Ceritasilat Novel Online

Telapak Kematian 1

Pendekar Rajawali Sakti 144 Telapak Kematian Bagian 1


1 Seorang pemuda murid sebuah padepokan di desa
Branjangan tersentak kaget. Di atas pintu gerbang yang bertuliskan Padepokan
Macan Putih, nama
padepokan mereka, terlihat sebuah telapak tangan dari cairan darah. Wajahnya
pucat. Bola matanya langsung terbelalak. Bergegas dia berlari ke dalam.
"Guru...! Guru...!" teriak pemuda itu.
Beberapa murid yang berpapasan dengannya terkejut. Buru-buru dihampirinya pemuda berusia dua puluh tahun yang hendak berlari
memasuki bangunan utama Padepokan Macan Putih.
"Ada apa" Kenapa kau seperti dikejar setan?" tanya salah seorang murid lainnya.
"Telapak... telapak tangan darah di pintu gerbang...!" jawab pemuda itu
tergagap. "Mana guru"
Kita harus memberitahukannya pada beliau!"
"Apa"! Telapak tangan darah..."!"
Beberapa orang murid kontan tersentak kaget.
Sementara, beberapa orang lainnya bergegas ke
depan, untuk membuktikan perkataan kawan
mereka. Dan dikawani tiga orang lainnya, pemuda
tadi terus masuk ke bangunan utama padepokan itu.
"Guru...! Guru...!" teriak pemuda itu berulang-ulang.
"Hei! Hei...!" Ada apa ini" Kenapa kau berteriak-teriak seperti itu"!" tanya
laki-laki bertubuh besar, berusia empat puluh tahun. Dia langsung menghadang
pemuda itu. "Ki Kolo Gemet! Oh, maafkan aku. Anu.... Di pintu gerbang ada..., ada...," lapor
pemuda itu, tapi tak dilanjutkan.
"Bicara yang benar! Ada apa di pintu gerbang"!"
sentak laki-laki bernama Kolo Gemet. Dia adalah
salah satu dari sekian murid utama Padepokan
Macan Putih. "Anu, Ki. Ada..., ada telapak tangan darah!"
"Telapak tangan darah"!"
Wajah Ki Kolo Gemet tersentak kaget. Untuk
beberapa saat, dia tercenung sampai pemuda itu
menyambung kata-katanya kembali.
"Aku..., aku baru saja melihat-lihat ke depan. Di sana, aku melihat tanda itu.
Kita harus secepatnya memberitahu guru!" jelas pemuda itu.
"Ya, ya.... Biar aku yang memberitahukan pada beliau," sahut Ki Kolo Gemet
mengangguk pelan.
"Apa yang harus kami lakukan, Ki...?" tanya pemuda itu lebih lanjut.
"Perintahkan pada yang lain untuk berjaga-jaga!"
"Baik, Ki!" sahut pemuda itu cepat.
Begitu pemuda itu berlalu, Ki Kolo Gemet segera
memasuki sebuah ruangan besar yang berada di
dalam bangunan utama ini.
Setelah memasuki ruangan ini, Ki Kolo Gemet
langsung menjura memberi hormat pada orang tua
yang duduk dengan tenang bersama beberapa orang.
Wajah orang tua yang memang guru dari padepokan
ini tampak cerah. Dan sesekali terlihat senyum yang mengembang. Ketika melihat
wajah Ki Kolo Gemet
cemas, wajah orang tua itu jadi ikut sedikit berubah.
"Kolo Gemet! Ah..., kebetulan sekali kau muncul!
Hm.... Ada apa gerangan" Adakah sesuatu yang
merisaukan hatimu...?" tanya orang tua yang sebenarnya bernama Sugala ini.
Ki Kolo Gemet segera mengambil tempat tidak jauh di depan orang tua berusia enam
puluh tahun itu.
"Guru.... Salah seorang murid memberitahukan, kalau di pintu gerbang padepokan
terdapat tanda telapak tangan darah...," jelas Ki Kolo Gemet, menghenyakkan pantatnya di lantai
yang beralaskan permadani.
"Telapak tangan darah" Apa maksudmu"!" tanya Ki Sugala, semakin berubah.
"Betul, Guru..."
"Hm...."
Ki Sugala mengusap-usap jenggotnya yang berwarna putih seraya memandang murid-muridnya yang berada di ruangan ini.
"Apa yang akan kita lakukan, Guru...?" tanya Ki Kolo Gemet.
"Agaknya, Dewi Tangan Darah betul-betul akan menyebarkan maut di mana-mana. Kita
tidak akan tinggal diam. Ancamannya harus dihadapi!" dengus Ki Sugala, tegas.
"Tapi, Guru! Bukankah wanita itu memiliki kepandaian hebat" Selain itu, dia amat
ganas dan tidak kenal ampun. Apakah kita mampu melawannya...?"
tanya salah seorang murid yang lain dengan wajah cemas.
"Kau meragukan kemampuan kita, Wikalpa...?" Ki Sugala malah balik bertanya.
"Ampun, Guru! Sekali-sekali aku tidak pernah berpikir begitu. Namun kalangan
persilatan tahu, siapa Dewi Tangan Darah. Dia wanita kejam berwatak aneh.
Tanpa sebab musabab, membantai tokoh-tokoh persilatan demi kesenangannya belaka. Dan selama ini, belum ada seorang pun yang
mampu menahan sepak-terjangnya. Bahkan, belakangan ini lebih dari lima orang tokoh
berkepandaian tinggi tewas di
tangannya. Demikian pula tiga padepokan silat yang punya nama hebat. Mereka
hancur olehnya...," jelas laki-laki yang dipanggil Wikalpa mengemukakan
kekhawatirannya.
"Aku mengerti apa yang kau khawatirkan, Wikalpa.
Namun bagaimana pun kita tidak bisa menghindar
begitu saja dari ancamannya. Wanita itu telah
kelewatan,dan menganggap dirinya hebat. Kita harus tunjukkan padanya, bahwa kita
tidak bisa dianggap enteng. Kalian murid-muridku, bukanlah orang-orang yang
bernyali tempe dan pengecut! Kita akan menghadapinya bersama-sama!" tegas Ki
Sugala, ber-semangat.
"Betul, Wikalpa. Kita tidak bisa berdiam diri dalam ketakutan. Nama besar
seseorang bukanlah jaminan, kalau dia bisa berbuat seenaknya," timpal Ki Kolo
Gemet. "Dia hanya seorang diri. Sedang jumlah kita banyak. Dengan semangat serta
keberanian, dia akan kita hancurkan. Lagi pula kalau bukan kita, siapa yang akan
melenyapkan orang seperti Dewi Tangan
Darah?" Wikalpa mengangguk-angguk, lalu memandang
yang lain. "Adakah di antara kalian yang takut untuk menghadapi wanita itu"!" tanya Ki
Sugala lantang. "Kalau ada, maka kuizinkan kalian untuk menyingkir!"
"Guru! Kami akan selalu berdiri di belakangmu!"
sahut Wikalpa mantap.
"Betul, Guru! Segala keputusan yang telah kau tetapkan, maka akan kami patuhi
selamanya. Meski, dengan taruhan nyawa!" sahut yang lainnya.
"Wanita itu memang harus dilenyapkan sebelum membuat malapetaka yang lebih besar
lagi!" sambut seorang lagi bernada semangat.
Dan yang lainnya agaknya sependapat. Itu diungkapkan lewat sikap, anggukan kepala, maupun
kata setuju. Ki Sugala tersenyum seraya mengangguk senang.
"Nah! Kalau begitu, persiapkan diri kalian masing-masing. Perketat penjagaan.
Baik di pintu gerbang, pintu belakang, atau di atap-atap bangunan.
Pokoknya jaga semua tempat di padepokan ini. Dan, jangan biarkan dia bisa
menyelinap seenaknya, lalu membunuh kita satu persatu!" perintah orang tua itu
berapi-api. "Siap, Guru...!" sahut murid-murid Padepokan Macan Putih serentak.
"Ingat..!" lanjut Ki Sugala. "Kita tidak tahu, kapan wanita itu muncul. Mungkin
sebentar lagi, siang nanti, sore nanti, atau malam. Bahkan esok atau lusa. Maka
kuperintahkan pada kalian, untuk selalu bersiaga terus-menerus!"
"Baik, Guru...!"
"Nah. Laksanakan segera saat ini juga!"
Semua murid-murid laki-laki tua itu bangkit dan
memberi hormat, sebelum meninggalkan ruangan
dan menjalankan apa yang diperintahkan.
*** Ki Sugala memang boleh merasa cemas. Demikian
juga halnya Ki Kolo Gemet yang selama ini selalu bertindak sebagai wakilnya di
Padepokan Macan
Putih. Tanda telapak tangan darah di pintu gerbang padepokan, bukanlah tanda
sembarangan. Jelas, itu merupakan ancaman maut dari seorang wanita kejam
berkepandaian tinggi yang belakangan ini selalu
membuat kekacauan. Dewi Tangan Maut!
Wanita iblis itu menjadi momok yang menakutkan,
sekaligus membuat banyak orang menaruh dendam.
Sepak terjangnya yang dahsyat dan tidak kenal
ampun, membuat orang-orang merasa resah dan
ngeri. Namun sebagian lagi justru mengharapkan
kemunculan wanita itu, karena ingin menumpas sifat kejam dan angkara murka yang
bersarang di hatinya.
Entah bagaimana perasaan hati Ki Sugala yang
sebenarnya. Namun yang jelas, dia telah memutuskan untuk memberikan perlawanan sampai tetes
darah penghabisan!
Kini semua orang di Padepokan Macan Putih
menunggu sampai pagi berganti siang. Namun, Dewi Tangan Darah belum juga muncul.
Wajah murid-murid padepokan itu diliputi perasaan tegang. Setiap bunyi yang
terdengar, langsung mengundang perhatian.
Seakan-akan disadari betul bahwa lawan bisa datang secara tiba-tiba seperti
setan. Waktu terus bergulir. Dan siang pun merangkak
perlahan-lahan menuju sore. Sebagian telah jemu
menunggu. Namun, kewaspadaan tetap terus dijaga.
Ki Sugala dan Ki Kolo Gemet serta beberapa orang murid utama lainnya, berkumpul
di balairung utama bangunan perguruan itu sejak tadi pagi.
"Hm.... Kurasa wanita itu takut untuk muncul melihat persiapan dan jumlah kita
yang banyak, Guru...!" dengus salah seorang murid.
"He he he...! Biar dia tahu rasa kalau berani muncul!" sambut yang lain sambil
terkekeh dan menuangkan minuman ke cawan.
"Begitu muncul, akan kita hajar dia beramai-ramai!"
timpal yang lain dengan wajah geram.
Ki Sugala hanya tersenyum-senyum kecil, mendengar ocehan murid-muridnya sambil menuang arak ke cawan lalu menenggaknya
berkali-kali dengan
perasaan nikmat yang terpancar di wajahnya.
"Bagaimanapun, kalian tidak boleh melupakan kewaspadaan...," kata Ketua
Padepokan Macan Putih ini, mengingatkan.
"Hm.... Bisa berbuat apa wanita iblis itu pada kita!"
desis salah seorang muridnya menyahuti.
'Ya! Bisa berbuat apa dia pada kita" Ha ha ha...!
Hari ini, Dewi Tangan Darah akan rontok di tangan Padepokan Macan Putih!" sahut
yang lain. Mereka kembali terkekeh lebar. Namun belum lagi
habis tawa mereka....
"Aaa...!"
