Ceritasilat Novel Online

Asleep Or Dead 16

Asleep Or Dead Karya Bunbun Bagian 16


"Assalamualaikum..", salam Gua dan Nona Ukhti ketika kami melihat Papahnya sedang duduk di sofa dekat Tv.
"Walaikumsalam..", jawab Papahnya sambil berdiri dan menghampiri Gua.
Beliau tersenyum lalu memeluk Gua sesaat. "Apa kabar Za ?", tanyanya setelah melepas pelukan namun kedua tangannya masih memegangi kedua sisi lengan ini.
"Alhamdulilah baik Om.. Om sendiri apa kabar ?", tanya Gua balik.
"Alhamdulilah baik juga",
"Ayo duduk Za..", ajaknya. "Ve, bikinkan minum untuk Eza dulu", ucap Papahnya kepada sang anak semata wayangnya itu.
Nona Ukhti tersenyum lalu berjalan kearah dalam rumah lainnya. Kini Gua duduk bersebrangan di ruang Tv bersama Papah Nona Ukhti.
"Gimana kuliah kamu " Lancar ?", tanya Beliau sambil melipat kakinya.
"Alhamdulilah lancar Om, kebetulan sekarang lagi magang di Batam Om..", jawab Gua sambil mengangguk.
"Oh syukur lah ya.. Vera memang cerita dari kemarin, katanya kamu sedang training di hotel xxx di Batam. Oh ya tahun ini semester terakhir mu kan ?".
"Iya Om, ini semester terakhir, kalo enggak ada halangan, mungkin awal tahun depan saya sudah mulai susun tugas akhir dan wisuda juga", jawab Gua lagi.
"Ya syukur alhamdulilah kalo begitu Za. Oh ya, mohon maaf ya Za..", nada suara Papahnya berubah pelan.
"Mm.. Kenapa ya Om ?".
Sebelum beliau menjawab, Nona Ukhti sudah kembali dari dapur dengan nampan yang diatasnya berisi secangkir minuman dingin. Setelah Nona Ukhti menaruh cangkir tersebut di atas meja depan Gua, kini dia duduk tepat di samping Gua.
"Ya, saya punya salah sama kamu.. Saat dulu saya dan Vera pergi ketika kamu berniat melamar Vera..", ucapnya dengan ekspresi yang cukup nampak menyesal.
Gua menghela nafas perlahan lalu tersenyum tipis. "Jujur, enggak mungkin saya gak kecewa dan sakit hati ketika itu Om.. Tapi ya lambat laun saya paham kalau mungkin ini semua sudah jalannya seperti ini.. Saya memang sempat marah kepada Vera sampai beberapa saat kemarin, marah karena kecewa, tapi sekarang...", Gua melirik kepada Nona Ukhti di samping Gua lalu tersenyum. "Saya sudah menerima kejadian itu dan melupakannya.. Saya juga minta maaf kalau selama ini punya salah pada Vera dan Om", lanjut Gua.
"Enggak Za, kamu enggak pernah salah apa-apa sama kami berdua...", Papahnya Nona Ukhti menyandarkan punggungnya kebelakang sofa. "Kamu anak yang baik, maafkan saya yang dulu sempat meragukan kamu dan... Ehm.. Menghina kamu".
Gua tersenyum ketika tangan kiri Nona Ukhti ditaruh di atas paha kanan ini.
"Enggak apa-apa Om, kita semua udah melupakan kejadian itu.. Saya sendiri udah melupakannya..", jawab Gua tulus.
"Terimakasih ya atas kebesaran hati kamu Za.. Oh satu lagi..", ucapnya seraya berdiri lalu berjalan menghampiri Gua. "Mungkin memang sudah terlambat, tapi percayalah, saya turut berduka cita atas kehilangan istri dan anak kamu Za.. Saya turut prihatin atas kejadian itu, kamu yang tabah ya, Tuhan mempunyai rencana yang lebih indah dari sebuah kehilangan yang kamu alami itu", lanjutnya setelah berdiri di samping Gua dan memegang bahu kiri ini.
Hati Gua menclos ketika mendengar ucapan beliau, seolah-olah ada sesuatu di dalam hati ini yang kembali menyeruak dan hendak meruntuhkan dinding di dalamnya. Gua teringat kepada Echa dan Jingga. Namun Gua berusaha untuk tersenyum. Gua menengok ke kiri dan menengadahkan kepala menatap beliau.
"Terimakasih Om.. Terimakasih untuk dukungannya", jawab Gua sambil tersenyum. ....
Sore hari ketika Gua sedang bersantai di depan rumah Papahnya sambil menghi sap rokok, Nona Ukhti menghampiri Gua dengan balutan mukena.
"Za, kamu gak shalat ashar dulu ?", tanyanya ketika sudah berdiri di samping Gua.
Gua melirik kepadanya. "Mmm.. Enggak nanti aja", jawab Gua singkat lalu mengalihkan pandangan ke depan dan menghisap rokok lagi.
"Kenapa ?". Gua hembuskan asap rokok keatas. Lalu menatap langit sore yang cerah. Fikiran Gua melayanglayang kepada rentetan dosa yang Gua lakukan selama ini. Bibir ini tersenyum kecut lalu Gua matikan batang rokok yang hampir habis itu dengan menginjaknya.
"Aku udah lama gak melaksanakan kewajiban itu, Ve..", jawab Gua pelan.
Vera duduk di samping Gua lalu menatap wajah ini. Gua bisa merasakan bahwa dia sedang tersenyum.
"Tapi kamu gak menyimpangkan ?".
Gua terkekeh pelan lalu melirik kepadanya. "Hehehe.. Udah.. Udah lama aku menyimpang Ve.. Lama aku berjalan di jalan gelap tanpa cahaya-Nya". Gua kembali memandangi langit di atas sana, "Aku udah lama gak beribadah bahkan... Puasa kemarin aja aku cuma dapet dua hari loch..", lanjut Gua.
"kamu masih kesal karena kehilangan Echa dan Jingga ?". Gua mengangguk sambil tersenyum.
"Tuhan masih sayang sama kamu Za..". "Hm " Oh ya " Hahaha.. Maybe".
"Za, apa yang masih membuat kamu enggak percaya dengan kasih sayang-Nya ?".
"Kasih aku alasan yang logis kenapa harus aku yang nerima ujian seberat ini " Dan satu hal Ve.. Aku udah merasakan sakit sejak kecil.. Kamu tau hal itu tanpa perlu aku jelaskan lagi".
Kami berdua terdiam cukup lama di halaman teras rumah ini. Gua masih memandangi langit diatas sana dengan fikiran yang tidak menentu akan kepercayaan dalam diri sendiri... "Za..".
"Hm...". "Kamu masih bernafas, masih menikmati karunia yang Allah berikan hingga detik inikan ?". Gua mengangkat kedua bahu tanpa melirik kepadanya.
"Cukup sudah hati kamu terbenam dalam kegelapan Za.. Sebelum semuanya terlambat.. Sebelum kamu menikmati udara dunia ini untuk terakhir kali. Kembali ya Za.. Kembali ke jalan-Nya, bukan hanya untuk kamu sendiri. Tapi untuk almarhumah istri kamu, almarhumah anak kamu, almarhumah Ibu kamu dan almarhum Ayah kamu Za.. Demi mereka semua juga".
"Dan apa yang akan aku dapatkan setelah itu " Hm " Ujian dan cobaan lagi dari -Nya ?", tanya Gua. Nona Ukhti tersenyum kepada Gua sambil menggelengkan kepala.
"Bukan itu.. Tapi ketenangan.. Ketenangan hati, ketenangan batin, ketenangan jiwa, dan yang terpenting.. Hati kamu akan berdamai dengan masa kelam kamu itu dengan mengikhlaskannya..". Lalu Nona Ukhti memejamkan matanya sejenak, dan...
Lantunan salah satu dari ayat suci Al-Qur'an mengalun merdu terdengar oleh telinga ini. "Alladziina aamanuu watathma-innu quluubuhum bidzikri allaahi alaa bidzikri allaahi tathma-innu alquluubu",
"Yang aritnya, (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram". "Surat ?".
"Surat Ar-Rad ayat dua puluh delapan..",
"Orang-orang yang selalu kembali kepada Allah dan menyambut kebenaran itu adalah orang-orang yang beriman. Mereka adalah orang-orang yang ketika berzikir mengingat Allah dengan membaca al- Quran, hati mereka menjadi tenang. Hati memang tidak akan dapat tenang tanpa mengingat dan merenungkan kebesaran dan ke-Maha Kuasaan Allah, dengan selalu mengharap keridaan-Nya. Insya Allah kamu bisa merasakan kembali ketenangan hati dan jiwa kamu Za, cukuplah kamu berpaling dari-Nya..", lanjut Nona Ukhti dengan tetap tersenyum kepada Gua.
Gua tersenyum mendengar penjelasannya itu lalu menundukan kepala sejenak. Entah kenapa airmata ini akhirnya menetes dengan sendirinya tanpa bisa Gua cari alasannya.
"Za.. Aku masih berada disini, di samping kamu karena kuasa Allah.. Dan setelah apa yang sudah aku lewati di masa buruk itu membuat aku mengerti, bahwa aku mampu melewati itu semua atas kehendak-Nya. Aku memang sempat berfikir seperti kamu, aku paham betul rasanya menjadi orang yang jatuh dalam ujian yang berat.. Tapi aku sadar, bahwa alasan utama dari semua kejadian ini harus membuat aku bangkit dan menjadi pribadi yang lebih baik..",
"Hal pertama yang aku lakukan adalah mencari ketenangan hati dan jiwa ini Za, lewat firman-NYA lah aku bisa tetap menjalani hari-hari ku.. Aku harap kamu juga bisa berdamai dengan segala kepedihan yang kamu alami selama ini".
(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram. QS. 13:28.
PART 91 TAK PERNAH PADAM Siang ini Gua sedang berada di sebuah mall dekat pelabuhan harbourfront, mengitari mall Vivo City sambil memikirkan kado apa yang cocok untuk sang Nona Ukhti. Setelah berputar-putar dan keluar masuk berbagai toko busana dan pernak-pernik wanita, akhirnya Gua memilih toko perhiasan sebagai pilihan terakhir. Sebenarnya Gua ingin membelikan Nona Ukhti sebuah cincin tapi karena Gua tidak mengetahui ukurannya, jadi Gua memilih gelang tangan emas putih yang modelnya tipis dan tidak terlalu banyak hiasan, sangat simpel namun bagi Gua cukup elegan karena kesan mewahnya tidak berkurang, dan ada satu bandul berbentuk merpati kecil yang menjadi pengait kunci gelang tersebut. Setelah menyelesaikan pembayaran di kasir dan dibungkus sedemikian rupa oleh kotak persegi serta simpul pita berwarna biru muda, Gua pun keluar dari toko dan bergegas keluar Mall ini. Gua masuki taxi dan memberikan secarik kertas kepada sang supir lalu setelah supir tersebut mengangguk paham, mobil pun melaju ke daerah lain untuk mengantarkan Gua ke sebuah tempat dimana rencana Gua akan berjalan sesuai harapan.
Sekitar setengah jam berkendara, Gua pun sampai di sebuah tempat kuliner, lalu Gua turun dari taxi setelah membayar ongkos dan memberikan uang tips untuk sang supir. Gua masuki tempat tersebut dan berbicara dengan salah satu pegawai disana. Setelah itu Gua pun diantar ke bagian office tempat tersebut lu berbicara dengan atasannya. Gua utarakan maksud dan tujuan Gua yang langsung membuat seorang lelaki paruh baya itu tersenyum dan menyanggupi semua permintaan Gua. Beres mengutarakan maksud serta rencana Gua dan memberikan uang sebagai down payment, Gua pun keluar tempat ini dan kembali memesan taxi, kali ini tujuan Gua adalah rumah Papahnya Nona Ukhti.
Sekitar pukul setengah empat Gua sampai di kediaman Papahnya, lalu Gua masuk ke dalam rumah setelah Nona Ukhti membukakan pintu.
"Darimana Za " Aku telpon kok gak diangkat ?", tanyanya khawatir.
"Maaf Ve, aku abis jalan-jalan aja tadi ke kota", jawab Gua asal sambil duduk di sofa ruang Tv.
Nona Ukhti berjalan kearah dapur lalu beberapa menit kemudian kembali dengan secangkir kopi hitam.
"Kamu kok gak ngabarin sih kalo mau pergi " Kan bisa aku anter atau kalo mau jalan sendiri pakai mobil aku aja", ucapnya seraya menaruh cangkir kopi diatas meja.
"Ah enggak apa-apa kok, cuma pingin nikmatin jalanan aja.. Maaf lupa ngabarin", jawab Gua, "Makasih kopinya Ve.. Oh ya, Papah belum pulang ?", tanya Gua setelah Nona Ukhti duduk di sebrang Gua.
"Belum Za, biasanya jam tujuh Papah pulang kerja", jawab Nona Ukhti seraya merapihkan hijabnya yang berwarna putih senada dengan busana gamisnya itu.
"Mm.. Ve..". "Ya ?". "Nanti malam kita jalan ya, berdua aja".
Nona Ukhti sedikit terkejut lalu tersenyum. "Kemana ?".
Gua mengambil cangkir kopi lalu menghirup aroma kopi hitam yang sangat nikmat untuk dinikmati. Lalu Gua meneguknya sedikit dan kembali menaruh cangkir diatas meja.
"Rahasia...", jawab Gua seraya tersenyum jahil kepadanya. ...
Pukul setengah tujuh malam Gua mengemudikan mobil milik Nona Ukhti. Untuk malam ini Gua terpana dengan penampilannya. Memang yang ia kenakan tetaplah busana gamis, yang menutupi aurat dan tentu saja bukan gamis asal-asalan seperti jaman sekarang yang sekalipun memakai hijab tapi lekuk tubuh para perempuan diluar sana masih tercetak jelas. Malam ini Nona Ukhti mengenakan gamis berwarna hitam dengan gradasi warna emas, ditambah beberapa hiasan pada gamis tersebut yang seperti manik-manik membuat busana gamisnya nampak cantik. Belum lagi kalung berwarna emas yang ia kenakan dengan bandulnya yang terpasang batu ruby semakin terlihat berkelas. Makeup yang ia gunakan juga tipis, warna pink pada kedua sisi pipinya sangat membuat wajahnya itu lebih menawan. You're so beautiful tonight, Ve.
Kami berdua sampai di sebuah restoran yang siang sebelumnya Gua sambangi terlebih dahulu. Lalu setelah Gua berbicara dengan seorang pramusaji, kami berdua diantar ke meja makan yang terletak di bagian belakang restoran, dimana ada sebuah sungai kecil buatan yang menjadi pemandangan indah di sana, kemudian sebuah meja yang sudah ditata rapih dan sangat bagus pun telah siap menyambut kami berdua.
Gua menarik bangku dan mempersilahkan Nona Ukhti duduk, setelah memastikan Nona Ukhti duduk dengan nyaman, Gua berjalan kedepan dan duduk di hadapannya. Kami duduk berhadapan dengan meja yang menjadi penghalang kami berdua. Sebuah vas bunga yang telah terisi dua tangkai bunga kesukaan Nona Ukhti berada ditengah-tengah meja, serta satu lilin berwarna merah disamping vas tersebut semakin mempercantik suasana malam yang sedikit dingin ini.
Gua ikut tersenyum ketika Nona Ukhti mengembangkan senyuman lebar, matanya menatap Gua dengan ekspresi yang Gua rasa bahagia, ya Gua harap dia senang dengan kejutan kecil ini.
"Kamu kok bisa tau restoran ini Za ?", tanyanya heran namun ekspresi terkejut yang bercampur dengan rasa senangnya masih nampak jelas.
"Hehehe.. Rekomendasi dari Chef di tempat aku magang Ve.. Dia pernah makan di sini katanya waktu liburan keluarga", jawab Gua sambil mengingat ucapan salah satu mentor Chef ditempat Gua magang.
"Ooh.. Berarti tadi siang waktu kamu pergi sendiri, kamu kesini ya ?".
Gua menganggukan kepala. "Yap, reservasi dan sedikit request untuk malam bahagia kamu", jawab Gua sambil tersenyum.
Tidak lama dua orang pramusaji datang menghampiri kami dan meletakkan beberapa menu makanan yang siang sebelumnya sudah Gua request. Beberapa menu makanan chinese food disajikan diatas meja makan tepat dihadapan kami, dua gelas orange juice dan dua gelas air mineral pun tidak lupa disajikan.
"Ve.. Sorry aku gak sempet cari info tentang restoran japanese food yang halal di sini.. Jadi aku cuma dapet rekomendasi chinese food restoran ini aja yang insha Allah terjamin kehalal-annya", ucap Gua kepada Nona Ukhti yang masih tersenyum itu.
"Enggak apa-apa kok Za, aku juga selama disini cuma tau satu restoran jepang yang halal, dan letaknya jauh..", jawabnya,
"Kamu mau pesenin aku tempura tadinya ya ?", tebaknya. Gua terkekeh. "Ya gitulah hehehe...".
"Untungnya kamu gak nemu, karena aku lagi bosen makan tempura hihihi..". "Hoo.. Good lah, yaudah yuk dimakan Ve..", ajak Gua sambil mulai mengambil sendok dan garpu. Kami berdua mulai menyantap makanan yang sudah tersaji sedari tadi. Singkat cerita Gua dan Nona Ukhti sudah selesai menghabiskan makanan, lalu Gua memanggil pramusaji.
"Happy birthday to you.. Happy birthday to you...", dua orang pramusaji datang menghampiri sambil mendendangkan lagu ulang tahun.
Yang satu membawa kue ulang tahun dengan hiasan lilin yang menunjukan angka dua dan satu. Sedangkan satu pramusaji lainnya membawa boneka panda berukuran besar, sekitar satu meter tingginya. Masih sambil menyanyikan lagu, mereka berdua berdiri di samping Nona Ukhti. Cukup jelas kedua bola mata Nona Ukhti berkaca-kaca sambil satu tangannya menutup mulutnya.
"Selamat ulang tahun Nona Vera Tunggadewi.", ucap Gua ketika kedua pramusaji sudah berhenti bernyanyi.
"Za.. Ya Allah.. Ini surprise banget.. Aku.. Aku gak nyangka kamu akan kasih kue dan boneka, pakai dibawain sama pelayan lagi..", ucapnya masih terkejut dan tersenyum.
"Maaf kalo ada yang kurang ya Ve.. Semuanya dadakan hehehe..", ucap Gua sambi l mulai berdiri. "Enggak kok Za, ini beneran surprise buat aku...".
Gua mengambil alih kue ulang tahun dari sang pramusaji lalu menyodorkannya kepada Nona Ukhti. "Yaudah, kalo gitu sekarang make a wish dulu ya Ve..", pinta Gua.
Vera memejamkan matanya sesaat, dia tersenyum lalu memohon kepada Sang Maha Pemberi dalam diamnya, dalam do'a nya, dan dalam senyumnya. Setelah itu dia mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan seraya mengucapkan amin tanpa suara.
"Udah ?", tanya Gua.
Vera menggangguk sambil menatap Gua. "Yaudah, ayo tiup lilinnya", lanjut Gua.
"Fuuuhhh...", api pada lilin yang berbentuk angka dua dan satu itupun padam setelah ditiup oleh Nona Ukhti.
Kedua pramusaji sebelumnya bertepuk tangan lalu menyalami Nona Ukhti sambil mengucapkan happy birthday. Barulah kemudian mereka berdua pergi setelah salah satunya memberikan boneka panda.
"Suka Ve sama bonekanya ?", tanya Gua setelah menaruh kue diatas meja dan masih berdiri disampingnya.
"Suka banget Za, kamu tau darimana aku suka panda ?", tanyanya sambil memeluk boneka panda yang masih terbungkus plastik bening.
"Aku enggak sengaja, beneran gak sengaja kok waktu lewat kamar kamu yang pintunya terbuka kemarin malam.. Terus aku liat kedalam kamar banyak pernak pernik panda, jadi yaa.. Aku simpulin kalo kamu suka sama panda. Dan sepenglihatan aku, di dalam kamar belum ada boneka panda yang besar", jawab Gua.
"Ya ampun, makasih ya Za.. Oh iya, kapan kamu belinya " Dimana ?", tanyanya lagi.
"Nah kalo itu aku minta tolong manager resto ini Ve tadi siang, pas reservasi, aku sekalian nulis request selain menu makanan sama kue ulang tahun ini, aku minta tolong dia cariin boneka panda itu, sempet pesimis waktu sore manager itu sms kalo dia belum nemu, tapi akhirnya dapet juga ternyata hahaha...", jawab Gua menjelaskan.
"Ya Allah Ezaa.. Makasih banyak ya.. Iih beneran deh kamu tuh surprise banget malam ini.. Datang jauh-jauh dari Batam, terus malam ini ngasih kejutan coba... Makasih Za".
Nona Ukhti menaruh boneka panda itu dibawah lalu dia berdiri dan langsung memeluk Gua.
Gua membalas pelukannya dan mengusap punggungnya. "Sama-sama Ve, kamu pantas nerima ini semua...", jawab Gua.
Nona Ukhti memundurkan tubuhnya dan menyeuka airmatanya, kemudian menatap mata Gua. "Makasih sekali lagi Za".
Gua menganggukan kepala lalu mengusap kedua bahunya. "Makasih juga untuk kamu yang udah menyayangi aku Ve...".
Setelah itu, Gua mengajak Nona Ukhti untuk pergi ke tempat lain. Kurang lebih satu jam berkendara, Gua dan Nona Ukhti sampai di Merlion Park sekitar pukul setengah sembilan malam waktu setempat. Gua berjalan berdampingan dengannya... Dengan seorang wanita cantik yang mengenakan gamis. Sialan perasaan yang ada di dalam hati ini. Gua merasakan perasaan yang berbeda, perasaan yang sudah lama Gua kubur dalam-dalam beberapa tahun kebelakang. Untuknya... Ya perasaan untuknya yang dulu sempat membuat Gua bahagia sekaligus sakit dan terhempas kini kembali muncul di dalam hati. Tepat di hari ulang tahunnya ini.
Gua berdiri dibelakang Nona Ukhti yang sedang bersandar ke depan sana, memandangi patung Merlion. Fikiran Gua berkecamuk, ada yang salah disini. Bukan, ah Gua goyah kalau begini caranya. Gua sadar dari awal Gua berniat merayakan ulang tahunnya kali ini hanyalah sebagai ungkapan terimakasih dan silaturahmi, tapi ternyata perasaan Gua tidak sanggup menutupi rasa yang dulu pernah ada. Dan logika Gua mengatakan itulah yang salah, karena ada seorang wanita lain di belahan bumi lainnya yang sudah menjadi kekasih Gua saat ini.
Kedua mata ini masih memandangi sosok wanita muslimah di depan sana dengan fikiran-fikiran yang bertentangan. Lalu Gua tersadar ketika dia berbalik dan tersenyum kepada Gua. "Kenapa ngelamun Za ?", ucapnya menyadarkan Gua.
Gua berjalan menghampirinya dan menggelengkan kepala pelan. "Enggak apa-apa... Ehm.. Indah ya malam ini..", Gua mencoba mengalihkan fikiran tadi.
"Iya Za, disini selalu ramai sama wisatawan, belum lagi dua puluh empat jam selalu bebas dikunjungi... Jadi ya aku rasa apa yang pemerintah Singapore bangun ditempat ini memang untuk memanjakan orang-orang yang berkunjung..", jelasnya sambil menyapukan pandangannya ke sekitar.
Bukan Ve... Bukan itu, bukan suasana sekitar Marlion Park ini yang membuat indah dimata aku. Tapi pesona kamu lah yang indah dan mampu mengalahkan segala keindahan bangunan di tempat ini. You're so fakin beautiful Ve. Damnit!!!
Kemudian kami melakukan sesi foto-foto, awalnya bergantian, lalu Gua meminta tolong kepada orang lain untuk mengabadikan foto kami berdua dengan latar belakang patung Merlion. Setelah itu kami kembali berjalan menuju parkiran mobil yang cukup jauh Gua parkirkan. Kami beranjak pulang ketika waktu sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Selama perjalanan pulang, kami membicarakan soal perkuliahan Gua yang sebentar lagi akan selesai. Masih asyik mengobrol dengan Gua mengemudikan mobil, smartphone Gua berbunyi dengan nada panggilan masuk. "Za, ada telpon tuh kayaknya.. Hape kamu bunyi terus..", ucap Nona Ukhti.
"Iya Ve...", Gua merogoh saku jaket dan mengeluarkan smartphone, sekilas Gua lihat layarnya yang ternayta muncul nama sang kekasih.
"Siapa Za ?". "Luna...", jawab Gua yang sedetik kemudian menekan tombol answer. Quote:Percakapan via line :
Gua : Halo Lun... Luna : Halo Za.. Kamu lagi dimana "
Gua : Aku lagi jalan arah pulang ke rumah Vera.. Mmm.. Lagi bawa mobil sih.. Luna : Oh, eh iya mana Vera nya " Aku mau ngomong dong...
Gua : Oh oke sebentar... Gua memberikan smartphone kepada Nona Ukhti yang duduk disamping.
Nona Ukhti menaikan alisnya sambil menerima smartphone yang lalu Gua beritahukan itu telpon dari Luna dengan menggerakan bibir tanpa suara.
Setelah itu Gua fokus kembali mengendarai mobil, sedangkan Nona Ukhti mengobrol dengan Luna ditelpon. Agak lama mereka mengobrol yang hanya bisa Gua dengar beberapa kali Nona Ukhti mengucapkan terimakasih dan beberapa kalimat lainnya membuat Gua bingung karena dia berulangulang menanyakan "Loch kok gitu " Kenapa Lun ?". Entah apa yang dikatakan Luna untuk Nona Ukhti dari obrolan mereka. Sesampainya di depan rumah. Nona Ukhti memberikan smartphone kembali kepada Gua yang memang sudah selesai mengobrol dengan Luna. Gua belum mematikan mesin mobil walaupun Gua sudah selesai parkir tepat dibelakang mobil milik Papahnya. "Luna ngomong apa Ve ?", tanya Gua sambil melepaskan seatbelt.
"Oh, dia ngucapin selamat ulang tahun aja tadi kok..", jawab Nona Ukhti yang juga melepaskan seatbelt.
"Tunggu Ve..", Gua menahan tangannya yang hendak membuka pintu mobil disampingnya.
"Kenapa ?". "Sebentar...", Gua mengambil kotak persegi dari dalam saku jaket bagian dalam, lalu menunjukannya kepada Nona Ukhti. "Selamat ulang tahun Vera Tunggadewi... Semoga kamu selalu berada dalam kebahagiaan, diberikan rejeki yang berlimpah, dan dilindungi oleh Sang Maha Pelindung dalam se tiap langkah hidup kamu...", ucap Gua memberikan selamat.
"Aamiin..", ucapnya mengamini do'a Gua,
"Ini apalagi Za ?", tanyanya menatap kotak yang terikat melintang dengan pita berwarna biru muda yang masih berada pada genggaman tangan Gua.
"Hadiah untuk kamu", jawab Gua.
"Loch " Kan tadi kamu udah ngasih aku itu...", ucapnya seraya menunjuk kebelakang, dimana boneka panda sebelumnya duduk manis di jok belakang.
"Iya, tapi ini beda, mmmm.. Anggap aja hadiah utama hehehe..", Gua terkekeh pelan. "Ambil dong Ve", lanjut Gua sambil kembali menyodorkan kotak tersebut.
Nona Ukhti mengambil hadiah tersebut, lalu Gua memintanya untuk membuka hadiah tersebut. Dia menarik simpul pita biru lalu membuka kotaknya keatas.
"Za..", ucapnya tercekat memandangi hadiah yang berada di dalamnya. "Ini... Berlebihan Za...", kali ini dia menatap Gua dengan ekspresi terkejut.
"Enggak Ve, enggak berlebihan kok..", Gua mengambil gelang emas putih tersebut dari dalam kotak itu. "Sini, aku pasangin ya, cocok gak nih...", lanjut Gua.
Nona Ukhti menjulurkan tangan kanannya, lalu Gua memasangkan gelang tersebut dan melingkar dipergelangan tangannya itu. perfect. Ternyata cocok dan yap, Gua akui menambah pesonanya sekalipun hanya sebuah gelang.
"Bagus Za... Tapi...", ucapnya sambil memperhatikan bandul berbentuk merpati. "Tapi kenapa ?".
"Kamu udah ngeluarin berapa banyak uang untuk ini semua Za " Aku rasa kamu berlebihan... Aku berterimakasih banyak untuk malam ini, tapi aku juga gak mau kamu menghamburkan uang kamu.. Belum kamu lagi magang kan..", jawabnya.
Gua pegang tangan kanannya dan mengusap telapaknya itu lembut. "Seharusnya... Seharusnya kamu mendapatkan lebih dari ini semua Ve..", Gua menatap wajahnya serius. "Lebih dari ini " Maksud kamu ?", tanyanya heran.
Gua tersenyum, senyum yang dipaksakan tentunya. "Ve.. Kamu tau, seharusnya kamu berada disini..", Gua tarik pelan tangan kanannya itu dan menaruhnya tepat di dada Gua. Seketika itu juga, Nona Ukhti kembali meneteskan airmatanya, sedikit namun jelas terlihat oleh Gua. "Maafin aku Za, maafin aku yang udah buat kamu kecewa waktu itu...", ucapnya sedikit terisak.
"Udah berlalu Ve, tapi aku gak bisa bohong kalau ternyata kamu itu benar-benar enggak bisa pergi dalam benak aku dan hati ini...",
"Jujur, aku sempat melupakan kamu saat menikah dengan Echa.. Selama itu pula Echa lah yang selalu menemani aku.. Sampai.. Ehm...", Gua teringat dengan almarhumah istri Gua lalu tidak bisa melanjutkan kalimat lagi.
"Ssstt.. Udah, aku faham.. Maafin aku, maafin aku Za..", potongnya. Gua tersenyum, begitupun dengan Nona Ukhti.
Quote:Malam itu, kamu tau..." Aku benar-benar merasakan perasaan yang sudah lama hilang dan kembali lagi, di malam itu aku merasakan bahwa cinta untuk kamu kembali hadir dengan segala rasa yang pernah ada. Penuh dan utuh, sama pada saat dulu kita bersama walaupun dalam hubungan sahabat. Dan kejadian memilukan yang kamu alami merubah semuanya, sampai kamu pergi meninggalkan aku... Ketika itu, Echa lah yang menggantikan kamu di dalam hati ini, sampai ia pergi dan tak pernah kembali.
Ve.. Malam itu, di dalam mobil kamu... Aku melupakan Luna... Entah kenapa dan bagaimana, yang jelas, aku gak bisa menahan perasaan ini lagi. Aku masih cinta sama kamu Ve... "Ve.. Aku cint...".
"Ssstt.. Jangan.. Jangan katakan itu Za", potongnya dengan menaruh satu jemarinya di bibir ini. "Aku juga masih merasakan perasaan itu, enggak pernah berubah sampai detik ini, tapi kamu harus tau, ada Luna yang menunggu kamu di tempat yang jauh dari sini.. Aku enggak mau merusak hubungan kalian dan... Eh ?", Nona Ukhti terkejut.
Gua menyingkirkan jarinya dari bibir ini lalu sedetik kemudian Gua memajukan wajah dan memejamkan mata sejenak untuk mencium bibirnya.
Tep... Bibir Gua tertahan lagi oleh tangannya.
Gua membuka mata dan melihatnya sedang meneteskan airmata lagi. "Za.. Aku sayang sama kamu, dan aku masih ingat janji kamu dulu... Janji kamu yang pernah ingin membawa hubungan kita lebih serius saat kamu nyium bibir ini... Tapi bukan begini.. Ingat Luna Za..", ucapnya mengingatkan Gua sambil menangis.
takkan mudah ku bisa melupakan segalanya yang telah terjadi
di antara kau dan aku, di antara kita berdua
kini tak ada terdengar kabar dari dirimu kini kau telah menghilang jauh dari diriku semua tinggal cerita antara kau dan aku namun satu yang perlu engkau tahu api cintaku padamu tak pernah padam PART 92
Desember 2009 sudah berjalan selama tiga hari, dan dari terakhir kali Gua mengunjungi Nona Ukhti saat ulang tahunnya di Singapore lalu, sudah berlalu selama tiga minggu lebih. Saat ini Gua kembali menjalani magang di salah satu hotel di pulau Batam, dan kurang lebih sekitar tiga minggu kedapan masa magang atau pkl ini akan berakhir.
Hari berganti hari, minggu berganti minggu, dan saat ini sudah hari terakhir Gua magang di hotel. Gua selesai mengepakan barang ke tas ransel lalu pamit kepada beberapa karyawan yang ada di mess ini, tentunya Gua juga sudah pamit kepada atasan Gua, beberapa kepala Chef di hotel tempat Gua magang dan juga sudah mendapatkan sertifikasi selama tiga bulan magang di hotel tersebut. Sekitar pukul tiga sore Gua pun berangkat ke bandara untuk naik pesawat menuju pulau jawa. Singkat cerita Gua sudah sampai di bandara soekarno-hatta.
Gua berjalan menuju pintu keluar kedatangan domestik dan melihat seorang wanita yang memang sebelumnya sudah berjanji akan menjemput Gua di bandara ini. Gua menghampirinya ketika dia melambaikan tangan.
"Hai Mba..", sapa Gua setelah menghampirinya. "Maaf ya jadi ngerepotin..", lanjut Gua.
"Hai Mas, enggak kok, kan aku yang pingin jemput kamu kesini, hihihi...", jawabnya. "Oh ya, mau langsung pulang ?", tanyanya.
"Kita makan dulu ya Mba, tapi gak disini". "Dimana ?".
"Ke restoran aku aja ya, udah lama juga kan aku gak kesana".
Mba Yu pun mengangguk sambil tersenyum, lalu kami berjalan berdampingan menuju parkiran mobil. Gua duduk dibangku penumpang depan, sebelah Mba Yu yang mengemudikan mobil. Perihal Mba Yu yang menjemput Gua hari ini di bandara sebenarnya tidak direncanakan sama sekali. Dua hari lalu, Gua dan Mba Yu sedang chatting di bbm, saling menanyakan kabar, sampai akhirnya Gua bercerita kalau dua hari kedepan Gua akan pulang karena masa magang sudah selesai, dan dari situlah Mba Yu mengajukan diri untuk menjemput Gua hari ini di bandara Soetta. Karena dia bilang tidak ada perkuliahan, dan acara lain, jadi Gua pun menerima tawarannya.
Di perjalanan saat berada di jalan tol, kami banyak mengobrol soal masa magang Gua selama di Batam, sampai akhirnya Gua menceritakan kepergian Gua ke negara tetangga untuk merayakan ulang tahun Nona Ukhti kepadanya.
"Kejutan banget untuk Vera ya Mas.. Dia pasti senang kamu kasih kejutan gitu", ucapnya setelah Gua bercerita.
"Ya, kalau aku liat dia cukup senang... Syukur dia juga suka sama semua yang aku kasih selama disana".
"Terus, Luna tau kalau kamu ngerayain ulang tahun Vera di Singapore ?", tanyanya.
"Tau kok Mba, dia tau kalo aku pergi nemuin Vera untuk ngerayain ulang tahunnya, karena memang sebelumnya juga aku minta izin sama dia dulu", jawab Gua.
"Ooh.. Dia gak marah atau cemburu gitu " Eh, dia tapi tau kan kalo kamu pernah dekat sama Vera " Maksudku sebelum kamu nikah sama Almh. Echa".
Gua menganggukan kepala sambil tersenyum kepadanya. "Tau kok, bahkan dia tau kalau aku ma..", Gua tidak jadi melanjutkan kalimat tersebut, karena Gua tersadar kalau ucapan Gua itu bisa saja membuat mood Mba Yu berubah.
"Hm " Masih sayang sama dia " Iya ?", tebak Mba Yu sekilas melirik kepada Gua lalu menatap jalan tol lagi di depan sana.
Ah benarkan, terlambat... Mba Yu sadar duluan sebelum Gua menyelesaikan ucapan tadi. Gua menggaruk pelipis sambil tertunduk. Bingung mau jawab apa.
"Mas..". Gua melirik sedikit kepada Mba Yu yang masih fokus mengemudikan mobil.
"Aku udah selesai sama Feri...", lanjutnya dingin namun Gua bisa merasakan kalimatnya itu penuh penekanan.
Hening sudah suasana diantara kami, hanya deru mesin mobil yang melaju semakin kencang yang bisa Gua dengar dan rasakan ketika mobil ini keluar tol dan menuju restoran Gua. ....
Kami berdua makan di lantai dua restoran, bagian luar di balkon. Gua memesan dua steak untuk kami berdua, lalu dua gelas jus jeruk sebagai penghilang dahaga. Btw, saat itu restoran Gua belum menjual minuman beralkohol ataupun wine, maklum, Mba Laras kan tidak setuju, lain cerita jika nanti Gua yang sudah benar-benar menjalankan bisnis ini sendiri.
"Gimana ceritanya kamu bisa udahan sama Feri, Mba ?", tanya Gua setelah kami selesai menyantap makanan.
"Secara personal antara aku dan dia Mas, belum secara formal ke keluarga kami.. Aku mutusin dia, aku gak bisa nerusin hubungan ini apalagi ke hubungan yang lebih serius...", jawabnya ketika selesai mengelap bibir dengan tissue.
"Mmm.. Terus Feri gimana " Dan kamu juga yakin dengan keputusan ini ?", tanya Gua lagi seraya mengambil sebatang rokok lalu mulai membakarnya.
"Mas, maaf ya, kamu tau sendiri kan waktu kamu berdua sama Luna, aku gimana " Apalagi ini, Feri berapa kali khianatin aku Mas... Perempuan mana yang gak sakit hati, oh enggak enggak, mau perempuan atau laki-laki sama aja, semua orang gak ada yang gak sakit hati Mas dikhianatin kayak gini.. Jelas-jelas dia tau kalau kami berdua udah saling terikat di acara lamaran, tapi apa " Dia masih aja berani main perempuan lain", terdengar jelas suaranya sedikit bergetar menahan emosi yang berkecamuk dalam hatinya itu.
Gua menganggukan kepala dan menatap sendu kepada Mba Yu... Sherlin Putri Levanya... Kamu itu wanita yang baik sekalipun banyak orang yang menganggap kamu buruk. Aku tau kebaikan hati kamu selama ini. Dan aku memang bajingan yang enggak bisa menjaga kamu dari dulu. Menyianyiakan kamu saat kita masih bersama. Tapi wanita seperti kamu kenapa harus terus menerus disakiti, bahkan sampai saat itu tiba.. Ya kan Mba " Andaikan dia gak menahan aku, mungkin cerita saat itu akan berbeda Mba... Aku hanya bisa mendo'a kan yang terbaik untuk kamu Mba.. Kamu, aku dan mereka tau akhirnya hubungan kita seperti apa. Nothing gonna change for us. "Aku paham Mba, maaf aku... Aku gak bis..".
"Aku gak nyalahin kamu Mas.. Aku cuma bingung kenapa Feri bisa begitu...",potongnya. "Ah iya... Kamu udah tanya alasannya kenapa dia sampai berani selingkuhin kamu ?". "Klasik.. Males aku neranginnya.. Omong kosong Mas.. Dia cuma omong kosong".
Gua menghela nafas lalu menatap kearah lain sambil menghisap rokok dalam-dalam kemudian menghembuskannya.
"Mba, aku minta maaf soal janji yang dulu", ucap Gua kali ini menatap matanya lekat-lekat. Mba Yu membalas tatapan Gua dengan mata yang sayu, ya mungkin dia kecewa.
"Maaf Mba.. Aku.. Aku gak tau harus bilang apa lagi sama kamu Mba, karena sekarang aku sendiri bingung sama perasaan aku ke Luna dan Vera... Kamu pahamkan maksud aku ?", lanjut Gua. "Kamu tuh dari dulu selalu gitu...", jawabnya sambil bertopang dagu.
"Maksudnya ?", tanya Gua balik heran lalu menghisap rokok lagi dan menghembuskannya keatas.
"Ya selalu aja bingung dengan pilihan... Aneh aja Mas, emang gak ada yang benar-benar kamu cintai gitu dari dalam hati kamu ?", tanya Mba Yu sambil memutar sedotan pada gelas jus jeruknya. "Mmm.. Ada lah.. Masa iya enggak Mba..".
"Siapa " Dari ketiga nama yang sekarang...".
Gua tersenyum lalu mengerlingkan mata kepadanya. "Kamu", jawab Gua menggoda.
"Huu.. Gombal..", jawab Mba Yu seraya mengibaskan sedotan kearah wajah ini, dan seketika itu juga percikan air jus mengenai wajah Gua.
"Hehehe.. Emang kenapa kalo aku jawab kamu " Bukannya itu yang kamu mau Mba " Atau.. Mau aku sebutin nama Lu..".
"Hey! Gak usah nyebut nama dia deh.. Malesin kamu tuh", potongnya seraya melotot kepada Gua.
Sontak Gua langsung terkekeh lagi melihat ekspresinya itu. Lalu Gua mematikan batang rokok yang memang sudah hampir habis. Kemudian melipat kedua tangan diatas meja dan menatap mata Mba Yu lekat-lekat.
"Mba..". "Hmm ?". "Kenapa Luna gak cemburu sama Vera ya ?", tanya Gua serius.
Mba Yu menaikan kedua alis lalu tersenyum tipis. "Kayaknya apa yang dipikirkan Luna sama dengan aku, Mas..", ucap Mba Yu.
Gua mengerenyitkan kening, tidak paham maksud Mba Yu, fikiran apa yang membuat mereka berdua sama soal Nona Ukhti.
"Gimana maksudnya Mba ?".
"Kita semua tau Mas apa yang terjadi sama Vera di masa lalu, dan setelah itu, kamu.. Ya kamu down ketika dia pergi ditambah almh. Istri kamu... Dan dia, Vera.. Hadir lagi ke kehidupan kamu disaat yang tepat. Bahkan aku gak bisa membuat kamu keluar dari masa depresi kamu, ya walaupun alasannya karena masih dengan Feri saat itu. Tapi aku sadar... Dan aku rasa begitupun dengan Luna. Vera terlalu bernilai tinggi di mata kamu Mas. Lihat sendiri, gak ada satupun perempuan yang kuat menanggung beban yang ia hadapi saat itu, bahkan... Maaf, temannya sampai bunuh diri di rumah sakit. Sedangkan Vera " Dia berhasil menjadi seorang wanita yang layak disebut sebagai bidadari surga yang turun dari langit Mas.. Kebesaran hatinya, keteguhan hatinya, dan semua itu lengkap sudah dengan pengalaman hidup pahit yang ia alami membuat dia semakin mendekatkan diri kepada Tuhan", jelas Mba Yu kepada Gua yang masih memahami setiap ucapannya itu. "Sekarang gimana aku dan Luna bisa bersaing dengan wanita seperti Vera, Mas ?", tanyanya kali ini seraya tersenyum tulus kepada Gua.
"Ehm.. Mba, aku..".
"Mas, Luna rela kalo kamu lebih milih Vera karena apa yang ada di dalam diri Vera memang jauh bisa membuat kamu bahagia... Sedangkan dia gak akan rela kalo aku yang kamu pilih, karena kita juga tau kan.. Luna sakit hati sampai sekarang karena aku mukul kamu dan dia dulu...", potong Mba Yu. "Tapi kan kata kamu memang Luna duluan yang cari perkara...", timpal Gua.
"Karena itu Mas, karena itu dia semakin gak rela kalo kamu berhubungan lagi sama aku. Gimanapun Luna benci sama aku, sama seperti aku benci dengan Luna selama ini.. Apa kamu rela kalau misalkan... Maaf, Mba Siska jadian lagi sama mantannya yang dulu itu " Yang pernah nyakitin dia " Ini cuma sebagai contoh aja...".
Gua mengerti pada akhirnya. Seperti itulah wanita kalau sudah benci, ah mungkin sama halnya dengan lelaki. Apapun itu, yang jelas sulit sekarang memperbaiki lagi hubungan mereka berdua.
"Terus.. Gimana aku sekarang Mba " Aku... Aku gak mau nyakitin Luna.. Aku sayang sama dia, benar-benar sayang Mba, maaf aku harus ngomong gini ke kamu, aku bimbang... Sedangkan Vera juga... Aah.. Syiitt", Gua menjambak rambut sendiri sambil memejamkan mata. Pusing memikirkan pilihan yang sulit ini.
"Mas.. Jalan kamu sama Luna lebih berat daripada kamu memilih Vera.. Ada hal-hal yang harus kamu pertimbangkan masak-masak Mas, perbedaan kalian.. Keluarga... Dan.. Apa iya Luna benar-benar mencintai kamu ?".
Gua menatap nanar kearah langit-langit restoran ini. Semakin bingung dengan pertanyaan yang Mba Yu utarakan itu. Entah bagaimana kedepannya jika Gua memilih salah satu dari mereka. Yang jelas pasti akan ada yang tersakiti lagi dan lagi...
"Sebentar.. Aku baru kepikiran... Berarti kamu juga rela dong kalo aku milih Vera daripada kamu Mba...?".
"Enaaak ajaa! Aku belum nyerah ya, weee...", sungut Mba Yu sambil menjulurkan lidah.
Dan kami berdua pun tertawa menikmati kebingungan dan kebodohan ini... Lakon hidup yang dibuat pusing sendiri. Ah Mba Yu... Kamu tuh yaa.. Hmmm.. Entahlah.
... Natal tahun ini Gua sudah mengantongi tiket pesawat, paspor dan visa untuk berlibur ke negara sebrang. Beberapa hari setelah Gua pulang dari Batam, Gua main ke rumah Helen, yang artinya Gua bertemu dengan Mamahnya Luna dan Helen, untuk menanyakan kabar apakah Natal tahun i ni Luna pulang ke Indonesia. Ternyata dia tidak pulang dengan alasan ada beberapa kerjaan yang memang tanggung untuk ditinggalkan. Kenapa Gua tidak menanyakan langsung kepada Luna, karena Gua ingin memberikan kejutan untuknya. Sedangkan Papahnya sudah lebih dulu pulang ke Jerman lagi sendirian.
Saat Gua sudah mendapatkan kontak Helen dari Mamahnya, Gua pun akhirnya berbalas chatting via bbm dengan Helen akhir-akhir ini, karena Helen akan pulang ke Indonesia selama libur Natal. Gua ceritakan kepada adik kekasih Gua itu untuk memberikan kejutan kepada sang Kakak dengan menyambanginya ke Aussie. Helen mau membantu Gua dan ternyata lebih dari itu, dia juga akan ikut ke Aussie bersama Mamahnya. Jadilah nanti kami bertiga berangkat bersama untuk memberikan surprise untuk Luna.
Selama Gua menceritakan keinginan Gua untuk mendatangi Luna kepada Helen, dia, Helen, cukup senang dan antusias membantu Gua menanyakan informasi soal kegiatan sang Kakak selama Natal di Aussie, jadi kami tau dia ada acara apa saja dan dimana saja saat kami sudah sampai di Aussie nanti. Ada satu hal yang masih Gua rahasiakan, soal kejutan lainnya untuk Luna. Sampai nanti Gua bertemu dengannya, Helen maupun sang Mamah belum mengetahui kejutan tersebut.
Selesai mendapatkan visa dari teman Dewa, Gua pun sudah siap untuk berangkat hari ini ke Aussie bersama Helen dan Mamahnya. Hari keberangkatan ini tepat satu hari sebelum perayaan Natal. Gua pamit kepada Nenek dan juga Mba Laras, sedangkan Gua, Helen dan Mamahnya diantar oleh supir pribadi keluarga Helen ke bandara Soetta. Sesampainya disana, kami memasuki terminal keberangkatan internasional untuk melakukan check-in dan segala macam pemeriksaan dokumen serta kelengkapan lainnya.
Gua duduk di sofa tunggu tepat disebelah Helen, sedangkan sang Mamah duduk disisi lainnya. Kami masih menunggu keberangkatan. Gua dan Helen pun banyak membicarakan beberapa hal soal perkuliahan dia selama di Jerman dan juga kegiatan Kakaknya yang selama ini sering berkomunikasi dengan Helen.
"Nah besoknya, tepat pas Natalan, kita langsung ke hotel xxx aja Kak, soalnya Kak Luna ada gala dinner gitu katanya, acara perusahaan tempat dia kerja...", ucap Helen setelah menceritakan maksud tujuan kami nanti setelah sampai di Aussie.
Gua menangguk paham. "Hmm.. Okelah, Aku ikut aja Ay, yang penting kan kamu udah dapet info dia menginap di hotel mana di Sydney... Eh iya, dia tinggal di deket kantornya kan, kenapa acaranya jauh ke Sydney ya ?", tanya Gua.
"Mungkin lebih menarik suasana di kota itu Kak... Jadi gala dinnernya di hotel daerah Sydney...", jawabnya menerka. "Oh iya, Kakak udah beres kuliahnya " Ambil diploma kan ?".
"Iya, aku ambil diploma tiga Ay, Baru selesai magang sih, bulan depan aku bikin T.A, dan kalo enggak ada kendala wisuda pertengahan tahun depan lah..", jawab Gua.
"Hmm.. Semoga lancar dan sukses ya Kak..", ucapnya mendo'a kan. "Aamiin, makasih ya Ay..".
Tidak lama kami pun mulai memasuki pesawat setelah informasi yang terdengar sebelumnya memberitahukan bahwa pesawat yang kami tumpangi akan segera lepas landas.
Singkat cerita kami bertiga sudah sampai di Sydney. Setelah meninggalkan bandara, kami naik taxi ke salah satu hotel yang memang sudah di booking via online oleh Helen beberapa hari sebelumnya untuk kami bertiga. Dua kamar, tentunya Helen tidur dengan sang Mamah, sedangkan Gua sendirian. Hari pertama ini kami hanya ingin beristirahat, karena Helen yang baru saja pulang dari Jerman empat hari lalu sekarang sudah pergi lagi ke Aussie bersama Gua dan Mamahnya. Kami beristirahat di hotel ini dan makan malam bersama di restoran hotel tersebut. Benar-benar tidak pergi keluar untuk sekedar jalan ataupun menikmati malam sebelum Natal, hanya istirahat.
Oh ya, awalnya Helen sudah mengecek ketersediaan kamar hotel dimana gala dinner kantor Luna diselenggarakan, agar kami lebih mudah menemui Luna tapi sayang kamar hotel itu sudah penuh. Maka hanya hotel inilah yang masih menyediakan kamar kosong di holiday tahun ini. Untungnya hotel tempat kami menginap dengan hotel tempat Luna mengikuti gala dinner tidak begi tu jauh, bisa ditempuh dengan berjalan kaki sekitar 15 menit kuranglah. Tapi tidak mungkin juga Helen dan Mamahnya berjalan kaki ke sana dengan mengenakan gaun pesta.
Keesokan pagi, kami bertiga breakfast di restoran hotel. Setelah itu Helen berniat berenang di kolam dekat restoran, sempat Gua diajak olehnya untuk renang, tapi rasanya musim panas di Aussie masih cukup dingin bagi Gua untuk sekedar berenang, daripada sakit lebih baik Gua melihat Helen dengan swimsuit yang aduhai dari meja sisi kolam sambil menikmati sebatang rokok.
"Gak dingin Ay ?", tanya Gua dari tempat duduk sisi kolam.
"Enggak, seger kok, ayo renang Kak... Hihihi...", ucapnya dari sisi kolam dengan sebagian tubuhnya berada di dalam air.
Mungkin, mungkin ya, imun tubuhnya sudah terbiasa karena selama beberapa tahun dia tinggal di daratan eropa, walaupun ini musim panas di Aussie tapi tetap saja suhu air kolam itu bagi Gua terasa cukup dingin di pagi hari ini.
"Hey, hayo matanya jelalatan ya liatin aku "! Hm!", tembaknya ketika Gua memi kirkan soal cuaca dan suhu kolam yang dingin.
"Eh enggak.. Sembarangan. Orang lagi mikirin dingin apa enggak itu aer kolam...", jawab Gua sambil memalingkan wajah.
"Tapi matanya ngeliat aku terus.. Huuu dasar laki-laki!", Helen menyipratkan air kearah Gua. "Enggak... Ya ampun.. Hadeuuh..", jawab Gua sambil menyeka air yang membasahi kaki.
Lalu Helen kembali berenang kearah sisi kolam lainnya. Tapi gara-gara dia bicara seperti itu sebelumnya, mata ini jadi autofokus kearah tubuhnya yang sedang bergerak di dalam air. Haduh.. Mbloo.. Bodinya sih tipis, tapi itu kulitnya putih banget. Daripada makin ngawur, Gua memilih beranjak pergi ke kamar hotel meninggalkannya.
Sesampainya dikamar, Gua mulai membereskan outfit yang akan Gua kenakan untuk acara nanti malam. Setelah itu barulah Gua masuk ke dalam kamar mandi untuk membilas tubuh. Selesai mandi dan berganti pakaian, pintu kamar Gua diketuk dari luar.
"Eh Helen... Kenapa ?", tanya Gua setelah membuka pintu kamar dan melihatnya sudah berdiri didepan Gua dengan pakaian yang baru. Sepertinya dia sudah selesai mandi juga. Kyuuttt... Pinggang Gua langsung dicubit dengan raut wajahnya yang kesal.
"Adaaaaww.. Aaww.. Apaan nih ooiii aaww.. Sakit oii.. Aw aw aw...", ringis Gua. "Kurang ajar ya ninggalin aku sendirian di kolam tadi!!", sentaknya seraya bertolak pinggang.
Gua mengusap-usap pinggang yang terasa perih. Gile, beneran nyubit ini anak. "Sshh.. Sorry sorry Ay... Tadi buru-buru ke kamar mau pup..", Gua beralasan.
"Iya kan tapi bisa ngomong dulu Kak! Maen pergi aja! Gimana sih! Dasar gak bertanggungjawab!", Helen masih kesal dengan jawaban Gua yang tidak ia pedulikan.
"Iya-iya maaf deh.. Maaf ya, beneran tadi langsung lari ke lift terus masuk kamar...". "Yaudah deh.. Yuk kita pergi..", ajaknya.
"Hm " Mau kemana ?".
"Kita jalan-jalan sama Mamah, acara Kak Luna kan masih lama...".
Akhirnya kami bertiga naik taxi dan diantarkan ketempat wisata yang memang menjadi ikon kota Sydney. Beberapa tempat kami kunjungi, tidak lupa kami mengabadikan kedalam kamera smartphone masing-masing dan juga kamera dslr milik Helen. Singkat cerita sore hari kami sudah kembali ke hotel untuk bersiap-siap pergi ke sebuah hotel di dekat tempat kami menginap ini. Kami naik taxi yang Gua rasa hanya buang-buang uang saja, karena tidak sampai sepuluh menit kami sampai di depan hotel bintang lima. Hotel yang menjadi tempat Luna mengikuti acara kantornya. Hotel ini memiliki view yang awesome, gimana enggak, opera house yang ikonik itu menjadi pemandangan dari kamar-kamar hotel tersebut di sebrang sana.
Kami turun dari taxi setelah Helen membayar ongkos taxi. Lalu kami memasuki hotel tersebut dan akhirnya kami sadar akan kesalahan kami. Ya, kami tidak bisa ikut masuk ke dalam ballroom hotel, dimana acara gala dinner kantor Luna diselenggarakan, karena tentu saja tamu undangan memiliki invitations khusus bagi para pegawai mereka. Karena itulah, akhirnya kami melakukan dinner sendiri di restoran tersebut. Gua dan Helen duduk bersebelahan, sedangkan Mamahnya berada di depan Helen.
Kami menikmati hidangan yang kami pesan sambil menunggu acara gala dinner yang entah dilantai berapa acara itu diselenggarakan sampai selesai. Setelah makan, Mamahnya Helen pergi ke balkon luar restoran untuk menikmati suasana malam hari sambil memandangi opera house disebrang sana. Gua dan Helen masih duduk dikursi restoran, membicarakan beberapa hal tentang niatan Gua yang ingin mencoba bekerja di hotel.
Helen mencolek lengan kiri Gua ketika Gua masih asyik bercerita soal restoran Gua itu. "Kenapa ?".
"Itu Kak Luna kan ?", tanyanya menatap ke depan sana.
Gua melirik kearah matanya memandang, mencoba mencari sosok kekasih dari dalam restoran ini kearah luar. Dan ya benar apa yang Helen lihat.
"Eh iya itu Luna, Ay...".
"Yaudah samperin duluan Kak...".
Gua pun bangkit dari kursi dan berlalu meninggalkan Helen yang berjalan beberapa meter dibelakang Gua. Sekitar empat meter Gua berhenti dibelakang Luna yang sedang berdiri di dekat lobby sambil membuka tas pestanya. Malam itu, dia benar-benar sangat terlihat cantik, serius, dia benar-benar sangat berbeda, mungkin karena sudah lama juga kami tidak bertemu, ditambah sekarang dia memakai dress party berwarna merah maroon dan rambut yang di curly ujungnya. She's so fuckin beautiful tonight.
"Luna...". Luna menengok kebelakang dan melihat Gua dengan ekspresi terkejut. "Eza "!", ucapnya tercekat.
Gua tersenyum kepadanya, lalu sedetik kemudian, tangan Gua merogoh saku jas hitam bagian dalam dan mengeluarkan kotak persegi. Gua berjalan mendekatinya... Namun langkah kaki Gua berhenti tepat dua meter didepannya.
"Ayo honey... Kita langsung ke apartemen kamu sekarang ?", ucap seorang pria yang datang dari arah lain dan langsung merangkul bahu kekasih Gua itu. "Hmm " Who this guy ?", tanyanya ketika melihat Gua.
Luna masih terdiam menatap Gua, begitupun dengan Gua, terdiam karena tidak mengerti apa maksud ucapan pria disampingnya itu. Honey " who is honey " My fakin girlfriend ".
"Za.. Kamu gimana bisa ada disini ?", tanya Luna dengan suara yang bergetar. "Hun.. Siapa dia ?".
"Erick, please stop asking!", Luna sedikit menyentak kepada pria yang berada disampingnya itu sambil menepiskan lengan yang merangkul bahunya.
"Hey.. Kamu kenapa sayang " Dia ini siapa " Aku nanya masih wajar Lun, cuma ingin tau siapa cowok ini ?", ucap Erick.
Luna menggelengkan kepalanya pelan.


Asleep Or Dead Karya Bunbun di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gua tersenyum lalu kembali mendekati Luna dan meraih tangan kirinya. Tapi sedetik kemudian tangan Erick menepis tangan Gua.
"Bro.. Don't touch my fianc"e..", ucapannya terdengar serius.
Gua lepas genggaman tangan Gua, lalu menatap kepada Luna. "Fianc"e ?", tanya Gua kepada Luna. Tapi Luna hanya tertunduk dengan airmata yang sudah mulai menetes perlahan. "Give me your fakin reasons bout this shit, Lun...", lanjut Gua.
Kyut... Kerah kemeja Gua ditarik dan dicengkram oleh Erick.
Dia menatap Gua dengan tatapan membunuh. "Watch out your fakin mouth young man...". Gua menyunggingkan ujung bibir menatap matanya lekat-lekat.
Dugh.. Gua adukan kening ini kearah matanya.
"Argh!!", Erick melepaskan cengkramannya lalu memegangi matanya itu. "Erick!", Luna terkejut lalu memegangi kedua bahu Erick.
Luna menahan Erick yang hendak memukul Gua, lalu.. Plaakk.. Pipi Gua ditampar oleh Luna. Kemudian dia menyuruh Gua pergi. Ya Luna meminta Gua pergi.
Tidak lama kemudian Helen sudah berdiri disamping Gua bersama Mamahnya. "Helen " Mamah " Kalian ngapain disini ?", tanyanya bingung.
"Kak.. Kamu yang lagi apa disini sama dia ?", Helen balik bertanya sambil menunjuk Erick. "Luna.. Kami bertiga kesini untuk merayakan Natal bersama kamu", timpal sang Mamah.
Gua menggelengkan kepala. "Luna.. Aku minta maaf kalo selama ini aku salah dan gak bisa ngebahagiain kamu...", Gua membuka kotak persegi dan mengeluarkan cincin dari dalamnya. "Aku salah menilai kamu... Ini..", Gua tunjukan cincin itu dihadapan semua orang yang berada didekat kami.
"Ini adalah benda yang ingin aku sematkan di jemari manis kamu.. Tapi rasanya semuanya sia-sia ya Lun... Aku gagal jadiin kamu tunangan aku... Oh mungkin telat.. Entah kapan Dia melamar kamu..", lanjut Gua sambil menatap kepada Erick.
Luna menangis dengan airmata yang tertumpah cukup banyak. Kedua tangannya menutupi mulutnya.
Gua berbalik dan melangkah meninggalkan mereka, beberapa langkah Gua berhenti ketika Luna berteriak memanggil Gua.
"Eza!". Gua membalikan badan dan menatapnya yang berjalan menghampiri Gua.
"Lun.. Marry Christmas...", ucap Gua lalu melemparkan cincin itu kearah wajahnya sebelum dia berdiri dihadapan Gua.
Kemudian Gua kembali berjalan meninggalkannya dengan sejuta rasa yang sudah hancur dalam hati ini.
Plakk!!! Suara tamparan terdengar cukup keras, namun Gua tidak tau siapa dan siapa yang menggampar dan digampar.
"Kamu jahat Kak!!!", teriak Helen yang cukup terdengar oleh Gua.
Gua tetap berjalan ketika Helen memanggil nama Gua dari belakang. Gua keluar dari lobby hotel itu dengan menahan sakit di dada ini. Sial, airmata Gua sudah menggenang pada sudut mata ini. Gua berdiri tepat dipinggir jalan dan menatap langit malam, Gua masukan kedua tangan pada kedua saku celana.
Mata Gua terpejam sejenak, dan airmata ini mengalir dengan sendirinya melintasi sisi wajah Gua hingga jatuh menetes.
Letih aku bila menatap segala kisah dalam dirimu Pengorbanan dan penantian
Hanya terbuang dan sia-sia Kau hempaskan tubuh ini Kau goreskan luka hati
Gua mengingat-ingat ucapan yang menjadi peringatan Mba Yu tentang niatan Gua ini. Ya, dia mengingatkan Gua untuk berfikir ulang soal acara kejutan yang akan Gua berikan kepada Luna, kepada Luna yang malam Natal ini akan Gua lamar. Dan apa yang ia takutkan terjadi juga.
Tidak pernah terbayangkan bahwa ternyata Luna bisa setega ini mengkhianati Gua. Disaat Gua benar-benar memilih dia dibandingkan Vera dan Sherlin... Disaat Gua percaya bahwa perbedaan keyakinan diantara kami berdua tidak akan menjadi penghalang hubungan ini. Tapi apa lacur, kenyataan pahit harus Gua rasakan disaat cinta untuknya benar-benar utuh.
Dan inilah pertama kalinya Gua benar-benar sakit hati karena dikhianati oleh seorang wanita. Wanita yang pernah membantu Gua keluar dari sisi gelap, dari masa terpuruk, dari rasa depresi dan hancur ketika ditinggal Echa. Dan dia juga kini yang menghempaskan Gua kembali ke dalam titik gelap itu.
Takkan aku kenang lagi Tulus cinta yang kau beri Pergilah cintaku lupakan dirinya Takkan aku ingat lagi
Sakit hati yang kau beri Pergilah cintaku biarkan berlalu
Gua membuka mata ini ketika seorang wanita berdiri disamping Gua dan menarik tangan kanan Gua lembut kearahnya. Dia menangis menatap Gua, lalu segala rasa sakit yang Gua rasakan kembali menyeruak hingga tubuh ini bergetar dan menangis diatas bahunya.
Dia memeluk Gua dan menyandarkan kepala ini ke bahunya. Membelai rambut Gua dan kami berdua pun menangis. Peduli setan, Gua mengacuhkan rasa malu sebagai lelaki yang cengeng. Karena Gua akui, malam ini Gua luluh lantak dengan sejuta sakit di dalam hati karena Kakaknya itu. "Sabar Kak.. Hiks.. Hiks..".
Takkan aku ingat lagi Sakit hati yang kau beri
Pergilah cintaku biarkan berlalu PART 93
Gua sedang mengendarai mobil di jalan tol setelah sebelumnya menjemput dua orang wanita dari bandara Soetta. Sore itu jalan tol cukup macet, dan Gua yakin kemacetan ini akibat acara nanti malam, acara pergantian tahun. Beberapa kali Gua menghentikan laju kendaraan ketika deretan mobil di depan sana berhenti, sampai beberapa jam kemudian akhirnya bisa keluar pintu tol. Gua arahkan mobil ke perumahan Gua tapi bukan untuk pulang kerumah, melainkan mengantarkan dua orang wanita sebelumnya ke kediaman mereka.
Sekitar pukul setengah enam sore kami sampai di depan rumahnya, seorang satpam pribadi rumah mereka membukakan pintu gerbang, barulah Gua lajukan kembali mobil dengan cukup pelan untuk memasuki halaman rumah mereka. Ketika Gua mulai memasuki halaman rumah yang cukup panjang ini, memori otak Gua kembali membangkitkan kenangan masa lalu, saat dimana Gua masih mengenakan pakaian seragam putih biru sekitar enam tahun lalu.
"Gak banyak berubah ya halaman rumah kamu ?", tanya Gua kepada seorang wanita yang duduk di kursi samping kemudi.
Dia tersenyum melirik kepada Gua dan mengangguk pelan. "Iya.. Masih inget Kak ?".
Gua mengangguk cepat lalu tersenyum lebar ketika mobil Gua hentikan tepat di dekat pintu utama rumahnya.
"Dulu, vespa kamu di parkir tepat di sini jugakan ?", tanyanya lagi mengingatkan Gua keti ka dulu si Bandot Gua parkir.
"Iya Ay.. Masih inget juga kamu..".
"Yaudah ayo masuk dulu Za.. Nostalgianya di dalam rumah aja..", sela Mamahnya dari kursi belakang. "Kali ini kamu harus bertamu, dulu kamu gak maukan Za ?", lanjut sang Ibunda.
Gua terkekeh pelan lalu menyetujui ajakan Mamahnya itu. "Iya Tante, kali ini Eza namu kok, hehehe...".
Akhirnya Gua duduk di ruang tamu rumahnya yang terlalu besar dan mewah menurut Gua pribadi. Halaman rumahnya aja lima puluh meter, lah ini ruang tamunya juga luas banget. Sofanya empuk banget lagi. Masih asyik menikmati keindahan ruang tamu, seorang art rumah tangga datang membawakan secangkir teh manis hangat untuk Gua. Kemudian Mamahnya pamit sebentar kedalam kamar.
Gua masih menunggu Helen yang sebelumnya juga pergi kekamarnya, ya cukup lelah mungkin setelah menempuh perjalanan udara dari Aussie ke Indonesia. Tidak lama Helen datang dengan pakaian yang sudah berbeda dari sebelumnya. Dia duduk disamping kanan Gua. "Diminum Kak..", ucapnya.
"Eh iya, makash Ay..", Gua mengambil cangkir minuman tersebut dan meminumnya sedikit. "Huuftt.. Maaf ya Kak..", Helen melipatkan satu kakinya keatas kaki lainnya. "Maaf " Untuk ?".
"Untuk kejadian natal kemarin itu...", dia memainkan jemarinya diatas paha.
"Kok kamu yang minta maaf Ay " Emang kenapa ?", Gua menaruh kembali cangkir minuman dan menyerongkan tubuh kearahnya.
"Ya aku gak enak aja, Luna kan kakak aku, keluarga aku juga..", lanjutnya.
"Enggak apa-apa Ay.. Ehm.. Jujur aja aku emang sakit hati sama Luna, Ay.. Tapi bukan berarti aku marah sama kamu dan keluarga kamu kok..".
"Tapi emang dia itu gak tau diri Kak! Bisa-bisanya dia selingkuh, apalagi cowoknya bilang udah tunangan..", kali ini Helen meluapkan sedikit emosinya.
Gua menghela nafas lalu memalingkan muka kearah lain. Entah benar atau tidak Luna sudah bertunangan dengan Erick.
Kejadian di malam natal itu benar-benar diluar dugaan Gua. Setelah malam itu, keesokan harinya Gua langsung angkat kaki dari Aussie, sedangkan Helen dan Mamahnya tetap stay disana sampai hari ini pulang dan Gua jemput di bandara tadi. Helen bilang dia ingin mengetahui detail cerita bagaimana Luna bisa berhubungan lagi dengan Erick, ya ternyata Helen tau siapa Erick. Lelaki itu adalah Kakak tingkat Luna saat di kampus dulu, dua tingkat diatasnya. Sempat dikenalkan oleh Luna kepada keluarganya tapi hanya sebatas teman dekat. Dan yang menjadi rahasia kenapa Luna bisa diterima di perusahaan asing adalah campur tangan Erick yang ternyata adalah supervisor di perusahaan tersebut. Selama ini Luna memang tidak pernah berpacaran dengan Erick, menurut Helen mereka jarang pergi berdua dari dulu, apalagi setelah Erick lulus kuliah duluan dan bekerja di Aussie. "Kak Eza..", ucapnya.
"Ya ?". "Kak Luna gak bilang apa-apa soal alasan kenapa dia berani khianatin Kakak.. Dia bilang nanti akan pulang kesini dan ngejelasin langsung ke Kakak.. Aku gak dititipkan pesan apapun sama Kak Luna untuk Kak Eza", terang Helen kepada Gua.
"Biarin ajalah Ay.. Terserah sekarang mau dia gimana.. Aku udah capek..". "Tapi...".
"Tapi apa Ay ?".
"Kakak masih sayang sama Kak Luna kan "'".
Gua tidak bisa langsung menjawab pertanyaannya itu. Jelaslah Gua masih menyayangi Luna, bagaimanapun dia sudah mengukir cerita yang indah saat kami masih bersama, walaupun pada akhirnya harus seperti ini. Gua masih melamun saat getar blackberry disaku celana semakin lama semakin terasa dan tidak berhenti bergetar. Gua ambil blackberry tersebut dan melihat layar yang memperlihatkan sebuah nama seorang wanita.
Quote:Percakapan via line :
Gua : Hallo Mba... Mba Yu : Hallo Mas, kamu dimana " Gua : Di rumah Helen.. Kamu dimana "
Mba Yu : Iiih.. Aku udah dirumah kamu daritadi jugaa..
Gua : Loch " Kok gak ngabarin Mba.. Yaudah iya aku pulang nih sebentar... Deket kok, bentar ya...
Mba Yu : Iya cepetan ya.. Udah mau maghrib juga tuh.
Gua masukan kembali blackberry kedalam saku celana lalu berdiri dari duduk. "Loch " Mau kemana Kak ?", tanya Helen bingung yang melihat Gua akan pergi.
"Eh ini.. Eeuu.. Ada Sherlin dirumah, aku lupa janjian sama dia abis jemput kamu.. Aku pamit dulu ya Ay..", jawab Gua buru-buru.
"Sherlin " Siapa Sherlin Kak ?".
"Ehm.. Temen aku.. Ya temen lama aku", jawab Gua. "Aku ikut boleh ?".
"Eh ?". ... Gua parkirkan mobil tepat dibelakang mobil milik Mba Laras dan turun bersama dengan Helen. Kami berdua berjalan kearah teras rumah yang ternyata disana sudah duduk Mba Yu bersama Mba Laras di bangku teras.
"Nah ini udah pulang yang abis jalan-jalan... Apa kabar Ay ?", sapa Mba Laras yang berdiri dan memberikan salam pipi kiri-kanan kepada Helen.
"Baik Mba, hehe...". Jawab Helen setelah selesai dipeluk.
"Loch " Luna enggak ikut sih " Kemana ?", tanya Mba Laras lagi kali ini melirik kepada Gua dan Helen bergantian.
"Loch " Kakak enggak cerita ?", tanya Helen kepada Gua.
Gua serba-salah, ya memang Gua belum menceritakan soal kejadian malam natal itu kepad Mba Laras maupun Nenek. Gua beralasan pulang lebih dulu karena ada keperluan mendadak dengan dosen kampus perihal tugas akhir, seperti itu alasan bodoh Gua kepada Mba Laras ketika beberapa hari lalu pulang duluan ke Indonesia tidak bersama Luna maupun Helen atau Mamahnya.
"Mmm.. Oh iya kenalin dulu deh, itu Sherlin, Ay...", Gua mengalihkan topik ketika melirik kepada Mba Yu yang masih duduk.
Sherlin bangun dari duduknya dan menghampiri Helen.
"Hay, Aku Sherlin..", ucap Mba Yu memperkenalkan diri seraya mengulurkan tangannya kepada Helen.
"Oh iya salam kenal Kak.. Aku Helen..", balas Helen menyambut jabat tangan Mba Yu lalu tersenyum manis sekali.
"Yaudah masuk dulu yuk, udah maghrib tuh", Mba Laras mengajak kami masuk kedalam rumah sambil berjalan terlebih dahulu.
Mba Yu dan Mba Laras sedang mengambil wudhu di kamar mandi lantai satu, sedangkan Gua dan Helen duduk di ruang tamu rumah. Gua membakar sebatang rokok lalu menghisapnya dalam-dalam. Belum sempat Gua menghembuskan asapnya keluar, Gua terbatuk ketika Helen bertanya... "Kamu enggak shalat Kak ?".
"Uhuuk..uhuk..uhuuk..", "Ehm..uhuk..".
"Iish ngerokok terus sih, jadi batuk..", ucapnya lagi sambil mengambil gelas yang berada diatas meja dan memberikannya kepada Gua. "Minum dulu nih, aku belum minum kok tenang aja...", lanjutnya.
"Makasih..uhuk..", Gua ambil gelas minum yang sebelumnya disuguhkan oleh art untuk Helen namun belum sempat ia minum.
"Mas..", suara Mba Yu terdengar jelas ketika dia berdiri di dekat ruang makan. Gua melirik kepadanya setelah selesai menenggak air mineral. "Hm ?".
"Ayo shalat maghrib dulu..", ajaknya dengan air yang sudah membasahi wajah serta tangannya.
Subhanallah, seolah-olah Mba Yu memancarkan sinar dari wajahnya. Sumpah deh, cantik dia abis wudhu, natural tanpa makeup. Gua yang masih terpesona dan bengong disadarkan oleh Helen. "Hey Kak.. Itu diajak shalat bareng kok malah diem ?".
"Eh iiiya.. Iya ini mau..", jawab Gua. "Sebentar ya Ay, ditinggal dulu", lalu Gua mematikan rokok ke asbak diatas meja.
Gua berjalan ke kamar mandi dan mulai menyalakan keran air. Tapi Gua tidak langsung melakukan wudhu.
"Mas.. Kok malah diem " Itu airnya sayang loch dibiarin gitu", Mba Yu ternyata berdiri diluar kamar mandi dan memperhatikan Gua.
"Loch " Kamu masih disitu Mba ?", tanya Gua balik. "Eeh.. Ayo ah cepet wudhu, malah nanya balik...", ucapnya lagi. "Mba..".
"Apalagi ?". "Bacaan wudhu gimana ?". ...
Lima belas menit kemudian Gua sedang disidang oleh dua wanita di ruang makan, dan satu wanita mendengarkan seolah-olah menjadi penonton dan saksi bagaimana seorang laki-laki yang sempat meninggalkan kewajibannya sebagia seorang muslim ini tak berdaya diterpa berbagai macam pertanyaan.
"Astagfirullah Ezaa.. Gimana ceritanya kamu bisa lupa niat wudhu, bacaan shalat... Istigfar Mba denger Sherlin bilang gitu tadi... Ya Alloooh... Gustiii", Ibu Gua, Mba Laras berdiri di sebrang, terhalang meja makan dari tempat Gua duduk.
Dia mengelus-ngelus dadanya dengan perasaan kecewa kepada Gua.
"Mas kok bisa sih sampe lupa gitu " Aku bingung deh sama kamu Mas.. Maksudnya gini loch, okelah kamu udah gak shalat selama ini, tapi masa bisa bener-bener lupa baca ayatnya Mas, niatnya, do'a nya", timpal Mba Yu yang berada di samping Ibu Gua.
"Ya gimana lagi atuh... Namanya jug lupa ah.. Pusing ngejelasinnya ah..", jawab Gua malas dan bingung sendiri harus menjawab apa.
"Bukan gitu Eza, Mba tau kamu sempat marah, kecewa dan depresi... Tapi maksud Mba... Ya Alloh.. Bisa sampai lupa Za.. Astagfirullah...", ucap Ibu Gua lagi.
"Bukannya itu hak pribadi setiap manusia ya ?", tiba-tiba Helen yang dari tadi diam dan melihat kami angkat bicara dari tempatnya ia duduk di sisi kiri Gua.
Sontak saja ucapannya itu membuat Mba Laras dan Mba Yu melirik kepadanya dengan ekspresi yang bingung, tidak terkecuali Gua sendiri.
"Maksud kamu apa ?", tanya Mba Yu dengan nada seramah mungkin.
"Oh maaf, bukan maksud apa-apa Kak, cuma heran aja.. Kan manusia itu berhak memilih jalan hidupnya masing-masing toh ?",
"Termasuk soal ibadah.. Soal kepercayaan juga... Dan apakah itu salah atau tidak biarkan manusia itu sendiri yang menanggungnya..", jawab Helen menerangkan.
"Gini ya... Mm.. Maaf, siapa nama kamu tadi ?", tanya Mba Yu lagi. "Helen, panggil aja Ay".
"Kok jauh banget panggilannya ?", Mba Yu heran. "Itu panggilan sayang dari Mamah dan keluarga aku, Kak..".
"Ooh.. Oke whatever deh...", Mba Yu mengibaskan tangan kanannya ke udara. "Gini ya Ay, memang benar manusia diberi kebebasan untuk memilih jalan hidupnya masing-masing... Tapi yang jadi masalah adalah bagaimana kita sesama manusia bisa saling mengingatkan satu sama lain akan hal baik... Apalagi sesama muslim. Mungkin kamu gak mengerti soal ini ta..".
"Aku ngerti kok", potong Helen. "Aku tau dan ngerti kalo seorang muslim harus melaksanakan kewajiban shalat lima waktu setiap hari di masjid ataupun rumahnya, atau seorang kristiani melakukan ibadah di gereja, seorang hindu di pura dan seorang buddha beribadah di vihara... Intinya Masingmasing umat memiliki kewajibannya untuk beribadah kepada Tuhan..", ucap Helen lagi, "Tapi aku rasa kalian berdua salah...", Helen memandangi Mba Yu serta Mba Laras bergantian.
Gua terkejut dengan ucapan terakhir Helen barusan. Kemudian Mba Yu mengerenyitkan kening lalu melipat kedua tangannya didepan dada.
"Maksud kamu ?", tanya Mba Yu lagi.
"Kalian berdua bukan mengingatkan Kak Eza untuk kembali beribadah... Tapi menghakimi.. Cara kalian bertanya sama saja seolah-olah kalian sedang menghakimi Kak Eza, bukan berarti aku bela dia. Tapi aku rasa bukan seperti itu cara yang baik agar Kak Eza mau kembali melaksanakan kewajibannya", jawab Helen sambil tersenyum manis kepada Mba Yu.
Kemudian Helen berdiri dari duduknya dan tersenyum kepada Gua. "Kak, aku pamit pulang dulu ya.. Maaf loch jadi bikin perdebatan..", ucapnya.
"Loch kok pulang Ay " Makan dulu..", tawar Gua. "Lain kali, makasih ya..".
"Sebentar.. Kamu juga kristiani seperti Luna kan ?", tanya Mba Yu lagi.
Helen tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. "Bukan.. Aku bukan kristiani, bukan muslimah, bukan hindu ataupun buddha..".
Mba Yu melirik kepada Gua dengan tatapan bertanya. Gua hanya bisa menaikan kedua bahu sebagai jawaban untuknya.
"Aku agnostik", lanjut Helen. ...
Gua sedang merokok setelah menghabiskan makanan lima menit yang lalu bersama Mba Laras dan Mba Yu sebelumnya di ruang makan. Kini Gua menikmati malam dengan asap racun yang mengepul di gazebo halaman belakang rumah ditemani Mba Yu yang duduk tepat disamping Gua. "Kamu marah sama Helen ?", tanya Gua kepadanya tanpa menengok sedikitpun.
"Enggak.. Cuma aneh aja Za, kok dia bisa menilai kamu memilih untuk meninggalkan ibadah gitu", ucap Mba Yu sambil memandangi kolam renang disebrang sana.
"Ya wajar mungkin Mba, karena apa yang dia lihat kenyataannya seperti itu, aku emang udah lama gak melaksanakan ibadah Mba..", jawab Gua membenarkan pandangan Helen. "Tapi kayaknya Helen ngeliat kamu lebih dari itu Mas...".
"Maksudnya ?", Gua menengok kepada Mba Yu kali ini.
"Seolah-olah dia membenarkan kalau kamu itu gak masalah gak melakukan kewajiban kamu Mas, dampaknya buruk loch kalo sampai dia membiarkan apa yang dipilih kamu itu...".
Gua terdiam sejenak lalu kembali menghisap rokok dan menghembuskan asapnya lewat mulut ke sisi lain.
"Lagipula, kepercayaan dia itu apa Mas " Agnostik " Apa itu agnostik Mas " Aku baru denger...", tanya Mba Yu lagi.
Gua mengangkat kedua bahu, lalu menggelengkan kepala pelan. "Aku juga enggak tau Mba, gak pernah nanya juga ke dia... Mmm.. Gak enak aja aku nanyain soal privasi Ay...", jawab Gua. "Ay... Kamu ikutan manggil Ay.. Hmmm...", kedua mata Mba Yu memicing menatap Gua.
"Eh " Hahaha... Enggak kok, aku enggak ada apa-apa sama Helen, kebiasaan aja manggil dia gitu, sama kayak yang laen... Hehehe", jawab Gua kali ini sambil menggaruk pelipis. Kyuutt.. pinggang Gua dicubit oleh Mba Yu. "Awas aja...", ucapnya.
"Aww.. Enggak Mba.. Adududuhh..", Gua menepis tangannya yang masih mencubit pinggang Gua itu, "Aku sama dia cuma teman, calon adik dan kakak ipar yang gagal hahaha...", lanjut Gua.
"Alah kamu tuh.. Nanti gak dapet kakaknya malah dapetin adeknya lagi.. Huuuhh", sungutnya sambil memalingkan muka dengan melipat kedua tangan didepan dadanya.
"Aduh ada yang cemburu rupanya.. Hahaha.. Gemesin kamu Mba...", Gua cubit pelan pipinya. Mba Yu malah melirik sinis sambil memanyunkan bibir. "Biarin...", jawabnya jutek. Gua menatap matanya lekat-lekat, tersenyum tipis kepadanya.
"Ehm... Kenapa Mas ?", Mba Yu tersipu malu lalu menurunkan pandangannya.
Gua angkat dagunya sedikit dengan ibu jari dan jari telunjuk tangan kanan. Mata kami kembali saling menatap, Gua memajukan wajah pelan hingga jarak diantara wajah kami sangat dekat. "Mm.. Maas..", ucapnya lirih.
Kelopak matanya semakin turun dan akhirnya terpejam ketika bibir ini menyentuh sedikit bibirnya, belum sampai Gua meneruskan ciuman ini, tiba-tiba...
"EZA!!!", teriakan seorang wanita terdengar jelas.
Gua memundurkan wajah dan menengok ke sumber suara. "Eh.. Mb.. Mbaa...", ucap Gua salah tingkah melihat Mba Laras yang sedang berdiri sambil melotot kearah gazebo ini. "Sherlin masuk sini...", perintah Mba Laras kepada Mba Yu.
Mba Yu berdiri sambil tertunduk lalu berjalan menghampiri Mba Laras, setelah mereka berdua sudah berdekatan, Mba Laras memeluk Mba Yu dari samping dan mengusap rambutnya.
"Diapain sama Eza " Jangan mau dicium gitu Sherlin.. Kamu kan masih punya tunangan", ucap Mba Laras lembut sambil masih mengusap rambut Mba Yu.
"Enggak kok Mba, tadi Ezanya yang duluan...", jawab Mba Yu sedikit ketakutan. "Woiii enak aja.. Mau jugakan kamu.. Nyalah..", ucapan Gua terpotong.
"Heh! Awas ya kamu Za, macem-macem sama anak orang! Gak inget kamu juga masih ada Luna", potong Mba Laras.
Wah Emak Gua belom tau sih si Luna selingkuhin anak tampannya ini.. Amsyong dah Gua... Hadeuh...
Tidak lama kemudian Ibu Gua dan Mba Yu masuk kedalam rumah lalu sebelum Ibu Gua itu benarbenar masuk, dia menengok kepada Gua sesaat sambil melotot dan mengacungkan tangan kanannya yang terkepal kearah Gua.... Gile, ancamannya.
Gua terkekeh pelan setelah mereka berdua masuk kedalam. Lalu kembali membakar sebatang rokok dan memandangi kolam renang yang airnya memancarkan kemilau kekuningan dari lampu pinggir kolam.
Fikiran Gua kembali mengingat nama Luna, mencari alasan masuk akal kenapa dia bisa setega itu mengkhianati Gua. Lama Gua memikirkan hal yang jelas-jelas membuat Gua sakit hati, tiba-tiba mata ini tertuju kepada dua buah 'rumah'. Rumah yang sudah lama tidak Gua kunjungi. Secara sadar Gua pun berdiri dan melangkah keluar gazebo dan melemparkan batang rokok yang masih menayala sembarang. Lalu Gua semakin dekat dengan rumah itu, dan sampai berdiri di sisinya. Gua tersenyum sambil memandangi rumahnya dari atas sini.
Kemudian Gua berjongkok dan mengambil sedikit gundukan tanah coklat itu. "Hai Cha... Apa kabar ?"
Tiba-tiba saja hati Gua bergetar ketika melihat namanya yang terukir pada batu nisan. Airmata ini lambat laun mengalir perlahan membasahi kedua sisi wajah Gua.
"Cha... Maafin aku ya Cha.. Maafin aku Cha.. Maaf..." Gua menangis sambil mencengkram batu nisannya dengan tangan kanan.
"Aku udah jalan terlalu jauh Cha.. Dalam gelap, dalam keputus-asaan ini Cha.. Aku gak tau lagi harus gimana setelah Jingga pergi Cha.. Maafin aku Cha..." Gua menyeuka airmata yang sudah banyak tertumpah hingga membasahi wajah ini.
"Cha... Aku enggak tau pilihan aku salah atau gimana soal Luna.. Aku enggak tau dia yang selama ini membantu aku tapi tega ngekhianatin aku juga Cha.."
Gua menarik nafas dalam-dalam, lalu memandangi langit malam diatas sana.
"Cha.. Aku minta maaf, aku minta maaf kalo selama ini udah menyimpang sampai melupakan kewajiban aku Cha.. Aku... Hiks.."
"Minta maaflah kepada ALLAH SWT, Za... Bukan pada almarhumah istri kamu...".
Gua terkejut mendengar ucapan seorang wanita dari arah belakang, seketika itu Gua langsung menengok ke sumber suara dan semakin terkejut melihat sosoknya.
"Vera....?". PART 94 Mba Yu, Nona Ukhti, Mba Laras sedang mendengarkan penjelasan Gua tentang hubungan antara Gua dan Luna. Diantara mereka, yang lebih dulu mengetahui Luna telah selingkuh adalah Mba Yu, secara garis besar. Gua bercerita kepada Mba Yu ketika baru sampai Indonesia, saat diperjalanan menjemput Gua di bandara Soekarno-hatta lima hari lalu.
Kami duduk di sofa ruang tamu, Mba Laras duduk disebelah Mba Yu, sedangkan Gua dan Nona Ukhti duduk bersebelahan dihadapan mereka. Gua ceritakan kepada mereka apa yang sebenarnya terjadi ketika Gua mendatangi Luna di tempat acara gala dinner pada malam natal beberapa hari lalu diselenggarakan. Tidak heran melihat Mba Laras langsung terkejut sambil mengucapkan istigfar saat Gua cerita bahwa Erick adalah tunangan Luna.
"Ya Alloh.. Masa Luna setega itu Za " Enggak mungkin Luna berani ngekhianatin kamu kalo kita liat apa yang udah dia perjuangankan selama ini...", ucap Mba Laras sambil menggelengkan kepalanya, "Mba tau betul, Luna itu setiap hari nanyain kamu nyariin kamu, dan Mba tau dia sayang sama kamu itu tulus... Keliatan Za, semenjak kamu kabur ke luar negeri, Luna itu udah seperti kehilangan suaminya...", lanjut Mba Laras mengingat saat dulu Gua pergi dari rumah.
"Iya sih.. Dia sampai ngedesek aku untuk ngasih tau dimana kamu berada Za...", timpal Mba Yu kali ini.
"Ngedesek gimana maksudnya Mba ?", tanya Gua balik.
"Iya Mas, jadi Luna itu mikir kalo aku tau dimana keberadaan kamu waktu itu, disangka aku nutupnutupin... Sampe adu mulut sama dia.. Ngeselin itu perempuan satu, iishh...", Mba Yu seketika itu langsung bad mood mengingat kejadian yang ia alami bersama Luna.
"Sama kok, ke aku juga gitu, Luna anggap aku juga tau dimana kamu sebenarnya, dia sampai datang ke Singapore untuk mastiin aku sama kamu apa enggak...", timpal Nona Ukhti kali ini. Gua menghela nafas kasar lalu menyandarkan kepala ke bahu sofa.
"Jadi sekarang kita cuma bisa nunggu dia jelasin ke kamu langsung gitu, Za ?", tanya Mba Laras lagi.
Gua masih menyandarkan kepala ke bahu sofa dengan mata terpejam. "Ya... Menurut Helen, dia bakal pulang kesini untuk jelasin semuanya...", jawab Gua tanpa merubah posisi.
Dalam kekecewaan yang kami semua rasakan karena ulah Luna, kami semua tidak menyadari satu hal bahwa kami sudah menghakiminya tanpa tau fakta yang sebenarnya. Walaupun saat itu, mata dan telinga ini jelas melihat, juga mendengar apa yang terjadi di malam natal. Dan kamu Franziska... You will be Uchiha Itachi.
... Mba Yu pulang setelah dijemput oleh adiknya, Desi. Karena mereka akan merayakan tahun baru bersama keluarga. Tentu saja Gua diajak, tapi ya karena ada Nona Ukhti yang datang tiba-tiba tanpa kami semua ketahui membuat Gua tidak mungkin meninggalkannya sendirian.
Setelah Mba Yu pulang, Gua dan Nona Ukhti jalan keluar menggunakan motor yang selama ini sudah jarang Gua pakai, dan alhamdulillah selama Gua tidak ada, Mba Laras meminta supir pribadinya mengurus motor Gua, jadi kondisinya masih normal selama Gua tinggal.
"Awet ini si bising ya Za...", ucap Nona Ukhti ketika Gua baru saja mulai memanaskan si RR.
"Dirawat sama supirnya Mba Laras katanya, syukur masih bagus nih kerawat...", jawab Gua sambil memainkan handling gas.
"Berisik ih, jangan dimainin gasnya..", Nona Ukhti menepuk bahu Gua pelan. Gua terkekeh lalu menjulurkan lidah, meledeknya.
"Eh iya Ve.. Kamu kesini sama siapa tadi ?", tanya Gua. "Dianter Gimma tadi pakai mobil Mamah", jawabnya.
"Ooh.. Nah terus, kok kamu bisa pulang dari Singapore hari ini " Sengaja ?", tanya Gua lagi.
"Aku udah dari kemarin sampe rumah Za, istirahat dulu terus memang ingin tahun baruan disini, jadi sekalian hari ini silaturahmi ke rumah kamu..", jawabnya lagi.
Tidak lama kemudian Gua meminta art untuk mengambilkan dua buah helm untuk Gua dan Nona Ukhti, setelah itu barulah kami berdua naik keatas si RR.
"Ready to ride ?", tanya Gua sebelum menutup kaca helm fullface ini seraya menengok kebelakang sedikit.
"Be careful Za", jawabnya sambil tersenyum.
Gua tarik handling gas, dan motorpun melaju meninggalkan pelataran halaman rumah...
Kecepatan motor hanya enam puluh kilometer perjam ketika kedua tangan Nona Ukhti memeluk kedua sisi pinggang Gua. Dan seketika itu, kenangan masa lalu saat bersamanya diatas motor ini kembali hadir. Indah, ya saat itu indah bersamanya. Dan sekarang " Masih sama, tapi jelas ada yang berbeda.
Gua arahkan motor ke pusat kota dan beberapa kendaraan lainnya mulai memadati jalan raya. Gua mulai menyalip kanan kiri ketika sudah mulai memasuki kemacetan akibat volume kendaraan semakin meningkat, terlebih kebanyakan kendaraan roda dua. Akhirnya kami berdua sampai pada sebuah tempat tongkrongan yang ternyata sudah dipenuhi muda-mudi ataupun keluarga yang memang ingin merayakan pergantian tahun malam ini. Gua parkirkan motor lalu kembali mengajak Nona Ukhti berjalan menyebrangi jalan raya untuk nongkrong didekat kolam air mancur. Setelah berputar sebentar, akhirnya kami bisa mendapatkan satu spot untuk duduk disisi kolam. "Udah lama banget ya Za gak kesini..", ucapnya sambil meluruskan kakinya. Gua tersenyum. "Iya Ve, kapan terakhir kesini ya...", ucap Gua mengingat-ingat. "Udah lama banget Za, sebelum kejadian itu...".
Gua terkejut lalu secara reflek memeluk bahu kanannya, melingkar dari sisi kiri. "Maaf Ve, maaf.. Aku gak maksud untuk..".
"Enggak apa-apa kok, aku udah lewatin masa sulit itu Za..", jawabnya sambil melirik kepada Gua lalu tersenyum manis sekali.
Gua terkesiap sejenak, menyadari bahwa wajahnya sangat menenangkan, dan paras cantiknya yang terbalut hijab berwarna merah itu benar-benar terlihat bercahaya, walaupun Gua tau ini hanya pandangan imajinasi Gua, tapi entah kenapa terasa nyata.
"Za..". "Ya, Ve ?". "Luna pernah bilang sama aku..", ucapnya kali ini memalingkan mukanya kearah lain, "Dia pernah bilang memang ingin melepaskan kamu Za..", lanjutnya nyaris tidak terdengar ucapannya itu.
Gua melepaskan tangan yang melingkar tadi, lalu berganti memegang tangan kirinya.
"Maksudnya apa Ve ?".
"Aku juga gak paham dan gak tau maksudnya apa.. Tapi dia cuma bilang gitu dan dia bilang lagi kalo suatu saat akan ngomong langsung ke kamu", jawabnya melirik kepada Gua dengan tatapan sendu. "Kapan dia ngomong gitu ke kamu ?".
"Waktu kamu ke Singapore, waktu kita pulang dari perayaan ulang tahun aku Za..". "Maksudnya dia bilang ditelpon ?".
Nona Ukhti mengangguk lemah. "Maaf aku gak langsung bilang, karena dia sendiri yang minta jangan bilang apapun ke kamu".
Gua menggelengkan kepala lalu menarik nafas dalam-dalam. Tidak paham dan tidak mengerti fikiran Luna saat ini.
"Ve.. Kamu tau kan, Luna selalu ada untuk aku selama aku ditinggal Echa dan Jingga.. Sampai akhirnya aku kembali kesini, dia masih setia untuk menemani aku...", ucap Gua lalu melepaskan gengnggaman tangan pada Nona Ukhti,
"Apa yang ada difikirannya sampai berani berbuat seperti ini sama hubungan kami Ve.. Aneh dan gak masuk diakal. Gak mudah Ve menjadi orang yang mencintai dan menyayangi orang lain disaat orang yang kita sayangi itu sedang depresi.. Maaf ya Ve. Aku bicara seperti ini karena pernah merasakannya juga, saat menemani kamu dulu...", Gua melirik kepada Nona Ukhti. Nona Ukhti tersenyum dan menganggukan kepalanya lalu mengusap lembut bahu Gua.
"Logikanya, saat itu aku benar-benar mencintai kamu tulus dan menerima kamu apa adanya, dan aku rasa setelah apa yang aku alami dan diketahui Luna sama seperti aku ke kamu dulu. Dan sekali lagi.. Maaf, aku bisa memilih Echa karena kamu tinggal. Tapi Luna " Kenapa dia bisa berubah seperti ini, aku enggak selingkuh, aku gak main perempuan lain, aku memilih dia Ve...", hati Gua mulai panas ketika tersadar bahwa apa yang dilakukan Luna begitu menyakiti hati Gua,
"Semenjak aku kelas satu sma, semenjak aku mulai mengenal hubungan jarak jauh bersama Wulan dulu, aku udah gak percaya dengan hubungan LDR seperti ini.. Dan entah aku atau pasangan aku pasti goyah, akhirnya kebukti.. Aku mengkhianati Wulan saat bertemu Olla, kemudian ganti dia yang selingkuh dengan teman kampusnya di Bandung saat kuliah...", lanjut Gua mengingat hubungan LDR yang Gua artikan sama saja dengan hubungan sampah, membuang-buang waktu dan percuma. "Za, enggak semuanya berakhir buruk kok, ada yang bisa melewati masa sulit karena jarak tapi berhasil..", Nona Ukhti mencoba meluruskan pandangan Gua soal LDR. "Berapa persen tingkat keberhasilannya, Ve ?".
"Sebanyak kepercayaan dan keteguhan hati pasangan itu Za..", Nona Ukhti tersenyum memandangi Gua. "Enggak perlu LDR Za kalo memang jalannya salah satu mengkhianati pasti berantakan juga kok", kali ini Nona Ukhti mengerlingkan matanya sambil meledek Gua dengan memeletkan lidahnya keluar.
"Yeee.. Maksudnya apaan nih..", Gua pura-pura tidak mengerti.
"Maksudnyaaaa... Kamu itu yang suka genit sama perempuan lain, padahal udah punya pasangan... Huuu...", jawab Nona Ukhti sambil membetot hidung Gua dan terkekeh pelan. "Diiihh.. Kata siapa, sok tauu".
"Loch, aku tau soal kedekatan kamu sama adik-adik kelas dulu di sma, padahal kamu masih pacaran sama Sherlin kan " Ayo ngaku.. Siapa tuh namanya.. Mia deh kalo gak salah.. Lagian itu baru salah satunya, belum lagi sama, mmm... Tifa.. Eh Tissa.. Ya kan ?".
Jirr kartu AS gw bray.. Ampun Ve.. Ampun
"Ah itu ma cuma perasaan dek Vera sajo, ambo tidak seperti itulah.. Hohoho..". Kyuuuttt....
"Wadaaaww.. Sakit sakittt... Ampun Vee..", Gua meringis kesakitan ketika cubitan jarinya mendarat tepat di pipi ini.
"AIRIN jugakan!!!", nada suaranya berubah seketika. Emosi ini Nona Ukhti. "Enggak.. Sumpah enggak Ve.. Ampun..".
"Ngaku enggak! Ngapain sering masuk kedalem gudang olahraga hah "!!", tembaknya lagi. Mampus, dibahas lagi masa lalu itu... Masa lalu.. Biarlah berlaluuu.. Gak asyik joss.. "Lepas dulu lepass.. Sakit ini oii..".
Akhirnya Nona Ukhti melepaskan cubitannya pada pipi Gua ini. Lalu kemudian dia melipat kedua tangannya sambil melotot kepada Gua.
Dan ketika itu, Gua melihat Vera yang dulu, Vera yang masih mengenakan seragam sma. Ya dia memang tidak pernah suka dengan teman sekelas kami yang satu itu, Airin, si cinta pertama Gua. (gak lama dikolom komentar ada yang nulis soal Ve vs Airin). Pffftttt... Awas bray... Jadi pertanyaan Gua, kapan Airin pernah muncul di LiE wakakakak... .
Duar... Taarr... Tarr... Treeeetttt... Treettt... Duar..tarr..duaaarr... "Wah liat Ve, udah pergantian tahun tuh... Kembang apinya bagus ya..", Gua melihat ke langit yang sudah dihiasi berbagai warna warni kemilau percikan kembang api. "Ve.. Bagus tuh kembang apinya", lanjut Gua tanpa menoleh kepadanya dengan sedikit berteriak karena cukup bising suara disekitar yang sudah bercampur dengan suara-suara dari trompet yang ditiup kencang.
Beberapa saat Gua masih terpukau dengan warna warni kembang api yang meledak diatas langit. Lalu Gua tersadar bahwa wanita disamping Gua itu belum juga menanggapi apa yang Gua ucapkan sebelumnya. Gua menengok kepada Nona Ukhti dan seketika itu juga tersenyum lebar. "Aamiin...", ucapnya pelan lalu membasuh wajahnya dengan kedua tangan. "Habis berdo'a ?", tanya Gua dengan tetap tersenyum.
Nona Ukhti mengangguk lalu tersenyum kepada Gua. "Semoga tahun baru ini menjadi lembaran baru juga untuk cerita kita berdua Za..".
* * Point of View some Character Letztes Jahr mit dir.
Aku engga pernah tahu kalau awal kisah kita akan seperti ini... Aku pernah menyimpan perasaan untuk kamu. Pernah hilang pula rasa itu... Tapi... Saat itu, saat bertemu kamu lagi, aku engga tahu kenapa perasaan yang sudah lama hilang kembali hadir di dalam hati ini. Saat aku tahu kamu telah bersamanya, ada perasaan kecewa... Kenapa harus dia. Tapi semuanya pun berubah ketika kamu ternyata disakiti juga oleh dia. Apa yang kamu rasakan pernah aku rasakan juga. Betapa sakitnya dikhianati seperti itu. Perasaan ini aneh, Apa sih sebenarnya yang kamu miliki " Sampai semua wanita mengejar kamu, berlomba untuk mengisi nama mereka di dalam hati kamu... Aku heran dan ga percaya begitu banyak wanita yang mendekati kamu. Tapi sepertinya aku juga harus menjadi bagian dalam cerita kamu itu, menjadi salah satu wanita yang ingin menjadi pendamping kamu... ...
"Kamu mau ajak aku kemana ?".
"Kita makan ya, lapar aku...", ia menarik tangan ku pelan.
Kami berdua berjalan keluar rumah Neneknya dan pergi ke area depan komplek. Disini cukup banyak pedagang makanan yang berderet di sisi jalan, aku pikir dia akan mengajak ku makan di salah satu pedagang kaki lima itu, tapi dia membawa ku ke sebuah tempat makan sederhana, yang sering orang sebut sebagai warung makan atau warteg.
"Serius makan disini ?", tanya ku tidak percaya.
"Kenapa " Tenang aja, kebersihannya terjamin kok, udah lama aku langganan makan disini.. Pemiliknya Ibu temen ku..", dia meyakinkan ku bahwa tempat makan ini layak untuk dicoba. "Mmm...".
"Luna pernah makan disini juga loch..".
"Eh.. Beneran " Dia mau kamu ajak makan disini ?".
Dia mengangguk dan tersenyum. Aku sempat tidak percaya kalau Luna mau diajak makan ditempat seperti ini, apa mungkin Luna yang aku kenal mau diajak makan disini " Luna itu tidak pernah memakan makanan khas seperti menu di warung ini yang aku tahu. Tapi ah, sebaiknya aku coba saja, tidak enak juga menolak ajakannya, apalagi sudah di depan mata.
"Eeh Mas Broo.. Apa kareba Mas Brooo".
"Weits... Si Unang da gede yee.. Hahaha..".
"Ee bajigur Lu hahahaha... Yo ayo makan Za.. Eh.. Siapa nih ?".
"Oh ya kenalin ini.. Ana..".
"Hai, Gua Unang, temennya Eza..".
Aku menyambut tangannya untuk berkenalan dan tersenyum kepada temannya itu. "Hai, aku Ana..". "Pacarnya Eza ?".
Aku terkejut mendengar pertanyaan itu, lalu menundukan wajah karena yakin pipi ini pasti sudah merona merah karena tersipu malu.
"Ah elu sok tau Nang, by the way, Gua mau makan dulu nih.. Ada menu favorit gak ?". "Oh ada selow.. Hehe, noh ambil sendiri ye..".
Aku melihat dia menyendok makanan teri balado dan sayur daun singkong dengan kuah yang dicampur santan, berwarna kuning.
"Kamu mau makan apa " Tuh banyak pilihannya loch, ada ayam goreng kalo kamu bingung menu yang lain, atau pepes ikan".
Dia menyadarkan ku karena memang bingung hendak memilih makanan apa. Akhirnya aku memilih ayam goreng dan sayur sop untuk disantap sebagai menu makan siang hari ini. Saat itu aku baru tahu kalau menu makanan favoritnya adalah teri kacang balado, sederhana sekali.
Kami berdua makan bersama di dalam warung makan sederhana ini, dan ini menjadi pengalaman pertama ku makan di warteg. Rasa makanannya ternyata enak. Tidak mengecewakan dan cukup membuat aku memasukan kedalam daftar tempat makan yang harus dikunjungi lagi.
Selesai makan siang, dia mengajak ku ke bagian belakang warung makan ini, dimana disini ada sebuah sungai dibawah sana. Dia duduk sembarangan di rumput dengan temannya yang bernama Unang tadi sambil menghisap rokok. Aku berdiri di sisi lainnya memperhatikan dia dan temannya itu. "Hey, sini duduk sini lah..".
"Eh " Mmm.. Ii... Iya..", aku berjalan mendekatinya kemudian duduk disampingnya, diatas rerumputan.
"Dulu, waktu kecil... Aku dan temen-temen aku sering nongkrong disini, abis makan pasti aja duduk disini sama Unang dan yang lain...", dia mulai bernostalgia dengan kenangan masa kecilnya dulu.
"Terus kalo sore kita ngintip cewek mandi yak Za... Hahahha...", ucap temannya itu dengan tawa yang lepas.
"Hahahah.. Kampret... Jangan diceritain lah Nang, malu gilaa.. Hahaha...".
Aku tersenyum mendengar fakta tersebut. Mungkin memang begitulah anak laki-laki, selalu melakukan hal aneh dan serampangan.
"Emang ceweknya cantik ?", tanya ku penasaran.
"Boro-boroo... Hahaha..", jawabnya sambil menghembuskan asap rokok dari mulutnya itu keatas.
"Masalahnya nih, yang diintip emak-emak, gak ada mulus-mulusnyaaa.. Huahahah...", temannya membenarkan ucapannya itu.
Aku tertawa mendengar mereka saling mengingat kenangan masa lalu. Tawa bahagia itu sangat tulus, tertawa lepas bersama teman-teman seperti ini rasanya sudah lama tidak aku rasakan. "Enak ya jadi cowok, bisa sembarangan ngapain aja..".
"Enak gak enak An.. Hahah, ya tapi banyak enaknya sih hehehe..", jawab temannya. "Enak terus elu ma Nang...".
"Elu kali yang enak terus Za, banyak cewek dari dulu, hahaha...".
"Eh, cerita dong, siapa aja cewek yang pernah dipacarin Eza...", tiba-tiba saja aku kepo. "Hah " Hehehe... Asli nih mau tau " Hahaha.. Kartu as lu kudu Gua bongkar nih Broo". "Ngehe.. Hahaha.. Ya udahlah kasih tau aja, ga penting juga sih padahal Nang...".
Akhirnya aku pun mengetahui siapa saja mantan-mantan pacarnya, entah yang hanya sekedar teman dekat, teman mesra, dan ah rupanya dia playboy juga. Dasar laki-laki.


Asleep Or Dead Karya Bunbun di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Iiih banyak banget siih.. Playboy ternyata!", aku mencubit lengannya. "Aww... Adaw.. Sakit Anaaa.. Ampuuun...", dia meringis menahan sakit.
"Huh! Nyebelin... Terus tadi siapa aja yang pernah dipacarin di komplek ini ?", tanya ku dengan wajah so marah.
"Siska doang...", jawabnya.
"Meli gak masuk itungan Bro ?", tanya temannya sambil tertawa. "Wooo kampret... Itu ma beda ya, bukan mantan pacar..", jawabnya lagi. "Mantan ttm tapi kan " Huahahahaha..", timpal temannya lagi.
"Eh sebentar, Meli itu adiknya Siska kan " Loch.. Jadi ?", aku terkejut mendengarnya. "Si Eza ma emang kadal An... Cantik semlohay aja, diembat udah, wuahahahah...". "Si Unang ngehe bener Lu ah..".
"Aww.. Ampun Za ampun... Kampret sakit gilaa!".
Aku tertawa melihatnya memukuli temannya itu. Ya mungkin itulah fakta yang harus aku dengar dan terima, kalau dia memang pernah menjadi playboy. Ah nyebelin kamu tuh!!
... ... ... Dua bulan berlalu dan akhirnya aku harus pergi meninggalkannya lagi. Berat sebenarnya, karena aku akui, kalau diri ini sudah jatuh hati kepadanya, tidak ingin jauh darinya. Tapi ini semua harus berakhir disini....
Soekarno-hatta... "Kamu ga mau kasih aku kesempatan sama sekali ?". Dia menggelengkan kepalanya pelan.
Sudah beberapa kali aku menanyakan hal ini kepadanya, dan sepertinya kini aku harus merelakan dia yang engga mau memberikan aku kesempatan sama sekali.
"Kenapa sih " Kenapa kamu engga percaya sama aku ?".
"Ana, aku minta maaf, tapi kamu tau, aku ga pernah percaya dengan hubungan itu.. Long fakin distance relation shitt!! Hubungan itu bukanlah pilihan, tapi hal yang harus aku hindari... Maaf Ana.. Maaf..".
"Andaikan aku sudah selesai, dan kamu masih sendiri.. Apa kita bisa..". "Engga An.. Maafin aku.. Maafin aku...".
"Kamu.. Yakin " Akan menikahinya ?".
"Maaf.. Tapi sepertinya memang begitu, aku... Aku udah cukup dengan segala hubungan yang namanya pacaran An.. Jadi.. Maafin aku sekali lagi. Aku akan menikahi dia.. Maafin aku ya..".
Hati ini sakit mendengarnya mengatakan kalau niatnya itu serius. Wanita yang ia pilih memang layak untuk menjadi pendampingnya, bahkan mungkin laki-laki seperti dia saja belum tentu diberikan wanita seperti calon istrinya itu, tapi aku kelak akan sadar, bahwa jika Tuhan berkehendak, tidak ada yang mampu menghalangi-NYA.
"Aku udah berusaha untuk meyakinkan kamu, tapi kamu juga tetap pada pendirian kamu An..".
"Ya ampun, aku udah bilang.. Tolong tunggu aku satu tahun aja.. Aku pasti terima lamaran kamu.. Please.. I will marriage with you...".
"Aku yang engga bisa menunggu, dan kamu yang ga mau cepat menikah kan.. Jadi... Sorry to say An.. This is it..".
Airmata ini tertumpah lagi, bahkan semalam rasanya tidak cukup aku menangis, entah bagaimana bentuk rupa mata ini, aku yakin sudah membengkak.
"Maaf.", ucapannya kali ini diiringi dengan pelukan lembutnya. Dia memeluk ku di depan calon istrinya itu.
*** Andaikan ku dapat mengungkapkan perasaanku Hingga membuat kau percaya
Akan ku berikan seutuhnya rasa cintaku Selamanya, selamanya
PART 95 JANUARY Tahun baru dua ribu sepuluh sudah terlewati dua hari yang lalu. Kini Gua kembali menjalani hari-hari Gua sambil menunggu sosok seorang wanita yang katanya, akan datang untuk menjelaskan segala alasan dan keputusannya itu kepada Gua. Pagi hari di bulan januari tepat lima hari sebelum Gua menginjak ulang tahun yang ke dua puluh satu, sebuah mobil mewah berhenti di depan rumah dan keluarlah sosok wanita yang sudah Gua nantikan dari beberapa hari lalu itu, dia turun dari pintu penumpang depan dan membuka pagar rumah Gua lalu berjalan masuk hingga sampai diteras, dimana Gua duduk sambil menghisap rokok dan menikmati secangkir kopi hitam. "Za..".
Gua menghembuskan asap rokok lalu berdiri dan menghampirinya. Puuk.. Luna memeluk Gua, menyandarkan kepalanya ke dada ini. "Aku maafin kamu Luna.. Kembali sayang, kembali pada ku ya Lun..". "Maafin aku... Hiks.. Hiks..".
Gua memeluknya erat, tak ingin rasanya melepas pelukan ini. "Kenapa kamu bisa setega ini Lun ?".
"Aku jelasin semuanya Za, sekarang...", ucapnya sambil memundurkan wajahnya dan menatap mata Gua lekat-lekat dengan airmata yang berderai.
Gua ajak Luna masuk ke dalam rumah, dia meminta kami berdua berbicara di gazebo halaman belakang. Gua turuti kemauannya. Saat itu, Mba Laras sedang pulang ke rumahnya. Dirumah ini hanya ada Gua dan art. Gua duduk di dalam gazebo bersama Luna bersebelahan.
Pagi ini, rasanya cuaca bersahabat, damai rasanya di halaman belakang rumah ini, semilir angin pagi dan bunyi nyanyian burung-burung yang melintas membuat teduh dan nyaman suasana. Sekilas Gua melirik kepada 'rumah' istri dan anak Gua, tersenyum sekilas dan kembali menengok kepada Luna. "Za.. Aku minta maaf atas semua yang udah terjadi...".
".....". "Aku... Aku memang keterlaluan Za, tapi aku punya alasan kuat untuk ini semua". "Aku mendengarkan...".
Dia menarik nafas dalam-dalam ketika art datang menaruh dua cangkir minuman diatas meja kayu dalam gazebo ini. Lalu Luna memulai ceritanya ketika art tersebut kembali ke dalam rumah.
Pelan namun pasti, intonasi suaranya berubah... Dari terdengar normal hingga bergetar pada beberapa cerita yang ia sampaikan pada Gua. Dan akhirnya, airmatanya itu tertumpah... Dia menangis sambil menutupi wajahnya. Tanpa terasa airmata ini mengalir membasahi wajah Gua.
Gua berdiri dihadapannya, menyingkirkan tangannya yang menutupi wajahnya itu, lalu memegang kedua sisinya dan menariknya sedikit keatas agar bisa Gua tatap wajahnya.
"Ehm..", Gua mencoba menetralisir perasaan sakit dan tangis ini. "Tell me the truth Lun.. Tell you really love me...", ucap Gua.
"Apapun.. Demi apapun aku mencintai kamu setulus hati ku Za..".
"Dan kalo begitu, biar aku yang menjadi pendamping hidup kamu Luna.. Kita rangkai semuanya dari awal, aku percaya sama kamu, kita bisa membangun keluarga yang bahagia..", lanjut Gua.
"Maafin aku Za.. Aku mohon sama kamu.. Ini bukan tentang kita berdua Za... Tolong kamu pikirin lagi...".
Gua menutup mata ini, lalu menarik nafas dalam-dalam. "Aku akan menikahi kamu Luna". "Lepasin aku Za, demi kita dan dirinya.. Aku gak akan pernah bisa bahagiain kamu Za.. Maaf...". Luna berdiri lalu berjalan keluar dari gazebo.
"Luna tunggu... Eh..".
Dia berjalan kearah makam istri dan anak Gua. Dia terduduk dihadapan kedua makam itu. Menangis keras hingga art Gua keluar dari dalam rumah dan melihat apa yang terjadi. Gua berjalan menghampiri Luna, hendak memegang kedua bahunya tapi...
"Echa... Hiks... Hiks.. Maafin aku Cha... Hiks.. Maaf...", ucap Luna dengan suara terisak. "Aku... Aku gak akan bisa bahagiain Eza, Cha.. Maaf.. Maafin aku..", lanjutnya dengan tetap terisak.
Kemudian Luna menyeuka airmatanya dan kembali memegangi gundukan tanah didepannya.
"Cha aku yakin, kamu juga tau siapa yang lebih pantas... Dan aku... Aku sadar kalo dinding antara kami terlalu tinggi untuk dilintasi Cha...", Luna meraung menangis.
Gua berjongkok disebelahnya, lalu memegangi bahunya. "Biar aku yang hancurkan dinding itu Lun..". Dia menengok kepada Gua lalu menggelengkan kepalanya pelan sambil tersenyum dalam tangis. "Maaf Za, maaf... Lepasin aku ya Za.. Relain semuanya...".
Gua berdiri begitupun dengan Luna, lalu dia kembali memeluk Gua. Gua mendongakan kepala menatap langit pagi hari ini dengan airmata yang tertumpah.
"Janji ya Za, bahagiain dia, demi semua yang udah dia korban kan selama ini....".
*** Gua sudah cukup rapih, pakaian saat ini sudah sangat pantas membuat Gua terlihat sebagai calon pengantin pria. Jas hitam, kemeja putih, dasi, celana hitam dan pantopel hitam membuat Gua semakin terlihat cocok untuk melaksanakan sebuah resepsi pernikahan.
Seorang wanita duduk manis di sofa ruang tamu rumah ketika Gua baru saja keluar kamar dan menuruni anak tangga ini. Dia terlihat cantik, ralat. Sangat cantik. Tapi sayang... Wajahnya nampak bad mood sekali. Jelas terlihat dan sangat terasa kalau dirinya sangat malas mengantarkan Gua hari ini. Gua berjalan mendekatinya yang duduk membelakangi dari arah Gua berjalan. "Good morning beautiful...", sapa Gua yang sudah berdiri tepat dibelakang. Dia menengok sambil sedikit menengadahkan kepalanya. "Eh.. Kak..". "Pagi Ay..".
"Pagi..". "Kenapa ?". "Eh.. Mm.. Enggak, enggak apa-apa.. Maaf Kak hehehehe..".
Kemudian Helen berdiri lalu menatap Gua dari bawah sampai keatas. Dia tersenyum lalu merapihkan dasi Gua.
"Cakep gak ?", tanya Gua.
"Banget Kak..", jawabnya dengan nada suara yang bergetar. "Ay.. Kamu kok sedih ?", tanya Gua lagi.
Dia menggelengkan kepalanya cepat lalu menutup mulutnya sambil menahan tangis. Gua reflek memegang kedua bahunya dan memiringkan wajah untuk melihatnya yang sedang tertunduk.
"Ay.. Aku beneran gak apa-apa..", ucap Gua sambil melihat air yang mulai menggenang pada kedua sudut matanya itu.
"Aku... Hiks.... Hiks..".
"Ssstt.. Udah jangan nangis ah.. Jelek nanti tuh, riasan makeup kamu malah luntur...", ucap Gua mencoba sedikit menenangkannya.
"Kak.. Kamu gak perlu seperti ini, aku tau kamu hancur.. Udah ya jang..".
Gua menutup mulutnya dengan satu jari telunjuk, lalu tersenyum simpul. "Enggak apa-apa.. Aku udah relain kok Ay.. Ini udah jalannya.. Biarlah semuanya seperti ini, seperti keinginannya...", jawab Gua.
Gua mengusap airmatanya dengan tissue lalu mengajaknya berangkat, sampai di halaman parkir rumah, Gua melihat mobil milik Mba Laras yang diisi oleh Nenek dan Mba Laras sendiri sudah siap berangkat dengan supir pribadinya di bangku kemudi. Kaca mobil bagian belakang diturunkan, kemudian terlihat jelas sosok wanita berkerudung itu di dalamnya.
"Udah Za ?", tanya Mba Laras.
Gua mengangguk pelan lalu tersenyum. "Iya Mba, ayo kita berangkat sekarang ya".
Gua masuki bangku kemudi mobil milik almh. Istri Gua, dan Helen duduk di bangku samping kemudi. Gua lajukan mobil ketika mobil di depan mulai beranjak meninggalkan halaman rumah ini. Sekitar setengah jam kurang, kami semua sudah sampai di sebuah hotel lalu memasuki ruangan ballroom hotel tersebut, tentunya dengan menunjukan sebuah kartu undangan. Karena memang yang di undang ke acara hari ini terbatas.
Satu kali, dua kali, tiga kali... Jantung Gua berdegup kencang.. Oh my Goodness... Gua tidak menyangka seperti ini rasanya perasaan menghadiri sebuah acara pernikahan seorang mantan kekasih. Wait a sec.. Gua pernah kok, ya Gua pernah menghadiri acara pernikahan mantan, Olla saat sma dulu. But rite now.. Gua merasakan sesuatu yang berbeda. Kok rasanya ada yang menyayat di dalam hati. I'm not afraid.. But I'm losing my stories with you.
Walaupun rasanya berat kaki ini melangkah dan sepertinya Gua malah berfikir untuk balik kanan, tapi logika Gua memacu langkah ini agar tetap berjalan ke ujung sana. Biarkan semuanya seperti ini, rasakan saja perihnya karena memang seperti itu. Ingat satu hal wahai lelaki... "When it hurts to move on, just remember the pain you felt hanging on".
Seorang wanita diatas pelaminan, mengenakan gaun pengantin berwarna emas yang bercampur warna putih itu sangat teramat terlihat anggun mempesona. Gua tersenyum kecut, menerima segala pesonanya, mengakuinya, membenarkan bahwa dia sangat cantik. Oh God c'mon, give me one more chance...
"Kak..", Helen menyadarkan Gua dari angan-angan bahwa seharusnya yang menjadi pengantin prianya adalah diri ini.
Tengkorak Maut 21 Cincin Maut Karya Tjan Id Malaikat Keadilan 2

Cari Blog Ini