. 208. Ancaman Dari Utara ~ Bag. 1-3
14. Juli 2015 um 09:06
1 ? Seorang gadis cantik dengan tubuh padat terbungkus kain dari atas dada hingga bawah lututnya berlari tergesa-gesa. Nafasnya terengah-engah. Sesekali kepalanya menoleh ke belakang dengan wajah pucat ketakutan.
Sejak selesai mencuci pakaian di sungai tadi, gadis ini merasa ada seseorang yang membuntutinya. Dia merutuk diri sendiri, kenapa tadi tidak pulang bersama teman-temannya. Memang ada seorang pemuda yang ditunggunya. Namun pemuda itu tak muncul-muncul juga. Akibatnya, terpaksa dia pulang sendiri.
Dan kini sebuah ancaman siap mengintai. Ketika gadis itu baru saja lima langkah meninggalkan sungai, seorang laki-laki berpakaian serba hitam mengikutinya. Meski tidak terang-terangan, tapi cukup membuat gadis ini ketakutan. Apalagi, menyadari kalau jarak di antara mereka tak berubah sedikit pun. Padahal, gadis itu berlari sekuat tenaganya. Sedang si penguntit berjalan biasa.
"Apa yang diinginkannya?" keluh gadis itu, gelisah sambil terus berlari. Keringat dingin semakin banyak membasahi tubuhnya.
Begitu memasuki jalan utama desa, ada tersirat harapan di wajah gadis ini. Dan bagai mendapat kekuatan....
"Tolooong...! Tolooong...!"
Terasa ada luapan kegembiraan ketika gadis ini berhasil berteriak. Padahal sejak tadi dia telah berusaha. Namun tak ada sedikit pun suara yang bisa lepas dari kerongkongannya. Maka seperti lahar yang muncrat dari gunung berapi, dia berteriak sekuat-kuatnya.
Suara teriakan itu menggema, menyentak pendengaran para penduduk Desa Kanoman. Para petani yang bekerja di ladang, atau yang kebetulan lewat mendengar teriakan itu. Mereka bagai men?dapat kata sepakat berlarian ke arah jalan utama. Dan begitu bertemu, kembali mereka mencari-cari arah datangnya teriakan tadi.
"Dari arah sana!" teriak seorang laki-laki setengah baya yang memakai caping bambu dan cangkul.
"Suara perempuan" Siapa, ya?" timpal laki-laki bertubuh tambun.
"Apa yang terjadi" Pembunuhan" Pemerkosaan"!" seru laki-laki bertubuh pendek.
Sebelum ada yang bisa menjawab, dari arah utara berlari-lari seorang gadis terbungkus kain lurik dari atas dada hingga betis.
"Hei"! Itu "kan Den Marni, putri Juragan Narayana!" teriak seseorang, langsung menghampiri.
"Tolong! Tolong, Ki! Ada orang jahat! Ada orang jahat...!" teriak gadis yang ternyata bernama Marni dengan tubuh menggigil. Langsung dipeluknya laki-laki setengah baya berjenggot panjang itu.
?? "Tenang, Den Marni. Tenang! Tarik napas dalam-dalam, lalu tenangkan pikiranmu. Ini aku, Ki Lawas," ujar laki-laki setengah baya berjenggot panjang.
Marni menarik napas panjang-panjang setelah melepas pelukan. Kepalanya menoleh ke belakang. Tapi, laki-laki yang tadi mengejarnya tak kelihatan batang hidungnya.
"Dia tadi di sana! Mengikutiku...!" tunjuk gadis itu.
Sejenak orang-orang yang ada di situ mengikuti arah pandangan Marni.
"Siapa?" tanya Ki Lawas dengan kening berkerut. Memang tak ada siapa-siapa.
"Laki-laki berbaju hitam itu! Dia..., dia meng?ikuti sejak tadi!"
"Marni.... Tak ada laki-laki berbaju hitam yang mengikutimu. Ada juga penduduk desa yang tengah bekerja di ladang."
"Dia membawa pedang, Ki! Rambutnya panjang, dikuncir! Matanya seram dan kulitnya kuning. Aku yakin dia bermaksud buruk, Ki!"
"Kami tak melihat orang seperti itu!"
"Di sana! Dia di sana, Ki!" tegas Marni.
Dahi Ki Lawas mengernyit saat menoleh ke arah yang ditunjuk Marni. Memang tak ada orang dengan ciri-ciri seperti yang dikatakan Marni. Namun untuk membuat gadis itu tenang, disuruhnya beberapa orang memeriksa ke arah yang ditunjuk.
"Periksa yang benar!"
"Beres, Ki!" '
Beberapa orang langsung memeriksa tempat yang ditunjuk Marni. Namun, sesaat mereka kembali sambil menggeleng lemah.
"Kami tak menemukan siapa pun, Ki...."
"Sudah kalian periksa dengan teliti?"
Mereka mengangguk. Dan Ki Lawas menghela napas seraya berpaling ke arah Marni. Gadis itu kelihatannya sudah agak tenang. Namun wajahnya masih pucat, menyiratkan perasaan takut.
"Betul, 'kan" Tidak ada siapa-siapa?"
Marni terdiam. Dicobanya kembali mencari-cari laki-laki yang tadi menghantuinya. Seperti apa yang dikatakan Ki Lawas, memang tak ditemukan siapa-siapa selain orang-orang desa yang telah dikenalnya.
"Biar kuantar pulang ya, Den?" tawar Ki Lawas.
Gadis itu mengangguk. "Cucianku tertinggal di sana, Ki...."
"Tidak usah khawatir. Mereka akan mencarikan dan membawanya ke rumahmu," jawab Ki Lawas.
Lalu laki-laki setengah baya ini memerintahkan dua orang yang berada di tempat itu untuk mencari cucian Marni dan membawanya ke rumah Juragan Narayana. Dia sendiri mengantarkan Marni pulang.
? *** ? Kejadian siang tadi betul-betul menghantui Marni. Meski ayahnya telah memperketat penjagaan, namun hati gadis itu tetap saja belum merasa tenteram. Padahal, dia berada dalam kamarnya.
Tok! Tok! Tok! Terdengar suara ketukan di pintu. Gadis itu malas-malasan membukanya. Begitu terbuka, tampak seraut wanita setengah baya muncul, dengan senyum manis. Wanita itu masuk ke dalam, men-dampingi Marni yang terus saja berjalan ke tempat tidur.
"Masih memikirkan laki-laki itu?" tanya wanita setengah baya yang masih terlihat cantik. Dia lantas duduk di sisi tempat tidur. Marni mengangguk
"Jangan turuti kegelisahan itu. Tidak akan terjadi apa-apa. Percayalah. Ayahmu sudah menyuruh orang-orangnya untuk memperketat penjagaan...," hibur wanita ini.
"Orang itu..., ah! Entah apa yang diinginkannya! Sorot matanya menyeramkan, Bu. Aku betul-betul takut...!" keluh Marni.
"Mulai besok kau di rumah saja. Biarkan Mbok Irah yang mencuci pakaian. Lagi pula sudah berkali-kali Ibu katakan, tak perlu bersusah-payah mencuci sampai ke sungai segala. Kita kan punya sumur dan kamar mandi. Kau bisa mencuci kapan saja kau suka. Tapi alasanmu selalu saja ingin ketemu kawan-kawan!" kata wanita setengah baya yang tak lain ibunya Marni. Dia sering dipanggil dengan Nyai Narayana.
Marni terdiam. Pikirannya masih tetap tertuju pada laki-laki berbaju hitam yang menguntitnya. Tak peduli ibunya yang terus mengoceh.
"Sekarang tidurlah. Tak ada yang mesti ditakuti," ujar Nyai Narayana.
"Eh, ibu mau ke mana?" cegah gadis itu ketika wanita setengah baya hendak beranjak dari sisi tempat tidur dan hendak melangkah.
"Kenapa" Kau ingin ditemani?" tukas Nyai Narayana.
Dengan malu-malu, Marni mengangguk. Wani?ta setengah baya itu menggeleng lemah sambil menghela napas. Perlahan dia kembali duduk di tepi ranjang.
"Baiklah. Ibu akan menemanimu di sini...," desah Nyai Narayana.
"Terima kasih, Bu," ucap Marni perlahan.
"Sekarang, tidurlah."
"Aku belum ngantuk. Rasanya mata sulit dipejamkan. Bagaimana kalau Ibu mendongeng?"
"Anak manja! Usiamu sekarang sudah tujuh belas tahun, tahu" Kau masih suka mendengar Ibu mendongeng"!"
Marni tersenyum-senyum melihat ibunya menggeleng-gelengkan kepala.
"Ibu mau, 'kan?" desak Marni.
"Ya, tidak apa. Eh! Sebelumnya Ibu mau tanya, apa tidak pernah terpikir olehmu untuk berumah tangga" Usiamu sudah cukup, Mami."
"Ibu..., bicara apa" Siapa yang mau sama aku yang jelek ini"!" rajuk Marni seraya menyembunyikan wajahnya ke balik bantal.
"Kalau sepertimu saja jelek, lantas yang cantik bagaimana?" tukas Nyai Narayana.
Marni tak menjawab. Dia tersipu-sipu malu.
Rasanya baru kemarin dia menjalani masa kanak-kanak. Dan sekarang usianya mulai beranjak remaja yang berangkat dewasa. Dan telinganya masih kaget mendengar cerita tentang kekasih kawan-kawannya. Juga, apa yang mereka lakukan kala berduaan. Wajah Marni akan bersemu merah bila kawan-kawannya bercerita tentang indahnya saat berkasih-kasih.
