Ceritasilat Novel Online

Geger Di Telaga Warna 1

Pendekar Rajawali Sakti 185 Geger Di Telaga Warna Bagian 1


" . 185. Geger Di Telaga Warna Bag. 1 - 4
5. April 2015 um 09:59
? Pendekar Rajawali Sakti
episode: Geger Di Telaga Warna
Oleh Teguh S. Penerbit Cintamedia, Jakarta
? 1 ? Cuaca malam ini agaknya tak begitu bersahabat. Angin bertiup kencang, membawa titik-titik air. Walaupun hanya hujan gerimis, namun sudah membuat Desa Awi Pitung mulai sepi. Temaramnya cahaya lampu minyak, tak kuasa mengusir gelap malam ini. Nyanyian binatang malam seolah-olah menertawakan manusia yang memilih berlindung di balik selimut. Apalagi suara lolongan anjing di kejauhan, ditingkahi kepak sayap kelelawar di atas pohon.
Para penduduk lebih suka tenggelam dalam selimutnya daripada berkeluyuran. Dalam suasana yang begitu mencekam dua orang peronda masih terus berkeliling menunaikan tugasnya.
"Kakang Jalma.... Malam ini tidak seperti biasanya...! Perasaanku selalu tidak menentu dan was-was...!" ungkap salah seorang peronda yang bertubuh kurus sambil melangkah.??
"Perasaanku juga begitu, Waspati! Tetapi, apa sebabnya..." Mungkin karena cuaca yang buruk ini..."!" jawab jaki-Iaki berusia dua puluh delapan tahun yang dipanggil Jalma dengan suata sedikit sengau. Sementara dadanya berdebar keras.
Belum juga pertanyaan Jalma terjawab, men-dadak....
"Kuaaarkh...!"
"Hah..." Suara apa itu..."!" sentak Jalma lang-sung menghentikan langkahnya sambil menoleh ke arah datangnya suara tadi.
"Entahlah. Mungkin suara hantu yang kelaparan dan haus darah...," sahut laki-laki kurus yang dipanggil Waspati sambil merapatkan tubuhnya pada Jalma.
"Kau..., kau..., jangan berkata sembarangan, Waspati...," ujar Jalma, sedikit tergagap karena tercekam hawa takut.
"Kuaaarkh...!"
Kembali suara yang menyeramkan terdengar. Dengan serentak Jalma dan Waspati mencabut senjata masing-masing. Lalu mereka segera saling beradu pandang untuk menjaga segala kemungkinan yang akan terjadi sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tak lama, Jalma menunjuk ke sebuah pohon.
"Dengar.... Suara itu berasal dari atas pohon itu...," tunjuk Jalma.
"Biar kulihat, ada apa di pohon itu...!"
Waspati segera mendekati pohon. Langsung dipanjatnya pohon itu.
Setelah sampai, ternyata suara-suara tadi berasal dari burung hantu dengan kedua anaknya. Tanpa memakan waktu lama, burung-burung itu berhasil dipukul jatuh oleh Waspati.
"Kuk! Kuk! Kuk...!"
Plug! Bug! Buug!
Begitu tiga burung naas itu jatuh ke atas tanah, dengan geram Jalma menumbuk burung-burung dengan batu. Ketjka tiga burung itu binasa dengan tubuh remuk, Waspati yang telah meloncat turun ikut menghantami sampai puas.
"Huh...! Mampuslah kalian.... Siapa suruh be-rani menakut-nakuti kami...!" dengus Jalma sambil melempar batu yang berada di tangannya ke semak-semak rimbun. Perbuatannya dituruti Waspati.
Prass! Srakkk! Batu-batu sebesar dua kali kepalan tangan itu bagaikan hilang ditelan bumi. Namun belum lagi kedua peronda itu beranjak, tiba-tiba....
Sret! Serr! Dari balik semak mendadak meluncur dua batu yang tadi dilemparkan.
Pletuk! Tukkk! "Wuaaa...!"
"Heekh...!"
Entah bagaimana tahu-tahu batu-batu itu tepat mengenai kening mereka berdua. Akibatnya kedua peronta itu kini timbul benjolan yang cukup besar di kening, yang membuat kepala pusing.
"Keparat...! Siapa yang berani main-main dengan kami..."!" bentak Waspati sambil memegangi keningnya. Sedang matanya jelalatan ke sana ke-maii.
Tiba-tiba di belakang kedua peronda itu terdengar suara yang mencurigakan. Begitu Waspati dan Jalma berbalik, tampak sesosok tubuh terbungkus kain hijau. Yang cukup menggetarkan nyali, wajah orang yang baru muncul berbentuk tengkorak. Matanya memancarkan sinar merah menyala, sehingga tampak makin menyeramkan.
"Ah.... Setan Tengkorak! Wuaaa.... Tolong...," sentak Jalma sambil loncat ke belakang dengan wajah pucat.
"Hantu kuburan.... Dddd..., dari mana ini...?" tukas Waspati tergagap. Tanpa disadari celananya basah. Rupanya saking takutnya, Waspati sampai terkencing-kencing. Lututnya saling beradu, sehingga menimbulkan suara keras.
"Hik hik hik...! Hari ini kalian harus mati...!" deas sosok berwajah tengkorak sambil menghentak kedua tangannya.
Dess...! Desss...!
"Aaakh...! Aaakh...!"
Walaupun sudah berusaha menghindar, tetap saja Jalma dan Waspati terhantam pada dadanya. Mereka kontan roboh ke tanah disertai teriakan menyayat. Baju pada dada tampak mengepulkan asap. Rupanya pada bagian itu telah terbakar liangus. Pukulan manusia berwajah tengkorak itu jelas mengandung racun ganas!
Dalam waktu singkat, Waspati dan Jalma ber-kelojotan, lalu diam kaku. Yang lebih mengenaskan lagi, kulit dan daging mereka meleleh menjadi cairan berbau busuk. Kemudian yang tersisa hanyalah tulang belulang saja.
"Ha ha ha...! Aku berhasil menguasai ilmu 'Pukulan Racun Api'.... Aku pasti akan menguasai dunia persilatan ini.... Ha ha ha...," teriak manusia berwajah tengkorak dengan tawa terbahak-bahak melihat hasil pukulannya.
? *** ? Peristiwa kematian dua peronda sangat meng-gemparkan para penduduk Desa Awi Pitung. Penjagaan semakin diperketat, namun si pembunuh berdarah dingin itu tidak terdengar lagi kabar beritanya.
Belum juga si pembunuh diketahui, penduduk desa itu mendapat penyakit mengerikan. Pada kulit mereka timbul bisul-bisul. Setelah pecah, akan keluar nanah. Kemudian menjalar ke seluruh kulit dan daging. Kemudian meleleh dan mencair. Bau dan sakitnya tidak dapat diuraikan dengan kata-kata. Tidak seorang tabib pun yang dapat menyenbuhkan penyakit yang kian mewabah itu.
Siapa saja yang menyentuh orang yang terkena penyakit itu, pasti akan terjangkit dan tertular pula. Sehingga semakin lama keadaan Desa Awi Pitung jadi semakin sepi dan jadi desa mati. Tak ada yang tahu, Siapa biang keladi peristiwa mengenaskan ini. Yang jelas, setiap penduduk yang memanfaatkan sumber-sumber air di desa ini akan terkena penyakit mengidikkan itu. Sebuah penyakit yang berasal dari sejenis racun mematikan.
Maka dalam waktu tidak terlalu lama, seluruh penduduk telah jadi mayat. Yang ada tinggal tulang belulangnya saja. Begitu juga binatang peliharaan yang tidak luput jadi korban juga.
? *** ? Di jalan utama Desa Karang Sekalor yang cukup ramai, seorang laki-laki berambut putih berjalan sambil sesekali meneguk tuak dari guci. Di pundaknya bertengger seekor kera berbulu hitam sambil memakan pisang. Tidak seorang penduduk pun yang mau peduli terhadap orang tua itu. Mereka juga sedang sibuk dengan urusannya masing-masing.
Di bawah pohon yang besar dan terlindung dari sengatan matahari, laki-laki tua ini duduk sambil terus menenggak tuak merah dari gucinya. Sedangkan kera hitam miliknya sibuk mencari kutu di kepala orang tua yang tampaknya mulai mabuk. Matanya meram-melek terkena hembusan angin yang bertiup semilir.
Tidak lama, terdengar dengkuran keras laki-laki tua ini. Dan orang yang berlalu-lalang pun hanya menggeleng-geleng sambil tersenyum.
Baru beberapa tarikan napas orang tua itu tidur tiga orang bertubuh kekar berjalan dengan langkah lebar-lebar. Dari wajah tampak ketiganya sedang marah. Mereka berjalan menuju sebuah rumah yang paling indah di tempat itu, yang dikenal sebagai rumah Kepala Desa Karang Sekalor.
"Keparat, si tua itu! Berani benar dia memban-tah atasan kita!" dengus salah seorang dari tiga laki-laki ini, yang berkumis tebal.
"Rupanya dia sudah bosan hidup...! Kita tidak perlu kasihan lagi pada orang bodoh itu...! Agak-nya, dia lebih sayang harta daripada jiwanya sen-diri...," desis laki-laki yang bertubuh kekar dengan kepala botak sambil mengepalkan jari jemarinya.
Sementara laki-laki satunya tidak memberi tanggapan. Dia hanya mengeluarkan geraman di hidung. Wajahnya panjang dan pucat. Sifatnya agaknya memang pendiam. Tetapi dari wajahnya menyiratkan kekejaman.
Kebetulan ketiga laki-laki bertampang telengas ini lewat di depan orang tua yang sedang mabuk dan kera hitamnya yang masih tetap mencari kutu. Entah disengaja atau tidak, laki-laki tua pemabuk itu membalikkan tubuhnya. Dan akibatnya kaki laki-laki botak yang kebetulan berjalan paling dekat dengan pemabuk itu tergaet. Hingga....
Blug! "Aduh...!"
Laki-laki botak yang membawa golok di ping-gang langsung jatuh mencium tanah. Tentu saja dia jadi gusar dan marah bukan main. Sambil mendengus gusar dia beringsut bangun. Dipandanginya laki-laki tua pemabuk dari ujung rambut kepala sampai kaki. Dia berpikir, tidak mungkin itu terjadi secara kebetulan.
"Bangsat... Jangan berpura-pura kau, Tua Bangka...," teriak laki-laki botak.
"Hiih...!"
Seketika laki-laki botak ini menendang iga orang tua pemabuk itu. Namun seperti tak sengaja pemabuk itu berbalik kembali. Dan gucinya tepat dihantam ke tulang kering laki-laki botak.
Tak! "Aduuuhhh...!"
Bagaikan kesetanan, laki-laki botak ini ber-jingkrak sambil memegangi tulang keringnya yang terasa retak. Sedangkan mulutnya tidak hentinya meringis menahan rasa sakit. Sementara kera hitam yang tadi mencari kutu di kepala pemabuk lonpat menjauhi sambil berbunyi terus, seakan-akan mengejek.
Kali ini laki-laki botak tidak dapat lagi menahan amarahnya. Disadari, kalau dirinya sedang dipermainkan oleh si pemabuk. Dengan gerakan cepat golok yang terselip di pinggangnya dicabut. Lalu tanpa banyak bicara lagi dibabatnya pinggang laki-laki tua yang masih bersandar dengan mata terpejam.
Pada saat yang sama, laki-laki yang berwajah panjang dan pucat sudah mencabut pisau yang terselip di pinggangnya. Bahkan seketika dilontarkan ke arah laki-laki tua pemabuk itu.
Set! Set! Dengan mata tetap terpejam pemabuk ini ber-gulingan untuk menghindari serangan golok. Dan ketika melihat pisau yang melesat dengan kece-patan kilat, guci di tangannya diputar capat laksana baling-baling.
Trang! "Hait... Aduh! Ada orang galak! Ampun..., tolooong...!"
Begitu matanya terbuka, laki-laki pemabuk itu cepat bangkit. Dia langsung berteriak sambil berlari ke sana kemari.
Mengetahui kalau dipermainkan laki-laki tua pemabuk, ketiga laki-laki bertampang telengas itu segera mengeroyok.
Di luar dugaan pemabuk itu mampu bergerak cepat dan lincah. Walaupun tubuhnya terhuyung-huyung tidak menentu, tidak ada satu serangan pun mengenai dirinya. Bahkan dengan seenaknya tuak merah dalam mulut disemburkannya.
"Fruuhhh...!"
Pras...! "Aaa...!"
Karena tidak menyangka, kontan ketiga penge-royok menjerit-jerit begitu tersembur tuak merah.
Wajah mereka terasa panas bukan main, bagai ditusuk puluhan jarum.
Untung saja semburan tuak merah dari pemabuk tadi, hanya sedikit disertai tenaga dalam. Se-hingga wajah ketiga laki-laki itu tidak sampai ter-luka.
Sementara itu, si pemabuk langsung melesat pergi ketika tiga laki-laki yang mengeroyoknya masih merasakan sakit pada wajahnya.
? *** ? Para penduduk Desa Karang Sekalor yang me-nyaksikan kejadian barusan, hanya menatap kepergian laki-laki tua pemabuk sampai hilang dari pandangan. Mereka tak berani bertindak apa-apa. Tiga laki-laki bertampang telengas itu saja mampu dibuat tak berkutik oleh pemabuk tadi, apa lagi mereka"
Hampir semua penduduk desa ini tahu, siapa ketiga laki-laki itu. Mereka adalah para begundal desa yang selalu membuat kerusuhan. Kepandaian mereka cukup tinggi, membuat satu persatu para penduduk meninggalkan tempat ini, karena tidak mau menjadi sasaran pelampiasan kemarahan mereka.
Baru setelah bisa meredakan rasa sakit, ketiga begundal ini melangkah pergi, menuju rumah Kepala Desa Karang Sekalor, yang tak begitu jauh lagi.
"Sialan! Ke mana laki-laki tua bangka tadi"!" dengus laki-laki yang berkepala botak, seperti tak puas atas kekalahannya tadi.
"Biarlah, Gumilang! Suatu saat nanti kita bisa menuntut balas!" ujar laki-laki yang berkumis le-bat.
"Huh! Kalau kita tidak ada urusan dengan Ki Waredeng, aku akan menghajarnya, Boksa!" timpal yang berwajah panjang dan pucat.
"Kaupun yang kukenal pendiam, tampaknya tak bisa lagi menahan amarah, Cudra?" tukas la-ki-laki botak yang bernama Gumilang.
'Tak selamanya orang harus diam, Gumilang!" sahut laki-laki berwajah panjang dan pucat yang dipanggil Cudra.
Tanpa terasa, mereka telah tiba di halaman sebuah rumah yang paling indah di desa ini. Rumah milik kepala desa yang bernama Ki Waredeng tampak dijaga beberapa orang laki-laki.
"Maaf, Kisanak semua. Ada keperluan apa da-tang ke sini?" tegur salah seorang penjaga.
"Katakan pada Ki Waredeng! Kami Gumilang, Boksa, dan Cudra datang ke sini! Cepat...!" ujar laki-laki botak itu sambil berkacak pinggang.
Penjaga bertampang tenang ini memberi isyarat kepada temannya yang segera berlari ke dalam rumah itu.
Beberapa saat kemudian, orang itu muncul kembali, mengiringi seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh satu tahun berpakaian indah dengan keris terselip di belakang. Sementara sepuluh orang pengawal bersenjata lengkap mengiringi di belakangnya.
"Rupanya para begundal yang datang ke sini.... Ada kabar dan keperluan apa...?" tanya Ki Waredeng tenang. Agaknya, dia sudah tahu siapa ketiga laki-laki ini.
"Kedatangan kami ke sini atas perintah majikan kami, si Manusia Tengkorak!" sahut Cudra, dingin.
"Hm.... Jadi kalian sekarang punya majikan. Bagus.... Jadi kalian tak perlu memeras penduduk di sekitar Kadipaten Ungaran lagi. Hm.... Lantas, apa yang diperintah majikan kalian hingga sampai di sini?"
"Setan...! Lekas serahkan tiga perempat harta kekayaanmu pada si Manusia Tengkorak...! Atau kau akan terkapar jadi mayat di rumahmu sendiri berikut para pengawalmu...!" ancam Gumilang.
Sementara wajah Cudra jadi bertambah pucat karena kemarahannya. Sedangkan tangannya seperti biasa membersihkan janggutnya yang sudah tidak berbulu dan bersih dengan pisaunya. Agaknya hal itu sudah menjadi kebiasaan, dan selalu dilakukan bila sedang marah.
Sedangkan laki-laki berkumis lebat yang bernama Boksa, mempunyai kebiasaan menggaruk-garuk kepalanya yang memang tampak kotor sekali. Tangan kirinya mengelus-elus gagang golok. Agaknya dia memang kidal.
Sambil tersenyum, Ki Waredeng menggeleng-kan kepalanya.
"Kalian jangan coba-coba main kasar di desa ini. Sebelum kedatangan kalian keadaan di sini sudah tenang dan aman. Jangan sampai karena ketamakan kalian, di sini terjadi pertumpahan darah yang tidak diinginkan...," ujar Kepala Desa Karang Sekalor ini tenang, namun penuh kewaspadaan.
"He he he...! Kalau tidak mau terjadi banjir darah, lekas turuti perintah kami ini...!" hardik Boksa sambil berkacak pinggang.
Sementara semua pengawal kepala desa ini segera mempersiapkan diri dengan senjata terhunus. Agaknya mereka siap menghadapi para pengacau ini.
Menyaksikan tingkah pengawal itu, pandangan Cudra semakin bertambah tajam menusuk. Tiba-tiba, laki-laki itu memasukkan tangannya ke balik baju. Dan seketika itu pula mengibaskannya.
Set! Set! "Awaaas...!"
Ki Waredeng berteriak memperingatkan dan langsung merunduk ke samping begitu melesat dua buah sinar keperakan.
Crab! Crab! "Aaa...! Aaa...!"
Kepala Desa Karang Sekalor memang berhasil menyelamatkan diri. Tapi dua pengawalnya yang tak sempat menghindar kontan jadi korban. Disertai teriakan menyayat mereka kontan ambruk dengan leher masing-masing tertancap sebuah pisau.
Sebentar kedua pengawal itu kelojotan, lalu diam tak berkutik. Tampak darah meleleh dari leher yang tertancap pisau yang dilemparkan Cudra.
? *** ? 2 ? "Biadab...! Kalian benar-benar ingin menyebar maut di sini"! Hm.... Terpaksa aku harus mempertahankan diri...!" desis Ki Waredeng setelah mencabut keris dari balik pinggang.
Sementara para pengawal segera membentengi kepala desa yang dicintai itu. Semua pandangan mata tertuju pada para begundal yang mengaku bekerja untuk si Manusia Tengkorak.
"Sheaaat...!"
"Yeaaa...!"
Secara serentak, Boksa dan Cudra melesat melancarkan serangan. Begitu benteng hidup terpecah, Gumilang cepat membabatkan goloknya. Serangannya menimbulkan suara angin menderu keras, pertanda tenaga dalamnya sangat tinggi.
Cudra agaknya sangat berkeinginan untuk cepat menghabisi Ki Waredeng. Maka begitu mendapat kesempatan, tubuhnya melenting melewati kepala para penjaga, lalu meluruk ke arah kepala-desa itu.
Namun Ki Waredeng segera menyambuti serangan Cudra yang langsung membabatkan pisau pendek pada tangan kanan dan kiri. Serangannya sangat cepat dan berbahaya. Kedua pisaunya ber-kelebatan bagai kilat menyambar-nyambar ke seluruh tubuh laki-laki tua ini.
"Haiiit...!"
Trang! Tring! Ki Waredeng ternyata memiliki kepandaian cukup tinggi. Terbukti dengan kerisnya, dia sanggup bertahan dari serangan pisau pendek yang bergerak bagaikan sambaran kilat.
Cudra sendiri tidak menyangka, kalau kepala desa itu memiliki kepandaian yang tangguh dan sulit ditembus.
Sementara itu, Boksa yang bersenjata golok di tangan kiri dilayani oleh seorang pengawal tua berkepandaian lumayan. Tombak pengawal itu bergulung-gulung mengurung tubuh Boksa. Mereka segera terlibat pertarungan sengit dan memanas.
Sementara Gumilang kini dikeroyok para pengawal yang berkepandaian lumayan dan tidak da-pat dianggap remeh. Sehingga walaupun kepandaiannya tinggi tetap tampak kewalahan juga menghadapi keroyokan.
Menghadapi puluhan senjata tajam yang mengancam, Gumilang memainkan jurus-jurus bertahan. Setiap senjata tajam yang mendekat ke arahnya, selalu mampu dipapak dengan golok yang digerakkan dengan tenaga dalam tinggi.
Trang! Akibat benturan beberapa buah senjata para pengawal terlepas dan terlempar dari genggaman. Tetapi pengawal yang lain segera menutup dan menggantikan temannya yang sudah tidak bersenjata itu. Sehingga, Gumilang tidak mempunyai kesempatan untuk mencelakai para pengawal Kepala Desa Karang Sekalor ini.
Serangan para pengawal yang berjumlah besar memang terlihat dahsyat. Sehingga dalam waktu singkat saja, Gumilang hanya dapat bermain mundur saja. Ketika dia menangkis serangan yang membabat leher, satu sodokan tombak meluncur ke dada. Cepat tubuhnya bergeser ke kiri, namun terlambat.
Crasss...! "Aaakh...!"
Sambil mengeluarkan teriakan tertahan, melirik ke bahu kanannya yang sempat terserempet tombak. Tampak darah mulai membasahi bajunya.
Dengan kemarahan yang sudah di ubun-ubun, Gumilang bertindak nekat. Tubuhnya cepat berkelebat mencecar orang yang melukainya sambil membabatkan golok. Begitu cepat gerakannya, sehingga....
Cras! "Wuaaak!"
Pengawal itu roboh ketika golok Gumilang berhasil membabat leher. Kenekatan Gumilang harus dibayar malah. Tepat ketika berhasil membabatkan golok pada saat yang sama tiga tombak meluruk cepat tak tertahankan, sehingga....
Jreb...! Crap! Blesss...!
"Aaa...!"
Teriakan kesakitan berkepanjangan segera menggema, ketika tubuh Gumilang tertancap beberapa tombak. Begitu ambruk, tubuhnya langsung melejang-lejang, meregang nyawa.
Melihat kematian Gumilang, Boksa mulai gen-tar hatinya. Matanya sebentar-sebentar melirik, seperti mencari celah untuk melarikan diri.
"Jangan biarkan mereka lolos.... Yang coba-coba kabur, bunuh saja...!"
Terdengar suara bernada perintah, seperti bisa membaca gerak-gerak Boksa.
Boksa yang merasa rencananya telah terbaca, segera mengamuk sejadi-jadinya. Untuk sesaat, dia masih dapat bertahan. Tetapi lima belas jurus kemudian, keadaannya mulai terdesak. Apalagi jumlah para pengeroyok termasuk banyak.
Shaaat! Trang! Tring...!"
Dengan mengerahkan segenap kemampuan-nya, Boksa masih tetap berusaha bertahan. Namun tenaga manusia tetap terbatas. Memasuki jurus kedua puluh, tenaganya semakin lemah dan berkurang. Ketika tubuhnya berjumpalitan untuk menghindari serangan, beberapa tombak langsung dilemparkan para pengawal.
Ser! Ser! Serrr!
"Haiiit!"
Crang! Cring...!
Beberapa tombak berhasil ditangkis Boksa. Tetapi, ada dua buah yang luput.
Cras! Crab! "Aaa...!"
Sebuah tombak menancap tepat di dada Boksa sambil berteriak laki-laki berkumis lebat itu berusaha mencabut tombak yang menancap di dada dan perut. Namun begitu tubuhnya jatuh ke tanah, Boksa tidak dapat bergerak lagi untuk selamanya.
? *** ? Kini yang tinggal hanya Cudra. Bahkan kini pengawal tua telah ikut membantu Ki Waredeng. Dengan demikian Cudra kini dikeroyok dua orang. Akibatnya, dia tidak dapat berbuat banyak. Lemparan pisaunya selalu dapat dielakkan kedua orang tangguh itu. Bahkan keris di tangan Kepala Desa Karang Sekalor itu berkali-kali telah mengancam keselamatannya.
"Ciaaat!"
Ke mana saja Cudra bergerak, keris itu selalu memburunya. Hal itu membuat Cudra jadi berke-ringat dingin dengan tubuh gemetar. Belum lagi serangan pedang pengawal tua yang bagaikan hujan angin cepatnya. "
"Ki Patisena! Kerahkan jurus pamungkasnya!" teriak Ki Waredeng.
"Baik, Ki! Heaaa...!"
Saat itu juga pengawal tua yang dipanggil Patisena mengerahkan jurus pamungkasnya dalam permainan pedang. Tubuhnya langsung berkelebat sambil membabatkan pedang.
Sementara itu Ki Waredeng sendiri langsung berkelebat dengan sabetan-sabetan kerisnya yang seolah-olah berubah menjadi banyak.
"Hup!"
Cudra cepat melompat ke belakang, menghindari babatan pedang Ki Patisena.
Sementara pisau di tangannya segera meng-gunting secara menyilang keris yang terus melun-cur di tangan Ki Waredeng.
Trang! Begitu terjadi benturan senjata, Cudra melepas tendangan melingkar ke arah pergelangan tangan Ki Patisena.
"Haaa...!"
Namun Ki Patisena cepat membalikkan tangannya. Bahkan seketika pedang di tangannya berputar menuju betis. Begitu cepat serangan itu, membuat Cudra tak sempat menarik pulang kakinya. Hingga....
Crasss...! "Aaa...!"
Tidak dapat dihindari lagi, betis kaki Cudra terbabat pedang Ki Patisena hingga buntung. Rasa sakit yang menyengat membuatnya menjerit setinggi langit. Tak ada lagi keseimbangan tubuhnya. Dia langsung jatuh ke tanah tanpa mampu berbuat apa-apa.
Melihat kesempatan baik, para pengawal meluruk ke arah Cudra. Puluhan senjata tajam, kini mengancam keselamatan laki-laki berdarah dingin ini. Sungguh tidak disangka kalau kepala desa itu memiliki pengawal tangguh dan kepandaian tinggi.
"Matilah aku sekali ini...," desah Cudra dalam hati.
Cudra sudah pasrah dan putus asa. Keadaannya bagai telur di ujung tanduk. Tetapi dalam keadaan yang gawat...
"Hi hi hi...!"
Mendadak terdengar sebuah suara tawa yang mengikik dan melengking. Semakin lama, suara yang terdengar makin meninggi dan menusuk te-linga. Seketika dada semua yang berada di tempat itu bergetar. Bahkan sekujur tubuh menjadi lemas. Jelas itu disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
Cudra segera bergulingan, ketika para pengeroyok berjatuhan tak kuasa menahan kekuatan tenaga dalam lewat suara tawa itu. Walau begitu dia tetap berusaha mengerahkan hawa murni, agar tak terluka akibat getaran suara tawa yang masih terasa menembus telinga dan mengguncangkan dada.
Aneh.... Walaupun juga menerima serangan tawa yang disertai tenaga dalam, namun akibat yang diterima Cudra tidak separah yang diterima para pengeroyoknya. Mungkin si pengirim suara hanya menunjukkan serangan tawanya pada para pengeroyok, sehingga Cudra hanya mendapat pengaruhnya saja.
"Celaka...! Cepat kerahkan hawa murni dan atur pernapasan kalian...," seru Ki Waredeng, memperingatkan.
"Hik hik hik...!"
Walau mereka sudah berusaha sekuat mungkin, namun suara tawa yang mengandung tenaga dalam ini semakin lama semakin meninggi saja. Para pengawal yang berjatuhan mulai tampak gemetar dengan wajah pucat pasi. Dari telinga, hidung, dan mulut mulai meneteskan darah.
"Aaa...!"
"Wuaaa...!"
Tak lama, teriakan kematian terdengar saling susul, kini yang masih dapat bertahan hanya tinggal beberapa orang saja.
Memang mengenaskan nasib para pengawal yang berkepandaian pas-pasan. Mereka yang masih bertahan hidup sudah mulai menggigil dan gemetar. Kini yang masih hidup hanyalah dua orang pengawal berkepandaian agak tinggi, Ki Patisena, dan Ki Waredeng. Dan mereka terus berusaha mengimbangi suara tawa yang membawa maut itu.
Namun, keadaan mereka semakin bagai telur di ujung tanduk. Mereka sudah pasrah dan tinggal tunggu nasib saja. Di saat-saat yang genting itu....
"Hua hak hak hak...! Kalau sedang bermain-main ajak-ajak aku...! Kalian jangan mau enak sendiri...!"
Terdengar sebuah suara yang disertai tenaga dalam tinggi. Dan anehnya suara tawa besar itu langsung memunahkan tawa mengikik yang menggetarkan dada.
Semua yang berada di situ menarik napas lega. Bersamaan dengan itu, tercium wangi tuak yang menyengat hidung. Tak lama, muncul seorang laki-laki tua berambut putih sampai ke bahu. Kedatangannya sambil tetap menenggak tuak dari gucinya.
"Hak hak hak hak...! Selamat jumpa.... Sela-mat jumpa dengan Pemabuk Dari Gunung Ki-dul...!"
Dengan lagak ugal-ugalan, laki-laki tua yang ternyata Pemabuk Dari Gunung Kidul melangkah mendekati Ki Waredeng. Walaupun lagaknya demikian, namun yang pasti kemunculannya telah menyelamatkan banyak nyawa, berhenti.
Tepat ketika Pemabuk Dari Gunung Kidul berhenti tiga tombak di hadapan Ki Waredeng, berkelebat sesosok bayangan hijau. Tidak lama, di depan laki-laki pemabuk itu, berdiri satu sosok berpakaian serba hijau dengan wajah berbentuk tengkorak. Tatapannya begitu menusuk pada laki-laki pemabuk yang bernama asli Ki Demong.
'Tua bangka keparat... Berani benar kaumencampuri urusanku..." Apa hubunganmu dengan kepala desa itu..."!" tegur sosok yang tak lain si Manusia Tengkorak dengan nada tinggi.
"Aku tidak mempunyai hubungan apa-apa.... Tetapi, aku tidak suka dengan tindak kejahatan...! Sayang, aku datang terlambat. Kalau tidak, korban tidak akan jatuh sebanyak ini...!" sahut Ki Demong, enteng.
"Bangsat! Kalau begitu kau hanya ingin pamer kepandaian di depanku..." Kali ini kau mengalami hari naas, Tua Bangka!" desis si Manusia Tengkorak bertambah geram.
"Ah.... Yang benar saja" Aku masih ingin hidup lama di dunia ini.... Jadi, tolong jangan bunuh aku...," sahut Pemabuk Dari Gunung Kidul sambil tersenyum meledek. Agaknya dia tidak mengacuhkan semua ancaman si Manusia Tengkorak.
Ketika terjadi adu mulut, Cudra menggunakan kesempatan itu untuk menotok luka di kakinya yang buntung untuk menghentikan darah yang keluar. Setelah ditaburi ramuan yang selalu dibawa, lukanya diikat dengan sobekan bajunya sendiri.
? *** ? "Heaaa...!"
Merasa dirinya tidak dipandang sebelah mata, si Manusia Tengkorak berteriak melengking sambil menghentakkan kedua tangannya melepaskan pukulan jarak jauh.
Wusss...! Seketika angin menderu yang terasa panas menyengat, meluruk ke arah Ki Demong. Namun dengan enaknya Pemabuk Dari Gunung Kidul melompat menghindar. Sekaligus mencari tempat yang lebih luas di halaman rumah kepala desa ini.
"Haiiit!"?
"Sheaaat!"
Si Manusia Tengkorak terus mengejar sambil melancarkan serangan gencar.? Untuk mengim-bangi, Ki Demong meneguk tuak merahnya berkali-kali, lalu disemburkan.
"Fruhhh"!"
Bau tuak segera menyebar ke mana-mana. Dan akibat semburan yang menggunakan tenaga dalam kuat, adalah api yang menyembur-nyembur dari mulut Ki Demong.
Semburan tuak yang mengandung api itu sangat merepotkan si Manusia Tengkorak. Sambil berteriak gusar, segenap kemampuannya segera dikerahkan untuk menyerang secara habis-habisan.
"Ciaaat!"
Wuuut! Guci di tangan Ki Demong berputar cepat laksana baling-baling. Sedangkan tangan kirinya, bila ada kesempatan mengirimkan serangan jarak jauh. Akibatnya pertarungan kedua tokoh sakti ini jadi semakin terlihat dahsyat dan mengagumkan. Bahkan batu dan dedaunan terbawa angin ke udara, ikut berputar-putar bagaikan ada angin puyuh.
Semakin lama perkelahian jadi semakin sengit. Kepala Desa Karang Sekalor dan para pengawalnya tidak ada yang berani mendekat. Mereka menyadari bahaya maut bisa merenggut sewaktu-waktu.
Sementara itu pandangan Ki Patisena beralih pada Cudra, yang baru saja bangkit dengan terpincang-pincang sehabis mengobati lukanya. Melihat si Manusia Tengkorak belum dapat mengalahkan laki-laki tua pemabukan, sadarlah Cudra kalau belum lama berselang telah dipermainkan oleh seorang tua urakan itu (Untuk ingin tahu lebih jelas tentang Ki Demong, bacalah kisah yang berjudul : "Ksatria Pondok Ungu").
Tindak-tanduk Cudra, tak luput dari perhatian Ki Waredeng. Begitu menyadari sedang diawasi, Cudra jadi gemetar. Dengan terpincang-pincang mundur teratur tanpa terasa. Namun kedua laki-laki tua itu terus maju selangkah demi selangkah. Untuk menjaga segala kemungkinan, Cudra mencabut pisau.
"Yeaaa!"
Disertai teriakan keras, Cudra mengibaskan tangannya. Seketika dua pisau melayang dengan kecepatan kilat. Tetapi Ki Waredeng dan Ki Patisena cepat melenting tinggi bersama. Lalu dengan gerakan hampir bersamaan pula, mereka meluruk ke arah Cudra yang tak sempat menyerang kembali.
Dalam waktu singkat, Cudra yang kakinya buntung jadi terdesak. Dia pontang-panting dikeroyok dua orang tangguh ini. Kini Cudra hanya dapat mundur. Tak ada kesempatan lagi untuk melempar pisaunya. Karena Ki Waredeng dan Ki Patisena terus menekan dengan pertarungan jarak pendek.
"Yeaaat!"
"Uts...!"
Dalam satu serangan, Cudra harus meloncat ke atas menghindari babatan pedang Ki Patisena. Tetapi, malang. Dari belakang Ki Waredeng juga meloncat ke atas dengan satu tusukan ke pung-gung.
Crab! "Aaakh...!"
Dengan teriakan keras, Cudra berusaha mendarat kokoh di tanah. Tubuhnya langsung berbalik, seraya menyabetkan pisaunya ke tubuh Ki Waredeng yang telah mendarat lebih dulu.
Sayang, kali ini pun Cudra kalah cepat. Karena mendadak Ki Waredeng telah menghujamkan kerisnya ke dada. Dan....


Pendekar Rajawali Sakti 185 Geger Di Telaga Warna di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Crap! "Aaa...!"
Keris kepala desa itu menancap tepat di dada Cudra. Belum hilang rasa sakit, pedang Ki Patisena menusuk perut hingga tembus ke punggung.
Clap! "Aaa...!"
Ketika dicabut, Cudra ambruk dengan satu teriakan menyayat. Ususnya tampak terburai, dengan darah membanjiri tanah.
Melihat kejadian yang menimpa anak buahnya, si Manusia Tengkorak segera menghentikan serangan. Seketika dia membuat lentingan ke belakang, lalu berkelebat cepat melarikan diri dari tempat ini.
? *** ? ? 3 ? Tanpa setahu si Manusia Tengkorak, Ki Demong bergerak mengejar. Sedikit pun Pemabuk Dari Gunung Kidul ini tidak peduli pada Ki Waredeng dan Ki Patisena yang hendak mengucapkan terima kasih.
"Toloong..., tolooong...!"
"Heh"!"
Pemabuk Dari Gunung Kidul tersentak kaget dan langsung menghentikan larinya, begitu mendengar suara minta tolong. Kepalanya langsung menoleh ke arah kanan, tempat sumber suara yang diyakini dari mulut seorang wanita.
Saat itu juga, Ki Demong berkelebat ke kanan ke arah jalan menanjak. Dan ketika menemukan jalan yang kembali menurun, di bawah, tampak tergolek satu sosok ramping terbungkus pakaian hijau.
Dengan cepat, Ki Demong melesat ke arah sosok yang ternyata seorang wanita. Begitu tiba, Pemabuk Dari Gunung Kidul melihat di tangan wanita itu masih menempel seekor kelabang berwarna merah. Wajahnya yang cantik itu tampak pucat, dan mulai berwarna kebiruan. Tubuhnya pun mulai menggigil. Jelas sekali kelabang merah itu sangat beracun dan mematikan.
"Tenang, Nisanak.... Jangan banyak bergerak.... Binatang celaka itu akan segera kubunuh...," ujar Ki Demong.
Lalu dengan sekali pencet dan banting, binatang itu mati seketika. Dengan gerakkan cepat, Ki Demong menotok wanita cantik itu pada beberapa tempat yang dapat menghambat racun.
Kini Pemabuk Dari Gunung Kidul mengurut-urut tangan yang tergigit kelabang untuk menge-luarkan darah yang telah bercampur racun. Berkat tenaga dalamnya yang telah mencapai tingkat tinggi, sebagian racun kelabang merah itu berhasil didorong keluar dari tubuh wanita cantik yang terus mengaduh-aduh kesakitan.
Sigap sekali Ki Demong mengambil beberapa obat dari saku bajunya. Seketika dibalurinya luka bekas gigitan itu. Baru kemudian menjejali mulut wanita cantik ini dengan obat pulung. Pemabuk Dari Gunung Kidul segera mendudukkan wanita cantik ini. Dia sendiri lantas duduk di depanya seraya memegang kepala wanita berbaju hijau itu. Perlahan-lahan, mata Ki Demong terpejam, untuk menyalurkan hawa murni lewat kepala.
Ketika Pemabuk Dari Gunung Kidul memejam-kan matanya, wanita itu justru membuka matanya seraya tersenyum dingin.
Sementara Pemabuk Dari Gunung Kidul tidak menyadarinya.
Tiba-tiba, dengan gerakan tak terduga, wanita cantik berpakaian serba hijau itu merogoh sakunya. Begitu tercabut, langsung ditaruhnya benda yang diambil dari saku pada leher dan tangan Ki Demong yang masih memejamkan matanya. Ternyata benda yang tak lain kelabang merah dan kalajengking langsung saja menggigit Pemabuk Dari Gunung Kidul.
"Wuaaa...!"
Begitu laki-laki tua pemabuk itu berteriak, wanita ini melepas sebuah pukulan telak ke arah dada.
Des...!?? "Ugkh...!"
Karena tidak bersiaga dan tidak menduga siasat licik itu, Ki Demong jatuh terjengkang disertai muntahan darah. Namun, dengan cepat laki-laki tua ini berusaha bangkit.
"Kau.... Kau iblis keparat...! Licik!" desis Pemabuk Dari Gunung Kidul dengan suara terputus.
"Hik hik hik...! Tahu rasa kau sekarang, Tua Bangka Keparat...!" ejek wanita cantik ini seraya bangkit bediri.
"Bangsat...! Aku akan adu jiwa denganmu, Wanita Jalang," maki?? Pemabuk Dari Gunung Kidul.
Dengan mengerahkan seluruh sisa tenaganya yang terakhir, orang tua ini menerjang dengan guci araknya.
"Hik hik hik...! Orang lumpuh macam kau, jangan harap dapat menyentuhku.... Kalau ingin membunuhmu saat ini semudah aku meludah ke tanah. Tetapi, terlalu enak kalau kau mati.... Biarlah kau mati sendiri, Hik hik hik...!"
Apa yang dikatakan wanita cantik itu benar. Ki Demong hanya dapat bertahan dua jurus saja begitu racun ganas segera menjalar ke seluruh tubuhnya. Pandangan matanya jadi gelap. Napasnya menyesak. Tubuhnya pun limbung ke sana kemari. Tenaganya seolah-olah lenyap, tidak dapat dipergunakan lagi. Akhirnya....
Blug! Tubuh Ki Demong jatuh ke tanah tanpa sempat mengerahkan hawa murni untuk mengusir racun. Napasnya tinggal satu-satu. Hanya matanya saja yang mengawasi dengan pandangan tajam. Wanita cantik berpakaian serba hijau itu hanya tersenyum, mengawasi dengan sorot mata menghina.
"Bagaimana sekarang..." Kau pasti ingin mati, bukan..." Tetapi jangan sekarang. Biarlah kau mati secara perlahan-lahan.... Nah, selamat menikmati perjalanan menuju ke neraka, Orang Tua Lumpuh...," ejek wanita cantik ini.
Setelah berkata demikian, wanita cantik ini berkelebat cepat, meninggalkan tempat ini. Sementara keadaan orang tua pemabukan itu bagaikan telur di ujung tanduk. Kematian tinggal menunggu saatnya saja.
Walau orang tua itu berusaha menyalurkan hawa murni, namun semua itu tidak ada gunanya. Kini dia sudah pasrah dan tinggal menunggu nasib.
? *** ? "Kreaakh!"
"Turunlah, Rajawali Putih! Aku melihat sesuatu di bawah sana...."
"Kroaaakh!"
Seekor rajawali berwarna putih keperakan langsung menukik tajam dari angkasa disertai suara memekakkan telinga. Kecepatannya sungguh dahsyat, sehingga sebentar saja telah beberapa tombak dari permukaan tanah yang cukup lapang untuk ukuran tubuhnya yang luar biasa besar.
Banyak batu-batu kecil dan daun-daunan ber-terbangan terkena hempasan sayap burung rajawali itu. Dari punggungnya meloncat seorang pemuda berbaju rompi putih. Di punggungnya bertengger sebilah pedang bergagang kepala burung.
"Cepat tunggu aku di angkasa, Rajawali Putih!" ujar pemuda itu.
Dengan cepat burung raksasa itu mengepakkan sayapnya dan kembali melesat ke udara.
Sementara, pemuda berbaju rompi putih yang tak lain Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti segera menghampiri sosok yang dilihatnya dari udara tadi.
Segera disandarkannya sosok yang tak lain Pemabuk Dari Gunung Kidul di paha kirinya.
Setelah memeriksa luka Ki Demong, Rangga segera menyalurkan hawa murninya. Seketika dari setiap lubang bekas gigitan binatang berbisa itu mengucur darah berwarna kehitaman. Sedangkan dari kepala Rangga tampak mengepulkan asap putih tipis.
Semakin lama wajah Ki Demong tampak semakin bersemu merah. Dan napasnya mulai teratur kembali. Semakin lama keadaan si Pemabuk Dari Gunung Kidul semakin membaik. Bahkan tak lama matanya mulai membuka. Keadaannya berangsur-angsur membaik. Tinggal memulihkan kesehatan saja.
Rangga lantas mengambil sebutir obat pulung dari balik bajunya. Segera dijejalkannya ke mulut Ki Demong.
"Ohhh...!"
"Kiranya kau lagi yang menolongku, Rangga. Terima kasih banyak...," ucap Ki Demong lirih sambil memandang tajam pada Rangga.
"Sudahlah, Ki. Coba ceritakan apa yang telah terjadi..." Dan siapa pula yang mencelakaimu...?" tanya Pendekar Rajawali Sakti, seraya bangkit berdiri.
Secara singkat dan jelas, Ki Demong mence-ritakan segala apa yang telah terjadi pada Rangga. Mendengar cerita itu, Pendekar Rajawali Sakti hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tam-paknya ada sesuatu yang dipikirkannya.
Belum sempat Ki Demong bercerita lagi, mendadak....
"Heaat...!"
Terdengar teriakan membahana yang diikuti berkelebatnya seorang pemuda bertubuh tinggi besar. Otot lengannya bertonjolan keluar dengan sebuah senjata clurit siap dikebutkan. Wajahnya tampak tampan dan gagah.
Rangga memandang dengan kening berkerut. Apalagi ketika pemuda itu menerjang ke arahnya.
Dengan mudah sekali, Rangga berkelit ke samping mengelakkan serangan. Lalu seketika tangannya bergerak memapak.
Plak! Pemuda bertubuh tinggi besar itu kontan terhuyung-huyung mundur dua tindak ke belakang. Cluritnya langsung terlepas dari tangan. Dengan sinar mata tajam, dia mengawasi Pendekar Rajawali Sakti.
"Hei... hei.... Ada apa, Kisanak" Mengapa tiba-tiba kau menyerang aku" Rasanya, baru sekali ini aku melihatmu...?" tanya Pendekar Rajawali Sakti.
"Kau pasti yang mencelakai kakek itu?" tunjuk pemuda itu, langsung.
"Sabar, Kisanak. Tanyakanlah sendiri pada Pemabuk Dari Gunung Kidul," ujar Rangga kalem.
Pemuda itu segera menoleh pada Ki Demong.
"Benar, Anak Muda. Pendekar Rajawali Sakti justru yang menyelamatkan aku dari kematian...," kata Ki Demong lirih.
"Oh..."! Jadi..., jadi kau Pendekar Rajawali Sakti..." Maafkan aku, Tuan Pendekar. Perke-nalkan, aku putra Ki Waredeng, Kepala Desa Karang Sekalor. Namaku Wisnupati. Ayahku menceritakan padaku, kalau kakek yang memegang guci tuak itu telah menyelamatkan nyawa ayah dan para pengawal.... Sayang, aku terlambat pulang ke rumah. Bila tidak peristiwa berdarah itu takkan terjadi di tempatku," ucap Wisnupati, sambil menjura hormat setelah tahu siapa yang diserangnya tadi.
"Lalu, mengapa kau main serang seenaknya tanpa tanya lebih dulu?" tegur Rangga.
"Sekali lagi maafkanlah.... Kukira kau yang telah mencelakai kakek itu. Maka aku langsung menyerangmu..."
? *** ? Ki Demong mengawasi sambil tersenyum. Kiranya putra kepala desa itu telah salah paham.
"Terima kasih, Anak Muda...! Lain kali kalau mau berbuat sesuatu jangan main hantam saja.... Bertanyalah dulu, walau kuakui kepandaianmu cukup bisa diandalkan...," ujar si Pemabuk Dari Gunung Kidul.
"Ya..., ya.... Kau benar, Ki. Adatku memang sedikit berangasan.... Aku juga ingin mengucapkan terima kasih padamu, Ki. Siapakah namamu...?" tanya Wisnupati.
"He he he...! Kurasa kau pura-pura tidak tahu. Coba terka, siapa aku...?" tukas Ki Demong.
"Menurut Ki Patisena kau adalah tokoh tuasakti yang bergelar si Pemabuk Dari Gunung Kidul... Dan maafkanlah bila aku salah terka...," sahut Wisnupati.
"He he he...! Ternyata pengawal itu memiliki wawasan yang cukup luas. Aku memang orang yang dimaksud...," jawab Ki Demong, terkekeh.
"Kalau begitu, aku mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu pada keluarga kami...."
"Itu soal biasa.... Orang jahat harus ada musuhnya. Tetapi, aku bukan orang sakti.... Salah besar kalau kau menganggapku begitu. Yang tepat, aku hanyalah seorang pemabukan...," sergah Ki Demong, merendah.
Wisnupati lantas menoleh ke arah Rangga dan menatapnya dengan sinar mata berbinar-binar.
"Mengapa kau memandangku seperti itu...?" tanya Rangga.
"Kau hebat sekali, Pendekar Rajawali Sakti...," puji Wisnupati sambil memberi hormat.
"Sudahlah.... Lain kali kau harus hati-hati dalam bertindak. Oh, ya.... Aku masih ada umsan. Sampai jumpa lagi...."
Habis berkata demikian, Rangga melesat cepat meninggalkan tempat ini. Dengan ilmu meringankan tubuhnya yang telah mencapai tingkat sempurna, Rangga melesat bagai anak panah lepas dari busur. Sehingga dalam waktu singkat saja telah lenyap dari pandangan.
"Ki.... Ayahku mengajakmu mampir ke rumah, untuk mengucapkan terima kasih...," ajak Wisnupati, ketika Pendekar Rajawali Sakti tak terlihat lagi.
"Mestinya ayahmu tidak perlu menyibukkan diri hanya untuk menjamu diriku. Lagi pula, aku sedang tak berselera mampir ke rumah orang...," tolak Ki Demong sambil menggeleng-geleng.
"Tetapi, ayah juga telah menyediakan tuak wangi yang telah disimpan lama.... Kurasa kau akan suka, Ki.... Ayolah, jangan mengecewakan harapan kami...," bujuk Wisnupati setengah memaksa.
"Apa.... Apa kau bilang..." Kau mempunyai tuak wangi yang telah disimpan lama" Kau tidak bohong, bukan..."!" sentak si Pemabuk Dari Gunung Kidul, kontan kegirangan.
"Mana berani aku berbohong pada orang tua sepertimu, Ki. Kalau kau suka tuak, ayo ikut aku.... Kita dapat minum sepuasnya sampai mabuk. Ayolah...! Aku bersedia menemanimu sampai pagi. Bagaimana...?" ujar Wisnupati memanasi.
"Baiklah.... Dengan memandang ayahmu, aku bersedia datang ke tempatmu...," desah Ki Demong sambil menelan ludah.
Kemudian, keduanya segera melesat menuju Desa Karang Sekalor yang letaknya tidak begitu jauh dari tempat ini. Mereka sama-sama menggunakan ilmu meringankan tubuh, sehingga lesatan tubuh mereka bagaikan iblis yang tengah berlari di siang hari.
? *** ? 4 ? Bukit Ungaran berdiri megah bagaikan batu karang di tengah samudera, yang tidak akan hancur terkena panas dan hujan. Rumput dan ilalang tampak menghijau. Sungai yang jernih tampak berkelak-kelok bagaikan ular raksasa yang tengah berjalan. Di sebelah Bukit Ungaran, membentang sebuah telaga yang cukup luas. Namanya, Telaga Warna. Airnya berwarna-warni. Di telaga itu terdapat daratan cukup luas.
Di tengah pulau kecil telaga itu, berdiri sebuah bangunan besar. Kabarnya, bangunan itu dihuni oleh sepasang pendekar tua yang telah dikaruniai tiga anak yang telah tumbuh menjadi gadis-gadis cantik. Kalangan persilatan memberi nama rumah di tengah telaga itu dengan Pesanggrahan Telaga Warna.
Orang-orang persilatan pun tahu, siapa tokoh yang menghuni pesanggrahan itu. Dia adalah se-orang laki-laki tua berkumis dan berjenggot putih. Namanya Samba. Dia dijuluki si Lutung Pancasona.
Ilmu tangan kosongnya yang menyerupai gerakan kera telah mengangkat namanya dalam kancah dunia persilatan. Senjatanya yang berupa sepasang pedang yang gagangnya diberi hiasan benang sutera berwarna-warni menjadi ciri khasnya di balik punggung.
Sedangkan istri Samba dikenal bernama Ruk-mini. Rambutnya telah putih keperakan digelung ke belakang. Wanita tua yang masih membayang-kan sisa kecantikannya sewaktu muda itu bersenjata tongkat berwarna hijau. Tak heran kalau dalam dunia persilatan dia dikenal sebagai Bidadari Tongkat Hijau. Walau jarang terjun dalam rimba persilatan, tetapi nama besarnya cukup disegani.
Sedangkan ketiga anak sepasang pendekar itu masing-masing bernama Sri Kundalini, Sri Agni Kumala, dan Sri Padmi. Sebagai anak pendekar, mereka bertiga tentu tidak dapat dipandang rendah. Sudah dipastikan kalau mereka mewarisi kepandaian kedua orangtua mereka.
Dalam rimba persilatan terdengar desas-desus bahwa di depan Pesanggrahan Telaga Warna terdapat sejenis bunga langka yang mengandung kekuatan luar biasa. Anehnnya, bunga itu hanya tumbuh dalam kurun waktu seratus lima puluh tahun.
Warna bunga itu biru dan merah. Konon kabarnya, siapa yang memakan bunga biru, akan mendapat tulang dan darah yang bersih. Di samping itu akan memiliki tenaga puluhan kali lipat disertai hawa dingin. Sedangkan bunga yang berwarna merah akan membuat pemakannya memiliki tenaga berhawa panas luar biasa.
Bagi kaum persilatan bunga langka itu sangat diidam-idamkan. Mereka sanggup mempertaruhkan jiwa untuk mendapatkannya. Namun mereka tak tahu kapan tepatnya bunga itu akan mekar.
Lutung Pancasona bergembira, karena dua purnama lagi kuncup bunga dari pohon langka itu akan merekah penuh, menyebarkan bau harum luar biasa. Saat itu pun bau harumnya mulai tercium ke mana-mana.
Entah bagaimana, berita tentang akan mekar-nya bunga itu kini tersebar luas di dunia persilatan. Sehingga dari berbagai penjuru banyak berdatangan para tokoh persilatan yang tidak diundang menuju Pesanggrahan Telaga Warna. Baik itu golongan hitam, maupun golongan putih.
? *** ? Saat ini cuaca sangat terik. Di tengah jalan menuju Bukit Ungaran, tampak sepuluh orang laki-laki berpakaian seperti orang persilatan pada umumnya. Dari wajahnya yang penuh debu dan berkeringat, jelas mereka sudah melakukan perjalanan cukup jauh.
Dari lambang perguruan berbentuk kepala tengkorak berwarna putih yang tersulam di dada, dapat diketahui kalau mereka dari Perguruan Tengkorak Putih yang cukup tersohor dalam sepak terjangnya yang liar. Perguruan itu memang beraliran hitam. Tindakan mereka sangat telengas dan kejam, sehingga sangat ditakuti dan dibenci masyarakat.
Kali ini kabar berita tentang adanya bunga aneh di Pesanggrahan Telaga Warna sampai juga di telinga mereka. Itulah sebabnya mereka keluar kandang untuk mengadu untung.
Kesepuluh orang itu menghentikan langkahnya ketika berpapasan dengan seorang wanita cantik berpakaian serba hijau. Melihat ada wanita cantik di tengah jalan, laki-laki yang berjalan paling depan terkekeh-kekeh seperti serigala melihat domba gemuk. Matanya yang hanya satu tampak berbinar-binar penuh nafsu. Jakunnya turun naik, menahan liur.
"He he he...! Pada hari sepanas ini hendak pergi ke mana, Nisanak..." Kalau tidak keberatan, marilah kita berjalan bersama-sama...," tegur laki-laki bermata satu itu yang rupanya bertindak sebagai pemimpin rombongan.
"Siapakah Kisanak ini" Hi hi hi.... Rasanya, tujuan kita berlainan?" tanya wanita cantik itu sambil mengikik genit.
"Hm.... Aku Bergawa, Ketua Perguruan Tengkorak Putih. He he he.... Rasanya tak ada salahnya kalau kita berjalan bersama. Aku toh bisa mengurungkan perjalananku, untuk berjalan bersamamu," sahut laki-laki bermata picak yang temyata bernama Bergawa.
"Ah.... Jangan begitu, Kisanak...," desah wanita cantik itu sambil melirik nakal dengan ujung matanya.
Melihat sikap liar wanita itu, Bergawa jadi lupa diri. Gairahnya makin menggelegak. Sambil tersenyum-senyum nakal didekatinya wanita itu. Tangannya langsung menjawil dada yang membukit indah itu. Herannya, wanita ini mendiamkan saja tingkah Ketua Perguruan Tengkorak Putih ini.
"Gleg...!"
Bergawa menelan ludah. Sementara para mu-ridnya memandangi dengan mata melotot. Air liur mereka seperti hendak menetes dari sudut bibir-nya.
Tanpa mempedulikan keadaan di tempat itu, Bergawa yang sudah dikuasai iblis segera menarik tangan wanita ini. Langsung diseretnya wanita itu ke semak-semak yang lebat tak jauh dari tempat ini.
? *** ? Suasana hening dan sepi sesaat. Daun-daun tampak bergoyang keras bagaikan sedang digun-cang-guncangkan. Tiba-tiba....
"Aaakh...!"
Mendadak terdengar teriakan keras, disusul melesatnya satu sosok tubuh dari dalam semak sambil memegangi daerah terlarangnya yang terlihat banyak mengucurkan darah. Sosok yang ter-nyata Bergawa segera menotok beberapa jalan da-rahnya.
"Bangsat...! Kuntilanak keparat! Apa..., mak-sudmu"!" rutuk Bergawa dengan gigi bergemeletuk menahan sakit dan marah.
"Hik hik hik...! Berkacalah dulu baik-baik, manusia jelek...! Apa kau pantas bermain cinta denganku...?" leceh wanita cantik itu balik bertanya, seraya keluar dari balik semak-semak. Langkahnya gemulai memancing birahi.
Melihat sang ketua dihina seperti itu, anak murid Perguruan Tengkorak Putih segera menerjang serentak. Ada yang menggunakan tangan kosong, ada pula yang memakai senjata tajam.
"Hi hi hi...!"
Sambil tertawa keras wanita berpakaian serba hijau itu berkelit ke sana kemari dengan gerakan ringan. Gerakannya bagaikan sedang menari di antara gerombolan manusia yang haus darah. Namun tiba-tiba dia melakukan tendangan ke arah lawan-lawannya.
Zeb! Zeb! Karena gerakan tendangan ini membuat pakaian dalam wanita cantik itu terlihat jelas. Akibatnya para pengeroyok jadi salah tingkah. Gerakan mereka tidak beraturan lagi. Sebenarnya ini memang disengaja oleh wanita itu. Ketika lawan-lawannya lengah cepat-cepat dilepaskannya serangan sesungguhnya yang berupa pukulan berisi tenaga dalam tinggi.
Dess...! Desss...!
"Aaakh...! Aaakh...!"
Disertai keluhan tertahan, dua orang berjatuhan dengan dada dan punggung hangus. Ketika dua orang menyerang lagi, langsung disambut kebutan selendang berwarna hijau yang berbau harum semerbak.
Werrr..! "Uhhh...!"
Walaupun keduanya sudah berusaha menge-lak, tetap saja ujung selendang berhasil menghantam wajah.
Prak! Prak! Terdengar suara kepala pecah disusul jatuhnya dua orang pengeroyok.
Kini terbukalah mata para pengeroyok kalau gadis cantik berpakaian hijau itu memiliki kepan-daian amat tinggi.
"Katakan sebenarnya, siapakah kau..." Apa maumu dengan segala tindakan ini...?" tanya Ber-gawa setelah berhasil mengobati lukanya.
"Walaupun kau adalah ketua perguruan, masih belum pantas mengetahui namaku.... Sekarang kuperintahkan, galilah kuburan sebanyak orang yang kau bawa...," hardik wanita cantik ini.
"Keparat...! Walaupun kau berilmu tinggi, jangan harap dapat menghina. Aku belum kalah! Mari kita adu jiwa...!" desis Bergawa menghentakkan kedua tangannya. Terimalah aji 'Tengkorak Putih'ku!"
Werrr...! Seketika melesat sinar putih dari kedua tangan Bergawa ke arah wanita cantik itu.
"Hup...!"
Namun indah sekali wanita berpakaian serba hijau itu melenting, sehingga....
Blarrr...! Sebuah pohon besar yang berada tepat di belakang wanita itu roboh dan hancur, terkena sinar putih yang dilepaskan Bergawa. Tetapi akibatnya, Bergawa meringis menahan sakit pada daerah terlarangnya.
Dalam keadaan terluka begitu, Bergawa memang tidak bisa mengeluarkan tenaga dalam secara berlebihan. Perut dan bawah pusarnya kontan terasa sakit dan mulas luar biasa.
Werrr...! Menggunakan kesempatan wanita itu langsung mengibaskan selendang hijaunya ke leher Bergawa. Kontan Ketua Perguruan Tengkorak Putih jadi mendelik dan megap-megap karena tidak dapat bernapas. Sementara para muridnya, tidak ada yang berani maju. Mereka hanya mengawasi tanpa berdaya apa-apa.
"Hik hik hik...! Lekas suruh anak muridmu menggali kuburan beberapa buah! Kalau mem-bangkang, lehermu akan kuputus saat ini juga...," ancam wanita cantik ini dingin.
"Anak-anak...! Gali beberapa lubang kubur yang besar. Cepat laksanakan perintah...!" seru Bergawa pada muridnya.
Tanpa banyak membantah lagi, murid-murid Perguruan Tengkorak Putih mulai menggali lubang kuburan beberapa buah. Karena dikerjakan beramai-ramai, sebentar saja tercipta tiga buah lubang besar.
Sementara napas Bergawa tersengal karena lehernya terjerat erat selendang milik wanita itu.
"Sekarang tiga orang dari kalian masuk ke dalam lubang itu. Sedang yang lain menimbuni dengan tanah...!" perintah wanita berbaju serba hijau itu.
"Kau..., kau.... Apakah kami akan dikubur hidup-hidup..." Kau benar-benar wanita iblis! Kubunuh kau, Keparat...!" bentak salah seorang murid. Lalu tubuhnya meluruk dengan golok terhunus. Dibabatnya leher wanita itu.
"Hiaaat...!"
Hanya dengan mengegos sedikit, wanita itu berhasil menghindari serangan. Dan tiba-tiba ta-ngan kanannya mengibas, melepas pukulan ber-tenaga dalam tinggi.
Buuug...!"
"Aaa...!"
Pukulan keras itu mendarat tepat di dada murid itu. Tubuhnya kontan melayang, masuk ke dalam lubang kubur yang digali. Ketika dua orang murid lain hendak bantu menyerang, wanita itu menyambutinya dengan serangan jarak jauh.
"Hih...!"
Zeb! Zeb! "Aaa...!"
Kedua murid Bergawa kembali terpental disertai semburan darah dari mulut. Entah kebetulan atau disengaja, jatuhnya tepat masuk ke dalam lubang tempat murid sebelumnya terjatuh. Sehingga mereka bertiga jadi saling tumpang tindih bagaikan ikan asin.
"Bagaimana..." Apakah kalian tidak mau menurut perintahku..." Atau kau ingin kusiksa lebih kejam lagi...?" tanya wanita itu, dingin.
Dengan terpaksa kedua murid Perguruan Tengkorak Putih menimbuni ketiga saudara seperguruan mereka sendiri yang sebenarnya masih hidup.
"Jangan...!"
Tentu saja ketiga orang yang sudah terluka dan tidak dapat bergerak di dalam lubang itu berteriak-teriak. Namun para murid Perguruan Tengkorak Putih terus menimbuni tanpa mau peduli lagi.
"Jangan.... Jangan bunuh kami seperti ini. Ja-ngaaan...!"
Teriakan mereka menghilang ketika tanah mulai rapat menutup seluruh tubuh. Apalagi ketika kedua murid mulai menginjak-injak tanah galian sampai padat. Mereka binasa dalam keadaan yang menyedihkan.
? *** ? "Ohh...!"
Mendadak, tubuh Bergawa yang tercekik selendang terjajar maju ketika wanita berpakaian serba hijau itu menyentakkannya.
Dan sebelum Bergawa bisa berbuat apa-apa,???? tangan wanita itu telah bergerak cepat ke punggung.
Tuk! Tuk! Saat itu juga Bergawa merasakan tubuhnya ?????lemas sekali. Bagai tak ada tulang, tubuhnya ambruk tak berdaya.
Sementara wanita berpakaian serba hijau segera menyeret Ketua Perguruan Tengkorak Putih itu ke arah lubang yang masih kosong. Langsung dimasukkannya laki-laki ini ke dalam lubang.
"Bangsat...! Lepaskan totokan ini. Bunuh saja aku! Atau kita bertarung, mengadu jiwa! Cepat lepaskan! Keparattt...!"
Ketua Perguruan Tengkorak Putih yang sudah tertotok itu tidak dapat menggerakkan tubuhnya lagi. Dia hanya dapat berteriak-teriak dengan perasaan ngeri.
Kemudian wanita itu berbalik. Di tangannya sudah tergenggam kalajengking dan kelabang merah yang sangat beracun.
"Sekarang, kubur gurumu baik-baik...! Kalau tidak, kalian akan jadi korban gigitan binatang beracun ini. Cepat laksanakan!" perintah wanita ini.
Tanpa banyak membantah lagi, kedua murid itu menimbuni tubuh guru mereka sendiri yang menyumpah-nyumpah tak ada habis-habisnya. Dalam waktu sekejap saja, tubuh Bergawa sudah tidak terlihat lagi. Suaranya juga sirna bersama rapatnya tanah menimbuni tubuhnya.
Setelah tugas kedua murid itu selesai, wanita berpakaian serba hijau itu mengebutkan selendangnya.
Werrr...! "Aaakh...!"
"Uhh...!"
Dengan sekali kebut, kedua murid itu jatuh ke dalam lubang terakhir yang mereka gali sendiri. Dan seketika, wanita kejam ini melemparkan binatang beracun ke dalam lubang.
"Hik hik hik...! Segala tokoh kampungan tidak pantas pergi ke Bukit Ungaran. Sebaiknya kalian jadi raja cacing saja di tempat ini...!" ejek wanita kejam itu.
Setelah berkata demikian, wanita itu berkelebat cepat. Sebentar saja, dia telah lenyap dari tempat itu.
? *** Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 " . 185. Geger Di Telaga Warna Bag. 5 - 8 (Selesai)
5. April 2015 um 10:02
? 5 ? Seiring bergulirnya waktu, maka keadaan di Bukit Ungaran makin ramai saja, setelah terdengar desas-desus tentang akan mekarnya bunga aneh yang memiliki warna merah dan biru. Mungkin kalau bunga biasa, berita itu tak akan menyita perhatian dunia persilatan. Karena kedua jenis bunga itu memiliki kemampuan dahsyat, tak heran kalau menjadi incaran para tokoh persilatan.
Pendekar Elang Salju 5 Sepasang Pedang Pusaka Matahari Dan Rembulan Karya Aminus, B_man, Kucink Bunga Penyebar Maut 3

Cari Blog Ini