Ceritasilat Novel Online

Dendam Berkubang Darah 1

Pendekar Rajawali Sakti 189 Dendam Berkubang Darah Bagian 1


1 Dua orang pemuda berambut sebahu berjalan dengan lagak jumawa. Mereka baru saja
keluar dari kios pakaian di kotapraja dengan wajah suka cita, setelah membeli
baju rompi putih yang langsung dipakai. Masing-masing dengan pakaian seperti itu
berusaha tampil gagah dengan wajah ditegakkan. Begitu tiba di tepi sebuah kali
yang airnya bening, mereka berusaha mematut-matutkan diri. Dibetul-kannya letak
gagang pedang di punggung sambil tersenyum-senyum sendiri.
"Bagaimana menurutmu, Sangkil" Aku mirip Pendekar Rajawali Sakti, bukan?" tanya
pemuda yang bertubuh agak gemuk.
"Huuh! Kau terlalu gendut, Karpa! Tidak pantas sedikit pun!" ejek pemuda satunya
yang bertubuh kerempeng.
"Dan kau kelewat kerempeng! Mana mungkin sama dengan Pendekar Rajawali Sakti!"
dengus pemuda gendut yang dipanggil Karpa.
"Makanya..., lihat dulu sebelum meniru!" cibir pemuda bernama Sangkil.
"Apa kau sudah pernah lihat Pendekar Rajawali Sakti?"
tukas Karpa. "Sudah!"
"Kapan" Di mana?"
"Pokoknya sudah!"
"Huh! Kau cuma mengada-ada saja!" dengus Karpa
"Aku memang pernah melihatnya!" bantah Sangkil.
"Di mana" Dan kapan"!" cecar Karpa denga suara agak keras.
"Waktu dia membunuh musuh-musuhnya!"
"Iya! Tapi di mana dan kapan?"
"Ng..., kira-kira seminggu yang lalu di desa...!"
Karpa tertawa mengejek.
"Kenapa tertawa" Tidak percaya"!"
"Aku masih ingat. Seminggu yang lalu, kau disuruh Guru membantu Palka
mengerjakan sawah di kaki bukit. Bagaimana mungkin kau bisa membohongiku?"
"Aku lihat di sana! Pendekar Rajawali Sakti menghajar musuh-musuhnya di kaki
bukit itu!" sergah Sangkil tak mau kalah.
"Sudahlah..., tidak usah bohong! Palka sendiri kalau ada apa-apa pasti cerita.
Apalagi kalau melihat pertarungan seru... Mana mau dia lewatkan begitu saja?"
tukas Karpa. "Tapi waktu itu Palka tidak melihatnya!"
"Mustahil! Orang bertarung pasti ribut. Jadi tidak mungkin kalau kau mendengar,
sedangkan Palka tidak.
Palka belum tuli!"
"Hmm! Kau tidak akan percaya jika kukatakan pertarungan mereka tanpa suara
sedikit pun" Pendekar Rajawali Sakti menjatuhkan mereka dengan sekali pukul,
kemudian menghilang tiba-tiba saja."
"Aku tidak percaya!" bantah Karpa.
"Terserahmu!" sahut Sangkil, ketus.
"Kata orang-orang yang pernah melihatnya, dia agak gemuk sedikit. Ya, seperti
aku ini!" "Huh!" dengus Sangkil mencibir sinis.
"Iri, ya?" tukas Karpa cengar-cengir.
"Justru kata mereka yang jelas melihatnya, Pendekar Rajawali Sakti itu agak
kurus. Seperti aku ini yang cocok!"
"Tidak! Dia seperti aku!"
"Seperti aku!"
"Seperti aku!"
"Jadi, kau mau apa" Mau ribut?"
"Boleh. Kita tentukan melalui adu kekuatan, siapa di antara kita yang mirip
Pendekar Rajawali Sakti."
"Baik!"
Kedua orang yang sebenarnya satu perguruan itu
mundur dua langkah ke belakang, mulai membuka jurus.
Mata mereka saling pandang dengan sikap siaga penuh.
Tapi sebelum Sangkil dan Karpa berkelahi mendadak dua sosok bayangan hitam
berkelebat. Dan tahu-tahu di depan mereka tegak berdiri dua laki-laki berusia
sekitar tiga puluh tahun, berpakaian serba hitam. Sebilah pedang panjang
tersandang di punggung masing-masing. Keduanya mengenakan ikat kepala hitam.
Wajah mereka berkesan dingin.
"Ohh...!"
Tanpa sadar Sangkil dan Karpa bergidik ngeri dan saling merapat.
"Siapa mereka?" bisik Karpa.
Sangkil menggeleng lemah.
"Siapa di antara kalian yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti?" tanya salah
seorang berbaju serba hitam yang bertubuh tinggi besar.
"Dia!" tunjuk Karpa pada Sangkil.
"Bohong! Dia Pendekar Rajawali Sakti!" balas Sangkil.
"Bicara yang benar!" hardik laki-laki bertubuh tinggi.
"Eee ...!"
Sangkil dan Karpa tersentak kaget. Wajah mereka perlahan memucat dengan tubuh
gemetar. Nyali mereka perlahan-lahan ciut.
"Benar, Tuan. Aku tidak bohong! Dialah yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti,"
sahut Karpa memberanikan diri.
"Dia bohong, Tuan! Sesungguhnya dialah Pendekar Rajawali Sakti!" sergah Sangkil.
*** Laki-laki tinggi besar berpakaian serba hitam hendak melangkah, menghajar Karpa
dan Sangkil yang berbaju rompi putih itu. Untung saja laki-laki berbaju serba
hitam satunya tidak berbuat apa-apa. Kemudian dipasangnya wajah ramah dengan
bibir tersenyum.
"Apakah kalian tidak mengenalku?" tanya laki-laki berbaju serba hitam yang
berbadan sedang dengan wajah tampan.
"Eh! Ngg.., rasanya tidak," sahut Sangkil dan Karpa hampir bersamaan.
"Sayang sekali. Padahal, aku membawakan hadiah cukup banyak dari kerajaan untuk
diserahkan kepada Pendekar Rajawali Sakti yang asli. Tapi karena kalian ada dua,
dan aku tidak yakin mana yang asli, maka hadiah itu untuk kami saja...."
"Hadiah?"
Mala Karpa dari redup kontan berbinar.
"Hadiah apa?" sambar Sangkil.
"Uang emas sebanyak seratus keping."
"Ohh! Kalau begitu kau telah bertemu Pendekar Rajawali Sakti yang asli, Tuan!
Akulah orangnya!" desah Karpa penuh semangat.
"Bohong! Akulah Pendekar Rajawali Sakti yang asli, Tuan!" sergah Sangkil.
"Kalau begitu, kalian akan mampus!"
"Haah"!"
Bukan main kagetnya Karpa dan Sangkil. Mereka saling pandang. Kegembiraan yang
baru muncul mendadak sirna, dan berganti ketakutan. Apalagi ketika kedua orang
berbaju serba hitam itu mencabut pedang.
Sing! "Hah"!"
"Kabur!" teriak Karpa, seraya berbalik dan melarikan diri. Sementara Sangkil
tidak banyak tingkah lagi. Langsung diikutinya Karpa.
"Huh! Kalian kira bisa kabur seenaknya!"
Kedua orang berbaju serba hitam itu tiba-tiba melesat cepat. Dua tombak di
belakang Karpa dan Sangkil, mereka melenting ke atas. Setelah berputaran
beberapa kali, tahu-tahu telah berdiri menghadang.
"Ohh...!"
Karpa dan Sangkil terperanjat bukan main. Saat itu juga persendian mereka bagai
tak bisa digerakkan lagi, terkekang rasa takut luar biasa.
"Kalian mesti mati!" desis orang yang bertubuh tinggi besar.
"Tuan, ampuni kami! Sebenarnya aku..., aku bukan Pendekar Rajawali Sakti...!"
ratap Karpa, langsung berlutut dengan tubuh menggigil.
"Aku juga, Tuan. Aku..., aku bukan orang yang kalian cari...," Sangkil mengikuti
tindakan Karpa.
"Kami tahu! Pendekar Rajawali Sakti tidak sepengecut kalian!" sahut laki-laki
berbaju hitam yang berbadan sedang.
"Kami hanya meniru-niru cara berpakaiannya saja, Tuan. Sama sekali tidak ada
sangkut-paut dengan apa yang dilakukannya...," lanjut Karpa, meratap-ratap.
"Kami tahu!"
"Kalau begitu lepaskan kami, Tuan. Biarkan kami pergi dengan aman..."
"Tidak! Kalian tetap akan mati!" dengus orang berbaju hitam yang bertubuh tinggi
besar. Laki-laki itu agaknya sudah tidak sabaran sejak tadi. Dia mulai menghunus pedang
dengan wajah penuh nafsu membunuh.
"Tuan, ampuni...!"
Belum juga kata-kata Karpa selesai, laki-laki yang bertubuh tinggi besar itu
sudah mengebutkan pedangnya.
Dan.... Cras! Crasss...!
Karpa dan Sangkil tak mampu menjerit lagi ketika kepala masing-masing
menggelinding ke tanah. Dari pangkal leher mereka langsung menyembur darah
segar, begitu ambruk tak berdaya.
Srak! Laki-laki tinggi besar itu menyarungkan pedang dan memandang sinis pada dua
korbannya. "Tak peduli kalian asli atau palsu! Apa pun yang mendekati keparat itu, mesti
mati!" desisnya.
"Huh! Percuma saja ke sini!" dengus laki-laki bertubuh sedang.
"Sabar saja, Jelidara! Suatu saat, dia pasti akan kita temukan," ujar orang
berbaju hitam yang tadi membunuh Karpa dan Sangkil.
"Bagaimana menurutmu, Jonggol Pitu" Apakah dia takut dan menyembunyikan diri?"
tanya laki-laki bertubuh sedang yang bernama Jelidara.
"Mungkin saja," sahut laki-laki tinggi besar, bernama Jonggol Pitu.
"Huh! Kurasa kehebatannya yang digembar-gemborkan tidak sesuai kenyataan
sebenarnya!"
"Ya! Kalau muncul, ingin kulihat apakah dia mampu menandingi ilmu pedangku!"
Kedua laki-laki berpakaian serba hitam itu hendak angkat kaki, tapi....
"Hei, berhenti...! Kalian apakan teman kami"!" terdengar bentakan keras.
Tak lama di sekitar tempat itu telah mengepung
beberapa orang bersenjata pedang dan golok. Wajah-wajah mereka menggambarkan
kemarahan meluap.
"Keparat! Kerbau-kerbau dungu. Apa mau mereka"!"
dengus Jonggol Pitu.
"Kurasa mereka kawan-kawan kedua keledai yang kita bunuh tadi," sahut Jelidara.
"Bagus! Kalau begitu biar mereka sekalian menemani kawannya ke neraka!"
"Pembunuh busuk! Kalian kira bisa lari dari tempat ini"!"
bentak salah seorang pengepung, laki-laki berusia sekitar tiga puluh lima tahun.
Tulahnya tegap. Kumisnya tebal.
Tangan kanannya menggenggam sebatang pedang besar.
"Hadapi dulu Kaliangga...!"
"Kerbau busuk! Apakah kau sudah bosan hidup" Ke sinilah. Biar lebih cepat kau
kukirim ke neraka!" desis Jonggol Pitu.
"Manusia biadab! Dua kawan seperguruan kami telah kalian bunuh! Huh! Kepala
kalian mesti menggantikannya!"
balas laki-laki yang mengaku bernama Kaliangga.
"Tidak usah banyak mulut! Ke sinilah. Dan, terima kematianmu!" dengus Jonggol
Pitu. Kelihatannya Jonggol Pitu betul-betul menganggap enteng. Karena meski Kaliangga
telah mengeluarkan pedang, sikapnya tenang-tenang saja. Bahkan bermaksud
menghadapinya dengan tangan kosong.
"Bangsaaat...!"
Kaliangga menggeram marah. Sekali melompat, dia telah bergerak menyerang.
Pedangnya menyabet Jonggol Pitu dan Jelidara dengan cepat
Wuut! "Uts!"
Kedua laki-laki berpakaian serba hitam ini membungkuk. Maka sabetan pedang Kaliangga hanya memapak angin. Seketika Jonggol
Pitu maju dua langkah, lalu berbalik sambil mengibaskan tendangan.
Dukkk...! "Aaakh...!"
Telak sekali tendangan Jonggol Pitu mendarat di punggung Kaliangga. Maka tak
ampun lagi tubuh laki-laki tegap itu tersungkur ke depan sambil mengeluh
kesakitan. Namun seketika dia bangkit dengan wajah merah padam menahan malu sekaligus
marah. *** "Gunakan pedangmu yang besar, sebelum kepalamu kubuat menggelinding!" desis
Jonggol Pitu, sombong.
"Keparat! Kepalamu yang akan kubuat menggelinding!"
desis Kaliangga.
Dengan bernafsu, kembali Kaliangga menyerang.
"Yeaaa...!"
"Huh!"
Jonggol Pitu mendengus. Ketika Kaliangga sedikit lagi sampai, maka secepat itu
pula pedangnya dicabut dan dikebutkan. Trakkk...!
Pedang besar Kaliangga kontan patah. Dan ini membuatnya gugup. Namun sebelum
kegugupannya hilang, pedang Jonggol Pitu telah mengelebatkan pedangnya kembali.
Lalu.... Cras! "Arkh!"
Dan laki-laki tegap itu menjerit tertahan, ketika pedang di tangan Jonggol Pitu
terus menebas lehernya sampai putus.
"Kaliangga...!"
Kejadian itu mengejutkan kawan-kawan Kaliangga. Tapi sebelum mereka berbuat apaapa kedua orang berbaju serba hitam itu telah berkelebat begitu cepat
meninggalkan tempat ini. Seketika mereka menghilang dari pandangan, bagai
ditelan bumi. "Mereka lenyap!"
"Tidak mungkin! Masa' secepat itu?"
"Siapa mereka...?"
"Siapa pun mereka, tapi tiga kawan kita mati secara mengenaskan. Kita tidak bisa
membiarka begitu saja!
Mereka harus mendapat ganjaran yang setimpal. Kita harus melaporkan kejadian ini
pada Guru. Biar Guru yang memutuskan, apa yang harus kita perbuat!" tandas salah
seorang. "Ya. Saat ini kita tak bisa berbuat apa-apa. Lebih baik mereka kita bawa
segera!" Mereka baru saja hendak membawa tiga mayat itu, muncul seorang gadis baju serba
merah. Pada mulanya gadis itu sama sekali tidak menaruh perhatian. Wajahnya yang
cantik kelihatan murung dan dipenuhi perasaan kesal. Tapi melihat tiga orang
mayat dengan luka aneh, mau tak mau menarik perhatiannya pula.
"Maaf, Kisanak semua. Apa yang tengah kalian bawa?"
tegur gadis ini.
"Ini mayat tiga kawan kami," sahut salah seorang.
"Mayat" Hm, apa yang terjadi dengan mereka?"
"Mereka dibunuh oleh dua orang berbaju serba hitam."
"Hm.... Kedua mayat ini sama-sama memakai baju rompi putih. Apa maksudnya"
Apakah ini seragam
perguruan kalian?" tanya gadis ini, setengah menggumam.
"Ah, tidak! Mereka memang sangat mengagumi Pendekar Rajawali Sakti. Jadi,
berusaha meniru-niru cara berpakaiannya. Tapi hari ini nasib mereka tengah
apes...." "Kenapa" Apakah karena baju yang mereka kenakan?"
"Entahlah. Mungkin juga begitu...."
"Mungkin" Kenapa" Apa hubungannya antara baju itu dengan tewasnya mereka?" kejar
gadis ini. "Belakangan ini terdengar kabar gencarnya beberapa orang mencari Pendekar
Rajawali Sakti. Kabarnya mereka hendak membunuhnya," jelas laki laki lain.
"Kurang ajar! Sebelum mereka berhadapan dengannya, lebih baik berhadapan
denganku lebih dulu!" dengus gadis itu, geram.
"Nisanak.... Sebenarnya kau ini siapa" Kelihatannya sangat membela Pendekar
Rajawali Sakti."
"Aku..., kawan baiknya."
"Kekasihnya, barangkali?"
Gadis ini tersenyum. "Yaaa, mungkin begitu...."


Pendekar Rajawali Sakti 189 Dendam Berkubang Darah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hm.... Senang berkenalan denganmu. Ini suatu kehormatan besar. Tapi hendaknya
kau berhati-hati mulai sekarang."
"Huh! Aku tidak perlu berhati-hati kepada siapapun!"
"Nisanak... Orang-orang yang menginginkan kematian Pendekar Rajawali Sakti
bukanlah tokoh kalangan biasa.
Mereka adalah tokoh-tokoh sesat kalangan atas. Mungkin semacam pembunuh bayaran.
Kerja mereka cepat. Dan kehebatan mereka pun sulit ditandingi."
"Terima kasih atas peringatanmu, Kisanak. Kepada orang lain, mereka boleh
menakut-nakuti. Tetapi tidak padaku!"
"Yaaah. Itu sih, terserahmu! Yang jelas, kami telah memperingatkan. Itu karena
kami hormat pada Pendekar Rajawali Sakti...."
"Kalian katakan ketiga orang ini tewas di tangan kedua pembunuh berbaju serba
hitam, bukan" Nah! Katakan padaku, ke mana mereka menghilang?"
"Sayang sekali, kami tidak tahu. Mereka menghilang begitu saja. Nisanak...."
"Huh! Brengsek. Tapi, jangan harap aku akan mem-biarkan mereka begitu saja!"
dengus gadis berbaju serba merah ini.
"Nisanak.... Kami tak bisa berlama-lama di sini.
Kematian tiga orang kawan kami harus diberitahukan pada Guru. Maka dari itu kami
mohon pamit."
"Hmm!"
Gadis itu mengangguk. Sementara, para murid perguruan ini memberi salam hormat
padanya. Setelah rombongan itu berlalu, gadis ini masih termangu di tempat.
*** 2 Seorang pemuda tampan berbaju rompi putih termangu di tepi telaga. Matanya
menatap bayangannya sendiri di permukaan air yang jernih. Tapi, tak lama
bayangan wajahnya tersapu gelombang yang datang dari curahan air terjun berjarak
lima belas langkah dari tempatnya duduk.
"Baaa...!"
Tiba-tiba seorang gadis belia mengagetkannya dari belakang. Pemuda itu berbalik,
dan pura-pura kaget.
Sementara gadis itu tertawa terpingkal-pingkal.
"Rasakan! Makanya jangan suka bengong!" Pemuda itu tersenyum. "Mikir apa sih,
Kakang Rangga?"
"Tidak," elak pemuda itu.
"Aaah.... Ratna perhatikan dari tadi ngelamun terus di sini!"
"Masa'?"
"Iya! Hampir setengah harian. Apa sih yang dipikirkan?"