Di sisi lain, Marni masih ketakutan bila ada laki-laki yang memperhatikannya. Namun begitu jauh di lubuk hatinya, ada keinginan untuk mencoba peristiwa-peristiwa yang pernah diceritakan kawan-kawannya. Mungkin enak. Dan kelihatannya mendebarkan. Apalagi bicara dengan pemuda-pemuda yang mengejar-ngejarnya.
"Ayo.... Yang cantik itu seperti apa?" ulang Nyai Narayana. "Eee, malah melamun! Nah! Ketahuan sekarang! Kau sudah punya kekasih" Katakan pada ibu, siapa orangnya" Tampankah dia" Siapa namanya" Orang dari desa kita juga"!"
Berondongan pertanyaan itu membuat Marni tergagap. Rona wajahnya berubah-ubah cepat. Apalagi ketika ibunya menyingkap bantal yang menghalangi pandangan.
"Ayo, mengaku...!" desak Nyai Narayana.
"Ibu, itu tak ada! Ibu mengarang-ngarang cerita!"
"Eee, apanya yang tak ada" Apanya yang mengarang-ngarang cerita" Ibu hanya tanya, benar atau tidak. Dan..., memang sudah biasa kalau se?orang gadis tengah kasmaran, pasti tingkahnya serba salah. Termasuk, bicaranya ngawur sepertimu tadi! Ayo, sekarang jawab!"
"Jawab apa?"
"Kau sudah punya kekasih, 'kan?" desak Nyai Narayana sambil tersenyum-senyum.
"Tidak!" sergah Marni.
"Bohong!" kejar Nyai Narayana.
"Sungguh, tidak ada!" tegas Marni.
"Mungkin ada seorang pemuda yang mengejar-ngejar dan sangat tergila-gila padamu. Siapa dia?" pancing wanita setengah baya itu.
Marni tersipu. Dalam hatinya, dibenarkan kata-kata ibunya. Memang ada seorang yang menaksir padanya. Namanya, Kelana. Pemuda desa ini juga. Ayahnya termasuk kawan dekat Ki Narayana, ayahnya Marni. Pemuda itu tampan. Dan..., mung?kin memperhatikan?nya. Dia suka menjemput kalau Marni pulang mencuci di sungai. Suka membawakan bakul cuciannya. Tapi, Marni selalu menolak. Jantungnya berdebar kencang sekali bila berjalan dengannya. Padahal sudah sering pemuda itu dibentaknya agar jangan mengantarnya pulang. Tapi dasar Kelana kepala batu. Dia malah tak pe?duli. Dan tadi siang, sebenarnya Kelana berjanji akan menjemputnya. Belakangan baru diketahui, kenapa Kelana tak muncul. Ternyata pemuda itu tengah pergi ke kota karena suatu keperluan. Dan pada saat Kelana tak muncul, justru datang gangguan yang di luar dugaan.
"Nah, benar kan"!" hiding Nyai Narayana, menyentak lamunan Marni.
"Tidaaak!" sahut Marni, bersikeras.
"Ayo, mengaku!"
Nyai Narayana mulai menggelitiki anaknya yang terus berusaha menghindar.
"Tidak! Tidak ada!"
"Kalau tidak mengaku, akan terus Ibu gelitiki."
Mami terkikik, lalu lompat dari tempat tidur. Tapi ibunya mengejar. Sehingga untuk beberapa saat, mereka saling kucing-kucingan. Marni seperti melupakan perasaan waswas yang sejak tadi menghantui. Sementara ibunya mulai gembira. Namun hal itu tak berlangsung lama. Sebab....
"Seraaang...!"
"Aaa...!"
Terdengar teriakan dari luar, yang disusul teriakan bernada kematian.
"Ohh...!"
Ibu dan anak itu mendesah dengan hati ter?cekat. Mereka langsung berhenti kejar-kejaran, dan saling pandang dengan perasaan waswas.
"Ibu...!" seru Marni. Seketika ibunya dipeluk erat-erat.
*** ? Untuk sesaat Mami dan Nyai Narayana tak tahu harus berbuat apa. Mami menenggelamkan wajahnya ke perut ibunya di sisi tempat tidur. Sedangkan sang ibu hanya bisa mengelus-elus rambut putrinya. Namun ketika terdengar jeritan selanjutnya, Nyai Narayana tersentak.
"Marni, kau harus lari! Selamatkan dirimu!" ujar wanita setengah baya itu.
"Ibu, ada apa?" tanya Marni kebingungan.
Pertanyaan itu tak perlu dijawab, sebab Marni sudah menduga apa yang terjadi. Dan ketakutannya yang tadi reda, kembali muncul dengan hebatnya. Yang terbayang dalam benaknya adalah kemunculan laki-laki berbaju serba hitam yang akan mengobrak-abrik rumahnya.
"Kau di sini dulu! Ibu akan lihat, apa yang terjadi," ujar Nyai Narayana.
"Tidak! Aku ikuuut...!"
Mami tak peduli. Meski hatinya gentar, tapi lebih takut ditinggal seorang diri di kamar ini. Maka buru buru dia menyusul ibunya.
"Tapi kau mesti janji. Kalau terjadi apa-apa, kau mesti cepat melarikan diri, ya?" ingat Nyai Narayana, seraya memegang pundak putri satu-satunya.
Marni tak mengangguk. Juga tak menanggapi peringatan ibunya. Ketakutan betul-betul menguasai hatinya.
"Juragan Putri...!"
Terdengar panggilan yang diiringi munculnya seorang pemuda dengan tergopoh-gopoh. Wajahnya pucat nafasnya turun naik tak beraturan saat tiba di depan Nyai Narayana dan Marni.
"Ada apa, Ludira?" tanya wanita setengah ba?ya itu.
"Kita mesti buru-buru pergi!" sahut pemuda bernama Ludira.
"Iya, tapi apa yang terjadi" Mana suamiku..."!" desak Nyai Narayana.
"Tidak sempat lagi! Ayo cepat! Nanti saja sambil jalan akan kuceritakan. Kita lewat belakang!" sergah Ludira, seraya mengajak keduanya dengan setengah memaksa.
"Ludira, katakan ada apa" Apa yang terjadi?" tanya Marni.
"Dua laki-laki berbaju serba hitam bersenjata pedang. Tiba-tiba saja mereka muncul dan mengamuk. Mereka orang asing. Kepandaian mereka hebat sekali. Tukang pukul Juragan tak mampu menandinginya. Mereka tewas dengan sekali hajar!"
"Ibu...!"
Ketakutan Marni makin menjadi-jadi mendengar cerita itu.
"Cerita Den Mami benar! Tapi, mereka tidak hanya satu, melainkan dua orang. Mereka ingin bertemu Den Marni. Tapi, caranya kasar sekali. Jura?gan coba menghadapinya dengan baik-baik, tapi mereka tak terima. Bahkan menghajar Juragan...," lanjut Ludira.
"Suamiku....! Apa yang terjadi terhadap juraganmu, Ludira?" seru wanita setengah baya itu. Hampir saja dia hendak berbalik kalau Ludira tak mencekal kuat-kuat. Wanita itu berusaha berontak.
"Lepaskan! Aku mesti lihat apa yang terjadi pada suamiku"! Lepaskan, Ludira!" bentak Nyi Na?rayana.
"Juragan Putri... Aku hanya menjalankan perintah dari Juragan Narayana untuk menyelamatkan Juragan Putri dan Den Marni. Lebih baik kita tidak ke sana. Ayo! Cepat, Juragan Putri! Den Marni!"
"Tidak! Aku mesti bertemu suamiku. Ludira! Jangan halangi! Lepaskan!" teriak wanita setengah baya itu
"Aduuuh, tolong, Juragan Putri! Juragan...!"
Sekarang malah Ludira yang berteriak-teriak ketika Nyai Narayana berhasil melepaskan diri dan kabur sekencang-kencangnya ke depan. Marni pun mengikuti jejak ibunya.
Ludira buru-buru mencekal tangan Marni. Meski gadis itu memberontak, namun tak dipedulikannya. Terus saja gadis itu dibawa ke kandang kuda.
"Lepaskan, Ludira! Biar aku menyusul Ibu! Le?paskan!" teriak Marni.
"Maaf, Den Marni! Aku mesti menjalankan perintah...," ucap Ludira.
"Lepaskaaan...!"
"Ya, lepaskan dia...!"
"Oh..."!"
Ludira tercekat ketika terdengar suara dari belakang. Begitu berbalik, tampak berdiri dua sosok tubuh berbaju serba hitam.
"Celaka, Den...!" desah Ludira dengan wajah agak pucat. Tangan kanannya siap meraba gagang golok.
"Lepaskan dia!" bentak salah seorang.
"Tidak bisa."
Ludira coba mengempos keberaniannya untuk menjawab.
"Lepaskan kataku! Atau kepalamu akan kutebas"!"
"Tidak. Pergilah kalian!"
Tiba-tiba Ludira bertindak nekat. Dia berpikir, lebih baik mendahului daripada didahului. Maka langsung dicabutnya golok dan diserangnya kedua laki-laki itu.
"Yeaaa...!"
Kedua laki-laki berbaju serba hitam itu mendengus dingin. Kemudian salah seorang segera melayani serangan.
Sret! "Ukh!"
Cepat dan singkat sekali gerakan laki-laki itu. Sekilas terlihat bayangan putih yang memantul dari pedang panjangnya. Dan tahu-tahu terdengar keluhan tertahan dari mulut. Ludira ambruk bersimbah darah. Sementara pedang, lawan telah kembali ke sarangnya.
"Ludira"!" seru Mami tertahan.
Gadis itu mendekap mulut dan bengong memandangi mayat pembantu ayahnya. Kemudian perlahan-lahan didekatinya mayat Ludira untuk meyakinkan dugaannya. Namun baru beberapa langkah, salah seorang langsung melayang.
Barulah gadis itu menyadari kalau keadaannya saat ini amat buruk.
"lnikah gadis yang kau ceritakan itu, Idashi?" tanya salah seorang laki-laki berbaju hitam.
Laki-laki bernama Idashi yang memeluk Mami terkekeh kecil sambil mengangguk.
"Lepaskan aku! Lepaskaaan...! Keparat, lepaskaaan...!" teriak Mami, garang.
Dengan sekuat tenaga gadis itu berusaha melepaskan diri. Namun sia-sia saja, karena pelukan Idashi kuat bukan main.
"Ayo kita pergi!" ajak kawan Idashi.
"Mau ke mana" Di sini saja, Ichimaru!"
"Idashi! Jangan macam-macam! Jangan sampai kedatangan kita terlalu menyolok di mata penduduk. Kau boleh bawa gadis kesukaanmu.itu. Tapi tidak boleh bersenang-senang di sini!" tukas laki-laki yang bernama Ichimaru.
Idashi mengangguk. Dan dengan gerakan cepat ditotoknya Marni sampai pingsan. Kemudian mere?ka berkelebat meninggalkan halaman belakang rumah Juragan Narayana.
? *** ? 2 ? Dada Kelana terasa bergemuruh bukan main mendengar berita yang menimpa keluarga Ki Nara?yana. Begitu tiba di rumah orang terkaya di Desa Kanoman yang dilihatnya sangat mengiriskan. Mayat-mayat bergelimpangan. Keadaan rumah jura?gan itu masih terlihat porak poranda, Ki Narayana terluka.
"Orang-orang asing. Entah, apa maunya. Mere?ka..., mereka menculik Mami...," tutur istri Juragan Narayana dengan terbata-bata dan air mata berlinang, sambil merawat suaminya.
"Terkutuk!" desis Kelana geram. "Ke mana mereka membawanya?"
Wanita itu menggeleng lemah. Dan air matanya kembali mengalir.
"Yang lain telah berusaha mencari...," sambung Nyai Narayana.
"Bibi, tenang saja di sini. Urus Paman Nara?yana. Biar mereka kukejar," ujar Kelana, pemuda yang selama ini menaruh perhatian pada Marni.
"Kembalikan Mami ke sini, Kelana...."
"Jangan khawatir! Aku akan membawa Marni kembali, Bik!"
Dengan wajah geram dan hati penuh amarah, pemuda itu segera bangkit. Kakinya melangkah lebar, keluar dari rumah Juragan Narayana. Bersama beberapa penduduk desa, dia bertekad mencari orang-orang asing yang telah mengobrak-abrik tem?pat kediaman Marni, gadis yang menarik perhatiannya.
Juragan Narayana sendiri sekarang hanya bisa terbaring, ditemani istri dan beberapa tetangga.
Meski kaya dan memiliki banyak sawah, la?dang, serta heran ternak, laki-laki setengah baya itu bukanlah orang sombong. Perangainya ramah dan pemurah. Tak mengherankan kalau penduduk desa menyayanginya. Maka ketika mendengar musibah yang menimpa keluarga itu, tanpa diminta mereka berbondong-bondong menolongnya. Sebagian mengurus mayat-mayat yang bergelimpangan di halaman depan, dan lainnya mengejar orang-orang ber?baju serba hitam yang telah melarikan diri membawa Marni.
Sementara itu, Kelana terus melangkah ke arah beberapa laki-laki penduduk desa yang tengah berkumpul di depan rumah Kepala Desa. Benaknya menduga yang bukan-bukan akan keselamatan Marni. Dia khawatir para laki-laki asing itu merusak kehormatan Marni. Dan..., kita-kira dia mengerti, di mana tempat orang-orang melakukan perbuatan maksiat!
"Ikut aku, Kang Braja!" ajak Kelana ketika tiba di depan rumah Kepala Desa.
"Ke mana, Kelana?" tanya laki-laki bertubuh kurus yang dipanggil Braja.
"Ke Jurang Langu!" sahut Kelana.
"Ke jurang Langu" Mau apa malam-malam ke sana, Kelana?" tanya Braja lagi.
"Mencari Marni! Memangnya mau apa lagi"!"
"Mencari Marni kok ke sana" Apa kau yakin Mami dilarikan ke sana?"
"Ayolah, kau mau ikut atau tidak?"
"Baiklah. Aku ikut Legawa! Dan kau, Kubil! Ayo temani Kelana!" ujar Braja.
? *** ? Jurang Langu. Sebuah lembah yang tidak terlalu landai. Banyak pepohonan meski tanahnya kebanyakan berbatu dan kelihatan gersang. Di sana berdiri sebuah pondok tua berusia ratusan tahun. Konon, pondok itu dulu pernah ditinggali seorang tokoh persilatan yang tak dikenal penduduk desa itu. Dan tokoh itu dianggap telah meninggal, karena tiada seorang pun yang tahu di mana keberadaannya sampai sekarang. Belakang diketahui kalau pondok itu dijadikan tempat maksiat bagi muda-mudi yang tengah kasmaran dan tak tahan godaan setan.
Meski begitu, tak satu penduduk pun yang berani mengusik. Karena kebanyakan mereka takut mendekati tempat itu, setelah salah seorang penebang hutan menemukan beberapa mayat bergelimpangan di sekitar pondok itu.
Kelana berada paling depan ketika bersama Braja, Legawa, dan Kubil tiba di dekat pondok tua itu. Saat itu malam gelap telah melingkupi sekitarnya. Angin berhembus perlahan. Dia memberi isyarat agar obor-obor dimatikan serta menyiapkan senjata.
"Aduh.... Dengkul ku gemetar...," keluh Braja, berbisik.
"Kang Braja.... Kalau kau takut, lebih baik pulang saja...!" bisik Kubil.
"Iya. Lebih baik kelonan dengan istrimu...!" timpal Legawa.
"Sialan kau, Legawa! Siapa bilang aku takut"!" dengus Braja melotot lebar.
"O, mungkin dengkulnya gemetar karena kebanyakan!" sambung Kubil.
"Kebanyakan apa?" tanya Legawa pura-pura bego.
"Awas kau, Kubil!" ancam Braja.
"Aku bilang Kang Braja dengkulnya gemetar karena kebanyakan..., nyangkul! Iya 'kan, Kang"!" Kubil terkekeh ketika mengucapkan kata-kata itu.
"Nyangkul sawah yang bisa kentut?" tukas Kubil."
Sebelum mereka terkekeh kembali. Kelana su?dah memberi isyarat.
"Kalian ini kenapa" Masih sempat bercanda segala!" desis Kelana.
"Aduh, Kelana marah. Tenang, Kawan. Mami tak apa-apa. Kelihatannya kau sewot betul...!" olok Kubil.
"Sudah, sudah...! Diam kalian!"
Semua terdiam. Perhatian mereka kini sama-sama tertuju ke arah pondok.
"Biar aku yang periksa ke sana...," cetus Legawa.
Saat itu juga, Legawa lompat ke depan. Dia melangkah mengendap-endap ke arah pondok. Na?mun baru saja sampai lima tombak di samping pon?dok, langkahnya terhenti ketika sesosok tubuh tegak berdiri menghadang.
"Heh"!"
? *** ? Melihat keadaan itu, Kelana, Kubil, dan Braja muncul. Mereka langsung mengelilingi seorang laki-laki berpakaian serba hitam. Rambutnya yang pan?jang dikuncir ekor kuda. Matanya sipit, namun menyorot garang.
"Nah, ini orangnya!" seru Braja yang tadi ber?ada di rumah Juragan Karta ketika keributan terjadi.
"Yakin, Kang"!"
"Meski bukan dia, tapi orang ini kawannya. Entahlah, aku tak begitu ingat. Tapi sipit-sipitnya sama. Dan baju serta,.., eeeh!"
Braja terkejut. Langsung dia melompat mundur ketika laki-laki berbaju serba hitam itu menghunus pedang panjang.
"Benar, Kelana! Ini orangnya. Tak salah lagi!" teriak Braja, buru-buru menyelinap di belakang Kelana.
"Kurang ajar! Hei, Bajingan Sipit! Mana Marni" Kembalikan dia pada kami!" bentak Kelana.
"Cari mati! Pergi! Sebelum kepala kalian kutebas!" desis laki-laki berbaju serba hitam itu.
"Huh! Jahanam terkutuk! Masih sempat juga kau menggertak, he"!" dengus Legawa.
Dan tak banyak bicara lagi, Legawa langsung melompat menyerang dengan golok terhunus.
"Huh!"
Disertai dengusan dingin, laki-laki bermata sipit itu mengibaskan pedangnya yang berkilatan.
Tras! Sret! "Aaa...!"
Pedang laki-laki itu kontan mematahkan golok Legawa dan terus menyambar ke dahi. Terdengar jeritan panjang sebelum Legawa tersungkur. Dari dahinya memancur darah segar.
"Legawa...!" seru Kelana dengan suara tercekat.
"Kalian akan bernasib seperti dia! Dan tak ada kesempatan bagi kalian untuk meloloskan diri!" desis laki-laki berbaju serba hitam itu, menyeringai dingin.
"Keparat! Kau harus menebus kematiannya!" desis Kelana, siap melepas serangan. "Yeaaa...!"
Namun Kubil lebih cepat mendahului. Goloknya berkelebat cepat mengibas. Namun dengan enaknya laki-laki itu bergerak ke kiri, seraya mengayunkan pedang.
Tras! Tepat ketika golok kubil terhantam, golok Kelana meluncur datang menuju perut. Dengan kecepatan luar biasa, laki-laki bermata sipit itu memutar pedangnya ke bawah.
Tras! Golok Kubil dan Kelana laksana batang pisang bertemu kelebatan pedang tajam. Putus menjadi dua bagian! Bahkan sebelum mereka menguasai diri, laki-laki bermata sipit itu telah menggerakkan pedangnya cepat bukan main. Lalu.... "
Cras! Cras! "Aaa...!".
Kubil dan Kelana menjerit tertahan sebelum ambruk tak berdaya dengan dahi tertembus pe?dang.
Bruk! "Ohh...!"
Braja terkejut setengah mati melihat kematian kawan-kawannya. Wajahnya pucat pasi dengan tubuh semakin gemetar. Sesaat matanya memandang mayat ketiga kawannya, lalu beralih kepada laki-laki berbaju serba hitam itu. Tanpa sadar kakinya beringsut mundur.
"He he he...! Kau masih menginginkan gadis itu" Dia tengah digilir kawanku. Kau boleh menonton kalau mau. Asal, tidak buat keributan," kekeh orang bermata sipit ini.
"Ma..., Marni?" sebut Braja, tertahan.
"O.... Namanya Marni, ya" Bagus. Dia gadis cantik dan cocok buat kami. Mungkin kau bisa carikan gadis-gadis cantik lainnya buat kami."
"Oh! Bi..., bisa, Tuan! Bisa!"
sahut Braja cepat setengah berlutut.
"Sekarang, Tuan?"
"Ya, sekarang."
"Kalau begitu, baiklah! Akan kucarikan segera!"
Braja sudah akan bangkit dan bermaksud kabur secepatnya.
"Enak saja! Kalian kira aku germo! Rasakan! Nanti akan kubawa semua penduduk desa untuk menghabisi kalian!" umpat Braja dalam hati.
"Tunggu dulu!" cegah laki-laki asing itu.
"Eh! Apa lagi, Tuan?" tanya Braja.
"Maksudku, kau boleh mencarikannya dari akhirat sana!"
"Hah"!"
Mata Braja terbelalak lebar. Dan lututnya lemah seperti lumpuh. Sukmanya terasa terbang ketika mendengar ancaman itu. Apalagi ketika melihat la?ki-laki berbaju serba hitam itu mengangkat pedang.
Pendekar Rajawali Sakti 208 Ancaman Dari Utara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tu..., Tuan! Ampuni jiwaku. Ampuni aku, Tuan...," ratap Braja seraya bersujud mencium kaki laki-laki itu.
Tapi laki-laki itu tak mempedulikannya. Dengan kasar ditendangnya kepala Braja. Duk!
"Akh!"
Braja tergeser beberapa langkah disertai jerit tertahan. Namun, buru-buru dia kembali bersujud di kaki orang itu. Namun sebelum hal itu dilakukan, mata pedang laki-laki sipit ini telah menyambar ke dahi.
Cras! "Aaa...!"
Braja kontan melotot lebar dengan mulut ternganga. Darah mengucur dari dahi, lalu ambruk tak berdaya.
Trek! Laki-laki berbaju serba hitam itu mendengus dingin. Kembali pedangnya disarungkan setelah membersihkan percikan darah.
"Buntaro, ada apa?"
Terdengar suara dari belakang yang disertai munculnya seseorang di tempat itu. Seseorang yang juga berpakaian sama dengan laki-laki yang berna?ma Buntaro.
"Empat kecoa coba mengejar kita ke sini, Yamaguchi. Jangan khawatir, mereka telah kubereskan," sahut Buntaro.
"Hmm!" gumam laki-laki bernama Yamaguchi seraya memperhatikan keempat mayat itu sebentar. "Sekarang giliranmu!"
"He he he...! Dia tentu hebat, ya?" kekeh Buntaro.
"Kau akan merasakannya sebentar lagi."
Buntaro terkekeh, langsung berbalik. Kakinya melangkah lebar-lebar memasuki pondok. Sementara Yamaguchi menyusul beberapa saat kemudian, telah memeriksa dan merasa yakin tak ada lagi orang yang akan mengganggu mereka.
? *** ? "Heaaa...!"
Seekor kuda berlari kencang membelah jalan kota Kadipaten Demak. Baru ketika tiba di depan sebuah halaman luas, penunggangnya menarik tali kekang. Dan kini, kuda itu memasuki halaman se?buah bangunan besar. Seorang laki-laki setengah baya mengambil tali kekang, ketika laki-laki penunggang kuda turun.
"Tolong mandikan dan beri makan rumput yang segar!" ujar penunggang kuda itu.
"Baik, Den!" sahut laki-laki setengah baya.
Laki-laki penunggang kuda itu hendak me?langkah lebar, namun niatnya diurungkan. Dia ingat sesuatu.
"Kanjeng Adipati ada?" tanya laki-laki penung?gang kuda yang berpakaian serba putih ini.
"Ada, Den! Sedang menerima tamu," sahut pengurus kuda itu. "Siapa?"
"Tidak tahu. Tapi kedua tamu itu datang bersama Den Wirabuana."
"Bagaimana tampang mereka?"
"Seram..., seperti orang-orang persilatan. Yang seorang berbaju merah dan matanya picak. Senjatanya tombak bermata tiga. Yang seorang lagi berbaju biru tua, membawa senjata pedang besar," jelas pengurus kuda itu.
"Hmm! Agaknya mereka si Tombak Mata Empat dan si Pedang Akhirat," gumam laki-laki berperawakan sedang berusia sekitar tiga puluh lima tahun seraya melangkah masuk ke dalam setelah melewati beberapa pengawal berseragam.
Beberapa penjaga yang berpapasan memberi hormat. Namun laki-laki ini hanya mengangguk dan terus masuk ke dalam sebuah ruangan besar mirip balairung.
"Kanjeng Adipati Sangkaran, hamba menghadap!" seru laki-laki berpakaian serba putih ini de?ngan sebelah lutut mencium lantai.
Seperti yang dikatakan pengurus kuda tadi, Kanjeng Adipati memang tengah kedatangan dua orang tamu yang dibawa Ki Wirabuana, salah se?orang kepercayaan Kanjeng Adipati seperti dirinya.
"Ah! Kau rupanya Seda Lepen! Silakan duduk!" ujar seorang lelaki berperawakan gemuk dan berkumis tebal yang duduk di kursi kebesarannya.
Orang ini berusia sekitar empat puluh tahun lebih. Dialah penguasa di wilayah Kadipaten Demak.
Laki-laki berbaju serba putih yang ternyata bernama Seda Lepen mengambil tempat duduk yang ada di hadapan Ki Wirabuana.
"Hamba membawa berita, Kanjeng...," lapor Seda Lepen.
"Berita apa yang kau bawa?" tanya Adipati Sangkaran
Seda Lepen melirik kedua tamu yang dibawa Ki Wirabuana. Terus terang, hatinya merasa ragu untuk menyampaikan berita yang dibawa.
"Katakan saja yang penting-penting!" desak Kanjeng Adipati, seperti mengerti kecurigaan di hati salah satu orang kepercayaannya ini terhadap dua tamunya.
"Baiklah, Gusti...," desah Seda Lepen.
"Maaf, Gusti! Hamba menyela pembicaraan," sela Ki Wirabuana.
"Ada apa Wirabuana?" tanya Adipati Sang?karan.
"Ada baiknya kalau hamba menunjukkan tem?pat bagi mereka...."
"Ah, ya! Itu baik sekali! Silakan!"
Ki Wirabuana dan dua tamunya memberi hormat, sebelum meninggalkan tempat itu. Setelah me?reka berlalu dari ruangan, kelihatan kalau Seda Le?pen sedikit leluasa menjelaskan berita yang dibawa.
"Katakan, berita apa yang kau bawa?" tanya Adipati Sangkaran.
"Kita kedatangan empat tamu, Kanjeng Adi?pati! Mereka hebat!" lapor Seda Lepen.
"Mana mereka?"
"Hamba belum membicarakan hal ini. Tapi, kehebatan mereka tak diragukan lagi.
"Dari mana kau bisa seyakin itu?"
"Hamba melihat sendiri, Kanjeng Adipati. Ilmu olah kanuragan mereka aneh dan ganas. Apalagi kalau tengah menggunakan senjata. Keempat orang asing itu rasanya sepadan dengan keinginan Kan?jeng!"
"Orang asing?"
"Benar, Kanjeng. Mereka orang asing. Berpa?kaian serba hitam dan bersenjata pedang panjang. Mata mereka sipit dan berkulit kuning," jelas Seda Lepen.
"Hmm!"
Kanjeng Adipati bergumam pendek sambil mengerutkan dahi. Kemudian memandang kembali pada Seda Lepen.
"Kalau begitu kau boleh bawa mereka kemari, untuk menunjukkan kehebatan di depanku!"
"Kalau Kanjeng Adipati telah mengizinkan, maka tentu saja akan hamba kerjakan secepatnya. Tapi...."
"Tapi apa?" potong Adipati Sangkaran.
"Hamba ingin kelihatan kalau ini soal resmi. Oleh karena itu harap sertakan beberapa prajurit dan..., sejumlah uang," papar Seda Lepen.
"Untuk apa semua itu Seda Lepen"!" seru Kan?jeng Adipati dengan wajah sedikit kaget.