Mendadak terdengar jeritan nyaring dari luar.
Kemudian disusul jeritan beberapa orang lainnya, sehingga membuat Ki Sugala dan
murid-muridnya tersentak kaget.
"Heh"!"
Mereka segera berlompatan dan langsung melesat
keluar. Begitu tiba di luar, mereka melihat pintu gerbang depan hancur
berantakan. Beberapa orang
murid perguruan tewas dengan kepala remuk. Dan
beberapa orang lainnya tewas dengan tubuh membiru terserang racun ganas.
Sementara itu, tampak seorang wanita cantik
duduk di punggung kudanya di halaman padepokan.
Sorot matanya tajam. Raut wajahnya dingin penuh
hawa maut. Tangan kanannya memegang rotan
sepanjang setengah depa yang pada ujungnya
terdapat bulu-bulu dari tali rami. Benda yang agaknya sebuah kebutan itu selalu
dikibas-kibaskan.
Sementara kuda yang ditungganginya beberapa kali menggeleng-geleng, sehingga
terdengar bunyi
klenengan yang digantung di lehernya.
Kleneng...! Kleneng. .!
Bunyi itu memang ciri khas kedatangan dari Dewi
Tangan Darah. Sehingga mereka bisa cepat menduga. Dan yang lebih menguatkan dugaan itu adalah cara berpakaian wanita cantik
ini. Dia hanya berpakaian dari tali-tali yang dianyam sedemikian rupa.
"Dewi Tangan Darah! Akhirnya kau datang juga...!"
desis Ki Sugala dengan suara datar.
Wanita berjuluk Dewi Tangan Darah itu memandang
sinis ke arah Ketua Padepokan Macan Putih.
"Kaukah orang yang bernama Sugala...?"
"Ya! Akulah orangnya!"
"Pilihlah kesempatan untuk menebas lehermu
sendiri, sebelum aku yang melakukannya!" sahut wanita cantik itu dingin.
"Huh! Kau kira kepandaianmu sudah sedemikian hebat sehingga bisa berbuat
seenaknya!" dengus Ki Sugala mulai tampak garang. Segera diberinya isyarat pada
murid-muridnya untuk menyerang.
Tapi wanita itu lebih cepat bergerak. Telapak langan kirinya langsung dikibaskan
ke arah orang-orang yang hendak bergerak menyerangnya.
Set! Set! Seketika, dari telapak tangan Dewi Tangan Darah
melesat beberapa benda kecil berwarna keperakan
ke arah para penyerang.
"Aaakh...! Aaa...!"
Saat itu juga terdengar pekik kesakitan begitu
benda kecil berupa jarum-jarum beracun itu menghajar para murid Padepokan Macan Putih yang tak
sempat mengelak. Lima orang murid perguruan itu
kontan ambruk di tanah dengan tubuh membiru.
Mereka langsung tewas terkena senjata rahasia yang disebar Dewi Tangan Darah.
"Hiyaaa...!"
Kini Dewi Tangan Darah segera melompat dari
punggung kuda. Setelah membuat putaran beberapa
kali, tubuhnya kemudian menderu deras ke arah Ki Sugala.
"Heh"!"
*** Ki Sugala terkejut bukan main melihat gerakan
Dewi Tangan Darah yang tiba-tiba saja menyerangnya.
"Uhhh...!"
Dengan gesit orang tua itu bergerak ke samping.
Lalu tubuhnya berputar sambil mengayunkan satu
tendangan keras ke arah wanita cantik itu.
"Yeaaa!"
Dewi Tangan Darah sedikit meliukkan tubuhnya,
sehingga tendangan laki-laki itu hanya mengenai
tempat kosong. Lalu selanjutnya, wanita cantik itu kembali melesat cepat.
Senjata mautnya yang berupa kebutan dihantamkan ke dada Ki Sugala.
"Hiiih!"
Bukan main terkejutnya Ketua Padepokan Macan
Putih saat merasakan angin serangan lawannya.
Seumur hidupnya belum pernah dia berhadapan
dengan lawan seperti wanita ini. Angin serangannya saja mampu membuat jantungnya
berdegup lebih kencang. Dan senjata kebutan di tangan Dewi Tangan Darah bagai seribu jarum


Pendekar Rajawali Sakti 144 Telapak Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

beracun yang menusuk-nusuk setiap pembuluh darah di tubuhnya. Tidak bisa
dibayangkan, bila senjata itu sempat melukainya.
"Heaaa...!"
Ki Sugala membentak nyaring. Tubuhnya langsung
melompat ke atas sambil mencabut senjata
andalannya, berupa cakar macan yang terbuat dari baja pilihan.
Dewi Tangan Darah agaknya orang yang tak suka
banyak bicara. Juga tidak peduli dengan apa yang dilakukan lawan. Wanita ini
terlalu percaya diri, dan merasa mampu mengalahkan lawan.
Cakar macan yang memiliki pegangan sepanjang
dua jengkal itu langsung menyambar ke arah Dewi
Tangan Darah. Namun wanita cantik itu cepat
nyambutnya dengan senjata mautnya.
Praaak! "Hei"!"
Bukan main kagetnya Ki Sugala ketika senjatanya
hancur dihantam oleh senjata kebutan Dewi Tangan Darah yang kelihatan lemah
gemulai itu. "Hiiih!"
Belum juga keterkejutan Ki Sugala hilang, ujung
kaki wanita itu langsung menghantam ke arah dada.
"Uts!"
Namun Ki Sugala masih mampu melompat ke
belakang untuk menghindarinya. Sementara Dewi
Tangan Darah tidak berhenti sampai di situ saja.
Segera dilepaskan jarum-jarum beracun yang amat
halus ke arah laki-laki tua itu. Keringat dingin mulai mengucur deras dari poripori Ki Sugala. Namun
dengan cepat dia bergulingan di tanah dan terus
mencelat ke belakang. Beberapa jarum beracun
nyaris menyambar tubuhnya, kalau dia tak cepat
bergerak. Tapi rupanya serangan itu hanya pancingan belaka. Pada saat tubuh Ki
Sugala mencelat ke
belakang, Dewi Tangan Darah terus memburunya
dengan ancaman senjata kebutannya. Dan begitu
kaki laki-laki tua itu menjejak tanah, senjata Dewi Tangan Darah cepat
berkelebat ke arah kepala. Dan...
Praaak! "Aaakh!"
Ki Sugala menjerit tertahan begitu kepalanya retak dihantam senjata kebutan Dewi
Tangan Darah. Tubuhnya terhuyung-huyung dengan kedua tangan
memegangi kepala yang bermandikan darah.
Sebentar saja tubuh laki-laki tua itu ambruk dan menggelepar-gelepar di tanah.
Disertai senyum dingin Dewi Tangan Darah, nyawa Ki Sugala melayang ke
akherat. "Hei"!"
Ki Kolo Gemet terkejut. Juga murid-murid yang lain.
Pertarungan tadi berjalan cepat. Dan tahu-tahu, guru mereka tewas secara
mengerikan. "Setan! Bunuh dia! Cincang tubuhnya...!" teriak seorang murid, kalap.
"Yeaaah...!"
"Hih!"
Dewi Tangan Darah mendengus dingin seraya
melompat ke belakang, ketika lawan-lawannya
menyerang laksana tanggul jebol. Kedua tangannya bergerak lincah. Tangan kiri
menebar jarum-jarum racun, sementara tangan kanan mengayunkan
senjata kebutannya dengan cepat dan lincah.
Werrr! Crep...! "Aaakh...!"
Jerit kematian silih berganti saling sambut. Mereka yang terkena serangan jarumjarum beracun kontan tewas dengan tubuh membiru. Sementara yang lain
dengan kepala remuk atau tulang dada hancur
dihantam senjata kebutan maut yang berada di
tangan kanan Dewi Tangan Darah.
"Iblis keji! Akulah lawanmu! Yeaaa...!" bentak Kolo Gemet garang seraya melompat
menyerang lawan.
Senjata yang digunakan wakil ketua Padepokan
Macan Putih sama seperti yang digunakan Ki Sugala, berupa cakar macan terbuat
dari baja dan memiliki tangkai sepanjang dua jengkal.
Bet! Bet! "Hiiih!"
Dewi Tangan Darah tersenyum dingin. Tanpa
banyak bicara, tubuhnya meliuk indah menghindari sambaran senjata lawan. Namun
Ki Kolo Gemet agaknya tidak kalah gesit. Ketika senjatanya hendak disambar senjata wanita itu,
dia mampu menghindarinya dengan baik.
Belajar dari pengalaman gurunya, Ki Kolo Gemet
berpikir cepat. Tidak ada gunanya senjata lawan
dipapaki. Maka dia lebih banyak menghindar. Dan
sesekali dibalasnya serangan dengan mencuri-curi kelengahan pertahanan Dewi
Tangan Darah. Namun Dewi Tangan Darah bukanlah tokoh
sembarangan. Wanita ini jarang bertarung lama-lama, sebab mempunyai sikap untuk
menghabisi lawan
secepatnya. Maka...
"Hiyaaa...!"
Bet! Bet! Senjata di tangan Dewi Tangan Darah berkelebat ke sana kemari menimbulkan angin
kencang dan mengejar Ki Kolo Gemet ke mana saja bergerak. Tapi tidak seperti gurunya, lakilaki setengah baya ini sedikit lebih cerdik. Menyadari dia tengah mati-matian
menyelamatkan selembar nyawanya, dia berteriak pada murid-muridnya agar menyerang wanita ini bersamaan.
"Kenapa kalian diam saja"! Ayo, serang dia! Bunuh wanita iblis ini!"
"Yeaaa...!"
Serentak semua murid padepokan ini langsung
melompat menyerang Dewi Tangan Darah. Namun,
wanita itu sama sekali tidak mempedulikannya. Dan dia terus mencecar Ki Kolo
Gemet. Sesekali tangan kirinya mengibas ke belakang. Maka jarum-jarum
beracun yang amat halus langsung menerpa muridmurid itu. "Wuaaa...!"
"Hiiih!"
Kembali beberapa orang murid Padepokan Macan
Putih terjungkal sambil memekik kesakitan. Tubuh mereka langsung membiru dan
tewas beberapa saat, setelah menggelepar-gelepar menuju maut.
Dewi Tangan Darah terus mengayunkan satu
tendangan keras ke arah dada Ki Kolo Gemet. Cepat bagai kilat laki-laki itu
melompat ke belakang. Namun tubuh wanita ini telah bergerak berputar, mengincar
bagian bawah tubuhnya. Kembali Ki Kolo Gemet
terkejut dan dia berusaha menjauh dengan melompat ke samping kiri. Namun,
kepalan tangan Dewi Tangan Darah lebih cepat menghantam tulang keringnya.
Kraaak! "Aaakh...!"
Ki Kolo Gemet memekik kesakitan. Tulang kakinya
hancur dihantam pukulan Dewi Tangan Darah. Dan
belum sempat dia menguasai diri, senjata wanita itu kembali menghantam batok
kepalanya. Begitu cepat gerakannya, sehingga...
Praaak! "Aaa!"
Ki Kolo Gemet kontan memekik tertahan. Kepalanya remuk dan tubuhnya bersimbah darah ketika
ambruk ke tanah. Nyawanya lepas beberapa saat,
setelah meregang nyawa!
"Kurang ajar! Dia telah membunuh Ki Sugala. Dan kini, Ki Kolo Gemet pun tewas di
tangannya! Kita harus membalas. Iblis betina ini harus mampus...!"
teriak seorang murid dengan geram untuk memberi
semangat pada kawan-kawannya.
