Ceritasilat Novel Online

Bende Mataram 37

Bende Mataram Karya Herman Pratikto Bagian 37


menghantam dirinya sendiri. Mereka heran seraya memeriksa tangannya. Ternyata tangan mereka melepuh. Sebagai seorang pendekar yang sudah berpengalaman, mereka kaget. Kemudian
dengan membentak, mereka menendang dada dan kempungan Sangaji cepat serta berantai.
Dada dan kempungan merupakan bagian tubuh yang berbahaya. Siapa yang kena hantam,
pasti roboh seketika. Salah-salah bisa mati terjengkang. Sebaliknya Sangaji tak bergeming.
Ia seorang pemuda yang mempunyai kesabaran melebihi seorang pendeta. Diperlakukan
demikian, ia tak menjadi marah. Hanya saja timbullah keheranannya, mengapa mereka bertabiat kejam. Teringat kepada sepak terjang Inu Kertapati dan Sidi Mantera serta rekan-rekan Kosim lainnya mereka ini berbeda jauh seumpama langit dan bumi. Apakah di dalam Himpunan
Sangkuriang terdapat beberapa paham dan aliran-aliran yang berdiri sendiri-sendiri"
Dalam pada itu mereka terus main tendang tanpa segan-segan lagi. Meskipun yang ditendang sama sekali tak membalas, lambat laun kaki mereka terasa nyeri. Setelah diperiksa nampak menjadi bengkak seperti tangannya. Diam-diam mereka berkata di dalam hati; "Dia ini manusia atau setan?"
Kosim yang terganggu lukanya, tidak dapat membantu Sangaji. la anggota Himpunan
Sangkuriang bertanda pedang silang dengan obor menyala. Walaupun satu perserikatan dengan mereka, tapi dari golongan lain. Baik paham maupun sepak terjangnya lain pula. Melihat Sangaji kena gebuk tanpa membalas, ia menjadi gusar. Terus saja ia maju menghampiri seraya
membentak, "Hai binatang kuda, mengapa engkau menghajar orang tak bersalah?"
"Paman Kosim!" potong Sangaji. "Ajakiah mereka bersalaman!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dalam hati pemuda itu, sudahlah timbul hasratnya untuk mempersatukan mereka. Sebaliknya
melihat sikapnya yang luar biasa terhadap perselisihan itu, Kosim heran.
Sekonyong-konyong, mereka yang menendangi Sangaji mencabut pedangnya yang disimpan di
balik pakaian seragamnya. Pendekar yang berjambang tebal dengan gesit menikam Sangaji. Dan yang gemuk membabat kaki Kosim yang terlalu tak enteng.
Melihat gerakan itu, Sangaji terkesiap. Serangan terhadap dirinya tidak begitu dihiraukan, tapi hatinya mendongkol terhadap si gemuk yang menyerang Kosim. Mereka sesama anggota
Himpunan Sangkuriang, mengapa begini kejam" la berkata dalam hati.
Dengan mengerahkan tenaga sakti, ia mengibaskan tangan. Gagang pedang si gemuk
terdorong miring dan membentur pedang si jambang tebal, sehingga saling bentrok. Itulah
kehebatan ilmu Mayangga Seta yang sudah mencapai puncaknya. Jangan lagi menghadapi dua
orang, meskipun dikerubut enam puluh orang masih bisa Sangaji mementalkan pedang mereka ke udara dengan satu kali tepuk saja.
Mereka berdua berteriak kesakitan kena gempuran mendadak itu. Tangannya pedih dan
mereka berdua cepat-cepat meloncat mundur. Dengan mata menyala berbareng kagum, mereka
menatap Sangaji. Kemudian dengan menggerung, mereka menyerang dahsyat. Pedang mereka
bergulungan dengan membawa suara mendengung.
Kosim memekik kaget. Ia mengenal jurus itu. Itulah jurus Angin Puyuh merabu daratan. Sayang mereka belum mencapai taraf tinggi. Seumpama di tangan seorang ahli, hebatnya tak tefkatakan.
Meskipun demikian, bahayanya tak kurang-kurang.
Sangaji mengkhawatirkan keselamatan Kosim. Gesit ia melompat melindungi Kosim sambil
memutuskan tenaga serangan. Sama sekali ia tak mau membalas.
"Aku adalah sahabat lnu Kertapati dan Sidi Mantera. Kuharap salah paham ini berhenti sampai di sini saja," seru Sangaji dengan sabar.
"Andaikata engkau mengaku kenal Ki Tunjungbiru, jangan berharap mengecoh kami," bentak yang berjambang tebal.
"Tapi benar-benar aku mengenal Ki Tunjungbiru. Akupun pernah menerima petunjuk-petunjuk ilmu kepandaiannya," sahut Sangaji dengan bersungguh-sungguh.
"Omong kosong!" bentak yang gemuk. "Sebentar lagi engkau mengaku sebagai murid Gusti Amat. Sungguh hebat!" Sambil membentak ia menikam dada Sangaji dengan pedangnya.
Sangaji benar-benar jadi tak mengerti. Pikirnya, di kaki gunung tadi sudah terdapat gambar tanda bahaya. Melihat sepak terjangnya, mungkin sekali gambar tanda bahaya sudah tertebar di tempat-tempat tertentu. Tak mengherankan mereka bersikap galak dan mencurigai setiap orang.
Baiklah kurampas-nya pedangnya. Barangkali dapat kuajak berbicara.
Ilmu kepandaian Sangaji sudah mencapai puncak kesempurnaan. Meskipun pada saat itu ia
belum berhasil menciptakan corak ilmu saktinya yang khas seperti pendekar Gagak Seta, Kyai Kasan Kesambi, Kebo Bangah dan Adipati Surengpati, namun tingkatan ilmu saktinya berada di atas mereka. Gerakan kaki tangannya adalah gerakan karsanya yang membersit secara wajar
(otomatis). Tiap gerakannya, selalu sesuai dengan getaran kemauannya. Tepat"persis"tak lebih dan tak kurang.
Ia menggerakkan kedua jarinya dan menjepit pedang si gemuk. Gagangnya tergetar dan
membentur pedang si jambang tebal. Begitu kena benturan, pundak mereka terasa panas seperti terjilat besi membara. Kedua-duanya terkejut. Bahkan si, gemuk sampai melepaskan
genggamannya dan pedangnya runtuh di tanah. Kemudian dengan menjejak tanah meloncat ke
luar gelanggang. "Jajang! Siluman ini luar biasa hebat. Lari!" seru yang gemuk. Ia bernama Zakaria. Sedangkan yang berjambang bernama Jajang.
Seringkali Sangaji disebut siluman oleh Fatimah. Karena itu ia tak bersakit hati mendengar hinaan Zakaria. Meskipun demikian ia merasa gagal hendak mengajak mereka berbicara. Setelah pedang mereka diruntuhkan ke tanah, ternyata terus lari. Melihat mereka lari, Sangaji dengan cepat menyambar tubuh Kosim. Dengan mendukung Kosim ia melesat memburu. Sekali
menggenjot kaki, tubuhnya terbang melintasi mereka. Kemudian turun sepuluh langkah di depan mereka. Dengan sikap menghadang mereka ia berkata, "Mengapa kalian menghindari, aku?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Zakaria dan Jajang terkesiap menyaksikan kegagahan Sangaji. Tetapi seperti setiap anggota Himpunan Sangkuriang lainnya, dalam keadaan terjepit masih berani mereka menentang muka
dengan pandang berapi-api.
Zakaria kemudian membentak, "Bukankah engkau yang meracun Gusti Amat" Mengapa
berlagak pilon?" Sangaji tercengang benar-benar ia tak mengerti mengapa mereka menuduh demikian. Ia
mengenal nama Gusti Amat mula-mula lewat mulut Toha dan Kosim sewaktu mereka berbicara di unggun batu Rababa Tapa. Pernah ia minta keterangan kepada Inu Kertapati dan Sidi Mantera siapa dia sesungguhnya. Mereka belum pula memberi keterangan. Sekarang apa sebab anggota Himpunan Sangkuriang menuduhnya meracun Gusti Amat" Pastilah mereka mempunyai alasannya
sendiri. Selagi ia disibukkan perkara itu, Zakaria dan Jajang telah kabur lagi.
Kosim yang selama itu berada dalam kem-pitan, menepuk tubuhnya sambil berkata, "Anakku Sangaji! Mereka sudah kabur lagi."
Sangaji tersadar. Dengan meletakkan tubuh Kosim hati-hati di tanah, ia berkata, "Paman!
Mereka tadi berkata, bahwa aku meracun Gusti Amat. Sebenarnya siapakah dia?"
"Siapa dia sesungguhnya, aku sendiri kurang terang," sahut Kosim dengan sungguh-sungguh.
"Dahulu aku pernah menghadap seseorang yang bertubuh ramping. Menurut kabar, dialah Gusti Amat. Tetapi kawan-kawan lain berkata, bahwa yang bernama Gusti Amat adalah seorang yang berperawakan tegap tinggi. Yang lain mengabarkan
Sangaji mengerahkan kedua, jarinya dan menjepit pedang si gemuk, gagangnya tergetar
membentur pedang si jambang tebal.
berperawakan tinggi jangkung. Ada pula yang mengabarkan, berperawakan gagah perkasa,
gemuk pendek dan kurus tipis. Entah mara yang benar, masing-masing mempunyai bukti alasan yang kuat."
"Apakah Gusti Amat dapat merubah diri?"
Kosim tertawa. Menjawab lancar, "Ilmu merubah diri, sering kudengar. Tapi demi Tuhan aku belum pernah menyaksikan selama aku hidup melampaui setengah abad ini. Entahlah kalau aku yang tolol."
Sangaji mengernyitkan dahi. Ia mencoba menebak. Tetapi dia bukan Titisari yang mempunyai otak cemerlang. Maka untuk sekian lamanya, ia tak berhasil memperoleh suatu pegangan.
Akhirnya dia berkata minta pertimbangan, "Bagaimana pendapat Paman?"
Kosim tidak segera menjawab. Ia memungut kedua pedang yang ditinggalkan pemiliknya.
Dengan seksama ia memeriksanya. Dekat gagangnya terdapat gambaran ukiran Kuda Semberani
dan sebuah Bintang. Melihat tanda bintang, ia mengernyitkan dahi. Berkata seperti kepada dirinya sendiri:
"Pemiliknya ternyata bukan anggota sem-barangan. Melihat tandanya, mereka termasuk
pasukan pengawal panji-panji Otong Sura-wijaya.". Setelah berkata demikian, ia merenung-renung. Kemudian berkata lagi seperti tersadar dari suatu impian buruk. "Engkau tadi minta pendapatku tentang Gusti Amat. Sebenarnya ini bukan pendapatku sendiri. Dahulu hari Gusti Ratu Bagus Boang, membagi pusat pemerintahan dalam dua bagian. Itulah yang disebut sayap kiri dan sayap kanan. Anggota pucuk pimpinan sayap kiri terdiri dari tiga orang. Samalah halnya dengan anggota pucuk pimpinan sayap kanan. Mereka ialah: Dadang Wiranata, Otong Surawijaya, Ratna Bumi dan Dwijendra, Andangkara, Walisana. Masing-masing mempunyai tanda pengenal serta
panji-panji. Tanda Obor, Kuda Semberani, Keris Sakti, Bintang, Garuda dan Bunga Menyala yang dicantumkan di atas gambar pedang silang. Tatkala mereka sedang berselisih dan bermusuhan, masing-masing berdiri sendiri-sendiri. Tiada lagi apa yang dinamakan pihak sayap kiri dan pihak sayap kanan, seperti enam pendekar yang memasuki gelanggang adu jiwa, mereka saling gempur dan saling membunuh."
Mendengar keterangan Kosim, kabut teka-teki yang menutupi benak Sangaji tersingkap
beberapa lapis. Pantas mereka semalam yang mengenakan tanda Obor, saling bentrok dengan
yang bertanda Keris. Dan yang bertanda Bintang membentur yang bertanda Garuda.
"Dan siapakah yang bernama Gusti Amat"'i ia menegas lagi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Itulah yang hendak kuterangkan kepadamu," sahut Kosim. Setelah beragu-ragu sejenak, berkata hati-hati: "Mengingat betapa perintah Gusti Amat wajib dan harus ditaati semua pihak, maka kedudukan Gusti Amat harus berada di atas mereka berenam. Siapa lagi kalau bukan Dewan Penasehat."
"Dewan Penasehat" Bagaimana Paman dapat berpikir demikian."
"Tadi sudah kukatakan, bahwa itu bukan pendapatku sendiri," sahut Kosim. "Itulah pendapat rekan-rekan yang cerdik pandai. Alasan mereka berdasarkan pihak-pihak yang pernah berhadapan muka dengan Gusti Amat. Bukankah perawakan tubuh Gusti Amat yang diwartakan berjumlah
enam macam" Dan Qewan Penasehat terdiri dari enam orang pula."
Watak Sangaji tak gampang-gampang menyerah. Manakala menjumpai suatu persoalan yang
sulit serta berteka-teki, makin sulit persoalannya bersemangat untuk mengetahui sejelas-jelasnya.
Sifat ini pulalah yang membuat dia selalu berhasil menyelesaikan setiap persoalan yang sedang dihadapi. Meskipun kerap kali sangat lambat. Begitulah kali ini. Mendengar pendapat
Kosim,,hatinya tertarik. "Apakah Paman berpendapat, bahwa nama Gusti Amat sesungguhnya nama sandi Dewan
Penasehat?" "Demikianlah pendapat rekan-rekan cerdik pandai," jawab Kosim.
Sangaji mempunyai kepentingan, mengingat Gusti Amat memberi perintah kepada pihak
tertentu menghantarkan tiga buah benda mustika kepadanya. Maka ia mendesak lagi, "Apakah Paman mengenal siapa mereka?"
"Hanya dua orang yang kukenal. Itulah pemimpin urusan keagamaan dan pemimpin urusan pemerintahan."
"Siapa?" "Dahulu guru Gusti Ratu Bagus Boang yang bernama Ki Tapa. Dan yang lain Ki Tunjungbiru."
"Ki Tunjungbiru?"
"Semasa muda bernama Otong Damar-wijaya," kata Kosim. Dan Sangaji tak perlu mencari keyakinan lagi. Itulah Ki Tunjungbiru yang kini tersekap kompeni. Terus saja ia teringat kepada semua sepak terjang pendekar itu. Mulai pertemuannya yang pertama kali di tengah hutan
Tangerang sampai saat perpisahannya di kampung tahanan kompeni.
Ki Tunjungbiru adalah seorang pendekar yang luhur budi dan berwibawa. Kosim, Inu Kertapati, Sidi Mantera dan lainnya beberapa kali menyebut namanya dan menghormati. Tapi mereka tak pernah menganggapnya sebagai Gusti Amat. Agaknya nama Gusti Amat benar-benar hanya suatu nama sandi tertentu, pikir Sangaji.
Mereka mulai meneruskan perjalanannya mendaki gunung. Sewaktu sampai pada ketinggian
yang ketiga, mata hari tiada lagi di udara. Waktu senja rembang tiba. Bulan sisir muncul di atas cakrawala. Seperti kemarin malam, bulan menjanjikan timbul penuh-penuh pada tengah malam.
Jalan yang bakal diambah nampak menjadi sukar dan berbahaya. Teringat luka Kosim, Sangaji berkata: "Paman! Apakah Paman perlu beristirahat?"
