01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja Bagian 15
"Hujan lebat bukan main. Kita akan basah kuyup meskipun
jarak pendapa itu tidak lebih dari limabelas duapuluh langkah"
Swandaru memandang berkeliling, kemudian gumamnya
"Adakah disini payung belarak?"
Salah seorang penjaga diregol itu menggeleng "Sayang
tidak ada" Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Para penjaga
diregol, Agung Sedayu dan Swandaru terkejut ketika mereka
mendengar petir meledak dekat sekali diatas regol halaman
itu, bahkan seakan-akan meledak didalam kepala mereka
masing-masing. "Gila" umpat Swandaru sambil menyumbat lubang
kupingnya. Tetapi ledakan itu telah lewat. Dan suara ledakan
itu telah terlanjur masuk kedalam lubang kupingnya.
Hujan semakin lama menjadi semakin lebat. Butiran-butiran
air yang berjatuhan menjadi semakin padat, sehingga
bayangan yang keputih-putihan membusa dihalaman
kademangan iu. Sinar lampu yang menyala kemerah-merahan
hanya mampu menerangi tetesan-tetesan air diteritisan regol
halaman itu. Dan air yang tergenang dihalaman semakin lama
menjadi semakin banyak, sehingga kemudian air itupun
merambat naik kelantai regol dan dengan derasnya
mengerutkan keningnya mengalir keluar dibawah kaki-kaki
mereka yang berada didalam regol halaman. Beberapa orang
penjaga meloncat naik keamben yang tinggi. Namun dua
orang lain terpaksa harus tetap berada ditempat mereka
sambil memegangi tombak-tombak mereka. Mereka itulah
yang sedang mendapat giliran berjaga-jaga. Mereka berdiri
ditempatnya meskipun kaki-kaki mereka terbenam didalam
genangan air yang melimpah dari halaman mengalir
kejalanan. Dalam hiruk pikuk air hujan yang jatuh dari langit itu,
terdengar Agung Sedayu bertanya "Apakah kalian sudah
melihat Ki Tanu Metir datang?"
*** Hampir serentak para penjaga diregol itu menjawab
"Belum" Agung Sedayu dan Swandaru menarik nafas dalam-dalam.
Hampir bersamaan mereka berdesah "Aneh"
"Kita harus segera memberitahukan kepada kakang
Untara" berkata Agung Sedayu.
Swandaru ragu-ragu sejenak. Ditatapnya air hujan yang
lebat diantara suara angin yang kencang. Ketika kilat
memancar sekali dilangit, maka mereka melihat ujung-ujung
pepohonan seperti menggeliat diputar angin.
"Hujan dan angin" desis salah seorang penjaga.
Agung Sedayu berpaling. Kemudian ia bergumam seperti
kepada diri sendiri "Tetapi besok pagi kita akan mengalami
prahara yang lebih berbahaya"
"He?" bertanya penjaga itu.
Agung Sedayu menggeleng "Tunggulah perintah itu. Kau
akan tahu, kenapa aku bingung mencari Ki Tanu Metir"
Para penjaga itu mengerutkan keningnya. Sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya mereka berguman "Itukah
sebabnya para pemimpin kelompok kami berkumpul
dipringgitan?" "Ya" sahut Agung Sedayu.
Mereka kemudian terdiam. Meskipun mereka tidak gentar
menghadapi setiap kemungkinan yang bakal datang, namun
terasa juga dada mereka berdebar-debar.
"Ah, biarlah kami berlari saja menyeberangi halaman itu"
"Kalian akan basah kuyup"
"Tidak apa-apa. Hanya basah karena air" sahut Agung
Sedayu. "Bukan basah karena darah" sambung Swandaru sambil
tertawa. Para penjagapun tertawa.
Agung Sedayu dan Swandarupun kemudian melipat kain
mereka dan membelitkannya pada bagian belakang ikat
pinggang mereka. Sambil mengawasi air hujan yang pekat itu
mereka berdiri diteritisan regol halaman. Pelita dipendapa
yang menyala-nyala hampir-hampir tidak dapat mereka lihat,
meskipun jaraknya tidak begitu jauh.
"Ayolah, hujan ini selebat pada saat aku pergi dari Jati
Anom bersama kakang Untara"
"Mari" sahut Swandaru.
Dan keduanyapun kemudian terjun kedalam air yang
tergenang dihalaman dan berlari menembus kepekatan air
hujan yang seperti tertumpah dari langit yang retak.
Demikianlah mereka naik kependapa, maka pakaian
mereka benar-benar telah basah kuyup. Tak setitik noda
keringpun yang melekat pada pakaian mereka. Ikat kepala,
baju, kain dan celana mereka.
Beberapa orang yang duduk-duduk dipendapa terperanjat
melihat dua orang berlari-lari meloncat ketangga pendapa.
"Siapa?" teriak salah seorang dari mereka.
Agung Sedayu dan Swandaru tidak menjawab. Namun
terdengar Swandaru menyumpah "Setan. Basah kuyup juga
pakaianku meskipun jarak itu hanya sejangkau tangan kidal"
Karena Agung Sedayu dan Swandaru tidak menjawab,
maka beberapa orang segera mendekatinya. Namun
kemudian terdengar mereka tertawa. Salah seorang dari
mereka berkata "He, seperti tikus terjerumus dalam parit"
Swandaru bersungut-sungut. Segera ia berlari lewat pintu
gandok masuk kedalam rumah mencari ganti pakaian. Sedang
Agung Sedayu masih berdiri termangu-mangu dipendapa.