"Hiiih!"
"Aaakh...!"
Werrr! Orang itu tidak sempat meneruskan kata-katanya,
karena seketika itu juga tubuhnya ambruk dan tewas dengan tubuh membiru. Dewi
Tangan Darah telah
melepaskan jarum-jarum beracunnya ke arahnya dan tak mampu dihindari.
Sementara itu, Dewi Tangan Darah terus berputar
seraya melepaskan kembali jarum-jarum beracunnya.
Wanita itu tidak berhenti sampai di situ. Tubuhnya kembali berputar seraya
memutar-mutar kebutan di tangannya. Seketika terasa angin bertiup kencang
laksana badai topan. Lalu, kebutan di tangannya
bergerak cepat. Dan ...
Prak! Prok! "Aaa...!"
Pekik kematian terus terdengar tak henti-hentinya.
Sebentar saja, murid-murid Padepokan Macan Putih musnah tanpa sisa. Dewi Tangan
Darah tidak berhenti sampai di situ. Kebutannya kembali berputar.
Maka angin kencang kembali berdesir laksana badai topan menerbangkan apa saja
yang terdapat di
sekitarnya. "Heaaa...!"
Bruaaak...! Dewi Tangan Darah membentak nyaring. Telapak
kirinya dihantamkan ke depan. Maka selarik sinar kemerahan menderu dahsyat
menghantam bangunan
di depannya. Seketika gedung Padepokan Macan
Putih hancur lebur dan rata jadi tanah!
Setelah melihat di tempat itu tidak ada lagi
kehidupan, wanita itu seenaknya melompat ke
punggung kuda dan meninggalkan tempat itu dengan tenang. Klenengan di leher
kudanya berbunyi teratur dengan nada satu-satu.
Kleneng...! Teng...!
2 Seorang pemuda berbaju rompi putih melambatkan
lari kuda hitamnya ketika memasuki sebuah desa.
Telah seharian dia melakukan perjalanan, sehingga rasa haus serta letih begitu
menyiksa. "Sabarlah, Dewa Bayu. Sebentar lagi kita akan ber-istirahat dan makan yang
kenyang...," kata pemuda bersenjata pedang bergagang kepala burung yang
tersampir di punggung. Ditepuk-tepuknya leher kuda itu pelan.
Kuda berbulu hitam dan berkilat ditimpa sinar
matahari itu meringkik pelan. Sementara, pemuda
yang tak lain Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti tersenyum. Segera
dihentikannya langkah Dewa
Bayu. Lalu dia turun dari punggung kudanya dan
menuntunnya ke depan sebuah kedai makan. Dewa
Bayu ditambatkan di depan kedai. Baru setelah itu, Rangga memasuki kedai yang
kelihatannya cukup
ramai. Seorang pelayan kedai menghampiri saat Rangga
berada di dalam.
"Silakan masuk, Den. Masih ada tempat untuk, Aden...!" ucap pelayan setengah
baya itu. Rangga mengangguk disertai senyum manis. "Di mana aku bisa menemukan orang yang
bisa mengurus dan memberi makan kudaku...?" tanya Rangga.
"Oh, bisa. Nanti akan kuurus...," sahut pelayan kedai itu.
Pendekar Rajawali Sakti segera menunjuk kudanya.
Dan pelayan kedai itu pun mengangguk.
Rangga memperhatikan sejenak isi kedai itu.
Pengunjungnya cukup banyak, mengisi sebagian
besar ruangan kedai yang beralaskan tanah dan ber-dinding bilik bambu. Pemuda
itu mengambil tempat agak di ujung, dan segera memesan makanan yang
disukainya. Ruangan kedai ini sendiri agak ribut, karena
beberapa orang bicara dengan suara agak keras.
Hanya satu atau dua orang yang memperhatikan
kehadirannya. Sementara, yang lain tenggelam
menyimak cerita-cerita yang diungkapkan beberapa orang. Atau juga sibuk
menyantap makanan yang
dihidangkan. Rangga sedikit menyimak dan menyimpulkan
cerita-cerita yang didengarnya. Dan cerita itu berkisar tentang seseorang yang
belakangan ini menggeger-kan dan menjadi buah bibir.
"Sungguh gila! Padepokan Macan Putih hancurlebur dibuatnya!" desis salah seorang
pemuda berusia tujuh belas tahun. Rambutnya tipis dan kaku.
Sementara dua orang kawannya yang semeja begitu
seksama mendengar ceritanya.
"Hei, Danu! Apakah kau yakin kalau itu perbuatan Dewi Tangan Darah?" tanya
pemuda bertubuh kurus.
"Kenapa tidak" Pagi itu mereka menemukan tanda telapak tangan dari cairan darah
di pintu gerbangnya.
Bukankah itu ciri-ciri kedatangan Dewi Tangan
Darah"!" tegas pemuda berambut tipis yang dipanggil Danu.
"Kasihan mereka...!" sahut pemuda yang berhidung pesek dan berkulit legam.
"Hm.... Entah, berapa orang dan berapa perguruan lagi yang akan binasa di tangan
wanita iblis itu...,"
lanjut Danuwirya, pemuda yang pertama kali bercerita sambil menggeleng lemah.
"Kalau saja aku punya kepandaian, sudah kutantang iblis betina itu!" desis lelaki yang bertubuh kurus.
Danuwirya terkekeh kecil. "Kau hendak menantang Dewi Tangan Darah" He he he...!
Hei, Dikin! Lebih baik urus emakmu yang cerewet itu. Menghadapi dia saja, kau
sudah repot!" ejek Danuwirya.
"Itu kan, kalau aku punya kepandaian hebat. Kalau sekarang" Hm.... Berhadapan
dengan seorang perampok saja, tubuhku sudah gemetar," sahut Dikin malu-malu.
"Yah... Itu memang bukan urusan kita. Orang-orang seperti kita bisa berbuat
apa...?" timpal laki-laki hidung pesek dengan suara pasrah.
Sementara seorang wanita tua yang duduk tidak
jauh dari mereka, tampak acuh saja. Sedangkan
gadis cantik di dekatnya yang berusia kurang dari tujuh belas tahun, malah
memperhatikan dengan
seksama cerita ketiga pemuda itu.
"Nenek... Benarkah ada seorang wanita yang begitu kejam seperti yang mereka
ceritakan tadi...?" tanya gadis itu dengan suara nyaris berbisik.
Wanita itu memandangnya beberapa saat,
kemudian tersenyum.
"Apakah ada sesuatu yang aneh...?" wanita tua itu malah balik bertanya.
"Seseorang yang bertindak begitu, pasti ada alasannya. Apa alasan wanita yang
berjuluk Dewi Tangan Darah melakukan tindakan keji itu?" tanya gadis itu lagi.
"Mungkin dendam, mungkin juga demi kepuasan diri sendiri...," jelas wanita tua
itu enteng. "Demi kepuasan diri sendiri" Apa maksudnya...?"
tanya si gadis dengan wajah semakin tidak mengerti.
Nenek itu menghentikan suapannya, lalu tersenyum kecil.
"Ambar.... Kau terlalu muda untuk mengerti soal ini.
Di dunia ini, ada orang yang merasa dirinya hebat, lalu ingin menguji sampai di
mana kehebatannya.


Pendekar Rajawali Sakti 144 Telapak Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Atau, ada juga yang melakukan pembunuhan di
mana-mana, dengan tujuan untuk mencari kesenangan. Misalnya, kau suka bunga. Maka, orang itu mempunyai kesukaan membunuh
orang. Bila telah
membunuh, maka hatinya terasa girang...," jelas si nenek.
"Astaga! Bagaimana seseorang sampai memiliki watak demikian?"
"Sudahlah. Jangan terlalu hiraukan soal itu. Cepat habiskan makananmu, karena
kita harus tiba di
tempat orangtuamu sebelum senja tiba!" elak si nenek.
Gadis yang dipanggil Ambar terdiam. Namun baru
sesuap mengunyah, matanya kembali dipatri ke arah nenek itu.
"Apakah orang seperti itu didiamkan saja" Maksudku, apakah tidak ada orang-orang
yang menghukumnya...?" desak Ambar.
"Siapa yang bisa menghukumnya..." Jika dia
mampu menghancurleburkan beberapa padepokan
yang memiliki banyak murid, maka apa artinya dua atau tiga pasukan kerajaan yang
ditugaskan untuk menangkapnya" Mereka pasti akan binasa sebelum
berhasil meringkusnya!" jelas perempuan tua itu.
"Dari kalangan pendekar...?"
"Ada juga. Namun, mereka binasa di tangannya ..."
"Nenek.... Kau memiliki kepandaian ilmu silat cukup hebat. Apakah tidak berniat
hendak menangkap dan menyerahkannya pada pihak kadipaten atau
kerajaan?" tanya Ambar.
Si nenek tertawa kecil mendengar kata-kata gadis itu.
"Ambar... Kita tidak perlu mencari-cari masalah dengan urusan ini. Lagi pula,
mana mungkin gurumu ini mampu melawan orang itu..."
"Sedemikian hebatnyakah wanita itu, Nek...?"
"Ya...," jawab nenek itu singkat seraya mengangguk.
"Ayolah. Sekarang kita harus melanjutkan perjalanan."
Setelah selesai menyantap makanan kedua orang
yang usianya berbeda jauh itu segera bangkit. Dan setelah membayar makanan,
mereka berlalu. Sementara Rangga hanya tersenyum.
"Gadis itu polos sekali...," gumam Pendekar Rajawali Sakti di hati.
Namun jelas kalau percakapan di kedai itu menarik perhatian Rangga.
"Hm.... Siapa Dewi Tangan Darah itu" Dan, apa yang dicarinya...?" pikir Pendekar
Rajawali Sakti dengan dahi berkerut.
Bergegas, Rangga bangkit dan melangkah menghampiri pelayan kedai. Setelah membayar makanan, dia meninggalkan kedai dan
mengikuti kedua wanita itu secara diam-diam dari jarak cukup iauh.
*** Wanita tua itu yang berjalan bersama Ambar
sebenarnya bernama Nyai Padmi. Dalam rimba
persilatan, dia tidak begitu menonjol. Meski demikian, ilmu silatnya tergolong
hebat. Sedangkan nama
lengkap gadis itu sendiri adalah Ambarwati. Dia
memang murid Nyai Padmi satu-satunya.
Keduanya berjalan pelan. Namun sesekali Nyai
Padmi terlihat menoleh ke belakang.
"Ada apa, Nek" Apakah ada sesuatu yang mencurigakan...?" tanya Ambarwati heran.
"Entahlah. Sepertinya ada sesuatu yang tidak beres...."
"Tidak beres bagaimana?"
"Seperti ada yang mengikuti kita...," sahut Nyai Padmi pelan, seraya
menghentikan langkah. Lalu
tubuhnya berbalik dan memandang ke sekitar tempat itu.
Dan Ambarwati akhirnya berbuat sama meski tidak
merasakan apa-apa.
"Nek... Aku tidak melihat apa-apa. Juga, tidak merasakan bahwa seseorang
mengikuti kita. Kecuali..., penunggang kuda itu," tunjuk Ambarwati di ke jauhan.
"Hm... Dialah orang yang kumaksud!"
"Tapi kalau menguntit begitu, kenapa musti
terang-terangan" Kurasa dia hanya kebetulan satu arah dengan kita...," sahut
gadis itu mengemukakan alasannya.
"Ambar.... Hidup di dunia ini tidak boleh terlalu percaya pada orang begitu
saja. Kadang, kecurigaan lebih diperlukan untuk keselamatan diri sendiri. Ayo,
cepat bersembunyi! Kita sergap dia, begitu lewat di sini!" ujar Nyai Padmi,
langsung melompat dan bersembunyi di balik semak-semak yang banyak
terdapat di pinggir jalan.
Ambarwati kelihatan enggan, namun tidak bisa
membantah. Maka dengan malas-malasan dituruti
saja tindakan Nyai Padmi.
Penunggang kuda yang memang Rangga hanya
tersenyum-senyum kecil melihat tingkah kedua
wanita itu. Melalui aji 'Tatar Netra', dia mampu melihat mereka dengan jelas.
Dan tentu saja Pendekar Rajawali Sakti tahu apa yang mereka
lakukan. Maka tanpa mempedulikan apa pun, dia
tetap saja menghela kudanya perlahan-lahan.
"Heup!"
"Berhenti...!"
Dua sosok tubuh ramping mendadak melayang
ringan dan berdiri tegak di depan Pendekar Rajawali Sakti dengan sikap
menghadang. Rangga pura-pura
kaget dan segera menghentikan langkah Dewa Bayu.
"Siapa kau"! Dan, apa yang kau inginkan, sehingga berani menguntit kami"!"
hardik Nyai Padmi, garang.
"Eh! Maafkan aku... Tapi..., tapi..."
"Ayo, jawab! Apa yang kau inginkan"!" sentak nenek itu sudah tidak sabar
mendengar jawaban pemuda
itu. "Nek... Bukankah pemuda ini yang tadi berada di kedai...?" kata Ambarwati dengan
wajah yakin. "Hm.... Kau membawa-bawa pedang. Jawab pertanyaanku, atau kau akan mampus di tanganku! Apa yang kau inginkan dengan
menguntit kami"!" sentak Nyai Padmi.
"Nyisanak, Maafkan. Aku sama sekali tidak bermaksud menguntitmu. Aku..., aku..."
Rangga berpura-pura bodoh dengan berkata gagap
seperti itu. Dan wajahnya pun dibuat sedemikian
rupa. "Bicara tidak karuan! Kau kira kami bodoh, heh"!"
dengus Nyai Padmi.
Sring! Nyai Padmi langsung mencabut pedang dengan
wajah geram. Ujung senjatanya bergerak cepat,
mengancam leher pemuda itu. Dan Rangga jadi terbeliak kaget dengan wajah pucat. Malah wajahnya
dibuat seolah-olah amat takut dengan ancaman
perempuan tua itu.
"Eh! Ini, ini...."
"Jangan berlagak dungu! Ayo, cepat jawab! Aku tidak akan segan-segan menebas
batang lehermu!"
desis nenek ini geram.
"Ba..., baiklah. Tapi, jauhkan dulu pe..., pedang ini...."
"Huh! Kalau kau mengulur waktu lagi, benar-benar akan kutebas lehermu!" rungut
Nyai Padmi, segera menjauhkan pedangnya dari leher pemuda itu.
"Uh. ., hampir saja...," pemuda itu menarik napas lega.
"Lekas katakan, apa yang kau inginkan sehingga menguntit kami"!" bentak Nyai
Padmi. "Eh! Di kedai tadi, secara tidak sengaja aku mendengar percakapan kalian
mengenai Dewi Tangan
Darah. Tahukah Nyisanak, di mana orang itu saat
ini...?" "Mau apa kau mencarinya" Apakah kau sanak
keluarganya..."!" tanya Nyai Padmi, penuh selidik.
"Bukan. Aku justru ingin bertarung dengannya"!"
Mendengar jawaban itu nenek ini malah tertawa
agak keras. "Ha ha ha...! Kau ingin bertarung dengannya" Hei, Bocah! Berkacalah dulu, apakah
dirimu pantas berhadapan dengannya. Kecuali, kalau kau sudah
bosan hidup. Baru kau boleh mencari-carinya, dan mengatakan kalau ingin
membunuhnya!"
"Ya.... Aku memang sudah bosan hidup. Tiada guna lagi aku hidup lebih lama di
dunia ini. Kedua orang tuaku telah dibunuhnya. Demikian juga kakek dan
guruku. Aku harus menuntut balas kematian mereka.
Kalau tidak, rasanya tidak pantas aku hidup!" sahut Rangga berbohong, tapi
bernada sungguh-sungguh.
Sama sekali tidak dihiraukan ejekan Nyai Padmi.
Mendengar itu wajah Nyai Padmi jadi berubah.
Semula dikira pemuda ini mengada-ada saja. Namun melihat kesungguhan di wajah
pemuda itu, paling
tidak dia jadi menaruh perhatian pula.
"Bocah! Apakah kau bersungguh-sungguh dengan kata-katamu?"
"Apakah aku kelihatan tengah bermain-main...?"
Wanita tua itu menghela napas pendek sambil
menggeleng lemah.
"He, mungkin benar kau berkata seperti itu. Juga alasanmu. Tapi membalas dendam
secara membabi-buta, tidak baik akibatnya. Kau hanya mengantar
nyawa percuma. Kusarankan, sebaiknya lupakan
dendammu itu. Atau, kalau tetap nekat, maka
belajarlah dengan seorang guru yang pandai. Sampai, kau merasa yakin kalau ilmu
silatmu sudah cukup
hebat...," ujar nenek ini menasihati.
"Maaf, Nyisanak. Bukan aku tidak mengerti itu.
Tapi, yang kubutuhkan saat ini adalah, di mana
jahanam itu bisa kutemui!"
Nyai Padmi kembali menghela napas sesak.
Kemudian kepalanya menggeleng lemah. Pemuda ini
begitu keras kepala dan sama sekali tidak mau
mendengar kata-katanya. Agaknya, dia hanya menuruti nafsu dan amarah yang bergejolak di hati.
"Sungguhkah kau tidak tahu?" desak Rangga.
"Maaf.... Aku benar-benar tidak tahu...," ucap Nyai Padmi sambil menggeleng
lemah kembali. "Baiklah. Kalau demikian, aku permisi dulu. Aku akan mencari orang yang
mengetahui di mana wanita iblis itu berada. Maaf, aku telah mengganggu kalian.
Selamat tinggal...!"
Pendekar Rajawali Sakti segera menghela kudanya
kencang, berlalu dari situ. Sementara Nyai Padmi dan muridnya memandang sampai
pemuda itu hilang di
tikungan jalan.
*** "Kasihan.... Dia hanya akan mengantar nyawa
percuma...," gumam Nyai Padmi seraya menggeleng lemah dan menghela napas pendek.
"Dia kelihatan begitu mendendam padanya, Nek...,"
timpal Ambarwati.
"Iya! Orang seperti itu telah membahayakan diri sendiri...."
"Pemuda itu mungkin salah satu dari banyak orang yang begitu mendendam pada Dewi
Tangan Darah...,"
duga Ambarwati setengah bergumam. "Kasihan
dia...." "Sudahlah.... Kita tidak perlu memikirkannya. Paling tidak, kita telah memberi
nasihat. Dan bila tidak didengarkan, dia boleh mengalami nasibnya sendiri..."
Gadis itu hanya terdiam dan kembali melangkah
pelan mengikuti gurunya. Keringatnya mulai bercucuran dan wajahnya yang putih tampak memerah.
Kedua kakinya kelihatan penuh debu. Namun sama
sekali wajahnya tidak menunjukkan keletihan.
Ambarwati memang amat tegar. Bisa jadi, itu karena gemblengan nenek ini yang
berwatak keras.
Sehingga, dia berusaha menyingkirkan perasaan letih yang dialaminya.
"Kita istirahat di sini dulu. Kau tentu lelah, bukan...?" tanya Nyai Padmi.
Ambarwati hanya mengangguk pelan.
Baru saja gadis itu hendak bersandar seraya mengusap keringat di wajahnya.
Teng! Kleneng...!
Tiba-tiba terdengar sebuah suara aneh di kejauhan.
"Nek, suara apa itu...?" tanya Ambarwati.
"Hm.... Paling hanya orang iseng!"
Teng! Teng...! Suara itu kembali terdengar semakin dekat, dan
terus mendekat. Sehingga, mereka bisa melihat seorang wanita cantik berambut
panjang yang berbaju dari anyaman tali. Sehingga menampakkan bagian
tubuhnya yang halus mulus. Matanya tampak sayu.
Dia duduk seenaknya di punggung kuda yang di
lehernya terdapat sebuah klenengan sapi.
"Nek..," panggil Ambarwati pelan.
Nyai Padmi yang sama sekali tidak mempedulikan
terpaksa harus mengalihkan perhatian ketika Ambarwati menepuk pundaknya.
"Hm..."
"Wanita itu menuju ke sini..."
"Kenapa rupanya?"
"Perasaanku tidak enak, Nek...!" sahut gadis itu cemas.
"Ambar... Kenapa kau ini" Biarkan saja dia ke sini.
Mungkin ingin bertanya sesuatu, seperti pemuda tadi.
Atau juga, ingin berteduh. Tempat ini rimbun dan teduh...," kilah Nyai Padmi,
walau jantungnya berdegup kencang.
"Tapi, Nek...."
"Sudahlah. Jangan berpikiran macam-macam!"
Ambarwati diam saja. Sementara wanita yang dilihatnya dengan tenang, menghela kudanya ke arah mereka. Dari wajahnya yang
datar tanpa mencermin-kan apa-apa, justru membuat gadis itu bergidik ngeri
dengan hati diliputi tanda tanya besar. Wanita cantik itu berpakaian tidak
senonoh. Pasti bukan orang baik, pikir gadis itu. Lagi pula berjalan seorang
diri dalam keadaan begitu, bukankah hanya akan mengundang
lelaki iseng untuk berpikir macam-macam"
"Heup!"
Wanita itu melompat ringan dari punggung kudanya. Kemudian dia berkacak pinggang seraya memandang kedua orang di hadapannya.
Jantung Ambarwati semakin berdegup kencang
melihat gelagat yang tidak baik ini. Wanita itu sama sekali tidak ingin
berteduh, juga tidak ingin bertanya sesuatu. Dan dengan sikapnya, dia seperti
orang ingin mencari gara-gara.
"Hm... Kau kira bisa kabur begitu saja dariku...?"
tanya wanita itu dengan nada sinis.
Mau tidak mau, Nyai Padmi terpaksa mengalihkan
perhatian dan memandang wanita itu dengan seksama. "Siapa kau" Dan, apa maksud kata-katamu...?"
"Berpura-pura pikun, he"! Orang tua! Aku telah memberi tanda di pintu rumahmu.
Dan untuk itu, kau harus mampus! Jangan coba-coba lari dariku dengan membawa
cucumu mengungsi! Kau tak bisa menghindari diri dariku...!" dingin suara wanita
itu. "Kau.... Kau..., Dewi Tangan Darah..."!" seru Nyai Padmi terkejut.
"Bagus! Kau mulai ingat. Nah! Bersiaplah menghadapi maut. Cabut pedangmu!"
dengus wanita yang tak lain Dewi Tangan Darah.
Tubuh Nyai Padmi bergetar hebat. Sehari sebelumnya, dia memang menemukan tanda telapak tangan
darah di muka pintu rumahnya. Dan sebagai tokoh


Pendekar Rajawali Sakti 144 Telapak Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

persilatan, tentu saja arti tanda itu diketahuinya. Dia juga tahu, siapa yang
melakukannya. Nyai Padmi sadar kalau bukan lawan yang sepadan
bagi Dewi Tangan Darah. Tapi untuk menolak tantangan, jelas tidak mudah. Selama ini, tidak ada satu alasan pun yang bisa
membatalkan ancaman wanita
iblis itu. Makanya Nyai Padmi segera mengajak
Ambarwati untuk menyingkir dari rumah dengan ter-gesa-gesa. Dan gadis itu sama
sekali tidak mengerti, kenapa guru yang telah dianggapnya sebagai nenek sendiri
itu tiba-tiba saja mengajaknya kembali ke tempat orang tuanya. Hal itu dilakukan
Nyai Padmi, bukan sekadar menghindari diri dari ancaman lawan.
Tapi sekadar menyelamatkan Ambarwati. Tapi ternyata iblis betina itu telah berada di hadapannya. Dan dia tidak tahu, harus
bagaimana lagi menyelamatkan Ambarwati.
Nyai Padmi berdiri tegak. Matanya memandang
tajam ke arah wanita itu sambil mencabut pedangnya perlahan-lahan.
"Dewi Tangan Darah! Kuterima tantanganmu. Tapi, ingat! Muridku ini tidak ada
sangkut-pautnya dengan urusan kita. Kau tidak boleh melibatkannya, walau apa pun
yang terjadi!" seru wanita tua itu, lantang.
*** 3 Dewi Tangan Darah mendengus disertai senyum sinis.
"Yang kuinginkan kau! Bukan bocah tolol itu! Nah, puaskah kau dengan jawabanku?"
"Terima kasih. Namun masih ada satu lagi per-mintaanku...," kata Nyai Padmi.
"Hm...." Dewi Tangan Darah menggumam dingin.
"Kenapa kau menginginkan kematianku" Aku
bukanlah tokoh hebat dan terkenal. Masih banyak
tokoh lain yang bisa memuaskan hatimu...," tanya perempuan tua itu.
"Kau adalah pewaris ilmu silat 'Belalang Ijo'.
Puluhan tahun yang lalu di tangan Ki Sampar Bangun, ilmu itu amat menggetarkan
kalangan persilatan.
Yang ingin kulihat bukan ketenaran dan nama besar-mu. Tapi ingin kuketahui,
sampai di mana kehebatan ahli waris dari ilmu 'Belalang Ijo' yang dulu amat
menggetarkan itu. Nah, bersiaplah. Aku tidak banyak waktu untuk menjawab segala
pertanyaan-per-tanyaanmu!" jelas Dewi Tangan Darah.
Nyai Padmi menghela napas pendek. Lalu matanya
menatap muridnya.
"Ambar.... Pergilah dari sini! Tunggu aku di rumah orangtuamu. Aku akan menyusul
nanti!" ujar Nyai Padmi.
"Tapi, Nek... Kau..., kau..."
"Jangan membantah! Turuti kata-kataku...!" bentak Nyai Padmi garang.
Gadis itu tidak juga mau beranjak. Wajahnya sudah tampak gelisah bercampur
cemas. Jelas, Ambarwati amat mengkhawatirkan gurunya. Lawan yang di-hadapinya
kali ini bukanlah tokoh sembarangan.
Malah gurunya sediri telah mengakui kalau tidak
akan mampu menghadapinya.
"Ambar, pergi kataku! Tinggalkan tempat ini, secepatnya, kalau kau masih
menganggapku sebagai
gurumu!" bentak Nyai Padmi kembali.
"Nek.... Mana mungkin aku meninggalkanmu begitu saja...."
Nyai Padmi tidak sempat menjawab. Sebab, tibatiba Dewi Tangan Darah melompat menyerang.
"Yeaaa...!"
"Hup!"
Dengan cepat wanita tua itu melompat ringan ke
atas, untuk menghindari terjangan Dewi Tangan
Darah. Wanita tua itu tersentak kaget, sebab gerakan yang dilakukan Dewi Tangan
Darah cepat bukan main saat menyambar mengikuti gerakannya sendiri.
"Hiiih!"
"Uts!"
Kalau saja Nyai Padmi tidak mengegoskan
pinggang, niscaya sodokan maut yang dilancarkan
kepalan tangan kiri Dewi Tangan Darah akan menghantam telak perutnya.
"Nyai Padmi! Kuperingatkan, jangan mempermalu-kan leluhurmu. Pergunakan jurus
'Belalang Ijo' pada tingkat tinggi. Lalu, mainkan pedangmu dengan bersungguhsungguh. Sebab, aku tidak akan
segan-segan mencabut nyawamu!" teriak Dewi
Tangan Darah mengingatkan.
"Tidak usah khawatir, Dewi Tangan Darah! Siapa yang mau memberi jiwanya secara
sia-sia"!" sahut perempuan tua itu.
"Bagus! Nah, sekarang lihat serangan...!"
Set! Dewi Tangan Darah cepat melompat ke belakang,
lalu berdiri dengan satu kaki. Tangan kirinya ditekap di dada, lalu tangan
kanannya yang memegang
senjata kebutan, diputar sedemikian rupa. Senjata yang kelihatannya remeh, tidak
ubahnya bagai pengusir lalat. Namun di tangan Dewi Tangan Darah, senjata itu berubah menjadi
amat dahsyat. Werrr...! "Heh"!"
Serangkum angin dahsyat seketika menderu keras
laksana badai topan menghantam Nyai Padmi.
Wanita tua itu terkesiap kaget. Namun dengan
mengerahkan tenaga dalam sepenuhnya, dia
berusaha menahan. Dan sambil membentak nyaring
tubuhnya melompat, melepaskan serangan balasan
dengan putaran pedangnya.
"Hiyaaat...!"
Kali ini Nyai Padmi memainkan jurus 'Pedang
Belalang Memakan Rumput', yang merupakan
permainan pedang terhebat dari jurus yang
dikuasainya. Bet! Bet! "Uts!"
Dewi Tangan Darah melompat ke belakang, menghindari sambaran senjata Nyai Padmi yang berkelebat seperti hendak mengepung
dirinya dari berbagai arah.
Terlihat jelas kalau jurus-jurus itu bukan gerakan sembarangan. Kalau saja yang
dihadapi saat ini
berkepandaian rendah, maka dalam waktu singkat
niscaya akan binasa di tangannya. Namun Dewi
Tangan Darah malah tersenyum dingin. Malah sama
sekali tidak merasa kesulitan untuk menghindari
setiap serangan.
"Yeaaat...!"
Ketika tubuh Dewi Tangan Darah melompat ke
belakang, Nyai Padmi terus mengejar. Disertai
bentakan nyaring, begitu kedua kakinya menjejak
tanah maka tubuh Dewi Tangan Darah kembali
mencelat ringan. Gesit dan cepat sekali gerakannya sehingga sulit diikuti
pandangan mata biasa. Senjata kebutan di tangannya berputar sedemikian rupa,
menghantam ke arah perempuan tua itu.
Pada saat yang sama, tangan kiri Dewi Tangan
Darah berkelebat ke depan ke arah Nyai Padmi.
Dan... Set! Set! Saat itu juga, sinar keperakan meluruk deras ke
arah perempuan tua itu.
"Heh"!"
Werrr...! Nyai Padmi kembali dibuat terkejut, ketika merasakan sambaran angin tajam ke arahnya. Nyai
Padmi segera menyadari datangnya serangan senjata rahasia berupa jarum-jarum
beracun yang amat halus menerpa ke arahnya. Cepat bagai kilat pedang di
tangannya diputar sedemikian rupa, untuk menghalau serangan gelap itu. Dan tubuh Nyai Padmi
cepat bergulingan, saat Dewi Tangan Darah terus
meluruk dengan sambaran senjata kebutannya.
Wusss! Sambil bergulingan, telapak tangan kiri Nyai Padmi menghantam deras ke arah Dewi
Tangan Darah. Seketika dari telapak tangan kirinya melesat selarik cahaya hijau agak pudar,
yang menimbulkan angin
dingin menerpa Dewi Tangan Darah.
Wanita cantik berpakaian tidak senonoh itu
mendengus tajam. Terpaksa serangannya dihentikan, dan terus bergerak gesit
menghindari pukulan jarak jauh perempuan tua itu. Dan sekejap itu pula, senjata
kebutan di tangannya kembali berputar. Dan bersamaan dengan itu, tangan kirinya
mengibas ke depan. "Hiiih...!"
*** Nyai Padmi yang berusaha menghindar dari
serangan senjata kebutan, tak kuasa lagi menghindari, beberapa buah jarum beracun Dewi Tangan Darah yang menyerempet kulit
tubuhnya. Cras...! Crasss...!
"Aaa...!"
Terdengar jeritan menyayat yang diiringi ambruknya tubuh Nyai Padmi ke tanah.
"Nenek...!" Ambarwati menjerit keras dan langsung berlari kencang memburu tubuh
gurunya dan meletakkan dalam pangkuannya.
"Am..., Ambar.!"
Bibir Nyai Padmi bergetar hebat dengan tubuh
menghitam. Ambarwati dapat merasakan sekujur
tubuh wanita tua ini dingin bagai air pegunungan di waktu pagi.
"Nenek...! Bangun, Nek! Banguuun...!" Gadis itu menjerit menyayat sambil
mengguncang-guncangkan
tubuh gurunya. Tubuh Nyai Padmi terkulai lesu. Nyawanya langsung lepas dari raga. Sebelum
sempat menyelesaikan
kata-katanya. "Nenek, jangan tinggalkan aku sendiri! Nek, bangun.... Bangun!" tangis Ambarwati
sambil mengguncang-guncang tubuh gurunya.
Ambarwati sama sekali tidak menyadari kalau saat itu Dewi Tangan Darah telah
meninggalkan tempat
ini, tanpa meninggalkan suara sedikit pun.
"Huh! Aku harus membalas kematian, Nenek. Aku harus membalasnya! Dewi Tangan
Darah! Kau harus
mati di tanganku!" desis Ambarwati geram dengan kedua tangan terkepal. Seketika
tubuhnya berbalik cepat.
Namun wanita berjuluk Dewi Tangan Darah telah
tidak ada di tempat lagi. Dan Ambarwati hanya bisa menggeram berkali-kali dengan
hati kecewa. "Nenek, tenanglah di alam sana. Aku akan membalas kematianmu kelak...," bisik
gadis itu lirih, dan segera mengangkat tubuh gurunya itu.
Ambarwati melangkah pelan meninggalkan tempat
itu sambil memandang jasad gurunya untuk
dikebumikan di tempat asal mereka.
Tapi belum jauh melangkah, sekonyong-konyong
Ambarwati berpapasan dengan seorang pemuda
gembel berpakaian pengemis. Di tangan kanannya
tampak sebatang tombak kayu. Sedangkan tangan
kirinya menggenggam seguci arak dalam ukuran
cukup besar. Kalau diperhatikan seksama, usia
pemuda itu paling tidak sekitar dua puluh lima tahun.
Wajahnya tampan, namun tidak terurus. Beberapa
kumis dan cambang tumbuh liar di wajahnya.
Senyumnya seperti tidak pernah terlepas dari bibir.
"Amboi, Cah Ayu! Kenapa kau" Apa yang kau bawa"
Bolehkah aku menolongmu..."!" sapa pemuda itu dengan nada riang.
Ambarwati sama sekali tidak mempedulikan. Terus
saja gadis itu melewatinya. Sementara pemuda itu cepat berbalik, dan terus
mengikuti sambil terkekeh-kekeh kecil.
"Aduh, sombongnya...! Apakah aku terlalu jelek untuk sekadar mendapat satu dua
patah kata dan senyum manismu..."!" ledek pemuda itu.
Ambarwati sama sekali tidak menggubrisnya. Dia
terus berjalan semakin cepat Namun pengemis muda itu seperti tidak patah
semangat. Meski sama sekali tidak dipedulikan, namun terus menggoda.
"Aduhai leganya hatiku bila kau sudi melempar senyum barang sedikit padaku.
Lalu, berkata-kata dengan bibirmu nan indah itu. Siapa gerangan kau, Cah Ayu"
Pastilah kau memiliki nama indah seperti wajahmu...," rayu pemuda gembel ini
dengan kata-kata indah sebagaimana layaknya seorang penyair.
Lama-kelamaan, kata-kata pemuda gembel ini
membuat Ambarwati merasa terganggu dan membuatnya kesal. Matanya langsung melotot dengan
wajah geram. "Gembel busuk! Minggirlah! Dan, jangan ganggu jalanku! Kalau tidak, akan kuhajar
kau...!" "Amboi, benar dugaanku! Sungguh benar. Suaramu sungguh merdu dan indah, seperti
wajahmu...!" sahut gembel ini, sambil tersenyum lebar.
"Brengsek...!" dengus Ambarwati geram.
"Betul! Betul, Cah Ayu. Kakangmu ini memiliki wajah tampan..."
Ambarwati betul-betul merasa jengkel melihat
kelakuan pengemis gembel ini. Segera tubuh gurunya diturunkan dan langsung
berkacak pinggang seraya mendengus geram.
"Kisanak! Apa sebenamya yang kau inginkan" Tidak tahukah kau, bahwa saat ini aku
tengah berduka"
Pergilah! Dan, jangan ganggu aku. Kalau kau ingin uang, nih! Ambillah...!"
Gadis itu langsung melemparkan beberapa keping
uang perak pada pengemis itu.
Cring! Ambarwati sengaja melemparkan beberapa keping
uang perak dengan pengerahan tenaga dalam kuat.
Menurut perhitungannya, kepingan uang itu akan
melesak ke dalam tanah. Dan pengemis gembel itu
tentu akan bersusah-payah untuk mendapatkannya.
Sehingga dengan begitu, dia akan bisa berlalu tanpa mendapat gangguan lagi.
Namun perhitungan gadis itu ternyata meleset
Pengemis gembel itu cepat memutar tongkatnya.
Maka, beberapa keping uang yang dilemparkan
Ambarwati jadi meliuk dan mencelat ke atas. Lalu lengan mudahnya kepingan uang
itu ditangkap. Tap! Tap! "Aduhai. Kau sungguh bermurah hati sekali padaku!
Terima kasih, Cah Ayu. Terima kasih. Adakah sesuatu yang bisa kubantu sebagai
imbalan yang kau
berikan...?" kata pengemis itu tersenyum-senyum lebar.
Ambarwati tidak habis pikir. Kepalanya menggeleng lemah sambil menghela napas
pendek dan memperhatikan pengemis itu untuk beberapa saat dengan pikiran
menduga-duga. Bukan sembarangan orang
mampu melakukan gerakan itu seperti tadi. Jelas, pengemis ini bukan orang
sembarangan. Tapi, apa
maunya mengganggu" Ambarwati menarik napas
sesak dan menunggu pengemis itu selesai
menenggak araknya.
"Huaaah...! Enak betul arak ini. Apalagi dikawani gadis cantik sepertimu. He he


Pendekar Rajawali Sakti 144 Telapak Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

he...!" Pengemis itu kembali terkekeh-kekeh kecil. Lalu, dipandangnya gadis itu.
"Nah, kau telah memberiku upah. Apa yang harus kulakukan untuk membantumu...?"
"Kisanak, aku tengah berduka. Harap kau tidak menggangguku...."
"Ah, mana bisa begitu"! Kenapa kau berduka"
Aduhai. Janganlah bersedih, sebab hanya membuat
wajahmu semakin suram. Hei" Kenapa wanita tua itu tertidur begitu lelap"!"
tunjuk pengemis ini ke arah jenazah Nyai Padmi dengan wajah heran.
"Itu guruku. Dia... telah tewas...," sahut Ambarwati lirih.
"Tewas" Mati..." Wualah! Kenapa" Siapa yang telah membuatnya mati"!" tanya
pengemis ini dengan wajah terkejut dan sepasang mata melotot lebar.
Ambarwati tidak menyahut. Kembali dia menghela
napas sesak, lalu memanggul jasad neneknya.
"Kisanak... Aku hendak pergi. Sekali lagi kumohon, jangan ganggu aku. Pergilah
ke mana sesuka hatimu...."
"Aku suka sekali bersamamu. Dan, Pandir Kelana tidak akan mengganggumu. Aku
tidak mengganggumu, Cah Ayu. Kau telah memberiku uang. Maka aku
harus membalas budimu..."
"Tidak apa. Aku ikhlas memberi uang itu padamu.
Dan kau tidak perlu membalas budi segala... "
"Tidak bisa! Tidak bisa...! Guruku mengajarkan, kalau setiap kebaikan harus
dibalas dengar kebaikan pula. Jika kejahatan, maka harus dibalas kejahatan pula.
Kau telah berbuat baik padaku. Maka aku harus membalas kebaikanmu!" tegas
pengemis yang mengaku bernama Pandir Kelana.
Ambarwati menggeleng lemah. Telah dicobanya
membujuk berkali-kali. Namun Pandir Kelana tampak tidak mengerti. Gadis itu jadi
hilang akal dibuatnya.
Paling tidak, pengemis ini tidak berbuat jahat
padanya. Kelihatannya, Pandir Kelana terlalu polos untuk melakukan tindakan
jahat. Lagi pula, orangnya periang, dan bisa sedikit menghibur hatinya yang
gundah saat ini. Maka meski tidak mengatakan per-setujuannya, dibiarkannya saja
Pandir Kelana mengikuti langkahnya.
"Aduh, terima kasih! Terima kasih, Cah Ayu...! Aku tidak akan mengganggumu.
Bahkan akan selalu men-jagamu dari orang-orang jahat!" teriak Pandir Kelana
berkali-kali sambil melompat-lompat kegirangan
dengan wajah berseri-seri.
"Heaaa. .!"
"Brengsek! Apa itu...?"
*** Mendadak saja tiga orang berkuda berlari kencang
di depan Ambarwati dan Pandir Kelana. Debu
mengepul ke udara, disertai teriakan-teriakan keras berkumandang. Seakan, ketiga
penunggang kuda itu sedang berpacu untuk saling menyaingi satu sama
lain. Nyaris Ambarwati dan pemuda gembel itu diinjak hewan-hewan itu kalau saja
tidak buru-buru
melompat menghindar.
"Kurang ajar! Manusia-manusia tidak tahu diri...!"
maki Ambarwati dengan wajah berang.
"He he he...! lya, iya... Apakah kau menginginkan aku untuk menghajarnya...?"
tanya pemuda gembel itu.
"Huh...!" Ambarwati hanya mendengus kesal seraya memandang ketiga penunggang
kuda itu. Pengemis itu hendak melompat, namun mendadak
ketiga penunggang kuda itu berbalik. Dan seketika hewan tunggangannya itu dipacu
ke arah mereka.
"Heaaa...!"
"Berhenti...!" teriak seseorang sambil melambaikan tangan. Matanya memandang
Ambarwati dengan
seringai lebar. "Ha ha ha...! Mimpi apa aku semalam"
Siang-siang begini, bertemu bidadari jelita...!"
Ambarwati memandang ketiga penunggang kuda itu
dengan wajah sebal.
Ketiga orang itu berwajah kasar. Yang barusan
bicara adalah seorang pemuda berusia sekitar dua puluh lima tahun. Wajahnya
hitam, berambut pendek.
Pakaiannya indah terbuat dari sutera mahal. Paling tidak, dia pasti berasal dari
kalangan orang kaya.
Sementara dua lainnya menyandang golok di
pinggang. Yang seorang berkumis tebal, dan seorang lagi berambut gondrong.
Melihat gerak-geriknya,
kedua orang ini agaknya para tukang pukul pemuda itu.
"Gondo! Dan kau, Burik...! Bagaimana pendapatmu"
Apakah gadis ini cocok untukku...?" tanya pemuda berwajah hitam itu.
"He he he...! Cocok sekali, Den! Sangat cocok...!"
sahut dua laki-laki yang bernama Gondo dan Burik sambil terkekeh-kekeh.
Melihat itu Pandir Kelana yang bersama Ambarwati ikut tertawa-tawa. Lalu
dipandangnya gadis itu.
"Cah Ayu, bagaimana pendapatmu" Apakah kodok buduk satu ini pantas dijitak?"
tanya Pandir Kelana.
Ambarwati yang sejak tadi sudah mulai sebal dan
geram melihat sikap ketiga orang ini, bisa sedikit tersenyum melihat ulah Pandir
Kelana. "Kurang ajar! Hei, Gembel Tengik! Tutup mulutmu!
Kalau tidak, aku akan menendang pantatmu jauhjauh!" hardik pemuda berpakaian mewah itu dengan mata melotot garang.
"Gembel busuk, minggirlah kau! Den Lesmana
sedang ada urusan. Nih, ambillah uang ini. Dan,
belikan makanan!" sahut Gondo yang berambut gondrong seraya melemparkan dua
keping uang kepada Pandir Kelana.
Set! Begitu kedua keping uang itu melesat ke arahnya, Pandir Kelana cepat menangkis
dengan tongkat.
Tring! "Heh"!"
Kedua keping uang itu langsung mencelat ke atas
setinggi lebih kurang dua tombak. Sementara Pandir Kelana terkekeh girang.
Sedangkan ketiga orang di depannya terkejut kaget.
"Terima kasih uang busukmu ini! Hiiih!"
Si pengemis muda itu membentak dan langsung
menghantam kedua keping uang itu begitu jatuh di dekatnya.
Tring! Ketiga penunggang kuda itu gelapagan. Sedang
kedua keping uang yang dilemparkan si pengemis
muda itu melesat cepat bagaikan dua buah pisau
tajam. "Setan...!"
"Haram jadah...!"
Ketiga penunggang kuda itu memaki. Dan mereka
segera melompat dari punggung kuda masing-masing untuk menghindari terjangan dua
buah kepingan uang itu. Gerakan mereka terlihat indah, begitu
mendarat di tanah. Dari sini bisa dilihat kalau mereka memiliki kepandaian yang
patut diperhitungkan.
"He he he...! Apa kataku. Dua ekor kodok melompat dan seorang lagi
tertelungkup...!" ejek Pandir Kelana tertawa girang.
"Hajar si Keparat ini...!" perintah pemuda bernama Lesmana garang pada kedua
tukang pukulnya. Maka
Gondo dan laki-laki berkumis tebal yang bernama
Burik langsung bangkit dan mencabut golok masing-masing.
Srak! "Cah Ayu, sebaiknya mereka dibuat seperti apa"
Kupotong kupingnya" Atau kucolok matanya" Atau
apa...?" tanya Pandir Kelana sambil tersenyum-senyum kepada si gadis.
"Eh! Aku..., aku..., terserah kau saja. Yang penting mereka tidak
menggangguku...."
"He he he...! Pasti! Sudah pasti mereka tidak akan mengganggumu lagi!" sahut
pengemis gembel ini cepat, dan segera menenggak araknya.
Pada saat yang bersamaan, kedua orang itu
melompat geram seraya mengayunkan goloknya.
Glek! Glek! "Yeaaah...!"
"Mampus kau, Pengemis Hina...!"
Pandir Kelana cepat melompat ke belakang dalam
keadaan tetap menenggak arak. Lalu....
"Fruuuhhh...! Kalian mengganggu kesenanganku saja...!" gerutu si pengemis muda
itu sambil menyemburkan arak yang masih berada di mulutnya.
"Wuaaa...!"
Kedua tukang pukul Lesmana kontan memekik
kesakitan seraya mendekap wajahnya yang terkena
semburan arak si pengemis itu. Mereka kontan
ambruk di tanah, sambil bergulingan.
*** 4 "Ha ha ha...! Rasakan oleh kalian! Itulah akibatnya bagi orang yang suka
usil...!" ejek Pandir Kelana sambil terkekeh-kekeh kegirangan.
Kedua tukang pukul Lesmana menggelepar,
menahan rasa perih dan gatal yang menyerang sekujur tubuh. Apa yang dilakukan Pandir Kelana
kelihatannya remeh saja. Namun akibatnya sungguh membuat bulu kuduk Ambarwati
bergidik ngeri. Kulit-kulit kedua tukang pukul itu terkelupas seperti
disiram air panas yang baru saja mendidih. Maka
ketika digaruk-garuk, terlihat darah mengucur deras dan membasahi sekujur tubuh.
Namun begitu, mereka terus menggaruk dengan rasa sakit yang
menghebat. "Pengemis hina! Apa yang kau lakukan terhadap mereka, he"!" bentak Lesmana
garang dengan mata melotot lebar.
"Kau kira apa, he"!" sahut Pandir Kelana tidak kalah garang sambil berkacak
pinggang dan menenggak araknya.
Glek! Glek! "Kurang ajar! Kau boleh mampus akibat ulahmu!"
desis pemuda bangsawan itu garang, langsung
melompat menyerang Pandir Kelana.
"He he he...! Ingin mengalami nasib seperti mereka"
Boleh saja! Sini...!"
Lesmana langsung membabatkan goloknya ke leher
Pandir Kelana. Bet! Bet! "Uts! Tidak kena, huh!" ejek pengemis muda itu sambil melenting ke belakang
menghindari tebasan golok.
"Keparat!" Lesmana menggeram dan kembali menghantamkan senjatanya ke arah
pengemis muda yang
baru saja mendaratkan kakinya di tanah.
Kali ini Pandir Kelana tidak mau tinggal diam.
Tubuhnya cepat melompat ke atas kembali, dan
membuat putaran di udara. Tongkatnya cepat
diayunkan, memapak senjata Lesmana.
Tak! Tongkat di tangan Pandir Kelana kelihatan rapuh
dan mudah patah. Namun ketika menghantam golok,
Lesmana jadi terkejut. Goloknya terpental, dan per-gelangan tangannya langsung
dihantam tongkat
pengemis itu. Tuk! "Ukh...!"
Dan belum lagi Lesmana menyadari apa yang harus
dilakukan, perutnya terasa seperti dihantam benda keras.
Begkh! "Akh...!"
Lesmana kontan menjerit keras. Tubuhnya terbungkuk sambil mendekap perutnya yang terasa
akan pecah. Pada saat itu Pandir Kelana kembali
menghantamkan tongkat ke punggungnya. Lagi-lagi
pemuda bangsawan itu menjerit. Tubuhnya ambruk
dan diam tidak berkutik.
"Kau..., kau.... Apa yang telah kau lakukan pada mereka...?" tanya Ambarwati
dengan wajah bingung.
"Tenanglah. Mereka tidak apa-apa. Yang ini hanya pingsan. Sedang dua lainnya
tengah menari-nari...,"
sahut pengemis itu enteng.
"Kisanak! Jangan seperti itu. Kasihan kedua orang itu. Kau harus membebaskan
penderitaan mereka...!"
ujar Ambarwati dengan wajah kasihan.
"Oh! Kau ingin begitu" Baiklah...," sahut pengemis muda itu seraya menenggak
araknya. Lalu....
Fruh! Fruh...! Kembali Pandir Kelana menyemburkan arak di
mulut ke arah dua orang yang tengah bergulingan
menggaruk-garuk sekujur tubuh hingga penuh luka.
Aneh bin ajaib! Setelah pengemis itu menyemburkan arak, maka kedua tukang pukul itu berhenti
menggaruk. Namun wajah mereka tampak meringis,
sebab menahan rasa sakit dari sekujur tubuh vang penuh luka garukan kuku.
"He he he...! Masih ingin sok jago" Ayo, minta maaf pada gadis ini. Atau...!"
ujar si pengemis itu ambil mendelik garang.
Kedua orang itu melirik ke arah majikannya. Lalu matanya memandang takut-takut
pada si pengemis.
Kemudian, mereka buru-buru menghampiri si gadis
itu dan berlutut di kakinya.
"Nisanak.... Maafkan kesalahan kami! Ampuni jiwa kami...."
"Eh" Apa-apaan ini" Ayo, bangkitlah! Bangkit kataku! Dan, cepat pergi dari
sini!" sentak Ambarwati dengan perasaan risih. Lagi pula dia tidak tega
melihat keadaan kedua orang itu.
"Hi hi hi...! Nah! Tuan putrimu telah berkata begitu.
Maka, pergilah cepat sebelum pikirannya berubah!
Ayo...!" sentak Pandir Kelana seraya mengibaskan tangan seperti mengusir seekor
anjing. "Jangan lupa, bawa serta pemuda busuk itu!"
"Eh, iya... iya...!" sahut keduanya cepat, langsung menggotong tubuh Lesmana dan
buru-buru meninggalkan tempat ini.
"Kisanak, kau keterlaluan sekali...!" gerutu si gadis itu seperti melupakan
kesedihan hatinya atas
kematian gurunya.
"He he he...! Kenapa masih menyebutku kisanak"
Panggil namaku saja Pandir Kelana. Huh! Mereka
memang sudah sewajarnya menerima hal itu. Eh,
Anak Manis. Aku harus memanggil apa padamu...?"
"Namaku Ambarwati.... Jangan panggil lagi aku anak manis!" gerutu gadis ini
dengan wajah cemberut.
"Ambarwati... oh! Amboi, sudah kuduga, pasti namamu indah seperti wajahmu!" puji
Pandir Kelana disertai senyum lebar. "Nah! Ke manakah tujuan paduka saat ini"
Hamba akan siap mengawalnya!"
Ambarwati tersenyum kecil. Namun manakala
melihat kembali kepada tubuh gurunya, wajahnya
berubah murung. Namun Pandir Kelana selalu menghiburnya dengan gayanya sendiri. Sehingga tidak
terasa gadis itu merasa terhibur juga.
***

Pendekar Rajawali Sakti 144 Telapak Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seorang wanita tua tampak berdiri tegak di
halaman dekat pintu gerbang padepokannya yang
bertuliskan Padepokan Walet Merah. Sedangkan
murid-muridnya yang kebanyakan terdiri dari wanita, berdiri tegak di
belakangnya. Wajahnya tampak
murung, bercampur tegang. Sepasang pedang berukuran pendek terselip di pinggang kiri. Baju dan celana pangsinya berwarna
merah. Demikian pula
jubahnya. Dari sikapnya bisa diduga kalau wanita berusia tujuh puluh lima tahun
ini, siap menghadapi suatu pertarungan. Agaknya demikian pula yang
dilakukan murid-muridnya. Mereka seperti bersiap menghadapi suatu perang besar!
"Guru, apakah kita akan menunggu terus di
depan...?" tanya salah seorang murid setengah berbisik.
"Ya...," desah wanita tua itu, kalem.
"Seluruh murid tampak cemas...," bisik gadis berusia dua puluh delapan tahun
itu. Wanita yang agaknya Ketua Padepokan Walet
Merah ini memandang ke belakang. Dan matanya
melihat apa yang dikatakan muridnya memang tidak salah. Seluruh muridnya
terlihat cemas, meski
berusaha memberanikan diri dengan memompa
seluruh semangat yang dimiliki.
"Ranti.... Bukankah sudah kukatakan, bahwa
mereka bebas menentukan pilihan" Dewi Tangan
Darah bukanlah orang sembarangan. Dan kita harus bersiap menanggung semua
akibatnya. Pergilah
kalian selagi belum terlambat. Biarkan urusan ini jadi milikku!" tandas
perempuan tua itu.
"Guru.... Aku telah sampaikan, namun hanya tiga orang yang menuruti. Sedang
lainnya tetap bersikeras untuk tetap berada di sini. Dan mereka akan membela
nama padepokan dan dirimu, sampai tetes
darah penghabisan!"
"Hm.... Pengorbanan yang sia-sia.... Mereka masih muda, dan masih banyak
kesempatan hidup. Dewi
Tangan Darah telah membuat tanda telapak darah
sebagai tantangan pada padepokan kita. Dan itu
telah menjadi tanggung jawabku. Pergilah kalian...!"
ujar wanita tua itu lagi.
"Kenapa berkata demikian, Guru" Selama ini susah dan senang kita rasakan
bersama. Lalu, kenapa saat genting begini kami harus meninggalkanmu seorang diri
kalau menghadapi bahaya besar" Itu tidak adil.
Dan apa yang dipikirkan mereka, sama dengan apa
yang kupikirkan saat ini!" sahut gadis yang dipanggil Ranti mantap.
Ketua Padepokan Walet Merah ini tersenyum kecil
seraya menepuk pundak muridnya.
"Terima kasih,... Kalian betul-betul murid yang setia...."
"Bukankah semua ini berkat bimbingan Guru...?"
Wanita berbaju merah ini tidak bisa berkata apaapa mendengar jawaban murinya. Saat ini, hatinya betul-betul haru mendengar
kata-kata dan tekad
gadis itu. Kalau saja tidak ingat tempat, maka ingin rasanya dia menangis saat
itu juga. Teng! Kleneng...!
"Guru...?"
"Ya, dia telah datang. Beritahukan pada semua murid untuk bersiaga...," kata
Ketua Padepokan Walet Merah disertai anggukan kepala.
"Baik, Guru..!," Ranti mengangguk cepat, lalu berlari ke
belakang untuk memberitahukan pada kawan-kawannya.
Mereka menunggu dengan wajah semakin tegang.
Dan kini semua mata menatap ke arah pintu gerbang.
Tiba-tiba.... Bruakkk! Mendadak saja satu hantaman keras yang menimbulkan angin kencang, membuat pintu gerbang
perguruan itu tanggal dan jatuh berdebum. Dan
seketika debu-debu di dekatnya mengepul ke udara.
Di depan pintu gerbang, kini terlihat seorang wanita cantik berpakaian tak
senonoh tersenyum dingin.
Matanya memandang ketua padepokan ini berikut
murid-muridnya yang telah bersiaga menyambutnya.
Wanita itu menghela kuda tunggangannya pelan,
sehingga terdengar bunyi klenengan pelan. Kudanya dihentikan saat jarak mereka
terpaut tujuh langkah.
"Hm.... Kaukah yang bernama Nyai Tarmi...?" tanya wanita berpakaian tak senonoh
itu dengan nada
dingin. "Ya, akulah orangnya!" sahut Ketua Padepokan Walet Merah yang ternyata bernama
Nyai Tarmi mantap. "Bagus! Kau ingin menyertakan mereka...?"
Pertanyaan itu sebenarnya tidak bermaksud apaapa, dan sekadar meyakinkan diri saja kalau dia tidak berhadapan dengan satu
orang. Namun, Nyai Tarmi
menyimpulkan pertanyaan tadi sebagai suatu ejekan.
Suatu sindiran halus untuk mengatakan kalau dirinya seorang pengecut.
"Dewi Tangan Darah! Mereka di luar kuasaku.
Murid-muridku merasa bertanggung jawab terhadap
keselamatanku. Meski aku telah tegas-tegas
melarang, namun agaknya mereka tidak mau
mengindahkannya...!"
"Hm...!"
Wanita berpakaian tidak senonoh yang memang
Dewi Tangan Darah menggumam pelan. Matanya
terus memperhatikan mereka sekilas. Kemudian
terlihat kepalanya mengangguk.
"Bagus! Mereka tentu akan menyusulmu...!"
"Kau boleh mulai jika sudah selesai!" sahut Nyai Tarmi, segera memberi isyarat
pada murid-muridnya untuk segera mundur untuk mengelilingi arena
pertarungan. "Hm.... Aku telah siap sejak tadi...," sahut Dewi Tangan Darah sambil mengibasngibaskan kebutan di tangan kanannya.
Sring! Nyai Tarmi segera mencabut kedua pedangnya.
Pedang di tangan kiri, ujungnya menyentuh tanah.
Sedang pedang di tangan kanan melintang di dada.
"Silakan, Dewi Tangan Darah...."
"Hiiih!"
"Hup!"
Cepat sekali tubuh Dewi Tangan Darah mencelat
menyerang, sehingga sempat membuat Nyai Tarmi
terkejut. Namun Ketua Padepokan Walet Merah itu
segera menyambut serangan dengan kelebatan
pedangnya. Rrrt! Wuuuk! Ujung senjata kebutan Dewi Tangan Darah seketika melibat batang pedang Nyai
Tarmi. Senjata kebutan itu kelihatan rapuh, namun sama sekali tidak mampu
ditebas batang pedang. Dalam hati, Ketua Padepokan Walet Merah itu mengakui
kehebatan tenaga dalam
lawannya. Maka dengan gemas pedang yang satu lagi dikibaskan.
Wuuut! "Uts!"
Dewi Tangan Darah hanya sedikit mengegoskan
pinggang, sehingga pedang itu lewat setengah jengkal dari perutnya. Dan mendadak
saja ujung kaki
kanannya menghantam ke arah dada. Dan bersamaan dengan itu, tangan kanannya dikibaskan
keras ke kanan.
"Lepas...!" bentak Dewi Tangan Darah garang.
"Uhhh..."
Nyai Tarmi terpaksa melompat ke belakang, dan
merelakan sebilah pedangnya terlepas dari genggaman. Sentakan Dewi Tangan Darah tadi keras
bukan main. Dan kalau saja dia bertahan untuk terus menggenggamnya, bukan tidak
mungkin lengannya
akan putus. Lagi pula dengan melepaskannya, dia
terbebas dua serangan lawan sekaligus.
"Yeaaat..!"
Dewi Tangan Darah membentak nyaring, langsung
melompat mengejar Nyai Tarmi.
*** "Heup! Heaaat..!"
Nyai Tarmi cepat bersiaga dan memutar pedangnya
sedemikian rupa memainkan jurus terhebatnya yang bernama 'Walet Merah Bersarang
di Puncak Gunung'.
Bet! Bet! Pedang Ketua Padepokan Walet Merah berputar
hebat menimbulkan bunyi mendesing nyaring dan
angin bersiur kencang. Bila dilihat sepintas, terlihat Dewi Tangan Darah
terkurung oleh kelebatan permainan pedangnya yang sungguh hebat.
"Yeaaa...!"
Dewi Tangan Darah membentak nyaring. Lalu
tubuhnya mencelat ke atas untuk menghindari
kejaran pedang Nyai Tarmi. Senjata kebutan di
tangan kanannya dikibaskan ke depan. Dan bersamaan dengan itu, telapak tangan kirinya
mengeluarkan cahaya kemerahan yang berhawa
panas. "Hiiih!"
Nyai Tarmi bukannya tidak menyadari kalau Dewi
Tangan Darah akan mengerahkan pukulan jarak jauh untuk menghantamnya. Maka dia
cepat bersiap siaga untuk memapak dengan pukulan mautnya. Seketika
tangan kirinya yang kosong menghentak ke depan.
Saat itu juga dari telapak tangan kiri Nyai Tarmi melesat cahaya yang juga
berwarna merah menuju
Dewi Tangan Darah. Dua sinar yang berwarna sama
ini kini hendak saling terjang. Dan....
Blarrr...! "Aaakh...!"
Kedua pukulan itu beradu di tengah-tengah,
menimbulkan suara agak keras. Tapi Nyai Tarmi jadi terpekik. Tubuhnya kontan
terlempar ke belakang dan jatuh ke tanah. Dan pada saat yang sama tubuh Dewi
Tangan Darah telah berkelebat cepat hendak meng-habisinya.
"Hiiih!"
Namun beberapa murid utama Padepokan Walet
Merah tidak tinggal diam. Dan mereka sudah
langsung melompat menghadang.
Dewi Tangan Darah hanya mendengus dingin.
Seketika tangan kirinya dikibaskan ke depan.
Set! Set...!"
Maka dari telapak kiri Dewi Tangan Darah melesat belasan jarum beracun yang amat
halus menerpa mereka yang coba menghadang.
"Aaa...!"
Pekik kematian terdengar bersama ambruknya
beberapa orang murid Padepokan Walet Merah.
Mereka kontan tewas dengan tubuh membiru.
"Hm...!"
Dewi Tangan Darah mendengus dingin dan terus
mencelat menyerang Nyai Tarmi yang tadi terhambat.
Agaknya wanita berhati iblis ini tidak akan berdiam diri begitu saja, sebelum
lawan benar-benar binasa di tangannya. Meski beberapa orang murid padepokan
mencoba menghalangi, namun jarum-jarum beracunnya kembali menghadang. Dan tubuh Dewi Tangan
Darah terus berkelebat dengan sambaran senjata
kebutannya. Trang! Nyai Tarmi segera menangkis dengan pedangnya
meski keadaan tubuhnya sangat parah akibat kalah adu tenaga dalam pertarungan
pukulan jarak jauh
tadi. Namun senjata kebutan di tangan Dewi Tangan Darah melibat senjatanya. Dan
dengan sekali sentak, pedang itu terlepas dari genggaman. Wanita tua itu hanya
sempat terkesima sesaat, namun saat itu
juga... Prakkk! "Aaakh...!"
Senjata kebutan Dewi Tangan Darah mendadak
saja kembali berkelebat, menghantam batok
kepalanya. Begitu cepat gerakannya, sehingga tak bisa dielakkan. Nyai Tarmi
kontan memekik tertahan.
Begitu ambruk di tanah, dia tewas seketika dengan kepala hancur.
"Guru..."!"
Murid-murid Padepokan Walet Merah tersentak
kaget melihat kematian gurunya yang mengenaskan.
Beberapa orang di antaranya buru-buru menghampiri dengan wajah duka. Namun, yang
lain langsung menyerang Dewi Tangan Darah dengan geram dan
penuh amarah. "Dewi Tangan Darah! Kau harus membalas
kematian guru kami...!"
"Yeaaa..!"
Dewi Tangan Darah hanya mendengus dingin.
Kebutan di tangannya diputar sedemikian rupa,
sehingga bertiup angin kencang menderu laksana
badai topan, menghantam para pengeroyoknya.
Beberapa dari mereka yang tidak memiliki kepandaian hebat kontan melayang. Dan sebagian lagi mencoba bertahan, dengan
pengerahan seluruh
tenaga dalam. "Heaaat...!"
Dewi Tangan Darah membentak nyaring. Tubuhnya
langsung melompat ke arah para pengeroyoknya
sambil melepaskan jarum-jarum beracun yang amat
halus. "Aaa...!"
Prak! Prok! "Aaakh!"
Beberapa orang murid yang coba bertahan, tewas
dengan tubuh membiru terkena sambaran jarumjarum beracun yang dilepaskan wanita itu. Sementara yang lain mengalami nasib
mengenaskan, tewas
dengan batok kepala hancur dihantam kebutan
lawan. Dewi Tangan Darah tidak berhenti sampai di situ
saja. Dia mengamuk habis-habisan. Dan tidak ada
seorang pun dari murid-murid padepokan yang


Pendekar Rajawali Sakti 144 Telapak Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mampu menahan. Mereka hanya mengantarkan
nyawa percuma. Dalam waktu singkat semua murid
Padepokan Walet Merah binasa di tangan Dewi
Tangan Darah! "Huh...!" Wanita itu mendengus dingin sambil berdiri tegak, memandang mayatmayat untuk beberapa
saat. Lalu dengan tenang kembali dihampirinya kudanya. Dan dia segera melompat
ke punggung tunggangannya. Baru saja Dewi Tangan Darah hendak menggebah
kudanya perlahan-lahan, mendadak...
"Dewi Tangan Darah! Perbuatanmu sungguh
biadab...!"
Terdengar bentakan nyaring yang disusul melesatnya dua sosok tubuh ke hadapan Dewi Tangan Darah.
"Wanita iblis! Kau patut mati dengan semua
kelakuanmu ini!" timpal sebuah suara lagi. Dan kini dua sosok itu telah berdiri
tegak dengan mata
menyorot tajam ke arah Dewi Tangan Darah.
Dewi Tangan Darah memandang keduanya dengan
sorot mata tak kalah tajam. Yang seorang bertubuh sedang dan bersenjata golok.
Sementara yang seorang lagi, berusia lanjut sekitar enam puluh tahun.
Dan dia tidak membawa senjata apa pun.
"Siapa kalian...?" tanya wanita itu dingin.
"Huh! Aku Demung, keponakan Nyai Tarmi, Ketua Padepokan Walet Merah yang kau
binasakan. Dan ini Ki Ranta, kawan baik bibiku. Perbuatanmu sungguh keji Dan
kami tidak akan membiarkan berlalu begitu saja!" desis pemuda bernama Demung.
"Belum pemah kudengar nama kalian. Maaf, kalian bukan tandinganku. Menyingkirlah
cepat!" "Wanita iblis! Sungguh sombong bicaramu. Kau kira bisa berbuat sesuka hatimu,
he"!" rutuk Ki Ranta geram.
"Kakek busuk! Usiamu tidak lama lagi. Sebaiknya, nikmati saja hidup ini daripada mati sia-sia. Nah!
Menepilah dari jalanku!" sahut Dewi Tangan Darah tidak mempedulikan ocehan
mereka. "Keparat! Kau kira dirimu sudah hebat hingga seenaknya melakukan pembantaian di
mana-mana, he"! Aku tidak akan membiarkanmu bercokol di muka bumi ini!" desis Demung seraya
melompat menyerang sambil mencabut goloknya.
Srak! "Yeaaa..!"
*** 5 Dewi Tangan Darah mendengus dingin. Sikapnya
tetap tenang saja di punggung kudanya sambil mengibas-ngibaskan senjata kebutan
di tangannya. Dan begitu Demung sedikit lagi hendak menghantamnya, cepat bagai kilat kebutan di tangannya dikibaskan dengan pengerahan
tenaga dalam tinggi.
Wuuut! Tap! "Kurang ajar...!" maki Demung.
Senjata kebutan Dewi Tangan Darah langsung
melibat batang golok Demung. Lalu dengan satu
sentakan kuat, senjata itu lepas dari genggamannya.
Terpaksa pemuda itu menjatuhkan diri sebelum
sodokan Dewi Tangan Darah menghantam ke arah
dada. "Hiyaaat...!"
Dewi Tangan Darah kini melompat ringan dari
Kuil Atap Langit 1 Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo Badai Awan Angin 34

Cari Blog Ini