Ceritasilat Novel Online

Setan Alam Kubur 2

Pendekar Rajawali Sakti 212 Setan Alam Kubur Bagian 2


"Yeaaa...!"
"Glaaar!"
"Aaaa...!"
Ki Jala Tunda hanya sempat terpekik sesaat ketika dengan berani dia menyambut pukulan ja?rak jauh yang dilontarkan Setan Alam Kubur de?ngan pukulan Udan Kembang miliknya yang ber-hawa dingin. Letupan nyaring terjadi. Pukulan Setan Alam Kubur yang mengeluarkan sinar hi?tam berbau anyir menderu tanpa terbendung menghantam tubuh Ki Jala Tunda hingga hancur seperti terkena ledakan dahsyat.
"Ha ha ha ha...! Siapa yang mampu di dunia ini menahan pukulan Setan Hitam milikku. Mam?puslah bagianmu! Ha ha ha ha...!" Setan Alam Kubur tertawa tergelak dengan suara nyaring me-mekakkan telinga.
Kelihatan dia begitu gembira sekali seperti anak kecil yang mendapatkan mainan kesukaan-nya. Kedua tangannya bertolak pinggang dan se?sekali dia meludah ke tanah dengan wajah po-ngah, barulah beberapa saat kemudian dia me?nyadari bahwa tempat itu telah sepi.
"Eh, kemana kerbau-kerbau dungu itu" Ku?rang ajar! Mereka malah kabur, sial! Aku jadi tak mempunyai permainan lagi. Tapi tak apalah. Da?sar kerbau-kerbau tolol! Mereka sama sekali tak berarti apa-apa, baiknya aku mencari kerbau lain yang lebih cerdik dan kuat," dengus Setan Alam Kubur kesal.
Baru saja dia akan pergi meninggalkan tem?pat itu, telinganya yang tajam mendengar derap langkah yang mendekati. Tanpa membuang wak?tu lagi dia langsung menghampiri. Tiga sosok tu?buh bergerak cepat mendekati bebukitan yang menuju tempat kediaman Ki Jala Tunda ini. Seorang di antara mereka berusia lanjut mengenakan baju serba hitam dan rambut yang panjang digulung ke atas. Sementara dua orang lagi, pe?muda dan pemudi berusia sekitar delapan atau sembilan belas tahun.
"Berhenti!"
Ketiga orang itu tersentak kaget ketika se?seorang berwajah buruk menghentikan langkah mereka dengan suara nyaring yang seakan meng?hantam gendang telinga. Yang paling tua di antara mereka bertiga langsung bersiaga dengan sorot mata penuh waspada.
"Siapa kau, Ki sanak" Kenapa kau menghen?tikan langkah kami?" tanya si orang tua dengan nada datar.
"Siapa pula kau tidak mengenal Setan Alam Kubur"!" bentak orang yang tiba-tiba muncul itu yang tak lain dari Setan Alam Kubur sendiri.
"Hm, jadi Setan Alam Kubur" Namamu baru kukenal hari ini. Maafkan kealpaanku, Ki sanak. Apakah kedatanganmu ke sini karena undangan Ki Jala Tunda seperti halnya aku?"
"Kurang ajar! Bukannya menjawab per-tanyaanku malah balik bertanya. Apakah kau ingin mampus"!"
Mendengar kata-kata itu si orang tua tam-paknya kurang senang. Pemuda di sebelahnyamalah berbisik geram.
"Sudahlah, Eyang. Kenapa mesti meladeni orang gila sepertinya. Lebih baik kita lanjutkan perjalanan."
"Bocah sial! Apa katamu" kau bilang aku gila" Ingin cepat mampus kau rupanya!" mata Setan Alam Kubur melotot garang.
"Mayat hidup sial! Kau pikir aku takut...."
"Permana! Sudahlah...."
Si Orang tua yang agaknya guru dari kedua muda-mudi itu berusaha untuk mencegah mulut lancang yang di panggilnya Permana. Tapi Setan Alam Kubur tampaknya sudah marah mendengar ocehan pemuda itu, sebab dengan tiba-tiba saja tubuhnya bergerak ringan ke arahnya.
"Permana, awas!"
"Plak!"
"Akh!"
Orang tua itu bermaksud melindungi murid?nya dengan mendorong Permana. Tangan kanan?nya berusaha menangkis lengan Setan Alam Ku?bur yang bermaksud menghantam batok kepala Permana. Tapi bukan main terkejut hatinya ka?rena merasakan tangannya terasa perih dan sakit bukan main.
"He he he he...! bagus, kau mau mewakili bocah itu" Nyawanya telah berada di tanganku, karena kau mencoba menghalangi, maka kau bo?leh mampus lebih dulu!" dengus Setan Alam Kubur geram.
"Ki sanak, barangkali ini hanya soal salah pa-ham belaka. Ada baiknya kita selesaikan secara baik-baik. Maafkanlah muridku. Dia memang tak tahu apa-apa soal sopan-santun. Apalagi kita se-sama teman sendiri yang merupakan tamu di sini. Tak baik rasanya bermusuhan...."
"Siapa yang jadi tamu" Keparat kau! kau pikir aku serendah derajatmu"! Jala Tunda yang kau sebutkan, sudah mampus di tanganku!"
"Apa"!"
"Kerbau budek! Aku tuan rumah di sini. Kau harus menuruti apa kata-kataku. Ayo, bersujud tiga kali!" sentak Setan Alam Kubur sambil me-nuding ke bawah telapak kakinya.
"Hehe!"
"Sial! mau membantah kau rupanya"!"
"Ki sanak, kau ternyata sudah keterlaluan se?kali. Biarpun nama Iblis Pedang Delapan tak di kenal di mana-mana, tapi siapa sudi kau hina begitu rupa!" sahut orang tua itu yang menyebut dirinya sebagai Iblis Pedang Delapan mulai tak senang.
"Bagus! Bersiaplah kau untuk mampus!"
"Hup!"
"Yeaaa...!"
? *** ? Tiba-tiba saja tubuh Setan Alam Kubur lang?sung mencelat menyerang si orang tua bergelar Iblis Pedang Delapan dengan kedua tangan ter-pentang membentuk cakar.
Iblis Pedang Delapan melompat bagai hari-mau menerkam, kemudian menjatuhkan diri ke-tanah dengan kedua kaki terangkat bermaksud menghantam perut lawan.
"Crak!"
"Uts!"
"Heh!"
Iblis Pedang Delapan terkejut ketika kaki lawan tertekuk dan kuku-kuku yang tajam me?nyambar permukaan telapak kakinya. Buru-buru dia menarik pulang serangan. Namun tak urung kulit kakinya tergores meski sedikit. Belum lagi dia menguasai diri untuk bergulingan dan ber?maksud bangkit, dari arah belakang, Setan Alam Kubur kembali menyambar dengan cepat ke arah tengkuknya.
"Yeaaa...!"
"Wuuut!"
"Hiiih...!"
Keringat dingin mulai keluar dari pori-pori Iblis Pedang Delapan, belum pernah sebelumnya dia menemui lawan segila ini. Gerakannya cepat bukan main dan ganas seperti ingin secepatnya menyelesaikan pertarungan. Dan yang paling penting dari semua itu, adalah bau busuk me?nyengat setiap kali dia bergerak. Berkali-kali Iblis Pedang Delapan terpaksa menutup jalan na?fas setiap kali mereka bertarung pada jarak dekat. Kalau tidak, bukan saja perutnya yang mual, tapi bau busuk itu pun seperti menyumbat tenggorokannya.
Iblis Pedang Delapan jadi serba salah. Ber?tarung dengan jarak dekat dia mengambil resiko parah, sebaliknya bertarung dengan jarak jauh tak kurang celakanya karena serangan lawan yang cepat seperti tak terduga dari mana datang?nya. Hanya karena kelincahannya bergerak dan ilmu peringan tubuhnya yang telah mencapai tingkat sempurna, hingga dia bisa lolos dari se?rangan maut Setan Alam Kubur. Tapi hal itu pun rasanya tak bisa berlangsung lama. Dalam dua jurus di muka pasti dia akan kehabisan nafas di?serang secara beruntun begitu.
"Sriiing!"
"Ha ha ha ha...! Kenapa tidak sejak tadi kau gunakan penggebuk lalat itu" Ayo kemari biar kutunjukkan bagaimana caranya menggebuk lalat!" ejek Setan Alam Kubur.
"Maaf, Ki sanak. Kau terlalu memaksa. Aku tak pilihan selain membela diri dan menyelamat-kan selembar nyawaku!" sahut Iblis Pedang Delapan.
"Aaaah... kenapa banyak omong segala! Da?sar kerbau budek pengecut! Meski kau meng?gunakan senjata apa pun, mana bisa Setan Alam Kubur kau takut-takuti!"
"Huh! Terimalah jurus Pedang Bcrsayap Delapan!" sentak Iblis Pedang Delapan sambil memainkan suatu jurus pedangnya.
Orang tua itu menyadari bahwa lawan me?nyerangnya dengan sunguh-sungguh dan meng-inginkannya nyawanya. Dan merasakan bahwa serangannya berat dan berhawa maut, Iblis Pe?dang Delapan tak bisa berlaku ayal-ayalan kalau tak ingin nyawanya melayang. Tak heran bila akhirnya dia langsung mengeluarkan jurus an?dalannya.
"He he he he...! Bagus! Cukup hebat, tapi tak cukup untuk membuat gembira!" ejek Setan Alam Kubur sambil melejit ke sana ke mari meng?hindari serangan lawan yang bertubi-tubi.
Sungguh gila apa yang dilakukan orang ber-wajah buruk itu. Jurus Ilmu pedang lawan sung?guh dahsyat dan mematikan, tapi dengan seenak?nya dia menghindari sambil tertawa-tawa meng-ejek.
"Bangsat!" maki Iblis Pedang Delapan sambil menghantamkan pukulan yang mengeluarkan si?nar ungu dari telapak tangan kirinya ke arah lawan.
"Uts! Keparat! mau main api rupanya kau! Baik. Kau yang memulai maka kau pula yang harus menanggung akibatnya!" geram Setan Alam Kubur sambil menggosokkan kedua te?lapak tangan.
Dari situ keluar asap kelabu mengepul yangdengan cepat berganti menjadi hitam.
"Yeaaa...!"
Tubuhnya mencelat dengan kedua tangan membentuk cakar menyerang Iblis Pedang De?lapan. Saat itu pula si orang tua menangkis sambil menyabetkan pedang.
"Uts!"
"Trak!"
"Heh!"
"Yeaaa...!"
"Glaaar!"
Tubuh Setan Alam Kubur meliuk menghin?dari sabetan pedang lawan. Tapi kuku-kuku ta?ngan kirinya yang runcing, tajam, dan kuat meng?hantam tubuh pedang hingga patah menjadi dua bagian. Iblis Pedang Delapan terkejut bukan main. Senjatanya bukanlah sembarangan. Tapi warisan leluhur dari guru-gurunya terdahulu dan telah dibuktikan kehebatannya sampai sekarang. Tapi dengan mudah Setan Alam Kubur mematah-kannya dengan kuku-kuku tangan. Dalam ke-terkejutannya itulah Setan Alam Kubur langsung menghantamkan pukulan dahsyatnya yang ber?nama Setan Hitam dan tak mampu di elakkan oleh Iblis Pedang Delapan. Iblis Pedang Delapan tak mampu berteriak sedikit pun. Tubuhnya han?cur seperti terkena ledakan dahsyat.
"Eyang Guru...!" teriak kedua muda-mudi itu berseru kaget sambil memburu tubuh si orang tua yang hancur berantakan.
"Ha ha ha ha...! Kerbau-kerbau dungu yang merasa dirinya hebat tiada tertandingi akan mam?pus di tangan Setan Alam Kubur! ha ha ha ha...! Kalian semua akan mampus di tangan Setan Alam Kubur?" teriak orang berwajah buruk itu dengan suara nyaring.
"Setan keparat! kau harus mampus untuk me-nebus kematian Guruku!" bentak Permana sam?bil berbalik dan menatap wajah orang itu dengan garang.
"Eit! Bocah celaka! Rupanya kau ingin buru-buru menyusul Gurumu" Ke sini biar kupecah-kan kepalamu!"
"Sriiing!"
"Mampus!"
"Uts! Masih mentah, bocah. Kau perlu be-lajar satu abad lagi untuk bisa menandingiku!"
"Kakang,? aku? akan? membantumu? mem?binasakan iblis keparat ini! Yeaaa...!"
"Dewi, jangan. Pergilah kau dari sini. Dia bukan lawanmu!" cegah Permana khawatir me?lihat adik seperguruannya itu telah mencabut pe?dang dan ikut-ikutan menyerang Setan Alam Kubur.
Permana mengetahui kalau saja Gurunya bi-nasa di tangan tokoh ini, maka perlawanannya pun akan sia-sia. Tapi itu masih di pandangnya bagus ketimbang menjadi seorang pengecut dan hidup membawa beban melihat Gurunya tewas tanpa terbalas. Meski nyawanya jadi taruhan"
"Tidak, Kakang! Si Keparat ini harus mampus di tangan kita berdua!" sahut Dewi berkeras.
"Pergilah kau dari secepatnya. Iblis ini bukan tandinganmu. Kau akan mengorbankan nyawa sia-sia. Biar aku yang menghadapinya!" bentak Permana.
Tapi gadis itu sudah tak memperdulikan lagi kata-kata saudara seperguruannya. Dia terus mcnempur Setan Alam Kubur dengan gencar.
"He he he he...! Kalian pikir bisa membuatku binasa dengan menari-nari begini" Huh! Jangan harap. Seratus orang seperti kalian belum tentu mampu menjatuhkan Setan Alam Kubur!" de?ngus Setan Alam Kubur dengan sikap pongah.
"Setan Alam Kubur, kau pikir hanya kau sen?diri yang jago di atas dunia ini"! Huh! Aku pun mampu membuatmu mampus!" sentak Permana ketus.
"Sial! Bocah sepertimu memang tak seharus?nya dibiarkan hidup lebih lama, mampuslah kau sekarang! Hiiih...!"
"Wuuut!"
"Trak!"
"Heh!"
"Breeet!"
"Aaaa...!"
"Kakang Permana...!" teriak Dewi memekik nyaring melihat leher saudara seperguruannya robek dan mengucurkan darah dengan deras.
Ketika cakar tangan kiri Setan Alam Kuburbergerak menyambar dada Permana, saat itu pula pedang Dewi menyambar lehernya. Setan Alam Kubur berbalik dan menangkis hingga pedang itu patah. Permana terkejut, saat itulah cakar kanan lawan menyambar.
"Hi hi hi hi...! Bocah dungu yang sok jago. Kau pikir bacotmu bisa membuktikan kehebatanmu" Puiiih...!" Setan Alam Kubur tertawa keras sambil meludah berkali-kali.
Gadis itu bersujud sambil tak henti menitik-kan air mata melihat keadaan tubuh Permana yang seperti diterkam binatang buas. Masih sem?pat dia menyaksikan Permana menggelepar-gelepar seperti ayam disembelih sebelum akhir?nya diam tak bergerak untuk selamanya.
"Eyang Guru... Kakang Permana. Tenanglah kalian dialam sana. Aku bersumpah akan mem?balaskan sakit hati dan dendam ini!" geram gadis itu sambil memungut pedang Permana yang ter?geletak tak jauh darinya.
"Ha ha ha ha...! Betina tolol. Kau pikir bisa berbuat apa padaku" Ke sinilah cepat kalau kau pun ingin menyusul mereka!"
Perlahan-lahan Dewi berbalik dan menatap tajam ke arah Setan Alam Kubur. Sinar matanya menunjukkan kebencian dan dendam yang me-nyala-nyala. Dengan pedang menyilang di dada dia mendesis sinis.
"Setan Alam Kubur, kau harus mampus di tanganku!"
"Ha ha ha ha...!"
"Yeaaa...!"
"Hup! Sial...!"
"Trak!"
"Bret!"
Suara tawa Setan Alam Kubur berhenti se-ketika ketika ujung pedang si gadis menyambar tenggorokannya. Sambil memiringkan kepala, ta?ngan kanannya bergerak menyambar pedang la?wan dan dengan sekali sentil pedang itu patah menjadi dua. Tapi si gadis seperti tak memper?dulikan keadaan lagi. Kepalan tangannya sudah langsung melayang ke wajah lawan diiringi pe-ngerahan tenaga dalam kuat. Setan Alam Kubur berkelit dan kuku-kuku kirinya menyambar dada gadis itu hingga bajunya robek menampakkan be-lahan dadanya yang membusung lebar dan sem?pat menggurat kulit tubuhnya hingga mengeluar?kan darah.
"Hi hi hi hi...! Gadis perawan yang malang. Sayang mataku terbelalak melihat kemolekan tu?buhmu, tapi nafsuku tak berhasrat lagi untuk itu selain ingin melihat darah membanjir di tubuh?mu!" kata Setan Alam Kubur kemudian meng?geram buas.
"Yeaaa...! Mampuslah kau jahanam!"
"Plak!"
"Hiyaaat...! Heh!"
Gadis itu mengeluh kesakitan ketika kepalan tangannya di tangkis lawan. Saat itu pula telapak tangan kanan Selan Alam Kubur telah siap untuk menghancurkan batok kepala si gadis.
Tiba-tiba langit menjadi gelap dan saat itu pula menyambar angin kencang menderu ke arah keduanya. Setan Alam Kubur terkejut dan me?maki tak karuan ketika tubuhnya terdorong ke belakang beberapa langkah.
"Bajingan keparat! Perbuatan siapa ini"! Ayo, tunjukkan dirimu!" bentaknya sambil mem?balas dan menghantamkan pukulan maut Setan Hitam yang dahsyat dan menyemburkan bau busuk yang menusuk hidung.
"Khraaaghk...!"
"Heh"!"
Setan Alam Kubur terkejut ketika melihat seekor burung Rajawali berukuran raksasa terbang membumbung ke angkasa sambil mengibaskan sayap menghalau pukulannya. Tapi pukulan itu hanya tertahan sesaat, dan burung yang ter?lihat cerdik itu dengan cepat menguncupkan sa?yap hingga pukulan lawan lewat beberapa inci dari sayapnya, untuk kemudian terus membumbung tinggi dengan kedua kaki mencengkeram sesosok tubuh.
"Keparat! Awas kau kalau bertemu sekali lagi! Binatang celaka, kau akan mampus di ta?nganku!" bentak Setan Alam Kubur memaki tak karuan mengumpat sumpah serapah.
Masih sempat dua kali dia melepaskan pu?kulan Setan Hitam. Yang pertama dapat dielak?kan burung Rajawali raksasa ilu dengan terus bergerak cepat dan membumbung tinggi. Dan yang kedua, pukulan itu terhenti pada jarak ter-tentu karena tak mampu menjangkau ketinggian burung itu terbang.
Sampai burung itu lenyap dari pandangan, Setan Alam Kubur masih terus memaki-maki sambil berteriak-teriak marah.
*** 6 ? Setelah selesai memanen sawah, Rangga mengikuti para petani itu ke pondok mereka. Sampai menjelang sore hari, tak terlihat tanda-tanda Perguruan Tengkorak Merah mengirim utusan untuk membuat perhitungan dengannya. Rangga mulai tak betah sementara orang-orang desa mulai sibuk mengangkut hasil padi, dia me?ninggalkan desa sesaat untuk berjalan-jalan mengitari desa itu.
Jarak desa ini dengan Pesisir Utara tak begitu jauh hanya di batasi oleh beberapa bukit kecil membuat bentuk pantainya tak semua landai. Nun jauh di atas sebuah bukit yang agak men-julang, bertengger Perguruan Tengkorak Merah yang selama ini membuat kekacauan di mana-mana. Ada keinginan Rangga untuk langsung me-nyatroni ke sana, tapi tak ada alasan khusus yang menyurutkan niatnya ke sana. Sambil menghela nafas, dia meneruskan langkah mendaki sebuah bukit kecil yang tak begitu jauh dari desa itu.
Tiba di ujungnya, bukit itu buntu. Jurang di bawahnya adalah batu karang dan ombak yang terus menghantam dasar bukit ini. Angin bertiup semilir melambai-lambaikan rambutnya yang panjang. Hewan malam mulai keluar satu per-satu. Sementara di permukaan laut terlihat bu?rung camar dan kelelawar beterbangan saling berkejaran.
"Hmm, sudah lama sekali aku tak bertemu dengan sobatku. Tentu dia pun rindu padaku," gumam Rangga.
Pemuda itu kemudian mendongakkan wajah ke angkasa sambil memperhatikan ke sekeliling tempat itu.
"Mudah-mudahan dia bisa mendengar isyaratku..." lanjutnya kembali sambil memasuk-kan dua jari tangan ke mulut.
"Suiiit...!"
Terdengar suitan panjang dari mululnya. Rangga menunggu beberapa saat. Kemudian kembali meluncur dari mulutnya suitan panjang yang melengking untuk kedua kalinya. Dan kali ini mulai terlihat bintik hitam di angkasa yang sedikit demi sedikit melebar dan menunjukkan rupa seekor Rajawali raksasa.
"Grakh...!"
"Eh, siapa yang kau bawa ini"!" tanya Rangga kaget ketika melihat sesosok tubuh wanita dalam cengkeraman Rajawali raksasa ilu.
Buru-buru dia menangkap tubuh itu sebelum burung Rajawali tersebut menjejakkan kakinya.
Diperiksanya sesaat dan melihat luka cakar di bagian dada gadis itu. Rangga merasa sedikit je-ngah melihat pemandangan di depan matanya itu. Tapi gadis ini harus cepat ditolong karena se?kujur tubuhnya mulai menghitam.
"Gadis itu terkena racun ganas. Masih untung kau cepat menolongnya. Kalau tidak nyawanya pasti tak akan tertolong lagi," desis Rangga sam?bil membaringkan tubuh gadis yang sedang tak sadarkan diri itu.
Rangga merapatkan kedua belah telapak ta?ngannya beberapa saat hingga terlihat perlahan-lahan memerah sambil mengepulkan asap tipis.
"Hup!"
"Plak!"
Ditempelkannya sebelah telapak tangannya ke bagian dada si gadis persis di atas luka bekas cakaran itu. Wajahnya tampak berkerut seiring dengan hela nafasnya yang semakin kencang. Butir-bulir keringat mulai keluar dari pori-porinya. Tapi usahanya tak sia-sia karena sedikit demi sedikit bagian menghitam di dada gadis itu sirna, dan....
"Yeaaa...!"
"Glaaar!"
Rangga menarik telapak tangannya sambil berteriak keras dan menghantam sebuah batu ka?rang hingga hancur berkeping-keping. Bersama?an dengan itu si gadis sadar dan memuntahkan darah kental yang bergumpal-gumpal sebesar jempol tangan berwarna kehitam-hitaman.
"Ayo, terus muntahkan sisa-sisa racun di tu?buhmu!" ujar Rangga sambil menyandar si gadis pada sebuah batu dan mengusap punggungnya dari bawah ke atas.
"Hoeeekh...!"
Gadis itu menyemburkan sisa-sisa racun ter-akhir yang mengendap di tubuhnya. Nafasnya ter-sengal-sengal. Rangga masih mengurut-urut punggungnya hingga pernafasan gadis itu per?lahan-lahan membaik.
"Heh, siapa kau"!" sentak gadis itu sambil menutupi bagian dadanya yang terbuka begitu menyadari bahwa seorang pemuda yang tak di-kenalnya mengusap-usap punggungnya.
Wajahnya yang masih pucat tampak garang dan menunjukkan ketidaksenangannya atas per?buatan yang dilakukan pemuda itu. Tapi begitu melihat darah kental berceceran di sekitar tem?pat itu, sikapnya berubah lain.
Lebih-lebih ketika melihat seekor burung raksasa bertengger tak jauh dari situ. Menger?tilah dia apa yang telah terjadi. Dengan wajah malu-malu ditundukkannya kepala.
"Ni sanak, maaf kalau kau tak suka dengan caraku. Melihat kau terluka parah aku bermak?sud menyelamatkan kau dari kematian. Syukur?lah sobatku itu buru-buru membawamu ke sini..." ujar Rangga pelan.
"Ng... terima kasih atas pertolonganmu...."
? ? "Nisanak, maaf kalau kau tak suka dengan ca?raku. Melihat kau terluka parah, aku hanya ber?maksud menyelamatkan kau dari kematian. Syukur?lah sobatku ini buru-buru membawamu kemari...," ujar Rangga menjelaskan.
"Ng... terima kasih atas pertolonganmu...," sa?hut gadis yang tampak masih lemah itu.
? "Sudahlah. Bukankah itu hal biasa sesama manusia saling tolong menolong. Kalau tak ke-beratan, bolehkah aku mengetahui kenapa kau bisa sampai begitu" Agaknya kau baru saja ber?tarung dengan tokoh yang amat kejam...."
Gadis itu tak buru-buru menyahut setelah mengangguk perlahan. Bola matanya menera-wang jauh ke ujung permukaan laut yang bertaut dengan batas cakrawala. Wajahnya terlihat mu-rung. Rangga menyadari bahwa gadis ini tentu lelah mengalami peristiwa hebat yang membuat batinnya terguncang. Maka dia tak terlalu me?maksa, dan hanya diam sambil sesekali memper?hatikan dan mengelus-elus bulu leher Rajawali raksasa yang merupakan teman dekatnya itu.
? *** ? "Guru dan Kakak seperguruanku tewas oleh-nya...."
"Tewas oleh siapa...?"
"Manusia berwajah buruk dan berbau busuk yang menamakan diri sebagai Setan Alam Kubur...."
"Setan Alam Kubur" Baru kudengar nama itu. Siapa gerangan gurumu hingga bisa tewas di tangan?nya" Apakah kalian mempunyai urusan dendam de?ngannya?"
"Tidak. Bahkan tak ada urusan sama sekali.
Guruku bergelar Iblis Pedang Delapan. Kami bermaksud untuk mengunjungi Ki Jala Tunda ka?rena beliau mengundang. Guruku tadi menyang?ka bahwa Setan Alam Kubur adalah juga salah seorang tokoh yang diundang oleh Ki Jala Tunda. Tapi ternyata tidak. Bahkan dia mengaku telah membunuh Ki Jala Tunda..." kata gadis itu men?jelaskan.
Rangga mengangguk-anggukkan kepala mendengar cerita gadis itu. Hatinya sedikit tak enak karena dia telah menolong murid salah se?orang tokoh golongan hitam, bahkan sekutu Ki Jala Tunda yang sudah jelas perbuatannya sangat merugikan rakyat. Tapi hati kecilnya yang lain seolah menghibur dan mengingatkan bahwa me?nolong manusia tak boleh pandang siapa orang-nya.
"Jadi sekarang apa yang akan kau lakukan?" lanya Rangga hati-hati.
"Iblis itu harus mati di tanganku!" dengus gadis itu sambil mengepalkan tangan.
Rangga tak memberikan reaksi mendengar tekad gadis itu. Dalam hatinya cuma merasa yakin bahwa tindakan gadis itu hanya sia-sia belaka. Sebab kalau saja gurunya dapat dikalahkan bah?kan tewas di tangan tokoh yang bernama Setan Alam Kubur, mana mungkin dia mampu mem?balaskan dendam dengan kepandaian yang di-milikinya saat ini.
Ada hal yang membuat pemuda itu tak habis pikir. Siapa sebenarnya Setan Alam Kubur itu" Apakah dia salah seorang tokoh pembela ke?benaran yang muak dengan sepak terjang Ki Jala Tunda beserta murid-muridnya selama ini" Atau-kah tokoh golongan hitam dan bermaksud mem?bantai mereka satu persatu" Seribu satu per?tanyaan menggantung di benak pemuda yang di?kenal dengan gelar Pendekar Rajawali Sakti itu.
Dalam keadaan demikian tiba-tiba Rangga tersentak kaget melihat asap hitam mengepul ke angkasa dari arah desa yang tadi di tinggalkan-nya.
"Heh..." Desa itu kebakaran. Apa yang ter?jadi?"
Buru-buru dia naik ke punggung Rajawali itu dan bermaksud untuk meninggalkan puncak bu?kit itu secepatnya ketika burung Rajawali itu ber?teriak kecil mengingatkan.
"Astaga, hampir lupa! Ni sanak, apakah kau ingin tinggal di sini atau ikut denganku?" tanya-nya pada si gadis.
Gadis itu menoleh dengan pandangan lesu dan belum memberikan jawaban.
"Ayolah! Aku tak bisa berlama-lama mem?biarkan keadaan desa itu. Di sana pasti ada ke?kacauan."
"Na... naik ke punggung burung itu...?" tanya-nya ragu.
"Kenapa" Takut" Bukankah tadi kau malah di cengkeramnya" Ayo, cepat naik!" Rangga ter-paksa turun dari leher Rajawali itu dan menarik lengan gadis itu yang masih ragu-ragu beranjak dari tempatnya semula.
Meski dengan hati gamang, tapi akhirnya ga?dis itu pun menurut dengan hati-hati sekali. Ke?tika Rajawali itu melesat ke angkasa, rasa takut-nya tak terbendung lagi. Dengan cepat di peluknya tubuh Rangga dari belakang seperti tak hendak dilepaskannya.
"Berpegang erat-erat ya" Awas! kalau lepas kau pasti akan jatuh. Dan tahu sendiri akibatnya kalau jatuh dari ketinggian saat ini. Tentu tubuh?mu tak akan berbentuk lagi begitu tiba di bawah!" teriak Rangga sambil tersenyum dalam hati.
Gadis itu cuma diam tak banyak bicara. Mes?ki wajahnya jengah dan perasaan hatinya tak ka?ruan, tapi pelukan di punggung pemuda itu tak dilepaskannya. Meski... Rangga merasakan bukit kembar gadis itu seperti membuat detak jantung?nya lebih kencang berbunyi!
Burung Rajawali raksasa itu melesat cepat dan berputar-putar sesaat di atas rumah-rumah di desa itu yang hancur berantakan di amuk api. Kemudian menukik perlahan dan turun di tanah yang agak luas. Rangga dan gadis itu cepat melompat turun dan melihat mayat-mayat ber-gelimpangan di mana-mana.
"Astaga! Apa yang telah terjadi di sini"!" serunya kaget.
Dia memeriksa satu-persatu mayat-mayat itu. Tampak di antara mereka bekas bacokan-bacokan senjata tajam di tubuh, dan luka-luka bekas cakaran. Rangga terkejut ketika melihat beberapa buah golok berhulu kepala Tengkorak tergeletak di sana.
"Hm, agaknya ketika aku ke atas sana orang-orang Tengkorak Merah datang dan mengacau di sini. Tapi... kenapa mereka pun tewas seperti tercakar hewan buas?" tanya Rangga semakin bingung.
Tiba-tiba dia teringat luka cakar yang dialami gadis yang bersamanya. Buru-buru dia menoleh, tapi gadis itu sudah tak ada di belakangnya.
"Sial! Kemana dia?"
"Kenapa kau menggerutu sendiri?"
"Heh"!"
Rangga melihat gadis itu keluar dari salah satu rumah dan berganti pakaian. Mengertilah ia apa yang tadi dikerjakan gadis itu.
"Tak ada pakaian yang bagus. Tapi yang ini tak apalah, meski terlihat sebagai gadis desa..." kata gadis itu sambil melangkah ke dekat Rangga.
"Ni sanak, luka di tubuh orang-orang Teng?korak Merah ini sama dengan luka yang kau de-rita. Tahukah kau kira-kira kemana orang itu pergi?"
"Apakah Setan Alam Kubur yang kau mak?sud?"
Rangga mengangguk. Gadis ilu dilihatnya mengangkat bahu.
"Mana kutahu dia pergi ke mana!"
Rangga menghela nafas pendek sambil me?natap ke sekeliling.
"Oooh...!"
"Heh!"
*** ? Rangga buru-buru melompat ke arah datang?nya keluhan pelan yang sempat di dengarnya. Gadis itu pun mengikuti dari belakang.
Seorang warga desa tampak terluka parah dengan nafas satu-satu. Rangga menyandarkan-nya ke tiang rumah, meski wajah laki-laki berusia lanjut itu terkulai layu.
"Kuatkan dirimu, Ki sanak! Katakan padaku, siapa yang melakukan semua ini?"
"Orang-orang Tengkorak Merah... tapi ke?mudian seorang yang mengaku bernama Setan Alam Kubur menghabisi semuanya," sahut orang tua itu lemah.
Setelah berkata demikian nafasnya terhenti untuk selamanya. Nyawa orang itu tak tertolong lagi. Rangga menghela nafas sesak sambil me?lepaskan pangkuannya pada orang tua itu. Dia berdiri dengan wajah garang.
"Biadab! Orang-orang itu ternyata tak kapok-kapoknya!"
"Siapa yang kau maksud" Apakah orang?-orang Perguruan Tengkorak Merah?" tanya gadis di dekatnya.
Rangga cuma mendengus pelan. Kemudian katanya. "Ya, kenapa" Kau ingin membela per?buatan-perbuatan mereka yang terkutuk"!"
Setelah berkata begitu Rangga langsung ke?luar dan berdiri di dekat burung Rajawali raksasa itu dan menatap ke arah mayat-mayat yang ber-gelimpangan dengan hati geram. Gadis itu sendiri melangkah pelan mendekatinya.
"Maaf, aku tak punya maksud menyinggung perasaanmu. Apakah kau berpikir bahwa orang-orang itu merupakan teman-temanku...?" tanya gadis itu lirih.
"Kalau Gurumu berteman dengan mereka, lalu apa namanya kalau kau tak berteman dengan mereka juga?"
"Ki sanak, kita belum saling mengenai, ke?napa kau menuduhku begitu?"
Rangga diam tak menjawab. Gadis itu pun membisu beberapa saat lamanya.
"Memang benar Guruku tokoh golongan hi?tam, tapi tak berarti bahwa aku pun sering ber?buat keonaran di mana-mana. Aku bahkan tak tahu apa yang dilakukan Guruku selama ini. Beliau baru saja kali ini mengajak kami untuk turun gunung...." kata gadis itu bercerita lirih.
Rangga hanya menoleh sekilas kemudian kembali mengalihkan pandangan.
"Aku tak memaksamu untuk percaya dengan ceritaku. Sejak kecil aku dipungut Guruku dan tak pernah tahu siapa kedua orangtuaku. Beliau-lah yang selama ini mengasuhku. Tapi apakah berarti bahwa dosa beliau harus di pikul oleh-ku..." lanjut gadis itu.
"Maafkanlah, aku tak bermaksud menuduh-mu begitu..." akhirnya keluar juga kata-kata pe-nyesalan dari mulut Rangga.
"Tak apa. Aku bisa mengerti kalau kau curiga begitu mengetahui siapa Guruku. Dengan begitu aku bisa mengetahui siapa kau sebenarnya. Kalau bukan musuh Guruku tentu kau adalah seorang pendekar yang selalu membela kebenaran...."
"Aku cuma pengembara biasa...."
Gadis itu tersenyum kecil.
"Guruku pernah bercerita tentang tokoh-tokoh rimba persilatan. Baik mereka yang ter?masuk golongan hitam mau pun putih. Juga ten?tang seorang tokoh persilatan yang belakangan ini namanya amat menggemparkan dunia per?silatan. Orang itu memiliki burung Rajawali rak?sasa dan mempunyai ciri-ciri khusus yang kau miliki saat ini. Hanya saja tadi aku belum sempat memperhatikan. Ki sanak, apakah kau yang me?miliki gelar Pendekar Rajawali Sakti?" tanya gadis itu sambil menatap Rangga dalam-dalam.
Rangga cuma tersenyum kecil.
"Tak salah. Matamu sungguh jeli. Tapi kalau dikatakan aku menggemparkan rimba persilatan, pastilah itu karena kebodohanku yang tak becus apa-apa..." sahut Rangga merendah.
"Satu hal pula yang ku dengar memang tak salah dengan kenyataan yang saat ini kulihat."
"Apa?"
"Pendekar Rajawali Sakti memang suka merendahkan diri...."
"Sudahlah, Ni sanak. Kau terlalu banyak me-muji orang. Tapi itu tak adil. Kau tahu aku se-dangkan aku tak tahu siapa kau."
"Kenapa tak adil" Kau justru lebih tahu siapa kau, dan kau yang belakangan tahu siapa kau."
Rangga kembali tersenyum kecil.
"Namaku Rangga..." katanya pelan.
"Panggil saja aku Dewi, atau Dewi Koma-lasari."
"Nah, Dewi. Kurasa cukuplah pertemuan kita sampai di sini. Kau bisa melanjutkan perjalanan?mu," lanjut Rangga bersiap naik ke leher Raja?wali raksasa itu.
Dewi Komalasari tampak diam tak berusaha beranjak. Pandangannya lirih menatap langit senja yang mulai tampak.
"Aku tak tahu harus kemana membawa lang?kah kakiku ini. Kalau ada satu urusan yang harus kukerjakan adalah membalaskan sakit hati Guru dan Saudara seperguruanku..." sahut Dewi per?lahan dengan nada lirih.
Rangga jadi bingung mendengar kata-kata Dewi Komalasari. Tak mungkin rasanya dia terus-terusan membawanya kemana-mana.
"Kau sendiri akan ke mana?" tanya Dewi sam?bil menatap Rangga.
"Aku akan mencari orang yang menamakan dirinya Setan Alam Kubur."
Wajah Dewi Komalasari tampak berseri. Buru-buru dia bangkit dan mendekati Rangga.
"Rangga, tak keberatankah bila aku ikut menyertaimu" Paling tidak kau bersedia mengan-tarkanku pada orang itu."
"Siapa" Setan Alam Kubur?"
Dewi Komalasari mengangguk. Rangga menghela nafas. Gadis itu seperti mengerti me?lihat reaksi Pendekar Rajawali Sakti.
"Aku tahu kau pasti meremehkanku. Tapi apa artinya aku hidup bila tak bisa membalas budi pada orang yang selama ini telah mengasuhku sedari kecil. Walaupun kau tak sudi mengajakku, aku akan tetap mencari orang itu dan membuat perhitungan dengannya meskipun nyawaku men?jadi taruhannya...."
Mendengar tekad gadis itu yang tak bisa di-halangi lagi, Rangga tak punya pilihan selain mengajaknya. Begitu mendengar pemuda itu menganggukkan kepala, gadis itu cepat melom?pat ke leher burung Rajawali raksasa sambil ber?seru girang.
"Terima kasih, Rangga. Paling tidak aku bisa merasakan kembali enaknya melayang di angkasa di atas leher sobatmu ini. Tapi ingat! Jangan lagi kau gunakan akal bulusmu untuk mencuri kesem?patan di saat aku dalam kesempitan!"
Rangga terkekeh dan melompat di depan ga?dis itu, Sesaat saja Rajawali raksasa itu telah membumbung tinggi di angkasa yang semakin lama menjadi sebuah tilik di angkasa nan luas.
? *** ? Selanjutnya Setan Alam Kubur
Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti


Pendekar Rajawali Sakti 212 Setan Alam Kubur di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

info ? 2017 . 212. Setan Alam Kubur ~ Bag. 7-8 (selesai)
21. August 2015 um 08:32
7 ? Kalau saja di Pesisir Utara ini memiliki per?guruan silat beraliran hitam yang amat terkenal, yaitu Perguruan Tengkorak Merah. Maka se?baliknya juga terdapat banyak perguruan silat yang beraliran putih. Satu di antaranya yang pa?ling berpengaruh adalah Perguruan Merpati Pu?tih dengan Ki Sempang Arga sebagai Ketuanya. Di bandingkan dengan Perguruan Tengkorak Merah, memang jumlah murid-murid Perguruan Merpati Putih tak separuh jumlah mereka. Tapi bukan berarti ilmu olah kanuragan Ki Sempang Arga kalah jauh dengan Ki Jala Tunda. Bahkan selama ini Ketua Perguruan Tengkorak Merah itu amat segan padanya. Tapi karena Ki Sempang Arga tak pernah mengusik-usik segala tindak tanduk Ki Jala Tunda, maka Ketua Perguruan Teng?korak Merah cuma mendiamkannya saja.
Tapi sebenarnya tidak demikian. Ki Sempang Arga pun memiliki perasaan kesal dan geram de?ngan segala kelakuan Ki Jala Tunda dan murid-muridnya yang selalu sewenang-wenang. Namunsebagai orang tua yang selama ini selalu berusaha bersikap arif dan adil, dia tak bisa langsung me-nuduh dan menyerang orang begitu saja tanpa alasan yang jelas.
Bukti bahwa beliau amat memperhatikan dan memprihatinkan segala tindak-tanduk yang di?lakukan Perguruan Tengkorak Merah adalah dengan mengundang semua ketua tokoh per?guruan putih di daerah Pesisir Utara ini. Di an?taranya yang hadir adalah Ki Saba Lolo, Ketua Perguruan Bulan Sabit dan Ki Jenjang Pipit, Ke?tua Perguruan Toya Sembilan serta Ki Anusa Gengger dari Perguruan Teratai Perak. Juga ter?lihat hadir Ki Cadas Welus yang suka angin-anginan dari Perguruan Ular Terbang dan Ki Ageng Selar dari Perguruan Tapak Nenggala.
Kehadiran tokoh-tokoh itu atas undangan Ki Sempang Arga. Tak lain untuk mencari jalan mengatasi sepak terjang Ki Jala Tunda yang mu?lai melebarkan pengaruh dan kekuasaannya di daerah-daerah yang dekat dengan mereka. Be?lum sampai menganggu keamanan di mana Per-guruan-perguruan itu berada, tapi pengaruhnya seperti mengusik kehadiran mereka yang tak bisa didiamkan begitu saja.
"Kenapa mesti pusing segala. Kita datang saja Perguruan Tengkorak Merah dan minta pertang-gungjawaban Ki Jala Tunda atas segala kelakuan murid-muridnya selama ini!" kata Ki Ageng Selar yang terkenal berangasan.
"Tak bisa begitu, Ki Ageng Selar. Kita harus pasti bahwa hal ini perbuatan murid-murid Per?guruan Tengkorak Merah. Soalnya mereka se?ring menyamar seolah-olah itu perbuatan perampok-perampok liar," sela Ki Anusa Gengger.
"Betul apa yang di katakan Ki Anusa Geng?ger. Sebaiknya toh kita mencari cara bagaimana membuktikan bahwa perbuatan-perbuatan bejat yang sering melanda desa-desa di wilayah Pesisir Utara ini adalah perbuatan murid-murid Teng?korak Merah," sahut Ki Jenjang Pipit.
"Tapi itulah sulitnya. Selain mereka memiliki kepandaian yang tinggi, orang-orang itu pun amat licin ditangkap!" geram Ki Saba Lolo.
"Alaaah...! Kenapa sih memikirkan sopan santun segala"!" Aku setuju dengan pendapat Ki Ageng Selar. Untuk apa periksa dan bukti segala. Langsung saja kita ke Perguruan Tengkorak Me?rah dan minta pertanggungjawaban Ki Jala Tun?da. Kalau dia mengelak berarti dia pantas men?dapat hukuman!" ujar Ki Cadas Welus sengit.
"Ki Sempang Arga langsung angkat bicara ketika perselisihan pendapat terjadi di antara mereka.
"Ki sanak semua, kehadiran kita di sini untuk mencari cara bagaimana menanggulangi keresah-an-keresahan yang selama ini terjadi di daerah kita masing-masing. Kesimpulan memang ada bahwa hal itu terjadi karena didalangi oleh seseorang, tapi belum bisa dipastikan hal itu di lakukan oleh orang?orang Tengkorak Merah. Kita harus hati-hati da?lam hal ini. Jangan sampai tuduhan ini berlanjut menjadi fitnah yang tak berbukti. Karena itu bagaimana cara kita mencari bukti bahwa hal ini didalangi oleh orang-orang tertentu...."
"Ki Sempang Arga, maaf... bukan aku tak se?tuju dengan pendapatmu. Berbuat sabar dan ber?sikap demikian itu baik sekali pada keadaan yang benar. Tapi soal ini lain. Kita tak perlu menutupi diri dan mencoba berbuat seperti malaikat de?ngan menarik garis lurus antara hal yang nyata dan tidak. Ini soal nyata, dan beberapa orang di antara murid-muridku pernah memergoki bahwa mereka adalah murid-murid Tengkorak Merah!" sela Ki Cadas Welus tegas.
"Bagaimana mereka membuktikannya?" ta?nya Ki Saba Lolo.
"Ya, bagaimana murid-muridmu membukti?kan bahwa mereka adalah orang-orang Tengkorak Merah?" timpal Ki Jenjang Pipit.
"Itu soal mudah. Selama ini yang diketahui hanya orang-orang Tengkorak Merah yang me?miliki ciri khas senjata golok yang berhulu kepala tengkorak. Tapi ketika mereka melakukan per?buatan-perbuatan terkutuk, senjata mereka diganti. Begitu juga dengan lambang Perguruan mereka yang lain. Tapi satu hal yang mereka tak bisa rubah begitu saja adalah tato tengkorak di tiap-tiap dada murid Tengkorak Merah. Bentuknya kecil dan ber?ada di dada sebelah kanan, dantertutup oleh baju.
Tapi ketika bentrok dengan beberapa orang murid-muridku sempat tersibak," jelas Ki Cadas Welus.
"Hm, kalau begitu buat apa ditunda lebih lama lagi. Sudah jelas sekarang siapa pelaku di balik semua kejahatan-kejahatan yang terjadi belakangan ini!" timpal Ki Ageng Selar.
Yang lain berdiam diri seolah meyakini cerita yang di paparkan Ki Cadas Welus. Orang tua itu memang sering bersikap angin-anginan dan mau menang sendiri. Tapi kalau urusan berbohong dia boleh di bilang hampir tak pernah. Maka tak heran bila mereka mempercayai kata-katanya.
Tapi belum lagi Ki Sempang Arga mengeluar?kan suara, tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut dari arah luar yang disusul suara ketawa meleng?king yang memekakkan telinga. Tak lama kemu?dian tercium bau busuk yang menyebar di tempat itu. Serentak mereka keluar untuk melihat apa yang terjadi.
*** ? "Ha ha ha ha...! Ayo maju semua kerbau-ker?bau dungu! kemari kalau kalian ingin mampus! Ha ha ha ha...!"
"Prak!"
"Breeet!"
"Aaaa...!"
Beberapa orang murid Perguruan Merpati Putih yang mencoba menahan amukan seorang bertubuh kurus dan berwajah buruk, tewas de?ngan kepala pecah dan leher robek seperti di cakar binatang buas. Pekik kematian dan bau anyir darah serta mayat-mayat bergelimpangan mewarnai pagi yang tadi terlihat cerah.
"Ha ha ha ha...! Dasar orang-orang tak ber?guna! Kalian pikir bisa menghalangi Setan Alam Kubur untuk mencabut nyawa busuk kalian semua"! hiiih...!"
"Breeet!"
"Aaaa...!"
Dua orang kembali tewas dengan leher robek dicakar kuku-kuku orang yang menamakan diri Setan Alam Kubur itu.
"Hentikan!" bentak Ki Sempang Arga dengan suara menggeledek. Mendengar itu murid-murid?nya langsung menghentikan penyerangan ter?hadap orang asing itu. Ki Sempang Arga beserta tokoh-tokoh yang lain turun ke lapangan dan melihat sesosok tubuh bagai mayat hidup dengan wajah buruk dan tubuh menyebarkan bau busuk yang menusuk hidung.
"Ki sanak, siapakah kau dan mengapa datang tiba-tiba langsung mengamuk" Rasanya di antara kita tak ada perselisihan apa-apa, atau mungkin ada yang terlupa. Tapi kenapa tak kita bicarakan baik-baik?" sapa Ki Sempang Arga halus.
"Kutu kupret! Sial, agaknya kau tak mengenal nama Setan Alam Kubur. Apa kau mau kubuat mampus seperti mereka"!"
Ki Sempang Arga dan tokoh-tokoh yang lain menarik nafas mendengar jawaban itu. Tapi Ke?tua Perguruan Merpati Putih itu masih bisa me?nahan sabar.
"Hm" jadi Ki sanak bernama Setan Alam Ku?bur. Ada keperluan apakah hingga mengamuk dan membuat keonaran di tempatku ini?"
"Puiih! Tak perlu berbasa-basi. Siapa kau dan punya hak apa bertanya-tanya padaku" Aku me?lakukan apa saja yang kusuka. Kalau kau merasa tak suka, kau boleh mampus atau minggat dari sini setelah mencium telapak kakiku!" sentak Se?tan Alam Kubur dengan sikap sombong. ?
"Ki Sempang Arga, kenapa kau malah ber-debat omong dengan manusia tak berguna ini" Kalau kau meladeninya berbicara samalah gila-nya kau dengannya!" sindir Ki Cadas Welus mulai kesal melihat lagak orang itu.
"Apa katamu"! Keparat! Rupanya kau yang ingin lebih dulu mampus!" bentak Setan Alam Kubur melotot garang sambil melesat cepat ke arah Ki Cadas Welus dan mengirim serangan dahsyat.
"Hup!"
"Modar!"
"Modar bapak moyangmu! Aku masih hidup, monyet kesasar!" sahut Ki Cadas Welus sambil bergerak cepat menghindari serangan lawan.
Dalam serangan pertama memang dia mam?pu menghindari serangan lawan. Tapi pada se?rangan berikutnya, orang tua yang suka berbaju penuh tambalan itu di buat terkejut dengan angin serangan lawan yang bukan saja berbau busuk tapi penuh tekanan yang berhawa maut.
"Bangsat!" dengus Ki Cadas Welus ketika ujung kuku lawan nyaris merobek punggungnya.
Cara bertarung lawan memang tak kenal ba?tas. Dia menyerang di mana saja sesukanya. Tak perduli dari belakang, membokong, atau berbuat curang.
Sehingga kalau Ki Cadas Welus tak hati-hati menghadapinya. Nyawanya pasti melayang ter?kena hajaran lawan.
"Yeaaa...!"
"Uts!"
"Jebol igamu!"
"Breeet!"
Keringat dingin mulai keluar dari pori-pori orang tua yang suka ugal-ugalan ini. Gerakan lawan cepat bukan main dan sulit di duga ke mana arah serangannya yang utama. Ketika Ki Cadas Welus bergerak ke kiri, maka kuku kaki kanan lawan menyambar perutnya dengan tiada terduga karena Ki Cadas Welus mengkhawatirkan tangan kanan lawan yang siap menyodok dadanya.
Orang tua itu mengeluh kesakitan. Luka be?kas cakaran itu terasa perih dan berdenyut cepat ke seluruh tubuh. Gerakan selanjutnya terasa lambat seperti otot-ototnya kaku.
"Celaka! Kukunya beracun!" desis Ki Cadas Welus.
"Hiyaaat...!"
"Setan Alam Kubur, terima seranganku!"
"Plak!"
"Breeet!"
"Aaaa...!"
Ki Cadas Welus memekik kesakitan. Pada saat-saat terakhir ketika lawan menyerang, tiba-tiba Ki Ageng Selar berkelebat cepat bermaksud membantu menyerang Setan Alam Kubur. Na?mun tanpa menoleh tubuh Setan Alam Kubur bergulung dua kali di udara dan melanjutkan se?rangan dengan merobek leher Ki Cadas Welus serta menangkis sodokan Ki Ageng Selar dengan kedua telapak kakinya.
Kedua-tokoh itu mengalami nasib yang ber?beda meski tak jauh. Tublih Ki Cadas Welus ter?geletak di tanah. Menggelepar-gelepar seperti ayam disembelih menanti ajal. Sementara Ki Ageng Selar sendiri terpental ke belakang men?dapat hantaman kedua kaki lawan. Masih untung dia mampu bersalto dan mendarat mulus dengan kedua kakinya. Tapi tak urung dia terkejut ka?rena merasakan telapak tangannya sakit bukan main akibat benturan tadi. Padahal dia telah me?ngerahkan segala tenaga dalamnya untuk mem-bendung serangan lawan.
"Hi hi hi hi...! Cuma segitukah kepandaian kerbau-kerbau tolol ini"!" ejek Setan Alam Kubur sambil bertolak pinggang.
"Ki sanak, apa sebenarnya yang kau cari da?lam hal ini?" tanya Ki Sempang Arga mulai kurang senang.
"Mungkin dia utusan orang-orang Tengkorak Merah..." kata Ki Ageng Selar.
"Betul. Bukankah Ki Jala Tunda memilik ba?nyak kaki tangan?" timpal Ki Saba Lolo.
"Kerbau-kerbau dungu sialan! Apa yang ka?lian bicarakan" Puiih! Jangan coba-coba meren?dahkan derajatku. Orang-orang Tengkorak Me?rah kocar-kacir ku obrak-abrik, dan yang ber?nama Jala Tunda ku buat mampus. Sekarang gilir-an kalian!" bentak Setan Alam Kubur berang.
"Apa" Ki Jala Tunda tewas di tanganmu?" tanya Ki Sempang Arga seperti tak percaya.
"Sial! Apa gunanya aku berbantahan dengan?mu" mau percaya atau tidak, bukan urusanku!"
"Lalu urusan apa sampai kau mengamuk di sini?" tanya Ki Sempang Arga kembali.
"Dasar kerbau budek! Aku berbuat sesuatu yang kusuka. Tak peduli apa pun! kalau kalian tak suka boleh maju dan menyerangku beramai-ramai!"
"Dasar orang sinting!" maki Ki Ageng Selar.
"Monyet buduk! Mampuslah kau...!"
"Hup!"
"Plak!"
"Akh!"
Setan Alam Kubur tampaknya memang berangasan dan pantang tersinggung. Mendengar Ki Ageng Selar memakinya, dia sudah langsung berkelebat menyerang orang itu. Ki Sempang Arga dan yang lainnya tak bisa berbuat apa-apa. Dalam gebrakan dengan Ki Cadas Welus yang telah tewas, mereka dapat memperkirakan bahwa Setan Alam Kubur memiliki kepandaian yang tinggi dan sulit diukur. Ki Cadas Welus sendiri selama ini dikenal memiliki kepandaian yang tak rendah. Bahkan tak sembarangan orang mampu mengalahkannya. Kini dapat dijatuhkan dengan mudah oleh tokoh satu ini.
Sementara itu terlihat Ki Ageng Selar me?ngeluh kesakitan ketika berusaha menangkis per?gelangan tangan lawan. Belum lagi dia sempat menguasai diri, ujung kuku tangan lawan nyaris merobek wajahnya kalau saja dia tak buru-buru melompat ke belakang sambil bersalto.
"Yeaaa...!"
"Plak!"
"Breeet!"
"Aaaakh...!"
Untuk kedua kalinya Ki Ageng Selar me?ngeluh kesakitan. Pada saat tubuhnya melompat ke belakang, Setan Alam Kubur terus bergerak mengikuti dan menyambar punggung. Namun de?ngan cepat Ki Ageng Selar mengibaskan tangan untuk menangkis. Tapi saat itu juga lawan terus berguling dan menyambar Ki Ageng Selar dengan kesepuluh kuku-kuku jarinya.
Ki Ageng Selar merasakan punggungnya te?rasa perih bukan main. Bahkan rasa sakit itu te?rus menjalar di seluruh bagian tubuhnya. Dia sa?dar bahwa cakar lawan yang mengenai tubuhnya mengandung racun hebat. Dengan segera dia me-ngempos hawa murni untuk mengusir racun yang mulai menjalar di sekujur tubuh dengan menarik nafas panjang. Tapi saat itu pula Setan Alam Kubur kembali menyerang tanpa memberi ke?sempatan sedikit pun pada lawan untuk memper?baiki keadaan.
"Yeaaa...!"
"Plak!"
"Breeet!"
"Aaaa...!"
Ki Ageng Selar terpekik ketika perutnya ro?bek di sambar cakar kaki lawan, hingga terlihat isi bagian dalam perutnya terburai keluar. Orang itu melolong kesakitan. Meski dia sempat meng?elak dan berusaha menepis serangan yang di lan-carkan kedua belah tangan lawan. Namun dengan gesit tubuh Setan Alam Kubur berputar dan mengayunkan sebelah kakinya.
"Biadab!" maki Ki Sempang Arga geram.
"Setan Alam Kubur, mari bermain-main de?nganku!" seru Ki Saba Lolo sudah langsung me?nyerang dengan amarah yang meluap.
? *** ? 8 ? "He he he he...! kau lagi, kodok buduk" mari ke sini kalau ingin menyusul kedua temanmu!" ejek Setan Alam Kubur sambil terkekeh.
Ki Saba Lolo yang memang bertubuh gemuk pendek sudah tak menghiraukan ejekan lawan lagi. Dia langsung menyerang Setan Alam Kubur dengan jurus ampuhnya yang diberi nama Me?robek Langit Mendung. Jurus ini memang sangat ampuh. Apalagi dimainkan dengan senjata an?dalannya berupa tongkat sepanjang lengan de?ngan ujung runcing berbentuk bulan sabit.
"Yeaaa...!" teriak Ki Saba Lolo sambil me-nyorongkan telapak tangan kirinya ke arah lawan.
Dari situ menderu angin kencang bercampur hawa panas yang mampu menghanguskan seekor kambing.
"He he he he...!" Kenapa pukulan seperti itu yang kau pamerkan padaku" Sepuluh kali lipat pun belum tentu bisa mengalahkanku!" Setan Alam Kubur berkelit dengan mudah sambil mengejek lawan.
"Jangan sombong kau, Ki sanak. Pukulan Pa-sir Merahku memang tak hebat, tapi kalau ter?kena tubuhmu boleh kau rasakan akibatnya!" dengus Ki Saba Lolo gusar.
Setelah berkata begitu dia langsung bergerak cepat menyerang lawan habis-habisan. Tubuh Ki Saba Lolo sulit diikuti oleh mata biasa, dan se?rangannya berbau maut. Apalagi senjata di ta?ngan kanannya menyambar-nyambar seperti me?ngejar ke mana saja tubuh lawan bergerak. Ber?pindah dari tangan kanan ke tangan kiri secara bergantian.
Tapi tubuh Setan Alam Kubur meliuk-liuk dengan ringan dan gesit. Bahkan dia masih sem?pat terkekeh-kekeh mengejek setiap serangan yang dilancarkan Ki Saba Lolo.
"Kodok buduk, ingin ku lihat bagaimana ju-rusmu menandingi jurus Merampas Bukit Meng-goreng Gunung milikku ini!" bentak Setan Alam Kubur sambil merubah jurusnya.
Setelah berkata begitu, Setan Alam Kubur merubah gerakannya menjadi tak teraturdan su?lit diterka ke mana serangannya tiba.
"Yeaaa...!"
"Wuuut!" ?
"Uts!"
"Trak!"
"Heh!"
Ki Saba Lolo terkejut. Ketika sebelah cakar lawan menyambar ke arahnya, dengan cepat dia menyambut dengan mengibaskan senjatanya. Tapi Setan Alam Kubur menekuk tubuhnya un?tuk menghindari ujung senjata lawan yang run?cing, kemudian tangan kirinya menangkap ba?tang tongkat lawan. Dengan sekali mendengus sinis tongkat lawan di tekan ke bawah hingga patah. Tentu saja ini amat mengejutkan karena batang tongkat Ki Saba Lolo terbuat dari baja pilihan. Kalau saja kayu biasa mungkin dia tak akan seterkejut itu.
"Yeaaa...!"
"Breeet!"
"Akh!"
Ki Saba Lolo menjerit pelan. Cakar lawan menyambar bagian dadanya dan sempat merobek kulit tubuhnya hingga berdarah. Buru-buru dia bersalto ke belakang untuk menghindari serang?an berikut sambil menghantamkan pukulan Pasir Merahnya dengan pengerahan tenaga dalam penuh.
"Glaaar!"
"Heh!"
"Keparat!"
Semua tokoh yang berada di situ tersentak kaget dengan wajah geram. Tubuh Ki Saba Lolo hancur menjadi beberapa potong ketika Setan Alam Kubur menangkis pukulan lawan dengan pukulan Setan Hitam miliknya. Terjadi ledakan dahsyat dan asap hitam mengepul di tempat itu.
Bukan saja pukulan Pasir Merah milik Ki Saba Lolo tak berhasil melukai lawan, tapi pukulan Setan Hitam yang dilepaskan Setan Alam Kubur membuyarkan dan terus menghantam tubuhnya tanpa bisa di cegah lagi.
"He he he he...!" Kau pikir pukulan bututmu itu bisa mengalahkan dan mencelakakanku" Hi hi hi hi...!" Kau bermimpi bisa menjatuhkan Setan Alam Kubur!" teriak orang berwajah buruk itu sambil tertawa kegirangan dengan sikap angkuh.
"Ki sanak, tindakanmu sungguh kejam. Aku tak bisa mendiamkanya begitu saja!" seru Ki Sem?pang Arga sambil melompat cepat bersiap meng?hadapi lawan.
"He he he he...! Kenapa kau sendiri yang melawanku" Ayo, ajak dua orang temanmu itu, atau seluruh kecoa-kecoa busuk yang ada di sini. Biar sekalian kukirim kalian ke akherat!"
"Apakah kau takut menghadapiku seorang diri?" tanya Ki Sempang Arga memancing.
"Keparat! kau pikir kepandaianmu sudah he?bat berani bicara begitu" Sepuluh orang seper?timu tak ada artinya bagiku. Tapi menghadapiku seorang diri kau terlalu meremehkan, dan aku paling tak suka!" bentak Setan Alam Kubur garang.
Selesai berkata begitu dia langsung merapat?kan kedua belah telapak tangan. Dari situ keluar asap kelabu yang dengan cepat berubah hitam dan menyebarkan bau busuk yang tiada terkira.
Kemudian dengan membentak keras dia melancarkan pukulan jarak jauh kepada tiga tokoh itu sekaligus.
"Yeaaah...!"
"Uts!"
"Bruaaak!"
Ketiganya cepat melompat menghindari diri, dan pukulan Setan Hitam yang dilontarkan Setan Alam Kubur terus menderu menghantam pon-dokan Ki Sempang Arga hingga hancur beran?takan menjadi puing-puing kecil. Bukan main ter-kejutnya ketiga tokoh itu menyaksikan kedah-syatan pukulan lawan. Tapi mereka tak sempat terpaku lama sebab dengan satu bentakan keras, Setan Alam Kubur sudah bergerak cepat me?nyerang ketiganya lagi.
"Sial!" maki Ki Anusa Gengger nyaris disam-bar cakar lawan.
Orang tua itu langsung melempar senjata ra-hasia berupa bunga-bunga teratai berwarna pe?rak yang runcing dan tajam. Sementara pada saat yang bersamaan toya di tangan Ki Jenjang Pipit menderu-deru dahsyat ke seluruh tubuh lawan yang jungkir balik menghindari senjata rahasia. Ki Sempang Arga pun tak mau ketinggalan. Sam?bil berteriak keras dia melancarkan pukulan mautnya yang diberi nama Angin Putih. Ke-lihatannya redup seperti awan, namun mampu menghancurkan sebatang pohon besar.
"Hiyaaat...!"
"Tap!" ????
"Lepas!"
"Tak!"
Setan Alam Kubur berteriak nyaring sambil menyambar toya di tangan Ki Jenjang Pipit dan menariknya dengan tenaga penuh. Hampir saja tubuh orang tua itu terbanting kalau dia tak buru-buru melepaskan senjatanya dari cekalan lawan. Telapak tangannya terkelupas akibat kedahsyatan tarikan lawan. Meski begitu dua buah senjata rahasianya sempat menghantam tepat ke bahu kiri dan pinggang lawan. Tapi bukan main terkejutnya dia karena senjata rahasianya jatuh begitu saja tanpa melukai lawan sedikit pun.
Pukulan Angin Putih yang dilancarkan Ki Sempang Arga dapat dihindari Setan Alam Ku?bur dengan tubuh meliuk-liuk mendekati kedua lawannya yang lain.
"Plak!" ?
?"Breeet!"
"Aaaa...!"
"Mampus!"
Cakar kirinya menyambar leher Ki Jenjang Pipit, namun dapat ditangkis oleh orang tua itu. Tapi cakar kaki kanan Setan Alam Kubur ber?putar dengan tak terduga dan menyambar dada Ki Anusa Gengger dan Ki Jenjang Pipit ber?samaan. Serangan selanjutnya di lancarkan Setan Alam Kubur dengan mengayunkan toya Ki Jen?jang Pipit yang telah berada di tangannya ke arah batok kepala Ki Sempang Arga.
"Wuuut!"
"Breeet!"
"Akh!"
Ki Sempang Arga sempat berkelit, tapi se?rangan itu ternyata hanya tipuan belaka sebab Setan Alam Kubur telah menyiapkan serangan sungguhan ke arah lawan menghindar dengan ca?kar tangan kanannya dan merobek perut orang tua itu agak dalam.
Ketiga tokoh tua itu sempoyongan sambil menjerit kesakitan. Saat itu juga Setan Alam Ku?bur telah siap kembali melancarkan serangan me?matikan ke arah ketiganya. Beberapa orang mu?rid Merpati Putih yang masih tersisa mencoba menahan laju serangan orang berwajah buruk dan berbau busuk itu, tapi mereka malah tewas dengan sia-sia. Sekujur tubuhnya robek seperti di terkam binatang buas.?
"Khraghk...!"
"Heh"!"
Setan Alam Kubur menghentikan amukannya ketika merasakan kehadiran sesosok bayangan besar menderu ke arahnya dan membuat ba-yangan hitam yang besar. Bersamaan dengan itu angin kencang menghantam arena pertarungan itu hingga membuat beberapa orang murid Mer?pati Putih terpelanting.
"Bagus! Kau datang menjemput kematian?mu!" dengus Setan Alam Kubur bermaksud menyerang seekor Rajawali raksasa yang terbang rendah di dekat mereka.
Tapi dia tak melanjutkan niatnya ketika me?lihat dua sosok tubuh meloncat turun dari leher burung Rajawali itu.
Yang seorang adalah pemuda berwajah tam?pan berambut panjang terurai, memakai baju rompi putih. Pedang berhulu kepala burung tam?pak tersembul di balik punggungnya. Sedang se?orang lagi adalah gadis remaja berusia sekitar delapan belas lahun dengan wajah cantik me?makai baju seperti wanita desa kebanyakan. Tapi melihat gerak-geriknya, dia bukanlah gadis desa sembarangan.
"Dewi, ingat pesanku. Kau tak boleh turun tangan apa pun yang terjadi padaku. Kecuali aku tewas di tangannya. Mengerti?" kata si pemuda yang tak lain dari Rangga alias Pendekar Raja?wali Sakti mengingatkan.
"Tapi Rangga...."
"Tak ada tetapi! Ini sudah perjanjian kita!'
"Bocah-bocah sial! Apa yang kalian ributkan?" bentak Setan Alam Kubur berang.
Rangga tak mengacuhkan bentakan orang itu melainkan mendekati orang itu dan bertanya dengan suara menyelidik.
"Kaukah yang bernama Setan Alam Kubur"'
"Keparat! Satu orang lagi yang tak mengenal namaku harus mampus!" bentak Setan Alam Ku?bur langsung menyerang pemuda itu dengan ganas.
"Uts!"
Rangga tersentak kaget. Bukan saja serangan lawan kuat dan dahsyat, tapi juga dari sekujur tubuhnya menyebar bau busuk yang menganggu pernafasannya.
"Hati-hati, Ki sanak! Kuku-kukunya amat beracun!" teriak sajah seorang murid Merpati Putih memperingatkan.
Rangga memperhatikan dengan seksama. Se?rangan yang dilakukan lawan lebih banyak meng-andalkan cakar kaki dan tangannya. Dan dia pun sudah mencium hawa beracun dari situ. Maka Rangga terpaksa harus berhati-hati sekali meng-hadapinya.
"Sial! Ternyata kau berisi juga rupanya. Tapi sebentar lagi kau akan mampus di tangan Setan Alam Kubur!"
"Ki sanak, nyawa seseorang itu bukan kau yang menentukan. Jadi jangan harap aku takut dengan gertakmu itu!"
"Kurang ajar! kau pikir bisa bertingkah di depan Selan Alam Kubur! Yeaaa...!"
"Heh!"
"Glaaar!"
Rangga tersentak kaget. Tiba-tiba saja dari telapak tangan Selan Alam Kubur menderu se?berkas angin hitam bergumpal dan menimbulkan ledakan dahsyat ketika menghantam beberapa batang pohon yang langsung tumbang menjadi serpihan kecil. Udara di sekitar tempat itu langsung terasa pengap seperti mengandung racun hebat.
Rangga langsung menyuruh Rajawali raksasa itu untuk terbang sambil mengibas-ngibaskan sa?yapnya menghalau kabut hitam itu.
"Sial! Mampus kau! Mampus...!" bentaknya kesal sambil menghamburkan pukulan Setan Hi?tam berkali-kali ke arah Rangga dan burung Rajawali raksasa itu.
Rangga terkejut kaget. Dia saja agak ke-walahan menghindari pukulan maut lawan, bagai?mana jadinya jika mengenai Rajawali yang tak mampu bergerak cepat unluk menghindar" Berpikir begitu dia langsung mengeluarkan pedang pusakanya. Saat itulah seberkas sinar biru me-nerangi tempat itu sesaat. Rangga mengelus ba-lang pedang dengan tangan kiri, kemudian ber?teriak nyaring sambil menghantamkan pukulan yang mengeluarkan sinar biru untuk memapaki pukulan lawan.
"Aji CAkra Buana Sukma!"
"Glaaar!"
"Heh!"
Selan Alam Kubur terkejut bukan main. Se?lama ini pukulannya belum pernah ada yang me?nandingi. Tapi sinar biru yang keluar dari pu?kulan pemuda itu mampu membuyarkannya de?ngan menimbulkan suara menggelegar dan asap hitam yang mengepul ke atas.
"Yeaaa...!"
Selan Alam Kubur sudah langsung me?nyerang pemuda itu dengan hati penasaran. Tapi Rangga alias Pendekar Rajawali Sakli pun telah bersiap, menyambutnya. Wajah pemuda ilu tam?pak kelam dan sadis membayang hawa maut yang tak kenal ampun. Begitu pedangnya berkelebat, terasa hawa panas yang mengiringi suara menggaung dahsyat.
"Tras! "Tap!"
"Sreeet!"
"Akh!"
Ketika cakar tangan lawan bermaksud me-nyambar tenggorokannya Rangga langsung me-mapas kuku-kuku beracun itu hingga putus. Be?gitu juga ketika tubuh Setan Alam Kubur ber?balik dan bermaksud menipu lawan dengan me?nyerang bagian perut Pendekar Rajawali Sakti dengan sambaran kuku-kuku kakinya. Tapi lagi-lagi dibabat putus oleh pedang pusaka Pendekar Rajawali Sakti.
Setan Alam Kubur bukan main kagetnya. Meski cakarnya terlihat biasa, tapi pengerahan tenaga dalamnya terpusat di situ. Tak heran bila kuku-kukunya menjadi senjata yang mematikan. Dengan berani dia berusaha menangkap pedang lawan dan bermaksud mematahkannya. Tapi akhirnya dia sendiri yang terpekik kaget ketika Rangga menariknya dengan keras hingga telapak tangannya terkelupas. Tapi anehnya telapak ta?ngannya tak mengeluarkan setetes darah pun!" '
"Yeaaa...!"
"Hiyaaa...!"
Glaaar!'' Pada saat itu juga dari telapak kaki kiri Setan Alam Kubur melesat sinar hitam pada jarak dekat menghantam. Pendekar Rajawali Sakti tak punya pilihan selain memapaki dengan Aji Cakra Buana Sukma dengan pengerahan tenaga penuh. Ledak-an dahsyat terjadi. Kedua tubuh itu terlempar jauh. Tapi tubuh Setan, Alam Kubur hancur se?perti dihantam ledakan dahsyat menjadi be?berapa potong dengan keadaan rusak tak bisa dikenali lagi. Sementara Rangga sendiri nafasnya megap-megap dengan darah kental menetes di sudut bibirnya. Rangga berusaha tegak berdiri, tapi kedua kakinya terasa goyah dan bergetar sebelum akhirnya dia ambruk dalam keadaan bersila di tanah.
"Rangga...!"
Dewi Komalasari memburunya sambil men?jerit lirih dengan wajah cemas.
"Tenanglah Dewi, aku tak apa-apa. Pe?ngerahan tenaga dalam sepenuhnya membuatku lemas seperti tak bertenaga. Tapi sebentar lagi tentu akan pulih..." sahut Rangga lirih sekali.
Pedang pusaka di tangannya seperti tak kuat lagi di genggamnya. Dewi memasukkan benda itu ke dalam warangkanya dan mengurut-urut be?berapa bagian tuhuh Pendekar Rajawali Sakti'' sambil menyalurkan hawa murni.
Perlahan-lahan wajah Rangga yang sebelum?nya pucat, kini mulai segar meski rasa nyeri di dadanya belum hilang betul. Tapi dia sudah bisa bangkit dan menepuk-nepuk pundak gadis itu.
"Terima kasih, Dewi...."???
"Tak selayaknya kau berkata begitu. Kaupun pernah menolongku...."
Rangga tersenyum kecil. Kemudian dia ter-ingat pada ketiga tokoh yang tadi bertarung de?ngan Setan Alam Kubur, Buru-buru keduanya menghampiri. Dua orang diantara mereka yang tadi bersemadi tampak lesu ketika memandang salah seorang teman mereka yang nyawanya ru-dah tak tertolong lagi.
"Terima kasih atas pertolonganmu. Ki sanak. Siapakah Ki sanak sebenarnya?" Tanya Ki Anusa Gengger sambil bangkit menatap pemuda berbaju rompi putih itu lekat-lekat.
"Namaku, Rangga! Tapi orang-orang lebih mengenalku dengan gelar Pendekar Rajawali Sakli...."
"Ah. Tak pelak lagi dugaanku! Melihat bu?rung Rajawali raksasa itu dugaanku pastilah kau orangnya. Sayang. Ki Sempang Arga telah tiada. Kalau tidak dia pasti senang sekali melihat ke-hadiranmu di sini."
Rangga cuma bisa tersenyum kecut sambil memandang sesosok tubuh Ketua Perguruan Merpati Putih yang nyawanya tak tertolong ka?rena racun yang mengendap di tubuhnya telah menjalar sampai ke jantung.
"Ki sanak, kulihat kalian pun belum berhasil mengeluarkan racun di tubuh. Aku ingin membbantu, tapi saat ini tenagaku habis terkuras...."
"Ah, tidak perlu. Tak lama lagi kami tentu akan berhasil mengeluarkan racun ini." sahut Ki Anusa Gengger.
"Kalau begitu, syukurlah. Karena tak ada urusan lagi, maka kami permisi dulu kata Rangga.
Mereka bermaksud menahan pemuda itu agak lama, tapi dengan halus Rangga menolak dengan alasan akan melanjutkan berjalan lagi.
Keduanya meninggalkan tempat itu dengan menaiki burung Rajawali raksasa. Dewi Komala?sari lebih berjanji untuk merawat pemuda itu sampai sembuh. Semula Rangga menolak. Tapi karena gadis itu memaksa, maka dia pun menyetujuinya. Mereka berdiam sementara di pon?dok tempat gadis itu dibesarkan selama ini oleh Gurunya. Itu pun setelah si gadis menyetujui bah?wa begitu luka dalam yang diderita Pendekar Rajawali Sakti sembuh, maka saat itu pula perpisahan mereka terjadi.
? ? TAMAT ? Setan Alam Kubur
? Daftar Isi Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 Irama Seruling Menggemparkan Rimba Persilatan 8 3 Kehidupan 3 Dunia 10 Mil Bunga Persik Three Lives Three Worlds Ten Miles Of Peach Blossoms Karya Tangqi Gongzi Pengawal Pilihan 2

Cari Blog Ini