Pendekar Rajawali Sakti 175 Manusia Lumpur Bagian 2
"Ciri-ciri yang tadi dijelaskan Kakang Sanjaya, agaknya persis seperti yang pernah kudengar," lanjut Kama lagi.
"Orang ini sungguh gila. Dia memiliki ilmu kebal yang dahsyat bukan main. Tubuhnya keras bagai seonggok karang yang tidak tergoyahkan oleh apa pun," timpal Sanjaya.
"Tapi, kenapa dia tidak menghabisi nyawa pemuda itu seperti yang dilakukannya pada orang lain?" tanya salah satu murid lain.
Semua orang memandang Sanjaya dengan seksama. Demikian pula Ki Bagus Wesi. Mereka agaknya penasaran dengan ceritanya pada bagian ini.
"Entahlah.... Aku sendiri tak tahu. Dan kulihat pemuda itu pun seperti kebingungan," jawab Sanjaya.
"Guru! Ada kemungkinan kalau pemuda itu tersangkut-paut dengannya?" tanya Kama.
"Mungkin saja. Tapi, mungkin juga tidak. Mereka bertarung mati-matian. Dan tiba-tiba, makhluk itu menyudahinya begitu saja. Bukankah pada saat itu dia memainkan ilmu pedangnya, Sanjaya?" tanya Ki Bagus Wesi.
"Benar, Guru."
"Kau katakan pedang pemuda itu mengeluarkan cahaya biru?"
Sanjaya kembali mengangguk.
"Hmmm...."
Ki Bagus Wesi berpikir sejenak.
"Apakah Guru tahu, siapa kira-kira pemuda itu?" tanya salah seorang murid.
"Mungkin pemuda itu Pendekar Rajawali Sakti," duga Ki Bagus Wesi.
"Pendekar Rajawali Sakti" Hm.... Rasanya aku pun berpikir seperti itu," sahut Sanjaya.
"Dia pendekar hebat. Dan untuk saat ini, sulit dicari tandingannya. Tapi kenapa kau katakan dia keteter menghadapi lawannya?"
"Entahlah.... Aku sendiri tidak tahu, Guru. Tapi makhluk itu memang hebat sekali."
"Aku ingin kalian mencari tahu soal ini. Juga mengikuti ke mana pemuda itu pergi. Kita harus meyakinkan apakah dia mempunyai sangkut paut dengan makhluk itu!" ujar Ki Bagus Wesi, tandas.
"Baik, Guru! Akan kami laksanakan sebaiknya!" sahut para murid Perguruan Tangan Besi serentak.
"Aku inginkan makhluk itu. Dia harus membayar kematian Pratama!" desis laki-laki tua ini.
Semua murid mengangguk. Dan belum juga ada yang membuka suara lagi....
"Aaa...!"
"Heh" Apa itu"!"
*** Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 " . 175. Manusia Lumpur Bag. 5 - 8 (Selesai)
1. M?rz 2015 um 07:36
? 5 ? Ki Bagus Wesi berkelebat keluar, diikuti murid-muridnya. Setiba di luar, tampak beberapa murid Perguruan Tangan Besi terkapar tak berdaya. Sementara yang lainnya tengah mengeroyok seseorang.
"Guru! Makhluk itu yang tadi kita bicarakan!" teriak Sanjaya memberitahu.
"Hhh...!"
Wajah Ki Bagus Wesi seketika berubah kelam. Amarah yang memercik di hatinya, cepat berubah menjadi kobaran api yang menyala-nyala.
"Minggir kalian semua!" bentak laki-laki tua itu melompat menerobos arena pertarungan.
Sementara seketika murid-murid Ki Bagus Wesi melompat mundur, memberi jalan. Sehingga Ki Bagus Wesi bisa melihat jelas rupa pembunuh putranya.
"Siapa sebenarnya kau"! Dan, mengapa kau bunuh anakku"!" dengus Ketua Perguruan Tangan Besi itu dengan nada dingin.
Sepasang mata laki-laki ini menatap tajam pada sosok berlumpur yang tak lain Manusia Lumpur. Namun sesaat jantung Ki Bagus Wesi berhenti berdetak, tatkala makhluk di depannya balas memandang. Sepasang matanya berkilau tajam, seperti hendak menikam jantungnya.
"Graaagkh...!"
Manusia Lumpur menggeram buas. Dan secepat kilat, diterjangnya Ki Bagus Wesi.
Ki Bagus Wesi terkesiap. Namun, dia masih mampu berkelit seraya menangkis pukulan.
"Uts!"
Plak! "Uhhh...!"
Kembali orang tua itu dibuat kaget. Tangannya merasa linu dan sedikit sakit ketika beradu dengan tangan Manusia Lumpur. Ditariknya napas dalam-dalam, lalu dia mulai balas menyerang dengan menggunakan jurus "Tangan Besi" yang jadi andalan perguruannya.
"Heaaa...!"
Tiba-tiba tubuh Ki Bagus Wesi berkelebat sambil melepaskan dua pukulan berturut-turut yang begitu cepat tak tertahankan.
Deb! Deb! "Graaagkh...!"
Manusia Lumpur terdorong beberapa langkah ke belakang akibat dua hantaman berturut-turut di dadanya. Namun secepat itu pula, dia melompat menyerang sambil menggeram marah.
"Graaagkh...!"
"Hup! Keparat!"
Ki Bagus Wesi melompat ke samping, menghindari pukulan Manusia Lumpur. Akibatnya pagar tembok di belakangnya jadi sasaran.
Blarrr...! Tembok itu kontan hancur berkeping-keping dihajar pukulan Manusia Lumpur. Dan baru saja Ki Bagus Wesi menjejakkan kaki, serangan makhluk ini telah meluruk kembali dengan satu kibasan tangan.
Wuuut! Cepat Ki Bagus Wesi memiringkan tubuhnya sehingga kepalan tangan Manusia Lumpur lewat beberapa jari dari pelipisnya. Tapi begitu serangan itu lewat, secepat itu pula serangan lain bergerak ke bawah menggedor dada.
Begkh...! "Aaakh...!"
Ketua Perguruan Tangan Besi memekik kesakitan. Tubuhnya terjungkal beberapa langkah ke belakang. Dari mulutnya meleleh darah segar.
"Guru...!"
Murid-murid Perguruan Tangan Besi tersentak kaget. Beberapa orang berlari cepat menghampiri. Padahal pada saat yang sama, Manusia Lumpur tengah melompat hendak menghabisinya.
"Keparat!" desis Sanjaya.
Bersama empat orang kawannya, laki-laki itu melompat untuk menghadang serangan.
"Jangaaan...!" teriak Ki Bagus Wesi memperingatkan murid-muridnya.
Tapi teriakan Ketua Perguruan Tangan Besi agaknya tidak dipedulikan murid-muridnya. Pada saat yang sama, makhluk itu telah mengayunkan tendangan secepat kilat. Sehingga....
Buk! Begkh! Krek!
"Aaa...!"
Kelima orang itu terpental ke belakang disertai pekik kesakitan. Tiga orang terhantam tendangan, dua lainnya terkena kepalan. Mereka menggelepar sesaat dengan darah meleleh dari sudut bibir, lalu diam tak bergerak.
"Keparat!" desis Ki Bagus Wesi.
Bukan main geramnya Ki Bagus Wesi melihat pemandangan yang terjadi di depan mata. Lima muridnya tewas, dan dia tidak mampu menolong sedikit pun.
"Graaagkh...!"
Ki Bagus Wesi tidak bisa termenung lama-lama, sebab Manusia Lumpur telah menggeram dan kembali melompat menerjang. Secepat kilat dia bangkit, lalu....
"Hup!"
Dengan gerakan mengagumkan, Ketua Perguruan Tangan Besi mengegoskan tubuhnya ke kiri. Lalu tanpa diduga tubuhnya berputar seraya melepaskan tendangan.
Namun Manusia Lumpur dengan tangkas mengebutkan tangannya untuk menangkis.
Plak! "Uhhh...!"
Ki Bagus Wesi mengeluh menahan sakit, begitu kakinya terpapak tangan Manusia Lumpur. Tubuhnya terjajar beberapa langkah dengan mulut meringis. Dan belum sempat Ketua Perguruan Tangan Besi memperbaiki keseimbangannya, Manusia Lumpur telah kembali berkelebat seraya melepaskan satu hantaman tangan kiri ke dalam.
Wuuut...! Desss...! "Aaa...!"
Ki Bagus Wesi memekik setinggi langit ketika dadanya terhantam pukulan keras bukan main. Tubuhnya terjungkal ke belakang dengan tulang dada remuk. Dari mulutnya menyembur darah segar. Orang tua itu hanya mampu bergerak sesaat, lalu diam tak berkutik.
"Guruuu...!" teriak murid Perguruan Tangan Besi tersentak kaget.
Serentak mereka berlompatan menghampiri gurunya. Tapi saat itu juga, Manusia Lumpur melompat menyerang.
"Graaagkh...!"
Jdeer! "Aaa...!"
Empat orang langsung terpental dan tewas dihantam pukulan makhluk itu. Rata-rata tulang mereka remuk. Dan yang lainnya terjungkal sambil menjerit kesakitan.
"Keparat...! Makhluk ini benar-benar iblis terkutuk!" desis murid-murid Perguruan Tangan Besi.
Serentak mereka yang tersisa melompat mengurung Manusia Lumpur dengan sikap siap menyerang. Namun sebelum mereka bergerak, makhluk itu telah lebih dulu berkelebat dengan kecepatan luar biasa.
"Graaagkh...!"
Tak! Tak! Begkh!
"Aaa...!"
Tiga orang terpekik. Tubuh mereka terpental dengan dada remuk terkena tendangan Manusia Lumpur.
Kejadian itu membuat mereka yang lain menjadi waswas. Kepercayaan diri mereka hilang. Apalagi setelah melihat kematian guru mereka. Makhluk itu mampu membunuh seperti membunuh kawanan nyamuk. Padahal mereka telah berusaha menyerang dengan segala kemampuan yang ada.
"Apa yang kita lakukan sekarang?" tanya salah satu orang murid perguruan itu.
"Entahlah. Jumlah kita tinggal lima orang lagi. Dengan jumlah banyak saja tak mampu. Apalagi sekarang," keluh murid lain.
Para murid Perguruan Tangan Besi benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Bila mereka berniat kabur, rasanya tidak sampai hati meninggalkan mayat kawan-kawan seperguruan yang telah berkorban nyawa demi menyelamatkan yang lain. Termasuk, mereka. Lagipula belum tentu mereka bisa kabur dengan selamat. Makhluk ini pasti akan mengejarnya.
Dan sebelum mereka mempunyai pilihan lain, Manusia Lumpur kembali menyerang dengan buas.
"Graaagkh...!"
Kelima orang itu terperangah. Agaknya, mereka tidak akan mampu menahan serangan. Mereka hanya pasrah dengan mata terpejam. Namun sebelum serangan Manusia Lumpur sampai pada sasaran....
"Heaaa...f"
Mendadak melesat dua sosok bayangan merah, langsung memapaki serangan Manusia Lumpur.
Duk! Duk! "Aaakh...!"
Dua sosok berbaju merah yang baru muncul kontan berteriak kesakitan. Ketika berhasil memapaki, justru mereka yang terjungkal ke belakang. Namun dengan sigap mereka mengatur keseimbangan, sehingga bisa berdiri tegak.
"Ki Layang Seta! Ki Larong!" seru salah seorang murid Perguruan Tangan Besi ketika mengetahui siapa kedua sosok itu.
Dua sosok yang datang adalah dua laki-laki tua berbaju serba merah. Yang seorang berambut panjang, dengan ikat kepala warna merah. Sama dengan rambutnya, kumis dan jenggotnya pun telah berwarna putih.
Sementara yang seorang lagi berambut jabrik. Meski sudah cukup tua, kumis dan jenggotnya masih berwarna hitam.
"Bagaimana gurumu?" tanya laki-laki tua yang berambut panjang.
"Beliau tewas, Ki Layang!" sahut seorang murid Ki Bagus Wesi.
Laki-laki yang bernama Ki Layang Seta mau bertanya lebih lanjut. Namun saat itu, Manusia Lumpur telah melompat menyerang kembali.
"Graaagkhh...!"
"Awas, Sobat!" teriak Ki Larong, memperingatkan.
Kedua laki-laki tua itu melompat menghindar dengan mencelat ke atas berdampingan. Tapi dengan tidak disangka-sangka, makhluk berlumpur itu melejit menyusul dengan gerakan cepat bagai kilat.
Di udara, kedua orang itu langsung melepaskan tendangan dahsyat.
Namun dengan gerakan cepat, Manusia Lumpur memapak dengan kedua tangannya.
Plak! Plak! "Uh!"
"Uhh...!"
Ki Layang Seta dan Ki Larong sama-sama mengeluh tertahan, ketika berbenturan dengan makhluk itu. Dengan menggunakan tenaga benturan, mereka sama-sama melenting ke belakang sambil berputaran. Lalu, dengan agak terhuyung mereka mendarat di tanah.
"Huh, gila! Makhluk apa ini"!" desis Ki Layang Seta.
"Ki Layang Seta! Makhluk ini yang telah membunuh Pratama dan melukai Lestari, putrimu!" teriak seorang murid Perguruan Tangan Besi.
"Apa"! Inikah keparat itu" Jahanam! Akan kupenggal lehernya!" bentak laki-laki tua yang ternyata ayahnya Lestari, kekasih Pratama.
Dengan wajah geram, Ki Layang Seta mencabut pedangnya yang menggantung di pinggang.
Sring! "Yeaaa!"
Tanpa mempedulikan kakinya yang masih nyeri, Ki Layang Seta meluruk sambil memutar-mutar pedangnya. Begitu cepat putaran pedang itu, hingga yang terlihat hanya kilatan sinar putih keperakan disertai deru angin cukup dahsyat.
Wut! Wut! Begitu telah berada dalam jarak yang memungkinkan Ki Layang Seta langsung membabatkan pedangnya ke dada.
Tak! "Heh"!"
Bukan main terkejutnya Ki Layang Seta ketika pedangnya justru malah patah. Merasa masih penasaran segera dilepaskannya satu tendangan berisi tenaga dalam tinggi.
Dug! "Uhhh...."
Bukannya Manusia Lumpur yang terjungkal malah laki-laki tua itu yang terjajar beberapa langkah. Kakinya terasa ngilu dan sakit bukan main.
"Graaagkhh...!"
Belum juga Ki Layang Seta bersiap kembali, Manusia Lumpur telah berkelebat sambil mengibaskan tangannya cepat bagai kilat. Dan....
Begkh! "Aaakh...!"
Ki Layang Seta memekik kesakitan. Tubuhnya langsung terpental ke belakang beberapa langkah. Tulang dadanya terasa patah. Dan dari mulutnya menyembur darah segar.
"Graaagkh...!"
"Terkutuk! Kau boleh hadapi aku!" bentak Ki Larong, langsung mencabut pedangnya.
Laki-laki tua ini segera berkelebat ketika makhluk itu bermaksud menghabisi Ki Layang Seta yang tengah megap-megap kesakitan. Dan begitu dekat, pedangnya sengaja ditusukkan ke arah mata. Ini sengaja dilakukan untuk mengelabui. Sebab melihat yang tadi terjadi terhadap Ki Layang Seta, Ki Larong menyadari kalau makhluk itu memiliki ilmu kebal yang hebat. Maka begitu Manusia Lumpur berkedip, saat itu juga dilepaskannya satu tendangan dahsyat ke dada.
Dess! "Uhhh...!"
Betapa kagetnya laki-laki tua itu ketika kakinya terasa seperti menghantam tembok baja yang luar biasa kerasnya. Bahkan tubuhnyalah yang justru terjajar beberapa langkah ke belakang.
"Gila! Terbuat dari apa kulitnya"!" desis orang tua itu tidak habis pikir.
"Graaagkh...!"
Belum habis Ki Larong berpikir, Manusia Lumpur telah berkelebat cepat sambil mengibaskan tangannya. Begitu cepat gerakannya, sehingga laki-laki tua ini tak sempat menyadarinya. Dan....
Desss...! "Aaakh...!"
*** ? Ki Larong memekik setinggi langit ketika dadanya telak sekali mendapat hantaman dari Manusia Lumpur. Tulang dadanya terasa remuk. Tubuhnya terjungkal ke belakang disertai muntahan darah segar.
Kekejaman Manusia Lumpur agaknya membuat Ki Layang Seta dan murid-murid Ki Bagus Wesi merutuk habis-habisan. Mereka menduga Ki Larong telah mati terkena hajaran begitu rupa. Namun, makhluk itu agaknya kurang puas. Maka begitu tubuh Ki Larong menyentuh tanah Manusia Lumpur melompat gesit. Lalu kaki kanannya cepat dihunjamkan ke leher Ki Larong.
Praaak! Terdengar suara berderak seperti tulang patah, namun tidak terdengar suara kesakitan. Leher Ki Larong langsung patah, terkulai tanpa daya. Dan dia memang telah tewas sejak tadi!
"Ki Larong!" teriak Ki Layang Seta, seraya berusaha bangkit.
Teriakan Ki Layang Seta membuat Manusia Lumpur berbalik. Saat itu juga dia melompat hendak menghabisi laki-laki tua itu yang hendak menghampiri Ki Larong.
"Uts!"
Ki Layang Seta cepat bergulingan, sehingga tendangan makhluk itu menghantam tempat lain.
Jdeerr! Permukaan tanah yang jadi sasaran amblas beberapa jengkal ke bawah. Melihat buruannya berhasil lolos, secepat itu pula Manusia Lumpur kembali berputar. Segera dikejarnya Ki Layang Seta disertai amarah.
"Graaagkh...!"
Wess...! Wess...!
Pada saat yang gawat bagi keselamatan laki-laki tua itu, mendadak melesat beberapa benda kehitaman sebesar kepalan tangan ke arah Manusia Lumpur.
Tak! Dess! Benda-benda yang ternyata batu itu menghantam dahi, dada, perut, dan bagian bawah perut Manusia Lumpur.
Wess...! Wess...!
Belum juga makhluk itu melihat siapa yang melempar batu, kembali melesat dua buah batu ke bagian mata dan lubang pusarnya.
Dari raut wajahnya jelas terlihat kalau Manusia Lumpur cukup terkesiap. Namun....
"Groaaagkh...!"
Dengan teriakan kegeraman makhluk itu segera menangkap kedua batu yang melesat ke arahnya. Lalu sambil kembali menggerung diremasnya kedua batu itu hingga remuk.
Weett! Tapi, pada saat yang sama melesat cepat satu sosok bayangan putih menyambar tubuh Ki Layang Seta.
Manusia Lumpur hanya mampu terkesiap. Bayangan itu benar-benar cepat bergerak. Sehingga sebelum dia sempat berbuat apa-apa, bayangan tadi telah menghilang.
"Groaaagkhh...!"
Makhluk itu segera menggeram penuh amarah melihat buruannya berhasil meloloskan diri. Suaranya menggelegar ke segala penjuru....
*** ? Ki Layang Seta meringis. Kedua tangannya memegangi bagian dada dan perut sambil merasakan sakit. Tubuhnya terasa remuk akibat hajaran Manusia Lumpur. Untung saja ada seseorang yang menyelamatkannya. Dipandanginya pemuda tampan berambut panjang di depannya.
"Terima kasih kau telah menyelamatkanku, Anak Muda. Siapa namamu?" ucap Ki Layang Seta.
"Rangga," sahut sosok bayangan putih yang menyelamatkan Ki Layang Seta. Dia tak lain dari Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti.
"Rangga.... Hm, ya, ya... aku tidak akan melupakan budi baikmu hari ini terhadapku," kata Ki Layang Seta, menggumam.
"Kisanak... jangan bicara budi baik segala. Aku sama sekali tidak bermaksud meminta balasan apa pun darimu...," sergah Rangga.
"Ah! Sungguh bijaksana bicaramu, Rangga. Aku orangtua tak berguna bernama Layang Seta, benar-benar mengagumimu!" seru laki-laki tua itu.
"Sudahlah, Ki Layang Seta. Sudah selayaknya kita saling tolong-menolong...," ujar Pendekar Rajawali Sakti.
"Hm, makhluk itu memang luar biasa. Aku tidak tahu, siapa dan dari mana asalnya!"
"Ya, dia memang luar biasa."
"Apakah kau pernah berurusan dengannya?"
"Baru saja tadi siang aku bertemu dengannya dan sempat mencicipi beberapa hajarannya. Waktu itu, ada dua orang muda-mudi serta beberapa orang laki-laki yang tengah menyerangnya."
"Hei"! Jadi kaukah orangnya yang telah menyelamatkan mereka"!" seru Ki Layang Seta.
"Apa maksudmu, Ki?" tanya Rangga dengan kening berkerut.
"Kau telah menolong putriku, serta murid-murid Perguruan Tangan Besi," jelas Ki Layang Seta. "Rangga! Kembali aku harus mengucapkan beribu terima kasih padamu!"
Ki Layang Seta langsung menjura hormat.
"Ah, sudahlah. Jangan begitu. Jangan membuatku salah tingkah, Ki Layang Seta."
"Sungguh, Rangga. Adalah suatu kehormatan bagiku bila kau sudi mampir ke tempatku. Yah... sekadar menghilangkan rasa lapar dan dahagamu. Ayolah, jangan kau tolak permintaanku ini!"
Rangga bermaksud menolak secara halus, tapi laki-laki tua ini terus memaksanya. Sehingga untuk menghormatinya terpaksa juga dia menyetujuinya.
"Tapi sebelum itu, aku harus mengebumikan sobatku. Dia tewas di tangan makhluk itu," kata Ki Layang Seta.
"Maksudmu, kita kembali ke tempat tadi?" tanya Rangga.
"Ya. Tapi tidak terang-terangan. Kita lihat, apakah makhluk itu masih di sana atau tidak. Jika dia sudah pergi, baru kita kebumikan mereka. Bagaimana pun, Ki Bagus Wesi adalah calon besanku. Dia serta murid-muridnya sudah seperti saudara saja bagiku," jelas Ki Layang Seta.
"Baiklah," sahut Rangga, menyetujui.
? *** ? 6 ? Ki Layang Seta sebenarnya adalah seorang pedagang besar yang memiliki sekitar dua puluh orang anak buah. Tak heran bila di rumahnya yang besar berhalaman luas, terdapat barak-barak kecil untuk para anak buahnya. Penampilannya yang selalu sederhana, membuat orang yang baru mengenalnya tidak akan menyangka Ki Layang Seta orang terkaya di kadipaten ini!
Begitu pula yang ada dalam benak Rangga. Dia sempat termangu saat orang tua itu mengajak ke rumahnya. Dan kini, mereka tengah berbincang-bincang di ruang utama yang besar dan tertata apik.
Namun bincang-bincang mereka mendadak terputus ketika dari pintu yang terbuka masuk seorang pemuda. Wajahnya tampak cemas dan langkahnya tergopoh-gopoh.
"Celaka, Ki!" seru pemuda itu.
"Ada apa?" tanya Ki Layang Seta.
"Seseorang mengamuk di desa. Dan, banyak yang terbunuh karena ulahnya. Orang-orang desa lari ketakutan. Dan sebagian meminta perlindungan kepada kita," sahut pemuda anak buah Ki Layang Seta ini.
Ki Layang Seta tidak perlu penjelasan lebih lanjut, dari ruang utama ini terlihat kalau di luar pagar halamannya lebih dari dua puluh penduduk desa telah terkumpul. Wajah mereka tampak cemas, penuh ketakutan. Orang-orang itu pun hanya sempat membawa pakaian yang melekat di tubuh saja.
"Rumah mereka dihancurkan. Dan mereka tidak ada tempat untuk berteduh, Ki...," lanjut pemuda itu.
"Kau urus mereka. Buatkan tenda-tenda di halaman samping. Kemudian beri mereka makan," ujar Ki Layang Seta, memberi perintah.
"Baik, Ki!"
Pemuda itu segera berlalu. Tapi, tiba-tiba langkahnya terhenti ketika teringat sesuatu. Lalu dia berbalik, dan kembali lagi pada majikannya.
"Tapi, apakah Ki Layang tidak bermaksud melihat orang itu dan membereskannya?" tanya pemuda ini.
Ki Layang Seta terdiam. Pertanyaan anak buahnya wajar saja. Sebab, selama ini dia sering turun tangan membantu kesulitan orang-orang desa dari segi apa pun. Dan di samping itu, bukan hanya anak buahnya saja yang tahu kalau Ki Layang Seta dulunya adalah seorang pendekar hebat. Tapi penduduk Desa Gambus ini pun hampir semua mengetahuinya. Tidak jarang Ki Layang Seta turun tangan sendiri menangkap perampok yang selalu meresahkan penduduk desa. Sehingga tidak mengherankan kalau desa ini aman dari tangan-tangan jahil serta orang-orang yang hendak berbuat kekacauan.
"Apakah dia masih ada di sana?" tanya Rangga.
"Eh, mungkin sekarang telah pergi."
"Bagaimana bentuk orang itu?"
"Aneh dan menyeramkan. Tubuhnya ditutupi lumpur coklat kemerahan yang telah mengering dan seperti melekat kuat ke tubuhnya. Seolah-olah seperti kulitnya saja. Permukaannya kasar seperti batu kali," jelas pemuda ini.
"Hmmm...," gumam Rangga tak jelas.
Sejenak Pendekar Rajawali Sakti berpandangan dengan Ki Layang Seta. Sepertinya mereka sama-sama mengerti, siapa yang barusan diceritakan.
"Ki Layang Seta tengah sakit. Aku yang terpaksa membawanya ke sini. Dia tidak boleh banyak bergerak," jelas Rangga, untuk mencairkan ketegangan yang dialami orang tua itu.
Pemuda ini memperhatikan sesaat lamanya, dan mengangguk pelan. Beberapa bagian di tubuh Ki Layang Seta memang mengalami luka-luka kecil. Dan dari mulutnya masih terlihat bekas darah yang telah mengering. Hal itu membuat pemuda itu percaya.
"Maaf, Ki. Aku betul-betul tak tahu. Akan kuberitahukan pada Ki Sumekti untuk menyiapkan ramuan obat untukmu!" sahut pemuda itu seraya beranjak ke dalam dengan terburu-buru.
Melihat itu Ki Layang Seta hanya tersenyum-senyum.
"Istri Ki Layang tentu cemas melihat keadaan seperti ini...?" tanya Rangga, mengusik senyum laki-laki tua ini.
Ki Layang Seta terkekeh.
"Dari mana kau berpikir begitu" Istriku telah lama meninggal. Di sini hanya ada aku, putriku, dan seorang tabib setia serta anak buahku," papar Ki Layang Seta.
"Oh, maaf! Mungkin pertanyaan tadi membuatmu teringat pada istri," ucap Rangga buru-buru.
"Aku memang teramat mencintainya. Tapi..., ah! Sudahlah! Aku sudah ikhlas akan kepergiannya. Yang mati tentu tidak akan bisa kembali. Yang kumiliki saat ini hanya satu. Putriku. Kini dia terbaring sakit. Oh, maaf! Aku jadi melantur. Mari, kuajak kau menjenguk putriku terlebih dulu!" seru Ki Layang Seta.
***
Pendekar Rajawali Sakti 175 Manusia Lumpur di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
? Rangga benar-benar trenyuh melihat keadaan Ki Layang Seta. Laki-laki tua ini tidak mempedulikan luka dalam yang dideritanya, tapi lebih mengkhawatirkan keselamatan putrinya yang saat ini tengah berbaring lesu. Sesekali Lestari merintih kesakitan. Suhu badannya tinggi. Dan terkadang memuntahkan darah kental kehitam-hitaman. Ramuan obat yang diberikan Ki Sumekti sama sekali tidak memperlihatkan tanda-tanda kemanjuran.
"Biar kucoba mengobatinya...!" kata Rangga, begitu tiba di samping pembaringan Lestari.
"Ah.... Aku amat berhutang budi kalau kau bisa menyembuhkan putriku!" desah Ki Layang Seta.
Rangga tersenyum.
"Berdoalah agar putrimu segera sembuh," ujar Pendekar Rajawali Sakti, kalem.
Rangga bicara sebentar pada Ki Sumekti yang sejak tadi ada di kamar ini, untuk menyiapkan ramuan obat atas petunjuk Pendekar Rajawali Sakti.
"Akan segera kukerjakan...!" sahut laki-laki berusia empat puluh tahun itu seraya bergegas ke belakang.
"Apakah tumbuh-tumbuhan yang kusebutkan dapat dimengertinya?" tanya Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti agak heran, sebab laki-laki itu sama sekali tidak bertanya apa pun saat tumbuh-tumbuhan yang harus diramu disebutkan.
"Ki Sumekti biasa membuat ramuan obat. Dan sedikit banyak, dia mengerti apa yang tadi kau sebutkan. Tumbuh-tumbuhan itu tidak sulit dicari. Di halaman belakang, kami memiliki banyak jenis tumbuhan yang bisa dijadikan ramuan obat," jelas Ki Layang Seta.
Rangga mengangguk mengerti. Dan perhatiannya dialihkan pada gadis itu. Lalu diperiksa denyut nadi Lestari.
"Dia semakin lemah...," desah Rangga pelan.
"Tolonglah, Rangga! Hanya dia yang paling berharga di dunia ini. Apa pun yang kau minta akan kukabulkan. Asalkan, kau bisa menolongnya!" pinta orang tua itu penuh harap.
"Tenanglah, Ki. Aku akan berusaha semampuku," ujar Rangga.
Ki Layang Seta menarik napas dalam-dalam. Dan sesekali mukanya berkerut cemas. Dia tidak mau duduk jauh-jauh dari putrinya.
Sementara itu Rangga meletakkan telapak tangan kirinya ke perut gadis itu.
"Maaf...!" ucap Rangga pendek, ketika meletakkan telapak tangannya ke dada gadis itu.
Wajah Lestari tampak jengah. Sebab meski telapak tangan itu tidak bergerak ke mana-mana, tapi baginya, pemuda ini amat asing. Apalagi, dia tidak biasa disentuh seorang laki-laki seperti itu.
Tapi, wajah pucat Lestari tidak bisa lama-lama merasakan gejolak hatinya. Beberapa saat kemudian, terasa olehnya hawa hangat yang berputar-putar di bawah perut. Lalu dengan cepat naik ke atas. Dan....
"Hoaaakh...!"
Dari mulut gadis itu menyembur darah kental kehitam-hitaman.
Ki Layang Seta bergerak cepat menghapus cairan darah itu dengan selembar kain. Beberapa kali Lestari muntah darah kental kehitaman, sampai akhirnya darah itu berubah menjadi merah segar.
Wajah gadis itu yang telah pucat, kini kelihatan lebih pucat lagi. Tubuhnya bergetar dan menggigil seperti terserang demam hebat. Saat itu juga, Rangga menghentikan penyaluran tenaga mumi ke tubuhnya. Ditariknya napas panjang. Lalu diambilnya mangkuk cairan yang disodorkan Ki Sumekti, yang baru saja muncul.
"Tolong tegakkan tubuhnya, agar cairan ini tidak keluar sia-sia," ujar Rangga.
"Biar kukerjakan!" sahut Ki Layang Seta cepat.
Wajah Lestari semakin berkerut ketika menenggak ramuan obat itu. Dia memerlukan beberapa kali tegukan, sebelum isi mangkuk tandas ke dalam perutnya.
Kembali Lestari merebahkan diri setelah menenggak cairan yang diberikan Rangga. Matanya memandang sayu kepada Ki Layang Seta, lalu kepada Ki Sumekti, serta terakhir kepada Pendekar Rajawali Sakti. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibirnya.
Sementara, Ki Layang Seta mengelus-elus riak rambut gadis itu perlahan-lahan. Dan tidak berapa lama kemudian terlihat gadis itu mulai memejamkan mata, terkantuk-kantuk.
"Biarkan dia tertidur," ujar pemuda itu dengan suara perlahan ketika gadis itu mulai pulas.
"Apakah dia akan sembuh?" tanya Ki Layang Seta.
"Mudah-mudahan," desah Pendekar Rajawali Sakti. "Kau pun terluka, Ki Layang. Ada baiknya meminum ramuan yang tadi dibuat Ki Sumekti...!"
"Akan kukerjakan segera!" sahut Ki Sumekti tanpa menunggu perintah majikannya, dia langsung kembali ke belakang.
"Beberapa tulang rusuknya patah. Dia tidak boleh banyak bergerak, Ki. Pengobatannya pun harus berangsur-angsur dan tidak bisa sekaligus. Aku hanya mengeluarkan darah yang mulai membeku dalam tubuhnya. Dan ramuan obat tadi berguna untuk melancarkan peredaran darah serta menyembuhkan luka," jelas Pendekar Rajawali Sakti.
"Rangga.... Sudikah kau tinggal sementara di tempatku ini sampai putriku benar-benar sembuh?" pinta laki-laki ini.
"Ki Layang Seta.... Bukan aku tidak mau memenuhi permintaanmu. Tapi, aku tengah memikirkan cara, bagaimana membinasakan makhluk itu. Kalau terus dibiarkan, maka akan semakin banyak korban yang jatuh. Lagi pula dalam keadaan sekarang, aku belum bisa berbuat banyak."
"Paling tidak, sambil memikirkan cara membunuh makhluk itu, tinggallah di sini. Kau pun bisa beristirahat di samping bisa mengawasi Lestari. Aku mohon, tinggallah di sini!" desak orang tua itu seraya membungkuk.
"Ki Layang, jangan keterlaluan. Kenapa begini" Ayo, bangkitlah kembali!" seru pemuda itu seraya tersenyum lebar.
"Aku tak akan bangkit sebelum kau mengabulkan keinginanku!"
Rangga menarik napas panjang.
"Baiklah...," desah Rangga.
"Ah, terima kasih Rangga. Aku berharap banyak padamu atas kesembuhan putriku!" ucap Ki Layang Seta dengan wajah berseri-seri.
Saat itu Ki Sumekti kembali ke ruangan ini, seraya membawa mangkuk lain yang berisi ramuan obat. Tanpa ragu-ragu, Ki Layang Seta menenggak ramuan itu sampai tuntas.
"Kau harus latih pernapasan untuk melancarkan peredaran darahmu. Apakah ada ruangan khusus sebagai tempatmu berlatih ilmu olah kanuragan?" tanya Rangga.
"Ada! Kita ke belakang sekarang!" sahut Ki Layang Seta seraya bangkit. Dia langsung memberi perintah pada Ki Sumekti agar menunggui putrinya.
Sementara itu Rangga pun mengikuti orang tua ini dari belakang.
*** ? Telah dua hari Pendekar Rajawali Sakti berada di kediaman Ki Layang Seta di Desa Gambus ini. Dan selama itu, kesehatan Lestari berangsur-angsur pulih. Namun gadis itu menjadi sosok pendiam dan tidak banyak bicara. Malah dia suka melamun sendiri di kamarnya.
Ki Layang Seta bukannya tidak mengerti hal itu. Bagi Lestari, berita kematian calon suaminya adalah pukulan terhebat. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Kalau saja tidak memikirkan kasih sayang Ki Layang Seta padanya, mungkin rasanya lebih baik mati.
"Apakah dengan mati maka segalanya akan selesai?" tanya Rangga, ketika berada di kamar Lestari dan tengah membujuknya.
Gadis itu terdiam, tak langsung menjawab. Dipandanginya pemuda itu sekilas. Di tempat ini masih ada ayahnya, serta Ki Sumekti. Namun selama dua hari ini, sudah cukup membuatnya tidak canggung lagi untuk bercakap-cakap dengan Rangga.
"Pernahkah kau merasa bahwa oleh karena sesuatu, maka kau menjadi seorang yang tak berguna?" tanya Lestari.
Pertanyaan itu berkesan sinis, dan dikeluarkan oleh hati yang tengah luka. Rangga bisa memakluminya. Sehingga dia hanya tersenyum, lalu mengangguk pelan.
"Pernah...," sahut Rangga pelan.
"Soal apa?" kejar Lestari.
Pendekar Rajawali Sakti tidak langsung menjawab. Malah dia menarik napas agak dalam.
"Kalau ada bakti yang lebih mulia di dunia ini adalah bakti kepada kedua orangtua. Dan hal itu yang tak bisa kulakukan. Kedua orangtuaku telah meninggal ketika aku masih kecil. Pada saat orang lain bisa bermain dan tertawa bersama orangtua, maka aku hanya bisa memperhatikan mereka sambil menangis dalam hati. Pada saat mereka mengadukan persoalannya kepada orangtua, maka aku hanya bisa mengadu pada diri sendiri. Adakah kesedihan yang melebihi kesedihan kehilangan orangtua...?" papar Rangga.
Lestari tidak bisa menjawab. Apa yang dikatakan pemuda ini dibenarkan hatinya, meski tidak bisa terhibur. Kecintaan kepada Pratama seperti segalanya bagi gadis ini.
"Cinta kepada orangtua adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar. Tidak akan pernah ada orang yang mengatakan bahwa itu bekas orangtuanya. Tapi banyak sekali orang yang mengatakan, itu bekas kekasihnya. Atau itu bekas kawannya. Dan sebagainya. Ini yang membuktikan bahwa orangtua harus segalanya bagi kita. Dalam pengertian, kepada orangtualah tempat kita berbakti," lanjut Rangga lagi.
"Ya, memang benar," sahut Lestari pelan.
"Lalu, kenapa bersedih?" tanya Rangga.
"Semua tidak akan tahu, apa yang kurasakan saat ini...!"
"Mungkin saja karena kau tidak mau membagi kesedihanmu kepada orang lain. Padahal sudah jelas, apabila suatu beban diangkat bersama-sama, maka akan terasa ringan," kata Rangga, menyudutkan.
"Tapi ini bebanku sendiri," lirih terdengar suara gadis itu.
"Meski kepada ayahmu yang teramat mencintaimu dan amat takut kehilanganmu?"
Lestari tidak tahu harus berbuat apa. Dipandanginya orangtua itu beberapa saat lamanya.
"Ayah...," sebut Lestari.
"Anakku...."
Ki Layang Seta mendekat, lalu duduk di tepi tempat tidur seraya mengusap-usap dahi putri satu-satunya. Terlihat bola mata gadis itu berkaca-kaca dan mulai basah.
"Aku mengecewakan perasaan Ayah...?" tanya Lestari, lirih.
"Tidak, Anakku. Kau sama sekali tidak mengecewakanku...," desah Ki Layang Seta, menggeleng lemah.
"Tapi kenyataannya aku amat bersedih karena kehilangan Kakang Pratama. Itu berarti aku menganggap Kakang Pratama segalanya bagiku. Bahkan aku seperti tidak peduli terhadap kasih sayang Ayah...," tukas Lestari.
"Lestari, sudahlah. Jangan berkata begitu. Apa pun perasaanmu, dan apa pun yang kau pikirkan, kau tetap putriku yang teramat kukasihi...."
"Ayah...!" seru gadis itu lirih.
Lestari mengangsurkan kedua tangan untuk memeluk ayahnya. Dia tak kuasa menumpahkan keharuan yang menyesak di dadanya. Untuk sesaat ayah dan anak itu saling berpelukan menumpahkan perasaan harunya masing-masing.
"Ki Layang Seta, kurasa aku harus pergi. Kesehatan Lestari perlahan-lahan mulai membaik," kata Pendekar Rajawali Sakti setelah ayah dan anak tersenyum lega melepaskan pelukan masing-masing.
"Oh, secepat itukah"! Tidak bisakah kau tinggal barang sehari atau dua hari lagi"!" sentak Lestari.
Rangga tersenyum.
"Kewajibanku harus terpenuhi. Aku harus membinasakan makhluk itu. Sebab kalau tidak, maka akan banyak korban yang berjatuhan," tegas Rangga.
"Ah, aku memang mengerti apa yang kau rasakan. Kau pendekar tulen, Rangga! Nah, katakan apa yang bisa kubantu untukmu?"
"Tidak ada. Terima kasih atas sikap bersahabat yang kau tunjukkan selama dua hari ini," sahut pemuda itu tersenyum.
Pendekar Rajawali Sakti berpaling pada gadis yang tengah tergolek di tempat tidur, dan melemparkan senyum.
"Aku pergi dulu, Lestari. Cepat sembuh, ya"!" ucap Pendekar Rajawali Sakti.
"Terima kasih, Kakang Rangga."
Tanpa banyak bicara lagi, Rangga melangkah lebar keluar diikuti Ki Layang Seta. Persis di luar, mereka berpapasan dengan suatu rombongan yang merupakan kawan berdagang Ki Layang Seta. Mendadak saja, rombongan itu berlutut memberi hormat pada Pendekar Rajawali Sakti.
"Hormat kami untuk Kanjeng Gusti Prabu Rangga...!"
"Bangunlah.... Dan selesaikan urusan kalian. Urusanku dengan Ki Layang Seta telah selesai. Oleh sebab itu, aku harus berangkat sekarang juga," ujar Pendekar Rajawali Sakti.
"Apakah Gusti Prabu memerlukan sesuatu" Hamba akan menyediakannya," ujar pemimpin rombongan ini.
"Tidak, terima kasih. Nah, aku pergi dulu," sahut Rangga seraya berkelebat cepat.
*** ? 7 ? Ki Layang Seta masih tidak habis pikir, bagaimana mungkin kawan berdagangnya memberi hormat sedemikian rupa kepada Pendekar Rajawali Sakti.
"Ki Lanang Dharma, apakah kau mengenal pemuda tadi?" tanya Ki Layang Seta, saat Pendekar Rajawali Sakti sudah tak terlihat lagi.
"Kenapa tidak" Semua orang di negeri kami tentu saja mengenalnya," sahut kepala rombongan yang dipanggil Ki Lanang Dharma.
"Siapa dia" Apakah putera pedagang besar di negerimu" Atau, barangkali putera petinggi kerajaan"!"
"Jadi Ki Layang benar-benar tidak tahu"!"
Ki Layang Seta menggeleng lemah.
"Dialah Raja negeri kami. Negeri Karang Setra!"
"Astaga! Jadi..., jadi diakah raja kalian"!" seru Ki Layang Seta.
Sulit bagi laki-laki tua ini untuk percaya bahwa seorang raja amat bersahaja. Bahkan penampilannya sama sekali jauh dari kesan mewah. Dia lebih mirip seorang pengembara yang tidak mempunyai tempat tinggal tetap.
"Agaknya Ki Layang Seta punya urusan penting dengan beliau?" pancing Ki Lanang Dharma.
"Ya, sedikit. Dia telah berulang kali membantu keluargaku," sahut Ki Layang Seta, lirih.
"Prabu Rangga memang terkenal suka ringan tangan membantu sesamanya," jelas Ki Lanang Dharma, seorang pedagang dari Karang Setra yang berusia sekitar lima puluh lima tahun.
"Jadi beliau sering meninggalkan istana kerajaan?" tanya Ki Layang Seta lagi.
"Ya, begitulah."
"Apakah tidak ada yang mencoba berkhianat kepadanya selama dia bepergian?"
Ki Lanang Dharma tersenyum.
"Kami semua menghormatinya. Dan semua anggota kerajaan setia padanya. Lagipula beliau cukup cerdik. Beliau tidak akan meninggalkan istana, kalau tidak mempersiapkan segala sesuatunya."
Ki Layang Seta mengangguk.
"Tapi saat ini dia akan menyongsong bahaya besar bagi dirinya," keluh Ki Layang Seta.
"Bahaya apakah yang Ki Layang maksudkan?" tanya Ki Lanang Dharma dengan kening berkerut.
"Makhluk yang amat kuat dan biadab hendak dihadapinya."
"Makhluk yang saat ini tengah diramaikan orang?"
"Ki Lanang agaknya mendengar juga berita itu?"
"Ya. Sepanjang perjalanan, kami dengar hal itu. Banyak yang mati karenanya. Bahkan kudengar saat ini korban yang jatuh di tangannya lebih dari lima ratus orang."
"Astaga! Sungguh biadab orang itu."
"Dia bukan manusia, Ki. Tapi sejenis iblis. Makhluk itu membunuh tanpa memilih-milih korban. Siapa saja yang ditemuinya, maka akan dibunuh. Dan sejauh ini, tidak hanya rakyat biasa yang menjadi korban. Tapi juga tokoh-tokoh silat. Sampai saat ini belum seorang pun yang berhasil membinasakannya."
"Kalau saja rajamu tidak menolong, mungkin aku dan putriku telah menjadi korbannya."
"Oh, begitukah" Bagaimana ceritanya?"
Ki Layang Seta menuturkan apa yang dialami dari mulai awal sampai akhir.
"Hm.... Memang sungguh keji makhluk itu!" desis Ki Lanang Dharma geram.
"Ya. Itulah yang kukhawatirkan. Sebab selama ini, tak seorang pun yang mampu menghadapinya. Dan, makhluk itulah yang akan dihadapi rajamu."
"Itu bukan hal aneh, Ki. Raja kami telah banyak menghadapi lawan-lawan tangguh. Dan umumnya mereka binasa di tangannya."
"Tapi...."
"Ki Layang!" potong Ki Lanang Dharma. "Beliau adalah tokoh hebat. Dan semua orang mengenalnya. Beliaulah yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti."
"He, apa yang kau katakan"! Beliau Pendekar Rajawali Sakti"!" seru Ki Layang Seta seperti tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
"Betul. Beliau memang Pendekar Rajawali Sakti," tegas Ki Lanang Dharma.
"Astaga! Mataku ternyata semakin tua semakin lamur saja. Sampai-sampai tidak mengenali pendekar besar itu. Padahal dua malam dia menginap di sini!" seru Ki Layang Seta.
"Apakah beliau tidak mengenalkan diri?" tanya Ki Lanang Dharma.
"Tidak. Beliau lebih banyak berdiam diri."
"Hm.... Menurut apa yang kudengar pun begitu. Beliau memang tidak banyak bicara."
"Selama beliau bepergian, apakah... anak istrinya tidak menghalangi niatnya" Atau, apakah mereka tidak mencemaskannya?"
Ki Lanang Dharma tersenyum.
"Beliau belum menikah. Apalagi mempunyai anak...!"
"Hm, jadi masih seorang diri?"
"Tidak. Menurut kabar yang kudengar, beliau telah memiliki seorang kekasih yang akan menjadi calon istrinya."
"Oh, begitu," desah Ki Layang Seta, mengangguk.
Untuk sesaat suasana hening ketika tak ada yang berbicara lagi.
*** ? Manusia Lumpur kini semakin merajalela saja. Dia telah menjadi momok yang menakutkan! Semua orang merasa cemas dan was-was, seperti bertanya-tanya kapan makhluk itu datang dan menghancurkan mereka" Sehingga tidak heran bila semua penduduk di tempat-tempat yang berdekatan dengan keberadaan Manusia Lumpur, telah mengungsi ke tempat lain yang lebih jauh.
Dan bila semua penduduk ketakutan, maka tidak demikian halnya tokoh-tokoh persilatan. Sebagian dari mereka begitu berhasrat untuk menghadapinya. Berbagai macam cara telah dilakukan untuk membunuh makhluk itu. Itu disebabkan tidak lain karena sanak serta saudara mereka ada yang terbunuh. Tidak peduli itu tokoh golongan hitam atau pun putih. Mereka seperti bersatu menghadapi Manusia Lumpur.
Seperti juga di Desa Gelugur sekarang ini. Penduduknya sudah sejak jauh-jauh hari mengungsi. Hanya mereka yang berani dan tak punya tempat untuk mengungsi, tetap bertahan di desanya.
Sudah sejak tadi makhluk itu mengamuk sejadi-jadinya, menghancurkan beberapa rumah. Pada saat itulah muncul beberapa tokoh persilatan yang langsung menyerang.
"Groaaagkh...!"
Tidak jauh dari pertarungan, terlihat beberapa sosok mayat bergelimpangan. Mereka adalah korban kesekian dari Manusia Lumpur. Namun begitu tetap ada yang berusaha melawan sekuat tenaga.
"Graagkhh...!"
Wut! Wut! Dua orang yang bergerak mendekat, sama sekali tidak membuat Manusia Lumpur gentar. Malah dengan gesit ditangkapnya pergelangan kaki mereka dan dibantingnya dengan keras.
Buk! Prakk! "Aaa...!"
Salah seorang kepalanya tampak remuk terkena batu saat dibanting. Sedang yang seorang lagi, tak bangun lagi. Mungkin pingsan.
"Keparat!" dengus yang lain.
Jumlah mereka kini tinggal tujuh orang lagi. Namun begitu semangat mereka tampak belum kendor juga.
"Ayo kita serang lagi! Awas, jangan berada dekat-dekat dengannya. Dia mampu bergerak secepat kilat! Pergunakan senjata kalian untuk menyerang bagian-bagian tertentu di tubuhnya!" teriak seseorang, memberi perintah.
"Baik, Ki!"
"Heaaa...!"
Secara serentak mereka kembali menyerang dengan senjata terhunus. Tidak seperti tadi, kali ini mereka menyerang dengan teratur. Begitu melepas serangan, langsung cepat-cepat mundur ke belakang. Pertarungan mendebarkan benar-benar terjadi.
Wut! Wut! Trak! Bet! Untuk sesaat, Manusia Lumpur hanya bisa menggeram marah. Tapi selanjutnya, para pengeroyok yang dibuat terkejut. Bukan saja senjata-senjata mereka tidak mampu melukai, tapi juga patah dua begitu menghantam tubuh makhluk ini. Dan yang lebih membuat yang lain semakin geram, ketika kedua tangan Manusia Lumpur menangkap senjata mereka, lalu membetotnya dengan keras. Pada saat itu juga makhluk ini melepas tendangan keras.
Prak! Des! "Aaa...!"
Dua orang kembali tewas dengan kepala dan dada remuk dihajar tendangan Manusia Lumpur. Dan saat berikutnya, makhluk itu melompat gesit ke depan sambil mengayunkan tendangan.
Praakk...! "Aaa...!"
Seorang lagi tewas karena kelengahannya. Dia tidak sigap menghindari serangan yang berupa kibasan tangan.
Jumlah para pengeroyok kini tinggal berempat. Dan dua orang kelihatan mulai ragu-ragu untuk meneruskan perlawanan. Namun mereka tidak sempat berpikir, karena serangan Manusia Lumpur telah kembali tiba.
Bet! Bet! Keempat orang itu serentak melompat ke belakang lalu bergulingan.
Jderr! Hantaman makhluk itu menghancurkan sebuah rumah yang berada di dekat mereka. Tapi saat itu juga, tubuhnya kembali melenting mengejar dua orang lawan yang berada dekat dengannya.
Wuttt! Dua orang itu terkesiap, ketika tiba-tiba Manusia Lumpur merenggut kedua kaki mereka lalu menariknya dengan keras. Belum lagi mereka sempat mengadakan perlawanan, mendadak satu hantaman keras menghajar punggung.
Praakk...! "Aaa...!"
Keduanya memekik keras. Begitu ambruk di tanah, mereka menggelepar tak berdaya.
"Groaaagkh...!"
Seperti yakin kalau kedua lawannya bakal mati, Manusia Lumpur kembali mencelat mengejar dua lawan lainnya yang bersiap akan kabur.
"Celaka! Dia mengejar kita!" desis salah seorang.
Namun sebelum Manusia Lumpur tiba di dekat dua buruannya mendadak berkelebat empat sosok bayangan dari arah depan.
"Yeaaa...!"
Disertai teriakan mengguntur, keempat bayangan ini langsung melepaskan serangan berturut-turut ke tubuh Manusia Lumpur.
Jdueer! Wuus! *** ? Satu hantaman keras mendera dada Manusia Lumpur. Namun sama sekali tidak menggoyahkannya. Namun ketika disusuli oleh pukulan yang berturut-turut dalam waktu yang amat singkat....
Begkh! Derrr...! Dess...!
"Groaaagkh...!"
Disertai geraman buas, tubuh Manusia Lumpur terjungkal beberapa langkah ke belakang. Namun begitu, dia cepat kembali bangkit. Matanya langsung memandang tajam pada empat orang sosok bayangan yang telah berdiri tegak di depannya pada jarak lima langkah.
Seorang dari empat sosok itu adalah pemuda berwajah tampan terbungkus baju rompi putih. Pemuda ini memang Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti. Tak heran kalau tatapan Manusia Lumpur terpateri amat tajam ke arah Rangga, karena memang pemuda ini sudah amat dikenalnya setelah beberapa kali bertarung.
Sedang tiga sosok lainnya adalah laki-laki berusia lanjut. Masing-masing telah menggenggam senjata berupa pedang, keris, dan tombak.
"Pendekar Rajawali Sakti! Tak disangka akhirnya kau muncul juga di sini!" seru laki-laki tua yang bersenjata pedang.
"Dewa Pedang! Hm..., agaknya kau peduli juga terhadap peristiwa ini...," sambut Pendekar Rajawali Sakti.
"Tak ada waktu bagi kita untuk bercakap-cakap!" ujar laki-laki tua yang bersenjata keris dengan nada suara ketus.
"Benar apa yang dikatakan si Iblis Maut!" timpal laki-laki tua yang bersenjata tombak. Namanya Ki Bisma. Dan orang mengenalnya sebagai Malaikat Tangan Seribu, salah seorang pentolan golongan lurus dalam rimba persilatan.
"Coba lihat! Binatang ini sudah tidak sabar ingin merencah kita!" ujar laki-laki tua yang dipanggil si Iblis Maut. Dalam rimba persilatan, dia tergolong datuk sesat berkepandaian amat tinggi.
Memang makhluk itu tengah menggeram buas. Sepasang matanya liar menatap keempat lawannya. Dari pukulan yang tadi didapat, dia merasakan kalau lawan-lawannya memiliki kemampuan hebat.
"Graagkh...!"
Dengan menggeram penuh amarah, Manusia Lumpur melompat mencecar si Iblis Maut.
"Ke sinilah, Iblis Keparat! Biar kutembus jantungmu dengan kerisku ini!" desis si Iblis Maut geram, seraya mencabut kerisnya.
Srang! Begitu kerisnya tercabut, Iblis Maut langsung memutar-mutarkannya, sehingga menimbulkan desir angin berkesiutan. Memang, senjata di tangan laki-laki tua ini bukanlah keris sembarangan. Apalagi dikerahkan dengan tenaga dalam tinggi. Maka saat makhluk itu mendekat, Iblis Maut langsung menikamkannya ke jantung.
"Hih!"
Tapi seperti hendak menguji kekebalan tubuhnya, makhluk itu sama sekali tidak berusaha menghindar. Bahkan digunakannya kesempatan itu menghantam batok kepala Iblis Maut.
Tak! "Heh"!"
Dan keris itu memang sama sekali tidak mampu melukai kulit tubuh Manusia Lumpur, sehingga membuat Iblis Maut tersentak kaget. Namun pada saat yang sama Iblis Maut harus menangkis pukulan Manusia Lumpur.
Plak! "Uhh...!"
Wajah laki-laki tua itu berkerut menahan rasa sakit saat terjadi benturan. Tapi pada saat yang sama satu sosok berkelebat menghantam makhluk itu dari belakang.
Dess! "Graagkh...!"
Tubuh Manusia Lumpur terhuyung-huyung ke belakang. Namun begitu, tidak sampai membuatnya terjatuh. Secepat kilat tubuhnya berbalik, menatap tajam kepada Malaikat Tangan Seribu yang telah menghantamnya.
Sambil menggeram penuh amarah, makhluk itu melompat hendak menerkam si Malaikat Tangan Seribu.
"Groaaagkh...!"
Belum lagi serangan itu tiba, pedang si Dewa Pedang telah berkelebat ke arah Manusia Lumpur.
Wut! Bet! "Groaaagkh...!"
Makhluk itu menggeram buas. Dan dia bermaksud menangkap pedang yang berseliweran hendak mengancam keselamatannya. Tapi sebelum maksudnya kesampaian, hantaman Pendekar Rajawali Sakti telah menghalanginya.
Bet! "Kisanak! Coba serang mata, lubang telinga, dan pusarnya!" teriak Pendekar Rajawali Sakti, sambil terus mengganggu gerakan Manusia Lumpur.
"Jangan mengajari kami, Bocah!" dengus si Iblis Maut.
"He he he...! Si Iblis Maut agaknya tidak mau digurui, meski sebenarnya tidak tahu!" ejek si Dewa Pedang.
"Terkutuk kau, Dewa Pedang! Jangan membuatku marah!" semprot si Iblis Maut.
Si Dewa Pedang hanya terkekeh mendengar makian si Iblis Maut.
*** ? 8 ? Selama lebih dari dua jurus Manusia Lumpur dijadikan bulan-bulanan. Entah kenapa, keempat orang itu menjadi kompak. Padahal sebelumnya, mereka belum tentu bisa akur. Meski tidak saling mengenal dekat satu sama lain, namun dalam pertarungan ini kelihatan mereka saling melindungi. Sehingga, keadaan ini benar-benar menyulitkan makhluk itu. Terlebih lagi mereka bukanlah lawan enteng.
Sementara itu, melihat ketangguhan Manusia Lumpur, Pendekar Rajawali Sakti merasa perlu untuk mencabut Pedang Pusaka Rajawali Sakti! Tak heran kalau pedang yang memancarkan sinar berkilauan itu, makin menjatuhkan nyali makhluk ini. Setiap sambarannya, membuat siapa yang melihat jadi mengkelap hatinya.
"Groaaagkh...!"
"Tidak ada gunanya menggeram begitu, Keparat! Kau harus mampus untuk menebus mereka yang mati di tanganmu!" dengus Ki Bisma sambil mengibaskan tongkat.
Ujung senjata Malaikat Tangan Seribu sejak tadi lebih banyak mengincar pada bagian pusar makhluk itu. Dan agaknya, hal ini memang kelemahannya. Buktinya, dia berusaha melindungi mati-matian. Padahal pada saat yang bersamaan, bagian mata dan lubang telinganya pun harus dilindungi.
Si Iblis Maut kini menyerang Manusia Lumpur dengan sambaran kerisnya.
Wutt! Namun makhluk itu cepat melompat menghindar. Pada saat yang sama Pendekar Rajawali Sakti segera saja mengayunkan kepalan tangan ke kepala sambil menusukkan pedangnya ke arah leher untuk mengecohnya. Tapi, siapa duga. Ternyata Manusia Lumpur malah menunduk. Akibatnya....
Crabb! "Groaaagkh...!"
Sebelah mata Manusia Lumpur pecah tertusuk pedang Pendekar Rajawali Sakti. Sehingga dia begitu mendendam. Bahkan bermaksud menghajar Rangga.
Melihat kesempatan itu, secepat kilat si Iblis Maut memanfaatkannya. Kerisnya bergerak menyambar ke mata Manusia Lumpur yang sebelah lagi. Sayang, makhluk itu masih sempat menangkis.
Tak! Namun belum lagi makhluk itu sempat menghajar, saat itu juga ujung tombak si Malaikat Tangan Seribu menusuk perut.
Jresss! "Aargkh...!"
Pendekar Rajawali Sakti 175 Manusia Lumpur di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Groaaagkh...!"
Manusia Lumpur menggeram hebat. Dari bagian pusarnya meleleh darah kental berwarna coklat kemerah-merahan. Sebelah matanya berkilat tajam dan kedua tangannya terentang dan terkepal. Lalu mendadak kedua kakinya menghentak ke tanah bergantian.
Jdueer! Kraaak! Jdueer! Seketika terasa guncangan hebat. Beberapa bagian permukaan tanah di tempat mereka bertarung mulai terbelah. Rumah-rumah serta pepohonan hancur berantakan. Namun, si Dewa Pedang agaknya tidak mau terkesiap melihat pamer kekuatan yang ditunjukkan Manusia Lumpur. Secepat kilat dia melompat menyerang.
"Heaaat...!"
Wut! Wut! Ujung pedang si Dewa Pedang bergerak cepat menyambar lubang telinga. Tapi begitu sedikit lagi akan mencapai sasaran secepat kilat dibelokkannya. Pada saat yang sama Manusia Lumpur juga sempat melepaskan tendangan. Dan....
Jress! "Aaargkh...!"
"Aaah...!"
Mereka sama-sama menjerit kesakitan. Makhluk itu terhuyung-huyung ke belakang sambil memegangi sebelah matanya yang buta terkena tusukan pedang Pendekar Rajawali Sakti. Tapi pada saat yang bersamaan, tubuh si Dewa Pedang terpelanting ke belakang, sejauh beberapa langkah sambil memuntahkan darah segar.
"Edaaan...!" rutuk Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti langsung menghentakkan kedua tangannya.
?"Aji Bayu Bajra!" Heaaa...!"
Werr! Seketika bertiup angin bagai terjadi topan. Angin itu langsung meluruk dari tangan Pendekar Rajawali Sakti, dan langsung menghantam Manusia Lumpur.
Braak! "Graaagkh...!"
Makhluk itu menjerit kesakitan, kontan terjungkal ke belakang tanpa mengalami luka apa pun. Namun baru saja hendak bangkit, Malaikat Tangan Seribu telah melesat dengan tusukan tombaknya. Dan...
Jross! "Aaargkh...!"
Ujung tombak Ki Bisma bergerak cepat menembus lubang telinga kiri hingga ke telinga sebelah kanan. Makhluk itu berteriak dengan suara menggelegar. Namun begitu, dia masih sempat mencelat sambil mengayunkan tendangan.
Dess! "Aaakh...!"
Kini tubuh Ki Bisma yang terpelanting terkena tendangan, disertai keluhan tertahan.
*** ? Meski dalam keadaan buta dan terluka, Manusia Lumpur belum kelihatan bakal ambruk. Dan ini membuat Pendekar Rajawali Sakti makin geram. Apalagi bila mengingat kekejaman makhluk ini. Dan kalau tidak sekarang dibinasakan, entah kapan lagi akan mati. Padahal korban akan terus berjatuhan.
"Heaaa...!"
Pendekar Rajawali Sakti menggumam pelan ketika melihat si Iblis Maut dengan gegabah mencoba menjatuhkan Manusia Lumpur. Orang tua kurus itu tampak menghentakkan kedua tangannya, melepas pukulan jarak jauh.
Wess...! Begitu dari tangannya meluruk serangkum angin berkesiuran, si Iblis Maut melesat pula dengan ujung kerisnya siap menikam ke arah jantung.
Tak! Namun seperti yang diduga, senjata itu sama sekali tak mampu melukai kulit Manusia Lumpur. Bahkan dengan gesit makhluk itu balas menyerang dengan mengibaskan tangan. Sementara tombak Ki Bisma yang menancap di antara kedua telinganya dibiarkannya saja. Bahkan dijadikannya senjata untuk menghantam.
Dua kali si Iblis Maut berhasil menghindari serangan Manusia Lumpur. Namun pada serangan ketiga, orang tua itu keteter. Dia hanya bisa menghantam lewat pukulan jarak jauh. Namun makhluk itu tidak meladeni. Tubuhnya cepat mencelat ke atas, lalu meluruk ke arah Iblis Maut.
Des! "Aaakh...!"
Si Iblis Maut menjerit kesakitan ketika kedua kaki Manusia Lumpur menghantam punggungnya hingga terdengar tulang berderak patah. Orang tua itu terjungkal ke depan disertai semburan darah segar. Pada saat makhluk ini hendak menghabisinya, saat itu juga Pendekar Rajawali Sakti bergerak sambil mengibaskan pedangnya.
Nguuung...! Bet! Pedang di tangan Pendekar Rajawali Sakti segera bergerak cepat mengelilingi tubuh Manusia Lumpur. Sepertinya Rangga hendak menguji apakah makhluk itu masih mampu mengikuti dengan nalurinya.
"Graaagkh...!"
Dalam hati Rangga mendecah kagum, ketika mengetahui kalau makhluk ini ternyata mengetahui kehadiran bahaya di dekatnya. Entah, indera apa yang digunakannya. Namun, dia seperti tahu di mana dan ke mana senjata lawannya bergerak.
"Hiaaa...!"
Tiba-tiba Pendekar Rajawali Sakti berkelebat cepat bukan main, mengitari Manusia Lumpur. Agaknya dia tengah mengerahkan jurus "Seribu Rajawali" sehingga tubuhnya jadi kelihatan banyak. Rangga mengerahkan jurus ini untuk menguji lebih jauh, indera apa yang membuat makhluk itu mendengar atau mungkin melihat serangannya. Padahal kedua matanya buta dan kedua telinganya telah rusak.
"Heaaat...!"
Tiba-tiba Pendekar Rajawali Sakti mengganti jurusnya menjadi "Sayap Rajawali Membelah Mega". Tubuhnya langsung melenting sambil melepaskan serangan ke lubang hidung, atau ke bagian-bagian yang diduga sebagai titik kelemahan Manusia Lumpur.
"Graaagkh...!"
Makhluk itu bergerak ke belakang menghindari serangan Pendekar Rajawali Sakti. Lalu secepat kilat dia mencelat ke atas.
Namun sebelum melancarkan serangan Pendekar Rajawali Sakti telah meluruk dengan jurus "Rajawali Menukik Menyambar Mangsa" yang dipadu dengan permainan jurus "Pedang Pemecah Sukma". Seketika pedangnya berkelebat menyambar dada Manusia Lumpur.
Sreet! "Graaagkh...!"
Makhluk itu memekik kesakitan, begitu pedang Pendekar Rajawali Sakti mengiris dadanya dari atas ke bawah. Rangga pun tidak menduga kalau itu sebenarnya kelemahan Manusia Lumpur. Tampak butiran sebesar pasir berjatuhan dari tubuhnya.
Melihat kesempatan ini Pendekar Rajawali Sakti kembali menyerang dengan semangat. Pedangnya kembali berkelebat, dalam jurus "Pedang Pemecah Sukma" tingkat terakhir.
Bet! Ketika pedang Rangga kembali berkelebat, terlihat Manusia Lumpur mulai kebingungan. Rangga cepat tanggap kalau permukaan kulit makhluk ini ternyata berguna sebagai indera penglihat dan juga indera pendengar. Dan senjatanya tidak mengalami kesulitan berarti ketika mengikis permukaan kulit punggung Manusia Lumpur.
Sret! "Aaargkh...!"
Makhluk itu kembali berteriak kesakitan. Tubuhnya menggeliat-geliat, dan terhuyung-huyung ke belakang.
"Kau boleh mampus sekarang juga!" dengus Pendekar Rajawali Sakti.
Seketika Pendekar Rajawali Sakti memasukkan pedang ke dalam warangka di punggung.
Trek! Saat itu juga, Rangga menggosok-gosok kedua tangannya, hingga muncul sinar biru sebesar kepala yang menyelubungi telapak tangannya. Sinar itu makin lama terus menambah hingga ke pangkalan lengan. Lalu....
?"Aji Cakra Buana Sukma!" Heaaa...!"
Disertai bentakan menggelegar, Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan kedua tangannya ke depan. Maka saat itu juga dari telapak tangannya meluncur sinar biru ke arah Manusia Lumpur yang masih terhuyung-huyung. Dan....
Wuss.... Blarr...! Manusia Lumpur terlempar ke belakang dengan keadaan tubuh terpecah-pecah. Serpihan dagingnya menyebar ke segala arah. Potongan-potongan tubuhnya berbaur dengan darah berwarna coklat kemerahan, seperti lahar panas yang mengeluarkan asap dan berhawa panas.
*** ? "Fuhh...! Tamat sudah riwayatnya!" desah Pendekar Rajawali Sakti menghela napas lega. "Dari mana makhluk seperti ini"!"
Rangga sepertinya berkata-kata sendiri, tanpa maksud meminta jawaban. Tapi....
"Konon kabarnya, makhluk ini dari Gunung Perahu...," sahut si Dewa Pedang.
"Apa"! Gunung Perahu"!" sentak Rangga terkejut mendengarnya.
Memang selama ini Pendekar Rajawali Sakti tak pernah tahu, dari mana makhluk seperti ini. Dan ini salah satu kesalahannya, karena tak bertanya.
"Ada apa, Pendekar Rajawali Sakti"! Kau tahu tentang Gunung Perahu?" tanya si Dewa Pedang.
Rangga tak menjawab. Dia coba mengingat-ingat tentang cerita-cerita rakyat yang pernah didengarnya selama pengembaraannya. Salah satunya adalah Manusia Lumpur yang berasal dari perut bumi. Konon makhluk itu adalah penjelmaan iblis, yang menitis pada tokoh persilatan berilmu sesat. Tokoh itu akan muncul sewaktu-waktu, bersamaan dengan bergolaknya Gunung Perahu yang mulai menunjukkan kegarangannya lagi. Entah kenapa, mungkin karena sudah ratusan tahun, hanya beberapa orang saja yang tahu tentang cerita rakyat itu.
Setiap kemunculannya, Manusia Lumpur memang selalu membunuhi siapa saja yang ditemui. Seratus tahun yang lalu, makhluk itu juga pernah muncul, namun berhasil dilenyapkan oleh Pendekar Rajawali, guru Pendekar Rajawali Sakti. Kini makhluk itu pun telah pula dilenyapkan Pendekar Rajawali Sakti, setelah menitis kembali. Jadi, apakah seratus tahun kemudian makhluk itu akan muncul lagi" Tak ada yang tahu....
"Pendekar Rajawali Sakti! Kenapa kau malah bengong begitu?" tegur si Dewa Pedang.
"Ah, eh. Tidak.... Sebaiknya, aku permisi dulu.... Selamat tinggal!"
Begitu habis kata-katanya, Pendekar Rajawali Sakti langsung berkelebat meninggalkan si Dewa Pedang, Malaikat Tangan Seribu, dan Iblis Maut. Begitu cepat gerakannya, sehingga tak seorang pun yang mampu mencegahnya.
? SELESAI ? ? Serial Pendekar Rajawali Sakti selanjutnya:
BIDADARI PENAKLUK
? ? Scan: Clickers Juru Edit: Lovely Peace
PDF: Abu Keisel
? www.duniaabukeisel.blogspot.com
www.jagatsatria.com
? Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 Petualangan Manusia Harimau 2 Pendekar Mabuk 048 Manusia Pemusnah Raga Pendekar Pemetik Harpa 21
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama