Pendekar Rajawali Sakti 159 Neraka Kematian Bagian 1
" . 159. Neraka Kematian Bag. 1
4. August 2014 um 20:37
1 ? ? ? ? Seorang pemuda berjalan mondar-mandir di sebuah ruangan yang tertata apik, tepat di depan kursi berukir indah. Wajahnya tampak kusut dengan dahi berkerut. Sesekali terdengar desahannya yang halus. Lalu matanya memandang ke pintu, kemudian kembali duduk di kursi kebesarannya setelah menghela napas panjang.
Tak lama pemuda itu bertepuk dua kali. Maka seorang laki-laki berpakaian kuning seperti seragam prajurit yang berjaga di dekat pintu, menghampiri dengan tergopoh-gopoh.
"Sendika, Gusti Prabu...!" ujar prajurit seraya berlutut memberi hormat.
"Apakah para prajurit yang menjemput Kanjeng Gusti Ayu Larasati telah kembali?" tanya pemuda yang ternyata seorang raja.
"Belum, Gusti Prabu...!" jawab prajurit itu, singkat.
"Hm.... Lama sekali mereka. Laporkan segera padaku bila mereka tiba!" ujar pemuda itu.
"Baik, Gusti Prabu!"
"Kau boleh kembali ke tempatmu!"
"Oh, Iya.. Ada yang hendak hamba sampaikan?"
"Katakanlah."
"Gusti Panglima Joko Dentam telah berangkat bersama pasukannya, Gusti Prabu!" jelas prajurit ini.
"Hm, ya. Dia telah menghadap padaku tadi..."
"Adakah yang lain bisa hamba kerjakan, Gusti Prabu?"
"Tidak. Kau boleh kembali ke tempatmu."
"Ampun, Gusti Prabu. Kalau demikian, hamba mohon diri!" sahut prajurit seraya memberi hormat. Lalu dia beringsut ke belakang dan menghilang di balik pintu.
Pemuda yang tak lain Bre Redana menghela napas berat. Hatinya kelihatan susah, dan wajahnya keruh memikirkan sesuatu. Ayu Larasati seharusnya sudah kembali bersama para prajurit yang menjemputnya. Jarak Alas Karang dengan Hutan Kembang Mekar bisa ditempuh setengah hari. Tapi kini telah lebih dari setengah hari. Bahkan sebentar lagi sore akan berganti malam. Namun, Ayu Larasati dan para pengawalnya tidak kunjung tiba juga. Jelas ini membuat gelisah Bre Redana. Hatinya terus bertanya, apa gerangan yang telah terjadi" (Untuk jelasnya tentang Panglima Joko Dentam, Bre Redana, dan Ayu Larasati, baca episode: "Pasukan Alis Kuning").
Bre Redana buru-buru memperbaiki raut wajahnya, ketika prajurit tadi kembali masuk.
"Ampun, Gusti Prabu. Hamba tidak bermaksud mengganggu...!" ucap sang prajurit setelah menyembah hormat.
"Ada apa?" tanya Bre Redana, langsung.
"Pasukan yang berangkat bersama Gusti Panglima Joko Dentam telah kembali...."
'Telah kembali" Secepat itukah"!"
Bre Redana terkesiap, nyaris bangkit dari du-duknya.
"Kelihatannya ada yang tidak beres, Gusti Prabu..."
"Tidak beres bagaimana" Panggilkan Panglima Joko Dentam. Dan, suruh menghadapku?"
"Itulah, Gusti Prabu.... Gusti Panglima Joko Dentam telah tewas...."
"Tewas" Apa maksudmu"!"
Sepasang alis mata Bre Redana yang berwarna kuning, terangkat ke atas.
Prajurit berseragam kuning itu tidak menjawab. Dan malah kepalanya menunduk.
"Panggil dua orang dari mereka. Dan, suruh menghadapku!" perintah Bre Redana dengan suara keras dan bergetar. Ini jelas menandakan hatinya yang gemuruh. Bahkan detak jantungnya cepat serta tidak beraturan. Berita itu benar-benar mengejutkan. Bahkan rasanya sulit dipercaya.
Sementara prajurit tadi sudah menghilang di balik pintu. Tapi tak lama, dia telah kembali bersama dua prajurit. Wajah mereka tampak letih, pucat, serta sedikit ketakutan. Ketiganya kemudian berlutut, memberikan hormat yang dalam.
"Ampun, Gusti Prabu...!"
"Katakan lekas, apa yang telah terjadi"! Apa benar Ki Joko Dentam tewas" Siapa pembunuh-nya"!" bentak Bre Redana itu dengan wajah tegang dan suara bergetar keras.
"Benar, Gusti Prabu. Beliau tewas di tangan Pendekar Rajawali Sakti...," sahut seorang prajurit.
"Apa"! Tidak mungkin! Joko Dentam orang he-bat. Ilmu olah kanuragannya tak ada yang menandingi! Mustahil dia tewas di tangan orang itu!" teriak Bre Redana bernada garang.
Ketiga prajurit itu tersentak dengan kepala tetap tertunduk. Sedikit pun tidak ada yang berani mengangkat wajah, diam seribu bahasa.
"Katakan padaku kalau kalian berdusta! Katakan,..! Tidak mungkin hal itu terjadi!" lanjut Bre Redana garang.
Bola mata raja muda itu membulat besar, se-perti hendak melompat keluar. Cuping hidungnya kembang-kempis mengikuti irama hela napasnya yang memburu. Mukanya berkerut dan agak tegang. Perasaannya kelihatan betul-betul terpukul dengan berita yang dibawa prajurit-prajurit itu.
? *** ? Tahu-tahu, Bre Redana melompat dari kursi. Lalu, langsung dijambaknya rambut salah seorang prajurit.
"Ayo katakan kalau kalian berdusta! Katakan kalau berita itu tidak benar! Joko Dentam tidak mati! Dia masih hidup dan akan membawa kemenangan bagi kita...!" bentak Bre Redana, kalap.
"Aaah...!" keluh prajurit itu tertahan.
Wajah prajurit berseragam kuning ini meringis menahan sakit. Namun begitu tidak sedikit pun keluh kesakitan keluar dari mulutnya. Kepalanya tetap menunduk, menerima amarah dan murka junjungannya.
Beberapa saat seperti menyadari kekeliruannya,Bre Redana buru-buru melepaskan cengkeramannya. Dipandanginya prajurit yang masih meringis namun tetap berlutut dan tertunduk. Tatapannya kosong. Dan perlahan-lahan, dia kembali duduk di kursinya semula. Tak seorang pun yang mulai bicara, sehingga untuk sesaat suasana jadi hening.
"Ceritakan padaku, bagaimana peristiwa itu bisa terjadi...?" tanya Bre Redana. Nada suaranya datar. Wajahnya kini tidak setegang tadi.
"Gusti Panglima tengah melakukan perjalanan menuju Kerajaan Swandana. Di tengah perjalanan, ternyata dua prajurit menghampiri dari arah Hutan Kembang Mekar. Kemudian dia dikejar dua penungang kuda yang tidak dikenal?"
Prajurit itu menghentikan ceritanya sejenak. Dipandanginya wajah sang raja muda itu.
"Kami telah sempat menanyakan, sebab Gusti Panglima memerintahkan untuk menangkap kedua orang itu...."
"Kalian tahu, siapa mereka?"
"Setelah berhasil menangkap dan menanyainya, Gusti Panglima membunuh mereka. Keduanya berasal dari Kerajaan Karang Setra...."
"Karang Setra" Lalu apa yang dibawa kedua prajurit yang dikejar?"
"Kanjeng Gusti Ayu Larasati tengah diserang dua puluh orang bersenjata. Salah seorang di antara mereka mengaku sebagai orang terdekat Raja Karang Setra sendiri..."
"Orang terdekat Raja Karang Setra" Kemudian, bagaimana terjadinya sehingga Panglima Joko Dentam tewas di tangan Pendekar Rajawali Sakti?"
"Mendengar berita itu, Gusti Panglima membelokkan pasukan dan bermaksud membantu para prajurit yang tengah melindungi Kanjeng Gusti Ayu Larasati dari serangan musuh. Dalam pertempuran itulah Gusti Panglima tewas...."
"Lalu, dari mana datangnya Pendekar Rajawali Sakti itu?"
"Dia tidak lain dari orang terdekat Raja Karang Setra, Gusti Prabu."
"Hm, bagaimana kalian tahu?" tanya pemuda itu dengan wajah kaget.
"Semula kami tidak tahu. Namun beberapa prajurit yang pernah bertugas di perbatasan mengatakannya demikian," jelas prajurit.
Bre Redana terdiam. Wajahnya menengadah ke atas, lalu memandang gerah ke arah prajurit ini. Dadanya gemuruh oleh amarah dan dendam atas pembunuhan yang menimpa Joko Dentam (Tentang ini baca serial Pendekar Rajawali Sakti dalam kisah, "Pasukan Alis Kuning").
"Hhh, kurang ajar! Dia akan membalas ini semua! Aku bersumpah, akan menuntut balas atas kematian Kakang Joko Dentam!" desis Bre Redana dengan wajah geram.
Ketiga prajurit itu terdiam, menunggu perintah selanjutnya. Sementara Bre Redana memandang mereka. Sebenarnya tidak tepat benar kalau matanya tengah memandang mereka. Sebab, pikirannya sendiri tengah diliputi niat dan rencana balas dendam terhadap Pendekar Rajawali Sakti.
"Bagaimana cerita selanjutnya...?" tanya Bre Redana kemudian setelah ingat kalau cerita yang didengarnya belum tuntas.
"Gusti Panglima berhasil mendesak mereka. Namun Pendekar Rajawali Sakti memang cerdik dan tangkas. Meski beberapa panah berhasil melukainya, namun mampu menembus benteng pertahanan dan meloloskan diri setelah membunuh banyak prajurit kita...."
"Goblok...!" maki Bre Redana dengan tangan kanan terkepal dan menghantam meja di dekatnya.
Prakkk! Meja kecil itu kontan hancur berantakan. Buah-buahan serta wadah yang berada di atasnya langsung bergulir dan berserakan. Sedangkan prajurit yang berada di dekatnya buru-buru membereskannya.
"Kami telah berusaha dengan sekuat tenaga, Gusti Prabu..," lanjut prajurit yang menjadi lawan bicara Bre Redana. Suaranya lirih dan bergetar. Wajahnya sedikit pucat, dan kelihatan amat keta kutan melihat rajanya tengah murka.
Bre Redana sendiri terlihat menarik napas panjang dan berusaha meredam amarahnya. Di-pandanginya kembali prajurit itu.
"Kalian tidak berusaha mengejarnya?" cecar Bre Redana. Kali ini nada bicaranya ditekan sede-mikian rupa, untuk menghilangkan nada amarahnya.
"Kami kira itu percuma saja, Gusti Prabu, Ka-rena kami menduga mereka tengah menanti bala bantuan. Bila dikejar, dikhawatirkan mereka akan mengepung dan membinasakan semua pasukan."
"Hm, ya. Tidak kusalahkan keputusan kalian Bagaimana dengan adikku?"
"Mereka berhasil menangkapnya, sebelum Gusti Panglima tiba di tempat itu."
"Hm...," Bre Redana hanya menggumam.
Kembali pemuda tampan ini menarik napas panjang untuk menekan hawa amarah yang menyesakkan dada. Setelah beberapa saat, dan amarahnya terasa tidak begitu menyesak lagi, kembali ditatapnya si prajurit.
"Berapa jumlah prajurit yang tewas?"
"Lebih dua puluh lima orang, Gusti Prabu!"
"Sudah kalian kebumikan?"
"Belum, Gusti Prabu. Kami menunggu perintah selanjutnya."
"Baiklah. Aku sendiri yang akan memimpin upacara pemakaman mereka. Siapkan segala se-suatunya. Dan, kumpulkan para prajurit pilihan. Malam ini juga akan kita adakan upacara pemakaman. Dan setelah itu ikutlah denganku, karena banyak hal yang akan kubicarakan!"
"Baik, Gusti Prabu! Segala titah akan hamba laksanakan sebaik-baiknya!"
"Hm.... Kalau begitu, kalian boleh kerjakan sekarang juga!"
"Kami pamit mundur, Gusti Prabu!"
Bre Redana mengangguk
Ketiga prajurit itu membungkuk hormat, lalu beringsut ke belakang dan menghilang di balik pintu. Kini di ruangan ini hanya ada Bre Redana yang kembali menghela napas panjang.
"Pendekar Rajawali Sakti...?" gumam pemuda itu pelan.
Namun begitu terasa ada hawa dendam dari kata-kata Bre Redana. Sepasang matanya menatap kosong, namun penuh api amarah yang menyala-nyala!
? *** Bre Redana menatap kelima prajuritnya lekat lekat. Selama ini, mereka bisa dipercaya dan dapat diandalkan. Keberanian serta ketrampilan telah ter uji di medan pertempuran.
"Kalian mengerti apa yang kukatakan?" tanya Bre Redana berusaha memastikan.
"Hamba mengerti, Gusti Prabu!" sahut salah seorang, dan diikuti yang lain.
"Panglima Joko Dentam telah tewas. Maka kalian berlima akan menggantikannya. Aku percaya penuh pada kehebatan serta kesetiaan yang kalian miliki. Kerajaan ini akan tetap berdiri. Oleh sebab itu, kematian seseorang tidak akan menghalang niat kita. Kerjakanlah apa yang kukatakan tadi!"
"Segala titah Paduka akan kami junjung tinggi dan ?laksanakan sebaik mungkin!" sahut kelima prajurit itu cepat.
"Sekarang juga kalian boleh berangkat!"
"Baik, Gusti Prabu!"
Setelah memberi sembah hormat, kelima prajurit dari Pasukan Alis Kuning bergegas meninggalkan ruangan ini. Bre Redana menyeringai kecil. Masih terlihat senyum sinisnya, membayangkan selalu dengan wajah geram.
Belum juga senyumnya hilang, seorang prajurit masuk. Dia segera menyembah hormat.
"Ampun, Gusti Prabu! Maafkan kelancangan hamba...!" ucap prajurit itu.
"Apa yang kau bawa?" tanya Bre Redana, langsung.
"Seorang utusan membawa surat ini untuk Paduka!" sahut prajurit bertubuh kurus, mengusungkan segulung kulit tipis.
"Utusan dari mana?" tanya Bre Redana setelah menerima surat itu.
"Dari Karang Setra...."
"Dari Karang Setra" Malam-malam begini...?" Bre Redana mengerutkan dahi.
"Benar, Gusti Prabu!" Pemuda itu terdiam barang sesaat.
"Suruh dia masuk!" lanjut Bre Redana.
"Baik, Paduka!"
Sementara prajurit itu berlalu, Bre Redana membaca isi surat. Wajahnya berkerut. Sepasang matanya tampak membesar, dengan napasnya te-rasa kasar. Hatinya betul-betul panas dan marah. Namun begitu, dia berusaha menenangkan diri.
"Gusti Prabu...!"
Prajurit bertubuh kurus tadi sudah kembali bersama seorang pemuda berusia sekitar dua puluh lima tahun dan berpakaian biasa.
Orang itu memberi hormat, lalu memperke nalkan diri.
"Nama hamba Sutaji. Hamba utusan Gusti Prabu Rangga Pati Permadi dari Kerajaan Karang Setra!"
"Aku telah baca surat rajamu. Dan rasanya permintaan itu wajar saja. Kami negeri yang cinta perdamaian. Oleh sebab itu katakan pada rajamu bahwa tuntutannya akan kupenuhi!"
"Kanjeng Gusti Prabu Rangga Pati Permadi pasti akan senang menerima berita ini, dan meng hormati Paduka Yang Mulia. Lalu, kapan permintaan beliau dipenuhi?"
"Bila permintaan kami pun telah dipenuh pula."
"Apa gerangan permintaan Paduka?"
"Aku ingin pula adikku Ayu Larasati serta para prajurit lainnya yang baru saja ditangkap malam ini. Lepaskan mereka, dan pulangkan kembali ke Kerajaan Alas Karang!"
"Permintaan Paduka memang tidak setimpal. Namun hamba adalah utusan, sekaligus wakil Gusti Prabu Rangga Pati Permadi. Beliau mengizinkan hamba mengambil keputusan sendiri, bila dianggap tepat. Oleh sebab itu, hamba terima usul Paduka tadi. Sekarang juga, di perbatasan Kerajaan Karang Setra kita adakan tukar-menukar tawanan!"
"Sekarang juga" Apakah kalian membawa adikku Ayu Larasati serta para prajuritku?" tanya Bre Redana, agak terperanjat.
"Gusti Prabu Rangga Pati Permadi telah menyiapkannya. Beliau telah memperhitungan hal ini sebelumnya sehingga hamba tidak merasa kaget".
"Hm.... Rajamu orang yang pintar!"
"Hamba rasa tidak ada lagi yang hamba bawa, selain berita itu. Bila demikian, dan Paduka telah mencapai kata sepakat, maka hamba mohon diri!"
"Baiklah, Sutaji. Katakan pada rajamu. Aku menghargai keputusannya. Dan sampaikan pula salamku padanya, bahwa aku berhasrat menjalin persahabatan dengan Kerajaan Karang Setra!"
"Keinginan Paduka akan hamba sampaikan."
Setelah berkata demikian, Sutaji segera mohon diri. Sementara Bre Redana memberi isyarat de-ngan tepuk tangan dua kali, setelah utusan itu berlalu. Seorang prajurit masuk dan menyembah hormat.
"Hamba Kanjeng Gusti Prabu...!"
"Siapkan beberapa prajurit pilihan. Dan, pergi-lah kalian mengawasi perbatasan wilayah kita dengan Karang Setra. Awasi tempat itu dari tempat persembunyian. Kemudian, utus dua prajurit ke ruang tahanan dan bebaskan gadis bernama Pandan Wangi. Kawal dia dengan ketat!"
"Segala titah akan hamba kerjakan sebaik mungkin...!"
"Bagus! Ingat, jangan perlihatkan kehadiran kalian pada orang lain! Di sana ada prajurit Karang Setra!"
"Baik, Gusti Prabu."
"Nah, pergilah. Cepat laksanakan perintahku!"
Prajurit itu kembali menyembah hormat, lalu bergegas meninggalkan ruangan ini.
Baru saja prajurit berlalu, Bre Redana bangkit menuju kamarnya. Pemuda itu tertegun memandang sebilah pedang yang tergantung di dinding ruangan kamarnya. Batangnya bagus dan berukir indah dengan warna keemasan. Demikian pula warangkanya yang agak melengkung.
Trap! Sring! Kedua tangan Bre Redana menggapai senjata itu. Tangan kanan mencengkeram gagang pedang, dan tangan kiri menggenggam warangkanya. Sejenak diamatinya dengan seksama. Lalu secepat kilat dicabutnya senjata itu. Seberkas cahaya merah menerpa mukanya yang terpancar dari batang pedang.
Bre Redana menyeringai. Dan bias wajahnya nampak menggiriskan. Kemudian pedang itu kembali disarungkan, lalu bergegas keluar kamar dengan langkah lebar. Pedangnya terus tergenggam di tangan kiri.
? *** ? Selanjutnya Bagian 2
Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 " . 159. Neraka Kematian Bag. 2
4. August 2014 um 20:39
2 ? ? ? Malam ini sebenarnya suasana tampak pekat Awan tampak menggumpal di angkasa, mengha langi cahaya bulan. Namun begitu di padang penuh rumput yang merupakan wilayah perbatasa Kerajaan Karang Setra kelihatan terang benderang. Dalam kilatan nyala obor-obor yang dibawa, tampak lebih dari tiga puluh penunggang kuda berbaris rapi.
Sementara di kejauhan, tepat di hadapan tiga puluh penunggang kuda itu terlihat cahaya serupa. Perlahan-lahan cahaya itu bergerak mendekati. Dan pada jarak pandang, terlihat sejumlah pasukan berkuda yang cukup banyak dengan obor sebagai penerangan.
Pasukan berkuda yang baru datang itu berhenti pada jarak lima belas langkah. Kemudian dari barisan berkuda itu, seorang pemuda yang berada di barisan depan melangkahkan kudanya beberapa tindak ke depan. Matanya menatap ke depan, tepat ke sepasang mata seorang pemuda berbaju rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung di punggung.
"Kaukah Rangga Pari Permadi, Raja Karang Setra?" tanya pemuda beralis kuning itu. Entah kenapa pemuda beralis kuning itu menduga demikian. Padahal orang yang diajaknya bicara berpakaian sebagaimana layaknya orang-orang persilatan.
Sementara pemuda berbaju rompi putih yang memang Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti tersenyum dingin. Bahkan sorot matanya seperti berusaha menentang tatapan tajam pemuda beralis kuning itu. Memang setelah menjalani pengobatan sekian lama, Pendekar Rajawali Sakti telah sembuh kembali. Dan luka-lukanya didapat setelah diserang pasukan Alis Kuning itu, beberapa waktu lalu.
"Aku mewakili Raja Karang Setra!" sahut Rangga lantang.
"Kalau demikian, panggillah rajamu. Sebab, aku hanya berurusan dengannya!" ujar pemuda beralis kuning.
"Kaukah Bre Redana?" tanya Rangga, tanpa memperdulikan kata-kata lawan bicaranya.
"Benar. Aku Bre Redana, penguasa Kerajaan Alas Karang!"
"Kalau begitu, aku pun hanya berurusan dengan Bre Redana yang telah menawan seorang rakyat Karang Setra. Tiada kesalahan yang diperbuat dan tidak ada urusan dengan kalian. Lantas, kenapa kalian menangkapnya?" balas Rangga, kalem.
Mendengar kata-kata lawan bicaranya, sadar-lah pemuda beralis kuning yang ternyata Bre Re-dana bahwa yang dihadapi adalah Raja Karang Setra.
"Kisanak! Pertemuan ini atas undanganmu. Dan, dengan maksud baik pula aku datang. Maka langsung saja pada tujuan semula," sahut Bre Redana, seraya memberi isyarat pada salah seorang prajuritnya.
Tidak berapa lama, dua prajurit beralis kuning maju ke depan, bersama seorang gadis berbaju biru yang kedua tangannya terikat ke belakang.
"Ini tawanan yang kau inginkan! Perlihatkan tawanan kalian...!" pinta Bre Redana, agak keras.
Rangga kemudian memberi isyarat pula. Dan tidak berapa lama, lima prajurit maju ke depan bersama seorang gadis berbaju kuning yang berjalan bebas tanpa terikat di kedua tangannya.
"Kau lihat" Aku memperlakukan tawanan dengan cara lebih bijaksana!" kata Rangga, menyindir.
Bre Redana betul-betul tersindir. Maka buru-buru prajuritnya disuruh melepas ikatan gadis berbaju biru yang tak lain Pandan Wangi.
"Mana tawanan yang lain?" tanya pemuda beralis kuning itu mengalihkan perhatian.
"Akan dibebaskan setelah gadis itu kau lepas-kan!" sahut Rangga mantap.
"Hm.... Kau meragukan kepercayaanku..."!" desis Bre Redana sinis.
"Aku tidak pernah percaya pada orang yang tak kukenal. Apalagi telah memperlihatkan keli-cikannya!" tandas Rangga.
"Kisanak! Melalui utusanmu, kau telah berjanji akan mengembalikan semua orangku yang kau tahan...!" Bre Redana mengingatkan.
"Bebaskan gadis itu. Dan, gadis ini sebagai gantinya! Kemudian, baru kita bicarakan tentang tawanan berikutnya," sahut Rangga menegaskan.
Bre Redana berpikir beberapa saat, kemudian tersenyum.
"Hm.... Gadis ini amat berarti bagimu, bukan?"
"Apakah menurutmu gadis ini tidak berarti pula bagimu?" tunjuk Rangga pada gadis yang berada dekatnya.
"Huh! Aku tidak ada urusan apa-apa dengan-nya! Bila kau menghendaki gadis ini, maka bebas-kan semua prajuritku yang kau tahan. Atau.., kita boleh kembali ke tempat masing-masing tanpa membawa hasil!" ancam Bre Redana sambil menyeringai sinis.
Kali ini Rangga yang terdiam. Persoalan ini telah menyangkut masalah umum serta kepentingan rakyat. Dia telah menahan lebih dari lima puluh prajurit lawan. Ditambah, seorang tawanan yang amat berharga. Yaitu, adik perempuan Bre Redana. Dan itu harus diganti oleh seorang tawanan" Apakah kepentingan Pandan Wangi termasuk urusan kerajaan" Bukankah gadis itu hanya punya hubungan secara pribadi dengannya"
"Bre Redana. Jika demikian keputusanmu, maka hanya satu kata yang bisa kujawab. Yaitu, perang!"
Bre Redana terdiam. Demikian pula yang la-innya. Kata terakhir yang diucapkan Pendekar Rajawali Sakti menyentak perhatian. Bahkan membuat detak jantung mereka yang ada di tempat ini berdenyut kencang. Kedua belah pihak merasa tegang. Semua menunggu jawaban dari pemuda beralis kuning bernama Bre Redana yang masih diam seribu bahasa.
Mungkin saja Bre Redana punya banyak pasukan terlatih. Dan mungkin saja si Pendekar Rajawali Sakti yang menjadi lawannya nanti, tengah terluka. Sehingga mudah baginya untuk menundukkannya. Namun Bre Redana agaknya punya pikiran panjang dan tidak mau diburu nafsu amarah. Dia tahu, pertemuan yang diadakan sekarang juga, atas usul Pendekar Rajawali Sakti. Sehingga hatinya merasa yakin kalau mereka telah merencanakan sebaik mungkin segala sesuatunya. Maka tak heran kalau pemuda berpakaian rompi putih itu berani mengambil keputusan untuk berperang.
"Baiklah, kukira itu harga yang pantas. Kita akan saling tukar-menukar tawanan," sahut Bre Redana seraya memberi isyarat kepada dua prajurit.
? *** ? "Kakang! Kenapa tidak sekalian mereka dibebaskan saja" Huh! Orang-orang seperti mereka tidak bisa dibiarkan!" dengus Pandan Wangi setelah tukar-menukar tawanan berlangsung. Dan dia kini telah berada di atas punggung seekor kuda putih yang dibawa seorang prajurit.
"Tenanglah, Pandan. Aku akan mengurus persoalan ini sebaik-baiknya...," sahut Rangga, kalem.
Pandan Wangi yang dikenal berjuluk si Kipas Maut hanya mendengus sinis. Sorot matanya tajam ke depan. Dan tampak sinar kebencian menyorot krearah Bre Redana.
"Sekarang, bagaimana nasib para prajuritku yang kalian tawan?" tanya Bre Redana.
"Mereka adalah penyusup yang masuk wilayah Karang Setra tanpa izin. Dan itu adalah pelanggaran. Karang Setra punya aturan sendiri bagi mereka!" sahut Rangga tegas.
Bre Redana menarik napas panjang.
"Sebenarnya Kerajaan Alas Karang ingin hidup berdampingan dengan damai bersama dua kerajaan besar yang menjadi tetangganya...."
Nada bicara pemuda beralis kuning itu tampak lirih, seperti mengandung penyesalan atas apa yang telah terjadi. Namun begitu, Rangga masih belum memberi jawaban sambil mendengarkan dengan seksama.
"Kami bermaksud menjalin persahabatan. Na mun, ternyata kedua belah pihak telah salah pa-ham, sehingga timbul percikan-percikan kecil. Itu amat kusesalkan. Sudah jelas para prajuritku hanya sekadar mempertahankan diri bila diusik...," lanjut Bre Redana.
"Kisanak! Bila seseorang punya maksud baik, maka dia akan menggunakan cara yang baik pula. Namun apa yang kau katakan jauh dari kenyataan. Aku tidak tahu, apa yang kau lakukan terhadap Kerajaan Swandana. Namun pada Karang Setra, aku tahu! Tidak usah bersandiwara lagi. Kau menghasut rakyat di perbatasan dengan bujuk rayu dan harta agar terpikat. Dan dengan liciknya, mereka digiring untuk mengakui kedaulatan kerajaanmu!"
"Sobat! Tuduhanmu tidak beralasan sama se-kali. Tanyakan saja pada mereka, bahwa niat kami baik. Kami sama sekali tidak bermaksud merebut wilayah itu dari Karang Setra!" tangkis Bre Redana.
"Tidak perlu berpura-pura. Prajurit-prajuritmu sendiri telah mengakui, bahwa mereka mengum-pulkan tiap laki-laki dari desa-desa untuk dijadikan prajuritmu dengan gaji besar. Apalagi kalau bukan menghasut?" cecar Rangga.
"Persoalan ini akan panjang tanpa titik temu diantara kita. Sebabnya hanya satu. Yaitu, kesalahpahaman. Namun sebagai orang yang berpandangan luas, aku bisa mengerti apa yang kau rasakan. Biarlah ini menjadi pelajaran baik untuk kita berdua. Kisanak, kami pamit mundur!" kata Bre Redana, berusaha menutupi kesalahannya dengan berdalih salah paham.
Tanpa banyak berkata-kata lagi, pemuda beralis kuning itu memberi isyarat pada pasukannya untuk segera mundur dari tempat itu.
Sementara, Rangga memperhatikan mereka dan belum memberi isyarat pada prajuritnya untuk meninggalkan tempat. Barulah setelah merasa yakin kalau prajurit-prajurit dari Kerajaan Alas Karang telah meninggalkan tempat ini, Pendekar Rajawali Sakti memerintahkan pasukannya untuk mundur. Sementara dia sendiri masih di tempat sambil mngawasi prajurit-prajurit dari belakang.
"Kakang! Kenapa kau diam saja" Mereka telah menawanku dan memperlakukanku tidak adil! Orang seperti mereka seharusnya diperangi!" gerutu Pandan Wangi.
Si Kipas Maut kelihatan kesal sekali terhadap sikap Rangga. Yang dinilai lemah dan tidak segera bertindak.
"Apakah mereka menyiksamu..?" tanya Rangga.
"Tidak!"
"Berbuat tidak senonoh terhadap dirimu?"
"Tidak juga!"
"Kalau begitu, kita belum perlu memeranginya. Tidakkah kau sadari bahwa perang selalu merugikan banyak orang?"
"Lalu kenapa Kakang tadi menawarkan pe rang?"
"Aku tidak sudi dia menekanku!"
"Hm.... Jadi bila dia menyambut tantanganmu, maka kau rela membiarkan aku dibawa kembali" Kau rela membiarkan aku kembali ditawan mereka Kakang?"
Rangga tidak menjawab. Tidak juga menoleh Pandangannya lurus ke depan mengawasi para prajurit Karang Setra.
"Kakang, kau belum menjawab pertanyaan ku..?" tagih Pandan Wangi.
Rangga memandang Pandan Wangi, lalu menarik napas panjang.
"Apakah kau kira aku akan mencampurkan urusan kerajaan dengan perasaan pribadi" Bila urusan ini menyangkut kerajaan, maka aku berbuat demi kepentingan negara. Tapi bila urusan menyangkut pribadi, maka aku tidak bisa menyertakan persoalan kerajaan di dalamnya. Bisakah kau mengerti, Pandan?"
Pandan Wangi terdiam. Kepalanya langsung menoleh ke tempat lain, lalu menunduk. Dia seperti enggan menatap pemuda itu. Apalagi untuk menjawab pertanyaan tadi.
Rangga menghela napas pendek. Pandan Wangi memang agak keras kepala dan sedikit kekanak-kanakan. Dia selalu ingin diperhatikan dan ingin dinomorsatukan, tanpa mempedulikan kalau Rangga pun mempunyai urusan lain yang lebih penting sebagai Raja Karang Setra.
? *** ? Bre Redana saat ini lebih banyak berdiam diri. Dibiarkannya saja Ayu Larasati mengomel tak karuan. Gadis itu agaknya tidak suka melihat ke-lemahan kakaknya. Bahkan terus menyindir dengan kata-kata yang menusuk hati, sehingga lama kelamaan membuat pemuda beralis kuning itu panas juga.
"Apakah kau tidak bisa menutup mulutmu, Ayu" Kau ingin mereka melihat kita bertengkar...?" ujar pemuda itu seraya menunjuk para prajuritnya.
"Aku tidak peduli apa yang mereka pikirkan. Aku hanya ingin kau bisa bersikap tegas. Kau ditakdirkan sebagai pemimpin. Dan kau punya bakat untuk itu! Bukankah kau sendiri bilang kalau otakmu cerdas dan memiliki ilmu olah kanuragan hebat"! Mana bukti omonganmu itu" Apakah kau takut kepada mereka"!" sahut Ayu Larasati.
"Kalau bodoh, maka aku akan menyambut tan tangan perang itu. Justru karena aku punya pikira lain, maka hal itu tidak kulakukan. Tahukah kau bahwa semua ini kulakuan demi dirimu" Aku mengalah juga karena menyelamatkanmu. Dan inikah balasan yang kau berikan?" jelas Bre Redana tak mau kalah.
Ayu Larasati terdiam. Kata-kata kakaknya cu-kup pedas terdengar. Selama ini memang disadari bahwa Bre Redana memang sabar dan penuh per-hitungan. Tapi hal yang tidak bisa diterimanya adalah, pemuda itu mundur dari tantangan perang yang diajukan lawan. Padahal dia tahu, Bre Redana memiliki ilmu olah kanuragan tinggi. Bahkan juga memiliki banyak prajurit hebat. Apa yang dipikirkannya" Ataukah dia takut"
"Jangan mengira aku pengecut, Ayu. Aku ingin menyelamatkan kita semua...," ujar pemuda itu lirih, seperti mengerti apa yang tengah dipikirkan adiknya.
Gadis itu masih diam, seperti tengah memi-kirkan apa yang dikatakan kakaknya tadi.
"Apa rencana Kakang selanjutnya?"
Bre Redana tersenyum. Suara adiknya terdengar pelan, menandakan kemarahannya mulai reda.
"Aku akan menjalin kerjasama dengan kerajaan lain serta tokoh persilatan agar bergabung dengan kita. Paling tidak mereka mau menjadi sekutu kita...," kata Bre Redana, menjelaskan maksudnya.
"Dan Karang Setra?" tanya Ayu Larasati.
Pendekar Rajawali Sakti 159 Neraka Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sementara ini biarkan saja. Aku tidak ingin mengusik-usiknya dulu..."
"Memang, kerajaan mereka besar dan prajurit-nya banyak. Setiap hari mereka berlatih. Dan ku lihat para prajuritnya amat trampil," lanjut Ayu Larasati memuji.
"Kau tahu banyak seluk-beluk Istana Karang Setra?" tanya Bre Redana dengan wajah cerah.
"Tidak, Kakang...."
Wajah Bre Redana yang semula cerah, kembali buram mendengar jawaban itu.
"Apakah akalmu tumpul selama di sana" Padahal, kau bisa menggunakan kesempatan itu untuk mengetahui kelemahan mereka...," Bre Redana seperti menyesalkan adiknya.
"Aku tidak bisa bergerak bebas, Kakang. Me-reka menempatkanku di ruangan terpisah. Entahlah. Sepertinya, bukan ruang khusus untuk para tahanan. Tapi, lebih mirip sebuah kaputren...."
"Hm.... Dan kau tidak menggunakan kesempatan itu untuk melarikan diri?"
"Pernah. Tapi, percuma saja. Dua prajurit me-mergokiku. Dan prajurit lain berjaga di balik jendela.
Aku berusaha menghajar mereka. Namun, seorang punggawa kerajaan berhasil melumpuhkanku. Dia hebat sekali, Kakang!"
Bre Redana hanya mendengus sinis mendengar cerita adiknya. Terlebih pada kata-kata terakhir itu. Agaknya, pemuda itu tidak suka mendengar cerita tentang kehebatan orang lain di depannya.
"Sudah! Tidak perlu kau memuji kehebatan orang di depanku!" tukas Bre Redana, membentak. Gadis itu terdiam. Dan sesaat tiada percakapan di antara mereka.
"Bagaimana keadaanmu..?" tanya Bre Reda na, berusaha menjalin pembicaraan.
Pemuda itu sadar kalau baru saja membentak adiknya. Padahal selama ini hal itu belum pernah dilakukannya. Tidak heran kalau Ayu Larasati terkejut, dan langsung menunjukkan ketidakse-nangannya dengan muka masam.
"Baik."
"Bagaimana mereka memperlakukanmu?"
"Baik..."
"Mereka tidak pernah menyiksamu?"
"Tidak."
Bre Redana menarik napas panjang. Disadari kalau adiknya masih merasa kesal atas sikapnya tadi.
"Maaf, tadi aku sempat membentakmu. Aku hanya ingin kau menyadari kalau kita pun memiliki kepandaian yang tidak kalah dibanding mereka. Namun begitu, kita harus menggunakan akal. Tidak selamanya orang yang memiliki ilmu olah kanuragan tinggi bisa mencapai keinginannya, bila tidak disertai akal...," lanjut pemuda itu dengan nada lebih lembut.
Ayu Larasati masih diam. Namun kali ini kepalanya menoleh dan tersenyum manis. Itu sudah cukup sebagai pertanda kalau kekesalannya telah mencair.
"Kakang Joko Dentam telah tewas. Kita harus berkerja sama..."
"Iya...," sahut Ayu Larasati.
"Bagaimanapun kematiannya harus terbalas. Dia telah berbuat banyak untuk kita. Aku harus mendapatkan kepala si keparat bernama Rangga itu! Dia harus membayar kematian Kakang Joko Dentam!" dengus Bre Redana.
"Kakang telah mempersiapkan segalanya?"
"Telah kukirim beberapa utusan untuk mencari bantuan. Mereka pasti bersedia bila mendengar imbalan yang diberikan!"
"Ke mana lagi kita harus mencari harta untuk membayar mereka...?"
"Kau lupa..." Bukankah di wilayah Tulung Wajak kaya akan emas yang akan mengalir ke tempat kita...!" sahut pemuda itu dengan wajah berseri.
"Tapi, Kakang.... Apakah tidak berbahaya?"
"Apa maksudmu!"
"Tulang Wajak termasuk wilayah Kerajaan Swandana. Itu berarti Kakang mengadakan pertikaian lagi dengannya...."
"Mereka tidak akan tahu bila emas itu lari ke tempat kita...."
"Maksud Kakang...?"
Wajah gadis itu termangu. Namun begitu agaknya dia seperti tahu apa yang dimaksud kakaknya.
"Ya! Akan kita gunakan segala cara untuk mendapatkannya! Bukan hanya di situ, tapi juga tempat-tempat lain. Maka dengan demikian, Ker jaan Alas Karang akan berkembang besar dalam waktu singkat. Apalagi, bila kedua penghalang telah kita singkirkan!"
"Siapa kedua orang penghalang yang Kakang maksudkan?"
"Siapa lagi kalau bukan Raja Karang Setra dan Raja Swandana! Setelah mereka tersingkir, maka Alas Karang akan berkembang dan menjadi sebuah kerajaan maha besar!"
Wajah Bre Redana tampak cerah dan berseri-seri membayangkan impiannya akan terwujud
"Kakang! Sebaiknya hati-hati! Raja Karang Setra itu banyak akalnya. Lagi pula, dia mempunyai banyak sekutu di mana-mana. Orang segera mengetahui, siapa Pendekar Rajawali Sakti. Sebab, dia banyak membantu mereka yang tertindas. Maka bila kerajaannya berperang dengan kita, Kakang akan menghadapi lawan berat!" jelas Ayu Larasati, memperingatkan.
"Hal itu telah kupikirkan, Adikku! Namun aku telah menyusun siasat untuk menghancurkannya!" desis pemuda itu, mantap.
? *** ? Kembali ke Bagian 1
Selanjutnya Bagian 3
Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 " . 159. Neraka Kematian Bag. 3
4. August 2014 um 20:40
3 ? ? ? Tong! Tong! Tong...!
"Maling! Maling...!"
Suara kentongan terdengar bertalu-talu diting- kahi teriakan beberapa orang.
"Eh, maling"! Kejar! Itu dia...! Kejaaar...!" teriak seorang penduduk Desa Karang Suwung.
Bersamaan tiga orang penduduk lainnya ya tadi tengah duduk dan ngobrol-ngobrol di atas balai-balai, mereka langsung melompat mengejar setelah menyambar golok masing-masing.
"Itu dia! Itu dia...!" teriak seorang penduduk menunjuk ke arah selatan.
"Ayo kejar ramai-ramai! Kejaaar...!" Dalam waktu singkat Desa Karang Suwung menjadi gempar, ketika hampir semua penduduknya keluar mengejar seorang berbaju hitam yang dituding sebagai maling. Orang itu membawa sebuntal kain yang disampirkan di pundak. Muka nya tertutup kain hitam, dan hanya memperlihatkan sepasang mata yang bulat serta berkedip-kedip penuh ketakutan. Begitu keadaannya terpojok di samping salah satu rumah. Di kanan dan kirinya telah menunggu para penduduk desa dengan senjata masing-masing. Punggungnya dirapatkan ke tembok rumah.
Srak! "Jangan coba-coba mendekat! Aku akan me-nyerah bila kepala desa ini yang datang! Kalau kalian coba-coba mengeroyok, maka akan ada nyawa melayang!" ancam maling itu.
"Kurang ajar! Dasar maling busuk! Kau kira bisa menakut-nakuti kami"! Ayo, rencah dia...! Habisi!" sambut seorang pemuda dengan wajah geram sambil mengayun-ayunkan goloknya.
"Mundur kau...! Jangan membahayakan orang lain...!"
Pemuda itu sendiri agaknya yang akan turun tangan, bila seorang lelaki tua bertubuh kecil tidak mencegahnya.
Orang tua itu segera menangkap pergelangan tangan pemuda ini. Dan menelikungnya ke bela-kang. Sehingga, goloknya jatuh ke belakang.
"Aduh! Ampun, Ki Ranu! Ampuuun...!" ratap pemuda itu, tanpa mampu bergerak.
"Jangan libatkan yang lain. Dia bersenjata. Dan kalian bisa terluka. Ingat! Biar aku yang tangani maling ini!" ujar laki-laki tua yang tampaknya punya kepandaian juga.
"I... iya, Ki...!" sahut pemuda itu seraya mengangguk lemah.
Orang tua bernama Ki Rami itu melepaskan dan pemuda ini hanya bisa meringis.
"Katamu akan menyerah bila kepala desa ya datang. Nah! Akulah orangnya. Berikan golokmu. Dan, serahkan dirimu...!" ujar Ki Ranu, yang ter nyata Kepala Desa Karang Suwung ini.
"Apakah Kisanak bisa menjamin mereka tidak memukuliku...?" tanya maling bertopeng itu.
"Keselamatan kujamin selama kau tidak berbuat macam-macam!"
"Baiklah...."
Perlahan-lahan orang bertopeng itu menyerah kan golok dalam genggamannya. Juga, buntalan yang dibawanya.
"Bukalah topengmu!" pinta Ki Ranu, tegas.
Untuk kedua kalinya, maling bertopeng itu me matuhinya. Sehingga penduduk desa ini bisa me1ihat wajah seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun dan berkumis tipis. Bentuk mukanya segi empat, dengan kedua rahang menonjol.
"Aku kenal semua wargaku ini. Maka, aku bisa memastikan kalau kau bukan penduduk desa ini. Siapa namamu. Dan dari mana asalmu?" tanya Ki Ranu.
"Aku Katmani. Dari..., Karang Setra...," sahut maling bertopeng ini.
"Hm, Karang Setra" Ini peristiwa yang ketiga kalinya penduduk Karang Setra melakukan perampokan. Sebelumnya terjadi dua peristiwa yang sama di desa sebelah timur sana. He, apa yang menyebabkan kau menjarah desa ini" Tahukah kau bahwa ini wilayah Kerajaan Swandana?"
"Tahu... Dan ini kulakukan memang sengaja," jelas Katmani.
"Sengaja" Apa maksudmu"!" Ki Ranu terkejut dengan alis bertaut.
"Beberapa punggawa istana yang menyuruh kami melakukan perampokan di wilayah Kerajaan
Swandana... "
"Huh! Bicaramu melantur! Mana mungkin! Buat apa mereka menyuruh kalian menjadi maling" Apa Karang Setra sedemikian miskin"!"
"Kalian boleh percaya atau tidak. Tapi, begitulah hal yang sebenarnya. Karang Setra butuh harta banyak untuk membiayai peperangan dengan Kerajaan Alas Karang."
Kepala Desa Karang Suwung itu tertegun. Dahinya berkerut dan wajahnya tampak ragu mendengar penuturan Katmani. Begitu juga para penduduk desa yang ikut mendengarkan.
Penduduk Kerajaan Karang Setra mungkin saja tidak semuanya kaya. Namun begitu, mereka tidak pernah kekurangan. Rakyatnya selama ini hidup tenteram dan damai.
"Bawa maling ini ke kadipaten. Dan, serahkan pada Gusti Adipati!" perintah Ki Ranu.
Setelah berkata begitu, Kepala Desa Karang Suwung ini bergegas mengikuti dua pemuda yang membawa maling itu.
Kebanyakan penduduk desa itu merasa heran dan tidak percaya. Tapi belakangan ini memang terdengar berita tentang pencurian-pencurian yang sering terjadi. Di antara mereka yang tertangkap selalu berasal dari Karang Setra, dan mengaku menjadi orang suruhan Istana Karang Setra. Tentu saja hal itu meresahkan. Bahkan, membuat sebagian masyarakat menjadi bingung. Ada yang percaya, dan ada pula yang tidak!
? *** ? Desa Karang Suwung kembali dikejutkan oleh seorang gadis yang berjalan terseok-seok dari arah pinggiran hutan. Beberapa penduduk coba menegur dan bertanya. Namun, gadis itu tetap menangis terisak tanpa menjawab sepatah kata pun. Dan para penduduk itu saling bertanya satu sama lain, ketika gadis ini sudah menghilang ditelan ambang pintu rumahnya.
"Ada apa, Minah" Tidak biasanya kau pulang dari sungai menangis?" tanya ibu gadis yang di panggil Minah, ketika mereka berada di kamar. Se mentara Minah hanya menelungkupkan muka di tempat tidur.
Belum juga Minah memberi jawaban, mendadak"
"Ada mayat di dekat Sungai Sengat! Ada mayat"!
Terdengar teriakan seorang penduduk dari luar. Dan ini membuat Minah makin memperhebat tangisnya. Sementara ibunya makin bingung, tak tahu harus berbuat apa.
Sedangkan di luar sana, beberapa penduduk sudah keluar dari rumahnya, bermaksud menanyai tentang kejadian pada seorang pemuda yang membawa berita.
"Eee, Jaka! Mayat siapa?" tanya seseorang.
"Kelihatannya mayat si Rista."
"Si Rista..."!"
"Astaga! Siapa yang begitu keji membunuh-nya"!" seru yang lain.
Dan para penduduk segera beramai-ramai menuju ke rumah Aminah yang tadi tampak berlari-lari sambil menangis. Agaknya kematian Rista langsung dihubungkan dengan kejadian tadi. Tapi belum lagi mereka bergerak, di tempat lain orang-orang juga tengah merubungi seorang gadis penduduk desa ini. Tampaknya, ada berita lain yang dibawa gadis itu.
"Apa betul yang kau katakan itu, Lastri?" tanya seorang laki-laki setengah baya yang ikut merubungi.
"Kami lihat sendiri Rista dibunuh orang, karena mencoba menolong Minah yang hendak diperkosa oleh seorang pemuda! Kalian boleh tanya yang lainnya!" tunjuk gadis bernama Lastri pada beberapa orang gadis yang berdiri di dekatnya.
Gadis-gadis itu memang kawan sepermainan Minah. Dan acapkali, mereka pergi mencuci di sungai bersama-sama. Sehingga keterangan yang katakannya tadi membuat mereka yang men ngarkan lebih percaya.
"Minah diperkosa seorang pemuda" Siapa dan, dari kampung mana...?" tanya seorang laki-laki berusia tiga puluh lima tahun dengan suara pelan.
Agaknya laki-laki itu terlambat mendengar, hanya mendengar samar-samar. Namun belum lagi pertanyaan itu terjawab....
"Itu.. . itu dia!"
Tiba-tiba, seorang gadis desa ini yang tadi pergi bersama Minah menunjuk ke satu arah.
"He" Apa yang kau katakan, Ijah?" tanya orang penduduk dengan wajah heran.
"Itu pemuda yang memperkosa Minah!" tegas? Ijah.
"Kau yakin?"
"Yakin sekali!"
? *** ? Melihat orang yang ditunjuk, para penduduk, Karang Suwung langsung mengepung seorang pemuda yang diduga telah rnemperkosa Minah. Senjata mereka telah terhunus, dan siap merancah pemuda itu.
"Bunuh dia! Bunuuuh...!" teriak seseorang memberi isyarat.
Beberapa penduduk langsung bergerak dan menyerang pemuda yang sedang menunggang kuda coklat, tepat di tengah-tengah desa.
"Heaaat...!"
"Huh!"
Pemuda itu mendengus sinis, tanpa merasa gentar sedikit pun. Seketika pedangnya dicabut, lalu melompat dengan satu gerakan indah. Begitu tubuhnya meluruk turun, langsung dipapaknya sambaran para penduduk Desa Karang Suwung ini.
Trang! Trang! Bret!
"Aaa...!"
Saat itu juga terdengar pekikan setinggi langit. Beberapa orang desa yang tadi berada paling depan kontan terjungkal ke belakang. Senjata mereka terpental dan patah tersambar pedang pemuda itu. Di dada serta leher mereka terlihat sayatan lebar yang mengucurkan darah segar. Empat penduduk desa ambruk dan tewas seketika.
"Heh..."!"
Sementara orang-orang yang masih selamat terkesiap dan bergerak mundur. Mereka meman dang dengan sorot mata tak percaya. Dalam sekali gebrak saja, pemuda itu telah membunuh empat orang!
"Huh! Orang-orang tolol! Kalian kira bisa ber buat apa padaku"! Dengus pemuda itu dengan wajah sinis.
"Kau baru saja memperkosa seorang gadis penduduk desa ini, bukan"!" dengus salah seorang penduduk bertanya lantang.
"Aku berbuat apa saja yang kusuka. Dan, persetan dengan orang lain!" sahut pemuda itu
"Bangsat terkutuk! Kau akan menerima hukuman setimpal atas perbuatanmu!" bentak orang lelaki berusia empat puluh tahun.
Para penduduk Karang Suwung mengenal laki-laki itu sebagai Ki Tambak. Dia dikenal karena kepandaiannya yang hebat. Sehingga, tidak heran kalau Ki Tambak dihormati penduduk desa ini.
"Orang tua dungu! Jangan ikut campur urusan orang! Enyahlah sebelum kupotes lehermu!" ujar pemuda itu, mengancam.
Ki Tambak hanya mendengus sinis. Dan tanpa berkata-kata lagi, goloknya langsung dicabut.
Sret! "Hih!"
Dengan satu lompatan manis, Ki Tambak me-nyerang. Goloknya berkelebatan dengan gerakan cepat. Namun di luar dugaan, pemuda itu mampu menghindar dengan satu egosan gesit, seraya menangkis.
Trak! "Uhhh...!"
Ki Tambak terkesiap. Baru disadari kalau pemuda itu sangat berisi. Buktinya saat adu benturan senjata tadi, tenaga dalamnya kalah setingkat. Dan ini tergambar jelas dari wajahnya yang menyeringai kesakitan. Bahkan kini senjata pemuda bergerak cepat menyambar pinggangnya.
"Uh, sial!" desis Ki Tambak, setelah mundur dua langkah. Nyaris saja, pinggangnya termakan senjata pemuda itu.
Sementara pemuda itu seperti tak memberi kesempatan sedikit pun pada Ki Tambak. Pedang di tangannya terus berkelebat.
Karena untuk menghindar sudah tak mungkin, maka sebisa-bisanya Ki Tambak memapak tebasan pedang yang mengarah dadanya.
Tak! "Heh"!"
Orang tua ini terkejut setengah mati melihat golok di tangannya patah jadi dua tersambar pedang pemuda itu, potongannya entah terpental kemana. Dan belum juga rasa terkejutnya hilang, kembali datang serangan ujung pedang yang mengincar kedua kakinya. Begitu cepat gerakan pemuda itu, sehingga...
Cras! "Aaa...!"
Ki Tambak kontan memekik keras begitu kedua kakinya putus sebatas lutut dan mengucurkan darah segar. Orang tua itu langsung terguling ke kiri. Dan baru saja tubuhnya menyentuh tanah, pedang pemuda itu lebih cepat mengikuti. Kemudian...
Blesss! "Hugkh...!"
Ki Tambak mengeluh tertahan begitu pedang pemuda itu menembus dadanya. Kedua biji matanya seperti hendak melompat keluar. Wajahnya berkerut. Dan dari mulutnya meleleh darah segar. Untuk sesaat orang tua itu mengejang, lalu dia tak bergerak lagi.
Sementara pemuda itu mendengus sinis sambil mencabut pedangnya dan memandangi Ki Tambak yang tidak berkutik lagi. Dan ini membuat nyali penduduk desa jadi ciut. Bila Ki Tambak yang dianggap hebat kini binasa di tangan pemuda itu, lalu apalagi yang bisa mereka lakukan"
"Ada lagi di antara kalian yang ingin menyusul tua bangka ini" Ayo majulah! Biar kukirim ke akherat secepatnya!" tantang pemuda itu lantang.
Semula para pemuda desa ini benar-benar tak tahu harus berbuat apa. Namun salah seorang yang bertubuh kecil dan berbadan tegap memberanikan diri.
"Tidakkah kalian malu" Lihat! Dia memperkosa Minah, membunuh Rista, lalu berani datang ke sini serta membunuh beberapa penduduk lainnya. Sekarang dia berkoar lantang. Orang ini binatang! Dia sungguh biadab dan tidak tahu malu! Apakah kita akan diam saja"! Tangkap dia. Dan, bunuh sekaligus! Kenapa kita mesti takut"! Jumlah kita banyak. Sedang dia hanya seorang diri!"
"Betul! Bunuh orang celaka ini...!" sambut beberapa orang bersemangat sambil mengepalkan tangan ke langit.
Penduduk lain tergugah. Dalam sekejap mata, lebih dari tujuh pemuda desa ini langsung menyerang pemuda itu dengan amarah meluap.
"Bunuh keparat ini...!"
"Habisi...!"
"Yeaaa...!"
Melihat keroyokan ini tidak terlihat sedikit rasa takut di wajah pemuda itu. Dia malah tersenyum sinis. Lalu saat serangan para pemuda desa tiba, dia melompat ke atas sambil mengibaskan pedang.
"Hih!"
Trang! Bret! "Aaa...!"
Saat itu juga kembali terdengar pekik setinggi langit. Tiga orang pemuda langsung menggelepar tak bernyawa dengan leher nyaris putus disambar
pedang pemuda asing itu. Dan dua lainnya yang tak jauh dari situ juga terjungkal terkena tendangan.
Sementara pemuda asing itu tidak berhenti sampai di situ. Tubuhnya kembali berkelebat cepat menyerang empat pemuda desa yang tersisa.
Trak! Bret! "Aaa...!"
Empat orang itu menjerit keras, langsung roboh bermandikan darah dengan luka sayatan lebar menguak di dada. Ini membuat yang lainnya mengkeret dan perlahan-lahan mundur teratur. Nyali mereka betul-betul ciut, setelah melihat sepak terjang pemuda asing itu.
"Ada lagi yang mau mampus" Ayo, cepat maju!" bentak pemuda asing itu seraya memandang tajam ke arah penduduk desa ini satu persatu.
Tak terdengar jawaban. Malah tak seorang pun yang berani balas memandang tatapan mata pemuda itu.
"Huh!"
Pemuda itu mendengus sinis, lalu melompat ke punggung kudanya.
"Kerbau-kerbau dungu! Kalian kira bisa ber buat apa terhadap Pendekar Rajawali Sakti!" lanjut pemuda asing itu mendesis geram, lalu menggebah kudanya. Dan hewan itu pun berlari kencang, meninggalkan debu yang mengepul bergulung-gulung.
Apa yang diucapkan pemuda itu membuat penduduk kaget bukan main.
"Jadi, dia Pendekar Rajawali Sakti" Apa iya"!" desis seseorang tertegun bingung.
"Rasanya mustahil. Tapi, aku memang pernah lihat. Wajahnya mirip Pendekar Rajawali Sakti!" Sahut yang lain membenarkan.
"Mana mungkin! Pendekar Rajawali Sakti seorang pendekar terpuji. Dia tidak mungkin melakukan perbuatan biadab seperti ini!" bantah seorang lainnya.
"Dia sendiri telah mengakui. Dan di samping itu, aku sendiri memang pernah melihat Pendekar Rajawali Sakti sebelumnya. Pemuda tadi memang dia!"
? *** ? Kembali ke Bagian 2
Selanjutnya Bagian 4
Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 " 159. Neraka Kematian Bag. 4
4 ?"?"?"" 2014 ". " 20:41
4 ? ? "Bayangkan, Pandan" Orang-orang persilatan kini mengenal Pendekar Rajawali Sakti sebagai pembunuh, dan pemerkosa! Apa kau kira aku bisa tenang mendengar itu semua" Orang-orang berpaling begitu melihatku, bahkan meludah penuh kebencian!"
Berita terakhir yang terdengar memang telah menyudutkan Pendekar Rajawali Sakti yang mau tak mau terbakar amarahnya. Betapa tidak" Rangga telah dituduh sebagai pembunuh dan pemerkosa. Kabar itu memang cepat tersebar. Apalagi, bagi orang-orang golongan hitam yang memang mebenci Pendekar Rajawali Sakti. Mereka sengaja meniupkan berita itu di kedai-kedai yang ramai sehingga membuat nama Pendekar Rajawali Sakti kini ramai dibicarakan. Tentu saja ini membuat Rangga gusar. Bukan saja sekali atau dua kali didengarnya tapi berkali-kali.
Barangkali Rangga masih bersyukur, karena masih ada Pandan Wangi yang sangat memperca-yainya. Jelas, kekasihnya sedang difitnah habis-habisan. Gadis itu amat tabah dan selalu mendampinginya untuk meredakan amarah Pendekar Rajawali Sakti yang selalu berkobar-kobar setiap kali mendengar berita tentang keburukan itu.
"Kakang Rangga, tenanglah"! Jangan turuti Amarah dalam dirimu. Kemarahan tidak menyelesaikan persoalan. Cobalah berpikir tenang. Mudah-mudahan kita bisa menemukan cara penyelesaian terbaik...!"
"Akan kucekik orangnya! Itulah jalan keluar terbaik!" sahut Rangga bersungut-sungut.
Pandan Wangi menarik napas panjang. Dia kehabisan akal untuk menenangkan kekasihnya itu. Amarah Rangga kelewat meledak-ledak dan sulit diredakan.
Kini sepasang pendekar dari Karang Setra itu memang tengah dalam perjalanan, untuk mencari orang yang telah memfitnah Pendekar Rajawali Sakti. Rangga memang bertekad mencari orang itu, dan membuktikan kalau dirinya bersih. Terutama dihadapan tokoh-tokoh golongan putih.
"Kakang! Apa tidak mungkin kalau ini per-buatan si keparat itu?"
Tiba-tiba si Kipas Maut teringat sesuatu. Rangga tertegun langsung dipandangnya Pandan Wangi sejurus lamanya.
"Siapa yang kau maksud?"
"Siapa lagi kalau bukan raja busuk itu!"
"Bre Redana" Hm...," gumam Rangga.
"Dia pasti dendam padamu!" tambah Pandan Wangi.
Wajah gadis ini memang selalu kesal bila me bicarakan tokoh yang amat dibencinya.
"Bagaimana caranya dia melakukan semua itu?"
"Kenapa Kakang bingung" Bisa saja dia nyamar sebagai dirimu. Lalu, berbuat keji pada orang-orang, dan mengaku sebagai Pendekar Raja wali Sakti!"
Rangga kembali terdiam sambil merenungi kata-kata Pandan Wangi.
"Yang dibuat malu bukan hanya aku. Tapi, juga rakyat Karang Setra. Apakah mereka tidak merasakan?" kata Pendekar Rajawali Sakti.
"Apa maksud Kakang?"
"Bukankah cerita buruk itu juga mengenai rakyat Karang Setra" Pencurian serta perampokan di wilayah Kerajaan Swandana, kebanyakan dari mereka yang tertangkap selalu mengatakan dari Karang Setra."
"Untuk yang satu ini kita belum mempunyai bukti yang cukup, Kakang. Ada baiknya kalau kita selidiki bersama-sama."
"Aku akan mencari pelakunya sampai tuntas! desis pemuda itu kembali mengepalkan buku-buku jarinya.
Kini mereka terdiam beberapa saat. Dalam ke-adaan begitu, Pandan Wangi menyadari kalau gairah kekasihnya kembali bergelora. Amarah itu akan surut dengan sendirinya bila pemuda itu sudah bisa berpikir tenang.
Pada saat sepasang pendekar dari Karang Setra ini memasuki sebuah desa, terdengar sorak-sorai dari kejauhan. Mereka terkesiap dan segera waspada.
"Pencuri, Kakang! Agaknya ada pencuri yang tengah dikejar-kejar penduduk desa...!" desis Pandan Wangi.
Rangga mengangguk.
"Mereka akan melalui jalan ini. Sebaiknya, kita bersembunyi untuk meringkus pencuri itu! Siapa tahu dia seorang dari mereka, yang memburuk-burukkan Karang Setra," ajak Rangga.
Pandan Wangi segera bergerak cepat menyelinap ke balik semak-semak. Sedang Rangga melompat ke salah satu cabang pohon yang persis beranda di atas jalan yang menurut perkiraannya akan dilalui pencuri yang tengah dikejar-kejar penduduk.
Perkiraan Rangga ternyata benar. Tidak lama, terlihat sesosok tubuh berlari kencang mendekati mereka. Sesekali kepalanya menoleh ke belakang. Mukanya pucat dan berkeringat. Hela napasnya terdengar memburu.
"Hup!"
Begitu orang itu melewati pohon, Pendekar Rajawali Sakti meluruk turun. Langsung disambarnya orang itu. Namun tanpa diduga orang itu malah berusaha melawan, meski sempat terkejut.
"Heh"!"
Dua jari Pendekar Rajawali Sakti yang bermaksud menotok, ditangkisnya dengan sengit.
Pendekar Rajawali Sakti 159 Neraka Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Plak! Namun hal itu membuat Rangga yang tengah dilanda amarah ini semakin gusar saja. Kaki kirinya cepat diayunkan tepat menghantam perut maling itu.
Duk! "Akh...!"
? *** Sang maling kontan terjerembab ke belakang? disertai jerit kesakitan. Sebelum berhasil bangkit, Rangga telah berkelebat dan mengirim satu ten- dangan keras ke dadanya.
Desss! "Akh...!"
Orang ini kembali terjungkal sambil menjerit kesakitan. Dia berusaha bangkit, namun telapak kaki kanan Pendekar Rajawali Sakti telah menindih lehernya.
"Jangan coba-coba kalau kau tak ingin celaka!" dengus Rangga geram.
"Oh... eh...!"
Wajah orang itu pucat ketakutan. Sementara dua tangannya bergerak-gerak sebagai isyarat menyerah.
"Apa yang kau curi dari mereka?"
"Eh! Aku..., aku tidak mengerti apa yang kau katakan!" sahut laki-laki berusia tiga puluh tahun bertubuh kurus itu.
Hampir saja Rangga menekan telapak kakinya mendengar jawaban yang tidak memuaskan hatinya. Namun saat itu juga, Pandan Wangi mendekat dan menepuk pundaknya. Dan Rangga hanya menarik napas panjang menahan amarahnya.
"Siapa namamu...?" tanya Rangga mengalihkan perhatian.
"Sembada...."
"Dari mana asalmu?"
"Karang Setra.... Akh...!"
Kembali orang yang mengaku bernama Sem-da menjerit keras ketika baru saja menyebutkan tempat asalnya. Ini amat menjengkelkan Rangga, sehingga langsung menekan telapak kakinya. Sembada yang berada di bawahnya kontan menggelepar seperti ayam dicekik.
"Kakang, hentikan! Kau bisa membunuhnya sebelum kita tahu siapa dia sebenarnya!" teriak Pandan Wangi, mencegah seraya menarik Rangga.
Rangga mendengus geram. Matanya nyalang memandang laki-laki yang seketika bangkit mengusap-usap lehernya yang tadi tercekik.
"Katakan yang jujur. Dari mana asalmu"!'
Sembada memandang heran pada Pendekar Rajawali Sakti. Kedua alisnya seperti hendak bertaut dan dahinya berkerut.
"Kisanak! Apa salahku sehingga kau berniat membunuhku" "
"Kau maling busuk..!" desis Rangga geram.
Namun sebelum Sembada sempat berkilah lagi tempat itu telah dikerumuni lebih dari lima belas penduduk desa yang tadi mengejarnya dengan senjata terhunus. Tanpa mempedulikan kehadiran dua anak muda itu mereka langsung berteriak-teriak hendak membunuh Sembada.
"Hei, tunggu! Tunggu...!" teriak Sembada lantang. Namun suaranya tenggelam oleh kemarahan penduduk.
"Jangan dengar ocehannya! Bunuh dia...!" teriak seorang dari mereka, menimpali.
"Habisi maling tengik itu! Bunuh dia...!"
"Dengar! Aku memang maling. Tapi, itu bukan kehendakku! Mereka adalah majikanku! Merekalah yang menyuruhku. Pemuda itu adalah Pendekar Rajawali Sakti...!" teriak Sembada, menggelegar.
"Heh"!"
Teriakan itu benar-benar mengejutkan. Betapa
tidak" Karena menurut yang mereka dengar Pendekar Rajawali Saktilah biang keladi tindak kejadian yang sedang hangat-hangatnya sekarang. Bukan hanya mereka, tapi juga bagi Rangga dan Pandan Wangi. Terlebih Rangga.
"Keparat! Bicara apa kau, he"!" maki Pendekar Rajawali Sakti, geram bukan main. Sepasang bola mata Rangga semakin nyalang penuh kebencian terhadap Sembada. Bahkan wajahnya berubah kelam. Dengan langkah gusar, dia berrmaksud mendekati dan menghajar laki-laki itu sampai babak belur. Tapi Sembada agaknya tahu gelagat. Dan akal bulusnya segera dilanjutkan.
"Lihat! Setelah kedoknya terbuka, kini dia hendak membunuhku. Kenapa kalian diam saja"! Kalau ingin mengadili seseorang, adili dia! Dia yang paling bertanggung jawab atas semua maling yang berasal dari Karang Setra...!" teriak Sembada.
Para penduduk tersentak. Mereka menggeram dan perlahan-lahan mendekati Rangga. Sinar mata yang garang dan penuh dendam ditujukan terhadap Pendekar Rajawali Sakti.
"Aku yakin, ucapan maling busuk itu benar!" desis seseorang.
"Apa maksudmu?" sahut kawannya.
"Dia memang Pendekar Rajawali Sakti!"
"Huh! Peduli seorang pendekar sekalipun! Dia pembuat onar! Biang maksiat!"
"Bunuh dia!"
"Gantuuung...!"
Seperti diberi aba-aba, mereka segera melompat menyerang Rangga.
"Hei, tunggu! Apa-apaan ini! Dengarkan kataku! Ini fitnah!" teriak Rangga seraya melompat ke belakang.
"Tutup mulutmu! Tak ada gunanya mengoceh tak karuan!" bentak salah seorang penduduk.
"Kurang ajar! Gara-gara kalian dia lolos. Lihat Maling busuk itu melarikan diri! Kenapa kalian malah mempersoalkan aku"! Tangkap dia. Dan kita tanyai bersama-sama!"
Tapi percuma saja Rangga berteriak-teriak menyadarkan mereka. Orang-orang desa ini agaknya lebih mendendam kepadanya, ketimbang Sembada yang kini kabur.
"Dasar manusia-manusia picik! Tidak ada gunanya bicara dengan mereka, Kakang. Lebih baik kita hajar saja!" dengus Pandan Wangi, geram.
Si Kipas Maut langsung membuktikan kata-katanya. Sekali tubuhnya berkelebat dua pengeroyok kontan terjungkal ke belakang terkena tendangannya. Namun begitu yang lain seperti tidak takut. Bahkan malah semakin ganas menyerangnya.
"Perempuan iblis! Kau pasti gundiknya! Huh! Kau pun tidak lepas dari hukuman kami...!" teriak beberapa orang.
"Bunuh dia...!"
"Cincang...!"
"Heaaa...!"
Pandan Wangi bukan orang sabar, dan juga bukan pengecut. Melihat dirinya dikeroyok sambil dimaki-maki, membuatnya semakin geram saja. Dengan serta-merta kipas baja yang terselip di pinggang dicabutnya.
"Kerbau-kerbau dungu, mulut kalian terlalu kotor! Dasar otak kerbau! Agaknya kalian mesti digebuk baru mengerti persoalan sebenarnya!"
Trak! Sret! "Aaakh...!"
Kipas maut Pandan Wangi berkelebat me-nangkis senjata-senjata para pengeroyok, sekaligus menyerang. Beberapa orang menjerit kesakitan dan terhuyung-huyung ke belakang tersambar ujung kipas baja putih. Untung hanya bagian kulit dadanya.
"Ayo, ke sini! Biar cepat kutebas kepala kalian satu-persatu!" bentak Pandan Wangi, galak.
"Pandan, jangan keterlaluan! Mereka tidak tahu persoalan...!" teriak Rangga mengingatkan.
Pendekar Rajawali Sakti benar-benar prihatin melihat para penduduk desa yang hendak menge-royoknya. Sebenarnya mereka tidak tahu apa-apa, dan hanya termakan omongan palsu orang yang bernama Sembada tadi.
"Huh! Peduli amat! Kerbau-kerbau dungu ini membuatku sebal!" sentak gadis itu.
Sebelum para pengeroyok bergerak mendekati, Pandan Wangi telah lebih dulu menyerang. Namun tiba-tiba berkelebat sesosok tubuh yang langsung memapak serangannya.
Trak! "Heh..."!"
? *** ? Pandan Wangi tidak terlalu terkejut dengan ?adanya sosok yang mampu menangkis serangan nya. Hanya saja hal itu membuatnya semakin geram. Maka gadis itu seketika mengembangkan senjata, lalu menyerang sosok itu penuh nafsu.
"Heaaat..!"
Sosok yang baru datang adalah laki-laki berusia sekitar kurang dari empat puluh tahun. Bajunya kuning, bersenjata pedang. Rambutnya panjang dan dikuncir menjadi satu. Mukanya bersih dan sedikit tampan. Dan sepintas, seperti pemuda berusia di bawah dua puluh tujuh tahun. Meski begitu kepandaiannya cukup hebat. Terbukti, dia mampu menghindar dari setiap serangan si Kipas Maut Padahal Pandan Wangi tidak kepalang tanggung menyerangnya. Lebih hebat lagi, laki-laki itu malah mampu balas menyerang. Tentu saja hal ini membuat si Kipas Maut semakin kalap saja.
"Tidak perlu berkecil hati, Kipas Maut! Kau pendekar hebat. Hanya saja saat ini, kau berhubungan kelewat dekat dengan Pendekar Rajawali Sakti. Sehingga mau tidak mau, aku terpaksa meringkusmu juga!" seru sosok berbaju kuning itu.
Pandan Wangi hanya mendengus sinis meladeninya.
'Tidak usah sok pahlawan segala! Kau tidak tahu, apa yang kau lakukan...!"
"Semua orang tahu, bagaimana kau bisa ber-kata begitu" Sudah pasti karena ingin membela kekasihmu itu yang nyata-nyata bersalah!" kilah orang itu.
"Pandan Wangi, mundurlah! Biar dia berurusan denganku agar puas hatinya!" teriak Rangga.
Setelah berkata begitu Rangga langsung melompat ke hadapan laki-laki berkuncir itu. Tapi Pandan Wangi yang memiliki watak keras, mana mau menurut begitu saja.
"Orang ini harus diberi pelajaran agar tidak besar kepala!" dengus gadis itu berang.
Rangga terpaksa mengalah. Niatnya mengha-dapi laki-laki itu diurungkan. Sebab bila hal itu dilakukannya, sama artinya mengeroyok.
"Ha ha ha...! Kenapa diam" Apakah kau tidak jadi mengeroyokku, Pendekar Rajawali Sakti" Meski kalian maju bersamaan, tidak nantinya aku gentar!" teriak laki-laki itu mengejek.
"Aku tahu kau, Pendekar Gelang Putih. Tidak usah terlalu bernafsu. Kau tidak tahu persoalan yang sebenarnya!" ujar Rangga yang sepertinya mengenal laki-laki itu.
"Semua sudah jelas. Dan apa yang kulihat di sini semakin jelas. Apa lagi yang harus dijelaskan?" sahut laki-laki yang dipanggil Pendekar Gelang Putih.
Dalam keadaan begitu, Pendekar Gelang Putih masih mampu membagi perhatian. Sambil meng-hindar dari serangan-serangan Pandan Wangi, dia mengejek Rangga.
Sementara itu, para penduduk desa yang tadi mengeroyok Rangga dan Pandan Wangi kini terpaku. Mereka tidak tahu apa yang harus dikerjakan. Sebab, mereka tahu ada seseorang yang menangani kedua orang itu. Kalau berkeras hendak menangkap dan menghukum kedua anak muda itu jelas mereka tidak mampu. Bahkan hanya menambah korban belaka. Sementara Pendekar Gelang Putih mempunyai maksud sama. Artinya, dia berpihak kepada mereka. Jadi itu dianggap sama saja. Kini para penduduk itu hanya menonton pertarungan sambil menunggu kalau-kalau Pendekar Gelang Putih memerlukan bantuan.
"Sudahlah, Kakang! Tak ada gunanya bicara dengan orang bebal ini! Dia hanya mau gagah-gagahan belaka. Orang sepertinya memang harus diberi pelajaran agar matanya terbuka!" dengus Pandan Wangi, geram.
"Boleh saja kau berkata begitu untuk membela diri. Tapi, jangan harap pendirianku berubah! Aku kan tetap menangkap kalian dan menyerahkannya pada tokoh-tokoh persilatan untuk diadili!" sahut Pendekar Gelang Putih.
"Kau boleh coba bila mampu!"
"Ha ha ha...! Tentu saja akan kulakukan...!" sahut Pendekar Gelang Putih dengan tertawa mengejek.
Selesai berkata begitu, Pendekar Gelang Putih merubah serangan. Kali ini jurus-jurusnya begitu cepat dan penuh gerak tipu. Permainan pedangnya pun semakin hebat, terkadang membuat Pandan Wangi kelabakan.
Rangga menjadi was-was sendiri melihat ke-ndaan itu. Hatinya khawatir Pandan Wangi cidera di tangan lawan.
Maka dengan mengerahkan kemampuan Pendekar Rajawali Sakti bermaksud menyelesaikan persoalan dengan caranya sendiri. Tubuhnya langsung berkelebat cepat, menyambar Pandan Wangi.
Namun, Pendekar Gelang Putih agaknya tidak mau membiarkannya begitu saja.
"Huh! Kau kira bisa berbuat gila di depanku!" dengus Pendekar Gelang Putih geram, seraya mengibaskan tangannya.
Set! Set! Tiga buah gelang kecil keperakan yang ta paknya tajam meluncur deras menyambar Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi yang tengah mengapung di udara.
"Hih!"
Sring! Rangga hanya mendengus pelan. Lalu secepat kilat dicabutnya Pedang Pusaka Rajawali Sakti. Seketika selarik cahaya biru tajam menyambar gelang-gelang yang dilepaskan.
Tring! Tring! Senjata rahasia itu kontan rontok, sedangkan Pendekar Gelang Putih masih termangu. Kalau saja saat itu tidak muncul sesosok bayangan yang menghadang arah Pendekar Rajawali Sakti, niscaya keduanya telah lenyap dari pandangan.
"Hiyaaat!"
? *** ? Kembali ke Bagian 3
Selanjutnya Bagian 5
Pendekar Rajawali Sakti
?"?"?"" Pendekar Rajawali Sakti
? 2017 . 159. Neraka Kematian Bag. 5
4. August 2014 um 20:45
5 ? ? ? Pendekar Rajawali Sakti mau tak mau terpaksa memapak serangan sosok yang baru datang.
Plak! Namun Rangga menggunakan tenaga pukulan tadi untuk melompat ke samping, karena sosok itu terus mencecarnya dengan satu tendangan menggeledek.
"Hup!"
Mantap sekati Rangga menjejakkan kakinya ditanah. Sementara, sosok yang baru datang tidak melanjutkan serangan. Sehingga bisa terlihat jelas siapa orang itu.
"Ki Satria Kendeng...!" desis Rangga.
"Syukurlah kau masih mengenaliku, Sobat..," sahut sosok yang ternyata orang tua berbaju hijau seraya tersenyum. Jenggotnya yang agak panjang dan telah memutih dielus-elus.
"Kakang! Biar kuhajar tua bangka ini jika berani mencampuri urusan orang lain!" sentak Pandan Wangi mendengus kesal.
"Pandan, sudahlah. Jangan turuti amarahmu. Kita harus menyelesaikan persoalan ini dengan pikiran tenang...," ujar Rangga mendesah lirih.
"Bagaimana bisa tenang bila semua orang menuduhmu berbuat jahat"! tandas Pandan Wangi dengan suara meninggi menandakan kekesalan yang kian memuncak.
Rangga tidak meladeni. Diberinya isyarat agar Pandan Wangi tidak membuat ulah lagi.
Dan meski menahan kesal dengan wajah cem-berut, namun Pandan Wangi patuh juga padanya.
"He he he...! Ternyata dalam keadaan apa pun, kalian masih sempat berkasih-kasih...!" ejek orang tua bernama Ki Satria Kendeng sambil ter-tawa mengejek.
"Kisanak! Tidak usah berbasa-basi. Apa kepentinganmu di sini?" tanya Rangga menegaskan.
"Hm.... Bila dulu kita bertemu, mungkin saja kepentinganku tidak ada. Tapi kini aku tidak bisa tinggal diam mendengar ulah yang kau buat, Pendekar Rajawali Sakti! Kau terlalu sombong dan merasa tidak terkalahkan. Sehingga kau kira, bisa berbuat seenak perutmu! Dan untuk itulah aku datang ke sini!" sahut Ki Satria Kendeng, tegas.
Terbukti sudah kabar burung bahwa Pendekar Rajawali Sakti kini berada di jalan sesat telah ter-sebar luas. Tokoh putih macam Ki Satria Kendeng, yang selama ini selalu mengagumi Pendekar Rajawali Sakti kini justru malah sebaliknya. Ini benar-benar membuat Rangga kesal bukan main. Dia bagai tersudut di tengah-tengah ujung tombak.
Jejak Di Balik Kabut 14 Pendekar Naga Putih 54 Racun Ular Karang Pendekar Lengan Buntung 4
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama