Ceritasilat Novel Online

Kitab Omong Kosong 5

Kitab Omong Kosong Karya Seno Gumira Ajidarma Bagian 5


Ayah Maneka kemudian tidak cukup puas hanya mempertontonkannya di pinggir jalan yang berdebu. Ia mendaftarkan diri ke pasar malam, dan dari uang yang dimilikinya membuat tenda, dengan papan tulisan warna-warni: BAYI RAJAH KUDA. Mereka yang ingin menonton rajah kuda di punggungnya harus membayar lebih mahal lagi, karena setiap kali hanya 12 orang boleh masuk, duduk di bangku pula. Selama di dalam tenda itu, mereka bisa melihat bayi yang tengkurap dari balik kaca, dan terdengar suara yang menjelaskan rajah tersebut. Akan dijelaskan misalnya tentang jenis kudanya, hiasan daun emas di kepalanya, apa arti hiasan tersebut, dan berasal dari mana. Hanya lima menit mereka berada di dalam, setelah itu mereka harus keluar, berganti dengan yang lain. Berbondong-bondong orang ingin melihat Bayi Rajah Kuda, dan uang ringgit membanjiri kocek
ayah Maneka. Hampir setiap hari ia mabuk dan melacur, bahkan ia menyewa kamar di tempat pelacuran. Antrian di loket tendanya makin lama makin memanjang, bahkan mengalahkan antrian sirkus yang memamerkan kepiawaian gajah nungging.
Akan tetapi pada suatu hari seorang dukun datang menonton. Begitu dilihatnya punggung bayi itu ia terbelalak.
Astaga! Itulah kuda pembawa bencana yang kulihat di dalam mimpiku! Kuda itu akan melompat keluar dan berlari! Di belakangnya akan menderap balatentara sejuta orang berkuda yang menimbulkan banjir darah! Halangilah! Musnahkanlah gambar itu! Bunuhlah bayi itu! Bakar jenazahnya sebagai korban! Jika tidak kita semua akan mengalami bencana! Orang-orang terpengaruh.
Ambil bayi itu! Mereka merusak tenda. Ayah Maneka dengan cepat me nyam bar bayinya dan lari. Terjadi keributan yang besar di pasar malam karena kejar-kejaran. Ayah Maneka yang berhasil meloloskan diri datang dengan tergopoh-gopoh ke tempat pelacuran, menitipkannya di sana, dan menghilang sampai bertahun-tahun lamanya. Setelah Maneka menjelang remaja, masih ingusan juga sebetulnya, tiba-tiba lelaki kurus hitam dan berwajah menyebalkan itu muncul lagi.
Kujual anakku ke rumah bordil ini, katanya, jadikanlah ia pelacur, pas ti ia akan menghasilkan uang. Bayarlah aku dan aku akan pergi, tidak meng ganggu lagi.
Pemilik rumah bordil itu berkata kepadanya.
Kuterima tawaranmu, tetapi kau tidak akan kubayar. Ongkos pe rawatan anakmu selama ini tidak akan mampu kau tebus. Kujadikan anakmu salah satu pelacurku mulai sekarang. Pergilah orangtua penjual anak, sebelum aku lebih mual dan meludahimu.
Konon ayah Maneka itu berbalik dan pergi dengan terseok-seok. Ia telah menjadi pengemis berpenyakit kusta. Di padang pasir luar kota ia diserbu gerombolan ajag dan mati. Tak seorang pun mengenali serpih-serpih mayatnya, yang dihabiskan burung-burung ruak.
Satya menghela napas. Apakah ini semua memang dituliskan Walmiki" Atau seorang tukang cerita lain menuliskan sesuatu yang sama sekali lain" Bagaimanakah dunia ini ada"
Ia naik ke atas kudanya setelah mengucapkan selamat tinggal kepada pe ngembara itu. Lantas mencongklang kudanya menyeberangi Gurun har. Satya melaju dan menggebu. Kudanya melesat seperti angin menembus debu pasir dan memburu cakrawala. Satya melilitkan kain menutupi wajahnya, berpacu dan berpacu dengan waktu, apakah ia masih akan bertemu dengan Maneka"
Di langit, sesosok makhluk memerhatikan Satya dari atas. Dari langit, Satya hanya tampak sebagai laju sebuah titik yang mengepulkan debu. Sosok itu manggut-manggut dan tersenyum, lantas menghilang di balik mega, me ninggalkan bulu-bulu putih yang beterbangan.
Ternyata di celah sebuah bukit, terdapat sosok-sosok lain yang meng awasi Satya. Mereka saling berbeda pendapat, apakah mereka akan merampok Satya atau tidak.
Orang itu hanya seorang pengembara, pasti tak ada uangnya. Lihat. Tas saja dia tidak membawa.
Jangan memandang rendah pengembara, kadang-kadang mereka banyak uangnya, mempunyai batangan-batangan emas.
Memang, lihat kuda orang itu. Paling tidak harganya satu batangan emas, padahal pakaiannya seperti orang miskin.
Satya bahkan hanya mengenakan kancut kain hitam, de ngan rompi hitam. Itu saja. Alas kakinya kasut kulit kerbau. Ia menyorbani kepalanya agar rambutnya terlindung dari debu, dan juga wajahnya. Kita ambil dia, paling tidak kudanya lumayan.
Begitu Satya lewat, gerombolan itu segera mengejarnya. Satya yang melihat mereka memperkencang laju kudanya. Ia membisikkan sebuah man tra yang dikenal kuda-kuda keturunan Persia ke telinga kuda itu. Pi kirnya saja barangkali kuda ini mengenalnya, dan ternyata mantra itu meng gerakkan telinganya ke atas. Kuda itu mendengus, dan terasa betapa kecepatannya bertambah.
Para pengejarnya segera menjadi kecil seperti debu, tetapi Satya tidak mengurangi laju kecepatannya sebelum senja tiba.
berkuda sendiri di padang gurun terkenang kekasih yang menghilang cinta tumbuh di dalam kaktus menjaga kesunyian bersama malam, o!
Satya menemukan sesosok mayat di dekat api unggun. Mayat itu ter pa nah punggung dan dadanya. Ia diserang dari depan dan belakang. Ia juga me ngendarai gerobak, tapi penghelanya ti dak ada. Mungkin penghelanya be berapa ekor kuda, sehingga bisa dirampas tanpa memperlambat perjalanan. Lelaki itu per sen jataannya masih lengkap, dua sabuk yang masing-masing berisi selusin pisau terbang, sebilah pedang lurus panjang yang tampaknya berasal dari Tiongkok, dan batu pengasah pisau. Satya mengambil semuanya. Lantas ia masuk ke gerobak orang itu, dan sangat terkejut. Gerobak itu penuh dengan kitab, yang terobrak-abrik begitu rupa, sehingga lembar-lembarnya terlepas atau gulungannya tersobek. Isi gerobak itu kacau sekali, tetapi inilah harta karun pengetahuan manusia.
Barangkali pembunuh lelaki itu mencari sesuatu yang tidak ada, dan kemungkinan besar tidak bisa membaca. Satya tercenung. Apakah mereka mencari emas, atau mencari kitab lain, sehingga merampok seorang pedagang kitab, tapi tidak ketemu" Hari sudah gelap. Satya menyalakan lagi api unggun itu, me ngu bur lelaki itu baik-baik, lantas mengambil sebuah
kitab dan membaca. <" h
bubukshah dan gagang aking atya memegang kitab itu. Di sampulnya tertulis: Kitab ini disalin di Jawa. Ia mengernyitkan kening. Berarti kitab ini sudah melakukan perjalanan yang jauh. Ia menjadi sangat penasaran, dan mulai membaca.
Alkisah terdapatlah dua orang bersaudara, bahkan wajahnya nyaris kembar yang bernama Kebo Milih dan Kebo Ngraweg. Sejak masih kecil keduanya sudah ditinggal mati orangtuanya, dan entah kenapa selalu tertarik dan selalu terlibat olah kebatinan. Keduanya dikenal sebagai ahli samadi. Mereka pergi ke gunung, ke gua, ke tepi sungai, ke tempat-tempat sepi, dan karena itu tidak pernah bekerja sama sekali. Keluarga ayah dan ibunya tidak mau mengerti.
Dikiranya persoalan hidup bisa diselesaikan dengan bertapa! Meditasi berbulan-bulan, begitu pulang minta makan! Apa kalian pikir dunia milik nenek kalian" Kerja! Kerja! Itu cara hidup yang benar!
Keluarga mereka berasal dari kasta waisya yang bentuk ibadahnya adalah bekerja. Sikap seorang brahmana yang hanya memuja tanpa akhir bukanlah tujuan hidup mereka. Tetapi justru cara memuja terbaik itulah yang sedang diburu oleh Kebo Milih dan Kebo Ngraweg. Mereka berdua pergi ke mana-mana mencari guru untuk itu.
Karena perbedaan pendapat yang tidak bisa diatasi, keluarga mereka, dari pihak ayah maupun ibu, mengusir mereka.
Pergilah kalian, jangan mengemis di sini!
Jangan pernah kembali, matilah dalam meditasi!
Keduanya saling memandang dengan tersenyum, ketidakmengertian orang awam terhadap pelajar kebatinan sudah sering mereka alami. Pengusiran ini hanya membuat keduanya bertambah mantap. Dunia ini perlu dibantu, tiang-tiang dunia hanya bisa ditegakkan oleh kesucian, dan mereka ingin tahu caranya menjadi suci. Mereka pun mencari para muni, manusia-manusia sempurna yang namanya harum ke mana-mana.
Pada suatu tengah malam keduanya berangkat, menyeberangi ladangladang padi daerah Kediri, melakukan perjalanan diam-diam. Mereka melewati pula wilayah selatan candi yang belum selesai dibangun, mungkin ditinggalkan pendukung agama candi itu sebelum bangunan terselesaikan. Mereka berdiskusi tentang mengapa mesti ganti bangunan kalau ganti agama, bangunan yang sama tidak akan berpengaruh jika iman dan kepercayaannya sudah berbeda. Candi tidak diselesaikan, ditinggalkan dan akhirnya ambruk, bukankah ini kesia-siaan"
Karena asyik berdiskusi, tak mereka sadari betapa jauh su dah mereka berjalan, sehingga sampai ke tepi Kali Brantas. Baru saja mereka berdiri kebingungan, tibalah seorang tukang perahu yang kasihan kepada dua pemuda ini dan menawarkan perahu nya untuk menyeberang. Namun betapa terkejutnya orang yang mengasihani ini, ketika justru perahunya sendiri yang hanyut dan tidak bisa dikejarnya. Kedua pemuda itulah yang kini kasihan kepadanya.
Sampai di sini Satya berhenti, karena ada lembaran yang lepas. Tahu-tahu Kebo Milih dan Kebo Ngraweg sudah ada di seberang. Ia teruskan saja.
Keduanya sudah berada di sebuah pendapa, hari sudah terang, dan anjing-anjing menggonggongi mereka. Di dalam pendapa, seorang guru sedang dihadapi murid-muridnya. Suara gonggong anjing itu begitu riuh sehingga perbincangan mereka terganggu.
Siapakah kedua manusia yang seperti anak kembar dan tampak lelah serta berdebu itu" Tanyakanlah mengapa mereka berdua ada di sini, mereka hanya ingin berteduh, mencari makan dan minum atau mencari sesuatu yang lain" Tanyakanlah tujuan mereka.
Seorang cantrik mendekati, lantas kembali lagi.
Mereka bilang ingin berguru, mendapatkan ilmu tentang hakikat Tuhan Yang Mahabesar.
Boleh saja, tapi mereka harus lulus dari ujianku.
Di pendapa itu, Kebo Milih dan Kebo Ngraweg dipersila kan maju. Me reka duduk bersila di hadapan guru, sementara cantrik-cantrik lain mengeli linginya. Seperti semua murid yang diterima, mereka berdua ha rus mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan sang guru sebelum bisa diterima.
Maka sang guru mengajukan pertanyaan, dan kedua calon murid itu masing-masing menjawab.
Demikianlah tanya-jawab berlangsung sampai siang, dan para cantrik mencatatnya, sementara kedua pemuda itu sudah lapar sekali. Namun sang guru memberondongnya terus.
Seribu pertanyaan disambut seribu jawaban. Seribu jawaban mendapat seribu sanggahan. Seribu sanggahan berbalas seribu sanggahan.
Semua pertanyaan sang guru terjawab dengan memuaskan. Kedua Kebo itu diterima, tapi nama mereka diganti. Kebo Milih disebut Gagang Aking, dan Kebo Ngraweg menjadi Bubukshah. Upacara pe nerimaan mereka sebagai murid, dan pergantian nama itu, berlangsung sangat meriah. Mula-mula membakar kemenyan, lantas genta-genta dibunyikan, dan para hadirin membaca mantra. Kemudian seisi desa diundang untuk meramaikannya dengan pesta tarian. Arak dan tuak disuguhkan di mana-mana, pendapa penuh dengan tawa liar orang mabuk, gamelan ditabuh bertalu-talu. Para penari berpelukan dengan orang-orang mabuk. Bubukshah dan Gagang Aking saling berpandangan, apakah semua ini bagian dari pelajaran"
melayari langit mencari guru, o ... bidadari menanti di balik mega membaca kitab di bawah pohon menemukan huruf di selokan, o!
Begitulah Bubukshah dan Gagang Aking belajar dengan serius. Kepada mereka disampaikan sejumlah ajaran penting.
Matra Asal dan tujuan dunia Di dalam matra terdapat sakala niskala Antara Dunia dan Kehampaan Asal mula Ada dan Tak Ada Dalam hati seluruh dunia Yakni linga-suksma
Om Kalaksya Laksya Maksud yang tepat Menunjukkan dan ditunjukkan
Ia di luar, ia di dalam Sama dengan seluruh dunia
Bila seseorang insaf akan lambangnya, kata sang guru yang disebut Rahulu Kembang, ia cepat mengalir ke Kehampaan, tanpa balik ke siklus ke lahiran kembali. Bila seseorang tidak insaf akan lambang Dunia, maka itu me nyebabkan kematian, karena dharma tidak diajarkan; setiap pintu terbuka akan dimasuki. Seseorang lantas akan tidak mengerti arti lambang suci Om itu. Batin hendaknya lepas daripada pikiran, sunyi, tanpa tempat. Inilah Purusa atau Manusia Sejati, Kaivalya atau Kesunyian, dan Nirasraya atau Tidak Tergantung. Agunglah pembebasanmu murid-muridku. 20
Bubukshah dan Gagang Aking belajar dengan sangat rajin. Setelah pelajar annya tamat, mereka mohon pamit mau pergi ke gunung untuk me nyepi. Tapi karena esok harinya adalah hari pamacekan, sang guru meminta agar kepergian mereka ditunda. Kedua saudara itu lantas menunda keberangkatan mereka.
