Ceritasilat Novel Online

Pangeran Impian 1

Pendekar Rajawali Sakti 206 Pangeran Impian Bagian 1


PANGERAN IMPIAN
oleh Teguh Suprianto Cetakan pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa ijin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Rajawali Sakti
dalam episode :
Pangeran Impian
128 haL ; 12 x 18 cm
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
1 Cras! Cras! "Aaa...!"
Keheningan pagi mendadak pecah
oleh teriakan bernada kematian yang seperti hendak merobek angkasa, dari sebuah
bangunan besar berpagar tembok setinggi dua tombak. Pada bagian pintu gerbang
menggantung sebuah papan bertuliskan Padepokan Naga Merah.
"Heaaa...!"
"Chiaaa...!"
Belum juga teriakan tadi
menghilang tuntas, kembali terdengar suara-suara yang menyiratkan adanya sebuah
pertarungan sengit yang
ditingkahi bunyi senjata beradu.
"Berhenti...!"
Pertarungan mendadak berhenti
ketika terdengar bentakan keras
menggelegar. Dari pintu bangunan utama Padepokan Naga Merah keluar seorang lakilaki berusia sekitar dua puluh delapan tahun. Dia memakai baju jubah berwama
merah dengan gambar seekor naga dipunggung. Rambutnya panjang, diikat kain
berwarna merah yang
dihiasi gambar naga pula tepat di kening.
Laki-laki berjubah merah yang
diiringi belasan pemuda
itu menghentikan langkahnya didepan
seorang gadis cantik berpakaian ketat berwarna kuning keemasan. Di dadanya yang
membusung tarmpak sebuah gambar burung merak. Di belakang gadis ini, berdiri
pula sekitar sepuluh orang gadis lain, berpakaian kuning keemasan pula.
"Ada apa ini, Nisanak" Mengapa kau membuka silang sengketa dengan padepokan
kami?" tegur laki-laki berjubah merah. Nada bicaranya penuh tekanan. Matanya
menyorot tajam, seolah hendak menghujam jantung gadis yang bersenjata pedang
ini. "Kau Jaka Supena, Ketua Padepokan Naga Merah?" gadis berbaju kuning keemasan
bersenjata pedang yang
agaknya menjadi pemimpin ini malah balik bertanya.
"Betul! Siapa kau"!" sahut laki-laki berjubah merah yang bernama Jaka Supena,
Ketua Padepokan Naga Merah.
"Aku Ratih, utusan pemimpinku.
Kami dari Padepokan Merak Emas," jawab gadis bemama Ratih, tegas.
"Mengapa kalian sampai membantai beberapa muridku?"
"Sebenarnya anak buahku tak bermaksud membunuh. Tapi, justru murid-muridmu yang
cari masalah. Ah..., sudahlah. Kedatangan kami bukan mempersoalkan murid-muridmu yang angkuh,
melainkan menyampaikan
tantangan dari pemimpinku," tukas Ratih.
'Tantangan apa?" tanya Jaka Supena dengan kening berkerut
"Pertarungan!" tandas Ratih.
"Pertarungan?" ulang Jaka Supena.
Keningnya makin berkerut "Aku tak pernah kenal pemimpinmu. Apalagi mempunyai
persoalan. Jadi mana mungkin bertarung dengannya" Lagi pula, urusan apa sehingga
dia menantangku?"
"Aku tak tahu. Tapi kalau kau menolak tantangannya, maka akan
dianggap kalah. Dan kau mesti
mengumumkan kekalahanmu di depan orang ramai."
"Gila!" maki salah seorang murid Padepokan Naga Merah.
"Guru! Biarkan kuhajar mereka sekarang juga! Biar mereka tahu, siapa sebenarnya
Naga Merah!" sambut murid lain lebih berani.
Sret! Pemuda itu sudah mencabut golok
dan siap menerjang.
"Tahan, Ranta!"
Jaka Supena memberi isyarat Dan
dengan sikap tenang, kakinya melangkah mendekati Ratih.
"Kau tahu, Nisanak. Aku tak mungkin berbuat begitu...," desah Jaka Supena.
*** "Kalau begitu kau harus terima tantangan pemimpin kami!" sentak Ratih, makin
berani. "Baiklah Tentukan, kapan dan di mana?"
"Sekarang juga."
"Sekarang"!"
Jaka Supena benar-benar mulai
jengkel. Hatinya panas dipandang sebelah mata begitu. Padahal,
Padepokan Naga Merah yang didirikannya lima tahun lalu cukup dikenal
padepokan silat yang memiliki guru berkepandaian tinggi. Tapi, utusan dari
Padepokan Merak Emas ini betul-betul menguras kesabarannya.
"Aku yang mewakili pemimpin kami untuk menghadapimu!" kata Ratih menegaskan.
"Hhh...!" desah Jaka Supena, tak jelas.
"Kau telah terima tantangan.
Bersiaplah!"
Ratih tak peduli laki-laki itu
mendesah menahan amarah, seperti lahar bergolak
yang menunggu saat
dimuntahkan. Secepatnya gadis ini lompat menyerang.
"Heaaa...!"
"Huh!"
Jaka Supena mendengus. Dengan
kegesitannya, tubuhnya bergerak ke samping. Begitu tendangan Ratih dapat
dihindarinya, langsung
dilepaskannya hantaman kepalan kanan ke pinggang.
"Hiih!"
"Uts!" ;
Ratih mencelat ke atas. Setelah
berputaran sekali, kedua kakinya menyapu tengkuk dan punggung.
Jaka Supena terkejut, secepatnya dia menjatuhkan diri, dan secepat itu pula
melenting bangkit
"Ayo, kerahkan segala kemampuan yang kau miliki!" ejek Ratih, langsung meluruk
kembali. "Keparat! Hup...!"
Jaka Supena melenting kebelakang membuat jarak. Begitu kakinya
menjejak, dia melesat melepas serangan dengan tubuh berputar laksana
gelombang di lautan.
"Jurus apa yang kau mainkan?"
tanya Ratih, bernada mengejek.
Tubuhnya meloncat kesana kemari, menghindari serangan.
"Ini jurus 'Naga Merah Mengamuk'.
Kau rasakan kedahsyatannya!" sahut Jaka Supena, kian
jengkel saja direndahkan begitu.
"Apakah ini jurusmu yang
terhebat?"
"Aku masih punya sepuluh jurus hebat lainnya!"
"Bagus! Kalau begitu, cepat keluarkan semuanya. Jangan sampai ada yang
tertinggal!"
Ratih kelihatan betul-betul
menganggap remeh Ketua Padepokan Naga Merah. Agaknya dia terlalu percaya diri.
Namun itu cukup beralasan,
karena kemampuannya memang tinggi Gadis itu mampu bergerak segesit walet dan
secepat anak panah mendesing.
"Hap!"
Beberapa kali gadis itu melompat ke belakang menghindari terkaman.
Sementara, Jaka Supena betul-betul tak memberi kesempatan sedikit pun.
Ratih telah mempermalukannya di
depan murid-muridnya. Maka dia akan membalas secepat mungkin.
"Hiaaah...!"
Wut! Tiba-tiba Ratih menjatuhkan diri.
Dan dengan bertumpu pada kedua
tangannya, kedua kakinya melebar sambil berputar di atas. Begitu cepat
gerakannya, sehingga....
Des! Des! "Aaakh!"
Jaka Supena menjerit tertahan
saat dua pinggangnya terhajar kaki gadis itu. Dia mencelat kebelakang namun
berdirinya tampak limbung.
Mukanya kelihatan merah. Marah
hercampur geram.
"Naga Merah Mengejar Awan..!
Heaaa...!"
"Bagus, bagus...! Terus keluarkan semua jurus perguruanmu."
Jaka Supena tak mempedulikan
kata-kata bernada meremehkan yang
meluncur dari mulut Ratih. Tubuhnya langsung meluruk deras mengerahkan segala
kemampuannya. Dia ingin
menjatuhkan lawan secepat mungkin dengan pukulan yang dahsyat bertenaga dalam
tinggi yang bertubi-tubi.
Plak! Plak! Dua pukulan beruntun Jaka Supena berhasil ditangkis. Tubuh laki-laki ini
langsung melesat keatas untuk kembali melancarkan serangan dari udara. Tapi baru
saja bergerak, Ratih telah menghadangnya dengan sambaran kaki. Maka secepat
kilat Jaka Supena mengibaskan tangannya.
Plak! Plak! Begitu terjadi benturan, tibatiba Ratih menyodokkan kepalan
kanannya kedada. Angin serangan begitu kuat. Namun dengan menggunakan tenaga
benturan tadi. Jaka Supena cepat menghindar kebelakang sambil
berputaran. "Yeaaa...!"
Baru saja Ketua Padepokan Naga
Merah itu mendarat, Ratih telah
melesat dengan ujung kaki kanan
mengarah ke wajah.
Jaka Supena berusaha menangkis,
namun gadis itu cepat menarik kaki kanannya. Dan secepat kilat ganti kaki
kirinya yang mengancam dada.
Sehingga.,.. Des...! "Aaakh...!"
Jaka Supena kontan terjungkal
roboh disertai teriakan keras. Dari sudut bibirnya terlihat darah kental
menetes. Meski begitu, dia berusaha bangkit
Tapi Ratih tak memberi
kesempatan. Kembali, tubuhnya
berkelebat, ketika Jaka Supena berusaha bangkit Dua kali tendangan langsung
dilepaskan. Des! Des! "Aaa...!"
Ketua Padepokan Naga Merah betul-betul roboh. Pemuda itu megap-megap seperti
ikan kekurangan air. Sementara murid-muridnya terkesiap. Mereka buru-buru
mengerubungi. Namun sebagian lagi langsung mencabut golok seraya
mengurung gadis-gadis di bawah
pimpinan Ratih.
"Keparat!"
"Beri pelajaran saja!"
Suara-suara teriakan yang sarat
kebencian terdengar dari mulut murid-murid. Namun semua itu hanya disambut
senyum dingin Ratih. Bahkan dia
memberi isyarat pada anak buahnya yang siap membantu agar tidak ikut campur.
"Serang...!"
Begitu terdengar teriakan bernada perintah, murid-murid Padepokan Naga Merah
segera meluruk maju sambil mengibaskan golok.
Ratih mendadak berkelebat dengan kedua kaki menyapu pergelangan tangan dua yang
berada paling dekat.
Pak! Pak! Kedua murid itu kontan melintir.
Kesempatan itu digunakan Ratih sebaik-baiknya. Secepat kilat tubuhnya
berkelebat kembali melepaskan hantaman maut.
Des...! Diegkh...!
Dua orang kontan terjungkal roboh tanpa sempat memekik, begitu hantaman Ratih
mendarat telak didada dan
rahang. Namun gadis bernama Ratih semakin kesetanan saja. Bahkan seperti tak
ingin memberi kesempatan sedikit pun. Gadis itu terus melepaskan
serangan-serangan dahsyat, melumpuhkan perlawanan murid-murid Padepokan Naga
Merah. Maka dalam waktu singkat, tak seorang pun yang bisa bangkit lagi.
Mereka merintih-rintih kesakitan.
Sedangkan Ratih dan anak-anak buahnya hanya memandangi dengan sinar mata dingin.
*** Sepak terjang gadis-gadis yang
mengaku berasal dari Padepokan Merak Emas tidak hanya menimpa Padepokan Naga
Merah. Kali ini pun Padepokan Kilat Buana yang sangat dikenal dalam rimba
persilatan pun tak urung pula disantroni gadis-gadis itu.
Ketua Padepokan Kilat Buana yang dikenal bemama Ki Jalasena sudah sejak tadi
menahan geram melihat sikap sombong gadis cantik berbaju ketat kuning keemasan
yang berada paling depan. Bahkan murid-murid laki-laki tua berusia sekitar enam
puluh lima tahun itu terus memberi dukungan
"Apalagi yang kau tunggu, Ki Jalasena" Apa kau ingin jadi pengecut dengan
menoiak tantangan Ketua kami?"
lanjut gadis berbaju kuning keemasan
"Ayo, Guru! Tunjukkan pada mereka kalau kita bukan pengecut!" teriak seorang
pemuda murid Padepokan Kilat Buana.
"Kita harus buktikan kalau
kesombongan mereka hanya omong kosong belaka!"
"Ayo, Guru! Tunggu apa lagi"!"
Ki Jalasena menarik napas untuk
melonggarkan isi dadanya yang terasa sesak oleh hawa amarah. Matanya tak
berkedip memandang gadis itu.
"Baiklah. Kuterima tantangan ketuamu...," tegas laki-laki tua berpakaian serba
putih itu. "Bagus! Kau boleh memulainya sekarang," sambut gadis berpakaian kuning keemasan
yang menjadi pemimpin kelompok itu.
"Apa maksudmu"!" tukas Ki Jalasena.
"Kau bertarung melawanku!" tantas gadis itu.
"Nisanak! Jangan main-main kau!
Ketuamulah yang mesti bertarung!
Bukannya kau!" sentak Ketua Padepokan Kilat Buana.


Pendekar Rajawali Sakti 206 Pangeran Impian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ketua kami memberi kepercayaan penuh padaku untuk mewakilinya. Kalau kau bisa
mengalahkanku, baru boleh berhadapan dengannya," jelas gadis itu kalem saja.
"Kurang ajar!" bentak Ki Jalasena.
"Orang tua! Apakah kebisaanmu hanya memaki" Perlihatkan kehebatanmu sebagai
Ketua Padepokan Kilat Buana yang terkenal!" sindir gadis itu.
"Baik! Jangan salahkan kalau aku bersikap kasar padamu!"
"Jangan khawatir! Aku pasti baik-baik saja."
"Anak sombong, lihat serangan!"
Begitu habis kata-katanya, Ki
Jalasena menyodorkan kepalan kanan.
Namun gadis itu cepat menepis dengan tangan kiri.
Plak! Ketua Padepokan Kilat Buana
melanjutkan serangan dengan tendangan.
Secepat kilat, gadis itu berkelit kesamping seraya menepis dengan
tangan. Pak! "Heh"!"
Tendangan itu bertenaga kuat,
karena Ki Jalasena ingin merasakan sampai dimana kehebatan tenaga dalam gadis
ini. Tapi nyatanya setelah benturan barusan justru membuatnya kaget Gadis itu
sama sekali tak merasa sakit. Malah kaki laki-laki tua itu sendiri yang agak
kesemutan. "Boleh juga kau, Bocah!" puji Ki Jalasena.
"Maka itu, jangan sungkan. Atau kau mendapat malu di depan murid-muridmu," sahut
gadis itu jumawa.
"He he he...! Anak bodoh! Kau kira tengah berhadapan dengan siapa, he"!" balas
Ki Jalasena, tak mau diremehkan begitu saja.
"Aku berhadapan dengan orang tua sombong yang merasa dirinya hebat!"
"Huh!"
Diiringi dengusan keras, Ki
Jalasena melompat tambil mengibaskan tela pak kirinya. Seketika serangkum angin
kencang melesat disertai suara menderu tajam. Namun agaknya gadis itu tak
terpengaruh sama sekali. Bahkan tubuhnya meluruk menyerang di antara desir angin
serangan. Dilepaskannya hantaman tangan bertubi-tubi ke tubuh laki-laki tua itu.
"Yeaaa...!"
"Heh"!"
Ki Jalasena terkesiap. Buru-buru ditangkisnya serangan berantai gadis ini dengan
tangannya. Sampai-sampai dia mesti bermaih mundur beberapa langkah.
Namun gadis itu tak memberi
kesempatan sedikit pun. Tak hanya kedua tangannya, tapi kakinya pun ikut
membantu serangan. Hingga pada satu kesempatan....
Desss...! "Aaakh!"
Ki Jalasena mengeluh tertahan,
ketika dada dan perutnya terhantam telak pukulan dan tendangan. Dengan
terhuyung-huyung ke belakang dia mendekap dada dan perut Wajahnya merah menahan
sakit Namun yang lebih berat lagi, dia harus menahan malu di depan muridmuridnya. "Hebat! Hebat sekali kau,
Nisanak. Siapa namamu?" puji Ki Jalasena berusaha bangkit berdiri dengan
tertatih-tatih.
"Terima kasih, Orang Tua. Namaku Ayu Tantri!" sahut gadis itu.
"Kau pasti anak buah kesayangan ketuamu. Tepatnya orang terdekatnya yang bisa
dipercaya," tebak Ki Jalasena.
"Begitulah. Tapi bukan hanya aku.
Ada lebih dari sepuluh orang yang seangkatanku. Serta, kurang lebih seratus
orang yang satu tingkat
kepandaiannya di bawahku," jelas gadis bemama Ayu Tantri.
Diam-diam Ki Jalasena mendesah
kaget. Kalau orang kepercayaannya sudah begitu hebat, bagaimana ketuanya
sendiri" Tak dapat dihayangkan,
bagaimana hebatnya Ketua Padepokan Merak Emas itu. Namun begitu, mana mau
kekagetannya diperlihatkan.
"Orang tua! Aku telah menjawab keingintahuanmu. Sekarang mari
lanjutkan pertarungan kita!" tantang Ayu Tantri.
"Tentu saja! Aku jadi ingin tahu dan bertemu ketuamu!" sahut Ki Jalasena.
"Keinginanmu terkabul kalau aku bisa dikalahkan!"
"Kau akan kukalahkan, Cah Ayu!"
"Buktikan omong kosongmu!"
"Heaaat...!"
*** 2 Dengan bernafsu, Ki Jalasena
kembali menyerang. Kali ini dia tidak setengah-setengah lagi betindak.
Segala kemampuannya dikerahkan untuk menjatuhkan gadis itu secepatnya.
Saat ini murid-murid Padepokan
Kilat Buana betul-betul menyaksikan sendiri, bagaimana kehebatan gurunya!
Angin serangannya yang dahsyat, dan gerakannya yang gesit sulit diikuti
pandangan mata.
Tapi yang lebih membuat takjub,
gerakan Ayu Tantri terlihat lebih cepat ketimbang Ki Jalasena. Dan Ketua
Padepokan Kilat Buana bukannya tak merasakan hal itu. Malah dalam hati dia
merasa terkagum-kagum.
Dalam dua jurus, kembali
terdesak. Dan mati-matian dia berusaha menahan serangan. Dan beberapa kali
pukulan serta tendangan gadis itu nyaris menghajarnya. Hanya karena kegesitannya
sampai saat ini dia masih bisa bertahan. Namun itu tak
berlangsung lama karena sesaat
kemudian Ayu Tantri telah meningkatkan serangannya dengan hantaman
tangan bertubi-tubi. Pak! Pak! Berkali-kali Ki Jalasena mencoba memapak dengan kedua tangannya pula.
Namun mendadak Ayu Tantri memutar tubuhnya sambil melepas tendangan setengah
lingkaran, tepat ketika Ki Jalasena terjajar mundur karena habis memapak.
Dan.... Desss...! "Ugkh...!"
Ki Jalasena terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap dadanya yang terhantam
tendangan gadis itu. Dia memandang tak percaya kalau gadis itu berhasil
menyarangkan tendangan yang begitu cepat bagai kilat.
"Heaaa...!"
Belum juga laki-laki tua itu
menyadari apa yang terjadi, Ayu Tantri telah kembali memutar tubuhnya dengan
tendangan menggeledek.
Dess...! "Aaa...!"
Tendangan itu tepat menyodok
perut dengan telak. Dan Ketua
Padepokan Kilat Buana tak mampu
menguasai diri. Dia terjungkal ke belakang sambil menjerit kesakitan.
Sebelum Ki Jalasena berhasil
bangkit, Ayu Tantri telah melompat dan tegak berdiri sejauh dua langkah di
depannya. "Kau boleh bangkit dan
melanjutkan pertarungan.... Atau, menyerah kalah!" desis gadis itu.
"Baiklah! Aku..., aku menyerah kalah. Aku mengakui kehebatanmu...!"
sahut Ki Jalasena terpatah-patah.
"Terima kasih," ucap Ayu Tantri.
Baru saja gadis itu hendak
berbalik untuk meninggalkan padepokan ini bersama beberapa anak buahnya....
'Tahan langkah kalian...!"
Gadis-gadis dari Padepokan Merak Emas itu menatap ke arah datangnya suara. Dan
Ayu Tantri jadi
mengemyitkan alis melihat kemunculan wanita tua berjubah panjang abu-abu yang
tadi berkelebat, dan tahu-tahu telah berdiri di depannya sejauh tiga tombak.
Rambut wanita itu disanggul lancip dengan beberapa tusuk konde.
"Boleh-boleh saja kau
mengalahkannya. Tapi jangan kira aku bisa menerimanya!" desis wanita tua yang
memegang tongkat di tangan
kanannya. "Kakak Kameswari...! Kau
rupanya...!" seru Ki Jalasena seraya bangkit berdiri dibantu dua muridnya.
Rupanya dia mengenal betul perempuan tua itu.
'Tenanglah, Jalasena! Kubalaskan sakit hatimu...!" ujar perempuan bernama Nyai
Kameswari. "Tapi ini pertarungan jujur. Kau tak boleh...."
"Diam kau, Jalasena!" potong Nyai Kameswari, membentak. "Siapa pun dan apa pun
soalnya, aku tak rela bila orang lain menginjak-injak harga diri kita!"
"Tapi...!"
"Huh!"
Nyai Kameswari tak mempedulikan
kata-kata Ki Jalasena yang merupakan adik seperguruannya. Dengan langkah lebar
dihampirinya Ayu Tantri, hingga jarak mereka kini terpaut satu tombak.
Matanya menyorot
tajam seperti memendam kebencian.
"Bocah, aku siap meladenimu!"
"Maaf, Nyai! Kami tidak
berkepentingan denganmu," tolak Ayu Tantri halus.
"Kalau begitu,
aku yang berkepentingan! Bersiaplah kau...!"
Bet! Begitu habis kata-katanya Nyai
Kameswari mengebutkan tongkatnya, menyambar ke arah pinggang. Namun cepat bagai
kilat Ayu Tantri melenting ke atas.
"Keras kepala! Jangan salahkan kalau aku bersikap kasar padamu!"
bentak gadis itu.
'Tidak usah banyak omong! Perlihatkan kehebatanmu!" tantang Nyai Kameswari.
"Baik!" geram Ayu Tantri begitu mendarat "Kuladeni keinginanmu!"
Nyai Kameswari tak memberi
kesempatan. Dia menyerang dengan amarah membludak. Sementara, gadis itu
meladeninya dengan sikap tenang.
Walaupun sapuan tongkat perempuan tua itu mengurungnya ketat, namun selalu saja
berhasil dihindari.
"Hiaaa...!"
Lewat dua jurus, kini ganti Ayu Tantri yang menggebrak. Gadis itu langsung
menyergap laksana harimau menerkam mangsa.
Wuuuttt...! Nyai Kameswari coba mengibaskan
tongkat. Tapi, Ayu Tantri lebih cepat lagi menyelinap dari bawah, seraya melepas
sapuan kaki. Wusss...! "Heh..."!"
Nyai Kameswari terkesiap. Buruburu dia melompat ke belakang. Namun ketika gadis itu melepas sapuan lagi yang
begitu cepat...
Bugkh...! "Aaakh...!"
Wanita tua itu terhuyung-huyung
dengan wajah berkerut, menahan sakit di perutnya sekaligus geram! Telak sekali
kaki Ayu Tantri mendarat
"Kurang ajar! Kubunuh kau,
Keparat..!" maki perempuan tua itu, seraya bangkit berdiri
"Jangan membuatku marah, Nyai,"
desis Ayu Tantri melotot garang.
'Tutup mulutmu! Yiaaa...!"
Disertai teriakan merobek
angkasa, Nyai Kameswari melesat tinggi disertai sambaran tongkatnya.
Wuuttt,..! "Uts!"
Sebelum sambaran itu datang, Ayu Tantri telah mencelat ke atas. Sejenak tubuhnya
berjumpalitan, lalu meluruk deras
sambil menyiapkan pukulan
bertenaga dalam tinggi. Begitu cepat gerakannya sehingga....
Desss...! "Aaakh...!"
Wanita tua itu terpekik begitu
hantaman Ayu Tantri mendarat di
punggungnya. Nyai Kameswari
kontan terpuruk jatuh ke depan. Sementara, gadis itu telah mendarat di tanah, langsung
menatap dingin pada wanita tua itu.
"Beruntung aku tidak membunuhmu!
Kau kumaafkan. Tapi sekali lagi
mencampuri urusan kami, maka nyawamu di tanganku!" dengus Ayu Tantri lalu
mengajak anak buahnya untuk segera mening-galkan tempat itu.
*** Trang! Trang! "Heaaa...!"
Suara-suara benturan senjata
terdengar memekakkan telinga, menandai terjadinya sebuah pertarungan. Tampak
seorang laki-laki tua berambut putih dengan senjata sebuah kendi berisi tuak,
menghadapi keroyokan beberapa gadis berpakaian serba kuning
keemasan. Mendapat keroyokan begitu, kakek berambut putih tampak tenang-tenang saja.
Bahkan gadis-gadis itu dibuat jatuh bangun. Dari sini jelas kalau laki-laki tua
itu memiliki kepandaian amat tinggi, jauh di atas lawan-lawannya
Laki-laki tua itu seperti tak
ingin memberi kesempatan. Tubuhnya berkelebat, melepas serangan. Pada saat
yang gawat bagi
keselamatan gadis-gadis itu, mendadak....
"Akulah lawanmu, Pemabuk Dari
Gunung Kidul!"
Saat itu juga, berkelebat satu
bayangan biru yang langsung
melancarkan papakan bertenaga dalam tinggi.
Plak! Satu benturan keras terjadi,
membuat laki-laki tua itu dan sosok bayangan biru yang baru datang
tergetar mundur beberapa langkah.
Laki-laki tua yang ternyata Ki
Demong alias Pemabuk Dari Gunung Kidul menatap tajam pada satu sosok gadis
cantik berpakaian warna biru, serta sebilah pedang bergagang kepala naga.
"Pandan Wangi.... Maafkan, kami tak mampu mengalahkannya...!" ucap salahsatu
dari lima gadis yang menjadi lawan Ki Demong.
"Tak usah dipikirkan," sahut gadis yang ternyata Pandan Wangi.
"Orang tua ini cukup tangguh"
jelas salah seorang, menambahkan.
"Aku tahu."
Sementara itu, Pemabuk Dari
Gunung Kidul tampak mengernyitkan
keningnya melihat Pandan Wangi. Dia yakin betul mengenal gadis ini. Tapi mengapa


Pendekar Rajawali Sakti 206 Pangeran Impian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sifatnya berubah" Bahkan sepertinya hendak membantu gadis-gadis itu. Ada apa
ini" Keterkejutan Ki Demong tak ingin ditunjukkan pada raut wajahnya. Sikapnya
tetap seperti biasa.
"He he he...! Baru saja kuingat-ingat di mana pernah bertemu denganmu.
Kini aku tak salah lagi. Kau Pandan Wangi, kekasih Pendekar...."
"Ki Demong, tutup mulutmu!"
Kata-kata Pemabuk Dari Gunung
Kidul terpenggal oleh bentakan Pandan Wangi yang sarat kebencian. Entah, apa
yang terjadi pada gadis itu.
"Kenapa" Kau malu mengakui?"
tukas Ki Demong.
"Persoalan ini tak ada
hubungannya dengan Kakang Rangga...!"
"Apa urusannya" Atau..., kau mulai naksir aku"!"
"Ki Demong! Kau harus bertarung denganku!" desis gadis yang berjuluk si Kipas
Maut "Eee, tunggu dulu"! Apa
urusannya!" cegah Pemabuk Dari Gunung Kidul.
"Tidak usah banyak tanya!
Bersiaplah." "Pandan Wangi, tunggu dulu...!"
Srak! Pandan Wangi tak mempedulikan.
Kipas mautnya langsung dicabut Lalu diserangnya Ki Demong.
"Waduh, sinting ini anak! Tak ada angjn tak ada hujan, tiba-tiba saja
menyerangku...!" rutuk Pemabuk Dari Gunung Kidul, cepat melompat ke
belakang beberapa tindak.
"Ki Demong! Bersungguhsungguhlah. Atau..., kepalamu akan terpenggal senjataku!" kata Pandan Wang},
memperingatkan.
"Eh, i-iya! Tapi..."
"Hiih!"
Tanpa peduli lagi, si Kipas Maut kembali meluruk seraya mengebutkan kipasnya
yang kini telah terkembang.
"Uts! Hampir leherku putus!"
Ki Demong bergidik ngeri ketika
ujung kipas nyaris menyabet
lehernya. Tubuhnya berjungkir batik ke belakang.
Pandan Wangi terus mengejar.
Ujung kipasnya terus mengancam
keseiamatan laki-laki tua yang
pemabukan itu. Bet! Bet! Trak! Sambil terus menghindar, sesekali Pemabuk Dari Gunung Kidul memapak dengan guci
berisi tuak merahnya. Dia tak ingjn menggunakan semburan
tuaknya, mengingat yang dihadapi adalah kekasih Pendekar Rajawali Sakti.
"Pandan, jangan kelewat
memaksaku...!" ingat Ki Demong.
"Aku sedang memaksamu," desis gadis itu.
"Waduh! Benar-benar sinting dia!
Kesambet setan dari mana anak itu?"
"Jangan banyak ngomel! Ayo, kerahkan segala kemampuanmu!"
"Aku suka kentut. Kau mau aku mengerahkannya?"
Ki Demong terkekeh sambil
mencelat ke atas, menghindari tebasan senjata si Kipas Maut. Begitu melewati
kepala Pandan Wangi dari pantatnya meluncur 'angin maut'.
Bruuuttt! "Waduh! Padahal tadi aku habis makan ubi campur pete dan jengkol!"
keluh Pemabuk Dari Gunung Kidul begitu mendarat. Wajahnya dipasang memelas.
"Keparat kau, Ki Demong!" bentak Pandan Wangi geram.
"Tuh, betul dugaanku! Dia makin marah. Tidak dikenturi saja marah.
Apalagi dikentuki," gumam laki-laki tua itu dengan suara menggerendeng.
"Eee.... Tunggu, Pandan! Aku betul-betul tidak sengaja...!"
"Setan alas! Kurobek pantatmu biar tahu rasa!" dengus Pandan Wangi.
"Waduh! Jangan kejam begitu. Aku
'kan tidak sengaja...," kilah Ki Demong.
Sebaliknya Pandan Wangi melotot
lebar. Dia tidak sudi direndahkan seperti itu. Sementara Ki Demong tahu gelagat.
Tiba-tiba tubuhnya berkelebat cepat dan melesat pergi dari tempat ini.
"Maaf, Pandan. Aku pergi dulu.
Jangan marah, ya. Aku benar-benar tak sengaja.,.!" teriak Ki Demong sambil terus
melesat cepat Tak ada waktu buat si Kipas Maut untuk mengejar. Karena sebentar saja, laki-laki
tua itu telah menghilang dari pandangannya.
*** 28 "Bajingan! Terkutuk! Hentikan perbuatanmu, Jahanam...!"
Suara makian panjang pendek
terdengar mengusik ketenangan
pinggiran Hutan Blambangan. Sumbernya dari sebuah pondok kecil yang sudah tak
terpakai lagi oleh pemiliknya.
Di dalam pondok, seorang lakilaki berusia sekitar tiga puluh lima tahun dengan wajah tirus dan gjgi hitam
yang sebagian telah ompong, tengah berusaha menjilati satu tubuh mulus dengan
pandangan matanya.
Matanya berbinar liar dengan napas memburu, siap menikmati kehangatan tubuh
gadis cantik yang tergolek tak berdaya di dipan bambu.
Gadis yang tertotok itu hanya
bisa berteriak-teriak. Bahkan untuk menutupi tubuhnya yang tanpa benang sehelai
pun dia tak mampu. Air mata pun menggulir perlahan-lahan, meratapi nasibnya yang
malang. "Aduhai, ini betul-betul
sempurna...!" desis laki-laki bermuka tirus. Jari-jarinya yang nakal mulai
menggerayangi salah satu puncak gunung kem-banggaan para wanita.
"Jangan menangis....mestinya kau bangga, karena Alit Saga akan
membawamu ke puncak kenikmatan...!"
Gadis itu menjerit, namun percuma saja. Jeritannya tak membuat laki-laki bernama
Alit Saga bergeming untuk hentikan perbuatannya. Malah nafsu-nya kian berkobar.
Namun baru saja laki-laki itu hendak menerkam gadis di depannya....
"Sampurasun...!"
"Heh"!"
Alit Saga tersentak mendengar
suara dari luar. Matanya mendelik garang, karena niatnya mendadak
terpenggal. Nafsu yang sudah
menggelegak mendadak surut perlahan-lahan.
"Sampurasun...! Kisanak atau Nisanak penghuni gubuk....Izinkan aku bermalam di
sini...!" lanjut suara dari luar.
"Hhh...!"
Alit Saga beringsut bangun dari
dipan bambu. Buru-buru disambamya pakaian. Dan buru-buru pula
dikenakannya. Tak lupa, disambarnya tongkat panjang di sisi dipan.
"Siapa"!"
Alit Saga menghampiri pintu
sambil bertanya
Suaranya serak. Dikeluarkan dari hati penuh kesal bercampur amarah.
"Aku seorang pengembara. Di luar hujan mulai turun. Dan aku ingin numpang
meneduh di sinl..," sahut suara dari luar lagi.
"Meneduhlah kau di luar!" bentak Alit Saga.
"Tapi, Kisanak... Aku pun
lapar...," desah suara itu.
"Aku tak punya makanan untukmu!"
"Bajuku basah. Dan aku bisa sakit.
Sudilah Kisanak meminjamkan
baju...." "Kurang ajar!"
Alit Saga mendengus. Amarahnya
kian membakar ubun-ubunnya. Di
kepalanya langsung tersusun rencana yang dianggap paling tepat. Seketika
dibukanya pintu. Pandangannya segera tertumbuk pada seorang pemuda tampan
berbaju rompi putih dengan sebilah pedang bergagang kepala burung di punggung.
"Masuklah! Aku ada sepasang pakaian untukmu.,.," ujar Alit Saga. "Terima kasih."
Alit Saga tak beranjak dari
pintu. Dia hanya bergeser sedikit ke samping agar ada jalan bagi pemuda itu
untuk masuk. Diam-diam tangannya yang memegang, tongkat mulai bergerak.
Tepat ketika pemuda itu
membelakanginya.
Srak! Bet! Tiba-tiba dari ujung tongkat Alit Saga keluar sebuah mata pisau ketika salah
satu jarinya memencet tombol kecil yang ada di pangkal tongkat.
Tapi alangkah terkejutnya Alit Saga karena pemuda itu cepat sedikit
menggeser tubuhnya, sehingga ujung pisau tak menemui sasaran.
"Kisanak! Ternyata kau bukan tuan rumah yang ramah. Aku tak mengerti maksudmu?"
kata pemuda itu seraya berbalik. Nada suaranya terdengar lemah lembut dengan
tatapan penuh perbawa.
"Tutup mulutmu! Kau merusak acaraku! Karena itu kau harus mati!"
Begitu habis kata-katanya, Alit
Saga mengebutkan tongkatnya yang ujungnya bermata pisau.
Wuuut! "Uts!"
Pemuda itu menarik tubuhnya ke
belakang. Namun seketika Alit Saga memutar tubuhnya dengan kaki kanan menghajar
ke perut Kembali pemuda itu melompat ke
belakang. Dan itu membuat Alit Saga kesal. Sehingga dia terus menyerang.
"Yeaaa...!" Brusss!
Pemuda berbaju rompi putih itu
melenting ke atas, langsung menerobos atap pondok ini. Tubuhnya berputaran
beberapa kali, lalu mendarat manis di tanah.
Sementara Alit Saga langsung
mengejar, lewat jalan yang sama dengan pemuda tadi. Begitu mendarat, langsung
diserangnya pemuda itu dengan sambaran tongkat.
*** Bet! Bet! Tongkat Alit Saga mengurung
pemuda itu ke mana saja bergerak.
Jelas ilmu tongkatnya tampak hebat.
Bisa dipastikan Alit Saga adalah seorang tokoh silat berkepandaian tinggi,
Tapi yang dihadapi Alit Saga kali ini ternyata bukan orang sembarangan.
Pemuda itu tak lain dari Rangga yang di kalangan persilatan dikenal sebagai
Pendekar Rajawali Sakti. Tak heran kalau Alit Saga menjadi penasaran karena
serangan-serangannya belum membuahkan hasil.
"Kisanak. Kurasa kau terlalu bemafsu...," kata Rangga, kalem.
"Tutup mulutmu!" bentak Alit Saga.
"Aku tak mengerti. Kau rela repot-repot menghajarku, sementara istrimu dibiarkan
kedinginan seorang diri di dalam."
"Tutup mulutmu, Bajingan!"
"Hm.... Orang sepertiku mungkin saja bajingan. Tapi makhluk seperti kau..., apa
namanya" Mungkin kakek moyangnya bajingan!"
"Setan!"
Setelah memaki demikian, Alit Saga menggebrak kembali. Ujung
tongkatnya semakin gesit dan ganas saja. Namun dengan jurus 'Sembilan Langkah
Ajaib' Pendekar Rajawali Sakti selalu bisa menghindari serangan.
Tubuhnya meliuk-liuk indah. Kadang condong ke kiri, lalu ke kanan
bagaikan orang mabuk.
Gerakannya lincah, ditunjang gerakan kaki yang cepat bukan main. Tak heran kalau sampai
sejauh ini tak satu serangan pun yang bisa menyentuh tubuhnya.
Dan dalam satu kesempatan
Pendekar Rajawali Saki melesat ke atas dengan jurus 'Sayap Rajawali Membelah
Mega'. Begitu meluruk, Rangga melepas serangan cepat dengan kedua tangannya
secara bertubi-tubi disertai
pengerahan tenaga dalam lumayan
tinggi. Siuuut! "Hei"!"
Pukulan yang cepat, membuat Alit Saga terkejut. Sebisanya dipapakinya pukulan
itu dengan tangannya.
Plak! "Uhh...!"
Alit Saga mengeluh tertahan
begitu terjadi benturan. Tubuhnya bergetar dan terjajar beberapa langkah dengan
mulut menyeringai menahan sakit.
Kesempatan itu dipergunakan,
Rangga sebaik-baiknya. Kali ini
tubuhnya berkelebat cepat. Langsung dikerahkannya jurus 'Pukulan Maut Paruh
Rajawali', dengan tenaga dalam tinggi. Tangannya mengibas cepat dan...
Desss...! "Aaakh...!"
Kembali Alit Saga mengeluh
tertahan dengan tubuh limbung. Sebelum terjungkal, Rangga berkelebat merampas
tongkat laki-laki itu. Begitu
terampas, langsung dihantamkan ke perut Alit Saga.
Buk! "Aaakh...!"
Alit Saga tersungkur di tanah
becek. Dia cepat bangkit dengan wajah gusar. Tapi hatinya agak gentar
melihat senjatanya mampu dirampas pemuda itu.
Sementara Rangga memainkan
tongkat itu dengan lihai. Diputar ke sana kemari, memperdengarkan suara menderuderu. Wuk! "Kau mau ambil tongkat ini?"
tanya Rangga, kalem.
"Huh!"
Alit Saga mendengus geram melihat Pendekar Rajawali Sakti menyodorkan
tongkatnya. Tak mungkin pemuda itu akan memberikannya begitu saja. Pasti ada
maksud tertentu. Itu yang
tergambar di benaknya. Sehingga, dia tak begitu tertarik mendapatkan
tongkatnya kembali.
"Kau tak mau tongkatmu kembali?"
ulang Pendekar Rajawali Sakti.
"Jangan mempermainkan aku,
Keparat!" desis Alit Saga.
"Kau kira aku mempermainkanmu?"
"Huh!"
"Baiklah. Kalau tak mau ambil tongkat ini, kau boleh pergi sekarang juga...."
"Kurang ajar! Kau kira bisa mempermainkan Kelelawar Hitam
Penghisap Darah"!" dengus Alit Saga yang ternyata berjuluk Kelelawar Hitam
Penghisap Darah.
"Apakah kau merasa dipermainkan?"
tukas Rangga. "Setan!"
"Kisanak! Mulutmu kotor sekali.
Mudah-mudahan otakmu tak sekotor mulutmu...."
Alit Saga tak dapat menguasai


Pendekar Rajawali Sakti 206 Pangeran Impian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diri. Kemarahannya kian menggelegak.
Seketika kedua tangannya menghentak, melepas pukulan jarak jauh.
Wuuusss...! "Uts!"
Rangga menghindar dengan
memiringkan tubuhnya ke samping. Belum juga Pendekar Rajawali Sakti
menegakkan tubuhnya, Alit Saga telah meluruk deras seraya menghantamkan
tangannya. Namun Pendekar Rajawali Sakti
bukanlah tokoh kemarin sore. Tepat ketika jarak Alit Saga tinggal
setengah tombak tagi, tubuhnya
berputar seraya mengibaskan tongkat yang dipegangnya.
Alit Saga tak menyangka kalau
pemuda itu mampu bergerak sangat cepat.
Ujung tongkat di tangan
Pendekar Rajawali Sakti berkelebat menyambar dada si Kelelawar Hitam Penghisap
Darah. Bret! "Aaakh...!"
Alit Saga menjerit kesakitan
sambil mendekap dadanya yang tersambar tongkatnya sendiri. Dari sela-sela jarijarinya menetes darah segar.
Tubuhnya limbung dengan mulut
meringis. "Pergilah! Dan, jangan kembali ke sini lagi!" ujar Rangga, penuh perbawa.
"Huh!"
Si Kelelawar Hitam Penghisap
Darah mendengus geram. Namun dia tak mampu berbuat apa apa lagi. Dengan membawa
api dendam di hati
ditinggalkannya tempat ini
Rangga tersenyum menatap
kepergian Alit Saga. Kemudian kakinya melangkah masuk ke dalam gubuk.
* * * "Oh..."!" Rangga mendesah kaget, langsung memalingkan wajahnya ketika matanya
tertumbuk pada seorang gadis yang tergolek di dipan bambu tanpa benang sehelai
pun. "Kisanak.... Tolong aku!" ratap gadis itu.
"Bagaimana aku menolongmu kalau keadaanmu begitu?" tanya Rangga, salah tingkah.
"Aku tertotok. Tolong bebaskan totokanku ini..!" jelas gadis itu.
'Tapi...."
"Sudahlah, kau tolong saja
aku...!" "Baiklah."
Sambil berjalan mundur, Rangga
mendekati gadis itu. Dia berdiri sesaat di tepi dipan seperti orang bingung.
"Cepatlah! Kau mesti membebaskan aku!" desak gadis itu.
"Di bagian mana yang tertotok?"
tanya Rangga. "Pinggang."
"Hm...!"
Pendekar Rajawali Sakti menggumam tak jelas, lalu tangannya bergerak cepat
menotok. Tuk! "Aow...!"
Rangga buru-buru menarik
tangannya, ketika gadis itu memekik kesakhan.
"Mengapa totokanmu keras sekali"!
Kau ingin membunuhku"!" maki gadis itu.
"Nisanak! Kalau aku punya niat membunuh, tak akan kulepaskan
totokanmu. Di pinggir hutan ini, banyak sekali binatang buas
berkeliaran mencari mangsa!" tukas Pendekar Rajawali Sakti, jadi kesal melihat
sikap gadis ini.
Begitu bebas dari totokan, gadis itu cepat menyambar pakaiannya yang teronggok
di sampingnya. Cepat
dipakainya pakaian berwarna kuning itu.
Sementara Rangga melangkah. Tapi belum lagi tiba di ambang pintu....
"Hei, mau ke mana kau"!" seru gadis itu.
Rangga sedikit melirik. Ketika
gadis itu telah berpakaian, dia betul-betul berbalik sambil tersenyum datar.
"Kau sudah bebas. Aman dari gangguan bajingan tadi. Kalau aku terus di sini,
jangan-jangan malah jadi bajingan kedua bagimu," ujar Pendekar Rajawali Sakti,
kalem. "Maaf, kalau kata-kataku tadi terlalu keras...," ucap gadis ini melemah.
'Tak apa," sahut Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti berbalik kembali, melangkah keluar gubuk ini.
"Hei, tunggu dulu! Mau ke mana, sih"!" teriak gadis itu mengejar.
"Mau pulang," jawab Rangga, pendek sambil terus melangkah.
"Ke mana?" tanya gadis ini lagi, seraya menjajari langkah Pendekar Rajawali
Sakti. "Ke rumah."
"Oh, ya.... Siapa namamu,
Kisanak" Aku Prabawati...," tanya gadis itu.
"Aku Rangga," sahut Pendekar Rajawali Sakti pendek.
"Di mana rumahmu?" kejar gadis bernama Prabawati.
"Aku tak punya rumah. Aku hanya seorang pengembara.
"Aku tak percaya, tadi kau bilang mau ke rumah!"
Rangga tak menjawab. Kakinya
terus melangkah. Sementara gadis itu terus menjajari langkahnya.
Wajah Prabawati memberengut
kesal. "Kenapa kau bersikap dingin"!
Padahal aku hanya ingin mengucapkan rasa terima kasih...!" cibir gadis itu
bersungut-sungut.
"Kuterima rasa terima kasihmu,"
"Huuuh...!"
"Kenapa?"
"Kau sombong dan tidak
berperasaan!" cetus Prabawati tiba-tiba.
Rangga menghentikan langkahnya.
Wajahnya melongo seperti bocah tanpa dosa.
"Apa kau selalu bersikap begitu pada setiap orang?" tanya Prabawati.
'Tidak juga," jawab Rangga, pendek.
"Kau terlalu angkuh! Sok! Orang sepertimu pasti dijauhi banyak orang!"
Rangga tak menjawab.
"Banyak kutemui orang-orang sepertimu. Terlalu mengagungkan diri karena merasa
paling tampan, paling hebat, dan paling sok! Kau seperti memiliki segalanya, dan
menganggap orang lain hina, rendah, tidak
sederajat!" Napas gadis itu megap-megap meluapkan amarah dan
kekesalannya. Wajahnya masih
menunjukkan sisa kegarangan.
Dipandangnya pemuda itu dengan
perasaan kesal.
"Masih ada yang mesti kudengar"
Kalau tak ada, aku mohon diri...,"
sahut Rangga kalem.
Pendekar Rajawali Sakti mendadak berkelebat
cepat meninggalkan
Prabawati. Begitu cepat gerakannya sehingga sebentar saja telah jauh dari gadis
itu. "Selamat tinggal, Nisanak...!"
teriak Pendekar Rajawali Sakti.
"Hei, tunggu!"
Gadis itu berteriak. Dan pemuda
itu memang menghentikan langkahnya.
Bukan karena teriakan itu, melainkan di depannya berdiri tubuh ramping dengan
sikap menghadang.
"Hmm...!"
*** 4 Pendekar Rajawali Sakti menggumam lirih. Matanya mengawasi tiga orang gadis yang
dari sikapnya jelas tak menunjukkan persahabatan. Rangga tak mengerti, apa
maksud ketiga gadis itu menghadangnya. Dan sebelum dia sempat berpikir lebih
jauh.... "Chiaaa...!"
Ketiga gadis itu serentak
menyerang. Dua orang dari kiri, dan seorang lagi dari depan.
"Hup! Rangga melenting ke atas dan
beberapa kali berputaran. Kemudian manis sekali kakinya mendarat Tapi serangan
baru telah muncul. Sebuah tedangan meluruk menyambar muka dengan gerakan amat
cepat. Namun Pendekar Rajawali Sakti hanya memiringkan tubuhnya, maka tendangan
itu luput. Pada saat yang sama, ada sebuah
serangan meluncur cepat dari kiri dan kanan.
"Hup!"
Tangkas sekali Rangga melenting
ke belakang. Dia tidak mendarat di tanah, namun sengaja menjejakkan kakinya di
sebuah batang pohon.
"Hup...!"
Sambil mengempos kakinya dengan
batang pohon sebagai tumpuan, Pendekar Rajawali Sakti melesat bagai anak panah
lepas dari busur. Langsung dikerahkannya jurus 'Rajawali Menukik Menyambar
Mangsa'. Diserangnya salah seorang dengan satu hantaman keras.
Gadis yang menjadi sasaran
terkesiap, tanpa mampu mengelak lagi.
Sehingga.... Des! "Uhh...!"
Gadis itu melenguh tertahan
terhantam pukulan Pendekar Rajawali Sakti pada bagian dadanya. Tubuhnya sempat
terdorong. Dan Rangga memang tak banyak mengerahkan tenaga dalam.
Kalau saja mau, pemuda itu bisa
menghancurkan tulang dada gadis ini.
"Parwati! Kau tak apa-apa..."!"
seru salah seorang gadis dengan wajah kaget
Parwati menggeleng. Wajahnya
geram memandang Pendekar Rajawali Sakti.
"Bocah setan! Kau akan mari di tanganku!"
bentak gadis bernama
Parwati, hendak menyerang kembali.
Namun.... 'Parwati! Hentikan perbuatanmu!"
Mendadak terdengar teriakan
keras, yang disusul berkelebatnya satu bayangan kuning. Tahu-tahu di depan
Parwati berdiri seorang gadis cantik berpakaian ketat berwarna kuning.
"Prabawati! Apa-apaan kau ini"!
Bukankah pemuda ini yang menculikmu"!"
bentak Parwati.
Prabawati tersenyum sambil
menggeleng. "Kenapa kau cengengesan begitu"!"
sentak gadis lainnya.
"Kalian salah alamat. Bukan dia yang menculikku," jelas Prabawati.
"Lalu siapa?"
"Namanya Alit Saga alias si Kelelawar Hitam Penghisap Darah."
"Mana orang itu sekarang?"
"Sudah kabur."
"Kabur" Apa maksudmu"!"
"Aku tak tahu. Tapi begitu
melihat pemuda ini, dia langsung terbirit-birit ketakutan," jelas Prabawati
sedikit berbohong.
"Hmm!"
"Jangan macam-macam kau,
Prabawati! Bicara yang betul!" sela gadis lainnya.
"Apa kau tak percaya padaku, Ningsih?" tukas PrabawatL
"Alit Saga bukan tokoh
sembarangan. Mana mungkin dia
terbirit-birit melihat pemuda tolol ini!" iambah Parwati, menyanggah.
'Tapi kenyataannya begitu. Dan
kau telah merasakan sendiri kalau pemuda ini tak bisa dibuat main-main, bukan?"
"Kalau begitu kebetulan!"
Parwati melangkah mendekati
Rangga. "Kepandaianmu lumayan juga, Anak Muda. Akan kami lihat sampai beberapa jauh
kemampuanmu!" lanjut gadis itu.
"Apa maksudmu?" tanya Rangga, kalem.
"Mereka menantangmu bertarung!"
jelas Prabawati, yang telah berdiri di sisi Rangga.
"Untuk apa?" Rangga tertawa hambar.
"Ketua kami perlu seorang pemuda tangguh sepertimu. Dan kalau memenuhi syarat,
kau tak akan kecewa," jelas gadis yang bernama Ningsih.
"Untuk apa" Apakah hendak
dijadikan gendaknya?"
"Jangan sembarangan bicara! Ketua kami orang terhormat. Sekali lagi kau bicara
begitu, kami akan memancung kepalamu!" dengus Parwati geram.
Dua gadis yang lain bersikap
demikian. Hanya Prabawari yang sedikit lunak saat memperingatkan pemuda itu.
"Kisanak.... Tak semestinya kau berkata begitu. Ketua kami punya maksud baik,
karena beliau orang terhormat."
"O, begitu" Maaf, aku tak tahu.
Nah! Kalau boleh tahu, siapa ketua kalian" Dan di mana tempatnya?" ucap Pendekar
Rajawali Sakti.
"Kau akan tahu setelah
mengalahkan kami!" sahut Parwati.
"Aku tak punya alasan untuk bertarung dengan kalian," tolak Rangga, haius.
"Kami punya! Dan, akan
memaksamu!" tegas Parwati.
Rangga tertawa dingin.
"Selain sombong, ternyata kalian suka memaksakan kehendak. Mungkin setelah itu,
masih banyak tingkah kalian yang aneh-aneh."
'Tutup mulutmu!" bentak Ningsih.
"Cabutlah pedangmu!" timpal Parwati seraya menghunus senjata.
"Belum waktunya aku menggunakan senjata,"
sahut Pendekar Rajawali
Sakti, kalem. "Sombong! Tapi kami tak bertindak kepalang tanggung. Kalau lengah, kau akan
celaka!" ingat Parwati.
Begitu habis kata-katanya,
Parwati lompat menyerang, diikuti Ningsih dan seorang gadis satunya.
Sedangkan Prabawati diam saja
memperhatikan, Mau tak mau Rangga terpaksa
meladeni, ketiga gadis yang menyerang ganas bukan main. Seolah-olah Rangga
adalah musuh besarnya.
"Ini betul-betul keterlaluan!
Kalau dibiarkan bisa aku yang celaka!"
keluh Pendekar Rajawali Sakti dalam hati.
Berpikir begitu Rangga mulai
balas menyerang. Sejak tadi dia telah mengamati kalau kepandaian ketiga lawannya


Pendekar Rajawali Sakti 206 Pangeran Impian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

setaraf. Hanya salah seorang yang agak lamban. Maka, gadis itulah yang lebih
dulu diincamya.
"Heaaat...!"
"Awas, Parwati...!" teriak Ningsih memperingatkan, ketika melihat Pendekar
Rajawali Sakti menerkam kawannya. Gadis itu bermaksud menolong,
Rangga terpaksa membatalkan
serangannya. Tubuhnya lantas berbalik, meladeni serangan Ningsih.
Pak! Pak! "Uh... Ningsih tergetar mundur disertai keluhan tertahan ketika tangannya berbenturan
dengan tangan Rangga.
Sementara Pendekar Rajawali Sakti sedikit pun tak goyah. Namun pada saat yang
sama, meluruk gadis lainnya yang berniat membokong.
"Hmm...!"
Rangga menggumam perlahan, lalu
memutar tubuhnya disertai tendangan menggeledek yang tak terduga.
Des! "Aaakh!"
Gadis itu mengeluh tertahan
ketika tendangan Pendekar Rajawali Sakti telah mendarat di dadanya.
Tubuhnya terpental dan terbanting ke belakang. Sementara Parwati dan
Ningsih menggeram.
"Yeaaat..!"
"Hmm!"
Rangga mendengus pendek melihat
kedua gadis itu meluruk melepas
serangan. Segera tubuhnya
merendah dengan kuda-kuda kokoh.
Kedua gadis itu menyambar
pedangnya, Rangga melesat tinggi-tinggi ke udara. Setelah berputaran, tubuhnya
meluruk ke arah Ningsih yang belum sempat menyadari. Tahu-tahu....
"Lepas!"
Tangan Pendekar Rajawali Sakti
langsung menepak senjata Ningsih yang terangkat ke atas, hingga terpental di
udara. Lalu secepatnya ditangkapnya pedang gadis itu.
Tap! Tepat ketika pedang itu
tertangkap, Rangga telah mendarat di tanah, setengah tombak di depan
Ningsih. Seketika dilepaskannya satu tendangan keras menghajar dada.
Desss...! "Aaakh...!"
Gadis itu kontan terpental ke
belakang disertai keluh kesakitan.
Pada saat yang sama, Parwati
telah melesat sambil membabatkan pedang.
Mendapati angin serangan yang
berkelebat ke arahnya, tanpa menoleh Pendekar Rajawali Sakti langsung
mengayunkan pedang ke atas menangkis sabetan senjata Parwati.
Trang! "Uhh...! Gadis itu melenguh, merasakan
nyeri pada tangannya. Namun pedangnya kembali menyambar ke dada diikuti
tendangan kaki kiri.
Pendekar Rajawali Sakti cepat
berbalik seraya mengangkat kakinya yang tertekuk ke depan perut.
Sementara pedang di tangannya kembali dikibaskan ke arah pedang Parwati.
Plak! Trang! Pedang gadis itu terpental.
Kembali wajah Parwati berkerut menahan nyeri di tangan dan kakinya. Dan sebelum
dia sempat berbuat apa-apa, pedang di tangan Pendekar Rajawali Sakti telah
menempel di lehernya.
"Pertarungan selesai! Kecuali kau ingin mati!" desis Rangga.
"Huh!"
"Ini belum berakhir, Anak Muda!"
dengus Ningsih.
"Ini sudah berakhir. Sebab kalau kalian macam-macam, pedangmu ini akan menggorok
leher!" ancam Rangga, bersungguh-sungguh.
"Kau kira aku takut mati?" ejek Parwati, tak kenal takut.
'Mungkin saja kau tak takut mati, tapi aku tetap akan menggorok
lehermu!" Untuk sesaat tak ada yang
bersuara. Kedua gadis itu memandang kesal, sekaligus bingung.
"Kau ikut bersamaku untuk jaminan kalau mereka tak macam-macam!" lanjut Pendekar
Rajawali Sakti.
Rangga mengajak Parwati berjalan dengan pedang tetap di leher.
"Kisanak! Mau ke mana kau" Kau bawa ke mana kawanku?" teriak Prabawati.
'Tenanglah, Prabawati. Aku tak
menyakiti kawanmu selama mereka tidak macam-macam. Aku tak cari urusan.
Tapi, kalian yang memulainya!" ujar Rangga tegas.
'Tapi kau tak bisa
memperlakukannya begitu,..!" sergah Prabawati.
"Aku bisa melakukan apa saja, kalau kalian coba menyerangku."
"Kami tak menyerangmu!"
"Aku tak percaya!"
"Baiklah.... Kau boleh bawa dia.
Tapi kalau dia celaka, maka kita akan berurusan lagi!" tegas Prabawati.
Rangga tertawa dingin. Namun baru saja dia akan berkelebat membawa Parwati....
Wuuttt...! Mendadak saja melesat sesosok
bayangan kuning yang langsung
menyerang ganas. Angin serangannya menderu ganas, menandakan kalau tenaga
dalamnya cukup hebat.
Rangga yang merasakan adanya
angin sambaran cepat mendorong tubuh Parwati. Dan seketika tangannya
mengibas, memapak serangan.
Plak! "Hmm...!"
*** Rangga menggumam tak jelas
melihat gadis berbaju kuning
berselendang biru di pinggang yang baru saja menyerangnya. Gadis itu memiliki
rambut panjang yang terurai begitu saja. Sebagian menutupi
wajahnya, meski begitu kecantikannya tetap masih terlihat.
Sedangkan Parwati yang
dilemparkannya, buru-buru berdiri dengan pedang terhunus. Wajahnya tampak
beringas dipenuhi dendam.
"Jadi kalian telah dipecundangi olehnya,..?" ejek gadis itu dengan tersenyum
mengejek. "Sekarang perhatikan, bagaimana aku membuatnya jadi pecundang!"
"Aku masih mampu menghajamya, Tikasari!" dengus Parwati.
"Tahukah kau, siapa yang kalian hadapi ini" Dia Pendekar Rajawali Sakti. Kau tak
akan mampu mengunggulinya!" jelas gadis berselendang biru yang ternyata
bernama Tikasari.
"Hei"!"
Parwati terkejut mendengar nama
itu. Demikian pula kawan-kawannya, termasuk Prabawati. Namun gadis yang juga
berbaju kuning keemasan dan berselendang biru tenang-tenang saja.
Malah berkacak pinggang sambil
tersenyum-senyum. Sepertinya tidak memandang sebelah mata padanya.
"Maaf, Nisanak. Julukan itu tak berarti apa-apa. Hanya julukan
kosong," selak Rangga.
"Tidak usah merendah, Pendekar Rajawali
Sakti. Semua orang tahu
bagaimana kehebatanmu!" sentak Tikasari.
"Terima kasih...," hanya itu yang keluar dari mulut Rangga.
'Tapi bukan berarti tak ada yang berani menantangmu!"
'Tentu saja!" sahut Rangga
menimpali. "Aku akan menantangmu bertarung!"
tegas gadis itu, lantang.
"Nah, ini yang tak benar! Tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba saja kau
mengajakku bertarung," sergah Rangga.
"Aku hanya ingin tahu sampai di mana kehebatanmu!"
"Kalau begitu akan kukatakan padamu, aku sama sekali tak hebat"
Gadis itu mendengus dingin.
Matanya memandang Rangga dengan sorot tajam. Perlahan-lahan tangannya
meloloskan pedang di punggung.
"Karena kau telah bersenjata, maka kuanggap telah siap...," desis Tikasari
datar. "Oh, ini"! Baiklah, aku tak siap!" Rangga buru-buru membuang pedang di tangan
yang sejak tadi dipegangnya.
"Itu tidak merubah apa pun. Aku tetap akan menantangmu. Bersiaplah!"
tandas Tikasari.
"Wah, gawat..!" Rangga menghela napas sesak.
"Hiaaat..!"
Tikasari tak banyak kata lagi.
Diserangnya Pendekar Rajawali Sakti dengan ganas dengan sabetan pedangnya.
Namun, Rangga langsung mencelat ke belakang, dan terus menghindar
menjauhi tempat itu.
"Jangan coba-coba lari, Pendekar Rajawali Sakti!" kejar Tikasari.
"Kalau tidak lari, jangan-jangan kepalaku dipenggal pedangmu!" sahut Rangga
kalem. "Hm, kau terlalu menganggap enteng padaku! Rasakan ilmu pedangku ini!"
Bet! Bet! Rangga berkali-kali meliuk-liuk
menghindari sambaran pedang. Dari gerakannya jelas kalau dia mengerahkan jurus
'Sembilan Langkah Ajaib". Sehingga tak satu serangan pun menyentuh tubuhnya.
Hal itu membuat gadis
berbaju kuning keemasan penasaran. Dia terus menyerangnya tanpa henti.
"Yang ingin bertarung sebenamya siapa". Kau atau ketuamu?" tanya Pendekar
Rajawali Sakti.
"Itu bukan urusanmu!"
"Kalau kini kau bertarung
denganku, tentu saja urusanku juga
'kan?" "Yiaaat...!"
Gadis itu tak menyahuti Dia terus mengejar dengan sambaran pedang yang semakin
hebat saja, mengancam keselamatan Pendekar Rajawali Sakti.
"Gila! Aku tak bisa terus-terusan begjni...!" keluh Rangga, seraya meraih gagang
pedangnya di punggung.
Sring! Beberapa jengkal lagi pedang
Tikasari membabat, Pendekar Rajawali Sakti cepat mengibaskan Pedang Pusaka
Rajawali Sakti yang memancarkan sinar biru berkilau.
Gadis itu terkesiap. Namun tak
mungkin menarik serangannya kembali.
Dan.... Tras! Pedang gadis itu kontan putus.
Dan secepat itu pula cahaya biru itu kembali hilang di punggung Pendekar
Rajawali Sakti.
"Kukira pertarungan ini selesai, Nisanak," ujar Rangga melihat gadis itu terpaku
di tempatnya. "Hebat! Hebat sekali pedangmu.
Tidak sia-sia apa yang kudengar
tentangmu," puji Tikasari, tulus.
"Terima kasih. Kalau begitu aku permisi...," ucap Rangga.
'Tunggu dulu!" cegah gadis itu.
"Apa lagi?" tanya Rangga, seraya berbalik.
"Atas nama Ketua, kami bermaksud mengundangmu ke Padepokan Merak Emas!"
'Terima kasih. Maaf, aku tak bisa menerima undangan kalian."
"Ketua kami pasti senang sekali menerima kehadiranmu."
"Sampaikan saja salamku padanya.
Kapan-kapan kalau berubah pikiran, aku akan mampir ke sana."
"Ketua kami cantik dan berilmu tinggi...!" pancing Tikasari.
"O, ya"! Tentu menarik sekali!"
sahut Pendekar Rajawali Sakti, pura-pura terkejut
"Dia senang dengan pemuda-pemuda hebat sepertimu...," tambah Tikasari.
"Semakin menarik saja!"
"Apa itu berarti kau berubah pikiran?"
Rangga tersenyum. Dipandangnya
gadis itu sebentar, lalu menghela napas pendek.
"Sayang sekali.... Ini pasti menarik. Tapi..., aku tetap tak bisa.
Maaf, Nisanak....'"
"Pendekar Rajawali Sakti! Kenapa tidak kau terima saja undangan kami ini" Apa
keberatanmu?" tanya Prabawati.
"Aku tidak merasa berat Hanya saja ada sesuatu yang mesti
kukerjakan. Dan ini agaknya lebih penting. Nah, sekali lagi kuucapkan kata maaf.
Sampaikan saja salamku pada ketua kalian."
Setelah berkata begitu, Rangga
segera berkelebat Sebentar saja
tubuhnya menghilang di balik kegelapan malam. Jelas ilmu meringankan tubuhnya
telah amat tinggi.
"Pemuda keras kepala!" umpat Parwati.
"Jangan berkata begitu, Parwati.
Kita mesti menghormati
pendiriannya...." Tikasari menasihati
"Bukankah orang seperti dia yang diinginkan Ketua?" tanya Ningsih.
"Kita akan usahakan untuk
menjeratnya. Namun hal ini mesti dibicarakan dulu pada Ketua."
"Ya, aku setuju dengan usul Tikasari!" ujar Prabawati.
*** 5 Kegiatan yang dilakukan gadisgadis dari Padepokan Merak Emas dalam menantang padepokan-padepokan lain terus
berlangsung. Bahkan kini mereka berani menantang tokoh-tokoh
persilatan. Kendati demikian, mereka tak bermaksud melenyapkan atau
membantai tokoh-tokoh itu. Tujuan mereka hanya menantang bertarung.
Apakah ada maksud di balik semua itu"
Memang belum jelas benar. Yang
pasti kini gadis-gadis itu kini tengah menantang dua orang pemuda berpakaian
kulit macan bercorak loreng. Padahal, kedua tokoh yang berasal dari Lembah Maut
ini sudah tak asing lagi bagi dunia persilatan.
Tak jelas, apa golongan kedua
pemuda itu. Kadang mereka ikut
membasmi tokoh-tokoh sesat, namun tak jarang pula mencari persoalan dengan
tokoh-tokoh golongan lurus. Namun yang pasti pula kepandaian mereka cukup
menggetarkan lawan-lawan yang
dihadapi. Yang bertubuh tinggi besar dikenal bernama Maung Lodra. Sedang yang
bertubuh tinggi kurus sering dipanggii Maung Sukma.
Kedua pemuda itu berdiri di
halaman rumah mereka sendiri,


Pendekar Rajawali Sakti 206 Pangeran Impian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghadapi enam orang
gadis yang semuanya berpakaian kuning keemasan.
"Kau telah sinting berani
menantang Macan Loreng Dari Lembah Maut!" dengus pemuda yang bertubuh tinggi
kurus. "Lebih baik kalian pulang saja!"
timpal pemuda tinggi besar.
"Apa kepandaian kalian demikian hebat sehingga menganggap enteng kami?" tukas
gadis berbaju kuning yang menjadi pemimpin, tenang-tenang saja.
"Kalau bisa mengalahkan aku dalam lima jurus, bolehlah kalian menepuk dada."
Kedua pemuda yang ternyata
dikenal sebagai Macan Loreng Dari Lembah Maut tertawa keras menahan geli. Betapa
tidak" Mendatangi tempat kediaman mereka dengan sebuah
tantangan, berarti mati!
"Ha ha ha...! Lima jurus katamu"!
Hei, aku mampu mematahkan tanganmu sebelum satu jurus berakhir!" leceh Maung
Lodra. "Kenapa kau tidak buktikan?"
tantang gadis itu.
"Kakang Maung Lodra! Dia
mencemoohkanmu! Kenapa tidak
kau buktikan saja"!" sentak Maung Sukma, kelihatan mulai gusar.
"Hmm! Baik! Memang itu mauku...!"
dengus Maung Lodra.
"Silakan dimulai!"
Gadis berbaju kuning yang bila
melihat ciri-cirinya tak lain dari Ayu Tantri itu tersenyum. Sikapnya tenang,
tidak memperlihatkan ketakutan sedikit pun.
Malah wajahnya berseri-seri
mendapati tantangannya diterima.
"Yiaaat...!"
Disertai teriakan keras, Maung
Lodra menerkam dengan kedua tangan membentuk cakar macan. Namun, Ayu Tantri
cukup menggeser ke samping seraya mengibaskan tangan.
Plak! Begitu sambarannya terpapak
hingga tubuhnya sempat terjajar, Maung Lodra kembali menggebrak.
Kedua cakarnya menyambar ke perut dan dada.
Namun cepat sekali gadis itu melompat seraya melepas tendangan mengincar kepala.
Wuutt..! "Uts...!"
"Boleh juga!" puji Maung Lodra sambil menjatuhkan diri ke belakang.
Dan dengan bertumpu dengan kedua tangan, dia melenting bangkit.
Pada saat yang sama, Ayu Tantri
telah berbalik. Tubuhnya seketika meluruk melepas tendangan sebelum Maung Lodra
berbalik. Maung Lodra bukan tokoh kemarin
sore. Begitu merasakan satu desir halus di belakangnya, tubuhnya cepat berbalik
sambil mengibaskan cakar macannya dengan kaki langsung
membentuk kuda-kuda.
Gadis itu cepat menarik kakinya.
Di udara tubuhnya bergulingan,
langsung menampar kedua pergelangan tangan Maung Lodra.
Plak! Plak! "Uhh...!"
Pemuda itu mengeluh tertahan.
Sepasang Garuda Putih 7 Setan Harpa Karya Khu Lung Kisah Membunuh Naga 9

Cari Blog Ini