Pemuda berbaju rompi putih yang memang Rangga
alias Pendekar Rajawali Sakti tidak langsung menjawab.
Ditariknya napas panjang lalu memindang gadis belia di hadapannya.
Gadis bernama Ratna ini cantik. Tubuhnya agak
bongsor, tapi kelakuannya seperti bocah usia sembilan tahun.
"Telah berapa lama Kakang berada di sini?" tanya Ratna.
"Mana kutahu!" sahut Rangga. "Telah lama sekali.
Kakang rindu hendak bepergian...."
"Kakang hendak pergi?" tanya Ratna dengan wajah muram.
"Tidak usah sedih, Ratna. Di sini toh, kau masih punya banyak kawan. Ada Paman
Seda, ada kijang peliharaanmu.
Lalu, ada puluhan ekor merpati yang setiap saat menghiburmu...," ujar Pendekar
Rajawali Sakti.
Gadis itu terdiam. Dan tiba-tiba saja dia kabur dari tempat itu disertai ledakan
isak tangisnya. Masih terdengar suara isaknya yang membuat bingung Pendekar
Rajawali Sakti.
Beberapa saat kemudian, tampak seorang wanita
setengah baya memakai baju berwarna-warni terbuat dari sutera halus. Wajahnya
cantik, namun dandanannya kelihatan aneh.
Wanita biasanya bangga dengan kecantikan yang
dimiliki. Dengan demikian dia berusaha berhias sebaik mungkin agar kelihatan
lebih cantik. Tapi, tidak dengan wanita ini. Bibir merahnya saja acak-acakan.
Ada yang melebar melebihi sudut-sudut bibirnya. Juga, melebar mendekati dagu dan
lubang hibung. Mukanya putih dibaluri bedak tidak rata. Sepasang alisnya tebal
saling bertautan.
Rambutnya yang indah berwarna pirang, dibiarkan terlepas begitu saja. Menjelajela sampai ke bawah pinggang.
"Aku tidak pernah memaksamu untuk kawin dengan Ratna Gumilang. Tapi, jangan
sakiti hatinya!" cerocos wanita itu, dingin.
Pendekar Rajawali Sakti berbalik dan menjura hormat.
"Nyai Dukun Gila Berambut Pirang, harap jangan salah duga. Aku sama sekali tidak
bermaksud menyakiti hati Ratna Gumilang...."
"Tapi kau buat dia menangis."
"Ini cuma salah paham...."
"Bocah! Luka dalammu telah kusembuhkan. Keadaanmu pun telah sehat. Maka kau
boleh pergi sekarang juga!"
bentak wanita aneh yang dipanggil Dukun Gila berambut Pirang.
"Nyai mengusirku?" tukas Rangga.
"Bukankah itu yang kau inginkan?"
"Nyai...."
"Pergilah!"
Rangga ingin menyahut, tapi terpenggal oleh hentakan wanita itu. Pendekar
Rajawali Sakti menarik napas panjang. Dipandanginya Dukun Gila Berambut Pirang
sejurus lamanya.
"Apalagi yang kau tunggu" Kau boleh angkat kaki sekarang juga!"
"Nyai.... Aku berhutang budi padamu atas pertolongan-mu. Suatu saat budi baikmu
ini akan kubalas. Terima kasih. Aku pergi dulu!"
Beberapa waktu tinggal di sini, Rangga telah paham adat wanita ini. Sekali
tersinggung, dia akan marah bukan kepalang. Apalagi kalau ada yang terjadi pada
putrinya yang semata wayang. Maka tidak peduli siapa pun orangnya akan menjadi
sasaran marahnya. Rangga
memakluminya. Dan dia tidak bisa berkata banyak. Wanita ini meski berwatak aneh,
tapi tak dapat dipungkiri kalau dialah dewi penolongnya ketika mendapat luka
dalam setelah bertarung melawan Kuntadewa (Baca serial Pendekar Rajawali Sakti
dalam kisah : "Warisan Terkutuk").
Maka dengan langkah besar Pendekar Rajawali Sakti meninggalkan tempat itu.
Sesekali kepalanya menoleh ke belakang, dan melihat wanita berambut pirang itu
masih tegak berdiri di tempatnya semula dengan sorot mata mengawasi. Namun nun
jauh di belakang wanita itu, dalam sebuah pohon, sepasang mata yang lain
memperhatikan dengan perasaan kesal bercampur sedih.
"Maaf, Ratna. Aku pergi dulu...," desah Rangga pelan.
"Suatu saat bila ada umur panjang, kita akan bertemu kembali."
Lalu sekali lagi Pendekar Rajawali Sakti menoleh ke belakang, dan melihat wanita
itu masih mengawasinya.
Rangga menarik napas, kemudian berkelebat cepat. Dalam sekejapan mata, tubuhnya
telah melesat laksana sebatang anak panah. Dan dalam waktu singkat, dia telah
jauh meninggalkan tempat lembah itu.
*** Menjelang sore hari, Pendekar Rajawali Sakti tiba di pinggiran sebuah desa yang
tidak begitu ramai. Tapi saat ini, ada kejadian yang menyebabkan penduduk ramairamai keluar dari rumah. Mereka agaknya tengah
menyaksikan tontonan seru. Seorang gadis tengah dikeroyok empat orang laki-laki.
Dua orang berdiri mengawasi, sedangkan dua lainnya berusaha meringkus-nya.
"Hmm! Kenapa lama sekali?" tanya salah seorang laki-laki yang berdiri mengawasi.
"Tenanglah, Senggarong. Gadis ini agak liar. Tapi tak lama lagi, dia pasti
teringkus!"
"Kenapa kau menyusahkan dirimu, Jenggala" Bunuh saja dia!" sahut laki-laki yang
dipanggil Senggarong.
"Hm, sayang sekali gadis secantiknya dibunuh.
Alangkah baiknya kalau digarap lebih dulu!" cetus laki-laki lain yang tengah
membantu meringkus gadis berbaju biru itu. Laki-laki itu tersenyum-senyum kecil.
Mukanya kelihatan culas dan sorot matanya menunjukkan kalau dia tergolong lelaki
hidung belang. "Dasar hidung belang kau, Katila!" umpat Senggarong.
Laki-laki bernama Katila tersenyum lebar. Lalu
perhatiannya kembali terpusat pada gadis berbaju ketat berwarna biru.
"Lebih baik kau menyerah saja, Manis. Barangkali dengan begitu kami akan
mengampunimu!" ujar laki-laki yang bernama Jenggala.
"Keparat! Dasar manusia rendah! Akan kutebas leher kalian semua!" dengus gadis
berbaju biru ini.
"Ha ha ha...! Sayang sekali.... Meski dibantu sepuluh orang pun, kau tidak akan
mampu mengalahkan kami!"
"Dia tak perlu dibantu sepuluh orang. Cukup aku sendiri!"
"Heh"!"
Mereka yang berada di tempat itu seketika menoleh ke arah datangnya suara.
Tampak seorang pemuda tampan berbaju rompi putih tegak berdiri di dekat
pertarungan. Untuk saat ini tak ada seorang pun yang berani
menanggung akibatnya untuk mencampuri pertarungan itu.
Bisa-bisa mereka dihajar babak belur. Tapi lain halnya dengan pemuda itu. Bukan
saja tidak takut pada keempat laki-laki berbaju serba hitam itu, malah kelihatan
menantang. "Kakang Rangga...!" teriak gadis berbaju biru.
Wajah gadis ini kelihatan cerah berseri-seri. Dan dengan serta-merta dia
menghambur. Langsung dipeluknya pemuda yang memang Pendekar Rajawali Sakti.
Ditumpahkannya perasaan terpendam yang selama ini mendesak-desak dalam dada.
"Pandan Wangi...," sebut Rangga.
"Kau tak apa-apa, Kakang?" tanya gadis berbaju biru yang ternyata Pandan Wangi.
Dalam rimba persilatan, dia dikenal sebagai si Kipas Maut.
"Seperti yang kau lihat, aku sehat-sehat saja."
"Ada yang mengatakan kalau kau telah tewas. Aku cemas, lalu menyusulmu," lapor
Pandan Wangi, manja.
"Rupanya Yang Maha Kuasa belum berkenan mencabut nyawaku...," sahut Pendekar
Rajawali Sakti lembut.
"Hmm! Pertemuan yang indah. Tapi akan berakhir di sini!" dengus Senggarong.
Kedua anak muda yang juga dikenal sebagai sepasang pendekar dari Karang Setra,
seperti terjaga kalau di tempat ini bukan cuma ada mereka berdua. Serentak
keduanya menoleh. Dan wajah Pandan Wangi pun kembali terlihat galak.
"Kakang! Katanya mereka mencari-carimu," lapor si Kipas Maut ini.
"Untuk urusan apa?" tanya Rangga dengan kening berkerut.
"Membunuhmu!"
"Hmm!"
"Apakah kau kenal mereka?" tanya Pandan Wangi.
"Tidak," sahut Rangga, pendek.
"Lalu, apa urusannya?"
"Pandan, aku sendiri bingung..."
"Pendekar Rajawali Sakti! Terimalah kematianmu!" seru Senggarong.
Sring! Seketika itu juga, Senggarong mencabut pedang
panjang yang terselip di punggung.
"Kisanak! Aku tidak kenal kalian. Dan kurasa di antara kita tidak pernah ada
urusan. Kenapa kalian tiba-tiba ingin membunuhku?"
"Kau tak perlu tahu. Cabutlah pedangmu. Dan pertahan-kan dirimu. Tunjukkan
kehebatanmu yan selama ini digembar-gemborkan orang. Heaaa...!"
Agaknya Rangga tidak diberi kesempatan untuk
mengorek keterangan secara panjang lebar, karena cepat sekali Senggarong lompat
menerjang dengan pedang terhunus.
Wet! Wet! "Heaaat...!"
Pendekar Rajawali Sakti melompat ke samping, membuat serangan itu luput. Namun
Senggarong berbalik cepat. Senjatanya kembali menyambar. Dan kali ini, batok
kepala serta perut Rangga yang diincarnya.
"Hup!"
Bet! Rangga cepat menjatuhkan diri. Lalu sambil bergulingan, sebelah kakinya menyodok ke perut. Namun, Senggarong telah mencelat ke
atas sambil berputar. Begitu meluruk ditebasnya Pendekar Rajawali Sakti yang
baru saja bangkit.
Bet! "Hup!"
Namun Rangga lebih cepat melenting ke atas. Sehingga pedang Senggarong hanya
menyambar angin kosong. Dan tiba-tiba Senggarong melanjutkan dengan tendangan
geledek ke dada, ketika Pendekar Rajawali Sakti baru saja mendarat.
Wut! Sambil menggeser kakinya ke samping, Pendekar
Rajawali Sakti menangkis dengan tangan kiri.
Plak! Tap! Begitu terjadi benturan tangan Rangga bergerak cepat, menangkap pergelangan kaki
Senggarong. "Hiih...!"
Senggarong berputar. Dan kulitnya terasa licin hingga cekalan Pendekar Rajawali
Sakti terlepas.
Namun tak disangka-sangka Pendekar Rajawali Sakti berbalik sambil mengayunkan
kaki kanannya. Begkh! "Aaakh...!"
Tendangan Rangga tepat menghajar dada Senggarong hingga terhuyung-huyung ke
belakang sambil mengeluh tertahan.
"Biar kubantu!" ujar salah satu teman Senggarong yang sejak tadi berdiam diri.
Dan tanpa menunggu jawaban, orang itu langsung mencabut pedang. Seketika
rubuhnya meluruk sambil menebas dengan cepat.
"Jangan sampai luput, Kudia!" teriak Senggarong seraya ikut membantu.
"Jangan khawatir! Tidak ada yang pernah lolos dari serangan kita berdua." sahut
laki-laki yang dipanggil Kudia.
"Hmm!"
Rangga mundur tiga langkah mengambil kuda-kuda.
Dan tubuhnya langsung melejit ke samping, sambil membungkuk menghindari tebasan
senjata Kudia. Pada saat yang sama, pedang Senggarong berkelebat dari samping.
Seketika Pendekar Rajawali Sakti mencelat ke atas meng-hindarinya.
"Bedebah licik! Apakah kalian hanya bisa main keroyok"! Kami pun bisa berbuat
begitu!" teriak Pandan Wangi, seraya melompat hendak membantu Rangga.
Tapi dua laki-laki yang bernama Katila dan Jenggala tidak mendiamkan begitu
saja. Mereka pun bergerak menghadang sambil menghunus senjata.
"Biarkan mereka menyelesaikan urusannya. Sedangkan urusanmu pada kami," kata
Katila kalem. "Setan! Mampuslah kalian...!"
*** Bukan main geramnya Pandan Wangi melihat keadaan
ini. Maka tanpa tanggung-tanggung lagi ia pun mengeluarkan dua senjata sekaligus
Kipas Baja dan Pedang Naga Geni.
"Hiyaaat..!"
Seketika segera meluruk sambil membabatkan
pedangnya. Sedikit saja si Kipas Maut menggeser kakinya, lalu mengebutkan
kipasnya. Trak! Kipas Pandan Wangi menepis senjata Katila yang
mengincar ke dada. Sementara laki-laki itu terkekeh.
Serangannya berkesan kurang ajar karena hendak
menyentuh dua bukit kembarnya. Dan itu membuat
Pandan Wangi geram bukan main. Pada saat yang sama serangan senjata Jenggala
datang dari samping. Cepat si Kipas Maut berputar seraya menangkis dengan
pedangnya. Trang! Dan tiba-tiba Pandan Wangi melompat mengejar Katila.
Pedangnya terhunus menyambar-nyambar leher.
"Yeaaat!"
Dari belakang pedang Jenggala berusaha menebas
punggung gadis itu. Terpaksa Pandan Wangi membatalkan serangannya. Dan dengan
gerakan segesit walet tubuhnya melejit ke atas menghindar. Pada saat itu, ujung
pedang Katila meluruk, dan lagi-lagi mengincar bagian dada!
"Bangsat rendah, akan kubuntungi tanganmu itu!" teriak Pandan Wangi garang,


Pendekar Rajawali Sakti 189 Dendam Berkubang Darah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seraya mengebutkan kipasnya, menangkis.
Trak! "Boleh saja... Asal, perlihatkan dulu tubuhmu yang mulus itu," sahut Katila,
terkekeh-kekeh.
"Cuihhh! Bedebah busuk! Minggatlah kau ke neraka!"
bentak si Kipas Maut
Dan kembali Pandan Wangi menyerang dengan
mengerahkan segenap kepandaiannya. Tapi, lagi-lagi usahanya selalu kandas dan
dapat dipatahkan.
Katila dan Jenggala memang tidak bisa dianggap
enteng. Selain memiliki ilmu pedang hebat, mereka pun memiliki gerakan gesit.
Sehingga sulit bagi Pandan Wangi untuk menghajar mereka.
Demikian pula halnya Senggarong dan Kudia. Kedua orang ini bahkan memiliki
kepandaian setingkat di atas kedua kawannya. Sehingga tidak heran kalau dalam
waktu singkat saja Rangga terdesak hebat. Jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' yang
dikerahkan Pendekar Rajawali Sakti tidak dapat berbuat banyak menghadapi
gempuran kedua bilah pedang yang menyerang cepat dan kompak.
"Hup!"
Baru saja Pendekar Rajawali Sakti melompat ke
belakang untuk mengatur jarak. Senggarong telah bersiap mengejar dengan pedang
terhunus. Sementara, Kudia melompat ke samping kanan untuk berjaga-jaga.
"Hmm!"
Rangga merasa tak punya pilihan cepat tangan kanannya bergerak ke punggung.
Sring! Ketimbang binasa, maka Pedang Pusaka Rajawali Sakti terpaksa keluar dari
warangkanya. Seketika dari pedang itu memancarkan sinar biru berkilauan.
Senggarong dan Kudia bergumam pendek. Namun sorot mata mereka terlihat kaget,
melihat batang pedang Pendekar Rajawali Sakti yang bercahaya biru. Itu
menunjukkan kalau pedang di tangan pemuda itu memiliki pamor dahsyat.
"Bagus! Akhirnya kau melawan juga. Ayo, perlihatkan ilmu pedangmu pada kami!''
dengus Senggarong, menutupi kekagetannya. "Heaaa...!"
Senggarong langsung meluruk, mengebutkan pedangnya. Maka saat itu juga, Pendekar
Rajawab Sakti memutar pedangnya.
Trak! "Heh"!"
Kedua orang itu sama-sama terjajar beberapa langkah.
Sementara Senggarong terkejut melihat pedang
kebanggaannya rompal ketiga beradu.
Sebaliknya Rangga pun memuji di dalam hati akan kehebatan pedang milik
Senggarong. Meski kelihatan biasa saja, namun ternyata batang pedang itu terbuat
dari baja pilihan. Tapi hal itu tidaklah menarik perhatiannya.
Terbukti, Pendekar Rajawali Sakti langsung menebas dengan pedangnya.
Senggarong terkesiap. Namun tubuhnya cepati mencelat ke belakang. Dari belakang
Pendekar Rajawali Sakti, Kudia menerjang hebat.
"Hup!"
Pendekar Rajawali Sakti mendengus dingin. Tubuhnya tiba-tiba membungkuk. Dan
tanpa menoleh ke belakang, ujung pedangnya menusuk lurus ke belakang.
Blesss! "Aaa...!"
Kudia kontan memekik menyayat. Tubuhnya bergetar dengan mata mendelik lebar,
ketika pedang Rangga menembus perutnya
Bruk! Begitu Pendekar Rajawali Sakti mencabut pedang
seraya menggeser. Tubuh Kudia ambruk. Dari perutnya terlihat luka tusukan pedang
yang memancurkan darah.
"Sengga... rong...," panggil Kudia lirih, lalu tak bersuara lagi. Mati!
Kejadian itu bukan saja mengejutkan Senggarong, tapi juga Jenggala dan Katila.
Mereka bermaksud menyerang Rangga, namun Senggarong menahannya.
Dengan wajah muram, Senggarong menghampiri dan
menggotong mayat kawannya. Lalu ditatapnya Pendekar Rajawali Sakti dengan tajam.
"Pendekar Rajawali Sakti! Untuk saat ini kau aman! Tapi urusan ini belum
selesai. Kalau memang kau bukan pengecut, maka siap-siaplah menerima pembalasan
kami!" desis Senggarong.
"Aku tidak bermusuhan dengan kalian. Tapi lawan datang tidak pernah kutolak.
Kisanak, jangan khawatir. Aku tunggu kapan saja kalian siap, selama nyawaku
masih melekat!" sahut Pendekar Rajawali Sakti, mantap.
Maka tanpa berkata apa-apa lagi, mereka segera
angkat kaki dari situ membawa mayat Kudia.
*** 3 "Kudamu kutemukan, Kakang..." kata Pandan Wangi seraya menunjuk kuda hitam bernama
Dewa Bayu ter-tambat di dekat kuda putih miliknya.
Pendekar Rajawali Sakti tersenyum gembira. Sejenak Dewa Bayu diusap-usapnya,
lalu naik ke punggungnya.
"Heaaa...!" |
Rangga menggebah Dewa Bayu, mengikuti Pandan
Wangi yang telah lebih dulu menggebah. Kini kedua kuda itu melesat cepat,
seperti ingin berlomba.
Setelah agak jauh, barulah mereka melambatkan kuda.
Sementara waktu telah beranjak gelap. Hewan-hewan kembali ke sarang masingmasing. Dan angin bertiup lembut membawa udara dingin.
"Mestinya Kakang tidak melepaskan mereka," sesal Pandan Wangi.
"Mereka bersikap ksatria, Pandan. Aku harus menghormati sikap mereka," kilah
Pendekar Raja wali Sakti.
"Tapi mereka ingin membunuhmu! Buat apa menghormati segala" Apakah jika aku
terbunuh. Mereka akan menghormatimu pula" Lagi pula mereka bermaksud kotor
padaku, Kakang! Itu membuatku marah!" omel Pandan Wangi, jengkel.
"Hmm...!"
"Jangan cuma bergumam! Kau tidak boleh lemah pada orang-orang yang hendak
membunuhmu! Belakangan ini, malah namamu terdengar semakin santer. Banyak orang
yang mencari-cari untuk melenyapkan nyawamu. Sampai-sampai, mereka menuduhmu
pengecut karena selama beberapa waktu tidak terdengar kabar beritanya. Ada apa
sebenarnya, Kakang" Dan ... kenapa mesti bersembunyi"
Apakah kau takut pada mereka?" cecar Pandan Wangi.
"Aku tidak bersembunyi, Pandan. Tapi tengah meng-obati luka dalam yang kuderita.
Dan..., aku tidak tahu-menahu ada orang-orang yang berkeliaran hendak
membunuhku." jelas Pendekar Rajawali Sakti.
"Luka" Kakang terluka" Kenapa" Apakah kau bertemu musuh yang lebih tangguh"
Bagaimana lukamu sekarang?"
Suara Pandan Wangi kedengaran cemas. Demikian pula raut wajahnya.
"Aku tidak apa-apa, Pandan. Seseorang telah meng-obati. Dia seorang tabib
hebat," Rangga menegaskan.
"Bagaimana mulanya hingga Kakang mendapat luka seperti ini?"
"Aku bertarung dengan seseorang yang memiliki ilmu harimau. Sejenis ilmu
'Cindaku'. Dia bernama Kuntadewa.
Aku terkena pukulannya sebelum dia tewas. Hhh... Kalau saja saat itu Dukun Gila
Berambut Pirang tidak menolong-ku, niscaya aku tak akan selamat. Dia merawatku
selama beberapa minggu," jelas Rangga, singkat.
"Hmm...! Dukun Gila Berambut Pirang?" gumam Pandan Wangi.
Terasa kalau gadis itu merasa cemburu mendengar nama itu disebutkan. Belum lagi
terbayang olehnya kejadian selama beberapa minggu, saat Rangga dirawat.
"Pandan... Dia seorang wanita setengah baya berwatak aneh," jelas Rangga lagi.
"Dandanannya pun seperti orang tak waras. Nanti kapan-kapan kalau bertemu
dengannya akan kukenalkan."
Pandan Wangi tak menjawab. Tapi kelihatan kalau hatinya merasa lega mendengar
jawaban Rangga tadi.
"Orang-orang yang hendak membunuhmu....Tidakkah Kakang bisa mengingat"
Barangkali ada persoalan yang tidak beres sebelumnya?"
"Semua urusan yang kulakukan tidak akan tuntas.
Mereka yang saudara atau keluarganya terbunuh, mungkin mendendam. Dan aku tidak
merasa aneh kalau mereka menginginkan kematianku ..."
"Kau telah lama bertualang, Kakang. Kalau satu dua menemukan orang yang hendak
membunuhmu, mungkin tidak aneh. Tapi dalam waktu singkat dan sekian banyak orang
yang ingin membunuhmu, apakah hal itu tidak menarik perhatian?" tukas Pandan
Wangi. "Apa maksudmu?" tanya Rangga.
"Aku kira ada yang mengatur semua ini," duga Pandan Wangi.
"Siapa?"
"Mana kutahu! Tidak setiap urusanmu aku mengetahui-nya."
"Aku tidak bisa menebaknya satu persatu. Mereka yang keluarga atau saudaranya
terbunuh di tanganku cukup banyak."
"Nah, itulah tugas kita. Mencari biang keladi semua ini!"
"Hoeeeh!" Rangga menguap panjang. "Biarlah urusan itu ditunda dulu. Aku
mengantuk sekali. Saat ini enaknya cari penginapan, lalu tidur sampai puas."
"Di dekat hutan begini mana ada penginapan!" cibir Pandan Wangi.
"Kau salah! Coba lihat di sebelah sana!"
Rangga menunjuk ke sebelah kiri. Nun agak ke tengah hutan, terlihat cahaya obor.
"Aku yakin itu sebuah rumah. Kita ke sana sebentar, dan numpang menginap," ujar
Pende Rajawali Sakti.
"Tapi, Kakang Aku curiga," kata si Kipas Maut setengah berbisik.
"Curiga kenapa" Paling-paling penghuninya penebang hutan. Itu kan biasa."
"Tapi Kakang...."
"Sudahlah. Kita ke sana, tapi tetap waspada."
"Baiklah."
Dengan hati-hati Pandan Wangi dan Pendekar Rajawali Sakti melangkah mendekati
pondok yang ditemukan di tengah hutan. Rangga menajamkan penglihatan serta
pendengarannya. Namun sampai di depan pondok yang dituju, tidak terjadi apa-apa.
Segera diketuknya pintu.
Sementara, Pandan Wangi berada di sebelahnya.
"Siapa?" sahut suara di dalam. Terdengar berat, seperti menahan kantuk.
"Kami dua orang pengembara yang tengah kemalaman.
Kalau tidak keberatan, bolehkah kami menumpang
menginap di sini?" sahut Pendekar Rajawali Sakti.
Tak ada jawaban, kecuali suara langkah terseret Krieeettt..!
Sebentar kemudian pintu terbuka. Tampak seraut wajah perempuan tua menyembul di
balik pintu. Mukanya kelihatan masam. Rambutnya acak-acakan. Sorot matanya tajam
memandang kedua anak muda itu. Dia lantas keluar, dan melangkah dua tindak.
"Bolehkah kami numpang menginap?" ulang Rangga seraya tersenyum.
Tapi sebelum perempuan tua itu sempat menjawab, dari dalam terdengar suara lain.
"Siapa, Nek?"
"Ada tamu...," sahut perempuan tua ini dengan suara serak.
Lalu, seorang pemuda menyembulkan wajahnya.
Sepasang matanya merah seperti baru bangun tidur.
Wajahnya juga kelihatan dingin. Pemuda itu pun keluar, dan berhenti di belakang
nenek ini. Tapi bukan karena itu yang membuat Pandan Wangi curiga. Melainkan
karena melihat tangan kanan pemuda itu yang menggenggam sebilah kapak.
"Kakang... Ini pertanda tidak baik. Lagi pula, mereka tidak ramah...!" bisik
Pandan Wangi. "Ya. Kita pergi saja dari sini." sahut Rangga seraya menatap perempuan tua itu
dan kembali tersenyum.
"Maaf telah mengganggu kalian. Kalau begitu kami pergi saja. Mungkin tak ada
tempat bagi kami."
"Kalau kalian ingin menginap, masih ada tempat di sini."
kata perempuan tua itu. Suaranya masih terdengar dingin dan tak bersahabat.
Bibirnya sama sekali tidak menyung-gingkan senyum.
"Silakan saja masuk. Kau bisa tidur denganku. Dan gadis itu tidur bersama
nenekku. Atau, barangkali sebalik-nya." timpal pemuda di belakang perempuan tua
itu. Seperti neneknya, dia juga kelihatan tidak ramah. Wajahnya kaku, tanpa senyum.
"Tidak. Terima kasih. Kami akan melanjutkan perjalanan saja," tolak Rangga,
halus. "Kalian telah berada di sini dan kuterima. Karena itu, maka kalian tak boleh
pergi seenaknya. Jatikusumo!
Ambilkan mainanku!" ujar nenek ini sembari mendengus geram.
"Baik, Nek!"
Pemuda bernama Jatikusumo segera beranjak. Tak
lama, dia kembali membawa apa yang diminta neneknya.
Apa yang disebut nenek itu sebagai mainan, ternyata sebuah kapak bermata dua
yang cukup besar. Betul-betul tidak cocok dengan tubuhnya yang kurus dan
terlihat ringkih.
Melihat gelagat itu. Rangga dan Pandan Wangi langsung menduga kalau sebentar
lagi ada yang tak beres. Makanya mereka bersiap-siap dengan melangkah mundur dua
tindak. "Kau mau masuk dan menginap di sini atau tidak"!"
bentak nenek ini.
"Kalau tidak, kepala kalian akan dipenggal nenekku!"
timpal Jatikusumo.
"Diam kau, Jatikusumo!"
"Iya. Nek!"
"Ayo, cepat beri keputusan!" bentak nenek ini.
"Kakang... Aku mulai tidak suka hal ini," bisik Pandan Wangi geram.
"Aku juga," balas Pendekar Rajawali Sakti.
"Kenapa kalian malah bisik-bisik, he"!" hardik nenek itu dengan mata melotot
lebar. "Maaf, Nek...."
"Aku bukan nenekmu!"
