Pendekar Rajawali Sakti 143 Iblis Tangan Tujuh Bagian 2
"Bangsat! Manusia iblis ini rasanya sangat sulit kujatuhkan. Apa akalku sekarang" Aku tidak mung?kin dapat mengalahkannya tanpa mengetahui, di mana letak titik kelemahannya. Tapi jika aku menghindar, rasanya percuma jika kembali ke Partai Tengkorak Darah! Salah seorang harus pulang. Mungkin ketua dapat bersikap sedikit lunak padaku," pikir Banu Keling.
Pada saat Banu Keling berpikir, mendadak datang serangan kaki manusia setengah singa. Namun dengan cepat Banu Keling menjatuhkan diri dan langsung ber-guling ke samping. Ujung pedangnya langsung ditusukkan ke bagian telapak kaki, ketika manusia setengah singa terus mengejarnya.
Sementara pada saat bersamaan, tiga orang anak buah Banu Keling membabat tangan manusia sete-ngah singa. Sedangkan tiga orang lainnya me?lompat sambil melakukan tusukan ke bagian rusuk kin dan rusuk sebelah kanan.
Terpaksa Satria Pemali menghentikan cecaran?nya pada Banu Keling. Sebagai gantinya, sekarang tubuh-nya berbalik dan menyerang anak buah Banu Keling dengan ayunan tangan bergerak ke segala arah. Orang-orang Banu Keling kontan terpepet se?tengah mati. Apalagi mengingat tangan raksasa yang me-nyambar ke arah mereka seakan berubah menjadi banyak.
"Hiyaaa...!"
Tubuh Satria Pemali melesat ke depan kemu?dian menghantamkan tanjunya ke lima penjuru.
Brak! Buk..! "Aaakh. .!"
Disertai teriakan melengking tinggi, lima orang anak buah Banu Keling jatuh terpelantang di tanah dengan dada melesak ke dalam dihantam tinju Satria Pemali. Bahkan dua di antaranya ada yang hancur kepalanya. Semuanya bergeletakan roboh, tan?pa mampu bangkit lagi.
Melihat kenyataan ini, semakin bertambah ciutlah nyali Banu Keling. Apalagi mengingat hanya tinggal dirinya sendiri, bersama salah satu anak buahnya. Maka, tanpa membuang buang waktu lagi, secara diam-diam dia melarikan diri, ketika Satria Pemali lengah.
Pada saat Satria Pemali menyadan apa yang terjadi, Banu Keling telah jauh meninggalkan per-tempuran.
"Keparat! Dia meloloskan diri!" dengus laki-laki sete-ngah singa ini.
Dan kini kepala Satria Pemali berpaling ke arah anak buah Banu Keling yang tinggal satu-satunya ini.
"Ha ha ha...! Sekarang hanya tinggal kau saja yang berada di sini. Maka, terimalah kematianmu!"
Satria Pemali tiba-tiba saja mengangkat sebongkah batu sebesar kerbau di sampingnya. Batu itu kemudian dilemparkannya ke arah anak buah Banu Keling, dengan kecepatan dahsyat.
Laki-laki berpakaian hitam ini berusaha berkelit menghindar, namun gerakannya kalah cepat. Tidak pelak lagi, batu itu menimpanya. Tidak terdengar suara lolongan kecuali suara hancurnya tulang belulang tertimpa batu.
Manusia setengah singa ini menarik napas panjang. Dipandanginya mayat mayat yang bergelimpangan yang terdapat di sekelilingnya.
"Aku tidak mungkin terus bertahan di sini. Satu-satunya jalan adaiah datang ke markas orang-orang Partai Tengkorak Darah, sebelum mereka menyerang kemari," gumam manusia setengah si?nga bertangan tujuh itu.
Tidak lama setelah mempertimbangkan segala sesuatunya, Satria Pemali merijejakkan kakinya ke tanah. Seketika terdengar suara menggemuruh, dan tanan di bawahnya menguak lebar. Satria Pemali segera melompat ke dalamnya Begitu tubuhnya menghi-lang, lubang itu menutup kembali. Dan dibawah permukaan tanah langsung terlihat gerakan gerakan sa-ngat aneh. Seakan, ada sesuatu yang berjalan cepat di bawahnya.
? *** ? Dewa Bayu sengaja dibiarkan merumput, se?mentara Pendekar Rajawali Sakti sendiri duduk bersender di bawah sebatang pohon berdaun lebat. Entah mengapa, tiba-tiba saja Rangga menjadi bimbang. Pendekar Rajawali Sakti jadi heran melihat sikap Ketua Padepokan Belibis Putih yang sepertinya berusaha merahasiakan sesuatu di balik semua peristiwa yang pemah di-ceritakan.
"Rasanya sangat aneh setelah terpisah selama belasan tahun, Paman Gatama tidak merasa rindu pada anak satu-satunya. Terlepas apakah anaknya sempurna atau tidak. Bahkan sikapnya terkesan acuh, ter-kecuali terhadap almarhum istrinya," gu?mam Pendekar Rajawali Sakti sambil menarik na?pas pendek "Kini aku pun dilanda keragu-raguan. Apakah aku harus pergi ke Partai Tengkorak Darah, Gunung Panjar, atau malah datang ke Padepokan Kencana Ungu Tapi...!"
Rangga tiba-tiba saja menghentikan ucapannya. Sekejap, tadi seperti mendengar derap langkah kuda menuju ke arah jalan, tidak jauh di depannya. Seketika dikerahkannya llmu 'Pembeda Gerak dan Suara'.
"Rasanya kuda-kuda itu berlari tergesa-gesa. Ada baiknya jika aku menunggu kedatangan mere?ka," desis pemuda berompi putih ini, diliputi rasa keingintahuan.
Sebentar Pendekar Rajawali Sakti mendongak. Lalu..
"Huuup...!"
Pendekar Rajawali Sakti melompat ke atas, lalu mendaratkan kedua kakinya di salah satu cabang pohon itu. Begitu indah gerakannya, Rangga segera menjulurkan kepaa sambil memperhatikan sesuatu yang mencurigatan di depan sana. Namun hingga sejauh itu, matanya belum melihat apa-apa.
Lama-kelamaan suara langkah kuda semakin mendekat. Hingga akhimya, terlihatlah belasan penunggang kuda. Sergerak cepat ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
"Nampaknya mereka akan menuju ke Pa?depokan Belibis Putih! Aku harus mencegahnya!" duga pemuda berompi putih ini.
Kemudian Rangga melompat turun dari cabang po-hon begitu para penunggang kuda telah dekat. Kedua kakinya mendarat di atas jalan, tanpa me?nimbulkan suara sedikit pun.
"Berhenti!" perintah Rangga dengan sikap berwibawa, begitu kakinya menyentuh tanah.
Serentak rombongan berkuda itu menghentikan laju kudanya. Seketika kuda-kuda itu berhenti sambil meringkik keras, dan mengangkat kaki de?pannya tinggi-tinggi. Salah seorang di antara mere?ka yang berbadan kekar dan memegang gada besar berwarna kuning ke-emasan, langsung memperha?tikan Rangga dengan sorot mata tidak senang, setelah berhasil menguasai kudanya.
"Apakah kalian orang-orang dari Partai Teng?korak Darah"!" Tanya Pendekar Rajawali Sakti sebelum rombongan berkuda itu sempat mengajukan pertanyaan.
"Huh! Siapa kau, Anak Muda"! Mengapa begi?tu be-rani menghalangi rjerjalanan kami?" dengus pimpinan rombongan yang tidak lain Faksi Jaladara.
"Aku yang bertanya lebih dulu, Kisanak!" sergah Rangga.
Merah padam wajah Faksi Jaladara mendapat jawaban seperti itu. Bahkan rombongan yang bera?da di belakang tampaknya sudah tidak sabar, dan ingin segera turun tangan. Tapi laki-laki berpakaian serba merah ini segera mencegahnya.
"Kami tidak punya waktu untuk menjawab per-tanyaanmu, Bocah! Sekarang menyingkirlah, sebelum kuda kami menginjak remuk tubuhmu!" hardik Faksi Jaladara dengan sikap tidak sabar.
"Kalau demikian, aku pun tidak akan menyingkir dari jalan ini!" balas Rangga.
"Kau sengaja mencari persoalan dengan kami. Bocah!" teriak Faksi Jaladara "Apa yang sebenarnya kau inginkan dari kami?"
'Terus terang aku hanya membutuhkan jawaban dari pertanyaanku tadi!" sahut Rangga.
"Anak muda! Kau memang benar ingin berurusan dengan Partai Tengkorak Darah!" ancam Faksi Jaladara sambil melotot. Tanpa disadari laki-laki kekar itu telah menjawab pertanyaan Rang?ga.
"Kalau demikian, berarti Kisanak bermaksud pergi ke Padepokan Belibis Pubh?" tebak Rangga.
"Hm... Kau terlalu banyak ingin tahu tentang persoalan yang akan kami kenakan. Lalu apa maumu?"
Senyum Rengga semakin melebar.
"Aku ingin kalian membatalkan niat kalian. Jika ti-dak...!"
"Jika tidak kau mau apa"!" potong Faksi Ja?ladara semakin be tambah berang.
"Aku pasti akan menghentakan kalian!" tegas Rangga.
Memerah wajah Faksi Jaladara seketika. Sege?ra anak buahnya diberi isyarat untuk segera menyerang pemuda berompi pubh ini. Maka empat orang anak buah Faksi Jaladari langsung melompat dari punggung kudanya. Dengan gada di tangan, mere?ka langsung me-nerjang Rangga dari empat penjuru.
Rangga cepat menggeser kakinya ke samping, meng-hindari serangan gada anak buah Faksi Jala?dara yang terus menderu-deru tiada henti. Tubuh?nya terus meliuk-liuk, mengerahkan jurus 'Sembilan Langkah Aja-ib'.
"Hiyaaa...!"
Tubuh Rangga tiba-tiba melesat ke udara setinggi dua tombak. Begitu berada di udara tangan?nya dihantamkan ke arah empat orang lawan. Ti?ba-tiba saja melesat cahaya merah dari telapak tangannya yang terbuka. Memang, Pendekar Raja?wali Sakti langsung mengerahkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali', tingkat menengah. Tapi akibatnya..
"Aaakh...!"
? *** Terdengar jeritan empat anak buah Faksi Jala?dara hampir berbarengan. Tubuh mereka kontan terpelan-ting roboh. Salah seorang bahkan meng?hantam pohon di belakangnya, hingga roboh seke?tika.
