Negeri Di Ujung Tanduk Karya Tere Liye Bagian 3
Kalau orang tua ini tidak keliru, bukankah itu stasiun kereta tempatmu turun dulu, Tommi" Opa berkata pelan. Aku menoleh sekilas ke belakang, Opa sudah terbangun. Sebuah bangunan stasiun sederhana terlihat di sisi kanan mobil yang sedang melintasi jalan kereta. Anak-anak berlarian di relnya, melambaikan tangan, bersorak riang. Aku menatap bangunan stasiun itu, memperlambat mobil. Opa benar. Itu stasiun kereta terakhir tempat aku turun dulu. Dengan buntalan kain kumal, berisi pakaian seadanya, sisa potongan roti yang tidak habis kumakan selama perjalanan, aku diturunkan kondektur kereta yang juga tetangga kami di Surabaya dan sengaja mengantarku. Kondektur menepuk bahuku, memelukku erat-erat, berbuh menjadi anak laki-laki yang membanggakan orangtuamu. Dia berusaha menahan tangis.
Aku tidak. Air mataku sudah kering selama perjalanan. Aku selalu ingat kejadian itu. Hidupku berubah drastis, bagai arah kapal yang berbelok kemudi seratus delapan puluh derajat. Baru 48 jam lalu aku riang mengantar botol susu ke tetangga, membagikan susu sesuai perintah Mama untuk tetangga yang membutuhkan. Aku semangat mengayuh sepeda kembali ke rumah, ingin menagih upah, tapi yang kulihat dari kejauhan justru kepul asap membubung tinggi di udara. Nyala api terlihat garang membakar rumah kami. Aku berteriak. Aku menjerit panik, berusaha mengayuh sepeda lebih cepat.
Dua-tiga orang dewasa, bapak-bapak tetangga rumah lebih dulu menyambar sepedaku, menahanku. Jangan ke sana, Thomas. Jangan! Dua-tiga ibu-ibu yang lain menarikku masuk ke salah satu rumah. Usiaku sepuluh tahun, aku belum mengerti secara lengkap apa yang sebenarnya terjadi. Ketika persekongkolan jahat, diotaki dua orang penegak hukum yang seharusnya melindungi keluarga kami, dengan tega membiarkan puluhan orang yang tidak dikenal mengamuk menuntut uang arisan berantai Liem & Edward dikembalikan. Tuntutan itu tidak dipenuhi. Mereka marah, membakar rumah dan gudang keluarga besarku.
Opa, Tante Liem, dan beberapa pembantu rumah berhasil selamat, melarikan diri. Mereka dibantu para tetangga yang selalu menyayangi keluarga kami karena Mama amat peduli dengan sekitar. Om Liem yang berada di pelabuhan ikut selangan kargo kosong karena terbakar selama perjalanan dari Singapura. Esok lusa dia dituntut atas kasus arisan berantai itu dan dihukum empat tahun kurungan. Dia mencicipi penjara untuk pertama kalinya.
Aku berteriak-teriak. Aku ingin melihat rumah. Aku ingin mencari Mama-Papa. Para tetangga mati-matian mencegahku, memegang tanganku, dan mencengkeram kakiku. Mereka menjelaskan, itu tidak bisa dilakukan sekarang, puluhan orang tidak dikenal dengan membawa senjata tajam masih bersorak di jalanan, menyaksikan gemeletuk api membakar semuanya. Runtuh tiangnya, ambruk atapnya. Mereka malah bertepuk tangan puas, tidak peduli ada orang di dalam rumah.
Saat malam tiba di puncaknya, ditemani empat-lima pemuda dengan membawa pentungan dan senjata seadanya, untuk berjaga-jaga dari segala kemungkinan, aku akhirnya diantar ke rumah. Tidak ada lagi yang tersisa, hanya puing hitam yang masih merah mengepulkan asap. Lututku lemas. Aku jatuh terduduk, menangis tersedu, meraup abu di sekitar. Tidak ada lagi yang tersisa. Papa-mamaku terbakar, entah di mana jasadnya.
Cukup, Thomas. Cukup, Nak. Salah satu tetanggaku meraih bahu, menyuruhku berdiri. Habis darah di badan, kering air mata, kita tidak bisa mengembalikan apa yang telah terjadi. Cukup, Nak.
Aku jadi yatim-piatu sejak itu. Opa, Tante Liem entah mengungsi ke mana. Mereka menduga aku ikut menjadi korban. Opa telah kehilangan seluruh kekayaannya. Tetangga berembuk. Aku tidak bisa tinggal di kota itu, boleh jadi mereka masih mencari keluarga Opa yang tersisa. Salah satu tetangga mengusulkan tim-piatu. Keputusan diambil malam itu juga. Dari uang sumbangan tetangga yang tidak banyak, sebuntal kain kusam berisi pakaian, roti, dan air minum, aku dibawa kondektur kereta itu ke stasiun Surabaya. Kami menumpang kereta paling pagi, berangkat ke ujung pulau di sebelah barat. Perjalanan dua belas jam lebih.
Aku masih ingat sekali semua kejadian itu. Aku menghela napas pelan. Mobil Jeep dobel gardan yang kukemudikan melintas perlahan di jalanan perkampungan. Membawa semua kenangan itu kembali, memenuhi setiap jengkal kepalaku.
Beberapa anak-anak berlarian mengejar mobil, tertawa. Tidak setiap hari mereka bisa melihat mobil langsung, apalagi mobil besar seperti yang kami naiki. Opa membuka jendela mobil, ramah melambaikan tangan kepada mereka. Penduduk lain, orangorang dewasa, duduk di beranda rumah, atau berkumpul di balai bambu, mengobrol menunggu matahari terbenam, memperhatikan mobil yang lewat.
Sudah lama sekali aku tidak ke sini, Tommi, Opa tertawa pelan, menyaksikan satu anak yang saking semangatnya mengejar mobil terjerembap di parit, membuat badannya kotor, sejak membujukmu agar ikut Opa. Berapa kali" Tiga kali" Dan kau tetap tidak mau pergi. Memilih tinggal di sini.
Aku mengangguk. Tante Liem-lah yang pertama kali datang menemuiku. Setelah hampir dua tahun aku tinggal di sini. Tante Liem memperoleh kabar dari tetangga lama, meminta alamat. Tante Liem menangis saat melihatku, memelukku erat-erat. Ya Tuhan, kami tidak pernah tahu kau selamat, Tommi. Sungguh terima kasih ternyata kau selamat. Dia menciumi keningku, rambutku. Aku selalu suka dengan Tante Liem. Dia mirip sekali dengan Mama. Selalu sabar, selalu peduli, dan pintar masak. Tetapi aku menggeleng tegas saat Tante mengajakku pulang, menawarkan tinggal bersama di rumah baru keluarga kami.
Juga saat Opa ikut mengunjungiku, membujukku, hingga berkali-kali datang, aku tetap menggeleng. Inilah keluarga baruku sekarang. Di sinilah aku akan menghabiskan waktu hingga masa itu tiba. Opa menatapku lamat-lamat, akhirnya mengalah di kunjungan ketiga. Maka biarlah demikian, Nak. Kau benar, tempat ini akan membasuh seluruh kenangan buruk itu. Kau akan memperoleh segala pengetahuan yang kaubutuhkan. Hanya saja, besar harapan Opa, besok lusa, kalau kau sedang libur, kau bisa menyisihkan waktu mengunjungi kami, bukan" Menghabiskan waktu bersama Opa dan tantemu.
Aku mengangguk. Aku bisa melakukan yang satu itu. Mobil Jeep dobel gardan yang kukemudikan telah meninggalkan perkampungan itu. Kali ini benar-benar memasuki jalan yang susah payah dilewati karena itu memang bukan jalan mobil, melainkan jalan setapak. Dari perkampungan terakhir tersebut, tujuan kami sudah tidak jauh lagi, hanya tujuh kilometer. Dulu, aku berjalan kaki melewati jalan ini, juga waktu dulu pertama kali aku ke sini. Dengan tatapan datar, setelah bertanya ke beberapa penduduk, aku memasang buntalan kain di pundak, melangkah meninggalkan stasiun, berjalan menyusuri jalan setapak.
Tidak ada lagi hamparan sawah selepas perkampungan, berganti dengan semak belukar, rawa gambut di kiri-kanan. Juga satu-dua pohon bakau. Mobil terus melaju di atas jalan setapak belahnya, berpegangan dengan dua tangan. Kadek menolehku berkali-kali, memastikan apakah jalanan ini aman dilalui. Aku mengabaikan wajah cemas Kadek. Aku sedang konsentrasi penuh. Mobil terbanting kiri-kanan, depan-belakang, menderum keras, berusaha melewati lumpur, melindas semak, dan terus maju.
Tiga puluh menit berlalu. Pukul 17.45 mobil yang kukemudikan akhirnya tiba di tempat tujuan, keluar dari jalan setapak itu. Waktu yang sama persis saat aku dulu tiba.
Di momen seperti inilah aku tiba pertama kali di tempat ini. Matahari bersiap ditelan kaki langit. Suara debur ombak terdengar gagah. Hamparan pantai luas terbentang di depanku. Pemandangan sunset yang hebat telah menunggu. Lihatlah, bola bundar matahari sudah separuh terbenam. Jingga membungkus lautan. Kilat warnanya memantul di air, kerlap-kerlip menimpa wajahku. Saat itu usiaku sepuluh tahun. Itu momen paling hebat yang kurasakan setelah kejadian 48 jam terakhir. Aku tidak pernah membayangkan kalau tempat yang kutuju adalah sebuah pantai, tersembunyi di balik rawa gambut luas dan semak-belukar. Aku telah tiba.
Satu plang dari kayu terlihat di ujung jalan setapak Kaki Langit .
Sebuah bangunan tua kokoh besar berdiri di tepi pantai menyambutku. Bangunan itu menghadap persis ke arah lautan yang bergelora, ombak yang menjilat-jilat pantai. Dindingnya bebatuan kasar. Atapnya genteng merah. Tingginya tiga lantai. Lebarnya tidak kurang dari dua puluh meter. Itu sebuah bangunan yang gagah dan mengesankan ditambah latar lautan.
anak dan remaja, sebelum melanjutkan sekolah di universitas luar negeri.
Inilah sekaligus tempat terbaik bagi Opa bersembunyi.
M OBIL Jeep dobel gardan berhenti di halaman bangunan
tanpa pagar. Guru Alim, demikian kami semua memanggilnya dulu, menyambut kami yang turun dari mobil. Dia tersenyum takzim, menatapku, lantas berkata dengan intonasi suara yang terdengar ramah menenteramkan, Kau sepertinya sedang butuh tempat bermalam, anakku.
Aku tersenyum, meraih uluran tangannya, memegangnya eraterat, lantas memeluknya. Usia Guru Alim tidak jauh dengan Opa. Dulu usianya lima puluh tahun saat aku pertama kali tiba di sekolah ini. Itu juga kalimat yang sama saat melihatku, seorang anak kecil berusia sepuluh tahun, berpakaian lusuh, membawa buntalan kain kusam di punggung, dan ragu-ragu melangkah hendak memasuki bangunan asing di depannya. Apa kabar, Thomas" Guru Alim tersenyum.
Episode 5 Kakak Kelas Satu Sekolah
Ah, dunia ini selalu dipenuhi kabar buruk, anakku. Agar semua orang selalu menyadari, ada banyak kabar baik yang akan segera datang setelahnya. Hei, kau tidak datang sendirian. Astaga" Aku sepertinya ingat beliau ini" Chan" Bukankah kau kakek Thomas, kalau tidak keliru"
Opa tertawa, mengulurkan tangan.
Kau sama sekali tidak berubah sejak pertama kali datang ke sini, Chan" Masih sama mudanya, sama sehatnya. Bukan main, padahal itu sudah dua puluh tahun lalu. Guru Alim bergurau, tertawa, menepuk-nepuk bahu Opa.
Kau juga tetap sama, Alim. Bukan hanya tetap muda dan sehat, juga masih dan selalu memberikan tempat yang hangat bagi orang-orang yang membutuhkan pertolongan. Mereka berdua berjabat tangan.
Nah, dua yang lain aku tidak kenal. Bisakah kau memperkenalkan mereka, Thomas" Di dunia ini tidak ada yang lebih banyak membuka kunci pintu dibanding berkenalan dengan banyak orang, silaturahim. Guru Alim menoleh ke Maryam dan Kadek.
Aku mengenalkan Maryam dan Kadek.
Murid di sekolah itu tidak pernah banyak karena mereka tidak membuka pendaftaran, dan tidak banyak yang tahu. Waktu aku dulu sekolah di sana, hanya seratusan murid. Itu pun sudah semuanya, dari anak-anak kelas satu SD hingga SMA. Guru di sekolah itu juga hanya sebelas orang, dengan Guru Alim sebagai ketuanya. Murid sering kali belajar dengan kelas bercampur. Aku pertama kali masuk ruangan harus segera menyesuaikan diri, karena di kelas itu bukan hanya anak sekelasku, pelajaran IPA. Guru mengajar simultan, ada dua-tiga papan tulis yang diletakkan di setiap dinding, dan murid bebas menghadap papan tulis yang dia mau.
Kami tidur di kamar-kamar besar, dengan ranjang bertingkat. Satu kamar bisa menampung dua belas anak, dengan enam ranjang berdempet. Kami selalu makan bersama di meja panjang dapur. Ada lima meja panjang, yang setiap meja memiliki dua puluh kursi. Guru-guru makan bersama kami, dengan menu sama yang dimasak bergantian oleh murid. Guru Alim tinggal di bangunan itu bersama beberapa guru, sedangkan sisanya memiliki rumah di perkampungan terdekat. Ke perkampungan itu pula setiap minggu beberapa murid bertugas mengambil keperluan sekolah. Berjalan kaki, menunggu kereta berhenti di stasiun, lantas kembali dengan mendorong gerobak berisi barang-barang. Itu favoritku. Aku selalu semangat jika giliranku tiba.
Ada banyak lorong dan tangga di bangunan tua itu. Itu juga selalu menjadi favoritku, memeriksa setiap lorong, setiap kamar. Atau sekadar berjalan mengelilingi bangunan besar tersebut, menghabiskan waktu.
Ada dua kamar untuk tamu yang bisa kalian pakai. Maryam bisa menggunakan salah satunya. Guru Alim mengajak kami masuk, menaiki anak tangga menuju lantai dua.
Tidak perlu dua kamar, aku yang melangkah di belakang Guru Alim memotong, hanya Opa ditemani Kadek yang akan bermalam di sini. Aku dan Maryam akan kembali ke Jakarta. Ada banyak yang harus kami kerjakan.
Guru Alim berhenti, menoleh. Dahinya sedikit terlipat.
kami butuh pertolongan. Opa memerlukan tempat untuk tinggal setidaknya dua hari ke depan.
Guru Alim menggeleng. Bukan soal penjelasannya, Nak. Ah, kau selalu diajari di sekolah ini, Thomas, penjelasan akan tiba pada waktu yang pas, tempat yang cocok, dan dari orang yang tepat. Maksudku, apakah kau tidak tertarik menghabiskan waktu sebentar di bangunan tua ini" Setengah jam lagi jadwal makan malam, apakah kau tidak ingin mengenang masa lalu itu, duduk di bangku panjang, semangat menghabiskan masakan murid"
Aku menatap Guru Alim yang tersenyum.
Itu senyum yang sama, saat dua puluh tahun lalu aku diantar ke lantai tiga, ditunjukkan kamar untuk meletakkan buntalan kainku. Aku mengambil sepucuk surat yang ditulis tetangga dari lipatan baju, menyerahkan padanya. Guru Alim menggeleng. Kita bisa baca nanti-nanti suratnya, Nak. Penjelasan adalah penjelasan, terkadang tidak perlu diburu-buru, agar kita bisa lebih baik memahaminya. Nah, sekarang kau sebaiknya mandi, berganti pakaian. Aku akan memperkenalkan kau sebagai murid baru sekolah ini persis di momen terbaik. Makan malam. Aku tunggu di ruangan besar lantai satu. Seluruh murid sudah berkumpul di sana.
Apakah kau akan makan malam bersama kami, Thomas" Ayolah, paling hanya setengah jam, Guru Alim bertanya lagi, menunggu jawabanku.
Aku berpikir sejenak, akhirnya mengangguk. Tidak ada salahnya menghabiskan waktu sebentar di bangunan tua ini. Aku di atas pesawat. Itu ide yang baik, makan malam bersama murid-murid sekolah.
Guru Alim tertawa senang, ikut mengangguk, kembali beranjak menaiki anak tangga, menuju lorong lantai dua, terus melangkah di depan kami hingga tiba di sayap paling kanan, menunjukkan kamar untuk tamu. Itu hanya kamar berukuran tiga kali empat, dengan dua tempat tidur berkasur tipis, sebuah lemari, meja, dan dua kursi.
Kamarnya sederhana sekali, Chan. Guru Alim menoleh, menatap Opa. Kamar mandinya juga bergabung bersama muridmurid. Semoga kau tidak keberatan.
Opa tanpa perlu melihat seluruh sudut kamar sudah menjawab mantap, Ini lebih dari cukup. Terima kasih banyak.
Nah, aku harus meninggalkan kalian, masih ada satu-dua urusan di bawah. Jangan lupa, setengah jam lagi segera bergabung bersama murid-murid di ruangan besar. Sementara waktunya belum tiba, kau bisa mengajak yang lain berkeliling bangunan tua ini, Thomas. Seingatku, kau dulu murid yang paling banyak menghabiskan waktu di ruangan hukuman karena berkeliaran di sekolah pada malam hari. Jadi, rasa-rasanya kau masih ingat lorong-lorongnya, tidak akan tersesat. Guru Alim tertawa, menepuk lenganku.
Aku ikut tertawa, mengangguk. ***
Aku tidak pernah menyesal menghabiskan waktu tujuh tahun di Kaki Langit .
lekat di kepalaku. Puing-puing yang masih merah membara, kepulan asap, dan debu hitam tidak bisa kuenyahkan dengan mudah. Termasuk mimpi-mimpi buruk, terjaga pada malam hari dengan tubuh berkeringat, mengigau, berteriak-teriak mengganggu tidur lelap teman sekamarku. Tetapi bulan-bulan berikutnya, kesibukan di sekolah menjadi obat yang mujarab.
Kami diajarkan mandiri di sekolah itu, mencuci pakaian sendiri, membersihkan kamar, menyikat kakus, menyapu kelas, membersihkan seluruh gedung, termasuk bergantian memasak di dapur, dan bekerja sungguhan. Ada murid yang menjadi buruh tani di perkampungan terdekat, menjadi nelayan, kuli bangunan, berjualan kerajinan, apa saja. Sekolah itu gratis, dan kami bekerja sukarela untuk memenuhi keperluan sehari-hari. Seminggu sekali kami mengirim surat ke toko grosir kota kecamatan. Dua hari kemudian mereka membalas surat itu dengan mengirimkan barang-barang kebutuhan pokok lewat kereta. Kami membawa gerobak ke stasiun. Kami mengurus diri sendiri, termasuk keperluan sehari-hari. Guru-guru hanya mengawasi. Aku tidak keberatan harus berdisiplin dan bekerja keras di sana. Aku membutuhkan semua kesibukan. Aku menyukai sekolah itu.
Ini indah sekali, Thomas. Maryam yang berdiri di sebelahku berkata pelan.
Aku mengangguk. Kami sedang berada di beranda lantai dua bangunan, menghadap persis ke lautan lepas. Lampu-lampu bangunan sudah dinyalakan. Matahari sudah hilang di kaki langit, menyisakan semburat merah yang sebentar lagi hilang ditelan malam. Binsabit. Kerlip lampu dari kapal nelayan terlihat dari kejauhan, berangkat melaut, sepertinya mencari rajungan.
Aku sedang menunjukkan kepada Maryam, cahaya terang yang terlihat menyorot ke lautan gelap, berasal dari menara yang menjorok di teluk, sekitar satu kilometer dari sekolah. Itu mercusuar, dibangun pada zaman Belanda. Bangunan tua ini satu kesatuan dengan mercusuar itu. Pantai ini dulunya adalah markas angkatan laut Belanda. Mereka membangun barak dan mercusuar untuk menuntun kapal melepas sauh, kemudian menurunkan kapal kecil mendarat. Pasukan Belanda telah kembali ke negaranya lebih dari setengah abad lalu. Bangunan tua ini terbengkalai hingga kemudian berubah menjadi sekolah.
Kau sungguh menghabiskan waktu tujuh tahun di sini, Thomas" Maryam bertanya. Kami sudah meninggalkan beranda. Pertunjukan fantastis sunset sudah selesai. Opa sedang mandi, Kadek menunggu di kamar, membereskan pakaian Opa yang disiapkan Maggie bersama mobil Jeep dobel gardan itu. Aku menyuruh Maggie memasukkan apa pun yang dibutuhkan Opa untuk keperluan dua hari. Semoga saja pakaian yang disiapkan Maggie pas.
Iya, tujuh tahun terbaik dalam hidupku, aku menjawab datar.
Kau tahu, hampir semua wartawan di kantor menganggapmu konsultan politik paling menyebalkan, Thomas. Maryam tertawa kecil. Baru terjun ke dunia politik enam bulan, baru memenangi dua pemilihan gubernur dengan faktor keberuntungan pula, sudah bergaya setiap diminta memberikan pernyataan, apalagi wawancara.
Oh ya" Aku menoleh ke Maryam. Seburuk itukah kalian Maryam menyeringai, mengangguk. Ada teman wartawan yang bahkan menjulukimu Mister Sok Cool. Andai saja dia tahu kau pernah sekolah di bangunan tua ini. Thomas, lulusan dua sekolah ternama luar negeri itu, pemilik perusahaan konsultan besar, ternyata pernah sekolah di sini. Dia pasti berubah pikiran. Thomas ternyata tidak sekadar keren karena dia cucu seorang pemilik imperium bisnis atau mewarisi nama besar keluarganya.
Aku menggeleng. Bukan itu maksudku. Seburuk itukah kalian menilai kemenangan klien politik kami" Hanya faktor keberuntungan"
Maryam mengangkat bahu. Tapi itu hanya gurauan antarwartawan, Thomas. Maksudku, soal keberuntungan itu juga joke.
Iya, aku tahu itu konsumsi percakapan antarwartawan, aku mengangguk, tetapi itu jelas bukan karena keberuntungan, Maryam. Itu hasil kerja keras riset yang hebat. Sebuah riset yang dilakukan hati-hati, sejak awal. Kami tidak akan bekerja sama dengan klien tertentu jika tidak memiliki kemungkinan menang. Kau mungkin tidak akan percaya, tapi kami sama sekali tidak dibayar klien politik kami.
Maryam menatapku, tidak percaya. Tidak dibayar" Kau ingin melihat sesuatu" Kau pasti suka mengetahuinya. Aku tersenyum, dan sebelum Maryam menjawab iya atau tidak, aku sudah berbelok, melangkah ke lorong lain lagi, menuju sayap paling kiri bangunan tua itu. Lantai dan langit-langit lorong terlihat bersih, terawat, lampu di dinding menyala terang. Kami melewati kamar-kamar murid kelas atas (SMA), yang kosong, karena mereka sudah berkumpul di ruangan besar, menunggu mengintip sekilas. Namun, bukan itu tujuan kami. Tujuanku adalah ruangan paling ujung. Itu tempat anak-anak kelas atas menghabiskan waktu senggang bersama, entah dengan mengobrol ringan, mengerjakan tugas, membaca, bermain, atau menjaili teman yang lain. Itu ruangan santai.
Ada tiga tempat duduk besar di ruangan itu. Lemari buku berjajar. Beberapa buku terlihat berserakan di meja dan lantai yang dilapisi karpet. Aku melangkah ke salah satu dinding ruangan. Maryam terus mengikutiku. Dia berdiri sejenak, mendongak, dan menatap bingkai foto-foto di dinding. Ada sekitar dua puluh lima foto besar yang dipajang. Itu foto penuh kenangan, foto kami penghuni sekolah berasrama. Satu foto untuk satu angkatan.
Kau lihat yang ini. Aku mencari-cari, lantas menunjuk sebuah pigura. Satu angkatan hanya ada lima belas hingga dua puluh anak, sebanyak itulah isi foto.
Maryam mendekat, memeriksa, mengangguk. Ini kau, Thomas"
Aku mengangguk. Ya ampun, kau dulu sekurus ini" Dengan wajah tirus, tinggi, kau berbeda sekali dengan tampilan sekarang.
Aku tertawa. Tidak ada keren-kerennya sama sekali, bukan" Apalagi sok keren"
Maryam ikut tertawa. Mataku mencari foto yang lain, agak lama menemukannya. Terhenti.
Nah, kau lihat yang ini, Maryam.
Maryam beranjak ke dekatku. Mengikuti arah telunjukku.
Mari kuperkenalkan. Dialah klien politik paling penting kami. Dialah kandidat terkuat konvensi partai yang diadakan besok. Calon presiden terbaik yang pernah dimiliki negeri ini. Seseorang yang sederhana, bersih, dan bersumpah sejak dia masih sekolah di tempat ini akan menegakkan hukum di seluruh negeri.
Mata Maryam membulat. Wajahnya sungguh terkejut. Kau terkejut, bukan" Aku juga terkejut. Aku tidak tahu soal ini saat pertama kali berkenalan dengannya di perjalanan Jakarta-London. Aku baru tahu saat dia bercerita. Dia kakak kelasku, terpisah enam belas tahun, terlalu jauh untuk bisa saling kenal. Yatim-piatu, sama dengan seluruh murid di sekolah ini. Bapaknya satpam salah satu pabrik tebu, meninggal karena terlalu jujur, dibunuh orang suruhan atasannya yang suka mencuri gula di pabrik. Ibunya menyusul dua bulan kemudian, meninggal karena sakit, dan dia sebatang kara, dikirim ke sekolah ini.
Kami melakukan riset yang mendalam, Maryam. Kami hanya mendukung kandidat yang tidak bisa dikalahkan, membungkusnya, mengemasnya dalam komoditas politik terbaik. Itu bukan keberuntungan. Itu hasil kerja keras. Khusus untuk yang satu ini, itu jelas kebetulan menyenangkan kalau kami berasal dari satu sekolah. Membuatku lebih meyakini untuk menjual o mongkosong tersebut. Aku mengenalnya lebih dari siapa pun. Fakta dia pernah bersekolah di sini lebih dari cukup sebagai jaminan kualitasnya.
Maryam masih terdiam. Dia sedang mengunyah fakta menakjubkan di hadapannya. Dia seolah tidak membaca dengan baik riwayat hidup gubernur ibu kota paling sukses ini, yang kebanyakan, hanya sebuah sekolah di pelosok, tidak penting. Sebuah karakter dan prinsip yang cemerlang tidak akan pernah datang dari sekolah dengan gedung megah, tapi dipenuhi guruguru yang rakus dengan uang, hingga urusan jalan-jalan atau seragam saja bisa jadi lahan bisnis. Karakter dan prinsip yang cemerlang selalu datang dari tempat yang cemerlang sesederhana apa pun tempatnya, datang dari proses pendidikan yang baik, dari guru-guru yang tulus dan berdedikasi tinggi. Kaki Langit adalah tempat terbaiknya.
P UKUL 19.00 setelah makan malam seru bersama seratusan
murid dan guru-guru di lima meja panjang, aku dan Maryam meninggalkan bangunan tua di tepi pantai itu. Guru Alim, Opa, dan Kadek melepas di halaman.
Aku akan menjaga Opa, Pak Thom, dengan nyawaku. Pak Thom tidak perlu mencemaskan apa pun, Kadek mengangguk, berkata mantap sebelum aku berpesan hal tersebut. Aku menepuk bahu Kadek penuh penghargaan. Ada banyak yang bisa dilakukan di tempat ini, Thomas. Kauurus apa pun yang hendak kauurus, kau bisa meninggalkan kakekmu dengan aman di sini. Guru Alim menjabat tanganku. Aku dan Chan bahkan bisa menghabiskan waktu dengan bermain catur... hei, aku juga baru tahu kalau dia suka memainkan musik" Klarinet"
Episode 6 Selalu Ada Pola di Dunia Opa memainkan alat musik apa pun. Dia tidak mau berhenti kalau sudah memulainya.
Guru Alim terkekeh pelan. Opa melotot padaku. Mobil Jeep dobel gardan yang kukemudikan meninggalkan bangunan tua itu setelah satu-dua kalimat lainnya. Lampu terang mobil menyorot jalan setapak yang harus dilewati, aku berseru pendek ke Maryam, Berpegangan. Lantas menekan pedal gas, menambah kecepatan. Aku harus segera tiba di Jakarta. Dua jam lagi akan ada konferensi pers dari markas polisi terkait penangkapan klien politikku. Aku harus menyaksikannya meskipun hanya lewat televisi. Pernyataan mereka boleh jadi penting dalam kasus ini.
Sepertinya semua murid di sekolah itu pintar memasak, Thomas! Maryam berseru. Mobil terus terbanting kiri-kanan, naik-turun. Kami baru saja melewati perkampungan terdekat, kembali melewati jalan tanah yang penuh lubang dan lumpur.
Aku tertawa, mengerti arah topik percakapan yang dicomot Maryam sambil melewati jalanan rusak. Tentu saja. Kau tidak menduga ternyata masakan sederhana di atas meja tadi lezat, bukan" Kami terpaksa belajar memasak, Maryam, karena tidak ada yang akan memasak kecuali kami sendiri. Resepnya selalu sederhana, kalau kau ingin selalu memakan masakan lezat di atas meja, maka saat giliran tugas tiba masaklah sebaik mungkin.
Maryam menyeringai menatapku yang konsentrasi penuh dengan kemudi, Suatu saat akan menarik mencicipi masakanmu, Thomas. Apakah selezat itu"
Aku mengangkat bahu, pura-pura sombong. Sayangnya aku tidak meletakkannya di curriculum vitae-ku, Maryam, membuat itu tidak tahu fakta tersebut, bukan" Lebih asyik mengurus selentingan kabar kalau aku cucu pemilik imperium bisnis, memanfaatkan nama besar orangtua.
Maryam tertawa kecil. Aku tahu sekarang, kau tipe cowok pendendam, Thomas. Aku bisa pastikan itu. Satu jam terakhir sudah dua kali kau mengungkit hal tersebut, menyindir balik. Hei, semua yang kukatakan tadi sore hanya bergurau.
Aku ikut tertawa, tidak berkomentar lagi. Aku sedang memutar setir dengan cepat. Mobil Jeep dobel gardan yang kukemudikan akhirnya tiba di jalan beraspal mulus. Roda mobil meninggalkan jejak lumpur panjang. Aku menarik tuas penyemprot air, menyalakan pembersih kaca depan. Ada banyak percik lumpur di kaca. Mobil melaju semakin kencang, saatnya mencoba kecepatan penuh mobil ini, masuk ke jalan bebas hambatan. Kembali ke Jakarta.
*** Pukul 20.30 mobil memasuki parkiran gedung tempat perusahaan konsultanku berkantor. Jalanan Jakarta ramai. Orang-orang keluar rumah menghabiskan malam pertama long weekend di pusat perbelanjaan, hiburan... entahlah, tapi itu tidak menghentikanku tiba setengah jam lebih cepat.
Lobi gedung sepi, hanya menyisakan dua petugas sekuriti yang kukenal baik. Mereka menyapa, Selamat malam, Pak Thom. Lembur"
Aku mengangguk. Beberapa petugas maintenance gedung sedang bekerja, tiga ratusan lampu kristal gantung di langit-langit lobi. Sebagian yang lain tampak sedang memeriksa dinding luar gedung, mengganti lampu sorot sekaligus permainan cahaya di dinding gedung, menggunakan gondola yang biasa digunakan petugas pembersih jendela. Libur panjang selalu menjadi kesempatan baik melakukan perawatan gedung tanpa mengganggu aktivitas perkantoran.
Maggie masih berada di ruangannya, terlihat sibuk. Berkasberkas menumpuk di meja, kursi, dan lantai, berserakan saat aku melangkah masuk.
Kau butuh bantuan, Meg"
Maggie mengangkat kepalanya, melihatku, juga melihat Maryam yang berjalan di belakangku. Demi melihat Maryam, Maggie segera meloncat, masih memegang stabilo, menyeretku ke sudut ruangan, berbisik, Tidak salah" Bukannya itu nenek lampir yang sejak seminggu lalu meminta jadwal interview denganmu" Dia bahkan mendatangi meja kerjaku, memaksa" Astaga! Sekarang kauajak dia ke kantor" Kau tidak sedang diteluh dia, Thom"
Aku tertawa kecil, menatap Maggie sebal. Kau selalu menjuluki semua wanita yang sedang bersamaku dengan sebutan itu, Meg. Bagaimana kemajuan tugas yang kuberikan"
Jangan-jangan kau sudah bersama nenek lampir itu sejak dari Hong Kong" Maggie masih berbisik, justru tertarik memperpanjang urusan lain. Maryam berdiri agak jauh di tengah ruangan, melihat tumpukan dokumen di mana-mana. Tidak memperhatikan apa yang sedang kami bicarakan. Bahkan dari Makau, Meg. Dia naik kapal pesiar bersamaku Ya ampun! Maggie berseru tidak sadar bahwa dia berseru, membuat Maryam menoleh. Kau sudah mengajak nenek lampir itu naik kapal pesiar" Nasib, sebentar lagi aku juga akan menjadi bawahan dia, disuruh-suruh mengerjakan tugas remeh-temeh.
Kau berlebihan, Meg. Aku masih tertawa. Bagaimana pekerjaan yang kuberikan"
Maggie masih bersungut-sungut, melirik Maryam dua-tiga kali, baru akhirnya menjawab pertanyaanku, Separuh jalan, Thom. Kami tidak menduga akan sebanyak itu data yang akan ditemukan. Sebentar, aku panggil Kris, dia bisa menjelaskan dengan lebih baik. Maggie bergerak ke meja kerjanya, menghubungi ruangan lain, bicara sebentar.
Sebagian besar data bisa diambil di jaringan internet. Maryam kembali bicara padaku, meletakkan gagang telepon. Kris dan stafnya yang mengerjakan, tapi banyak data penting yang tidak tersedia di sana. Itu, dua tumpukan tinggi kertas, aku peroleh dari database lama milik kantor berita yang sudah tutup. Tumpukan yang lain aku peroleh dari internal kantor pusat partai tersebut, arsip lengkap tentang anggota partai mereka.
Kau mendapatkan data dari internal partai" Ini brilian, Meg. Aku menatap Maggie penuh penghargaan, meraih dua bundel berkas paling atas dari tumpukan tersebut, dan membaca halaman depannya.
Bukankah kau sendiri yang menyuruhku menggunakan semua akses" Ada teman lama yang bekerja di sana, dan dengan sedikit bujukan, aku berhasil memperoleh fotokopinya. Sebenarnya aku harus menyuap mahal, tapi tidak masalah, akan kutagihkan ke kantor. Bukan uangku ini. Maggie mengangkat Aku tertawa, mengangguk.
Ada yang bisa kubantu, Thom" Sementara Maryam beranjak mendekatiku, dia bosan menunggu. Maggie menyikutku, memasang wajah mengolok.
Aku menggeleng. Belum ada. Sementara kau bisa melihat-lihat kantor kami, Maryam. Di bagian dalam adalah ruangan kerjaku. Dari balik jendela kacanya, kau bisa melihat seluruh kota Jakarta dari sana. Aku harus mendengarkan penjelasan Kris tentang program komputer, data, sejenis itulah, kau boleh jadi tidak tertarik.
Kris, umur panjang, belum sedetik aku menyebut namanya, staf khusus bagian teknologi informasi (TI) yang baru bekerja setahun di perusahaan, masuk ke ruangan Maggie. Aku merekrutnya atas rekomendasi Theo yang menghabiskan waktu bersama jaringan komputer lebih banyak dari siapa pun. Kris, senasib dengan Theo, drop out dari kuliahnya, lebih sial lagi Kris tidak memiliki ijazah formal, tapi kemampuannya mengolah data bisa diandalkan. Di masa lalunya, dia peretas jaringan amatir yang cukup merepotkan. Aku tahu dia pernah berurusan dengan satuan khusus kejahatan komputer (cyber crime) kepolisian Singapura, karena dituduh meretas salah satu pusat data perusahaan retailer, meskipun tidak pernah terbukti dia yang melakukannya.
Selamat malam, Kris. Aku mengulurkan tangan. Malam, Thomas. Anak muda yang lima tahun lebih muda dariku itu menjabat tanganku.
Aku selalu terpesona melihat penampilannya, T-shirt dengan jaket seadanya, celana jins berlubang, dan bersandal jepit. Ramapalagi, kusam, terlihat seperti tidak tidur berhari-hari. Selintas tidak ada yang bisa menunjukkan kalau dia adalah komandan bagian TI yang khusus kudirikan sejak membuka unit konsultasi politik. Ada lima staf Kris. Tugas mereka menangani ramainya lalu lintas jejaring sosial saat pemilihan dua gubernur terakhir. Mereka membaca ribuan bahkan jutaan kicauan di jejaring sosial, mencari pola arah percakapan, topik apa saja yang menarik, topik apa saja yang buruk di mata pemilih. Mereka juga memberikan rekomendasi strategi kampanye di dunia internet. Jejaring sosial adalah masa depan politik. Kuasai dunia maya, maka menaklukkan dunia nyata lebih mudah.
Kau belum mandi, Kris"
Kris berusaha merapikan rambutnya, cengengesan. Kau juga sepertinya belum mandi, Thom. Meskipun, yeah, harus kuakui, kau tetap lebih tampan dibanding denganku dalam kondisi telah mandi satu jam lebih. Tapi, siapa yang peduli urusan mandi saat ini"
Aku tertawa. Terima kasih, Kris. Kuanggap itu komplimen yang baik. Nah, ada kemajuan" Aku meninggalkan basa-basi, segera bertanya.
Kami sudah mengolah lebih dari satu juta informasi dari internet, Thom. Ini analisis data yang amat menarik. Kris menjawab semangat. Cahaya muka Kris selalu berubah lebih baik saat menjelaskan. Dia selalu antusias jika sudah bicara pekerjaan. Menyuruh Kris lembur mudah saja, karena dia sebenarnya sukarela berada di ruangan kerjanya, menghabiskan waktu berjamjam bersama bunyi desing belasan server data dan layar komputer paling canggih. Semua mainan canggih dan mahal ada di Kris meraih selembar kertas di atas meja, meminta pulpen dari Maggie. Kau tahu, Thom, selalu ada pola di dunia ini. Apa pun itu, bahkan saat sesuatu itu tidak berpola, polanya adalah tidak beraturan. Tetapi sekacau apa pun polanya, kita tetap bisa menemukan hal menarik di dalamnya, menyimpulkan sesuatu. Aku mengangguk, sepakat.
Nah, terkait tugas yang kauberikan lewat Maggie tadi pagi, kami memutuskan akan ada tiga sumber data besar yang harus dikumpulkan. Yang pertama kita sebut saja d ata formal , kita peroleh dari berita, artikel, tulisan, apa saja yang dipublikasikan media massa. Data seperti ini bersifat umum, bisa dipercaya, tapi tidak bermanfaat banyak, karena sifatnya yang semua orang tahu. Kris menggambar tiga bulatan-bulatan di atas kertas. Aku memperhatikan.
Jenis data kedua kita sebut saja dengan istilah d ata informal . Kita kumpulkan dari semua kicauan yang ada di internet. Mulai dari blog, jejaring sosial, komentar di forum, atau komentar atas sebuah berita. Data ini bersifat spesifik, individual, cenderung opini, pendapat, dan jelas lebih rendah tingkat kebenarannya, tapi amat penting untuk mencari kunci polanya, trigger untuk d ata formal . Nah, jenis data ketiga sekaligus terakhir, yang sedang dikerjakan Maggie, kita sebut saja dengan d ata khusus . Bersifat internal dan rahasia, tidak bisa diakses banyak orang dan amat reliable, menjadi validasi paling penting atas pola yang terbentuk.
Kris menarik garis di atas kertas, mengubungkan tiga bulatan sebelumnya, mencoret-coret lagi, lantas menatapku. Dari ketiga data ini, kami akan mencari hubungan atas tiga hal pokok.
masuk jika itu ada hubungan dengan anggota keluarga, kerabat, kolega kerja. Tempat, itu yang kedua, di mana saja kejadian tersebut, juga termasuk jika kasus tersebut melibatkan banyak tempat. Dan terakhir, yang tidak kalah pentingnya, waktu, kapan berbagai kejadian tersebut terjadi, kronologisnya, rentetan kasusnya, hubungan antarperistiwa yang boleh jadi ada polanya.
Aku tahu apa sebenarnya yang sedang kaubutuhkan saat Maggie membacakan catatan di notesnya, Thomas. Terlebih dengan berita penangkapan mengejutkan klien politikmu tadi siang. Kau jelas sedang mencari tahu siapa sebenarnya lawan politik kita, bukan" Tidak sekadar membuka catatan lama mereka, membongkar apa saja yang telah mereka kerjakan dua puluh tahun terakhir, tapi juga berusaha menemukan jaringan mereka" Bukankah demikan, Thomas"
Aku mengangguk. Itu deskripsi tugas paling tepat. Kris tertawa riang. Maka, akan kuberikan kau bonus menarik, Thomas. Kami memutuskan tidak hanya menganalisis data anggota partai dengan tiga rangkaian sebab-akibat. Tapi kami juga menambah ruang lingkup program komputer untuk mencari pola lain. Menambahkan tiga query dalam sistem. Pertama, siapa saja penegak hukum yang memeriksa, mengadili, menuntut, atau sekadar berkomentar di setiap kasus-kasus hukum. Kedua, perusahaan, organisasi, lembaga, entitas apa saja yang pernah disebut, bersinggungan, bahkan kalaupun sekadar memperoleh bantuan dana bakti sosial. Ketiga, pejabat pemerintahan apa saja, entah itu ketua RT, lurah, camat, hingga jenderal, jaksa agung, hakim tinggi, pejabat apa saja yang terbetik namanya dan memiliki hubungan dengan berbagai kasus.
kita berhasil menemukan pola dari jutaan data ini, kita akan menemukan sebuah jaringan lengkap, sistem yang sedang bekerja, atau entahlah menyebutnya secara kronologis dari data dua puluh tahun silam. Kita bisa menghasilkan daftar nama orangorang yang diduga memiliki kaitan satu sama lain dalam setiap kasus hukum.
Kris meletakkan pulpen, menatapku antusias. Kita akan menemukan hantu yang selama ini bergerak diam-diam di dalam sistem, bukan" Kau sedang berusaha mencari mereka, bukan" Menemukan, misalnya, lima belas tahun silam, di sebuah kota, ketika terjadi sebuah kecelakaan lalu lintas kecil yang melibatkan seseorang, nama-nama penegak hukum, pihak, atau apalah yang mengurusnya, yang bertahun-tahun kemudian, berkali-kali juga membantu seseorang tersebut dalam kasus hukum lainnya, dan juga kasus-kasus lainnya. Dulu mereka boleh jadi hanya mengurus hal sepele, tapi semakin lama, nama-nama itu terus terlihat dan muncul, dengan pola serupa mengurus kasuskasus hukum raksasa. Saling terkait, membentuk peta raksasa. Aku mengangguk. Genius, Kris. Kau memang ahlinya. Kris memperbaiki rambut panjangnya yang berantakan. Nah, kabar buruknya, Thomas, itu melibatkan jutaan informasi. Lima stafku telah menjalankan program otomatis menyaring informasi itu sejak tadi sore setelah berhasil dikumpulkan. Mulai menjahit, berusaha menemukan polanya. Aku perlu waktu meski dengan seluruh superkomputer yang kausediakan di ruanganku ini.
Kapan kau bisa menemukan pola awal" Setidaknya sebuah hipotesis awal"
Paling cepat dua minggu, Kris menjawab tanpa dosa.
ku hanya dua hari, Kris, bahkan kurang dari itu jika satu pasukan khusus antiteror tiba di Jakarta. Aku butuh segera polanya! Aku butuh nama-nama dalam jaringan mafia hukum itu.
Itu kecepatan maksimal, Thomas. Kris menggeleng. Kita sedang hati-hati secara telaten menjahit jutaan data. Kau tahu, kau bahkan membutuhkan waktu berminggu-minggu untuk menenun kain yang baik, yang hanya melibatkan puluhan ribu benang.
Terlambat, Kris. Sia-sia saja semua pekerjaan yang kaulakukan jika kau tidak bisa segera menemukan polanya. Konvensi dibuka besok pagi, dan lusa, Minggu siang, nama calon presiden partai tersebut diumumkan, dan itu jelas bukan klien politik kita, jika kita tidak melakukan apa pun. Aku mengembuskan napas.
Ruangan kerja Maggie lengang sejenak. Maryam yang sudah kembali dari melihat-lihat ruangan, memperhatikan percakapan, duduk di salah satu kursi. Maggie berdiri di sebelahku, tidak tertarik memperhatikan Maryam, ikut menghela napas.
Bisa lebih cepat, Thomas, bisa. Kris seperti sedang berpikir, menyisir rambutnya dengan jemari, satu tangannya di kantong jaket.
Nah, segera lakukan! Aku menepuk lengan Kris. Tapi kita membutuhkan sesuatu.
Apa" Sebutkan saja, Kris. Tambahan komputer" Staf" Bukan itu, Thom. Kita membutuhkan trigger data, sesuatu yang membuat pencarian pola lebih mudah. Aku memerlukan kata kunci yang tepat dan efektif. Dengan kata kunci itu, program komputer lebih mudah memfilter data, mencari sekuen Kata kunci seperti apa" Aku membutuhkan penjelasan detail.
Ya bisa apa saja. Nama orang, nama tempat, kejadian, kasus. Kris mengangkat bahu. Kata kunci yang paling mungkin memiliki hubungan dengan banyak peristiwa. Jika itu nama orang, misalnya dia seorang pengusaha besar, memiliki banyak kasus hukum, aktif di banyak organisasi, sering muncul di media massa, agresif, ekspansif, seperti itulah.
Aku menepuk meja kerja Maggie tempatku bersandar, membuat Maggie menolehku. Apa kau bilang Kris" Kau hanya butuh kata kunci seperti itu"
Kris mengangguk. Itu mudah, Kawan. Aku tidak tahu bagaimana ide itu muncul, tapi itu pilihan yang tepat. Kau butuh kata kunci" Kaumasukkan saja ke dalam program kata kunci Liem Soerja . Ya, kaumasukkan saja nama pemilik Bank Semesta yang dipenjara selama empat tahun. Dia memiliki puluhan kasus sejak dua puluh tahun silam, dan kasus dana talangan Bank Semesta melibatkan hampir seluruh pihak. Hampir seluruh petinggi penegak hukum pernah datang ke ruang kerjanya, atau datang dalam jamuan makan malam. Kaugunakan kata kunci itu.
Maggie di sebelahku menghela napas aku bisa mendengarnya.
Aku membutuhkan hasil segera, Kris. Malam ini, atau besok subuh, jam berapa pun kau berhasil menemukan sesuatu, kirimkan kabar ke Maggie. Kau paham"
Kris mengangguk, mencatat kata kunci yang kuberikan. Tugas ini prioritas penting, jadi kalian tunda seluruh pe-Hentikan sementara analisis tren terhadap miliaran kicauan di dunia maya, laporan kecenderungan pemilih muda, dan sebagainya itu. Percuma kita menemukan formulanya, tapi kandidat kita tidak maju dalam pemilihan. Jika kau butuh sesuatu, hubungi Maggie segera, agar dia bisa mendiskusikannya denganku.
Kau bosnya, Thom. Kris mengusap rambut acak-acakannya. Dia balik kanan setelah satu dua kalimat lagi, kembali ke ruangan kerjanya yang berada di lantai berbeda.
Setahun lalu, saat dia bergabung denganku, Kris menulis banyak syarat, meminta ruangan kerja di lantai yang berbeda, kantor yang terbatas aksesnya, hanya aku dan timnya yang bisa masuk. Dia seperti sedang membangun markas. Aku tidak keberatan, memenuhi semua daftar yang dia berikan.
Ruang kerja Maggie lengang sejenak, menyisakan kami bertiga. Aku meraih kertas penuh coretan dari Kris, menatap kertas itu, tertawa kecil. Aku tidak tahu kalau Kris bisa menggambar. Ini disebut apa" Lukisan abstrak" Menarik sekali. Maggie tidak berkomentar.
By the way, ada beberapa hal yang harus kaukerjakan selain memilah tumpukan berkas itu, Meg. Aku meletakkan kertas coretan Kris, menoleh ke arah Maggie yang sudah membawa stabilo ingin melanjutkan pekerjaannya.
Silakan, Thom. Maggie tidak protes seperti biasanya. Tolong hubungi Faisal, salah satu pengamat politik yang kauundang tadi sore. Kirimkan undangan milikku untuk menghadiri sesi diskusi pendek politik di Hong Kong bulan depan. Belikan dia tiket dan akomodasi yang layak. Hubungi panitia acara itu, bilang aku digantikan salah satu pengamat politik yang di-Maggie meraih notes, mengganti stabilo dengan pulpen, mulai mencatat.
Juga kirimkan dua lembar tiket konser band cadas itu di Jakarta untuk Sambas, redaktur senior yang juga kauundang. Tiket VIP, bila perlu cari cara agar panitia konser memberikan kesempatan bertemu dengan anggota band itu langsung. Sambas pasti suka. Bilang itu hadiah kecil dariku. Ah iya, kirimkan juga album terbaru boyband Korea lengkap dengan seluruh tanda tangan dan foto poster raksasa untuk Najwa, wartawan media online. Anak gadisnya yang masih remaja pasti menyukainya. Itu bisa menjadi hadiah spesial.
Juga kauurus hadiah kecil buat rekan-rekan wartawan dan pengamat politik lain yang hadir dalam pertemuan tadi. Cari sesuatu yang mereka sukai atau keluarga mereka sukai. Maggie mengangguk, tangannya lincah menulis huruf steno. Cepat atau lambat, bahkan boleh jadi telah dimulai malam ini, akan terjadi perang opini di media massa, dan aku harus segera memiliki pihak di sisiku. Aku tidak tahu seberapa dalam mafia hukum ini bekerja. Kalau dugaanku benar, boleh jadi banyak wartawan dan redaktur media massa yang rajin mereka kirimi amplop atau bahkan menguasai level pemimpin redaksi. Aku tidak akan melawan mereka dengan mengirimkan amplop lebih tebal percuma, tapi aku bisa melakukannya dengan cara lebih elegan. Mengirimkan hadiah yang tidak bisa dibeli dengan uang. Rasa terima kasih yang tidak bisa ditukar dengan apa pun. Pukul berapa sekarang" aku menoleh, bertanya. Persis pukul sembilan malam, Maryam yang menjawab. Aku mengangguk. Itu berarti sudah waktunya menyimak litikku. Aku meraih remote, menyalakan televisi yang berada di ruang kerja Maggie. Siaran langsung konferensi pers yang diadakan langsung dari markas besar kepolisian itu baru saja dimulai. Breaking news, hampir semua stasiun menyiarkan. Semua mata sedang menyaksikan kejadian ini.
Maryam bangkit dari duduknya, ikut berdiri, menonton.
I NI hebat, terlalu hebat malah.
Konferensi pers itu dipimpin langsung pejabat tertinggi badan penyidikan kepolisian, ditemani dua pemilik bintang dua di bahu. Mereka hanya memaparkan singkat bahwa seluruh proses penangkapan inisial JD, tersangka kasus korupsi megaproyek tunnel raksasa Jakarta, telah memenuhi prosedur resmi kepolisian. Saat ini penyidik sedang berusaha maksimal agar kasus ini segera dibawa ke pengadilan.
Agar tersangka tidak melarikan diri, menghilangkan barang bukti, tersangka kami amankan tadi pagi dari tempat tinggalnya. Berkas penyidikan akan segera dilimpahkan ke kejaksaan, sehingga proses pengadilan yang adil dapat segera berlangsung dan kita saksikan bersama. Kepala penyidikan kepolisian membacakan kalimat terakhir kertas di tangannya.
Ruangan tempat konferensi pers itu ramai oleh wartawan
Episode 7 Pemandangan Indah Ibu Kota
ferensi pers. Saat pernyataan itu selesai dibacakan, sesi tanya-jawab dibuka, puluhan tangan serempak teracung.
Salah satu wartawan dipersilakan bertanya, dengan semangat berseru dari tempat berdirinya, dan saat pertanyaan pendeknya selesai, belasan kamera kembali terarah ke petinggi kepolisian di belakang meja.
Ayolah, jangan suka menduga-duga, berandai-andai. Kami penegak hukum profesional, tentu saja sudah sejak lama kami memproses kasus ini. Tidak kami kabarkan saja kepada kalian para wartawan atau masyarakat luas. Kenapa baru hari ini ditangkap" Itu hanya kebetulan. Sebenarnya bisa kapan saja. Kemarin, kemarinnya lagi, atau besok, besoknya lagi, tidak ada bedanya. Sama saja. Petinggi kepolisian menjawab santai, mengangkat bahu.
Salah seorang wartawan tidak sabaran, sebelum ditunjuk moderator konferensi pers, dia sudah berseru, memotong.
Petinggi kepolisian tersenyum. Jika kami tidak memiliki bukti yang cukup, bagaimana mungkin kami melakukan penangkapan" Menetapkan tersangka" Sayangnya detail barang bukti menjadi konsumsi pengadilan, jadi tidak bisa disampaikan lebih detail di sini.
Dua-tiga wartawan lain berebut memotong.
Petinggi kepolisian itu mengangkat tangan rileks. Sekali lagi kami tegaskan, proses penyidikan kasus ini tidak ada hubungannya dengan hal-hal lain. Kami bahkan tidak peduli konvensi partai yang akan diikuti tersangka inisial JD. Kalian meributkan mengapa hari ini, sehari sebelum konvensi partai itu dibuka. Bagi kami, tidak ada yang spesial dengan hari ini, hanya hari Semua orang setara di depan hukum, termasuk presiden sekalipun, apalagi kalau baru sekadar kandidat presiden. Bukankah kalian yang selama ini mengkritik agar kepolisian lebih cekatan memberantas kejahatan korupsi" Kasus ini melibatkan anggaran raksasa 24 triliun, dan penegak hukum bisa menyelidiki kapan saja, terlepas megaproyek tersebut sudah selesai bertahun-tahun silam.
Wartawan lain berseru, bertanya.
Tentu saja kami tidak akan berhenti pada satu orang tersangka. Petinggi kepolisian menangkupkan kedua telapak tangannya. Kami akan menyelidiki semua orang yang diduga terlibat, termasuk orang dekat, orang-orang di lingkaran tersangka inisial JD. Pasti banyak yang terlibat dan kami akan menghabisinya hingga ke akar-akarnya. Catat itu.
Masih banyak pertanyaan yang diajukan wartawan yang memadati ruangan itu. Ruangan dipenuhi seruan-seruan wartawan yang mengacungkan tangan agar dipersilakan bertanya, kilau blitz tustel, dan sorot lampu terang kamera. Tetapi konferensi pers itu segera berakhir, salah satu petinggi kepolisian berbisik dan jenderal bintang tiga di tengah mengangkat tangannya, tersenyum. Rekan wartawan yang budiman, kami minta maaf, ada banyak yang harus kami lakukan saat ini, tidak bisa menjawab setiap pertanyaan. Jadi sekali lagi, kami berharap semua pihak bisa bersabar menunggu proses hukum tersangka inisial JD. Kami akan bekerja keras dan profesional. Terima kasih, selamat malam.
Aku tidak terlalu memperhatikan lagi kesibukan yang terlihat di layar televisi. Para wartawan berusaha merangsek ke depan, bintang di bahu balik kanan, meninggalkan ruangan tersebut. Belasan polisi lain yang menahan gerakan wartawan agar tidak mendekat.
Maryam yang berdiri di sebelahku menghela napas. Ini buruk sekali, Thom.
Aku mengangguk, meraih remote, mematikan televisi, membuat suara dan wajah antusias anchor siaran breaking news itu hilang dari layar. Ini hanya konferensi pers. Tidak lebih, tidak kurang. Tidak ada bedanya dengan konferensi pers untuk tersangka pencuri sendal jepit. Hanya skala saja yang membedakan, dan siapa yang menghadirinya.
Setidaknya kita sekarang memiliki tiga kata kunci baru yang dibutuhkan Kris. Aku menoleh ke arah Maggie yang sejak tadi terdiam. Tolong sampaikan ke Kris, Meg, minta dia memasukkan nama tiga jenderal itu ke dalam sistem selain nama Om Liem. Aku berani bertaruh, salah satu atau bahkan ketiga-tiganya memiliki pola menarik dalam data yang sedang diproses Kris. Kau juga bisa memasukkan nama jaksa, atau hakim, siapa saja yang kemudian memberikan komentar atas kasus ini di media massa.
Maggie mengangguk. Ada lagi yang kaubutuhkan, Thom" Aku besok pagi-pagi harus ke Denpasar, Meg. Semua tiket dan penginapan sudah kusiapkan, Thom. Sudah kukirim e-mail itinerary-nya tadi sore, kau belum baca" Maggie selalu bertindak dua langkah ke depan sebelum kuminta.
Belum sempat, nanti akan kulihat, terima kasih. Aku mengangguk. Satu lagi. Malam ini aku belum tahu akan tidur di mana, Meg. Aku tidak bisa menggunakan namaku untuk medunia bisa melacak transaksi tersebut. Aku tidak bisa beristirahat di apartemen, juga Maryam, dia tidak bisa kembali ke rumahnya. Kau tolong siapkan dua kamar untuk aku dan Maryam di salah satu hotel yang memadai.
Maggie melirik Maryam yang telah kembali melangkah ke kursi, duduk menyandarkan punggung, mungkin masih memikirkan banyak hal dari konferensi pers barusan.
Maggie berbisik, Apa kubilang, Thom. Bahkan baru beberapa jam kau jalan bersamanya, nasib malang, aku sekarang sudah menjadi pesuruh nenek lampir itu, tolong pesankan kamar hotel, Meg, besok lusa boleh jadi kau akan berseru kepadaku, tolong belikan dia pizza, Meg, atau tolong antarkan pakaian kotornya ke laundry, Meg.
Aku tertawa. Kau mau bertukar posisi dengannya, Meg" Bertukar posisi" Dahi Maggie terlipat dua.
Ya, asal kau tahu saja, Maryam saat ini adalah buronan interpol.
Belum sempat Maggie nyinyir atau menjawab sembarang kalimatku, telepon di atas meja kerjanya berdering lebih dulu. Maggie (selalu) refleks menyambarnya. Bicara dua potong kalimat, lantas dengan wajah pucat menyerahkan telepon itu kepadaku.
Pak Thom, ini darurat, petugas sekuriti lobi gedung berbisik di seberang telepon, patah-patah. Ada serombongan orang dengan senjata lengkap, baju komando, memakai kedok, menanyakan lantai kantor Pak Thom. Mereka mengaku dari kepolisian. Berapa jumlah mereka"
Tidak kurang dari sepuluh, Pak Thom. Kami sedang berusaha menahan mereka, Pak Thom. Aku menutup telepon, menoleh ke arah Maryam. Kita harus segera pergi, Maryam. Ada pasukan yang sedang menuju kemari, mereka pasti mencari kita.
Maryam berdiri, wajahnya berubah. Kau serius" Lebih dari serius, aku menjawab pendek, berusaha berpikir cepat.
Aku tahu, hanya soal waktu mereka bisa muncul kapan saja, di mana saja. Entah apakah mereka sudah memperoleh notifikasi dari kepolisian Hong Kong atau mereka dikirimkan terpisah dengan tuduhan berbeda dari markas kepolisian Jakarta. Tetapi yang mana, itu tidak penting, aku harus segera membawa Maryam pergi dari kantor.
Apa yang harus kita lakukan, Thom" Maryam dengan wajah tegang bertanya.
Aku menggeleng, masih berpikir mencari jalan keluar. Dulu aku bisa kabur dari kantor saat penyergapan dengan menyalakan alarm kebakaran, tapi ini pukul sembilan malam, gedung ini kosong, sia-sia, aku dan Maryam dengan segera bisa dikenali saat turun. Mereka pasti menjaga seluruh pintu keluar, lift, tangga, semua celah yang menuju lobi gedung.
Telepon di meja kerja Maggie berbunyi nyaring lagi, Maggie mengangkatnya, satu-dua kalimat, meletakkan gagang telepon, wajahnya lebih tegang dibanding Maryam. Mereka sudah menuju kemari, Thom. Petugas sekuriti bawah bilang, separuh dari pasukan itu bergerak naik, mereka sedang menunggu satu-satunya lift yang beroperasi turun ke lantai dasar. Kau hanya punya Apa yang harus kulakukan sekarang" Aku memeras otak, mencari cara kabur. Aku tidak mungkin menunggu mereka di ruangan Maggie, lantas melawan dengan tinju. Mereka membawa senjata.
Maryam di sebelahku ternyata berpikir lebih cepat. Dia berlari-lari kecil masuk ke ruang kerjaku yang berada di dalam, berbatasan langsung dengan jendela kaca gedung. Aku menoleh, hei, apa yang akan dilakukan Maryam" Dia mau melihat lagi pemandangan kota Jakarta dari sana setelah tadi berkeliling melihat kantor" Hendak menyaksikan pertunjukan lampu sorot dari gedung ini"
Bergegas, Thom! Maryam berseru memanggilku. Aku menyusulnya. Maggie ikut melangkah di belakangku. Jendela kaca ini bisa dibuka" Maryam bertanya, memeriksa. Tentu saja bisa. Tapi apa yang akan dilakukan Maryam" Loncat dari ketinggian lantai 19" Maryam tanpa menunggu, sudah gesit berhasil menggeser jendela kaca di ruanganku, terbuka lebar. Angin kencang menerpa masuk. Maryam mendongak ke atas, berteriak-teriak memanggil. Aku baru paham apa yang sedang direncanakan Maryam. Beberapa menit lalu, saat melihatlihat ruanganku, Maryam tahu kalau gondola petugas maintenance melintas persis di depan jendela kaca itu. Petugas itu sedang memeriksa pertunjukan cahaya lampu sorot di dinding luar gedung.
Demi mendengar teriakan Maryam, gondola yang posisinya sudah tiga lantai di atas kami, bergerak turun. Dua petugasnya bingung melihat Maryam yang berseru-seru serius berusaha memanggil. Aku mengerti rencana Maryam.
untuk sebuah penjelasan. Dua petugas ini boleh jadi malah menolak kalau tahu alasan sebenarnya.
Maryam berusaha menaiki jendela kaca yang terbuka lebar. Aku membantunya. Tinggi jendela itu sepinggangku, tidak mudah berpindah dari dalam gedung ke atas gondola. Lima detik, Maryam sudah di atas gondola, merapikan rambutnya yang diterpa angin kencang.
Dua petugas itu bingung. Salah satunya menolak kehadiran Maryam, Tidak boleh, Bu. Gondola ini hanya bisa dinaiki petugas berpengalaman.
Terlambat, Kawan. Aku tertawa. Giliranku dengan gesit loncat ke atas gondola itu, menoleh ke arah Maggie yang berdiri di dalam gedung. Kau tutup jendelanya segera, Meg. Jika rombongan itu tiba, biarkan mereka memeriksa seluruh kantor. Setelah mereka pergi, pindahkan seluruh berkas pekerjaan ke ruangan Kris. Tidak ada yang tahu kalau Kris bekerja untukku. Lantai kantornya berbeda dan dia memiliki entitas sendiri. Segera hubungi aku jika ada kabar baru atau sesuatu.
Maggie mengangguk, menatap jeri keluar. Angin kencang terasa dingin di kulit.
Maaf, Bapak, Ibu, sekali lagi, kalian tidak bisa menumpang. Gondola ini hanya untuk staf terlatih. Kita ada di ketinggian puluhan meter. Ini berbahaya....
Ayolah, aku sedang memberikan surprise kepadanya. Ini ulang tahunnya, dan naik gondola di salah satu gedung adalah kado terbaik baginya. Bukan begitu, Sayang" Aku menunjuk Maryam di sebelahku, memasang wajah seperti sepasang kekasih. Maryam mengangguk-angguk, menatap manja dua petugas menumpang. Sekali saja. Hanya turun ke bawah, aku sudah senang sekali.
Nah, dan asal kalian tahu, dia juga sedang hamil muda, ngidam naik gondola sejak berhari-hari lalu, bukan begitu, Sayang" Kali ini aku menunjuk Maryam di sebelahku dengan memasang ekspresi sepasang suami-istri yang mesra. Kalian tidak akan tega menolak permintaan seorang ibu hamil, bukan"
Maryam masih mengangguk-angguk, sekarang memeluk mesra lenganku. Dua petugas itu bersitatap, mungkin menyesali nasib mereka, kenapa pula sudah selarut ini, saat sedang sibuk merawat gedung, ada pasangan aneh tiba-tiba loncat ke atas gondola.
Apa lagi yang kalian tunggu" Ayo, segera turunkan gondolanya! Aku berseru, kali ini tidak sabaran. Waktuku tinggal dua menit, rombongan pasukan bersenjata itu sudah lebih dari separuh jalan menuju lantai kantorku.
Setelah beberapa detik masih bersitatap, akhirnya salah satu petugas mengalah, meraih alat kemudi gondola, lantas menekan tombolnya. Gondola besar yang sering digunakan petugas membersihkan ratusan jendela kaca gedung begerak turun. Indah sekali kan, Sayang" aku berkata kepada Maryam. Apanya" Maryam kurang nyambung dengan arah percakapan.
Pemandangan kota malam ini. Indah sekali, bukan" Oh, iya. Ini luar biasa, Sayang. Terima kasih ya, sudah mengajakku. Maryam menjawab manja, pura-pura ikut menatap pemandangan kota Jakarta dari atas gondola yang terus meluncur ke bawah dari lantai 19.
A KU dan Maryam bergegas meloncat turun saat gondola
menyentuh tanah, langsung berlari ke parkiran mobil, tidak menghiraukan dua petugas maintenance yang bingung menatap punggung kami, menyeringai satu sama lain, mengangkat bahu. Salah satu petugas bergumam, Lupakan saja, pekerjaan kita masih banyak. Menekan tombol pengendali, gondola kembali bergerak ke atas.
Aku tidak mencemaskan Maggie. Mereka tidak ada kepentingannya dengan Maggie, paling hanya menganggapnya salah satu dari puluhan karyawan perusahaanku yang sedang lembur malam-malam. Kamilah yang mereka buru.
Aku gesit membuka pintu mobil Jeep dobel gardan, melompat masuk sekaligus menyalakan mobil. Maryam menyusul naik, mengempaskan punggung di kursi sebelahku, menutup pintu. Aku segera menekan pedal gas persis pintu ditutup. Mobil meEpisode 8 Aset Berharga Sial, aku bergegas mengerem, mengurangi laju kendaraan, beberapa anggota pasukan berseragam taktis yang hendak menangkapku itu ternyata menjaga gerbang keluar kantor, mengambil alih loket parkir dan petugas sekuriti gedung. Mereka memeriksa setiap mobil yang keluar. Ada empat orang bersenjata laras panjang yang menghentikan setiap kendaraan melintas, meminta membuka jendela, mencocokkan wajah.
Maryam menoleh padaku kali ini tidak ada lagi tatapan mesra sepasang kekasih atau sepasang suami-istri muda. Wajahnya tegang, seolah bertanya Apa yang akan kaulakukan, Thom"
Rahangku mengeras, tidak ada jalan keluar lain. Aku tidak bisa memutar lewat pintu belakang gedung, sama saja, mereka pasti menjaganya. Kami juga tidak bisa turun dari mobil lantas lari menyeberangi pagar gedung. Kami tinggal dua puluh meter dari gerbang. Mereka pasti curiga ada mobil yang berhenti mendadak, segera melihat, dan lebih mudah mengejar kami. Satusatunya pilihan yang tersisa adalah memacu mobil secepat mungkin. Ini Jeep dengan postur badan besar kokoh. Mereka akan menyingkir menghindar. Aku menoleh ke sebelah, berseru, Berpegangan, Maryam! Lantas menekan pedal gas dalam-dalam. Tidak perlu diminta dua kali Maryam sudah melakukannya.
Suara derum mobil yang terdengar kencang, alih-alih berhenti agar bisa diperiksa, membuat empat anggota pasukan khusus itu menoleh. Aku menambah kecepatan. Tidak ada niat berhenti melihat mereka memasang badan. Pada detik terakhir sebelum tabrakan, mereka refleks melompat ke belakang. Mobil Jeep yang kukemudikan berhasil melintasi loket parkir.
Menunduk, Maryam! aku berseru kencang.
lum habis ujung suaraku, empat anggota pasukan khusus segera paham apa yang sedang terjadi. Mobil yang menerobos gerbang parkiran berisi orang yang mereka cari. Mereka mengangkat laras senjata otomatis. Sedetik berlalu, empat laras senjata itu telah memuntahkan peluru. Kaca belakang mobil pecah berkeping-keping. Desingan peluru terdengar di mana-mana, di atas kepala kami, menghantam dinding mobil, mengenai spion, jendela sebelah kiri, membuat kaca berhamburan ke dalam. Maryam berseru panik. Aku mencengkeram kemudi lebih erat, membanting setir ke kanan, mobil Jeep menikung hampir terbalik. Kami masuk ke jalanan kota Jakarta yang ramai. Tembakan itu tertinggal di belakang.
Kau baik-baik saja" aku bertanya pada Maryam. Gadis wartawan itu mengangguk, mengangkat kepala. Wajahnya pucat pasi.
Namun, masalah jauh dari selesai. Dua mobil taktis dipenuhi anggota pasukan khusus itu meluncur meninggalkan parkiran gedung tiga puluh detik kemudian.
Mereka mengejar kita, Thomas. Maryam menoleh ke belakang. Sirene mobil meraung memecah jalanan, menyuruh minggir kendaraan lain.
Aku menggeleng. Tenang saja, itu bukan masalah berarti. Kalau hanya dua mobil itu, aku dengan mudah bisa kabur. Mereka salah memilih lawan balapan di jalanan kota. Tanganku memegang kemudi erat-erat, kakiku gesit berpindah menekan rem, gas, dan kopling, meliuk di jalanan kota yang masih ramai meski lewat pukul sembilan malam. Kami melintasi persis jalan protokol dengan gedung-gedung tinggi di sekitarnya.
tertinggal jauh di belakang. Sirene mereka menjauh, tidak lagi terlihat dari kaca spion yang belum pecah kena peluru. Bahkan menoleh ke belakang sekalipun, mereka tidak terlihat. Maryam menghela napas lega, yang ternyata terlalu cepat. Sial, yang menjadi masalah serius adalah saat mereka merasa tertinggal. Dua sepeda motor balap Ninja yang telah dimodifikasi sedemikian rupa meraung, melompat turun dari dua mobil taktis tersebut, dengan dua anggota pasukan khusus di atas setiap tunggangan gagah itu. Dengan cepat mereka menyusul mobil Jeep yang kukemudikan.
Berpegangan, Maryam! aku berseru. Ini mulai menyebalkan. Dengan sepeda motor, mereka jelas memiliki keuntungan di atas jalanan ramai, lebih mudah menyelinap ke sana-kemari tanpa perlu menginjak pedal rem.
Maryam menoleh ke belakang berkali-kali, dan seruan cemasnya semakin kencang. Aku membanting kemudi ke kanan, membuat mobil dobel gardan lompat ke atas jalur khusus busway, menekan pedal gas, melesat. Lima ratus meter, aku membanting lagi kemudi ke kiri, keluar dari jalur itu, sebelum nyaris mencium bus gandeng yang sedang merapat ke halte. Aku tidak peduli ingar-bingar sekitar, apalagi tatapan mata dari pengemudi lain, para calon penumpang di halte, orang-orang di trotoar, ramai menunjuk-nunjuk. Dua motor Ninja itu semakin dekat. Dari spion aku bisa melihat anggota pasukan yang duduk di belakang terlihat mengangkat senjatanya, bersiap menembak. Aku mencengkeram setir. Aku harus membawa mobil ini secepat mungkin masuk ke dalam tol. Di jalanan bebas hambatan yang relatif lengang mobil Jeep yang kubawa memiliki kesempatan Tetapi gerbang tol masih satu kilometer lagi dan jarak kami dengan para pengejar tinggal belasan meter, sudah masuk jarak tembak. Aku mengatupkan mulut, mereka bersiap menarik pelatuk senjata. Maryam berseru panik. Sedetik, aku membanting kemudi, menghindar, meliuk ke kanan, mendahului dua truk besar, membuat ruang tembak mereka menjadi sempit. Peluru menghantam aspal, selongsongnya berkelontangan. Mereka tidak mengincar kami. Mereka mengincar roda mobil agar kami terhenti.
Ayolah! Menyingkir! Aku menekan klakson berkali-kali. Jalanan semakin ramai. Aku menyuruh mobil-mobil kecil di depanku memberikan jalan. Kami tinggal lima ratus meter lagi dari gerbang tol.
Dua penunggang motor Ninja kembali melepas tembakan. Aku membanting kemudi ke kiri. Mobil Jeep meloncat ke atas trotoar, menyerempet dua mobil lainnya. Beberapa pejalan kaki bergegas melompat menghindar. Satu-dua terjerembap ke dalam parit. Peluru membuat paving block trotoar merekah. Jalanan semakin kacau-balau. Teriakan kaget, marah, bercampur suara raungan mobil dan motor memenuhi langit-langit kota. Tinggal dua ratus meter lagi, mobil Jeep-ku kembali meloncat ke atas aspal jalanan, meninggalkan dua tenda pedagang malam yang ambruk tersenggol badan mobil. Aku tidak sempat mencemaskan mereka, semoga baik-baik saja. Aku sendiri sedang ditembaki.
Apalagi entah sudah seperti apa tampilan mobil Jeep yang kukemudikan. Jendela kacanya hanya bersisa di depan. Pecahan kaca berserakan di dalam. Moncong mobil penyok. Baret panmenghiasi bagian belakang dan samping. Masih lima puluh meter lagi gerbang tol. Ayolah. Rahangku mengeras, konsentrasi penuh di sisa jalan protokol.
Sial, salah satu motor yang seperti terbang itu berhasil menyalip mobil dari sisi kanan. Pengemudinya memberikan ruang tembak lebar bagi rekannya yang duduk di belakang. Laras senjata otomatis itu terarah sempurna. Sebelum aku sempat menghindar, membanting setir, dua peluru telah merobek roda mobil belakang. Roda itu meletus tanpa ampun. Dengan kecepatan tinggi mobil yang kukemudikan miring, nyaris terbalik. Maryam berteriak panik, berpegangan pada apa saja. Mobil melintir. Dinding kirinya menghantam sebuah truk. Maryam menjerit. Serempetan dengan dinding truk mengeluarkan percik kembang api. Aku mengabaikan teriakan Maryam, memegang kemudi sekuat mungkin, berusaha membuat mobil kembali stabil, lepas dari truk. Terlambat, dari sebelah kiri, dengan cepat melewati truk besar itu, motor Ninja yang lain telah tiba. Moncong senjata terarah kepada kami. Peluru berhamburan. Kali ini roda depan bagian kiri yang meletus.
Dengan dua roda pecah, pelarian itu terhenti. Aku tidak punya pilihan selain menginjak rem agar mobil tidak terbalik, terguling, dan bisa membahayakan Maryam. Mobil tetap meliuk tidak terkendali, terlepas dari dinding truk. Setelah empat detik yang panjang dan suara decit yang membuat ngilu telinga, mobil Jeep dobel gardan itu menghantam loket gerbang tol. Maryam terbanting ke depan tertahan sabuk pengaman. Bagian depan mobil hancur, juga loket yang kutabrak, membuat petugas di dalamnya menjerit.
sukan khusus berloncatan, mengepung mobil yang mengepulkan asap, dengan laras senjata otomatis teracung galak.
Aku memang berhasil tiba di gerbang tol, tapi tidak bisa lagi melanjutkan pelarian. Kami terpojok, tidak banyak yang bisa dilakukan.
*** Maryam sambil terbatuk keluar dari mobil. Aku menyusul turun.
Tetap di tempat! Angkat tangan kalian ke atas! salah satu anggota pasukan berseru tegas, meneriakiku.
Aku mengangguk, mengangkat kedua tangan. Mengeluh pelan, tangan kananku terasa sakit, tadi sempat menghantam pintu mobil.
Antrean panjang segera terbentuk di gerbang tol itu, mobilmobil tertahan, atau mobil-mobil yang sengaja memperlambat laju, ingin tahu apa yang terjadi, kemacetan mulai terbentuk. Lima menit berlalu, dua mobil taktis yang sebelumnya tertinggal jauh akhirnya tiba. Aku dan Maryam diborgol, didorong naik ke salah satu mobil. Drama di gerbang tol itu berakhir dengan perginya rombongan pasukan khusus.
Kali kedua dalam seharian ini aku dan Maryam ditangkap polisi, dinaikkan ke atas mobil, dengan borgol di tangan. Ini rekor tersendiri.
Kau baik-baik saja" aku bertanya pelan.
Maryam mengangguk. Wajahnya masih pucat. Tangan dan kakinya masih gemetaran, tapi sepertinya di luar itu dia baikkain panjangnya yang robek di betis, dan rambutnya yang terlihat semakin berantakan sejak kejadian di Hong Kong tadi pagi.
Kami disuruh duduk berhadap-hadapan di dalam mobil taktis, diapit empat orang bersenjata lengkap. Mereka persis seperti sedang menangkap gembong kejahatan besar atau teroris yang berbahaya. Entah ke mana mereka akan membawa kami. Mobil membelah keramaian dengan cepat. Sirene meraung menyuruh kendaraan lain menyingkir. Dua motor balap Ninja itu ikut menyibak jalanan. Aku mengembuskan napas. Setidaknya aku dan Maryam tidak kurang satu apa pun setelah mobil Jeep menghantam loket pintu tol.
Setengah jam berlalu, salah satu anggota pasukan khusus yang menjaga kami menerima telepon. Dia bicara pendek-pendek, hanya menjawab berkali-kali, Siap, Komandan. Belum genap aku bisa menyimpulkan dia bicara dengan siapa, apa isi pembicaraan mereka, laju kendaraan melambat, mobil sepertinya menepi, lantas berhenti sama sekali. Apakah sudah sampai di tujuan" Maryam menatapku. Aku bergumam, tidak tahu. Salah satu petugas menyuruh Maryam pindah, duduk di sebelahku. Maryam menurut, beranjak ke sampingku.
Pintu belakang mobil taktis berdebam dibuka, lalu naiklah seseorang. Aku segera mengenalinya. Masih segar ingatanku, dia baru saja muncul di layar televisi, dalam konferensi pers pukul sembilan tadi.
Selamat malam, Thomas, suara berat setengah serak itu menyapaku.
Aku tidak menjawab salamnya, hanya menatap tajam.
Aku minta maaf, kita bertemu dalam situasi yang tidak terlalu memadai, Thomas. Orang itu tersenyum, bersedekap santai. Apalagi untuk seorang konsultan politik paling berbakat sepertimu" Ini sama sekali tidak layak. Dia menatap sekeliling isi mobil taktis.
Aku lagi-lagi tidak menjawab kalimatnya, masih menatapnya, memilih menunggu. Napas Maryam di sebelahku terdengar kencang. Aku tahu, kalau saja kami tidak diborgol, mungkin Maryam akan meloncat meninju sekuat tenaga orang di depan kami, meninju wajah jenderal bintang tiga, kepala badan penyidik kepolisian, orang terkuat kedua di markas besar polisi. Lihatlah, dia baik sekali, bukan" Di tengah kesibukan, dia menyempatkan diri say hello, menyapa kami yang dalam kondisi babak belur.
Keahlian yang kaumiliki sebenarnya besok lusa bisa amat berharga bagi kami, Thomas. Kau konsultan politik yang genius. Astaga, kau membuat dua pemilihan gubernur itu seperti lelucon. Kau mengalahkan dua incumbent dengan kemenangan telak, bisa dibilang kau sedang mempermalukan mereka. Jenderal bintang tiga itu mengabaikan wajah kesal Maryam, juga tatapan tajamku, dia masih berbicara rileks.
Kau bisa menjadi bagian dari kami, Thomas. Anak muda berpendidikan tinggi, brilian dalam strategi, dan amat mengagumkan dalam situasi terdesak. Lihat, kau sedikit pun tidak cemas atas penangkapan ini. Kau tidak takut, penuh dengan rencana, bukan" Begitu tenang balas menatapku, seolah kita sedang mengobrol di salah satu restoran mahal Hong Kong, bukan" Dia masih tersenyum santai.
kan Kris saat ini dengan jutaan informasi dan program pengolahan data di superkomputer itu, tetapi aku bisa memastikan segera, orang di hadapanku ini pasti muncul di daftar nama paling tinggi mafia hukum itu. Salah satu bagian penting dari pola yang kami cari.
By the way, Thomas, kalau boleh tahu, seberapa besar kau dibayar klienmu untuk memenangi konvensi partai besok" Seberapa besar tarif jasa konsultasi politikmu, Thomas" Atau mungkin kau dijanjikan menjadi salah satu menteri dalam kabinetnya kalau besok lusa dia berhasil menjadi presiden" Atau lebih dari itu" Konsesi bisnis" Penguasaan atas salah satu perusahaan pelat merah"
Aku kali ini menggeleng, menjawab, Kau tidak akan paham. Tidak paham" Dia menatapku ramah yang aku tahu itu dusta.
Ya, kau tidak akan paham kalau aku tidak dibayar sama sekali.
Dia tertawa pelan mendengar jawabanku. Oh, idealisme ternyata. Kau dibayar dengan mimpi-mimpi masa depan yang lebih baik, bla-bla-bla membosankan itu. Tentu saja aku paham. Kau tidak bisa menilai terlalu rendah orang-orang sepertiku, Thomas. Kau tahu, kami juga memiliki prinsip dan kehormatan.
Prinsip seorang pencuri" Atau kehormatan seorang penjahat yang kaumaksud" aku bergumam, sengaja dengan intonasi datar, antara terdengar dan tidak.
Astaga, Thomas. Bicara tentang kehormatan dan penjahat, kau seharusnya becermin, Nak. Lihatlah, anak kecil juga paham. Aku saat ini mengenakan seragam polisi. Tanganmu dan rekansebenarnya penjahat dan siapa orang baik, hah" Mereka bisa dengan cepat menjawabnya. Dia tertawa, menepuk pelan dahinya.
Aku mendengus di sebelahku napas Maryam terdengar lebih kencang.
Well, ini sebenarnya bisa menjadi percakapan yang menarik, Thomas. Aku tidak tahu ternyata kau bisa jadi teman bicara yang menyenangkan. Tetapi sayangnya, waktuku tidak banyak. Kami harus mengumpulkan barang bukti, melengkapi penyidikan, lantas menyeret klien politikmu ke pengadilan sesegera mungkin.
Ya, kalian memang selalu bekerja keras, menghabiskan uang rakyat yang menggaji kalian untuk memeras otak bagaimana merekayasa semuanya, aku menjawab sambil lalu.
Negeri Di Ujung Tanduk Karya Tere Liye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kau selalu saja berpikir negatif terhadap kami, Nak. Petinggi kepolisian itu tetap tidak tersinggung, menyentuh lenganku. Baiklah, to the point, Thomas. Pertama, aku minta maaf, aku terpaksa menahanmu dan rekanmu sementara waktu. Kau bisa membahayakan seluruh operasi. Bicara soal Hong Kong, seharusnya kau masih di sana, tidak berkeliaran di Jakarta, tapi sepertinya teman di sana tidak terlalu baik mengurusnya.
Yang kedua, dan ini lebih penting, aku sengaja datang menyapamu, menghentikan iring-iringan mobil, hanya untuk bilang kau telah memilih sisi yang kalah, Thomas. Kau telah keliru harus memihak dan membela siapa. Mungkin kau bisa berubah pikiran, berpikir ulang di dalam ruangan sempit penjara sementara waktu. Frankly speaking, kami selalu terbuka dengan orangorang sepertimu. Orang itu masih memegang lenganku, mesepertimu. Kalian berdua bisa jadi aset yang berharga dalam keluarga besar.
Dia kembali menatapku. Catat ini baik-baik, Thomas, agar kau bisa memahaminya dengan baik. Kami ada di mana-mana, bisa melakukan apa pun, di mana pun, dan dengan cara apa pun. Tidak ada masalah hukum yang terlalu besar bagi kami. Semua bisa diurus, termasuk dengan mudah menghapus catatan kejahatan kalian di Hong Kong tadi pagi, sekaligus memberikan posisi terhormat. Kau tidak akan pernah bisa membayangkan betapa besar kekuatan kami, termasuk betapa besar kesempatan yang bisa kami tawarkan kepada kalian.
Orang itu bangkit, berdiri. Selamat malam, Thomas. Pikirkanlah kalimatku, atau aku terpaksa menuduhmu terlibat dalam kasus besar, pembunuhan misalnya. Atau pilihan lain, aku segera menghubungi pihak kepolisian Hong Kong. Mereka dengan senang hati menerima buronan besar. Dia melangkah keluar dari mobil taktis, berseru kepada anak buahnya yang terus siaga dengan senjata otomatis. Kalian amankan mereka segera. Titipkan ke salah satu tahanan. Ada pekerjaan lain yang harus kalian selesaikan.
Punggung petinggi kepolisian itu hilang di balik pintu mobil taktis yang kembali ditutup. Mobil itu melaju cepat, entah ke mana tujuannya sekarang. Menyisakan Maryam yang mengembuskan napas panjang berkali-kali, mencoba membuang rasa muak yang terlihat jelas di wajahnya.
Aku melirik Maryam sebentar, memilih tidak berkomentar.
S ETENGAH jam kemudian, kami meninggalkan keramaian
ibu kota. Mobil yang membawa kami akhirnya merapat ke sebuah kompleks besar milik kepolisian. Setidaknya itu yang bisa kusimpulkan saat melihat sekitar dari pintu mobil taktis yang terbuka lebar. Ini jelas bukan penjara umum atau markas polisi di tengah kota, lebih mirip markas satuan brigade mobil atau satuan lain di pinggir kota Jakarta.
Mereka berteriak tidak sabaran, kasar mendorongku dan Maryam agar bergegas turun, lantas membawa kami melangkah masuk ke dalam salah satu bangunan paling besar.
Kami diserahterimakan kepada petugas kompleks itu, yang hanya mengenakan seragam polisi biasa bukan baju pasukan khusus. Tanpa proses administrasi berbelit-belit, hanya dengan selembar kertas, petugas kompleks mengangguk. Tanpa banyak bicara, kami digiring menuju ruangan penjara. Aku dan Maryam
Episode 9 Rendezvous Kawan Lama ngar bergema di langit-langit lorong. Juga saat pintu lorong ditutup berdebam, digembok tiga kali.
Lengang lima menit. Aku memperhatikan sekeliling, ada puluhan sel di lorong panjang bangunan ini. Sudah hampir tengah malam, penghuninya memilih sibuk dengan urusan masing-masing dibanding berkenalan dengan orang baru. Kami berada di sel paling dekat dengan pintu lorong. Ini sepertinya penjara transisi, tempat tersangka dititipkan sementara waktu sebelum proses pengadilan. Biasanya mayoritas isinya adalah pelaku kejahatan kerah putih, seperti koruptor, pengemplang pajak, penyalah-guna wewenang, dan sejenisnya. Orang-orang yang tangannya tidak bergelimang kotor saat melakukan kejahatan.
Apa yang harus kita lakukan sekarang, Thomas" Maryam berbisik, dari sel sebelah.
Aku menggeleng. Biarkan aku berpikir sebentar.... Suara Maryam mengembuskan napas terdengar. Andaikata aku bisa meninju wajah orang itu tadi. Rasa-rasanya aku ingin memukul wajahnya, menjambak rambutnya, mengiggit apa saja. Dia orang paling menjijikkan yang pernah kutemui, pura-pura santai, pura-pura rileks, sama sekali tidak merasa berdosa.
Aku tidak berkomentar, membiarkan Maryam melampiaskan kemarahannya sejenak.
Jelas sekali dia merekayasa semuanya. Penangkapan klien politikmu, kejadian di Hong Kong. Bedebah itu dan bedebahbedebah lainnya dalang semua kejadian ini. Kau benar, Thomas, ini semua melibatkan mafia hukum. Mereka ada di mana-mana, dan orang itu boleh jadi ketua mafianya, Maryam masih meng-Aku menyisir rambut dengan jemari, mengabaikan kalimat Maryam, berusaha berpikir keras, mencari cara agar segera kabur dari tempat ini. Tidak banyak pilihannya.
Kau lihat, Thomas, mereka tidak peduli dengan prosedur lagi, yang penting amankan semuanya. Pasukan khusus yang dia suruh mengejar kita seperti miliknya saja, tunduk atas perintah apa pun yang dia berikan. Seperti pasukan milik pribadinya saja.
Aku hendak menimpali Maryam, bilang setiap jenderal boleh jadi memang memiliki pasukan khusus yang bisa disuruh semau-maunya. Setahun lalu aku memiliki rekan petarung di klub petarung Jakarta yang sekaligus adalah perwira polisi, komandan pasukan khusus itu. Dia bahkan disuruh menangkapku dalam kasus penyelamatan Bank Semesta, meski akhirnya dia memutuskan melawan jenderal atasannya, memilih menggunakan akal sehat, membantuku. Tetapi aku sedang memikirkan cara kabur dari sel penjara ini, tidak berselera membahas panjang-lebar dengus marah Maryam.
Baiklah, sepertinya aku harus menggunakan cara klasik itu untuk keluar dari sini. Aku berdiri, beranjak ke depan, mulai memukul-mukul pintu sel, memanggil petugas di luar. Apa yang sedang kaulakukan, Thomas" Maryam berbisik. Memanggil mereka, aku menjawab pendek.
Kau membuat penghuni sel lain terganggu dengan memukul pintu sel dan berseru-seru. Kita bisa jadi pusat perhatian. Maryam ikut berdiri di dekat pintu selnya, berusaha melongokkan kepalanya ke arah selku.
Aku tertawa. Bukankah Maryam tadi juga sibuk berseru-seru" Dua petugas yang berjaga di meja depan akhirnya membuka Ada apa" mereka bertanya.
Ada yang ingin kubicarakan, Bos. Aku menyeringai. Inilah cara klasik yang selalu manjur jika seseorang ingin kabur dari penjara di negeri ini, negeri para bedebah.
Ya, apa yang hendak kaubicarakan" Tidak ada ramah-tamah dari petugas itu.
Aku menyeringai, mereka pasti akan ramah kalau aku sudah menyebutkan angka tawarannya. Apakah kalian akan membiarkanku dan rekanku melangkah bebas keluar dari pintu sel ini jika aku memberikan 2 M kepada kalian, Bos" Bagi dua, masing-masing dapat 1 M" Tertarik, Bos"
Tidak perlu logika tingkat tinggi untuk memahami kalimatku. Dua petugas itu langsung saling lirik. Aku memasang wajah tersenyum, menunggu diskusi mereka.
Salah satu petugas menggeleng.
Kurang" Itu sudah banyak, Bos. Aku memasang wajah purapura tidak percaya. Atau kalian minta berapa" Sebutkan saja" Bagaimana kalau 4 M, cukup" Bagi dua, masing-masing 2 M. Aku tahu, seumur hidup kalian bekerja menjadi polisi tidak akan terkumpul uang sebanyak itu. Bagaimana"
Anda mencari masalah dengan bilang kalimat itu, Pak. Salah satu petugas itu justru menjawab galak, lantas tanpa merasa perlu lagi mendengarkan kalimatku, mereka berdua balik kanan, kembali ke pintu lorong, meninggalkanku yang menatap bingung.
Hei! Atau itu masih kurang" aku berseru tidak mengerti. Hei!
Pintu lorong sudah ditutup.
Kau benar-benar mencari masalah, Kawan. Terdengar kalimat serak, sepertinya salah satu tetangga sel kami angkat bicara setelah menyaksikan kejadian barusan. Suaranya terdengar dari seberang selku.
Mereka akan kembali ke sini bersama komandan kompleks, dan kau boleh jadi dikirim ke ruangan isolasi, tanpa jendela, terisolasi sempurna. Tetangga selku berdiri, mendekat ke pintu selnya.
Aku menatap ke seberang, tidak mengerti.
Kau tahu, sejak komandan kompleks Brimob ini diserahtugaskan kepada yang baru, tidak ada lagi yang bisa menyumpal petugas di sini, Kawan. Entah siapa orang itu, dia berhasil membuat seluruh petugas gentar untuk berbuat curang. Dan itu jelas menyebalkan, membuat susah penghuni seluruh penjara, tidak ada lagi kesempatan untuk pergi satu-dua hari keluar mengurus bisnis, atau benar-benar kabur.
Aku hendak bertanya lebih detail, tapi kalimatku tertahan oleh debam pintu lorong yang dibuka. Enam petugas berderap masuk, kali ini mereka membawa senjata, dan sebelum aku sempat mengerti apa yang sedang terjadi, atau Maryam di sebelahku berseru bertanya, pintu selku telah dibuka. Mereka memasangkan borgol ke tangan (dan juga kakiku), lantas mendorongku kasar agar melangkah menuju pintu lorong.
Sial sekali orang baru itu, tetangga selku berkata pelan, tertawa, memilih tempat yang salah untuk menyuap petugas penjara. Terimalah nasib ruang isolasi.
*** Apakah aku langsung dibawa ke ruang isolasi"
Aku menyumpahi diri sendiri, telah membuat urusan ini menjadi lebih rumit. Sekarang aku terpisah dari Maryam. Entah apa yang akan terjadi dengan Maryam besok. Ini penjara umum. Jika aku tidak berhasil kabur dari sini segera, Maryam pasti dititipkan ke penjara khusus wanita, dan semakin sulit membebaskannya.
Gerakan langkahku terganggu dengan borgol kaki yang berat. Suara kelontang borgol mengenai lantai terdengar menyebalkan. Aku merasa menjadi seperti penjahat hina, semacam pemerkosa psikopat atau pembunuh berantai. Ini baru pertama kali aku diborgol dengan standar keamanan penuh. Apakah seserius itu dosa menyuap petugas di sini" Siapa pula komandan polisi sialan itu" Dia seperti menjadi antitesis, kelainan absolut, kasus abnormal yang tidak pernah kutemui saat berurusan dengan polisi.
Aku ternyata tidak digiring ke ruang isolasi. Belum. Enam petugas membawaku ke ruang interogasi, mendorongku masuk, lantas membentak, menyuruhku duduk. Aku memperhatikan sekitar ruangan. Tidak ada yang spesial di ruangan itu, tidak beda dengan ruangan interogasi lain yang pernah kualami. Salah satu petugas berkata pelan ke rekannya. Mereka meninggalkanku sendirian di dalam ruangan tersebut.
Lima menit menunggu, pintu ruangan akhirnya terbuka. Seseorang melangkah masuk. Mereka pasti hendak menginterogasiku terlebih dulu sebelum membuangku ke ruang isolasi, menanyakan maksudku soal tawaran suap itu, atau mungkin entahlah.
menatap meja di hadapanku, mengabaikan orang yang baru masuk. Orang itu menarik kursi, duduk di seberangku. Ini amat mengejutkan.
Itu kalimat pertama orang di hadapanku.
Aku tidak terlalu memperhatikan. Aku sedang mengarangngarang alasan kenapa aku mencoba menyuap petugas.
Aku tidak tahu, kenapa kau selalu saja menjadi orang yang harus kutangkap atau kali ini dititipkan di kompleks kepolisian ini, Thomas"
Aku mengangkat kepala demi mendengar ujung kalimatnya. Dia menyebut namaku" Bukankah aku amat mengenal cara dia menyebut namaku" Intonasi suara itu" Dan lihatlah, duduk persis di hadapanku, tertawa lebar, Rudi Sang Boxer, rekan petarung di klub setahun lalu, sedang menatapku sambil menggelengkan kepala.
Kau tahu, Thomas, baru beberapa menit lalu aku membaca selembar kertas berisi surat penitipan dua tersangka berbahaya yang kolom isian kasusnya masih dikosongkan. Menebak-nebak siapa pula yang dititipkan malam-malam nyaris pukul dua belas di kompleks kepolisian ini dengan perintah langsung jenderal bintang tiga dari markas besar. Seberapa berbahaya dua orang itu, hah" Kasus serius apa yang melibatkan mereka" Dan belum habis pikirku, menyisakan banyak tanya, tiba-tiba petugasku datang dengan wajah merah padam, melapor orang yang dititipkan itu baru saja berusaha menyuapnya.
Rudi memukul meja, menatapku tidak percaya. Astaga, Thomas" Kau berusaha menyuap anak buahku" Di kompleks Aku mengangkat bahu. Bukankah menyuap petugas itu biasa saja"
Rudi tertawa. Kalau saja kau bukan temanku di klub petarung setahun lalu, sudah kumasukkan kau dengan kepala terbalik, ke dalam sumur kompleks karena berusaha menyuap anak buahku, Thomas. Tapi baiklah, lupakan sebentar soal suap itu. Ini benar-benar mengejutkan, Kawan. Bukankah baru setahun lalu kau dikejar petinggi kepolisian dan pejabat jaksa itu" Dan sekarang, terjadi lagi" Kasus apa yang melibatkan kau sekarang, Thomas" Bukankah Om Liem sudah mendekam di penjara" Pemerintah telah menalangi Bank Semesta.
Aku berusaha menggaruk kepala dengan tangan terborgol, tidak menjawab pertanyaan Rudi, malah bertanya, Apakah kau komandan kompleks yang membuat seluruh petugas takut berbuat curang itu" Yang membuat hidup tahanan menjadi susah" Rudi tertawa, mengangkat bahunya.
Aku mengangguk, paham apa yang sedang terjadi di kompleks kepolisian ini.
Rudi adalah lawan paling tangguh di klub petarung Jakarta. Aku mengalahkannya dalam duel setahun lalu, dan dia juga banyak membantuku dalam kasus pelarian Bank Semesta setahun lalu. Rudi adalah sedikit dari polisi jujur yang pernah kukenal, perwira menengah, mantan komandan pasukan khusus yang hendak kuceritakan kepada Maryam tadi. Dia petarung sejati, memiliki kehormatan, termasuk memilih melawan perintah atasannya sekalipun demi kehormatan tersebut. Sejak kapan kau dipindahkan ke sini" aku bertanya lagi. Beberapa minggu setelah penangkapan Om Liem. Terima hebat, menangkap buronan Bank Semesta. Meskipun banyak jenderal keberatan dengan promosiku, tapi liputan media tidak bisa diabaikan. Mereka terpaksa mengembalikan seluruh catatan prestasiku, menaikkan pangkatku. Tetapi agar aman, agar aku lebih mudah dikendalikan, tidak merepotkan mereka, tempat ini menjadi pilihan terbaiknya. Aku dijadikan komandan markas pelatihan, jauh dari operasi lapangan. Jauh dari kota Jakarta.
Aku mengangguk, lagi-lagi paham kenapa Rudi berhenti dari klub petarung.
Nah, sejak kapan kau ditangkap polisi, Thomas" Pasti oleh pasukan khusus kalau aku boleh menebak. Thomas tidak level ditangkap pasukan biasa, bukan" Rudi tertawa.
Kau harus membantuku, Rud. Aku berusaha menyuap anak buahmu karena aku harus segera pergi. Ada banyak yang harus kulakukan. Waktuku genting. Mereka menjebak kami. Menjebak Opa, Kadek, dan salah satu wartawan yang ditahan bersamaku. Aku menatap Rudi sungguh-sungguh, kebetulan menakjubkan ini bisa menjadi jalan keluar baik bagiku dibandingkan menyuap petugas tentu saja.
Opa" Hei, apa kabar Opa" Rudi malah bertanya hal lain, antusias.
Astaga, Rud. Aku tidak punya waktu untuk sebuah percakapan hangat antarteman. Waktuku sempit! aku berseru memotong.
Hanya bertanya kabar Opa, Thomas. Apa salahnya" Tidak ada waktu, Rud. Kau harus membantuku. Sekarang! Rudi menatap wajah seriusku, berpikir sejenak, mengangguk. Baiklah, Kawan. Sebelum aku bisa memutuskan apakah memmendetail, tanpa ada satu pun yang ditutupi. Kau ingat, setahun lalu, aku diturunkan dari komandan pasukan menjadi polisi lalu lintas dengan buku tilang di saku hanya karena membantumu lolos dari rumah peristirahatan Opa. Beruntung kau memenuhi janji, membayar lunas pertolongan itu dengan menyerahkan Om Liem di penghujung cerita.
Aku menyeka pelipis. Aku tidak punya waktu untuk menjelaskan, Rud.
Kau punya waktunya, Thomas. Aku juga punya waktunya dan jelas kedatanganmu di kompleks ini telanjur membuatku bangun. Ini pukul dua belas malam, mau ke mana pula kau sekarang" Mau menghajar lawan-lawanmu" Mereka boleh jadi sedang tidur nyenyak. Nah, jelaskan semuanya padaku, maka biarkan aku memikirkan cara membuatmu pergi dari penjara kompleks kepolisian ini. Bila perlu, aku juga akan memberikan sedikit bantuan kecil seperti dulu, hadiah dari teman lama. Aku menatap wajah Rudi yang mulai serius. Baiklah. Aku mengalah, akan kuceritakan lengkap.
S ETENGAH jam berlalu dengan cepat di ruangan interogasi. Aku tiba di ujung kalimat, bercerita panjang lebar tanpa sekali pun dipotong Rudi. Dia hanya mendengarkan dengan cermat.
Ruangan itu lengang sebentar setelah kalimat terakhirku. Ini lebih serius dibanding setahun lalu, Thomas. Rudi menghela napas prihatin. Kali ini lawanmu lebih kuat dibandingkan persekongkolan dua orang yang hendak menguasai perusahaan Om Liem.
Kau tahu, hampir seluruh organisasi, lembaga, institusi, bahkan termasuk kepolisian memiliki faksi di dalamnya. Aku tidak akan mengajarimu soal itu. Kau lebih pintar dibanding siapa pun. Ini sekadar informasi tambahan. Dalam kesatuan, tidak peduli meski tumbuh bersama, berasal dari satu akademi kepolisian, faksi atau kelompok itu tetap terbentuk. Ada yang seEpisode 2O Sakit Perut dan Pesawat Militer tujuan tertentu. Faksi berdasarkan angkatan, faksi berdasarkan gugus tugas, hingga faksi dengan alasan suku bangsa, kedaerahan, serta kepentingan, entah itu motif ekonomi, politik atau kekuasaan.
Nah, faksi yang kauhadapi sekarang adalah yang paling besar di kepolisian, Thomas. Dipimpin langsung kepala penyidik. Dia memiliki pengaruh dan jaringan kuat, didukung banyak jenderal, termasuk pensiunan jenderal. Selangkah lagi dia akan menggenggam posisi orang paling kuat di seluruh kepolisian, tidak ada yang menghalanginya dari posisi itu beberapa tahun ke depan. Dia berjasa banyak bagi kepolisian. Dia membangun infrastruktur kepolisian, dalam artian sebenarnya, seperti membangun gedung dengan ruangan kerja berpendingin, menyuplai puluhan motor besar sebagai kendaraan operasional, mobil-mobil lapangan terbaik.
Bagaimana dia melakukannya" Lewat pemasukan uang dari penerbitan surat izin mengemudi, juga pengadaan barang atau proyek, termasuk boleh jadi koperasi kepolisian, dan sebagainya. Itu melibatkan uang triliunan, tidak sedikit, dan kepolisian memegang hak penuh tanpa diawasi pihak mana pun. Tidak ada auditor negara yang memeriksa aliran uang tersebut. Kau pernah membaca laporan keuangan kepolisian" Seperti membaca laporan kas RT/RW" Tidak pernah ada yang membacanya. Tidak pernah dibuka untuk konsumsi publik.
Banyak petinggi kepolisian tidak peduli soal itu, terlebih dengan fakta. Hei, bukankah dia bisa memberikan fasilitas mewah bagi polisi lain" Semua orang menikmatinya. Ada beberapa yang keberatan, selalu saja ada, boleh jadi banyak, tapi sejauh ini mekan berseteru dengan faksi besar itu, mencari penyakit. Jika mereka adalah lawanmu, kau benar-benar dalam masalah serius, Thomas. Termasuk klien politikmu sekarang.
Ya, aku tahu. Aku mengangguk perlahan. Itu semua belum memperhitungkan kemungkinan dia memiliki jaringan dengan penegak hukum lain, seperti kejaksaan dan hakim. Itu berarti lebih besar lagi kekuatan yang mereka miliki. Tetapi setidaknya masih ada polisi lain yang tidak terlibat jaringan mereka. Kau salah satunya, Rud.
Rudi tertawa. Apalah artinya aku, Thomas. Promosi seperti ini, komandan kompleks pelatihan, sebenarnya bisa dibilang dibuang dari lingkaran pertama. Tetapi kau benar, masih banyak polisi lain yang berpendapat kalau semua itu keliru. Jenderal-jenderal yang memiliki idealisme, perwira menengah, bintara, hingga polisi tamtama yang bertugas menjaga perempatan lampu merah, yang konsisten menolak menerima suap dari pelanggar lalu lintas. Mereka semua boleh jadi tenggelam oleh penilaian negatif masyarakat luas terhadap korps, juga tidak memiliki momentum untuk melakukan perubahan, tidak memiliki sumber daya, akses, kekuasan, dan lagi-lagi, sejauh ini hanya memilih diam. Namun, sekali kesempatan itu ada, sekali momen itu terbuka, kita tidak tahu gelombang revolusi apa yang akan terjadi di seluruh kesatuan kepolisian.
Aku bergumam, Ya, tapi itu bukan urusanku sekarang, Rud. Siapa pula yang peduli dengan argumen pembelaan atas citra negatif kalian. Salah-salah berkomentar, pihak luar bisa dianggap musuh oleh seluruh polisi.
Tentu saja, Thomas, itu urusan internal. Rudi mengangguk.
ngeluarkanmu seperti mengeluarkan seekor kelinci dari sarangnya. Akan banyak kecurigaan terarah ke sini. Semua mata dari faksi itu akan menatap curiga, dan aku kali ini tidak hanya menjadi polisi dengan buku tilang. Biarkan aku menyusun rencana terbaik, agar kau bisa melenggang pergi dengan aman, dan tidak ada satu pun anak buahku yang bisa disalahkan oleh mereka.
Aku harus segera keluar, Rud! aku melotot, berseru jengkel. Bukankah sudah jelas dari seluruh cerita, betapa mendesaknya urusan ini" Besok pagi aku harus terbang ke Denpasar. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa tiba di sana dengan pengawasan satu pasukan khusus, langsung di bawah komando orang kuat kedua di kepolisian. Jangankan melenggang naik pesawat, menyentuh bandara saja boleh jadi tidak bisa. Aku harus memanfaatkan waktu tersisa untuk memikirkan banyak rencana dan terus bergerak.
Aku tahu itu, Thomas. Rudi mengangkat tangan. Tapi tidak mudah melepaskanmu dan rekanmu pukul satu dini hari. Harus ada penjelasan logis. Lebih baik kau kembali ke sel, tidur sejenak, mengumpulkan energi. Sepertinya sepanjang hari kau terus terjaga, kau membutuhkan semua tenaga untuk melawan mereka. Aku berjanji, besok pagi kau pasti berangkat ke Denpasar, menghadiri konvensi partai. Nah, sebelum waktunya tiba, biarkan aku memikirkan cara cerdasnya. Rudi melangkah ke arah pintu, mengakhiri pembicaraan. Dia mengabaikan ekspresi jengkel wajahku.
Rudi mengetuk, pintu ruangan dibuka. Kalian kembalikan dia ke sel semula.
Eh, tidak dihukum di ruang isolasi, Komandan" Petugas Tidak perlu. Dia sudah menangis tersedu, berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Persis seperti anak mama yang diancam diambil mainannya. Memalukan, mental begitu berani-beraninya berusaha menyuap kalian. Dia jelas bukan jenis petarung sejati. Rudi melangkah santai.
Dia meninggalkanku yang sudah jengkel, hendak berseru tambah jengkel. Hei, siapa pula yang tadi menangis tersedu" Enam petugas lebih dulu bergerak masuk, mendekat. Aku mengumpat Rudi dalam hati. Lihatlah, salah satu petugas, sambil menatapku dengan tatapan iba, berkata lemah lembut, Nah, anak mama, ayo kita kembali ke sel penjara.
Hati-hati nanti kau membuatnya menangis lagi, lantas kau diadukan ke mamanya. Cup, cup, diam ya. Rekannya yang lain menimpali.
Mereka berenam tertawa puas mengolokku. ***
Aku menyuruh Maryam berhenti banyak tanya saat kembali masuk ke sel. Borgol tangan dan kaki dibuka. Pintu sel dikunci, menyusul pintu lorong digembok petugas. Aku juga menyuruh tetangga sel lain tutup mulut saat mereka bertanya keheranan kenapa aku tidak dihukum di ruang isolasi itu"
Tidur, Maryam. Semoga besok ada keajaiban. Kau gila, Thomas. Bagaimana aku bisa tidur dalam situasi seperti ini"
Mudah. Bayangkan saja kau memiliki peternakan domba besar, pejamkan mata, bayangkan kau menghitung domba-domba tidak segera membantuku, jadi melampiaskannya dengan menjawab sembarangan seruan kesal Maryam barusan.
Gadis wartawan itu mendengus, tapi sejenak, setelah berpikir, mendengarkan intonasi suaraku yang jengkel, dia tidak tertarik memperpanjang percakapan, memutuskan diam.
Tidur adalah pilihan paling masuk akal saat ini. Rudi boleh jadi benar. Pukul satu dini hari, orang-orang yang terlibat dalam persekongkolan ini jelas sedang tidur nyenyak di kasur empuk mereka, bermimpi indah, dan tidak mencemaskan apa pun. Maka aku lebih baik meniru teladan itu, juga tidur nyenyak, bermimpi indah, meski di kasur tipis ruang sempit sel penjara. ***
Pukul 06.45 esok harinya.
Cahaya matahari menerobos jendela kecil di dinding selku, membuatku terbangun setelah susah payah memaksa tidur sepanjang sisa malam, aku tetap belum tahu apa yang sedang direncanakan Rudi untuk meloloskanku dari tempat ini. Maryam sekali lagi bertanya dia sudah bangun sejak tadi aku menjawabnya pendek, tunggu saja.
Penghuni sel di lorong panjang itu telah memulai aktivitas pagi masing-masing. Ada yang berolahraga di selnya, push up, ada yang santai membaca buku, juga bercakap-cakap dengan tetangga sel. Aku menyeringai, Rudi sepertinya serius menegakkan aturan main di penjara ini. Tidak ada satu pun yang terlihat memegang telepon genggam dan peralatan elektronik lain untuk memutuskan kebosanan. Seluruh fasilitas sel sama, tempat tidur kamar mandi harus meneriaki petugas. Mereka akan diantar dan dikawal ke kamar mandi umum.
Lima belas menit berlalu lagi dengan lambat. Aku duduk menunggu.
Jam sarapan tiba. Pintu lorong dibuka lebar-lebar. Beberapa petugas dapur penjara mendorong troli besar berisi jatah sarapan untuk setiap tahanan. Aku menatap jam dinding di atas pintu lorong, pukul tujuh persis, mengeluh dalam hati, menyumpahi Rudi. Konvensi itu dibuka pukul sembilan. Penerbangan Jakarta- Denpasar membutuhkan waktu dua jam. Kapan Rudi mulai beraksi mengeluarkanku dari penjara sialan ini" Tidak terlihat sama sekali rencana cerdasnya.
Jodoh Si Naga Langit 2 Pendekar Mabuk 022 Lentera Kematian Cinta Itu Asyik 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama