Ceritasilat Novel Online

Your Eyes 4

Your Eyes Karya Jaisii Q Bagian 4


"Jadi kamu nggak mau nurutin keinginan aku?"
"Nggak mau." Naura mengeluarkan lidahnya. "Kamu kira, ngelahirin anak itu gampang" Nggak segampang ngebalikin telapak tangan."
"Serius" Kamu nggak mau nurutin permintaan aku?" ulang Adrian lagi.
Naura mengangguk pasti. Adrian mencubit kedua pipi Naura gemas. "Mau aku cium bibirnya beratus-ratus kali" Emmm?" Atau mau aku tarik hidung kamu yang pesek" Atau mau aku selingkuhin?"
Ia masih menarik-narik pipi Naura gemas. Tidak peduli dengan suara desisan Naura.
"Aaaaa ampuuun."
"Pokoknya aku pengin kita punya anak 10. Jangan dikurangin jangan dilebihin. Kalau nanti kita ke sini, bianglala ini isinya cuma keluarga kita doang,"
lanjut Adrian lagi, akhirnya dia melepaskan cubitannya. Menatap Naura gemas sekaligus lucu. Pipi Naura menjadi merah.
"Sakiiiit Iaaaaaan," pekik Naura kesal.
"Makannya jangan mancing-mancing aku."
"Padahal kan maksud aku baiik. Supaya kamu lupa kalau giliran kita yang ada di atas." Naura mencibir. Adrian tidak mengerti dengan tujuannya.
"Oh iya, ya." Segera Adrian mengangkup pipi Naura, wajah mereka saling berdekatan, menyisakan jarak 3 cm. Naura yang masih marah, hanya cemberut, memandang
sinis Adrian. Tanpa aba-aba, tanpa izin, tanpa perintah, Adrian mengecup bibir Naura sedetik, gadis yang dikecupnya melotot. "Oke jangan marah." Adrian
mendaratkan kecupan yang kedua, satu detik, Naura masih melotot. "Kamu makin jelek kalau marah." 'Cup' dan itu adalah kecupan yang terakhir. "And thank
you so much my wife." Adrian memeluk Naura yang masih terkejut. Takut kalau misalkan tadi ada orang yang lihat. Naura mengerjap-ngerjapkan mata.
Kemesraan mereka pun terinterupsi oleh berhentinya kincir, suara abang-abang yang memerintah untuk keluar, karena ada sepasang nenek dan kakek yang ingin
naik. Terlampau dalam kenangan manis, tak sadar Naura ikut bersandar di kepala Brian, bibirnya tersenyum dan mata menangis. Hati teriris oleh keraguan dan kehausan
rindu. 'Suami istri yang telah lama tak bersua itu kini sedang menikmati kebersamaan yang lekat. Seharusnya mereka bersama, tapi keadaan melarang.'
"Kamu udah nemu pengganti Adrian" Sehebat apa cowok itu sampai bikin kamu move-on dari suami yang kamu cintain, yang sekarang udah meninggal" Bahkan kakaknya
pun nggak punya kesempatan buat milikin hatinya yang selalu tertutup. Dan aku salah Naura, selama ini aku pikir hati kamu udah ketutup, tapi nyatanya,
aku udah keduluan. Hati kamu udah terbuka, dan itu bukan buat aku."
"Sekarang mau kakak apa"!" Naura berbalik, dengan keadaan pipi yang telah ditetesi air mata. "Apa aku serendah itu langsung terpikat sama cowok lain sementara
di sini ada lelaki yang memohon cinta aku, lelaki yang selama ini nemenin kesedihan aku. Yang nguatin aku untuk tetap ngejalanin hidup di bumi yang udah
aku nggap kejam." "Ya harusnya kamu jujur dari awal Naura!"
"Dia bukan pacar aku..."
"Siapa" Bukan pacar tapi berani pelukan di depan umum?"
"Stop, kak!" "Aku sadar kamu nggak bisa terima cinta aku, tapi seenggaknya kamu jujur. Jujur kalau kamu cinta sama lelaki lain. Jangan diem dan cuma bilang nggak bisa
tanpa alasan. Kalau kamu punya alasan ungkapin..."
"Aku--punya--alasan!" Naura menyela, menekankan suaranya, menahan gejolak emosi agar tidak meledak, dengan mata menutup selama beberapa detik. Lalu membukanya
lagi. "Tapi maaf aku nggak bisa jawab sekarang. Dan kakak jangan pernah mikir aku lagi jatuh cinta sama cowok lain. Karena di hati aku..., cuma ada nama
Adrian. Maafin aku, Kak."
Angga tampak terpegun. Mengapa Naura masih mengungkit Adrian lagi dan lagi" Apa pantas dia cemburu pada Adrian yang telah tiada" Sementara itu Naura berbalik
dan langsung membuka pintu, masuk ke dalam, menutup pintu dengan sekali hentakan tangan. Hanya papan pintu yang ada dalam pandangan Angga sekarang. Ia
tahu, Naura sangat marah, hatinya tersinggung.
"Terus siapa lelaki itu Naura...?" lirih Angga, masih menatap daun pintu datar.
Tak pernah terpikirkan sebelumnya, bahwa sekarang Angga begitu mengharapkan cinta mantan adik iparnya sendiri. Kalau saja dulu Adrian tidak meninggal,
pasti romantika cinta tak akan pernah terjadi. Mungkin saja Angga bisa menemukan perempuan lain"
Bersambung. YOUR EYES. By: Jaisii Quwatul. Chapter 21 - Tragedi Yang Sama.
*** Jarum jam menunjukkan pukul sembilan malam, suaranya berdetik di kesepian. Nessa belum juga tertidur, sibuk menunggu Brian yang entah berada di mana. Duduk
sendirian di ruang tamu, dengan ponsel di tangan. Matanya tak pernah lepas dari jam dinding yang terpajang di tembok. Terus berharap ponselnya berbunyi,
sebagai petanda bahwa Brian menghubunginya. Semenjak pertengkaran yang terjadi di rumah sakit itu, Nessa belum bertemu lagi dengan Brian. Lelaki itu seolah
menghilang di telan bumi, tidak memedulikan ancaman Nessa. Masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri. Sudah seperti anak yang tidak mematuhi perintah
orangtua. Di meja, tersimpan satu gelas kosong dan sebotol wine. Sepertinya, Nessa baru saja meninum beberapa gelas wine untuk mengurangi penat tanpa membuat mabuk.
Tak lupa, di meja itu terdapat pula foto Nessa dan Brian ketika Brian menggendongnya di punggung. Mereka begitu bahagia, penuh gelak tawa. Berbanding terbalik
dengan sekarang. Mereka seakan menjadi dua orang yang tidak saling mengenal. Di dalam kesunyian, kehampaan, kekosongan, Nessa benar-benar merasakan kesendirian
yang teramat. Satu-satunya orang yang selama ini selalu ada di sampingnya, selalu membuatnya tertawa, berubah menjauh dan berbeda. Dia bukan Brian yang
Nessa kenal. Ke mana sosok Brian itu" Penyesalan kembali menyerang, memorinya memutar tragedi satu tahun silam.
Di suatu malam, malam yang merubah segalanya. Malam yang telah merenggut Brian. Nessa dikagetkan oleh berita yang mengatakan bahwa bus yang ditumpangi
Brian mengalami kecelakaan besar. Tanpa menunggu lagi, Nessa langsung mengunjungi TKP saat semua korban belum dilarikan ke rumah sakit. Nekat mencari keberadaan
Brian dengan cemas sekaligus kelabakan. Seluruh organnya menggetar, ketakutan benar-benar menyergap tanpa ampun. Seakan kehilangan pegangan.
Dan ternyata Tuhan masih begitu berbaik hati kepadanya, Nessa langsung menemukan Brian yang tergeletak di atas tanah, tak jauh dari bus yang terguling
parah. Keadaan Brian juga parah, bajunya dinodai darah, cairan merah keluar dari kening dan hidung. Menyerebak ke mana-mana. Tak lupa juga dengan luka
memar-memar pada anggota tubuh lainnya. Cepat-cepat Nessa duduk di sebelahnya, menangkup kedua pipi Brian dan menggoyang-goyangkannya, sesekali menepuk
dan memanggil nama Brian. Setelah lelah, Nessa mengeluarkan permintaan bantuannya. Percuma, Brian tak akan bangun.
"Pak, Pak tolong, Pak! Tolongin pacar saya, tolongin dia!" teriak Nessa gencar berurai air mata. Kondisi Brian yang sangat mengenaskan membuat Nessa kalang
kabut. Dua orang dari tim penyelamat berdatangan, mengecek kondisi nadi Brian, dan untung dia masih berdetak. Nessa sedikit lega, tapi ia harus tetap waswas.
"Ayo cepet bawa pacar saya ke rumah sakit, Pak! Cepet!" lanjut Nessa lagi. Mereka menanggukan kepala serempak. Dan mulai menggotong tubuh Brian menuju
mobil Nessa atas interuksi Nessa sendiri. Ambulan penuh, dan Nessa tak mau menunggu lama lagi. Brian harus segera diselamatkan, jangan sampai terlambat,
Brian harus selamat. Agar pernikahan mereka berjalan sesuai rencana.
Saat itu Nessa benar-benar kacau dan belingsatan, sampai tidak menyadari kalau korban yang ia bawa bukan Brian, melainkan orang lain; Adrian.
Tiba di rumah sakit, Brian dimasukkan ke ruang UGD untuk ditangani secara intensif. Nessa menunggu di luar dengan perasaan tak tenang. Bolak-balik tak
keruan, memijat keningnya yang berdenyut nyeri. Air mata masih berjatuhan. Mengapa bencana ini harus terjadi" Saat kebahagiaan akan datang, harus dicekal
oleh tragedi mengerikan. Nessa bahkan tidak yakin Brian akan selamat. Tapi siapakah yang melarang dia untuk terus berharap"
Brian berjanji akan menikahinya minggu depan, tapi apa yang dilakukan Tuhan" Dia tega menurunkan melapetaka ini, menciptakan nestapa. Menerbitkan jiwa
yang melankolis. Nessa duduk di kursi tunggu, menundukkan kepala, mata sayu. Tak ada orang lain yang bisa menguatkannya, papanya sedang berada di Amerika,
Nessa belum berani mengabarkan berita tragis ini. Semuanya hampa, ia memeluk kesedihan seorang diri. Brian di dalam, sedang bertarung nyawa.
"Aku udah ada di bis, nih. Sekarang aku pulang sayang."
Sama seperti apa yang dilakukan Adrian saat itu, mereka menyapa kekasih hati lewat video call.
"Kok kamu nggak bilang-bilang, sih" Katanya bilang dua hari lagi. Tapi nggak pa-pa, deh. Kamu emang wajib pulang cepet, masa ada calon pengantin keluyuran
nggak jelas," jawab Nessa mencibir. Membulatkan kedua bola matanya yang besar, lensa cokelatnya mengilap cantik.
Brian tertawa. "Namanya juga abis cari hadiah spesial buat calon istri. Sekalian jalan-jalan sama temen-temen. Nanti kita jalan-jalan ke Bandung sama-sama,
ya. Aku yakin, kamu bakalan suka," kata Brian mantap.
"Apaan Bandung, aku maunya ke Jerman." Nessa mengimbuhi dengan keinginan yang keluar dari ajakan Brian, meminta lebih. Tapi tak perlu dianggap serius,
Nessa hanya bergurau semata. Hanya untuk menggoda Brian.
"Ooh Jerman" Oke siap. Do'ain aja supaya aku punya uang banyak dan ngajak kamu ke sana."
"Uang" Kamu masalahin uang, Bri" Padahal bukan uang yang jadi hambatan. Tapi kesibukan kita. Boro-boro ke Jerman, ke luar kota aja susah." Nessa menyelipkan
sejumput rambutnya ke belakang telinga. Menatap Brian yang berada di layar.
"Ini aku di luar kota. Jadi siapa yang nggak ada waktu?" balik tanya Brian, ada insinuasi yang terselip dalam kalimatnya.
Nessa tersindir. Ujung bibirnya tertarik ke samping, melengkungkan senyum bulan sabit. "Iya oke, Bri. Emang aku yang sibuk." Gadis itu tersenyum-senyum
jengah, Brian ikut tertawa. Jangankan Jerman, Brian malah ingin sekali mengajak Nessa ke surga. Lalu Nessa menarik napas pelan. "Oh kira-kira kapan nyampe?"
"Empat atau tiga jam lagi."
Nessa merapatkan bibir dan mengangguk mengerti. Pasti akan terasa sangat lama. Dan Nessa tipe orang yang malas menunggu.
"Aku tunggu..."
Tiba-tiba wajah Brian dalam layar menghilang, membuat Nessa sedikit terperangah. Padahal Brian belum mengucapkan say-goodbye-nya. Apakah dia lupa" Nessa
mengembuskan napas letih.
Nessa selalu berpikiran positif, hingga otaknya langsung mengirim sinyal mengenai kemungkinan yang terjadi pada Brian. Mungkin saja jaringan di sana lemah,
dan ponsel Brian kehabisan daya. Baiklah, Nessa akan menunggu. Ia tak akan tidur. Beberapa kali juga mengirim pesan sebagai manifestasi rasa khawatir dan
pedulinya. Tapi, setelah menerima kabar kecelakaan, Nessa yakin, saat Brian memutuskan sambungan video call, bis yang ditumpangi Brian mengalami kecelakaan. Dan saat
itu pula Nessa menyesal karena telah memberikan izin kepada Brian untuk pergi ke Bandung. Penyesalan yang akan terus disesali seumur hidup. Sesal yang
tiada habisnya. Dan berakar semakin dalam.
Begitu dokter keluar, beliau mengatakan bahwa Brian tidak mungkin bisa diselamatkan. Kecuali, pihak keluarga mengizinkan pasien dipindahkan ke rumah sakit
yang lebih besar, dengan begitu pasien bisa ditangani dengan alat yang lebih memadai. Secara tidak langsung mereka memberikan kejujuran; tidak sanggup
menyelamatkan pasien. "Di mana, dok" Rumah sakit ini juga termasuk rumah sakit besar. Harus saya bawa ke mana lagi Brian?" tanya Nessa gemas, tenggorokannya kering. Dokter di
depannya ini tidak tahu, kalau dirinya sedang ketakutan, kakinya gemetar. "Pokoknya saya nggak mau tau, dokter harus selamatin calon suami saya..."
"Anda bisa membawa pasien ke rumah sakit yang berada di luar nergi. Itu satu-satunya saran dari saya. Pendarahan di kepala pasien telah menembus otaknya.
Lukanya cukup parah, kami takut pasien mengalami sesuatu yang tidak diinginkan," jelas sang dokter dengan kalimat formal.
Nessa bergeming, terdiam lama sambil terus berpikir. Jika itu satu-satunya cara untuk menyembuhkan Brian, akan Nessa lakukan. Baiklah. Nessa setuju.
Hasilnya sama, saat Brian sudah dipindahkan ke Amerika, kondisinya kritis. Monitor pendeteksi jantung menunjukkan tanda-tanda lemahnya, suara monitor itu
berbunyi cepat. Para dokter dan suster dengan sigap menyelamatkan nyawa pasien. Nessa membekap mulut di luar ruangan, sembari menggeleng, dokter memasangkan
alat pacu jantung, tubuh Brian beberapa kali terdorong ke atas. Menolak. Brian sedang berjuang antara hidup dan mati. Nessa menangis tak tertahankan, di
belakang, papanya mencoba menguatkan putrinya, mengusap kedua bahu Nessa yang berjengit. Saat proses ketegangan itu berlangsung, Brian yang sebenarnya
Adrian mendatangi mimpi Naura. Untuk mengucapkan salam perpisahan.
"Kamu harus janji sama aku ya, Na. Kamu harus jadi cewek yang kuat. Jangan gampang nangis. Percaya, suatu saat kamu bakal dapetin kebahagiaan yang lebih.
Tanpa aku, kamu harus bisa. Aku nggak tau apa kamu bisa setia atau nggak. Yang jelas di sini, aku akan tetap mencintai kamu. Kamu boleh mencintai pria
lain, asalkan itu buat kamu bahagia. Kamu berhak bahagia Naura. Meskipun bukan aku alasannya. Pakai kalung pemberian aku, untuk mengenang semua kisah kita.
Maaf aku nggak bisa jadi orang yang selalu ada buat kamu. Maaf aku telah mengingkari janji."
Naura tercenung. Mengapa Adrian malah berkata demikian" Pelukan Adrian melonggar, dia mengecup pipi Naura.
"Aku pergi dulu."
"Jangan, jangan pergi Ian." Naura segera berbalik. "Aku mohon jangan pergi. Kamu harus tetep sama aku. Aku nggak mau kehilangan kamu Ian. Please jangan
pergi. Aku mohon. Kamu nggak mau liat aku ngelahirin 10 anak kita?"
"Tapi aku harus pergi."
"Jangan! Jangan pergi! Jangan tinggalin cinta aku. Aku nggak sanggup kehilangan kamu. Aku nggak sanggup kehilangan kamu, aku nggak sanggup! Kembali Ian,
kembali..." Air mata Adrian keluar saat mata itu masih terkatup. Suara Naura yang membangkitkannya untuk tetap hidup berhasil membuat detak jantungnya kembali normal.
Adrian memutuskan untuk tetap berada di dunia, menghabiskan hidup dengan Naura. Terima kasih Naura. 'Aku sayang kamu' Dokter bernapas lega, pasien berhasil
melewati pasca kritisnya. Nessa ikut lega, terima kasih Tuhan, telah memberikan kesempatan Brian untuk tetap hidup. Tangisan mereda, diganti senyum berarti.
Matanya berbinar, Brian nyaris membuat Nessa pingsan.
Satu minggu kemudian, akhirnya Brian menunjukkan tanda-tanda kesadarannya. Nessa duduk di sebelah ranjang Brian, memandang kekasihnya itu penuh pengharapan.
Kedua mata Brian mulai terbuka, Nessa dilingkupi euforia. Papanya yang berdiri di belakang ikut tersenyum. Putrinya akan kembali berbahagia.
Mata Brian sudah sepenuhnya terbuka. Luka di kepalanya belum kering hingga masih dililiti perban. Desisan Brian terdengar tak teratur, tangannya terangkat,
kepalanya benar-benar sakit dan berdenyut. Ia meringis untuk mengurangi sakit.
"Akhirnya kamu sadar juga Brian," kata Nessa bersemangat. Diraihnya pergelangan tangan Brian, dan dikecupnya dengan ketulusan terdalam. "Jangan tinggalin
aku lagi, Bri," bisik Nessa laun. Genggamannya kian erat, Nessa letakkan tangan Brian di pipi halusnya. "Makasih, Bri."
"Kamu... Kamu siapa?"
PRANG!!! Nessa melempar gelas wine-nya ke seberang meja, pecahannya berantakan di atas lantai. Hening kembali menjemput. Ketika mengingat kala Brian bertanya 'siapa
kamu' kepadanya, hati Nessa seakan ditusuk belati. Momen memilukan yang pernah terjadi di sepanjang hidupnya. Gara-gara kecelakaan sialan itu, Brian berubah.
Jam 11 malam, Brian belum juga kembali.
*** Sementara di tempat lain, Brian meletakkan kepala dan punggungnya di sandaran kursi kemudi, mobilnya terparkir di sebelah jurang. Banyak pepohonan yang
menjulang tinggi dan tumbuhan liar, kesenyapan melingkupi. Hanya terdengar suara binatang malam yang menemani, sedikit mengurangi sepi. Hanya ini tempat
satu-satunya yang bisa Brian pakai untuk menyendiri. Matanya terpejam selama seperkian detik, ponselnya dibiarkan mati. Agar orang lain tak bisa menghubungi
dan mengganggu waktu sendirinya, terutama agar terhindar dari Nessa.
Rasanya ingin sekali membenturkan kepala ini ke tembok, agar semua ingatannya kembali. Hingga masalah bisa selesai. Tapi Brian tidak bisa menyakiti dirinya
sendiri. Dokter pernah menyarankan dirinya agar jangan terlalu memaksakan diri untuk mengingat. Atau itu akan membuat kepalanya serasa meledak-ledak. Wajah
Brian memancarkan kefrustrasian akut. Perlahan, kedua matanya kembali terpejam lagi. Besar kemungkinan, ia akan tidur di sini.
*** Esok harinya, Brian berniat untuk mengunjungi suatu tempat. Rumah Naura, ya, dia akan pergi ke sana. Beruntung Brian pernah mencuri alamat rumah Naura
dari Nessa. Dilajukannya mobil menuju tempat tujuan. Hari ini ia harus mendapatkan jawaban.
Tak membutuhkan waktu lama, Brian tiba di depan rumah Naura. Ia melihat sepeda Naura terparkir di dalam halaman. Brian melekukkan senyum, berarti alamatnya
benar. Lelaki itu lekas turun dari mobil. Dipandangnya rumah berukuran sederhana itu. Ini bukan rumah yang Naura datangi ketika Brian mengikutinya, lantas
rumah siapakah itu" Kekasihnya" Brian merasakan hal yang sama tatkala melihat rumah Naura dengan rumah mewah yang dulu Naura kunjungi. Kedua rumah itu
begitu familier. Brian sampai di depan pintu rumah, diketuknya pintu selama beberapa kali. Udara sangat dingin membuat Brian sedikit menggigil, telapak tangannya terasa
beku. Bahkan Brian tak yakin Naura akan membuka pintu, ini masih terlalu pagi, kemungkinan kecil Naura masih tidur. Ah tidak, Naura bukan tipe perempuan
yang pemalas. Tanpa terduga, pintu terbuka dari dalam. Brian terkesiap.
"Kenapa mesti ketuk pintu sih, Na..."
Suara Surya tertahan di tenggorokan. Jantungnya nyaris melorot ke perut. Betapa tidak, sosok pria yang ia tahu telah meninggal setahun yang lalu, kini
berdiri di depan mata tanpa cacat. Segalanya sempurna. Bagaimana Bisa" Adrian..."
"Ada Nauranya, Om?"
*** Bersambung... "YOUR EYES. By: Jaisii Quwatul. Chapter 22 - Jangan Pergi...
*** "Ada Nauranya, Om?"
"A... Ad... Adrian?" mulut Surya gemetar ketika mencetuskan nama suami dari anaknya itu. Sekujur tubuhnya menegang. Bayangkan saja, seperti melihat orang
mati yang bangkit dari kubur. Sementara Brian mengerutkan kening ketika mendengar nama yang dilontarkan pria paruh baya ini. Adrian" Siapa"
"Kenalin nama saya Brian, Om. Temen Naura. Om ayahnya?"
Surya masih bergeming. Pandangannya datar tak berekspresi. Brian semakin kebingungan. Pasti ada yang tidak beres. Apa kedatangannya seperti hantu tak diundang"
"Om kenapa" Nauranya ada?" Brian berusaha membuyarkan lamunan Surya. Dan kala itu juga Surya nyaris terhuyung, tapi cepat-cepat disangga Brian. "Eh Om,
Om nggak pa-pa" Saya bantu buat duduk, Om." Brian meletakkan tangannya di kedua bahu Surya, membantunya untuk duduk di kursi. Pelan-pelan dan hati-hati.
Ketika Surya sudah duduk, ia melepaskan kacamata minusnya, memandang wajah Brian lebih lekat lagi. Sesekali mengucek mata untuk memperjelas, dan hasilnya
tetap sama. Wajah itu memang wajah Adrian. Tak ada yang membedakan kecuali gaya rambutnya. Walaupun mata Surya sudah tua, tapi ia masih bisa mengenali
wajah seseorang. Matanya itu tak mungkin rusak.
"Siapa nama kamu?" tanya Surya untuk meyakinkan. Barusan dia memang mendengar lelaki ini memperkenalkan namanya dengan nama 'Brian'. Dan bisa saja telinganya
salah mendengar. Sebelumnya Naura belum pernah menceritakan teman lelakinya kecuali Angga. Ini cukup membingungkan. Dan bagaimana bisa Naura berteman dengan
lelaki yang mirip sekali dengan Brian" Tidak sulitkah baginya" Dan siapakah Brian" Kembaran Adrian" Tapi setau Surya, Adrian tidak memiliki saudara kembar.
"Saya Brian, Om. Temen Naura."
"Naura anak saya?"
Brian mengangguk mantap. Surya terdiam tanpa menyahut. Ia memakai kacamatanya lagi, tampak kaku dan ragu.
"Om kalau nggak salah denger, barusan Om bilang kalau saya ini... Adrian?"
Dan ini untuk yang kedua kalinya Brian mendengar nama lelaki itu. Dulu, sewaktu dia menginterograsi Naura, dia juga mengucapkan nama 'Adrian', sama seperti
apa yang ayahnya ucapkan tadi. Iya, Brian ingat sekali. Dulu ia lupa untuk bertanya kepada Naura. Dan bagaimana pula caranya bertanya sementara Naura sendiri
selalu mengindar. Menganggap keberadaan dirinya itu benalu, sangat mengganggu.
"Apa Naura nggak pernah ceritain tentang saya ke Om?" tanya Brian mulai bertanya. Ia yakin, ia akan mendapatkan jawaban gamblang dari ayah Naura. Pria
kisaran umur 45 tahunan ini bisa dijadikan tempat pencarian informasi. Brian menatap ayah Naura dengan keseriusan intens, bak pewawancara yang siap menanyai
sang narasumber. "Kamu mirip sekali dengan almarhum suami Naura," kata Surya yang berhasil mengejutkan Brian. Tubuhnya menciut, jantungnya seolah keluar dari rongganya.
Surya mengambil sesuatu di atas nakas sebelah tempat duduk, lalu disimpannya di atas meja hingga Brian mampu melihatnya. Kata-kata 'Kamu suami aku' kembali
terngiang di telinga Brian.
"Ini apa, Om?" tanya Brian ragu, mengulurkan tangan untuk membawa bingkai foto itu. Bingung mengapa pria ini malah memberikan barang berupa foto. Apakah
ada sangkut pautnya"
"Itu foto pernikahan Naura."
"Jadi Naura udah menikah?" Brian lantas melihat foto di tangannya. Ia mengerjap-ngerjapkan mata, pria yang berdiri di sebelah Naura sungguh mengagetkan.
Ternyata benar, Naura memang telah memiliki suami. Mata Brian menyipit. "Ini suami Naura?" Brian beralih menatap Surya. "Kok wajahnya..."
"Iya itu Adrian, suami Naura yang udah meninggal. Dan kamu" Kamu siapa sebenernya" Kenapa wajah kalian sama" Dan kenapa Naura nggak pernah cerita ke saya
kalau dia ketemu sama lelaki yang mirip sama suaminya?" Giliran Surya yang bertanya. Dia juga butuh jawaban atas apa yang sekarang ia lihat. Sungguh membelitkan
dan begitu pelik. "Suami Naura meninggal karena?" Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan Surya, Brian bertanya dahulu. Siapa tahu dengan begitu ia bisa mendapat jawaban.
"Kejadiannya setahun yang lalu. Adrian meninggal karena kecelakaan bis."
Mata Brian berapi-api. Dia semakin penasaran. Naura terlalu tertutup hingga menyebabkan berbagai teka-teki. Kecelakaan bis" Kata Nessa, dirinya juga pernah
mengalami kecelakaan bis, dan itu alasannya mengapa sekarang dia mengidap penyakit amnesia. Ada kemungkinan besar, Brian mengira kalau dirinya adalah Adrian,
suami Naura yang meninggal. Dan sebenarnya yang meninggal itu Brian, bukan Adrian. Benarkah"
Surya terus memerhatikan Brian penuh selidik. Pria ini mengingatkan Surya kepada awal pertama kali dia melihat Adrian di teras. Saat anak itu berani-beraninya
mencium bibir Naura. Putri semata wayang sekaligus kesayangannya. Dan saat itu pula dia menyuruh mereka untuk segera menikah. Awal kebahagian Naura.
"Nggak tau kenapa Om, semenjak saya ketemu Naura saya ngerasa..."
Brian menggantung kalimatnya begitu menyadari ada seseorang masuk. Lelaki itu menoleh ke ambang pintu, ada Naura yang sedang berdiri terpaku. Aura tegang
melingkupi wajahnya. Gadis itu menelan ludah. Pemandangan macam apa ini"
"Bri.. Brian?" lalu matanya berpindah ke ayahnya yang sedang menatap ke arahnya. "A... Ayah..."
Ada apa ini" Apa yang sedang terjadi" Brian bersama dengan ayahnya" Itu artinya...
"Kamu ngapain ke sini"!" tegur Naura mendekati Brian. Is mengenyahkan sikap santun yang selalu melekat dalam dirinya.
"Ketemu sama kamu," jawab Brian dengan nada enteng. Seperti tak ada beban sama sekali. Pertanyaan yang diucapkan Naura itu sesuatu yang cetek.
"Keluar Brian," perintah Naura tak bisa dibantah.
Tapi Brian enggan beranjak dari duduknya. Dia malah terfokus kembali kepada Surya yang ambigu. Informasi yang ia dapat belum sepenuhnya sempurna. Kepingan-kepingan
puzzle itu masih berantakan. Perlu dipasangkan hingga menjadi susunan teratur. Membantuk gambaran jawaban dari sebuah misteri yang memorak-porandakan penat.
Tak kunjung mendapat respons, dengan terpaksa Naura menarik tangan Brian, membawanya ke luar. Surya mendadak gagu melihat tindakan Naura yang seolah sangat
membenci Brian---pria yang begitu mirip dengan suaminya. Mereka saling mengenal, tapi Naura tidak pernah menceritakan hal penting ini.
"Pergi dari sini dan jangan ketemu aku lagi! Pergi jauh-jauh Brian!" Naura mendorong dada Brian hingga pria itu terus mundur sampai berada di teras. Entah
apa yang membuat Naura setakut ini. Takut kecewa, mungkin"
"Saya nggak akan pergi sebelum saya dapetin jawaban yang saya mau," ungkap Brian kukuh. Naura tidak berhak mengacaukan usahanya.
"Jawaban apa?" "Jawaban tentang siapa saya Naura."
"Kamu itu Brian, siapa lagi" Kamu cuma buang-buang waktu buat nyari identitas kamu yang jelas-jelas udah ada dan bener," kata Naura dengan gemasnya.
Ditutupnya pintu dari luar, Naura masih memandang Brian penuh antipati. Ia berpikir ia bisa memecahkan masalahnya sendirian. Jadi ayahnya tak perlu turun
tangan. Yang Naura tahu Adrian itu sudah meninggal, dan Brian hanya kebetulan mirip. Pria yang akan segera menikah dengan perempuan lain. Daripada terus
berharap, Naura memilih untuk mundur. Agar nantinya tak ada yang tersakiti.
"Kenapa kamu nggak pernah cerita kalau kamu udah menikah dan sempet punya suami" Apa kamu setertutup itu Naura" Seharusnya kamu bilang dari awal, siapa
tau saya bisa inget tentang kamu."
"Emang kamu siapa saya" Mau suami saya udah meninggal atau nggak, itu bukan urusan kamu. Lebih baik sekarang kamu pergi dari sini. Urusan kita udah selesai.
Kamu nggak berhak ngusik kehidupan saya lagi. Jangan ganggu hidup saya yang tenteram setelah saya kehilangan semuanya di masa lalu," jelas Naura panjang-lebar.
"Saya lelaki yang mirip sama suami kamu yang meninggal."
"Kamu cuma kebetulan mirip jadi nggak ada hubungan apa-apa sama suami saya. Kenapa kamu selaluuuu aja gangguin saya. Saya tuh pusiing. Saya lagi males
terlibat dalam masalah apa pun. Saya cuma pengin hidup tenang." Naura hilang akal. Brian membuatnya kacau hingga ingin meledakkan otak.
"Kita masih patner Naura."
"Asal kamu tau, saya udah dipecat sama Mbak Nessa. Jadi kamu gak perlu repot-repot ke sini lagi. Kita udah nggak punya hubungan apa-apa lagi. Pulang Brian,
Mbak Nessa nunggu kamu." Naura menyampaikan permohonannya. Ia tahu sekarang Nessa sedang terluka. Naura merasa bersalah atas insiden ciuman itu.
"Saya masih kecewa sama dia. Ternyata selama ini Nessa selalu merhatiin saya kalau lagi berinteraksi di rumah. Itu keterlaluan, kan" Dan dia udah tau saya
pernah cium bibir kamu. Dia tau semuanya," suara Brian memelan.
"Ya maka dari itu, kamu harus minta maaf sama dia dan stop ngejar-ngejar saya. Stop maksa kalau kamu tuh sebenernya punya keterkaitan sama saya. Kamu bukan
Adrian. Kamu tetep Brian yang lagi amnesia. Saya yakin, setelah ingatan kamu kembali, kamu bakalan nyesel udah pernah nyakitin mbak Nessa cuma karena kenafsuan
semata kamu. Jangan sia-sia in mbak Nessa, dia tuh sayang banget sama kamu."
"Tapi saya bener-bener nggak cinta sama dia Naura. Hati saya ini nggak pernah hidup, bahkan jantung ini pun nggak pernah berdetak. Saya tau, meskipun kita
kehilangan ingatan kita, hati nggak akan pernah lupa. Dia akan tetap berdetak pada orang yang sama."
"Nggak itu semua salah. Kamu terlalu banyak nonton drama dan baca novel Brian," kata Naura tanpa memandang Brian. Digigitnya bibir bagian bawah keras-keras.


Your Eyes Karya Jaisii Q di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Menolak dorongan kuat yang memaksa untuk memercayainya. Hidup dalam dunia khayalan itu sangat menyakitkan. Naura tak akan masuk ke dalamnya. Jalani saja
apa yang ada. "Sekarang kamu pergi. Jangan pernah temuin saya lagi."
Tanpa aba-aba, Brian meraih tangan Naura, meletakkan telapak tangannya di dada Brian, agar Naura bisa merasakan detak jantung yang kian berdentang keras.
"Kamu rasain ini Naura. Asal kamu tau, setiap saya ada dekat kamu, jantung ini selalu berdetak di luar dari biasanya. Tolong rasain ini Naura, saya mohon
beribu-ribu mohon." Tanpa Naura sadari sendiri, ternyata benar, ia bisa merasakan detakan itu lewat telapak tangan, getarannya merambat ke jantung miliknya,
irama senada terbangun membentuk gunung asa. Meluluhkan ragu. Detakan yang sama saat ia rasakan di masa lalu. Ketika berada di samping Adrian. Ketika bersitatap
dengannya, ketika bercinta bersamanya. Naura bergeming tanpa kata, dada sesak, mata menguarkan kegetiran. "Dan hati aku, selalu nyaman. Kedua organ yang
nggak mungkin bohong. Apa kamu nggak percaya sama mereka?" Brian melanjutkan.
Naura tersadar dari lamunannya yang terlampau jauh. Refleks dia melepaskan tangannya dari Brian dengan mata mengerjap-ngerjap. Menyeka air mata.
"Pergi, pergi, pergi. Pergi Brian aku mohon." Naura mengusap cangkang matanya yang nyaris dibasahi air mata. Ia langsung berbalik, membuka pintu dan menutupnya
kembali, tidak memberikan izin pada Brian untuk bicara lagi. Berada di dalam, Naura sudah tak mampu lagi menahan desakan air matanya.
"Naura." Brian ingin menggedor pintu, tapi ia sadar, terus memaksa seperti ini tak akan membuahkan hasil. Semuanya sia-sia. Naura terlalu pesimis. Kepalan
tangannya hanya menggantung di udara. Bukannya menyerah, tapi ia mengerti Naura. "Oke kalau ini yang kamu mau. Saya bakalan pulang. Tapi suatu hari nanti...
Saya bakalan kembali, dengan ingatan yang beda. Saya bakalan inget semua tentang kita. Tapi kalau saya emang Brian yang cinta sama Nessa, saya minta maaf.
Saya minta maaf, dan saya harap kamu mau maafin saya yang udah selalu ganggu kamu." Brian berkata ironi.
Naura masih menggenggam gagang pintu. Hatinya sakit seperti ditohok saat menghindari Brian yang dirasa memang benar Adrian. Telinganya bisa menangkap suara
Brian di luar, suara penuturan yang mampu menggoreskan bilur pilu. Juga luka yang menganga dalam lagi. Naura ingin memeluknya, mengatakan rindu, ingin
menciumnya, merengek untuk melarang dia pergi.
"Dan dengan begitu, kamu bakalan percaya."
Naura menangis. Dadanya yang sesak berjengit. Dia bukan Adrian, tapi mengapa rasanya begitu perih" Dan jika memang benar dia Adrian, betapa bersyukurnya
Naura. Tuhan begitu berbaik hati. Masih mau memberinya secerca kebahagiaan. "Ian..." nama itu keluar dari mulut Naura di tengah isak tangisnya yang pedih
menyiksa. Semuanya hening, yang tersisa hanya suara tangisan Naura.
Suara mobil terdengar di gendang telinga, itu artinya... Brian telah pergi. Spontan Naura membuka pintu, melangkah lebar ke atas teras, melihat halaman
rumahnya yang kosong melompong. Angin pagi menyapu wajah. Brian benar-benar pergi. Dan... bukanya ini yang Naura mau"
"Dia siapa Naura?" tanya Surya, melangkah keluar dan berdiri di belakang putrinya. "Kenapa kamu nggak pernah bilang" Apa dia Adrian" Apa sebenernya suami
kamu belum meninggal" Kamu cerita ya sama Ayah," dengan suara lembutnya Surya merayu dan membujuk. Mengusap pundak Naura yang kini masih menggulirkan air
mata, enggan menghalau keberadaan ayahnya. Kata-kata Brian menggema kembali di telinga.
'Hati saya ini nggak pernah hidup, bahkan jantung ini pun nggak pernah berdetak. Saya tau, meskipun kita kehilangan ingatan kita, hati nggak akan pernah
lupa. Dia akan tetap berdetak pada orang yang sama.'
Kalimatnya begitu mengganggu, merajam Naura tanpa ampun.
"Naura..." "Dia bukan Adrian, Yaah. Dia cuma orang yang mirip sama Adrian," ucap Naura berat hati. Wajah Naura mengisyaratkan kesedihan dan kepahitan mendalam.
"Terus kenapa kamu nangis?"
*** "Abis dari mana kamu" Tidur di mana?"
Brian yang baru masuk ke dalam rumah langsung dijejali pertanyaan itu. Pria itu terunduk sejenak dengan jaket yang dijinjing di tangan. Kesenyapan mendominasi.
Matanya melihat pecahan kaca yang berantakan. Dipejamkannya mata, akhir-akhir Nessa sering berbuat ulah.
"Aku nungguin kamu dari malem. Tidur di sini. Berharap saat aku buka mata, aku ada di atas ranjang, dengan kenyataan kamu gendong aku semalem ke kamar.
Sama apa yang dilakuin Brian dulu. Tapi apa" Kamu baru pulang sepagi ini, ngebiarin tengkuk aku pegel gara-gara tidur di tempat yang nggak nyaman."
"Aku rasa ... ada kekeliruan di antara kita." Brian berkata pelan, lalu menoleh ke samping, tempat Nessa duduk. Perempuan itu tersenyum getir, penampilannya
benar-benar hancur. Dia bukan seperti Nessa yang selalu tampil cantik dan bergaya.
"Kamu minum bir?"
Nessa mengusap tengkuknya. Mengembuskan napas dan perlahan bangkit dari tempat duduk walaupun dengan keadaan sempoyongan. Brian lekas mendekat untuk membantu.
"Buat apa kamu minum bir" Nggak ada untungnya. Yang ada minuman itu bisa bikin kamu stres."
Apa Brian khawatir" Apa dia peduli" Pikir Nessa penasaran.
"Justru minuman itu yang bikin aku jauh dari stres! Dan itu semua gara-gara kamu! Gara-gara kamu Brian!" Nessa mengerang, merasakan kepalanya yang berdenyut
hebat. Seperti ada yang memukul-mukulnya tanpa belas kasihan. Ia memegang keningnya, rasa sakit itu semakin menjadi-jadi. Brian kelabakan, dia langsung
membopong tubuh Nessa untuk dibawa ke kamar. Sekarang bukan waktu yang tepat untuk bertengkar.
Nessa yang kehilangan kesadaran, ditidurkan Brian di atas ranjang. Brian duduk di pinggiran kasur, menjaga Nessa agar tetap terjaga dalam lelapnya. Mata
Brian memandang Nessa iba. Gadis yang cantik, yang memiliki segalanya, pintar, dan terkenal. Memiliki kegilaan cinta yang terus bertunas pada satu orang
laki-laki. Brian. Rela tidur di atas sofa hanya karena ingin digendong sebagai perwujudan kasih sayang.
Beberapa menit Brian menunggu dan tenggelam dalam lamunan, akhirnya ia memutuskan untuk keluar. Membiarkan Nessa beristirahat dengan khidmat. Pintu menutup
kembali. Dalam naungan sower yang membentuk hujan mini, Brian membiarkan rambut dan tubuhnya diguyur hingga basah kuyup. Dada bidang telanjangnya terlihat. Ia bisa
berlama-lama merenung di sini, mengusir segala penat, tak ada yang bisa mengganggu. Suara rintikan air menemani. Air-air itu melewati mata, hidung, dan
dagunya yang terbelah dua. Hari ini juga, ia harus mengembalikan ingatannya. Brian sedikit membenturkan keningnya ke dinding toilet yang dilapisi keramik.
Mendesah. Frustrasi. Kepalanya ini enggan diajak kompromi. Memorinya masih belum mau kembali untuk membantu.
Setelah merasa cukup, Brian mengakhiri kesendiriannya. Ia mengganti pakaian baru sebelum kembali mengunjungi kamar Nessa.
Nessa sedikit terusik. Matanya bergerak-gerak, kepalanya masih terasa berat. Lalu telinganya mendengar suara pintu yang terbuka. Brian masuk dan berjalan
mendekati Nessa yang tampaknya sudah bangun dan lebih baik.
Brian duduk, matanya tak pernah lepas dari Nessa. "Kamu udah enakan?" tanyanya singkat.
"Buat apa kamu pulang" Bukannya kamu masih marah dan kepengin terus ada di deket Naura?" tanya Nessa setengah berlirih. Seolah tidak memedulikan keberadaan
Brian. Padahal, ia sangat merindukannya walaupun sehari tak jumpa.
Brian terdiam tanpa ingin menjawab. Bingung ingin memulainya dari mana.
"Kamu nggak pernah ngertiin gimana rasanya jadi aku, Bri. Aku yang selalu sabar nungguin kamu tapi kamu selalu ngehindar dan nganggap keberadaan aku ini
sepele. Dan berpaling sama perempuan lain..."
Kalimat terakhir Nessa mengundang Brian untuk menoleh. Brian hendak menyahut, namun diinterupsi kala Nessa tiba-tiba bangun dari rebahannya, melingkarkan
tangan di pinggang Brian, melepas rindu. Memeluknya rapat dan intim. Menenggelamkan kepalanya di perut Brian lalu menangis seperti anak kecil. Membuat
baju yang dipakai Brian basah. "Tolong jangan pergi lagi Brian. Jangan sakitin aku. Aku butuh kamu... Aku nggak bisa ngejalanin hidup tanpa kamu. Kamu
itu separuh jiwa aku. Aku janji bakalan jadi sosok yang sempurna buat kamu Bri, tapi tolong, kamu harus terus ada di sebelah aku. Aku cuma pengin kamu,
kita kembali lagi seperti semula..." ia bersedu sedan seperti sangat tersakiti. "Kembaliin lagi rasa sayang dan cinta kamu buat aku. Perhatiin aku lagi,
Bri. I miss you..." Suasana sedih nan rapuh mengarungi. Brian mengusap lembut punggung dan rambut panjang Nessa. Ia tidak bisa berjanji sepenuhnya. Dan ini untuk pertama kalinya
Brian melihat Nessa selemah ini.
"Jangan tinggalin aku sendirian lagi. Aku kesepian. Jangan pergi... Aku mohon... Jangan pergi..." Nessa semakin menguatkan pagutannya. Mengencangkan tangis.
Jemarinya mencengkeram baju Brian kuat-kuat. Isakan Nessa membuat Brian bungkam tak mampu menguar kata. Hanya matalah yang bekerja. Ia melinangkan air
mata tak beralasan. "Please, jangan pergi... I love you so much, i miss you, i need you..." Jujur, Brian sangat menyayangi Nessa, tapi tidak untuk cinta.
Brian tidak bermaksud untuk melukai perasaan apalagi hatinya yang terlalu baik untuk disakiti.
Sekarang, Nessa sangat-sangat membutuhkan Brian.
*** Bersambung... "your eyes chapter 23
YOUR EYES. By: Jaisii Quwatul. Chapter 23 - Maafkan aku, yang meninggalkanmu.
*** Brian melangkahkan kaki memasuki kamar Nessa dengan membawa semangkuk bubur ayam dan segelas air putih di atas nampan. Harum semerbaknya menyerebak ke
dalam ruangan. Mengguhah selera bagi siapa saja yang menghirupnya. Kecuali bagi mereka yang sedang terserang penyakit. Demam, mual dan lain sebagainya.
Sama seperti Nessa. Semenjak kemarin, kesehatan perempuan itu terganggu. Membuatnya demam dan harus berdiam diri di rumah, dan tentu, Brian-lah yang harus
menjaga dan tetap berada di sampingnya. Merawat seperti seorang kakak kepada adiknya.
"Kamu makan dulu, ya." Brian mengaduk-aduk bubur beraroma ayam gurih itu, lalu menyodorkan sesendok buburnya ke mulut Nessa yang masih tertutup. "Supaya
cepet sembuh dan ngejalanin aktifitas kayak biasanya lagi."
"Aku nggak mau buka mulut sebelum kamu janji." Di saat seperti ini, Nessa masih menuntut untuk berjanji.
"Janji apa?" "Untuk jangan pergi ninggalin aku lagi."
Brian tertegun sejenak. Memandang Nessa lamat, juga berpikir. Apa salahnya berjanji di waktu sekarang" Yang Brian inginkan sekarang hanya satu, agar Nessa
mau mengisi perutnya. Agar kesehatannya bisa cepat pulih.
"Aku janji," kata Brian pada akhirnya. Janji sementara waktu. "Ayolah makan. Aku nggak mau liat kamu lemes kayak gini. Mana Nessa yang aku kenal?" Brian
masih setia menyodorkan sendoknya, walau sedikit merasa pegal. Dan..., beruntunglah, Nessa mau membuka mulut dan melahap bubur ayam itu. Seulas senyum
kecil tercetak di bibir Brian.
"Bubur buatan kamu?" tanya Nessa.
Brian sedikit mengangguk. Kembali menyuapi Nessa dengan suapan kedua. Tak lupa juga memberinya minum. Selama proses itu, tak ada satu pun yang berbicara.
Semuanya hening. Brian sibuk menyuapi, dan Nessa sibuk memerhatikan wajah Brian.
Aktifitas yang selalu mereka lakukan kembali terulang lagi. Brian dan Nessa berada di ruang TV, duduk di atas sofa berjarak dekat. Yang satu membaca buku,
yang satu menonton TV, anteng dengan remotenya dengan pikiran entah berkelana ke mana. Naura..., mungkin"
"Bri nanti kita kapan-kapan jalan, ya. Aku sumpek, butuh refreshing. Dan kamu jangan pernah lupa, kita sebentar lagi bakalan nikah. Kita harus siapin semua
keperluan untuk pernikahan nanti. Untuk kali ini, kamu nggak boleh nolak." Nessa membuka lembaran baru pada buku majalahnya.
"Brian kamu mau kan nikah sama aku?"
Tak ada yang menyahut. "Briaan." Yang terdengar hanya suara dari TV, dan Nessa sama sekali tidak mendengar suara Brian di sisinya. Segera didongkakakkannya kepala, dilihatnya Brian yang
sedang melamun tak bermimik. Gadis itu merapatkan bibir. Jadi... Semenjak tadi dia berbicara, Brian tidak mendengar"
"Brian!" panggil Nessa dengan intonasi tinggi. Kontan mata Brian terkerjap-kerjap, lamunannya buyar. Ia menoleh.
"Kamu tuh kenapa sih. Banyak ngelamun. Tiap aku ngomong kamu nggak pernah ngedengerin apalagi nyahut. Apa yang ada dalam pikiran kamu" Naura" Dia lagi"
Iya?" cerca Nessa tak ada jeda. "Kenapa kamu selalu aja bikin aku kesel! Aku nggak ngerti."
Brian terdiam, tak bisa menjawab. Perkataan Nessa memang benar, sulit untuk mengelak. Oh Ya Tuhan, apa yang terjadi padanya"
Nessa mendesah kesal, dibantingkannya majalah ke atas meja. Beranjak dari duduknya, berjalan cepat meninggalkan Brian. Brian lekas mengejar untuk meredakan
emosi Nessa. "Nessa tunggu, maafin aku." Brian meraih pergelangan tangan Nessa. Tapi Nessa malah menapisnya. Berbalik menghadap ke Brian dengan tampang bengis.
"Maafin aku. Aku nggak bermaksud buat cuekin kamu. Aku juga nggak ngerti kenapa. Bayangan Naura itu selalu muncul di pikiran aku."
"Naura" Apa sih istimewanya dia sampai bikin kamu gini" Kenapa kamu bisa tiba-tiba suka sama dia" Apa kamu nggak nyadar, sikap kamu itu, rasa kamu itu,
udah nyiksa aku secara perlahan. Apa ada buah kesabaran yang aku petik" Nggak ada, Bri! Yang ada aku malah dapetin rasa sakit. Orang yang aku tunggu, tiba-tiba
berpaling sama orang yang baru aja dia kenal."
"Jujur, aku ngerasa udah lama deket sama Naura. Aku juga nggak ngerti..."
"Jadi kamu punya hubungan sama dia" Apa dulu kamu selingkuh di belakang aku, tanpa sepengetahuan aku"! Itu sebabnya kamu ngerasa kenal sama Naura."
"Bukan begitu Nessa. Kamu dengerin penjelasan aku dulu."
"Aku nggak mau dengerin apa pun itu. Terserah! Yang jelas, kamu jangan pernah lagi ketemu sama Naura. Minggu depan, kita harus menikah!" putus Nessa tak
terbantahkan. Mata Brian membeliak.
"Kamu ngambil keputusan secara sepihak?"
"Karena aku nggak mau kehilangan kamu!" bantah Nessa sedikit menyentak. Tapi setelahnya, mata Nessa berbinar getir. Pandangannya melunak. "Kita itu dulu
saling cinta Bri. Kamu nggak ngerasain itu..." Kamu nggak ngerasain sedikiit aja..." Suara Nessa melembut, terlalu capai. Ia meraih pergelangan tangan
Brian, mengangkat dan menggenggamnya erat. "Dulu itu, kamu nggak pernah nyakitin aku. Dulu itu, kamu sayang banget sama aku melebihi kamu sayang sama diri
kamu sendiri. Tapi sekarang, kenapa kamu berubah" Kamu nyakitin aku secara perlahan, Bri..." Nessa tidak mampu menahan laju air matanya lagi. "Bener-bener
nyakitin aku. Aku ngerasa aku udah kehilangan kamu."
"Nessa..." "Cintain aku lagi Brian. Cintain aku lagi..." lirih Nessa perih.
Brian tidak berani berkutik. Melihat Nessa rapuh, membuatnya merasa bersalah. Seakan dialah orang terjahat dan terbrengsek. Brian menelan ludahnya seperti
menelan pil pahit. Perlahan, wajah Nessa terangkat, lalu memejamkan mata, dan mulai mendaratkan bibirnya di bibir Brian. Kalau Brian bisa mencium Naura,
mengapa dia tidak" Dan lagi. Brian melengos, menghindari bibir Nessa. Enggan memberikan izin.
Nessa tertegun, kedua bahunya turun. Membulatkan bola mata yang basah hingga airnya jatuh menetes.
"Bahkan sampai sekarang... Kamu nggak bisa cium aku?"
"Maaf aku nggak bisa..."
Tetes demi tetes air mata berjatuhan seperti hujan. Brian tega mengunjamnya dengan belati delusi. Menukik sampai menimbulkan nyeri. Gadis itu berbalik,
sosok rapuhnya menguar. Berjalan bersedu-sedan meninggalkan Brian yang memandangnya sayu.
Brian masuk ke dalam kamarnya. Mengunci pintu rapat-rapat. Rasa bersalah itu semakin mengganggu dan menghantui. Brian berjalan mendekati dinding bercat
putih, meletakkan keningnya di permukaan tembok terkimbang-kimbang. Mengapa jadi seruwet ini" Brian letih terus terombang-ambing. Terkekang oleh ingatan
yang tak kunjung sembuh. "Brian... Ingatan lo harus kembali hari ini juga," gumam Brian tajam. Ia menggeram pada dirinya sendiri. Demi sebuah jawaban, Brian rela melakukan apa
pun. Hari ini, menit ini, detik ini, keputusan Brian sudah bulat. Ia tak peduli pada kondisinya. Satu-satunya kunci untuk keluar dari masalah ini hanya memori
yang hilang itu. Brian memicingkan mata, mencoba mengingat-ngingat kejadian di masa lalu. Mengingat Naura, terutama pada kedua matanya yang selalu tersenyum.
Mengingat segala gerakan, tatapan, senyuman, suara, dan wangi rambutnya. Semuanya terasa familier. Sekelebat ingatan mulai berseliweran di kepala, otaknya
mulai merespons, Brian merasakan kepalanya berdenyut hebat. Pusing itu menyiksa. Seperti ada yang memukul-mukul keras tanpa ampun.
"Naura..." Napas terengah keluar dari mulutnya. Sakitnya kian memuncak.
Brian menekan keningnya, masih dengan mata terpejam rapat. Ia mendesis selama beberapa kali, saat satu memori muncul dengan sekonyong-konyong. Memori yang
mencerminkan acara pernikahan. Anehnya, dialah yang menjadi pengantin pria. Dan... Siapakah pengantin wanita itu" Sekilas mirip Naura. Bernahkah dia Naura"
Kapan dia menikah bersamanya" Lalu, siapakah Nessa" Mengapa bayang wanita yang mengaku sebagai kekasihnya itu tak muncul jua" Semakin keras Brian berusaha
mengingat, semakin hebat pula kepalanya kemut-kemut, serasa ingin meledak. Sangat sakit, sangat sakit. Ia mengerang sambil terus memegang kepalanya. Terlintas
sesuatu dalam benaknya, apakah ia bisa menahan rasa sakit ini sampai ingatan itu mau kembali" Bayangan Naura semakin jelas. Berlanjut pada kedua wajah
orangtua, dan laki-laki yang sedikit lebih tua darinya. Apa mereka semua keluarganya"
Tak tahan lagi, Brian mengambil langkah akhir. Dibenturkannya kening ke dinding dengan kencang dan sekuat tenaga. Dengan sekali benturan keras, kening
Brian sudah mengeluarkan aliran darah pekat. Itu artinya, Brian mentaruhkan nyawanya sendiri. Rasa sakit menjalar, Brian menahan diri untuk tidak berteriak.
Bahkan tembok tak berdosa itu ikut ternodai oleh darah merah Brian. Pria itu berbalik dengan lemah, pandangan buram dan samar, bersandar lemas di dinding.
Punggungnya merosot ke bawah, Brian kehilangan kesadaran dengan posisi duduk.
Demi mengingat Naura, Adrian berhasil melakukannya. Perjuangannya tidak sia-sia walau harus merasakan sakit luar biasa. Yang terpenting, semua kebimbangan
berakhir. Adrian benar-benar lega dan tenang. Dan Nessa, Adrian juga tahu siapa dia.
"Brian buka pintunya! Brian buka! Apa yang kamu lakuin di dalam" Brian!!" Nessa terus menggedor-gedor pintu kamar Brian yang dikunci. Dua jam berlalu dia
belum juga keluar. Apa yang dilakukan dia di dalam" Nessa semakin gelisah dan kelabakan.
Dua jam pingsan, akhirnya Adrian tersadar. Nyeri di keningnya masih belum hilang, bahkan darahnya belum mengering. Adrian mendesah, menegakkan posisi duduknya.
Tengkuknya terasa pegal. Terdengar pula suara samar Nessa dari luar yang berteriak memanggil namanya. Adrian menatap lurus ke depan, rasa sakit di kepalanya
tidak sebanding dengan rasa sakit di hatinya.
Adrian ingat namanya. Dia bukan Brian, melainkan Adrian.
Semua tentang Naura, Adrian ingat. Tak ada satu pun yang terlupakan. Naura adalah seorang istri yang sangat ia cintai dan sayangi.
Adrian merasa bersalah, betapa jahatnya dia karena telah meninggalkan Naura pergi jauh dan lama sendirian. Apa dia tersiksa" Apa dia terluka" Apa saja
yang ia lakukan ketika suaminya tidak berada di sisinya" Adrian ingat saat pertama kalinya melingkarkan cincin pernikahan di jemari Naura, perempuan itu
tersenyum anggun. Adrian meremas dadanya, mengapa begitu sakit" Ciuman pertama mereka kala hujan mengguyur bumi. Pertengkaran-pertengkaran kecil nan manis
mereka. Pelukan dan kecupan mesra. Gurauan menggelikan. Percakapan terakhir ketika Adrian meninggalkan Naura yang takut kehilangan.
"Eh tapi kamu harus janji, ya. Jangan kegatelan sama cewek lain di sana. Kalau sampai gitu, aku susul kamu ke sana," ancam Naura.
"Masa sih aku selingkuhin perempuan sempurna kayak kamu?"
Naura menaikkan alisnya, "Emm bisa aja."
"Nggak. Aku janji, aku tetep setia sama kamu."
Senyum getir terlukis di bibir Adrian. Air matanya lolos membasahi pipi. Tidak memedulikan teriakan Nessa di luar. Terlampau dalam fragmen kenangan bersama
Naura. Adrian sadar, ia telah meninggalkan orang-orang yang sangat ia sayangi. Mama, Papa, dan Kakaknya. Mereka semua pasti mengira dirinya telah meninggal. Begitu
pula dengan Naura yang masih begitu setia.
"Brian kamu jangan bikin aku takut. Aku minta maaf kalau udah bikin kamu kecewa. Tapi tolong, buka pintunya. Buka pintunya, Bri." Nessa terus mengetuk
pintu, ia takut Brian melakukan sesuatu yang tidak-tidak di dalam sana. "Brian ka..."
Belum sempat Nessa berkata lagi, pintu sudah terlebih dahulu terbuka dari dalam. Menampakkan sosok Brian yang memiliki luka di keningnya. Membuat Nessa
terkejut, ketakutannya menjadi nyata. Brian memandang Nessa datar, wajah dan rambutnya berantakan.
"Kamu... Apa ingatan kamu udah kembali?" tanya Nessa hati-hati. "Kamu lakuin itu secara paksa?"
"Iya... Aku inget semuanya."
*** Naura membuka pintu. Seminggu yang lalu, dia datang ke sini. Dan sekarang, dia kembali lagi, Brian. Lelaki itu memandang Naura rekat, sorot matanya menunjukkan
kerinduan mendalam yang meresap ke relung hati. Ada noda darah merah yang mengalir di keningnya. Naura hanya mampu diam, tanpa ingin bertanya. Padahal
ia cemas ketika melihat ada luka lumayan parah di kening Brian. Apa yang terjadi padanya" Apakah dia mengalami kecelakaan" Apa dia terjatuh" Sayang, pertanyaan
itu hanya bergelayut di kepala, tertahan oleh ketidakmampuan. Atmosfer canggung menggelimuni.
Adrian masih menatap Naura dengan matanya yang berkaca-kaca. 'Aku kembali Naura..., aku kembali.' Sebulir air bening menggantung di kantung mata. Sekali
berkedip, sudah pasti tetesannya akan berangsur turun. Tak ada rasa yang lebih kejam dari rasa rindu. Ketika ditakdirkan Tuhan untuk kembali bersua, rasanya
ingin langsung merengkuh dalam pagutan erat.
Tak tahan berada dalam suasana seperti ini, Naura berniat untuk masuk ke dalam lagi. Tapi tangannya langsung dicekal Adrian. Membuat Naura kembali berbalik,
melirik Brian kesal. Satu tangannya ingin melepaskan tangan Brian, namun Adrian mencegah. Mata Naura kembali menatap Brian penuh tanya. Apa lagi"
"Apa kabar Naura" Kamu baik-baik aja, kan" Kamu sehat, sayang?"
Pertanyaan bernada berbeda dari biasanya itu nyaris membuat Naura terperangah. Matanya membola, hati membara. Kebuncahan merangkup. Sayang"
"Kamu sehat kan, Na" Kamu rindu aku" Apa hari-hari kamu berat" Apa kamu rindu Ian-nya kamu" Apa kamu, masih inget aku" Aku... Adrian, Adrian..."
Naura mengeluarkan napas dari mulutnya, kedua matanya memerah. Dia Adrian" Bibir Naura gemetar, gemuruh di dadanya menanjak naik. Meleburkan hasrat. Hati
Naura mencelus. "Iya Naura, ini aku Adrian. Aku udah inget semuanya. Aku bukan Brian, aku Adrian. Suami kamu."
Naura mengedip-ngedipkan mata. Tidak, ini tidak mungkin. Ini pasti salah. Brian pasti sedang bersandiwara. Segera dilepaskannya kembali tangan Brian. Tenaga
Adrian yang jauh lebih besar tidak akan membiarkan Naura menghindar dan menjadi pengecut lagi.
"Singkirin rasa pengecut dan pesimis kamu Naura. Percaya sama aku, aku Adrian. Aku Adrian, aku udah inget semuanya. Terutama kamu. Kamu orang pertama yang
aku inget Naura." "Nggak mungkiin..." Ini terlalu sulit untuk dipercaya. Tak masuk akal. "Nggak mungkin..."
"Aku bahkan inget pertemuan pertama kita. Semua tektek bengek kita. Saat itu, aku nggak sengaja nabrak kamu sampai buku yang dibawa kamu pada jatuh. Kita
sering berantem Naura, sampai pada akhirnya kita saling jatuh cinta. Kita pacaran selama dua tahun. Suatu saat, Ayah kamu liat kita ciuman bibir, dan hal
itu bikin Ayah kamu marah sampai nyuruh kita buat menikah. Aku bahkan sampai ngelangkahin kak Angga, kakak aku sendiri yang belum bisa dapetin tambatan
hatinya. Aku inget tanggal pernikahan kita. Tanggal 20 Januari 2016..."
"Berhenti!" Dengan segala kekuatannya, Naura melepaskan tangannya. Air mata menggumpal penuh di pelupuknya. Napas terasa tumpat, begitu mendera. "Apa kamu
seterobsesi itu pengin jadi Adiran suami aku" Sampai kamu cari tau semua tentang dia" Kamu cari tau semua yang terjadi hidup dia" Kamu nggak berhak lakuin
itu Brian, kamu nggak berhak! Berhenti ngaku-ngaku!"
"Kita pernah ngerayain ulang tahun kamu yang ke dua puluh tahun. Kita pernah main ke pasar malem sama-sama. Aku takut ketinggian kamu takut hantu. Dan
besok, adalah ulang tahun kamu yang ke dua puluh satu..."
"Jangan kasih aku harapan dan sekarang kamu pergi," sela Naura cepat yang kini menumpahkan air mata. "Kamu nggak mungkin Adrian, Adrian udah meninggal
setahun yang lalu..."
"Aku Adrian Naura! Aku nggak ngada-ngada, aku Adrian suami kamu. Lelaki yang cinta sama kamu, lelaki yang kadang selalu bikin kamu kesel. Lelaki brengsek
yang udah ninggalin kamu pergi... Lelaki yang pantes buat dihukum..."
"Nggak... Nggak... Nggaaak..." Naura merasa dadanya pekat. Rasanya ingin menutup telinga. Suaranya serak, tenggorokan perih.
Adrian mengambil sesuatu dari saku celananya. Dikeluarkannya sebuah kalung perak dengan gantungan huruf 'N'. Ia pamerkan di hadapan Naura secara gamblang.
"Ini kalung yang sebenernya Naura. Ini kalung yang seharusnya kamu pakai, bukan yang itu."
Naura menunduk, melihat kalung yang melingkar di dadanya. Lalu dilihatnya kembali wajah Adrian yang memelas. Mengharapkan kepercayaan.
"Nggak mungkin. Kamu bukan Ian, Ian udah meninggal setahun yang lalu. Aku liat sendiri jenazahnya dengan mata kepala aku sendiri. Kamu nggak mungkin Adrian,
nggaaak..." "Kenapa Nauraaa...?"
Naura tidak menjawab dan malah berjongkok lemas, menangis sesak dan keras di bawah kaki Adrian. Kaki dan tanganya gemetar. Bahunya berguncang. Bersimbah
air mata. Terisak parah. Adrian menyeka air mata, sedikit mendongkak, Naura menangis pasti karena terlalu bahagia. Tak lama kemudian, ia ikut berjongkok, kedua tangannya menangkup
wajah Naura. Membawa Naura untuk berdiri lagi. Memberi kode untuk menghentikan ketakutannya. Jangan takut Naura, jangan takut. Apa yang kamu lihat dan
dengar ini, semuanya benar. "Aku Adrian, Naura. Aku Adrian.. Adrian suami kamu. Ini aku... Liat mata aku, liat..."
Kedua pasang mata itu saling bertemu dengan tepat. Air mata membanjiri, menciptakan lautan haru. "Liat mata aku, liat mata ini. Kamu pasti kenal..."
Naura masih sibuk menangis. Bukan karena sedih, melainkan karena terlalu senang. Bahkan ia merasa tak pantas untuk mendapatkan kebahagiaan ini. Ini terlalu
berlebihan Tuhan. Apa sebegitu baiknya kah Engkau" Telah mengembalikan Adrian ke dalam hidupnya lagi. Apa ini adil bagi mereka yang juga merasa kehilangan"
"Maafin aku yang pernah ningggalin kamu. Maafin aku Naura... Maaf..." suara Adrian melemah penuh penyesalan. Ia langsung memeluk Naura ke dalam rengkuhan.
Seketika tangisan Naura pecah tak bisa dibendung. Akhirnya pelukan ini, biasa ia rasakan lagi setelah sekian lama. "Maaf Naura, maafin aku yang udah nyiksa
kamu secara nggak langsung. Maaf..."
"Ian... Ian ini beneran kamu" Ini kamu, kaan?" tanya Naura dalam tangisannya. Kedua tangannya memeluk pundak Adrian, menyusuri leher bagian belakangnya,
lalu dikecupnya tengkuk Adrian yang telah lama jauh dari jangkauan bagaikan deraan sendu nan sadis. Kecupan kedua mendarat lagi bersamaan dengan air mata
sukacita yang terus mengalir. Basah oleh kenangan. Letih menghunjam rindu, dengan memeluknya seintim ini, membuat semuanya terbayar. Tak ada yang lebih
istimewa dari ini. "Maafin aku Naura."


Your Eyes Karya Jaisii Q di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ini beneran kamu Adrian" Ini beneran kamu...?" Naura sesenggukan tak tertahan. "Adrian aku kangen kamu, aku kangen kamu. Aku kangen kamu sayaang. Kamu
jahat Ian, kamu jahat ninggalin aku selama ini. Kamu jahaat. Iya kamu pantes dihukum." Naura kian mengeratkan lagi pelukannya, enggan dilonggarkan walau
hanya sedikit saja. Mereka menumpahkan air mata.
"Iya ini aku Naura. Ini aku Adrian. Aku juga rindu kamu, aku kangen kamu. Kangen kamu..."
Tangisan Naura lebih membuldak lagi. "Aku nggak mau kehilangan kamu lagi Adrian. Nggak mau... Ini terlalu berat buat aku, berat buat aku untuk ngejalanin
semuanya. Jangan pergi lagi, jangan pergi lagi..." air mata kian meruap. "Jangan pergi..."
"Aku nggak punya alasan untuk pergi lagi Naura. Karena aku sayang banget sama kamu. Mana bisa aku ninggalin kamu" Mana bisa Naura" " Adrian melepaskan
pelukannya, mengecup kening Naura yang sedang berguncang hebat. Akhirnya kecupan itu, bisa Naura rasakan lagi.
"Maafin aku juga karena nggak bisa jaga anak kita. Maafin aku Ian, aku nggak bisa jaga titipan Tuhan itu. Aku nggak bisa pertahanin bayi kita. Aku berdosa.
Waktu itu aku terlalu lemah." Rasa bersalah dan menyesal itu kembali mengoyak, menyeruak tanpa permisi. Menyelusup dengan duri-duri kenyataan. "Kalau aja
saat itu aku nggak keguguran, anak kita pasti ada di sini, nyambut kedatangan papanya dengan tangisan. Umurnya pasti udah setahun. Dia bakal jadi anak
yang lucu." "Nggak pa-pa Naura. Sttttt..." Adrian meletakkan jemarinya di bibir Naura yang terus berkata gila. "Nggak pa-pa. Kamu nggak usah minta maaf. Aku ngerti,
aku ngerti. Kamu terlalu menderita, aku tau. Aku malah nggak tega kalau tau kamu berjuang sendirian. Biar semuanya berlalu Naura, itu bukan kesalahan kamu.
Aku nggak peduli anak itu, yang sekarang aku peduliin cuma kamu Naura. Cuma kamu..."
"Jangan ke mana-mana lagi Ian..."
"Pasti Naura... Pasti..."
"Jangan ke mana-mana lagi... Aku mohon. Kamu terlalu istimewa, nggak ada yang bisa gantiin kamu." Naura mengecup ujung bibir Adrian dengan segala cintanya.
"Kamu bisa janji sama aku untuk selalu ada di sisi aku selamanya" Kamu janji Ian" Jangan ingkarin janji kamu lagi kayak dulu. Jangan Ian."
"Nggak kamu minta pun, akan aku lakuin Naura. Kamu nggak perlu khawatir." Adrian mencium kening Naura lagi, lalu kembali memeluknya.
Baju Adrian basah oleh air mata Naura yang tak henti-hentinya menangis.
*** Bersambung... "YOUR EYES. By: Jaisii Quwatul. Chapter 24 - Pelepas Rindu.
*** "Iya... Aku inget semuanya."
Adrian melangkahi Nessa, berjalan melewatinya. Dan Nessa, ia mengikuti dari belakang. Tidak menyangka, Adrian malah terus berjalan tanpa menanggapi keberadaannya.
Sejahat itukah dia" Seharusnya mereka berbahagia bersama, tapi ini"
"Tunggu." Adrian berhenti melangkah. Punggungnya membelakangi Nessa. Walau sakit di keningnya belum juga hilang, Adrian berupaya menahan agar bisa cepat bertemu
Naura. Tak ada hal lain yang ia inginkan selain menemui Naura dan memeluknya.
"Kamu mau pergi ke mana Brian" Ingatan kamu udah kembali. Harusnya kamu peluk aku. Sini Brian, peluk aku. Aku kangen kamu."
"Maafin aku Nessa. Tapi aku bukan Brian." Adrian berkata penuh penyesalan. Seperti membuka kedok yang telah lama tertutupi. Berat sekali.
Kedua mata Nessa membelalak. Apa telinganya tidak salah mendengar" Apa Brian sedang berakting" Ia mendekati Brian. "Maksud kamu" Kamu ngomong apa sih Brian"
Kamu itu Brian! Kamu jangan asal bicara. Jangan ngomong yang aneh-aneh. Jangan bikin aku takut."
"Nama aku Adrian. Bukan Brian," jelas Adrian, lagi.
Nessa segera memegang kedua lengan Adrian, membalikan tubuh lelaki itu agar menghadapnya. Wajah Adrian dirangkup raut sesal. "Adrian" Kamu jangan ngada-ngada,
deh. Kamu itu jelas Brian. Dan sekarang ingatan kamu udah kembali, kamu pasti inget sama aku. Kamu paati inget sama semua kisah yang pernah kita jalin.
Kamu pasti inget semuanya. Kamu Brian, lelaki yang bakalan terus cinta sama aku. Kamu inget pasti inget tentang rencana pernikahan kita."
"Justru itu. Aku malah nggak tau siapa kamu apalagi tentang cinta kita dan pernikahan itu. Karena aku bukan Brian. Aku Adrian, suami Naura."
Kalimat terakhir Adrian membuat Nessa terpegun. Seakan bumi runtuh, tumbang tak bersisa. Semua organnya serasa tak berfungsi. Kaku tak bisa digerakkan.
Terasa kesemutan. "Selama ini kamu salah rawat orang Nessa. Aku bukan Brian pacar kamu."
"Suami Naura" Yang aku tau, Naura itu nggak punya suami. Tapi kenapa kamu tiba-tiba ngaku-ngaku jadi suami dia" Udah deh Brian, kamu jangan asal cerita.
Aku tau, kamu udah bosen kan sama aku" Itu sebabnya kamu manfaatin kembalinya ingatan kamu supaya bisa deketin Naura."
"Dulu Naura punya suami. Dan yang dia tahu, suaminya meninggal karena kecelakaan bis satu tahun yang lalu. Dan kamu tau siapa yang sebenernya meninggal"
Yang meninggal itu Brian, kekasih kamu."
Nessa terdiam lagi. Brian meninggal" Omong kosong apa itu"
Dengan terpaksa Adrian mengatakan kebenaran itu kepada Nessa. Walau ia tahu, itu akan menyakiti hatinya. Adrian pikir, Nessa telah melakukan kesalahan
besar. Dan Nessa sendiri wajib tahu masalah ini.
"Nggak mungkin. Kamu Brian!" Nessa belum bisa memercayainya. "Orang jelas-jelas wajah kamu itu wajah Brian. Nggak mungkin orang lain."
"Aku Adrian Nessa." Adrian lebih mendekati Nessa lagi, memandang wajahnya lembut dan prihatin. "Aku inget semuanya. Aku juga sempet kenal sama Brian. Karena
kita, punya wajah yang sama. Itu sebabnya, waktu itu aku berani cium bibir Naura. Karena aku punya ikatan batin yang kuat sama dia. Dan ternyata, ikatan
batin itu bener. Sekarang aku udah inget, dan ingatan aku bilang kalau aku itu suami Naura."
"Nggak mungkin..." Nessa menggelengkan kepala tak terima.
"Waktu di bis itu, sebelum kecelakaan terjadi, aku sempet ketemu dan ngobrol sama Brian. Itu adalah pertemuan pertama kita. Sebelum akhirnya kecelakaan
besar terjadi. Dan nyebabin masalah sebesar ini."
Ada sesuatu yang baru saja menikam dada Nessa. Mulutnya sedikit terbuka.
Dulu, sewaktu Adrian baru saja memutuskan sambungan video call-nya bersama Naura, lelaki itu tak sengaja menoleh ke seberang, lalu tiba-tiba tertegun.
Begitu pula dengan orang yang dilihatnya, orang itu juga tampak terkejut. Jemarinya tak sengaja menyentuh tombol merah dalam layar ponsel yang berada di
tangannya, seketika benda itu terpelanting ke bawah saking kagetnya.
Adrian meraba wajahnya, mengapa cowok di seberang tempat duduknya itu memiliki wajah yang sama dengan dirinya" Adrian rasa, dia tidak pernah mempunyai
saudara kembar. Tapi kalau dia hanya kebetulan mirip, mengapa semuanya sama"
Perlahan, lelaki yang berwajah sama dengan Adrian beranjak dari duduknya, menghampiri kursi Adrian dengan tubuh kaku.
"Kok... Wajah kita sama?" tanyanya.
Adrian mengerutkan kening. Mencoba berpikir.
"Mamah liat, ada dua kakak kembar," tunjuk salah seorang penumpang---anak perempuan yang duduk di belakang kursi Brian--- kepada mamanya. Sang Ibu pun
ikut terpukau. *** Dengan hati-hatinya, Naura membersihkan luka yang berada di kening Adrian. Darah keringnya telah bersih. Sesekali Adrian meringis, Naura tertawa, menyuruh
suaminya untuk bersabar. Hangat, manis, sukacita, semuanya berbaur menjadi satu. Keduanya kembali akrab seperti dulu. Adrian terus menatap wajah Naura
dalam, ada kebahagiaan yang terselubung. Adrian sangat merindukan Naura, sungguh merindukannya. Ia tak ingin kehilangan lagi, apa lagi meninggalkan. Naura
meniup-niup luka Adrian, seperti seorang Ibu yang sedang mengkhawatirkan anaknya yang baru saja terjatuh, menimbulkan luka di lutut. Begitu selesai, Naura
mulai memakaikan kapas dan plester.
"Udah beres." Naura menangkup pipi Adrian, dikecupnya kening Adrian dengan sekali kecupan manis.
"Makasih Naura."
"Itu udah kewajiban aku. Kamu kayak gini juga gara-gara aku."
"Gara-gara kita Naura, untuk cinta kita. Untuk semuanya."
Mata Naura berbinar. Hatinya terenyuh. Ia ingat saat pertama kali bertemu Adrian lagi. Tidak menyangka, kalau lelaki yang ia lihat itu adalah Adrian. Sekarang,
sosoknya ada di depan mata. Tak ada yang lebih menakjubkan daripada ini.
"Lagian kamu, udah tau kalau lagi amnesia itu jangan dipaksain buat inget. Ini malah nekat. Tapi... Aku salut banget sama kamu. Makasih Ian." Naura mengubah
arah pembicaraan, untuk sekarang ia tak mau menumpahkan air mata hanya karena terharu. Sekarang bukan waktunya untuk bersedih.
"Eeeh ini kan karena kamu. Lagian kamu juga, pas aku masih jadi Brian, kamu malah kekeuh kalau aku tuh emang Brian. Padahal kan aku udah kasih tanda-tanda.
Dan sekarang terbukti kan kalau aku Adrian" Makannya Naura, kamu tuh harus percaya sama apa kata hati kamu."
"Aku bingung, Ian. Di sisi lain kan ada Nessa, dan sisi lain juga aku liat dengan mata kepala aku sendiri jenazah kamu. Kamu tau apa yang aku rasain saat
itu" Hati aku hancur, aku bener-bener kehilangan semangat hidup aku, aku nggak mau itu terulang lagi."
Adrian bisa merasakan perasaan Naura saat itu. Pasti dia sangat tersiksa dan terluka. Adrian menyesal telah menyakiti dia secara tidak langsung. Meninggalkannya
pergi. "Maafin aku Naura..." Adrian meletakkan telapak tangannya di pipi Naura lembut. "Aku janji, aku nggak bakal lakuin itu untuk yang kedua kalinya. Pegang
janji aku Naura." "Nggak perlu minta maaf Ian. Aku bahkan ngerasa ini istimewa. Kamu kembali juga itu udah cukup buat aku. Bahkan lebih dari cukup. Takdir Tuhan itu emang
susah ditebak, ya. Aku pikir, setelah kamu pergi, aku nggak akan pernah dapetin kebahagiaan lain. Mungkin ini jawabannya kenapa sampai sekarang aku belum
bisa move on dari kamu, belum bisa buka hati buat orang lain."
"Satu tahun lamanya, kamu nggak berat ngejalanin hari-hari kamu" Kalau aku boleh minta, aku pengin kamu buka lembaran baru. Daripada terus setia sama aku
yang udah nggak ada di sisi kamu. Kalau pun aku udah sembuh dari amnesia, aku bakal relain kamu sama cowok yang udah bahagiain kamu selama aku nggak ada.
Aku bakal ngucapin terima kasih."
"Kamu jangan bilang gitu Ian. Jujur, kamu nggak bisa digantiin sama pria manapun. Nggak ada yang seperti kamu. Termasuk kakak kamu sendiri..."
"Kakak...?" Naura terpegun. "Maksud kamu Angga?"
Bibir Naura komat-kamit, merasa dirinya keceplosan. Tak seharusnya ia mengatakan hal itu di depan Adrian sekarang. Bagaimana pun, Adrian tidak boleh tahu
kalau sebenarnya kak Angga telah mencintai istri dari adiknya sendiri.
"Iya... Emm tapi maksud aku..., maksud aku tuh gini looh..."
Adrian memadukan kedua alisnya, menunggu penjelasan Naura dengan khusyuk.
"Maksud aku, selama ini kak Angga udah baik banget sama aku. Dia udah aku anggap kayak kakak aku sendiri, kak Angga bener-bener baik. Aku bersyukur punya
kakak ipar sebaik dia. Tapi tetep aja, aku nggak bisa ngerasa nyaman senyaman saat aku ada di deket kamu. Menurut aku, kak Angga terlalu sempurna."
"Ooh jadi selama ini Angga yang udah nemenin kamu?" Adrian mengambil kesimpulan.
Naura menganggukkan kepala. Itu memang benar.
"Eh tapi omong-omong, bang Angga udah punya calon?"
Kembali Naura tertegun. Menelan air liur secara spontan.
"Ng... Ng---gak tau... Nggak tau aku."
"Kok kamu gugup gitu" Kenapa" Cerita sama aku."
"Ih kamu apa sih siapa yang gugup."
"Itu buktinya."
"Iya aku gugup. Aku gugup karena sekarang suami aku udah kembali. Kembali bikin jantung aku berdetak lebih cepet." Kedua ujung bibir Naura tertarik ke
atas, membentuk senyuman manis dan gemas. Adrian ikut tertawa. Sudah lama sekali rasanya tidak melihat senyuman penuh makna nan rupawan itu. Senyuman seperti
jatuhnya hujan setelah kemarau mencekik. Memekarkan bunga-bunga di musim gugur. Memendarkan gelap.
"Kamu makin dewasa, ya."
Naura meraih tangan Adrian, menggenggamnya erat. "Karena kamu. Aku sadar, kehidupan sekarang itu jauh lebih keras. Kita harus tahan banting dan tahan mental.
Ada saatnya kamu sendiri, dan saat itu kamu harus berjuang sendirian."
Adrian mengangkat tangan yang digenggam Naura, lalu diciumnya tangan harum Naura seraya memejamkan mata. Menghirup setiap partikel semerbaknya. Lesung
pipit di pipi Naura semakin tercetak jelas. Menandakan betapa senangnya dia.
Tak sengaja, Surya melewati kamar Naura. Lelaki paruh baya itu mengukirkan sedikit senyum bangga. Naura sedikit menoleh, mendapati sang Ayah yang sedang
memandang Adrian yang mencium tangan putrinya. Tak enak, Naura langsung melepaskan tangan yang baru saja dikecup Adrian itu. Adrian mengangkat kepala,
menatap Naura tak mengerti.
"Ayah." Naura berucap tanpa suara. Adrian tolehkan kepalanya ke ambang pintu. Ada Ayah Naura yang berdiri di luar luar kamar. "Eh ada Ayah."
Surya menganggukkan kepala sembari tersenyum. Dulu, ia tak pernah dekat dengan menantunya. Tak pernah bertegur sapa apalagi mengobrol. Jauh sekali. Tapi
sekarang, Surya bersyukur karena telah diberikan kesempatan kedua untuk lebih kenal dengan suami putrinya. Adrian bangkit dari duduk dan berjalan mendekati
Ayah mertua. Sebelum Adrian berucap, Surya sudah lebih dulu memegang bahu Adrian. "Jangan tinggalin anak saya lagi, ya. Kamu harus terus ada di sampingnya. Jangan buat
dia netesin air mata, jangan sampai Naura menderita lagi."
"Iya pasti, Yah."
Di belakang, Naura tersenyum dengan binaran di mata. Kebahagiaan yang sangat sederhana tapi begitu indah.
"Aku janji, nggak bakal nyakitin Naura lagi."
Surya melangkah lagi, dan memeluk Adrian karib. Jujur, ini baru pertama kalinya Adrian dipeluk mertua. Tentu, Adrian merasa senang. Naura juga, ini untuk
pertama kali melihat Adrian dan ayahnya berpelukan, selain di hari pernikahan waktu itu.
Surya melepas pelukannya. "Ya udah. Sekarang kalian tidur. Udah malem. Dan besok, kalian kan mau pergi ke rumah orangtua kamu buat kasih kejutan." Surya
menepuk bahu Adrian lagi, tersenyum, dan berlalu. "Tutup pintunya."
"Oke." Adrian mulai menutup pintu pelan-pelan. Begitu pintu tertutup, ia berbalik ke belakang. Rasanya, malam ini, dia hanya ingin bersama Naura seorang.
Hanya bersama Naura. "Aku kangen kamu Naura," katanya penuh hasrat. Adrian menyunggingkan senyum manis semanis gula. Mirip aktor Dimas Anggara.
Naura berdiri, membuka tangannya, memberikan Adrian keleluasaan jika dia mau memeluk. Adrian yang mengerti, berjalan lebih mendekat, lalu membawa Naura
ke dalam pelukan. Mereka berpelukan mesra. Melepas rindu yang masih belum terluapkan. Biarkan malam ini menjadi malam teristimewa.
Selepas pelukan mesra itu, Adrian memegang kedua pipi Naura. Mata elang mereka kembali beradu. Membangun chemistry kentara. Adrian turunkan tatapan matanya
ke bawah, dan berhenti di bibir Naura yang menggoda. Tak perlu mengulur waktu lagi, perlahan, Adrian memiringkan wajah, Naura memejamkan mata. Embusan
napas terdengar syahdu. Cup. Kecupan itu mendarat manis. Menciptakan sentuhan hangat dan sensasi familiar. Rasanya satu detik kecupan saja tak akan cukup. Ciuman lambat berganti dengan
ciuman pelebur rindu. Naura mengalungkan tangannya di tengkuk Adrian. Menikmati ciuman penuh hasrat dan afeksi itu sampai puas. Sekelebat ciuman penuh
air mata yang dulu pernah mereka lakukan sebagai orang yang tak saling mengenal, terekam kembali di memori.
Selesai melepas nafsu, kini Adrian dan Naura berada di atas ranjang yang sama. Mereka berhadapan sangat dekat. Naura menyangga kepala dengan tangannya,
terus memandang Adrian ditemani lampu temaram. Di sini mereka akan bercerita panjang-lebar, berkelakar sesuka hati.
"Kamu tau nggak, dulu tuh banyak cowok yang godain aku. Aku pernah sampai dipecat dari kerjaan gara-gara pacar dari manager di salah satu kantor tempat
aku kerja cemburu. Karena dia tau, pacarnya itu naksir sama aku. Terus kamu tau lagi nggak, aku sampai ngaku-ngaku jadi janda beranak 10 biar dia ilfeel.
Eh cowok itu langsung kaget. Dan gila aja dia langsung percaya." Naura tertawa cekikikan. Itu adalah hal terkonyol yang pernah ia lakukan. "Apa wajah aku
semendukung itu sama cerita fiktif yang aku buat?" gurat tawa di wajah Naura kian merekah.
"Ooh gitu, ya" Aku harus ketawa, nih?" tanggap Adrian di luar ekspetasi.
"Iih Ian. Keluar lagi deh kebiasaannya. Selalu bikin drop istrinya. Bisa nggak sih itunya diilangin?" Naura membelai-belai pipi Adrian gemas tapi cinta.
Sama seperti Adrian dan Naura yang dulu.
"Hehe iya-iya. Wah" Masa kamu gitu, sih" Sampai ngaku-ngaku jadi janda anak sepuluh. Jandanya emang iya, tapi kalau anak sepuluh, kayaknya itu baru niat
kita berdua, deh." Adrian menggoda dengan tawa geli.
"Masih inget sama niat konyol itu?"
"Masa iya aku lupa."
"Tapi kan sekarang tinggal sembilan," keluh Naura menyesal. Seharusnya Adrian Junior yang pertama telah lahir ke dunia. Dan dia akan berada di tengah-tengah
orangtuanya. "Udah Naura, jangan ungkit masalah itu lagi. Aku nggak mau kamu terus-terusan ngerasa bersalah. Lagipula, kita masih punya banyak kesempatan, kan?"
"Makasih atas semua pengertian kamu. Aku janji, bakal nurutin keinginan kamu."
"Beneraaan?" Tiba-tiba, terdengar suara ringtone telepon. Menginterupsi gurauan canda mereka. Adrian menoleh sejenak ke samping, dilihatnya ponsel miliknya yang sedang
menyala dan berdering di atas nakas.
"Ada telepon dari siapa?" tanya Naura penasaran. Adrian meraih ponselnya, nama 'Nessa' terpampang jelas di layar, membuat Adrian sedikit tercenung. Tapi,
setelah berlangsung beberapa detik, Adrian malah me-reject-nya. Selain telepon dari Nessa, Adrian juga me-nonaktif-kan ponselnya supaya nanti tak ada yang
mengganggu. Adrian letakkan ponsel itu di tempatnya lagi. Kembali menghadap Naura.
"Siapa?" "Nessa." Naura merasa ada yang janggal sewaktu mendengar nama Nessa. Ada sesuatu yang tidak beres. Sesuatu yang Naura pikir perlu dipertanyakan.
"Kamu Adrian. Berarti... Mayat yang aku liat dulu itu, mayat yang aku tangisin itu..., itu berarti mayatnya Brian?"
"Iya. Bisa dibilang begitu."
"Terus kamu udah kasih tau Nessa kalau ingatan kamu udah kembali" Terus gimana reaksinya" Aduuh, kasian juga dia. Kenapa kamu tinggalin dia?"
"Aku bukan Brian, Naura. Aku tuh Brian. Otomatis aku bukan siapa-siapa dia."
"Tapi tetep aja. Dia pasti terluka Adrian. Dia pasti kaget kalau ternyata pacarnya udah meninggal. Aku nggak tau deh gimana sakitnya..." Bagaimana pun,
Naura pernah merasakan hal yang sama. Ditinggal pergi oleh orang yang paling berarti sekaligus disayangi. Begitu menyiksa dan menganggap Tuhan tak adil.
"Kamu tenang aja. Besok, setelah kita nemuin Mama sama Papa, kita ajak Nessa kek kuburan Brian. Kamu tau kan kuburannya di mana" Sekalian aku mau nanya
sama Mama dan Papa. Apa aku punya saudara kembar atau nggak."
Sebenarnya, Adrian sedang berkilah. Nessa belum percaya kalau dirinya adalah Adrian. Dan besok, Adrian akan menjelaskan serinci mungkin supaya Nessa percaya.
Tentu, dengan bantuan kedua orangtuanya. Siapa tahu mereka tahu siapa Brian.
"Jangan terlalu dipikirin. Sekarang udah malem, kita tidur, ya." Adrian menarik selimut, menyelimuti tubuhnya dan tubuh Naura.
Naura tersenyum. Tidur bersama Adrian lagi, adalah suatu kebahagiaan paling didambakan.
*** Bersambung... "YOUR EYES. By: Jaisii Quwatul. Chapter 25 - Terungkap. *** Naura dan Adrian tiba di depan rumah.Naura sedikit cemas, tidak berani menghadapi Belinda yang begitu membencinya. Tatapan penuh kebencian itu masih terus
terbayang-bayang. Kekhawatiran merangkup jiwanya, mengubah raut wajah.
"Kamu kenapa?" tanya Adrian curiga.
"Ngg.. Nggak pa-pa, kok. Aku cuma sedikit gugup aja. Udah lama aku nggak ke sini."
Adrian tersenyum kecil. Lalu, begitu Adrian memantapkan hati, menarik napas sedalam-dalamnya, dia segera mengetuk pintu. Beriringan dengan debaran keras di jantungnya. Tak sabar
melihat reaksi keluarga yang telah ia tinggal begitu lama. Selain Naura, Adrian sangat merindukan orangtua dan kakaknya.
Tak lama kemudian, pintu terbuka dari dalam.
Kebetulan, saat itu Belinda-lah yang membuka. Awalnya reaksinya biasa saja karena kepalanya tertunduk, hanya melihat dua pasang sepatu. Tapi begitu kepala
itu terangkat, matanya bertemu dengan mata milik Adrian.
Telak! Mata bulat Belinda yang besar hampir keluar dari kantungnya. Jantungnya berdentam seakan ingin ikut keluar juga.
"Mama..." Naura tersenyum dengan binar bening di mata. Akhirnya Belinda bisa bertemu lagi dengan putra yang sangat ia sayangi.
"Aa... Adrian..." mulut Belinda gelagapan.
"Iya Mah, ini Adrian."
Tubuh Belinda kejur. Semuanya tidak bisa digerakkan.
"Ini Adrian, anak Mama."
Belinda menelan ludah. Yang ia tahu, Adrian sudah meninggal setahun yang lalu. Jadi, mana mungkin dia bisa bangkit dari kubur" Satu kenyataan pun melintas
dalam benaknya. Adrian memiliki saudara kembar. Mulut perempuan itu masih terkatup rapat, rahangnya bergetar. Benarkah ini Adrian"
"Mama?" Belinda masih terlampau kaget. Kehilangan kata-kata.
"Mama nggak seneng liat Adrian?" tanya Adrian karena reaksi yang diberikan mamanya tidak sesuai dengan ekspetasi. Tapi, Adrian menganggap ini hal yang
wajar. Karena yang semua orang tahu, dirinya sudah meninggal akibat kecelakaan satu tahun lalu.
"Emh nggak sayang." Belinda lekas menyeka air mata yang baru saja jatuh. Ia menyesal, tak seharusnya ia memikirkan Adrian dan saudara kembarnya. Yang terpenting
sekarang, Adrian ternyata massih hidup, ia harus segera memeluk Adrian. Menyambut kedatangannya. Sekarang Belinda yakin, kalau dia Adrian, berarti mayat
yang dulu ia lihat berkemungkinan besar adalah mayat kembarannya. Oh Ya Tuhan anakku!
"Maaf Mama terlalu kaget Adrian." Belinda segera membawa Adrian ke dalam pelukannya. "Mama kangen banget sama kamu, Nak. Mama kangen sama kamu." Air mata
Belinda jatuh berderai. Naura yang ikut menyaksikan ikut terenyuh. Adrian lebih kuat memeluk tubuh sang Mama. "Jangan tinggalin Mama lagi Adrian. Jangan
pernah..." "Iya mana mungkin Adrian ninggalin Mama lagi. Mama itu perempuan yang paling Adrian sayang. Adrian bakal selalu ada buat Mama. Maafin Adrian yang udah
bikin semua orang sedih."
"Nggak pa-pa Adrian sayang, nggak pa-pa. Asal Mama tau kalau kamu masih hidup aja itu udah lebih dari cukup. Selama ini kamu ke mana aja, selama ini kamu
tinggal sama siapa, siapa yang ngurus kamu..."
"Nanti aku cerita."
Belinda melepas pelukannya. Menghapusi jejak air mata. "Ayo masuk sayang. Ayo masuk. Kita kasih kejutan buat Papa sama kakak kamu."
Adrian mengangguk tak sabaran. Menoleh sedikit kepada Naura, menganggukkan kepala untuk ikut bersamanya.
"Papaah.. Paaah..." Belinda berseru. "Angga!!! Papaah!!"
Mereka bertiga melangkah masuk. Adrian memandang sekeliling area rumahnya, tempat ia dibesarkan, tempat ia berkumpul bersama keluarganya. Tempat ia bermain
bersama kak Angga. Tempat ia menikah bersama Naura. Tak ada yang berubah, semuanya sama. Bahkan, foto besarnya masih terpampang begitu rapi dan tegak di
dinding. Adrian rindu rumah ini, sangat-sangat rindu.
Kedua sosok lelaki ---yang satu tua, yang satu muda--- menuruni anak tangga dengan wajah waswas bercampur khawatir karena teriakan sang Mama begitu menggelegar.
Tapi ternyata, raut cemas di wajah mereka pudar seketika kala melihat sosok yang begitu tak masuk akal. Bagai mimpi di waktu malam.
Adrian. Satria melongo, apa matanya sedang bermasalah" Sejenak ia melepas kacamata minusnya, mengucek-ngucek mata, meniup-niup, dan mengelap kedua kaca pada kacamatanya.
Adrian menahan tawa melihat kelakuan ayahnya yang berlebihan. Seperti sedang melihat hantu saja. Ehh, Adrian merasa memang dirinya hantu. Tapi... Itu wajar.
Dipakainya kembali kacamata itu, dan hasilnya sama, Satria benar-benar melihat sosok Adrian. Putra kesayangannya.
Angga yang berada di belakang Satria, berjarak hanya dua anak tangga, ikut tertegun. Adrian masih hidup" Dan di sebelahnya, ada Naura. Pandangan Naura
dan Angga saling bertemu. Angga dapat melihat sorot mata bahagia yang dipancarkan Naura, walau tidak terlalu terlihat kentara. Tapi, sebagai perempuan
yang sangat ia kenal, Angga tahu kapan Naura bahagia, dan kapan dia juga bersedih. Dan sekarang, dia pasti sangat bahagia, karena Adrian kembali.
Satria kembali menuruni tangga dengan cepat. Dan Adrian segera berhambur memeluk tubuh sang Ayah kebanggaannya yang jauh lebih besar dari badannya itu.
"Pah apa kabar, Pah" Ini Adrian, Pah. Anak kesayangan Papa. Nanti Adrian jelasin semuanya. Jadi Papa jangan tanya-tanya dulu. Yang harus Papa tau, aku
ini Adrian. Adrian, Pah."
Satria menepuk-nepuk punggung Adrian. "Iya-iya Adrian, bawel. Ini kejutan sekali buat Papa Adrian. Akhirnya Tuhan kabulkan do'a Papa untuk bisa ketemu
kamu lagi."

Your Eyes Karya Jaisii Q di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Adrian mengerti dengan ucapan Papanya, ia melepaskan pelukannya. Memandang wajah Papanya yang begitu bahagia dan bercahaya, juga matanya yang sedikit memerah
saking senangnya. Lalu kembali berpelukan akrab. Anak dan Ayah yang mirip.
Naura masih menatap Angga yang belum juga turun. Mereka saling bersitatap dari kejauhan dengan aura tak mengenakan. Canggung dan kikuk. Naura tampak meremas-remas
tali tas mininya, menggigit bibir bawah. Ada rasa khawatir yang menggebu di dalam hati. Begitu pun dengan Angga, bagaimana bisa rasa senang dan kecewa
bercampur menjadi satu" Mustahil.
Adrian melepas pelukannya lagi. Sedikit tersenyum, lalu dilihatnya Angga masih setia berdiri di anak tangga dengan pandangan datar. Apa yang ia lakukan"
Penasaran, Adrian ikuti arah pandangnya, kepalanya menengok ke belakang, di sana, ada Naura yang sedang memandang Angga juga.
Adrian menatap Angga lagi, "Bang! Lo nggak seneng liat adeknya pulang ke rumah?" tanyanya bergurau. Naura segera melempar pandangan ke sembarang arah.
Angga buyar dalam lamunannya, matanya terarah kepada Adrian yang berdiri di bawah. Adiknya sedang tersenyum. Angga membalas senyumnya tak kalah bahagia,
ia berlari menuruni anak tangga, menghampiri Adrian, dan langsung memeluknya.
Mereka berpelukan ala lelaki gantle. Adik-kakak yang tak pernah bertengkar. Selalu solider dalam segala hal.
"Ke mana aja lo" Gue kira lo nggak bakal balik lagi." Kata Angga ironi. Angga senang Adrian kembali, tapi di lain sisi, ia merasa kecewa karena sekarang,
harapan untuk mendapatkan cinta Naura telah pupus.
"Ceritanya panjang. Nanti gue jelasin."
Naura tersenyum melihat suami dan kakak iparnya kembali dipertemukan. Mereka adalah kedua sosok paling berarti di hidupnya. Melengkapi kesepian. Pelita
cahaya. Semoga saja, dengan penolakannya dulu, Angga telah melupakannya. Semoga dia sudah menemukan tambatan hati yang sesungguhnya. Perempuan yang telah
dituliskan Tuhan dalam takdir jodoh.
Satria mendekati Naura, menantu tercantiknya. Pria itu tersenyum, mengusap rambut hitam Naura dengan sayang. "Maafin Papa karena dulu Papa nggak bisa cegah
kamu buat pergi." "Nggak pa-pa, Pah. Naura ngerti."
"Kamu harus tau Naura, setiap hari Papa selalu mikirin kamu. Untung, Angga selalu cerita tentang kamu yang selalu baik-baik aja..."
Naura terkejut. Jadi... Papa Satria tahu kalau dirinya dan Angga sering bertemu dan berkomunikasi" Belinda tak kalah terkejut, diam-diam dia mendengar
percakapan suaminya dan Naura. Bagaimana bisa ia tidak tahu kalau Angga memiliki hubungan dekat dengan Naura"
"Iyalah Papa tahu. Angga selalu cerita. Dan itu yang bikin Papa lega. Masa sih Papa ngelupain menantu gitu aja."
Naura tampak terharu. Ternyata, Papa Satria selalu memikirkan keadaannya. Dia adalah sosok mertua yang sangat baik di mata Naura. Beruntung dia mendapatkan
mertua seperti Papa Adrian.
Dan yang pasti, Angga tak mungkin menceritakan isi hati yang sebenarnya kepada papanya.
Belinda menghampiri mereka berdua. "What" Jadi selama ini Angga selalu ketemu sama kamu Naura?"
"Iya maafin aku, Mah. Maafin Naura karena nggak pernah bilang."
"Udahlah, Ma. Nggak usah berlebihan. Yang terpenting sekarang, keluarga kita kembali utuh. Kamu mau kan nerima Naura lagi?"
Belinda terdiam tanpa memberikan komentar, bersedekap dengan mata mengedip-ngedip. Naura memandang Mama mertuanya harap-harap cemas. Satria menggeleng-gelengkan
kepala melihat sikap istrinya.
Sebenarnya Belinda sedang berpikir tentang Angga dan Naura. Akhirnya ia menemukan alasan mengapa Angga enggan dijodohkan atau enggan membawa calon istri
ke rumah. Apa mungkin hati Angga telanjur terpikat oleh Naura" Mengingat dahulu Angga sering sekali membela Naura. Terutama saat malam turun hujan besar
dan Naura datang ke sini dengan keadaan basah kuyup. Saat itu Angga mati-matian membelanya.
Dan tadi, Belinda juga sempat melihat tatapan penuh arti yang disampaikan Naura dan Angga.
"Terus yang dulu mayat siapa, dong?"
Pertanyaan itu tercetus di bibir Angga, membuat semua pasang mata tertuju ke arahnya dan Adrian. Suasana berubah hening.
Itu adalah pertanyaan penuh misteri. Yang hanya diketahui oleh Satria dan Belinda. Merekalah kunci jawaban dari persoalan ini. Mereka saling melempar pandangan
kaku. Akhirnya, sekarang Naura bisa mendapatkan jawaban yang sesungguhnya setelah berlama-lama terbelenggu dalam pertanyaan yang mengganggu. Kalau dilihat-lihat,
kedua mertua di depannya ini sedang berpikir. Pasti ada yang sedang disembunyikan.
Adrian berjalan mendekati Mama dan Papanya dengan mata menyipit. Ia akan menceritakan tentang pertemuannya dengan Brian setahun yang lalu saat di bisa
itu. Baiklah, kali ini Belinda akan membongkah kisah masa lalu.
'Brian dan Adrian berjabat tangan memperkenalkan diri. Mereka duduk di bangku yang sama, kebetulan saat itu Adrian duduk sendirian. Jadi Brian bisa menempati
kursi kosong di sebelahnya.
"Adrian." "Brian." Seusai tautan tangan itu terlepas, Brian langsung bertanya.
"Aneh. Kok wajah kita sama, ya" Apa jangan-jangan..."
Brian menggantung kalimat yang tak seharunya terlontar. Itu diluar nalar. Karena sedari kecil, ia sudah diurus oleh orangtuanya sendiri. Jadi mana mungkin
dia memiliki hubungan dengan pria berwajah sama di sebelahnya ini"
Namun sayang, orangtuanya sudah meninggal sepuluh tahun yang lalu. Dan Nessa" Dia adalah sahabat satu-satunya yang Brian punya. Sampai beranjak dewasa,
cinta pun bersemi di antara Brian dan Nessa, dua sekawan yang selalu bersama baik suka maupun duka.
Sejak kecil, hanya Nessa yang selalu menemani Brian. Perempuan itu selalu membuat Brian merasa bahagia dan disayangi. Bermain balon gelembung di taman,
kejar-kejaran, saling menggelitik, makan bersama dalam sepiring makanan, dan tidur bersama. Bercerita, berkelakar, bertengkar manja, dan lain-lain. Masa-masa
kecil yang menyenangkan. Menghabiskan waktu hanya berdua.
Ayah Nessa sudah menganggap Brian sebagai putranya sendiri hingga waktu itu setelah orangtua Brian meninggal ia langsung mengajak Brian ikut bersamanya
ke Amerika. Tapi Nessa menolak niat sang Ayah untuk mengangkat Brian sebagai anak meski sudah terlanjur. Dengan asumsi kalau Nessa begitu menyayangi Brian
melebihi sahabat. Sang Ayah pun tahu keinginan putri semata wayangnya. Tentu, ia tak mungkin menolak permintaan Nessa.
Sekarang, Nessa dan Brian, mereka akan segera menikah.
Adrian masih berpikir keras, ia tak pernah mendengar orangtuanya berkata tentang saudara kembar. Dan ia yakin, mereka hanya kebetulan mirip. Tapi sepulang
dari sini, Adrian berjanji akan segera menayakan hal ini kepada Mama dan papanya.
Brian dan Adrian saling pandang penuh makna. Mata mereka benar-benar sama. Cara pandang mereka pun sama. Tanpa mereka ketahui sendiri, mereka adalah saudara
kembar yang telah lama terpisah karena keadaan. Ikatan batin pun terasa dengan tiba-tiba. Ada magnet ilusi yang saling tarik-menarik.
Begitu Adrian akan mengatakan sesuatu, bus yang ditumpangi oleng dan...
PRANG!!! Naura memecahkan segelas air susu di tangannya. Aura tegang membungkus tubuhnya, gelenyar aneh menjalari setiap bagian organnya. Tangannya terangkat, memegang
dada yang tiba-tiba berdebar tak normal.'
"Apa Adrian punya saudara kembar, atau nggak" Apa lelaki itu cuma kebetulan mirip?"
Belinda meneteskan air mata mendengar cerita Adrian. Rasa bersalah itu kembali menyeruak. "Maafin Mama Adrian. Ini semua salah Mama."
Kening Adrian mengernyit. Untuk apa mamanya meminta maaf"
Angga dan Naura ikut penasaran. Naura yakin, Angga juga tidak tahu apa-apa tentang kembaran Adrian. Karena dulu ia juga sempat bertanya.
"Lelaki yang kamu ceritain itu, lelaki yang namanya Brian itu, dia..., dia..." Tenggorokan Belinda tersekat-sekat, air matanya terus bergulir. Tak ada
yang tahu betapa ia sangat merindukan anak yang dijualnya 23 tahun silam. "Pasti dia saudara kembar kamu."
Kontan, Adrian terperangah. Tak pelak, Naura dan Angga juga ikut kaget atas kebenaran yang baru saja terucap di bibir Belinda. Sementara Satria masih tetap
terlihat tenang. Sebelumnya ia juga merasa terkejut mengetahui kalau sebenarnya kembaran Adrian masih hidup sebelum kecelakaan bis terjadi.
Adrian menatap mamanya dalam, meminta penjelasan gamblang. Jiwanya benar-benar terguncang hebat.
"Dulu itu, waktu kalian lahir, kondisi keuangan kita tipis. Dulu, kita nggak sekaya sekarang Adrian. Usaha Papa kamu belum semaju sekarang. Dulu, kita
sangat-sangat miskin dan serba kekurangan."
Semuanya tercenung kecuali Satria.
Bukan hanya Belinda dan Satria saja yang berbahagia karena baru dikaruniai anak kembar. Pasangan lain pun tampaknya sedang bersukacita. Di puskesmas itu,
dua perempuan melakukan persalinan secara bersamaan, namun di ruang yang berbeda. Tapi, tak berlama-lama kemudian, bayi yang dilahirkan seorang Ibu di
sebelah ruang bersalin Belinda, dinyatakan meninggal dunia.
Perempuan yang baru saja bersusah payah dan rela bertaruh nyawa demi melahirkan buah hatinya itu menangis meraung-raung. Sangat histeris, tangisannya menggema
di ruangan. Menguarkan kepedihan dalam Sungguh, kehilangan anak adalah hal yang paling menyakitkan bagi semua Ibu. Belinda dan Satria merasa iba. Diliriknya
kedua bayi yang baru lahir ke dunia itu sedang menangis seperti bayi normal lainnya. Dua bayi kembar yang tampan dan menggemaskan.
Angga yang baru berumur empat tahun hanya menunggu di luar ruangan, duduk dengan mata hampir terlelap. Ia tidak tahu malam itu mamanya melahirkan dua anak
kembar. "Lalu mereka meminta salah satu bayi Mama. Awalnya Mama menolak, tapi Papa kamu kasihan sama mereka. Akhirnya Mama kasih Brian ke mereka, dengan jaminan
uang untuk modal usaha. Mereka rela ngelakuin apa pun demi dapetin anak. Karena istrinya udah nggak mau hamil lagi. Dia trauma. Saat itu Mama ngerasa berdosa
sebagai seorang Ibu. Mama udah buang anak Mama sendiri. Mama malu cerita hal ini ke kalian berdua, Mama malu. Mama takut kalian benci sama Mama."
Angga dan Adrian menggelengkan kepala tak setuju.
"Lalu, setelah beberapa tahun kemudian, Mama sama Papa dapet kabar, kalau kembaran kamu itu meninggal karena kecelakaan mobil bareng orangtuanya. Saat
itu Mama syok. Mama tersiksa, Mama..."
Belinda tak mampu bercerita lebih banyak lagi. Dadanya sesak karena rasa bersalah. Satria mencoba menguatkan sang istri. Bukan hanya Belinda, dia juga
merasa terluka. Bagaimana pun, ia ikut andil dalam masalah ini.
Adrian menitikkan air mata. Jika dulu Adrian tahu kalau orang yang ia temui di bis itu adalah saudara kembarnya, pasti ia akan langsung memeluknya. Ikatan
batin yang ia rasakan saat itu betul-betul nyata. Mengapa kebenaran ini terungkap setelah semuanya terlambat"
"Kenapa Mama nggak cerita dari awal sih, Maa?" tanya Angga frustrasi.
"Karena Mama nggak mau dicap sebagai Ibu yang nggak berguna. Sebagai Ibu yang rela nukerin anaknya demi uang. Awalnya Mama kepengin banget cari saudara
kalian, tapi gara-gara berita itu, Mama terlanjur hilang akal dan nggak mau terluka lebih lagi."
Adrian bergeming, memandang lantai tak berkedip. Terluka dalam diam.
"Menurut aku, itu hal yang mulia, Ma. Itu tergantung niat Mama. Kalau karena Mama kasian sama ibu-ibu itu lalu ngasih salah satu anak Mama, itu bener-bener
sesuatu yang istimewa. Rela berbagi demi bikin orang lain seneng." komentar Naura lunak dan tersentuh. "Kenapa harus malu." Naura ikut sedih mendengar
cerita Belinda yang pasti menyayat hatinya.
Belinda mengalihkan pandangannya kepada Naura.
"Sekarang aku ngerti kenapa Mama selalu nyalahin aku saat Adrian meninggal. Aku ngerti perasaan Mama, karena Mama terlalu terpukul sama kematian anak Mama
untuk yang kedua kalinya."
Belinda masih menangis sambil memegang dadanya yang begitu pekat. Satria berupaya menenangkan Belinda. Semuanya sudah berlalu, tak perlu ditangisi lagi.
Adrian melangkah mundur, matanya masih berwarna merah. Ia keluar dari percakapan sendu itu. Lalu duduk menyendiri di atas sofa.
"Maafin Mama ya, maafin Mama karena baru ngasih tau kalian. Sekarang kamu ngerti kan Angga kenapa Mama takut banget kehilangan anak?"
Angga masih terdiam. Mengapa ia begitu bodoh" Baru mengetahui hal penting ini sekarang. Ke mana saja ia dulu"
*** "Adrian..." Naura duduk di sebelah Adrian yang masih terpukul. Memegang pundaknya yang tak tegap. Ia mengerti perasaan Adrian sekarang, sangat-sangat mengerti.
Sekarang Naura tahu tugas apa yang harus dilakukan sebagai seorang istri. Perempuan itu membawa Adrian ke dalam dekapannya, Adrian menenggelamkan kepalanya
di dada Naura. Adrian sudah seperti anak kecil yang menangis kesal pada mamanya, tak tentu arah. Mereka menangis bersama. Adrian yang menyesal, juga Naura
yang merasa prihatin kepada Adrian. Ikut merasakan kesedihan.
Di sini Naura akan terus menjadi sandaran untuk Adrian, ada di sisinya, ada untuk membahagiakannya. Membuatnya terus tersenyum sampai lupa caranya menangis.
Adrian mengeratkan jemari pada baju Naura. Mencengkeramnya kuat. Naura mencium puncak kepala Adrian.
"Anter aku ke makam Brian, Naura. Anter aku ke sana."
"Iya Ian, iya."
Naura mengangkat kepala Adrian agar dia mau menatapnya. Air mata Adrian terlihat begitu menggelikan di mata Naura. Diusapnya cairan bening nan hangat itu
lembut. "Jangan cengeng Ian, udaah." Naura mengecup kening Adrian lagi. Merapikan rambut Adrian dengan senyum teduhnya. Adrian merasa beruntung karena memiliki
Naura yang penuh perhatian dan kasih sayang. "Makasih Naura."
"Sama-sama." Ulu hati Angga terasa nyeri begitu melihat Naura yang sangat menyayangi Adrian. Cinta ini salah, ya, cinta ini memang salah. Salah besar. Takdir begitu
kejam memperainkan skenarionya. Siapa yang harus disalahkan" Takdirkah"
*** Bersambung... "YOUR EYES. By: Jaisii Quwatul. Chapter 26 - Memutarbalik Fakta.
*** Ditatapnya kuburan lama dengan nama 'Adrian' itu. Sekarang Belinda tahu, bahwa mayat yang berada di dalam sana adalah mayat Brian, putra yang tak pernah
ia peluk sama sekali. Putra yang tak pernah ia kecup, yang tak pernah ia suapi makanan, yang tak pernah ia mandikan, yang tak pernah ia beri uang jajan
untuk bekal ke sekolah. Rasanya sangat sakit. Setelah sekian lama tidak berjumpa, yang diharapkan adalah pertemuan manis dan air mata haru, bukan perpisahan lebih jauh lagi. Terpaksa
angan untuk mendekap tubuhnya tumpas. Tak ada lagi kesempatan, walau hanya setitik tinta dalam kertas.
Belinda tak mampu membendung air matanya lagi. Diusapnya tanah merah yang mengubur tubuh Brian yang pasti sekarang sudah menjadi tengkorak kering. Perempuan
itu memegang dadanya, menahan gejolak rindu dan tangis. Tak berdaya. Ingin berteriak kepada Tuhan untuk menghidupkan kembali Brian untuk bisa ia miliki
kembali. Angga dan Satria ikut berduka. Meskipun Brian tak pernah hadir dalam kehidupan mereka, tapi dia tetap bagian dari anggota keluarga. Mungkin di kehidupan
yang akan datang, Tuhan akan mempertemukan mereka kembali.
*** Adrian membuka pintu rumah Nessa, Naura mengikutinya dari belakang. Seperti rumah sendiri, Adrian melangkah ke sana-kemari mencari keberadaan Nessa. Sampai
kakinya tiba di depan pintu kamar. Adrian memandang pintu di depannya ini penuh keyakinan, besar kemungkinan Nessa ada di dalam. Naura ikut cemas, bagaimana
pun ia masih tetap merasa bersalah.
Pintu pun terbuka. Aroma alkohol langsung menyergap indera penciuman Adrian dan Naura. Detik berikutnya, Adrian mendapati Nessa yang sedang duduk di atas
lantai dan bersandar di permukaan kasur. Wajahnya tak bersemangat, tubuhnya mendadak kurus, tak ada balutan make up lagi yang mewarnai wajah cantiknya.
"Mbak Nessa..." lirih Naura prihatin.
Mereka berdua lantas menghampirinya. Berdiri di depan Nessa yang masih acuh tak acuh.
"Mbak Nessa kok jadi kayak gini, Mbak?" tanya Naura khawatir. Dia bukan seperti Nessa yang Naura kenal. Tak ada pancaran mata penuh semangat dan kelembutan
lagi. Semuanya berubah. Semenjak sewaktu di rumah sakit itu, saat Nessa menampar pipinya.
"Ngapain kalian ke sini?" tanya Nessa seolah menantang. Senyum sumbang tercetak di bibirnya yang seksi.
Naura tertegun mendengar pertanyaan Nessa.
"Pergi aja. Aku nggak butuh pengkhianat kayak kalian lagi. Lebih baik aku sendirian. Sendiri jauh lebih nyenengin, karena kita cuma percaya sama diri kita
sendiri. Buat apa punya temen" Kalau mereka kerjanya cuma buat jadi seorang pengkhianat."
Adrian memejamkan mata, jadi..., ternyata Nessa belum bisa percaya kalau Brian yang ia sayang sudah meninggal. Dan lelaki yang ia sangka sebagai pengkhianat
ini adalah Adrian. "Aku nyesel pernah ngasih kepercayaan sama orang lain. Terutama kamu Naura..."
Naura menggigit bibir bawah resah. Wajar jika Nessa menganggapnya sebagai pengkhianat. Naura akui itu. Tapi, jika ia boleh memilih, Naura rela kalau dia
tidak usah dipertemukan lagi dengan Adrian daripada harus menyakiti orang lain.
"Hm! Persis sama drama yang sering aku tonton. Aku kira, karakter bejat mereka cuma ada dalam skenario drama, tapi kenyataannya, mereka juga berkeliaran
di dunia nyata. Apa aku terlalu bodoh" Sekarang aku percaya sama orang-orang yang bilang kalau kita jangan gampang percaya sama orang lain."
"Kamu bicara apa Nessa" Siapa yang pengkhianat" Aku minta maaf kalau selama ini aku udah nyakitin kamu, aku udah ngelukain hati kamu. Aku bener-bener minta
maaf. Tapi nggak seharusnya kamu kayak gini, ini bukan sepenuhnya kesalahan aku. Ayolah Nessa, percaya sama aku. Aku nggak mungkin ngarang cerita."
"Pergi." Nessa mengusir dengan nada tak terbantahkan.
"Aku mau ngajak kamu ke suatu tempat," kata Adrian cepat. Berupaya membujuk. "Kamu harus ikut ke sana, supaya kamu tau apa yang sebenernya terjadi. Dan
kamu bakalan percaya."
"Aku nggak mau pergi ke mana-mana. Aku mau diem di sini, sendirian."
"Mbak Nessa kenapa?" tanya Naura lagi. Ingin sekali rasanya bercengkerama kembali dengan dia. Kalau Nessa merasa kesepian, Naura siap menemaninya.
"Kamu tanya saya kenapa"! Ck. Kamu nyadar nggak sih Naura apa yang udah kamu lakuin ke saya" Kamu nyadar itu, kan"! Tapi pertanyaan kamu barusan itu seolah
nunjukin kalau kamu nggak pernah ngelakuin kesalahan apa-apa!"
Adrian mengerutkan kening.
"Kamu rebut Brian dari saya, bahkan kamu udah bikin Brian ngaku-ngaku jadi suami kamu. Salah saya itu apa" Salah saya apa sampai kamu tega ngehancurin
semuanya! Kamu tega hancurin mimpi saya."
"Bukan begit..."
"Stop! Diem! Kamu dilarang bicara lagi."
"Nessa!" panggil Adrian setengah membentak.
"Kalian berdua itu pengkhianat!..." Mata Nessa berkilat-kilat. Perempuan itu mulai berdiri, masih menatap Naura penuh antipati dan permusuhan. "Kamu..."
tangannya terangkat, menunjuk wajah Naura dengan telak. "Kamu tuh cuma perempuan asing yang tiba-tiba dateng terus ngerusak semuanya! Berwajah manis dan
berhati busuk!" "Tunggu-tunggu..." Adrian tak akan membiarkan Nessa terus menyalahkan Naura lagi, lekas dia menengahi mereka, berdiri di tengah-tengah. Melindungi Naura
dari cercaan tak masuk akal Nessa. "Nessa, kamu nggak inget sama apa yang udah aku ceritain" Aku ini Adrian, bukan Brian. Jadi kamu nggak bisa nyalahin
Naura dalam hal ini. Naura nggak tau apa-apa. Dia bukan perebut ataupun penghancur. Jadi jaga mulut kamu."
"Mau kamu Adrian, mau kamu Brian, aku nggak peduli. Yang aku tau sekarang, Naura itu udah ngerebut kamu dari aku!"
"Ya Allah, Mbak. Saya nggak pernah ngerebut Brian dari Mbak. Adrian emang suami saya kan, mbak," bela Naura sesuai dengan kenyataan. Dia berhak membela
apa yang seharusnya ia dapatkan.
"Biar aku jelasin semuanya sama kamu. Kasih aku waktu buat cerita."
Nessa tampak sedang berusaha keras menahan amarahnya yang akan segera membeludak. Tatapan kemurkaan masih terlihat kentara. Membuat Naura yang berdiri
di belakang Adrian ciut. Tak pernah terbayangkan dalam benaknya, bahwa perempuan yang ia anggap orang paling baik berubah seperti monster yang menakutkan.
Lumayan sakit rasanya. "Aku sama Brian itu saudara kembar. Kita terpisah sejak lahir. Aku ngerti perasaan kamu, aku ngerti banget. Kamu terluka aku tau, gimana pun kita pernah
deket, walau nggak sedeket saat kamu masih sama Brian. Tapi kamu harus tau Nessa, aku ini Adrian, suami Naura, bukan Brian yang kamu cinta. Waktu di rumah
sakit satu tahun yang lalu, aku amnesia, jadi aku nggak inget siapa aku sampai nyebabin kesalahpahaman ini. Kalau aja waktu itu aku nggak amnesia, mungkin
dari awal kamu nggak akan ngira kalau aku itu Brian. Aku minta maaf Nes, bukan maksud aku buat nyakitin kamu. Tapi emang ini kenyataannya. Dan kenapa Naura
nggak cerita tentang masa lalunya" Karena dia nggak berani, karena dia tau suaminya udah meninggal, dia liat sendiri jenazahnya."
Nessa berubah menangis, air mata jatuh berangsur-angsur, tidak terima kalau Brian telah meninggalkannya pergi. Itu tidak mungkin terjadi. Terlalu kejam
untuknya. "Dan sebenernya, jenazah yang Naura liat itu bukan jenazah aku, tapi jenazah Brian."
Naura teringat dengan kalung yang melingkar di lehernya. Ia langsung menyadari sesuatu. Tanpa menunggu lagi, Naura langsung melepaskan kalung yang tak
seharusnya terpasang di dadanya itu. Naura mendekati Nessa tanpa rasa takut.
"Nih liat Mbak. Ini itu kalung milik Mbak Nessa pemberian dari Brian. Ini bukan kalung milik saya, jadi saya harus kasih benda ini ke pemilik yang sebenernya."
Naura memperlihatkan kalung berinisial huruf 'N' itu. "Sekarang saya tau kenapa dulu Mbak pernah liatin kalung yang saya pakai sampai hampir netesin air
mata. Sekarang saya ngerti, kalau kalung ini milik Mbak Nessa. Pakai ini Mbak, ini adalah hadiah dari Brian buat Mbak."
Nessa memandang kalung yang dipegang Naura sendu. Kalung itu begitu menarik perhatian, tapi begitu menusuk. Pantas saja, saat pertama kali melihat kalung
itu, hati Nessa langsung tertarik.
"Apa sekarang kamu percaya" Kamu percaya kan kalau sebenernya aku ini Adrian?"
"Ayo, terima, Mbak. Pakai kalungnya..." bujuk Naura pelan-pelan.
Nessa terbangun lagi dari kesedihannya, sekarang bukan saatnya untuk mengenang, segera dia mengambil kalung pemberian Brian secara paksa, lalu dibantingnya
ke atas lantai. Membuat Naura dan Adrian terperangah secara bersamaan. "Kamu pikir dengan begini saya bisa percaya" Kamu pikir dengan saya pakai kalung
itu saya bisa lepasin Brian gitu aja" Nggak Naura! Nggak! Saya nggak butuh kalung itu."
Adrian mengusap wajahnya. Nessa benar-benar keras kepala. Naura menatap kalung yang kini tergeletak di atas ubin. Bagaimana reaksi Brian ketika harus melihat
kekasihnya melempar kalung pemberiannya dengan begitu kasar"
Nessa menghapus seluruh jejak air matanya. Air mata tak pantas lagi untuk dikeluarkan. Naura beralih menatap Nessa dengan mulut sedikit terbuka.
"Keputusan saya tetap sama. Mau dia Adrian, mau dia Brian, dia tetep milik saya. Dia akan tetap jadi milik saya."
Suasana berubah genting. Wajah Adrian mengerut. Apa maksud Nessa" Naura merasakan sesuatu yang tidak beres. Kata-kata Nessa terdengar seperti ancaman yang
menakutkan. "Kalau emang bener Brian udah meninggal, oke saya terima. Tapi, kamu harus ngelepasin Adrian untuk saya. Karena apa"! Kalau dulu saya nggak bawa Adrian
ke luar negri, mungkin nyawa dia udah melayang. Kamu harusnya berterima kasih sama saya Naura. Berkat saya suami kamu masih hidup. Coba aja saat kecelakaan
itu saya bawa Brian, tetap, Brian bakalan selamat, dan suami kamu yang bakalan mati!"
Naura membeliak. Jantung dalam rongga dadanya hampir melorot.
"Segampang itu Naura. Kamu ngerti, kan" Jadi... Adrian tetap jadi milik saya."
"Mbak nggak bisa gitu dong, Mbak. Kematian itu takdir. Udah ditentuin sama Tuhan. Mbak nggak bisa bikin pernyataan begitu. Mbak nggak berhak memutar balikan
fakta." "Lho kenapa Naura" Kamu takut" Saya emang bener, kan" Kalau saat itu saya nggak berusaha nyelametin Adrian, Adrian bakal bener-bener meninggal. Kamu harus
bilang terima kasih. Dan relain suami kamu untuk hidup sama perempuan yang udah selamatin dia."
Naura kehilangan kata-kata. Bibir dan rahangnya bergetar. Kedua jemarinya terkepal. Emosinya menyulut. Bukan karena marah kepada Nessa, melainkan marah
kepada diri sendiri. Lantaran apa yang dikatakan Nessa itu benar. Naura baru tersadar akan hal itu. Ya Tuhan, mengapa jadi begini" Hatinya seolah ditikam
sembilu. Di sampingnya, Adrian menatap Naura penuh pengharapan. Semoga Naura tidak goyah akan penuturan gila yang Nessa lontarkan. "Jangan dengerin apa kata Nessa.
Semuanya ini takdir. Kalau emang waktu itu nyawa aku yang harus diambil, itu juga termasuk takdir. Dan bukan Nessa yang nyelamatin aku, tapi Tuhan. Tanpa
seizin Tuhan, aku nggak bakal selamat."
"Saya bener, kan?" tanya Nessa kepada Naura yang bergeming tak mampu berkata. Matanya berkaca-kaca. Nessa tidak memedulikan ucapan Adrian. "Saya yang udah
bikin kamu ketemu lagi sama suami kamu. Kamu jangan egois Naura."
Naura buncah dalam diam, hatinya menggerutu kesal. Ingin mengelak pun, rasanya sulit.
Kebakaran Burning 1 Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo Jamur Sisik Naga 2

Cari Blog Ini