Ceritasilat Novel Online

Dewa Sesat 1

Pendekar Rajawali Sakti 193 Dewa Sesat Bagian 1


" 193. Dewa Sesat Bag. 1 - 3
8 ?"?"?" 2015 ". " 10:26
? Pendekar Rajawali Sakti
episode: Dewa Sesat Oleh Teguh S. Penerbit Cintamedia, Jakarta
? 1 Pasar di kota Jatibarang selalu ramai sepanjang hari. Antara pedagang dan pembeli membaur menjadi satu. Sehingga, suasana tampak sibuk. Di tengah-tengah kesibukan berjual beli itu....
"Tangkap! Jangan biarkan pencopet itu meloloskan diri!"
Terdengar teriakan-teriakan memerintah dari mulut seorang laki-laki berbadan tegap berbaju hitam. Seketika suasana pasar yang sudah ramai, makin hiruk-pikuk saja. Sambil berteriak-teriak, laki-laki itu mengejar seorang pemuda berpakaian penuh tambalan yang berlari kencang, sekitar sepuluh batang tombak di depan. Lari pemuda tegap yang sesungguhnya tampan ini cepat bukan main. Namun baru beberapa puluh tombak pemuda itu menghentikan larinya, ketika seorang laki-laki menghadang di depannya dengan sebuah bentakan menggelegar.
Laki-laki berkumis tebal yang menghadang juga berpakaian serba hitam. Dan dia langsung membabatkan golok besarnya penuh kegeraman ke arah pemuda berbaju tambal-tambalan.
"Uts...!"
Namun dengan gesit pemuda berpakaian tambalan menghindari tebasan golok dengan memiringkan tubuh ke kiri, sehingga serangan itu hanya menyambar angin kosong. Dan seketika tubuhnya melesat sekencang-kencangnya.
Tetapi para pengejar semakin bertambah banyak. Selain kedua laki-laki berbaju hitam, para pedagang dan pembeli di pasar bahu-membahu ikut membantu.
"Bunuh! Bunuh...!"
Kembali terdengar teriakan-teriakan membahana. Sehingga di sekitar pasar berubah hiruk-pikuk.
Pemuda berpakaian putih penuh tambal-tambalan ini tentu tidak sudi dirinya tertangkap, lalu dicincang menjadi serpihan daging. Maka dengan cepat, dia terus berlari mencari jalan selamat.
Para pengejar semakin dekat saja. Bahkan kedua laki-laki berbaju hitam dan bersenjata golok telah hampir mendekat. Tanpa perasaan salah seorang langsung menebaskan golok.
Bret! "Aaagkh...!"
Pemuda berpakaian penuh tambalan itu langsung menjerit keras. Sambaran golok yang cukup keras membuat larinya jadi terhuyung-huyung. Masih untung tubuhnya tidak terjungkal, walaupun bahunya telah mengucurkan darah.
"Kau tidak mungkin dapat meloloskan diri dari tangan kami!" dengus kedua laki-laki berpakaian hitam.
Kembali golok di tangan salah seorang meluncur deras ke bagian leher. Tampaknya, kali ini pemuda berpakaian tambal-tambalan itu tidak mungkin dapat meloloskan diri. Walaupun tetap berlari, tetapi jaraknya sudah terlalu dekat.
Namun pada saat-saat yang sangat mengkhawatirkannya, tiba-tiba berkelebat satu bayangan merah ke arah pemuda itu. Dengan cepat tangannya menyambar. Di lain waktu, pemuda berbaju tambal-tambalan itu telah lenyap dari pandangan para pengejarnya.
"Heh"!"
Kedua laki-laki berpakaian hitam ini terkejut bukan main. Wajah mereka berubah gusar. Berarti, untuk yang kesekian kalinya buruannya berhasil meloloskan diri. Padahal tadi mereka sudah hampir berhasil meringkusnya.
"Sial betul! Semestinya sudah kucincang dia sejak tadi!" dengus laki-laki yang memiliki kumis melintang.
"Sudahlah, Pancaka. Sebaiknya kita kembali ke pasar. Keamanan di sana menjadi tanggung jawab kita," ujar laki-laki satunya mencoba bersikap lebih sabar.
"Benar, Garda. Tapi, pencopet tengik itu benar-benar membuatku tidak bisa tidur dan tidak dapat makan sepanjang hari!" gerutu laki-laki berkumis melintang yang dipanggil Pancaka, bersungut-sungut
"Mungkin nasibnya kali ini lagi mujur. Lain kali kalau tertangkap, kita habisi dia," sahut laki-laki yang dipanggil Garda.
"Tetapi, siapa bayangan merah tadi?" tanya Pancaka.
"Aku tidak tahu, Pancaka. Nanti saja kita selidiki. Mari kita ke sana!" ajak Garda sambil menarik tangan kanannya.
Para pedagang dan pembeli yang ikut melakukan pengejaran, sekarang sudah membubarkan diri. Dan dengan hati kesal, Pancaka terpaksa mengikuti Garda menuju ke tengah keramaian pasar. Para pedagang lainnya yang melihat penjaga keamanan ini kembali tanpa hasil, tampak mencibirkan mulut.
? *** ? Sosok bayangan merah segera menghentikan lesatan tubuhnya ketika tidak ada lagi orang yang mengejarnya. Kemudian, diturunkannya pemuda yang dipanggulnya sejak dari pasar tadi.
"Uhhh...!"
Pemuda berpakaian tambal-tambalan itu merintih kesakitan. Untung sambil berlari tadi, sosok bayangan merah yang ternyata seorang laki-laki tua berpakaian merah ini sempat menotok jalan darahnya. Sehingga pendarahan di tubuh pemuda itu tidak sempat terjadi.
"Aduh.... Apakah aku sekarang masih hidup" Atau sudah sampai di surga?" rintih pemuda berpakaian tambal-tambalan sambil meringis kesakitan. Dia bangkit dari berbaringnya, dan duduk berselonjor.
"Hmm...,"gumam laki-laki tua berjenggot putih itu tidak jelas.
"Lukamu tidak begitu parah. Mengapa kau merintih-rintih seperti orang mau mati?" tanya laki-laki tua berpakaian serba merah.
"Oh...! Jadi aku belum mati" Puji syukur pada Tuhan. Siapa pun kau, aku telah berhutang nyawa padamu. Terima kasih banyak...!" ucap pemuda itu, seraya membungkukkan badannya dalam-dalam.
Ternyata pemuda tampan ini cukup lucu. Sehingga laki-laki tua berbaju merah dapat menarik kesimpulan kalau pemuda tukang copet ini sesungguhnya seorang pemuda berwatak baik.
"Siapa namamu?" tanya laki-laki tua berbaju merah.
"Aradea. Kau sendiri siapa?" jawab pemuda berpakaian tambalan seraya bertanya.
"Ha ha ha...! Sebenarnya aku tidak ingin mengatakannya padamu. Apalagi, mengingat kau adalah pencopet," sahut laki-laki tua baju merah, seenaknya. Segera dibalut luka di bahu Aradea dengan sobekan kain baju pemuda itu sendiri.
"Karena aku seorang pencopet" Begitu berartikah namamu?" tanya Aradea, mencibir.
"Namaku tidak berarti bagimu. Tapi mungkin, cukup punya arti bagi orang yang mengutusku.Ah...,sudahlah! Aku sebenarnya heran. Anggota badanmu lengkap. Tetapi, mengapa kau mencopet" Apakah kau tidak merasa dirimu begitu hina?" sindir laki-laki tua berbaju merah.
"Sebutkan dulu namamu, baru kujawab pertanyaan itu!" sergah Aradea.
"Heh"! Rupanya kau tetap ngotot juga" Baiklah.... Aku bisa dipanggil Ki Rimbang, dari Padepokan Welut Perak," jelas laki-laki tua berbaju merah yang mengaku bernama Ki Rimbang.
"Padepokan Welut Perak" Aku pernah mendengar padepokan itu. Kalau tidak salah, Padepokan Welut Perak terkenal dengan murid-muridnya yang hampir semuanya wanita cantik," tebak Aradea.
"Kau tahu. Tetapi, kukira itu tidak penting. Sekarang kau coba katakan, mengapa kedua laki-laki di pasar tadi mengejarmu?"
"Mereka adalah orang-orangnya Pendeta Rabangsa. Pasar itu berada dalam pengawasan Pendeta Rabangsa. Siapa pun tidak boleh membuat keributan di sana. Sebab, upeti-upeti yang terkumpul di pasar disumbangkan untuk pengembangan agama. Pengikut pendeta itu cukup banyak. Menurut yang kudengar, pendeta itu melindungi kaum lemah dan suka menolong siapa saja. Hanya terkadang, pengikut-pengikut kepercayaannya mendapat gangguan dari satu kelompok yang paling berkuasa di daerah Jatibarang."
"Lalu kau sendiri, kalau sudah tahu dua orang tadi adalah anggota keamanan di situ, mengapa mencopet?" tanya Ki Rimbang, merasa tertarik.
Aradea tersenyum. Betapa senyumannya sulit diartikan. Matanya menerawang jauh ke depan, seakan mencoba menepis bayang-bayang masa lalu keluarganya yang kelam.
"Hidup ini terus berlalu, Ki. Banyak hal yang kuperjuangkan di sini. Aku harus menghidupi lebih dari lima puluh kepala. Sedangkan mereka sudah tidak punya daya apa-apa. Tidak ada pekerjaan yang mudah dan cepat menghasilkan uang, terkecuali mencopet."
"Aku tidak mengerti ucapanmu?" tukas Ki Rimbang.
"Maksudku...,aku ini pimpinan pencopet. Hasil pekerjaanku dan beberapa orang kawan, bukan untuk kepentinganku. Melainkan, kepentingan orang lain yang membutuhkan pertolongan. Mereka adalah orang-orang cacat dan terlunta-lunta. Juga anak-anak kecil yang orangtuanya yang tidak bertanggung jawab, dan kupungut di pinggir jalan. Mereka perlu makan dan pakaian. Itu alasanku, mengapa aku melakukan pekerjaan hina," jelas Aradea dengan wajah tertunduk.
"Lalu, ke mana perginya orangtua bayi-bayi yang kau pungut itu" Mengapa mereka tidak bertanggung jawab atas anaknya sendiri?" kejar Ki Rimbang, penuh rasa heran.
"Orangtuanya aku tidak tahu. Anak-anak itu adalah hasil hubungan gelap atau menjual diri, karena terdesak kebutuhan sesuatu yang sangat memabukkan," sahut Aradea. "Kalau kau mau tinggal di Jatibarang ini untuk beberapa waktu lamanya, maka akan terlihat bagaimana kehidupan yang mengerikan itu."
"Eeeh.... Menurutmu tadi, Pendeta Rabangsa adalah orang yang bijaksana dan suka menolong siapa saja. Mengapa kau tidak minta bantuannya untuk membesarkan anak-anak yang tidak berdosa itu?" tukas Ki Rimbang.
"Percuma, Ki," sahut Aradea. "Kehidupan ini, menurutku hanyalah untuk kalangan orang-orang kaya dan terhormat. Sedangkan orang sengsara dan tidak jelas asal usulnya, tidak usah ditolong. Paling tidak, begitulah menurut penglihatanku. Terhadap pendeta itu. Ah...! Sudahlah, Ki. Lebih baik kau ikut bersamaku. Di Pondok Kaum Nestapa nanti, kita bisa bertukar pikiran. Aku ingin menjamumu kecil-kecilan sebagai rasa terima kasihku, karena kau telah menolongku."
"Baiklah. Mari kita pergi!" ajak Ki Rimbang.
Aradea segera membawa Ki Rimbang menelusuri jalan pintas. Sementara saat itu matahari telah berada tepat di atas kepala.
? *** ? Tempat tinggal Aradea jauh terpencil di sudut kota. Tidak setiap orang dapat menemukan tempat itu. Karena selain tempatnya tersembunyi, juga harus melalui jalan rahasia.
Begitu sampai di depan pintu, Ki Rimbang langsung disambut dua orang gadis manis berumur sekitar sembilan belas tahun. Sementara belasan anak-anak berumur lebih kurang enam tahun menyerbu Aradea.
Bocah-bocah itu memanggil Aradea dengan sebutan "Ayah". Dan ini membuat Ki Rimbang sempat tercengang. Sekarang barulah dipercayainya kata-kata pemuda itu. Ternyata memang banyak anak-anak kecil yang berada di rumah itu. Tidak terhitung ayunan bayi yang terpasang pada setiap penyangga rumah. Sehingga dilihat sepintas, rumah ini tidak beda dengan sarang burung walet. Kini tatapan Ki Rimbang beralih pada dua gadis yang menyambutnya.
"Ningsih dan Sakawuni," jelas Aradea tanpa diminta.
Rupanya Aradea melihat Ki Rimbang terus memperhatikan kedua gadis cantik di depannya.
"Mereka berdua adik-adikku. Dan mereka yang bertanggung jawab di rumah ini mengurus anak-anak telantar yang puluhan jumlahnya. Tentu mereka repot. Tetapi, sudah terbiasa," jelas Aradea lagi.
"Mengapa anak-anak ini semuanya memanggilmu ayah?"
Pemuda tampan berpakaian tambal-tambalan ini pun tersenyum.
"Aku yang membiasakannya begitu. Kepada adik-adikku, mereka juga memanggil ibu. Mereka masih polos. Terlahir ke dunia ini bukan atas kehendak mereka. Orangtua mereka yang jahanam, karena tidak bertanggung jawab atas bayi yang dilahirkan. Tahukah kau, Ki" Jika ada yang sakit, aku tidak dapat tidur. Untung, aku punya dua sahabat yang selalu menyusukan mereka. Jika tidak, mungkin jarang yang dapat bertahan hidup...!" jelas Aradea apa adanya.
Ternyata sahabat yang dimaksudkan Aradea adalah empat ekor harimau besar yang baru saja muncul dari dalam rumah. Ki Rimbang tampak takjub, karena keempat harimau itu bersama dua anaknya begitu akrab dengan anak-anak yang sedang bermain di sekeliling Aradea.
"Jika aku dan adik-adikku tidak di rumah, keempat sahabatku ini yang menjaga keselamatan anak-anak di sini. Paman belang cukup terlatih dan mengerti beberapa jenis jurus-jurus silat!"
Ki Rimbang tampak terharu mendengar penjelasan Aradea. Pemuda itu masih sangat muda. Tetapi, punya tanggung jawab besar dalam membesarkan anak-anak malang yang ditinggalkan orangtuanya. Tidak dapat dibayangkan, bagaimana jika siang tadi tidak menolong Aradea. Jika pemuda itu tewas di tangan centeng di pasar, tentu anak-anak kecil itu akan sangat menderita!
Dibandingkan urusannya di Jatibarang ini, tentu persoalan yang dihadapi Aradea cukup rumit dan sangat berbahaya. Entah, bagaimana caranya dia menghidupi anak-anak malang itu selanjutnya.
"Siapakah sebenarnya orangtua bayi anak-anak ini, Aradea?" tanya Ki Rimbang akhirnya.
"Semua ini akibat pekerjaan Dewa Sesat, Ki. Dia dan anak buahnya telah bekerja sama dengan orang dari tanah seberang, memperjual-belikan barang yang dapat meracuni pikiran gadis dan pemuda di kota ini. Sehingga, mereka kehilangan harga diri," sahut Aradea, menjelaskan.
"Aku semakin tidak mengerti...," desah Ki Rimbang, menggelengkan kepala.
"Sulit aku menjelaskannya padamu. Tapi, nanti akan kubawa kau ke tempat-tempat yang memalukan!"
"Maksudmu?"
"Bila malam tiba, Jatibarang berubah menjadi surga memabukkan. Banyak gadis menjajakan diri. Mereka ketagihan madat. Sehingga, apa pun dilakukan mereka. Termasuk, menjual kehormatannya pada laki-laki hidung belang!" jawab Aradea.
Ki Rimbang terkejut mendengar penjelasan Aradea. Wajahnya berubah pucat. Rasa khawatir akan sesuatu, semakin bertambah jelas. Perubahan wajah Ki Rimbang ini tentu dilihat Aradea.
"Ada apa, Ki" Kau seperti mencemaskan sesuatu?" tanya Aradea.
"Ah..., tidak...! Tidak ada apa-apa. Aku hanya terkejut dan tidak menyangka ulah manusia serendah itu," sahut Ki Rimbang, gelagapan.
Sementara itu salah satu adik Aradea sudah menyediakan makanan untuk mereka berdua. Tidak lama kemudian, Aradea segera mengajak Ki Rimbang makan bersama-sama.
Banyak persoalan yang dibicarakan Aradea. Termasuk, mengenai pendatang dari tanah seberang yang telah bekerja sama dengan Dewa Sesat.
? *** ? Senja temaram jatuh di kota Jatibarang. Seorang pemuda berbaju rompi putih dengan pedang berhulu kepala burung rajawali tergantung di punggung, melangkah menekuri jalan utama kota ini. Wajahnya yang tampan diselimuti debu, pertanda baru saja melakukan perjalanan sangat jauh. Pemuda ini selanjutnya membelok ke sebuah kedai makan.
Ternyata suasana di dalam warung tidak sebagaimana yang diharapkannya. Selain para langganan, di dalamnya ternyata terdapat pula beberapa orang gadis berparas lumayan, memakai pakaian cukup merangsang. Gadis-gadis ini dengan genit menghampiri pemuda berbaju rompi putih yang tak lain Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti.
"Apakah tuan ingin memesan makanan, atau cukup ditemani saja" Bayarannya cukup murah. Dan kami bersedia dibawa ke mana saja," kata salah seorang gadis dengan sikap genit.
Rangga tentu saja terkejut mendengar ucapan gadis itu. Tiba-tiba pandangan matanya mengedar ke segenap ruangan yang cukup luas. Di sana sini terlihat pasangan berlainan jenis sedang berbincang-bincang. Bahkan ada yang sedang berpelukan. Sadarlah Rangga kalau kedai ini selain menjual makanan, juga menyediakan perempuan-perempuan penghibur. Rasanya seumur hidup Rangga belum pernah menjumpai pemandangan seperti ini.
"Aku ingin pemilik kedai menyediakan makanan untukku!" tegas Pendekar Rajawali Sakti.
"Biasanya kami yang menyediakannya, Tuan. Lagi pula pemandangan seperti ini sudah biasa di setiap kedai yang ada," jelas seorang gadis itu.
"Bagiku ini tidak biasa!" dengus Rangga.
"Rupanya Tuan orang baru di sini," kata gadis yang berbaju biru. "Tetapi, baiklah. Kalau Tuan tidak ingin dilayani, akan kupanggilkan pemilik kedai. Namun jangan lupa. Kalau membutuhkan kehangatan, kami selalu bersedia menemani!" ucapnya disertai senyum genit.
Rangga menjadi muak. Kalau tidak mengingat sudah kelaparan sejak tadi, tentu Pendekar Rajawali Sakti sudah meninggalkan kedai ini.
Tidak lama, seorang laki-laki berbadan kurus dan berbaju putih menghampiri Rangga. Laki-laki berusia setengah baya ini langsung membungkukkan badannya begitu sampai di depan Rangga.
"Tuan mau pesan apa?" tanya laki-laki itu.
"Nasi, lauk-pauk, dan air putih," ucap Rangga, menyebutkan pesanan.
"Tunggu sebentar!" ujar pemilik warung.
Laki-laki itu kemudian tergesa-gesa menyediakan apa yang diinginkan Rangga.
"Silakan dinikmati, Tuan Muda," ucap pemilik warung.
Dengan cekatan laki-laki ini meletakkan pesanan Rangga di atas meja. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti sendiri diam-diam mengawasi keadaan sekelilingnya yang dianggap kurang aman.
