Chapter 1 NAMAKU Cassie. Aku salah satu anggota Animorphs. Begitulah kami menyebut
diri kami. Tepatnya, itu istilah ciptaan Marco untuk nama kelompok
kami. Kalau aku sih, tidak terlalu pintar bermain kata-kata.
Aku sebenarnya ingin lebih pintar menggunakan kata. Sungguh.
Soalnya kisah yang harus kuceritakan ini terlalu aneh, dan di satu sisi
bahkan terlalu indah, hingga sulit bagiku untuk menceritakannya
dengan baik. Tapi aku akan berusaha sebaik-baiknya. Dan nanti, ketika aku
tak bisa meneruskan bercerita, Jake akan mengambil alih.
Ini yang pertama-tama harus kauketahui: Kita, makhluk Bumi,
tidak sendirian di jagat raya ini. Manusia hanyalah satu dari mungkin
ratusan spesies yang berakal. Ada tujuh atau delapan spesies yang
kukenal, spesies-spesies yang kulihat dengan mata kepalaku sendiri,
yaitu Manusia, Andalite, Yeerk, Hork-Bajir, Taxxon, Leeran, Gedd,
Chee. Dan jangan lupa Ellimist, yah, itu kalau mereka bisa disebut
spesies. Di antara spesies-spesies ini, Yeerk bergerak seperti virus.
Mereka makhluk parasit. Seperti cacing pita yang punya akal. Mereka
menyusupi tubuh makhluk lain, membungkus otaknya, dan kemudian
mengendalikan tubuh yang ditumpangi itu.
Mereka memegang kendali penuh. Makhluk malang yang telah
disusupi itu kehilangan seluruh kontrol atas dirinya sendiri. Ia
kehilangan semua privasinya. Ingatannya bagaikan setumpuk kaset
video yang bisa diputar oleh Yeerk yang menumpanginya kapan pun
Yeerk itu mau. Manusia yang sudah disusupi Yeerk seperti itu, kami sebut
Pengendali. Semua spesies Hork-Bajir telah dijadikan Pengendali. Ya,
nyaris semua. Begitu pula Taxxon. Dan Gedd.
Dan sekarang para Yeerk sedang mengincar manusia. Mereka
telah menyusupi tubuh manusia seperti virus. Seperti penyakit kanker.
Tanpa terlihat, tanpa memancing rasa curiga, mereka tumbuh,
menyebar, dan memperbudak....
Kurasa kalian akan menyebut mereka iblis. Aku sendiri
menganggapnya begitu. Bangsa iblis. Spesies iblis.
Dan kurasa kalian akan menganggap Andalite kebalikannya.
Kaum Andalite berperang melawan Yeerk. Seorang pangeran Andalite
yang gagah berani rela melanggar hukumnya sendiri dan memberi
kami kemampuan untuk metamorfosis. Hanya itulah senjata yang
kami miliki dalam menghadapi kaum Yeerk.
Inilah yang kuyakini: bahwa Yeerk itu jahat. Dan bahwa
kemampuan metamorfosis itulah satu-satunya yang kami punya.
Jadi mestinya aku senang bisa bertempur melawan Yeerk.
Mestinya aku senang mendapat kemampuan metamorfosis.
Mestinya aku senang....
Saat itu malam hari. Aku sedang jadi serigala. Aku berbalik
dengan kecepatan yang jauh melebihi kecepatan manusia. Dan aku
melihat cakar Hork-Bajir itu, cakar setajam mata pisau yang
ditebaskan ke arahku. Aku mengelak ke samping. Cakar itu mendarat di tanah di sampingku. Benar-benar nyaris.
Lebih ke kiri sedikit saja, cakar itu pasti sudah menyobek tubuhku
seperti kaleng sarden. Hork-Bajir itu kehilangan keseimbangan. Ia
oleng, menumpu tubuhnya dengan sebelah kaki. Otot-otot kakinya
bergetar. Uratnya menegang.
Aku balas menyerang. Kubuka rahangku lebar-lebar. Lalu
kutancapkan gigiku di atas otot dan urat-uratnya. Kukatupkan
rahangku dengan kekuatan serigala yang mengagumkan.
Kukibaskan kepalaku kuat-kuat, menyobek, mencabik-cabik,
berusaha menghancurkannya.
"Rrrrawwwr, raaawwrr, rrr!" geramku sambil terus menggigit.
Aku bergeser, menancapkan gigiku lebih dalam lagi, dan terus
mengibaskan kepala sambil menggerak-gerakkan bahuku untuk
merobek dan mencabik-cabik lebih dalam lagi.
Hork-Bajir itu menjerit kesakitan. Ia mencoba balas
menyerangku, tapi sekarang ia kehilangan keseimbangan. Ia
terjengkang ke belakang, akibat serangannya yang tak terkontrol itu.
Ia ambruk ke tanah. Suara jatuhnya begitu tajam dan jelas.
Pendengaran serigalaku yang sangat peka sampai menangkap detaildetailnya. Naluri
penciuman serigalaku mencatat hormon-hormon
panik, yaitu sejenis adrenalin Hork-Bajir yang membanjiri sistem
tubuhnya. Pendengaran serigalaku bahkan bisa mendengar jantungnya
yang berdebar keras seperti senapan mesin. Dan denyut cepat di urat
nadi besar di lehernya. Di sekelilingku, pertempuran berlangsung. Jake, pemimpin
kami, dalam morf harimau. Rachel dalam wujud gajah raksasa yang
mengamuk. Marco, seperti aku, jadi serigala. Tobias dalam wujud
aslinya, seekor elang, meluncur naik dan kemudian menukik,
menyambar-nyambar mata dan wajah. Dan Ax, si Andalite, ekornya
yang tajam bergerak-gerak seperti cambuk. Cambuk setajam mata
pisau. Kami sebenarnya sedang dalam misi pengintaian yang
sederhana. Ini adalah pertemuan The Sharing, organisasi samaran
untuk para Pengendali. Mereka sedang mengadakan pesta untuk
"anggota-anggota baru". Para anggota baru itu mengira mereka
bergabung dengan sejenis kelompok Pramuka. Mereka tidak tahu
sebentar lagi mereka akan diseret, mau atau tidak, supaya disusupi
oleh para Yeerk dan kemudian dijadikan budak.
Acaranya masak-masak di taman. Api unggun dinyalakan.
Orang-orang makan hotdog, selada, dan pai. Orang-orang dewasa
minum bir. Anak-anak minum Coke. Langit malam penuh bintang.
Kami menyelinap mendekati arena pertemuan dalam berbagai
morf. Kami telah mengenali selusin orang yang sebelumnya tak kami
tahu adalah Pengendali. Termasuk DJ radio yang membawakan acara
pagi yang heboh, polisi lalu lintas, reporter TV, guru pengganti yang
menjadi wali kelasku selama dua bulan sementara wali kelasku yang
sebenarnya cuti melahirkan.
Misi sederhana. Tidak berbahaya. Tapi semuanya malah kacau.
Jauh dari arena pesta bagi para anggota baru The Sharing, juga
diadakan pertemuan penting pimpinan kelompok itu. Tapi tiba-tiba
terjadi sesuatu. Salah satu Pengendali-Manusia agaknya telah
melakukan kesalahan. Kesalahan serius. Dan sekonyong-konyong
para prajurit Hork-Bajir sudah menyeretnya ke pesawat Bug Fighter.
Mereka akan membawanya ke Visser Three, pemimpin invasi
Yeerk di Bumi. Dan wanita Pengendali itu tahu apa artinya. Kalau beruntung, ia
akan mati cepat. Ia mulai menjerit-jerit.
"Tapi aku tidak melakukannya! Aku tidak melakukannya!
Kalian harus memberitahu Visser bahwa aku tak bersalah!"
Ketika itulah kami mengubah rencana kami. Ketika itulah kami
memutuskan untuk ikut campur. Soalnya, menurut kami, kalau kami
menyelamatkan wanita itu, Yeerk di kepalanya mungkin bersedia
bekerja sama dengan kami. Mungkin ia bersedia mengungkapkan
beberapa rahasia pada kami.
Lagi pula kami hanya melihat dua Hork-Bajir dan sekelompok
Pengendali-Manusia yang sama sekali tak bersenjata.
Jadi kami morf menjadi hewan-hewan yang garang, siap
bertarung. Saat itulah lima Hork-Bajir lain muncul. Kami bertempur.
Dan kayaknya kami bakal menang. "Aaaarrrggghhh!" Hork-Bajir itu
menjerit panik dan kesakitan.
Kaki Hork-Bajir itu benar-benar luka parah. Kulepaskan. Lalu
aku melompat menerkamnya. Ia menyerangku, tapi tubuhnya sudah
lemah. Ditambah penglihatannya dalam gelap tidak setajam aku.
Aku melihat lehernya, yang tidak terlindung.
Tapi terlambat bagi si Hork-Bajir. Terlambat mencegah naluri
membunuh serigala dalam diriku. Terlambat.
Kami mundur. Berdiri sebentar, memandang arena
pertempuran. Aku bisa mendengar jelas sebagian besar anggota The
Sharing tertawa, menyanyi, dan bersenang-senang jauh di sisi lain
lapangan yang gelap dan bersimbah darah ini. Mereka tak
memperhatikan sekitarnya. Mereka tidak melihat apa-apa.
Namun di tepi arena pertempuran itu berdiri beberapa
Pengendali-Manusia. Mereka menatap kami dengan penuh kebencian.
Kami balas menatap mereka.
Dan kemudian kami berbalik dan hilang dalam kegelapan
malam.
lemah. Dia selalu tertekan kalau habis bertarung.
nekat setelah bertempur. Tobias diam saja, seperti biasa kalau kami selesai bertaruh
nyawa. Sedang Marco mencoba melucu.
Rasanya pasti jauh lebih enak kalau dikasih mustar.>
Marco suka bercanda sesudah bertempur. Juga sebelumnya.
Tapi leluconnya setelah bertarung selalu agak dipaksakan.
Ax dengan tenang membersihkan mata pisau tajam di ujung
ekornya ke rerumputan sementara kami berjalan.
Dan aku berkata,
Aku berbalik dan meninggalkan teman-temanku. Kurasakan
tatapan mereka mengikutiku.
Mungkin kalau aku tidak merasa begitu hampa, lemah, dan
muak, aku akan merasakan sepasang mata lain yang menatapku.
Tapi aku sedang tidak memperhatikan. Aku sudah muak merasa
takut. Muak menyakiti makhluk lain.
Aku sudah muak, muak, muak menjadi anggota Animorphs.
Chapter 2 AKU berubah wujud dalam perjalanan pulang. Hujan mulai
turun, tapi cuma gerimis. Cukup untuk membasahi dedaunan,
membuat rerumputan melembut saat kami berjalan menyeberangi
lapangan. Rumahku tampak terang. Dari jendela ruang keluarga aku bisa
melihat ibuku sibuk memeriksa kertas-kertas kerja di mejanya.
Aku tak bisa melihat ayahku. Tapi aku tahu di mana dia: duduk
di kursi santainya yang besar sambil nonton TV, dengan remotecontrol seolah
lengket di tangannya. Gudang jerami kami yang besar gelap gulita. Hanya ada lampu
kecil putih yang terang supaya kami bisa menemukan pintunya kalaukalau salah
satu binatang perlu dirawat pada malam hari.
Gudang itu berfungsi sebagai Klinik Perawatan Satwa Liar.
Kedua orangtuaku dokter hewan. Ibuku bekerja merawat hewanhewan eksotis di The
Gardens, yaitu taman hiburan sekaligus kebun
binatang. Ayahku-lah yang menjalankan klinik itu. Ia merawat hewanhewan liar
yang terluka: bajing, angsa, vole - sejenis tikus, rubah,
rusa, kelinci, kelelawar, rakun, elang. Pokoknya hewan apa saja.
Aku membantu ayahku di gudang jerami. Aku merawat hewanhewan itu, memberi mereka
obat. Kubersihkan mereka, kuganti
perbannya, dan kuberi mereka makan.
Aku berjalan menuju gudang jerami untuk mengambil baju
ganti yang selalu kusembunyikan di sana. Kalian kan tahu, kalau morf
kami hanya bisa melakukannya dengan pakaian ketat yang kami sebut
seragam morf. Dan tidak mungkin aku muncul di rumah hanya
mengenakan pakaian itu, kan"
Aku tidak menyalakan lampu gudang. Aku toh tahu persis
tempat itu. Dan aku bisa melihat lampu bertulisan "Keluar" berwarna
merah serta cahaya dari komputer yang biasa kami gunakan untuk
memonitor kondisi para binatang.
Aku berjalan melewati kandang-kandang. Hampir wmua hewan
itu tak mengeluarkan suara. Tapi tak semuanya tertidur. Hewan-hewan
malam berjalan mondar-mandir - setidaknya mereka yang bisa
berjalan. Aku melewati seekor rubah. Ekornya terluka. Mungkin
perbuatan anak-anak nakal. Ia mondar-mandir di kandangnya,
memandang ke luar kandang, lalu mondar-mandir lagi.
Binatang itu menatapku. Matanya sangat cerdas. Ia menatapku
lurus-lurus. "Tenang, tak ada apa-apa kok," aku berkata padanya. Aku
menemukan pakaianku, berganti pakaian, lalu berjalan ke rumah.
"Cassie! Kau sudah pulang rupanya." Itu ayahku. Ia tengah
tenggelam di sofanya, tepat seperti dugaanku. "Kau tidak pulang
berjalan kaki, kan" Soalnya hujan."
"Tidak kok. Ibu Rachel tadi mengantarku."
"Aku tidak mendengar suara mobil."
Aku memaksa tertawa. "Dad mungkin sedang asyik nonton."
Gampang sekali berbohong. Aku jadi ahli berbohong sejak
menjadi anggota Animorphs. Tapi sekarang aku tak perlu lagi
berbohong. "Yeah. Berita di TV tadi bilang ada macan tutul kabur.
Pemiliknya orang tolol yang memelihara hewan-hewan eksotis.
Menurut mereka binatang itu mungkin kembali ke gunung. Melukai
seorang pria cukup parah. Akan sulit sekali menangkap kembali
seekor macan tutul. Sayang?" Dad berseru dengan suara lebih keras ke
arah dapur. "Cassie sudah pulang."
Ayahku kelihatan kelewat ceria. Kelewat ramah. Pasti purapura.
Aku pergi ke ruangan bercahaya terang dan berlantai linoleum
yang berkilauan. "Hai, Mom."
Sekarang radarku tergelitik. Ibuku bukan tipe orang yang suka
ber-"sayang" atau ber-"manis". Pasti ada yang tidak beres nih. Aku
tahu di belakangku ayahku membuntuti ke dapur.
"Ada apa?" tanyaku.
Orangtuaku duduk di meja bundar. Aku ikut duduk. Sepertinya
aku bakal dikuliahi soal keseringan keluar rumah. Aku sudah siap-siap
berjanji tidak akan melakukannya lagi. Dan kali ini, janjiku tak cuma
di mulut saja. "Tak mudah mengatakan hal ini," ibuku berkata. "Cassie, kita
tak mendapatkan dana untuk klinik kita lagi. Kami baru tahu sore ini."
Kutatap ayahku. Ia menunduk, menatapku, lalu membuang
muka lagi. "Maksud Mom?" tanyaku tolol.
Ayahku bergumam, "Ehm... perusahaan makanan hewan
peliharaan yang mendanai klinik kita menarik diri. Aku sedang
mencoba mencari perusahaan baru yang mau membantu kita, tapi
prospeknya tidak bagus. Jangan-jangan kita terpaksa menutup klinik."
Mestinya aku mengatakan sesuatu. Ayah dan ibuku
memandangku seolah-olah menunggu kata-kataku. Tapi tak ada yang
mau kuucapkan. "Kami tahu kau akan sedih," ibuku berkata.
Aku hanya menatap kosong.
Animorphs - 19 Cassie Mengundurkan Diri di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kita akan terus berusaha," ujar ayahku. "Malah sebenarnya
besok aku akan ke luar kota untuk menemui wakil direktur perusahaan
baru itu." Aku mencoba bicara. Tapi tak menemukan sepatah kata pun.
Rasanya semua bagian penting dalam hidupku telah dirampas hanya
dalam semalam. Tak ada lagi Animorphs. Dan aku tahu artinya itu:
Rachel akan berpura-pura masih jadi temanku, tapi ia tak pernah
benar-benar memaafkan aku. Jake masih akan terus menyukaiku, tapi
hidupnya semata-mata hanya sebagai pemimpin Animorphs.
Dan sekarang ini. Aku bahkan kehilangan binatang-binatangku.
Ibuku menatapku lekat-lekat, ekspresinya khawatir.
"Hmm... Sayang, ada sesuatu di gigimu. Di gigi yang ini." Ia
menunjuk giginya sendiri.
Kuraba gigiku. Kutarik sesuatu yang berwarna hijau kelabu.
Entah bagaimana, ketika morf kembali dari serigala ke manusia,
benda itu tersangkut di antara gigiku. Sobekan kecif daging HorkBajir.
Chapter 3 LAMA sekali baru aku bisa tidur.
Aku terus berpikir: Segalanya lenyap. Semua yang penting dan
berarti di dalam hidupku. Semuanya sirna. Sahabatku. Cowok yang...
kusuka. Binatang-binatang yang kusayangi.
Apa yang akan kulakukan sekarang" Mau jadi apa aku
sekarang" Sekarang aku cuma cewek biasa bertubuh pendek-agakgemuk.
Aku harus bilang pada Jake bahwa aku hanya bergurau. Aku tak
bisa mundur. Memangnya aku sinting" Aku tak bisa mundur!
Tapi kemudian, di dalam kegelapan, aku melihat Hork-Bajir itu.
Merasakan rahangku yang kuat meremukkan...
Aku pernah bertemu sepasang Hork-Bajir yang belum
diperbudak Yeerk. Hork-Bajir adalah ras bertampang bengis.
Tingginya dua meter lebih, dengan mata-mata pisau tajam di
pergelangan tangan, siku, dan bahkan di kaki dan ekornya. Tapi
kadang-kadang penampilan suka menipu. Di planet asalnya, HorkBajir menggunakan
pisau-pisau di tubuhnya untuk mengupas kulit
batang pepohonan. Itulah makanannya. Mereka itu herbivora yang
cinta damai. Bukan salah Hork-Bajir itu. Ia tak pernah berbuat apa-apa
padaku. Bukan dia yang mencoba mencincangku dengan pisaupisaunya. Melainkan
Yeerk yang menyusupi otaknya. Hork-Bajir
malang itu tak bisa apa-apa.
Tapi ia toh merasa sakit juga. Menderita. Menderita karena apa
yang kulakukan padanya. Dan sekarang, seandainya ia pernah
berharap suatu hari dirinya bebas, yah, kini harapannya sirna sudah.
Dan akulah penyebabnya. "Tapi itu kan pertempuran," aku berbisik pada selimut yang
kutarik sampai ke bawah dagu. "Itu perang."
Aku tak mendengar Jake menyuruh kami mundur. Tidak
mendengar perintahnya tepat pada waktunya. Kalau ya, Hork-Bajir itu
mungkin masih bisa bermimpi bakal bebas. Tapi omong-omong...
kapan tepatnya Jake menyuruh mundur" Sebelum aku menyerangnya
habis-habisan atau sesudahnya" Semuanya sangat membingungkan.
Bingung... Kayaknya aku ketiduran, karena aku mulai bermimpi.
Tubuhku besar sekali. Raksasa! Panjangku lebih dari tiga belas
meter, dari ujung ekor sampai ke kepalaku yang tumpul dan meraungraung. Tinggiku
enam meter. Dengan gigi sepanjang tujuh inci.
Akulah predator paling berbahaya yang dikenal dunia.
Aku adalah Tyrannosaurus.
Dalam gelap kulihat seekor Triceratops menancapkan tanduktanduknya yang besar ke
Tyrannosaurus lain. Itu Marco dalam morf
sama seperti aku. Ia terbaring miring, perutnya jadi sasaran empuk
tanduk-tanduk Triceratops itu.
Kusiagakan otot-otot raksasa di kaki-kakiku yang sebesar
batang pohon. Kubenamkan cakar-cakarku yang besar seperti cakar
burung ke dalam lumpur. Lalu aku melompat!
Berton-ton otot dan tulang melayang di udara. Aku mendarat di
sisi Triceratops itu. Kurendahkan kepalaku, dan kubuka mulutku.
Kugigit punggung Triceratops yang terbuka itu. Kutancapkan gigiku
dan kemudian kutarik dengan segenap kekuatan.
Kurasakan dinosaurus besar itu terangkat dari tanah. Marco
selamat. Aku tahu. Tapi sekarang aku berada di tengah amukan
pertempuran. Aku meraung. ?"?""L"W"S."?OG?"OT."?M
"HoooRRRRooooAAARRR!"
Sedang Triceratops itu menjerit. "Rrrr-EEEEEEE! RrrrEEEEEE!"
Kukibas-kibaskan kepala Tyrannosaurus-ku. Kugigit
Triceratops yang menjerit-jerit itu seperti anjing menggigit tulang.
Dan kemudian Triceratops itu berhenti bersuara. Binatang itu
tergantung lemas. Kulepaskan gigitanku. Aku berdiri di atas makhluk
yang sudah mati itu. Lalu aku melenguh.
"Huh-huh-huh-RRRRooooAAARRR!" Aku meraung penuh
kemenangan. Suaraku membuat daun-daun pepohonan bergetar.
Malah seolah sampai menggetarkan bintang-bintang di langit sana.
"Huh-huh-huh-RRRRooooAAARRR!" aku menjerit lagi.
Kurasakan dalam diriku segenap kekejaman alam, segenap
kebengisan yang muncul setelah berhasil bertahan dari serangan yang
paling keji, segenap kekuatan otot, tulang, cakar, dan gigi, segenap
nafsu untuk menguasai yang abadi. Dan semua itu melebur dalam
raungan yang menggentarkan.
Aku tersadar. Aku melompat dari tempat tidur dan meluncur ke kamar mandi
di koridor. Kututup pintunya dan kunyalakan lampu. Aku duduk di
sana, di atas toilet, tubuhku gemetaran. Kurengkuh wajahku.
Lalu aku menyikat gigi. Kusikat gigiku sampai gusiku berdarah. Busa pasta gigi yang
bernoda merah jambu mengelilingi mulutku. Lalu kutatap wajahku di
cermin. Beginikah rasanya menjadi sinting"
Kubuka jendela. Udara malam yang sejuk berembus masuk.
Hujan sudah berhenti. Dari sini aku bisa melihat gudang jerami.
Letaknya tidak begitu jauh. Tak lama lagi tempat itu akan kosong. Tak
ada binatang lagi. Aku melihat kilasan gerakan. Hanya sepotong kegelapan yang
bergerak ke balik gudang jerami. Mungkin binatang yang tertarik oleh
suara dan bau mangsanya yang ada di dalam gudang.
Hanya saja, cahaya matanya yang samar, tidak dekat dengan
tanah. Tapi jauh lebih tinggi. Seperti mata manusia.
Aku memandang selama beberapa waktu, dan rasanya
seseorang balas memandangku.
Kemudian kututup jendela dan kembali ke tempat tidur.
Chapter 4 "KAU tidak masuk sekolah hari ini," kata Jake.
Mereka mengepungku. Yah, setidaknya begitulah yang
kurasakan. Kami sering bertemu di gudang jerami. Itu salah satu
tempat kami berkumpul. Tapi kali ini rasanya berbeda sekali.
Mereka semua hadir, kecuali Ax.
Jake berdiri, tangannya bersedekap. Ia berusaha tampak tenang
dan rileks. Tapi gagal. Ada yang berubah pada dirinya semenjak kami
menjadi Animorphs beberapa bulan ini. Dulunya ia anak yang normal,
anak biasa. Ganteng, tapi bukan jenis yang bikin cewek-cewek
terkikik genit. Dapat diandalkan dan dipercaya, juga tulus. Jenis
cowok yang tak ingin kaubuat susah.
Namun di balik sikapnya yang dewasa, dulu sifat kanakkanaknya masih ada. Itulah
yang berubah. Ia telah menghadapi terlalu
banyak bahaya. Lebih parah lagi, ia telah mengambil terlalu banyak
keputusan yang menyangkut hidup-dan-mati.
Setelah beberapa lama, hal-hal seperti itu pasti tampak di
wajahmu. Di matamu. Dan itu kelihatan dari cara Jake berdiri, yang
lebih percaya diri, namun juga agak kelelahan. Singkatnya,
tampangnya berantakan. "Memang. Aku agak tidak enak badan pagi ini," aku berkata.
"Jadi aku tidak masuk."
"Mungkin kau salah makan," timpal Marco sambil nyengir,
menertawakan leluconnya sendiri.
Rachel meraih handuk dari salah satu kandang dan
melemparkannya pada Marco. "Itu tidak bisa dibilang membantu,
Marco." Ia menoleh ke arahku. "Dengar, setiap orang pasti ciut
hatinya menghadapi semua ini, oke" Jadi, istirahatlah dua hari supaya
pikiranmu kembali terang. Santai saja, nonton TV, makan kue, dan
kemudian kau bisa kembali."
Rachel tidak berubah. Setidaknya ia tampak seperti biasa.
Rachel tipe orang yang bisa berjalan menembus topan badai, yang
diikuti lumpur yang licin dan air bah, namun keluar dengan tubuh
bersih, kering, dan rambut rapi jali.
Ia masih seperti dulu: jangkung, pirang, dan berpenampilan
sempurna. Namun di dalam dirinya ia juga berubah. Sejak dulu ia
pemberani. Sekarang ia nekat. Dari dulu ia agresif. Kini kadangkadang ia
membuatku takut. Perang menghadapi Yeerk ini bagai hadiah buat Rachel. Ia
menemukan tempatnya yang sesungguhnya di alam semesta ini. Dunia
mungkin takkan pernah memberi kesempatan bagi Rachel untuk
menjadi pejuang, yang memang merupakan panggilan dirinya. Tapi
dengan menjadi anggota Animorphs, ia bisa mewujudkan impiannya.
"Dengar," aku berkata, "aku tahu apa yang kalian semua
pikirkan. Kalian sangka aku kacau karena pertarungan semalam. Tapi
kalian keliru." Kubuka kandang yang berisi seekor angsa. Sayap angsa itu
terluka oleh kucing liar. Aku mulai menggunting perban lamanya.
Tobias. Di antara kami semua, Tobias-lah yang paling banyak
menderita. Ia menjadi burung elang ekor merah. Pertama-tama ia
terperangkap dalam wujud elang, tak bisa berubah jadi manusia lagi,
bahkan tak bisa morf sama sekali. Tapi kemudian ada Ellimist yang
mengembalikan kemampuannya untuk bermetamorfosis. Kini ia
bahkan bisa morf menjadi wujud manusianya yang dulu.
Tapi ada satu syarat. Kalau Tobias morf melewati batas waktu
lagi - morf apa pun, bahkan wujud manusianya - ia akan terperangkap
kembali. Dan kali ini, si Ellimist tidak akan menolongnya.
Tobias bisa menjadi manusia lagi. Tapi kalau ia melakukannya,
ia akan kehilangan kemampuan morf-nya. Ia akan keluar dari medan
pertempuran melawan kaum Yeerk.
Aku tak tahu kenapa Tobias memilih tetap menjadi elang.
Kurasa ia ingin terus bertarung. Atau mungkin sebenarnya ia lebih
bahagia menjadi elang daripada manusia.
Aku menatapnya. Ia duduk dengan cakar mencengkeram balok
kayu yang melintang ke atap gudang yang miring di atas sana.
"Kurasa aku bukan kau, Tobias. Kurasa aku tak bersedia berkorban
seperti kau." "Berkorban apa?" tukas Rachel, sekarang marah. "Kita punya
kesempatan untuk menyelamatkan planet kita. Bisa-bisanya kau bicara
soal berkorban! Ada ribuan, mungkin jutaan manusia masih dikuasai
oleh Yeerk. Siapa yang akan menyelamatkan mereka kalau bukan
kita?" "Aku tidak tahu," sahutku. Aku sudah selesai melepaskan
perban angsa itu dan mulai membersihkan lukanya.
"Omong kosong!" ujar Marco pahit. "Dulu, waktu kita memulai
semua ini, akulah yang tak ingin terlibat. Dan kalian semua bersikap
seolah-olah aku ini pengecut atau egois."
Aku mengangkat bahu. "Kalau begitu aku memang pengecut.
Dan egois." Marco nyaris melompat menyerangku. Matanya berapi-api.
"Apa sih yang kauinginkan, Cassie" Hampir selalu kau menguliahi
kami dengan mengatakan kita terlalu kejam atau semacamnya. Selalu
saja, 'Oh, apakah ini benar"' dan 'Oh, haruskah kita melakukannya"'
Maksudku, kau adalah Miss Moralitas, dan kemudian begitu
mengalami malam yang buruk, kau dengan seenaknya menimpakan
semuanya pada kami?"
"Bukan itu masalahnya," kilahku. Ada sesuatu yang menekan
dadaku. Sesuatu yang mendesak ingin keluar. Sesuatu yang siap
meledak. "Oh ya" Jadi apa dong" Kau hanya ingin punya lebih banyak
waktu untuk bermain-main dengan binatang-binatangmu?"
"Klinik Perawatan Satwa Liar akan segera ditutup," sahutku.
"Tidak ada dana."
Kurasa Marco jadi bingung. Ia terdiam.
"Jadi kurasa jawabannya tidak, aku tidak akan menghabiskan
waktuku untuk bermain-main dengan binatang," sindirku tajam.
"Cassie, kami harus memahami masalahnya," Jake berkata
lelah. "Kami harus memahami dirimu."
"Dia takut," Marco nyengir.
"Marco, tutup mulutmu!" bentak Rachel. "Dia tidak takut."
"Aku memang takut kok," ujarku.
"Tidak," sahut Rachel, seraya mengibaskan tangannya seolaholah aku ini lalat
yang mengusiknya. "Kau sama beraninya dengan
kami semua. Hanya karena kau memiliki keraguan-keraguan moral
dan merasa kacau mengenai sesuatu, itu tak membuatmu jadi
pengecut." "Aku membunuh Hork-Bajir itu," kataku.
Mata Rachel yang biru jadi dingin dan seolah-olah menerawang
menembusku. "Itu perang. Mereka yang memulai. Tentu saja kau
merasa kacau karena..."
"Bukan," bantahku. "Aku tidak merasa kacau. Aku dengar Jake
menyuruh mundur. Dan setelah dia bilang begitu, setelah dia bilang
mundur, kuhabisi makhluk itu."
Aku tidak yakin kejadiannya begitu. Tapi aku harus
mengatakannya. Untuk membuat mereka mengerti.
Beberapa saat tak seorang pun bicara. Aku mulai membalut
sayap angsa itu dengan perban yang baru.
"Jadi kau merasa kacau karena hal itu," Rachel berkata sambil
mengangkat bahu. "Tidak. Aku merasa kacau karena aku justru tidak merasa apaapa. Aku merasa...
hampa, Rachel. Pada saat itu aku merasa hanya
melakukan tugasku, tahu, kan" Sekarang mereka menutup klinik, dan
ketika ayahku memberitahuku, aku hanya merasa... kosong. Sudah
lama begitu. Dari hari ke hari, pertempuran demi pertempuran, misi ke
misi, aku semakin kehilangan perasaanku."
Kutatap Rachel. Ia membuang muka. Aku menoleh pada Jake.
Ia tersenyum samar dan mengangguk. Ia mengerti. Ia tahu. Ia
mengalaminya juga. Tapi kemudian ia juga membuang muka.
Kurentangkan tanganku, lebar-lebar, tanpa daya. "Aku tak bisa
begini terus - tidak merasakan apa-apa - setiap kali terjadi kekerasan.
Aku tak bisa tidak memikirkan makhluk hidup. Aku tak bisa seperti
itu." Marco tertawa. Tawanya pendek dan kasar. "Baiklah. Kau
punya moral dan perasaan-perasaan yang baik. Kami akan pergi dan
mempertaruhkan nyawa kami untuk menyelamatkan dunia. Kau
duduk saja di sini dan merasa berbudi."
Ia pergi. Aku mendengar suara kepak sayap dan tersadar bahwa
Tobias juga telah pergi. Dan di wajah Rachel tampak ekspresi yang nyaris tak pernah
Animorphs - 19 Cassie Mengundurkan Diri di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kulihat di sana: Hatinya terluka.
"Rachel, kita masih bisa ber..."
"Tidak, tidak bisa," potongnya. "Dengar, kau baru saja
mengatakan seluruh dunia boleh pergi ke neraka selama kau, Cassie,
tak perlu berubah jadi seperti aku." Ia keluar dari gudang dengan
gusar. Tinggal aku dan Jake. Ia menunduk. "Jangan morf," ia berkata.
"Kalau kau bukan anggota Animorphs lagi, jangan gunakan
kemampuan itu." "Tidak akan." "Kau akan kepingin," ia berkata. "Tapi kalau kaulakukan juga,
kau akan menghadapi risiko tertangkap. Risiko itu bisa diterima bila
kau ikut membantu kami. Tapi kalau kau mundur, kau tak boleh
menggunakannya lagi."
"Sudah kubilang aku tidak akan morf lagi, Jake. Aku bukan
pembohong." Jake pergi. Aku berdiri di sana, sendirian bersama para
binatang. Luka angsa tadi baru setengah terbalut. Binatang-binatang
ini harus diberi obat. Sebagian lagi harus diberi makan.
Tapi aku tidak peduli. Chapter 5 BANYAK sekali tugasku yang telantar. Salah satunya palung
air yang terbuat dari bathtub berkaki yang sudah tua dan kami simpan
di ujung padang rumput untuk kuda. Benda itu telah penuh ganggang
dan permukaannya dilapisi dedaunan yang terbang ditiup angin.
Aku menunggang salah satu kuda dan pergi ke sana. Berkuda
selalu membuat perasaanku lebih baik, lagi pula aku jarang melatih
kuda-kuda itu. Kuambil kuda betina kesayanganku.
Sore itu sejuk dan berangin. Awan tampak berarak-arak,
menjanjikan malam akan datang lebih awal. Sepanjang jalan kudaku
hampir terus berlari pelan. Udara dingin menerpa wajahku, dan aku
mencoba untuk tidak memikirkan apa pun.
Namun waktu aku tiba, palung air itu sudah bersih sama sekali.
Tak ada daun maupun ganggang. Benda itu malah telah diberi
penyangga supaya berdirinya lebih stabil.
Aku turun dari sadel dan melayangkan pandang, mencari
penjelasan tentang semua itu. Aku menemukannya di lumpur: jejak
kaki, yang mirip kaki rusa.
Kau bakal menyangka itu jejak rusa jika kau tidak melihat lebih
hati-hati lagi. Itu jejak kaki Andalite. Jelas Ax melihat palung itu harus
dibersihkan dan ia melakukannya.
Padang rumput sebelah sini letaknya memang tepat di sisi
hutan. Hamparan rerumputan berakhir hanya beberapa meter di luar
pagar, dan di sebelah sana barisan pepohonan dimulai. Kulilitkan tali
kudaku di pagar dan mengedarkan pandang.
Rumput terhampar sampai ke rumahku yang tak tampak dari
sini. Dan pepohonan yang kutahu tumbuh sampai ke pegunungan nun
jauh di sana. Aku tak pernah berpikir tak akan morf lagi. Aku tak pernah
membayangkan tidak akan melakukannya lagi. Kemampuan menjadi
burung dan terbang. Kemampuan menjadi semua binatang yang
kusayangi selama ini. Melihat dunia melalui mata mereka dan
mendengar lewat telinga mereka.
Aku mendesah. Jake benar, tentu saja. Aku tak bisa mengambil
risiko itu. Tidak sekarang. Tidak setelah aku memilih mundur dari
Animorphs. "Memangnya kenapa?" aku bertanya pada angin yang bertiup.
Tapi betapa pun besarnya keinginanku untuk tidak peduli, aku
toh peduli. Tentang satu hal ini, aku peduli. Hidup sepertinya begitu
sempit dan kecil tanpa bisa pernah morf lagi.
Ketika itulah aku melihatnya. Hanya gerak samar di belakang
barisan pepohonan. Aku tak melihat apa yang bergerak itu, aku cuma
tahu ada gerakan. Ax-kah itu" "Nii-III-hi-hi-hi!" Kudaku meringkik. Ia menengadah dan
mengedik. Tiba-tiba terpikir olehku macan tutul yang kabur itu.
Mungkinkah binatang itu bisa sampai kemari" Tidak. Tak mungkin.
Lagi pula, yang kulihat bergerak di antara pepohonan itu bukan
macan tutul. Kau tak bisa melihat macan tutul kecuali mereka ingin
diri mereka terlihat. Dan apa pun yang kulihat, atau nyaris terlihat,
tidak bergerak dengan keluwesan dan keanggunan macan tutul.
"Ax!" teriakku.
Tak ada jawaban. Aku naik ke kuda dan mencoba menenangkannya. Tapi kudaku
malah mengangkat kaki depannya dan meringkik keras.
Ada yang membuatnya resah. Tapi apa" Dan di mana" Kujilat
jariku dan kuangkat ke atas untuk merasakan tiupan angin. Angin
bertiup dari arah pepohonan.
"Sssh... tenang, tenang," aku berkata.
Angin berganti haluan. Kudaku mulai tenang. Tapi ini malah
membuatku tambah waswas. Ini justru menegaskan bahwa tadi ia
memang mencium sesuatu di hutan. Sekarang setelah angin datang
dari arah lain, kudaku tak bisa lagi mencium apa yang tadi
membuatnya resah. Kemudian... KRES! KRES! KRES! "Aaaahhhhh!" Kelebatan rambut berwarna merah, berlari.
Dan di belakangnya, makhluk yang jauh lebih besar, berlari
seperti bola boling, kelihatannya nyaris menggelinding.
Beruang! Beruang hitam tampak mengejar seorang gadis berambut
merah. Gadis itu berlari, tapi beruang itu jauh lebih cepat. Gadis itu
melompat ke dahan yang rendah, menangkapnya, dan terbirit-birit
naik ke atasnya. Tapi itu tidak membantu. Kalau beruang itu mau, binatang itu
akan memanjat pohon itu dan menangkapnya!
Sebelum menyadari apa yang kulakukan, kupegang tali kudaku
erat-erat dan menyuruh kudaku maju. "Hiyah!"
Kami meluncur sepanjang pagar, berguncang-guncang. Aku
bisa melihat gadis itu bergelantungan di pohon, nyaris terjatuh. Dan
kemudian aku melihat apa yang kutakutkan: Di belakang beruang itu
ada anak beruang. Beruang jarang bersikap agresif terhadap manusia.
Kecuali si manusia melakukan kesalahan fatal seperti mendekati anak
si beruang. Beruang hitam itu mengguncang-guncang pohon yang kurus itu.
Si gadis menjerit ketakutan.
Kuhela kudaku hingga menjauhi pagar, mundur sekitar tiga
puluh meter, dan kemudian berkata, "Hiyah!" Kutekan perut kudaku
dengan kedua tumit, menyuruhnya berlari ke arah pagar.
Kami melesat cepat sekali, hingga bongkah-bongkah tanah
lembap dan rumput berlepasan dari tanah di belakang kami. Aku
merunduk dalam-dalam, berpegangan erat-erat dan berharap kudaku
tahu bagaimana caranya melompat, sebab aku sendiri sama sekali tak
tahu. Naik! Naik! Kami melompat tinggi...
WHAP! Kaki belakangnya menyentuh puncak pagar, tapi kemudian
kami mendarat dengan selamat. "Ayo, Sayang!" seruku, dan kami
meluncur ke arah pohon itu.
Kudaku ketakutan, matanya membeliak, mulutnya berbusa.
Tapi ia sekarang sedang berlari panik, dan kuda bukanlah si jenius di
dunia binatang. Jadi ia berlari tepat ke arah beruang itu.
Gadis itu bergelantungan di dahan dengan ujung-ujung
jemarinya. "Sabar, aku akan menolongmu!" jeritku.
Sembilan meter lagi... enam meter... tiga meter... Gadis itu
menjerit. Ia terjatuh. Si beruang meraung. Kuulurkan satu tanganku. Dan menyambar bagian depan jaket
Levi's-nya. Kutarik gadis itu ke arahku, lalu kusuruh kudaku
membawa kami dari situ. Ranting-ranting pohon memecut wajahku. Sebelah kakiku lepas
dari sanggurdi dan napasku tersengal-sengal.
Aku berusaha menemukan sanggurdi itu tanpa bisa melihat ke
bawah. Gadis itu mencekik leherku, mencengkeramnya erat-erat.
Kujatuhkan tali kudaku. Kudaku kini benar-benar panik.
Masuk akal. Soalnya beruang tadi belum mau melepas kami.
Beruang itu mengejar kami.
Di daerah yang terbuka kami akan melepaskan diri dengan
mudah dari beruang itu. Tapi di tempat seperti ini, binatang itu dengan
gampang mengejar kami. Lalu, tiba-tiba saja, beruang itu berhenti mengejar dan dengan
tenang kembali ke bayinya. Namun kudaku tidak siap untuk berhenti
berlari. Apalagi aku tak bisa meraih tali kekangnya. Aku cuma bisa
berpegangan. Satu tangan memegang surai kuda, dan tangan yang lain
mencengkeram jaket gadis itu.
Sekonyong-konyong... Tak ada pepohonan lagi. Sungai! Air sungai yang bening dan
dalam karena hujan yang turun akhir-akhir ini, tampak berkelok dan
menggelegak di atas bebatuan.
Kudaku melesat ke arah sungai. Sekali lagi aku mencoba
meraih tali kudaku. Gagal. Kucengkeram lagi surainya dan kuangkat
tubuhku hingga duduk tegak.
Dan dalam beberapa detik aku melihat dahan yang rendah itu.
BRAK! Kurasakan diriku terbang, terbang, terbang...
Tapi ketika aku tercebur ke air, aku sama sekali tak merasakan
apa-apa. Chapter 6 "AAAAHHHH!" Begitu tersadar, aku menjerit.
Aku mendarat di tengah arus air yang sangat deras. Air
menggelegak di sekelilingku, di atasku. Air menyeretku ke bawah,
memutarku seperti pembuka sumbat botol.
Kukibas-kibaskan lenganku, tapi tak bisa. Aku tak bisa
merasakan tangan atau jemariku. Kakiku mati rasa. Tubuhku kaku
kedinginan. Beku kedinginan.
BUK! Aku menabrak batu dan nyaris tak merasakan apa pun.
Lalu meluncur jatuh, jatuh! Kulihat pepohonan seolah-olah
terbang ke atas dan meninggalkan aku. Kulihat kelebat ledakan air
berwarna putih di bawahku. Aku terjatuh, permukaan air di sekitarku
tidak lagi horizontal, melainkan tegak lurus.
BYURR-SOOSH! Kini aku berada jauh di bawah air, air terjun yang sangat kuat
menekanku, suaranya seperti mesin raksasa yang memukul,
menghantam, dan menderaku.
FWOOSH! FWOOSH! FWOOSH! FWOOSH! FWOOSH!
Aku mencoba berenang, tapi tanganku lemas sekali. Jemariku
kaku seperti kayu. Morf! Aku memerintahkan diriku. Tapi aku tak
bisa berkonsentrasi. Tak bisa berpikir.
Tiba-tiba aku terbebas dari air terjun yang memukul-mukul itu.
Tapi aku masih tenggelam di bawah permukaan air. Jauh di bawah.
Terlalu jauh, malah. Aku mencoba menahan napas, tapi aku semakin bingung. Apa...
di mana... ke mana... seharusnya aku... atau lenganku...
Aku menarik napas. Hanya saja bukan udara yang kutarik. Tapi air.
Aku tercekik dan kesakitan, tak berdaya. Tak bisa bernapas!
Kepalaku menabrak sesuatu. Batu" Permukaan air! Aku bisa
melihatnya. Kini tinggal beberapa senti di atas kepalaku.
Hanya beberapa senti air memisahkan aku dari udara.
Tapi terlambat. Aku memejamkan mata. Otot-ototku
mengendur. Aku tertidur. Aku tidak merasakan sepasang tangan yang menarikku dari air.
Aku tidak merasakan mulut yang melakukan pernapasan buatan
padaku. "Hah! Apa?" Aku bangun! Dan langsung merasakan isi perutku
mengamuk. Wueeeekh! Aku muntah. Aku berbaring telentang di tanah, dan muntah di
atas tubuhku sendiri. Kugerakkan kepalaku ke samping dan menarik napas, batuk,
bernapas, batuk lagi. Aku batuk selama beberapa menit, mencari-cari
udara dengan paru-paru yang masih basah oleh air sungai.
Pinggangku sakit sekali. Kepalaku juga. Tangan dan kakiku
seperti tertusuk-tusuk sampai-sampai mau menjerit aku rasanya.
Tapi aku masih hidup! Baru kemudian aku melihat gadis itu. Ia berjongkok hanya
beberapa meter dariku. Rambutnya yang merah basah kuyup, melekat
di keningnya, ikal-ikalnya yang panjang dan basah menjuntai.
Ia memiliki sepasang mata hijau terang yang tampaknya terlalu
besar. Ia mengenakan jeans, T-shirt, dan jaket jeans. Tubuhnya
gemetaran. "Kau menyelamatkanku, ya kan?" aku berkata padanya dengan
suara parau. "Kau sendiri juga menyelamatkan aku," ia balas berkata.
"Beruang itu bisa saja membunuhku. Sekarang kita seri. Aku tak
berutang apa-apa padamu dan demikian sebaliknya."
Ucapan yang aneh. Terlalu dewasa... entahlah, terlalu tua untuk
diucapkan seorang yang begini muda.
Aku duduk, menahan tangis karena rasa tertusuk-tusuk yang
sangat menyiksa. "Namaku Cassie."
"Aku Karen." "Di mana kita?"
Ia menggeleng. "Aku tak tahu. Lama sekali kita terbawa sungai.
Aku sendiri juga sampai pingsan. Tapi aku sadar duluan darimu. Dan
aku berhasil meraih kayu yang terapung dan berpegangan di situ
sebentar." Aku mencoba membayangkan sungai itu. Aku tahu sungai itu
berasal dari pegunungan. Airnya berasal dari salju yang mencair dan
air hujan. Sungai itu mengalir amat dekat dengan peternakan kami,
lalu berkelok lagi ke arah pegunungan sampai akhirnya berbelok
menuju ke lautan. Tapi itu pun tidak memberitahu di mana kami berada saat itu.
Bisa saja kami berada satu kilometer dari permukiman manusia, bisa
juga sepuluh kilometer. Tapi yang lebih parah lagi, aku tidak tahu ke
arah mana kami harus pergi. Kalau arahnya benar, kami bisa langsung
menemukan jalan raya. Tapi kalau keliru... yah, hutan ini sangat luas.
Kau bisa tersesat di dalam hutan untuk waktu yang lamaaa sekali.
"Kau pernah baca Kapak karya Gary Paulsen?" aku bertanya
pada Karen. "Belum tuh." "Aku sudah. Kalau saja aku lebih memperhatikan. Aku tidak
begitu berpengalaman mengenai taktik bertahan hidup di alam liar.
Animorphs - 19 Cassie Mengundurkan Diri di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lagi pula, kayaknya kita nggak punya kapak. Kurasa kita terpaksa
mengira-ngira saja dan pergi dari sini."
Karen memandangku serius. "Pergelangan kakiku sakit. Aku
tak bisa berjalan." Aku menarik napas dalam-dalam. Sekarang aku sudah nyaris
sadar sepenuhnya. Aku sudah bisa merasakan tangan dan kakiku. Dan
otakku sudah mulai bekerja lebih baik.
"Karen, apa sebenarnya yang kaulakukan di hutan tadi?"
Ia tak menyahut. Cuma memandangiku.
Entah kenapa aku jadi bergidik. "Beberapa malam yang lalu,
seseorang mengintip dari belakang gudang jerami, memandang ke
jendela kamarku. Itu kau, ya kan?"
Ia terus bungkam. Kurasakan rasa takut yang amat sangat mulai menyelimutiku.
Rasanya aku tak bisa bernapas.
"Kenapa kau membuntutiku" Kenapa kau memata-mataiku?"
desakku, mencoba tidak panik. Tapi dalam hati aku merasakan
kengerian mulai menguasaiku, membuat perutku mulas, meremasremas jantungku.
Karen mendesah. Kemudian ia memiringkan kepalanya dan
menatapku aneh. Seolah-olah aku ini spesimen serangga yang menarik
dan ia seorang entomologis - ahli serangga.
"Kau membuatku tertarik," ia berkata.
"Tak ada yang menarik pada diriku. Sungguh."
"Tentu saja ada. Dengar, kalau aku benar, maka kau bisa
terbang dari tempat ini kapan saja kau mau. Kalau aku benar, kau
juga... katakan saja, melakukan beberapa perubahan dan
membunuhku." Aku memaksa tertawa, walau hasilnya tak begitu bagus. "Demi
Tuhan pencipta Bumi, apa sih sebenarnya yang kaubicarakan?"
"Oh, bukan sesuatu yang berasal dari Bumi kok," tukas Karen.
"Setidaknya begitulah keyakinan semua orang. Manusia tak bisa
bermetamorfosis. Cuma Andalite yang bisa. Cuma Andalite yang bisa
menjelma menjadi serigala dan merobek-robek leher induk semang
kakakku dan meninggalkannya sekarat."
Chapter 7 KURASA Marco akan lebih tenang, dan menjawab dengan
lancar. Sedangkan Rachel mungkin akan langsung menyerang.
Entahlah. Tapi aku bukan Marco atau Rachel.
Aku hanya memandang, napasku terhenti.
"Aku sama sekali tak mengerti apa yang kaubicarakan," ujarku.
Karen tersenyum tipis. Senyum kemenangan. "Aku
membuntutimu sehabis pertempuran itu. Kau berpisah dari yang lain
dan berjalan sendirian ke peternakan itu. Aku melihatmu berlari
sebagai serigala, kemudian selama beberapa menit aku tak melihatmu.
Tapi ketika aku menemukanmu, tak ada serigala. Cuma kau. Yang
jelas-jelas adalah cewek manusia."
"Memangnya kaupikir aku ini siapa" Manusia serigala atau
sebangsanya, begitu?" tanyaku, kembali mencoba tertawa.
"Aku tak tahu apa kau ini," sahut Karen. "Setidaknya aku tak
yakin. Itu sebabnya aku membuntutimu. Begini, semua tahu ada
sekelompok pejuang Andalite di Bumi. Masuk akal jika mereka
menyamar sebagai manusia. Tapi semua juga tahu tak satu Andalite
pun yang bisa morf lebih dari dua jam. Dan aku sudah melihatmu
dalam morf manusia ini lebih dari dua jam."
Aku mengangkat bahu dan memasang ekspresi tak percaya.
"Baiklah, terserah. Mungkin air dingin membuat otakmu korslet.
Mungkin sebaiknya kita pikirkan saja bagaimana mencari bantuan
untukmu." "Aku tahu kau bukan Andalite yang terperangkap dalam wujud
manusia. Soalnya malam itu aku melihatmu sebagai serigala. Kalau
begitu tinggal ada dua kemungkinan. Kalau kau bukan Andalite yang
entah bagaimana telah berhasil mengatasi batas dua-jam itu, kau
mungkin adalah..." "Apa?" Aku tak bisa menahan diri.
"Atau mungkin kecurigaan kami selama ini benar: Ada manusia
yang bisa morf." Aku mengangkat bahu. "Kau ini sejenis orang-orang di X-Files
itu, ya?" aku bertanya.
Karen tersenyum. "Kalau kau Andalite, kau pasti akan
demorph - morf kembali ke wujud asli - dan membunuhku. Tubuh
manusia yang kecil ini pasti takkan berdaya menahan sabetan
ekormu." "Ekor" Wah... wah... kau semakin ngaco saja!"
"Kalau kau benar manusia yang bisa morf, kau akan morf
menjadi sesuatu yang buas dan membunuhku."
"Oke, oke, tunggu sebentar. Biar kuluruskan dulu. Dalam
dongengmu ini, Andalite atau bukan, aku sanggup membunuhmu,
benar?" Ia menelengkan kepalanya dengan cara yang sangat alami. "Kau
akan berpikir kau bisa," katanya. "Dan apa pun yang kaulakukan, aku
akan mendapatkan bukti."
Aku bangkit berdiri. Aku tidak terlalu jangkung hingga bisa
membuat seseorang merasa terancam. Biarpun begitu, mestinya Karen
kelihatan sedikit gugup. Namun sebaliknya, ia malah tampak puas.
Sombong. Seolah-olah menunggu dan melihat apa yang akan
kulakukan. Kuulurkan tanganku. "Ayolah, anak sinting," ujarku, "mari kita
pergi. Bisa-bisa kita harus berjalan jauh." Ada sepercik keraguan di
matanya yang hijau dan tenang. Ia tak menggubris tanganku dan
mencoba berdiri sendiri. Baru setengah bangkit, kaki kirinya langsung
tertekuk dan ia ambruk ke tanah.
"Pergelangan kakiku benar-benar sakit," tukasnya. "Sepertinya
aku tidak bisa jalan."
Aku memandangnya dan mulai memikirkan pilihan-pilihan
yang ada. Di hutan ini ada beruang dan serigala. Beruang-beruang takkan
menyerangnya selama ia tak mengganggu mereka. Tapi serigala bisa
saja menyerang bila mereka lapar. Hutan di sekitar kami tampak
kosong, sunyi. Tapi aku pernah menjadi serigala. Aku tahu benar
kehebatan indra mereka. Aku berani bertaruh setidaknya
segerombolan serigala telah mengetahui kehadiran kami di situ.
Mereka telah mendengar kami, mencium kami.
Kalau mereka cukup lapar, mereka akan mampir untuk mencari
tahu bau asing apakah yang terendus itu. Kalau mereka datang dan
melihat seorang anak yang tidak berdaya, tidak bisa berjalan, tidak
bisa melawan... yah, sebenarnya serigala tak punya insting untuk
memangsa manusia, tapi mereka telah diprogram untuk memangsa
yang lemah dan sakit. Dan jika para serigala tidak menyentuhnya, masih ada malam
yang dingin dan serangan kelaparan. Kalau aku meninggalkannya
sekarang, Pengendali-Manusia bernama Karen ini sangat mungkin
tewas sebelum matahari terbit. Mati di tangan alam.
Satu hal sudah pasti. Kalau Karen berhasil kembali ke temanteman Pengendali-nya,
tak satu pun dari temanku akan selamat. Karen
tahu aku anggota Animorphs. Atau tadinya begitu. Akan mudah
baginya untuk mencari tahu siapa saja teman-temanku. Untuk
meringkus mereka satu demi satu, menundukkan mereka. Menjadikan
mereka Pengendali. Mereka hanya perlu menangkap salah satu dari kami: aku, Jake,
Rachel, Marco. Siapa pun tidak masalah. Jika para Yeerk berhasil
mengendalikan salah satu dari kami, semua rahasia kami akan jadi
milik mereka. Mereka akan tahu tentang koloni rahasia para Hork-Bajir yang
masih bebas di pegunungan. Mereka akan tahu tentang Chee - android
pencinta kedamaian yang kadang-kadang membantu dengan memberi
kami informasi. Kalau Karen keluar dari sini dengan selamat, Jake, Rachel,
Marco, Tobias, dan Ax akan tertangkap semua dan dijadikan
Pengendali-Manusia atau dibunuh. Chee akan dibinasakan. Hork-Bajir
akan ditangkapi. Seluruh harapan terhadap kebebasan umat manusia akan lenyap.
Kecuali... kecuali Karen dihabisi di sini, sekarang juga.
Aku berbalik dan menghampiri pohon tumbang yang telah mati.
Kupegang salah satu dahannya yang panjang dan bercabang dua.
Kutekan kuat-kuat sampai dahan itu patah dari batangnya.
Dahan itu kuat dan kokoh. Panjangnya satu meter, tebal, dan
bercabang dua di salah satu ujungnya.
Kupegang batang itu erat-erat dan kubawa mendekati Karen.
Dengan sekali ayun kepala gadis itu pasti pecah. Hanya itu yang
diperlukan. Aku bisa membuatnya pingsan dan mengikatnya dengan
tali sepatunya sendiri. Sesudah itu kutinggalkan dia di sini dan biarkan
alam yang melakukan sisanya.
Aku melihat ketakutan di matanya.
"Nih," aku berkata. "Bisa jadi tongkat jalan yang bagus. Tunggu
di sini sementara aku mencari ranting-ranting yang lebih kecil untuk
membuat pembelat yang akan menahan kakimu."
Chapter 8 KEADAAN kami tidak bagus. Malam mulai turun. Kami ada di
suatu tempat di tengah hutan. Kami tidak punya perlengkapan maupun
korek api. Segala sesuatu di sekeliling kami lembap, mungkin terlalu
lembap untuk bisa dibakar. Dan langit yang tampak dari antara
pepohonan diselimuti awan gelap yang berarak-arak cepat diembus
angin yang bertiup keras.
"Kau akan merasa sakit," ujarku. Aku telah menemukan
beberapa batang kayu yang panjangnya pas. Aku telah melepaskan
ikat pinggangku. Untung saja aku tak pernah mendengar ocehan
Rachel soal penampilan, sehingga aku tetap mengenakan ikat
pinggang kulit yang kuat dan praktis.
"Celana panjangmu bakal melorot," sahut Karen, kembali
terdengar seperti seorang gadis kecil.
"Yeh, tentu saja. Sepertinya aku sudah lebih besar daripada
waktu aku membeli celana ini dulu. Celana ini sudah agak sesak. Atau
bisa saja celananya yang menyusut. Pasti itu sebabnya." Dengan hatihati
kuletakkan ranting-ranting itu di sekeliling tungkai bawah sampai
ke pergelangan kaki Karen. Lalu kulilitkan ikat pinggangku, tapi tidak
ketat. "Oke, aku tidak akan membebatnya kuat-kuat sebab
pergelangan kakimu bakal membengkak. Tapi aku tetap harus
menariknya sedikit supaya pergelanganmu tidak tergerak-gerak.
Kuhitung sampai lima, oke" Begitu lima, akan kutarik ikat
pinggangnya. Satu..."
Kutarik ikat pinggang itu.
"Aaaah! Hei! Kan belum lima?"
"Kau bisa tegang kalau harus tunggu sampai lima," aku berkata.
"Dengan begini kau justru tak perlu tegang segala."
"Kau menipuku."
"Untuk kebaikanmu sendiri."
Karen mendengus. "Sekarang aku tahu kau Andalite.
Kesombongan khas Andalite. Satu-satunya ras di seluruh galaksi yang
menciptakan perang 'untuk membantu yang lain'."
Aku bangkit dan mengulurkan tanganku. Kali ini Karen
menyambutnya. "Ayolah," ajakku. "Sebaiknya kita bergerak."
Kubantu dia bangkit. Ia mengerut kesakitan saat berdiri di atas
kakinya yang sakit. Kujulurkan tubuhku untuk mengambil tongkat
tadi. "Nih. Coba ini."
Diletakkannya tongkat itu di bawah lengannya. "Sebelah mana"
Di lengan di atas kaki yang sakit atau yang satunya?"
"Aku tidak tahu;" aku mengakui. "Aku tak banyak merawat
manusia." "Apa" Sudah siap berhenti berpura-pura dan mengakui dirimu
yang sebenarnya, Andalite?"
Aku tertawa. Kali ini bukan pura-pura. "Aku merawat hewan.
Aku tahu bagaimana merawat kaki rusa, rakun, atau serigala, yang
patah. Tapi aku belum pernah merawat kaki manusia yang patah."
Karen menatap skeptis. "Ah, ya. Gudang jerami itu penuh
binatang. Tentu saja. Kedok sempurna untuk Andalite. Semua
binatang itu ada di sana supaya kau bisa menyerap DNA mereka
untuk bermetamorfosis."
"Terserah kau mau omong apa, Nak," gumamku. "Ayo, kita
coba berjalan." "Ke arah mana" Permukiman manusia ada di sebelah mana?"
"Aku sama sekali tidak tahu. Tapi itu tidak penting. Kita tidak
akan mencoba keluar dari sini, setidaknya tidak malam ini. Kita perlu
tempat berlindung." "Apa" Kalau kau ingin mencoba membunuhku, lakukan saja.
Tak perlu menyeretku ke tempat terpencil segala."
"Karen, apa coba yang bisa lebih terpencil lagi dari tempat ini?"
Kugerakkan tanganku ke arah pepohonan yang tinggi.
"Baiklah, kalau kau memang tidak kepingin membunuhku, ayo
kita pergi dari sini. Kakiku baik-baik saja kok." Ia melangkah tertatihtatih.
"Dengar, aku menyesal kau mengira aku sejenis alien. Aku
menyesal kau mengira aku ingin membunuhmu. Tapi sebenarnya jika
kita mencoba dan keluar dari sini malam ini, kita bisa mati. Kau
pernah berada di hutan di tengah-tengah badai" Tanah akan jadi
lumpur. Petir menyambar pepohonan. Sungai meluap dan
menggenangi lembah. Dingin. Tak mungkin membuat api unggun.
Kau tak akan menyukainya."
Sekonyong-konyong kemarahan Karen meledak. "Kenapa sih
kau terus memainkan sandiwara konyol ini" Aku tahu apa yang bisa
kaulakukan! Aku tahu apa yang telah kaulakukan. Kau bisa morf
menjadi serigala dan dengan gampang membunuhku. Lalu kau bisa
keluar dari hutan ini. Kenapa kau bersandiwara seperti ini"!"
Aku menunggu sampai ia puas berteriak. Lalu kataku, "Aku
melihat dataran yang lebih tinggi di sebelah sana. Mungkin bukit yang
rendah. Dilihat dari balik pepohonan begini, aku tak bisa
mengatakannya. Mungkin kita akan menemukan gua di sana.
Setidaknya kita akan jauh dari sungai ini. Sungai ini bisa meluap
malam ini, dengan turunnya hujan dan sebagainya."
Tapi Karen tidak mendengarkan lagi. Ia menengadah ke
sebatang pohon. "Apa itu?" ia bertanya, suaranya waswas.
Aku mengikuti arah pandangannya. Di sana, tersangkut di
lekukan dahan sebatang pohon elm, tampak bangkai binatang yang
tercabik-cabik. Wajahnya yang manis, dengan sepasang mata yang
lebar, tergeletak lemas ke samping.
"Rusa muda," kataku.
"Apa yang dilakukannya di atas sana?"
"Binatang yang memangsanya meletakkannya di sana supaya
tidak diambil binatang lain."
"Binatang apa yang melakukan hal seperti itu" Serigala"
Beruang?" Aku menggeleng. "Bukan. Tapi macan tutul melakukannya."
Chapter 9 AKU pernah membaca buku yang ditulis seorang pemburu. Ia
memburu harimau. Ia memburu beruang. Tapi katanya dari semua
binatang buas yang bisa diburu manusia, macan tutullah yang paling
berbahaya. Binatang itu sangat cerdik, pandai menyesuaikan diri, licik, dan
kejam. Mereka adalah pemburu-pemburu jempolan.
Manusia-manusia pemburu, yang profesional, berpengalaman,
dan dilengkapi senapan paling canggih serta teropong, selama berjamjam menunggu
Animorphs - 19 Cassie Mengundurkan Diri di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
di atas pepohonan sampai seekor macan tutul kembali
ke tempat ia meletakkan bangkai buruannya. Para pemburu itu
menunggu dengan mata terbuka lebar, gelisah, dan senjata siap siaga...
Tapi tiba-tiba mereka bergidik, seolah-olah ada yang mengawasi
mereka. Mereka menoleh ke belakang dan menemukan macan tutul itu
duduk tepat di belakang mereka di pohon itu. Dan itulah hal terakhir
yang sempat mereka lihat.
"Macan tutul" Kau bergurau, ya kan" Di sini bukan Afrika."
"Seekor macan tutul kabur dari semacam kebun binatang
pribadi," aku menjelaskan.
"Dari kebun binatang pribadi" Jadi mungkin saja binatang itu
jinak, ya kan?" "Dia melukai seorang pria hingga orang itu diangkut ke rumah
sakit," kataku lagi.
Sambil bicara kuedarkan mataku dari satu pohon ke pohon lain.
Macan tutul itu bisa saja tengah mengawasi kami. Bisa saja ia
mengawasi kami saat ini juga. Mungkin ia mencium bau kami.
Aku menarik napas dalam-dalam. Sekali lagi. Aku tak melihat
apa-apa. Dan itu tentu saja tidak membuktikan apa-apa. Aku tak akan
melihat macan tutul itu jika ia tak ingin dilihat.
"Mungkin lebih baik kita membuat api unggun," ujar Karen.
"Binatang buas takut api."
"Yeah. Mari kita cari tempat berlindung dan bikin api unggun,"
aku setuju. Tak ada gunanya memberi tahu Karen bahwa ia keliru.
Sebagian besar hewan pemangsa tidak takut api. Macan tutul jelas
tidak takut. Di Afrika, macan tutul mendatangi perkampungan,
langsung masuk ke pondok, melenggang melewati nyala api, lalu
menyeret anjing, babi... dan anak-anak...
"Ayo pergi," kataku pendek.
Aku mulai berjalan, perlahan-lahan, menunggu untuk melihat
seberapa cepat Karen bisa mengikutiku.
Ia tak bisa. Yah, tidak terlalu bisa. Baru maju selusin langkah,
tongkatnya sudah tersandung akar pohon dan ia terjerembap. Aku
membantunya bangun. Waktu mencoba untuk kedua kalinya, ia bisa
melangkah lebih jauh sebelum akhirnya tersangkut di antara semak
belukar. Sementara itu hari semakin gelap, bayang-bayang di sekitar
kami bertambah pekat. Tiba-tiba saja kami tak bisa melihat lebih dari
tiga puluh meter menembus pepohonan. Kami harus bergerak lebih
cepat. Kuletakkan lenganku di bahu Karen.
"Jangan sentuh aku dengan tanganmu yang menjijikkan,
Andalite!" sergahnya.
Aku tidak menarik tanganku. "Kau tahu, aku tidak tahu siapa
Andalite-mu itu, Karen, tapi kau jelas menaruh dendam pada mereka."
Ia tertawa. "Yah, bisa dibilang kami tidak terlalu cocok dengan
Andalite." "Siapa sih 'kami' itu?" tanyaku, supaya kelihatannya aku sama
sekali tak tahu apa-apa. Kami kembali berjalan. Karen mulai lebih mahir menggunakan
tongkat jalannya. Aku terus-menerus memandang ke atas pepohonan.
Macan tutul sering membunuh dengan jalan melompat dari pohon ke
arah mangsanya yang tidak waspada.
"Siapa 'kami'?" ulang Karen. "Kami ini Yeerk. Kerajaan
Yeerk." "Begitu. Jadi kalian, Yeerk, dengan para Andalite ini saling
membenci." Permukaan tanah agak menanjak. Tidak terlalu curam sih,
kecuali untuk orang-orang yang berjalan dengan pergelangan kaki
patah dan menggunakan dahan pohon sebagai tongkatnya.
"Para Andalite adalah makhluk yang suka ikut campur di
galaksi," lanjut Karen. "Selalu saja ingin tahu urusan orang. Kami
punya hak untuk mengadakan ekspansi. Kami punya hak untuk maju.
Tapi kalian, Andalite, tidak berpendapat begitu, ya kan" Bagi kalian
seluruh galaksi harus menjadi milik para Andalite yang hebat."
Ia mencoba memprovokasi aku. Ia mencoba memancingku agar
mengatakan hal-hal yang mengungkapkan bahwa aku bukan manusia
normal. "Jadi, kalau aku ini Andalite, dan para Andalite ini orang-orang
jahat, lalu kenapa aku membantumu?" tanyaku.
Karen berpikir sebentar. "Tidak tahu," ia mengaku.
"Yah, mungkin kau sama sekali keliru mengenai diriku. Kau
pernah berpikir seperti itu" Mungkin aku bukan serigala atau Andalite
atau apa pun. Aku hanya cewek normal biasa."
Ia tak mengatakan apa-apa. Kami terus berjalan, menembus
alam yang semakin kelam. Aku mulai memunguti ranting-ranting
kecil yang tampak cukup kering.
Kami sampai di kaki semacam bukit rendah yang menjulang
tepat di depan kami. Tingginya tak lebih dari lima belas meter. Kami
berbelok ke kanan untuk menyusurinya karena di kiri medannya lebih
sulit. Bebatuan bertonjolan dari permukaan tanah. Dedaunan kering
menyelimuti sepanjang kaki bukit itu. Pepohonan yang gundul
tumbuh di situ dan pepohonan yang lebih besar menghiasi bukit kecil
itu sendiri. Kemudian, tiba-tiba saja, hujan turun. Dengan suara berisik air
hujan bernyanyi menerobos dedaunan pepohonan. Dalam beberapa
menit saja aku sudah basah kuyup seperti tadi, waktu keluar dari
sungai. "Di situ." Aku menunjuk.
"Aku tak melihat apa-apa."
"Di belakang semak-semak itu, tempat gelap itu. Bisa jadi itu
gua." Itu artinya aku harus menerobos semak-semak beri. Karen
takkan bisa menembusnya sampai aku membukakan jalan baginya.
Dan gua itu bisa jadi tak ada di sana sama sekali.
Atau lebih buruk lagi. Mungkin saja di situ ada gua, tapi gua itu
telah dihuni oleh beruang atau bahkan induk serigala beserta anakanaknya.
"Pakai saja ekormu," ujar Karen. "Kau pasti bisa melubangi
semak itu." Aku menghela napas keras-keras. "Bagaimana kalau aku
menerobosnya saja" Aku perlu tongkatmu untuk menebas sebagian
semak itu. Kau duduk di batu dulu, ya?"
Karen duduk di atas batu. Aku mengambil tongkatnya dan
mulai menebas-nebas semak-semak itu. Aku sengaja seberisik
mungkin. Kalau ada yang tinggal di gua itu, aku ingin makhluk itu
tahu. Kau pasti tak mau mengejutkan beruang. Pokoknya pasti tidak
mau deh. Ketika langkahku semakin maju, semakin jelas kelihatan bahwa
di sana benar-benar ada gua. Kuperhatikan permukaan tanah di
sekitarku kalau-kalau aku bisa melihat jejak apa pun. Tapi kalau hujan
begini, mana ada jejak yang tersisa"
Aku menoleh. Aku nyaris tak bisa melihat Karen. Ia jelas tak
bisa melihatku. Kalau pintar, aku akan morf sekarang. Mungkin jadi
serigala lagi. Hidung serigala bisa langsung tahu apakah ada sesuatu
di gua itu. Aku membungkuk dalam-dalam. Konsentrasi ke DNA serigala
yang sudah menjadi bagian diriku. Dan, dengan seorang Pengendali
hanya enam meter dariku, aku mulai morf.
Chapter 10 KURASAKAN kakiku mengecil, tapi tidak melemah.
Kurasakan dada dan bahuku melebar dan membesar. Wajahku mulai
menonjol ke luar. Kalau kau bukan anggota Animorphs lagi, jangan gunakan
kemampuan itu. Aku mendengar suara Jake di kepalaku. Suara itu
mengejutkanku, begitu jelas dalam ingatanku.
Tidak akan. Itulah yang kukatakan.
Kau akan kepingin. Tapi kalau kaulakukan juga, kau akan
menghadapi risiko tertangkap. Risiko itu bisa diterima bila kau mau
membantu kami. Tapi kalau kau mundur, kau tidak boleh
menggunakannya lagi. Sudah kubilang aku tidak akan morf lagi, Jake. Aku bukan
pembohong. Aku berhenti morf. Aku masih setengah manusia. Tapi juga
setengah serigala. Dan pendengaranku sudah jauh lebih tajam
daripada pendengaran manusia.
Aku demorph secepatnya. Dan pada saat yang sama aku
meluncur maju, membuka jalan di depanku dengan tongkat Karen.
Tak ada pilihan lagi sekarang.
Ratu Bukit Brambang 1 Candika Dewi Penyebar Maut V I I Kisah Para Pendekar Pulau Es 12