Ceritasilat Novel Online

Supernova Partikel 1

Supernova 4 Partikel Karya Dewi Lestari Bagian 1


Keping 40 Partikel e2003f Bolivia alam lembaran faks yang sudah mengeriput itu
tertulis ZRH. Kode untuk Zarah. Aku. Brad to
Borneo. Itu nama proyeknya. Kulit keningku ikut
berkerut, otakku menelusuri perbendaharaan nama selebritas
yang kupunya. "Brad"the "If " song" How old are these people now" Mereka
bukan mau tur keliling pabrik LNG di Bontang, kan?" ta"
nyaku bingung. Zach, yang menyerahkan lembar faks tadi, berusaha keras
mencerna komentarku, baru kemudian terpingkal-pingkal.
"That"s Bread, you moron," serunya. "This is BRAD. The
sexiest Homo sapiens of 21st century. God, you"re so pathetic!"
Keping 40 ain Valerie Wilkes, profesor muda dari Departemen Geo"
sciences di Massachusetts University yang baru dua hari
bergabung dengan kami"masih bau kopi Starbucks, kalau
kata Zach"langsung membelalakkan mata. "PITT?" Valerie
melengking. "Brad fucking Pitt?"
Aku merenung sejenak. Berusaha mengingat-ingat yang
mana. Zach roboh ke tanah dan tertawa terguling-guling me"
lihat pemandangan itu. Antara Valerie yang rela kencan de"
ngan sepuluh orangutan demi masuk ke short list pendam"
ping WWF yang secara berkala memboyong selebritas
Hollywood masuk hutan, dengan aku yang berkali-kali di"
tawari ikut tapi selalu menolak tanpa tahu apa yang se"
benarnya kulewatkan. Tahun lalu, mereka membawa Julia
something"Roberts" Lupa lagi. Zach membodoh-bodohiku
selama sebulan karena ia sendiri rela melakukan apa saja
demi memotret senyum maut Julia di pagi hari. Seakan-akan
panjang gigi perempuan itu bakal bertambah atau berkurang
seinci, tergantung sinar matahari.
"Oh, please, Zach. Jangan mentang-mentang saya native,"
ujarku. "Masih banyak orang lain di Indonesia yang sama
kompetennya." "Bukan karena kamu native," Zach berkata dengan into"
nasi bijak yang membuat aku semakin tidak percaya, "tapi
karena kamu yang terbaik."
"Yeah, right." Aku menjulurkan lidah. Bujukan basi.
Partikel Bukannya kami akan menyelidiki manusia berekor atau apa.
Ini, toh, proyek promosi. Tidak lebih. Hollywood memang
amplifier raksasa dan strategis bagi suara kami ini. Peranku
sendiri tidak berarti banyak. Tabir surya SPF +50 dan ma"
kanan kaleng impor barangkali lebih penting bagi seorang
Brad daripada kehadiranku.
Lebih baik aku tenggelam di sini, Madidi, Taman Nasio"
nal Bolivia seluas 19 ribu kilometer persegi, berlokasikan di
salah satu negara termiskin di Amerika Selatan, tapi bisa
jadi yang terkaya dalam soal koleksi spesies flora fauna. Har"
ta sejati. Fred Dunston, temanku dari Wildlife Conservation
Society, meyakinkanku berkali-kali bahwa Madidi mengerdil"
kan koleksi flora dan fauna Taman Nasional Manu, prima"
donanya Amazon, menjadi seperti Taman Safari Bogor. Fred
sengaja membuat analogi menggunakan tempat dari kam"
pung halamanku agar aku lebih paham. Ironisnya, belum
pernah kukunjungi yang namanya Taman Safari Bogor itu.
Begitu ada tawaran pergi ke Bolivia, aku mengepak tasku
tanpa berpikir. Padahal, baru seminggu lalu aku berangkat
dari Bandara Entebbe, pulang ke London, markas besar se"
kaligus tempatku bermukim. Sejak lama, aku sudah mem"
bidik Madidi. Namun, karena sempat ditahan oleh The
Journal of Infectious Disease yang selalu haus data, plus me"
nyambi untuk WHO yang selalu kekurangan orang gila
untuk ditempatkan di mana saja, akhirnya tiga bulan ter"
Keping 40 ain akhir kuhabiskan waktuku di Uganda, mendokumentasi
epidemi virus Ebola. Tentu saja, bukan mataku yang ada di belakang mikros"
kop. Mataku berada di belakang lensa kamera. Tak jarang,
tanganku ikut membabati belukar setiap tim kami menyusur
hutan Bwindi. Dalam lambung hutan tropis, tak jarang sta"
tus manusia menciut menjadi kutu yang tersesat dalam
liukan bulu biri-biri. Tidak cuma predator seperti singa yang
perlu diwaspadai, melainkan juga rimba mikroba yang tak
kelihatan itu. Manusia sudah ber-evolusi terlalu jauh meninggalkan
alam, membentengi dirinya sejak bayi dalam tembok-tembok
semen dan lantai buatan. Kulit manusia terbiasa dibungkus
rapat hingga alergi debu atau rentan pusing kalau kehujanan.
Semua terlalu licin dan steril. Tidak heran kulit kami lu"
bang-lubang di sini. Manusia telah ber-evolusi menjadi
patung lilin. Zach merangkulku sambil mengiringiku berjalan.
"Zarah, saya dan Paul sempat ngobrol-ngobrol tentang
ini, tentang kamu dan pencarianmu...."
Otakku dengan cepat merangkai. "Cro-Mag"was in this,
too" I should"ve known. Sheesh, Zach," aku menepis lengannya.
"Bukan saya yang harusnya ke Kalimantan, kan" Paul men"
jebak saya!" "Missy, kamu harus segera berkemas." Paul Daly, pemim"
pin tim kami, tiba-tiba muncul dari samping, menjajari lang"
Partikel kahku dan Zach. Dengan ringan, Paul membenamkan ke"
palaku di kepitan ketiaknya. Usiaku dan Paul terpaut sepu"
luh tahun. Badanku yang tingginya 172 sentimeter seperti
bonsai jika berada di sebelahnya. Entah karena alasan yang
pertama atau kedua, Paul menganggapku adik kecilnya sejak
kami berteman. Dia kerap memanggilku "Missy". Kami
menjulukinya "Cro-Mag" karena, jika ada manusia modern
yang wujudnya mendekati prototipe Cro-Magnon, itulah
Paul. "No, no, no," aku berontak dari dekapannya, "I"m not
going." "Kamu nggak kangen rumah, apa?" balasnya polos.
Mulutku sampai ternganga. Tidak terima pertanyaan se"
perti itu keluar dari mulut Paul. Pria ini sudah seperti
abangku sendiri. Ia tahu persis aku tak punya "rumah" yang
ia maksud. "Ah, come on, Missy. It"s been what"ten years" Eleven?"
"Twelve. But that"s not the point."
"Listen," Paul menarik tanganku, pergi menjauh dari Zach
dan keramaian base camp, lalu mendudukkanku di sebelah"
nya. Air mukanya berubah serius. "Please, don"t be mad at us.
Kami tahu kamu pasti menolak. Tapi coba pikir, Zarah. Su"
dah dua belas tahun kamu mencari dan tetap tidak ketemu.
Mungkin dengan pulang ke rumah, kamu malah menemu"
kan sesuatu." "Dia tidak ada di sana. Kamu dan Zach boleh ikut meng"
Keping 40 antar saya pulang, lalu kita acak-acak satu Kota Bogor su"
paya kalian puas. Dia tetap tidak akan ada di sana!" Aku
berkata tegas. Paul menghela napas. Kehilangan argumen.
"Saya baru dua hari di Madidi, and I"m not gonna let you
blow it!" Bergegas, aku melangkah meninggalkannya. Aku
betulan marah, dan ekspresi Paul akan meluluhkanku jika
dipandang sedetik lebih lama. Lebih baik pergi tanpa me"
noleh lagi. Orang-orang yang belum mengenal kami dengan baik
pasti menganggap aneh. Aku terlihat terlampau berani nyaris
kurang ajar kepada atasanku sendiri. Kedekatan kami se"
betulnya sudah seperti keluarga, dan seorang adik tentu ma"
sih bisa marah kepada abangnya sendiri.
Paul dan Zach seharusnya lebih cerdas. Mereka tahu seja"
rah panjangku yang tidak memercayai manusia. Dan mereka
termasuk segelintir manusia antitesisku selama ini. Sudah
seharusnya mereka lebih berhati-hati.
Problemku terbesar adalah memercayai spesies Homo
sapiens. Termasuk diriku sendiri. Padahal, manusia terlahir
ke dunia dibungkus rasa percaya. Tak ada yang lebih tahu
kita ketimbang plasenta. Tak ada rumah yang lebih aman
daripada rahim ibu. Namun, di detik pertama kita meluncur
keluar, perjudian hidup dimulai. Taruhanmu adalah rasa per"
caya yang kaulego satu per satu demi sesuatu bernama cinta.
Aku penjudi yang buruk. Aku tak tahu kapan harus berhenti
Partikel dan menahan diri. Ketika cinta bersinar gemilang menyilau"
kan mata, kalang kabut aku serahkan semua yang kumiliki.
Kepingan rasa percaya bertaburan di atas meja taruhanku.
Dan aku tak pernah membawa pulang apa-apa.
Rasa percaya itu menghilang dalam tiga pertaruhan besar.
Pertaruhan pertamaku amblas di tangan manusia pertama
yang kucinta di muka bumi ini: Ayah.
Bila setiap anak diajari untuk mencintai kedua orangtua"
nya sama besar, dengan sangat menyesal aku harus mengakui
bahwa cintaku menggunakan peringkat. Ayah adalah dewa.
Aku ini anak blasteran dewa. Sejenis Hercules.
e1979"1996f Bogor Kami tinggal di pinggir Kota Bogor, dekat sebuah kampung
kecil bernama Batu Luhur. Meski sudah ditawari sebuah
rumah dosen di dekat kampus IPB tempatnya mengajar,
Ayah memilih tetap tinggal di rumah lama kami, di mana
ia masih bisa bersepeda ke Batu Luhur. Di kampung itu,
keluarga kami diperlakukan bak raja.
Semua diawali oleh kakekku. Hamid Jalaludin. Pria ke"
turunan Arab, bertubuh tinggi dan gagah. Berdiri di se"
belahnya seperti dinaungi pohon besar yang kukuh. Kulitnya
Keping 40 yang putih membuat cambang, kumis, dan alisnya mencuat
kontras. Entah itu penduduk, kerabat, anak, atau cucu, kami
semua serempak memanggilnya Abah.
Abah adalah tokoh yang amat dihormati di Batu Luhur.
Aku tak tahu persis bagaimana Abah yang orang Arab dan
bukan asli Jawa Barat akhirnya bisa menetap di sana. Mem"
baur dengan penduduk dan fasih berbahasa Sunda. Ibu ha"
nya pernah bercerita sekilas bahwa awalnya Abah sudah
lama bermukim di Kampung Arab di daerah Cisarua. Sejak
muda, Abah sudah ingin mengabdikan diri pada misi syiar
agama. Ia sudah sering dipanggil menjadi penceramah di
daerah Bogor dan sekitarnya. Namun, di Batu Luhur, Abah
menemukan rumahnya. Seiring waktu, Abah menjadi tokoh agama sekaligus to"
koh ekonomi di Batu Luhur. Di sana, ia membina pesantren
rumahan. Ia mendorong penduduk kampung agar punya
industri kecil, tidak cuma bergantung pada hasil bumi. Abah
disejajarkan dengan kaum sesepuh yang punya suara penentu
atas masa depan Batu Luhur.
Berbeda dengan Abah yang pendatang, Ayah adalah anak
asli Batu Luhur. Ia anak yatim piatu yang diadopsi Abah
dan Umi, sebelum akhirnya lima tahun kemudian mereka
punya seorang anak perempuan kandung bernama Aisyah.
Ibuku. Orangtua kandung Ayah meninggal dalam kecelakaan
bus. Ayah sempat diurus oleh neneknya yang sakit-sakitan.
Partikel Tak sanggup lagi mengurus bayi, nenek kandung Ayah
membawanya ke pengajian. Berharap ada orang kampung
yang bersimpati dan mengambil bayi itu. Dan ternyata orang
itu adalah Abah. Sejak Ayah masih bayi, Abah sudah melihat tanda-tanda
khusus. Raut wajahnya tampan, matanya bersinar cerdas,
perawakannya sehat meski agak kurus karena terputus ASI
dan hanya diberi air tajin sebagai ganti. Abah yakin Ayah
akan menjadi orang besar. Dengan restu sang nenek, Abah
mengangkat bayi laki-laki itu menjadi anak. Ia berikan nama
"Firas", yang artinya kepekaan dan ketekunan.
Ayah tumbuh besar sesuai dengan ramalan Abah. Kepan"
daiannya melampaui semua anak di Batu Luhur. Akhirnya,
demi menyediakan pendidikan yang sesuai bagi Ayah agar
kecemerlangannya tak sia-sia, Abah dan Umi pindah ke
Bogor kota. Abah tetap menjalankan pengabdiannya sebagai
pembina Batu Luhur. Ia berangkat ke sana setiap hari seperti
orang berkantor. Bekas rumah Abah di kampung diabadikan oleh masya"
rakat, semata-mata supaya keluarga kami selalu punya tempat
singgah. Rumah panggung itu disapu dan dibersihkan setiap
hari oleh ibu-ibu kampung secara bergantian. Bahkan, kasurkasur kapuk di setiap kamar masih tetap berseprai.
Pengorbanan Abah pindah ke kota pun tidak sia-sia.
Ayah melewati masa sekolahnya dari satu beasiswa ke bea"
Keping 40 siswa lain. Puncaknya, ia diterima di Fakultas MIPA Institut
Pertanian Bogor tanpa tes.
Saat jadi mahasiswa, Ayah tak pernah lupa tugasnya se"
bagai tangan kanan Abah. Bersama Ayah di sisinya, visi
Abah masuk ke jalur cepat. Pertanian di Batu Luhur maju
pesat karena berhasil ditekan biayanya. Ayah menemukan
cara untuk mengadakan pupuk dan obat-obatan sendiri. Ia
mendayakan ibu-ibu untuk mengumpulkan semak kirinyuh
dan sampah-sampah organik, lalu membangun mesin-mesin
pengolah kompos dengan tenaga kayuh. Di sebuah gubuk,
ratusan kilogram kompos dan berjeriken-jeriken pupuk cair
dihasilkan setiap bulannya.
Untuk penangkal hama, Ayah meminta masyarakat me"
nanam pohon mimba sebanyak mungkin. Sebagian besar
ditanam mengelilingi ladang, diselang-selingi kembang tahi
kotok. Ayah bilang, tanaman-tanaman itu mengusir serangga
pengganggu secara alami. Jika dibutuhkan, baru ia mem"
buatkan ekstrak dari air daun dan biji mimba untuk disem"
protkan ke ladang. Sisanya dipakai untuk pemakaian anti"
septik rumah tangga. Kampung juga tidak pernah dilanda krisis pangan. Me"


Supernova 4 Partikel Karya Dewi Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

reka tak tersentuh kasus kurang gizi karena Ayah mengim"
bau setiap rumah menanam pohon kelor yang kaya nutrisi
dan tak kenal musim. Sayur daun kelor adalah makanan se"
hari-hari di Batu Luhur, seperti kebanyakan orang mengon"
sumsi bayam atau kangkung.
Partikel Batu Luhur tidak pernah kekurangan air. Bogor, kota
bercurah hujan tertinggi, dimanfaatkan Ayah dengan meran"
cang penampungan air hujan yang disambungkan ke sebuah
reservoir. Di penampungan itu, air hujan difilter dengan biji
kelor, kerikil, dan ijuk, hingga setiap tetes air yang dihasil"
kan layak minum. Begitu ada perkembangan tanaman obat terbaru, Ayah
langsung menginformasikan kepada warga dan menyuruh
mereka mengembangbiakkannya. Hasil panen dari Batu
Luhur lantas ia salurkan kepada produsen obat-obatan her"
bal. Tanaman obat yang sedang ramai dicari orang selalu
dihargai mahal. Tambahan pendapatan dari tanaman obat
itu sebagian digunakan Ayah untuk membangun balai ber"
main dan taman bacaan anak-anak kampung.
Abah Hamid dan Firas adalah dua nama sakral yang di"
agungkan oleh kampung kecil bernama Batu Luhur. Dua
sosok karismatik yang berhasil memajukan kampung tanpa
pamrih. Hati setiap warga terpincut. Tak terkecuali ibuku.
Setelah beranjak dewasa, Ayah tidak selalu tinggal di rumah
Abah. Ia lebih memilih rumah kontrakan bersama teman-te"
man kampusnya atau menginap berhari-hari di Batu Luhur.
Jarak itulah yang akhirnya memungkinkan Ibu melihat pe"
muda bernama Firas tidak lagi sebagai kakak angkat. Ia
Keping 40 mengidolakan Ayah habis-habisan. Gagah, cerdas, berdedi"
kasi, Ayah adalah sosok sempurna dengan masa depan cerah.
Dan, ternyata cintanya bersambut. Kecantikan dan kesan"
tunan gadis bernama Aisyah mampu menggeser persepsi
adik angkat di mata Ayah. Jadilah mereka sepasang kekasih.
Itulah pemberontakan pertama Ayah kepada Abah dan
Umi. Secinta-cintanya mereka kepada Ayah, Abah dan Umi
tetap melihat pemuda bernama Firas dan gadis bernama
Aisyah sebagai dua saudara kandung. Bagi mereka, itu ada"
lah hubungan inses yang tak pantas. Aib.
Ayah tak peduli. Ia malah menghabiskan semua ta"
bungannya demi menghadiahkan rumah kecil sebagai tanda
keseriusan cintanya kepada Ibu. Penduduk Batu Luhur pun
melihat hubungan Ayah dan Ibu sebagai kolaborasi ideal.
Dua manusia unggul, Firas sang Kebanggaan Kampung dan
Aisyah si Kembang Desa, mengapa dilarang bersatu"
Keteguhan Ayah memilih Ibu, dan dukungan warga Batu
Luhur, akhirnya memaksa Abah dan Umi menyerah. Na"
mun, mereka tidak pernah sepenuhnya menerima.
Perlahan, Abah mulai menarik diri dari Batu Luhur. Ia
merasa dikhianati. Darah dagingnya, anak emasnya, dan ra"
tusan warga yang ia besarkan berpuluh tahun, membuat
persekongkolan besar. Aib kolektif.
Partikel Kelahiranku dan adik perempuan kecilku, Hara, tidak terlalu
banyak membantu. Sering kudapati Abah dan Umi meman"
dang kami lama dengan tatapan yang bertanya-tanya. Ba"
rangkali mereka kebingungan harus bersikap apa dan merasa
bagaimana kepada dua bocah hasil hubungan "inses" anakanak mereka.
Gigih, Ibu terus mencoba mendobrak tembok itu. Dialah
manusia paling persisten dan konsisten yang pernah kukenal
di dunia ini. Ia sanggup melaksanakan hidupnya laksana ba"
ris berbaris. Teratur, tertata, rutin.
Hidup Ibu sepenuhnya untuk keluarga. Kami tidak per"
nah punya pembantu. Ibu mengurus segalanya dengan baik.
Rumah mungil kami selalu resik, lantai selalu licin mengilap,
semua permukaan furnitur bebas debu. Baju-baju kami ter"
setrika rapi dan wangi. Dapur kami mengebul setiap pagi,
merupakan aroma aneka masakan. Tak jarang, Ibu memasak
sambil menggendong Hara dalam balutan kain di tubuhnya.
Makanan hangat selalu tersedia tiga kali sehari di meja.
Tanpa alpa, kecuali jika sedang datang bulan, Ibu salat
lima waktu, menjalankan puasa setiap Senin dan Kamis. Se"
tiap Rabu malam, Ibu pergi pengajian ke masjid atau ke
rumah Bu Hasanah, seorang ustazah yang sangat dihormati
di daerah kami. Setiap akhir pekan, Ibu mengajakku dan
Hara mengunjungi Abah dan Umi. Ia percaya, dengan ke"
Keping 40 gigihannya mendekatkan kami dengan kedua orangtuanya,
suatu hari nanti Abah dan Umi akan luluh. Menerima kami
sebagai cucu, juga kembali sepenuh hati menerimanya seba"
gai anak. Tidak selamanya upaya Ibu berhasil. Bagaimana cara
Ayah membesarkan dan mendidik kami menjadi simpul ke"
tegangan baru. Dari sebelum Hara lahir, Ayah mengambil alih tugas sebagai guru pribadiku. Belajar di rumah, di kebun, di kampung,
bahkan curi-curi membawaku ke kampus tempatnya menga"
jar, adalah rangkaian sekolah informal yang dijalankan Ayah
bagiku. Awalnya, semua mengira itu hanya sementara. Masih ter"
bilang wajar seorang anak tidak dimasukkan ke taman
kanak-kanak. Namun, ketika usiaku menginjak enam tahun,
semua orang yang tadinya memuji-muji ketelatenan Ayah
mengajar mulai bertanya-tanya. Terutama Umi dan Abah.
Dalam setiap kunjungan, Umi selalu menyempatkan ber"
tanya kepadaku, "Zarah sudah mau sekolah?"
Aku menggeleng. Umi lantas meluangkan waktunya sejenak untuk menge"
luarkan bujuk rayu seperti, "Enak, lho, sekolah itu. Kamu
nanti punya banyak teman. Punya banyak guru yang baik.
Partikel Zarah, kan, sudah besar. Masa belum sekolah" Nggak malu
sama anak-anak tetangga?"
"Nggak." "Kalau Zarah sekolah, nanti Umi belikan mainan yang
banyak. Apa pun yang Zarah mau."
Aku menyumpal mulutku dengan opak. Menatap Umi
sambil mengunyah. Lalu kembali menggeleng.
Umi cuma bisa melirik ibuku. Frustrasi.
Sebagai penengah antara orangtua dan suaminya, Ibu se"
lalu berusaha menenangkan pihak Umi dan Abah. "Ah, se"
pertinya tahun depan Zarah sekolah, kok. Tahun ini nggak
usah dipaksa dulu." Kepada Ayahku, dengan halus Ibu ber"
usaha mendorong agar aku dimasukkan ke SD. Namun,
untuk urusan itu, Ayah bergeming bagai batu.
"Tidak perlu, Aisyah. Zarah akan jauh lebih pintar kalau
aku yang mengajarnya langsung." Begitu selalu katanya.
Memasuki usiaku yang kedelapan, Ibu kehabisan ide un"
tuk menyelamatkan Ayah di depan Abah dan Umi. Akhir"
nya, ia pun cuma bisa menjawab pendek, "Firas tidak mau."
Kenyataannya, tak ada yang benar-benar paham mengapa
Ayah, seorang dosen genius, yang kerap disebut-sebut sebagai
"aset paling menjanjikan"-nya Institut Pertanian Bogor, se"
begitu antinya kepada sistem pendidikan formal.
Ketegangan antara Ayah dan kakek-nenekku makin ken"
tara. Dalam setiap kunjungan rutin Ibu, Ayah hanya mau
Keping 40 turun sebentar untuk mencium punggung tangan Abah dan
Umi. "Sehat, Firas?" Hanya itu yang akan ditanyakan oleh
Abah. "Alhamdulillah, Bah." Hanya itu yang akan dikatakan
oleh Ayah. Terlepas dia betulan sehat atau sedang flu.
Umi bahkan tak berkata apa-apa. Cuma mengangguk
atau tersenyum samar kepada Ayah.
Setelah sekian lama gesekan itu berlangsung, Ayah dan
kedua mertuanya sama-sama menyerah. Mereka saling
menghindar, saling menjauh.
Seiring dengan jarak yang melebar antara Ayah dan ke"
dua mertuanya, aku bisa melihat usaha keras Ayah meng"
akomodasi rutinitas Ibu. Ke semua tempat yang rutin dikun"
jungi Ibu, Ayah senantiasa mengantar. Sesibuk apa pun
Ayah, entah itu dari ruang kerja atau kampus, lima menit
sebelum Ibu berangkat ia sudah siap berjaga di mobil VW
Kodok-nya. Kendati di semua tempat kegiatan Ibu, Ayah tak
pernah ikut turun. Dari dalam mobil, ia hanya melambai,
dan nanti memencet klakson saat menjemput.
Mobil itu ia jadikan tembok perlindungan yang melapisi"
nya dari dunia Ibu. Partikel Malam hari, Ayah mengantarku dengan cerita pengantar
tidurnya. Berbeda dengan anak lain yang didongengi Timun
Mas dari buku dengan ilustrasi lucu berwarna-warni, Ayah
menggambar anatomi otak. Tangkas, ia membuat sketsa de"
ngan spidol hitam. Ayah adalah penggambar yang sangat
baik. Kalau saja dia tidak jadi ilmuwan, aku yakin Ayah
akan menjadi pelukis hebat.
"Kalau saja adikmu Hara itu anak kuda," katanya sambil
menggambar, "sekarang dia sudah cari makan sendiri. Tapi
karena Hara itu Homo sapiens, spesies yang ketika masa
kanaknya punya fisik terlemah dengan otak yang kegedean,
dia terpaksa menyusahkan orangtuanya sampai delapan ta"
hun lagi." Waktu itu Hara baru berusia dua tahun. Aku
delapan. Setelah gambarnya selesai, ia pun berkisah, "DNA-mu
99,6 persen identik dengan simpanse. Hanya beda 0,4 per"
sen. Bahkan, selisih genetika antara simpanse dan gorila itu
1,8 persen. Carolus Linnaeus bikin istilah hominidae untuk
manusia dan memisahkan simpanse dengan kata pongidae
gara-gara dia takut dimarahi pihak gereja. Jadi, kita ini bina"
tang, Zarah. Binatang yang berkemampuan linguistik tinggi
karena punya Area Broca."
Kemudian, Ayah menempelkan gambarnya tadi di din"
ding sebelah ranjangku, di antara karya-karya beliau se"
belumnya seperti penampang bunga, penampang daun, sis"
tem pernapasan reptil, amfibi, pises, aves, dan seterusnya.
Keping 40 "Jangan pisahkan dirimu dari binatang," pesannya. "Kamu
lebih dekat dengan mereka daripada yang kamu bayangkan,"
lanjutnya lagi. Aku pun bertanya, seperti biasanya, "Biar apa, Ayah?"
"Biar kamu tidak sombong jadi manusia," ujarnya sambil
tersenyum. Ia lalu mengecup keningku, menebarkan selimut
ke atasku. Mematikan lampu. Keluar dari kamarku tanpa
suara. Di usiaku yang masih sangat muda, aku bahkan sudah
bisa menilai betapa Ayah adalah seorang yang penuh kontro"
versi. Tak ada yang bisa menyangkal bahwa ia dianugerahi
magnet karisma luar biasa. Ayah terlibat erat dengan ling"
kungan dan sesama, tapi pada saat yang bersamaan selalu
ada jarak yang ia jaga. Ayah sengaja melapisi dirinya dari
dunia, dan hanya kepadakulah ia sudi melonggarkan perta"
hanannya. Terlepas dari berbagai misteri yang melekati citranya, ada
satu hal tentang Ayah yang diketahui secara terbuka oleh
semua orang. Kegilaannya kepada fungi. Ayah selalu men"
cintai Biologi, tapi Mikologi-lah yang sanggup membakar
semangatnya dengan bara yang tak kenal padam. Ia bagai
penyelam yang selalu menemukan cinta segar dalam setiap
Partikel lapis kedalaman baru yang diselaminya. Begitulah hubungan
Ayah dan fungi. Awalnya, sulit untukku bisa menghayati ketergila-gilaan"
nya. Di mata kanakku, jamur, khamir, kapang, bukanlah
objek yang cantik untuk digambar atau difoto. Beda dengan
anggrek atau bunga mawar. Perlu upaya ekstra dari Ayah,
dan juga diriku sendiri, untuk bisa menyukai atau minimal
punya respek terhadap fungi-fungian itu.
Dengan tegas Ayah menandaskan, "Umat manusia se"
lamanya berutang budi kepada kerajaan fungi. Kita bisa ada
hari ini karena fungi melahirkan kehidupan buat kita."
Bagi Ayah, fungi adalah orangtua alam ini.
Ia bercerita, tak kurang dari 1,3 miliar tahun yang lalu,
fungi adalah organisme pertama yang muncul di darat. Di"
susul tumbuhan 600 juta tahun kemudian. Fungi menyiap"
kan daratan bagi tumbuhan karena ia mampu "mengunyah"
bebatuan. Fungi memproduksi enzim dan asam yang mampu
menyedot mineral dari bebatuan, membuatnya menjadi ra"
puh. Tanpa kemampuan fungi menyulap bebatuan, Bumi
tidak akan punya tanah, yang merupakan rumah dari semua
organisme darat. Termasuk manusia.
"Setidaknya ada dua peristiwa kiamat yang pernah di"
alami Bumi ini, Zarah," Ayah mengacungkan kedua jarinya.
"Dua ratus lima puluh juta tahun lalu, kita pernah ditubruk
asteroid. Apa jadinya" Sinar matahari terhalangi selimut debu
dan batu, entah berapa lama. Seluruh kehidupan hilang dari
Keping 40 muka Bumi. Hewan, tanaman, semua punah. Sembilan pu"
luh persen spesies hilang, kecuali fungi. Hampir semua fungi
bisa bertahan hidup tanpa matahari. Dan akhirnya, kembali
lagi, fungi menyiapkan Bumi untuk bisa punya kehidupan.
Dalam masa kegelapan, fungi bekerja keras, menyiapkan
planet ini untuk bisa menjadi rumah bagi organisme lain."
"Peristiwa yang kedua apa, Yah" Apa?" tanyaku tak sabar.
"Kita ditubruk lagi, 65 juta tahun yang lalu."
Napasku tertahan. "Zaman dinosaurus," desisku.
"Ya," Ayah mengangguk, "dinosaurusmu punah, semua
tanaman mati. Bumi diselimuti debu dan batu lagi. Siapa
yang bisa bertahan hidup tanpa matahari?"
"Fungi," jawabku setengah berbisik. Mulai terpukau.
"Lagi-lagi, dengan kemampuan sulapnya, fungi mengubah
bebatuan menjadi tanah, menyiapkan kehidupan berikutnya
di Bumi. Kita." "Mereka itu seperti tukang sulap tanah, ya, Yah?"
"Betul sekali. Lewat dua kejadian itu, evolusi akhirnya
menggiring semua makhluk untuk bersimbiosis dengan
fungi. Fungi adalah konstruksi dasar sistem kehidupan di
Bumi." Aku berdecak kagum. "Kamu tahu apa organisme terbesar di dunia?"


Supernova 4 Partikel Karya Dewi Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Paus Biru?" cetusku spontan.
Ayah menggeleng. "Pohon sequoia?"
Partikel "Fungi. Hamparan miselium Armillaria ostoyae bisa menutup hutan. Mengecoh kita yang menyangka mereka bukan
satu organisme tunggal."
"Di mana ada hamparan seperti itu, Yah?" tanyaku ber"
semangat. Aku membayangkan permadani raksasa berwarna
putih kapas menutupi lantai hutan.
"Para peneliti baru saja menemukannya di Amerika,
Zarah. Enam ratus hektare Armillaria ostoyae yang merupa"
kan satu organisme tunggal. Dan Ayah yakin, suatu saat
akan ditemukan lagi yang lebih besar daripada itu."
"Ayah tahu dari mana?"
"Fungi menceritakannya kepada Ayah," cetusnya bangga.
"Nah, coba kamu pikir. Bagaimana mungkin organisme de"
ngan ketebalan satu sel seperti miselium bisa bertahan hidup
di atas permukaan tanah seluas itu, sementara ia dikelilingi
miliaran makhluk lain yang setiap saat membutuhkan ma"
kanan?" Kepalaku menggeleng. Terhanyut oleh kekagumannya sendiri, Ayah sampai men"
jambak rambut di sekitar kedua pelipisnya. "Karena mereka
makhluk cerdas, Zarah! Inteligensi mereka super! Bahkan
melampaui kita!" serunya. "Fungi konstan berkomunikasi
dengan ekosistemnya. Mereka itu jejaring yang berkomu"
nikasi dengan bahasa biomolekular. Mereka menyimpan data
yang tak terbayangkan kayanya. Memori kita terputus ketika
kita mati. Tapi fungi tidak. Suksesi data sejak mereka kali
Keping 40 pertama eksis miliaran tahun lalu hingga kini tetap tersim"
pan. Dan, kalau saja kita bisa mengaksesnya...." Ayah me"
raupkan tangannya menutupi muka. Fungi kerap membuat"
nya hilang kata-kata. Menurut Ayah, fungi adalah nenek moyang spesies ma"
nusia. Sama-sama menghirup oksigen dan mengeluarkan
karbondioksida, sama-sama berinteligensi tinggi, sama-sama
makhluk jejaring. Karena kemiripan yang dekat itulah, fungi
dan manusia memiliki hubungan yang unik. "Semua anti"
biotik terbaik yang pernah diciptakan manusia dibuat dari
fungi. Tapi kita tidak bisa membuat antifungal dengan sama
baik karena efeknya akan mencelakai kita sendiri," jelasnya.
Fungi adalah makhluk berkesadaran yang tahu dan bisa
merasa keberadaan makhluk lain. Menurut Ayah, fungi bisa
bereaksi terhadap suara, terhadap tekanan, bahkan terhadap
niat. Ia bilang, tak jarang fungi "menemuinya". Saat ia mem"
butuhkan fungi tertentu, satu-dua hari kemudian fungi itu
tahu-tahu muncul di tempat-tempat tak terduga, di dekat
VW Kodok-nya terparkir, di tembok laboratorium kampus,
di rumah Abah di Batu Luhur, dan sebagainya. Begitu per"
cayanya Ayah kepada kecerdasan fungi.
Dalam kehidupan Ayah, jejak fungi tercetak jelas. Segala
yang ia sentuh pasti memiliki kaitan dengan fungi. Pepo"
honan di Batu Luhur, misalnya, selalu lebih besar, lebih
rimbun, dan lebih tinggi. Tanaman kami yang subur-subur
itu bahkan sudah sohor sebagai ciri mencolok yang mem"
Partikel bedakan Batu Luhur dengan kampung lain. Itu akibat Ayah
menginstruksikan kepada warga kampung untuk "meng"
infeksi" tanaman-tanaman di kampung dengan fungi jenis
mikoriza. Filamen dari mikoriza akan menjadi semacam perpan"
jangan tangan dari akar tanaman, membuatnya menyerap
nutrisi jauh lebih cepat. Setiap tanaman yang diinfeksi oleh
mikoriza seperti bekerja dengan tambahan pasukan super.
Tanaman yang sudah menikmati simbiosis mikoriza dengan
tanah jadi lebih kuat menghadapi penyakit dan tahan
perubahan. Bisa dibilang, tanaman di Batu Luhur menikmati vitamin yang membuat mereka punya daya tahan
ekstra. Di Batu Luhur tidak ada lahan kritis, entah itu saat ke"
marau atau penghujan. Sejak Ayah menghentikan peng"
gunaan pupuk kimia dan obat-obatan sintetis, ia merehabi"
litasi lapisan atas tanah di daerah ladang warga dengan mi"
selium. Bagai menghamparkan permadani ajaib, rehabilitasi
tanah dengan miselium berhasil menguraikan tumpukan po"
lutan dan mengembalikan kesegaran ladang-ladang di Batu
Luhur. Satu demi satu, konsep perladangan di Batu Luhur juga
berubah. Tidak lagi homogen satu tanaman, melainkan cam"
pur aduk. Ayah menyebutnya permakultur. Warga menye"
butnya "ladang acakadut". Dari nama yang diberikan warga,
Keping 40 jelas ketahuan betapa mereka awalnya menganggap perma"
kultur adalah lelucon. Ayah lantas mengedukasi mereka, menjelaskan bahwa
menanam tanaman secara homogen dalam jangka panjang
akan merusak tanah. Akibatnya, mereka akan semakin ter"
gantung pada pupuk kimia dan obat-obat sintetis demi men"
capai panen yang memuaskan. "Ladang acakadut" akan
meringankan beban warga karena semua makhluk hidup di
ladang itu akan bahu-membahu dengan sendirinya. Di ba"
wah tanaman yang butuh banyak sinar matahari diternakkan
jamur yang tidak butuh sinar; rontokan daun jadi humus;
tahi ayam yang berkeliaran jadi pupuk, tawon memakani
parasit; tanaman pengusir hama akan melindungi tanaman
sayur; dan seterusnya. Dari yang tadinya skala kecil, "ladang acakadut" di Batu
Luhur berkembang. Semakin banyak dan semakin besar.
Ayah mengajari warga untuk lebih banyak mengamati ke"
timbang mengintervensi. Dia bilang, "ladang acakadut" pada
awalnya butuh desain dan pemikiran manusia, tapi pada
akhirnya dialah yang menjadi guru kita.
Di kampus, Ayah adalah dosen brilian. Ahli Mikologi
termuda yang pernah dimiliki IPB. Batu Luhur dijadikannya
laboratorium hidup tempat ia mengembangbiakkan berbagai
jamur untuk konsumsi dan obat-obatan. Orang semakin res"
pek kepada Ayah karena dedikasinya terhadap penelitian.
Meski punya kesempatan luas bekerja di industri dengan ke"
Partikel ahliannya, ia memilih bertahan di kampus, menjadi dosen.
Aku rasa itu sebetulnya strategi Ayah supaya ia bisa meneliti
tanpa banyak diganggu. Ayah tidak pernah tertarik akan karier akademis, bisnis
sampingan, dan sejenisnya. Ia membiarkan Batu Luhur yang
mengecap keuntungan dari upayanya. Bisa membeli mobil
VW Kodok, sebuah sepeda, membelikan Ibu kompor gas
dua tungku dan kulkas satu pintu, sudah menjadi kepuasan
besar baginya. Hidup kami sederhana, tapi tak pernah kekurangan. Pen"
duduk Batu Luhur membanjiri kami dengan beras, sayur,
jamur, buah, telur, ikan, daging, apa pun yang mereka pro"
duksi. Di rumah, Ayah adalah pahlawan. Dengan seabrek ke"
giatannya, tak pernah ia absen mengajarku, membacakan
cerita setiap malam, mengantar-jemput Ibu. Satu-satunya saat
ketika ia bisa sendiri hanyalah malam hari saat istri dan
anaknya tertidur. Barulah ia punya kesempatan mengurung
diri di ruang kerjanya, dalam tumpukan buku, kertas, dan
berkas. Sering kudapati wajah Ayah yang kelelahan karena
kurang tidur. Kampus, rumah, Batu Luhur, adalah segitiga eksistensi"
nya. Dengan segala kekuatan yang tersisa, ia jaga segitiga
eksistensinya tanpa hilang keseimbangan. Bagiku, hidup
kami sempurna. Ayah adalah sempurna. Dan, pikiran ka27
Keping 40 nak-kanakku mengira kami akan hidup selamanya dalam
kesempurnaan itu. Namun, dengan cepat hidup mengajariku pelajaran paling
penting: tiada yang abadi di muka Bumi.
Dengan segala jasanya, Ayah punya akses ke semua celah di
Batu Luhur. Dan, lama-kelamaan aku mengerti, semua itu"
permakultur, pupuk mikoriza, rehabilitasi miselium, jamur
konsumsi yang dinikmati setiap harinya oleh warga"hanya"
lah batu loncatan Ayah menuju tujuan yang lebih besar. Se"
buah tempat yang merupakan obsesi hidupnya. Sebuah tem"
pat yang ditakuti dan terlarang bagi semua orang, kecuali
Ayah. Tempat yang kelak menghancurkannya.
Mereka menamakannya Bukit Jambul. Dinamai demikian
karena bentuknya yang seperti jambul di tengah kepala gun"
dul. Sementara bukit lain hanya berpohon besar satu-dua,
bahkan rata oleh sawah dan ladang, Bukit Jambul adalah
rumah bagi entah berapa banyak pohon raksasa yang me"
nutupi sekujur tanahnya. Saking mencoloknya, Bukit Jambul
seperti dicaplok dari tempat lain. Diletakkan di sana oleh
tangan ajaib. Bukit itu tak terlalu besar, tapi pohon-pohonnya yang
tumbuh menjulang tak terganggu membuat bukit itu men"
Partikel cuat megah bagai mahkota burung merak. Terlihat dari se"
gala penjuru dari jarak jauh sekalipun. Ayah tak tahu pasti
berapa umur hutan Bukit Jambul. Melihat dari bentuk dan
besar pohonnya, ia menaksir ribuan tahun. Menurut Ayah,
Bukit Jambul ibarat miniatur alam ini jika tidak ada ladang,
sawah, atau manusia. Tentunya ada alasan mengapa Bukit Jambul bertahan se"
perti itu. Sederhana saja. Tak ada manusia yang berani me"
masukinya. Aku sudah kenyang dengan berbagai kisah misterius se"
putar Bukit Jambul dari penduduk kampung. Hampir setiap
orang punya versinya sendiri.
Ada yang bilang, pohon-pohon di sana "hidup" dan punya
kekuatan sakti, barang siapa mencoba menebang pohon di
sana langsung kesurupan sebelum berhasil menancapkan ka"
pak untuk kali kedua. Ada yang bilang, hutan itu markas
Prabu Siliwangi dan pasukan gaibnya. Versi lebih bombastis
lain bilang, di sana adalah pusat jin satu dunia berkumpul.
Aku tak bisa membayangkan berapa banyak jin sedunia
kalau dikumpulkan, dan apakah Bukit Jambul betulan muat
untuk itu. Tapi, apa pun cerita mistis, horor, klenik yang bisa
difantasikan manusia, Bukit Jambul akan selalu menjadi lo"
kasi ideal. Aku punya versiku sendiri. Bukit Jambul adalah sarang
terakhir dinosaurus yang tersisa. Orang-orang bilang, terka"
dang ada bunyi bergemuruh terdengar dari Bukit Jambul.
Keping 40 Dugaanku, itu adalah Brachiosaurus serdawa setelah kenyang
makan dedaunan. Atau sekelompok Ankylosaurus sedang
adu ekor. Walau sebetulnya sulit juga membayangkan ada
makhluk sebesar dinosaurus berkeliaran di antara pepohonan
rapat itu, suasana purba hutan Bukit Jambul dengan mudah
membangkitkan imajinasi kita tentang Era Mesozoik yang
merupakan salah satu pelajaran favoritku. Aku bisa memaksa
Ayah berbusa-busa bercerita tentang tiga periode Mesozoik
sampai ia menyerah kehabisan ide.
Namun, belum pernah kudengar versi yang lebih aneh
dari versi Ayah. Versi yang membingungkanku karena tak
pernah bisa kupastikan apakah itu fiksi atau fakta. Ada
bagian dalam diriku yang selalu mempertanyakan kewarasan
Ayah setiap mengingat apa yang dikatakannya tentang Bukit
Jambul. Yang jelas, satu hal tak bisa disangkal. Ada hu"
bungan khusus antara Ayah dan tempat itu.
Saat Abah masih aktif membina Batu Luhur, para pe"
mimpin desa sempat berembuk berbulan-bulan tentang Bukit
Jambul. Mereka gerah dengan adanya tempat semengerikan
itu di dekat area mereka berladang. Membabat Bukit Jambul
sudah menjadi agenda turun-temurun di Batu Luhur. Hadir"
nya Abah Hamid, tokoh agama yang karismatik, membuat
agenda itu kembali dilirik. Siapa tahu, Abah bisa men"
datangkan kekuatan yang sanggup menandingi kekuatan
gelap Bukit Jambul. Abah lantas melakukan rangkaian sembah khusus untuk
Partikel meminta petunjuk. Suatu malam sesudah salat istikharah, ia
diberi mimpi. Dalam mimpinya, ada sinar menyilaukan tu"
run di puncak Bukit Jambul. Sinar itu ternyata semacam
pemangsa. Ia menelan Ayah, kemudian sinar itu hilang
begitu saja ditelan gelap. Ada suara yang menerangkan ke"
pada Abah bahwa itulah yang akan terjadi kepada Ayah jika
Bukit Jambul diusik. Mimpi itu dimaknai Abah sebagai ujian Nabi Ibrahim
saat harus mengorbankan anak kesayangannya, Ismail. De"
ngan legawa ia mengakui kepada warga Batu Luhur bahwa
ia tak sanggup. Iman Abah belum sehebat Nabi Ibrahim.
Abah tidak siap kehilangan Ayah.
Kami tidak akan mengganggu jika tidak diganggu, demikian
pesan terakhir dari sinar itu dalam mimpi Abah.
Para pemimpin desa pun memaklumi. Abah bukan nabi.
Tidak ada orangtua yang rela anaknya menjadi tumbal.
Yang penasaran lantas mendesak Abah bercerita lebih
lanjut tentang sinar itu. Jadi, kekuatan apa itu sebenarnya"
Jinkah" Dedemitkah" Ibliskah" Abah hanya menggeleng dan
bilang tidak tahu. Sejak mimpi itu, persepsi Abah tentang Bukit Jambul pun
berubah. Tempat itu menggentarkannya lebih dari apa pun.
Konsekuensinya, Ayah dilarang habis-habisan mendekat ke
sana. Kalau ketahuan main di dekat Bukit Jambul, Ayah
akan dihardik, dihukum, dipecut, dan digebuk. Begitu Bukit
Keping 40 Jambul tampak dalam pandangan, Abah bahkan memaling"
kan muka Ayah agar tidak melihatnya.
Sialnya, Ayah malah tambah penasaran. Bukit Jambul
adalah kekuatan yang menariknya telak bagai gravitasi. Tak
terhitung seringnya ia mengendap, menyelinap mencuri-curi
pergi ke kaki bukit itu. Setiap penduduk yang melihat pasti
melaporkannya kepada Abah. Lecutan ikat pinggang, ge"
bukan tangkai kemoceng, adalah kepastian yang menanti
Ayah begitu sampai di rumah. Semua itu tidak membuatnya
jera. Semakin Ayah dewasa, semakin sulit bagi Abah meng"
hindarkan anaknya dari Bukit Jambul dengan cara pen"


Supernova 4 Partikel Karya Dewi Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

disiplinan. Akhirnya ia hanya bisa berdoa. Berharap sinar
dalam mimpinya itu menjauhi Ayah.
Penduduk, yang hanya berani memandang dari jauh, ter"
heran-heran melihat Ayah yang seolah-olah bisa keluar-masuk
Bukit Jambul seenak udel. Tak ada yang tahu jalur mana dan
cara apa yang ditempuh Ayah. Padahal, jagoan-jagoan sepuh
di kampung bilang, hutan itu dikepung belukar rotan yang
tak bisa ditembus. Sudah mereka coba berkali-kali dan selalu
gagal. Entah mereka tersesat, atau seperti tersirep dan tak
sampai ke mana-mana hingga akhirnya terpaksa keluar lagi.
Ayah sendiri tak pernah secara eksplisit mengumumkan
bahwa ia berhasil menembus Bukit Jambul. Itu hanya kecu"
rigaan warga yang sering mendapati Ayah menghilang di
kaki Bukit Jambul dan baru kelihatan lagi berjam-jam kemu"
Partikel dian. Kadang-kadang, sampai setengah hari ia menghilang.
Dosis itu pun kian meningkat. Ayah mulai bisa menghilang
sampai malam. Tidak mungkin Firas menghabiskan waktu se"
begitu lama kalau cuma di luar bukit, begitu kesimpulan
orang-orang. Tiap ditanya benarkah ia masuk ke Bukit Jambul, apa
yang ia temukan di sana, Ayah membungkam. Entah ia se"
ngaja entah tidak, kebisuannya makin menggelembungkan
citra misterius Bukit Jambul. Bagi Ayah, itu mungkin lebih
menguntungkan karena kegiatannya jadi tidak diganggu.
Warga juga tak bisa berbuat banyak. Bagaimanapun, Ayah
adalah jaminan hidup atas perjanjian tak tertulis Kampung
Batu Luhur dengan kekuatan yang bersemayam di tempat
angker itu. Menggunjingkan dan berspekulasi adalah hal
terjauh yang bisa penduduk lakukan.
Saat usiaku sebelas tahun, sebuah krisis terjadi. Krisis
yang mengguncang stabilitas segitiga eksistensi Ayah. Aku
ingat karena pada tahun itulah Ibu sedang mengandung
adikku yang ketiga. Bayi yang tak pernah diberinya nama.
Aku hanya bisa menyebutnya "Adek".
Dari awal kehamilan, sering kudengar Ibu mengeluh bahwa
itulah kehamilannya yang paling susah. Tujuh bulan per"
Keping 40 tama, ia habiskan hampir seluruh waktunya di dua tempat
saja: ranjang dan kamar mandi. Tergolek di kasur atau nung"
ging di atas lubang WC. Ibu muntah-muntah, meludah
terus-terusan, kehilangan nafsu makan, sakit-sakitan.
Bersamaan dengan itu, fokus Ayah seperti disedot ke tem"
pat lain. Ia tidak lagi penuh perhatian seperti biasanya. Pela"
jaranku mulai bolong-bolong. Hara tidak lagi dikeloni do"
ngeng pengantar tidur. Ibu sering ditinggal sendirian. Kami
semua kehilangan Ayah. Untungnya, beberapa ibu dari Batu
Luhur secara sukarela bergantian menemani kami di rumah.
Ibu mulai menyebut-nyebut Bukit Jambul. Ia curiga tem"
pat itu membawa pengaruh buruk bagi Ayah. Aku punya
tersangka lain. Fungi. Aku tahu Ayah mengultivasi banyak jenis fungi. Tetapi,
belakangan ada satu jenis yang menjadi fokusnya. Aku bisa
melihat dari kilat di bola matanya saat bercerita, dari bagai"
mana fungi satu itu mendominasi celotehannya, dari coretancoretan di jurnalnya yang kucuri intip sesekali. Psilocybe.
Ayah paling gembira jika menemukan genus Psilocybe
muncul di kebun-kebun permakultur asuhannya di Batu
Luhur. "Ini pertanda baik, Zarah," katanya.
Aku memandangi jamur-jamur mungil berwarna kecoke"
latan itu. "Memang artinya apa, Yah?"
"Psilocybe muncul untuk menunjukkan ada harmoni yang
baik antara ekosistem dan apa yang kita lakukan. Dia me"
restui kegiatan kita di sini," Ayah tersenyum lebar.
Partikel Pernah kudapatkan segenggam Psilocybe cubensis kering
disimpan di kotak bekal tempat Ibu biasa membawakan ku"
dapan untuk Ayah. Berhubung ditemukan di tempat ma"
kanan, aku langsung mengira itu bisa dimakan.
Kucomotlah satu. "Kok" Disimpan di sini" Memangnya
jamur yang ini bisa dimakan juga ya, Yah?"
Panik, Ayah merampas jamur itu dari tanganku. "Kamu
nggak boleh makan ini, Zarah. Awas, ya."
"Ayah makan?" "Sekali-sekali," katanya ketus. Ayah memang tak pernah
mau bohong kepadaku. Meski kadang berat untuknya jujur,
kepadaku Ayah selalu memilih berterus terang.
"Kenapa Zarah nggak boleh?"
"Ini bagian dari eksperimen penting. Tidak bisa dilaku"
kan sembarang orang."
"Kan, Zarah bukan orang sembarang."
Ayah geleng-geleng kepala menatapku. "Kamu masih ke"
cil, Zarah. Ayah belum tahu dosis yang tepat untuk anak
sekecil kamu. Bisa-bisa nanti kamu keracunan."
"Memangnya jamur ini beracun, Yah?"
"Mungkin," katanya pelan, "bagi orang yang tidak siap."
"Zarah belum siap?" tanyaku lagi.
Ayah berkata tegas, "Belum."
Sejak aku tahu Ayah mengonsumsi beberapa jenis Psi"
locybe, aku pun mulai melihat benang merah atas potonganpotongan kecurigaanku. Beberapa kali aku melihat Ayah
Keping 40 meracau sendirian di kebunnya di Batu Luhur. Matanya fo"
kus, tapi kesadarannya seperti ada di tempat lain. Pernah
juga aku melihatnya terhuyung di saung dengan napas ter"
sengal, keringat membanjiri keningnya. Kadang ia tergolek,
menatap langit-langit saung dengan mulut mengigau entah
apa. Kecurigaan Ibu terhadap Bukit Jambul juga bisa dime"
ngerti karena, pada saat yang bersamaan dengan kegilaannya
kepada Psilocybe, Ayah memang makin sering menghilang.
Sudah bukan rahasia bahwa terkadang Ayah menyelinap ke"
luar malam hari dan pulang lagi subuh-subuh. Tapi, kali ini
Ayah bisa menghilang sampai 24 jam. Ia kembali ke rumah
dengan wajah letih, tak mau bicara, dan langsung tidur tanpa
penjelasan apa-apa. Akhirnya, Ibu tak tahan lagi. Secara blak-blakan ia me"
minta agar Ayah berhenti ke Bukit Jambul.
"Kata siapa aku ke sana?" protes Ayah.
"Nggak usah menyangkal, Firas. Semua orang juga tahu,
kalau kamu hilang itu artinya kamu sedang pergi ke tempat
itu." Ayah terdiam. "Itu tempat syaitan! Apalagi aku sedang hamil begini.
Aku nggak mau kamu bawa pulang kutukan dari tempat
itu." "Kamu nggak tahu di sana ada apa, Aisyah. Jangan ngo"
mong sembarangan," balas Ayah gusar.
Partikel "Abah sendiri bilang, di sana ada kekuatan gelap. Kamu
itu pasti sudah kena sirep. Orang waras mana ada yang mau
ke sana?" Ayah menatap Ibu lurus-lurus. Tampak siap meledak.
Tapi Ayah memilih diam dan pergi.
"Pokoknya kalau sampai ada apa-apa dengan kehamilan"
ku, itu pasti salah kamu!" teriak Ibu.
Ayah membanting pintu. Tak lama terdengar bunyi ka"
yuhan sepeda. Ia akan menghilang lagi.
Sambil mengusap air matanya, Ibu membelai rambutku.
"Maaf, Zarah. Ibu cuma kesal. Ibu nggak serius ngomong
begitu. Kamu temani Hara, ya" Ibu mau baringan dulu."
Aku mengangguk, lalu menggandeng Hara yang waktu
itu baru berulang tahun yang kelima.
Ketika sudah hamil tua, Ibu mewanti-wanti Ayah untuk
bersiaga di rumah setiap hari. Ayah lalu cuti mengajar dari
kampus. Hanya tugas di Batu Luhur yang tetap ia jalankan
dengan alasan rumah kami cukup dekat dari kampung. Ia
bisa kembali kapan saja dibutuhkan.
Hari itu Ayah tak kembali.
Menjelang sore, Ibu mulai mulas-mulas. Bidan paling se"
nior di Batu Luhur, Bidan Ida, sudah siaga di rumah. Sudah
ada pula orang-orang yang diutus untuk menyusul Ayah ke
Keping 40 Batu Luhur. Mereka kembali dengan tangan hampa. Ayah
tak ditemukan di mana-mana. Semua ladang, kebun, rumah,
sudah disusuri. Hanya satu tempat yang belum. Apesnya, tak
ada orang yang berani ke sana.
Iba melihat penderitaan Ibu, aku pun berinisatif. "Bu,
biar Zarah yang cari Ayah," kataku percaya diri. Sumpah.
Aku takut luar biasa kepada tempat satu itu. Tapi demi Ibu
dan calon adikku, aku siap nekat.
"Masya Allah, Zarah," Ibu terkesiap, "sampai kapan pun
kamu nggak boleh ke sana! Ngerti?"
Aku melirik jam, cemas. Ibu semakin mulas.
Salah satu warga menawarkan untuk memanggil Abah
dan Umi ke kota. Ibu menolak mentah-mentah. "Cari saja
Firas... saya cuma butuh Firas..." rintihnya.
Orang yang menawarkan tadi cuma bisa menelan ludah.
Ibu baru saja melontarkan permintaan yang mustahil.
Tak sekali pun kami menyebut nama Bukit Jambul. Ti"
dak perlu. Kami tahu sama tahu Ayah ada di mana. Ber"
harap dan berdoa agar Ayah segera muncul adalah satusatunya tindakan realistis yang bisa dilakukan malam itu.
Pukul sembilan malam. Ibu sudah tak kuat lagi. Adek
sudah ingin keluar rupanya. Dalam kamar tidurnya, dite"
mani Bidan Ida dan seorang ibu yang selama ini mengurus
kami bernama Bi Yati, Ibu menjalani proses persalinan.
Hara sudah tidur. Tinggal aku sendirian, tegang menanti
di luar kamar, berdebar menunggu suara tangisan bayi mu"
Partikel ngil dari dalam sana, sibuk membayangkan seperti apa muka
adik bungsuku. Hitam manis seperti Ayahkah" Atau putih
seperti Ibu" Apakah ia mirip aku, yang kata orang berwajah
Arab tapi berkulit langsat Sunda" Atau mirip Hara, yang
berwajah Sunda tapi berkulit putih Arab"
Kudengar Ibu menggerung kencang. Aku menduga, itu"
lah momen Adek keluar. Tetapi, tidak terdengar tangisan
bayi. Yang terdengar malah jeritan Bi Yati.
Pintu di depanku mengempas terbuka dengan tiba-tiba.
Nyaris menghajar batang hidungku. Bi Yati keluar setengah
berlari, wajahnya penuh teror. Membabi buta ia bergegas ke
kamar mandi. Muntah-muntah.
Tak lama, terdengar Ibu memekik. Dan ia pun menangis
tersedu-sedu, yang kemudian meningkat menjadi meraungraung. Sungguh aku kebingungan dengan semua itu. Bahkan
tak bisa memutuskan, haruskah aku masuk" Atau diam di
tempat" Ibu semakin histeris. Aku mulai menangis, tanpa tahu
apa yang kutangisi. Berlinangan air mata, aku menyuruk-nyuruk masuk ke
kamar. Tak ada yang peduli dengan kehadiranku. Bidan Ida
berdiri gemetar dengan bungkusan kain di tangannya, mu"
lutnya komat-kamit mengucap doa. Ibu masih terbaring se"
tengah duduk, meraung menghadap tembok.
Bi Yati kembali menghambur masuk. Tanpa henti, ia me"
nyebut nama Allah saat mengambil bungkusan kain dari
Keping 40 tangan Bidan Ida. Memberi Bidan Ida kesempatan untuk
memotong tali pusar. Bidan Ida menopang tubuh Ibu yang terkulai lemas.
"Ayo, Aisyah, kita keluarkan ari-arinya." Suara itu gemetar.
Air mata membasahi pipinya.
Bercampur tangis, Ibu mengejan, dan meluncurlah se"
gumpal plasenta ke dalam ember plastik.
"Sudah selesai, Aisyah. Istigfar saja, istigfar," kata Bidan
Ida berulang-ulang sambil membersihkan tubuh Ibu.
Sementara itu, tubuh mungil dalam bungkusan kain
tidak diapa-apakan. Bi Yati menggenggam bungkusan itu
menjauhi tubuhnya, bahkan sambil memalingkan muka.
Hatiku mulai resah. Kenapa mereka semua seperti itu"
Ada apa dengan Adek" Apakah dia hidup" Kenapa ia diper"
lakukan seperti bangkai"
Gemetaran, Bi Yati pelan-pelan menurunkan bungkusan
kain di tangannya. Meletakkannya di tempat tidur. Melihat
bungkusan itu ada di dekatnya, Ibu langsung berbalik me"
munggungi sambil terus meraung. Bidan Ida menenangkan
Ibu, mengusap-usap punggungnya, tanpa putus mengomatngamitkan doa.
Lamat-lamat kudengar bunyi dari bungkusan kain. Bunyi
kerongkongan. Antara suara berkumur dan tercekik. Tak se"
perti tangisan bayi yang umum terdengar. Aku beringsut
mendekati kain itu. Napasku seketika tertahan. Di atas kain sarung itu, terge"
Partikel letaklah sesosok makhluk yang melampaui semua imajinasi"
ku. Satu-satunya alasan mengapa aku tidak menjerit adalah
karena aku tak punya definisi atas apa yang kulihat.
Makhluk kecil itu tidak seperti manusia, tidak seperti apa
pun yang kutahu. Di permukaan kulit merah yang seperti
direbus itu terdapat pola retak-retak seperti sawah kering.
Pinggiran retakan itu berwarna putih, berkerak. Sekujur tu"
buhnya ditutupi retakan itu. Di setiap lipatan badannya ter"
dapat bilur dan luka, seperti baru disayat-sayat benda tajam.
Mulutnya menganga bulat tanpa bisa ditutup. Tungkai kaki
dan lengannya kecil, kisut, dan kaku. Jemarinya hanyalah
bulatan-bulatan, seperti bola-bola daging yang ditancap asalasalan. Ia tak punya cuping telinga dan batang hidung, ha"
nya dua lubang hitam di atas mulut dan dua lubang hitam
di kiri-kanan wajahnya. Yang paling membuatku tercengang
adalah matanya. Warnanya merah darah. Sepasang mata itu
tidak menjorok ke dalam dan tidak berkelopak, melainkan
berbentuk tonjolan yang mencelat keluar seperti dua kelereng
merah. Dari pemandangan yang tak terdefinisikan itu, aku
hanya bisa mencatat satu hal pasti. Kelaminnya laki-laki.
Dia ternyata masih hidup. Meski kaku seperti papan, bisa
kudengar suara napasnya yang mengorok.
"Adek...," bisikku.
Bersamaan dengan itu, Ibu membalik badan. Mendapati"
ku tengah mematung di depan bayi yang baru saja dilahir"
kannya. Keping 40 "Zarah! Keluar kamu!" lengkingnya.
Aku menggigit bibir, menahan sedu sedanku. "Bu, biar
Zarah pergi cari Ayah?"
"Keluaaar!" jerit Ibu histeris.
Terisak-isak, aku keluar dari sana. Aku tahu Ibu bukan


Supernova 4 Partikel Karya Dewi Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengamuk kepadaku. Ia mengamuk kepada hidup ini. Aku
hanya ingin menolongnya. Juga makhluk kecil dalam bung"
kusan sarung yang tergeletak di sampingnya.
Sementara nama Tuhan terus bergaung dari kamar itu,
aku hanya bisa memanggil satu nama. Adek.
Esok paginya setelah kelahiran Adek, rumah kami berubah
menjadi rumah duka. Orang-orang datang dengan kemu"
rungan, pulang dengan mata sembap. Beberapa menyempat"
kan diri sembahyang dan mengaji.
Tidak ada yang diizinkan masuk ke kamar kecuali Bi
Yati dan Bidan Ida. Orang-orang yang menunggu di luar
hanya diberi tahu bahwa bayi laki-laki yang dilahirkan Ibu
sakit parah, dalam kondisi kritis, tinggal tunggu ajal. Kasakkusuk pun berlanjut. Keterlaluan benar si Firas. Jabang bayi
itu bertahan hidup pasti demi menunggu ayahnya pulang.
Abah dan Umi datang. Merekalah orang pertama yang
diizinkan masuk ke kamar. Kudengar Umi menjeritkan
"Masya Allah!" kemudian terdengar bunyi berdebuk. Kami
Partikel yang di luar pun bisa tahu, Umi pingsan di dalam sana. Se"
puluh menit kemudian, Abah keluar memapah Umi yang
setengah sadar. Wajah Abah pucat. Ia tak bisa berkata-kata.
Hanya merapalkan doa. Tak ada yang berani bertanya. Mereka semua memaklumi
dukacita Abah dan Umi. Kasihan Abah Hamid, ia akan kehi"
langan cucu laki-laki pertamanya, begitu mereka berkesim"
pulan. Dari semua orang yang ada di luar kamar, cuma aku
yang tahu kedahsyatan sesungguhnya di dalam sana.
Suatu kali aku berhasil mencegat Bi Yati yang keluar un"
tuk pergi ke dapur. "Gimana Adek, Bi?" tanyaku.
Bi Yati bengong. Agaknya ia tidak berhasil menyambung"
kan kata "Adek" dengan bayi yang dilahirkan Ibu. "Oh. Itu,"
katanya pendek sambil sibuk mengaduk susu bubuk dengan
air hangat, memasukkannya ke dalam botol.
"Buat Adek, Bi?" tembakku langsung.
"Ibumu nggak bisa menyusui."
"Boleh saya yang kasih?"
Bi Yati mendelik, "Kamu nggak boleh masuk ke sana.
Ibumu sendiri yang bilang. Kamu dan Hara nggak boleh
dekat-dekat itu." Aku tak suka mendengarnya memakai kata "itu" untuk
Adek. Namun, aku juga lega. Susu itu menandakan Adek
masih hidup. Pagi digeser siang. Siang digusur sore. Dan, sore dengan
Keping 40 cepat dilengserkan malam. Aku semakin resah. Pukul tujuh
malam dan Ayah belum kelihatan.
Di dekat meja makan, sayup kudengar Abah berbicara
dengan Bidan Ida dengan nada rendah.
"Apa pun yang terjadi, besok kita kuburkan saja."
"Dia masih bernapas, Bah. Walaupun sudah makin susah.
Susunya juga nggak bisa masuk lagi."
Abah geleng-geleng kepala. "Kasihan Aisyah. Lebih cepat
bayi itu mati, lebih baik."
Hatiku mengkeret seketika. Mereka menginginkan Adek
mati. Apa yang bisa kulakukan" Sambil memeluk Hara yang
tengah bermain boneka di pangkuanku, aku berpikir keras
sampai seluruh badanku kencang dan rasanya linu-linu.
Mataku basah lagi. Pukul sembilan malam, pintu depan terbuka. Ayah pu"
lang. Tanpa bisa menahan diri, aku berlari memeluknya.
Dengan cepat, Ayah melepaskan tanganku. Barulah aku
tersadar betapa kotornya Ayah. Pipinya kusam oleh jejak ta"
nah, bajunya lusuh dan kusut, di tangannya terdapat baretbaret luka. Wajahnya yang panik bersimbah peluh.
Ayah segera menghambur masuk ke kamar.
Aku menempelkan kupingku di pintu. Kudengar Ibu me"
nangis lagi. Bu Yati dan Bidan Ida berdoa lagi. Tak kude"
ngar suara Ayah. Sedikit pun.
Hampir setengah jam Ayah di dalam sana sampai akhir"
nya ia keluar, disusul Bidan Ida.
Partikel Kulihat Bidan Ida menatap Abah, lalu perlahan mengge"
lengkan kepala. Abah pun berucap, "Innalillahi wainnailaihi rajiun."
Satu ruangan seketika berucap sama. Ibu-ibu menangis.
Termasuk Umi. Namun jelas kutangkap, Umi dan Abah
tampak lega meski wajah mereka berhiaskan air mata. Hanya
ekspresi Ayah yang tak bisa kubaca.
Atas instruksi Abah, Adek dimakamkan malam itu juga.
Orang-orang kampung tambah kasak-kusuk. Pemakaman
malam hari itu makruh hukumnya. Kenapa Abah Hamid ber"
sikeras" Ada apa sebenarnya" Tapi keseganan mereka kepada
Abah membungkam semua tanya.
Itulah kali terakhir aku melihat Adek, saat jenazahnya
digotong keluar seperti guling putih kecil. Tak ada celah
yang menunjukkan wajahnya.
Di belakang rumah Abah di Batu Luhur, sebuah lubang
kecil digali. Kuburan yang digali malam-malam seperti kor"
ban pembunuhan. Di sana adikku ditutup hamparan tanah
tanpa nisan. Abah tak pernah mengantisipasi, seberapa dalam pun ia
berusaha menguburnya, bayangan Adek tetap menghantui
kami semua. Mengubah hidup kami dan kampung Batu Lu"
hur dengan dua puluh empat jam kehadirannya.
Keping 40 Bagai fungi yang mengunyah pelan-pelan bebatuan menjadi
tanah, peristiwa lahirnya Adek pelan-pelan mencerna ke"
luarga kami. Menyulap semua yang tadinya solid menjadi
rapuh dan remah. Dari liang kuburnya, Adek tak tinggal diam. Kendati ia
mati terbungkus kain yang dibebat rapat, isu tentang dirinya,
bentuknya, dan penyebab di baliknya telah berkembang dan
membesar di luar kendali kami.
Aisyah melahirkan anak setengah ular. Anak itulah tumbal
Bukit Jambul yang tertunda. Seharusnya tumbal itu Firas, tapi
akhirnya berpindah ke generasi berikutnya. Abah Hamid dikutuk
tidak bisa lagi punya garis keturunan laki-laki. Versi lain me"
ngatakan, Firas sudah punya istri jin di Bukit Jambul. Makanya ia jadi jarang pulang. Kandungan Aisyah "dikerjai" oleh istri
jin-nya Firas yang cemburu.
Itu hanya sebagian yang sampai ke kuping kami, yang
kemungkinan besar hanya puncak dari gunung es yang se"
sungguhnya. Meski orang Batu Luhur masih menaruh segan kepada
Ayah dan tetap menyambut kehadirannya dengan sopan
santun, jelas terasa hadirnya jurang pemisah yang kian me"
renggang antara mereka. Hubungan Ayah dengan para pe"
mimpin desa dan para petani berubah menjadi seperlunya.
Ayah dan Ibu makin jarang bicara. Mereka masih ber"
Partikel basa-basi "selamat pagi-sore-malam" dan bertanya yang pen"
ting-penting, tapi tak pernah lagi mengobrol lama berduaan.
Ayah melarikan diri dengan sibuk di kebun fungi dan jadi
mentorku. Ibu menenggelamkan diri dalam rutinitas sosial"
nya dan mengurus satu-satunya anak yang masih bisa ia
pegang, Hara. Kami berempat terpecah menjadi dua unit
dan hidup dalam dua kutub yang berbeda.
Karier Ayah juga tidak selamat. Ibu menemukan tiga
surat peringatan yang dilayangkan ke rumah. Ternyata Ayah
sudah lama menghilang dari kegiatan belajar-mengajar di
kampus. Dari teman-temannya yang istri dosen, Ibu menge"
tahui Ayah beberapa kali bentrok dengan pihak IPB. Ber"
edar isu bahwa Ayah akan disingkirkan karena perbedaan
paham tersebut. Mereka hanya menunggu Ayah berbuat ke"
salahan. Melihat parahnya absen Ayah dari ruang kelas,
sepertinya keinginan pihak kampus akan terwujud dengan
mudah. "Ayah sekarang cuma mau mengajar kamu saja, Zarah.
Nggak mau lagi Ayah mengajar di kampus," jawabnya ketika
aku bertanya mengapa ia tidak pernah ke IPB lagi. "Di sana
nggak ada orang yang bisa mengerti Ayah," sambungnya.
Dari dalam tas terpalnya yang seperti barang eks militer
dipakai gerilya bertahun-tahun, ia menunjukkan tumpukan
surat yang akan diposkannya. "Ini surat-surat untuk dikirim
ke luar negeri. Ayah mau minta dana supaya laboratorium
fungi kita bisa berdiri." Ayah lalu meletakkan tumpukan
Keping 40 surat itu di pangkuanku, "Ayo, Zarah, ciumi satu-satu.
Kamu pembawa keberuntungan Ayah."
Dengan semangat aku mengecupi semua surat itu. Tak
ada yang terlewat. Beberapa bulan kemudian, mobil tua kami lenyap. Ayah
lantas berjanji akan mengantarkanku ke mana saja dengan
sepedanya. Setelah itu, televisi kami menyusul pergi. Ayah
bilang, itu demi kebaikan aku dan Hara. Jauh lebih baik ka"
lau kami dibacakan dongeng, atau dibawa tamasya ke Kebun
Raya. Ibu cuma diam. Rumah kecil kami semakin senyap.
Meja makan kami melengang. Tidak ada lagi paha ayam
goreng tepung kesukaanku. Lagi-lagi, hanya oseng-oseng
tempe, oseng-oseng tahu, oseng-oseng jamur. Semuanya
oseng-oseng. Aku kehilangan jatah dua gelas susuku. Hanya
Hara yang masih kebagian.
"Ayah bilang, nanti Ibu membuatkan susu dari kedelai,
ya" Spesial untukku. Lebih sehat," kataku kepada Ibu. Mata"
ku tak berkedip menatap Hara yang menenggak susunya
dengan nikmat. "Susu kedelai itu enak ya, Bu" Ada yang rasa stroberi"
Atau cuma putih doang?" Aku bertanya membabi-buta. Liur"
ku membubung melihat jejak susu berbentuk kumis di atas
bibir Hara. Ibu cuma diam, mencerling ke arah Ayah dengan pan"
dangan yang membuatku tidak nyaman.
Entah berapa lama hingga aku akhirnya menyadari me"
Partikel ain reka tidak tidur sekamar lagi. Kalau aku kebelet pipis di
tengah malam, selalu kutemukan Ayah meringkuk tidur di
sofa. Kata Ayah, Ibu sering pusing dan baru sembuh kalau
ditinggalkan sendirian. Mereka lupa, umurku sudah sebelas
tahun. Sesuatu telah terjadi, dan aku tahu itu.
Hari demi hari, segitiga eksistensi Ayah tergerogoti de"
ngan pasti. Rumah kami, kampus, Batu Luhur, meluruh
perlahan-lahan dari genggamannya.
Setahun lewat. Surat-surat Ayah masih belum dapat ba"
lasan. Setiap malam sepanjang tahun, aku berdoa dengan
gelisah, kadang-kadang sampai berkeringat. Aku sangat ta"
kut aku bukan pembawa keberuntungannya. Semua surat itu
sudah kuberi kecupan. Bagaimana kalau ternyata aku ini
justru pembawa sial" Bagaimana kalau ternyata akulah titik
lemah dari kedewaannya" Seorang dewa tidak seharusnya
menikahi manusia biasa karena akan menghasilkan anakanak seperti aku. Doa anak blasteran pasti susah menembus
Kerajaan Dewa. Sebagai satu-satunya pemuja yang tersisa, yang masih meng"
anggap segala titahnya adalah titah dewa, Ayah memper"
lakukanku dengan istimewa. Habis-habisan ia menghiburku
seharian penuh. Kebun pribadinya di Batu Luhur, Kebun
Raya Bogor, tepi Sungai Ciliwung, adalah ruang-ruang kelas
Keping 40 tempat kami belajar, menggambar, membaca, dan berhitung.
Sampai aku lupa bahwa aku berbeda dengan anak lain yang
punya televisi, punya mainan, dan bersekolah.
Gesekan kutub antara Ayah dan Ibu menjadi makanan
kami sehari-hari. Sering kudengar Ayah beradu argumen
dengan Ibu, terutama tentang sekolah. Ayah berusaha me"
yakinkan Ibu kalau sistem pendidikan swalayan dari rumah
yang ia lakukan kepadaku sudah berkecukupan, bahkan jauh
lebih baik ketimbang sistem sekolah biasa. Ibu menudingnya
gila karena menjadikan anak sendiri sebagai kelinci per"
cobaan. Ayah membalas, lebih gila lagi orang yang menjadi"
kan anak orang sebagai kelinci percobaan dari sistem yang
sudah ketahuan tidak menghasilkan apa-apa selain robot
penghafal. Mereka bisa bertengkar tentang itu hampir setiap
hari. Saat kami berdua, Ayah berkata setengah berbisik, "Ibu"
mu bukan orang bodoh, Zarah. Ia hanya belum terjaga."
Tidak kupahami benar apa maksudnya.
Dengan uangnya yang terbatas, Ayah membeli Polaroid
bekas supaya aku punya kerjaan, menginstruksikan untukku
apa saja yang harus difoto, dan memanggilku si Mata Ketiga.
Kupikir, sepasang mata Ayah adalah mata yang pertama dan
kedua, dan karena aku masih anak kecil, kedua mataku di"
anggap jadi satu. Kira-kira seperti tiket anak, begitu. Dan,
jadilah aku mata ketiganya.
Berbekal kantong belacu yang kukalungkan di leher, aku
Partikel membuntutinya ke mana-mana seperti anak bebek, memotret
setiap pesanannya dengan sungguh-sungguh, menggosok dan
mengipas-ngipas foto sampai kering untuk kemudian ku"
kumpulkan di dalam tas. Sesampainya di rumah, sebelum kembali sibuk dengan
urusannya, Ayah menyempatkan diri untuk mengamati se"
tiap fotoku, dan ia kerap berkata, "Kamu punya mata yang
baik, Zarah. Mata yang tidak sombong. Ayah janji, suatu
hari nanti akan membelikanmu kamera sungguhan."
"Kapan, Yah" Kapan?" desakku semangat.
"Nanti kalau kamu sudah tujuh belas tahun," cetusnya
enteng. Ayah tidak banyak berjanji dalam hidupnya. Aku tahu, ia
pasti akan menepati kata-katanya.
Pertengkaran Ayah dan Ibu tentang sekolah memuncak pada
suatu malam di meja makan. Waktu itu, Ibu sepertinya be"
nar-benar marah. Ia tak lagi mampu menekan volume suara"
nya, seperti yang biasa ia lakukan jika anak-anaknya me"
nontoni mereka ribut. "Kalau memang alasanmu adalah uang, Abah dan Umi
mau membiayai sekolah anak-anak kita. Jangan sampai garagara kamu yang hancur, anak-anak kita jadi korban," ucap
Ibu. Keping 40 "Justru aku sedang berusaha menyelamatkan mereka,
Aisyah!" "Setiap sekolah itu punya sistem. Punyamu mana?" Ibu


Supernova 4 Partikel Karya Dewi Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyerang sambil berkacak pinggang. Suaranya yang serak
basah semakin sember jika sedang naik darah, padahal Ibu
bukan perokok. Suara serak alaminya itu terwariskan pada"
ku. "Aku selalu menguji dan mengevaluasi Zarah. Ini ada
rapornya." Ke atas meja makan, Ayah menghantamkan se"
buah buku tulis lecek, menunjukkan isi halaman-halaman
yang penuh tulisan tangan, diagram, tabel, dan sketsa.
Ibu melirik isi buku itu dan tentunya meragu. "Tidak ada
rapor sekolah di dunia dengan bentuk dan isi kayak gitu.
Nggak ngerti aku!" bentaknya lagi.
"Makanya, kalau nggak ngerti jangan protes," balas Ayah
sengit. "Zarah siap diuji di sekolah mana saja dan saya yakin
dia lebih pintar daripada guru-gurunya," tandasnya dengan
percaya diri. Bola mataku beralih dari kiri-kanan seperti menonton
pertandingan pingpong. Sungguh aku tak mengerti kenapa
perihal sekolah dan tak sekolah ini begitu dipermasalahkan.
Aku bahkan tidak tahu Ayah menyimpan rapor, atau mung"
kin itu hanya akal-akalannya saja untuk mengelabui Ibu.
Setiap hari aku dan Ayah selalu belajar sesuatu. Sekolah
atau bukan namanya, aku tak peduli. Secara berkala Ayah
menguji atau menantangku, tapi apakah aku lebih baik atau
Partikel tidak daripada anak lain, aku juga tak peduli. Duniaku ha"
nya aku dan dia. "Zarah, kamu sudah diuji apa saja sama ayahmu?" Tibatiba Ibu bertanya langsung kepadaku yang sejak tadi cuma
menonton. Aku tak siap. Ayah tak siap.
Mulutku membuka. Tapi hanya bebunyian gagap yang
keluar. "Ayo. Buktikan sama Ibu kalau kamu betulan lebih pintar
daripada anak-anak lain," tantang Ibu. Ia menarik kursi, du"
duk bersandar memandangi kami berdua. Kegugupanku dan
Ayah tampak membuatnya semakin yakin bahwa ocehan
Ayah tadi hanyalah kompensasi dosen pengangguran yang
ditolak oleh satu dunia. Masih kuingat jelas ekspresi Ibu di meja makan malam
itu, menantikan jawaban. Masih kuingat jelas raut tegang
Ayah yang menebak-nebak apa sekiranya yang bakal kukata"
kan. Kuambil kantong belacuku. Setumpuk kertas penuh co"
retan kutebarkan di meja. "Ibu mau pilih yang mana?"
Ragu, Ibu melihat kertas-kertas lecek itu, berisi gambargambar yang mungkin tidak ia kenali. Tapi akhirnya Ibu
memilih satu. Gambar anatomi otak manusia yang kete"
rangannya sudah ditiadakan oleh Ayah, hanya tinggal panah
penunjuk dan angka. Lalu, aku mengeluarkan setumpuk kertas berikut, yang
Keping 40 dijepit di ujungnya. Kutunjukkan selembar halaman kepada
Ibu, "Ini kunci jawaban dari gambar yang tadi Ibu pilih.
Sekarang, Ibu bisa uji aku. Tunjuk saja angka-angka di gam"
bar itu, terserah yang mana."
Di hadapan Ibu, kini ada dua helai kertas yang berpa"
sangan. Pertanyaan dan jawaban. Ia menarik lembar jawaban
ke pangkuannya agar tak lagi terbaca olehku. Mulailah ia
menunjuk bagian demi bagian.
"Nomor 1. Apa namanya?"
Tanpa tersendat aku menjawab, "Carpus callosum."
"Nomor 5?" "Substantia nigra."
"Nomor 8?" "Locus coeruleus."
Tak kurang dua puluh bagian yang diuji Ibu, tapi ia
belum puas. Dicarinya lagi lembar lain. Ibu memilih anatomi
kulit. "3a?" "Stratum spinosum."
"3b?" "Stratum basale."
"7?" "Dermal papila."
Ibu mengambil lagi lembar lain. Anatomi mata.
"16?" "Reticulum trabeculare."
Partikel "5?" "Sclera." Ibu menatapku dan Ayah. Meradang. "Kamu cuma bela"
jar yang beginian, apa" Mana Matematikanya" Mana Bahasa
Indonesia" PMP" Agama?"
Aku dan Ayah berpandang-pandangan.
"Bu, yang Zarah bawa ini memang cuma gambar-gambar
anatomi. Belum diagram untuk fungsi-fungsinya. Dan ini
baru yang manusia. Masih ada binatang, masih ada tum"
buhan. Nah, itu baru Biologi. Matematika, karena bukan
hafalan, Zarah nggak simpan catatan. Zarah sama Ayah
langsung latihan di kertas atau di papan. Untuk Bahasa
Indonesia, kami baca buku. Bahasa Inggris juga sama. Kalau
PMP..." aku melirik Ayah, "PMP itu apa, Yah?"
Ayah gelagapan. "PMP saja nggak tahu, apalagi Agama," potong Ibu se"
ngit. "Salat saja kamu nggak becus, Zarah. Ibu malu sama
Abah, sama Umi. Cucu-cucunya nggak ada yang beres,"
tukasnya lagi. "Mulai besok, Ibu panggil Bu Hasanah untuk
mengajari kamu ngaji. Kalau perlu, Ibu daftarkan kamu ke
pesantren." "Nggak mau." "Kenapa nggak mau?"
"Zarah cuma mau diajar sama Ayah."
"Tahu apa ayahmu soal agama" Dia itu musyrik! Ateis!"
Ibu membentak. Keping 40 "Aisyah!" Ayah balas menyentak.
"Sejak kesurupan setahun yang lalu, kamu berubah jauh,
Firas. Aku tahu kamu dari dulu cinta sama ilmu, tapi seka"
rang kamu itu sudah syirik. Makanya kamu pengangguran,
kita jadi miskin, semua gara-gara kamu lupa sama Allah."
"Siapa yang ngomong begitu" Abah" Umi" Tahu apa me"
reka tentang aku" Bisanya dari dulu hanya kritik saja, pada"
hal cuma lihat dari jauh, diajak ngobrol saja nggak mau.
Bagaimana aku bisa menjelaskan diriku?"
"Apa lagi yang perlu dijelaskan" Memang kamu aneh!
Aku istrimu saja nggak pernah bisa ngerti!"
Ayah terdiam. Wajahnya tampak putus asa. Aku rasa ia
hampir menangis. "Kamu belum pernah mendengarkan aku
sungguh-sungguh, Aisyah. Sekali saja. Kamu tidak pernah
mau." Ibu tak lagi membalas. Ia pun tiba pada titik putus asa.
Dirapikannya kertas-kertas di meja, lalu Ibu masuk ke kamar
tidur dan tak keluar lagi.
Ayah hanya menggenggam tanganku sejenak, lalu pergi.
Tak lama, sayup kudengar suaranya membacakan buku bagi
Hara. Dalam benakku, ada satu kantong belacu. Berisi kum"
pulan pertanyaan yang belum menemukan pasangannya.
Dari hari ke hari, kantong itu semakin penuh. Terutama
malam ini. Otakku merunut: "musyrik", "ateis", "syirik", "ke"
surupan setahun yang lalu". Pertanyaan-pertanyaan baru.
Partikel Di meja makan itu, aku pun tersadar. Dunia dewa dan
dunia manusia memang tak mungkin bersatu. Salah seorang
harus rela menyeberang. Dan, tak kulihat niat itu baik pada
Ayah maupun Ibu. Sementara aku dan Hara terbelah di te"
ngah perpecahan mereka. Karena perpecahan itulah, aku tidak bisa sepenuhnya ju"
jur kepada Ibu, bahwa selama aku menjadi murid Ayah,
hanya satu kali ia sungguhan mengujiku. Semua catatan
yang tadi dipegang Ibu cuma mainan bagi kami. Materi
yang Ayah ujikan tidak tercatat di kertas.
Ujian itu terjadi semalam.
Semalam, Ibu tidak di rumah. Ia pergi menginap di rumah
Abah dan Umi. Hara ikut dibawa. Hanya tinggal aku dan
Ayah. Pukul delapan, ketika kupikir sudah waktunya untuk ber"
siap tidur, tahu-tahu Ayah mengajakku keluar. Ia bilang, ada
pelajaran penting untuk kupelajari. Dan pelajaran tersebut
hanya bisa dilakukan malam-malam.
Memboncengkanku di jok belakang sepedanya, seperti
biasa Ayah berangkat dengan tas terpal hijaunya yang di"
selempangkan di bahu. Hanya saja, tas itu tampak ekstra
Keping 40 padat dari biasa. Ia bersepeda keluar menjauhi kompleks.
Menuju Batu Luhur. Sampai di mulut kampung, aku belum menaruh curiga.
Batu Luhur sudah tertidur lelap, sunyi senyap dengan pene"
rangan minim. Ini pasti pelajaran khusus tentang serangga ma"
lam, pikirku. Aku tahu aku berusaha menghibur diri.
Curigaku muncul ketika mulai menyadari ke arah mana
Ayah membawa sepedanya. Rumah Abah sudah jauh terle"
wati, dan sepeda kami masih terus menuju pinggir luar kam"
pung. Dengan cepat, curigaku berubah menjadi takut.
Bulan bersinar, memberi kami sedikit tambahan pene"
rangan selain lampu sepeda Ayah yang temaram. Ia berhenti
mengayuh. Sepedanya lalu diparkir di bawah pohon, di
pinggir terluar dari area "normal" sebelum tanah mulai
membukit dan rimba itu dimulai. Dalam kegelapan malam,
Bukit Jambul terlihat seperti lubang hitam.
"K"kita masuk ke sana, Yah?" tanyaku gemetar. Tubuhku
menggigil kedinginan padahal sudah dilapisi jaket. Pasti ka"
rena rasa takut. Sejak peristiwa lahirnya Adek, aku jadi tak
suka malam hari. Di atas segalanya, aku tak suka tempat ini.
"Tenang, Zarah. Nggak ada yang perlu kamu takutkan di
sini. Ada Ayah." Ia berkata seolah dirinya kuncen resmi yang
ditunjuk pohon-pohon raksasa itu.
"Nggak ada lagi yang tahu jalan masuk ini selain Ayah.
Hanya lewat titik ini kamu bisa masuk ke dalam bukit. Ha"
falkan baik-baik. " Partikel Aku celingukan. Tak mengerti apa yang bisa dihafal. Se"
muanya gelap. Tapi aku berusaha keras. Demi menjaga in"
tegritasku di depannya. "I"itu pohon salam, kan, Yah?" tanyaku sambil menunjuk
batang pohon tempat sepeda Ayah terparkir. Sempat tadi
kubaui semilir wangi daunnya yang khas.
"Betul. Apa lagi?"
Aku menaksir, kira-kira kami berdiri di arah jam dua
dari tempat sepedanya terparkir. Cuma itu. Semua yang
menghadap ke arah Bukit Jambul gelap gulita. Tak bisa lagi
kuhafal apa-apa. Atau mungkin mataku sudah tersaput ke"
takutanku sendiri. Akhirnya Ayah yang memberi tahu, "Yang kupegang ini
namanya pohon puntodewo. Kalau siang hari, kamu bisa
lihat puntodewo punya buah keras bergelantungan, bentuk"
nya seperti kantong air. Tidak ada lagi puntodewo di seluruh
pinggiran Bukit Jambul. Hanya satu ini. Kalau kamu lihat
pohon ini, ingat, tepat arah jam dua belas di sepanjang garis
lurusan puntodewo, akan ada jalan setapak kecil. Cuma muat
satu orang. Tapi kita harus menembus semak dulu, kira-kira
lima puluh meter. Pertahankan arahmu selurus mungkin.
Karena kalau meleset sedikit saja, setapak itu nggak bakalan
ketemu." Dari dalam tasnya, tahu-tahu Ayah mengeluarkan dua
pasang sarung tangan berbahan kaus kaki yang panjangnya
sampai lewat siku. Sepasang diserahkan kepadaku.
Keping 40 "Pakai ini. Semak di sana cukup tajam. Ayah nggak bisa
tebas karena nanti orang kampung bisa curiga."
Tak hanya sarung tangan, ternyata Ayah juga membawa
sepasang kain sarung untuk melindungi tubuh kami. Sekilas
kulihat kilau pisau belati.
"Untuk jaga-jaga," katanya menjelaskan tanpa kuminta.
Bayangan hantu, jin, dedemit, pasukan gaib, serabutan
melewati benakku. Semua kisah dan mitos yang selama ini
kudengar menyerangku serentak. Inilah kontak terdekatku
dengan Bukit Jambul. Tak pernah kubayangkan akan me"
masuki perutnya. Ayah berjuang keras menyibak belukar yang menghalangi
jalan kami. Lima puluh meter yang rasanya mustahil. Kami
berdua bagaikan ikan yang berusaha menembus jala nelayan.
Sulit, nyaris tak mungkin.
Akhirnya, aku lupa semua cerita horor tadi. Sibuk oleh
ranting yang tersangkut-sangkut di sekujur tubuh. Napasku
mulai memburu. Belukar sejenis rotan ini seperti menyedot
pasokan oksigen dari udara dan mencakar-cakar tubuh dari
segala penjuru. Aku tak bisa membayangkan hampir setiap
hari Ayah melewati neraka belukar itu.
Tak perlu juga mengira-ngira di titik mana lima puluh
meter itu berakhir karena tiba-tiba sekeliling kami menjadi
lengang. Masih bisa kutangkap siluet pohon yang melingkupi
kami dari segala penjuru, tapi terasa ada ruang kosong di
Partikel hadapan. Tapak kakiku pun tak lagi berisik bunyinya. Inilah
ternyata setapak yang dimaksud Ayah. Kami berhasil.
Kelegaanku tak berlangsung lama. Kudengar Ayah ber"
kata, "Duluan. Ayah di belakang pakai senter, biar jalanmu
kelihatan." Ragu, aku melangkah. Dari nadanya, aku merasa Ayah
sedang mengujiku. Entah apa yang ia uji. Yang jelas, me"
langkah duluan ini adalah bagian dari ujiannya. Kumohon,
Ayah. Aku tak suka malam. Aku takut tempat ini. Mulutku ter"
kunci. Terang senter tak lepas dari pijakanku, tapi bolak-balik
aku curi-curi mengerling ke belakang. Memastikan Ayah
ada. "Lihat ke depan saja, Zarah. Kamu harus mempelajari
tempat ini." Ayah mengingatkan.
Aku menelan ludah. Tak berani lagi melihat ke belakang
sembari bingung apa yang bisa kupelajari dari kegelapan ini.
Suara Ayah terpaksa menjadi satu-satunya barometerku. Un"


Supernova 4 Partikel Karya Dewi Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tuk itu, sengaja terus-terusan kuajak dia bicara.
"Kata orang, di sini pohon-pohonnya hidup. Betul, Yah?"
"Betul. Kalau mati, ya, mana bisa tumbuh besar begini?"
"Bukan hidup yang begitu maksudnya, Yah. Tapi hidup,
kayak kita. Bisa gerak, bisa punya kehendak...."
"Semua itu memang ciri-ciri makhluk hidup, kan?"
"Tapi, katanya pohon di sini bisa bicara, kayak kita."
Keping 40 "Seluruh alam ini senantiasa bicara kepada kita, Zarah.
Masalahnya, kita mau dengar atau tidak."
"Katanya, orang yang nebang pohon di sini langsung ke"
surupan, Yah." "Hutan ini memang tidak sembarangan." Nada suaranya
berubah berat. Dan ia terdengar seperti menjauh.
"Ayah?" "Ya?" Suara itu mendekat lagi.
"Kalau kita diserang pohon, gimana?"
"Pohon ini nggak akan menyerangmu. Kamu juga nggak
punya niat menyerangnya, kan?"
"Nggak, Yah." "Alam dan kita adalah satu, Zarah. Ketika kita percaya
kepada alam, maka alam akan melindungi kita. Alam akan
berbicara kepada kita dengan bahasa tertentu."
"Bahasa apa itu, Yah?" Aku bertanya.
"Bahasa rasa dan bahasa tanda," jawab Ayah lugas. Dari
suaranya, aku bisa menaksir jaraknya hanya tiga langkah di
belakang. "Kalau kepingin belajar bahasa alam, caranya gimana,
Yah?" "Kamu harus belajar kepada binatang."
Aku tercenung. Mungkin itulah yang membuat Ayah su"
sah dimengerti orang lain. Baginya, tolok ukur kemajuan
manusia adalah makin miripnya kita dengan binatang, makin
Partikel dekatnya kita dengan alam. Sementara kehidupan di luar
sana bergulir ke arah sebaliknya.
Tiba-tiba, ada suara gemeresik dari sebelah kanan kami.
Aku terlonjak kaget. Untungnya, kendali refleksku masih
cukup kuat untuk menahan mulut tak ikut memekik. Kakikakiku langsung terpantek kuat di tanah, tak bergerak.
Sepertinya Ayah melakukan hal yang sama. Sejenak kami
membisu. Keheningan yang rasanya abadi.
"Bukan apa-apa, Zarah. Tenang saja." Suara Ayah men"
cairkan persendianku. Aku kembali berjalan. Ayah berjalan agak jauh di bela"
kangku. "Kalau kita diserang binatang buas, gimana, Yah?"
"Di sini nggak ada binatang buas."
"Tahu dari mana?"
"Ini rumah kedua Ayah. Ayah tahu."
Bulu kudukku meremang. Ucapannya membuatku bergi"
dik. Bersamaan dengan itu aku tahu suaranya telah menjauh
lebih dari sepuluh langkah. Bersamaan dengan itu pula lam"
pu senter padam. Aku tersentak oleh gulita yang hadir mendadak, oleh ke"
sendirian yang tahu-tahu menyergap. Spontan, aku berhenti.
"Ayah!" Segera aku sadar, sungguh tak bijak berteriak di tempat
ini. Dan kesadaranku selanjutnya adalah, Ayah tak akan
menjawab. Aku cukup kenal ayahku untuk tahu bahwa dia
Keping 40 mampu meninggalkanku sendirian, di hutan paling angker
sekalipun. Jantungku berdebur. Tubuhku menggeligis. Napasku
memburu. Air mataku mulai melelehi pipi. Aku teringat
Hara, teringat Ibu, teringat rumah kami yang hangat dan
aman. Ingin kuamuk dan kumaki Ayah yang tega menelan"
tarkan anak kecil, darah dagingnya sendiri. Namun, aku
tahu ia mampu melakukannya demi apa pun itu yang ingin
ia buktikan. "Ayah, Ayah...," aku merintih. Bagaikan mangsa dalam
rongga anakonda yang dilumat dan diremukkan inci demi
inci, begitu pulalah gulita ini menelanku pelan-pelan. Waktu
terasa berhenti. Yang bergerak hanya gelap. Membungkusku
kian erat. Aku berjongkok dan meringkuk sambil terisak pelan.
Niatku cuma terus mematung seperti itu hingga matahari
terbit. Tiba-tiba, terdengar suara kersik, dekat sekali dengan
kakiku yang terlipat. Sesuatu bergesekan dengan kulitku.
Aku menjerit kaget tanpa bisa ditahan. Sama kagetnya,
makhluk itu tampak bergerak kalang kabut. Dan mataku
yang mulai beradaptasi dengan gelap dapat mengenali peng"
usik tadi. Seekor musang.
Napasku mengembus lega. Kekagetan tadi seperti me"
lepaskan beban yang mengunci tubuhku. Dan entah menga"
pa, kalimat Ayah menjadi masuk akal. Seekor musang kecil
Partikel mengarungi hutan ini tanpa keraguan, pikirku. Dan satu-satu"
nya cara agar selamat keluar dari sini adalah meniru keper"
cayaan sang musang kepada hutan, membuat tempat gulita
dan asing ini menjadi rumah hangat dan aman.
Perlahan, aku berdiri. Membalikkan badan. Kutatap rim"
ba bayang di sekelilingku, kutatap langit yang tak lagi hitam
membutakan melainkan abu. Bulan tak lagi ditutupi awan.
Sedikit cahaya putihnya mulai tampak menembusi rapatnya
pepohonan. Kulepaskan tanganku yang sedari tadi menelingkung tu"
buh erat-erat. Kedua lenganku kembali menggantung santai.
Dengan langkah kecil dan pelan, kucoba untuk maju. Aku
ini musang, pikirku. Ini rumahku, pikirku lagi. Aku sedang
jalan-jalan mencari makan atau sekadar menghirup udara
segar atau janjian main dengan musang lain.
Mataku yang tadinya terpusat ke jalan mulai mampu me"
lihat ke kiri-kanan, menjalin perkawanan dengan rimba ba"
yang. Suara-suara aneh yang tadi mencekam mulai terdengar
lebih bersahabat. Aku ini musang yang tahu jalan, pikirku lagi.
Dan sekalipun kakiku kadang terseok dan tersuruk di se"
tapak kecil ini, rasa takut itu tidak kembali lagi. Sesekali ada
yang seperti mengintaiku dalam kegelapan itu, entah apa.
Meski dalam hati, aku mencoba menyapanya, kita adalah
satu. Aku berjalan terus mendaki bukit. Langkah-langkahku
sudah berubah ringan dan gesit. Hingga di satu titik, seta"
Keping 40 pak menanjak itu berubah menjadi rata dan lebar. Ternyata
aku sudah sampai di puncak.
Mendadak, dadaku terasa mengerut. Keningku mengen"
cang. Lututku roboh begitu saja seperti tangkai lunglai. Apa
ini" Kenapa begini" Aku berteriak-teriak dalam hati. Pasti
karena aku kurang minum, dugaku cepat. Badanku kecapaian
karena jalanan menanjak tadi, pikirku lagi. Namun, aku ter"
sadar, kerongkonganku tidak terasa kering. Tubuhku yang
terlatih naik-turun bukit juga tidak sebegitu lelahnya. Ini
sesuatu di luar tubuhku. Entah apa.
Tak lagi terhalangi pepohonan, sinar bulan membanjur,
menerangi selapang tanah di hadapanku. Bentuknya meling"
kar, besarnya kira-kira setengah lapangan bola. Bukan hanya
tak berpohon, lapangan itu bahkan tak berumput. Dan yang
paling mengagetkanku adalah ada Ayah di sana. Berdiri di
tengah-tengah. Bagaimana ia bisa sampai di sana" Sementara
setapak tadi hanya muat untuk satu orang" Apakah ada se"
tapak lain" Tertatih, aku mencoba berdiri. Kepalaku masih terasa ke"
semutan. Napasku masih satu-satu. Atmosfer tempat ini
begitu menyesakkan. "Ayah...." Sempoyongan, aku berusaha menghampirinya.
Ayah sudah menghambur lebih dulu. Ia memelukku, dan
aku balas mendekapnya erat. Amarahku tak lagi bersisa, mu"
sang tadi sudah membawa rasa itu kabur dan mungkin nanti
diproses menjadi kopi luwak.
Partikel "Ayo, kita pulang," bisiknya. Nada itu gembira.
"Langsung" T"tapi, aku baru sampai di sini, bukannya
masih ada ujian lagi?"
Ayah berhenti. Ia membungkuk, menyejajarkan wajahnya
dengan wajahku. "Kamu tahu tadi kamu diuji?"
Pelan, aku mengangguk. Aku sudah tahu sedang diuji dari
waktu duduk di jok belakang sepedamu di teras rumah, Ayah.
Ayah mendekapku lagi. "Kamu memang anak luar biasa,
Zarah," bisiknya. Tubuhku terasa membengkak karena rasa
bangga. "Pelajaran sekaligus ujianmu hari ini sudah selesai, Nak.
Kamu berhasil sampai di puncak bukit. Itu sudah cukup.
Bukit ini sudah menerimamu," katanya lagi sambil melihat
ke sekeliling, seakan meminta persetujuan kepada pihak lain
yang tak kelihatan. Kami menuruni Bukit Jambul sambil berpegangan ta"
ngan. Ayah tak lagi berjalan di belakangku. Dalam kege"
lapan, wajahku berseri-seri. Aku bahagia karena lulus ujian
Ayah. Dan, tampaknya ia berbagi kebahagiaan yang sama.
Perjudiannya menang telak. Tak hanya anak kesayangannya
berhasil mendaki ke puncak bukit paling angker dengan se"
lamat, tapi ia juga dapat menantu. Pada usiaku yang genap
dua belas tahun, Ayah melepasku kawin dengan alam. De"
ngan Bukit Jambul. Keping 40 Baru saat kami kembali bersepeda menuju rumah, aku berani
bertanya-tanya. "Ayah, di puncak tadi, itu lapangan apa?"
"Semacam portal, Zarah."
"Apa itu "portal?""
"Gerbang." "Tapi, mana gerbangnya?"
Ayah diam. Setelah sekian kayuh, baru dia menjawab
pendek, "Belum kelihatan."
"Gimana caranya supaya kelihatan, Yah?"
"Kita nggak bisa menentukan itu, Zarah. Mereka yang di
seberang sanalah yang menentukan karena itu portal mereka.
Bukan kita." "Mereka" Siapa?"
Kembali hanya suara cericit kayuhan sepeda yang ter"
dengar. Lama sekali. "Dimensi lain." Nada itu ketus, memberiku pertanda agar
berhenti mengganggunya dengan pertanyaan-pertanyaanku.
Aku tidak kapok. "Apa itu "dimensi lain?""
Ayah tak langsung menjawab. Kepalanya berputar melihat
sekeliling lalu berkata, "Dunia lain. Kehidupan lain. Mirip
begini, tapi nggak sama."
"Mirip bagaimana?"
"Mirip, artinya ada makhluk hidup, ada keluarga, ada
pekerjaan, ada kehidupan. Tapi nggak sama."
Partikel "Apanya yang nggak sama?" Tak surut kuteror Ayah de"
ngan rentetan pertanyaan.
"Sulit kuceritakan, Zarah. Kamu harus melihatnya sen"
diri." "Kenapa di atas sana sesak banget udaranya, Yah?"
Terdengar Ayah menghela napas. "Banyak yang belum
Ayah ceritakan kepadamu. Tapi sekarang bukan saatnya. Sa"
bar, Zarah. Semua pertanyaan selalu berpasangan dengan
jawaban. Untuk keduanya bertemu, yang dibutuhkan cuma
waktu." Dari semua titah dewa yang keluar dari mulut Ayah, itu"
lah satu kalimat yang paling kuingat. Sepanjang hidupnya,
Ayah meninggalkan begitu banyak pertanyaan. Kepadakulah,
ia mewariskan pencarian jawaban yang tak henti-henti. Aku
tak tahu apakah harus bersyukur atau mengutuk warisannya
itu. Perjalanan ke puncak Bukit Jambul adalah ujian terbesar
dari Ayah di sepanjang dua belas tahun hidupku. Dan pe"
rasaanku mengatakan, itu hanyalah awal dari rangkaian ujian
yang lebih besar. Aku semakin yakin Ayah memang sengaja menungguku siap
dan teruji terlebih dulu untuk layak menerima informasi yang
Keping 40 akan disampaikannya. Sejak ujian di Bukit Jambul, ia mulai
tergerak membuka petualangan rahasianya kepadaku.
Pagi itu, ia mengajakku masuk ke ruang kerjanya. Satusatunya ruang yang tidak pernah tersentuh oleh Ibu dan
keapikannya yang super. Ruang kerja Ayah seperti tempat
sampah kertas dalam skala besar. Untuk bisa mencapai meja
kerjanya, aku harus berjingkat-jingkat melewati kertas dan
buku yang berserakan di lantai.
Di kursi kerjanya, ia mendudukkanku.
"Tidak ada setan di Bukit Jambul," katanya tiba-tiba.
Aku tersentak. Ini kejutan besar.
"Ayah sudah masuk ke Bukit Jambul sejak Ayah masih
delapan belas tahun. Di sana Ayah menemukan harta ter"
besar yang barangkali tidak akan ditemukan di tempat lain
di negeri ini. Tidak cuma Batu Luhur yang bisa menikmati"
nya, Zarah. Tapi juga Indonesia. Bahkan dunia."
"Harta apa, Yah?" Di otakku melintas cepat gambar peti
harta karun berisi koin emas dan tiara bertatahkan batu mu"
lia. "Portal, Zarah."
Gambar di kepalaku seketika pupus.
"Dan tidak cuma itu, satu pohon Bukit Jambul adalah
rumah bagi puluhan bahkan ratusan spesies, termasuk fungifungi langka yang punya potensi besar menyelamatkan Bumi.
Satu saja pohon di Bukit Jambul ditebang, semua spesies tadi
Partikel ikut hilang. Tugas kita, Zarah, adalah melindungi hutan di
Bukit Jambul dari manusia."
Ayah menangkupkan tangannya di pipiku, berkata sung"
guh-sungguh, "Kita, manusia, adalah virus terjahat yang
pernah ada di muka Bumi. Suatu saat nanti, orang-orang
akan berusaha meyakinkanmu bahwa manusia adalah bukti
kesuksesan evolusi. Ingat baik-baik, Zarah. Mereka salah
besar. Kita adalah kutukan bagi Bumi ini. Bukan karena
manusia pada dasarnya jahat, melainkan karena hampir se"


Supernova 4 Partikel Karya Dewi Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mua manusia hidup dalam mimpi. Mereka pikir mereka
terjaga, padahal tidak. Manusia adalah spesies yang paling
berbahaya karena ketidaksadaran mereka.
"Manusia yang tidak sadar akan melihat Bukit Jambul
sebagai lahan untuk tanam sayur, sebagai bahan furnitur
kayu, sebagai tempat berburu burung-burung cantik yang
bisa dijual ke orang kaya. Atau seperti abahmu dan orangorang di kampung, Bukit Jambul dianggap sebagai sarang
setan. Mereka yang melek sedikit mungkin bisa melihatnya
sebagai kekayaan botani. Tapi sebetulnya, Bukit Jambul lebih
dari itu semua." "Waktu Adek lahir, Ayah ke mana?" Pertanyaan itu me"
luncur dari mulutku begitu saja.
"Ayah di Bukit Jambul. Tapi Ayah tidak kesurupan. Ada
sesuatu yang terjadi. Portal itu membuka...."
"D"dimensi lain?" tanyaku. Tanpa kutahu apa artinya.
"Portal itu lama menutup karena mereka akhirnya sudah
Keping 40 menemukan jalan lain. Mereka juga ber-evolusi seperti kita.
Setahun yang lalu, portal itu tiba-tiba membuka. Mereka
ingin menunjukkan sesuatu kepada Ayah. Dan Ayah diajak
ikut masuk." "Ayah ke mana" Mereka itu siapa?"
"Ayah tidak pernah kesurupan, Zarah," ulangnya lagi.
Matanya berketap-ketip. Ia mendongak, menggoyang-go"
yangkan kepalanya seperti ingin mengusir pening.
"Ayah sehat" Ayah makan jamur lagi, ya" Jamur yang
mana?" desakku. Kantong belacu dalam kepalaku seperti
mau meledak. Begitu banyak pertanyaan yang kebelet men"
cari pasangan jawabannya.
"Jamur Guru. Itu yang harus kamu lindungi. Sampai ka"
pan pun, Zarah, jangan biarkan mereka membabat Bukit
Jambul. Mereka yang tidak sadar tidak boleh masuk."
Ini sungguh ganjil. Kepadaku, Ayah selalu menyebutkan
nama Latin untuk setiap fungi. Tidak pernah ia menggantigantinya dengan panggilan non-ilmiah. Apa pula itu Jamur
Guru" "Ayah cuma bisa percaya kamu, Zarah. Orang lain tidak
ada yang mengerti." Tentu saja. Cuma aku yang akan menelan semua cerita"
nya tanpa ragu. Tapi, justru saat itulah, ragu yang sebelum"
nya tak pernah ada mendadak membersit. Ayah bersikap
tidak seperti biasanya. Ada yang aneh dan asing padanya,
meski tak bisa jelas kudefinisikan.
Partikel "Semua ini kuwariskan untukmu. Kamulah penerus Ayah
untuk melindungi Bukit Jambul, melindungi Jamur Guru."
Aku memandang berkeliling. Semua ini" Maksudnya,
kertas-kertas berantakan ini"
"Lapangan di puncak Bukit Jambul sudah ada sejak kali
pertama Ayah ke sana. Dari dulu sudah banyak anomali di
sana, Zarah. Setahun yang lalu, waktu portal itu membuka,
aktivitas di sana meningkat luar biasa. Ayah ingin meneliti"
nya. Tapi, semua itu bukan keahlian Ayah. Kemampuan
Ayah terbatas. Ayah perlu dibantu banyak orang. Banyak
ahli. Tapi siapa yang mau percaya?" ratapnya.
Setahun yang lalu" batinku. Tak tahan lagi aku bertanya,
"Apa itu yang dimaksud Ibu waktu bilang Ayah pernah ke"
surupan?"" "Zarah," sela Ayah keras, tangannya ikut menggenggam
bahuku kencang, "dengar baik-baik. Ayah TIDAK PER"
NAH kesurupan." Terkesiaplah aku melihat Ayah mengejakan kata-kata itu
dengan garang, seolah akumulasi kekesalannya akibat di"
salahpahami terus-terusan oleh lingkungannya selama ini
siap diledakkan. Cepat, ia tersadar. Cengkeraman di bahuku
mengendur. Matanya yang tadi sempat menyiratkan murka
kini kembali dibayangi kesedihan, keputusasaan.
"Apa yang bisa Zarah bantu, Yah?" Aku bertanya sambil
menggenggam tangannya. Ayah menatapku lurus-lurus. "Kamu punya kemampuan
Keping 40 itu. Ayah sudah tahu sejak kamu kecil. Jamur Guru juga su"
dah mengonfirmasi. Kamu sanggup jadi mediator."
"A"apa itu?"
"Ketika manusia yang tidak sadar berubah jadi makhluk
sadar, saat itu juga dia terhubung dengan jaringan informasi
yang selama ini tersembunyi. Informasi penting tentang se"
mesta ini akan mengalir tanpa ada yang bisa menyetop. Saat
itulah manusia bisa berubah jadi pemelihara. Sekarang ini,
sedikit sekali manusia yang terhubung. Hampir semuanya
terputus dari jaringan. Mereka jadi penghancur karena akses
mereka tertutup. Mereka yang sudah terhubunglah yang pu"
nya kesempatan jadi mediator, menjadi jembatan untuk
informasi itu." "Informasi itu ada di mana, Yah?"
"Fungi," jawabnya tegas.
"Jamur Guru?" aku menebak.
Ayah mengangguk. "Juga beberapa tanaman lain. Enteo"
gen, Zarah. Itu kuncinya. Itulah akses termudah bagi kita,
manusia. Beberapa mamalia laut juga menyimpan informasi
sama, tapi kita tidak bisa mengaksesnya semudah kita meng"
akses enteogen. Dengan sesama mamalia kita harus ber"
telepati. Sedikit sekali yang punya kemampuan itu. Padahal,
begitu kita terhubung ke jaringan...," Ayah kembali men"
dongak, menggelengkan-gelengkan kepalanya, "semua infor"
masi itu, koneksi ke semua makhluk, tersedia tanpa batas."
"Zarah pasti akan bantu Ayah," tegasku sambil meng"
Partikel genggam tangannya lagi. Berusaha menariknya kembali ke
realitas ini. Kupikir kantong belacuku akan mengempis. Sa"
lah besar. Kantong itu malah makin menggembung. Media"
tor. Enteogen. Jamur Guru. Pertanyaan-pertanyaan baru.
"Banyak orang akan berusaha menjatuhkan kepercayaan
dirimu, meragukan ucapanmu, menganggapmu gila. Tidak
akan mudah, Zarah. Yang paling sulit dari semua itu adalah
percaya kepada dirimu sendiri, percaya bahwa kamu tidak
gila," Ayah mengerjapkan matanya, mengusir genangan air
mata. Baru itulah kulihat ayahku menangis. "A"adikmu...,"
dia terbata, "dia bukan anak jin. Dia tidak dikutuk Bukit
Jambul. Dia mengalami kelainan gen bernama Harlequin
Ichtyosis. Butuh berbulan-bulan untukku mencari tahu karena
ibumu dan Abah nggak kasih izin jenazah adikmu di"
autopsi." "Jadi, Adek meninggal karena sakit, Yah?"
"Karena kelainan itu, kulit adikmu sangat kaku sampai
sulit bernapas. Itu yang membuatnya tidak bisa bertahan.
Dia juga kena infeksi dari luka-luka peregangan kulitnya.
Jarang ada bayi Harlequin yang selamat. Dilihat dari bentuk"
nya, adikmu termasuk yang parah."
"Ibu sudah dikasih tahu?"
Ayah mengangguk. "Ibumu bilang, sudah nggak ada
gunanya. Penyakit atau bukan, Ayah tetap bertanggung ja"
wab karena sudah menelantarkan keluarga ini."
"Itu nggak adil!" protesku seketika. "Orang Batu Luhur
Keping 40 harus tahu tentang penyakit Adek! Mereka juga harus tahu
di Bukit Jambul nggak ada setan!"
"Belum, Zarah. Belum saatnya," balas Ayah cepat. "Bukit
Jambul harus tetap dijaga. Lebih baik biarkan begini. Selama
orang kampung nggak berani masuk, pohon-pohon itu akan
dibiarkan hidup. Jamur Guru akan tetap aman. Dan kamu,"
Ayah mengusap wajahku, "mata ketigamu harus terus dijaga,
Zarah. Cuma itu yang bisa mengantarmu selamat bolak-balik
antardimensi. Ngerti?"
"Gimana cara jaganya, Yah?" tanyaku. Aku bahkan tak
tahu di mana dan bagaimana wujudnya mata ketiga itu.
"Jangan sombong jadi manusia. Itu saja."
Air mukanya berubah relaks. Ia lalu menggandeng ta"
nganku. "Ayo, kita ke kebun. Kita ajak Hara."
"Ayah baik-baik saja, kan" Sehat?" tanyaku lagi.
"Sehat. Jamur Guru tidak akan menyakiti Ayah," jawab"
nya santai. Secepat itu ia bertransformasi.
"Kapan Zarah bisa membantu Ayah jadi"mediator?"
tanyaku sambil berharap semoga tak salah mengucap.
Ayah tersenyum. "Kapan pun kamu mau, Zarah. Kapan
pun kamu siap. Sudah Ayah wariskan ruangan ini dan isinya
untukmu. Apa pun yang ingin kamu tahu bisa dicari di sini."
Aku ikut tersenyum. Laba-laba pun bisa tersesat di tem"
pat ini. Ayahku terkadang sangat lucu.
Kami pergi bertiga ke kebun permakultur Ayah. Bermain
di sana seharian. Hara sampai tidur siang di saung. Aku
Partikel sibuk memanen jamur tiram yang sudah gemuk-gemuk.
Ayah mengamati koleksi funginya sambil sesekali menulis
khusyuk di jurnalnya. Tak ada yang luar biasa dari kegiatan
kami hari itu, tapi itulah salah satu kenangan masa kecilku
yang paling indah. Tepatnya, kenangan terakhirku tentang Ayah.
Esok paginya, aku terbangun karena udara yang terasa lebih
dingin dari biasa. Ternyata pintu kamarku terbuka. Langit
di luar masih biru keabuan, matahari baru akan terbit.
Hal kedua yang kusadari adalah kantong belacuku yang
tahu-tahu ada di lantai sebelah tempat tidur. Dilihat dari
bentuknya yang membesar, aku yakin ada sesuatu yang di"
masukkan ke dalam tas itu. Benar saja. Saat kuperiksa, jur"
nal Ayah ada di sana. Buku tebal berisi gabungan carikan
kertas yang ia bolong-bolongi dan jahit sendiri memakai be"
nang kasur. Ada yang tidak beres, batinku. Aku pun menghambur ke
luar kamar. Sofa kami tampak resik, tidak ada bekas ditiduri.
Ruang kerja Ayah yang biasanya terkunci terbuka lebar. Ti"
dak ada siapa-siapa di sana.
Aku berlari ke luar. Sepeda Ayah, yang biasanya tersandar
di tembok teras, tidak ada.
Keping 40 Berusaha kutenangkan diriku sendiri, mengatakan dalam
hati berulang-ulang bahwa Ayah sudah biasa begini. Ia bisa
hilang satu-dua malam tanpa kabar. Namun, rasa resah itu
begitu bergemuruh sampai perutku ikut terkocok-kocok.
Seharian itu aku mulas-mulas. Bolak-balik ke kamar
mandi. Ibu mengira aku masuk angin gara-gara tidur dengan
pintu kamar terbuka. Aku tahu ini bukan angin. Aku stres.
Ada yang tidak beres dengan Ayah.
Dua puluh empat jam berlalu. Kemudian empat puluh
delapan jam. Ibu mulai ikut resah, tapi ia terus berusaha po"
sitif dengan mengingat-ingat kebiasaan-kebiasaan negatif
Ayah. Ah, palingan dia kabur ke tempat terkutuk itu. Mungkin
dia pingsan di sana. Tenang saja, nanti juga pulang. Mana kuat
dia lama-lama nggak ketemu kamu, Zarah. Aku menahan diri
tak berkomentar. Pada hari keempat, Ibu mulai panik.
Abah mulai dilibatkan. Setelah itu, kepolisian. Beberapa
petugas berseragam datang ke rumah, menanya-nanyai Ibu.
Aku tak luput diinterogasi. Kuceritakanlah kegiatanku dan
Ayah sehari-hari. Petugas itu sibuk mencatat.
"Jadi, kamu nggak sekolah, Dik?" tanyanya.
"Nggak, Pak." "Belum pernah sama sekali?"
"Belum, Pak." Dia berdecak. Kepalanya menoleh ke ruang kerja Ayah.
Dengan bahasa tubuh, ia memberi kode kepada rekannya
untuk memeriksa ke sana. Partikel "Bapak mau cari apa?" tanyaku langsung.
"Kita harus periksa semua, Dik. Siapa tahu ada petunjuk,"
kata petugas di depanku. Rekannya membuka kamar kerja Ayah. Air mukanya
langsung segan. Berjalan saja susah di sana.
"Saya rapikan dulu boleh, Pak" Ruangannya berantakan
sekali. Besok Bapak bisa datang lagi," aku menawarkan de"
ngan senyum, semanis mungkin.
Mereka berpandang-pandangan. Akhirnya petugas itu
mengangguk. Mereka pun pamit pergi. Dari rumahku, me"
reka berencana memeriksa kebun dan rumah Abah di Batu
Luhur. Saat itu sudah pukul tiga sore. Aku sangsi mereka
betulan akan pergi ke kampung.
Semalaman aku mengurung diri di ruang kerja Ayah.
Membereskan berkas-berkasnya. Bermodalkan intuisi dan
pengetahuanku yang terbatas, aku memilah mana sampah
dan mana yang kelihatannya penting. Semua yang penting
aku masukkan ke dus dan kusembunyikan di kolong tempat
tidurku. Semua yang sampah aku susun rapi di rak dan meja,
menyulap mereka seolah-olah kelihatan penting.
Buku-buku Ayah hanya kurapikan tanpa kusortir. Pe"
rasaanku mengatakan, bukan di sana ia menyimpan petua"
langan rahasianya, melainkan di carikan-carikan kertas yang
ia jahit dan ia sebut jurnal. Ayah punya beberapa. Yang pa"
ling penting barangkali sudah ia selamatkan dengan me"
masukkannya ke kantong belacuku. Namun, aku merasa
Keping 40 perlu menyelamatkan jurnal-jurnal lamanya. Aku tak ingat
persis ada berapa jumlahnya, dugaanku sekitar empat. Jurnal
dalam kantong belacuku adalah jurnal Ayah yang kelima
sekaligus yang terakhir. Tak kutemukan jurnalnya yang lain. Satu pun.
Entah mengapa, aku merasa berburu dengan waktu. In"
tuisiku berkata untuk pergi ke rumah Abah di kampung
sesegera mungkin. Pagi-pagi buta, aku pergi ke Batu Luhur. Berharap petugaspetugas itu belum mendahuluiku. Aku terlambat. Rumah
Abah sudah digeledah kemarin sore, dan kata orang-orang
yang melihat, petugas-petugas polisi itu membawa pergi be"
berapa dus barang Ayah. Aku membongkari tiap kamar, mencari ke segala tempat
yang mungkin diselipi buku. Tak kutemukan apa-apa lagi.
Mereka sudah mengambil semuanya. Mengapa pekerjaan
Ayah ikut dilirik oleh pihak kepolisian, aku pun tak me"
ngerti. Bukankah seharusnya mereka cuma ditugasi untuk
mencari tahu keberadaannya" Bukan menyita barang-barang"
nya" Lunglai, terduduklah aku di saung di tengah kebun per"
makultur Ayah yang rimbun. Ayah sudah mewariskan semua
ini kepadaku, dan aku gagal menjaganya.


Supernova 4 Partikel Karya Dewi Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Partikel Kepalaku yang menunduk lemas tahu-tahu menegang.
Sesuatu mencuri perhatianku. Beberapa batang jamur men"
cuat dari tanah sekitar kaki saung. Psilocybe subaeruginascens.
Aku menyapa mereka, "Hai, ngapain di situ?"
Berbicara dengan fungi adalah hal normal di sini. Ayah
mengajari kami, termasuk para petani, untuk tidak segan
berbicara kepada tanaman. Apalagi kepada fungi. Dia bilang,
itu akan membuat mereka tambah subur. Terlepas benar atau
tidak efeknya demikian, yang jelas makhluk-makhluk ini
adalah pendengar yang luar biasa, yang tidak akan memo"
tong kita bicara atau memberikan solusi tak perlu. Sering
kali aku lebih senang bicara kepada tanaman ketimbang ke"
pada sesama manusia. Aku pun berjongkok mendekati jamur-jamur berpayung
cokelat itu, pandanganku tergiring untuk melongok ke ko"
long saung. Tepat di atas kawanan Psilocybe subaeruginascens
itu berkumpul, kulihat bungkusan plastik direkatkan ke balik
lantai saung dengan selofan. Kuraba bungkusan itu. Buku!
Segera kuambil cutter dari kantong belacuku, kulepaskan
bungkusan itu dari balutan selofan. Tak salah lagi. Jurnal
Ayah. Dan perasaanku berkata, masih ada yang lainnya.
Aku berjalan jongkok mengitari saung. Kudapati lagi se"
kelompok Psilocybe subaeruginascens. Benar saja. Tepat di
atasnya, lagi-lagi kutemukan bungkusan plastik serupa. Aku
terus berkeliling. Kudekap kantong belacuku yang kini bengkak karena ke"
Keping 40 penuhan. Ada kelegaan luar biasa yang sejenak menyapu
kumulasi kecemasanku atas hilangnya Ayah.
Total ada empat jurnal yang kutemukan. Empat kelom"
pok Psilocybe subaeruginascens berjaga di bawahnya layaknya
pasukan pengawal. Aku membungkuk di depan saung. "Terima kasih," bisik"
ku. Dan aku yakin mereka mendengar.
Kutinggalkan kebun sambil kuulang-ulang pesan Ayah
dalam hati: Semua yang ingin kamu cari ada di sini. Aku ber"
harap, termasuk di dalamnya adalah cara menemukan dia.
10. Hari demi hari berjalan. Dengan cara masing-masing, kami
berupaya mencari jejaknya.
Selain mengandalkan jasa polisi, Ibu dan Abah juga pergi
ke beberapa tempat di Jawa Barat, Tengah, Timur, demi me"
minta bantuan kepada "orang pintar" yang memang ke"
ahliannya mencari orang hilang. Warga Batu Luhur tak
ketinggalan menurunkan semua paranormal terbaiknya. Pe"
ngajian khusus juga beberapa kali digelar untuk membantu
kepulangan Ayah. Bukit Jambul kembali menjadi sasaran. Lagi-lagi, berbagai
cerita serupa tapi tak sama sampai ke kupingku. Firas sudah
diultimatum oleh istri jinnya untuk memilih salah satu, dia atau
Partikel Aisyah, dan Firas memilih tinggal di alam jin. Bayi setengah
ular yang dulu dilahirkan Aisyah adalah peringatan keras dari
para jin. Firas akhirnya berkorban demi keselamatan Aisyah dan
anak-anak. "Orang pintar" dari berbagai pelosok Jawa yang ditemui
Ibu dan Abah pun mengeluarkan analisis yang mirip-mirip,
semuanya menyinggung alam lain dan jin. Ada yang bilang
Ayah menyeberang karena memang ingin pindah alam, ada
yang bilang Ayah diculik, ada yang bilang Ayah berkorban
sebagai tumbal. Polisi mengaku tidak menemukan apa-apa. Dalam pen"
carian mereka yang berbulan-bulan dan tanpa hasil itu, polisi
menyita lebih dari setengah koleksi buku, berkas, dan doku"
men Ayah dengan dalih penyelidikan. Membuatku berang
dan curiga setengah mati. Aku tidak rela ruang kerja Ayah
diubrak-abrik, dan aku juga tidak percaya kalau satu-satunya
kepentingan mereka hanyalah mencari Ayah. Ada hal lain
yang menjadi motif di balik penyitaan itu. Entah apa.
Pada satu titik, mereka semua menyerah. Polisi, Ibu,
Abah, dan Batu Luhur. Dalam bilik pribadi orang-orang
yang dekat dengan Ayah, mereka mungkin masih berharap
dan berdoa. Tapi segala upaya investigasi praktis berhenti.
Ayah hilang ditelan Bumi. Jika memang suratan takdirnya
Firas kembali, maka ia akan kembali. Kalau bukan, ke ujung
dunia dicari pun tak akan ketemu, demikian konsensus final
Keping 40 orang-orang di lingkunganku. Mereka pun kembali ke jalur
masing-masing, meneruskan kehidupan mereka.
Sejak hilangnya Ayah, hubungan Ibu dan kakek-nenekku
berubah. Abah dan Umi, yang tadinya tak pernah berinisiatif
mampir ke rumah kami, kini rutin berkunjung. Dua atau
tiga kali seminggu. Perubahan yang sama terlihat pada hubungan Abah dan
Batu Luhur. Abah kembali mengunjungi kampung, mulai
terlibat lagi di kegiatan keagamaan, kembali memimpin pe"
ngajian di sana. Semua itu diawali oleh tujuan bersama men"
cari Ayah yang kemudian bergeser menjadi adaptasi kolektif
atas ketiadaannya. Tinggal aku yang bertahan mencari. Dengan caraku sen"
diri. Dan jadilah aku pihak yang terakhir beradaptasi.
Setiap malam selama berbulan-bulan, aku masih terisakisak pelan di kamar, memandangi satu per satu orderan foto
dari Ayah dalam tas belacuku. Mencoba menghidupkan lagi
kenangan saat aku berjalan-jalan dengannya di tepian sungai,
di kebun, dibonceng di jok belakang sepedanya.
Demikianlah rutinitasku. Sepanjang hari mempelajari jur"
nalnya sampai frustrasiku mentok. Sepanjang malam me"
nangisi kenangannya sampai tertidur. Siang, frustrasi. Ma"
lam, berduka. Aku tahu, sebagaimana orang-orang di sini tahu, Bukit
Si Cakar Rajawali 1 Matahari Esok Pagi Karya S H Mintardja Suling Pusaka Kumala 2

Cari Blog Ini