*** ? 2 Rangga membayar makanan yang dipesannya, lalu bergegas keluar. Suasana di kota Jatibarang pada malam hari memang lebih ramai. Kebanyakan mereka yang berkeliaran terdiri dari laki-laki dan perempuan yang rata-rata masih sangat muda.
Yang membuat Rangga tidak habis pikir, sejak berada di dalam kedai tadi hidungnya mengendus bau harum yang aneh. Bau itu berasal dari pipa-pipa rokok, atau sesuatu yang dimakan oleh mereka secara langsung. Mungkinkah benda-benda berwarna hitam itu mengandung kekuatan yang membuat seseorang menjadi lupa siapa dirinya" Lalu, dari mana asal benda itu?"
Tadi pun, Pendekar Rajawali Sakti sempat melihat beberapa orang berpakaian kuning memasuki kedai. Mereka langsung disambut pemilik kedai. Sebentar mereka bicara, lalu keluar lagi. Entah, apa yang dibicarakan. Rangga sendiri tak sempat mengerahkan ilmu "Pembeda Gerak dan Suara". Semua ini menimbulkan berbagai pertanyaan yang bergayut di hatinya.
Rangga kini tiba pada jalan membelok, yang menuju sebuah lorong gelap. Dengan sikap tenang tanpa meninggalkan kewaspadaan, dimasukinya lorong itu. Namun baru beberapa tombak berjalan....
Werrr...! Tiba-tiba terdengar desir halus dari belakang. Pendekar Rajawali Sakti cepat-cepat melompat, seraya membalikkan tubuhnya. Tangan kanannya segera menangkis beberapa sinar putih keperakan.
Trak! Trak! Sinar-sinar keperakan yang ternyata berupa pisau terbang langsung rontok berjatuhan di tanah. Pemuda berbaju rompi putih ini bermaksud memungut salah satu di antaranya. Namun sebelum niatnya terlaksana, tiga bayangan berkelebat ke arahnya.
"Apa maksud kalian membokongku?" tanya Rangga kalem, begitu tiga bayangan kuning mendarat di depannya.
"Kami telah mengawasi gerak-gerikmu sejak sore tadi. Sekarang, kau harus menyerahkan diri untuk dihadapkan pada ketua kami!" sahut sosok berpakaian kuning yang bertubuh jangkung.
"Aku tidak melakukan apa-apa di daerah ini. Aku tidak mengganggu kotamu, jika betul Jatibarang ini kotamu" Jadi, kau tidak punya hak untuk menahanku!" tukas Rangga, tetap tenang.
"Kau orang asing. Setiap orang asing harus kami tahan!" bentak sosok berpakaian kuning yang bertubuh paling pendek.
"O, begitu" Kalau itu kemauan kalian, silakan tahan jika mampu!" tantang Rangga.
Tantangan ini tentu membuat merah telinga ketiga sosok yang ternyata laki-laki muda berpakaian serba kuning ini. Yang berbadan jangkung tanpa banyak cakap lagi langsung menerjang Rangga.
"Uts..."
Pemuda berbaju rompi putih yang memang telah bersiaga sejak tadi segera menghindari dengan menggeser tubuhnya sedikit ke kiri. Saat itu lawan meluncur deras, Rangga cepat menyampok dengan tangan kanan.
Plak! "Uhh...!"
Sambil melompat mundur, pemuda jangkung itu memekik kesakitan. Tangannya yang terhantam seperti membentur batu karang saja. Bahkan tampak bengkak membiru.
Melihat kenyataan ini, tentu pemuda jangkung berbaju kuning ini tidak mau bersikap gegabah lagi. Dengan cepat pedangnya yang selalu tergantung di pinggang dicabut.
"Kau harus mati di tanganku!" dengus pemuda ini penuh kegeraman.
"Kalian terlalu memaksa, Kisanak!" Rangga mendesah lirih, menyesalkan sikap-sikap telengas dari orang-orang yang dihadapinya.
Namun ketiga laki-laki berpakaian kuning itu seperti tak mempedulikan. Bahkan pemuda yang bertubuh jangkung telah kembali melompat sambil mengayunkan pedang di bagian kepala.
"Hup!"
Pendekar Rajawali Sakti melenting ke atas, seraya berputaran beberapa kali. Dan mendadak tubuhnya meluncur deras dengan tangan terjulur ke arah pedang pemuda jangkung.
Dua laki-laki berbaju kuning lain mengira Rangga melakukan kesalahan. Mereka menduga, tangan pemuda itu sebentar lagi terbabat putus oleh pedang lawannya.
Ternyata, dugaan itu meleset sama sekali. Mendadak Rangga melakukan gerakan memutar yang sangat cepat dan sulit dilihat. Dan...
Trep! "Lepas!" teriak Rangga, seraya menghentakkan tangannya.
Benar saja. Ketika Pendekar Rajawali Sakti menjejakkan kakinya di tanah, tahu-tahu pedang, pemuda jangkung telah berpindah ke tangan Rangga. Baik lawan yang berbadan jangkung maupun dua orang lainnya sama-sama terkejut.
Melihat kesempatan saat lawan lengah. Rangga tidak menyia-nyiakan waktu lagi.
"Terimalah pedangmu! Heaaa...!"
Sambil berteriak menggelegar, Pendekar Rajawali Sakti melempar pedang ke arah pemuda jangkung. Begitu cepatnya, sehingga...
Blesss! "Aaa...!"
Pemuda jangkung itu menjerit keras begitu perutnya tertembus pedang miliknya sendiri. Tubuhnya tersungkur tiga tombak di hadapan Pendekar Rajawali Sakti.
Sementara dua orang pemuda berpakaian kuning lainnya jelas sangat terkejut melihat kematian lawannya. Selama ini, mereka adalah orang-orang yang sangat disegani di Jatibarang. Bahkan, ketua mereka sangat yakin dengan kemampuan mereka. Namun, kini sebuah kenyataan telah membuka mata mereka lebih lebar lagi.
? *** ? "Heaaa...!"
Dengan serentak, kedua orang berpakaian serba kuning menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Serangan-serangan yang dilancarkan menimbulkan desir angin halus. Rangga harus mengakui, betapa kompaknya mereka dalam melakukan serangan. Bahkan....
Set! Set! Mendadak saja enam buah sinar keperakan dari pisau terbang yang dilepaskan pemuda bertubuh gemuk dan pemuda bertubuh pendek meluncur deras menuju enam jalan kematian di tubuh Rangga.
"Hmm...!"
Sambil menggumam tak jelas, Pendekar Rajawali Sakti membuat gerakan berputar. Seketika dikerahkannya jurus "Sembilan Langkah Ajaib". Tubuhnya meliuk-liuk cepat bagai orang mabuk. Sedangkan langkah kakinya lincah bergeser. Dan mendadak, Rangga melenting ke udara. Sehingga pisau-pisau terbang itu hanya lewat di bawah kakinya.
Saat meluncur ke bawah, Pendekar Rajawali Sakti, mempergunakan jurus "Rajawali Menukik Menyambar Mangsa" dengan kaki bergerak menghantam kepala.
"Uts...!"
Pemuda yang bertubuh gemuk berusaha menghindari dengan menundukkan kepala. Tetapi gerakannya kalah cepat. Maka....
Prakkk! "Aaakh...!"
Pemuda gemuk itu menjerit keras. Kepalanya remuk berdarah, dan otaknya berhamburan. Seketika dia tersungkur tanpa bangkit lagi selama-lamanya.
Rangga melompat ke belakang sejauh dua tombak. Sisa lawannya yang berbadan pendek terkesiap dengan mata melotot. Seakan, dia tidak percaya dengan kejadian yang menimpa kawannya. Baru disadari sekarang kalau lawannya cukup berbahaya.
"Sadarlah, Kisanak. Tak ada gunanya bertarung, sementara kita tak punya masalah apa-apa...," cegah Rangga, berusaha menyadarkan lawannya.
Saat itu juga Rangga berbalik dan bermaksud meninggalkan tempat itu. Tapi tanpa diduga, pemuda pendek itu mengebutkan tangannya.
Wesss...! Rangga cepat berbalik. Dia terkesiap melihat luncuran beberapa pisau terbang ke arahnya. Terpaksa Pendekar Rajawali Sakti menjatuhkan diri dan berguling-guling menghindari, sehingga pisau-pisau itu menancap pada dinding rumah yang terdapat di belakangnya.
Secepatnya Pendekar Rajawali Sakti bangkit berdiri. Dipandanginya pemuda pendek itu dengan tatapan dingin menusuk.
"Kau terlalu telengas kalau dibiarkan!" desis Rangga dingin.
"Aku tidak mungkin kembali sebelum memenggal kepalamu!" sahut pemuda pendek tidak kalah dinginnya.
Tampaknya Rangga memang tidak punya pilihan lain lagi. Sementara, pemuda pendek itu langsung saja mencabut pedangnya.
Sing! Begitu tercabut, ia langsung menebas ke dada Rangga. Tetapi dengan gesit Pendekar Rajawali Sakti merunduk. Sehingga serangan itu hanya menebas angin kosong.
Pemuda pendek berbaju kuning ini penasaran sekali melihat serangannya dapat dihindari. Maka secepat kilat tubuhnya diputar. Seketika dia menerjang kembali dengan kecepatan berlipat ganda.
Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti tidak ingin mengulur-ulur waktu lagi. Tiba-tiba kedua tangannya dihentakkan ke depan.
"Aji "Guntur Geni"! Hiyaaa..!" teriak Rangga.
Seketika angin kencang disertai hawa panas membakar menderu ke arah pemuda pendek. Tidak dapat dihindari lagi, pukulan itu menghantam telak tubuhnya.
Glarrr! "Aaa...!"
Disertai jeritan keras, tubuh pemuda pendek berpakaian kuning itu terpelanting roboh. Badannya hangus. Jiwanya melayang saat itu juga.
Rangga tidak ingin berada di situ lebih lama lagi. Tanpa menghiraukan mayat lawan-lawannya, tubuhnya segera berkelebat.
Kiranya, tanpa sepengetahuan Pendekar Rajawali Sakti ada sepasang mata yang sejak tadi terus memperhatikan. Pemilik sepasang mata itu tampak terkejut, karena tidak menyangka kalau pemuda berbaju rompi putih itu mampu merobohkan lawan-lawannya.
? *** ? Malam pekat menyelimuti kota Jatibarang. Suara binatang malam mengalunkan tetembangan, membangkitkan gairah. Suasana yang nyaris membuat orang untuk pergi tidur, tak membuat mata beberapa penjaga bangunan bertingkat dua terpengaruh.
Di sekeliling bangunan tampak terang benderang oleh begitu banyak lampu yang dipasang. Para pengawal berjaga-jaga, sehingga tidak mungkin ada orang yang berani bertingkah.
Di sebuah ruangan bangunan besar itu terdengar rintihan yang datangnya dari mulut seorang gadis. Di depan gadis ini, seorang pemuda berwajah tampan hanya memperhatikan dengan tatapan penuh gairah.
Mata gadis itu sayu. Wajahnya sedikit pucat.
Sedangkan kedua tangannya mendekap tubuhnya sendiri. Dia menghiba-hiba meminta sesuatu.
Namun pemuda berbaju serba kuning ini tampaknya sengaja mempermainkannya. Pipa rokoknya dihisap dalam-dalam. Lalu perlahan-lahan asapnya dihembuskan. Tak lama, tercium baru harum namun aneh.
"Kau tahu, Manisku. Surga itu letaknya di sini. Di tempat kediamanku ini. Tadi siang, aku mengajakmu melihat-lihat penjara di tempatku. Kau sudah melihat kalau mereka semuanya perempuan. Mereka menjadi sangat tergantung padaku. Sehingga, mereka tidak menolak bila kuperintahkan apa saja. Banyak pekerjaan yang dapat dilakukan demi mendapatkan barang surga. Barang itu hanya aku yang punya. Kalau aku menyuruh mereka menjual diri, gadis-gadis dalam kurungan itu tidak akan menolak. Bahkan dengan senang hati melakukannya. Sudah dua minggu kau berada di sini. Dan baru hari ini kau menunjukkan tanda-tanda menurut!" kata pemuda tampan sambil tersenyum licik.
"Tolonglah aku.... Sekarang aku mengaku takluk padamu. Berikan makanan surga itu padaku," rintih gadis itu, lirih dan bergetar.
"Ha ha ha...! Tidak percuma kawanku membawamu jauh-jauh dari Padepokan Welut Perak, Arum Kenanga. Wajahmu cantik. Pinggulmu bagus. Dan sekarang, untuk memperoleh makanan surga, sebaiknya kau ikuti aku!" ujar pemuda berpakaian kuning.
Tanpa ada pilihan lain lagi, gadis bernama Arum Kenanga yang sebelumnya dipaksa memakan candu hingga membuatnya ketagihan ini terpaksa mengikuti. Mereka menuju ke sebuah kamar. Setelah kedua-duanya masuk ke dalam, pemuda tampan itu menutup pintu kembali.
"Mana barang itu?" tuntut Arum Kenanga, yang ternyata dari Padepokan Welut Perak.
"Aku akan memberikannya padamu. Tentu sebelumnya, kau harus mengikuti apa yang aku mau, Arum Kenanga!" tegas pemuda tampan itu.
Segera diambilnya kotak berwarna hitam, kemudian diletakkannya di atas meja.
"Apa yang kau butuhkan ada di dalam kotak ini, Manis," jelas pemuda itu.
"Kumohon berikan padaku!" pinta Arum Kenanga.
Tubuh gadis ini tampak menggigil. Tampak jelas kalau dia begitu ketagihan.
"Tuntutanmu akan kuberikan, murid Padepokan Welut Perak. Sekarang, buka pakaianmu!" perintah pemuda itu.
"Buka pakaian" Siapa kau ini sebenarnya?" tanya gadis itu seperti orang linglung.
"Ha ha ha...! Aku adalah Dewa Sesat. Aku suka menolong siapa saja yang menderita. Aku menciptakan surga untuk mereka. Sekarang, kalau mau mendapatkan makanan surga, kau harus membuka pakaianmu!" tegas pemuda yang menjuluki diri Dewa Sesat disertai senyum.
Dalam keadaan setengah sadar karena ketagihan candu, gadis ini hanya mengikuti perintah pemuda tampan berjuluk Dewa Sesat. Mulai kancing-kancing bajunya dibuka.
Pemuda berbaju kuning memperhatikan dengan mata terpentang lebar. Sudah puluhan gadis yang menyerahkan kehormatannya pada pemuda ini. Tetapi di matanya, Arum Kenanga tampak lain. Tubuhnya yang terlatih berbagai ilmu silat, tampak padat dan menantang.
"Kuperintahkan padamu untuk membuka pakaian semuanya! Jangan satu pun yang tersisa!" tegas Dewa Sesat lagi sambil menelan ludahnya sendiri, membasahi kerongkongan yang mendadak kering. Jakunnya turun naik.
"Tetapi...!"
Arum Kenanga tersipu-sipu.
"Lupakan rasa malu. Karena sekarang ini, kau bersama Dewa Sesat. Aku dapat memberikan apa saja padamu!"
Arum Kenanga dalam keadaan setengah sadar segera menanggalkan pakaian terakhir yang menutupi dada. Saat itu juga, pemuda tampan berbaju kuning ini dengan leluasa segera memeluk tubuhnya. Ciuman bertubi-tubi membangkitkan birahi menjalar dari leher hingga ke puncak dua buah bukit kembar. Tangan yang kokoh bergerak liar, menjamah apa saja yang dimiliki gadis ini.
Sampai akhirnya, Dewa Sesat membopong Arum Kenanga yang dalam keadaan polos ke atas ranjang. Selanjutnya, hanya seekor cicak yang menjadi saksi tingkah laku dua anak manusia berlainan jenis itu.
? *** ? Dua ekor kuda berlari kencang menuju kota Jatibarang. Penunggangnya adalah dua pemuda bermata sipit. Di punggung mereka masing-masing tersampir sebuah pedang. Melihat wajahnya, pasti mereka ini dari negeri seberang.
Sementara itu semakin mendekati kota Jatibarang, lari kuda-kuda bertambah cepat laksana terbang. Padahal, selain penunggangnya, masih ada beban lain yang membebani punggung kuda itu.
"Sebentar lagi kita sudah sampai tujuan, Tai "Lee. Aku sudah rindu dengan gadis-gadis timur yang hangat dan memabukan," kata salah seorang pemuda bermata sipit dengan logat Thai.
"Kau tidak sudah takut, Saudara Tai Ceng. Semua kesukaanmu ada di rumah Durudana juragan kita. Dia pasti menyediakan semua keperluan kita. Kau tahu, mengapa dia memperlakukan kita seperti anak emas?" tanya pemuda sipit yang bernama Tia Lee.
"Tentu karena bagi dia, kita tidak beda dengan ladang emas," sahut pemuda yang dipanggil Tai Ceng.
"Betul! Kita yang membawa makanan surga kepadanya. Karena kita, dia menjadi kaya. Wajar saja bila Durudana menyediakan semua yang kita minta," tandas Tai Lee bangga.
"Negeri yang subur ini memang ladang yang cocok untuk dagangan kita. Dua tahun lagi, jika usaha kita tidak ada hambatan, tentu sudah dapat membangun sebuah kerajaan di Thai," sambung Tai Ceng berangan-angan.
"Keamanan tidak perlu dirisaukan. Juragan Durudana pasti dapat mengatasi masalah yang sepele ini," tegas Tia Lee meyakinkan.
Begitu asyiknya mereka bicara, tanpa terasa telah sampai di tempat kediaman sebuah rumah paling besar di kota Jatibarang. Beberapa orang tukang pukul yang sudah mengenal mereka langsung menyambung. Salah satu di antaranya segera menambatkan kuda. Sedangkan dua orang lagi langsung mengangkat barang bawaan.
"Cepat bawa masuk barang-barang itu. Oh,ya.... Apakah ketua kalian ada?" tanya Tai Ceng pada salah satu tukang pukul yang mengantarkan.
"Kebetulan sekali ketua ada. Silakan menunggu. Hamba akan menghubunginya!"
"Cepatlah! Jangan biarkan kami menunggu terlalu lama!" perintah Tai Lee tidak sabar.
Tukang pukul berbadan tegap itu bergegas menuju ke sebuah ruangan lain. Tubuhnya seketika menghilang dari pandangan.
Tidak sampai sepemakan sirih, laki-laki berseragam kuning ini telah kembali lagi disertai seorang pemuda tampan berambut panjang sepinggang. Melihat kedua laki-laki bermata sipit ini, pemuda yang tak lain Dewa Sesat mengembangkan tangannya.
"Selamat datang kembali ke negeri kami, Saudaraku. Kalian tentu kelelahan. Sebaiknya istirahat saja dulu!" sambut Dewa Sesat.
"Kelelahan kami tentu segera hilang bila kau menyediakan bunga yang baru mekar dan wangi untuk kami, Durudana!" sahut Tai Lee sambil melirik pada kawannya.
"Mengenai masalah itu sudah tersedia. Yang penting, kalian datang dengan bekal surga," sahut Dewa Sesat yang bernama asli Durudana.
"Beres. Semuanya beres! Jual beli adalah tujuan utama kami!" tegas Tai Ceng.
Tanpa banyak bicara lagi, mereka segera dibawa menuju ke kamar-kamar yang telah disediakan. Pada setiap kamar, telah menunggu gadis-gadis cantik seperti yang diinginkan.
*** ? 3 Ki Rimbang, siang yang terik itu secara diam-diam meninggalkan tempat kediaman Aradea. Sekarang paling tidak mulai dimengerti, apa sebenarnya yang telah terjadi di Jatibarang. Penduduk setempat sudah ketagihan madat. Sekarang, laki-laki tua Ketua Padepokan Welut Perak hanya tinggal mencari siapa yang bertanggung jawab mengedarkan barang terkutuk itu. Sekaligus juga ingin mencari jejak beberapa orang muridnya yang telah hilang beberapa bulan lalu.
Laki-laki tua berpakaian serba merah ini memang sengaja tidak ingin melibatkan Aradea. Sebab, pemuda itu sudah cukup dibuat repot mengurus lima puluh anak-anak telantar. Anak-anak telantar itu memang hasil hubungan gelap, akibat ibunya memerlukan madat yang memabukkan.


Pendekar Rajawali Sakti 193 Dewa Sesat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sekarang Ki Rimbang mulai dapat mengambil keputusan. Apa yang harus dilakukannya adalah menghancurkan orang yang mengedarkan barang-barang tersebut. Namun menurut Aradea, mereka terlalu kuat. Selain itu, mereka mempunyai mata-mata yang tersebar di seluruh Jatibarang. Jadi mustahil setiap geriknya tidak diketahui orang yang dicarinya.
Aradea sendiri hingga sampai saat ini, belum mampu membalas kematian orangtuanya. Padahal menurut kabar yang bisa dipercaya, manusia yang berjuluk Dewa Sesat itulah yang telah membunuh kedua orangtuanya. Ini merupakan pertanda kalau musuh-musuh yang dihadapi terlalu kuat.
"Mungkinkah Arum Kenanga, Prabu Sari, dan Ratna Gumilar juga telah berada di tangan musuh Aradea?" gumam Ki Rimbang.
Ki Rimbang tidak sanggup membayangkan kejadian yang menimpa ketiga muridnya bila benar-benar telah terjatuh di tangan Dewa Sesat. Namun dia berdoa semoga hal seperti itu tak pemah terjadi.
Lebih kurang sepenanakan nasi melakukan perjalanan, akhirnya Ki Rimbang tiba di depan sebuah bangunan mirip sebuah tempat ibadah. Laki-laki tua ini dapat memastikan bahwa tempat itu bukan tempat yang ditujunya. Dan, perjalanannya pun dilanjutkan.
Akan tetapi baru saja beberapa langkah Ki Rimbang melewati bangunan beratap genteng itu, terdengar suara tangis dari dalamnya. Laki-laki tua ini jadi bertanya dalam hati, bagaimana di tempat ibadah ada orang yang menangis" Merasa penasaran, maka dimasukinya halaman rumah ibadah ini.
Namun baru saja melangkah beberapa tindak tiba di halaman.
"Berhenti...!"
Ki Rimbang tersentak, begitu mendengar bentakan keras. Kepalanya langsung menoleh ke arah datangnya suara. Tampak dua orang laki-laki berbaju biru tengah mendekatinya. Melihat penampilannya, jelas kedua laki-laki ini bukan pendeta.
"Berani-beraninya kau memasuki daerah ini, Orang Tua"! Tidak tahukah kau kalau ini adalah daerah terlarang, terkecuali bagi orang-orang yang hendak beribadah?" tegur orang berbaju biru yang berbadan tegap.
"Jika aku ingin ibadah, apakah boleh masuk ke dalamnya?" pancing Ki Rimbang.
"Kalau memang itu maumu, tentu bukan alasan. Pendeta akan senang sekali menerima kehadiranmu," sahut laki-laki berbaju biru yang satu lagi.
"Sebenarnya aku punya keperluan penting di suatu tempat. Mungkin lain kali aku akan singgah di tempat ibadah itu?" jawab, Ki Rimbang.
Jawaban Ki Rimbang jelas membuat curiga kedua laki-laki berbaju biru. Salah seorang segera memberi isyarat.
"Aku tahu, kau pasti sedang melakukan penyelidikan! Tindak tandukmu membuat kami curiga. Untuk itu, kau tidak mungkin dibiarkan pergi begitu saja!" tuding laki-laki yang berbadan tegap.
"Enak saja kau bicara! Persoalannya tidak sederhana yang kalian bayangkan!" dengus Ki Rimbang.
"Banyak mulut! Heaaa...!" teriak laki-laki berbaju biru yang berdiri di samping kanan.
Tanpa mendapat aba-aba lagi, keduanya segera menerjang Ki Rimbang, dengan tinju masing-masing ke arah wajah dan perutnya.
Ki Rimbang mengegos ke kiri, sehingga kedua serangan itu luput. Kedua laki-laki berbaju biru kembali berputar. Selanjutnya disertai teriakan keras, mereka menghentakkan kedua tangan.
Ser! Ser! Saat itu juga meluncur senjata yang menyerupai clurit namun dihubungkan dengan tali. Sehingga ketika clurit itu meluncur dapat ditarik kembali sesuai keinginan pemiliknya.
Wuk! Wuk! Ki Rimbang terpaksa berjumpalitan untuk menghindari sambaran clurit bertali. Tetapi serangan-serangan itu semakin lama semakin bertambah gencar.
Sambil terus menghindari sesekali laki-laki tua berbaju merah ini melepaskan serangan balasan. Bahkan kini jurus-jurus silatnya segera dirubah. Dikerahkannya jurus "Welut Cadas Putih" yang merupakan salah satu jurus andalan dari Padepokan Welut Perak.
"Hiyaaa...!"
Ki Rimbang melakukan serangkaian gerak yang sungguh mengagumkan pada saat dua senjata clurit bertali menyambar deras ke arah tubuhnya. Sejengkal lagi kedua senjata itu mencapai sasaran, tubuhnya kembali meliuk-liuk sambil menggeser langkah ke samping.
Wuuus! "Heh..."!"
Kedua laki-laki berbaju biru ini terkejut saat senjata clurit bertali tidak mengenai sasaran. Padahal, mereka telah mempergunakan jurus ampuh.
Malah kini sebaliknya, Ki Rimbang melakukan serangan balasan yang tidak kalah berbahaya. Kedua tangannya tiba-tiba mengepal. Kakinya membentuk kuda-kuda kokoh. Seketika kedua tangannya dihentakkan ke arah lawan-lawannya.
Wuuut! Segulung udara panas disertai angin dingin menusuk langsung meluruk dari hentakan kedua tangan Ki Rimbang. Namun, kedua laki-laki berbaju serba biru itu segera memutar senjata clurit bertali untuk melindungi diri. Sehingga, membentuk gulungan angin yang membentengi. Tapi akibatnya....
Blar! Blanr! "Hugkh...!"
Benturan keras tak dapat dihindari lagi. Tampak kedua laki-laki berbaju biru terpental jauh.
Ketika terbanting di tanah, dari sudut-sudut bibir masing-masing meneteskan darah kental.
? *** ? Sementara Ki Rimbang berdiri tegak di tempatnya. Didekatinya kedua laki-laki berbaju biru yang tengah terluka dalam.
"Katakan padaku, siapa yang menyuruh kalian menyerangku"! Untuk siapa kalian bekerja"! Untuk Dewa Sesat, atau untuk pendeta"!" cecar Ki Rimbang.
"Huh...! Kami lebih baik bertarung denganmu sampai mati daripada harus menjawab pertanyaanmu!" dengus salah seorang.
Dengan tertatih-tatih mereka bangkit berdiri, dan kembali dalam keadaan siap menyerang.
"Kuhargai kesetiaan kalian pada majikan. Tetapi keputusan yang diambil, hanya mempercepat kematian kalian sendiri!" geram Ki Rimbang.
Tanpa menghiraukan ucapan orang tua berbaju serba merah ini, kedua laki-laki berbaju biru itu langsung memutar clurit bertali kembali. Seketika, terdengar suara mendesing menyakitkan gendang telinga. Kedua mata clurit itu langsung meluruk ke arah Ki Rimbang.
Set! Set! "Hup!"
Namun kakek berjenggot putih ini langsung berjumpalitan menghindar. Tapi....
Rrrttt...! Salah satu clurit bertali lawan sempat membelit kaki Ki Rimbang.
Ketika senjata itu disentakkan, Ki Rimbang tanpa dapat menahan lagi. Tubuhnya langsung jatuh terguling-guling. Namun dengan gesit dia cepat membebaskan kakinya yang terbelit tali. Pada waktu yang bersamaan, clurit bertali yang satunya lagi menderu ke arah dada.
"Uts...!"
Crap! Ki Rimbang cepat menghindar dengan menggulingkan tubuhnya ke samping. Sehingga ujung clurit itu hanya menghantam bagian bawah sebuah pohon, hingga menancap dalam.
Sementara itu Ki Rimbang sudah berhasil membebaskan diri dari belitan tali yang dihubungkan dengan clurit. Secepat kilat dia bangkit berdiri. Dan tanpa menyia-nyiakan kesempatan lagi, tubuhnya meluruk deras dengan tangan terjulur ke arah laki-laki berbaju biru yang tengah membebaskan senjatanya setelah menancap di pohon. Begitu cepat luncuran tubuhnya, sehingga....
Desss...! "Aaa...!"
Disertai jerit kesakitan, sosok berbaju biru itu jatuh terpelanting tanpa bisa menghindari lagi. Dadanya remuk. Nyawanya lepas saat itu juga.
Melihat kawannya tewas secara mengenaskan, yang satunya lagi jadi lumer semangatnya. Maka tanpa membuang waktu lagi tubuhnya berbalik. Seketika dia lari terbirit-birit meninggalkan Ki Rimbang.
"Kau telah berani membuat urusan besar dengan Laskar Malam, Orang Tua! Kelak kau akan berurusan dengan Dewa Sesat...!"
Terdengar suara bernada mengancam dari mulut laki-laki tadi. Dan suara tersebut kemudian lenyap. Sedangkan Ki Rimbang tanpa membuang-buang waktu lagi segera melanjutkan langkahnya menuju tempat peribadatan tadi.
Sesampainya di dalamnya, suasana dalam keadaan sepi. Tidak ada siapa-siapa di situ, kecuali deretan bangku yang memanjang.
"Mungkinkah mereka pergi saat aku sibuk bertarung tadi" Seharusnya aku melihat mereka keluar," pikir Ki Rimbang. "Tempat ibadah apa ini namanya" Mengapa harus ada tangis di sini" Dan suara yang sempat kudengar tadi, pasti suara perempuan!"
Beberapa saat Ki Rimbang tampak berdiri mematung. Dan tiba-tiba pandangannya yang tajam menangkap suara bergemerisik di luar. Laksana kilat, Ki Rimbang berkelebat ke luar. Yang dituju, langsung ke samping luar bangunan. Begitu tiba, laki-laki tua ini melihat seorang pemuda berbaju rompi putih tengah berdiri di tempat itu. Di punggungnya tergantung sebilah pedang berhulu kepala burung rajawali. Matanya kontan terbelalak, Ki Rimbang seakan tidak percaya dengan yang dilihat
Kalau tak salah, Ki Rimbang pernah melihat pemuda dengan ciri-ciri seperti yang dilihatnya sekarang ini. Bahkan sepak terjang pemuda itu pernah didengarnya. Untuk itu beberapa saat dia hanya terpana tanpa mampu mengucapkan sepatah kata pun!
"Eh..." Kau.... Bukankah kau pendekar yang sangat terkenal itu?" desis Ki Rimbang, sambil menunjuk pemuda yang berada dua tombak di depannya.
"Namaku Rangga, Ki!" sambar pemuda berbaju rompi putih yang memang Pendekar Rajawali Sakti, disertai senyum. "Mengapa kelihatan seperti orang bingung" Ada apa, Ki?"
"Jawab dulu pertanyaanku. Benarkah kau yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti?" desak Ki Rimbang penasaran.
"Itu hanya julukan kosong, Ki. Ada apa rupanya" Kulihat tadi kau berkelahi dengan dua laki-laki berbaju biru" Apakah kau bermusuhan dengan mereka?" tanya Rangga ingin tahu dengan sikap ramah.
"Sebenarnya tidak," bantah Ki Rimbang. "Mungkin mereka hanya salah paham."
Laki-laki tua ini kemudian menceritakan segala sesuatu yang dialami. Sementara Pendekar Rajawali Sakti mendengarkannya dengan seksama.
"Begitulah duduk persoalan yang sebenarnya, Rangga. Tetapi seperti yang kulihat baru saja, aku tidak melihat apa-apa di dalam tempat peribadatan ini," desah Ki Rimbang kecewa.
"Aku belum lama berada di sini. Sejak tadi, aku tidak melihat dan mendengar suara apa-apa. Kecuali, perkelahianmu!"
"Mungkinkah aku salah dengar" Tapi, rasanya mustahil. Kupingku ini dua-duanya masih bagus, walaupun usiaku sudah tua."
"Sudahlah.... Masalah itu bisa diselidiki nanti. Sekarang, bagaimana murid-muridmu bisa hilang begitu saja?" tanya Rangga.
"Aku kurang tahu. Menurut murid yang lain, ketiga muridku itu bertemu seorang pemuda tampan berambut panjang. Kurasa, di Jatibarang inilah tempat tinggal pemuda itu," jelas Ki Rimbang sambil mendengus kesal.
"Mungkin ini ada hubungannya dengan para pemadat itu, Ki. Kita harus memulainya dari bawah kalau memang ingin membekuk juragannya penyebar malapetaka!" tegas Rangga, penuh semangat.
"Maksudmu?" tanya Ki Rimbang tidak mengerti.
"Kita buat kekacauan pada kedai-kedai pengedarnya. Kalau ini dilakukan, aku yakin orang yang kita cari-cari dapat ditemukan."
Gagasan yang diajukan Rangga memang masuk akal. Maka Ki Rimbang langsung menyetujuinya.
? *** ? Kehidupan warung remang-remang setiap malam memang terasa marak di kota Jatibarang. Para lelaki hidung belang, gadis-gadis berbedak tebal, bukan pemandangan baru lagi. Mereka bebas berbuat apa saja, tanpa batas-batas kesusilaan. Bagi si perempuan yang terpenting dibayar. Tidak heran bila anak dari hasil hubungan gelap hampir setiap pagi ditemukan di pinggir jalan.
Sementara, kehidupan rakyat dan umumnya semakin memprihatinkan. Banyak pemuda yang telah kecanduan madat menjadi malas bekerja. Tidak heran jika pencurian dan perampokan merajalela di mana-mana. Sedangkan kegiatan tuna susila terus berlangsung demi mendapatkan madat itu.
Malam ini Rangga dan Ki Rimbang memasuki sebuah kedai remang-remang. Tidak sebagaimana biasanya, sekarang pada setiap kedai terdapat paling sedikit dua orang penjaga berpakaian serba kuning. Mereka langsung berbisik-bisik sambil memperhatikan ke arah Ki Rimbang dan Pendekar Rajawali Sakti.
Ketika Rangga dan Ki Rimbang masuk ke dalam kedai, beberapa orang gadis berpakaian merangsang langsung datang menghampiri. Bibir-bibir yang kemerahan itu mengembangkan senyum memikat, bercampur kemaksiatan.
"Apa yang ingin kau pesan, Rangga" Makanan atau perempuan?" tanya Ki Rimbang, setengah bercanda.
"Aku paling tidak suka perempuan yang mengumbar dada dan paha. Lebih baik kita pesan makanan enak. Setelah itu, kita lakukan apa yang seharusnya dikerjakan!" saran Pendekar Rajawali Sakti.
Ki Rimbang mengangguk setuju. Dia berjalan menghampiri pelayan. Sementara gadis-gadis yang mengobral senyum tadi sekarang sudah mengerubuti Rangga. Di antaranya, bahkan ada yang berani memeluk pemuda berbaju rompi putih ini. Sehingga dadanya yang membusung indah, menekan ketat punggung Pendekar Rajawali Sakti.
Berdesir darah Rangga seketika. Tetapi, itu hanya berlangsung beberapa saat saja. Setelah mengosongkan pikiran, segera ditolaknya perempuan itu secara halus.
"Mengapa tuan malu-malu" Kami tidak minta dibayar mahal. Cukup untuk membeli makanan surga saja," tukas salah seorang dari keempat perempuan, mengajukan tawaran.
"Maaf, Nisanak semua. Pergilah kalian dari hadapanku," ujar Rangga halus. "Saat ini aku tidak mau diganggu siapa pun!"
"Tetapi...!"
"Diam dan pergi dari hadapanku!" bentak Rangga, yang memang sengaja untuk mengundang perkelahian.
Benar saja. Suara teriakan Pendekar Rajawali Sakti mengundang perhatian semua orang yang berada di dalam kedai. Empat wanita di dekat Rangga kontan terbirit-birit. Bahkan dua penjaga keamanan segera menghampiri dan langsung mencengkeram Rangga. Dia seketika bermaksud membanting. Tetapi pemuda berbaju rompi putih ini mendadak menangkap tangannya, dan memelintirnya ke belakang.
Trak! "Aaa...!"
Laki-laki berbaju kuning ini terhuyung-huyung sambil memegangi tangan kirinya yang patah ketika Pendekar Rajawali Sakti melepaskannya. Melihat kawannya dapat dicederai, yang satunya lagi langsung mencabut pedang.
"O..., jadi ini pengacau busuk yang cari penyakit dengan membuat kerusuhan" Heaaa...!" teriak laki-laki itu, menggetarkan.
Pedang di tangan penjaga keamanan itu menderu menghantam kepala Rangga. Tetapi, cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti mengegos, sehingga pedang itu hanya menebas meja hingga hancur berantakan.
Suasana di dalam kedai yang semula diwarnai tawa dan canda perempuan, sekarang berganti jerit ketakutan. Para gadis penghibur segera berlarian keluar. Sedangkan yang laki-laki tetap bertahan menyaksikan semua yang terjadi.
Sementara itu kedua penjaga tadi telah kembali menyerang Rangga silih berganti. Sedang Ki Rimbang yang tidak ingin melihat keroyokan itu langsung menerjang salah seorang. Kedua penjaga itu tentu bukan lawan yang seimbang bagi Rangga maupun Ki Rimbang. Hanya dalam waktu singkat keduanya dapat dilumpuhkan.
Rangga dan Ki Rimbang segera cepat bergerak. Mereka keluar dari kedai tersebut. Tetapi para pelanggan tidak membiarkan begitu saja. Serentak, mereka melakukan pengejaran.
"Kalian telah merusak rumah surga. Tinggalkan kepala kalian jika pergi dari sini!" teriak para pelanggan, serentak.
"Lebih baik kita bakar saja kedai itu, Rangga!" teriak Ki Rimbang. Laki-laki tua ini segera mengambil salah satu pelita yang terdapat di dinding. Dengan cepat, pelita minyak ini dilemparkan, sehingga menimbulkan kobaran api yang cepat menjalar ke mana-mana.
Pendekar Rajawali Sakti tidak sempat mencegah tindakan Ki Rimbang karena tengah sibuk menghadapi serangan pelanggan kedai yang cukup banyak.
Tetapi rata-rata orang-orang itu hanya mengandalkan tenaga kasar yang tak mengetahui ilmu olah kanuragan sama sekali. Sehingga, Rangga dengan mudah dapat menjatuhkan tanpa bermaksud membunuh.
"Hiyaa...!"
Salah seorang pelanggan dengan nekat menghantamkan potongan kayu ke kepala Rangga.
"Uts...!"
Pendekar Rajawali Sakti sempat merasakan adanya desiran halus di belakang, maka laksana kilat tubuhnya meliuk sambil membungkuk serendah mungkin. Dan tiba-tiba tubuhnya bergerak berputar. Sedangkan tangannya cepat terjulur.
Trep! Buk! "Huaagkh!"
Dengan cepat, Rangga menghantamkan perut orang itu dengan tenaga kasar, hingga jatuh pingsan. Melihat hal ini beberapa orang pelanggan lain langsung bergerak mundur.
"Buat siapa saja yang ingin selamat dan sayang pada masa depan keluarga, jangan sekali-kali lagi datang ke setiap kedai yang ada! Kalian telah menjadi budak. Dan kalian telah dirugikan segala-galanya. Berhentilah dari kebiasaan yang sangat buruk ini!" seru Rangga.
Wajah-wajah kuyu dengan tatapan mata kuyu tanpa gairah hidup ini tampak bergerak mundur, meninggalkan Rangga dan Ki Rimbang yang terus mengawasi.
*** Pendekar Rajawali Sakti
?"?"?"" ?"" Pendekar Rajawali Sakti
?"?" ? 2017 . 193. Dewa Sesat Bag. 4 - 6
8. Mai 2015 um 10:28
? 4 Sejak saat itu, hampir setiap malam terjadi pembakaran pada kedai-kedai yang ada di kota Jatibarang. Maka tidak sampai sepekan, hampir semua kedai yang terdapat di kota Jatibarang telah berubah menjadi arang.
Beberapa anggota Laskar Malam yang bertugas menjaga keamanan setiap kedai juga binasa di tangan Rangga dan Ki Rimbang. Bahkan tidak segan-segan Aradea yang juga menyimpan dendam kesumat pada Dewa Sesat, ikut membantu.
Kejadian ini tentu membuat Durudana geram bukan main. Bagaimanapun, dialah yang selama ini melindungi kegiatan jual beli madat. Dan, dia pula orang yang bertanggung jawab mengirimkan barang-barang terkutuk itu pada setiap kedainya. Pekerjaan ini berlangsung lancar selama bertahun-tahun, tanpa gangguan apa pun. Tetapi kini usahanya terancam musnah. Semua itu karena ulah Ki Rimbang dan Pendekar Rajawali Sakti.
Apa pun yang akan terjadi, Durudana yang berjuluk Dewa Sesat bertekad menangkap kedua pengacau ini hidup atau mati. Untuk melaksanakan semua itu, segera dilakukannya pertemuan dengan jago-jago bayarannya.
Siang ini, tempat kediaman Dewa Sesat tampak dijaga ketat beberapa pengawal. Di dalam sebuah ruangan sangat luas, Durudana berjalan mondar mandir dengan sikap gelisah.
Di kursi jati, tampak hadir pula dua orang asing yang tidak lain sekutu Durudana, yaitu Tia Lee dan Tai Ceng. Selain kedua pendatang ini, masih ada lagi salah seorang tangan kanan Dewa Sesat yang kerap dipanggil dengan nama Pati Kama.
"Kita semua tidak dapat berpangku tangan," kata Durudana, memulai. "Pembakaran-pembakaran kedai membuat kita mengalami kerugian cukup besar. Aku mau, kedua pengacau itu ditangkap hidup atau mati secepatnya!"
"Menurut anak buahku, kedua orang itu cukup cerdik selain memiliki kepandaian sangat tinggi!" lapor Pati Kama.
"Bagaimana menurut kalian, Saudara-saudaraku?" tanya Dewa Sesat pada kedua laki-laki asing bermata sipit.
"Menurut kami, siapa pun yang merusak usaha kita, maka hukuman yang paling ringan adalah penggal kepala!" sahut Tai Lee mantap.
"Aku sependapat," timpal Dewa Sesat disertai tawa. Selanjutnya tatapannya beralih pada Pati Karna. "Apakah kau sanggup melakukanya, Pati Karna?"
"Aku bersedia melakukan apa saja demi membantu Ketua," jawab Pati Kama, mantap.
"Kami berdua juga tidak dapat tinggal diam, Sahabatku. Kesulitanmu, adalah kesulitan kami juga. Untuk itu, kami berjanji akan membantu menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi!" tandas Tai Lee.
Pernyataan kedua orang itu tentu sangat melegakan hati Dewa Sesat. Dia tidak mungkin membiarkan usahanya dihancurkan orang lain. Apalagi mengingat orang yang melakukan kekacauan adalah pendatang dari luar yang tidak dikenal sama sekali.
"Sebaiknya aku berangkat sekarang, Ketua. Aku sangat bernafsu sekali membawa kepala kedua pengacau itu ke hadapan Ketua!" tegas Pati Karna.
"Silakan! Kuharap kau tidak mengecewakanku, Pati Karna," sambut Dewa Sesat sambil tersenyum.
Pati Kama segera meninggalkan ruangan ini. Sementara Tai Lee dan Tai Ceng juga ikut mohon diri.
Kini tinggallah Durudana termangu-mangu seorang diri. Sejak terjadi peristiwa pembakara terhadap kedai-kedai yang dibangunnya, pikiran Dewa Sesat memang sudah tidak tenang lagi.
"Hmm.... Sebaiknya aku sekarang ke tempat peribadatan, mengunjungi Pendeta Rabangsa...," putus Durudana, pada akhirnya.
? *** ? "Ah..., Sahabatku! Ada keperluan apa malam-malam begini datang kemari" Silakan masuk!"
Seorang laki-laki setengah baya berpakaian serba hitam ini mempersilakan Durudana masuk.
Bergegas dia masuk ke dalam kamarnya, dan tidak lama keluar lagi dengan membawa sebuah pelita yang tidak begitu terang cahayanya.
"Tidak biasanya rumah dalam keadaan gelap seperti ini, Pendeta Rabangsa?" tanya Durudana bernada menyelidik.
Laki-laki berkulit hitam yang juga terbungkus pakaian serba hitam ini tertawa. Sehingga dalam kegelapan ruangan ini yang kelihatan hanya giginya saja.
"Kukira kau sudah mendengar apa yang terjadi akhir-akhir ini, Durudana. Dua orangku tewas di depan mataku. Dan kami bisa saja terbunuh, jika tidak ada ruangan di bawah tempat peribadatanku!" jelas laki-laki berpakaian serba hitam yang dipanggil Pendeta Rabangsa
"Kedatanganku kemari juga sehubungan dengan itu, Pendeta Rabargsa. Usahaku di kota telah porak-poranda. Kau adalah sahabat dekat yang membantu melancarkan usahaku. Apa pandanganmu tentang kejadian ini?" tanya Dewa Sesat.
"Jika kau rugi, aku juga menderita kerugian. Semua pemadat itu mau menikmati makan surga, karena aku, bukan" Tetapi jika usahamu dihancurkan, maka usahaku dalam membantumu hanya akan sia-sia. Sebagai orang yang dihormati di mata penduduk, tentu aku tidak dapat campur tangan atau membantumu secara terang-terangan," jelas Pendeta Rabangsa.
"Lalu...?"
"Aku tetap membantumu, selama kerjasama ini masih menguntungkan kedua belah pihak," tegas laki-laki setengah baya ini.
Dewa Sesat mengangguk setuju. Bagaimanapun dia cukup lama menjalin kerjasama dengan pendeta ini. Dia tahu kecerdikannya, dan tahu pula akal liciknya.
"Apakah Pendeta merasa tidak untung selama ini?" tanya Durudana.
Pendeta berumur sekitar lima puluh tahun itu tersenyum.
"Jika tidak untung, mana mungkin aku mau bekerja sama" Sebagaimana yang kau ketahui, aku adalah pendeta. Aku pribadi, sebenarnya ingin membekuk laki-laki berbaju merah yang telah membunuh kedua penjagaku. Tampaknya, dia bekerja sama dengan pemuda berbaju rompi putih. Tapi aku terjun secara terang-terangan, aku tidak ingin orang mengatakan bahwa aku membantu pihak yang salah!"
"Aku tahu, kau hanya pendeta gadungan. Lalu, mengapa kau takut" Bukankah aku selalu berdiri di belakangmu, Surokolo?" desis Durudana, langsung menyebut nama asli laki-laki setengah baya itu.
"Aku tahu. Kau tahu sejarah hidupku, Bocah! Aku adalah manusia sesat. Tetapi, aku telah menanamkan budi yang tidak sedikit padamu. Ingat..! Dulu, aku terpaksa membunuh Pendeta Rabangsa yang sebenarnya, untuk menggantikan kedudukannya sebagai pendeta. Kurasa, semua orang di Jatibarang ini tidak ada yang tahu, selain aku. Lalu, sekarang haruskah aku secara terang-terangan menghancurkan kedua manusia yang telah menghancurkan usahamu itu?" tanya Pendeta Rabangsa yang ternyata gadungan.
"Hm.... Kau mempunyai beberapa orang anak buah. Jika kau menanggalkan topeng Pendeta Rabangsa, tentu wajahmu yang sebenarnya tidak ada yang mengenali. Surokolo...! Tidak seorang pun yang menyangka kalau kau adalah Pendeta Rabangsa gadungan!" tandas Dewa Sesat.
"Lalu apa yang kau inginkan, Durudana?" tanya Pendeta Rabangsa gadungan alias Surokolo.
"Sebagaimana hari-hari yang lalu, aku ingin kita bekerja sama untuk membekuk kedua pengacau itu!" tegas Dewa Sesat.
"Kalau itu yang kau inginkan, aku akan mempertimbangkannya!" sahut Surokolo.
"Jangan banyak pertimbangan! Keadaan sekarang ini sudah sangat mendesak. Kau harus memberikan jawaban sekarang juga!" tegas Dewa Sesat.
"Baiklah. Mengingat kerjasama yang baik selama ini, besok aku akan membawa orang-orangku. Aku tahu, ke mana harus mencari mereka. Dia pasti membantu kedua pengacau itu," kata Pendeta Rabangsa gadungan.
"Dia siapa?" tanya Dewa Sesat, tidak mengerti.
"Raja Copet. Namanya Aradea. Selama ini, pemuda itu terkenal sebagai pemuda yang suka memungut bayi-bayi telantar di jalanan!"
"Kalau dia terlibat dalam masalah ini, sebaiknya singkirkan saja dia!" perintah Dewa Sesat.
"Serahkan urusan ini padaku!" sahut pendeta gadungan ini disertai senyum licik.
? *** ? Sementara di luar sepengetahuan Dewa Sesat dan Pendeta Rabangsa gadungan, di balik tembok rumah ada sesosok tubuh yang terus mencuri dengar pembicaraan. Memang sejak Durudana datang ke tempat ini, sosok itu telah mengikutinya sejak tadi.
Orang ini sangat geram mendengar pengakuan Pendeta Rabangsa. Sama sekali tidak disangka kalau pendeta yang sesungguhnya telah terbunuh! Berarti kedua orang berbaju biru yang menyerang Ki Rimbang tidak lain anak buah Surokolo ini!
? *** ? "Apakah kau tidak melihat Rangga, Ningsih?" tanya Aradea pada salah seorang adiknya.
"Sore tadi, katanya dia mau ke kota melihat keadaan," sahut Ningsih.
"Kalau begitu, kami harus jalan sendiri bersama Ki Rimbang dan Paman Belang!" desah Aradea.
"Kakang mau ke mana?" tanya kedua adik Aradea, hampir bersamaan.
"Ada tugas yang harus diselesaikan malam ini juga. Kalian di rumah saja!" ujar Aradea.
Pemuda itu kemudian membangunkan Ki Rimbang yang sedang tidur nyenyak.
"Kau tidak pernah berhenti mengganggu orang lain!" tegur Ki Rimbang, sedikit sewot.
"Aku tidak sempat menjelaskannya, Ki. Nanti saja di jalanan. Kalau ada umur panjang, tentu kau bisa tidur lagi besok," sahut Aradea, seenaknya.
Mereka segera meninggalkan tempat rahasia itu bersama dua ekor harimau berbadan besar. Sedangkan dua lainnya ditinggalkan di rumah, untuk melindungi kedua adik pemuda ini dan juga bayi asuhan mereka.
? *** ? Ki Rimbang, Aradea, dan kedua ekor harimu yang menyertainya hampir sampai di tempat kediaman Pendeta Rabangsa. Namun mereka menahan gerakan ketika melihat di pagi dini hari tampak tidak kurang dua puluh orang bersenjata lengkap dan berpakaian warna biru telah berbaris di halaman. Di tengah-tengah tampak pula Pendeta Rabangsa gadungan sedang memberi beberapa petunjuk.
Tidak perlu berpikir lama, Aradea sudah tahu ke mana tujuan mereka. Satu hal yang dianggap cukup menguntungkan, saat itu tidak terlihat Dewa Sesat di antara mereka. Berarti, pemuda berbaju kuning itu telah pergi setelah berbincang-bincang dengan Pendeta Rabangsa tadi.
"Itukah pendeta keparat yang kau ceritakan, Aradea?" tanya Ki Rimbang geram.
"Ya.... Pendeta gadungan itu bukan membuat rakyat makmur, tetapi malah menyengsarakannya. Dialah yang telah mengirimkan gadis-gadis yang berhasil dipengaruhinya pada Dewa Sesat. Dan Dewa Sesat pun memanfaatkannya luar dalam," dengus Aradea. "Sekarang, sudah waktunya bagi kita untuk mengambil tindakan!"
Ki Rimbang mengangguk sambil menepuk bahu Aradea.
Saat itu juga mereka bergerak mendekati halaman rumah Pendeta Rabangsa.
"Sekaranglah saatnya untuk bergerak, Paman Belang!" bisik Aradea di telinga kedua binatang buas peliharaannya.
"Grauung!"
Disertai raungan panjang menggetarkan, kedua binatang buas yang sudah sangat terlatih ini pun menyeruak ke tengah-tengah pasukan Pendeta Rabangsa yang sedang mendengar pengarahan dari pendeta palsu itu.
Serangan kedua binatang buas yang tidak disangka-sangka ini tentu membuat terkejut Surokolo dan pengikutnya. Apalagi, kedua harimau itu langsung menyerang dan mencabik-cabik siapa saja yang berada di sekelilingnya.
Cras! Cras! "Graunghrr...!"
"Aaa...!"
Hanya dalam waktu singkat, darah menggenangi halaman rumah pendeta gadungan tersebut. Mereka yang terhindar dari amukan kedua harimau langsung mencabut senjata masing-masing.
Ternyata, anak buah Surokolo rata-rata memiliki ilmu olah kanuragan yang cukup tinggi. Sehingga secara serentak, mereka menerjang kedua harimau milik Aradea dengan serangan-serangan gencar dan berbahaya.
"Cincang binatang keparat itu!" teriak Pendeta Rabangsa.
"Hiyaaa...!"
"Graung!"
Disertai raungan keras, kedua harimau itu menghindari hujan senjata yang menyerang. Setiap ada kesempatan, binatang-binatang yang sudah sangat terlatih ini membalas serangan. Sehingga, tidak dapat dihindari lagi, pertempuran pun menjadi semakin sengit.
"Habisi mereka, Paman Belang!" teriak Aradea, sambil melompat dari tempat persembunyiannya.
"Huh...! Rupanya kau yang membuat kekacauan di sini, Raja Copet?" geram Surokolo ketika melihat kemunculan Aradea bersama kakek berbaju serba merah.
"Aku tahu semua rencanamu, Pendeta Palsu!
Bukankah kau mau menyerbu tempat tinggalku besok?" ejek Aradea.
Apa yang dikatakan Aradea ini tentu membuat Surokolo terkejut. Dia tidak mengerti, bagaimana Aradea mengenali dirinya. Bahkan mengetahui semua rencananya.
"Tidah usaha bingung-bingung, Pendeta Gila! Aku tadi sudah mendengar semuanya ketika kau bicara dengan Dewa Sesat! Betapa busuknya dirimu!" geram Aradea.
"Bangsat licik. Dengan mengandalkan harimau dan orang tua itu kau ingin melawan kekuasaan kami"! Hiyaaa...!" teriak Surokolo. Pendeta palsu ini kemudian menerjang Aradea dengan jurus-jurus andalannya. Serangan ini tentu saja berbahaya. Apalagi mengingat Surokolo adalah bekas tokoh persilatan.
? *** ? Sementara Ki Rimbang dengan senjata tongkat membantu kedua harimau yang tampak mulai kewalahan. Sedangkan Aradea sibuk menghindari serangan tangan kosong Surokolo.
Ternyata, Aradea juga memiliki jurus-jurus cukup hebat. Terbukti, beberapa kali serangan gencar Surokolo berhasil dihindari atau ditangkisnya.
Terlebih-lebih ketika Aradea mengerahkan jurus simpanannya. Maka pertarungan pun berlangsung seru.Tampaknya, mereka memang ingin menyudahi pertempuran secepat-cepatnya. Terbukti serangan satu sama lain semakin ditingkatkan.
"Hari ini berakhirlah riwayatmu, Pendeta Gendeng! Heaaa...!"
Aradea melenting ke udara. Setelah berputaran beberapa kali, tubuhnya melesat deras ke bawah. Seketika, tangannya dihentakkan ke arah Surokolo.
Werrr...! Merasa ada hawa panas menyengat wajahnya, pendeta palsu ini langsung melompat ke samping. Tangannya seketika dikibaskan ke arah gundukan angin yang menerjang ke arahnya.
Wusss...! Segulung sinar hitam meluncur dari telapak tangan Surokolo. Tidak dapat dihindari lagi, kedua kekuatan itu bertemu pada satu titik. Dan....
Glarrr! "Aaagkh...!"
Baik Surokolo maupun Aradea sama-sama terlempar sejauh dua tombak. Dari sudut-sudut bibir masing-masing meneteskan darah, pertanda sama-sama memiliki tenaga dalam yang seimbang. Namun secepatnya mereka bangkit berdiri, lalu melakukan serangan kembali dalam waktu hampir bersamaan.
Sementara itu Ki Rimbang mulai dapat menjatuhkan lawan-lawannya. Anak buah Surokolo ini tanpa mengenal rasa takut terus melakukan serangan-serangan dahsyat dengan senjata terhunus.
Ki Rimbang sadar betul kalau kedua ekor harimau milik Aradea sudah terluka terkena pukulan jarak jauh para pengeroyok. Untuk itu, segera diputuskan untuk menghadapi sisa-sisa lawan yang tinggal empat orang ini seorang diri.
"Paman Belang! Mundurlah kalian...!" teriak Ki Rimbang, memberi aba-aba.
Tampaknya kedua binatang ini memang memahami isyarat yang diberikan Ki Rimbang. Terbukti, mereka melompat mundur secara serentak, dan terus berjaga-jaga menghadapi segala kemungkinan.
"Huh! Kau pasti mampus di tangan kami, Pengacau Laknat!" dengus salah seorang penyerang merasa begitu yakin.
Ucapan itu sama sekali tidak dihiraukan Ki Rimbang. Tongkat di tangannya segera diputar. Dengan mempergunakan jurus tongkatnya, hanya dalam waktu singkat tongkat itu telah menderu-deru, menotok, memukul, bahkan menghantam wajah lawan-lawannya.
Tetapi, keempat anak buah Surokolo langsung menahan serangan sambil mengibaskan pedang.
Trak! Trak!

Pendekar Rajawali Sakti 193 Dewa Sesat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Heh..."!"
Keempat penyerang itu terkejut sekali. Ternyata selain tongkat laki-laki tua itu tidak putus terhantam pedang, juga membuat keempat laki-laki muda ini terhuyung-huyung. Tangan mereka yang memegang senjata terasa kesemutan. Ini membuktikan kalau tenaga dalam Ki Rimbang beberapa tingkat berada di atas keempat lawannya.
? *** ? 5 Setelah menyadari kelebihan yang dimiliki Ki Rimbang, keempat anak buah Surokolo menyerang kembali dengan serentak. Tubuh mereka meluruk deras ke depan dengan pedang meluncur sekaligus ke arah empat sasaran mematikan.
Melihat empat mata pedang meluncur deras ke arahnya, Ki Rimbang langsung memutar tongkat di tangannya.
Trak! Trak! Trak!
Pendekar Sakti 11 Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Pedang Kiri 13

Cari Blog Ini