Ceritasilat Novel Online

Negeri Di Ujung Tanduk 1

Negeri Di Ujung Tanduk Karya Tere Liye Bagian 1


R UANGAN besar yang disulap menjadi arena pertarungan
itu terlihat ramai. Seruan tertahan, suara mengaduh, suara tepisan, bunyi berdebuk, terbanting, teriakan menyemangati, hingga teriakan bersahut-sahutan memenuhi langit-langit ruangan. Satu-dua berseru dalam bahasa yang tidak dipahami bahkan oleh orang yang berdiri di sebelahnya. Wajah-wajah dan perawakan antarbangsa, wajah-wajah antusias bercampur tegang.
Udara terasa pengap meski pendingin ruangan bekerja maksimal.
Dua petarung sedang jual-beli pukulan di tengah ruangan, bertinju. Arena pertandingan tanpa ring pemisah apalagi kerangkeng tertutup. Hanya lingkaran merah di atas lantai, berdiameter dua depa. Percik keringat petarung, dengus napas, suara pukulan menghantam badan, semuanya terdengar langberdesak-desakan, dan berdiri menonton. Tangan mereka terangkat menyemangati.
Ini jenis pertunjukan yang mengesankan.
Satu tinju lagi menghantam cepat rahang salah seorang petarung. Membuat penonton berseru tertahan, sebagian besar berseru girang, Yes! Sebagian mengeluh, Oh, no! Disusul tinju lainnya mengenai dagu, kali ini lebih telak. Sepersekian detik berlalu, penantang yang beberapa menit lalu masih terlihat segar bugar segera tumbang ke lantai. Knockout alias KO.
Pengunjung serempak berteriak kegirangan, melontarkan kebisingan.
Napas petarung satunya, yang masih berdiri kokoh di tengah arena, bahkan tidak terlihat tersengal. Hanya kausnya yang sedikit basah oleh keringat.
Fantastico! Bravo! Aku menelan ludah, melirik jam besar di tiang ruangan. Hanya dua menit lima belas detik lawan pertamanya dibuat tersungkur.
Kau tidak akan berubah pikiran, bukan" Sebuah tangan menyikut lenganku, berkata kencang, berusaha mengalahkan bising.
Aku menoleh, menatap wajah menyebalkan di sebelahku. Maksudku, jika kau mau, aku masih bisa membatalkan pertarungan. Aku bisa pergi ke mereka, mengarang-ngarang alasan. Kau sakit perut misalnya. Atau asmamu kambuh, mag kronis. Theo mengangkat bahu, menunjuk salah satu sudut kerumunan, inspektur pertandingan malam ini. Atau kita bisa mengarang cerita, tiba-tiba bisulmu pecah....
Aku tidak akan membatalkan pertarungan, aku menyergah Theo, memotong kalimatnya, simpan omong kosongmu! Theo tertawa ringan, menyeka peluh di pelipis. Salah satu inspektur pertandingan meraih pengeras suara. Dia mengenakan pakaian kerja seperti kebanyakan pengunjung lain hanya kemejanya terlihat berantakan, keluar dari celana, lengan dilipat, dan dasi entah tersumpal di mana. Dengan bahasa Inggris bercampur Portugis yang sama fasihnya, dia berseru tentang pertarungan yang baru saja selesai.
Luar biasa. Pertarungan yang luar biasa, ladies and gentlemen. Well, simpan teriakan kalian. Pertarungan kedua akan segera tiba. Kami sudah menyiapkan sang penantang lokal yang telah menunggu giliran bertarung sejak enam bulan. Wajah inspektur antusias, juga keramaian di ruangan. Jangan lupa, seperti yang kami sebutkan pada awal pertemuan malam ini, kami telah menyiapkan kejutan besar di pertarungan terakhir, ladies and gentlemen. Ini sungguh kejutan hebat. Kalian pasti suka.
Petarung yang masih bertahan di tengah lingkaran merah menolak duduk di kursi yang disediakan. Dia memilih berdiri, melemaskan bahunya. Tatapan matanya tajam, gestur wajahnya tenang. Sama sekali tidak terpengaruh situasi sekitar. Sementara penantang keduanya bersiap di tepi lingkaran. Dia memasang sarung tinju tipis dan pelindung kepala. Beberapa orang berseru menyemangati, menepuk-nepuk bahu. Detik-detik pertarungan semakin dekat. Suasana semakin panas.
Lee! Lee! p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Ladies and gentlemen, inilah petarungan kedua malam ini. Sang juara bertahan, Lee si Monster, menghadapi penantang kedua, Chow.
Aku menelan ludah. Enam tahun mengikuti klub petarung di Jakarta, belum pernah aku menyaksikan seorang petarung begitu terkendali di hadapanku. Bukan postur badannya yang gagah meyakinkan atau gerakan tangan dan kakinya yang gesit mematikan di pertarungan sebelumnya. Sikap dan kehormatanlah yang membedakan seorang petarung sejati dengan petarung lainnya. Aku tidak tahu seberapa terhormat juara bertahan yang berdiri gagah di dalam lingkaran merah tersebut. Aku baru mengenalnya malam ini. Namun, menilik gestur wajah dan tubuhnya, dia memiliki sikap yang menakjubkan.
Lee! Lee! Monster! Monster!
Nama sang juara bertahan semakin keras diteriakkan. Sang penantang sudah memasuki lingkaran merah. Kedua petarung saling menempelkan tinju. Inspektur pertandingan berseru singkat tentang peraturan, mengangkat tangannya, dan memberikan tanda. Saat dia mundur, pertarungan kedua malam ini telah dimulai.
Sang penantang mengambil inisiatif menyerang terlebih dulu. Berputar-putar di tepi lingkaran merah. Kakinya lincah. Mulai mendekati sasaran, melepas pukulan. Gerakan tangannya cukup cepat. Dua, tiga, empat pukulan terkirim. Sang juara bertahan menghindari dua tinju sekaligus, tenang menangkis dua tinju lainnya. Lantas tanpa perlu mengambil kuda-kuda, dia bergerak maju, menyelinap di antara pukulan lawan, dan menghunjamkan nyadari betapa terbuka pertahanannya, tinju itu telah menghantam dagunya.
Ruangan terdiam, penonton menahan napas.
Sang penantang terduduk di lantai, kemudian tumbang mengaduh kesakitan.
Selesai sudah. KO. Yes! Bravo! Sensacional! Seruan penonton bergema di langit-langit ruangan.
Aku mengusap rambut. Dia benar-benar monster. Theo untuk kesekian kali menyikut lenganku, kali ini suaranya terdengar cemas. Sepertinya tombol panik mulai aktif di kepalanya.
Aku menggeleng. Dia petarung sejati. Monster tidak bertarung dengan ketenangan luar biasa dan kalkulasi matang seperti itu. Dia bahkan bisa melihat pukulan-pukulan lawannya datang, lantas memilih pukulan balasan paling masuk akal untuk menganvaskan musuhnya dalam sebuah gerakan yang amat efisien. Tidak ada monster seperti itu, dan jelas sebutan monster tidak cocok dengan wajahnya yang bersih dan bersahabat. Dia lebih mirip bintang iklan terkemuka dibanding petarung dengan gelar monster. Sebutan itu hanya cocok dengan betapa dinginnya dia menghabisi lawan-lawannya.
Astaga, hanya tiga puluh detik. Itu rekor KO tercepat, jangan-jangan. Theo menatap jeri ke dalam lingkaran merah. Tempat sang penantang tergeletak beberapa detik.
Sang juara bertahan berjongkok, bersama inspektur pertandingan dan anggota klub petarung yang bertugas sebagai tim saja. Seruan-seruan semakin ramai di sekitar. Beberapa tertawa lebar karena menang bertaruh kedua kalinya malam ini. Kau harus hati-hati, Thom. Theo memegang bahuku. Aku menoleh. Sejak kapan kau mencemaskanku" Well, maksudku, aku tidak mau repot membawamu ke rumah sakit malam-malam seperti ini di negeri orang. Jadi jangan sampai kau pingsan, patah tulang, dan sebagainya. Theo tertawa kecil.
Aku melotot. Sejak kapan Theo terlihat khawatir" Bukankah sejak tadi sore, sejak kami bertemu di salah satu restoran hotel berbintang di Makau, Theo terus-terusan tertawa, riang dengan prospek pertandingan malam ini" Hei, bukankah sebenarnya sej ak tiga minggu lalu, saat dia nyatakan ide gila ini, Theo masih menganggap ini lelucon menarik"
Kau pasti bosan dengan petarungan itu-itu saja di klub kita, Thomas" Kami bicara ringan menghabiskan waktu setelah jam kerja. Nah, aku punya ide hebat, Kawan. Kau tidak akan mampu menolaknya. Maka meluncurlah rencana itu.
Walaupun banyak yang tidak menyadarinya, hampir setiap kota besar dunia memiliki klub petarung. Termasuk kota judi terbesar di Asia, Makau. Anggota klub mereka ratusan orang, Thomas. Datang dari seluruh dunia. Eksekutif muda yang membutuhkan hiburan berbeda. Kau ingin bertemu petarung dari Cina, Eropa, Afrika, bahkan Amerika, mereka punya. Setiap bulan saat mereka mengadakan pertarungan besar, banyak anggota klub yang datang tidak hanya dari Makau, tapi juga dari Hong Kong, Shenzhen, Shanghai, Beijing, Tokyo, Seoul, bahkan kota-kota yang lebih jauh lagi. Theo menjelaskan dengan semangat. Sepertinya dia telah mengerjakan tugas mencari tahu de- Apa kau bilang" Aku hanya dengar dari cerita orang-orang" Aku pernah dua kali datang ke sana, Thomas. Tamu kehormatan. Theo tertawa, mengangkat bahu, menyombong. Aku kenal dekat pendiri klub tersebut. Mereka tidak berbeda jauh dengan klub petarung kita di Jakarta. Anak-anak muda mapan, pengusaha sukses, eksekutif papan atas perusahaan multinasional, anggota partai politik, pejabat senior pemerintahan, polisi, bahkan artis tersohor. Kau tahu bintang film kungfu yang terkenal itu" Dia juga anggota klub. Meskipun, yeah, ada perbedaan besar antara jago kungfu di film dan anggota klub petarung yang tidak pernah berani ikut bertarung. Takut wajahnya rusak dan jadwal shooting-nya berantakan. Klub mereka memiliki anggota yang lebih beragam dan lebih luas, termasuk anggota wanita. Itu Makau, Thomas. Tidak perlu kujelaskan itu tempat berkumpul uang, kekuasaan, dan seluruh gaya hidup di kawasan Asia. Termasuk tempat berkumpulnya klan hitam mafia dan sejenisnya.
Theo benar atas dua hal: pertama, ide hebatnya benar-benar gila; kedua, aku tidak bisa menolaknya. Bahkan aku menyetujuinya mentah-mentah. Deal, Kawan! Aku akan mempersiapkan pertarungan terbesar untukmu, Thomas. Rileks, biar aku yang mengurusnya. Mereka pasti tertarik mendengar petarung tidak terkalahkan selama dua tahun dari klub petarung Jakarta akan datang. Itu berita besar, tinggal kutambah-tambahkan bumbu, seperti tinju kananmu bisa merontokkan tembok dan sorot matamu bisa menghancurkan baja. Kita bahkan bisa menjual tiket pertunjukan. Theo tertawa atas gurauannya yang tidak lucu.
Tentu saja tidak lucu. Bahkan di Jakarta, kami merahasiakan dunia pekerjaan. Tahu sama tahu. Apa pun yang terjadi di klub hanya berada di arena pertandingan. Apalagi jika celoteh Theo benar, anggota klub petarung di Makau lebih elite, lebih dalam, mereka tentu lebih berhati-hati lagi menjaga privasi dan kerahasiaan.
Tiga minggu berlalu sejak pembicaraan itu, aku berangkat sehari lebih cepat dibanding Theo. Kedatanganku sekaligus menghadiri konferensi internasional tentang komunikasi politik di Hong Kong, kemudian menyeberang menuju Makau. Theo menyusul tadi siang langsung dari Jakarta. Kami berjanji bertemu di salah satu restoran hotel berbintang pada pukul enam sore, lalu bersama-sama menuju lokasi klub petarung.
Meski tidak punya ide sama sekali tentang siapa yang akan kuhadapi, aku menyambut pertarungan ini dengan baik, melakukan persiapan, berlatih lebih rutin dan disiplin selama tiga minggu terakhir. Theo tidak menjelaskan banyak. Dalam lima hal, empat di antaranya dia memiliki kesamaan denganmu, Thomas. Namanya Lee aku tidak tahu nama lengkapnya. Dia juga tidak terkalahkan. Penerus salah satu konglomerasi terbesar di Hong Kong. Pemilik banyak gedung dan bisnis properti di kawasan Asia Pasifik, terutama Hong Kong dan Makau.
Pintar, jago berkelahi, terampil mengendarai banyak kendaraan, suka mengebut, dan pernah aktif di pasukan khusus militer Cina selama delapan belas bulan. Apa pun yang ada di resumemu, dia juga memilikinya, sama. Mungkin termasuk perangai keras kepala, susah diatur. Theo tertawa aku tidak. Nah, satu hal yang mungkin membedakan kalian, dia sudah menikah dan bahagia dengan dua putri kembarnya yang berusia
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
menikah lima tahun ke depan, bukan" Itu briefing Theo saat kami menumpang taksi limusin menuju gedung klub petarung.
Untuk keperluan bisnis atau personal, aku sering mengunjungi Hong Kong. Ajaibnya, meski jarak Hong Kong dan Makau hanya 66 kilometer, tidak sampai satu jam menggunakan kapal cepat, aku baru pertama kali ini pergi ke Makau. Pulau kecil yang pernah dikuasai Portugis itu surga judi di Asia Pasifik. Hotel merangkap kasino memenuhi tiap jengkal tepi jalanan Makau. Berpadu dengan puluhan bangunan tua bergaya arsitektur Eropa, peninggalan penjajah Portugis termasuk bahasa resmi yang mereka gunakan saat ini selain bahasa Kanton. Gemerlap lampu menghiasi jantung pulau itu pada malam hari. Pulau ini semakin malam semakin hidup, sisi dunia yang amat berbeda.
Dugaanku benar. Klub petarung itu berada di salah satu bangunan hotel paling mewah Makau. Tapi tetap saja sulit membayangkan, mereka ternyata menyewa satu sayap sendiri, menyulapnya menjadi arena pertarungan, menyatu dengan jaringan kasino besar. Pintu masuknya bahkan berada di antara keramaian orang-orang berjudi. Tidak semua orang bisa melewati pintu masuknya. Orang yang melintas akan menganggapnya seperti ruangan khusus pejudi kelas atas, bukan level mereka. Theo melintasi dua penjaga berbadan kekar di pintu masuk dengan mudah, tanpa perlu memperkenalkan diri apalagi menunjukkan kartu identitas sepertinya dia memang pernah ke sini. Theo berjalan di depan, melintasi ruangan yang telah dipenuhi anggota klub, mengajakku berkenalan dengan inspektur pertandingan dan petinggi klub lainnya.
diantarkan pelayan klub, salah satu petinggi klub Makau bertanya dengan intonasi serius, sedikit kagum menatapku. Senang akhirnya kau datang kemari, Thomas. Bersedia melakukan pertarungan melawan petarung terbaik di klub kami. Anyway, bolehkah saya bertanya sesuatu yang tiga minggu terakhir selalu muncul di kepala"
Aku mengangguk. Silakan, tidak masalah.
Apa benar kau bisa meruntuhkan tembok hanya dengan tinju kananmu, Thomas"
Aku hampir tersedak, kehabisan kata. Theo yang berdiri di sebelahku hanya tertawa lebar dengan wajah tak berdosa.
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
K ONFERENSI internasional tentang komunikasi dan pencitraan politik yang diadakan lembaga riset politik terkemuka dengan sponsor ADB, Asian Development Bank, itu digelar di salah satu hotel besar Hong Kong.
Frankly speaking, apa Anda punya daftar dosa yang lebih serius dibanding perselingkuhan istri" Aku mengangkat bahu, santai balas bertanya.
Separuh isi ruangan plenary hall tertawa pelan. Eh, lebih serius" Maksud Anda" Penanya sesi pertama menatap bingung, dia berdiri di antara ratusan kursi yang dipenuhi peserta konferensi. Sesi tanya-jawab baru saja dibuka, dan dia di antara puluhan peserta yang semangat mengacungkan tangan, membuat moderator di sebelahku terpaksa memilih secara acak.
Yeah, maksud saya, apakah Anda punya catatan yang lebih buruk dibanding yang baru saja Anda ceritakan. Apakah Anda
Episode 2 Moralitas dalam Demokrasi yang punya masalah sama, jadi tenang, mereka tidak akan tertarik cerita ke mana-mana, bisa menyimpan rahasia. Apakah Anda punya hubungan di luar nikah dengan wanita di bawah umur" Apakah Anda punya preferensi seksual menyimpang, suka sesama jenis" Maaf, misalnya, apakah Anda homo"
Ruangan besar itu kali ini benar-benar dipenuhi tawa, tidak peduli meskipun wajah penanya sesi pertama terlihat merah padam.
Maaf, itu hanya bergurau. Aku buru-buru memperbaiki posisi duduk.
Moderator sesi presentasiku berbisik mengingatkan. Tentu saja aku bergurau, James. Hanya untuk intermezzo. Aku menepuk lengan moderator di sebelahku, meskipun ini konferensi antarbangsa, dihadiri beragam peserta dengan kebudayaan yang lebih terbuka dan bebas, bicara tentang politik dan pencitraan pula, kalimatku barusan tetap saja sedikit berlebihan. Tetapi aku membutuhkannya untuk menjawab pertanyaan. Ini konferensi penting, strategis untuk reputasi perusahaan jasa konsultasiku, dan aku sedang mengerahkan seluruh kemampuan memengaruhiku untuk mendapatkan perhatian mereka.
Hadirin! aku mengangkat tangan, memasang intonasi suara serius dan bertenaga, Maafkan saya, tapi saya akan tegaskan di depan kalian semua, bahwa bagi kami, politik tidak lebih adalah permainan terbesar dalam bisnis omong kosong, industri artifisial penuh kosmetik yang pernah ada di dunia.
Sebagaimana sebuah bisnis omong kosong dijalankan, kita harus berdiri di atas ribuan omong kosong agar omong kosong tersebut menjadi sesuatu yang bisa dijual dengan manis, dan disependapat. Silakan. Tetapi saya dibayar mahal untuk memoles omong kosong tersebut, menjualnya, dan simsalabim, menjadi king maker, mendudukkan orang-orang di kursi kekuasaan. Wajah-wajah peserta konferensi kembali menatapku serius. Aku menoleh ke sayap kanan kursi, menatap lamat-lamat penanya sesi pertama. Anda tadi bertanya, apakah Anda masih punya kesempatan memenangi kompetisi pemilihan umum di negara Anda dengan catatan buruk pernah memiliki skandal dalam keluarga, perselingkuhan, maka jawaban saya adalah: seberapa tangguh Anda menjalankan bisnis omong kosong itu di negara Anda.
Mari kita lihat catatan yang ada. Aku menarik kertas di depanku, pura-pura membacanya. Check! Menurut catatan ini, di seluruh dunia, hei, kita bahkan punya kepala negara yang dituduh secara serius oleh media massa telah menggelar pesta seks, mempekerjakan gadis-gadis pekerja seksual, tapi dia tetap memenangi pemilu. Saya tidak perlu menyebut negaranya, toh, kalian juga tahu negara mana yang saya maksud. Aku melirik selintas kursi tempat peserta dari kawasan Eropa duduk, mereka berbisik satu sama lain.
Check! Kita juga punya kepala pemerintahan yang hidup serumah dengan wanita di luar ikatan pernikahan, bangga menunjukkannya ke rakyatnya, mempertontonkan sesuatu yang boleh jadi merupakan skandal besar di negara lain, tapi atas nama demokrasi, dia justru memenangi pemilu di negaranya, dan wanita pasangan di luar nikahnya menjadi ibu negara, wanita paling terhormat di negeri tersebut. Lagi-lagi tidak perlu kusebutkan negaranya.
jelas-jelas mendukung kaum homo, lesbian, bahkan mengangkat menteri-menterinya dari kaum homo tersebut, dan hei, mereka tetap memenangi pemilihan umum di negaranya masing-mas ing. Ajaib. Mereka punya catatan lebih buruk dibanding Anda, bukan" Anda hanya punya skandal keluarga kecil. Mereka boleh jadi dibakar hidup-hidup di tungku perapian kalau hidup pada zaman dan masyarakat berbeda. Tetapi mereka tetap bisa menjual bisnis omong kosongnya! Menjadi presiden, perdana menteri. Maka, kalau Anda homo, dan Anda jago sekali menjual omong kosong Anda, di kertas yang saya pegang ini, boleh jadi besok lusa kita akan punya catatan seorang presiden homo pertama di dunia dalam zaman demokrasi modern di sebuah negara, yaitu negara Anda. Jadi kenapa tidak" Hadirin... Catat kalimat saya, kenapa tidak"
Ruangan besar itu lengang, beberapa terdiam juga gerakan bolpoin.
Tapi saya tidak homo, Tuan Thomas. Sungguh. Penanya sesi pertama menjawab pelan, mengusap pelipisnya, memecah hening wajahnya tidak semerah padam seperti sebelumnya. Seperti halnya kebanyakan peserta konferensi, dia salah satu petinggi partai politik di negaranya, kawasan Eropa Timur. Aku tertawa lepas. Tentu saja saya percaya itu. Ruangan besar itu kembali ramai oleh tawa. ***
Aku sudah menjadi pembicara dalam berbagai konferensi sejak masih menyelesaikan sekolah bisnisku. Di berbagai kota besar, Satu-dua terpaksa kutolak karena alasan teknis, satu-dua karena tidak penting kuhadiri. Tetapi yang satu ini, aku justru menunggu undangannya, mengambil inisiatif mengirimkan portofolio ke panitia konferensi, melengkapi resume bahkan surat rekomendasi dari berbagai pihak. Ini konferensi besar di seluruh kawasan. Kehadiranku sebagai pembicara salah satu sesi pendek akan mengungkit reputasi unit baru dalam perusahaan konsultanku. Terhitung baru enam bulan aku membuka unit politik dan unit ini tumbuh dengan kecepatan menjanjikan.
Jadi saat pertama kali Maggie, staf merangkap sekretaris, masuk ke ruanganku, bilang ada e-mail konfirmasi dari panitia konferensi komunikasi dan pencitraan politik di Hong Kong itu, aku berseru nyaring, hampir jatuh dari kursi.
Ini agak menyedihkan, Thomas. Maggie membantuku berdiri, menepuk-nepuk kemejaku. Sepertinya kalau kau harus membayar mahal, kau tidak peduli akan tetap membayarnya untuk bisa tampil di konferensi ini, Thomas. Seberapa pun mahalnya, bahkan termasuk kalau harus memotong gaji kami.
Aku tertawa menimpali, Tepat sekali, Meg. Kau bahkan orang pertama yang kupotong gajinya demi tampil di sana. Pegang kata-kataku.
Terserahlah. Maggie memperbaiki poni rambutnya, meletakkan tumpukan dokumen yang dibawanya, Toh aku bisa menjual perlengkapan kantor sebelum kau melakukannya. Termasuk menjual koleksi mobil kesayanganmu. Itu tercatat sebagai inventaris kantor.
Aku tertawa lagi, sambil membaca halaman depan dokumen bukan" Kau sudah menyortir hanya dokumen yang penting-penting" Aku tidak punya waktu mempelajari semuanya.
Aku juga tidak punya waktu mengerjakan semua request-mu, Thomas. Itu tidak ada di job desc-ku. Kau seharusnya merekrut tim riset sendiri untuk tujuan spesifik seperti ini. Aku hampir melakukan semua pekerjaan untukmu, mulai dari mengangkat telepon, mencari data, membeli tiket, dan kau membayarnya dengan gaji rendah pula, tahu. Maggie berseru sebal.
Karena itulah, Meg. Karena kau mau melakukannya dengan gaji rendah, aku tidak perlu tim riset lainnya. Aku menjawab asal, mengangkat bahu.
Ya, ya, Maggie tidak tertarik melanjutkan gurauanku, membahas hal lain, aku akan segera menyiapkan tiket perjalanan ke Hong Kong. Kau jadi melanjutkan perjalanan ke Makau sorenya sehari kemudian"
Iya, tapi cukup kaupastikan tiket ke Hong Kong saja. Aku akan naik kapal cepat ke Makau, juga hotel, sudah disiapkan oleh mereka. Tidak perlu kausiapkan.
Baik, kau bosnya. Maggie mencoret notes di tangannya. By the way, aku harus bilang apa soal perjalanan ke Makau ini jika ada yang bertanya" Tuan Thomas sedang bermain golf setelah seharian konferensi di Hong Kong" Atau kujawab lurus, Tuan Thomas sedang saling melukai dengan eksekutif muda lain yang terlalu banyak memproduksi hormon testosteronnya. Bertinju di klub rahasia"
Aku tertawa. Kau bisa mengarang yang lebih baik lagi, Meg. Aku sedang terapi kesehatan. Kau bisa bilang ekor di pantatku tumbuh semakin panjang, misalnya.
lagi, dan ini penting, Thomas, wartawan dari review mingguan politik itu kembali menghubungi, kapan kau ada waktu untuk wawancara"
Tidak minggu ini. Aku menggeleng.
Dia memaksa, Thom. Kau tahu seperti apa kelakuan wartawan sekarang.
Tidak minggu ini, Meg. Ini mendesak, Thom. Aduh, asal kau tahu, itu teleponnya yang ketiga sepagi ini. Maggie tidak senang mendengar jawabanku. Ini jadi mirip sekali dengan siapa Nenek Lampir dulu itu" Wartawan yang kauajak ke mana-mana, kauajak bertemu menteri, jalan-jalan dengan kapal pesiar, tapi sekarang telah kaucampakkan itu" Siapa namanya dulu"
Tidak bisa minggu ini. Jadwalku padat.
Jika dia terus memaksa" Aku pusing menghadapinya, Thom. Aku tertawa. Tidak minggu ini, Meg. Aku sibuk. Kalau dia tetap memaksa, kauberikan saja itinerary-ku ke Hong Kong dan Makau besok. Suruh dia mengejarku ke sana. Aku akan bersedia diwawancarai di atas pesawat, di dalam toilet perjalanan sekalipun. Kita lihat seberapa sungguh-sungguh wartawan ini.
Baik, kau bosnya. Maggie kembali mencoret-coret notes yang dibawanya, lantas berlalu, kembali ke ruangannya.
Aku menatap punggung Maggie hilang di balik pintu sebelum meraih tumpukan kertas materi konferensi. Dari lima puluh karyawan perusahaan konsultanku, Maggie adalah orang yang paling kuandalkan, paling kupercaya, meskipun aku harus membayarnya mahal. Bukan mahal gajinya, tapi menghadapi tabiat, caranya bekerja, dan hal-hal tidak penting lainnya.
*** Kembali ke ruangan besar tempat konferensi komunikasi politik yang diselenggarakan lembaga riset politik independen terkemuka kawasan Asia Pasifik. Masih sesi tanya-jawab yang semakin seru dan hangat.
Anda sepertinya lebih cocok menjadi motivator, atau guru, atau bahkan seorang juru selamat, bukan seorang politikus. Aku mengangkat bahu, santai menjawab pertanyaan.
Ruangan besar yang dipenuhi peserta konferensi antarbangsa itu menyimak.
Eh, tidak cocok" Maksud Anda, Tuan Thomas" Penanya sesi berikutnya jelas terlihat bingung. Dia yang semangat melontarkan kalimat-kalimat pertanyaan, panjang-lebar, hanya ditanggapi demikian.
Yeah, jelas sekali bukan" Kalau Anda terlalu peduli dengan isu moralitas, Anda lebih cocok mengerjakan profesi lain. Bukan seorang politikus.
Ruangan besar itu masih diam, tatapanku berpindah-pindah, memperhatikan si penanya dan meja besar di depan tempat aku dan moderator duduk.
Saya tidak paham, Tuan Thomas, ujarnya menyela lagi. Ruangan besar mulai ramai oleh bisik-bisik, menebak-nebak maksudku.
Moderator di sebelahku berbisik agar aku segera menjawabnya, waktu sesi presentasiku sudah lewat lima belas menit.
Hadirin! aku mengetuk meja dengan punggung jari, pelan saja, untuk mengumpulkan lantas melipatgandakan seluruh per-Barat ini bertanya, apakah politik membutuhkan moralitas" Apakah demikian"
Maka jawabannya tentu saja. Politik membutuhkan moralitas.
Diam sejenak, menyapu seluruh ruangan dengan tatapan mata. Tetapi jelas sekali panitia konferensi ini mengundang saya sebagai konsultan strategi, seorang praktisi lapangan, bukan sebagai peneliti senior atau profesor politik seperti pembicara sebelumnya. Aku tidak cocok bicara tentang ini, tidak memiliki wisdom dan kalian sebenarnya datang jauh-jauh, membayar mahal-mahal konferensi ini tidak membutuhkan saranku mengenai isu moralitas. Bagi kalian bukankah simpel saja, bagaimana memenangi kompetisi politik, pemilihan. Titik. Maka berbeda dengan pembicara sebelumnya, izinkan saya menjelaskannya dengan cara berbeda.
Aku diam sejenak, merasakan sensasi menguasai perhatian seluruh ruangan.
Apakah politik membutuhkan moralitas" Hei, berapa tahun Nelson Mandela dipenjara oleh rezim kulit putih karena isu moralitas yang dibawanya" Menentang apartheid" Puluhan tahun lamanya. Apa kurangnya isu moralitas yang dibangun Nelson Mandela" Kesamaan derajat. Itu perintah kitab suci, perintah Tuhan, dikirim langsung dari surga. Lantas kenapa Nelson Mandela harus begitu lama dipenjara" Apa orang-orang di sekitarnya tidak paham betapa pentingnya isu moralitas yang dibawanya" Apa orang-orang di sekitarnya lupa" Bodoh" Tidak beragama" Kenyataannya, orang-orang di sekitarnya, bahkan termasuk yang paling keras menentang Nelson Mandela, berangbaca kitab sucinya paling banyak. Maka jawaban sesungguhnya: Karena orang-orang berhitung dengan kepentingan masing-masing, mengukur kekuatan masing-masing.
Jika politik hanya membutuhkan moralitas, hanya perlu semalam meyakinkan orang-orang untuk mendukung Nelson Mandela. Malam ini dia bicara tentang kesamaan derajat, dan besok pagi-pagi sekali, saat matahari terbit, kita semua siap berperang, mengorbankan nyawa demi kebenaran dan keadilan tersebut, tidak peduli latar belakang, kepentingan, apalagi ukuran lainnya. Nyatanya tidak. Butuh bertahun-tahun, butuh proses panjang hingga sebuah isu moralitas dibeli orang banyak.
Mari kita lihat kasus kedua, Mahatma Gandhi di India, berapa tahun dia memenangkan ide politiknya" Berapa banyak yang harus dibayar demi ide politik Gandhi" Apa orang-orang begitu bodohnya hingga tidak bisa segera mendukung cita-cita mulia Gandhi" Bukankah itu demi kebaikan mereka sendiri" Mari mengorbankan harta dan jiwa demi isu moralitas yang diusung politik Gandhi. Nyatanya tidak, banyak orang yang tidak membeli ide Gandhi hingga hari ini, bahkan balas menyerang dengan senjata, membunuh Gandhi, tokoh politik yang begitu mulia dalam catatan sejarah.
Saya tidak akan bilang moralitas adalah fatamorgana indah, tidak, tapi izinkan saya bilang: moralitas sejatinya hanyalah salah satu omong kosong yang bisa dijual dalam bisnis politik. Temukan rumusnya dengan tepat, temukan resepnya dengan pas, maka itu bisa jadi senjata yang efektif memenangi sebuah kompetisi politik.
Saya tidak akan bilang Nelson Mandela dan Gandhi berantara politikus yang memang memiliki niat kokoh. Tapi hei, apakah mereka manusia sempurna" Bebas dari skandal" Pasti masuk surga" Tidak. Sehebat apa pun ide moralitas yang mereka bawa, entah itu perdamaian dunia, kesejahteraan manusia, itu tetap sebuah politik. Dijual ke masyarakat luas, untuk dibeli, didengarkan, didukung. Tanpa pengikut, tanpa mesin yang melaksanakannya, ide itu kosong. Hanya kalimat-kalimat mengambang, tulisan-tulisan tergeletak. Ide politik selalu bersifat netral. Kita selalu bisa memolesnya menjadi barang dagangan yang menarik dan memiliki kepentingan.
Lagi pula, kita semua tahu, dalam banyak kasus pemilihan pada zaman demokrasi modern, pemilih lebih sering tidak peduli dengan moralitas jika ada isu yang lebih penting. Di sebuah negara maju, lagi-lagi saya tidak perlu bilang namanya, isu moralitas seperti kepemilikan senjata, pernikahan sesama jenis, hak seorang ibu untuk menggugurkan kandungan menjadi isu moralitas yang jangan coba-coba disinggung atau kalian akan kehilangan pemilih yang signifikan. Moralitas menjadi urusan masing-masing saja, dan bisa kontraproduktif, tidak populer jika memaksakan diri. Pemilih lebih mementingkan angka-angka, ukuran kuantitatif dunia. Tingkat pengangguran misalnya, tingkat inflasi, dan angka-angka lain seperti harga kebutuhan pokok, BBM, listrik, kenaikan upah minimum dan sebagainya. Siapa yang akan bicara tentang pendidikan anak-anak telantar jika perut sendiri kosong"
Saran saya pendek saja. Temukan hal paling menarik di negara kalian dalam bisnis omong kosong ini, sisi yang paling penting bagi pemilih kalian termasuk jika itu memang isu momaka kalian akan menemukan amunisi pamungkas untuk memenangi pemilihan.
Tetapi bagaimana menemukan hal tersebut, Tuan Thomas" Itu lebih mudah dikatakan, tapi susah dilakukan. Salah satu peserta memotong, tidak sabaran. Ratusan peserta lain mengangguk-angguk, sependapat dengan pertanyaan tersebut.
Aku tertawa kecil, menepuk lengan James, akademisi salah satu sekolah politik terkenal di Asia Pasifik, yang bertindak menjadi moderator siang itu. Well, rasa-rasanya saya harus mulai menagih biaya konsultansi atas pertanyaan ini, Kawan. Kau bisa membantu menghitung hour rate-nya"
Ruangan besar itu dipenuhi gelak tawa peserta konferensi.
A PA yang kaulakukan sepanjang hari tadi di Hong
Kong" Theo, teman klub petarung Jakarta basa-basi bertanya saat kami masih di taksi limusin.
Menghadiri konferensi. Oh ya" Konferensi tentang isu keuangan global" Krisis moneter"
Aku menggeleng. Tentang komunikasi politik. Politik" Dahi Theo terlipat, hanya sejenak. Oh, aku ingat, unit baru dalam perusahaan konsultan yang kaumiliki" Kau serius melakukan ekspansi ke arah sana, Thomas" Aku mengangguk.
Sejak kapan kau tertarik dunia politik, Thomas" Bukankah kau selama ini lebih suka mengurus strategi keuangan, instrumen investasi, menguasai sekali intrik dan rekayasa keuangan paling canggih" Theo bertanya, sambil meluruskan kaki di lantai
Episode 3 Gelar Master Politik tipu-tipu calon gubernur, calon presiden dibanding tipu-tipu seorang eksekutif perusahaan" Cuap-cuap sedikit menyakinkan, seolah jago sekali memoles seorang kandidat untuk memenangi pilkada" Atau karena mereka tidak peduli latar belakang pendidikanmu, maka kau membuka unit bisnis itu" Menguntungkan, bukan" Mahal bayarannya. Bahkan dukun pun bisa jadi konsultan politik kudengar. Tinggal mengarang-ngarang kabar baik dan semua cerah sentosa.
Aku mengacungkan tinju ke arah Theo. Enak saja kau bilang. Aku punya gelar pendidikan formal dalam bidang politik, Theo. Bahkan aku menghabiskan waktu di kelas tentang politik jauh lebih banyak dibanding kau dulu menghabiskan waktu di sekolah bisnis, drop out. Memalukan.
Theo tertawa. Kau selalu licik, Thomas. Kau selalu mengungkit masa lalu itu.... Well, aku pikir kau dulu hanya bergurau saat bilang sekaligus mengambil dua major. Buku-buku bertumpuk yang kaubaca. Supersibuk berpindah tempat kuliah dari satu gedung ke gedung lain. Gila dengan pelajaran.
Theo adalah teman dekatku saat menyelesaikan gelar master bisnis di salah satu sekolah bisnis ternama Amerika. Kami bersama-sama menyewa flat dekat kampus. Aku tidak hanya berhasil menyelesaikan gelar master bisnis, tapi juga gelar master politik. Jadi kalaupun Theo drop out, tidak tahu aku mengambil dua major, tidak berhasil menyelesaikan sekolahnya, lebih asyik menghabiskan waktu di garasi mobil, memulai bisnis IT-nya, flat yang kami huni tetap menghasilkan dua gelar master. Dalam banyak hal, sejak kuliah, Theo meracuni kehidupan disiplinku. Termasuk klub petarung ini. Adalah Theo pula yang membujukngan kehidupan malam, dan aku tidak mau ikut-ikutan kegiatan mubazirnya, berhasil mencarikan kegiatan yang tidak bisa kutolak dan kami bisa menghabiskan waktu bersama. Bertarung.
Julukan petarung yang akan kauhadapi itu Monster, Thomas. Theo sudah kembali ke topik pembicaraan awal, membahas pertarungan, Orang-orang menyebutnya demikian, karena dia bertarung mirip monster. Dingin, cepat, menghabisi lawanlawannya tanpa ampun. Dia tidak peduli dengan pertunjukan yang ditonton anggota klub lainnya. Dia hanya peduli memenangi pertarungan. Dia tidak bertaruh uang. Dia bertaruh kehormatan. Siapa pun yang berhasil mengalahkannya berhak atas satu permintaan yang tidak dapat ditolak, sebaliknya, siapa pun yang dikalahkannya, tunduk atas satu request yang tidak bisa diabaikan.
Aku mengangguk. Taksi limusin terus melaju di jalanan ramai pusat kota Makau.
Nah bicara tentang bertaruh, aku rasa-rasanya tidak akan meletakkan koin taruhanku di namamu, Thomas. Theo menyengir. Kau selalu menganggap ringan petarungan. Lihat, kau masih berpakaian rapi dengan kemeja, dasi, dan jas, sementara beberapa menit ke depan kau akan bertarung. Kau sepertinya akan dihabisi Monster tersebut.
Aku mengabaikan Theo. Apa pula yang diharapkan Theo, jadwalku padat sejak tiba di Hong Kong larut malam kemarin. Bangun dini hari, persiapan final konferensi, lantas seharian berada di planery hall itu. Melakukan pembicaraan dengan banyak pihak sebelum dan setelah sesi presentasiku. Baru bisa leluasa meninggalkan lokasi konferensi, berangkat menuju Makau dua Entahlah, ini jenis perjalanan bisnis atau jalan-jalan hobi. Taksi limusin merapat ke lobi salah satu bangunan hotel merangkap kasino. Petugasnya yang berseragam rapi membukakan pintu. Gadis-gadis kasino juga mendekat, menawarkan escort menuju ruangan kasino yang menurut klaim mereka terbesar di Asia Pasifik. Theo menggeleng. Dia berjalan cepat. Aku mengikuti, sambil menepuk-nepuk ujung jas.
Kami tiba di klub itu tepat waktu, saat pertarungan pertama segera dimulai. Menurut cerita Theo, mereka punya peraturan berbeda. Jika di Jakarta ada tiga pertarungan dengan petarung yang berbeda, di sini juga ada tiga pertarungan. Hanya saja, yang memenangi pertarungan akan terus berada di dalam ring, menghadapi petarung berikutnya. Malam ini spesial, sang juara bertahan akan turun bertarung setelah dua bulan tidak memiliki lawan berarti. Dua penantang adalah anggota klub, dan penantang ketiga alias terakhir, adalah aku. Kau pasti menghadapi monster itu, Thomas. Jangan cemas. Dia tidak akan kalah oleh dua penantang pertama, itu semacam pemanasan ringan baginya. Theo berseru saat pertarungan pertama baru dimulai.
Dua pertarungan berlalu cepat, dan tepat pukul sembilan malam, saat keramaian klub mencapai puncaknya, giliranku menantang sang juara bertahan tiba. Aku tidak sempat berganti pakaian. Hanya melepas jas, dasi, menggulung lengan kemeja hingga ke siku. Melempar sepatu sembarang, kaus kaki. Inspektur pertandingan berseru-seru dengan pengeras suara, memanaskan situasi, menyebut-nyebut rekorku di Jakarta. Otomatis penonton lebih antusias. Satu dua mendekat, menepuk bahuku, dak mengenal mereka, wajah-wajah antarbangsa. Bahkan beberapa bahasa mereka tidak kukenal.
Tidak ada sarung tinju, tidak ada pelindung kepala yang kubawa. Hanya dengan tampilan seadanya, aku memutar badan, melangkah menuju lingkaran merah.
Penonton bertepuk tangan saat aku memasuki arena pertandingan.
Sang juara bertahan menatapku tajam. Memeriksa dari ujung ke ujung. Dia menyuruh rekan di sebelahnya melepas sarung tangannya. Juga helm yang dia kenakan. Itu tindakan sportif dari seorang petarung. Ini pertarungan bebas, tidak ada satu pihak yang diuntungkan oleh kelengkapan bertarung. Penonton bersorak-sorak semakin semangat melihat apa yang dilakukan sang juara bertahan, meneriakkan namanya.
Aku melemaskan bahu, leher, ikut menatapnya tajam. Jarak kami hanya dua langkah sekarang, dipisahkan inspektur pertandingan yang masih mengoceh dalam bahasa Portugis dialek Makau tentang pertarungan itu.
Sang juara bertahan mengulurkan tangan. Lee. Kepalan tangannya keras dan kokoh. Aku balas menyebut namaku.
Semoga sukses, Thomas, sang juara bertahan berkata datar. Aku balas mengangguk. Dalam jarak sedekat ini, aku baru bisa membayangkan dengan utuh orang yang akan aku hadapi dalam pertarungan lima ronde, dengan masing-masing ronde tiga menit. Dia jelas bukan monster. Wajahnya bersahabat. Postur tubuhnya tidak jauh berbeda denganku. Dia salah satu petarung paling efektif yang harus kuhadapi. Aku melemaskan bahu unlebih kencang, dengus napas meningkat, tensi pertarungan segera terasa.
Hanya tinggal hitungan detik. Penonton sudah tidak sabaran. Ini selalu menjadi momen paling menarik sejak pertama kali aku bergabung di klub petarung. Setelah mencari berbagai alternatif hiburan, Theo benar, aku pasti menyukai dunia malam seperti ini. Menghabiskan waktu di kelab malam. Bukan kelab minum, diskotik, dan sejenisnya, tetapi klub petarung.
Napasku mulai menderu pelan, berirama, dan teratur. Keringat menetes di leher. Aku menatap tajam lawanku di depan. Enam tahun lalu saat pertama kali dikenalkan dalam klub, Theo mengerjaiku dengan menyuruhku ikut bertarung seminggu kemudian. Aku diplonco sebagai anak baru, terkapar dipukuli lawan yang lebih terlatih. Tetapi itu pengalaman mengesankan. Aku merasakan atmosfer pertarungannya, tidak peduli seberapa lebam wajah dan badanku. Itu menakjubkan. Enam tahun berlalu, aku tumbuh menjadi petarung yang baik. Sama efektifnya. Malam ini aku akan menghadapi lawan paling tangguh. Tapi itu bukan masalah, dia juga menghadapi lawan paling tangguh. Aku akan menari lepas, aku akan memainkan sebuah orkestra penuh semangat malam ini. Karena itulah sesungguhnya inti sebuah pertarungan, tidak berbeda dengan pertunjukan musik menawan.
Kami berhadap-hadapan. Penonton mulai berteriak serak. Nama-nama diteriakkan. Taruhan disebutkan.
Inspektur memegang tinju-tinju kami.
Tidak ada peraturan selain kehormatan. Tidak ada larangan, tidak ada batasan, selain bertarunglah seperti petarung sejati yang terhormat. Kau paham" Inspektur pertandingan berseru Aku mengangguk.
Kau paham" Kali ini bertanya ke sang juara bertahan. Dia mengangguk.
Bagus. Here we go, pertarungan dimulai! Inspektur pertandingan sekali lagi berseru kencang, lantas melangkah mundur, memberikan seluruh lingkaran merah untuk kami berdua. Memberikan panggung tempat kami menari .
BADANKU terasa remuk, jadi tidak sempat memperhatikan betapa mewah kamar hotel yang disiapkan klub petarung untukku menginap malam ini. Sudah pukul dua belas malam saat aku akhirnya bisa sendirian masuk kamar. Aku berendam sebentar di air hangat, berganti pakaian tidur, lantas terkapar kelelahan di atas ranjang empuk.
Sungguh menyebalkan saat aku sudah terlelap, membutuhkan semua istirahat, telepon genggamku justru bergetar. Siapa pula pukul tiga dini hari menelepon" Aku menyambar bantal, menutupkannya ke kepala. Berharap si penelepon menyerah sekian lama panggilannya tidak kujawab. Sialan. Nada getar telepon genggamku tidak menunjukkan akan berhenti. Kenapa pula aku lupa mematikan telepon genggamku agar tidak ada yang bisa mengganggu, seperti mencabut sakelar telepon kamar, memasang tanda do not disturb di pintu kamar.
Baiklah, aku menyerah, melempar bantal ke sembarang arah, beringsut mengambil telepon genggam di atas meja. Kalau tidak
Episode 4 Kapal Pesiar Baru darurat, tidak penting, siapa pun orang ini, dia harus membayar mahal atas teleponnya.
Selamat malam, Pak Thom. Suara khas itu terdengar empuk, riang sekali.
Aku mengeluh, berseru ketus, Kadek! Kau tahu ini jam berapa"
Jam tiga lewat lima belas menit, dini hari, Pak Thom. Kadek tertawa, sama sekali tidak merasakan intonasi marah dalam suaraku. Posisi tiang eh saya maksudnya, saat ini ada di 22" 162 423 Lintang Utara, 114" 92 323 Bujur Timur. Tiang yakin, Pak Thom tahu sekali di mana itu, bukan"
Seruan marahku tertahan. Hong Kong" Kau ada di Hong Kong"
Tepat sekali, Pak Thom. Kapal baru saja memasuki pelabuhan Hong Kong. Ini tiang sedang merapatkan kapal, bergegas menelepon seperti perintah Pak Thom minggu lalu. Segera beri kabar jika kapal sudah siap. Bukankah begitu, Pak Thom"
Kau, kau membawa kapal itu ke Hong Kong, Kadek" Demi mendengar kalimat terakhir Kadek, intonasi suaraku kembali normal, duduk di atas kasur, melupakan sejenak rasa sakit di badanku. Ini kabar baik.
Awalnya tidak begitu, Pak Thom. Tadinya saya hendak membawa kapal ke dermaga Sunda Kelapa. Tetapi ada seseorang yang memaksa saya menuju ke sini dua hari lalu, bertemu langsung di galangan kapal, dan saya tidak bisa menolaknya. Beliau bilang mau bernostalgia. Nah, ternyata beliau sudah bangun. Kadek tertawa, menyapa seseorang. Pak Thom mau bicara" Sebentar, saya serahkan telepon satelitnya.
ku itu terdengar serak, tapi intonasinya tidak bisa salah lagi, seperti biasa terdengar lapang penuh sukacita.
Halo, Opa. Aku tertawa senang, balas menyapa. Kau masih terjaga larut malam seperti ini, Tommi" Aku sudah tidur nyenyak, Opa. Telepon Kadek yang membangunkanku. Kalau saja dia tidak memberitahu kabar baik, dia kuturunkan pangkat jadi koki kapal selama-lamanya.
Opa ikut tertawa. Ah, kaumaklumi saja dia. Sudah terlalu lama tidak memegang kemudi kapal. Sejak memasuki Laut Cina Selatan dia bahkan tidak sabaran hendak menghubungimu, melapor.... Opa diam sejenak. Sebenarnya termasuk orang tua ini juga, Tommi. Terus terang aku tidak bisa tidur, tidak sabaran terus melihat gelapnya lautan, hafal setiap formasi bintang, mengenang perjalanan masa lalu. Berharap segera tiba di Hong Kong. Ini kejutan yang menyenangkan, bukan"
Aku tertawa, mengangguk. Tentu saja ini kejutan yang hebat. Sejak kejadian besar setahun lalu aku kehilangan kapal pesiar kesayanganku, hadiah ulang tahun dari Opa. Tidak ada kabar, tidak ada berita, Pasifik, kapal pesiar lama milikku tersebut tidak pernah lagi ditemukan. Hilang ditelan perairan paling lengang, tidak bertuan.
Aku memutuskan membeli kapal baru sebenarnya Opa yang membelikan, dialah pemilik imperium bisnis, termasuk mengambil alih konglomerasi milik Om Liem sekarang. Meski perusahaan konsultanku besar, penghasilannya tetap tidak cukup untuk membeli sebuah kapal pesiar. Enam bulan lalu, saat mengunjungi rumah peristirahatan Opa di Waduk Jatiluhur, Opa menawarkan kapal tersebut, memberikan brosur dengan foto dua dibuat di galangan kapal nomor satu Eropa, stylish, dengan kecepatan hingga 40 knot, paling cepat untuk ukuran kapal sepanjang 20 meter.
Minggu lalu, Kadek, kapten kapal Pasifik sebelumnya, salah satu orang kepercayaanku, mengambil kapal itu dari galangan, langsung menuju ke Jakarta, tetapi sepertinya Opa telah membelokkan arah kapal. Memberikan kejutan.
Kau sekarang ada di hotel mana, Tommi" Bermalam di tempat biasa" Opa bertanya. Suara desau kencang angin pelabuhan terdengar dari speaker teleponku.
Aku di Makau, Opa. Makau" Astaga" Sekretarismu yang gesit itu bilang konferensimu kemarin siang ada di Hong Kong" Kau tidak sedang berjudi di Makau, Tommi" Karena tidak ada anggota keluarga kita yang suka berjudi selain pamanmu Liem. Lihat nasib dia sekarang, berakhir di penjara untuk kedua kalinya.
Aku tertawa lagi. Tentu tidak, Opa. Aku tidak akan menghabiskan uang dengan cara bodoh. Selalu menyenangkan bercakap-cakap dengan Opa meskipun hanya lewat telepon genggam. Aku hanya sedang bersantai, Opa, sedikit menyalurkan hobi.
Hobi" Oh, bertinju itu, bukan" Begitulah, Opa.
Alangkah jauhnya kau bertinju, Tommi. Di Makau" Apa di Jakarta sudah tidak ada lagi yang bisa kauajak saling pukul" Anak muda zaman sekarang aneh-aneh sekali hobinya. Zaman orang tua ini masih muda seperti kalian, paling hobinya hanya memancing. Kalian malah memilih bertinju" Apa asyiknya" Kita putar kemudi, Kadek! Tidak jadi merapat, Opa meneriaki Kadek.
Berputar" Suara bingung Kadek terdengar samar dari speaker telepon genggam.
Iya, kita menuju Makau. Tommi tidak ada di Hong Kong. Dia berada di sana. Opa berseru menjelaskan beberapa kalimat lagi, lantas kembali bicara padaku, Nah, Tommi, semoga kau tidak bangun kesiangan. Kami menuju Makau sekarang, menjemputmu. Kita bertemu di pelabuhan Makau saat sarapan, lantas kembali ke Hong Kong, bernostalgia menelusuri jalur mengungsi Opa zaman muda dulu. Itu pasti menarik. Kau mau bicara dengan Kadek lagi"
Percakapan lewat telepon itu berakhir satu-dua kalimat kemudian.
Aku meletakkan telepon genggam di atas meja, kembali beringsut mengambil posisi tidur. Ini kejutan yang menyenangkan. Aku tidak sabaran ingin melihat kapal pesiar baru milikku meskipun tidak untuk urusan nostalgia Opa. Menelusuri jalur mengungsi Opa puluhan tahun silam itu seharusnya dilewatkan saja. Tetapi Opa akan marah-marah dan sepanjang minggu mood-nya akan rusak kalau aku menolaknya. Dia selalu bangga menceritakan bagian hidupnya tersebut, meski itu cerita yang keseribu kalinya, persis seperti kaset tua yang diputar berulangulang. Tidak bosan-bosannya.
Aku menarik selimut, baiklah saatnya kembali tidur sejenak. ***
Pelabuhan yacht Makau. Aku sudah membayangkan perjalanan santai yang mengasyikkan bersama Opa dan Kadek, menuju Hong Kong. Mencoba kemudi kapal baru, mencoba alat navigasi mutakhirnya, mungkin sekaligus bermanuver sebentar di pelabuhan, memeriksa setiap jengkal kapal, semua kabinnya, dapur, dan ruangan khusus yang aku pesan pada teknisi galangan kapal tersebut. Tapi ternyata, sepagi ini, jauh di negeri orang, kesibukan terus saja menguntitku.
Aku bangun pagi sekali, tanpa bantuan beker, meneriaki Theo di kamar berbeda, yang masih tertidur, bilang segera berangkat. Theo hanya bergumam tidak jelas. Aku menumpang taksi dari lobi hotel, menuju pelabuhan. Petugas loket imigrasi tidak banyak tanya, menstempel pasporku, dan bilang semoga segera kembali ke Makau. Aku berlari-lari kecil melintasi petugas pabean pelabuhan yang memeriksa kargo kapal secara acak. Kapal pesiar itu terlihat dari kejauhan, merapat anggun di ujung dermaga. Warna peraknya memantul lembut, disiram matahari pagi. Masih pukul tujuh kurang, waktu sarapan yang pas.
Halo, Tommi. Opa sedang membantu Kadek menyiapkan masakan spesial saat aku melangkah melintasi pintu kabin tengah. Nah, akhirnya pemilik kapal ini datang juga.
Aku tertawa, memeluk erat Opa yang bercelemek. Kadek menggeleng. Dia masih sibuk menggoreng sesuatu, bilang nanti gosong kalau ditinggalkan, jadi hanya mengulurkan tangan kirinya, beradu kepal tinju denganku.
Sejak kapan kau bisa bangun sepagi ini, hah" Opa menepuk Entahlah. Sepertinya sudah lama sekali. Aku mengangkat bahu.
Haiya, coba kaucium aroma masakannya, Tommi, lezat sekali, bukan" Opa tertawa, mengabaikan jawaban sembarangku. Opa yakin kau datang pagi-pagi ke sini jelas bukan karena masakan Kadek yang selalu spesial. Kau semangat datang karena kapal ini, bukan" Mainan baru.
Opa terlihat sehat. Terlihat bahagia. Gerakannya gesit. Opa sempat dirawat dua minggu sejak kejadian besar setahun lalu itu. Bukan urusan mudah bagi kakek-kakek seusianya berendam di perairan bebas dengan pelampung seadanya selama dua jam, menunggu bantuan datang. Kabar baiknya, keluar dari rumah sakit, kondisi fisiknya maju pesat. Opa masih berjalan dengan tongkat tapi itu tidak lebih sebagai aksesori saja. Opa bisa berlari-lari kecil tanpa alat bantu. Usianya lewat tiga perempat abad, rambutnya sudah sempurna memutih, termasuk kumis dan janggut tipis. Mata sipit Opa terlihat teduh. Kalau sedang tertawa seperti pagi ini, gurat wajah Opa terlihat amat menyenangkan meskipun membuat matanya seperti hilang.
Saat aku tidak sabaran, bergegas hendak membalik badan, mengabaikan tawaran sarapan Opa, hendak menuju ruang kemudi, memulai memeriksa kapal baruku, si pengganggu kecil itu akhirnya tiba. Sama seperti pemburu berita lain yang kukenal selama ini, tanpa perlu merasa melewati prosedur standar, berbasa-basi mengetuk pintu, dia langsung masuk ke kapal.
Kau mengajak teman, Tommi" Opa yang pertama kali menyadari kehadirannya, menatap pintu palka, belakang punggungku.
Gadis wartawan review politik mingguan itu telah tiba. Napasnya sedikit tersengal. Dua tas tersampir di pundaknya, ditambah paspor dan dokumen lain yang masih tergenggam di tangan. Dia mengenakan kemeja lengan panjang berwarna biru, syal lembut senada di leher, celana kain berwarna hitam, dan sepatu kets putih. Rambut pendeknya terlihat riap-riap diterpa angin pelabuhan. Dia tersenyum lebar ke arah kami.
Maaf, aku tidak tahu harus menekan tombol yang mana" Aku bahkan baru kali ini bertamu ke sebuah kapal pesiar, tidak tahu mana pintu ruang tamunya. Tidak tahu di mana belnya, jadi baiklah. Gadis itu menyengir, lantas jemarinya mengetuk dinding palka di belakangnya tiga kali, seperti sedang mengetuk pintu rumah. Boleh aku masuk"
Opa sejenak menoleh kepadaku, bertanya kedua kalinya. Aku mengangkat bahu. Sama sekali tidak mengenal gadis ini, hanya bisa menduga-duga.
Boleh aku masuk" Oh, tentu saja tidak masalah, silakan. Opa akhirnya tertawa Opa selalu saja rileks dengan orang asing, melangkah maju, menyambutnya.
Aku menghela napas, rencana pagiku sepertinya akan berantakan.
Aku wartawan salah satu review mingguan terkemuka di kawasan Asia Pasifik. Gadis itu menyalami Opa, masih tersenyum lebar.
Wartawan" Kau sudah mengenal Thomas" Opa bertanya ramah.
pelipis. Napasnya masih sedikit tersengal. Dia pasti berlari-lari kecil dari halaman pelabuhan, mengejar kapal pesiar.
Belum kenal" Nah, ini menarik. Opa tertawa pelan, menoleh padaku. Siapa wartawan satu tahun lalu yang sering bersama kita, Tommi" Ah, orang tua ini pelupa sekali. Aku beritahu sebuah rahasia kecil, jangan terlalu dekat dengan Tommi, karena dia bisa mengundang banyak masalah bagi perempuan mana pun, apalagi kalau itu wartawan.
Gadis itu menatap Opa tidak mengerti, pindah menatapku. Aku mengangkat bahu. Menyumpahi Opa dalam hati selalu begitu, Opa selalu mudah bergurau dengan siapa pun, asal comot topik. Seperti tidak tahu tempatnya.
Oh, bukan. Opa menggeleng demi melihat wajah bingung gadis di depannya. Tentu saja bukan masalah yang kaubayangkan. Tetapi masalah yang lebih serius, seperti dikejar-kejar petugas, ditembaki, disandera, bertinju, hingga perang dan sebagainya.
Gadis wartawan itu semakin bingung. Senyumnya terlipat. Beruntunglah Kadek di dapur terdengar memukul-mukul kuali masaknya, berseru bilang masakannya sudah matang. Percakapan ganjil Opa jadi terputus.
Kau sudah sarapan" Mau ikut sarapan" Opa bertanya. Aku datang bukan untuk sarapan, maaf, aku harus memawancarai narasumberku. Gadis itu menggeleng atas tawaran Opa, sepertinya dia fokus sekali dengan tugasnya, lalu menoleh padaku. Bisa kita lakukan wawancaranya sekarang" Tidak. Aku menggeleng tegas.
Tidak bagaimana" Gadis itu menatapku. Anda sudah ber- Berjanji" Aku balas menatapnya bingung. Sejak kapan aku berjanji bersedia diwawancarai pukul tujuh pagi-pagi, di atas kapal, ribuan kilometer dari Jakarta, saat aku berencana santai menghabiskan waktu mencoba kapal baru ini.
Anda lupa" Gadis itu bergegas memeriksa tumpukan kertas di tangannya. Sebentar. Nah ini dia, sekretaris Anda yang sama sekali tidak ramah itu mengirimkan itinerary Anda ke Hong Kong dan Makau. Dia menyertainya dengan kalimat pendek jika aku bisa mengejar jadwal itu, Anda bersedia melakukan wawancara di mana pun, termasuk bila perlu di atas pesawat, di dalam toilet perjalanan sekalipun. Gadis itu menarik salah satu kertas di tangannya, print e-mail dari Maggie, lalu menunjukkannya padaku.
Aku menelan ludah. Anda ingat sekarang" Gadis itu tersenyum penuh kemenangan.
Aku mengusap rambut, mengeluh dalam hati. Aku tidak tahu kalau wartawan ini akan seserius itu mengejar jadwalku. Sedikit menyesal menyuruh Maggie mengirimkan e-mail tersebut beberapa hari lalu.
Tapi tidak harus sekarang, bukan" Ini masih terlalu pagi. Kita bisa melakukannya setiba di Hong Kong. Aku berusaha bernegosiasi.
Gadis itu menggeleng. Waktuku amat terbatas, aku harus segera kembali ke Jakarta nanti siang. Kami terpaksa mengundurkan jadwal terbit edisi spesial review mingguan kami dua belas jam hanya untuk wawancara ini. Aku hanya butuh waktu Anda sebentar, paling lama satu jam. Tidak lebih. Kalian bisa mengobrol sambil sarapan, bukan" Opa menawarkan kemungkinan lain. Ayo Thomas, ajak tamu kita ke meja makan. Wawancara sambil sarapan akan lebih santai. Atau kau juga bisa menunjukkan kapal pesiar ini sambil mengobrol dengannya. Mari bersantai, menikmati pagi yang indah.
Aku menoleh ke arah Opa, yang sudah melangkah menuju dapur, sementara wartawan itu masih memegang kertas berisi janjiku, menunggu jawaban.
Aku menghela napas. Menoleh ke arah Kadek yang sedang menuangkan kepiting saus tiram ke dalam mangkuk. Baiklah, sepertinya aku harus melakukan wawancara ini. Opa benar, aku bisa melakukannya tanpa harus merusak rencana pagiku. Lakukan wawancara ini di atas lautan, sekaligus mencoba kapal baruku.
A KU memutuskan meninggalkan pelabuhan Makau. Karena
Opa memaksa Kadek menemani sarapan, aku yang mengemudikan kapal. Tidak masalah.
Tanganku mantap memegang kemudi. Suara mesin terdengar menderum halus. Aku menggerakkan kemudi ke kanan, perlahan menggeser lambung kapal menjauh dari bibir dermaga. Jangkar sudah dilepas Kadek beberapa detik lalu setelah dia menyiapkan meja sarapan.
Maaf kalau ini jadi sedikit menyebalkan, eh maksud saya mengganggu. Gadis wartawan yang berdiri di sebelahku bergegas menyiapkan bahan wawancara. Jari tangannya menekannekan peranti layar sentuh, membuka berkas, dan mengaktifkan perekam suara.
Ternyata benar, mengejar jadwal Anda tidak mudah. Aku tiba di Singapura dua hari lalu, berusaha menemui Anda di
Episode 5 Tidak Ada Demokrasi untuk Orang Bodoh
menumpang pesawat menuju Hong Kong. Aku segera menyusul, tiba di lokasi konferensi itu, dan lagi-lagi menemukan ruangan kosong. Maggie, sekretaris Anda, sama sekali tidak membantu. Dia hanya bilang Anda pergi ke Makau. Aku terpaksa semalaman memeriksa seluruh hotel untuk menemukan di mana Anda menginap. Tadi pagi tiba di hotel kasino itu, lagi-lagi terlambat, petugas memberitahu Anda sudah pergi ke pelabuhan.
Aku tersenyum meski tipis saja, mengangguk, tidak masalah. Setidaknya tersenyum sopan menghargai. Menilik ceritanya, dia pasti bersungguh-sungguh mengejar jadwalku. Mood-ku juga jauh lebih membaik, memegang kemudi kapal pesiar. Mengeluarkan angsa besar ini dari dermaga selalu membuatku lebih rileks.
Siapa namamu" aku bertanya santai, memeriksa layar kemudi.
Eh" Kau tidak akan memperkenalkan diri terlebih dulu sebelum wawancara dimulai"
Oh, maaf. Gadis itu dengan gerakan sedikit patah-patah menurunkan peranti layar sentuh di pangkuan, menjulurkan tangan. Maryam.
Aku Thomas. Kau bisa memanggilku Thomas. Aku mencoba bergurau, menerima uluran tangannya.
Tentu saja aku tahu nama Anda, Thomas. Gadis itu tidak tertawa. Suaranya datar. Dia memperbaiki posisi berdirinya, menatap ke luar kapal. Ini benar-benar tugas gila yang pernah kudapatkan dari pemimpin redaksi selama bekerja di sana dua tahun. Aku hanya punya waktu 48 jam menyiapkan seluruh mengejar jadwal Anda, membeli tiket, berpindah pesawat, sekaligus mengepak pakaian.
Itu berarti kau yang terbaik. Aku mengangkat bahu. Eh" Gadis itu menatapku.
Ada banyak wartawan di kantor majalah mingguan kalian, bukan" Salah satu majalah terkemuka. Jika mereka mengirimkan wartawan yang baru bekerja dua tahun, sepertinya juga wartawan paling muda, itu berarti kau yang terbaik. Aku tersenyum, mencoba berbaik hati basa-basi mengawali percakapan. Sementara tanganku kokoh memegang kemudi, kapal pesiar mulai meninggalkan garis pantai Makau, membelah ombak yang semakin besar. Langit di luar sana terlihat gelap. Opa dan Kadek asyik sarapan di kabin tengah.
Bukankah demikian" Tidak juga. Gadis itu menggeleng, nada suaranya sedikit ketus. Dia merapikan ujung poni rambutnya. Mereka sengaja mengirimku karena semua orang tahu Anda suka mengolok-olok wartawan sepertiku saat wawancara. Jika diwawancara oleh wartawan senior, apalagi jika itu laki-laki, Anda lebih tertutup, menjawab pendek-pendek, bahkan tidak mau berkomentar. Jadi mereka memutuskan mengirimku, berharap Anda akan lebih terbuka, lebih banyak menjawab pertanyaan, dan selalu merasa dominan, superior, senang sekali menunjukkan lebih tahu, lebih pintar, meskipun harga yang harus kuterima adalah diolok-olok, dianggap bodoh.
Jadi, inilah yang sedang kulakukan, tugas gila yang pernah kudapatkan. Lebih gila lagi, aku mau saja melakukannya, me-Kong, pindah lagi ke Makau, dan sekarang kembali menuju Hong Kong. Aku bukan yang terbaik, hanya yang paling bodoh.
Senyumku terlipat, tidak menyangka gadis wartawan yang satu ini akan menjawab selugas itu. Dia berbeda, amat berbeda bahkan.
*** Kalian tidak sarapan dulu, Tommi" Opa untuk kesekian kali bertanya, suara seraknya terdengar berseru dari kabin tengah. Tidak, Opa, aku sedang mencoba kemudi otomatis kapal. Kapal pesiar melaju stabil membelah ombak. Kami sudah separuh perjalanan dari Makau menuju Hong Kong, perjalanan lima puluh menit. Gerimis turun di luar, menerpa kaca-kaca kapal, membuat lukisan air.
Ayolah, kalian tidak akan menyia-nyiakan masakan lezat Kadek, bukan" Kepitingnya bukan main. Kau bisa meninggalkan Tommi dengan mainan barunya, Maryam. Wawancara bisa dilanjutkan saat tiba di Hong Kong, bukan"
Terima kasih, Pak. Gadis wartawan di hadapanku ikut menggeleng. Daftar pertanyaanku masih panjang dan harus diselesaikan segera.
Astaga" Opa menepuk dahinya, menatap Kadek di hadapannya. Orang tua ini semakin lama semakin tidak mengerti dunia anak muda. Lihatlah, kita berdua menghabiskan sarapan lezat, mereka berdua entah sedang mengobrol apa. Satu sibuk dengan kapal, satu sibuk dengan alat di tangan, mencatat-catat, sibuk aku muda seusia kalian, aku jelas lebih memilih menghabiskan kepiting lezat ini. Urusan lain nanti-nanti saja.
Kadek tertawa pelan. Tanpa sengaja saus muncrat ke taplak meja saat tangannya merekahkan cangkang kepiting.
Aku tidak terlalu mendengarkan obrolan Kadek dan Opa di kabin tengah. Aku sedang asyik mencoba kemudi otomatis kapal, memeriksa layar yang dipenuhi angka dan navigasi canggih.
Apa pertanyaanmu tadi" Aku menoleh. Oh iya, soal pendidikan demokrasi. Well, menurutku itu sudah jelas. Tidak ada demokrasi bagi orang-orang bodoh.
Bagaimana mungkin kita akan memercayakan keputusan pada orang yang tidak mengerti apa yang sedang mereka pilih atau putuskan" Atau yang lebih ekstrem lagi, mereka berkepentingan atas keputusan tersebut.
Anda tidak akan bilang demokrasi bukan cara terbaik, bukan" Maryam memotong. Menjadi antitesis bagi mayoritas sistem pemerintahan dunia saat ini"
Tentu saja tidak. Aku tertawa. Frankly speaking, demokrasi jelas cara terbaik untuk mencari uang. Misalnya, kau seorang konsultan politik. Atau kau pemilik bisnis, perusahaan raksasa, konsesi pertambangan, perkebunan, dan sebagainya. Karena jelas lebih mudah menyumpal, membeli, eh maksudku dalam bahasa halusnya: menanamkan investasi pada pemerintahan yang dipilih rakyat dibanding memelihara rezim diktator dengan preferensi terbatas.
Lantas di mana relevansinya antara bodoh dan demokrasi" Gadis di hadapanku mendesak, suaranya sedikit tidak sabaran. Bukankah Anda tahu kalau suara rakyat adalah suara Tuhan, Aku kembali memegang kemudi, mengembalikan sistem kemudi manual. Baiklah, akan aku berikan ilustrasi. Sepertinya pembaca majalah review kalian lebih suka penjelasan yang lebih mudah.
Nah, kita bayangkan saja ada sebuah perkampungan. Kampung itu dikelilingi sungai besar. Satu-satunya akses keluar adalah jembatan beton yang dibangun berpuluh-puluh tahun lalu oleh pemerintah pusat. Pada suatu hari, salah satu penduduk yang sedang mencari ikan di sungai melihat ada yang ganjil dengan jembatan itu. Fondasinya yang terbenam di air terlihat retak. Karena dia adalah sedikit di antara penduduk kampung yang memiliki pengetahuan tentang konstruksi, dia bergegas mengusulkan pada kepala kampung agar jembatan itu direnovasi. Mendesak, sesegera mungkin.
Masalahnya, tidak murah memperbaiki sebuah jembatan. Seluruh warga dikumpulkan di balai kampung. Semua orang diminta pendapatnya. Demokrasi. Pertanyaannya adalah apakah mereka segera memperbaiki jembatan itu dengan menggunakan iuran warga atau menunggu pemerintah pusat yang entah kapan baru bisa memperbaikinya. Itu pendekatan mengambil keputusan yang fatal sekali, bukan" Meskipun seluruh dunia bilang itu cara terbaik: demokrasi.
Karena mereka tidak paham konstruksi sipil, mereka tidak mengerti tentang standar keselamatan, maka mereka berdebat hanya setahu dan menurut perasaan saja. Dan lebih dari itu, tidak banyak warga yang bersedia memberikan iuran perbaikan jembatan. Mereka berkepentingan atas implikasi keputusan tersebut, lebih baik uangnya untuk keperluan lain. Berdebat hingga ngan suara terbanyak. Bisa ditebak hasilnya, suara menolak menang mutlak. Palu diketukkan di meja. Perbaikan ditunda. Selesai.
Tiga minggu berlalu, di suatu pagi yang cerah, saat warga sedang banyak-banyaknya melintas di jembatan itu, anak-anak berangkat sekolah ke kampung lain, jembatan itu tiba-tiba runtuh. Tiga mobil angkutan pedesaan langsung meluncur deras bersama kepingan beton. Lima belas anak meninggal ditelan sungai, tertimpa batu, terjepit. Lima anak lainnya meninggal saat dibawa ke rumah sakit terdekat. Benar-benar harga mahal yang harus dibayar dengan s uara terbanyak , bukan"
Aku menghela napas, diam sejenak, menatap gadis wartawan yang juga diam sejenak. Jemari tangannya yang sejak tadi sibuk mencoret-coret berhenti.
Apakah demokrasi sistem terbaik yang diberikan Tuhan" Difirmankan Tuhan dalam kitab suci" Jelas tidak. Demokrasi adalah hasil ciptaan manusia. Dalam catatan sejarah, sistem otoriter absolut juga bisa memberikan kesejahteraan lebih baik. Tuhan hanya memerintahkan kita memberikan sebuah urusan kepada ahlinya. Silakan cek banyak kitab suci. Hanya itu. Tidak ada model pemerintahan apalagi demokrasi dalam ajaran kitab suci.
Apakah suara terbanyak adalah suara Tuhan" Omong kosong. Berani sekali manusia mengklaim sepihak, fait accompli suara Tuhan. Coba kaubayangkan sebuah kota yang dipenuhi pemabuk, pemadat, mereka mayoritas, maka saat undang-undang tentang peredaran minuman keras dan ganja disahkan melalui referendum warga kota, otomatis menang sudah mereka. Bebas menjual minuman keras di mana-mana, mabuk-mabukan di kebebasan melakukan aborsi bayi. Bahkan dalam kasus ekstrem, jika mayoritas penduduk kota sepakat pembunuhan adalah tindakan legal, maka di mana suara Tuhan"
Apakah kau sekarang peduli isu moralitas" gadis itu bertanya lagi.
Aku tidak peduli soal isu moral. Ini seperti d"j" vu, Maryam. Baru kemarin sore ada orang yang bertanya soal ini padaku di konferensi. Percayalah, orang-orang seperti kami justru menikmati sistem demokrasi. Aku tidak peduli dogma moralitas. Itu urusan masing-masing. Tapi poin yang ingin aku tekankan jelas sekali, tidak ada demokrasi bagi orang-orang bodoh. Lebih jelas lagi, tidak ada demokrasi bagi orang-orang yang berkepentingan. Dia menjadi kontra argumen atas sistem itu sendiri.
Aku hanya peduli dengan komoditas apa yang paling efektif dijual pada pemilih dengan pengetahuan mereka yang terbatas. Apakah itu isu moralitas, apakah itu sebuah prinsip yang baik, atau apakah itu hanya sejenis emosional keberpihakan saja. Komoditasnya bisa berupa apa saja, sepanjang dibeli oleh pemilih dengan tingkat pendidikan politik mereka. Hanya itu.
Aku diam sejenak, memandang langit gelap di kejauhan. Gedung-gedung tinggi Hong Kong sudah terlihat, samar oleh kabut. Beberapa burung camar terbang melintas. Suaranya melengking tajam. Laju kapal yang kukemudikan stabil. Opa dan Kadek bahkan bisa menikmati sarapan tanpa goyangan berarti.


Negeri Di Ujung Tanduk Karya Tere Liye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Apakah prinsip itu yang dipahami saat Anda memberikan jasa konsultasi" Maryam bertanya lagi, dia sepertinya sudah tiba di bagian paling penting.
Sejak Maggie bilang kalian hendak melakukan wawancara, baru dalam perusahaan konsultanku, bukan" Aku tertawa. Baiklah, akan kujawab banyak hal sebelum kau bertanya. Tugas kami sebagai konsultan strategi jelas, Maryam, yaitu memenangi pemilihan. Kami dibayar mahal untuk tugas itu. Jadi apa pun caranya, entah itu dengan manuver politik kelas tinggi, strategi komunikasi sophisticated, atau pencitraan level atas, sepanjang berhasil menarik pemilih, semua sah-sah saja dilakukan. Bahkan hingga rekayasa kasar menjatuhkan lawan, meskipun tidak banyak konsultan politik yang mau mengakui cara kotor ini, memilih bermuka dua, atau berusaha tampil seperti anak baik di mana-mana.
Apakah kalian juga melakukan hal yang sama" Aku tertawa lagi. Belum. Semoga tidak pernah. Fondasi kami adalah perusahaan konsultan keuangan, Maryam. Sebagai perusahaan konsultan modern, kami selalu punya pendekatan ilmiah atas segala isu yang ada. Tetapi jika lawan politik kami melakukan hal tersebut kepada kami, aku tidak tahu, boleh jadi mereka harus bersiap berhadapan dengan sisi lain dari perusahaan ini. Saat membuka unit bisnis baru tersebut, aku tahu persis risikonya, dan bersiap atas kemungkinan terburuk.
Kau wartawan politik, Maryam, jadi pasti tahu sejarah politik dunia. Kau pasti tahu cerita Brutus menusuk Julius Caesar dalam sebuah konspirasi politik besar. Sejarah kelam itu akan selalu diingat siapa pun yang memasuki gelanggang politik. Karena hingga hari ini, kita tetap hidup di alam yang sama atas kejadian tersebut: kerakusan politik. Bedanya, pemain politik hari ini tidak membawa pisau ke mana-mana. Mereka membawa amunisi lain yang boleh jadi lebih kejam dan mengerikan untuk masang wajah manis di depan, tapi di belakang siapa tahu. Tidak ada teman abadi dalam bisnis ini.
Unit baru perusahaan konsultan kami belum genap satu tahun, tapi kami secara telak sudah memenangi dua pemilihan gubernur. Itu mengubah konstelasi politik nasional. Kompetisi politik ternyata bisa dimenangkan dengan kalkulasi cermat. Tidak lebih seperti sedang berhitung strategi keuangan atau investasi portofolio yang jelas adalah kompetensi terbaik milik perusahaan konsultan kami.
Saya tahu, pemimpin redaksi review mingguan kalian tertarik atas fakta tersebut. Apalagi, salah satu klien paling penting kami juga bertarung dalam konvensi partai politik terbesar negeri ini. Hari ini Jumat, tiga hari lagi, Senin, konvensi partai tersebut akan mengumumkan secara resmi siapa yang akan menjadi kandidat calon presiden partai mereka. Pertanyaan besar wawancara ini adalah siapa yang akan menjadi calon presiden partai tersebut di pemilihan tahun depan, bukan" Jawabannya mudah, di edisi spesial kalian lusa, pasang saja besar-besar foto klien kami. Dia akan memenangi konvensi itu. Kami sudah menguasai dua pertiga lebih suara pengurus partai. Dia akan menjadi calon kuat partai paling besar. Dia calon presiden paling serius negeri ini. Tidak akan ada yang bisa menghentikannya.
Kami memiliki kemasan paling menarik, bersih, muda, sederhana, dan tidak ada kaitannya dengan masa lalu. Kandidat kami juga memiliki profil paling diterima pemilih di antara calon presiden lain. Keberhasilannya menjadi wali kota, kemudian sukses menjadi gubernur adalah catatan prestasi yang tidak bisa dibanberikan suara pada kandidat kami saat pemilihan presiden tahun depan, bukankah demikian, Maryam"
Aku menyibak anak rambut yang berantakan ditiup angin laut. Bibir pantai Hong Kong sudah terlihat jelas, menyusul gedung pencakar langitnya yang sejak tadi samar di antara mendung dan gerimis. Beberapa burung camar terbang di atas kapal, suara melengkingnya bercampur suara angin kencang teluk.
Sepertinya wawancara kita sudah selesai, Maryam. Aku tersenyum, menoleh pada gadis wartawan yang sejak kalimat terakhirku tadi terdiam. Entah sedang mencerna, atau boleh jadi sedang senang karena aku menjawab banyak hal secara gamblang bahkan sebelum ditanya. Nah, aku harus membawa kapal ini merapat di dermaga. Karena aku hendak mencoba beberapa manuver, sebaiknya kau bergabung dengan Opa dan Kadek di meja makan. Opa tidak pernah berbohong. Masakan Kadek paling lezat, apalagi kepitingnya. Kau bisa sarapan sambil menunggu kapal ini merapat penuh di dermaga.
Meski sepertinya dia masih memiliki beberapa daftar pertanyaan, gadis itu terlihat berpikir sejenak, memeriksa peranti layar sentuh di tangannya, akhirnya mengangguk. Terima kasih atas jawaban yang Anda berikan. Aku mengangguk. Tidak masalah.
Aku akan mengirimkan artikelnya sebelum naik cetak, akan kusiapkan dalam perjalanan kembali ke Jakarta. Semoga Anda bisa segera memberikan persetujuan atas artikel tersebut.
Gadis itu membereskan peralatannya. Meraih tas di lantai, beranjak ke kabin tengah.
Maryam. Panggil saja kau atau Thomas, itu lebih nyaman didengar.
Gadis itu mengangguk. Baik, akan kupanggil Thomas. Dan hei lagi, selezat apa pun kepiting Kadek, jangan lupa sisakan sedikit untukku. Aku kembali berseru pelan, membuat langkah gadis wartawan itu terhenti.
Dia menoleh, tertawa tawanya untuk pertama kali.
P ELABUHAN yacht Hong Kong padat. Ini long weekend,
perayaan Jumat Agung, tanggal merah internasional. Banyak kapal keluar-masuk pelabuhan.
Aku tidak keberatan dengan situasi seramai ini, kebetulan yang baik, kapal pesiar baru ini bisa diuji coba melakukan manuver. Hasilnya mengesankan, manuvernya akurat dan stabil, dan seperti seekor angsa besar, merapat anggun ke salah satu bibir dermaga kosong, tempat biasa aku memarkir kapal pesiar dulu. Aku meneriaki Kadek agar bersiap melemparkan jangkar, menambatkan kapal di dermaga.
Maryam dan Opa asyik bercakap di meja makan. Entah apa yang mereka bicarakan Opa terlahir sebagai gentleman sejati, meskipun gurauannya kadang berlebihan dan tidak pada tempatnya, dia selalu pandai membelokkan percakapan, mengangkat derajat tamu, membuat nyaman lawan bicaranya. Aku mendeEpisode 6 Penyergapan Seratus Kilogram
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
ku. Di luar sana, Kadek masih mengikat tali-temali kapal. Aku mematikan mesin kapal, mengunci posisi kapal, lantas melangkah santai hendak bergabung ke meja makan. Tidak ada urusan pekerjaan yang perlu dikejar. Urusan dokumen imigrasi bisa nanti-nanti.
Telepon genggamku bergetar nyaring.
Aku mengambilnya dari saku celana. Pukul delapan pagi waktu Hong Kong. Di Jakarta itu berarti pukul sembilan, selisih satu jam, waktu normal sebuah percakapan bisnis dilakukan. Aku melirik layar telepon genggam sekilas, klien politik paling penting yang menelepon.
Halo, Bapak Presiden, aku menyapa lebih dulu. Halo, Thomas. Suara di seberang sana tidak riang seperti biasanya, terdengar suram. Lazimnya beliau akan tertawa dengan panggilan Bapak Presiden . Ini termasuk pekerjaanku. Aku sengaja memanggilnya demikian, memberikan atmosfer kompetisi politik, meskipun masih jauh dari babak final sekalipun. Sang juara selalu yakin memenangi sebuah pertandingan sejak awal. Ada yang bisa saya bantu, Bapak Presiden"
Aku tidak tahu harus mulai dari mana, Thomas. Suara di seberang terdengar ragu-ragu, terdiam sejenak. Sepertinya sedang berpikir keras.
Well, bisa dari mana saja, aku siap mendengarnya, Bapak Presiden. Apakah ini kabar baik" Pesaing kita tiba-tiba mengundurkan diri dari konvensi partai misalnya" Akhirnya dia bisa berhitung dengan baik kalau tidak punya kesempatan mengalahkan kita" Aku mencoba bergurau.
Bukan kabar baik, Thomas. Helaan napas terdengar memasi. Masih gelap, belum bisa dipastikan. Tapi kabar itu dari sumber yang bisa dipercaya.
Diam sejenak, aku memutuskan tidak menyela, menunggu. Ada eskalasi besar-besaran dari peserta konvensi partai, Thomas. Peta dukungan berubah. Ada gerakan tidak terlihat. Ada manuver raksasa yang dilakukan pihak lain. Aku belum tahu siapa yang menggerakkannya, tapi ini serius sekali. Manuver raksasa, Bapak Presiden" Aku menelan ludah. Kau masih di Hong Kong, Thomas" Suara di seberang justru bertanya balik, intonasi suaranya terdengar semakin cemas.
Iya, aku masih di Hong Kong. Sesuai rencana, baru besok pagi aku berada di lokasi konvensi, persis saat pembukaan. Bukankah semua sudah terkendali" Semua anggota tim sudah bekerja jauh-jauh, mengunci banyak hal. Tidak ada yang harus dicemaskan, Bapak Presiden. Kita pasti memenangi konvensi partai. Aku berkata sesantai mungkin.
Segera kembali ke Jakarta, Thomas. Segera"
Itu perintah, Thomas. Segera kembali ke Jakarta. Hei, ada apa sebenarnya" Aku diam sejenak, belum pernah aku mendengar intonasi suara klienku seserius ini. Beliau politikus berpengalaman, meskipun bukan mantan Jenderal. Dia telah meniti karier politik puluhan tahun dari level bawah. Namanya populer, bersih dan dipercaya banyak calon pemilih, memiliki pendukung dengan sumber daya yang besar. Hari-hari ini tiba masanya menjemput masa keemasan karier politiknya dengan sedikit bantuan dariku. Intrik politik makanannya sejak lama.
seperti apa yang membuatnya begitu cemas sepagi ini" Hingga meneleponku dan menyuruhku bergegas kembali ke Jakarta" Apa yang sebenarnya terjadi, Bapak Presiden" Aku tidak bisa membicarakannya lewat telepon, Thomas. Suaranya resah. Informasi itu menyebutkan, ada pihak yang sedang menyusun serangan balik mematikan sebelum konvensi dimulai besok, dan kau, astaga Thomas, kau menjadi sasaran tembak nomor satu yang harus mereka lumpuhkan setelah diriku sendiri. Kau segera pulang, Thomas. Aku membutuhkan seluruh anggota tim, terutama kau, orang yang paling kupercaya. Aku tidak tahu seberapa serius ancaman ini, dan seberapa dalam mereka bergerak. Kau dengar, Thomas. Segera kembali ke Jakarta.
Aku menghela napas perlahan. Baik. Aku akan segera kembali.
Hati-hati, Thomas. Mereka ada di mana-mana. Siap, Bapak Presiden.
Percakapan itu diputus. Aku terdiam sejenak, mengembuskan napas.
Siapa yang menelepon, Tommi" Opa bertanya dari meja makan.
Aku belum sempat menjawabnya, keributan itu terdengar lebih dulu. Kadek berseru-seru di luar. Aku menoleh jendela kabin. Enam orang dengan pakaian taktis, bersenjata lengkap, berloncatan gesit dari dua mobil operasional militer yang mengeluarkan suara mendecit, merapat ke bibir dermaga. Cepat sekali gerakan mereka. Kadek berusaha menghalangi, memastikan siapa mereka. Jawabannya tanpa buka mulut. Dua orang melumpuhkan Kadek. Membuat Kadek terduduk. Tangannya ditelikung Move! Move! Salah seorang dari rombongan itu berseru, segera masuk ke kapal pesiar. Dalam hitungan detik, enam moncong senjata otomatis telah terarah padaku, Opa, dan Maryam, bahkan sebelum Maryam berseru panik, atau Opa menghela napas memahami situasi. Mereka maju satu-dua langkah, siaga atas segala kemungkinan. Seolah khawatir ada sepasukan tempur di kabin tengah yang siap melawan.
Aku hendak mengangkat tangan, mencegah mereka bergerak lebih dekat.
Jangan bergerak, Tuan. Tetap di tempat, please. Kalimat patah-patah dalam bahasa Inggris itu disampaikan dengan sopan, tapi intonasi suaranya penuh ancaman serius. Membuat gerakanku terhenti. Sebelum sempat melakukan apa pun, enam orang bertopeng dengan pakaian komando telah sempurna mengepung kabin, Kadek diseret masuk, didorong kasar ke pojok kabin, terduduk.
Dari belakang enam orang itu, melangkah sigap orang ketujuh.
Tiga orang periksa seluruh kapal. Sisanya tetap di tempat. Jangan biarkan ada yang lolos. Orang itu, berpakaian sipil, kemeja lengan panjang, rambut tersisir rapi, memberikan perintah dalam bahasa Kanton, fasih. Dia melangkah mendekati meja makan, menatap penuh selidik pada Opa, Maryam, dan menatapku, diam sejenak, kemudian tersenyum datar.
Selamat pagi, Tuan. Dia menyapaku ramah, Maaf jika ini sedikit mengejutkan.
Tiga rekannya sudah sibuk membongkar apa saja isi kapal. Hei, kalian tidak bisa sembarangan memeriksa kapal ini! sebut. Aku sedang marah, berteriak protes pada ketiga rekannya.
Tentu saja kami bisa melakukannya, Tuan. Kami memiliki izinnya. Orang berpakaian sipil itu meraih lipatan kertas di saku. Pengadilan setempat memberikan izin penuh untuk melakukan pemeriksaan, penyelidikan, termasuk menahan sementara jika diperlukan, demi kepentingan otoritas Hong Kong.
Aku menerima kertas itu, membacanya cepat. Orang asing ini benar, kertas ini izin resmi pengadilan setempat.
Aku menghela napas perlahan. Mereka tidak main-main. Mereka bukan petugas imigrasi atau bea cukai yang sedang memeriksa kapal asing secara random di pelabuhan Hong Kong seperti yang kusangkakan sebelumnya. Mereka pasukan dari satuan khusus antiteror otoritas Hong Kong SAR. Apa yang kalian cari" aku bertanya dengan suara bergetar. Apa pun yang mencurigakan di kapal ini.
Tidak ada apa-apa di kapal ini. Aku menggeleng. Well, biarkan petugas kami memastikannya. Orang berpakaian sipil itu tersenyum. Maaf jika ini mengganggu liburan kalian. Dia mengangguk ramah ke arah Opa, dan Maryam. Hei, kalian sedang sarapan, bukan" Tampaknya lezat sekali.
Andaikata tidak ada tiga moncong senapan otomatis terarah pada kami, suara benda yang dibongkar tiga petugas berseragam taktis lainnya dan semua situasi yang membingungkan, sudah dari tadi rasanya aku hendak meninju rahang orang di hadapanku ini. Lihatlah, dia bahkan santai meraih piring kepiting di atas meja.
Boleh aku mencicipinya" Dia bertanya sopan ke arah Opa.
dari pengadilan untuk memeriksa kapal ini, tapi bukan berarti mereka bisa semaunya saja, apalagi Kadek dengan tangan diborgol dipaksa duduk tidak berdaya di lantai seperti penjahat besar.
Ini lezat sekali. Dia baru saja mengunyah sepotong daging dari cangkang kepiting. Sedikit pedas untuk lidahku, tapi no problem.
Opa menatapnya lamat-lamat, mencoba tersenyum. Maryam dengan tangan gemetar dan wajah pucat melirik laras senjata yang hanya tiga puluh senti dari wajahnya. Gadis wartawan itu jelas lebih bingung, lebih panik dibanding siapa pun. Aku meremas jemari, mencoba bersabar.
Kami menemukan sesuatu, Sir. Dua dari tiga orang yang memeriksa kapal kembali dari kabin belakang, susah payah menggotong sebuah kotak.
Buka. Orang berpakaian sipil itu meletakkan piring berisi kepiting.
Itu hanya kotak peralatan kapal, apa yang sebenarnya mereka harapkan" Isinya paling hanya kunci, suku cadang, dan peralatan keselamatan. Aku hendak berseru ketus menjelaskan. Ini kapal pesiar baru, fresh from the oven, tidak akan ada yang mencurigakan. Mereka seharusnya memeriksa kapal-kapal barang atau kapal nelayan. Awas saja kalau ini hanya kesalahpahaman. Aku akan menuntut mereka.
Tapi dugaanku sungguh keliru, ini semua jelas bukan sebuah salah paham.
Saat salah seorang petugas membongkar paksa kunci, isi kotak itu justru dipenuhi tumpukan bungkusan rapi dengan logo itu meraih pisau dari pinggang rekannya, merobek bungkusan tersebut. Butiran putih langsung merekah dari robekan kertas. Demi melihat benda tersebut, aku mengeluh tertahan. Opa yang jelas juga tahu benda apa itu, ikut menghela napas panjang. Maryam berseru pelan, menutup mulutnya dengan telapak tangan.
Itu belum cukup. Petugas ketiga yang memeriksa kabin depan kapal masuk sambil membawa karung tebal besar, menumpahkan isinya di lantai kabin. Enam pucuk senjata otomatis, beberapa granat, dan juga kotak-kotak kecil bertuliskan C4, peledak mematikan, tergeletak di lantai.
Tuan tadi bilang tidak ada apa-apa di dalam kapal ini, bukan" Orang sipil itu menatapku tajam, senyumnya hilang, rahangnya mengeras.
Aku menghela napas, entah harus menjelaskan apa. Well, lantas ini apa, Tuan" Bahan keperluan memasak kepiting" Atau peralatan untuk menangkap kepiting di laut"
Aku menelan ludah. Ini semua terjadi begitu cepat dan sedikit pun tidak bisa kumengerti. Astaga" Bagaimana mungkin" Enam moncong senjata otomatis mengarah lebih galak, lebih dekat ke arah kami bertiga, siaga penuh. Maryam berseru ketakutan, wajahnya pucat pasi. Dia berdiri, berusaha menjauh, yang justru membuat dua orang menyudutkannya di pojok kabin.
Tangkap mereka semua. Pastikan tidak ada yang melarikan diri. Sisir seluruh kabin kapal. Sita semua identitas dan dokumen apa pun yang ada. Mereka diduga anggota sindikat pengedar narkoba internasional, dan boleh jadi memiliki hubungan bunuh. Orang berpakaian sipil berseru tegas, memberikan perintah.
Aku kehabisan kata-kata. S UDAH lama sekali hidupku berjalan tenang. Sejak setahun
lalu. Pagi ini penyerbuan enam orang berpakaian taktis dan bersenjata ke kapal pesiarku, tanpa tahu apa sebab-musababnya, membuat arah kemudi hidupku berputar 180 derajat.
Aku menghela napas yang sedikit sesak. Mereka menutup kepala kami dengan kain sejak mengeluarkan kami dari kapal pesiar, mendorong, memaksa kami menaiki mobil operasional militer, menyuruh duduk berdempet dengan laras senjata terus berjaga. Opa terdengar batuk-batuk. Ini bukan hal baru baginya. Bahkan saat usianya lebih muda daripadaku, Opa sudah terbiasa dengan penjara. Opa terlihat tenang sejak di kapal, berusaha memahami situasi dengan cepat, tapi usia dan kesehatannya mencemaskan. Kadek menggerung di ujung kursi. Aku tahu, dia jengkel atas penangkapan ini. Dia sempat berteriak melawan, membantah barang-barang itu milik kapal. Tidak banyak yang
Episode 7 Interogasi Lantai 5 Aku tidak tahu apa yang berkecamuk di kepala Maryam saat ini. Dia sempat mengeluarkan identitas wartawannya sebelum diborgol, berseru berusaha menjelaskan kalau dia wartawan salah satu review mingguan terkemuka. Percuma, penjelasan itu tak berguna. Tangannya tetap diborgol. Kepalanya kasar ditutup kain. Bahkan salah satu dari mereka memutuskan menyumpal mulut Maryam, agar dia berhenti berseru-seru.
Dua mobil tempur itu melesat cepat meninggalkan pelabuhan yacht, membelah jalanan kota Hong Kong yang lengang. Aku tidak tahu ke mana arahnya. Sesekali kami melintas masuk ke terowongan panjang suara desau di luar mobil menunjukkan demikian. Kami berhenti di perempatan, mungkin lampu merah, berputar, berbelok, sepertinya mereka membawa kami ke pusat kota. Ini hari libur. Kemacetan kota Hong Kong tidak terasa, kecuali di taman-taman kota yang ramai dipenuhi buruh migran. Mobil kami jelas tidak melewati kawasan itu.
Setelah tiga puluh menit menurut perhitungan kasarku mobil-mobil itu tiba di tujuannya. Salah seorang dari mereka sebelumnya sempat berseru untuk mengambil jalan berbeda. Jalan utama ditutup hingga nanti sore untuk keperluan meruntuhkan gedung tua. Aku bisa memahami percakapan mereka meski disampaikan dalam bahasa Kanton dan kalimat komando pendek. Mobil berbelok, melingkari dua blok, hingga akhirnya berhenti. Mereka menyuruh kami turun. Mereka sedikit membentak agar bergegas, tidak sabaran.
Opa baik-baik saja" aku berbisik pelan, berjalan di belakang Opa.
batuk, dia sedikit tertatih tongkat Opa disita mereka. Tidak ada yang perlu kaucemaskan.
Move! Move! Salah satu dari mereka mendorong punggungku dengan laras senjata agar bergegas.
Kami sepertinya melintasi lobi luas. Suara sepatu mengentak lantai. Gemanya mengisi langit-langit ruangan besar. Suara pintu lift membuka. Kami didorong masuk ke lift. Suara pintu lift menutup. Gerakan lift mendesing. Aku mendongak, berhitung. Aku terlatih mengenali sekitar dengan mata terpejam. Itu latihan mendasar bagi seorang petarung. Empat puluh lima detik, itu berarti kami berhenti di lantai 15. Suara pintu lift terbuka perlahan.
Move! mereka membentak lagi.
Opa dan Maryam berjalan lebih dulu. Aku dan Kadek di belakang. Kami digiring melewati lorong sepertinya begitu. Tiga puluh langkah, itu berarti kurang-lebih 18 meter. Gedung ini cukup besar. Lantas terdengar suara pintu berdebam terbuka, kami memasuki sebuah ruangan. Pintu berdebam ditutup kembali, terkunci secara otomatis, hanya bisa dibuka dari luar. Lepaskan penutup kepala mereka!
Penutup kepala kami dilepas, dengan gerakan kasar tapi itu tetap lebih baik, bisa membuat bernapas lebih lega, terutama Opa.
Maryam langsung hendak berseru saat penutup dilepas. Tangannya terangkat.
Biarkan sumpal mulut yang satu itu terpasang. Pemimpin mereka, orang berpakaian sipil, berkemeja lengan panjang, memberi perintah.
tup kepalanya dibuka. Bahasa Inggris Kadek fasih. Dia menghabiskan banyak waktu sebagai nakhoda kapal asing sebelum mengenalku. Kami tidak memiliki benda-benda itu.
Well, kalian punya waktu banyak untuk menjelaskannya. Tenang saja, kami memiliki sistem hukum yang adil. Orang berpakaian sipil itu bersedekap santai. Silakan duduk, Tuan dan Nyonya.
Ruangan itu luas, berukuran 6 x 8 meter persegi, hanya ada meja besar di tengah, dengan beberapa kursi plastik. Tidak ada perabotan lain, tidak ada benda lain. Ini ruangan interogasi, atau penyekapan, sejenis itulah, jadi tidak memerlukan pernak-pernik di dalamnya.
Kami tidak tahu-menahu kenapa benda-benda itu ada di kapal. Kalian keliru menangkap orang. Kadek masih berusaha menjelaskan. Sebagai kapten kapal, jelas dia ingin membela kapalnya, dan membuktikan kalau dia tahu persis apa saja yang ada di dalam kapal.
Silakan duduk dulu, Tuan. Orang berpakaian sipil mempersilakan.
Kalian salah paham! Kadek berseru ketus.
Duduk, Kadek, aku berkata pelan sebelum dua orang yang memegang senjata ikut masuk ke ruangan, memaksa Kadek duduk. Diamlah. Kau tidak perlu membuang energi. Biar aku yang mengurusnya. Aku menatap Kadek.
Kadek mendengus, dia menarik kursi plastik, duduk. Salah satu petugas berseragam taktis menyerahkan amplop cokelat. Orang berpakaian sipil menerimanya, lantas menumpahkan isi amplop itu ke atas meja. Kartu identitas, paspor, dan Tuan Thomas" Orang itu melihat pasporku, menatapku, memeriksa, dan memastikan.
Aku mengangguk. Anda sering bepergian ke luar negeri. Paspor ini hampir penuh. Ada banyak stempel imigrasi Hong Kong di sini.
Dia meraih paspor lain, menyebut nama Opa, Maryam, dan Kadek.
Karena aku sudah mengenal kalian, aku akan memperkenalkan diri. Namaku Liu. Aku detektif sekaligus kepala pasukan khusus antiteror Hong Kong SAR. Kalian bisa memanggilku Detektif Liu.
Detektif Liu menghela napas panjang, menyandarkan badan di kursi, berkata dengan intonasi serius, Nah, Tuan dan Nyonya sekalian, kita sudah berkenalan. Maka sekarang izinkan saya menjelaskan situasinya. Sesuai undang-undang keadaan darurat otoritas Hong Kong SAR, kami memiliki kekuasaan tidak terbatas untuk menahan kalian. Dalam jangka waktu yang kami butuhkan, di tempat mana pun yang kami inginkan, dan menggunakan cara apa pun untuk mengungkap kasus ini. Kalian tertangkap tangan membawa seratus kilogram bubuk heroin kelas satu, dan persenjataan yang lebih dari cukup untuk mempersenjatai setengah peleton pasukan. Itu jelas tindak kejahatan serius.
Itu bukan barang milik kami. Aku menghela napas perlahan. Yacht itu milik Anda, bukan" Dia tersenyum tipis. Aku menatapnya. Tapi itu tidak menjelaskan apa pun. Siapa pun bisa memasukkan barang itu ke kapal tanpa kami mengetahuinya. Kalian bisa bertanya kepada imigrasi Makau, pebisa mengkonfirmasi kalau kapal itu bersih saat meninggalkan pelabuhan Makau. Kalian juga bisa memeriksa barang-barang itu. Aku jamin, tidak akan ada sidik jari kami berempat di sana.
Orang berpakaian sipil itu menatapku lamat-lamat. Well, itu juga tidak menjelaskan apa pun, Tuan Thomas. Bukankah demikian"
Aku mengembuskan napas. Aku meminta hak untuk menelepon seseorang. Pengacaraku. Orang yang duduk persis di seberang meja itu menggeleng tegas, tersenyum seolah ikut prihatin. Sayangnya, dalam kasus ini, kami bisa membatalkan hak tersebut, Tuan Thomas. Maka, tidak ada telepon, tidak ada kontak dari luar, tidak ada bantuan dari siapa pun. Kalian berempat harus menjelaskan ini semua sendirian. Sekarang silakan dipikirkan baik-baik. Kalian bekerja sama dengan pemerintahan Hong Kong SAR, dan kalian akan memperoleh banyak keringanan hukum, atau memilih keras kepala, menolak bicara, maka kalian akan berhadapan denganku, detektif paling keras kepala.
Aku menyisir rambut dengan jemari. Di sebelahku Opa batuk pelan. Kadek menggerung marah tapi dia tidak bisa melakukan apa pun. Aku telah menyuruh Kadek diam, dan dia selalu menuruti perintahku. Maryam, gadis wartawan itu yang paling kucemaskan. Dia terlihat hendak menangis mendengar perkataan orang di hadapan kami. Situasi ini pasti pertama kali dia hadapi, situasi yang membingungkan, menyebalkan, dan entahlah. Ini jelas pengalaman paling gila yang pernah dia temui. Mulut tersumpal, tangan masih terborgol, berada di dalam ruangan dengan pendingin udara bekerja maksimal, sementara dua senjata Baik, kalian sepertinya belum siap untuk bercerita banyak, dan aku juga harus melaporkan situasi ini. Aku akan membiarkan kalian berempat di dalam ruangan satu jam ke depan. Jangan coba-coba berpikir yang tidak-tidak. Ini benteng pertahanan tangguh. Tiga orang menjaga ruangan ini di luar, dan lebih banyak lagi sepanjang jalur keluar gedung. Kalian akan ditembak di tempat jika mencoba kabur.
Orang berpakaian sipil itu berdiri, menaruh kartu identitas, paspor, dan dokumen kami ke dalam amplop cokelat. Merapikan rambutnya.
Biarkan borgol mereka tetap terpasang. Kalian berjaga di luar. Orang itu berseru pada salah satu petugas berseragam, melangkah cepat menuju pintu. Dan kau, lepaskan penyumpal mulut gadis itu. Dia bisa berteriak semaunya sekarang.
Aku mengeluh bukan karena ditinggalkan begitu saja dalam ruangan itu. Tapi mengeluh untuk dilepasnya penyumpal mulut Maryam. Persis seperti yang diduga, gadis wartawan itu segera berseru-seru saat penutup mulutnya dilepas. Berusaha menjelaskan untuk kesekian kali bahwa dia wartawan resmi sebuah review mingguan terkemuka. Dia berada di tempat yang salah dan waktu yang salah. Sama sekali tidak mengenal kami. Petugas berseragam taktis justru kasar mendorong Maryam kembali duduk, lantas bergegas melangkah keluar, menutup pintu ruangan yang otomatis langsung terkunci, menyisakan teriakanteriakan Maryam.
Aku mengembuskan napas panjang. Urusan ini semakin rumit.
A KU membiarkan Maryam melampiaskan marah dan frustrasinya selama lima menit dia membutuhkan waktu selama itu. Maryam berseru-seru memanggil petugas dan memukul pintu ruangan. Semua sia-sia, petugas di luar ruangan bergeming mendengarkan. Opa di sebelahku terbatuk panjang, menyandarkan punggungnya ke kursi, mengurut dadanya sendiri, memilih tidak banyak bertanya toh, aku juga belum bisa menjelaskan apa yang terjadi. Kadek terus menunduk, menatap meja besar, mendengus, entah sedang memikirkan apa. Dia tidak perlu menjelaskan apa pun. Aku percaya penuh pada Kadek. Barang-barang itu jelas masuk ke kapal tanpa sepengetahuan Kadek.
Aku berdiri perlahan, melangkah ke dinding ruangan yang menghadap jalan dengan jendela kaca tebal dan tirai berwarna krem. Jendelanya tidak besar, lebar setengah meter, tinggi satu setengah meter. Aku menyibak tirai. Kami berada di lantai 15.
Episode 8 Satu Panggilan Telepon Hanya pucuk gedung-gedung yang terlihat, terhalang proyek penghancuran tower yang berada persis di seberang. Bangunan tuanya kusam. Dinding-dindingnya sudah dikelupas, tinggal kerangka gedung setinggi 30 lantai, siap diruntuhkan.
Sebuah crane besar berdiri di depan gedung tua itu, dengan bola baja di ujung belalainya, untuk mengelupas dinding gedung. Hanya itu yang bisa kulihat dari jendela. Langit Hong Kong mendung. Awan gelap menutupi langit sejauh mata memandang.
Aku mengembuskan napas, tidak banyak informasi yang bisa kudapatkan dari bingkai jendela kecil ini. Entah kami berada di Hong Kong bagian mana, persisnya gedung apa. Sepertinya ini bukan markas polisi atau instalasi militer. Suara sepatu mengentak lantai. Suara orang berlalu-lalang di sekitar kami saat dibawa ke ruangan ini menunjukkan demikian. Mungkin mereka punya gedung penyidik sipil untuk keperluan ini.
Aku menyisir rambut dengan jemari. Ayolah, berpikir cepat dan komprehensif dalam situasi terdesak. Detail kecil boleh jadi memberikan celah jalan keluar.
Hei! Kalian dengar" Buka pintunya! Maryam masih berteriak, memukuli pintu ruangan, meneriaki petugas yang berjaga di luar. Aku punya kenalan redaktur senior di surat kabar Hong Kong. Dia bisa memberikan bukti aku tidak terlibat apa pun. Aku kembali melangkah ke kursi.
Percuma, Maryam, mereka tidak akan mendengarkan bahkan kalau kau bilang kenal dekat dengan kepala administratif SAR Hong Kong sekalipun. Kau lebih baik tenang, berpikir, menyimpan tenaga.
Maryam justru balas meneriaki, Bagaimana aku bisa tenang, Aku menggeleng, menatapnya. Duduk, Maryam. Aku akan menjelaskan sesuatu, dan semoga kau jadi mengerti setelah itu.
Maryam tidak peduli. Kau seharusnya menjelaskan ke mereka, Thomas. Aku hanya wartawan yang berada di kapal itu. Aku tidak tahu apa pun.
Duduk, Maryam, aku membujuknya sekali lagi. Kita harus bicara dengan rileks. Nah, setelah itu, kalau kau mau berteriakteriak lagi, silakan. Aku tidak akan melarang. Boleh jadi aku bantu ikut berteriak juga.
Maryam diam sejenak, menatapku tajam. Sepertinya dia mau mendengarkanku sekarang, meski tetap menolak duduk, tetap berdiri di dekat pintu ruangan. Baiklah, aku ikut berdiri, melangkah ke dekatnya. Dari jarak satu langkah, napas Maryam yang masih tersengal karena marah, panik, terdengar jelas. Rambutnya sedikit acak-acakan. Kemeja lengan panjangnnya berkeringat. Dengan tangan terborgol, raut wajah cemas, bingung, hilang sudah semua tampilan wartawan yang gesit, berani, dan bisa diandalkan mengejar berita. Maryam dalam tampilan paling mengenaskan.
Yang pertama, aku bersumpah, kami tidak memiliki barangbarang ilegal itu, sama sekali tidak, Maryam. Aku menatap wajah Maryam sungguh-sungguh. Tidak perlu kupastikan, Kadek jelas tidak tahu-menahu kapan benda itu masuk ke kapal. Aku percaya pada Kadek. Bahkan aku bersedia memercayakan keselamatanku padanya.
Opa juga tidak tahu, apalagi aku yang baru tiba di kapal tadi pagi hampir bersamaan denganmu. Kau harus percaya itu, agar pelan lengan Maryam, memberikan pesan sugestif agar dia mendengar kalimatku lebih baik dan semua akan baik-baik saja. Maryam menyeka pelipis, masih menatapku.
Yang kedua, kita tidak dalam posisi bisa melakukan tawarmenawar dalam kasus ini, Maryam. Tidak akan pernah ada penjelasan masuk akal saat ini, dan mereka tidak akan bersedia mendengar bantahan sedikit pun. Itu masuk akal, tidak akan ada penyidik yang bisa percaya dengan mudah penjelasan empat orang tertangkap tangan bersama seratus kilogram heroin dan setumpuk senjata. Mereka akan memaksakan undang-undang darurat untuk menahan kita hingga kapan pun sebelum proses pengadilan. Kalaupun pengadilan itu terjadi, tidak akan ada yang percaya pada kita. Kau wartawan politik. Kau pasti memahami logika hukum, proses hukum. Penjelasan justru hanya menjadi kontra argumen bagi pengadilan.
Aku menghela napas lagi, menatap mata hitam gadis wartawan di hadapanku yang mulai berkaca-kaca. Ini semua jebakan, Maryam. Jebakan serius dan mematikan. Target mereka yang menjebak jelas, sekali pukul, satu bidak tumbang, berhasil diamankan. Lantas siapa" Apa mau mereka" Apa tujuan mereka" Nah, terlalu naif kalau kau berpikir ini salah paham. Itu benar, kau berada di tempat dan waktu yang keliru, berada di kapal saat penyergapan. Tapi dalang di balik jebakan ini tidak peduli kau, Opa, Kadek, atau siapa pun yang ada di kapal. Dia hanya peduli apakah aku ada di kapal itu atau tidak.
Aku diam sejenak, berusaha lebih terkendali menjelaskan, Iya, itu benar, Maryam. Akulah sasaran tembak mereka. Ada yang merekayasa semua kejadian. Mereka tidak main-main. Mememenjarakan seorang konsultan politik bersama teman-temannya. Ini manuver raksasa.
Apa maksudmu, Thomas" Maryam bertanya pelan, mengusap matanya yang basah.
Konvensi partai politik terbesar dibuka di Denpasar, besok pagi. Klien politik paling penting kami adalah kandidat paling kuat, paling diperhitungkan sebagai calon presiden partai politik tersebut. Dia jujur, memiliki integritas teruji, dan jelas memiliki visi berlawanan dengan banyak status quo. Bayangkan desain besarnya, Maryam. Bukankah tadi pagi aku menjelaskan tentang persekongkolan puluhan senator dipimpin Brutus, lantas menusuk Julius Caesar, orang paling berkuasa pada zaman itu, hingga mati kehabisan darah" Kami sudah menguasai dua pertiga peserta konvensi. Lawan politik klien kami panik. Mereka memutuskan untuk bermain kotor, dimulai dari menjatuhkan bidak-bidak.
Api Di Bukit Menoreh 16 Vladd Remote Control Boy Karya Hilman H Menyingkap Karen 5

Cari Blog Ini