Ceritasilat Novel Online

Warisan Terkutuk 2

Pendekar Rajawali Sakti 188 Warisan Terkutuk Bagian 2


"Aku belum pernah melihat sebelumnya...," sahut gadis itu menggeleng lemah.
"Menurutmu, orang seperti dia yang melakukan pembunuhan terhadap orang-orang itu?"
"Kenapa berpikir begitu?" tanya Ratmi.
"Entahlah. Mungkin mereka menuduhnya sebagai pembunuh. Lalu, muncul si Dukun Gila Berambut Pirang dan membantu menghajarnya," sahut Rangga, seperti menduga-duga.
"Atau mungkin saja memang dia pembunuhnya!"
Rangga tersenyum seraya turun dari punggung kudanya.
"Yang jelas mereka memang mempunyai kesamaan," kata Rangga.
"Apa?" kejar Ratmi.
"Sama-sama sinting!"
"Kau kenal kakek itu?"
Rangga tak menjawab. Kakinya malah melangkah mendekati. Sementara Ratmi mengikuti dari belakang.
"Ki Demong! Kurasa hari ini kau punya penggemar berat!" teriak Rangga.
Kakek yang bersenjata guci berpaling. Sejenak pertarungan dihentikannya. Wajahnya kelihatan berseri-seri melihat siapa yang menyapanya.
"Hooi! Bocah Berambut Gondrong, apa yang kau lakukan di sini"!" teriak laki-laki tua urakan yang tak lain Ki Demong. Dalam rimba persilatan, dia terkenal sebagai Pemabuk Dari Gunung Kidul.
"Apa lagi" Tentu saja ingin melihat kalian bermesraan," sahut Rangga seenaknya.
"Kurang ajar kau, Setan Rompi Putih! Kau kira, aku naksir si Nenek Sihir ini! Huh! Seratus orang sepertinya dengan mudah kudapatkan!"
Meski sambil bercakap-cakap begitu, Pemabuk Dari Gunung Kidul itu tidak lengah terhadap si Dukun Gila Berambut Pirang yang kembali menyerang. Ke mana saja perempuan sinting itu menyerang, maka tangan kirinya gesit menangkis. Atau gucinya balas menyerang, sehingga membuat wanita sinting menjadi gusar. Dan semakin gusar saja ketika dirinya diejek dengan sebutan Nenek Sihir.
"Pemabuk sial! Sekali lagi kau bicara begitu, kurobek mulutmu!" bentak Dukun Gila Berambut Pirang.
"Nenek Sihir!" teriak Ki Demong dengan suara lebih keras.
"Kurang ajar! Terkutuk kau, Pemabuk Sialan. Benar-benar akan kurobek mulutmu yang kotor itu!"
Tiba-tiba saja telapak tangan kiri wanita setengah baya itu dihentakkan ke arah Pemabuk Dari Gunung Kidul. Bersamaan dengan itu, belasan jarum-jarum melesat mengancam keselamatan Ki Demong.
Glek! Glek...! Ki Demong tenang-tenang saja. Bahkan ditenggaknya tuak dalam guci. Dan ketika serangan jarum-jarum itu mendekat, tiba-tiba tuaknya disemprotkan ke depan.
"Fruhhh...!"
Prasss...! Jarum-jarum halus yang dilepas perempuan itu rontok sebelum menemui sasaran.
"Hiyaaat!"
Tapi Dukun Gila Berambut Pirang tidak berhenti sampai di situ. Karena secepat kilat tubuhnya mencelat menyerang dengan tangan mengibas.
? *** Dan Ki Demong pun meladeninya dengan mantap. Ketika telapak tangan kanan wanita itu hendak menghantam jidat, tubuhnya mengegos ke samping.
"Tidak kena!" ejek Pemabuk Dari Gunung Kidul dengan mata dijulingkan.
Dukun Gila Berambut Pirang mengibaskan kaki kirinya.
Wuuttt! Dan,.., tendangan itu masih luput ketika Ki Demong mencelat ke atas. Dengan gesit perempuan itu jungkir balik mengejar dengan kedua kaki menyabet seperti kitiran.
Seketika Ki Demong menangkisnya dengan hantaman guci.
Plak! Secepat kilat, Pemabuk Dari Gunung Kidul merendahkan tubuhnya ke bawah. Bersamaan dengan itu tangan kirinya bergerak jahil menepuk salah satu buah dada Dukun Gila Berambut Pirang.
"Pemabuk busuk! Kubunuh kau...! Kubunuh kau...!" teriak Dukun Gila Berambut Pirang, merasa terhina lambang kewanitaannya disentuh.
Karuan saja Ki Demong akhirnya kerepotan sendiri. Akibat perbuatan jahilnya tadi wanita itu terus mengejar. Tapi dasar orang tua tidak mau kalah, mana mau disalahkan"
"Nenek sihir! Kenapa kau ngamuk-ngamuk tidak karuan" Masih untung tidak kuhajar sampai muntah darah. Itu berarti aku masih sayang padamu. Mestinya kau mengerti!"
"Pemabuk edan! Kau kira aku tidak tahu akal licikmu, he"!"
"Akal licik apa" He, jangan sembarangan menuduh!"
"Banyak omong! Modar kau!" dengus Dukun Gila Berambut Pirang seraya menghentakkan tangan kanannya, melepas pukulan jarak jauh.
"Uts! Gila! Hampir saja bertemu malaikat maut!" rutuk Ki Demong seraya melompat ke samping.
Tak! "Eee...!"
Gabruk! Tapi saat itu sebuah batu yang menonjol ke permukaan menjegal kaki si Pemabuk Dari Gunung Kidul hingga ambruk seperti orok yang baru belajar jalan.
"Hi hi hi...! Dasar pemabuk kampungan! Bagaimana mungkin kau bisa mengalahkanku kalau berdiri saja tak betul!" ejek Dukun Gila Berambut Pirang sambil tertawa nyaring.
Dengan mulut mesem-mesem, Ki Demong bangkit. Ditenggaknya tuak merahnya yang harum.
"Tapi bukan berarti kau tidak suka padaku, bukan?" tukas si Pemabuk Dari Gunung Kidul.
"Huh! Tadi kau bilang aku seperti nenek penyihir!" cibir wanita itu.
Ki Demong mendekati sambil cengar-cengir.
"Aah! Tadi aku hanya bercanda...!" desah pemabuk tua ini.
"Bohong!" sentak Dukun Gila Berambut Pirang.
"Betul! Mana mungkin aku menolak wanita secantikmu. Kau adalah bidadariku yang turun dari kahyangan!" sergah Ki Demong dengan gaya bersyair. "Tapi..., kahyangan itu di mana, ya" Di bawah pohon jengkol atau pohon pete" Atau barangkali di dalam guciku ini?"
Pemabuk Dari Gunung Kidul melongok ke dalam gucinya sendiri.
"Eeehhh...!"
Dukun Gila Berambut Pirang menghentak-hentakkan kedua kakinya dengan wajah memberengut kesal seperti layaknya bocah yang tengah ngadat.
"Kalau tidak suka, bilang saja! Kenapa mesti mengata-ngatai segala"!"
"Eh, siapa bilang" Itu kan syair yang kuciptakan khusus untukmu. Aku masih punya banyak syair lagi. Tapi..., kalau tak salah kutinggal di dekat kali."
"Kok, syair ditinggal di kali?"
"Iya! Kebetulan waktu buang "ampas" aku dapat wangsit untuk menuangkan isi hatiku kepadamu, Kekasihku. Maka kutulis di daun-daun. Kalau kau mau akan kutunjukkan!"
"Benarkah"!" tanya Dukun Gila Berambut Pirang dengan wajah berseri-seri.
Ki Demong cepat mengangguk sambil tersenyum, lebar.
"Kau mau aku mengambilkannya?"
"Mau! Mau...!"
"Tempat itu agak jauh. Dan..., lebih enak kalau jalan berdua. Bagaimana?"
"Tak apa! Ayo kita ke sana!" ajak Dukun Gila Berambut Pirang dengan wajah makin berseri-seri.
Seperti seorang gadis yang menginjak dewasa, Dukun Gila Berambut Pirang melangkah riang. Dan tanpa malu-malu, digamitnya lengan Ki Demong.
"Tapi aku menulisnya di daun-daun kering" Mungkin telah diterbangkan angin?"
"Tidak apa!"
"Tapi cintaku kepadamu tidak pernah diterbangkan angin!" sahut Ki Demong cepat.
"Hi hi hi...!"
"Ha ha ha...!"
Kedua orang itu tertawa-tawa seperti tidak pernah terjadi apa-apa sebelumnya.
"Dasar pemabuk setan!" umpat Rangga, sambil menggeleng-geleng.
"Ya. Wanita itu juga sinting! Mereka memang cocok!" timpal Ratmi.
Sementara itu sepuluh orang yang tadi menyaksikan pertarungan tidak bisa berbuat apa-apa melihat kelakuan kedua tokoh aneh barusan.
"Kakang, Lembu Abang.... Kita tidak bisa membiarkan mereka pergi begitu saja!" kata salah seorang, yang bertubuh sedang.
"Lalu, aku harus bagaimana?" sahut orang laki-laki bertubuh besar dan bersenjata golok.
"Paling tidak kita harus meyakinkan kalau kakek itu yang membunuh mereka!" lanjut pemuda bertubuh sedang sambil menunjuk mayat-mayat yang bergeletakan.
"Kurasa itu tidak perlu...."
Mendadak terdengar seruan, membuat kesepuluh orang itu menoleh. Rupanya, Rangga telah berdiri tak jauh dari tempat mereka.
"Aku yakin Pemabuk Dari Gunung Kidul tidak melakukannya!" lanjut Rangga.
"Pemabuk Dari Gunung Kidul" Jadi..., benarkah dia orangnya"!" seru laki-laki bertubuh besar bersenjata golok.
Rangga mengangguk.
"Aku kenal dengannya. Dan sejauh yang kuketahui, dia tidak pernah menyiksa korban-korbannya seperti itu. Pelakunya adalah orang sinting yang menganut ilmu iblis," jelas Pendekar Rajawali Sakti.
"Kisanak tahu, siapa kira-kira pelakunya?" tanya laki-laki bertubuh besar.
"Sayang sekali. Sampai hari ini, aku belum mengetahuinya...."
Orang itu mendesah dengan wajah kecewa.
"Aku pun tengah mencarinya. Nanti jika bertemu akan kuberitahu padamu...," lanjur Rangga.
"Benarkah" Hm... Kau bisa menemui Lembu Abang di Padepokan Kuring Gemuning," tukas laki-laki itu, berbinar.
"O, jadi Kisanak bernama Lembu Abang dari Padepokan Kuring Gemuning?"
"Benar! Kisanak, karena mesti buru-buru untuk melaporkan kejadian ini pada Guru, maka kami tak bisa berlama-lama. Kami segera mohon diri. Kalau boleh tahu, siapa gerangan Kisanak ini?" tanya laki-laki bertubuh besar yang dipanggil Lembu Abang.
"Namaku Rangga...," jawab Rangga.
"Dia dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti!" timpal Ratmi.
"Ratmi...!" sentak Rangga, merasa tak ingin menyombongkan diri. Matanya melotot pada Ratmi. Tapi gadis itu tak menggubrisnya.
"Oh! Pendekar Rajawali Sakti"! Suatu keberuntungan besar bisa bertemu denganmu Pendekar Rajawali Sakti. Guruku sudah lama ingin bertemu denganmu. Kalau tidak keberatan, sudikah mampir ke tempat kami?"
"Panggil aku Rangga saja, Kakang Lembu Abang. Hm.... Soal tawaranmu, maaf. Kami harus cepat-cepat agar tidak kehilangan buruan. Sampaikan saja salam kami pada gurumu. Nah, Kakang Lembu Abang! Kami berangkat lebih dulu," tolak Rangga, halus.
Rangga dan Ratmi melompat ke punggung kuda dan segera menggebahnya.
"Heaaa...!"
? *** "Ssst..., Anjani...!"
"Heh..."!"
Seorang gadis berpakaian serba kuning tersentak ketika terdengar suara berbisik yang seperti memanggilnya. Kepalanya celingukan ke sana kemari. Lalu tertuju ke pintu jendela kamar. Namun tak seorang pun yang terlihat batang hidungnya. Dan baru saja gadis itu hendak menghampiri jendela.
"Heh"!"
Gadis yang dipanggil Anjani kembali tersentak, segitu tahu-tahu jendela kamar ini terbuka. Lalu dari luar, berkelebat satu sosok yang langsung menutup pintu jendela.
"Anjani...!"
"Kakang! Kakang Kuntadewa...!"
Wajah Anjani yang semula tegang, berubah gembira bercampur haru ketika melihat siapa yang datang. Dengan segenap perasaan haru yang meledak-ledak di dada, dipeluknya sosok yang baru datang kuat-kuat.
"Kakang! Ternyata kau masih hidup. Oh, Gusti! Padahal selama ini kukira Kakang telah mati...," kata gadis itu, merasakan gembira bukan main melihat kakangnya masih hidup.
"Syukurlah, aku masih segar-bugar seperti yang kau lihat sekarang," kata sosok pemuda yang ternyata Kuntadewa.
"Kakang! Ke mana saja" Banyak peristiwa penting yang terjadi di padepokan!" lapor gadis itu. "Ya. Aku tahu...."
"Ki Angwatama dan Kakang Walung Turangga telah mati. Demikian pula beberapa murid yang lari. Kini Kakang Somadipura yang memimpin padepokan...," jelas Anjani.
"Hmm! Kakang Somadipura baik. Kau aman bersamanya."
"Ya...!" sahut gadis itu. Dipandanginya Kuntadewa untuk sejurus lamanya. "Kakang.... Ke mana saja selama ini" Kenapa tidak memberitahuku kalau akan pergi" Lalu, kenapa mesti main kucing-kucingan begini untuk bertemu denganku?"
"Maaf, Anjani. Aku tidak bisa terang-terangan datang ke sana. Khawatir kalau mereka mencurigaiku."
"Mencurigai kenapa?"
"Sebagai pembunuh Ki Angwatama...."
"Itu tidak mungkin, Kakang! Kakang Somadipura dan semua murid di padepokan tidak akan percaya. Mereka tidak berpikir kalau Kakang sebagai pembunuh Guru. Mengalahkan Kakang Walung Turangga saja, kakang tidak mampu. Apalagi untuk membunuh Guru serta yang lainnya?"
"Apakah Kakang Somadipura berpikir begitu?"
"Tentu saja."
"Tapi..., bagaimana dengan Ambar?"
"Dia pun menghilang sejak peristiwa itu. Apakah..., apakah Kakang pergi karena mencarinya?"
"Eh, iya. Iya...!"
"Sabarlah. Kita akan menemukan kabarnya dalam waktu dekat...."
"Kenapa kau bisa memastikan begitu?"
"Kemarin Kakang Somadipura telah mengirim dua orang murid ke Desa Jembring. Mungkin hari ini atau esok mereka kembali."
"O...!"
"Kakang Kuntadewa! Kenapa kau tidak ke padepokan untuk bertemu dengan Kakang Somadipura dan menceritakan peristiwa yang kau alami?"
"Tidak, Anjani! Aku masih banyak urusan saat ini."
"Urusan apa?"
"Urusan penting!"
"Sepenting apakah urusan itu, sehingga enggan mengatakannya pada adik sendiri?"
Kuntadewa menatap adiknya, lalu memegang kedua bahu gadis itu.
"Anjani.... Saat ini tidak bisa kukatakan padamu. Tapi suatu saat, kau akan tahu juga. Aku hanya ingin berbakti pada orangtua."
"Tidak mungkin. Ayah dan ibu sudah lama tiada," sergah Anjani.
"Tapi mereka mati penasaran. Dan kita harus membuat mereka tenang!" tandas Kuntadewa.
"Lalu bagaimana caranya?" tanya Anjani.
"Itulah yang akan kulakukan saat ini."
"Kalau begitu, aku ikut saja."
"Tidak. Kau tetap di padepokan. Biar kukerjakan sendiri, karena ini berbahaya bagimu. Nah, aku pergi dulu!"
Setelah berkata begitu, Kuntadewa berbalik. Tubuhnya langsung berkelebat keluar pintu jendela, meninggalkan adiknya.
? *** 6 ? Malam ini tak begitu pekat, karena sang Dewi Malam bersinar penuh, membiaskan cahayanya yang keemasan. Biasanya saat-saat seperti ini bocah-bocah lebih suka main di luar rumah. Mereka bermain dolanan anak-anak, atau ada yang bernyanyi-nyanyi. Semuanya untuk menyambut purnama malam ini.
Namun malam ini, bocah-bocah di Desa Wadas Malang kelihatan enggan untuk keluar rumah. Mereka seperti ikut berduka, atas kematian beberapa murid Padepokan Kuring Gemuning yang memang terletak di desa ini.
Kematian beberapa orang murid membuat seorang laki-laki tua berjubah kuning hanya duduk merenung di ruangan utama padepokan itu. Namun lamunan laki-laki berambut putih keperakan ini mendadak terpenggal oleh....
Wuttt...! Tap...! "Heh"!"
Laki-laki tua ini tersentak ketika sebilah pisau melesat dari belakangnya, dan menancap di tiang utama padepokan. Agaknya orang yang melemparkannya memiliki tenaga dalam tinggi, karena mampu melewati batas halaman padepokan yang cukup luas. Sebab kalau dilemparkan dari halaman, pasti beberapa murid akan memergokinya.
"Hmm!"
Laki-laki tua itu bergumam pendek. Ditunggunya serangan berikut dengan waspada. Pendengarannya dipertajam. Tapi tidak terdengar tanda-tanda akan adanya serangan berikut. Perlahan dia bangkit menghampiri pisau yang tertancap, lalu mencabutnya.
"Siapa yang mau main-main dengan Taji Bhirawa?" desah laki-laki tua berjubah kuning pendek ketika melihat pada batang pisau kecil terdapat selembar kulit kambing tipis yang diikat rapi.
Buru-buru laki-laki tua yang mengaku bernama Taji Bhirawa membuka lembaran kulit. Di dalamnya tertera beberapa kalimat yang membuat mukanya merah menahan geram....
? Ayam tua sakit! Temui aku di perempatan jalan di dekat padepokanmu. Di sana telah kusediakan lubang untukmu!
? "Kurang ajar! Siapa orang ini" Dia tidak menyebutkan jatidirinya!" dengus laki-laki tua berjubah kuning ini gusar.
Ki Taji Bhirawa termangu sesaat sebelum meletakkan surat itu di atas meja. Kemudian kakinya melangkah pelan meraih sepasang pedang pendek yang batangnya melengkung. Sepasang senjata yang tadi tergantung di dinding, kini berpindah ke punggungnya. Lalu dengan langkah mantap dia bergegas keluar.
"Mau ke mana, Kang?"
"Heh"!"
Ki Taji Bhirawa hampir saja terjingkat, ketika tiba-tiba terdengar teguran dari belakang. Langsung dia menoleh seraya menghentikan langkahnya. Ternyata di belakangnya berdiri seorang wanita cukup tua dengan sinar mata lesu.
"Aku pergi sebentar..., Nyai."
"Dengan membawa senjata?" tanya wanita itu. Laki-laki berusia sekitar enam puluh tahun itu terdiam. Dipandanginya wanita itu sejurus lamanya.
"Aku khawatir, Kang...," desah wanita yang memang istri Ki Taji Bhirawa.
"Tidak akan terjadi apa-apa denganku, Nyai. Percayalah!"
"Tapi firasatku begitu kuat"!"
"Jangan percaya firasat itu!" tukas Ki Taji Bhirawa.
"Tapi, Kang...."
"Berdoalah," potong Ki Taji Bhirawa. "Aku akan kembali dengan selamat!"
"Kakang hendak bertarung melawan seseorang?" cecar perempuan tua ini.
Ki Taji Bhirawa tak menjawab.
"Di mana, Kang?" desak perempuan tua ini.
"Aku tidak bisa mengatakannya padamu, Nyai," sahut laki-laki tua berjubah kuning.
"Kenapa tidak membawa beberapa orang murid?"
"Jangan mengajariku menjadi pengecut, Nyai!"
"Tapi, Kang...."
"Sudahlah! Jangan bebani langkahku dengan segala keraguanmu. Aku pergi dulu! Doakan aku selamat."
Dan laki-laki yang memang Ketua Padepokan Kuring Gemuning melangkah lebar. Di bawah pintu depan rumah, beberapa pemuda berpakaian ketat berwarna kuning berdiri dengan kepala tertunduk. Dia berhenti sebentar memandangi mereka.
"Jaga tempat ini baik-baik!" ujar Ki Taji Bhirawa.
"Guru...!"
Salah seorang memberanikan diri buka suara, tapi orang tua itu telah mengangkat sebelah tangan sebagai isyarat. Sehingga, murid itu tidak berani melanjutkan kalimatnya.
"Jangan bicara apa pun. Dan, jangan mengikutiku. Ini urusanku! Kalian mengerti?"
Para pemuda murid Ki Taji Bhirawa tidak menyahut. Mereka tetap berdiri dengan kepala tertunduk.
"Hmm!"
Orang tua itu melangkah lebar setelah menggumam pendek. Tak dipedulikan beberapa orang yang memanggilnya.
"Hup!"
Secepat kilat Ki Taji Bhirawa mencelat ke samping, mengerahkan kemampuan ilmu meringankan tubuhnya yang hebat. Tempat itu bukan arah yang dituju untuk sampai di tempat yang dimaksud penantangnya, dalam surat tadi. Tapi hal itu dilakukan untuk mengecoh para muridnya, jika mereka berkeras untuk mengikuti dari belakang.
? *** Setelah berputar-putar agak lama, Ketua Padepokan Kuring Gemuning mencelat ke tempat yang dimaksud. Sebuah tempat yang tidak begitu luas dan banyak ditumbuhi pohon bambu. Matanya langsung mengawasi beberapa saat dengan sorot tajam. Tapi yang ditunggu belum juga kelihatan.
"Selamat datang, Taji Bhirawa...!"
"Hmm...!"
Ketua Padepokan Kuring Gemuning menoleh ke kanan. Pada jarak sekitar lima belas langkah telah berdiri tegak seorang pemuda tampan berambut sepundak. Kelihatannya biasa saja. Bahkan tanpa senjata, sebagaimana layaknya tokoh-tokoh persilatan. Tapi lebih daripada itu, Ki Taji Bhirawa sama sekali belum pernah mengenalnya.
"Kaukah yang mengirim surat tantangan itu padaku, Anak Muda?" tanya Ki Taji Bhirawa.
"Apakah kau berharap orang lain?" tukas pemuda itu.
"Siapa kau?"
"Aku Kuntadewa!"
"Hmm...! Aku tidak kenal denganmu. Lantas, bagaimana kau bisa menantangku" Apakah ketenaran yang kau inginkan dengan menantangku dan berusaha mengalahkanku?" sindir Ki Taji Bhirawa.
"Aku datang dengan dendam yang hanya bisa terbalas oleh kematianmu!" desis pemuda yang ternyata Kuntadewa.
"Hmm! Dendam" Bahkan kita belum bertemu sebelum ini. Bagaimana mungkin kau mendendam padaku?"
"Nanti kau akan tahu sendiri! Sekarang, bersiaplah menerima kematian."
"Heh"!"
Ki Taji Bhirawa tercekat. Dan tanpa sadar kakinya mundur dua langkah ke belakang melihat apa yang dilakukan Kuntadewa.
Pemuda itu menggeram. Kedua tangan dan kakinya membentuk cakar. Wajahnya yang semula tampan mendadak berubah menggiriskan. Bahkan tampak perubahan lain yang dialami. Sekujur tubuhnya pelan-pelan ditumbuhi bulu-bulu halus berwarna belang hitam. Dan kuku-kuku jari tangan serta kaki tumbuh panjang dan runcing. Kalau boleh disebut, jelas Kuntadewa berubah bagai seekor harimau.... Harimau jadi-jadian!
"Graungrrr...!"
"Kau..., kau..., apa hubunganmu dengan Ki Bagus Perkasa"!"
Bola mata Ki Taji Bhirawa melotot lebar dan mukanya pucat pasi.
Wut! Bukannya menjawab, justru Kuntadewa meluruk melepaskan serangan dahsyat berbau kematian.
Kedua tangan harimau jejadian ini terpentang membentuk cakar.
Laki-laki tua itu berusaha mencelat ke samping dengan jungkir balik beberapa kali. Sambil bergerak demikian langsung sepasang pedangnya dicabut. Dan dengan senjata di tangan, dibalasnya serangan.
Wut! Bet! Sabetan pedang Ki Taji Bhirawa berkelebat gencar, memapas pinggang dan batok kepala Kuntadewa. Pemuda yang berubah menjadi harimau jejadian ini tahu-tahu menghilang dari sabetan senjatanya. Dan sebagai balasannya, justru punggung laki-laki tua itu yang kena cakar.
Bret! "Aaakh...!"
Ki Taji Bhirawa mengeluh tertahan. Tubuhnya terus mencelat mundur untuk menghindar segala kemungkinan buruk lainnya.
"Graungrrr...!"
Harimau jejadian itu menggeram. Dan kembali tubuhnya melesat, menerkam dengan buas.
Tring! Wuut...! Ki Taji Bhirawa mengadukan pedangnya, hingga menimbulkan percikan bunga api. Dan laki-laki tua ini langsung berkelebat secepat kilat, membuat gerakan aneh. Beberapa kali dilakukannya gerakan membabat dan menyilang. Sehingga bukan saja tubuhnya yang terkurung ayunan pedang, namun dirinya sendiri laksana sebuah bola berisi tajam yang siap mengiris-ngiris Kuntadewa menjadi potongan-potongan kecil.
"Ayo mendekat, Keparat! Kau rasakan jurus "Pedang Mengitari Bumi" ini...!" teriak Ki Taji Bhirawa geram.
"Ngrr...!"
Harimau jejadian itu tak menyahut. Sepasang matanya menatap tajam dan berkilauan seperti hendak menelan Ki Taji Bhirawa saat itu juga.
Tapi Ketua Padepokan Kuring Gemuning tak peduli. Seketika itu juga dia melompat menyerang.
Wut! Wuk! Pedang laki-laki tua itu menyambar ke seluruh tubuh Kuntadewa. Namun harimau jejadian ini menjatuhkan diri. Sebelah kakinya tiba-tiba memapaki sabetan pedang.
Tak! "Heh"!"
Betapa terkejutnya Ki Taji Bhirawa, karena sebuah pedangnya patah dihantam kuku kaki harimau jejadian itu.
"Gila! Ilmu apa yang digunakan bocah ini" Apakah dia kesurupan roh Ki Bagus Perkasa"!" desis Ki Taji Bhirawa kaget.
Belum habis rasa terkejut laki-laki tua itu, Kuntadewa telah melesat menerkam dengan cakarnya yang tajam. Begitu cepat gerakan harimau jejadian itu, sehingga....
"Graungrrr...!"
Bret! "Aaarkh...!"
Ki Taji Bhirawa menjerit kesakitan tatkala kedua cakar harimau jejadian itu menyambar dadanya. Kendati demikian, dia berusaha menghindar dengan melompat ke atas. Tapi Kuntadewa terus memburunya dengan lompatan ke atas pula. Dan....
Brettt! "Aaakh...!"
Kembali Ki Taji Bhirawa terpekik ketika perutnya jadi sasaran cakar Kuntadewa. Padahal saat itu pedang laki-laki ini telah bergerak membabat punggung.
Ki Taji Bhirawa tidak sempat terkejut saat pedangnya sama sekali tak mampu melukai harimau jejadian itu. Bahkan sepertinya mata pedang itu membentur batu cadas. Ketua Padepokan Kuring Gemuning itu terhuyung-huyung ke belakang dengan sebelah tangan mendekap perut.
"Graungrr...!"


Pendekar Rajawali Sakti 188 Warisan Terkutuk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun Kuntadewa tak memberi kesempatan sedikit pun. Dia terus menerkam.
"Hiaaa...!"
Meski dengan sisa tenaga yang terakhir, Ki Taji Bhirawa coba menebas leher. Namun dengan mudah Kuntadewa mengelak. Bahkan sambil berputar, kakinya yang berbulu tajam pula menyambar dahsyat menuju ke atas.
Bret! "Aaakh!"
Ki Taji Bhirawa kontan memekik tertahan. Lehernya langsung robek lebar disambar kaki kiri harimau jejadian ini. Dan bersamaan dengan itu, Kuntadewa telah berbalik. Tubuhnya kembali menerkam dengan cakar mengibas. Lalu....
Brettt! Kibasan cakar Kuntadewa membuat tubuh Ki Taji Bhirawa ambruk dengan dada terkoyak lebar. Tak ada teriakan lagi, karena nyawa orang tua itu terbang sejak tadi.
Kuntadewa berdiri seraya mengawasi dengan sorot mata tajam. Sikapnya masih terus siaga. Sepertinya, dia tak yakin kalau laki-laki tua itu sudah mampus.
"Guruuu...!"
"Grrr...!"
Kuntadewa kembali menggereng, ketika terdengar jeritan panjang dari berbagai arah. Beberapa sosok tubuh tampak langsung menghambur menghampiri mayat Ki Taji Bhirawa, disusul yang lainnya. Tapi, lima orang dari mereka langsung mencabut senjata dan menyerang Kuntadewa dengan ganas.
"Iblis terkutuk! Kau harus bayar kematian Guru kami dengan nyawa busukmu!"
"Yeaaat!"
"Haaat...!"
Melihat sikap orang-orang itu, Kuntadewa tidak tinggal diam. Sebelum mereka sampai padanya, harimau jejadian ini lebih dulu menerkam.
"Graungrrr...!"
Brebet...! "Aaa...!"
Sepasang tangan dan kaki Kuntadewa yang membentuk cakar langsung mendapatkan korban lagi. Dua pedang para pengeroyok patah. Dan dada mereka diterkam cakar tangan Kuntadewa. Saat Kuntadewa berbalik maka dua pengeroyok lain mendapat bagian cakar kakinya. Saat itu juga perut mereka jebol.
"Heh"!"
Orang-orang yang ternyata murid-murid Ki Taji Bhirawa terkejut melihat keadaan ini. Kesedihan mereka karena kematian gurunya, seketika tersentak. Bahkan berubah menjadi dendam membara.
"Bunuh harimau jejadian ini...!" teriak seseorang.
Sring! "Yeaaat...!"
"Graungrr...!"
? *** Kuntadewa tidak tinggal diam. Tubuhnya kembali meluruk langsung balas menyerang dengan ganas.
Bret! "Aarkh...!"
Cakar Kuntadewa kembali menyambar secepat kilat, merobek dada serta menjebol perut. Bahkan tidak jarang cakar-cakar yang sekuat baja itu mematahkan leher-leher mereka.
Kejadian itu tidak berlangsung lama. Sebagian besar murid-murid Ki Taji Bhirawa kontan binasa. Beberapa orang yang selamat dengan mengalami luka-luka akibat cakaran harimau jejadian ini, berusaha menyelamatkan diri.
"Kakang. Tinggal kita bertiga. Apakah kita akan lari juga?" tanya salah seorang murid yang tersisa.
"Tidak, Logawa! Meskipun mati, aku rela demi membalas kehormatan Guru!" sahut laki-laki bertubuh besar yang memang Lembu Abang.
"Aku pun begitu! Bagaimana denganmu, Lanang?" tandas pemuda yang dipanggil Logawa.
"Aku bersedia mati demi membalas dendam Guru!" sahut pemuda yang dipanggil Lanang garang.
"Kita harus hati-hati! Jahanam ini hebat dan amat buas!" ujar Logawa.
"Biar kuserang dia dari depan. Kalian menyerangnya dari samping kiri dan kanan," kata Lembu Abang, orang tertua di antara mereka.
"Baiklah...!" sahut kedua adik seperguruannya, serentak.
Mereka mengambil tempat masing-masing yang telah disepakati untuk menyerang.
Sementara Kuntadewa mengawasi dengan sorot mata buas, siap menerkam lawan-lawannya.
Tapi sebelum hal itu dilakukan, mendadak sesosok tubuh berkelebat cepat ke tempat itu.
"Wualah! Ada apa ini" Kenapa pada tidur-tiduran di sini?" tanya sosok yang baru datang dan berhenti pada jarak lima tombak di depan Kuntadewa, mulutnya mendecah dengan kepala menggeleng-geleng.
Lembu Abang dan kedua kawannya mengernyitkan dahi memperhatikan sosok yang baru datang. Sepertinya mereka pernah bertemu dengan sosok itu.
"Hm.... Dia Pemabuk Dari Gunung Kidul...!" gumam Lembu Abang, tersenyum lega.
Lembu Abang memang pernah bertemu dengan sosok yang tak lain Ki Demong. Pemuda ini dulu pernah menuduh kalau laki-laki tua pemabukan itu yang pernah membunuh beberapa murid Padepokan Kuring Gemuning. Namun, setelah mendapat penjelasan Rangga, Lembu Abang jadi malu sendiri karena telah salah menuduh.
Pemabuk Dari Gunung Kidul memandang Kuntadewa dengan menyipitkan mata, lalu terkekeh-kekeh.
"Jadi kucing besar inikah yang membunuh kawan-kawanmu dulu" He he he...! Kukira iblis itu mengerikan. Tapi ternyata malah membuatku geli," oceh Ki Demong, sambil melirik Lembu Abang.
"Grrr...!"
Kuntadewa menggeram dan menyeringai lebar. Hingga dua pasang taring di sudut bibirnya terlihat. Besar dan tajam. Seperti harimau buas yang sekali terkam mampu mengoyak-ngoyak mangsanya.
"Kucing besar budukan! Ke sinilah kau! Mengeonglah beberapa kali, nanti akan kucarikan ikan asin! He he he...!"
"Graungrrr...!"
Kuntadewa menggeram buas membuat ketiga pemuda di dekatnya bergetar. Secepat kilat tubuhnya melesat menerkam orang tua membawa guci itu.
"Eee...! Uts! Dasar kucing kurap tidak tahu diri! Minta digebuk rupanya!" seru Ki Demong kaget sambil mencelat ke samping.
Kuntadewa tidak mau melepaskannya. Sekali serangannya luput, maka tubuhnya cepat berbalik. Seketika kembali diserangnya lebih ganas.
Glek! Glek! Sambil melompat ke belakang, Pemabuk Dari Gunung Kidul menenggak tuak dalam gucinya yang sekaligus menjadi senjata anehnya. Dan seketika guci itu dihantamkan ke depan menyambut terkaman Kuntadewa.
Plak! "Heh"!"
Namun Ki Demong sempat dibuat kaget merasakan guncangan hebat ketika gucinya membentur cakar Kuntadewa. Dan dalam keadaan begitu, nyaris mukanya disambar kuku kaki harimau jejadian ini kalau saja tidak menjatuhkan diri. Sambil bergulingan di tanah, Ki Demong menyemburkan tuak merahnya.
"Fruhhh...!"
Cairan tuak itu agaknya bukan sembarangan. Sebab ketika keluar dari mulutnya, disertai nyala api yang menyambar Kuntadewa dengan cepat.
"Graungrrr...!"
Harimau jejadian itu terkejut. Dia meraung keras sambil melompat ke samping. Kesempatan itu digunakan Ki Demong untuk cepat bangkit berjumpalitan. Seketika dikejarnya Kuntadewa dengan guci tuaknya menghantam dada.
Tak! Tak! Dua kali Ki Demong menyerang, namun dapat ditangkis harimau jejadian itu dengan sengit. Namun sambil memutar tubuhnya, Ki Demong melepas tendangan kaki kanan menyodok ke perut, yang tak sempat dielakkan Kuntadewa.
Duk! Hebat! Sedikit pun Kuntadewa tak bergeming. Bahkan tiba-tiba tubuhnya mencelat menerkam dengan cakarnya.
Ki Demong terkesiap. Dia berusaha menjatuhkan diri ke samping. Tapi terlambat. Dan....
Bret! "Akh!"
Tahu-tahu saja lengan kanan Pemabuk Dari Gunung Kidul tersayat oleh cakar Kuntadewa. Kalau saja tadi tidak menjatuhkan diri ke bawah, niscaya cakar kaki Kuntadewa akan menyusul untuk membobol perutnya. Kendati demikian, luka di lengan kanannya cukup dalam, membuat darah leluasa keluar.
*** ? 7 ? Setelah bergulingan beberapa kali Pemabuk Dari Gunung Kidul mencelat ke belakang sambil menenggak tuak.
"Glek...! Glek...!"
Sementara, Kuntadewa terus meluruk menerkam.
"Grrr...!"
"Fruhhh...!"
Begitu serangan harimau jejadian itu dekat, tuak di mulut Ki Demong menyembur cepat. Namun Kuntadewa kembali berkelit ke samping. Tubuhnya lantas berputar, dan langsung membuat lompatan panjang menerkam.
"Hup!"
Pemabuk Dari Gunung Kidul cepat melayang ke atas menghindar terkaman. Dan tiba-tiba tubuhnya membuat putaran seraya melepas hantaman ke batok kepala Kuntadewa.
Tak! Pukulan Ki Demong bukan main-main, melainkan disertai tenaga dalam kuat. Tapi pemuda itu seolah-olah tidak merasakannya. Bahkan ketika Pemabuk Dari Gunung Kidul mendarat di tanah, secepat kilat harimau jejadian itu berbalik dan menyerang kembali.
"Uts! Eh, astaga...!"
Kembali Ki Demong mencelat ke atas menghindari terkaman.
Dutt! Tapi bersamaan dengan itu wajah Ki Demong berkerut kaget karena sesuatu yang "istimewa" mendesak keluar dari lubang bawah, tepat menyembur kepala Kuntadewa.
Tapi dasar pemuda itu telah kehilangan sifat manusianya, maka hal ini tidak terlalu mengganggunya. Baru saja Pemabuk Dari Gunung Kidul mendarat di tanah....
"Hei, Pemabuk Edan! Ke mana kau bersembunyi" Kau berhutang beberapa bait syair padaku. Kau harus melunasinya! Walau sembunyi ke liang kubur akan kutemukan kau!"
Terdengar seruan memanggil-manggil. Dan Ki Demong tahu siapa yang memanggil. Seketika kepalanya menoleh, lalu seenaknya meninggalkan pertarungan, seperti tak pernah terjadi apa-apa.
"Nenek sihir, aku di sini sedang bermain-main," sambut Ki Demong.
"Kurang ajar! Lagi-lagi kau menyebutku nenek sihir!"
Sementara Kuntadewa hanya terlongong bengong, heran melihat kelakuan Pemabuk Dari Gunung Kidul.
"Oh, maaf! Maaf, Sayangku. Aku betul-betul tidak sengaja. Sebenarnya aku ingin memanggilmu Nenek Cantik," ucap Pemabuk Dari Gunung Kidul.
"Huh! Kau masih lancang! Siapa bilang aku sudah jadi nenek"!" sahut wanita setengah baya berwajah cantik yang tak lain Dukun Gila Berambut Pirang.
"Apa" Aku menyebutmu nenek" Kau pasti salah dengar!" bantah Ki Demong alias si Pemabuk Dari Gunung Kidul. "Padahal aku menyebutmu Bidadari Cantik."
"Sungguh"!" kata Dukun Gila Berambut Pirang, minta penegasan. Senyumnya terkembang. Dan wajahnya tersipu-sipu mendengar pujian itu.
"Buat apa aku bohong" Coba tanyakan saja pada kawanmu itu! Kudengar beberapa tahun lalu, kau sempat putus hubungan dengannya."
"Kucing kurap ini" Dasar tidak tahu diri! Padahal telah kukirim dia pelesir ke neraka!" gerutu Dukun Gila Berambut Pirang.
"Agaknya, dia tidak betah di sana. Dan kelihatannya, ingin mengajak kita juga. Huh! Dengan adanya dia, kau pasti akan berbagi cinta. Padahal sesungguhnya aku ingin memilikimu seorang diri," ujar Ki Demong, merajuk.
"Jangan khawatir, Sayangku. Kasih sayangku hanya untukmu seorang."
"Kalau begitu, kenapa tidak kau tendang lagi dia ke neraka?" tukas Pemabuk Dari Gunung Kidul.
"Kalau itu maumu, baiklah," sambut Dukun Gila Berambut Pirang.
Dan.... Secepat kilat wanita itu mencelat menyerang Kuntadewa yang masih berdiri memperhatikan.
"Graungrr...!"
Melihat adanya serangan, pemuda itu cepat menangkis.
Plak! Namun wanita itu melanjutkan serangan lewat tendangan keras ke ulu hati.
Tak! Harimau jejadian ini menggeram marah. Sedangkan kaki si Dukun Gila Berambut Pirang seperti menendang batu cadas. Meski begitu tidak kelihatan kalau dia kaget. Bahkan ketika Kuntadewa menerkam, secepatnya tubuhnya mencelat ke atas membuat gerakan salto beberapa kali.
"Yeaaat...!"
Begitu menjejakkan kaki, justru Ki Demong telah lebih dulu menyerang Kuntadewa. Sementara, wanita itu menyusul kemudian.
Plak! Hantaman guci Ki Demong ditangkis kedua cakar Kuntadewa. Pada saat itu Dukun Gila Berambut Pirang mencuri kesempatan. Melalui pinggang Ki Demong, kedua kakinya menyodok ke dada dan perut harimau jejadian itu. Sedangkan kedua tangannya berpegangan di pundak Ki Demong.
Duk! Duk! "Graungrr!"
Pemuda itu terhuyung-huyung ke belakang sambil menggeram marah.
"Hiyaaat!"
Dukun Gila Berambut Pirang segera mencelat menyerang.
Plak! Plak! "Yeaaa...!"
Mereka sempat beradu tangan beberapa kali, sebelum Ki Demong melompat. Gucinya langsung disodokkan ke perut Kuntadewa. Sedangkan Dukun Gila Berambut Pirang melompat sedikit ke atas, memberi keleluasaan Ki Demong untuk mendaratkan senjatanya lewat selangkangan wanita setengah baya itu.
Begkh! "Aaakh...!"
Hasilnya memang luar biasa. Harimau jejadian itu menjerit kesakitan dan terjungkal beberapa langkah. Tapi secepat itu pula dia kembali bangkit Hanya saja kali ini tidak langsung menyerang, melainkan kabur secepatnya dari tempat itu.
"Kurang ajar! Mau lari ke mana kau, Kucing Buduk!" teriak Dukun Gila Berambut Pirang seraya lompat mengejar.
"Eee, aku juga ikut denganmu, Sayang...!" seru Ki Demong, mengikuti dari belakang.
? *** Rangga dan Ratmi memacu kuda secepat-cepatnya. Meski terkadang Dewa Bayu yang ditunggangi Pendekar Rajawali Sakti beberapa kali meninggalkannya jauh di belakang, namun Ratmi berusaha menggebah kudanya sekencang-kencangnya. Sampai-sampai kuda itu dipaksa berlari melebihi batas kemampuannya.
"Kakang! Kudaku tak tahan lagi! Mungkin sebentar lagi dia akan ambruk kalau terus begini!"
Rangga menarik tali kekang, sehingga Dewa Bayu berhenti mendadak. Seketika Pendekar Rajawali Sakti menoleh ke belakang.
"Istirahatkan dulu kudamu. Setelah itu, kita lanjutkan lagi perjalanan...," ujar Rangga.
"Kenapa sih, mesti terburu-buru seperti dikejar setan?" tanya gadis itu menggerutu sambil menggiring kudanya ke sebuah danau kecil yang tidak jauh dari tempat mereka berhenti.
"Aku tidak tahan lagi, Ratmi. Sepanjang perjalanan, kita lihat mayat-mayat terkoyak dalam keadaan mengerikan. Sampai kapan ini akan berakhir?" tukas Pendekar Rajawali Sakti.
"Huh! Terlalu memikirkan orang lain. Bahkan tidak sempat memikirkan dirimu sendiri!" cibir Ratmi sambil bersandar di bawah pohon.
"Aku tidak lupa pada diriku...," kilah Rangga.
"Buktinya kau tak punya rumah. Tak punya..., istri yang mengurus segala keperluanmu!"
Rangga tersenyum.
"Aku punya rumah."
"Di mana" Kulihat selama ini kau tak pernah pulang."
"Kau juga tidak."
"Aku" Hmm... Itu karena aku selalu tidak pernah akur dengan ayahku. Tapi jelas aku punya tempat untuk pulang. Kalau kau" Mau ke mana kalau suatu saat ingin beristirahat panjang?"
"Aku bisa ke mana saja."
"Tak ada yang mengurus, kasihaaan...!" ejek Ratmi.
"Eh, siapa bilang!"
"Paling-paling mengurus diri sendiri. Maksudku..., seorang istri."
"Itu gampang. Meski tak punya istri, tapi ada seseorang yang mengurusiku."
"Siapa?" tanya Ratmi pura-pura acuh. Padahal telinganya dibuka lebar-lebar. Bahkan jantungnya berdetak lebih cepat dua kali.
"Kekasihku tentu saja," sahut Rangga, kalem.
"Siapa kekasihmu itu?" kejar Ratmi dengan jantung berdetak semakin cepat.
Rangga hanya tertawa sambil merebahkan tubuhnya di atas rumput tebal.
"Huh! Kau hanya membual!" dengus Ratmi.
"Kenapa kau begitu tertarik mengetahui kekasihku?" tanya Rangga.
"Huh! Siapa yang tertarik"!" dengus Ratmi sambil melengos.
Rangga tersenyum-senyum.
"Orangnya galak, tapi cantik. Periang dan..., memiliki kepandaian cukup hebat...," jelas Rangga sepergi bergumam.
Ratmi melirik kesal. Mukanya dipasang supaya kelihatan sinis. Padahal dalam hatinya mulai berbunga-bunga. Apa yang dikatakan pemuda itu bukankah..., bukankah dirinya" Dia mewakili watak yang disebutkan Rangga. Juga ciri-cirinya!
"Jadi sebenarnya Kakang Rangga telah menganggapku kekasihnya sejak dulu?" gumam gadis ini di hati.
Dan Ratmi jadi melambung mengejar khayalannya. Sesekali diliriknya Rangga. Lalu bibirnya tersenyum-senyum sendiri membayangkan hal-hal indah yang hanya dilakukan berdua dengan pemuda itu.
"Naahh..., ketahuan bengong!" usik Pendekar Rajawali Sakti.
"Ohh!"
Ratmi tersentak kaget ketika tiba-tiba saja pemuda itu berteriak di dekatnya.
"Brengsek! Kuhajar kau...!" teriak gadis itu kalap melihat Rangga tertawa girang.
Tapi Pendekar Rajawali Sakti telah melompat ke sebatang pohon dan memanjatnya cepat. Ratmi tidak mau kalah. Dikeluarkannya ketapel. Dan setelah memungut beberapa buah kerikil, dibidiknya pemuda itu.
Siuuut! Tak. Pletak! Kalau saja Rangga tidak bersembunyi di balik batang pohon yang dipeluknya, mungkin saja kepalanya akan jadi sasaran ketapel.
"Gila! Apa kau kira aku burung"!" teriak Rangga.
"Aku jarang mengetapel burung!"
"Lalu, siapa yang sering kau ketapel?"
"Monyet!"
"Sialan! Jadi kau samakan aku dengan monyet"!"
Gadis itu terkikik, tapi tidak menghentikan serangannya. Sehingga, terpaksa Rangga berpindah ke cabang pohon yang lebih rimbun dan terhalang pandangan.
Tapi Ratmi tidak mau kalah. Dikumpulkannya kerikil sebanyak-banyaknya kemudian melompat mengejar pemuda itu lewat cabang pohon terdekat.
"Brengsek!" keluh Rangga.
"Kau kira bisa kabur seenaknya, he"! Kau harus merasakan pembalasanku!" dengus Ratmi.
"Dasar perempuan galak!" ledek Pendekar Rajawali Sakti.
"Biar!"
"Mana ada laki-laki yang suka pada perempuan galak!"
"Biar!"
"Biar tidak laku sampai perawan tua"!"
"Brengsek! Kuhajar kau!"
Siut! Siuuutt! Kerikil-kerikil yang melesat dari ketapel bertubi-tubi ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Kalau saja jarak mereka agak jauh, mungkin Rangga masih gampang menghindar. Tapi Rangga selalu memperpendek jarak, sehingga jarak kerikil pun semakin dekat saja.
Tapi untung saja karena pada saat yang gawat bagi Rangga....
"Tolooong...!"
Tiba-tiba terdengar teriakan seseorang tidak jauh dari tempat mereka. Ratmi seketika menghentikan tindakannya. Sedangkan Rangga telah lebih dulu mencelat ke sumber teriakan tadi.
? *** Begitu melihat Rangga berkelebat, Ratmi pun mengikuti dengan gerakan tak kalah gesit.
Rangga dan Ratmi tiba di suatu tempat yang agak lapang. Beberapa orang laki-laki bertampang kasar dengan badan rata-rata kekar tengah meringkus seorang gadis cantik. Salah seorang memeluknya dari belakang. Seorang lagi berusaha menurunkan celana pangsi yang dikenakan gadis itu. Sementara dua orang lagi coba mempreteli pakaiannya. Tiga orang yang tersisa, tegak berdiri di hadapan gadis itu sambil terbahak-bahak.
"Kurang ajar! Lepaskan gadis itu"!" bentak Rangga dengan suara menggelegar.
Bersamaan dengan itu, Pendekar Rajawali Sakti berkelebat ke arah mereka. Tapi meski begitu, Ratmi lebih dulu bertindak. Ketapelnya dibidik ke arah para begundal yang hendak memperkosa gadis itu. Dan....
Siuut! Tak! Pletak! "Adouuwww...!"
Batok kepala laki-laki yang tengah memeluk gadis itu kontan terhajar kerikil. Sedangkan kerikil yang satu lagi nyasar pada kawannya yang tengah melepaskan celana. Karuan saja keduanya menjerit kesakitan, dan terpaksa melepaskan cekalan. Sehingga, gadis itu mampu melepaskan diri setelah menyentak kedua laki-laki yang coba menangkapnya kembali.
"Kurang ajar! Berani bertingkah di hadapan Kawanan Begal Wanara"!" bentak salah seorang laki-laki kasar yang berwajah penuh brewok. Agaknya dia pemimpin kawanan itu.
"Hmm.... Jadi, kalian Kawanan Begal Wanara?" sahut Ratmi mencibir sinis.
"Sekarang kau baru tahu, bukan" Ayo, serahkan dirimu padaku, si Banaspati. Dan, jangan halangi perbuatan kami!" bentak laki-laki brewok yang mengaku bernama Banaspati, sombong.
"Jangan keburu girang, Bangsat! Kalau kalian mau tahu, justru aku penjagal wanara, monyet!" bentak Ratmi.
"Perempuan liar! Kau memaksaku untuk bertindak keras, he"! Baik! Akan kutunjukkan, siapa aku. Agar kau tidak sesumbar bicara!"
Pemimpin Kawanan Begal Wanara ini memberi isyarat pada dua anak buahnya untuk meringkus gadis itu.
"Bagus! Ayo sini cepat! Biar kupecahkan kepala kalian!" sambut Ratmi, tenang.
"Dan kau denganku!" tunjuk Rangga pada Banaspati.
"Huh! Bocah pentil! Kau pun perlu diberi pelajaran!" dengus Banaspati.
Laki-laki bertampang kasar ini memberi isyarat pada tiga anak buahnya yang langsung melompat menyerang Rangga.
"Yeaaat!"
Bersamaan dengan itu, Ratmi mendahului menyerang kedua lawannya. Ketapelnya siap menghajar.
"Yiaaat!"
Wut! Bet! Dua bacokan golok dua orang laki-laki anak buah Banaspati menyambar ke leher dan pinggang gadis itu. Kelihatannya lemah dan tidak sungguh-sungguh. Mungkin sekadar menakut-nakuti saja. Perkiraan mereka, bila gadis itu lengah maka akan segera ditubruk. Tapi yang terjadi justru tidak seperti yang dibayangkan. Ratmi cepat berkelit ke samping. Tubuhnya terus mencelat melewati kepala dengan kepalan tangan menghantam batok kepala seorang laki-laki yang ada di kanan. Sedangkan kaki kirinya menyodok laki-laki yang ada di sebelah kiri.
Pletak! Duk! "Aaakh...!"
Kedua laki-laki itu menjerit kesakitan. Tubuh mereka terhuyung-huyung ke belakang.
Hal yang sama pun dialami ketiga lawan Rangga. Pendekar Rajawali Sakti tidak memberi hati. Padahal, ketiga orang itu menyerang dengan ganas. Mereka sengaja hendak menghabisi Rangga dalam sekejap agar nanti tidak mengganggu niat mereka untuk meringkus kedua gadis itu. Tapi, ketika golok-golok mereka melayang menebas, Rangga telah berkelebat cepat dan hilang dari pandangan. Dan tahu-tahu, satu hantaman keras di tengkuk masing-masing membuat ketiganya ambruk tak sadarkan diri setelah melenguh pendek.
"Heh"!"
Banaspati kaget melihat sepak terjang kedua anak muda itu. Dalam sekejap, lima anak buahnya rontok. Tanpa sadar kakinya mundur beberapa langkah ketika Rangga dan Ratmi menghampiri. Begitu pula seorang anak buahnya yang berada di sebelahnya.
"Kini giliranmu!" tunjuk Pendekar Rajawali Sakti dingin.
"Hiih!"
Ratmi tidak banyak bicara lagi. Langsung ketapelnya dibidikkan.
Siuuut! "Hup!"
Banaspati dan anak buahnya yang tinggal seorang lagi berusaha menghindar. Tapi, Rangga langsung berkelebat, melepas pukulan keras.
Duk! Des! "Aakh!"
Keduanya terjungkal dihajar hantaman tangan Pendekar Rajawali Sakti disertai jerit kesakitan. Belum lagi Banaspati bangkit, sebelah kaki Rangga telah menjejak dadanya.
"Kalau kau mengulangi perbuatanmu, maka akan kupecahkan dadamu sekarang juga!"
"Oh! Ekh...! Ampun, Tuan. Ampuni aku...!" keluh Banaspati dengan muka pucat.
"Pergilah! Dan, cepat minggat dari hadapanku!" dengus Rangga seraya menyepak tubuh Banaspati.
Tanpa banyak bicara lagi, Banaspati kabur dari tempat itu, setelah memberi isyarat pada anak buahnya.
? *** 8 ? "Kau tak apa-apa, Nisanak...?" tanya Pendekar Rajawali Sakti begitu menghampiri gadis yang hendak diperkosa.
"Tidak. Terima kasih," ucap gadis itu.
"Sekarang, kau bisa melanjutkan perjalanan kembali."
"Ya."
"Sebenarnya ke mana tujuanmu?" tanya Ratmi.
"Aku ingin menjumpai kawanku di desa Jembring," sahut gadis itu.
Mendengar nama tempat itu disebutkan, Ratmi teringat sesuatu.
"Desa Jembring" Kebetulan sekali! Aku punya kawan di sana. Siapa nama kawanmu di sana?" tanya Ratmi.
"Ambar."
"Astaga! Kalau begitu kita mempunyai kawan yang sama. Nama kawanku Ambar!" seru Ratmi dengan wajah ceria.


Pendekar Rajawali Sakti 188 Warisan Terkutuk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau dari Padepokan Karang Gelam?" tanya Rangga.
"Ya. Dari mana Kisanak mengetahuinya?"
"Aku Ratmi dan ini Rangga. Siapa namamu?" tanya Ratmi menyela.
"Anjani...," sebut gadis itu.
"Anjani"!"
Rangga dan Ratmi saling pandang. Wajah Ratmi yang tadi tersenyum-senyum, kini menunjukkan perubahan. Kelihatan kalau dia merasa kaget. Atau barangkali nama itu punya arti.
"Kenapa kalian kelihatan terkejut?" tanya gadis yang ternyata Anjani, bingung.
"Ini amat kebetulan! Karena kami memang hendak ke Padepokan Karang Gelam untuk mencarimu," kata Rangga.
"Mencariku" Ada keperluan apa?"
"Eh! Ng...."
"Biar kujelaskan," sambar Ratmi ketika Rangga sedikit bingung mengutarakan maksud mereka. "Belakangan ini sering terjadi pembunuhan dengan cara mengerikan. Para korbannya terkoyak-koyak seperti diterkam binatang buas...."
"Ya. Guruku dan putranya serta beberapa saudara seperguruanku menjadi korbannya pula. Lalu, apa hubungannya denganku?" tukas Anjani.
"Tahukah kau kejadian beberapa tahun silam?" tanya Ratmi.
Tapi ketika Ratmi melihat Anjani masih memandangnya dengan dahi berkerut, maka dia memutuskan untuk meneruskan keterangannya.
"Belasan tahu lalu, ada seorang tokoh yang memiliki ilmu sesat. Ya..., kira-kira sejenis ilmu "Cindaku" dari tanah Swarnadwipa atau tanah Andalas bagian barat. Ilmu itu adalah ilmu memuja harimau. Dan ilmu itu tidak dicarinya melainkan datang sendiri melalui warisan dari orangtuanya yang memuja harimau. Karena ilmu itu warisan, maka dia tidak bisa mengelak. Ilmu itu mengajarkan seseorang menjadi buas seperti harimau. Mempengaruhi watak, juga wujudnya seperti harimau. Maka tokoh itu merajalela ke mana-mana, menimbulkan korban cukup banyak. Tak lama kemudian dia mati dikeroyok beberapa tokoh persilatan. Namun agaknya, tokoh itu memiliki keturunan. Sehingga, ilmu itu menurun pada anaknya," jelas Ratmi.
"Oh! Menyeramkan sekali! Siapa tokoh itu" Dan, siapa pula keturunannya?" tanya Anjani dengan tatapan curiga.
"Aku tahu, dari mana tokoh itu berasal. Karena, ayahku mengenalnya. Beliau salah seorang yang ikut membunuh tokoh itu. Bersama Kakang Rangga, kami ke sana. Ternyata, keturunan sang tokoh tidak ada di sana. Istrinya telah tiada. Demikian pula sanak saudaranya. Namun dari seorang tetangganya, kami tahu kalau keturunan tokoh itu dibawa ibunya ke Padepokan Karang Gelam, sebelum wanita itu wafat...."
"Katakanlah terus terang, Ratmi! Siapa orang yang kau maksudkan itu"!" desak Anjani.
"Tokoh itu bernama Ki Bagus Perkasa. Sedangkan keturunannya bernama Kuntadewa dan Anjani!"
"Ohhh...!"
Anjani terkejut, tak kuasa menahan kepedihan di hatinya. Dengan kepala tertunduk gadis itu menangis sesenggukan.
"Jadi..., jadi selama ini yang melakukan perbuatan keji itu adalah...."
"Kalian berdua!" sambar Ratmi, langsung berubah garang.
"Tidak! Bukan aku!" bantah Anjani, garang.
Gadis itu memandang Ratmi dengan sorot mata tajam.
"Kau pembunuh ayahku! Kau keturunan pembunuh! Kalaupun aku memiliki ilmu itu, akan kubunuh kau dan ayahmu!" desis Anjani.
Anjani bersiap menyerang. Namun Ratmi pun tidak kalah sigap. Dia pun bersiap pula meladeni serangan. Tapi sebelum hal itu dilakukan.
"Graungrr...!"
"Ratmi, awaaas...!"
Sebuah raungan keras yang disertai berkelebatnya sosok bayangan kuning, membuat Rangga menoleh ke arah sumbernya. Dan Pendekar Rajawali Sakti cepat memperingatkan Ratmi.
? *** Teriakan Rangga agaknya tak cukup ketika sosok bayangan itu menerkam Ratmi dengan gerakan gesit.
"Hup...!"
Bruk! Terpaksa Rangga melompat, menubruk Ratmi. Sehingga, gadis itu luput dari terkaman. Dengan sigap Rangga bangkit.
"Gila! Makhluk apa ini"!" desis Pendekar Rajawali Sakti, begitu melihat sosok yang menyerang Ratmi.
Sosok itu berwujud bagai manusia. Namun kepalanya berbentuk seperti harimau. Baris-baris giginya runcing dengan taring-taring tajam di sudut bibirnya. Matanya mencorong tajam bagai mata harimau. Bibirnya tipis, dengan kumis-kumis putih yang kaku tumbuh di sekitar bawah hidungnya. Sementara sekujur tubuhnya ditumbuhi bulu berwarna dasar kuning dengan coreng-moreng hitam.
"Kakang Rangga, hati-hati! Kurasa inilah harimau jadi-jadian itu. Dia Kuntadewa, kakak gadis celaka ini! Kau mesti membunuhnya!" teriak Ratmi, memperingatkan.
"Kau yang mesti hati-hati!" dengus Anjani seraya menyerang Ratmi.
"Dasar manusia tak tahu berterima kasih. Mestinya tidak kami tolong kau!" rutuk Ratmi.
"Huh! Itu salahmu sendiri!"
Maka tak pelak lagi, kedua gadis itu terlibat pertarungan dengan kebencian masing-masing di dada.
Sementara itu pertarungan antara Rangga dan harimau jadi-jadian yang tidak lain Kuntadewa, semakin seru saja.
"Graungrr...!"
Wut! Bet! Kuntadewa yang saat itu berwujud setengah harimau dan setengah manusia menyerang Pendekar Rajawali Sakti dengan ganas. Entah apa yang menyebabkannya demikian. Mungkin juga karena merasa adiknya terancam bahaya. Sebab, sesekali dia pun menyerang Ratmi yang saat itu tengah bertarung dengan Anjani. Sehingga terkadang Rangga jadi repot sendiri untuk melindungi Ratmi.
"Hmm! Orang ini benar-benar kerasukan iblis! Tubuhnya tak mempan pukulan dan tendanganku!" dengus Rangga, geram.
"Grrr...!"
"Hiih!"
Ketika Kuntadewa kembali menerkam, Rangga bersiap memapaki dengan jurus "Pukulan Maut Paruh Rajawali" tingkat tertinggi. Tangannya yang berubah merah membara langsung dikebutkan.
Wuttt! Namun, gesit sekali Kuntadewa mengelak. Bahkan begitu berbalik, dia menerkam kembali.
Rangga cepat menyilangkan kedua tangan. Kemudian dihantamnya kedua pergelangan tangan harimau jejadian itu.
Plak! Plak! Tak terduga, Kuntadewa berbalik. Seketika punggung telapak kaki kanannya menghantam pelipis Pendekar Rajawali Sakti.
Plakk! "Aaakh...!"
Pendekar Rajawali Sakti terpekik. Kepalanya terasa berdenyut keras, menerima hantaman berat. Meski begitu dia sempat menjatuhkan diri dan bergulingan untuk mengambil jarak.
"Gila! Makhluk ini mempunyai kecepatan sangat mengagumkan!" keluh Pendekar Rajawali Sakti membatin.
Apa yang dikatakan Rangga memang tidak salah. Kuntadewa kini telah berbalik. Dan tiba-tiba saja tubuhnya mencelat menerkam.
Rangga yang merasa kalau makhluk itu tahan pukulan, tak mau ayal-ayalan lagi. Langsung tangan kanannya bergerak ke punggung. Lalu....
Sriing! Sambil mencelat ke belakang menghindari terkaman, Pendekar Rajawali Sakti mencabut Pedang Pusaka Rajawali Sakti yang bersinar biru berkilauan.
"Graungrr...!"
Tapi Kuntadewa yang raut wajahnya hampir mirip harimau, lengkap dengan kumis maupun taring serta bulu-bulu halus loreng-loreng, sama sekali tidak gentar melihat batang pedang Pendekar Rajawali Sakti. Malah dia terus melompat kembali, menyerang semakin ganas.
Pendekar Rajawali Sakti yang telah bersiap, langsung mengebutkan pedangnya, hingga terdengar suara angin menderu tajam.
Wusss! Tak! "Heh"!"
Bukan main terkejut Rangga ketika pedangnya sama sekali tak mempan menebas pinggang harimau jadi-jadian itu. Pedangnya yang selama ini telah membinasakan ratusan musuh kini tak ada artinya di hadapan seekor harimau jadi-jadian"
Dan keterkejutan Pendekar Rajawali Sakti terpaksa harus dibayar mahal, ketika cakar kiri harimau itu merobek dadanya.
Brettt! "Aaakh...!"
Pendekar Rajawali Sakti mengeluh kesakitan. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap luka di dada. Darah mulai mengucur deras di dada. Namun sebelum pemuda itu bersiap kembali....
? *** "Ha ha ha...! Ketemu batunya kau, Setan Rompi Putih! Kenapa dengan pedangmu" Apakah siluman yang ada di dalamnya telah minggat"!"
Mendadak terdengar suara menggoda, Rangga melirik. Tampak Ki Demong telah berada di tempat itu memperhatikan pertarungan, Di dekatnya, terlihat wanita setengah baya yang tak lain Dukun Gila Berambut Pirang yang telah tiba pula, setelah melakukan pengejaran terhadap Kuntadewa si manusia harimau jejadian saat meninggalkan pertarungan melawan Ki Demong dan Dukun Gila Berambut Pirang. Tapi Rangga tak sempat menyahut, karena Kuntadewa telah menyerang kembali.
"Graungrr...!"
Rangga melompat ke belakang sambil mengibaskan pedang. Kali ini dipergunakannya jurus "Pedang Pemecah Sukma". Dengan jurus itu, Rangga mampu menelusuri semua titik kelemahan lawan.
Tak! Tak! Beberapa kali batang pedang Pendekar Rajawali Sakti menebas tubuh Kuntadewa, namun tidak satu pun yang membuahkan hasil. Pedangnya seperti senjata mainan yang tak mampu melukai!
"Hm! Matanya! Aku yakin sepasang matanya adalah kelemahan iblis ini!" dengus Rangga.
Berpikir begitu, maka Pendekar Rajawali Sakti bersiap untuk mengincar bagian mata harimau jejadian ini. Tapi rasa sakit yang amat sangat di dada, membuat gerakan Pendekar Rajawali Sakti seperti tertahan. Tubuhnya terasa panas dibakar.
"Keparat! Lukaku tampaknya cukup parah!" desis Pendekar Rajawali Sakti geram.
Meski meringis menahan rasa sakit, tapi Rangga tidak mau mengalah begitu saja. Cepat pedangnya dipindahkan ke tangan kiri.
"Graungrrr...!"
Dengan raungan laksana seekor harimau kelaparan, Kuntadewa menerkam Pendekar Rajawali Sakti.
"Hup...!"
Dengan sisa tenaga Pendekar Rajawali Sakti mencelat ke atas sambil bergulung-gulung. Ujung pedangnya lurus mengancam sepasang mata Kuntadewa.
Kuntadewa terkesiap. Dia berusaha menghindar dengan mengegoskan kepala. Namun.
Tes! "Aaargkh...!"
Dan..., justru hal yang tak terduga terjadi! Kuntadewa menjerit kesakitan seperti digebuki orang sekampung. Lolongannya terdengar panjang dan memilukan, membuat yang berada di sekitar tempat itu terkejut. Demikian pula Anjani dan Ratmi.
"Kakang Kuntadewa...!" teriak Anjani ketika melihat pemuda itu menggelepar-gelepar sambil menjerit-jerit kesakitan.
Gadis itu berhenti, tidak jauh dari Kuntadewa. Hatinya gentar melihat pemandangan itu. Dari mulut dan hidung Kuntadewa mengucurkan darah. Begitu pula jubahnya. Terlihat luka-luka bekas sabetan senjata tajam.
Tapi Rangga tidak melihat sampai Kuntadewa diam tak berkutik. Pendekar Rajawali Sakti terduduk lesu. Pandangannya berkunang-kunang. Lalu...
"Aaakh...!"
Rangga jatuh terduduk. Sambil meringis kesakitan, dia membuat sikap semadi.
"Kakang Rangga...!" teriak Ratmi cemas.
Gadis itu buru-buru menghampiri. Namun seperti juga Anjani, dia agak gentar mendekati Rangga. Dalam keadaan begitu bisa saja Rangga menyerangnya.
Sementara itu Dukun Gila Berambut Pirang memandang sambil tersenyum-senyum sendiri.
"Gila! Kawanmu itu betul-betul hebat. Dia telah memecahkan teka-teki ini dengan tepat!" seru wanita itu.
"Teka-teki apa" Yang jelas, Setan Rompi Putih itu tengah terluka dalam. Kau harus menolongnya!" ujar Ki Demong.
"Kenapa tidak dari dulu! Hi hi hi...! Kumisnya! Sederhana sekali!"
"Bicara apa kau"! Tolong dia dulu. Jangan biarkan pemuda itu tak berdaya!"
"Kenapa kau ini"! Tidakkah kau melihat" Bocah itu berusaha menusuk matanya. Tapi, yang kena malah kumisnya. Tapi itu membuat keberuntungan baginya, karena pada kumisnya itulah terletak kelemahan si Kucing Kurap. Hm, aku lupa. Siapa dulu yang menebas kumis si Bagus Perkasa...?"
"Sayang, tolonglah aku. Jangan pikirkan soal itu. Harap kau tolong dulu bocah itu...," pinta Ki Demong sambil rangkapkan kedua tangan.
"Hi hi hi...!"
Dukun Gila Berambut Pirang masih terkikik kegirangan karena berhasil memecahkan teka-teki yang mungkin dipikirkannya saat ini.
"Huh! Kalau begitu percuma saja kehebatanmu sebagai dukun!" dengus Ki Demong, kesal.
"Apa katamu"!" semprot wanita itu dengan mata melotot lebar.
"Percuma kau bergelar dukun, kalau tak mampu mengobati orang!"
"Keparat! Aku bahkan bisa memindahkan kepalamu di kaki dan kakimu di kepala!"
"Tidak usah sehebat itu. Coba sembuhkan saja bocah itu!"
"Bocah siapa?"
"Ya, bocah berompi putih itu! Tunjukkan padaku, kalau kau benar-benar hebat. Sembuhkan dia!"
"Huh! Mudah!"
Dukun Gila Berambut Pirang menjentikkan tangan. Dan sekali melompat, dia tiba di dekat Rangga yang masih bersemadi.
"Minggir!" ujar wanita aneh itu seraya menepis Ratmi yang berusaha menolong Pendekar Rajawali Sakti.
Gadis itu tidak marah karena dihalau oleh orang yang lebih ahli dalam bidang pengobatan ketimbang dirinya. Bersama dengan Ki Demong, gadis itu memperhatikan di belakang Dukun Gila Berambut Pirang.
Keringat tampak mengucur deras dari seluruh pori-pori Rangga. Dan darah pada lukanya tiada henti menetes.
Dukun Gila Berambut Pirang mengurut-ngurut beberapa bagian di sekitar luka Rangga. Lalu ditotoknya beberapa urat, sehingga darah tidak menetes lagi pada luka di bagian dada.
"Bagaimana?"
Tanpa banyak bicara, Dukun Gila Berambut Pirang menggendong Rangga.
"Eh" Mau kau apakan dia"!" tanya Ki Demong kaget.
"Dia terluka dalam. Aku harus membawanya ke suatu tempat," jelas wanita aneh ini.
"Kalau begitu kami ikut!" kata Ki Demong.
"Tidak bisa!" bantah wanita itu.
"Tapi...."
"Sekali kukatakan tidak bisa, tetap tidak bisa!" hardik wanita itu.
"Ya, ya. Terserahmu saja! Yang penting dia sembuh," ujar Ki Demong mengalah.
"Aku bisa membantumu merawat lukanya...," kata Ratmi menawarkan diri.
Tapi gadis itu mengkeret hatinya, melihat Dukun Gila Berambut Pirang melotot ke arahnya.
"Siapa pun kau, dan apa pun hubungannya dengan bocah ini, tetap tidak bisa ikut!" bentak Dukun Gila Berambut Pirang.
Dan tanpa mempedulikan tanggapan gadis itu, Dukun Gila Berambut Pirang secepatnya berkelebat dari tempat itu.
"Dasar dukun gila!" umpat Ratmi kesal.
Ki Demong terkekeh kecil dan melengos dari tempat itu.
"Hei, mau ke mana kau"!" tanya Ratmi.
"Mau ke mana pun aku pergi, bukan urusanmu, Bocah," sahut Ki Demong enteng.
Dan sebentar saja Pemabuk Dari Gunung Kidul telah kabur meninggalkan gadis itu seorang diri.
Ratmi kesal bukan main melihat keadaan itu. Apalagi ketika Anjani sudah tak terlihat lagi di tempat itu. Juga, Kuntadewa yang telah jadi mayat. Maka dengan langkah kesal, diikutinya arah yang dituju Dukun Gila Berambut Pirang. Di sepanjang jalan tak henti-hentinya mulutnya memaki-maki untuk melampiaskan perasaan jengkel.
SELESAI ? Segera menyusul:
DENDAM BERKUBANG DARAH
? www.duniaabukeisel.blogspot.com
www.jagatsatria.com
www.kangzusi.com
Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 Pendekar Penyebar Maut 11 Irama Seruling Menggemparkan Rimba Persilatan Karya Opa Bukit Pemakan Manusia 4

Cari Blog Ini