Tiga hari kemudian mereka berangkat. Rukunlah kalian berdua, kata Rahulu Kembang.
Begitulah mereka berjalan ke luar desa sambil bernya nyi-nyanyi meninggalkan keramaian. Sawah dan ladang mereka tinggalkan, kota-kota besar mereka hindarkan, mencari tempat untuk menyepi.
20 Ajaran-ajaran dicomot dari Soebadio, ibid., hlm. 83: Penge tahuan Rahasia Mengenai Suku-kata OM, Kelepasan .
Ketika senja tiba, sesudah meninggalkan Desa Batur, kedua saudara itu bermalam di sebuah bale-dana. Di tempat itu terlukis dengan lengkap cerita Sudamala, kisah tentang bagaimana bungsu Pandawa yang bernama Sadewa meruwat kutukan Siwa atas Batari Durga. Di dekat pemondokan itu terlihat pancuran air yang suaranya begitu renyah dan bewarna emas memantulkan senja. Bubukshah dan Gagang Aking mandi di bawah pancuran air itu. Selama mandi itu keduanya teringat sanak keluarga yang mengusir mereka, dan keduanya merasa beruntung dengan pengembaraan mereka, sebagai pencari Cahaya Ilahi yang sungguh-sungguh. Mereka bersyukur mendapat banyak pengalaman dan tidak menjadi katak dalam tempurung.
Menjelang pagi mereka berangkat lagi. Hari masih gelap, tapi mereka sudah melangkah dengan cepat. Hutan yang mere ka lintasi sungguh sunyi dan sungguh sepi. Begitulah keadaan Tanah Jawa pada waktu itu. Ke tika sudah terang tanah, keduanya muncul di lambung gunung, yang memperlihatkan pemandangan padang-padang Jenggala dan Majapahit. Sawah-sawah mengu ning keemasan dan pura pemujaan tampak di sana sini. Bubukshah dan Gagang Aking istirahat sebentar menikmati pe mandangan itu, angin semilir dan matahari kehangatannya masih menyenangkan. Mereka melihat banyak orang membawa sajen ke pura di atas bu kit, dan deretan orang-orang membawa sajen di atas kepala itu menjadi pemandangan yang luar biasa.
Lantas mereka berdua mendaki gunung, menuju ke puncak. Setelah mencapai suatu dataran tinggi yang sepi dan tidak berpeng huni, mereka merasa di sinilah tempat yang tepat untuk bertapa. Bubukshah dan Gagang Aking lantas membangun pondoknya masing-masing. Gagang Aking, yang lebih tua, memilih tempat di barat, sedangkan Bubukshah mengambil tempat di sebelah timur. Ketika mencari air, mereka menemukan mata air yang berada di sebuah candi bekas pertapaan. Candi itu masih utuh, hanya terlihat kurang terawat karena tidak dipergunakan lagi. Lumut menghijau, lantainya licin, dan sarang laba-laba menutupi pintunya. Namun candi itu indah sekali, dengan lorong-lorong tak beratap, selokan kecil yang manis, makara-makara yang dahulu mengalirkan air dari mulutnya, dan guci-guci batu yang besar di sana sini, tempat teratai merekah tanpa terlihat, mengandaikan berlangsungnya sebuah kehidupan keagamaan. Teratai-teratai yang sedang merekah selalu menjadi bahan pelajaran tentang pencerahan.
Mereka berdua mengitari candi itu, dan mengikuti relief dari cerita Jamur-juwang. Mereka ikuti kembali bagaimana Jamur-juwang itu bertapa dan digoda tujuh bidadari.
Mungkinkah manusia membangun tempat seindah ini" Gagang Aking bertanya.
Pasti dewa-dewa yang membangunnya, keindahan seperti ini tidak mungkin dibuat oleh manusia, sahut Bubukshah.
Bagi mereka bukan adegan tujuh bidadari itu yang mence ngangkan, melainkan adegan Jamur-juwang bercakap-cakap dengan macan.
Begitulah kedua saudara yang telah menemukan mata air itu bersiap me neruskan pekerjaannya. Tetapi belum lagi mulai, Bubukshah berkata.
Aku mau menyadap nira pohon aren dulu, katanya, jadi kalau nanti haus aku bisa minum tuak.
Gagang Aking menatapnya tajam.
Engkau seorang wiku, mengapa yang kaupikirkan hanya bagaimana hi dup nyaman"
Bubukshah hanya tersenyum, dan meneruskan pekerjaannya. Bubukshah mendapatkan banyak nira, dan diolahnya menjadi tuak. Kemudian tempat itu dibakar untuk membersihkannya, seperti para peladang berpindah memba kar ladang. Api menjilati langit, dan binatang-binatang berlarian. Kijang, ba bi hutan, ular, dan burung-burung jatuh terpanggang. Bubukshah sibuk me nangkap yang berlarian, dan mengolah kembali yang terbakar, lantas memasaknya.
Sepanjang hari Bubukshah sibuk makan dan melahap binatang-binatang itu, setiap kali sambil menenggak tuaknya sampai berleleran. Dari hari ke hari Bubukshah mencoba berbagai-bagai masakan, dengan berbagai-bagai bumbu, dan sungguh-sungguh lah ia menjadikan hari-harinya sebagai hari-hari pesta di pondok nya. Makan tidur makan tidur, itulah pekerjaan Bubukshah. Tubuhnya menjadi subur dan gendut.
Bubukshah! Engkau telah melanggar pesan guru kita Rahulu Kembang, ujar Gagang Aking, yang sementara itu telah menjadi kurus kering seperti sebatang ranting. Menuruti ajaran guru mereka, makan daging saja sudah merupakan dosa besar.
Namun agaknya Bubukshah tidak peduli. Ia bahkan sengaja memasang jerat dan perangkap untuk menangkap binatang-binatang itu. Meskipun
saling tidak bersetuju, kedua saudara itu tetap bekerja bersama. Setelah beberapa lama, pekerjaan mereka menampakkan hasilnya, kebun dan taman di sekitar tempat itu menjadi asri dan mencerahkan pandangan. Mereka menatanya dengan selera kesenian yang menenangkan, sehingga terbentuklah pertapaan yang sungguh-sungguh nyaman.
Di antara pondok keduanya terletak sebuah balai tempat mereka mempel ajari buku-buku suci bersama. Dari tempat itu terlihat peman dangan laut, debur ombaknya yang memutih, dan cakrawala yang menga bur kelabu. Di manakah batas semesta"
Semesta tidak terbatas, tapi berhingga.
Demikianlah, dalam sejuk dan dingin udara gunung, kedua saudara itu mengolah ketajaman pemikiran mereka kembali. Dari tempat ini juga terlihat Pasar Daha di tepi bengawan, sehingga sebetulnya mereka tidak betul-betul terpisah dari kehidupan sehari-hari. Justru karena itu, mereka teringatkan untuk selalu mempersoalkan manusia. Di bengawan itu terlihat perahu layar lalu-lalang. Dunia manusia yang ramai. Selalu perlu jarak untuk merenungkannya.
Namun Bubukshah masih terus makan dan minum tidak habis-habisnya, dan Gagang Aking yang semakin kurus masih terus-menerus memperingatkannya.
Dengan cara itu engkau tidak akan mencapai kesempurnaan, dan tidak akan mencapai surga, katanya.
Seperti biasa, Bubukshah tidak peduli. Bahkan bukan hanya siang hari, sepanjang malam ia juga makan dan minum terus-menerus, seolah-olah seisi dunia hendak ditelannya habis-habisan. Dari kijang sampai jantung pisang, seperti selalu ada tempat di perutnya. Dari tuak sampai arak, mulutnya bagaikan sumur menganga.
Apabila terang tanah tiba, dan Gagang Aking mengajaknya ke ladang. Bubukshah selalu menolak dengan alasan melihat jerat serta perangkap. Ia lebih suka makan makhluk berjiwa daripada tumbuh-tumbuhan, dan ini kebalikan dari Gagang Aking yang hanya makan apa yang dihalalkan gurunya, yakni tumbuh-tumbuhan tidak berjiwa. Pertentangan mereka makin memuncak, Ga gang Aking tidak makan apa pun, sedangkan Bubukshah menelan tales, pisang, dan mengeluh tidak bisa hidup kalau tidak makan nasi. Ia hidup dengan rakus sekali, bahkan binatang kecil-kecil dimakannya
juga, jangan tanya lagi yang besar-besar. Bubukshah tidak pernah tidur, siang malam ia pergi berburu, memasang jerat, memeriksa perangkap, memakan segala yang didapatnya, dari babi hutan sampai ikan.
Perdebatan mereka tentang cara ibadah masing-masing tidak terselesaikan, sehingga disepakati untuk melepaskan jiwa mereka dari tubuh, mengirimnya untuk menghadap Batara Guru, mempertanyakan siapakah kiranya di antara mereka berdua yang langkahnya tidak keliru.
Siapakah di antara kami yang paling sempurna" Kedua jiwa itu bertanya.
Sampai di sini Satya tertegun lagi, karena tulisannya tidak jelas, halaman itu penuh noda.
Halaman selanjutnya berkisah tentang jiwa-jiwa yang meluncur kembali ke tubuhnya, begitu melek langsung meneruskan perdebatan mereka. Apakah jawaban dewa tidak jelas"
Mengapa tidak kita kirimkan saja macan putih Kalawijaya untuk menguji mereka" Indra bertanya kepada Batara Guru, ka rena perdebatan mereka tidak bisa diatasi para dewa tanpa mengujinya.
Macan putih Kalawijaya dipanggil menghadap.
Ujilah kedua manusia yang mencari kesempurnaan itu, sabda Sang Batara, ujilah seberapa jauh masing-masingnya tyaga.
Di manakah mereka" Mereka berada di sebuah pertapaan di bumi, di sebuah tempat di Pulau Jawa yang bernama Gunung Wilis.
Macan putih Kalawijaya mengaum dan pamit. Di depan pintu gerbang Selamatangkep ia menatap semesta, mencari-cari letak bumi. Lantas memejamkan mata dan menghilang. Cingkarabala dan Balaupata yang menjaga gerbang itu dari zaman ke zaman saling berpandangan.
Sudah lama tidak bertugas, letak bumi saja lupa, kata Cingkarabala. Dia lupa bumi itu beda dimensi dengan Jonggring Salaka, sahut Balaupata.
mengukir huruf di atas lontar, o ... pikiran tercetak sepanjang abad tiada tahu sang wiku sekarat keracunan jenewer Parang Akik, o!
Macan putih itu turun dari langit sambil menari-nari. Di puncak Gunung Wilis, ia berdiri seperti manusia, di kakinya terdapat giring-giring gemerincing. Rupa-rupanya alam manusia yang disebut bumi ini sangat membahagiakan Kalawijaya. Tiba-tiba ia merasa swargaloka yang bergelimang kemewahan dan kenikmatan itu sangat membosankan. Malas rasanya ia kembali ke sana. Dari arah Pasar Daha di tepi bengawan dide ngarnya orang bermain musik kecapi, sitar, dan tabla. Kalawijaya menari-nari sambil mendekati pondok Gagang Aking yang sedang bersamadi.
Sebetulnya macan putih Kalawijaya masih ingin menari-nari, tapi tu gasnya adalah menguji Bubukshah dan Gagang Aking, seberapa jauh kedua wiku itu sudah sampai kepada tingkat tyaga: menganggap dunia ini betul-betul fana, dan tidak terikat kepada sesuatu pun dari dunia itu, seperti layaknya manusia sempurna.
Didatanginya Gagang Aking dan dibangunkannya. Cucuku Gagang Aking, bangunlah.
Gagang Aking yang tubuhnya tinggal tulang berbalut kulit itu membuka mata, dan ia menjadi sangat ketakutan melihat seekor macan dengan giring-giring di kakinya menyeringai.
Beri aku makanan, katanya.
Gagang Aking beranjak, mencari makanan yang halal. Macan itu menyela.
Aku hanya makan daging manusia. Wajah Gagang Aking menjadi pucat.
Aku tidak punya daging apa pun, seorang wiku tidak memakan makhluk bernyawa.
Kalawijaya menggeram-geram.
Macan putih, apakah engkau akan memakanku" Kalawijaya mengaum.
Engkau keberatan, wahai wiku ahli samadi"
Aku tidak akan mengenyangkanmu macan, kau lihat tubuh ku tinggal tulang berbalut kulit, makanlah saudaraku di sana, ia makan dan minum setiap hari, tubuhnya kini gemuk sekali. Pastilah ia lebih sedap disantap daripadaku.
Kalawijaya yakin sekarang, bahwa Gagang Aking belum tyaga. Ia sudah begitu kurus, tapi masih terlalu mencintai dunia, dan takut kehilangan
nyawa nya. Maka Kalawijaya melangkah ke arah Bubukshah, yang ternyata memang sedang makan daging bakar dengan rakusnya.
Haa! Macan putih! Ada keperluan apa" Mari makan bersama! Bubukshah menawarkan berbagai jenis makanan, mulai dari nasi kebuli, sate menjangan, trenggiling bumbu kuning, sampai empek-empek dan otak-otak. Bahkan macan itu ditawarinya pu la air tuak. Tapi macan putih berkata bahwa ia hanya makan daging manusia. Mendengar itu Bubukshah ternyata semakin gembira lagi.
Oh! Silakan! Silakan! Inilah yang saya tunggu-tunggu! Bubukshah tampak bahagia sekali.
Macan putih Kalawijaya yang terheran-heran menyatakan bahwa Bubukshah karena kelakuannya itu barangkali tidak masuk surga, kerakusan bukan tindakan mulia.
Macan putih, tahukah kamu alasanku memakan segala jenis binatang itu"
Kalawijaya menggeleng. Aku memakannya untuk menolong mereka. Menolong mereka"
Agar ketika dilahirkan kembali, mereka bisa meninggalkan dunia mereka sebelumnya. Aku sengaja memakan makhluk-makhluk yang hina, agar derajat mereka meningkat.
Kalawijaya tertegun karena kagum.
Akan jadi apa coro-coro yang kamu makan itu bila mereka lahir kembali"
Bubukshah tersenyum. Mereka akan jadi demung, tumenggung, dan lain sebagai nya, menjadi manusia yang tinggi pangkatnya.
Kalawijaya menguji. Apakah kamu juga akan memakan manusia, jika ada yang tertangkap jeratmu"
Sampai sekarang belum pernah, tapi kalau ada akan kuma kan juga. Bila lahir kembali, nasib mereka berubah.
Setelah itu Bubukshah pamit sebentar. Ia rela dimakan, tapi mohon izin melihat jeratnya dulu. Bila ia mati dan ada binatang terjerat, niscaya binatang itu akan sangat tersiksa. Maka macan putih Kalawijaya pun
memberikan izinnya, meski dengan maksud mengujinya pula. Benarkah Bubukshah akan memakan manusia"
Macan putih itu berkelebat mendahuluinya, lantas menangkap seorang cebol di jalan, menaruhnya di jerat Bubukshah. Siapakah orang cebol itu" Alangkah malang nasibnya! Sebetulnya dia berasal dari sebuah pasar malam, pekerjaannya menari-nari ditonton orang banyak, meski ia menari dengan terpaksa. Karena sudah tak tahan ia melarikan diri, bermaksud menyepi ke Gunung Wilis. Apa daya seekor macan putih menangkapnya.
Janganlah engkau khawatir, kata macan itu, engkau akan mati, tapi akan lahir kembali dengan keadaan lebih sempurna.
Maka dibuangnya orang yang malang itu ke jerat Bubukshah. Di dalam jerat itu sudah terdapat binatang-binatang lain. Bubukshah kaget melihat ada manusia di dalamnya. Namun ia waspada, barangkali dewa sedang meng ujinya, seberapa jauh ia bermaksud mengangkat derajat manusia dengan cara memakannya.
Semua yang ada di jerat itu dimasaknya, dan semuanya ia makan. Lantas ia mandi, dan berpakaian serapi-rapinya, membubuhkan wangi-wangian pula.
Aku siap kau makan, wahai macan, katanya.
Inilah bukti betapa tiada satu pun dari dunia yang fana, langit dan bumi, yang mengikatnya. Dengan kata lain ia sudah menjelma dewa. Macan putih Kalawijaya tidak tega memakannya, tapi merasa masih harus mengujinya juga. Ia mengaum seram, memperlihatkan taring, bagaikan siap mengoyak-oyak da ging Bubukshah, cakarnya siap menggurat-gurat kulitnya. Namun Bubukshah tampak begitu tenang dan pasrah.
Tidak ada lagi yang bisa dilakukan Kalawijaya. Diakuinya dia diutus dewa untuk menguji Bubukshah.
Satya berdecak sebal. Halamannya hilang lagi!
Tahu-tahu Gagang Aking sudah muncul, minta kepada Bubukshah agar boleh mengikutinya. Bubukshah tidak keberatan, tetapi macan putih itu menukar kedudukan Gagang Aking, dari saudara sulung menjadi saudara bung su. Lantas dipersilakannya Bubukshah naik ke punggungnya, sementara Gagang Aking boleh memegang ekornya. Kemudian menggeblaslah Kalawijaya menembus ruang dan waktu menuju dimensi lain, dan mendarat di depan sidang para dewa.
Diputuskan bahwa dengan ibadahnya yang begitu rupa, Bubukshah sudah tyaga. Sedangkan Gagang Aking, meskipun berlaku seperti orang saleh yang mengikuti peraturan, ternyata munaik, batinnya belum suci, dan masih takut mati. Di hadapan mereka hadir Batara Guru, Mahadewa, Batara Brahma, Batara Wisnu, Batara Yama dan Iswara. Di pojok terlihat juru tulis Be gawan Pancarikan, yang mencatat segala hal tentang kelakuan baik buruk para pertapa.
Saya mengusulkan, kata Batara Brahma, agar Bubukshah diberi anugerah surga tertinggi, dan Gagang Aking juga boleh menikmati surga, tapi sedikit-sedikit saja.
Cerita berakhir sampai di sini.
Satya menutup kitab yang disalin di Pulau Jawa itu. Ia mengerti apa yang dimaksud dengan cerita itu: suatu persaingan antaragama yang masih berlaku di anak benua.
Ceritanya lucu, pikirnya, lantas ia melompat keluar gerobak. Hari sudah larut. Bulan purnama. Setiap kali menatap bulan purnama kadangkadang Satya merasa barangkali saja Hanuman duduk di sana, tapi ia tahu itu hanya harapannya saja. Terlalu banyak cerita dilekatkan dengan bulan purnama, mungkin karena di zaman bahari orang-orang purba selalu tidur sambil melihat ke atas bila malam tiba, dan mereka mengarang cerita sambil tiduran begitu. Cerita-cerita yang lama-kelamaan dianggap nyata. Dunia penuh dengan cerita, Satya ingin mengurai dan memisah-misahkannya, tetapi yang terjadi lebih sering sebaliknya. Berbagai arus sejarah manusia menyatu dan saling berpilin dalam cerita-cerita.
Di luar, ia melihat mayat itu lagi. Betapapun ia harus me nguburkannya, maka ia menguburkannya.
Manusia mati membawa rahasia, pikirnya pula. Lantas mencoba ti dur. Tapi ia selalu teringat Maneka, yang selalu ingin mendengar cerita.
angin menerbangkan pasir di gurun kadal bercinta di balik bebatuan Hanuman memancing di sungai deras ikan-ikan melompat mengejeknya, o!
hanuman dan Konser empat musim i dalam mimpinya Satya melihat Hanuman memimpin Konser Empat Musim. Hanuman berdiri di atas batu membawa sebuah tongkat dan sejuta wanara memain kan biola di sekeliling bukit yang telah menjadi kelabu. Di lembah itu bergema komposisi Musim Panas, Musim Gugur, Musim Dingin dan Musim Semi. Orkes Goa Kiskenda memainkan in strumen manusia. Satya terperangah oleh suasana. Konser itu membawakan gambaran, seolah-olah lembah itu menjadi perahu yang mengarungi empat musim di bumi. Hanuman menjadi konduktor yang piawai, ia bukan hanya menggoyang-goyangkan tangannya, melainkan juga berjingkrak-jingkrak dan berjungkir balik. Para wanara mengikuti petunjuk semacam itu dengan menghasilkan suara yang dahsyat luar biasa. Satya merasa tergi ring ke sebuah perayaan semesta. Sejuta wanara menggesek biola memenuhi bukit. Mereka bermain dengan asyik, dan para bidadari turun mendekat.
Coba lihat, kata seorang bidadari, mereka memainkan Konser Empat Musim yang mulia, biasanya dimainkan manusia.
Manusia sudah kehilangan kepekaannya, tak bisa lagi me mainkannya.
Manusia harus belajar lagi mengenal suara-suara. Siluman saja sekarang bisa memainkannya.
Begitulah Hanuman memimpin Konser Empat Musim de ngan ma ta terpejam. Suatu ketika Hanuman membubung dan para wanara
tetap mengikuti arahannya. Biola sejuta wanara mem bahana. Hanuman menari-nari di angkasa, tariannya begitu indah, lebih indah dari impian. Satya ingin sekali bercerita kepada Maneka.
Maneka! Aku melihat Hanuman memimpin Konser Empat Musim, ia terbang melayang sambil menari-nari dan sejuta wanara memainkan biola! Ia tahu Maneka matanya akan mengerjap dengan takjub. Konser! Itulah yang ditulis dalam Kitab tentang Berbagai Pertunjukan, tetapi tidak pernah dikatakan bahwa Hanuman bisa memimpin konser dan para wanara memainkan biola. Jangankan sejuta, satu saja wanara main biola tidak pernah terbayangkan. Apakah itu memang nyata"
Nyata! Tidak nyata! Apalah bedanya" Kusampaikan sekarang padamu, Konser Empat Musim yang dipimpin Hanuman itu bagaikan membawa lembah ini berlayar mengarungi Empat Musim. Kamu tidak tahu saja suhu yang berganti-ganti terus di sini.
Empat musim" Dengan salju juga" Dengan salju juga!
Dengan ikan berlompatan di sungai deras pada musim pa nas, dengan daun berguguran melayang-layang tertiup angin pada musim gugur, dan cahaya cemerlang di atas daun pada mu sim semi"
Semuanya Maneka! Semuanya!
Satya! Engkau melihatnya, tapi aku tidak! Tapi aku menceritakannya padamu! Cerita tidak sama dengan kenyataannya!
Aku menceritakan padamu sesuai dengan kenyataannya! Itu tidak sama!
Aku sudah menceritakannya padamu Maneka, Hanuman mela yanglayang dalam cahaya senja, sejuta wanara memainkan biola, dan rembulan sa bit seperti sampan berlayar di sungai angan-angan.
Satya! Aku tidak mendengar suaranya!
Satya berusaha mengganti suara itu dengan pemandangan yang dilihatnya. Lembah yang berlayar seperti kapal induk raksasa mengarungi empat musim di bumi, sampai setahun lamanya. Nada dari setiap biola ibarat titian tempat lembah itu bergerak mengarungi empat musim dari detik ke detik. Dunia se perti layar raksasa, angin mendesau, dan letak matahari terus-menerus bergeser.
Lama-lama Maneka teryakinkan juga. Aku sekarang mendengarnya" Apa"
Sejuta biola! Sejuta biola!
Sekarang Satya tidak hanya melihat Hanuman, tetapi juga Maneka. Hanuman menari-nari di angkasa, melompat-lompat di atas gumpalan mega, dan Maneka berlari-lari sepanjang lembah itu, berputar-putar mengikuti irama biola para wanara. Kemudian Hanuman turun dari angkasa, dan menari bersama Maneka.
Satya ternganga. Bahkan seandainya ini hanya impian, ia tidak ingin percaya. Bahkan seandainya ini semua hanya khayalan ia juga tidak mau percaya. Tapi impian ini ada, dan jika ini hanya angan-angan, sungguh begitu nyata.
Aku tidak ingin percaya ... desisnya. Tapi ia sendiri yang memimpikannya. Aku tidak ingin bermimpi, pikirnya kuat-kuat.
Satya hanya menjadi lupa mimpi itu, dan terus tertidur. Hanuman yang menengoknya sejenak, melejit kembali ke angkasa, sambil bersiul-siul memba wakan melodi Konser Empat Musim.
Ketika esok paginya Satya terbangun, ia lupa semua mimpi itu, meskipun benaknya telah merekamnya. Ia hanya teringat harus mencari Maneka, dan menyiulkan Konser Empat Musim yang tidak dikenalnya.
Dari mana lagu ini" Satya terheran-heran, tapi tak pernah tahu ja wabnya.
Ia tak tahu siulan ini akan mengakibatkan masalah besar. Begitulah Satya menaiki kudanya kembali, dengan perta nyaan besar di kepalanya mengenai kitab-kitab dalam gerobak itu. Ia mencongklang kudanya menaiki bukit, menuju ke arah Aravalli.
Di sepanjang jalan ia melihat patung-patung berhala yang sudah tidak terawat lagi. Satya merasa aneh, menyadari betapa masih ada orang menyembah berhala. Seperti dunia ini mundur lima ratus tahun, pikirnya. Di wilayah Aravalli ia tidak menjum pai manusia, meski bekas-bekasnya ada. Firasatnya me nga takan Maneka berada dekat-dekat di sana, tapi ia tak tahu cara menca rinya.
Satya menyusuri sebuah sungai yang dangkal dan jernih. Kudanya seperti tahu apa yang dicari penunggangnya itu. Maka tampaklah tenda-tenda di tepi sungai. Satya mendekat. Mengapa begitu sunyi"
Lantas dilihatnya sobekan kain dari sari yang dikenakan Maneka. Tergeletak di tanah berdebu. Pasti diterbangkan angin sampai ke situ. Ter injak-injak kaki. Sudah lusuh sama sekali.
Satya bergidik. Apa yang dialami Maneka"
Dibacanya jejak-jejak yang ada di sana. Dilihatnya bekas pergulatan yang luar biasa. Sudah seminggu lamanya. Ia melangkah bersama kudanya mendaki bukit, dan dilihatnya totem ciptaan Hanuman yang menjulang ke langit.
Satya membaca cerita totem itu, dan meskipun ia bisa tahu bahwa Maneka selamat, tetapi ia sedih sekali mengingat nasib yang dialami Maneka.
Orang-orang bodoh yang percaya mistik, pikirnya, me ngira rajah sejak lahir sebagai kutukan. Apa yang lebih bodoh dari ini"
Di puncak bukit dirabanya totem itu. Tidak disebutkan bahwa totem itu dibuat oleh Hanuman, namun Satya menduga totem itu bukan sembarang totem. Pematung yang paling mahir sekalipun tidak akan mampu menyelesaikan totem setinggi itu dalam seminggu, dengan cerita yang baru terjadi seminggu yang lalu pula. Dalam ukiran totem itu terlihat riwayat Maneka, yang lolos dari kekejaman 300 penyembah berhala yang bodoh.
Satya menuruni bukit, di manakah Maneka sekarang" Tidak ada pe tunjuk sama sekali. Tetapi ia merasa sedikit lebih tenang, karena ta hu Maneka selamat. Suatu kekuasaan telah melindungi nya. Tiga ratus penyem bah berhala terkubur ke dalam tanah dengan seketika. Hanya dengan kesaktian hal itu bisa terjadi, sehingga Maneka selamat tapi entah di mana.
Dari desa ke desa Satya menanyakan keberadaan Maneka. Namun kini terlalu banyak perempuan juga memiliki rajah yang sama, meski tidak terajahkan sejak lahir. Jadi ia tidak bisa mencari Maneka dengan menanyakan ciri itu. Celaka. Bagaimanakah caranya mencari Maneka"
Suatu ketika dalam perjalanannya, Satya melihat dua orang bermain catur di tepi jalan. Banyak sekali yang menonton mereka.
Sudah berbulan-bulan permainan ini belum selesai, kata seseorang, keduanya tidak ada yang mau mengalah.
Di tepi jalan itu, banyak ahli catur datang. Mereka datang dari berbagai pelosok, bahkan dari tempat-tempat yang jauh sekali. Satya menyela
di antara kerumunan, ingin melihat posisi buah catur pada bidak-bidak, ingin tahu seberapa hebat permainan yang sudah berbulan-bulan itu.
Kemudian dilihatnya dua balatentara yang berhadap-hadapan dengan suatu gelar perang yang saling mematikan. Para panglima berada pada posisi-posisi yang menentukan, sehingga tidak satu pun dari kedua pihak ini akan bisa menang atau kalah. Pertempuran sebetulnya tidak bisa dilanjutkan, tetapi keangkuhan kedua pemain membuat mereka tidak pernah berhenti menguji berbagai strategi baru. Di kiri kanan kedua pemain terlihat para asisten menyediakan mereka makanan, minuman, dan meng analisis permainan.
Satya menengok, ia kagum dengan keuletan kedua pemain itu, namun sesuatu yang lain mengejutkannya. Setiap kali kedua pemain itu menggerakkan buah-buah caturnya, dan merasa yakin memberi ancaman baru atau berhasil mengecoh lawan, masing-masing bersiul sambil menepuk-nepuk paha. Satya ter perangah, jelas mereka menyiulkan Konser Empat Musim. Penonton juga ikut menyiulkan ketika mereka semakin terlibat permainan. Berlangsunglah konser siul yang membuat Satya ikut menyiulkannya juga. Satya bingung, tapi ikut bersiul. Tetap saja ia tidak bisa mengingat sejak kapan ia mengenal melodi yang disiulkannya itu.
Permainan catur masih terus berlangsung dan banyak orang masih ber da tangan. Begitu rupa banyaknya penonton, sehingga pertarungan catur itu harus disiarkan dari mulut ke mulut agar yang tidak bisa mendekat dapat mengikuti dengan mendengar pergerakan buah catur dari bidak ke bidak. Konser Empat Musim masih disiulkan, Satya menjauhkan diri dan pergi. Jejak-jejak manakah yang akan membawanya menuju Maneka"
bagaimanakah sungai-sungai terbentuk air mengalir dan memantulkan cahaya" bagaimanakah lembah menghijau angin bertiup dan menggemakan suara"
Satya memacu kudanya dari bukit yang satu ke bukit yang lain, ia sungguh tak tahu cara mencari Maneka. Ia merasa kehilangan jejak dan kebingungan.
Di manakah kamu Maneka, di manakah kamu"
Dengan hati yang tiba-tiba kosong dan tersayat, Satya meluncur menuruni bukit. Ia terus menyeberangi padang alang-alang bermaksud mencari sebuah desa untuk menyisir kembali jejak Maneka. Pasti setidaknya ada orang yang pernah melihat Maneka, pikir Satya, betapapun ia harus menemukan Maneka, meskipun akan makan waktu berbulan-bulan, bertahun-tahun, dan berpuluh-puluh tahun sampai mati pun ia akan mencari Maneka.
Ia telah membawa serpihan kain dari sari Maneka, mengan tonginya di balik rompi seperti jimat, dan itu menjaga sema ngatnya.
Di sebuah desa ia mulai bertanya. Ia berkata bahwa ia mencari kakaknya, seorang perempuan berambut panjang dengan ra jah kuda di punggungnya, cantik menarik dan tinggi semampai, dengan anting-anting di hidungnya. Celakanya memang, semenjak cerita Walmiki membuat orang terpukau begitu rupa, banyak orang memiripkan diri dengan Maneka. Berkali-kali Satya seperti mendapat petunjuk, namun ternyata keliru.
Perempuan dengan rajah kuda di punggungnya" Dia suka mandi di sana.
Ketika Satya menunggunya lewat, memang bukan Maneka. Demikianlah setelah berminggu-minggu, Satya memasuki sebuah kedai. Banyak tempat kosong di kedai itu dan ia langsung duduk. Perutnya sangat lapar dan terbayang sudah olehnya ma kanan yang enak-enak. Ia menengok ke sekeliling, dan tanpa sa dar ia menyiulkan Konser Empat Musim.
Mendengar melodi yang disiulkan Satya, orang-orang yang duduk di sekitarnya mendadak bangkit. Mereka semua mencabut pedangnya dan mengepung Satya.
Ini orangnya! Aku mendengar siulan yang sama malam itu! Ya, aku ingat benar siulannya, memang seperti itu. Pasti dia orangnya!
Pembunuh! Menyerahlah! Tak ada jalan lolos bagimu! Satya terperangah. Ia hanya menyiulkan melodi yang tidak dikenalnya, yang seperti tiba-tiba saja masuk ke kepalanya.
Apa salahku" Jangan banyak alasan! Ikut!
Satya terpaksa bangkit, mereka menggiringnya keluar kedai. Di luar orang-orang sudah berkerumun.
Oh, dia yang dari kemarin bertanya-tanya tentang perempuan berajah kuda di punggungnya.
Satya digiring ke sebuah lapangan. Sementara orang-orang mengikutinya, menjadi sebuah barisan yang panjang.
Pembunuh misterius tertangkap! Pembunuh misterius ter tangkap! Siulan misterius itulah yang telah membuat Satya ditangkap. Apa salahku" Apa salahnya dengan siulan itu" Orang-orang melihat dengan heran.
Kamu jangan pura-pura bodoh!
Kalau aku harus mati, katakan kenapa aku harus mati! Orang-orang tetap menggiringnya.
Sudah menyebarkan maut, pura-pura tidak tahu! Dia bilang dia tidak tahu!
Mereka tiba di lapangan. Satya diikat di sebuah tiang. Sekarang ia ha nya teringat Maneka.
Orang-orang mengelilinginya. Seseorang membawa obor. Kita bakar dia sekarang"
Orang-orang menyahut. Bakar!
Bakar pembunuh itu! Bakar!
Apa yang telah terjadi" Kalau Satya harus mati karena suatu kekeliruan, Satya tetap ingin tahu kekeliruan macam apakah itu. Aku bukan pembunuh! Satya berteriak.
Orang-orang terus berteriak.
Bakar! Bakar! Bakar! Aku bukan pembunuh! Wajah orang-orang yang berteriak itu seperti begitu haus dengan darah. Padahal dalam kehidupan sehari-hari mereka adalah rakyat biasa yang tampak sederhana dan lugu. Satya merasa kehidupan begitu semu dan menipu, dan untuk sepintas merasa tidak ada gunanya hidup di dunia seperti itu. Namun kesadarannya segera mengatasi kekecewaannya. Orang-orang pengecut, katanya, buktikan kalau aku pem bunuh!
Pengecut" Hahahaha! Siapa yang pengecut" Membunuh orang dari belakang, membunuh ketika mereka sedang tidur dan tidak berdaya" Buktikan!
Ia selalu menyiulkan melodi itu! Melodi apa"
Konser Empat Musim! Konser Empat Musim" Apa itu"
Itulah melodi yang kausiul-siulkan itu tolol! Pembunuh itu selalu menyi ulkan Konser Empat Musim setelah membunuh! Semua orang bergidik dan tahu benar bagaimana melodi itu disiulkan, engkaulah yang menyiulkannya, jadi engkaulah pembunuhnya, karena tidak ada yang bisa menyiulkan seperti dirimu melakukannya.
Itu bukan alasan! Buktikan kamu bukan pembunuhnya. Aku tidak tahu lagu itu.
Tapi kamu menyiulkannya. Aku tidak tahu bagaimana bisa melakukannya. Orang-orang saling berpandangan.
Pembunuh ini berkilah! Bakar saja dia! Bakar! Satya tidak mengerti bagaimana semua ini bisa terjadi. Orang yang suka bersiul Konser Empat Musim itu barangkali juga yang membunuh orang yang ditemuinya tertembus panah di padang rumput dan meninggalkan gerobak penuh kitab tersebut. Masa lahnya, apakah makna kebetulan-kebetulan ini" Ataukah ini se mua bukan kebetulan dan memang tertuju kepada dirinya" Satya merasa kesal, bagaimana melodi itu bisa disiulkannya" Ia sama sekali tidak ingat mimpinya itu, bahwa ia melihat Hanuman menari-nari bersama Maneka diiringi Konser Empat Musim yang dibawakan sejuta wanara pemain biola. Satya hanya ingat ia tiba-tiba sudah menyiulkannya, dan sekarang karena siulan itu dirinya akan dibakar. Kalian membakar orang yang salah.
Jangan berkilah. Jangan salahkan aku jika kalian menanggung kutukan atas kekejaman ini!
Satya tahu, terlalu banyak orang masih percaya mistik.
Bakarlah aku sekarang juga, dan biarlah para dewa menghukum kalian!
Kami tidak percaya dewa-dewa!
Entah siapalah yang kalian sembah, dia akan menghukum dan me ngu tuk kalian dengan penderitaan tak tertahankan. Ayo! Bakar aku se karang, aku juga sudah muak melihat wajah-wajah orang bodoh seperti kalian!
Orang yang siap membakar dengan obor tadi tertegun, berpikir sebentar, lantas menurunkan tangannya. Bahkan mematikan obor itu. Satya pun tahu, ia telah lolos dari sambaran maut.
Tahan dia! Kita akan menyelidiki kebenaran ucapannya! Satya menarik napas lega. Udara terasa begitu cerah. Namun ia masih saja tidak habis pikir, bagaimana ia bisa menyiulkan lagu itu.
kebetulan bisa mengubah rencana seribu tahun manusia berjuang mengetahui rencana semesta rahasia langit rahasia bumi rahasia hati siapa mampu menguaknya sehingga berhingga
Selama tiga minggu Satya meringkuk dalam penjara berdinding batu yang sangat gelap. Suatu ketika pintu terbuka. Ia merasa silau luar biasa. Pergilah! Engkau bebas sekarang!
Tanpa pengadilan" Terjadi beberapa pembunuhan lagi, dan terdengar siulan Konser Empat Musim. Jadi jelas bukan kamu pembunuhnya.
Satya mendapatkan kembali kudanya, kuda zanggi keturunan Persia. Batangan emas masih ada di balik rompinya. Ia mengelus kudanya sebentar, lantas melompat ke atas punggung kudanya itu, dan memacunya tanpa menoleh-noleh lagi. Tak ada juga yang peduli kepadanya. Kudanya mencongklang mengepulkan debu. <"
Walmiki di Pasar alam beberapa bulan terakhir pasar di kota kecil itu mulai ramai. Meskipun perpustakaan hancur, ilmu pengetahuan sirna, dan kebu dayaan diulangi dari depan, manusia tidak pernah terlalu sulit untuk mulai berdagang. Bentuk yang paling sederhana adalah menjual sesuatu, dan untuk seterusnya membeli sesuatu lantas menjualnya lagi. Para pedagang akan menjual apa pun yang kira-kira dibutuhkan orang banyak. Demikianlah di pasar itu segala kebutuhan pokok dijual, mulai dari sayur-mayur, hewan ternak, budak belian, sampai dengan senjata tajam. Di bagian lain dijual pula kain cita, benda-benda perhiasan, dan alat-alat musik.
Di bagian alat-alat musik para penjualnya menyewa se orang pemusik untuk membunyikan alat-alat itu agar menarik pembeli. Maka terdengarlah suara alat-alat musik itu, yang sa ling isi-mengisi, saling sahut-menyahut, se hingga tidak terjadi tab rakan lagu-lagu. Mereka semua memainkan komposisi yang sama. Suara seruling, sitar, tabla, dan macam-macam alat musik lain sahut-menyahut membuat orang yang semula mau lewat saja bisa berhenti lama. Di sana juga dijual banyak sekali biola.
Ke sanalah suatu ketika seorang lelaki tua muncul dan setelah mendengar beberapa saat, lelaki tua yang agaknya seorang pengembara itu berkata.
Hmmhh. Sekarang banyak sekali orang memainkan Konser Empat Musim. Sebetulnya ini pertanda baik, tetapi akibatnya kita tidak bisa membedakan lagi pembunuh dan bukan pembunuh.
Seseorang bertanya kepadanya.


Kitab Omong Kosong Karya Seno Gumira Ajidarma di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jika engkau sungguh bijak orang tua, komposisi apakah yang harus kita mainkan"
Orang tua itu tertawa. Aku tidak sebijak itu anak muda, orang yang lebih tua tidaklah selalu lebih tahu akan semua hal.
Kalau begitu engkau harus berhati-hati bicara orang tua, karena ba - nyak orang telanjur menganggap orang yang lebih tua selalu lebih bijaksana.
Orang tua itu tertawa lagi, lantas pergi. Orang yang menegurnya menggeleng-gelengkan kepala. Ia berkata sambil meng angkat bahunya. Apa salahnya kita semua memainkan Konser Empat Musim" Namun seorang muda yang duduk di depan sebuah kedai, dan memerhatikan percakapan itu, mengikutinya dari belakang. Orang tua!
Orang tua itu menoleh. Apakah dikau yang disebut Walmiki" Orang tua itu tersenyum.
Aku tidak berharap seseorang akan mengenalku di sini. Engkau siapa"
Namaku Satya dari Mantura.
Mantura. Itu tempat yang jauh dari sini. Apa yang kau cari" Kami mencari dirimu.
Walmiki memandang Satya. Pemuda ini masih seorang re maja, ma tanya menyala-nyala, tapi begitu terpendam, sehingga membuatnya tampak dewasa.
Kami" Siapakah yang lain itu" Satya mendekat.
Empu Walmiki. Sudikah dikau mendengarkan aku bicara" Seseorang ingin mengubah nasib yang dituliskan olehmu.
Walmiki melihat wajah Satya. Wajah seseorang yang telah berjalan begitu lama hanya untuk mencarinya.
Baiklah kita pergi ke bawah pohon itu, dan aku akan mendengarkan kamu.
Mereka pergi ke bawah pohon, dan Satya bercerita. Walmiki mendengarkan seluruh cerita itu sambil mengelus-elus jenggotnya yang putih.
Cerita Satya sangat lama, Walmiki bagaikan tenggelam ke dalam dunia yang dibangunnya sendiri. Mereka berada di bawah pohon itu sampai gelap tiba dan pasar menjadi sepi. Hanya oncor di depan pura menerangi mereka.
Apakah engkau tidak bisa memutus ceritamu sebentar anak muda" Kita sebaiknya makan dulu.
Baiklah, tetapi dikau harus tetap mendengarkan.
Mereka pindah ke sebuah kedai. Walmiki makan nasi kebuli, tetapi Satya hanya minum dan bercerita.
Penjarahan dan pembakaran itu juga melanda desa kami .... Walmiki menyelusuri kembali segala hal yang telah dituliskannya. Pertempuran yang mengakibatkan banjir darah di mana-mana. Balatentara sejuta pasukan berkuda yang menyapu negeri-negeri termakmur dan kota-kota terindah seperti air bah, hanya karena pertempuran cinta Rama dan Sinta yang serba salah. Sebagai juru cerita tidak pernah disadarinya betapa setiap pribadi yang tidak pernah disebutkan sekali pun mengalami penderitaan yang nyata. Ia bercerita tentang rakyat yang tertindas dan menderita, maka setiap pribadi dari yang disebut rakyat itu akan tertindas dan menderita dalam cerita yang ditulisnya.
Apakah seorang juru cerita terjamin mengerti segala-galanya tentang apa yang diceritakannya"
Terdengar olehnya sepintas lalu Satya bertanya, tetapi Satya tidak me nunggu jawaban. Ia terus menggelinding, ia tidak seperti bertanya, lebih seperti menggugat, dan kadang-kadang terasa menuntut. Walmiki merasa Satya menceritakannya dengan sangat sopan, terkadang memang seperti menyalahkannya, dan kadang-kadang juga seperti marah, namun tetap menghormatinya.
Empu Walmiki, perempuan bernama Maneka itu telah menjadi sa ngat menderita, dan bersamaku ia mengarungi anak benua untuk bertanya kepadamu seorang, mengapa dikau menentukan nasibnya seperti itu" Dia bukan sekadar salah satu dari orang banyak, yang tidak pernah diperhitungkan oleh juru cerita maupun pendengarnya. Ia mendapat beban untuk menyandang ku tukan. Mengapa dikau menentukan dia menjadi penyandang peran itu" Di seluruh anak benua, bahkan barangkali di seluruh dunia, hanya Maneka yang lahir dengan rajah kuda di punggung nya. Bahwa kuda itu kemudian me lejit sebagai kuda dalam Persembahan Kuda, telah
membuatnya bagaikan menyandang kutukan sepanjang masa. Ia telah dikenali, diperkosa oleh seisi kota, bahkan sebuah totem yang baru saja dibuat menceritakan betapa ia nyaris dirajam pula. Mengapa seseorang yang tidak bersalah harus menyandang peran bagaikan menyandang kutukan"
Larut malam. Kedai tutup. Mereka kembali ke bawah pohon. Walmiki menghela napas, dan Satya masih terus bercerita bagaikan seseorang yang telah menenggak arak berguci-guci, tetapi Satya hanya minum air untuk membasahi tenggorokannya karena ia punya cerita memang begitu panjang sepanjang derita manusia. Bahkan seorang juru cerita yang paling pi awai sangat mungkin lupa atas nasib sesungguhnya dari peran-peran yang di ciptakannya. Seorang juru cerita juga ternyata tidak mungkin menghalangi para pendengarnya menciptakan kembali peran-pe ran itu dalam penerimaan mereka. Peran itu tertimpa berbagai pe nafsiran, dan jika mereka begitu terbermaknakan, maka mereka menjadi begitu hidup dan meyakinkan. Kebahagiaan dan penderitaan mereka menjadi pengalaman yang nyata.
Empu Walmiki, mereka yang luput dari penceritaan seorang empu tidak akan ada bukan" Tapi mungkin mereka lebih bahagia, meski kita tidak pernah mengetahuinya. Mereka yang berangkat berlayar pada pagi buta, mereka yang menghela kerbaunya di lumpur sawah, mereka yang memainkan seruling di pasar alat musik, mereka yang mencuci di tepi sungai, mereka yang berburu dalam kesunyian hutan, mereka yang memahat di sanggar terpencil, mereka bahagia begitu saja, dan menderita seperti semua orang, tetapi mereka yang diceritakan menjadi terlalu istimewa, dan penuh dengan beban makna-makna. Apakah mereka punya hak untuk menolak" Begitu berkuasanyakah seorang juru cerita atas tokoh-tokoh ceritanya, wahai empu penyusun Ramayana"
Walmiki teringat Hanuman, yang telah membebaskan diri nya dari beban cerita. Dari semua peran, memang hanya Hanuman yang mampu melakukannya, karena ia kemudian menulis riwayat hidupnya sendiri. Setiap orang bisa menjadi juru cerita, setidaknya untuk dirinya sendiri, dengan begitu ia berkuasa atas nasibnya, tidak ditentukan oleh seorang juru cerita lain. Bahkan Rama dan Sinta tak mampu mengubah jalan cerita bagi diri mereka, namun Hanuman telah melakukannya, karena memang dia merasa wajib menjaga Ramayana dan dunia. Rahwana tak bisa mati,
gelembung kejahatan dari mulutnya memenuhi dunia, sehingga harus ada cara untuk melawannya dari zaman ke zaman.
Betapa banyak korban yang telah berjatuhan, wahai Walmiki, mengapa semua ini membutuhkan korban"
Walmiki teringat mayat-mayat bergelimpangan di setiap medan pertempuran.
Apakah engkau juga menjadi korban, anakku"
Satya teringat kedua orangtuanya, pada suatu siang setelah kuda pu tih itu melintasi desanya, diiringi sejuta balatentara ber kuda yang menyapu desanya. Ia hanya bisa tertunduk.
Aku tidak menggugat atas nasibku, Empu. Engkau menggugat atas nasib siapa"
Barangkali ia juga tidak ingin menggugat, ia hanya ingin bertanya, meng apa dikau memilih dia, seorang perempuan yang tidak mempunyai kesalahan apa-apa, untuk menjadi korban.
Itulah pertanyaannya. Seberapa jauh seorang juru cerita bertanggung jawab atas nasib tokoh-tokohnya" Apakah dia harus membuat seluruh peran bahagia tak kurang suatu apa"
Anakku, seorang juru cerita hanyalah sebuah cermin sebe tulnya, ia tidak pernah melahirkan sesuatu yang tidak ada, ia hanya memantulkan kembali ke hidupan di depannya.
Malam tambah singup, cahaya oncor yang kuning sayup-sayup sampai. Apakah tidak ada harapan bagi seseorang yang ada bukan karena kehendaknya sendiri" Atau, apakah seseorang yang lahir tanpa dikehendakinya hanya bisa berharap"
Anakku, apakah engkau berpikir aku bisa menghindarkan diriku dari menjadi juru cerita"
Satya menatap Walmiki. Barangkali seseorang harus menulis riwayat hidupnya sendiri, agar hidupnya tidak ditulis oleh orang lain. Namun sebelum bisa mulai menulis, seseorang harus mampu membaca. Tanpa pernah membaca kehidupan, riwayat macam apakah yang akan bisa ditulisnya"
Di pasar itu tersisa seseorang yang tampaknya seperti orang gila. Ia bernyanyi sendirian di sebuah kios yang biasa menjual buah kelapa. Setiap kali melihat orang seperti itu, Walmiki selalu merasa orang seperti itu
lebih beruntung dari dirinya. Hidupnya murni, pikirnya selalu, hidup di dunianya sendiri.
Di bawah pohon, Walmiki masih menghadapi Satya yang terus-menerus bercerita. Ia kagum dengan orang muda ini, atau tepatnya ia kagum dengan semangat muda yang menggelora. Orang muda bernama Satya ini mengembara meninggalkan kampung halamannya hanya demi mengantarkan Maneka, seorang pelacur malang yang telantar dan terlunta-lunta karena ingin mempertanyakan suratan nasibnya. Walmiki telah menulis kisah cinta Rama dan Sinta yang membanjirkan darah, namun ia merasa lebih tersentuh oleh cinta Satya yang tidak terucapkan. Cinta yang hanya memberi, dan tidak pernah sekali pun meminta.
Siapakah yang menuliskan kisah itu" Walmiki berta nya-tanya.
manusia pertama memandang langit bertanya dirinya datang dari mana manusia terakhir memandang bumi bertanya dirinya menuju ke mana
Ketika Satya terbangun, Walmiki sudah tidak kelihatan jejaknya. Ru panya ia terus-menerus bercerita sampai tertidur. Pasar sudah ramai kembali. Ibu-ibu berbelanja sayur-mayur dan daging segar. Roda perdagangan mulai bergulir kembali. Apakah dunia telah menjadi lebih baik" Satya melihat orang gila itu tertidur di sebuah kolong. Ke manakah Walmiki" Ia bangkit dan mencarinya, mengira Walmiki minum teh dan makan roti yang diolesi madu di sebuah kedai. Ia memasuki sebuah kedai tempat orang-orang sarapan bubur.
Apakah kalian melihat Walmiki" Walmiki" Siapa dia"
Walmiki, penulis Ramayana. Ramayana" Apa itu"
Satya putus asa, dan melangkah pergi.
Jangan pergi dulu anak muda, apakah yang kau maksud orang tua berjenggot putih yang seperti pengembara itu"
Satya menoleh, dan menjawab dengan malas. Ya.
Dia pergi ke luar desa, ke arah matahari terbenam. Dengan segera, tanpa sarapan lebih dulu, Satya melompat ke atas kudanya, dan menderap ke arah matahari terbenam.
Di luar desa, di bawah sebuah pohon, ia seperti melihat Walmiki. Ketika didekatinya, Walmiki lenyap. Lantas dilihatnya Walmiki seperti berada di ku buran, maka ia mencongklang kudanya ke kuburan di atas bukit itu. Ternyata ia hanya menemui kuburan yang sepi. Dari atas bukit dilihatnya Walmiki berada di tepi sungai, sedang membasuh wajahnya, seperti siap bermeditasi. Dipacunya kuda menuruni bukit, tapi hanya ditemuinya desir angin yang menerbangkan pasir. Kini didengarnya suara tawa pelan. Seperti suara Walmiki.
Ia melihat ke sekeliling, berharap Walmiki melakukan penampakan lagi, tetapi orang tua itu tidak pernah muncul kembali.
Pasti ia sudah berada di suatu tempat yang jauh, pikir Satya, pengaduanku tentang derita Maneka belum lagi tuntas.
Ia teringat Maneka lagi. Di manakah dia sekarang"
Sementara itu, di sebuah tempat yang sangat jauh, Walmiki duduk meniup seruling. Orang tua itu masih suka terheran-he ran dengan dunia yang diriwayatkannya sendiri. Hutan pinus di dataran tinggi yang sejuk, dengan ketenangan danau yang membentang luas di atasnya. Ia telah me nempatkan Hanuman di sana, sebelum akhirnya wanara agung itu melepaskan diri dari dunia yang diceritakannya, untuk menulis riwayat hidupnya sendiri. Walmiki meniup seruling bambu yang sempat dibelinya di pasar itu sebelum meninggalkan Satya yang tertidur. Ia mema inkan tembang-tembang yang biasa dibawakan Satya, sengaja agar Maneka keluar dari gua itu dan mencarinya.
Biasanya Walmiki tidak pernah pilih kasih terhadap siapa pun yang di berinya peran. Setiap orang mempunyai perannya di dalam hidup ini, dan setiap orang sebaiknya memainkan peran itu de ngan baik, meskipun peran itu adalah sebagai korban. Tetapi cerita Satya telah membuatnya berpikir, betapa tidak adilnya hidup ini jika setiap orang mendapatkan peran yang tidak dikehendakinya. Bahkan Rama yang jaya akan tampak sebagai boneka jika tidak mampu mengatasi suratan takdirnya. Walmiki bersyukur telah bertemu Satya, dan ia tahu sekarang apa yang akan dilakukannya.
Walmiki meniup seruling dan menunggu Maneka muncul dari balik hutan pinus. Kemudian muncullah Maneka. Ia tampak terkejut menyadari
bahwa peniup seruling itu bukan Satya, namun ia tetap mendekat juga, meski dengan agak ragu-ragu.
Jarak mereka masih jauh, Walmiki bersandar di sebuah batu besar, memerhatikan Maneka yang melangkah menuruni bukit. Ia tidak pernah merasa meriwayatkan sesuatu tentang seorang tokoh bernama Maneka. Pasti ia muncul dari balik kerumunan, pikirnya.
Walmiki tahu betapa banyak nama di balik kerumunan yang tiada pernah diucapkan, dan nama Maneka adalah nama orang kebanyakan. Walmiki tidak pernah bercerita tentang rakyat. Ia hanya bercerita tentang tokoh-tokoh besar, para dewa, satria, dan raksasa-raksasa gagah perkasa, juga siluman-siluman setan duruwiksa. Di manakah letaknya orang-orang di pasar, orang-orang di jalanan, orang-orang di sawah dan ladang, dan orang-orang di balik kerumunan" Orang-orang itu tidak pernah ada, dan mereka tidak pernah berubah nasibnya dari cerita ke cerita, selalu menjadi korban. Betapa malangnya mereka yang tidak tahu dirinya jadi korban dan terus-menerus dikorbankan.
Cerita Satya menyadarkannya, betapa tiada berartinya me reka yang ke hidupannya sudah ditentukan dan takdirnya di du nia sudah disuratkan. Walmiki ingin membebaskan mereka, dan berhenti menulis cerita yang seperti apa pun juga, karena ia tidak bisa menulis apa-apa jika bukan tentang derita dunia, dan cerita semacam itu akan terus-menerus mengorbankan manusia.
Maneka sudah tiba di hadapannya.
Orang tua yang meniup seruling, siapakah dikau, apakah aku mengenalmu" Tiupan serulingmu tidak bisa dibedakan de ngan tiupan kawanku, itu sebabnya aku datang kemari. <"
Cahaya mengusap tepian mega
erbincangan Walmiki dan Maneka berlangsung lama sekali, karena banyak hal juga tidak jelas bagi Walmiki sendiri. Ia tidak selalu bisa mengingat dengan tepat, bagaimana peran seperti Maneka bisa diriwayatkannya. Ia memang ingat telah berkisah tentang Persembahan Kuda yang mengakibatkan banjir darah, tetapi ia tidak terlalu ingat bagaimana kuda putih yang diiringi balatentara sejuta pasukan berkuda itu bisa muncul dari punggung Maneka. Apakah ia pernah menulis tentang lahirnya seorang bayi perempuan dengan rajah bergambar kuda di punggung nya" Kalau tidak, bagaimana riwayat itu bisa ada" Apakah ada seorang juru cerita lain yang berkisah di atas cerita yang ditulisnya" Kalau memang demikian, bagaimana nasib peran yang tanpa disadarinya terjerumus ke dalam sebuah dunia yang bukan untuknya" Dunia pewayangan adalah du nia dengan tokoh-tokoh serba ajaib, bagaimana jadinya jika seorang manusia biasa tiba-tiba ada di sana"
Mata Maneka berbinar dan bercahaya, masih tampak di tu buhnya akibat perajaman para penyembah berhala kepada dirinya, namun ia terlihat begitu bergairah sekarang, wajahnya terus bertanya-tanya. Apakah ia bisa mengubah riwayatnya"
Jadi, Empu, dikau sama sekali tidak tahu bagaimana aku mempunyai rajah di punggung semenjak masih di dalam kan dungan"
Cerita dituturkan, peran diadakan, tokoh bermunculan. Walmiki merasa sangat berdosa sekarang. Bagaimanakah para korban merasakan penderitaannya" Seberapa jauh seorang pencerita bisa menghayati penderitaan tokoh-tokohnya" Bagaimanakah caranya kini ia mempertanggungjawabkan penderitaan Maneka" Ia bisa bercerita dengan bebas, tapi adalah Maneka yang menanggung kesakitannya.
Ia teringat Hanuman, yang pamit untuk membebaskan diri nya dari suratan takdir. Sebetulnya tidak perlu pamit untuk itu, pikir Walmiki, tetapi Hanuman terlalu sopan untuk tidak pamit dan mengundurkan diri dari dunia ciptaan Walmiki. Perempuan di depannya tidak paham, bahwa ia juga bisa melakukannya, melanjutkan hidup seperti ditentukannya sendiri. Engkau tidak perlu aku untuk mengubah nasibmu, anakku. Tapi rajah di punggungku ini telah menentukan jalan hi dupku, aku tidak bisa melepaskan diri dari kodrat.
Apakah engkau ingin melepaskan diri dari kodrat, wahai perempuan yang berajah kuda punggungnya"
Empu Walmiki, jika kodrat memang ada, aku tidak ingin dan tidak perlu melepaskan diri darinya, tapi aku tetap ingin bahagia. Walmiki tertegun.
Apakah engkau tidak pernah bahagia, anakku"
Maneka teringat Satya. Ia mengangguk. Walmiki melihat cahaya kebahagiaan di matanya, dan tersenyum.
Aku tidak bisa memberikan kebahagiaan itu, katanya. Maneka ternganga.
Engkau harus mencarinya sendiri. Maneka mencoba memahaminya.
Barangkali kebahagiaan juga tidak perlu dicari, kata Walmiki lagi, karena ia bisa datang sendiri.
Jadi, apa yang harus kulakukan"
Entahlah, tapi kurasa kalau engkau menginginkan kebahagiaan, anakku, engkau harus mencarinya, tapi dalam pencarian itu mungkin kamu akan menderita. Dalam penderitaan itulah engkau akan menjadi matang, dan seorang yang matang akan mudah bahagia.
Begitukah Empu" Jangan panggil aku empu, aku sama bodohnya dengan se mua orang yang tidak kunjung mengerti. Riwayatku juga ditulis oleh suatu kuasa yang tidak akan pernah mampu kusingkapkan. Aku ini hanya setitik nada dalam
lagu, sebuah pion dalam bidak catur, hanyalah alat tulis untuk sebuah riwayat di atas lontar. Aku tidak lebih tahu darimu, anakku.
Maneka terdiam, memandang ke kejauhan. Udara dingin dan angin se juk bertiup dari gunung. Nun di kejauhan itu Walmiki melihat puncak-puncak bersalju yang tampak begitu cemerlang dalam cahaya matahari. Puncak-puncak yang tampak suci dan jauh dari kefanaan dunia. Puncak-puncak bersalju abadi.
Walmiki meniup serulingnya kembali. Kabut turun. Du nia menjadi kelabu. Maneka merasakan waktu bergeser, ruang beranjak, dan berbagai dimensi melebur. Di samping Walmiki kemudian dilihatnya sejumlah siluman. Mereka mewujudkan diri sebagai manusia tanpa kelamin, serba tampan sekaligus cantik, citra penuh kelembutan. Mereka muncul memegang alat-alat mu sik, langsung mengiringi seruling Walmiki. Maneka merasa melayang dalam kabut, tanah di bawahnya hilang, mereka bersila di atas mega. Siluman yang satu memetik harpa, yang lain memainkan pakhawaj, yang lain lagi menggesek rebab. Para siluman musik memainkan musik yang tenang, begitu tenang seperti permukaan danau yang tidak bergerak, duli, kanjira, dan maadal dibunyikan, diiring tabla lembut perlahan. Walmiki bersama Ensambel Siluman membawakan Meditasi Puncak Gunung.
Maneka bergerak bersama kabut yang melewati puncak gunung bersalju. Matanya setengah terpejam seperti orang mabuk, tetapi ia tidak mabuk. Mata nya kemudian terpejam seutuhnya ketika ia ber anjak, bergerak, dan menari. Maneka menari berputar per lahan-lahan di atas mega yang ber jalan seperti perahu dihanyutkan alun perlahan. Maneka berputar begitu pelan dengan ma ta terpejam, ujung sari-nya melambai, tangannya mengalir dan jarinya yang lentik bagai menaburkan serbuk-serbuk keindahan ke segenap penjuru semesta. Walmiki meniup seruling dengan mata terpejam dan begitu pula para siluman. Dunia maya mengapung dalam Meditasi Puncak Gunung. Kabut berpendar. Cahaya mengusap tepian mega.
siapa dia yang mengamati pertumbuhan batu mendengarkan sunyi dan mencatat cahaya"
siapa dia yang memainkan kecapi menyuarakan mimpi dan menanti pralaya"
kulihat Hanuman terkapar di dalam gua baris perkabungan memanjang di tiga dunia, o!
Maneka berlari ke luar dari hutan pinus dan melihat Satya. Ah, benar-benar Satya! Ia sudah mengira! Satya menunggang kuda zanggi yang per kasa dan sedang menuju ke arahnya! Keduanya makin dekat. Angin menghembuskan bau tanah basah. Satya melompat turun dan berlari. Maneka!
Satya! Keduanya berpelukan dan menangis. Tidak ada lagi yang perlu dirahasiakan. Tiada lagi yang perlu ditahan-tahan.
Maneka mengangkat wajahnya dalam dekapan Satya. Pipinya bersimbah air mata. Ia seperti mau mengatakan sesuatu, tetapi Satya menggeleng, dan mereka berpelukan kembali, lebih erat, lebih hangat, jauh lebih ketat dari sebelumnya.
Mereka masih berpelukan ketika kuda Satya mulai merumput, dunia menjadi luas, dan angin makin keras membungkukkan padang alang-alang. Suara-suara batang dan daun bambu menyelusup deru angin basah. Seekor tupai menengok dari sebuah pohon. Burung-burung menghentikan kepak sayapnya dan meluncur tanpa suara. Permukaan danau berpendar karena gerimis, dan sebentar kemudian turun hujan.
Keduanya basah kuyup kini, tapi tidak juga beranjak, masih berpelukan sampai lama sekali. Maneka menyembunyikan wajahnya di dada Satya, seperti seorang gadis berlindung dalam kewibawaan ayahnya, meski dirinya lebih tua dari Satya. Di ke luasan padang menghijau, di tepi hutan pinus yang dingin, ke dua insan menyadari kedekatan mereka. Satya, 16 tahun, dan Maneka, 20 tahun, telah mengarungi suatu perjalanan yang sa ling mendekatkan diri mereka, dan perpisahan yang dipaksakan telah mendekatkan mereka untuk selama-lamanya.
Air menetes dari pipi Maneka, air hujan dan air mata. Satya memanggil kudanya dan mengangkat Maneka ke atas kuda itu, sebelum ia sendiri melompat ke atasnya. Sari Maneka basah, begitu juga serban Satya. Kuda zanggi itu berlari memasuki hutan pinus, menyusuri tepi danau, mencari gua yang luas. Masih ber sandar ke dada Satya, tangan Maneka menunjuk gua tempat ia terbangun. Segalanya seperti mimpi, pikirnya. Ia menggigit bi birnya. Kali ini ia tidak bermimpi.
Di depan gua Satya turun dan mengangkat Maneka. Ia tidak menu runkannya ketika memasuki gua, dan baru membaringkannya di ranjang batu
yang berkasur jerami. Mereka berdua basah. Mereka melihat berkeliling. Maneka baru sadar gua itu seperti tempat tinggal yang utuh, terdapat ruang tidur, ruang tengah, da pur, perpustakaan, dan ruang meditasi. Di ruang tidur itu terdapat sebuah lekuk di batu tempat menyimpan pakaian. Hanya terdapat satu jenis pakaian di situ, tak kurang dari dua puluh kain sarung kotak-kotak hitam putih. Satya melihat kayu bakar sudah bertumpuk di pediangan yang terletak di tengah ruangan. Ia menyalakannya.
Mereka berdua membuka baju. Seluruhnya. Mengambil kain sarung kotak-kotak hitam putih dan mengenakannya. Menge ringkan pakaian me reka yang basah di depan api. Lantas mereka duduk di dekat api. Saling berpandangan.
Mereka tidak melakukan apa-apa selain saling berpandangan dalam keremangan gua.
Kemudian, ketika hujan reda, mereka melangkah keluar. Hari sudah senja. Langit jingga. Angin dingin. Mereka menge na kan sarung hanya untuk tubuh bagian bawah mereka, selebihnya terbuka.
Maneka mendekati Satya. Dingin, katanya. Satya memeluk bahunya, sementara mereka berjalan ke tepi danau. Men dung disisihkan angin. Langit yang semburat jingga dipantulkan permukaan danau. Gumpalan mendung sudah men jauh, menyisakan ledakanledak an hali lintar nun entah di ma na, cahaya berebut menyepuh bumi men jadi keemasan. Di tepi danau, Satya dan Maneka melihat lembaran per madani emas, terhampar di permukaan, berpendar sesekali karena daun jatuh, atau ikan yang menyambar sesuatu di permukaan, tak pernah sadar elang di angkasa akan mengancam.
Kabut di atas danau dipendarkan oleh pantulan cahaya, dan di seberang da nau itu muncul sebuah candi. Satya dan Maneka tertegun dan saling berpandangan. Kabut terkuak seperti tirai, candi bagaikan muncul dari masa lain, dan kini cahaya senja mengusapnya, sehingga pucuk-pucuk perwaranya memantulkan cahaya.
Tanpa berkata mereka berdua naik ke atas perahu dan men dayung ke seberang, menuju ke arah candi. Dayung mereka menyibak air dan me nimbulkan suara-suara ajaib yang hanya mungkin terdengar dalam keheningan. Candi itu bagaikan ber gerak maju menyambut mereka. Candi
yang begitu kelabu dalam kabut yang terus-menerus menyibakkan diri bagi cahaya senja yang keemasan, sekalian memberi jalan kepada perahu mereka semakin mendekatinya. Semakin dekat terasa candi itu semakin besar. Satya dan Maneka sampai mendongak ketika perahu me reka semakin bertambah dekat.
Mereka berdua sudah menyaksikan banyak candi dalam perjalanan mereka, kota-kota suci yang telah menjadi reruntuhan, maupun kuil di tempat-tempat tersembunyi yang luput dari penghancuran balatentara Ayodya, namun tidak ada yang begitu purba seperti yang mereka lihat sekarang. Candi ini bagaikan dibangun 5.000 tahun lebih awal dari semua candi yang pernah mereka saksikan. Kelabu kehitam-hitaman, berlumut dan menjulang.
Satya masih ternganga ketika perahu mereka menyentuh kayu bekas tiang dermaga. Mereka turun dari perahu, dan betapa jelas suara yang ditimbulkannya. Bagaikan terdengar segenap desah permukaan danau yang berpendar itu. Setelah mengikat perahunya mereka melangkah ke arah candi yang seperti makin besar. Pintunya bagaikan mulut yang menganga menyambut mereka. Cahaya senja seperti menunjukkan arah, mereka men daki tangga batu, dan mencapai sebuah pelataran yang masih datar permukaannya.
Lumut terasa basah di kakinya. Mereka berdua tidak menge nakan alas kaki. Mereka melangkah memasuki candi. Terlihat arca para dewa. Tidak ter cium bau pesing seperti yang sering terjadi pada candi-candi tua. Tidak ter lihat juga kelelawar bersarang di sana. Maneka menahan napas. Cahaya senja yang menipis ber akhir pada sebuah keropak di atas kotak batu setinggi satu meter. Satya mendekatinya, dan membaca lembarannya yang pertama tanpa menyentuh.
Kitab Omong Kosong Bagian Pertama: Dunia Seperti Adanya Dunia. Mereka saling berpandangan. Tanpa sengaja mereka telah menemukan Kitab Omong Kosong! Berarti mereka berada di Gunung Kendalisada, pertapaan Sang Hanuman yang hanya berada di dunia cerita. Tapi rasanya mereka belum percaya.
Kita cari empat bagian lainnya, kata Satya.
Mereka keluar dari candi, membiarkan Kitab Omong Ko song Bagian Pertama itu di sana. Satya hafal peta yang pernah mereka dapat itu di luar
kepala. Di belakang candi itu terdapat hutan, Satya melangkah. Namun Maneka berkata.
Hari hampir gelap, kita tidak tahu berapa jarak empat tempat yang lain, apakah kita tidak menunggu besok saja"
Satya teringat penderitaan Maneka yang bertubi-tubi, meskipun bu kan itu yang dipikirkan Maneka. Pemikiran perempuan itu sangat sederhana, ketika hari jadi gelap dan lebih dingin, tidak mungkin mereka memasuki hutan hanya berkain sarung. Mereka berperahu kembali, dan Satya mengambil Kitab Omong Kosong Bagian Pertama itu. Jika kitab ini bisa diperbanyak dan disebarluaskan dengan segera, setidaknya waktu tiga ratus tahun bisa dihemat, dan kesadaran manusia bisa berkembang lebih cepat daripada peradaban yang sedang dibangunnya kembali.
Perahu mereka kembali. Kubah langit berwarna senja. Merah membara lantas menggelap. Maneka memerhatikan bayangan la ngit di permukaan danau yang berpendar-pendar. Mereka berada di dunia cerita, mengenakan sarung kotak-kotak hitam putih yang kemungkinan besar adalah milik Hanuman. Apakah Hanuman sendiri yang telah menyelamatkannya dari para penyembah berhala yang bodoh itu, yang mengira dunia akan selamat jika memberikan korban perempuan berajah kuda di punggungnya kepada entah siapa"
Di tengah danau yang sangat tenang, begitu tenang, terla lu tenang, dengan burung-burung kecil berlomba di atasnya me nyambar-nyambar entah apa, perahu itu melancar pelan, sa ngat perlahan. Maneka merasakan keheningan penuh rahasia yang bagaikan menyimpan kunci-kunci pemahaman semesta. Ia mendayung sementara Satya sudah mulai membaca. Di belakang mereka candi menggelap, menyatu bersama kelam. Maneka menoleh dan berharap esok candi itu masih ada. Bagi Maneka tu juan perjalanannya sudah tercapai. Ia sudah bertemu dengan Walmiki, dan orang tua itu bahkan sengaja menemuinya dan membebaskan ia dari cerita yang ditulisnya. Namun tujuan Satya belum, ia ingin menemukan lima bagian Kitab Omong Kosong yang sangat dibutuhkan untuk membangun kembali kemanusiaan yang hancur.
Apa yang akan kita makan malam ini Satya" Satya mengangkat kepalanya.
Kenapa bukan ikan bakar, danau ini pasti banyak ikannya.
Kamu sudah lupa aku tidak makan makhluk bernyawa" Tidak. Kamu makan ubi.
Ubi" Ya, ubi, ubi bakar. Aku ingin makan yang lain. Apa"
Aku ingin makan kangkung.
Kangkung" Apa ada kangkung di sini" Aku tidak tahu, tapi aku mau kangkung.
Perahu mereka sampai ke tempat semula. Mereka kembali menuju ke gua, dan dalam gelap yang semakin pekat keduanya terkejut. Dari dalam gua terlihat nyala api yang membuat din ding gua kekuning-kuningan, bergerak-gerak menghidupkan lukisan di dinding gua, yang sebelumnya tidak diperhatikan oleh Maneka. <"
Kitab Omong KOSONG bertemu hanuman ari dalam gua terdengar seseorang berkata. Jadi kalian sudah mendapatkan kitab itu"
Satya dan Maneka terhenti langkahnya. Suara itu begitu lembut dan dalam. Membuat mereka juga menjadi tenang.
Masuklah, akan menjadi dingin sekali di luar. Mereka melangkah masuk, dan merasa hangat.
Api pediangan menyala. Cahayanya yang merah menimpa se sosok tubuh yang selama ini hanya bisa mereka bayangkan. Seluruh tubuhnya ditutup oleh bulu yang lebat, putih bersih keperak-perak an, dan lembut seperti serat-serat sutra. Wajahnya juga dipenuhi dengan bulu, sehingga matanya nyaris tertutup, namun mata itu begitu jernih dan tajam, seperti kemurnian mata kanak-kanak. Ekornya berjalin dengan rambutnya yang juga putih dalam suatu andaman yang indah. Ia mengenakan sarung kotak-kotak hitam putih seperti yang mereka pakai.
Sang Hanuman ..., desis Satya.
Maneka hanya bisa ternganga.
Ya, aku Hanuman, kalian berada di Pertapaan Kendalisada. Masuklah dan duduk. Makanlah, kalian pasti sudah sangat lapar.
Mereka melihat mangkuk dan sendok kayu, dengan semacam pasta kentang di dalamnya. Lapar keduanya langsung terbit karena aroma masakan itu.
Makanlah, ujar Sang Hanuman yang duduk bersila, ja ngan sungkan.
Untuk sesaat keduanya masih ragu. Rasanya mereka telah mengambil terlalu banyak hal tanpa pernah memberi. Namun kehadiran Sang Hanuman tidaklah seperti sosok yang membuat mereka harus takut berbuat salah, sinar matanya yang penuh kasih dan suaranya yang lembut dan halus, membuat Satya dan Maneka tidak ragu menyendok pasta kentang itu ke piring dan memakannya dengan lahap. Di hadapan mereka ternyata sudah terdapat pula air putih dalam cangkir kayu dan teko berisi air teh hijau.
Sang Hanuman menatap kedua manusia itu dengan ter se nyum. Ia telah hidup lama sekali dalam berbagai dimensi dan ia masih selalu tersentuh oleh kemanusiaan yang rapuh tapi mengharukan. Angin dingin bertiup dari luar gua. Bau asap kayu yang terbakar terasa sedap. Di atas pediangan itu terdapat sebuah cerobong alam, sehingga pembakaran itu tidak akan pernah menyesakkan napas.
Mereka masih makan, ketika Hanuman beranjak mengambil sebuah sitar. Ia kemudian berbaring di sebuah ranjang batu yang berkasur jerami, memetik sitar itu perlahan-lahan.
danau tenang di tempat yang jauh siapakah dia menangis tertahan" puisi ditulis di pasir basah segera terhapus jejak Jembawan jauhkanlah dirimu o Hanuman sesal Trijata berkepanjangan, o!
Ia menyelesaikan petikannya ketika Satya dan Maneka selesai makan. Setelah minum air, keduanya menuang teh hijau dari teko ke cangkir kayu dan menghirupnya perlahan-lahan. Ber sama dengan mengalirnya teh panas itu ke dalam tubuh me reka, mengalir pula kehangatan yang menenangkan sehingga mereka merasa begitu damai meskipun pertemuan dengan Sang Hanuman tak mungkin dibayangkan manusia. Sinar api yang kemerahan berkilau dipantulkan bulu-bulu perak wanara itu.
Apa yang akan kalian lakukan dengan Kitab Omong Kosong itu" Hanuman bertanya.
Kitab itu hanya bagian pertama, saya harus mencari empat bagian lagi yang lain.
Engkau tahu di manakah empat bagian yang lain anak muda" Saya masih ingat peta itu.
Hanuman tertawa, seperti teringat sesuatu.
Akulah yang membuatnya, karena aku tidak bisa menyimpannya te rus-menerus. Sedangkan tempat ini terlalu terpencil.
Sang Hanuman, peta itu menjadi rebutan, dan telah menjatuhkan ba nyak korban.
Mata Hanuman mendadak redup.
Ketika Persembahan Kuda berlangsung, dan balatentara Ayodya maupun Goa Kiskenda menghadapi kesulitan untuk me naklukkan Lawa dan Kusa, Sri Rama memanggilku untuk mem bantunya, tetapi aku menolak dan kembali ke dimensi abadi di mana ruang tak bergerak dan waktu bisa dibolak-balik. Di sanalah kulihat kehancuran mengerikan yang telah diakibatkan oleh berbagai penjarahan, pembakaran, dan penghancuran besar-besaran. Kebudayaan manusia kembali ke titik nol. Kaum cendekiawan dibasmi, perguruan diratakan dengan tanah, dan terlalu banyak orang hanya hidup dengan nalurinya.
Itulah titik terendah dalam sejarah kebudayaan anak benua, ketika perang selesai dan para pengungsinya hidup dengan cara saling menjarah. Rupa-rupanya manusia telah kehilangan terlalu banyak kesadaran yang telah dicapainya. Mereka membutuhkan setidaknya tiga ratus tahun lagi untuk mendapatkan semua itu kembali. Sedangkan segenap pencapaian kesadaran itu tercatat dalam Kitab Omong Kosong. Memang banyak kitab-kitab lain tentang berbagai masalah penting, tetapi sejarah kesadaran itu sendiri hanya disatukan oleh Kitab Omong Kosong. Kitab yang ditulis oleh Walikilia itu, manusia pertapa yang selalu mengembara dari satu dimensi ke dimensi lain sambil bersila di atas selembar daun raksasa, adalah rangkuman segenap pencapaian nalar manusia, yang telah membuat kita semua mencapai peradaban yang jaya dan mengagumkan. Manusia menga lahkan kaum raksasa dalam peperangan, melibas para siluman dalam kesenian, dan meng ung guli dewa-dewa dalam ilmu pengetahuan. Namun semua itu hancur menjadi puing dalam bencana Persembahan Kuda.
Aku menyimpan kitab itu, tetapi kepada siapakah kitab itu harus dipercayakan" Kerajaan Ayodya yang begitu kupercaya terbukti mampu menghancurkan anak benua, Kerajaan Alengka sekarang memang dipimpin Wibisana yang arif bijaksana, tetapi penduduknya masih raksasa, dan sampai sekarang kepada para raksasa yang hanya hidup dengan meng andalkan kekerasan aku belum percaya. Namun aku tidak bisa memegang kitab itu selama-lamanya. Aku ditugaskan untuk berumur panjang dan menjaga kebudayaan, tetapi aku juga suatu ketika harus berakhir. Lagi pu la dunia tidak boleh tergantung kepadaku untuk memerangi pengaruh Gelembung Rahwana. Jadi aku hanya memberikan peta dari kitab yang kupisahkan menjadi lima ini ke perpustakaan negara Ayodya, satu-satunya perpustakaan terlengkap di anak benua, karena dialah negeri penjarah. Ironis sekali.
Sebelumnya tidak banyak yang tahu keberadaan peta itu. Tetapi ketika kebudayaan runtuh dan semua perpustakaan hancur, orang teringat tentang adanya Kitab Omong Kosong itu, yang bisa menghemat waktu pro ses pencarian kembali kesadaran manusia selama tiga ratus tahun. Tentu tidak satu pun yang tahu bagaimana bisa membaca peta itu. Walikilia memberikannya langsung kepadaku. Hmm. Si Tua Walikilia ....
Sang Hanuman menghela napas sejenak. Mengenang kembali pertemuannya dengan Walikilia, manusia pertapa yang telah memberi petunjuk kepada Batara Wisnu, bagaimana caranya mengalahkan Rahwana yang tidak bisa mati.
Aku sedang bermeditasi ketika itu, tenggelam dalam kehe ningan mutlak yang mengatasi ruang dan waktu, saat tercium bau harum yang menembus duniaku.
Bangunlah dulu Hanuman, katanya, dunia sedang runtuh dan kamu hanya asyik bertapa saja.
Maafkanlah aku Empu, tapi dunia mengecewakan aku. Hahahaha! Hanuman yang bijaksana! Apalah artinya kamu bermeditasi dan merenung, jika sikapmu masih kekanak-kanakan seperti itu" Meditasi itu bagus dan akan selalu bagus, selama itu merupakan olah ke heningan dan bukan sebagai pelarian. Du nia memang mengecewakan Hanuman, karena manusia selalu bodoh dan menyebalkan, tapi itulah manusia, wahai Hanuman Sang Wanara Agung. Mereka memang bukan dewa! Dewa-dewa hidupnya bersih, karena mereka hanya terbuat dari cahaya, manusia hidupnya kotor, karena me reka bertubuh kasar, selalu membutuhkan makanan dan selalu membuang hajat. Untuk melanjutkan
hidupnya mereka menumpahkan darah, menghi langkan jiwa makhluk lain, bahkan antara manusia sendiri terjadi tindas-menindas, tak lebih dan tak kurang untuk melanjutkan hidupnya itu.
Manusia terjebak oleh keterbatasannya.
Justru perjuangan mengatasi keterbatasannya itulah yang luar biasa, Hanuman. Mereka bodoh dan tidak tahu apa-apa, tapi mereka mau menjadi pintar dan mencatat pengetahuan satu demi satu. Mereka gagal.
Itulah yang mengherankan aku Hanuman, semakin me ning kat ilmu pengetahuan mereka, semakin banyak pula kega galannya. Kejahatan sudah ada semenjak terbentuk keluarga manusia yang pertama, dan tidak ada pendidikan yang bisa menghapuskannya.
Apakah artinya itu Empu"
Artinya manusia itu mengharukan. Karena"
Selalu gagal. Satya tidak bisa menahan keinginannya untuk bertanya. Benarkah begitu Sang Hanuman"
Sudah berapa abadkah kehidupan manusia, anakku" Kalau dari makhluk bipodal pertama, sudah empat juta tahun, kalau dari peralihan homo erectus ke homo sapiens, baru sekitar lima ratus ribu tahun.
Bukankah masih ada pembunuhan sampai hari ini" Ya.
Pembunuhan itu kegagalan berbahasa yang purba sekali anakku, dan hari ini masih ada. Bukankah itu berarti seluruh pendidikan agama dan ilmu pengetahuan yang telah berlangsung berabad-abad belum berhasil sepenuhnya"
Apakah itu berarti gagal"
Apakah artinya jika pembunuhan itu tidak pernah berkurang anakku" Dan itu dilakukan atas nama negara, bangsa, mau pun agama.
Maneka tiba-tiba teringat bagaimana ia dikejar-kejar segerombolan orang berkuda di padang pasir ketika lari dari rumah bordil. Jika tertangkap waktu itu, apakah yang akan dialaminya" Seluruh penduduk kota akan merajamnya. Ia teringat penolongnya yang mati terpanah, menelungkup
di atas pohon yang dihanyutkan sungai. Siapakah dia" Dari mana asalnya" Mengapa sudi mempertaruhkan nyawa menolongnya"
Hujan turun di luar gua. Hanuman menambah kayu di pediangan, dan melanjutkan ceritanya.
Walikilia menyerahkan Kitab Omong Kosong kepadaku, karena tahu dunia akan membutuhkannya, ia pergi meninggalkan harum bau melati, dan kitab itu sudah berada di hadapanku. Aku menghabiskan waktu lima tahun untuk membaca dan me mahaminya. Setelah itu Walikilia mengirimkan lima empu, lima dewa, dan lima siluman untuk menguji pemahamanku. Aku di nya takan lulus setelah berdebat 40 hari dan 40 malam sembari duduk bersila mengambang di atas danau. Di antara lima dewa itu terdapat Batara Narada yang mahir berwawankata dan betapa sulit pertanyaan-pertanyaannya.
Sebulan setelah itu Walikilia muncul lagi dari dalam danau. Ia sama sekali tidak basah dan masih menunggang daun raksasanya. Aku sama sekali tidak mengerti bagaimana caranya ia hidup. Ia seorang manusia biasa, bukan dewa bukan siluman, bukan pula blasteran manusia-dewa atau manusia-siluman, tapi ia tidak pernah bisa kukejar atau kucari. Aku bisa menembus berbagai dimensi di dunia ini, bisa hidup sekaligus dalam ruang dan waktu yang berlainan, tapi tidak pernah bisa melacaknya. Pastilah ia manusia dengan pencapaian yang luar biasa. Sebenar nya dialah yang mengalahkan Rahwana, ketika memberi jalan keluar bagi Batara Wisnu yang keluar dari tubuh Sri Rama karena kebingungan.
Ia muncul dari dalam danau ketika aku sedang meniti cahaya senja ke arah matahari dan kembali lagi. Aku biasa berselancar di atas cahaya senja yang jingga dari arah matahari terbenam yang merah membara untuk sekadar melemaskan otot-ototku. Pada saat itu ia muncul dan memunggungiku. Ia bersila dengan punggung tegak.
Kita jumpa lagi Hanuman, kurasa kita perlu bicara. Tentang apakah itu, Empu"
Hmm. Pura-pura tidak tahu, Hanuman" Ilmu manusia harus kembali kepada manusia, engkau tidak membutuhkannya.
Jadi, apakah manusia harus mempelajari kembali semua hal yang ada dalam kitab itu"
Daripada mereka mengulang tiga ratus tahun.
Jika mereka mengulang pencarian mereka, apakah hasilnya memang akan sama"
Kita tidak bisa mengandaikan apa-apa, namun bisa di per kirakan, apa pun hasilnya, tiga ratus tahun juga waktu yang dibutuhkan. Tiga abad. Itu waktu yang lama untuk manusia. Makanya jangan kau simpan untuk dirimu sendiri saja. Aku tidak bermaksud begitu, Empu. Tapi, tidakkah kitab itu hanya berisi ....
Omong kosong saja" Ya.
Walikilia tertawa terbahak-bahak di atas daunnya yang besar itu. Seka rang ia berputar menghadap kepadaku. Tubuhnya yang kurus dan hanya di bungkus kancut hitam berguncang-guncang, rambutnya yang pan jang sudah memutih seluruhnya, tidak ada yang tahu persis berapa usia Walikilia.
Namanya saja memang Kitab Omong Kosong, Hanuman apakah yang kauharapkan dengan judul seperti itu"
Tapi apakah dunia ini bisa diselamatkan dengan .... ... dengan omong kosong maksudmu"
Ya. Hanuman, lima empu, lima dewa termasuk Narada, dan lima siluman telah mengujimu, seharusnya kamu tahu arti omong kosong itu. Maneka melihat Hanuman menarik napas panjang.
Begitulah akhirnya aku harus membelah kitab itu menjadi lima bagian, meletakkannya di lima tempat, dan membuat peta nya untuk disimpan di perpustakaan Ayodya. Setelah membaca kitab itu, aku memang terharu oleh perjuangan manusia untuk mengerti. Mereka mencoba memahami, merumuskan, dan mem bahasakan hal-hal yang sebetulnya tidak mungkin dipahami, dirumuskan, dan dibahasakan secara mutlak, karena akan selalu ada hal yang tidak semutlak seperti yang telah mereka pahami, rumuskan, dan bahasakan. Kehidupan ini rumit, dan manusia berusaha menyederhanakannya, membaca persamaan-persamaan, perbandingan, dan keberulangannya, sehingga akhirnya bisa melakukan sesuatu karena pengetahuan akan hal itu. Kitab Omong Kosong menyelusuri perjalanan atas pertumbuhan nalar manusia dan kesetiaan kepada nalar itu membu at
misteri masih banyak tersisa. Celakanya, banyak orang kemudian tenggelam ke dalam misteri yang penuh pesona itu, tanpa penalaran sama sekali. Itulah yang kutakutkan selama ini. Kitab Omong Kosong adalah kisah penemuan kesadaran manusia dengan penalarannya yang ketat dan teruji, tetapi kitab ini rupa-rupanya telah menjadi berhala, sehingga dipercaya bisa memecahkan segala-galanya, sehingga yang memiliki dan memahaminya akan mempunyai suatu kuasa.
Kitab ini telah mengakibatkan rentetan pembunuhan. Aku menyalahkan diriku sendiri untuk itu, namun kitab ini memang tidak boleh jatuh ke sembarang orang, hanya mereka yang cukup keras hatinya dan cukup berakal pula akan sampai kepada kitab ini. Walmiki telah membimbingmu ke sini bukan" Sekarang engkau harus menemukan keempat bagian yang lain, anakku, dan setelah itu engkau harus mempelajarinya sampai mengerti. Engkaulah yang akan memperbanyak kitab ini, dan kalau perlu mengajarkannya ke seluruh anak benua.
Tapi .... Maneka, engkau sudah dipersilakan melepaskan diri dari alur Walmiki bukan"
Maneka mengangguk, tidak tahu arah pertanyaan ini. Apakah yang kamu inginkan untuk hidupmu sekarang" Membantu Satya menemukan Kitab Omong Kosong. Yah, kalian berdua akan mencari dan mempelajari kitab itu. Tapi saya baru saja belajar membaca ....
Bagus, itu artinya pikiranmu belum keracunan.
Satya diam. Ia bukan tidak senang mendapat kesempatan mencari dan mempelajari Kitab Omong Kosong, atas petunjuk Hanuman pula. Ia hampir selalu bergaul dengan kitab-kitab, dan senang sekali membaca, tapi ia merasa dirinya bukan seorang yang cendekia, bahkan keinginannya hanyalah hidup sederhana sebagai petani sahaja.
Sang Hanuman, maafkan saya .... Kenapa, Satya"
Saya tidak merasa pantas mempelajarinya, usia saya terlalu muda .... Hanuman tersenyum. Satya masih sangat remaja, jika ia mampu me nyelesaikan kitab itu selama lima tahun, usianya baru 21 kelak, dan Maneka baru 25. Hidup mereka masih panjang.
Apakah engkau membayangkan untuk menemukan kitab ini secara lengkap, lantas memberikannya kepada seseorang"
Satya mengangguk, mereka membelokkan arah perjalanan, da ri mengejar Walmiki ke arah matahari terbenam, menjadi ber belok ke selatan, karena ingin membantu orang yang telah me ngorbankan nyawanya sebab mempertahankan peta keberadaan kitab ini.
Siapakah orang itu, Satya"
Satya dan Maneka saling berpandangan.
Ini sudah menjadi tugas, wahai Satya dan Maneka. Begitulah hidup. Orang yang memberikan peta ini terpanah punggung nya di depan matamu. Jika bukan karena peristiwa itu, apakah kita akan pernah bertemu"
Lima tahun, pikir Satya, ia teringat ladangnya di kampung. Sedangkan Maneka sudah bisa melepaskan dirinya dari cerita Walmiki. Perempuan itu sudah bisa menentukan jalan hidupnya sendiri. Jika hidup harus punya tujuan, keinginannya untuk menemukan peta itu sudah hampir terpenuhi. Apakah kini ia harus pula mempelajari kitab itu" Sang Hanuman membutuhkan waktu lima tahun, apakah mungkin dirinya seorang rakyat jelata mampu menyelesaikannya dalam waktu yang sama" Tapi kalau tidak, seperti kata Hanuman, kitab itu akan diberikan kepada siapa" Satya teringat pedati dan sapi Benggala mereka. Alangkah enaknya hidup bebas mengembara.
Hanuman membaca kebimbangan Satya.
Engkau tidak usah memutuskannya sekarang, Satya, bahkan engkau bisa menolaknya. Sekarang kalian sebaiknya beristirahat. Aku akan pergi dulu. Kalian pilih sendiri bilik-bilik dalam pertapaan ini. Kalian juga bisa mencari dulu empat bagian Kitab Omong Kosong yang lain, karena pengalaman mencarinya adalah bagian dari pelajaran kitab itu, wahai Satya dan Maneka. Sekarang aku pergi, baik-baiklah kalian di sini.
Mereka melihat Hanuman beranjak keluar gua. Ia juga meninggalkan harum melati ketika mendadak lenyap entah ke mana. Hmm. Hanuman, Walikilia, Walmiki. Dunia ini penuh de ngan keajaiban. <"
Dunia seperti adanya Dunia
eesokan harinya ternyata hujan begitu deras, udara kelabu dan dingin. Peristiwa malam sebelumnya bagaikan mimpi. Satya dan Maneka sa ling berpandangan, mereka berdua telah bertemu dengan Sang Hanuman. Bukankah ia tokoh dari sebuah cerita" Mereka berdua baru sadar betapa sesuatu yang belum bisa diterima akal tidaklah harus berarti mustahil. Selalu ada cara untuk menerima segala sesuatu yang tidak masuk akal sekalipun sebagai sesuatu yang bermakna. Hanuman telah berbicara kepada mereka dan mereka telah mendengarnya. Apa lagi yang harus dipertanyakan" Kini semuanya memang seperti mimpi, peristiwa itu seperti tidak pernah terjadi, tapi mereka tidak melupakannya. Mereka masih ingat apa yang dikatakan wanara berbulu putih keperak-perakan itu, bahwa mereka harus mencari empat bagian Kitab Omong Kosong yang lain.
Kitab yang pertama berjudul Dunia Seperti Adanya Dunia, apa ju duljudul empat bagian yang lain"
Maneka tahu, jika Satya sudah bertanya-tanya seperti itu, ia tidak akan pernah berhenti mencari kelengkapan kitab-kitab itu sampai ketemu. Apalagi setelah mereka mendengar Hanuman mengatakan, bahwa hal itu sudah menjadi tugas. Seseorang ditembus anak panah punggungnya di depan mata mereka karena menyelamatkan peta kitab-kitab itu.
Mereka berdua membasuh tubuh mereka di pancuran yang terdapat dalam gua. Sarapan sisa pasta kentang semalam, dan menemukan dua caping di sebuah lekuk gua, seolah-olah memang disediakan bagi mereka.
Maneka mengenakan sari-nya yang sudah kering, tapi Satya tetap mengenakan sarung kotak-kotak hitam putih milik Hanuman, meski kemudian mengenakan juga rompinya yang sudah kering. Ia mengenakan ikat kepalanya. Maneka menahan tawa.
Kenapa" Satya bertanya.
Sarung itu tidak cocok dengan ikat kepala dan rompi yang lusuh itu. Biar saja, tidak ada yang melihat kita di sini. Lagi pula dingin begini. Mau berangkat tidak"
Keduanya keluar menembus hujan yang tidak juga mereda. Dengan pe rahu yang kemarin mereka berdayung ke tengah danau dan ternganga. Ke mana candi yang kemarin itu"
Kabut telah berpendar, dan meskipun hujan masih deras, sudah terlihat candi itu tidak ada. Satya dan Maneka saling berpandangan dengan mulut ternganga. Kemarin candi itu begitu nyata, apakah mereka telah melihat se suatu yang tidak ada"
Apakah kitab itu hilang juga" Satya bertanya.
Tanpa menunggu jawaban ia membalikkan arah perahunya. Maneka pun membantu dengan mendayung cepat. Perahu melancar menembus hujan. Belum sampai ke tepi keduanya melompat dan berlari menuju ke gua. Bagaikan berebut keduanya berlari di lorong-lorong di dalam pertapaan.
Dari jauh terlihat cahaya di dalam kegelapan gua, berasal dari sebuah lubang di dinding, menimpa Kitab Omong Kosong Bagian Pertama itu, yang diletakkan di atas sebuah meja batu.
Satya terengah-engah menatap kitab itu. Maneka memerhatikan Satya.
Aku tidak akan keluar lagi sebelum memahami seluruh isinya, ujar Satya, kita tidak pernah tahu sesuatu itu akan tetap ada atau tidak.
Lantas ia mengambil kitab itu, duduk bersila, dan mulai membaca di tempat itu juga.
huruf-huruf tergurat di kulit kayu menyimpan makna seluas semesta
Satya tidak pernah pindah dari tempat ia duduk, dan Maneka melayani segala keperluannya. Ia membaca, membaca, dan membaca. Dari huruf ke
huruf dari kata ke kata dari kalimat ke kalimat, tidak bisa begitu lancar karena rupanya bahasa dan pengertian dalam kitab itu bagi Satya tidak terlalu mudah dipahami. Dunia Seperti Adanya Dunia. Itulah tajuk Kitab Omong Kosong Bagian Pertama. Bila malam tiba, Maneka menyalakan lilin. Bila waktu tidur, Satya merebahkan diri langsung di situ saja. Bila wak tu makan tiba, Maneka menyediakannya. Tapi Satya jarang tidur dan jarang makan. Berhari-hari, ber minggu-minggu, bahkan berbulan-bulan berlangsung hal semacam itu. Rambut Satya telah semakin panjang, dan ia agak lebih kurus. Sebulan sekali ia keluar gua dan berenang di danau itu. Hanya sekali dalam sebulan. Setelah itu ia tenggelam kembali ke dalam bacaannya.
Maneka mengurus pertapaan itu. Ia mencari bahan makanan ke hutan, memasaknya, dan demi Satya dipancingnya ikan untuk dibakar. Maafkan aku ikan, bukan aku yang akan memakanmu, katanya. Ia tahu Satya tidak mungkin menjadi seorang vegetarian, lagi pula pikirannya masih setuju memakan makhluk bernyawa, asal tidak membunuhnya demi kesenangan saja. Demikianlah Satya membaca, membaca, dan membaca, dan Maneka tidak pernah mengganggunya. Ia hanya bertanya-tanya ke manakah perginya Sang Hanuman itu, dan untuk apa" Apakah suatu hari ia akan kembali lagi" Ataukah ia pergi untuk selamanya dan tidak pernah akan kembali"
Manusia Yang Bisa Menghilang 1 Pendekar Rajawali Sakti 61 Memperebutkan Bunga Wijaya Kusuma Pedang Keadilan 36

Cari Blog Ini