Ceritasilat Novel Online

Penghianatan Di Bukit Kera 2

Pendekar Rajawali Sakti 180 Penghianatan Di Bukit Kera Bagian 2


Si Jubah Hitam terus mengejar sambil mene-baskan ujung tongkatnya yang runcing, Tubuhnya melayang di atas tubuh Ki Darta Rawon. Namun dengan sekuat tenaga, laki-laki setengah baya itu terus bergulingan menghindarkan diri, sambil memutar-mutar pedangnya.
Trang! "Hup!"
Dalam satu kesempatan Ki Darta Rawon melenting ke belakang lagi. Senjatanya masih sempat menangkis sodokan tongkat yang mengincar perutnya.
"Yeaaap!"
? *** ? 5 ? Namun tanpa disangka-sangka, si Jubah Hitam meluruk sambil melepas tendangan kilat bertenaga dalam tinggi ke dada Ki Darta Rawon.
Desss...! "Aaakh...!"
Ki Darta Rawon menjerit tertahan begitu tendangan itu mendarat di dadanya. Tubuhnya langsung terhuyung-huyung ke belakang.
"Keparat!" dengus laki-laki setengah baya ini geram.
"Hi hi hi...!"
"Sebentar lagi akan kusumpal mulutmu, Kun-tilanak!" bentak Ki Darta Rawon seraya membuka jurus baru.
"Hm... Jurus apa lagi yang hendak kau andal-kan" Ayo, keluarkanlah semuanya!"
Tanpa banyak kata lagi, Ki Darta Rawon langsung meluruk menerjang ganas. Pedangnya me-nyambar ke pangkal leher, lalu berpindah ke pinggang. Namun si Jubah Hitam hanya mencelat ke belakang menghindarinya. Ki Darta Rawon terus mengejar. Mau tak mau si Jubah Hitam harus memapaki serangan dengan tongkatnya.
Trang! Si Jubah Hitam memegang tongkatnya tepat tengah-tengah. Sehingga kedua ujungnya dengan bebas selalu dapat menangkis pedang Ki Darta Rawon. Dan tatkala pedang itu menebas bahu kanannya, ujung tongkatnya cukup dinaikkan sedikit.
Dari hasil benturan senjata barusan, tubuh Ki Darta Rawon terjajar beberapa langkah. Dan kesempatan ini tidak disia-siakan oleh si Jubah Hitam.
Belum sempat Ki Darta Rawon memperbaiki keseimbangan, tongkat si Jubah Hitam telah menghantam persis di pergelangan tangan gagang pedangnya.
Tuk!??? "Ahh...!"
Pedang di tangan Ki Darta Rawon terpental. Dan laki-laki setengah baya ini mengeluh tertahan. Belum lagi dia sempat berpikir untuk melakukan sesuatu, tongkat si Jubah Hitam telah menyodok ke ulu hatinya.
Duk! "Akh!"
Laki-laki itu menjerit kesakitan. Tubuhnya kembali terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap perutnya.
Sementara, si Jubah Hitam terus mendekati. Tubuhnya berputar sebentar, seraya mengayunkan satu tendangan keras ke dada.
Desss...! "Aaakh...!"
Ki Darta Rawon terjungkal, kembali menjerit kesakitan. Kali ini dari mulutnya menyembur darah segar akibat tendangan barusan.
"Keparat! Siapa sebenarnya kau"! Sepintas lalu, aku kenal dengan jurus-jurus ilmu silatmu!" desis Ki Darta Rawon seraya berusaha bangkit dengan wajah berkerut geram.
"O, begitu" Apa hebatnya jurus-jurus itu?" tukas si Jubah Hitam.
"Siapa kau sebenarnya" Apa yang kau inginkan dariku"!"
"Apa sebenarnya yang kuinginkan darimu" Hm, tentu saja yang tidak diketahui oleh banyak orang."
"Kalau kau kira aku memiliki patung itu, maka sia-sia saja! Patung itu tidak ada padaku!"
"Aku tahu! Kau tidak akan mampu merebut patung itu seorang diri!"
"Lalu, apa yang kau inginkan dariku"!"
"Ini!"
Si Jubah Hitam bergerak cepat. Mendadak salah satu ujung tongkatnya melesat ke jidat Ki Darta Rawon.
Ki barta Rawon memejamkan mata seraya me-nunduk pasrah. Dia memang tidak berusaha menghindar. Tapi, si Jubah Hitam sebenarnya bukan ingin membunuhnya. Melihat sikap lelaki ini, tongkatnya ditarik pulang. Dan mendadak dua buah jari kirinya menotok dua kali urat gerak laki-laki setengah baya itu.
Tuk! Tuk! "Oh...!"
Saat itu juga, Ki Darta Rawon ambruk tak berdaya, dengan tubuh terasa lemah.
"Hi hi hi...! Terlalu enak bagimu kalau mesti mati!" kata si Jubah Hitam seraya tertawa nyaring.
"Bangsat terkutuk! Apa sebenarnya yang kau inginkan"!" dengus Ki Darta Rawon geram, namun tak mampu berbuat apa-apa lagi.
"Nanti kau akan tahu sendiri."
Si Jubah Hitam menoleh ketika mendengar de-rap langkah beberapa orang. Tampak lima orang bertopeng hitam telah muncul di tempat ini. Cepat diberinya isyarat pada kelima orang itu agar mendekat.
"Ikat dia dan bawa ke tempat biasa!" ujar si Jubah Hitam.
"Baik, Tuanku Jubah Hitam!"
Sementara Ki Darta Rawon hanya mampu me-maki-maki. Sedangkan si Jubah Hitam hanya membalasnya dengan tawa dingin.
? *** ? Menjelang tengah hari Rangga dan Sakaweni tiba di kaki Bukit Kera. Beberapa orang kelihatan mempunyai niat sama, yaitu menuju Gua Griwa.
Agaknya daya tarik Patung Dewi Ratih yang digembar-gemborkan itu telah menyebar ke mana-mana. Sehingga, bukan saja tokoh-tokoh kelas bawah yang datang, tapi tokoh-tokoh utama pun agaknya tertarik.
"Hm, hebat sekali! Aku sendiri tak yakin, apakah cerita itu memang benar," gumam pemuda berbaju rompi putih itu seraya menuntun Dewa Bayu.
"Cerita itu memang benar," sahut Sakaweni.
"Bagaimana kau bisa yakin?"
"Pokoknya cerita itu benar, titik! Kau tidak perlu tahu, dari mana aku bisa begitu yakin."
"Apakah karena kau keturunan pembantu Dewi Ratih?" pancing Pendekar Rajawali Sakti.
"Hem!"'
Sakaweni menoleh sambil menatap tajam pada Rangga.
"Benarkah?" usik Rangga.
"Aku tidak bisa cerita padamu."
"Kau hanya menjawab ya atau tidak. Atau menggeleng dan mengangguk. Tidak sulit, kan?"
Gadis itu diam tak menjawab.
"Kurasa ini bukan menjadi urusan pribadi," kata Rangga lagi.
"Apa maksudmu?" tanya Sakaweni.
"Telah banyak yang jadi korban. Dan orang-orang ini. Siapa tahu mereka akan jadi korban berikutnya. Jadi kalau kau tahu sesuatu, katakan! Barangkali aku bisa membantu," desak Rangga.
Sakaweni menghela napas panjang.
"Ayo, Weni! Katakanlah! Apakah dengan mengatakan rahasia itu kau akan kena kutuk menjadi seekor kodok, misalnya" Atau barangkali kena penyakit kusta" Atau apa"!"
"Aku tidak bisa...."
"Katakanlah! Tidakkah kau bisa percaya padaku, setelah kutunjukkan itikad baikku selama ini?"
Sakaweni masih tetap terdiam.
Rangga menghela napas panjang melihat sikap gadis itu.
"Baiklah... Kalau kau tetap pada kemauanmu merahasiakan semua ini, tak apa...," lanjut Sakaweni pasrah.
"Baiklah aku akan cerita. Kuharap saja, ada gunanya. Tapi kau adalah orang luar satu-satunya yang akan tahu rahasia ini...," desah Sakaweni.???
"Aku berjanji akan memendamnya sendiri!"
"Sebenarnya aku memang seperti yang kau duga tadi..."
"Keturunan pembantu Dewi Ratih?"
Gadis itu mengangguk.
"Konon menurut hikayat yang diceritakan padaku, Dewi Ratih seorang putri raja yang memilih hidup sebagai seorang pertapa. Beliau memiliki kesaktian hebat. Mempunyai tiga orang dayang-dayang, seorang pembantu yang mengurus keperluannya, dan seorang pengawal. Dan mereka pun memiliki kepandaian hebat. Sebagian dari mereka, memiliki kesaktian sebelum mengabdi pada sang Dewi...," jelas gadis ini, memulai ceritanya.
"Lalu?" cecar Rangga.
"Aku adalah cicit salah seorang dayang beliau. Yaitu, Nyai Mayang Putih. Wanita tua semalam adalah Nyai Gandasari. Beliau cucu Nyai Mayang Merah. Sedangkan Ki Wangsa Kelana adalah cucu Nyai Mayang Biru. Lalu Ki Darta Rawon yang pernah kuceritakan padamu, adalah keturunan Ki Gede Rengon, pembantu Dewi Ratih," jelas Sakaweni.
"Hem, begitu...," Rangga mengangguk-ang-guk. "Lalu, ke manakah keturunan pengawal pribadi beliau?"
"Ibuku mengatakan, beliau menjaga pening-galan sang Dewi. Termasuk, pusaka-pusaka beliau. Keturunan Ki Jambang Seto dipercaya sang Dewi karena sangat setia."
"Itu berarti sang Dewi tidak mempercayai yang lain?" selak Rangga.
"Ceritanya agak rumit. Dimulai tatkala makanan yang hendak dihidangkan untuk sang Dewi dibubuhi racun...," jelas Sakaweni, perlahan.
"Dibubuhi racun"!" seru Rangga tak percaya.
"Ya! Dan sang Dewi mengetahuinya. Beliau marah betul, dan mencurigai semuanya. Kecuali, Ki Jambang Seto!"
"Kenapa mengecualikan seseorang?"
"Ki Jambang Seto tak akan pernah melakukan hal itu. Beliau sayang sekali pada sang Dewi. Apalagi, beliau adalah pengasuhnya sejak kecil dan guru pertamanya. Beliau mengajarkan banyak hal. Mulai dari falsafah hidup, sampai ilmu olah kanuragan. Semua kesaktian yang dimilikinya diturunkan pada sang Dewi. Meski akhirnya sang Dewi memiliki kesaktian lebih tinggi, setelah belajar dari guru-guru yang lain, namun Ki Jambang Seto tetap diangkat sebagai pengawal pribadi. Banyak kesempatan untuk membunuh sang Dewi sejak dahulu, tapi tak dilakukannya. Itu membuatnya tak termasuk dalam daftar orang-orang yang dicurigai sang Dewi."
"Lalu apa yang selanjutnya terjadi?"
"Sang Dewi mengusir mereka dengan satu per-janjian, mereka diperbolehkan kembali setelah dipanggil ke pertapaannya. Tapi sampai beliau me-ninggal, tidak seorang pun yang dipanggil. Aku tidak tahu nasib yang lain. Tapi, keturunanku selalu merasa berdosa sehingga mereka selalu bertapa agar bisa berhubungan dengan Dewi Ratih di alam lain...."
"Tapi, ternyata kau kenal keturunan pembantu sang Dewi yang lain?"
"Maksudku, aku tidak tahu apa yang mereka lakukan untuk menebus perasaan bersalah mereka pada sang Dewi. Kalau hanya pertemuan, sering kami adakan sampai keturunan sekarang. Sehingga, kami saling mengenai. Kecuali...."
Sebentar cerita Sakaweni terputus. Dia seperti ragu mengatakannya.
"Kecuali keturunan Ki Jambang Seto. Dia tidak pernah menghubungi kami," lanjut Sakaweni, akhirnya.
"Dan keturunan Ki Jambang Seto yang kini mendiami Gua Griwa itu?" selak Rangga.
"Kemungkinan besar begitu."
"Lalu..., masing-masing keturunan orang-orang dekat sang Dewi berada di tempat ini, apa maksudnya?" tanya Rangga, penasaran.
"Kami harus mempertahankan pusaka-pusaka sang Dewi dari tangan orang-orang luar," jelas Sakaweni.
"Kenapa bam sekarang banyak yang mengetahui tentang pusaka yang ditinggalkan sang Dewi?"
"Karena ada yang menyebarkannya."
"Pasti orang dalam?"
"Begitulah dugaan ibuku. Karena beliau hanya punya, anak satu, yaitu aku. Maka, akulah yangdikirim untuk menyelidiki hal ini. Bahkan kalau perlu membereskannya."
"Kenapa bukan beliau saja yang pergi menye-lesaikannya?"
"Seperti yang kukatakan, beliau tengah bertapa. Dan waktunya belum selesai ketika berita ini menyebar. Aku tak bisa mengganggunya. Maka kuusulkan agar aku saja yang pergi, meski beliau agak keberatan. Beliau punya firasat persoalan ini tidak mudah. Dan ternyata, firasat itu tidak salah.
? *** ? Rangga hanya mengangguk-angguk. Dan mereka menghentikan percakapan ketika tiba di tempat yang dituju. Tampak beberapa tokoh persilatan telah banyak muncul, berdiri tak jauh dari mulut Gua Griwa.
"Lihatlah! Bukit Kera ini tadinya sepi dan tidak bayak menarik perhatian orang. Kini dengan ada-nya cerita itu, menjadi tempat yang ramai sekali. Padahal, mereka sendiri ada yang tidak begitu yakin dengan cerita mengenai Dewi Ratih...," gumam Sakaweni.
"Kenalkah kau dengam tokoh itu?" tanya Rangga, yang lebih tertarik memperhatikan tokoh-tokoh yang berkumpul di sini.
"Yang mana?" tukas Sakaweni.
"Yang wajahnya ditutupi topeng hitam dan memakai jubah hitam pula."??
?"Hm, tidak!"
"Tidakkah itu mengundang kecurigaan?"
"Apa maksudmu" Tidak aneh bila tokoh-tokoh persilatan bertingkah macam-macam. Kau lebih tahu daripadaku. Lagi pula, orang-orang yang berada di dekatnya pun sama-sama memakai topeng hitam dan jubah hitam pula."
"Memang. Tapi, ada beberapa hal yang me-nyebabkan orang menyembunyikan wajahnya. Di antaranya, karena takut dikenali orang-orang terdekatnya," kilah Rangga memberi alasan.
"Aku tidak yakin begitu. Pernahkah kau mendengar tentang kuil Teratai Hitam?" tukas Sakaweni lagi.
"Hm, ya."
"Nah! Kudengar, orang-orang yang berada di dalamnya selalu berjubah hitam dan menutupi wajahnya agar tidak dikenali orang lain. Kudengar pula, kuil itu telah berdiri selama ratusan tahun. Apa anehnya" Mereka hanya menjalankan kepercayaan yang dianut.
Rangga tidak mau berbantah-bantahan lebih lanjut dengan gadis itu. Perhatiannya tertuju pada dua orang laki-laki bertubuh kekar yang berdiri di dekat mulut gua.
"Hm.... Apa hebatnya gua ini"! Raksasa Kembar bisa mengaduk-aduk isinya dalam waktu singkat!" dengus laki-laki bertubuh besar yang bersenjata kapak.
"Mari, Kakang Subala! Kita perlihatkan pada orang-orang tolol ini, bahwa tidak ada yang perlu ditakuti dari gua ini," timpal yang bersenjata gada???? besar.
Kedua orang ini memang dikenal sebagai si Raksasa Kembar. Mungkin sesuai bentuk tubuh mereka yang besar. Yang bersenjata kapak bemama Subala. Sedangkan yang membawa gada bernama Subali. Sambil mendengus mereka masuk ke dalam gua dengan penuh keyakinan.
"Hati-hati, Kakang! Aku tidak mau kita mati konyol!" ingat Subali.
"Jangan khawatir, Subali. Aku kenal perang-kap-perangkap seperti ini!" desis Subala, congkak.
Setelah berjalan sekian lama, mereka tiba di ujung terowongan. Namun begitu, dua pasang mata serta telinga mereka dibuka lebar-lebar untuk menghindari segala kemungkinan buruk yang terjadi.
Grek.... Grek! "Awas, Subali!" teriak Subala seraya melompat ke depan, tatkala ujung terowongan di belakang mereka bergerak-gerak. Seketika sebuah batu besar dari atas telah menutup, sehingga mereka terkurung dalam sebuah mangan pengap dan agak gelap.
"Hup! Setan!" maki Subali yang kakinya hampir saja terhimpit.
"Huh! Permainan macam apa lagi yang hendak dipertunjukkannya pada kita"!" dengus Subala.
"Siap-siap saja, Kakang! Aku tidak suka keadaan seperti ini "
Baru saja kata-kata Subali habis....???????
Set! Set!?? "Awaaas!"
Subala kembali berteriak memperingatkan ketika tiba-tiba dari segala penjuru dinding ruangan ini melesat puluhan anak panah ke arah mereka.
"Hiih!"
Dengan gemas Raksasa Kembar menghalau anak-anak panah itu. Tapi seperti rintik hujan, anak panah itu terus bergerak menyerbu. Sehingga mau tak mau mereka sedikit kewalahan juga.
Sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya akan jatuh juga. Demikian pula Raksasa Kembar. Sepandai-pandai mereka berkelit, akhirnya akan naas juga. Itu terjadi ketika sebatang anak panah luput dari sergapan. Akibatnya....
Crab! "Akh!"
Subali mengeluh tertahan tatkala sebatang anak panah menancap di pahanya.
"Subali! Kau tidak apa-apa"!" teriak Subala cemas.''
Baru saja kata-kata Subala habis....
Crep! "Akh.....!"
Ketika Subala hendak memeriksa luka adik kembarnya sebatang anak panah menancap di punggung kiri.
"Keparat!" desis Subala geram seraya mencabut anak panah itu.
"Hieee...!"
"Heh"!" Raksasa Kembar terkesiap ketika terdengar pekikan nyaring yang diikuti berkelebatnya satu sosok tubuh yang langsung menyerang.
"Awas Subala...!" teriak Subali yang pertama kali melihat bayangan hitam itu dari samping kanan.
Subali sendiri menjatuhkan diri sambil mengibaskan gada untuk menahan segala kemungkinan buruk.
"Hiih!"
Subala yang tidak sempat mengelak, terpaksa mengibaskan kapaknya untuk memapak serangan.
Trang! Sesaat terdengar benturan senjata. Kapak Subala terpental dari genggaman akibat hantaman tenaga dalam yang bukan main kuatnya. Tubuhnya kontan terhuyung-huyung. Pada saat itu juga, sosok itu telah berkelebat cepat sambil menghujamkan senjatanya.
Jres! "Aaa...!"
Sesaat terdengar jeritan kematian Subala, tatkala dari dada kirinya yang belong mengucurkan darah segar.
"Subala"!"
Subali terkejut, langsung melompat menghampiri saudaranya. Tapi....
Jresss...!"
"Aaa...!"?????
Subali berteriak kesaldtan. Tubuhnya ambruk dengan perut robek mengucurkan darah, ketika senjata sosok itu menyabet ganas.
Tempat itu kembali sepi seperti tak pernah terjadi apa-apa. Hujan panah berhenti. Dan pintu yang menutupi ujung terowongan terbuka kembali!
? *** ? ? 6 ? Suara jeritan Raksasa Kembar agaknya terdengar pula oleh orang-orang yang berada di luar. Wajah mereka kelihatan tegang. Bahkan ada juga yang gemas.
"Ada apa sebenarnya di dalam gua ini?" gumam salah seorang tokoh persilatan.
Orang ini dikenal dengan nama Ki Sampang. Dia seorang tokoh terkenal di wilayah timur. Kehadirannya di tempat ini tak lain ingin melihat sendiri kehebohan berita yang didengarnya dari kawan-kawannya sesama tokoh persilatan, mengenai pusaka peninggalan Dewi Ratih.
"Orang-orang percaya kalau di dalamnya ada seorang tokoh sakti," sahut salah seorang tokoh lainnya.
"Siapa bilang"!"
Tiba-tiba terdengar suara dari belakang.
Serentak para tokoh persilatan menoleh. Tampak seorang laki-laki kurus memakai baju panjang berwarna hitam. Wajahnya kelihatan angkuh, namun penuh percaya diri. Di pinggangnya terselip sebilah pisau agak panjang dengan gagang bengkok. Dengan langkah panjang, dia maju ke mulut gua.
"Siapa orang itu?" tanya salah seorang tokoh.
"Entahlah. Sepertinya dia pendekar dari negeri seberang...," sahut temannya.
"Lagaknya angkuh sekali. Dikira dia mampu masuk ke dalam gua dan keluar dengan selamat!" cibir yang lain.?????
"Kita lihat saja...."
"Siapa kau, Kisanak" Apakah kau berminat mengadu nasib di dalam gua ini?" tegur salah se-orang yang mengenakan topeng hitam.
"Aku Sampang! Bukan sekadar mencari peruntungan, tapi akan kulihat sampai di mana ke-angkeran isi gua ini!" kata laki-laki berbaju panjang hitam itu, sombong.
Orang bertopeng hitam itu mengangguk kecil.
"Silakan masuk, Kisanak! Tantanglah orang di dalamnya."
Tanpa banyak bicara lagi, laki-laki bernama Ki Sampang melangkah lebar ke dalam gua. Matanya menatap lebar dan telinganya dibuka tajam. Ujung terowongan yang dimasukinya tak terlihat oleh pandang mata biasa. Namun tokoh satu ini mampu melihatnya.
"Hup!"
Dengan cepat Ki Sampang masuk ke dalam sebuah ruangan yang merupakan ujung terowongan. Sebelum meneliti keadaan sekelilingnya, terdengar suara batu bergeser dengan cepat. Dan ketika menoleh, pintu terowongan telah tertutup batu besar. Namun, Ki Sampang tidak menjadi terkejut. Bahkan perhatiannya dipusatkan pada yang lain.
Set! Set! Seperti yang terjadi pada si Raksasa Kembar, maka hujan anak panah pun kembali menimpa tokoh yang satu ini. Namun dengan tenang, tubuhnya berkelit. Cepat dia melompat pada sebuah batu yang berukuran agak besar, dan bertiarap di dekatnya. Dengan begitu, hujan anak panah itu tidak terlalu menderanya. Bahkan sebagian berhasil ditangkis dan dielakkan!
Hujan anak panah itu berhenti. Dan Ki Sampang pun bangkit berdiri.
"Siapa pun kau, keluarlah! Aku Sampang me-nantangmu bertarung!" teriak Ki Sampang lantang.
"Ha ha ha...! Hanya dengan kepandaian seperti itu kau mengajakku bertarung"!" sahut satu suara yang memenuhi ruangan, dan bergema ke mana-mana.
"Diam kau! Perlihatkan dirimu...!" bentak Ki Sampang. Suaranya menggelegar, untuk membalas himpitan tenaga dalam yang dikerahkan lewat suara tawa tadi.
Saking hebatnya tenaga dalam yang dikerahkan Ki Sampang, terlihat beberapa bebatuan, dan kerikil ruangan ini bergetar dan rontok satu persatu!
"Hm.... Kau hendak pamer tenaga dalam di sini"!" leceh suara tanpa wujud yang terdengar sinis ketika Ki Sampang menghentikan teriakannya.
"Keluarlah kau. Dan, tidak usah main sembu-nyi-sembunyian padaku!" teriak Ki Sampang.
"Baiklah kalau itu yang kau inginkan."
Begitu suaranya selesai, maka saat itu juga berkelebat sesosok bayangan ke arah Ki Sampang, Gerakannya cepat laksana seekor kelelawar yang tengah menangkap mangsanya, saat menyambar.
"Huh!"
Ki Sampang mendengus sinis. Dan tanpa berbalik, sebelah tangannya dikibaskan untuk menangkis serangan.
Plak! Wut! "Hup!"
Meski telah mengerahkan tenaga dalam, tapi tetap saja Ki Sampang merasakan hantaman kuat pada lengannya. Dan sebelum sempat berbuat apa-apa, mendadak datang serangan kembali ke arah dadanya.
Ki Sampang terpaksa melompat ke belakang.
Tap! Begitu kedua kaki laki-laki ini menyentuh dinding ruangan, dengan digenjotnya. Seketika tubuhnya melenting dan langsung memapaki serangan seraya mencabut pisau yang terselip di pinggang.
Trang! Sesaat terdengar suara senjata tajam beradu. Dan Ki Sampang bermaksud menyodokkan ujung pisaunya ke bagian tubuh yang lunak dari sosok ini. Tapi sebelum hal itu dilakukan....
Brettt!?? "Aaakh...!"
Entah bagaimana caranya, tahu-tahu terasa sesuatu mengiris pangkal lengan kanan Ki Sam-pang. Dia menjerit. Bukan saja senjatanya yang terlepas, namun lengan kanannya pun ikut putus disambar senjata sosok itu.
"Hiih!"
Sosok itu tidak mau menyia-nyiakan kesempatan. Saat itu juga tubuhnya berkelebat, sambil membabatkan senjatanya yang berupa tongkat runcing.
Crasss! "Aaakh...!"
Sesaat kemudian terdengar jeritan panjang menyambung, tatkala perut Ki Sampang dirobek senjata sosok itu. Tubuh Ki Sampang langsung ambruk tak berdaya, berkumpul bersama mayat-mayat lain yang berserakan di tempat ini.
"Hm... Seharusnya kau mengerti, tak ada gunanya merebut benda yang bukan milikmu!" dengus sosok ini yang untuk sesaat tegak berdiri mengawasi mayat-mayat yang berserakan.
? *** ? "Orang itu mati! Tambah satu korban lagi!" desis seseorang yang berada dekat di mulut gua- sehingga jerit kematian Ki Sampang terdengar jelas.
"Kita tidak bisa terus begini, Tuanku Jubah Hitam!" bisik salah seorang bertopeng hitam, pada orang bertopeng lain yiang memegang tongkat di dekatnya.
"Ya, aku tahu!" sahut sosok yang tak lain siJubah Hitam.
"Apakah akan kita ledakan gua itu, Tuanku?"
"Tunggu dulu!"
"Kita tidak bisa menunggu lebih lama, Tuanku. Mereka akan semakin banyak berkumpul di sini!"
"Itu lebih baik. Lebih banyak korban, akan membuat jalan kita semakin mulus."
"Tapi, Tuanku...." '
"Jangan membantah lagi!"??????
"Baiklah..."
"Bagaimana keadaan yang lain" Apakah mereka telah berhasil menemukan jalan masuk dari arah lain?"
"Belum ada laporan, Tuanku."?
"Goblok! Apa saja kerja mereka"!"
"Tapi kurasa sebentar lagi akan berhasil, Tuanku."
"Hm.... Kuharap sajai begitu. Kalau tidak, nasib kalian akan sama dengan mereka yang telah masuk ke dalam gua itu!" dengus si Jubah Hitam yang membawa tongkat. "Bagaimana dengan bocah yang menjadi murid Ki Pulung?"
"Kami telah memaksa Ki Pulung. Dan sebentar lagi, tentu dia datang bersama bocah itu."
"Aku tidak mau bertele-tele lagi! Kalau dia tidak bisa dibujuk, pakai kekerasan!"
"Aku telah perintahkan begitu, Tuanku."
"Bagus!"
Percakapan mereka terhenti sejenak, karena saat itu tiga sosok tubuh bergerak menuju ke dalam gua.


Pendekar Rajawali Sakti 180 Penghianatan Di Bukit Kera di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hm.... Mereka adalah murid-murid Perguruan Macan Putih!" gumam si Jubah Hitam.
"Apakah menurut Tuanku mereka akan berhasil?"
"Mereka hanya mengantar nyawa sia-sia!" dengus si Jubah Hitam.
Sesaat beberapa orang bertopeng hitam menghampiri.
"Tuanku, kami membawa berita!" lapor salah seorang.
"Apa?" tanya si Jubah Hitam.
"Pemuda itu telah kami bawa."
"Bagus! Di mana dia?"
"Di belakang bukit, Tuanku. Dia bersedia menunjukkan jalan lain menuju Gua Griwa."
"Hmm...!"
"Bagaimana selanjutnya, Tuanku?"
"Aku akan ke sana. Dan sebagian, berjaga di sini sampai kuberi perintah selanjutnya!"
"Baik, Tuanku!"
Maka bersama beberapa orang anak buahnya, si Jubah Hitam angkat kaki dari tempatnya.
Namun hal itu agaknya tak lepas dari perhatian Pendekar Rajawali Sakti.
"Orang-orang itu pergi...."
"Dan sebagian tinggal di situ...," timpal Sakaweni.
"Kau pun curiga?"
"Ya! Akan kuikuti mereka!" sahut gadis itu cepat.
"Aku akan tetap mengawasi di tempat ini," kata Rangga.
"Hati-hati!"
Sakaweni mengangguk, lalu berkelebat dari tempat itu. Namun dia mengambil jalan memutar.
*** Dengan gerakan hati-hati sekali Sakaweni berusaha mengikuti si Jubah Hitam dari jarak yang cukup jauh.
"Mau ke mana mereka" Hm.... Aku yakin! Orang-orang ini yang menginginkan kematianku. Siapa mereka sebenarnya?" gumam gadis ini dengan perasaan geram.
Kalau menuruti perasaan, ingin rasanya gadis ini menyergap sekaligus membuka kedok orang-orang itu. Setelah mengetahui wajah-wajah mereka, maka selanjutnya pedangnya akan bicara untuk menghukum. Tapi sebisa mungkin, dia berusaha menahan diri.
"Mereka tentu bukan orang-orang sembarangan. Terlebih lagi, orang yang membawa tongkat itu. Aku yakin kalau dia pemimpinnya. Hm.... Aku mesti tahu dulu, apa yang akan mereka lakukan. Baru setelah itu, menentukan langkah selanjutnya.
Orang-orang bertopeng hitam itu menuju ke balik bukit yang jaraknya kurang lebih seratus lima puluh tombak dari Gua Griwa kalau ditarik garis lurus. Di sana, telah menunggu beberapa orang bertopeng lainnya. Dua dari mereka, tampak sedang mengapit seorang pemuda yang kedua tangannya dibelenggu di belakang.
"Hm.... Inikah bocah itu?" tanya si Jubah Hitam ketika telah tiba di hadapan pemuda yang ditawan anak buahnya.
"Ya, Tuanku!" sahut salah satu orang bertopeng yang mengapit pemuda itu.
"Sudah tanyakan padanya?"
"Sudah, Tuanku! Dia bersedia bekerja sama."
"Hmm...."
Si Jubah Hitam yang memegang tongkat memandang sesaat lamanya pada pemuda di depan-nya.
"Benarkah kau bersedia menunjukkan letak jalan keluar dari dalam gua itu, Bocah?" tanya si Jubah Hitam.??
"Aku tidak yakin...."
"Mudah-mudahan kau bisa menemukannya. Karena kalau tidak..., kau tidak akan melihat matahari esok!" desis si Jubah Hitam.
Wajah pemuda itu tampak pucat. Nyata kalau dia ketakutan mendengar ancaman.
"Ayo, ingat-ingat!
"Aku sudah katakan pada mereka, bahwa aku keluar dari mulut Gua Griwa."
"Aku tidak tanyakan itu. Tapi, nanti setelah kita berada di dalam!" tukas si Jubah Hitam.
"Baiklah, akan kucoba mengingat-ingatnya...," sahut pemuda itu, ragu.
"Hm, tunjukkan jalan keluar itu!" ujar si Jubah Hitam pada anak buahnya.
"Aku yakin di sini letaknya Tuanku!" tunjukseorang anak buah si Jubah Hitam sambil menge-tuk-ngetuk dinding bukit di dekatnya.
"Hm.... Pasti ada cara bagaimana membuka pintunya."
"Kami sudah telusuri semuanya. Namun, hasilnya nihil, Tuanku. Agaknya pintu ini terbuka dan tertutup lagi dalam waktu singkat. Kami yakin hanya bisa dibuka dari dalam,"
"Kalau begitu, tidak ada cara lain!" dengus si Jubah Hitam.
Si Jubah Hitam segera maju mendekati dinding bukit itu. Diketuk-ketuknya sebentar, lalu mundur beberapa langkah.
"Menepilah Kalian!" ujar si Jubah Hitam.
Orang-orang bertopeng itu mengerti apa yang hendak dilakukan pemimpinnya. Maka ketika orang-orang itu mulai menyingkir, si Jubah Hitam segera menarik napas dalam-dalam seraya meng-angkat kedua telapak tangannya di bawah dada. Lalu"
"Hup! Yeaaa...!"
Dari kedua telapak tangan si Jubah Hitam terlihat selarik cahaya biru tua melesat menghantam sasaran.???
Blarrr...! Dinding bukit yang terbuat dari batu cadas itu kontan hancur berantakan menimbulkan suara keras. Seketika terlihat sebuah terowongan yang menanjak ke atas melalui anak tangga.
"Hm... Berarti apa yang dikatakan si Darta Rawon memang benar," gumam si Jubah Hitam pelan.
"Tuanku! Apa yang akan kita kerjakan sekarang?" tanya seorang anak buahnya seraya mendekat.
"Bawa bocah itu ke dalam. Dan dua orang dari kalian memberi tahu yang lain agar mereka masuk lewat depan, seperti yang kita rencanakan!" ujar si Jubah Hitam.
"Baik, Tuanku!"
Dua orang segera berkelebat. Dan yang lain membawa pemuda itu masuk ke dalam. Sedangkan si Jubah Hitam yang menyusul di belakang. Namun baru melangkah beberapa tindak...
"Tuanku, buruan kita ada di sini!" teriak orang bertopeng pertama kali angkat kaki,
"Hmm!"
Si Jubah Hitam itu menghentikan langkah. Demikian pula yang telah lebih dulu masuk. Mereka keluar lagi, ketika melihat dua kawannya tengah bertarung melawan seorang gadis bersenjata pedang.
"Yeaaat...!"
Gadis yang tidak lain dari Sakaweni tampakmengamuk dahsyat. Semula, dia ingin mengikuti dari belakang. Tapi siapa nyana, kedua orang bertopeng itu ternyata memergokinya. Maka kepalang basah, dia bermaksud menghabisi mereka. Tapi, ternyata kedua lawannya bukan orang sembarangan. Sehingga tidak mudah baginya untuk melumpuhkan secepatnya.
"Bantu mereka! Tangkap gadis itu!" ujar si Jubah Hitam.
"Baik, Tuanku!"
Dua anak buahnya yang lain melompat dan ikut mengeroyok si gadis.
"Hm, main keroyok! Kenapa tidak sekalian saja semua turun tangan" Aku masih mampu menghabisi kalian!" dengus gadis itu,
"Tutup mulutmu, Gadis Liar! Kali ini kau tidak akan bisa lolos lagi!" bentak salah seorang,
"Huh! Buktikan mulut besarmu!"
"Yeaaa...!"
Empat orang bertopeng segera bergerak dari empat arah, Diserangnya gadis itu dengan meng-gunakan jurus-jurus ilmu pedang,
"Hiih!"
Trang! Sakaweni mencelat ke atas, Dua lawannya mengikuti, mengancam dua kakinya, Dengan cepat gadis ini jungkir balik sambil mgrigibaskan pedangnya.
Sret! "Ohhh!"
Salah satu orang bertopeng terkesiap ketika selubungnya terlucuti pedang gadis itu. Sehingga wajahnya terlihat. Rupanya, dia seorang laki-laki tua. Namun gadis itu tidak mengenalinya. Sementara, pemuda berbaju putih yang tertawan terkejut melihat wajah orang yang topengnya terlepas.
"Guru! Kau..., kau..."!" seru pemuda itu de-hgan wajah tak percaya.
Seruan pemuda itu membuat Sakaweni ter-pana. Hanya sesaat, namun digunakan sebaik-baiknya. Salah seorang dari mereka langsung menotok tengkuk Sakaweni itu dari belakang.
Tuk! Tuk! "Ahhh...!"
Gadis itu ambruk tak berdaya seperti dilolosi tulangnya ketika dua totokan mendarat di teng-kuknya. Pedang di tangannya cepat berpindah tangan.
"Bajingan keparat! Lepaskan aku! Aku masih mampu menghadapi kalian semua!" teriak Saka-weni geram.
? *** ? Selanjutnya Bagian 7-8 (selesai)
? Penghianatan di Bukit Kera
Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 " 180. Penghianatan di Bukit Kera ~ Bag. 7-8 (selesai)
March 19, 2015 at 8:12am
7 ? "Tidak perlu kau berteriak-teriak begitu, Anak Manis. Tidak berguna! Kenapa tidak bersikap manis saja?" kata si Jubah Hitam, seraya mendekati.
"Siapa kau"! Aku seperti pernah mendengar suaramu sebelumnya!" bentak Sakaweni.
"Begitukah?"
"Hm, aku tahu!" seru gadis ini dengan mata melotot garang. "Kau adalah...."
Tuk! Belum lagi gadis itu menyelesaikan kata-katanya, ujung tongkat si Jubah Hitam telah menotok urat suaranya. Sehingga, dia tak mampu menggerakkan lidahnya.
"Sebenarnya, ibumu yang kuharapkan muncul. Tapi, wanita itu terlalu angkuh. Merasa bukan derajatnya untuk turun tangan dalam urusan ini. Tapi, kurasa kau pun berguna untuk memancingnya keluar dari pertapaannya," kata si Jubah Hitam.
Gadis itu melotot garang menandakan amarah di dadanya.
"Hi hi hi...! Lebih baik simpan amarahmu. Sebentar lagi, kau akan bergabung dengan yang lain.
Bawa dia!" perintah si Jubah Hitam.
"Baik, Tuanku!"
Dua orang anak buah si Jubah Hitam segera membopong gadis itu. Sementara dua lainnya me-nuju mulut Gua Griwa untuk menghubungi kawan-kawannya yang berada di sana. Dan sisanya kembali melanjutkan niat semula, untuk masuk ke dalam terowongan.
"Guru! Kenapa kau lakukan ini padaku?" tanya pemuda yang menjadi tawanan seraya memandang anak buah si Jubah Hitam yang tadi kena dilucuti Sakaweni.
"Maafkan aku, Badrawata...," ucap laki-laki tua itu sambil menundukkan kepala.
"Pulung! Cepat laksanakan tugasmu! Aku tidak suka bermain-main di sini. Hilangkan perasaanmu!" bentak si Jubah Hitam.
"Baik, Tuanku!" sahut laki-laki tua yang ter-nyata Ki Pulung, Ketua Perguruan Macan Putih.
"Guru...," sebut pemuda yang ternyata Badrawata.
Ki Pulung tidak berkata apa-apa lagi, selain mendorong tubuh Badrawata, muridnya sendiri, untuk masuk ke dalam terowongan. Meski pemuda ini berkali-kali memanggil, tapi yang dipanggil tetap diam membisu.
"Terus Jalan dan ingat-ingat lorong yang pemah kau lalui. Kalau tidak, kalian berdua akan kubunuh!" dengus si Jubah Hitam mengancam.
Grek! Grek! "Hei"!"
Badrawata terkejut ketika tiba-tiba sebuah dinding batu turun dari atas menutupi jalan mereka.
"Ha ha ha...! Apakah kalian kira begitu mudah masuk ke tempat ini?"
Mendadak saja terdengar sebuah suara tanpa wujud.
"Perlihatkan dirimu padaku!" bentak si Jubah Hitam.
"Menuruti keinginanmu, sama artinya menuruti keinginan iblis. Lalu, mengapa aku mesti menuruti keinginan iblis?" sahut suara itu lagi.
"Pengecut!" maki si Jubah Hitam.
"Ha ha ha...! Percuma saja. Kau boleh berteriak dan memaki seenakmu. Tapi, pintu ini tidak akan terbuka bagi mereka yang coba mengambil pusaka majikanku!"
"Siapa pun adanya kau, pasti keturunan si Jambang Seto keparat!" lanjut si Jubah Hitam memaki.
Tak ada sahutan.
"Hei, keturunan Jambang Seto! Keluarlah kau. Dan, perlihatkan dirimu!" teriak si Jubah Hitam makin kalap.
"Kau tahu leluhurku" Hm, tidak banyak yang mengetahuinya. Kecuali, kau keturunan para pengkhianat!" sahut suara tadi.
"Mungkin derajat kita sama. Aku keturunan pengkhianat. Dan, kau keturunan penjilat busuk! Leluhurmu itu sama dengan anjing buduk!" umpat si Jubah Hitam.
"Tutup mulutmu!" bentak suara tanpa wujud dengan suara mengguntur.
"Hi hi hi...! Kau marah, he"! Berarti dugaanku benar. Kau hanya keturunan penjilat hina. Aku akan menghancurkanmu! Ayo, perlihatkan dirimu, Anjing Busuk!"
Kembali tak terdengar sahutan. Dan si Jubah Hitam mengira kalau lawan bicaranya tengah me-ngendalikan nafsu amarahnya.
"Ayo, penjilat busuk! Anjing busuk! Keluarlah kau. Perlihatkan dirimu yang menjijikkan itu!" teriaknya lantang.
Tetap saja tak ada sahutan.
"Keparat!" maki si Jubah Hitam.
Dengan serta merta, si Jubah Hitam menghentakkan kedua tangannya, Pukulan mautnya dike-luarkan untuk menghancurkan dinding batu di depannya,
"Hup! Heaaa...!"
Siut! Jderrr! Seketika batu di depan si Jubah Hitam hancur berantakan. Namun, dinding batu lainnya telah menghalangi.
"Kurang ajar!" maki si Jubah Hitam geram.
"Pulanglah kalau tak ingin mengalami kematian. Percuma saja kalau kau coba menghancurkan tempat ini. Setiap anak tangga memiliki dinding batu di atasnya. Sedangkan anak tangga yang akan kalian lalui, lebih dari lima puluh. Tenagamu akan habis sebelum kau mampu menghancurkan semuanya!" kata suara tanpa wujud tadi.
"Tutup mulutmu!" bentak si Jubah Hitam seraya melepaskan kembali pukulannya sampai beberapa kali.
Namun yang terjadi tetap sama. Dinding batu kedua hancur, tapi tetap ada lagi dinding batu ke-tiga, Dinding batu ketiga hancur, namun ada lagi dinding batu keempat, Begitu seterusnya, sampai si Jubah Hitam merasa jemu sendiri.
"Keparat! Aku pasti akan menemukan cara untuk masuk ke dalam dan menghancurkanmu!" desis si Jubah Hitam geram,
Tak ada sahutan lagi, Dan si Jubah Hitam segera mengajak anak buahnya untuk segera me-ninggalkan tempat ini.
? *** ? Pendekar Rajawali Sakti merasa curiga ketika melihat beberapa orang bertopeng menghampiri kawan-kawannya. Sementara Sakaweni tidak terlihat ikut membuntuti mereka. Ke mana gadis itu"
"Hmm...."
Rangga mengerutkan dahi, ketika melihat orang-orang bertopeng itu bergerak menuju mulut gua, setelah tidak ada lagi yang berani masuk ke dalamnya.
Tapi baru saja mereka hendak melangkah masuk, mendadak pintu gua itu tertutup.
Drrr...! Terdengar suara gemuruh seperti runtuhnya bebatuan dari atas gunung.
"Kurang ajar! Apa ini"!" bentak salah satu orang bertopeng.
"Hei, siapa pun kau! Bila benar-benar jantan, bukalah pintu gua ini. Dan, hadapi kami!" teriak orang bertopeng, lantang.
Tak terdengar sahutan. Begitu juga ketika yang lain berteriak menantang, tetap saja tidak terdengar sahutan. Sehingga membuat kesal orang-orang bertopeng itu.
"Kurang ajar! Agaknya dinding batu ini mesti kita hancurkan!" dengus orang bertopeng itu ber-siap-siap hendak mengerahkan pukulan mautnya.
Tapi sebelum hal itu dilakukannya, salah seorang membisiki sesuatu. Orang itu mengangguk, lalu berpaling pada tokoh-tokoh yang berada di tempat ini.
"Kisanak semua! Kalian lihat sendiri kepenge-cutan penghuni gua ini! Setelah dia membunuh kawan-kawan kita, kini dia menutup pintu gua dan melupakan semua. Kita tidak bisa menerima semua ini! Dia harus bertanggung jawab! Dia harus mati untuk menebus kematian kawan-kawan kita yang lain!" teriak orang bertopeng itu.
"Mereka bukan kawan-kawan kami!" teriak beberapa orang.
"Kematian mereka adalah tanggung jawabnya sendiri. Kenapa kami mesti repot-repot"!" timpal yang lain.
"Kalau kalian mau masuk, silakan saja!" sahut yang lain.
Mendengar jawaban, orang bertopeng itu tidak mau mundur dan kembali membujuk.
"Kedatangan kita di sini untuk tujuan yang sama. Yaitu, ingin merebut pusaka peninggalan Dewi Ratih. Kenapa kita tidak bekerjasama" Kalau kami yang mendapatkan lebih dulu, maka kalian tidak akan mendapat apa pun. Tapi kalau kalian membantu kami, maka meski bantuan itu sedikit, akan dihargai dan tentu saja ada imbalannya."
"Imbalan apa yang hendak kalian berikan"!" tanya seseorang.
"Intan, berlian, emas, atau perak yang terdapat dalam gua ini!"
"Kami tak pernah dengar kalau Dewi Ratih mewariskan barang-barang berharga seperti itu."
"Itu karena kalian tidak mengetahuinya. Sedangkan majikan kami mengetahuinya. Memang selain benda-benda itu, masih ada yang lebih berharga. Khususnya, bagi kalangan persilatan. Yaitu, kitab pusaka berisi kesaktian Dewi Ratih yang tersimpan dalam sebuah patung. Barang siapa yang mau membantu, maka kelak akan kami pinjamkan kitab itu. Atau, kami beri kesempatan pada kalian untuk menyalinnya!"
Tawaran pertama memang menggiurkan. Tapi bagi kalangan persilatan tawaran kedua justru yang paling menggiurkan. Kalaupun mereka setuju, mungkin sekadar ingin menikmati cipratan rejeki. Namun, tidak jarang ada juga yang berniat licik.
"Sekarang kita bantu dulu mereka. Tapi begitu kitab itu ada pada kita, buat apa pikirkan yang lain!" dengus seseorang.
"Ya! Kita bawa lari saja!" timpal yang lain.
"Apa yang harus kami lakukan sekarang"!" tanya beberapa orang.
"Kita hancurkan batu-batu ini bersama-sama, lalu masuk ke dalam bersama-sama juga!" sahut orang bertopeng itu.
"Baiklah! Ayo, mari kita gempur bersama-sama!" teriak seseorang memberi semangat pada yang lain.
"Ayo! Ayo...!"
Saat itu juga, beramai-ramai mereka menggempur dinding batu yang menghalangi mulut gua. Satu dinding batu rontok, namun dinding batu lainnya menghalangi. Tapi dengan penuh semangat mereka terus menghancurkan dinding batu lainnya.
Sementara mereka menghancurkan dinding batu itu, ada juga yang tidak ikut-ikutan. Dan mereka hanya menonton saja. Termasuk di antara mereka adalah Rangga. Pemuda itu sedikit gelisah karena Sakaweni belum juga muncul.
"Hm, ke mana dia?" gumam Pendekar Rajawali Sakti lirih.
Pada saat itu Dewa Bayu yang tadi dilepasnya untuk merumput, datang menghampiri sambil mendengus kasar.
"Ada apa, Dewa Bayu" Kau ingin memberitahu sesuatu padaku?" tanya Rangga.
"Hieee...!"
Kuda hitam itu mengusap-usap tubuhnya. Ditariknya lengan Rangga. Dan Pendekar Rajawali Sakti cepat mengerti isyarat yang diberikan hewan tunggangannya.
"Ayo, tunjukkan apa yang hendak kau beri-tahukan padaku!" ujar Pendekar Rajawali Sakti seraya melompat ke punggung Dewa Bayu.
Dengan serta merta kuda itu berlari kencang meninggalkan wilayah Gua Griwa. Ditembusnya semak belukar.
Beberapa saat kemudian hewan itu berhenti di kaki bukit yang masih berhubungan dengan bukit-bukit yang ada di Gua Griwa. Di situ terdapat sebuah gua yang cukup besar. Kelihatan sepi dan tak terjaga. Di sekitar mulut gua, banyak ditumbuhi pohon-pohon merambat. Sehingga, sebagian pintunya tertutup.
"Beberapa tanaman di bawahnya rusak seperti diinjak orang. Hm.... Gua ini berpenghuni! Tapi siapa! Orang-orang bertopeng itukah?" gumam Rangga seraya melompat turun dari punggung kudanya. Perlahan-lahan dihampirinya mulut gua.
Setelah mengetrapkan aji 'Pembeda Gerak dan Suara', Pendekar Rajawali Sakti masuk ke dalam dengan sangat baik-baik dan kewaspadaan tinggi.
"Hmm!"
Pendekar Rajawali Sakti merapatkan tubuh ke dinding ketika telinganya mendengar gerak-gerik seseorang di ujung lorong gua. Perlahan-lahan dia mendekat, dan melihat sebuah ruangan besar berbentuk segi empat. Dua orang berjaga-jaga di situ. Mereka memakai topeng hitam.
Rangga berpikir sebentar, sebelum menemukan akal. Dilemparnya sebuah batu ke mulut gua, sehingga menimbulkan suara yang mencurigakan.
"Hei, apa itu"!" seru salah satu orang bertopeng.
"Coba periksa," ujar yang satunya.
"Ah! Paling-paling juga kawan-kawan kita."
"Periksa saja! Kalau ada sesuatu kau yang tanggung akibatnya!"
"Baiklah..."
Dengan langkah malas, orang itu melangkah keluar. Tapi begitu jaraknya telah dekat, tendangan Rangga langsung menghantam perut.
Des! "Hugkh!"
? *** ? Orang bertopeng itu menjerit tertahan. Tubuhnya terhuyung-huyung kontan ke belakang. Tapi Rangga tidak memberi kesempatan. Langsung kepalan tangan kanannya disodokkan ke dada dan tengkuk.
Begkh! Dek! "Ohh...!"
Orang bertopeng itu langsung ambruk tak sa-darkan diri. Tapi saat itu juga, kawannya mencelat menyerang.
"Yeaaat!"
"Uts! Sial!" umpat Rangga ketika nyaris saja serangan itu menghancurkan batok kepalanya. Masih untung dia sempat membungkuk, sehingga tendangan itu luput dari sasaran.
Sring! Pendekar Rajawali Sakti cepat mencelat ke belakang, ketika orang bertopeng itu mencabut pe-dang seraya langsung menyabetkannya ke pinggang. Begitu mendarat, Rangga langsung berkelebat sambil mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Langsung dihantamnya orang itu dengan pukulan telak hingga seperempat tenaganya.
"Hiih!"
"Hup!"
Orang bertopeng itu tercekat merasakan angin sambaran pukulan yang bertenaga dalam kuat. Namun dengan gesit dia menghindar sambil melompat ke samping.
Sementara, Rangga tidak memberi kesempatan lagi. Begitu orang bertopeng itu bersiap, tangan kirinya menyodok ke perut. Sedangkan tangan kanannya menghantam ke tengkuk. Begitu cepat gerakannya, hingga....
Desss! Dukkk! "Aaakh...!"
Orang bertopeng itu kontan ambruk tak sadar-kan diri, setelah melenguh pendek.
Grek! Grek! "Hiih!"
Saat itu juga dari salah satu dinding ruangan, terdengar suara batu bergeser. Begitu Rangga menoleh, tampak dua sosok tubuh bertopeng langsung lompat menyerang dengan ganas. Tapi Rangga tak tinggal diam. Tubuhnya cepat berkelebat, sambil mengerahkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.
Des...! Prak...!
"Aaakh...!"
Kedua orang bertopeng itu kontan terpekik kesakitan dan ambruk tak berdaya ketika hantaman Pendekar Rajawali Sakti mendarat di dada dan ge-raham. Saat itu juga Rangga masuk ke dalam terowongan lain, tempat kedua orang bertopeng itu keluar.
Panjang terowongan itu sekitar sepuluh tombak, dan kembali bertemu dengan sebuah ruangan besar. Di situ, terdapat sebuah kerangkeng yang terbuat dari jeruji besi. Di dalamnya terdapat empat tawanan yang masing-masing dirantai pada kedua tangan dan kaki. Dua di antara mereka cukup dikenal Rangga. Yaitu, Sakaweni dan Ki Wangsa Kelana.
"Berhenti kau!"
Terdengar bentakan yang diikuti berkelebatnya satu sosok. Dan dia langsung menghadang dengan pedang terhunus.
Tidak seperti yang lainnya, orang ini tidak mengenakan topeng. Sehingga Rangga bisa melihat seraut wajah laki-laki tua penghadangnya.
"Hiih!"
Tanpa menunggu jawaban lagi, laki-laki tua ini langsung membabatkan pedang. Rangga cepat melompat ke samping sambil mengayunkan tendangan.
Wut! "Hup!"???
Laki-laki tua itu terkesiap. Namun cepat tubuhnya melompat ke belakang menghindari tendangan berhawa maut. Namun, tak urung dadanya berdetak lebih kencang merasakan angin sambaran bertenaga kuat dari tendangan pemuda itu.
"Hiih!"
Setelah mampu menguasai diri, laki-laki tua ini mengibaskan pedang. Tapi, Rangga telah bergerak ke samping kiri, seraya melepaskan tendangan lewat jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.
Duk! "Ahh...!"
Laki-laki tua itu kontan ambruk tak sadarkan diri, seperti kawan-kawannya yang lain. Sementara Rangga cepat bergerak ke arah para tawanan.
"Kalian baik-baik saja?" tanya Rangga.
"Cepat lepaskan kami! Kita harus mengejar bangsat itu secepatnya!" teriak Sakaweni.


Pendekar Rajawali Sakti 180 Penghianatan Di Bukit Kera di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tenanglah dulu!"
Rangga mundur selangkah. Lalu tangannya bergerak ke atas, mencabut pedang yang bersinar biru berkilauan. Begitu pedangnya di atas kepala, Rangga cepat memapas putus kerangkeng yang mengurung keempat orang itu. Lalu, satu persatu belenggu yang mengikat dipapasnya.
"Pedang hebat!" puji Ki Wangsa Kelana. "Belenggu ini alot sekali. Makin dikerahkan tenaga untuk memutusnya, makin kuat mencengkeram pergelangan tangan!"
"Sudah! Kita harus buru-buru ke sana! Ayo cepat!" ajak Sakaweni.
"Aku di sini saja...," sahut pemuda berbaju putih, yang tidak dikenal Rangga. "Orang ini gu-ruku...."
Pemuda yang tak lain Badrawata menghampiri laki-laki tua yang terakhir dijatuhkan Rangga.
"Terserah saja! Ayo mari kita pergi!" kata Sakaweni selanjutnya.
? *** ? 8 ? "Apa yang kalian kejar?" tanya Rangga ketika mereka mulai berlari.
"Pemimpin mereka!" sahut Sakaweni.
"Hm.... Kau sudah tahu siapa dia?"
"Paman Darta Rawon telah memberitahu. Co-cok dengan dugaanku semula."
"Paman Darta Rawon?"
"Ya! Itu laki-laki yang bersama Ki Wangsa Kelana," jelas gadis itu.
Rangga mengangguk.
"Mereka hendak menghancurkan gua itu!" jelas Sakaweni lagi.
"Bagaimana caranya?" tanya Rangga.
"Entahlah. Mungkin meledakkannya."
"Meledakkannya?"
"Ya! Mereka punya bahan peledaknya. Hal itu dilakukan, kalau mereka tetap tidak menemukan benda-benda pusaka peninggalan sang Dewi."
"Apa sebenarnya yang mereka inginkan" Biasanya seseorang yang menginginkan suatu pusa-ka, akan berusaha memperolehnya dengan cara apapun tanpa merusaknya?" tanya Pendekar Rajawali Sakti lagi bingung.
"Ini bukan sekadar memiliki pusaka, tapi juga untuk membalas dendam," jawab Sakaweni, gam-blang.
"Apa maksudmu?"
"Masih ingat ceritaku" Di antara kami ada pengkhianat. Sang Dewi bermaksud menghukum mati. Tapi karena tidak mau menunjuk secara langsung siapa yang bersalah, beliau hanya mengusir keturunan kami. Masing-masing di antara keturunan kami, berusaha mencari siapa pengkhianat itu. Namun tak seorang pun yang mengaku. Sampai sekarang! Kini mulai terlihat siapa pengkhianat itu sebenarnya," jelas gadis itu lagi, panjang lebar.
"Maksudmu orang yang mengurung kalian?"
"Tepat!"
"Tapi, apa gunanya mengurung kalian?"
"Masing-masing di antara nenek moyang kami, punya ilmu silat berbeda meski dasarnya sama. Kalau digabungkan menjadi satu, itulah inti ilmu silat utama yang dimiliki sang Dewi. Orang itu membius kami satu persatu, sehingga berhasil memaksa untuk menunjukkan ilmu silat kami. Dia kini amat berbahaya dengan ilmu silat yang dimilikinya. Aku tak yakin, apakah penjaga gua itu mampu menghadapinya," jelas Sakaweni.
"Apa artinya bagi kalian semua ini?" Tanya Rangga.
"Kami adalah keturunan pengabdi. Setengah jiwa kami untuk mengabdi pada sang Dewi. Karena beliau telah tiada, maka kami wajib melestarikan peninggalannya. Tanggung jawab si penjaga gua, menjadi tanggung jawab kami pula. Kalau orang-orang itu merusak isi gua, maka berarti merusak kami pula," jeias gadisi ini lagi.
Rangga mengangguk mengerti mendengar penjelasan itu.
Kini mereka tiba di mulut Gua Griwa. Keadaan di tempat itu kelihatan ribut. Suara jeritan dari dalam gua mengundang mereka yang masih berada di luar untuk menyerbu masuk.
"Celaka! Orang-orang itu telah berada di da-lam!" seru Sakaweni.
"Apa yang bisa kita lakukan" Apakah mengikuti mereka menerobos masuk?" tanya Rangga.
"Kita ambil jalan memutar. Aku tahu tempat-nya!" sahut Ki Darta Rawon.
Maka mereka segera memutar haluan, menuju belakang bukit. Itulah tempat dulu Ki Darta Rawon pernah keluar dari dalam gua.
"Kurang ajar! Mereka telah mendahuluinya!" dengus orang tua itu ketika melihat salah satu dinding bukit hancur berantakan.
"Tapi, mereka tidak berhasil masuk, karena dinding batu ini berlapis-lapis," kata Ki Wangsa Ke-lana.
Tapi baru saja mereka kebingungan memikir-kan langkah selanjutnya.
"Yeaaat...!"
Mendadak terdengar teriakan dahsyat dari atas bukit, membuat semua kepala menoleh ke sana.
"Hei"!"
"Itu mereka!" tunjuk Sakaweni ketika melihat dua orang tengah bertarung di puncak bukit.
Seorang dari mereka memakai jubah dan to-peng hitam. Senjatanya berupa tongkat. Dialah yang dipanggil dengan nama si Jubah Hitam. Se-mentara yang seorang laki-laki bertubuh jangkung dan agak kurus. Senjatanya berupa pedang, Rambutnya panjang, hingga menutupi sebagian wajahnya. Pakaianya kumal seperti tak pernah diganti bertahun-tahun.
Si Jubah Hitam agaknya tidak sendiri, karena beberapa anak buahnya yang sama-sama menge-nakan topeng hitam tak lama kemudian menyusul ke atas. Dan mereka pun ikut bantu menyerang.
"Lebih baik kau menyerah saja, Anjing Busuk! Dan, serahkan kitab pusaka itu padaku. Dengan begitu, nyawamu akan kuampuni!" bentak si Jubah Hitam.
"Aku tidak bermaksud membunuhmu. Karena aku tahu, kau keturunan dayang sang Dewi. Tapi, kenapa kau memaksaku" Mestinya kau mengerti bahwa ini adalah kewajiban kita bersama menga-mankan warisan sang Putri," sahut sosok berpakaian kumal.
"Tutup mulutmu! Jangan bawa-bawa nama sang Dewi sebagai topengmu. Aku tidak berurusan dengannya!"
"Hm, kau menyalahi aturan! Aku yakin, nenek moyangmu yang berniat meracuni sang Dewi!"
"Bedebah! Serahkan saja kitab pusaka itu padaku. Dan kau akan kubiarkan hidup!"
"Langkahi mayatku lebih dulu sebelum kau bisa mengambilnya!"
"Huh! Sebentar lagi mereka akan berhasil mengambilnya!"
"Kau bermimpi bila berharap bisa menemukannya. Meski kalian berhasil mengacak-acak isi gua, namun pusaka itu tak akan bisa ditemukan. Siapa pun yang berhasil menemukannya, tidak akan selamat."
"Huh, banyak omong! Mampuslah kau!"
? *** ? Si Jubah Hitam menyerang lawannya dengan bernafsu. Dan kalau laki-laki berpakaian kumal coba menghindar, maka anak buah si Jubah Hitam bersamaan menyerangnya. Menghadapi mereka, mungkin dia tidak begitu kesulitan. Tapi menghadapi serangan si Jubah Hitam, dia agak kewalahan. Bahkan serangan-serangannya selalu kandas di tengah jalan. Sebaliknya, serangan-serangan si Jubah Hitam semakin gencar saja.
"Hi hi hi...! Percuma saja kau menyerangku, Anjing Buduk! Sekian lama kau berada di dalam gua, yang kau kuasai hanya penyerangan dalam ruang sempit dan gelap. Tapi kali ini, kau berada di tempat luas dan terang. Jurus-jurusmu tidak berguna menghadapiku!" ejek si Jubah Hitam.
Apa yang dikatakan si Jubah Hitam memang tidak salah. Selama ini, laki-laki berpakaian kumal itu selalu berada di dalam gua. Dia terbiasa dalam pertarungan jarak dekat di ruang sempit dan agak gelap. Tapi agaknya bukan hal itu saja. Namun juga ada hal-hal lain yang mempengaruhinya. Yaitu, si Jubah Hitam selalu mengetahui ke mana dirinya bergerak menyerang. Bahkan telah menyiapkan serangan balasan.
Laki-laki berpakaian kumal ini kini memutar pedangnya, menyambar ke pinggang. Namun si Jubah Hitam telah mencelat ke samping. Lalu tiba-tiba, si Jubah Hitam telah mencelat ke atas sambil mengibaskan tongkat. Terpaksa laki-laki berpakaian kumal memapaknya.
Trang! Suara benturan senjata terdengar keras. Ter-lihat laki-laki berpakaian kumal masih mampu menebaskan pedang ke dada si Jubah Hitam.
Namun, si Jubah Hitam telah berkelebat cepat. Dan tahu-tahu tongkatnya sudah disodokkan dari bawah.
Diegkh...! "Uhh...!"
Laki-laki berpakaian kumal itu kontan menjerit kesakitan ketika gerakannya terhantam tongkat. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang dan langsung disambut oleh anak buah si Jubah Hitam dengan sabetan pedang.
"Hup!"
Dengan sigap laki-laki berpakaian kumal itu mencelat ke samping sambil mengibaskan pedang.
Trang! Dua orang bertopeng yang lain cepat memba-bat kakinya. Sehingga, terpaksa laki-laki berpakaian kumal itu kembali mencelat ke atas. Dua lawan lainnya pun agaknya telah menunggu. Mereka langsung membabatkan pedang.
"Yeaaat"!"
Namun dengan gerakan mengagumkan, tubuh laki-laki kumal itu berputaran di udara sambil memapaki.
"Hiih!"
Trang! Kedua orang bertopeng itu terhuyung-huyung kesakitan, setelah senjata mereka terbentur pedang. Laki-laki kumal itu bermaksud menghabisi keduanya. Tapi saat itu, serangan si Jubah Hitam telah mengancamnya dari belakang.
"Uts!"
Laki-laki kumal segera berkelit ke samping, dan terus meluncur ke bawah menghindari serangan tongkat si Jubah Hitam. Tapi anak buah si Jubah Hitam tidak membiarkan begitu saja. Mereka langsung menyerang dengan gencar. Sehingga, laki-laki bertubuh jangkung dan kumal itu kembali kerepotan. Dan saat itu juga digunakan sebaik-baiknya oleh si Jubah Hitam untuk melakukan serangan gencar.
"Heaaat!"
Tubuh si Jubah Hitam berkelebat, sambil membabatkan tongkatnya. Dan....
Bugkh! "Akh!"
Laki-laki bertubuh jangkung itu menjerit kesakitan ketika punggungnya dihantam tongkat si Jubah Hitam. Dia sempat ambruk, meski cepat bangkit. Tapi si Jubah Hitam tidak memberi kesempatan. Tongkatnya seketika kembali menggebuk.
Begkh! "Argkh!"
Kali ini yang jadi sasaran adalah perut. Maka kontan laki-laki kumal itu memekik kesakitan dan terjungkal ke belakang. Saat itu juga, tiga anak buah si Jubah Hitam langsung menghunuskan pedang untuk menghabisinya. Namun....
"Bangsat terkutuk! Hentikan perbuatan kalian!"
"Hei"!"
Sebuah teriakan keras, membuat gerakan orang-orang bertopeng itu berhenti. Demikian pula si Jubah Hitam. Begitu mereka menoleh, tampak tegak berdiri empat sosok tubuh yang dikenalnya. Mereka tak lain dari Sakaweni. Rangga, Ki Darta Rawon, dan Ki Wangsa Kelana.
"Hi hi hi...! Kalian rupanya. Bagus, berkum-pullah di sini. Jadi, aku mudah membereskan kalian semua!"
"Topeng itu tidak berguna lagi, Bibi Gandasari! Aku telah tahu siapa kau sebenarnya!" bentak Sakaweni.
"Hmm!"
Si Jubah Hitam mendengus dingin. Diberinya isyarat pada anak buahnya untuk membereskan keempat tokoh persilatan yang baru muncul.
"Yeaaa...!"
Pertarungan terjadi kembali, dan kini terbagimenjadi dua. Keempat tokoh yang baru muncul itu terpaksa harus meladeni anak buah si Jubah Hitam. Sedangkan si Jubah Hitam, telah kembali bertarung melawan laki-laki berbaju dekil yang tengah terluka.
Sementara itu keributan di atas bukit itu telah mengundang perhatian tokoh-tokoh lain yang masih banyak berdiri di muka gua. Mereka tidak sekadar menunjuk-nunjuk pertarungan itu, tapi juga bergerak cepat menghampiri.
"Mereka ada di atas! Ayo, cepaaat...!"
Yang berada di dalam gua pun cepat-cepat keluar. Namun, jumlah mereka tidak sebanyak tadi. Karena, sebagian besar tewas dalam perangkap maut yang banyak terdapat dalam gua itu.
Melihat kehadiran mereka, si Jubah Hitam berseru girang dan langsung memanfaatkannya.
"Coba lihat! Kawan-kawan kalian banyak yang mati! Itu karena ulahnya!" tunjuk si Jubah Hitam pada laki-laki kumal itu. "Biar kuhadapi dia. Tapi, kalian bisa bereskan keempat kawannya!"
Seruan itu memang berpengaruh besar. Orang-orang persilatan yang kehilangan kawan-kawannya menjadi marah dan menemukan pelampiasan, Maka dengan serentak mereka mengeroyok Pendekar Rajawali Sakti dan ketiga kawannya.
"Kisanak, tahan serangan! Kalian telah diper-alat...!" teriak Rangga berusaha menyadarkan mereka.
Tapi sia-sia saja Pendekar Rajawali Sakti berteriak. Orang-orang persilatan itu seperti banteng liar yang mengamuk hebat.
"Sial!"
? *** ? Yang dihadapi Rangga bukanlah orang-orang keroco, tapi tokoh-tokoh silat yang lumayan hebat. Sehingga bukan pekerjaan mudah baginya untuk menghajar. Apalagi bertangan kosong, sementara lawan-lawannya bersenjata lengkap. Beberapa kali Rangga terpojok, dan nyaris terluka. Sehingga memaksanya untuk mencabut Pedang Pusaka Rajawali Sakti.
Sring! "Hiyaaat!"
Begitu selarik cahaya biru terpancar dari batang pedangnya, Rangga langsung menyambar lawan-lawan terdekatnya. Beberapa orang berseru kaget ketika melihat kenyataan senjatanya putus tersambar pedang pemuda itu. Bahkan hawa panas dari pedang itu terasa menyengat dari jarak yang cukup jauh.
Bresss...! "Aaa...!"
Dua orang yang coba mendekat kontan memekik setinggi langit, tatkala pedang di tangan Pendekar Rajawali Sakti merobek perut dan dada.
"Hiyaaat...!"
Beberapa orang yang lain kaget melihat keadaan itu. Dan mereka buru-buru menyingkir. Tapi lainnya malah menyerang dengan bernafsu. Sementara Rangga langsung memapaki.
Cras! "Aaakh...!"
Tiga orang lagi ambruk tak berdaya. Senjata mereka putus, dan perut mereka robek.
Pendekar Rajawali Sakti terus mengejar yang lain. Tubuhnya berkelebat sambil mengamuk de-ngan dahsyat.
"Gila! Aku kenal pemuda itu. Dia Pendekar Rajawali Sakti! Telah kulihat kehebatannya bebe-rapa kali. Aku tidak akan ikut-ikutan dalam urusan ini!" seru salah seorang tokoh-seraya lari terbirit-birit dari kancah pertempuran.
Agaknya, bukan tokoh itu saja yang kabur. Bahkan yang lain pun telah angkat kaki sejak tadi. Malah ketika yang lain telah angkat kaki, Rangga baru menyadari kalau Sakaweni dan kedua orang tua yang bersamanya, tengah berusaha mendesak si Jubah Hitam.
"Hi hi hi...! Percuma saja kalian bersama-sama mengeroyokku. Aku tahu semua ilmu silat kalian. Sehingga, tak sulit mengalahkannya!" kata si Jubah Hitam yang tak lain Nyai Gandasari.
Kata-kata si Jubah Hitam terkesan sombong. Tapi, ternyata mampu dibuktikannya. Hanya ber-senjata tongkat, dia mampu mendesak keempat pengeroyoknya yang menyerang bersamaan.
Trang!??? Buk! "Aaakh!"
Sakaweni yang menjadi korban gebukan tongkat Nyai Gandasari yang pertama. Gadis itu terpental ke belakang disertai jerit kesakitan. Tiga lawan lainnya menyerang. Maka, cepat si Jubah Hitam merendahkan tubuhnya, sambil berputar dan mengayunkan tongkat.
Duk! "Aaakh...!"
Kali ini, Ki Darta Rawon yang menjadi sasaran sodokan tongkat Nyai Gandasari. Laki-laki itu terhuyung-huyung sambil memuntahkan darah segar.
"Yeaaat!"
Ki Wangsa Kelana dan laki-laki berbaju kumuh segera menyerang dari depan dan samping. Cepat si Jubah Hitam mengangkat sebelah kaki sambil mengayunkan tongkat, menangkis sabetan pedang Ki Wangsa Kelana. Tubuhnya kemudian melejit ke atas menghindari sabetan pedang laki-laki kumuh itu.
"Hup!"
Begitu berada di atas, si Jubah Hitam tiba-tiba menyabetkan tongkatnya.
Duk! "Akh!"
Laki-laki dekil itu kontan mengeluh tertahan, tatkala ujung tongkat Nyai Gandasari menghantam dadanya. Tubuhnya terjungkal ke belakang dengan wajah berkerut menahan sakit.
"Yeaaat"!"
Ki Wangsa Kelana menyerang dengan bernaf-su. Namun si Jubah Hitam menghindari tebasan pedangnya dengan bergulingan di udara. Bahkan tiba-tiba berkelebat cepat tak tertahankan.
Buk! "Akh...!"
Orang tua itu kontan ambruk sambil menjerit kesakitan begitu tongkat Nyai Gandasari menghantam punggung.
"Hi hi hi...! Ayo, bangun kalian semua, sebelum menerima kematian!" teriak si Jubah hitam lantang.
"Nyisanak! Kenapa kau seperti melupakan aku"!" teriak Rangga, lantang.
"Hm. Bocah Edan! Apakah kau ingin mampus lebih dulu"!" dengus si Jubah Hitam.
"Tentu saja tidak. Tapi kalau kau yang tua bangka ingin mampus, tentu dengan senang hati akan kukirim ke akherat," kata Rangga yang sudah geram dengan si Jubah Hitam.
"Keparat!"
Setelah mendengus marah si Jubah Hitam langsung menyerang Pendekar Rajawali Sakti.
Sring! Sementara Rangga sudah langsung mencabut pedangnya. Saat itu juga sinar biru berkilauan memancar dari pedangnya. Begitu serangan mendekat, Rangga segera memapaknya.
Tang! "Hm.... Boleh juga pedangmu, Bocah!" puji si Jubah Hitam ketika tongkat membentur pedang Pendekar Rajawali Sakti.
Terasa hawa panas menyengat menjalar mela-lui tongkat si Jubah Hitam. Namun, mana mau Nyai Gandasari menunjukkan kelemahan dirinya di hadapan lawan. Bahkan dia sudah langsung menyerang kembali.
"Hiyaaat!"
Tapi Rangga telah menghadang dengan me-ngerahkan jurus 'Pedang Pemecah Sukma'. Dengan jurus itu, pedangnya bergerak cepat seperti mengurung ke mama saja lawannya bergerak.
Saat itu juga, si Jubah Hitam jadi heran sendiri. Mendadak saja, pikirannya jadi kacau. Semangat bertarungnya kontan lenyap, jiwanya seakan-akan terpecah-pecah ketika pedang Pendekar Rajawali Sakti berkelebatan. Dia seperti tak mengerti harus berbuat apa.
Dan kesempatan ini pun dipergunakan Rangga sebaik-baiknya. Tubuhnya cepat berkelebat sambil membabatkan pedangnya yang menderu tajam.
Dengan mengumpulkan semangatnya si Jubah Hitam menangkis.
Trang! Namun setelah terjadi benturan, mendadak pedang Rangga berputar, langsung bergerak miring. Cepat dibabatnya leher si Jubah Hitam.
Crasss! "Aaa...!"
Terdengar jerit tertahan tatkala kepala si Jubah Hitam menggelinding ke bumi. Tubuhnya menyusul dengan darah memancur dari pangkal leher. Sebentar tubuhnya meregang nyawa, lalu diam tak berkutik lagi.
Trak! Pendekar Rajawali Sakti menyarungkan pedangnya. Sebentar pandangannya beredar ke sekeliling,
"Suiiit...!"
Rangga bersuit nyaring. Tak lama, Dewa Bayu muncul. Sebentar Rangga melirik pada Sakaweni serta yang lain, lalu menaiki kudanya.
"Kurasa persoalan telah selesai. Aku pamit dulu!" kata Rangga sambil menggebah kudanya.
"Kakang Rangga..."!" panggil Sakaweni.
Tapi Pendekar Rajawali Sakti tak menoleh lagi, dan terus melesat bersama Dewa Bayu.
? SELESAI ? Ikuti serial Pendekar Rajawali Sakti selanjutnya :
LIMA GOLOK SETAN
Pendekar Rajawali Sakti
Notes by Pendekar Rajawali Sakti
Bahasa Indonesia
s ? 2017 Bunga Ceplok Ungu 6 Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung Keris Pusaka Nogopasung 3

Cari Blog Ini