Pakaian yang diberikan kepadanya oleh pamannya, berada
dipringgitan. Tetapi terasa dingin air hujan itu sampai menggigit tulang.
Sehingga karenanya maka Agung Sedayu tidak tahan lagi.
Dengan pakaiannya yang basah kuyup ia masuk kepringgitan.
Beberapa orang yang duduk dipringgitan segera berpaling.
Ketika Untara dan Widura melihatnya, maka merekapun
tertawa pula. "Gantilah Sedayu, lalu katakan apakah kau temukan orang
yang kau cari itu" Agung Sedayu segera bersembunyi dibelakang sehelai
warana untuk mengganti pakaiannya yang basah kuyup itu.
Sesaat kemudian Agung Sedayu dan Swandaru telah
duduk kembali didalam lingkaran para pemimpin kelompok
laskar Pajang. "Bagaimana dengan Kiai Dukun tua itu?" bertanya Untara
Agung Sedayu menggeleng-gelengkan kepala, jawabnya
"Tidak ketemu kakang. Aku telah mencarinya ke banjar desa"
"Ya, aku melihat kalian basah kuyup"
"Ketika hujan turun aku sudah sampai diregol halaman ini"
sahut Swandaru "Kami basah kuyup dalam jarak yang hanya
beberapa langkah itu saja. Dari regol sampai kependapa"
"Alangkah derasnya hujan" desis Widura.
"Dan orang tua itu tidak dapat kau ketemukan" Untara
menyambung. "Ya" jawab Agung Sedayu
"aneh" gumam Untara "Dalam keadaan yang gawat ini, Ki
Tanu Metir menghilang dari antara kami. Aku tidak tahu,
apakah orang tua itu benar-benar tidak mengerti, bahwa hari
ini adalah hari yang akan menentukan kedudukan Sangkal
Putung, ataukah karena orang tua itu menghindarkan diri dari
kemungkinan untuk turut bertempur?"
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Kemudian katanya
"Aku kira Ki Tanu Metir tidak akan menghindari tugas yang
akan dibebankan kepadanya. Tugas dalam lingkaran
kewajiban kita bersama. Bukankah dengan mempertahankan
Sangkal Putung kita telah memberikan setitik perjuangan
untuk menegakkan Pajang" Katakan seandainya Ki Tanu
Metir berada diluar lingkaran pertentangan antara Jipang dan
Pajang, mempertahankan Sangkal Putung adalah tugas
kemanusiaan. Ki Tanu Metir pasti dapat membayangkan,
apabila Sangkal Putung benar-benar hanyut dilanda arus
kekuatan Macan Kepatihan, maka disini akan terjadi
perkosaan atas sendi-sendi kemanusiaan. Perampasan hak
rakyat Sangkal Putung atas tanah dan kekayaan mereka"
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Sedayu parti
tidak akan membenarkan pendapat bahwa Ki Tanu Metir
melarikan diri dari kemungkinan untuk bersama-sama laskar
Pajang bertempur melawan laskar Jipang. Bukankah Ki Tanu
Metir sendiri yang telah memberitahukan bahwa didalam
lingkungan laskar Jipang itu terdapat seorang yang bernama
Sumangkar" Tetapi kenapa justru pada saat yang genting ini
orang tua itu tidak menampakkan diri"
Untara menjadi cemas, apakah Ki Tanu Metir tidak tahu,
bahwa besok pagi-pagi terang tanah, Sangkal Putung telah
dilanda oleh arus laskar Jipang yang kuat, yang telah
memutuskan bertempur dalam gelar yang sempurna"
Tetapi Untara tidak boleh tenggelam dalam teka-teki itu.
Sebagai seorang senapati ia harus segera menentukan sikap
melawan musuh dengan kekuatan yang ada. Ia tidak boleh
mencari-cari sebab untuk membenarkan kelemahankelemahan
yang ada pada laskarnya. Untuk mengurangi
kesalahan sebagai seorang senapati, dengan menuduhkan
sebab-sebab dari kelemahan itu kepada orang lain. Demikian
juga agaknya dengan Widura. Wajahnya yang suram, tiba-tiba
menjadi tegang. Dengan dahi yang berkerut, ia berkata
"Untara, kita harus segera menentukan sikap"
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya "Ya
paman. Aku sedang berpikir, apakah sebaiknya yang harus
kita lakukan" "Kita anggap bahwa Ki Tanu Metir tidak ada diantara kita"
Sekali lagi Untara mengangguk "Ya" jawabnya "Kita
perhitungkan kekuatan yang ada pada kita"
Semua yang duduk dipringgitan itu tiba-tiba menjadi
tegang. Pembicaraan itu telah menunjukkan kepada mereka,
bahwa kekuatan lawan kali ini benar-benar telah mendebarkan
dada para pemimpin laskar Pajang di Sangkal Putung.
"Kita tidak sempat untuk mengirim orang ke Pajang,
mengundang salah seorang senapati tertinggi dari
Wiratamtama" desis Widura.
Untara menggeleng, katanya "Tidak paman. Mungkin Ki
Gede Pemanahan atau Ki Penjawi dapat menempatkan diri
langsung menghadapi orang-orang sekuat Sumangkar.
