Ceritasilat Novel Online

Pedang Kilat Buana 2

Pendekar Rajawali Sakti 201 Pedang Kilat Buana Bagian 2


"Tanya saja pada yang bersangkutan!" ujar Raja Pencopet dengan suara mengejek sehingga semakin membuat kesal Ki Dombleh alias Dewa Pengemis.
Pendekar Rajawali Sakti segera maju ke depan. Dia menjura hormat pada Dewa Pengemis, walau sebenarnya muak melihat keangkuhan laki-laki tua itu.
"Maafkan atas peristiwa di Bukit Buana itu. Namaku Rangga," ucap Pendekar Rajawali Sakti.
Dewa Pengemis menatap Rangga dari ujung kaki hingga ujung rambut. Sejenak dia merasa kaget namun tidak ditampakkan pada air wajahnya.
"Hm.... Aku tahu. Kau pasti, ya! Pendekar Rajawali Sakti. Nama besarmu sering kudengar. Katanya kau penegak kebenaran dan keadilan. Tapi melihat tindakanmu di Bukit Buana, kurasa apa yang kudengar selama ini hanya bualan kosong saja!" tegas Dewa Pengemis mencemooh, setelah melihat dan yakin, dengan ciri-ciri Pendekar Rajawali Sakti. Terutama pada pedang bergagang kepala burung rajawali di punggungnya.
Sebaliknya Raja Pencopet kaget. Sungguh tidak disangka kalau pemuda memakai baju rompi putih yang telah menyelamatkan diri dari tiang gantungan tidak lain dari Pendekar Rajawali Sakti.
"Kau keterlaluan! Mengapa tidak mau berterus terang sejak kemarin?" rutuk Raja Pencopet.
"Sudahlah jangan persoalkan hal-hal kecil, Ki!
Dewa Pengemis tampaknya tidak mau terima atas tindakanku di Bukit Buana," sergah Rangga, pelan saja suaranya.
"Apakah kalian sedang membicarakan masalah penyerahan diri?" tanya Ki Dombleh, sudah tidak sabar lagi.
"Tidak. Kami malah sedang memikirkan, bagaimana caranya untuk menyelamatkan diri dari manusia sepertimu!" jawab Raja Pencopet, seenaknya.
Jawaban ini tentu di luar dugaan Dewa Pengemis. Dan hatinya menjadi semakin geram saja dibuatnya.
"Baiklah! Kalau kau tidak mau menyerah secara baik-baik, secara kekerasan aku sanggup! Hiyaaa...!"
Disertai teriakan keras Dewa Pengemis menerjang Raja Pencopet.
Melihat serangan datang sangat cepat, Rangga bermaksud menghadangnya. Namun, Raja Pencopet cepat memberi aba-aba untuk segera mundur.
"Biarkan aku yang maju dulu, Rangga. Orang jelek ini memang selalu banyak tingkah. Terlebih-lebih di depan orang banyak!" dengus Malim Seta.
Sementara itu Ki Dombleh tiba-tiba mengibaskan tangannya ke arah tenggorokan Malim Seta. Namun Raja Pencopet segera memapakinya dengan mempergunakan siku kiri.
Duk! "Huagkh...!"
Begitu terjadi benturan, kedua-duanya terdorong mundur beberapa langkah. Raja Pencopet merasakan tangannya panas bukan main. Sedangkan Dewa Pengemis hanya menyeringai saja.
Set! Set! Tiba-tiba Dewa Pengemis memutar tongkat hitam di tangannya. Segera dikerahkannya jurus-jurus tongkat yang hebat. Maka begitu tongkatnya berputar, dalam waktu sekejap saja tubuhnya telah tertutup cahaya hitam pekat.
"Ciaaat..!"
Disertai teriakan keras, Raja Pencopet meluruk menerjang pertahanan Dewa Pengemis.
Sring! Dalam keadaan mengambang di udara Malim Seta mengibaskan pedang pendeknya, sehingga seperti hendak merobek udara.
Melihat luncuran pedang lawan yang sangat cepat, Dewa Pengemis segera menggerakkan tongkatnya.
Trak! "Heh..."!"
Raja Pencopet terkejut bukan kepalang. Benturan keras tadi membuat api berpijar di udara. Bahkan tubuhnya terpental. Begitu mendarat dengan putaran tubuh, mulutnya meringis menahan sakit. Tangannya yang memegang pedang terasa panas seperti terbakar.
Dewa Pengemis yang sadar kalau tenaga dalamnya lebih tinggi dibanding Raja Pencopet segera melakukan serangan balasan. Namun tiba-tiba....
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba Raja Pencopet mengibaskan tangannya dengan pukulan "Maut Bermata Satu" ke arah Dewa Pengemis. Dadanya kontan terasa seperti dihimpit balok-balok es. Ketika bangkit berdiri, ada darah segar menetes di sudut-sudut bibirnya. Tapi tampaknya semua itu tidak berpengaruh pada dirinya.
Zeb! Zeb! "Hiyaaa...!"
Ki Dombleh kali ini yang meluruk, membuka serangan tongkat di tangannya bergerak ke depan, mengancam bagian-bagian yang mematikan di tubuh Raja Pencopet. Serangan ini benar-benar telah sampai pada tingkat yang paling berbahaya. Karena Dewa Pengemis telah mempergunakan jurus "Sepuluh Cakar Memukul Harimau".
Raja Pencopet tidak tinggal diam. Segera dikerahkannya segenap kemampuannya untuk mengatasi serangan lawan.
*** Kali ini tampak jelas kalau perlawanan Raja Pencopet selalu kandas di ujung tongkat Dewa Pengemis. Sampai akhirnya sebuah babatan menyilang telak menghantam punggungnya.
Buk! "Wuaagkh...!"
Hantaman yang cukup keras membuat Raja Pencopet terjengkang. Darah menyembur dari hidung dan mulutnya. Malim Seta berusaha berdiri, namun pandangan matanya nanar. Tanah yang dipijaknya seperti bergerak cepat. Melihat lawannya sudah dalam keadaan tidak berdaya, Dewa Pengemis bermaksud membunuhnya sekaligus. Namun....
"Heaaa...!" teriak Rangga seraya mengerahkan aji "Bayu Bajra".
Rangga yang sudah melihat kehebatan Dewa Pengemis ini langsung mendorong kedua tangannya disertai teriakan keras menggelegar.
Wusss...! Saat itu juga meluncur topan dahsyat disertai suara menderu-deru yang begitu mengiriskan. Sekejap kemudian, gelombang angin topan itu menghantam Dewa Pengemis tanpa ampun.
"Wuaaagkh...!"
Brak! Tidak tanggung-tanggung Ki Dombleh terpental sejauh dua batang tombak, lalu menabrak sebuah pohon hingga tumbang. Mulutnya mengucurkan darah. Tongkat di tangannya tercampak tidak jauh darinya. Dia mencoba bangkit berdiri. Namun....
"Hoegkh...!"
Darah kembali mengucur dari mulutnya. Sadarlah Dewa Pengemis ini kalau dirinya mengalami luka dalam yang parah. Dan lebih disadari lagi, kalau pemuda berbaju rompi putih itu mau, tentu dia sudah tewas sejak tadi.
Pendekar Rajawali Sakti segera mengobati luka-luka yang diderita Raja Pencopet. Sedangkan Ki Dombleh langsung bersila dan pejamkan mata. Perlahan hawa murninya dikerahkan untuk mengobati luka dalam yang diderita. Sampai akhirnya peredaran darahnya kembali berjalan seperti biasa dan nafasnya dapat teratur kembali.
Ki Dombleh bangkit berdiri setelah memungut tongkatnya. Sementara Rangga telah berdiri pula untuk menjaga segala kemungkinan yang tidak diingini.
"Kesalahanmu semakin bertumpuk setelah kau halangi keinginanku untuk membunuh Raja Pencopet, Pendekar Rajawali Sakti! Seluruh orang-orang persilatan pasti memusuhimu karena persoalan ini!" desis Ki Dombleh dingin.
"Kau tidak bisa membuktikan kesalahan Raja Pencopet. Aku tidak bisa menyalahkan seseorang begitu saja, selama bukti-bukti yang kubutuhkan belum begitu jelas!" sergah Rangga.
"Kuakui kehebatanmu. Sayangnya, kau tidak cukup bijak untuk menentukan sikap!" cibir Dewa Pengemis.
"Pergilah, Dewa Pengemis! Selama kau tidak bisa menghadirkan saudara dari Pendekar Belalang di hadapanku, maka selama itu pula tidak seorang pun yang kubiarkan mengusik Raja Pencopet!" tegas Rangga.
"Kau akan menyesal nanti!" desis Ki Dombleh.
Kemudian tanpa menoleh-noleh lagi, Dewa Pengemis segera berkelebat meninggalkan Pendekar Rajawali Sakti dan Raja Pencopet.
Sesaat setelah Dewa Pengemis tak terlihat lagi, Rangga segera berpaling pada Malim Seta.
"Bagaimana lukamu, Ki!" tanya Rangga.
"Eeh! Kurasa agak baikan sedikit. Tapi kupikir, aku tidak bisa melakukan perjalanan jauh!" jawab Malim Seta, jujur.
"Kalau begitu kita harus menunggu waktu yang tepat, sampai luka-lukamu baik kembali," usul pemuda berbaju rompi putih ini memutuskan.
"Ya, sebaliknya begitu. Kalau perlu, Raja Pencopet disembunyikan saja di sebuah tempat yang aman. Kulihat, ada mayat di mana-mana. Aku semakin gelisah kalau-kalau mayat itu adalah kawan ku! Hi hi hi...!"
Mendadak terdengar sebuah suara disertai tawa, Rangga agak terkejut juga. Karena apa yang didengarnya di ucapkan dari jarak yang cukup jauh. Jelas, orang itu mempunyai ilmu mengirimkan suara jarak jauh yang cukup bagus.
Sebaliknya Raja Pencopet segera mengenali kalau pemilik suara itu tidak lain dari Dewi Pemabuk.
Sebuah bayangan serba merah berkelebat, dan tahu-tahu telah berdiri tidak jauh di hadapan Rangga dan Raja Pencopet. Gerakannya cukup ringan, tanpa menimbulkan suara sedikit pun.
Pendekar Rajawali Sakti hanya dapat memuji dalam hati. Ternyata wanita yang bicara melalui ilmu mengirimkan suara tadi, masih begini muda. Wajahnya pun sangat cantik. Hanya tingkahnya agak ugal-ugalan.
Gluk! Gluk! Gluk!
Dewi Pemabuk segera meneguk tuak keras di bumbungnya.
"Apakah kau mau minum, sahabatku tukang copet?" tanya Dewi Pemabuk. Sementara sudut matanya sempat melirik ke arah Rangga.
Gadis ini menjadi agak gugup, karena ternyata pemuda yang telah menolong Raja Pencopet adalah seorang pemuda berwajah tampan!
?"Aku tidak butuh minum. Kepalaku pusing. Dan aku juga menderita luka dalam. Oh ya... Perkenalkan, kawanku itu. Namanya Rangga. Dialah yang telah menyelamatkan aku!"
Dewi Pemabuk jadi salah tingkah. Dan ini terjadi untuk pertama kalinya. Karena pada waktu-waktu sebelumnya, dia tidak pernah peduli terhadap pemuda mana pun.
Dewi Pemabuk kemudian menjura hormat.
"Aku Ararini. Maafkan segala tingkah laku ku yang kurang pada tempatnya. Oh ya.... Apakah kau yang telah membawa lari Raja Pencopet dari tiang gantungan?" ucap Ararini.
"Benar!" sahut Rangga singkat.
"Wah, aku merasa bersyukur sekali. Kalau tidak kau tolong, tentu Raja Pencopet sudah almarhum," kata Dewi Pemabuk seadanya.
"Dengan begitu, bukan berarti bahaya sudah berlalu. Baru saja Dewa Pengemis datang kemari," ingat Rangga.
"Mengapa tidak dibunuh sekalian manusia sialan itu" Aku muak melihat tingkahnya yang konyol!" dengus Ararini.
"Persoalannya bukan hanya menyangkut Dewa Pengemis saja. Kita harus mencari pembunuh Empu Wasila yang sebenarnya. Selain itu, kita juga harus menemukan Pedang Kilat Buana," sergah Rangga.
"Aku tahu. Tapi entah mengapa, aku malah curiga pada Pendekar Belalang. Dia pasti mengetahui sesuatu!" desis Ararini.
"Mengapa kau bisa berkata begitu?" tanya Raja Pencopet.
"Ingat tidak, waktu pertemuan kita di kota Kawunganten?"
"Tentu saja ingat."
"Sebelum aku sampai ke kedai itu, aku melihat Pendekar Belalang bertarung melawan murid-murid Umbul Perkasa. Mereka dibunuh semuanya. Ini tentu aneh, mengingat antara Pendekar Belalang dan Umbul Perkasa masih terjalin hubungan yang sangat baik. Kurasa ada sesuatu di balik semua itu," papar Ararini.
"Kalau begitu kita harus kembali ke Bukit Buana!" terabas Raja Pencopet.
"Tidak! Kita masih punya pilihan lain. Kita cari dulu orang yang telah membunuh Empu Wasila. Kalau usaha ini tidak membawa hasil, pilihan terakhir ada pada Pendekar Belalang!" tegas Rangga.
Dewi Pemabuk dan Malim Seta setuju. Mereka segera melanjutkan perjalanan kembali. Sementara, hari sudah mulai gelap.
*** Satu sosok tubuh dengan kepala memakai caping berkelebat dan menyelinap ke belakang sebuah rumah, di pinggiran kota Kawunganten. Dia mengendap-endap, menuju pintu rumah yang tak begitu besar.
"Hm.... Ini pasti rumah Dewa Pengemis! Kebetulan, tadi kulihat dia masuk ke dalam kedai.... Kalau tak salah, anak tunggalnya adalah seorang gadis bernama Ratih. Hm.... Gadis itu bisa dijadikan umpan untuk memancing kemunculan Dewa Pengemis...," desah sosok bercaping itu pelan sekali, seraya membuka pintu dengan kekuatan tenaga dalamnya.
"Ayah..." Ayahkah yang datang...?"
Terdengar suara dari dalam rumah Dewa Pengemis. Suara seorang gadis.
Tidak terdengar jawaban apa-apa. Suasana tetap sepi mencekam. Ratih jelas menjadi penasaran. Segera diambilnya sebatang tombak yang selalu terpajang di dinding. Sambil menggenggam tombak pendek dia menyelinap keluar.
Namun baru saja sampai di depan pintu, tiba-tiba sebuah tangan bergerak cepat ke arah gadis ini.
Tuk! Tuk! "Aaakh...!"
Ratih mengeluh tertahan. Tiba-tiba sekujur tubuhnya terasa sulit digerakkan. Sementara, di depannya kini telah berdiri seorang laki-laki bercaping dan berbaju putih. Sedangkan wajahnya tertutup kain warna hitam.
"Siapa kau?" tanya Ratih. Suaranya bergetar pertanda dalam keadaan ketakutan.
"Aku adalah orang yang menuntut balas atas kematian orangtua ku. Karena kau adalah anak musuh orangtua ku, maka sudah sepantasnya ikut menanggung dosa-dosa ayahmu!" desis laki-laki itu.
"Aku tidak tahu menahu persoalan ayahku. Bebaskanlah aku!" pinta Ratih.
"Tidak bisa!" tegas laki-laki bercaping. "Kau harus ikut aku!"
"Auh..., lepaskan...!" teriak Ratih.
Dan suara gadis ini tiba-tiba saja lenyap, ketika laki-laki berbaju putih ini menotok urat suaranya. Tanpa bicara apa-apa lagi, segera dipanggulnya tubuh Ratih.
*** "Ada apa kau kemari"! Aku tidak memanggilmu, Tolol!"
Dewa Pengemis melotot garang pada seorang pelayan laki-laki yang mendatangi. Hatinya saat ini memang sedang kesal. Tadi setelah gagal membunuh Raja Pencopet, dia langsung menuju kedai untuk mengubur amarahnya pada Pendekar Rajawali Sakti yang menggagalkan niatnya.
"Ta..., tapi, Tuan.... Ada pesan dari seseorang...!" jawab pelayan ini gugup.
"Pesan apa?" tanya Dewa Pengemis sambil memandanginya dengan mata yang telah berubah merah.
Pelayan ini tanpa mau berkata lagi segera menyerahkan daun lontar yang tampaknya ditulis sangat tergesa-gesa. Merasa penasaran Ki Dombleh segera membacanya.
? Dewa Pengemis....
? Kuharap kau tidak terkejut. Karena, aku meminjam anakmu untuk menemaniku malam ini. Semuanya menyangkut hutang lama. Kalau kau ingin anakmu selamat, sebaiknya cepat susul ke Hutan Gondopuro. Terlambat sedikit, putri tunggalmu keburu mampus!
? Pesan di atas daun lontar itu sama sekali tidak diketahui, siapa pengirimnya. Yang jelas, Dewa Pengemis merasa Ratih pasti dalam keadaan terancam. Untuk itu, tanpa membuang waktu lagi segera tubuhnya berkelebat pergi menuju hutan yang dimaksudkan penculik anaknya.
? *** 6 ? Jauh di tengah Hutan Gondopuro, tepatnya di pinggir sungai, seorang laki-laki berbaju putih tengah menurunkan satu sosok tubuh ramping dari bahunya. Kemudian dibaringkannya tubuh yang ternyata gadis bernama Ratih.
"Sebentar lagi kita akan bersenang-senang. Tetapi sebelumnya, aku harus mandi dulu. Ha ha ha...!" kata laki-laki berbaju putih dan bercaping bambu disertai tawa panjang.
Setelah itu, laki-laki ini tanpa malu-malu lagi segera menanggalkan pakaiannya. Sekejap saja dia sudah menceburkan diri ke dalam air sungai yang sangat dingin.
Ratih semakin sadar kalau kehormatannya dalam keadaan terancam. Sekarang dia punya waktu untuk menyelamatkan diri dari tangan laki-laki biadab yang menculiknya. Namun usahanya sia-sia saja. Ternyata, totokan yang dilakukan oleh laki-laki berkedok kain hitam sulit dimusnahkan. Padahal tenaga dalamnya telah dikerahkan. Dapat dibayangkan betapa takutnya gadis ini bila mengingat apa yang menimpa dirinya. Rasanya, lebih baik dibunuh seratus kali daripada harus menerima aib memalukan!
Tidak sampai sepemakan sirih, laki-laki yang menculiknya telah kembali ke daratan. Langsung dihampirinya Ratih yang tergeletak di atas semak-semak, dan berjongkok di sampingnya.
"Lihatlah, Sayang! Betapa malam ini sangat indah!" kata laki-laki itu, tanpa sempat mengenakan pakaiannya kembali.
Laki-laki bercaping ini mengurut totokan pada bagian pangkal leher Ratih. Sehingga, gadis itu mampu bicara kembali.
"Ciih...! Manusia iblis! Bebaskan aku! Kita bertarung sampai mati!" teriak Ratih begitu terbebas dari totokan.
"Ha ha ha...! Seluruh dunia melihat kekejaman ayahmu dan kawan-kawannya. Kini, aku telah mendapatkan anaknya. Aku tidak akan memaksamu. Semuanya akan terjadi secara wajar dan berlangsung suka sama suka. Dan pengalaman yang memabukkan ini, pasti tidak terlupakan olehmu!" oceh laki-laki itu, enteng.
Sebelum Ratih sempat berkata apa-apa, laki-laki itu telah mengusap bagian ketiaknya. Sehingga, tubuh gadis itu menggelinjang dengan mulut ternganga.
Kesempatan itu tidak disia-siakan laki-laki berkedok kain hitam. Segera dimasukkannya benda bulat sebesar ibu jari ke dalam mulut Ratih yang terbuka. Putri tunggal Dewa Pengemis ini sudah tidak sempat memuntahkannya karena laki-laki itu telah membekap mulutnya, seraya menyentil lehernya. Akibatnya benda bulat itu langsung tertelan di perut Ratih. Dan tak lama kemudian....
"Panas! Oh..., panas sekali...!" desis gadis ini sambil berusaha meronta-ronta.
Laki-laki itu tampaknya memang mengerti, apa yang sedang terjadi. Segera dilepaskannya totokan pada tubuh Ratih, sehingga dapat bergerak lebih leluasa.
Tanpa malu-malu laki-laki ini melepaskan pakaian Ratih satu demi satu. Dan seluruh tubuh gadis ini ternyata telah dibasahi keringat. Tubuhnya terus menggeliat seperti seekor ular sekarat. Mulutnya mendesis-desis dan setengah terbuka.
Kiranya laki-laki berkedok kain hitam ini tadi memasukkan sejenis obat pembangkit gairah, sehingga membuat gadis itu tak menyadari apa yang dilakukannya.
"Oh..., panas..., akh...!" keluh Ratih lagi-lagi.
Pada saat itu, Ratih benar-benar dalam keadaan polos. Lekuk-lekuk tubuhnya terlihat jelas. Kedua bukit kembarnya ikut bergoyang saat tubuhnya menggelinjang. Semuanya serba menantang.
"Kita akan bersenang-senang malam ini, Sayang!" desis laki-laki itu menatap nyalang.
Tanpa banyak kata lagi, laki-laki ini memeluk gadis di depannya. Anehnya, Ratih membalas pelukan itu. Bahkan menekankan dadanya ke wajah laki-laki itu.
Bulan di angkasa sana tertutup awan. Sehingga, suasana di sekeliling Hutan Gondopuro menjadi gelap gulita. Dalam kegelapan di pinggir sungai, hanya suara rintihan-rintihan yang terdengar. Alam sekitarnya menjadi saksi bisu, apa yang tengah dilakukan manusia berlainan jenis itu.
*** "Ohh...!"
Sinar matahari yang menerabas celah-celah pepohonan, membuat Ratih tersadar. Dan mulutnya kontan meringis, pangkal pahanya sakit bukan main. Lebih terkejut lagi setelah melihat dirinya dalam keadaan tak tertutup benang sehelai pun.
Gadis ini segera menyambar pakaiannya yang berserakan di atas tanah. Setelah memakai pakaian kembali, barulah dia menatap tajam pada seorang laki-laki berbaju putih yang berdiri tegak tidak jauh di depannya. Wajahnya yang terlihat hanya bagian matanya saja, karena tertutup kain berwarna hitam.
"Bagaimana" Bukankah semuanya terasa menyenangkan" Kulihat kau pun begitu menikmatinya! Ha ha ha...!"
Ratih segera sadar apa yang telah terjadi pada dirinya.
"Keparat! Kau telah hancurkan hidupku!" teriak Ratih dengan dada tampak turun naik. Tubuhnya terguncang keras.
Sementara laki-laki itu hanya tertawa saja.
"Hiaaat...!"
Disertai amarah meledak-ledak, Ratih segera menyerang laki-laki yang telah merampas mahkotanya. Walaupun gadis ini memiliki ilmu olah kanuragan juga, namun lawan yang dihadapinya bukanlah tandingannya. Tak heran setelah melakukan gebrakan beberapa kali, dia mulai mendapat tekanan berat.
Sret! Bet! Bet! Laki-laki berbaju putih itu tiba-tiba saja mencabut pedangnya. Begitu tangannya dikibaskan, seleret cahaya putih langsung meluncur ke delapan penjuru arah. Salah satu di antaranya mengancam dada Ratih.
Gadis berkulit kuning langsat ini segera memiringkan tubuhnya ke samping kanan. Namun, gerakannya kalah cepat. Maka tanpa ampun lagi....
Cras! ?"Aaa...!"
Pedang laki-laki bercaping ini menebas tepat di sasaran. Ratih menjerit keras lalu ambruk ke tanah. Pinggangnya nyaris putus menjadi dua. Darah bercampur isi perutnya berhamburan keluar. Tubuh gadis malang itu kemudian diam tidak bergerak-gerak lagi.
Trek! Laki-laki bercaping memasukkan senjata ke tempatnya semula. Secara kejam digantungnya mayat Ratih di atas pohon. Setelah itu, dia bersembunyi pula di suatu tempat yang tidak terlihat orang lain.
*** Di pinggir sungai yang tak jauh dari tempat Ratih diperkosa dan dibunuh. Seorang laki-laki tua menghentikan langkahnya ketika melihat ceceran darah.
"Kau mencari anakmu, Dewa Pengemis" Sayang, kedatanganmu tertambat Terpaksa, pedangku sudah tidak sabar menunggu!"
Terdengar suara, membuat laki-laki tua yang tak lain Dewa Pengemis tersentak kaget dan berdebar dadanya. Betapa tidak" Kata-kata itu sama artinya bahwa Ratih anaknya telah binasa!
Dewa Pengemis segera mengedarkan pandangannya ke segenap arah. Sampai akhirnya matanya melihat sebuah pemandangan yang sungguh mengenaskan. Tidak jauh di samping kirinya, tampak sesosok tubuh yang hampir putus tergantung dengan kaki dan tangan terikat pada batang sebuah pohon.
Laki-laki tua berbaju hitam penuh tambal-tambalan dan bersenjata tongkat hitam ini langsung menjerit keras, berusaha menurunkan putri tunggalnya yang telah menjadi mayat! Namun....
Zing...! Pada saat itu terdengar suara mendesing di belakang. Terpaksa Dewa Pengemis mengurungkan niatnya. Tubuhnya langsung berguling-gulingan untuk menyelamatkan diri.
"Pembunuh keji keparat! Aku tak terima anakku diperlakukan demikian! Aku benar-benar tidak dapat mengampuni dosamu!" dengus Ki Dombleh berang bukan main, begitu bangkit berdiri.
"Aku tidak akan minta ampun pada siapa pun. Kau adalah salah seorang pembunuh orangtua ku. Sekarang, sudah saatnya bagimu menerima karma dari hasil perbuatanmu!" sahut orang yang bersembunyi di balik semak-semak belukar.
Sekejap kemudian tampak sebuah bayangan putih berkelebat. Dan tahu-tahu di depan Dewa Pengemis telah berdiri tegak seorang laki-laki berpakaian putih memakai caping.
"Siapa orang yang kau maksudkan tadi?" tanya Ki Dombleh tegas.
Laki-laki memakai bercaping bambu itu tidak langsung menjawab. Terus dipandanginya laki-laki tua itu dengan sorot mata penuh dendam dan kebencian.
"Ingatkah kau pada Sepasang Manjangan Merah"!"
"Manjangan Merah?"
Tentu saja Dewa Pengemis ingat pada Sepasang Manjangan Merah, tokoh suami istri dari golongan sesat yang dulu pernah menghancurkan kota Kawunganten dan membantai seluruh penduduknya yang tidak berdosa. Sepuluh tahun yang lalu bersama Empu Wasila, Umbul Perkasa, dan juga Raja Pencopet, Dewa Pengemis menumpas mereka di Bukit Tusina. Sepasang Manjangan Merah mempunyai anak kembar tiga. Anak yang paling tua, terbunuh oleh Dewa Pengemis sendiri. Sedangkan yang kedua dilarikan seseorang yang tidak dikenal. Dan yang ketiga, adalah Tri Gata Bayu. Yang ketiga ini dibesarkan dan dididik oleh Empu Wasila.
Setelah Sepasang Manjangan Merah tewas di tangan mereka, keadaan berubah aman. Sebenarnya, walaupun dikeroyok, mereka hampir tidak terkalahkan. Hanya berkat Pedang Kilat Buana, Sepasang Manjangan Merah berhasil dibunuh. Siapa sangka jika hari ini Dewa Pengemis sendiri harus berhadapan dengan putra dari Sepasang Manjangan Merah" Sungguhpun begitu, dia masih merasa kurang yakin.
"Siapa kau sebenarnya?" tanya Dewa Pengemis.
"Ha ha ha...! Rupanya kau tuli, Dewa Pengemis. Sekarang dengarlah! Karena, aku tidak akan pernah mengulang ucapanku lagi," tegas laki-laki berbaju putih itu. "Aku adalah Dwi Gata Bayu. Guruku si Mata Iblis telah memberi tahu di kota Kawunganten inilah para pembunuh orangtua ku bersembunyi...."
"Jadi, kaulah yang telah membunuh Empu Wasila" Tidak kusangka, kau bekerja sama dengan Pendekar Belalang!" sentak Dewa Pengemis, kaget.
"Memang aku yang telah membunuh Empu keparat itu. Dan walaupun Tri Gata Bayu adalah saudara kandungku, namun dia tidak mau kuajak bekerja sama. Rupanya, dia lebih sayang pada pembunuh orangtuanya. Sayang, aku tidak tega membunuhnya sekalian!" geram laki-laki bercaping yang ternyata bernama Dwi Gata Bayu.
"Dan kau yang mencuri Pedang Kilat Buana?" tebak Dewa Pengemis.
"Aku mencuri pedang ini duluan. Baru kemudian, dengan pedang miliknya sendiri Empu Wasila kubunuh!" jelas kakak kembar Pendekar Belalang ini tanpa penjelasan sedikit pun.
"Hm.... Aku hampir kesalahan tangan dengan menuduh orang lain. Satu hal yang sangat kusesalkan, dulu Empu Wasila melarangku untuk membunuh seluruh keturunan Sepasang Manjangan Merah! Dan sekarang mereka benar-benar menjadi penyakit!" keluh Ki Dombleh, seakan menyesali.
"Percuma kau menyesali diri. Di saat kematianmu perlu kusampaikan bahwa ternyata anakmu benar-benar masih perawan! Huh! Betapa hebat dia...!" Dwi Gata Bayu tersenyum mengejek.
Tanpa ada yang meminta, tiba-tiba saja Dwi Gata Bayu membuka kedoknya. Kini wajah Dwi Gata Bayu terlihat jelas. Dewa Pengemis terbelalak melihat kesamaan wajah antara Tri Gata Bayu dengan Dwi Gata Bayu. Mereka benar-benar kembaran yang sangat sempurna, bagaikan pinang dibelah dua.
"Kau tentu sudah puas melihat wajahku, bukan?" kata Dwi Gata Bayu.
"Hutang nyawa memang harus dibayar nyawa. Namun, aku tidak bisa menerima perbuatanmu atas diri putriku. Untuk itu, aku juga harus memenggal kepalamu. Hiyaaa...!" Dewa Pengemis berteriak keras. Tubuhnya tiba-tiba saja menerjang. Sedangkan tongkat di tangan meluncur menuju ke sepuluh kelemahan lawannya.
Dwi Gata Bayu langsung melompat mundur ke belakang. Caping bambu di kepalanya dikibaskan, untuk menghalau serangan tongkat Dewa Pengemis.
Trak! "Heh..."!"
Terjadi benturan sangat keras.
Dewa Pengemis terdorong mundur. Sedangkan caping bambu membalik, dan berhasil ditangkap pemiliknya. Namun, Dwi Gata Raya tidak urung sempat terhuyung-huyung juga.
*** Sekarang, sadarlah Ki Dombleh kalau tenaga dalam lawannya hampir seimbang dengan tenaga dalam yang dimilikinya. Melihat senjata Dwi Gata Bayu ternyata lebih berbahaya, maka diam-diam tenaga saktinya disalurkan ke bagian telapak tangan. Kemudian....
"Hiyaaa...!"
Disertai teriakan keras, Dewa Pengemis mengerahkan aji "Langlang Buana" kedua tangannya didorong ke depan. Saat itu juga, seleret sinar merah menebar hawa panas seperti api menerjang ke arah laki-laki bercaping.
Dwi Gata Bayu segera menggerakkan caping di tangannya. Akibatnya telak sekali pukulan Dewa Pengemis menghantam sasarannya.
Glarrr! "Wuaaagkh...!"
Kedua orang itu sama-sama terbanting ke tanah. Sebagian caping Dwi Gata Bayu hancur. Sedangkan Ki Dombleh sendiri sempat muntahkan darah segar. Ternyata, laki-laki tua berambut putih ini memang menderita luka dalam yang cukup parah.
"Ternyata kau mempunyai kehebatan juga, Pengemis Hina! Namun jangan berbangga dulu. Karena Pedang Kilat Buana segera mengirimmu ke neraka!" desis Dwi Gata Bayu.
Setelah itu, putra dari Sepasang Manjangan Merah segera mengerahkan jurus-jurus yang dipelajarinya di Bukit Setan. Dengan jurus warisan Mata Iblis ini, dia mulai mencecar Dewa Pengemis.
Tentu saja serangan-serangan yang dilakukan laki-laki bercaping menjadi hebat dan sangat berbahaya. Dan ini membuat Dewa Pengemis menjadi terdesak dan keteter.
"Hiyaaa...!"
Ki Dombleh tiba-tiba melenting ke udara. Tongkat hitam di tangannya dikibaskan ke kepala. Saat yang sama Dwi Gata Bayu segera melepaskan caping di tangannya.
Trak! Begitu terjadi benturan, Dewa Pengemis berguling-gulingan. Tetapi, dia sudah bangkit lagi walaupun nafasnya sudah tidak beraturan.
Selanjutnya Ki Dombleh melancarkan serangan lebih hebat lagi. Memang, agaknya Dewa Pengemis sudah tidak menghiraukan keselamatannya lagi. Terbukti segenap kemampuannya telah terkuras.
"Hup...!"
Dwi Gata Bayu tiba-tiba saja melompat ke belakang, membuat jarak. Segera dicabutnya Pedang Kilat Buana. Senjata ini langsung memancarkan cahaya putih, seperti salju ketika Dwi Gata Bayu mengerahkan tenaga dalamnya ke bagian hulu pedang yang berbentuk kepala ular sendok.
Bet! Bet! Bet! "Ciaaat...!"
Dwi Gata Bayu segera menerjang ke depan. Pedang di tangannya yang memancarkan cahaya berkilauan meluncur deras, mencari sasaran.
Sepuluh tahun yang lalu, Dewa Pengemis pernah melihat kedahsyatan senjata milik almarhum Empu Wasila itu. Sehingga, dia tidak berani bentrok secara langsung dengan senjata itu.
Tetapi apa yang terjadi sekarang hanya membuat Dewa Pengemis cepat terdesak. Ketika pedang di tangan orang bercaping menyodok ke bagian ulu hati, maka tidak ada pilihan lain bagi Ki Dombleh terkecuali menangkis dengan tongkatnya.
Trak! "Heh..."!"
Benturan yang sangat keras tidak dapat dihindari lagi.
Dan Dewa Pengemis jelas terkesiap melihat tongkat hitamnya terputus menjadi dua. Segera dia melompat mundur, dan berjumpalitan menghindar.
Tetapi pada kesempatan yang sama, Dwi Gata Bayu telah melesat ke udara dengan pedang terhunus. Pedang Kilat Buana kemudian mengibas ke punggung Dewa Pengemis. Demikian cepat gerakannya, sehingga Dewa Pengemis tidak sempat lagi menyelamatkan diri. Dan....
Cras! "Aaa...!"
Begitu pedang menebas punggung, Dewa Pengemis menjerit kesakitan. Tubuhnya terbabat putus menjadi dua bagian, dan tampak begitu mengerikan.
Trek! Cepat sekali Dwi Gata Bayu memasukkan pedang ke dalam warangkanya. Dia lalu tertawa-tawa seperti orang kesurupan. Dan mendadak tawanya terhenti, kepalanya lantas menengadah.
"Buat orang-orang yang telah membuatku jadi yatim piatu! Hati ini, rasanya tidak akan tenteram sebelum kalian semuanya mati di tanganku...!"
Selesai dengan ucapannya, Dwi Gata Bayu bermaksud meninggalkan tempat itu untuk mencari Umbul Perkasa. Namun tiba-tiba, telinganya mendengar suara ranting diinjak seseorang.
Dengan cepat Dwi Gata Bayu menyelinap di balik sebatang pohon besar untuk memastikan siapa yang datang. Ternyata, yang muncul adalah dua orang laki-laki dan seorang gadis berbaju merah.
"Salah seorang di antaranya adalah orang yang ikut membunuh orangtua ku!" kata batin Dwi Gata Bayu.
Sementara itu, ketiga orang tadi segera meneliti mayat yang tergeletak di rerumputan. Keadaannya sungguh sangat mengenaskan.
"Tampaknya Dewa Pengemis belum lama mati. Kurasa pembunuhnya masih berkeliaran di sekitar sini!" kata pemuda yang berbaju rompi putih menyimpulkan.
"Mari kita cari!" sahut yang berambut putih berjenggot hitam tidak sabar.
"Hati-hati, Tukang Copet. Lukamu belum sembuh benar!" kata gadis berbaju merah mengingatkan. Dialah Dewi Pemabuk, yang punya nama asli Ararini.
Mereka baru saja hendak beranjak dari tempat masing-masing sesaat, terdengar tawa disertai kemunculan seorang pemuda tampan berbaju putih.
? *** ? ? Selanjutnya Bagian 7-8 (selesai)
? Pedang Kilat Buana
Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti


Pendekar Rajawali Sakti 201 Pedang Kilat Buana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

info ? 2017 " 201. Pedang Kilat Buana ~ Bag. 7-8 (selesai)
June 29, 2015 at 2:16pm
7 ? Raja Pencopet dan Dewi Pemabuk tercenung. Pemuda di depan mereka ternyata sangat mirip dengan Tri Gata Bayu yang berjuluk Pendekar Belalang. Bahkan hampir tidak terlihat perbedaannya sama sekali.
"Tri Gata Bayu...!" seru Raja Pencopet heran.
Pemuda itu menggelengkan kepala.
"Aku bukan Tri Gata Bayu atau Pendekar Belalang! Aku Dwi Gata Bayu, saudara kembarnya!" sahut pemuda bercaping bambu dingin.
Kalau tidak melihatnya sendiri, tentu kedua orang itu tidak percaya. Bagaimana mungkin di dunia ini ada kembar yang sangat mirip?"
"Kau yang telah membunuhnya?" tanya Rangga langsung pada titik persoalan.
"Ya...!" jawab Dwi Gata Bayu pendek dan begitu tenangnya.
"Pendekar Belalang mengatakan, kau melihat pembunuh Empu Wasila. Apakah itu benar?" desak Pendekar Rajawali Sakti.
"Memang."
"Benarkah Raja Pencopet yang membunuh Empu Wasila?" tanya Dewi Pemabuk.
"Tidak benar. Aku hanya mengalihkan perhatian untuk sementara saja," jelas Dwi Gata Bayu.
"Lalu siapa yang membunuh Empu Wasila?" desis Rangga, tampak tidak sabar saja.
"Aku...!" sahut Dwi Gata Bayu sinis.
Raja Pencopet dan Dewi Pemabuk menjadi marah. Namun, Pendekar Rajawali Sakti memberi isyarat agar mereka berdua dapat menahan diri.
"Kau membunuhnya karena ingin memiliki pedang itu?" pancing pemuda berbaju rompi putih tanpa tekanan. Namun suaranya dingin menggidikkan.
"Aku merampas pedangnya untuk melakukan sesuatu yang menjadi kewajibanku. Empu Wasila telah membunuh Sepasang Manjangan Merah. Sedangkan mereka adalah orangtua ku," jelas Dwi Gata Bayu, tidak kalah dingin.
Raja Pencopet yang mendengar ucapan Dwi Gata Bayu langsung berkeringat dingin. Kejadian sepuluh tahun yang lalu melintas di dalam benaknya.
Waktu itu, tiga orang lelaki kembar anak Sepasang Manjangan Merah memang masih kecil-kecil. Dewa Pengemis-lah yang membunuh salah satu anak-anak itu.
Kemudian seseorang yang tidak dikenal telah melarikan salah satu di antaranya. Sedangkan yang bungsu dirawat Empu Wasila sampai dewasa. Dialah yang kini berjuluk Pendekar Belalang. Kini, segala-galanya menjadi jelas. Dwi Gata Bayu muncul melakukan balas dendam atas kematian orang-tuanya.
"Jadi kau putranya Sepasang Manjangan Merah yang telah mati di Bukit Tusina itu?" tanya Raja Pencopet dengan suara bergetar.
"Benar! Dan kau adalah salah seorang dari pembunuh orangtua ku. Apakah kau sekarang hendak memungkirinya?" dengus Dwi Gata Bayu.
"Aku tidak pernah memungkiri perbuatanku. Tapi satu hal yang perlu kau ketahui, orangtua mu berada di jalan sesat yang telah banyak melakukan pembunuhan dan perampokan. Mereka juga pernah membumihanguskan kota Kawunganten. Orang tua seperti itukah yang akan kau bela?" tukas Raja Pencopet.
"Huh! Apa pun tindakan mereka, tetap orangtua ku. Jadi, sekarang kau harus merelakan nyawamu!" ujar Dwi Gata Bayu.
"Jangan sembarangan bicara selama aku masih berdiri di sini." sergah Rangga. "Kau boleh membunuhnya. Tapi. kau harus menyerahkan Pedang Kilat Buana dulu! "
"Ha ha ha...! Jangan berani macam-macam padaku. Pedang Kilat Buana tidak akan kuserahkan pada siapa pun!" desis Dwi Gata Bayu.
Tiba-tiba di luar dugaan laki-laki bercaping ini mengibaskan tangannya ke arah Raja Pencopet. Baik Rangga maupun Dewi Pemabuk terlebih-lebih lagi Raja Pencopet, tidak pernah menyangka sebelumnya. Sehingga mereka berdua tidak sempat melindungi Malim Seta dari lesatan benda-benda halus berwarna putih keperakan. Dan Raja Pencopet sendiri tidak sempat menghindar. Sehingga, tanpa ampun lagi....
Crap! Crap! "Aaa...!"
Disertai jerit kesakitan, Raja Pencopet langsung terkapar terhantam jarum-jarum halus yang beracun amat ganas. Sekujur tubuhnya berubah membiru. Dia berkelojotan sesaat, lalu terdiam untuk selama-lamanya.
Pendekar Rajawali Sakti sudah tidak sempat lagi memberikan pertolongan apa-apa. Inilah yang membuatnya marah.
"Tindakanmu benar-benar nekat! Mampuslah kau!" desis Dewi Pemabuk.
Secepat terbang, gadis itu menerjang Dwi Gata Bayu. Sedangkan bumbung tuak ini segera dituangkan ke mulutnya.
Gluk! Gluk! Gluk!
"Fruhhh...!"
Begitu tuak di mulutnya penuh, Dewi Pemabuk langsung menyemburkannya. Semburan tuak keras itu bukan main-main, pergesekannya dengan udara sempat menimbulkan pijaran api!
Melihat ini, tentu Dwi Gata Bayu secepatnya menjatuhkan diri berguling-gulingan ke tempat aman. Akibatnya, semburan tuak Dewi Pemabuk mengenai ranting-ranting kering di belakangnya tadi hingga langsung terbakar.
"Bagus kau mengelak. Tapi sekali ini tidak akan meleset lagi!" dengus Ararini sengit.
Saat itu juga, Dewi Pemabuk melancarkan serangan kembali. Tuak keras berhamburan dari mulutnya. Mau tidak, mau, Dwi Gata Bayu terpaksa mempergunakan capingnya untuk menangkis.
Prat! Prat! Akibatnya, caping itu terbakar. Sambil memaki-maki, Dwi Gata Bayu terpaksa melepaskan capingnya yang terbakar.
*** Dwi Gata Bayu kemudian melenting ke udara, di saat serangan Dewi Pemabuk semakin menggila. Ketika tubuhnya meluncur ke bawah, dilepaskan satu pukulan berbahaya.
"Hiyaaa...!" teriak Dwi Gata Bayu seraya mengerahkan aji "Pari Sedewo"nya.
Ketika kedua tangan Dwi Gata Bayu mengibas ke depan, angin keras pun menderu.
Namun pada saat itu pula, Pendekar Rajawali Sakti yang melihat bahaya sedang mengancam Dewi Pemabuk langsung mendorongkan kedua tangannya.
"Heaaa...!" teriak Rangga seraya mengerahkan aji "Guntur Geni".
Seketika meluruk seleret sinar merah yang sangat panas memotong serangan Dwi Gata Bayu di tengah jalan.
Blarrr...! "Wuaaakh...!"
Terdengar suara teriakan kesakitan begitu benturan dua kekuatan terjadi. Dwi Gata Bayu maupun Pendekar Rajawali Sakti sama-sama terpelanting sejauh satu batang tombak. Rangga merasa jalan darahnya tidak teratur. Sedangkan nafasnya sesak bukan main. Sementara di pihak Dwi Gata Bayu juga mengalami akibat yang sama. Jelas tenaga dalam yang mereka miliki terpaut tidak begitu jauh.
Dewi Pemabuk terhindar dari bahaya yang mengancam jiwanya. Melihat lawannya dalam keadaan begitu rupa, kembali dia melakukan serangan balasan. Diam-diam, tenaga dalamnya dialirkan ke bagian tangannya. Lalu....
?"Hiyaaa...!"
Di lain saat, gadis ini telah mendorongkan kedua tangannya ke arah Dwi Gata Bayu. Kejap itu juga tampak segundukan angin meluncur deras ke arah laki-laki yang telah kehilangan capingnya.
Pemuda itu sempat terkesiap juga. Namun dengan cepat pula tangannya dikibaskan.
"Shaaa...!" teriak Dwi Gata Bayu seraya mengerahkan pukulan "Wedang Geni".
Keanehan tiba-tiba saja terjadi. Dari tangan Dwi Gata Bayu langsung menderu angin laksana badai topan, disertai keluarnya air yang panas luar biasa.
Serangan yang dilakukan Dewi Pemabuk tiba-tiba saja tertahan. Bahkan kemudian, membalik meluncur ke arah Dewi Pemabuk sendiri.
Gadis ini tentu saja tidak mau terhantam pukulannya sendiri. Terpaksa dia melompat menghindar ke samping kiri. Pukulannya yang membalik itu terus meluncur dan menghantam sasaran di belakangnya.
Blarrr! Batang pohon besar di belakang Dewi Pemabuk kontan hancur, roboh menimbulkan suara menggemuruh. Sementara gelombang angin topan disertai semburan air panas yang keluar dari tangan Dwi Gata Bayu terus mencecar Dewi Pemabuk.
Rangga jadi tidak tega juga membiarkan Dewi Pemabuk yang terancam bahaya. Seketika dia melompat ke depan. Lalu....
"Aji "Bayu Bajra"! Hiyaaa...!" teriak Rangga keras.
Secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti mendorongkan kedua tangannya ke arah pukulan Dwi Gata Bayu yang membawa akibat cukup aneh ini. Gelombang angin topan pun tampak bergulung-gulung. Kemudian....
Glar! Glaar! Terjadi ledakan-ledakan keras, membuat masing-masing terpelanting roboh. Rangga merasa perutnya mual. Napasnya pun sesak. Dan ketika mencoba bangkit berdiri, dari sudut-sudut bibirnya meneteskan darah.
Keadaan Dwi Gata Bayu pun sebenarnya sama saja. Hanya saja, dia bangkit berdiri, lalu meraba sesuatu di balik bajunya. Tampaknya disadari betul kalau lawannya cukup tangguh. Walaupun dia belum tentu kalah menghadapi Pendekar Rajawali Sakti, namun membunuh musuh besarnya terlebih dulu jauh lebih penting! Maka tanpa pikir pajang lagi, dibantingnya tiga buah benda bulat ke tanah.
Bum! Buumm! "Asap penghilang jejak!" teriak Dewi Pemabuk sambil menghindar.
Sebentar saja, keadaan berubah gelap gulita tertutup asap tebal yang didahului ledakan. Ketika asap tebal tadi hilang dari pandangan mata, Dwi Gata Bayu sudah tidak berada di situ lagi.
"Sungguh pengecut pemuda iblis itu!" desis Dewi Pemabuk geram.
Rangga yang telah dalam keadaan duduk bersila, perlahan membuka matanya kembali. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri sambil memperhatikan jenazah Raja Pencopet yang terbujur kaku.
"Kurasa dia bukan pengecut!" sergah Rangga.
"Orang yang melarikan diri dari pertempuran adalah pengecut sejati!" dengus Dewi Pemabuk, tampak tidak puas.
"Yang menjadi tujuan utamanya adalah membunuh musuh-musuhnya yang telah membuatnya kehilangan orang tua. Kurasa, sekarang ini dia sedang mencari Umbul Perkasa."
"Hm.... Daerah itu jauh berada di Pacitan sana," jelas Dewi Pemabuk.
"Jangankan di Pacitan. Di ujung langit pun akan dikejarnya. Begitulah sifat orang kalap. Kita masih punya waktu untuk menghentikannya. Tetapi lebih baik kuburkan dulu mayat Raja Pencopet sahabatmu!" kata Pendekar Rajawali Sakti.
Dewi Pemabuk mendekati jenazah Raja Pencopet. Sedangkan Rangga segera membuat sebuah lubang kubur untuk Malim Seta dengan sebuah batang kayu. Untuk mempersingkat waktu Pendekar Rajawali Sakti langsung mengerahkan tenaga dalamnya.
"Sahabatku yang malang. Nasibmu benar-benar apes. Luput dari tiang gantungan, kau malah mati di tangan Dwi Gata Bayu. Akhir hidupmu benar-benar menyedihkan. Nasib apek bau jengkol. Huh...! Aku bersumpah akan terus mencari orang yang telah membunuhmu, walaupun dia bersembunyi di sarang babi sekalipun!" dengus Dewi Pemabuk.
"Jangan hanya mengumpat. Sekarang coba bawa kemari jenazah Raja Pencopet!" ujar Rangga.
"Secepat itu kau menggali kubur untuknya?" tanya Ararini seakan tidak percaya.
"Ya.... Dan kurasa, Malaikat kubur sudah tidak sabar ingin bertanya berapa ratus kali Raja Pencopet mengambil uang orang lain!"
"Kau ada-ada saja, Rangga. Kalau bukan kau yang bicara, sudah ku kemplang mulutmu!" desis Dewi Pemabuk.
Kemudian dibantu Pendekar Rajawali Sakti, Ararini segera memasukkan jenazah Raja Pencopet ke dalam lubang kubur. Dan dengan gerakan cepat, mereka menguruknya.
Begitu selesai, Ararini mengambil bumbung tuaknya. Kemudian diteguknya beberapa kali.
?"Untuk menghormati arwahmu, aku terpaksa meminum tuak ini," kata gadis ini begitu bersungguh-sungguh.
Gluk! Gluk! "Karena kepergianmu, rasa tuakku ini jadi tidak enak. Aku sekarang sudah tidak punya kawan mabuk lagi. Sayang, sungguh sayang...!"
"Jangan terlalu banyak minum, nanti mabuk!" ujar Rangga. Walaupun hatinya gundah, dia mencoba menghibur.
"Kalau aku minum banyak, yang mabuk pasti setan kuburan. Bukan aku. Hu hu hu...!" jawab Dewi Pemabuk, sambil menangis sesenggukan.
"Sudah, jangan bersedih. Mari kita cari Dwi Gata Bayu!" ujar Pendekar Rajawali Sakti.
*** Sore hari, Padepokan Umbul Perkasa yang terletak di daerah Pacitan tampak sepi. Beberapa waktu yang lalu, murid-murid padepokan ini memang sangat banyak jumlahnya. Hampir seratus orang. Namun setelah ketua padepokan mengutus murid-muridnya untuk mencari pembunuh Empu Wasila, kebanyakan dari mereka tidak pernah kembali lagi!
Penyelidikan terakhir yang dilakukan murid tertua yang bernama Basra dan Bawuk Bangkotan, menyatakan bahwa para murid yang ditugasi mencari pembunuh Empu Wasila ditemukan tewas secara mengenaskan di beberapa tempat
Kenyataan ini sangat memukul hati Umbul Perkasa. Walau bagaimanapun, selama ini murid-muridnya sangat disayangi. Kini jumlah mereka hanya berjumlah tidak kurang dari dua puluh lima orang saja.
Hari-hari belakangan, Umbul Perkasa banyak mengurung diri di dalam kamarnya. Apa yang terjadi pada Empu Wasila yang sudah dianggap sebagai kakak kandungnya sendiri, membuatnya putus asa. Diam-diam ia bersumpah, jika ia dapat menemukan pembunuh Empu Wasila sekaligus merupakan pencuri Pedang Kilat Buana. Maka ia akan mencincang orang itu.
Sementara itu di halaman depan, murid-murid padepokan sedang sibuk mengerjakan tugas masing-masing. Pada saat-saat sibuk begitu, tampak seorang pemuda berbaju putih berbadan tegap memasuki halaman Padepokan.
Basra yang kebetulan berada di situ tampak heran melihat kemunculan pemuda itu.
"Ada keperluan apa sore-sore begini, Pendekar Belalang?" sapa Basra ramah.
Sebagai jawaban, pemuda berbaju putih ini mengibaskan tangannya. Seketika, meluruk sinar-sinar halus berwarna putih keperakan ke arah Basra.
"Hup!"
Basra cepat menghindar dengan membuang diri ke samping. Kalau tidak tentu pemuda ini telah terkapar terhantam senjata rahasia yang berupa jarum-jarum beracun.
Dengan terkejut Basra bangkit berdiri. Dipandanginya pemuda itu dengan teliti. Sebelum sempat mengajukan pertanyaan apa-apa...
"Aku bukan Pendekar Belalang!" kata laki-laki berbaju putih ini, seperti tahu apa yang hendak ditanyakan Basra.
"Apa" Kau bukan Tri Gata Bayu murid almarhum Empu Wasila?" desis Basra tegang.
"Aku Dwi Gata Bayu dari Bukit Setan. Aku murid si Mata Iblis!" tegas pemuda yang tak lain memang Dwi Gata Bayu.
"Mengapa kau menyerangku?" tanya Basra heran.
"Karena kalian adalah musuh-musuhku yang harus kubunuh demi ketenangan arwah kedua orangtua ku!" dengus Dwi Gata Bayu.
Beberapa orang murid lain yang kebetulan berada di situ segera mengurung Dwi Gata Bayu.
"Kalian cepat beritahu Umbul Perkasa. Aku datang untuk meminta nyawanya!"
Ucapan yang kurang sopan untuk orang tua yang dihormati seperti Umbul Perkasa, tentu membuat Basra dan yang lain menjadi sangat marah!
"Pemuda kurang ajari Tidak tahu peradatan! Cepat pergi dari sini, sebelum habis kesabaran kami!" bentak salah seorang murid lain sengit.
"Kalian adalah orang-orang tolol yang tidak tahu persoalan! Menyingkir dari hadapanku!" dengus Dwi Gata Bayu.
Mana sudi murid-murid Padepokan Umbul Perkasa menuruti perintah itu" Apalagi mereka berada di kandang sendiri. Sebagai jawabannya murid-murid Padepokan Umbul Perkasa segera mencabut senjata. Dan seketika lima orang menerjang ke depan sambil mengibaskan tombak pendek.
Dwi Gata Bayu menggeram. Secepat kilat dilemparkannya senjata rahasia berupa jarum-jarum halus ke arah kelima penyerangnya.
Dalam keadaan tubuh mereka melayang ke depan, tentu orang-orang ini tidak sempat menarik diri lagi. Ketika melihat jarum-jarum beracun meluncur deras, murid-murid Padepokan Umbul Perkasa ini hanya dapat mengibaskan tombaknya melakukan tangkisan. Namun apa yang mereka lakukan sia-sia.
Crap! Crap! ?"Aaa...!"
Murid-murid Padepokan Umbul Perkasa kontan menjerit sekeras-kerasnya. Tangan mereka memegangi pangkal tenggorokan yang tertembus jarum-jarum racun.
Sekejap saja mereka jatuh bergelimpangan. Permukaan kulit mereka langsung berubah membiru. Mata mereka melotot, mulut berbusa dengan lidah terjulur mengerikan. Jelas sekali jarum-jarum yang dilemparkan Dwi Gata Bayu mengandung racun yang sangat keji. Mereka pun langsung menemui ajalnya seketika itu juga.
Melihat kejadian ini tentu murid-murid yang lain tidak tinggal diam. Bahkan yang berada di bagian belakang padepokan setelah mendengar teriakan sekarat kawan mereka tadi, sekarang telah mengurung Dwi Gata Bayu.
"Bunuh dia!" teriak seorang pemuda lain yang berbadan agak bungkuk. Dia tidak lain Bawuk Bangkotan, murid tertua Padepokan Umbul Perkasa.
Mendengar aba-aba dari saudara tertuanya, murid-murid lainnya dengan pedang terhunus langsung melakukan serangan kembali. Akan tetapi dengan lebih cepat lagi, Dwi Gata Bayu melemparkan senjata rahasianya.
Set! Set! Set! Jarum-jarum itu langsung melesat bagaikan anak panah dari busurnya. Mereka yang sempat melihat serangan senjata-senjata rahasia ini segera menangkis dengan pedang.
Tring! Hanya beberapa buah senjata rahasia saja yang berhasil ditangkis. Sedangkan serangan berikutnya, tidak mampu dihindari lagi.
Crap! Crap! "Huaagkh...!"
Lagi-lagi jeritan mengerikan kembali terdengar. Beberapa sosok tubuh tampak roboh dengan dada tertancap senjata rahasia berupa jarum-jarum halus yang mengandung racun mematikan. Rata-rata mereka yang terkena senjata milik Dwi Gata Bayu tidak dapat bertahan lama. Langsung mati dengan sekujur tubuh membiru dan mulut berbusa.
? *** ? 8 ? "Manusia iblis!" bentak Bawuk Bangkotan.
Selanjutnya laki-laki agak bungkuk ini segera memberi isyarat pada Basra untuk mengurung rapat. Murid-murid lainnya tampaknya semakin geram saja melihat keganasan Dwi Gata Bayu. Sehingga kejap berikutnya berbagai senjata pun menghujani pemuda berbaju putih itu.
Namun Dwi Gata Bayu hanya tertawa terbahak melihat serangan-serangan itu. Dan tiba-tiba tubuhnya melenting ke udara. Begitu menjejak dengan tumpuan kepala murid-murid Padepokan Umbul Perkasa, dia melakukan serangan dari atas.
"Hiyaaa...!"
Wuut! Wuuut! Tebasan ujung tombak dua orang murid padepokan berhasil dielakkan Dwi Gata Bayu. Kemudian laki-laki berbaju putih ini melakukan serangan balasan....
Buk! Buk! "Aaakh!"
Beberapa murid jatuh terpelanting dengan tulang dada remuk. Mereka bahkan terinjak-injak kawan sendiri yang sibuk mencecar Dwi Gata Bayu.
"Sheaaa...!"
Basra akhirnya ikut pula menyerang. Dengan turunnya Basra dan Bawuk Bangkotan, maka pertempuran menjadi semakin seni dan membahayakan bagi Dwi Gata Bayu. Pemuda berbaju putih ini segera mengerahkan jurus "Langkah-Langkah Setan".
Dengan gesitnya, Dwi Gata Bayu menghindari setiap serangan. Sementara Basra dan Bawuk Bangkotan segera mengerahkan jurus-jurus ampuh milik Padepokan Umbul Perkasa.
Pertempuran berlangsung semakin seru. Basra menerjang sambil menusukkan tombak pendek di tangannya. Sedangkan dari arah belakang, Bawuk Bangkotan melepaskan tendangan dahsyat ke arah Dwi Gata Bayu.
Serangan ujung tombak yang terarah ke bagian perut berhasil dihindari Dwi Gata Bayu dengan menggeser tubuhnya sedikit ke samping. Namun, tendangan Bawuk Bangkotan telak menghantam bagian pinggangnya.
Duk! "Aaagkh...!"
Dwi Gata Bayu tersungkur ke depan. Melihat kenyataan ini para pengeroyok semakin bersemangat.
?"Bunuh! Jangan beri kesempatan padanya untuk meloloskan diri!" teriak Basra sambil melompat ke depan. Tombak di tangannya dikibaskan ke arah sasaran.
Dwi Gata Bayu terus berguling-gulingan. Namun, tidak urung tombak itu masih sempat menggores bahunya.
Cresss! "Aaakh...!"
Dwi Gata Bayu menggeram kesakitan. Di luar dugaan, dia mendadak melenting ke udara. Begitu meluruk tangannya menghantam ke kiri dan kanan.
Des! Des! Des! "Aukh...!"
Beberapa orang murid Padepokan Umbul Perkasa yang berada paling dekat berpelantingan ke sembarang arah. Mulut mereka menyemburkan darah. Bahkan dua orang ada yang mengalami patah tulang.
Namun semua ini tidak mengurangi semangat Basra dan Bawuk Bangkotan untuk meningkatkan serangan. Dua mata tombak membelah udara menghantam ke bagian mata, dada, serta iga Dwi Gata Bayu. Sedangkan dari samping kiri, Bawuk Bangkotan menusukkan pedangnya.
Kedua serangan ini cukup membahayakan. Dwi Gata Bayu tidak mungkin menghindari lagi, mengingat kedua jenis senjata itu semakin dekat jaraknya. Namun pada saat-saat yang sangat menegangkan diambilnya tindakan yang begitu tepat.
Sring! Trang! Trang! "Heh..."!"
Baik Basra maupun Bawuk Bangkotan sama-sama terkejut. Mereka terdorong mundur ke belakang. Sementara sinar putih terus berkelebat. Kedua murid Padepokan Umbul Perkasa itu bermaksud melakukan serangan kembali. Namun, mereka terkejut ketika melihat tombak dan pedang di tangan masing-masing telah buntung menjadi beberapa bagian.
"Mampuslah kalian! Hiyaaa...!" teriak Dwi Gata Bayu.
Sebelum Basra dan Bawuk Bangkotan menyadari apa yang terjadi, tiba-tiba meluruk ke depan. Pedang Kilat Buana di tangannya menghantam mereka sekaligus.
Cras! Cras! Cras!
"Aaa...!"
Terdengar jeritan susul-menyusul. Basra dan Bawuk Bangkotan tampak mendekap perutnya. Yang isinya terburai berserabutan disertai mengucurnya darah yang tidak dapat terbendung lagi. Mereka jatuh terduduk dan terkapar di atas tanah dengan luka-luka sangat mengerikan.
Dan sebelum Dwi Gata Bayu menebar petaka kembali....
"Berhenti...!"
Sebuah suara langsung menghentikan tindakan Dwi Gata Bayu. Laki-laki berbaju putih ini langsung memandang ke arah datangnya suara.
Di depan pintu bangunan, berdiri tegak ketua padepokan yang bernama Umbul Perkasa. Dia yakin laki-laki itu bukan Pendekar Belalang. Memang wajah Tri Gata Bayu dengan pemuda berbaju putih ini memiliki banyak kesamaan. Hanya saja, tatapan mata pemuda di depannya tampak menyorot penuh kebencian.
*** Umbul Perkasa berjalan menghampiri Dwi Gata Bayu. Tampaknya, dia tidak mau bersikap gegabah mengingat pemuda ini memegang Pedang Kilat Buana yang telah menelan banyak korban jiwa.
"Benarkah kau putra Sepasang Manjangan Merah?" tanya Umbul Perkasa, seakan ingin meyakinkan.
"Ya.... Aku anak kedua dari tiga anak kembar Sepasang Manjangan Merah. Ingat kau telah ikut membunuh orangtua ku! Jadi tidak ada ampun lagi bagimu!" dengus Dwi Gata Bayu sinis.
Kini Umbul Perkasa makin yakin dengan apa yang dilihatnya. Jadi, benar kalau pemuda di depannya adalah kakak dari Tri Gata Bayu, yang berjuluk Pendekar Belalang.
"Antara kau dengan Tri Gata Bayu memang memiliki perbedaan menyolok. Namun Tri Gata Bayu dapat memaklumi kesalahan orangtuanya. Sehingga di hatinya tidak ada dendam seperti di hatimu. Mungkin karena dia dididik manusia baik-baik seperti Empu Wasila itu!" keluh Umbul Perkasa, seakan ditujukan untuk diri sendiri.
"Bangsat! Jangan mengguruiku! Tri Gata Bayu adalah manusia lemah. Dia tidak tahu kepada siapa harus berbakti. Karena Empu Wasila telah meracuni hatinya dengan nasihat-nasihat kosong!"
"Kau keliru! Justru kaulah yang semakin tersesat. Tetapi semua itu adalah urusanmu sendiri. Sekarang, kau telah bertemu denganku. Lalu, apa yang kau inginkan?" tanya Umbul Perkasa penuh tantangan.
"Di antara pembunuh orangtua ku, hanya tinggal kau saja. Mereka semuanya telah berangkat ke liar kubur. Kau musuh terakhirku yang akan kukirim ke liang kubur!" tegas Dwi Gata Bayu.
"Hm, begitu" Tanpa Pedang Kilat Buana, kau bukanlah apa-apa. Walaupun aku tahu kau berguru pada si Mata Iblis di Bukit Sena. Sekarang, tunggu apa lagi" Kalau kau mau membunuhku, silakan!" tantang Umbul Perkasa begitu tenang.
Dwi Gata Bayu adalah pemuda berangasan yang dididik seorang tokoh sesat. Maka mendapat tantangan seperti itu, hatinya menjadi panas sekali.
"Aku akan membuat kematianmu lebih sakit dibandingkan yang lain-lainnya! Heaaa...!"
Pemuda berbaju putih itu melompat mundur ke belakang. Secara diam-diam tenaga dalamnya disalurkan ke bagian telapak tangannya. Setelah itu....
"Hiyaaa...!" teriak Dwi Gata Bayu seraya mengerahkan pukulan "Penggetar Raga".
Sambil melompat ke depan, Dwi Gata Bayu mendorongkan kedua tangannya ke arah lawan. Sekejap kemudian tampak seleret sinar meluruk ke arah Umbul Perkasa.
Namun, laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun ini telah melipat kedua tangannya ke depan dada. Mulutnya tampak komat-kamit membaca mantra. Dan tiba-tiba kabut putih telah menyelimuti tubuhnya.
Dwi Gata Bayu melihat tubuh Umbul Perkasa memancarkan cahaya putih laksana perak. Saat pukulannya menghantam, sama sekali Umbul Perkasa tidak berusaha menangkis atau menghindar. Maka....
Glarrr! "Heh..."!"
Dwi Gata Bayu terkejut ketika pukulannya menghantam tubuh Umbul Perkasa. Namun anehnya, jangankan tewas atau tergelimpang roboh. Sedikit pun tubuh Umbul Perkasa tidak bergeming. Sebaliknya, justru pemuda itu sendiri jatuh terguling-guling terkena sambaran angin pukulannya sendiri.
Sambil mengurut-urut dadanya yang terasa sesak luar biasa, Dwi Gata Bayu bangkit berdiri. Dengan penasaran pukulannya hendak dilepas kembali. Sekali ini tenaga dalamnya dilipatgandakan. Sehingga kedua tangannya yang berwarna hitam tampak bergetar hebat.
"Watu Karang Sejagat! Hiyaaa...!"
Disertai teriakan keras, Dwi Gata Bayu kembali mendorongkan kedua tangannya. Segulung angin dingin langsung menerpa Umbul Perkasa, sampai akhirnya pukulan itu benar-benar menghajarnya.
Blarrr! Tubuh Umbul Perkasa yang memancarkan cahaya putih itu hanya bergetar saja. Sebaliknya sebagian pukulan yang sempat membalik, membuat Dwi Gata Bayu terjengkang. Sudut-sudut bibirnya meneteskan darah. Umbul Perkasa saat itu mengerahkan ajian "Watu Karang Sejagat", sebuah ilmu langka yang jarang dimiliki tokoh-tokoh rimba persilatan.
Melihat lawannya tidak terpengaruh oleh pukulan yang dilepaskan, Dwi Gata Bayu menjadi penasaran. Kemudian langkahnya digeser ke samping.
Sret! Pemuda berbaju putih ini mencabut Pedang Kilat Buana dari warangkanya. Ketika tenaga dalamnya disalurkan ke bagian hulu pedang berbentuk kepala ular sendok. Maka memancarlah cahaya putih dari mata pedang.
"Umbul Perkasa! Kau boleh pergunakan kekuatan iblis sekalipun untuk melindungi dirimu. Tapi, kau tidak akan lolos dari pedang ini! Heaaa...!"
Dwi Gata Bayu tiba-tiba meluncur sambil mengibaskan pedangnya ke dada Umbul Perkasa.
Melihat serangan senjata ini, rupanya Umbul Perkasa merasa khawatir juga. Seketika dia melompat ke samping. Dengan begitu buyarlah kekuatan yang melindungi dirinya. Segera dicabutnya tombak pendek berwarna kuning keemasan. Dan dengan senjata pusakanya itu ditangkisnya serangan Pedang Kilat Buana!
"Ciaaat...!"
Tak! "Heh..."!"
Umbul Perkasa terkejut melihat tombak pusakanya terbabat putus menjadi beberapa bagian. Laki-laki setengah baya ini terpaksa melompat mundur sambil mengerahkan jurus-jurus andalan untuk menghindari tusukan pedang.
Tetapi celakanya pedang yang memancarkan sinar putih itu tampak bergetar dan terus bergerak tanpa terkendali.
"Uts!"
Umbul Perkasa berusaha berkelit dengan memutar tubuhnya. Namun, pedang yang seakan dikendalikan kekuatan setan itu lebih cepat menghujam punggungnya.
Jresss! "Aaa...r Umbul Perkasa menggeliat disertai jerit kesakitan. Pedang Kilat Buana telah menembus punggung hingga ke perutnya. Anehnya, pedang itu sekarang menyedot habis darah Umbul Perkasa! Sehingga, ketua padepokan ini tewas dengan tubuh kering kehabisan darah!
Trek! Secepat Dwi Gata Bayu mengeluarkannya, maka secepat itu pula Pedang Kilat Buana dimasukkan ke dalam warangka. Kemudian pemuda berbaju putih itu tertawa-tawa seperti setan. Beberapa saat setelah gema suara tawanya lenyap, sayup-sayup terdengar suara seseorang dari kejauhan.
"Dikejar-kejar selalu lolos, tidak tahunya di sini melakukan penjagalan! Dasar sontoloyo berhati iblis!"
Dwi Gata Bayu terkejut ketika tiba-tiba terdengar sebuah suara terlebih-lebih setelah melihat kehadiran pemuda berbaju rompi putih dan gadis memakai baju merah.
"Sial dangkalan! Rupanya kalian tidak bosan-bosannya mencampuri urusan orang lain! Kalian benar-benar ingin mampus!" dengus pemuda berbaju putih itu geram.
"Maut sudah kau tebar di mana-mana! Selama Pedang Kilat Buana belum diserahkan, maka selama itu pula kami terus memburumu!" sahut pemuda berbaju rompi putih yang tak lain Rangga. Dia ditemani Dewi Pemabuk.
"Rasakanlah ini! Hiyaaa...!" teriak Dwi Gata Bayu.
Pemuda berbaju putih itu tiba-tiba mengibaskan tangannya ke arah Rangga dan Dewi Pemabuk, melepaskan jarum-jarum beracun. Namun serangan senjata rahasia itu sudah dapat diduga kedua orang ini. Rangga cepat menghindar dengan melompat ke samping. Sedangkan Dewi Pemabuk menyemburkan tuaknya ke arah jarum-jarum beracun itu.
"Fruhhh...!"
Tes! Tes! Jarum-jarum beracun itu langsung rontok ke tanah. Apa yang terjadi, membuat Dwi Gata Bayu penasaran. Sehingga segera dilakukannya serangan gencar dengan mengandalkan jurus "Langkah-Langkah Setan" yang sangat berbahaya! Karena selain tangannya mencecar ke bagian yang mematikan, kedua kakinya secara silih berganti mencecar kaki Rangga.
Demikian cepatnya serangan itu membuat Rangga segera mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya untuk menghindari. Namun tiba-tiba Dwi Gata Bayu berputar ke belakang sambil melakukan tendangan beruntun. Akibatnya....
Des! "Hegkh...!"
Rangga terguling-guling. Belum sempat bangkit berdiri, sebuah tendangan kembali menghantam dadanya.
Buk! "Huagkh...!"
Seperti hendak meledak, dada Pendekar Rajawali Sakti seperti bergemuruh. Dari hidung dan mulutnya meneteskan darah. Pada saat Dwi Gata Bayu hendak menginjak kepalanya....
"Fruhhh...!"
Pada kesempatan itulah semburan cairan tuak Dewi Pemabuk meluncur ke bagian paha Dwi Gata Bayu.
Pemuda berbaju putih ini terpaksa membatalkan serangan. Dia cepat menyelamatkan pahanya dari cairan tuak. Sambil menggeram marah, tubuhnya berbalik menyerang Dewi Pemabuk dengan jurus "Langkah-Langkah Setan" pada tingkatan yang lebih tinggi.
Dewi Pemabuk terus berusaha menghindar sambil sesekali melakukan serangan balasan. Namun semakin lama gerakan jurus "Langkah-Langkah Setan" semakin rumit dan sulit dilayani Dewi Pemabuk. Maka keadaan gadis itu mulai terdesak.
Dewi Pemabuk berusaha melayani dengan sambaran tuaknya. Dan anehnya, selalu saja Dwi Gata Bayu dapat menghindari. Sampai akhirnya, pemuda itu menyusup ke dalam perlahan. Tangannya cepat meluncur menghantam perut.
Buk! "Wuaagkh...!"
Ararini jatuh terbanting dengan mulut mengucurkan darah. Tampak jelas kalau gadis itu menderita luka dalam yang tidak ringan.


Pendekar Rajawali Sakti 201 Pedang Kilat Buana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Melihat kejadian ini, Dwi Gata Bayu bermaksud mengakhiri riwayat Dewi Pemabuk. Tubuhnya tiba-tiba melesat. Pada saat-saat yang sangat gawat, tiba-tiba dari samping kanan meluruk angin deras menebarkan hawa panas luar biasa.
Glarrr! "Heegkh...!"
Dwi Gata Bayu kontan terguling roboh. Kiranya Pendekar Rajawali Sakti telah melepaskan aji "Guntur Geni" ke arahnya. Sambil menggeram marah dan tanpa menghiraukan luka dalam yang dideritanya, Dwi Gata Bayu segera bangkit berdiri.
*** Dwi Gata Bayu memandang Pendekar Rajawali Sakti dengan penuh kebencian. Sekejap saja tangannya telah dikibaskan ke depan.
"Hiyaaa...!"
Sambil melompat ke depan sekali lagi, Dwi Gata Bayu mendorongkan tangannya ke arah Rangga, mengerahkan pukulan "Penggetar Raga". Saat itu juga, seleret sinar hitam meluruk mengancam keselamatan Pendekar Rajawali Sakti.
Namun sebelum pukulan itu berhasil mencapai sasaran, Pendekar Rajawali Sakti yang juga telah terluka dalam segera melenting ke udara. Sehingga pukulan itu hanya menyambar angin kosong.
Dwi Gata Bayu yang telah kehilangan kesabarannya, segera meloloskan Pedang Kilat Buana untuk mengakhiri perlawanan Rangga. Segera dikerahkannya tenaga dalam ke bagian hulu pedang. Seketika senjata maut itu bergetar hebat, memancarkan sinar putih. Dalam keadaan demikian, tentu kekuatan iblis yang mengendalikan pedang ini.
Sementara Dewi Pemabuk sadar betul dengan bahaya yang mengancam.
"Awas, Rangga! Pedang itu bergerak atas kekuatan iblis!" teriak Dewi Pemabuk.
Mendengar ucapan Dewi Pemabuk, Pendekar Rajawali Sakti yang telah mendarat tidak punya pilihan lain. Segera seluruh tenaga dalamnya disalurkan ke bagian telapak tangan. Dibuatnya beberapa gerakan tangan dengan tubuh miring ke kiri dan ke kanan dengan kuda-kuda kokoh. Begitu tubuhnya telah tegap kembali, kedua telapak tangannya telah diselubungi sinar biru sebesar kepala bayi. Lalu....
"Aji "Cakra Buana Sukma"! Hiyaaa...!"
Sambil melompat ke depan, Rangga mendorongkan kedua tangan ke arah Dwi Gata Bayu yang memegang pedang. Seketika sinar biru berkilau segera menghantam Dwi Gata Bayu.
Glarrr! "Aaa...!"
Ledakan keras terdengar, disertai jeritan Dwi Gata Bayu. Tubuh pemuda itu hancur berantakan, menjadi serpihan daging kecil-kecil. Pedangnya terlempar, dan jatuh persis di dekat kaki seorang pemuda yang baru saja muncul di tempat itu. Dia tidak lain Pendekar Belalang!
Baik Rangga maupun Dewi Pemabuk terkejut melihat kemunculan murid Empu Wasila yang tidak lain adik kandung Dwi Gata Bayu ini. Mereka menyangka, urusan tentu semakin panjang. Tri Gata Bayu alias Pendekar Belalang, memungut Pedang Kilat Buana. Air matanya berlinang melihat kematian kakak kandungnya. Tapi, sama sekali matanya tidak menyimpan dendam.
"Aku telah berusaha mencegah keinginannya. Ternyata, aku tidak mampu melakukannya!" desah Tri Gata Bayu sedih.
"Maafkan aku, Pendekar Belalang! Aku sangat terpaksa melakukannya. Semoga kau mengerti!" ucap Rangga pelan.
"Aku mengerti, bagaimana Pedang Kilat Buana ini. Dia tidak dapat dihentikan bila kekuatan iblis telah mengendalikannya, Pendekar Rajawali Sakti. Aku tidak bisa menyalahkanmu."
"Apakah kau tidak mendendam pada Rangga?" tanya Dewi Pemabuk.
"Jika menurutkan kata hati, iblis akan bersarang di dadaku! Apa yang dapat kulakukan hanyalah memasrahkan segalanya pada Yang Maha Kuasa! Karena, jiawaku ada dalam genggamannya!" desah Pendekar Belalang.
Rangga dan Dewi Pemabuk merasa terharu. Mereka segera membantu, ketika pemuda rendah hati itu mulai memunguti serpihan daging kakak kandungnya yang berserakan bercampur debu.
?"Aku akan menguburkan Dwi Gata Bayu di Bukit Buana. Dan pedang ini kukuburkan bersamanya," kata Tri Gata Bayu.
"Aku ikut denganmu!" ujar Dewi Pemabuk.
"Aku akan pergi ke suatu tempat. Maaf, aku tidak ikut," ucap Rangga menahan sakit di dadanya.
"Terima kasih, Pendekar Rajawali Sakti. Aku tidak akan mendendam padamu!" ujar Pendekar Belalang.
Sungguh mulia kata-kata seperti itu. Dan tanpa diketahui yang lain, darah merembes keluar dari sudut bibir Pendekar Rajawali Sakti. Menyadari hal ini, Rangga segera berkelebat meninggalkan Padepokan Umbul Perkasa. Sedangkan Dewi Pemabuk dan Pendekar Belalang hanya mampu melihat kelebatan bayangannya.
? SELESAI ? ? ? Segera Terbit: GEROMBOLAN SAMURAI HITAM
? ? ? Tukang Scan: Clickers
Tukang Edit: Aura PandRa
Tukang E-Book: Abu Keisel
? ? https://www.facebook.com/pages/Dunia-Abu-Keisel/511652568860978
? ? Pedang Kilat Buana
? Daftar Isi Pendekar Rajawali Sakti
Notes by Pendekar Rajawali Sakti
s ? 2017 Biang Biang Iblis 1 Pedang Hati Suci Karya Jin Yong Dendam Iblis Seribu Wajah 15

Cari Blog Ini