Ceritasilat Novel Online

The Truth About Forever 2

The Truth About Forever Karya Orizuka Bagian 2


"Liat, Gas! Barusan ada bintang jatuh!" sahut Kana girang. Yogas menatap arah yang ditunjuk Kana, tetapi tak melihat apa pun yang jatuh. "Ditungguin sebentar aja, pasti ada lagi yang jatuh!"
"Kemungkinan satu banding sejuta," kata Yogas pendek sambil melepaskan diri dari pegangan Kana.
"Heh" Masa sih?" tanya kana tak percaya.
"Mana gue tahu, memang gue astronot," balas Yogas, lalu beranjak pergi. "Yeee... kalo gitu gak usah sok tahu!" Kana menarik Yogas lagi. "Apa sih?" seru Yogas sambil melepaskan tangan Kana.
"Tungguin Gas, siapa tahu ada lagi! Kayak di Meteor Garden tuh, kan suka ada hujan meteor!" sahut Kana berapi-api. Yogas menatapnya sebal, tetapi akhirnya menatap langut juga.
"Tahu gak apa permintaanku tadi?" tanya Kana, tapi Yogas tak berniat menjawab. "Aku minta, apa pun permasalahan kamu, biar cepet selesai. Aku kurang baik apa tuh, malah ngegodain orang lain?"
"Gak ada yang minta," tukas Yogas sekenanya. "Kamu ngerasa ngutang gak?" tanya Kana. "Gak juga," jawab Yogas membuat Kana mendelik.
"Dasar gak tahu diri, udah didoain juga," balas Kana. "Kalo kalu ngerasa ngutang, kamu harus tungguin satu bintang jatuh lagi, terus doain yang baik-baik buat aku!"
Yogas hampir mendengus karena menganggap itu sebuah permintaan bodoh. Ketika Yogas akan berkomentar, sebuah bintang jatuh terlihat di kejauhan. Mata Yogas melebar tak percaya.
"Gas! Gas! Bintang jatuh lagi! Ayo cepet minta sesuatu!" Kana menggoncang-goncang Yogas yang masih bengong. Setelah beberapa lama, Yogas tak juga berbicara. Kana menatapnya bingung. "Gas" Kamu minta apa?"
"Minta supaya cewek bawel ini gak nyampurin urusan orang lagi!" Yogas menatap Kana, kemudian dia beranjak pergi.
"Kenapa sih kamu segitunya gak percaya sama aku?" tanya Kana membuat langkah Yogas terhennti. "Kenapa kamu tertutup banget?"
"Karena lo bukan siapa-siapa," Yogas berbalik dan kembali menatap Kana tajam. "Dan, karena lo bukan siapa-siapa, gue gak harus nyeritain apa pun sama lo. Bukannya gue udah bilang dari awal, jangan nyampurin urusan gue" Kenapa lo harus keras kepala sih?"
"Tapi..." "Apa susahnya sih, ninggalin gue sendirian" Kalo lo sepeduli itu sama gue, tolong hargai privasi gue. Gue gak suka ada cewek bawel nyampurin urusan gue," tandas Yogas, lalu bergerak turun tanpa menunggu reaksi Kana.
Yogas melangkah tanpa kesadaran ke kamarnya, lalu menjatuhkan dirinya ke kasur. Bukan, bukan Yogas tidak mempercayai Kana. Hanya saja, dia tidak ingin Kana tahu apa yang sebenarnya terjadi padannya. Kalau Kana tahu, Kana mungkin saja akan menghindarinya, seperti semua orang. Dan entah kenapa, Yogas tidak menginginkan itu terjadi.
Ternyata sangat susah hidup tanpa ketamakan. Dalam keadaan gini, Yogas masih saja mengharapkan keajaiban yang dia tahu tak akan terjadi. Tak ada yang bisa Yogas lakukan untuk menyelamatkan diri, tetapi setidaknya dia bisa menyelamatkan Kana wlaupun dengan cara menyakitkan.
Yogas menatap botol yang tergeletak di depannya. Botol yang sudah sekian lama tidak disentuhnnya. Botol yang berisi sisa hidupnya.
*** "No, gue harus cepat-cepat nemuin dia."
Eno menatap yogas heran. Tak pernah dilihatnya Yogas seniat itu. Mungkin Yogas sempat sangat bertekad saat awal-awal datang ke Yogya, tetapi akhir-akhir ini dia tak begitu memikirkannya. Baru sekarang Yogas bertingkah seperti ini lagi.
Yogas sendiri memandang sekeliling dengan gelisah, mengamati setiap wajah yang muncul di cafetaria. Makanannya tidak tersentuh, padahal seharian ini mereka berputar-putar di kamous tekhnik.
"Gue harus cepet-cepet pindah dari kost itu," kata Yogas lagi, membuat Eno menemukan permasalahannya.
"Cewek itu ya?" kata Eno paham. "Lo awal-awal mikir kalo lo gak mungkin jatuh cinta sama dia, tapi kenyataannya lo jatuh cinta?"
Yogas tak menjawab. Dia malah menatap ke arah lain.
"Pokoknya, gue harus cepet-cepet nemuin dia. Kalo perlu, gue jabani datang ke setiap kost di kota ini," kata Yogas lagi. Eno menatapnya simpati.
"Kasih tahu aja cewek itu soal maslah ini, Gas," usul eno membuat Yogas menatapnya marah. "Kalo dia malah ngehindarin lo, bukannya malah bagus" Masalah lo yang uitu terselesaikan, kan" Lo gak perlu buru-buru pindah dari sana, kan?"
Yogas terdiam, memikirkan kata-kata Eno. Sepertinya itu sebuah usulan yang bagus. Dengan demikian, cewek itu akan menjauh dengan sendirinya. Tetapi...
"Tapi, lo gak bisa karena lo gak mau dia ngejauhin lo," kata Eno seolah bisa membaca pikiran Yogas. Yogas menatapnya tajam. "Lo gak mau dia tahu. Iya, kan?"
"Gue bakal kasih tau dia pulang nanti," sanggah Yogas cepat. "Malah bagus kalo dia ngejauhin gue. Usul lo bagus."
Eno menatap Yogas yang meremas-remas gelas plastik air mineral. Eno bisa melihat kekalutan pikiran Yogas dari raut wajahnya. Lagi-lagi, Yogas harus melakukan sesuatu yang bisa menghancurkannya, seperti enam tahun lalu.
"Jangan maksain diri, Gas," kata Eno, tetapi yogas tak nmendengar. Dia sudah membulatkan tekadnya untuk memberi tahu Kana, apa pun konsekunsinya.
*** Sudah sepuluh menit, Kana menatap ragu pintu kamar Yogas. Tantenya baru saja pulang dari rumah mertuanya di Klaten dan dia membawa banyak makanan. Kana disuruh untuk memanggil Yogas supaya makan bersama.
Tangan Kana tak bisa begerak untuk mengetuk pintu Yogas. Dia masih teringat perkataan Yigas semalam. Kana tak mau Yogas marah lagi padanya karena dianggapnya sudah menyampuri urusannya dengan mengajaknya makan.
Tahu-tahu, Kana mendapat ide. Dia menulis sebuah memo dan bermaksud menempelkannya di pintu. Namun, begitu tangannya menempel pada pintu, pintu itu terbuka sendir. Kana terlonjak.
"Maaf! Pintunya kebuka sendiri, sumpah!" seru Kana cepat, takut Yogas mengamuk. Namun, tak ada jawaban apa pun dari dalam.
Penasaran, Kana melongok ke kamar. Kamar itu ternyata kosong. Tumben sekali Yogas lupa mengunci pintu kamarnya. Tanpa disadarinya, Kana sudah berada di dalam kamar itu.
"Ya ampun!" seru Kana begitu melihat keadan kamar yang sudah seperti tempat penampunngan sampah itu. "Jorok banget sih."
Kana cepat-cepat mengambil kantung plastik besar, lalu memunguti cup-cup mie dan botol-botol air mineral yang berserakan di lantai. Setelah itu, dia mengambil sapu dan mulai membersihkan kamr Yogas. Saat sedang menyapu lantai, mata Kana tertumbuk pada kasur yang kelihatan menyedihkan karena tidak diberi seprai.
"Ya ampun," gumamnya tak habis pikir. "Gak gatel-gatel apa."
Tanpa banyak berpikir lagi, Kana segera mengambil seprai dari lemarinya dan memasangkannya ke kasur Yogas. Kana sempat geli sendiri saat melihat seprai pink bergambar Barbie itu terpasang di sana, tetapi Kana tidak punya seprai lain lagi.
Setelah seprai terpasang, Kana menghela napas dan lanjut membersihkan kamar. Dia melihat ransel Yogas yang isinya berhamburan ke mana-mana, lalu memutuskan untuk membereskannya. Mata Kana membesar saat menemukan sebuah benda sepanjang lima belas sentu terbungkus kulit hitam. Kana membukanya, lalu terperanjat begitu tahu dia sedang memegang sebuah belati yang terlihat sangat tajam. Kana buru-buru meletakkannya kembali ke ransel. Mungkin Yogas membawanya untuk perlindungan diri.
Selesai membereskan ransel, Kana kembali menyapu. Saat dia menyapu kolong meja, sebuah botol berguling dan menggelinding ke dekat kakinya. Kana memungut botol itu, lalu mengamatinya.
"AZT," baca Kana lambat-lambat. "Apaan sih ini?" Sebuah tangan tahu-tahu merebut botol itu dari tangan Kana. Kana menoleh cepat, dan mendapati Yogas di sampingnya dengan ekspresi yang tidak dapat ditebak.
"Eh, Gas. Sori, tadi kamarmu gak kekunci, jadi sekalian aku bersihin," kata Kana sambil nyengir bersalah. "Ng, itu obat apaan sih" Kamu sakit?"
"Keluar," kata Yogas lambat-lambat. "Sori..."
"KELUAR!" sahut Yogas membuat Kana terlonjak kaget. Urat-urat di dahi Yogas menyembul, rahangnya mengeras, dan bool obat di tangannya sudah remuk.
Kana menatap Yogas takut, lalu segera berlari keluar kamar. Yogas segera membanting pintu, menguncinya, lalu memukulnya keras-keras. Setelah itu, dia merosot ke lantai. Tangannya yang gemetar menjambak rambutnya keras-keras.
Kenapa harus marah" Kenapa dia harus marah melihat Kana mengetahui rahasianya" Bukankah itu tadi tujuannya, untuk memberitahu Kana" Tetapi, kenapoa sekarang dia malah tidak ingin Kana mengetahui apa pun"
Kenapa Yogas menjadi setakut ini untuk ditinggalkan?"
*** Kana menatap bingung dinding kamarnya yang bersebelahan dengan kamar Yogas. Dia merasa bersalah karena lagi-lagi telah mencampuri kehidupan cowok itu. Kana ingin meminta maaf, tetapi kelihatannya dengan keadaan seperti bini Yogas tak akan bisa diajak berbicara.
Kenapa Yogas semarah itu" Tanpa disadarinya, Kana memeluk lengannya sendiri. Tadi Yogas kelihatan menakutkan. Kana nyaris tak mengenali sosoknya yang seketika berubah menjadi monster yang menyeramkan.
Kana meletakkan satu tangannya di dinding itu, seolah bisa merasakan kepedihan yogas melaluinya. Kana tidak tahu apa yang terjadi dengan Yogas, tetapi dia punya perasaan kalau Yogas sangat membutuhkan bantuan.
Yang akan Kana berika kalau saja Yogas tidak menolaknya.
*** Pagi ini Yogas memutuskan untuk keluar kamar dan membuat kopi, setelah semalaman tidak bisa tidur. Sebelum sempat keluar, Yogas memastikan kalau Kana tidak terlihat di mana pun. Setelah situasi dirasa cukup aman, dia bergerak ke dapur. Baru berjalan beberapa langkah, Kana keluar dari kamar mandi dan mereka sedang berhadapan.
"Sori!" seru Kana begitu Yogas mau menghindar. "Sori aku udah nyampurin urusan kamu lagi! Aku gak sengaja ngeberesin kamar kamu!"
Yogas terpaku menatap Kana di depannya yang kelihatan salah tingkah. Yogas tak mengerti. Bukankah seharusnya cewek ini menjauhinya seperti rencana"
"Gas, kamu marah banget ya" Sori!" sahut Kana lagi sambil mengatupkan kedua tangannya. Yogas sendiri masih belum bisa berkata apa-apa. Secercah harapan tahu-tahu muncul di dalam hatinya.
Namun, tiba-tiba Yogas sadar kalau Kana mungkin belum tahu persis pa masalahnya. Dia hanya belum tahu. Yogas tertawa miris. Bodoh benar tadi dia, berharap kalau Kana mau menerimanya setelah mengetahui kenyataan itu. Cepat atau lambat Kana akan tahu, dan pada saat itulah, Kana akan benar-benar meninggalkan dirinya.
"Gas?" tanya Kana, bingung melihat Yogas yang malah tertawa. Yogas akhirnya menatap Kana dingin.
"Gue udah bener-bener bosen memperingatkan lo untuk jangan pernah ganggu gue lagi," kata Yogas. "Tapi, tunggu aja sebentar lagi, lo pasti bakal berhenti ngegangguin gue." Tanpa menunggu reaksi Kana, yogas bergerak melewati Kana. "Eh" Emangnya kenapa?" tanya Kana tak mengerti.
Yogas tak menjawab dan menghilang ke kamar mandi. Kana menatapnya bingung, kemudian teringat kalau dia punya alasan kelas pagi itu dan buru-buru masuk kamar.
*** "Oke, dari cerita kamu, makin ke sini Yogas makin aneh," komentar Lian saat Kana menceritakan kejadiana aneh kemarin padanya. Mereka sedang memakai akses internet yang ada di lobi jurusan Hubungan Internasional.
Kana menganggukk setuju sambil mengetikkan alamat forum tempat dia biasa meminta pendapat soal karyanya. Selama ini proses pengerjaan novel miliknya sangat lambat. Mungkin, dia bisa meminta bantuan pada senior-senior yang sudah banyak menerbitkan buku.
"Tapi, kata kamu kemaren kamu nemu obat" Apa dia sakit?" tanya Lian lagi membuat Kana teringat pada botol obat yang ditemukannya.
"Mungkin juga," kata Kana, jarinya mengetik salah satu web mesin pencaru. Setelah lamannya terbuka, dia memasukkan kata kunci AZT dan menekan enter.
Berpuluh-puluh ribu hasil muncul, dan Kana mengklik salah satunya. Mendadak, tangan Kana terasa kaku. Tubuhnya serasa mati rasa saat membaca artikel yang baru dibukanya.
"Kan" Kenapa?" tanya Lian setelah melihat wajah kana berubah pucat pasi dengan mata terpancang ke layar. Lian menatap monitor yang dilihat Kana tadi, lalu menganga. "Kan, gak mungkin, kan..."
Kana jatuh terduduk di depan komputer. Kakinya lemas dan seluruh tubuhnya gemetar. Kana mendongak untuk menatap layar lagi, berharap kata-kata yang tadi dibacanya salah. AZT adalah obat antiretroviral untuk HIV positif.
*** Kana memasukkan motornya ke garasi, kemudian berjalan ke arah tangga seperti zombie. Dia tidak bisa merasakan apa pun semenjak siang tadi. Kana menatap tangga di depannya dengan mata menerawang, tak yakin harus menemui Yogas dengan wajah seperti apa.
Perlahan, Kana menaiki tangga, tidak ingin bertemu Yogas dulu. Namun, harapannya tidak terkabul karena tepat saat Kana akan membuka pintu, Yogas keluar dari kamarnya dengan handuk tersampir di bahunya.
Kana hampir lupoa bernapas saat melihat Yogas. Mata kana terasa panas karena tidak kunjung berkedip, menatap sosok tegap di depannya itu. Hampuir tidak ada keanehan dari seorang Yogas kecuali ribuan virus yang mengalir dalam darahnya.
Yogas balas menatap kana bingung, tapu akhirnya menghela napas.
"Lo udah tahu ya?" Yogas terkekeh sinis. "Sekarang, lo nyesel udah pernah bantu gue" Gue udah pernah bilang kan..."
"Kenapa?" tanya Kana dengan napas tercekat membuat Yogas menatapnya lagi.
"Kenapa apa?" tanya Yogas datar
"Kenapa... kamu bisa dapat openyakit ini?" tanya Kana lagi, air matanya hampuir jatuh.
Yogas tak langsung menjawab pertanyaan Kana. Dia menatap Kana lama, lalu mengalihkan pandangannya.
"Hubungan seks," jawab Yogas singkat karena sibuk menahan tangis yogas sendiri sebisa mungkin tidak melihat ke arahnya.
"Sekarang, lo pasti bisa gak ganggu gue lagi," kata Yogas sambil bergerak ke kamar mandi. Kepalanya berdenyut menyakitkan dan harus dibanjur air.
Yogas harus pura-pura tidak tahu kalau Kana terduduk lemas di depan kamarnya sambil menangis. Setelah menutup pintu kamar mandi, Yogas memukul tembok keras-keras, kemudian terduduk di lantai sambil menjambak rambutnya.
Yogas sudah tahu hari ini akan datang dan dia sudah mempersiapkan diri. Namun, tetap saja, rasa sakit di hatinya mengalahkan semua pertahanan yang sudah susah payah dibangunnya.
Berbagai 'kalau saja' sekarang berkelabat di benak Yogas. Kalau saja dia tidak pernah datang ke kost ini. Kalau saja sejak awal dia menjauhi Kana.
Kalau saja dia tidak pernah terlahirkan.
Does it hurt" Hari minggu. Langit Yogya sedang tidak bersahabat. Sudah hampir dua jam, kana duduk di depan monitornya tanpa melakukan apa-apa. Tangannya terkulai lemas di keyboard sehingga memunculkan huruf-huruf acak di tengah karyanya.
Semalam, Kana tidak bisa tidur. Dia hanya memandangi dinding kamarnya yang berbatasan dengan kamar Yogas, bertanya-tanya apa Yogas juga tidak bisa tidur sepertinya.
AIDS. Jelas bukan penyakit yang sembarangan. Penyakit ini telah membunuh ribuan remaja indonesia, bahkan jutaan remaja dunia. Penyakit yang membunuh secara perlahan. Penyakit yang sampai sekarang masih belum ditemukan obatnya.
Membayangkannya saja membuat Kana merinding. Kana tidak pernah mengira masalah Yogas akan seberat ini. Kana jadi teringat kata-kata Lian beberapa hari yang lalu.
"Kalo ternyata masalahanya benar-benar berat dan kamu gak bisa berbuat apa-apa untuk ngebantu dia, kamu masih mau bareng dia?"
Saat itu, Kana tak menjawab, karena Kana takut hal itu benar-benar terjadi. Dan, sekarang, Kana benar-benar takut
Kana bukanlah cewek baik seperti yang ada di sinetron-sinetron, yang tegar menemani kekasihnya yang sakit sampai akhir hayatnya. Seperti kebanyakan orang, Kana juga merasakan ketakutan yang luar biasa saat mengetahui Yogas adlah penderita HIV. Kana tak yakin bisa berbuat sesuatu dengan dirinya yang sekarang ini.
Kana menatap tangannya yang gemetar, lalu memgangnya. Ternyata dia memang takut. Kana mengulurkan tangan bermaksud mengambil gelas, tetapi secara tak sengaja mengenai pinggiran gelas yang sudah pecah. Kana meringis kesakitan saat mengetahui bahwa jarinya terluka.
Ketika Kana akan mengisap jarinya yang berdarah, dia terkesiap. Pikirannya melayang ke kejadian beberapa hari lalu, saat jari Yogas juga berdarah karena terpalu dan dia menolak untuk diplester. Setelah itu, pikiran Kana melayang lagi ke kejadian-kejadian saat Yogas beberpa kali menolak makanan dan saat mereka di pantai.
"Kita gak punya masa depan."
Mata Kana menerawang. Darah di jarinya sudah menetes ke lantai, tetapi dia tidak peduli.
*** Yogas menatap atap rumah-rumah di depannya kosong. Pencariannya hari ini nol lagi. Padahal, Yogas sangat bernapsu untuk cepat-cepat menyelesaikan masalahnya dan pergi dari kota ini.
Yogas melirik langit yang berwarna kemerahan. Satu hari lagi dari beberapa tahun sisa hidupnya sudah dilalui. Yogas bertanya-tanya masih berapa lama lagi dia dapat melihat matahari terbenam seperti ini.
Tiba-tiba, yogas teringat pada kejadian kemarin, Kana akhirnya mengetahui penyakit yang diidapnya. Reaksi Kana sama saja seperti reaksi orang lain. Sekarang, Yogas tidak akan heran kalau Kana menghindarinya. Sepagian ini saja, Kana tidak keluar dari kamarnya.
Yogas memang kecewa tetapi dia tidak bisa mengharapkan lebih. Kana hanya menangis dan tidak berteriak histeris saja sudah cukup untuknya. Lagi pula, Yogas memang tidak berhak untuk kecewa.
Yogas mendesah, lalu berbaring di lantai. Tak berapa lama, Yogas seperti mendengar suara langkah kaki. Berharap setengah mati itu Kana, Yogas menoleh. Ternyata, emang Kana. Yogas langsung mengalihkan pandangannya. Dia tidak boleh berharap yang macam-macam lagi.
"Dingin lho," kata kana sambil mendekatu yogas. Yogas duduk, lalu mengebas-ngebaskan tangannya yang berdebu.
"Kenapa lo ke sini?" tanya Yogas singkat tanpa menoleh.
"Mau nemenin, siapa tahu kamu kesepian," jawab Kana, membuat Yogas mendengus.
"Gak usah maksain diri jadi malaikat," Yogas berkata skeptik. "Lebih baik lo gak usah deketdeket ama gue."
Kana menatap punggung Yogas yang benar-benar tampak kesepian. Tadi pagi, Kana sudah membulatkan tekadnya untuk tetap mendukung Yogas, karena Kana tahu, Yogas selama ini melindunginya. Sikap Yogas yang keras dan tertutup itu semata-mata hanya supaya Kana tidak bergaul dengan orang penyakitan sepertinya.
"Apa kamu gak kesepian?" tanya Kana. "Kamu memutuskan hidup sendiri dan gak membina hubungan baik sama orang. Apa gak kesepian?"
"Kesepian gue juga gak peduli. Gue udah biasa sendiri," tandas Yogas.
Kana masih menatap punggung Yogas. Kalau yogas mau egois, Yogas bisa aja tetap bergaul dengan semua temannya dan orang lain, dan tetap menyembunyikan penyakitnya. Namun, Yogas malah melakukan sebaliknya.
"Kenapa?" tanya Kana lagi. "Kenapa kamu begitu?" Yogas terdiam lama. "Gue gak mau ada yang nangisin gue kalo gue mati," kata Yogas pelan. "Semakin sedikit semakin bagus."
Kana tertegun sejenak mendengar jawaban Yogas, lalu tersenyum.
"Ternyata kamu baik banget ya,"bujar Kana membuat Yogas menoleh sedikit. "Kamu masih mentingin orang lain."
Yogas tak berkomentar. Dia hanya terdiam sambil menatap langit yang sudah gelap.
"Karena kamu gak mau orang-orang yang kamu sayangin berurusan sama kamu, kamu sengaja ngehindarin mereka, ya, kan?" tanya Kana lagi. "Karena itu, kamu memilih sendirian, ya, kan?"
Yogas masih terdiam. Tangannya sudah terkepal keras hingga buku-buku jarinya memutih. Tahu-tahu, sepasang tangan sudah melingkar di lehernya. Ternyata Kana sudah duduk dan memeluknya dari belakang.
"Punya penyakit bukan berarti kamu gak bisa bahagia," kata Kana yang terdengar merdu di telinga Yogas. "Kalo gak ada yang nemeni kamu, aku yang bakal nemenin."
Yogas tidak berusaha melepaskan tangan Kana. Tangan itu begitu hangat, sampai-sampai Yogas tidak mau melepasnya. Yogas mau menggenggam kebahagiaan ini walau cuma beberapa detik. Tanpa terasa air mata sudah mengalir dari mata Yogas.
"Sakit," gumam Yogas di antara isakan lirihnya membuat Kana menitikkan air mata dan memeluk Yogas lebih erat.
Kana tahu benar di bagian mana Yogas merasa sakit. Dari seluruh bagian tubuhnya, pasti bagian hatinyalah yang paling terasa sakit.
Bagian yang selama ini sudah dikorbankannuya.
*** Yogas melewati malam dengan menatap langit-langit kamarnya yang sudah kecokelatan. Dia sama sekali tidak bisa tidur, stelah menangis untuk yang pertama kalinya di depan orang. Pada saat Yogas divonis positif HIV, dia tidak menangis. Pada saat ibunya menangis sejadi-jadinya, Yogas juga tidak menangis. Pada saat ayahnya pergi dari rumah karena malu memiliki anak berpenyakit mengerikan spertinya, dia juga tidak menangis.
Mungkin semalam adalah akumulasi dari segala kesedihan yang Yogas alami selama enam tahun terakhir. Yogas tahu cepat atau lambat dia akan meledak, tetapi dia tidak pernah menyangka harus bersama orang yang baru dikenalnya. Kenapa malah orang yang hampur tidak dikenalnya yang mau memeluknya dan membiarkannya menangis.
Yogas teringat ibunya. Saat divonis positif HIV, Yogas tidak sempat menangis karena ibunya sudah menangis duluan. Setelah itu, perlakuan ibunya tidak sama lagi. Dia sangat hati-hati dalam menyentuhnya dan sangat hati-hati dalam memberinya makan. Bahkan, ibunya memberi peralatan makan khusus, dan dia mencuci pakaian Yogas secara terpisah. Yogas seperti alien di dalam rumahnya sendiri. Betapapun dokter meyakinkan ibunya kalau penyakit Yogas tak akan menular dengan cara-cara sperti itu, ibunya tidak mau mendengarkan.
Saat ayahnya pergi, ibunya depresi berat. Berhari-hari dia menangis tanpa memperdulika Yogas. Yogas jadi tak punya waktu untuk memikirkan masalahnya sendiri. Yang dia pikirkan hanyalah bagaimana ibunya bisa bahagia. Karen itu, yogas sering menghabiskan waktunya di luar untuk menyepi, berharap dengan cara yang tak seberapa itu ibunya jadi lebih tenang.
Semalam, ketika Kana memeluknya, Yogas tak bisa menolak. Sudah terlalu lama semenjak seseorang memeluknya seperti itu. Semalam, sisi egoisnya sudah menang. Dia tidak memperdulikan apa pun, dan berharap malam itu tak pernah berakhir.
Namun, sekarang malanya sudah berakhir. Yogas tak bisa menerima kebaikan Kana hanya untuk kepentingannya. Dia sadar kalau Kana hanya kasihan padanya. Kana kasihan karena Yogas sendirian, dan akan mati sendirian pula.
Secercah harapan yang tumbuh pada hati Yogas saat kana tidak ragu memeluknya harus dibunuhnya. Gadis itu memang tidak takut padanya dan masih bersikap sama seperti sebelum mengetahui penyakitnya, namun Yogas juga sadar Kana hanya ingin menemaninya, tidak lebih.
Yogas bangkit dari tempat tidurnya, memutuskan untuk berangkat sepagi mungkin supaya tidak bertemu dengan Kana. Sangat sulit baginya untuk bertemu dengan gadis itu setelah kejadian semalam.
Yogas membuka pintu kamarnya dan pada sAat yang bersamaan, pintu kamar Kana juga terbuka. Yogas langusng mengumpat dalam hatinya.
Kana yang baru keluar kamar menoleh dan menatap Yogas yang tampak membeku di depan kamarnya. Kana menelengkan kepalanya.
"Kenapa?" tanya Kana membuat Yogas tersadar. Yogas buru-buru mengunci pibtunya, lalu bergerak cepat ke tangga. Kana mengamatinya dan teringat sesuatu.
"Gas! Bawa payung, ntar kehujanan lho!" sahutnya, tetapi Yogas sepeti tak mendengar.
Kana menatap punggung Yogas yang menghilang dibtangga, lalu tersenyum. Ternyata, Yogas masih sama seperti hari-hari sebelumnya. Ini akan jadi tugas yang sulit buat Kana, tetapi Kana tak akan menyerah
*** Yogas memandang kosong bangunan berwarna putih abu-abu di depannya, Fakultas Psikologi UGM. Dia tidak benar-benar melihat siapa yang lewat karena otaknya masih terus memutar kejadian semalam. Suara musik berdentum-dentum melalui headphone besar yang tergantung di lehernya.
Sepasang kekasih lewat di depan Yogas, membuatnya may tak mau memanang mereka dengan sedikit perasaan iri. Alangkah baiknya jika Yogas tak memiliki penyakit apa pun. Di unurnya yang sekarang ini, dia pasti juga bisa merasakan kebahagiaan seperti pasangan itu.
Namun, tak ada gunanya berandai-andai. Yogas sudah kepalang memiliki virus mematikan yang mengalir dalam darahnya. Sekarang, dia hanya harus menyelesaikan urusannya dan setelah itu, Yogas tak peduli lagi mau hidup dengan cara apa.
Yogas membetulkan headphone-nya, dan tanpa sengaja, dia menyentuh bagian belakang telinganya. Yogas merasakan ada sesuatu yang tidak biasa. Dia menyentuh sebuah benjolan tepat dibbelakang telinga yang seingatnya tak pernah dimilikinya.
Tangan Yogas langsung terlulai lemas. Pandangannya kosong. Beberapa detik kemudian, dia terkekeh pelan. Benar. Ini sudah hampir enam tahun semenjak dia divonis menderita HIV. Tentu saja, dia akan mengalami perubahan pada tubuhnya.
Yogas seharusnya bisa menerima ini, tetapi entah kenapa sebagian dari dirinya menolak. Selama enam tahun ini, dia hampir tidak merasakan keanehan apa pun. Yogas merasa nyaris sehat. Dan, sekarang, setelah kelenjar getah beningnya membengkak, dia baru sadar kalau dia benar-benar sakit.
Setitik air hujan jatuh di punggung tangan Yogas. Tak lama kemudian, hujan turun semakin deras, tetapi Yogas belum beranjak dari tempatnya. Dia malah menengadahkan kepalanya, berharap hujan bisa membawa pergi semua virus yang ada pada tubuhnya.
Juga membawa pergi semua air maya dan kesedihannya.
*** Kana menggeliat, lalu menggapai weker yang ada di sampingnya. Dia terduduk kaget saat membaca jarum jam itu. Pukul sembilan lebih sepuluh menit. Kana mengucek matanya, pandangannya tertumbuk pada dinding yang membatasi kamarnya dengan kamar Yogas.
Kana bangun dan bergerak membuka pintu. Ternyat, di luar hujan. Kana menengok ke arah kamar yogas yang masih gelap, lalu menghela napas. Mungkin Yogas kehujanan di jalan, jadi menunggu hujan reda.
Kana baru akan bergerak ke kamar mandi ketika dia mendengarkan suara-suara dari arah kamar Yogas. Kana berhnti melangkah, lalu menatap kamar Yogas. Mungkinkah ada tikus"
Kana memegang kenop pintu, tetapi dia segera menggeleng. Terakhir kali Kana masuk, Yogas sangat marah. Dia tak mau dimarahi lagi. Namun, beberapa detik kemudian, suara itu muncul lagi. Kali ini terdengar seperti suara igauan.
"Gas?" panggil Kana, tetap tidak ada sahutan. Kana mengetuk pintu Yogas. Karena tak kunjung ada jawaban Kana mengetuk lebih keras. "Gas" Kamu ada di dalem?"
Lampu kamar Yogas tiba-tiba menyala, dan detuk berikutnya Yogas membuka pintu dengan kasar. Wajahnya tampak pucat. Juga marah.
"Berisik! Apaan sih?" serunya. Kana menatap Yogas lekat-lekat. Tampaknya Yogas bukan baru banguntidur. Wajahnya pucat dan berkeringat. "Apa?"
"Kamu gak kenapa-napa, kan?" tanya Kana khawatir. Yogas berdecak kesal, tampak sebal sudah diganggu.
"Kalo gak ada perlu lagi, gue mau tidur," kata Yogas dan sementara Kana memeperhatikan wajahnya, dia menutup pintu.
Kana menghela napas, lalu pergi. Ketika dia baru berjalan beberapa langkah, terdengar suara gaduh dari kamar Yogas. Kana segera kembali dan membuka pintu kamar Yogas, lalu mendapatinya sudah tergeletak di lantai. Tubuh cowok itu tampak menggigil.
"Gas!" Kana berseru panik, lalu terduduk di sampingnya. Dia memegang dahi Yogas dan terkejut oleh suhunya yang sangat tinggi. Kana menoleh ke kanan dan ke kiri panik, lalu menepuk-nepuk pipi Yogas yang panas. "Gas! Naik ke kasur ya!"
Kana membantu Yogas untuk naik ke kasur. Tubuh Yogas sangat berat, juga panas. Bajunya sudah basah bermandikan keringat dingin. Setelah Yogas terbaring di kasur, Kana segera membuka baju Yogas yang basah dan mencari-cari baju bersih. Namun, yang dia temukan hanya setumpuk baju kotor yang belum dicuci. Kana melesat le kamarnuya sendiri, mengaduk lemari dan menemukan sweter milik ayahnya, setelah itu memakaikannya pada Yogas.
"Gas, tunggu bentar ya, aku ambil es batu dulu," kata Kana pada yogas yang hanya bisa bergumam.
Kana segera turun ke rumah tantenya. Tantenya heran melihat Kana yang terburu-buru mengambil es batu dari dalam kulkas.
"Kan" Buat apoa es batu?" tanyanya.
"Itu, Buli, si yogas..." Kana terdiam, teringat pada Yogas yang pasti tidak ingin ibu kost tahu soal penyakitnya.
"Si Yogas...?" tanya tantenya penasaran.
"Si Yogas... mau bikin es teh!" sahut Kana cepat, lalu segera kembali secepat mungkin ke atas. Yogas masih menggigil dan dia mulai meracau.
Setelah mengisi baskom dengan air dan es batu, Kana mengambik saputangan handuk. Tak lupa, dia juga mengambil selimut miliknya dan memakaikannya ke tubuh Yogas.
Yogas berhasil membuka matanya sedikit, sadar kalau Kana ada di sampingnya. Walaupun berkunang-kunang, yogas masih bisa melihat Kana yang sedang memras saputangan. Saat Kana hendak meletakkannya ke dahi Yogas, Yogas menepisnya.
"Pergi.., jangan peduliin gue," gumam Yogas, tetapi Kana tidak peduli. Dia mengambil saputangan yang jatuh, lalu berusaha menempelkannya ke dahi Yogas. Yogas bersikeras tidk mau.
"Gas!" sahut Kana marah. "Jangan pikir aku bego ya! Aku tahu penyakit kamu gak akan menular kalo cuma begini!"
Yogas berhenti berusaha dan membiarkan Kana mengompres dahinya. Kana menghela napas.
"Sori. Gak bermaksud teriak-teriak," Kana membetulkan selimut Yogas. "Kamu kok bisa panas begini sih?"
Kana mengedarkan pandangannya kekamar Yogas, dan menemukan seonggok baju basah di pojokan. Kana mendelik pada Yogas.
"Kan, sudah aku bilang bawa payung," kana mengomel sambil mengambil kompres di dahi Yogas. Dia mencelupkannya ke baskom, memerasnya, lalu meletakkannya kembali, tetapi kali ini kompres itu jatuh di mata Yogas. Yogas meringis kedinginan dan Kana seperti pura-pura tidak melihatnya.
Yogas membenahi sendiri letak kompresnya sambil melirik Kana yang masih kelihatan sebal.
"Cari penyakit sendiri," kata Kana pendek, kemudian bangkit. Yogas sama sekali tak punya tenaga untuk bertanya kemana dia mau pergi. Sebelum menghilang di pintu, Kana menoleh. "Mau ambil obat," katanya, lalu pergi.
Yogas menatap langit-langit yang tampak berbayang. Alangkah baiknya kalau Kana mau terus menemaninya seperti ini. Yogas tidak akan protes walaupun dimarahi seperti tadi seumur hidupnya.
Yogas menurunkan kompres itu ke matanya, siapa tahu air matanya keluar lagi. Beberapa menit kemudian, Kana kembali dengan berbagai jenis obat di tangannya. Kana duduk di samping Yogas sambil mengamati ibat-obat itu.
"Hm, yang mana ya?" gumamnya membuat Yogas mengintip dan menatapnya ngeri. Bisa saja cewek itu memberinya obat untuk diare. "Yang ini aja, deh."
Kana membuka kemasan salah satu obat, lalu menyodorkannya pada Yogas yang tampak enggan. Seperti tidak mau tahu, Kana mengambilk sebotol air mineral dan membantu Yogas untuk minum. Yogas sendiri akhirnya tidak bisa menolak dan pasrah saja menelan pil berwearna putih itu.
Setelah Yogas berhasil meminum obat penurun demam, Kana membetulkan selimut Yogas dan mengganti kompresnya. Kana kemudian menengok ke sekeliling seolah mencari sesuatu.
"Gas" Obat kamu mana" Udah diminum belum?" tanya Kana membuat Yogas memejamkan mata, berpura-pura tidur. "Gas" Kamu udah ke ruamh sakit?"
Kana melirik Yogas yang tampaknya sudah tertidur, lalu menghela napas. Setelah mengganti kompres sekali lagi, Kana bangkit dan bergerak keluar kamar. Saat itulah Yogas membuka mata dan menatap langit-langit.
Obat. Rumah sakit. Duahal yang tidak mungkin bisa membantunya. Yogas tak mau repot-repot pergi ke rumah sakit hanya untuk ditolak. Sudah cukup semua penolakan yang pernah dialaminya.
Yogas melirik pintu yang sudah tertutup, bertanya-tanya apa Kana akan datang lagi walaupun yogas sadar, dia sudah menyakiti dirinya sendiri lagi dengan harapan ini.
*** Kana mengaduk bubur dalam panci dengan pandangan ksong. Pikirannya melayang pada Yogas yang sekarang sedang terbaring demam di kamarnya. Dia pasti kehujanan, dan karena daya tubuhnya rendah, dia mudah kena sakit.
Kana juga berpikir soal obat yang waktu itu sudah remuk di tangan Yogas. Apa yogas sudah ke ruamh sakit lagi untuk meminta obat" Kalau belum, apa Yogas baik-baik saja tanpa obat itu" "Kan, kamu ngapain" Buburnya hangus tuh!" sahut tantenya, menyadarkan Kana.
Kana segera mematikan kompir, lalu mengangkat panci itu dan menuang isinya ke dalam mangkuk. Tantenya mengamatinya penuh minat.
"Tumben kamu masak bubur malem-malem gini," komentarnya membuat Kana gelagapan.
"Ng, lagi pengen aja," kata Kana cepat, lalu segera pergi membawa bubur itu naik ke kamar Yogas tanpa memperdulikan tatapan curiga tantenya.
Kana membuka pintu kamar Yogas, lalu duduk di sampingnya. Yogas masih tampak tertidur. Kana mengganti kompres, kemudian menepuk-nepuk pelan pipi Yogas. Panasnya ternyata sudah mulai turun.
"Gas," kata Kana membuat Yogas membuka mata. Dia memang sempat tertidur sebentar. Yogas menoleh lemas. "Makan dulu. Udah kubuatin bubur."
Yogas menatap mangkuk di tangan Kana tanpa minat. "Kamu kan harus minum obat, jadi makandulu," kata Kana lagi. Yogas membuang muka. "Gak perlu."
"Gak boleh!" sahut Kana tegas. "Kamu harus makan, ntar gak sembuh-sembuh!"
Yogas tidak berkomentar dan malah menatap langit-langit. Kana mendesah dan sekali lagi menatap sekeliling, memindai kamr itu.
"Ngomng-ngomong, mana obatnya?" tanya Kana. "Habis," jawab Yogas sekenanya.
"Ya udah kalo habis, tapi yang penting sekarang kamu harus makan," kata Kana sambil membantu Yogas membetulkan duduknya. Karena lemas, Yogas jadi tak punya kekuatan untuk mencegahnya.
"Gue gak mau," tolak Yogas begitu Kana menyodorkan sesendok bubur padanya. Yogas melirik bubur itu malas. "Keliatannya gak enak."
Kana menganga sebal, tetapi kemudian teringat pada kejadian saat Yogas menolak makanan dari tentenya. Mungkin ini soal peralatan makan.
"Ng, setelah kamu makan, aku buang deh mangkuk sama sendoknya. Itu kalo kamu takut kenapa-napa," kata Kana hati-hati.
Yogas menatapnya tajam. "Bukannya itu punya tante lo?"
"Yah, ntar aku bilang sama dia. Atau aku ganti," kata Kana tak sabar. "Yang penting, sekarang makan dulu."
Setelah mendengar usul iti, Yogas mulai menerima sesuap demi sesuap bubur yang ada di mangkuk.
"Enak,kan?" goda Kana begitu bibur di mangkuk tinggal tersisa sedikit.
"Di mana-mana rasa bubur ya gitu aja," gumam Yogas membuat cengiran Kana hilang. Kana berdecak dan mengendikkan bahu.
"Yah, kali udah begini artinya kamu udah sembuh," kana meletakkan mangkuk dan menyodorkan air minum untuk Yogas. Sementara Yogas minun, Kana melirik mangkuk dan sendok. "Gas, aku cuci aja ya mangkuknya?"
"Beli baru aja. Duitnya ambil di dompet gue," kata Yogas tegas.
Kana mengamati Yogas. "Gas, bukannya kamu yang paling tahu kalau virus HIV gak menular lewat liur" Kenapa sih..."
"Gue gak mau ambil resiko," potong Yogas kembali merebahkan tubuhnya. Kepalanya masih terasa pusing. "Jangan lupa dibuang. Atau kalo perlu, dipecahin dulu," tambah Yogas lalu memejamkan mata, berusaha tidur.
"Sakit ya, Gas?" tanya Kana.
"Pusing doang," jawab Yogas sambil menjambak rambutnya.
"Sakit ya, setiap kali kamu menghindari orang?" tanya Kana lagi, membuat Yogas membuka mata. "Sakit, kan" Jadi, kenapa gak berhenti berusaha sekuat tenaga" Orang-orang yang benerbener peduli ama kamu pasti maklum kok."
Yogas menatap langit-langit kamarnya, memikirkan kemungkinan itu. Detik berikutnya dia mendengus pelan, karena tidak ada orang-orang yang benar-benar peduli padanya.
"Udahlah. Gue mau tidur," Yogas kembali memejamkan matanya. Kana menatap Yogas lama, lalu mengganti kompresnya.
"Istirahat ya, Gas, besok pagi aku ke sini lagi."
Setelah mengatakannya, Kana bangkit sambil membawa mangkuk bubur. Yogas segera menempatkan kompres ke matanya begitu Kana keluar dari kamarnya, tetapi kompres itu tidak bisa menghentikan aliran air matanya.
Aren't you scared" Pagi-pagi sekali, Kana sudah keluar dari kamarnya untuk menengok Yogas. Yogas ternyata masih terlelap. Kana memegang dahi Yogas, ternyata panasnya udah turun walaupun masih sedikit hangat. Kana menghela napas lega, lalu memperhatikan sekelilingnya.
Saat Kana melihat tumpukan pakaian kotor di pojokan, dia mendapat ide. Kana segera keluar dari kamar yogas, menyiapkan ember besar di kamar mandi, lalu memboyong semua pakaian kotor Yogas dan mencelupkannya di ember itu.
Sementara pakaian direndam, Kana membersihkan kamar Yogas. Dia membuang semua botolbotol air minum, lalu menyapu lantainya. Kana melakukan semuanya dalam diam, takut membangunkan Yogas.
Begitu melihat ransel Yogas yang sudah kosong, Kana mendelik pada Yogas yang masih mendengkur.
"Dasar pemeles. Jadi, gak punya baju lagi, kan," katanya, lalu melanjutkan menyapu plastikplastik kemasan makanan ringan.
"Lo... Ngapain?" tanya Yogas lemah, yang ternyata terbangun karena kesibukan Kana. "Gak liat" Nyapu dong," jawab Kana cuek sambil terus menyapu.
Yogas menatap Kana lama, lalu merasa tenggorokannya kering. Yogas menggapai botol air mineral di sampingnya, tetapi karena terlalu lemah, tangannya tak sampai. Tahu-tahu Kana mengambil botol itu dan menyondorkannya pada Yogas. Ketika tangan Yogas terulur, Kana menariknya lagi.
"Aku gak denger kata 'tolong'," goda Kana sambil nyengir jail. Yogas menatapnya sebel, kemudian kembali berbaring. "Gak jadi."
"Ya udah," kata Kana, sengaja meletakkan botol itu di atas meja yang jauh dari jangkauan Yogas. Yogas sendiri menatap sengit Kana yang malah bersiul-siul.
"Tolong," kata Yogas akhirnya.
Kana menoleh, cengirannya semakin lebar. Dia mengambil botol itu dan menyerahkannya pda Yogas.
"Gimana, udah baikan?" tanya Kana sementara Yogas minum. "Masih pusing?" "Lumayan," yogas kembali merebahkan kepalanya yang maih terasa sedikit pusing. Tubuhnya juga masih terasa lemas.
Kana mengangguk-angguk, lalu melanjutkan nyapu. Yogas melirik ke arah suatu sudut yang tampak berbeda dari biasanya. Matanya membesar saat menyadari setumpuk pakaian kotornya sudah hilang dari sana.
"Loh... ke mana baju-baju gue?" tanya Yogas bingung.
"Aku cuci. Kamu gak sadar ya, kamu udah gak punya baju lagi" Dasar jorok," semprot Kana. "Dan, kalo kamu mau tahu, baju yang sekarang kamu pake itu punyaku. Nanti kalo udah sembuh harus dicuci terus dibalikin."
Yogas mengamati baju yang sedang dipakainya. Dia baru sadar kalau itu memang bukan miliknya. Dia kembali memperhatikan Kana yang sekarang sedang membereskan meja. "Lo... gak takut?" tanya Yogas yang membuat Kana menoleh. Dia tersenyum.
"Kenapa harus takut?" balas Kana sambil bangkit. "Aku cuci bajumu dulu ya. Inget, ntar kamu harus bayar ongkos laundry. Kamu memang sakit, tapi bukan berarti kamu istimewa."
Kana keluar kamar yogas sambil bersenandung sementara Yogas menatap langit-langit kamarnya. Baru kali ini dia diperlakukan seperti ini semenjak dia mengidap penyakitnya. Kamu memang sakit, tapi bukan berarti kamu istimewa.
Yogas tersenyum. Seandainya saja semua orang seperti Kana.
*** Setelah selesai mencuci pakaian Yogas yang minta ampun banyaknya, Kana segera berangkat kuliah. Yogas membuatnya lupa kalau dia memiliki tugas presentasi. Untung saja, dia sampai di kampus tepat waktu.
Sebelum berangkat tadi, Kana sudah menyiapkan makanan untuk Yogas dengan menggunakan piring kertas. Kana sengaja membeli dua lusin supaya tidak lagi membuang-buang mangkuk beling.
Saat ini, Kana sedang makan di kantin, karena setelah ini dia masih memiliki satu kelas lagi. Kana tidak sadar kalau sedari tadi Lian memperhatikannya.
"Kan?" panggil Lian, tetapi Kana sibuk berpikir menu apa yang akan dia masak untuk Yogas nanti malam. "Kana?"
"Hm?" Kana bergumam tanpa menoleh.
"Kana!" sahut Lian sambil mengguncang tubuh Kana. Kana akhirnya tersadar. "Kenapa sih, Li?"
"Dari tadi aku panggilin gak dijawab!" sahut Lian kesal.
"Oh, sori deh," kata kana menyesal. Dia terlalu sibuk dengan pikirannya sampai melupakan kehadiran Lian. "Kenapa,Li?"
"Ng... itu," kata Lian hati-hati. "Apa benar... Yogas HIV positif?"


The Truth About Forever Karya Orizuka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kana menatap Lian lama. Kana memang belum sempat membicarakan hal ini dengan Lian. Dan, sekarang Kana ragu apa harus berterus terang dengan Lian. Tetapi sepertinya, Lian cukup memiliki pikiran yang terbuka.
Perlahan, Kana mengangguk. Lian tampak menahan napanya. "Terus, gimana?" tanya Lian lagi.
"Hm, sampe saat ini sih dia gak kenapa-kenapa. Cuma semalem dia demam gara-gara kehujanan..."
"Bukan itu," potong Lian membuat Kana mengenyit. "Gimana dengan. Kamu" Apa kamu gak takut?"
Kana terdiam sejenak, lalu tersenyum.
"Awalnya sih aku memang takut. Tapi, Li, rasa takutku gak seberapa dibandingkan rasa sakit hati dia," kata Kana. "Dia sendirian, Li."
"Jadi, kamu cuma kasihan?" tanya Lian lagi, membuat Kana lagi-lagi terdiam. "Kalo dibilang kasihan..." Kana tak meneruskan kata-katanya, berpikir.
"Kalo dibilang kasihan?" cecar Lian. Ketika Kana tak kunjung menjawab, Lian menghela napas. "Kamu suka sama dia, Kan?"
Kana juga tidak langsung menjawab pertanyaan ini. Lian memegang tangan Kana, menatapnya dalam-dalam.
"Kan, apa kamu sudah siap sama semua resikonya" Kalo kamu suka sama dia, itu berarti kamu harus siap ada disamping dia terus! Kalo ternyata kamu cuma kasihan sama dia, kamu jangan kasih dia harapan!" kata Lian membuat Kana menatapnya nanar. "Kan, mungkin ini kedengeran kejam, tapi kata-kata dia waktu itu bukan cuma bohong. Kalian memang gak punya masa depan. Kamu tahu sendiri orang dengan HIV bisa gimana nantinya."
"Aku... aku sayang ama dia, Li," kata Kana akhirnya, air matanya sudah jatuh.
"Kan, sayang aja gak cukup. Sekarang, mungkin dia keliatan baik-baik saja. Tapi, apa kamu gak mikir, gimana dia lima tahun mendatang" Kalo ternyata nanti kamu gak kuat dan ninggalin dia di masa itu, apa kamu pikir dia gak bakal lebih menderita dari sekarang?" tanya Lian lagi membuat Kana terisak.
Lian menggenggam tangan Kana erat. "Kan, kalo kamu gak yakin, jangan terusin. Jangan bareng dia karena kasihan. Aku yakin dia juga gak mau kamu kasihani. Ya, Kan?"
Kana masih terisak. Dadanya sakit memikirkan kebenaran dari kata-kata Lian.
*** Kana terduduk lemas di depan monitor warnet. Dia menggerakkan mouse dan membuka situs mesin pencari. Dengan tangan gemetar, dia mengetik kata kunci 'penyakit HIV', dan hasil yang keluar ribuan. Kana mengklik salah satu link dan membaca atikel yang muncul.
Air mata Kana jatuh tetes demi tetes seiring dengan banyaknya artikel yang dibacanya. Ratairata orang dengn HiV hanya memiliki waktu sepuluh tahun sebelum berkembang menjadi penyakit AIDS. Setelah itu, pengidap penyakit itu akan mengalami penurunan berart badan, diare berketerusan, dan berbagai penyakit lain. Pada tahap ini, penyakit ringan sekalipun dapat mengancam nyawa penderita AIDS.
Kana menekap mulutnya saat melihat gambar seorang penderita AIDS tahap akhir yang ada di salah satu laman berita. Orang itu tampak mengenaskan dengan hanya tulang berbalut kulit yang dipenuhi bercak merah. Dan, orang ini hanya berusia dua puluh tahun saja.
Sampai saat ini, belum ditemukan penyembuh bagi penderita AIDS. Yang ada hanya obat untuk menghambat penyebaran virus dan menurunkan jumlahnya. Kana menemukan info tentang obat yang diminum Yogas, tetapi ternyata obat itu harus diminum secara teratur karena kalau tidak virus akan dengan mudah menajdi resisten. Todak diminum sekali saja, pengobatan harus diulang dengan peningkatan dosis peminuman.
Kana teringat pada Yogas yang tampak tidak peduli pada obatnya yang sudah habis. Kalau begini, tubuh Yogas akan jadi resisten. Yogas bahkan tidak berminat lagi untuk pergi ke rumah sakit dan meminta obat lagi.
Mata Kana tiba-tiba membesar saat membaca artikel tentang pengakuan salah satu orang dengan AIDS yang ditolak di sebuah rumah sakit karena alasan yang tidak dapat diterima akal. Rumah sakit tersebut menganggap penderita AIDS sebagai kuman yang dapat mengotori rumah sakit itu.
Sekarang, Kana tahu mengapa Yogas enggan pergi ke rumah sakit. Mungkin dia sudah kehilangan kepercayaan pada pihak rumah sakit karena pernah ditolak, walaupun tidak semua pihak rumah sakit melakukannya.
Kana menatap tangannya sendiri yang gemetar semakin hebat. Dia tidak pernah menyangka kalau hidup akan membawanya menemukan seorang Yogas. Dan, sekarang Kana tidak tahu harus berbuat apa.
*** Saat Kana berjalan hampa di depan kamarnya, dia melirik kamar Yogas yang tampak sudah terang. Yogas mungkin sudah cukup kuat untuk menyalakan lampu. Kana mengetuk kamar yogas, kemudian melangkah masuk walaupun Yogas tidak menjawab. Yogas ternyata masih terbaring di kasurnya, tidur. Kana menghela napas, teriingat pada jemuran yang masih tergantung di lantai atas. Kana segera naik untuk mengambil jemuran.
Kana mengambil pakaian Yogas yang sudah kering sambil melamun. Pikirannya melayang pada kata-kata Lian tadi siang. Kana menatap sweter-sweter Yogas yang ada di pelukannya, lalu terduduk sambil memeluk sweter itu erat-erat. Air matanya sudah mengalir. Kana benar-benar tidak tahu harus melakukan apa untuk Yogas.
Kana sedang mebalik-balik baju Yogas ketika Yogas terbangun. Dia memaksakan diri untuk duduk, lalu menatap Kana. Kana balas menatapnya sambil tersenyum. Yogas tidak balas tersenyum. Dia memperhatikan mata Kana yang sembap.
"Udahlah. Lo gak usah bantu-bantu gue lagi," kata Yogas. "Gak usah ngerasa bertanggung jawab."
Kana terdiam sejenak, lalu tertawa pelan. "Kamu ngomong apaan sih, Gas?" katanya sambil terus membalik baju.
"Mata lo. Lo pasti nyesel udah kenal gue, kan?" tanya Yogas lagi. "Oh, ini ya?" Kana mengucek matanya. "Aku kurang tidur. Kamu sih nyusahin aja." Yogas tak berkomentar. Dia mengamati Kana yang seperti menghindari pandangannya.
Kana sendiri tertawa kecil, kemudian bangkit. "Aku ambil setrika dulu," katanya, lalu segera keluar kamar Yogas dan masuk ke kamarnya sendiri. Sesampainya di kamar, dia langsung jatuh terduduk dan kembali menangis.
Kana mersa seperti orang jahat. Kana sudah berbohong pada Yogas dengan mengatakan dia tidak takut. Kana sudah memutuskan untuk menemani Yogas. Pada akhirnya, Kana masih ragu, tetapi dia tidak tega mengatakan yang sebenarnya pada Yogas.
Kana terisak, menyesali dirinya yang tidak bisa tegar. Kana tidak sadar, kalau Yogas ada di luar kamarnya, mendengar setiap isakaannya.
Yogas tersenyum miris. Dia tahu ini akan terjadi. Dia tahu tidak akan ada orang yang tahan dengannya. Dari awal, dia sudah tahu, tetapi dia menolak untuk menerimanya. Setengah mati, dia berharap Kana adalah orang yang akan menyelamatkannya, tetapi ternyata pikirannya salah. Tidak ada satu pun yang bisa menyelamatkannya.
*** Pukul setengah tujuh pagi, Kana membuka pintu kamarnya dan segera melirik pintu kamar Yogas. Semalam, ketika Kana akan kembali menyetrika baju-baju Yogas, kamar itu sudah gelap dan pintunya dikunci.
Setelah menghela naps, Kana mengunci pintu kamarnya dan bergerak turun. Hari ini dia ada kuliah pagi. Begitu sampai di bawah, Ono terlihat sedang bersenam-senam pagi.
"Kuliah, Kan?" tanya Ono, dan Kana hanya menjawabnya dengan anggukan lemah. Ono mengernyit. "Ya ampun, kalian ini. Pada lemes-lemes banget tho. Tadi pagi si Yogas juga begitu. Ditanyain malah ngeloyor saja kayak mayat hidup."
Mata kana membulat mendengar kata-kata ono. "Yogas sudah pergi?"
"Iya, setengah jam yang lalu," jawab Ono. "Dia kok akhir-akhir ini tambah aneh, yo" Mana gak pernah makan bareng lagi."
Kana sudah tak mendengar kata-kata Ono. Dia mengeluarkan motor, lalu segera meluncur ke jalan, meninggalkan Ono yang marah-marah karena lagi-lagi merasa diabaikan.
*** "Ke mana aja lo, gas?" tanya Eno begitu melihat Yogas yang sudah menunggunya di cafetaria. Yogas tak menjawab, jadi Eno menatapnya bingung dan duduk di depannya. "Gas" Kenapa lo?"
"No, gue berpikir buat pindah kost," kata Yogas membuat Eno bengong. Namun, detik berikutnya dia maklum.
"Kenapa, udah semakin serius?" tanya Eno.
"Dia udah tau soal penyakit gue," kata Yogas membuat mata Eno melebar. "Terus" Dia ngejauhin lo?" tanya Eno hati-hati. Yogas menggeleng.
"Lebih gampang kalo begitu," Yogas memainkan kemasan air mineral gelas yang ada di tangannya. Air wajahnya mengeruh. "Ini malah sebaliknya."
Eno terdiam mendengar kata-kata Yogas. Dia sama sekali tidak percaya akan pendengarannya. "Dia gak ngejauhin lo" Jadi, dia nerima lo?" tanya Eno lagi.
"Nerima..." Yogas bergumam, lalu tertawa miris. "Tepatnya dia kasihan sama gue. Dia pikir dia cukup kuat buat ngebantu gue."
"Tapi...?" kata Eno.
"Tapi, dia sama aja dengan yang lain. Dia gak kuat. Gue denger dia nangis di kamarnya," Yogas mengambil jeda sejenak. "Gue... gue gak mau dia terpaksa dia nerima gue, No." Eno menatap Yogas, paham dengan perasaannya.
"Beberapa waktu lalu, dia bilang dia mau nemenin gue. Tapi, sekarang setelah di sadar kalo dia gak cukup kuat buat ngelakuin itu, dia malah ngerasa bertanggung jawab," kata Yogas. "Gue gak bisa ngeliat dia susah payah merhatiin gue."
"Karena itu, gue mau pindah secepatnya. Karena udah terlalu bwerat setiap hari ketemu dia," kata Yogas lagi, matanya menerawang hampa. "Udah terlalu berat.
Eno menatap temannya itu lama. "Gas, menurut gue lo selesain masalah sama dia dulu. Jangan main kabur. Kalo ternyata omongan lo sekarang cuma sugesti lo, lo bakalan nyesel karena udah kehilangan orang yang peduli sama lo."
"No, kalo pun emang bener gitu, itu memang resiko gue. Dari awal harusnya gue gak pernah mulai," sanggah Yogas.
"Oke. Itu resiko lo. Tapi, apa lo berpikir sama buat dia" Kalo ternyata dia bener-bener peduli sama lo dan lo tiba-tiba pergi begitu aja?" tanya Eno lagi. Yogas terdiam sebentar, tampak berpikir.
"Kalo gitu, suatu saat dia pasto bersyukur karena gak jadi mengalami masa-masa suram bareng gue," kata Yogas lagi, menutup pembicaraan.
Eno pun tak bisa berkata apa-apa lagi.
*** Sudah beberapa hari ini, Yogas selalu menghindari Kana. Dia selalu bangun dan berangkat lebih pagi, dia juga pulang larut malam di saat kana sudah tidur. Yogas benar-benar tidak ingin bertemu dengannya.
Kana sendiri bukannya tidak sadar. Dia sadar betul Yogas sedang menghindarinya. Sekarang sudah pukul sepuluh malam, dan Yogas belum juga pulang. Kana melirik kamar Yogas yang masih gelap.
Kana menghela napas, tidak mengetahui penyebab Yogas kembali menjadi pemarah. Saat Kana berbalik, dia mendapati Yogas yang sedang naik tangga. Yogas langsung membatu melihat kana di depan kamarnya. Hari ini, dia salah perkiraan. Biasanya pukul segini Kana sedang sibuk menulis atau malah sudah tidur.
"Hei. Ke mana aja beberapa hari ini?" tanya Kana sambil nyengir. Yogas menatapnya lama, lalu meneruskan perjalanannya ke kamar tanpa menjawab. "Kamu sibuk ngapain sih, Gas" Ada temen ya di sini?"
Yogas melewati Kana tanpa banyak bicara. Dia mengeluarkan kunci dari saku celana dan membuka pintu kamarnya sementara Kana masih berdiri di belakangnya, menunggu jawaban. Yogas menghela napas lalu berbalik.
"Nih," Yogas mengeluarkan uang serarus ribuan dari dompetnya dan menyodorkannya pada Kana. "Duit laundry, bubur, obat, sama apalah yang kemaren itu. Gue gak suka ngutang." Kana hanya bisa bengong sambil memegang uang itu. Sementara Yogas mengernyit.
"Kenapa" Kurang?" tanya Yogas sambil kembalai mengorek dompetnya, tetapi tangannya segera dicengkeram Kana. Yogas menatap cewek itu yang seperti sudah akan menangis.
"Gak perlu," kata kana dengan suara tercekat. Dia menyurukkan uang itu ke tangan Yogas. "Aku gak ngerasa diutangin, kok."
"Tapi, gue ngersa ngutang. Lo mau gue bayar apa kalo gak mau duit?" tanya Yogas membuat kana melongo.
"Aku... Aku gak mau dibayar pake apa pun," kata Kana lagi, lalu menggigit bibirnya untuk menahan tangis.
"Oh" Kemaren lo bilang gue harus bayar," kata Yogas lagi.
"Kemaren, aku cuma bercanda," kata Kana. "Kamu gak harus bayar apa pun."
"Denger ya," kata Yogas mendekati Kana dan menatapnya tajam. "Apa lo ngerasa lo dewi penyelamat" Mau nambah pahal dengan nolongin gue, gitu ya" Tapi, gimana ya, gue gak mau utang budi sama lo. Jadi, mending lo bilang aja gue harus bayar pake apa. Apa pun gue lakuin."
Saat setetes air mata jatuh di pipinya, Kana segera menyekanya. Dia tidak tahu lagi harus bagaimana menghadapi Yogas. Sekarang, dia sangat membenci Yogas dengan segala sikap menyebalkannya itu.
"Gas, kalo kamu bener-bener pengen bayar, bayar dengan perubahan sikapmu," kata Kana tegas. "Mulai sekarang, jangan pernah lakuin ini lagi sama aku. Jangan pernah ngomong hal-hal kasar lagi sama aku. Itu bayarannya. Bisa?"
Yogas menatap Kana lama. Kana membalasnya dengan berani. Yogas kemudian terkekeh, membuat Kana bingung.
"Lo pinter banget ya," kata Yogas, masih tertawa pelan. Dia berhenti tertawa dan menatap Kana tajam. "Lo pinter banget akting. Harusnya lo jadi artis bukan penulis."
Kana menatap Yogas tak percaya sementara Yogas bergerak ke kamar. Sebelum Yogas masuk ke kamarnya, dia menoleh pada Kana yang masih membatu.
"Akting lo bikin gue hampir percaya. Gue salut sama lo," katanya, lalu masuk dengan membanting pintu.
Kana masih terdiam untuk beberapa lama, sampai akhirnya air matanya kembali menetes dan kakinya tak kuat untuk menopangnya. Dia jatuh terduduk di depan kamarnya dengan air mata mengalir deras.
Tadi, Kana tak bisa membalas perkataan Yogas, karena dia tahu Yogas benar. Selama ini, Kana begitu munafik di depan Yogas, mengatakan hal-hal yang baik, padahal hatinya masih ragu. Orang seperti Kana tidak layak untuk menemani Yogas.
Bukan salah Yogas kalau dia menganggap kebaikan Kana selama ini hanyalah akting. Kana tahu betul akan hal itu, tetapi dia tidak tahu apa yang membuatnya sesakit ini.
I'll do Anything Lian melirik Kana cemas yang sedari tadi hanya menerawang dengan mata sembap dan tidak memperhatikan kelas. Lian yakin ini lagi-lagi soal tetangganya itu, tetapi kalau dia bertanya, pasti Kana akan menangis di tengah kelas.
Lian meraih tangan Kana yang dingin, kemudian menggenggamnya. Dia tahu, sahabatnya itu pasti sudah mengalami banyak hal menyedihkan dengan Yogas. Lian tidak ingin itu terjadi, karena Kana baru dua puluh tahun dan tidak layak mengalami hal-hal seperti itu. Umur segini, Kana harusnya sedang menikmati masa-masa pacaran pertamanya dengan cowok keren, baik dan normal.
Lian menghela napas. Bukan salah Yogas kalau dia mengidap penyakit. Atau memang salahnya, karena ini HIV. Entahlah, Lian sama sekali tidak tahu apa-apa soal Yogas. Masalahnya adalah, sahabatnya ini sudah terlibat begitu jauh dengan cowok itu dan dia bisa benar-benar hancur kalau terus-terusan begini.
Sampai sekarang, Lian tidak habis pikir, kenapa orang yang pertama membuat Kana jatuh cinta harus orang seperti Yogas. Kenapa takdir spertinya begitu kejam pada Kana.
Tiba-tiba, Lian tersentak dan menatap Kana lagi. Dia memang tidak ingin Kana sakit hati karena Yogas, tetapi dia juga tidak ingin melihat sahabatnya seperti sekarang ini.
"Kan..." kata Lian pelan membuat Kana menoleh lemah. Matanya masih merah. "Kamu... kamu tahu kenapa kamu bisa ketemu sama Yogas?"
Kana menatap Lian. "Mungkin... takdir?"
"Tepat," Lian mempererat genggamannya pada Kana. "Apa kamu gak pernah berpikir kalo Tuhan punya maksud tertentu dengan mempertemukan kalian?"
Kana menatap Lian lekat-lekat, berusaha menebak jalan pikirannya.
"Tuhan mungkin berpikir... kalau kamu adalah satu-satunya orang yang sanggup bertahan untuk Yogas. Makanya, dia mempertemukan Yogas sama kamu," lanjut Lian membuat Kana ingin menangis lagi. "Karena tahu kamu pasti bisa bertahan, makanya Dia mempertemukan kalian. Makanya... jangan menyerah!"
Lian tidak percaya dia bisa mengatakan ini pada sahabatnya. Dia pasti sudah gila karena mendukung hubungan Kana dengan Yogas. Namun, bagaimanapun, Lian tahu Kana pasti menyukai Yogas dan sudah sangat berkorban demi perasaannya itu. Lian tidak mau melihat Kana menyesali cinta pertamanya.
Sekarang, Kana sudah menangis tak terkendali. Tubuhnya terguncang, menangisi kebodohannya karena sudah ragu pada perasaannya sendiri. Inilah yang semalam membuatnya sangat sakit hati. Yogas sudah menganggap perasaannya hanya akting.
*** Sudah berjam-jam Kana duduk di atas kasurnya sambil memeluk guling dengan mata menerawang. Dia sudah banyak berpikir dan sudah sampai pada keputusannya. Dia tak akan menyesali keputusannya itu, apa pun yang akan terjadi.
Kana melirik jam. Sudah pukul sebelas malam, dan Yogas belum pulang juga. Kana bangkit, membuka pintunya, lalu mellirik kamar Yogas yang masih gelap. Kana menghela napas, lalu bergerak ke kamar mandi.
Langkah Kana terhenti saat dia melihat pintu tingkap ke lantai tiga terbuka lebar. Mungkinkah itu Yogas" Kana menatap pintu itu ragu, lalu bergerak naik diam-diam dan mengintip ke lantai tiga.
Yogas tampak sedang berbaring di lantai, matanya menatap langit malam. Kana merasa jantungnya berdegup kencang dan sekujur tubuhnya dingin saat melihat sosok itu. Kana memberanikan diri untuk membuka pintu dan mendatanginya.
Yogas menoleh dan begitu mendapati Kana di pintu, dia langsung bangkiut. Setelah membersihkan celananya dia bergerak, bermaksud turun. Dia sama sekali tidak ingin berduaduaan lagi dengan Kana setelah semua yang terjadi.
"Tunggu, Gas," kata Kana membuat Yogas menatapnya. Kana balas menatapnya ragu selama beberapa saat.
"Apa?" tanya Yogas ketus. "Ada yang mau dibicarain" Karena gue gak ada. "Ada," jawab kjana. Sekarang, hatinya sidah mantap. Dia tidak akan mundur lagi.
Yogas mengernyit, tidak mengerti apa bahan pembuat hati Kana. Setelah dikata-katai macammacam, dia tetap saja mau berbicara dengan Yogas.
"Apa?" tanya Yogas lagi, tak berminat.
"Aku... suka sama kamu," ujar Kana tegas membuat Yogas melongo. "Walaupun dulu kamu pernah bilang jangan suka sama kamu, sudah terlambat. Aku sudah suka sama kamu." Yogas tak bisa berkata apa pun. Menggerakkan satu syarafnya pun dia tak sanggup. Yogas hanya bisa menatap kana tak percaya. Matanya sudah berair karena belum berkedip sejak Kana selesai bicara.
"Ini bukan akting, Gas. Aku jujur. Mungkin, kemaren aku pernah ragu, tapi sekarang aku udah yakin kalo aku suka sama kamu," kata Kana lagi, membuat kepala Yogas sakit. "Mulai sekarang, sesakit apa pun, seberat apa pun, aku bakal tetep..."
"Tolong jangan ngomong sesuatu yang gak bertanggung jawab," potong Yogas geram. Rahangnya mengeras. "Jangan ngomong hal-hal yang gak bisa lo pertanggungjawabin." "Aku."
"Apa lo sadar dengan omongan lo, hah?" bentak Yogas menbuat Kana terdiam. "Lo sadar lo udah bikin diri lo masuk ke dalam masalah apa?"
"Aku... sadar..."
"Gak! Lo gak sadar!" sahut Yogas. "Denger, ini bukan masalah kecil! Suka atau apa pun itu, itu gak bisa menolong!"
"Tapi, Gas, aku bener-bener sayang sama kamu..." Yogas menatap cewek di depannya nanar.
"Kalo lo sayang, terus lo mau apa" Nemenin gue sampe gue mati?" tanya Yogas membuat Kana terdiam. "Lo siap dengan hujatan orang-orang nanti" Lo siap kehilangan masa depan lo demi gue?"
Kana menatap Yogas. Sesaat, dia ragu, tetapi dia tidak akan mundur. "Aku siap!" sahut Kana tegas.
"Diam!" bentak Yogas frustasi. "Jangan ngomong seenaknya! Lo sama sekali gak tahu apa-apa! Gue udah gak sanggup nahan beban gue sendiri, jangan tambahin beban gue dengan perasaan lo!"
Kana menatap yogas lagi, air matanya sudah mengalir. Yogas sendiri sudah pucat.
"Kita bisa bagi beban kita, Gas," jawab Kana, sebisa mungkin berusaha untuk tidak terisak. Yogas terdiam untuk beberapa saat.
"Denger," kata Yogas, emosinya sudah reda. "Lo masih muda. Lo sehat. Lo punya masa depan. Jadi, tolong jangan hancurin itu semua demi perasaan lo sama orang yang gak berharga kayak gue. Gue sama sekali gak sebanding sama masa depan lo. Apa lo bisa ngerti?" Kana sudah terisak. Yogas sebisa mungkin menatap apa saja selain Kana.
"Perasaan lo ke gue itu... cuma sementara. Lo cuma simpati," kata Yogas lagi. "Gue minta sama lo, tolong jangan pernah ngomong hal-hal yang kayak gini lagi. Gue... capek."
Yogas kemudian berbalik, bermaksud turun. Namu, tiba-tina, tangannya dicengkeram oleh Kana. Detik berikutnya, tangan Kana sudah memeluk Yogas dari belakang. Lagi-lagi, yogas membatu, tak bisa menggerakkan satu pun anggota tubuhnya.
"Gas... Aku ngerti gimana perasaan kamu. Aku tahu kamu pasti gak mau ngerepotin orang lain. Tapi, aku sudah bikin keputusan, Gas!" kata Kana di antara isakannya. "Gas... Kamu tahu kenapa kita ketemu?"
Yogas tak bisa menjawab. Seluruh syarafnya dimatikan oleh dua tangan yang melingkari pinggangnya.
"Karena ini takdir kita, Gas," kata Kana pelan. Dia mempererat pelukannya pada Yogas yang masih bergeming. "Jadi, jangan menghindar lagi."
Ada jeda beberapa lama sampai akhirnya Yogas tersadar dari alam khayalnya yang indah. Yogas menghela napas.
"Gue... gak pernah percaya takdir," katanya dingin. Dia melepaskan tangan Kana, lalu bergerak menuju pintu tanpa sekali pun menoleh ke belakang lagi.
Kana terduduk lemas di lantai semen yang dingin, terisak hebat sampai dadanya terasa sakit. Kana tidak pernah menyangka mencintai ternyata sesakit ini.
*** "Takdir ... itu kejam ya," kata Yogas dengan mata menerawang.
Eno meliriknya simpati. Dia tahu, apa pun yang terjadi semalam bukanlah hal yang bagus, dilihat dari ekspres Yogas yang seperti sudah mau mati.
Saat ini, mereka sedang berada di kost Eno karena hari ini Eno libur bekerja dan kuliah. Semalam, Yogas tiba-tiba muncul di depan kamarnya dan langsung pingsan karena berlari dari kost-nya. Sekarang setelah siuman, dia seperti mayat hidup.
'Udah tahu gue sekarat, masih aja diketemuin sama cewek itu," Yogas meracau dengan suara serak, masih menatap langit-langit kamar Eno.
Eno menghela napas. Tentu saja, soal cewek itu. Cewek bernama Kana yang selama beberapa minggu ini sudah banyak membantu Yogas. Cewek yang mungkin saja disayangi Yogas. "Ternyata gue masih kurang cobaan," kata Yogas lagi.
"Emangnya, sekarang apa lagi, Gas?" tanya Eno hati-hati.
"Dia bilang dia suka sama gue," ujar Yogas membuat mata Eno melebar. "Dia bilang, dia siap kehilangan masa depannya demi gue. Dia bilang semua hal yang mau gue denger."
Eno menatap sahabatnya yang tampaknya sudah tak berdaya itu. Yogas masih menatap langitlangit, rahangnya sudah mengeras.
"Kalau begini terus... Dia bisa bikin gue gak mau mati. Dia bisa bikin gue maruk mau hidup," lanjutnya.
"Kalo gitu, hidup, Gas," balas Eno.
"No, gue mau hidup," ujar Yogas, air matanya sudah mengalir. "Gue gak mau mati. Tapi, gue bisa apa" Gue udah divonis, No. Dan gue gak bisa melihat dia menderita nantinya." Eno mengalihkan pandangan, tidak ingin melihat air mata sahabatnya.
"Gue gak bisa egois. Cukup gue aja yang menderita," lajut Yogas dengan suara tercekat. "Dari awal, pertemuan gue sama dia itu kesalahan."
Yogas menarik napas dan menghelanya pelan.
"Tapi, sebenernya, lo juga suka sama dia kan, Gas?" tanya Eno membuat Yogas terdiam sesaat. "Kalo suka... terus apa?" kaYogas sambil memijat dahinya.
Eno tahu, itu hanya cara untuk mneyembunyikan air mata yang terus menerus mengalir. Eno merasa tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantunya. Yogas sudah terlalu jauh untuk digapai.
*** Kana mendengar ketukan pintu di kamarnya, tetapi dia menolak untuk bangun. Dia tahu itu tantenya yang memanggilnya untuk makan malam. Kana sama sekali tidak punya nafsi makan setelah kejadian semalam. Sepanjang malan, Kana hanya menangis dan sekarang matanya sudah bengkak.
Sekarang, Kana nyaris tidak punya air mata lagi untuk menangisi Yogas. Kana hanya menatap dinding di depannya, pikirannya penuh oleh kejadian semalam. Kana tidak tahu apa Yogas ada di kamarnya atau sudah pergi lagi.
Kalau teringat pada kata-kata Yogas kemarin, Kana segera menangis lagi. Kana tahu benar Yogas hanya berusaha melindunginya dengan mengatakan hal-hal kejam. Yogas tidak peernah berniat buruk. Namun, bagaimana pun, Kana sudah menyukai Yogas apa adanya. Kana malah ingin menemani Yogas menjalani hari demi hari, dan Kana sudah berjanji tidak akan ada penyesalan.
Kana menarik napas dan menghelanya mantap. Apa pun yang terjadi, dia tidak akan melepaskan Yogas. Kana akan selalu ada untuk Yogas walaupun Yogas setengah mati menolak. Kana tersenyum memikirkan tampang cemberut Yogas, kemudian jatuh tertidur.
*** Keesokan paginya, Kana bangun dengan semangat baru. Kata-kata kejam Yogas kemarin sudah dilupakannya. Dia bertekad untuk memulai usahanya lagi hari ini.
Kana menatap cermin, matanya tampak sudah baikan setelah tidur semalam. Sekarang, yang Kana rasakan hanyalah lapar sejak semalam dia belum makan. Kana cepat-cepat membuka pintu, dan Yogas tiba-tiba lewat.
Yogas dan Kana saling tatap sampai akhirnya Yogas melengos menuju kamarnya. Kana tersenyum simpul. "Abis dari mana, Gas?" tanya Kana riang membuat Yogas menoleh dengan tampang bloon, seperti tidak percaya Kana masih baik-baik saja dan bisa menyapanya seperti itu. Sebenarnya, Kana mau tertawa melihat ekspresi Yogas, tetapi ditahannya.
"Kenapa?" tanya Kana sambil nyengir. "Aku cantik, ya?"
Tampang Yogas jadi tambah bloon setelah mendengar kata-kata Kana. Masih dalam keadaan syok berat, Yogas membuka pintu kamarnya dan masuk, meninggalkan Kana yang cengengesan di luar.
Yogas melepas jumpernya, lalu melemparnya ke kasur. Dia mengambdan meminumnya sementara otaknya terus berpikir keras, bertanya-tanya mengapa Kana bisa sweriang itu setelah kejadian dua malam lalu.
Yogas terduduk di kasur, tetapi masih belum menemukan jawabannya. Cewek itu terlalu sukar untuk ditebak.
*** "Yogaaaaas! Makan malam!" seru Kana membuat mata Yogas terbuka.
Yogas masih sedikit mengantuk setelah tadi tertidir selama beberapa jam. Kamarnya masih gelap gulita. Yogas bergerak sedikit, tetapi menolak untuk bangun.
"Yoooogaaaas!!" seru Kana lagi membuat Yogas batal memejamkan matanya. Yogas mengerjapngerjapkan mata, berusaha mengumpulkan setengah nyawanya yang masih hilang. Dia bersandar pada tembok sementara Kana mengetuk pintu kamarnya lagi.
"Yogas, aku tahu kau ada di dalam. Buka, atau aku dobrak nih," ancam Kana membaut Yogas menatap ke arah pintu. Dari jendela, tampak bayangan Kana yang sedang berkacak pinggang.
Sambil menghela napas, Yogas menyalakan lampu di jam tangannya sehingga empat angka digital tertera do dana. 20:11. Berarti Yogas sudah ketiduran empat jam.
Yogas menggaruk kepalanya, pandangannya tertuju pada bayangan Kana yang masih setia berdiri di depan kamarnya. Pikirannya melayang pada kejadian dua malam lalu, saat cewek itu menyatakan perasaannya padanya. Perasaan yang akn diterima Yogas dengan senang hati kalai saja dia tidak memliki penyakit mematikan seperti ini.
Yogas benar-benar tidak mengerti Kana. Cewek itu masih saja mendekatinya walaupun sudah ditolak. Kenapa cewek itu masih bisa seceria ini"
"Gas" Gas" Kamu pingsan ya?" seru Kana dari luar, menyangka Yogas pingsan karena tidak kunjung membuka pintu. "Aku panggilin Mas Ono biar didobrak ya!"
Yogas segera menyeret tubuhnya ke pintu walaupun kepalanya pusing. Dia tidak mau ada acara pendobrakan atau apa pun itu. Yogas membuka pintu dan mendapati Kana sedang nyengir di depannya. Yogas menatapnya tidak suka.
"Akhirnya... keluar juga," kata Kana dengan cengiran puas. "Mau apa?" tanya Yogas, sadar telah dibohongi.
"Ni." Kana menyodorkan kotak makanan. "Tetangga selametan rumah baru, terus kita-kita pada dikasih deh. Ini jatah kamu."
Yogas melirik kotak makanan itu. Kalau Yogas menerimanya, berarti semuanya akan terulang lagi. Semuanya akan kembali ke awal. Yogas segera berpikir keras, sementara kana menatapnya maklum.
"Gue gak laper,' Kana menirukan intonasi dan mimik cuek Yogas yang biasanya. "Gue gak butuh. Udah gue bilang, jangan peduliin gue."
Yogas menatap Kana tanpa ekspresi sementara Kana terkekeh. Kana menepuk bahu Yogas dan menatapnya serius.
"Aku tahu, Gas. Tapi, aku peduli sama kamu, dan kamu gak punya hak untuk ngelarang aku," ujar kana sungguh-sungguh. "Mau kamu tolak aku berapa kali, keputusanku sama. Aku bakal tetep suka sama kamu."Yogas mengeraskan rahangnya. Tanpa banyak omong, dia memegang tangan Kana yang tadi ada di bahunya dan menggenggamnya. Kana menatap Yogas tak percaya. Yogas menarik Kana dan berderap ke lantai atas.
Kana hanya pasrah mengikutinya dengan hati berdebar. Kaki Kana lemas sejalan dengan menguatnya genggaman Yogas di tangannya. Tangan Yogas begitu besar dan hangat. Kana mau melakukan apa saja asal tangan itu tidak melepas tangannya.
Sesampainya di lantai tiga, Yogas melepas tangan Kana. Kana menatap punggung Yogas yang lebar, benar-benar tidak menyangka akhirnya Yogas akan menyambut perasaannya. "Gas..."
"Lo tahu, kayaknya gue gak bisa bohong lebih lama lagi sama lo," kata Yogas membuat Kana tidak jadi bicara. Kana mengernyit, tidak mengerti maksud perkataan Yogas. "Ada yang belum lo tahu tentang gue."
"Apa?" tanya Kana.
Yogas berbalik, lalu menatap Kana dengan tatapan yang tidak pernah dilihatnya sebelumnya. Tatapan ini begitu ramah, tetapi juga menyiratkan kesedihan.
"Gue gak tega liat lo terus-terusan begini,ujar Yogas lagi. "Jadi, sekarang gue bakal jujur sama lo."
Kana menatap Yogas yang tampak sangat serius. Cowok itu sekarang berjalan ke pagar pembatas dan bersandar di sana. Kana mengikutinya dalam diam.
"Lo tahu kan, kenapa gue bisa kena HIV?" tanya Yogas membuat Kana mengangguk.
"Tapi, itu sudah bukan masalah, Gas. Itu kan sudah masa lalu," jawab Kana cepat. Yogas menatap Kana dan mendesah.
"Lo juga tahu, kenapa gue di sini?" tanya Yogas lagi.
"Ng... karena kamu nyari cewek kamu," jawab Kana ragu sementara Yogas menghela napas.
"Cewek, ya..." katanya sambil menatap langit, lalu beralih pada Kana. "Denger, apa yang bakalan lo denger ini mungkin bisa bikin lo kaget. Lo udah siap?"
Kana menatap Yogas bingung. Saat ini, Yogas benar-benar menakutkan. Kana punya firasat dia tidak ingin mendengar apa pun. Namun, sebelum dia sempat biacara, Yogas sudah mendahuluinya.
"Gue di sini emang nyari orang yang nularin gue penyakit ini," kata Yogas, matanya tidak menghindari mata Kana. "Tapi, sayangnya, orangnya bukan cewek."
Mata Kana melebar mendengar perkataan Yogas. Tangan dan kakinya langsung terasa dingin. Kana tidak ingin mempercayainya.
"Jadi, lo tahu sendiri kan kesimpulannya?"" kata Yogas hati-hati. "Gue sebenernya..."
"NGGAAKK!" seru Kana tiba-tiba. Tangannya menutup kedua telinganya rapat-rapat. Kotak makanan yang tadi dibawanya sudah jatuh, isinya berhamburan di lantai.
Yogas menatap Kana putus asa. Kana sekarang sudah gemetar, tidak ingin mendengar lebih lanjut. Yogas mendekati Kana dan memegang kedua tangannya, tetapi cewek itu bersikeras menutup kedua telinganya.
"Denger..." kata Yogas lembut sementara Kana menggeleng-geleng. "Denger, maafin gue. Tapi, mungkin ini kesalahan gue, karena dari awal gue gak jujur sama lo."
Kana masih menolak untuk menatap Yogas.
"Kamu... bohong, kan?" ujar kana lambat-lambat. Dia mengangkat pandangannya dari lantai dan menatap Yogas lekat. "Kamu bohong, iya, kan" Ini cuma salah satu cara kamu lagi supaya aku berhenti suka sama kamu, iya kan?"
Yogas menatap Kana yang matanya sudah berair, lalu menghela napas. "Gue gak bohong..."
"BOHONG!" seru Kana histeris. "Kamu kejam, Gas! Kenapa kamu ngelakuin segala cara buat ngejauhin aku dari kamu?"
Selama beberapa saat, Yogas tak bersuara, bingung menghadapi cewek mungil yang tampak rapuh di depannya. Yogas mengeluarkan selembar foto yang sudah kusut dari saku celananya dan mengukurkannya pada Kana. Awalnya, Kana tak mau menerima, tetapi akhirnya dia memegangnya juga meskipun dengan tangan yang gemetar.
Kana tertegun melihat foto itu. Di sana, Yogas sedang dirangkul oleh seorang cowok yang kirakira sebayanya. Mereka memakai seragam SMA. Di dalam foto itu, Yogas tampak ceria, dengan senyum lebar yang tak pernah dilihat Kana.
"Namanya Joe," jelas Yogas tanpa diminta. "Dia sekelas sama gue waktu SMA."
Kana memberanikan diri menatap Yogas meskipun air matanya sudah mengalir. Dia ingin bertanya, tetapi lidahnya kelu.
"Gimana kisah gue sama dia, lo gak harus tahu. Tapi, sekarang lo tau kan, kenapa. Gue gak bisa nerima lo?" Yogas menatap Kana dengan senyum lemah. "Gue bener-bener gak bisa ngeliat lo sedih lagi."
Kana sudah jatuh terduduk sambil terisak. Dia benar-benar tidak menyangka kalau alasan Yogas selama ini tidak mau menerimanya adalah karena Yogas seorang gay.
Yogas menghampiri Kana dan berjongkok di depannya.
"Lo jijik sama gue sekarang?" tanya Yoas, tetapi Kana tak lengsung menjawab. Yogas menghela napas. "Tapi, gue berhak menrima itu. Disukain sama cewek sebaik lo, gue bener-bener bersyukur. Sekarang, kalo lo jijik sama gue, ini hukuman buat gue karena selama ini udah bikin lo nangis."
Isakan Kana semakin keras. Dadanya benar-benar sakit karena pengakuan Yogas. Kalau selama ini Yogas tidak mau menerrimanya karena Yogas takut merepotkan, Kana bisa menerima. Namun, kalo Yogas adalah seorang gay" Kana terlalu takut untuk menerima kenyataan itu, karena dengan demikian, Yogas sudah tidak mungkin lagi untuk diraih.
Yogas menatap cewek yang seluruh badannya berguncang itu. Yogas ingin sekali mendekapnya untuk menenangkannya, tetapi Yogas harus menahan semua keinginannya itu.
"Kalo lo mau gue pergi, sekarang juga gue pergi dari sini, kata Yogas lagi, membuat kana mendongak. Gue gak akan ganggu lo lagi."
Kana, yang belum sanggup bicara, tiba-tiba meraih kaus Yogas. Yogas menatap Kana yang menggeleng lemah.
"Bukan salah kamu," ujar Kana di sela-sela isakannya. "Jangan pergi."
Yogas menarik cewek itu dan menariknya ke pelukannya. Yogas mendekap cewek itu erat sementara Kana terus terisak. Sekarang, Yogas benar-benar ingin waktu berhenti. "Gas..." kata Kana. "Kalo kamu bilang kamu bohong sekarang, aku masih bisa maafin kamu." Seketika Yogas kembaldarnya. Dia melepaskan Kana dan menatap mata cewek itu dalam-dalam.
"Maaf," kata Yogas menbuat Kana kembali terisak. "Tapi, gue seneng bisa ketemu orang kayak lo. Suatu saat lo pati bisa ketemu sama orang yang jauh lebih baik dari gue." Kana masih terisak sampai akhirnya Yogas memgang kedua pipi Kana dan menghapus air matanya. Yogas menatap mata Kana dalam-dalam.
"Kana," kata Yogas membuat mata Kana melebar tak perccaya. "Maaf. Dan, terima kasih."
Setelah mengatakannya, Yogas berdiri dan bergerak turun sementara Kana masih terpaku. Kana memgang pipinya sendiri, mencoba untuk merasakan kembali kehangatan tangan Yogas. Kana kemudian terisak lagi, setelah suara Yogas saat memanggil namanya untuk pertama kalinya bergaung di kepalanya.
Kenyataan ini terlalu menyakitkan.
*** Eno sedang mengetik skripsinya saat terdengar suara ketuka keras di pintu. Eno melirik jam. Sepuluh lebih sepuluh. Heran, eno menghampiri pintu dan membukanya. Yogas segera masuk dengan terburu-buru. Napasnya tersengal, sama seperti kemarin malam.
"Gas" Sekarang kenapa lagi?" tanya Eno bingung sementara Yogas mondar-mandir seperti orang linglung.
"Untuk sementara ini beres," gumam Yogas kalut. Eno menatapnya cemas. "Gas" Apanya yang beres?"
"Untuk sementara ini, gak usah cari kost dulu," kata Yogas lagi, lalu memgang kedua bahu Eno. "Sekarang, kita fokusin buat nyari Joe dulu."
"Kenapa sih?" tanya Eno, gerah sendiri melihat kelakuan sahabatnya yang persis seperti orang tidak waras. "Kenapa gak jadi pindah kost" Lo apain cewek itu sampe dia nyerah?" "Gak penting," Yogas menjambak-jambak rambutnya sendiri. "Sekarang..."
"Gas, liat gue!" Eno menarik kaus Yogas sehingga Yogas mau tidak mau menghadap temannya itu. "Gak mungkin gak penting kalo kelakuan lo jadi aneh begini!"
Yogas menatap Eno kesal. Dia melepaskan I dari cengkeraman Eno.
"Udahlah, No, yang penting udah beres," ujar Yogas lalu mengangguk-angguk sendiri. "Besok kampus mana ya..."
Eno membalik tubuh Yogas dan memukulnya tepat di pelipis hingga terjatuh. Yogas mengerang kesakitan sambil menatap temannya itu garang.
"Apa maksud lo, No?" seru yogas tak terima. "Lo udah sinting, Gas!" sahut Eno emosi.
"Gue bukan sinting, No, geu penyakitan!" Yogas balas menyahut, lalu tertawa sendiri. Eno menggeleng tak percaya. Dia menarik kaus Yogas dan meninju wajahnya sekali lagi. Bibir Yogas sekarang sobek.
Darah mengalir dari bibir Yogas, tetapi Yogas tak melakukan apa pun. Tinjuan Eno yang terakhir sudah membuatnya sadar.
"Apa gas?" tanya Eno geram. "Apa yang lo bilang sama dia?"
"Gue bilang kalo gue gay," jawab Yogas membuat cengkeram Eno pada kausnya lepas. "Gue udah bikin dia percaya kalo gue nyari Joe gara-gara dia nularin gue HIV lewat hubungan seks." Eno mundur perlahan mendengar cerita Yogas. Dia tidak bisa mempercayai pendengarannya. "Tapi, kenapa...," katanya tercekat. "Kenapa lo harus berbuat sejauh ini?"
Yogas terkekeh, dia meraih tisu gulung di dekatnya dan mengelap darah yang sudah mengalir ke dagunya.
"Tapi, gue berhasil, kan" Dengan begini, dia gak bakal ngedeketin gue lagi," kata Yogas. "Dia udah. Nyerah. Sekarang gue bebas dari masalah gak penting ini."
"Gak penting, ya?" ulang Eno. "Lo sampe mau gila begini, dan lo masih bilang ini bukan masalah penting?"
Yogas terdiam sejenak, lalu menatap Eno garang. Tanpa diduga Eno, Yogas tiba-tiba bangkit dan menyerbu Eno. Eno berhasil kena bogem mentahnya sampai terpelanting.
"Terus lo mau gue gimana, No?" sahut Yogas kalap. "Selama ini, gue cerita ini itu sama lo, lo masih belum ngerti juga, hah" Kalo gue bakal mati dan dia bakal menderita?"" Eno bangun, dia blas meninju perut Yogas.
"Lo mau mati kan, Gas?" seru Eno sementara Yogas menunduk menahan sakit. Eno kemudian mendorongnya hingga Yogas terjatuh. "Lo mau mati, kan?" Mati sekarang aja lo, Gas!!" Yogas menatap Eno sengit, tak bisa bangun karena tadi Eno meninjunya tepat di ulu hati.
"Mati sekarang atau nanti, sama aja Gas, dia bakal sama menderitanya!" sahut Eno lagi. "Tapi, seenggaknya kalo lo jujur sama dia sekarang, dia bisa bahagia bareng lo walaupun cuma sebentar!"
Yogas menatap Eno lagi. "No, coba lo ngerti perasaan gue," kata Yogas pelan, emosinya sudah reda. "Gue bukannya gak pernah mikirin ini. Tiap malem kepla gue mau pecah mikirin ini, tapi gue akhirnya tetep sampe pada satu kesimpulan, dia gak boleh menghabiskan waktu sama orang kayak gue walaupun sebentar."
Yogas membetulkan duduknya sementara Eno masih bergeming.
"Kalo gue hentiin sekarang, dia pasti bisa nemu pengganti gue," kata Yogas. "Ntar juga dia lupa sama gue."
Eno menghela napas kesal, tak tahu harus mengatakan apa lagi pada orang keras kepala seperti Yogas.
"Lo pikir gimana perasaan gue ngeliat dia nangis?" kata Yogas lagi, membuat Eno tertegun.
Sementara Eno masih terus menatapnya nanar, Yogas mengeluarkan korek, lalu membakar tisutiu penuh darahnya tadi di asbak. Setelah tisu itu habis terbakar, Yogas membaringkan tubuhnya. Eno duduk di depannya, matanya lepas dari abu sisa tisu dan beralih kepada Yogas. "Lo... baik-baik aja, Gas?" tanya Eno kemudian.
"Cuma sakit sedikit," kata Yogas sambil nyengir walaupun tahu betul kalo Eno tidak menanyakan luka luarnya.
"Lo gak bakal nyesel sama keputusan lo ini?" tanya Eno lagi, membuat cengiran di wajah Yogas lenyap.
"Mungkin," jawab Yogas, terdengar tidak yakin. "Tapi untuk sekarang, cuma ini yang bisa gue lakuin untuk dia. Gue bakal lakuin apa aja supaya dia gak berurusan lagi sama gue. Apa aja."
"Lo orang paling keras kepala yang pernah gue kenal," kata Eno. "Kalo gue jadi lo, gue mungkin gak akan sekuat lo. Gue mungkin gak bakal ngelepas orang yang sayang sama gue. Gue rasa, sekarang gue tahu kenapa gue gak bisa ngerti jalan pikiran lo."
Yogas tidak bertanya lebih lanjut, tangannya sudah mengepal keras.
"Ini karena lo orang baik," kata Eno lagi. "Gue kesel, kenapa semua ini harus terjadi sama lo. Dari semua orang yang gue kenal, lo orang paling berhak buat bahagia."
Yogas terdiam, sementara Eno sudah menjambak-jambak rambutnya kesal. Yogas tahu Eno sedang menyesali kejadian enam tahun lalu, saat Eno tak bisa melakukan apa pun untuk menyelamatkannya.
"No, lo gak usah nyalahin diri lo sendiri," jawab Yogas kemudian.
"Maaf, Gas," ujar Eno. Air matanya sudah menitik, tetapi Yogas pura-pura tak melihatnya. "Gue bener-bener minta maaf."
Yogas tak menjawab karena dia sendiri sedang susah payah untuk tidak menangis. Sekarang, Yogas juga menyesal sudah memberitahu Eno soal penyakitnya. Dia pikir, Eno satu-satunya orang yang cukup kuat untuk menerimanya. Ternyata, bahkan Eno pun tidak sanggup.


The Truth About Forever Karya Orizuka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seharusnya, dari awal Yogas tidak meminta bantuan pada siapa pun. Seharusnya, memang dari awal Yogas hidup sendiri.
Another Lie Kana menatap langit-langit kamarnya hampa. Semalaman, dia tidak bisa tidur lagi, belum bisa menerima kenyataan bahwa Yogas adalah seorang gay. Kana masih sulit mempercayainya. Kana setengah mati berharap Yogas hanya berbohong, tetapi yang Kana lihat kemarin terlalu meyakinkan. Bahkan, Yogas memanggil namanya dan memeluknya.
Kana terduduk lemah. Kana merasa terlalu lemah dengan semua ini, tetapi Kana tidak pernah menyesal telah menyukai Yogas. Sampai sekarang pun, Kana masih menyukai Yogas walaupun Yogas tidak mungkin menyukainya.
Kana tidak tahu harus melakukan apa dan bersikapa bagaimana di depan Yogas. Kana tidak jijik padanya karena dia seorang gay, tetapi Kana terlalu menyukainya sampai tidak mampu menatapnya.
Kana membentur-benturkan kepalanya ke lututnya, berharap bahwa semalam tidak pernah terjadi apa-apa. Mendadak semua kenangannya bersama Yogas terputar di otaknya. Kana benar-benar tidak mau percaya.
Tiba-tiba ponsel Kana berdering. Lia meneleponnya. Kana cepat mengangkatnya.
"Kan" Kamu kok gak kuliah?" seru Lian dari seberang. "Kenapa, Kan" Kamu sakit?"Belum sempat menjawab, Kana sudah keburu terisak.
"Kana" Kamu kenapa" Ada apa?" tanya Lian panik sementara isakan Kana semakin menjadijadi.
"Lian..." gumam Kana, dan selanjutnya cerita semalam mengalir seperti air bah. Di ujung sana, Lian terdiam, tak bisa berkata apa-apa.
"Dia... gay?" kata Lian lambat-lambat, tak percaya. Kana semakin terisak. "Kan! Kamu tunggu ya! Aku langsung ke kost-mu sekarang!"
Lian memutuskan sambungan sementara Kana kembali tersuruk di antara bantal-bantalnya.
*** Lian sekarang sudah berada di kost Kana, memegang tangannya erat-erat. Lian benar-benar tidak habis pikir dengan cobaan yang dialami Kana tanpa berkesudahan. Sudah cukup Yogas adalah seorang HIV positif, sekarang ditanbah kenyataan bahwa Yogas menderita penyakit itu gara-gara hubungan sesama jenis. Lian jadi semakin menyesal kenapa kemarin-kemarin dia malah memberi semangat pada sahabatnya itu.
"Kan... Maafin aku, ya," sesal Lian membuat kana menatapnya. "Kenapa, Li" Emang kamu salah apa?" tanya Kana dengan suara serak.
"Karena kemarin aku sudah bilang yang gak-gak. Soal takdir itu," jawab Lian hati-hati. Kana tersenyum menatap sahabatnya itu.
"Gak apa-apa, Li. Bukan salah kamu," balas Kana pelan.
Lian menatap Kana lama. Lian tahu kesedihan Kana hanya dengan melihatnuya. Hati Kana sudah hancur, tetapi gadis itu berusaha mati-matian untuk tegar.
"Terus... kamu mau gimana?" tanya Lian.
Kana terdiam sejenak, lalu tersenyum dengan sisa-sisa kekuatannya.
"Aku gak bisa ngejauhin dia, Li. Perasaanku masih sama, bahkan setelah tahu dia gay. Aku gak bisa lantas benci sama dia," ujar Kana lirih.
"Jangan maksain diri, Kan," kata Lian. "Dia pasti ngerti."
Kana menggeleng. "Aku mau nemenin dia sampe dia pergi. Itu sudah keputusanku."
Lian menatap Kana sedih. "Tapi, Kan, dia bisa aja nyakitin kamu lagi," katanya membuat kana menggeleng.
"Li, apa lagi yang tersisa buat disakitin?" Kana tersenyun getir. "Dia gak mungkin suka sama aku. Tapi, aku gak pernah nyesal pernah suka sama dia. Dia... sedikit banyak sudah ngasih aku pelajaran. Dia sangat menghargai orang lain sampe dia mau hidup sendirian. Itu yang bikin aku gak bisa ninggalin dia."
Lian menatap Kana, matanya masih menyiratkan ketidakpercayaan. Sebenarnya, Lian ingin berteriak pada Kana agar tidak. Erhubungan lagi dengan Yogas. Kana menghela napas melihat kekhawatiran Lian.
"Li, di luar dia HIV positif dan seorang gay, dia butuh seseorang. Kita semua butuh seseorang," kata Kana.
"Tapi, kenapa harus kamu, Kan?" tanya Lian lagi membuat kana tersenyum lembut. "Mungkin karena ini takdir. Seperti yang kamu bilang," jawab Kana membuat Lian terkesiap.
Kana sudah mengambil keputusan. Kana tidak akan menjauhi Yogas. Kana akan menerima Yogas apa adanya walaupun itu berarti cinta Kana tidak akan terbalas. Kana akan berusaja semampunya untuk mendukung Yogas.
Lian mempererat genggamannya pada tangan Kana, mengangumi kekuatan hati sahabatnya itu. Kana juga sudah tidak menangis lagi. Dia berjanji dalam hati untuk menjadi lebih kuat, agar bisa menemani Yogas tanpa membebaninya.
*** Yogas menatap josong langit penuh bintang di atasnya. Pikiran Yogas melayang ke mana-mana, dari kenangan masa SMA-nya sampai kejadian beberapa malam lalu saat dia mengaku gay pada Kana. Dan, sekarang, wajah sedih Kana memnuhi kepalanya.
Mendadak, terdengar suara seperti pintu yang ditendang paksa. Yogas menoleh dan mendapati Kana sudah berdiri di sana dengan kedua tangan memegang mug yang mengepul. Di wajahnya, terpasang cengiran nakal.
Yogas menatapnya nanar. Cewek itu masih saja mau mencarinya, bahkan setelah tahu dia gay. Kali ini, Yogas benar-benar tak habis pikir. Yogas menyerah untuk mengerti cewek yang satu ini.
Kana menghampiri Yogas, lalu duduk di sebelahnya. Dia menyodorkan mug plastik berisi susu coklat pada Yogas. Yogas menerimanya dan mengangguk kecil sambil mengucapkan terima kasih.
"Wah, bintangnya lagi banyak, ya?" ujar Kana sambil mendongak. Yogas tak mejawabnya. Dia urapurabuk menyeruput susu cokelatnya. Kana menatap Yogas.
"Giman, Gas, udah ketemu?" tanya Kana membuat Yogas menatapnya heran. "Joe. Udah ketemu belum?"
Yogas melotot mendengar pertanyaan Kana. Yogas sama sekali tidak menyangka Kana akan membahas masalah ini dengannya. Dia pikir Kana akan jijik padanya dan menghindar, tapi perkiraannya salah. Cewek ini ternyata benar-benar ingin mencampuri hidupnya. "Belum," jawab Yogas setelah terdiam beberapa detik. Kana mengangguk-angguk.
"Eh Gas, aku punya ide bagus," kata Kana membuat Yogas kembali menatapnya. "Gimana kalo aku bantuin nyari di kampusku" Aku bakal tanya-tanyain di semua jurusan. Gimana?" Yogas hampir saja menganga. Dia bahkan sudah melakukannya, tetapi untungnya Kana sibuk menghirup susu cokelatnya, jadi tidak sempat menyadarinya. Yogas mengatupkan mulutnya. Gelas di tangannya sudah hampir remuk.
Yogas tidak tahu mengapa dia bisa sebegini kesal, tetapi perkataan Kana barusan membuat darahnya naik ke kepala. Bisa-bisanya cewek itu mengatakan akan membantu Yogas mencari Joe, padahal kemarin-kemarin dia bilang sayang dan sebagainya.
"Kenapa lo ngelakuin ini?" tanya Yogas kemudian, membuat Kana menatapnya. Yogas balas menatap Kana tajam. "Kenapa lo mau ngebantu gue?"
"Gas, dulu aku pernah bilang kan, kalo aku mau nemenin kamu?" Kana berkata lembut. "Sekarang, mungkin kita udah gak bisa bersama, tapi aku tetap mau bantu kamu. Sebagai teman. Boleh, kan?"
Yogas mengalihkan pandangannya dari Kana. Tentu saja. Perasaan Kana kemarin memang cuma simpati, makanya sekarang dia sudah melupakannya dan memutuskan untuk membantunya. Yogas menertawai kebodohannnya sendiri dalam hati. Sekarang, Yogas hanya harus berhati-hati untuk tidak terbawa oleh perasaannya sendiri. Yogas harus meneruskan perannya.
"Gas," ujar Kana membuat Yogas menoleh. "Jangan khawatirin perasaanku. Aku pasti bisa baikbaik saja."
Mata Yogas melebar setelah mendengar perkataan Kana. Pikiran Yogas ternyata salah besar. Cewek itu masih menyukainya, hanya saja dia berusaha untuk kelihatan tegar. Perasaan Kana untuknya ternyata tulus. Hati Yogas terasa sakit mengetahui ini. Tidak seharusnya dia berbohong pada cewek ini, tetapi Yogas tak mau mengambil resiko. Menyelamatkan Kana dari masa depan suram bersamanya adalah tugas utamnaya sekarang.
"Boleh aja," kta Yogas akhirnya, kemudian tersenyum pada Kana. "Thanks ya. Lo udah baik banget sama gue selama ini."
Kana bals tersenyum, lalu mengangguk. Kalau saja Yogas tidak bisa menahan diri, dia pasti sudah menangis di depan Kana. Yogas mengalihkan pandangannya, sebisa mungkin tidak melihat cewek itu.
"Gas, karena sekarang kita temen, kamu bisa kan cerita sama aku?" tanya Kana ceria. Kana tak mau terlihat sedih di ddepan Yogas.
"Hm, cerita apa ya?" kata Yogas. "Gimana kalo... Si kancil?"
Kana tertawa lepas mendengar gurauan Yogas, tetapi di dalam hatinya dia sedih baru kali ini Yogas mau bercanda dengannya. Yogas sendiri menolak untuk melirik Kana.
Selama beberapa saat, Kana dan Yogas sama-sama terdiam, sibuk dengan pikiran masingmasing. Kana tiba-tiba bergidik.
"Kamu gak kedinginan, Gas?" tanya Kana. "Gak," jawab Yogas.
"Aku kedinginan nih. Aku turun duluan ya?" Kana bangkit dan membersihkan celananya, lalu bergerak ke pintu.
"Kana," panggil Yogas membuat Kana menoleh. Yogas mengangkat mug plastik yang dipegangya. "Ini, makasih ya."
Kana mengangguk, lalu meneruskan berjalan. Beberapa langkah kemudian, dia kembali menoleh.
"Gas," kata Kana membuat Yogas menatapnya. "Kalo ada apa-apa, kamu boleh cerita sama aku. Kalo aku bisa, aku pasti bantu kamu."
"Oke. Thanks ya," kata Yogas, dan Kana menghilang di balik pintu.
Yogas menatap pintu itu lama dan setelah yakin Kana sudah tidak ada di sana, air matanya mulai mengalir tanpa bisa dihentikannya. Dari sekian banyak penderitaan yang pernah dilaluinya, inilah yang paling menyakitkan. Sebelumnya, Yogas sudah parah menerima penyakitnya dan siap mati, tetapi semenjak bertemu Kana, Yogas menjadi sangat marah pada Tuhan.
"Kenapa..." gumam Yogas geram. Matanya menatap langit yang berbintang. "Kenapa harus dipertemukan sama dia kalau harus dipisahin lagi?"
Gelas di tangan Yogas sudah remuk, isinya tumpah. Tangannya terkepal keras dan gemetar hebat. Dia menunduk, dan tetesan air matanya dengan segera membasahi lantai semen yang dingin.
*** Kana tersaruk menuju kamarnya. Air mata sudah menetes di pipinya. Dia masuk dan menutup pintu, lalu merosot ke lantai.
Ternyata, perasaan Kana terhadap Yogas masih sama besarnya seperti sebelum Yogas berkata dia gay. Kana masih belum bisa sepenuhnya merelakan Yogas. Kana masih saja berharap Yogas akan berkata bahwa dia bohong soal perkataannya itu.
Namun, kemudian Kana tersadar. Sekarang sudah tidak ada gunanya lagi terusterusa memikirkan itu. Kana harus mengesampingkan perasaannya untuk membantu Yogas. Yogas membutuhkan teman, dan hal itulah yang akan dilakukan Kana. Kana akan menjadi kuat untuk menolong Yogas.
Kana menghapus air matanya, dan tanpa sengaja dia melirik komputernya. Tiba-tiba, dia mendapatkan ide. Kana menyalakan komputernya, lalu mulai mengetik.
*** Yogas menyalakan korek api dan membakar rokok yang sudah terselip di bibirnya. Dia mengisap rokok itu, dan mengembusakan kepulan asap putih. Hari ini, Yogas sedang mencari Joe di Universitas Negeri Yogyakarta Fakultas Olahraga. Namun, tampaknya orang itu tidak berkuliah di sini.
Yogas menghela napas, lalu membuka handycam-nya. Di dalam handycam-nya itu, terdapat kaset yang selalu dihindarinya. Kaset dengan judul "Anyer 2000". Yogas menggigit bibirnya ragu, tetapi dinyalakannya juga handycam itu.
Mata Yogas terasa panas karena tidak berkedip saat menonton film yang terputar di sana. Rahangya mengeras. Mungkin seharusnya dia tidak pernah menonton film ini lagi. Mungkin seharusnya Yogas membuangnya.
Film ini mengingatkan pada semua hal yang telah hilang darinya. Keluarganya. Sahabatnya. Kekasihnya. Mimpinya. Hidupnya.
Setetes air jatuh di layar handycam itu. Tetes air yang berasal dari mata Yogas.
*** Kana mengendarai Varionya tanpa semangat. Tadi di dekat kampus, dia hampir menabrak seseorang karena melamun. Barusan di dekat kost-nya, dia juga hampir menabrak Ono yang baru pulang dari warung.
Kana mematikan mesiornya dan mendorongnya masuk ke garasi. Dia membuka helm dan menyangkutkannya di spion tanpa semangat. Ono menatap wajah Kana yang kusut. "Ngopo, Kan?" tanyanya bingung.
"Ra popo, Mas," jawab Kana lesu sambil naik ke tingkat dua.
Tadi di kampus, Kana mencari orang yang sedang dicari Yogas selama ini, Joe. Namun, tak satupun dari orang-orang yang ditanyainya bernama Joe, ataupun mengenalnya. Kana merasa tak akan pernah menemukan oramg itu kalau caranya seperti ini.
Kana menghela napas lagi, lalu menggeleng-geleng. Kana akan melakukan apa pun untuk membantu Yogas, tak peduli yang sedang dicarinya itu pasangan sejenis atau siapapun. Kana mengangguk semangat, tak mau terlihat sedih di depan Yogas. Ketika sampai di lantai dua, Kana terpaku melihat seorang cewek yang sedang berdiri di depan kamar Yogas. Cewek itu menoleh dengan wajah cemas, lalu tersenyum dan mengangguk pada Kana. Kana balas mengangguk, tapi masih heran.
"Halo," sapa cewek itu ramah. "Ng... Kamu kost di sini?"
"Iya," jawab Kana. Ekspresi cewek itu segera berubah ceria. Kana mengamati cewek yang cantik dan semampai itu.
"Kamu... kenal sama Yogas?" tanya cewek itu lagi.
"Kenal. Itu kamar dia," jawab Kana lagi, tapi entah mengapa firasatnya terhadap cewek ini tidak bagus.
Cewek itu sendiri masih tersenyum penuh semangat. " Dia lagi keluar ya?" "Mungkin," jawab Kana. "Kamu... siapa ya?"
Ketika cewek itu akan baru mejawab, terdengar suara orang sedang menaiki tangga. Yogas muncul dari tangga dengan wajah lelah. Dia sedang memijati lehernya dan segera terpaku saat melihat sosok cewek di depan kamarnya.
Yogas serasa tidak bisa melakukan apa-apa, baik bernapas maupun bergerak, saat melihat cewek itu. Cewek itu sendiri mekap mulut, lalu berlari ke arah Yogas dan memluknya erat. Yogas terlalu kaget sampai tidak bisa menghindari.
"Yogas!" sahut cewek itu, air matanya mengalir. "Aku pikir aku gak bakal ketemu sama kamu lagi!"
"Wu... lan...?" gumam Yogas, masih terlalu terkejut. Wulan mempererat pelukannya.
"Gas, maafin aku, Gas. $aafin aku. Aku janji gak bakal ninggalin kamu lagi..." Wulan sudah terisak. "Aku nyesel udah ninggalin kamu. Maafin aku, Gas..."
Yogas merasa seluruh tubuhnya membeku, termasuk lidahnya. Dia sama sekali tidak menyangka Wulan akan menyusulnya dan meminta maaf. Yogas berusaha mengambil napas, dan saat itulah, dia menyadari keberadaan Kana yang sedang menatapnya marah.
Kedua tangan Kana gemetar di samping pahanya. Kana sangat marah sampai ingin meninju Yogas di tempat, tetapi tidak dilakukannya. Entah mengapa, Kana hanya bisa terdiam menonton adegan romantis si pembohong Yogas dan mungkin pacarnya.
Yogas balas menatap Kana sambil berpikir keras sementara Wulan masih terisak di pelukannya. Yogas akhirnya balas memluk Wulan, membuat Kana memalingkan pandangannya.
Yogas berusaha untuk tidak melihat bagaimana Kana menangis. Yogas juga menahan segala keinginannya untuk menahan Kana saat cewek itu melewatinya dan berderap turun. Yang sekarang Yogas pikirkan hanyalah, bagaimana Kana bisa menjauhinya, apa pun caranya.
*** "Apa kabar, Gas?" tanya Wulan.
Yogas mengisap rokonya, lalu mengembuskanya sekarang. Sekarang, mereka ada di lantai tiga. wulan menatap punggung Yogas yang tampak jauh lebih kurus dari yang pernah diingatnya. "Begitu aja," jawab Yogas pendek. "Jadi tahu dari mana alamat ini?"
"Aku nelepon Eno, terus aku ancem dia. Akhirnya, dia ngasih tahu alamat kamu," kata Wulan.
Yogas mendengus. Tentu saja, Eno. Hanya Eno satu-satunya orang yang tahu di mana Yogas tinggal.
"Terus ngapain ke sini?" tanya Yogas lagi.
"Aku... maafin aku, Gas," kata Wulan pelan. "Dulu, kita masih muda. Dulu, aku gak pernah berpikir kalo aku bakal sangat kehilangan kamu."Yogas tak berkomentar. Dia menatap langit yang berwarna kemerahan. Angin Yogya yang sejuk membawa wangi bunga kenanga yang ditanam ibu kost di taman bawah. Mendadak, Yogas merasa melankolis.
"Gas, aku bener-bener bodoh udah ninggalin kamu," kata Wulan lagi. "Sekarang, aku sadar kalo aku..."
"Lan, kamu udah bener," potong Yogas membuat Wulan menatapnya. "Kamu dulu udah membuat keputusan yang benar, ninggalin aku. Jangan mikir macem-macem lagi. Aku udah gak apa-apa kok."
"Tapi Gas, aku masih sa..." "Lan, kalo memang kamu masih sayang sama aku, tolong bantu aku. Kamu ngerti, kan?" desak Yogas, kemudian duduk di samping Wulan.
"Gas..." "Lan, aku udah maafin kamu," kata Yogas. "Dulu mungkin aku gak bisa terima alasan kamu ninggalin aku, tapi, sekarang aku udah ngerelain kamu."
Wulan menatap Yogas yang menolak menatapnya balik. Air mata Wulan sudah jatuh.
"Gas, beneran kamu mau maafin aku?" tanya Wulan. Yogas mengangguk, lalu menepuk kepala Wulan, membuat cewek itu langsung terisak.
"Jangan nangis dong," Yogas mengacak rambut Wulan. "Thanks ya, udah dateng ke sini."
Wulan mengangguk di sela-sela tangisannya. Wulan benar-benar menyesal telah meninggalkan Yogas dulu. Sampai sekarang Wulan masih tak mengerti, kenapa Tuhan memilih Yogas untuk menerima penyakit ini, penyakit yang merenggut semua kebahagiaannya.
"Gas..." kata Wulan sambil menatap Yogas. "Jangan cari dia lagi."
Yogas menatap Wulan sebentar, lalu mengalihakn pandangannya. "Gak bisa, Lan. Aku harus cari dia sampe ketemu. Setelah itu, aku gak peduli."
"Gas, kamu harus peduli! Kamu masih punya mamamu, kamu masih punya aku! Jangan cari Joe lagi, Gas, aku mohon!" seru Wulan sambil menarik tangan Yogas.
Kaki Tiga Menjangan 45 Runtuhnya Gunung Es Karya Sherls Astrella The Devils Dna 3

Cari Blog Ini