Ceritasilat Novel Online

Api Di Bukit Menoreh 12

01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja Bagian 12


menjadi kecewa karenanya. Sedikit demi sedikit ia harus
menuntun muridnya yang aneh itu.
"Swandaru" berkata Ki Tanu Metir "Lebih baik kita
mengambil tempat yang jauh daripada kita dilihat orang.
Bagiku tidak akan menguntungkan bila sebelum kita mulai
apa-apa orang-orang sudah meributkan perbuatan kita.
Mungkin hanya seorang dua orang sajalah yang
mengetahuinya, namun sampai sehari maka hal itu pasti
sudah akan sumebar kesegenap sudut kademangan. Dan
setiap orang akan menilaimu setiap hati. Hari ini kau dapat
berbuat apa, dan besok kau akan dapat berbuat apa lagi"
"Baik Kiai" jawab Swandaru "Aku sependapat. Tetapi
marilah segera kita mulai. Apabila besok atau lusa aku
bertemu dengan Sidanti, maka aku tidak lagi memerlukan
pertolongan orang lain untuk melawannya"
Ki Tanu Metir terkejut mendengar kata-kata itu. Namun
kemudian iapun tersenyum. Jawabnya "Angger, ketahuilah,
bahwa untuk membentuk seseorang menjadi seorang Sidanti,
itu diperlukan waktu bukan sehari dua hari. Tetapi setahun
dua tahun. Bahkan lebih. Tergantung juga kepada orangorang
itu sendiri. Kalau ia mampu, maka ia akan menjadi lebih
cepat terbentuk. Tetapi tidak dalam sehari dua hari. Apalagi
kau harus menyusul orang lain yang jauh lebih dulu
daripadamu. Bukankah dengan demikian kau memerlukan
waktu yang lama?" Alangkah kecewanya Swandaru mendengar kata-kata Ki
Tanu Metir itu. Ia memang pernah mendengar, bahwa berguru
kepada seseorang diperlukan waktu yang lama. Tetapi kalau
setiap kesempatan dipergunakan sebaik-baiknya maka waktu
itu pasti akan dapat diperpendek. Seperti saat ini misalnya,
mereka hanya duduk-duduk saja diterik matahari, sesudah itu
pulang kembali kekademangan. Bukankah dengan demikian
mereka hanya membuang-buang waktu saja. Besoknya
mereka akan kehilangan waktu pula. Lusa dan seterusnya.
Tetapi Swandaru itu tidak berkata-kata lagi. Ketika Ki Tanu
Metir dan Agung Sedayu telah berdiri, iapun segera berdiri
pula. Namun Ki Tanu Metirlah yang masih berkata lagi, katanya
"Swandaru, kau tidak perlu tergesa-gesa, asal untuk
seterusnya kau bekerja dengan tekun, maka mudah-mudahan
kau akan segera dapat menyusul Sidanti itu"
"Ya Kiai" sahut Swandaru kesal. Ia telah membayangkan
sejak semalam dirinya menjadi seorang yang perkasa
melampaui Sidanti, bahkan melampaui keperkasaan Tohpati.
Tetapi ia masih harus menunda keinginan itu. Bahkan sama
sekali ia belum mendapat apa-apa dihari pertama, kecuali
nasehat-nasehat saja. Ia tersadar ketika Ki Tanu Metir itu berkata pula "Marilah
kita pulang" "Marilah Kiai" sahut Swandaru kosong.
Tetapi sekali lagi Swandaru heran. Ki Tanu Metir itu
malahan pergi ketengah sungai sambil mengajak mereka
"Mari ikuti aku"
Swandaru dan Agung Sedayu menjadi ragu-ragu sejenak.
Kalau orang tua itu mengajaknya pulang, mengapa ia malahan
pergi ketengah, dan tidak berjalan menyusur tanggul seperti
semula. Tetapi Agung Sedayu segera mengerti maksud orang tua
itu. Iapun kemudian mengikutinya meloncat dari batu kebatu
menyusul Ki Tanu Metir. "Bukankah sungai ini nanti akan sampai dipinggir desa
Sangkal Putung dan sidatannya akan lewat sebelah halaman
rumahmu Swandaru?" bertanya Ki Tanu Metir.
"Ya" jawab Swandaru yang berdiri ditepian.
"Karena itu, marilah kita mengambil jalan memintas, lewat
sungai ini maka kita akan lebih cepat sampai"
"Ah" desah Swandaru "Aku lebih senang menyusur tanggul
ini" Ki Tanu Metir tertawa. Agung Sedayupun tersenyum pula.
agaknya Swandaru benar-benar tidak tahu maksud gurunya,
sehingga karena itu, maka Agung Sedayu berkata "Swandaru,
mari kita bermain kejar-kejaran diatas batu-batu ini"
Swandaru menggeleng malas. Ia semakin kesal karenanya.
Waktunya telah banyak terbuang. Apakah mereka masih
harus bermain seperti anak-anak.
Tetapi kembali Agung Sedayu mengajaknya sambil tertawa
"Swandaru, lihatlah betapa Ki Tanu Metir meloncat dari batu
kebatu. Marilah" Kembali Swandaru menggeleng. Katanya dalam hati "Akh,
apa lagi kerja orang tua itu. Bukankah lebih baik
memberitahukan kepada kita, apa yang harus kita lakukan"
Unsur-unsur gerak, satu atau dua, untuk diulang-ulang"
Tetapi dengan demikian Agung Sedayupun menjadi kesal
pula. Swandaru benar-benar tidak segera tahu maksud orang
lain tanpa diberitahukannya sejelas-jelasnya. Seperti juga
sifatnya sendiri yang selalu terbuka dan terus terang. Karena
itu, maka Agung Sedayu itupun terpaksa berkata "Swandaru,
kau ikut berlatih atau tidak?"
Swandaru terkejut. "Berlatih?" ulangnya "Berlatih apa?"
"Inilah latihan pertama yang harus kita lakukan"
"Oh" Swandaru itu tertegun sesaat. Kemudian dilihatnya Ki
Tanu Metir meneruskan perjalanannya. Meloncat dari satu
batu kebatu yang lain dengan lincahnya tanpa menyentuh air
sedikitpun juga. Bahkan sekali-sekali diloncatinya batu-batu
yang kecil dan goyah. Namun batu-batu itu seakan-akan
bergerakpun tidak. Sesaat Swandaru terpaku ditempatnya. Dilihatnya Ki Tanu
Metir meloncat-loncat seperti orang sedang menari.
Dibelakangnya menyusul Agung Sedayu. Dengan hati-hati
anak muda itu meloncat pula dari batu kebatu. Namun
tampaklah betapa ia masih harus memperhitungkan setiap
langkahnya. Dicobanya mengikuti apa yang telah dilakukan
oleh Ki Tanu Metir. Namun sekali-sekali ia masih harus
berhenti menjaga kesetimbangan tubuhnya.
Tiba-tiba Swandaru itupun tertawa. digaruk-garuknya
kepalanya sambil bergumam "Alangkah bodohnya aku. Aku
tidak segera tahu maksud orang tua itu"
Maka dengan serta-merta Swandaru itupun berteriak
"Tunggu, aku ikut serta"
Ki Tanu Metir itupun segera berhenti. Demikian juga Agung
Sedayu. Mereka bersama-sama berpaling dan dilihatnya
Swandaru Geni meloncat keatas sebuah batu yang besar.
Tubuhnya yang bulat itu meluncur dari tebing sungai dan
mencoba berdiri diatas batu itu. Sesaat ia masih harus
mengatur keseimbangannya, namun kemudian ia tertawa
sambil berkata "Tunggulah, aku akan segera sampai
ketempatmu kakang Sedayu"
Swandaru itupun segera mulai dengan loncatanloncatannya.
Dari satu batu kebatu yang lain. Dicobanya juga
meloncati batu-batu yang telah tersentuh kaki Ki Tanu Metir.
Namun sekali-sekali batu-batu itu terguncang dan Swandaru
terpaksa berpegangan pada batu-batu yang lain. Bahkan satu
kali ia tergelincir dan jatuh masuk kedalam air.
"Gila" gumamnya seorang diri. Pakaiannya menjadi basah
kuyup. Dengan wajah bersungut-sungut ia muncul dari dalam
air seperti seekor tikus kehujanan.
Agung Sedayu dan Ki Tanu Metir tidak dapat menahan
tawa mereka. Ketika Swandaru kemudian bangkit dan berdiri
diatas sebuah batu maka Ki Tanu Metir berkata "Bukan apaapa.
kau hanya jatuh kedalam air"
"Ya, tidak apa-apa" sahut Swandaru kesal.
Tetapi tiba-tiba ia mengumpat ketika Ki Tanu Metir berkata
"Ulangi. Ulangi sekali lagi"
"Kenapa aku harus mengulangi. Apakah Ki Tanu Metir ingin
melihat aku sekali lagi jatuh kedalam air?"
"Tidak" jawab Ki Tanu Metir "Latihan ini adalah latihan
dasar. Sekedar menghangatkan tubuh. Karena itu, maka
angger harus dapat melakukannya."
Swandaru bersungguh-sungguh. Dilangkahinya kembali
beberapa batu yang sudah dilampauinya. Dan sekali lagi
meloncat kejurusan Agung Sedayu. Namun kali inipun
Swandaru masih belum dapat berdiri dengan tegak pada batu
yang telah menggelincirkannya. Namun kali ini ia tidak jatuh
bulat-bulat kedalam air. Setelah beberapa saat ia bertahan
atas keseimbangannya, maka terpaksa ia harus terjun
kembali. Namun ia dapat tegak diatas kakinya, meskipun
didalam air juga. "Bukan main" Swandaru itu mengeluh. Apalagi ketika Ki
Tanu Metir minta ia mengulanginya satu kali lagi.
Swandaru terpaksa mengulangi sekali lagi. Kali ini ia benarbenar
memperhitungkan setiap langkahnya. Dengan hati-hati
ia meloncat dari satu batu kebatu berikutnya. Dan ketika ia
meloncat kebatu yang itu-itu juga, maka ia menahan nafasnya.
Dijaganya keseimbangan tubuhnya benar-benar dan
ditapakkannya kakinya pada ujung jari-jarinya, dalam
pemusatan perhatian yang bulat.
Swandaru menarik nafas panjang ketika untuk yang ketiga
kalinya ia berhasil. Tubuhnya seakan-akan menjadi bertambah
ringan, dan keseimbangannya serasa menjadi lebih baik. Ia
tidak tahu apakah sebabnya hal itu dapat terjadi "Mungkin
karena aku telah melakukannya tiga kali berturut-turut"
katanya dalam hati. Tetapi ia tidak dapat terlalu lama tegak berdiri menikmati
kemenangannya yang pertama itu. Ketika ia mengangkat
wajahnya, dilihatnya Ki Tanu Metir berkata "Marilah, teruskan
perjalanan ini sampai keujung desa Sangkal Putung"
Agung Sedayupun kemudian berputar dan melanjutkan
loncatan-loncatannya. Namun ketika suatu kali, dilompatinya
sebuah batu yang sedikit goyah, maka batu itupun bergerak
sedikit kesamping, dan kini Agung Sedayulah yang terbanting
dipermukaan air. Swandaru terkejut, namun kemudian ia
tertawa terbahak-bahak "Nah, rasakanlah. Aku sudah lebih
dahulu mandi. Kakangpun harus mandi pula"
Ki Tanu Metirpun berhenti pula. dilihatnya Agung Sedayu
bangkit dari dalam air sambil tertawa. Kainnya, bajunya, ikat
kepalanya menjadi basah kuyup. Perlahan-lahan ia berdiri dan
dikibaskannya pakaiannya yang dilekati pasir sungai.
"Hem" desis Swandaru "Memang segar kakang, mandi
dengan segenap pakaiannya"
Agung Sedayu tersenyum. Katanya "Kau nanti juga harus
melampaui batu ini Swandaru"
"He" Swandaru mengerutkan keningnya. Dilihatnya batu
yang telah menjatuhkan Agung Sedayu itu. Batu yang seakanakan
bergoyang-goyang digerakkan arus sungai yang tidak
seberapa deras. "Ah" katanya dalam hati "Bagaimana mungkin"
Sesaat kemudian dilihatnya Agung Sedayu telah siap untuk
mengulangi langkahnya tanpa mendapat perintah dari Ki Tanu
Metir. Ia tahu benar, bahwa setiap kesalahan harus
dibetulkannya.Dipusatkannya segenap perhatiannya. Dengan
wajah yang tegang ditatapnya batu itu. Kemudian
ditahankannya nafasnya dan dengan sepenuh hasrat ia
meloncati kembali batu-batu itu sehingga akhirnya sampailah
ia kepada batu yang agak goyah itu. Namun kali ini ia berbuat
cepat sekali. Bahkan kakinya seakan-akan tidak berpijak pada
batu itu. Batu itu hanya disentuhnya saja. Sedang kakinya
yang lain segera meloncat kebatu yang lain pula.
*** Batu itupun bergerak pula sedikit. Namun Agung Sedayu
telah meloncat lebih lanjut, sehingga kali ini Agung Sedayu
selamat sampai kebatu berikutnya. Agung Sedayu itupun
kemudian berhenti. Kini ia melihat Swandaru yang semakin
lama menjadi semakin dekat. Ketika ia sampai kebatu yang
goyah itu, maka ia bergumam didalam hati "Aku sudah
bersedia, dan aku tidak akan jatuh lagi kedalam sungai"
Tetapi ternyata ia salah sangka. Batu itu adalah batu yang
goyah. Sehingga karenanya, maka ketika ia meloncat
keatasnya, sekali lagi ia terguncang dan kehilangan
keseimbangan. Meskipun ia berusaha untuk meloncat kebatu
yang lain, namun ternyata ia tidak berhasil.
Tetapi Swandaru kali ini tidak mau jatuh sendiri kedalam
air. Agung Sedayu yang menunggunya sambil tertawa tibatiba
terkejut. Dengan tidak disangka-sangka tangan Swandaru
meraih pundaknya, dan jatuhlah mereka berdua kedalam air
bersama-sama. Ketika mereka muncul lagi dari permukaan air, maka
mereka tidak dapat menahan gelak tawa mereka yang seperti
meledak dari dada. Ki Tanu Metir yang melihat mereka bergumul didalam air
itupun tertawa pula terkekeh-kekeh, sampai tubuhnya
terguncang-guncang. Demikian asyiknya ia tertawa dan
melihat murid-muridnya yang basah kuyup, sehingga Ki Tanu
Metir itu tidak melihat bahwa beberapa orang melihatnya
dengan pandangan yang tajam. Mereka sama sekali tak
mengetahuinya, apa yang dilakukan oleh kedua anak-anak
muda itu. Tiba-tiba batu tempat Ki Tanu Metir berdiri berguncang, dan
hampir saja Ki Tanu Metir kehilangan keseimbangan. Secepat
kilat ia sempat berpaling dan memandangi orang orang ditepi
sungai itu. Tetapi sekejap kemudian tiba-tiba Ki Tanu Metirpun
terhuyung-huyung dan jatuh pula ke dalam air.
Agung Sedayu dan Swandaru terkejut. Ki Tanu Metir itupun
terpelanting jatuh. Tetapi segera mereka terlihat beberapa
orang ditepi sungai itu tertawa terbahak-bahak. Seseorang
diantaranya masih memegang sebutir batu, sedang orang
yang lain berkata "lemparanmu tepat kakang."
Mata Agung Sedayu dan Swandaru terbelalak melihat
orang-orang itu, seorang diantaranya adalah orang yang
bertubuh tinggi tegap, berkumis melintang. Ditangannya
tergenggam sebatang tongkat besi baja putih dengan kepala
kekuning-kuningan berbentuk sebuah tengkorak.
Hampir saja Swandaru berdesis. Tetapi untunglah ia dapat
menahan diri. Namun hatinya berteriak "Macan Kepatihan"
Agung Sedayupun berdiri tegak tak bergerak. Tetapi tibatiba
mereka berdua terkejut ketika mendengar Ki Tanu Metir
berkata "E,tole tolonglah. Tolonglah aku berdiri."
Sesaat mereka heran melihat Ki Tanu Metir tertatih-tatih
berusaha untuk berdiri. Namun sekali-sekali ia tergelincir
kembali. Tubuhnya benar-benar menggigil dan dengan


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terbata-bata ia berteriak-teriak sambil melambaikan
tangannya. Agung Sedayu cepat menangkap maksud Ki Tanu Metir.
Orang tua itu telah menjadi seorang tua yang tak berdaya.
Karena itu segera ia berlari dan menolong kym tang sedang
menggigil. Diangkatnya orang tua itu berdiri dan
didudukkannya diatas sebuah batu yang besar. Sedangkan
Swandaru melihat perbuatan Sedayu itu dengan herannya.
Kenapa orang tua itu harus ditolongnya berdiri dan harus
dipapah keatas sebuah batu yang besar" Bukankah orang tua
itu pula yang besar" Bukankah orang tua itu pula yang telah
memaksanya meloncat-loncat dan memberi mereka beberapa
contoh untuk melakukannya" Namun Swandaru tidak
bertanya apapun juga. Iapun perlahan-lahan berjalan
mendekati Ki Tanu Metir. Ia semakin heran ketika dilihatnya
orang tua itu menyeringai kesakitan. Ia sendiri telah tiga kali
jatuh terpelanting, namun ia tidak merasa apa-apa. Orang tua
itu baru sekali jatuh. Tetapi ia telah tampak sedemikian
payahnya. Tetapi ia menarik nafas ketika ia mendengar orang tua itu
berbisik "Jangan terjadi bentrokan dengan orang-orang itu
sekarang" "Oh" desahnya. Sekali dilayangkannya pandangan matanya
ketebing dan kemudian dipandanginya orang tua yang duduk
kedinginan diatas batu itu.
Tetapi Swandaru kini telah mengerti maksud Ki Tanu Metir
itu. Dan mereka berdua, Agung Sedayu dan Swandarupun
kemudian mengerti pula, bahwa sebenarnya Ki Tanu Metir
pasti akan mampu mempertahankan keseimbangannya
seandainya yang hadir dipinggir kali itu Ki Tambak Wedi,
tetapi orang tua itu pasti mempunyai pertimbangan lain
sehingga ia tidak mau terlibat dalam bentrokan dengan
Tohpati dan beberapa kawannya saat ini.
"He!" tiba-tiba mereka mendengar seseorang diantara
orang-orang yang berdiri ditebing itu berteriak "Siapakah
kalian?" Ki Tanu Metir memandangi mereka dengan wajah
ketakutan. Kemudian jawabnya gemetar "Kami orang-orang
Benda tuan" "Apa kerja kalian disini?"
"Kami sedang menyelusur air sawah tuan. Dan kami
berhenti sejenak untuk mandi"
Orang-orang itu tertawa. Kata salah seorang dari mereka
itu "Apakah kalian biasa mandi dengan seluruh pakaian
kalian?" "Tidak tuan. Salah seorang anak itu tergelincir, namun
rupa-rupanya ia tidak mau melihat kawannya masih tetap
kering" Kembali mereka tertawa. dan kembali terdengar salah
seorang berteriak "Apakah benar-benar kalian hanya
menyusuri air?" "Ya tuan" sahut Ki Tanu Metir "Tetapi siapakah tuan-tuan
ini?" "Kami dari Sangkal Putung" sahut orang yang bertongkat
baja putih itu. Swandaru menjadi berdebar-debar. Ia pernah bertemu
muka dengan Macan Kepatihan itu, selagi Tohpati itu
bertempur melawan Sidanti dan Widura. tetapi pertemuan itu
hanya sekejap dan Tohpati waktu itu sedang disibukkan oleh
perkelahian itu. Sehingga agaknya Tohpati itu kurang
mengenalnya. Ki Tanu Metir kemudian bertanya pula "Apakah yang akan
tuan lakukan disini?"
"Hem. Aku ingin mendapat beras, apakah orang-orang
Benda mempunyai persediaan cukup?"
Ki Tanu Metir mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia
menggeleng. Jawabnya perlahan-lahan "Ah, tuan telah
memeras semua persediaan kami. Beberapa orang Pajang
yang berada di Sangkal Putung itu" Setiap minggu kami harus
menyerahkan berbakul-bakul beras, sehingga kami sendiri
akan menjadi kelaparan karenanya"
Tohpati itu tertawa. Kemudian katanya "Bukankah dengan
demikian kalian membantu perjuangan kami melawan orangorang
Jipang?" "Bagi kami tuan, sudah tentu lebih penting makan kami
sehari-hari" Macan Kepatihan mengerutkan keningnya. Dipandangnya
ketiga orang yang berada dibawah tebing itu berganti-ganti.
Kemudian katanya "He, apakah anak-anak muda itu tidak mau
ikut bergabung dengan kami untuk melawan laskar Macan
Kepatihan?" Ki Tanu Metir menggeleng "Mereka adalah cucu-cucuku.
Biarlah mereka menikmati ketentraman hidup dirumah.
Apakah keuntungan kami apabila anak-anak muda itu turut
bertempur?" "Anak-anak muda seluruh kademangan Sangkal Putung
bangkit serentak. Mereka telah menyumbangkan tenaga
mereka untuk kemenangan Pajang. Apakah cucu-cucumu itu
tidak ikut serta he?"
"Sudah aku katakan buat apa mereka ikut bertempur" Dan
apakah sebenarnya keuntungan orang-orang Pajang dan
orang-orang Jipang yang kini saling bertentangan?"
"Kami sedang mempertahankan pendirian kami masingmasing.
Kami tidak senang melihat pengikut-pengikut Arya
Penangsang berkeliaran"
"Mungkin pimpinan tuan tidak senang melihat Arya
Penangsang. Tetapi apakah perlunya pertengkaran itu
berlarut-larut terus" Sejak Arya Penangsang terbunuh, maka
persoalan kalian sebenarnya telah selesai"
"Siapa yang bilang he, pak tua?"
Ki Tanu Metir tertawa. Kemudian katanya "Lima enam hari
yang lalu, kawan-kawan tuan datang kepondokku. Seorang
bertubuh sedang, masih sangat muda dan tampan. Dikawani
oleh seorang yang sudah menginjak setengah umur. Namun
wajahnya menunjukkan kewibawaan yang tinggi. Namanya
Untara dan Widura" Macan Kepatihan mengerutkan keningnya. Kemudian ia
bertanya "Apakah yang mereka lakukan dipondokmu?"
"Apakah tuan-tuan kenal mereka?"
"Tentu" sahut Macan Kepatihan "Untara adalah senopati
laskar Pajang didaerah ini. Dikaki-kaki gunung Merapi.
Sedang paman Widura adalah pimpinan laskar Pajang di
Sangkal Putung" "Oh, jadi mereka adalah pemimpin-pemimpin tuan?"
Macan Kepatihan menggigit bibirnya. Adalah tidak senang
mendengar pertanyaan itu. Tetapi ia terpaksa menjawab "Ya,
apa yang mereka lakukan?"
"Pertama, mereka mencari beras seperti tuan, mereka telah
membawa sepuluh bakul beras. Apakah tuan tidak mendapat
bagian dari yang sepuluh bakul itu sehingga tuan terpaksa
mencari sendiri?" Tohpati terdiam sesaat. Tetapi kemudian jawabnya "Kau
benar-benar orang tua yang bodoh. Berapa ratus orang
Pajang yang berada di Sangkal Putung. Sepuluh bakul beras
hanya cukup untuk tiga hari, paling lama lima hari. Nah,
apakah yang akan kami makan besok, lusa dan seterusnya?"
"Dari desa-desa lain tuan akan dapat mengambil beras
pula. Tetapi itu tidak penting. Yang penting pemimpinpemimpin
tuan itu berkata kepadaku bahwa sebenarnya
mereka telah jemu bertempur"
"Tidak" sahut Macan Kepatihan.
"Apa yang tidak, tuan" Apakah tuan tidak bertanya bahwa
pemimpin-pemimpn tuan pernah berkata demikian" Atau
apakah tuan tidak percaya bahwa orang-orang Jipang juga
jenuh bertempur" Atau tuan tidak percaya bahwa setiap orang
sudah jemu melihat pertempuran" "Aku tidak percaya bahwa
pemimpin-pemimpin Pajang berkata demikian. Aku juga tidak
percaya bahwa orang-orang Jipang telah jemu bertempur
pula. Dan aku juga tidak percaya bahwa setiap orang sudah
jemu melihat pertempuran.
"Jadi jelasnya tuan tidak percaya kepadaku?"
"Bukan. Mungkin orang Pajang berkata kepadamu. Tetapi
mereka tidak berkata yang sebenarnya."
"Mereka berbohong" Apakah gunanya?"
"Orang-orang Jipangpun tidak pernah merasa jemu
bertempur. Mereka sedang memperjuangkan sebuah cita-cita.
Dan cita-cita itu akan mereka bawa mati."
"Cita-cita" Bertanya Ki Tanu Metir "apakah sebenarnya
cita-cita itu bagi orang Jipang" Apakah mereka akan
menghidupkan kembali dan meletakkan Arya Jipang yang
sudah gugur itu apabila mereka sudah berhasil" Tuan.
Apakah tuan tidak sependapat dengan pemimpin-pemimpin
tuan" Bahwa sebenarnya diantara mereka dan orang-orang
Jipang itu tidak terdapat soal-soal yang tidak perlu melibatkan
mereka dalam pertentangan yang berlarut-larut" Pemimpinpemimpin
tuan itu berkata, bahwa orang-orang Jipang yang
sekarang masih mengangkat senjata, sebenarnya hanyalah
orang-orang yang keras hati dalam kesetiakawanan mereka.
Kalau mereka setia pada cita-cita mereka semula, maka citacita
itu tidak akan dapat terlaksana. Apapun yang akan
mereka lakukan. Seandainya orang-orang Pajang akhirnya
dapat mereka tumpas, namun trah Sekar Seda Lepen, dasar
dari perjuangan Arya Penangsang telah punah. Tak ada orang
yang dapat menempatkan diri sebagai penerus cita-cita itu.
Tak ada orang yang dapat menamakan diri trah Sekar Seda
Lepen." "Tetapi itu adalah perjuangan menuntut keadilan. Siapakah
yang membunuh Sekar Seda Lepen" Kalau Sekar Seda
Lepen tidak terbunuh, apakah Arya Penangsang tidak akan
naik keatas tahta?" "Ya,ya. Pemimpin tuan juga mengatakan dasar tuntutan
orang-orang Jipang itu, sekarang tuan juga mengatakan.
"Oh" Tohpati mengusap kumisnya. Hampir-hampir ia lupa,
bahwa ia mengaku sebagai orang Sangkal Putung.
Tetapi tak seorangpun tahu pasti, apa yang terjadi dengan
Sekar Seda Lepen. "Terdengar Ki Tanu Metir meneruskan
"dan semua itu telah lampau. Kalau kita tenggelam dalam
urut-urutan dendam, kapan kita akan berhenti berkelahi
sesama kita?" Tohpati terdiam. Sesaat sambil mengurut-urut kumisnya
yang tebal melintang. Didalam hatinya timbullah berbagai
pertanyaan tentang orang tua yang mengaku berasal dari
padukuhan benda itu. Macan Kepatihan sama sekali tidak
dapat mengerti, kenapa orang-orang dari benda dapat
berkata-kata seperti yang diucapkan oleh orang tua itu.
"Mungkin orang-orang Widura, atau Widura sendiri pernah
berkata demikian seperti yang dikatakannya tadi." Berkata
Tohpati dalam hatinya. Kemudian suara didalam hatinya itu
berkata pula "Apakah benar-benar Widura dan Untara sudah
jemu bertempur?" Tohpati kemudian menggelengkan
kepalanya ketika didalam hatinya terbetik suatu pertanyaan
"Apakah orang-orang Jipang tidak jemu bertempur" Kapankah
pertempuran itu akan berakhir?"
"Tidak" kata-kata orang itu dibantahnya sendiri didalam
hatinya pula "Aku tidak akan pernah jemu bertempur.
Syukurlah kalau orang-orang Pajang telah menjadi jemu. Itu
adalah pertanda pertama bahwa mereka telah sampai ketepi
jurang kehancuran mereka."
Tetapi Tohpati itu terkejut ketika Ki Tanu Metir berkata pula
"Nah, Tuan. Kalau tuan tidak sedang mengejar-ngejar orang
Jipang, maka tuan akan dapat hidup didalam lingkungan
keluarga tuan. Didalam lingkungan anak istri tuan kalau tuan
sudah punya. Kalau tidak, maka ibu tuan dan ayah tuan tidak
akan selalu menunggu tuan diambang pintu halaman"
"Kami bukan laki-laki cengeng" sahut Tohpati "Setiap
perjuangan memerlukan pengorbanan. Kaupun harus
mengorbankan berasmu untuk perjuangan ini. Nanti siang aku
akan segera datang ke Benda untuk mengambil beras itu"
"Jangan tuan, jangan hari ini. Tuan pasti akan kecewa,
sebab perempuan-perempuan kami belum menumbuk padi.
Besok atau lusa baru tuan dapat datang mengambilnya"
"Aku perlu hari ini. Katakan kepada penduduk Benda,
bahwa laskar Pajang tidak dapat menunda kebutuhannya.
Siapa yang tidak tunduk kepada setiap perintah laskar Pajang,
maka ia akan dihabisi jiwanya. Kau dengar?"
"Huh, tuan menakut-nakuti kami. Laskar Jipangpun tidak
mengancam sekasar itu, tuan. Apakah tuan sedang bersenda
gurau?" Tohpati tersenyum didalam hati. Kalau ia dapat
memisahkan laskar Pajang dari kekuatan rakyat yang
mendukungnya, maka kekuatan Pajang pasti akan berkurang.
Setidak-tidaknya di Sangkal Putung. Karena itu, maka
jawabnya "Persetan dengan laskar Jipang. Apakah mereka
juga sering mengambil beras ke padukuhan Benda?"
"Ya tuan, kadang-kadang. Tetapi mereka tidak pernah
mengancam seperti tuan"
"Jipang ternyata sedang berusaha mendekatkan dirinya
kepada orang-orang padesan untuk mendapat dukungan.
Tetapi Pajanglah yang berkuasa atas kalian, sehingga kalian
tidak bebas membantah perintahnya"
Mata Agung Sedayu dan Swandaru yang sejak tadi duduk
mematung, tiba-tiba memancarkan kemarahannya yang
selama ini ditahan didalam hatinya. Mereka tidak dapat
mendengar fitnahan yang sedemikian tajamnya atas laskar
Pajang yang berada di Sangkal Putung. Tetapi sebelum
mereka berbuat sesuatu, maka dengan isyarat tangan yang
disembunyikan dibalik batu, Ki Tanu Metir telah mencegah
mereka berbuat sesuatu. Dalam pada itu, maka terdengar Ki Tanu Metir itu berkata
pula "Nah, itulah tuan. Kalau kalian, tuan-tuan tidak saling
bertentangan, maka tuan-tuan tidak perlu berebut pengaruh
atas rakyat padesan. Tuan-tuan dapat berbuat banyak untuk
orang-orang kecil seperti kami ini"
"Tidak mungkin. Mereka bertentangan kepentingan. Kami
orang-orang Pajang akan mempertahankan kemenangan
kami, meskipun kami tahu, bahwa tuntutan Arya Penangsang
itu adil" Mendengar kebohongan itu, hampir-hampir Swandaru dan
Agung Sedayu tidak dapat menguasai diri. Tetapi sekali lagi Ki
Tanu Metir memberinya isyarat.


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya, katakanlah bahwa tuntutan Arya Penangsang itu adil.
Tetapi garis keturunan yang sekarang memegang kekuasaan
atas Demak telah patah. Putra-putra Sultan Trenggana telah
hampir punah pula. Pangeran Prawata telah dibunuh oleh
Arya Penangsang. Sunan Hadiri dari Kalinyamat. Kemudian
yang terakhir tetapi gagal adalah Adipati Jipang. Katakanlah
bahwa Arya Penangsang sedang berjuang menuntu warisan.
Lalu, apakah Adipati Hadiwijaya di Pajang harus dengan rela
hati menyerahkan lehernya untuk dipancung" Sedang
Hadiwijaya itu sama sekali tidak tahu menahu tentang
terbunuhnya Sekar Seda Lepen. Bukankah Adipati Pajangpun
merasa, bahwa kini sedang memperjuangkan keadilan"
Nah tuan, selama keadilan itu dilihat dari sudut yang
berbeda-beda, maka keadilan itu sendiri tidak akan dapat
serupa bentuknya. Karena itu maka yang paling baik adalah
apa yang dikatakan pemimpin tuan. Menjemukan.
Pertentangan yang berlarut-larut adalah menjemukan sekali.
Pertentangan itu tidak akan dapat memberikan apa-apa
kepada kami. Kepada orang-orang kecil. Bahkan hanya akan
menguras lumbung-lumbung kami. Beras-beras kami dan
hidup kami akan menjadi semakin kering. Tetapi kalau tuan
tidak saling bertentangan menimbang dendam dihati, maka
kami akan dapat bekerja dengan baik, dengan tenang, dengan
tentram. Dan tuan-tuan yang bijaksana akan dapat menuntun
kami, tidak dalam olah senjata, tidak dalam bermain pedang
dan tombak, tetapi dalam olah tetanen dan kebutuhan kami
sehari-hari" Macan Kepatihan terdiam pula sesaat. Kata-kata itu benarbenar
menyentuh sudut hatinya. Tetapi tiba-tiba terdengar
orang yang berdiri disampingnya, Sanakeling, tertawa
terbahak-bahak. Katanya "He pak tua. Darimana kau dengar
uraian yang melingkar-lingkar itu?"
Ki Tanu Metir memandang orang yang berdiri disamping
Macan Kepatihan itu. Kemudian jawabnya "Sebagian aku
dengar dari pemimpin-pemimpin tuan sendiri. Dari orang yang
bernama Widura dan yang lain bernama Untara"
Sekali lagi Macan Kepatihan mengerutkan keningnya.
Kalau Widura dan Untara berpendirian demikian, maka
apakah sebenarnya yang telah mendorong mereka, orangorang
Pajang dan orang-orang Jipang saling berbunuhan"
Namun kembali Sanakeling berkata "Mungkin pemimpinpemimpin
kami sedang berputus asa karena mereka tidak
segera berhasil menguasai keadaan disini, begitu?"
Swandaru dan Agung Sedayu menjadi benar-benar muak
mendengar percakapan itu. Mereka menjadi heran, kenapa Ki
Tanu Metir masih juga telaten berbicara dengan Macan
Kepatihan. Apalagi orang yang berdiri disampingnya itu.
Yang paling sukar untuk mengendalikan dirinya adalah
Swandaru. Hampir-hampir ia berteriak memaki-maki.
Untunglah bahwa Agung Sedayu yang agaknya lebih tenang
menggamitnya. Agung Sedayu yang sejak masa anakanaknya
kelalu menghindari bentrokan-bentrokan, ternyata
berpengaruh juga sampai saat ini. Meskipun alasannya telah
berbeda. Dahulu Agung Sedayu menghindari setiap bentrokan
dengan siapapun juga karena ia takut mengalami. Tetapi
sekarang, ia menghindari bentrokan karena pertimbangan lain.
Kali ini gurunya tidak mengijinkannya. Kebiasaannya untuk
menghindari setiap pertentangan pada masa kecilnya ternyata
membantu memperliat hatinya, menambah kesabarannya.
Karena ini, apalagi disamping gurunya, ia sama sekali tidak
takut bertempur dengan beberapa orang yang berada diatas
tebing. Namun gurunya mengisyaratkan kepadanya untuk
tetap tenang dan menghindari betrokan. Meskipun Agung
Sedayu tidak tahu benar alasan gurunya, namun ia
mematuhinya. Ki Tanu Metir yang mendengar kata-kata orang yang berdiri
disamping Macan Kepatihan menjadi seakan-akan terkejut.
Kemudian sambil mengangkat kepalanya ia bertanya "Apakah
pemimpin-pemimpin kalian benar-benar berputus asa?"
"Tentu" sahut Sanakeling "Kalau tidak, maka ia pasti tidak
akan mengigau seperti itu. Perang adalah kewajiban seorang
prajurit. Jadi apabila ada seorang prajurit yang tidak mau
berperang, maka ia adalah seorang prajurit yang tak bernilai"
"Oh, jadi apabila keadaan Pajang dan Jipang telah menjadi
baik kembali, maka apakah Adipati Pajang akan memecat
semua prajuritnya?" "Ah, orang tua yang bodoh. Tentu tidak. Negara yang tidak
mempunyai prajurit maka negara itu akan tidak berarti. Setiap
saat lawan mereka akan dengan senang hati merampok
segala miliknya" "Oh, jadi apabila peperangan yang satu sudah selesai,
maka setiap negara perlu membuat persoalan dengan negara
lain?" He, kenapa?" "Prajurit dan perang adalah satu, menurut tuan yang
disamping itu" Macan Kepatihan tertawa. Sanakeling akhirnya tertawa
juga. "Alangkah bodohnya pertanyaan itu" gumam Sanakeling.
Tetapi Macan Kepatihan menggelengkan kepalanya.
Gumamnya "Tidak. Pertanyaan itu bukan pertanyaan yang
bodoh. Ia telah mengambil kesimpulan yang tepat dari katakatamu
sendiri" "Tetapi maksudku bukan begitu kakang. Maksudku, setiap
prajurit harus bersedia berperang, tidak boleh jemu"
"Jelaskan kepada orang tua itu, jangan kepadaku" potong
Macan Kepatihan. "Oh" Sanakeling mengerutkan keningnya. Dipandangnya
orang tua yang duduk diatas batu dibawah. Kakinya berjuntai
terendam didalam arus sungai yang tidak sedemikian keras.
Tiba-tiba wajah Sanakeling menjadi tegang. Dan dengan
bersungguh-sungguh ia berkata "Marilah kita tinggalkan orang
tua gila itu" Sanakeling tidak menunggu jawaban Macan Kepatihan.
Segera ia memutar tubuhnya dan berjalan menjauhi tebing
sungai itu bersama beberapa orang yang lain. Namun ketika
Macan Kepatihan akan beranjak pergi, maka Ki Tanu Metir itu
memanggilnya "Tuan" katanya "Tunggulah sebentar"
Macan Kepatihan berhenti. Ditatapnya wajah Ki Tanu Metir
yang kedinginan. Katanya "Ada apa kakek?"
"Tuan, apakah nanti tuan akan datang kepadukuhan kami"
"Tentu. Prajurit Pajang tidak dapat menunggu lebih dari
saat yang telah ditentukannya sendiri. orang yang mencoba
menghambat perintahnya, maka ia akan dibinasakan"
"Tuan" berkata Ki Tanu Metir "Berapa tahun peperangan ini
akan berakhir?" "Kenapa?" "Aku ingin menghitung umurku dengan kemungkinankemungkinan
yang bakal erjadi, tuan. Kalau peperangan ini
masih akan berlangsung lama maka aku akan melihat
padukuhanku benar-benar menjadi kering, dan anak cucuku
pasti akan mati kelaparan. Sebab beras-beras kami akan
selalu mengalir keluar padukuhan kami. Sekali harus kami
serahkan kepada tuan. Kepada laskar Pajang. Sekali yang lain
kepada laskar Jipang"
"Kenapa kau beri juga beras kepada orang-orang Jipang?"
"Mereka datang dengan senjata ditangan tuan. Apakah
yang dapat kami lakukan" Baik orang Pajang maupun orang
Jipang. Dan sebenarnyalah pemimpin-pemimpin tuan menjadi
jemu berperang. Apakah tuah tidak" Seorang prajurit Pajang
pernah berkata kepadaku, bahwa ketika ia berangkat
kemedan perang, anaknya baru berumur tiga hari. Anak yang
lahir dari istrinya tercinta, setelah mereka hampir sepuluh
tahun kawin. Prajurit itu berkata "Kalau aku pulang nanti,
anakku pasti sudah besar. Tetapi ia pasti takut melihat
wajahku yang setiap hari menjadi semakin buas karena bau
darah". Tuan, benarkah demikian" Apakah prajurit yang selalu
berada dipeperangan menjadi buas, eh, maksudku keras?"
Tohpati melangkah kembali ketebing sungai itu. Ia tertarik
mendengar kata-kata Ki Tanu Metir. Pertanyaan yang
didengarnya itu benar-benar telah menyentuh hatinya. Dan
tanpa setahunya ia menganggukkan kepalanya "Ya. Mungkin
prajurit itu benar. Setiap hari seorang prajurit dihadapkan pada
saat-saat yang tegang dan melihat kekerasan"
"Apakah tuan tidak berpendapat bahwa ketegangan dan
kekerasan itu sebaiknya berakhir?"
Tohpati tiba-tiba mengerutkan keningnya. Dan dengan
serta-merta ia melangkah surut. Ia tidak mau mendengarkan
pertanyaan-pertanyaan orang tua itu mebih banyak lagi.
Pertanyaan-pertanyaan yang mengetuk dinding hatinya.
Dinding hati seorang manusia yang kebetulan menjadi
seorang prajurit. Seorang manusia yang kebetulan memiliki
senjata ditangannya dan sedang memperjuangkan kehendak
dan cita-cita dengan senjata itu. Bahkan mencoba
memaksakan kehendak itu kepada orang lain dengan tajam
senjatanya, baik atau tidak baik menurut penilaian orang lain.
Tohpati kini tidak mau mendengarkan lagi Ki Tanu Metir
memanggilnya. Cepat ia berputar dan melangkah pergi
meninggalkan orang tua yang duduk berjuntai diatas batu.
Beberapa langkah daripadanya berdiri Sanakeling bertolak
pinggang. Disampingnya dua orang kawannya sedang
mengais-ngais tanah dengan ujung pedangnnya.
"Kenapa orang tua gila itu masih saja dilayani" gumam
Sanakeling. Macan Kepatihan tidak menjawab. Ia berpaling sejenak,
namun ia berjalan terus sambil menundukkan wajahnya.
Sanakelingpun kemudian berjalan pula dibelakangnya
bersama kedua orang yang berdiri disampingnya. dikejauhan
tiga orang berjalan mendekati mereka dan berjalan dalam
rombongan itu pula. Dan mereka masih mendapat kawan
seorang lagi. Seorang anak muda yang bermata tajam,
setajam mata burung alap-alap. Mereka adalah orang-orang
yang harus mengawasi keadaan selama Tohpati berhenti
ditepi sungai. Untunglah bahwa Alap-alap Jalatunda tidak turut
menjenguk kedalam sungai itu. Apabila demikian, maka ia
pasti tidak akan melupakan Agung Sedayu.
Sepeninggal Macan Kepatihan, Swandaru tidak sabar lagi,
sehingga dengan serta-merta ia bertanya "Kiai, Tohpati itu
ternyata telah datang kehadapan Kiai. Kenapa orang itu tidak
saja Kiai tangkap" Tidakkah dengan demikian maka
pertempuran yang Kiai katakan menjemukan itu akan segera
berakhir?" "Tidak mungkin ngger. Apakah kita bertiga akan mampu
menangkapnya?" "Kenapa tidak" Bukankah mereka hanya berempat atau
lima orang" Kiai sendiri pasti akan mampu melakukannya"
*** "Mungkin aku mampu mengalahkan lima orang itu. Tetapi
bagaimana dengan kalian" Lihatlah, apakah mereka benarbenar
hanya berlima?" "Bukankah aku masih dapat menghitung demikian baik?"
sahut Swandaru dengan nada tinggi.
"Belum tentu. Coba, tengoklah sekarang"
Swandaru menjadi ingin membuktikan kebenaran kata-kata
Ki Tanu Metir. Karena itu segera ia meloncat berlari ketebing.
Dengan tergesa-gesa ia mendaki tebing, dan dengan hati-hati
ia mencoba mengintip Macan Kepatihan yang sudah berjalan
agak jauh. Ketika dilihatnya rombongan itu, Swandaru menarik
nafas dalam-dalam. Ternyata Ki Tanu Metir benar. Mereka
tidak hanya berlima atau berenam. Tetapi sekarang
rombongan itu menjadi tidak kurang dari sepuluh orang.
Bahkan disudut-sudut desa dikejauhan masih mungkin pula
berdiri orang-orangnya yang sedang mengawasi keadaan
disekitarnya. Perlahan-lahan Swandaru meluncur turun. Dengan
mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata "Ya, Kiai benar.
Mereka sudah bersepuluh sekarang. Mungkin masih akan
tambah lagi" "Nah, karena itu, maka sebaiknya kalian tidak tergesa-gesa
menentukan sikap apabila kalian menghadapi sesuatu.
Cobalah membuat perhitungan-perhitungan yang cermat, baru
kalian menentukan sikap. Tetapi itu tidak berarti bahwa kalian
harus membuang-buang waktu untuk itu. Kalian perlu berpikir
cepat dan tepat" Agung Sedayu dan Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya mereka. Tetapi dalam pada itu Agung Sedayu
bertanya pula "Tetapi Kiai, bukankah yang mereka katakan itu
bohong belaka" Apakah benar bahwa orang-orang Pajang
dan Sangkal Putung selalu berbuat sedemikian kasarnya
terhadap penduduk?" "Tentu tidak ngger"
"Tetapi orang-orang itu mengatakannya. Mereka berpurapura
menjadi orang Pajang. Dan berbuat hal-hal yang jelek
atas penduduk" Ki Tanu Metir tersenyum. "Namun dengan demikian
bukankah kita dapat mengetahuinya, salah sebuah cara yang
mereka tempuh" Mereka ternyata tidak saja berperang
dengan pedang dan tombak, namun mereka mempergunakan
cara-cara yang licik untuk mengurangi kekuatan prajurit
Pajang dan laskar Sangkal Putung dengan memisahkan
mereka dari penduduk disekitarnya. Dan pengetahuan kita
atas cara itu adalah sangat penting. Angger Untara dan
angger Widura harus segera mengetahuinya pula"
Kembali Agung Sedayu dan Swandaru menganggukanggukkan
kepala mereka. Dan sekali lagi mereka menyadari
kekurangan mereka. Ternyata orang tua itu telah berbuat
menurut pertimbangan yang semasak-masaknya.
Dalam pada itu maka Ki Tanu Metir itu berkata pula "Nah
ngger, untuk menghindari kemungkinan-kemungkinan yang
kurang baik, maka marilah kita meninggalkan tempat ini
segera. Aku tidak dapat memastikan apakah mereka akan
kembali atau tidak. Namun apabila mereka kemudian
berbicara diantara mereka, dan diketemukannya persoalanpersoalan
yang mereka anggap kurang wajar, maka mereka
pasti akan segera kembali. Karena itu, maka marilah kita
segera menyingkir" Swandaru dan Agung Sedayu mengangguk dan hampir
bersamaan mereka menjawab "Marilah Kiai"
Ki Tanu Metir itupun kemudian berdiri. Dan segera kembali
ia meloncat dari satu batu kebatu yang lain. Namun kali ini ia
berkata "Kalian tidak perlu menginjak batu bekas kakiku.


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pilihlah sendiri batu-batu mana yang mungkin kalian loncati.
Namun kalian dapat melihat, bagaimana caraku meloncat.
Cara inipun nanti akan sangat berguna bagi kalian dalam
langkah-langkah unsur-unsur gerak yang akan kalian pelajari"
Swandaru menarik nafas panjang. Ia tidak perlu lagi jatuh
terguling kedalam air. Kini ia dapat memilih batu-batu yang
tidak sesulit langkah Ki Tanu Metir. Namun meskipun
demikian sekali-sekali ia masih juga harus terjun kedalam air,
meskipun tidak terpelanting jatuh.
Ternyata Agung Sedayu lebih lincah dari Swandaru.
Kecakapannya dan bekalnya masih agak lebih banyak dari
saudara seperguruannya yang gemuk bulat itu. Bahkan dalam
olah senjatapun Agung Sedayu terpaut cukup jauh dari
Swandaru. Dan inilah kesulitan Ki Tanu Metir. Namun ia
adalah orang yang berpengalaman, sehingga kesulitan itupun
pasti akan dapat diatasinya.
Ketika mereka mendekati padukuhan Sangkal Putung, dan
ketika mereka sudah sampai disekitar tanah persawahan yang
sedang digarap, maka merekapun segera berhenti. Mereka
kemudian berjalan sebagaimana biasa menyelusur tepian
memasuki padukuhan Sangkal Putung.
Tetapi ketika seseorang melihat mereka, maka tiba-tiba
orang itu tertawa terkekeh-kekeh. Mereka segera mengenal
Swandaru dan Agung Sedayu. Tetapi bahwa mereka basah
kuyup adalah sangat menggelikan. "Anakmas Swandaru,
kenapa kau menjadi basah kuyup?"
Swandaru tersenyum lucu sekali. Dengan singkat ia
menjawab "Mandi"
"Apakah kalian mandi dengan seluruh pakaian kalian"
Dengan ikat kepala kaian dan kamus timang segala?"
"Ya" "Tanpa membuka baju dan kain panjang?"
"Aku tejatuh, tahu" potong Swandaru.
"Bertiga?" "Ya, bertiga. Kami berjatuhan kedalam sungai"
Orang itu tertawa berkepanjangan. Namun Swandaru tidak
memperdulikannya lagi. Mereka bersama berjalan tergesagesa
lewat pinggir kali, kemudian menyusuri parit sidatan yang
akan sampai dibelakang rumah Swandaru Geni.
Ketika mereka naik pinggiran susukan itu, maka Swandaru
itupun mengumpat-umpat. Regol belakang ternyata ditutup
rapat-rapat. Dengan jengkelnya Swandaru memukul-mukul
pintu regol itu. Namun tidak seorangpun yang mendengarnya.
"Gila orang-orang Sangkal Putung" desahnya.
"Marilah kita lewat jalan samping" ajak Agung Sedayu.
"Tidak mau" jawab Swandaru "Pakaian kita basah kuyup.
Mereka, seisi halaman pasti akan mentertawakan kita"
"Lalu bagaimana?"
Swandaru berpikir sejenak. Lalu tiba-tiba ia berjalan
mendekati sebatang pohon randu diluar regol halamannya.
Lewat pohon itu ia memanjat keatas. Kemudian dengan susah
payah ia mencoba menggapai dinding halaman. namun
ternyata ia tidak berhasil.
"Bagaimana?" bertanya Agung Sedayu.
Swandaru menggeleng "Sulit" desahnya.
"Turunlah, biar aku mencobanya" berkata Agung Sedayu.
"Huh. Sejak kecil aku sudah pandai memanjat. Kali ini aku
tidak dapat meloncati jarak ini. Apakah kau pikir kau lebih
pandai daripadaku?" "Aku hanya akan mencoba" jawab Agung Sedayu.
Swandaru itupun kemudian meloncat turun. Kini Agung
Sedayulah yang mencobanya. Namun iapun tidak juga
berhasil. Ki Tanu Metir yang melihat mereka berdua sibuk
dengan pohon randu itu tersenyum. Kemudian katanya
"Turunlah ngger. Biarlah aku mencoba pula"
Agung Sedayupun turun pula dari pohon itu. Namun
mereka berdua, Agung Sedayu dan Swandaru menjadi heran
pula didalam hatinya, apakah Ki Tanu Metir juga cekatan
memanjat Namun ternyata orang tua itupun masih sangat lincahnya.
Dengan cepat ia melonjak naik, seperti seekor tupai. Jauh
lebih cepat dari Swandaru dan Agung Sedayu. Tetapi Ki Tanu
Metir itu tidak berhenti ketika ia telah mencapai ketinggian
yang sejajar dengan dinding halaman. Ia masih naik lagi
beberapa depa. Kemudian dengan lincahnya orang tua itu
berjejak pada batang randu itu dan melenting hinggap diatas
dinding halaman yang cukup tinggi itu.
Sekali lagi Swandaru harus melihat bahwa kelincahan
orang tua itu benar-benar mengagumkan. Bahwa tidak saja
kekuatan tubuhlah yang menentukan segala-galanya. Namun
kecekatan dan kelincahan akan banyak dapat membantu
dalam segala persoalan jasmaniah.
Ki Tanu Metir itupun kemudian meloncat dan menghilang
dibelakang dinding, sedang sesaat kemudian regol dinding
itupun terbuka "Masuklah" berkata orang tua itu.
Swandaru dan Agung Sedayu segera melangkah masuk.
Meskipun mereka tidak berkata apapun, namun didalam
kepala Swandaru semakin tajamlah pengakuannya atas
seorang yang menamakan diri Ki Tanu Metir itu. Bahwa apa
yang telah diperlihatkan kepadanya barulah sebagian kecil
dari segenap ilmunya. Dan karena itulah maka ia menjadi
semakin mantap berguru kepadanya.
Jauh dari padukuhan Sangkal Putung, Tohpati berjalan
sambil menundukkan wajahnya. rombongannya semakin lama
menjadi semakin banyak, sehingga akhirnya sampai pada
duapuluh orang. Tidak banyak diantara mereka yang
bercakap-cakap. Sekali dua kali terdengar ada yang berbisikbisik
diantara mereka. Namun kemudian kembali mereka
berdiam diri. Dalam perjalanan itu, hati Tohpati selalu diganggu seja oleh
pertanyaan-pertanyaan yang didengarnya dari Ki Tanu Metir
"Ya" gumamnya didalam hati "Berapa tahun pertempuran ini
akan berakhir?" Tohpati itupun kemudian berpaling. Dilihatnya beberapa
wajah anak buahnya yang kosong. Kosong seperti otak
mereka yang kosong pula. "Apakah kepentingan mereka bertempur?" desis Tohpati
didalam hatinya "Apakah mereka tahu juga, bahwa kami
sedang melepaskan dendam kami atasa gugurnya Adipati
Jipang?" Tohpati itupun terkejut sendiri mendengar kata-kata hatinya
"Dendam. Ya. Ternyata mereka kini tinggal mencoba untuk
melepaskan dendam semata-mata. Seperti kata-kata orang
tua ditengah-tengah sungai itu. Sebab mereka sudah pasti
tidak akan dapat mencapai apa yang sejak semula mereka
perjuangkan mati-matian. Kembalinya tahta pada garis
keturunan Sekar Seda Lepen yang terbunuh sebelum sempat
duduk diatas singgasana. Macan Kepatihan itu berdesah didalam hatinya. Apakah
sudah sewajarnya kalau ia membawa orang-orang yang tidak
tahu-menahu itu kedalam suatu peperangan yang tak akan
kunjung habis. Sedang ia tahu pasti bahwa akhir dari
perjuangan ini bukanlah suatu yang dapat dibanggabanggakan.
Bagi dirinya sendiri, sudah pasti tidak ada jalan
kembali. Namun bagi orang-orangnya yang tidak banyak
mengetahui tentang Arya Penangsang dan tuntutantuntutannya"
Tiba-tiba Macan Kepatihan itu mengumpat "Setan. Orang
tua itu bukan orang yang tolol"
Sanakeling terkejut. Selangkah ia menyusul maju dan
bertanya "Kenapa?"
Macan Kepatihan menggeram dengan marahnya.
Langkahnya tiba-tiba terhenti dan dengan kepala tengadah ia
mengulangi kata-katanya "Orang tua ditengah sungai itu
benar-benar bukan orang bodoh"Sanakeling mengangkat
alisnya. Kata-kata Tohpati itu mengherankannya. Apakah
yang sebenarnya menarik pada orang tua itu" Tohpati telah
memberi kesan kepada orang tua itu seolah-olah orang
Pajanglah yang selalu datang kepadesannya dan merampas
beras. Bukankah itu sudah memberikan suatu keuntungan.
Kalau orang tua itu menyebarluaskan kata-kata Tohpati, maka
mereka, penduduk Benda pasti akan membenci laskar Pajang
dan setidak-tidaknya akan mengurangi bantuan mereka
kepada orang-orang Pajang. Sehingga orang-orang Benda
tidak lagi akan memberikan banyak keterangan tentang
gerakan-gerakan Tohpati yang dapat mereka lihat dan mereka
ketahui. Tetapi Sanakeling itu menjadi semakin terkejut ketika
Tohpati berkata "Ternyata kitalah yang bodoh. Bukan orang
tua itu" "Siapakah orang tua itu menurut dugaanmu?" bertanya
Sanakeling. Macan Kepatihan menggeleng "Aku tidak tahu. Tetapi
orang itu memberikan suatu kesan yang aneh didalam hatiku.
Ia bukan tidak sengaja mengajukan berbagai pertanyaan dan
pasti bukanlah kebetulan kalau mereka berada ditempat itu
disiang hari begini"
Sanakeling tidak bertanya lagi. Namun ia benar-benar
heran ketika ia melihat mata Tohpati kemudian menjadi
suram. "Apakah kita akan kembali lagi kesungi itu untuk
meyakinkan diri?" Tohpati menggeleng "Tidak ada gunanya. Mereka pasti
telah pergi. Mereka pasti bukan orang-orang Benda. Dan
anak-anak muda itu pasti bukan cucunya. Aku terpengaruh
melihat mereka basah kuyup, sehingga aku kehilangan
kewaspadaan dalam mengamati mereka. Sekarang aku baru
membayangkan kembali kedua anak muda itu. Matanya
bersinar tajam. Mulutnya terkatub rapat. Namun mereka duduk
dengan suatu kepastian didalam hati mereka. Mereka duduk
terlalu tenang dan mereka sama sekali tidak keheranan
melihat kita. Yang bertubuh kecil agaknya seorang anak muda
yang tenang dan menyimpan sesuatu didalam tubuhnya,
sedang yang gemuk rasa-rasanya aku pernah melihatnya"
"Dimana?" Macan Kepatihan berpikir sejenak. Dicobanya untuk
mengingat-ingat kapan ia melihat anak muda itu. Tetapi anak
muda itu basah kuyup seluruh pakaiannya, sehingga
memberikan kesan, seakan-akan anak itu benar-benar
seorang anak padesan yang bodoh. Namun setelah Tohpati
dengan segenap daya ingatnya mencoba mengenalnya, maka
tiba-tiba Macan Kepatihan itu berteriak "Gila!. Kita tidak saja
bodoh, tetapi kita sudah benar-benar gila, Sanakeling. Apakah
kaut tidak mempunyai mata lagi he?"
Sanakeling menjadi bertambah heran "Apa yang telah kau
lihat?" "Anak itu. Anak yang gemuk itu. Bukankah anak itu pernah
turut dalam lomba memanah dilapangan dekat banjar desa
Sangkal Putung" Bukankah anak itu yang menjadi pemenang
diantara anak-anak muda Sangkal Putung?"
Sanakeling mengerutkan keningnya sambil menggigit
bibirnya. Akhirnya iapun tersentak sambil berkata "Ya, ya. Aku
melihat pula waktu itu. Aku memang melihat anak yang gemuk
seperti anak muda yang basah kuyup seperti tikus sawah itu
tadi" "Hem" Tohpati menggeram, namun kemudian ia berkata
"Biarlah mereka kembali dengan suatu pengertian, bahwa
Tohpati tidak saja mampu bertempur dengan senjata. Tetapi
Tohpati juga berbuat hal-hal yang lain, yang dapat
mempersempit gerakan orang Pajang"
"Tetapi mereka kini mengetahui cara itu. Anak itu pasti
akan menyampaikannya kepada Widura atau Untara yang
sekarang sudah berada di Sangkal Putung pula"
"Ya. Tetapi Untara akan melihat pula bahwa luka-luka
Tohpati yang ditimbulkannya kini telah sembuh benar-benar.
Tohpati telah menjadi segar kembali. Dan sebentar lagi
Tohpati akan mampu menggulung Sangkal Putung"
Sanakeling mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya
"Marilah kita kembali. Kita lihat, apakah mereka masih berada
ditempat itu" Tohpati menggeleng, katanya "Mereka bukan orang-orang
bodoh seperti kita. Mereka pasti tahu siapa kita. Karena itu
mereka pasti sudah pergi"
Sanakeling tidak menjawab. dilihatnya betapa Tohpati
menjadi sangat kecewa karenanya. Tetapi Sanakeling tidak
melihat bahwa hati Macan Kepatihan yang tak pernah dapat
digoncangkan itu kini sedang ragu-ragu. Diragukannya kataTiraikasih
website - http://kangzusi.com/
katanya sendiri "Apakah ia benar-benar mampu menggulung
Sangkal Putung?" Dan kembali beberapa pertanyaan telah
menggoncangkannya pula. Pertanyaan yang menggores
dinding hatinya "Apakah sebenarnya yang akan aku dapatkan
dengan menduduki Sangkal Putung" Makan. Itu saja?"
Pertanyaan itu tak pernah mengganggunya sebelum ia
bertemu dengan orang tua di tengah-tengah sungai itu.
Pertanyaan itu bahkan tidak pernah ada. Namun kini
pertanyaan itu sangat mengganggu ketenangannya. Bahkan
kemudian pertanyaan-pertanyaan yang lain bermunculan pula
didalam benaknya. Pertanyaan-pertanyaan yang dapat
menyulitkannya. Apakah ia untuk seterusnya akan dapat
menduduki Sangkal Putung apabila berhasil direbutnya"
"Tidak" pertanyaan itu dijawabnya sendiri. "Widura dan Untara
akan mengerahkan pasukan yang kuat untuk merebut Sangkal
Putung. Merampas kembali kademangan itu. Meskipun aku
telah mendapatkan beberapa pikul padi dan kekayaankekayaan
yang lain tetapi beberapa bulan kemudian, maka
kami akan kelaparan lagi. Dan pasukan Untara akan diperkuat
pula. Sedang apabila kami tetap bertahan dikademangan itu,
apakah yang akan kami lakukan kemudian" Menjadi Adipati"
Mewarisi cita-cita Arya Penangsang?"
"Menjemukan" desisnya tiba-tiba. Sanakeling terkejut
mendengar kata-kata itu sehingga dengan serta-merta ia
bertanya "Apa yang menjemukan?"
Tetapi Macan Kepatihan sendiri bukan main terkejutnya
mendengar kata-kata itu. Kata-katanya sendiri.
Sehingga karena itu maka Macan Kepatihan itu menjadi
gelisah. Apalagi ketika Sanakeling mendesaknya "Apakah
yang menjemukan he?"
Tohpati menjawab sekenanya "Widura dan Untara. Mereka
benar-benar menjemukan. Karena itu mereka harus segera


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dilenyapkan. Ayo, kita kembali. Malam ini Sangkal Putung kita
bakar sampai habis. Persetan dengan segala lumbunglumbungnya
dan persetan dengan segala macam isinya"
Sanakeling mengerutkan keningnya. Dilihatnya wajah
Macan Kepatihan menjadi merah membara. Namun demikian
ia menjawab "Bagaimana mungkin. Sebagian orang-orang kita
tidak ada ditempat. Mereka sedang mencoba mengambil
perbekalan keutara" "Aku tidak peduli"
"Masih harus dipertimbangkan" sahut Sanakeling. "Aku
tidak mau membunuh diri"
"Terserah kepadamu. Aku akan pergi malam ini"
"Jangan kehilangan perhitungan"
Tohpati tersadar dari kebingungannya. Ketika dilihatnya
Sanakeling penuh kebimbangan, maka berkatalah Macan
Kepatihan itu kemudian "Kau tidak sependapat?"
"Berbahaya sekali"
"Kapan orang-orang yang pergi itu akan datang kembali?"
"Tiga empat hari. Mereka akan membawa sisa-sisa laskar
kita yang betembaran disisi utara Pajang. Kekuatan itu akan
dipusatkan disini. Bukankah begitu kehendakmu" Nanti
apabila kau telah berhasil disini, maka kau akan membawa
seluruh barisan keutara dan melepaskan beberapa
kepentingan diselatan. Kalau keadaan diutara menjadi lebih
baik, kau akan bertempur dan memulai perjuangan seterusnya
dengan landasan daerah utara. Bukankah begitu?"
Tohpati mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan
bimbangnya ia berkata "Ya. Aku pernah berkata demikian"
"Nah, karena itu, apakah kau akan menunggu orang-orang
yang pergi itu?" "Ya, aku akan menunggu dalam waktu yang pendek.
Setelah itu, aku tidak akan dapat menunda lagi. Sejak kini
seluruh pasukan harus disiapkan"
"Bagus. Kita harus menebus kekalahan yang pernah
terjadi, bukan untuk mengulangi kesalahan itu"
"Ya, kau benar. Mari kita kembali"
Tohpati tidak menunggu jawaban Sanakeling. Dengan
tergesa-gesa ia melangkah kembali
kesarangnya. Sanakeling berjalan dibelakangnya bersamasama
dengan Alap-alap Jalatunda. Dengan berbisik-bisik alapalap
muda itu bertanya "Kenapa dengan Macan Kepatihan
itu?" Sanakeling menggeleng. Entahlah. Mungkin orang tua
ditengah-tengah kali yang dijumpainya tadi membiusnya. Ia
tampak bingung dan hampir-hampir kehilangan
keseimbangan" "Tetapi bukankah ia masih mendengarkan nasehat
kakang?" "Untunglah demikian. Kalau tidak, maka ia akan membunuh
dirinya" Alap-alap Jalatunda tidak menjawab. Ia berjalan saja
disamping Sanakeling. Didalam hatinya ia bergumam
"Untunglah, Tohpati mendengarkan nasehatnya. Kalau tidak,
maka laskarnya akan menjadi semakin tercerai berai"
Tetapi orang-orang itu ternyata tidak tahu kalau Untara
terluka. Sehingga dengan demikian maka mereka tidak
mempergunakan kesempatan itu untuk menghancurkan
Sangkal Putung meskipun Widura masih ada. Seandainya
Tohpati tahu, maka ia akan mempergunakan saat itu sebaik.
Dan bahkan Sanakeling dan Alap-alap Jalatunda pasti akan
menyetujuinya. Mereka pasti tidak akan memperhitungkan
hadirnya seorang dukun tua yang pasti akan menggemparkan
mereka, seandainya ia mau berbuat sesuatu didalam
pertempuran yang terjadi Karena itulah maka kini Macan Kepatihan benar-benar
telah kehilangan pengertian dan gambaran tentang kekuatan
yang sebenarnya ada di Sangkal Putung. Anak-anak muda
yan semakin hari tekadnya semakin menyala dan berlatih
dengan tak mengenal lelah. Orang-orang tuapun tidak juga
mau ketinggalan. Meskipun Sidanti meninggalkan Sangkal
Putung, namun Agung Sedayu telah siap menggantikannya
dalam setiap persoalan. Anak muda itu ternyata tidak kalah
dari Sidanti dalam segenap hal. Apabila ia telah memiliki
pengalaman seperti Sidanti, maka Agung Sedayu benar-benar
tidak akan mengecewakan. Demikianlah ketika Macan Kepatihan menyiapkan kembali
sebuah serbuan yang akan dilancarkan atas Sangkal Putung,
maka Sangkal Putungpun sedang giat menempa dirinya.
Sementara itu Swandaru dan Agung Sedayu telah dengan
tekun menuruti nasehat-nasehat Ki Tanu Metir. Mereka kini
tidak lagi berlatih disungai. Tetapi mempergunakan ruangruang
tertutup dibelakang kademangan, atau ditempat lain
yang telah disediakan oleh Ki Demang Sangkal Putung.
Apabila malam datang, maka pergilah mereka berjalan-jalan
bersama dengan Widura dan kadang-kadang Untara ke
gunung Gowok. Ditempat itulah Swandaru dan Agung Sedayu
bekerja keras untuk membentuk dirinya. Namun sebagian
perhatian Ki Tanu Metir dititi-beratkan pada Swandaru. Anak
yang gemuk itu harus mencapai tingkatan yang tidak begitu
jauh dari Agung Sedayu. Barulah mereka dapat bersamasama
menerima pimpinan dan bimbingan yang serupa.
Semakin hati luka Untarapun menjadi semakin ringan.
Bahkan kini luka itu telah tidak mengganggunya lagi. Karena
obat-obat reramuan yang dibuat oleh Ki Tanu Metir dan
diminumnya setiap hari, maka kesehatannyapun telah benarbenar
pulih. Kekuatan tenaganya, ketangkasannya, sehingga
Untara telah benar-benar siap untuk melakukan tugasnya
kembali. Dihari-hari terakhir, Untara telah mendengar pula dari
orang-orangnya bahwa kegiatan Tohpati telah ditingkatkan.
Tohpati telah melakukan kegiatan yang melampaui kebiasaan.
Tetapi setelah lewat tiga hari dari peristiwa dipinggir kali itu,
Tohpati ternyata belum melakukan sergapannya. Namun
dengan demikian, berarti kepada Tohpati telah menjadi dingin
kembali, dan persiapannya akan menjadi lebih masak.
Sebenarnyalah Tohpati kemudian menjadi lebih tenang. Ia
tidak lagi berbuat tergesa-gesa. Bahkan dua kali ia telah
menunda rencananya untuk menyerang Sangkal Putung.
Sanakeling, Alap-alap Jalatunda, dan orang-orangnya
semula menganggap bahwa Macan Kepatihan merasa
persiapannya masih belum cukup masak. Namun setelah
Macan Kepatihan menunda rencananya sampai dua kali,
maka mereka terpaksa menduga-duga. Apakah yang
sebenarnya telah terjadi pada pemimpin laskar Jipang yang
gigih itu. Tetapi tak seorangpun yang tahu, apakah yang telah
bergolak didalam dada Tohpati. Seorang senapati yang tidak
pernah ragu-ragu dalam mengambil setiap keputusan.
Seorang pemimpin yang mempunyai perbawa yang kuat, dan
seorang pemimpin yang berjiwa kepemimpinan. Tetapi pada
saat-saat terkhir, Tohpati tampaknya selalu ragu-ragu atas
segala keputusannya. Bahkan kadang-kadang tampak ia
menjadi bingung tak bernafsu.
Keadaan itu benar-benar mencemaskan beberapa orang
pembantunya. Terutama Sanakeling dan Alap-alap Jalatunda.
Namun sampai sedemikian jauh, belum ada diantara mereka
yang berani menanyakannya.
Meskipun laskar Jipang kemudian telah siap melakukan
segala macam perintahnya, meskipun seluruh sisa-sisa
pasukan Sanakeling, Alap-alap Jalatunda dan sisa-sisa laskar
Plasa Ireng beserta laskar yang tercerai berai telah berkumpul
dihutan-hutan disebelah barat Sangkal Putung, namun Tohpati
tidak segera mulai dengan serangannya. Bahkan tampaklah ia
menjadi murung dan ragu-ragu. Namun dalam saat-saat
terakhir, Macan Kepatihan itu selalu berjalan berkeliling, dari
seorang laskarnya keorang berikutnya. Mereka bercakapcakap
dan berbincang dalam berbagai persoalan. Mereka
berbicara tentang hal-hal yang sama sekali tidak bersangkutpaut
dengan kelaskarannya. Beberapa orang anggota laskarnya menjadi heran dan
terkejut. Pemimpinnya yang ditakuti dan disegani itu tiba-tiba
telah datang kepadanya, menepuk pundaknya sambil
bertanya dalam banyak persoalan.
Seorang yang bertubuh tinggi kurus dan berkumis jarangjarang
hampir tak dapat menjawab ketika tiba-tiba saja Tohpati
telah berdiri disampingnya sambil bertanya "He, apa
kerjamu?" Orang itu memandang pemimpinnya seperti baru sekali
dilihatnya, sehingga Tohpati itu mengulangi "Apa kerjamu?"
Terbata-bata orang itu menjawab "Duduk tuan, aku hanya
duduk saja" Tohpati tersenyum. Dipandanginya wajah yang kurus pucat
itu. Tiba-tiba ia bertanya pula "Berapa umurmu?"
Delapan belas tahun, tuan"
"He?" Tohpatilah yang kemudian terkejut. Anak itu berumur
delapan belas tahun. Namun wajahnya tampak jauh lebih tua
dari umurnya itu. Sehingga hampir tidak percaya ia
mengulangi pertanyaannya "Umurmu berapa?"
Laskar yang kurus itu benar-benar menjadi heran. Namun
ia menjawab "Delapan belas tahun tua. Benar-benar delapan
belas tahun" Tohpati mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan wajah
yang suram ia berkata "Kau masih sangat muda. Apakah kau
masih mempunyai ayah dan ibu?"
Anak itu menggeleng. Tiba-tiba wajah anak itupun menjadi
suram pula sesuram wajah pemimpinnya. Dengan suara
parau ia menjawab "Ayah telah mati terbunuh beberapa bulan
yang lampau" "Kenapa" Bertanya Tohpati "Siapakah yang
membunuhnya?" "Ayah terbunuh ketika laskar Pajang memasuki
padukuanku. Ayah mencoba ikut bertahan. Namun ujung
tombak orang Pajang telah menyobek dadanya"
"Oh" Tohpati mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan
nada yang rendah ia bertanya "Sekarang apakah kau ingin
menuntut kematian ayahmu itu?"
"Tentu tuan. Aku harus membalas dendam yang membara
dihati. Aku telah bersumpah, bahwa aku harus dapat menebus
kematian ayahku dengan dua atau tiga orang Pajang. Aku
tidak peduli apa yang sebenarnya terjadi antara Jipang dan
Pajang" *** Tohpati menarik nafas dalam-dalam. Ternyata anak ini
bertempur sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan
cita-cita Aya Penangsang yang dianggapnya sedang berusaha
menuntut keadilan. Anak itu sama sekali tidak tahu, apakah
yang dikehendaki oleh Adipati Jipang itu. Tidak tahu menahu
tentang Sekar Seda Lepen. Tidak tahu menahu tentang Sunan
Prawata, Ratu Kalinyamat yang bertapa hanya berkain
rambutnya sendii, karena suaminya terbunuh oleh Arya
Penangsang. Tidak tahu bahwa Adipati Pajang kemudian
telah berhasil membinasakan arya Penangsang dengan
tangan putra angkatnya Mas Ngabehi Loring Pasar. Tidak.
Anak itu tidak tahu apa-apa. Ia hanya mendendam karena
ayahnya terbunuh. Mungkin ayahnya sedang berjuang untuk
satu cita-cita. Tetapi anak ini tidak. Anak ini hanya ingin
melepaskan dendam dihatinya.
Tetapi ia melihat semangat yang menyala dari mata anak
itu. Mata yang jauh lebih besar dibandingkan dengan
tubuhnya yang kurus. Tiba-tiba terluncur dari mulut Tohpati "Ibumu?"
Anak itu menggeleng. Jawabnya "Aku tidak tahu. Ibu telah
lama pergi" "Kemana?" Anak itu menjadi ragu-ragu. Tetapi kemudian dengan berat
hati ia menjawab "Ibu pergi dengan laki-laki lain"
Tohpati mengerutkan keningnya. Ia menjadi semakin iba
mendengar jawaban itu. Sebab dengan demikian, maka
adalah suatu kemungkinan bahwa ayahnyapun bertempur
bukan karena cita-cita. Tetapi sekedar melepaskan sakit
hatinya. Dan pengaruh keluarga yang buruk itu kemudian
telah memaksa anak itu untuk melakukan perbuatanperbuatan
yang memancarkan dendam dihatinya.
Tiba-tiba Tohpati mendengar kawannya yang duduk
disampingnya tertawa meringkik seperti seekor kuda. Tohpati
sama sekali tidak senang mendengar suara tertawa itu,
sehingga ia membentak "Kanapa kau tertawa?"
Orang yang tertawa itu terkejut. Ia sendiri tidak menyadari
bahwa ia telah tertawa. karena itu, maka ia menjadi ketakutan.
"Kenapa kau tertawa, he?" Tohpati mengulangi.
Sedemikian takutnya orang itu sehingga tanpa dapat
berpikir ia menjawab "Anak itu tuan. Anak itu berbuat seperti
laki-laki yang dikatakannya"
"He?" wajah Tohpati menjadi merah. Sambil
menggertakkan giginya ia bertanya kepada anak muda itu
"Apa yang telah kau lakukan?"
Anak muda itu menggigil seperti kawannya yang duduk
disampingnya. "Tidak, todal tuan" katanya dengan gemetar.
Sekali ia memandangi kawannya itu, dan sesekali ia
memandang kaki Tohpati. Ia sangat menyesal kenapa
kawannya itu mengatakannya, dan kawannya itupun bukan
main terkejut mendengar kata-katanya sendiri.
"Apa yang telah kau lakukan?" bertanya Tohpati dengan
nada yang berat penuh tekanan.
"Aku tidak apa-apa tuan" jawab anak muda itu terbata-bata.
"Apa yang sudah kau lakukan?" ulang Tohpati.
"Tidak ada tuan"
Sekali lagi Tohpati bertanya, kali ini perlahan-lahan "Apa
yang sudah kau lakukan?"
Tubuh anak muda itu menjadi semakin gemetar. Hampir tak
terdengar ia berkata "Aku hanya membalas sakit hatiku tuan.
Aku membenci perempuan karena ibuku yang tidak setia"
"Apa yang telah kau lakukan terhadap perempuan?"
Laki-laki itu menjadi semakin ketakutan. Hampir-hampir ia
menangis karenanya. Lamat-lamat ia menjawab "Tidak apaapa
tuan. Aku hanya berbuat menuruti perasaan. Aku sudah
menyesal" Tohpati berpaling pada kata-kata yang duduk
disampingnya. laki-laki itupun menunduk dalam-dalam. Tibatiba
ia menyambar pundaknya sambil mengguncang tubuhnya


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa yang sudah dilakukannya?"
Laki-laki itu menjadi gemetar. Bibirnya bergerak-gerak
namun suaranya tidak juga keluar dari mulutnya. Ketika
Tohpati sama sekali mengguncang pundaknya, barulah ia
berkata "Ia, ia membawa istri orang tuan"
Bukan main marah Tohpati mendengar jawaban itu. Itu
adalah perbuatan terkutuk. Perbuatan yang tidak dapat
dibenarkan. Hampir saja ia memukul laki-laki kurus dan
berkumis jarang yang baru berumur delapan belas tahun itu.
Namun tiba-tiba disabarkannya dirinya. Sambil menggigit
bibirnya ia menggeram. Tohpati mengangkat wajahnya. Apa yang dilakukan itu
bukanlah satu-satunya kejahatan yang telah pernah terjadi
diantara anak buahnya. Ia bukannya tidak mendengar bahwa
anak buahnya pernah pula merampok, mencegat orang dan
menyamunnya diperjalanan. Membunuh, menculik dan
berbagai kejahatan-kejahatan yang lain. Tetapi Tohpati
menyadari, bahwa itu adalah akibat yang tidak dapat
dihindarkan dari keadaan laskarnya kini. Keadaan yang serba
sulit dan tertekan. Beberapa orangnya telah menjadi berputus
asa dan kehilangan pegangan, seperti anak muda yang baru
berumur delapan belas tahun itu. Anak itu sama sekali tidak
tahu apa yang sudah dilakukannya.
Tohpati itu menekan dadanya sambil menarik nafas dalamdalam.
Kemudian katanya "Kenapa hal itu kau lakukan?"
Anak muda yang kurus pucat dan berkumis jarang itu tidak
dapat menjawab. Ia tidak pernah berpikir sebelumnya, kenapa
ia membawa perempuan itu. Barulah kini ia mencoba bertanya
kepada dirinya, kenapa ia membawa perempuan itu. Tetapi
perempuan itu tidak pernah merasa bahwa ia menyesal
karena perbuatannya. Perempuan itu sampai sekarang masih
juga selalu berusaha menyenangkannya dan memeliharanya.
Ia terkejut pula ketika mendengar Tohpati bertanya pula
"Kenapa kau bawa perempuan iu. Dan apakah perempuan itu
tidak ketakutan tinggal bersamamu diantara kawankawanmu?"
Laki-laki itu menggeleng "Ia senang tinggal bersama kami
tuan" "Oh" Tohpati mengelus kumisnya "Siapakah perempuan
itu?" Laki-laki itu ragu-ragu sesaat. Kemudian jawabnya
"Namanya Nyai Pinan"
"He?" sekali lagi Tohpati terkejut. Nyai Pinan. "Hem" Macan
Kepatihan itu menarik nafas dalam-dalam.Kdh "Untunglah
anak itu belum aku pukul kepalanya"
Tohpati itu tiba-tiba kehilangan kemarahannya. Ia menjadi
kasihan kepada anak laki-laki itu. Nyai Pinan adalah seorang
perempuan yang jauh lebih tua dari laki-laki itu. Perempuan
yang berumur tigapuluh lima tahu, bukanlah perempuan yang
perlu disesalkan apabila ia telah pergi meninggalkan
suaminya. Pantaslah bahwa perempuan itu sama sekali tidak
menyesal dan ketakutan tinggal diantara laskarnya, diantara
laki-laki yang kasar dan keras.
Macan Kepatihan itu tiba-tiba saja melangkahkan kakinya
pergi meninggalkan laki-laki itu. Sekilas masih terbayang
didalam benaknya, perempuan yang bernama Nyai Pinan itu
dahulu pernah dibawa oleh Plasa Ireng atau oleh orang lain
diantara laskarnya. "Gila. Kehidupan ini benar-benar kehidupan yang liar.
Menjemukan, menjemukan"
Tohpati itupun kemudian langsung pergi kedalam gubugnya
ditengah-tengah hutan. Langsung ia merebahkan dirinya
diatas sebuah pembaringan bambu. Sekali-sekali terdengar ia
menggeram. Dibayangkannya kehidupan seluruh laskarnya.
Yang berada dekat-dekat disekitarnya, dan yang betebaran
dibeberapa tempat yang lain. Laskar yang diperintahkannya
untuk membuat Pajang kehilangan kesempatan membangun
dirinya karena kekisruhan-kekisruhan yang terjadi.
"Apakah hasil yang telah kucapai dengan itu" desahnya.
Dibayangkannya bahwa rakyatnya justru menjadi bingung
dan ketakutan. Tak ada ketenangan dan tak ada kesempatan
mereka menikmati hidup setenang-tenangnya.
"Tetapi bukankah itu yang aku kehendaki?"
Kata-kata itu dijawabnya sendiri "Ya. Kini ternyata bahwa
aku hanya sekedar mendendam dihati, melepaskan
kekecewaan dan sakit hati. Aku hanya ingin Pajang tidak
berhasil menenangkan dirinya dan melakukan rencanarencananya.
Itu saja." Macan Kepatihan itu menggeram. Dengan serta-merta ia
bangkit dan menghentakkan kakinya ketanah sambil berkata
kepada dirinya sendiri "Gila. Kenapa aku bertemu dengan
orang tua itu. Dengan orang yang mengatakan dirinya orang
Benda. Alangkah bodohnya aku. Orang itu bukan orang
Benda. Dan orang itu bukan orang yang bodoh.
Pertanyaannya telah menggoncangkan hatiku. Tetapi aku
sudah berada ditengah-tengah arus. Aku tidak dapat berjalan
kembali." Macan Kepatihan itu tiba-tiba melangkah dan berjalan
keluar. Diluar dipanggilnya seorang laskarnya. Katanya
"Panggil Sanakeling."
Sesaat kemudian Sanakeling telah berada didalam
gubugnya. Wajahnya tampak tegang dan sekali-sekali
timbullah pertanyaan memancar dari matanya.
"Apakah kita sudah benar-benar siap" bertanya Macan
Kepatihan. Pertanyaan itu terdengar aneh ditelinga Sanakeling. Macan
Kepatihan telah beberapa kali melihat sendiri, bahwa laskar
Jipang telah ditarik sebagian besar kedalam hutan itu untuk
melakukan rencananya yang tertunda-tunda. Kalau waktu
persiapan yang diperluakan terlalu lama, maka mereka akan
segera kehabisan persediaan baan makanan. Dengan
demikian maka ketahanan laskarnyapun pasti akan berkurang.
Meskipun demikian, maka Sanakeling itu menjawab
"Sudah. Sudah sejak beberapa hari yang lalu laskar Jipang
telah siap melakukan perintah. Bahkan kini mereka hampir
kehilangan gairah untuk bertempur karena pertempuran
tertunda-tunda." Tohpati mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak dapat
membantah kata-kata Sanakeling itu. Ia mengakui, betapa
seorang prajurit akan kehilangan semangatnya apabila
mereka harus menunggu dan menunggu, sedangkan mereka
sudah siap untuk melakukan setiap perintah.
Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya Tohpati
menjawab "Baik. Aku tidak akan menunda sergapan untuk
kesekian kalinya. Tetapi aku harus yakin bahwa sergapan kita
kali ini akan berhasil."
"Kita telah mengukur kekuatan mereka" sahut Sanakeling
"kita sudah tahu kekuatan-kekuatan yang ada didalam
Kademangan Sangkal Putung. Dan kita kini telah
memperhitungkan kekuatan itu pula. Orang yang berhasil
membunuh Plasa Ireng itupun telah kita perhitungkan. Tiga
orang itu dalam satu lingkaran pertempuran akan melampaui
kekuatan Plasa Ireng. Sedangkan lawan Alap-alap Jalatunda
ternyata memerlukan perhatian. Seorang dari mentaok akan
mengawasi Alap-alap Jalatunda. Widura serahkan kepadaku,
dan Untara adalah lawanmu. Terserah kepadamu, apakah
perlu seseorng untuk membantumu, ataukah kau merasa
bahwa kau akan berhasil melawannya sendiri. Sedang jumlah
laskar yang kita pergunakan kini ternyata bertambah banyak.
Hanya untuk mengumpulkan mereka aku memerlukan waktu
sehari. Sebab untuk mengurangi kesempatan, sebagian
tersebar dibeberapa tempat.
"Bagus. Siapkan mereka besok. Malam nanti aku akan
melihat-lihat keadaan."
Sanakeling mengerutkan alisnya. Dengan ragu-ragu ia
berkata "Apakah kau bertanya sebenarnya?"
"Kenapa?" "Apakah kali ini tidak akan tertunda lagi seperti hari-hari
yang lalu?" Macan Kepatihan mendengar sindiran itu. Namun ia tidak
menjawab. Sesaat mereka berdiam diri. Wajah Tohpati menjadi
tegang. Kemudian terdengar ia berkata "Tinggalkan aku
sendiri." Sanakeling mengangkat alisnya. Kemudian ia berdiri dan
berjalan keluar ruangan itu dengan hati bimbang. Sekali ia
berpaling dan dilihatnya Tohpati menekur kepalanya.
Pemimpin laskar Jipang itu tampaknya tidak segarang
beberapa saat yang lalu. Karena itulah Sanakeling menjadi
cemas. Ia tidak mau melihat setiap kelemahan yang ada
didalam dirinya, didalam tubuh laskarnya, apalagi dipucuk
pimpinannya. Ia menghendaki semuanya berjalan keras, cepat
dan dapat menimbulkan akibat yang menggoncangkan lawanlawannya.
Menimbulkan kengerian dan ketakutan.
Sepeninggal Sanakeling, maka Tohpati itupun segera
memanggil seorang yang telah agak tua. Orang itu telah agak
tua. Orang itu pernah menjadi penasehatnya dalam berbagai
hal. Seorang yang tidak saja memiliki pengalaman yang luas.
Namun ia adalah seorang yang memiliki daya pengamatan
yang jauh. Orang tua itu berdebar-debar mendengar panggilan
Tohpati. Telah agak lama Tohpati tidak memerlukannya.
Hampir tidak pernah dapat ia menemui anak muda yang
menggemparkan seluruh daerah Demak itu. Namun kini tibatiba
Tohpati memanggilnya. "Duduklah paman Sumangkar."
Orang yang telah agak lanjut dan bernama Sumangkar itu
duduk disamping Tohpati sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya. "Terima Kasih, ngger."
"Kenapa paman tidak pernah menampakkan diri akhir-akhir
ini?" "Sumangkar mengerutkan alisnya yang hampir memutih.
Jawabnya "Angger tidak pernah memanggil paman ini. Dan
karena itu maka aku tidak berani mengganggu
angger."Tohpati mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kemudian katanya serta-merta "Paman, aku akan memulai
dengan sebuah sergapan baru. Apakah paman sependapat?"
Sumangkar mengerutkan keningnya pula. Pertanyaan ini
agak aneh baginya. Sudah beberapa kali Tohpati
melakukannya tanpa minta pendapatnya. Tiba-tiba kini
pemimpin yang garang itu bertanya tentang rencananya itu.
Justru karena itu maka Sumangkar menjadi ragu-ragu.
"Bagaimana paman?" desak Tohpati.
Sumangkar menarik nafasnya dalam-dalam.
Dikenangannya ketika Tohpati itu menjadi sangat marah, dan
seterusnya hampir tak pernah ia diajaknya berbincang.
Tohpati itu marah ketika ia mencoba memperingatkan bahwa
segenap usaha yang akan dilakukan adalah sia-sia. Tetapi kini
ia menghadapi pertanyaan itu. Pertanyaannya yang seperti
pernah didengarnya dahulu.
Karena itu maka untuk sejenak Sumangkar menjadi raguragu.
Apakah sebabnya tiba-tiba saja Tohpati memanggilnya
dan bertanya kepadanya mengenai hal itu pula"
Karena Sumangkar tidak segera menjawab, maka Tohpati
itu mendesaknya "Bagaimana paman?"
Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
jawabnya "Raden. Pertanyaan itu sangat sulit bagiku."
"Kenapa" Bukankah paman memiliki pengetahuan dan
pengalaman yang cukup dalam olah keprajuritan" Bukankah
paman bekas seorang yang cukup dekat dengan paman
Mantahun" Nah, bagaimanakah pendapat paman?"
"Akku adalah seorang yang telah berumur agak lanjut.
Seharusnya aku harus berkata sebenarnya menurut
pertimbangan didalam kepalaku. Namun aku tidak dapat
menutupi kenyataan, bahwa untuk berkata sebenarnya adalah
sulit sekali. Bukankah angger pernah marah kepadaku karena
aku tidak sependapat dengan angger?"
Tohpati menarik keningnya. Dipandanginya Sumangkar
tajam-tajam seperti ingin dilihatnya pusat jantungnya. Dan
karena itulah maka Sumangkar itu menundukkan kepalanya.
"Paman" berkata Tohpati "aku tahu paman adalah seorang
yang pilih tanding. Seorang yang memiliki kesaktian yang
sukar dicari bandingnya. Kenapa paman berpikiran terlalu
pendek. Kalau paman mempunyai tekad yang agak kuat
didalam dada paman, maka paman akan dapat
menyumabangkan tenaga paman dalam perjuangan ini. Tetapi
selama ini paman lebih senang mendekam didapur sambil
menghangatkan tubuh. Kenapa paman tidak lagi bersedia
memandi tombak atau memegang gagang pedang?"
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya, jawabnya
"Sudah aku katakan Raden, alasan-alasan yang memaksa
aku untuk berdiam diri."
"Tetapi kenapa paman tidak pergi saja dan menyeberang
ke pihak Pajang?" Sumangkar mengangkat kepalanya sesaat. Namun
kemudian ditundukkannya lagi. Pertanyaan itu amatlah
sulitlnya. Meskipun demikian dijawabnya pula dengan jujur
"Raden, aku adalah hamba kepatihan Jipang sejak aku
melepaskan pakaian Wira Tamtama karena umurku yang
telah lanjut. Aku adalah saudara seperguruan Kakang Patih
Mantahun. Aku adalah kawan berbincang, dan aku salah
seorang yang ikut serta menyetujui tuntutan Arya Penansang
kepada Pajang dan putra-putra Sultan trenggana yang lain.
Tetapi caraku agak berbeda dengan cara yang telah ditempuh
angger Pangeran. Aku menyarankan agar angger melakukan
tuntutan dan perjuangan tanpa mengorbankan saudarasaudara
sepupunya dengan cara yang telah ditempuh.
Dengan demikian maka kawula Demak akan segera melihat
noda-noda pada dirinya. Tetapi itu telah ditempuhnya, dan aku
tidak dapat menghindarkannya. Kakang Mantahun adalah
seorang yang keras hati sehingga Arya Penangsang yang
terlalu dilanda oleh arus perasaannya itu terbakar oleh
rencananya. Dan terjadilah apa yang telah terjadi. Apakah
dengan demikian masih ada kemungkinan bagiku untuk
menyeberang ke Pajang?"
Tohpati mendengarkan kata demi kata dengan penuh
perhatian. Ia merasakan bahwa apa yang terjadi kemudian
adalah akibat dari ketergesa-gesaan para pembantu Arya
Penangsang. Namun sebagai seorang prajurit yang
terpercaya, maka ia tidak dapat berbuat lain daripada


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meneruskan perjuangan itu. Tetapi apakah yang dapat
dicapainya dengan perjuangannya itu"
Meskipun demikian Tohpati itu berkata tajam "Tetapi
paman selama ini hampir tidak berbuat apa-apa. Pada saat
Adipati Penangsang masih melakukan perjuangan, paman
ternyata menjadi seorang yang ditakuti digaris-garis perang.
Namun kemudian paman tidak lebih dari seorang juru masak
yang malas. Kenapa paman tidak mau bertempur seperti
masa-masa lampau itu?"
Sumangkar menarik alisnya tinggi-tinggi. Sebagai seorang
yang telah berusia lanjut, maka ia dapat berpikir dengan
tenang. Dan dengan enang pula ia menjawab "Kalau aku turut
dalam peperangan yang tidak akan berarti apa-apa ini Raden,
maka aku hanya akan memperpanjang penderitaan.
Penderitaan rakyat Pajang dan rakyat Jipang sendiri. Sebab
seperti yang pernah aku katakan, perjuangan ini tidak akan
berhasil. Apa yang dapat kita lakukan hanyalah pembalasan
dendam pada beberapa pihak. Melepaskan sakit hati dan
membuat onar dimana-mana. Apakah kira-kira demikian juga
cita-cita Arya Penangsang sendiri" Seandainya Arya
Penangsang berhasil merebut tahta, apakah yang kira-kira
akan dikerjakan" Memanjakan diri sendiri atau berbuat
sesuatu untuk membentuk Demak menurut seleranya" Nah,
bandingkanlah dengan apa yang kau lakukan ngger. Dengan
anak buah angger dan dengan seluruh perbuatan laskar
Jipang ini" Tohpati mengerutkan keningnya. Terdengar ia menggeram.
Kata-kata Sumangkar itu hampir seperti kata-kata orang tua
yang dikumpainya disungai beberapa hari yang lampau. Katakata
orang tua yang telah memiliki berbagai pertimbangan.
Tetapi Tohpati masih ingin meyakinkan dirinya "Paman,
apakah dengan demikian kita tidak menjadi seorang
pengecut" Seorang yang tidak berani menghadapi pahit getir
perjuangan" Seorang prajurit sejati akan pantang menyerah.
Pantang menyerah kepada lawan, dan pantang menyerah
kepada keadaan" "Raden benar" sahut Sumangkar "Jangan menyerah
kepada lawan.Jangan menyerah kepada keadaan. Namun
jangan membutakan diri atas kenyataan. Selama ini kita masih
dihadapkan pada cit-cita, maka kita tidak akan berputus asa.
Namun apabila kita menyakini kelemahan diri dan meyakini
bahwa apa yang hendak kita capai itu tidak akan terpenuhi,
maka sebaiknya kita menyadari keadaan. Korban telah
semakin banyak dan korban itu tidak akan berarti apa-apa.
Korban yang sia-sia. Korban dari nafsu pembalasan dendam
dan sakit hati" Tohpati tidak berkata apa-apa lagi. Ia kini seakan-akan
melihat sebuah gambaran yang suram tentang masa depan
laskarnya. Ia kini melihat betapa korban berjatuhan dikedua
belah pihak tanpa dapat merubah keadaan. Korban yang
menurut Sumangkar adalah korban yang sia-sia.
Sesaat mereka berdiam diri. Tohpati dengan anganangannya
dan Sumangkar dengan angan-angannya pula.
namun sejenak kemudian terdengar Macan Kepatihan itu
menggeram "Apakah paman menyayangkan korban-korban
itu?" "Ya" sahut Sumangkar pendek.
"Mati bagi prajurit adalah kemungkinan yang sudah
diketahuinya. Mati bagi seorang prajurit adalah kemungkinan
yang sama dengan kemungkinan untuk hidup. Sehingga mati
magi seorang prajurit sama sekali bukan suatu hal yang
mengejutkan" "Angger benar. Mati bagi aku dan bagi angger adalah
kemungkinan yang paling dekat terjadi. Bahkan lebih dekat
dari kemungkinan untuk hidup. Tetapi apakah mati bagi
mereka yang sama sekali tidak tahu menahu persoalan ini
juga dapat dibenarkan" Apakah mati bagi orang-orang
Sangkal Putung, dukuh Pakuwon, Benda dan orang-orang lain
disekitar Pajang dan Jipang Wanakerta, disebelah barat
Demak dan disudut-sudut Bergota itu juga sudah wajar"
Laskar Raden yang terpencar dan menyusup didaerah-daerah
itu benar-benar tak terkendalikan. Rakyat didaerah itu dan
laskar Pajang berusaha untuk menumpasnya. Yang mati
diantara laskar angger dan laskar Pajang adalah wajar. Tetapi
rakyat yang tergilas oleh arus peperangnan itu?"
Tohpati mengangguk-anggukkan kepalanya. Bahkan
menurut bunyi disudut relung hatinya berkata "Bukan hanya
mereka. Tetapi bahkan anggota-anggota laskarnya sendiri
bukanlah orang-orang yang tahu akan keadaannya. Ada
diantara mereka yang hanya terlanjur terdorong oleh arus
yang tidak dapat dihindari tanpa keyakinan apa-apa. Tetapi
ada yang dengan sengaja dan mempergunakan kesempatan
untuk kepentingan-kepentingan yang kotor. Bahkan ada yang
kedua-duanya, putus asa dan kesempatan berbuat diluar
peraturan-peraturan. Merampas dengan dalih yang itu-itu juga,
untuk kepentingan perjuangan. Membunuh dengan dalih itu-itu
juga, mengkhianati perjuangan atau berpihak kepada musuh.
Menculik dan merampok. Bahkan segala perbuatan yang
bertentangan dengan perikemanusiaan. Apabila peperangan
ini masih berlangsung terus, maka hal-hal yang serupa itu
masih akan berlangsung lama.
Kembali mereka berdua terlempar dalam kesenyapan.
Yang terdengar hanyalah nafas Macan Kepatihan yang
semakin cepat mengalir lewat lubang-lubang hidungnya.
Matanya yang tajam menerkam dinding bambu yang
berlubang-lubang dihadapannya. Tetapi lubang-lubang itu kini
sama sekali sudah tidak kelihatan.
Ketika Tohpati berpaling menembus celah-celah tutup
keyong gubugnya yang tidak rapat, maka terdengar ia
berdesis "Sudah hampir gelap"
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. "Ya,
sudah hampir gelap" Tiba-tiba Tohpati berdiri. Beberapa langkah ia berjalan
kesudut ruangan itu. Diraihnya tongkat baja putihnya yang
tersangkut diatas pembaringannya. Sumangkar memandang
senjata itu dengan wajah yang tegang. Ia tidak tahu, apakah
yang akan dilakukan oleh Macan Kepatihan yang garang itu.
Tetapi ketika ia melihat Tohpati memutar tubuhnya, dan
dilihatnya dalam keremangan ujung malam itu kesan sikap
yang wajar, maka Sumangkarpun tidak beranjak dari
tempatnya. Dari lubang pintu cahaya pelita menembus masuk
kedalam ruangan. Bukan pelita, tetapi sebuah obor yang
menyala-nyala disamping dimulut pintu.
"Paman, aku ingin berjalan-jalan bersama paman malam
ini" suara Tohpati datar dalam nada yang rendah.
Dada Sumangkar berdesir. Tidak pernah Tohpati
membawanya pergi akhir-akhir ini. Kini tiba-tiba Macan
Kepatihan itu mengajaknya.
Banyak hal yang dapat terjadi kemudian. Apakah Macan
Kepatihan itu marah kepadanya, apakah Macan Kepatihan itu
ingin mendengar pendapat-pendapatnya lebih lanjut, adalah
teka-teki yang tak dapat diketahuinya. Tetapi sudah tentu ia
tidak dapat menolak. Kalau Tohpati ingin berbuat jahat
kepadanya, maka sudah tentu ia tidak akan pergi berdua,
sebab Sumangkar tahu pasti, bahwa Tohpati menyadari
keadaannya. Sumangkar bukanlah lawannya. Sumangkar
adalah takaran dua tiga kali daripadanya. Sebab Sumangkar
adalah suadara seperguruan dari gurunya, Patih Mantahun.
Tetapi apa yang dilakukan Sumangkar itu kemudian tidak lebih
dari seorang juru masak yang baik. Bahkan sebagian besar
dari laskarnya yang baru ditemukan oleh orang-orang Jipang
sepanjang peperangan atau prajurit-prajurit Jipang yang
tersebar dimana-mana tidak mengenal Sumangkar dengan
baik. Mereka menyangka bahwa orang itu benar-benar
seorang juru masak. Ketika Sumangkar tidak segera menjawab, maka sekali lagi
Tohpati berkata "Paman, kita pergi berdua malam ini"
"Kemana ngger?"
Tohpati menarik nafas dalam-dalam. Pertanyaan itu adalah
pertanyaan yang aneh. Sumangkar pasti sudah tahu kemana
mereka akan pergi dalam keadaan serupa itu. Meskipun
demikian Tohpati itu menjawab "Paman pasti sudah tahu,
kemana kita akan pergi dalam keadaan ini. Dimana laskarku
sudah siap untuk menggempur Sangkal Putung"
"Oh, jadi kita melihat-lihat Sangkal Putung?"
"Ya" Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Tohpati
telah memaksanya untuk melibatkan diri kedalam peperangan
yang dibencinya itu. Peperangan yang semakin lama menjadi
semakin jauh daru bentuknya. Tetapi keputusan terakhir pasti
ada padanya sendiri. Tohpati ternyata kemudian tidak menunggu Sumangkar
menjawab. perlahan-lahan ia berjalan kepintu dan sekali ia
berpaling. Ketika dilihatnya Sumangkar telah berdiri, maka
Tohpati itupun berjalan terus.
Dimuka gubug Sanakeling dan orang-orangnya, Tohpati
berhenti. Dipanggilnya Sanakeling yang sedang menghadapi
seceting nasi dan daging menjangan.
"Apakah kakang akan pergi?" bertanya Sanakeling.
"Ya" jawab Tohpati "Pekerjaanmu besok mengumpulkan
semua kekuatan. Malam ini aku ingin melihat Sangkal Putung
bersama paman Sumangkar"
Sanakeling mengerutkan keningnya. Ia kenal siapakah
Sumangkar itu. Ia kenal kebesaran namanya pada masamasa
lampau. Tetapi ia kenal juga, bahwa Sumangkar kini
lebih senang menjadi seorang juru masak dengan pisau dapur
ditangannya. Membelah daing binatang-binatang buruan dan
membelah kayu-kayu bakar.
Bagi Sanakeling, Sumangkar sekarang hampir-hampir tidak
berarti sama sekali. Seandainya Sumangkar itu mati
sekalipun, maka laskar Jipang tidak akan merasa kehilangan.
Sebab pekerjaannya segera dapat diganti oleh orang lain.
Karena itu, maka Sanakeling itupun bertanya "Apakah kau
tidak memerlukan orang lain?"
"Tidak" jawab Tohpati menggelengkan kepalanya.
Sanakeling tidak bertanya-tanya lagi. Macan Kepatihan
sudah cukup dewasa untuk menjaga dirinya, sehingga ia
sudah cukup mempunyai perhitungan.
Ketika Tohpati itu kemudian berjalan meninggalkannya,
maka segera Sanakeling masuk kembali kedalam biliknya,
menjatuhkan dirinya disebuah bale-bale dan kembali
meneruskan menikmati daging menjangan muda. Satu
kakinya diangkatnya keatas bale-bale sedang kakinya yang
lain berjuntai kebawah. Sambil mengunyah nasi, Sanakeling
berkata tersendat-sendat "He, panggil Alap-alap kerdil
digubugnya" Seseorang yang brediri dimuka pintu berpaling. Sekali lagi
Sanakeling berkata "Panggil Alap-alap itu"
"Baik, baik Ki Lurah" jawab orang itu sambil berlari-lari
kegubug yang lain. Tetapi kemudian langkahnya terhenti.
Dilihatnya Tohpati dan Sumangkar berjalan dihadapannya
menuju ke gubug Alap-alap Jalatunda pula.
*** Buku 09 Sampai digubug Alap-alap Jalatunda Tohpati berhenti.
Wajahnya tampak berkerut-kerut. Diangkatnya telinganya
sambil bergumam lirih "Siapa itu paman?"
Sumangkar menarik pundaknya tinggi-tinggi. Katanya
"Itulah Raden, gambaran kehidupan kita"
Tohpati menggeram. Didengarnya sekali lagi suara tertawa
perempuan seperti seekor kucing tercekik. Kemudian
terdengar suara Alap-alap Jalatunda yang muda itu "Jangan
merajuk anak muda. Tinggalkan istrimu disini. Ia tidak akan
berkurang cantiknya"
Yang terdengar kemudian ringkik perempua. Katanya
"Kembalilah dulu kang, aku ingin tinggal disini dahulu"
Tohpati itu kemudian melihat anak muda yang tinggi kurus
dan berkumis jarang. Anak muda yang pernah diajaknya
bercakap-cakap. Anak muda yang istrinya jauh lebih tua dan
bernama Nyai Pinan. Laki-laki muda itu berjalan tersuruksuruk
dengan wajah yang suram. Sekali ia berpaling, dan
terdengar istrinya berkata "Kang, aku akan segera kembali
membawa sepotong daging rusa untuk kakang. Bukankah
kakang senang makan daging rusa?"
Laki-laki itu mengangguk. Dan kembali ia berjalan
meninggalkan gubug itu diiringi oleh suara tertawa istrinya dan
Alap-alap Jalatunda. Diantara suara tertawa itu terdengar Nyai
Pinan berkata "Suamiku adalah laki-laki yang baik hati"
Laki-laki muda yang bertubuh kurus itu berhenti sesaat
mendengar pujian istrinya. Namun kemudian ia berjalan
kembali. Tetapi alangkah terkejutnya ketika tiba-tiba sebuah tangan
yang kuat menyambar bahunya. Ketika ia berpaling, maka
tubuhnya terputar dengan kuatnya.
Laki-laki itu sesaat seakan-akan kehilangan kesadarannya.
Namun ketika ia menengadahkan wajahnya, ia bertambah
terkejut lagi. Dilihatnya sepasang mata Tohpati seolah-olah
memancarkan sinar api yang merah membara.
Laki-laki muda itu tidak mengerti apa yang harus
dilakukannya, sehingga dengan gemetar ia menyeringai ketika
tubuhnya diguncang-guncang oleh tangan Tohpati yang
serasa akan meremukkan tulangnya.
"Kembali masuk kedalam gubug itu" teriak Tohpati dengan
suara parau dan gemetar, sehingga suaranya seolah-olah
telah berubah menjadi suara hantu yang sedang marah
"Masuk kembali kegubug itu. Seret perempuan itu keluar.
Perempuan yang pernah kau larikan dari suaminya"
Laki-laki muda yang tinggi kurus dan berkumis jarang itu
menjadi semakin bingung. Ia kini benar-benar kehilangan akal
dengan demikian maka ia masih saja berdiri dengan mulut
ternganga. "Ayo masuk kembali kedalam gubug itu" teriak Macan
Kepatihan dengan marahnya.
Laki-laki itu benar-benar menjadi kebingungan, sehingga
tanpa sesadarnya terloncat jawabannya "Tetapi tuan, ia masih
ingin tinggal disana"
"Ambil perempuan gila itu. Seret keluar kalau tidak mau
dilemparkan dari perkemahan ini"
Otak laki-laki kurus itu kini seolah-olah menjadi seperti
baling-baling yang dipermainkan angin. Kalau angin itu


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bertambah kencang sedikit saja, maka ia akan semakin
kencang berputar, dan tidak mampu untuk mencoba berhenti
dengan sendirinya. Dalam kebingungan itu tiba-tiba terdengar suara Alap-alap
Jalatunda dengan garangnya "He, siapa diluar?"
Laki-laki kurus itu tidak dapat menjawab. mulutnya benarbenar
serasa terbungkam, sehingga sekali lagi terdengar
suara Alap-alap Jalatunda "Siapakah laki-laki gila yang
mengumpat-ngumpat itu?"
Demikian marahnya Macan Kepatihan mendengar katakata
itu sehingga bibirnya menjadi gemetar, dan bahkan tak
sepatah katapun yang dapat melontar dari bibirnya.
Dalam pada itu terdengar suara perempuan dari dalam bilik
itu "Ah, jangan marah kang. Tunggulah diluar. Sebentar lagi
antarkan aku kembali kegubug suamiku"
Bukan main marahnya Macan Kepatihan itu. Dan
kemarahannya itu benar-benar menimbulkan keheranan pada
Sumangkar yang tua. Apa yang terjadi itu bukanlah barang
baru didalam perkemahan ini. Tetapi agaknya Tohpati tidak
pernah menaruh perhatian atasnya. Namun tiba-tiba ada
suatu perubahan pada sikapnya. Perubahan yang tak dapat
diketahui ujung dan pangkalnya. Namun yang dilihatnya kini
Macan Kepatihan itu tidak dapat lagi mengendalikan
kemarahannya. Karena itu, maka tiba-tiba Tohpati itu
mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi. Sekali ia meloncat
mendekati gubug itu, dan dengan sekuat tenaganya tiang
sudut gubug itu berderak patah, dan runtuhlah sudut gubug
Alap-alap Jalatunda. Mendengar suara berderak-derak itu, alangkah terkejutnya
Alap-alap Jalatunda dan Nyai Pinan. Dengan tangkasnya anak
muda itu meloncat kepintu dan dengan sebuah loncatan yang
panjang ia telah berdiri tegak diluar pintu.
Tetapi alangkah terkejutnya Alap-alap yang garang itu.
Demikian ia berdiri tegak, maka dengan serta-merta sebuah
tangan terjulur kearahnya dan dengan kuatnya menggenggam
leher bajunya. Alangkah kuatnya tangan itu. Alap-alap
Jalatunda itu serasa kehilangan segenap kekuatannya ketika
tangan itu menariknya. Sebelum Alap-alap Jalatunda sadar akan keadaannya,
maka sebuah tamparan yang keras mengenai pipinya. Kini ia
terhuyung-huyung. Tangan yang kuat itu telah tidak
menggenggam bajunya lagi, sehingga Alap-alap itu terbanting
jatuh. Namun sebenarnya tubuh Alap-alap Jalatunda itu
sedemikian kokohnya. Demikian ia terguling, maka segera ia
meloncat berdiri diatas kedua kakinya yang kokoh.
Kini barulah ia melihat siapakah laki-laki yang telah
menamparnya itu. Seorang laki-laki yang bertubuh tinggi kekar
berkumis tebal melintang. Macan Kepatihan.
Ketika disadarinya siapa yang berdiri dihadapannya itu,
maka berdesirlah hatinya. Tiba-tiba ia tidak lagi bersikap
garang. Sekali ia membungkukkan badannya dan berkata
"Maafkan aku Raden. Aku tidak tahu, bahwa Raden berada
disini" Terdengar gigi Macan Kepatihan gemeretak menahan
kemarahannya yang memuncak. Dengan tajamnya ia
memandangi wajah Alap-alap Jalatunda yang tunduk.
Seandainya pada saat itu Alap-alap Jalatunda berkata
sepatah kata saja, maka wajahnya pasti akan menjadi
bengkak, karena Tohpati telah menggenggam tinjunya siap
untuk memukul mulut Alap-alap Jalatunda itu. Namun
untunglah bahwa Sumangkar sempat menenangkannya,
katanya "Sudahlah ngger, biarlah ini menjadi pelajaran bagi
setiap orang diperkemahan ini. Anak muda itu telah menyesal"
Tohpati tidak menjawab. Diedarkannya pandangan
matanya berkeliling. Ternyata disekitar tempat itu telah berdiri
berkerumun beberapa orang. Diujung berdiri seseorang
dengan mulut yang bergerak-gerak, Sanakeling. Meskipun ia
tegak dengan wajah tegang, namun mulutnya masih saja
mengunyah daging menjangan yang belum sempat
ditelannya. Tohpati itu kemudian melangkah selangkah maju. Dengan
tongkatnya ia menunjuk kedalam kekelaman malam,
kekelaman hutan disekitarnya "Perempuan yang jahat. Pergi
dari sini. Kaulah yang membawa sial dalam laskar kami"
"Raden" cegah Sumangkar hati-hati "Biarkan perempuan ini
disini. Tempatkanlah perempuan itu pada suaminya. Jangan
meninggalkan tempat ini. Kalau ia pergi maka suaminyalah
yang akan menjadi gantinya"
Betapa marahnya Macan Kepatihan, namun naluri
kepemimpinannya segera merayapi otaknya. Karena itu, maka
katanya "Paman benar. Perempuan itu tidak boleh
meninggalkan tempat ini". Kemudian katanya kepada laki-laki
kurus berkumis jarang "Kau menjaga istrimu digubug ini.
Biarlah Alap-alap gila itu mencari tempat lain. Kalau istrimu
sampai meninggalkan tempat ini, maka lehermu menjadi
taruhannya" Laki-laki itu mengangguk-anggukkan kepalanya dalamdalam
sambil gemetar. Ia tidak tahu kenapa istrinya tidak
boleh meninggalkan tempat itu. Apakah besok istrinya akan
dihukum, apakah ada persoalan-persoalan lain yang akan
dilakukan oleh Macan Kepatihan itu" Tetapi ia hanya mampu
menjawab "Ya, ya tuan"
Namun Sumangkar yang berpengalaman itu dapat
membayangkan apa saja yang akan terjadi seandainya
perempuan itu benar-benar meninggalkan perkemahan itu.
Perkemahan yang dengan hati-hati dipersiapkan khusus untuk
tujuan yang penting. Perkemahan yang dibangun dengan
tergesa-gesa untuk mempersiapkan laskar-laskar Jipang yang
terpencar disegala penjuru. Kalau perempuan itu lepas
dengan luka dihatinya, maka perkemahan itu pasti segera
akan hancur. Sebab tidak mustahil, tempat itupun akan segera
diketahui oleh Untara dan Widura. Untunglah bahwa Tohpati
segera menyadari pula keadaan itu, sehingga orang-orang
Untara belum dapat mengetahui dengan pasti letak
perkemahan itu. Hubungan-hubungan yang dibuat dengan
orang-orang dalam masih terlalu sulit dan kesempatan untuk
itu masih belum dapat diperoleh. Yang baru diketahui oleh
orang-orang Untara adalah persiapan-persiapan dan
kesibukan dari beberapa orang yang terpencar-pencar.
Pemusatan kekuatan disekitar daerah yang sudah dikenal.
Namun secara pasti, tempat itu belum dapat diketahui. Apalagi
tempat ini belum lama dibangun, setelah beberapa puluh kali
berpindah-pindah. Nyai Pinan kemudian menjadi ketakutan bukan alang
kepalang. Merangkak-rangkak ia menangis minta ampun.
Bahkan ketika ia hampir sampai dihadapan Tohpati, maka
segera ia menjatuhkan dirinya menelungkup. Namun Tohpati
tidak menghiraukannya. Sekali lagi matanya beredar diantara
orang-orangnya yang berdiri berkerumun sambil menahan
gelora hati masing-masing. Dengan lantang ia berkata "Aku
tidak mau melihat perbuatan terkutuk berulang diperkemahan
ini" Dan sebelum gema suaranya lenyap dalam kekelaman
malam, maka segera Tohpati itu melangkah pergi. Beberapa
orang menyibak kesamping memberinya jalan. Tanpa
menoleh Tohpati berjalan masuk kedalam malam yang gelap.
Dibelakangnya Sumangkar berjalan cepat-cepat. Diujung
perkemahan itu Sumangkar masih sempat meraih sebuah
golok pembelah kayu. Kalau mereka pergi ke Sangkal Putung,
maka perjalanan itu bukanlah perjalanan tamasya dimalam
purnama. Sehingga karena itu, maka golok itu akan sangat
bermanfaat baginya apabila ditemuinya bahaya diperjalanan.
Sepeninggal Tohpati, Sanakeling melangkah maju.
Mulutnya yang masih mengunyah daging menjangan itu
berkata "Apakah yang kau lakukan Alap-alap kecil?"
Alap-alap Jalatunda menundukkan wajahnya. Terasa darah
yang seakan-akan menggelegak, namun ia tidak berani
berbuat apa-apa. Meskipun demikian terasa juga bahwa telah
terjadi suatu perubahan sikap pada Tohpati yang garang itu.
Meskipun Pratanda yang juga bergelar Alap-alap Jalatunda
itu belum menjawab, namun dengan melihat Nyai Pinan yang
masih merangkak-rangkak, segera Sanakeling dapat
menduga apa yang telah terjadi. karena itu, maka gumamnya
didalam mulutnya "Hem, karena itu aku tidak mau berurusan
dengan perempuan. Perempuan dimana-mana dapat
menimbulkan persoalan. Dunia ini dapat menjadi sedemikian
indah dan menggairahkan, karena perempuan. Namun dunia
ini dapat berubah menjadi neraka juga karena perempuan.
Nah alap-alap kecil, jangan menyesal. Yang sudah biarlah
terjadi, tetapi ingatlah untuk seterusnya, bahwa Macan
Kepatihan yang garang itu membenci perempuan"
Alap-alap Jalatunda mengangkat wajahnya. Dilihatnya
Sanakeling masih menggerak-gerakkan mulutnya. Tetapi
Alap-alap Jalatunda tidak berkata apa-apa. dengan langkah
yang gontai ia berjalan meninggalkan tempat itu.
"Mau kemana?" bertanya Sanakeling.
"Tidak kemana-mana" sahut Alap-alap Jalatunda.
"Kau tidak boleh menempati gubug yang hampir roboh itu.
Tidurlah ditempatku bersama orang-orangku"
Alap-alap Jalatunda menggeleng, katanya "Aku akan tidur
bersama orang-orangku sendiri"
Sanakeling dengan susah payah menelan segumpal daging
yang tidak dapat dikunyahnya. Sesaat terasa
kerongkongannya tersumbat. Namun setelah gumpalan
daging itu melalui lehernya ia berkata "Terserahlah, tetapi aku
akan berbicara kepadamu. Datanglah kegubukku"
"Tentang apa?" bertanya Alap-alap Jalatunda.
"Tidak tentang perempuan" sahut Sanakeling.
"Ah" desah Alap-alap Jalatunda "Tentang apa?"
Sanakeling memandang Alap-alap Jalatunda dengan
tajamnya. Ia tidak senang mendengar Alap-alap itu berkata
tajam kepadanya. Meskipun demikian ia menjawab "Tentan
kedudukan kita dan Sangkal Putung. Pergilah"
"Apa yang akan kita bicarakan?"
"Pergilah kegubugku" desak Sanakeling.
"Kita bicara disini saja"
Sanakeling mengerutkan keningnya. Katanya "He, apakah
kau sudah menjadi gila?"
Alap-alap Jalatunda tidak memperdulikannya. Selangkah ia
berjalan kesamping sambil bergumam "Aku akan pergi"
"Pergilah ketempatku. Aku perlu berbicara tentang berbagai
persoalan" Alap-alap Jalatunda yang sedang dibakar oleh gejolak
hatinya itu menjawab dengan jengkelnya "Berbicaralah disini"
Sanakeling menjadi marah pula karenanya. Selangkah ia
maju sambil menggeram perlahan-lahan "Alap-alap kecil.
Jangan menjadi gila. Kau dihukum karena kesalahanmu.
Jangan membuat persoalan baru. Pergi kegubug itu, atau kau
aku tampar mulutmu dimuka anak buahmu. Aku masih merasa
berbaik hati kepadamu bahwa aku memperingatkanmu
perlahan-lahan" Langkah Alap-alap Jalatunda itu terhenti. Alangkah sakit
hatinya mendengar geram itu. Tetapi ketika dilihatnya mata
Sanakeling yang seolah-olah menyala itupun, hatinya menjadi
kecut. Disadarinya kini kekecilannya diantara para pemimpin
Jipang. Sanakeling adalah orang yang garang segarang Plasa
Ireng yang telah mati dibunuh oleh Sidanti dengan luka arang
kranjang ditubuhnya. Sekali lagi Alap-alap Jalatunda terpaksa menahan gelora
didadanya. Ditelannya kepahitan itu meskipun hatinya tidak
ikhlas. Karena itu, maka ia menjawab pendek "Ya, aku akan
pergi kesana" Sanakeling menarik nafas panjang. Namun matanya masih
saja menyalakan kemarahannya. Dengan langkah yang berat
ia berjalan meninggalkan gubug itu sambil memperingatkan
perempuan yang masih saja menangis sambil duduk ditanah
"Ingat semua kata-kata Macan Kepatihan supaya nyawamu
tidak dicabut dengan tongkatnya yang mengerikan itu. Sekali
kepalamu tersentuh kepala tongkatnya, maka otakmu pasti
akan berhamburan. Nah, masuklah kegubug itu dan jangan
meninggalkan tempat ini"
"Baik tuan. Aku tidak berani melanggar perintah itu" tangis
Nyai Pinan. Sanakeling itupun kemudian kembali kegubugnya. Ia dapat
mengerti juga kenapa Nyai Pinan tidak boleh meninggalkan
tempat itu. Sebab perbuatan itu akan sangat berbahaya bagi
rahasia gerombolannya. Alap-alap Jalatundapun tidak dapat berbuat lain daripada
datang memenuhi permintaan Sanakeling. Ia sudah dapat
membayangkan apa saja yang akan dikatakan oleh
Sanakeling itu. Persiapan untuk menyerbu kembali Sangkal
Putung. Dalam pada itu, Tohpati berjalan dengan tergesa-gesa
meninggalkan perkemahannya, seakan-akan ia ingin segera
pergi sejauh-jauhnya dari tempat itu. Tempat yang
dibangunnya sebagai landasannya untuk meloncat kedaerah
perbekalan yang subur, Sangkal Putung. Namun perkemahan
itu telah menumbuhkan kebencian padanya. Tempat yang
terkutuk. Tempat yang dipenuhi oleh berbagai ciri kehidupan
liar yang benar-benar menjemukan. Ia tidak mengerti apa
yang terjadi didalam dirinya, bahwa baru sekarang ia merasa
muak melihat perbuatan-perbuatan itu. Bukankah sebelumnya
telah diketahui, setidak-tidaknya pernah didengarnya bahwa
hal-hal semacam itu pernah dan bahkan sering terjadi"
Kenapa pada saat itu ia tidak berbuat apa-apa" Kenapa pada
saat itu dibiarkannya kemaksiatan semacam itu tumbuh
seenaknya" Macan Kepatihan itu menggeram. Ketika ia berpaling
dilihatna Sumangkar berjalan beberapa langkah
dibelakangnya sambil menjinjing sebilah golok.
"Apakah yang paman bawa itu?"
"Golok" sahut Sumangkar.
"Untuk apa?" "Tongkat" jawabnya pendek.
Tohpati mengerutkan keningnya dan memperlambat
langkahnya, sehingga Sumangkarpun berjalan lebih lambat
pula. Sekali-sekali Macan Kepatihan itu berpaling dan akhirnya ia
berkata "Golok itu terlampau pendek untuk dijadikan tongkat"
Sumangkar terkejut mendengar kata-kata itu. Cepat ia


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mencari kawaban yang lain, katanya "Tidak ngger. Bukan
tongkat sebagai penyangga tubuh. Maksudku, golok ini dapat
dipakai untuk menerabas dahan-dahan yang mengganggu
jalan" Tohpati itu tersenyum. Katanya dengan nada datar "Paman
ternyata memerlukan juga senjata"
Sumangkar tidak menjawab. Ternyata Macan Kepatihan itu
dapat menebak maksudnya. Namun bukankah ia akan pergi
kedaerah lawan" Maka adalah kewajibannya untuk berhatihati.
Meskipun demikian Sumangkar itu tidak menjawab. Ia
masih saja berjalan dibelakang Tohpati sampai mereka
muncul dari balik rimbunnya dedaunan yang agak lebat.
Demikianlah mereka melangkahkan kaki mereka keluar
hutan. Tohpati menarik nafas lega, seolah-olah ia telah keluar
dari suatu daerah yang dibencinya. Suatu daerah yang sama
sekali tidak menyenangkan. Seakan-akan ia baru keluar dari
suatu tempat yang padat pepat sehingga menyesakkan
nafasnya. Ketika Tohpati menengadahkan wajahnya, dilangit
dilihatnya bulan yang terbelah. Sehelai-sehelai awan yang
putih hanyut dibawa arus angin yang lembut.
Sekali lagi Tohpati menarik nafas dalam-dalam. Bulan itu
tampaknya sangat asing baginya. Sudah beberapa tahun ia
melupakan keindahan bulan, langit yang sumeblak, bintangbintang
dan bahkan melupakan apa saja yang dapat
memberinya kesegaran seperti malam ini. Angin yang lembut
dan daun-daun yang bergerak-gerak dibelai oleh angin yang
lembut itu. "Hem" desahnya.
Sumangkar melangkah lebih cepat lagi, sehingga ia
berjalan disamping Macan Kepatihan itu. Ketika ia mendengar
Tohpati itu berdesah, ia berpaling. Tetapi ia tidak bertanya
Pendekar Patung Emas 13 Lupus Kecil Jjs Pendekar Penyebar Maut 32

Cari Blog Ini