Ceritasilat Novel Online

Kembang Lembah Darah 2

Pendekar Rajawali Sakti 184 Kembang Lembah Darah Bagian 2


"Siapa?" cecar Anjarasih.
"Pemabuk Dari Gunung Kidul."
"Hm...." Orang itu rupanya. Sungguh lancang dia berani mencampuri umsanku!" desis Anjarasih.
"Kami tak tahu lagi harus berbuat apa untuk meringkusnya, Tuanku...."
"Tolol! Goblok! Kenapa mengerjakan tugas begitu mudah saja tak mampu"! Buat apa kalian membekali saputangan yang berisi ajian 'Lumpuh Raga'"!" maki wanita itu dengan muka berkerut menahan marah.
"Ampunkan kami, Tuanku...," ucap Kencana lirih dengan kepala tertunduk.
"Kalau mereka tak mampu biar kami yang meringkus pemuda itu, Tuanku!" kata seorang gadis berikat kepala kuning keemasan, seraya menjura hormat.
"Hm. Apa rencanamu, Sekar?" tanya Anjarasih, menoleh ke arah gadis yang dipanggil Sekar.
"Serahkan saja pada kami, Tuanku. Maka segalanya akan beres!" tegas Sekar, mantap.
"Kau yakin, Sekar?"
"Apakah selama ini hamba pernah mengece-wakan Tuanku" Hamba selalu melakukan yang terbaik bagi Tuanku!"
"Ya! Tapi aku periu mendengar, apa rencanamu untuk meringkusnya?"
"Pertama-tama kami akan menggunakan kekerasan...."
"Kalian tak akan mampu. Pendekar Rajawali Sakti bukan orang sembarangan."
"Mungkin saja, Tuanku. Tapi kalau tak kena juga, maka akan kami gunakan cara halus."
"Cara halus bagaimana yang kau maksudkan?"
"Kita sebagai wanita, punya segala macam cara untuk memperdaya kaum laki-laki. Nah! Daya ini yang hamba maksudkan untuk meringkusnya," jelas Sekar tanpa menyebutkan secara terperinci, cara halus bagaimana yang dimaksudkan.
Dan agaknya wanita muda itu tidak mau terialu bertele-tele.
"Baiklah, Sekar. Kuberikan tugas ini padamu. Kalau gagal, maka kalian semua akan mendapat hukuman, karena berani mengajukan diri dan merasa mampu meringkus pemuda itu!"
"Bagaimana kalau kami berhasil, Tuanku?" pancing Sekar, dengan bola mata berbinar penuh harap.
"Apa yang kau minta akan kukabulkan!" tandas Anjarasih.
"Terima kasih, Tuanku."
"Nah! Sekarang juga kuperintahkan padamu untuk berangkat!"
"Baik, Tuanku!"
Maka tanpa menunggu banyak waktu lagi, Sekar segera angkat kaki dari balairung yang menjadi tempat pertemuan ini.
"Dan bagi Kencana dan kawan-kawannya, hukuman telah menanti!" lanjut Anjarasih.
"Tuanku, kami siap menerima hukuman yang diberikan!" sahut mereka serentak.
"Kalian semua akan kuikat pada tonggak-tonggak kayu di Padang Neraka selama tiga hari!"
"Ohhh..."!"
Para gadis yang hadir di sini berseru kaget mendengar keputusan itu. Padang Neraka adalah suatu tempat yang amat tandus, dan jarang ditumbuhi rerumputan. Suhu di sana tinggi sekali, dengan udara kering. Apalagi dalam musim panas seperti sekarang. Jarang ada yang selamat dari hukuman itu. Apalagi selama tiga hari!
"Terima hukuman itu atau kupenggal leher kalian satu persatu"!" bentak Anjarasih.
"Kami terima hukuman itu, Tuanku...!" sahut mereka.
"Bagus! Jadi bila ada di antara kalian yang masih hidup setelah waktu tiga hari, maka boleh kembali mengabdi padaku."
"Terima kasih, Tuanku!"
"Hm!"
Anjarasih lantas memberi isyarat. Maka, belasan pengawalnya yang terdiri dari laki-laki dan perempuan segera menggiring rombongan yang dipimpin Kencana.
? *** ? Pendekar Rajawali Sakti
?"?"?"" Pendekar Rajawali Sakti
? 2017 " . 184. Kembang Lembah Darah Bag. 5 - 8 (Selesai)
3. April 2015 um 08:10
? 5 ? Siang yang amat terik, membuat Pendekar Rajawali Sakti mampir di sebuah kedai di desa yang tak jauh dari Lembah Darah. Sejak tadi pagi Rangga berkuda dari Lembah Tengkorak.
Di dalam kedai ini, pembicaraan beberapa pe-ngunjung semula tidak menarik minat telinga Rangga. Tapi ketika seseorang menyebut-nyebut nama Lembah Darah, maka telinganya segera dipasang tajam-tajam.
Mengingat nama Lembah Darah, membuat Rangga juga teringat dengan beberapa kejadian yang dialami. Sejak pertemuannya dengan Wulandari yang mengajaknya ke Lembah Darah, sampai pada seorang gadis yang berhasil meringkusnya, dan hendak membawanya ke sana.
Atas dasar ini, Rangga jadi tertarik ingin menyelidiki lebih lanjut.
"Hei, kenapa susah-susah"! Kalau kau ingin bekerja dan dapat uang banyak, kenapa tidak da-tang saja ke sana" Banyak pekerjaan dan upahnya pun besar!" jelas seorang laki-laki berperut buncit. Mukanya bulat dan lebar.
"Kerja apa di sana, Mbul?" tanya laki-laki lain, berwajah penuh bopeng, bekas luka cacar.
"Apa saja, Bopeng. Di sana, nanti akan dibagi-bagi tugas apa yang mesti dikerjakan," jelas laki-laki yang dikenal bernama Gembul ini.
"Memangnya kita kerja dengan siapa?" tanya laki-laki bernama Bopeng.
"Anjarasih."
"Anjarasih" Siapa dia?" tanya laki-laki ber-badan kurus dengan mata sayu.
"Alaaah.... Masa' kau tak tahu, Kaspa" Itu..., wanita paling kaya di wilayah barat. Eh! Dia cantik dan kaya, Iho! Siapa tahu saja dia terpikat padamu!" olok Gembul.
"Ha ha ha...! Anjarasih mana mungkin mau padanya. Matanya saja seperti orang mengantuk!" ejek laki-laki berkumis tipis.
"Hei, Cakra! Jelek-jelek begini sudah sepuluh gadis yang kutolak cintanya!" sahut laki-laki ber-badan kurus yang bernama Kaspa.
"Huu, dasar Kaspa!" seru Gembul.
"Eh! Ngomong-ngomong yang namanya Anjarasih itu apa betul masih sendiri" Dari mana dia dapat kekayaan begitu banyak" Apa dia putri raja yang dalam pengasingan?" tanya Kaspa, terlihat sungguh-sungguh.
"Entahlah.... Aku sendiri tak tahu. Yang kutahu dia hidup sendiri di istananya yang hampir selesai dibangun. Mungkin saja dia putri raja yang tengah diasingkan di lembah itu," sahut Gembul.
Pendekar Rajawali Sakti terus memasang telinganya. Sebentar keningnya berkerut tajam, sebentar kemudian biasa kembali.
"Hm.... Mungkin hanya kebetulan saja. Wulandari bertempat tinggal di lembah itu," gumam Rangga coba mengabaikan apa yang tengah dipi-kirkannya saat ini.
"Yang lebih heran lagi," lanjut Gembul. "Anjarasih itu banyak memiliki anak buah wanita muda. Dan rata-rata cantik!"
"Dasar kau, Mbul! Kalau bicara perempuan, selalu saja wajahmu berseri-seri!" celetuk Cakra.
"Kapan lagi" Mumpung masih muda dan belum kawin!"
"Wajah boleh saja mengaku muda. Tapi, umurmu kan sudah kepala tiga! Dan sampai sekarang belum laku-laku juga!" timpal Kaspa.
"Dibanding nasibmu, mungkin aku lebih baik.
Aku pernah beberapa kali diajak kawin oleh gadis-gadis sekampungku. Tapi kau..." He he he...!"
Gembul tak melanjutkan kata-katanya karena keburu tertawa sendiri.
"Sudahlah, sudah! Itu terus yang diomongin!" tukas Kaspa kesal.
"Makanya jangan mulai lebih dulu!" kata Cakra.
"Sudahlah. Lebih baik kita pulang saja. Sebentar lagi sore. Nanti kita kemalaman tiba di sana," ajak Kaspa.
"Ayolah!"
? *** "Selamat siang, Kisanak semua...."
"Heh"!"
Gembul dan kawan-kawannya tersentak kaget. Mereka langsung mencabut golok masing-masing begitu tahu-tahu di depan berdiri seorang pemuda berbaju rompi putih.
"Tenanglah, Kisanak semua. Aku sama sekali tak bermaksud jahat," ujar pemuda yang tak Iain Pendekar Rajawali Sakti.
"Siapa kau"!" berjtak Gembul, dengan wajah garang.
"Namaku Rangga...," sahut Rangga, kalem.
"Apa maksudmu menghadang kami"!" cecar Gembul.
"Aku sempat mencuri dengar pembicaraan kalian. Dan kalau tidak salah, katanya kau bekerja pada Anjarasih yang tinggal di Lembah Darah?"
"Hm, memang betul. Lalu, apa maumu"!" tanya Gembul masih dengan nada tinggi.
"Kebetulan aku punya dua orang kawan yang berasal dari sana. Dan..., mungkin kau mengenai mereka," sahut Pendekar Rajawali Sakti, ramah.
"Siapa?"
"Namanya Ningsih dan Wulandari. Kau kenal mereka?"
Gembul berpikir beberapa saat, dan coba mengingat-ingat nama-nama yang disebutkan Rangga barusan.
"Anak buah Anjarasih banyak. Dan aku tak bisa mengingatnya satu persatu. Apalagi yang wanita!"
"Hm, sayang sekali. Padahal mereka mengun-dangku ke sana. Dan aku lupa menanyakan secara persis rumah mereka...."
"Di sana tak ada rumah, tapi istana milik Anjarasih!" sahut Gembul masih tetap curiga pada pemuda itu.
"Ah, ya! Aku lupa. Maksudku mereka tidak memberitahu di bagian mana bekerjanya. Mungkin kau bisa bantu" Penting sekali bagiku untuk bertemu mereka."
"Apakah mereka kekasihmu?"
"Hm, bukan," sahut Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti khawatir ada kebijak-sanaan lain di tempat yang katanya istana milik, Anjarasih jika mengaku sebagai kekasih salah seorang dari wanita itu" Mungkin saja nantinya Gembul akan mengatakan kalau Anjarasih melarang anak buahnya untuk memiliki kekasih.
"Kenapa mesti berdusta" Kalau benar dia kekasihmu, maka Anjarasih tentu akan senang sekali."
"Sementara ini mungkin belum. Tapi..., kami sudah berkawan dekat," sahut Rangga berdusta sambil tersenyum malu-malu.
"He he he...! Kenapa tidak bilang dari tadi?"
"Aku..., malu."
"Sudahlah. Aku mengerti sekarang," ujar Gembul seraya menyarungkan golok. "Kalau hendak bertemu dengannya, kenapa tidak datang saja ke Lembah Neraka?"
"Eh, bolehkah"!"
'Tentu saja!"
"Tapi, aku tak tahu di mana tempat itu...."
"Ikut saja dengan kami. Nanti kita ke sana sa-ma-sama!"
"Benarkah"! Oh, terima kasih! Terima kasih!"
"Sudahlah. Ayo lata berangkat ke sana sama-sama!" ajak Gembul tanpa curiga lagi.
? *** ? Rangga, Gembul, dan rombongannya tiba di sebuah lembah permai yang dikenal sebagai Lem-bah Darah. Dari kejauhan terlihat betapa rindang dan sejuknya tempat itu. Tampak sebuah bangunan besar berdiri kokoh di sana. Bangunan yang belum seluruhnya selesai, serta masih dikerjakan oleh lebih dari seratus pekerja.
"Kita lewat sana!" tunjuk Gembul mengajak untuk masuk lewat pintu gerbang kecil.
"Kenapa tidak jalan sana?" tanya Rangga, me-nunjuk pintu gerbang utama.
"Itu untuk tamu-tamu istimewa Anjarasih. Tapi kalau untuk orang-orang seperti kita, maka lewat sini yang diperbolehkan. Lagi pula penjagaan di sana sangat ketat. Kalau lewat sini, aku bisa memberi alasan tepat jika ditanya penjaga," jelas Gembul.
"Hm.... Alasan apa yang ingin kau kemukakan jika penjaga bertanya?" tanya Rangga, ingin tahu.
"Apalagi" Kukatakan saja kalau kau ingin ikut bekerja di sini."
"Alasan bagus! Tapi kerja apa yang cocok untukku?"
"Kau bisa silat?"
"Sedikit-sedikit..."
"Nah! Nanti akan kukatakan kalau kau ingin bekerja sebagai keamanan. Setelah segala sesuatunya beres, kau bisa mencari kedua gadis itu," papar Gembul.
"Baiklah," kata Rangga, sambil mengangkat kedua bahunya.
Kini, mereka memasuki sebuah lorong yang tidak terlalu panjang. Di ujungnya, terdapat sebuah ruangan besar dengan lantai hitam mengkilap, dipenuhi tiang-tiang besar. Di ujung lorong berdiri tegak empat orang penjaga yang langsung mencegat.
"Aku Gembul yang bekerja pada Panglima Sekar, satuan pengawal pribadi Gusti Anjarasih!"
"Apa yang kau bawa?" tanya salah seorang penjaga.
"Aku membawa teman yang ingin bekerja untuk kami."
"Hm!"
Penjaga itu bergumam dingin. Lalu bersama tiga kawannya, dia meneliti Pendekar Rajawali Sakti dari ujung rambut sampai kaki.
"Empat orang?"
"Ya. Kenapa rupanya" Apakah ada larangan untuk mengabdi pada Gusti Anjarasih?"
"Tidak. Kalau begitu masuklah. Temui bagian penerima pekerja."
"Baik, terima kasih!"
Mereka pun melewati ruangan ini. Tatapan mata Pendekar Rajawali Sakti tidak lepas-lepas mengawasi keadaan sekelilingnya. Ramai sekali orang yang tengah bekerja, atau sekadar lalu-lalang. Entah, apa yang mereka kerjakan. Kini tak lama kemudian mereka tiba di suatu ruangan kecil.
"Ruangan ini khusus untuk menerima pekerja baru. Kalian tunggu di sini. Sedangkan aku akan memberitahu petugas yang menerima pekerja baru," kata Gembul.
"Baiklah..."
Gembul segera angkat kaki dari tempat itu. Sedangkan Kaspa, Cakra, Bopeng, dan Rangga memandang ke sekeliling tempat penuh takjub. Mereka berdiri di dekat pintu, mengagumi dinding ruangan yang kokoh itu. Namun ketika Rangga kembali ke dalam dan duduk tenang, buru-buru ketiga teman Gembul melompat keluar. ???
"Hup!"
"Hei"!"
Breg! "Keparat busuk!"
Rangga terkejut ketika mendadak pintu ruangan telah terkunci oleh tembok tebal yang jatuh cepat dari atas. Apalagi, keadaan ini benar-benar tak terduga, tanpa Rangga mampu berbuat sesuatu.
"Hei, apa-apaan ini"! Keluarkah aku dari sini. Atau, kuhancurkan tembok ini"!" bentak Rangga garang.
"Tembok ini dilapisi berlembar-lembar baja yang tebal dan kokoh. Akan sulit bagimu untuk menghancurkannya walau kutahu kesaktianmu sangat tinggi!"
Terdengar sebuah suara bergaung di dalam ruangan kecil yang mengurung Rangga.
"Setan alas! Jangan kira aku tak mampu menghancurkannya!" teriak Rangga.
"Mungkin saja kau mampu menjebolnya. Tapi kami telah memperhitungkan hal itu. Makanya, telah kami siapkan sesuatu yang khusus bagimu!"
Setelah suara berhenti, dari beberapa sudut ruangan mengepul asap putih yang cepat meme-nuhi ruangan.
"Uh, setan! Dari baunya, ini jelas asap yang berasal dari aji 'Lumpuh Raga', yang pernah di-gunakan gadis bernama Kencana...."
Rangga berusaha memindahkan napasnya ke perut. Namun asap putih itu terus memenuhi ruangan, membentuk kabut tebal. Bukan saja menghalangi pemandangan, tapi juga menyusup ke dalam tubuhnya lewat pori-pori. Inilah salah satu kehebatan ajian 'Lumpuh Raga'. Asap ini memang bukan racun, walaupun terbuat dari candu. Bila hanya candu biasa, mungkin Rangga sudah kebal setelah memakan jamur yang terdapat di Lembah Bangkai. Yang jelas, karena asap candu juga diberi mantera-mantera, maka akibatnya kekebalan Rangga tak ada gunanya.
"Ohh...!"
Pendekar Rajawali Sakti mulai mengeluh ber-kali-kali. Tubuhnya lemah dan pandangannya berkunang-kunang. Kepalanya berat. Pikirannya tak terkendali. Entah sampai kapan dia mampu bertahan. Tapi di akhir segalanya, Pendekar Rajawali Sakti memang tak kuasa lagi. Tubuhnya terkulai tak berdaya.
? *** ? Entah berapa lama Rangga terkulai tak sadarkan diri. Tapi ketika kesadarannya pulih, samar-samar matanya melihat banyak orang duduk bersila dalam sebuah ruangan berlantai hitam mengkilap. Dia sendiri terikat pada sebuah tiang besar dengan kedua tangan di belakang. Yang pertama kali dilihatnya adalah empat orang laki-laki yang membawanya ke sini.
"Gembul! Duduklah kau! Ketua ingin bicara dengannya!" ujar Sekar yang telah berada di sana.
"Baik, Panglima!"
Empat laki-laki yang dilihat Rangga menepi. Mereka lantas duduk bersila. Kini Rangga bisa melihat seorang wanita muda duduk di atas sing-gasana yang terbuat dari logam mulia berkilauan. Wajahnya cantik. Beberapa bagian tubuhnya terbuka, dan secara samar dihalangi rambutnya yang panjang.
"Tuanku.... Hamba telah menyelesaikan tugas yang diberikan!" ujar gadis dengan ikat kepala berwama kuning keemasan itu.
"Ya! Kupuji hasil kerjamu, Sekar," sahut wanita cantik di singgasana yang tak lain Anjarasih.
"Eh! Hamba ingin...."
"Aku tahu apa yang hendak kau katakan!" tukas Anjarasih. "Aku tidak ingkar dari janjiku. Nah! Apa yang kau inginkan" Katakanlah!"
"Mana berani hamba meminta, Tuanku...," kata Sekar.
"Kalau begitu akan kuberikan beberapa emas permata padamu. Pergilah pada bagian perbekalan. Dan minta padanya bagianmu. Aku telah menyiapkannya!" ujar Anjarasih.
"Terima kasih, Tuanku!" sahut Sekar, girang.
"Sekarang kau boleh pergi!"
"Sekali lagi terima kasih, Tuanku!" ucap Sekar berulang-ulang sebelum angkat kaki dari ruangan ini.
Sesaat kemudian, bersama anak buahnya termasuk empat laki-laki yang telah menjebak Rangga, Sekar meninggalkan ruangan itu. Hanya beberapa orang penjaga yang masih tetap berada dalam ruangan. Tapi tak berapa lama Anjarasih pun memberi isyarat agar mereka angkat kaki dari sini.
"Hm.... Kini tinggal kita berdua di sini...!" lanjut Anjarasih, setelah tak ada orang lagi di ruangan ini kecuali dirinya dan Pendekar Rajawali Sakti.
"Kaukah penguasa tempat ini?" tanya Rangga.
"Ya. Bagaimana" Apakah kau menyukai is-tanaku?"
"Entah siapa sebenarnya kau. Tapi aku tidak kenal sebelumnya denganmu. Kenapa kau mengi-nginkan aku?" tanya Rangga lagi.
"Mungkin saja. Tapi aku kenal baik denganmu. Namamu selalu mengusik rasa ingin tahuku. Dan wajahmu selalu membayang-bayangi pelupuk mataku...."
"Dengar, Nisanak. Aku tak kenal denganmu. Dan kau seorang diri berada di sini menghadapiku. Apa tidak terpikir olehmu kalau aku terlepas, maka tak seorang pun yang bisa mencegahku menangkapmu!"
"Betulkah" Kalau kau bisa melepaskan diri dari ajian 'Lumpuh Raga'ku, silakan saja. Hm.... Aku telah cukup lama mengawasimu, sehingga bisa memperhitungkan sampai di mana tingkat kehebatanmu. Belum tentu kau bisa menangkapku dengan mudah," sahut Anjarasih sambil tersenyum-senyum.
Rangga mendengus geram. Apa yang dikatakan wanita itu memang benar. Ajian yang mem-pengaruhinya masih terasa membelenggunya. Belum lagi tali yang mengikat kedua tangannya. Begitu alot dan sulit dilepaskan. Tenaganya pun kini terasa berkurang. Keadaannya saat ini agak lemah. Entah kenapa. Mungkin juga karena pengaruh asap putih dari aji 'Lumpuh Raga' di ruangan tadi. Dan Rangga perlu bersemadi untuk menghilangkan pengaruh ini. Tapi dalam keadaan begini mana bisa"
"Apa sebenarnya yang kau inginkan dariku?" tanya Rangga.
"Tentu saja dirimu!" sahut Anjarasih, kalem.
"Aku tak mengerti."
"Kenapa" Bukankah amat sederhana" Aku seorang wanita. Dan kau seorang laki-laki. Aku seorang penguasa, dan kau seorang raja. Aku cantik dan kau tampan. Lalu, siapakah menurutmu yang sepadan untukku selain dirimu?"
? *** ? 6 ? Rangga terdiam. Dia berpikir, apa yang mesti dilakukan untuk keluar dari tempat ini" Tapi dalam keadaan seperti sekarang, apa yang bisa dilakukannya" Tubuhnya lemah. Kedua tangannya terikat Dan..., pedangnya" Hm.... Baru sekarang dia tidak merasakan apa-apa di punggungnya. Dan saat melirik, ternyata Pedang Pusaka Rajawali Sakti tak ada di punggungnya.
Anjarasih agaknya mengerti, apa yang tengah dipikirkan pemuda ini.
"Pedangmu ada padaku. Kusimpan dengan ra-pi...," kata Anjarasih.
Rangga diam saja.
"Kalau kau menurut dan tidak banyak tingkah, maka pedangmu akan kuberikan lagi."
"Hm...," gumam Rangga, tak jelas.
"Bagaimana" Kau menerima permintaanku?"
"Jelaskanlah lebih seksama, apa sebenarnya yang kau inginkan dariku" Dalam keadaan seperti ini, rasanya otakku tumpul untuk mencerna isyarat-isyarat yang kau berikan," pinta Rangga.
"Mudah saja. Dampingi aku di istana yang me-gah ini!" sahut Anjarasih sambil tersenyum lebar.
"Kenapa mesti aku" Kulihat kau memiliki banyak anak buah. Baik laki-laki atau perempuan. Dan kudenggar pula, mereka memiliki kesaktian hebat. Kau bisa pilih salah satu di antara mereka kalau suka," tukas Rangga.
"Mereka budak-budakku. Apakah pantas seorang budak berdampingan dengan majikan?"
"Lalu setelah kau tangkap aku, apakah derajatku tidak sama dengan mereka?"
"Hi hi hi...! Otakmu ternyata belum tumpul. Kau cerdik dan pintar bicara. Mungkin itu salah satu sebab yang membuatku suka padamu," puji penguasa tempat ini.
"Terima kasih atas pujianmu. Untuk seorang budak sepertiku, mungkin kelewat tinggi," ucap Rangga.
"Kau bukan budak. Kau adalah tamu yang ku-hormati."
'Tamu tidak diperlakukan seperti ini!"
"Kau ingin aku melepasmu"' tanya Anjarasih.
"Kau majikan di sini. Dan bisa berbuat se-sukamu."
"Baiklah. Asal, janji tidak membuat keributan. Dan kau akan kuperlakukan seperti layaknya se-orang tamu. Tamu istimewaku!" ujar wanita itu.
Anjarasih bertepuk sekali. Tak lama, seorang penjaga segera masuk.
"Hamba, Tuanku!"??
"Buka ikatan tangannya!"
"Baik, tuanku."
Penjaga itu segera membuka ikatan yang membelenggu Pendekar Rajawali Sakti. Dan setelah memberi isyarat pada Anjarasih kembali dia beranjak meninggalkan ruangan itu.
"Duduklah di dekatku!" ajak Anjarasih seraya menunjuk kursi di dekatnya.
Rangga melangkah perlahan, mendekati, Lalu dia duduk dengan tenang. Meski begitu kewas-padaannya tetap ditingkatkan untuk menghindari perangkap yang mungkin saja akan dipasang wanita ini.
"Jangan curiga. Aku tidak akan menjebak-mu...," ujar perempuan ini, seperti bisa membaca pikiran Rangga.
"Kau terlalu mempercayai orang. Apa dikira aku tidak bisa meringkusmu saat ini?" tukas Rangga, seraya bangkit berdiri.
"Kenapa tidak kau lakukan?" tanya Anjarasih tanpa merubah sikap duduknya.
Melihat sikap wanita ini yang tenang dan tidak khawatir sedikit pun, Rangga jadi curiga. Mungkin dia telah mempersiapkan sesuatu. Makanya niatnya segera diurungkan.
? *** ? "Di antara kita tidak ada saling permusuhan. Kenapa kau berbuat begitu padaku?" tanya Rang-ga, membuka percakapan lagi.
"Duduklah di sini. Dan kita akan bicara lebih santai," ujar Anjarasih.
"Aku bukan budakmu. Maka aku berhak menolak!" tegas Rangga.
"Kenapa" Kau tidak suka berdekatan dengan-ku?"
"Aku tak suka dengan perbuatanmu!"
"Hm.... Kau keras kepala sekali! Tapi selama kau baik-baik dan tidak berbuat keributan, maka selama itu pula aman..."
"Kalau tidak?" tukas Rangga.
"Kalau tidak..." Hm.... Bisa kau bayangkan dengan keadaanmu saat ini. Seorang pesilat biasa pun, bisa melumpuhkanmu. Padahal..., dengan sepak terjangmu selama ini, kau banyak mempunyai musuh. Maka melihatmu tak berdaya, bisa ditebak apa yang akan mereka lakukan terhadapmu."
Memang tak dapat dipungkiri, saat ini Pendekar Rajawali Sakti masih di bawah pengaruh ajian 'Lumpuh Raga'. Badannya masih terasa lemas. Otot-ototnya terasa dilolosi.
"Aku tak takut! Lepaskanlah aku dari sini!" sentak Rangga, setelah berusaha mengangkat se-mangatnya.
"Setelah semua usaha yang kulakukan untuk menangkapmu" Hi hi hi...! Tidak semudah itu!"
"Kalau begitu, kau boleh membunuhku sekarang juga!" dengus pemuda itu dingin.
"He, kenapa buru-buru" Lagi pula permintaanku tidak sulit untuk dipenuhi, bukan?"
"Aku tidak akan pernah memenuhi perminta-anmu!"
"Jangan buru-buru memberi jawaban. Kuberi kau beberapa waktu untuk berpikir. Ingat-ingatlah! Kalau setuju, maka bukan saja kau akan selamat. Tapi kedudukanmu pun akan mulia di sampingku."
"Jangan mimpi! Aku tak sudi menuruti keinginan perempuan sepertimu!"
"Hm.... Sudahkah kau pikirkan hal itu baik-baik?"
"Aku tak perlu berpikir untuk menolak ke-mauanmu!"
"Kalau begitu kau tak sayang padanya...," sahut Anjarasih mengancam.
"Hei" Apa maksudmu?"
"Pandan Wangi. Kau kenal nama itu?"
"Terkutuk! Apa yang kau lakukan padanya"!" bentak Rangga, geram.


Pendekar Rajawali Sakti 184 Kembang Lembah Darah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Belum. Tapi kalau kau terus menolak, maka akan kucari gadis itu dan akan kutentukan nasibnya kelak."
"Huh! Kau tak akan berhasil memperdayai-nya!"
"Apakah dia lebih hebat darimu" Padahal, kau saja mampu kuringkus. Dan kalau kau tetap pada pendirianmu, aku akan bersungguh-sungguh mencari kekasihmu itu!" gertak Anjarasih. "Dan akan kubunuh dia bila kudapatkan!"
"Celakalah kau, Keparat!" desis Rangga geram.
"Tidak perlu terus memaki, karena tak ada gunanya. Pertimbangkan baik-baik keputusanmu. Dan bila saatnya tiba, maka kau boleh memberi jawaban yang memuaskanku!" sahut wanita itu dingin.
Anjarasih bertepuk sekali. Maka, tiga penjaga muncul di tempat itu.
"Bawa dia ke ruangan khusus. Dan, adakan penjagaan dengan ketat!" perintah Anjarasih, tegas.
"Baik, Tuanku!"
Semula Rangga hendak melawan. Namun, sia-sia saja. Seperti yang dikatakan wanita itu, tu-buhnya memang tak berdaya. Tenaganya terasa lemah. Sehingga ketiga penjaga itu dengan mudah meringkus dan membawanya keluar dari ruangan ini.
"Bedebah kau, Keparat! Kau akan menerima balasan ini suatu saat nanti!" teriak Rangga lantang. Tapi Anjarasih hanya tersenyum-senyum saja.
Sama sekali wajahnya tidak memperlihatkan perubahan. Makian dan teriakan pemuda itu seolah-olah tak didengarnya.
? *** ? Rangga ditempatkan pada ruangan khusus yang agak sempit namun berdinding tebal. Hanya ada dua lubang angin. Dan itu pun berjeruji serta pada ketinggian sekitar tiga tombak dari lantai. Panjangnya sekitar dua jengkal. Dan lebarnya kira-kira sejengkal. Ada dipan. Meja berisi kendi dan cangkir serta buah-buahan di ruangan itu.
Perlahan-lahan Rangga duduk bersila, mengambil sikap bersemadi. Perlahan-lahan pula, matanya terpejam, Pikirannya dipusatkan pada satu titik, untuk meleburkan diri dengan kekuatan Yang Maha Esa.
Berangsur-angsur, Rangga merasakan kese-garan dalam tubuhnya. Kendati demikian, perutnya terasa mual bukan main. Lalu....
"Hoeeekh...!"
Rangga mendadak memuntahkan cairan berwarna ke kuning-kuningan. Baru setelah itu tubuhnya benar-benar segar.
Dan baru saja Rangga hendak bangkit, tiba-tiba saja pintu terbuka. Tampak sesosok gadis muncul di ambang pintu, lalu buru-buru menutupnya. Dihampirinya Pendekar Rajawali Sakti.
"Kakang Rangga!"
"Hm!"
Rangga cepat bangkit. Matanya tajam mengawasi raut wajah wanita itu di depannya. Samar-samar dia pernah ingat dengan wajah itu.
"Aku Wulandari!" desis gadis itu dengan suara setengah berbisik.
"Ah, ya! Aku ingat! Apa yang kau kerjakan di sini?"
"Jangan ribut! Aku akan mengeluarkanmu dari sini. Sebelumnya, cepat minum obat pemunah aji 'Lumpuh Raga' ini!" ujar gadis itu.
"Bagaimana dengan penjaga-penjaga di depan pintu?" tanya Rangga, seraya mengambil sebutir obat pulung yang disodorkan sosok yang ternyata Wulandari.
"Sudah kubereskan! Ayo cepat keluar, sebelum yang lain melihat kita!" kejar Wulandari.
"Pedangku" Tahukah kau ada di mana?" tanya Rangga, setelah menelan obat pulung itu.
"Aku tak tahu! Tapi Ningsih akan berusaha mencari tahu. Sekarang yang penting selamatkan dulu dirimu."
"Baiklah."
Tanpa sungkan-sungkan lagi, gadis itu meng-gamit lengan Rangga. Mereka mengintip di pintu. Dan ketika melihat keadaan sepi, perlahan-lahan Wulandari membawa Rangga ke dalam sebuah ruangan. Dan dari dalam ruangan kosong, mereka menyelinap keluar lewat jendela. Di situ, terlihat sepi. Dan di sebelah kanan tampak sebuah terowongan. Agaknya, terowongan itu yang akan dituju Wulandari.
Sementara Rangga kini telah merasakan benar-benar segar pada tubuhnya setelah ditunjang obat pulung yang berikan Wulandari.
"Di ujung terowongan itu kita akan keluar!" desis Wulandari.
"Kalau begitu, ayo sekarang!" ajak Rangga seraya hendak melompat keluar.
"Tunggu dulu!" cegah Wulandari.
"Kenapa?"
Rangga tak perlu menanti jawaban, sebab tak lama kemudian lima orang penjaga keluar dari terowongan.
"Ini saatnya pergantian penjaga. Kita harus cepat, sebelum penjaga yang lain menggantikan orang-orang tadi," jelas Wulandari seraya melompat turun, diikuti Rangga.
Secepatnya mereka masuk ke dalam terowongan yang cukup besar. Tapi alangkah terkejutnya Wulandari, ketika di dalam terowongan telah menunggu belasan gadis berpakaian merah dengan ikat kepala putih keperakan membuat pagar betis yang berlapis-lapis. Paling depan, berdiri seorang gadis berpakaian sama, namun mengenakan ikat kepala warna kuning keemasan.
"Huh! Akhirnya ketahuan juga siapa peng-khianatnya!" dengus gadis berikat kepala kuning keemasan yang tak lain Sekar.
? *** ? "Ohh...!"
Wulandari terkejut. Wajahnya kelihatan pucat pasi. Untuk sesaat, mereka mundur beberapa langkah. Tapi ketika menoleh ke belakang, kembali dia dibuat kaget.
"Celaka! Tak ada lagi tempat bagi kita untuk melarikan diri. Tempat ini telah terkepung!" desah Wulandari putus asa.
"Kalau begitu aku akan melawan mereka!" dengus Rangga.
"Percuma saja. Jumlah mereka kelewat banyak."
"Hm.... Mudah-mudahan aku mampu menga-tasi mereka!"
"Kalau keadaanmu seperti semula, mungkin saja kau mampu mengatasi mereka. Tapi kini keadaanmu mungkin lebih buruk dariku. Kita tidak akan mampu menghadapi mereka, Kakang!"
"Tidak ada pilihan lain. Kita mesti mencoba-nya!" sahut Rangga bersiap-siap hendak menga-dakan perlawanan.
Sring! Wulandari pun telah siap mencabut pedangnya.
"Ringkus mereka!" teriak Sekar.
"Hiaaat!"
Lebih dari sepuluh orang gadis berpakaian merah menyerang bersamaan. Beberapa batang pedang menyambar ke arah Rangga dengan cepat. Namun lincah sekali Pendekar Rajawali Sakti berkelit. Sayang, tidak demikian halnya bagi Wulandari.
Perlawanan yang diberikan gadis itu tak banyak artinya. Rata-rata gadis berpakaian merahmemiliki kepandaian setingkat. Sehingga tak heran gadis itu cepat terdesak.
"Lepas!"
"Ohh...!"
Wulandari tercekat ketika pedangnya terlepas dari genggaman, ketika dua gadis lawannya memapaki. Dia berusaha menjauhi lawan, namun tiga orang gadis telah menodongkan pedang terhunus.
"Hentikan perlawanan kalau tak ingin gadis ini celaka!" teriak Sekar.
Rangga tersentak, namun tak bisa berbuat apa-apa. Wulandari telah jadi sandera. Mau tak mau, dia mengalah dengan menghentikan serangan. Maka saat itu juga dua orang gadis meringkusnya dengan mengikat kedua tangan yang dirapatkan ke tubuh.
"Bawa mereka ke hadapan ketua!" perintah Sekar lagi.
"Baik!"
Seperti membawa tawanan perang, Rangga dan Wulandari yang telah diikat digiring ke dalam ruangan besar yang biasa digunakan pemilik tempat ini. Begitu tiba, mereka langsung diperintah bersimpuh.
"Tuanku! Kami membawa dua orang tawanan. Yang seorang, Tuanku telah mengenalnya. Se-dangkan seorang lagi adalah anggota kita yang coba berkhianat!" lapor Sekar setelah menjura hormat.
"Hm...!"
Anjarasih yang duduk di atas singgasana besar memandang keduanya satu persatu sambil tersenyum.
"Siapa namamu?" tanya Anjarasih pada gadis yang bersimpuh di samping Rangga.
"Wulandari, Tuanku...," sahut Wulandari.
"Kau tahu, apa akibatnya jika berkhianat padaku?" tanya Anjarasih.
"Ampunkan hamba, Tuanku...!"
"Ampunan tidak cukup bagi seorang pengkhianat! Tugas menangkap pemuda ini kuberikan sendiri. Dan setelah susah payah menangkapnya, lalu kau coba melepaskannya. Lancang betul kau!"
Wulandari tertunduk lesu dengan tubuh gemetar. Dia tak tahu, bagaimana caranya bisa selamat dari hukuman. Tapi rasanya hal itu mustahil.
"Untuk itu kau akan mendapat hukuman yang paling berat!" lanjut penguasa tempat ini.
"Ampun, Tuanku. Hamba memang bersalah dan patut mendapat hukuman...."
"Hukuman mati terlalu mudah bagimu. Kau harus mati dengan cara perlahan-lahan!" desis Anjarasih.
Wulandari semakin bergidik ngeri, memba-yangkan hukuman apa yang akan dilimpahkan padanya.
"Kau akan dijebloskan ke dalam kobakan lin-tah!" lanjut Anjarasih.
"Ohh...!"
? *** ? 7 ? Semua yang berada di tempat ini, kecuali Pendekar Rajawali Sakti, terkejut. Mereka tahu tempat apa yang disebut oleh Anjarasih. Kobakan lintah adalah sebuah tempat berbentuk kolam berisi lumpur yang di sekelilingnya dikurung kerangkeng besi kuat dan tak mudah dipatahkan. Di dalam lumpur, terpelihara ribuan lintah sebesar jari-jari orang dewasa. Selama ini, tempat itu merupakan ruang penyiksaan bagi mereka yang melakukan kesalahan berat. Dan, belum pernah ada seorang pun yang bisa selamat.
Saat itu juga tubuh Wulandari menggigil keta-kutan. Wajahnya pucat. Bibirnya kelu untuk berkata-kata.
"Bawa dia sekarang juga!" perintah Anjarasih.
"Oh, tidak! Tidaaak...!"
Wulandari berusaha berontak, ketika dua pengawal meringkusnya. Tapi, sia-sia saja. Sebab dengan kedua tangan dan kaki yang terbelenggu, maka tak mampu berbuat banyak untuk mengadakan perlawanan.
"Tunggu...!" teriak Rangga, lantang.
"Hm!"
Anjarasih mengangkat tangannya sebagai isyarat. Sehingga untuk sesaat kedua pengawal yang tengah meringkus Wulandari menghentikan kerjanya.
"Ada apa?" tanya penguasa tempat ini, dingin.
"Kau tidak pantas menghukumnya secara keji. Dia tak bersalah. Kalau mencari siapa yang ber-salah, maka akulah yang patut mendapat hukuman!" sahut Rangga, mantap.
"Begitukah menurutmu?" tukas Anjarasih.
"Lepaskan dia. Dan hukumlah aku!"
"Sayang sekali. Yang menjadi persoalan adalah, bukan siapa yang salah. Tapi, hukuman itu kujatuhkan. Karena, aku tak suka dikhianati anak buahku. Sudah menjadi keputusanku untuk menghukum mati mereka yang mengkhianatiku," lanjut Anjarasih tenang.
"Aku yang membujuknya. Dan dia terpaksa melakukan itu!" dalih Rangga.
Rangga memang berkata dusta. Tapi kalaupun berkata seperti itu, niatnya adalah agar Wulandari tidak terlalu disalahkan. Namun tanggapan Anjarasih justru memojokkan gadis itu.
"Hm.... Jadi kalian telah kenal lama sebelumnya" Hal itu justru merupakan pelanggaran bagi mereka!" sentak Anjarasih.
"Sebenarnya tidak begitu...," sahut Rangga.
"Lalu apa?"
Pemuda itu tak mampu menjawab.
"Bawa dia cepat!" perintah Anjarasih lantang.
"Tunggu dulu!" cegah Rangga.
Tapi, wanita muda itu tidak memberikan isyarat apa-apa. Sehingga anak buahnya segera menggiring Wulandari keluar dari ruangan ini.
"Ada yang ingin kubicarakan padamu. Namun dengan syarat, hukuman terhadap Wulandari dibatalkan!" lanjut Pendekar Rajawali Sakti.
"Demikian berharganyakah yang hendak kau bicarakan?"
"Bagaimana tentang tawaranmu padaku?" sahut Rangga cepat.
"Hm!"
Anjarasih bergumam. Lalu diberinya isyarat pada salah seorang pengawal yang ada di sebelahnya. Dia berbisik sebentar. Dan pengawal itu segera keluar dari tempat ini, setelah mengangguk.
"Aku menangguhkan hukuman terhadapnya. Dan setelah mendengar apa yang hendak kau bicarakan, maka nanti akan kuputuskan, apakah hukuman itu patut diterimanya atau tidak," kata Anjarasih.
"Aku ingin bicara secara pribadi denganmu."
"Hm, begitu" Baiklah."
Penguasa tempat ini tersenyum. Lalu tangannya menepuk dua kali. Maka orang-orang yang berada di ruangan ini segera angkat kaki setelah menjura hormat.
"Nah, mereka telah pergi. Bicaralah! Apa yang hendak kau katakan padaku!"
Rangga terdiam beberapa saat. Dia berpikir tentang Wulandari. Nyawa gadis itu terancam, ka-rena hendak menyelamatkannya. Entah, apa maksudnya. Padahal mereka baru sekali bertemu. Dan itu pun tidak lama. Tapi mestikah dia mendiamkan saja orang yang berusaha menyelamatkannya dengan taruhan nyawa meski gagal"
"Aku ingin agar kau membebaskan gadis itu...," ucap Rangga.
"Itu tidak mungkin!" sentak Anjarasih.
"Apa yang bisa menyelamatkannya dari hukuman itu" Apakah dia tak punya pilihan?"
"Dia tidak. Tapi, kau ada!"
"Apa maksudmu?"
"Kau bisa menyelamatkannya, asal bersedia memenuhi permintaanku. Tidak sulit, bukan?"
Rangga terdiam. Hal ini yang justru tadi tengah dipikirkannya. Tapi tatkala persoalan telah di depan mata, dia kembali kebingungan menentukan pilihan.
"Bagaimana" Atau barangkali kau menunggu gadis itu mati?" desak Anjarasih.
"Paling tidak dia telah berjasa padamu. Tapi hanya karena kesalahan sedikit, mengapa kau be-gitu tega untuk menghukum mati terhadapnya?" ujar Rangga untuk mengalihkan perhatian.
"Aku tak tertarik berdebat!" sahut wanita itu tegas. "Yang ingin kudengar saat ini adalah ja-wabanmu. Sehingga bisa kuputuskan apakah gadis itu akan dihukum mati atau tidak."
Rangga kembali terdiam. Berpikir untuk bebe-rapa saat lamanya.
"Bagaimana"!"
"Baiklah...," desah Rangga dengan suara berat, setelah menghela napas panjang.
"Hm, bagus! Ternyata kau mampu menentukan pilihan. Nah! Hari ini juga akan kuumumkan hubungan kita berdua kepada semua anak buah-kul" sambut Anjarasih, tersenyum bangga.
? *** ? Wajah Anjarasih kelihatan berseri-seri, setelah mendengar jawaban Rangga. Maka saat itu juga semua anak buahnya diperintahkan untuk berkumpul di balairung yang besar itu. Agaknya segala sesuatu telah dipersiapkan dengan baik. Termasuk, perhelatan untuk upacara ini.
Kini Penguasa Istana Lembah Darah ini memakai seperangkat pakaian sutera. Demikian pula Rangga. Seorang laki-laki berusia lanjut yang bertindak sebagai pemuka agama maju ke depan, untuk mengokohkan hubungan kedua insan itu menjadi hubungan resmi sebagai suami istri.
"Aku tidak akan bersedia sebelum melihat gadis itu bebas," kata Rangga, berbisik.
"Apakah kau tak percaya dengan janjiku" Dia akan bebas. Tenanglah. Begitu berartikah dia bagimu?" sahut Anjarasih tenang.
Pemuda itu diam tak menjawab. Sementara, gadis ini mengerling sambil tersenyum padanya.
"Kau belum menjawab pertanyaanku. Begitu berartikah dia bagimu, sehingga kau mengkhawatirkan keselamatannya?" desak Anjarasih.
Rangga masih tetap membisu, tanpa peduli dengan pertanyaan gadis ini di sebelahnya.
"Jawablah, meski hanya sepatah kata...," ujar Anjarasih.
"Lepaskan dia."
"Aku telah melepaskannya."
"Aku tidak melihat buktinya."
"Baiklah."
Anjarasih lantas berbisik pada pengawal yang ada di sebelahnya. Dan sang pengawal pun kemudian berbisik pada seorang pengawal lainnya, yang segera berlalu dari tempat itu.
Tak lama, Rangga melihat Wulandari di am-bang pintu bersama seorang pengawal.
"Nah! Kau lihat dia bebas, bukan?" tukas Anjarasih.
"Hm... Aku tidak melihatnya begitu," gumam Rangga.
"Apa maksudmu?"
"Dia seperti masih ditawan."
"Setelah urusan kita selesai, maka dia akan kulepaskan!" sahut Anjarasih menegaskan. "Dia telah kubebaskan dari hukuman mati. Itu berarti aku tidak mengingkari janji. Nah, apakah kau yang hendak mengingkari janjimu padaku?"
Rangga diam membisu.
Pada saat itu, pemuka agama yang akan me-nyatukan mereka berdua dalam mahligai rumah tangga telah siap di depan sebuah altar yang dipenuhi sesajian. Kedua pasangan calon pengantin mengikuti, lalu duduk bersimpuh di depan di pemuka agama.
Namun sebelum segala sesuatunya dimulai....
"Hiaaat...!" ???
"Aaakh...!"
Mendadak terdengar keributan dari arah luar.
Dan sesaat kemudian disusul jerit kesakitan yang saling sambung-menyambung.
"Hei"!"
Mereka yang berada di ruangan ini terkejut. Demikian pula halnya Anjarasih.
"Kurang ajar! Apa itu?"
"Seseorang mengacau di tempat ini, Tuanku!" lapor seorang pengawal.
"Brengsek! Apakah kalian tidak bisa mem-bereskan seorang pengacau"!" hardik Penguasa Istana Lembah Darah geram.
"Biar kami bantu, Tuanku!" sahut salah seorang pengawal.
Saat itu juga beberapa pengawal melompat menghadapi si pengacau. Tapi, ternyata hal itu tak merubah keadaan. Tetap saja terdengar jerit kesakitan yang saling sambung-menyambung. Dan korban di pihak penghuni Istana Lembah Darah semakin bertambah.
Dengan terpaksa, Anjarasih meninggalkan ruangan ini, menuju keluar. Dia diikuti beberapa pengawalnya.
"Hm, si Pemabuk Dari Gunung Kidul rupa-nya...!" gumam Anjarasih geram begitu mengenali siapa orang yang mengacau. "Pantas mereka tak mampu menghadapinya."
Ki Demong alias si Pemabuk Dari Gunung Kidul tampak berkelit-kelit lincah menghadapi keroyokan. Sesekali dia melepas serangan.
"Heaaat...!"
Bahkan Ki Demong membarengi dengan sem-protan tuaknya.
"Prufhhh...!"
Wusss! ? *** ? Cairan tuak Ki Demong bergerak cepat menyambar para pengeroyok. Sebagian terlihat me-mercikkan api.
Pada saat itu juga, berkelebat satu sosok ba-yangan yang langsung memapak serangan tuak Pemabuk Dari Gunung Kidul dengan pukulan jarak jauh.
Wusss...! "Uts! Brengsek!" umpat Ki Demong seraya melompat ke samping, ketika tuaknya berbalik menyambarnya. Tubuhnya terus bergulingan, lalu melenting menjauhi sosok bayangan yang tak lain Anjarasih.
Tapi Penguasa Istana Lembah Darah terus mengejar dengan gesit. Agaknya wanita itu tidak mau melepaskan lawannya begitu saja, sebelum berhasil meringkus atau membunuhnya.
Sementara itu, perkembangan yang terjadi di tempat ini membuat Rangga cepat bertindak untuk meloloskan diri. Namun perbuatannya itu diketahui beberapa orang anak buah Anjarasih.
"Berhenti! Jangan coba-coba bertingkah. Atau kami terpaksa membunuhmu!" ancam salah se-orang seraya menyodorkan ujung pedang ke leher.
Rangga berpikir cepat. Ini adalah kesempatan baik baginya untuk kabur. Dan kalau tidak bertindak, mungkin saja kesempatan itu tak akan pernah datang lagi. Maka seketika dia menjatuhkan diri ke belakang.
"Hei"!"
Tiga anak buah Anjarasih terkejut. Mereka langsung melompat mengejar sambil membabatkan pedang.
Wut! Pada saat yang gawat ini mendadak satu sosok lain berkelebat, langsung membabatkan pedang ke arah para pengeroyok.
Bret! "Aaa...!"
Tiga orang gadis kontan terjungkal disertai jeritan kesakitan. Mereka ambruk tak bangun-ba-ngun lagi.
Rangga yang telah bangkit berdiri melihat seorang gadis tegak berdiri di depannya dengan pe-dang di tangan kanan. Pedang itulah yang agaknya menghabisi nyawa ketiga gadis tadi. Tapi, agaknya pedang itu pula yang membuat Rangga tersenyum lega. Apalagi ketika gadis itu mengangsurkan pedang di tangannya itu. Lengkap berikut warangkanya.
"Kakang Rangga! Ini pedangmu. Terimalah!"
"Oh, terima kasih! Kau baik sekali. Rasanya aku pernah mengenalmu...."
"Aku Ningsih. Kita tak punya banyak waktu. Sebaiknya, lekas kita keluar dari tempat ini!" ajak gadis yang tak lain Ningsih seraya menggamit lengan Rangga.
"Eh, tapi...."
"Ayo cepat! Kita tak punya banyak waktu. Aku dan Wulandari akan menuntunmu mencari tempat keluar. Cepat!"
"Wulandari?"
Tapi Rangga tidak mendapat jawaban, karenagadis itu keburu mengajaknya keluar dari balairung itu. Mereka lari sekencang-kencangnya menuju sebuah terowongan panjang. Di belakang mereka pada jarak beberapa langkah, Wulandari menyusul setelah membereskan beberapa orang anak buah Anjarasih.
"Cepat, Ningsih! Mereka mengejar kita!" teriak Wulandari.
"Iya, iya!"
"Cepat ke sini!" teriak Ningsih memasuki sebuah terowongan lain.
"Hup!"
Brug! Begitu Rangga dan Wulandari melompat, maka saat itu juga pintu tertutup rapat oleh jeruji besi.
"Untuk sesaat kita aman. Tapi siapa tahu, ada yang mengejar. Kita mesti cepat!" seru Ningsih.
"He, di sini banyak sekali terowongan"!" ujar Rangga bingung.
"Jangan khawatir! Ikuti aku!" seru Ningsih, seraya terus berlari menuju terowongan yang ada di sebelah kanan.
Di dalam terowongan itu pun terdapat beberapa cabang terowongan lain yang berjumlah sekitar tujuh. Sangat membingungkan bagi mereka yang tidak tahu. Tapi, Ningsih telah hafal semuanya sehingga tanpa ragu-ragu lagi mengambil jalan yang aman.
"Fuuuhh...! Kita harus terjun ke telaga itu!" ujar Ningsih ketika mereka tiba di ujung terowongan, dan di bawahnya terhampar sebuah telaga.
Tanpa menunggu lama lagi mereka sudah langsung melompat ke dalam telaga.
? *** ? 8 ? Telaga tempat Rangga, Wulandari, dan Ningsih menceburkan diri bukanlah tempat pemandian atau sebuah tempat yang berair sejuk dan bening. Melainkan, sebuah telaga yang amat jorok dan kotor. Baunya sangat menusuk hidung. Karena, ujung terowongan yang tadi dilalui adalah tempat pembuangan limbah yang berasal dari istana. Dan telaga ini sendiri merupakan tempat penampungan limbah-limbah itu.
"Maafkan kami, Kakang Rangga. Tapi itu adalah jalan satu-satunya bagi kita untuk selamat...," ucap Ningsih lirih, ketika mereka telah jauh dari istana.
Rangga terdiam. Dibersihkannya kotoran-ko-toran yang melekat di tubuhnya.
"Ningsih benar. Kalau kita melalui jalan lain, maka kemungkinan besar akan diketahui mere-ka...," timpal Wulandari.
"Sudahlah. Bagaimanapun aku berterima kasih atas pertolongan yang kalian berikan."
"Sebaiknya kau tidak berada dekat-dekat istana itu lagi, Kakang," ujar Ningsih.
"Aku justru hendak ke sana. Nasib Ki Demong dalam bahaya!" tegas Rangga.
"Dalam keadaanmu sekarang ini sulit bagimu untuk membantu mereka. Bahkan membantu dirimu sendiri pun belum tentu bisa...," ujar Wulandari.
"Tapi aku tidak bisa membiarkan mereka dalam kesulitan demi menolongku."
"Kau telah selamat. Itulah tujuan mereka. Kita hanya berdoa mudah-mudahan saja mereka bisa selamat...."
"Mungkin aku bisa menolong," sambung Ningsih.
"Hm, bagaimana maksudmu?" tanya Rangga.
"Kalau keadaanmu telah pulih seperti semula, kemungkinan besar kau bisa membantu mereka...."
"Benar! Kini aku telah pulih benar, setelah menelan obat yang diberikan Wulandari."
? *** ? Kaburnya Pendekar Rajawali Sakti sempat di-dengar Anjarasih. Tapi Penguasa Istana Lembah Darah itu tak mampu berbuat apa-apa, sebelum membereskan Pemabuk Dari Gunung Kidul. Dan agaknya membereskan orang tua itu bukanlah hal mudah. Selain berilmu tinggi, tokoh tua itu juga amat berbahaya. Terutama, semprotan tuaknya.
"Hm, Keparat! Aku tidak bisa terus-terusan begini. Tua bangka pemabuk ini harus cepat kubereskan!" desis Anjarasih geram.
"Hiih!"
Anjarasih melepaskan pukulan jarak jauh ke arah Ki Demong. Namun orang tua itu mengegos ke samping, sehingga pukulan itu luput. Namun selanjutnya Penguasa Istana Lembah Darah itu telah meluruk deras.
Wuuuttt! Ki Demong cepat mengibaskan guci tuak. Tapi dengan cepat Anjarasih telah berkelebat. Dan tahu-tahu satu hantaman keras menghajar dadanya.
Des! "Akh!"
Ki Demong terjungkal ke belakang, muntahkan darah segar. Wajahnya berkerut kesakitan, menandakan kalau hantaman tadi disertai pengerahan tenaga dalam kuat.
"Heaaa...!"
Anjarasih telah melesat, sebelum Pemabuk Dari Gunung Kidul sempat bangun. Dan kalau saja Ki Demong tidak bergulingan, niscaya tubuhnya akan remuk dihantam tendangan beruntun yang dilepaskan wanita itu.
"Hiih!"
Penguasai Istana Lembah Darah menyapu ke bawah dengan sebelah kaki. Namun tubuh Ki De-mong telah melenting sedikit ke atas. Maka seketika wanita itu berbalik. Cepat dilepaskannya tendangan dari atas ke bawah.
Begkh!

Pendekar Rajawali Sakti 184 Kembang Lembah Darah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aaakh...!"
Kembali Pemabuk Dari Gunung Kidul menjerit kesakitan. Darah langsung muncrat lebih banyak dari mulutnya. Namun, orang tua itu masih sempat bergulingan menghindari serangan selanjutnya.
"Aduh, Biyung! Edan! Edan sekali perempuan ini!" gerutu Ki Demong dengan muka berkerut menahan rasa sakit.
"Yeaaa...!"
Anjarasih terus mengejar. Dan sekali ini, keadaan Ki Demong sudah lebih parah. Kalaupun dia bisa menghindar atau menangkis, tapi serangan berikut pasti akan menghajarnya bertubi-tubi.
Keadaan Ki Demong sangat gawat. Sedangkan Anjarasih berniat menghabisinya saat itu juga. Namun sebelum hal itu terjadi, berkelebat sesosok bayangan memapak serangan.
"Hiyaaat...!"
Plak! Plak! "Uhh...!"
Bentrokan barusan mengejutkan Anjarasih. Tubuhnya kontan terjungkal ke belakang dan sempat terhuyung-huyung. Namun yang lebih mengejutkannya adalah ketika mengetahui siapa gerangan yang telah menahan serangannya.
"Kau..., kau..."!"
"Ya, aku! Kenapa" Apakah kau kaget?" tanya sosok bayangan yang ternyata Rangga dengan se-nyum dingin.
"Bagaimana mungkin...?"
"Segalanya bisa saja terjadi. Dan kau tak perlu heran!" sahut Rangga singkat.
"Huh, bagus! Senjatamu telah kembali. Begitu juga keadaanmu. Tapi jangan harap kau bisa lolos dariku!" dengus Anjarasih.
"Jangan terlalu mengumbar kesombongan, Perempuan Iblis! Kali ini akan kita lihat siapa yang berhasil meringkus dan siapa yang diringkus!"
Tanpa banyak bicara lagi penguasai Istana Lembah Darah langsung menyerang secepat kilat.
"Heaaat!"
Cring! Begitu tubuhnya meluruk, Anjarasih meloloskan pedang. Langsung dibabatnya Rangga dengan jurus pedangnya yang berbahaya.
"He he he...! Dasar bocah bego! Kenapa kau baru muncul sekarang" Orang sudah mau mampus baru datang. Apa barangkali kau ingin aku mampus, he"!" omel Ki Demong.
Rangga hanya tersenyum mendengar omelan Ki Demong. Namun seketika dia mencabut Pedang Pusaka Rajawali Sakti yang bersinar biru berkilauan.
Sring! Begitu serangan Anjarasih hampir tiba, secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti memainkan jurus 'Pedang Pemecah Sukma'.
Bet! Bet! "Uhh...!"
Melihat pedang yang memancarkan cahaya biru, agaknya tidak membuat wanita itu kaget. Dia malah menghindari bentrokan senjata, dan berusaha menyusup di antara pertahanan Rangga.
Tapi, Rangga tidak memberi kesempatan sedikit pun padanya. Pedang pusakanya bergerak bagai hujan badai yang mengurung ruang gerak Anjarasih.
"Heaaa! Hiyaaat!"
Kesempatan itu agaknya dipergunakan Rangga sebaik-baiknya untuk mengerahkan kekuatan yang ada dalam jurus 'Pedang Pemecah Sukma'.
Akibatnya, Anjarasih jadi kelihatan kewalahan. Jurus-jurusnya jadi kelihatan kacau. Semangat bertarungnya lenyap entah ke mana, seketika jiwanya terasa terpecah-pecah. Dia tidak tahu kalau itulah pengaruh jurus 'Pedang Pemecah Sukma' tingkat terakhir.
? *** ? Anjarasih terkejut melihat kelebatan pedang Rangga. Dan seketika ditangkisnya pedang itu.
Tras! Akibatnya, pedang wanita itu sendiri putus di-babat senjata Pendekar Rajawali Sakti. Masih untung Anjarasih bisa selamat setelah bergulingan. Sambil bergulingan dilemparkannya sisa pedang ke arah Rangga.
Wut! "Hiih!"
Rangga tak berusaha menangkis. Cepat dia melompat mendekati Anjarasih. Langsung pedangnya dibabatkan.
Seketika, Penguasa Istana Lembah Darah me-nekuk tubuhnya. Dia coba menghindar ke bela-kang.
Tapi, tendangan Rangga lebih cepat meluncur. Sehingga....
Desss! "Aaakh...!"
Wanita itu memekik kesakitan ketika tendangan Rangga mendarat di perut. Tubuhnya terjungkal beberapa langkah ke belakang. Dari mulutnya menetes darah segar. Secepat kilat Anjarasih bangkit, memandang tajam pada Rangga.
"Serang dia! Bunuh!" dengus perempuan ini memberi perintah pada beberapa orang anak buahnya.
Begitu beberapa gadis berbaju merah menyerang Rangga, Anjarasih sendiri kabur menyelamat-kan diri.
"Kurang ajar! Kau kira bisa kabur begitu saja, he"!" dengus Rangga geram.
Cepat Pendekar Rajawali Sakti melompat mengejar. Namun anak buah Anjarasih segera menghalangi.
"Yeaaat!"
Rangga tidak tinggal diam. Langsung pedangnya dikibaskan menghalau lawan-lawannya.
Tras! Cras! "Aaa...!"
Jerit kesakitan segera berkumandang ketika para gadis itu ambruk disapu pedangnya. Mereka yang kembali coba menghalangi, kembali ambruk tak berdaya.
"Hiyaaat!"
Sambil melompat dan menebas, Pendekar Rajawali Sakti berusaha mengejar Anjarasih. Tapi agaknya hal itu sia-sia saja. Sebab, wanita itu telah menghilang entah ke mana.
"Kakang Rangga, hentikan!"
Saat itu seseorang berteriak memanggil.
"Hm, Wulandari! Kebetulan. Kau tahu, ke mana kira-kira wanita itu pergi" Tunjukkan padaku!" desis Rangga.
"Hentikan pembantaian ini. Mereka tak ber-dosa. Mereka hanya alat. Anjarasih telah kabur."
"Kabur" Kau pasti tahu di mana tempat per-sembunyiannya. Ayo, tunjukkan padaku!"
Gadis itu menggeleng lemah.
"Sayang sekali. Tak seorang pun di tempat ini yang tahu persembunyiannya selain dia sendiri...," desah gadis ini.
Kurang ajar!" umpat Rangga geram.
"Sudahlah. Lain kali mungkin kau akan bertemu dengannya. Kita harus menguasai keadaan. Kau harus paksa mereka menyerah, atau korban akan semakin berjatuhan...," bujuk Wulandari.
Rangga melihat Ki Demong masih terus menghajar musuh-musuh. Dan kalau tak cepat dihentikan maka bisa jadi korban akan bertambah. Padahal seperti yang dikatakan Wulandari, mereka hanya alat. Dan kini ketika pemimpinnya kabur, mereka seperti anak ayam kehilangan induk.??????
"Berhenti semua!" bentak Rangga keras menggelegar.
Bentakan itu mengejutkan kedua belah pihak. Tapi, tidak buat Ki Demong.
"Bocah gendeng! Kenapa kau hentikan saat aku tengah asyik-asyiknya menghajar mereka"!" rutuk Pemabuk Dari Gunung Kidul.
"Maaf, Ki. Kita tidak bisa menghajar mereka terus-terusan. Pemimpin mereka telah kabur. Dan kalau mereka tidak menyerah dalam hitunjgan tiga, maka akan kuratakan tempat ini berikut dengan mereka!" sahut Rangga lantang.
Kemudian Pendekar Rajawali Sakti memandang mereka satu persatu.
"Menyerahlah kalian. Dan, buang senjata yang ada di tangan. Pemimpin kalian telah kabur meninggalkan kalian semua! Tidak ada yang mesti dibela lagi!"
Mula-mula para anak buah Anjarasih ragu. Namun setelah melihat kalau sang pemimpin tak ada di tempat itu, maka satu persatu mereka melemparkan senjata.
Rangga meminta Ningsih dan Wulandari untuk meringkus mereka. Dia sendiri menghampiri Ki Demong.
"Ki Demong! Aku amat berterima kasih atas pertolongan yang kau berikan...," ucap Rangga.
"Eh, eh! Pertolongan apa"!" tanya orang tua itu bingung, sambil garuk-garuk kepala yang tak ga-tal.
"Kau telah datang ke sini sengaja menolongku, bukan?"
"He he he...! Siapa yang menolongmu" Aku datang ke sini karena ingin melihat gadis-gadis cantik. Siapa tahu aku masih laku. He he he...!" sahut orang tua ini enteng.
? SELESAI ? Segera terbit: GEGER DI TELAGA WARNA
? www.duniaabukeisel.blogspot.com
www.jagatsatria.com
Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 Imbauan Pendekar 11 Tapak Tapak Jejak Gajahmada Karya Arief Sudjana Gendruwo Rimba Dandara 2

Cari Blog Ini