Kosim tersenyum sambil menggelengkan kepala. Menyahut, "Perserikatan kami terancam
bahaya kemusnahan. Apakah arti lukaku ini?"
"Jika demikian, kita jalan terus," kata Sangaji.
Di depan mereka menghadang sebuah batu gunung yang luar biasa besarnya. Batu itu
melengkung ke bawah seperti seorang nenek yang membungkuk dalam-dalam. Bentuknya
nampak seram. Melihat keseraman itu, kembali Sangaji teringat kepada Jajang dan Zakaria yang menuduhnya meracun Gusti Amat. Memikir demikian, terloncatlah perkataannya: "Paman
berpendapat bahwa Gusti Amat adalah sebuah nama sandi Dewan Penasehat. Aku dituduh mereka meracun Gusti Amat. Apakah maksud mereka?"
"Ki Tapa sudah lama wafat, sebelum Gusti Ratu Bagus Boang musna dari percaturan dunia,"
sahut Kosim setelah berpikir sebentar. "Panembahan Tunjungbiru membiarkan diri tertawan Belanda. Jika demikian, mungkin maksudnya Haji Maulana Syafri dialah pengganti Ki Tapa.
Sekiranya bukan demikian, mungkin yang dimaksudkan sisa anggota Dewan Penasehat. Tapi
mengingat tanda bahaya Simuntang, kukira tidak hanya Dewan Penasehat yang terancam bahaya.
Tapi seluruh tenaga himpunan."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tetapi mereka menggunakan istilah racun. Bukankah mereka bermaksud menuduh aku
meracun seseorang yang bernama Gusti Amat?" tungkas Sangaji.
"Belum tentu," sahut Kosim cepat. "Kami bisa menggunakan istilah racun, sedang yang kami maksudkan adalah pembunuhan atau permusuhan. Maksud penggunaan racun sebagai istilah
pembunuhan, semata-mata untuk mengesankan sesuatu kekejian yang melebihi tindak
pembunuhan atau pemusnahan. Anakku Sangaji! Otakku bukan otak seseorang cerdik pandai.
Janganlah engkau memegang semua kata-kataku sebagai suatu pendapat yang jitu. Yang benar, Himpunan Sangkuriang kini terancam bahaya yang mengerikan. Apa itu, akupun tak sanggup
menduga. Mengingat dua orang anggota pengawal panji-panji Otong Surawijaya menyerangmu,
pastilah perjalanan ini berbahaya. Salah-salah...."
Belum lagi Kosim melanjutkan perkataannya, dari belakang batu terdengarlah suatu aba-aba garang. Berbareng dengan itu, meloncatlah empat orang bersenjata pedang, Tanpa berkata
mereka berdiri kencang seakan-akan bersiaga berbaris.
Sangaji menghampiri dan membungkuk hormat. Katanya takzim, "Aku bernama Sangaji.
Datang ke mari atas undangan Inu Kertapati. Secara kebetulan pula berjalan bersama-sama..."
"Kau bernama Sangaji atau katak duduk, apa bedanya?" potong salah seorang. Orang itu bertubuh jangkung. Bentaknya, "Hayo menggelinding turun!"
Betapa sabar hati Sangaji, ia merasa tertusuk kehormatannya. Namun masih saja ia menguasai diri. Katanya nyaring, "Bawalah aku menghadap padanya. Pastilah semua akan menjadi terang."
"Kau mau menggelinding turun atau tidak?" bentak si jangkung.
Sangaji terdiam. Dalam hal mengadu ketajaman lidah tiada harapan untuk menang. Kosim yang berada di dekatnya mencoba memberi keterangan, "Saudara dari pasukan Kuda Semberani, dengarkanlah! Saudara ini hendak mendaki gunung bukan atas kemau-annya sendiri. Dia datang karena diundang. Dia sanggup datang, maka datanglah dia. Meskipun mendapat rintangan, dia mengeraskan hati tidak sudi mundur. Apakah kalian tidak bisa membedakan antara ksatria dan bangsa cecurut?"
"Kau siapa sampai berani mengumbar mulut di sini."
"Lihat! Akupun termasuk penghuni Gunung Cibugis" Meskipun tingkatanku tak lebih dari kurcaci, tapi suaraku tidak lebih rendah dari kalian," sahut Kosim sambil memperlihatkan tanda Obor serta pakaian seragamnya.
Mendengar perkataan Kosim, si jangkung tertawa panjang. Ketiga kawannya ikut pula .tertawa, sehingga dinding gunung jadi berde-ngungan.
"Apa yang lucu?" bentak Kosim.
Masih saja mereka tertawa selintasan. Kemudian seorang di antara mereka menyahut, "Apa sih susahnya membuat pakaian seragam begitu dan lencana Obor" Jangan berharap bisa mengingusi orang-orang pegunungan. Pergi!"
"Kalian memang sekumpulan binatang kuda tak tahu malu," maki Kosim mendongkol.
Sangaji hendak memberi suatu keyakinan lagi dengan logam tanda undangan yang diterimanya dari Suhanda, tiba-tiba si jangkung sudah menerjang sambil membentak:
"Kalau tidak diberi hajaran sedikit, engkau akari mengira di Cibugis tiada orang pandai lagi."
Bukan main heran hati Sangaji benar-benar mereka tak dapat diajak berbicara. Apakah
Himpunan Sangkuriang sudah terancam bahaya sungguh-sungguh! la mengeluh dalam hati. Hatihati ia mengelak ke samping. Tiga orang lainnya melompat menyerang Kosim.
"Saudara sekalian, bagaimana caraku dapat meyakinkan kalian agar kalian percaya, bahwa kedatanganku ke mari benar-benar atas undangan pendekar Inu Kertapati dan Sidi Mantera?"
"Rebutlah dahulu pedangku!" bentak si jangkung. Kemudian ia mengulangi serangannya dengan tikaman berturut-turut. Mendengar ucapan yang sombong, hati Sangaji mendongkol juga.
Dalam hati ia berkata, "Apa sih sukarnya merebut pedangmu?" Dan begitu ujung pedang si jangkung menyambar pedangnya, ia mengerahkan tenaga saktinya dan menyentil dengan jarinya.
Dengan suara me-ngaung pedang itu terpental di tengah udara.
Si jangkung kaget setengah mati dan buru-buru meloncat ke luar gelanggang. Melihat
kawannya dalam bahaya, lainnya meninggalkan Kosim dan menyerang Sangaji dengan berbareng.
Tapi dengan satu kebasan tangan saja, ketiga pedang beterbangan di udara. Kosim kagum benarbenar. Terus ia bertepuk-tepuk tangan sambil berseru, "Anakku Sangaji! Kau sudah cukup sopan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tapi binatang-binatang itu memperlakukan dirimu seperti tiada harganya. Bagus! Kau perlihatkan sedikit ilmu kepandaianmu. Biar tahu rasa."
Sebenarnya tiap kali turun tangan, Sangaji senantiasa memberi kesempatan kepada mereka
agar dapat mengmundurkan diri dengan terhormat. Akan tetapi kali ini hatinya mendongkol. Dia lantas menggunakan ilmu sentilan Gagak Seta, dibarengi dengan ilmu kebasan ciptaan Kyai Kasan Kesambi. Sudah barang tentu mereka bukan lawannya yang berarti. Setelah pedangnya
beterbangan, keempat laskar Kuda Semberani kuncup hatinya. Yang bertubuh jangkung segera berseru, "Mundur! Itulah ilmu siluman."
Mereka berbareng meloncat mundur berlindung di balik batu. Dalam sekejap mata
bayangannya hilang dalam kegelapan.
"Hebat! Sungguh hebat!" seru Kosim. "Tujuh tahun tak melihatmu, ternyata kepandaianmu tak ubah malaikat."
Sangaji sudah memasuki perkembangan persoalan. Hatinya mulai tertarik. Maka ia tak
mendengarkan pujian itu. "Paman! Bolehkah aku minta sesuatu?"
"Tentu. Tapi aku bisa membantu apa?"
"Aku tak menginginkan merampas pedang mereka. Biarlah kita kumpulkan di atas batu itu."
Kosim segera memungut keempat pedang yang ditinggalkan pemiliknya dan diletakkan di atas pedang Zakaria dan Jajang. Kemudian mereka melanjutkan perjalanan. Kini telah memasuki
pehgkolan. Dan jalan yang di-ambahnya lebih rata daripada tadi.
Dari dalam hutan, tiba-tiba muncullah tujuh orang anggota Kuda Semberani dengan bersenjata pedang panjang. Dengan gerakan-gerakan gesit mereka menempati garis kiblat. Empat orang di sebelah kiri dan tiga orang di sebelah kanan. Sekali melihat, Sangaji teringat kepada
pengalamannya, tatkala kena keroyok Malangyuda dan kawan-kawannya di sekitar Prambanan.
Maka diam-diam sadarlah dia, bahwa kali ini akan menghadapi lawan berat.
"Paman! Karena Paman belum dapat bergerak dengan leluasa, lebih baik berlindunglah di balik batu itu! Dengan demikian, aku tak perlu memecah perhatian."
Seperti anak-anak, Kosim memanggut-manggut. Dia sudah merasa kagum kepada Sangaji.
Dalam hati inginlah dia menyaksikan suatu tontonan yang menarik. Kemudian memilih sebuah batu yang tidak begitu besar. Maksudnya agar sewaktu-waktu dapat melongok dengan mudah.
Dengan tenang Sangaji mengamat-amati tujuh lawannya. Kala itu bulan bercahaya remangremang, sehingga bayangan mereka tidak nampak dengan tegas. Akan tetapi berkat ketajaman inderanya, ia masih bisa melihat beberapa orang di antara mereka berjenggot tebal matanya menyala tajam. Terang mereka bukan orang-orang lemah.
Sangaji sudah memutuskan tidak sudi berbicara lagi. Tujuannya hendak secepat mungkin
menemui Inu Kertapati dan Sidi Mantera, agar kesalahpahaman ini tidak menjadi berlarut-larut.
Dengan keputusan itu, ia meloncat menghampiri barisan.
Melihat gerakan Sangaji, mereka bergerak ke kiri hendak mengepung.
Sudah barang tentu Sangaji tak sudi kena kepung. Baru saja ketujuh lawannya membentuk
rantai pengepungan, ia maju dua langkah serong ke kanan. Perubahan kedudukan Sangaji
mengherankan'mereka. Dua orang yang berada di depan terus saja menyerang. Tetapi hasilnya nihil. Bahkan baris pengepungan terbuka seluruhnya. Inilah bahaya! Buru-buru pemimpin barisan mengibaskan lengan dan mereka bergerak serentak ke kanan. Tatkala hendak mulai menyerang, lagi-lagi Sangaji berada di luar sasaran. Bagaimana bisa begitu"
Mereka tak tahu, bahwa Sangaji sudah mengantongi ilmu sakti yang peka luar biasa. Begitu dirinya merasa diserang, ilmu saktinya meruap ke luar secara otomatis, lewat ukiran rahasia keris sakti Kyai Tunggulmanik yang sesungguhnya merupakan puncak dari segala hakiki ilmu
kepandaian manusia di dunia.
Sangaji sendiri sesungguhnya bergerak tanpa sadar. Setelah melihat gerakan pengepungan, ia bergerak pula secara naluriah. Gerakan naluriah itu terjadi oleh getaran pergolakan ilmu saktinya yang menggeser bagian jasmaninya, untuk menempati titik-tolak sasaran setepat-tepatnya.
Keruan saja mereka heran setengah mati. Dua tiga kali mereka mengulangi gerakan. Tapi tetap saja mereka gagal. Akhirnya pemimpinnya berteriak mendongkol, "Serang sambil berlari!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mereka lantas saja lari berputaran. Mula-mula meloncat mundur dan berpencaran. Kemudian
lari berputar-putar kalang kabut dengan tujuan membuat kabur penglihatan Sangaji. Sesudah berputaran beberapa saat, dengan mendadak mereka berhenti dan berkumpul. Pemimpinnya
berada di sebelah barat dan pada detik berikutnya kawan-kawannya bergerak dari selatan ke timur. Lalu membelok ke tenggara.
Berbareng dengan gerakan itu, dua orang yang berada di depan dan di belakang tiba-tiba
melesat menerjang. Tetapi sekali lagi, Sangaji sudah berada di luar sasaran. Dengan tenang ia berdiri di utara sambil mengulum senyum.
Kosim yang berada di balik batu, kagum luar biasa. Sebagai seorang anggota Himpunan
Sangkuriang, sudah barang tentu ia paham akan ilmu itu. Ilmu pengurungan itu merupakan ilmu kebanggaan Parahyangan. Konon dikatakan, ilmu tersebut adalah ilmu warisan dalam zaman
kerajaan Pajajaran. Siapa pen-ciptanya kurang terang. Tapi ilmu pengurungan itu sendiri bernama ilmu Jala Sutra Inderajaya. Sifatnya bertahan serta bersiaga menghadapi kemungkinan. Meskipun hanya tujuh orang di tangan para ahli dapat menahan serangan ratusan orang dengan sekaligus.
Sudah ratusan tahun usia ilmu itu. Selamanya belum pernah gagal. Namun menghadapi
Sangaji, kali ini macet tak berdaya. Malahan kalau mau, Sangaji dapat memecahkan rahasia rantai pengepungannya. Hal ini disebabkan, karena ketujuh orang itu bukan ahli. Di tangan keenam pemimpin sayap pemerintahan Ratu Bagus Boang, pastilah Sangaji tak gampang-gampang
meloloskan diri meskipun dia memiliki ilmu sakti tiada tara di dunia.
Karena menghadapi kegagalan, pemimpin barisan buru-buru menyanggah dua temannya yang
sudah bergerak hendak menyerang.
"Jangan terjang! Mundur!" serunya. Ia melihat akibatnya apabila berceroboh. Sebaliknya ia segera memimpin keenam rekannya merobah tata pergerakan. Tapi hasilnya sama saja. Sangaji tak dapat didekati.
Sesudah beberapa kali mengalami kegagalan, tiba-tiba Sangaji berkata dengan suara rendah.
"Maaf. Ingin aku mencoba-coba."
Setelah berkata demikian, ia berjalan ke arah kanan. Sebentar saja barisan Jala Sutra
Inderajaya sudah berada di bawah pengaruhnya. Manakala ia mengarah ke kiri, barisan ikut pula bergerak ke kiri. Memang harus begitu. Bila tidak, mereka akan kehilangan jiwa. Sebaliknya apabila dia berlari-lari, merekapun ikut berlari-larian pula.
Biarlah kuuji tenagamu, apakah kalian benar-benar tangguh, kata Sangaji di dalam hati.
Barisan lari sekencang-kencangnya pula. Tatkala Sangaji berhenti dengan tiba-tiba dan berjalan dengan perlahan-lahan, merekapun harus pula berhenti dengan tiba-tiba. Kemudian berjalan pula dengan perlahan-lahan. Diperlakukan pulang balik demikian, lambat laun mereka merasa payah juga.
Napas mereka tersengal-sengal dan penglihatan mereka berputaran. Dalam waktu singkat
tenaga mereka hilang tiga bagian dan semangat tempurnya mulai meruntuh. Garis rantai jala, menjadi berantakan.
"Himpun tenaga!" seru pimpinan barisan. Mereka mengeratkan gigi serta mengeraskan hati dan mencoba mempertahankan diri seda-pat-dapatnya.
Melihat mereka kepayahan, timbullah suatu kegembiraan dalam hati Sangaji. Betapapun juga, ia berusia muda belia. Sifat ke kanak-kanakannya belum hilang. Ia lantas berlari-lari kencang lagi.
Kemudian berhenti dengan tiba-tiba dan lari berputaran menghampiri batu pelindung Kosim.
Lalu berkata dalam hati: Aku datang ke mari atas desakan dan undangan Inu Kertapati dan Sidi Mantera. Jangankan disambut dengan semestinya, malahan aku dituduh meracun dan dimaki
sebagai siluman. Itupun tak mengapa. Apa sebab berusaha pula membunuh aku" Biarlah aku
sekarang memperlihatkan ilmu siluman benar-benar.
Setelah memperoleh putusan demikian, ia berseru kepada Kosim: "Paman Kosim!
Lihatlah, aku akan mempertontonkan ilmu siluman."
Sekali menjejak tanah, ia melesat tinggi di udara. Kemudian hinggap di atas batu besar. Barisan Jala Sutra lnderajaya harus ikut pula berada di atas batu apabila tidak mau'terlihat titik-titik kelemahannya. Beberapa orang di antara mereka nampak bersangsi. Tetapi dengan bentakan
keras, pemimpin mereka mengajak melompati mengikuti gerakan lawan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Baru saja kaki mereka meraba atas batu, Sangaji melesat tinggi di udara dan hinggap di ujung dahan sebatang pohon jambu. Melihat perbuatannya, mereka mengeluh. Tapi karena sadar akan ancaman bahaya, mereka ikut pula memanjat pohon dan menempati kedudukan untuk siap
menyerang dan bertahan. "Bagus! Mari kita turun lagi," seru Sangaji.
Ia terus melayang turun ke tanah dan menunggu mereka dengan mengulum senyum.
"Setan!" Mereka mengeluh dalam hati. Dan mau tak mau harus ikut turun pula ke tanah. Sebab mereka sadar, bahwa kehebatan ilmu Jala Sutra lnderajaya berada pada tata kerja sama.
Bukan main kagum hati Kosim melihat cara Sangaji membuyarkan pusat kekuatan ilmu Jala
Sutra lnderajaya. Katanya di dalam hati, benar! Kalau musuh berada di atas, bukankah akan melihat lubang
kelemahannya" Apabila dia berniat jahat, sebelum kaki mereka menginjak tanah pastilah
diserangnya sebelum sempat mengatur kedudukan. Hebat! Sungguh hebat! Apa sebab semenjak
dahulu belum ada seorangpun yang mempunyai pikiran demikian"
Setelah merasa puas mempermainkan demikian, kembalilah Sangaji kepada wataknya yang
sederhana dan mulia. Lantas berpikirlah dia: Pastilah mereka percaya kini, bahwa tiada niatku berbuat jahat. Aku datang ke mari bukankah untuk mencari persahabatan baru asuhan Ki
Tunjungbiru" Jika aku keterlaluan memperlakukan mereka, bukankah aku merendahkan Ki
Tunjungbiru pula?" Memikir demikian, Sangaji berdiri tegak sambil berkata, "Saudara sekalian, haraplah memaafkan sepak terjangku ini. Sekarang tolong antarkan aku menghadap kedua sahabatku Inu Kertapati dan Sidi Mantra."
Di antara mereka yang merasa tersinggung adalah pemimpin barisan. Perbuatan Sangaji
dianggapnya menghina ilmu kepandaian Parahyangan turun-temurun. Maka dengan membentak ia menyahut, "Memang anak didik pendekar sakti Watu Gunung, sungguh hebat. Pantas gurumu dahulu menolak ajakan Gusti Ratu Bagus Boang untuk bekerja sama meng-kikis kelaliman. Tak tahunya mempunyai angan-angan sendiri hendak mendirikan sebuah kerajaan baru."
"Aku anak didik pendekar sakti Watu Gunung?" Sangaji tercengang.
"Melihat kepandaianmu pastilah engkau anak emasnya," kata pemimpin barisan itu. Kali ini suaranya agak lunak. Meneruskan, "Agar engkau tak mengalami sesuatu hal yang tidak kami inginkan pula, cepat-cepatlah turun gunung dan selamatlah sejahtera. Sebab untuk memiliki ilmu kepandaian demikian, tidaklah mudah."
Terasalah ia mengagumi ilmu kepandaian Sangaji. Namun Sangaji tak menanggapi. Pemuda itu heran tentang disebutnya nama pendekar Watu Gunung sebagai gurunya.
"Sebenarnya, apakah yang sudah terjadi?" ia minta keterangan.
"Apa yang sudah terjadi" Janganlah engkau berlagak pilon!" bentak pemimpin barisan.
"Benar-benar aku tak mengerti. Aku bukan anak didik Watu Gunung."
Pemimpin barisan itu tertawa panjang.
Wajahnya berubah menjadi seram katanya menggertak.
"Kau tak kenal Watu Gunung" Cobalah jawab dengan sebenarnya, kalau engkau seorang lakilaki."
Andaikata tak usah digertak demikian, Sangaji pasti akan menjawab dengan sebenarnya juga.
Jawabnya, "Dengan sebenarnya aku pernah kenal padanya. Tetapi aku bukan anak didik pendekar sakti itu."
"Kau memang bangsat pandai berputar lidah."
Selama hidupnya belum pernah Sangaji dimaki sebagai bangsat. Maka mendengar kata-kata
itu, ia jadi bergusar. Bentaknya, "Engkau berkata apa?"


Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pemimpin barisan itu mendengus. Dengan suara dingin ia menyahut, "Kau terang-terangan adalah anak didik Watu Gunung. Tapi engkau berkata hanya kenal. Baik! Kalau memang engkau bukan anak didik Watu Gunung, cobalah maki dia."
Sangaji tercengang sebagai seorang yang berpribadi luhur tak -dapat ia memaki seseorang.
Apalagi terhadap Watu Gunung. Benar ia tak begitu baik kesannya. Tetapi mengingat usia Watu Gunung, pantaslah menjadi kakeknya. Masakan pantas memakinya tanpa sebab-sebab. Karena itu, ia menyahut tegas: "Apa gunanya aku memaki dia?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Nah, sekarang terbukalah kedokmu," mereka berkata hampir berbareng.
Sangaji benar-benar masygul. Makin direnungkan, ia merasa diri bertambah pusing. Tetapi
hatinya semakin tertarik untuk mengetahui persoalan itu sampai ke dasar-dasarnya. Dengan suara dingin ia berkata, "Aku akan segera mendaki ke atas. Janganlah kalian mencoba menghalang-halangi."
"Kau mau apa?" bentak mereka berbareng.
"Kalian haraplah minggir!"
"Hm... tak gampang-gampang engkau mewujudkan keinginanmu," ujar pemimpin barisan dengan suara seram. "Kalau tak percaya, boleh coba! Tapi janganlah engkau menggunakan ilmu siluman. Marilah bertempur mengadu ilmu kepandaian sejati."
Sangaji tertawa. Menyahut, "Kau minta aku jangan menggunakan ilmu siluman" Justru aku hendak menggunakan ilmu siluman."
Betapa mendongkol Sangaji menghadapi perlakuan mereka, tetapi ia seorang yang berhati
mulia, la tak ingin menanam suatu permusuhan. Untuk membuat mereka takluk, ia hendak
mempertontonkan ilmu kepadanya. Katanya lagi, "Aku akan merebut semua pedangmu tanpa menyenggol dirimu."
Ketujuh orang itu saling memandang dengan hati tak percaya. "Baiklah," kata pemimpin barisan. "Kami bersedia untuk menghadapi ilmu silumanmu. Coba seperti apa ilmu tendanganmu."
- "Aku sudah berkata, tidak akan menyenggol tubuh kalian," ujar Sangaji. "Kalian boleh menggunakan pedang, tangan dan kaki. Kalau aku sampai menyenggol tubuhmu, hitunglah aku
kalah. Aku berjanji akan turun gunung."
Mendengar ujar Sangaji yang bernada sombong, ke tujuh orang itu bergusar hati. Mereka
merasa diri direndahkan. Lantas saja pedangnya dikibaskan berdengungan.
Dengan tenang Sangaji berjalan ke kanan. Barisan Jala Sutra lnderajaya bergerak pula ke
kanan. Tujuh langkah kemudian, Sangaji meloncat ke kiri. Dan dengan terburu-buru, barisan Jala Sutra lnderajaya mengejar ke kiri. Mereka berusaha selalu berhadap-hadapan dengan lawan.
Tak terduga Sangaji sekonyong-konyong melesat sambil berseru:
"Lihat yang nyata! Inilah siluman sejati."
Melihat Sangaji melesat dengan tiba-tiba, merekapun bergerak mengimbangi. Tetapi baru
mereka bergerak selintasan, bayangan Sangaji nyaris hilang dari penglihatan. Dengan
mengerahkan enam bagian tenaga saktinya, tubuh Sangaji berkelebat dari satu tempat ke tempat lain. Benar-benar ia seperti siluman, la berputar-putar cepat luar biasa, seakan-akan lapangan penuh dengan bayangan.
"Cepat berkumpul! Cepat putar pedang!" teriak pemimpin barisan dengan gugup.
Mereka cepat-cepat berkumpul dan memutar pedangnya seperti kitiran.
Sangaji tadi berjanji hendak merebut pedang mereka tanpa menyentuh tubuh. Dan mereka
ingin tahu. "Hai, anak siluman! Kau sudah berhasil merampas enam pedang. Cobalah rampas ke tujuh pedang kami!" teriak pemimpin barisan. Ia sengaja berteriak demikian, agar Sangaji tidak kabur di luar pengamatannya.
"Apa susahnya merampas pedang kalian. Bersiagalah!" sahut Sangaji.
"Bagus! Itulah perbuatan jantan sejati!" mereka berkata berbareng. Serentak mereka meninggikan kewaspadaannya.
Sekonyong-konyong serangkuman angin menyerang mereka bergulungan. Buru-buru mereka
menancapkan kaki dan bertahan mati-matian. Di luar dugaan, angin yang bergulungan tadi lenyap dengan mendadak. Padahal mereka sudah terlanjur berkutat mengerahkan tenaga. Maka
lenyaplah tenaga dorong dengan mendadak itu, membuat tubuh mereka terbungkuk-bungkuk.
Belum lagi mereka menegakkan badan, suatu kesiur angin kuat luar biasa menghantam tangan.
Tahu-tahu pedang mereka tercabut sekaligus dari genggaman dan terbang tinggi di udara.
Tenaga sakti Sangaji dapat diatur menurut keinginannya. Dapat didorong keluar dan ditarik sesukanya. Karena itu dengan mudah ia dapat merebut ketujuh pedang lawan tanpa susah payah.
Setelah itu, ia menghampiri batu tempat Kosim berlindung seraya berkata: "Paman! Ayo berangkat!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tetapi Kosim tidak nampak. Sangaji heran. Sebentar ia mencoba mencarinya, kemudian
berpikir, kaki Paman Kosim masih terluka. Mustahil ia dapat mendaki tanpa pertolongan. Jangan-jangan ia kena culik, selagi aku terlibat dalam satu pertarungan.
Memikir demikian, segera ia mengerahkan tenaga dan melesat mendaki gunung. Selama
hidupnya belum pernah Sangaji mendaki gunung dengan seorang diri. Mengingat jalannya sukar dan mungkin ada bahaya sekonyong-konyong, ia tak mau lengah. Cepat luar biasa ia menyelinap dari batu ke batu pegunungan yang menghadangnya. Kemudian menembus awan hitam yang
datang dengan berarak-arak.
Bulan kala itu nampak makin suram. Awan hitam bergulungan menutupi angkasa. Seluruh
persada bumi ikut muram pula.
Belum pernah aku mengambah Gunung Cibugis. Tipu muslihat kawanan yang memusuhi aku,
sukar kuduga. Kalau lengah, aku bisa celaka, pikir Sangaji. Dan memikir demikian, ia melanjutkan perjalanan dengan meringankan kaki. Tak berani lagi ia berlari-larian cepat seperti tadi.
Satu jam lamanya ia berjalan dengan hati-hati, kadang-kadang ia menebarkan penglihatan,
kalau-kalau melihat Kosim. Tapi kemuraman malam benar-benar merintangi inderanya. Ia
menengadahkan muka ke udara. Dari arah selatan angin datang bergulungan menyapu awan
hitam. Ha... ada harapan, pikirnya.
Benar juga. Tak lama kemudian udara menjadi terang seperti kemarin malam. Bulan hampir
penuh timbul di angkasa bersih. Sinarnya lembut laksana perak kena gosok.
Sekonyong-konyong, sayup-sayup pendengarannya menangkap bunyi napas kurang lebih
seratus orang. Pernapasannya sebenarnya tidak kedengaran. Tetapi karena jumlahnya banyak, indera Sangaji yang tajam luar biasa dapat menangkapnya.
Sangaji tidak gentar menghadapi ancaman baru itu. Hanya timbullah pikirannya, benar-benar hebat Himpunan Sangkuriang ini. Sayang, mereka terpecah belah. Sekiranya bersatu padu seperti semula, pastilah akan menemukan zaman keemasannya kembali.
Segera ia mengencangkan ikat pinggangnya dan berjalan terus, la memasuki tebing gunung itu dan tiba pada dataran di baliknya.
Di depannya terbentang suatu lapangan luas yang dipagari tebing berdinding tinggi. Pada
kakinya terdapat sebuah danau yang memantulkan cahaya rembulan. Lima batang pohon berdiri membungkuki permukaan air. Seumpama pada pagi hari pastilah terasa keindahannya.
Kurang lebih seratus orang yang mengenakan pakaian seragam dan bersenjata pedang,
berbaris berkelompok-kelompok. Masing-masing kelompok terdiri dari tujuh orang. Mereka berdiri tak bergerak. Andaikata Sangaji belum memperoleh pengalaman melihat letak kedudukan mereka, pastilah akan mengira kelompok jajaran tunggak.
Dengan tajam Sangaji menjelajahkan matanya. Ia menghitung jumlah mereka. Semua
berjumlah empat belas kelompok. Masing-masing dikepalai oleh seorang berjenggot lebat. Itulah barisan Jala Sutra lnderajaya yang luar biasa angkernya, sehingga Sangaji menjadi tercengang.
Kalau sekiranya mereka tidak kena asuh seorang pemimpin yang berwibawa, betapa mereka
memiliki perbawa begini hebat, pikir Sangaji.
Begitu melihat munculnya Sangaji, terdengarlah siulan nyaring. Mereka lalu bergerak dan tiba-tiba saja Sangaji telah terkepung. Sangaji terkesiap. Ia melihat betapa tangkas mereka. Dan mereka bergerak tanpa berkata sepatah katapun juga.
Sungguh-sungguh tak kumengerti kata Sangaji dalam hati. Melihat jumlahnya, pastilah mereka dipersiapkan untuk menghadapi musuh besar. Sekarang mereka bergerak untuk menangkap aku.
Mungkin salah duga. Memperoleh pertimbangan demikian, Sangaji segera membungkuk hormat. Kemudian berkata
dengan suara menggeledek:
"Dengan sesungguhnya, aku hendak mendaki Gunung Cibugis. Semata-mata hendak memenuhi undangan pendekar Inu Kertapati dan Sidi Mantera. Haraplah memberi jalan!"
Seorang bercambang tebal menghampiri seorang yang berperawakan tegap tinggi. Orang itu
membisikkan sederet kalimat seperti lagi memberi laporan singkat. Sangaji segera mengenal orang itu. Dialah Jajang. Rupanya dia mendahului tiba di tempat itu, tatkala Sangaji terlibat dalam pertempuran.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Orang yang diberi laporan, lalu mendongakkan kepala. Kemudian berkata nyaring, "Ilmu luar biasa tingginya, kenapa sudi bekerja sama dengan manusia berkhianat" Memang kelemahan
manusia ini semenjak dahulu berkisar soal kehormatan, pangkat derajat dan perempuan. Tapi sayang, engkau yang berusia muda siang-siang sudah berotak gila demikian. Maka turunlah dan perbaiki budi pekertimu agar keharuman namamu tetap menjadi abadi."
Orang itu berbicara dengan wajar. Namun sangat nyaring dan tiap patah katanya terdengar
terang. Itulah suatu bicara dengan sungguh-sungguh pula. Nasihatnya membersit dari ketulusan hati.
Sangaji benar-benar merasa terpukul. Tuduhan yang diajukan kepadanya seakan-akan sudah
terbukti. Ia tak tahu kini, apakah mesti menangis atau tertawa. Betapa sabar dia, hatinya mengutuk juga. Katanya di dalam hati, mereka ini benar-benar salah duga, seolah-olah buta. Ah, sekiranya Titisari berada di sini pastilah kesalahpahaman ini dapat dibuyarkan.
Terhadap Titisari ia menaruh kepercayaan hesar, seumpama jiwanya sendiri ada padanya.
Tetapi justru teringat kepada Titisari, hatinya menjadi gelisah bukan kepalang. Kemudian ia mencoba berbicara sebisa-bisanya.
"Nasihat Saudara benar-benar merasuk dalam dadaku. Hanya saja aku tak mengerti apa
sebabnya nasihat itu kaualamatkan kepadaku. Begini saja. Antarkan aku kepada pendekar Inu Kertapati dan Sidi Mantra. Kau pasti mengenal siapa mereka, menurut kabar mereka adalah
penghubung dunia luar."
"Jika engkau belum sadar, cobalah gempur Jala Sutra lnderajaya ini! Jika mampu, aku Atang Mundingsari akan meluluskan engkau mendaki ke markas besar kami."
"Aku seorang diri, betapa mampu melawan barisan raksasa ini," sahut Sangaji. "Tolong kembalikan temanku berjalan. Aku akan mendaki dengan dia tanpa saudara antar."
Sekonyong-konyong Atang Mundingsari membentak hebat, "Di depan Atang Mundingsari
janganlah engkau mengobrol tiada guna!" Sehabis membentak, ia mengibaskan pedang. Dan seluruh barisan lantas bergerak. Barisan Jala Sutera lnderajaya kali ini benar-benar dahsyat.
Lingkaran geraknya empat belas macam yang tujuh kelompok mempunyai bidang luas. Dan
tujuh kelompok lainnya bergerak berputaran dalam lingkaran sempit.
Melihat gerakan luar biasa itu, Sangaji mengeluh. Pikirnya, mereka memenuhi hampir seluruh lapangan. Bagaimana caraku dapat meloloskan diri"
Sebelum ia dapat mengambil keputusan, sembilan puluh delapan lawan ternyata sudah mulai
menyerang. Terdengar Atang Mundingsari berseru nyaring, "Keluarkan senjatamu!"
Sangaji menarik napas. Pikirnya lagi, baiklah! Meskipun belum tentu aku dapat memecahkan barisan ini tapi merekapun tak gampang-gampang pula menjatuhkan aku. Seorang laki-laki
masakan runtuh hanya karena bentakan saja. Biarlah kulawannya dengan sebisa-bisaku.
Tiba-tiba saja ia melesat dan menerjang kelompok yang berada di sebelah barat daya.
la melontarkan pukulan jurus ilmu Kumayan Jati dengan tenaga sakti dua bagian. Tujuh orang kelompok yang berada di sebelah selatan menggeser kedudukannya. Mereka bergerak
menyongsong pukulan itu. Mereka tak tahu, bahwa Sangaji mempunyai ilmu tiada tara di dunia ini. Kalau berniat jahat, itu tidak hanya menggunakan tenaga dua bagian saja. Meskipun demikian, berkat kesaktian getah sakti Dewadaru, pukulan lontaran itu mempunyai daya hisap pula. Gerakan mendorong sudah
hebat. Tenaga hisapnya tak terkatakan lagi besarnya.
Baru saja ketujuh orang terdorong oleh suatu tenaga yang dahsyat luar biasa, tiba-tiba mereka kena tarik pula yang sama kuatnya. Tak ampun lagi, mereka jatuh terguling menungkrapi tanah.
Meskipun segera dapat bangun kembali, tetapi muka mereka berdebu tebal. Kumis dan jenggot mereka yang lebat lantas saja berubah menjadi kelabu. Bukan main gusar mereka.
Atang Mundingsari terkesiap menyaksikan keperkasaan Sangaji. Dengan bersiul panjang, ia
memberi aba-aba agar secepat mungkin menambal yang lowong. Empat kelompok yang terdiri
dari dua puluh delapan orang, segera mengepung rapat. Dikepung demikian,
Sangaji tak mempunyai harapan untuk dapat meloloskan diri.
Ontuk melemahkan pengepungan itu, Sangaji lari berputaran sambil mengibaskan tangan.
Angin kibasan itu lantas bergulungan serta menyekat pergerakan mereka. Setelah berputar-putar
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
beberapa waktu lamanya, terasalah dalam hati bahwa barisan Jala Sutra lnderajaya benar-benar rapat dan teguh. Apabila tidak mau melukai tiada harapan untuk dapat lolos dengan selamat.
la mencoba berputar lagi mencari lubang kelemahannya. Ternyata makin lama makin teguh dan rapat sekali. Seumpama seekor lalatpun tidak dapat meloloskan diri. Sekarang andaikata Sangaji berniat kabur tiada lagi suatu lubang pembobolan.
Dalam kejengkelannya ia mendongak ke atas. Samar-samar nampaklah sebuah bangunan yang
sangat besar. Bangunan itu berada di lereng Gunung Cibugis yang teraling beberapa bongkah batu raksasa. Besar dugaannya, itulah markas besar Himpunan Sangkuriang. Jauhnya dari tempat
pertempuran itu, kurang lebih tujuh ratusan meter. Tiba-tiba suatu ingatan menusuk benaknya.
Paman Inu Kertapati dan Paman Sidi Mantera pernah mendengar gelombang suaraku. Biarlah
kucoba berteriak memanggilnya.
Memperoleh pikiran demikian, segera ia mengumpulkan tenaga saktinya. Lalu berkata, "Paman Inu Kertapati! Paman Sidi Mantera! Aku dalam bahaya..."
Teriakan itu hebat luar biasa. Tak ubah aum. Sanghyang Narasinga2) yang menggoyahkan
langit dan bumi. Barisan Jala Sutra lnderajaya tertegun sejenak. Mereka tergetar mundur. Kepala mereka pengang dan terasa menjadi puyeng.
"Semua berwaspada! Jangan kena dipengaruhi manusia siluman ini..." seru Atang Mundingsari.
Mendengar bunyi perintah Atang Mundingsari, timbullah pikiran dalam diri Sangaji. Agaknya seluruh barisan tunduk kepadanya... Jika aku dapat merobohkan dia, bukankah seluruh barisan macet dengan sendirinya"
Sangaji tidak mengetahui bahwa salah satu keistimewaan barisan Jala Sutra lnderajaya terletak justru apabila pemimpinnya terserang lawan. Begitu pemimpin barisan kena serang, kelompok-kelompok kecil yang selalu bergerak lantas berputar. Dan penyerangnya masuk ke dalam
perangkap. 2) Wisnu. Begitu jugalah kali ini. Baru Sangaji bergerak tujuh langkah hendak menghampiri Atang
Mundingsari, kelompok kecil segera berputar ke belakang. Ontung, prarasa Sangaji sangat tajam, la melihat gerakan menggencet makin rapat. Di belakang punggung terasa terancam bahaya. Ia berputar dan melihat jumlah kelompok berlipat ganda. Cepat ia melangkah ke kanan. Sekonyong-konyong dua kelompok kecil menikamnya dengan berbareng.
Benar-benar bahaya keadaan Sangaji kala itu. Tetapi dia sudah memiliki beraneka ragam ilmu kepandaian yang sudah mencapai puncaknya. Dalam bahaya ia tak menjadi gugup. Hanya saja
darahnya terkesiap, melihat mereka menikam dengan kejam, la lantas mengambil keputusan
untuk melawan mereka tanpa segan-segan lagi.
Dengan suatu gerakan kilat, ia menendang tujuh orang sekaligus. Mereka terpental jungkir balik dan pedangnya kabur ke udara. Pada detik-detik itu, tujuh batang pedang menyambar
punggungnya. Ia menyongsong serangan itu dengan kibasan tangan. Dan pada saat itu juga,
pedang mereka jatuh ber-kelontangan.
Mereka yang kehilangan senjata buru-buru memungut pedangnya kembali. Tetapi begitu
tangannya meraba gagangnya, pedang itu ternyata patah menjadi delapan bagian. Mereka
tertegun dan wajahnya pucat dengan tiba-tiba.
Selama hidupnya belum pernah sekali juga menghadapi seorang yang memiliki tenaga sakti
begitu hebat. Melihat mereka kehilangan senjata, yang lain segera menggantikan kedudukannya. Yang tiada bersenjata saling bergandengan tangan membuat rantai. Mereka bergerak mengepung rapat-rapat.
Dikepung demikian, Sangaji tiada gentar, la bahkan bersenyum. Katanya dalam hati, biar
kucoba tenaga gabungannya. Memikir demikian, ia merampas sebatang pedang. Kemudian
ditempelkan kepada pedang kepala kelompok.
Buru-buru kepala kelompok menarik pedangnya. Akan tetapi pedangnya terasa seperti
terlengket kepada sebatang besi berani. Betapapun ia mengerahkan tenaga, tetap saja bergeming.
Empat belas temannya segera menolong. Mereka mengerumun dan mencoba menerjang.
Seperti tatkala berlatih menyalurkan tenaga lewat pedang Sokayana, Sangaji segera mengerahkan tenaga sakti tiga bagian. Kemudian berseru, "Hati-hati!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Setelah berseru demikian, ia menggoyangkan pedangnya. Suatu kesiur angin yang membawa
gelombang setinggi rumah meng-" hantam mereka. Empat belas orang terguncang mundur dan menumbuk empat kelompok di belakangnya. Pedang mereka berbenturan. Empat puluh tiga
batang pedang patah dengan sekaligus. Dalam kagetnya, mereka meloncat menepi. Tetapi karena mereka bergerak dengan berbareng, akibatnya runyam. Mereka saling bertubrukan dan banyak di antara yang terguling bergulungan.
Atang Mundingsari menelan pil pahit. Lima puluh tujuh anak buahnya sudah tak bersenjata lagi.
Kini tinggal empat puluh satu orang yang masih segar bugar. Mengingat betapa mudahnya
lawannya dapat meruntuhkan pagar senjata dalam beberapa saat, hatinya menjadi kecil. Namun ia seorang pemimpin yang berpengalaman. Cepat ia merobah tata pertahanan. Yang tidak bersenjata lagi digeser menjadi rantai pengepungan dan diperintahkan menyerang dengan tangan kosong.
Sedangkan yang bersenjata terus merapat sambil memutar pedangnya.
Sangaji gelisah sewaktu melihat perubahan tata kerja mereka. Pikirnya, mereka bisa kembali bekerja karena aku tidak melukainya.
Kalau aku bersikap demikian sekali lengah celakalah aku. Daripada membiarkan mereka
berkesempatan menyusun barisan, lebih baik kuserangnya terlebih dahulu. Ah, bakal hebat
akibatnya. la menjadi tak sampai hati memikirkan akibatnya. Maka berserulah ia memberi peringatan.
"Saudara sekalian! Apabila saudara-saudara tetap menghalangi aku, jangan salahkan aku melakukan tekanan keras."
Atang Mundingsari mendengus. Ia melihat barisannya sudah tersusun teguh. Ia mengira
Sangaji menjadi gentar. Maka ia tak sudi menanggapi seruan itu. Malahan lantas bersiul nyaring memberi aba-aba sandi.
Bertepatan dengan gelombang siulnya yang penghabisan, seluruh barisan bergerak dengan
serentak. Mereka kini tidak bersifat bertahan lagi, tetapi menyerang dengan dahsyat.
Sangaji membatalkan serangannya ke depan. Ia membungkukkan tubuh dan tiba-tiba
menggenjot badannya melesat ke timur laut. Kelompok kecil yang berada di utara menggeser ke timur dan menyabetkan pedang dengan berbareng. Dengan satu jurus Mayangga Seta, Sangaji
merampas sebatang pedang. Kemudian dengan menggetarkan pedang, ia menyambar.
Sangaji menggoyangkan pedangnya. Suatu kesiur angin yang membawa gelombang setinggi
rumah menghantam mereka. Ilmu Mayangga Seta adalah ilmu sakti ciptaan Kyai Kasan Kesambi. Ilmu itu diperuntukkan
apabila menghadapi musuh banyak. Gerakannya gesit luar biasa dan perubahannya sukar diduga.
Dahulu paman gurunya: Bagus Kempong dan Suryaningrat pernah menggunakan tatkala
menghadapi laskar Pangeran Bumi Gede. Hasilnya benar-benar mengejutkan lawan. Sekarang ilmu sakti itu berada di tangan Sangaji yang memiliki tenaga sakti melebihi tujuh pendekar sakti. Perbawanya tidak selisih daripada berada di tangan penciptanya sendiri.
Dengan sekali menggetarkan tangan, pedangnya menikam 42 tikaman dan tepat mengenai
pergelangan tangan 42 orang pula.
Bisa dibayangkan betapa cepat gerakannya. Mereka kaget seperti tersambar geledek dan buruburu meloncat mundur.
Ternyata pergelangan tangan mereka terdapat bentong merah, tetapi sama sekali tak berdarah.
Mereka kagum berbareng dengan rasa terima kasih. Dalam hati mereka mengakui bahwa Sangaji tidak berniat jahat. Sebab apabila dikehendaki, dengan bukti bentong merah itu ia dapat
menguntungkan pergelangan tangan mereka dengan menambah tenaga tekanan.
Dengan demikian, mereka sudah kehilangan kegarangannya. Atang Mundingsari gusar bukan main, sampai kumisnya bergetaran. Ia tahu pula, bahwa lawannya bermurah hati dan belum mengeluarkan seluruh kepandaiannya.
Tetapi justru diperlakukan demikian, ia merasa terhina. Sebagai seorang pemimpin ia harus tetap melawan betapapun Akibatnya. Maka ia segera memberi aba-aba agar mengurung Sangaji lebih rapat.
Melihat kebandelan Atang Mundingsari, hati Sangaji mendongkol berbareng memuji. Sebab
betapapun juga pertempuran itu tidak hanya mengadu kepandaian saja. Tetapi mengadu jiwa
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pula. Salah sedikit, akibatnya bisa mengerikan. Memikir demikian ia mendorong tujuh orang yang berada di dekatnya. Setelah itu, ia lari mengarah ke telaga. Ia harus mengadu kegesitan.
Seperti diketahui, seluruh lapangan penuh dengan empat belas kelompok yang masing-masing membentuk Jala Sutra lnderajaya. Ontuk mengalahkan mereka, Sangaji harus melawannya
dengan cara ia mempermainkan tujuh orang di dekat batu besar. Tetapi hal itu berarti pula bahwa ia harus bisa menjadi empat belas orang.
Betapa mungkin! Tetapi ilmu sakti Sangaji adalah ilmu anu-100 gerah Raja Jawa yang pertama kali. Hidup pada tahun 3100 tahun sebelum Masehi. Raja itu adalah leluhur nenek moyang seluruh Nusantara. Ia dikabarkan Hyang Tunggal sendiri yang menjelma sebagai manusia untuk menyebarkan tata
peradaban. Maka ilmu sakti Sangaji tidak dapat diukur dengan akal manusia.
Seperti kilat ia terbang dari satu tempat ke tempat lain. Dalam sekejap saja barisan Jala Sutra lnderajaya menjadi kalut dan pecah berantakan, seperti tak terpimpin lagi.
Melihat kekalutan itu, Atang Mundingsari segera memberi tanda agar berhenti bergerak dan berpencaran berkelompok-kelompok.
Sekarang Sangaji menemui kesukaran benar-benar. Tadi sewaktu barisan bergerak, ia dapat
mengalutkan dengan gerakan kilat. Akan tetapi dengan berhentinya gerakan itu, ia merasa diri sebagai seekor kelinci terteng-kurap di tengah pagar yang luasnya memenuhi seluruh lapangan.
Apabila hendak meruntuhkan mereka, ia harus melukai seorang demi seorang, inilah yang tidak dikehendaki. Diam-diam ia memuji kepandaian dan kecerdasan Atang Mundingsari.
Katanya dalam hati, benar-benar tangguh dia. Kalau dia sampai terluka di tanganku, sungguh sayang.
Ia kemudian tegak mendongak ke atas. Tiba-tiba ia melihat sinar merah membakar sekitar
markas besar. Hatinya terkesiap. Seketika itu tahulah dia, apa sebab ia dihalang-halangi demikian keras.
Rupanya Markas Besar Himpunan Sang-kuring kena serang musuh dan sedang menghadapi
perlawanan hebat. Mungkin pula Paman lnu Kertapati dan Paman Sidi Mantera terlibat dalam suatu pertarungan seru. Jika demikian aku tak boleh bertahan terlalu lama di sini, katanya di dalam hati.
Karena memperoleh keputusan demikian, ia tak ragu-ragu lagi mengambil tindakan tegas.
Dengan mengerahkan tenaga saktinya tiga bagian, terus ia menghantamkan tangan kanannya, la menggunakan ilmu Kumayan Jati. Sedang tangan kirinya melontarkan pukulan Pancawara. Hebat akibatnya.
Empat puluh sembilan* orang yang berpencaran memenuhi lapangan dengan cepat meluruk
bersama-sama untuk menangkis pukulan dahsyat yang terlontar dari tangan kanan. Sedangkan lainnya yang belum terluka berbareng pula menyongsong pukulan Pancawara. Akan tetapi
sebelum kedua pukulan sakti itu tiba, di luar dugaan mendadak lenyap serta berubah haluan. Sebagai gantinya,
datanglah suatu arus angin luar biasa kuatnya. Di luar kemauannya sendiri, mereka saling bertubrukan, kemudian terangkat naik dan dilontarkan bertebaran. Bagaimana bisa terjadi begitu"
Ilmu Kumayan Jati bersifat menggempur, sedangkan Pancawara menyapu tak ubah badai di
pegunungan yang sebentar datang dan sebentar pula lenyap tiada meninggalkan bekas. Ilmu sakti Sangaji sudah berada di puncak kesempurnaan yang dapat mengatur tenaga saktinya tepat
seperti kemauannya. Memukul dengan tangan berbareng yang menggunakan dua macam pukulan
yang berbeda sudah sangat sukar dilakukan seseorang. Tapi dengan enak saja, Sangaji bahkan bisa merubah dua macam pukulan yang berbeda itu dengan sekaligus. Tangan kirinya yang
melontarkan pukulan Pancawara tiba-tiba dipindah ke tangan kanan. Sedangkan ilmu Kumayan Jati yang berada di tangan kanan dipindahkan ke tangan kiri dengan memukulkan pula ilmu sakti Mayangga Seta. Peristiwa demikian ini, belum pernah terjadi dalam sejarah para pendekar. Dan Sangajilah satu-satunya orang yang dapat melakukan demikian.
Terpelesatnya kedua barisan dengan sekaligus itu tak dapat dicegah oleh Atang Man-dingsari.
Dia sendiri bahkan menderita luka akibat kena benturan mereka. Dadanya terasa melesak ke dalam dan dengan mata berkunang-kunang ia mencoba menguasai diri.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sangaji menggunakan kesempatan itu. Cepat ia meloloskan diri dari rantai pengepungan yang sudah tersibak bobol. Dengan seluruh kekuatannya, ia memanjat dinding batu. Sebentar saja ia lenyap dari penglihatan.
Tepat pada saat itu terdengarlah suara Ion-' ceng tanda bahaya. Tahulah Sangaji, bahwa
lonceng tanda bahaya sudah ditabuh semen-" jak tadi. Segera ia mendongak ke atas. Melihat nyala api bertambah besar, ia berpikir: "Siapakah yang berani memasuki halaman Markas Besar Himpunan Sangkuriang" Kalau tidak tangguh, mustahil bisa berada di sana."
Seperti kemasukan setan, ia memburu. Di halaman belakang gedung Markas Besar sudah
penuh berkelompok-kelompok orang yang bertempur dari tempat satu ke tempat lain. Suara
gemerincing senjata dan teriak mengaduh kesakitan bukan main ramainya. Namun ia tak
mengindahkan semuanya itu. Melihat bahwa di dalam halaman gedung berkelebat beberapa
orang, terus saja ia langsung memasuki. Pendengarannya yang tajam mendengar suatu
pertarungan sengit antara jago-jago kelas utama.
Api sedang membakar gedung. Namun yang berada di dalam tiada seorangpun yang keluar
untuk berusaha memadamkan. Apakah mereka kena kurung musuh" pikirnya.
Tatkala itu api sudah mulai menjilat dinding samping. Bagian tengah dan depan masih bebas.
Dengan sekali menjejakkan kakinya, Sangaji melompati pagar rumah sebelah yang sudah menjadi hangus.
Empat puluh sembilan orang berpakaian seragam sedang menghadapi perlawanan 81 orang
yang mengenakan pakaian bermacam-macam. Mereka menggunakan bermacam-macam senjata
pula dan ilmu kepandaiannya sangat tinggi, sehingga keempat puluh sembilan orang yang
mengenakan pakaian seragam berada di bawah angin.
Heran Sangaji menyaksikan pertempuran itu. Pikirnya, dari pihak manakah mereka sekalian"
Sewaktu hendak mempertegas penglihatannya, tiba-tiba ia mendengar suara angin berderu
bergulungan yang datang dari dalam gedung Markas Besar. Tahulah dia, bahwa angin itu terjadi akibat pukulan-pukulan dahsyat. Pastilah yang bertempur di dalam gedung ilmu kepandaiannya lebih tinggi dari pada yang berada di luar. Tanpa ayal lagi, ia melesat memasuki gedung Markas Besar.
Dalam ruang gedung itu, terpasanglah puluhan pelita besar. Api yang sudah mulai menjilat dinding samping, membawa asapnya masuk. Tentu saja pantulan cahaya pelita lantas menjadi remang-remang seperti bulan kena tergulung awan hitam yang datang berarak-arak.
Samar-samar nampaklah tujuh orang sedang berkutat mengerahkan tenaga. Mereka tegak
berdiri dan saling berhadapan dengan berdiam diri. Kemudian dengan tiba-tiba bergerak
membendung serangan sepuluh orang yang mengepung mereka.
Begitu masuk, Sangaji mengerahkan pandang matanya kepada mereka. Matanya yang tajam
segera mengenal tiga orang di antara mereka. Itulah Inu Kertapati, Sidi Mantera dan Kamarudin.
Selagi demikian, tiba-tiba Kama-rudin kena serangan. Ia jatuh terguling tanpa mengeluarkan suara. Dengan jatuhnya Kamarudin garis pertahanan lantas menjadi lemah. Mereka dikurung
tambah rapat. Melihat Inu Kertapati dan Sidi Mantera dalam bahaya hati Sangaji tergoncang. Tak peduli siapa sebenarnya musuh-musuh yang menyerbu gedung Himpunan Sangkuriang itu segera ia
menerjang sambil membentak: "Siapakah yang berani memasuki ruang ini" Mundur!"


Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Berbareng dengan bentaknya, Sangaji menerkam punggung dua orang sekaligus. Maksudnya
hendak dilemparkan ke luar tanpa menyakiti. Di luar dugaan, mereka ternyata tangguh luar biasa.
Sekalipun tergeser dari tempatnya, namun kakinya tetap menancap di atas lantai. Tubuhnyapun tidak bergeming.
Sangaji kaget. Katanya di dalam hati, siapakah mereka ini" Tak mengherankan Himpunan
Sangkuriang kena pukulan keras." Terus ia melepaskan terkamannya dan berganti dengan menyapu kaki mereka. Mereka yang sedang mengerahkan tenaganya untuk tetap dapat berdiri
tegak sama sekali tak mengira diserang demikian. Tak ampun lagi, tubuh mereka terbang ke udara dan menubruk pintu depan.
Melihat datangnya bala-bantuan, kawan-kawan mereka segera maju menyerang. "Mereka
terkejut menyaksikan ketangguhan Sangaji. Tapi mengingat pihaknya berjumlah banyak, mereka tiada gentar. Dua orang di antara mereka lalu melompat maju seraya membentak, "Siapa kau?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tanpa menyahut Sangaji mengirimkan kebasan tangan dengan tenaga empat bagian.
Kesudahannya hebat. Mereka terpelanting oleh kesiur angin dan bukan oleh pukulan itu sendiri.
Meskipun demikian begitu tubuh mereka terbentur dinding lantas saja melontarkan darah segar.
Sekarang pihak musuh benar-benar kaget. Mereka tercengang menyaksikan kehebatan Sangaji
yang berhasil merobohkan empat orang hanya dalam dua jurus saja.
Inu Kertapati dan Sidi Mantera dengan segera mengenal siapa yang datang menolong. Dalam
hati, mereka bersyukur sekali. Namun mereka belum berani berbicara atau bergerak dari
tempatnya. Sangaji sendiri sama sekali tak menggubris musuh-musuh yang sedang mengepung. Ia maju
menganggukkan kepala kepada Inu Kertapati dan Sidi Mantera dengan suara terharu, "Paman!
Aku kasep datang. Tak tahunya Paman sekalian dalam keadaan bahaya oleh keteledoranku."
Inu Kertapati dan Sidi Mantera tidak berani, melepaskan kata-kata. Mereka hanya membalas mengangguk. Tapi pada saat itu, sosok bayangan berkelebat menyerang Sangaji dari belakang.
Maka tanpa memedulikan apa akibatnya, Sidi Mantera berteriak memperingatkan: "Awas!"
Suatu kesiur angin dahsyat menyambar punggung Sangaji. Tahulah pemuda itu, bahwa
seorang yang memiliki ilmu sakti tinggi sedang menyerang dirinya. Heran dia, apa sebab orang yang memiliki ilmu sakti setinggi itu menyerang dari belakang punggung. Bukankah perbuatan demikian akan memerosotkan nilai pamornya" Lantas saja ia tahu, bahwa orang itu pasti manusia berbudi rendah. Tanpa menoleh ia sambut serangan gelap itu. Sekali tangannya membalik, orang itu tiba-tiba mati kutu. Ia jatuh meliuk ke lantai seperti tangkai daun pisang kena suatu tetak.
"Bagus!" seru Sidi Mantera berbesar hati. "Kalau kau sudah datang apa arti bangsa kur-caci-kurcaci demikian?"
Belum lagi Sangaji menyahut, sekonyong-konyong terdengar suara tertawa nyaring sekali dari luar. Dan masuklah seorang laki-laki setengah umur yang mengenakan kain mewah. Melihat gaya dan lagaknya, pastilah dia seorang pemimpin besar atau seorang pangeran anak mas suatu
kerajaan. Sekali melihat tahulah Sangaji, bahwa ia sedang berhadapan dengan seorang lawan berat.
Sambil membungkuk ia berkata menyambut, "Siapakah Tuan" Apa perlu Tuan membawa teman Tuan ke mari?"
Orang itu tertawa panjang. Sebagai balasan ia bertanya pula, "Siapakah Tuan" Apa perlu Tuan datang ke mari?"
Mendengar suara dan gayanya, teringatlah dia kepada sang Dewaresi. Lalu menyahut, "Aku bernama Sangaji. Kedatanganku ke mari karena diundang beberapa sahabatku."
"Ah tak kukira, bahwa orang-orang semacam mereka masih mempunyai seorang sahabat
seperti Tuan," kata orang itu dengan mengulum ejekan. CIsia orang itu belum lagi mencapai empat puluh tahun. Tetapi ia berbicara seperti seorang putera mahkota. Terhadap Sangaji yang berusia dua puluh tahunan ia membawa lagak orang tua.
Sangaji yang selamanya tidak pandai berbicara, lantas saja berkata singkat, "Tuan mempunyai permusuhan apa dengan Himpunan Sangkuriang sampai kalian datang untuk menyerang dan
sudah membakar gedungnya pula?"
"Siapakah sebenarnya kau ini" Apakah engkau kanak-kanak kemarin sore berhak berbicara demikian terhadapku?"
"Mengapa tidak?" tiba-tiba Sidi Mantera menungkas. Pendekar ini bermulut tajam.
Lantas saja berkata lagi, "Sahabatku setidak-tidaknya seorang manusia yang tahu diri.
Sebaliknya kau adalah binatang berkaki dua. Terhadap seekor binatang macam begitu, masakan tidak pantas saudaraku ini membuka mulut?"
Mendengar kata-kata tajam Sidi Mantera, orang itu tertawa panjang lagi. Wajahnya sama sekali tidak berubah.
"Dia orang luar mengapa ikut campur?"
'Tanyalah sendiri apa sebab dia ikut campur!" bentak Sidi Mantera. "Tapi kau binatang berkaki dua masakan pantas mengusut hal itu?"
"Mengapa tidak" Aku justru ingin mendapat keterangan," kata orang itu. Dia terus menatap wajah Sangaji.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Apakah aku harus menjawab pertanyaanmu?" tungkas Sangaji sederhana. "Aku justru mau mencampuri perkara ini. Mengapa?"
Kala itu asap api bertambah menyesakkan napas. Di luar api mulai merembet gedung ruang
tengah. Sangaji melihat orang itu seperti tak memedulikan seolah-olah yakin bahwa di pihaknya sudah menang. Apakah dia sengaja mengulur waktu, pikir pemuda itu.
"Orang-orang ini, aku yang membawa ke mari. Jika kau dapat mengusir aku ... tanpa kau perintah mereka semua akan mengampuni sahabat-sahabatmu yang tiada gunanya," kata orang itu. Sangaji tak mau menyia-nyiakan waktu dengan adu mulut. Dengan membalikkan tangan ia mengibas. Sederhana saja tampaknya, tapi orang itu mendadak saja tergeser dari tempat
berdirinya. Sangaji terkesiap. Katanya dalam hati, aku sudah mengerahkan tenaga sakti empat bagian.
Tapi orang ini hanya tergeser dari tempatnya saja. Tak kukira, di sini aku akan bertemu dengan seorang yang memiliki ilmu tinggi.
Tapi orang itu sendiri sebaliknya terkejut bukan kepalang. Pengikut-pengikutnya yang berada di belakang sampai memekik cemas.
"Bagus!" seru orang itu. Terus ia menghantam dengan pukulan dahsyat.
Sangaji ingin mencoba tenaga orang itu. Maka ia sengaja menyongsong pukulan itu dengan
suatu pukulan pula. Terbentur suatu pukulan dahsyat dari luar, getah sakti Dewa-daru lantas saja bekerja dengan sendirinya. Tangan orang itu terus terhisap.
Seperti sebuah gunung tegak menjulang ke angkasa. Sangaji membendung tenaga sakti orang
itu yang berguguran tiada habisnya. Dalam hati, ia kagum luar biasa. Secara wajar ia menambah tenaga. Paras muka orang itu mendadak saja menyinarkan cahaya ungu. Tapi hanya sekejap.
Setelah itu kembali seperti sediakala.
Tahulah Sangaji, bahwa orang itu sedang mengerahkan tenaga saktinya yang paling tinggi
untuk melawan tenaga gempurannya. Kalau sinar ungu itu sampai timbul tiga atau empat kali, orang itu akan menderita luka berat.
Sangaji adalah seorang pemuda yang berhati mulia. Mengingat ia belum kenal orang itu dan untuk mencapai ilmu setinggi demikian tidakiah gampang, ia tak sampai hati hendak
menghancurkannya. Tetapi justru berhati mulia demikian, hampir saja ia menjadi korban. Sebab setelah ia melepaskan tenaga hi-sapannya, mendadak orang itu meloncat mundur sambil
menyemburkan suatu gumpalan asap.
"Awas! Racun!" seru Sidi Mantera dan Inu Kertapati hampir berbareng.
Sangaji berkesiap. Untung di dalam tubuhnya mengalir getah sakti Dewadaru yang kebal dari segala macam racun di dunia. Begitu kepalanya menjadi pusing, getah sakti meraba ke atas dan bersama-sama dengan sari-sari madu Tunjungbiru memusnahkan racun yang akan memasuki
tubuhnya. "Ah, mengapa Tuan begitu keji?" katanya heran.
Orang itu bercengang sejenak. Terus meloncat mundur sambil menyahut, "Sungguh hebat!
Sampai bertemu." Sangaji tak menyangka buruk. Ia hanya mengira, orang itu hendak memundurkan diri. Tak
tahunya begitu berada di ambang pintu, tangannya mengibas. Suatu bubuk racun berterbangan bergulungan dengan asap api yang makin menebal. Sebagai akibatnya para pendekar Himpunan Sangkuriang roboh tak berkutik.
Sangaji terkejut. Cepat ia menghampiri para pendekar yang roboh kena racun itu. Tanpa
menyia-nyiakan waktu lagi, ia menyalurkan tenaga getah saktinya ke tubuh Inu Kertapati dan Sidi Mantra. Tatkala hendak berpindah menolong Kamarudin dan yang lain, Inu Kertapati berkata:
"Jangan hiraukan! Lekas bantulah pemimpin-pemimpin kita! Mereka kena racun pula, sehingga entah bagaimana keadaan mereka...."
Di luar paseban, Sangaji mendengar suara beradunya senjata. Ia terkesiap, karena tenaga
benturan itu adalah tenaga ilmu sakti tinggi.
"Apakah ... apakah dia ... yang meracun Ia tergagap-gagap karena teringat tuduhan-tuduhan yang dilontarkan kepadanya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Benar!" tungkas Inu Kertapati. "Dialah bangsat yang menyelinap dari belakang punggung. Ah, entah pemimpin-pemimpin kita mampu membasmi tujuh aliran yang datang menyerang kita,
entah tidak." Darah ksatria Sangaji terbangun. Semenjak berguru semua pekerti kepada Wirapati dan Jaga Saradenta, ia diajar membenci kelicikan. Tak peduli pihak mana yang salah, tapi pihak penyerang terang telah menggunakan racun. Itulah suatu perbuatan licik yang patut dikutuk. Maka berdirilah dia dengan serentak.
Waktu itu mereka yang mengepung sudah meninggalkan ruang berbareng dengan kaburnya
orang keningrat-ningratan tadi. Mendengar bunyi gemertak api serta suara gemerincing pedang di luar paseban, Sangaji ingin sekali terbang memburu. Tapi mengingat Kamarudin dan beberapa orang pendekar masih saja belum berkutik, ia jadi berbimbang-bimbang. Rupanya Sidi Mantra mengenal watak Sangaji yang senantiasa beragu karena kemuliaan hatinya. Maka dengan suara parau ia berseru, "Jangan hiraukan kami! Kami bisa menolong sendiri! Saudara Sangaji! Mati dan hidupnya Himpunan kami terletak dalam tanganmu."
Seperti kena hentak, Sangaji terus menjejak tanah. Tubuhnya melayang seperti terlontarkan berkat pemantulan ilmu saktinya yang luar biasa. Mendadak selagi dia terapung di tengah udara, berkelebatlah sesosok bayangan yang datang dari luar. Siapa dia, kuranglah terang. Sebab gelap malam tidaklah secerah siang hari.
Sangaji waktu itu hendak mengelak menghindari. Tapi bayangan itu tiba-tiba menyerang.
Secara wajar ia menangkis. Hebat akibatnya. Dengan memekik, bayangan itu terlontar kembali.
Tubuhnya menubruk tiang sebelah kanan yang sudah digerayangi api. Dan gedung Markas Besar Himpunan Sangkuriang berguguran runtuh berantakan.
Sangaji terkesiap. Siapakah orang itu, yang terpental kena tenaga tangkisannya" Meskipun tenaga tangkisan itu berasal dari tenaga pantulan kaki tatkala ia melesat ke paseban, namun hebatnya tak terkatakan.
Dahulu saja tenaga sakti Kebo Bangah sebelum jadi berlipat ganda sudah dapat meremukkan
batu pegunungan. Apalagi tenaga sakti Sangaji yang jauh melebihi tenaga Kebo-Bangah.
Pantasnya jangankan mengenai tubuh manusia yang terdiri dari darah dan daging, batu
pegunungan saja dapat sumpyur berantakan. Tapi ajaib! Orang itu hanya jatuh bergulungan ke tanah setelah menubruk tiang gedung. Kemudian berdiri sempoyongan dengan hanya
menyemburkan gumpalan darah. Sedang, tubuhnya tetap utuh. Siapakah dia" Apakah tubuhnya
lebih tangguh daripada batu pegunungan"
Dialah pendekar Simuntang. Lengkapnya bernama: Tubagus Simuntang, juru bicara Himpunan
Sangkuriang dan merupakan tangan kanan Ratu Bagus Boang pada zaman kejayaannya.
41. TUBAGUS SIMUNTANG Sehabis mengocok Edoh Permanasari dan anak-anak murid Mandalagiri, ia sengaja
memamerkan kecepatan berlarinya. Setelah dua tiga kali mengitari gelanggang pertempuran, matanya yang tajam melihat berkelebat-nya Sangaji yang ikut berlari-lari pula mengejar nyala asap kuning yang dinyalakannya. Sebagai seorang pendekar yang sudah banyak makan garam, ia terkesiap menyaksikan kegesitan Sangaji. Mau ia menduga, bahwa Sangaji adalah salah seorang anggota rombongan ketujuh aliran yang datang meluruk ke Gunung Cibugis. Tetapi setelah
diamat-amati beberapa waktu lamanya, ia tak menemukan buktinya. Bahkan pemuda itu
senantiasa menguntit dan mengamat-amati segala gerak-gerik anak murid Edoh Permanasari dan anak-anak Mandalagiri.
Kalau bukan termasuk golongan mereka, apakah ada pihak ketiga yang menyelusup masuk ke
atas Gunung Cibugis, pikirnya. Memperoleh pikiran demikian, ia mendaki Gunung Cibugis untuk mewartakan hal itu kepada rekan-rekannya.
Semenjak zaman mudanya, kecepatan lari Tubagus Simuntang tiada duanya dalam dunia.
Makin bertambah usianya makin masak pula ilmu berlarinya. Hal itu dapat dibuktikan betapa ia dapat' mengocok Edoh Permanasari sambil memeluk tubuh Nia Kurnia. Sekarang ia mau cepatcepat mendaki gunung. Maka kepesatannya tak dapat dilukiskan lagi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mendadak selagi ia melintasi ketinggian yang pertama ia melihat sesosok tubuh yang sedang berdiri terlongong-longong seperti seseorang kehilangan dirinya sendiri. Dialah Manik Angkeran.
Pemuda itu menerima pesan Rostika agar mengantarkan Atika kepada ayahnya. Setelah
berputar-putar dengan pikiran pepat, ia berjumpa dengan Suhanda. Begitu Suhanda melihat Atika serta menerima kalung berleon-tin intan, lantas saja ia berubah ingatan. Atika disambarnya dan dibawa lari menubras-nubras. Sudah barang tentu, hati Manik Angkeran bertambah tak keruan rasanya.
Dengan sekuat tenaga ia mengejarnya. Dan malam itu, ia berdiri di atas ketinggian sibuk
menduga-duga ke mana arah larinya Su-handa.
Tubagus Simuntang adalah seorang pendekar yang berwatak usilan. Melihat seorang pemuda
yang tengah berdiri terlongong-longong, hatinya tertarik. Terus saja ia menghampiri dari belakang.
Ia sengaja menerbitkan suatu suara agar membangunkan kesadaran pemuda itu.
Benar juga. Mendengar suara bergemere-sak, Manik Angkeran terbangun kesadarannya. Ia
adalah murid tabib sakti Ibrahim. Meskipun yang dipelajari khusus mengenai ilmu ketabiban, namun Ibrahim adalah murid Sadewata seorang tokoh sakti pada zaman itu. Meskipun tidak
sehebat adik seperguruannya Diah Kartika atau yang di sebut nenek dari pegunungan Karumbi tidaklah berarti bahwa ia tidak mengenal ilmu tata berkelahi. Maka Manik Angkeran mewarisi ilmu tata berkelahi dari perguruan Sadewata. Itulah pula sebabnya dalam kekusutan hatinya masih saja ia sanggup menangkap bunyi langkah Tubagus Simuntang. Cepat ia menoleh, tapi tiada seorangpun.
"Apakah aku bermimpi?" kata Manik
Angkeran dalam hati. Mengira demikian, perhatiannya tertumpah kembali kepada Atika yang
dibawa lari oleh Suhanda. Teringatlah dia kepada tutur kata Rostika, bahwa pada hari itu semestinya ia berada di Gunung Cibugis bersama-sama dengan Suhanda seumpama tidak
terhalang oleh Diah Kartika. Maka ia yakin Suhanda membawa lari Atika mendaki gunung.
Tak berani ia berayal lagi. Terus saja ia lari mendaki Gunung Cibugis dengan secepat-cepatnya.
Tapi suara langkah di belakangnya, segera terdengar lagi. Manik Angkeran terhe-ran-heran. Cepat ia menoleh, tapi tetap saja tiada nampak seorangpun. Mendadak ia lari kembali ke tempatnya semula. Waktu itu bulan sudah cerah. Dia pun seorang cerdik. Dengan tajam ia meneliti jejaknya.
"Ha." Selain bekas tapak kakinya terdapat pula jejak tapak kaki seorang.
Jadi jelaslah, bahwa pendengarannya tidak salah. Maka tahulah dia, seseorang yang berilmu tinggi menguntitnya dengan diam-diam. Hanya anehnya, mengapa bayangan orang itu tiada
nampak padahal ia menoleh dengan cepat. Apakah orang itu dapat menghilang"
Dengan penuh tanda tanya, kembali Manik Angkeran berlari-lari mendaki gunung.
Dan suara langkah terdengar kembali seperti tadi.
"Siapa kau?" teriak Manik Angkeran tanpa menoleh.
"Siapa kau?" sahut seorang di belakangnya.
Keruan saja, Manik Angkeran terkejut sampai meremang. Tadi ia mengira, bahwa suara
sahutan itu adalah gaung suaranya sendiri. Tapi nada suara" itu terang bukan nada suaranya.
Terus saja ia membentak, "Apakah kau setan?"
Suara itu lantas menyahut lagi. "Kau sendiri setan atau manusia?"
Secepat kilat Manik Angkeran menoleh. Kali ini, matanya menangkap berkelebatnya sesosok
bayangan. Maka tahulah dia, bahwa dengan kecepatan yang luar biasa orang itu mencoba
menyembunyikan diri. "Mengapa kau menguntit aku?" tegurnya.
"Untuk apa aku mengikuti engkau?" sahut orang itu.
" "Bagaimana aku tahu?" Manik Angkeran tertawa geli. "Itulah sebabnya aku bertanya kepadamu, apa sebab aku kau ikuti."
"Bagaimana aku tahu" Itulah sebabnya aku bertanya kepadamu." Orang itu menirukan pula.
Meskipun aneh, tapi kesannya lucu. Terang, dia tak bermaksud jahat. Maka dengan ramah
Manik Angkeran minta keterangan, "Siapakah namamu?"
"Tak dapat kukatakan," sahut orang itu.
"Mengapa?" "Karena kau belum memperkenalkan namamu."
"Bagus!" Manik Angkeran berseru geli senang. "Namaku, Manik Angkeran."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Bohong! Namamu bukan itu." '
Manik Angkeran heran. Menegas, "Orang tuaku yang melahirkan berkata, bahwa namaku Manik Angkeran. Kau yang tidak pernah melahirkan aku, mengapa bisa berkata bahwa namaku bukan
Manik Angkeran?" "Bohong! Namamu .bukan itu," orang itu tetap membandel.
"Kalau bukan Manik Angkeran, lantas siapa?"
"Kau sendiri tahu."
"Benar memang aku tahu. Namaku Manik Angkeran"
"Bohong! Bukan itu." "Lantas siapa?"
"Orang hidup. Namamu orang hidup!" seru orang itu. Dan nada suaranya berubah menjadi puas.
Manik Angkeran terhenyak sejenak. Lantas tertawa senang. Menyahut, "Ya benar. Aku memang manusia hidup. Kaupun manusia hidup, bukan?"
"Tidak. Namaku bukan manusia hidup."
"Kalau bukan, lantas apa?" Manik Angkeran geli.
"Namaku Tubagus Simuntang. Kebetulan menjadi manusia hidup."
Mendengar penjelasan itu, Manik Angkeran benar-benar tertawa geli. Aneh benar cara berpikir orang ini, kata Manik Angkeran dalam hati. Namun oleh tanya jawab selintasan itu terasalah dalam hati Manik Angkeran bahwa Tubagus Simuntang tidak mempunyai maksud jahat kepadanya.
Malahan mengesankan suatu keakraban dengan caranya sendiri. Mengingat kegesitannya, pastilah dia seorang berilmu tinggi pula. Berkenalan dengan orang semacam dia, lebih banyak
keuntungannya daripada merugikan. Lalu bertanya, "Kau hendak pergi ke mana" Bukankah ini larut malam?"
"Kau hendak pergi ke mana. Bukankah ini larut malam?" Tubagus Simuntang menirukan lagi. .
Tak ragu-ragu Manik Angkeran memberi keterangan, "Aku mencari seorang kemenakan yang dibawa lari seorang." "
"Kemanakan laki-laki atau perempuan?"
"Perempuan. Mamanya Atika."
"Hidih! Di tengah malam seorang laki-laki mencari seorang perempuan. Apakah pantas?"
Manik Angkeran terhenyak. Entah apa sebabnya, tiba-tiba parasnya terasa menjadi panas.
Menyahut cepat-cepat, "Tapi dia masih kecil. Kira-kira berumur tiga tahun."
"Tapi perempuan tetap perempuan. Biarpun masih bayi. Dan kau laki-laki mencari seorang perempuan di tengah malam buta. Apakah pantas?" Tubagus Simuntang tetap ngotot.
"Siapa yang membawa lari perempuan itu?"
"Suhanda. Ayahnya." "
"Nah, kau lebih sinting lagi. Kalau dia dibawa ayahnya, mengapa kau mencarinya?"
"Dia ... Dia berubah ingatan."
"Hm. Jadi kau mencari seorang perempuan yang berubah ingatan" Ini lebih hebat dari sinting."
"Bukan! Bukan dia! Dia ayahnya yang sinting ... eh yang berubah ingatan," Manik Angkeran kuwalahan.
"Bagus! Dia berubah ingatan. Apakah engkau juga berubah ingatan?"
"Kau putarlah menghadap aku, nanti kau bisa melihat aku dengan jelas apakah aku sinting atau bukan," sahut Manik Angkeran.
"Buat apa melihat tampangmu" Hai! Apakah ayahnya pandai berkelahi?" "Tentu"
"Mana yang lebih pandai. Kau atau dia?" 'Tentu saja, dia."
"Kalau begitu kau takkan bisa merebut anaknya."
"Biarpun kalah, tetap akan kurebut juga."
"Bagus! Hatimu teguh benar!" puji Tubagus Simuntang. "Tapi kau tak bakal mendaki gunung ini."
"Apa sebab?" "Ada larangan. Kau bakal mampus sebelum menginjak dataran tinggi. Kau percaya, tidak?"
"Biarpun ada larangan, aku tetap mendaki."
"Darimana kau tahu ada larangan!"
"Kau yang bilang sendiri."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ah ya," sahut Tubagus Simuntang terkejut. Rupanya dia kena makan jebakannya sendiri.
"Hai! Kenapa kau menguntit aku?" Manik Angkeran kini ganti mengusut.
"Karena heran, aku tertarik padamu. Sekarang perempuan itu sudah dibawa ayahnya. Biarpun dibunuh atau dimakan tulang dagingnya, apa pedulimu?"
"Tidak boleh." "Mengapa tidak boleh" Bukankah perempuan itu anaknya sendiri" Apakah kau berhak
melarang?" "Tentu. Ibunya sudah mempercayakan dia kepadaku," sahut Manik Angkeran. Dan dengan singkat ia mengisahkan riwayat perjalanannya. Kemudian berkata, "Tuan Tubagus Simuntang, tolonglah aku!"
"Mengapa aku harus menolongmu?"
"Karena engkau seorang pendekar yang baik budi."
"Mengapa kau tahu, aku seorang yang baik budi?"
"Buktinya engkau tak mengusik aku. Padahal aku sudah berada di daerah larangan."
Tubagus Simuntang terdiam sebentar. Menyahut, "Sayang, sayang."
"Mengapa sayang?"
"Aku bilang sayang ya sayang. Mengapa usilan?" Tubagus Simuntang meningkatkan suara.
"Sebab, aku tak bisa menolongmu. Sebab aku belum kenal siapa ayah perempuan itu. Sebab aku belum kenal benar siapakah engkau" Sebab itu, aku bilang sayang...."
Tapi Manik Angkeran seorang pemuda yang cerdas dan wataknya mirip Fatimah. Katanya
menirukan pula, "Sayang ... sayang...."
"Mengapa sayang?" Tubagus Simuntang tak sadar ganti minta penjelasan.
"Aku bilang sayang ya sayang. Mengapa usilan?" Manik Angkeran meningkatkan suaranya.
"Sebab, aku tak bisa menolongmu. Sebab aku belum kenal siapakah engkau. Sebab aku belum kenal siapakah yang melukaimu. Sebab aku seorang murid tabib sakti yang justru mendengar suara napasmu yang kurang beres. Sebab itu, aku bilang sayang...."
"Hai, hai, hai!" Tubagus Simuntang gugup. "Kau bilang pernapasanku kurang beres. Apakah yang kurang beres?"
"Aku bilang kurang beres ya kurang beres. Bukankah urat nadi tumitmu seringkali terasa nyeri?"
"Hai! Bagaimana kau tahu?"
"Ah, hanya menebak sekenanya saja. Sebab aku murid seorang tabib sakti. Kau tahu, seorang tabib senang menebak penyakit seseorang."
"Tapi kau benar! Dahulu pernah aku berusaha mencari burung Ciung berbulu biru. Katanya burung itu banyak terdapat di Pulau Tinjil. Kau tahu Pulau Tinjil" Itulah sebuah pulau di sebelah selatan Tanjung Panto. Waktu itu gelombang laut selatan sedang pasang.
Walaupun begitu aku tempuh juga. Sayang ... sungguh sayang ... Setelah sampai di sana,
justru burung Ciung3) berbulu biru. Katanya burung itu banyak terdapat di Pulau Tinjil" Itulah sebuah pulau di sebelah selatan Tanjung Panto4). Waktu itu gelombang laut selatan sedang pasang. Walaupun begitu aku tempuh juga. Sayang ... sungguh sayang ... setelah sampai di sana, justru burung Ciung berbulu biru itu tiada lagi. Katanya pada setiap musim tertentu dua puluh lima tahun sekali Ciung biru itu akan balik kembali dari pengembaraannya."
Raja Pajajaran yang mengenakan nama burung ialah: Ciung Wanara, burung Beo dan Kera.
Sebagai peringatan diketemukan dirinya oleh seorang pengail yang kebetulan pula di-saksikan oleh dua binatang tersebut. Raja Ciung Wanara menjadi dikenal para pendekar di Jawa Barat.
Termasuk Tubagus Simuntang.
"Apakah kau bakal ke sana lagi?" potong Manik Angkeran.
"Tentu." "Kalau begitu, biarlah aku ikut membantumu."
"E-hm! Tenagamu masih seperti kurcaci, masakan bisa menempuh gelombang laut?" sahut Tubagus Simuntang. Tiba-tiba meningkatkan suara. "Hai! Apa sebab engkau ingin membantu aku?"
"Aku murid seorang tabib sakti. Ingin aku menolong menyembuhkan?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Apakah kau bisa?"
"Kalau Ciung biru itu tiada, pastilah akan kutemukan cara. lain."
Tubagus Simuntang tercengang. Pikirnya seperti sibuk.
"Kau bilang, kemenakanmu dibawa ayahnya yang berubah ingatan. Gunung Cibugis adalah sebuah gunung yang banyak jurang curam. Bagaimana kalau dia melemparkan anak
perempuannya itu?" Mendengar kata-kata Tubagus Simuntang yang masuk akal, hati Manik Angkeran gelisah bukan kepalang. Tak disadari ia mempercepat larinya.
Tubagus Simuntang tertawa gelak. Berkata mengejek, "Kau kurcaci maunya akan terbang melintasi gunung ini. Mana bisa" Kau mau menemukan orang itu" Apakah kau merasa pasti, dia berada di atas?"
"Ya," sahut Manik Angkeran. Kemudian menyatakan alasannya.
"Bagus! Kau pernah terbang atau belum?"
Manik Angkeran tak mengerti maksud pertanyaan itu. Baru saja hendak minta penjelasan,
sekonyong-konyong tubuhnya menjadi mati kutu. Tahu-tahu ia dikempit tanpa bisa bergerak
kecuali mementang mulut. "Akan kau bawa ke mana aku?" tanya Manik Angkeran.
"Kau kini sudah berada di dalam kempitan tanpa bisa berkutik. Kalau mau, jiwamu bisa kucabut dengan mudah," sahut Tubagus Simuntang dengan tertawa terbahak-bahak: "Kau tahu" Sebentar tadi aku sudah merenggut nyawa salah seorang murid iblis perempuan. Kalau kau banyak
bertingkah, nyawamu akan kucabut pula. Karena itu, diam-diamlah."
Manik Angkeran mati kutu benar-benar. Untung, dia tadi telah memperoleh kesan baik terhadap Tubagus Simuntang. Dia yakin, orang itu tidak bermaksud jahat. Hanya saja, ia tak dapat
menebak maksudnya. "Siapakah nama murid iblis perempuan itu?" dia bertanya.
"Kau jangan cerewet! Kalau kau mau selamat, tutuplah mulutmu. Sekali aku melepaskan kempitanku, kau bakal runtuh ke dalam jurang," sahut Tubagus Simuntang galak.
Diam-diam Manik Angkeran memaki, "Kalau kau sampai membuang aku ke dalam jurang,
malah kebetulan. Artinya kaupun bakal tak panjang umurmu. Bukankah kau bakal mati digerumuti penyakitmu?" Tetapi dia hanya bisa berpikir kalang kabut dalam hati. Untuk menyatakan dengan mulut, tak berani.
Bukan main cepat larinya Tubagus Simuntang. Dirinya seperti tak mempunyai daya berat.
Dengan enak saja, ia dibawa terbang melompati jurang-jurang. Mula-mula ia memekik karena kaget dan takut. Kemudian menutup mata. Setelah ia mengunci mulut, dengan memenuhi doa
panjang pendek di dalam hati. Betapa tidak" Meskipun tangkas dan gesit, namun Tubagus


Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Simuntang masih manusia. Sekali terpeleset, bukankah berarti terjebur di dalam jurang yang entah berapa ratus meter dalamnya"
Sedang pikiran dan rasa hatinya kalut tak keruan, tiba-tiba ia merasa suatu kesegaran agak hangat. Perlahan-lahan ia membuka mata. Ternyata fajar telah menyingsing. Tiba-tiba ia
mendengar suatu seruan berkumandang di kejauhan, "Hohoooi... Simuntang! Kau baru datang?"
"Ada suatu kejadian di tengah jalan! Kau tahu di mana Dadang Wiranata berada?"
"Tidak. Benar-benar aneh! Apa sebab dia-pun datang kasep," sahut orang itu dari kejauhan.
"Simuntang! Apakah kau berpapasan pula dengan yang lain?"
"Tidak!" sahut Tubagus Simuntang.
Mendengar serentetan percakapan itu, diam-diam hati Manik Angkeran terkesiap. Pikirnya,
rupanya Tubagus Simuntang salah seorang anggota Himpunan Sangkuriang. Celaka! Guruku justru berada di pihak Ratu Fatimah. Kalau sampai ketahuan, bukankah aku bakal mati tak berkubur."
"Dwijendra!" kata Tubagus Simuntang. "Mari kita pergi mencari Dadang Wiranata! Aku khawatir, dia kena bahaya."
"Dadang Wiranata seorang cerdik luar biasa. Lagi pula kebal dari sekalian senjata. Apakah yang dapat membahayakan dirinya?" sahut orang yang disebut Dwijendra.
'Tapi aku mempunyai firasat kurang baik," Tubagus Simuntang mencoba meyakinkan.
Pada saat itulah, sekonyong-konyong terdengar suara berkumandang dari dataran lembah.
"Hoooeeee...! Dwijendra dan kau Simuntang ke mari! Celaka! Sungguh celaka!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mendengar seruan itu. Tubagus Simuntang keheranan. Katanya, "Hai kenapa si Otong
Surawijaya?" Lantas berseru nyaring: "Kau bangsat celaka memanggil aku. Siapa yang celaka?"
Dwijendra yang tiba-tiba sudah menghampiri Tubagus Simuntang berkata seperti kepada
dirinya sendiri. "Suara Otong biasanya keras seperti burung betet. Kenapa kali ini begitu lemah"
Apakah dia terluka?"
"Ya, nampaknya dia terluka. Mari?" ajak Tubagus Simuntang.
Mereka berdua melesat turun dari ketinggian. Dwijendra terdengar berkata, "Siapakah yang kau kempit ini?"
"Di tengah jalan kutemukan bocah sinting ini. Takut kalau-kalau mati kecebur jurang, lebih baik kubawa saja. Mengapa?" sahut Tubagus Simuntang. Dan mendengar ujar Tubagus Simuntang, hati Manik Angkeran mendongkol. Kalau menuruti hati, mau ia menyemprotnya. Tapi tadi, dia diwajibkan mengunci mulut. Kalau tidak, bakal dibuang begitu saja. Agaknya Tubagus Simuntang bisa berbuat begitu, menilik ucapannya kini berkesan setengah liar.
"Bahan bagus!" kata Dwijendra. Kemudian berseru nyaring: "Hoooeee Otong Surawijaya! Kau memanggul siapa?"
"Lihat sendiri!" sahut Otong Surawijaya. "Bukankah kau mempunyai mata?"
"Huh! Si Kuda membawa aksinya," dengus Tubagus Simuntang. "Hayo bawa ke atas! Masakan kuda tunggangan tak becus membawa beban?"
Seperti diketahui, Otong Surawijaya adalah pemimpin pasukan Panji-panji kelompok Kuda
Semberani. Karena itu, ia disebut kuda oleh rekan seangkatannya.
"Kau kentut edan!" maki Otong Surawijaya. "Lihat yang terang! Siapa yang kupanggul ini?"
Hampir berbareng Dwijendra dan Tubagus Simuntang berseru kaget, "Hai! Dadang Wiranata!
Kenapa" Apakah terluka?"
Dwijendra dan Tubagus Simuntang menper-cepat langkahnya. Mendadak Manik Angkeran
berkata, "Turunkan aku ke tanah. Biar kulihat, luka apa yang diderita rekanmu?"
Sebagai seorang tabib, dia keranjingan apabila mendengar suatu macam penyakit. Tak terduga, tiba-tiba saja tubuhnya dilontarkan pulang balik ke udara. Keruan hatinya kalang kabut sampai memekik-mekik. "Hai! Kau me-ngapakan aku ini?"
"Kau bisa menutup mulutmu atau tidak?" bentak Tubagus Simuntang tak senang. "Biar kujelaskan. Yang berjalan bersama aku bernama Dwijendra. Kepala pasukan Panji-panji Bintang Nusantara. Dia seorang muslim.
Sedikit banyak ia mengenal Tuhan. Tapi yang berbicara di bawah dan yang dipanggul itu,
bukan seperti kami berdua. Dia bernama Otong Surawijaya, kepala pasukan Panji-panji Kuda Semberani. Dan yang dipanggul bernama Dadang Wiranata, kepala pasukan Panji-panji Obor
Menyala. Mereka berdua itu setengah liar. Bisa membunuh orang tanpa banyak berbicara. Tahu?"
"Aku kan tidak kenal mereka" Lagi pula apa salahku terhadap mereka?" bantah Manik Angkeran.
"Membunuh manusia, masakan perlu bertanya segala. Kau salah atau tidak, apakah mereka perlu mengusut sampai bertele-tele?"
Manik Angkeran mengangguk-angguk. Sebagai murid tabib sakti Maulana Ibrahim yang
berpihak pada Ratu Fatimah, sudah barang tentu seringkali mendengar tentang kekejaman dan keliaran anggota-anggota Himpunan Sangkuriang. Benar tidaknya, bukanlah soal.
"Hai, anak sinting! Kenapa kau tak menyahut?" tegur Tubagus Simuntang.
"Bukankah aku kau larang berbicara?" sahut Manik Angkeran.
Tubagus Simuntang terhenyak sejenak. Kemudian tersenyum puas. Katanya, "Bagus!
Begitulah anak manis. Kau diam-diamlah saja. Kalau kau patuh padaku, pasti mereka tak kan berani mengusik dirimu. Setelah berkata demikian, ia berseru nyaring kepada Otong Surawijaya:
"Kenapa Dadang Wiranata?"
"Kurang terang," sahut Otong Surawijaya. "Kuketemukan dia sudah kempas-kempis seperti kucing mau mampus. Biasanya aku bersyukur, kalau dia kena celaka. Tapi melihat dia begitu sengsara, betapapun juga tak sampai hatiku. Kutolong dia sebisa-bisaku. Eh, bandotan itu kena macam racun yang aneh luar biasa. Begitu lengannya kuraba, aku mendadak kena hisap. Rupanya dia mau membawa kuda bangkotan ini ke neraka."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mendengar keterangan tentang racun aneh dan melihat betapa kuyu Otong Surawijaya, baik
Dwijendra maupun Tubagus Simuntang terus saja meloncat mendekati.
"Hai! Jangan raba dia! Apakah kalian mau mampus?" teriak Otong Surawijaya.
"Aku mampus atau tidak, kau peduli apa?" bentak Tubagus Simuntang. "Hai Dwijendra! Kau berani mampus, tidak?"
Tanpa banyak berbicara, Dwijendra lantas menyambar tubuh Dadang Wiranata.
"Badannya sudah dingin. Benar-benar hebat racun yang mengeram dalam dirinya. Otong, bagaimana kau sampai kena hisap" Kau memang binatang tukang ngobrol."
"Kentutmu!" maki Otong Surawijaya. "Aku tadi mencoba mengalirkan tenagaku. Tapi begitu menempel, aku kena sedot. Kau tak percaya boleh coba!"
Dwijendra hendak membuktikan, mendadak Otong Surawijaya menyanggah. Katanya lantang,
"Nanti dulu! Aku sudah jadi korban, biarlah aku mati perlahan-lahan. Kau yang masih sehat, biarlah mampus di kemudian hari. Itu saja, bocah di kempitan Simuntang."
Mendengar kata-kata Otong Surawijaya, Manik Angkeran terkejut setengah mati.
"Jangan!" sahut Tubagus Simuntang. "Bocah ini mempunyai bahan bagus. Dia murid seorang tabib sakti. Barang kali bisa menjual jasa kepada...."
"Hm-hm ..." dengus Otong Surawijaya. "Kau mau menggunakan bocah ini untuk merampas kedudukan Dadang Wiranata, bukan" Huh, huh! Jangan mimpi di siang hari bolong. Kutanggung Dadang memilih mampus, daripada kau sembuhkan dengan suatu pembayaran yang terlalu
mahal." "Tidak! Tidak!" bantah Tubagus Simuntang. "Pendek kata, Himpunan Sangkuriang kini dalam bahaya. Di bawah sana tujuh aliran
Seperti dua burung garuda, muncullah dua pendekar pemimpin panji-panji Keris Sakti dan
Bunga Mekar dengan berbareng, Walisana dan Ratna Bumi.
sedang meluruk ke mari. Pasukanmu dan pasukan Dwijendra saling tikam. Juga pasukan
Dadang Wiranata ikut-ikut nimbrung pula. Inilah bencana hebat. Satu-satunya jalan menghadapi bencana ini, kalian harus bersatu padu."
Setelah berkata demikian, diluar dugaan Tubagus Simuntang menempelkan tangannya ke
punggung Dadang Wiranata. Keruan saja, Otong Surawijaya terkejut. Buru-buru mencegah, "Hai!
Hai! Apakah kau rela mati untuk dia" Bagus! Setia kawan memang bagus. Tapi ingat nyawamu sendiri!"
"Akupun mau mencoba mampus," kata Dwijendra. Terus saja ia membantu Tubagus Simuntang mengerahkan tenaga saktinya.
Karena didorong oleh dua tenaga dahsyat, racun yang mengeram dalam tubuh Dadang
Wiranata dapat dibuyarkan. Dengan merintih, Dadang Wiranata menjenakkan mata. Begitu
melihat siapa yang menolong, dia berkata lemah: "Simuntang, Dwijendra, terima kasih...," tiba-tiba giginya berceratukan. Tubuhnya terus menggigil.
Tubagus Simuntang dan Dwijendra bukanlah tokoh-tokoh sembarangan. Tetapi melawan racun
yang mengeram dalam tubuh Dadang Wiranata, mereka tak berani semberono. Beberapa bagian
tenaga saktinya benar-benar kena hisap, sehingga untuk beberapa waktu lamanya tak berani bersuara.
Sekonyong-konyong terdengarlah suara kecapi mengalun dari puncak gunung sebelah timur.
Berbareng dengan itu, terdengar pula suara suitan melengking.
"E-hm ... Ratna Bumi dan Walisana sudah datang pula," ujar Otong Surawijaya. Segera ia berseru menyambut, "Ratna Bumi dan kau Walisana, pendeta buduk! Di sini, Dadang Wiranata mau mampus. Kemarilah!"
Suara kecapi dan suitan berhenti dengan mendadak. Itulah suatu tanda, bahwa mereka
mendengar seruan Otong Surawijaya. Terdengar Walisana berkata, "Hai, Otong kuda binal! Siapa yang mau mampus?"
"Kentutmu! Lihat sendiri!" sahut Otong Surawijaya bersungut-sungut.
"Kau bilang apa?" kata Walisana. "Kenapa suaramu begitu lemah seperti banci" Kau terluka"
Hai! Tubagus Simuntang, Dadang Wiranata dan Dwijendra tak apa-apa, bukan?"
"Kentutmu! Lihat sendiri! Lebih baik kau cari akal untuk menolong mereka!
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Seperti dua burung garuda, muncullah pendekar pemimpin pasukan panji-panji Keris Sakti dan Bunga Mekar dengan berbareng.
Sekali melesat, mereka tiba di depan Otong Surawijaya.
Begitu tiba, Walisana terus saja memberon-dongi Otong Surawijaya dengan pertanyaanpertanyaan gencar. Dan seperti adatnya, Otong Surawijaya lantas memaki-maki kalang kabut.
"Kentut! Kentut! Kau berhak apa mengusut aku seperti maling kesiangan?"
"Supaya mulutmu yang kotor jangan mengumbar hawa busuk!" sahut Walisana cepat.
"Kau ngeluyur ke mana saja sampai kasep?"
"Kebetulan aku berada di timur, mendengar kabar datangnya kurcaci-kurcaci dari Mandalagiri, Watu Gunung, Lumbung Ami-sena membawa adik-adiknya seperguruan Kudawanengpati dan
Adipati Pesantenan Sosrokusumo. Mereka membawa pula ratusan muridnya. Huh-huh-kau mau
apa sekarang?" "Panjangmas dari Gunung Kencana datang juga," Ratna Bumi menyambung.
"Hai, Panjangmas si kambing kudisan itu?" tungkas Otong Surawijaya. "Wah, bakal terjadi tontonan hebat."
"Tidak cuma itu. Tokoh-tokoh Gunung Gilu, Gembol, Aseupan dan Muarabinuangeun berlomba-lomba hendak menjual jasa di sini.
Malahan Edoh Permanasari ikut-ikut nimbrung. Hai Otong! Kekasihmu itu mau kau
pengapakan" Tanggung kau tak bakal bisa menciumnya," sambung Walisana.
"Kentutmu!" maki Otong Surawijaya. "Perlu apa aku mencium iblis itu" Hm-hm ... ini semua gara-gara Tatang Sontani. Coba dia tidak akal-akalan memanggil kita, perlu apa kita berada di sini."
"Otong, jangan begitu!" ujar Walisana. "Kita datang kemari bukan cuma hendak memenuhi panggilan Tatang Sontani. Sebaliknya Tatang Sontani memanggil kita demi Himpunan Sangkuriang kita. Kalau Himpunan Sangkuriang sampai dapat dibasmi ke kuyuk tujuh aliran itu, masakan kita masih bisa hidup di muka bumi" Tatang Sontani memang pernah mengecewakan dirimu. Juga
terlalu sombong terhadap kita semua. Tapi ... kita datang demi Himpunan Sangkuriang. Bukan karena kita sudi jadi begundal Tatang Sontani."
"Ya, benar," sambung Ratna Bumi. Rupanya pendekar ini tidak biasa berbicara ngelantur tak keruan.
Tiba-tiba Tubagus Simuntang menyambung, "Meskipun Tatang Sontani kerapkali
menjengkelkan kita, tapi kali ini dia berjuang untuk keutuhan Himpunan Sangkuriang. Karena itu wajib kita bantu."
"Kentutmu! Enak saja kau mengumbar mulut!" damprat Otong Surawijaya. "Aku paling benci mendengar nama manusia itu. Hai Ratna Bumi! Kau dahulu pernah kena hajar Tatang Sontani
sampai kakimu hampir remuk. Apakah kau sudi diperintah manusia macam begitu?"
"Ini perkara keutuhan Himpunan Sangkuriang. Perkara dengan dia mempunyai perhitungan di luar himpunan," sahut Ratna Bumi pendek tapi jelas.
"Ya. Itu benar. CIrusan himpunan lebih penting dari pada urusan perorangan," sambung Dwijendra yang selama tadi menutup mulut.
"Huh!" dengus Otong Surawijaya. "Kau bagaimana, Ratna Bumi?"
"Pergi!" sahut Ratna Bumi pendek.
"Jadi kau menyerah kepada Tatang Sontani?" damprat Otong Surawijaya dengan berjingkrak.
"Kita berempat aku, kau, Dwijendra dan Walisana dahulu pernah berikrar bersatu-padu menghantam si monyet Tatang Sontani. Kenapa kau kini patuh padanya?"
"Orusan himpunan lebih penting," sahut Ratna Bumi pendek.
"Baik. Kita berempatpun pernah bersumpah, tidak sudi lagi ikut campur mengenai urusan himpunan. Apakah ini sumpah kentut."
"Ya, sumpah kentut," sahut Ratna Bumi dingin.
Mendengar jawaban Ratna Bumi, Otong Surawijaya melototkan matanya. Ia benar-benar
bergusar sampai mulutnya bergetar. Katanya nyaring: "Bagus! Memang kalian bangsa kentut. Aku tak mau pergi! Aku mau pulang!"
"Hm"hm, Otong!" tungkas Dwijendra. "Kita sudah berada di sini. Masakan kita biarkan Himpunan Sangkuriang hancur lebur?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Walisana membujuk Otong Surawijaya yang berwatak brangasan. Katanya: "Kau memang
benar. Tatang Sontani patut dihajar tengkuknya. Tapi kalau dipikir, kita berempatpun tidak bisa luput dari suatu kesalahan tatkala saling berebut hendak menduduki kursi pimpinan...."
"Siapa bilang" Kita berempat masakan keranjingan perkara merebut tahta pimpinan" Kita pernah berbuat apa?" bantah Otong Surawijaya.
"Salah atau benar, semuanya sudah terjadi," tungkas Tubagus Simuntang. "Kita laki-laki masakan pantas mengungkat-ungkat perkara yang sudah lampau" Kini kita menghadapi suatu
bencana. Kalian mengakui junjungan kita Ratu Bagus Boang, tidak?"
"Ya, tentu!" sahut Otong Surawijaya cepat.
"Jika begitu, mengapa akan berpeluk tangan saja sewaktu melihat Himpunan Sangkuriang kita akan hancur dibasmi lawan" Baiklah kau boleh pulang memeluki anak isterimu. Kami akan
berangkat memasuki medan laga. Cuma saja, kalau kami gugur berantakan baiklah engkau yang mengurusi jenasah kami."
"Kentut! Kentut! Kentut!" bentak Otong Surawijaya kalang kabut. Mendadak saja ia melesat dan menampar pipi Tubagus Simuntang. Hebat akibatnya! Pipi Tubagus Simuntang melepuh seketika itu juga dan mulutnya mengeluarkan darah bergumpalan.
Semua yang menyaksikan terkejut. Otong Surawijaya tak terkecuali. Mereka semua tahu bahwa ilmu kepandaian Tubagus Simuntang sejajar dengan Otong Surawijaya. Malahan kegesitannya
tiada yang melawan. Pantasnya dia dapat mengelak tamparan Otong Surawijaya. Nyatanya
tidaklah demikian. Itulah sebabnya, Otong Surawijaya menyesal bukan main. Katanya nyaring,
"Kenapa kau tak mengelak" Hayo, balaslah aku! Hayo, pukul aku! Kalau tidak mau, kau bukan manusia!"
Tetapi Tubagus Simuntang hanya tersenyum saja. Sahutnya tenang, "Tenagaku jauh lebih penting untuk kusumbangkan kepada mati dan hidupnya Himpunan Sangkuriang nanti. Apa
untungnya memukul kawan seperjuangan sendiri?"
Mendengar jawaban Tubagus Simuntang, meluaplah amarah Otong Surawijaya. Si brangasan
itu lantas menghantam mukanya sendiri. Plak-plok, plak-plok! dan mukanya melepuh seketika itu juga dan mulutnya mengeluarkan darah bergumpalan.
"Otong! Apa-apaan ini?" tegur Walisana.
"Habis! Masakan aku pantas menampar Tubagus Simuntang" Dia tak mau membalas', maka
aku membalas kekurangajaranku sendiri."
^'Otong!" kata Tubagus Simuntang sambil mengusap lukanya. "Kita ini tak ubah saudara sekandung. Kepergian kita kemari adalah untuk mengadu nyawa demi menegakkan cita-cita
bangsa. Esok atau lusa, kita akan gugur sebagai daun>rontok. Apakah artinya hanya terkena pukulanmu satu kali saja?"
Otong Surawijaya terharu mendengar perkataan Tubagus Simuntang. Tiba-tiba saja ia
menangis menggerung-gerung. Lalu berkata memutuskan, "Baiklah. Akupun ikut mendaki
Gunung Cibugis. Hutang Tatang Sontani biarlah kutangguhkan sementara waktu."
"Nah! Begitulah baru bagus!" seru Walisana dan Dwijendra girang.
Dengan memanggul Dadang Wiranata, mereka berangkat bersama mendaki gunung. Selagi
mereka berlomba, tiba-tiba Tubagus Simuntang nyeletuk: "Otong! Sebenarnya racun apa yang mengeram dalam tubuh Dadang" Kau tahu siapakah yang meracun."
Otong Surawijaya terkesiap. "Ya, soal itulah yang sebenarnya menjadi pokok persoalan yang penting, kalau saja tidak melantur pada urusan himpunan." Teringat bahwa dirinya yang justru membuat kericuhan itu, dia menyahut tersipu-sipu.
"Aku memang anjing edan! Biarlah aku nanti yang membalaskan dendam ini, Simuntang! Kau biasanya tajam rasamu. Apakah kau merasa, bahwa di dalam tubuh kita sudah tersusupi musuh dalam selimut?"
"Itulah yang kukhawatirkan."
Dalam pada itu Manik Angkeran tetap saja membungkam mulut, la merasa diri seperti tersiksa.
Tapi mengingat bahwa ia tak diusiknya, diam-diam bersyukur di dalam hati. Sekonyong-konyong kepalanya terbentur sebuah batu. Sebentar ia menjenakkan mata.
Sekelilingnya menjadi gelap. Napasnya pun menjadi sesak. Maka tahulah dia, perjalanan
Pendekar Riang 5 Kisah Sang Budha Dan Para Muridnya Karya Tak Diketahui Kisah Pedang Bersatu Padu 4

Cari Blog Ini