Namun kesempatan tidak mengijinkan lagi. Nah, karena itu
siapakah yang kita persiapkan untuk melawan hantu dari
Kedung Jati itu" Hantu yang sering dikatakan orang dapat
membawa nyawa rangkapan didalam tubuhnya" Tetapi cerita
itu ternyata sama sekali tidak benar. Patih Mantahun terbunuh
mati. Dan ia tidak dapat hidup kembali"
Sesaat pringgitan itu menjadi sepi. Pertanyaan Untara
benar-benar memusingkan kepala mereka. Siapakah yang
akan mampu menghadapi murid kedua dari Kedung Jati itu"
Yang terdengar kemudian adalah suara hujan yang
gemerasak diatas atap rumah kademangan. Disana-sini
tetesan-tetasan air menembus atap yang tiris. Angin yang
kencang, telah mengguncang-guncang daun pintu pringgitan,
sehingga beberapa kali terdengar daun pintu terbanting.
Dipendapa nyala pelita terayun-ayun dibuai angin yang
kencang, sehingga sekali-sekali nyalanya menjadi redup
hampir padam. Seseorang kemudian telah menutupnya
dengan sehelai daun, untuk melindungi api pelita itu supaya
tidak terlanjur padam. Tak seorangpun yang duduk dipringgitan segera dapat
memecahkan teka teki itu. Sumangkar adalah seorang yang
pilih tanding. Melampaui Macan Kepatihan sendiri yang
selama ini menjadi hantu yang menegakkan bulu tengkuk.
"Kita harus segera mengambil keputusan" terdengar Untara
menggeram. Hampir serentak semua orang dipringgitan itu
mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Marilah aku mencoba menentukan orang itu" berkata
Untara lebih lanjut. "Semua orang terpenting telah mendapat
tugasnya masing-masing. Macan Kepatihan itupun tidak
mungkin aku lepaskan. Sedang paman Widura harus
menghadapi Sanakeling. Disayap yang lain Citra Gati harus
dapat menahan Alap-alap Jalatunda. Dan kini kita mencari
lawan untuk Sumangkar itu. Sudah tentu untuk melawan
orang itu harus kita persiapkan beberapa orang dalam satu
kelompok. Orang-orang itu antara lain adalah Agung Sedayu,
Swandaru Geni, Hudaya, Sonya serta orang-orang terpilih dari
kelompoknya. Sisanya serahkan pimpinannya pada Sendawa.
Kalian harus berada diujung barisan, sebagai inti kekuatan
yang akan menghadapi seorang yang luar biasa itu"
Agung Sedayu dan Swandaru mengangkat wajahnya.
Sesaat mereka saling memandang, kemudian dipandanginya
wajah Hudaya dan Sonya. Mereka tidak segera dapat
menjawab, namun didalam dada mereka terasa sebuah
gelombang yang menghempas dinding jantung. Sumangkar
adalah seorang yang sakti. Sesakti guru mereka Kiai
Gringsing. Tetapi mereka tidak dapat menolak perintah itu. Dan
bukankah mereka tidak harus menghadapinya sendiri" Karena
itu betapa beratnya tugas itu, namun tugas itu harus mereka
lakukan dengan sepenuh kemungkinan yang ada pada diri
mereka. Hudaya dan Sonya tidak begitu terpengaruh oleh perintah
itu. Mereka belum dapat membayangkan, sampai dimana
kesaktian orang yang bernama Sumangkar itu. Mungkin
setingkat Macan Kepatihan atau melampauinya sedikit.
Sehingga empat orang termasuk Agung Sedayu sebenarnya
bagi Hudaya dan Sonya telah cukup menentramkan hatinya.
Tetapi Agung Sedayu dan Swandaru pernah melihat orang
yang bernama Sumangkar itu bertempur melawan Ki Tambak
Wedi. Karena itu maka mau tidak mau, mereka harus
mempertimbangkan setiap kemungkinan yang dapat terjadi.
Dalam pada itu terdengar Untara bertanya "Bagaimana
Sedayu dan Swandaru?"
Kembali Swandaru dan Agung Sedayu saling memandang.
Namun kemudian serentak mereka menganggukan kepala
sambil menjawab hampir bersamaan "Kami junjung kewajiban
itu" "Bagus" sahut Untara "Disamping kalian berdua, Hudaya,
Sonya dan beberapa orang terpilih harus bekerja mati-matian
menahan orang tua itu"
01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hudaya dan Sonyapun mengangguk-anggukkan kepala
mereka. Tanpa disadarinya Hudaya meraba-raba janggutnya
yang lebat. Wajahnya yang keras dan hampir tertutup oleh
rambut itu tampak berkerut-kerut.
Sejenak kemudian pembicaraan mereka telah selesai.
Perintah Untara dan Widura telah mereka dengar seluruhnya.
Apa yang harus mereka lakukan untuk menghadapi sergapan
laskar Jipang yang akan datang dalam gelar yang sempurna.
Karena itu maka segera Untara memutuskan apakah yang
harus dilakukan oleh mereka masing-masing segera. Barulah
kemudian Untara berkata kepada Widura "Nah, sekarang
bagaimana dengan rakyat Sangkal Putung paman?"
Widura mengerutkan keningnya. Sekali ia berpaling kepada
Ki Demang Sangkal Putung, kemudian katanya " kakang
Demang. Agaknya tekanan kali ini akan terasa cukup berat.
Bagaimanakah sebaiknya dengan rakyat Sangkal Putung"
Dengan perempuan dan anak-anak?"
Ki Demang termenung sesaat. Terbayang diwajahnya,
perasaan cemas yang dalam. Sebagai seorang yang selama
ini bekerja untuk kademangan dan rakyat dikademangan ini,
maka semua bahaya itu benar-benar telah menegangkan urat
syarafnya. Tetapi seperti juga Untara dan Widura, ia tidak
boleh tenggelam dalam kecemasannya itu. Karena itu maka
setelah berpikir sejenak, maka katanya "Perempuan dan anakanak
harus kita singkirkan"
Untara dan Widura mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tetapi apakah dalam keadaan seperti sekarang ini mereka
dapat meninggalkan rumah-rumah mereka dengan bayi-bayi
mereka" Hujan yang lebat seperti tertumpah dari langit.
Guntur meledak-ledak tak henti-hentinya mengguncangguncang
Sangkal Putung. Tetapi bagaimanapun juga, kira-kira
harus berkumpul dan mendapat pengawalan yang cukup.
Setiap saat yang diperlukan mereka harus dapat diselamatkan
dari keganasan laskar Jipang. Meskipun sama sekali tidak
mereka kehendaki, tetapi seandainya laskar Jipang berhasil
masuk kedaerah kademangan ini maka mereka harus
dijauhkan dari orang-orang Jipang yang sedang haus itu.
Haus kemenangan, haus akan benda-benda berharga dan
apabila mereka melihat gadis-gadis Sangkal Putung.
Ki Demang itupun kemudian berkata pula "Adalah menjadi
kewajiban setiap laki-laki di Sangkal Putung untuk
menyingkirkan keluarga mereka. Mula-mula mereka harus
dibawa kemari, sedang dalam keadaan yang gawat, mereka
akan kita selamatkan pula. Melihat kemungkinankemungkinan
yang dapat terjadi kemudian. Tetapi sementara
dapat dipersiapkan desa diujung timur kademangan ini"
Untara dan Widura mengangguk-angguk. Dan terdengar
Widura berkata "Kalau demikian, maka pembicaraan kita
sudah selesai. Segenap perintah dapat dilakukan segera.
Sedang pengungsian perempuan dan anak-anak dapat
dimulai lewat tengah malam. Biarlah mereka menikmati
ketenangan ditengah malam pertama. Biarlah anak-anak tidur
meskipun hanya sebentar, sehingga mereka tidak akan
terjaga semalam penuh karena kegelisahan"
Pertemuan itupun kemudian diakhiri. Para pemimpin
kelompok segera kembali kekelompok masing-masing.
Menyampaikan berita terakhir yang telah mereka dengar.
Setelah cukup lama mereka tidak maju kegaris perang, maka
besok mereka akan berada didalam gelar yang sempurna.
Karena itu maka seakan-akan mereka kini merasakan kembali
nafas keprajuritan mereka.
Selama ini mereka merasa tidak lebih dari sekelompok
laskar yang dihadapkan pada gerombolan perampok dan
penyamun. Tetapi besok kedua pasukan akan berhadapan,
sebagai pasukan dari Jipang dan pasukan dari Pajang yang
selama ini belum menemukan penyelesaian, meskipun Adipati
Jipang telah terbunuh dimedan peperangan.
Untunglah bahwa selama ini laskar Pajang di Sangkal
Putung sempat memberikan bimbingan kepada anak-anak
muda Sangkal Putung untuk mengenal cara-cara bertempur
dalam gelar yang sempurna. Mereka telah berlatih dengan
tekun untuk melakukan pertempuran dalam cara ini. Berbagai
gelar telah mereka pelajari. Meskipun mereka belum
setangkas prajurit yang sebenarnya, namun ketangkasan
mereka telah cukup mereka pergunakan sebagai bekal untuk
mempertahankan kampung halaman mereka besok.
Para prajurit yang memang belum lelap tertidur segera
bangkit kembali dan berkerumun disekeliling pemimpinpemimpin
kelompok mereka untuk mendapat petunjukpetunjuk
yang penting. Beberapa orang mendapat tugas khusus untuk memimpin
anak-anak muda Sangkal Putung bersama Swandaru Geni, Ki
Demang sendiri, Jagabaya dan beberapa orang bekas prajurit
Demak yang kemudian menetap di Sangkal Putung. Sedang
beberapa orang diantara mereka adalah petugas-petugas
yang harus siap diatas punggung kuda masing-masing, yang
apabila setiap saat diperlukan, mereka harus segera
mencapai tempat-tempat yang dikehendaki.
Sendawapun segera kembali ke banjar desa. Betapa hujan
seperti tercurah dari langit, namun orang itu beserta seorang
pembantunya berlari kencang-kencang menembus lebatnya
titik-titik air yang berjatuhan dari langit,
"Alangkah lebatnya hujan ini" desis Sendawa sambil
mengusap wajahnya dengan telapak tangannya.
"Ya" sahut kawannya "Hampir aku tidak dapat bernafas"
Dan keduanyapun berlari semakin kencang, agar mereka
tidak membeku dibawah hukan yang seakan-akan menjadi
semakin lebat. Swandaru Geni dan Agung Sedayu sesaat kemudian
berdiri termangu-mangu dipendapa kademangan. Mereka
harus segera berbuat sesuatu atas anak-anak muda Sangkal
Putung. Tidaklah sebaiknya Ki Demang yang tua itulah yang
berjalan hilir mudik didalam hujan yang lebat. Karena itu maka
Swandaru kemudian berkata "Aku akan ganti pakaian kembali"
"Kenapa?" bertanya Agung Sedayu.
"Aku akan kenakan pakaianku yang basah. Bukankah aku
harus menari-nari didalam hujan itu kembali?"
Agung Sedayu termenung sejenak. Tr jawabnya "Aku juga.
Sayang pakaian kering ini. Kalau pakaian ini basah pula, aku
tidak lagi punya ganti besok"
"Apakah kita besok masih perlu berganti pakaian?"
"Kenapa?" bertanya Agung Sedayu.
Swandaru tertawa lucu sekali. Katanya "Bagaimana kalau
Sumangkar besok pagi-pagi memelukmu?"
