Ceritasilat Novel Online

Petaka Gelang Kencana 1

Pendekar Rajawali Sakti 195 Petaka Gelang Kencana Bagian 1


. 195. Petaka Gelang Kencana ~ Bag. 1-3
2. Mai 2015 um 01:17
1 Glarr...! Lidah petir menjilat angkasa. Awan kelabu bergumpal-gumpal, beriringan dan berkumpul di suatu tempat, terbawa angin yang bertiup kencang. Rintik-rintik hujan mulai jatuh, menerjang satu sosok bayangan putih yang terus melesat seperti dikejar setan, mencoba meninggalkan Lembah Wulung yang terkenal angker dan ganas.
"Tunggu aku, Kalinggi!"
Di belakang sosok itu, terdengar teriakan-teriakan bernada panggilan. Namun, sosok bayangan putih yang dipanggil Kalinggi sudah tidak ingin menghiraukan. Padahal, orang yang berteriak itu meminta agar Kalinggi menunggunya. Namun....
"Aaa...!"
Tiba-tiba terdengar jeritan menyayat dari orang yang memanggil tadi, tidak jauh di belakang Kalinggi. Dengan ketakutan sosok serba putih itu berpaling ke belakang.
"Kala Dirja...!" serunya dengan suara tertahan.
Laki-laki bernama Kala Dirja yang berlari di belakang Kalinggi jatuh terjengkang. Sebentar dia menggelepar, lalu diam tak berkutik lagi.
Melihat kematian kawannya dengan dada berlubang dan berlumuran darah, Kalinggi yang berpakaian serba putih menjadi ragu untuk meneruskan pelariannya.
Namun keraguan itu hanya berlangsung sekejap saja. Di kejap lain lelaki berpakaian serba putih itu telah berlari lagi sekuat tenaga. Dan kilat kembali membelah kegelapan, tampak jelas kalau Kalinggi sudah terluka.
Glarrr...! Suara petir terdengar mengguntur, tepat ketika laki-laki itu tersungkur terantuk sebuah akar. Tetapi secepatnya dia bangkit berdiri dan berlari kembali. Namun baru beberapa tombak berlari....
"Siapa yang telah berani datang ke Lembah Wulung, tidak ada jalan lain kecuali ke neraka!"
Terdengar suara menggelegar yang seakan datang dari seluruh penjuru lembah.
Kalinggi tercekat. Hatinya semakin cemas. Apalagi dia tinggal sendiri, dan kelima kawannya sudah tewas semuanya. Namun mengingat begitu pentingnya tugas yang harus dijalankan walaupun sudah dalam keadaan payah, dia tak sudi menyerah begitu saja.
Apa yang dilakukan Kalinggi ternyata tidak sia-sia. Sekarang laki-laki berbaju serba putih ini sudah sampai di pinggir lembah. Tetapi kenyataan lain segera dihadapi. Tebing Lembah Wulung sekarang telah berubah menjadi curam dan licin. Padahal, beberapa waktu yang lalu hal seperti ini tidak pernah ada!
Dengan napas tersengal-sengal Kalinggi berusaha memanjat dinding tebing di depannya. Tapi, apa yang dilakukan hanya sia-sia saja.
"Ha ha ha...! Kau terjebak di Lembah Wulung, Anak Muda!"
Kalinggi berbalik. Dan dia makin tercekat ketika tiba-tiba tidak jauh di belakangnya telah berdiri satu sosok berpakaian serba hitam. Dalam kegelapan lembah yang berselimut kabut, rupa sosok itu memang tidak dapat dikenali.
Merasa tidak punya pilihan lain, Kalinggi langsung mencabut senjatanya yang berupa tombak bermata ganda dan mempunyai ketajaman pada setiap sisinya. Senjatanya langsung dikibaskan.
Tap! "Heh"!"
Akan tetapi sesuatu yang tidak diduga-duga terjadi. Laki-laki berpakaian serba putih ini merasa seperti ada sebuah kekuatan kasat mata yang menahan senjatanya. Kekuatan itu bahkan mendorong tubuhnya ke belakang.
Bruk...! Kalinggi jatuh terduduk. Mulutnya meringis, merasakan nyeri pada pantatnya.
"Hari kematianmu sudah tiba, hai anak manusia! Kau tidak mungkin dapat menyelamatkan diri lagi...!" desis sosok berpakaian serba hitam seraya menghampiri dan berhenti satu tombak di depan Kalinggi.
Tentu saja Kalinggi berubah ketakutan. Apalagi saat menyadari bahwa sekujur tubuhnya kini sama sekali tidak dapat digerakkannya.
"Kau memang hebat, Kisanak! Aku tidak tahu, apakah kau manusia atau bukan. Tetapi kalau boleh tahu, coba jelaskan padaku siapa kau sebenarnya"!" kata Kalinggi dengan suara bergetar.
"Manusia sepertimu dan seperti mereka yang pernah datang ke Lembah Wulung ini, tidak pantas mengetahui siapa aku. Karena aku mempunyai derajat yang lebih tinggi dibandingkan kalian!" dengus sosok serba hitam.
"Tetapi...!"
Ucapan Kalinggi terhenti begitu saja, ketika tiba-tiba terlihat beberapa buah benda berwarna putih sebesar kelingking yang panjangnya tidak lebih dari sejengkal, meluncur deras ke arahnya.
Di tengah-tengah perjalanan benda berwarna putih itu berubah menjadi banyak. Dan Kalinggi sama sekali tidak dapat menghindarinya. Hingga...
Crep! Crep! "Aaa..!"
Telak sekali benda-benda berwarna putih yang melesat dari tangan sosok serba hitam menghujam tubuh Kalinggi. Teriakan panjang yang terasa begitu menyayat, seakan ingin menandingi suara petir dan desah hujan gerimis di Lembah Wulung ini. Kalinggi terkapar dengan sekujur tubuh ditembusi benda-benda putih panjang milik sosok berbaju hitam itu.
Kini, suasana berubah sunyi kembali, kecuali suara desah hujan dan sesekali terdengar guntur menggelegar. Sementara, sosok serba hitam tadi berkelebat lenyap meninggalkan korbannya begitu saja.
*** Malam pekat telah menyelimuti Bukit Lembayung, yang dikenal oleh orang persilatan sebagai tempat berdirinya Padepokan Banteng Ireng. Hanya bulan sepotong yang menerangi mayapada. Untungnya langit tampak cerah dengan bintang-bintang bertaburan, setelah kemarin hampir semalaman tertutup awan gelap.
Di pinggir ladang yang puluhan tombak jauhnya dari padepokan itu, satu sosok bertubuh tegap berjalan mondar-mandir seperti tengah menanti sesuatu di pinggir sebuah dangau. Tak begitu jelas bentuk wajahnya, namun dari sikapnya agaknya hatinya tengah gelisah menanti Namun tak lama kemudian....
"Kakang Kanigara...!"
Terdengar panggilan dari samping kanan. Suaranya terdengar begitu merdu.
Sosok tubuh tegap yang ternyata seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun itu menoleh dengan wajah gembira. Di depannya kini telah berdiri seorang wanita cantik berusia sekitar dua puluh tujuh tahun.
"Ah, kukira kau tidak menepati janji, Kekasihku. Sudah lama aku menunggu kehadiranmu di sini, Mayang Sari! Kuharap kau membawa kabar gembira," desah laki-laki yang dipanggil Kanigara.
Mereka lantas saling berpelukan melepas rindu. Bahkan laki-laki itu langsung memagut bibir wanita yang bernama Mayang Sari dengan lembut. Sementara Mayang Sari membalasnya tak kalah liar, seakan-akan tak ingin melepaskannya.
Cukup lama mereka saling memagut, sampai Mayang Sari akhirnya mendorong tubuh perkasa di depannya. Napasnya tersengal tidak teratur pertanda gairahnya tengah berkobar.
"Kakang. Tidak dapatkah kau melupakan masalah itu untuk sementara saja" Sejak si tua Janaloka sakit, aku selalu diliputi rasa was-was. Dan aku ingin ketenangan dan sedikit kesenangan yang dapat kita nikmati bersama-sama. Kau tidak keberatan, bukan?" tukas Mayang Sari manja.
"Tentu saja aku tidak keberatan. Toh suamimu tak bisa memberi kepuasan lagi padamu. Aku yakin, kau pasti butuh kehangatan yang selama ini tak pernah kau dapatkan, kecuali dari diriku. Apalagi, malam ini memang terlalu dingin bila dilewatkan begitu saja...," sahut Kanigara.
"Kau memang pandai, Kakang," puji Mayang Sari tanpa merasa malu sedikit pun.
Kanigara lantas membopong Mayang Sari, dan membawanya ke dalam dangau. Dibaringkannya tubuh ramping itu di balai-balai bambu yang terdapat di tempat ini. Dan tanpa memberi kesempatan Mayang Sari bicara, Kanigara langsung memagut kembali bibir merah merekah itu.
Mayang Sari mendesah-desah lirih merasakan kenikmatan, ketika bibir Kanigara menjalari leher dan tengkuknya.
"Bawalah aku terbang ke sana, Kakang.... Beri aku kenikmatan seperti biasanya...!" pinta Mayang Sari sambil merintih-rintih seperti orang dahaga di padang tandus.
Kanigara tahu, apa yang harus dilakukannya. Laki-laki ini agaknya pandai sekali memanfaatkan kelemahan perempuan yang selalu puas dalam kobaran nafsu. Apalagi mengingat suaminya kini tidak lebih hanya seorang laki-laki tua lemah dan sakit-sakitan yang tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagai laki-laki.
Tangan-tangan kekar Kanigara mulai mempereteli pakaian Mayang Sari yang terus menggeliat-geliat dan menggapai-gapai. Dan kini, wanita itu dalam keadaan polos tanpa sehelai benang pun yang menutupi tubuhnya yang padat dan menggairahkan.
"Kakang..., aaakh.... Aku sudah tidak sabar lagi..."!" rintih Mayang Sari sambil menarik tangan Kanigara ke dadanya yang membukit indah.
"Sabarlah, Sayang.... Kita akan menuju langit tingkat tujuh sebentar lagi!" sahut Kanigara bergetar suaranya.
Hanya dalam waktu sangat singkat, laki-laki itu telah melepaskan seluruh pakaian yang menempel di tubuhnya sendiri.
Dan kini mereka telah sama-sama dalam keadaan polos. Kanigara tak membuang-buang waktu lagi. Gelegak birahi telah berkobar dalam dadanya. Langsung ditubruknya Mayang Sari dengan pagutan-pagutan liar ke bagian-bagian terpeka di tubuh wanita itu.
"Cintailah aku sepenuh kemampuanmu, Kakang!" desis Mayang Sari di tengah-tengah erangannya yang dipenuhi kobaran nafsu.
Memang, itulah yang terjadi kemudian. Tanpa menghiraukan tempat dan waktu. Kanigara membawa wanita ini ke lembah kenikmatan, setiap kali mereka bertemu secara rahasia.
Kini yang terdengar hanya dengus napas mereka yang ditingkahi erangan-erangan lirih. Dalam kegelapan itu samar-samar terlihat gerakan-gerakan teratur yang semakin lama semakin menggila.
"Aaahh...! Ohhh....!"
Dan suara erangan bercampur nafsu iblis yang menyesatkan semakin bertambah jelas. Udara di sekeliling yang dingin malah membuat tubuh mereka basah bersimbah keringat. Sampai akhirnya...
"Aaakh...!"
Mereka telah sampai pada puncak pendakian, dengan tubuh mengejang. Sebentar kemudian tubuh mereka telah terkulai, sama-sama telentang.
Keadaan di sekitar tempat itu kemudian berubah sunyi.
"Sudah berapa lama kita menjalin hubungan, Kekasihku?" tanya Kanigara memecah keheningan.
"Sejak si tua Janaloka sakit-sakitan, dan tak bisa memberiku kepuasan Yaaah..., kira-kira lima tahun...." sahut Mayang Sari seraya beringsut. Segera pakaiannya dikenakan kembali. Kemudian dia duduk di samping Kanigara.
Kanigara tersenyum. Senyumannya menyimpan seribu teka-teki yang tidak pernah terlihat oleh kekasihnya. Demikian pula tatapan matanya yang berbinar liar penuh kebengisan.
"Lima tahun adalah waktu yang cukup lama." desah Kanigara, seakan mengingatkan. "Sekarang kau sudah menjadi istri Ketua Padepokan Banteng Ireng yang punya kesaktian tinggi. Ingatkah kau, apa yang selalu kuminta darimu?"
"Hingga saat ini aku belum menemukan di mana si tua Janaloka itu menyembunyikan Gelang Kencana, Kakang. Tapi kau harus percaya padaku Apa pun yang kulakukan semuanya demi cintaku padamu!" tandas Mayang Sari seraya mengelus dada kekasihnya yang bidang dan ditumbuhi bulu-bulu halus.
Memang, Mayang Sari sebenarnya adalah istri Ki Janaloka. Ketua Padepokan Banteng Ireng yang kini terbaring sakit. Namun wanita ini sebenarnya hanyalah istri kedua Ki Janaloka, setelah istri pertamanya tewas entah mengapa. Dan istri pertama, Ki Janaloka mempunyai putra satu orang yang pergi tak jelas rimbanya.
Sejak kematian istri dan kepergian anaknya, Ki Janaloka mendadak jatuh sakit. Ada yang bilang, sakitnya karena memikirkan mereka. Tapi itu pun masih tanda tanya. Namun yang jelas, sejak itulah Ketua Padepokan Banteng Ireng tak bisa melayani istri keduanya.
"Aku percaya! Tetapi, kau harus menemukan secepatnya. Aku punya rencana besar dengan benda itu. Di luar rencanaku, aku sebenarnya khawatir kalau Gelang Kencana sampai terjatuh ke tangan orang lain," tegas Kanigara dalam kebimbangan.
"Mengapa Kakang berpendapat begitu?" tukas Mayang Sari, seraya bangkit berdiri.
"Aku mendengar kabar dari orang-orang yang kupercaya, bahwa ada orang luar yang mengetahui kehebatan barang yang cukup langka itu. Itulah sebabnya, kau harus mendapatkan Gelang Kencana secepatnya. Kalau barang itu sudah berada di tangan kita, maka masalah Janaloka menjadi urusanku!" jawab laki-laki tersebut.
"Baiklah. Aku akan berusaha mendapatkan barang itu secepatnya. Aku harus kembali secepatnya, sebelum orang lain mengetahui kita berada di sini."
Kanigara mengangguk setuju. Tanpa berkata apa-apa lagi Mayang Sari langsung meninggalkan tempat pertemuan mereka.
*** Suasana di Padepokan Banteng Ireng memang semakin bertambah panas. Apalagi mengingat penyakit yang diderita Ketua Padepokan Banteng Ireng yang semakin bertambah gawat saja.
Sura Pati sebagai murid tertua di padepokan ini merasa kehabisan cara untuk menolong gurunya. Dia telah membicarakan masalah guru mereka pada murid kedua. Namun adik seperguruannya yang bernama Kanigara pun merasa tidak sanggup mencari tabib yang mampu menyembuhkan penyakit Ki Janaloka.
"Kita harus berusaha keras menyembuhkan penyakit yang diderita Guru!" tegas Sura Pati pada pertemuan di ruang utama padepokan pagi itu.
"Semua cara sudah kita tempuh. Lalu, apalagi yang akan kita lakukan, Kakang?" tanya Kanigara.
Sura Pati langsung terdiam Tatapan matanya sekarang beralih pada Ki Belong. Laki-laki bungkuk berbaju ungu ini hanya menundukkan kepala. Di Padepokan Banteng Ireng, dia masih terhitung adik kandung Ki Janaloka.
"Bagaimana pendapat Paman Guru?" tanya Sura Pati.
"Aku tidak punya pendapat apa-apa. Aku tahu, kakangku sakit. Seperti kalian, aku pun telah berusaha. Ternyata, usahaku untuk menyembuhkannya tidak mendatangkan hasil," desah Ki Belong, masygul.
"Kudengar di Lembah Wulung ada seorang tabib yang dapat menolong berbagai penyakit. Mungkin jika kita bisa menghubunginya, sehingga kesehatan Guru dapat pulih seperti semula," Kanigara mengajukan pendapatnya.
Sebaliknya, Ki Belong malah tersenyum sinis. Dipandangnya Kanigara dan Sura Pati silih berganti. Seakan, ingin diketahuinya isi hatinya masing-masing murid keponakannya itu.
"Aku bosan dengan sikap pura-pura. Keyakinanku mengatakan, telah terjadi pengkhianatan di padepokan ini. Aku tidak tahu, apa yang menjadi tujuan pengkhianat itu. Yang jelas, ada orang tertentu yang sengaja meracuni Kakang Janaloka...!" tegas Ki Belong sengit.
Ucapan kakek berbadan bungkuk ini tentu cukup mengejutkan Kanigara maupun Sura Pati.
"Paman bicara apa" Tuduhan Paman tidak beralasan!" sergah Sura Pati berang.
Rupanya, laki-laki berusia tiga puluh lima tahun ini paham betul bagaimana sikap paman guru mereka yang suka membuat onar.
"Mustahil Guru yang begitu baik ada yang memusuhinya! Secara tidak langsung, Paman telah menuduh!" bantah Kanigara pula.
"Saat ini, aku bicara kebenaran. Di antara kita pasti ada yang berusaha membunuh Kakang Janaloka. Terbukti beberapa orang adik seperguruan kalian yang kukirim ke Lembah Wulung, tidak kembali. Selain itu, aku juga telah menemukan serbuk beracun di dalam minuman Kakang Janaloka!" dengus Ki Belong berapi-api.
"Huh...! Rupanya Paman Guru telah mengirim beberapa murid ke Lembah Wulung" Lalu, untuk apa" Bukankah Paman tahu tempat itu sangat berbahaya?" tukas Kanigara curiga.
"Aku tahu, Lembah Wulung adalah tempat yang cukup angker. Di sana memang merupakan sumber kematian. Tetapi aku yakin, di sana pula sumber kehidupan berasal. Aku cukup mengenal daerah itu. Dan aku percaya, jika tidak ada yang mengkhianati usahaku, paling tidak Kalinggi dan kawan-kawannya sudah kembali ke sini saat ini," papar Ki Belong.
"Paman terlalu gegabah. Tindakan Paman selalu merugikan Padepokan Banteng Ireng!" desis Sura Pati.
"Sudahlah.... Aku bosan dengan perdebatan ini. Sekarang aku akan pergi untuk mencari obat buat kakangku. Dan kuharap, suatu saat orang yang mengkhianati Kakang Janaloka dapat tertangkap hidup atau mati!"
Ucapan Ki Belong jelas membuat Sura Pati dan Kanigara merasa seperti ditampar. Mereka menganggap Ki Belong yang terhitung adik guru mereka telah menyebar fitnah. Namun, mereka tidak berani menentang Ki Belong. Mengingat kakek yang setengah sinting ini memiliki kepandaian yang cukup tinggi.
Sehabis berkata demikian, Ki Belong beranjak pergi dari tempat ini. Wajahnya jelas menyiratkan kekesalan. Entah ditujukan pada siapa.
Kini di ruang utama itu hanya tinggal Kanigara dan Sura Pati saja. Tampaknya mereka masih terpengaruh oleh ucapan Ki Belong.
"Bagaimana pendapatmu tentang tuduhannya itu, Kanigara?" tanya Sura Pati pada adik seperguruannya.
"Kecurigaannya itu jelas-jelas ditujukan pada kita. Menurut Kakang, mungkinkah seorang murid tega mengkhianati orang yang telah mendidik kita sejak kecil?" tukas Kanigara.
"Memang jarang. Tetapi bukan berarti tidak pernah ada, bukan?" jawab Sura Pati, pelan suaranya.
"Memang.... Namun aku merasa tidak pernah berbuat apa-apa. Aku malah curiga bukan mustahil Paman Belong yang melakukan sesuatu dengan niat busuknya yang tidak jelas apa!" tebak Kanigara.
"Sesuatu apa maksudmu?" tanya Sura Pati.
Kanigara tersenyum.
"Kita sama-sama tahu bahwa Guru kita menyimpan Gelang Kencana yang katanya mengandung berbagai macam kehebatan. Untuk maksud-maksud baik, gelang itu dapat mendatangkan kedamaian. Namun bila sampai terjatuh ke tangan orang-orang salah, maka dapat menimbulkan malapetaka," jelas Kanigara kalem.
Kening Sura Pati berkerut dalam. Baru sekarang dia teringat akan hal itu. Lalu, siapa yang berkhianat" Mungkinkah Ki Belong atau murid-murid Padepokan Banteng Ireng lainnya"
Murid tertua yang cukup lugu ini berjanji dalam hati untuk menyelidiki keberadaan Gelang Kencana, dan juga orang-orang yang mungkin menghendaki benda sakti itu.
"Apa yang kau katakan mungkin benar, Kanigara. Kita harus bersikap waspada. Bukan mustahil Ki Belong yang mempunyai watak angin-anginan memang menghendaki barang bertuah itu," gumam Sura Pati menutup pembicaraan.
*** 2 Tiga sosok bayangan hitam menghentikan lesatan tubuhnya, ketika satu sosok tubuh berpakaian ungu yang mereka kejar mendadak hilang. Mereka berpandangan untuk beberapa saat.
"Mustahil dia dapat menghilang seperti setan!" dengus sosok berpakaian serba hitam yang bertubuh jangkung sambil mencari-cari.
"Aku sependapat dengan Kakang Walang Sungsang," sahut yang berbadan gemuk. "Dia pasti masih bersembunyi di sekitar tempat ini."
"Lalu apa yang akan kita lakukan?" tanya yang bertubuh sedang.
"Walang Geni! Dan kau, Walang Abang! Kalian sisir daerah sana. Dan aku akan bergerak ke sana. Jangan ada sejengkal semak belukar pun yang terlewati. Tugas kita adalah membunuh dan merampas Gelang Kencana dari tangannya!" tegas laki-laki jangkung yang bernama Walang Sungsang.
Maka tanpa membuang-buang waktu lagi ketiga laki-laki ini segera menyebar dengan arah berlawanan. Sementara laki-laki berbadan sedang yang bernama Walang Abang telah sampai di bawah sebatang pohon rindang. Dia meneliti, namun tidak ada tanda-tanda mencurigakan di situ. Namun baru saja bermaksud meninggalkan kerimbunan pohon, tanpa diduga-duga tiga buah benda berwarna putih melesat ke arah punggungnya.
Set! Set! Set! Sebagai orang yang kenyang pengalaman dalam rimba persilatan, tentu saja Walang Abang merasakan datangnya bahaya yang mengancam. Sehingga tanpa banyak pertimbangan dia melompat ke samping dan terus berguling-guling.
Crap! Crap! Crap!
Ketiga benda putih keperakan yang ternyata senjata rahasia berbentuk ruyung dari perak tidak mengenai sasaran. Laki-laki berbadan sedang terbungkus pakaian hitam ini belum sempat menarik napas, saat serangan kedua menyusul. Sekali ini dia tidak tinggal diam. Maka secepat kilat cambuknya yang melilit pinggang diloloskan. Dan....
Ctar! Ctar! Ctar!
Ruyung-ruyung tajam berkilatan melesat cepat itu runtuh dan berpentalan ke tiga arah. Walang Abang tersenyum dingin sambil memandang ke atas pohon, arah senjata rahasia tadi berasal.
"Kepada yang bersembunyi di atas pohon! Harap tunjukkan diri secepatnya, kalau ingin selamat!" teriak Walang Abang penuh ancaman.
Sejenak Walang Abang menunggu, tetapi tidak ada tanggapan apa-apa. Sehingga membuat kesabaran laki-laki berbaju hitam ini sirna.
"Baiklah," geramnya. "Kalau kau tidak mau turun, aku punya cara untuk memaksamu!"
Begitu habis ucapannya, Walang Abang mengayunkan cambuk di tangannya.
Wuuuttt...! Sebelum cambuk itu menghantam batang pohon, mendadak melesat satu sosok bayangan. Kemudian dengan gerakan cukup menakjubkan, bayangan itu menjejakkan kakinya tidak jauh di depan Walang Abang.
Ternyata orang yang mereka kejar tidak lain dari Ki Belong, adik kandung Ketua Padepokan Banteng Ireng. Laki-laki tua bungkuk ini memperhatikan orang yang bersenjata cambuk ini sekilas saja. Dan ternyata, dia memang tidak mengenal Walang Abang.
"Kulihat kalian tadi mengikuti aku! Dan mana kedua kawanmu lainnya?" dengus Ki Belong.
"Hei, Kisanak! Melihat badanmu yang bungkuk tentu kau yang bernama Ki Belong, adik Ki Janaloka. Kau tidak usah khawatir tentang kedua kawanku ini. Sebentar lagi mereka segera datang kemari!" jawab Walang Abang.
"Suiiitttt...!"
Walang Abang bersiul. Jelas, siulan itu sebagai suatu panggilan. Karena sekejap saja tampak dua orang berkelebat cepat ke arah mereka.
"Hmm.... Kalian sudah berkumpul. Sekarang coba jelaskan, siapa kalian" Dan, mengapa mengikuti perjalananku?" gumam Ki Belong tegas.
Tampak ketiga laki-laki berpakaian serba hitam ini tersenyum dingin. Sikap mereka jelas sangat meremehkan.
"Kami adalah Tiga Pendekar Cambuk Maut dari Pajajaran...," sahut Walang Sungsang. "Aku Pendekar Pertama. Yang ini Pendekar Kedua, dan ini Pendekar Ketiga."
"Kalau tidak salah, kalian adalah jago-jago bayaran. Untuk apa datang jauh-jauh kemari dari Pajajaran?" tanya Ki Belong dengan kening berkerut.
Tentu saja tiga laki-laki berjuluk Tiga Pendekar Cambuk Maut terkejut, karena tidak menyangka laki-laki tua ini mengetahui tentang pekerjaan mereka.
"Ha ha ha...!"
Tiga Pendekar Cambuk Maut tertawa hampir bersamaan. Kemudian yang bernama Walang Geni datang menghampiri.
"Kunci pintu batu Gua Selarong ada pada Gelang Kencana, Ki Belong. Kami tahu, Janaloka telah menyimpannya selama puluhan tahun. Kami dengar, gelang itu memiliki bermacam-macam kesaktian. Tetapi yang terpenting, bila berhasil mendapatkan Gelang Kencana, kami akan menjadi orang yang paling kaya di kolong langit ini. Gua Selarong menyimpan harta karun yang tidak akan habis dimakan tujuh turunan," kata Walang Geni.
"Semua itu hanya omong kosong. Dan itu pun urusan Kakang Janaloka. Jadi mengapa kalian mengikuti aku?" dengus Ki Belong tidak senang.
Sekarang Ki Belong mulai menyadari, rupanya bukan ancaman dari dalam padepokan saja yang mengancam keselamatan saudara kandungnya. Kehadiran pihak luar pun menjadi ancaman tersendiri bagi kejayaan Padepokan Banteng Ireng. Lalu bagaimana orang luar mengetahui tentang Gelang Kencana. Bahkan menuduhnya seakan-akan Gelang Kencana ada padanya. Berbagai pertanyaan menyelinap di benak Ki Belong.
"Ki Belong! Kami tidak akan mengganggumu, jika kau bersedia menyerahkan Gelang Kencana pada kami Kurasa hanya itu saja yang dapat menyelamatkanmu dari bencana mengerikan!" ancam Pendekar Cambuk Maut Pertama.
Karuan saja Ki Belong menjadi sangat marah. Sebab, dia sendiri sampai sejauh itu tidak mau tahu dengan Gelang Kencana.
Sekarang terbayang dalam ingatan laki-laki bungkuk ini, bahwa sepuluh tahun yang lalu Gelang Kencana juga telah merenggut korban yang tidak sedikit. Bertahun-tahun gelang itu aman di tangan Ki Janaloka Dan kini setelah sepuluh tahun pula, tampaknya Gelang Kencana akan meminta korban lagi. Ki Belong menjadi gelisah melihat kenyataan ini.
"Aku tidak dapat memberikan apa yang kalian minta!" tegas Ki Belong.
Tiga Pendekar Cambuk Maut terkejut mendengar pernyataan Ki Belong. Mereka sadar betul dengan kehebatan yang dimiliki Ki Belong. Tetapi mereka juga merasa yakin dengan kemampuan yang dimiliki.
*** Pendekar Cambuk Maut Kedua yang bernama asli Walang Abang melompat ke depan. Jelas sekali sekarang tatapan matanya mengandung permusuhan.
"Kami jarang mengulang ucapan kami, Ki Belong. Kau meninggalkan padepokan, pasti dengan maksud ingin menyelamatkan Gelang Kencana. Untuk itu, serahkan pada kami sekarang juga!"
"Kalian memang orang-orang sinting berotak miring! Aku meninggalkan padepokan semata-mata karena ingin mencari obat untuk kakangku Janaloka!" bantah Ki Belong, tegas.
"Heh"! Ternyata kau tidak mau mengakuinya juga" Kami akan memaksamu demi Gelang Kencana!" geram Walang Geni, Pendekar Cambuk Maut Ketiga.
Belum lagi gema suaranya lenyap, tubuh Walang Geni sudah berkelebat menerjang Ki Belong.
Kakek berbadan bungkuk ini tentu tidak tinggal diam. Badannya dimiringkan ke samping, sehingga tinju yang meluncur deras ke bagian wajahnya hanya menghantam tempat kosong.
Ki Belong cepat mengibaskan tangannya melepas serangan balik ke dada.
"Heh"!"
Pendekar Cambuk Maut Ketiga sempat terkejut juga mendapat serangan balasan yang tidak terduga-duga ini. Begitu cepat gerakannya, sehingga Walang Geni tidak sempat lagi menghindari. Sehingga....
Buk! "Hugkh!"
Begitu kerasnya pukulan Ki Belong, sehingga membuat Pendekar Cambuk Maut Ketiga terbanting Ke tanah. Tampak jelas dari sudut bibirnya meneteskan darah, pertanda menderita luka dalam lumayan.
"Bangsat betul kau!" teriak Pendekar Cambuk Pertama.
Walang Sungsang segera memberi isyarat pada saudaranya yang bernama Walang Abang untuk melancarkan serangan secara bersama-sama. Dan tanpa banyak kata, kedua laki-laki berbaju hitam ini segera melancarkan serangan-serangan dahsyat. Sementara Walang Geni yang sudah bangkit kembali, ikut membantu serangan.
Namun sebelum serangan-serangan itu datang, Ki Belong kini mendahului melakukan serangan.
"Hiya! Heaaa...!"
Wuuut! Dengan mengandalkan jurus "Menggapai Dewa Rembulan Menangis Di Balik Awan", satu loncatan dilakukan Ki Belong, Kedua kakinya berputar, sedangkan pukulannya menghantam ke tiga arah.
Begitu dahsyat serangan Ki Belong, sehingga ketiga lawannya terpaksa mengandalkan kelincahan tubuhnya untuk menghindar. Namun kaki Pendekar Cambuk Maut Kedua yang bergerak lincah sempat terpeleset, sehingga tangan kanan Ki Belong sempat menghantam bahunya.
Duk! "Aaakh...!"
Disertai keluhan tertahan, tubuh Walang Abang berputar tiga kali terkena hantaman Ki Belong.
Melihat kejadian ini, dua dari Tiga Pendekar Cambuk Maut jelas tidak tinggal diam.
"Hiyaaa...!"
Disertai teriakan keras menggelegak, mereka mengeluarkan jurus "Lingkaran Hitam". Langsung melesat ke udara. Secepat kilat, tangan mereka bagaikan kilat meraih hulu cambuk. Dengan cambuk itulah mereka mulai melakukan serangan ganas yang paling berbahaya.
Ctar! Ctar! Suara lecutan mengiringi liuk-liukkan cambuk di tangan dua dari Tiga Pendekar Cambuk Maut. Terkadang cambuk berujung mata pisau itu memagut bagaikan ular. Atau membelit dan menampar ke arah Ki Belong.
Sementara kakek berbadan bungkuk ini terpaksa menguras segenap kemampuannya untuk menghalau atau mengusir setiap serangan. Dalam hati harus diakui, bahwa serangan-serangan yang datang silih berganti ini memang cukup berbahaya dan mempersempit ruang geraknya.
"Hup!"
Ki Belong tiba-tiba melenting ke udara. Kedua tangannya menghentak ke delapan penjuru. Maka segulung angin berhawa panas melesat ke arah dua lawannya.
Tetapi, Walang Sungsang bertindak cerdik. Serangan cambuknya dibelokkan ke bagian kaki sebelum pukulan laki-laki bungkuk itu.
Tindakan ini tentu di luar perhitungan Ki Belong. Sehingga, kaki kirinya tidak sempat lagi diselamatkan.
Ctar! Sret! Sret! Saat cambuk yang melilit kakinya dihentakkan Walang Sungsang, tidak dapat dicegah tubuh Ki Belong ikut terseret dan terpelanting.
"Wuaagkh...!"
Ki Belong jatuh terguling-guling. Tidak satu pukulan pun yang dilepaskan mengenai sasaran.
Sementara dia berusaha membebaskan kakinya dari lilitan cambuk. Tetapi pada saat itu Walang Sungsang telah menyentakkan cambuknya lagi.
Wuuut...! Seketika tubuh Ki Belong melayang di udara dan ikut berputar sesuai putaran cambuk.
Dalam keadaan seperti itu bahaya lainnya kiranya datang mengancam Walang Abang yang sudah bisa menguasai diri lagi bersama Walang Geni cepat mengebutkan cambuknya. Maka kini dua cambuk datang dari kiri kanan. Setiap ujung cambuk-cambuk itu menusuk ke bagian-bagian tubuh Ki Belong yang sangat berbahaya.
Ki Belong yang tubuhnya terus melayang-layang di udara dan kehilangan keseimbangan, jelas tidak mungkin dapat bertindak leluasa. Satu-satunya cara untuk membebaskan diri adalah dengan melumpuhkan Pendekar Cambuk Pertama.
Saat itu juga, laki-laki tua bungkuk ini bersiap-siap melepaskan pukulan "Pelita Gaib", salah satu pukulan andalan yang dimiliki. Sekali lagi, tangannya dikibaskan ke arah Walang Sungsang.
Wesss...! Seketika seleret sinar merah meluncur deras ke arah Pendekar Cambuk Maut Pertama. Pada saat yang sama pula, ujung cambuk Pendekar Cambuk Maut Kedua dan Ketiga menghantam punggung dan lengannya.
Bret! Bret! "Aaakh!"
Ki Belong menjerit tertahan. Punggungnya robek dan mengucurkan darah. Di lain pihak. Pendekar Cambuk Maut Pertama juga tidak mampu menghindari serangan Ki Belong tadi. Sehingga....
Glarrr! "Aaa...!"
Telak sekali pukulan "Pelita Gaib" menghantam perut Walang Sungsang. Maka ledakan keras disertai jeritan terdengar. Pendekar Cambuk Maut Pertama kontan terkapar dengan perut hancur menghitam. Nyawanya melayang seketika itu juga.
*** Ki Belong sendiri saat cambuk terlepas dari tangan lawannya langsung jatuh terhuyung-huyung, kehilangan keseimbangan. Setelah berhasil menguasai diri, segera dilepaskannya cambuk yang melilit kakinya.
Dengan cambuk milik Walang Sungsang yang sudah tewas, Ki Belong mulai bersiap melakukan serangan balik. Sementara Pendekar Cambuk Maut Kedua dan Ketiga terkejut sekali melihat kematian saudara tertua mereka.
"Kau telah membunuh saudara kami, Tua Renta Bungkuk. Kau harus membayarnya sekarang juga!" bentak Walang Geni.
"Aku benci dengan orang serakah. Tetapi, aku lebih benci lagi pada orang-orang yang banyak tingkah seperti kalian!" sahut Ki Belong bergetar.
"Keparat! Hiaaa...!" dengus Pendekar Cambuk Maut Ketiga.
Bersama Walang Abang, Pendekar Cambuk Maut Ketiga segera melakukan serangan-serangan berbahaya. Sementara Ki Belong jelas tidak mau mengulur waktu lagi. Segera disambutnya serangan dengan lecutan cambuk di tangannya. Sedangkan kakinya yang lincah terus bergerak menghindari setiap serangan.
Setelah pertarungan berlangsung puluhan jurus, ternyata keadaan tetap tidak berubah jauh. Sehingga, Walang Geni dan Walang Abang semakin bertambah berang saja.
"Ciaaat...!"
Sambil berteriak nyaring, Pendekar Cambuk Kedua dan Ketiga menggabungkan tangannya. Tampak jelas sekujur tubuh mereka berubah menegang. Keringat dalam waktu singkat telah membasahi pakaian mereka.
Ki Belong menyadari kedua lawannya bermaksud melepaskan pukulan ganas ke arahnya. Yang mengagumkan, sambil melepaskan pukulan ganas, cambuk di tangan mereka tidak pernah berhenti menggeliat.
"Hiyaaa...!" geram Ki Belong sambil mengerahkan jurus "Pelita Gaib"-nya.
Ketika kedua tangan laki-laki bungkuk itu diputar ke udara, maka terlihat cahaya merah kembali berpijar dari kepalan tangannya.
"Hiyaaa...!" teriak dua dari Tiga Pendekar Cambuk Maut pula, tidak mau kalah. Segera dikeluarkannya jurus "Mambang Membara"!
"Hiyaaa...!"
Wus! Wus...! Glar! Glarrr! Segulung angin kencang menebar sinar merah dan sinar hitam bertemu di tengah-tengah jalan, sehingga menimbulkan ledakan-ledakan keras menggelegar.
Sekejap itu juga, tampak tiga sosok tubuh berpelantingan dengan arah berlawanan Akibat pertemuan dua kekuatan dahsyat tadi, memang cukup membuat masing-masing lawan menderita luka dalam yang tidak ringan.
Ki Belong segera duduk bersila, menghimpun hawa murni untuk menyembuhkan luka dalam yang dideritanya. Sambil menyeka cucuran darah yang mengalir di sudut-sudut bibirnya, dia bangkit berdiri.
Begitu melihat kedua lawannya masih belum mampu bangkit juga, Ki Belong tidak menyia-nyiakan kesempatan. Kembali tenaga dalamnya dihimpun. Dan secepat kilat dilepaskannya pukulan kedua arah.
Wes! Wesss...! Tidak kepalang tanggung, kali ini dua leret sinar langsung melesat ke arah Walang Geni dan Walang Abang yang baru saja berusaha bangkit.
"Heh"!"
Dua dari Tiga Pendekar Cambuk Maut hanya terperangah saja. Mereka sudah tidak sempat menghindari serangan. Sehingga....
Glarrr! "Aaa...!"
"Aaa...!"
Dua jeritan kesakitan terdengar mewarnai ledakan keras menggelegar. Pendekar Cambuk Maut Kedua dan Ketiga terlempar. Begitu mencium tanah, jiwa mereka sudah melayang.
Ki Belong menarik napas dalam-dalam. Dia merasa dirinya telah kehilangan tenaga, sehingga sekujur tubuhnya terasa lemas. Namun ada pemandangan lain yang menarik perhatiannya. Maka segera dihampirinya mayat salah satu bekas lawannya.
"Secarik pesan ditulis di atas daun lontar! Aku harus tahu, apa yang terjadi di balik semua ini," kata batin Ki Belong.
Kakek tua berbadan bungkuk ini selanjutnya segera membaca pesan yang tertulis di atas daun lontar. Dan wajahnya berubah merah padam, begitu selesai membaca.
"Siapa Bayangan Hitam" Saudaraku benar-benar dalam keadaan terancam bahaya. Aku harus menyelamatkannya!" desis Ki Belong.
*** 3 Kabar tentang Gelang rencana semakin santer terdengar di kalangan persilatan. Entah siapa yang menyebarkan kabar yang belum jelas kebenarannya.
Tak urung, kabar itu pun telah sampai di telinga Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti. Pemuda tampan berbaju rompi putih ini menjadi khawatir akan terjadi pertumpahan darah tidak lama lagi, ketika mendengar kalau beberapa tokoh persilatan dari berbagai golongan mulai keluar dari sarangnya.
Sekarang, Pendekar Rajawali Sakti bergerak menuju ke arah utara. Sudah setengah harian dia melakukan perjalanan, hingga tiba di sebuah pinggiran hutan. Pendekar Rajawali Sakti menghentikan langkahnya.
"Aku merasakan kehadiran orang lain di sini!" gumam Rangga.
Apa yang diucapkan Rangga menjadi kenyataan. Di kejap kemudian, dari semak-semak di sekelilingnya berlompatan tidak kurang sepuluh laki-laki bertubuh kerdil memakai baju warna kuning gemerlap. Kening mereka menonjol dengan kumis jarang. Salah seorang memakai mahkota seperti seorang raja.
"Ho ho ho...! Dua hari menunggu, kiranya yang kami nanti akhirnya datang juga," kata laki-laki kerdil yang memakai mahkota.
Dengan langkah jumawa laki-laki kerdil bermahkota ini mengelilingi Pendekar Rajawali Sakti, seakan sedang meneliti sampai di mana kehebatannya.


Pendekar Rajawali Sakti 195 Petaka Gelang Kencana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rangga jelas tidak mengerti, apa yang diinginkan laki-laki kerdil ini. Namun dia hanya diam saja sambil bersikap waspada.
"Serahkan Gelang Kencana itu pada kami! Percayalah kami hanya menginginkan harta karun di Gua Selarong," ujar laki-laki kerdil bermahkota.
"Kau siapa, Kisanak?" tanya Rangga.
"Aku Katakini, raja dari semua manusia kerdil dari Kulon Progo. Dan kuharap, kau mau mematuhi perintah raja!" tegas laki-laki cebol bermahkota yang mengaku bernama Katakini.
"Lalu apa hubungannya Gelang Kencana dengan Gua Selarong?"
"Ho ho ho...! Kau tidak tahu, atau hanya berpura-pura tidak tahu, heh..."!" dengus Katakini disertai senyum sinis.
"Aku benar-benar tidak tahu!" tandas Pendekar Rajawali Sakti, seadanya.
"Memang tidak banyak orang yang tahu hubungan Gelang Kencana dengan Gua Selarong. Supaya lebih jelas, Gelang Kencana sebenarnya merupakan kunci pembuka pintu batu Gua Selarong. Di dalam gua itu, tersimpan harta yang tidak ternilai jumlahnya. Jika kami berhasil masuk ke sana dengan bantuan Gelang Kencana, maka akan dapat membangun sebuah kerajaan besar di tanah Jawa ini."
Rangga hanya tersenyum mendengar penjelasan Katakini tersebut.
"Menurut yang kudengar, Gelang Kencana memiliki berbagai macam kesaktian. Jadi, mana yang benar?" tanya Rangga.
"Apa yang mereka katakan memang benar. Tetapi, aku tidak membutuhkan kehebatannya. Aku ingin mendapatkan gelang itu semata-mata hanya ingin mendapatkan harta yang tersimpan di Gua Selarong," tegas Katakini. "Sekarang, serahkanlah Gelang Kencana pada kami. Aku berjanji tidak akan mengganggumu!"
"Aku tidak tahu menahu dengan segala macam gelang yang kau maksudkan. Melihat bentuknya saja, belum pernah!" bantah Rangga tegas.
Selesai Rangga berkata, sepuluh orang prajurit kerdil ini serentak mengurungnya. Pendekar Rajawali Sakti bergerak mundur, dan semakin bersikap waspada.
"Seseorang yang dapat dipercaya mengatakan pada kami, bahwa kaulah yang dipercaya Janaloka untuk menyelamatkan Gelang Kencana dari tangan orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Jadi, jangan mungkir begitu terhadap kami!" desak Katakini tampak semakin tidak sabar lagi.
Rangga memang merasa semakin tidak mengerti ucapan raja kaum kerdil ini. Namun setidak-tidaknya, pernyataan Katakini telah membuatnya berpikir keras. Sampai akhirnya, dia teringat pada orang-orang berpakaian ungu yang menguntitnya. Tindak tanduk mereka waktu itu jelas-jelas sangat mencurigakan. Lalu, siapa Janaloka yang dimaksud Katakini"
"Kalau benar dugaanmu, coba jelaskan siapa Janaloka yang telah mengirimkan Gelang Kencana padaku?" tanya Rangga.
"Ho ho ho...! Aku tidak bisa ditipu. Janaloka tidak lain adalah Ketua Padepokan Banteng Ireng yang sekarang sedang sekarat terkena penyakit aneh. Apakah kau masih meragukan aku?" tukas Katakini.
"Memang aku tidak ragu sekarang. Perlu kau ketahui, Janaloka tidak pernah menitipkan apa-apa padaku!" tegas Rangga.
Jawaban yang diberikan Pendekar Rajawali Sakti tentu membuat raja manusia kerdil ini menjadi sangat marah. Pemuda berbaju rompi putih ini dianggap telah menyepelekannya.
*** Katakini jelas tidak dapat menerima begitu saja. Untuk itu, sekali lagi diberi kesempatan pada Pendekar Rajawali Sakti.
"Kuminta dengan hormat padamu sekali lagi, cepat serahkan Gelang Kencana padaku!"
"Kau meminta sesuatu yang tidak kumiliki. Jika kau tetap bersikeras, maka aku juga dapat bersikap keras padamu!" jawab Rangga tegas.
Ucapan Pendekar Rajawali Sakti hanya membuat Katakini menjadi sangat marah. Maka begitu laki-laki kerdil bermahkota itu menudingkan telunjuknya, maka sepuluh orang prajurit utamanya serentak melancarkan serangan.
Prajurit-prajurit kerdil ini semula tidak terlihat membawa senjata. Namun begitu tangan mereka bergerak, tampak sebuah sinar biru berpijar dari tangan. Sinar itu hanya dalam waktu sekedipan mata saja telah berubah menjadi senjata berbagai bentuk.
"Ilmu sihir...!" desis Rangga, tanpa sadar.
"Kau segera akan tahu siapa kami, Pendekar Rajawali Sakti!" cibir Katakini yang rupanya sudah mengenali pemuda yang dihadapi dari ciri-cirinya.
Sebaliknya, Rangga semakin bertambah kaget saja, karena tidak menyangka Katakini mengetahui siapa dirinya yang sesungguhnya. Tetapi, Pendekar Rajawali Sakti sudah tidak sempat berpikir lebih jauh lagi. Karena, sepuluh prajurit utama Katakini sudah menyerang dengan mempergunakan jurus-jurus andalan yang aneh.
"Hup...!"
Rangga terpaksa mempergunakan jurus "Sembilan Langkah Ajaib" untuk menghindari serangan-serangan yang sangat cepat ini. Hanya dalam waktu cukup singkat, pertempuran pun telah berlangsung seru.
Tampaknya walaupun hanya prajurit, orang-orang kerdil ini sudah sangat terlatih dalam hal ilmu olah kanuragan. Terbukti, Rangga masih tetap merasakan tekanan gelombang serangan mereka.
Mau tidak mau Rangga semakin memperhebat gerakan tubuhnya dengan meliuk-liuk bagai orang mabuk. Gerakannya ditunjang oleh kelincahan kakinya. Setiap serangan senjata lawannya meluncur deras ke bagian perut maupun dadanya, maka bagaikan karet tubuhnya berkelit!
Satu serangan tombak pendek yang selalu memancarkan sinar biru ini luput. Dan Rangga melihat sebuah kesempatan bagus. Secepat kilat, tubuhnya bergerak ke depan. Sedangkan tangan kanan menghantam bagian kepala prajurit yang menyerangnya.
Prak! "Wuaagkh...!"
Dengan kepala pecah, tubuh prajurit kerdil itu terpelanting disertai jerit kesakitan yang sangat memilukan. Bukan saja para prajurit lainnya yang sempat terkejut melihat kenyataan itu. Tetapi Katakini sampai terjingkat melihat kehebatan pemuda berbaju rompi putih ini.
Melihat kematian kawannya yang kemudian raib secara gaib, para prajurit kerdil lainnya tampak semakin marah. Salah satu prajurit segera mengacungkan tangannya tinggi-tinggi ke udara. Apa yang dilakukannya ini segera diikuti prajurit lainnya. Lalu...
"Bunuh...!"
"Hiya! Hiyaaa...!"
Secara serentak senjata di tangan para prajurit kerdil ini menderu ke depan. Serangan mereka bagaikan terjangan ombak di lautan. Sehingga, membuat Pendekar Rajawali Sakti harus berjumpalitan di udara. Gerakannya cukup cepat, tetapi senjata salah seorang prajurit masih sempat menyambar pahanya.
Cras! "Uhh.... Sial!"
Rangga mengeluh tertahan. Darah mengucur dari luka di pahanya. Namun tubuhnya berjumpalitan di udara. Ketika tubuhnya meluncur deras ke bawah, langsung dikerahkannya jurus "Rajawali Menukik Menyambar Mangsa". Kaki kirinya langsung mengibas ke bagian kepala. Begitu cepat dan tak terduga serangannya, sehingga....
Prak! Prak! "Aaa...!"
Dua orang prajurit Katakini kontan terlempar dengan kepala hancur bersimbah darah. Rangga tidak berhenti sampai di situ saja. Segera tangannya menghentak ke arah sasaran.
"Aji "Guntur Geni"...!"
Wuuusss...! Seketika seleret sinar merah seperti bara menerjang para prajurit Katakini. Mereka yang sempat melihat serangan berbahaya itu langsung memutar senjata untuk melindungi diri. Tetapi mereka yang tidak sempat menyelamatkan diri....
Glarrr! "Wuaaagkh...!"
Lima sosok kerdil langsung terpelanting roboh disertai jeritan menyayat. Begitu mencium tanah, mereka tewas semuanya. Dan seperti kawan-kawannya pertama tadi, setelah tubuh mereka menyentuh tanah tiba-tiba raib seperti ditelan bumi.
"Jelas manusia-manusia kerdil ini adalah makhluk iblis! Atau mungkin saja, makhluk jejadian yang menyaru sebagai manusia...," gumam Rangga, pelan.
"Kau benar-benar pemuda edan yang harus mempertanggungjawabkan kesalahanmu!" teriak Katakini marah.
"Maaf, Kisanak. Bukankah kalian yang memaksaku" Kalian yang menjual, maka aku yang membeli!" ucap Pendekar Rajawali Sakti tenang.
"Bangsat! Hiyaaa...!"
Disertai teriakan melengking, raja kaum kerdil ini langsung menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Kedua tangannya yang pendek meluncur deras ke bagian-bagian tubuh Rangga yang mematikan.
Namun, Rangga sudah memperhitungkan segalanya. Dengan gesit dia menghindari setiap serangan dengan liukan tubuhnya ke kiri dan kanan. Tetapi, kemudian Pendekar Rajawali Sakti merasakan adanya suatu keanehan. Tangan Katakini ternyata bisa memanjang, dan terus terjulur. Kali ini, menuju ke bagian tenggorokan.
Melihat tangan lawan terus mengejarnya seperti karet, maka Rangga segera menangkis dengan mempergunakan sikunya disertai pengerahan tenaga dalam cukup tinggi.
Duk! "Heh..."!"
Katakini terhuyung mundur. Tubuhnya sempat tergetar. Sebaliknya Rangga terpaksa menahan napas ketika dadanya terasa sesak seperti tertimpa batu.
*** Kedua tokoh yang sama-sama memiliki kepandaian tinggi ini saling berpandangan sejenak. Di kejap lain, sambil berteriak nyaring Katakini menekuk kedua kakinya. Sedangkan kedua tangannya diputar begitu rupa dengan gerakan cepat, sulit diikuti mata.
"Hiyaaa...!" teriak Katakini sambil mengerahkan ajian "Bayang-Bayang Gaib".
Bersamaan dengan suara teriakannya, di sekujur tubuh Katakini tiba-tiba memancar sinar warna-warni seperti pelangi. Dan ini membuat Pendekar Rajawali Sakti terkesiap.
Kelengahan Rangga yang hanya sekejap ini dimanfaatkan Katakini, laki-laki kerdil ini cepat memutar tubuhnya, lalu tiba-tiba meluruk deras ke arah Rangga Cepat sekali gerakannya ini, sehingga Pendekar Rajawali Sakti hanya dapat menggeser tubuhnya dua langkah ke kanan. Namun sepertinya dapat membaca gerakan lawan, Katakini tiba-tiba mengibaskan tangan kanannya pula. Tidak dapat dihindari lagi....
Buk! "Hugkh...!"
Tangan Katakini yang terkembang seperti cakar elang menghantam telak dada Rangga, sekaligus merobek kulitnya. Pendekar Rajawali Sakti terhuyung-huyung setelah mengeluh tertahan. Dadanya terasa sesak seperti remuk pada bagian dalamnya. Tiba-tiba perutnya merasa mual. Ketika terbatuk-batuk, maka yang keluar dari mulutnya adalah gumpalan darah kental!
Wajah Rangga tampak berubah memucat. Seketika dikerahkannya hawa murni untuk menyembuhkan luka dalam yang diderita.
"Hik hik hik...! Kau segera mampus jika tetap mempertahankan Gelang Kencana itu!" ancam Katakini meremehkan lawannya.
"Dasar iblis! Tuduhanmu sama sekali tidak beralasan. Aku telah memutuskan bahwa kau tak bisa dibiarkan!" geram Rangga.
"Pemuda ceriwis bermulut besar! Terimalah kematianmu! Hiyaaa...!" teriak Katakini, raja orang kerdil dari Kulon Progo.
Tubuh pendek itu langsung melompat ke depan. Rangga yang sempat merasakan kehebatan Katakini segera mengerahkan jurus "Sembilan Langkah Ajaib" pada tingkat terakhir.
"Heaaa...!"
Pendekar Rajawali Sakti merunduk begitu rendah ketika serangan Katakini menghantam ke bagian bahunya. Dengan lincah kakinya bergerak menyapu.
"Hup!"
Katakini melompat. Kini badannya tetap mengambang di udara.
Melihat gerakan lawan yang begitu hebat, Rangga tiba-tiba menjulurkan tangannya. Tinjunya yang terkepal menghantam ke bagian selangkangan.
"Hiih...!"
"Uts...!"
Tetapi dengan cukup menakjubkan, Katakini sambil tersenyum mengejek melompat mundur.
Sehingga serangan Rangga tidak mengenai sasaran.
Rangga menjadi penasaran.
"Hiyaaa...!"
Diawali teriakan melengking tinggi, Pendekar Rajawali Sakti tiba-tiba melesat ke udara. Mulutnya terus berteriak seperti orang kesurupan.
Teriakan keras yang disertai pengerahan tenaga dalam dari Pendekar Rajawali Sakti membuat Katakini tersentak kaget. Maka saat itu juga gelombang serangan suara itu berusaha dibendungnya dengan pengerahan tenaga dalam.
Sementara Pendekar Rajawali Sakti agaknya sudah tidak memberi hati lagi begitu meluruk turun, langsung dikerahkannya jurus "Seribu Rajawali". Tubuhnya seketika berkelebat cepat mengitari Katakini dengan ilmu meringankan tubuh yang sudah sangat tinggi. Sehingga tubuh Pendekar Rajawali Sakti seperti berubah menjadi seribu banyaknya.
"Huup...!"
"Eiiit!"
Teriakan-teriakan keras mewarnai berkelebatnya sosok tubuh berbaju rompi putih. Kini Katakini tampak terkurung di tengah-tengah sinar putih. Kendati demikian, hal ini tidak membuat nyalinya ciut. Saat itu juga dilepaskannya tendangan kilat berulang-ulang ke arah salah satu dari bayangan Pendekar Rajawali Sakti yang jadi berjumlah banyak. Namun, tendangannya hanya mengenai tempat kosong saja.
Rangga tidak membuang-buang waktu. Setelah mengerahkan tenaga dalam ke bagian tangannya, jurusnya segera dirubah menjadi jurus "Pukulan Maut Paruh Rajawali". Saat tangannya berubah merah membara, tubuhnya seketika melesat ke arah Katakini.
Wuttt! Melihat bahaya yang mengancam jiwanya, Katakini tidak tinggal diam. Tangannya yang memancarkan sinar biru pun dikibaskan pula, memapak hantaman Pendekar Rajawali Sakti. Dan....
Glarrr! "Huaaakh...!"
Ledakan dahsyat dari bertemunya dua kekuatan besar terdengar keras memekakkan telinga. Tak lama, sebuah jeritan keras menggema. Tampak Pendekar Rajawali Sakti jatuh terduduk. Sedangkan ketika melihat ke arah Katakini, laki-laki kerdil itu tengah dalam keadaan terkapar. Entah hidup atau mati.
Rangga yang juga terluka dalam segera menghimpun hawa murninya. Tidak sampai sepenanakan sirih, Pendekar Rajawali Sakti segera membuka matanya yang langsung ditujukan pada Katakini. Namun, laki-laki kerdil itu telah hilang dari pandangan. Ia pun mencari-cari ternyata lawannya sudah tidak berada di situ lagi.
"Pendekar Rajawali Sakti. Ternyata kepandaianmu memang tinggi. Aku mengakui kehebatanmu! Untuk itu, aku tidak akan lagi campur tangan dalam urusan Gelang Kencana!"
Terdengar sebuah suara yang terdengar seperti di kejauhan. Jelas itu suara Katakini.
Agaknya laki-laki cebol itu bicara melalui ilmu mengirimkan suara jarak jauh.
Memang, kehadiran manusia jejadian itu cukup membuat mata Pendekar Rajawali Sakti terbuka lebar. Kiranya, begitu banyak orang yang menginginkan Gelang Kencana. Rasanya, Rangga merasa perlu untuk memberi peringatan pada Ki Janaloka tentang kemungkinan bahaya yang mengancam.
"Aku sendiri belum pernah melihat, bagaimana kehebatan yang dimiliki Gelang Kencana. Jika memang benar gelang itu pula sebagai kunci pintu batu Gua Selarong, maka pertumpahan darah mungkin segera akan terjadi di daerah itu. Sebaiknya, sebelum segala sesuatu yang tidak diingini terjadi, aku harus membicarakan hal ini pada orang yang bernama Janaloka itu!" pikir Pendekar Rajawali Sakti.
Tanpa membuang-buang waktu lebih lama, Rangga segera menuju ke Padepokan Banteng Ireng.
*** ? ? Selanjutnya Bagian 4-6
? Petaka Gelang Kencana
Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 . 195. Petaka Gelang Kencana ~ Bag. 4-6
2. Mai 2015 um 01:18
4 Secara diam-diam, Ki Belong menyelidiki apa yang membuat kakak kandungnya sakit seperti itu. Apalagi dia berkeyakinan kalau Ki Janaloka tidak mungkin sakit karena penyakit biasa. Pasti ada sesuatu yang menyebabkannya.
Sampai akhirnya, Ki Belong menemukan bukti kalau ternyata dalam makanan yang disuguhkan pada Ki Janaloka mengandung racun yang dapat membunuh seseorang secara perlahan-lahan. Maka, apa yang dicurigainya selama ini ternyata cukup beralasan. Jelas sekali ada seseorang yang sengaja meracuni kakangnya. Hanya saja, dia tidak tahu siapa yang telah melakukannya. Pada siapa dia harus curiga"
Dalam kemarahan meledak-ledak, Ki Belong segera menemui juru masak padepokan yang masih terhitung murid-murid Ki Janaloka sendiri. Ternyata orang yang dicari-carinya sudah tidak ada di tempat.
Di belakang Padepokan Banteng Ireng, Ki Belong bertemu Sura Pati, murid tertua di padepokan ini. Pemuda itu memandang heran ketika melihat kehadiran laki-laki tua bungkuk ini. Karena, tidak biasanya Ki Belong menelusup sampai di belakang padepokan.
"Kulihat Paman Guru seperti sedang mencari seseorang. Ada apa gerangan?" tanya Sura Pati, berusaha menutupi keheranannya.
"Aku mencari juru masak. Apakah kau melihatnya?"
"Sudah beberapa hari Paman tidak pulang ke padepokan ini. Dalam beberapa hari itu, telah banyak perubahan yang terjadi di tempat kita," jelas Sura Pati prihatin. "Maafkan aku, Paman. Selama ini aku mencurigai Paman telah melakukan sesuatu, sehingga membuat Guru sakit. Ternyata, kecurigaanku tidak beralasan."
"Apa maksudmu" Aku bertanya padamu, di mana juru masak kita?" desak Ki Belong tegang.
"Juru masak kita menghilang sejak kemarin. Aku mencurigainya kalau dia telah membubuhkan racun dalam makanan Guru. Mungkin dugaanku benar. Terbukti, dia melarikan diri," jelas Sura Pati.
"Hm.... Jika betul melarikan diri, bisa jadi dia dibunuh seseorang...," gumam kakek berbadan bungkuk ini curiga.
"Maksud Paman?"
"Boleh jadi Panaran hanya dipergunakan sebagai alat, atau dijadikan kambing hitam. Dengan begitu, pelaku yang sebenarnya tidak ketahuan oleh kita," duga Ki Belong.
Sura Pati langsung terdiam. Dia sendiri tidak pernah berpikir sejauh itu. Kalau benar dugaan Ki Belong, lalu siapa sebenarnya yang menginginkan kematian gurunya" Mungkinkah Kanigara" Rasanya sangat mustahil. Sebab, adik seperguruannya itu hampir tidak pernah berhenti memikirkan keselamatan gurunya. Boleh jadi pada murid-murid lain yang menghendaki kematian Ki Janaloka. Kalau benar, mungkinkah orang itu tidak lain dari Buntaran" Sebab, selama ini dia selalu iri melihat kemajuan silat yang dimiliki saudara-saudara seperguruan.
"Paman Guru?"
"Hmm...," Ki Belong menggumam tidak jelas.
"Aku curiga pada Buntaran. Bagaimana kalau kita menanyakan hal ini padanya?" usul Sura Pati.
"Mencurigai seseorang tanpa bukti-bukti yang kuat, tidak bedanya dengan fitnah. Jika kau mau kuajak bekerja sama, sebaiknya bawa pergi gurumu ke sebuah tempat yang aman!" sergah Ki Belong seraya memberi saran.
Sura Pati terkejut mendengar keputusan Ki Belong. Bagaimanapun, padepokan tidak boleh ditinggalkan oleh pimpinan. Sebab selain mereka akan berhadapan dengan musuh dalam selimut, juga musuh dari luar pun dapat muncul tiba-tiba.
"Kau kelihatan ragu, Sura Pati?" tanya Ki Belong, penuh teguran.
"Aku bukannya meragukan niat baik Paman. Tetapi, bagaimana jadinya nanti jika kita tinggalkan padepokan ini" Orang-orang yang menginginkan Gelang Kencana bukan sedikit," kilah Sura Pati.
"Bukan tidak mungkin orang yang meracun saudaraku memang menghendaki Gelang Kencana juga!" tebak Ki Belong.
"Kalau begitu kita putuskan untuk mencari bangsat tengik yang telah meracuni guruku!" tandas Sura Pati.
Ki Belong mengangguk setuju. Mereka kemudian berpisah, untuk melakukan tugas masing-masing.
*** Malam semakin larut saat terdengar suara rintihan dari dalam sebuah kamar di Padepokan Banteng Ireng. Memang, yang merintih-rintih itu tidak lain dari Ki Janaloka yang tengah dalam keadaan sekarat. Sementara Mayang Sari, istri keduanya, tampak duduk di samping pembaringan sambil menangis tersedu-sedu.
"Jangan menangis, Istriku. Tabahlah.... Aku merasa tak sanggup lagi untuk bertahan lebih lama. Satu pesanku, selamatkan Gelang Kencana ini dari tangan jahat siapa pun!" desah Ki Janaloka dengan suara tersendat-sendat dan lirih.
Laki-laki tua yang tubuhnya hanya tinggal kulit pembalut tulang ini segera mengeluarkan sebuah bungkusan kecil dari balik pakaiannya. Diserahkannya bungkusan itu pada Mayang Sari.
"Cepat simpan baik-baik barang pusaka itu, sebelum orang lain dalam padepokan ini melihatnya!" perintah Ki Janaloka, melanjutkan.
Mayang Sari segera melakukan apa yang diperintah suaminya.
"Kakang Janaloka.... Bersikap tegarlah, Kakang akan segera sembuh dari penyakit yang Kakang derita!" hibur Mayang Sari.
"Tidak mungkin," bantah Ki Janaloka. Kepalanya pun menggeleng lemah tanpa tenaga. "Sejak aku sakit, pandanganku semakin mengabur. Bahkan sekarang, sudah tidak dapat melihat apa-apa sama sekali. Lidahku kelu. Otakku sulit berpikir. Aku merasa saatnya sekarang telah tiba. Jagalah Gelang Kencana baik-baik. Sebab jika sampai jatuh ke tangan orang salah, hanya akan menimbulkan malapetaka saja!"
"Kakang, jangan bicara begitu!" sergah Mayang Sari.
"Aaa...!"
Ki Janaloka tampaknya ingin mengatakan sesuatu. Tapi yang keluar dari mulutnya hanya berupa jeritan kesakitan, disertai keluarnya darah dari mulut serta hidung.
"Kakaaang...!" teriak Mayang Sari, ketika melihat kepala suaminya terkulai.
Jeritan Mayang Sari seketika membuat murid-murid Padepokan Banteng Ireng tersentak kaget. Mereka segera berlari menuju kamar gurunya. Yang pertama sampai di tempat itu adalah Ki Belong dan Sura Pati, kemudian menyusul pula Kanigara.
Mereka berebut memeluki jasad gurunya. Sedangkan Ki Belong hanya berdiri mematung dengan mata berkaca-kaca.
"Tidak kusangka kau pergi secepat itu, Kakang. Kematianmu tetap menjadi teka-teki bagiku. Setidaknya sampai kejap ini!" desis Ki Belong, lirih.
"Aku yakin Buntaran dan Panaran yang telah meracuni guru kita!" teriak Kanigara tiba-tiba.
"Bagaimana kau tahu?" tanya Sura Pati dengan mata melotot.
"Sudah dua hari ini, aku mencari mereka. Ternyata mereka melarikan diri!" dengus Kanigara.
"Kalau begitu kita harus mencari mereka!" tegas Sura Pati.
"Serahkan semua itu padaku, Kakang. Biar malam ini juga aku yang mencarinya!" ujar Kanigara menyanggupi.
Baik Ki Belong maupun Sura Pati tidak kuasa mencegah, karena Kanigara sudah telanjur meninggalkan kamar duka.
Entah mengapa, Ki Belong merasa tidak enak hatinya. Dia jadi teringat tentang Gelang Kencana yang telah disimpan almarhum selama bertahun-tahun. Entah, di mana barang itu sekarang. Laki-laki ini ingin menanyakan hal itu pada Mayang Sari, tetapi takut orang-orang yang hadir malah mencurigainya.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang, Paman Guru?" tanya Sura Pati, minta petunjuk.
"Sebagai murid perintahkan agar tetap bersikap waspada. Sementara itu, coba bawa Mayang Sari agar beristirahat!" perintah Ki Belong.
"Tidak. Aku ingin menunggui suamiku!" bantah Mayang Sari, keras.
"Aku memahami bagaimana perasaanmu pada kakangku. Tetapi, kau harus mematuhi aturan yang berlaku di padepokan ini," tekan Ki Belong.
Sebentar wanita itu menatap mayat suaminya. Lalu tubuhnya beringsut.
"Baiklah," desah Mayang Sari.
Tidak lama kemudian Sura Pati sudah membimbing Mayang Sari menuju ke kamarnya, tepat di sebelah kamar tempat jasad Ki Janaloka terbaring. Setelah selesai mengantar Mayang Sari ke kamar, Sura Pati segera menuju pendopo depan. Namun baru saja di tengah jalan....
"Auuuwww...! Tolooong...!"
Tiba-tiba saja terdengar jeritan seorang perempuan.... Sura Pati langsung menoleh ke arah datangnya suara. Sekelebatan, dia melihat sebuah bayangan hitam melesat sambil memanggul sesosok tubuh ramping.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Sura Pati langsung melakukan pengejaran. Akan tetapi setelah sampai di bagian belakang padepokan, dia kehilangan jejak. Sura Pati terus berusaha mencari, ternyata usahanya hanya sia-sia saja.
Khawatir dengan nasib Mayang Sari, cepat Sura Pati berlari menuju kamar istri gurunya. Setelah sampai di sana, dia jadi terkejut karena Mayang Sari tidak berada di kamarnya.
"Gila! Malapetaka apa ini namanya?" rutuk Sura Pati. "Aku harus melaporkan kejadian ini pada Paman Guru!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Sura Pati segera menuju kamar duka. Langsung ditemuinya Ki Belong. Kakek berbadan bungkuk ini agak terkejut melihat kedatangan Sura Pati yang begitu cepat.
"Ada apa, Sura?" tanya Ki Belong.
"Celaka, Paman! Mayang Sari baru saja dilarikan seorang berpakaian hitam!"
"Apa"!" sentak Ki Belong.
Sama sekali Ki Belong tidak menduga ada seseorang yang begitu berhasrat menculik Mayang Sari. Yang membuatnya terheran-heran, waktunya hampir bersamaan pula dengan meninggalnya Ki Janaloka.
*** Apa tujuan si penculik itu kalau bukan menginginkan Gelang Kencana" Pastilah dia beranggapan, Mayang Sari mengetahui tempat penyimpanan benda yang mengandung kesaktian itu. Padahal sampai akhir hayatnya, Ki Janaloka tidak pernah bercerita di mana Gelang Kencana tersimpan walaupun pada adik kandungnya sendiri.
"Kita benar-benar menghadapi tantangan yang sangat berat. Dalam keadaan berkabung seperti sekarang ini, sebaiknya kita tunda pembicaraan terhadap hal-hal yang menyangkut persoalan duniawi. Besok setelah menguburkan Kakang Janaloka, kita boleh membicarakan urusan ini lebih lanjut," ujar Ki Belong, memberi pengarahan.
"Tidak bisa begitu, Paman Guru. Kita sama-sama kehilangan orang yang sangat berharga bagi kita. Guru telah mangkat. Jika orang luar sampai tahu, mereka akan berlomba-lomba kemari menyerang kita...," sergah Sura Pati.
"Bagaimana bisa terjadi?" sela Ki Belong sengit.
"Mengapa tidak" Orang-orang itu pasti akan meminta Gelang Kencana pada kita," jelas Sura Pati khawatir.
Ki Belong tersenyum sedih. Dia merasa, apa yang dikatakan Sura Pati memang benar. Dia baru ingat bahwa kabar tentang kehebatan Gelang Kencana telah tersebar luas. Buktinya, laki-laki bungkuk ini telah berhadapan dengan Tiga Pendekar Cambuk Maut belum lama berselang. Jadi memang tak mustahil orang-orang rimba persilatan akan menyerbu ke Padepokan Banteng Ireng setelah mendengar kematian Ki Janaloka. Karena mereka menganggap, pemegang sang gelang itu sudah tak ada lagi, sehingga bebas untuk diperebutkan.
"Kurasa kata-katamu memang benar, Sura. Kau tetaplah berjaga-jaga di sini. Aku akan mempersiapkan seluruh kekuatan yang kita punya untuk menjaga segala kemungkinan!"
*** Di halaman depan Padepokan Banteng Ireng murid-murid almarhum Ki Janaloka yang sedang dirundung duka tampak tetap bersikap waspada. Beberapa penjaga malam mondar-mandir melaksanakan tugasnya. Tetapi di luar sepengetahuan mereka, di balik pagar bambu yang mengelilingi padepokan tampak bayangan putih berkelebat mendekati pintu utama.
Begitu tiba di depan pintu pagar yang terkunci, bayangan putih ini langsung melompati pagar. Gerakannya ringan tidak menimbulkan suara. Sehingga saat menjejakkan kakinya, tidak ada seorang pun yang mendengar.
Akan tetapi, sial bagi sosok berbaju rompi putih ini. Karena dari arah samping padepokan, tampak sesosok tubuh berkelebat ke arahnya.
"Berhenti...!"
"Heh..."!"
Pemuda berbaju rompi putih yang tidak lain Pendekar Rajawali Sakti ini tersentak mendengar teriakan. Kepalanya langsung menoleh. Tampak seorang laki-laki tua berbadan bungkuk menghampirinya.
"Jelaskan siapa kau, Kisanak" Mengapa datang kemari dalam suasana malam pula?" tanya kakek berpakaian ungu yang tidak lain Ki Belong.
Pada saat yang sama, muncul beberapa murid padepokan setelah tadi mendengar teriakan. Mereka langsung mengurung Pendekar Rajawali Sakti dengan senjata terhunus.
"Namaku Rangga," jawab pemuda berbaju rompi putih memperkenalkan diri. "Aku datang dengan tujuan baik. Yaitu, ingin memperingati Ketua Padepokan Banteng Ireng tentang bahaya yang mengancam karena Gelang Kencana."
"Heh..."! Kau tahu juga tentang benda keparat itu"! Tapi perlu kau ketahui, Kakang Janaloka baru saja mangkat karena diracun oleh seseorang!" jelas Ki Belong. Suaranya penuh getaran, pertanda tengah diliputi rasa sedih yang mendalam.
Rangga terkejut mendengar penjelasan kakek berbadan bungkuk itu. Ternyata, kedatangannya terlambat dan dalam waktu yang salah pula.
"Aku ikut sedih mendengarnya. Kalau begitu, aku mohon diri, Paman...!" ucap Rangga, lirih.
Pendekar Rajawali Sakti berbalik. Namun baru beberapa tindak melangkah....
"Tunggu...!" cegah Ki Belong.
"Ada apa. Paman?" tanya Rangga sambil berbalik kembali.
Ki Belong merasa tidak tahu, apa yang harus dikatakannya. Pemuda berompi putih yang mengaku dirinya bernama Rangga ini belum dikenalnya sama sekali. Namun setelah melihat tingkah laku serta sebilah pedang berhulu kepala burung rajawali, laki-laki tua ini merasa yakin kalau inilah orangnya yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti, sebagaimana yang sering didengarnya.
"Katakan padaku, benarkah kau Pendekar Rajawali Sakti?" tanya Ki Belong.
Rangga hanya tersenyum. Dia membungkuk menjura hormat.
"Kalau hanya julukan kosong yang dimaksud, kurasa memang tak salah, Paman. Tetapi yang lebih penting buatmu, kedatanganku hanya ingin memberi peringatan bahwa sebaiknya mulai saat ini berhati-hati. Sebab, banyak yang menginginkan Gelang Kencana," ingat Rangga, pelan suaranya.
Ki Belong semakin yakin kalau pemuda di hadapannya adalah Pendekar Rajawali Sakti. Dan dia juga pernah mendengar kalau Ki Janaloka kakangnya, berniat menitipkan Gelang Kencana pada pendekar yang paling disegani di jagat ini. Tapi entah kenapa, sampai akhir hayatnya, Ki Janaloka tak melaksanakan niatnya. Mungkin karena belum mengenal Pendekar Rajawali Sakti secara dekat.
"Apa yang kau katakan memang benar, Rangga. Hanya, mungkin kami tidak mungkin dapat menghadapi mereka tanpa bantuanmu. Apalagi, mengingat sampai sekarang ini kami tidak tahu di mana Kakang Janaloka menyimpan gelang yang menghebohkan itu. Tapi kabar yang kudengar dia memang ingin menitipkannya padamu...!" jelas Ki Belong polos.
"Menarik sekali kalau begitu," timpal Rangga.
"Sebaiknya jika tidak keberatan, masuklah ke pondok kami. Aku akan menceritakan semuanya," janji Ki Belong.
*** Setelah Pendekar Rajawali Sakti mendengar penjelasan kemelut yang terjadi di Padepokan Banteng Ireng serta tentang Gelang Kencana, ternyata persoalan yang harus dihadapi Ki Belong memang tidak ringan. Namun, Rangga merasa ada sesuatu yang terasa ganjil. Pertama, mengenai menghilangnya Buntaran dan Panaran. Mustahil kedua orang ini pergi begitu saja, tanpa diketahui murid-murid lainnya. Lalu, mengapa Kanigara tega meninggalkan padepokan pada saat dalam suasana berkabung, walaupun dengan alasan ingin mencari orang yang telah meracuni gurunya.
"Paman! Yang mula-mula kita lakukan besok adalah mencari dua murid padepokan ini. Aku punya cara tersendiri untuk membuktikan, apakah mereka bersalah atau tidak," jelas Rangga hati-hati sekali.
"Apa pun yang akan kau lakukan, aku setuju saja. Aku berharap mudah-mudahan tidak ada yang mendengar kematian Kakang Janaloka. Dengan begitu, berarti persoalan yang akan dihadapi tidak semakin bertambah berat saja," sahut Ki Belong.
"Aku pun berharap demikian, Paman," desah Rangga. "Dan kalau begitu aku mohon diri dulu, Paman...."
"Jangan, Rangga. Kumohon, menginaplah di sini barang semalam Aku mohon, Rangga...," pinta Ki Belong.
Melihat sinar mata Ki Belong yang penuh harap, Rangga jadi tidak enak juga kalau tidak meluluskannya. Bahkan kemudian orang tua ini membawa Rangga untuk menempati sebuah kamar.
Setelah berbasa-basi sebentar, Ki Belong kembali menuju ke kamar duka, tempat murid-murid Padepokan Banteng Ireng berjaga-jaga di sana.
Sementara sejak memasuki kamar berukuran sedang yang telah disediakan untuknya, Pendekar Rajawali Sakti tidak langsung tertidur. Pikirannya menerawang pada beberapa persoalan yang baru saja diceritakan Ki Belong. Dia berusaha menghubung-hubungkan antara persoalan yang satu dengan yang lain.
Dalam suasana yang serba dingin itu, tiba-tiba Rangga dikejutkan oleh terciumnya bau busuk seperti bangkai manusia. Rangga berusaha mempertegas penciumannya.
"Mustahil orang yang baru meninggal sudah menebar bau busuk seperti sekarang ini. Pasti ada yang tidak beres telah terjadi di sekitar padepokan ini...," gumam Rangga, menduga-duga.
Rangga segera bangkit berdiri, dan berjalan keluar. Baru beberapa langkah, Pendekar Rajawali Sakti telah bertemu Sura Pati.
Walaupun Ki Belong telah memberitahukan kehadiran Pendekar Rajawali Sakti kepadanya, namun Sura Pati sempat terkejut juga.
"Kaukah yang bernama Rangga?" tanya Sura Pati. Melihat caranya memandang, tampaknya Sura Pati selalu curiga pada siapa pun.
"Ya...!" jawab Rangga singkat.
"Peraturan di padepokan ini, setiap tamu di atas tengah malam harus tidur," jelas Sura Pati, dingin.
"Aku bukan tamu yang datang untuk melihat-lihat, Sobat. Apakah kau tidak mencium adanya bau busuk ini?" tanya Rangga.
Sura Pati mengendus-endus. Caping hidungnya kembang-kempis seakan meragukan apa yang dikatakan Pendekar Rajawali Sakti.
"Benar ucapanmu. Padahal, sore tadi bau busuk seperti ini tidak tercium sedikit pun. Lalu, apa kesimpulanmu tentang hal ini?"
"Aku tidak dapat menyimpulkan apa-apa, sebelum menemukan sumber bau ini. Kalau kau tidak keberatan, sebaiknya kita mulai melakukan pemeriksaan bersama-sama," saran pemuda berbaju rompi putih.
"Aku setuju saja," sahut Sura Pati menyanggupi.
*** 5 Baru ketika matahari mulai terbit di ufuk timur, Rangga dan Sura Pati merasa yakin kalau arah bau busuk datang dari selatan. Dan ketika mendekati sebuah ladang yang dipenuhi rumput alang-alang yang terletak cukup jauh dari padepokan, bau busuk makin tercium jelas.
"Kurasa kita sudah mendekati sasaran, Rangga," gumam Sura Pati.
"Kuharap begitu," sahut Rangga sambil terus mencari-cari.
"Lihat...!" Sura Pati tiba-tiba saja berseru tertahan, ketika baru saja menyibak gerumbul alang-alang.
Pendekar Rajawali Sakti langsung cepat menghampiri Sura Pati. Matanya langsung memandang ke arah yang dimaksudkan Sura Pati. Mata pemuda itu melotot, begitu melihat sosok mayat yang telah hampir membusuk. Tanpa menghiraukan bau busuk yang cukup menyengat, mereka segera bergerak melakukan pemeriksaan.
"Panaran" Ini mayat Panaran!" seru Sura Pati.
"Tubuhnya dipenuhi luka-luka. Melihat keadaannya, mungkin sudah dua hari yang lalu dia tewas di sini. Jelas, bukan dia yang telah mengambil Gelang Kencana," simpul Rangga.
"Boleh jadi, dia mengetahui orang yang telah meracuni Guru. Karena dianggap membahayakan, maka Panaran dibunuh," timpal Sura Pati.


Pendekar Rajawali Sakti 195 Petaka Gelang Kencana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Terlepas dari semua itu, Rangga setidak-tidaknya mulai menemukan titik terang di balik semua teka-teki kematian Ki Janaloka. Dan atas kematian itu, berarti Gelang Kencana semakin tak jelas berada di mana. Atau mungkin sudah raib, entah ke mana" Dan bisa dipastikan peristiwa keji ini semata-mata karena demi Gelang Kencana! Tapi, tunggu! Mendadak saja Rangga teringat Kanigara atau Buntaran yang pergi meninggalkan padepokan. Demikian pula menghilangnya Mayang Sari yang diculik satu sosok berpakaian serba hitam. Dan bisa saja.... Rangga tidak mau menjelaskan dugaannya pada Sura Pati atau Ki Belong, sebelum segala sesuatunya benar-benar terbukti.
"Sudahlah. Sebaiknya sekarang kita bawa mayat Panaran untuk diurus secara layak bersama jenazah gurumu!" saran Rangga.
Sura Pati sebenarnya paling tidak tahan mengurus jenazah yang telah membusuk. Hanya merasa tidak enak hati saja jika harus menolak keinginan Rangga.
Pada waktu yang bersamaan, sosok berpakaian serba hitam yang telah melarikan Mayang Sari terus berlari menuju Gua Selarong. Hingga sampai di suatu tempat sosok berpakaian serba hitam itu berhenti. Segera diturunkannya Mayang Sari yang dalam keadaan tertotok. Sejenak pandangan matanya beredar ke sekeliling seakan sedang mencari-cari sesuatu.
Asmara Mumi Tua 3 Pendekar Mata Keranjang 13 Mendung Di Langit Kepatihan Memburu Iblis 3

Cari Blog Ini