"Maaf, Kanjeng Adipati! Sekali lagi maafkan kelancangan hamba. Tapi semua ini demi tercapainya cita-cita Kanjeng. Kita memilih orang yang hebat. Dan biasanya, orang-orang hebat itu sadar akan dirinya, lalu banyak tingkah. Namun dengan adanya para prajurit, dia tentu maklum tengah berurusan dengan negara. Sedangkan uang yang ham?ba maksudkan adalah, kalau-kalau dia meminta bayaran di muka lebih dulu. Begitulah, Kanjeng. Tak ada maksud hamba yang lain di balik semua ini, selain ingin mendatangkan keempat orang itu secepat mungkin ke hadapan Kanjeng...," jelas Seda Lepen.
"Menurutmu, berapa harga mereka seorang?" tanya Kanjeng Adipati, mulai termakan ucapan Seda Lepen.
"Kalau Kanjeng berani membayar yang lainnya sekeping uang perminggu. Maka untuk mereka mungkin sudah cukup dua keping uang emas per?minggu. "
Adipati Sangkaran tersenyum sambil manggut-manggut.
"Seda Lepen! Aku punya jago-jago hebat di si?ni. Kenapa kau kira keempat orang asing itu lebih hebat ketimbang mereka" "Apakah kau hanya melebih-lebihkan saja?" tukas Kanjeng Adipati.
"Hamba telah melihat sebagian besar kehe?batan jago-jago kadipaten. Dan ketika melihat ke?hebatan mereka, maka jelas hamba bisa membandingkannya. Dan rasanya, hamba tak salah, Kan?jeng...," kilah Seda Lepen.
"Baiklah.... Kalau kau begitu yakin, maka bawalah mereka ke sini!"
"Terima kasih, Kanjeng Adipati...."
"Bawa beberapa prajurit yang kau sukai. Lalu mintalah pada bendahara kadipaten sejumlah uang yang kau butuhkan!"
"Terima kasih, Kanjeng. Terima kasih!"
Setelah berdiri dan membungkuk, Seda Lepen berlalu dari ruangan itu.
Kanjeng Adipati Sangkaran memperhatikan sambil tersenyum-senyum, sampai Seda Lepen menghilang dari ruangan ini.
"Kalau saja apa yang dikatakannya benar, maka lengkaplah sudah prajurit-prajuritku! Dan setelah itu, cita-citaku akan terwujud cepat. He he he...!"
? *** ? 3 ? Sepak terjang orang-orang berpakaian serba hitam dengan mata sipit semakin membuat resah penduduk di wilayah Kadipaten Demak. Mereka menculiki beberapa gadis, dan merusak kehormatannya secara paksa. Beberapa penduduk yang coba menguntit dan meringkus, kedapatan binasa secara mengerikan. Kejadian ini benar-benar mere sahkan. Dan para penduduk tak tahu, mesti berbuat apa. Satu-satunya jalan bagi orang tua yang memiliki anak gadis adalah mengungsikannya ke tempat yang cukup jauh dari wilayah Kadipaten Demak. Namun yang tak memiliki saudara atau kenalan di tempat lain, terpaksa bahu-membahu dengan keluarga lain untuk memperketat penjagaan.
Kejadian seperti itu telah beberapa kali mengguncang Desa Maspati yang termasuk dalam wila?yah Kadipaten Demak. Terlihat beberapa laki-laki dewasa saling jaga bergantian. Mereka selalu siap dengan senjata masing-masing, dan cepat bergerak bila melihat gelagat yang tak beres.
Sore belum lagi sirna. Suasana masih agak terang ketika seorang laki-laki berbaju serba hitam mendatangi rumah besar yang pintu gerbangnya dijaga lima pemuda.
"Maaf, aku mau bertemu pemilik rumah ini," kata laki-laki itu.
Kelima pemuda penjaga rumah besar ini lang?sung lompat menghadang. Mereka memandang laki-laki bermata sipit itu dengan sorot mata tajam. Dari cara bicara dengan bahasa yang terpatah-patah dan dengan logat aneh, jelas kalau laki-laki itu dari negeri asing.
"Kelihatannya kita menemukan orang yang dimaksud!" bisik pemuda yang berbaju merah de?ngan kepala terikat kain merah pula.
"Kau yakin, Jarot?" tukas pemuda yang berba?ju coklat.
"Pasti, Boma! Orang ini berbaju serba hitam, bermata sipit, dan berambut panjang dikuncir. Dan dia punya pedang panjang. Dari cara berpakaian, sudah diketahui kalau mereka bukan penduduk negeri ini," sahut pemuda bernama Jarot.
"Kalau begitu, kita mesti bersiap!" ujar pemuda bernama Boma.
Empat pemuda lainnya mengangguk.
"Apa kalian tuli"! Aku ingin bertemu pemilik rumah ini!" tegas laki-laki berbaju hitam itu dengan suara agak kasar.
"Beliau tak ada?" sahut pemuda berbaju ku?ning.
"Sudah pindah!" timpal yang lainnya.
"Sebaiknya kau pergi saja!"
"Kalian coba menipuku" He he he...!" kekeh laki-laki berbaju hitam itu. "Tak ada gunanya! Di dalam ada tiga gadis cantik dalam sebuah kamar. Dan sebentar lagi, mereka akan keluar menemaniku."
"Aaa...!"
Baru saja selesai bicara laki-laki itu, terdengar jeritan dari dalam. Kelima pemuda itu terkesiap. Di dalam ada empat pemuda lagi yang menjaga ketiga gadis yang dimaksud. Maka begitu mendengar teriakan seperti jerit kesakitan, kontan mereka curiga.
"Tunggu di sini! Aku ke dalam!" kata Boma.
"Tak perlu repot-repot. Kawan-kawanku te?ngah mengurus mereka...," ujar laki-laki berbaju hitam itu.
"Apa"! Kurang ajar! Kalian apakan saudara-saudara kami"!" dengus yang bernama Jarot.
Boma tak peduli lagi. Dia terus berlari ke dalam.
"Siapa pun yang menghalangi kami, maka...!"
Orang asing itu menempelkan sisi telapak tangannya ke leher, lalu menggerakkannya ke samping. Mukanya kelihatan melebar, ketika dahi-nya dinaikkan. Sementara bibirnya mengulas se?nyum, mengejek.
"Bangsat! Kalau begitu kau saja yang mampus lebih dulu!"
Jarot yang lekas naik darah langsung menghunus golok. Dia melompat, menebas batang leher laki-laki di depannya.
"Hiaaat!"
"Huh!"
Laki-laki berbaju serba hitam itu mendengus dingin. Sedikit tubuhnya dimiringkan, maka golok itu luput dari sasaran. Dan mendadak sebelah ta?ngannya menangkap pergelangan tangan Jarot La?lu kaki kanannya menyapu ke ulu hati.
Des! "Hugkh!"
Pemuda bersenjata golok itu hanya mampu mengeluh tertahan ketika tendangan tadi mendarat di perutnya. Tangannya tak mampu bergerak seper?ti dicengkeram capit baja. Dari mulutnya menyembur darah segar. Lalu, tubuhnya lunglai tak berdaya ketika dihempaskan.
"Jarot!" seru salah seorang pemuda, kaget.
Mereka menghampiri, dan memeriksa luka yang diderita Jarot Namun pemuda itu hanya mampu bertahan sebentar. Mulutnya terbuka lebar, ingin mengatakan sesuatu. Tapi tak ada yang keluar selain hembusan nafasnya yang terakhir.
"Keparat!"
"Terkutuk kau!"
"Kubunuh kau! Kubunuh kaaauuu...!" Ketiga pemuda itu menggeram marah. Serentak mereka menyerang dengan golok terhunus.????????????????????? "Hmm...!"
Laki-laki berbaju serba hitam itu menggumam tak jelas. Namun secepat kilat meloloskan pedang.
"Heaaa...!"
Diiringi bentakan keras pedang itu berkelebat, memapas golok-golok.
Tras! Tras! Tras!
Belum sempat ketiga pemuda itu berbuat sesuatu, pedang ini terus menyambar dahi.
Cras! Cras! Cras!
"Aaa...!"
Kejadian itu berlangsung cepat dan singkat. Kemudian pedang itu kembali ke dalam sarung, tepat saat ketiga pemuda ini ambruk dengan dahi mengucurkan darah dengan teriakan hampir berbarengan.
Sementara dari dalam rumah terlihat tiga sosok bayangan hitam mendekat. Masing-masing memanggul satu sosok tubuh ramping. Jelas, sosok wanita.
"Beres?" tanya laki-laki ber?pakaian serba hitam ketika ketiga sosok itu tiba di depannya.
Ketiga sosok berpakaian serba hitam pula mengangguk.
"Mari kita pergi!"
Meski sebagian penduduk desa mengetahui apa yang terjadi, namun tak satu pun yang mau membantu. Bukan mereka tak peduli. Namun, agaknya para penduduk tahu, apa akibatnya kalau berani ikut campur. Dan ketimbang mati sia-sia, lebih baik diam saja!
? *** ? "Berhenti...!"
Terdengar bentakan keras, membuat empat so?sok berpakaian serba hitam yang tiga di antaranya masing-masing membawa tiga tubuh ramping lang?sung berhenti di perempatan jalan utama. Begitu mereka berbalik, tampak serombongan prajurit berseragam menghampiri dengan langkah lebar. Paling depan adalah laki-laki berpakaian serba putih. Dialah yang memimpin rombongan prajurit ini.
Empat orang asing itu memandang dengan kening berkerut Salah seorang yang tak memondong tubuh ramping, melangkah maju mendekati pemimpin rombongan prajurit itu.
"Kami dari tentara Kadipaten Demak yang mendapat perintah agar kalian menghadap Kanjeng Adipati!" kata laki-laki berpakaian serba putih yang tak lain Seda Lepen.
"Apa kesalahan kami?" tanya laki-laki berpa?kaian serba hitam, mewakili kawan-kawannya.
"Hmm!" gumam Seda Lepen. Matanya memandang tiga gadis yang tengah dipondong laki-laki berbaju serba hitam. "Menculik gadis-gadis itu!"
"Kisanak! Kalian salah duga! Mereka adalah kekasih kami. Dan kami tengah bermain-main...," kilah laki-laki bermata sipit ini.
"Bermain-main dengan kekasih yang dalam keadaan tertotok?" sindir Seda Lepen.
Mendengar sentilan ini, laki-laki berbaju serba hitam itu diam membisu. Tak tahu apa yang mesti dijawabnya..
"Sebaiknya berterus-terang saja. Kami bisa menyediakan keinginan kalian. Dan..., tentunya ada imbal balik," sambung Seda Lepen.
"Apa maksudmu?" tanya laki-laki asing ini.
"Aku Seda Lepen, tangan kanan Kanjeng Adipati. Beliau tertarik mendengar kehebatan ka?lian...."
"Hmm, lalu?"
"Kalian telah banyak membuat kerusuhan di wilayah ini. Dan menurut hukum yang berlaku, mestinya kalian digantung. Namun Kanjeng Adipati adalah seorang yang berpikiran luas. Jadi, kalian akan diampuni serta diberi hadiah besar, bila kau bekerja untuk beliau...," jelas Seda Lepen dengan muka manis.
"Kalau kami menolak?"
"Hukuman gantung itu akan berlaku! Tapi, sebaiknya kalian pikirkan baik-baik. Sebab, Kanjeng Adipati tak bermaksud menyusahkan. Sedikit kerjasama, maka Kanjeng Adipati akan membuat ka?lian senang."
Laki-laki asing tidak buru-buru menjawab. Ma?tanya melirik pada ketiga kawannya. Mereka berembuk agak lama, sebelum memutuskan sesuatu.
"Kalau kami membantu beliau, apakah kalian akan mengabulkan keinginan kami?" tanya laki-laki asing itu.
"Tentu saja! Kalian mau apa" Wanita-wanita cantik setiap malam" Uang emas, dan tempat tinggal yang nyaman" Kanjeng Adipati pasti akan se?nang mengabulkannya!" sahut Seda Lepen, tegas.
"Selain itu ada keinginan kami yang lain!" tambah laki-laki asing ini.
"Katakanlah, apa itu?"
"Kalian mesti mencarikan seseorang yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti untuk kami'"
"Pendekar Rajawali Sakti"!" desis Seda Lepen dengan wajah kaget.
"Kenapa" Kau tak sanggup"!"
"Eh, kenapa tidak" Tentu saja kami sanggup. Kalau boleh tahu, untuk urusan apa kalian mencari-carinya?"
"Dia punya hutang nyawa pada kami!" dengus laki-laki berbaju hitam itu.
Seda Lepen mengangguk-angguk.
"Memang, orang-orang seperti kalian banyak yang mencari-cari Pendekar Rajawali Sakti untuk urusan dendam. Namun jarang ada yang berani terang-terangan. Kebanyakan mereka takut mende?ngar nama besar Pendekar Rajawali Sakti. Tapi kurasa kalian tidak seperti itu...."
"Cuhhh! Orang lain boleh takut padanya! Tapi bila dia berani muncul di depanku, kepalanya akan menggelinding!" dengus laki-laki berbaju hitam itu.
"Ha ha ha...! Aku percaya, karena kalian mempunyai kemampuan hebat. Sejak pertama, sepak terjang kalian telah kuikuti dan kulaporkan pada Kanjeng Adipati. Dan beliau amat menghargai se?kali kemampuan kalian yang luar biasa. Nah! Sebagai pertanda kerjasama kita, maukah kalian memperkenalkan diri?" puji Seda Lepen.
"Aku Buntaro. Dan ini Yamaguchi. Ini Idashi, dan Ichimaru."
Seda Lepen sedikit bingung dengan dahi berkerut. Untuk saat ini, dia mungkin tak akan lupa nama dan wajah mereka. Tapi nanti, dia mungkin agak lupa. Sebab wajah keempatnya hampir mirip.
Setelah mengamat-amati beberapa saat, barulah Seda Lepen menemukan perbedaan itu. Yaitu, pada ikat pinggang serta ronce di hulu gagang pe?dang mereka. Buntaro memakai warna merah. Sedangkan Yamaguchi kuning. Idashi berwarna putih, serta Ichimaru memakai warna hitam.
"Mari kita berangkat!" ajak Seda Lepen.
"Sekarang?" tanya Buntaro.
"Ya! Tak ada yang mesti ditunda lagi. Bukankah kesepakatan telah kita buat?"
Buntaro tak langsung menjawab, melainkan melirik pada ketiga kawannya. Mereka pun sekilas menoleh pada tiga sosok wanita yang tengah dipondong. Dan sekilas saja Seda Lepen mengetahui apa yang memberatkan.
"Bawa ketiganya! Anggap saja itu hadiah pertama dari Kanjeng Adipati!" ujar Seda Lepen.
? *** ? Desa Watu Ukur merupakan daerah yang sering dilalui orang yang hendak ke wilayah Kadipaten Demak, atau sebaliknya yang hendak meninggalkan tempat itu dari wilayah barat. Tak heran kalau tempat ini cukup ramai dikunjungi pendatang.
Siang ini, seperti biasa banyak pedagang atau pengelana yang kebetulan melewati tempat ini.
Keramaian itu ditingkahi pula oleh suara orang yang menggebah kudanya dengan kencang di pinggir desa. Debu tampak mengepul tinggi ke atas. Tidak jauh di belakang, pada jarak sekitar empat atau lima langkah, tiga orang penunggang kuda mengejarnya.
Ketiga penunggang kuda yang di belakang itu mengacung-acungkan pedang dan tombak. Mereka kelihatan .garang sekali sambil berteriak-teriak mengancam.
"Lebih baik kau berhenti dan serahkan jiwamu, Jonggol Maraka!" teriak salah seorang pengejar.
"Ha ha ha...! Mau lari ke mana kau" Tak se?orang pun yang bisa menolongmu saat ini!" timpal yang berada di tengah.
"Huh! Tanganku sudah gatal ingin memotes kepalanya!" dengus orang yang berkuda paling kiri sambil menga?cungkan tombak. Tangan kirinya menarik tali kekang, lalu menggebah kudanya hingga berlari lebih kencang lagi.
"Hiih...!"
Tiba-tiba saja laki-laki itu melempar tombak ditangannya. ?? Siuutt!
Tombak meluncur ganas, mengincar punggung penunggang kuda yang berada di depan. ?????????????
"Uts!"
Laki-laki bernama Jonggol Maraka terpaksa membungkuk. Namun tindakannya tak banyak membantu, karena lemparan tombak agak ke bawah. Mau tak mau terpaksa dia melompat dan lang?sung bergulingan.
Crab! "Hieeekh...!"
Tombak itu menancap tepat di tengkuk kuda yang ditunggangi Jonggol Maraka. Terdengar jerit kesakitan hewan itu, sebelum ambruk dan menggelepar-gelepar. Sementara, Jonggol Maraka telah cepat bangkit berdiri.
"Hoop!"
Ketiga laki-laki yang mengejar Jonggol Maraka langsung berlompatan setelah menghentikan kuda. Ketiga orang yang kepalanya tertutup kain hitam dengan dua lubang di bagian mata itu langsung mengurung.
"He he he...! Hari ini kau tak akan bisa lari lagi, Jonggol Maraka. Lebih baik menyerah. Dan relakan lehermu ku potong!" ejek salah seorang bertopeng hitam sambil terkekeh lebar.
Jonggol Maraka mendengus geram. Matanya disipitkan. Dalam jarak dekat seperti ini, dia belum juga mampu menebak siapa ketiga orang ini.
"Siapa sebenarnya kalian"! Dan, apa yang ka?lian inginkan dariku"! Tidak tahukah kalian tengah berhadapan dengan pejabat kerajaan"!" gertak Jonggol Maraka.
"Siapa kami kau tak perlu tahu!" dengus orang bertopeng yang bersenjata pedang. "Kami menginginkan kepalamu! Dan ini tentu saja tak salah alamat, karena kau telah memperjelasnya."
"Jadi kalian sengaja mengincar ku?" tukas Jonggol Maraka.
"Kau cerdik, sayang nyawamu bakal melayang!"
"Huh! Jangan harap aku akan menyerah begitu mudah!" dengus Jonggol Maraka.
"Dua puluh prajurit mu telah mampus! Apalagi yang kau harapkan" Bersiaplah menyusul mereka!" dengus orang bertopeng yang tadi melemparkan tombak. Dan tadi tombaknya telah dicabut dari punggung kuda Jonggol Maraka.
"Heaaat..!"
Disertai bentakan keras laki-laki bersenjata tom?bak itu langsung menyerang. ??????????????????????????????
Wuuuk! "Mampus!"
Jonggol Maraka melompat ke samping, ketika ujung tombak itu hendak menghujam ke dada. Namun orang bertopeng itu tidak berhenti sampai di situ. Begitu serangannya gagal, tubuhnya lang?sung berputar. Langsung dilepaskannya satu tendangan berputar.
Jonggol Maraka tak kalah sigap. Lengan kanannya cepat mengibas dari kin ke kanan.
Plak! "Uhh...!"
Jonggol Maraka mengeluh tertahan dengan tubuh terjajar. Wajahnya berkerut menahan rasa sakit. Dan sebelum dia berbuat sesuatu, ujung tombak orang bertopeng telah menyambar dadanya.
Cras! "Wuaakh...!"? .
Jonggol Maraka menjerit kesakitan sambil membekap dadanya yang terluka lebar. Dari sela-sela jarinya merembes darah segar. Belum juga dia menotok lukanya untuk menghentikan darah, satu tendangan geledek telah menggedor dadanya.
Desss...! "Aaa...!"
Jonggol Maraka kontan terjungkal roboh bebe?rapa langkah ke belakang.
"Berdoalah sebelum berangkat ke akhirat!" ejek orang bersenjata tombak menyeringai lebar.
Kedua orang bertopeng lainnya hanya terke?keh, memandangi kawannya yang siap melompat dengan tombak terhunus. Tak ada waktu buat Jonggol Maraka untuk menghindar. Apalagi keadaannya amat payah. Bahkan untuk berguling pun rasanya sulit. Dia hanya mampu memejamkan mata dan menghela napas. Pasrah akan kematian yang akan menimpanya sebentar lagi.
Namun sebelum orang bertopeng itu melompat dan menghujamkan tombak ke jantung....
"Kisanak! Rasanya tak pantas kau berbuat begitu pada orang yang tengah sekarat!"
"Heh"!"
Terdengar teguran yang disusul berkelebatnya satu bayangan putih. Ketiga orang bertopeng itu tersentak, langsung memandang kesatu orang. Tahu-tahu di depan mereka berdiri seorang' pemuda tampan berbaju rompi putih. Di balik punggungnya tampak gagang pedang berbentuk kepala burung.
"Siapa kau, Bocah" Apa maumu"!" bentak salah satu orang bertopeng.
"Aku Rangga, seorang pengembara yang pa?ling benci melihat orang-orang telengas macam ka?lian. Lawan kalian telah tak berdaya, mengapa ha?rus bertindak kejam lagi sahut pemuda yang ternyata Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti.
"Kurang ajar! Kau tak tahu tengah berhadapan dengan siapa"!" desis salah satu orang bertopeng yang bersenjata kapak dengan hati menggelegak penuh amarah. Dia langsung lompat menyerang.
"Yeaaa...!"
Begitu lawan bergerak menyerang, Pendekar Rajawali Sakti segera membuat kuda-kuda rendah. Dia bersiap menghadapi segala kemungkinan.
? *** ? Selanjutnya
? Ancaman Dari Utara
Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 . 208. Ancaman Dari Utara ~ Bag. 4-6
14. Juli 2015 um 09:07
4 ? "Hup!"
Pendekar Rajawali Sakti melenting ringan, sehingga tebasan kapak hanya lewat beberapa jari di bawah kakinya. Begitu mendarat, laki-laki berto?peng itu telah kembali menyambarkan kapak.
"Uts!"
Rangga meliukkan tubuhnya, seraya melepas gedoran kepalan tangan ke dada.
Orang bertopeng itu mundur dua langkah, sehingga kepalan pemuda berbaju rompi putih itu dapat dihindari. Namun Pendekar Rajawali Sakti membarengi dengan tendangan beruntun ke dada. Begitu cepat gerakannya. Sehingga....
Duk! Duk!
Pendekar Rajawali Sakti 208 Ancaman Dari Utara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aaakh...!"
Tak ampun lagi orang bertopeng bersenjata kapak itu terjungkal roboh disertai jerit kesakitan. Isi dadanya seperti remuk menerima tendangan geledek tadi.
Dua orang bertopeng lainnya melengak kaget. Mereka tak menyangka pemuda berompi putih itu demikian hebat. Untuk sesaat dahi keduanya ber?kerut, coba mengingat-ingat di mana mereka pernah mengenal ciri-ciri khas pemuda ini.
"Kenapa kalian diam saja"! Ayo, bantu aku menghajarnya!" bentak laki-laki bertopeng yang bersenjata kapak dengan wajah berang.
"Eeeh!"'
Keduanya kaget. Namun secepatnya mereka menghunus senjata dan langsung menyerang pe?muda itu bersamaan.
"Heaaa...!"
"Yeaaat!"
"Pengecut-pengecut seperti kalian memang membuatku muak saja!" desis Pendekar Rajawali Sakti sambil tersenyum dingin. "Kalian terlalu memaksa, namun jangan dikira aku akan membiarkannya...."
"Heaaa...!"
Tanpa mempedulikan kata-kata Rangga, ketiga orang bertopeng itu menyerang berbarengan de?ngan hebat. Senjata mereka berseliweran menimbulkan angin menderu-deru tajam.
Rangga segera mengerahkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Tubuhnya bergerak ringan dan gesit meliuk-liuk indah bagai orang mabuk di antara kelebatan golok lawan-lawannya.
"Kemampuan kalian hebat. Sayang, digunakan untuk jalan sesat...," gumam Rangga.
"Setan! Jangan berkhotbah di depan kami!" bentak orang bertopeng yang bersenjata pedang.
"Kuremukkan batok kepalamu, Bocah!"
"Bicara kalian kelewat besar, Sobat! Tapi ke?mampuan kalian sekecil tahi kuku," kata Rangga mulai memanas-manasi.
"Kurang ajar!"
Secara serempak ketiga orang bertopeng itu menyerang dengan mengerahkan segenap kemam?puan yang dimiliki. Namun kali ini Pendekar Raja?wali Sakti tak ingin hanya menghindarinya saja. Be?gitu salah seorang menghujamkan tombak, dia me?lompat ke belakang. Pada saat yang bersamaan, dua orang yang masing-masing bersenjata kapak dan pedang sudah mengejar. Satu mengincar kepa?la dan seorang lagi mengincar perut.
Rangga cepat mengembangkan kedua tangan dengan telapak membentuk paruh rajawali. Dibuatnya beberapa gerakan dengan kaki bersilangan. Dari gerakannya jelas kalau Pendekar Rajawali Sakti tengah membuka jurus awal 'Sayap Rajawali Membelah Mega'.
Kedua lawannya terkesiap. Namun mereka tetap meneruskan serangan. Tepat ketika senjata-senjata itu berkelebat, Rangga memiringkan tubuhnya sambil mengibaskan tangannya yang berisi tenaga dalam sempurna.
Tak! Tak Senjata-senjata itu kontan ber?patahan. Dan sebelum kedua orang bertopeng itu menyadari, Pendekar Rajawali Sakti telah memutar tubuhnya seraya melepas tendangan setengah melingkar.
Des! Des! "Aaakh...!"
Kedua orang itu kontan tersentak disertai te?riakan tertahan ketika tendangan Rangga mendarat telak di tubuh masing-masing.
"Aku tahu! Dia si Pendekar Rajawali Sakti!" seru orang yang bersenjata tombak, tanpa menerus?kan serangan.
Kedua orang yang baru saja mendapat hadiah dari Pendekar Rajawali Sakti tercekat sambil merangkak bangun. Mereka memandang pemuda itu dengan sorot mata tak percaya.
"Tak mungkin!" desis orang yang bersenjata pedang, setelah mampu bangkit.
"Tapi nyatanya begitu!" sahut orang yang ber?senjata tombak. "Aku yakin dengan ciri-cirinya. Lihatlah gagang pedangnya yang berbentuk kepala burung itu. Lebih baik kabur selagi ada kesempatan, karena sia-sia saja bila melawannya."
"Tapi...."
Orang yang bersenjata kapak agak ragu. Na?mun seketika kedua kawannya angkat kaki, mau tak mau terpaksa dia mengikuti. Bertiga saja mereka tak mampu menghajar pemuda itu, apalagi kini seorang diri.
Rangga tersenyum, tak berusaha mengejar. Matanya memperhatikan sebentar, sampai mereka menghilang dari pandangan.
"Kisanak! Kenapa kau lepaskan" Mestinya orang seperti mereka tak perlu diampuni! Mereka telah menumpas prajurit-prajurit kerajaan!" tegur Jonggol Maraka, menyadarkan Rangga.
"Apakah Kisanak dari kerajaan?" Rangga ma?lah balik bertanya.
"Benar! Namaku Jonggol Maraka, panglima regu kecil yang biasa bertugas keliling wilayah Kerajaan Pasir Angin," sahut Jonggol Maraka.
"Aku Rangga...."
"Dan kau yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti!" serobot Jonggol Maraka. "Ah, sudah lama aku mendengar nama besarmu, Pendekar Rajawali Sakti!"
Rangga tersenyum.
"Maaf, panggil aku Rangga saja, Ki Jonggol. Oh, ya, Ki. Aku tak tahu duduk persoalannya. Jadi tak ada alasan bagiku untuk meringkus mereka. Dari kejauhan kulihat mereka mengeroyokmu. Dan kulihat pula dari wajahmu, kau bukan orang jahat. Itulah yang membuatku tergerak menolong...," ucap Rangga, sopan.
"Sudahlah, tak apa. Kau memang tak salah, Rangga...," desah Jonggol Maraka.
"Apa sebenarnya yang membuat mereka menyerangmu" Apakah kau mengenalinya, Ki?"
Jonggol Maraka menggeleng lemah.
"Tidak. Hanya saja, aku merasa yakin kalau me?reka kaki tangan para pengacau yang belakangan ini banyak membuat keresahan...."
"Pengacau?"
Ki Jonggol Maraka kembali mengangguk.
Disertai rintihan. Rangga tersadar dan segera memberikan perawatan pada luka yang diderita lelaki itu.
? *** ? "Belakangan ini para pengacau mulai mengganggu keamanan wilayah Kerajaan Pasir Angin. Mereka bukan saja merampok para penduduk, tapi juga berani membunuh para prajurit kerajaan yang tengah berkeliling di sekitar wilayah kerajaan," jelas Jonggol Maraka mulai bercerita.
"Gusti Prabu Wisnu Palaran berusaha mengamankannya dengan mengirim para tokoh-tokoh silat tangguh yang se?lama ini bercokol di istana. Namun setiap kali mere?ka muncul, maka para perampok itu lenyap dan tak berani menampakkan batang hidungnya!"
"Jadi menurutmu, mereka mengerti siapa musuh yang dihadapi?" tukas Pendekar Rajawali Sakti.
"Kelihatannya begitu. Mereka tahu betul kekuatan kami'. Sehingga bila menemukan lawan tangguh, mereka bersembunyi. Sebaliknya bila mene?mukan petugas yang dianggap lemah, mereka be?rani menampakkan diri," jelas Jonggol Maraka lagi.
"Apakah menurutmu hal ini kejadian biasa?"
"Entahlah. Gusti Prabu punya dugaan ada gerakan tersembunyi yang bermaksud menggulingkan kekuasaannya."
"Ada orang yang dicurigai sebagai dalang dari semua gerakan ini?" tanya Rangga.
"Belum.... Tapi, entahlah. Aku hanya pejabat rendahan dan tak tahu banyak soal itu," sahut Jonggol Maraka, jujur.
"Hmm."
Rangga terdiam beberapa saat. Entah apa yang dipikirkannya. Namun sebelum dia kembali bicara, Jonggol Maraka telah menawarkan sesuatu.
"Rangga, bila orang sepertimu mau mengabdi pada kerajaan, aku yakin Gusti Prabu pasti akan suka."
Rangga tersenyum.
"Terima kasih, Ki. Orang sepertiku mestinya hidup berkelana di alam bebas...," tolak Rangga halus.
"Sayang sekali. Padahal dengan kepandaianmu, kau bisa mengabdikan diri...."
"Tapi tidak mesti mengabdi pada kerajaan, Ki. Selama ini aku berusaha mengabdikan diri demi kepentingan orang banyak. Dan hasilnya, bisa kulihat dan ku rasakan sendiri. Atau barangkali kau menilai kalau caraku selama ini bukan bentuk pengabdian terhadap masyarakat?"
"Ah! Mana berani aku mengira begitu, Rangga! Apa yang kau katakan itu benar. Dan aku menyadari kalau yang kukatakan tadi adalah kekeliruan!"
Rangga kembali tersenyum.
"Tidak mesti begitu, Ki. Setiap orang punya pemikiran masing-masing. Bila mengabdi pada ke?rajaan dianggap cara yang lebih baik, maka dia bo?leh saja mengamalkan kepandaiannya di sana," sergah Rangga, halus.
"Kau membuatku bingung, Rangga!" Jonggol Maraka tersipu-sipu.
Pemuda itu tersenyum kembali. Manis sekali.
"Tapi meski begitu, aku ingin bertemu rajamu. Mudah-mudahan beliau tidak keberatan," kata Rangga.
'Tentu saja tidak! Kurasa beliau malah gembira menerima kedatanganmu," sambut Jonggol Mara?ka gembira. Wajahnya kelihatan berseri-seri. "Lebih baik kita berangkat sekarang saja!"
Entah kenapa Jonggol Maraka kelihatan begitu senang begitu mendengar keinginan Rangga untuk ikut bersamanya ke ibukota kerajaan. Mungkin dia berharap bila tiba di istana, pikiran pemuda ini akan berubah. Lalu dia bersedia mengabdikan kepandaian untuk kerajaan. Dengan demikian kerajaannya akan di segani kerajaan-kerajaan lain, karena memandang Pendekar Rajawali Sakti.
? *** ? Untuk menuju ke ibukota Kerajaan Pasir Angin mereka mesti melewati Kadipaten Demak. Ini jalan tercepat. Lagi pula, Jonggol Maraka banyak bercerita kalau Adipati yang memimpin wilayah ini seorang abdi setia Gusti Prabu Wisnu Palaran.
"Ada baiknya kita mampir dulu ke tempat kediamannya," ajak Jonggol Maraka ketika mereka tiba di depan rumah kediaman Adipati Sangkaran.
"Beliau tentu akan senang!"
"Baiklah."
"Sampurasun! Aku Jonggol Maraka. Dan ini, kawanku. Aku pejabat kerajaan yang hendak ber?temu Kanjeng Adipati!" ucap laki-laki itu pada seorang penjaga gerbang istana kadipaten.
"Silakan masuk dan menunggu sebentar. Ham?ba hendak. memberi tahu Kanjeng Adipati!" sahut penjaga seraya membungkuk hormat.
Rangga dan Jonggol Maraka mengikuti dari be?lakang. Sementara seorang prajurit menggantikan tugas pengawal tadi untuk beberapa saat.
Rangga melihat pengamanan di istana kadi?paten ini tidak terlalu ketat. Hanya ada dua prajurit di gerbang depan. Dua di kiri kanan bangunan, dan dua orang di pos kecil dekat gerbang depan.
"Wilayah Demak daerah teraman di seluruh Kerajaan Pasir Angin ini," jelas Jonggol Maraka se?tengah berbisik. Sementara, pengawal tadi meninggalkan mereka di beranda depan.
Rangga mengangguk.
"Ki Jonggol kenal baik dengan penguasa wila?yah ini?" tanya Rangga.
"Tidak kenal baik. Tapi sekali kami pernah ber?temu di istana kerajaan. Beliau cukup ramah se?hingga banyak dikenal pejabat istana," sahut Jong?gol Maraka.
Percakapan mereka terhenti ketika muncul se?orang laki-laki gemuk dan berkumis tebal di ambang pintu sambil tersenyum lebar.
"Saudaraku, Ki Jonggol Maraka... Senang mendengar kau mau mampir ke tempatku!"
Jonggol Maraka dan Rangga buru-buru bangkit dari duduknya. Dan pejabat kerajaan itu segera menghampiri laki-laki gemuk yang tak lain Adipati Sangkaran, setelah menjura hormat.
Mereka berpelukan sebentar.
"Hm.... Siapa yang bersamamu ini" Rasanya aku baru sekali ini melihatnya?" tanya Adipati Sangkaran ketika melepaskan pelukan terhadap Jonggol Maraka. Wajahnya berseri dihiasi senyum ketika mengucapkan kata-kata bersahabat.
"Kanjeng Adipati...," panggil Jonggol Maraka.
"Aaah! Kau ini apa-apaan"!" tukas Adipati Sangkaran. "Jangan banyak peradatan segala. Kau adalah kawanku. Maka, bersikaplah seperti seorang sahabat!"
"Ini sambutan yang luar biasa bagi kami. Biasanya seorang prajurit akan membawa kami ke tem?pat seorang pembesar. Tapi, ini malah pembesar yang mendatangi kami."
"Ha ha ha...! Bukankah tadi sudah kukatakan" Kau dan aku adalah sahabat. Jadi, jangan persoalkan hal itu. Aku malah senang kau mau berkunjung. Dan takut kalian pergi karena lama menunggu, maka tergopoh-gopoh aku keluar untuk menyambut kalian."
"Jangan terlalu merendah, Kanjeng..., eh, Ki Sangkaran!" ujar Jonggol Maraka, buru-buru merubah panggilan terhadap adipati itu. "Mana mungkin kami akan pergi hanya karena menunggu sedikit lama."
"He he he...! Sudahlah, jangan persoalkan itu lagi. Nah! Sekarang, maukah kau memperkenalkan kawanmu ini padaku?"
"Kau akan kaget mendengarnya, Ki Sangkaran....
"Benarkah"! Apakah dia kerabat kerajaan yang belum kukenal" Atau mungkin calon menantumu?"
"Ha ha ha...! Jangan bergurau, Ki Sangkaran. Mana mungkin aku punya menantu, sedangkan anakku masih kecil-kecil."
"Kalau begitu lekas terangkan. Jangan membuatku penasaran!"
"Dia adalah Rangga yang lebih dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti!" sahut Jonggol Maraka. Pada wajahnya tersirat kebanggaan ketika mem?perkenalkan pemuda itu.
Sebaliknya Rangga kelihatan malu dan berusa?ha merendah.
"Ki Jonggol Maraka ternyata lupa menambahkan kalau hamba hanya seorang pengelana biasa tanpa kebisaan apa-apa."
Aah! Benarkah"! Jadi kau sungguh-sungguh pendekar besar itu"!" seru Adipati Sangkaran dengan wajah kaget. "Ini betul-betul membuatku kaget, Ki Jonggol! Tak kusangka selama ini kau berkawan dengan pendekar terkenal yang namanya sudah kondang ke mana-mana. Silakan masuk, Pendekar Rajawali Sakti. Selamat datang di gubukku yang buruk!"
"Kanjeng Adipati...."
"Aaah! Tidak usah banyak peradatan!" potong Adipati Sangkaran ketika Rangga akan angkat bicara. Segera digamit lengan keduanya untuk diajak masuk ke dalam.
Mereka pun segera jalan beriringan.
"Siapkan jamuan makan untuk tamu-tamu istimewa kita! Makanan yang paling istimewa! Lengkap dengan hiburannya!" teriak Adipati Sang?karan.
"Ki Sangkaran, ini betul-betul...."
"Ha ha ha...! Tenanglah, Sahabatku! Tidak setahun sekali kau mau mampir ke tempatku!" tukas Ki Sangkaran. "Ini betul-betul hari istimewa bagiku. Dan aku tak ingin kalian merasa disambut kurang akrab. Aku ingin kalian merasa betah di sini!"
Rahasia Istana Terlarang 10 Duel 2 Jago Pedang Pendekar 4 Alis Buku 3 Karya Khulung Dendam Empu Bharada 19