"Maaf. Nyisanak. Kami tidak bisa memenuhi per-mintaanmu."
"Kalau begitu kalian harus serahkan batok kepala masing-masing."
Habis berkata begitu, perempuan tua aneh ini langsung lompat sambil mengebutkan
kapak. Senjata yang ber-gagang panjang dan bermata kapak lebar itu tampak
seperti ringan sekali. Bahkan nenek ini hanya memegang dengan sebelah tangan.
Wuuuk! "Uhh...!"
Rangga membungkuk. Meski begitu, deru angin
kelebatan senjata kapak sempat mengibas-ngibaskan rambutnya. Bukan hanya itu
yang membuatnya kaget.
Ternyata kaki kiri nenek ini tiba-tiba saja menyodok ke dada. Tidak ada waktu
untuk menghindar, sehingga Pendekar Rajawali Sakti terpaksa menangkisnya.
Plak! Tangan kiri Rangga terasa linu ketika memapak
tendangan. Itu menandakan kalau nenek itu memiliki tenaga dalam cukup hebat.
Gerakannya gesit. Terbukti, kepalan kirinya tiba-tiba hampir memecahkan muka
Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga mengegos ke kanan. Namun nenek itu langsung menyusuli serangan lewat
ayunan kapak menyambar ke leher.
"Hup!"
Rangga melejit ke atas dan jungkir balik beberapa kali.
Begitu mendarat, Rangga kembali memasang kuda-kuda.
Sementara itu Pandan Wangi langsung melompat mendekati Pendekar Rajawali Sakti.
"Sebenarnya, siapa dia Kakang?" tanya Pandan Wangi geram.
"Melihat gerakannya aku baru ingat kalau dia adalah Pemenggal Kepala Bermuka
Masam. Aku pernah dengar tentang tokoh itu. Dia sebenarnya tidak jahat. Hanya
saja kelakuannya suka aneh...," sahut Pendekar Rajawali Sakti.
"Keanehannya yang bisa mencelakakan orang lain.
Kelihatannya dia bersungguh-sungguh hendak membunuh kita! Baiknya jangan dikasih
hati, Kang!" desis Pandan Wangi, geram.
"Jangan berbisik-bisik di depanku! Ayo, tentukan pilihan.
Menginap di tempat ini, atau kupenggal kepala kalian"!"
"Kurasa tidak ada salahnya kita menuruti keinginannya, Pandan," cetus Rangga.
"Tidak!" tolak Pandan Wangi, tegas.
"Kurasa mereka tidak bermaksud buruk...."
"Mungkin saja. Tapi sekali kita masuk ke pondoknya, maka kenginan mereka akan
macam-macam. Dan di saat itu, akan semakin sulit bagi kita untuk menolaknya,"
kilah Pandan Wangi dengan wajah kesal.
"Ya, kau benar."
"Kurang ajar! Kalau begitu kalian memang harus kupenggal!" desis perempuan tua
berjuluk Pemenggal Kepala Bermuka Masam, geram.
"Nyisanak! Kau yang mulai, maka aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Terpaksa
harus melindungi kepalaku," sahut Rangga enteng.


Pendekar Rajawali Sakti 189 Dendam Berkubang Darah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi sebelum mereka bergebrak....
"Nek, lihat! Lihaaat!"
Mendadak Jatikusumo berteriak-teriak ketika melihat cahaya api menyambar-nyambar
ke arah mereka.
"Ada apa kau ini"!" bentak Pemenggal Kepala Bermuka Masam.
"Aku lihat seekor naga sedang kemari!"
"Dasar dungu! Mana ada naga di tempat ini."
"Aku lihat di sana!" tunjuk Jatikusumo. "Dia tengah mempermainkan lidah apinya."
"Mana?"
Tapi pemuda itu tak bisa membuktikannya. Tempat yang baru saja ditunjuknya tidak
ada apa-apa, selain kegelapan dan pepohonan yang diam membisu.
"Ta..., tadi dia di sana ..." sahut Jatikusumo ragu.
"Dasar penakut! Tidak ada naga di tempat ini.
Pemenggal Kepala Bermuka Masam kembali memalingkan muka, bermaksud mengejar
ketika melihat Rangga dan Pandan Wangi mendadak berkelebat kabur. Agaknya kedua
anak muda itu tidak mau menyia-nyiakan
kesempatan sedikit pun. Langsung mereka menaiki kuda masing-masing dan
menggebahnya. "Kurang ajar...!" maki Pemenggal Kepala Bermuk Masam.
"Nek lihat...!" teriak Jatikusumo lagi.
Pemuda itu tidak hanya mengejutkan, tapi juga menarik sebelah lengan Pemenggal
Kepala Bermuka Masam,
sambil menunjuk-nunjuk ke satu arah.
"Heh"!"
Meski tidak terlalu jelas, tapi perempuan tua ini memang melihat sekilas sebuah
nyala api agak panjang yang bergerak-gerak seperti mendekati mereka dari
kejauhan. "Betulkan kataku" Itu memang seekor naga! Aku takut, Nek! Naga itu nanti akan
menelanku. Menelan kita! Oh, aku harus sembunyi! Ayo kita sembunyi, Nek...!"
teriak Jatikusumo, sambil menarik-narik lengan Pemenggal Kepala Bermuka Masam
untuk kembali ke pondok.
Cukup mengherankan, ternyata perempuan tua ini
sama terbirit-biritnya dengan pemuda itu. Sekencang-kencangnya mereka berlari,
lalu mengunci pintu pondok rapat-rapat.
"He he he...!"
Sepeninggal mereka terdengar tawa mengekeh di
tempat itu. Dan pada saat itu Rangga dan Pandan Wangi sudah cukup jauh dari tempat itu.
Mereka sama kali tidak meng-hentikan lari kudanya, karena belum merasa yakin
kalau Pemenggal Kepala Bermuka Masam akan melepaskan
begitu saja. Namun setelah agak jauh dari hutan itu mendadak Rangga menarik tali kekang
kudanya. Sepertinya dia teringat sesuatu. Tindakannya diikuti Pandan Wangi
dengan kening berkerut.
"Tunggu, Pandan! Sepertinya aku kenal dengan...."
"Buat apa berlama-lama lagi, Kakang" Sudah. Lebih jauh dari dua orang sinting
itu akan lebih bagus bagi kita!"
potong si Kipas Maut.
"Ki Demong!" seru Rangga setelah mengingat-ingat sebentar.
"Siapa?"
"Ki Demong. Ya! Dia yang tadi mengalihku perhatian nenek sinting itu."
"Huh!"
"Dia sahabatku, Pandan...."
"Terserahmu. Yang jelas, kita tak bisa berlama-lama di sini. Apa kau mau nenek
sinting itu menemukan kita lagi di sini?"
"Baiklah. Kita lanjutkan perjalanan...."
"He he he...! Apakah kau akan meninggalkan seorang kawan begitu saja?" tanya
satu suara dari kegelapan malam.
"Hmm! Sahabatku Ki Demong, keluarlah! Kami tengah membicarakanmu!" sahut Rangga,
langsung mengenali suara itu.
"He he he...!"
*** 4 Dua sosok tubuh muncul di hadapan Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi yang
sudah turun dari kuda masing-masing. Mereka memang Ki Demong yang berjuluk
Pemabuk Dari Gunung Kidul dan seorang pemuda, murid Ki Demong sendiri.
"Ah! Rupanya kau lebih lihai dariku, Setan Gondrong!"
puji Ki Demong. "Belum lama, kau bersama seorang gadis cantik. Dan sekarang
bersama gadis cantik yang lain!"
Mendengar kata-kata Ki Demong, Pandan Wangi
langsung memandang Rangga dengan sorot mata galak.
"Cuma kawan...," kilah Pendekar Rajawal Sakti, seperti mengerti tatapan
kekasihnya. Namun, itu saja agaknya tidak cukup bagi Pandan Wangi. Sehingga, gadis itu
mendengus kesal.
"Bagaimana keadaanmu sekarang?" tanya Ki Demong.
"Seperti yang kau lihat, aku sehat-sehat saja," sahut Rangga, kalem.
"He he he...! Syukurlah. Sebenarnya aku bermaksud menjengukmu karena sekian lama
tidak mendengar
kabar." "Menjemputku atau hendak menemui pujaan hati?"
goda Rangga. "Sekalian saja!" sahut Ki Demong, lalu tertawa keras.
"Agaknya dia tengah menunggumu, Sobat."
"Menungguku" Jangan menggodaku. Iblis Cilik!"
"Dia bilang begitu padaku," tekan Rangga.
"Dia bilang begitu padamu?" ulang Pemabuk Dari Gunung Kidul.
Rangga mengangguk.
"Dia bilang apa lagi?" cecar Ki Demong.
"Rindu, kasmaran, dan wajahmu selalu dipelupuk matanya...," oceh Pendekar
Rajawali Sakti.
Wajah Ki Demong mesem-mesem mendengarnya.
Matanya berkedip-kedip. Dan bibirnya sesekali mengulum senyum.
"Terus, apa lagi katanya?"
"Dia selalu menanti kedatanganmu di sana."
"Sungguh"!"
Rangga kembali mengangguk dengan wajah sungguhsungguh. "Yiaaak!" teriak Ki Demong seraya mengalungkan kepalan kiri ke atas.
"Ini perlu dirayakan! Ayo, kau harus ikut minum bersamaku, Iblis Cilik!"
"Tidak, terima kasih. Aku takut, tuakmu akan berkurang kalau aku ikut minum."
tolak Rangga halus.
"Kalau begitu kau saja, Wisnupati! Kau mau ikut denganku, bukan?" Ki Demong
menatap muridnya.
"Tentu saja, Guru. Di mana ada Guru, maka di situ ada aku!"
"Bagus! Nih, minum!"
Ki Demong menuangkan guci ke mulut muridnya. Tapi cuma sebentar, karena saat itu
juga ditarik kembali.
"Sudah, jangan banyak-banyak! Kurang bagus untuk latihanmu.'' kata Ki Demong
setengah mengomel.
"Tapi, Guru... Aku belum lagi mencicipinya."
"Tapi kau telah mencium aromanya, bukan?"
Wisnupati mengangguk.
"Nah, itu sudah cukup!"
Ki Demong terkekeh. Langsung ditenggaknya tuak
merah berbau harum dalam gucinya. Tak dipedulikan, apakah muridnya jengkel atau
tidak. "Huaaah! Sedaaap...!"
"Sobat! Bagaimana kau yakin kalau nenek itu tidak ke sini?" pancing Rangga.
"Untuk sementara, dia tak akan mengganggu kalian...,"
jelas Ki Demong.
"Guru menakut-nakutinya. Dan mereka betul-betul takut!" timpal Wisnupati sembari
menahan geli. "Menakut-nakuti bagaimana?"
Ki Demong tak menjawab, melainkan kembali
menenggak tuak dengan nikmat.
"Kata Guru, mereka amat takut dengan naga. Maka Guru memuntahkan tuak ke udara
beberapa kali. Nyala api yang ditimbulkannya, membuat kesan seolah-olah ada
seekor naga yang tengah bergerak mendekati." jelas Wisnupati.
"Dari mana gurumu tahu kalau mereka takut pada naga?"
"Aku..., aku sendiri tidak tahu...." Wisnupati kebingungan Dia menoleh pada
gurunya. Tapi, orang tua itu seperti habis makan dua bakul. Dia kelihatan
kekenyangan. "Wuaaah, nikmat..! Akan terasa lebih nikmat bila dia berada di sampingku...,"
oceh Ki Demong ambil tertawa kecil.
"Guru! Mereka ingin tahu sesuatu. Dari mana guru tahu kalau mereka takut pada
naga?" "Aaah! Dasar Iblis Cilik! Kau terlalu banyak tanya.
Sudahlah.... Aku akan ke sana dulu menjumpai kekasihku tercinta. Kau mau ikut.
Wisnupati?"
"Tentu saja, Guru!"
"Mungkin dia punya anak kecil... Nah, kau punya bagian Atau babu cantik, sikat
saja. Majikan dan babu, toh sama saja. Sama-sama perempuan. He he he...!"
"Iya. Iya, Guru!"
"Tunggu apa lagi" Ayo, kita berangkat!" ajak Ki Demong.
"Baik, Guru!" sahut pemuda itu.
"Hei, Iblis Cilik! Kami pergi. Aku juga tidak mau kalah denganmu. Setelah si
Cantik ini, aku akan mencari yang lain. Kita jadi bisa bersaing. He he he... !"
teriak Ki Demong segera angkat kaki tempatnya.
Wisnupati mengikuti dari belakang sambil mesemmesem. Sedangkan Rangga merutuk kesal. "Awas kau. Suatu saat, akan kukerjai lagi!"
umpatnya di hati.
"Huh! Gadis cantik, ya!" sindir Pandan sinis.
"Jangan membayangkan yang bukan-bukan, Pandan. Ini tidak seperti apa yang kau
duga." "Aku malah tengah berpikir, apa iya hanya satu"
Mungkin dua, atau tiga. Bahkan sepuluh!"
"Astaga! Aku belum jadi laki-laki hidung belang!" seru Rangga kaget.
"Sekarang kau memang sudah jadi laki-laki hidung belang!" sentak Pandan Wangi.
Rangga menggeleng-geleng sambil menghela pas
panjang. *** Desa Senggapring belakangan ini kelihatan ramai. Di sisi jalan utama telah
dipasang umbul-umbul warna-warni.
Orang-orang dari berbagai pedukuhan mulai berdatangan.
Tempat yang mereka tuju adalah sebuah rumah yang paling besar, serta paling
mewah di desa itu. Bahkan di desa-desa sekitarnya. Semua orang tahu, siapa
pemilik rumah itu. Seorang janda kaya berparas cantik. Namanya Dewi Kencana.
Kecantikan wanita itu memang telah menjadi buah bibir di mana-mana. Bukan cuma
penduduk desa ini saja yang merasa takjub, tapi juga dari berbagai kalangan.
Baik kaum persilatan, maupun kaum bangsawan. Tidak sedikit yang ingin
mempersuntingnya. Namun, Dewi Kencana tidak asal pilih. Wanita itu benar-benar
memiliki selera tinggi terhadap laki-laki yang hendak meminangnya. Maka bagi
kalangan rakyat biasa, hanya bisa berangan-angan tentang Dewi Kencana.
"Waduh! Kali ini siapa lagi calon suami Dewi Kencana?"
tanya seorang laki-laki setengah baya yang ikut berkerumun di halaman luar
gedung megah itu.
"Masa' kau tak tahu?" tukas seorang pemuda penduduk desa ini juga.
"Aku baru pulang dari berdagang ke wilayah timur.
Begitu pulang tahu-tahu terdengar kabar kalau Dewi Kencana kawin lagi. Sama
siapa, Raka" "
"Juragan Suwandana, Ki," sahut pemuda bernama Raka.
"Juragan Suwandana yang mana?" tanya laki-laki setengah baya itu.
"Alaaah, masa' tidak tahu"! Semua orang di wilayah kadipaten ini tahu, siapa
Juragan Suwandana."
"Juragan Suwandana orang paling kaya di kadipaten ini?"
Raka mengangguk.
"Astaga! Gila betul! Bagaimana mungkin aku bisa meminang dia kalau harganya
terus naik," gerutu laki-laki setengah baya ini.
"Memangnya kau ada minat melamar Dewi Kencana, Ki Gowar?"
"Aku berdagang mati-matian maksudnya supaya cepat kaya. Kalau kaya, kan lebih
mudah mendekatinya," jelas laki-laki setengah baya bernama Gowar.
"Dan tiga hari kemudian kau mati. Hartamu berpindah padanya!" ejek Raka.
"Jangan begitu. Raka...!" ujar Ki Gowar, gusar.
"Lho" Memang kenyataan, kok! Selama ini sudah berapa kali Dewi Kencana kawin?"
"Tiga."
"Nah! Semuanya mati, kan" Harta mereka untuk Dewi Kencana. Tak heran kalau dia
makin kaya. "
"Hus."
"Itu cuma kebetulan, Raka. Konon kabarnya sebelum kawin, Dewi Kencana pun orang
kaya." "Dari mana kita tahu" Dia berada di desa ini belum lagi sebulan. Sebelum itu,
mungkin entah berapa kali bersuami. Dan aku yakin, suaminya mesti mati juga...."
"Jangan terlalu berprasangka. Raka...," ujar Ki Gowar.
"Aku memang curiga. Kalau tidak, untuk apa dia menyewa begitu banyak tukang
pukul di rumahnya?" tanya Raka.
"Dia itu janda kaya. Sudah barang tentu menjadi sasaran empuk bagi maling. Wajar
saja kalau menyewa tukang pukul begitu banyak!" sergah Ki Gowar.
"Ah, sudahlah! Kau memang tidak mau kalah. Mentang-mentang dia pujaanmu! Kalau
kau tak percaya, aku berani mengajakmu bertaruh!" dengus Raka.
"Bertaruh apa?" tukas Ki Gowar.
"Tidak lama lagi Juragan Suwandana akan mati!"
"Ssst!" Ki Gowar memberi isyarat, ketika beberapa orang menoleh ke arah mereka.
"Bagaimana?" tantang Raka setelah orang-orang di sekeliling kembali memusatkan
perhatian pada upacara perkawinan di rumah besar itu.
"Boleh. Apa taruhannya" Dan, berapa lama waktu taruhannya?"
"Juragan Suwandana akan tewas sebelum tiga hari.
Taruhannya, seekor kerbau."
"Baik!" sambut Ki Gowar.
Sementara mereka sepakat bertaruh, maka dalam
rumah gedung megah itu upacara perkawinan berlangsung meriah. Tamu-tamu silih
berganti memberi selamat kepada kedua mempelai. Di antara mereka juga terlihat
beberapa pejabat istana. Hal itu tidak mengherankan, karena Juraga Suwandana
masih terhitung kerabat kerajaan.
*** Malam telah larut. Sebagian tamu masih berada di
dalam rumah megah milik Dewi Kencana. Beberapa orang di antaranya bahkan
mendapat kamar untuk menginap.
Kamar-kamar di rumah itu tidak banyak, sekitar sepuluh buah yang memang
dikhususkan bagi tamu. Sehingga hanya tamu-tamu tertentu saja yang diperkenankan
menginap. Sedangkan untuk tamu-tamu biasa bilang ingin menginap, maka bisa
bergabung dengan barak panjang yang hampir mengelilingi rumah itu. Di dalamnya,
terdapat ratusan tempat tidur sederhana. Pada hari- hari biasa, tempat itu
dihuni para tukang pukul serta pembantu yang bekerja pada Dewi Kencana.
Sejak sore tadi udara kelihatan kurang cerah. Ada mendung sedikit. Dan
sepertinya akan hujan. Meski kelihatannya tidak akan lebat, tapi udara mulai
terasa dingin. Apalagi, malam hari seperti sekarang.
Beberapa tamu yang masih ngobrol di halaman depan telah tertidur. Sebagian lagi
melanjutkan obrolan sambil menghirup kopi dan kue-kue. Meski begitu, para
penjaga tetap bersiaga penuh.
"Aaa..!"
Ketenangan malam itu mendadak diusik jerit kematian yang disusul jerit seorang
wanita dengan suara penuh ketakutan.
Para penjaga dan tamu yang mendengar serentak
bangkit dan bersiaga. Sebagian lagi memeriksa ke arah datangnya suara.
"Dari mana?" tanya salah seorang penjaga.
"Kedengarannya dari kamar Dewi Kencana!" sahut yang lain.
"Kalau begitu, terpaksa kita harus masuk!"
"Bagaimana" Itu tidak sopan!"


Pendekar Rajawali Sakti 189 Dendam Berkubang Darah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Keselamatan mereka berdua lebih penti ketimbang kesopanan"
"Pintunya terkunci?"
"Dobrak saja!"
Para penjaga dan para tamu belum sempat mendobrak ketika....
"Tangkap! Tangkaaap...! Dia keluar dari kamar Dewi Kencana."
"Heh"!"
"Dua orang ikut denganku! Dan yang lain tetap di sini menjaga segala
kemungkinan. Kalau bisa hubungi Dewi Kencana dan Juragan Suwandana. Pastikan
mereka dalam keadaan baik," perintah salah seorang penjaga.
"Baik!"
Tiga orang penjaga langsung melompat keluar melewati jendela. Mereka langsung
menghambur ke halaman
depan. Di sana, tengah terjadi pertarungan sengit. Para penjaga, baik dari pihak
Dewi Kencana maupun yang dibawa Juragan Suwandana tengah mengerubuti seorang
berpakaian serba hitam. Wajahnya memakai penutup kepala berwarna hitam pula.
Yang terlihat hanya sepasang matanya. Orang itu bersenjata sebilah pedang
panjang. Bruesss! "Aaa...!"
"Yeaaa...!"
Pedang di tangan orang bertopeng itu beberapa kali merenggut nyawa para
pengeroyok. Sekali bergerak, maka dua atau tiga nyawa dipastikan melayang.
Kalaupun mereka berhasil menangkis, sia-sia saja. Pedang orang itu sanggup
mematahkan senjata-senjata mereka!
"Celaka! Orang ini tak bisa dianggap enteng!"
"Panggil yang lain untuk memberi bantuan!"
"Baik!"
Tapi meski jumlah pengeroyok bertambah, tetap saja mereka tak berhasil mendesak.
Orang bertopeng itu memang memiliki ilmu pedang hebat luar biasa. Apalagi juga
ditunjang ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi. Sehingga, gerakannya
terlihat gesit. Bahkan tidak seorang pun dari para pengeroyok mampu
mengimbanginya.
"Orang itu harus dihukum! Dia telah membunuh Juragan Suwandana!"
"Heh"!"
Teriakan itu mengejutkan semua pihak. Apalagi, ketika melihat seorang wanita
cantik tergopoh-gopoh keluar dengan pakaian tidur.
"Orang itu harus ditangkap! Dia membunuh suamiku!"
teriak wanita cantik yang tak lain Dewi Kencana.
"Hup! Heaaa...!"
Orang bertopeng telah mencelat melewati
pengeroyoknya. Agaknya, dia merasa kalau keadaan begini terus maka suatu saat
akan kecolongan juga. Sekali terluka, maka para pengeroyok akan semakin
bersemangat menghabisinya. Maka selama ada kesempatan dia coba kabur.
"Kurang ajar! Dia mencoba kabur...!" teriak seseorang.
"Kejar! Jangan biarkan dia lolos!"
"Heaaa..!"
Seperti tanggul jebol, maka para pengeroyok saling berkejaran. Semuanya amat
bernafsu untuk membekuk orang bertopeng hitam itu.
"Hm.... Orang-orang dungu! Kalian kira bisa berbuat apa padaku?" dengus orang
bertopeng itu dingin.
Kesombongan orang bertopeng itu agaknya memang
terbukti. Sebab setelah sekian lama terjadi kejar-kejaran, para pengeroyoknya
bukan mempendek jarak, tapi malah semakin jauh. Dan lambat laun mereka
kehilangan jejak!
Sementara itu orang bertopeng tertawa di dalam hati.
Dia berhenti di suatu tempat dan bermaksud istirahat. Tapi niatnya terhenti
ketika tiga sosok telah menghadang di depannya pada jarak sekitar tujuh langkah.
Salah seorang dari mereka memiliki ukuran tubuh amat besar dibanding dua
lainnya. "Siapa kalian"!" bentak orang bertopeng, garang.
"Kalau kau kira bisa seenaknya selamat dari tempat itu, maka kau hanya mimpi!"
dengus sosok tubuh yang berdiri di tengah.
"Huh! Kalian cari mati berani mengejarku!"
Ketiga orang itu tidak langsung menjawab, namun mendekati perlahan-lahan. Maka
kini orang bertopeng itu bisa melihat jelas, siapa mereka.
"Hm... Kiranya Dewa Api, Tombak Maut, dan Raksasa Hati Merah!" desis orang
bertopeng, dingin.
"Syukurlah kalau kau mengenal kami. Sekarang, bersiaplah untuk
mempertanggungjawabkan perbuatan-mu!" dengus laki-laki selengah baya bersenjata
pedang. Orang itu hendak mendekati, namun...
"Kakang, Dewa Api! Biar kulumatkan kurcaci ini." cegah laki-laki bertubuh amat
besar. "Biar aku dulu, Raksasa Hati Merah!" tukas laki-laki bersenjata tombak bermata
dua yang runcing.
"Kenapa kalian ribut-ribut" Apa dikira aku takut jika kalian maju bersamaan?"
ejek laki-laki bertopeng hitam.
"Kakang Suwandana bukan cuma kawan dekat, tapi juga saudaraku. Biarlah kuurus
keparat satu ini," kata laki-laki bersenjata tombak yang berjuluk si Tombak
Maut. "Baiklah kalau itu alasanmu." sahut laki-laki bersenjata pedang yang berjuluk si
Dewa Api. Sementara laki-laki bertubuh amat besar yang berjuluk Raksasa Hati Merah pun
akhirnya mengangguk. Maka si Tombak Maut melangkah mendekati lawan. Sepasang
matanya menatap tajam, menyimpan api dendam dan kebencian.
"Bajingan terkutuk! Bersiaplah! Karena kau masih kuberi kesempatan untuk
melawan!" desis si Tombak Maut.
"Sebaiknya kau yang mesti berdoa. Karena sebentar lagi. giliranmu yang akan
menyusul ke neraka!"
"Yeaaa...!"
*** 5 Pertarungan tak dapat dihindari lagi. Si Tombak Maut sudah melesat menyerang
lebih dulu dengan salah satu ujung tombak yang runcing menusuk ke jantung. Tapi
si Topeng Hitam tidak kalah cepat, menangkis dengan pedangnya.
Trak! Begitu terjadi benturan senjata, maka ujung tombak si Tombak Maut yang satu lagi
melesat sepat kilat menghantam dagu. Tapi lagi-lagi orang bertopeng itu melompat
gesit ke atas. "Heaaat!"
Si Tombak Maut terus mengejar. Senjatanya diputar sedemikian rupa. Bukan saja
untuk membentengi, tapi juga untuk menyerang dahsyat. Beberapa kali orang
bertopeng itu balas menyerang, tapi selalu kandas di tengah jalan.
Trang! Trang! "Hiih!"
Setiap kali senjata mereka beradu, maka si Tombak Maut berusaha menghajar
secepat kilat tapi orang bertopeng itu pun ternyata gesit sekali sehingga sulit
baginya untuk mencuri kesempatan.
"Kakang, Ki Pranajaya! Aku sudah tidak tahan lagi!"
gerutu si Raksasa Hati Merah dengan nada geram.
"Begitu pula aku. Jatmika...," sahut si Dewa Api.
"Lalu untuk apa berlama-lama lagi" Biar kulumatkan kepala jahanam itu sekarang
juga!" desis Raksasa Hati Merah yang bernama asli Jatmika.
Merasa mendapat angin dari Ki Pranajaya alias si Dewa Api. Ki Jatmika langsung
melompat ke arah pertarungan.
Gada raksasa di tangannya diayunkan ke arah orang bertopeng.
Wuuut...! "Uts!"
Secepat kilat orang bertopeng itu mencelat ke belakang sambil berputar-putar.
Sehingga gada Ki Jatmika hanya menghempas angin.
"Jatmika...!" seru si Tombak Maut.
"Aku sudah tidak tahan lagi memecahkan batok kepalanya. Kakang Lola Abang!"
sahut Ki Jatmika gusar.
Pada akhirnya si Tombak Maut yang bernama asli Lola Abang, memang tak banyak
omong lagi. Dia tahu, bagaimana watak Ki Jatmika. Laki-laki bertubuh raksasa itu
memang cepat naik darah dan tidak bisa bersabar barang sebentar. Tapi kalau
didiamkan saja melawan orang bertopeng ini, rasanya dia akan kena dipecundangi.
Sebabnya jelas sekali gerakan Ki Jatmika agak lamban. Maka terpaksa ikut
mengeroyok. "Kenapa cuma berdua" Suruh si Dewa Api untuk mengeroyok juga!" ejek orang
bertopeng itu. "Huh! Aku sendiri sudah cukup melumatkan batok kepalamu!" dengus si Raksasa Hati
Istana Kumala Putih 6 Pendekar Kembar 16 Geger Pantai Rangsang Kesatria Baju Putih 16

Cari Blog Ini