Faksi Jaladara yang menyaksikan semua ini jadi ter-kesima. Sama sekali tidak disangka kalau pemu?da be-rompi putih ini memiliki kepandaian mengagumkan. Sekali lagi, diberinya isyarat pada anak buahnya.
Maka, kali ini seluruh orang anak buah Faksi Jala-dara berhamburan dari atas kudanya. Mereka secara serentak mencecar dengan sambaran-sambaran gada yang terus menderu mengincar bagian-bagian yang mematikan, begitu Pendekar Rajawali Sakti mendarat di tanah.
Namun dengan mempergunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' kembali, Rangga berusaha menghindari serangan-serangan yang datang secara beruntun. Tu-buhnya terkadang meliuk, dan tak jarang terhuyung seperti akan jatuh. Mirip orang mabuk arak.
Di lain saat, Pendekar Rajawali Sakti melepas?kan ten-dangan ke arah dada salah seorang lawan?nya. Tapi dengan gesit anak buah Faksi Jaladara itu berhasil menghindari. Dan ternyata itu hanya gerak tipu Rangga. Karena begitu orang itu mengegos ke kiri, Pendekar Rajawali Sakti cepat melepas?kan tendangan kilat berputar mengarah bagian kemaluan.
Buk! Tubuh orang itu kontan terpelanting roboh di tanah tanpa sempat berteriak Dia berkelojotan sekejap, de-ngan darah terus mengalir dari sela-sela selakangan-nya. Tidak lama kemudian, terdiam un?tuk selama-lamanya.
Melihat kenyataan ini tentu saja kawan-kawan?nya yang lain menjadi sangat marah. Sehingga, mereka semakin melipatgandakan serangan.
Wut! "Ihhh...!"
Salah satu gada yang dihantamkan anak buah Faksi Jaladara hampir saja menghantam dada Rangga. Tapi Pendekar Rajawali Sakti cepat mengegoskan badan-nya.
"Hup...!"
Sekali lagi, Rangga melompat ke belakang, sambil menghantamkan tangan kanannya ke sam?ping. Kemu-dian disusul tendangan beruntun ke arah kaki lawan-lawannya.
Duk! Buk! "Aaarkh...!"
Tiga orang anak buah Faksi Jaladara langsung tersungkur roboh dengan tulang kaki remuk. Untuk yang kesekian kalinya, pimpinan mereka dibuat tercengang. Beberapa kali anak buahnya dapat dilumpuhkan oleh pemuda berompi putih ini hanya da?lam beberapa gebrakan saja. Sungguh kenyataan yang sulit dipercaya. Terlebih-lebih, bila mengingat kalau anak buahnya memiliki kepandaian lumayan.
"Bunuh dia! Jangan beri kesempatan untuk meloloskan diri!" teriak Faksi Jaladara, gusar.
Mendapat aba-aba dan atasannya semangat orang-orang Partai Tengkorak Darah bangkit lagi Kini serangan yang dilakukan berubah semakin ce?pat.
Pemuda berompi pubh ini mengeluh dalam hati, karena harus menjatuhkan tangan pada mereka. Tapi itu terpaksa dilakukan mengingat kebandelan mereka. Pada satu kesempatan tubuh Rangga me?lesat ke udara dengan gerakan cepat bukan main. Begitu berada di udara Pendekar Rajawali Sakb segera merubah jurusnya menjadi jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Kedua tangannya langsung berubah merah menyala. Dan seketika itu pula, ke?dua tangannya menghentak ke arah lawan-lawan?nya. Maka dari telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti langsung melesat seberkas sinar merah laksana bara. Disertai suara menderu.
Melihat kenyataan yang tak disangka-sangka ini, anak buah Faksi Jaladara langsung memutar gada di tangan membentuk perisai diri. Tapi apa yang di-lakukan tampaknya benar-benar terlambat. Ternyata sinar merah bara yang melesat dari te?lapak tangan Rangga lebih cepat mencapai sasaran.
Blar! "Aaakh...!"
Terdengar jerit dan pekik kematian, mewamai pertempuran. Tujuh orang anak buah Faksi Jala?dara langsung ambruk di tanah dengan tubuh hangus dan sangat sulit dikenali.
Sementara itu, Pendekar Rajawali Sakti telah mendarat kembali di tanah setelah melakukan putaran beberapa kali.
"Keparat! Kau benar-benar tangguh, Bocah Iblis!' teriak Faksi Jaladara dari atas punggung kudanya.
Laki-laki kekar itu segera melesat dari pung?gung kudanya, sambil melepaskan pukulan beracun yang di-kenal dengan nama 'Racun Kala Biru' Maka dari tela-pak tangan Faksi Jaladara melesat cahaya berwarna biru menyala disertai deru angin tajam.
Pemuda berompi putih yang telah memperhitungkan segala kemungkinan, melihat datangnya pukulan jarak jauh yang dilepaskan lawan. Maka dengan cepat tangannya kembali dikibaskan.
Wusss! Untuk yang kedua kali, dan telapak tangan Rangga melesat cahaya merah bara, membuat sua?sana di sekitarnya berubah menjadi panas menyengat. Tidak lama kemudian, terdengar ledakan yang sangat dahsyat pada saat dua buah kekuatan itu saling bertemu.
Glarrr! Faksi Jaladara kontan terpelanting roboh. Da?danya seketika terasa bagaikan remuk. Sedangkan Rangga hanya bergetar saja tubuhnya. Jelas, tenaga dalam Rangga jauh lebih unggul dibandingkan la?wannya.
Namun bukan main hebat daya tahan yang dimiliki laki-laki kekar itu. Karena tidak lama setelah itu, dia sudah bangkit berdiri.
"Phuih...!"
Faksi Jaladara meludahkan darah yang meleleh di bibirnya. Matanya yang memerah memandang tajam pada Rangga dengan penuh kebencian.
"Bocah! Sebutkan namamu, agar aku tidak mati penasaran!" dengus Faksi Jaladara sambil mencabut gada pusaka yang terselip di pinggang-nya.
"Aku Rangga...!" sahut Pendekar Rajawali Sakti, sambil tersenyum tipis.
"Rangga...?" desis Faksi Jaladara. Dan menda?dak saja, wajahnya berubah pucat. "Kaukah yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti"!"
"Begitulah orang-orang menyebutku!" sahut Rangga terus terang.
Tanpa diduga-duga, Faksi Jaladara tertawa ter-ba-hak-bahak. Setelah tawanya terhenti, kembali matanya menatap tajam pada Pendekar Rajawali Sakti.
"Aku telah mendengar kehebatanmu, Pende?kar Rajawali Sakti. Kepalang basah! Aku harus melenyap-kanmu dari kolong langit ini. Hiyaaa..!"
Ucapan Faksi Jaladara segera dibuktikan de?ngan lesatan tubuhnya sambil menghantamkan ga?da di tangan ke bagian kepala Rangga.
Pemuda berompi putih ini sempat terkesima. Terlebih-lebih setelah merasakan sambaran angin gada yang menyengat kulit. Menyadari senjata la?wan benar-benar sangat berbahaya, maka seketika itu juga...
Sriiing! Tanpa menunggu lama lagi, Pendekar Rajawali Sakti langsung mencabut Pedang Pusaka Rajawali Sakti. Seketika, berpendarlah cahaya biru menyilaukan mata dari pedangnya. Dan begitu serangan sudah demikian dekat, Pendekar Rajawali Sakti segera menghantamkan pedangnya.
Trasss! "Heh"!"
Terdengar suara benturan keras disertai bunga api berpijar ke segala arah. Di luar dugaan gada di tangan Faksi Jaladara terbabat putus menjadi dua bagian, sehingga membuatnya kaget setengah mati. Belum sempat Faksi Jaladara menghilangkan kekagetannya, pedang Pendekar Rajawali Sakti telah menderu ke arah perutnya. Dan....
Jres! "Aaakh...!"
Faksi Jaladara terbelalak menyambut ajal. Da?rah langsung menyembur dari bagian perutnya yang robek memanjang. Laki-laki itu terhuyung-huyung sambil mendekap perutnya Tidak lama, tu?buhnya terhempas. Mati dengan mata mendelik.
Rangga hanya menggumam tidak jelas. Kem?bali dimasukkannya pedang ke dalam warangka. Lalu, di-hampirinya Dewa Bayu. Setelah melompat naik, Pendekar Rajawali Sakti memacu kudanya menuju Pade-pokan Kencana Ungu.
"Sungguh mengecewakan! Kau pergi ke Gu?nung Panjar dengan belasan anak buahmu, tapi ki?ni kau pulang tanpa membawa hasil. Bahkan semua anak buahmu terbunuh! Memalukan, Banu Keling!"
Suara itu berasal dari sebuah ruangan perte?muan di dalam bangunan Partai Tengkorak Darah, sebuah suara merdu namun mengandung kebengisan seorang wanita cantik yang tak lain Sarpakena?ka.
Laki-laki yang dipanggil Banu Keling sejak tadi hanya mampu menundukkan kepala. dengan segenap rasa bersalahnya. Kini dia menjura hormat pada Sarpakenaka yang duduk diam di singgasana.
"Maafkan aku, Ketua," desah Banu Keling pe?nuh permohonan. "Bukan dengan sengaja hamba meninggalkan mereka. Manusia iblis itu ternyata memang masih hidup. Bahkan kesaktian dan kekebalannya luar biasa. Sampai-sampai anak panah dan senjata kami tidak mampu menembus kulitnya. Anak buahku se-mua tewas. Dan kupikir, aku tidak mungkin menang menghadapinya, tanpa mengetahui titik kelemahan-nya."
"Mengapa kau tidak sekalian mati saja bersama anak buahmu, Banu Keling"!?? dengus Sarpakenaka, dengan wajah berubah merah padam.
Banu Keling terdiam. Kepalanya kembali ditunduk-kan semakin dalam. Dia merasa percuma membantah kata-kata ketuanya. Salah-salah, Sarpa?kenaka malah membunuhnya.
"Maafkan aku, Ketua!" ujar Kakek Praba.
Laki-laki tua itu juga turut hadir di ruangan ini bersama seorang ahli sihir yang juga masih merupakan anggota Partai Tengkorak Darah.
"Bukan aku bermaksud membela Banu Ke?ling." Laki-laki tua ini terdiam sejenak sambil meng-hembuskan napasnya "Seperti yang pernah dikatakan adik Liku Jadra, jika ternyata memang benar keturunan Gatama dapat bertahan hidup, maka dia akan menjadi orang yang sangat berbahaya. Kita harus maklum, mengapa Banu Keling tidak dapat membunuhnya. Pertama selain wujudnya yang sangat besar, anak iblis itu juga kebal terhadap berbagai senjata. Dan sekarang, satu-satunya jalan yang harus kita tempuh adalah mencari titik kelemahan manusia setengah singa itu," jelas Kakek Praba.
Sarpakenaka yang berjuluk Bidadari Tangan Api terdiam. Sedangkan Banu Keling diam-diam merasa berterima kasih atas pembelaan sesepuh Partai Teng-korak Darah itu. Cukup disadari, betapa beratnya hukuman yang harus dijalaninya. Terlebih-lebih meng-ingat kegagalan tugas yang diberikan padanya. Kini dalam hati, dia hanya mampu ber?harap agar ketuanya mau mendengar apa yang dikatakan Kakek Praba.
Sementara itu Sarpakenaka masih tetap diam di atas singgasananya. Sesekali keningnya berkerut dalam. Kemudian kepala berpaling pada Liku Ja?dra, seorang laki-laki berambut pufih, usianya lebih muda dari Kakek Praba.
"Paman Jadra!" desah Sarpakenaka.
"Ada apa, Ketua?" Tanya laki-laki itu sambil meng-haturkan sembah.
"Sudah cukup banyak orang kita yang terbunuh di tangan iblis berkepala singa itu. Mereka se?mua ber-korban demi kejayaan Partai Tengkorak Darah. Namun, tidak demikian halnya Banu Keling yang penge-cut ini. Maka dia harus menjalani hu?kuman pancung!"
Semua orang yang berada di dalam ruangan pertemuan itu tampak terkejut. Terlebih-lebih, Banu Ke-ling. Wajahnya seketika benjbah sepucat kertas.
"Ketua! Tidak dapatkah ketua memaafkan dosa-dosa hamba?" desis laki-laki bertampang kasar ini, penuh permohonan.
"Banu Keling! Tidak ingatkah kau pada peraturan yang berlaku di Partai Tengkorak Darah?" dengus Bidadari Tangan Api, tersenyum sinis.
"Ak..., aku ingat semuanya, Ketua!" tegas Ba?nu Ke-ling semakin ketakutan. Kini kepalanya menoleh pada Kakek Praba, seakan mohon perlindungan.
"Bagus kalau kau selalu ingat, Banu Keling!"
"Ketua. Jika Ketua memberi kesempatan padaku untuk bicara, aku punya pendapat." Liku Jadra yang hanya terdiam sejak tadi, sekarang buka bica?ra.
"Apa pendapatmu, Paman" Coba katakan!" ujar Sar-pakenaka tidak sabar.
"Begini, Ketua. Kami semua tahu, Banu Keling melarikan diri dari pertempuran melawan iblis itu. Tapi jika ketua menghukum Banu Keling, itu sama artinya kita semakin banyak kekurangan anggota. Yang kukhawatirkan, jika sewaktu-waktu manusia iblis itu datang kemari, maka semakin bertambah sulitlah keadaan kita...!"
Ucapan Liku Jadra ini tiba-tiba terhenti, pada saat terdengar suara ketukan keras pada daun pintu. Belum sempat Sarpakenaka berkata apa-apa, seorang laki-laki berbadan kurus menghambur ke arah mereka Dia langsung memberi hormat.
"Maafkan hamba .., ket... ketua...!" kata laki-laki itu, tersendat-sendat.
"Jangan bicara bertele-tele di depanku Kata?kan, kabar apa yang ingin kau sampaikan!" dengus Sarpakenaka bdak sabar.
"Begini, Ketua. Pimpinan rombongan bersama kwan-kawan yang lain gagal melaksanakan tugas...!" lapor anggota Partai Tengkorak Darah itu dengan wajah pu-cat ketakutan.
Seketika orang-orang yang berada di dalam ru?angan ini tersentak kaget. Sarpakenaka bahkan sampai terlonjak dari tempat duduknya. Tubuhnya bergetar, menandakan kalau sedang berusaha mengendalikan kemarahannya.
"Apakah kalian telah sampai ke Padepokan Belibis Putih?" Tanya perempuan berwajah cantik itu dengan tatapan menyelidik.
"Kami hampir sampai di Padepokan Belibis Putih, pada saat pemuda yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti menghadang perjalanan kami!" jelas laki-laki yang ternyata anak buah Faksi Jaladara, yang sempat melarikan diri.
Mereka yang sedang berkumpul di ruangan pertemuan itu langsung terperangah. Terlebih-lebih, Kakek Praba dan Liku Jadra. Sedangkan Bi?dadari Tangan Api tampak terdiam.
"Jadi kalian bentrok dengan pemuda itu, Soka?" Tanya Kakek Praba yang rupanya telah mengerti ba-nyak tentang sepak terjang Pendekar Ra?jawali Sakti.
"Benar. Bahkan junjungan Faksi Jaladara tewas di tangannya," jelas laki-laki bemama Soka itu.
"Bagaimana kawan-kawanmu?" Tanya Sarpa?kenaka semakin gusar.
"Hanya dua orang saja yang berhasil meloloskan diri dan melaporkan kemari," ujar Soka penuh penyesalan.
"Hm."
Sarpakenaka menggumam tidak jelas. Menurutnya, kepandaian Faksi Jaladara sangat tinggi. Senjata ga-danya juga merupakan senjata yang sa?ngat ampuh dan telah banyak menewaskan tokoh-tokoh pembang-kang yang tidak bersedia tunduk pada Partai Teng-korak Darah. Tapi kali ini Faksi Jaladara dapat dijatuhkan oleh seorang pemuda yang benuluk Pendekar Rajawali Sakti. Tidak dapat dibayangkan, betapa tangtguhnya pemuda yang telah membunuh Faksi Jaladara dan anak buahnya.
"Kakek Praba!" sebut Bidadari Tangan Api, men-desah.
"Sendika, Ketua?" sahut laki-laki itu sambil meng-haturkan sembah.
"Apakah Kakek tahu tentang pemuda yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti?"
"Berhadapan secara langsung memang belum pernah Tapi, hamba pemah mendengar sepak ter-angnya. Kalau tidak salah, namanya Rangga. Se?benamya, dia adalah Raja Karang Setra. Sebuah daerah yang sangat jauh dari sini. Tapi, Pendekar Rajawali Sakti lebih suka mengembara. Kepandaiannya sangat sulit dicari tandi-ngan. Kalau memang benar pemuda itu yang menghambat orang-orang kita, sama artinya kita meng-hadapi dua masalah besar."
"Masalah besar bagaimana, Kek..?"
"Masalah pertama, kita berhadapan dengan iblis bertangan tujuh. Sedangkan masalah kedua, mungkin kita juga harus menghadapi pemuda itu...," jelas Kakek Praba. Ada nada cemas dalam ucapannya.
"Menurutmu apakah pemuda itu adalah jago ba-yaran yang berpihak pada Gatama" Tanya perempuan itu curiga.
Laki-laki tua berpakaian tambal-tambalan itu meng-geleng
"Dia bukan jago bayaran. Tapi kabar yang kudengar, dia adalah seorang pendekar yang berpihak pada kebenaran."
"Kalau demikian, tentu dia sudah bertemu Ke?tua Pa-depokan Belibis Putih. Sehingga, kemudian meng-hadang perjalanan rombongan Paman Faksi Jaladara," tebak Sarpakenaka geram bukan main.
? *** ? Tidak seorang pun yang berani menyimpulkan apa yang dikatakan oleh Ketua Partai Tengkorak Darah dengan gegabah. Liku Jadra yang merupakan ahli ramal saja, hanya mampu menundukkan kepala. Ha-nya Kakek Praba saja yang dapat bersikap lebih berani.
"Pendapat Ketua kukira memang ada benarnya," ujar kakek tua itu mendukung. "Jika tidak, mana mungkin Pendekar Rajawali Sakti mengha?dang orang-orang kita tanpa mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya."
Bidadari Tangan Api terdiam lagi. Semakin masuk akal saja apa yang dijelaskan sesepuh Partai Teng-korak Darah itu. Wanita cantik ini memang pantas mengakui kecerdasan laki-laki yang selalu melindungi sejak kecil. Hanya dengan kakek inilah, dia selalu memecahkan persoalan-persoalan yang sangat berat. Ti-dak heran, jika terhadap Kakek Pra?ba, Sarpakenaka tidak pernah bersikap kasar.
"Rasanya persoalan yang kita hadapi semakin berat, Kek!" tanpa sadar Sarpakenaka mengeluh.
"Dengan jumlah orang-orang tangguh seperti kita yang semakin menipis, alangkah baiknya jika Ketua berkenan mengampuni Banu Keling."
"Hamba sependapat dengan usul Kakang Pra?ba!" ujar Liku Jadra, mendukung.
Ketua Partai Tengkorak Darah tidak langsung menjawab. Kini dia memikirkan sekaligus mempertimbang-kan segala apa yang dikatakan kedua tokoh tadi.
"Siapa yang dapat menjamin kalau laki-laki pengecut ini tdak melatikan din saat menghadapi pertempuran"!" Tanya Sarpakenaka.
"Hamba, Ketua!" sahut Liku Jadra menyanggupi. "Jika dia sampai berkhianat, maka aku akan menyihirnya menjadi batu."
"Ak.., aku bersumpah tidak akan mengkhianati Partai Tengkorak Darah hingga titik darah penghabisan!" sergah Banu Keling cepat.
"Bicaramu memang kelihatan dapat dipercaya. Tapi, awas! Jika sewaktu-wakru kau tidak menun?jukkan rasa kesetiaanmu, maka jangan harap akan bebas dari hukuman mati"
Banu Keling mengangguk setuju. Ruangan per?te-muan terasa sepi. Masing-masing orang kelihatan sibuk dengan pikirannya.
"Aku punya satu permintaan yang harus Pa?man Liku kerjakan!" kata Sarpakenaka, memecah kesunyian.
'Permintaan apa itu, Ketua. Hamba pasti akan melaksanakannya jika mampu," jawab Liku Jadra, mantap.
"Begini! Aku ingin agar Paman mencari tahu, di mana titik kelemahan iblis bertangan tujuh!" jelas Sarpa-kenaka.
"Mengenai itu, akan segera hamba laksanakan se-karang juga." Liku Jadra menyanggupi, sambil ter-senyum.
"Bagus!" ujar Sarpakenaka.
Tidak lama kemudian Liku Jadra mengeluarkan sebuah benda berbentuk bulat dari dalam sakunya. Benda bulat bagaikan intan itu diletakkannya di atas permadani tdak jauh di depannya. Lalu, Liku Jadra menundukkan kepala. Bibirnya tampak berkemak-kemik membacakan sebuah mantera yang hanya dia sendiri yang tahu maknanya.
Tidak lama, benda bulat mirip intan itu bergetar hebat. Lalu, terlihat kabut tipis berwama merah me nye-limuti. Dan kabut itu semakin menebal. Namun sebagian di antaranya menebar ke segenap penjuru rua-ngan. Sekejap kemudian, kabut itu menghilang. Kini, Liku Jadra membuka matanya lebar-lebar.
"Lihat!" desis Liku Jadra penuh takjub.
Kakek Praba mendekat dan memandang ke arah intan didepan Liku Jadra. Di sana, terlihat sebuah tela-pak kaki berukuran besar yang mengalirkan darah. Namun Kakek Praba masih belum mengerti artinya.
Sementara, Liku Jadra sendiri kembali memejamkan matanya. Bibirnya berkemak-kemik sebentar, lalu diraihnya intan bulat itu dan dimasukkannya ke tempat semula.
"Apakah arti dari semua yang kulihat tadi, Li?ku?" Tanya Kakek Praba merasa tidak sabar.
Cepat jelaskan Paman, Liku...!" Sarpakenaka juga ikut mendesak.
Liku Jadra menarik napas panjang.
"Menurut penglihatanku, manusia iblis itu memiliki titik kelemahan yang terletak di bawah te?lapak kaki-nya...!"
"Apa!" sentak Sarpakenaka dengan wajah be?rubah cerah kembali. "Maksudmu, jika kita berhasil melukai telapak kakinya, maka kita pasti dapat melukai bagian tubuh lainnya?"
"Tepat! Hanya dengan cara itulah kita baru da?pat membunuhnya Jika tidak jangan harap kita dapat menyentuhnya!"
"Hra Suatu pekerjaan yang tidak mudah," de?sah Kakek Praba.
"Memang benar," timpal Liku Jadra. "Tapi ha?nya itulah satu-satunya cara menghancurkan manu?sia iblis itu."
"Apa yang dikatakan Paman Liku, benar. Kita hanya memiliki satu cara untuk menghancurkannya. Tapi aku yakin jika kita bersatu padu dalam menghadapi-nya, pasti dapat berhasil," tegas Bida?dari Tangan Api penuh semangat.
"Baiklah. Aku setuju. Kini tinggal menentukan, kapan kita kembali berangkat ke Gunung Panjar!"
"Kita harus mencari waktu terbaik dalam mela?kukan perjalanan nanti, Praba," desah Liku Jadra sambil berpikir.
"Apakah besok pagi!" kata Sarpakenaka. Ditatapnya Liku Jadra yang masih terus terdiam dengan kening berkerut.
"Bagaimana, Liku?"
Entah mengapa, mendadak saja wajah Liku Ja?dra berubah memucat. Kenyataan ini tentu saja membuat yang lain menjadi heran.
"Ada apa, Paman?"
"Kita tidak perlu berangkat ke Gunung Panjar. karena menusia iblis itu kini sedang bergerak ke?mari. "
"Apa...!" desis Sarpakenaka. "Siapkan semua orang kita untuk menyambut kedatangannya, Banu Keling!"
Laki-laki bertampang kasar ini tidak perlu bertanya tanya lagi. Segera dia meninggalkan ruangan perte-muan.
Sampai di luar istana, Banu Keling melihat puluhan anggota Partai Tengkorak Darah tengah tertegun-tegun merasakan sesuatu yang terasa ganjil. Dan Banu Ke-ling juga merasakan apa yang mung?kin dirasakan puluhan anggota Partai Tengkorak Darah yang terus terlongong.
"Hm. Bumi bergetar bagai dilanda gempa. Pastilah ini semua karena ulah manusia iblis itu!" kata Banu Ke-ling dalam hati.
Tanpa menunggu lebih lama lagi, Banu Keling segera mengumpulkan anggota Partai Tengkorak Darah. Baik mereka yang sedang melakukan ronda, maupun yang sedang beristirahat di barak panjang bagian belakang.
? *** ? Apa yang dikhawatirkan Banu Keling memang beralasan. Terlebih-lebih, dia sendiri pernah mera?sakan tanda tanda kehadiran manusia bertangan tujuh yang bernama Satria Pemali.
Malam ini bulan bersinar pucat, dan bersembunyi di balik mega-mega. Angin pun enggan bertiup. Jauh di luar benteng Partai Tengkorak Darah, tampak sesuatu yang sangat besar bergerak cepat di bawah tanah. Gerakan itu kemudian disusul jerit ketakutan pen-duduk desa sekitarnya yang masih berada di bawah wilayah Partai Tengkorak Darah. Kemudian api pun berkobar di mana-mana. Kesunyian malam segera dikoyakkan oleh teriakan serta pekik kesakitan. Rumah-rumah bertumbangan. Ti?dak terhitung, berapa banyak yang tersungkur ke dalam lubang yang dilalui Satria Pemali.
Sementara itu jeritan penduduk masih terde?ngar di mana-mana. Sedangkan manusia setengah singa itu telah berhasil memasuki benteng Partai Tengkorak Darah. Kemunculannya yang tiba-tiba di halaman depan Istana Partai Tengkorak Darah, membuat gempar semua anggota yang telah bersiap-siap menyambut kehadirannya.
"Hraaagh... Grauuung...!"
Laki-laki bertangan tujuh ini menggeram penuh kemarahan.
"Bunuh dia!" teriak Bidadari Tangan Api yang memang sudah berkumpul di tempat itu bersama Kakek Praba, Liku Jadra, dan Banu Keling.
Seiring teriakan Sarpakenaka, maka seluruh anak buahnya bergerak cepat mengepung Satria Pemali.
"Serbu...!"
Gelombang serangan yang dilakukan anak bu?ah Sar-pakenaka seakan sudah tdak terbendung la?gi. Mereka mengeroyok manusia setengah singa ini dari segala penjuru. Seketika terdengar suara den?ting berbagai jenis senjata menghantam tubuh rak?sasa Satria Pemali.
Namun sebagaimana yang dialami Banu Keling dan kawan-kawannya beberapa waktu yang lalu, maka kali ini pun senjata-senjata itu seakan tidak memiliki arti apa-apa. Bahkan dari pihak anggota Partai Tengkorak Darah sendiri mulai terdengar jeritan-jeritan memi-lukan. Banyak di antara mereka yang terinjak-injak atau tewas terobek-robek tangan Satria Pemali. Hanya dalam waktu yang singkat, anak buah Sarpakenaka yang berjumlah puluhan orang dibuat tidak berkutik.
Melihat kenyataan ini, Bidadari Tangan Api menjadi sangat marah. Kemudian segera diberinya isyarat pada Banu Keling dan Liku Jadra untuk se?gera turun ta-ngan.
"Hm... Inikah jago-jago dari Partai Tengkorak Darah yang telah membuat ibuku sengsara!" teriak Satria Pemali marah.
"Manusia iblis!" desis Liku Jadra. "Kali ini kau tidak akan lolos dari kematian. Aku telah tahu di mana letak titjk kelemahanmu!"
"Lakukanlah, jika kau benar-benar mampu!" dengus laki-laki bertangan tujuh ini.
Sing! Pedang pusaka di tangan Banu Keling langsung menderu ke bagian kaki Satria Pemali. Sedangkan Liku Jadra segera mencabut tongkat mautnya yang berujung intan berkilau kilau menyilaukan mata.
Secara bersamaan Liku Jadra dan Banu Keling menyerang Satri Pemali. Dan laki-laki raksasa itu mende-ngus sambil menghindari serangan tongkat di tangan Liku Jadra. Tampaknya, manusia sete?ngah singa agak ciut nyalinya melihat kilauan ujung tongkat di tangan Liku Jadra daripada pedang di tangan Banu Keling.
"Ha ha ha...! Mampuslah kau...!" teriak Liku Jadra sambil terus mengebutkan ujung tongkatnya ke arah dada serta pinggang lawannya.
Sedangkan Banu Keling secara terus-menerus meng-arahkan pedangnya ke bagian kaki. Dia berharap, suatu saat Satria Pemali mengangkat kaki?nya. Sehingga, akan ada kesempatan untuk menu-suk bagian yang merupakan pusat kelemahan ma?nusia raksasa ini.
Tapi, nampaknya Satria Pemali juga tahu gelagat. Dia tetap bertahan pada kedudukannya. Se?mentara, tangannya terus menyambar ke arah Ba?nu Keling dan Liku Jadra.
"Keparat! Dia benar-benar mengetahui rencana kita!" desis Sarpakenaka yang berdiri tegak di sam?ping Kakek Praba.
"Tenang, Ketua. Dia tidak mungkin bertahan terus seperti itu," hibur laki-laki tua itu, berusaha me-nyabarkan Sarpakenaka.
? *** ? Kembali ke Bagian 1-3
Selanjutnya Bagian 7-8 (selesai)
Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 " . 143. Iblis Tangan Tujuh Bag. 7-8 (selesai)
27. November 2014 um 18:41
7 ? "Hiyaaa...!"
Trang! Trang! Serangan gencar Banu Keling dan Liku Jadra memang cepat bukan main. Tapi sebagaimana pertama tadi, kali ini pun senjata mereka tidak mampu me-nembus kekebalan tubuh yang dimiliki Satria Pe?mali. Malah sebaliknya, laki-laki setengah singa ini balas menyerang dengan tujuh tangannya.
Pendekar Rajawali Sakti 143 Iblis Tangan Tujuh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wusss! "Ihhh...!"
Banu Keling mundur beberapa tindak. Nyaris wajah-nya terhantam kuku-kuku tajam yang terkembang itu. Namun serangan yang dilakukan Satria Pemali tidak berhenti sampai di situ. Dia terus men?desak Banu Ke-ling, sambil berusaha membunuhnya secepat mungkin.
"Ait...!"
Banu Keling membabatkan pedangnya ke arah ta-ngan manusia setengah singa yang terulur. Ta?pi...
Trang! Tubuh Banu Keling kontan bergetar. Tangan?nya terasa sakit bukan main. Pedangnya tidak ubahnya bagai membentur batu karang saja. Pada saat yang sama. Liku Jadra bantu menyerang de?ngan tongkat-nya.
Buk! "Ugkh...!"
Satria Pemali terhuyung-huyung. Pinggangnya yang terhantam senjata tongkat terasa sakit bukan main. Ini merupakan suatu tanda kalau tongkat Liku Jadra jauh lebih berbahaya bila dibandingkan sen?jata-senjata yang lain.
"Jangan beri kesempatan pada manusia iblis itu untuk berbuat banyak!" teriak Sarpakenaka.
"Hraaa...!"
Satria Pemali berteriak keras, lalu melompat ke depan sejauh tiga tombak. Dan tahu-tahu dia sudah mencengkeram leher Liku Jadra yang baru saja ber?balik setelah menghantamkan tongkatnya. Kemudi?an, laki-laki bertangan tujuh itu memutar kepala Li?ku Jadra.
Krak! "Aaarkh...!"
Liku Jadra menjerit setinggi langit. Tubuhnya langsung terkapar, tanpa mampu bangkit lagi. Me?lihat kenyataan ini, Banu Keling dengan segenap kemarahannya melesat ke arah Satria Pemali sam?bil me-nusukkan pedangnya.
Crak! Sebagaimana tadi, Satria Pemali sedikit pun ti?dak bergeming. Malah tiga tangannya dikibaskan ke arah belakang.
Brak! Kibasan tangan itu kontan menghantam remuk dada Banu Keling. Laki-laki bertampang kasar ini langsung jatuh terpelanting sejauh tiga tombak. Dia berusaha bangkit berdiri, namun dari mulut dan hidungnya menyembur darah segar.
"Keparat!" desis Sarpakenaka dan Kakek Pra?ba.
Kedua orang itu kemudian langsung melompat ke depan. Sarpakenaka mencabut kipas berwama merah darah. Sebuah senjata maut yang menjadi andalannya. Sedangkan Kakek Praba melintangkan tongkatnya di depan dada.
Sedangkan Satria Pemali kini memperhatikan kedua orang ini silih berganta.
"Kaukah yang menjadi Ketua Partai Tengkorak Darah?" desis manusia setengah singa ini.
"Tidak salahl Akulah orangnya!" sahut Sar?pakenaka penuh kebencian.
"Sayang! Manusia secantik kau, tapi memiliki hati sangat kejam! Kelompok kalian telah membuat susah kedua orang tuaku. Sekarang, kalian akan merasakan pembalasan setampal!"
"Huh! Bangsat! Sejak dulu kau memang diramalkan hanya akan membuat malapetaka saja. Itu?lah sebabnya, kau pantas disebut iblis!" sentak Bi?dadari Tangan Api geram bukan main.
"Sebenarnya, kalianlah yang menjadi pangkal dari semua persoalan ini. Mengapa sekarang ber?usaha memungkirinya?" balas Satria Pemali.
Apa yang dikatakan Satria Pemali ini tentu saja membuat wajah Sarpakenaka benjbah merah padam. Kemudian tanpa bicara lagi, segera diberinya isyarat pada Kakek Praba.
"Hiya! Hiyaaa...!"
Secara bersamaan, kedua orang itu menerjang Satria Pemali dengan jurus-jurus 'Tengkorak Darah' yang menjadi andalan. Sebaliknya, Satria Pemali pun tidak tinggal diam. Segera dikerahkannya jurus 'Seribu Ta-ngan Garti', yang selama ini tidak pernah diperguna-kannya, jika tidak menghadapi lawan tangguh.
Seketika itu juga, tujuh tangan Satria Pemali bergerak cepat membendung sebap serangan lawan-lawan-nya yang seakan tidak ada habis-habisnya. Anehnya, di mata kedua lawan tangan Satria Pemali seakan be-rubah menjadi ribuan. Ini meru?pakan pertarungan yang dahsyat yang pernah dialami Satria Pemali.
"Hih...!"
Sarpakenaka mengibaskan kipasnya ke bagian-ba-gian yang sangat memabkan. Di lain saat kipas?nya diputar dengan gerakan lincah dan mengandung tenaga dalam ringgi.
"Huuup...!"
Sarpakenaka melompat sambil menghantam?kan kipasnya ke bagian bahu Satria Pemali.
Prak! "Uakh...!"
Ujung kipas pusaka di tangan Sarpakenaka kontan retak menjadi beberapa bagian. Perempuan itu sendiri bahkan sampai terhuyung mundur.
Tapi, Satria Pemali tampaknya juga menderita luka pada bagian bahunya. Manusia setengah singa ini terhuyung huyung. Darah mengucur deras membasahi tubuhnya yang telanjang.
"Dia sudah terluka, Kek! Mari kita cincang ma?nusia iblis ini!" teriak Sarpakenaka penuh kemenangan.
Satria Pemali kini meraung setinggi langit. Kedua tangannya dilintangkan ke depan dada. Sementara ta-ngan yang lain bergerak cepat mela?kukan serangan-serangan gencar. Tanpa disadari, dia mengangkat kakinya tinggi-tinggi. Lalu sambil memutar tubuhnya, dilepasnya pukulan jarak jauh.
Seketika itu juga, selarik sinar berwama merah me-lesat ke arah Sarpakenaka. Namun perempuan ini dengan gerakan lincah luar biasa, segera meng?hindari pukulan jarak jauh yang menimbulkan suara meng-gemuruh. Pukulan jarak jauh yang dilepaskan laki-laki bertangan tujuh itu gagal mencapai sasarannya. Sinar merah yang terus melesat itu menghantam sirggasana, yang merupakan lambang kebesaran Partai Tengkorak Darah. Api pun berkobar di mana-mana.
Sementara Kakek Praba yang sempat melihat kela-laian Satria Pemali, segera menyusup dan me?nusuk-kan ujung tongkatnya ke bagian telapak kaki manusia setengah singa ini. Begitu cepat gerakannya. Sehingga....
Crasss! "Aaakh....!"
Terdengar jeritan Satria Pemali. Laki-laki ber?tangan tujuh itu kontan ambruk di tanah. Ujung tongkat milik Kakek Praba menembus telapak ka?kinya.
Melihat kenyatan ini, walaupun semula sangat ma-rah melihat singgasananya terbakar terhantam pukulan Satria Pemali, namun Sarpakenaka malah tertawa menggelegar.
"Hi hi hi...! Akhirnya kau takiuk juga di bawah to-koh-tokoh Partai Tengkorak Darah, Manusia Iblis!" desis Sarpakenaka penuh kemenangan.
Tampaknya, Satria Pemali sudah tidak dapat men-dengar apa yang dikatakan lawannya. Rasa sakit di bawah telapak kakinya, membuat tubuhnya langsung berguling-gulingan, menabrak apa saja yang terdapat di sekelilingnya. Sehingga, halaman bangunan yang terbakar menjadi porak poranda.
"Kita harus membunuhnya secepat mungkin, Ketua!" kata Kakek Praba yang telah berdiri di sam?ping Sarpa-kenaka.
"Benar!" sahut perempuan itu sambil memandangi Satria Pemali yang terus berguling-guling.
Kemudian sambil menggeram dahsyat, Sarpa?kenaka merangkapkan kedua tangannya di atas kepala. Segera tenaga dalamnya dikerahkan ke bagi?an telapak tangan yang menyatu. Tidak lama kemu?dian, asap tipis menyelimuti tangan yang tampak bergetar. Lalu peruba-han pun terjadi. Telapak ta?ngan yang saling menyatu, berubah warnanya men?jadi merah laksana bara. Tidak dapat disangkal lagi, itulah pukulan 'Bidadari Tangan Api', salah satu pukulan dahsyat yang menjadi andalan Sarpake?naka.
Melihat apa yang dilakukan lawannya, Satria Pemali tentu sajh menjadi sangat kaget. Sambil tertatih-tatih, dia bangkit berdiri.
Bersamaan dengan itu, Sarpakenaka telah me?lepas-kan pukulan mautnya. Maka selarik sinar lak?sana bara melesat ke arah Satria Pemali. Agaknya, sampai di sinilah akhir hidup laki-laki bertangan tujuh. Tapi...
"Heh"!"
Mendadak saja, dari arah yang berlawanan meluruk sinar merah juga namun lebih hebat kecepatannya dibandingkan pukulan Sarpakenaka. Se?hingga....
? *** ? Glar! Glar! Dia wali rasa terkejutnya, Sarpakenaka kontan memekik. Tubuhnya langsung terhuyung-huyung. Sedangkan pukulan yang dilepaskannya buyar dan gagal mencapai sasaran. Perempuan itu cepat me?lakukan putaran, sebelum mendarat manis di tanah. Dan begitu memandang ke arah Satria Pemali, tahu-tahu di situ berdiri seorang pemuda berompi putih.
"Aku, Rangga. Sengaja aku datang membantumu, atas perintah Ketua Padepokan Kencana Ungu! Seka-rang, menepilah! Aku akan menghadapi orang-orang Partai Tengkorak Darah ini!" bisik Rangga.
Satria Pemali yang memang dalam keadaan terluka hanya mampu menuruti perintah Rangga. Segera dia menyingkir dari tempat pertempuran.
"Heit! Mau ke mana kau, Manusia Iblis!" teriak Sar-pakenaka bermaksud mencegah.
"Sekarang aku yang mewakilinya, Nisanak," desis Pendekar Rajawali Sakti, langsung menghadang.
"Heh...!"
Perempuan itu terkejut bukan main saat mera?sakan adanya satu dorongan yang sangat kuat. Dia tertegun di tempatnya, sambil memandangi pemu?da tampan yang berdiri tegak di depannya.
"Kaukah yang berjuluk Pendekar Rajawali Sak?ti...?" Tanya Sarpakenaka sambil memperhatikan Rangga.
"Begitulah orang memanggilku," sahut Rang?ga, kalem.
"Sayang, kau berada di pihak yang salah."
"Aku telah mengetahui segala-galanya. Satria Pemali tidak bersalah. Dan sesungguhnya, orang orang Partai Tengkorak Darah lah yang menjadi penyebab semua persoalan ini," sahut Rangga, enteng.
"Kau tidak tahu apa-apa tentang persoalan yang kami hadapi ini, Kisanak. Lebih baik tak usah ikut campur!" potong Kakek Praba, tidak sabar.
Pendekar Rajawali Sakti tersenyum mencibir.
"Mustahil aku tidak tahu persoalan dua puluh tahun yang lalu. Di kala seorang anak terlahir tidak sebagaimana kodratnya, lalu kalian memfitnahnya seba-gai penyebab malapetaka kelak di kemudian hari! Bukankah kalian yang mempunyai peranan sangat penting, sehingga orang-orang persilatan membenci Padepokan Kencana Ungu dan Pade?pokan Belibis Putih"!"
"Ketua! Mulut bocah ini sungguh sangat berbisa!" desis Kakek Praba.
Begitu habis kata-katanya, Kakek Praba mengayun-kan tongkatnya .ke bagian dada Rangga.
"Uts...!"
Meskipun serangan itu tdak terduga sama se?kali, namun dengan mudah Pendekar Rajawali Sak?ti dapat mengelakkannya. Bahkan tanpa banyak basa-basi lagi, segera dikerahkannya jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Maka sekejap saja tubuhnya sudah bergerak lincah meliuk-liuk.
Kakek Praba hanya tertegun. Dia sempat bi?ngung atas gerakan yang dilakukan pemuda itu.
Pada saat tongkat di tangan laki-laki itu menderu, Pendekar Rajawali Sakti menggeser kakinya satu lang-kah, maka serangan Kakek Praba luput dan menghantam sasaran kosong.
Belum sempat Kakek Praba menyerang kem?bali, Pendekar Rajawali Sakti sudah melenting ke atas. Dan jurusnya dirubah menjadi 'Rajawali Menukik Mengejar Mangsa'. Tubuhnya langsung meluruk. melepaskan tendangan ke arah kepala Kakek Praba.
Bukan main terkejutnya kakek itu, melihat pe-ru-bahan jurus lawannya. Bahkan ketika dengan ce-pat-nya kaki Pendekar Rajawali Sakti menuju ke arahnya, dia tak bisa berbuat apa-apa. Dan...
Prak! "Aaakh...!"
Lakj laki berambut putih ini kontan berteriak ke-sakitan. Tubuhnya jatuh terguling-guling dengan kepala pecah mengeluarkan darah. Sebentar dia meregang nyawa, lalu diam tak berkutik lagi Mati!
"Kurang ajar! Kau harus mampus di tanganku!" te-riak Sarpakenaka melihat kematian Kakek Praba.
Dengan kipas terkembang, Bidadari Tangan Api menghantam dada Rangga. Namun pemuda ini cepat menghindar sambil melompat mundur sejauh dua tombak. Anehnya, pada saat Rangga menjejakkan kakinya, Sarpakenaka telah berada di depannya.
Wusss! Mendadak Rangga melihat sinar merah dari ta?ngan wanita ini berkelebat Maka tangannya cepat dikibaskan, menyambut serangan.
Glarrr...! "Ugkh...!"
Rangga terhuyung-huyung setelah memapak pukulan jarak dekat Bidadari Tangan Api. Bahkan tangan-nya terasa nyeri bukan main. Belum sempat Pendekar Rajawali Sakti menguasai keadaan, se?rangan kipas di tangan Sarpakenaka terus menge?jarnya. Maka dengan cepat Rangga mengerah?kan jurus 'Seribu Rajawali' Seketika itu juga, tubuhnya berputaran mengelilingi lawannya. Dalam pandangan Sarpakenaka, tubuh pe-muda itu seakan menjadi banyak. Sehingga, menyulitkan diri untuk menentukan sasaran yang sebenamya.
Belum sempat Bidadari Tangan Api menduga ilmu apa yang dikeluarkan lawannya, Pendekar Rajawali Sakti telah berkelebat ke arahnya dengan satu pukulan dahsyat bertenaga dalam tinggi.
"Hiyaaa!"
Buk! Tanpa ampun lagi, tubuh Ketua Partai Teng?korak Darah ini jatuh terpelanting. Dari mulutnya menyembur darah kental, begitu dadanya terhan?tam tangan Rangga. Tampak jelas kalau perempu?an itu menderita luka dalam yang tidak ringan.
Sarpakenaka cepat bangkit, kemudian duduk bersila. Matanya terpejam rapat.
Pendekar Rajawali Sakti sadar kalau lawan sedang mengerahkan hawa murni untuk menyembuhkan luka dalamnya.
Sebagai seorang ksatria, Pendekar Rajawali Sakb tak mau menyerang lawan yang belum siap. Maka ditung-gunya Bidadri Tangan Api sambil bersiap-siap mengeluarkan jurus baru.
"Hup...!"
Kini Sarpakenaka bangkit berdiri. Matanya yang ber-ubah kemerah-merahan memandang pe?nuh rasa ke-bencian pada Rangga.
"Kau telah membunuh orang-orangku. Maka tidak ada jalan terbaik bagimu, kecuali ke neraka!" dengus perempuan itu.
Tidak lama kemudian Bidadari Tangan Api melemparkan kipas mautnya ke arah Rangga. Tan?pa diduga-duga, kipas itu dapat berputar-putar me?nyambar ke arah bagian leher Pendekar Rajawali Sakti. Tapi pemuda ini dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh-nya yang sudah sangat tanggi, cepat melompat ke udara. Dan masih dalam gerak?an di udara pedangnya dicabut.
Sing! Pedang di tangan Pendekar Rajawali Sakti yang mengeluarkan sinar biru berkilau itu langsung dipu-tarnya membentuk perisai diri. Sementara, Rangga telah mendaratkan kedua kakinya dengan gerakan mengagumkan.
Sing! Sing! Brak!
"Heh"!"
Rangga berhasil menghancurkan kipas yang dapat melayang dengan sendirinya.
Sarpakenaka tampak sempat terkejut. Tapi dengan cepat kedua tangannya segera dirangkapkan di atas kepala, setelah seluruh tenaga dalamnya dikerahkan. Dan kini kedua belah tangannya telah berubah merah laksana bara.
"Hup! Hiyaaa...!"
Perempuan itu melompat ke depan sambil menghentakkan kedua tangannya ke arah Rangga.
Seketika terdengar suara angin menderu-deru menyertai melesatnya sinar merah laksana bara dari telapak tangan perempuan itu.
Melihat gelagat yang dapat mengancam keselamatan jiwanya, Rangga segera memutar pedang di tangannya.
Sementara itu pukulan jarak jauh yang dilepaskan Sarpakenaka terur meluncur, dan menghantam perisai-perisai yang dibuat pemuda berompi putih ini dari pedangnya.
Glarrr! Glarrr!
Terdengar dua kali ledakan dahsyat berturut turut. Bumi terasa bagai dilanda gempa. Sementara Rangga jatuh berguling-guling dengan pedang ma?sih tergenggam di tangan. Sedangkan Sarpakenaka jatuh terpelanting. Darah tampak semakin banyak meleleh dan bibirnya yang merah merekah. Ini merupakan suatu tanda kalau luka dalam yang diderita perempuan itu semakin bertambah parah. Namun, bukan main hebat daya tahan tubuhnya. Karena tidak lama setelah itu, dia sudah bangkit berdiri.
Untuk yang kesekian kalinya, Bidadari Tangan Api merangkapkan kedua belah tangannya kem?bali. Kali ini, tubuhnya bergetar hebat. Tampaknya dia memang sengaja mengadu jiwa dengan Pende?kar Rajawali Sakti.
"Kau benar-benar ingin mencari mati, Perem?puan I-blis...!" desis Rangga.
Segera Pendekar Rajawali Sakti melintangkan pedangnya di depan dada. Sementara itu, Ketua Partai Tengkorak Darah hanya menyeringai dalam kebencian yang mendalam.
"Shaaa...!"
Bersama teriakannya, Sarpakenaka melesat ke depan. Tangannya yang terkembang membentuk cakar, terarah pada dada dan leher Rangga.
Pemuda berompi pubh ini sempat terkesiap, namun segera menyadari apa yang akan dilakukan lawannya. Dengan cepat, Pendekar Rajawali Sakb melompat ke udara. Maka serangan mematikan yang dilakukan Sarpakenaka luput.
Dan dengan gerakan cepat, tubuh wanita itu berbalik lalu melesat ke udara pula. Rangga merasa keadaan-nya benar-benar dalam keadaan tidak menguntung-kan. Tapi, dia masih mempunyai kesempatan berbalik, sekaligus membabatkan pe?dangnya ke dada.
Sarpakenaka tentu saja tidak sempat memper-hi-tungkan semua ini. Hawa amarah telah menguasai diri, sehingga sudah tidak dapat mengendalikan jurus silatnya dengan baik. Dan dia hanya terperangah me-lihat berkelebatnya sinar biru ke arah da?danya. Dan...
Crakkk! "Aaakh...!"
Darah kontan menyembur dari luka memanjang di dada Sarpakenaka. Tubuhnya jatuh ke bumi dengan mata melotot, seakan tidak percaya dengan apa yang dialami. Kemudian wanita itu mendekap luka di dada yang terus mengucurkan darah, sambil menggelepar-gelepar. Tidak lama, tubuhnya ter?diam. Mati!
Rangga menarik napas panjang. Kemudian dimasukkannya senjata pusaka itu ke dalam warangka. Kepa-lanya kemudian menoleh ke arah Sa?tria Pemali. Namun, laki laki raksasa bertangan tu?juh itu tidak terlihat lagi. Dengan penasaran, di dekatinya tempat yang diduduki manusia setengah singa tersebut. Dan Rangga kemudian tertegun, pada saat samar-samar mende-ngar suara dari kejauhan sana.
"Aku tidak dapat menunggumu, Pendekar Perkasa. Aku begitu rindu ingin bertemu orang tuaku. Terima kasih atas pertolonganmu...!" suara yang dikeluarkan dari jarak jauh itu kemudian melenyap bersama hembusan angin malam.
Tanpa menunggu lebih lama lagi, Rangga se?gera bergegas menghampiri Dewa Bayu Lalu dia cepat melompat dan menggebah kudanya menqejar Satria Pemali.
? *** ? Tidak sebagaimana biasanya, halaman Padepokan Kencana Ungu malam terasa sunyi mencekam. Tidak seorang murid pun yang terlihat di Sana. Sejak sore tadi, Lirenda telah memerintahkan murid-muridnya untuk mengosongkan sementara tem?pat ini. Walaupun mereka memang benar-benar tidak tahu, apa tujuan ketua mereka.
Halaman rumah yang cukup luas itu diterangi beberapa buah pelita yang terpasang di setiap sudut Langit gelap, diwamai mega. Bintang-bintang bahkan tidak terlihat sama sekali.
Sementara itu di halaman yang luas ini terlihat seorang laki-laki yang entah sejak kapan datangnya, telah berdiri tegak Pakaiannya serba putih. Matanya memandang ke arah pintu depan. Kemudian pintu itu segera terbuka setelah laki-laki berpakaian serba pubh ini bersiul sebanyak tiga kali.
Dari pintu yang terbuka, muncul seorang laki-laki berusia lebih muda berpakaian serba ungu. Laki-laki ini selalu menundukkan kepala. Wajahnya tampak muram, seakan ada sesuatu yang sedang membebani pikiran. Dia terus menuruni tangga, lalu melangkah gontai ke arah tengah tengah ha?laman.
Kini laki-laki berpakaian serba pubh dan laki-laki berpakaian serba ungu itu saling berhadapan. Wajah yang sama-sama tertunduk kemudian saling tegak. Sorot mata mereka begitu dingin. Laki-laki berpakaian ungu itu menjura hormat pada orang yang berdiri di depannya.
"Mengapa Kakang tentukan pilihan seperti ini?"
Pertanyaan itu meluncur dari bibir laki-laki berpa-kaian serba ungu.
Sedangkan laki-laki berpakaian serba putih yang ti-dak lain Ketua Padepokan Belibis Putih ini mendengus tidak senang.
"Dua puluh tahun aku berusaha menyembuhkan luka hati yang pernah kau cabik-cabik, Lirenda. Sekian lama, luka yang kuderita tidak pernah kunjung sembuh," kata laki-laki bemama Gatama de?ngan suara tertahan.
"Dua puluh tahun pula aku berusaha menebus dosa, Kakang! Apakah kau tidak pernah mau mem?beri maaf padaku?" ujar Lirenda penuh penyesalan.
"Kata maaf tidak pernah mengembalikan orang yang sudah mati, Lirenda. Dan kata maaf tidak pernah me-ngembalikan kutuk yang pemah berlaku pada ketu-runanmu yang tidak sah!" dengus Ga?tama, dengan wajah berubah mengelam.
"Aku dan Mustika saat itu benar-benar khilaf, Kakang. Semestinya, hal yang sangat dikutuk dewata ti-dak akan pemah terjadi kalau saja...!"
"Ternyata kau dan Mustika menjalin cinta, walaupun tahu kalau Mustika merupakan istriku yang sah, bu-kan?" potong Gatama sambil tersenyum tipis "Kau ti-dak tahu kalau antara aku dan Mustika pernah meng-angkat sumpah. Bahwa jika ada salah satu di antara kami serong, maka keturunanlah yang akan menjadi korbannya! Pedang Singa Murka di tanganku ini yang menjadi saksinya, Lirenda. Tahukah kau bahwa anak yang terlahir dari rahim Mustika kemudian berwujud setengah si?nga dan setengah manusia"!"
"Maafkanlah aku, Kakang," desah Lirenda sambil menggenggam erat pedang pusakanya.
Wajah Gatama tiba-tiba saja berubah meredup. Tubuhnya bergetar hebat. Ini merupakan suatu tanda kalau sedang berusaha meredam kemurkaan yang berkobar di dalam sanubarinya.
"Sebagai saudara, aku telah sangat lama me maafkan kau, Adikku! Tapi kau dan aku sudah termakan sum-pah. Bahwa, malam ini kita harus mengadu jiwa agar sikap ksatria tidak memudar di mata dewata yang agung. Bersiap-siaplah, Lirenda!" de?sis Gatama memperingatkan.
"Kakang! Tidak bisakah...!"
'Jangan banyak bicara. Marilah kita bertamng secara ksatria, Lirenda. Hiyaaa...!"
Tidak disangka sangka laki-laki berpakaian ser?ba putih itu langsung menerjang ke arah adiknya. Segera dibukanya jums 'Belibis Putih Mengem?bangkan Sayap'. Lirenda sadar betul, betapa hebatnya jurus yang dimainkan saudaranya. Sehingga dari sini saja dia sudah dapat mengetahui kalau Gatama bermaksud mem-bunuhnya. Maka tidak ada pilihan lain lagi, kecuali dia melompat mundur. Dan langsung digelarnya jurus 'Rusa Beranjangan Menyongsong Badai'.
"Hiyaaa!"
"Uhhh...!"
Tidak kalah dahsyatnya Lirenda memapak setiap serangan yang datang. Sesekali dilepaskannya tenda-ngan-tendangan yang menakjubkan. Tapi di lain saat tubuhnya bergerak menghindari serangan-serangan balasan yang dilakukan Gatama.
Tidak dapat disangkal lagi, pertempuran dua bersaudara ini semakin 1ama semakin bertambah seru.
Tanpa disadari, sejak tadi ada sepasang mata terus mengawasi pertarungan. Tidak jarang mata yang me-merah laksana bara ini mengerja-ngerjap. Menangis! Tapi air mata yang mengalir menuruni kedua belah pipinya yang ditumbuhi bulu-bulu halus, tidak seban-ding dengan penderitaan hati yang sedang dirasakan-nya. Segala apa yang dikatakan kedua tokoh pade-pokan itu terasa mencabik-cabik sanubarinya.
Sama sekali sosok yang menyaksikan perta?rungan tidak menyangka, kalau keadaannya yang tidak wajar itu karena termakan sumpah ayahnya.
Ini benar-benar di luar dugaan! Seorang anak yang tidak wajar terlahir karena akibat hubungan gelap antara ibu dan pamannya.
"Sungguh aku merupakan manusia yang tidak ber-guna," jerit sosok manusia setengah singa yang tak lain Satria Pemali dalam hati. "Tidak dapat kusangkal, mengapa orang-orang Partai Tengkorak Darah selalu memusuhiku. Dan tidak kusangkal pula, mengapa aku disebut 'iblis', karena kelahiranku pun atas dasar perbuatan iblis. Hhh.... Aku benar-benar manusia tidak berguna! Apa yang ha?ms kulakukan" Apakah aku harus membunuh me?reka" Rasanya sangat bdak mungkin. Aku bdak mau menanggung dosa-dosa mereka di kemudian hari. Sebaiknya, aku akan lihat kelanjutan pertempuran mereka."
? *** ? Sementara itu pertempuran yang terjadi antara Gatama melawan Lirenda semakin bertambah seru. Ke-duanya sama sama mengerahkan segenap ke-mam-puan yang dimiliki. Bahkan Lirenda sendiri se?karang telah mengerahkan jurus yang paling hebat.
"Hiyaaa...!"
'"Manjangan Kencana Menggila'...!" teriak Lirenda.
Tubuh laki-laki itu kemudian berputar-putar dan bergetar hebat. Sementara kedua tangan terangkap di depan dada. Kedua tangannya kini telah berubah ber-warna kuning keemasan. Udara di se?kitar pertempuran bahkan bembah dingin membekukan.
Melihat apa yang dilakukan Lirenda, Gatama pun tidak tinggal diam. Segera kedua tangannya dihentakkan di atas tanah. Dan tiba-tiba, dia menggerung dahsyat. Gatama kemudian mengangkat sebelah kaki-nya tinggi-tinggi. Lalu, kedua tangannya yang telah berubah memutih laksana kapas, dihen?takkan ke depan begitu pukulan maut yang dilepas?kan Lirenda datang.
Selarik sinar kuning keemasan dan sinar putih menyilaukan kini melesat dari tangan masing masing pihak. Terdengar suara angin menggemuruh menyertai melesatnya kedua sinar itu. Maka benturan yang membahana pun tidak dapat dihin?dari lagi.
Glarrr! Glarrr!
Tampak dua sosok tubuh itu sama sama terhempas. Debu dan pasir saling beterbangan. Baik Gatama dan Lirenda, segera bangkit berdiri walau pun tertatih-tatih. Dari mulut masing masing tam?pak menyembur darah segar.
"Lebih baik kita hentikan pertarungan ini, Kakang!" ujar Lirenda memperingatkan. Disekanya darah yang meleleh membasahi bajunya.
Tapi, Gatama menggelengkan kepala keras-keras.
"Kalau kita ingin mati mulia dan secara ksatria pula, maka cara satu-satunya hanya dengan jalan ini! Aku pernah bersumpah untuk seorang anak yang tidak berdosa. Dan sekarang, aku tidak akan mengingkari sumpah yang pernah kuucapkan di depan almarhum istriku!" desis Gatama, tetap bersiteguh pada pendiriannya. "Mari kita lanjutkan! Hiyaaa...!"
Sambil berteriak nyaring, Gatama melepaskan pukulan mautnya.
"Hap!"
Tidak mau kalah, Lirenda juga melepaskan pukulan mautnya. Sinar kuning sekebka melesat dari telapak tangannya, terus menderu dan saling bersambutan dengan pukulan Gatama.
Untuk yang kedua kalinya, terjadi ledakan menggelegar. Tanah di sekitar pertempuran pun bergetar hebat. Namun sebelum pukulan jarak jauh itu saling bertemu, baik Gatama maupun Lirenda sudah melesat ke udara. Sehingga, akibat benturan kedua tenaga dalam tadi hanya membuat sesak dada mereka.
Lirenda menyeringai kecut. Sedangkan Ga?tama ha-nya tersenyum tapis. Tampak jelas, sebenarnya kedua-nya sama-sama menderita luka dalam yang tidak ri-ngan.
Dan Gatama untuk yang kesekian kalinya, mulai bersiap-siap membangun serangan kembali. Dengan kaki agak ditekuk ke depan dan tangan melintang di depan dada, laki-laki ini mulai mela?kukan gerakan-gerakan sangat aneh.
Sadarlah Lirenda kalau saat itu saudaranya ini telah bersiap-siap mengerahkan jurus Tarian Belibis Putih'. Tanpa sadar, Lirenda melompat mundur sejauh tiga langkah. Sesaat setelah itu, dia mulai merubah gera-kan-gerakan silatnya.
"Hap! Hiaaat!"
Keduanya tiba-tiba saja melesat ke depan. Ti?dak lama, mereka sudah terlibat saling serang de?ngan hebatnya. Tubuh mereka terus berkelebat, se?makin lama semakin cepat. Sehingga yang terlihat hanya tinggal bayang-bayang saja.
"Ukh!"
Terdengar pekik keras. Kedua-duanya tampak terhuyung-huyung. Wajah Lirenda bembah pucat. Demi-kian juga Gatama. Rupanya satu sama lain berhasil menyarangkan pukulan.
Lirenda bemsaha mengatur jalan napasnya yang ter-sengal-sengal. Dan matanya memandang perih pada saudara kandungnya. Bukan karena takut, tapi karena berpikir jauh. Masalahnya, jika per?tempuran itu diterus-kan, salah seorang di antara mereka pasti ada yang tewas!
"Kakang! Kumohon hentikanlah pertarungan ini!" pinta Lirenda dengan suara sangat memelas.
"Daripada hidup menanggung malu lebih baik mati berkalang tanah!" dengus Gatama.
Di luar dugaan, tiba-tiba saja Gatama mencabut pedang andalannya yang sejak tadi terus tersimpan dalam warangka di tangan kiri. Maka seketika itu juga memancar sinar pubh kemilau menyilaukan.
Lirenda terkejut bukan main. Biasanya, Pusaka Singa Murka bila telah dicabut dan warangka tidak akan kembali ke dalam warangka sebelum mengisap darah.
"Kakang...!" pekik Lirenda. "Jangan main-main de-ngan senjata itu, Kakang...!"
Wajah Gatama yang mengelam, menyeringai sinis.
"Tidak lihatkah kau apa yang kulakukan ini" Aku sadar betul bila senjata di tanganku sudah kucabut, maka itulah keputusan yang harus dipenuhi, Lirenda! Sekarang, tunggu apa lagi" Cabutlah Pe?dang Branja-ngan yang kau pegang itu?" Perintah Gatama tidak main-main.
Tidak ada pilihan lain lagi bagi Lirenda. Maka pedangnya segera dicabut. Senjata itu kemudian diputar laksana baling-baling. Dan dalam waktu singkat, mereka sudah saling serang kembali.
Sementara itu dari kejauhan sana, terdengar derap langkah kuda, yang semakin lama semakin dekat. Ti-dak begitu lama, terlihatlah seorang pe?nunggang kuda berpakaian rompi wama puth. Ku?da itu berhenti tidak jauh dari depan halaman Pa?depokan Kencana Ungu. Dan pemuda penunggang kuda itu tampak tersentak kaget, begitu melihat orang-orang yang dikenalnya telah terlibat pertem?puran sengit.
Dengan cepat, pemuda berompi putih itu me?lompat dari punggung kudanya dengan maksud melerai. Namun tiba-tiba, dari kegelapan Satria Pemali muncul dan langsung menghadangnya.
"Kau!" desis pemuda yang tak lain Rangga merasa heran bercampur kaget.
"Ya! Kuucapkan terimakasih atas pertolonganmu, Kisanak!"
"Ah! Sudahlah. Lupakan itu. Sekarang, aku akan melerai mereka!" tegas Rangga.
Satria Pemali langsung menggelengkan kepala.
"Biarlah mereka bertarung sampai salah satu ada yang binasa, Kisanak!"
Pendekar Rajawali Sakb tentu saja sangat terkejut, mendengar ucapan Satria Pemali.
"Heh"! Ada apa dengan kau ini" Bukankah kau sen-diri ingin bertemu mereka" Lantas, mengapa sekarang malah kau biarkan mereka bertarung mati-matian" Tanya Rangga merasa bdak mengerti sama sekali
"Mereka bertarung karena terikat sumpah dua puluh tahun yang lalu. Dalam arti, mereka sama sama ingin mengembalikan harga diri!" tandas laki-laki bertangan tujuh itu dengan perasaan sedih.
"Maksudmu"!"
Satria Pemali menarik napas panjang.
"Aku merasa malu untuk mengatakannya. Terke-cuali, kau berjanji untuk tidak mencampuri per?soalan yang sangat pribadi ini!"
Rangga terdiam. Sedikit banyak, Pendekar Rajawali Sakti mulai mengerti apa yang dimaksudkan manusia setengah singa ini. Tapi untuk tidak mencampuri pertumpahan darah yang terjadi di depan matanya, rasa-nya sangat sulit sekali. Rangga mengenal baik kedua tokoh yang sedang terlibat pertempuran itu. Ataukah mereka merahasiakan sesuatu terhadap Rangga"
"Baiklah. Keteranganmu sangat tergantung pa?da penting tidaknya aku mencegah mereka," desah Rangga.
"Tahukah kau, Kisanak" Bahwa, sebenamya aku merupakan orang yang tidak pantas lahir di dunia ini?" Tanya Satria Pemali.
"Apa...?" Rangga tersentak kaget dan meman?dang heran pada Satria Pemali. "Maksudmu...?"
"Lihatlah orang-orang yang sedang bertempur itu! Mereka melakukan semua itu, karena aku. Aku terlahir di dunia ini, karena hasil hubungan gelap antara ibuku dan laki-laki yang pantas kupanggil paman. Ketika ibu mengandung, ayahku yang bernama Gatama itu mengutuk. Jika bayi di dalam kandungannya bukan titisannya, maka aku akan terlahir seperti seka-rang ini," jelas Satria Pemali dengan mata berkaca-kaca.
"Oh! Aku ikut prihatin atas apa yang terjadi dengan nasibmu. Tapi haruskah kita membiarkan mereka sa-ling bunuh sesama saudaranya sendi?ri...?" Tanya Rang-ga, merasa serba salah.
"Itu yang mereka kehendaki, Rangga! Mereka me-lakukan semua itu hanyalah karena sumpah yang sudah telanjur Tidak seorang pun yang boleh menggagalkan sumpah yang telah diikrarkan!"
"Bagaimana kau tahu?"
"Sejak tadi aku berada di sini, dan mendengarkan semua pembicaraan mereka dengan jelas."
"Oh...!" Rangga mengeluh.
Dalam hati Pendekar Rajawali Sakti semakin merasa prihatin melihat nasib yang dialami manusia setengah singa ini.
"Ada baiknya, kalau aku menjelaskan semua ini pada mereka! Itulah yang kurasakan pada saat aku pertama sampai di sini tadi, Rangga. Tapi kurasa hal itu hanya sia-sia saja."
"Tidak! Tidak ada yang sia-sia...!" desis Rang?ga.
"Tunggulah kau di sini, Sobat. Aku akan melerai mereka!"
Tanpa menunggu jawaban laki-laki bertangan tujuh itu, Pendekar Rajawali Sakti segera melesat ke tengah-tengah pertempuran.
Pada saat yang sama, Gatama maupun Lirenda sama-sama membabatkan pedang mereka ke arah la-wannya. Dan tiba-tiba dari arah lain, berkelebat sinar biru terang benderang memotong di tengah jalan.
Tring! Trang! Lirenda terdorong mundur sejauh tiga tombak. Sedangkan Gatama juga sempat terhuyung-huyung. Melihat kemunculan Rangga dengan pedang di tangan, sadariah kedua tokoh itu. Kalau Pende?kar Rajawali Sakti telah menggagalkan tusukan pe?dang mereka.
"Rangga!" desis Gatama sambil menyeringai menahan sakit.
Memang patut diakui, betapa sangat menyedihkan keadaan kedua orang ini. Tubuh mereka dipenuhi luka luka yang sangat mengerikan. Sementara, darah membasahi pakaian yang sudah tidak tentu wujudnya.
"Bertarung dengan saudara sendiri demi memenuhi sumpah yang tidak ada gunanya, hanya-lah pekerjaan sia-sia. Lebih baik, Paman berdua ti?dak usah meneruskannya!"
"Aku juga telah mengajukan permintaan yang sama, Rangga. Tapi kakangku ini tidak mau mengindahkan-nya," ujar Lirenda yang juga menderita luka-luka yang sangat parah.
"Satria sejati adalah yang suka menepati janji, Rangga. Sumpah yang telah terucap harus dilaksanakan. Terlebih-lebih, menyangkut seorang anak yang harus memikul dosa-dosa orang tuanya!" dengus Gatama tidak senang.
"Apakah kalian tidak dapat membiarkan ke?jadian yang telah berlalu itu, Paman?"
"Mana, bisa! Wujud anak korban sumpah itu juga tidak akan pernah berubah. Aku sebagai orang yang selalu menjunjung tinggi sumpah ksatria, tidak dapat menjilat ludah yang telah kubuang di tanah!"
"Tapi, Satria Pemali berpesan padaku agar kalian sa-ling memaafkan dan melupakan peristiwa yang pernah terjadi belasan tahun yang lalu!" jelas Rangga.
Baik Gatama maupun Lirenda sama-sama ter?diam. Mereka kini saling berpandangan.
"Benarkah apa yang kau katakan itu, Rangga?" Tanya Lirenda dengan mata berkaca-kaca.
"Aku tidak berbohong. Sekarang, sudilah ka?lian sa-ling bermaaf-maafan...!"
"Baiklah kalau itu yang diinginkannya!" kata Lirenda.
Segera dia mendekati Gatama. Sehingga sesaat ke-mudian kedua laki-laki yang sudah tertuka parah itu saling berhadap-hadapan. Tapi di luar dugaan Rangga, laksana kilat mereka saling melempar senjata masing-masing ke arah lawannya. Hingga menembus ke tubuh satu sama lain.
"Paman!" desis Rangga terkejut bukan main.
Pendekar Rajawali Sakti kemudian mengejar ke arah mereka. Pada saat itu, baik Lirenda mau?pun Gatama sudah jatuh terhempas dengan dada tertembus mata pedang.
"Ah! Mereka benar-benar manusia ksatria, bukan!" desis Satria Pemali yang juga sudah menghampiri mayat kedua tokoh bersaudara ini.
"Tidak kusangka akan berakhir seperti ini...!" desah Rangga, pelan.
"Mereka lebih baik mati daripada malu menemuiku!" timpal Satna Pemali dengan mata berkaca-kaca.
"Marilah kita kuburkan mereka," ajak Rangga. Malam pun semakin bertambah larut Dan sunyi semakin bertambah mencekam, mengiringi usaha Rangga dan Satria Pemali dalam menguburkan dua saudara itu.
? ? SELESAI ? ?
Pendekar Rajawali Sakti 143 Iblis Tangan Tujuh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
?Kembali ke Bagian 4-6
? Scanned by Clickers
Edited by Adnan Sutekad
PDF: Abu Keisel
? ? https://www.facebook.com/pages/Dunia-Abu-Keisel/511652568860978
Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 Ilmu Ulat Sutera 1 Beruang Salju Karya Sin Liong Tokoh Buronan 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama