Ceritasilat Novel Online

Misteri Wanita Bertopeng 1

Pendekar Rajawali Sakti 210 Misteri Wanita Bertopeng Bagian 1


" 210. Misteri Wanita Bertopeng Bag. 1 - 4
26 ?"?" 2015 ". " 9:40
? Pendekar Rajawali Sakti
episode: Misteri Wanita Bertopeng
Oleh Teguh S. Penerbit Cintamedia, Jakarta
? 1 ? "Heaaa...!"
Dua orang mengendarai kudanya membelah udara malam yang pekat. Hawa dingin yang menggigit seakan tak dipedulikan. Tubuh mereka terguncang-guncang di atas punggung kuda yang berlari bagai kesetanan.
"Sebentar lagi kita sampai di Desa Sangit, Gopala!" teriak laki-laki yang berkuda di sebelah ka?nan. Suaranya seolah hendak mengalahkan deru angin yang begitu keras menerpa telinga. "Banyak hal-hal menarik di sana."
"Kau kelihatan senang sekali membicarakan tempat itu, Sengkolo" Ada apa sebenarnya?" tanya laki-laki yang berkuda di sebelah kiri.
"Apakah kau tidak tahu"!" tukas laki-laki yang dipanggil Sengkolo.
Laki-laki bernama Gopala menggeleng. Kepalanya menoleh ke arah Sengkolo dengan wajah sungguh-sungguh.
"Kita bisa singgah di Pesanggrahan Kembang Melati'" kata Sengkolo agak meninggi. Berharap kalau Gopala cuma pura-pura lupa. Namun dia sedikit kecewa karena melihat wajah Gopala malah semakin bingung.
"Kau sungguh-sungguh tak tahu?" tanya Seng?kolo.
"Tidak. Ada apa sebenarnya?" sahut Gopala.
"Di tempat itu banyak wanita cantik segala macam rupa dan bentuk!" jelas Sengkolo terkekeh lagi, menyangka Gopala pun akan tergelak.
"O..., cuma itu?" sahut Gopala tanpa terkejut.
"Cuma itu katamu"! Tempat itu amat istimewa! Orang-orang dari segala penjuru datang ke sana. Dan kau cuma mengatakan begitu"!" tukas Seng?kolo, kecewa.
"Aku mesti bilang apa?" tanya Gopala, seraya memperlambat jalannya kuda.
"Kita ke sana. Dan kau akan melihat betapa hebatnya tempat itu!" jelas Sengkolo bersemangat, namun juga memperlambat jalannya kuda. Sepertinya dia ingin benar-benar meyakinkan Gopala.
"Kita sedang dalam tugas dan harus tiba secepatnya ke istana untuk melaporkan hasil penyelidikan," sergah Gopala, mengingatkan.
"Alaaah! Kau ini seperti yang bukan laki-laki saja! Tugas bisa ditunda. Tapi kesempatan ini jarang ada duanya. Apalagi pada awal-awal bulan seperti sekarang! Pesanggrahan itu menyediakan banyak wanita muda yang cantik-cantik! Kau pasti akan tertarik!" bujuk Sengkolo, tak putus asa.
Gopala menarik napas panjang. Kudanya makin diperlambat, sehingga seperti berjalan biasa. Demikian pula Sengkolo.
"Bagaimana" Atau barangkali kau tak tertarik pada wanita?" cetus Sengkolo lagi.
"Bila Gusti Prabu tahu kita melalaikan tugas, maka kita akan dijatuhi hukuman berat...," keluh Gopala, mulai goyah pendiriannya.
"Kita tak berseragam. Dan, cuma segelintir orang yang tahu kalau kita prajurit kerajaan! Lantas, apa yang mesti ditakutkan" Bahkan bila prajurit-prajurit lain ke sini, belum tentu mereka mengenali kita."
Gopala masih terdiam, menimbang rayuan temannya.
"Ayolah! Apalagi yang kau pikirkan" Atau..., dugaanku tadi benar" Sebenarnya kau bukan takut dipergoki, tapi..., takut kalau rahasia terbesarmu ketahuan!"
"Jangan meledek, kau!"
Sangkolo tersenyum mengejek.
"Tidak! Aku bicara sesungguhnya. Dan akan bertambah yakin kalau kau terus menolak. Laki-laki mana yang menolak pada wanita cantik"!" Seng?kolo terus memanasi kawannya.
"Aku tidak seperti yang kau tuduhkan...," kilah Gopala.
"Lalu apa?"
"Kita tengah menjalankan tugas...."
"Itu tidak masuk akal! Kau pasti hanya tak mampu. Kalau mampu, buktikan bersamaku di sana!" tantang Sengkolo.
Gopala menghela napas. Selain khawatir karena telah melalaikan tugas, juga karena didesak terus Oleh Sengkolo.
"Bagaimana?"
"Berapa kau berani taruhan?"
"Bagus!" teriak Sengkolo girang dan menunjukkan jempol.
"Berapa kau berani taruhan?" tantang Gopala agak kesal.
"Sekeping perak!"
"Tambahkan empat keping, jadi lima!"
?"Gila! Itu sama dengan harga di sana."
"Hitung-hitung kau mengongkosi aku!" kelit Gopala sambil terkekeh. "Sompret!"
"Eeee, tidak jadi"!"
"Yaaa, apa boleh buat...?" sahut Sengkolo lesu. "Yang penting tunjukkan padaku bahwa kau laki-laki perkasa. Dan..., hitung-hitung juga aku pu?nya kawan. Jadi tidak kelewat canggung."
"Kau sering ke sana, jadi kenapa mesti canggung?"
"Tidak juga. Aku hanya dengar dari orang-orang. Baru sekarang ingin menjajalnya...," sahut Sengkolo tersipu.
"Sompret! Kukira kau sudah sering ke sana!"
Sengkolo cekakakan.
"Ayolah, cepat! Aku sudah tak sabar membuktikan cerita orang-orang!"
"Heaaa...!"
*** ? Seorang laki-laki setengah tua menyambut Sengkolo dan Gopala di pintu gerbang dengan ra?mah. Dipanggilnya seseorang untuk mengurus kuda-kuda tamu yang baru datang ini.
"Silakan, Tuan-tuan...! Jangan sungkan-sungkan" Ucap laki-laki tua itu.
"Mari ke sini, Tuan...!" panggil seorang wanita setengah baya berdandanan menyolok. Wajahnya tebal oleh bedak. Bibirnya merah menyala. Dan pakaian yang membungkus tubuhnya terlihat tipis, amat ketat.
Wanita itu membawa kedua laki-laki tadi ke dalam sebuah ruangan luas yang mirip kedai. Di dalamnya terdapat beberapa laki-laki yang tengah mabuk atau setengah mabuk yang masing-masing ditemani seorang gadis.
Dua gadis mendekat dengan senyum lebar. Sengkolo ikut-ikutan tersenyum. Sebaliknya Gopala malah tersenyum kecut dengan dahi berkerut. Agaknya laki-laki berusia sekitar dua puluh delapan tahun ini hendak memperlihatkan keengganannya kepada dua gadis itu.
Sementara wanita setengah baya itu cepat bertindak dengan memanggil seorang gadis lainnya. Barulah kelihatan Gopala tersenyum-senyum senang.
"Mari ku temani, Tuan!" ajak gadis yang baru menghampiri tadi.
Sementara Sengkolo telah berlalu ke sebuah meja bersama seorang gadis pilihannya. Dan Gopa?la pun mengambil tempat yang tidak seberapa jauh.
Kini dua gadis itu menyuguhkan arak pilihan sambil bercakap-cakap. Namun hal yang dibicarakan lebih banyak menjurus pada kemaksiatan. Dan tanpa disadari, kedua prajurit yang sebe?narnya juga telik sandi ini terus disuguhkan minuman sampai mulai mabuk.
"Cukup! Cukup! Jangan sampai mabuk! He he he...! Bisa kita mulai sekarang?" tanya Sengkolo sambil menolak suguhan arak yang hendak dituangkan gadis pendampingnya.
"Tuan hendak mulai sekarang?" sahut gadis bertubuh padat itu dengan senyum genit.
"He he he...! Aku sudah tak tahan lagi. Melihat bentuk tubuhmu yang aduhai, dan suaramu yang merdu, benar-benar membuatku mabuk kepayang. Ayolah.... Apalagi yang ditunggu" Bawa aku ke sorga yang tadi kau ceritakan. He he he...!" oceh Sengkolo.
"Kenapa tidak" Mari!" tantang gadis ini, membuat gairah Sengkolo kian terpacu.
Dengan setengah memapah, gadis itu melingkarkan sebelah lengan Sengkolo ke belakang leher dan mengajaknya masuk ke dalam sebuah kamar yang ada di belakang rumah ini. Bersamaan dengan mereka, banyak pasangan lain yang mengikuti dari belakang, lalu menuju kamar masing-masing yang banyak berjejer di sepanjang lorong menuju ke be?lakang.
Sementara di sebuah ruangan lain di pesanggrahan ini, terlihat dua laki-laki bertubuh besar masuk ke sebuah kamar. Begitu pintu ditutup, mereka menjura hormat pada seseorang berjubah hitam yang berdiri membelakangi.
"Hormat kami, Ketua!" ucap kedua laki-laki bertubuh besar ini.
"Apa yang kalian dapatkan?" tanya sosok ber?jubah hitam yang dipanggil Ketua tanpa berbalik.
"Banyak hal, Ketua. Namun di antaranya mungkin ada yang membuat Ketua gembira."
"Katakan! Apa yang membuatku gembira?" tuntut sosok berjubah hitam ini.
"Dua prajurit telik sandi kerajaan singgah di pesanggrahan kita," jelas salah seorang laki-laki itu.
"Lalu apa yang membuatmu merasa yakin ka?lau aku gembira mendengar kabar ini?"
"Gadis-gadis itu memberitahu bahwa mereka berdua mengemban tugas mengintai seseorang. Dan orang itu tak lain dari.., Sangkaran!"
Mendengar nama itu disebutkan, sosok ber?jubah hitam itu berbalik. Dan terlihatlah seraut wajah yang seluruhnya tertutup kain hitam. Dari sepasang lubang yang digunakan untuk melihat, kelihatan kalau sepasang bola matanya berbinar-binar. Senang campur gembira!
"Sangkaran keparat! Akhirnya kutemukan juga kau!" desisnya dengan senyum lebar.
"Apa yang kami lakukan sekarang, Ketua?" tanya laki-laki bertubuh tinggi besar itu.
"Siapkan orang-orang kita!" ujar sosok yang dipanggil 'Ketua' ini, tegas.
"Kita menuju ke sana?"
"Sudah lama kesempatan ini kutunggu-tunggu. Dan aku tak mau menundanya barang sekejap pun!"
"Tapi..., ada suatu hal yang agaknya perlu dipertimbangkan, Ketua...."
"Pertimbangkan apa yang kalian maksudkan?"
"Menurut mereka. Sangkaran kini dikelilingi tokoh-tokoh persilatan berkepandaian tinggi. Kita tidak bisa gegabah ke sana."
Sosok bertopeng berjubah hitam yang jelas seorang wanita itu mendongak ke atas. Dari mulutnya mengeluarkan suara mengikik.
"Hi hi hi...! Kalian terlalu meremehkan kekuatan kita. Apakah tidak kalian sadari bahwa kekuatan kita saat ini mampu menghancurkan sebuah kerajaan hingga rata dengan tanah?"
"Aku tahu hal itu, Ketua. Tapi...."
"Pergilah! Dan, siapkan pasukan! Kita menuju ke sana sekarang juga!" perintah wanita berjubah hitam ini, tandas.
"Kalau Ketua berkehendak begitu tentu saja akan kami jalankan sebaik-baiknya."
"Bagus!"
Dari balik topengnya, wanita berjubah hitam yang bertubuh padat sempurna ini tersenyum lebar ketika dua orang itu telah berlalu. Dia mondar-mandir dalam ruangan ini bagai seorang gadis yang tak sabar menunggu kehadiran kekasihnya.
Tok! Tok! Tok! "Ketua, perkenankan hamba masuk!"
Terdengar suara ketukan yang ditingkahi suara seseorang dari balik pintu.
"Kaukah itu, Ki Jelanta?" tanya wanita berju?bah dan bertopeng hitam ini.
"Benar, Ketua."
"Hmm..., masuklah!"
Begitu pintu terbuka, muncul seorang laki-laki tua bertubuh kurus dan agak tinggi. Rambutnya yang panjang dan telah memutih, dikuncir agak ke atas. Kumis dan jenggotnya yang berwarna sama dengan rambut, tumbuh liar tak terurus. Bajunya lusuh dengan celana pendek yang juga amat lusuh.
"Kudengar Ketua hendak mengadakan penyerbuan?" tanya laki-laki bernama Ki Jelanta, setelah menutup pintu.
"Iya" sahut wanita bertopeng ini.
"Dan kudengar pula si Sangkaran telah ditemukan?"
"Benar."
"Dia dikelilingi oleh orang-orang tangguh. Ceroboh namanya kalau kita menyerang tanpa mengetahui kekuatan lawan."
"Aku tidak bisa menunggu meski barang sekejap!"
"Ha ha ha...! Dendammu amat menggelegak, Ketua. Tapi sekadar dendam tanpa perhitungan, hanyalah kekonyolan yang mau kau dapat. Dan dendammu akan terkatung-katung. Malah akhirnya kau yang lebih dulu ke neraka."
"Apa maksudmu?" desis wanita itu, bertanya.
"Biar aku ke sana untuk menyelidiki kekuatan mereka. Setelah aku kembali, maka kita buat rencana jitu untuk menghancurkan mereka. Dengan begitu kemungkinan besar rencana kita akan berhasil, tidak sia-sia!" jelas Ki Jelanta.
Wanita berjubah hitam itu terdiam beberapa saat
"Bagaimana" Ketua setuju tentunya," usik laki-laki tua itu.
"Baiklah...."
"Nah! Perintahkan sekarang juga maka aku akan pergi menyelidikinya!" 'Pergilah sekarang juga!"
Ki Jelanta terkekeh, lalu keluar dari ruangan itu.
? *** ? Ki Jelanta memacu cepat kudanya meninggalkan pesanggrahan menuju utara.
"Heaaa...!"
Lelaki tua ini tidak merasakan kalau ada se?seorang yang mengikuti dari belakang dan mengatur jarak dengan baik.
Sementara itu malam semakin larut. Namun cahaya bulan purnama yang memancarkan sinarnya ke mayapada, cukup untuk menerangi laki-laki tua itu dalam berkuda membelah jalan utama yang di kiri-kanannya hanya persawahan. Suara jangkrik dan hewan malam lainnya meningkahi derap kudanya yang berlari makin cepat.
Menjelang subuh ketika ayam jantan hutan mulai berkokok saling bersahutan, Ki Jelanta tiba di halaman sebuah bangunan tua yang tak terurus. Segera laki-laki tua ini turun dan menambatkan kudanya di sebuah pohon yang tumbuh di halaman bangunan tua itu. Matanya langsung beredar ke sekeliling. Yang terlihat hanya halaman tak terurus, penuh daun-daun kering dan ranting-ranting. Ba?ngunan tua itu sendiri pun bagaikan sarang hantu saja. Sebagian tiang penyangganya telah roboh. Genteng-gentengnya pun berpecahan. Sementara teras depan penuh oleh sampah dedaunan.
Sejenak Ki Jelanta mengedarkan pandangan. Baru setelah merasa tak seorang pun mengetahui kehadirannya di sini, laki-laki tua itu segera melangkah ke pintu bangunan tua ini.
Tok! Tok! Tok! "Siapa?"
Terdengar suara dari dalam, begitu pintu diketuk tiga kali.
"Aku si Lutung Aneh!" sahut Ki Jelanta setengah berbisik. Namun matanya jelalatan memandang keluar.
Tak lama, pintu terbuka. Dan laki-laki tua yang ternyata berjuluk Lutung Aneh ini buru-buru masuk sebelum pintu tertutup kembali.
Tepat ketika tubuh si Lutung Aneh lenyap, se?buah bayangan hitam melesat bagai seekor burung. Dan dengan gerakan manis sekali, bayangan hitam itu melenting ke atas bangunan tua ini. Lalu....
Tap! Seperti lintah, bayangan hitam itu langsung menempel di genteng. Dan dengan perlahan serta hati-hati sekali, dia menggeser sebuah genteng untuk melihat apa yang ada di dalam. Di bawah sana, bayangan ini melihat Ki Jelanta tengah berdiri berhadapan dengan seorang laki-laki bertubuh besar dan berperut gendut.
"Kau yakin kepergianmu tidak diketahui mere?ka?" tanya laki-laki berperut gendut itu.
"Apa kau meragukan kemampuanku, Sang?karan"!" desis si Lutung Aneh.
"Perempuan aneh itu punya banyak anak buah yang tak bisa dipandang enteng...."
"Jangan khawatir. Aku bisa jaga diri!"
"Apa yang kau bawa?" tanya laki-laki gendut berpakaian bagus ternyata bernama Sangkaran.
"Mereka mengetahui tempatmu di sini, Sang?karan!" sahut si Lutung Aneh. "Mulanya mereka akan menyerbu sekarang juga. Namun berhasil kucegah. Dan akhirnya, perempuan aneh itu menyuruhku untuk menyelidik ke sini."
"Kurang ajar! Siapa yang memberitahukannya itu pada mereka"!" bentak laki-laki setengah baya berperut gendut itu seraya menggebrak kursi.
"Kau tak perlu marah-marah, Sangkaran. Mungkin anak buahmu yang ceroboh, sehingga dua prajurit kerajaan mengetahuinya," kata Ki Jelanta.
"Dua prajurit kerajaan katamu, Jelanta"!"
"Mereka singgah di pesanggrahan. Dan perempuan-perempuan lacur di sana berhasil mengorek keterangan!" jelas Ki Jelanta.
"Keparat! Apakah mereka masih berada di sana"!" dengus Ki Sangkaran.
"Sekarang mungkin sudah pulang...."
"Kirim seekor merpati yang kuat untuk membawa surat, guna memberitahukan orang-orang kita yang ada di sana. Dan bunuh kedua prajurit itu!" perintah Ki Sangkaran.
"Eee, tidak usah buru-buru!" cegah Ki Jelanta.
"Apa maksudmu, Jelanta?"
"Sebelum ke sini, aku telah menitahkan dua anak buahku untuk membereskan mereka sepulang dari pesanggrahan. Kemudian, ku sebar desas-desus kalau mereka dibunuh orang-orang pesanggrahan. Dengan begitu...."
"Ha ha ha...!"
Belum habis bicaranya, Ki Sangkaran tertawa keras sampai perutnya berguncang karena kegirangan.
"Luar biasa! Luar biasa, Jelanta! Kau pantas kuangkat jadi penasihat bila aku bisa menduduki kursi kerajaan kelak!"
Ki Jelanta mesem-mesem. Cuping hidungnya kembang-kempis dipuji begitu. Tapi untuk tidak memperlihatkan perasaannya, sebelah tangan dikibaskan untuk menepis.
"Sudah! Sudah! Aku harus kembali secepatnya sebelum matahari ada di ubun-ubun. Dan, jangan lupa! Awasi pesanggrahan itu terus. Begitu mereka lengah, kita bereskan seketika!"
? *** ? 2 ? "Heaaa...!"
Ki Jalanta yang ternyata mempunyai julukan si Lutung Aneh telah menggebah kudanya kuat-kuat, meninggalkan bangunan tua yang tadi dikunjunginya.
"Hm.... Mudah-mudahan tak ada pihak pe?sanggrahan yang mengikutiku," gumam laki-laki tua ini sambil memperhatikan keadaan sekeliling.
Si Lutung Aneh semakin jauh berkuda. Kini bangunan tua yang porak-poranda itu pun tidak kelihatan lagi. Dan sejauh ini perjalanannya aman-aman saja. Namun....
"Hooop...!"
Ki Jelanta menarik tali kekang kudanya, ketika tiba-tiba pada jarak sepuluh tombak melompat satu bayangan hitam dari balik pepohonan hutan kecil itu dan langsung berdiri menghadang. Untungnya, si Lutung Aneh ini cukup tangkas mengendalikan kudanya yang langsung berubah liar dengan mengangkat dua kaki depannya tinggi-tinggi. Maka sebentar kemudian kudanya telah bisa ditenangkan kembali.
"Kisanak, menepilah! Kau menghalangi jalanku ?" desis Ki Jelanta, dingin.
"Aku memang sengaja menghambat mu di sini, Ki Jelanta," sahut sosok bayangan hitam itu dingin seraya berbalik.
"Oh! Kau rupanya, Capung Hitam!" seru Ki Jelanta.
Pada mulanya, si Lutung Aneh agak kaget. Ta?pi setelah mengenali penghadangnya, wajahnya tampak berseri. Sebuah wajah yang sudah sangat dikenalnya. Seorang laki-laki berjubah hitam. Kepalanya besar dengan mata besar pula. Badannya tegap, terbungkus pakaian serba hitam.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Ki Je?lanta, berusaha menyembunyikan keterkejutannya.
"Membawa perintah Ketua!" jawab sosok berpakaian serba hitam yang dipanggil Capung Hitam.
"Hmmm.... Agaknya kita sama-sama dipercaya Sang Ketua mengemban amanatnya...."
"Mungkin juga. Apa perintah Ketua untukmu?"
"Mengawasi si Sangkaran. Dan kau?"
"Membereskan pengkhianat!" sahut si Capung Hitam dengan suara dingin
"Pengkhianat"! Astaga! Siapa pengkhianat di tubuh kelompok kita"!'' tanya Ki Jelanta, pura-pura kaget.
"Ha ha ha...!"
Si Capung Hitam terbahak-bahak.
"Tahukah kau, hukuman apa yang diinginkan Sang Ketua kepada pengkhianat" Penggal kepala! Dan aku akan melaksanakan hukuman itu...!" lanjut Capung Hitam, mendesis.
"Tentu saja, tentu saja...! Pengkhianat memang harus dihukum berat. Tapi ngomong-ngomong, sia?pa sebenarnya pengkhianat itu, Sobat?" sahut Ki Jelanta, masih coba mengatur nafasnya. Dan bibirnya masih menyungging senyum.
"Kau sungguh-sungguh ingin tahu?"
"Tentu saja! Sebagai anggota pesanggrahan, tentu saja aku ikut merasa bertanggung jawab atas pengkhianatan yang dilakukan salah seorang anggota kita."
"Ha ha ha...! Kau tak perlu repot-repot, Jelanta. Pengkhianat itu tepat berdiri di depanku!"
"Apa maksudmu?"
"Ya, kau sendirilah orangnya!"
"Aku"! Kau menuding ku sebagai pengkhia?nat"!" Ki Jelanta menunjuk dirinya dengan wajah tak percaya.
"Jangan bergurau, Sobat!"
"ha..ha..ha...! Kau kira aku tengah bergurau" Kalau begitu kau tidak mengenalku dengan baik."
Tiba-tiba wajah si Capung Hitam berubah kembali. Sepasang matanya memandang tajam, seperti hendak menghujam jantung si Lutung Aneh.
"Aku tidak bergurau, Jelanta! Dan karena pengkhianatanmu, maka kau akan mati sekarang juga!" desis laki-laki berpakaian serba hitam ini.
"Hm.... Kalau Ketua tahu kelakuanmu, maka kau pun akan mengalami hal yang sama!" balas si Lutung Aneh.
"Kau kira siapa yang mengutus ku untuk membunuhmu?" tukas si Capung Hitam.
"Kau tentu berdusta bila mengatakan Ketua yang mengutusmu! Beliau seorang yang bijaksana dan amat mempercayaiku. Jadi, tak mungkin menuduhku pengkhianat."
"Syukur kau mengetahui kalau beliau seorang yang bijaksana. Maka, mestinya kau menyadari ka?lau beliau mencurigaimu. Dan kecurigaan itu ternyata beralasan. Kau mata-mata si Sangkaran yang diselundupkan ke pesanggrahan. Aku mengikutimu sejak kau pergi dari pesanggrahan. Dan aku mencuri dengar pembicaraan kalian. Apakah kau hendak menyangkal"!"
Si Lutung Aneh terhenyak. Diam-diam dia memuji kehebatan ilmu meringankan tubuh si Capung Hitam. Dia mampu mengikuti dan mendengar pembicaraan mereka. Padahal di tempat Ki Sangkaran banyak terdapat tokoh persilatan berilmu tinggi.
Mendengar pengkhianatannya ditelanjangi, si Lu?tung Aneh tak mampu berdalih lagi selain tertawa kecut.
"He he he...! Lalu apa yang bisa kau lakukan terhadapku sekarang" Membunuhku" Sebaiknya urungkan niatmu, Sobat," tantang si Lutung Aneh.
"Menganggap enteng padaku, Jelanta" Kau akan temui malaikat maut sebentar lagi!" ancam si Capung Hitam.
"Bukan begitu. Maksudku, Sangkaran butuh orang sepertimu. Dan dia berani membayar mahal untukmu."
"Ha ha ha...!"
"Kenapa kau tertawa" Kau kira dia tak bisa membayarmu dua kali lipat daripada yang kau terima dari Ketua" Dia bahkan juga bisa menjadikanmu orang kepercayaannya yang bisa diandalkan," lanjut Ki Jelanta.
"Dan kau sendiri?" tanya si Capung Hitam, tapi nadanya melecehkan.
"Aku" Tentu saja bisa jadi kawan dekatmu."
"Kalau begitu biar kusingkarkan dulu dirimu. Paling tidak, nanti aku bisa mendapat kedudukan yang lebih tinggi ketimbang kedudukanmu saat ini di sana!" dengus si Capung Hitam.
"Heaaa...!"
Selesai bicara begitu, tubuh si Capung Hitam berkelebat cepat. Dan tahu-tahu, kedua kakinya yang panjang mencelat ke arah Ki Jelanta.
? *** Si Lutung Aneh mengegos ke kiri. Seketika dia balas menyerang lewat sodokan kepalan tangan.
Wut! "Hup!"
Si Capung Hitam dengan tangkas memutar tubuhnya di udara. Sehingga, sodokan itu menghantam angin. Bahkan mendadak dua kakinya menyambar batok kepala si Lutung Aneh.
"Uts!"
Dengan gerakan gesit Ki Jelanta membawa tubuhnya ke bawah dengan kaki merentang sehingga pantatnya menyentuh tanah. Tepat ketika si Ca?pung Hitam mendarat, tubuhnya digulirkan ke samping dengan kaki kanan mengincar pinggang bagian belakang.
Wut! Namun tubuh si Capung Hitam yang seringan bulu tiba-tiba saja telah mencelat ke atas. Sebelah kakinya menahan serangan, sedang sebelah lagi menghantam ke tengkuk.
Plak! Duk! "Uhh...!"
Telak sekali hantaman kaki si Capung Hitam mendarat di tengkuk si Lutung. Aneh. Ki Jelanta kontan mengeluh tertahan dengan terhuyung-huyung ke depan. Pandangannya sedikit kabur, serta kepalanya berdenyut-denyut. Sambil mengatur keseimbangannya, dia berbalik menghadapi si Ca?pung Hitam.
"Hanya segitukah kemampuanmu, Lutung Buluk?" ejek si Capung Hitam, tepat berdiri lima langkah di depan si Lutung Aneh.
"Setan! Kau kira bisa mempecundangi aku, Hah"!" dengus Ki Jelanta.
"Bukti yang bicara!"
"Huh! Hadapi rangkaian jurus 'Lutung Mabuk" ku ".!"
Ki Jelanta langsung membuka jurus baru yang di beri nama 'Lutung Mabuk'. Gerakannya liar dan tidak teratur. Ini merupakan jurus awal yang amat dibanggakannya.
"Heaaakh...!"
Dengan teriakan seperti seekor lutung marah, si Lutung Aneh melompat menerkam. Kedua tangan membentuk cakar. Kesepuluh jari kakinya pun dalam keadaan tertekuk. Kedua puluh kukunya siap digunakan untuk membeset tubuh si Capung Hi?tam.
Bet! Bet! Kedua tangan Ki Jelanta menyambar ke muka, dada lalu ke perut. Namun si Capung Hitam lebih cepat melenting ke belakang. Si Lutung Aneh mengejar dengan kedua kaki bergerak menghajar. Be?gitu mendarat, si Capung Hitam memiringkan tubuhnya ke kanan, sehingga kedua kaki lawan nyeplos menyambar angin.
"Kreaaakh...!"
Begitu mendarat di tanah, si Lutung Aneh ber?balik dan berguling cepat. Saat mendekat ke arah si Capung Hitam yang juga sudah berbalik, dua ta?ngan dan kakinya bergerak cepat menyerang secara bergantian pada bagian yang berbeda di tubuh laki-laki berjubah hitam itu.
Si Capung Hitam terkejut. Seketika tubuhnya melesat ke atas, namun si Lutung Aneh terus mengejar.
"Hiaaat...!"
Di udara si Capung Hitam melepaskan ikatan jubahnya yang sejak tadi digunakan untuk menjaga keseimbangan saat mengapung di udara. Seketika jubah itu meluruk ke arah Ki Jelanta. Dan....
Plup! "Setan!"
Si Lutung Aneh memaki geram karena dalam sekejap tubuhnya terbungkus jubah yang mampu bergerak cepat bagai anak panah. Secepat itu dia meluruk kembali ke tanah. Dan dengan susah-payah, dia berusaha melepaskan diri.
Tepat ketika jubah itu tersingkap, bersamaan dengan itu, tubuh si Capung Hitam telah meluruk cepat dengan sebuah tendangan menggeledek. Dan....
Duk! "Aaakh...!"
Si Lutung Aneh menjerit tertahan ketika ten?dangan si Capung Hitam mendarat telak di dada kirinya. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang disertai muntahan darah segar. Dan sebelum dia mampu menguasai diri, si Capung Hitam telah berkelebat cepat sekali.
"Heaaaa...!"
Begitu dekat ke arah sasaran, telapak tangan si Capung Hitam menghantam ke tengkuk. Sedangkan kuku-kuku tangan kirinya menyabet ke leher. Begitu cepat gerakannya, sehingga....
Desss!

Pendekar Rajawali Sakti 210 Misteri Wanita Bertopeng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Crasss! "Aaa...!"
Si Lutung Aneh terjajar ke belakang disertai pekikan panjang. Dari lehernya yang koyak, mengucur darah segar. Sebentar tubuhnya sempoyongan, lalu ambruk tak bergerak lagi. Mati dengan leher nyaris putus!
"Sayang, kau salah perhitungan Lutung Buduk! Kau terlalu membanggakan kepandaianmu...," desis si Capung Hitam, sambil berdiri tegak mengawasi dengan bibir tersenyum dingin.
? *** ? 3 ? Matahari baru saja berada di ubun-ubun ketika si Capung Hitam tiba di Pesanggrahan Kembang Melati. Dari depan terlihat keramaian tamu-tamu di rumah makan. Laki-laki berjubah hitam ini menyelinap, masuk ke dalam lewat jalan belakang untuk tidak menarik perhatian tamu-tamu yang tengah makan.
Si Capung Hitam tak mempedulikan keadaan di sekelilingnya. Dia terus saja memasuki sebuah ruangan yang dijaga dua orang pengawal.
"Aku harus ketemu Ketua!" kata laki-laki berjubah hitam ini dengan suara dingin.
Kedua pengawal yang tampaknya telah mengenal si Capung Hitam mempersilakan masuk.
Begitu sampai di dalam si Capung Hitam rupanya telah ditunggu oleh seorang bertubuh ramping memakai jubah hitam. Rambutnya tergerai hingga pinggang. Hitam dan lebat. Ketika berbalik, terlihat wajahnya ditutupi sehelai topeng hitam terbuat dari kain sutera. Dan, hanya menyisakan dua buah lubang untuk melihat.
"Aku menghadap, Ketua!" kata si Capung Hitam sedikit membungkukkan badan.
"Kenapa lama sekali kau muncul?" tanya sosok ramping yang jelas seorang wanita ini.
"Aku harus balik lagi ke sana untuk melihat keadaan...," jelas si Capung Hitam.
"Lalu?" tuntut wanita yang dipanggil 'Ketua' ini.
"Kelihatannya mereka hendak memata-matai kita di sini, atau mungkin juga menyerang."
"Bagaimana si Lutung Aneh?"
"Dia sudah berangkat ke neraka!"
"Hmm.... Orang itu memang tak bisa dipercaya...."
"Orang itu memang sengaja bekerja pada Sangkaran dan disusupkan ke sini."
"Dia pantas menerima akibatnya!" sambar wa?nita bertopeng itu, mendengus. "Hanya saja yang tak dapat kuterima, kenapa dia mesti bekerja pada si Sangkaran terkutuk itu" Mestinya dia bisa menghargai niat baikku...."
Dari nada suaranya, jelas kalau wanita berto?peng itu menyesali sikap si Lutung Aneh.
"Buat apa menyesali segala" Orang itu amat licik dan patut menerima akibatnya!" tukas si Capung Hitam.
"Ya, kau benar!" wanita itu mengangguk. "Siapkan anak buahmu. Kita akan meringkus si keparat Sangkaran sekarang juga sebelum kabur."
"Beres! Dalam sekejap kami telah siap. Tapi sebaiknya tidak usah membawa semua kekuatan. Sisakan untuk menjaga pesanggrahan ini," kata si Capung Hitam seraya mengusulkan.
"Aku juga berpikir begitu. Kerjakanlah!"
Si Capung Hitam memberi hormat, kemudian bergegas keluar.
"Huh! Kau akan terima balasan dariku, Sang?karan terkutuk!" desis wanita bertopeng dengan sinar mata membiaskan kebencian mendalam. Ke?dua tangannya terkepal, menimbulkan suara berkerotokan.
Beberapa saat kemudian, wanita bertopeng ini keluar dari kamarnya.
? *** Sebuah tandu diusung oleh empat orang pemuda bertubuh kekar. Di sampingnya, berkuda laki-laki berjubah hitam berkepala besar dan bermata besar. Siapa lagi kalau bukan si Capung Hitam"
Di belakang tandu, berjalan lebih dari dua puluh orang berpakaian serba hitam. Di pinggang ma?sing-masing terselip sebilah golok.
Rombongan itu telah melintasi jalan utama Desa Sangit dan terus bergerak ke utara.
"Berapa lama kita tiba di sana, Capung Hitam?"
Terdengar sebuah pertanyaan dari dalam tandu pada si Capung Hitam yang berkuda di dekatnya.
"Mudah-mudahan sebelum sore kita telah tiba di sana, Ketua," sahut si Capung Hitam.
"Hm, cukup jauh juga perjalanan ini!"
'Tempat itu memang jauh dan eh"! Apa itu...?"
Mendadak saja dari kejauhan terdengar gesekan rebab yang mengalun pelan dan mendayu-dayu. Suaranya tak terlalu keras, namun dimainkan lewat pengerahan tenaga dalam mengagumkan. Sehingga membuat semua rombongan ini tertegun.
"Siapa kira-kira yang memainkan rebab itu?" tanya suara dari dalam tandu lagi. Suara itu tak lain dan mulut wanita berjubah hitam dan bertopeng kain hitam, majikan si Capung Hitam. Seorang wa?nita yang menguasai Pesanggrahan Kembang Melati.
"Entahlah.... Rasa-rasanya aku pernah ingat" Sebentar! Hm.... Mungkin si Raja Penyair," duga si Capung Hitam.
"Raja Penyair" Hebatkah dia?" tanya wanita bertopeng hitam itu.
"Kata orang-orang dia termasuk tokoh langka. Namun, aku belum pernah bentrok dengannya."
"Waspada saja! Siapa tahu dia kaki tangan si Sangkaran!"
"Sangkaran tak akan mampu membeli dirinya, Ketua!" tegas si Capung Hitam.
"Kenapa kau bisa berkata begitu?" tanya wanita itu.
"Harga dirinya kelewat tinggi untuk tunduk pada perintah orang lain."
"Meski begitu, tetap kita mesti waspada."
"Baik, Ketua!"
Baru saja tak ada yang bicara lagi dari arah berlawanan tampak seseorang bertubuh ramping seperti wanita. Rambutnya yang panjang sepinggang agak kemerahan, dibiarkan lepas begitu saja tanpa pengikat. Wajahnya ditutupi topeng kayu berbentuk wajah seorang wanita bergincu amat merah dan berbedak tebal. Hidung topeng dibuat lebar. Tangan kirinya memegang rebab. Sementara tangan kanannya memegang penggesek. Tanpa mempedulikan keadaan di sekeliling, dia menggesek rebab. Begitu menikmati sambil bersyair.
? Duhai jahanamku sayang,
ke mana gerangan kau kini"
Seribu abad kumencari,
selaksa waktu kuhabiskan
Namun bayangmu belum juga kutemukan
Terhalang tembok tebal yang menindih
? Aduhai malang nasibku,
apakah kau menyadari"
Bila tembok ini kuruntuhkan,
maka kembalilah padaku
Karena aku merindukanmu
Namun kau tak mendengar
Apakah karena diriku nista"
? *** ? "Tak salah lagi, dia Raja Penyair!" kata si Ca?pung Hitam.
"Kalau begitu, tahan langkahnya. Aku mau bi?cara sebentar," ujar wanita dalam tandu tertutup itu.
Tepat pada jarak lima tombak dengan sosok yang diduga sebagai Raja Penyair, si Capung Hitam mengangkat tangannya. Dia memberi isyarat agar rombongannya berhenti.
Dengan gerakan ringan, si Capung Hitam turun dari kudanya. Tanpa suara sedikit pun saat kakinya menjejak tanah, pertanda ilmu meringankan tubuh?nya telah sangat tinggi.
"Kisanak, maafkan! Kami mengganggu perjalananmu...!" ujar si Capung Hitam.
Raja Penyair menghentikan langkahnya. Ditatapnya si Capung Hitam dengan sorot mata tajam.
"Ada apa. Kenapa kau menghentikan langkahku .?" tanya Raja Penyair. Suaranya halus seperti perempuan. Dan melihat bentuk tubuh serta lukisan topeng yang dikenakannya, mestinya adalah perempuan. Dan gelarnya, Ratu Penyair. Jadi, bukannya Raja Penyair.
Dan mendengar suaranya itu, si Capung Hitam jadi ragu apakah mesti memanggilnya Kisanak atau Nisanak" Namun cepat dia mengambil kesimpulan. Jika mendengar gelarnya, maka yang pasti dia mesti memanggil 'Kisanak'.
"Majikanku agaknya ada sedikit keperluan denganmu," jelas si Capung Hitam.
"Majikanmu" Perempuan di dalam tandu itu maksudmu?" tunjuk Raja Penyair ke arah tan?du.
Si Capung Hitam tertegun sebentar. Demikian pula wanita yang ada di dalam tandu. Padahal tan?du itu tertutup rapat. Dan kalaupun ada sedikit celah, rasanya mustahil seorang yang berada di luar bisa menebak apakah orang yang ada dalam tandu itu perempuan atau laki-laki. Namun Raja Penyair betul-betul yakin dengan kata-katanya.
"Turunkan tandu...!" ujar wanita berjubah hi?tam itu.
Keempat pemuda itu segera meletakkan tandu di tanah.
Pelan-pelan wanita bertopeng yang ada dalam tandu menyibak tirai di depannya. Kemudian dia melangkah keluar. Sepasang matanya berbinar memandang Raja Penyair.
"Kisanak, syair mu indah dan musik mu merdu.... Maukah kau memainkannya sekali lagi untukku?" pinta wanita bertopeng hitam itu.
"Aku melantunkan syair bila hatiku senang. Dan kumainkan rebab ini bila hendak menyenangkan orang yang ku senangi," sahut Raja Pe?nyair
"Lalu..., apakah kau menyenangi ku dan mau memainkan syair dan rebab mu?"
"Aku tidak ingin memainkannya...."
"Berarti kau tidak menyenangiku?"
"Hi hi hi...! Apakah kita pernah bermusuhan, hingga aku mesti tidak menyenangimu?"
"Kalau begitu mainkan rebab mu dan lantunkan syairmu untukku. Untuk itu, aku akan membayar berapa saja yang kau minta," desak wanita itu.
"Hi hi hi...! Bila hati sedang kasmaran, maka segala sesuatu hendak dimiliki. Tapi aku bukanlah benda. Dan yang memiliki adalah Sang Maha Pencipta," tolak Raja Penyair, halus.
"Sobat, jangan berbelit-belit! Katakanlah! Kau tentu suka memainkannya untukku, bukan?"
"Hi hi hi...! Kenapa kau begitu yakin" Apakah karena matamu hendak merayu ku?"
"Kurang ajar!" maki wanita ini dalam hati. "Dia tidak mempan oleh ilmu sihir ku. Siapa orang ini gerangan?"
Rupanya lewat sorot mata, wanita itu tadi mengerahkan ilmu sihirnya.
"Begitukah menurutmu?" tukas wanita itu.
Raja Penyair kembali terkekeh.
"Dunia boleh saja dimiliki. Dan, segala isinya boleh tunduk. Tapi sekali-kali kita bukanlah Yang Maha Pencipta. Kita hanya sebutir debu tak berguna. Dan bila bertiup angin kencang, kita melayang-layang tak tentu arah. Apakah orang-orang seperti itu hendak memiliki kemauan besar" Sekali-sekali tidak akan mampu diwujudkannya, kecuali hendak membinasakan diri sendiri," celoteh Raja Penyair berfilsafat.
"Kisanak! Aku tak mengerti ke mana arah bicaramu"!" sentak wanita itu.
"Kau tak mengerti" Hi hi hi...!" tukas Raja Pe?nyair sambil terkekeh. Lalu ditinggalkannya tempat itu seenaknya sambil menggesek rebab. Namun baru dua langkah....
"Berhenti kau!" bentak si Capung Hitam. Suara laki-laki itu menggelegar, mengandung tenaga dalam untuk mengejutkan. Dan tiba-tiba saja tubuhnya melompat, berdiri di hadapan Raja Penyair.
"Manusia tak tahu diri! Kau kira tengah berhadapan dengan siapa"! Perlihatkan sikap hormatmu pada Pimpinan Pesanggrahan Kembang Melati!" bentak si Capung Hitam.
"Dia bukan majikanku. Lagi pula, kalian yang mengganggu perjalananku. Lalu kenapa aku mesti] menghormatinya segala?" sahut Raja Penyair tenang.
"Bangsat! Rupanya kau belum kenal kami"
"Untuk apa kenal dengan orang-orang yang tidak punya santun" Apakah akan menaikkan derajat ku?"
"Kau betul-betul cari gara-gara! Jangan salahkan kalau kami bersikap keras. Pilihan mu hanya satu. Kembali dan mendengarkan bicara majikanku! Kalau dia belum menyuruhmu pergi, kau tak berhak angkat kaki!"
"Kalau tidak?" tanya Raja Penyair, menantang.
"Kau akan merasakan hajaran ku!" tegas si Ca?pung Hitam.
"Hi hi hi...! Hebat sekali gertakan mu Capung Hitam!" sahut Raja Penyair sambil tertawa halus. "Aku ingin merasakan sejak dulu, bagaimana hebatnya hajaranmu. Karena itu aku memilih untuk tidak menuruti perintahmu."
"Kurang ajar!"
Meski dalam hati agak kaget karena Raja Pe?nyair mengetahui siapa dirinya, namun kemarahan si Capung Hitam lebih besar. Sehingga tanpa basa-basi lagi....
"Yeaaa...!"
Si Capung Hitam melepas satu pukulan keras bertenaga dalam lumayan.
"Uts!"
Si Raja Penyair lompat ke belakang sambil mengibaskan penggesek rebab. Seketika terasa angin tajam menyambar ke arah si Capung Hitam. Laki-laki berjubah hitam ini kaget. Namun, dia mampu menghindar dengan memutar tubuhnya. Bahkan langsung melanjutkan serangan dengan ka?ki yang menyambar ke arah kepala.
Namun, lagi-lagi Raja Penyair mengibaskan penggesek rebab untuk menangkis. Gerakan itu kelihatan lemah, tapi....
Tak! "Aaakh...!"
Si Capung Hitam meringis kesakitan ketika penggesek rebab menghantam kakinya. Bahkan sebelum dia berbuat sesuatu, serangan balasan Raja Penyair telah meluncur datang ke arah perut.
"Hup!"
Masih untung si Capung Hitam sempat melompat ke belakang. Namun Raja Penyair tak mengejar. Dan bersamaan itu....
"Cukup! Hentikan...!" teriak wanita bertopeng hitam yang ternyata orang yang menguasai Pe?sanggrahan Kembang Melati.
"Ketua! Aku masih mampu menghajarnya..."!" seru Capung Hitam dengan wajah kecewa ketika mengetahui majikannya yang menghentikan pertarungan.
"Aku tahu, Capung Hitam!" sahut Pimpinan Pesanggrahan Kembang Melati.
"Lalu kenapa Ketua menghentikannya?"
"Karena memang sebaiknya begitu. Kalau saja Raja Penyair tak mau bicara denganku, biarlah. Tak perlu kita memaksa orang supaya bersikap hormat dari orang-orang yang hatinya tak setuju kan menyakitkannya. Maka, biarkan dia pergi."
"Baiklah kalau begitu, Ketua...," sahut si Capung Hitam lemah. Lalu matanya menatap tajam Raja Penyair. "Lekas angkat kaki sebelum kesabaranku hilang!"
"Sebenarnya aku ingin melihat kesabaranmu hilang. Tapi karena majikanmu mengatakan aku boleh pergi, sebaiknya kuturuti. Ha ha ha...! Tak baik membantah perkataan orang yang keluar dari hatinya," sahut Raja Penyair, kalem.
Dan Raja Penyair meninggalkan tempat itu dengan langkah lambat. Seolah ingin menunjukkan kalau tak ada yang mesti ditakuti.
Sementara itu Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati masuk ke dalam tandunya kembali. "Kita berangkat sekarang!" perintahnya.
? *** ? Seorang pemuda tampan berbaju rompi putih berdiri mematung memandangi sebuah bangunan tua yang tak terurus lagi. Tatapan matanya begitu tajam, seolah hendak menembus dinding-dinding bangunan itu.
"Permisi! Aku hendak bertemu pemilik ba?ngunan ini...!" teriak pemuda yang di punggungnya tersandang sebilah pedang bergagang kepala burung itu.
Tak terdengar sahutan apa-apa. Bangunan itu benar-benar tak terurus. Dan setiap orang yang melewatinya, pasti merasa yakin kalau penghuninya telah minggat puluhan tahun lalu. Namun pemuda yang tak lain Pendekar Rajawali Sakti ini merasa yakin kalau penghuninya masih berada di dalam. Paling tidak, penghuni baru!
Dan baru saja Rangga hendak bersuara kem?bali.
"Kisanak, apa yang kau lakukan di situ?"
"Hmm". "
Rangga bergumam pelan sambil menoleh sedi?kit Dan dia melihat seorang laki-laki setengah baya lengah memanggul cangkul. Kepalanya memakai tudung bambu, berpakaian seperti petani. Namun dari kehadirannya yang tiba-tiba tanpa terdengar suara, Pendekar Rajawali Sakti yakin kalau laki-laki itu mempunyai kepandaian cukup tinggi.
"Aku ingin bertemu penghuni rumah ini," sahut Rangga sambil kembali meluruskan pandangan ke depan.
"Kau gila! Penghuni rumah ini telah pergi beberapa puluh tahun lalu!" kata laki-laki petani ini.
"Kalau begitu pada penghuni yang ada di dalam saat ini," tegas Rangga bersikeras.
"Penghuni" Ha ha ha...! Kau mungkin bermimpi. Sejak bertahun-tahun aku tinggal di sekitar tem?pat ini, belum pernah kulihat seorang pun penghuni, kecuali kawanan kelelawar dan binatang-binatang hutan. Bahkan orang-orang di sekitar tempat ini menjuluki rumah ini sebagai rumah hantu!" jelas petani itu.
"Kalau begitu aku ingin bertemu kelelawar, binatang hutan, atau hantu. Atau, apa pun namanya!"
"Terserah padamu, Anak Muda. Aku telah mengatakannya. Dan kau tak mau percaya. Lama-lama kau bisa sinting memanggil orang yang tak ada" kata petani ini sambil tertawa dan menggeleng lemah.
Rangga tersenyum kecut.
"Entah, aku atau kau yang sinting. Tapi kau seperti orang tua yang hendak membodoh-bodohi cucunya, agar jangan masuk ke dalam rumah itu. Sementara, kau baru saja keluar dari situ. Dan cucunya mengetahui dengan jelas. Lalu, sekarang siapa yang sebenarnya sinting?" sindir Rangga.
Wajah petani itu kontan berubah. Kalau saja menoleh, Rangga akan melihat raut wajah petani itu telah memerah. Entah perasaan mendongkol atau rasa kesal. Tapi sebenarnya tanpa melihat pun sudah diduga demikian.
"Nah! Karena tak ada lagi yang akan kau katakan, panggillah penghuni rumah ini. Aku ingin bertemu dengannya!" ujar Pendekar Rajawali Sakti.
"Siapa yang kau maksudkan?" tanya petani ta?di dengan suara datar.
"Sangkaran!" sahut Rangga, tegas.
"Kami tak pernah dengar nama itu!"
"Apakah kau pernah dengar nama Jatmika?"
Dahi petani itu berkerut sebentar sebelum menggeleng lemah.
"Sayang sekali. Padahal, dia mengatakan dengan jelas bahwa kau tinggal di sini...," desah Rangga.
"Apa maksudmu?" selak laki-laki petani ini.
"Dia sempat mengatakan kalau Petani Kere tinggal di sini. Dan saat ini, dia tengah berada di belakangku."
"Hm, bagus! Matamu sungguh tajam, Anak Muda. Bisa jadi orang bernama Jatmika itu benar. Tapi, dia berdusta bila mengatakan kalau di sini ada yang bernama Sangkaran."
"Kau kelewat bernafsu, Sobat. Dia sama sekali tidak mengatakan begitu. Sebelum tewas, dia menga?takan kalau kau mengetahui di mana Sangkaran berada. Jangan sampai di antara kita terjadi silang sengketa...."
"Tak mudah menggertakku, Anak Muda!" de?ngus laki-laki yang ternyata berjuluk si Petani Kere.
"Aku tak menggertak. Kecuali, kalau kau tetap bungkam!"
"Setan! Heaaa...!"
? *** ? 4 ? Wuuttt...! Petani Kere yang kemarahannya telah membludak langsung mengayunkan cangkulnya. Namun dengan hanya mengegos ke kiri, Rangga berhasil menghindarinya. Dan begitu cangkul itu lewat di sisinya, mendadak tangannya mengibas ke tangan Petani Kere yang memegang cangkul.
Plak! "Ohh...!"
Petani Kere terkesiap. Tahu-tahu cangkulnya terjatuh di tanah, begitu tangannya terasa nyeri bu?kan main terhantam tangan Pendekar Rajawali Sak?ti. Sebelum kesadarannya sempurna, Rangga menyodokkan sikutnya sambil maju selangkah, ke da?da laki-laki itu.
Desss...! "Uhh...!"
Petani Kere terjajar beberapa langkah disertai keluhan tertahan. Sambil mendekap dada, matanya tajam memandang Rangga.
"Siapa kau sebenarnya"!" tanya Petani Kere, bergetar.
"Sangkaran akan tahu kalau aku kawan lamanya. Karena itu suruhlah dia keluar!" sahut Rangga, sambil menentang tatapan laki-laki itu dengan tak kalah dinginnya.
"Huh! Kawan lama tidak akan begini caranya bila hendak bertemu!" dengus Petani Kere.
"Jangan terlalu menguras kesabaranku, Petani Kere! Panggillah dia untuk menemuiku!" desis Rangga, menggetarkan.
"Tidak perlu menggertak ku, Anak Muda. Aku tidak takut denganmu!"
"Memang tak seharusnya kau takut denganku," sahut Rangga tenang seraya melangkah mendekati.
Meski wajahnya dipasang angker dan kesan tidak takut sedikit pun, tapi sesungguhnya nyali Petani Kere mulai ciut setelah menerima gebrakan Rangga tadi. Hanya sekali gebrak saja, dia telah merasakan kehebatan pemuda di depannya. Itu menandakan kalau pemuda ini memiliki kepandaian hebat dan kalau menyerang lagi apakah masih mampu menahannya atau tidak. Tapi, Petani Kere bertindak nekat. Tiba-tiba....
"Heaaat...!"
Disertai teriakan menggelegar, Petani Kere itu melesat dengan hantaman bertubi-tubi. Namun, sambil melangkah ke belakang dengan tubuh meliuk, Pendekar Rajawali Sakti mampu menghindarinya. Bahkan pada jarak tertentu, tiba-tiba Rangga berputar seraya melepas tendangan menggeledek.
Petani Kere terkesiap. Dengan tangan kanan dicobanya untuk memapak. Plak!
"Uhh...!"
Meski berhasil menangkis, namun tak urung wajah Petani Kere meringis kesakitan. Dari adu tenaga barusan, nyata kalau tenaga dalam pemuda itu berada di atasnya. Dan kalau ini terjadi terus, tidak sampai lima jurus dia bakal dapat dijatuhkan.
Namun dugaan Petani Kere keliru. Karena baru menginjak jurus berikutnya, tiba-tiba Pendekar Ra?jawali Sakti melenting tinggi ke udara dengan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Beberapa kali tubuhnya berputar, lalu mendadak meluruk deras ke arah Petani Kere. Saat itu juga lewat jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali', tangan kanannya menyodok ke dada. Begitu cepat gerakannya, sehingga Petani Kere hanya melongo saja. Tahu-tahu....
Begkh...! "Aaakh...!"
Petani Kere terjatuh di tanah disertai teriakan kesakitan. Dari mulutnya mengeluarkan darah segar. Untung saja Pendekar Rajawali Sakti tadi tidak mengerahkan tenaga dalam sepenuhnya. Kalau sampai itu terjadi, bukan tak mungkin dadanya akan amblong!
Sementara itu, Rangga yang sudah mendarat di tanah sudah bersiap-siap kembali, bila Petani Kere akan menyerang lagi. Namun sebelum itu terjadi....
"Hentikan!"
"Hmm!"
Pendekar Rajawali Sakti bergumam tak jelas ketika terdengar suara bentakan dari belakang. Seketika tubuhnya berbalik.
? *** ? Rangga melihat seorang laki-laki setengah baya berperut gendut tengah berdiri di ambang pintu ba?ngunan tua itu. Wajahnya tampak kaku, menyiratkan ketidaksenangannya terhadap kehadiran Pen?dekar Rajawali Sakti. Sementara di kanan-kirinya berbaris rapi beberapa tokoh persilatan yang selama ini mengawalnya.
"Adipati Sangkaran! Senang sekali bisa bertemu denganmu!" sapa Rangga. Meski memanggil dengan sebutan 'adipati', sesungguhnya tekanan suaranya tadi jelas-jelas menyiratkan ketidaksenangannya.
"Terus terang saja, apa maksud kedatanganmu ke sini?" tanya laki-laki berperut gendut yang dipanggil Adipati Sangkaran (Untuk mengetahui siapa itu Adipati Sangkaran, silakan baca serial Pendekar Rajawali Sakti dalam kisah : "Ancaman Dari Utara").
"Aku tidak membiarkan orang yang telah berbuat kelaliman berkeliaran begitu saja!" desis Rangga.
"Kau lihat orang-orang ini, Pendekar Rajawali Sakti" Mereka setia padaku dan rela bersabung nyawa jika nyawaku terancam. Kutawarkan perdamaian padamu. Dan kau boleh tinggalkan tempat ini dengan aman!" ujar Adipati Sangkaran, yang disertai ancaman.
Rangga tersenyum kecut.
"Apa urusannya dengan mereka" Aku hanya berurusan denganmu. Dan kalau mereka ikut campur, maka tanggung sendiri akibatnya!" balas Rangga, kalem.
Dengan kata-kata Pendekar Rajawali Sakti ba?rusan, jelas merupakan tantangan bagi para tokoh persilatan yang berdiri di belakang Adipati Sangkaran. Harga diri mereka merasa terinjak jika tak menyambut tantangan itu. Apalagi, mereka punya kewajiban melindungi junjungannya. Mereka me?mang pernah mendengar kehebatan Pendekar Rajawali Sakti. Tapi kali ini tidak membuat mereka gentar. Toh, belum dicoba. Begitu pikir mereka.
Maka saat itu juga melompat satu orang ke depan. Orang ini bertubuh lebih besar. Wajahnya garang. Sepasang alisnya terangkat ketika memutar-mutar tombak di depan Pendekar Rajawali Sakti.
"Pendekar Rajawali Sakti! Kau boleh berhadapan dengan Tombak Setan bila hendak mencelakai junjunganku!" teriak laki-laki bertubuh tinggi besar yang mengaku berjuluk si Tombak Setan. Suaranya terdengar serak dan parau.
"Kuperingatkan! Kalian hanyalah budak dari durjana itu. Oleh sebab itu, pergilah sebelum pikiranku berubah...!" desis Rangga.
"Banyak mulut! Heaaa...!"
Wuk! Set! Tombak Setan langsung memutar tombak dan menghujamkannya ke jantung Rangga. Namun Pendekar Rajawali Sakti hanya perlu melompat sedikit ke samping, lalu memutar tubuh untuk melepas tendangan.
Duk! Hugkh! Tendangan Rangga tepat menghantam ulu hati. Saat itu juga muka seram Tombak Setan berubah. Kini wajahnya berkerut menahan nyeri ketika terhuyung-huyung ke belakang.
"Heaaa...!"
Rangga tak memberi kesempatan, langsung melesat. Ternyata dalam keadaan demikian, Tom?bak Setan masih mampu menyabetkan senjatanya.
"Hup!"
Tap! Pendekar Rajawali Sakti cepat bersalto di udara. Entah kebetulan atau tidak sebelah kakinya mendarat di batang tombak lawannya. Sementara kaki yang satu lagi cepat sekali menghantam dagu Tombak Setan.
Duk! "Uhh...!"
Tendangan Pendekar Rajawali Sakti tepat menghantam jalan saraf Tombak Setan. Seketika Laki-laki tinggi besar ini ambruk ke tanah. Pingsan!
Melihat kejadian itu, nyali Adipati Sangkaran sedikit ciut. Namun dia masih punya harapan ketika dua orang anak buahnya langsung melompat ke hadapan Pendekar Rajawali Sakti.
"Kau boleh mengalahkannya! Tapi jangan coba-coba terhadap Ular Besi dan Gong Sekati!" de?ngus salah seorang yang bersenjata rantai panjang. Pada ujung rantai terdapat mata tombak runcing. Dan di dunia persilatan, dia dijuluki Ular Besi.
Yang seorang lagi bertubuh pendek. Dia membawa sebuah gong beserta pemukulnya. Orang ini bergelar Gong Sekati. Padahal nama sebenarnya Kalapu. Tanpa basa-basi lagi, mereka menyerang Pen?dekar Rajawali Sakti bersamaan.
"Heaaa...!"
Wut! Wuk! Si Ular Besi memutar-mutar rantainya, seperti hendak membelit Pendekar Rajawali Sakti. Sementara si Gong Sekati siap mengayunkan pemukul Gongnya.
"Hup!"
Rangga seketika membuka jurus 'Sembilan Langkah Ajaib". Saat itu juga tubuhnya meliuk-liuk indah ditopang oleh gerakan kaki yang lincah. Sampai sejauh ini, tak satu serangan pun yang berhasil menyentuh tubuhnya.
Mendadak, lewat satu gerakan tak terduga, Pendekar Rajawali Sakti berkelebat cepat sekali. Tubuhnya bergerak memutari kedua lawannya. Jelas Rangga tengah mengerahkan jurus 'Seribu Rajawali'. Maka saat itu juga tubuhnya berubah bagai seribu jumlahnya.
"Heh"!"
Si Ular Besi terkesiap melihat tubuh Pendekar Rajawali Sakti berubah jadi banyak. Dan sebelum dia menyadari apa yang terjadi....
Des! "Akh!"
Dan Rangga tak memberi kesempatan meski sekejap pun. Begitu lawannya termangu, dilepaskannya satu pukulan telak yang bersarang diulu hati. Ki Jambangan menjerit kesakitan ketika tubuh?nya terlempar ke belakang. Dia ingin segera bangkit, tapi tak mampu.
Gong Sekati yang melihat temannya terlempar jadi terkejut. Namun dia cepat memukul-mukul gongnya disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
Dang! Dong! Dang...!
Dengan begitu, laki-laki ini bermaksud membuyarkan perhatian Pendekar Rajawali Sakti. Me?mang suara gong yang ditabuh begitu kuat menindih pendengaran Rangga.
Namun Rangga pun tak tinggal diam. Cepat disalurkannya hawa murni, seraya meningkatkan tenaga dalamnya. Lalu tiba-tiba salah satu tubuh?nya yang berubah banyak itu, berkelebat cepat ke arah Gong Sekati. Dan....
Desss...! "Aaakh...!"
Telak sekali hantaman Pendekar Rajawali Sakti yang langsung mengerahkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali', mendarat di dada Gong Sekati hingga terlempar beberapa langkah. Laki-laki itu menjerit kesakitan sambil memegangi dadanya yang terasa sesak.
?

Pendekar Rajawali Sakti 210 Misteri Wanita Bertopeng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

*** ? Kedigdayaan Pendekar Rajawali Sakti semakin membuat ciut nyali Adipati Sangkaran. Tiga jagonya keok. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti tak kurang suatu apa pun.
"Astaga! Ki Kalapu nyaris mampus hanya beberapa gebrakan. Bukan main!" puji Adipati Sang?karan di hati.
Sementara itu di hadapan Pendekar Rajawali Sakti telah berdiri penantang lain. Dia adalah seorang laki-laki setengah baya bertubuh sedang. Kepalanya gundul. Dia tidak membawa senjata apa pun. Namun dari sorot matanya terasa kalau la?ki-laki ini memiliki tenaga dalam hebat.
"Pendekar Rajawali Sakti! Kini kau lawanku!" desis laki-laki botak ini.
"Aku heran! Mestinya kepandaian kalian bisa digunakan untuk jalan kebaikan. Tapi kenapa mesti bekerja dengan orang telengas macam Adipati Sangkaran?" kata Rangga, dingin.
"Kau tak tahu apa-apa tentangnya!" sentak laki-laki botak itu.
"Dia adalah bajingan tengik yang telah begitu tega memperkosa putri tirinya! Dan dia adalah se?orang pemberontak!" dengus Rangga.
Laki-laki botak ini tak bisa bicara lagi. Wajahnya berkerut menahan amarah.
"Walet Batu! Kau kubayar bukan untuk adu mulut dengannya! Bereskan dia lekas!" teriak Adi?pati Sangkaran, membakar amarah laki-laki botak yang ternyata berjuluk Walet Batu.
"O, jadi kau yang berjuluk Walet Batu" Sayang sekali, orang sepertimu mesti bekerja pada manusia durjana seperti Sangkaran...!"
"Pendekar Rajawali Sakti! Lebih baik tutup mulutmu! Atau aku yang akan membungkamnya!" bentak si Walet Batu.
"Hm, mestinya julukanmu jangan Walet Batu, tapi Kepala Batu!"
"Kurang ajar!"
Saat itu juga Walet Batu melompat menyerang dengan hantaman tangan bertubi-tubi. Gerakannya gesit. Angin serangannya mengandung tenaga da?lam kuat. Orang ini memang bertenaga besar dan mampu bergerak gesit. Seperti julukannya, dia mampu bergerak secepat walet.
"Hup!"
Rangga yang telah mendengar kehebatan Wa?let Batu tidak mau bertindak ayal-ayalan. Seketika tenaga dalamnya dikerahkan. Telapak kirinya yang terkembang cepat menahan kepalan kanan Walet Batu yang bergerak cepat.
Plak! Terjadi benturan keras. Tubuh Walet Batu bergetar dan terasa ada sesuatu dorongan tenaga luar biasa.? Dia sempoyongan dengan kuda-kuda goyah.
Sementara Rangga tegak berdiri. Seolah memberi kesempatan pada Walet Batu untuk menyerang.
"Heaaa...!"
"Nekat juga rupanya kau!" gumam Rangga sambil tersenyum pahit.
Walet Batu kali ini melesat ke atas. Kedua tangannya terkepal, hendak menghantam Pendekar Rajawali Sakti.
Sambil melangkah mundur, Rangga menangkis gesit. Dan ketika Walet Batu hendak menghantam dadanya, Rangga meliukkan tubuhnya dengan ma?nis sekali. Bahkan seketika kakinya terangkat lurus menghantam dada.
Desss...! "Aaakh...!"
Si Walet Batu terlontar deras ke belakang disertai jerit kesakitan. Begitu menjejak tanah, lang?kahnya sempoyongan. Kesempatan itu digunakan Pendekar Rajawali Sakti untuk melesat dengan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'!
"Hup! Yeaaa...!"
"Ohh...!"
Bukan main kagetnya si Walet Batu ketika me?lihat Pendekar Rajawali Sakti menyerangnya de?ngan satu gedoran keras. Padahal saat itu dia betul-betul tidak siap. Hingga akibatnya...
Desss...! "Akh!"
Tubuh Walet Batu terhempas ke tanah disertai pekik kesakitan. Tak ayal lagi, darah mengucur de?ras dari mulutnya.
Sebenarnya dengan serangan sebelumnya, Walet Batu telah terluka dalam. Dan dia berusaha menyembunyikannya dengan menutup mulutnya rapat-rapat. Namun serangan Rangga barusan benar-benar membuatnya tak bisa bangkit lagi.
"Hoeekh...!"
Tepat ketika si Walet Batu batuk-batuk muntah darah, Rangga berkelebat ke arah Adipati Sang?karan.
"Eeeeh...!"
? *** Pendekar Rajawali Sakti
?"?"?"" Pendekar Rajawali Sakti
Bahasa Indonesia
? 2017 " 210. Misteri Wanita Bertopeng Bag. 5 - 8 (Selesai)
26 juillet 2015, 09:48
5 ? Adipati Sangkaran terkesiap. Dan sebelum dia berbuat sesuatu, Pendekar Rajawali Sakti telah menggerakkan tangan kanannya ke tengkuk.
Tuk! "Ohh...!"
Satu buah totokan, langsung membuat Adipati Sangkaran pingsan dengan tubuh lemas. Rangga langsung menangkap tubuh yang hendak ambruk. Lalu matanya memandang garang pada sisa anak buah Adipati Sangkaran.
"Siapa yang coba-coba hendak menyelamatkannya, maka akan mengalami nasib sama dengan yang lainnya!" teriak Rangga.
"Mau kau bawa ke mana dia?" tanya salah se?orang.
"Mau kubawa ke mana, itu urusanku! Awas! Jangan ada yang coba-coba membuntuti ku, kalau masih ingin melihat matahari esok pagi!" ancam Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan pan?dangan berkeliling, lalu memondong tubuh Adipati Sangkaran. Saat itu juga tubuhnya berkelebat ce?pat. Namun baru beberapa puluh tombak melesat, Pendekar Rajawali Sakti berpapasan dengan se?buah rombongan yang dipimpin oleh seorang penunggang kuda. Empat pemuda di antara rombong?an itu memanggul tandu.
"Kisanak, tahan langkahmu!" teriak orang yang berkuda.
"Hmm!"
Rangga menghentikan lesatannya. Matanya langsung terarah pada seorang laki-laki berjubah hitam. Kepalanya besar dengan sepasang mata melotot lebar seperti hendak keluar dari sarangnya. Setelah diamati seksama akan terlihat kalau sepa?sang matanya lebih besar ketimbang bola mata orang dewasa pada umumnya. Jadi bukan sedang menunjukkan kemarahannya. Orang inilah yang ta?di mengeluarkan bentakan.
"Ada apa, Kisanak?" tanya Rangga, datar.
"Maaf, Kisanak! Siapa orang yang tengah kau bawa?" tanya laki-laki berkepala besar yang tak lain si Capung Hitam.
"Dia kawanku!" sahut Rangga singkat.
Dari jawaban serta sikapnya, jelas menunjuk?kan kalau Pendekar Rajawali Sakti tak senang orang itu mengganggu langkahnya. Namun laki-laki itu seperti tak mau mengerti. Atau memang sengaja"!
"Bukankah itu Adipati Sangkaran?" tanya si Capung Hitam, sambil memandang curiga.
"Kisanak, menepilah! Aku tak ingin ada urusan dengan kalian!" desis Rangga, tak mempedulikan pertanyaan si Capung Hitam.
"Justru kami yang hendak berurusan denganmu!"
"Hmm!"
Raut wajah Pendekar Rajawali Sakti berubah tegang mendengar jawaban itu.
"Sebenarnya kedatangan kami ke sini ada keperluan dengan Adipati Sangkaran. Namun karena kau telah mengacaukannya, maka terpaksa kita berurusan," lanjut si Capung Hitam.
"Maaf, Kisanak! Aku tak suka diganggu! Aku tak peduli urusanmu. Dan orang dalam pondongan ku harus kuserahkan pada seseorang...."
"Jangan bicara gegabah, Anak Muda! Kau be?lum tahu siapa aku!" bentak si Capung Hitam.
"Aku tak perlu tahu siapa kau. Tapi siapa pun yang coba menghalangi jalanku, jangan salahkan kalau aku bertindak keras!"
"Ha ha ha...! Apakah kau pikir bisa bertingkah di depanku"!"
Rangga menghela napas, untuk membuang kekesalannya. Kepalanya menggeleng perlahan de?ngan bibir tersenyum kecut
"Sebenarnya siapa yang bertingkah?" tukas Pendekar Rajawali Sakti, kalem. "Bukankah kau yang menghentikan langkahku?"
"Kurang ajar!"
Bukan main geramnya si Capung Hitam men?dengar pemuda itu meremehkannya. Demikian pula halnya yang lain. Mereka ingin segera menggasak pemuda berbaju rompi putih ini. Namun se?belum seorang pun ada yang bergerak....
"Capung Hitam! Biarkan aku bicara dengannya...."
Terdengar suara dari dalam tandu. Tentu saja, dia tak lain dari Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati.
"Tapi, Ketua...."
"Sudahlah. Tak apa. Aku bisa menanganinya," potong Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati. "Turunkan tandu!"
Begitu tandu diletakkan di tanah perlahan, tirai tersibak. Dari dalamnya, keluar satu sosok berpakaian dan berjubah hitam. Kepalanya tertutup kain hitam pula.
Pendekar Rajawali Sakti menatap tajam sosok tubuh ramping berpakaian serba hitam dan berambut panjang melewati pinggang ini. Rangga sulit mengenali karena yang terlihat hanya dua bola matanya yang memancar penuh kekuatan sihir dari dua buah bolo?ngan kecil di kain hitam itu.
"Hmm! Sorot matanya mengandung daya sihir. Aku mesti hati-hati...," gumam Rangga ketika mata hatinya yang tajam menembus dua bola mata sosok di depannya. Dia seperti melihat cahaya terang yang menyilaukan. Saat itu juga Rangga mengerah?kan kekuatan tenaga batinnya.
"Kisanak! Kalau boleh aku mengetahui, apa urusanmu dengan si Sangkaran ini?" tanya sosok ramping berbaju serba hitam yang dikenal pula se?bagai Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati.
"Ini urusan pribadi," sahut Rangga berdusta.
"Urusan pribadi" Hmm.... Kalau demikian, hampir sama denganku. Hanya saja aku menginginkannya untuk kawanku. Dan kalau tak salah, dia pernah cerita banyak tentangmu...."
Mencari Bende Mataram 7 Pendekar Super Sakti Serial Bu Kek Siansu 7 Karya Kho Ping Hoo Eng Djiauw Ong 8

Cari Blog Ini