Ceritasilat Novel Online

Kembang Lembah Darah 1

Pendekar Rajawali Sakti 184 Kembang Lembah Darah Bagian 1


" 184. Kembang Lembah Darah Bag. 1 - 4
3 ?"?"?" 2015 ". " 8:08
? Pendekar Rajawali Sakti
episode: Kembang Lembah Darah
Oleh Teguh S. Penerbit Cintamedia, Jakarta
? 1 ? "Hiaaa...!"
Seekor kuda jantan berwarna hitam mengkilat, berlari kencang seperti dikejar setan. Keempat ka-kinya menghentak-hentak tanah dengan hidung mendengus-dengus kencang. Sementara penung-gangnya, seorang pemuda tampan berbaju rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung di punggung tampak bagai dihentak-hentak. Rambutnya pun berkibaran tertiup angin menderu yang diterabasnya. Telinganya mendengar dentang senjata yang kedengarannya cukup ramai.
"Seperti pertempuran hebat," gumam pemuda ini. "Ayo lebih cepat lagi, Dewa Bayu...!"
"Hieee...!"
Saat itu juga kuda berbulu hitam yang tak lain Dewa Bayu, tunggangan Pendekar Rajawali Sakti, meringkik dan menambah kecepatan larinya. Se-bentar saja pemuda yang memang Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti tiba di sebuah lembah yang cukup indah, dia melihat kawanan laki-laki berwajah kasar tengah mengeroyok dua orang ga-dis. Kelihatannya bernafsu sekali untuk menghabisi kedua lawannya.
"Nanti jangan dibunuh dulu, Jonggor! Aku ingin mencicipi kenikmatan tubuh mereka!" teriak seorang laki-laki bertubuh gemuk ketika kawannya berhasil mendaratkan satu pukulan ke perut salah satu gadis itu.
"He he he...! Ternyata kau tergoda juga, Kang Bilung!" ejek laki-laki yang dipanggil Jonggor.
"Tutup mulutmu, Jonggor! Apa kau tidak pusing melihat tubuh molek dan kulit bagus begi-ni"!" ujar laki-laki gemuk bernama Bilung.
"Bisa saja kau, Kang Bilung."
"Sudahlah! Ayo kita ringkus mereka hidup-hidup. Baru setelah itu kita bunuh!"
Maka selanjutnya, kurang lebih dua puluh orang laki-laki ini bergerak semakin cepat mering-kus dua gadis lawan mereka.
"Yeaaa...!"
Namun kedua gadis itu agaknya tidak bisa dianggap sembarangan. Setidaknya, ilmu olah ka-nuragan mereka lumayan hebat. Terbukti, sejak tadi salah satu dari mereka belum berhasil dijatuhkan, kendati satu-dua pukulan cukup telak mendarat di tubuh mereka. Sayang ketahanan kedua gadis ini ada batasnya. Selain kasar, para pengeroyok juga bertenaga besar. Dan yang terpenting, jumlah mereka cukup banyak. Sehingga dalam waktu singkat, kedua gadis itu terdesak hebat.
Pada satu kesempatan, salah satu gadis itu membabatkan pedangnya, berusaha menyerang balik. Namun dengan gerakan cepat salah seorang pengeroyok memapaknya.
Tang! "Ohhh...!"
Gadis itu mengeluh tertahan. Pedang di tangannya terlepas. Dan belum lagi dia bersiap, laki-laki yang bernama Jonggor telah lebih dulu menyergap dari belakang.
"Kena kau!"
"Ouw! Keparat!"
Gadis itu terkejut, dan langsung jatuh bergulingan bersama Jonggor. Dia berusaha melepaskan diri dengan menyodokkan sikut kanan ke perut.
Duk! "Akh!"
Jonggor menjerit kesakitan sambil memegangi perutnya. Buru-buru gadis itu bangkit dengan sigap. Tapi seorang pengeroyok yang lain telah menyergapnya. Sementara satu lagi membantu dari depan.
"Ahh...."
"Pegang tangannya, Rudra! Dan aku akan pe-gang kedua kakinya!" teriak Jonggor, sambil buru-buru bangkit.
"Iya, iya...!"
Dengan cepat laki-laki bernama Rudra meme-gang kedua tangan gadis itu. Sementara Jonggor langsung mendekap kaki. Sehingga, gadis itu benar-benar tidak berkutik. Percuma saja gadis ini mengerahkan tenaga untuk melepaskan diri, karena tenaga kedua laki-laki yang menyergapnya lebih besar.
"Ningsih!" teriak gadis yang satunya, kaget melihat kawannya berhasil diringkus.
"Wulandari! Jangan hiraukan aku! Pergilah kau! Selamatkan dirimu!" teriak gadis yang tengah teringkus.
Gadis yang bernama Wulandari bingung. Dia tak tahu apa yang mesti diperbuat. Ningsih adalah kawan dekatnya. Kalau ditinggalkan begitu saja, apa jadinya nanti" Tapi kalau tidak kabur, para pengeroyok terialu banyak. Dan bisa saja nasibnya akan sama dengan Ningsih.
"Ayo pergi! Selamatkan dirimu. Dan beritahu perbuatan mereka pada kawan-kawan yang lain!" teriak Ningsih lagi.
"Mau kabur ke mana" Huh! Jangan harap bisa lepas dari kami!" dengus laki-laki yang bernama Bilung seraya mengibaskan golok panjangnya.
"Uts!"
Dengan gerakan cepat, Ningsih melompat ke belakang, sehingga babatan golok itu luput.
"Kurang ajar! Heaaa...!"
Bilung menggeram marah, melihat serangan-nya gagal. Dia kembali melompat mengejar. Se-mentara, para pengeroyok yang lain telah bersiap mengurungnya.
Kali ini keadaan Wulandari benar-benar tidak menguntungkan, karena para pengeroyok lebih ketat mengurungnya. Bahkan tidak memberi kesempatan sedikit pun padanya untuk melarikan diri
Dalam keadaan demikian, Wulandari bertindak nekat. Dia ingin memporak-porandakan kepungan yang makin ketat mengurungnya.
"Hiaaat...!"
Gadis itu segera melompat menerjang salah seorang lawannya yang terdekat dengan sambaran pedangnya.
Namun, rupanya Bilung telah membaca gerakan gadis ini. Seketika tubuhnya meluruk dari samping, dengan satu tepakan ke tangan Wulandari.
"Lepas!"
"Ohhh...!"
Gadis itu mengeluh tertahan ketika Bilung berhasil menepak tangannya, hingga pedangnya terlepas dari genggaman. Meski begitu dia tetap berusaha melepas satu tendangan berputar ke arah lawan lainnya.
Plak! ? *** ? Tendangan Wulandari berhasil ditangkis seorang lawannya. Namun gadis itu harus cepat mengegoskan pinggangnya ke kanan, karena satu tendangan Bilung telah meluruk cepat.
"Hup!"
Belum juga Wulandari bersiap kembali, seorang laki-laki yang berada di belakang langsung menubruk dan memeluk pinggangnya erat-erat.
"Hiih!"
Gadis itu cepat menyikut ubun-ubun laki-laki yang memeluk pinggangnya dengan gemas. Bletak!
"Adouuuw!"
Kontan saja, laki-laki itu menjerit kesakitan. Terpaksa pelukannya dilepaskan, karena kedua tangannya harus memegangi kepalanya yang berdenyut nyeri.
Meski gadis ini berhasil melepaskan ceng-keraman, tapi dua lawan lainnya telah menubruk-nya secepat kilat. Kedua laki-laki itu segera memeluk erat-erat kaki dan lengan Wulandari hingga tak bisa bergerak.
"Yeaaa!"
Wulandari berusaha berontak. Namun seorang pengeroyok yang telah siap dengan tali telah mengikat kedua tangan dan kakinya hingga tak berkutik. Gadis ini terus berontak dengan mengerahkan tenaga dalam, namun tali yang mengikatnya benar-benar tak mampu dilepaskan. Mungkin tali itu terbuat dari akar tumbuh-tumbuhan yang telah diberi ramuan khusus.
"He he he...! Percuma saja kau berontak, Cah Ayu! Tali itu terbuat dari akar yang telah diberi ramuan khusus!" kata Bilung, laki-laki yang bertubuh gemuk bercambang bawuk tebal.
"Keparat kau! Tunggulah pembalasan kami!" dengus Wulandari geram.
"Pembalasan" Mana mungkin. Nasib kalian berada di tanganku. Dan setelah ini, kalian tidak akan melihat matahari lagi. Apakah hendak mem-balas dari akherat sana"!" ejek laki-laki brewok itu sambil berkacak pinggang.
Sementara, laki-laki lain tertawa bergelak mendengar ejekan laki-laki gemuk yang agaknya bertindak sebagai pemimpin ini.
"Phuih! Tunggu saja balasannya! Kawan-kawan kami tidak akan tinggal diam. Mereka akan mencari kalian meski sembunyi di lubang semut sekali pun!" dengus Ningsih.
"Hm.... Jadi kalian punya kawan" Perempuan" Cantik-cantikkah" He, kebetulan sekali kalau mereka datang ke sini!" sahut Bilung seenaknya.
"Ha ha ha...!"
Kawanan itu kembali bergelak. Apa pun kata-kata berbau ancaman yang dikeluarkan kedua gadis itu dianggap sepele, dan terdengar lucu. Seperti kelinci di mulut harimau, tapi masih berusaha menakut-nakuti.
"Kang Bilung! Aku sudah tak sabar lagi! Apakah akan kita diamkan saja mereka?" celetuk salah seorang anak buah laki-laki bertubuh tambun.
"Ya! Dimulai saja sekarang!" timpal yang lain.
"He he he...! Memangnya kalian saja yang nge-bet"! Aku juga sudah tak tahan melihat kedua ke-linci gemuk ini. Hm.... Tapi karena ada dua, maka aku pilih yang ini!" tunjuk Bilung pada Wulandari yang memang lebih cantik sedikit.
"Ha ha ha...! Itu adil. Biar kami yang satunya lagi!" sambut seorang laki-laki bertubuh kurus.
"Wah.... Lama sekali menunggu bagian!" teriak laki-laki lain yang merasa kurang puas.
"Tutup mulutmu, Braja! Sejak kapan aku per-nah berlaku tidak adil" Setelah bocah ini kucicipi, maka kalian segera merasakannya pula!" semprot Bilung.
"Maaf, Kang. Aku tak bermaksud begitu...," ujar laki-laki bernama Braja tersipu-sipu.
Dan tanpa berkata apa-apa lagi, Bilung segera menghampiri Wulandari. Lalu dibopongnya gadis itu ke balik semak-semak. Sementara anak buahnya berebutan mengadakan undian untuk mencicipi Ningsih paling dulu.
"Keparat busuk! Lepaskan aku! Lepaskan...!" teriak Wulandari dan Ningsih berulang-ulang.
Tapi percuma sjaa kedua gadis itu berusaha berontak sambil memaki. Isi kepala kawanan laki-laki itu telah dipenuhi nafsu setan. Sehingga mereka tidak peduli lagi segala apa pun, asal niat tercapai. Tapi apa pun yang mereka inginkan, belum tentu berjalan dengan mulus, bila keadaan menghendaki lain.
"Kisanak! Hentikan perbuatanmu!"
"He"!"
Sebuah suara yang sarat kegeraman mendadak terdengar, membuat Bilung tersentak kaget. Kepalanya cepat menoleh. Dan dia melihat seorang pemuda tampan berbaju rompi putih tegak berdiri di dekatnya.
"Bocah! Cepat enyah dari sini kalau masih sayang nyawa!" dengus Bilung, keras menggelegar.
"Kenapa bukan kau saja?" sahut pemuda yang memang Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti.
"Hm"!"
Bilung mendelik tajam, lalu berniat meneruskan maksudnya. Dikiranya, ancaman tadi mempan. Sehingga pemuda itu tidak dipedulikan.
Tapi, siapa nyana kalau Pendekar Rajawali Sakti justru mencari mati dengan tidak memenuhi perintah Bilung. Bahkan seketika kakinya melayang deras ke tubuh Bilung.
Duk! "Aaakh!"
Bilung kontan menjerit kesakitan. Tubuhnya kontan terguling ke samping. Sebelum dia berbuat apa-apa, mendadak Rangga kembali melepas tendangan keras ke dada.
Desss...! "Aaakh!"
Kembali Bilung memekik kaget. Tubuhnya bergulingan beberapa tombak. Begitu bangkit, dia langsung menunjukkan kemarahannya. Kejadian ini rupanya juga mengejutkan beberapa anak buah Bilung. Seketika mereka menghentikan niat bejad terhadap Ningsih, dan langsung mengurung Pendekar Rajawali Sakti.
"Biar kami bereskan dia, Kang!" dengus Braja seraya mencabut golok.
Srak! Begitu golok tercabut, Braja langsung melompat ke depan Rangga. Sementara yang lain pun telah ikut melompat dan langsung meloloskan golok.
"Huh!"
Bilung mendengus dingin. Matanya meman-dang tajam pada Pendekar Rajawali Sakti. Dan perlahan, didekatinya pemuda itu tanpa peduli ocehan anak buahnya.
"Berani betul kau berbuat kurang ajar padaku, Bocah" Rupanya kau sudah bosan hidup, he"!" bentak Bilung, begitu berada selangkah di depan Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan Braja telah mundur beberapa langkah.
"Kalaupun aku bosan hidup, bukan berarti akan mati di tanganmu. Tapi kalau niat busukmu diteruskan, aku khawatir malah kau tak bisa melihat matahari esok hari," sahut Rangga enteng, penuh perbawa.
"Bedebah sombong! Kau boleh mampus sekarang juga!" bentak Bilung seraya melayangkan tendangan cepat dan bertenaga dalam tinggi.
Wut! "Uts!"
? *** ? Rangga berkelit sedikit ke samping sehingga tendangan Bilung luput dari sasaran. Bahkan tiba-tiba tubuhnya berbalik sambil melayangkan tendangan setengah lingkaran untuk menggedor dada Bilung.
Des! "Aaakh...!"
Untuk yang kedua kalinya Bilung terjerembab merasakan sakit luar biasa di dadanya yang seperti remuk. Dengan susah-payah dia berusaha bangkit. Anak buah laki-laki berusia sekitar empat puluh lima tahun ini sudah akan bergerak menyerang Rangga. Namun....
"Mundur kalian semua!" bentak Bilung.
"Tapi, Kang."
"Kalian kira aku tak bisa menghajarnya"!" bentak Bilung lagi semakin geram.
Mendengar bentakan barusan, tak seorang pun yang berani bertindak. Bahkan sekadar suara.
Mereka memang percaya kalau Bilung berilmu tinggi. Tapi melihat kenyataan kalau telah dua kali dijatuhkan pemuda itu, maka mereka merasa perlu membantu.
Tapi, Bilung berpikir lain. Dia merasa yakin dengan kemampuannya. Kalaupun penasaran, itu karena tadi menganggap remeh lawan. Dan kali ini, tekadnya untuk menghajar pemuda itu nampak membulat. Dia bersungguh-sungguh ingin menunjukkan, siapa sebenarnya dirinya. Juga, untuk menutup malu di hadapan anak buahnya atas perbuatan pemuda berbaju rompi putih ini.
"Ayo! Bersiaplah, Bocah!" dengus Bilung seraya menyipitkan kelopak mata.
"Aku telah siap, Kisanak!" balas Rangga, santai.
"Yeaaa...!"
Bilung kembali meluruk sambil melepas tendangan dahsyat. Namun kali ini dia cukup hati-hati.
Rangga menggeser tubuhnya sedikit, sehingga tendangan itu luput. Saat itu juga tangannya bergerak mengibas menangkis sodokan kepalan tangan Bilung yang mengandung tenaga dalam tinggi.
Plak! Begitu habis menangkis, Pendekar Rajawali Sakti bergerak ke samping. Dan seketika sisi telapak tangan kanannya meluncur dari kiri ke kanan.
"Uts!"
Bilung cepat menunduk sehingga hantaman itu hanya mengenai tempat kosong. Tapi, Rangga melanjutkan serangan dengan sodokan lutut kanan yang tak mampu dielakkan. Sehingga....
Begkh! "Agkh...!"
Tepat sekali lutut kanan Rangga mendarat di perut Bilung. Tak ayal lagi, laki-laki brewok itu terjungkal untuk yang ketiga kalinya disertai keluhan tertahan.
"Setan!" rutuk Bilung dengan wajah berkerut menahan kesal dan sakit.
Bilung lantas menoleh ke arah anak buahnya dengan tatapan tak senang.
"Kenapa kalian diam saja"! Ayo, bereskan dia!" bentak laki-laki gemuk ini garang dengan mata melotot lebar.
"Oh, maaf! Maaf, Kang. Kami segera membe-reskannya!"
Dengan tergopo-gopo, anak buah Bilung cepat bergerak mengurung Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan langsung menyerang bersamaan.
"Yeaaa...!"
"Hup!"
Rangga seketika melesat ke atas dengan gerakan ringan, lalu membuat putaran beberapa kali menjauhi lawan-lawannya. Tentu saja, anak buah Bilung tak akan membiarkannya. Maka dua orang yang mampu bergerak cepat segera mengejar dengan serangan maut ketika Rangga menjejak tanah.
"Hiih!"
Pendekar Rajawali Sakti tak mau kalah cepat. Sebelum serangan para pengeroyok datang, maka tubuhnya telah lebih dulu bertindak. Dua golok yang disabetkan dielakkan dengan mengegoskan tubuhnya dua kali seperti orang menari. Sementara kedua kepalan tangannya tepat menyodok ke ulu hati.
Duk! Des! "Wuaaa...!"
Kontan dua orang itu terjungkal ke belakang?? disertai jerit kesakitan. Mereka kontan ambruk tak sadarkan diri.
"Keparat! Jangan beri ampun. Bunuh dia se-cepatnya!" teriak Bilung geram melihat dua anak buah terbaiknya dilumpuhkan dalam waktu singkat.
"Hiaaat...!"
"Shaaa...!"
Menyadari kalau sang pemimpin amat gusar, maka orang-orang bertampang kasar itu menyerang semakin hebat. Agaknya mereka lebih takutterhadap Bilung ketimbang pada Pendekar Rajawali Sakti yang mampu bergerak cepat.
Wut! Segala macam senjata berkesiutan mengancam keselamatan Pendekar Rajawali Sakti. Tapi sejauh ini belum ada satu pun yang mampu menggores kulitnya yang hanya mengerahkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Bahkan ketika seketika Rangga melepas serangan secara tiba-tiba....
Duk! "Aaakh...!"
Satu lagi menjadi sasaran ketika Pendekar Rajawali Sakti melepas satu kibasan keras dengan tangan kiri ke dada. Orang itu terpekik dan ambruk, setelah terhuyung-huyung sejenak.
Yang seorang lagi coba membokong dari belakang. Namun, dengan gesit Pendekar Rajawali Sakti membungkuk. Dan seketika tubuhnya berputar sambil melepas sapuan kaki yang begitu cepat sehingga....
Gubrak! ? *** ? 2 ? Satu lagi anak buah Bilung jatuh di tanah sambil mengeluh tertahan. Mulutnya meringis merasakan sakit karena pantatnya membentur batu sebesar kepala kerbau. Sedangkan pada saat yang bersamaan, Rangga telah berkelebat menghajar yang lain.
Selang beberapa saat, anak buah Bilung telah menciut. Kini tinggal empat orang yang berdiri tegak. Sikapnya tampak ragu-ragu. Termasuk, Bilung yang tak percaya melihat kehebatan pemuda itu. Hanya bertangan kosong, pemuda itu mampu melumpuhkan mereka"
"Kenapa diam" Ayo, maju lagi!" seru pemuda itu sambil bersedekap pinggang.
"Siapa kau sebenarnya?" tanya Bilung penuh tekanan.
"Siapa pun aku, tak jadi masalah! Yang membuat masalah justru kalian. Nah, jangan harap aku akan mengampuninya!" sahut Rangga dingin dan penuh perbawa kuat.
"Tidak seorang pun berani macam-macam pada Bilung, Ketua Gerombolan Singa Barong yang menguasai Lembah Tengkorak ini!" gertak laki-laki brewok Itu.
"Tidak usah menggertakku, Kisanak! Pikirkan saja keselamatanmu sekarang!"
"Keparat!"
Selama ini tidak ada yang berani merendahkan Bilung yang memang sebagai pimpinan kawanan perampok yang menguasai Lembah Tengkorak. Namun pemuda di depannya seenaknya saja menganggap enteng. Itu membuat Bilung betul-betul terhina. Sehingga amarahnya cepat naik ke kepala. Maka tanpa mempertimbangkan apa-apa lagi, diserangnya Pendekar Rajawali Sakti dengan ganas.
"Heaaat!"
Bet! Golok di tangan laki-laki brewok ini bergerak cepat, dipadu sodokan kepalan tangan kiri serta tendangan untuk menjatuhkan pemuda itu secepatnya. Terasa kalau serangannya lebih berat dan cepat ketimbang tadi. Ini pertanda kalau Bilung telah mengerahkan segenap kemampuan yang dimiliki.
Walaupun telah mengeluarkan kepandaiannya setinggi mungkin, namun di mata Rangga, Bilung hanyalah seorang tokoh yang besar mulut dan keras kepala. Kalau melihat gerakannya pun sangat kaku dan lambat.
Rangga memang tidak sembarangan memper-hitungkan kalau tidak dibuktikan. Maka ketika Bilung menyabetkan pedang dengan gerakan indah sekali Pendekar Rajawali Sakti menjatuhkan diri. Dan mendadak kedua kakinya menyapu bagian bawah tubuh Bilung.
Ketua gerombolan itu terkesiap. Cepat dia melompat mundur. Tapi, Pendekar Rajawali Sakti telah melenting. Bahkan tahu-tahu tubuhnya meluruk dengan kepalan tangan menghantam perut dan dada.
Buk! Begkh! "Aaakh...!"
Bilung kontan terpental dan jatuh beberapa langkah ke belakang disertai jerit kesakitan. Pukulan barusan terasa berat dan kuat. Isi perutnya seperti diaduk-aduk. Dan tatkala bibirnya diseka, terlihat cairan merah menetes.
Laki-laki gemuk ini berusaha bangkit. Tapi belum juga sempurna berdiri, Pendekar Rajawali Sakti siap melepaskan tendangan lagi.
"Akh! Cukup! Aku menyerah...!" teriak Bilung cepat menahan gerakan pemuda itu.
Darah meleleh semakin deras dari sela-sela bi-bir Bilung. Wajahnya berkerut menahan rasa sakit hebat. Meski begitu sisa-sisa anak buahnya yang masih ada, tak berani berbuat apa-apa. Mereka telah melihat sendiri, bagaimana sepak-terjang pemuda itu. Dengan jumlah banyak saja, mereka berhasil dirontokkan. Apalagi dengan jumlah yang lebih sedikit.
"Apa kau kira aku akan mengampuni begitu saja?" desis Rangga, dingin menggetarkan.
"Jadi..., jadi kau hendak membunuh kami semua?" tanya Bilung gelagapan.
"Aku hanya ingin kalian tak melakukan per-buatan-perbuatan busuk seperti tadi!" tegas Rangga, penuh perbawa.
"Kami berjanji, Pendekar!" sahut Bilung cepat seraya memaksakan diri untuk beriutut.
"Hm. Bisa saja kalian mungkir di belakangku."
"Bukankah kau seorang pendekar hebat" Dan kalau terdengar aku mungkir akan janjiku, bu-kankah kau bisa mengejarku lalu memenggal le-herku?"
"Baik. Kau telah berjanji begitu di hadapanku. Ingatlah! Aku akan mengejarmu jika mendengar kau dan anak buahmu melakukan perbuatan-perbuatan busuk lagi!"
"Jadi..., jadi kau mengampuni kami, Pendekar"!" sambar Bilung dengan wajah agak cerah.
"Kalau Yang Maha Kuasa saja mampu mengampuni hamba-hambanya yang bertobat, kenapa aku tidak?"
"Terima kasih, Pendekar. Kalau begitu kami mohon pamit dulu," ucap Bilung, terburu-buru.
Pendekar Rajawali Sakti mengangguk kecil.
"Eh! Maaf, Kisanak. Kalau boleh kami tahu, siapa gerangan nama besarmu agar kami bisa mengingatnya baik-baik?" tanya Bilung sebelum mengajak anak buahnya angkat kaki dari sini.
"Namaku Rangga. Maaf, julukanku mungkin tidak dikenal orang. Meski begitu sebagian orang menyebutku Pendekar Rajawali Sakti," sahut Rangga merendah.
"Ohhh..."!"
Bilung terkejut. Jelas dia kenal nama itu sebagai tokoh yang ditakuti oleh tokoh-tokoh hitam sepertinya. Maka tanpa banyak bicara lagi dia buru-buru angkat kaki, setelah mengangguk beberapa kali pada Rangga.
? *** ? Setelah Gerombolan Singa Barong pergi, Pendekar Rajawali Sakti segera melepaskan kedua gadis yang tadi ditawan.
"Sekarang kalian boleh melanjutkan perja-lanan," ujar Rangga, pendek.
"Kami berhutang budi padamu, Kisanak...," ucap Wulandari. "Namaku Wulandari dan kawanku Ningsih. Kalau boleh tahu, siapa namamu sebenarnya?"
"Bukankah kalian tadi telah mendengarnya pula?"
"Ya! Kau adalah Pendekar Rajawali Sakti. Tokoh terkenal yang disegani lawan maupun kawan. Tapi, tidak bolehkah kami mengetahui namamu yang sebenarnya?"
"Namaku Rangga...."
"Oh, Kakang Rangga. Senang sekali bisa me-ngetahuinya," kata Wulandari disertai senyum manis sekali. Bahkan langsung memanggil kakang pula.
"Sekali lagi kami ucapkan terima kasih banyak atas pertoonganmu, Kakang Rangga," timpal Ningsih. "Kalau kau tidak menolong, entah apa jadinya."
"Hm, jangan begitu berlebihan. Ini hanya kebetulan. Dan lagi pula, sudah menjadi kewajiban sesama untuk saling menolong...."
"Mulia sekali niatmu, Kakang!" puji Wulandari.
"Kalau boleh kami tahu, ke mana tujuanmu, Kakang?" tanya Ningsih.
"Aku tidak punya tujuan pasti. Sekadar mengikuti ke mana saja langkahku. Kalian sendiri hendak ke mana?"
"Kami.... Eh..., hendak ke rumah saudara," sahut Ningsih sedikit gugup dan melirik sebentar pada Wulandari.
"Hm... Daerah ini memang banyak dihuni kawanan perampok seperti mereka tadi," gumam Rangga. "Kuharap kalian bisa berhati-hati."
'Ya, kami sendiri agak takut. Kalau tidak keberatan, maukah kau..., menemani kami sampai tujuan?" tanya Ningsih, ragu.
Rangga tersenyum.
"Jika kalian berjalan terus ke kanan, maka tidak berapa lama lagi akan ketemu sebuah desa. Tempat itu cukup ramai dan aman bagi kalian," jelas Rangga, menolak secara halus.
"Ah! Kau benar, Kakang Rangga! Maaf, kalau kami merepotkan."
Ningsih jadi tersipu malu. Dan sesaat matanya tidak berani memandang pemuda itu.
"Mungkin karena kau tengah ada urusan pen-ting barangkali...," cetus Wulandari memancing.
"Begitulah kira-kira," sahut Rangga, mendesah.
"Kalau boleh tahu, urusan apa yang membuatmu harus buru-buru, Kakang?" tanya Ningsih, memberanikah diri.
"Aku tak bisa mengatakannya," sahut Rangga singkat sambil tersenyum.
"Maaf, mestinya aku tak bertanya seperti itu!" ucap Ningsih menyadari kesalahannya.
"Kurasa tidak ada lagi bahaya yang menimpa kalian berdua. Silakan lanjutkan perjalanan lagi!" lanjut Rangga seraya bersuit pendek memanggil kudanya.
Tak lama, muncul kuda gagah berbulu hitam mengkilat, langsung menghampiri Rangga.
"Kuda cerdik!" puji Ningsih.
"Kakang Rangga, benarkah kau tidak berkenan menerima undangan bila kami mengajakmu mampir barang sejenak?" tanya Wulandari. "Paling tidak, sebagai ucapan terima kasih...."
Rangga mengusap-usap leher kudanya sebentar.
"Kurasa lain kali saja, Wulandari," tolak Rang-ga, halus.
"Bagaimana mungkin" Kau tidak tahu tempat kami...."
"Kalau begitu kenapa tidak katakan saja sekarang?" sahut pemuda itu seraya melompat ke punggung Dewa Bayu.
"Datanglah ke Lembah Darah. Di situ tempat tinggal kami," sahut Wulandari cepat. Padahal. Ningsih sudah beberapa kali menjawil tangannya, memberi isyarat. Tapi, agaknya tak dimengerti oleh Wulandari.
"Lembah Darah?" sebut Rangga dengan dahi berkerut.
"Eh! Maksud kami pada sebuah desa dekat lembah itu!" sahut Ningsih buru-buru memperbaiki kesalahan Wulandari tadi.
"Di mana Lembah Darah itu?" tanya Rangga.
"Di sebelah selatan Gunung Arga Kawung."
"O...!" Rangga mengangguk. "Nanti kapan-kapan kalau ada kesempatan aku berkunjung ke sana."
"Kami akan menunggumu dengan tangan ter-buka!" sambut Ningsih cepat.
"Terima kasih. Kini aku pergi dulu! Heaaa...!"
Beberapa saat kemudian, Pendekar Rajawali Sakti telah jauh dari pandangan, dan akhirnya hi-lang sama sekali di tikungan jalan. Meski begitu, kedua gadis ini belum juga beranjak dari tempatnya.
"Kita kehilangan dia...," gumam Ningsih.


Pendekar Rajawali Sakti 184 Kembang Lembah Darah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tapi dia telah menanam budi pada kita, Ningsih...."
"Kau lupa pesan ketua" Kita tak boleh menyertakan perasaan dalam tugas. Persetan dengan segala hutang budi! Tugas adalah tugas, dan patut dijalankan secara sungguh-sungguh. Kalau tidak, ketua akan murka pada kita!" tegas Ningsih.
"Lalu, apa yang mesti kita lakukan?"
"Dia hebat. Dan kita tak bisa meringkusnya berdua. Maka dari itu kita harus menghubungi kawan-kawan!"
"Aku tidak ikut!" sambar Wulandari cepat.
"Terserahmu! Asal saja, kau punya jawaban kalau majikan bertanya."
Wulandari terdiam.
"Hm.... Aku menangkap gejala aneh...," gumam Ningsih menyindir.
"Apa maksudmu?" tukas Wulandari.
"Kau menyukai pemuda itu, bukan?" tuding Ningsih.
"Ningsih! Jangan macam-macam!"
"Kau takut dia menjadi korban ketua kata?"
"Sudahlah!" sentak Wulandari seraya beranjak meninggalkan kawannya.
"Eh, mau ke mana kau"!"
"Bukankah katamu kita harus menghubungi kawan-kawan untuk meringkusnya?"
"Jadi kau akan ikut?"
Wulandari tak menjawab.
"Wulan! Kita mesti mengenyampingkan perasaan demi tugas. Ketua telah memberi perintah untuk meringkusnya. Beliau amat mendambakannya. Apakah kita mesti bersaing dengan ketua?" tukas Ningsih, datar.
"Ningsih, bicara apa kau"! Sudahlah! Aku tidak mau mengurusi soal itu lagi, Ayo, cepat! Sebelum dia pergi kelewat jauh!" ujar Wulandari dengan suara tinggi.
Dan tanpa menunggu jawaban kawannya, gadis itu telah berkelebat cepat. Ningsih menggeleng lemah. Dan sambil tersenyum segera disusulnya Wulandari.
? *** ? Kalau Rangga dikatakan memiliki keperluan penting, rasanya tidak juga. Tapi itu alasan tepat agar Wulandari dan Ningsih tidak terlalu memaksanya. Bagaimanapun, jalan bersama dua gadis kelihatan tidak bagus dilihat orang banyak. Apalagi berada di tempat mereka. Rangga bisa membayangkan hal-hal yang akan membuatnya tidak leluasa. Maka lebih baik menolak lebih dini. Soal janjinya dia akan datang, itu terserah nanti.
Setelah merasa agak jauh, Pendekar Rajawali Sakti melambatkan lari kuda. Lalu dia berhenti di dekat sebuah sungai kecil airnya cukup jernih.
"Ayo, Dewa Bayu! Minumlah sepuasmu. Dan setelah itu, merumput yang banyak. Kita istirahat barang sesaat di sini!" ujar Rangga seraya melompat turun dan mengusap-usap leher kudanya.
Dewa Bayu meringkik halus, lalu buru-buru menghampiri tepi sungai. Langsung direguknya air sungai sepuas-puasnya. Hal yang sama pun dila-kukan Rangga pada tempat yang tidak seberapa jauh dari tunggangannya.
Meski siang ini matahari tidak bersinar garang, namun udara yang bertiup agak kencang, cukup membuat kantuk Rangga datang. Setelah dahaganya hilang, Pendekar Rajawali Sakti segera bersandar di bawah sebatang pohon. Dan perlahan-lahan matanya mulai terpejam.
"Hieee...!"
"Hei"!"
Baru beberapa tarikan napas terlelap, Ranggasudah terjaga ketika mendengar ringkikan kuda di dekatnya. Buru-buru dia melompat, langsung memandang tajam ke sekelilingnya.
"Hm...."
Rangga menggumam tak jelas, ketika di sekelilingnya kini belasan gadis berusia muda yang rata-rata membawa pedang telah siap mengurungnya. Semuanya mengenakan pakaian berwarna merah tanpa lengan dengan celana pangsi berwarna hitam pekat. Rambut mereka rata-rata panjang hingga ke pinggul, dengan ikat kepala dari logam berwarna putih keperakan. Hanya seorang yang mengenakan ikat kepala berwarna kuning keemasan.
"Siapa kalian"! Apa yang kalian inginkan"!" tanya Rangga, dingin.
"Meringkusmu!" sahut salah seorang gadis yang di kepalanya terdapat logam keemasan, tegas.
"Aku tak kenal kalian. Dan aku tak punya urusan! Atas dasar apa kalian hendak meringkusku?"
"Lebih baik kau tak banyak tanya. Dan, me-nyerahlah baik-baik sebelum kami kasar!" tandas gadis berikat kepala berwarna kuning keemasan yang agaknya bertindak sebagai pimpinan.
Rangga tersenyum dingin mendengar ancaman itu. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri.
"Hm.... Rupanya kalian sebangsa orang yang hendak memaksakan keinginan dengan cara mengancam" Aku ingin lihat, cara kasar yang bagaimana yang hendak kalian lakukan."
"Kalau begitu jangan menyesal! Kau yang memaksa!"
"Apa pun yang kalian lakukan, jangan harap mampu memaksakan kehendak padaku!"
Sambil mendengus geram, gadis berikat kepala kuning keemasan memberi isyarat pada yang lain untuk meringkus Pendekar Rajawali Sakti.
"Seraaang...!"
"Hiaaat...!"
"Hm!"
Tujuh orang gadis langsung meluruk cepat ke arah Rangga. Tiga bersenjata pedang, dua meme-gang tambang, dan dua lagi bersenjata rantai besi berukuran agak panjang.
"Hm.... Mereka hendak meringkusku! Apa se-benarnya yang diinginkan dariku?" gumam Pendekar Rajawali Sakti di hati.
Wut! Bet! Tiga pedang meluruk ke arah Pendekar Rajawali Sakti dari tiga jurusan. Cepat tubuhnya mencelat ke atas. Begitu berada di udara, dua gadis yang bersenjata rantai siap menjerat kedua kaki dan pinggangnya.
Cring!???????? Wukl Salah satu rantai dibiarkan Rangga menjerat pinggang. Sementara rantai yang lain berhasil di-tangkapnya. Begitu tubuh Pendekar Rajawali Sakti berada di tanah, dua gadis itu berusaha menyentak rantai.
Tatkala Rangga membiarkan tubuhnya meng-ikuti arus sentakan, maka dua gadis lain yang bersenjata tambang berusaha meringkus kedua tangan dan kakinya.
"Hiyaaa...!"
Rangga kembali melenting ke atas, lalu meluncur deras melepas tendangan lurus ke arah gadis yang rantainya membelenggu pinggangnya. Pada saat yang sama, rantai di tangannya dibetot keras.
Wut! Desss! Brukkk! "Aaakh...!"
Dua jeritan keras terdengar. Seorang gadis ter-jajar ke belakang, terhantam tendangan Rangga pada dadanya. Sementara yang seorang lagi terjerembab, tersentak rantainya. Dan rantai besi itu kini berpindah ke tangan Pendekar Rajawali Sakti.
"Kurang ajar! Yeaaa...!"
Lima gadis yang tersisa mulai kalap. Mereka langsung menyerang Pendekar Rajawali Sakti de-ngan amarah meluap.
Cring! "Heaaat...!"
Tapi Rangga tak mau tinggal diam. Rantai besi itu diputar-putamya untuk membendung serangan. Sementara rantai yang membelit pinggangnya dilepas dengan cepat.
Tring! Buk! "Aouw!"
? *** ? 3 ? Pedang salah seorang gadis terpental dihantam ujung rantai di tangan Rangga. Dan yang seorang lagi perutnya tersambar rantai sampai terpental roboh. Melihat itu tiga gadis lainnya menyerbu dengan kalap.
"Heaaa...!"
Kembali Rangga memutar rantai yang dipe-gangnya. Namun, gadis-gadis itu cepat mencelat gesit menghindarinya. Bahkan berusaha menerobos pertahanan Pendekar Rajawali Sakti dengan cepat. Seorang menusukkan pedang ke jantung, dua lainnya menyambar kaki dan kedua pangkal lengan dengan tambang.
"Yeaaah...!"
Rangga cepat bergulingan. Dan mendadak kedua kakinya cepat menghantam dua gadis yang memegang tambang.
Des! Des...! "Aaakh...!"
Baru saja Pendekar Rajawali Sakti berhasil menjatuhkan dua gadis, pedang yang dibawa gadis lain kembali meluruk. Bahkan gadis pemegang rantai besi yang tadi dijatuhkan, ikut membantu menyerang dengan rantai yang tadi dilepas Rangga.
"Huh...!"
Dengan gerakan mengagumkan, Pendekar Rajawali Sakti tnemutar rantai satunya yang masih di tangan.
Cring! Cring! Seketika, rantai di tangan Rangga membelit pedang dan rantai yang dipegang gadis yang tadi dijatuhkan. Lalu disentakkannya kuat-kuat. Dan....
"Lepas!" bentak Pendekar Rajawali Sakti dengan suara menggelegar.
Bentakan itu bukan saja menggetarkan setiap persendian di tubuh gadis-gadis ini, tapi juga membuat senjata mereka terlepas dari genggaman.
"Hup!"
Saat itu juga Pendekar Rajawali Sakti melompat gesit, dan tegak berdiri mengawasi lawan-lawan lainnya yang telah siap menyerang.
"Hm.... Hebat juga kau rupanya!" dengus gadis berikat kepala kuning keemasan.
"Terima kasih. Tapi aku tak butuh pujian dari orang seperti kalian...!"
"Jangan sombong! Itu baru permulaan. Selanjutnya kau akan bertekuk lutut di hadapan kami!" desis gadis berikat kepala kuning keemasan sambil memberi isyarat pada anak buahnya.
"Yeaaa...!"
Serentak lebih dari lima belas gadis berpakaian merah telah maju bersamaan menyerang dengan ganas.
"Hmm...!"
Rangga hanya bergumam tak jelas. Dipegang-nya bagian tengah rantai besi dan diputar-putarnya, siap menghadapi lawan-lawannya.
Wut! Wuk! Trang! Trak! Beberapa pedang terpental dihantam rantai besi di tangan Pendekar Rajawali Sakti yang berputar cepat seperti baling-baling. Bahkan beberapa korban mulai berjatuhan terhajar rantai besi yang bergerak tak kepalang tanggung karena disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Aaakh...!"
Beberapa orang lagi jadi korban rantai besi yang berputar cepat dahsyat di tangan Pendekar Rajawali Sakti. Dan tidak seorang pun dari gadis-gadis itu yang berhasil mendekat, meski berusaha mati-matian. Hal ini membuat gadis berikat kepala kuning keemasan yang merupakan pemimpin mereka berang.
"Heaat!"
Sambil membentak keras, gadis itu melompat menyerang Pendekar Rajawali Sakti dengan pe-dang terhunus.
Sementara Rangga menyambut dengan sabet-an rantai besinya.
Cring! Wut! Wuk! Gadis berikat kepala kuning keemasan itu menghantamkan pedangnya kuat-kuat. Coba dipapasnya tangan Rangga dengan gerakan cepat.
"Hiih!"
Tapi belum lagi niat gadis itu kesampaian, ujung rantai Pendekar Rajawali Sakti telah bergerak ke arahnya. Terpaksa serangannya ditarik, lalu melompat ke belakang untuk mengambil jarak.
Pada saat yang sama, seorang gadis lain meluruk sambil menyabetkan pedangnya.
"Heaaat!"
"Uts...!"
Pendekar Rajawali Sakti menunduk untuk menghindar, lalu jungkir balik beberapa kali mengelakkan sabetan senjata-senjata para pengeroyok. Begitu mendapat kesempatan, tubuhnya berkelebat, terus menyerang gadis berikat kepala kuning keemasan dengan sambaran rantai.
"Hup!"
Trang! Rantai besi Rangga ditangkis sengit oleh gadis itu. Namun, justru tenaga tangkisan dipergunakan Pendekar Rajawali Sakti untuk memutar arah rantai besinya yang terus menyambar leher.
Wut! "Ohh...!"
Gadis itu gelagapan, namun cepat mencelat ke belakang. Sehingga, sabetan rantai itu luput dari sasaran.
Baru saja gadis ini menjejak tanah, dengan gerakan luar biasa cepat. Langsung dilepaskan satu tendangan ke perut.
Desss...! "Ugkh!"
Gadis berikat kepala kuning keemasan itu kontan terhuyung-huyung ke belakang. Rangga sudah hendak melepaskan serangan kembali, tapi lawan-lawannya yang lain melompat menyerangnya dari belakang.
"Hiih!"
Sambil memutar tubuhnya, Pendekar Rajawali Sakti mengibaskan rantai besi di tangannya.
Trang! Wut! Beberapa batang pedang langsung berpentalan dihantam rantai besi itu. Dan yang lainnya nyaris terhajar senjata di tangan Rangga kalau saja tidak cepat mengelak.
"Lari...!" teriak gadis berikat kepala kuning keemasan, menyadari kalau tak bakal unggul me-naklukkan pemuda berbaju rompi putih itu.
"Hup!"
"Yeaaa...!"
Begitu mendengar teriakan bernada perintah, para gadis itu berlompatan mundur. Dan seketika mereka berkelebatan lenyap meninggalkan Rangga sendirian. Kawan-kawan mereka yang tadi dijatuhkan Pendekar Rajawali Sakti pun telah dipanggul oleh beberapa gadis itu.
Sedangkan Rangga tak berusaha mengejar. Dibiarkan saja mereka menghilang di balik kerimbunan pohon di pinggiran sungai ini.
? *** ? "Tolooong...!"
Pendekar Rajawali Sakti menghentikan langkah Dewa Bayu, ketika tiba-tiba dari arah utara terdengar teriakan minta tolong.
Pendengarannya segera dipertajam. Setelah merasa pasti kudanya cepat dibelokkan ke arah utara.
"Ayo, Dewa Bayu! Kita lihat apa yang terjadi!" ajak Pendekar Rajawali Sakti, seraya menggebah kudanya.
Sementara di sebelah utara, memang tengah terjadi pergumulan sengit antara seorang gadis yang tengah berusaha melepaskan diri dari dekapan laki-laki itu bertubuh besar. Bahkan tenaganya pun kuat, menindihnya.
"Hm, kurang ajar! Rupanya kau ingin dikasari, he" Baiklah kalau itu keinginanmu!" dengus laki-laki ini yang agaknya mulai kesal dengan tindakan gadis itu.
"Hiih!"
Bret! Bret! ?? "Aouw...!"
Karuan saja gadis ini jadi kalang kabut sendiri ketika laki-laki itu merobek bajunya dengan kasar. Dengan sebisanya dia berusaha menutupi bagian dadanya yang terbuka lebar. Namun, laki-laki itu tak peduli. Dengan tangan kanan dirangkulnya pinggang gadis ini. Sementara tangan kirinya bergentayangan ke bagian tubuh mulus milik gadis ini.
"Keparat busuk! Lepaskan aku! Lepaskan aku! Aouw...!" teriak gadis itu berulang-ulang.
Tapi percuma saja meronta-ronta dan memaki. Menghadapi laki-laki yang tengah kesetanan, gadis ini hanya membuang-buang tenaga percuma. Malah teriakan dan rontaannya semakin menimbulkan nafsu menggelegak di hati laki-laki itu.
"Kisanak! Hentikan perbuatan busukmu!"
Mendadak saja terdengar bentakan keras menggelegar. Dan tahu-tahu laki-laki ini merasakan pantatnya ditendang.
Duk! "Adaouw!"
Laki-laki itu menjerit kesakitan. Tubuhnya kontan terguling ke samping. Begitu bangkit, secepat kilat disambarnya golok yang tergeletak di tanah. Langsung dia memasang kuda-kuda untuk menghadapi segala kemungkinan.
Sementara itu gadis yang akan menjadi korban nafsunya buru-buru bangkit. Sambil membenahi pakaian dihampirinya sosok pemuda berbaju rompi putih yang menolongnya dari tindakan bejad laki-laki itu. Langsung dipeluknya pemuda yang tak lain adalah Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti.
"Tolonglah aku, Tuan Pendekar! Tolonglah, Tuan! Dia hendak berbuat kotor padaku!" ratap gadis ini, memelas.
"Tenanglah, Nisanak. Aku akan menolong-mu...," sahut Rangga berusaha menepiskan pelukan gadis ini.
"Tapi, Tuan...."
"Bocah keparat! Berikan dia padaku kalau mau selamat!"
Kata-kata gadis ini terhenti ketika laki-laki yang hendak menodainya membentak garang.
"Hm.... Biar bagaimanapun dia tak akan kube-rikan padamu!" sahut Rangga kalem.
Di luar perkiraan, dan tanpa menimbulkan kecurigaan sedikit pun, gadis dalam pelukan Rangga merogoh sesuatu dari sakunya. Begitu tangannya keluar, dengan gerakan cepat dibekapnya mulut dan hidung Rangga. Dan....
"Ohhh...!"
Saat itu juga Rangga merasakan tubuhnya terasa lemas. Persendiannya terasa kaku dan sulit digerakkan. Seperti batang pisang, tubuhnya ambruk ke tanah.
"Hi hi hi...! Akhirnya dapat juga kami meringkusmu dengan aji 'Lumpuh Raga'!" kata gadis ini sambil memasukkan saputangan yang dipergunakan untuk membekap Rangga.
Sedangkan laki-laki yang tadi hendak menodai, tiba-tiba saja telah berada di dekat gadis ini sambil tertawa lebar.
Memang kejadian ini di luar perhitungan Rangga. Sungguh tak diduga kalau gadis ini mengatur siasat untuk meringkusnya dengan bersandiwara, pura-pura hendak diperkosa oleh laki-laki itu. Samar-samar telinganya masih mendengar suara gadis dan laki-laki itu. Namun, lambat laun kesadarannya mulai hilang. Penglihatannya pun mengabur. Sebentar kemudian Pendekar Rajawali Sakti pingsan oleh aji yang kata gadis itu bernama 'Lumpuh Raga'.
Dalam rimba persilatan, ajian itu memang memiliki berbagai macam nama dan cara menggunakannya. Namun tujuannya satu, untuk melumpuhkan musuh, tanpa menggunakan kekerasan. Hebatnya, ajian 'Lumpuh Raga' bekerja bagai totokan tokoh persilatan yang bertenaga dalam sangat tinggi. Bila si korban telah sadar, maka tubuhnya tak mampu digerakkan lagi dalam waktu singkat, walaupun telah mengerahkan hawa murni.
? *** ? "Kini kau baru rasakan kalau kebaikanmu akan berakibat kematianmu!" kata laki-laki itu dingin, begitu Rangga telah tersadar.
"Perempuan laknat! Kalian rupanya bersekongkol! Apa maksud kalian membiusku?" bentak Rangga, sambil mengerahkan hawa murni. Namun hasilnya tetap nihil.
"Ketuaku menginginkanmu. Dan untuk itu maka dia harus mendapatkannya!" jelas gadis itu, menyahuti.
"Siapa ketuamu?"
"Nanti pun kau akan mengetahuinya."
"Di mana ketuamu tinggal"!"
"Di Lembah Darah...!"
Rangga tersentak kaget mendengar Lembah Darah disebutkan. Dia jadi teringat pada Wulandari yang menawarkan untuk tinggal di rumahnya, di Lembah Darah. Apa hubungannya gadis ini dengan Wulandari"
Gadis ini lantas memberi isyarat pada laki-laki teman sekongkolannya.
"Bawa dia, Rupangga!" ujar gadis ini.
"Beres, Panglima Kencana," sahut laki-laki bernama Rupangga.
"Hati-hati! Siapa tahu dia berusaha membebaskan diri dari aji 'Lumpuh Raga'ku tadi," ingat gadis yang dipanggil Kencana.
"Jangan khawatir, Panglima Kencana!"
Tapi baru saja mereka hendak melangkah meninggalkan tempat ini, sekonyong-konyong muncul seorang laki-laki tua. Rambutnya putih. Tangannya membawa guci arak yang sesekali ditenggaknya.
"He he he...! Dari mana kalian?" tanya laki-laki ini dengan tubuh sempoyongan.
"Orang tua, minggir kau!" bentak Kencana.
"Apa"! Kurang ajar! Kau sebut aku orang tua"! Dasar tak tahu diri. Tahukah kau, siapa aku se-benarnya" Aku adalah seorang pangeran muda yang gagah dan tampan!" semprot laki-laki tua, geram.
"Dasar sinting!" umpat Rupangga.
? *** ? "Apa katamu"! Kurang ajar! Setan!"
Bukan main geramnya laki-laki tua pemabuk itu mendengar ucapan barusan. Mukanya tegang dan matanya melotot lebar. Dan tiba-tiba saja tuak yang ada di mulutnya disemburkan ke arah Rupangga.
"Fruiih!"
Werrr! "Hei"!"
Rupangga terkejut. Demikian pula Kencana di dekatnya. Semburan tuak yang dilancarkan laki-laki tua ternyata bukan sembarangan. Selain menimbulkan angin kencang pertanda dilepaskan dengan pengerahan tenaga dalam tinggi, juga terlihat percik-percik bunga api.
"Hup!"
Untung Rupangga dan Kencana mampu menghindar dengan melompat ke kanan dan ke kiri. Namun tak urung jantung mereka berdetak lebih kencang. Sadarlah mereka kini kalau orang tua di depannya bukan sekadar pemabuk biasa.
"Pemabuk Dari Gunung Kidul!" seru Kencana.
Demi mendengar nama itu, Rangga tersenyum gembira.
"Hei, Sobat! Hati-hati! Tuakmu salah-salah bisa kena tubuhku!" teriak Rangga.
"He, siapa kau"!" seru laki-laki tua yang ternyata berjuluk Pemabuk Dari Gunung Kidul sambil celingak-celinguk memperhatikan pemuda yang tengah dipanggul itu. Sebelah tangannya memayungi kedua alisnya.
"Sial! Kukira siapa"! Hei, Rangga! Apa yang kau lakukan di sini"! Seperti bocah saja main panggul-panggulan. Ayo turun!" umpat Pemabuk Dari Gunung Kidul.
"Siapa yang tengah main panggul-panggulan"! Mereka telah memperdayaiku. Sobat, lepaskan aku!" pinta Rangga.
"Kenapa rupanya" Apakah kau tidak bisa turun sendiri" Suruh saja kawan-kawanmu menurunkannya!"
"Mereka bukan kawan-kawanku!"
"Apa"!"
Laki-laki tua bernama asli Ki Demong itu, ter-pana barang sesaat. Tapi kemudian tergelak sendiri. Lalu ditenggaknya tuak dalam guci tersebut (Tentang Pemabuk Dari Gunung Kidul baca serial Pendekar Rajawali Sakti dalam episode : "Satria Pondok Ungu").
"He he he...! Dasar bocah geblek! Apa yang kau lakukan sampai diringkus mereka" He he he...!" ledek Ki Demong, seraya menenggak tuak dari gucinya.
"Sudahlah jangan banyak tanya! Lepaskan aku dari cengkeraman mereka!"
"Sabar dulu! Mereka toh, tak ke mana-ma-na...," sahut Ki Demong kalem, dan kembali menenggak tuaknya.
Rangga menggerutu habis-habisan dalam hati melihat tingkah Pemabuk Dari Gunung Kidul. Tapi dia tak bisa berbuat apa-apa. Kalau Rangga mengomel, bisa jadi Ki Demong akan membiarkan saja. Atau bahkan pergi begitu saja. Tingkah laki-laki tua itu memang suka aneh-aneh!
Sebaliknya, kedua orang yang tadi memper-daya Rangga dengan aji 'Lumpuh Raga' mulai ber-pikir keras bagaimana caranya menyelamatkan diri dari Pemabuk Dari Gunung Kidul sekaligus membawa serta tawanan. Mereka tahu, Ki Demong bukan orang sembarangan. Dan kalau untuk bertempur, rasanya sulit untuk menang. Apalagi bisa menjatuhkannya.
"Kisanak! Sebaiknya kau tak mencampuri urusan kami!" ujar Kencana, mengingatkan.
"He he he...! Mana mungkin" Kawanku telah kau ringkus. Dan kau suruh aku untuk diam saja" Aku justru ingin meringkus kalian!" sahut Ki Demong enteng.
"Kalau kau berkeras, maka kawanmu ini akan mampus di tangan kami!" ancam gadis itui.
"Kau mau membunuhnya?" tanya Ki Demong dengan mata melotot lebar dengan sepasang alis terangkat.
"Kenapa tidak" Dengan mudah akan kami lakukan! Tapi, dia akan selamat kalau kau tidak macam-macam!"
"He he he...! Bocah sial! Apa kau kira bisa mengancamku, he"!"
"Aku bersungguh-sungguh!"
"Ayo bunuh dia! Cepat lakukan di depan ma-taku. Dan setelah itu, maka giliran kalian berdua akan kucincang!" dengus Ki Demong.
Rupangga dan Kencana menarik napas kesal. Mereka memang tak mungkin membunuh Rangga, sebab sang ketua menginginkan untuk dibawa ke hadapannya dalam keadaan hidup. Tapi, agaknya Kencana coba melanjutkan ancaman sambil mencabut pedang yang siap ditebaskan ke leher Rangga.
"Kuhitung sampai tiga. Kalau kau tidak angkat kaki, maka kepala pemuda ini akan menggelin-ding!" gertak Kencana.
"Kenapa mesti hitung-hitung segala" Ayo tebas kepalanya sekarang juga!" seru Ki Demong sambil tertawa lebar.
"Setan! Rupangga! Bereskan dia!" dengus Kencana, gusar.
"Baik, Panglima!"
Laki-laki itu menyerahkan Rangga pada Kencana. Kemudian pedang di pinggangnya dicabut, siap menyerang Ki Demong.
Sementara itu Kencana yang telah memanggul tubuh Rangga, bersiap melarikan diri dari tempat ini.
"He he he...! Mau coba kabur, he" Jangan harap!" ejek Pemabuk Dari Gunung Kidul seraya menyemprotkan tuak di mulutnya ke arah Kencana.
"Pruihhh!"
"Yeaaa...!"
Melihat panglimanya dalam keadaan bahaya, Rupangga langsung menghunus pedang ke teng-gorokan.
Tanpa menoleh sedikit pun, Ki Demong menangkis dengan gucinya.
Tang! ? *** ? 4 ? Rupangga bukan saja tangannya terasa kese-mutan ketika pedangnya menghantam guci. Tapi, senjata antik Ki Demong itu pun secepat kilat menyambar ke arah mukanya. Kalau dia tidak cepat jungkir balik ke belakang, bukan tidak mungkin muka akan remuk.
"Hup!"??
'Yeaaa...! Kau tak akan bisa kabur dariku, Gadis Liar!" dengus Pemabuk Dari Gunung Kidul seraya mengejar Kencana yang berusaha melarikan diri.
"Matilah kau, Pemabuk Gila!" desis gadis itu seraya berbalik dan menyabetkan pedangnya.
"He he he...! Tidak kena! Tidak kena!" ejek Ki Demong, setelah berhasil menghindar dengan mencelat ke atas. Di udara, dia menenggak tuak.
"Pruih!"
"Uts! Bangsat!"
Kencana memaki-maki geram ketika tuak yang disemprotkan Ki Demong hampir saja menyiram mukanya kalau tidak mengegos ke samping.
"Agaknya dia tak peduli, apakah tuaknya akan menghantam aku atau pemuda ini!" gumam wanita itu, semakin geram.
'Yeaaa...!"


Pendekar Rajawali Sakti 184 Kembang Lembah Darah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sementara itu Rupangga kembali menyerang dari belakang. Tapi seperti tadi, Ki Demong tidak mau terlalu ambil pusing dengannya. Serangannya lebih diutamakan pada gadis yang memanggul tubuh Rangga. Tentu saja tanpa melupakan serangan Rupangga.
Wut! Tang! "Heaaat...!"
Sambil mengibaskan guci menangkis tebasan pedang Rupangga, sebelah kaki Pemabuk Dari Gunung Kidul menyodok perut Kencana. Dengan cepat gadis itu melompat ke kiri dan membalasnya dengan tebasan pedang. Saat itu juga Ki Demong buru-buru menyemprot tuaknya.
"Pruih!"
"Uts! Keparat!"
Kencana cepat membabatkan serangannya. Dan dengan kalang kabut dia berusaha menghindar dengan membuang tubuhnya ke tanah. Sementara Ki Demong mengikutinya. Begitu gadis itu bangkit, secepat kilat ia mengirim tendangan telak ke dada.
Duk! "Aaakh...!"
Tak ampun lagi, Kencana terjerembab ke belakang disertai jerit kesakitan. Tubuh Rangga pun ikut terjungkal seperti batang pohon ambruk.
"Hup!"
Kencana cepat bangkit berdiri. Lalu dengan cepat tubuhnya berbalik.
"Rupangga! Cepat lari!" teriak gadis itu.
"Hei"! Kurang ajar! Mereka coba kabur!" dengus Ki Demong ketika Kencana dan Rupangga mendadak berkelebat kabur dari tempat ini.
Sementara Ki Demong tidak beranjak dari tempatnya. Dia malah tenang-tenang saja menenggak tuak, tanpa berniat mengejar.
"Dasar pemabok!" umpat Rangga dalam hati.
"Ya, sudah. Biarkan saja!"
? *** Rangga telah selesai bersemadi, untuk meng-usir pengaruh aji 'Lumpuh Raga' dalam dirinya. Ajian itu selain menggunakan ramuan khusus yang terbuat dari candu yang sangat hebat daya kerjanya, juga harus menggunakan mantera-mantera tertentu.
Dengan menghirup candu, tubuh Rangga jadi lemas tak bertenaga. Sementara mantera digu-nakan untuk melumpuhkan kesadarannya beberapa saat. Untuk mengusir candu yang terhirup, karena Rangga tak sempat memindahkan pernapasannya ke perut, terpaksa harus bersemadi. Tadi saja, Pendekar Rajawali Sakti muntah beberapa kali untuk mengusir hawa candu yang masih bersemayam di peredaran darahnya.
Setelah bersemadi, Pendekar Rajawali Sakti merasakan tubuhnya jadi segar kembali. Sedangkan Pemaduk Dari Gunung Kidul tampak menunggu sambil sesekali menenggak tuaknya.
"Hm.... Aku ingin tahu, kenapa mereka hendak menangkapku!" gerutu Rangga, kesal.
"Mungkin gadis itu naksir padamu! Dan dia melakukannya dengan cara aneh," sahut Ki De-mong asal-asalan.
"Kurasa malah dia naksir padamu!"
Ki Demong malah terkekeh.
"Sayang sekali, aku telah mengecewakannya. Aku tak suka dengan perempuan seperti itu," sahut Ki Demong enteng.
Rangga menghela napas panjang. Bicara dengan laki-laki tua ini akan sinting sendiri karena kesal bercampur gondok.
"Kau hampir mencelakaiku, Ki...."
"Kapan" Kapan"!" tanya laki-laki tua ini pura-pura kaget.
"Tuak yang kau semprotkan secara sembarangan itu."
"O, itu. Ha ha ha...! Kenapa" Apakah kau takut"!"
"Bukan. Aku hanya tak ingin ketularan bau mulutmu," sahut Rangga.
Tapi Ki Demong malah ketawa ngakak.
"Dengar, Ki! Ada hal aneh yang dalam waktu dekat ini membingungkan," lanjut Rangga sungguh-sungguh dengan harapan Ki Demong akan menanggapinya.
"Hm, soal apa?" tanya Ki Demong setelah menyeka sisa tuak di bibirnya.
"Ada orang-orang yang ingin menangkap dan meringkusku. Kau tahu, ada apa di balik semua ini" Dan, siapa orang-orang itu?"
? *** ? "Kau banyak punya musuh. Kenapa mesti heran kalau ada yang ingin menangkap dan meringkusmu" Bahkan kalau ada yang beramai-ramai membunuhmu pun, aku tak heran," sahut Pemabuk Dari Gunung Kidul, enteng.
"Belum lama sekelompok perempuan coba menangkapku. Lalu, yang baru saja terjadi. Sepertinya mereka ingin menangkapku hidup-hidup untuk diserahkan pada ketua mereka," jelas Rangga melanjutkan, tak mempedulikan tanggapan orang tua itu.
"Wanita" Gila! Tampangmu lumayan juga. Tapi kalau sekelompok wanita menginginkanmu, apa tidak gempor kau meladeni mereka"!"
"Sial!" gerutu Rangga. "Coba dengar baik-baik, Ki. Bukan hal seperti itu yang kumaksudkan.
Mereka menangkapku, karena mendapat perintah dari ketua mereka."
"Perempuan atau laki-laki?"
"Aku tidak tahu!"
"Pasti perempuan!" tebak Ki Demong. "Tidak mungkin laki-laki menginginkan laki-laki. Kalau majikan mereka laki-laki, maka perintahnya pasti membunuhmu. Huh! Perempuan di mana-mana sama saja. Kalau punya kedudukan dan sedikit kekuasaan, niatnya selalu ke laki-laki untuk melampiaskan nafsu kewanitaannya!"
"Kau ini bicara apa, Ki" Aku bahkan tak tahu, apa yang diinginkan pemimpin mereka."
"Kau kira apa" Jelas dia menginginkanmu.'"
"Untuk apa?"
"Dasar tolol! Dia menginginkanmu, apakah kau tidak mengerti" Seorang wanita menginginkan seorang laki-laki! Masih tak mengerti juga"!"
"Hm, entahlah...," desah Rangga mulai malas meladeni ocehan Pemabuk Dari Gunung Kidul yang dianggap semakin melantur.
"Eh, kalau tak ada masalah lagi sebaiknya aku pamit dulu...."
Sebelukm Rangga menyahut, Ki Demong telah lebih dulu berkelebat cepat. Sebentar saja tubuhnya telah lenyap dari pandangan.
? *** ? Kencana duduk bersila bersama beberapa gadis lain di depan seorang wanita muda berkulit putih. Rambutnya panjang menjuntai hingga ke lantai, menutupi sebagian tubuhnya yang agak terbuka. Kepalanya dihiasi mahkota dari emas bertatahkan berlian. Wajahnya cantik dengan sepasang mata bulat dan alis lebat. Bibirnya merah merekah. Sulit rasanya bagi seorang laki-lald dewasa untuk berpaling setelah melihat wajahnya.
"Hamba menghadap bersama kawan-kawan, Tuanku...!" ucap Kencana seraya menjura hormat.
Gadis ini tampak sudah berpakaian merah dengan celana pangsi hitam. Di kepalanya tampak ikat kepala dari logam berwarna kuning keemasan. Ada seorang gadis lain yang berikat kepala sama dengannya. Sedangkan gadis-gadis lain mengenakan ikat kepala putih keperakan.
"Hm, apa yang kau bawa untukku, Panglima Kencana?" tanya wanita itu dengan suara halus.
"Ampunkan kami, Tuanku Anjarasih," ucap Kencana lagi.
"Kalian gagal?"
"Begitulah agaknya, Tuanku Anjarasih," sahut Kencana ragu.
"Kurang ajar!"
Wanita yang dipanggil Tuanku Anjarasih mendadak bangkit. Dan matanya memandang marah pada Kencana serta kawan-kawannya.
"Berapa jumlah yang kuberikan padamu untuk meringkus pemuda itu"!"
"Lima belas, Tuanku."
"Dan ternyata gagal" Apa yang bisa kalian lakukan" Membelai dan merayunya" Atau hanya tertawa-tawa menggoda"!"
"Kami telah berusaha dengan segala daya, Tuanku. Bahkan dalam satu kesempatan, hamba berhasil meringkusnya dengan bantuan Rupangga. Tapi, saat itu datang seseorang yang mengacaunya...," jelas Kencana.
Naga Dari Selatan 15 Pendekar Mabuk 045 Pertarungan Tanpa Ajal Kisah Para Pendekar Pulau Es 4

Cari Blog Ini