Sastra Jendra Hayuningrat Karya Agus Sunyoto Bagian 3
Saya memahami, bahwa orang-orang dengan kecerdasan setingkat Dyah Prawitasari pemikirannya cenderung menggunakan logika otak-atik mathuk, yaitu mempersamakan secara identik kemiripankemiripan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Karena itu, dengan membayangkan cerita wayang Bhagawan Abiyasa yang menurunkan Pandawa dan Kurawa, dia membayangkan bahwa dengan mengawini saya maka dia akan memiliki anak-anak yang tampan dan ayu seperti dia sekaligus berotak brilian seperti saya. Ya, anak-anak yang tampan dan ayu merupakan warisan dari dia, dan kebrilianan otaknya warisan dari saya. Padahal, yang justru saya khawatirkan adalah terjadinya kebalikan dari teori otak-atik mathuk yang digunakan oleh Dyah Prawitasari itu.
Sungguh saya tidak bisa membayangkan, apabila dari perkawinan saya dengan Dyah Prawitasari itu itu lahir anak-anak yang buruk rupa yang cara hidupnya semrawut dengan otak jongkok. Naudzubillah. Sungguh, saya tidak bisa membayangkan apabila anakanak kami berwajah buruk, hidup seenaknya seperti orang sudrun seperti saya, tetapi bodohnya seperti ibunya. Alamak, ini akan menjadi neraka dunia bagi saya, karena harus memiliki anak-anak buruk rupa dan goblok.
Akhirnya, saya memutuskan untuk menghindar saja dari Dyah Prawitasari. Saya merasa lebih baik tidak perlu kawin dengan dia daripada saya punya anak yang jelek dan dungu. Dan saya benar-benar tertawa terpingkal-pingkal setelah mendengar kabar bahwa Dyah Perwitsari akhirnya kawin dengan seorang dokter hewan. Dan saya makin tertawa terpingkal-pingkal ketika suatu hari saya iseng-iseng menyuntikkan ayam babon saya ke tempat praktik suami Dyah. Kenapa saya tertawa terpingkal-pingkal, karena untuk menyuntik ayam saja, saya dipungut biaya Rp5000, sementara saya membeli ayam itu di pasar hanya seharga Rp3000.?"?"
Nasib manusia memang sudah diprogram sempurna dalam satu kemasan disket misterius. Karena kemisteriusan nasib itulah, maka sering orang berbeda pendapat sekitar otoritas nasib terhadap perjalanan hidup manusia. Saya sendiri secara pribadi menyakini bahwa nasib segala sesuatu sebenarnya sudah digubah dan diprogram secara rinci. Hanya ketidaktahuan manusialah yang menimbulkan berbagai selisih pendapat. Oleh karena itu, saya sering merasa takjub dengan berbagai pengalaman yang saya alami yang benar-benar di luar program yang saya kehendaki.
Saya sering merenung-renung akan semua perjalanan hidup yang pernah saya lewati. Pertalian demi pertalian saya dengan para perempuan yang dalam rentangan kenangan saya, rasanya terjadi begitu mendadak dan tidak bisa saya elakkan kejadiannya. Saya merasa seperti diseret oleh suatu arus misterius yang memaksa saya untuk menghanyutkan diri di sungai nasib, meski saya sering sadar dan berusaha mengapaigapai mencari pegangan agar tidak hanyut lebih jauh.
Yang cukup membuat saya bersyukur sekarang ini, bahwa saya sepertinya memilki kewaspadaan tertentu untuk dapat melihat dorongan-dorongan misterius yang menyeret nasib saya. Saya merasakan bahwa dalam segala gerak-gerik saya, seolah-olah ada sesuatu yang misterius yang ikut campur menentukan alur dan arah hidup saya, meski Saya tidak pernah tahu tentang apa dan siapa sesuatu yang misterius itu. Karena menyadari adanya sesuatu yang misterius itulah, saya merasa harus berhati-hati dan selalu meneliti segala gerak dan langkah saya. Kalaupun sesuatu yang misterius itu tidak dapat saya hindari, maka setidaknya ketika saya sedang diseret oleh kekuatannya, saya selalu bisa memohon pertolongan Ilahi agar saya tidak terlalu hancur dihantamkan ke karang kehidupan olehnya. Dan apa yang saya alami dengan kemampuan saya dalam memantau sesuatu yang misterius yang merupakan bagian dari kumparan nasib orang seorang itu, baru saya rasakan setelah saya mempelajari tentang dzat dan sifat iblis.
Dalam waktu yang cukup lama, saya diam-diam sering bertanya kepada orang-orang yang melakukan pembunuhan, perkosaan, penganiayaan, perampokan, dan tindak kejahatan yang lain. Saya selalu memperoleh jawaban, bahwa mereka sebenarnya mengetahui akan perbuatannya yang tidak baik dengan segala risikonya itu. Tapi, begitu mereka mengaku, mereka merasakan seperti terperangkap oeh suatu kekuatan misterius yang maha dahsyat yang tidak mampu mereka elakkan sehingga mereka melakukannya dalam keadaan khilaf . Ya, setiap tindakan yang dilakukan manusia, sepertinya didahului dengan peristiwa khilaf .
Soal khilaf yang misterius itu, diam-diam telah menimbulkan obsesi bagi saya dalam kurun bertahuntahun, sampai saya menjumpai Kiai Said Bhagawan yang tinggal di sebuah pesantren di kaki Gunung Semeru, yang dengan gamblang menjelaskan kepada saya perihal khilaf itu. Dengan gaya yang aneh dan agak sudrun, Kiai Said Bhagawan menjelaskan kegiatannya dalam bercanda dengan Tuhan, di mana beliau yang memiliki ketajaman pandangan batin itu, seperti mampu melihat getaran daya gaib yang hendak membuat khilaf dirinya. Kemudian dengan memohon rahmat dan hidayah dari Allah, beliau berusaha menyingkir dari kekhilafan yang hendak diperbuat- Nya. Sejauh ini, ungkap Kiai Said, ia selalu berhasil menghindar dari kekhilafan yang dibuat-Nya. Tetapi, ia tidak yakin bahwa selamanya akan begitu, karena Dia pastinya tidak akan membiarkan ada makhluk ciptaan-Nya bisa lepas bebas dari kehendak-Nya sehingga makhluk-Nya itu menjadi lebih hebat dari penciptanya.
Satu pengalaman menegangkan sekitar sesuatu yang misterius yang bisa membuat orang khilaf itu, setidaknya pernah saya alami ketika saya menjalin hubungan dengan Sayempraba Sulistyowati, yang tidak lain dan tidak bukan adalah kawan saya. Jujur Saya akui bahwa Sayempraba kawan saya ini, sangat lain dan sangat berbeda dengan siluman Sayempraba yang penggoda Hanoman, meski keduanya memiliki watak yang hampir sama. Sayempraba kawan saya itu adalah istri Kala Marica dan sudah memiliki dua orang anak.
Sejauh pengetahuan saya, Sayempraba memiliki watak dan sifat yang buruk menurut katuranggan Jawa.
Dia suka mengobral kebusukan mertua maupun suaminya kepada siapa saja di antara orang-orang yang dijumpainya. Dia juga sering mengobral kebusukan kawan-kawan dekatnya kepada siapa pun orang yang diajaknya bicara. Ia tipe perempuan yang menjengkelkan, terutama dengan pengakuan-pengakuannya yang sering menceritakan jika dirinya selalu diuber-uber oleh banyak lelaki.
Bagi saya, segala apa yang dilakukan oleh Sayempraba pada dasarnya hanya merupakan rangkaian upayanya saja agar ia bisa menuai simpati dan pujian dari orang lain. Sayempraba memang tergolong orang yang gila hormat dan gila pujian. Anehnya, suaminya yang agak senewen tidak pernah memujinya, malah sering memukul-menendang-mendupak-mencacinya. Segala perbuatan Kala Marica yang brengsek dan kampungan itu, tentu saja menjadi pengetahuan umum karena Sayempraba selalu menceritakan segala ikhwal penderitaannya kepada siapa pun di antara makhluk yang dijumpainya.
Sebagai kawan, saya sering dimintai pendapat oleh Sayempraba sekitar nasibnya yang kurang beruntung. Saya pun ketika itu dengan penuh kecongkakan memberikan pengetahuan agama yang cukup mendalam terhadapnya seolah-olah saya adalah seorang syaikh, pewaris Nabi. Tapi nasib yang dialami oleh Begawan Wisrawa yang memberi wejangan Sastra Hajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu kepada Dewi Sukesih, justru terjadi atas saya. Tanpa sadar, pertemuan saya dengan dia, telah menimbulkan magnet kuat dalam diri saya dan Sayempraba, terutama saat badai prahara dengan mendadak begitu dahsyat menggoncang kehidupan Sayempraba, dengan akibat rumah tangganya berantakan. Sayempraba mengajukan gugatan cerai kepada suaminya, yang ditudingnya telah melakukan tindak kekerasan terhadapnya, baik kekerasan fisik maupun kekerasan psikologis.
Saya ketika itu tidak menyadari bahwa sesuatu yang misterius sedang terjadi atas diri saya. Selama beberapa waktu, saya mengalami khilaf . Dalam keadaan yang kacau balau di tengah prahara itu, saya dan Sayempraba sepakat untuk menikah saja di depan modin. Waktu itu, saya hanya merasa iba dan berusaha melindungi Sayempraba beserta anak-anaknya. Tetapi seperti Hanoman tergiur oleh pesona birahi yang ditebar Sayempraba, saya pun selama beberapa waktu menjadi buta dan tuli. Batin saya seperti terselubungi oleh tirai tebal tak tembus cahaya. Saya sehari-hari sibuk dengan hal-hal yang menyangkut Sayempraba. Jagad raya semesta ini seolah-olah berubah menjadi serba Sayempraba, sehingga di mana pun saya berada senantiasa saya teringat pada Sayempraba; ke mana pun saya berpaling seolah-olah menyaksikan wajah Sayempraba.
Keterperangkapan jiwa saya oleh pesona Sayempraba Sulistyowati benar-benar telah membuat saya buta jiwa dan tuli hati. Saya benar-benar terbius oleh pesona jiwa yang meng-khilaf-kan kesadaran saya. Sehingga tanpa sadar saya mengalami ketergantungan kepada Sayempraba, ibarat saya seorang musyrik yang tergantung kepada berhala sesembahannya. Saya merasa benar-benar menjadi manusia paling bodoh sejagad raya.
Badai dahsyat yang tak terduga-duga, mendadak datang memporak-porandakan rencana kehidupan indah yang ingin saya bangun bersama Sayempraba. Entah bagaimana awalnya, tanpa hujan tanpa angin Sayempraba mendadak minggat, menjauh dari saya. Dengan umpatan-umpatan kotor dan caci-maki kasar, dia membusuk-busukkan saya seolah-olah saya adalah bajingan super tengik yang telah membuat hidupnya berantakan. Saya yang sudrun, tentu saja tidak bisa berbuat banyak untuk melakukan pembelaan diri; tetapi saya diam-diam mendoa agar Tuhan memberi petunjuk kepada Sayempraba, meski Sayempraba sendiri selalu merendahkan saya sebagai manusia sudrun yang celaka.
Saya yang menyadari bahwa ke-khilaf-an besar telah saya lakukan, yaitu mengajarkan sesuatu yang bersifat ruhaniyyah yang tidak selayaknya diketahui oleh orang seperti Sayempraba, yang hidupnya masih diliputi hasrat nafsu duniawi yang penuh sanjungan dan pujian dengan bayangan-bayangan kemewahan. Kesadaran akan kekhilafan diri itu yang akhirnya membuat saya pasrah dan hanya menyesali diri sambil memohon ampun kepada Yang Ilahi. Saya sadari benar bahwa saya telah melakukan perbuatan musyrik yang sangat besar.
Saya tidak tahu lagi nasib Sayempraba yang minggat meninggalkan saya. Saya hanya mendengar dari beberapa orang yang kebetulan menjumpainya, bahwa kehidupan Sayempraba tampaknya dihajar oleh nasib buruk. Watak dan sifatnya yang buruk itu ternyata telah memerangkapnya dalam perputaran roda nasib, sehingga ia mirip seekor tupai yang berlari di kerangkengnya. Celakanya, kepada orang-orang yang mengenal saya, dia selalu bicara kalau saya telah menelantarkannya. Padahal dia dengan sengaja minggat sambil membusuk-busukkan saya, dengan masih meninggalkan warisan berupa segunung hutang yang belum terbayar. Alamak!
Segala apa yang pernah saya alami bersama Sayempraba Sulistyowati dan perempuan yang lain akhirnya menyadarkan saya, bahwa tanpa sadar saya telah terperangkap dalam pepujian dan penghormatan berlebihan terhadap nafs saya. Padahal saya sadar bahwa nafs adalah berhala yang paling besar dalam diri manusia. Dan akibat dari kesalahan tersebut, saya menjadi buta dan tuli sehingga tidak mengetahui bagaimana sesuatu yang misterius itu telah membuat saya khilaf dan saya tidak sadar jika telah khilaf.
Sekarang ini, setelah saya diberi karunia Allah untuk bisa memantau sesuatu yang gaib dan misterius itu, saya mendadak menyadari bahwa Saya telah cukup lama terperangkap dari perbuatan syirik satu ke perbuatan syirik yang lain. Saya sadar bahwa pandangan batin Saya sudah sering terpesona oleh yang gair dari Allah. Saya sadar bahwa saya masih sering merindukan bayangan perempuan-perempuan yang tidak lain adalah gair daripada Allah; semua tindakan saya itu tidak lain dan tidak bukan adalah sebuah tindakan syirk-i-khaafi.
Sekalipun saya sudah merasa memperoleh anugerah dengan kemampuan yang diberikan kepada saya dalam bentuk kemampuan merasakan dan menangkap sentuhan daya-daya misterius yang meng-khilaf-an saya, toh Saya tidak bisa memastikan bahwa saya adalah orang yang telah memperoleh petunjuk dari-Nya. Sebab pengetahuan akhir tentang garis-keputusan nasib saya, belumlah saya ketahui sama sekali karena dalam fakta saya belum membaca Lauh-i-Mahfudz. Tetapi, saya juga tidak boleh berprasangka buruk bahwa saya akan disesatkan Allah. Yang pasti, sekarang ini, bagaimanapun saya harus selalu sadar untuk senantiasa berjuang sekuat tenaga menghindari sifatsifat iblis yang mengejawantah dalam nafs saya sambil terus saya bermohon agar terus-menerus beroleh rahmat dan hidayah-Nya.
Ketakjuban saya atas kumparan nasib saya yang belum saya ketahui secara pasti ujung dan pangkalnya, tampaknya telah memukau saya untuk yang kesekian kalinya, terutama ketika saya tiba-tiba mendapati diri saya terlontar di Bombay, sebuah kota di negeri yang jauh: India. Keterlontaran saya ke negeri yang di masa lalu disebut Bharatnagari ini, sebenarnya lebih merupakan kebetulan saja, yaitu ketika tanpa saya sengaja saya telah berhasil menyembuhkan Debendra, seorang warga India, pengusaha kain wool, dari sakitnya yang menahun.
Saya sendiri tidak pernah merasa telah menyembuhkan Debendra. Sebab Debendra sendiri tidak pernah datang berobat kepada saya sebagaimana layaknya orang sakit meminta obat kepada tabib atau dukun atau dokter, apalagi saya hanyalah sudrun yang hidup kabur kanginan alias tak tentu tempat tinggalnya, di mana Saya lebih sering tidur di masjid-masjid dan musholla-musholla daripada di rumah.
