Ceritasilat Novel Online

Kitab Omong Kosong 8

Kitab Omong Kosong Karya Seno Gumira Ajidarma Bagian 8


Tapi, Tuan mau ke mana"
Lelaki beserban itu meneruskan perjalanannya. Maneka mengikuti dari belakang.
Aku akan pergi ke mana pun kakiku melangkah, pergi ke sembarang tempat dan mengamen dengan ularku. Aku sungguh berbahagia dengan ke sempatan hidupku ini, setelah nyaris mati dimakan buaya. Buaya"
Kalian tidak tahu sungai itu membawa aku yang kau sangka sudah jadi mayat itu ke mana" Ke Rawa Kumbala, bekas kerajaan siluman buaya. Tapi bukankah tempat itu sudah dihancurkan oleh Hanuman" Itu dulu. Sekarang tempat itu sudah penuh buaya lagi. Ta dinya kukira apa, ternyata punggung-punggung buaya. Gila. Sudah mau mati, masih mau dibikin betul-betul mati. Mereka menghentikan pohon yang hanyut itu, dan mulai merayap ke atas batangnya, menuju ke arahku. Lantas"
Lelaki beserban itu berhenti. Maneka juga berhenti. Satya hanya kelihatan kecil di tepi pantai, menunggu dengan pedati.
Apa yang ingin kamu ketahui"
Bagaimana kelanjutan nasib Tuan. Kenapa"
Karena Tuan telah menyelamatkan jiwa saya, saya sangat peduli dengan kelanjutan nasib Tuan itu, syukurlah hari ini kita bertemu. Ombak berdebur pelan di tepi pantai.
Kamu betul-betul ingin tahu" Ya, Tuan.
Meskipun kamu harus mendengarkan ceritanya bermalam-malam" Saya sangat senang mendengarkan cerita, apalagi dari Tuan.
Hmmm. Lelaki beserban itu berpikir. Maneka melihat ular kobranya mencoba ke luar dari keranjang, tapi tanpa melihatnya lagi kepalanya sudah ditepuk oleh lelaki beserban itu, sehingga segera masuk kembali.
Baik, kata lelaki beserban itu kemudian, apakah kamu tahu di mana tempatnya Lembah Pintu Naga"
Saya bisa mencarinya, Tuan.
Kalau kau memang ingin mendengar ceritaku, pergilah ke sana, aku menantimu di sana, dan bila kau berhasil mencapainya, aku akan bercerita.
Lelaki beserban itu kemudian melanjutkan langkahnya. Kali ini Maneka tidak menyusulnya. Ia memandanginya saja, sampai lelaki beserban itu hilang di balik kaki langit. Dari kejauhan, setelah menghilang terdengar suara seru lingnya kembali.
burung camar terbang merendah ke arah perempuan yang menunggu ombak menghempas riuh rendah siapa kiranya yang dia tunggu, o!
Rasanya lama sekali Maneka melangkah ke arah Satya duduk. Dilihatnya lelaki itu memuaskan diri menatap lautan. Selama mereka berjalan bersama, mereka memang tidak pernah sampai ke laut. Mereka melihat sebuah dermaga, tapi tidak ada kapal di sana.
Maneka mendekati Satya, dan menyentuh bahunya. Satya, tahukah kamu di mana Lembah Pintu Naga" Satya menoleh.
Ada apa di sana" Maneka pun bercerita. Satya mengangguk-angguk.
Aku belum pernah ke sana, tapi aku pernah mendengar ce ritanya. Lembah Pintu Naga itu dahulu dikenal sebagai tempat yang mengerikan. Seperti apa"
Maka Satya pun bercerita.
Nun dahulu kala di Lembah Pintu Naga terjadi suatu peristiwa di mana se orang anak perempuan hilang tak tentu rimba. Kemudian kakak lelakinya datang ke lembah dan hilang lenyap pula entah ke mana. Lantas
menyusul ayahnya, pamannya, dan seluruh isi kampung, semuanya tak pernah kembali dari sana.
Lama kemudian setelah peristiwa itu, seorang pencari madu yang suka merayapi tebing dan gua-gua menemukan berpuluh-puluh kerangka manusia. Semenjak saat itu, tidak seorang manusia pun berani melewati Lembah Pintu Naga. Sampai sekarang tidak pernah jelas apa yang membuat seluruh isi kampung itu hilang dan tidak ada pula yang berani menyelidikinya.
Seorang pencari madu yang suka merayapi tebing dan memasuki gua-gua di atas tebing itu, dikabarkan melihat seorang pengembara yang tidak tahu-menahu melewati lembah itu. Begitu mengerikan peristiwa yang menimpa pengembara itu sehingga ia tidak bisa bicara apa-apa. Orangorang hanya melihat korban yang terkapar dalam keadaan yang terlalu mengerikan untuk diceritakan.
Pencari madu itu akhirnya menjadi hilang ingatan tetapi tetap ketakutan untuk selama-lamanya. Ia menjadi peringatan be tapa Lembah Pintu Naga itu sebaiknya tidak menjadi tempat tujuan.
Apakah yang telah dilihat oleh pencari madu itu" Barangkali kesembuhannya bisa ditunggu, atau ada suatu cara agar dalam kegilaannya pun ia masih bisa memberitahukan sesuatu.
Celakanya suatu hari dia hilang, dan hanya meninggalkan sebuah buku catatan yang tersimpan dalam kotak. Tidak seorang pun berminat membuka kotak yang dikunci dengan gembok keras tersebut. Untuk apa" Catatan harian orang gila. Isinya pasti tidak jelas. Tiada yang tahu ia hilang ke mana. Kotak itu kemudian teronggok di rumah ibunya, bersama barang-barang tidak berguna.
Kita akan membuka kotak itu, Satya, ujar Maneka, pasti isinya sesuatu yang menarik bagi kita.
Nanti dulu, ujar Satya, untuk mencapai kampung para pencari madu itu, kita harus melalui Lembah Pintu Naga, karena memang berada di sebaliknya, dan tidak ada jalan lain. Sedangkan lembah itu merupakan lembah kematian.
Bagaimana lelaki beserban itu bisa tinggal di sana" Kita tidak pernah tahu bagaimana caranya ia tinggal di sa na, tapi pasti tidak di balik Lembah Pintu Naga itu, karena ki ta bertemu dengannya. Lembah Pintu Naga menjadi semacam perbatasan antardimensi. Siapa yang mampu menembusnya tidak bisa kembali.
Kenapa bisa ajaib seperti itu"
Apalah yang tidak ajaib di muka bumi ini, Maneka" Maneka menyadari banyak hal tidak terjelaskan, tetapi ke sadaran ma nusia dikerahkan sepanjang sejarah peradaban untuk mendapatkan penjelasan itu, dan setiap penjelasan itu men ce ngangkannya. Namun betapa begitu banyak keajaiban tak terjelaskan itu. Maneka penasaran, bagaimana mungkin sebuah lembah bisa menjadi pintu ke dunia lain. Kalau kita tidak menge tahui dunia lain itu, apakah dunia lain itu mengetahui kita"
Ia teringat pengalamannya melewati negeri siluman di danau yang ada di Kendalisada. Mereka bisa saling bertatapan meski tidak bisa saling menyentuh. Segalanya masih bercitra manusia. Masih manusiawi. Namun siapa pun yang mencabik-cabik tubuh manusia tentu tidak manusiawi lagi dan itulah yang terjadi di Lembah Pintu Naga.
Ke sanalah lelaki beserban itu meminta kita datang, apakah kita akan ke sana"
Maneka memandang Satya dengan pandangan menuntut. Mungkinkah Satya menolak setelah ditatap seperti itu"
Kita akan berangkat, Satya menjawab sendiri, dan Maneka melompat mencium pipinya.
Satya tampak tenang dan tersenyum, sambil membenahi pedati, tetapi perasaannya sangat berdebar-debar. Mereka telah tiga tahun berjalan bersama, dan inilah pertama kali Maneka menciumnya. Mereka memang selalu tidur satu kamar dan saling berpelukan bila kedinginan, namun tidak pernah lebih dari itu. Kali ini Maneka menciumnya.
Maneka pun terkejut sendiri dengan perilakunya.
Aku hanya seorang bekas pelacur, pikirnya, kenapa pe rasaanku seperti ini" Inikah yang disebut jatuh cinta"
Jatuh cinta setelah melakukan perjalanan bersama sekian lama, pikirnya, apakah tidak terlalu lambat"
Ombak berdebur keras, seperti minta dipandang. Satya dan Maneka duduk di pantai memandang ke kejauhan, memasuki dunia masing-masing di dalam kepala. Angin bertiup kencang sekali, menggoyang genta di leher sapi Benggala.
hidup seperti mimpi yang berlalu bumi berputar dan berputar selalu, o!
Kandungan tiga titisan i atas kapal yang berlayar menuju entah ke mana, Walmiki teringat Dewi Sinta yang tidak pernah dilihatnya dengan mata kepala sendiri. Riwayatnya sungguh-sungguh ajaib. Terbayang olehnya sebuah peti berisi bayi perempuan, yang dihanyutkan oleh Wibisana ke lautan. Peti itu seperti tempat tidur mungil, ada kasur dan bantal, bayinya berselimut, terapung-apung di lautan pada malam hari.
Bagaimana bayi itu bisa berada di sana" Semuanya dimulai oleh Rahwana, yang meskipun begitu kasar, tampaknya tahu betul seperti apakah perempuan yang terindah. Rahwana telah beristrikan berbagai macam perempuan siluman yang luar biasa cantik, bahkan ia telah beristrikan Dewi Tari pula, putri Batara Indra, namun masih ada seorang perempuan yang diimpikannya, dan itu tak lain adalah Laksmi, istri Batara Wisnu. Para dewa telah sempat menipunya, ketika ia menghendaki Dewi Sukasalya, titisan Dewi Widhawati, dengan meng ubah sebuah sumping menjadi Dewi Sukasalya. Perempuan yang diciptakan dari sumping ini cepat mati, dan Rahwana meraung-raung dalam kesedihan.
Jagad Dewa Batara, kalian mempermainkan aku, tapi aku tidak akan pernah menyerah! Akan kucari bayi titisan Wisnu itu sampai ke ujung dunia, dan bila ketemu akan kumakan! Grrrhhh!
Rahwana membubung ke angkasa seperti burung garuda, dan mulai lagi mengembara. Ditembusnya awan gemawan dengan kecepatan melebihi
suara, dan ditembusnya dimensi-dimensi dunia dengan kecepatan melebihi cahaya.
Pada saat yang sama membubunglah Dewi Laksmi dari Kah yangan Utara Segara. Sudah sepuluh tahun ia ditinggalkan Batara Wisnu, yang menitis sebagai Rama anak Prabu Dasarata dari Ayodya. Syahdan, Rama itu dilahirkan dari kandungan Dewi Sukasalya yang asli, setelah tiruannya diambil Rahwana.
Dewi Laksmi tak tahu ke mana ia harus menitis, karena memang tidak semua hal dirancang oleh para dewa. Belum lagi jelas ia mau ke mana, menyu sul di belakangnya seorang bidadari lain. Ternyata itulah Dewi Dharmawati, istri lain Batara Wisnu.
Mau ke manakah, Kakak, melayang-layang sendirian di ruang h ampa"
Aku harus menitis entah di mana, untuk menyatu kembali kepada Batara Wisnu suami kita.
Aku harus mengikuti Kakak, aku tidak bisa berpisah dengan Kakak. Di tempat tidur kita bersama, di kandungan orang pun kita harus bersama. Dewi Laksmi tertegun.
Apakah begitu caranya, Adikku" Apakah kesetiaan harus seperti itu" Kalau Kakak tak suka saya temani, saya akan menitis kepada seorang putri lain dan putri itu akan selalu menjaga Kakak.
Aku tidak memintamu, Adikku, tapi jika itu kehendakmu, aku tidak bisa menghalanginya.
Melesatlah kedua bidadari itu mengarungi semesta. Apabila dua bidadari meluncur di ruang hampa, cahaya tujuh warna berkelebat dan meninggalkan percikan bintang gemintang. Ruang hampa yang sunyi menjadi ruang pesta cahaya. Mereka meluncur melalui gerbang-gerbang dimensi yang membuka sendiri, melesat menuju dunia manusia.
Pada saat itulah Rahwana melihat mereka, dan mengenali Dewi Laksmi yang sejak lama membuatnya tergila-gila.
Inikah Laksmi yang dulu menitis kepada Dewi Citrawati yang diperistri Arjuna Sasrabahu" Hmm. Bidadari memang lebih indah dari manusia, sayang mereka itu hanya cahaya yang maya, tidak berdarah dan berdaging seperti manusia. Tapi aku bisa memerkosanya jika mengubah diri jadi cahaya.
Maka berubahlah Rahwana menjadi cahaya biru, yang meluncur me nuju cahaya tujuh warna itu. Kedua bidadari itu tahu diri mereka dalam bahaya dan segera menambah kecepatannya, tetapi siapakah di dunia ini yang bisa menandingi kecepatan terbang Rahwana selain Hanuman" Sedangkan Hanuman saat itu belum lagi dilahirkan. Cahaya biru memburu cahaya tujuh warna. Dalam waktu singkat cahaya biru sudah berada di belakangnya. Sebentar lagi cahaya tujuh warna itu akan menjadi biru menyala seluruhnya, pertanda Rahwana berhasil memerkosa istri dewa. Namun sebelum hal itu terjadi, Dharmawati melepaskan diri dan menjadi cahaya putih yang berputar di sekeliling Rahwana. Laju cahaya biru itu menjadi tertahan. Cahaya enam warna menjauh, dan betapa kesalnya Rahwana. Ia mengubah ujudnya jadi Rahwana kembali, menepuk dan menangkap cahaya putih yang melingkarinya sehingga menjadi Dewi Dharmawati, dan setelah itu disemburnya dengan api menyala.
Dewi Dharmawati pingsan dan melayang seperti balon di ruang hampa. Rahwana melesat ke bumi, karena tahu Laksmi pasti akan menyusul Wisnu yang menitis entah di mana. Mema suki atmosfer bumi sempat dilihatnya kelebat cahaya enam warna itu kebingungan mencari tubuh. Rahwana memburunya dengan kecepatan cahaya, Laksmi pun mengendap ke balik mega.
Para dewa bukan tidak melihat kejadian ini. Batara Surya mengirimkan cahaya panas yang dahsyat sehingga Rahwana terbang tanpa arah ka rena si lau nya. Namun kesaktian Rahwana segera memudarkannya. Ba tara Indra me ngirimkan halilintar di siang hari bolong, tapi Rahwana yang sempat hangus tetap saja hidup kembali.
Huahahahah! Para Dewa! Kalian mau apa"
Tetapi Narada telah memberi petunjuk kepada Laksmi de ngan memasuki telinganya.
Masuklah ke kandungan Dewi Tari di Alengka. Alengka" Itu sarang Rahwana!
Sudahlah. Itu akan menahan dia di sana, ketimbang Rahwa na menemu kan Rama, titisan Wisnu yang masih berumur sepuluh tahun di Ayodya, dan membunuhnya.
Laksmi terpana tiada disangkanya ia harus menitis ke Alengka. Dilihatnya Dewi Tari termenung di jendela, dan ia masuki saja kandungannya. Uh, apa ini" Dewi Tari tertegun.
Ia baru sadar sebuah peristiwa telah terjadi ketika Rahwana melayang turun dari balik mega, langsung mendarat di depan jendela.
Mana dia" Siapa"
Laksmi. Mencari Laksmi bukan di sini, di Utara Segara.
Aku tahu dia ada di sini, dia ada di dalam kandunganmu! Jadi dengarlah hal ini Dewi Tari! Aku akan mengawini bayi pe rempuan yang lahir dari kandunganmu itu!
Rahwana! Tidak ada yang lebih gila dari khayalanmu yang menjijikkan itu!
Aku tidak peduli! Kepalang tanggung ditakdirkan jadi makhluk yang jahat, akan kubelah kandunganmu kalau perlu!
Dewi Tari menjadi linglung karena kalimat itu. Bagaimana mungkin Rahwana ingin mengawini anaknya sendiri"
angin berhembus di tanah kosong debu beterbangan tak kelihatan ada putri menyanyi dalam lengang tiada seorang pernah mendengarnya, o!
Kepada siapakah Dewi Tari bisa berbicara selain kepada Wibisana yang arif bijaksana" Namun kebijaksanaan macam apakah kiranya yang bisa memecahkan masalah gila seperti itu" Menunggu bayi yang akan keluar dari rahim istrinya sendiri untuk dikawini! Apakah yang bisa lebih gila dari ini" Siapa pula kiranya yang bisa menghalangi raja tersakti di muka bumi itu" Maka Wibisana mendatangi Kumbakarna, dan mereka berdua menghadap Rah wana, mempertanyakan kehendaknya yang tidak masuk akal. Menghadap artinya Kumbakarna hanya duduk di luar kota Alengka, karena istana Alengka jelas tidak bisa menampungnya. Bahkan istana raksasa pun tak akan bisa menampung maharaksasa yang begitu besar sehingga bisa mengelilingi bumi dengan tiga langkah saja.
Kalian datang untuk apa" Untuk menghalangi kehendak seorang raja yang paling berkuasa" Janganlah bermimpi Wibisana dan Kumbakarna, kalian tinggal di Alengka, tetapi memilih jalan yang suci, sedangkan aku adalah sumbernya angkara murka. Bagaimana cara kalian menghalanginya" Kalau anak orang lain bisa kuambil, mengapa tidak dengan anak sendiri" Pergilah kalian, jangan halangi aku, ini urusanku pribadi, mengerti"
Syahdan Kumbakarna pergi ke Gunung Gokarna, lantas tidur tanpa pernah bangun kembali. Kelak ia dibangunkan hanya untuk bertempur membela negerinya, dan tewas oleh panah Laksmana. Adapun Wibisana yang tidak bisa memecahkan persoalan, segera membuka Gambar Lopian.
Maka pemecahan masalahnya tergambar dengan jelas di sana. Wibisana menutup Gambar Lopian dan menanti berlangsungnya peristiwa itu.
Alkisah, Dewi Dharmawati yang pingsan dan mela yang-layang seperti balon telah siuman. Mula-mula ia heran meng apa berada di angkasa sunyi, dan masih mengambang melayang-layang jungkir balik seperti balon, tapi ke mu dian ketika ia teringat kembali semuanya, segera berubah menjadi cahaya putih yang menyusul Dewi Laksmi. Tanpa terlihat oleh makhluk apa pun, termasuk siluman-siluman, bidadari itu melesat ke Planet Bumi menyusuri jejak cahaya Dewi Laksmi sampai ke Alengka. Mengetahui Laksmi berada di dalam kandungan, Dharmawati pun menyusulnya masuk ke kandungan Dewi Tari.
Kalau sudah menitis begitu, rupa-rupanya para dewa dan dewi itu menjadi semacam kepompong yang tidak bisa berhu bung an dengan siapa pun. Sehingga, meskipun sama-sama berada di dalam kandungan Dewi Tari, baik Dewi Laksmi maupun Dewi Dharmawati tidak saling mengetahui keberadaan masing-masing. Itu pula sebabnya Rahwana mencari bayi yang dititis Batara Wisnu ke berbagai penjuru dunia, karena meskipun itu Batara Wisnu, jika ia berwujud bayi tetap saja belum mempunyai kesaktian. Tumbuhnya kesadaran diri sebagai titisan akan tumbuh seiring dengan kedewasaan dan kematangan pemikirannya. Hanya dengan cara itu Batara Wisnu bisa keluar dari pribadi Sri Rama bilamana perlu.
Persoalan adanya dua titisan di kandungan Dewi Tari itu menimbulkan masalah besar di kalangan para dewa. Apakah yang akan terjadi jika ia melahir kan nanti" Apa pula yang akan dilakukan Rahwana"
Batara Guru lantas mengutus Batara Indra, salah satu dewa yang paling cerdas, untuk mengatasinya. Melayanglah Batara Indra dalam semesta berbagai dimensi untuk mencari jalan ke luar. Tetapi jika Batara Guru yang menguasai semesta ini tidak mampu memikirkannya, siapakah dalam kehidupan ini yang bisa mengatasinya" Batara Indra mengambang seperti layang-layang yang terlontar ke sana kemari tanpa tujuan.
Tanpa disadarinya ia memasuki dimensi orang mati. Tempat di mana para roh melayang-layang menunggu penitisan demi kelahiran mereka kembali. Dimensi orang mati ini penuh sesak dengan roh, seperti balon rak sasa yang penuh udara. Roh orang mati laki-laki dan roh orang mati perempuan campur aduk seperti ikan di dalam kantong. Batara Indra menyeruak di antara roh orang-orang mati itu dan mendapat gagasan. Di luar dunia orang mati dipanggilnya satu roh lelaki. Ternyata yang datang adalah roh pengisi tubuh Sumantri atau Patih Suwanda yang terbunuh oleh Rahwana. Ke sanalah dikau akan lahir kembali, ujar Batara Indra. Lantas diembuskannya roh itu masuk ke kandungan Dewi Tari. Demi kianlah kini terkumpul tiga roh di dalam kandungan Dewi Tari, dan mereka akan lahir bersama-sama. Apa yang harus dilakukan kemudian"
Dalam Gambar Lopian, Wibisana melihat para dewa me rencanakan sebuah tipu muslihat.
Syahdan, seorang dukun bayi didatangkan oleh Sarpakenaka ke Alengka, karena sudah setahun lebih Dewi Tari belum melahirkan juga. Ter nyata bahwa dukun itu meramalkan, betapa bayinya nanti akan berjenis kelamin lelaki.
Rahwana luar biasa marah.
Nenek gila! Minggat kamu sebelum kuinjak jadi dendeng dan kukering kan seperti abon! Titisan Dewi Laksmi dibilang lelaki! Minggat! Dasar manusia!
Nenek tua yang dikira gila itu terseok-seok dengan tongkatnya sepanjang tembok-tembok raksasa Alengka. Ia begitu kecil dan renta di antara para raksasa setinggi 30 meter. Di luar kota ia beralih rupa menjadi Batara Brahma yang langsung membubung ke angkasa, melesat menembus mega.
Rahwana ternyata telah menjadi gelisah. Matanya tajam dan waspada, mampu menembus dunia yang maya, melihat sendiri Dewi Laksmi menitis ke kandungan Dewi Tari, meng-apa seorang dukun bayi bisa mengatakannya sebagai bayi lelaki"
Kemudian para dewa menciptakan kekeringan yang luar biasa di Alengka, sehingga seluruh pohon rontok daunnya dan langit serasa begitu membakar. Tak kurang dari Rahwana yang sakti mandraguna tersiksa oleh udara panas, dan segera meninggalkan negerinya setelah menitipkan pengawasan bayi kepada Sarpakenaka.
Pergilah Rahwana ke Danau Gandika, menyelam ke dalam nya sehingga ikan dan kura-kura ketakutan, lantas tidur-tiduran di dasarnya. Inilah
saat yang ditunggu Wibisana. Adalah Wibi sana yang menahan kelahiran ketiga titisan itu sampai setahun lamanya, dan sekarang disirepnya Sarpakenaka supaya tidur tanpa suara. Kemudian dibacanya mantra agar Dewi Tari melahirkan.
Bayi pertama, titisan Dewi Laksmi, adalah seorang perempuan, langsung dimasukkan ke dalam peti, dihanyutkan ke laut. Terapung-apung di malam hari.
Bayi kedua, titisan Dewi Dharmawati, juga seorang perempuan, diambil nya sendiri, dan kelak dikenal sebagai Dewi Trijata yang selalu menjaga Dewi Sinta.
Sebelum bayi ketiga dilahirkan, ia memudarkan sirepnya dan Sarpakenaka terbangun.
Kakak perempuanku, lihatlah keadaan Dewi Tari, sepertinya ia baru sa ja melahirkan. Segeralah, karena jika terjadi apa-apa engkau jua penampung kemarahan kakanda kita.
Sarpakenaka yang hanya hidup dengan kelaminnya, dan tidak pernah dengan otaknya itu terhuyung-huyung menuju ke kamar Dewi Tari, dan dilihatnya bayi raksasa laki-laki.
Wibisana menutup Gambar Lopian, kini ia mengerti apa yang harus di lakukan. Kejadiannya kemudian memang berlang sung seperti itu. Rahwana yang ternyata tidak bisa tidur tenang di dasar danau pun segera mengangkasa kembali ke Alengka, de ngan ikan-ikan yang menyangkut di rambutnya.
Jangan main-main Sarpakenaka! Bagaimana mungkin Laksmi bisa menjadi bayi raksasa seperti ini"
Saksinya ada di sini semua Kanda, istri Kakanda yang bidadari itu melahirkan bayi raksasa pria.
Rahwana memerhatikan bayi raksasa itu. Ia menggeleng tak mengerti. Ke ujung bumi pun Laksmi akan kucari, katanya.
Adapun bayi titisan Dewi Laksmi terapung-apung di tengah laut sepan jang malam. Ketika pagi tiba dan matahari menjadi terik, Batara Indra menciptakan langit mendung untuk memayunginya. Di angkasa Batara Indra melayang-layang dan matanya melihat ikan-ikan hiu yang buas berseliweran di dekat peti berisi bayi itu. Maka dikirimnya isyarat kepada dewa penguasa lautan, yakni Batara Baruna.
Dewa Laut itu sedang menyelam dalam kedalaman laut yang kelam di mana cahaya matahari tiada bisa mencapainya. Isyarat itu datang bersama gerakan air dan menggeliatlah penguasa laut itu.
Hmm. Siapa memanggilku di atas itu"
Batara Baruna mengubah tubuh bersisiknya menjadi parti kel air yang berpindah dengan cepat ke permukaan laut dan sesampainya di sana menjadi utuh lagi. Batara Baruna terbang di atas laut sebentar, kemudian membubung ke balik mega. Ba tara Baruna bercahaya biru cemerlang, tubuhnya bersisik, punggungnya bersirip sejak dari belakang kepala. Sepintas lalu ia seperti ikan, tapi berkaki tangan seperti manusia. Wajahnya seperti orang tua berjenggot. Semenjak ditugaskan turun ke laut pada awal penciptaan semesta, Batara Baruna tidak pernah kembali ke kahyangan lagi. Kehidupannya sepenuhnya berada di lautan dan ia menguasai semesta laut seperti mengenal dirinya sendiri. Batara Baruna terbang seperti ikan berenang, melejit ke sana kemari seperti ikan dan tidak melayang seperti burung meskipun dewa itu sedang terbang.
Dari jauh Batara Indra sudah mengenal gaya terbang Batara Baruna dan memapakinya di angkasa.
Batara Indra, apakah yang begitu gawat sehingga mengundang seorang dewa laut ke angkasa"
Batara Indra mengisahkan semuanya kembali, dengan tam bahan: bahwa Batara Baruna harus menjaga peti itu, sampai ditemukan oleh kapal kerajaan negeri Mantili, karena dari negeri itulah kisah kejatuhan Rahwana akan dimulai. Bayi itu akan dipungut anak oleh Prabu Janaka dan diberi nama Dewi Sinta. Suatu hari ia dilombakan untuk mengusir gagak raksasa Dandang Sangara, dan Rama dari Ayodya yang akan memenangkannya.
Batara Baruna manggut-manggut tanda mengerti, mereka berpisah. Batara Baruna menjatuhkan diri seperti orang terjun be bas, namun satu meter di atas permukaan laut tubuhnya berhenti dan mengambang di sana. Kemudian ia memanggil seekor lumba-lumba lantas menungganginya.
Ayo! Kita cari bayi manusia, katanya, kita akan menyelamatkan dunia.
Lumba-lumba itu membawanya ke sebuah peti yang ber sinar-sinar. Di sekitarnya mondar-mandir sirip hiu yang ganas. Batara Baruna mengibaskan tangannya dan buyarlah hiu-hiu itu.
O, bayi ini manis sekali, katanya.
Bayi itu memang tertawa-tawa di bawah langit mendung Batara Indra. Pergilah, pergilah ke sana bayi. Engkau akan menemukan orang tuamu di sana, kata Batara Baruna, maka berlayarlah peti itu, siang dan malam, menuju ke arah kapal Kerajaan Mantili. Batara Baruna memecah dirinya menjadi partikel air laut, sehingga bisa menjamin pengawasan bayi itu. Ohoi! Cahaya keemasan di utara!
Walmiki terkejut, lamunannya menjadi kenyataan. Orang-orang menu runkan sekoci, hari sudah malam, dan bulan ter apung-apung seperti kapal berlayar di langit.
Ohoi! Bayi! Bayi! Bayi! Bayi! Orang-orang gempar. Walmiki baru sadar bahwa kapalnya berbende ra Kerajaan Mantili, dan sebentar kemudian ia melihat Prabu Janaka dan permaisurinya.
Minggirlah sebentar orang tua! Raja mau lewat!
Semua orang bersujud, tapi Walmiki hanya menundukkan kepala. Aku ini penulisnya, pikirnya, kenapa aku harus bersujud kepada tokoh karanganku sendiri"
Tukang cerita yang sudah tua dan suka marah-marah sendiri itu merasa sangat tidak enak.
Apakah aku sudah begitu tua dan pikunnya, sehingga tidak bisa berjiwa besar terhadap anak-anakku sendiri"
Orang-orang memerhatikan bayi itu. Prabu Janaka berkata, Atas petun juk dewata, anak ini menjadi anakku, dan ia kuberi nama Dewi Sinta.
Permaisuri menggendongnya, dan bayi itu tertawa-tawa. Apakah yang diketahui bayi"
Walmiki teringat bagaimana ia membuat Sinta ditelan bumi. Jadi siapakah sebenarnya ibu Dewi Sinta ini" Dewi Tari atau Dewi Pertiwi" Walmiki ingin sekali menjauh dari dunia cerita, tapi jika bahkan tokoh-tokohnya menjadi hidup dan menggugat pula, bagaimana bisa" Ia melihat ke atas, bulan sabit seperti kapal yang ikut berlayar di angkasa. <"
Lembah Pintu naga etelah melakukan perjalanan yang sulit ke arah utara, dalam waktu enam bulan Satya dan Maneka tiba di Lembah Pintu Naga. Jauh sebelum mereka tiba, di pos-pos perhentian orang selalu memperingatkan mereka berdua.
Sayangilah nyawa kalian, kata orang-orang, kalian masih terlalu muda.
Maneka merasa jengkel. Siapa bilang kita mau mengantarkan nyawa, katanya, Apa kita tidak bisa berhenti agak jauh di luarnya" Tujuan kita mencari lelaki beserban, bukan mencari kematian.
Memang, ternyata banyak orang yang mencari kematian di Lembah Pintu Naga. Para pendekar yang menyoren pedang, tombak, panah, dan selusin pisau terbang datang ke sana, menco ba melewatinya, tapi selalu hilang tanpa kejelas an. Lembah itu membelah dua kampung, dan penduduk kedua kampung itu tidak pernah bertemu, karena untuk memutar mereka harus me rayapi tebing curam dan terjal pada ketinggian. Hanya makhluk ajaib dari dunia pewayangan yang bisa menaklukkan rintangan penuh keajaiban.
Apa yang akan kita lakukan sekarang, Satya"
Mereka berada di ujung lembah, terlihat kekelaman dalam senja menjelang. Cahaya keemasan tidak bisa masuk sepenuhnya ke lembah itu, tetapi bisa menyepuh sebagian dari dinding jurang.
Hmmm. Indah sekali, Satya. Tapi maut di seberangnya. Kenapa bisa begitu"
Entahlah. Tapi kita tidak akan melewatinya. Jadi, di mana tempat tinggal lelaki beserban" Bagaimana kita tahu, namanya saja tidak jelas siapa. Malam itu Maneka menginap di kampung para pencari madu, dan bertanya-tanya tentang lelaki yang beserban. Ternyata hampir semua orang mengatakan tidak tahu.
Mungkin ia tidak tinggal di sini, kata Maneka. Atau berbohong sama sekali, tukas Satya.
Mereka memutuskan akan tinggal di kampung para pencari madu itu du lu, karena tempatnya memang nyaman dan me nye nangkan. Keduanya me nyewa sebuah rumah yang menghadap ke kali kecil, dengan suara air yang mengalir lewat bebatuan, merdu dan menyenangkan.
Heran, di tempat yang nyaman seperti ini betapa banyak kematian mengerikan.
Orang bisa mati di mana saja, Satya.
Satya hanya termenung. Telah seminggu mereka berada di sini, dan belum ada tanda-tanda lelaki beserban itu memang tinggal di sini. Maneka ingin mendengarkan cerita dari lelaki beserban itu. Satya teringat betapa ia melihatnya hanya selintasan, karena sibuk menolong Maneka, dan lelaki beserban yang tertelungkup di atas pohon itu bagaikan telah jadi korban yang terhanyutkan.
Kemudian lelaki beserban itu muncul begitu saja seperti muncul dari dalam bumi, meniup seruling di tepi pantai dengan seekor ular kobra meliuk-liuk antara menggelikan dan mengerikan. Satya teringat suara seruling itu, yang masih menimbulkan perasaan aneh meskipun hanya dalam ingatan.
Seruling ..., pikirnya. Setiap hari Maneka mengembara di sekitar rumah itu, me nyu suri kali kecil atau naik turun jalanan kecil yang terjal naik turun jurang. Tentu dia tidak berani mendekat ke Lembah Pintu Naga, apalagi melewatinya. Ia berjalan di antara semak-semak, menciumi bunga-bunga, dan memerhatikan
kupu-kupu beterbangan. Luar biasa banyaknya kupu-kupu di lembah ini, dan me mang menyenangkan.
Pagi itu, di tepi jurang, Maneka mendengar suara seruling. Mula-mula ia mengira Satya yang meniup seruling itu, namun setelah diperhatikannya ternyata suaranya datang dari arah lain. Ia menoleh ke sana kemari mencari-cari. Ia seperti pernah mendengarnya.
Maneka mencoba mengingat-ingat betapa banyak suara seruling yang pernah didengarnya. Dipisahkannya satu per satu, tetapi seperti tidak ada yang mirip dengan suara seruling ini. Tetapi kenapa ia seperti pernah mendengarnya" Apakah sesuatu yang hanya pernah didengarnya dalam cerita" Tetapi bagaimana caranya suatu suara bisa terdengar dalam cerita" Apakah ketika mendengar cerita ia membayangkan suaranya, dan suara itulah yang kini serasa mirip-mirip dengan suara seruling yang dide ngarnya"
Satya, apakah engkau tadi meniup seruling" Maneka bertanya setelah turun.
Tidak. Kupikir kamu yang meniupnya.
Hmm. Jadi mereka sama-sama mendengar suara seruling. Benarkah peniup seruling itu adalah lelaki beserban"
Esoknya, ketika terdengar lagi suara seruling itu, mereka men cari arahnya. Mereka menyusuri sungai kecil itu, menaiki tebing, dan melihat sebuah jalan setapak.
Ke mana arah jalan setapak ini, Satya" Entahlah, mungkin jalan para pencari madu.
Tetapi suara seruling itu kemudian menjauhi jalan pencari madu. Di dalam hutan, jalan itu bercabang, dan mereka meng ikuti sebuah jalan setapak yang rupa-rupanya tidak pernah lagi dipergunakan. Semakin jauh mereka mengikuti jalan itu, semakin rimbun semak-semaknya, dan semakin tebal rumputnya, penanda bahwa jalan itu sudah sangat lama tidak termanfaatkan.
Maneka bertanya-tanya dalam hati, bukankah jalan ini pernah dilalui kalau begitu, dan mengapa tidak dilalui lagi" Mereka terus merambah semak dan onak berduri, sampai jalan setapak itu hilang. Mereka hanya berpatokan kepada suara seruling itu, yang kini memang meliuk-liuk seperti ular kobra dalam tarian. Mung kinkah mereka berdua sudah menjadi korban seperti ular kobra itu" Sejak kemarin mereka telah terpengaruh
oleh suara seruling itu, dan sekarang ini bagaikan tidak ada kemungkinan lain bagi keduanya selain mengikuti suara seruling itu meski tanpa alasan.
Satya dan Maneka memburu suara seruling seperti orang tersihir. Napas keduanya sudah terengah-engah ketika tiba-tiba saja mereka tiba di depan sebuah gua, dan karena suara seruling tersebut tampaknya terdengar dari dalam gua itu, mereka pun segera memasukinya. Di dalam gua mereka berjalan begitu saja meskipun cahaya dari mulut gua makin lama makin menjauh dan keduanya segera tenggelam dalam kegelapan. Rupa-rupanya lorong gua itu juga makin lama makin sempit, sehingga setelah sekian lama terbungkuk-bungkuk, mereka akhirnya ha rus merangkak perlahan-lahan. Rasanya lama sekali mereka merangkak-rangkak sebelum akhirnya merasakan betapa lorong gua itu telah menjadi lebar melegakan. Bahkan kemudian mereka bisa berdiri sepenuhnya dalam gua itu, dan terus menyusurinya mengikuti suara seruling dengan penasaran. Akan sampai ke manakah ini, Satya"
Sudah, ikuti saja. Namun mengikuti saja lorong gua itu tidak terlalu mudah, karena lorong gua itu kemudian menjadi bercabang-cabang. Me reka ingin mengikuti suara seruling tetapi dari lorong manakah suara seruling itu berasal"
Keduanya berhenti di percabangan itu, terdapat enam lorong yang ma sing-masingnya menuju entah ke mana. Keduanya diam di sana. Lihat Satya, di ujung lorong itu terdapat cahaya biru. Memang terdapat cahaya biru di ujung lorong itu, dan menjanjikan sebuah pemandangan indah di baliknya.
Seperti pintu surga, kata Maneka. Tapi jangan ke sana, ujar Satya. Di ujung lain kemudian terdengar suara. Satya ... Maneka ....
Mereka terkesiap. Kau dengar itu, Satya" Ya, tapi jangan ke sana.
Maneka mendengarkan baik-baik suara yang memanggil-manggil itu. Mengingatkannya kepada Sarita.
Maneka melangkah ke sana. Itu Sarita!
Satya mencekal tangannya.
Jangan ke sana, Maneka, nanti kamu celaka. Kenapa"
Sarita tidak mengenalku. Itu pasti Sarita yang semu. Maneka tertegun, ia memang tidak sempat berpikir panjang, betapa banyak teka-teki di gua ini.
Di antara enam lorong gua, hanya satu yang tetap gelap, dan bahkan berbau busuk. Lima lorong yang lain seperti menjanjikan sesuatu yang me nye nangkan di ujungnya.
Lihatlah semua itu, Satya, semuanya menggoda kita .... Bahkan salah satu lorong itu memperlihatkan pedati dan sapi Benggala mereka, tapi dengan wujud yang begitu mewah ti dak pernah terbayangkan. Pedati itu menjadi pedati kencana ke emasan yang berkilau-kilauan, sedangkan sapi Benggala itu di penuhi perhiasan intan berlian ratna mutu manikam yang ber ca haya gemerlapan. Mereka terpesona, tapi menahan diri, ka re na tahu pasti sapi Benggala dan pedatinya sekarang ini ada di dekat gubuk kusam.
Kemudian terdengar juga suara orang berpesta, ada musik, dan orang tertawa-tawa, barangkali mereka menari-nari. Maneka yang selalu ingin tahu telah melangkah.
Menengok saja, katanya. Jangan, nanti kamu hilang selama-lamanya. Maneka pun tersadar.
Lantas giliran Satya yang sangat tergoda ketika di ujung salah satu lorong itu terlihat dinding yang penuh tumpukan kitab.
Kitab! Satya bahkan mau berlari, kini Maneka mencekal ujung rompinya. Jangan! Itu hanya semu!
Sebentar kemudian, tumpukan kitab itu lenyap, seperti meleleh dan hilang, menyisakan suara-suara raungan yang serak dari balik kegelapan.
Mereka berdua menyusuri lorong menuju ke ujung yang paling membuat enggan manusia untuk mendatanginya, karena baunya yang busuk luar biasa. Satya dan Maneka membebat hidung mereka dengan kain, dan bergandengan tangan menuju ujung gua, yang ternyata seperti tidak ada ujungnya.
Dalam kegelapan, Satya dan Maneka merasakan sesuatu bergerak-gerak di antara kaki mereka, diiringi bunyi desis yang membuat pernapasan jadi pengap. Mereka tidak bisa melihat apa-apa, tapi keduanya saling mengerti makhluk apa yang kenyal dan jumlahnya banyak sekali di lantai gua itu: ular!
Jangan bicara, biarkan saja, ini juga semu, ujar Satya. Desis itu kemudian juga hilang. Mereka dicengkam kegelap an yang pekat, tapi tetap bergandengan.
Satya, kita kembali saja, apa yang kita cari di sini" Coba dengar, kata Satya.
Terdengar suara seruling itu, kini semakin jelas, seolah-olah hanya bebe rapa langkah di depan mereka. Gua itu kini menetes-neteskan air dan bau busuknya hilang sama sekali.
Mereka berjalan terus menyusuri kegelapan, dan keduanya masih terus bergandengan. Sampai tiba-tiba bumi yang mereka injak hilang lenyap sama sekali, membuat mereka melayang-layang dalam kegelapan dengan deras. Tangan mereka yang bergan dengan lepas!
Satyaaaa!!! Manekaaa!! Kegelapan yang dalam, kegelapan yang panjang. Ke manakah kira nya semua ini menuju" Kemudian dalam kepekatan tiada terkira, keduanya merasakan arus jatuhnya menjadi lambat, dan ternyata bahwa keduanya telah menjadi ringan dan mela yang-layang seperti balon, dan mendarat dengan empuk sekali di sebuah dataran yang dari kegelapan perlahan-lahan menjadi terang seperti terbitnya fajar.
Mereka saling berpandangan dan belum bisa berbicara. Me reka berada di sebuah dataran yang hijau sekali dengan suara seruling yang menjadi semakin memukau.
Mereka menengok, dan melihat seorang perempuan meniup seruling itu di atas sebuah batu. Mereka berada di tengah lembah hijau yang tertata bagaikan sebuah taman raksasa yang hanya diperuntukkan bagi mereka berdua sahaja.
Satya dan Maneka mendekati perempuan yang meniup seruling itu. Ia dibalut oleh busana serba putih, dengan rambut disanggul ke atas berpita
putih, meniup serulingnya dengan mata memandang tajam kepada mereka berdua, sehingga keduanya bertanya kepada diri mereka sendiri, adakah sesuatu yang kiranya salah"
Perempuan itu meletakkan serulingnya ke pangkuan, dan ternyata bahwa suara seruling itu tidak pernah terputus. Suara seruling itu tetap terdengar. Satya dan Maneka ternganga, pe rempuan yang anggun itu melambaikan tangannya, meminta keduanya mendekat.
Kemarilah kalian, selamat datang di Lembah Pintu Naga. Lembah Pintu Naga" Satya dan Maneka berpandangan. Apa kah mereka sudah mati" Ataukah mereka berada di sebuah tempat yang sebetulnya tidak ada di dunia, sehingga siapa pun yang tiba di tempat ini dengan sendirinya hilang dari dunia"
Keduanya masih tertegun ketika perempuan itu berkata. Kemarilah, akulah lelaki beserban yang mengundang kalian ke sini. Keduanya tidak bisa berkata-kata.
Dengarlah ceritaku, katanya. Masih diiringi suara seruling, ia pun bercerita.
Nyawaku langsung melayang setelah panah itu menembus punggung dan merobek jantungku. Pada saat membubung aku berontak karena tidak rela. Panah itu tidak pernah jelas dilepaskan oleh siapa, bahkan sebagai roh yang melayang-layang aku tak bisa mengetahuinya. Apakah bukan manusia yang membunuhku" Aku marah sekali dan melejit mencari tubuh yang kosong, dalam waktu tiga detik aku telah mengelilingi bumi selama tujuh kali, dan tiba-tiba aku memasuki tubuh perempuan ini, yang mati membunuh dirinya dengan suatu teknik pernapasan karena sudah bosan hidup. Aku bangkit di dalam tubuh yang masih segar, tapi ternyata tubuh ini tidak bisa hidup di luar Lembah Pintu Naga. Aku segera melejit dan memasuki tubuh lamaku yang ternyata masih terapung-apung bersama batang pohon yang hanyut de ngan punggung yang tertancap itu. Ajaib, tubuh yang melejitkan nyawaku itu bisa berfungsi kembali. Masalahnya, panahku itu tidak bisa dicabut. Aku berjalan ke mana-mana dengan panah di punggung itu, menarik perhatian orang banyak. Sampai suatu ketika seorang tua mendekatiku. Aku bisa mencabut panah itu tanpa membunuhmu, katanya, tapi aku akan minta engkau melakukan sesuatu
untukku. Ia minta agar aku memelihara ular nya dan menyerahkan seruling untuk menarikan ular itu. Aku menyetujuinya dan ia melepaskan panah itu dengan gosokan ba tu cincin.
Begitulah aku menjadi pengembara dari kota ke kota, di setiap kota ku mainkan seruling dan ular kobra itu berlenggak-lenggok. Aku telah menjadi seorang pengamen. Masalahnya, aku sudah terlanjur mempunyai dua tubuh sekarang, karena ketika nyawaku meninggalkan tubuh perempuan itu tidak terdapat penyebab kematian apa pun. Aku hidup antara dua tubuh, dan di dalam tubuh perempuan itu aku menjadi seorang pendendam. Menurut yang empunya cerita, dendam kepada kehidupan yang aku sendiri tak jelas ke napa itu, hanya bisa dihapus jika aku bertemu dengan seseorang yang akan bisa melihat dua ujudku. Waktu kalian mengenali aku, aku tahu dendam itu akan terhapus, dan semenjak saat ini Lembah Pintu Naga tidak akan menelan korban lagi. Nanti kalian akan pergi dari sini tanpa harus melewati lorong gua yang panjang itu, hanya saja tempat ini tetap saja tidak akan kelihatan oleh mata manusia. Hanya kalian berdualah yang pernah mengalami keberadaan tempat ini. Setelah ini aku akan moksa, karena waktu hidupku sudah berakhir. Aku berterima kasih atas semangat dan ketabahan kalian mencari tempat ini, karena tanpa hal itu aku tetap hidup dalam dunia. Kami berdua, perempuan berbusana putih yang selalu bermain seruling dan lelaki beserban yang meniup seruling untuk menarikan ular kobra akan moksa bersama. Selamat tinggal kalian berdua, dan terimalah hadiah terima kasihku.
Perempuan berbusana serba putih, bersepatu putih, dan berpita putih itu moksa, tetapi suara seruling tetap terdengar saja. Di batu tempat duduk nya terlihat sebuah kitab. Mereka menda tanginya, dan keduanya terpana. Di sampul kitab itu tertulis:
Kitab Omong Kosong Bagian Empat: Mengadakan Dunia
mengadakan Dunia itab Omong Kosong Bagian Pertama menjelaskan tentang dunia sebagai adanya dunia. Penjelasan berlangsung seperti manusia meng urai buah kelapa, yang memisah kan sabut dari tempurungnya, memisahkan tempurung dari dagingnya, dan daging dari airnya. Air kelapa yang kesegarannya meneduhkan perasaan dipecahkan lagi menjadi istilah-istilah yang memisahkan bagian yang satu dengan yang lain. Itulah caranya dunia dimengerti dalam penjabaran Bagian Pertama: Dunia Sebagai Adanya Dunia, sehingga segala hal yang tercatat, mulai dari umur pohon kelapa dan berapa buah kelapa akan dihasilkan oleh pohon itu bisa menghasilkan kesimpulan menyeluruh yang tepat. Kitab Omong Kosong Bagian Kedua: Dunia Seperti dipandang Manusia memberikan penyadaran bahwa seluruh pencapaian Bagian Pertama hanya berlaku dalam sudut pandang manusia, artinya tanpa manusia yang berkesadaran, dunia ini tidak mung kin ada. Tanpa pandangan manusia tidak ada pohon kelapa, tidak ada nyiur melambai di pantai yang sunyi, karena kesunyian hanya bisa dihadirkan ke dalam kesadaran oleh manusia.
Kedua pandangan yang tidak bertemu dan tidak bisa dibuktikan, apakah dunia ada dalam dirinya sendiri atau manusia meng adakan dunia, diandaikan sebagai kesibukan mencari kebenaran yang tidak mungkin tercapai. Kitab Omong Kosong Bagian Tiga: Dunia yang Tidak Ada, menyatakannya sebagai kemustahilan besar, karena manusia pada dasarnya berada di dalam dunia yang digambarkannya. Bagaimana mungkin manusia
mampu menggambarkan du nia, kalau tidak mampu keluar dari dunia yang digambarkannya" Maka dikatakan bahwa manusia hanya bisa mempertimbangkan cara-cara penggambaran itu, dan bukan apakah gambaran itu benar atau tidak, karena penggambaran itu semua toh hanya dilakukan dari sudut pandang manusia. Namun, demikianlah Bagian Tiga menuntaskan, dengan pemahaman bahwa angka, huruf, dan bahasa itu hanyalah penggambaran du nia dan bukan dunia itu sendiri, maka sebetulnya dunia yang dipahami manusia itu tidak ada.
Kitab Omong Kosong Bagian Empat berbicara tentang ba gaimana meng adakan kembali dunia, bagaimanakah caranya dunia bisa ada" Jika Bagian Tiga telah berhasil mementahkan semua hal, apakah kehidupan tidak bisa di lanjutkan karena dunia tidak ada" Karena manusia selalu memandang masa depan sebagai keberadaan terpenting dalam hidupnya, maka adalah menjadi tugas manusia agar kehidupan ini mempunyai makna, dengan cara yang tidak bisa lain adalah membuat dunia ini kembali ada. Dalam Bagian Empat tidak dipersoalkan lagi bagaimana dunia bisa benar, dan tidak diperdebatkan lagi betapa dunia yang hanya digambarkan sebetulnya bukan dunia, yang dipentingkan ada lah nilai guna. Bagaimanakah kehidupan ini bisa berguna" Bagaimanakah dunia ini bisa ada" Dengan mengadakan kembali dunia melalui sudut pandang yang menilai segala sesuatu dari gunanya. Kalau tidak berguna, tidak ada dunia. Apa yang benar dan apa yang baik tidak dipersoalkan, berguna atau tidak berguna itulah soalnya, yang baik dan benar adalah yang berguna.
Berguna atau tidak berguna, itulah soalnya, ujar Satya di tepi air ter jun, sementara Maneka berenang-renang tanpa busana. Satya telah memaksanya untuk belajar berenang, dan dengan segera Maneka me nguasainya. Jadi, dengan perumpamaan pohon kelapa tadi bagaimana" Kita tidak peduli apa itu kelapa, dan kita tidak peduli apa kah perumusan kita tepat, kita hanya melihat bahwa batang kelapa bisa menjadi tiang rumah, sabut kelapa untuk pembakaran, tempurung kelapa untuk gayung, dan daging nya bisa diolah menjadi santan, sementara airnya menghilangkan haus. Kalau masih kurang, daun-daunnya bisa menjadi atap pondok, atau un tuk mainan anak-anak.
Tapi apakah kitab itu bicara tentang baik dan tidak baik, adil dan tidak adil, atau indah dan tidak indah"
Tidak, semuanya dilihat dari sudut berguna atau tidak berguna. Bagaimana jadinya dunia semacam itu"
Itulah soalnya. Bagaimana jadinya" Tapi pemikiran itu men jadi jalan pintas keruwetan yang terciptakan sebelumnya.
Jalan pintas, artinya tidak menyelesaikan persoalan. Sudah berapa abad persoalan ini diperdebatkan, kita tidak bisa menunggu.
Sebetulnya apa yang mengejar kita"
Maneka, pertanyaanmu itu akan membuat perdebatan diulang dari depan.
Kenapa" Karena itu seperti mempertanyakan untuk apa ada manusia di dunia.
Yah, jadi untuk apa ada manusia"
Satya memberi tanda menolak bicara. Ia tahu tidak pernah mudah men jawab Maneka, semakin hari pertanyaannya menja di semakin sulit saja. Maneka masih berenang tanpa busana, terlihat rajah kuda di punggungnya yang menggemparkan itu. Satya berusaha tidak melihatnya. Baginya semakin sulit untuk meng anggap Maneka sebagai kakak saja.
Kemudian Maneka naik dan mengambil kain untuk menutup tubuhnya.
Apa yang akan kita lakukan sekarang, Satya"
Aku akan mempelajari Bagian Empat ini sekali lagi, lantas mencari Bagian Lima.
Caranya" Pertama kali adalah keluar dari tempat ini. Apakah bisa"
Maneka, kamu lupa, hanya kita yang bisa keluar dari tem pat ini. Dari Lembah Pintu Naga itu mereka bisa melihat dua kam pung dengan seketika, karena memang berada di antaranya. Kini siapa pun akan bisa melewati tempat itu tanpa harus takut disambar maut.
Mereka keluar menembus tabir yang tidak tampak, menuju kampung para pencari madu untuk menjemput sapi Benggala dan pedatinya. Ketika melihatnya di depan pondok yang mereka sewa itu, terlihat pemandangan yang mengherankan.
Sapi Benggala itu terlihat seperti sapi yang ada di muka gua, tampak ge merlapan karena perhiasan intan berlian ratna mutu manikam, sedangkan pedatinya bercahaya cemerlang seperti pedati kencana yang berkilat ke emas-emasan. Bahkan genta di leher sapi Benggala yang selalu berbunyi kluntang-kluntung itu pun berkilat-kilat menyilaukan. Apa yang telah terjadi" Orang-orang menyambut kedatangan Satya dan Maneka.
Tuan, ke mana sajakah Tuan pergi" Tuan pergi sebulan lamanya, tetapi sejak hari pertama Tuan pergi, sapi Benggala itu menjadi aneh. Ia bisa berbicara seperti manusia.
Mereka berdua saling berpandangan. Berbicara seperti manusia"
Benar, Tuan, akibatnya banyak di antara kami yang me nyembahnya dan minta petunjuk.
Petunjuk apakah kiranya yang diminta itu"
Apa saja, termasuk cara membasmi penyebab malapetaka di Lembah Pintu Naga.
Satya termenung. Apabila manusia begitu tertindas, dan tidak bisa melawan, maka mereka hanya bisa melawan dengan pikiran. Namun tidak menjadi jelas antara pemikiran yang menjadi perlawanan atau pelarian.
Sapi ini betul-betul berbicara, Tuan, dan bila malam ia ter lihat terang benderang.
Maneka mendekati sapi Benggala itu, melepaskan perhiasan nya satu per satu.
Kita tidak bisa melakukan perjalanan dengan cara seperti ini, Satya. Mau diapakan perhiasan itu"
Kita bagi-bagi saja, kita juga tidak mendapatkannya dengan bekerja. Tidak baik memberikannya begitu saja.
Maneka berpikir cepat. Kita bayar mereka untuk mencari madu terbaik, dari lebah dan pohon yang terbaik, kita bawa semua madu itu, dan kita bisa menjualnya sebagai nafkah hidup kita untuk sementara.
Sapi Benggala itu tidak bisa berbicara lagi sekarang. Tapi ia mungkin memahami bahasa manusia, ujar Satya.
rembulan berlayar ibarat sampan, o mencari belut di kolong langit menanti fajar di cakrawala
perempuan melahirkan di bawah pohon, o!
Maka pedati itu merayap kembali meninggalkan Lembah Pintu Naga, dengan berguci-guci madu di dalamnya. Sepanjang perjalanan mereka menjual madu bermutu tinggi itu dengan har ga murah, tapi tetap cukup membiayai kehidupan sehari-hari. Kali ini mereka tidak menentukan arah perjalanan sama sekali, membiarkan nasib mereka dibawa oleh sapi Benggala dengan genta di lehernya yang berbunyi kluntang-kluntung itu. Pedati itu telah menjadi kusam kembali, mereka bisa mempreteli perhiasan di tubuh sapi, tapi tidak bisa membongkar pedati itu, sehingga mereka ganti saja dengan pedati lain. Pedati kencana yang tetap berkilauan itu menjadi monumen di tepi kali, dan tidak ada lagi yang bisa dilakukan setelah itu.
Sapi Benggala itu melangkah seperti biasa, dengan genta yang masih saja kluntang-kluntung. Satya yang menjadi sais sementara Maneka tidur, berpikir tentang sapi yang tadinya bisa berbicara itu. Mengapa tiba-tiba ia bisa berbicara" Satya tidak mengerti bagaimana keajaiban semacam itu masih bisa dipercaya. Apa perlunya sapi itu berbicara" Apa maknanya" Atau lebih tepatnya: apa gunanya" Apalah artinya ia bisa berbicara, dan artinya bisa berpikir, menyusun kata-kata dan pemikiran seperti manusia, jika ia tetap saja tidak bisa mengubah kesapiannya"
Satya mencoba mengerti, apakah artinya jika sapi mulai bisa berbicara dan manusia minta petunjuk serta menurutinya. Satya bertanya-tanya sekarang, apakah kiranya yang dipikirkan oleh sapi itu" Sapi itu berjalan seperti semua sapi lain. Barangkali semua ini memang hanya dongeng, pikir Satya, hanya cerita yang lewat begitu saja. Hanya mimpi. Hmm. Siapakah yang mengatakan itu" Di dalam tidurnya Maneka juga ternyata berpikir tentang sapi itu. Ia juga memikirkan di dalam mimpinya bagaimana sapi bisa berbicara dan bagaimana manusia tunduk kepada kata-katanya. Waktu terbangun ia langsung bicara.
Satya, kita memang tidak pernah memikirkan sapi itu. Memikirkan sapi"
Ya, kita tidak pernah memikirkan seandainya kita menjadi sapi itu misal nya, berjalan menyeret pedati mengelilingi seantero anak benua. Bukankah tidak sembarang sapi bisa melakukannya"
Satya melihat Maneka yang baru bangun tidur. Ia cantik seperti rembulan.
Kamu cantik seperti rembulan, katanya. Masih siang sudah bicara tentang rembulan. Maneka tidak menjawab, meskipun hatinya senang.
Di tengah padang, tampak pedati itu sendirian saja. Pedati yang berwarna kusam, di tengah luasnya kehijauan yang menghampar, dan angin yang bertiup kencang seperti ingin menerbangkan segalanya. Satya memandang ke depan, begitu luasnya padang ini, bagaikan tiada bertepi. Bagaimana kita bisa melewati cakrawala itu, pikirnya. Pedati itu merayap dan merayap, dalam hujan, dalam angin, siang dan malam. Mereka bermaksud mengikuti ke mana sapi Benggala itu melangkah, maka mereka hanya berhenti jika sapi itu berhenti, dan hanya berangkat jika sapi itu melangkah. Akibatnya mereka bisa berjalan berhari-hari tanpa henti dan sebaliknya berhenti berhari-hari di suatu tempat tanpa alasan yang jelas.


Kitab Omong Kosong Karya Seno Gumira Ajidarma di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Berbulan-bulan perjalanan berlangsung seperti itu, masuk kota, keluar kota, seperti menguji ketahanan mereka. Bisakah kita hidup tanpa kehendak, tanpa niat, tanpa tujuan" Namun mereka berdua ingin menuruti ke mana sapi itu melangkah.
Sampai tiba saat itu, ketika di hadapan mereka muncul ba latentara berkuda yang luar biasa besarnya. Sapi Benggala itu sampai berhenti. Pasukan yang sangat banyak itu mengalir turun dari bukit melewati mereka, tapi tidak mengganggu sama sekali. Pasukan itu bagaikan tersibak ketika mendekati pedati, seperti arus sungai di tonjolan batu. Satya dan Maneka bagaikan sebuah batu di tengah arus sungai. Balatentara yang mengalir itu tersi bak tanpa pernah menyentuhnya sama sekali. Mula-mula arus balatentara itu begitu gemuruh sehingga bagaikan menerbitkan gempa bumi, tetapi kemudian menjadi sunyi sama sekali. Mereka lewat seperti bayangan.
Satya memerhatikan pasukan berkuda itu, mereka tampak asing sama sekali. Mereka mengenakan baju tempur yang tidak dikenalnya, me reka adalah pasukan asing yang datang dari luar anak benua. Mereka
mengenakan baju yang terdiri dari jalinan mata rantai, sehingga pedang dan tombak tidak bisa menembusnya. Sebagian lagi melapis tubuh dan kepala mereka dengan besi. Dari manakah mereka datang" Tampaknya mereka menyerbu pada saat yang tepat, karena negeri-negeri anak benua sudah hancur oleh bencana Persembahan Kuda. Mestinya Ayodya menahan mereka, namun setelah Rama dan Laksmana moksa, siapakah yang bisa diandalkan memimpin pasukan" Barata dan Trugena, saudara-saudaranya, bukan titisan dewa. Balatentara asing yang tampak terlatih ini akan sangat mudah melumpuhkan mereka.
Mereka masih melalui Satya dan Maneka bagaikan arus su ngai yang tidak pernah selesai mengalir. Kuda-kuda mereka gagah dan perkasa, dan persenjataannya luar biasa berat. Setiap orang tidak hanya dilengkapi dengan pedang besar yang kedua sisinya luar biasa tajam, tombak, dan panah, tetapi juga de ngan kapak besar yang berat. Seolah-olah setiap orang mempunyai tenaga yang begitu besar dan keterampilan yang luar biasa untuk menggunakan semua itu. Balatentara itu mengalir dan mengalir, tetapi bagaimana suara gemuruh yang ditimbulkannya bisa hilang begitu rupa" Satya dan Maneka dalam pedatinya merasa bagaikan mengalir dalam sebuah perahu. Balatentara itu mengalir sampai habis. Setelah berjarak beberapa saat, baru kemudian suara itu terdengar kembali, menjauh dan menjauh.
Apakah kiranya yang akan terjadi" Negeri-negeri anak benua telah hancur peradabannya dan hanya menyisakan kekerasan, namun menghadapi serang an besar yang terencana dari luar diperlukan kemampuan organisasi, dan gerombolan-gerombol an bandit yang dilahirkan oleh masa kacau-balau ini tidak akan mampu melakukan hal itu. Negeri pecah dan musuh mengancam, siapakah yang akan mampu menahannya" Satya berpikir tentang Kitab Omong Kosong Bagian Empat yang baru saja ditemukannya. Barangkali bangsa yang menyerbu ini hanya berpikir tentang guna, sehingga justru memanfaatkan petaka negeri-negeri anak benua demi kepentingannya sendiri.
Tapi begitukah caranya dunia diadakan kembali"
Satya melihat betapa jalan pintas yang ditawarkan Bagian Empat itu me mang mengatasi perbincangan yang rumit sebelumnya. Dari perbincangan tentang keberadaan dunia antara Bagian Satu dan Bagian Dua,
penolakan atas kemungkinan mengetahui keberadaan dunia pada Bagian Tiga, kecuali memeriksa cara-cara penggambarannya, dan karena itu dunia yang tergambar se betulnya bukan dunia, sampai mengadakan kembali dunia dengan hanya menjalankan yang-berguna. Keberadaan dunia tidak selesai diperbincangkan, tetapi kehidupan manusia harus dilanjutkan.
Bergunakah sebuah peperangan" Satya tidak pernah mengerti bagai mana manusia bisa membenarkan peperangan, seandainya pun itu di anggap berguna. Tetapi ia tahu peperangan sering di lakukan bukan atas nama berguna atau tidak berguna, melainkan hal-hal lain yang tidak bisa dipegang atau dirasakan, meski bisa dipikirkan, seperti kehormatan.
Mereka yang bertempur demi kehormatan bergelimpangan di mana-mana sebagai korban. Peperangan selalu memakan korban, juga terhadap mereka yang tidak berperang. Bagaimanakah caranya dunia ini bisa berguna dengan peperangan" Satya berpikir keras untuk memahaminya. Kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan, bagaimanakah caranya menghentikan"
Jika masa depan manusia adalah juga pertempuran, masih bergunakah segala hal yang pernah dipikirkan"
Gemuruh balatentara itu semakin jauh. Satya teringat ba gai mana desanya disapu pasukan Ayodya, dan bagaimana keluarganya habis dengan seketika.
Segalanya menyedihkan ..., ia mendesah pelan.
Maneka seperti mengerti, dan tidak bertanya-tanya. Pedati mereka me rayap perlahan, mendung menggantung di langit siap menumpahkan hujan.
Namun Satya belum berhenti memikirkan, bahwa dalam Kitab Omong Ko song Bagian Keempat, Meng-ada-kan Dunia bukanlah hanya berbicara ten tang yang-berguna atau yang-takberguna dalam kehidupan sehari-hari sahaja, melainkan betapa pilihan atas yang-berguna kemudian menentukan keber-ada-an dunia. <"
Kepergian Walmiki apal yang ditumpangi Walmiki telah berlayar selama berminggu-minggu, namun Walmiki sendiri tidak pernah tahu ke mana kapal itu akan menuju. Pada minggu pertama kapal itu diserang oleh kapal ba jak laut yang berbendera hitam dengan gambar tengkorak tulang bersilang. Dengan gagah berani para awak kapal dan penumpangnya membela diri, dan akhirnya bahkan bisa mengalahkan para bajak laut itu. Pemimpin bajak laut yang sebelah kakinya berkaki kayu, sebelah tangan buntung yang diganti senjata pengait dan topi kaptennya berwarna hitam itu terbunuh dan tenggelam bersama kapalnya yang terbakar.
Dalam pertempuran di atas kapal itu Walmiki terpaksa mem pertahankan diri dari berbagai serangan dengan tongkatnya, yang berputar ke sana kemari seperti ular mematuk mangsanya. Walmiki yang telah mengembara ke seluruh anak benua semenjak muda, menguasai ilmu beladiri dengan baik meski memang sangat jarang menggunakannya. Tetapi itu tidak berarti Walmiki tidak pernah terlibat dalam pertempuran. Tukang cerita itu berangkat mengembara semenjak usia 21 tahun, dan setelah 50 tahun me ngembara tentu sudah banyak peristiwa yang dialaminya. Ia pernah bergabung dengan pasukan sebuah desa yang menyerbu gerombolan bandit di pegunungan; ia pernah membela diri dari ancaman seorang pembunuh bersenjata pisau terbang sampai terpaksa membunuhnya, dengan menangkap dan mengembalikan pisau-pisau yang beterbangan mendadak tengah malam; pernah pula ikut berjuang membela tanah
airnya dari serangan para pen jajah asing yang datang dengan kapal-kapal bersenjatakan meriam. Pada usia 71 tahun, tukang cerita itu masih sehat dan ter nyata masih mampu bergerak lincah mempertahankan diri dari serangan para bajak laut yang berlompatan di atas kapal.
Di tengah kekalutan perkelahian Walmiki masih sempat memerha tikan, betapa para bajak laut itu terdiri dari berbagai kebangsaan. Ia telah diserang oleh seorang kulit putih berambut panjang warna pirang yang gigi depannya ompong dan mengikat kepalanya dengan kain merah bertotol-totol putih, seorang kulit hitam yang mengenakan rompi kulit dengan anting-anting besar di kedua telinganya dan bersenjatakan pedang melengkung yang panjang, seorang kulit kuning yang mampu melompat ringan di atas tali dan tiang layar dan menyerbunya dari udara dengan berjumpalitan menggunakan sebilah pedang lurus yang penuh kelenturan. Para bajak laut menjadi contoh terbaik kesetaraan antarbangsa dan kesetaraan antarkasta yang segalanya lebur dalam cara berpikir mereka yang mengatasi segala perbedaan.
Walmiki telah terpaksa menangkis serangan panah-panah api yang dilepas dari kapal bajak laut itu, yang untungnya tidak sempat menjadi kebakaran. Sempat terjadi sebuah layar kapal itu menyala karena api, tetapi seorang anak kapal yang gagah berani berhasil memadamkannya dengan segera karena me robek bagian layar yang terbakar itu sembari bergelantungan pada tali, meski kemudian tewas oleh tembakan. Pistol banyak digunakan dalam pertempuran di atas kapal itu, dan bau mesiu mengingatkannya kepada pengalamannya di waktu muda ketika membela tanah airnya dari serbuan para penjajah asing ke pedalaman. Walmiki baru tersadar, dalam perjalanannya ia telah tiba pada waktu lain.
Ia harus mengakui bahwa senjata-senjata asing itu mempu nyai ke ajaiban yang nyata, ketimbang berbagai macam ajian dan ilmu sakti tokoh-tokoh ceri tanya yang serba dahsyat, namun ha nya merupakan bunga-bunga khayalan yang tidak bisa dinyatakan ke dalam dunia. Sering kali Walmiki berpikir betapa pencapaian orang-orang asing itu memang pernah dibayangkannya, tapi tak pernah ia bayangkan akan bisa menjadi sesuatu yang nyata. Semuanya dimulai dari khayalan, selanjutnya adalah usaha mewujudkan.
Tetapi bangsa kami telah kehilangan semuanya, kata Walmiki kepada seorang pengembara lain seusai serangan bajak laut itu, khayalannya
miskin, dan perjuangan pemikiran untuk mewujudkannya tidak ada sama sekali.
Hanya mereka yang berani menembus keadaan itu akan menjadi berguna, pikirnya pula, tetapi mereka yang agak berbeda dalam masyarakat tanpa kemampuan melihat sesuatu yang baru segera disingkirkan. Dalam pengembaraannya Walmiki telah menyaksikan bagaimana orang-orang yang berpikir dituduh me racuni masyarakat dan dibakar, orang-orang yang berani berbicara terbuka di pasar dan di alun-alun segera ditangkap, dipenjarakan, dan dihukum mati, sementara perempuan-perempuan yang berani berbicara lantang tentang banyak hal yang patut dipertanyakan, segera diitnah sebagai tukang tenung dan akhirnya juga dibakar. Walmiki melihat bagaimana kekuasaan bisa menjadi sangat menindas tetapi sekaligus juga begitu rapuh. Ia telah menyaksikan bagaimana suatu balatentara yang dahsyat bisa menguasai suatu wilayah yang luar biasa luasnya dalam waktu singkat, tetapi dengan pasti, cepat atau lambat, akan kehilangan kekuasaan itu.
Tukang cerita itu sudah berusaha mengungkapkan kembali semuanya agar banyak orang mengambil pelajaran, berpikir dan merenung, sehingga dunia menjadi damai sebagai tempat hidup bersama setiap orang, namun yang dilihatnya hanyalah korban kebuasan manusia yang satu kepada manusia lain yang bergelimpangan sepanjang jalan. Bagaimana mungkin makhluk yang berpikir bisa melakukan pembantaian dengan kesadaran. Kini di masa tuanya ia masih mengalami lagi pertempuran, berlangsung di tengah laut, jauh dari peradaban.
Ketika dilihatnya bagaimana kapal bajak laut yang perkasa itu tenggelam karena tembakan meriam kapal yang ditum panginya, ia melihat bagaimana para bajak laut itu melompat dan terapung-apung di lautan yang dingin karena sekoci tidak sempat diturunkan. Tidak ada sesuatu pun yang ajaib yang bisa menyelamatkan mereka. Tidak Walmiki, tidak juga penulis cerita ini. Ketika Walmiki melihatnya ia berpikir tentang keluarga atau kekasih mereka di berba gai tempat yang jauh. Apakah mereka menanti atau tidak menanti" Apakah mereka berjanji atau tidak berjanji" Para bajak laut itu datang dari berbagai tempat dan berkumpul bukan terutama karena kesamaan kepentingan, mela inkan karena kesetiaka wanan antara sesama warga masyarakat yang telantar dan terbuang. Banyak
di antaranya berangkat bersama kapal yang mengangkat sauh itu bukan karena niat untuk membajak, melainkan karena ikatan batin yang tidak terpisahkan antara mereka, meskipun berasal dari berbagai bangsa yang berbeda dengan bermacam-macam bahasa.
Mereka semua sudah tenggelam dan tewas sesuai dengan perjanjian kepada risiko yang siap ditempuhnya. Walmiki melihat ke sekeliling kapal, dilihatnya kapten kapal yang beserban itu tersenyum kepadanya. Terima kasih telah membela kapal ini, katanya.
Walmiki memandang kepada kapten kapal yang beserban itu. Ia tidak mengerti arti senyuman tersebut. Namun kali ini ia tidak mencoba memikirkannya.
Wayang kapal terlihat di layar, o Menjauh dan menghilang di lautan Sang dalang terlihat di dalam kapal Dimainkan dalang di luar semesta, o!
Berbulan-bulan kemudian kapal itu masih terus berlayar dan berlayar. Ia tidak pernah berhenti di pulau mana pun karena tidak pernah menemuinya dan tidak pernah menyaksikan kota-kota besar di dunia yang dahsyat namun tetap mengikuti pelayaran, sedangkan kapal ini berlayar tanpa tujuan kecuali menuju tempat-tempat mana pun yang belum mengenal peradaban. Dari bulan ke bulan penumpangnya semakin berkurang, dari bulan ke bulan awak kapal mengundurkan diri dan turun di berbagai kepulauan.
Suatu ketika kapal itu melalui sebuah pulau terpencil, dan kapten kapal itu menurunkan sebuah sekoci.
Orang tua, katanya, kita tinggal berdua di kapal ini, tapi aku akan turun di sini. Kalau engkau meneruskan perjalanan, berarti engkau hanya sendirian.
Turunlah, kata Walmiki, aku akan meneruskan perja lanan. Dilihatnya sekoci itu didayung menuju pulau terpencil. Apakah yang akan dilakukan kapten kapal beserban itu di situ" Walmiki tidak akan pernah mengetahuinya. Siapa pun tidak akan pernah mengetahuinya. Bahkan penulis cerita ini pun tidak akan pernah mengetahuinya.
Angin bertiup dan kapal itu bergerak sendiri, layarnya terbentang lebar sehingga kapal itu melaju seperti digerakkan oleh tangan yang tidak kelihatan. Walmiki berjalan-jalan di atas kapal sendirian. Sejauh dan se luas mata memandang tidak dilihatnya sesuatu pun yang tampak seperti daratan.
Kapal itu kemudian ditelan kabut. Berjam-jam lamanya ditelan kabut. Ia kemudian duduk saja, dan teringat Tambak Si tu Bandalayu yang diba ngun untuk menyeberang ke Alengka. Mengapa mereka tidak menggunakan kapal saja waktu itu, pikirnya, barangkali karena aku tidak akrab dengan kapal laut. Masalah-masalah penyeberangan dipecahkan dengan terbang, seperti pada Hanuman, atau membangun tambak itu. Kalau menggunakan kapal, berapa kapal digunakan untuk menyebe rangkan berjuta-juta wanara" Tapi kalau menggunakan kapal, tentu lebih mudah lagi musuh melakukan penyabotan, dan para wanara lebih mudah dimusnahkan.
Walmiki tersenyum, tiada kapal dalam Ramayana, dan tidak perlu. Ia tidak tahu apa-apa tentang kapal. Ini pertama kalinya ia keluar dari anak benua, pertama kalinya menjadi penumpang kapal, dan sepertinya tidak akan pernah kembali. Kapalnya kini ditelan kabut, bagai memasuki dunia yang tidak ada. Kabut se perti hidup dan bergerak menelannya perlahan-lahan. Pergerakan sa ngat kentara, meski Walmiki bahkan tidak bisa melihat permu kaan, karena kabut berpendar dan memekat lagi bergantian. Tidak ada siapa pun lagi di kapal itu selain Walmiki. Ia sendiri merasa heran kenapa bisa tinggal sendirian seperti ini, meskipun sebetulnya ia bisa saja turun di berbagai kota yang telah disinggahi.
Ia berpikir, usianya sudah 71, apa lagi yang dicarinya dalam hidup ini" Tetapi banyak orang hidup dengan pikiran jernih sampai 80 tahun, bahkan 90 tahun, kenapa ia yang baru 71 tahun seperti sudah bosan hidup" Aku tidak bosan hidup, jawabnya sendiri, aku juga tidak ingin mati, meskipun memang berta nya-tanya apa yang dicarinya dalam hidup ini"
Ia teringat pengalaman Trijata yang menyeberangi laut de ngan menunggang kura-kura raksasa. Trijata berpapasan dengan kapal-kapal. Si apakah yang mengadakan kapal-kapal ke dalam Ramayana" Ia tak tahu, Ramayana tiba-tiba saja berubah. Terjadi banyak peristiwa yang berada di luar kekuasaannya, meskipun ia sendirilah pembawa cerita Ramayana yang pertama, yang telah me nyatukannya dari berbagai macam cerita, kemudian menggubahnya kembali.
Setahunya, Trijata menyeberang lautan karena cinta, ia melaksanakan tugas yang diberikannya kepada dirinya sendiri demi Dewi Sinta, tetapi juga karena terlanjur jatuh cinta kepada Hanuman. Apakah yang kini diinginkan Walmiki dengan mengarungi lautan begitu lama" Apakah ia tidak ingin kembali membawakan cerita"
Kapalnya semakin masuk ke dalam kabut, seperti tidak akan pernah ke luar lagi. Walmiki tidak akan pernah mendengar teriakan-teriakan para roh di sebuah dimensi.
Walmiki, tukang cerita itu, menuju ke tempat kita! Kapal itu ditelan kabut, dan tidak kelihatan lagi. Permukaan laut tampak hijau tua dan langit begitu mendung, sementara angin yang bertiup perla han-lahan. Tidak kelihatan seekor ikan pun di permukaan. Tidak ikan hiu, tidak ikan lumba-lumba, tidak ikan terbang, tidak pula ikan paus. Lautan sungguh sunyi, tetapi suara angin jelas sekali, dan kecipak ombak yang saling bercakap seperti mendesis dan berbisik.
Di kapal, Walmiki juga mendengar suara-suara itu, tetapi tidak melihat apa-apa. Ia hanya melihat kabut yang bahkan membuatnya tidak bisa melihat pagar di kapal. Ia bisa melihat lantai kapal, ia bisa melihat tangannya sendiri, tapi selebihnya tidak kelihatan lagi. Udara begitu dingin, desir angin menggi gilkan. Ia teringat mereka semua yang pernah ditulisnya. Rama dan Laksmana, Sinta dan Trijata, Sugriwa dan Subali, lantas Prabu Somali. Ya, ya, ya, Prabu Somali dari Paleburgangsa, ayah Dewi Banondari, salah satu istri Rahwana, telah diminta anaknya menuntut bela.
Pasukan Goa Kiskenda yang baru saja beristirahat karena pe rang yang panjang harus berangkat kembali ke medan pertempuran, dan para raksasa Paleburgangsa dengan mudah mereka kalahkan. Tetapi tidak begitu dengan Prabu Somali, raksasa tua yang jenggotnya melambai-lambai itu tidak bisa ditundukkan, kalau saja tidak ada Wibisana. Pemilik Gambar Lopian itu meminta Hanuman menarik seluruh pasukan yang mengepung Prabu Somali, lantas memanggil Laksmana.
Lepaskanlah panahmu Laksmana, turunkanlah hujan, biarkanlah Prabu Somali kedinginan, saat itulah ajalnya akan tiba.
Setelah tiga hari tiga malam terus-menerus diguyur hujan, Prabu Somali mati di bawah pohon. Tubuhnya kaku kedinginan. Walmiki menghela napas, apakah ia akan mati seperti Prabu So mali" Udara makin lama makin
terasa dingin dan kabut tidak juga berpendar. Walmiki sudah tidak bisa melihat lantai kapal, juga tidak bisa lagi melihat tangannya sendiri, akan ke manakah ia pergi"
Walmiki membayangkan dirinya tidak akan bertemu manusia lagi. Apabila kabut berpendar, apakah kapal ini masih akan berada di lautan" Ia sudah tidak mendengar suara air yang tersibak kapal. Ia tidak mendengar apa-apa lagi yang mengingatkannya kepada manusia. Apakah ia masih akan berada di kapal ini"
Ia mencoba mempertahankan kesadarannya. Mengingat Hanuman yang turun dari langit pada suatu pagi ketika ia sedang berjalan menyeberangi padang rumput. Hanuman yang berumur panjang, menghadap untuk pamit, mengundurkan diri dari cerita Walmiki.
Apakah yang akan kamu lakukan, Hanuman" Aku akan menulis riwayatku sendiri.
Memang itulah sebabnya para tokoh mengundurkan diri dari penceritaan, Walmiki sungguh sangat memaklumkan. Lagi pula, sangat banyak hal bisa di tulis oleh Hanuman. Lebih banyak dari yang bisa ditulis oleh Walmiki. Riwa yatnya yang sudah ditulis Walmiki saja sudah demikian seru, masih ditambah penulisan ulang para tukang cerita lain yang suka memberi tambahan, yang tidak jarang lantas memperlakukan Hanuman sebagai tokoh dari cerita-cerita yang sama sekali baru, sehingga dengan Ramayana seperti tidak ada hubungannya. Bukankah akan menarik jika Hanuman menceritakan semua itu dari ia punya sudut pandang" Walmiki tahu, tak ada penulis cerita sebaik Hanuman.
Ingatan itu melegakan Walmiki, ia memejamkan matanya, mencoba tidur.
Pada sebuah dermaga di sebuah pelabuhan yang sangat sepi, terlihat se orang perempuan berdiri dan menunggu. Ia menatap ke arah cakrawala se mentara mendung bergelayut siap menjadi hujan. Dari sebuah kedai di pelabuh an muncul seorang anak laki-laki yang berlari menuju ke arah perempuan itu.
Menunggu siapakah, Ibu" Menunggu ayahmu. Siapakah ayahku, Ibu"
Ayahmu, Nak, adalah tukang cerita bernama Walmiki. <"
Kitab Keheningan adu mereka tinggal beberapa guci. Mereka hanya berhenti apabila sapi Benggala itu berhenti, dan me reka hanya menjual madu itu ketika sedang berhenti. Tidak pernah jelas di mana dan berapa lama sapi itu akan berhenti dan karena itu Satya dan Maneka tidak pernah tahu kapan berguci-guci madu itu akan habis. Berbulan-bulan berlangsung keadaan seperti itu dan sapi Benggala itu berhenti di sembarang tempat kapan saja ia mau. Apabila ia berhenti di pasar maka de ngan mudah mereka tinggal membuka satu sisi pedati, dan ja dilah pedati itu kios penjual madu. Demikian pula apabila sapi itu berhenti di kaki lima, gerbang kota, atau di pos perhentian di luar kota. Tetapi kadang-kadang sapi itu berhenti begitu saja di bawah sebuah pohon, dan tidak ada lain yang bisa mereka lakukan selain mengeluarkan guci-guci madu itu dan menggelarnya seolah-olah tempat itu nantinya akan menjadi pasar.
Sering kali mereka begitu lama menanti pembeli, sampai berhari-hari dan mereka tetap berada di tempat itu saja karena sapi Benggala itu tidak menunjukkan tanda-tanda akan berangkat. Ada kalanya sapi itu menghilang entah ke mana, dan lebih dari seminggu mereka tidak tahu di mana sapi itu berada, sampai kemudian tiba-tiba muncul dan melenguh panjang sambil mengangkat kepala dan menggerak-gerakkan ekornya pertanda ingin segera pergi.
Pernah suatu kali mereka berhenti di tepi kali di sebuah lembah yang begitu sepinya sehingga mereka sungguh-sungguh ragu apakah akan ada
seorang pengembara saja yang akan melewati tempat itu. Namun ternyata bahwa tempat itu menjadi begitu ramai seperti pasar karena sungguh tidak mudah mendapatkan madu bermutu tinggi yang begitu murah dalam jumlah yang begitu banyak. Kemudian ketika pembeli sedang begitu ramai-ramainya sapi Benggala itu muncul dan melenguh dan menggerak-gerakkan ekornya sehingga ketika Satya dan Maneka mengangkut guci-guci madu mereka ke dalam gerobak, maka orang-orang itu menjadi marah.
Apa yang kalian lakukan" Kalian menjadi penjual madu namun ketika ada orang membelinya kalian sengaja pergi"
Maaf, Bu, sapi kami mengajak pergi. Sapi itu mengajak pergi"
Iya. Orang-orang melihat sapi yang manggut-manggut itu. Sapi itu"
Iya. He, Kawan-kawan, kata para penjual madu ini, sapi itu mengajak me reka pergi!
Sapi itu" Ya, sapi itu! Hahahaha! Hahahaha! Hahahaha! Hahahaha! Orang gila! Hahahaha! Hahahaha!
Pernah terjadi suatu ketika, orang-orang itu menjadi begitu marah, se hingga hampir saja mereka menangkap, menghajar, dan merajamnya. Namun, ketika merobek baju Maneka, dan mereka melihat rajah kuda di punggung Maneka itu, mereka semuanya berlari lintang pukang. Meskipun begitu Maneka tidak menjadi senang.
Apakah aku ini sumber bencana, Satya" Terkutuk selamanya karena di punggungku terdapat rajah kuda"
Satya hanya tersenyum, karena Maneka sudah tahu jawabnya.
Setelah berbulan-bulan hidup tanpa kepastian, sekarang madu mereka hanya tinggal beberapa guci.
Apakah akan kita berikan saja madu ini kepada orang, Satya" Supaya kita segera bebas darinya" Kalau madu ini habis kita masih tergantung kepada sapi itu, tapi tidak harus menjadi sibuk karena guci-guci madu. Satya tidak setuju.
Kita akan menjualnya, bukan karena kita butuh uang, tapi agar orang menghargai apa artinya bekerja. Kita menjual perhiasan intan berlian ratna mutu manikam untuk mendapatkan madu ini, dan kita melakukan perjalanan begitu jauh untuk sampai ke Lembah Pintu Naga sehingga mendapatkan perhiasan sapi yang cemerlang. Betapapun tingginya mutu madu ini, perhiasan itu jauh lebih tinggi nilainya, kita telah membelinya dengan harga sangat mahal, dan kita tidak pernah menjualnya dengan harga semahal itu. Orang harus bersyukur, di masa sulit seperti ini mendapat madu bermutu tinggi begitu banyak, dengan harga murah sekali.
Maka begitulah perjalanan mereka berlanjut. Siang dan malam sapi Benggala itu melewati hujan, siang dan malam sapi Benggala itu merayap sepanjang jalan. Tanpa disadari pedati itu akhirnya memasuki jalan pos kembali, tetapi bukan bagian yang pernah mereka lewati. Mereka kini berada di sebelah timur anak benua, merayap ke utara keluar masuk kota-kota kecil di sepanjang pantai. Di dalam pedati, Satya membuka kitab-kitabnya.
Hampir semua kemungkinan sudah diperbincangkan oleh empat bagian kitab ini, apakah yang masih mungkin dibicarakan dalam Bagian Lima"
Segalanya mungkin. Segalanya mungkin" Itu malah hanya pengantar untuk Ba gian Tiga. Padahal aku hanya main-main, Maneka tersenyum, meski ia tidak main-main.
Tapi, Segalanya Mungkin itu pembahasan yang sangat sungguh-sungguh tentang ilmu pengetahuan.
Kalau begitu tidak ada lagi.
Itulah masalahnya, kalau tidak ada lagi, kenapa masih ada Bagian Lima"
Pedati mereka melewati hutan bambu, hujan membuat segalanya kelabu.
Jadi setelah kebenaran tidak dicari, dan disadari pengetahuan yang mungkin hanyalah suatu gambaran, segala sesuatu yang dijalankan dipandang dari sudut pandang guna.
Apakah guna itu" Itulah masalahnya. Apakah guna itu" Maksudku, apakah tidak ada pembahasan lain selain guna" Satya tercenung, sampai ke mana penalaran bisa diikuti" Sebegitu jauh, ditemukannya jalan penalaran sudah membulat dan tidak bisa diteruskan lagi. Bangunan penalaran sebagai cita-cita sempurna sudah di hancurkan oleh penalaran itu sendiri, dengan membuang kata sempurna dan menerima dunia sebagaimana adanya. Cita-cita kesempurnaan di hancurkan sehingga semua hal dianggap setara dan sempurna dalam dirinya sendiri. Apa lagikah yang masih bisa digali dan dihancurkan lagi oleh penalaran" Apakah isi Kitab Omong Kosong Bagian Lima"
Mereka masih berada di hutan bambu, ketika di depan me reka terlihat seorang tua yang bersila di atas selembar daun raksasa. Sapi Benggala itu berhenti, Satya ternganga, daun raksasa itu mengambang sekitar lima meter di atas tanah dan di atasnya bersila seorang lelaki kurus yang sudah putih rambutnya. Hujan masih turun dengan deras, tetapi orang tua itu seperti terbuat dari lilin, sehingga meski air menimpanya ia tidak menjadi basah sama sekali. Air hujan menggerojok dari daun yang ditumpanginya. Orang tua itu mendorong air yang memenuhi daunnya, tapi karena hujan begitu deras air itu mengalir tiada habisnya.
Ah, kenapa selalu begini setiap kali pulang" Segala sesuatu selalu berle bihan. Hujan membuat basah. Duka meneteskan air mata. Huuuhhh! Manusia! Manusia!
Sapi Benggala itu melenguh di tengah hujan. Orang tua itu menoleh. Heh, apa kabar Andini" Kasihan sekali kamu, turun ke bumi sebagai sapi Benggala yang kurus. Apakah kamu sudah tahu rasanya menjadi sapi di bumi"
Sapi Benggala itu melenguh lagi. Satya berteriak kepadanya. Orang tua, dikau siapa" Kami mau lewat, sapi kami tidak boleh berhenti di sini.
Kenapa" Karena kami juga harus turun dan menjual madu kami se dangkan hujan ini deras sekali, tidak mungkin kami turun, me ngeluarkan guci-guci madu dan menunggu pembeli di tengah hutan bambu seperti ini.
Orang tua itu tertawa. Rambutnya yang putih dan panjang sampai ke bahu tidak basah sama sekali. Ia tidak berbaju, hanya mengenakan kancut se perti orang sadhu, tetapi seperti juga rambutnya, juga tidak terlihat basah. Kalian memang harus berhenti anak muda.
Kenapa" Karena aku akan membeli seluruh madu kalian.
Ah, itu bagus orang tua, apakah dikau membawa uang untuk membayarnya"
Orang tua itu tertawa lagi.
Aku tidak akan membayarnya dengan uang, wahai anak muda. Satya dan Maneka keningnya berkerenyit, dan bicara hampir bersamaan.
Tapi dengan apa" Orang tua itu tertawa lagi, kali ini panjang dan terbahak-b ahak. Itulah masalahnya anak muda, dengan apa" Jelas aku tidak punya apa-apa. Tidak punya uang, tidak pula barang berharga. Kalian lihat, aku hanya punya kancut yang kupakai, dan daun kendaraanku ini. Tapi aku ingin membeli seluruh sisa madu di dalam pedatimu.
Maneka yang pikirannya tajam menyela.
Orang tua, bagaimana kau tahu kami menjual madu" Kami tidak pernah melihat dirimu.
Pertanyaanmu bisa dimengerti anak manis, tapi siapakah kiranya yang tidak mendengar tentang Penjual Madu dari Lembah Pintu Naga" Kalian satu-satuya orang yang selamat melewatinya, mengapa aku harus tidak tahu" Kisah kalian telah diriwayatkan para tukang cerita di pasarpa sar. Mengapa aku harus tidak tahu"
Tapi .... Maneka tidak melanjutkan pertanyaannya. Ia sebetulnya ingin bertanya, kalau orang tua itu mendengarnya dari salah satu tukang cerita di sebuah pasar, apakah ia juga mendengarnya dari atas daun seperti itu" Namun orang tua itu rupanya bisa membaca pikiran. Kamu heran, Maneka"
Maneka menjadi lebih terkejut lagi.
Janganlah kamu terkejut Maneka, aku mendengarnya di sebuah pa sar, tetapi itu tidak berarti aku harus melayang-layang di pasar dengan daun ini.
Dikau turun orang tua"
Orang tua itu tertawa makin keras.
Sudahlah Maneka, tidak penting bagaimana aku tahu riwayat kalian, sekarang aku ingin membeli seluruh sisa madu di dalam guci-guci di pedatimu itu. Pertanyaannya adalah bagaimana caraku membayarnya"
Kalau dikau tidak punya uang, dan tidak punya barang berharga, meng apa dikau menginginkan madu ini orang tua"
Kini orang tua itu berwajah sungguh-sungguh.
Aku memerlukan madu itu, karena akan kujadikan sebuah danau. Satya ternganga, tapi Maneka berpikir keras.
Kalau dikau bisa menjadikan madu dalam guci ini sebuah danau, wahai orang tua, tentu dikau bisa membayar madu itu de ngan apa pun permintaan kami.
Orang tua itu tersenyum lebar.
Aku senang karena kau cerdas, Maneka, sekarang sebutkan apa yang ha rus kuberikan untuk membayar madu ini.
Maneka berpikir cepat, sementara Satya masih ternganga. Engkau bisa memberikan apa pun"
Gunung pun bisa kuberikan, tapi kalian hanya boleh meminta satu kali, karena aku juga hanya menginginkan madu itu.
Maneka bicara berbisik dengan Satya.
Mintalah Kitab Omong Kosong Bagian Lima, supaya kita tidak usah mencari-carinya lagi.
Apa tidak yang lain saja, dan kita tetap mencari kitab itu" Maneka marah.
Mau dicari ke mana" Kita menemukan bagian-bagian lain semuanya se cara kebetulan, dan kita tidak tahu berapa lama lagi akan harus menca rinya. Mintalah Bagian Lima itu, supaya kita segera bisa menggandakannya.
Orang tua di atas daun itu tersenyum melihat semua itu. Satya baru mau membuka mulutnya ketika ia menukas.
Kalian menghendaki Kitab Omong Kosong Bagian Lima sebagai pembayaran" Baik, kalian akan mendapatkannya, dan aku mendapat madu itu!
Orang tua, di atas daun itu melemparkan sesuatu yang me layang dan jatuh ke pangkuan Satya tanpa menjadi basah. Daun yang dikendarainya
kemudian mundur dan melayang ke angkasa, hilang lenyap, hanya meninggalkan hujan dan suara bambu yang bergesekan.
Satya dan Maneka masih berada di dalam pedati itu, dalam guyuran hujan di tengah hutan bambu, dengan perasaan aneh dan ajaib, sampai terdengar teriakan Satya yang marah setelah memeriksa kitab di pangkuannya itu.
Kita tertipu! Kitab itu tidak ada tulisannya.
Dasar tukang sihir! Untung belum sempat kita berikan guci-guci madu itu!
Sudah ..., kata Maneka perlahan.
Satya menengok ke dalam pedati, guci-guci madu itu sudah lenyap. Penipu! Lihat! Ini karena kamu, Maneka!
Sapi Benggala itu melenguh keras, dan tiba-tiba berjalan lagi. Sekarang kamu berjalan! Kalau kamu tidak berhenti aku tidak usah bicara dengan penipu itu! Andini! Andini! Kenapa dia panggil namamu Andini"
Pedati itu merayap lagi, sementara Satya terus-menerus mengungkapkan kemarahannya.
Maneka tampak tenang, dan mengambil kitab itu dari tangan Satya. Di lihat dan dibolak-baliknya kitab itu.
Satya, katanya kemudian, kitab ini asli. Di lembar judul terbaca tulisan:
Kitab Omong Kosong Bagian Lima: Kitab Keheningan
Huruf dan lembarannya sejenis dengan empat bagian yang lain, juga menggunakan daun lontar, bahkan pengikat lembar an-lembaran ini juga sama. Lihat, kitab bahannya sejenis dan dibuat dalam waktu yang sama dengan empat bagian yang lain.
Tapi kenapa tidak ada tulisannya" Itulah soalnya Satya, apa maksudnya" Maksudmu"
Kekosongan ini harus kau baca.
Maneka, kitab ini tidak ada hurufnya, bagaimana mungkin aku membaca sesuatu dari kitab ini!
Satya engkau sudah membaca perbincangan-perbincangan yang pa ling sulit, mengapa tidak menangkap pesan Kitab Omong Kosong ini" Apakah engkau bisa" Engkau pasti hebat sekali Maneka! Maneka tersenyum melihat Satya.
Apa kamu pikir bisa, membaca kitab yang sulit dengan cara ma rahmarah seperti itu, Satya"
Satya terdiam. Selama ini ia mengajari Maneka, mulai dari belajar be re nang, membaca, menulis, menguraikan makna-makna cerita dan memperkenalkan hampir segala macam pengetahuan, sekarang Maneka mengajari dan mengarah kannya. Perempuan itu pasti telah melakukan suatu pengkajian yang panjang.
Pedati itu akhirnya keluar dari hutan bambu, hujan telah berhenti, tapi hari telah menjadi malam. Sapi Benggala menyeret pedati di jalanan becek, menuju ke sebuah kota di tepi pantai.
Kita akan mencari penginapan di tepi pantai, Satya, kita sudah sangat lelah.
Andini kata orang tua itu" Kamu tahu artinya, Maneka" Satya, apakah engkau lupa" Itu kendaraan Batara Guru, Sang Siwa, raja segala dewa, penguasa tiga dunia.
Satya, manggut-manggut. Mengapa sekarang jadi kendaraan kita"
Kau dengar kata orang tua itu, mungkin ia sedang kena kutukan. Pantas kata para pencari madu ia bisa bicara, sampai disembah-sembah pula.
Mereka memasuki kota kecil yang penuh dengan nelayan. Ketika pedati itu merayap memasukinya, sebagian besar penduduknya sudah tidur, sehingga kota itu terasa sepi sekali. Di sebuah penginapan, mereka menyewa kamar yang jendelanya menghadap ke pantai. Penginapan itu penuh dengan tengkulak ikan dari kota lain, yang akan membeli ikan hasil tangkapan para nelayan. Mereka bermain judi di ruang tengah, sehingga su aranya ribut sekali. Tetapi Maneka langsung tertidur begitu memeluk bantal.
Satya, meskipun lelah, tidak bisa tidur. Kamar mereka berada di lantai atas, jadi ia pun keluar ke teras.
Terlihat lautan yang permukaannya berkeretap karena cahaya bulan purnama. Hanya lautan, sejauh-jauh mata memandang, samudera bercakrawala gemilang.
Ia teringat Kitab Omong Kosong Bagian Lima, Kitab Keheningan yang tidak berhuruf itu. Ia renungkan betapa Kitab Keheningan tidak bisa di bicarakan selain dijelmakan, kekosongan menantang penciptaan, kehidupan menjadi jalan pemahaman, dalam peng-alam-an manusia menuju pencerahan. Tanpa Kitab Keheningan, kebergunaan hanya mencapai langit-di-luar, bersama Kitab Keheningan kebergunaan menyatukan langit-di-luar dan langit-di-dalam jiwa, menjadikan yang-berguna sebagai yang-bermakna. Dalam pembermaknaan manusia mendunia, dalam pembermaknaan dunia memanusia. Makna menjadi kesegalaan dalam kemanusiaan, menjadi Mahamakna yang menentukan, dalam penjelajahan manusia yang mencari, sepanjang semesta kesunyian.
Seperti telah mengatasi suatu persoalan, Satya menarik napas sedalam-dalamnya, dan menghembuskannya dengan penuh rasa syukur dan kelegaan.
Semoga selamat manusia sepanjang waktu dan ruang, bisiknya di dalam hati, kepada dirinya sendiri, semoga selamat manusia, tercerahkan mencapai kebahagiaan.
Kitab Kosong menanti huruf Siapa sedang membaca semesta Dunia bagai sejuta cerita
Mengisi lembar kitab yang kosong, o!
hanuman seda anuman telah menyelesaikan sebuah kitab, tetapi tidak seorang pun tahu apa tulisannya. Ia menggunakan hu ruf dan bahasa manusia yang paling tua, sehingga bisa dipastikan tidak seorang pun dari masa kini dan masa depan akan bisa membacanya, tanpa kembali ke masa lalu. Hanuman menghabiskan waktu sepuluh tahun manusia untuk menulis kitab seribu lembar itu, yang dibaginya menjadi sepuluh bagian. Setiap bagian, yang terdiri dari seratus lembar diberi judul sendiri-sendiri, dan bisa dibaca tanpa harus diurutkan. Bisa dimulai dari depan atau dari belakang atau dari tengah, semuanya sama saja, karena Hanuman menulis dengan jalan pikiran yang berbeda sama sekali. Kitab itu dimasukkan ke dalam sebuah peti wasiat, dan peti itu hanya bisa dibuka oleh suatu mantra yang sudah tidak dikenal manusia lagi. Peti itu kemudian dilemparkannya ke angkasa dan tidak satu makhluk pun tahu ke mana peti itu akan jatuh. Tetapi konon peti itu jatuh kembali ke masa lalu.
Setelah menyelesaikan kitab itu Hanuman bersiap untuk mati. Sebelum mati ia menulis surat untuk Trijata yang sudah lama mati, kali ini dengan bahasa antarbangsa, dengan huruf yang dikenal umat manusia, sehingga siapa pun yang menemukannya akan bisa membacanya. Tidak jelas kenapa Hanuman menulis surat kepada seseorang yang sudah mati, bahkan jika masih hidup sudah bukan istrinya lagi. Surat itu ditulisnya di bawah cahaya lilin di dalam sebuah gua yang pernah dihuni segerombolan manusia purba. Tidak jelas pula apa isi surat itu karena sampai cerita ini
selesai tidak seorang pun pernah menemukannya. Setelah selesai ditulis, surat yang terbuat dari lembaran lontar itu dimasukkan ke sebuah kantong kulit, lantas diletakkan di atas meja batu.
Kemudian, kepada seekor bajing ia berkata dengan bahasa antarmakhluk, Aku akan pergi selama-lamanya, aku akan mati. Kumpulkan mereka semua di sini.
Di tempat itu kemudian berkumpul segala macam makhluk kecuali manusia. Menurut yang empunya cerita, makhluk-makhluk yang berkumpul itu sama dengan makhluk-makhluk yang diangkut oleh kapal raksasa Nabi Nuh. Dalam pertemuan itu Hanuman berbicara di puncak bukit, seperti berkhotbah, tetapi tidak satu manusia pun akan mengerti apa yang dikatakan Hanuman karena ia bicara dengan bahasa binatang, yang berarti menutup kemungkinan bagi manusia untuk mengetahuinya, di masa kini maupun masa yang akan datang.
Hanya diceritakan secara turun-temurun bahwa Hanuman dalam perte muan itu menangis karena kesedihan yang tam pak luar biasa, dengan cara menangis yang berbeda dengan ca ra menangis manusia. Diceritakan betapa ketika tiba saatnya me nangis Hanuman merebahkan diri di puncak bukit itu dan meraung dengan dahsyat. Betapa dahsyat raungan itu sehingga mega-mega buyar, langit terkuak, dan tepiannya terbakar oleh api yang menyala-nyala.
Segala makhluk tergetar dan kehilangan nyali tetapi tidak pernah pergi sampai mereka sendiri semuanya mati. Setelah meraung dengan sedih, marah, dan pedih berkali-kali, Hanuman pun mati.
Tempat itu tidak pernah ditemukan oleh manusia, tidak mungkin dan tidak akan pernah, dengan sengaja ataupun kebetulan. Tidak akan pernah.
Setelah mati tubuh Hanuman menyatu dengan tanah. Ia moksa tetapi tidak mau bersatu dengan dewa. Hanya senja yang langitnya kemerah-merahan menjadi saksi kematiannya. <"
akhir sebuah Cerita i tepi kali, seorang perempuan duduk menatap senja yang menjadi saksi kematian Hanuman. Itulah senja di balik hutan yang bergetar karena lidah-lidah api keemasan membakar langit, begitu cemerlang, namun tiada berdaya untuk bertahan.
Dari hutan itu muncul seorang lelaki dengan sekeranjang kayu bakar di bahunya. Ia menggandeng seorang anak kecil, yang segera melepaskan diri, dan berlari, dan akhirnya menjatuhkan diri ke pangkuan perempuan di tepi kali itu, yang punggungnya terbuka dan memperlihatkan rajah kuda berlari.
Ibu, ceritakanlah kepadaku tentang Kitab Omong Kosong, katanya. Maka, perempuan itu pun mulai bercerita .... <"
Pengakuan togog Saya, Togog, penulis cerita ini, mohon maaf kepada Pembaca yang Budiman, telah menghabiskan waktu Pembaca sekian lama
untuk mengikuti cerita ini. Saya, Togog, hanyalah tukang cerita yang bodoh
tidak diberkati para dewa. Saya, Togog, hanyalah orang terbuang
tidak disayang seperti Semar, memang tidak layak diperhatikan, buruk rupa, terlalu banyak bicara, banyak bohong, berpanjang-panjang mengarang cerita.
Mohon maaf, demi langit dan bumi, mohon maaf, telah menulis cerita yang buruk, tidak intelek, tidak mempunyai kedalaman, tidak menghibur, tidak ada gunanya,
hanya berkata yang tidak-tidak, mohon maaf untuk sepanjang zaman.
Barangkali kesaktian Empu Semar alias Badranaya telah membuat saya begini,
beliau tidak mau disaingi,
ingin menjadi satu-satunya yang dicintai. Sekali lagi mohon maaf untuk iri hati ini. Saya, Togog, penulis cerita ini, tahu diri betapa cerita ini tidak menarik,
dibuat dengan ngawur, tergesa-gesa, terkantuk-kantuk,
berlari dari kota ke kota, tanpa pernah mau belajar, ditulis tanpa perenungan, berpura-pura pintar, padahal tidak ada isinya sama sekali. Mohon maaf, sekali lagi, mohon maaf. Kalau saya mati mBilung anak saya jangan ikut disalahkan. Sudah cukuplah Togog membikin malu keluarga,
seisi desa, nusa dan bangsa, karena tidak mampu menulis cerita bermutu. Sangat ruwet susunannya, kacau penggambarannya, jelek bahasanya, miskin khayalannya,
tanpa kecerdasan sama sekali, tidak bisa dimengerti apa maunya,
tidak mendidik pula. Mohon maaf sudah berani-beraninya menulis cerita, banyak cerdik pandai cerdik cendekia di muka bumi
yang mampu menulis lebih dari sekadar cerita. Tolong sampaikan agar cerita ini tidak usah dibaca, karena membuang waktu, pikiran, dan tenaga.
Sungguh hanya suatu omong kosong belaka. Mohon maaf sekali lagi untuk permintaan tolong ini.
Maaf. Beribu-ribu kali mohon maaf.
Togog Jakarta-Yogyakarta-Bandung- Victoria, British Columbia, 2000 2001 / Edisi Pertama. Pondok Aren, Minggu, 29 Januari 2006, 09.35 / Edisi Kedua. Kampung Utan, Minggu, 31 Maret 2013, 09.48 / Edisi Ketiga.
sekadar bacaan Achadiati Ikram, Hikayat Sri Rama: Suntingan Naskah Disertai Te laah Ama nat
dan Struktur (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1980). Haryati Soebadio, Jnanasiddhanta (Jakarta: Penerbit Djambatan, 1985)
Terjemahan Dick Hartoko. I Gusti Made Widia, Ramayana (Denpasar: Penerbit BP, 1993). J. Kats, Het Javaansche Tooneel I: Wajang Poerwa (Weltevreden: Commissie
voor de Volkslectuur, 1923). J.H.C. Kern & W.H. Rassers, Civa dan Buddha (Jakarta: Penerbit Djambatan,
1982) Kata Pengantar Edi Sedyawati. Meechai hongtnep, Ramakien: he hai Ramayana (Bangkok: Naga Books,
1993). Mpu Tanakung, Siwaratrikalpa (The Hague: Martinus Nijhoff, 1969) Terjemahan A. Teeuw, h. P. Galestin, S.O. Robson, P.J. Worsley, P.J. Zoetmulder.
P. Lal, Ramayana (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1995) Terjemahan
Djokolelono. P.J. Zoetmulder, Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang (Jakarta:
Penerbit Djambatan, 1983) Terjemahan Dick Hartoko. R.A. Kosasih, Lahirnya Sri Rama & Dewi Sinta (Bandung: Penerbit Erlina, 1981).
R.A. Kosasih, Putra Rama (Bandung: Yayasan Karya Bhakti, 1983). R.A. Kosasih, Rama & Sinta (Bandung: Penerbit Erlina, 1975). R.A. Kosasih, Ramayana 1-3 (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2000). R.A. Kosasih, Lahirnya Rahwana (Jakarta: PT Elex Media Komputindo,
1999). S. Ardisoma & Hadis Sudarma, Wajang Purwa (Bandung: PT Melodi, 1966). Supomo Surjohudojo, Sastra Djendra Ngelmu jang Timbul Karena Kakograi dalam Nomor Persembahan Kepada Prof. Dr. R.M.Ng. Poerbatjaraka , Madjalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia, Jilid 2, Juni 1964, hlm. 177 186.
Pendekar Patung Emas 15 Wiro Sableng 029 Bencana Di Kuto Gede Cassie Mengundurkan Diri 1

Cari Blog Ini