Suling Pusaka Kumala 2
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo Bagian 2 untuk menebus semua biaya besar yang telah mereka keluarkan ketika mengikuti ujian. Can Sianseng yang miskin hanya menjadi seorang sarjana gagal dan mencari nafkah dengan mengajarkan kesusasteraa kepada anak-anak dengan menerima upah sekadarnya. Dia hidup menyendiri dan tidak berkeluarga, dan kepada para muridnya dia terkenal bersikap keras dalam mengajar. Tangan kanannya selalu memegang sebatang bambu yang siap untuk dipukulkan kepada murid yang dianggapnya malas dan bodoh, dan kalau memukul diapun tidak tanggung-tanggung, yang dipukulnya tentu kepala anak-anak yang kepalanya gundul dikuncung pada ubun-ubunnya itu. Pada suatu pagi yang cerah, terdengar bunyi suara kanakkanak itu menirukan gurunya, suaranya serempak dan terdengar lantang. "Su-hai-lwe-kai-heng-te-yaaa.....! (Di empat penjuru semua orang adalah saudara)" Ucapan ini adalah sebuah ajaran Nabi Khong-cu yang mengajarkan bahwa di seluruh dunia ini manusia adalah saudara. "Han Lin, coba terangkan. Apa artinya ujar-ujar itu?" tanya Can Sianseng kepada Cheng Lin. Menaati pesan Gobi Samsian, Chai Li mengubah nama panggilan Cheng Lin menjadi Han Lin, agar tidak diketahui orang bahwa dia adalah keturunan Kaisar Cheng Tung. Maka, anak itu sendiri menganggap bahwa namanya adalah Han Lin dan mulai sekarang, agar memudahkan, kita sebut saja dia Han Lin. Han Lin mengerutkan alisnya, berpikir, Anak berusia hampir enam tahun itu tampak lebih jangkung dan tegap dibandingkan kawan-kawannya. Wajahnya bundar dan tampan, sepasang matanya bersinar sinar, hidungnya mancung dan mulutnya mengandung garis yang membayangkan kekerasan hati, daun telinganya lebar dan pembawaannya gesit dan menyenangkan. Kemudian, setelah berpikir sejenak diapun menjawab lantang. "Artinya bahwa semua orang ini bersaudara, antara saya dan Sianseng juga bersaudara, akan tetapi karena Sianseng jauh lebih tua, sepatutnya Sianseng saya sebut Can-toako (kakak tertua Can) bukan Can Sianseng!" Can Sianseng terbelalak dan mukanya menjadi merah. "Apa katamu" Kau meng anggap aku ini kakakmu tertua" Kurang ajar!" Dan bambu di tangannya menyambar "Tak-tuk!" Dua kali kepala Han Li kena dipukul. Anak-anak yang lain tertawa. Mereka memang anak-anak yang sedang nakal nakalnya, maka seorang di antara mereka lalu berkata. "Selamat pagi, Can-toako!" Ucapan disambut sorak-sorai dan Can Sianseng menjadi semakin marah. Hampir semua kepala gundul itu mendapat bagian pukulan. Karena merasa kepala gundulnya dan melihat semua kawannya dipukuli, Han Lin menjadi penasaran. Dia mengangkat telunjuk kanannya atas dan berseru, "Sianseng, saya ingin bicara!" "Bicaralah!" kata guru itu dan semua anak terdiam mendengarkan. Betapa beraninya Han Lin hendak membicarakan sesuatu selagi guru mereka marah-marah dan mengamuk seperti itu. "Sianseng, apakah semua ujar-ujar seperti itu harus ditaati dan dilaksanakan?" tanya Han Lin. "Pertanyaan tolol! Tentu saja harus ditaati dan dilaksanakan oleh seluruh manusia di dunia ini!" jawab sang guru. "Apakah namanya orang yang mentaati dan melaksanakan ujar-ujar itu?" tanya pula Han Lin, suaranya masih lantang. "Apa engkau lupa, bodoh" Namanya kuncu (budiman)." "Dan apa namanya orang yang tidak nentaati dan tidak melaksanakan ujar-ujar itu?" "Namanya siauw-jin (manusia rendah)!" "Wah, kalau begitu, Sianseng. Kesini-kan tongkat itu, beri pinjam padaku sebentar." Han Lin bangkit berdiri dan mengangsurkan tangannya untuk minta pinjam tongkat bambu yang berada di tangan gurunya. "Heh" Hah?" Can Sianseng menjadi bingung. "Untuk apa?" "Untuk memukul kepala Sianseng berapa kali biar benjolbenjol!" Semua murid terbelalak dan guru itu sendiri terbelalak, akan tetapi lalu marah sekali. "Apa" Kau..... anak sssee-setan! berani engkau hendak memukuli kepalaku?" "Eh-eh-eh, ingat baik-baik, Sianseng jangan marah dulu. Baru kemarin sianseng mengajarkan sebuah ujar-ujar yang berbunyi demikian : "Jangan melaku-kan sesuatu kepada orang apa yang kita sendiri tidak suka orang melakukan kepadamu!' Nah, bukankah Sianseng mengajarkan begitu" Kalau sekarang Sianseng tidak suka saya pukul kepalanya dengan tongkat itu, kenapa Sianseng seenak saja memukuli kepala kami" Bukankah berarti Sianseng tidak menaati dan tidak melaksanakan ujar-ujar itu" Kalau Sianseng tidak suka kupukuli kepalanya den tongkat ini, berarti Sianseng adalah orang siauw-jin!" Mendengar ucapan Han Lin itu, temantemannya menjadi bersemangat dan berani, dan mereka meminta sepotong bambu itu dan berebutan untuk memukuli kepala dan muka Can Sianseng. Biarpun hanya berhadapan dengan anak-anak kecil namun Can Sianseng adalah seorang yang lemah dan anak anak itu amat nakal, maka ketika menerima sabetan bambu itu, dia melarikan diri keluar dari tempat itu dan setengah menangis dia pulang ke rumahnya. Sejak peristiwa di hari itu, Can Sianseng mogok tidak mau mengajar dan Chan Li segera mendengar dari anak-anak tentang ulah Han Lin. Ia memarahi anaknya. "Apakah kelak engkau akan menjadi seorang bodoh, menjadi seorang tukang pukul yang kasar?" tegur ibunya. "Ah, ibu. Apa artinya mempelajari semua ujar-ujar kalau tidak dilaksanakan" seorang guru harus memberi contoh kepada muridnya, baru sang murid akan menurut, bukan" Can Sianseng bukan guru yang baik!" Terpaksa Chai Li mengundang seorang guru lain yang lebih muda walaupun untuk itu ia harus mengeluarkan biaya yang lebih besar. Akan tetapi agaknya cara mengajar guru baru ini cocok dengan anak-anak dan mereka belajar dengan rajin. Pada suatu hari, ketika Han Lin sudah berusia enam tahun, datanglah Gobi Sam-sian berkunjung ke pondok Chai Li. Wanita mi segera menyambut dengan penuh kehormatan kepada tiga orang penolongnya dan cepat memanggil Han Lin. Han Lin sedang bermain dengan teman-temannya ketika dipanggil ibunya. Dia berlari-lari pulang dan melihat tiga orang tosu berusia lima puluh tahun lebih duduk di dalam pondok dan dihadapi ibunya yang kelihatan amat menghormati mereka. Mata yang tajam dari Han Lin mengamati tiga orang tosu itu penuh perhatian, hatinya bertanya-tanya. Ketika mereka dahulu menolong dia dan ibunya, usianya baru tiga tahun dan yang teringat terus dan terbayang di depan matanya hanyala ibunya rebah telentang dengan wajah berlumuran darah, terutama mulutnya yang mengucurkan darah segar. Bayangan itu tidak pernah terlupakan olehnya, bahkan sering mengganggunya di waktu tidur Akan tetapi tiga orang tosu ini sama sekali tidak dikenalnya. Tiga orang Gobi Sam-sian itupun mengamati Han Lin dengan penuh perhatian Mereka tersenyum dan merasa gembira. Dugaan mereka tidak keliru. Anak itu telah tumbuh dengan baik, berbadan tinggi tegap dan biarpun agak kurus namun kokoh dan sinar matanya penuh semangat dan kecerdikan. "Han Lin, cepat engkau berlutut memberi hormat kepada tiga orang suhumu (gurumu)!" kata Chai Li kepada puteranya. Namun Han Lin tidak segera melaksanakan perintah itu. Dia masih berdiri tegak memandang kepada tiga orang tosu itu bergantian, kemudian bertanya kepada ibunya, "Ibu, bagaimana mendadak mereka ini dapat menjadi suhuku?" "Han Lin, sam-wi in-kong (tiga orang penolong) ini pada waktu engkau baru berusia tiga tahun dahulu sudah mengatakan bahwa setelah engkau berusia enam tahun engkau akan menjadi murid mereka mempelajari ilmu silat." "Ibu, sam-wi totiang (ketiga orang pendeta) ini mempunyai kemampuan apakah hendak mengajarkan silat kepadaku" Kalau aku belajar silat, aku harus mempunyai seorang guru yang sakti agar kelak aku dapat menjadi seorang pendekar yang gagah perkasa seperti yang pernah ibu ceritakan. Aku harus dapat menjadi sakti seperti Sun Go Kong si Raja Monyet seperti yang pernah ibu dongengkan. Aku ingin mempelajari sastera dan silat sampai sedalam-dalamnya, bukan sembarangan saja." "Hushhh. Han Lin. Sam-wi in-kong ini adalah......." Gobi Sam-sian bangkit berdiri d mereka tertawa. Mereka tertarik sekal akan ucapan anak itu dan Ang-bin-sian Muka Merah berkata kepada Chai Li "Biarlah kami yang akan bicara dengannya." Jilid III ANG-BIN-SIAN lalu menghampiri Han Lin dan dia berkata, "Han Lin, apa yang kau katakan itu memang benar sekali. Untuk apa mempelajari suatu ilmu kalau hanya setengahsetengah" Kelak tidak ada gunanya, hanya dipakai untuk menyombongkan diri saja seperti gentong gosong yang nyaring bunyinya namun tak berisi. Marilah kita keluar dari dalam rumah dan engkau akan menilai sendiri sampai di mana kepandaian kami!" Dia memegang tangan anak itu dan dituntunnya keluar. Dengan penuh semangat Han Lin keluar karena dia memang hendak melihat apakah tiga orang tua itu pantas untuk mengajarkan ilmu silat kepadanya. Setibanya di luar rumah, Ang-bin-Man melihat dua batang pohon sebesar manusia dan dua buah batu besar dipekarangan depan rumah itu. Dia tersenyum. "Nah, engkau melihat dua batang pohon dan dua buah batu sebesar kerbau itu" Dapatkah orang biasa yang bagaiman kuatpun dengan sekali pukul menumbangkan pohon itu dan memecahkan batu itu dengan tongkatnya?" Han Lin terbelalak dan menggelengkan kepalanya. "Tidak mungkin. Pohon itu terlampau kuat dan batu itu terlalu besar untuk dipecahkan dengan pukulan tongkat!" "Begitukah" Nah, engkau lihat sekarang. Pinto (aku) akan merobohkan pohon pohon dan memecahkan batu-batu itu dengan tongkat pinto!" Setelah berkata demikian, Ang-bin-sian menggerakkan tongkat bajanya, bersilat di pekarangan itu. Tongkat bajanya menyambar-nyambar, mengeluarkan suara dahsyat bersuitan, makin lama dia bersilat makin mendekati dua batang pohon besar dan dua bongkah batu besar itu. Tak lama kemudian tongkatnya menyambar pohon. "Krakkk! Krakkk!!" Dua batang pohon itu tumbang terkena hantaman tongkat baja. Kakek itu terus bersilat dan kini tongkatnya terayun menghantam dua bongkah batu yang sebesar perut kerbau. "Darrr! DarrrH" Tampak debu mengepul dan dua bongkah batu itupun pecah! Ang-binsian menghentikan permainan silatnya dan Han Lin terbelalak, lalu memuji. "Hebat! Hebat sekali!" Dan dia bertepuk tangan dengan girangnya. It-kiam-sian melangkah maju. "Han Lin, engkau lihatlah sekarang aku menggunduli pohon di sana itu dengan pedangku!" Setelah berkata demikian, tosu ini mencabut pedangnya dan mulai bersilat dengan pedangnya. Pedang itu menyambar-nyambar dan berubah menjadi segulungan sinar. Ketika tosu ini bersilat semakin cepat, gulungan sinar pedang itu melayang ke arah pohon. Bayangan It-kiam-sian hanya tampak samar-samar saja dan kini ia meloncat tinggi ke atas pohon sambil tetap memutar pedangnya. Gulungan sinar pedang ke arah puncak pohon dan tampaklah daun-daun pohon dan ranting berhamburan dan dalam waktu singkat saja pohon itu telah "dicukur" sehingga bentuk seperti sebuah payung besar! Ketika it kiam-sian melompat turun dan menyimpan pedangnya, Han Lin yang sejak tadi terbelalak, menepuk tangan dengan kagum girang sekali. "Hebat sekali!" Pek-tim-sian mengebutkan kebutan sambil tertawa. "Anak baik, agaknya engkau tidak akan yakin kalau belum melihat dengan mata kepala sendiri. Itu kebiasaan yang baik. Jangan mudah percaya kalau tidak melihat sendiri, itu sikap orang budiman. Sekarang lihatlah ekor burung yang sedang berloncatan ranting-ranting pohon itu. Aku akan menangkapkan burung-burung itu untukmu." Setelah berkata demikian, Pek-tim-sian melompat. Tubuhnya amat ringan cepat dan memang tosu ini adalah seorang ahli gin-kang (meringankan tubuh) yang hebat. Kalau gerakan It-kiam-sian dengan pedangnya tadi masih tampak bayangannya, kini gerakan Pek-tim-sian dengan kebutannya sama sekali tidak tampak bayangannya, tahu-tahu tubuhnya sudah berada di pohon dan dua kali hud him (kebutan dewa) di tangannya bergerak, dua ekor burung itu telah digulung oleh ujung kebutan dan ditangkapnya. Bagaikan seekor rajawali dia melayang turun dari atas pohon, ketika dia tiba di depan Han Lin, kedua kakinya sama sekali tidak mengeluarkan suara dan dia tertawa. "Ha-ha-ha, pinto tidak mempunyai apaapa, hanya dua ekor burung ini pinto akan kepadamu, boleh kau perbuat apa yang kau suka." Han Lin menerima dua ekor burung itu, mengelus bulunya lalu dia melemparkan mereka ke udara sehingga mereka terbang ringan cepat sekali. "Han Lin, kenapa engkau lepaskan burung-burung itu?" Akan tetapi Han Lin sudah menjatuhkan dirinya berlutut menghadap tiga tosu dan berkata sambil memberi hormat berulang kali. "Teecu (murid) Han Lin mohon diterima menjadi murid sam-wi suhu (tiga orang guru) dan sejak saat ini tecu akan menaati semua perintah dan tunjuk suhu bertiga." Tiga orang tosu itu tertawa senang. Memang mereka ingin mengambil murid anak itu sejak tiga tahun yang lalu, maka melihat sikap anak itu mereka merasa gembira. "Han Lin, engkau belum menjawab mengapa engkau membebaskan burung-burung tadi?" "Suhu, burung adalah mahluk yang terbang bebas di udara. Kasihan sekali kalau mereka ditangkap dan dikurung. Tecu tidak suka mengurungnya, maka teecu lepaskannya." "Bagus!" kata Ang-bin-sian. "Kecil kecil engkau sudah dapat menghargai Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo kebebasan." "Sam-wi totiang (Para pendeta bertiga harap suka masuk ke dalam pondok untuki bicara. Silakan," kata Chai Li sambil memberi hormat. Tiga orang tosu itu tersenyum, mengangguk-angguk dan melangkah menuju pondok. Ang-bin-sian menggunakan tongkat bajanya menowel belakang punggung Han Lin dan anak itu terlempar keatas jungkir balik dan jatuh berdiri. "Hayo engkau ikut kami." Han Lin terkejut akan tetapi tidak menjadi takut, bahkan gembira sekali karena dia merasa yakin akan kelihaian tiga orang yang akan menjadi gurunya itu. Setelah mereka bertiga duduk di ruangan depan, Chai Li menghidangkan minuman air teh cair dan ia menceritakan tentang keadaan Han Lin. "Saya telah memanggil guru untuk mendidik Han Lin dalam kesusasteraan, sekarang dia sudah mulai dapat membaca dan menulis, dan mempelajari beberapa buah kitab agama." "Akan tetapi teecu tidak suka akan cara guru-guru itu mengajarkan isi kitab, suhu." Ang-bin-sian mengerutkan alisnya yang tebal. "Hemm, mengapa begitu?" "Habis, mereka mengajarkan perbuatan-perbuatan baik tanpa mereka sendiri melakukannya! Apa artinya semua pelajaran perbuatan baik itu kalau tidak dilaksanakan?" kata Han Lin sambil memandang kepada tiga orang gurunya dengan matanya yang bersinar-sinar. "Ha-ha-ha-ha, sungguh tepat!" kata It-kiam-sian. "Engkau hanya mengenal kulitnya tanpa mengetahui isinya!" cela Pek tim sian. Ang-bin-sian lalu berkata sungguh sungguh. "Memang sesungguhnyalah. Pelajaran perbuatan baik adalah untuk dilaksanakan, bukan untuk dibicarakan. Akan tetapi kalau tidak dibicarakan lebih dulu bagaimana engkau dapat mengerti" Perbuatan baik adalah satu perbuatan yang tidak direncanakan oleh hati akal pikiran. Semua perbuatan yang direncanakan oleh hati akal pikiran tidak mungkin baik, atau baik untuk dirinya sendiri saja. Perbuatan begitu tentu berpamrih demi diri pribadi. Akan tetapi kalau engkau sudah mempelajari nilai-nilai tinggi dalam kehidupan seperti yang diucapkan oleh kaum bijaksana di jaman dahulu, maka engkau akan memiliki dasar yang baik sehingga apapun yang kau lakukan tentu baik." Han Lin menjadi bengong, lalu menggaruk-garuk kepalanya. "Wah, pelajaran suhu sungguh sulit dimengerti!" Tiga orang gurunya tertawa. "Tidak mengapalah. Kelak engkau akan mengerti sendiri. Sekarang kami memperkenalkan diri," kata Ang-bin-sian. "Kami bertiga disebut orang Gobi Samsian (Tiga Dewa dari Gobi) karena kami memang suka merantau di daerah Gobi. Pinto sendiri disebut Ang-bin-sian (Dewa Muka Merah) dan engkau boleh menyebut aku twa-hu (guru tertua). Dia itu adalah It-kiamsian (Dewa Pedang Tunggal) dan nenjadi ji-suhu (guru kedua) bagimu dan yang seorang lagi itu adalah Pek-tim-sian (Dewa Kebutan Putih) menjadi sam-suhu (guru ketiga)." Han Lin memberi hormat kepada mereka seorang demi seorang sambil menyebut "Twa-suhu, ji-suhu dan sam-suhu". "Sekarang dengar baik-baik, Han Lin. Engkau sudah minta kepada kami untuk membuktikan kesanggupan kami untuk menjadi gurumu. Oleh karena itu, sekarang kami juga minta kepadamu untuk membuktikan kesanggupanmu untuk menjadi murid kami!" kata Ang-bin-sian. "Toa-suhu, teecu akan melaksanakan semua perintah suhu tanpa membantah!" kata Han Lin dengan suara tegas dan mantap. "Sebaiknya begitu. Ingat, mempelajari bu (silat) berbeda dengan mempelajari bun (sastera). Untuk sastera, engkau harus mempergunakan pikiran dan perasaanmu, Akan tetapi untuk mempelajari ilmu silat harus ada kesatuan antara pikiran, perasaan dan gerakan tubuhmu. Oleh karena itu engkau sama sekali tidak boleh malas dan harus melakukan segala yang kami perintahkan." "Teecu mengerti, suhu!" "Engkau harus mempelajari sastera, tiga hari dalam seminggu dan yang empat hari kami akan melatih silat kepadamu. Kami akan mencari tempat bertapa di pegunungan ini dan datang kesini setiap waktu untuk mengajarkan silat. Akan tetapi sekarang, tugasmu yang pertama adalah membersihkan halaman itu, mengampak kayu-kayu itu menjadi kayu bakar dan membersihkan semua daun daun situ." Han Lin terbelalak. Dua batang pohon besar tumbang dan banyak sekali ranting dan daun terbabat pedang. Kalau hanya mbersihkan daun dan ranting, dalam waktu sehari dua hari saja tentu akan selesai. Akan tetapi mengampak batang batang kayu itu menjadi kayu bakar yang kecil-kecil" Entah berapa lama dia harus bekerja keras! Akan tetapi tanpa ragu dia menjawab. "Teecu akan melaksanakan tugas itu. baiknya, toa-suhu!" Chai Li kelihatan gelisah mendengar caranya menerima tugas seberat itu dan melihat wajah wanita itu, Ang-bin-sian berkata sambil tersenyum. "Nyonya, biarlah puteramu mengerjakan semua perintah kami. Keberhasilannya dalam ilmu silat akan bergantung sepenuhnya kepada ketekunannya." Chai Li mengangguk walaupun ia merasa amat kasihan kepada puteranya. Dan tiga orang Gobi Sam-sian itu lalu berpamit untuk mencari tempat pertapaan yang cocok bagi mereka, yang tidak terlalu jauh dari kota Pao-tow. Mereka mendapatkan sebuah hutan cemara di lereng bukit dan mendirikan sebuah pondok kayu dan bambu di tempat itu untuk mereka tinggali dan bertapa. Sampai setengah bulan lamanya Han Lin membersihkan halaman rumah Nenek janda pemilik rumah menjadi senang sekali mendapatkan banyak kayu bakar dan memuji Han Lin sebagai anak yang rajin. Memang anak ini mempunyai semangat yang luar biasa. Biarpun bukan orang kaya, namun dia jarang melakukan pekerjaan berat. Akan tetapi begitu menerima perintah suhunya, setiap hari dia mengunakan kapak dan golok untuk membelah batang pohon. Dia bekerja tanpa mengenal waktu dan kedua telapak tangannya sampai lecet-lecet dan akhirnya menjadi tebal. Setelah dia mulai dilatih oleh tiga orang tosu itu, dia mendapatkan tugas setiap hari yang lebih berat lagi! Pondok tiga orang tosu itu agak jauh dari sungai air, dan Han Lin bertugas untuk mencari dan memikul air dari sumber air dibawa ke pondok. Akan tetapi untuk melakukan pekerjaan itu, mula-mula dia harus menggunakan alas kaki dari kayu tebal yang kalau dipakai berjalan licin. Beberapa kali ia jatuh bangun menggunakan alas kaki kayu itu, air pikulannya tumpah sehingga ia harus kembali ke sumber air untuk menimba lagi. Akan tetapi, dalam keadaan seperti itu, walaupun tidak ada orang menyaksikannya, sebentarpun dia tidak pernah melepas alas kaki itu dan dengan gigih dia berjuang sampai akhirnya dia dapat memikul air itu ke pondok menggunakan alas kaki! Tampaknya saja ketiga orang gurunya tidak perduli, namun sesungguhnya mereka bertiga mengamati setiap gerak-gerik murid mereka dan mengintainya. Mereka sungguh merasa gembira sekali melihat kegigihan murid mereka yang masih berusia enam tahun itu. Bukan sampai di situ saja "penyiksaan" terhadap diri Han Lin yang kecil. Setelah itu mulai lincah dan terampil mempergunakan alas kaki sehingga dapat berlari-lari kecil sambil memikul airnya, tiga orang gurunya lalu memasang dua buah gelang kaki dikedua kakinya. Gelang baja itu masingmasing satu kati beratnya. Biarpun 1 kati itu ringan kalau diangkat, akan tetapi ketika dia mulai memikul air mengunakan alas kaki kayu, gelang itu rasanya lebih dari sepuluh kati beratnya! Dan tidak hanya sampai di sini saja. Setelah dia mulai terbiasa dengan beban gelang itu, gelangnya ditambah dengan yang lebih besar dan berat sehingga dalam waktu tiga bulan gelang di kedua kakinya itu masing-masing seberat lima kati! Dia menaati perintah guru-gurunya tanpa mengeluh. Di lubuk hatinya dia tahu bahwa guru-gurunya sedang menggemblengnya untuk menjadi orang yang kuat dan dia membantu usaha guru-gurunya itu dengan menaatinya. Setelah lewat tiga bulan, Ang-bi sian membuat sebuah pikulan baru. Pikulan itu terbuat dari rotan-rotan kecil yang digabung menjadi sebuah pikulan besar Han Lin diharuskan memikul kedua gentung airnya dengan pikulan dari rotan itu. Mula-mula dia merasa kaku, karena pikul itu agak lentur. Akan tetapi lama kelaman dia terbiasa dan dapat mengatur keseimbangannya sedemikian rupa sehingga kalau dia memikul air sambil setengah berlari, kedua kaki dan tangannya membuat gerakan seperti orang menari untuk menjaga keseimbangan badannya. Akan tetapi sebulan kemudian, gurunya mengambil dan melolos sebatang rotan dari pikulan itu! Dan setiap seminggu sekali, pikulan itu dikurangi sebatang rotan sampai menjadi kecil dan lentur sekali. Namun, Han Lin dapat menyesuaikan diri dan dapat memikul air itu sampai ke pondok. Latihan-latihan sambil bekerja macam Itu dilakukan Han Lin selama dua tahun! dan dia sama sekali belum diajar ilmu silat! Sungguhpun demikian, dengan gerakan mengatur keseimbangan badan ketika ia memikul air, dia sudah menguasai dasar gerakan kaki dalam ilmu silat. Dia tahu bahwa dia belum dilatih ilmu silat, bahkan ibunya mulai mengomel kalau bertanya kepadanya apakah dia sudah diajari ilmu silat. "Belum, ibu. Akan tetapi aku disuruh kerja berat. Lihat ini, otot-otot kaki dan tanganku menjadi kokoh. Aku tidak pernah masuk angin, aku selalu bangun pagi pagi sekali dan merasa tubuhku selalu sehat dan segar. Ini semua berkat pekerjaan yang ditugaskan sam wi suhu (guru bertiga) kepadaku dan aku berterima kasih sekali!" "Akan tetapi apa artinya kepandaian memikul air" Apakah engkau kelak akan menjadi tukang pikul air" Engkau harus menjadi seorang pendekar, Han Lin, dan karena itu engkau harus belajar ilmu silat. Biarlah besok akan kutanyai mereka mengapa sampai sekarang engkau belum dilatih ilmu silat," kata ibu yang merasa kecewa itu. "Jangan, ibu! Aku sudah senang sekali dengan cara mereka mengajar. Di sini aku tidak hanya mendapatkan teori saja akan tetapi langsung aku mendapatkan manfaat pada tubuhku. Kita harus bersabar, ibu. Bukankah kesabaran itu pangkal keberhasilan?" Han Lin memang pandai bicara da kalau sudah begitu, ibunya mengalah "Baiklah, aku tidak akan bertanya secara langsung, akan tetapi akan menanyakan sampai di mana kemajuanmu. Hal itu boleh saja dan sudah menjadi hakku sebagai ibumu, bukan?" Han Lin tersenyum. Diapun heran. Apa yang akan dijawab oleh ketiga gurunya kalau ibunya menanyakan kemajuannya dalam mempelajari ilmu silat" Benar saja. Pada keesokan harinya, ketika dengan berjalan santai tiga orang tosu itu datang ke rumahnya untuk "melatih" silat kepada Han Lin dan yang biasanya berakhir dengan membawa Han Lin pergi ke bukit mereka untuk bekerja keras, Chai Li bertanya dengan sikap hormat. "Selamat pagi, sam-wi totiang (bapak pendeta bertiga). Dapatkah sam-wi totiang menjelaskan kepada saya, sampai di mana kemajuan ilmu silat yang sam-wi (kalian bertiga) ajarkan kepadanya?" Tiga orang tosu itu saling pandang, kemudian memandang kepada Han Lin yang berdiri di situ sambil menundukkan mukanya. Pada saat itu tiba-tiba terdengar-eriakan banyak orang. "Tolong cegat! Tolong!" "Jangan boleh lari, tahan dia!" Mereka semua melihat ke jalan dan ternyata serombongan orang sedang mengejar-ngejar seekor kerbau muda yang lepas. Kerbau itu agaknya panik dikejar kejar dan diteriaki, dan diapun mengamuk. Kalau ada orang hendak memegangnya, dia menyerang dengan tanduknya sehingga tak seorangpun berani menghalanginya. "Han Lin, perlihatkan kepada ibumu bahwa engkau mampu menangkap kerbau itu. Cepat lakukan. Hati-hati terhadap tanduknya, engkau harus pandai menghindar, rangkul lehernya dan puntir kepala nya!" kata Ang-bin-sian. Tanpa mengucapkan sepatah pun kata,. Han Lin lalu berlari ke jalan. Ibunya memandang dengan mata terbelalak dan hati gelisah sekali. Orang dewasa saja tidak berani menangkap kerbau itu, kini anaknya disuruh menangkap! Dengan jantung berdebar penuh kekhawatiran Chai Li berlari keluar pekarangan, di kuti oleh tiga orang tosu itu yang berjalan dengan santai. Kerbau yang mengamuk itu datang. Dengan sigapnya Han Lin menyambutnya. anak ini memiliki gerakan yang ringan dan cepat bukan main. Hal ini adalah hasil dari gelang-gelang kaki baja dan berlarian dengan alas kaki kayu licin sambil memikul air itu. Kedua kakinya tidak saja menjadi kokoh kuat kalau memasang Bhesi (kuda-kuda) akan tetapi juga amat ringan dan lincah. Dia berdiri mengembangkan kedua lengan terhadap kerbau itu dan mulutnya mengeluarkan teriakan. "Hiuuuhh...... berhenti.....!" Kerbau itu menjadi marah. Matanya merah mendelik kemerahan, tanda bahwa ia sudah marah sekali. Melihat ada seorang anak berani menghadang di depannya, dia lalu menurunkan kepalanya ke bawah, kemudian menerjang ke depan sambil menggerakkan kepalanya yang bertanduk dua. Sekiranya tanduk-tanduk itu mengenai perut atau dada Han Lin, mudah digambarkan akibatnya. Tentu dia akan terluka parah. Namun Han Lin melihat betapa gerakan serangan kerbau itu lamban. Dengan cepat kakinya melompat ke samping sehingga serudukan kepala kerbau itu lewat samping tubuhnya. Secepat kilat dia membalikkan tubuhnya dan melompat ke depan merangkul leher kerbau, memegang kedua tanduknya dan dengan sekuat tenaga tangannya yang Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo biasa memikul air dengan gentung dengan hanya beberapa batang rotan, dia memuntir leher kerbau itu bawah. Dan kerbau itupun rebah! Pemilik kerbau sudah tiba di situ dan cepat orang ini memasangkan tali kepada hidung kerbau yang sudah tidak berdaya itu. Setelah kerbau dapat dikuasai baru Han Lin melepaskannya. Tanpa rasa bangga sedikitpun dan menganggapnya sebagai hal yang lumrah dia mengebutngebutkan bajunya yang menjadi kotor karena pergulatan tadi. Chai Li berlari dan merangkul putranya. Baru sekarang terdengar tepuk tangan dan seruan memuji kepada Han Lin. tiga orang tosu tiba di situ dan mereka hanya tersenyum. Melihat dirinya dipuji puji orang, Han Lin segera mengajak ibunya kembali ke pondok mereka. Chai Li memandang kepada tiga orang tosu itu dan berkata dengan suara terharu "Sam-wi totiang, terima kasih sekali. atas gemblengan totiang kepada anak saya." Mulai hari itu, Han Lin mulai diajarkan dasar-dasar ilmu silat. Langkah-langkah ajaib dari It-kiam-sian, ilmu merinngankan tubuh yang istimewa dari Pek-ti sian, dan penghimpunan tenaga sakti dari Ang-bin-sian. Akan tetapi karena dia masih seorang kanak-kanak, tentu saja semua pelajaran disesuaikan dengan tubuhnya yang sedang bertumbuh dan berkembang. Gobi Sam-sian agaknya berusaha sungguh-sungguh untuk menurunkan inti dari ilmu-ilmu mereka kepada Han Lin. Mereka bahkan menggabungkan ilmu silat tangan kosong mereka menjadi semacam ilmu silat yang khusus diperuntukkan Han Lin dan ilmu silat tangan kosong ini mereka beri nama Sam-sian-kun (Silat Tiga Dewa). Di situ terkandung semua unsur terpenting dan terlihai dari ilmu silat tangan kosong masing-masing, karena dasar gerak langkahnya menggunakan ilmu dari It kiam-sian, keringanan tubuh dan kecepatannya menggunakan ilmu dari Pek-tim-sian dan tenaga sin-kangnya mengambil dari Ang-bin-sian! Mereka menggabungkan tiga macam ilmu silat tangan kosong dan bersama-sama mengajarkannya kepada Han Lin. Bahkan mereka sendiri tidak mampu kalau disuruh bersilat Sam-sian kun, karena tidak memiliki keistimewaan dari rekannya yang lain. Selama dua tahun dengan penuh ketekunan Han Lin melatih diri dengan Sam-sian-kun. Dia sudah mahir sekali. Hanya saja karena dia masih terhitung kanak-kanak, maka tentu saja dalam hal tenaga dan kecepatan dia belum dapat menggunakan sepenuhnya, hanya setingkat dengan perkembangan dan pertumbuhan badannya saja. Akan tetapi dia tidak menyia-nyia-kan pesan ibunya. Walaupun dia amat suka mempelajari ilmu silat dan melatihnya tanpa mengenal lelah, akan tetapi ada waktunya dia belajar sastera, diapun mempelajari sastera dan menghentikan latihan silatnya. Dan dalam ilmu inipun dia amat berbakat sehingga dua tahun kemudian dia sudah dengan mudah membaca kitab-kitab Su-si Ngo-keng, bahkan kitab Agama Buddha yang artinya mendalam. Pada suatu hari, pagi-pagi sekali Han Lin sudah membaca kitab Tiong-yo buah pikiran Nabi Khong-cu. Sebetulnya isi kitab ini amat mendalam, namun Han Lin berusaha untuk membaca denga mengerti apa yang dibacanya. Hari itu adalah hari sastera, maka dia tidak berlatih silat. "Han Lin, di mana engkau?" terdengar suara ibunya. "Aku di sini, ibu, di kebun'" Han Lin memang paling suka berada di kebun, baik kalau sedang berlatih silat maupun kalau sedang membaca kitab. Tempat itu selain sunyi, juga sejuk karena banyak di tumbuhi pohon. Ibunya muncul, membawa rantang tempat makanan dan berkata, "Han Lin pergi engkau ke rumah makan dan beli tiga macam masakan yang enak-enak." ia menyerahkan rantang dan beberapa potong uang kepada anak itu. Han Lin terbelalak heran. Tidak pernah ibunya menyuruh dia membeli masakan di rumah makan. Harganya mahal dan ibunya dapat memasak sayur-sayuran yang tidak kalah lezatnya. "Ada apakah, ibu" Mengapa membeli masakan di rumah makan?" Ibunya menulis dengan jari tangan di atas meja. "Sudahlah jangan banyak bertanya, Han Lin. Lakukan saja apa yang kuperintahkan. Nanti setelah makan-makan akan kuceritakan semua sejelasnya kepada mu." Han Lin tidak membantah lagi dan dia segera pergi ke sebuah rumah makan besar di kota Pao-tow. Setibanya di situ, seorang pelayan menyambutnya dan dia memesan tiga macam masakan "yang paling enak" seperti yang dipesan ibunya sambil menyerahkan uang dan tempat masakan. Pelayan menyuruh dia duduk menunggu. Han Lin duduk di sebuah bangku yang kosong. Tiba-tiba hatinya tertarik sekali mendengar percakapan dua orang yang duduk semeja, tidak jauh dari situ. Mereka adalah dua orang laki-laki berpakaian sastrawan, berusia kurang lebih tiga puluh tahun. Tampaknya mereka sudah setengah mabok dan mereka bicara lantang. "Sim-twako (kakak Sim), aku sungguh tidak mengerti melihatmu. Setahuku engkau telah lulus berkali-kali dari perguruan Engkau terkenal pandai dan dapat menulis cepat dengan indah. Akan tetapi kenapa sampai sekarang engkau belum menjadi siucai (sarjana)" Bukankah engkau sudah mengikuti ujian di kota raja?" tanya orang yang tinggi kurus. Orang yang bermuka merah itu menuangkan araknya ke dalam mulut, lalu menghela napas panjang dan berkata "Berkali-kali orang mengatakan, kalau tidak beruang jangan sekali-kali mempelajari sastra. Apa gunanya" Betapapun pandainya engkau dalam kesusasteraan, tanpa uang di saku, jangan harap akan lulus ujian negara. Sebaliknya, seorang tolol sekalipun dapat lulus dengan baik kalau dia mampu menyuap. Sudah lima kali aku mengikuti ujian negara. Semua hasil ujian ku baik sekali, namun tetap saja dinyatakan tidak lulus. Gagal!" "Benar sekali itu. Aku juga mendengar bahwa Louw Sam dari dusun Ki-bun sekali ujian lulus akan tetapi dia harus nenghabiskan harta orang tuanya untuk menyuap. Padahal waktu belajar dia bodohnya bukan main!" "Tentu dia akan menjadi seorang pejabat yang korup untuk dapat menarik kembali hartanya yang telah dikeluarkan, berikut bunganya. Tidak mengherankan kalau semua pejabat sekarang ini melakukan korupsi, karena masuknya menjadi pejabat juga menelan biaya yang besar. Ah, orang miskin macam kita ini sebaiknya dulu belajar ilmu silat saja. Kalau kita pandai silat dan bertubuh kuat, setidaknya kita dapat masuk menjadi tentara atau bekerja diluar. Banyak yang membutuhkan orang yang kuat dan pandai silat. Akan tetapi, sasterawan" Hanya dicemooh orang, dikatakan kutu buku, tukang melamun dan sebagainya." Masakan yang dipesan Han Lin sudah tiba dan terpaksa Han Lin menghentikan perhatiannya terhadap percakapan itu dan pulang. Akan tetapi apa yang didengarnya sudah lebih dari cukup. Amat berkesan didalam hatinya. Dia tahu bahwa para pejabat pengurus ujian bertindak curang korup, makan suapan sehingga yang lulus menjadi sarjana hanya anak-anak orang kaya saja yang sebenarnya bodoh. Mereka kini menghadapi meja makan berdua saja. Chai Li dan Han Lin. Ketika Chai Li mengajak Bibi Cu, janda pemilik rumah untuk makan bersama, Bibi Cu menolak dan tertawa. "Kalian berdua makanlah, aku tidak ingin mengganggu kalian ibu dan anak," Chai Li mengajak puteranya maka minum sepuasnya: Nyonya itu tampak gembira bukan main, wajahnya yang masih tampak cantik dan segar itu bersinar sinar dan berseri penuh senyum. Setelah mereka selesai makan, barulah Chai Li bicara melalui tulisannya di atas kartu yang telah ia persiapkan sebelumnya karena ia hendak bicara banyak kepada anaknya itu. "Han Lin, hari ini adalah hari lahirmu yang ke sepuluh! Karena itulah engkau kuajak merayakannya dengan makan enak. Dan bukan itu saja. Sebagai hadiah ulang tahunmu, engkau akan mengetahui semua tentang keadaan dirimu, tentang asal usulmu." Han Lin menjadi gembira bukan main. sudah sering dia bertanya kepada ibunya tentang riwayat hidupnya, tentang ayahnya, akan tetapi ibunya selalu mengelak dan menyatakan belum tiba waktunya untuk memberi tahu. Dia segera duduk dengan baik dan tegak, siap membaca apa yang akan ditulis ibunya di atas kertas itu. Chai Li memang sudah mempersiapkan kertas dan alat tulis. "Han Lin, dahulu ibumu ini adalah seorang Puteri Mongol, keponakan dari kepala suku Kapokai Khan Yang Besar, Paman kakekmu itu adalah seorang kepala suku yang gagah perkasa, bahkan kakekmu pernah menawan Kaisar Cheng Tung yang masih muda dari Kerajaan Beng. Kakekmu tidak membunuh Kaisar Cheng Tung yang gagah berani itu, bahkan menjadikannya tamu agung. Paman Kapokai Khan menyuruh aku untuk melayani Kaisar Cheng Tung dengan baik-baik. Akhirnya Kaisar Cheng Tung dan aku saling jatuh cinta dan kami menjadi suami isteri." Han Lin terkejut sekali dan semua pertanyaan sudah berada di ujung lidahnya akan tetapi dia menelannya kembali ia siap membaca terus apa yang akan ditulis ibunya. "Akan tetapi, karena keadaan kerajaan Beng membutuhkan Kaisar Cheng Tung untuk kembali, Paman Kapokai Khan, Ia membebaskannya dan mengembalikannya ke selatan. Untuk sementara aku ditinggalkan dan kelak akan dijemput. Kemudian terlahirlah engkau, Han Lin." "Ibu, jadi aku ini......." "Engkau putera Kaisar Kerajaan Beng anakku. Engkau putera Kaisar Cheng Tung. Engkau seorang pangeran dan nama aselimu adalah Cheng Lin. Akan tetapi demi kcamananmu sendiri, engkau telah memakai nama Han Lin. Setelah ayah mu pulang ke selatan, aku menanti nanti. Akan tetapi sampai engkau berus tiga tahun, tidak juga ada yang datang menjemputku." Chai Li kelihatan bersedih dan tangannya mengeluarkan sebuah benda dari lipatan bajunya. Benda itu bukan lain adalah suling Pusaka Kemala pemberian Kaisar Cheng Tung. Dibelainya suling itu, didekapnya ke dada kemudian ia tidak dapat menahan perasaannya, ditempelkan suling itu di bibirnya dan mengalunlah lagu yang amat indah! Itulah lagu Mongol "Suara hati Seorang Gadis" lagu yang dulu sering dimainkan dan amat disuka oleh Kaisar Cheng Tung. Dan biarpun lidahnya sudah buntung separuh ia masih pandai meniup dan melagukan suling itu. Han Lin memandang kepada ibunya dengan bengong. Baginya, suara suling itu demikian indah dan kini dia memandangi -pada ibunya dengan perasaan lain. wanita yang lembut ini, yang selalu tampak cantik jelita walaupun tidak dapat bicara dengan jelas, adalah seorang Puteri Mongol! Ketika Chai Li berhenti meniup suling dan ia memandang kepada puteranya, ia melihat sepasang mata Han Lin yang tajam itu basah, Ia lalu merangkul anaknya. "Cheng Lin....!" terdengar ia menyebut nama itu dengan suara bercampur isak dan agak cadel dan ia mencium muka anaknya sambil menangis. "Ibu...., ibuku.....!" Kini Han Lin tidak dapat menahan hatinya lagi, ikut menangis bersama ibunya. Setelah tangis mereka mereda, Chai Li lalu memberikan suling berbentuk kecil itu kepada Han Lin dan menulis lagi. "Terimalah suling ini, anakku. Suling ini adalah pemberian ayahmu kepadaku, Suling Pusaka Kemala inilah yang menjadi tanda bahwa engkau adalah keturunan Kaisar Cheng Tung. Terima dan simpanlah baik-baik." Han Lin menerima suling itu bertanya dengan nada suara mengandung penasaran. "Ibu, kenapa ibu berada disini dan meninggalkan Paman Kakek Kapokai Khan. Kenapa kita tidak bersama mereka?" Ibunya menjawab dengan tulisan cepat "Masih panjang ceritanya, anakku. Ketika engkau berusia tiga tahun, terjad malapetaka itu. Seorang yang disangka utusan Kerajaan Beng datang untuk membunuh kita berdua." Membaca tulisan ini, Han Lin melompat bangun dengan kaget dan heran seketika. "Apa" Ayah mengutus orang untuk membunuh kita?" "Bukan ayahmu, Han Lin. Aku yakin akan hal itu. Ayahmu mencintaiku dan ia seorang yang bijaksana. Tentu ada orang lain yang mengutus pembunuh itu. mungkin keluarga Kaisar yang merasa khawatir kalau-kalau engkau, pangeran yang yang berdarah Mongol, kelak akan menggantikan ayahmu menjadi kaisar." "Hemm, sangat boleh jadi, ibu. Aku jarang mendengar pendapat ibu bahwa ayah yang mengutus pembunuh itu untuk membunuh kita." "Aku berani bersumpah bahwa pasti dia bukan utusan ayahmu Kaisar Cheng Tung. Utusan itu bernama Suma Kiang, orang yang jahat dan kejam luar biasa. Juga dia seorang yang pandai dan cerdik, hampir saja dia dapat membunuh aku, menculikmu pergi dari perkampungan mongol." Chai Li lalu menceritakan secara panjang lebar dan jelas akan semua peristiwa yang terjadi dalam tulisannya, ia ia menceritakan betapa ia menggigit putus lidahnya sendiri dalam usahanya membunuh diri daripada terjatuh ke dalam cengkeraman Suma Kiang yang hendak memperkosanya, Han Lin bangkit dari duduknya, berdiri tegak dan mengepalkan kedua tangannya "Aku akan belajar silat sampai kelak dapat membunuh Suma Kiang yang jahat itu. Sekarang aku mengerti mengapa sering aku bermimpi melihat ibu mengletak dengan muka berlepotan darah. kiranya ibu berusaha membunuh diri dengan menggigit putus lidah ibu sendiri." Chai Li merangkul puteranya, menciumnya lalu menulis lagi di atas kertas putih. "Pada saat nyawa kita terancam bahaya maut di tangan Suma Kiang itu muncul ketiga orang gurumu, yaitu Gobi Samsian. Mereka berhasil mengusir Suma Kiang dan menyelamatkan kita." "Akan tetapi pada waktu itu, kenapa ibu tidak mengajak Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo aku kembali ke kampungan Mongol?" Chai Li menulis. "Kita sudah dibawa jauh sekali oleh Suma Kiang. Aku sudah putus asa dan kecewa. Ternyata bangsaku tidak dapat dan telah gagal melindungi kita dari tangan orang jahat. Maka aku menyatakan kepada Gobi Sam-sian untuk merantau ke selatan dan mohon agar dia suka menjadi gurumu agar kelak dapat mencari ayahmu dan dapat membalas dendam kepada Suma Kiang dan yang mengutusnya. Gobi Sam-sian menerimanya dan demikianlah, mereka yang membawa dan mengatur sehingga kita dapat tinggal di rumah Bibi Cu ini." Han Lin merangkul ibunya dan berbisik di telinganya. "Engkau telah mengalami banyak kesengsaraan, ibu. Mudahmudahan kelak aku dapat mempertemukan ibu kembali dengan ayah." Pada saat itu tampak berkelebat tiga sosok bayangan dan tahu-tahu Gobi Sam-sian telah berada di depan mereka. Sikap tiga orang tosu itu tidak seperti biasanya, tenang dan sabar. Kini mereka kelihatan gelisah dan tergesa-gesa. Bahkan mereka telah memegang senjata mereka masing-masing, sudah siap untuk bertempur. "Sam-wi suhu....!" Han Lin berseru heran sambil memandang mereka. Juga Chai Li memandang mereka dengan mata terbelalak penuh kekhawatiran. Akan tetapi Ang-bin-sian sudah berkata, "Cepat Han Lin dan Nyonya! Cepat kalian kumpulkan pakaian yang perlu perlu saja dalam buntalan. Kita pergi meninggalkan tempat ini sekarang juga!" "Akan tetapi, suhu.....?" "Jangan banyak membantah! Bahaya maut mengancam kalian. Cepat atau kita akan terlambat!" Mendengar ucapan ini, Chai Li lebih mengerti keadaan. Tanpa bertanya ia dapat menduga apa yang terjadi maka ia menarik tangan Han Lin memasuki kamar dan mengeluarkan pakaian mereka, membungkus menjadi dua buntalan besar dan mereka menggendong buntalan itu. Suling pusaka kemala yang masih dipegang oleh Han Lin lalu diselipkan di ikat pinggang oleh anak itu. "Hayo cepat, ikut kami!" kata Ang-bin-sian dan ia mengajak mereka berlari melalui pintu belakang. Han Lin menggandeng tangan ibunya dan diajaknya berlari secepatnya mengikuti Ang-bin-sian, sedangkan It-kiam-sian dan Pek-tim-sian menjaga di belakang mereka. "Suhu, kenapa suhu mengajak kami berlari seperti ini?" Han Lin sambil berlari minta keterangan dari Ang-bin-sian. "Suma Kiang sudah sampai di Pao-tow!" kata Ang-bin-sian. Bangkitlah kemarahan Han Lin. "Suhu, tecu (murid) tidak takut! Mari kita lawan iblis jahat itu!" "Han Lin, dia lihai sekali!" kata Ang-in-sian dan Chai Li merangkul Han Lin ambil menggoyang-goyangkan tangan dia melarang Han Lin melawan. Diam-diam Han Lin merasa heran, juga kecewa. Ketiga suhunya berada di situ, kenapa harus takut" Bukankah ketiga orang gurunya lihai sekali dan dahulu pernah mengalahkan manusia iblis Suma Kiang itu" Ibunya tidak menceritakan betapa ibunya pernah menghantamkan Suling Pusaka Kemala ke ubun-ubun Suma Kiang dan itulah yang menyebabkan Suma Kiang di waktu itu tidak kuat menandingi Gobi Sam-sian. "Akan tetapi, suhu....." bantahnya. "Han Lin, dia lihai sekali. Kami buka tandingannya dan dia membawa seorang kawan yang tidak kalah lihainya. Mari kita cepat pergi!" kata It-kiam-sian. Han Lin menjadi semakin heran. Toa suhunya, Ang-bin-sian masih suka bersenda-gurau, akan tetapi ji-suhunya, It kiamsian, adalah orang yang kalau bicara kepadanya selalu serius. Macam apakah musuh besarnya yang bernama Suma Kiang itu" Mereka berlari terus naik ke atas bukit. Setelah mereka tiba di lereng atas dekat puncak, tiba-tiba terdengar suara tawa yang dahsyat sekali. "Hua-ha-ha-ha!!!" Suara tawa itu terdengar menggelegar dan meledak-ledak seperti halilintar, mengejutkan semua orang. Mendengar suara tawa itu. Ang bin-sian mendorong Han Lin untuk berlari lebih cepat lagi. "Nyonya Chai Li dan Han Lin! Cepat lari ke puncak dan bersembunyi di sana!" Dia tahu di puncak terdapat hutan yang lebat, tempat bersembunyi yang baik kali. Kini Han Lin menjadi khawatir juga. Bukan khawatir atas dirinya sendiri, melaainkan mengkhawatirkan ibunya. Andaikata tidak ada ibunya di situ, dia tentu tidak mau pergi meninggalkan tiga orang gurunya. Kini dia harus menyelamatkan bunya. Digandengnya tangan ibunya dan ditariknya ke atas, menuju puncak bukit. Sementara itu, Gobi Sam-sian berdiri dengan kedua kaki terpentang, tegak menanti pemilik suara tawa yang pasti akan datang itu. Mereka bersiap siaga. It-kiam-sian sudah menyelipkan pedangnya di punggungnya, Pek-tim-sian menyelipkan kebutannya di pinggang dan Ang-binn-sian memegang tongkat bajanya dengan tangan kanan. Pandang mata mereka mencorong, mencari-cari. Biarpun hati terasa tegang, namun mereka bersikap tenang sebagai layaknya seorang pendekar. Tadi ketika mereka berada di kota, tiba-tiba saja mereka bertemu dengan Suma Kiang! Datuk Huang-ho itu tampak lebih tua namun sama sekali tidak kehilangan pandang matanya yang liar dan mencemooh. Begitu melihat tiga orang Gobi Sam-sian, dia tersenyum mengejek. Di sebelahnya tampak seorang wanita yang cantik dan lembut, dilihat dari tubuhnya yang padat dan tampangnya yang cantik, orang tentu mengira ia baru berusia tiga puluh tahun, padahal usianya sudah lima puluh tahun. Seekor anjing besar menggereng dan memperlihatkan taringnya kepada wanita cantik itu. Ia mengerutkan alisnya dan berkata dengan suara lembut. "Tidak ada anjing yang menggereng kepadaku kubiarkan hidup!" Setelah berkata demikian, tampaknya ia seperti menudingkan telunjuk tangan kirinya ke arah anjing itu. Anjing itu menguik satu kali lalu berkelojotan dan mati! Gobi Sam-sian saja yang agaknya menjadi saksi peristiwa itu. Mereka terkejut bukan main. "Kita pergi!" kata Ang-bin-sian kabur dan mereka bertiga segera pergi dan situ. "Wanita itu...... ia sungguh berbahaya sekali!" Ang-bin-sian berkata kepada dua orang rekannya. "Nanti dulu!" kata It-kiam-sian, "jari tangannya begitu lihai. Tentu mengandung hawa beracun yang mematikan. Siapa lagi kalau bukan Ban-tok-ci (Jari Selaksa Racun)?" "Ban-tok-ci" Kau maksudkan ia itu Sam Ok (si Jahat ke Tiga)?" Pek-it sian bertanya, kaget sekali. "Agaknya dugaan It-kam-sian benar. Menghadapi Suma Kiang seorang saja sudah berat, apalagi ditambah Sam Ok. yang biasanya kalau Sam Ok muncul, maka Ji.Ok (si Jahat ke Dua) dan Toa Ok (si Jahat Pertama) akan muncul pula. Bagaimana kita akan mampu melindungi Han Lin dan ibunya" Kemunculan Suma Kiang tentu ada hubungannya dengan ibu an anak itu. Sebelum terlambat sebaiknya mari kita suruh Han Lin dan ibunya lari bersembunyi." Karena maklum bahwa mereka tidak dapat lari lagi setelah mendengar suara tawa yang mengandung hawa sakti amat kuatnya itu, Gobi Sam-sian menyuruh Han Lin dan ibunya berlari terus dan mereka berhenti di lereng dekat puncak untuk menghalangi Suma Kiang melakukan pengejaran terhadap ibu dan anak itu. Tiba-tiba dua sosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu di depan mereka telah berdiri dua orang yang ditunggu tunggu itu. Suma Kiang yang kini telah berumur lima puluh tahun lebih, jangkung kurus dengan sepasang matanya yang sipit seperti mata ular senduk, mulutnya tersenyum mengejek, memandang kepada Gobi Sam-sian dan berkata, suaranya menggeledek. "Gobi Sam-sian, apakah kalian belum jera dan masih hendak melindungi Puteri Mongol dan puteranya itu?" "Mana bocah remaja berdarah mongol itu" Serahkan dia kepadaku!" terdengar suara wanita cantik yang kulit mukanya agak pucat kehijauan itu. Gobi Sam-sian maklum bahwa sekali ini mereka harus berjuang mati-mati melawan dua orang manusia iblis itu. Sam-sian yang teringat akan watak Ban-lok-ci atau Sam Ok, segera tertawa mengejek. "Ha-ha-ha, pinto sering mendengar tahwa Ban-tok-ci Sam Ok adalah seorang wanita yang gagah perkasa yang tidak suka mencampuri urusan orang lain, apa-lagi memihak dan mengeroyok. Apakah sikapmu sekarang ini membantah sendiri keebenaran berita itu?" Sam Ok melirik dengan matanya yang tajam dan genit dan ia berkata, "Engkau tosu yang membawa pedang di punggung tentu yang berjuluk It-kiam-sian! Aku tidak membantu Suma Kiang. Aku datang untuk mendapatkan anak keturunan kaisar itu. It-kiam-sian, engkau tentu tahu di mana dia. Hayo berikan dia kepadaku kalau engkau ingin tetap hidup!" "Pinto tidak tahu di mana dia sekaing berada, akan tetapi seandainya pinto tahu, pinto tidak akan memberitahu kepadamu atau kepada Suma Kiang yang jahat!" "Hi-hi-hik, kalau begitu aku akan menyiksamu sampai engkau terpaksa mengatakan di mana dia berada!" Setelah berkata demikian, Sam Ok meraba pinggangnya dan tampak sinar hitam berkelebat ketika ia memegang sebatang pedang pendek berwarna hitam legam. "Siancai (damai).......! Hek-kong-kiam (Pedang Sinar Hitam)!" kata It-kiam-sia tanpa rasa takut. Diapun sudah mencabut pedangnya dan tampak sinar kilat nyambar. Pedang milik It-kiam-sian ini amat terkenal di dunia kang-ouw (sungai telaga) wilayah utara. Itulah Lui-kong kiam (Pedang Sinar Kilat) yang dahsyat. Pedang ini amat tajam dan kuat, dapat mematahkan besi dan baja, akan tetapi karena pemiliknya seorang yang bersih, seorang pendekar, pedang itu tidak mengandung racun, tidak seperti Hek-kong kiam yang mengandung racun berbahaya sekali. Sambil tertawa mengejek Sam Ok menerjang maju, pedangnya menyambar ganas. "Singgg...... wuuutttt.....!" It-kiam-sian tidak berani memandang ringan serangan lawan yang tampaknya dilakukan sembarangan saja ini. Dia mengunakan kecepatan gerakan tubuhnya untuk mengelak dan langsung membalas lengan tusukan pedangnya ke arah dada anita itu. "Ciaaaattt......! Tranggg.....!" Bunga api berpijar ketika Hekkong-kiam menangkis dan bertemu dengan Lui-kong-ham. "Wuuuttt.....!" Telunjuk tangan kiri Sam Ok menuding ke arah dada It-kiam-juan. Melihat serangan jari tangan kiri yang kemarin membunuh anjing itu, It-kiam-sian bersikap waspada. Dia mengerahkan sin-kang (tenaga sakti) sekuatnya ke dalam ujung lengan baju kirinya dan menyambut serangan Ban-tokci (Jari selaksa Racun) itu dengan sampokan ujung lengan baju. "Hyaaattt.....!" Ketika ujung lengan baju bertemu dengan ujung jari tangan, tangan kiri Sam Ok tergetar akan tetapi juga ujung lengan baju itu hancur. "Ha-ha-ha-hi-hik! Bersiaplah engkau untuk menerima siksaanku!" Sam Ok tertawa mengejek. Akan tetapi It-kian-sian adalah seorang ahli pedang yang memiliki banyak pengalaman di samping ilmu yang tinggi. Dia memutar pedangnya dengan dahsyat menyerang sehingga Sam Ok terpaksa berhenti mengejek dan mencurahkan perhatian untuk melawan tosu itu. Pertandingan pedang terjadilah dengan dahsyatnya Pedang mereka lenyap bentuknya dan yang tampak hanya sinar hitam dan sinar kilat yang menyambar-nyambar dengan ganasnya. Sementara itu, melihat Sam Ok sudah bertempur melawan It kian -sian, Suma Kiang tersenyum mengejek memandang kepada Ang-bin-sian dan Pek-tim-sian. "Ha-ha, kalian tahu bahwa kalian berdua tidak akan kuat menandingi aku, oleh karena itu katakanlah saja di mana ibu dan anak itu sebelum aku membunuh kalian!" "Suma Kiang, sampai matipun kami tidak akan sudi menyerahkan mereka kepadamu!" kata Ang-bin-sian dengan suara tegas dan dia sudah melintangkan tongkat bajanya di depan dada sedang Pek-tim-sian juga sudah melolos kebutan bulu putihnya yang tadi dipakainya sebagai sabuk. Marahlah Suma Kiang. Dia mengeluarkan teriakan garang dan tubuhnya menerjang ke arah dua orang lawannya dengan gerakan tongkat ular hitamnya yang dahsyat. Dua orang tosu itu sudah waspada dan mereka segera menyambut dengan tongkat baja dari Ang-bin-sian dan kebutan dari Pek-tim-sian. "Wuuuttt..... trang-trangg....!" Hebat sekali pertemuan senjata itu dan dua orang tosu terdorong ke belakang. Mereka terkejut sekali karena merasa betapa tenaga sakti Suma Kiang kini lebih kuat dibandingkan tujuh tahun yang lalu! Akan tetapi mereka tidak menjadi gentar dan mereka balas menyerang dengan hebat. Terjadilah pertandingan mati-matian, baik antara Sam Ok dan It-kiam-sian ataupun antara Suma Kiang yang dikeroyok dua oleh Ang-bin-sian dan Pek-tim-an. Akan tetapi setelah lewat puluhan jurus, Gobi Sam-sian mulai terdesak hebat. Biarpun mereka sudah mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua kepandaian mereka, namun pihak Suma Kiang dan Sam Ok memang lebih unggul maka mereka terdesak terus. Terutama sekali It-kiam-sian yang seorang diri harus melawan Sam Ok. Dia terus maju mundur dan bertahan melindungi dirinya. Namun, ilmu pedangnya memang hebat sekali sehingga pedang itu berubah sebagai lingkaran sinar perisai yang menghadang semua serangan lawan, dari manapun juga datangnya. Sam Ok mengubah ilmu pedangnya Tiba-tiba tubuhnya menggelinding kebawah tanah dan sinar pedangnya mencuat dari bawah, seperti ular mematuk-matuk arah kaki dan perut It-kiam-sian. Tosu ini terkejut bukan main. Dia kibaskan pedangnya dan cepat tubuhnya meloncat ke atas, demikian ringannya bagaikan seekor burung terbang. Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Akan tetapi Sam Ok tidak tinggal diam. Ia tertawa dan tibatiba tubuhnya juga melayang ke atas, bukan melayang biasa, melainkan berputar seperti gasing dan dari putaran itu pedangnya mencul secara tidak terduga-duga. "Kena....!!" la berteriak dan pedangnya bergerak demikian cepatnya sehingga tahu-tahu sinar hitam menyambar dan lengan kanan It-kiam-sian dekat siku terkena tusukan Hekkongkiam! Lengan kanan itu seketika lumpuh! It-kiam-sian maklum bahwa kalau racun pedang lawan sudah menjalar sampai ke jantungnya, dia akan mati, tak mungkin tertolong lagi. Maka, cepat tangan kirinya mengambil pedang Lui-kongkiam dan sekali tangan kirinya bergerak, pedang itu telah meyambar lengan kanannya di atas siku sehingga lengan kanan itu putus seketika. Darah muncrat. It-kiam-sian mengeluh dan roboh pingsan. Sam Ok tertawa dan berpikir bagaimana ia dapat menyadarkan It-kiam-sian untuk disiksanya agar dia itu mengatakan di mana adanya anak Kaisar itu. Pada saat itu, tongkat ular hitam di tangan Suma Kiang menyambar. Dua orang tosu itu menangkis, akan tetapi sekali ini Suma Kiang mengerahkan seluruh tenaganya dan dua orang tosu itu terdorong ke belakang, hampir terjengkang. Melihat keadaan mereka berdua, dan melihat betapa Itkiamsian juga sudah roboh oleh Sam Ok, Ang-bin-sian mendapat akal dan dia berseru nyaring sambil memandang ke bawah lereng. "Han Lin! Jangan keluar dari tempat persembunyianmu!" Mendengar seruan ini, kembali tongkat Suma Kiang menyambar ke arah Ang-bin-sian. Tosu ini, yang sudah terengah karena penangkisan tadi, mengerahkan sisa tenaganya, mengangkat tongkatnya menangkis. "Desss....!!" Ang-bin-sian roboh dan muntah darah. Kaki Suma Kiang menyambar dan gerakannya amat cepat, dilakukan dengan tubuh setengah terbang. Kakinya meluncur cepat dan kuat sekali dan biarpun Pek-tim-sian berusaha mengelak, tetap saja pundaknya terkena tendangan itu dan diapun roboh muntah darah. "Ha-ha-ha! Sam Ok, hayo kita cari anak itu!" kata Suma Kiang dan dia segera meloncat dan lari menuju ke puncak. "Hei , Huang-ho Sin-liong, " kenapa engkau malah naik" Bukankah tosu tadi berseru ke bawah?" "Ha-ha-ha, aku bukan seorang kanak kanak yang bodoh, Sam Ok! Dan Ang bin-sian juga bukan seorang yang goblok untuk berseru ke bawah kalau mereka itu bersembunyi di bawah. Hayo kita berlumba mengejar dan menangkap mereka!" Dua orang manusia iblis itu berlari seperti terbang cepatnya menuju ke puncak. Ang-bin-sian melihat ini dengan muka pucat. Akan tetapi karena tidak mampu berbuat apa-apa lagi, bersama Pek tim-sian dia lalu menghampiri It-kiam sian yang menggeletak pingsan dengan lengan kanan buntung sebatas atas siku. Dengan sisa tenaga yang masih ada, dua orang tosu ini menotok jalan darah untuk menghentikan darah mengalir keluar, kemudian mereka berdua menggotong It-kiam-sian meninggalkan tempat itu. Mereka tidak dapat berbuat lain kecuali berdoa agar dua orang manusia iblis itu tidak akan menemukan Han Lin dan ibunya. Setelah tiba di puncak bukit yang ada hutannya itu, dua orang manusia iblis itu berdiri di atas batu besar dan mereka tertawa sambil mengerahkan hawa sakti dari perut. "Hua-ha-ha-ha!" "Hi-hi-hi-hik!!" Dua macam suara tawa rendah dan tinggi itu mengandung kekuatan sakti, melanda permukaan puncak bukit itu gaikan angin badai. Dua orang ibu dan anak yang bersembunyi di dalam hutan di puncak itu juga tergetar dan menggigil. Jantung mereka terasa diguncang dan suara tawa itu seperti terdengar tepat di atas kepala mereka. "Han Lin, kita harus lari dari sini. Mereka telah datang dekat!" Tulis Chai Li dengan jarinya di depan mukanya. Han Lin mengikuti gerakan jari tangan itu dan menjawab. "Akan tetapi, ibu. Tadi kita mendengar suara suhu Ang-binsian yang melarang kita meninggalkan tempat persembunyian kita ini," katanya ragu. Ibunya menjadi cemas dan menulis lagi. "Itu kan tadi. Sekarang buktinya mereka sudah begitu dekat suaranya, Kalau kita tidak cepat pergi, tentu kita akan tertangkap. Hayolah kita lari ke seberang puncak." Karena ibunya lari sambil menarik tangannya, Han Lin terpaksa juga mengikuti ibunya meninggalkan guna tertutup semak belukar di mana tadi mereka bersembunyi. Mereka lari menyeberangi hutan puncak itu dan tiba di tempat terbuka yang banyak mengandung batu-batu besar. "Ha-ha-ha! Kalian hendak lari ke mana?" tiba-tiba terdengar suara nyaring dan dari sebelah kiri tampak Suma Kiang dan Sam Ok datang berlari-lari sambil tertawa. Saking kagetnya, Chai Li terguling roboh. Akan tetapi dengan sigapnya Hal Lin menangkap tubuh ibunya sehingga tidak sampai jatuh terbanting. "Jangan takut, ibu. Aku akan melindungimu " kata Han Lin menghibur ibunya. "Hayo lari cepat! Mereka mencari engkau, bukan aku! Lari dan sembunyi!" Tulis Chai Li di udara. Chai Li mendorong-dorong Han Lin dan anak itupun terpaksa lari di depan ibunya. Belum jauh mereka lari, dikejar dua orang manusia iblis yang tertawa-tawa, mereka berhenti dan terbelalak melihat sebuah tebing jurang yang curam menghadang di depan mereka. "Han Lin, cepat kau lari ke sana!" Chai Li berkata dengan suara yang tidak jelas, akan tetapi ia menunjuk-nunjuk ke kanan. Han Lin menurut. Dia lari dan tiba di semak belukar. Dia menyusup ke dalam semak belukar, mengintai dengan mata terbelalak dan napas terengah-engah ketika melihat bahwa ibunya tidak ikut lari bersamanya. "Huang-ho Sin-Iiong, bunuh saja wanita itu dan biar aku yang mengurus anaknya!" kata Sam Ok sambil tertawa. "Enak saja engkau bicara, Sam Ok! Akupun membutuhkan wanita itu!" Sambil tertawa-tawa Suma Kiang menghampiri Chai Li. Wanita ini ketakutan dan ia mundur-mundur mendekati jurang yang ternganga lebar di belakangnya. Suma Kiang tertawa menyering "Hua-ha-ha, Puteri Chai Li! Setelah tambah tua, bagaikan bunga engkau lebih mekar semerbak, bagaikan buah engki lebih matang menarik!" Berkata demikian dia melangkah maju mendekat dan kedua lengannya dikembangkan siap untuk merangkul dan mendekap. Chai Li menggeleng-geleng kepalanya kemudian tiba-tiba saja wajahnya yang tadinya pucat menjadi kemerahan, matanya yang ketakutan berubah menjadi penuh kemarahan, bersinar-sinar dan sekali tangan kanannya bergerak, ia sudah mencabut sebatang pisau yang tajam dan runcing. Agaknya wanita ini telah mempersiapkan senjata sejak meninggakan rumah. Kemudian, sambil mengeluarkan suara lengkingan yang aneh, ia menyerang Suma Kiang dengan pisaunya. Akan tetapi melihat ini sambil tertawa Suma Kiang menggerakkan tangan kirinya sekali sampok saja pisau itupun terlempar dari tangan Chai Li dan tangan kanannya menyambar ke depan untuk menangkap pundak wanita itu. Chai Li meronta dengan gerakan liar. "Bretttt......!" Sebagian baju di bagian pundaknya robek dan tangan kanannya dapat terpegang oleh tangan kanan Suma Kiang. Chai Li dengan nekat lalu mendekatkan mukanya menggigit tangan yang memegangnya itu. "Aduh...!" Suma Kiang mengeluh dan terpaksa melepaskan pegangannya. Chai Li lalu berlari ke kanan. Akan tetapi Suma Kiang menubruknya dan mereka jatuh bergulingan di tepi tebing jurang itu. Chai Li meronta-ronta, menendang-nendang dengan kedua kakinya se-hingga akhirnya terlepaslah kedua buah batunya dan iapun terlepas lagi. Akan tetapi ia sudah terkepung. Di depannya yang yang curam, di belakangnya Suma Kiang. Untuk lari ke kanan atau ke kiri sudah tidak mungkin lagi karena kedua lakinya yang tidak bersepatu amat nyeri ketika menginjak batu karang. Ia tidak akan dapat terlepas dari tangan Suma kiang, kecuali kalau ia mengambil jalan yang satu ini. Dan ia mengambil jalan yang satu ini, yaitu melompat ke dalam tebing jurang yang amat curam. Sekali melompat, tubuhnya melayang ke bawah dan Suma Kiang menggereng ketika melihat calon korbannya melayang turun tanpa dia dapat menolongnya. "Ai i ihhhhh......!" Terdengar teriakan melengking, disusul teriakan lain yang datang dari mulut Han Lin! Anak itu melihat betapa ibunya melayang jatuh ke dalam jurang. Dia lupa diri sendiri dan lupa akan bahaya. Adanya dalam hatin hanya kemarahan terhadap Suma Kiang yang dianggap sebagai pembunuh ibunya. "Jahanaaaammmm....!" Han Lin melompat keluar dan lari menerjang Suma Kiang dengan Suling Pusaka Kemala di tangan kanannya. Biarpun Han Lin baru dua tahun belajar ilmu silat, itupun hanya belajar dasar-dasar dan langkah langkahnya saja dan ilmu silat yang sesungguhnya, yaitu Samsian Kun-hoat baru dilatihnya kurang dari tiga bulan, namun gerakannya sudah mantap, cepat dan tenaga besar. Akan tetapi, semua itu bagi Suma Kiang tentu saja tidak ada artinya. Hanya saja, Suma Kiang adalah seorang yang sombong dan selalu memandang rendah orang lain, apalagi seorang anak kecil seperti Han Lin. Melihat Han Lin menerjangnya, dia hanya tertawa dan tidak mengelak atau menangkis sama ekali. Han Lin menerkamnya dan mengangkat suling kemala lalu menghantamkan suling itu kepada dadanya dengan sekuat tenaga. Suma Kiang mengira bahwa Han Lin adalah seorang anak yang biasa saja, maka dia tidak mengelak dan menerima pukulan itu dengan dadanya. "Dukkk.....!" Suma Kiang menyeringai. Tak disangkanya anak itu memiliki tenaga yang amat kuat dan benda yang dipergunakan anak itu untuk memukulnya juga ternyata kuat sekali, seolah melebihi baja. Dia merasa nyeri pada dadanya, maka cepat tangannya menyambar, menotok dan Han Lin terkulai roboh di depan kakinya. "Suma Kiang, berikan anak itu kepada ku!" kata Sam Ok dan sekali bergerak tubuhnya sudah melayang ke arah Suma Kiang. Suma Kiang mengerutkan alisnya dan memandang kepada Han Lin yang rebal di depan kakinya. Anak itu roboh tak berdaya, akan tetapi tangan kanannya masih memegang suling berbentuk naga kecil, seolah suling itu telah berakar di tangannya dan tidak dapat dilepaskan lagi. Kemudian dia memandang kepada Sam Ok dan menggeleng kepalanya setelah melirik ke arah jurang di mana tadi Chai Li membuang dirinya. "Tidak bisa, Sam Ok. Aku baru saja telah kehilangan ibunya, maka sebagai penggantinya aku harus mendapatkan anaknya. Ini perlu sekali untuk menjadi bukti keberhasilanku. Aku harus membawanya ke kota raja!" "Suma Kiang, kita sudah saling berjanji bahwa engkau akan mendapatkan ibu nya sedangkan aku memperoleh anaknya Apakah engkau hendak melanggar janji-mu?" "Hemm, bagi Huang-ho Sin-liong Suma Kiang, tidak ada ikatan yang disebut janji itu. Sewaktu-waktu janji dapat diubah menurut keadaan!" "Suma Kiang, engkau berani menipuku" Apakah engkau sudah bosan hidup?" "Sam Ok, siapa yang takut kepadamu" Aku Suma Kiang tidak pernah takut pada mu dan kalau sudah ingin mampus, majulah dan cobalah untuk merampas anak ini dariku!" "Bangsat kau!" Sam Ok berteriak dan mencabut pedang Hek-kong-kiam. "Sam Ok, sebelum terlambat dan engkau mati olehku, biarlah aku menjanjikan sesuatu yang lebih baik bagimu. Bagaimana kalau aku mencarikan lima orang anak yang montok dan sehat sebagai pengganti anak ini untukmu" Engkau akan puas dan kita tidak perlu bermusuhan." "Tidak! Aku menghendaki keturunan Kaisar itu, biarpun hendak kau ganti dengan sepuluh orang anak, aku tidak dapat menerimanya. Serahkan anak itu kepadaku dan aku akan meninggalkan engkau tanpa mengganggu lagi." "Kalau begitu mampuslah!" Suma Kiang enjadi marah dan tongkat ular hitam-nya menyambar dahsyat. "Tranggg.....!" Sam Ok menangkis dengan pedang hitamnya dan membal serangan itu dengan tusukan yang tidak kalah berbahayanya. Suma Kiang memutar tongkatnya menangkis dan kedua orang itu sudah saling serang dengan dahsyatnya. Han Lin yang tidak dapat bergerak namun sadar itu hanya dapat mengikuti perkelahian itu dengan pandang matanya dam dia tidak tahu harus berpihak yang mana karena kedua orang itu memperebutkan dirinya dan dia merasa bahwa keduanya tidak mempunyai niat baik terhadap dirinya. Jilid IV BIARPUN tingkat kepandaian Sam Ok sudah tinggi dan ia seorang diri mampu mengalahkan It-kiam-sian, namun kini menghadapi Suma Kiang ia berhadapan dengan lawan yang lebih lihai. Pertahanan tongkat ular hitam dari Suma Kiang memang hebat sekali. Terutama tenaga sin-kangnya yang amat kuat sehingga setelah lewat lima puluh jurus, Sam Ok merasakan kelebihan tenaga awan ini. Pedang hitamnya mulai terpental bilamana bertemu langsung dengan tongkat lawan. "Sam Ok, kalau engkau tidak cepat pergi, engkau akan mampus di tanganku!" Suma Kiang membentak dan tongkatnya menyambar lagi dengan dahsyatnya. "Tranggg.....!!" Tiba-tiba sinar keemasan menyambar, menangkis tongkatnya dan membuat tongkat itu hampir saja terlepas dari pegangan. Demikian kuatnya! sinar keemasan itu menangkis tongkatnya. Suma Kiang terkejut bukan main dan cepat melompat ke belakang. Dia melihat seorang laki-laki tinggi besar, berusia sekitar enam puluh tahun, berpakaian mewah seperti seorang hartawan atau bangsawan, tersenyum-senyum memandangnya dan dia memegang sebatang pedang yang berbentuk seekor naga emas yang indah sekali. Wajah Suma Kiang berubah agak pucat ketika dia Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo memperhatikan orang itu. "Hemm, benarkah dugaanku bahwa yang berhadapan denganku adalah Thai Ok Toat-beng Kui-ong (si Jahat Pertama Raja Iblis Pencabut Nyawa)?" Orang tinggi besar itu tertawa bergelak dan wajahnya yang tampan itu tampak toapan (berbudi) dan ramah sekali, sama sekali tidak menunjukkan bahwa dia memiliki watak yang jahat. Akan tetap mengingat julukannya, sukar dibayangkan betapa jahat dan kejamnya orang ini Sampai mendapat julukan si Jahat Pertama, tentu wataknya luar biasa kejam dan jahatnya. Ban-tok-ci yang demikian kejam dan jahat saja baru mendapat julukan si Jahat ke Tiga atau Sam Ok! Apalagi yang berjuluk Toa Ok atau Thai Ok tentu lebih kejam lagi! "Ha-ha-ha, matamu memang tajam sekali, Huang-ho Sinliong! Dugaanmu tidak keliru. Akulah yang disebut Toa Ok!" "Hcmm, aku mendengar bahwa ketiga Sam Ok adalah orang-orang gagah yang pantang berlaku curang dan tidak sudi melakukan pengeroyokan. Akan tetapi mengapa sekarang engkau membantu Sam Ok dan mengeroyok aku?" "Ha-ha-ha, kalau berita sama dengan kenyataannya, untuk apa kami disebut si Tiga Jahat" Pula, aku datang bukan untuk membantu Sam Ok mengeroyokmu, melainkan aku datang untuk mendapatkan anak ini dari tanganmu. Maka, kalau engkau masih ingin hidup, pergilah, tinggalkan anak ini untukku!" "Setan! Untuk apa pula engkau menghendaki anak ini, Toa Ok?" teriak Sam Ok penasaran. "Ha-ha-ha, semua orang mempunyai kebutuhan masingmasing, Sam Ok. Ak butuh anak ini karena dia merupakan harta pusaka yang amat berharga bagi kerajaan Beng!" "Toa Ok, anak ini adalah hakku, milik ku. Akulah yang diutus oleh kerajaan Beng untuk menangkap dan membawanya ke kota raja!" "Hemmm, kaukira kami tidak tahu akan hal itu, Suma Kiang" Engkau diutus oleh Pangeran Cheng Boan, bukan oleh Kaisar. Akan tetapi aku berhak membawanya kepada Kaisar yang tentu akan mem beri hadiah yang lebih besar lagi. Bahkan kalau aku beruntung, Kaisar akan menghadiahkan sebuah kedudukan yang cukup mulia bagiku, ha-ha-ha!" "Jahanam, aku yang bersusah payah sejak bertahun-tahun yang lalu, sekarang engkau mau enaknya saja!" bentak Suma Kiang. "Ha-ha-ha, tentu saja dan itu sudah baik dan adil namanya, bukan?" jawab Toa Ok seenaknya. Suma Kiang tidak dapat menahan kemarahannya lagi dan dia sudah menerjang ke depan dengan tongkat ular hitamnya. Akan tetapi sekali ini dia bertemu dengan Toa Ok, orang pertama dari Tiga Jahat yang tentu saja memiliki ilmu kepandaian yang paling hebat diantara ketiganya. Tongkat ular hitamnya bertemu dengan sinar emas yang amat kuat sehingga kembali tongkatnya terpental begitu bertemu dengan Kim-liong-kiam (Pedang Naga Emas) dan dia terpaksa berlompatan ke belakang agar tidak dikejar senjata lagi. pertahanannya goyah. "Mampuslah......! Wushhhh.....!" Serangkum hawa menyerangnya dari samping dan dia cepat mengelak. Ternyata itu adalah jari telunjuk tangan kiri Sam Ok yang menyambutnya dengan sebuah serangan tusukan yang amat berbahaya karena jari itu mengandung hawa beracun yang amat ampuh. "Curang!" Bentak Suma Kiang. Akan tetapi Sam Ok malah terkekeh seolah teriakan itu merupakan pujian baginya. Serangan pedang Kim -liong-kiam telah datang membalas dan serangan itu seperti kilat datangnya. Tidak mungkin bagi Suma Kiang untuk mengelak maka terpaksa dia memutar tongkatnya untuk menangkis. "Trang-trang.....!" Kembali dua kali tongkatnya menangkis dan untuk dua kali pula tongkatnya terpental sehingga terpaksa dia melompat lagi ke belakang karena kalau lawan mendesak dia tentu tidak mampu mempertahankan diri lagi. Suma Kiang bukan orang bodoh. Dia maklum bahwa melawan Toa Ok seorang saja sukar baginya untuk menang, apa lagi di situ terdapat Sam Ok yang mengeroyoknya. Belum lagi kalau Ji Ok muncul, tentu dia akan celaka. Maka sambil mengeluarkan teriakan panjang karena kesal dan kecewa bercampur penasaran dan marah, dia melarikan diri pergi dari tempat itu. "Toa Ok, untuk apa engkau anak ini" Aku membutuhkannya untuk memperdalam latihanku dan menghisap sari tenaganya. Anak ini keturunan kaisar, tentu hawa sakti di tubuhnya melebihi anak-anak lain. Berikanlah kepadaku, Toa Ok!" "Hemm, bodoh! Engkau hanya memikirkan dirimu seorang, Sam Ok. Ketahuilah, untuk kebutuhan itu di dunia ini masih terdapat banyak sekali anak yang baik. Akan tetapi kesempatan memetik keuntungan dengan mengembalikan anak ini ke kerajaan Beng, hanya ada satu kali ini. Kalau tidak kita pergunakan kesempatan ini, sungguh kita amat bodoh!" "Akan tetapi, Toa Ok. Kaisar tentu sudah mendengar akan nama kita, dan dia tentu akan mengambil sikap bermusuhan dengan kita. Jangan-jangan dengan menyerahkan anak ini kepadanya, kita malah ditangkap dan dihukum! Aku lebih setuju dengan pendapat Suma Kiang. Kita serahkan saja anak ini kepada Pangeran Cheng Boan dan minta uang tebusan yang besar. Dia pasti akan memenuhi permintaan kita, apalagi kalau kita ancam bahwa kalau dia tidak mau memberi uang tebusan besar, kita akan berikan anak ini kepada Kaisar Chenp Tung!" "Hemm, usulmu itu baik sekali!" kata Toa Ok menganggukangguk sambil memandang ke arah Hari Lin yang masih menggeletak tidak dapat bergerak di atas tanah. "Kalau begitu, biar aku yang membawa anak itu dan menjaganya agar jangan sampai direbut orang lain." Sam Ok segera meloncat ke dekat Han Lin. Dia membebaskan totokan Suma Kiang pada anak itu, akan tetapi sebelum Han Lin dapat meronta, dengan sikap penuh kasih sayang Sam Ok sudah memegang tangan kirinya. "Anak yang baik, engkau menurut majalah kepada kami dan kami tidak akan bersikap keras kepadamu." Han Lin memandang ke arah jurang dan berseru dengan suara bercampur tangis. "Ibuuuu.....!" Namun hanya suara gema saja yang menjawab, gema yang terdengar mengaung aneh dan mengerikan. "Ibumu sudah jatuh ke dasar sana dan tentu hancur, percuma saja kau panggil dan tangisi. Sudahlah, jadikan aku sebagai pengganti ibumu!" kata Sam Ok menghibur dengan kata-kata lembut. "Tidak, ibuku tidak mati! Ibuku tidak boleh mati!" teriak Han Lin dan dia meronta untuk melepaskan diri dari pegangan tangan Sam Ok. Ketika merasa betapa pegangan itu erat sekali dan dia tidak mampu melepaskan diri, Han Lin lalu menggunakan suling yang masih dipegang di tangan kanannya untuk memukul. Sam Ok menangkap pergelangan tangan kanan itu dan sekali tangan kirinya bergerak menotok, Han Lin tidak mampu bergerak lagi dan tubuhnya menjadi lemas. Namun tetap saja tangan kanannya masih memegang suling kemala. Sam Ok lalu memanggul tubuh yang lemas itu dengan kepalanya di depan. "Anak baik, engkau menurut saja ke pada ibumu yang baru, hidupmu tentu akan senang sekali!" kata Sam Ok dan ia mendekatkan mukanya untuk mencium pipi Han Lin. Kemudian mulutnya yang berbibir merah itu tiba-tiba berada di dekat leher Han Lin dan mulut itu mengecup leher itu. "Sam Ok, jangan lakukan itu!" tiba tiba Toa Ok menghardik. Sam Ok melepaskan kecupan mulutnya dan di kulit leher Han Lin tampak bekas bibirnya. Kulit leher yang dihisap tadi tampak kemerahan namun belum terluka. "Aih, Toa Ok. Aku hanya hendak mencicipi beberapa tetes darahnya!" bantah Sam OK. "Lepaskan dia, engkau tidak boleh membawanya. Biar aku yang membawanya!" kata Toa Ok. "Toa Ok mari kita berlaku adil. Biar kuhisap dulu darahnya sampai habis, lalu kita penggal kepalanya dan bawa kepala itu ke kota raja untuk minta uang tebusan!" "Tidak, kalau dia sudah mati, tidak ada harganya lagi! Berikan dia kepadaku!" Sam Ok mendekati Toa Ok dan tiba-tiba ia melontarkan tubuh Han Lin kepada kakek itu dengan kuat. "Terimalah!" Tubuh anak itu meluncur dengan cepatnya ke arah Toa Ok. Kakek ini menyambut dengan tangan kanannya dan pada saat itu, Sam Ok telah menyerangnya dengan Hek-kong-kiam disusul tusukan jari telunjuk kirinya yang mengandung hawa maut! Demikianlah kelicikan Sam Ok. Akan tetapi Toa Ok tidak akan menjadi si Jahat Nomor Satu kalau dia tidak tahu akan hal ini. Dia sudah siap siaga menghadapi kelicikan rekannya, maka begitu diserang, dia sudah melempar tubuh Han Lin ke atas tanah, lalu memutar Kim-liong-kiam di tangannya untuk menangkis pedang Sam Ok. Kemudian tangan kirinya membuat gerakan melingkar dan mengeluarkan hawa yang menangkis serangan telunjuk kiri Sam Ok. "Tranggg...... plakkk.....!" Tubuh Sam Ok terpelanting saking kerasnya tangkisan Toa Ok. "Ha-ha-ha, agaknya engkau sudah bosan menjadi Sam Ok (si Jahat Ketiga) dan ingin menjadi si Jahat Mampus!" Toa Ok berseru dan dia pun sudah mengelebat-kan pedang sinar emasnya ke arah leher Sam Ok untuk memenggal leher rekannya itu. "Wuuuttt..... tinggg.....!" Sebuah batu kecil menyambar dan menangkis pedang sinar emas itu, akan tetapi hantaman batu kecil itu sedemikian kuatnya sehingga pedang itu hampir terlepas dari tangan Toa Ok sedangkan kaki Toa Ok terpaksa melangkah mundur sampai tiga langkah! Tentu saja Toa Ok terkejut bukan main. Dia mengelebatkan pedangnya di depan mukanya lalu memandang ke depan. Ternyata di situ lelah berdiri seorang kakek yang tubuhnya kecil bongkok, rambutnya tidak sependek tubuhnya melainkan panjang dan terjurai sampai ke perut, demikian pula jenggot dan kumisnya tergantung ke depan dadanya. Rambut yang sudah banyak bercampur uban. Sukar menaksir usia kakek itu. Kalau melihat rambut yang sudah separuhnya beruban itu, tentu usianya sudah enam puluh tahun lebih Akan tetapi kalau melihat wajahnya yang segar dan kemerahan seperti wajah kanak kanak, dia kelihatan jauh lebih muda. Pakaiannya sederhana sekali, dari kain kasar dan potongannya seperti yang di pakai para petani sederhana. "Heh-heh-heh!" Kakek itu tertawa dan tampak sebelah dalam mulutnva yang sudah tidak bergigi lagi. Sudah ompong sama sekali! "Toa Ok dan Sam Ok sudah saling serang dan berusaha saling membunuh. Ini artinya bahwa Toa Ok dan Sam Ok sudah tidak jahat lagi, berubah menjadi orang baik yang hendak menyingkirkan orang jahat! Heh-heh, bagus sekali!" Toa Ok memandang dengan alis berkerut. Dia tidak mengenal kakek itu, akan tetapi dia tidak berani memandang rendah. Dari sambitan batu kecil tadi saja dia sudah dapat mengukur kekuatan dari tenaga sakti kakek itu yang amat dahsyat. "Sobat, siapakah engkau yang berani mencampuri urusan kami?" Kakek itu memandang ke langit, lalu menjawab dengan sikap seperti orang mendeklamasikan sajak. "Nama itu sungguh berbahaya, Dapat membuat kepala seseorang menggelembung kemudian pecah di udara. Nama dapat pula membuat seseorang disanjung-sanjung dan dipuja-puja, dapat pula membuat seseorang dikutuk dan di njak-injak. Nama adalah suatu kepalsuan! Karena itu aku merasa ngeri dan memilih tidak mempunyai nama. Toa Ok, aku adalah seorang tua tanpa nama. Dan tentang mencampuri urusan pribadi itu, mana bisa disebut urusan pribadi kalau menyangkut diri orang lain" Kalau di sini tidak ada anak yang kalian perebutkan itu, engkau dan Sam Ok hendak gempur-gempuran sampai matipun aku tidak akan perduli. Akan tetapi melihat anak itu, terpaksa aku campur tangan dan aku melarang kalian membawa anak itu. Pergilah kalian berdua dengan aman dan tinggalkan anak itu. Aku akan mengurusnya baik-baik, tidak seperti kalian yang berpamrih untuk] keuntungan diri pribadi." "Bu-beng Lo-jin (Orang Tua Tani Nama), lagakmu demikian sombong sekali. engkau dapat meruntuhkan gunung dan mengeringkan lautan! Apakah kau kira kami takut kepadamu?" Tiba-tiba Sam Ok berseru dan tanpa banyak cakap lagi ia lalu menyerang dengan pedangnya yang bersinar hitam. Ia menyerang dari belakang dan bukan pedangnya saja yang menyerang, akan tetapi telunjuk kirinya juga menyerang dengan tusukan yang ngandung hawa beracun ke arah punggut kakek pendek itu. "Sam Ok, kita bunuh kakek tua bangka bosan hidup ini!" Toa Ok juga menyerang dengan pedang sinar emasnya, serangannya dahsyat sekali, membarengi serangan Sam Ok yang dilakukan dari belakang kakek itu. Menghadapi serangan hebat dari depan dan belakang, kakek itu tampak tenang saja, sama sekali tidak tampak gugup. Karena datangnya serangan Sam Ok dari belakang datang lebih dulu, tanpa menoleh dia melompat ke depan seperti menyambut serangan Toa Ok. Pedang sinar emas itu meluncur ke arah dada kakek itu. Akan tetapi kakek itu tenang-tenang saja menggerakkan tangan kirinya menangkis! Tusukan pedang pusaka yang demikian ampuh ditangkis dengan tangan kosong saja! Agaknya kakek itu mencari penyakit. Melihat ini Toa Ok tersenyum lebar dan menggetarkan pedangnya dengan pengerahan sin-kangnya yang amat kuat. Jangankan tangan kosong yang terdiri dari kulit dan daging, biar pedang yang kuat menangkis pedangnya yang digetarkan seperti ini akan menjadi patah! "Plakkkk.....H" Tubuh Toa Ok terpelanting keras dan hampir saja dia jatuh terbanting. Pedangnya bertemu dengan benda lunak namuir lentur sehingga pedang itu membalik seperti tenaganya kembali bertemu dengari tenaga yang amat aneh, yang membuat seluruh tenaga sin-kangnya membalik dan Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo menyerang dirinya sendiri sehingga dia terpelanting. Pada saat itu, dari belakang Sam Ok kembali menyerang dengan telunjuk kirinya, ditusukkan ke arah lambung kakek itu. Kakek tanpa nama itu membalikkan tubuhnya dan melihat jari telunjuk itu ditusukkan ke arah lambungnya dan kini menuju perutnya, dia tertawa dan membusungkan perutnya, menerima tusukan dengan ilmu Ban-tok-ci (Jari Selaksa Racun) yang mengandung hawa beracun yang amat jahatnya itu. "Cusss.....!" Telunjuk kiri itu bukan hanya menyerang dengan hawa beracun, bahkan langsung mengenai perut yang dibusungkan itu dan telunjuk itu "masuk" ke perut sampai ke pergelangan tangan. Sam Ok terkejut sekali karena merasa tangannya dingin seperti direndam ke dalam es saja. Ia cepat menarik kembali jari telunjuknya, akan tetapi tidak dapat ditarik lepas, seolaholah telah terjepit ke dalam benda lunak yang amat kuat! Selagi ia bersitegang berusaha mencabut telunjuk kirinya, tiba-tiba kakek itu me-lembungkan perutnya dan tanpa dapat dihindarkan lagi tubuh Sam Ok terdorong ke belakang sampai terhuyung-huyung dan dengan susah payah baru ia dapat mengatur keseimbangan dirinya sehingga tidak jatuh terbanting! Kakek itu mencium-cium ke arah perutnya dan menyeringai, "Wah, telunjukmu bau, kotor dan jahat sekali!" Sam Ok marah bukan main, akan tetapi ia juga terkejut sekaligus merasa jerih. Seperti Toa Ok, ia menyadari bahwa ia sama sekali bukan lawan kakek tanpa nama itu. Mungkin hanya gurunya atau uwa-gurunya saja yang akan mampu menandingi kakek pendek ini. la memandang kepada Toa Ok dan kebetulan Toa Ok juga sedang memandang kepadanya. Keduanya bertukar pandang dan tahulah mereka apa yang harus mereka lakukan. "Bu-beng Lo-jin (Orang Tua Tanpa Nama), kalau kami tidak boleh memiliki bocah itu, tidak seorangpun di dunia ini yang boleh!" Setelah berkata demikian, Toa Ok dan Sam Ok menggerakkan tangan kirinya. Sinar-sinar hitam meluncur dari tangan kiri mereka menuju ke arah tubuh Han Lin. Ternyata Toa Ok telah menyerang dengan Hek-tok-teng (Paku Beracun Hitam) dan Sam Ok menyerang dengan beberapa batang BanTiraikasih Website http://kangzusi.com/ tok-ciam (Jarum Berlaksa Racun), keduanya merupakan senjata yang amat ampuh karena mengandung racun yang seketika dapat mematikan orang yang terkena am-gi (senjata gelap) itu. Akan tetapi, bagaikan segumpal asap saja saking ringannya, tubuh kakek tanpa nama telah melayang ke arah Han Lin dan sekali mengebutkan lengan bajunya ke arah sinar-sinar yang menyambar ke tubut Han Lin, paku-paku dan jarum-jarum iti meluncur kembali ke arah pemiliknya. Toa Ok terkejut sekali dan terpaksa mereka berloncatan untuk menghindarkan diri dari senjata yang hendak makan tuannya sendiri itu. Mereka maklum bahwa kalau mereka melanjutkan, keadaan mereka berbalik akan terancam bahaya sedangkan Ji Ok yang ditunggu-tunggu tidak kunjung muncul. Maka setelah saling pandang dan berkedip, tanpa banyak cakap lagi kedua orang itu lalu melompat jauh dan melarikan diri dari puncak bukit itu. Setelah kedua orang itu pergi jauh, kakek itu lalu menghampiri Han Lin dan sekali tangannya bergerak, ujung lengan bajunya menyambar ke arah pundak dan dada Han Lin yang segera dapat menggerakkan kaki tangannya kembali. Anak itu tadi telah dapat melihat semua yang terjadi, maka begitu ia dapat bergerak, dia sengaja menjatuhkan dirinya berlutut di depan kakek itu, membentur-benturkan kepalanya di tanah tanpa hentinya. "Locianpwe (Orang tua yang gagah), harap jangan kepalang tanggung menolong saya. Harap locianpwe suka menyelamatkan pula ibu saya yang tadi terjatuh ke dalam jurang itu!" Berkata demikian, Han Lin menunjuk ke jurang sambil menangis sesenggukan. "Han....." Terjatuh ke jurang itu dan menyelamatkannya" Anak yang baik, yang dapat menyelamatkan orang yang jatuh ke jurang itu hanyalah Tuhan, dan aku bukan Tuhan. Juga bukan burung yang bersayap dan pandai terbang. Bagai mana aku dapat menolong ibumu kalau ia sudah terjatuh ke jurang itu?" "Ibuuu....! Jadi..... jadi locianpwe berpendapat bahwa tentu ibuku sudah tewas .....?" Han Lin bertanya sambil terengahengah menahan tangis. Kakek itu menggunakan tangannya mengusap kepala Han Lin. "Tenanglah, nak. Sudah kukatakan bahwa hanya Tuhan yang dapat menolongnya. Kalau Tuhan mengulurkan tangan menolongnya, entah melalui jalan apa, tentu ibumu masih hidup. Akan tetapi kalau Tuhan tidak menolongnya, biarpun seorang yang berilmu setinggi apapun kalau terjatuh ke situ tentu akan menemui kematiannya." Mendengar ucapan itu, Han Lin lalu menangis tersedusedu, membayangkan, ibunya jatuh ke dasar jurang dan hancur tubuhnya. Kemudian diapun menjatuhkan dirinya berlutut lagi di depan kakek itu. "Harap locianpwe tidak kepalang tanggung menolong saya......" "Ha-ha-ha, permintaan apalagi yang akan kau ajukan kepadaku, anak yang baik?" "Setelah ibu tidak ada, maka saya hidup sebatang kara di dunia ini. Mengingat bahwa banyak orang jahat yang lihai mempunyai niat jahat terhadap diri saya dan saya tidak akan mampu melindungi diri sendiri, saya mohon sudilah kiranya locianpwe menerima saya menjadi murid. Saya akan mengerjakan apa saja untuk locianpwe dan akan menaati semua perintah locianpwe." Kakek itu mengamati wajah Han Lin dengan pandang mata tajam, lalu bertanya dengan suara tegas, "Bukankah engkau telah memiliki tiga orang guru" Bagaimana engkau dapat tibatiba melupakan mereka dan hendak ikut aku?" Han Lin terkejut sekali. Sama sekali tidak pernah dikiranya bahwa kakek ini tahu pula akan Gobi Sam-sian. "Locianpwe, memang benar saya telah menjadi murid sam-wi suhu (ketiga guru) Gobi Sam-sian. Akan tetapi sam-wi suhu ternyata tidak mampu melindungi ibu sehingga ibu meninggal di tempat ini dan hampir saja saya juga tewas kalau tidak ditolong oleh locianpwe. Keberadaan saya hanya membuat sam-wi suhu Gobi Sam-sian mengalami kesulitan harus menentang orang jahat seperti Suma Kiang yang lihai sekali. Sama sekali saya tidak ingin meninggalkan Gobi Sam-sian, locianpwe, hanya saya ingin mempelajari ilmu silat setinggi mungkin agar kelak saya mampu menandingi Suma Kiang dan kawan-kawannya." "Sejak kecil engkau digembleng oleh Gobi Sam-sian dan engkau memperoleh ilmu kepandaian dasar yang kokoh dari mereka. Karena itu engkau harus melanjutkan mematangkan dasar itu dari mereka. Belajarlah kepada mereka selama lima tahun, baru kemudian engkau boleh mencari aku dan menjadi muridku." "Akan tetapi, locianpwe, ke mana kelak saya dapat mencari locianpwe" Dan ke mana sekarang saya harus mencari sam-wi suhu Gobi Sam-sian" Tadi mereka berada di lereng bawah sana untuk menghadang Suma Kiang dan temannya, akan tetapi melihat Suma Kiang dan temannya sudah dapat mengejar saya dan ibu ke sini, saya khawatir mereka..." "Aku tahu di mana mereka berada. Mari, pegang tanganku dan ikut aku." Kakek itu lalu memegang tangan kiri Han Lin dan tiba-tiba saja Han Lin merasa dirinya meluncur cepat sekali turun dari puncak dan dia seolah bergantung kepada tangan kakek itu. Melihat pohon di kanan kirinya meluncur cepat dari depan seperti hendak menabrak dirinya, Han Lin memejamkan mata dan membiarkan dirinya seolah dibawa terbang oleh kakek itu. Tak lama kemudian mereka memasuki sebuah hutan di lereng dekat kaki bukit dan ketika kakek itu membawa Han Lin ke tengah hutan di mana terdapat sebuah lapangan rumput, mereka melihat Gobi Sarn-sian sudah berdiri saling berdekatan dan mereka siap dengan senjata masing-masing. Akan tetapi ketika mereka bertiga melihat kakek itu, ketiganya segera menyimpan senjata dan cepat berlutut di depan kaki kakek itu. "Supek..... (uwa guru)!" Mereka berseru dengan suara menunjukkan kejutan besar. Mereka mengenal uwa guru mereka ini sebagai seorang manusia setengah dewa yang sudah puluhan tahun tidak pernah tampak di dunia ramai bahkan mereka mengira bahwa supek mereka yang tidak pernah mempunyai nama ini sudah meninggal dunia. Kini tibatiba saja muncul menggandeng Han Lin ! "Ha, bagaimana keadaan kalian?" tanya kakek itu dan dia lalu menghampiri Angbin-sian, memeriksa kesehatannya dengan meraba sana-sini, lalu menghampiri It-kiam-sian, memeriksa lengannya yang buntung, kemudian memeriksa Pek-tim-sian. "Bagus, ternyata kalian dapat mengatasi bahaya dan dalam keadaan selamat dan sehat." "Supek, teecu bertiga bertemu dengan lawan yang amat lihai," kata Ang-bin-sian. "Hemm, itu wajar saja. Setinggi-tingginya gunung masih ada awan yang melebihi tingginya dan di atas awan masih ada langit yang lebih tinggi. Tidak ada sesuatu yang paling tinggi di dunia ini, dan wajarlah kalau sekali waktu kita bertemu dengan orang lain yang memiliki ilmu kepandaian lebih tinggi daripada kita. Aku akan memberikan sesuatu kepada kalian masing-masing untuk penambah pengetahuan dan kalian bertiga harus melanjutkan membimbing anak ini selama lima tahun. Setelah lewat lima tahun, bawalah dia kepadaku di puncak Thaisan dan aku yang akan menjadi gurunya." Setelah berkata demikian, kakek katai ini tinggal bersama Gobi Sam-sian di tengah hutan itu selama sebulan dan selama itu dia mengajarkan ilmu silat kepada tiga orang murid keponakannya yang membuat mereka bertiga menjadi lebih lihai daripada sebelumnya. Bahkan It-kiam-sian yang lengan kanannya buntung itu mendapat pelajaran ilmu pedang tunggal yang dimainkan dengan tangan kiri yang kehebatannya melebihi ketika kedua lengannya masih utuh. Juga kakek yang sakti itu mengajarkan cara menghimpun tenaga sakti dari alam, menghimpun inti sari tenaga matahari dan rembulan sehingga kalau hal ini dilatih terus, dalam waktu beberapa tahun saja tenaga sini kang (tenaga sakti) tiga orang itu akan memperoleh kemajuan pesat. Setelah sebulan memberi gemblengan kepada tiga orang murid keponakannya; Bu-beng Lo-jin (Orang Tua Tanpa Nama) itu lalu pergi meninggalkan bukit itu. Gobi Sam-sian bersikap hati-hati Mereka maklum bahwa bukan tidak terjadi Suma Kiang akan muncul lagi karena orang jahat itu tentu masih merasa penasaran dan akan mencari Hari Lin. Maka mereka lalu mengajak Han Lin pergi dari daerah Pao-tow, pindah ke sebuah dusu yang berada di kaki Pegunungan Yin san di sebelah utara kota Tai-goan yan telah berada di sebelah dalam Tembok Besar, jauh sekali di sebelah selatan dari daerah Pao-tow. Mereka tinggal di dusun yang sunyi, hidup sebagai petani dan sama sekali tidak memperlihatkan diri sebagai orang-orang dunia persilatan. Melihat Han Lin selalu tenggelam ke dalam kedukaan, Angbinsian menghiburnya. "Han Lin, tidak ada gunanya bagimu untuk menenggelamkan diri ke dalam kedukaan karena kematian ibumu. Ingat bahwa manusia hidup sewaktu-waktu tentu akan mati juga. Saat kematian setiap orang manusia sudah ditentukan oleh Thian. Oleh karena itu tidak perlu disesali sampai berlarut-larut. Boleh saja engkau bersedih, karena tidak wajar kiranya kalau seorang anak ditinggal mati ibunya tidak bersedih, akan tetapi ingatlah bahwa kedukaan yang berlarut-larut hanya akan melemahkan semangat dan kalau awak tidak beruntung akan menimbulkan penyakit." "Akan tetapi, suhu. Kalau teecu teringat betapa tewasnya ibu terlempar ke dalam jurang karena ulah Suma Kiang...!" "han Lin," kata It-kiam-sian. "Engkau kehilangan ibumu, pinto kehilangan lengan kananku, hal ini sudah merupakan takdir yang tidak dapat dibantah pula. Kenyataan ini harus kita hadapi dengan tabah dan sama sekali jangan sampai kenyataan ini menimbulkan dendam yang hanya akan meracuni hati sendiri." "Ji-suhu! Apakah suhu hendak mengatakan bahwa teecu tidak boleh mendendam kepada Suma Kiang" Apakah kelak teecu tidak boleh membalaskan dendam sakit hati karena kematian ibu ini kepadanya?" It-kiam-sian tersenyum lebar. "Bukan tidak boleh, Han Lin. Akan tetapi ketahuilah bahwa ada dua keadaan hati kalau engkau kelak menentang Suma Kiang Pertama, engkau menentangnya karena engkau membenci orangnya dan ingin membalas dendam. Dan kedua, engkau menentangnya karena engkau anggap bahwa dia itu orang jahat dan bahwa perbuatan jahatnya harus ditentang. Nah yang pertama itulah yang tidak benar." "Akan tetapi, teecu belum mengerti benar. Apa bedanya antara keduanya itu Ji-suhu?" Pek-tim-sian kini berkata, "Han Lin diantara kedua yang diceritakan ji-suhu mu itu tentu saja terdapat perbedaan besar sekali. Kalau hatimu diracuni dendam, engkau membenci orang itu dan selalu menganggapnya keliru dan harus dibasmi sehingga andaikata Suma Kiang kelak telah berubah menjadi orang baik, dendammu akan membuat engkau tetap menganggapnya sebagai orang jahat yang harus dibunuh, membuatmu menjadi kejam. Sebaliknya kalau engkau menentangnya berdasarkan kejahatannya, bukan orangnya, maka engkau akan menghadapinya sesuai dengan keadaannya pada waktu itu. Kalau dia jahat, engkau menentangnya, menentang kejahattannya. Sebaliknya kalau dia berubah menjadi manusia yang baik, engkau tidak akan menentangnya lagi dan tidak terdorong oleh nafsu dendammu." Han Lin terdiam, tenggelam ke dalam pikirannya sendiri. Dapatkah dia bersikap seperti yang dikatakan guru-gurunya itu" Dapatkah ia memaafkan seorang seperti Suma Kiang yang pernah membuat ibunya sampai menggigit putus lidahnya sendiri,kemudian bahkan yang membuat ibunya terjatuh ke dalam jurang dan menewaskannya, juga menjadi penyebab dia dan ibunya melarikan diri dari perkampungan Mongol" Dendamnya bertumpuk, begitu teringat akan Suma Kiang Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo kebenciannya meluap. Andaikata kelak Suma Kiang telah menjadi seorang baik, mampukah dia melupakan semua sakit hati ini dan memaafkannya" "Tidak mungkin!" teriaknya. "Tidak mungkin tcecu dapat melupakan apa yang pernah dilakukan Suma Kiang terhadap ibu!" Ang-bin-sian tersenyum dan mengangguk-angguk. "Perasaan itu wajar saja; Han Lin. Manusia tidak akan dapat terbebas daripada nafsunya sendiri. Akan tetapi kalau kelak engkau sudah dewasa dan jiwamu sudah lebih matang, engkau akan mengetahui sendiri bahwa membiarkan dendam bertengger di hati sama dengan meracuni diri pribadi. Sudahlah, sekarang engkau harus mencurahkan seluruh perhatianmu kepada latihan silat yang akan kami berikan kepadamu. Waktu lima tahun bukan waktu yang panjang kalau engkau hendak melanjutkan pelajaran silatmu kepada Toa-supek (Uwa Guru Pertama). Beliau adalah seorang sakti dan untuk dapat menerima pelajarannya, engkau harus memiliki dasar yang kuat. Mudah-mudahan kami akan berhasil mempersiapkan dirimu untuk menerima pelajaran dari su pek." Demikianlah, semenjak hari itu, Han Lin berlatih silat dengan amat tekunnya, diajarkan oleh tiga orang tua itu tanpa ada seorang pun di dusun itu mengetahuinya. Han Lin memang berbakat sekali dan diapun patuh sehingga apapun yang diajarkan ketiga orang gurunya dapat dikuasainya dengan cepat dan baik sehingga Gobi Sam-sian menjadi girang dan puas sekali. Orang-orang bijaksana jaman dahulu mengatakan bahwa: Kalau Tuhan menghendaki, apapun dapat terjadi. Dan kalau Tuhan tidak menghendaki, apapun dapat terjadi sebaliknya. Kata-kata ini bukan sekadar pendapat belaka, melainkan diucapkan berdasarkan pengalaman-pengalaman hidup. Banyak sekali terjadi hal-hal yang tidak terjangn kau oleh hati akal pikiran manusia tidak terjangkau oleh perhitungan manusia. Banyak terjadi perubahan musim yang tidak sesuai dengan perhitungan manusia. Banyak sekali terjadi hal-hal yang berlawanan dengan perhitungan dan perkiraan, hati akal pikiran manusia. Melihat hal-hal ini terjadi, orang-orang bijaksana lalu mengatakan bahwa itulah kehendak Thian kehendak Tuhan yang tidak dapat diubah oleh siapapun juga. Tuhan Maha Kuasa. Jalan yang ditempuh kekuasaan Tuhan ka dang tidak terjangkau oleh hati akal pikiran manusia. Bencana alam terjadi di mana-mana, musim-musim berubah dari perhitungan sehingga mengakibatkan bencana besar. Musim kering berkepanjangan, musim hujan berlebihan, semua itu mendatangkan bencana bagi manusia, merenggut banyak nyawa dan harta benda. Dalam hal kematian seseorangpun, tidak pernah kepandaian manusia dapat menentukan. Kalau Tuhan belum menghendaki kita mati, biar kita dihujani ribuan batang anak panah sekalipun, kita akan mampu lolos dan tidak akan mati. Sebaliknya kalau Tuhan sudah menghendaki kita mati, biar bersembunyi di lubang semut, maut akan tetap datang menjemput. Seorang tentara yang puluhan tahun menjadi tentara, hidup di antara kelebatan pedang dan hujan anak panah, nyawanya terancam setiap saat oleh maut, akan tetap hidup karena Tuhan belum menghendaki dia mati. Akan tetapi setelah mengundurkan diri dari pekerjaannya dan pulang kampung, gigitan seekor nyamuk saja sudah cukup untuk membuat dia sakit dan mati! Mujijat terjadi setiap saat dan di manapun. Namun kita tidak percaya karena kita menganggapnya tidak masuk di akal, sampai kita menyaksikaan sendiri peristiwa kemujijatan itu dan kita mengangguk-angguk mengakui bahwa ada kekuasaan yang lebih tinggi yang mengatur segalanya sehingga kadang-kadang tidak masuk dalam perhitungan akal pikiran kita. Orang menyebut kemujijatan yang ter jadi itu sebagai Nasib. Namun, betapapun juga, orang tidak boleh meninggalkan Ikhtiar, walaupun ikhtiar itu tidak menentukan akibatnya. Orang sakit harus berikhtiar berobat, walaupun tidak dapat dipastikan bahwa ikhtiar ini akan berhasil. Akan tetapi patut kita ketahui bahwa tangan Tuhan menyentuh melalui ikhtiar kita ini! Kalau Tuhan hendak menolong kita dari penyakit, mungkin saja pertolongan itu terjadi melalui ikhtiar pengobatan kita. Walaupun kalau Tuhan menghendaki kematian kita, segala macam bentuk ikhtiar itu akan sia-sia dan tidak mungkin dapat mengubah kehendakNya. Sebaliknya kalau Tuhan menghendaki kita sembuh, mungkin dengan secawan air putih saja penyakit kita akan dapat disembuhkan! Bagi pendapat manusia pada umumnya, Chai Li yang terjatuh ke dalam jurang yang ternganga itu pasti akan mati! Agaknya tidak terdapat sedikit pun kemungkinan bagi wanita itu untuk lolos dari maut. Namun, apabila Tuhan Menghendaki, ada saja jalannya untuk dapat lolos dari cengkeraman maut. Ketika tubuh itu mula-mula meluncur jatuh, Chai Li masih sadar dan ia menjerit karena merasa ngeri mendapatkan dirinya melayang ke bawah seperti seekor burung. Akan tetapi segera jeritannya terhenti dan ia pingsan ketika tubuhnya melayang tanpa daya dekat tebing. Tiba-tiba tampak seseorang di tengah tebing, di mana terdapat celah-celah seperti guha. Orang Ini melihat Chai LI yang melayang jatuh dan cepat dia meloloskan ikat pinggangnya yang berwarna putih dan terbuat dari kain. Dengan cekatan, dia lalu menggerakkan tangan kanannya yang memegang ujung sabuk putih itu. Sinar meluncur ke depan dan tepat pada saat tubuh Chai Li meluncur ke depannya, sabuk itu telah membelit pinggang Chai Li dan menarik tubuh yang melayang jatuh itu ke arahnya. Dengan tangan kiri dia menyambut tubuh itu dan mengerahkan tenaga sin-kangnya sehingga dia mampu menahan tenaga luncuran tubuh wanita itu. Tubuh Chai Li terdekap dalam rangkulan lengan kirinya yang; kuat. Ketika sadar dari pingsannya, Chai Li mendapatkan dirinya rebah di atas tanah bertilamkan rumput kering dan tak jauh| dari tempat ia rebah, tampak seorang laki-laki duduk di atas batu dan memandangnya sambil tersenyum ramah. Laki-laki itu tampaknya berusia tiga puluhan tahun, pakaiannya bersih dan mewah seperti seorang sasterawan yang kaya. Rambutnya digelung ke atas dan dijepit dengan penjepit rambut terbuat dari emas. Wajahnya yang bundar itu tampan sekali dengan sepasang mata yang bersinar dan senyumnya selalu merekah di bibirnya. Kulit mukanya putih. Seorang lakilaki yang tampan dan bersikap lembut. Chai Li terheran-heran melihat ia rebah di situ. Teringatlah ia betapa ia telah terjatuh ke dalam jutang! Tentu tubuhnya telah terbanting hancur di dasar jurang. Akan tetapi mengapa ia masin hidup, tubuhnya masih utuh dan rebah di tempat ini" la bangkit duduk dan mengeluh lirih karena pinggangnya terasa nyeri. Sabuk yang tadi melibat pinggangnya dan menahannya dari kejatuhan menbuat pinggangnya terasa nyeri. Setelah ia duduk, barulah tampak olehnya tebing jurang menganga di depannya dan mengertilah ia bahwa ia telah ditolong oleh orang ini, walaupun ia tidak tahu bagaimana orang itu dapat menolongnya dari kejatuhan. Mendengar Chai Li mengeluh dan melihat ia bangkit duduk, orang itupun bangkit dari batu yang didudukinya. Setelah dia bangkit baru tampak tubuhnya tinggi tegap dan tegak yang membuatnya tampak gagah di samping ketampanannya. Dia menghampiri dan bertanya, "Apakah ada yang terasa nyeri, nona?" Suaranya tenang lembut dan ramah. Chai Li menoleh kepadanya dan wanita ini lalu menulis dengan telunjuk kanannya ke atas tanah. Ketika merasa betapa tanah itu keras, ia lalu mengambil sebuah batu yang runcing dan menulis dengan batu itu. "Aku bukan nona, melainkan seorang nyonya dan pinggangku terasa nyeri. Apa kah engkau yang menyelamatkanku dari kejatuhan tadi?" Laki-laki itu tercengang. Tidak menduga sama sekali bahwa wanita di depannya itu gagu, akan tetapi tulisannya demikian indah, jelas bukan tulisan wanita dusun biasa! Masih belum yakin apakah wanita itu tidak gagu dan tuli, dia mengangguk dan berkata, "Benar, aku yang telah menolongmu." Mendengar ini, Chai Li lalu menjatuh kan dirinya berlutut di depan pria itu. Pria itu cepat-cepat memegang kedua pundak Chai Li dan membangunkannya dan merasakan dengan jarijari tangannya betapa lembut dan halus kulit di bawah baju itu. Dia memandang dan mengamati. Wajah itu amatlah cantiknya dan memiliki daya tarik yang amat kuat. Terutama mata itu. Sepasang mata yang bersinar-sinar seperti sepasang bintang kejora! "Siapakah suamimu dan engkau tinggal di mana, nyonya?" Chai Li menulis lagi di atas tanah. "Saya..... suami saya meninggalkan saya... dan saya tinggal bersama seorang anak saya di.... di dusun...." Melihat betapa Chai Li menulis dengan ragu-ragu, pria itu menjadi semakin tertarik. "Siapa namamu, nyonya" Dan siapa pula nama suamimu yang meninggalkanmu itu?" tanyanya. Chai Li menjadi rikuh dan bingung. Tidak mungkin ia mengaku bahwa suaminya adalah Kaisar Cheng Tung! Ia tidak mengenal pria ini. Biarpun pria ini sudah membuktikan bahwa dia seorang baik-baik yang telah menyelamatkannya, akan tetapi ia tidak boleh mempercayai begitu saja dan menceritakan kebenaran tentang dirinya, la lalu menulis lagi. "Nama saya Chai Li dan suami saya bernama Han Tung. Inkong (tuan penolong), tolonglah saya untuk naik ke atas tebing dan untuk mencari anak saya." Pria itu tersenyum. "Jalan menuju ke puncak tebing tidak mudah, nyonya. Untuk itu engkau harus kupondong!" Mendengar ini, wajah Chai Li berubah kemerahan dan hal ini menambah kecantikannya yang aseli. ia menulis lagi, "Terserah kepada in-kong dan sebelumnya saya menghaturkan banyak terima kasih dan maaf bahwa saya telah merepotkan in-kong." "Ha-ha-ha, terlalu banyak terima kasih kau ucapkan, aku menghendaki terima kasih dalam perbuatan nyata! Nyonya, jawab saja pertanyaanku dengan geleng atau angguk. Apakah engkau akan menyatakan terima kasihmu dengan mentaati semua kata-kataku?" Chai Li mengangguk. "Engkau akan menaati semua kata-kataku, menuruti semua permintaanku tanpa membantah dan selanjutnya menggantungkan hidupmu kepadaku?" Chai Li berpikir agak lama akan tetapi kemudian iapun mengangguk, ia sudah terlanjur percaya kepada laki-laki yang tampaknya lembut, baik hati dan ramah sekali itu. "Bagus kalau begitu, kuperintahkan engkau untuk merebahkan dirimu di atas tanah, memejamkan kedua matamu dan tertidurlah!" Dalam suara itu terkandung wibawa yang amat kuat. Chai Li memandang heran, akan tetapi ia segera melakukan apa yang dipinta orang itu. Ia rebah telentang dan memejamkan kedua matanya. "Engkau tidak dapat menahan kantukmu, engkau tertidur..... tidur pulas sekali" Pria itu menggerakkan kedua telapak tangannya di atas muka dan tubuh Chai Li, seperti membelai dan segera pernapasan Chai Li menjadi halus karena ia sudah tertidur pulas. "Chai Li, setelah nanti engkau sadar dari tidurmu, ingatlah selalu bahwa aku ini adalah penolongmu, penyelamat nyawa mu, kekasihmu juga suamimu yang mencintamu dan kaucinta. Engkau akan melakukan apa saja yang kuperintahkan kepadamu. Aku juga menjadi gurumu dan engkau menjadi kekasih, isteri dan juga pembantuku yang setia." Berulangulang pria itu mengeluarkan kata-kata yang sungguh aneh ini, ada tujuh kali berulang-ulang dan Chai Li hanya menganggukanggukkan kepala tanda mengerti dan setuju. Setelah melihat betapa Chai Li sudah mengerti betul dan sudah tunduk dalam pengaruh sihirnya, pria itu lalu berkata! lagi, "Ingat, aku adalah suamimu dan kekasihmu. Engkau amat mencinta dan setia kepadaku, aku suamimu yang bernama Phoa Li Seng. Engkau akan siap mati untuk membelaku. Mengertikah engkau?" Chai Li mengangguk-angguk lagi. Ia| telah benar-benar berada di bawah pengaruh sihir yang dilakukan oleh pria iti dengan amat kuatnya. "Sekarang bangunlah dari tidurmu dan laksanakan semua kata-kataku!" Chai Li membuka kedua matanya, berkedip-kedip, lalu bertemu pandang denga pria yang mengaku bernama Phoa Li Seng itu. Dan Chai Li memandang mesra lalu tersenyum dan ketika Phoa Li Sen menjulurkan tangan membantunya bangkit Darah Asmara Gila 2 Shugyosa Samurai Pengembara 4 Pendekar Sakti Im Yang 2