Perkenalan saya dengan Debendra sendiri bermula ketika saya membeli kain wool untuk bahan celana. Entah bagaimana awalnya, saya secara tidak sengaja melihat seorang lelaki setengah umur, yang belakangan saya ketahui bernama Debendra, sedang duduk di sudut toko dengan bersandar pada sebuah kursi goyang. Saya melihat bahwa lelaki itu sedang mengidap sakit yang cukup parah meski fisiknya kelihatan masih kukuh. Matanya yang kuyu. Kulit di bawah kelopak matanya yang kendor dan berwarna gelap. Tulang Zyghomathicusnya yang menonjol. Dan rambutnya yang kelihatan banyak rontok, di mana semuanya itu menunjukkan bahwa laki-laki setengah umur itu sedang menderita sakit serius.
Saya sendiri tidak tahu, mengapa hati saya mendadak merasa iba. Kemudian bagaikan tanpa kendali, mulut saya tiba-tiba menyalak dengan mengatakan secara terus terang bahwa lelaki setengah umur itu mengidap penyakit yang serius. Anehnya, begitu Debendra melihat saya, ia langsung berdiri dan memperkenalkan diri.
Saya menduga sampean punya penyakit gula yang mengalami komplikasi dengan liver, kata saya seperti tanpa kendali, Saya juga mengira sampean punya jalur genetika yang cenderung terkena tekanan darah tinggi.
Saya melihat bibir Debendra bergetar keras. Kemudian dengan penuh nafsu dia mengakui kebenaran dugaan saya atas penyakitnya. Dia kemudian menceritakan bahwa dia telah berobat ke berbagai tempat dan ternyata penyakitnya tidak berhasil disembuhkan oleh macam-macam terapi. Bahkan dia mengatakan kalau sekarang ini, dia sedang berada di rentangan jalan yang penuh keputusasaan.
Dalam keputusasaan, begitu Debendra memulai cerita, suatu malam dia bermimpi didatangi seekor kera berbulu putih seperti kapas. Kera putih itu kemudian memberinya makan belalang dan madu hitam serta sejenis akar tertentu. Ajaib, begitu memakan makanan dari kera itu, Debendra merasakan tubuhnya memiliki kekuatan yang luar biasa. Dalam mimpi itu dia tidak merasa sakit apapun. Dia merasa sudah benar-benar sembuh.
Saya berpikir bahwa kera putih yang hadir dalam mimpi saya itu pastilah dewa Hanoman, kata Debendra sambil mengejap-ngejapkan mata meneliti saya dari ujung kaki sampai ujung rambut.
Dipandang dengan tatapan menyelidik seperti itu, tentu saja saya menjadi tidak enak dan serba salah. Saya bahkan merasa bahwa sorot Debendra tampak sekali bernada sangat menyelidik seperti polisi mencermati tersangka maling. Tetapi untuk tidak menyinggung orang yang sedang sakit, saya diam saja sambil mengetuk-ngetukkan tangan ke meja.
Maaf, kalau boleh saya tahu siapa nama sampean" tanya Debendra ingin tahu sambil mengenalkan diri, O ya, nama saya Debendra.
Dengan agak blingsatan saya menjawab, Nama saya Sudrun.
Astaga! seru Debendra kaget dan serentak berseru, Kera putih yang datang kepada saya dalam mimpi itu, menyebut-nyebut kata sudrun berulangulang. Ini ajaib. Ini bukan kebetulan.
Apakah sampean menyangka saya penjelmaan kera putih dalam mimpi sampean itu" tanya saya tersinggung.
Debendra tidak menjawab. Sebaliknya, dengan terbata-bata ia menyuruh saya masuk ke ruang dalam tokonya. Saya lihat peluhnya mengucur deras dari kening, wajah, leher, dada yang membasahi bajunya. Anehnya, saya seperti kerbau tolol dicocok hidungnya, justru menurut saja ke mana saya diajaknya. Dan saya menjadi kaget luar biasa ketika Debendra dengan tibatiba berlutut dan merangkul kaki saya sambil menangis tersedu-sedu, meminta agar saya bersedia menolongnya. Dia merasa yakin bahwa saya adalah penjelmaan dewa Hanoman, sebab dia juga melihat tampang saya agak mirip Pithecanthropus Erectus.
Diamput! Saya misuh-misuh dalam hati karena disamakan oleh Debendra dengan Hanoman dan Phitecanthopus Erectus. Hampir saja darah di otak saya menyembur dan menggelapkan mata saya. Sungguh, saya hampir saja meninju muka Debendra karena secara langsung dan terang-terangan dia telah menuduh saya sebagai Hanoman dan bahkan Phitecantrophus Erectus alias kera yang berjalan tegak mirip manusia. Tapi saya segera menahan diri setelah melihat kepolosan Debendra yang terisak-isak merangkul lutut saya.
Beberapa saat saya merasakan tubuh saya kaku dengan darah mengalir deras di jaringan tubuh saya. Jantung saya, saya rasakan seperti tersentak ketika tanpa sengaja saya melihat bayangan saya di dalam cermin yang dipasang di sudut ruangan. Sekilas saya mendapati kenyataan bahwa tampang saya memang mirip dengan Pithecanthropus Erectus; rambut saya yang menjuntai sebahu awut-awutan; kumis dan janggut saya yang juga awut-awutan; sorot mata saya yang tersembunyi di balik kelopak yang cekung. Sekilas, ya, sekilas; saya memang mirip Pithecantrophus Erectus tetapi kening Saya lebih tinggi; bentuk tengkorak kepala saya sama sekali jauh dari bentuk tengkorak Pithecanthropus Erectus. O tidak, begitu hati saya mengelak, saya tidak sama persis dengan Pithecanthropus Erectus; saya lebih mirip Homo Erectus, Meganthropus Javanicus atau bahkan manusia Cro-Magnon yang agak lumayan sedikit dibanding manusia kera dari Trinil, Kabupaten Ngawi itu.
Diam-diam saya memaklumi, kenapa Debendra menangkap kesan bahwa saya adalah penjelmaan Hanoman, tokoh mitologi India kuno yang berwujud kera berbulu putih itu. Tapi bagaimana pun saya tetap tidak rela dianggap sebagai kera bahkan sebagai manusia kera, sebab bagi saya, bagaimana pun sakti dan hebatnya Hanoman, saya lebih suka menjadi manusia meski hanya menjadi tukang becak, kernet, penyemir sepatu, atau bahkan kuli daripada harus menjadi kera yang sakti dan dipuja-puja seperti Hanoman. Oleh karena itu, saya menyanggupi saja untuk mengobati Debendra asalkan dia mau mengikuti jalan saya.
Dengan nada gembira, Debendra menyatakan setuju dengan syarat yang saya ajukan bahkan dengan tulus dia mengatakan, jangankan menjadi pengikut jalan kebenaran, bahkan andaikata dia disuruh menyembah saya pun, dia akan mematuhinya. Kesanggupan Debendra itu tentu saja menggembirakan saya, sebab selain saya bisa memberinya petunjuk yang benar sesuai keyakinan saya, dia juga tak lagi akan menganggap saya sebagai kera jelmaan Hanoman.
Seperti apa yang pernah diimpikan, saya mengobati Debendra dengan memberikannya makanan berupa belalang jangkrik serangga yang digoreng tanpa minyak ditambah menelan binatang undurundur, lalu meminum madu hutan dan rebusan akar pohon pule pandak dan daun sambiroto. Selain itu, saya melatih jenis olahraga dan pernapasan tertentu yang dilakukan setiap kali usai bersembahyang. Ajaib bin aneh, dalam waktu sekitar tiga puluh enam hari gula darah dan tekanan darah Debendra dinyatakan normal oleh dokter. Jika kondisi itu bisa dipertahankan, kata dokter, peluang hidup Debendra masih 25- 35 tahun lagi dan penyakitnya bisa dianggap telah sembuh.
Kegembiraan Debendra tak terbayangkan lagi dengan hasil diagnosa terakhir dokter kepercayaannya itu. Dengan mata bersinar dan napas tersengal-sengal dia mendatangi rumah saya. Dia mengatakan mau memenuhi apa saja permintaan saya. Bahkan dalam kegembiraan yang meluap-luap, ia mengajak saya ke showroom untuk membeli mobil yang akan diberikannya kepada saya. Tetapi ajakan itu tentu saja saya tolak. Rupanya Debendra tetap ingin memberikan sesuatu bagi saya, sehingga ia mengajak saya ke developer untuk membelikan rumah Saya. Dengan pandang penuh harap dia memohon agar saya tidak menolak rasa syukurnya dengan memberikan sesuatu kenangan yang berharga bagi saya.
Saya sendiri menjadi bingung dengan keinginan Debendra. Saya hanya bisa menggaruk-garuk kepala saya yang tidak gatal. Dan dari berbagai tawaran Debendra, akhirnya hanya satu yang saya terima, yaitu ajakannya untuk mengunjungi tempat kelahirannya di Bombay, di mana dalam sakitnya dia pernah bernadzar bahwa apabila sembuh dia akan pulang kampung untuk menziarahi tempat-tempat keramat di kotanya. Nah, untuk tujuannya yang terakhir itulah saya dengan tegas menyatakan tidak bisa mengikutinya. Saya dengan terus terang menyatakan hanya ingin mengetahui suasana di luar negeri, karena saya memang tidak pernah ke luar negeri. Saya tegaskan pula bahwa saya ingin menikmati suasana di India dengan sekehendak saya, di mana saya ingin benar-benar menghayati kehidupan yang indah di India sebagaimana yang pernah saya lihat di film-film India yang saya gemari; saya ingin menonton film-film Rishi Kapoor, Hema Malini, kemerduan suara khas penyanyi senior Latta Mangeshkar dengan iringan musik Ravi Shankar.
TUJUH M atahari sudah menggelinding sembilan
kali di langit Bombay ketika keanehan lelaki tua yang belakangan saya ketahui bernama Chandragupta menerkam jiwa saya. Keanehannya rasanya hanya bisa saya rasakan sendiri, karena orang-orang di Masjid Zakaria lebih menganggapnya sebagai orang senewen yang suka tidur-tiduran di teras masjid dan ikut-ikutan bersembahyang berjamaah kalau waktu sembahyang tiba.
Penampilan Chandragupta sebenarnya tidak begitu mencolok seperti lazimnya orang tidak waras yang berpakaian tambal-tambal. Dalam penilaian saya, dia terkesan berpenampilan bersih dengan pakaian yang selalu tampak seperti dicuci setiap hari. Rambutnya yang tergerai sebahu dan kelihatan awut-awutan, kalau dilihat lebih dekat sebenarnya bersih dan mengkilat seperti diminyaki dengan di sana-sini terlihat uban menghiasi. Semula saya sempat membayangkan bagaimana rambut Chandragupta yang awut-awutan itu dihuni beribu-ribu kutu atau bahkan kecoak. Namun setelah saya amati lebih cermat, ternyata sangat bersih dan mengesankan sering dikeramasi.?"?"
Waktu keanehan Chandragupta itu saya ceritakan pada Tuan Arvind, pemilik rumah di Jl. Yusuf Maherelli Nomor 867, yang kamar bagian samping rumahnya saya sewa, dia hanya tertawa dengan sorot mata seperti menertawakan ketololan saya. Tuan Arvid yang seorang tokoh modernis Islam itu kemudian menceritakan kepada saya bahwa lelaki tua bernama Chandragupta itu, sejatinya adalah orang sinting yang tak pernah diketahui dari mana asal-usulnya. Orangorang, begitu Tuan Arvind berkisah, tak pernah melihatnya mandi atau mengambil air wudhu. Orang juga tak pernah melihatnya memakai sandal apalagi sepatu. Jubah hitam yang dipakainya selalu itu-itu juga. Kalau kebetulan dia di masjid Zakaria, orang justru sering melihatnya bicara sendiri seolah-olah mengeluhkan penderitaan hidupnya.
Dulu, begitu tutur Tuan Arvind, jamaah Masjid Zakaria pernah beramai-ramai mengusir Chandragupta karena mereka menyangka dia sebagai yogi yang kesasar dan tidur-tiduran di masjid. Namun, lanjut Tuan Arvind, si tua Chandragupta itu terus saja datang ke masjid untuk sekadar menyapu halaman atau mengepel lantai. Orang-orang di masjid akhirnya membiarkan saja Chandragupta yang tidak waras itu berkeliaran di masjid, terutama setelah dia berhasil menangkap beberapa orang yang mencuri sandal jamaah. Orang-orang bahkan merasa beroleh keuntungan dengan kehadiran Chandragupta, terutama untuk menjaga keamanan dan kebersihan masjid.
Tuan Arvind sendiri pernah memberinya uang sekadar untuk membeli makanan. Tetapi si tua sinting itu, ungkapnya, menolak dengan mengatakan bahwa dia tidak makan sesuatu dari sedekah orang-seorang. Penolakan itu benar-benar membuat kecewa Tuan Arvind, sehingga dia menganggap Chandragupta itu sebagai orang melarat yang sombong, yang tidak disukai dan dibenci Allah.
Keterangan Tuan Arvind tentang Chandragupta makin menumbuhkan tanda tanya di otak saya. Sebab sejak saya melihat keanehan Chandragupta, Sirr-i- Asrar yang sering mengelebat di pedalaman jiwa saya tidak sekalipun manifestasikan diri. Padahal keingintahuan saya tentang Chandragupta sebagai manusia yang aneh itu, saya rasakan semakin menyentak dan menarik kesadaran saya, sehingga saya seolah-olah terseret oleh suatu kekuatan tak kasat mata ke suatu dimensi asing yang sebelumnya belum saya ketahui.
Yang membuat saya sangat heran, ketika suatu sore saya mendekati Chandragupta yang sedang dudukduduk di teras Masjid Zakaria, mendadak saja saya merasakan tubuh Chandragupta seperti memancarkan medan magnit yang kuat yang membuat tubuh saya seperti terseret sebuah arus misterius untuk mendekatinya. Anehnya, ketika saya mendekatkan tubuh saya ke tubuhnya, saya justru merasakan adanya daya getar magnet yang menolakkan tubuh saya untuk menjauh darinya. Dan saat saya memaksa untuk mendekatinya, kepala saya tiba-tiba terasa memberat. Lalu perlahanlahan saya merasakan kepala saya yang memberat itu semakin berat dan bahkan hampir meledak terutama saat tanpa sengaja saya semakin mendekati Chandragupta, yang secara menakjubkan dari tubuhnya saya baui wangi lembut kesturi seperti yang pernah saya baui di makam Syaikh Maulana Malik Ibrahim.
Dengan kepala memberat dan hampir meledak penuh dijejali tanda tanya, saya berusaha sekuat daya mendekati Chandragupta. Tetapi saat jarak saya dengannya tinggal sejangkauan, dengan gerakan cepat seperti angin ia melesat meninggalkan saya, masuk ke dalam tempat wudhu. Dengan kepala memberat berdenyut-denyut, saya menunggunya keluar dari tempat wudhu. Tetapi sampai malam, saya tidak sedikit pun melihat bayangannya. Ini aneh, karena jalan masuk ke tempat wudhu hanya satu dan saya dari teras masjid bisa melihat siapa saja yang keluar dan masuk ke tempat wudhu itu. Bahkan saat saya masuk ke tempat wudhu itu mencari-cari Chandragupta, tak sedikit pun saya melihat bayangannya.
Pulang dari Masjid Zakaria, saya berharap bisa ketemu Chandragupta baik sengaja maupun tidak sengaja. Tapi sampai esok hari saya tidak melihat secuil pun bayangannya. Bahkan dalam tempo tiga hari saya tidak sekali pun melihatnya. Anehnya, saya tiba-tiba menjadi kebingungan seperti anak ayam kehilangan induk. Entah apa yang sedang saya alami, saya mendadak saja merasa seperti kehilangan suatu yang berharga dari dalam diri saya. Saya merasa ada rongga besar yang bersemayam di dada saya dan saya tidak bisa menutupnya. Sementara pikiran saya menjadi bingung, karena saya merasa seperti terperangkap ke suatu labirin dengan banyak jalan yang memusingkan yang penuh lingkaran setan dan jalan buntu yang membingungkan. Berhari-hari saya berkeliaran di Masjid Zakaria dengan pikiran selalu membayangbayangkan si tua Chandragupta dengan segala keanehannya. Saya tidak tahu, kenapa saya terus memikirkan dan membayang-bayangkannya seolah-olah saya sedang membayangkan seorang gadis dalam kasmaran.
Menyadari ketidakwajaran yang saya alami, saya buru-buru berusaha mengalahkan desakan rasa ingin tahu saya terhadap si tua Chandragupta itu. Tetapi semakin saya berusaha menyingkirkannya, saya justru merasakan pikiran saya seperti ditarik oleh suatu kekuatan dahsyat yang menyentakkan seluruh jaringan kesadaran saya. Bayangan Chandragupta seolah-olah memburu ke mana pun saya pergi; Saya bahkan merasa seperti masuk ke sebuah labirin yang membingungkan yang dinding-dindingnya ditempeli foto Chandragupta dengan berbagai ekspresi; ada yang tertawa, tersenyum, meringis, mencibir, merengut, marah, menyeringai, dan sejuta ekspresi yang lain yang mengacaukan pikiran dan menegangkan jiwa saya.
Satu senja seusai sembahyang Isya , saya sengaja tidak pulang ke kamar sewaan saya yang jaraknya hanya dua-tiga ratus meter dari Masjid Zakaria. Hal itu saya lakukan, karena sekelebatan saya sempat melihat sosok Chandragupta berada di antara deretan jamaah sembahyang Isya. Dan kalau tidak salah melihat, seusai sembahyang berjamaah saya menyaksikan bayangan Chandragupta duduk-duduk di undak-undakan masjid sambil memijit-mijit kakinya.
Terus terang, sekalipun Chandragupta mengesankan sinting, saya merasakan kegentaran di hati saya setiap kali Saya berusaha mendekatinya. Oleh karena itu, sebelum mendekatinya, saya mengambil al-Qur an dan membaca surat Yunus yang sudah saya hafal sambil sesekali saya mengamati gerak-gerik Chandragupta. Sejenak saya melihatnya menggumam sendiri seolaholah ia memang orang edan yang berbicara pada dirinya sendiri. Dia terus menggumam seperti bicara tetapi kadang-kadang terdengar seperti orang berzikir.
Jantung saya tiba-tiba saya rasakan meletus ketika si tua Chandragupta dengan suara lantang mengulang-ulang bagian surat Yunus yang saya baca. Saya mendengar suaranya merdu dengan irama sangat mempesona. Dan jantung saya benar-benar saya rasakan seperti akan meledak ketika si tua Chandragupta mengomel keras dan mengumpati saya seolaholah dia menyalahkan saya yang dianggapnya telah membaca al-Qur an seenaknya.
Saya terlonjak mendekat, karena saya mengira bahwa inilah waktu yang tepat bagi saya untuk menguak misteri keanehan Chandragupta yang telah menggempur pikiran dan jiwa saya selama beberapa hari ini. Sambil buru-buru meletakkan al-Qur an di tempatnya, dengan isi dada menggemuruh dan jantung berdebar-debar, saya melangkah mendekati Chandragupta. Entah apa yang sedang saya alami, sewaktu saya mendekati Chandragupta, saya rasakan tubuh saya sangat ringan seperti melayang-layang di angkasa tanpa gravitasi.
Menghadapi si tua Chandragupta adalah menghadapi sesuatu yang aneh, yang membuat saya seperti menghadapi suatu misteri mencengangkan. Bayangkan, biji mata Chandragupta yang melesak ke dalam cekungan kelopak matanya yang terkesan seperti orang kekurangan makan, ternyata memiliki daya tikam yang menggetarkan seolah-olah mata itu mampu menembus pedalaman saya; dagu Chandragupta yang keras ditumbuhi bulu-bulu lebat yang menggantung di rahangnya, menurut rabaan saya menunjukkan fisionomi orang dari kalangan bangsawan, apalagi kulitnya yang putih kemerahan menunjukkan bahwa dia bukanlah orang Bengali; saya menduga Chandragupta mestilah orang dari Aryawarta, yaitu Kashmir karena sepintas sosoknya yang tinggi besar mirip tokoh Bisma yang pernah saya tonton dalam serial film Mahabharat. Ya, kalau saja Chandragupta tidak tampil semrawut awut-awutan, tentu dia akan terlihat gagah dan penuh wibawa.
Berbeda dengan kesan dan penilaian orang yang cenderung menilainya tidak waras, Si tua Chandragupta pada kenyataanya adalah orang yang sangat sopan santun, begitu setidaknya penilaian saya terhadapnya saat kami berbincang-bincang di teras Masjid Zakaria meski sesekali dia membicarakan sesuatu yang tidak saya mengerti maksudnya. Tutur katanya yang lemah-lembut dan berisi, menunjukkan bahwa Chandragupta memang bukan orang kampungan. Omongannya teratur dan mendalam, menandakan dia seorang yang cerdas dan berwawasan luas. Bahasa Inggris yang digunakannya pun selama berbincang dengan saya, jauh melebihi kemampuan saya berbahasa Inggris yang saya pelajari secara otodidak.
Beberapa jenak berbincang dengan Chandragupta, saya memperoleh kesan bahwa dia memiliki ilmu pengetahuan yang luas dan ilmiah. Omongannya tidak sedikitpun menyinggung soal-soal mistik apalagi yang berbau mitos. Diam-diam saya terperangkap oleh kesan bahwa di dalam kepala Chandragupta mestilah tersimpan sebuah perpustakaan mini atau seperangkat disket yang berisi jutaan data. Sebab ia seperti hafal semua hal yang kami perbincangkan mulai masalah agama, politik, sosial, ekonomi, sejarah, musik, film, sampai seni, budaya, psikologi, dan filsafat.
Diam-diam saya menyayangkan potensi luar biasa dari manusia Chandragupta yang ada di hadapan saya ini. Seharusnya, begitu menurut penilaian saya, Chandragupta bisa menjadi seorang guru besar bidang filsafat atau psikologi. Namun yang justru tidak saya mengerti, mengapa dia lebih suka menjadi gelandangan yang hidup berkeliaran dari satu masjid ke masjid lain. Dia tampaknya lebih menyukai hidup seperti burung yang hinggap dari satu dahan ke dahan lain daripada hidup terhormat sebagai ilmuwan. Bahkan saya tidak pernah tahu, apakah dengan menggelandang itu dia memiliki anak dan istri, sebab setiap kali saya melihatnya, dia selalu terlihat sendirian seperti seorang yogi pengembara yang berjalan membawa buntalan kecil yang entah apa isinya.
Chandragupta memang manusia sinting yang aneh. Siapapun yang melihatnya mesti akan menduga dia tidak waras. Saya sendiri membayangkan, andaikata dia hidup di Surabaya, tentulah dia akan disebut Kiai Sudrun atau bahkan Kiai Gendeng karena dia memang seperti orang tidak waras. Bagi Saya sendiri, sebutan kiai memang cocok untuk Chandragupta yang begitu mendalam pengetahuan agamanya apalagi dia hafal al-Qur an di luar kepala. Yang tidak habis saya pikir, justru penampilannya yang sepertinya disengaja menimbulkan kesan bahwa dia adalah manusia yang tidak waras, meski pada kenyataannya dia begitu cerdas dan berpengetahuan luas.
Membayang-bayangkan Chandragupta dan mengaitkannya dengan keberadaan saya, diam-diam membuat saya merasa ngeri sendiri. Apakah satu ketika nanti Saya akan menjadi manusia sinting seperti dia" Bukankah sekarang ini saja orang-orang sudah menganggap saya sebagai orang sudrun bernama Sudrun" Apakah Chandragupta dulu awalnya mengalami proses ke-sudrun-an seperti saya"
Semakin membayangkan dan memikirkan Chandragupta, tanda tanya semakin mengganas di otak saya; Chadnragupta yang selalu berjalan sendiri; yang selalu menggumam sendiri; yang selalu memijit-mijit kakinya sendiri, seolah-olah dia hidup dari dan untuk dirinya sendiri. Boleh jadi, karena penampilan yang seperti itu, maka orang mencari gampangnya saja dengan mengatakan bahwa dia adalah orang gila. Anehnya, si tua Chandragupta kelihatannya cukup puas dengan anggapan itu. Buktinya, ia tidak suka didekati orang lain. Dia juga tak mau diberi sedekah orang lain. Ia tidak pernah menggubris orang lain sebagaimana orang lain tidak menggubris keberadaan dirinya.
Rupanya, seperti yang sudah saya duga sebelumnya, Chandragupta memiliki insting yang sangat kuat dan mata batin yang sangat tajam sehingga dia bisa memantau gerak dan kilasan tanda tanya di benak saya. Dan seperti menyindir kecamuk pikiran yang bergalau di benak saya, Chandragupta berkata sambil mengutip cerita-cerita, yang kalau dirangkai kira-kira seperti ini:
Camkanlah akan satu kisah, wahai Sudrun, bahwa di satu siang ada seekor anjing yang mendekati seorang sufi. Anjing itu menggeser-geserkan kepalanya ke jubah sang sufi. Dan tanpa bilang bah atau buh lagi, sang sufi pun mengambil sepotong kayu dan menghajar anjing itu sampai si anjing babak belur.
Anjing itu pun mendatangi Syaikh-i-Akbar dan melaporkan akan halnya yang teraniaya. Syaik-i-Akbar yang bijak pun bertanya kepada si anjing, mengapa dia sampai mendekati sang sufi yang kejam itu. Si anjing pun mengatakan bahwa dia tidak menduga sama sekali bahwa orang sufi itu akan menghajarnya, karena dia beranggapan bahwa setiap orang yang memakai pakaian darwis adalah orang sufi yang penuh kasih sayang dan kebijaksanaan. Tahukah engkau akan makna tersembunyi di balik kisah ini"
Saya mengerti, sahut saya manggut-manggut, Rupanya anjing itu terperangkap oleh penglihatan inderawi yang keliru, di mana dia menganggap setiap orang yang berpakaian darwis mesti seorang sufi yang bijak dan penuh kasih sayang. Anjing itu adalah simbol dari orang yang cenderung melihat sesuatu dari bentuk luar sehingga menyesatkan.
Chandragupta terkekeh-kekeh mendengar kesimpulan saya. Kemudian sambil manggut-manggut dia bercerita lagi, seperti ini:
Renungkanlah kisah Khidir waktu datang di sebuah kota, di mana Khidir memberi peringatan kepada seluruh penduduk kota bahwa di satu saat yang tidak lama lagi akan terjadi satu bencana hebat. Bencana hebat itu, menurut Khidir, adalah berubahnya air dari kemurniannya sewaktu terkena cahaya matahari yang sudah berubah, di mana orang-orang yang meminum air di kota itu akan menjadi gila. Khidir tidak memberitahu penduduk kapan perubahan matahari dan air itu akan terjadi. Dia hanya mengatakan suatu saat yang tidak lama lagi kepada penduduk.
Seorang sufi yang arif begitu mendengar wasiat Khidir, buru-buru berusaha sekuat tenaga untuk menyimpan air di dalam gua dalam gentong-gentong agar tidak terkena cahaya matahari. Hari-hari dilewati tanpa sedikit pun dia pernah minum air di kotanya. Dia selalu minum air dari gentong-gentongnya di dalam gua meski untuk itu dia harus berjalan cukup jauh ke gua yang terletak di gunung itu.
Satu ketika, perubahan air pun terjadi. Seluruh penduduk kota mendadak mengalami gila massal setelah minum air yang terkena cahaya matahari, kecuali orang sufi yang minum air simpanannya yang di dalam gua. Tetapi betapa kagetnya orang sufi itu ketika dia kembali di kota dan mendapati penduduk yang gila massal itu justru menuduhnya gila. Ya, seluruh penduduk kota yang telah menjadi gila itu beramairamai menuduh orang sufi itu telah gila karena mendalami ilmu gaib yang membuat pikiran dan jiwanya tidak waras alias gila.
Orang sufi yang arif itu dengan kebingungan mencoba menjelaskan akan halnya kepada seluruh keluarga dan kerabat serta kawan-kawannya. Tetapi, semua orang tetap menganggapnya sebagai orang gila yang tidak bisa diajak berkomunikasi karena omongan dan perilaku si sufi tidak lagi bisa dimengerti. Demikianlah, seluruh penduduk kota itu pun menjuluki si sufi dengan gelar: darwis majnun.
Akhirnya, si orang sufi yang semasa hidupnya selalu dipuji-puji dan dihormati oleh seluruh penduduk kota itu menjadi terguncang. Dia menjadi bimbang dengan apa yang pernah diwasiatkan Khidir.
Lalu dia pun dengan serta-merta pergi ke dapur rumahnya untuk meminum air yang sama dengan yang diminum oleh warga kota. Baru seteguk meminum air, sufi itu pun menjadi gila. Tetapi penduduk kota justru menyambutnya dengan sukacita dan menganggapnya telah sembuh dari pengaruh jahat ilmu gaib. Nah, mengertikah engkau dengan makna kisahku ini"
Beromong-omong secara bebas dengan Chandragupta, ternyata memberikan pengalaman baru yang menakjubkan yang sebelumnya belum pernah saya alami. Entah bagaimana prosesnya, selama beromongomong itu saya merasakan semacam keanehan menyerbu kesadaran saya. Tanpa saya sengaja, tiba-tiba saya menyadari bahwa apa yang selama ini saya peroleh dari masyarakat dengan gelar sudrun pada dasarnya memiliki makna yang amat dalam bagi perjalanan hidup saya. Chandragupta, yang melihat sesuatu bukan lagi dari wujud fisik melainkan dari wujud hakiki yang tersembunyi di balik makna esensi dan eksitensi sesuatu, dengan gamblang membongkar secara utuh seluruh rahasia yang tersembunyi di dalam relungrelung terdalam kehidupan saya. Lalu sambil bergurau dia membicarakan manusia-manusia terkutuk yang berpura-pura sembahyang di masjid tetapi niatnya mencuri sandal dan sepatu; dia bercerita tentang Tuan Vi Jay, pengusaha kaya raya yang suka membagibagikan sedekah kepada para gelandangan dan orang miskin, sejatinya telah melakukan perbuatan yang sepintas tampak mulia tetapi sebenarnya berisi kebusukan.
Bagaimana sampean bisa menilai orang seperti itu" tanya saya heran, Bukankah sampean tidak tahu niat yang tersembunyi di dalam hati Tuan Vijay saat membagi-bagi sedekah"
Mendengar pertanyaan saya, Chandragupta hanya tertawa terkekeh-kekeh seperti hendak memperlihatkan giginya yang putih berkilat dan tidak satu pun rontok oleh usia tuanya. Sekilas memandang dia terkekeh, saya merasakan suatu perubahan memancar dari wajah Chandragupta seolah-olah wajah Chandragupta pernah saya kenal, tapi saya tak tahu wajah siapa itu. Kemudian, dengan masih terkekeh, dia mengatakan bahwa kalau saya mau belajar membaca pikiran seseorang sebenarnya lebih mudah daripada membaca dan menyadari keberadaan diri sendiri.
Ketika saya sedang berpikir tentang ungkapanungkapan Chandragupta sekitar proses membaca pikiran orang lain, tiba-tiba saja dia sudah mengalihkan pembicaraan dengan menyinggung-nyinggung Salman Rusdhie, pengarang goblok yang novelnya menggegerkan dunia karena dengan vulgar menghina Nabi Muhammad SAW. Chandragupta mengatakan bahwa Salman Rusdhie adalah salah satu makhluk yang sudah diselewengkan citra kebenarannya dari sirath yang lempang. Dan orang macam Salman Rusdhie, begitu Chandragupta bicara, tidak akan bisa diberi petunjuk oleh siapa pun sekalipun ada nabi turun untuk menyadarkannya.
Salman Rusdhie adalah sesat, begitu kata Chandragupta, terlepas apakah dia dibayar atau tidak dalam menuliskan novel itu. Di India ini, lanjut Chandragupta, orang memang mudah sekali dibayar untuk berbuat sesuatu yang paling tidak masuk akal sekalipun. Satu saat, tutur Chandragupta, muncul orang yang mengaku nabi; setelah menimbulkan perpecahan umat, barulah diketahui bahwa dia adalah nabi palsu yang dibayar kolonialis Inggris untuk memerankan badut-badutan yang bertujuan memecah belah umat Islam yang saat itu sedang giat-giatnya berjuang melawan kolonialisme Inggris.
Chandragupta sendiri mengaku bahwa kehidupan yang dilewatinya sekarang ini yang mengesankan ke-senewen-an, sebenarnya berawal dari ketidakpahamannnya terhadap hakikat hidup yang tergelar atas hidupnya dan atas hidup orang-orang di sekitarnya. Dia merasa bahwa kehidupan di dunia ini penuh dengan ketidakadilan, di mana yang kuat menindas yang lemah dan yang pintar menipu yang bodoh. Dia melihat bagaimana manusia seperti tanpa harga bergelimpangan di pinggir-pinggir jalan di Calcutta dan Bombay. Dia melihat suatu sindikat penculik anak-anak, di mana anak-anak yang diculik itu kemudian dibunuh dan dikuliti serta dikelupas dagingnya sampai tersisa tulang belulang; lalu tulangbelulang itu ditata sedemikian rupa menyerupai kerangka manusia untuk kemudian dijual di sekolahsekolah dan universitas-universitas sebagai penunjang pelajaran anatomi. Mayat-mayat orang terlantar yang bergelimpangan di trotoar jalan tidak luput dari sindikat perdagangan tulang kerangka manusia yang memunguti mayat-mayat malang itu lalu menguliti, mengelupas daging dan menata tulang-belulangnya sebagai kerangka manusia untuk dijual di sekolahsekolah dan universitas-universitas.
Dengan berbagai kejadian mengerikan yang pernah dilihatnya itu, Chandragupta kemudian menggugat keadilan dunia. Dia mulai mempertanyakan keadilan Tuhan, bahkan dia mengaku sempat tidak mempercayai kalau Tuhan itu Ada. Tetapi, desakan rasa kemanusiaan yang mengalir dari lubuk jiwanya terdalam itu akhirnya menuntunnya untuk menemukan pancaran Ilahi di tengah kegelapan jiwanya. Rupanya, keikhlasannya untuk memikirkan kehidupan di luar dirinya telah membuka selubung misteri keimanannya untuk bisa melihat cahaya Ilahi. Dan berdasar pengalaman hidupnya, Chandragupta memiliki keyakinan bahwa selama orang masih memikirkan kepentingan diri sendiri, maka orang semacam itu belum bisa melihat rahasia Kebenaran Ilahi.
Sayang sekali, Chandragupta tidak pernah mau mengungkapkan asal-usulnya. Dia hanya mengatakan bahwa dirinya pun sekarang masih belum tahu dari mana dia berasal dan hendak ke mana sesudah kehidupan di dunia ini. Saya tersentak dengan uraian Chandragupta yang nadanya seperti menyindir saya, tapi dia pun membincang lagi soal Salman Rusdhie dan kehidupan di India yang penuh liku-liku mengerikan.
Perbicangan dengan si tua Chandragupta yang saya anggap bisa menguak cakrawala pemahaman saya terhadap kehidupan, mendadak saja terpenggal bersamanya hilangnya Chadragupta dari peredaran hidup sehari-hari. Berhari-hari saya menunggu di teras Masjid Zakaria untuk menjumpainya agar kami bisa berbincang barang sebentar. Tapi bayangannya sedikit pun saya tidak melihat. Chandragupta seolah-olah menghilang ditelan bumi.
Saya sendiri merasa heran, bahwa perjalanan saya ke tanah India yang seyogyanya untuk melihat-lihat tempat wisata seperti yang pernah saya lihat dalam film dan televisi, ternyata membuat saya sibuk mengurusi Chandragupta. Untungnya, sejak awal datang di Bombay saya sudah menyatakan kepada Debendra bahwa saya tidak akan merepotkannya, sehingga saya membutuhkan tempat tersendiri. Semula Debendra menganjurkan agar saya menginap di hotel, tetapi saya bilang bahwa saya lebih suka jika bisa menyewa sebuah kamar di suatu rumah yang letaknya tidak jauh dari masjid. Demikianlah, Debendra menyewakan kamar untuk saya di sebelah rumah Tuan Arvind yang terletak di Jl. Yusuf Meheralli nomor 867.
Selama tinggal di rumah Tuan Arvind, Debendra memang beberapa kali datang menjenguk saya, tetapi tidak pernah ketemu karena saya sedang keluar. Rupanya dia mengira saya sedang keluyuran untuk meihat-lihat objek wisata di India. Padahal, kalau dia tahu bahwa saya sedang sibuk dengan si tua Chandragupta tentulah dia akan kecewa, karena saya jauh-jauh ke India ternyata hanya untuk berakrab-akrab dengan seorang lelaki yang dianggap sinting.?"?"
Keinginan saya untuk berjumpa dengan si tua Chandragupta makin lama saya rasakan semakin mengganas dan mencakari jiwa saya. Satu saat, saya menceritakan kepada Tuan Arvind sekitar perbincangan saya dengan Chandragupta, dengan harapan dia mau memberikan keterangan mengenai siapa sejatinya lelaki tua misterius itu. Tetapi Tuan Arvind justru menertawakan saya dan menganggap saya terlalu mengada-ada untuk mengubah citra kesintingan Chandragupta. Tuan Arvind bahkan mengatakan, bahwa seandainya Chandragupta bisa terbang ke angkasa pun dia akan tetap menganggapnya sebagai manusia tidak waras.
Karena saya melihat bahwa Tuan Arvind tidak terpengaruh sedikit pun oleh uraian saya mengenai keanehan Chandragupta, maka saya pun memutuskan untuk mencari lelaki tersebut sendirian. Beberapa surau dan masjid kecil saya masuki dengan harapan, siapa tahu saya bisa berjumpa dengan Chandragupta. Bahkan kalau dihitung pun tak kurang dari tiga kali saya harus pulang balik dari Masjid Zakaria di Jl. Yusuf Mehellan ke Masjid Juma di Jl. Abdul Rahman yang jaraknya sekitar satu atau dua kilometer. Namun sedemikian jauh, tidak satu pun orang yang saya tanyai mengetahui di mana Chandragupta berada.
Komunikasi saya dengan orang-orang di Bombay rasanya cukup lancar, karena bagaimana pun orangorang India lebih menguasai bahasa Inggris daripada orang-orang Indonesia. Dari sopir sampai siswa sekolah, bahasa Inggris mereka cukup lumayan apalagi logat mereka lebih memudahkan saya untuk menangkap ucapan mereka. Anehnya, dalam beberapa waktu saja saya sudah bisa ngomong campur-aduk antara bahasa Inggris dan sepotong-sepotong bahasa Urdu.
Dalam pencarian saya atas Chandragupta ternyata ada juga orang yang diam-diam memperhatikan saya. Dia mengaku sebagai seorang penasehat hukum dan selalu memperhatikan saya. Orang itu mengaku bernama Ahmed Bushra berusia sekitar tiga puluh tahunan.
Dalam perbincangannya Ahmed Bushra menceritakan kepada saya, bahwa dia memang pernah melihat keanehan Chandragupta barang dua-tiga tahun silam di Masjid Juma. Ketika itu, tutur Ahmed Bushra, dia melihat seorang mullah bersalaman sambil mencium punggung tangan Chandragupta. Jamaah masjid tidak ada yang memperhatikan kejadian yang secara tak sengaja dilihat oleh Ahmed Bushra tersebut. Saat itu, tuturnya, dia beranggapan bahwa Chandragupta yang penampilannya mirip yogi itu tentulah orang luar biasa. Sebab, dia berpikir bahwa tidak mungkin seorang mullah mencium tangan seseorang kalau orang tersebut tidak memiliki tingkat ruhani yang tinggi.
Ahmed Bushra menceritakan bahwa sejak kejadian itu, diam-diam dia terus mengintai semua gerak-gerik Chandragupta dengan mengikuti kegiatannya dari satu masjid ke masjid yang lain. Tapi, begitu Ahmed Bushra mengaku, makin lama dia mengamati gerakgerik Chandragupta makin yakinlah dia bahwa lelaki tua itu adalah orang yang tidak waras. Ahmed Bushra mengaku sering mendapati perilaku Chandragupta yang tidak bisa diterima oleh nalar manusia waras. Anehnya, setelah mengecam Chandragupta, Ahmed Bushra menceritakan kehidupan pribadinya yang membosankan seolah-olah persoalan Chandragupta dianggapnya sudah selesai. Dan saya melihat bias kepuasan memendar dari matanya manakala saya kelihatan tertarik oleh ceritanya yang kelihatan sekali dibuat-buat.
Pokoknya, kalau sampean tanya sama kalangan praktisi maupun pengamat hukum di Bombay, mereka pasti kenal saya, kata Ahmed Bushra mulai berkisah tentang kehebatannya, Saya adalah pendiri Perhimpunan Mahasiswa Fakultas Hukum di Bombay. Karena itu, kalau sampean punya kasus boleh menghubungi saya, semuanya dijamin pasti beres. Asal sampean tahu saja, bahwa hukum di sini adalah hukum rimba, dalam arti siapa kuat dia menang. Dan asal sampean tahu kuat di sini adalah menyangkut masalah uang.
Kalau begitu, hukum di sini adalah hukum yang pandang bulu, sahut saya heran dengan memandangi Ahmed Bushra yang telah bicara seenaknya terhadap orang asing seperti saya.
Hei, mana ada hukum yang tidak pandang bulu" tanya Ahmed Bushra menatap saya dengan pandangan heran.
Ada hukum yang tidak pandang bulu. Sampean rupanya hanya melihat hukum yang dijalankan di tempat sampean hidup, kata saya menjelaskan, Kalau saja sampean membaca buku sejarah, maka di negeri saya pernah ada sebuah negara bernama Kalingga yang dipimpin Ratu Sima. Beliau terkenal sangat adil dan bijaksana. Hukum berlaku untuk siapa saja, tanpa pandang bulu. Bahkan suatu ketika anak Sri Ratu yang bernama Ketut Emas, dipotong kedua kakinya karena bersalah terhadap negara.
Sampean juga perlu membaca kisah Sayyidina Ali, ketika beliau diangkat menjadi khalifah. Waktu itu, Sayyidina Ali secara tak sengaja melihat pakaian perangnya yang hilang dalam pertempuran berada di rumah seorang Yahudi. Nah, sekalipun beliau waktu itu menjadi khalifah, tetaplah beliau mematuhi peraturan dengan melapor kepada hakim di pengadilan tentang pakaian perangnya itu.
Oleh hakim pengadilan, Sayyidina Ali dan Yahudi itu didatangkan dalam sebuah sidang peradilan. Karena Sayyidina Ali tidak mempunyai saksi-saksi dan tidak bisa membuktikan bahwa zirah baju perang di rumah Yahudi itu adalah miliknya, maka pihak pengadilan pun memutuskan bahwa Sayyidina Ali kalah. Gugatannya ditolak. Dan beliau menerima dengan ikhlas keputusan pengadilan itu, meski beliau seorang kepala negara. Nah, bukankah dua kisah itu menunjukkan bahwa ada hukum yang tidak pandang bulu"
Itu zaman baheula, kawan, sergah Ahmed Bushra dengan suara tinggi, Sekarang ini, mana ada hukum yang tidak pandang bulu"
Saya merenung-renung dan otak saya memutarmutar untuk membaca dunia perhukuman internasional. Saya pun memang tidak mendapati ada negara yang terbebas dari hukum pandang bulu. Bahkan Amerika Serikat yang dikenal sebagai kampiun demokrasi pun, dalam soal Iran gate lebih banyak bungkam; karena yang tertangkap basah dalam skandal tersebut orang-orang yang banyak bulunya.
Setelah saya merenung agak lama dan tak menemukan jawaban, maka saya pun bertanya, Menurut hemat sampean, kalau hukum pandang bulu diterapkan, siapakah yang akan memperoleh keuntungan"
Tentu saja mereka yang banyak memiliki bulu, ujar Ahmed Bushra berseloroh, Mereka yang banyak bulu itu misalnya, monyet, anjing, tikus, serigala, clurut, dan yang lainnya.
Kami tertawa terkekeh-kekeh. Dan kami makin terpingkal-pingkal ketika kami berbincang tentang hukum yang pandang bulu di berbagai negara. Rupanya, Ahmed Bushra memiliki rasa humor yang tinggi meski omongannya terkesan membual dan nggedablus.
Ahmed Bushra sendiri menceritakan bahwa ia sejak kecil memiliki kegemaran main perempuan. Oleh sebab itu, ketika dia duduk di bangku SMP sudah sering menginap di komplek pelacuran. Dan sejak SMP, akunya, ia sudah banyak mencicipi kegadisan kawan-kawan sekolahnya yang hal itu terus berlangsung sampai dia di SMA dan kuliah. Dia mengaku kuliah di Bombay University dengan mengambi jurusan hukum tata negara, tetapi pada semester keempat dia dipecat gara-gara kasus obat bius. Setelah itu dia mengaku kuliah di Maharasthra University, sebuah universitas swasta dengan mengambil jurusan hukum pidana. Bahkan dengan pongah dia mengatakan akan melanjutkan kuliah ke Amerika.
Kesan saya bahwa Ahmed Bushra adalah seorang pembual ternyata tepat. Dia rupanya mengidap semacam penyimpangan jiwa yang berkait dengan bohong-membohong, di mana dia akan merasakan tubuhnya panas dingin apabila sehari tidak berbohong. Saya melihat betapa omongannya saling berbenturan satu dengan lainnya, sehingga makin lama saya berbicara dengannya, makin tahulah saya bahwa dia adalah makhluk pendusta kelas wahid di dunia. Karena itu saya berkesimpulan, bahwa Ahmed Bushra sebenarnya bukan orang pintar. Dia cuma pintar bicara, lihai membuat dan piawai berdusta. Yang makin meyakinkan saya bahwa Ahmed Bushra adalah seorang pengidap penyakit jiwa kelas berat yang terkait dengan kuman-bakteri-virus bohong-berbohong, adalah sikapnya yang sangat tenang ketika kebohongan yang dilakukannya terbongkar. Dengan ekspresi tidak merasa bersalah, dia akan berbicara apa adanya tentang kebohongannya dengan usaha licin membelokkan permasalahan dengan dilengkapi kebohongankebohongan baru. Diam-diam saya merasa kasihan kepada Ahmed Bushra yang terperangkap pada labirin kedustaan di dalam jiwanya yang terdalam, yang membuatnya seperti seekor tupai yang berlari dalam sangkar putar; dia menganggap bahwa dirinya telah mengecap kebenaran dan kebebasan di alam realitas, padahal sejatinya dia hanya berputar-putar dalam pusaran sangkar kebohongannya sendiri yang tanpa akhir.
Dalam pertemuan selanjutnya, omongan Ahmed Bushra makin ngelantur dan sembrono. Dia mulai bicara soal perempuan-perempuan yang ahli di bidang seks Kamasutra, yang servisnya tak kalah dibanding Pamela Bordes, yaitu pelacur India yang beroperasi di Inggris, tetapi tarifnya jauh lebih murah. Saya tentu saja tidak menggubris omongannya yang gila itu, karena saya datang ke Bombay memang tidak untuk mencari pelacur.
Meski sudah kurang tertarik, omongan Ahmed Bushra pada akhirnya menarik hati saya juga, terutama ketika dia berbicara soal praktik jual beli budak di Bombay. Dengan hanya beberapa ribu rupee, katanya, saya akan bisa memperoleh perempuan cantik berstatus budak yang bisa diperlakukan apa saja termasuk digarap seperti pelacur. Entah benar entah tidak omongan Ahmed Bushra, tiba-tiba saya teringat pada praktik perbudakan di Surabaya, di mana dengan uang dua ratus ribu, orang-seorang bisa menebus seorang budak perempuan yang secara formal diberi istilah babu atau istilah kerennya TKW yang akan diperdagangkan di luar negeri. Budak-budak malang itu tidak menuntut terlalu banyak dari orang yang membeli dan memeliharanya, karena dia hanya butuh uang dua ribu rupiah setiap hari untuk makan dan setelah itu dia merelakan dirinya diperlakukan apa saja oleh sang majikan. Bursa budak itu sendiri, setahu saya, mengambil gadis-gadis dari berbagai desa dengan janji muluk-muluk untuk bekerja di kota metropolitan atau di luar negeri.
Terus terang, sekalipun saya tertarik dengan kisah perbudakan yang dikemukakan Ahmed Bushra, saya tidak ingin melihat lokasi penampungan budak-budak yang menurut informasi terletak di salah satu sudut paling kumuh dari kota Bombay. Penolakan saya itu, lebih dikarenakan rekaman ingatan tentang pemandangan yang pernah saya saksikan di lokasi penampungan budak-budak di Surabaya beberapa tahun lalu, sudah cukup menyiksa perasaan saya seumur-umur. Ya, ketika itu saya lihat beratus-ratus orang gadis berjongkok di suatu lokasi perumahan yang tertutup, di mana calon pembeli dengan diantar calo-calo dan tukang kepruk berjalan hilir mudik meneliti satu demi satu budak perempuan yang akan dibelinya. Menurut salah seorang tukang kepruk yang ada, gadis-gadis itu sejatinya sudah tidak perawan lagi karena sebelum masuk ke penampungan sudah digarap terlebih dulu, baru kemudian dijual. Sedang pembeli yang menginginkan gadis yang masih perawan, harus memenuhi tawaran harga yang lebih tinggi.
Gadis-gadis budak bertubuh kurus dengan mata cekung itu, menurut cerita, hanya diberi makan dua hari sekali dengan cara dilempari nasi bungkus. Seperti kawanan hewan lapar menyantap mangsa, dengan sangat rakus gadis-gadis yang sudah kelaparan itu merangsak nasi bungkusan yang akan lenyap dalam tempo beberapa menit itu. Sungguh malang, gadisgadis yang diperlakukan seperti makhluk-makhluk betina itu dibinatangkan laksana hewan dalam kerangkeng, di mana para tukang kepruk berwajah sangar tanpa segan-segan akan menghajar mereka apabila diketahui mereka berbuat hal yang tidak menyenangkan atau berusaha kabur.
Menurut salah seorang calo budak bernama Mat Koneng, sebagian gadis-gadis budak itu akan diekspor ke Saudi Arabia dengan diberi status TKW Tenaga Kerja Wanita meski hakikatnya mereka itu budak dan akan diperlakukan sebagai budak oleh badui-badui Arab. Bahkan menurut Mat Koneng lagi, penduduk Saudi Arabia sudah membeli budak kepada perusahaan-perusahaan pengerah tenaga kerja wanita dengan memberi uang muka sebagai indent. Tapi oleh perusahaan-perusahaan pengerah jasa tenaga kerja wanita uang beli budak itu ditelan sendiri. Para budak yang akan bekerja ke Saudi Arabia dengan status TKW, justru disuruh membayar sejumlah uang sebagai bayaran jasa bagi perusahaan. Jika tidak bisa membayar sejumlah uang yang ditentukan, maka gadis-gadis itu harus rela menjadi budak yang dengan sukarela menerima diperlakukan semau-maunya oleh juragan yang membelinya.
Terus terang, saya sangat terpukul dengan kejadian menyangkut nasib malang gadis-gadis budak yang mengalami nasib seperti film serial televisi Isaura itu. Saya diam-diam berencana untuk menghancurkan praktik perbudakan terkutuk yang memakai selubung nama perusahaan pengerah TKW itu. Tapi di tengah jalan saya menjadi ragu-ragu untuk melaksanakan niat tersebut. Bukan karena apa saya ragu, saya hanya belum menemukan dasar-dasar hukum Islam yang secara syar i menghapus perbudakan. Saya hanya melihat bahwa Islam memiliki konsep yang sangat berbeda tentang budak dibanding konsep perbudakan yang dianut manusia seumumnya. Bahkan Islam menghukumi dengan tegas bagi kemudahan para budak untuk memperoleh kemerdekaannya (QS. an Nisa: 92, al-Maidah: 89, al-Mujadilah: 30, al-Balad: 13), tapi saya belum mendapati ketentuan hukum Islam yang dengan tegas-tegas menghapus perbudakan.
Dalam keraguan saya, akhirnya saya putuskan untuk mendalami masalah budak-berbudak secara riil, di mana saya harus meneliti secara cermat kasus demi kasus menyangkut nasib budak malang itu. Dengan uang sebesar dua ratus ribu rupiah, lewat calo Mat Koneng, saya membeli seorang gadis budak bernama Sarimoi yang saya pilih secara acak. Tanpa bicara ba bi bu, saya ajak Sarimoi itu keluar dari penampungan dan saya titipkan di rumah Sarip, kawan sekolah saya, untuk sementara. Kepada Sarimoi saya berikan pilihan alternatif agar dia mencoba hidup baru dengan berdikari menjadi pedagang kaki lima, tentu saja dengan modal dari saya. Dengan mata berbinar, Sarimoi kelihatan bernafsu menerima tawaran saya dan siap menjalankan petunjuk-petunjuk dari saya.
Dengan modal seratus ribu rupiah dari pemberian saya, Sarimoi mulai merintis usaha mandiri dengan berjualan sandal dan sepatu murahan di Pasar Turi. Setiap hari saya datang untuk sekadar memantau perkembangan dagangannya sambil sesekali memberi petunjuk bagaimana mengelola manajemen dagang sandal secara gampang-gampangan. Dua minggu, saya melihat ada perkembangan menggembirakan ketika Sarimoi kulakan sandal dan sepatu. Sewaktu saya tanya tentang keuntungan, Sarimoi menyatakan sudah dapat untung sekitar tiga puluh ribu rupiah selama berjualan dua minggu. Saya berharap, bulan depan dagangan Sarimoi bisa berkembang lebih besar karena modalnya sudah bertambah.
Tetapi harapan tinggal harapan. Ketika saya pergi ke Jakarta untuk suatu urusan, dan tiga minggu kemudian saya datang lagi ke Surabaya, ternyata saya tidak melihat lagi batang hidung Sarimoi. Saya sempat menduga, jangan-jangan Sarimoi mengalami kebangkrutan karena selama tiga minggu tidak ada yang memberinya petunjuk bagaimana mengelola dagangannya. Namun betapa terkejutnya saya ketika mendapat kabar bahwa Sarimoi berada lagi di sebuah tempat penampungan tenaga budak yang akan menjualnya ke luar negeri. Sewaktu saya membuktikan kabar itu, saya dapati Sarimoi dipajang sebagai calon babu berstatus TKW.
Pada saat melihat saya, dengan gemetaran Sarimoi mendekat dan berlutut di hadapan saya dengan air mata bercucuran. Dengan suara tersendat-sendat ia menuturkan, betapa selama saya tinggal pergi ke Jakarta, ia mengalami kerugian besar tak tertanggungkan karena dagangannya diobrak-abrik dan dirampas oleh pasukan tramtib, yang mengakibatkannya bangkrut. Sebagai perempuan tak berdaya dan tidak pandai, Sarimoi mengaku tidak melihat kemungkinan untuk mencari pekerjaan lain selain memasuki lingkaran perbabuan yang sudah diketahuinya, yaitu kembali menjadi gadis berstatus budak yang bisa diperlakukan apa saja dan oleh siapa saja yang berkenan membelinya.
Berbagai pengalaman yang saya alami sehubungan dengan lingkaran perbabuan dan perbudakan pada gilirannya menginsyafkan saya bahwa bagaimanapun aneh dan tidak masuk akal, sejatinya tiap-tiap manusia memiliki kumparan nasib sendiri. Ada manusia yang dikodratkan sebagai penguasa bagi yang lain, di mana mereka itu memiliki kodrat menjaga keseimbangan kehidupan dengan memberikan sebagian kelebihan yang dimilikinya kepada orang lain. Sementara itu ada pula manusia yang dikodratkan sebagai budak yang tidak bisa hidup apabila tidak dikuasai oleh orang lain.
Mereka yang terakhir ini ibarat sapi perah yang justru merasakan kepuasan puncak apabila diperah dan akan menjadi sakit jika tidak diperah.
Akhirnya, saya berkesimpulan bahwa adanya ayatayat yang menyangkut perbudakan, yatim-piatu, orang miskin, shadaqah, infak, zakat menunjukkan bahwa apa yang ditetapkan Allah dalam al-Qur an memang sudah menjadi hukum alam atau sunnatullah dari kodrat kehidupan. Perbedaan adalah hal yang esensial dan paling eksistensial dari kehidupan, ibarat perbedaan dasar sungai yang tidak rata yang menjadikan air sungai bisa mengalir ke laut, yang hal itu tampaknya berlaku juga dalam kehidupan manusia dan hewan serta isi semesta dengan berbagai perbedaannya ini. Itu artinya, sekalipun dunia sudah mengalami kemajuan teknologi hingga manusia mencapai luar angkasa, toh kemiskinan dan penindasan serta penghisapan manusia satu atas manusia lain tetap saja berlangsung. Kalaupun perbudakan secara formal telah dihapus karena dianggap tidak sesuai dengan kaidah-kaidah kemanusiaan universal, maka dalam praktik, perbudakan tetap ada di berbagai belahan bumi dengan berbagai manifestasinya baik yang dilakukan terang-terangan maupun yang terselubung.
Pemikiran saya tentang makna perbedaan sebagai bagian yang esensial maupun yang eksistensial dari kehidupan, mungkin akan menambah kualitas gelar ke-sudrun-an saya. Tapi saya tidak peduli dituding sebagai orang sudrun atau gendeng sekalipun, karena saya yakin apa yang termaktub di dalam al-Qur an adalah nilai universal yang tidak berubah oleh gempuran zaman. Saya tidak perlu melihat ajaran Islam dari kacamata humanisme, sosialisme, pragmatisme, universalisme, dan setumpuk isme-isme yang lain, tetapi Islam harus saya pandang dari Islam, sebab Islam tidak bisa diotak-atik dengan seperangkat isme-isme yang dewasa ini dianut banyak orang. Islam tidak bisa dikurangi atau ditambah agar selaras dengan isme-isme yang ada. Islam adalah Islam: Kalaam-i-Nafsi sekaligus Kalaam-i-Lafdzii yang haq yang kebenarannya tidak dibatasi ruang dan waktu.
Apa yang pernah dikatakan ruh di makam Syaikh Maulana Malik Ibrahim bahwa sesungguhnya tiap sesuatu sudah diatur dalam kesempurnaan oleh Allah, pada gilirannya memang terbuka bagi saya setelah berbagai pengalaman saya lewati. Tetapi saya pun yakin bahwa apa yang telah ditetapkan oleh Allah dengan sempurna itu tidak diketahui oleh manusia kecuali orang-orang tertentu yang dikehendaki-Nya, sehingga bagi saya orang-seorang wajib berjuang dan berusaha untuk menguji garis nasibnya sendiri. Orang tidak boleh berputus asa dan menyerah kepada garis-nasib sebelum dia mengetahui secara pasti akan keputusan garis-nasibnya. Dan bagi mereka yang tak pernah tahu garis keputusan nasibnya, wajib untuk terus berjuang tanpa kenal putus asa. Orang wajib berjuang untuk menguji apakah dirinya digariskan menjadi budak, pengemis, tukang becak, sopir, juru kunci, guru, kiai, polisi, tentara, jenderal, atau bahkan presiden. Terkutuklah orang-orang yang belum tahu keputusan takdirnya kemudian dengan satu dan lain alasan mengatakan bahwa dia tidak perlu lagi berjuang dan berusaha dalam mencapai yang terbaik dalam hidupnya di atas bumi karena nasibnya telah ditentukan oleh Tuhan.
Ahmed Bushra yang melihat saya termangu agak lama, berusaha memancing perhatian saya dengan tawarannya untuk melihat tempat budak-budak dipajang. Saya dengan tergagap buru-buru menolak dengan mengatakan bahwa saya tidak sampai hati melihat penderitaan orang lain. Ahmed Bushra terkejut dengan jawaban saya. Lalu dengan terus terang dia mengatakan jika selama ini dia telah keliru menilai saya. Menurut pandangannya, saya adalah orang yang suka dengan hal-hal yang berkait dengan kegemaran laki-laki, terutama bermain perempuan. Dia selama ini mengakui secara jujur kalau telah menganggap saya sebagai orang yang nakal yang suka meminum minuman keras, meniduri perempuan dan mencuri. Saya hanya tersenyum kecut mendengar pengakuan Ahmed Bushra yang disampaikan dengan jujur itu.
Ketika saya mulai mengalihkan kembali fokus pembicaraan sekitar si tua Chandragupta, Ahmed Bushra justru mulai berkisah tentang Baba Mirza, orang keramat yang memiliki banyak pengikut dan mempunyai kemampuan ajaib memanggil ruuh orang yang masih hidup maupun yang sudah mati. Seperti seorang juru kampanye, Ahmed Bushra membual tentang Baba Mirza seolah-olah Baba Mirza adalah seorang malaikat yang turun ke bumi, makhluk suci yang tiada tolok bandingannya. Tanpa sungkan, Ahmen Bushra bahkan menceritakan kalau beberapa orang tokoh muslim pada hari Selasa mendatang akan meminta bantuan Baba Mirza untuk memanggil ruh Salman Rusdhie.
Mendengar uraian Ahmed Bushra tentu saja saya menjadi heran, sebab saya tidak melihat keterkaitan antara Baba Mirza dengan Salman Rusdhie meski dia katakan bisa memanggil ruh penulis novel The Satanic Verses yang menggegerkan itu. Melihat keheranan saya, Ahmed Bushra langsung menceritakan bahwa diamdiam para tokoh di Bombay memang ada yang mengirim pembunuh bayaran untuk menghabisi Salman Rusdhie. Namun demikian, mereka tidak pernah tahu di mana Salman Rusdhie disembunyikan Scotland Yard. Nah, dengan bantuan Baba Mirza yang bisa memanggil ruh Salman Rusdhie, mereka akan bisa mengetahui secara pasti di mana pengarang dekil yang kurang ajar itu bersembunyi. Hal itu harus dilakukan karena pembunuh bayaran yang dikirim ke London telah mengirim kawat bahwa mereka kesulitan mencari persembunyian Salman Rusdhie.
Setelah berbicara ke utara dan ke selatan, akhirnya Ahmed Bushra berjanji akan menunggu saya di Kuil Api Wadiaji yang terletrak di Jl. Jagannath Shankar Shet, tidak jauh dari jalan layang Gandhi pada waktu sore seusai sembahyang Ashar. Tetapi sebelum itu dia mengajak saya makan-makan dulu di restoran Kashmir di pusat perbelanjaan Buleshwar. Di restoran itu, melihat cara makan Ahmed Bushra saya memiliki kesan bahwa dia adalah orang rakus yang tidak terbiasa dididik dalam aturan sopan santun. Kalau orang Jawa menyaksikan cara makan Ahmed Bushra yang tidak mengikuti aturan, semua pasti akan menyatakan bahwa pengacara kampiun bohong itu adalah orang urakan!
Tanpa malu dan permisi, dengan sangat lahap Ahmed Bushra memasukkan makanan ke mulutnya yang masih penuh makanan. Kemudian dengan suara berdecap-decap seperti kuda dia mengunyah-ngunyah dengan peluh memenuhi wajahnya. Bahkan yang paling membuat saya muak, dia terus berbicara meski mulutnya sedang penuh makanan. Keadaan memuakkan itu benar-benar menghilangkan selera makan saya. Sebab, bagaimana pun saya sebagai manusia sudrun, toh kalau soal sopan santun makan tidaklah saya sampai berbuat memuakkan seperti pengacara dekil pembual itu.
Kemuakan saya pada tingkah Ahmed Bushra rasanya makin menikam perut saya ketika dia tersedak dan menghamburkan sebagian makanan yang dikunyahnya sampai tumpah ruah di atas meja. Dengan mata melotot dia menyambar gelas sambil memegangi tenggorokannya. Lalu air putih di dalam gelas itu pun ditenggaknya langsung sampai tenggorokannya menimbulkan suara yang mengiriskan hati. Mata Ahmed Bushra yang bulat itu saya bayangkan seperti akan melesat keluar dari kelopaknya ketika air minum meluncur di tenggorokannya. Suasana makan-makan itu benar-benar membuat saya muak. Dan kemuakan saya pun akhirnya menjadi kemualan ketika dengan ekspresi yang tenang seolah-olah saya ini bapaknya, Ahmed Bushra mendaulat saya agar membayar semua makanan dan minuman yang telah kami pesan dengan harga yang mencekik itu. Akhirnya, tidak ada yang bisa saya perbuat menghadapi siasat licik pendusta dekil itu selain membayar semua makanan dan minuman yang tandas tak bersisa itu, tentu dengan hati mendongkol karena merasa telah terkena tipuan orang Bombay.
Sepanjang perjalanan pulang, saya diam-diam ternyata memikirkan manusia macam Ahmed Bushra yang suka berdusta dan membual. Tanpa bias saya tahan, saya diam-diam mulai meragukan kebenaran cerita Ahmed Bushra tentang Baba Mirza. Sebab kalau Baba Mirza memang bisa memanggil ruh Salman Rusdhie, berarti dia memakai semacam ilmu exorcist atau ilmu dukun kesurupan seperti yang pernah saya lihat dipraktikkan oleh seorang dukun lepus di Purwokerto bernama Sukino Bin Paino, di mana Sukino Bin Paino itu, pernah saya taruhi uang satu juta jika dia berhasil memanggil ruh Nabi Muhammad SAW, yang dijawabnya dengan pernyataan tidak berani melakukan karena takut kualat. Entah benar entah tidak alasan Sukino bin Paino tentang ketidakberaniannya. Yang pasti, menurut saya, bukan karena apa dukun lepus itu mengaku tidak berani, tetapi latar alasan utamanya pastilah fakta yang menunjuk bahwa dia sama sekali tidak bisa ngomong dalam bahasa Arab, karena bisanya hanya dia memanggil ruh yang berbahasa Jawa dan Indonesia saja. Oleh sebab itu, kalau dia berani mengaku memanggil ruh Nabi Muhammad SAW, tentu saja kebohongannya akan terbongkar, terutama kalau dia ditanyai ini dan itu dalam bahasa Arab yang tidak bisa dijawabnya.
DELAPAN S elasa sore seusai sembahyang Ashar, saya
langsung melesat ke Jl. Jagannath Shankar Seth dengan mengendarai bus kota. Yang namanya bus kota di mana pun sama, kalau jam kerja akan dimulai atau telah selesai, penumpang mesti berjubel. Saya merasa bahwa keadaan bus kota di Bombay tidak jauh berbeda dengan bus Damri di Surabaya dan Jakarta. Hanya saja, jalanan di Bombay tidak seperti di Surabaya dan Jakarta yang banyak dilewati mobil-mobil mewah dari tingkat Volvo, Peugeot, sampai Mercy. Sedang di Bombay, mobil-mobil yang lewat kebanyakan mobil buatan India sendiri yang bentuknya mirip mobilmobil Fiat kuno yang di Surabaya hanya bisa ditemui di pasar loak Dupak Rukun.
Saya tidak mengerti, kenapa orang-orang India begitu gandrung dengan buatan Italia, sehingga tidak saja bentuk mobil Fiat yang dijiplaknya, tetapi sepeda motor bajaj pun modelnya meniru Vespa. Dan yang tak habis saya pikir, orang India kalau mempunyai sepeda mesti yang jenis besar yang di Surabaya disebut sepeda perang. Di jalan-jalan saya jarang melihat orang?"?" memakai sepeda jengki, hampir semua sepeda adalah sepeda gede yang biasanya dipakai tukang pos.
Dalam tempo kurang dari dua minggu saya menghirup udara Bombay, diam-diam saya merasa bersyukur menjadi orang Surabaya. Bayangkan, di hampir tiap sudut kota, saya selalu melihat orang miskin jumlahnya nyaris tak terhitung. Kalau kebetulan ke stasiun Sandhurst, saya mesti melewati perkampungan kumuh yang mengenaskan yang sebelumnya tak pernah saya lihat. Kemiskinan, kesengsaraan, kekumuhan seolah-olah menjadi bagian yang tak terpisah dengan kehidupan di kampung-kampung Bombay. Hampir di setiap pinggiran jalan saya selalu melihat pedagang kaki lima dan pengemis serta tukang ramal. Di kaki lima itulah saya biasanya sering membeli Roti Kaney yang sebenarnya adalah Roti Maryam yang di Surabaya sering saya beli di Jl. K.H Mansyur. Dan sekalipun saya suka makan roti-rotian, kalau terusterusan rasanya saya kepingin muntah. Di Bombay saya benar-benar tidak pernah ketemu nasi, sebab makanan orang Bombay adalah roti, yaitu tepung terigu yang diberi air dan digoreng bulat-bulat tipis.
Di dalam bus kota yang di cat merah dan suara mesinnya seperti mau merontokkan jantung, saya terpaksa menahan napas karena para penumpang yang kebanyakan kuli, bau tubuhnya membuat kepala saya berdenyut-denyut. Yang paling membikin jengkel, penumpang bus kota di Bombay benar-benar tidak tahu aturan. Bayangkan, bus yang sudah penuh penumpang itu terus saja dijejali sehingga tak kurang penumpang yang nggandol di belakang dan di samping luar bus. Anehnya, kondektur yang menarik ongkos, seperti tahu siapa-siapa penumpang yang belum dan sudah bayar.
Kepergian saya ke kuil api Wadiaji memang tidak saya omongkan sama Tuan Arvind. Sebab saya yakin dia akan melarang saya pergi untuk menemui Ahmed Bushra menghadap Baba Mirza. Dia selalu menasehati agar saya selalu berhati-hati hidup di Bombay karena banyak penipu yang melakukan aksi dengan berbagai cara.
Memang, sejak saya tinggal di kamar sebelah rumah Tuan Arvind, saya sering diajaknya duduk-duduk minum kopi sambil berbincang-bincang tentang berbagai hal yang menyangkut agama dan kesusastraan. Dari perbincangan kami selama beberapa kali, saya bisa menyimpulkan bahwa Tuan Arvind tergolong orang yang fanatik beragama tetapi masih suka membeda-bedakan status orang berdasar faktor keturunan. Dalam berbicara pun, dia selalu tidak lupa menyebut-nyebut keagungan dan kehebatan leluhurnya yang menurutnya adalah keturunan raja-raja Moghul. Dan terus terang saja, saya sangat tidak suka kalu dia sudah bicara soal kehebatan leluhurnya, karena kalau dia sudah begitu, maka dia akan menjelekjelekkan dan membusuk-busukkan orang-orang yang dikenalnya sebagai keturunan orang rendah. Saya selalu merasa muak kalau melihat dia sudah memujimuji kebesaran leluhurnya dan keluarganya seolah di dunia ini hanya dia dan leluhurnya.
Kemuakan saya makin menjadi-jadi ketika dengan nada menyindir dia menjelek-jelekkan kebodohan orang-orang yang menyembah Dewa Hanoman. Saya tidak peduli dengan umpatannya terhadap Hanoman andaikata matanya tidak melirik-lirik saya dan nada suaranya tidak sinis seolah ditikamkan kepada saya. Bahkan secara terus terang dia mengumpat kebodohan Debendra yang sekalipun sudah masuk Islam tetapi masih percaya pada penitisan Hanoman di dunia. Dan darah saya sempat menanjak ke kepala ketika dia mengatakan bahwa teori Darwin sebenarnya berlaku untuk sebagian manusia, sebab sebagian manusia memang keturunan kera, dan wajarlah kalau sebagian ada yang menyembah Hanoman bahkan ada yang mirip Hanoman.
Saya tahu sebenarnya dia menyindir saya. Tapi saya sendiri menjadi heran, karena kemarahan saya tidaklah sampai menjadikan ke-sudrun-an saya kumat. Saya sendiri heran dengan berbagai perubahan yang saya alami selama di Bombay. Misalnya, saya tidak pernah lagi bisa berkomunikasi dengan Sirr-i-Asrar di pedalaman saya. Saya tidak pernah lagi merasakan belitan rasa yang selama ini menjadikan saya sudrun. Semua berlangsung apa adanya seolah-olah saya adalah seorang manusia yang utuh yang hanya mengandalkan akal dan perasaan. Ya, saya mendadak saja jadi mudah tersinggung dan cengeng. Saya mendadak suka mengeluh dan berkeluh kesah. Saya mendadak sering menyesali ketidakadilan Tuhan yang mencipta saya seperti kera sehingga pernah satu kali saya dikerubuti anak-anak di kuil Mahalaxmi yang terletak di tepi pantai tak jauh dari Jl. Raya Bulabhai Desai, di mana mereka menyangka saya bintang film Vikas yang memerankan tokoh Hanoman.
Terus terang, selama di Bombay saya bisa meresapi suatu makna kehidupan benar-benar utuh sebagai manusia yang berdiri di atas hamparan tanpa batas. Kelebatan hidup yang saya lihat benar-benar menanamkan kesan mendalam di relung-relung jiwa saya. Saya diam-diam membayangkan, andaikata saya tidak rajin menjalankan sembahyang dan berdzikir serta terbiasa hidup dalam ke-sudrun-an, mungkin saya akan menjadi pengumpat Tuhan seperti kebanyakan ornag-orang di sekitar Saya.
Semakin lama saya merasakan kehidupan Bombay, semakin saya melihat dengan akal dan perasaan saya akan atmosfer yang melingkari kehidupan Bombay. Orang mudah sekali mengaku sebagai Avatar (manusia Tuhan), nabi, sekaligus ornag mudah sekali memaki dan mengumpat pada Tuhan. Orang mudah dibeli dan diperintah apa saja. Bahkan setumpuk buku foto kopian karangan seorang nabi begundal Inggris yang ajarannya menyebar di Indonesia, saya beli dari seorang bekas pengurus jemaat dengan mengganti ongkos foto kopi 4 ribu rupee. Oleh sebab itu, saya benar-benar kaget setelah membaca kegilaan tulisan nabi itu.
Tuan Arvind sendiri memamng sudah mewantiwanti saya agar saya tidak gampang percaya pada omongan setiap orang yang belum saya kenal. Tuan Arvind sendiri menurut saya adalah orang yang baik, tetapi kalau sudah kumat edannya, maka dia akan seperti orang kesurupan memuja-muji leluhurnya dan pada gilirannya memuja-muji dirinya sendiri. Bahkan menurut Ashok, jongos Tuan Arvind yang serba bisa, bahwa istri Tuan Arvind yang bernama Ny. Laxmikant derajadnya setingkat anjing, berarti Tuan Arvind sendiri telah kawin dan menyetubuhi anjing geladak.
Ashok sendiri bagi saya adalah manusia unik juga, karena dia tergolong jongos yang paling tahan bekerja kepada Tuan Arvind. Kalau kebetulan Tuan Arvind tidak ada di rumah, Ashok pasti mengajak saya berbincang-bincang dengan topik utama membusukbusukkan Tuan Arvind dan Laxmi Devi. Dari berbagai omongan Ashok saya menyimpulkan bahwa dia adalah orang yang tertindas oleh kesewenang-wenangan. Dia diam-diam seperti menyimpan dendam kesumat kepada dua majikannya ayah beranak itu. Namun yang mengherankan saya, kalau dia sudah berada di depan kedua majikannya, sikapnya selalu tampak manis dan benar-benar menjilat. Sejauh ini saya belum sekalipun mendengar Ashok bicara tidak kepada kedua majikannya. Dia selalu bilang ya, ya, ya dalam segala hal sambil tubuhnya membungkuk-bungkuk.
Sesekali saya melihat Tuan Arvind marah dan menempeleng Ashok. Saya lihat Ashok berlutut sambil mengacung-acungkan tangannya ke atas seolah menyembah-nyembah. Dia mengatakan bahwa dia memang bersalah dan wajib dihukum. Tetapi begitu Tuan Arvind tidak ada, maka dia mengomel sehabishabisnya. Bahkan satu saat saya melihat dia menggambar di atas kertas orang-orang yang berdiri sambil bertolak pinggang. Gambar itu kemudian diberinya tulisan Sir Arvind. Sesudah gambar itu diangkat-angkat selaiknya seorang demonstran mengacungkan poster dan pemflet, maka gambar itu pun dibakarnya.
Ashok juga sering saya lihat didamprat oleh Laxmi Devi. Tapi kalau Laxmi Devi yang mendamprat, dia seolah-olah sengaja menggoda hingga Laxmi pun menampar pipinya. Anehnya, dengan tamparan tangan Laxmi itu, saya melihat kilasan bias kepuasan dari wajah Ashok. Dia tampaknya suka ditampar oleh Laxmi. Bahkan semakin keras tamparan Laxmi, semakin dia merasa puas. Saya tentu saja melihat hal semacam itu sebagai ketidakwajaran, sehingga buru-buru Laxmi saya ingatkan bahwa sebaiknya dia tak perlu menampar Ashok lagi.
Laxmi sendiri tampak kaget ketika saya beritahu bahwa tamparannya terhadap Ashok bisa menimbulkan dampak yang tidak baik baginya, yaitu saya katakan bahwa kalau Ashok terbiasa dengan kepuasan seperti itu, dia akan bisa memperkosa Laxmi. Laxmi Devi akhirnya menceritakan dengan jujur bahwa dia beberapa kali memang memergoki Ashok mengintipnya ketika dia sedang mandi. Bahkan dengan tanpa malu-malu dia mengatakan pada saya, bahwa dia ingin sekali saya intip kalau sedang mandi atau ganti pakaian di kamar. Mendengar pengakuan Laxmi itu, tentu saja darah saya bergolak dan jantung saya berdentamdentam.
Laxmi Devi yang melihat saya tersentak, diam-diam mulai menceritakan semua yang dia pikir dan dia rasakan kepada saya, seolah-olah saya adalah sahabatnya yang sudah bertahun-tahun menjadi bagian hidupnya:
Ketahuilah, Sudrun, bahwa saya adalah Laxmi Devi yang tercantik di antara dara cantik di seluruh tanah Barat ini. Lihatlah hidungku mancung. Lihatlah bibirku yang bagai delima merekah. Lihatlah pipiku yang bagai apel ranum. Lihatlah rambutku yang mengurai bagai bunga bakung. Lihatlah susuku yang bagai pepaya gantung. Semua orang menyatakan saya adalah dara yang paling cantik dan lemah lembut. Semua orang memuji kagum pada saya. Tetapi mereka tidak pernah tahu bahwa kecantikan ini adalah malapetaka bagi saya.
Sampean mesti tahu, Sudrun, bahwa usia saya sekarang ini sudah 27 tahun. Tetapi seperti yang sampean ketahui, tidak seorang pun laki-laki yang mau menjadi suami saya atau kekasih saya. Mereka yang datang hanya menyatakan kekaguman pada saya. Mereka hanya memuji keharuman dan keindahan saya. Tetapi mereka tak sedikit pun berkenan memetik saya. Padahal saya tidak pernah memilih-milih, bahkan siapa pun yang bersedia melamar saya maka saya akan bersedia mendampinginya, meskipun itu sampean yang orang asing buat saya.
Saya selalu merasa heran, kenapa setiap laki-laki yang akan mendekati saya selalu kabur sebelum dia menyatakan rasa cintanya atau keinginannya untuk menikahi saya. Mereka semua seperti melihat saya sebagai kuntum mawar dilingkari duri, padahal saya tidak melihat duri di sekitar saya. Ayah saya pun memberi saya kebebasan dalam bergaul, sehingga saya rasa, amat mustahil saya yang cantik ini tidak laku kawin. Saya pernah mendatangi seorang peramal perempuan, dia menyatakan bahwa saya memang sengaja diguna-guna oleh seorang anak paman saya yang bernama Asha. Saya tahu, dia sangat cemburu dengan kecantikan yang saya miliki. Sejak kecil dia memang suka menjelek-jelekkan saya karena kecemburuan itu. Karenanya, saya tidak perlu kaget kalau dia mengguna-guna saya agar saya tidak laku kawin. Tapi yang tidak saya mengerti, kenapa dia bisa tega terhadap saya, padahal dia sudah kawin dan punya anak.
Mendengar pengakuan Laxmi Devi, saya hanya manggut-manggut tetapi saya tidak tahu pasti kenapa dia begitu kelabakan karena tidak laku kawin. Berbagai omongan Ashok setidaknya merupakan informasi yang cukup lengkap bagi saya baik tentang Tuan Arvind maupun tentang Laxmi Devi. Dan terus terang pula sebagai lelaki normal saya pun sebenarnya tertarik juga dengan Laxmi Devi yang cantik dan matanya blalakblalak itu. Tapi saya tetap berusaha untuk mengesampingkan hasrat saya, meski saya merasakan desakan kuat untuk mendekati Laxmi Devi. Akhirnya, dengan apa adanya saya menceritakan kepadanya sekitar ketidaklakuan dirinya kawin:
Perlu sampean ketahui, Laxmi, bahwa saya diamdiam sering berbicara dengan Asha dan suaminya. Dia sering menyatakan kepada saya, bahwa dia sangat sayang kepada sampean. Tetapi entah karena apa, sampean justru sering merendahkannya karena dia sampean anggap sebagai gadis yang jelek. Dia mengaku sering memuji kecantikan kalian.
Tetapi sampean justru selalu merendahkan dan memuji diri sampean sendiri. Sampean sepertinya hendak menunjukkan bahwa siapa pun tidak ada yang lebih cantik dari sampean. Bahkan menurut Asha, kebencian sampean makin menjadi-jadi ketika dia berpacaran dengan Aruna dan kawin.
Sampean mesti sadar, Laxmi, bahwa dengan kecantikan yang sampean banggakan itu, sampean tanpa sadar telah terperangkap pada satu titik pusat kebanggaan diri. Sampean ingin menjadi orang tercantik di dunia. Sampean ingin tidak ada lelaki yang memuji gadis lain kecuali sampean sendiri. Dan tanpa sadar, sering sampean menyakiti hati para lelaki yang ingin mendekati sampean.
Satu contoh dari kebiasaan jelek sampean, sampean selalu mengatakan kepada setiap lelaki yang mendekati sampean, bahwa diri sampean sedang diburu oleh lelaki lain. Padahal, sampean ketika itu sedang tidak diuber-uber oleh siapa pun. Tapi entah kenapa sampean selalu membuat kesan seolah-olah diri sampean adalah gadis yang laris yang diuber-uber banyak lelaki.
Saya tahu, Laxmi, bahwa apa yang sampean lakukan sebenarnya merupakan kodrat kewanitaan sampean. Sebab seekor ayam babon atau kucing betina, tidak pernah menyerah begitu saja apabila diuber-uber pejantannya. Tetapi sampean keliru, sebab belum pernah ada seekor ayam babon diburu ayam jantan lebih seekor begitu juga dengan kucing.
Sampean tanpa sadar telah terperangkap pada kebanggaan sampean atas kecantikan yang sampean miliki. Sampean tanpa sadar telah terperangkap pada angan-angan, bahwa dengan cara semacam itu, lelaki yang menguber-uber sampean akan menjadi segan dan hormat, karena sampean ternyata sangat dibutuhkannya dan dibutuhkan banyak lelaki. Kalaupun di antara mereka ada yang jadi suami sampean, maka sampean berharap mereka tidak akan membuat sembarangan sampean.
Sampean tidak pernah sadar, bahwa diam-diam sampean selalu merasa lebih tinggi daripara lelaki yang mendekati sampean. Sampean selalu bilang bahwa sampean adalah perempuan terhormat dan baik-baik yang tidak bisa dibuat sembarangan. Sampean selalu bilang bahwa suami yang ideal bagi sampean adalah lelaki yang bisa menghormati istri dan mengerti tanggung jawab pada keluarga. Sampean selalu bilang bahwa sampean tidak sudi dimadu. Sampean selalu bilang tetek bengek, seolah-olah para lelaki yang mendekati sampean adalah keledai-keledai congek yang dungu.
Aduh Tuhan, kata Laxmi Devi terisak-isak. Dia rupanya sangat terpukul dengan apa yang saya kemukakan. Dia tidak pernah menduga bahwa sikapnya selama ini justru menjadi bumerang baginya. Apa yang dikehendakinya tanpa disadarinya justru telah mendatangkan hal-hal yang tidak dikehendaki. Kemudian dengan suara gemetar dia berbisik lirih:
Saya sadar akan semua ini, Sudrun, karenanya saya akan merasa senang sekali kalau sekarang ini ada lelaki yang mau menguber-uber saya. Saya akan mengubah sikap saya. Dan saya akan merasa senang, kalau lelaki yang menguber-uber saya adalah sampean sendiri.
Dengan hati kalang kabut, saya menjelaskan bahwa soal jodoh adalah soal yang menjadi wewenang Tuhan. Karena itu, saya mengharap dia tidak terlalu merasa rendah diri dengan pengalaman pahit itu. Saya juga bilang, bahwa andaikata Tuhan nanti menggerakkan kuasa-Nya dan tiba-tiba saya tergerak untuk mengubernya, maka saya tanpa sungkan lagi akan mengubernya.
Pokoknya, gumam saya tegas, Sampean harus melihat berbagai kejadian yang tergelar di alam. Artinya, kalau ayam dan kucing betina tidak ada yang menguber-uber pejantannya, maka sampean janganlah menguber laki-laki. Ingatlah selalu bahwa mawar tidak pernah menawar-nawarkan harumnya, tetapi harum itu sendiri yang menebar ke mana-mana. ?"?"
Di tikungan Jl. Jaganath Shankar Shet saya turun dari bus kota. Ahmed Bushra Saya lihat sudah berdiri di trotoar dengan tasnya yang berbentuk kotak yang selalu dijinjingnya. Begitu dia melihat saya, langsung dia melompat bagai kera mendapat jatah makan sambil tersenyum lebar.
Saya kira sampean tidak datang, kawan, seru Ahmed Bushra menyalami saya.
Saya tadi sembahyang dulu sebelum ke sini, sahut saya sesingkat.
Dia itu sangat baik, seru Ahmed Bushra sambil membisikkan sesuatu ke kuping saya, Sampean akan saya perkenalkan kepada seorang Jurnalis Bombay City.
Siapa" tanya saya heran. Avijja!
Saya sudah mengenalnya, jawab saya tenang, Bukankah dia kemenakan Tuan Arvind"
Ahmed Bushra terkejut dengan jawaban saya. Dia benar-benar tidak menduga kalau saya sudah mengenal jurnalis yang dikenal suka memuat beritaberita iklan dan mode itu. Tanpa dia omongkan, saya sudah tahu dari Ashok maupun Laxmi Devi bahwa Avijja adalah orang yang suka bicara soal perempuan seolah-olah dia adalah laki-laki tanpa tanding, meski dari beberapa perempuan yang pernah diajaknya kencan diperoleh penjelasan bahwa jurnalis yang banyak uang itu gampang keok di atas ranjang. Dengan tubuh pendek dan perut membuncit seperti perempuan bunting, saya bisa menebak kalau Avijja secara anatomis memang tidak kuat di bidang begituan, karena postur-postur seperti dia dalam Kitab Kamasutra digolongkan sebagai kelompok kelinci yang memang mudah keok.
Dengan jawaban saya, Ahmed Bushra kelihatannya agak gugup. Karena itu dia buru-buru mengajak saya ke rumah Baba Mirza yang tak jauh dari kuil api Wadiaji, dan sepanjang perjalanan dia tidak lagi menyebut-nyebut soal Avijja. Saya sendiri tidak tahu, untuk apa Ahmed Bushra akan memperkenalkan saya dengan Avijja. Saya hanya menerka kalau dia sebenarnya ingin memperoleh kepercayaan dari saya karena punya kawan wartawan. Tapi, bagaimana pun saya tetap merasa tak tahu maksud-maksud tesembunyi dalam diri Ahmed Bushra.
Ketika kami memasuki teras rumah Baba Mirza, saya lihat wajah Ahmed Bushra berubah cerah. Dia membisikkan agar saya memasukkan uang sekadarnya ke kotak amal yang diletakkan di tengah pintu masuk. Dia mengatakan bahwa semakin saya banyak memberi uang, maka rezeki saya akan semakin banyak. Dengan agak jengkel karena merasa tertipu, saya mengeluarkan uang 25 rupee untuk saya masukkan kotak. Tetapi baru saja uang itu mau saya masukkan, tiba-tiba Ahmed Bushra menyambarnya sambil membisikkan omongan bahwa dia ingin memasukkan uang saya sekalian dengan uangnya agar kami berdua beroleh berkah.
Saya tahu bahwa Ahmed Bushra sebenarnya tidak memasukkan uang ke kotak. Ia menyelipkan uang saya ke saku celananya meski tangannya berbuat seolah-olah memasukkan uang ke kotak. Dalam hati saya mengumpat keterkutukan seekor bajingan bernama Ahmed Bushra ini. Saya mendadak ingat seorang bajingan tengik di daerah Suci-Gresik yang bernama Anam yang rajin sembahyang dan dzikir di masjid tetapi suka pula mencuri uang di kotak masjid dan menipu orangorang di sekitar masjid. Orang-orang macam begini memang dibekali Allah kepandaian untuk menipu. Dan kepandaian orang macam ini adalah semata-mata sebagai jalan bagi kesesatannya sendiri.
Sekalipun saya agak jengkel dengan ulah Ahmed Bushra, saya tak menggubrisnya, sebab saya lebih suka memandangi suasana seram rumah Baba Mirza yang kayu-kayu di langit-langit rumahnya dilepoti jelaga. Suasana wangi dupa secepat kilat menyergap hidung saya. Sementara kepulan asap tipis memenuhi ruangan dengan suara orang menggumam seperti dzikir.
Di ruang tengah rumah Baba Mirza saya melihat sekitar empat orang laki-laki yang bersimpuh mengelilingi seorang lelaki bersurban putih dengan janggut lebat menutupi separo wajah. Lelaki berjanggut lebat tu tentulah Baba Mirza. Usianya sekitar 60 tahun, tapi masih tampak kokoh. Matanya yang berkilat seperti menyimpan daya magis. Dia duduk bersila membelakangi sebuah tungku api yang berkobar, sehingga sepintas kilas tubuhnya bagai keluar dari kobaran api. Mulut Baba Mirza terdengar terus menggumamkan suara hingga mirip orang menggerutu atau dengung lebah. Tangan kanan dan tangan kirinya sesekali terlihat diangkat dan diputar-putar dalam gerakan setengah lingkaran.
Di antara ke empat lelaki yang mengelilingi Baba Mirza, ternyata hanya seorang yang saya kenal, yaitu Avijja yang duduk bersila dengan perut membuncit ke depan dan pipi menggembung mirip kera menyimpan makanan di mulut. Ahmed Bushra membisiki saya, dan mengatakan bahwa kedatangan Avijja ke Baba Mirza adalah untuk meminta berkah dan kewibawaan serta pengasihan, agar dia disegani kawankawan seprofesinya tapi makin dicintai oleh atasannya.
Saya sendiri sebenarnya tidak percaya dengan hal dukun berdukun seperti yang pernah diungkapkan Ashok dan Laxmi, di mana mereka mengatakan bahwa Avijja selalu menggunakan jasa dukun untuk menundukkan pimpinannya. Semula saya menganggap omong kosong saja keterangan Ashok dan Laxmi. Tetapi dengan melihat sendiri kenyataan itu, mau tidak mau saya agak termakan juga oleh berita kasak kusuk itu.
Di sebelah kiri Avijja duduk seorang laki-laki berusia sekitar 53 tahun dengan tubuh agak ditegakkan. Menurut Ahmed Bushra laki-laki itu bernama Moha-sha, seorang profesor yang terkenal sombong dan selalu merasa diri lebih pintar daripada profesor lain, meski kenyataannya tidak demikian. Kalau benar lakilaki itu adalah profesor Moha-sha, maka saya sedikitnya pernah mengetahui dari Ahmed Arshad, kawan kuliah Laxmi Devi yang sering berbincang-bincang dengan saya.
Profesor Moha-sha, menurut Arshad, sebenarnya orang yang memiliki pribadi menarik. Kalau ada mahasiswa yang sakit, tanpa segan-segan sang profesor akan menjenguk sambil membawa sekadar oleh-oleh. Dengan nasehat ini itu, dia memberi pengarahan kepada si sakit seperti saat dia memberi kuliah. Anehnya, begitu tutur Arshad, meski Moha-sha seorang profesor, dia terkenal amat anti dunia medis. Dia menganggap ilmu kedokteran sebagai ilmu spekulasi yang berbahaya, di mana dokter-dokter gampang ngomong soal bedah membedah. Dan di dalam banyak hal lebih suka menggunakan jasa ilmu perdukunan.
Yang paling tidak disukai banyak orang dari pribadi profesor Moha-sha adalah watak congkak dan arogansinya yang berlebih-lebihan. Dia selalu memandang bahwa tidak boleh ada orang lain yang lebih pintar dari dia. Dan sifat lain yang amat memuakkan, dia suka sekali memperalat orang lain untuk kepentingan pribadinya. Beberapa orang kawan Laxmi seperti Ahmed Kareem, Ishak, Rajanikant, Noor Aruni yang merupakan bekas-bekas mahasiswa profesor Moha-sha selalu mengeluh dengan sifat busuk sang profesor itu.
Ishak misalnya, sering dianggap sebagai kacung yang bekerja di biro iklan, di mana dia selalu kebagian tugas dari sang profesor untuk membuat transparansi yang akan dipakai di Over Head Projector (OHP). Dengan tanpa mempertimbangkan kesibukan orang lain, Ishak yang dianggap kacung itu langsung diberi tugas-tugas membuat setumpuk transparansi dengan jangka waktu pendek. Alhasil, tiada waktu bagi Ishak tanpa membuat transparansi dan media-media pengajaran yang lain. Dan Ishak pun pernah harus menjual baju dan celananya gara-gara membeli transparansi dan spidol serta peralatan lainnya untuk menggarap pesanan gratis sang profesor.
Kalau sudah bicara soal Kareem, Rajanikant, dan Noor Aruni, maka mereka itulah kacung-kacung yang selalu ditindas oleh sang profesor, sehingga tanpa sadar, dalam setiap kesempatan mereka selalu berusaha menjelek-jelekkan sang profesor.
Profesor Moha sendiri, begitu menurut Kareem, selalu berusaha menggiring mahasiswa-mahasiswanya untuk menguji dirinya. Dia dengan berbagai macam cara berusaha memperoleh puja dan puji dari orangorang sekitarnya, terutama dari mahasiswanya. Dia, bahkan tanpa malu-malu menceritakan segala kelebihan dan kecemerlangan dirinya di depan siapa saja. Dan dia baru kelihatan puas apabila para mahasiswanya mendecakkan mulut sambil mengangguk-angguk takjub dengan bualannya yang sering absurd itu.
Kalau ada mahasiswa yang minta dibimbing tesis olehnya, maka tak ayal lagi mahasiswa itu akan diperlakukan sebagai kacung dungu yang tidak bisa berpikir. Biasanya, dia hanya membuka waktu bimbingan pada hari Senin dan Kamis. Dan kalau ada mahasiswa menyerahkan rancangan tesisnya, maka tanpa dibaca lagi, langsung akan dioret-oret dan disalah-salahkan dengan tanpa memberitahu bagaimana susunan yang betul. Dia memang dikenal sebagai profesor yang paling suka mengoret-oret tesis mahasiswa tanpa memberi penjelasan atau menerima alasan sang mahasiswa, di mana proses bimbingan pada akhirnya berlangsung satu arah. Dengan demikian, untuk bab pendahuluan pun paling tidak seorang mahasiswa harus berkonsultasi sampai sepuluh kali. Artinya, mahasiswa itu mesti mengubah tesisnya yang sudah dioret-oret sepuluh kali.
Rahasia kegemaran oret-mengoret tesis itu baru dipecahkan oleh Ahmed Arshad. Kisahnya, ketika dia mengajukan usulan tesis, hampir separo dari catatan kaki yang dibuatnya mengutip diktat-diktat dan bukubuku sang profesor. Bahkan, Arshad yang kocak itu memasukkan pula catatan-catatan perkuliahan sang profesor sebagai catatan kakinya yang diberi catatan wawancara khusus . Rupanya, dengan siasat semacam itu Arshad menjadi pemegang rekor sebagai mahasiswa yang paling sedikit rancangan tesisnya dioret-oret.
Keanehan sifat Profesor Moha-sha yang sebenarnya memuakkan adalah kegemarannya mencari popularitas dengan memanggil wartawan-wartawan agar bisa konsultasi dengannya dalam berbagai hal. Tanpa malu sedikit pun, dia akan menelepon seorang wartawan dan bicara ngalor-ngidul dalam suatu urusan yang sering kali tidak menarik dan berita yang basi dan dia merasa kecewa setelah hasil wawancaranya tidak dimuat di koran, tanpa dia sadar bahwa ia sebenarnya telah memaksakan kehendaknya untuk memuatkan berita-berita basi yang tidak aktual. Dan anehnya, dengan berbagai pengalaman yang tidak mengenakkan itu, dia tidak pernah kapok; artinya, dia terus saja meneleponi wartawan-wartawan dan mengajak mereka untuk mewawancarainya dalam soal kasus-kasus basi yang sama sekali tidak aktual.
Kecongkakan dan arogansi yang ditunjukkan Profesor Moha-sha memang berakibat mengenaskan baginya, meski hal itu tidak pernah disadarinya. Dalam kehidupan sehari-hari, dia tetap menampilkan diri sebagai orang yang paling nomor wahid, di mana hal itu terlihat dari caranya berjalan yang selalu membusungkan dada seperti seorang jenderal sedang melakukan inspeksi. Kalau kebetulan dia melihat sesuatu hal yang tidak sesuai dengannya, maka tanpa menunggu waktu dia akan bertolak pinggang memberi instruksi sambil menuding-nuding. Dia selalu kelihatan puas apabila melihat orang-orang yang didampratnya mengangguk-angguk ucap minta maaf, seolah-olah dari dialah sumber kebenaran itu berasal. Dan setelah memberi pitutur maupun petunjuk, Profesor Moha-sha pun dengan membusungkan dada akan menggoyang-goyangkan kepala ke kanan kiri penuh bangga.
Kearoganan Profesor Moha-sha itu pada gilirannya memang menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. Sebab orang-orang di fakultas maupun di tempat lain yang mengenalnya sangat tidak menyukainya meski tidak terang-terangan. Di fakultas sendiri yang namanya profesor, doktor, dosen, mahasiswa, tenaga administratif hingga tukang sapu, tidak ada yang berkasak kusuk membicarakannya. Bahkan Profesor Moha-sha pernah satu ketika mencak-mencak ketika seorang doktor lulusan Amerika bernama Khalil Alif menulis cerpen di koran Bombay City mengenai kebusukan Profesor Moha-sha. Anehnya, sang profesor itu justru tidak pernah menyadari bahwa banyak sekali orang tidak menyukainya. Dia terus berjalan, menggelinding seperti robot dengan perasaan mengatakan bahwa semua orang mesti kagum dengan kehebatannya. Sungguh suatu kutub yang bertolak belakang antara apa yang dipikirkan dan dirasakannya dengan kenyataan yang diperolehnya.
Sang profesor yang secara langsung atau tidak langsung suka memuji-muji dirinya itu pada gilirannya terperangkap pada suatu persoalan yang rumit. Dia seperti terbelenggu oleh benteng-benteng yang didirikan untuk kemegahan dirinya sendiri. Kalau suatu saat dia menghadapi suatu problem yang berkait dengan perkembangan ilmu baru, maka dengan suara keras dia menyalak bahwa dialah yang paling tahu perkembangan ilmu tersebut. Dia selalu mengaku bisa dalam segala hal. Dan sebagai konsekuensinya, dia harus membaca bermalam-malam sekitar literatur perkembangan ilmu tersebut, meski sering untuk itu dia dijadikan bahan tertawaan secara diam-diam oleh banyak orang.
Gelar keprofesoran, ternyata telah memerangkap dia ke suatu mitos celaka yang menyatakan bahwa profesor adalah semacam gelar dari Tuhan, dalam arti seorang profesor harus tahu segala hal dan tidak bisa salah. Karena keyakinan keblinger itulah, maka profesor kita ini sering mengidentifikasikan diri sebagai dewa yang waskita dan wajib disembah serta dipuja-puji. Dia tanpa sadar sudah mengingkari kodrat kedlaifan dan ketidaksempurnaan manusia. Dia merasa bahwa sebagai profesor dia wajib disebut sebagai sumber kebenaran. Fatwanya adalah kebenaran. Analisisnya adalah kebenaran. Bahkan dia merasa, dialah satusatunya manusia yang pantas untuk dipuja-puji sebagai sumber dari segala sumber kebenaran, sehingga sering dia menelpon wartawan untuk memuat fatwanya di koran, meski hal itu jarang termuat. Dan bagi dia, dimuat atau tidaknya fatwanya di koran adalah urusan nomor dua, yang jelas dia merasa puas karena bisa mendikte dan memfatwai wartawan.
Ahmed Arshad yang sudah mengenal Profesor Moha-sha bertahun-tahun, sering tanpa sadar terbius oleh ketegaran sang profesor dalam menegakkan panjipanji kebanggan diri. Sering, Arshad membayangkan Profesor Moha-sha hadir begitu saja saat dia sedang sembahyang atau dzikir. Dalam bayangan itu, begitu Arshad ngomong, dia membayangkan Profesor Mohasha melarangnya untuk memuji-muji kebesaran Allah dan Nabi Muhammad. Sungguh mati, begitu Arshad bersumpah, dia sering dibayangi sosok Profesor Mohasha yang memerintahkan dirinya agar mau memujamuji kehebatan dan kebesaran sang profesor.
Apa yang dialami oleh Arshad itu, setelah diperiksakan ke psikiater, dikatakan sebagai proses pergeseran kesan yang terjadi di alam bawah sadar Arshad karena terpengaruh sikap Profesor Moha-sha yang haus kehormatan dan pepujian yang dengan berbagai macam cara berusaha untuk mendapatkannya. Dan tanpa sadar, Profesor Moha-sha telah memberhalakan dirinya sebagai Tuhan pemilik puja dan puji.
Dengan berbagai cerita tentang Profesor Mohasha saya akhirnya menarik kesimpulan bahwa lelaki itu justru akan mengalami katastrofe psikis apabila menjelang masa pensiun. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana kesepian dan kecewanya dia apabila sudah dipensiun. Bahkan saya yakin, begitu dia dipensiun, maka dia akan Syndrome Power.
Sekarang ini, yang saya herankan, kenapa Profesor Moha-sha yang sudah memper-Tuhankan dirinya itu bisa berada di depan Baba Mirza seperti pesakitan meringkuk di depan hakim. Mungkin, pikir saya, dia meminta bekal tertentu dari Baba Mirza agar dirinya bisa berwibawa dan ditakuti serta dipuja-puji oleh semua orang. Tapi bisa juga dia sedang berobat, karena dia lebih suka berobat ke dukun-dukun daripada ke dokter.
Ketika saya sedang membayang-bayangkan Profesor Moha-sha, tiba-tiba saja Baba Mirza mengangkat tangan ke atas dengan mulut mengeluarkan semacam erangan, mirip gerakan harimau. Sedetik kemudian, tangan-tangannya digetarkan dan matanya hanya kelihatan putih tanpa manik-manik. Mereka yang berada di sekitar Baba Mirza tampak meringkuk dan terkesima tanpa daya oleh gerakan magis Baba Mirza. Ahmed Bushra yang duduk bersila di sisi saya, bahwa Baba Mirza sedang memanggil ruh Salman Rusdhie.
Siapa yang menyuruh panggil Salman Rusdhie" tanya saya ingin tahu.
Ahmed Bushra menunjuk ke arah Tuan Bhavasava, seorang laki-laki tambun berkepala botak berhidung bengkok mirip burung kakak tua. Tuan Bhavasava adalah seorang pengusaha yang memiliki beberapa pabrik di Bombay dan Calcuta. Dia, menurut Ahmed Bushra, adalah orang yang sangat fanatik beragama dan suka berderma membantu orang-orang miskin. Tuan Bhavasava dikenal sebagai tokoh dermawan yang tiada banding karena selalu membantu pembangunan masjid, rumah yatim, panti asuhan.
Kefanatikan Tuan Bhavasava makin kelihatan ketika dunia digegerkan oleh Salman Rusdhie yang mengarang novel The Satanic Verses, di mana tanpa bilang bah atau buh lagi Tuan Bhavasava langsung mengirim pembunuh-pembunuh bayaran ke London untuk menghabisi Salman Rusdhie. Sikap Tuan Bhavasava dalam mengantisipasi kasus Salman Rusdhie itu tentu saja menjadikan namanya makin harum sebagai pahlawan pembela Islam yang tanpa tanding.
Tuan Bhavasava sendiri dengan kedudukannya sebagai tokoh terpandang, secara sadar atau tidak sadar telah terperangkap ke suatu lingkaran memabukkan atas kebanggaan diri. Dia secara diam-diam menganggap bahwa tidak ada orang di bawah langit ini yang sudah berbuat begitu banyak terhadap Islam kecuali dirinya. Dia selalu menganggap bahwa pembangunan masjid atau panti asuhan tidaklah bisa berlangsung apabila tanpa bantuannya. Dia merasa bahwa dialah manusia yang menentukan maju dan mundurnya dakwah Islamiyah di Bombay dan sekitarnya.
Kepada Ahmed Bushra, Tuan Bhasavasa sering bercerita bahwa sebagai dermawan dia sudah menanam benih-benih pahala yang mulia di akhirat, di mana pada akhir zaman nanti dia tinggal menuai hasilnya. Dia, tutur Ahmed Bushra, selalu membayangkan limpahan pahala yang diperolehnya dari amal perbuatannya atas ketaatannya pada perintah agama, di mana pahala itu selalu dibayangkan seperti tumpukan gunung-gemunung yang akan membuat hidupnya di akhirat penuh kenikmatan. Dia senantiasa yakin bahwa dengan pahalanya itu, Allah akan membuatkannya sebuah istana indah dengan 40 buah pintu, dan dia duduk sebagai raja diraja yang disanjung dan dilingkari bidadari-bidadari.
Pasukan Kumbang Neraka 1 Bara Diatas Singgasana Pelangi Di Singosari Karya S H Mintardja Bende Mataram 37
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama