihat
sesuatu dengan kepakan sayap yang lebar.
"Apakah itu Dewi Kelelawar yang kita buru?" kata
yang lain. "Dia terbang berputar-putar saja di atas kita," kata Sancaka. "Apakah Pusparini
tidak melihatnya?"
"Kukira Pusparini siap di tempatnya," sela Ki
Catradana. "Mengapa Ki Catra tidak membaca mantera
tersebut?" tanya seorang pengikut mereka.
"Kita tunggu sampai makhluk itu bertindak
terhadap kita," jawab Ki Catra. "Lihat, itu Pusparini melesat dari satu pohon ke
pohon yang lain. Rupanya dia mencari peluang untuk bisa mendekat gerak
terbang makhluk kelelawar itu."
Yang sempat dilihat oleh Ki Catradana memang
benar. Pusparini mencari pijakan tempat agar leluasa melihat makhluk kelelawar
itu. Paling tidak dia
berharap agar makhluk itu melihat dirinya. Apapun
akibat yang ditimbulkan, Pusparini telah siap
menghadapi. Harapan yang diinginkan Pusparini berhasil.
Makhluk kelelawar itu rupanya melihat Pusparini dan terbang mendekat.
Pusparini menunggu dengan perasaan berdebar.
Makhluk kelelawar itu akhirnya hinggap di atas dahan.
Baru sekarang Pusparini dapat melihat dengan jelas
sosok makhluk yang dihadapi. Ternyata makhluk
kelelawar itu berbadan seorang wanita. Lengan
tangannya terpaut dengan sayap. Dan sayap itu
melebar sampai ke pahanya, serta seluruh tubuhnya
tak tertutup selembar busana pun.
Naluri Pusparini menyiratkan pasti makhluk di
hadapannya ini akan menyerangnya. Itu sebabnya dia
dengan cepat mengeluarkan pedang dari sarungnya.
Pedang Merapi Dahana berkilat putih dalam terpaan
cahaya bulan yang sepotong. Pusparini siap siaga.
Tapi... "Tolonglah aku...! Aku tak bermaksud jahat pada
kalian...!" terdengar suara makhluk itu yang
menyiratkan ucapan yang tak diduga oleh Pusparini.
"Apa katamu?" tanya Pusparini ragu-ragu.
"Tolonglah aku. Aku sangat menderita...!" terdengar suara manusia kelelawar itu
lagi. "Siapa kau sebenarnya" Apakah kau disebut Dewi
Kelelawar?" tanya Pusparini yang ketegangannya
mengendor karena mendengar ucapan makhluk itu.
"Ohh... dia datang mengejar! Aku harus cepat-cepat
meninggalkan tempat ini. Tolong aku! Carilah aku di Goa Mulut Naga di lereng
utara Gunung Katong...!"
kata manusia kelelawar dengan mengawasi arah timur
yang kemudian dengan cepat melesat ke angkasa.
Pusparini masih tercekam keheranan dengan
peristiwa yang dihadapi. Pandangannya mengikuti
manusia kelelawar yang terbang semakin jauh dan
akhirnya ditelan kegelapan. Belum usai
penglihatannya lepas dari sana, maka muncul
bayangan hitam dari arah timur. Kiranya ini yang
dikhawatirkan oleh manusia kelelawar tadi. Pusparini mencoba mengawasi dengan
teliti perwujudan
makhluk itu, walaupun dia sudah yakin bahwa ini
adalah makhluk yang sejenis dengan yang baru
dihadapi tadi. Hanya saja yang ini lebih kecil, sebesar jenis kelelawar yang
disebut 'kalong'. Dan yang dilihat Pusparini ternyata benar-benar binatang
kelelawar. Bukan manusia kelelawar!
"Dia menyerangku!" gumam Pusparini sambil
mengelakkan diri ketika binatang itu melesat ke arah
dirinya. Hal ini terpaksa harus dihadapi dengan kekerasan.
Ketika binatang itu terbang melingkar untuk
menyerang kedua kalinya, Pusparini telah siap dengan ayunan pedangnya... dan....
Whhett.... Shwwhetth....
Pedang Pusparini berkelebat membabat ke arah
binatang itu.
Walet Emas 03 Dewi Kelelawar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Oh, luput!" gumam Pusparini lirih.
Ternyata binatang itu punya indera tajam dalam
menghadapi serangan pedang Pusparini. Hal ini
membuat dirinya penasaran. Dengan manusia dia
mampu menebas dengan sekali pukulan, tapi binatang
ini mampu mengelakkan. Tentu saja, sebab keadaan
Pusparini berada di atas dahan pohon sehingga
pikirannya tidak penuh ditujukan ke arah lawan yang bergerak dengan gesit
seperti itu. Atau boleh dikata, Pusparini bertarung di dunia lawan. Tapi sikap
kependekarannya mengharuskan dia pantang mundur.
Untuk itu dia memasang ancang-ancang guna
menghadapi binatang yang masih mengincar dirinya.
Jelas, ini pasti bukan sembarang kalong. Ada
'sesuatu' yang menggerakkan binatang tersebut hingga mampu menyerang manusia
dengan memakai perhitungan. Tentang 'sesuatu' itu apa dan bagaimana, Pusparini belum tahu.
Sementara Pusparini menghadapi kalong yang sulit
dikalahkan, maka Ki Catradana merapal mantera yang
tertulis di kulit sapi. Sejak awal dia memperhatikan tindakan Pusparini yang
kalang kabut menghadapi
kalong yang tidak semestinya itu. Rapalan mantera
terus membuih di bibir Ki Catradana tanpa henti.
Sampai akhirnya....
"Eeeaaarrkkhkh...!" terdengar kalong meledakkan
jeritan. Pusparini terkejut. Dia tak tahu apa yang
menyebabkan binatang itu tiba-tiba mengeluarkan
jeritan seperti itu. Dalam keadaan masih di udara,
kalong tersebut menggelepar-gelepar. Kesempatan ini tidak disia-siakan. Dengan
sekali tebas maka tubuh
binatang itu terbelah jadi dua, dan jatuh meluncur ke bawah.
"Bhwueg...!"
"Hah"!" Semua heran. Seperti tidak masuk akal
kalau binatang tersebut jatuh dengan mengeluarkan
bunyi seperti itu. Kedengarannya berbobot lebih dari setengah kwintal.
Lewat cahaya api unggun, mereka baru tahu apa
yang terjadi kemudian. Mereka melihat tubuh kalong
itu terbelah menjadi dua menggeletak di tanah.
Kemudian terlihat berangsur-angsur ada perubahan
pada wujudnya. Berubah menjadi bentuk seorang
bocah laki-laki, berumur lima tahunan!
Pada saat itu bersamaan dengan turunnya
Pusparini dari atas pohon, dia sempat terpekik pelan menyaksikan perubahan wujud
kalong yang mati
terbelah menjadi dua akibat tebasan pedangnya.
"Ini pasti ilmu iblis!" ucap Ki Catradana pelan.
Kalau semua dihinggapi perasaan merinding, itu
lantaran adanya perubahan yang berwujud bocah lakilaki. Dengan tabah Sancaka menyelidiki lebih dekat.
Diamati wajah anak yang tewas dengan tubuh terbelah jadi dua itu.
"Kukira dia bukan anak kecil. Tapi manusia cebol.
Manusia kate. Coba teliti wajahnya itu. Bukan wajah seorang anak-anak. Tapi
wajah manusia dewasa!" kata Sancaka dengan pelan. Kemudian tubuh telanjang
yang terbelah itu disatukan kembali.
Bukan main tangkasnya Pusparini memainkan
pedangnya ketika menebas lawannya. Tepat di tengah.
Mulai dari ubun-ubun sampai ke dubur! Pusparini
yang selama ini berkecimpung dalam arena kubangan
darah di dunia persilatan, perasaannya bergidik
menyaksikan tubuh korbannya...!
*** ENAM PUSPARINI merasa lesu pada esok harinya setelah
semalaman tak tidur sekejap pun. Apalagi karena
ketanggor peristiwa yang tidak semestinya dan
pertama kali dialami.
"Jadi kau mendengar kelelawar bertubuh wanita itu
minta tolong?" tanya Ki Catradana ketika mendengar
kisah Pusparini yang diceritakan semalam.
"Benar, Ki. Tampaknya dia menderita sekali.
Suaranya terdengar sendu penuh harap. Ketika
hendak berkata lebih lanjut, maka muncullah manusia kalong itu," kata Pusparini
mengulang kisahnya.
"Sekarang sasaran kita adalah mencari Goa Mulut
Naga di lereng utara Gunung Katong atau Lawu!" sela Sancaka. "Berarti kita harus
sampai di lereng gunung dulu yang di sebelah utara, lalu mencari goa itu. Paling
tidak, sesuai dengan namanya, goa itu pasti bentuknya seperti mulut naga!"
"Wanita kelelawar itu harus kita selidiki apakah dia yang bernama Dewi
Kelelawar. Kalau selama ini Dewi
Kelelawar didesas-desuskan sebagai makhluk
penyebar bencana, sangat mengherankan kalau wanita
kelelawar itu adalah Dewi Kelelawar," kata Ki
Catradana. "Dan semalam, mantera yang kubaca pasti
berpengaruh pada kelelawar jadi-jadian yang telah
terbunuh oleh pedang Pusparini."
"Kalau begitu, apakah kita berangkat sekarang?"
usul Sancaka. "Bagaimana, Rini?" tanya Ki Catradana dengan
mengawasi Pusparini yang masih termenung.
"Boleh! Tapi jarak kita harus berjauhan. Rasanya
kalau berjalan beriringan akan menjadi sasaran
empuk lawan, seandainya kita diserang. Ingat, kita
akan menerobos ke sarang lawan. Banyak hal yang
tidak kita ketahui dan mengandung teka-teki."
Usul Pusparini disetujui. Sebagai pengaman, maka
Pusparini berjalan di baris belakang. Sedangkan
Sancaka menjadi pembuka jalan mencari tempat yang
disebut Goa Mulut Naga.
Hutan yang 'gung lewang-lewung' segera menjadi
sasaran untuk ditembus. Gunung Katong atau
Gunung Lawu sejak dulu memang sering dipilih oleh
kaum pertapa untuk bersemadi. Justru tempat-tempat
yang penuh tantangan itu menjadi idaman para
pertapa. Dan dalam perjalanan itu mereka sering
menemukan tempat-tempat bekas pertapa. Adakalanya
mereka mendapati seorang pertapa sedang bersemadi.
Dalam kesempatan ini sang pertapa ada yang dengan
lapang hati memberi petunjuk tentang keadaan daerah sekitarnya.
Titisan Dewi Iblis 2 Pengemis Binal 10 Cinta Bernoda Darah Bidadari Dasar Neraka 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama