Ceritasilat Novel Online

Patung Dewi Ratih 2

Pendekar Rajawali Sakti 179 Patung Dewi Ratih Bagian 2


Kemudian laki-laki ini mengambil jalan melalui pinggiran telaga, menuju pegunungan di depan matanya
"Lihat! itu dia di sana!"
"Hei"!"
Ki Darta Rawon terkesiap ketika mendengar seruan dari atas bukit. Ternyata, dua orang tengah mengawasinya dari atas sana dengan seksama. Keduanya menunjuk ke arahnya. Tidak sampai tiga kedipan mata, beberapa orang telah mengejar dengan bersemangat.
"Setan!" umpat Ki Darta Rawon geram.
Pada saat itu bisa saja laki-laki ini melarikan diri meski mereka pasti akan mengejarnya. Dan, bisa jadi mereka akan terus mengejarnya ke mana saja pergi. Hidupnya tidak akan tenang diburu-buru. Maka lebih baik ditunggunya mereka untuk menjelaskan segala sesuatu. Mudah-mudahan saja mereka percaya dengan ceritanya.
"Bagus! Kukira kau akan menyerakahi benda itu seorang diri!" dengus perempuan yang tak lain Nini Pemah. Dia tiba lebih dulu bersama dua orang tokoh tua lainnya.
"Aku tidak akan pergi ke mana-mana, Sobat."
"Kami bukan sobatmu!" dengus seorang tokoh berbaju biru lusuh dengan warna hampir pudar. Namanya, Ki Gandanaran.
"Serahkan benda itu padaku!" bentak seorang lagi.
"Benda apa, Ki Katamba?"
"Jangan pura-pura bodoh! Tentu saja kitab ilmu silat peninggalan Dewi Ratih!" hardik Ular Bambu Kuning.
? *** Pendekar Rajawali Sakti
?"?"?"" Pendekar Rajawali Sakti
Bahasa Indonesia
? 2017 . 179. Patung Dewi Ratih Bag. 5 - 8 (Selesai)
14. M?rz 2015 um 10:55
? 5 ? "Ah! Benda itu rupanya yang kalian inginkan!" desah Ki Darta Rawon sambil tersenyum lebar.
Laki-laki ini melirik sekilas pada tokoh-tokoh lain yang mulai berdatangan mengelilinginya.
"Dengarlah! Dan, biarkan aku bercerita..." ujar Ki Darta Rawon.
"Kami tidak butuh ceritamu!" dengus Sidarta.
"Ini menyangkut soal benda yang kita inginkan bersama," kilah Ki Darta Rawon, tenang.
Para tokoh persilatan itu mendengus, tapi tidak berkata apa-apa. Pertanda bahwa mereka siap mendengarkan.
"Aku beruntung bisa masuk ke dalam dan mencari pusaka itu. Namun, tidak ada satu pun yang kutamui selain mayat-mayat yang mulai membusuk. Agaknya, seseorang telah mendahului kita melarikan benda itu," Jelas Ki Darta Rawon.
"Kau kira kami kawanan bocah yang bisa di-kelabui"!" dengus Ki Katamba, dingin.
"Berikan benda itu, Kisanak. Atau, barangkali kami mesti memaksamu"!" timpal Ki Gandanaran bernada penuh ancaman.
"Aku telah menceritakan yang sebenarnya pada kalian. Dan tidak ada yang harus kusembunyikan."
"Kami tidak begitu mengenalmu. Lalu, kenapa mesti percaya?" tukas Nini Pemah.
"Aku juga tidak!" sambung yang lain.
Dan semua pun memberi jawaban sama. Mereka memang belum pernah bertemu Ki Darta Rawon sebelumnya. Padahal sebagai seorang tokoh-tokoh silat mestinya, mereka kenal tokoh lain. Entah rupa atau namanya.
"Meski namaku tidak terkenal, tapi bukan berarti aku berbohong pada kalian. Kalau benda itu ada padaku, mana mungkin aku menunggu ketika kalian mengejarku. Tentu lebih baik kabur saja selagi ada kesempatan," jelas Ki Darta Rawon.
"Bukan itu yang jadi masalah!" tukas Ki Katamba ketika yang lain terdiam.
"Lalu, apa?" kejar Ki Darta Rawon.
"Kenapa kami mesti mempercayai cerita orang yang tidak dikenal" Kalau kau tidak menginginkan pusaka itu, bisa jadi kami percaya. Tapi, kau juga menginginkan pusaka itu. Sehingga, berat rasanya untuk mempercayai ceritamu," kata Ki Katamba, menyudutkan.
"Aku tidak bisa menceritakan apa-apa lagi. Segalanya telah kujelaskan dengan jujur...," sahut Ki Darta Rawon, pasrah.
"Kau tak perlu bercerita banyak. Serahkan saja benda itu. Dan kau boleh pergi sesukamu!" serobot Nini Pernah.
"Serahkan padaku!" bentak Ki Gandanaran.
"Telah kukatakan, pusaka itu tak ada padaku! Kenapa kalian masih tak percaya juga"!"
Ki Darta Rawon agaknya sudah kehabisan ke-sabaran, sehingga balas membentak.
"Hm.... Kalau begitu, kau cari mati!" dengus Ki Katamba.
"Terserah apa yang kalian inginkan!"
"Baik kalau itu maumu!"
Ki Katamba sudah langsung melompat menye-rang. Senjatanya yang berupa sebilah pedang berujungnya melengkung seperti clurit langsung kibaskan.
"Yaaaat!"
Bat! Wut! Senjata itu menebas leher, lalu ke pinggang, dan terus membokong punggung. Sementara Ki Darta Rawon segera menghindar dengan jungkir balik ke belakang. Namun Ki Katamba terus mengejar, tak memberi kesempatan sedikit pun.
"Kau akan mampus di tanganku, Manusia Celaka !" dengus Ki Katamba.
"He he he...! Kau tidak akan mampu membuk-tikannya, Sobat"
"Aku bukan sobatmu! Jangan coba-coba sebut itu lagi!" hardik Ki Katamba.
"Baiklah, Sobat!"
"Setan!"
"He he he...!"
Ki Darta Rawon betul-betul mempermainkan Ki Katamba. Meski laki-laki bersenjata pedang berbentuk aneh itu, mengerahkan segala kemampuan, tapi gerakan Ki Darta Rawon demikian gesit dan lincah. Sehingga serangan-serangan itu sama sekali tidak membawa hasil. Bahkan serangan balasan yang dilakukan Ki Darta Rawon sempat mengejutkannya.
"Hiih!"
Telapak kanan Ki Darta Rawon tiba-tiba saja menyusup di antara kelebatan senjata Ki Katamba, lalu meluncur menghantam dada.
"Uts!"
Ki Katamba terkesiap. Cepat tubuhnya mengegos ke samping. Tapi secepat itu pula, Ki Darta Rawon menyambar pinggang dengan tendangan kaki kanan.
Begkh! "Aaakh!"
Tak ampun lagi, Ki Katamba terjajar ke samping. Tubuhnya terhuyung-huyung berusaha mem-pertahankan keseimbangan.
"He he he.... Masih penasaran denganku?" ejek Kl Darta Rawon seraya tersenyum tipis.
"Keparat! Kubunuh kau, Bangsat!" maki Ki Katamba, geram.
"Cobalah kalau mampu!" sahut Ki Darta Rawon, tenang.
'Yeaaat...!"
? *** ? Sekali lagi Ki Katamba menyerang. Dan kali ini, dia tidak mau menganggap enteng lawannya setelah apa yang dialami tadi. Serangannya penuh perhitungan. Dan setiap gerakan yang dilakukan telah dipertimbangkan baik-baik.
Wuuut! "Uhh!"
Senjata pedang berbentuk aneh menyambar kaki, memaksa Ki Darta Rawon harus mencelat ke atas. Dan memang ini yang diharapkan. Karena secepat kilat senjata Ki Katamba meliuk-liuk menebas tubuh lawan.
Tapi, lompatan Ki Darta Rawon cukup tinggi. Sehingga, Ki Katamba harus menelan kekecewaan. Serangan tadi tidak membuahkan hasil. Meski dia terus mengejar, tapi Ki Darta Rawon telah mencelat ke belakang.
"Setan!" dengus Kl Katamba geram.
"Ha ha ha...!"
Ki Darta Rawon tertawa mengejek. Kemudian secepat kilat tubuhnya meluruk membuka serangan kembali.
"Hiih! Hiih!"
Ki Katamba terus mengibas-ngibaskan senjatanya untuk bertahan, sekaligus menghalau se-rangan. Tapi seketika Ki Darta Rawon menghentakkan tangannya. Dan....
Werrr...! "Heh"!"
Mendadak terasa angin kencang menerpa yang bahkan disertai pasir-pasir halus menggangu pandangan. Sehingga mau tak mau, Ki Katamba terpaksa menutup matanya barang sejenak.
"Heaaat!"
Kesempatan itu digunakan sebaik-baiknya oleh Ki Darta Rawon. Seketika dia menyergap.
Wut! Ki Katamba coba mengibaskan senjatanya. Tapi, tiba-tiba saja pergelangan tangannya sudah tercekal. Dia bermaksud menyentak. Namun, tahu-tahu satu pukulan keras menghantam dadanya.
Begkh! "Aaakh!"
Ki Katamba terjungkal ke betakang, senjatanya lepas dari genggaman. Dan secepat itu pula Ki Darta Rawon langsung mengibaskan senjata yang berpindah tangan padanya.
Cras! "Akh!"
Ki Katamba menjerit pendek. Kepalanya kontan menggelinding ke tanah tatkala senjatanya sendiri menebas tanpa ampun.
Bruk! Beberapa saat tubuh Ki Katamba yang tanpa leher itu mengucurkan darah segar. Lalu, ambruk ke tanah tanpa daya.
Ki Darta Rawon mendengus dingin seraya memandang yang lain dengan sorot mata tajam.
"Aku tak ingin mencari permusuhan dengan kalian, Tapi kalau ada yang memaksa, maka boleh menemui nasibnya seperti orang ini!"
Tokoh-tokoh yang mengelilingi memang terkejut atau kematian Ki Katamba. Tapi, bukan karena mereka takut pada Ki Darta Rawon. Melainkan karana seperti terbangun dari mimpi.
Ki Katamba bukanlah orang kemarin sore yang baru belajar ilmu silat. Kehebatannya sudah teruji. Dan kini, berhadapan dengan seorang tokoh tidak terkenal, dia mesti kehilangan kepala. Bahkan sekaligus nyawanya. Itu pasti keteledoran, karena menganggap enteng lawan!
"Keparat! Kau kira dirimu siapa, he"!" bentak Nini Pemah, geram.
"Ajing geladak! Kau akan terima kematianmu!" timpal Sidarta.
Dalam keadaan begitu, sepertinya Sidarta berdiri di belakang Nini Pemah. Tapi sebenarnya tidak begitu. Ki Katamba adalah salah seorang kawannya. Demikian pula yang lain, sama-sama mengenal Ki Katamba. Sebagian lain marah, karena merasa dianggap enteng oleh Ki Darta Rawon. Maka tanpa banyak bicara, mereka menyerang laki-laki setengah baya itu berbarengan.
"Yeaaat!"
"Heaaat...!"
"Kurang ajar!" dengus Ki Darta Rawon, geram.
Dengan senjata Ki Katamba yang masih di tangan, laki-laki setengah baya ini memapaki serangan-serangan dengan sengit.
Trang! Wuk! "Uhh...!"
Beberapa pengeroyok terkesiap, ketika bentur-an senjata terjadi. Terasa dorongan tenaga kuat yang dilancarkan Ki Darta Rawon yang berisikan tenaga dalam di atas rata-rata. Meski begitu, tidak membuat mereka surut. Malah menyerang semakin beringas.
"Kurang ajar! Mana mungkin aku menghadapi mereka semuanya!" dengus Ki Darta Rawon kesal.
Tapi, mana mau Ki Darta Rawon menunjukkan perasaannya di hadapan mereka. Dia sadar kalau keadaan terus begini, maka cepat atau lambat mereka akan berhasil menjatuhkannya. Maka dia mesti cari jalan untuk menyelamatkan diri.
Dan berpikir begitu, Ki Darta Rawon mendadak mencelat ke belakang. Ketika lawan-lawannya mengejar, saat itu juga kedua tangannya menghentak ke depan melepaskan pukulan dahsyat.??????
"Heaaat..!"
"Hei"!"
Bukan main terkejutnya para tokoh persilatan ketika melihat dua larik cahaya merah menerpa dahsyat, diiringi desir angin kencang. Dengan kalang kabut, mereka berusaha menghindarkan diri.
Blarrr"! Terdertgar ledakan dahsyat ketika hantaman itu hanya mengenai tanah kosong yang kontan berlubang agak lebar.
"Hup!"
Kesempatan itu dipergunakan Ki Darta Rawon untuk melarikan diri secepatnya.
"Hei, dia berusaha kabur!" teriak seseorang.
"Bangsat! Jangan biarkan dia pergi seenaknya!" timpal yang lain bernada geram.
Maka seketika itu mereka langsung mengejar Ki Darta Rawon.
Para tokoh itu bukanlah orang sembarangan. Meski rata-rata bukan tandingan Ki Darta Rawon, tapi paling tidak kepandaian mereka satu tingkat di bawah Ki Darta Rawon. Sehingga meski laki-laki setengah baya itu kabur secepat mungkin, jelas tidak akan bisa menghilang begitu saja.
"Hieee...!"
"Hei"!"
? *** ? Mendadak langkah Ki Darta Rawon terhenti ketika di depannya menghadang seorang penung-gang kuda putih. Ki Darta Rawon sempat terkejut Demikian pula penunggang kuda itu. Terlebih, tatkala Ki Darta Rawon mengibaskan tangan. Sehingga, terpaksa penunggang kuda itu melompat sambil jungkir balik di udara.
"Bangsat!" maki penunggang kuda yang ternyata seorang gadis, begitu mendarat di tanah.
"Hei" Kau..., kau! Bukankah kau Sakaweni"!" tunjuk Ki Darta Rawon kaget.
Dan penunggang kuda yang ternyata Sakaweni tak kalah kagetnya melihat orang yang dimaki.
"Paman Darta Rawon"!" sebut Sakaweni.
"Eh. maaf. Paman mesti buru-buru!" ucap laki-laki setengah baya itu, seraya bergegas meninggalkan gadis itu.
"Paman, tunggu!" cegah Sakaweni.
Tapi Ki Darta Rawon sudah berkelebat cepat meninggalkan gadis itu yang masih termangu tak mengerti.
Sementara ketika melihat beberapa orang berlari ke arahnya, Sakaweni mulai mengerti kenapa pamannya kelihatan buru-buru. Tapi tetap saja ada hal yang tidak dimengertinya. Yaitu, kenapa pamannya mesti melarikan diri dari kejaran tokoh-tokoh itu"
"Bajingan keparat! Dia telah menghilang!" ge-rulu salah seorang tokoh ketika tiba dua tombak di depan Sakaweni.
"Jangan khawatir. Tadi sempat kudengar, gadis ini memanggil paman padanya. Kita tangkap saja dia sebagai tebusan!" usul Ki Gandanaran.
"Ya! itu usul yang bagus!" sambut Nini Pemah.
"Tunggu apa lagi" Ayo kita tangkap dia!" teriak seorang laki-laki berkepala botak berusia sekitar empat puluh delapan tahun.
"Ayo!" sambut yang lain.
"Heaaa...!"
"Eh, apa-apaan ini"!" sentak gadis itu kaget, ketika melihat orang-orang itu menyerangnya bersamaan.
"Jangan banyak tingkah! Kau memanggil paman pada orang tadi. Sedangkan dia mestinya kami tangkap! Tapi karena dia kabur, maka kau yang akan menggantikannya!" dengus Ki Sidarta.
"Brengsek! Aku tak tahu-menahu apa yang dilakukannya" Kalian tidak bisa seenaknya saja menangkapku!" sergah Sakaweni.
'Terserah apa yang kau katakan. Tapi sebaiknya, menyerah saja agar kulitmu yang mulus tidak tergores luka!"
"Cuih! Jangan harap aku akan menyerah! Kalian yang buat gara-gara, maka kalian harus terima akibatnya!" dengus Sakaweni berang, langsung mencabut pedangnya.
Sring! Pada saat yang sama, para tokoh persilatan itu sudah bergerak merangsek Sakaweni.
"Heaat!"
Dengan gerakan indah sekali, Sakaweni berke-lebat memapaki berbagai macam senjata ikut berkelebat menyambarnya.
Trang! Trang! "Uhhh!"
Gadis itu mengeluh tertahan ketika terjadi benturan senjata. Dia merasakan tenaga dalam para pengcroyoknya seperti menghimpit dengan kuat. Nyata kalau tenaga dalamnya berada di bawah mereka satu atau dua tingkat.
"Hi hi hi...! Lebih baik kau menyerah saja, Bocah!" ejek Nini Pemah alias Ular Bambu Kuning sambil tertawa mengikik.
'Tua bangka! Aku pantang menyerah, sebelum kalian pun mampus bersamaku!" ujar gadis ini lantang.
"Hm, rupanya kau keras kepala juga!" dengus Ki Gandanaran.
Senjata Ki Gandanaran berupa tongkat baja yang berjumlah tiga. Dan masing-masing, dihu-bungkan dengan rantai pendek. Kedua ujung tongkat itu berbentuk runcing, menyapu seluruh pertahanan Sakaweni. Sesekali terdengar senjatanya beradu dengan pedang gadis itu. Dan setiap kali pula, Sakaweni mengeluh tertahan.
Dan belum lagi Sakaweni sempat menguasai diri, serangan yang lain telah muncul pula. Mau tak mau, gadis ini memang terdesak hebat. Dia bahkan tak sempat melancarkan serangan terhadap lawan-lawannya.
"Lebih baik kau menyerah saja, Anak Manis!" seru Sidarta.
'Tutup mulutmu!" bentak Sakaweni.
Tapi baru saja gadis itu melompat ke samping, satu tendangan cepat dari arah belakang menyambar pinggangnya. Sakaweni cepat melompat ke samping.
"Hiih!"
Belum lagi kedua kaki gadis ini menyentuh tanah, ujung bambu kuning Ninl Pemah telah mengancam tenggorokannya.
Dengan sekuat tenaga Sakaweni menangkis dengan pedangnya.
Trak! "Aaakh...!"
Sakaweni harus mengeluh kesakitan, karena telapak tangannya mulai terkelupas setiap menahan benturan senjata-senjata lawannya.
Wut! Ki Gandanaran menggunakan kesempatan itu. Senjatanya cepat melibat pedang Sakaweni kemudian menariknya dengan kuat.
Saat itu juga senjata gadis itu terlepas dari genggaman.
"Hup!"
Sakaweni mengeluh tertahan. Namun dia sempat melompat ke belakang, tatkala Ki Gandanaran melanjutkan serangan dengan menyodokkan salah satu ujung tongkatnya.
"Hiih!"
Tapi naas bagi gadis itu. Karena pada saat yang bersamaan, Sidarta melompat sambil melayangkan tendangan cepat bagai kilat
Des! "Aaakh"???
Tepat sekali tendangan itu menghantam perut Sakaweni. Tak ayal lagi, gadis itu terjungkal roboh disertai jerit kesakitan.
Dan kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh yang lain untuk meringkus.
"Yeaaat!"
"Tahan...!"
? *** ? 6 ? "Heh"!"
Mendadak terdengar bentakan nyaring, membuat para tokoh persilatan tersentak kaget. Saat itu juga mereka menghentikan serangan terhadap Sakaweni. Dan semua berpaling ketika seorang pemuda tampan berbaju rompi putih tahu-tahu telah berdiri di dekat mereka pada jarak tujuh langkah. Di belakangnya terlihat seekor kuda berbulu hitam.
"Hm.... Dari mana bocah ini muncul?" gumam Nini Pemah alias Ular Bambu Kuning penasaran karena tadi tidak merasakan kehadiran pemuda itu di sini.
"Siapa kau, Bocah" Berani-beraninya ikut campur persoalan kami"!" bentak Sidarta.
Namun pemuda berbaju rompi putih ini tak perlu menjawab pertanyaan itu karena....
"Aku tahu! Dia si Pendekar Rajawali Sakti!" celetuk seorang tokoh.
"Apa..." Pendekar Rajawali Sakti"!"
Sebagian tokoh tampak terdengar berseru kaget.
"Huh! Kau rupanya!" dengus Ular Bambu Kuning, dingin.
"Sangat tidak pantas bagi pendekar-pendekar terhormat seperti kalian mengeroyok seorang gadis yang tak berdaya!" kata pemuda itu lantang.
"Pendekar Rajawali Sakti! Sebaiknya jangan mencampuri urusan ini! Pergilah! Tempatmu bukan di sini!" bentak Ki Gandanaran.
"Pergilah cepat, sebelum kami melibatkanmu dalam urusan ini!" dengus Sidarta mulai berani. Padahal, tadi nyalinya sempat ciut melihat kehadiran Pendekar Rajawali Sakti di tempat ini.
"Maaf.... Aku tidak bisa pergi melihat tindak ketidakadilan di depan mataku."
"Huh! Kau mencari penyakit sendiri!" dengus Ular Bambu Kuning.
"Sudah! Bereskan dia juga!" timpal Ki Gandanaran.
"Kalau itu yang kalian inginkan, jangan salah-kan kalau aku akan bertindak," sahut Rangga tenang.
"Sombong!" desis seorang tokoh bersenjata tombak.
Wut! Tokoh itu langsung mengebutkan senjatanya. Ujung tombaknya menyambar ke muka.
"Uts!"
Rangga cepat memiringkan kepalanya sedikit, sehingga senjata itu luput dari sasaran. Tapi tokoh ini sudah langsung berbalik. Cepat dilayangkannya tendangan keras ke dada. Bersamaan dengan itu senjatanya kembali bergerak menyambar leher.
"Huh!"
"Hup!"
Rangga cepat menjatuhkan diri, sehingga dadanya bersentuhan dengan permukaan tanah. Tubuhnya bergulingan sebentar dan tiba-tiba kakinya menyambar ke perut.
Tokoh itu kaget bukan main. Cepat dia melompat ke belakang sambil mengibaskan tongkatnya. Tapi, secepat itu pula tubuh si Pendekar Rajawati Sakti melenting dengan gerakan menakjubkan. Tubuhnya berputar bagai gasing. Sementara dua kakinya cepat menyodok ke dada tanpa bisa dielakkan.
Duk! Des! "Aaakh...!"
Tak ayal lagi, tokoh berusia enam puluh lima tahun itu terjungkal ke belakang sambil menjerit kesakitan.
"Hei, kurang ajar! Dia telah mencelakakan Ki Gringsing!" dengus Sidarta.
Laki-laki itu langsung menyerang, diikuti Ki Gandanaran dan Nini Pemah serta yang lainnya.
"Yeaaat!"
"Hup!"
Mau tidak mau tarpaksa Rangga mengatur ja-rak agar tidak berada terlalu dekat. Tubuhnya cepat melenting ke belakang beberapa tombak. Menghadapi keroyokan begini, kalau jarak terlalu dekat, maka kemungkinan untuk kecolongan selalu besar. Dan sekali terkena hajaran, maka yang lain akan menyusuli dengan cepat.
"He he he...! Mau kabur, ya" Jangan harap semudah itu, Bocah!" ejek Nini Pemah alias Ular Bambu Kuning.
"Apakah kelihatannya aku akan kabur?" sahut Rangga tenang, begitu kedua kakinya menjejak tanah.
Ular Bambu Kuning dan Ki Gandanaran berada paling dekat dengan Rangga ketimbang yang lain. Masing-masing bersenjata bambu kuning dan bertongkat patah tiga. Sementara kedua orang ini berkelebatanan, merangsek Pendekar Rajawali Sakti.
Pada saat yang sama, Pendekar Rajawali Sakti talah membuat kuda-kuda kokoh. Kedua tangannya terkepal, dengan otot-otot bertonjolan. Lalu....
"Aji 'Bayu Bajra...!"
Mendadak pemuda itu membentak keras. Kedua telapak tangannya cepat menghantamkan ke depan, mengerahkan aji 'Bayu Bajra' seperempat bagian.
Wusss...! Seketika, dari telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti meluncur angin keras bagai topan menerjang para tokoh itu.
"Hei"!"
"Uhh!"
Nini Pemah serta Ki Gandanaran dan yang lain terkejut merasakan angin kencang bertenaga kuat menghantam. Untuk sesaat orang-orang itu gelagapan. Tapi kesempatan itu sudah cukup bagi Pendekar Rajawali Sakti untuk melenting, dan melompati mereka. Seketika disambarnya Sakaweni.
"Ayo kita pergi dari sini!" ajak Pendekar Ra-jawali Sakti.
"Hei, apa-apaan kau ini"!" tepis gadis itu galak.
Tanpa banyak bicara lagi, Rangga cepat meng- gerakkan tangannya. Dan....
Tuk! "Ohh...!"
Rangga memang tidak punya waktu untuk berdebat. Seketika ditotoknya gadis itu hingga lemas tak berdaya. Kemudian dengan sigap ditangkap dan dibopongnya untuk segera kabur dari tempat ini.
"Hei, itu dia!" teriak seseorang.


Pendekar Rajawali Sakti 179 Patung Dewi Ratih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dia membawa gadis itu! Kejaaar...!" teriak laki-laki yang pertama kali dikalahkan Rangga. Namanya, Ki Gringsing.
Namun percuma saja mereka mengejar. Sebab arah kelebatan Pendekar Rajawali Sakti menuju kuda hitam yang langsung membawanya lari dengan cepat.
? *** ? "Maafkan, aku tidak bermaksud begini padamu," ucap Pendekar Rajawali Sakti seraya berjongkok di depan Sakaweni, ketika mereka telah cukup jauh dari para pengejar.
"Jangan coba berbuat macam-macam padaku! Kalau kau lakukan itu, maka ke mana pun kau bersembunyi, akan kukejar dan kuambil kepalamu!" dangus Sakaweni berang.
"Hm... Kalau begitu, aku tentu tidak boleh melepskan totokanmu?" tukas Rangga.
"Kurang ajar! Apa maumu sebenarnya"!" maki Sikaweni.
"Akan kulepaskan totokanmu. Tapi, nanti kau salah paham dan mengira aku akan berbuat ma-cam-macam."
"Brengsek! Lepaskan totokanmu!"
"Kenapa" Apa dikira aku kacungmu?"
"Karena semua ini ulahmu. Dan kau pantas menerima!"
"Salahku" Kalau aku tidak membawa kabur, bayangkan apa yang akan mereka perbuat terha-dapmu?" cecar Rangga.
"Apa kau kira aku bayi yang tidak bisa mela-wan, he"!" tukas gadis itu, mendengus.
"Kau dalam keadaan terdesak."
"Siapa bilang"! Aku bahkan masih mampu bertarung seribu jurus, untuk menghadapi sepuluh kali jumlah mereka!" sahut Sakaweni sengit.
"Lalu, kenapa kau diam saja ketika aku berta-rung dengan mereka?"
"Kenapa aku mesti membantumu" Saudara bukan, kawan juga bukan!"
"Ya, mungkin aku memang salah. Maaf?" desah Rangga mengalah seraya menggerakkan ta-ngannya untuk melepaskan totokan.
Tuk! "Memang! Gara-garamu, aku kehilangan pedang! Juga kudaku!" sentak gads ini seraya cepat bangkit berdiri dan melotot garang.
"Ya, mungkin juga. Dan aku tahu, kau bukan termasuk orang yang tahu berterima kasih...," sahut Rangga, kalem.
"Aku tidak minta pertolonganmu! Kenapa aku mesti berterima kasih segala"!" sentak gadis ini.
"Aku tak mengharapkan terima kasih. Dan aku berbuat tanpa pamrih. Baiklah. Persoalan di antara kita selesai. Kau boleh pergi sesukamu!" ujar Rangga.
"Huh! Memang! Apa kau kira aku akan di sini menemanimu, lalu kau akan berbuat seenaknya padaku"!" dengus Sakaweni tetap garang.
Rangga hanya menghela napas panjang. Dibi-arrkannya saja gadis itu berlalu secepatnya dari??? tempat ini.
Sementara, di langit mulai gelap. Hewan-he-wan mulai pulang ke sarang masing-masing. Udara mulai terasa dingin. Sebentar lagi, malam akan tiba. Ingin rasanya Rangga menahan gadis itu untuk tidak pergi. Tapi, mana mungkin!
"Hhh, dasar gadis liar!" desah Rangga pendek.
Pendekar Rajawali Sakti lantas bangkit. Kaki nya melangkah sambil mengumpulkan ranting-ranting kering untuk dibuat perapian. Rangga lantas menghampiri Dewa Bayu. Diusap-usapnya leher kuda hitam perkasa itu beberapa saat sebelum menyalakan api.
"Kau tunggu di sini. Aku akan cari makanan sebentar" Ujar pemuda itu seraya meninggalkan kudanya yang menunggui perapian.
Ketika kembali Rangga sudah menjinjing dua ekor ayam hutan. Tapi, Rangga dibuat terkejut tatkala melihat seorang lelaki tua duduk di dekat perapiannya sambil menggerogoti daging bakar. Sementara kudanya masih tetap berada di tempatnya, dan sama sekali tidak terusik. Ini sangat aneh, karena Dewa Bayu akan segera ribut mengetahui orang asing di dekatnya.
"Maaf, Kisanak. Aku mengganggu selera ma-kanmu," sapa Rangga, ramah.
"Ah, tidak apa. Silakan duduk!" sahut laki-laki tua ini berambut panjang dan telah memutih semua itu.
Rangga menggerutu di dalam hati. Lagaknya, seperti dia saja yang bertamu.
"Dari mana kau" Ah! Menangkap dua ekor ayam hutan gemuk! Untuk santap malam" Kenapa tidak minta padaku" Aku punya cukup persediaan," kata laki-laki tua ini menunjukkan beberapa potong daging bakar yang telah matang.
"Terima kasih."
Rangga tidak banyak bicara, dan mulai me-manggang hewan buruannya.
"Dari jauh kulihat ada perapian, lalu kudekati. Ternyata, tak ada orangnya. Maka kutunggu di sini. Siapa tahu orangnya tengah berburu. Dan ternyata benar saja, ketika kutanyakan pada kuda ini. Dia tunggangan yang hebat dan cerdas," cerocos kakek ini, seperti berkata sendiri.
Rangga hanya tersenyum. Selama ini yang mengerti isyarat kudanya hanya dirinya. Demikian pula sebaliknya. Orang tua ini pasti mengada-ada, pikirnya.
"Kau kira aku berbohong?" tanya kakek ini tiba-tiba, seperti bisa menebak jalan pikiran Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga tercekat sebentar. Diperhatikannya wajah orang tua itu kemudian membalik-balikkan daging panggangnya.
"Aku belum mengenalmu, Ki. Bagaimana mungkin kau punya perasaan kalau aku meng-anggapmu berbohong...," sahut Rangga, datar.
? *** ? "Oh, ya. Namaku Wangsa Kelana. Hm.... Soal itu, aku bisa merasakannya. Seperti juga aku bisa merasakan isyarat-isyarat yang dilakukan kudamu," kata kakak yang mengaku bernama Wangsa Kelana
"Begitukah?" tukas Rangga.
"He he he...! Lagi-lagi kau tidak percaya padaku, bukan?" kata kakek ini sambil tertawa kecil. "Tapi kalau kukatakan sesuatu, kau mungkin akan percaya,"
"Hm, apa itu?" tanya Rangga, acuh tak acuh seraya mencicipi daging panggangnya.
"Gadis itu.... Kurasa, dia tertarik padamu," duga Ki Wangsa Kelana.
"Aku tidak mengerti gadis mana yang kau maksudkan, Ki?" kata Rangga.
"Gadis mana" Tentu saja gadis yang marah-marah padamu tadi!"
Rangga menghentikan kunyahannya. Dipandangnya Ki Wangsa Kelana sesaat. Lalu bibirnya tersenyum manis dan kembali menggigit daging panggangnya yang telah matang.
"Aku kenal dia. Namanya Sakaweni...," lanjut kakek ini.
"Kau mengikuti kami sejak tadi?" tanya Rangga.
"Bahkan sejak kalian hampir bertabrakan!" jelas Ki Wangsa Kelana.
"Hm, sungguh rajin!" sindir Rangga.
'Tentunya secara tidak sengaja. Karena, ternyata tujuan kita sama arahnya."
"Sebenarnya ke mana tujuanmu, Ki?"
"Ke Gua Griwa. Dan kau, tentunya akan ke sana pula, bukan?"
"Aku tidak tahu...."
"Aku tahu! Kau hanya mengikuti gadis itu, karena sebenarnya kau pun naksir padanya."
"Bagaimana kau bisa menduga begitu?" tanya Rangga sambil tersenyum.
"Aku pernah muda. Dan aku mengalami saat-saat seorang pemuda menyukai lawan jenisnya...."
"Kau salah, Ki!"
"Coba jelaskan!"
"Karena aku sudah punya kekasih!"
"Lalu, apa urusanya kau mengikutinya" Padahal, kau pun tidak punya urusan ke Gua Griwa?" tanya Ki Wangsa Kelana, agak penasaran.
"Aku seorang pengelana. Dan sebisa mungkin, aku berusaha mengamalkan sedikit kepandaian untuk membantu orang banyak. Dalam bertindak, kadang aku mengikuti naluri. Dan melihat gadis itu kurasa naluriku mengatakan bahwa akan ada masalah, Ternyata, dugaanku salah. Dia sama sekali tidak punya masalah. Setidaknya, begitu yang dikatakannya," jelas Rangga singkat.
"Kau salah kalau menilai begitu. Gadis ini se-benarnya punya masalah. Dia akan dikejar ba-nyak orang, Dalam waktu singkat, akan banyak tersebar cerita bohong bahwa dia memiliki benda pusaka itu," sergah laki-laki tua ini seraya menjelaskan.
"Benda pusaka" Aku tidak mengerti ke mana bicaramu!" tanya Rangga.
"Apakah kau sungguh-sungguh tak tahu apa yang ada dalam Gua Griwa"!" tanya Ki Wangsa Kelana heran.
Pemuda itu menggeleng lemah.
"Memangnya ada apa?"
"Saat itu heboh berita mengenai Patung Dewi Ratih, sehingga banyak direbutkan kalangan per-silatan," jelas kakek itu.
"Kenapa mereka saling berebut untuk sebuah patung yang tidak berguna?"
Ki Wangsa Kelana tertawa renyah.
"Entah kau ini tolol, atau pura-pura tak tahu!"
"Tidak! Aku betul-betul tak tahu! Apa sebenarnya yang mereka harapkan dari patung itu?"
"Baiklah.... Mungkin benar kalau kau tak tahu apa-apa soal rahasia yang telah menjadi pembe-ritaan umum. Di dalam patung itu, terdapat kitab pelajaran ilmu silat tingkat tinggi, dan beberapa butir obat pulung ynag mampu meningkatkan tenaga dalam sampai dua kali lipat dari yang dimiliki," jelas kakek itu.
"Hm, pantas! Tapi, apa hubungannya dengan gadis itu?"
"Dia bertemu Ki Darta Rawon, ketika laki-laki itu tengah dikejar para tokoh persilatan. Mereka saling menyapa, sebelum Ki Darta Rawon meninggalkannya. Akhirnya, gadis itu yang menjadi sasaran kemarahan mereka. Bahkan ada yang menduga gadis itu dititipkan benda pusaka itu," jelas Ki Wangsa Kelana.
"Siapa Ki Darta Rawon itu?"
"Tokoh yang diduga memiliki patung itu,"
"Kenapa mereka mengira begitu?"
"Karena dia yang berhasil masuk gua. Sedang, yang lain tidak,"
"Apa susahnya masuk gua itu?"
Laki-laki tua itu tersenyum.
"Di dalam gua penuh perangkap yang tidak terduga. Dan di dalamnya pun, dijaga seorang tokoh sakti. Tidak sembarang orang mampu menga-lahkannya."
"Dan Ki Darta Rawon itu mengalahkannya?" cecar Rangga.
"Belum tentu juga!" sahut Ki Wangsa Kelana.
"Lho" Kenapa bisa begitu?"
"Dia hanya beruntung bisa keluar dari gua dengan selamat. Mungkin mengetahui seluk-beluk gua itu, Tapi aku sendiri tidak yakin kalau patung itu ada di tangannya."
"Lalu di tangan siapa kalau begitu?"
"Di tangan si penjaga gua tentunya!"
"Siapa penjaga gua itu?"
"Kenapa kau tanya-tanya terus" Apakah kau tertarik dengan patung itu?" kakek ini malah balik bertanya.
"Ah, tidak! Maaf kalau kelihatannya begitu," ucap Rangga
"He he he...! Tidak apa. Rasanya tidak ada seorang pun yang tidak tertarik setelah mengetahui rahasia patung itu."
"Aku sungguh-sungguh tidak tertarik!" sergah Rangga berusaha meyakinkan.
"Eee, jangan dipermasalahkan! Meski kau tertarik, itu bukan urusanku. Apalagi, setelah kau katakan kalau tidak tertarik. Nah, lebih baik habiskan daging panggangmu!"
Rangga tidak bisa bicara apa-apa lagi. Dan untuk melampiaskan perasaan tidak enak di hati-nya, buru-buru digigitinya sepotong daging bakar bagiannya. Dan cepat-cepat dikunyahnya sampai tandas.
? *** ? 7 ? Pendekar Rajawali Sakti benar-benar tak mengerti, apa sebenarnya yang diinginkan orang tua ini darinya. Setelah makanannya ludes, dengan seenaknya Ki Wangsa Kelana merebahkan diri di bawah sebatang pohon dan mulai mendengkur halus.
"Hm, apa yang diinginkannya dariku?" gumam Rangga curiga.
Ki Wangsa Kelana agaknya telah berprasangka kalau Pendekar Rajawali Sakti pun menginginkan patung yang sama sekali tidak dimengerti. Dan laki-laki tua ini tentu punya tujuan berdekatan dengannya. Dan itu membuat Rangga merasa tidak tenang. Padahal, matanya mulai ngantuk. Dan kalau sampai terlelap, kemudian orang tua ini bangun dan berbuat macam-macam padanya, tidak ada yang bisa dilakukannya, mungkin bisa saja dia terbunuh.
Berpikir begitu, Rangga merasa tidak aman berdekatan dengan orang tua yang baru dikenalnya. Maka ditunggunya beberapa saat. Dan setelah yakin Ki Wangsa Kelana benar-benar tertidur pulas, maka dengan diam-diam Rangga pergi meninggalkannya sambil menuntun kudanya.
"Tidak terlihat tanda-tanda kalau dia mengetahui kepergianku," gumam pemuda itu lagi ketika telah jauh dari perapian dan sempat melirik.
Ki Wangsa Kelana terus tidur seperti bangkai. Sehingga, Rangga bisa bergerak leluasa. Dihelanya napas panjang, dan buru-buru melompat ke punggung Dewa Bayu.
"Ayo, Dewa Bayu! Kita pergi dari tempat ini!" ujar Pendekar Rajawali Sakti.
Kuda berbuiu hitam itu meringkik halus, kemudian berlari kencang menembus kegelapan malam. Sebentar saja, mereka telah menghilang dalam kegelapan.
Setelah Dewa Bayu berlari kencang beberapa saat, Pendekar Rajawali Sakti tiba di sebuah lembah yang cukup subur. Malam telah semakin larut. Dan kantuk yang menyerangnya begitu hebat. Sehingga Rangga memutuskan untuk beristirahat.
Pendekar Rajawali Sakti melompat turun dari kudanya. Dewa Bayu lantas ditambatkan. Baru setelah itu Rangga mencari tempat yang terlindung. Dalam sekejap saja pemuda itu telah menghenyakkan tubuhnya di balik semak dan tertidur pulas.
? *** ? Trang! Trang! "Ohh...."
Sekian lama Rangga tertidur, mendadak ter- dengar suara ribut-ribut tidak jauh dari tempatnya berada. Begitu Rangga terjaga, matanya sudah disambut oleh sinar matahari pagi. Dan tatapannya langsung ke arah pada asal suara ribut-ribut barusan.
Suara ribut itu ternyata berasal dari sebuah pertarungan. Rangga melihat tiga orang tengah bertempur sengit di pagi hari ini.
"Hm.... Dia rupanya!" gumam Rangga ketika melihat seorang gadis tengah dikeroyok dua orang laki-laki tua.
Gadis itu tak lain Sakaweni, yang kemarin sore diselamatkannya. Sementara dua laki-laki tua yang mengerubutinya kelihatan bernafsu untu menjatuhkannya. Salah satu di antaranya agak dikenal sebagai orang yang ikut mengeroyok gadis itu kemarin sore. Sedangkan seorang lagi yang bersenjata sabit. Dan Rangga belum pernah mengenalnya.
Pendekar Rajawali Sakti menggerak-gerakkan tubuhnya sebentar, lalu bangkit berdiri. Dihampirinya Dewa Bayu, untuk melepas tambatannya. Kemudian dengan tenang Rangga melompat naik. Segera dihampirinya pertarungan itu.
Salah seorang pengeroyok tampak mendengus dingin tatkala mengetahui siapa gerangan yang muncul di tempat itu.
"Hm, Pendekar Rajawali Sakti! Bagus! Kau datang pada waktu yang tepat! Apakah kau hendak membantu gendakmu ini"!" dengus salah satu laki-laki tua itu.
"Jangan salah sangka, Ki. Aku hanya ingin melihat-lihat pertarungan kalian. Silakan dilanjutkan. Dan aku akan menjadi penonton yang baik," kilah Rangga, kalem.
Laki-laki bersenjata rantai besi panjang yang ujungnya runcing itu tak lain dari Sidarta. Sedang yang bersenjata sabit, Sidarta sering memanggilnya dengan nama Ki Wulung.
Meskipun pemuda itu telah mengatakan kalau tidak akan ikut campur, tapi Sidarta dan kawannya kecut juga. Mereka jadi tidak tenang menghadapi lawannya.
Sebaliknya, Sakaweni merasa mendapat angin. Sekaligus ingin menunjukkan pada pemuda itu kalau mampu melindungi diri dan tidak perlu bantuannya. Maka permainan pedangnya jadi kelihatan hebat.
Trang! Gadis itu berhasil menangkis serangan sabit Ki Wulung. Lalu tubuhnya melompat tinggi menghindari rantai besi Sidarta yang hendak membelitnya.
"Hiyaaa!"
Mendadak, tubuh gadis ini melompat tinggi se-?? raya melepaskan tendangan ke arah Ki Wulung.
Cepat bagai kilat laki-laki bersenjata sabit ini mengibaskan tangan untuk menangkis.
Plak! Dan gadis itu menggunakan tenaga benturan untuk jungkir balik, begitu mendarat, dihantamnya dada Ki Wulung dengan tendangan keras yang tak mampu dielakkan.
Desss...! "Aaakh!"
Ki Wulung menjerit kesakitan. Tubuhnya terhuyung huyung ke belakang.
"Terimalah balasan dariku!" dengus Sidarta geram, seraya melepaskan salah satu ujung rantainya yang runcing bagai anak panah.
Wuk! "Hup!"
Sakaweni melenjit ke atas. Dan ketika ujung senjata laki-laki itu mengikuti, dia meluncur mendekati Sidarta.
"Yeaaat!"
"Heh"!"
Sidarta jadi gelagapan sendiri. Senjatanya yang panjang tak mampu menghalangi serangan gadis ini yang dilakukan dalam jarak dekat. Sehingga mau tidak mau terpaksa dia menjatuhkan diri, ketika gadis itu membabatkan pedang dengan bertubi-tubi.
Bet! Wut! "Uhh!"
Sambil menarik senjata rantainya, Sidarta berusaha mencelat ke belakang. Tapi sebelum hal itu dilakukannya Sakaweni telah melepas satu tendangan keras ke arah perut.
Duk! "Aaakh!"
Sidarta menjerit tertahan ketika tendangan gadis itu mendarat telak di perutnya. Tubuhnya kontan terhuyung-huyung ke belakang.
"Masih penasaran" Ayo, maju lagi!" bentak Sakaweni sambil berkacak pinggang.
"Kurang ajar! Kau kira bisa berbuat seenaknya terhadap kami"!" dengus Sidarta, geram.
"Buktinya memang begitu!"
"Keparat!"
Dengan satu bentakan keras, Sidarta kembali menyerang dengan gencar. Demikian pula Ki Wulung.
"Yeaaat!"
Bet! Bet! Serangan mereka kelihatan semakin gencar dan hebat saja. Dalam keadaan marah seperti se-karang karena dipecundangi, mereka tidak lagi mempedulikan kehadiran Pendekar Rajawali Sakti di tempat ini. Sehingga bisa dirasakan kedahsyatan serangan-serangan yang dilancarkan.
Sehenarnya kedua tokoh itu bukanlah orang sembarangan. Kepandaian mereka cukup hebat. Kalau tadi kena dipecundangi, itu karena masih merasa khawatir kalau Pendekar Rajawali Sakti akan turun tangan. Karena, bisa-bisa mereka akan dihajar babak belur. Dan itu hal yang amat memalukan.
"Hiyaaat...!"
? *** ? Sakaweni berusaha bertahan mati-matian de-ngan mengerahkan seluruh kemampuan. Untuk satu atau dua Jurus, mungkin dia bisa bertahan. tapi memasuki jurus keempat, kelihatan gadis ini mulai kawalahan menerima gempuran.
"Hiih!"
Ki Wulung mengirim tendangan kilat, tatkala gadis ini melompat ke belakang.
"Heaaat!"
Secepatnya Sakaweni mengibaskan pedang, sehingga Ki Wulung terpaksa menarik pulang ten-dangannya. Tapi, itu memberi peluang bagi Sidarta untuk melepaskan senjatanya.
Cring! "Hei"!"
Gadis itu terkejut setengah mati karena tiba-tiba saja senjata Sidarta telah bergerak cepat membelit pinggang. Sia-sia saja dia berusaha memapas rantai besi itu. Karena bukan saja senjata itu amat keras, tapi saat itu juga Sidarta tidak memberi kesempatan. Segera disentakkannya rantai besi itu kuat-kuat.
"Hiyaaa!"
"Hup!"
Tentu saja Sakaweni tidak mau mati konyol. Kalau berdiam diri saja, bukan tidak mungkin pinggangnya akan patah ditarik senjata itu. Maka dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya, dia ikut melompat mengikuti sentakan. Dan bersamaan dengan itu, dikirimkannya tendangan bertenaga dalam tinggi.
"Yeaaat!"
"Gadis liar! Lihat seranganku!" teriak Ki Wulung memberi peringatan sebelum bantu menye-rang dari samping.
"Hm, brengsek!" dengus gadis ini.
Mau tidak mau terpaksa Sakaweni menangkis serangan Ki Wulung dengan pedangnya kalau tak ingin tertebas senjata sabit. Dengan demikian dia melupakan serangannya pada Sidarta.
Trang! "Hiih!"
Kesempatan itu dipergunakan Sidarta untuk melakukan serangan mendadak. Segera dilepas-kannya satu tendangan menggeledek yang tak mungkin dapat dihindari.
Des! "Aaakh...!"
Satu tendangan telak menghantam perut Sakaweni. Gadis ini terjungkal ke belakang sambil mengeluh kesakitan. Dan bersamaan dengan itu, Sidarta tetap mengikutinya agar gadis itu tidak terlepas dalam cengkeraman senjatanya.
"Heaaa!"
Sidarta memutar senjatanya, berusaha melibat kedua tangan Sakaweni, Tapi gadis itu berusaha menghindar. Dan kalau bisa, melepaskan diri dari belenggu senjata Sidarta. Cepat tubuhnya bergulingan beberapa kali sambil mengibaskan pedang menghantam senjata rantai itu.
"Hup!"
Cring! Cring! Namun rantai itu tetap tidak putus oleh tebasan pedang Sakaweni. Dan dia pun tidak terbebas dari belenggu. Rantai besi itu seperti mengunci pinggangnya dengan ketat. Malah dalam satu kesempatan, sebelah kakinya berhasil dilibat rantai.
Mendadak saja, Sidarta mcnyentakkannya dengan keras hingga gadis itu terseret.
Sakaweni mengeluh kesakitan. Keadaannya betul-betul tidak berdaya. Terlebih setelah sabit di tangan Ki Wulung telah mengancam keselamatan lehernya.
"Kau telah membunuh salah seorang kawan kami. Dan untuk itu, kau patut mati!" dengus Ki Wulung geram.
"Tapi sebelum mati, katakan lebih dulu. Di mana benda pusaka itu kau sembunyikan"!" hardik Sidarta.
"Huh! Kalian bicara apa" Aku tidak tahu-menahu soal benda yang kalian inginkan! Kalau kawanmu mati, itu salahnya sendiri. Dia terlalu memaksakan kehendaknya padaku!" dengus Sakaweni, garang.
"Kurang ajar! Kau masih mau mengelak, heh"!" hardik Ki Wulung.
"Kenapa aku mesti takut"!" balas gadis itu dengan sikap tidak kalah garang.
"Bangsat! Kalau begitu, kau boleh mampus sekarang juga!"
Ki Wulung sudah siap akan menekan senjatanya. Namun mendadak Sidarta menahan dengan mencekal tangannya. Dia memberi isyarat kalau Pendekar Rajawali Sakti masih berada di situ.
"Pendekar Rajawali Sakti! Kau telah berjanji tidak akan mencampuri urusan kami, bukan"!" teriak Sidarta, untuk meyakinkan.
Pemuda itu yang sejak tadi masih tetap tenang-tenang saja di punggung kuda sambil tersenyum-senyum.
"Kenapa" Kalian kira aku akan menolongnya, sedangkan dia sendiri tidak butuh pertolonganku?" sahut Pendekar Rajawali Sakti, kalem.
Tapi sebelum Sidarta menjawab....
"Kalau dia tidak mau, maka sebaliknya aku mau menolong gadis itu!"
Tiba-tiba terdengar sebuah suara, yang mem-buat semua orang berpaling. Tampak seorang laki-laki tua melangkah tenang, menghampiri Sakaweni. Rambutnya yang panjang berwarna putih berkibaran ditiup angin pagi.
"Hm, ia lagi!" gumam Rangga ketika menge-nali laki-laki tua berambut panjang yang semuanya telah memutih itu.
? *** ? "Paman Wangsa Kelana!" seru Sakaweni, gi-rang.
Kelihatannya gadis ini kenal betul dengan orang tua aneh dan sedikit agak lucu yang memang Ki Wangsa Kelana.
"Syukurlah kau kutemui di sini, Weni! Apa yang kau lakukan sehingga kedua kecoa ini hendak membunuhmu?" tanya Ki Wangsa Kelana.
"Ceritanya panjang, Paman. Nanti aku cerita-kan padamu. Tapi..., sebaiknya mereka kau singkirkan dulu. Aku muak melihat tingkah mereka," sahut Sakaweni.
"He he he...! Itu urusan mudah."
"Orang tua! Kuharap jangan ikut campur dalam urusan ini! Atau, kau akan mendapat nasib yang sama dengan gadis ini!" hardik Ki Wulung garang.
"He he he...! Nasib seperti apa yang kau mak-sudkan?" tanya Ki Wangsa Kelana menganggap enteng ancaman barusan.
Kemudian secepat kilat laki-laki tua ini menjentikkan sebelah tangan. Seketika selarik angin kencang melesat menerpa Ki Wulung.
Pak! "Ahhh...!"
Saat itu juga, Ki Wulung merasa sebelah pipi-nya ditampar dengan keras. Dan belum lagi bersiaga, serangan Ki Wangsa Kelana telah berada dekat sekali dengannya. Dan Ki Wulung hanya mampu mengibaskan tangan kiri.
Plak! "Aaakh!"
Ki Wulung kontan menjerit kesakitan, ketikatangan kirinya terasa linu berbenturan dengan tangan Ki Wangsa Kelana. Dan pada saat yang hampir bersamaan, kaki kiri paman dari Sakaweni menghantam perutnya dengan telak.
Desss...! "Aaakh...!"
Tak ampun lagi, Ki Wulung langsung terjungkal ke belakang.
"Heh"!"
"Apa"! Kau ingin mendapat bagian yang sama dengan kawanmu itu"!" hardik Ki Wangsa Kelana ketika Sidarta terkejut melihat gerakan barusan.
"Kurang ajar!"
Sidarta menggeram marah. Dan kemarahannya segera dilampiaskannya dengan menyentakkan tubuh Sakaweni yang masih terbelenggu senjatanya.
"Hiiih!"
Namun Sidarta tidak menyadari kalau Ki Wangsa Kelana telah berada di dekatnya. Dan dengan tenang laki-laki tua itu menangkap rantai besi.
"Hup!"
Tap! Seketika Ki Wangsa Kelana menahan sentakan rantai.
"Uhhh!"
Sidarta berusaha membetotnya. Namun KiWangsa Kelana tetap tenang-tenang saja. Sedikitpun tidak beranjak dari tempatnya. Bahkan ketika Sidarta telah mengerahkan seluruh tenaga dalam yang dimiliki, tetap saja kedudukan Ki Wangsa Kelana tidak berubah.
"Ohhh!"
Sidarta terkejut sendiri. Rantai besinya mulai terasa panas dan mengepulkan asap.
"Heaaat!"
Sidarta membentak keras. Dia berharap tubuh Ki Wangsa Kelana itu kena dibetotnya. Tapi yang terjadi....
Cring! "Aaakh...!"
Justru rantai besi Sidarta yang putus. Dia sendiri terhuyung-huyung ke belakang.


Pendekar Rajawali Sakti 179 Patung Dewi Ratih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bangsat!"
Sidarta menggeram marah. Dengan membentak keras diserangnya Ki Wangsa Kelana seraya mengibaskan sisa rantai besi yang berada di tangan.
"Hih!"
Namun serangan itu dihadapi dengan tenang oleh Ki Wangsa Kelana. Bahkan laki-laki tua ini mengibaskan sisa rantai besi yang ada dalam genggamannya.
Cring! Kedua senjata itu tampak saling melibat. Lalu tiba-tiba Ki Wangsa Kelana menyentakkannya dengan keras.
"Ahhh...!"
Sidarta terkejut merasakan sentakan dahsyat. Kalau saja tidak melepaskan rantai besi itu, maka bukan tidak mungkin lengannya akan putus.
"Heaaa...!"
Ki Wangsa Kelana tidak berhenti sampai di situ. Tubuhnya terus mencelat menyerang lewat tendangan kilat.
"Hup!"
Dengan sebisanya Sidarta mengangkat tangan kirinya untuk menahan tendangan.
Plak! Dan belum sempat Sidarta berbuat apa-apa, mendadak rantai besi di tangan Ki Wangsa Kelana telah menggebuk perutnya.
Bret...! "Aaakh...!"
Sidarta menjerit kesakitan. Tubuhnya kontan terjungkal ke belakang, sejauh beberapa langkah.
"He he he...! Kalau masih penasaran, kau bo-leh maju dan bertarung lagi denganku!" kata Ki Wangsa Kelana.
Sidarta mendengus dingin. Dia tahu, kalau orang tua itu bukan tandingannya. Dan, bukan pula tandingan Ki Wulung. Sia-sia saja melawan, karena akan jatuh bangun dihajar paman dari Sakaweni ini. Maka dengan satu isyarat, diajaknya Ki Wulung untuk angkat kaki dari tempat itu.
"Orang tua! Persoalan ini belum selesai. Suatu saat, kau akan menerima pembalasan kami!" ancam Sidarta sebelum meninggalkan tempat ini.
"He he he...!"
Ki Wangsa Kelana hanya terkekeh mendengar ancaman.
"Paman! Kenapa kau biarkan saja mereka per-gi" Habisi saja sekalian!" tanya Sakaweni, tak puas.
? *** ? 8 ? "Kenapa terburu-buru" Mereka akan kembali sewaktu-waktu. Dan saat tanganku gatal, maka sudah tentu akan kuhabisi mereka," sahut Ki Wangsa Kelana, tenang.
"Iya kalau mereka bertemu denganmu. Bagaimana kalau mereka bertemu denganku"!" cibir Sakaweni.
"Untuk itu, kau mesti giat berlatih agar tidak dikalahkan mereka."
"Huh!"
Sakaweni hanya memberengut kesal, tidak bisa berbuat apa-apa selain memandangi kedua pecundang tadi yang semakin jauh saja. Tapi ketika pandangannya membentur Pendekar Rajawali Sakti yang masih berada di situ, maka keusilannya timbul lagi.
"Baiklah.... Kalau memang Paman enggan membunuh mereka, aku minta gantinya saja," cetus gadis itu.
"Apa maksudmu?" tanya Ki Wangsa Kelana.
"Pemuda itu pernah menangkap dan menotok-ku. Maka sebagai ganti mereka, aku ingin agar Paman menangkapnya untukku!" jelas Sakaweni sengit.
"Kau ingin agar aku menangkapnya untukmu" Padahal, itu persoalanmu. Kenapa tidak kau lakukan sendiri?" sahut Ki Wangsa Kelana sambil tersenyum-senyum.
"Huh, baik! Lihat saja. Akan kulakukan sendiri!" dengus Sakaweni kesal.
Maka secepat kilat gadis itu berbalik ke arah Pendekar Rajawali Sakti dengan kedua tangan terpentang lebar, siap melepaskan serangan.
"Nisanak! Kau terlalu menuruti hawa nafsumu saja, sehingga perbuatanmu menjadi aneh! Aku berbuat baik, kau salahkan. Dan kini, aku tidak ikut campur dalam urusanmu, juga hendak disalahkan," kata Pendekar Rajawali Sakti seraya melompat dari punggung kudanya.
"Tutup mulutmu! Aku telah berjanji untuk membunuhmu. Maka, hari ini akan kulakukan!" teriak Sakaweni.
"Hm.... Kau benar-benar liar!"
"Kurang ajar! Berani-beraninya kau berkata liar padaku! Kubunuh kau, Keparat! Kupenggal lehermu, Pemuda Lancang!" bentak gadis itu geram dengan amarah meluap.
Sring! Dalam keadaan begitu, Sakaweni tidak lagi memikirkan baik dan buruk tindakannya. Bahkan pedangnya cepat diloloskan dari warangkanya. Seketika digebrak Pendekar Rajawali Sakti lewat jurus-jurus ilmu pedang yang tampak dahsyat.
Dari gerakannya, jurus itu tampak berbahaya. Tidak heran kalau setiap serangannya berbau maut. Beberapa kali Rangga terpaksa mengeluh tertahan, ketika ujung pedang gadis itu nyaris memapas kulitnya. Namun sejauh ini, dengan menggunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib', Rangga masih mampu menghindari setiap serangan.
"Hm, hebat sekali! Kalau saja gerakan-gerakan gadis ini tidak kaku, mungkin sulit bagiku untuk mengimbanginya," puji Rangga, jujur.
"He he he...! Pertarungan ini tidak adil. Kau bersenjata, sedangkan dia tidak. Anak muda, gunakan ini!" teriak Ki Wangsa Kelana seraya melemparkan potongan rantai besi yang tadi tidak sempat dibawa Sidarta.
Tap! Rangga cepat menangkap sambil melompat indah. Dia melihat, hal itu sebagai penghormatan padanya. Kalau diam saja, bukan tidak mungkin kakek itu akan merasa terhina. Seketika langsung dipapakinya sabetan pedang Sakaweni yang telah datang menyerangnya.
Cring! "Hiih!"
Sakaweni mendengus kesal. Langsung sebelah kakinya dayunkan untuk menyodok perut Rangga. Namun pemuda ini sudah mengegoskan tubuh, sehingga tendangan Sakaweni mengenai tempat kosong. Lalu dengan ringan Pendekar Rajawati Sakti melompat ke belakang menjauhi.
"Kurang ajar! Kau kira bisa melecehkanku, he"!" dengus Sakaweni geram.
"Aku sama sekali tidak bermaksud begitu, Ni-sanak. Kaulah yang sebenarnya bermaksud melecehkanku," kilah Rangga.
"Huh!"
Sakaweni mendengus geram. Kepalanya lantas berpaling pada pamannya yang kelihatan tersenyum-senyum.
"Paman! Kenapa malah membantu dia"!" hardik Sakaweni garang.
"Kenapa kau malah marah-marah" Aku hanya ingin melihat keadilan. Kau bersenjata, sedangkan dia tidak. Oleh sebab itu, agar adil maka kuberi dia senjata," sahut Ki Wangsa Kelana enteng.
Sakaweni kembali mendengus geram. Dan kiini perhatiannya dipusatkan kembali pada Pendekar, Rajawali Sakti.
"Aku tidak akan melepaskanmu begitu saja! Kau akan mati di tanganku!" desis gadis itu.
"Nisanak, tingkahmu aneh. Aku merasa tidak berbuat salah. Dan kau malah menginginkan kematianku. Ini betul-betul pikiran orang kurang waras."
"Kurang ajar! Kau sebut aku kurang waras"! Keparat! Mampus kau!" maki gadis ini seraya mencelat mengejar sambil mengayunkan pedang.
Rangga pun tidak kalah sigap. Langsung di-sambutnya serangan dengan rantai besi di tangannya.
Cring! "Heaaa!"
? *** ? Pertarungan tidak dapat dielakkan lagi. Gadis itu telah semakin kalap. Dan serangannya pun terlihat makin ganas. Agaknya, dia ingin membuktikan kata-kata ancamannya tadi, dalam waktu singkat. Tapi hal itu tidak mudah. Sebab yang dihadapinya bukanlah tokoh kemarin sore. Beberapa kali serangannya dapat dipatahkan. Dan hal itu semakin membuatnya geram saja.
Tapi pertarungan mereka sedikit terusik, karena beberapa saat kemudian dari kejauhan beberapa orang muncul di berbagai arah. Kemudian muncul pula kawanan lain di belakang mereka. Akibatnya, saat ini tempat itu dikepung dari segala jurusan oleh orang-orang bersenjata lengkap.
"Sebaiknya kalian hentikan pertarungan. Kita kedatangan tamu tidak diundang!" seru Ki Wangsa Kelana.
"Hei"!"
"Hm!"
Pendekar Rajawali Sakti dan Sakaweni melompat mundur, mereka langsung melihat kawanan yang tengah mengepung berjumlah kurang lebih lima puluh orang.
"Aku kenal beberapa orang dari mereka yang menyerangku kemarin!" kata Sakaweni bernada geram.
"Bukan hanya itu. Coba perhatikan baik-baik! Agaknya, di antara mereka terdapat dua orang tadi yang hendak meringkusmu," ujar Ki Wangsa Kelana sambil tersenyum-senyum.
"Hm... Rupanya mereka masih penasaran. Cepat sekali membawa kawan-kawannya ke sini," gumam Rangga ketika melihat Sidarta dan Ki Wulung ada di antara orang-orang itu.
"Ada lagi yang menarik, Anak Muda. Mereka ternyata bukan sekadar kawanan keroco-keroco!" " cetus Ki Wangsa Kelana.
Rangga mengangguk. Apa yang dikatakan laki-laki tua ini benar. Orang-orang itu terdiri dari tokoh-tokoh persilatan yang cukup punya nama dalam dunia persilatan. Dan kepandaian mereka rata-rata cukup hebat.
"Kebetulan sekali!" dengus Sakaweni dengan wajah berseri girang.
"Jangan gegabah, Weni!" mereka bukan sem-barang orang. Entah apa yang mereka inginkan sebenarnya," ujar Ki Wangsa Kelana memperingatkan.
"Huh, persetan!"
"Hm.... Dasar anak muda," gumam Ki Wangsa Kelana seraya menggeleng lemah.
"Hei! Apa mau kalian semua"!" bentak gadis itu sambil berkacak pinggang.
"Gadis liar! Kebetulan sekali kau ada di sini. Serahkan benda pusaka itu pada kami!" bentak seorang perempuan tua yang tak lain Nini Pemah alias Ular Bambu Kuning.
"Benda pusaka apa yang kau maksudkan?" tanya Sakaweni.
"Huh! Pura-pura tidak tahu! Tentu saja Patung Dewi Ratih!"
"Kau salah alamat, Nenek Peot!"
"Kurang ajar! Berani betul kau menghinaku!" dengus Ular Bambu Kuning, geram.
Tanpa basa-basi lagi, nenek itu sudah langsung melompat menyerang Sakaweni.
"Yeaaat!"
Namun, gadis ini pun tidak kalah sigap. Lan?sung pedangnya disabetkan ke arah Ular Bambu Kuning.
Sring! Bet! Wut! "Hih!"
Nini Pemah meladeni dengan permainan bambu kuningnya yang bukan bambu sembarangan. Cepat dan tidak terduga gerakannya, membuat Sakaweni gelagapan. Dan juga agaknya betul-betul tidak mau memberi kesempatan sedikit pun bagi gadis itu untuk memperbaiki jurus-jurusnya.
Trak! "Uhhh...!"
Sakaweni mengeluh tertahan ketika harus me-? nangkis sambaran bambu kuning Nini Pemah yang berisi tenaga dalam tinggi untuk kesekian kalinya. Bersamaan dengan itu, kepalan kiri Ular Bambu Kuning menyodok ke dada.
Sesaat gadis itu tercekat, namun segera melompat ke belakang. Tapi sebelum itu dilakukan, sebelah kaki Nini Pemah telah bergerak lebih dulu ke perut.
Des! "Aaakh...!"
Sakaweni kontan menjerit kesakitan. Tubuhnya terjungkal ke belakang beberapa langkah. Sementera Ular Bambu Kuning tidak memberi kesempatan. Nenek itu sudah langsung menyerangnya kembali.
"Huh! Kalau kau tidak mau memberi benda pusaka itu, lebih baik mampus saja!" desis Ular Bambu Kuning.
"Hih...!"
Tapi sebelum bambu kuning itu menembus ke jantung Sakaweni, Ki Wangsa Kelana telah mengi-rimkan pukulan jarak jauh untuk menggagalkan niat Ular Bambu Kuning.
"Hup!"
Namun sebagai orang yang telah kenyang makan asam garam dunia persilatan, tentu saja Nini Pemah tidak semudah itu dikelabui. Tubuhnya mencelat ke samping, sambil memaki-maki tidak karuan,
"Keparat busuk! Kau hendak membokongku dari belakang, he"!"
"Bukan membokong, Nyi. Aku hanya memperingatkan kalau kau bukan tandingan gadis itu. Carilah lawan yang sepadan denganmu," kilah Ki Wangsa Kelana.
Kalau tidak ingat urusan semula, mau rasanya Nini Pemah menghajar kakek-kakek itu. Tapi, dia telah punya rencana lain. Maka kepalanya menoleh pada kawannya.
"Apalagi yang kalian tunggu"! Benda pusaka itu ada pada salah seorang di antara mereka. Tangkap dan ringkus mereka! Nanti kita periksa satu persatu!" teriak Ular Bambu Kuning, lantang.
"Ayo, seraaang...!"
"Serbuuu...!"
Dengan serta merta, orang-orang persilatan yang mengepung, bergerak bersamaan.
"Yeaaat!"
"Hiiih!"??????
Keadaan ini benar-benar membuat Rangga, Ki Wangsa Kelana, dan Sakaweni terjepit hebat. Masing-masing menghadapi kurang lebih lima belas orang lawan. Kalau saja yang dihadapi tokoh-tokoh biasa, mungkin sedikit lebih enak. Tapi orang-orang ini bukan tokoh sembarangan. sehingga meskipun memiliki ilmu tinggi, dalam waktu singkat mereka terdesak hebat.
"Kisanak! Selamatkanlah dirimu! Aku dan Sakaweni akan berusaha mencari jalan keluar!" bisik Ki Wangsa Kelana ketika berada dekat dengan Pendekar Rajawali Sakti.
"Terserahmu saja. Aku tidak punya urusan dengan mereka, juga kalian. Tapi aku telah menjadi korban."
"Maaf, aku sendiri tidak bermaksud melibatkanmu!" ucap Ki Wangsa Kelana seraya melompat, berusaha menghalau tokoh-tokoh yang tengah menghajar Sakaweni.
Keadaan gadis itu memang memprihatinkan. Beberapa kali tubuhnya terkena hajaran. Bahkan mulai dipenuhi luka-luka akibat senjata tajam. Meski begitu, dia berusaha terus melawan. Tapi, agaknya sia-sia saja. Satu lawan menangkis, maka lawan yang lain menghajar dari belakang atau samping kiri dan kanan.
*** ? Sementara itu Ki Wangsa Kelana pun agaknya tidak mudah untuk menyelamatkan Sakaweni. Setiap usaha yang dilakukannya selalu dihalang-halangi lawan-lawannya. Meski berhasil menghajar satu atau dua lawan, tapi yang lain telah menyerang dengan ganas. Sehingga, ruang geraknya betul-betul terjepit.
"Aji Bayu Bajra...! Heaaa...!"
Rangga mulai mengerahkan aji 'Bayu Bajra' ketika melihat Ki Wangsa Kelana mulai mengerahkan Ilmu saktinya. Kedua tangannya menghentak ke depan, Seketika bertiup angin kencang bagai topan, langsung membuat beberapa orang terpental.
Sementara pertempuran berjalan semakin ka-cau-balau saja. Rangga, Ki Wangsa Kelana, dan Sakaweni mulai mengeluarkan pukulan andalan. Namun para pengeroyok pun tidak man keting-galan. Tadi, mereka sekadar ingin meringkus hidup-hidup. Tapi ketika korban pihak mereka mulai berjatuhan, maka orang-orang persilatan itu tidak segan-segan lagi menghabisi ketiga lawannya.
"Yeaaa!"
Sesaat terdengar jeritan kesakitan. Pedang di tangan Sakaweni tampak terlepas dari genggaman. Dan satu pukulan keras menyodok ke perutnya.
Duk! "Aaakh...!"'?????
Kemudian pada saat yang hampir bersamaan, dua orang menyarangkan pukulan ke dada dan punggung Sakaweni.
Des! Duk! "Aaakh...!"
Kembali gadis itu terpekik, dan ambruk tak berdaya.?
"Weni...!" teriak Ki Wangsa Kelana mulai beringas melihat keadaan keponakannya.
"Jangan biarkan dia lolos! Bunuh orang tua ini!" teriak seseorang.
"Yeaaa...!"
Maka meski Ki Wangsa Kelana mengumbar se-gala kesaktiannya, tetap saja tidak mampu mendekati Sakaweni untuk menolongnya. Karena, orang-orang yang berada di sekelilingnya tidak memberi ruang gerak sedikit pun.
"Orang tua! Selamatkan dirimu. Biar gadis itu kuselamatkan!" teriak Rangga lantang.
Tanpa meminta persetujuan Ki Wangsa Kelana, Rangga segera mencabut pedangnya.
Sring! Seketika sinar biru berkilauan memancar dari mata Pedang Pusaka Rajawali Sakti.
"Hiyaaa...!"
Sambil membentak keras, Pendekar Rajawali Sakti melompat mendekati Sakaweni yang tengah tak berdaya. Beberapa orang berusaha menghalangi, tapi Rangga benar-benar tidak memberi ampun lagi. Pedangnya berkelebat menebas.
Bruesss! "Aaa...!"
Tiga orang langsung terjungkal roboh berman-dikan darah. Bukan saja senjata mereka yang putus, tapi nyawa pun ikut melayang tatkala ujung pedang Rangga memutuskan batang leher.
Cras! "Aaa...!"
Dua orang lagi terpekik, tatkala Pendekar Rajawali Sakti menerobos para penghadang untuk mengambil tubuh Sakaweni. Kemudian dengan sigap dibopongnya tubuh gadis yang penuh luka dan tak berdaya itu, sambil memutar-mutar pedang.
"Uhhh...!"
Beberapa orang yang mengetahui kedahsyatan pedang yang bersinar biru berkilauan itu, tidak berani sembarangan mendekat. Mereka hanya menyerang dengan pukulan jarak jauh.
"Hiaaat! Mampus kau...!"
"Uts!"
Rangga tidak meladeni mereka lagi. Begitu ada kesempatan untuk kabur, maka secepatnya dilakukan sambil menghindar dari pukulan-pukulan para pengeroyok.
"Kurang ajar! Jangan biarkan dia kabur!" teriak seseorang.
Para tokoh persilatan itu berusaha mengejar-nya. Namun Rangga yang memiliki ilmu meringankan tubuh sangat tinggi sudah cepat melesat bagai kilat ke arah kudanya. Dan dengan gerakan indah sekali, tubuhnya melompat ke atas kuda, dan langsung menggebahnya.
"Hieee...!"
Seketika Dewa Bayu melesat kencang meninggalkan para pengejarnya. Meski mereka terus me-ngejar sampai beberapa jauh, tapi sia-sia saja.
"Kurang ajar! Dia telah menghilang!" dengus salah seorang pengejar.
"Hm, Pendekar Rajawali Sakti! Dia tidak luput dari kejaran kita nantinya!" timpal yang lain.
"Biarkan saja dia kabur. Kita bantu yang lain untuk meringkus orang tua itu."
"Ayo, jangan lama-lama di sini!" ajak seseorang.
Maka dengan serta merta, mereka kembali ke tempat semula untuk membantu yang lain dalam meringkus Ki Wangsa Kelana.
? ? SELESAI ? ? Ikuti kelanjutan kisah ini dalam episode :
PENGKHIANATAN DI BUKIT KERA
? www.duniaabukeisel.blogspot.com
www.jagatsatria.com
Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 Buronan Dari Mataram 2 Raja Pedang Karya Kho Ping Hoo Pendekar Patung Emas 21

Cari Blog Ini