Agung Sedayu tertawa. Tetapi ia tidak menjawab
pertanyaan itu, bahkan ia berkata "Cepat, gantilah. Aku juga
mau berganti pakaian kembali. Waktu kita tidak terlalu
panjang. Sebentar lagi kita akan sampai ketengah malam.
Pekerjaan kita akan bertambah banyak. Menyelenggarakan
pengungsian orang-orang perempuan dan anak-anak"
"Biarlah orang lain mengurusnya" sahut Swandaru "Aku
akan tidur. Besok menjelang fajar kita harus sudah berada
dalam gelar perang. Jangan membuang tenaga terlalu
banyak" Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan
sesaat kemudian keduanyapun telah berganti pakaian dengan
pakaian-pakaian mereka yang basah. Bahkan mereka berdua
sama sekali tidak mengenakan baju dan ikat kepala. Dengan
meloncat-loncat mereka menuruni halaman dan berlari keregol
halaman. Suasana para penjaga diregol halaman telah berubah.
Mereka telah mendengar perintah, apa yang harus mereka
lakukan. Karena itu maka sebagian besar dari mereka harus
mempergunakan waktu sebaik-baiknya untuk beristirahat,
supaya tenaga mereka besok sepenuhnya dapat mereka
manfaatkan. Swandaru dan Agung Sedayu segera berlari meninggalkan
regol halaman. Semakin lama menjadi semakin cepat untuk
mengurangi perasaan dingin yang seperti menusuk-nusuk
kulit. Yang pertama-tama mereka datangi adalah Jagabaya
Sangkal Putung untuk memberitahukan kepadanya tugas
yang harus dilakukannya sejak malam ini. Jagabaya itu harus
menyelenggarakan pengungsian dan besok memimpin
sebagian dari laki-laki Sangkal Putung yang masih mungkin
menggenggam senjata, melakukan pengawalan di
kademangan. "Apakah perlu kita bunyikan tanda bahaya?" bertanya
Jagabaya. "Jangan" cegah Swandaru "Tidak banyak manfaatnya.
Hanya akan menimbulkan kecemasan dan kekacauan. Rakyat
akan berbuat tanpa dapat dikendalikan"
"Jadi apakah aku harus mendatangi setiap rumah diseluruh
kademangan?" "Apakah begitu juga yang pernah kau kerjakan?" bertanya
Swandaru. "Tidak" sahut Jagabaya itu "Aku hanya membangunkan
beberapa orang, dan berita itu telah menjalar sendiri"
"Nah, lakukanlah. Tetapi beri mereka ketenangan, bahwa di
kademangan akan ditempatkan pengawalan yang kuat. Para
peronda disegenap mulut lorong telah mendapat perintah
apabila ada diantara rakyat yang menjadi bingung dan ingin
mengungsi keluar dari kademangan ini, mereka harus
dicegah, dan membawa mereka ke kademangan supaya tidak
timbul kekacauan yang merugikan. Aku akan mempergunakan
tenaga-tenaga anak-anak muda untuk keperluan serupa,
membantu pengungsian ini. Namun sebagian dari mereka
harus beristirahat menjelang fajar besok"
Jagabaya itu mengangguk-angguk. Katanya kemudian
"baik. Kewajiban itu akan aku lakukan sebaik-baiknya"
Sesaat kemudian Agung Sedayu dan Swandaru telah
berada kembali dibawah lebatnya hujan. Mereka
meninggalkan rumah Ki Jagabaya, akan memanggil beberapa
orang pemuda untuk mengawani Ki Jagabaya itu. Sedang
anak-anak muda yang lain supaya segera bersiap dalam
susunan kelompok-kelompok yang telah ditentukan.
"Kemana kita pergi sekarang?" bertanya Agung Sedayu
kepada Swandaru. "Memanggil anak-anak" sahut Swandaru.
"Ya, tetapi kemana" Dirumahnya masing-masing atau
kegardu mana yang kita tuju pertama-tama?"
"Kerumah Tima. Mungkin anak-anak berada disana"
Agung Sedayu tidak menjawab. Segera mereka berdua
berlari kerumah Tima yang sedang merayakan selapan
bayinya. Sampai dirumah Tima, Swandaru langsung meloncat
menyusup regol masuk kedalam halaman. Dengan tubuh dan
pakaian yang basah kuyup mereka menaiki tangga pendapa
yang terang benderang karena cahaya lampu-lampu minyak
yang betebaran tergantung hampir disetiap tiang-tiangnya.
Beberapa orang terkejut melihat dua orang berlari-lari
meloncat naik tangga pendapa rumah itu. Namun kemudian
hampir serentak setiap mulut bergumam "Swandaru dan
Agung Sedayu" Tima yang melihat kehadiran mereka berdua segera
menyongsongnya sambil bertanya dengan serta-merta "Oh,
marilah, marilah tuan berdua. Akh, aku tidak sempat
menyongsong kerumah. Hujan lebatnya bukan main. Apakah
kalian basah?" "Tidak" sahut Swandaru "Aku memiliki aji pengabaran.
Tidak basah oleh hujan dan tidak panas terjilat api". Namun
suaranya terdengar gemetar karena giginya gemeretak
kedinginan. Yang mendengar jawaban Swandaru itu tertawa geli. Tetapi
mereka menjadi iba melihat bibir Swandaru itu bergetaran.
"Mari, mari silakan naik" Tima mempersilakan.
"Sebenarnya sejak senja aku ingin datang kemari" berkata
Swandaru kemudian "Tetapi aku belum sempat. Hujan telah
tercurah dari langit. Meskipun demikian, aku paksa juga untuk
mengunjungi selapanan bayimu. Nasi megana, telur bulat,
sambal goreng yang pedas. Hem, alangkah nikmatnya"
"Karena itu marilah naik" sekali lagi Tima mempersilakan.
"Tetapi sayang, kami berdua basah kuyup"
"Tidak apa, silakan"
"Kami bisa membeku kedinginan"
Tima menjadi bingung. Apakah maksud Swandaru itu
sebetulnya. Dan tiba-tiba berkata "Apakah kalian memerlukan
pakaian kering supaya tidak kedinginan?"
"Terima kasih" sahut Swandaru "Aku kira tidak perlu
pakaian kering, bahkan pakaian kalianlah yang akan menjadi
basah kuyup" Tima menjadi bingung. Namun kemudian terdengar
Swandaru berkata "Sebelum nasi meganamu siap Tima, aku
lebih dahulu ingin bertemu dengan beberapa pemimpin
kelompok anak-anak muda Sangkal Putung yang kebetulan
berada dirumah ini" Tima mengerutkan keningnya. Terasa dadanya berdebardebar.
Beberapa anak muda yang mendengarnya, dengan
serta-merta bangkit dan berdiri mengelilingi Swandaru dan
Agung Sedayu. "Duduklah" minta Swandaru "Aku tidak ingin mengganggu
pertemuan ini. Nanti aku juga ingin turut menikmati suguhansuguhan
yang telah terlanjur siap"
Tetapi anak-anak muda dipendapa itu justru semakin
banyak yang berdiri melingkarinya, sehingga kemudian
Swandaru terpaksa memperingatkan mereka sekali lagi
"Duduklah. Kalau kalian berebutan berdiri, nanti suguhansuguhan
itu akan terinjak-injak"
Namun kali ini suara Swandaru itupun seakan-akan tidak
mereka dengar. Berebutan mereka mendekati Swandaru dan
Agung Sedayu. Swandaru akhirnya menjadi jengkel. Tiba-tiba
ia meloncat turun kehalaman, kedalam hujan yang masih
tercurah dari langit. Dalam keriuhan air hujan terdengar suara
Swandaru disela-sela derai tertawanya "Nah, marilah, siapa
yang akan mengerumuni aku lagi"
Beberapa anak-anak muda mengumpat-umpat didalam
hatinya. Namun beberapa orang yang kebetulan pemimpinpemimpin
kelompok anak-anak muda Sangkal Putung melihat,
bahwa ada sesuatu yang penting yang akan disampaikan oleh
Swandaru kepada mereka, sehingga karena itu, maka ada
diantara mereka yang benar-benar meloncat pula kehalaman,
01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dibawah curahan hujan yang lebat.
"He, kau gila" teriak Swandaru. "Tunggulah, aku akan naik
lagi kependapa" Namun anak-anak muda itu tersenyum, jawabnya "Pasti
ada yang penting terjadi. Kalau tidak, maka aku kira kakang
Swandaru tidak akan datang ketempat ini dengan pakaian
basah kuyup dan tanpa baju"
"Anak setan kau" umpat Swandaru sambil tertawa "Baiklah,
marilah, ikuti aku keteritis gandok"
Kemudian Swandaru dan Agung Sedayu diikuti oleh lima
orang anak muda berlari menuju keteritis gandok.
Ketika mereka sudah berada ditempat yang teduh, maka
segera Swandaru memberitahukan kepada mereka, apa yang
harus mereka lakukan. "Apakah hanya ada lima orang pemimpin kelompok yang
berada ditempat ini?"
"Ya kakang. Pemimpin kelompok dari kelompok lima, tujuh
dan sembilan tidak datang, sedang pemimpin kelompok
delapan sedang bertugas digardu selatan"
"Besok kalian berada langsung dibawah pimpinan ayah
sendiri. Aku mempunyai tugas khusus bersama kakang Agung
Sedayu. Satu kelompok laskar Pajang ada diantara kalian.
Ingat, bahwa satu kelompok laskar pajang, meskipun
jumlahnya hampir sama dengan kelompok-kelompokmu,
namun mereka sudah terlatih baik dan penuh pengalaman.
Kalian berada dibawah tuntunan mereka bersama beberapa
orang Sangkal Putung sendiri bekas prajurit yang akan ikut
serta dengan kalian dalam kelompok-kelompok yang telah
ditentukan" "Baik kakang" jawab mereka hampir bersamaan.
*** Swandaru menjadi bangga akan kesediaan anak-anak
Sangkal Putung menghadapi bahaya. Mereka benar-benar
telah siap lahir batin untuk membela tanah yang digarapnya
setiap hari, tanah sumber hidupnya, kampung halaman.
"Bagus" sahut Swandaru "Kalau demikian, kalian harus
segera berbuat sesuatu. Waktumu terbatas sekali. Siapkan
beberapa anak muda untuk membantu Jagabaya. Serahkan
beberapa orang dari kelompok tiga. Mereka harus membantu
menyelenggarakan pengungsian dan kemudian mengadakan
pengawalan atas kademangan. Hubungi pimpinan kelompok
orang-orang yang sudah setengah umur. Merekapun harus
membantu penyelenggaraan pengungsian dan pengawalan
atas kademangan. Tetapi separo dari mereka yang masih
sanggup ikut pula besok pagi-pagi menyongsong musuh,
kalian harus bersiap dihalaman banjar desa. Tidak akan ada
tanda bahaya dibunyikan. Satu-satunya tanda justru kentong
dara muluk menjelang terang tanah. Atau kalau perlu
dipercepat. Ingat, dara muluk"
Kelima anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Mereka sudah dapat membayangkan apa yang harus mereka
lakukan bersama ayah-ayah mereka, paman-paman mereka,
dan bahkan kakek-kakek mereka. Setiap laki-laki di Sangkal
Putung. Setiap kelompok mempunyai tugasnya masingmasing.
Kelompok anak-anak muda, kelompok orang-orang
yang lebih tua dan kelompok orang-orang setengah umur
yang masih sanggup menggenggam senjata. Bahkan anakanak
tanggungpun akan diikut-sertakan dalam kesempatan
yang sesuai dengan hasrat yang menyala didalam dada
mereka. Ketika semuanya sudah menjadi jelas, maka berkata
Agung Sedayu "Jangan kecewakan Tima yang telah terlanjur
menyediakan suguhan buat kalian. Tetapi usahakan dengan
bijaksana supaya kerja besok tidak terbengkalai"
"Baik kakang" jawab salah seorang dari mereka "Aku akan
berusaha mempercepat hidangan itu. Sesudah itu, kami akan
bekerja keras" "Bagus, cobalah untuk beristirahat. Jangan kau peras habis
tenagamu malam ini" sambung Agung Sedayu.
"Baik" "Kalau demikian, kembalilah kependapa. Pakaian kalianpun
telah basah pula" "Tidak apa. Kami hanya tinggal sebentar duduk diantara
mereka" Setelah semuanya menjadi semakin jelas, maka Swandaru
dan Agung Sedayupun segera berlari kembali kependapa
bersama kelima anak-anak muda pemimpin kelompok itu.
Ditangga pendapat Agung Sedayu dan Swandaru segera
minta diri kepada Tima yang berdiri dengan mulut ternganga.
Ia sama sekali tidak tahu apa yang sedang dilakukan oleh
Agung Sedayu dan Agung Sedayu. Sehingga terloncat dari
mulutnya "Lalu apakah yang kalian kehendaki datang dalam
pakaian yang basah kuyup tanpa baju, kemudian pergi
sebelum aku memberikan apa-apa?"
Swandaru tertawa "Nanti aku datang kembali"
Tima tidak sempat berkata apapun lagi. Mereka yang
dipendapa hanya sempat melihat Swandaru dan Agung
Sedayu meloncat kedalam hujan yang lebat dan hilang ditelan
oleh kegelapan. Tima masih berdiri diatas tangga pendapa rumahnya. Ia
merasa aneh atas sikap Swandaru itu. Namun telah terasa
pula didalam hatinya, bahkan setiap orang dan anak muda
yang duduk dipendapa itu, bahwa sesuatu yang penting telah
terjadi. Segera mereka menghubungkan perintah
kesiapsiagaan yang meningkat akhir-akhir ini. Latihan-latihan
yang lebih berat, dan kewaspadaan yang semakin tajam.
Kini yang menjadi pusat perhatian mereka adalah kelima
anak-anak muda yang masih berdiri ditangga pendapa.
Meskipun pakaian mereka basah juga, namun mereka masih
sempat naik kependapa dan duduk kembali ditempat masingmasing.
Tima yang tidak sabar segera bertanya kepada salah
seorang dari mereka "Apakah yang penting?"
Yang ditanya menggeleng "Tidak ada"
"Kau menyimpan rahasia itu?" bertanya anak muda yang
lain. "Tidak. Swandaru hanya datang untuk mempercepat nasi
megana yang telah dipersiapkan supaya tidak menjadi terlalu
dingin" Tima segera mengerti. Kini ia yakin, bahwa pertemuan itu
telah dikejar waktu. Ada sesuatu yang penting akan terjadi.
Demikian juga orang-orang lain dipendapa itu. Sehingga
karena itu maka Tima berkata "Baik. Aku akan percepat
gelombang hidangan yang telah kami siapkan. Bukankah
kalian ditunggu oleh tugas-tugas yang penting ?"
Kelima orang anak muda itu tersenyum. Dan senyumnya itu
telah membenarkan ucapan Tima yang segera bergegas
kebelakang. Pertemuan itu cepat selesai jauh sebelum waktu yang
ditentukan. Kelima anak-anak muda pemimpin kelompok
segera memanfaatkan pertemuan itu. Sehingga sejenak
kemudian, beberapa anak-anak muda segera berlari-larian
berpencaran dari rumah Tima untuk melakukan pekerjaan
masing-masing. Sebenarnyalah Sangkal Putung didalam malam yang
kelam, dibawah cucuran hujan yang lebat itu, telah terbangun
karena sebuah kejutan yang menegangkan. Hilir mudik anakTiraikasih
website - http://kangzusi.com/
anak muda dan orang-orang yang bertugas
menyelenggarakan penyingkiran perempuan dan anak-anak,
masuk keluar pintu-pintu rumah, mengetuk pintu-pintu yang
masih tertutup dan memberitahukan kepada mereka untuk
mengamankan diri mereka bersama anak-anak mereka.
Rakyat Sangkal Putung benar-benar dicengkam oleh
kecemasan. Cemas akan datangnya malapetaka besok, dan
cemas akan hujan angin yang kencang. Namun mereka
terpaksa meninggalkan rumah-rumah mereka, membawa
barang-barang mereka yang paling berharga. Dibawah
payung-payung belarak dan daun-daun pisang, mereka
berbondong-bondong pergi ke kademangan mengamankan
diri dan barang-barabg mereka. Tangis anak-anak kecil telah
memecahkan kesepian kademangan itu. Obor-obor blarak
berlarian didalam kelamnya malam. Namun sebagian dari
obor-obor itu terbunuh oleh hujan yang masih saja tercurah
dari langit. Tetapi pengungsian berjalan terus.
Laskar Pajang yang berada dikademangan telah
menyingkirkan diri mereka sendiri dari pendapa. Mereka
betebaran digandok dan disetiap sudut rumah itu untuk
memberi tempat kepada para perempuan dan anak-anak yang
segera akan memenuhi pendapa itu.
Pendapa kademangan Sangkal Putung itu segera menjadi
hiruk pikuk. Rengek anak-anak diantara tangis bayi.
Sedangkan beberapa orang perempuan menjadi gemetar
ketakutan. Tetapi mereka menjadi agak tentram ketika mereka
melihat beberapa orang laki-laki, suami-suami mereka, anakanak
mereka, dan saudara-saudara mereka telah siap dengan
senjata ditangan mereka. Apalagi ketika mereka melihat
beberapa orang prajurit Pajang yang hilir mudik diantara
mereka. Seolah-olah mereka berada didalam pelukan tangantangan
yang akan sanggup melindunginya.
Ternyata waktu merayap terlampau cepat. Prajurit-prajurit
Pajang dan laki-laki Sangkal Putung yang besok harus maju
berperang, sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk
beristirahat. Karena itu maka Untara segera mengambil
kebijaksanaan lain. Setiap orang yang besok akan ikut serta
dalam perlawanan terhadap laskar Jipang langsung digaris
peperangan harus meninggalkan kademangan dan pergi
kebanjar desa. Demikianlah maka sesaat kemudian seperti banjir yang
mengalir mereka meninggalkan halaman kademangan. Dan
sesaat kemudian laki-laki dihalaman kademangan itu, menjadi
semakin susut, tetapi sebaliknya perempuan dan anak-anak
menjadi bertambah-tambah.
Yang tinggal dihalaman itu, selain para pengungsi,
tinggallah beberapa orang laki-laki dan para pemuda yang
bertugas mengawal mereka. Tetapi disamping mereka, hampir
setiap laki-laki yang seharusnya tidak turut dalam setiap
persiapan karena umur-umur mereka yang telah lanjut,
ternyata tidak mau ketinggalan pula. Meskipun mereka telah
dibebaskan dari kewajiban itu, namun mereka tidak dapat
tinggal diam. Seorang yang berambut putih seperti kapas berkata
kepada temannya yang berdiri disampingnya, diteritisan
kademangan itu "Hem. Kenapa aku tidak diikutsertakan dalam
barisan yang besok akan menyongsong lawan itu?"
Temannya yang sudah tidak bergigi satupun menjawab
"Aku juga menyesal. Kemarin aku sudah berkata apabila ada
bahaya datang setiap saat, aku sanggup untuk maju kegaris
perang terdepan. Tetapi Ki Jagabaya tertawa sambil menunjuk
gigiku yang telah habis ini "Gigimu telah habis Kek"
Aku menjawab "Bukankah aku tidak akan menggigit
musuh-musuhku" Tetapi tanganku masih kuat mengayunkan
pedang. Jagabaya itu tidak percaya. Aku telah memberinya
bukti. Dengan sebuah kapak, aku membelah sepotong balok
dihalaman rumah Ki Jagabaya. Tetapi Ki Jagabaya masih juga
tertawa sambil menjawab "Balok itu tak dapat bergerak kek.
Kalau lawanmu itu mampu menghindar dan menjauh, kau
akan kehabisan nafas untuk mengejarnya". Terlalu, terlalu Ki
Jagabaya itu. Meskipun demikian aku sekarang membawa
kapakku itu. Aku akan membuktikan bahwa aku masih mampu
membelah kepala musuh-musuhku"
Temannya yang berambut putih kapas menganggukanggukkan
kepalanya. Katanya "Akupun masih dapat
memanjat pohon kelapa dihalaman rumahku. Kau tahu,
dirumahku ada duapuluh lima pohon kelapa. Aku
memanjatnya berganti-ganti tanpa istirahat"
Temannya yang tak bergigi mengangguk-anggukkan
kepalanya pula. Jawabnya "Itulah. Mereka menyangka kita
sudah pikun. Nanti, apabila orang-orang Jipang itu ada yang
merembes sampai kehalaman ini, akan aku buktikan
kemampuanku" Mereka kemudian berdiam diri. Dengan tajamnya mereka
mengamati beberapa orang prajurit Pajang yang masih
bertugas ditegol halaman itu. Diteritisan yang lain mereka
melihat anak-anak muda yang telah bersiaga penuh. Sebagian
dari mereka menyeret pedang dilambung mereka, dan
sebagian lagi memandi tombak dipundak mereka.
Kedua orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Mereka berbangga didalam hati mereka. Tetapi mereka lebih
berbangga hati lagi, ketika mereka melihat orang-orang tua
sebaya dengan mereka, membawa senjata-senjata pula
ditangannya. Seorang yang duduk ditepi pendapa, meskipun
hampir seluruh kulitnya telah berkeriput, namun tangannya
masih juga menggenggam sebilah pedang karatan. Pedang
yang agaknya tidak pernah disentuhnya selama ini. Namun
justru pedang-pedang yang karatan itu merupakan senjata
yang berbahaya. Luka yang ditimbulkannya dapat menjadikan
penderitanya bengkak dan keracunan. Seorang yang lain
sibuk membelai cucunya yang menangis. Ibu anak itu sedang
menyusui bayinya yang menangis pula. Tetapi anak yang
menangis dipangkuan kakeknya itu masih sempat
mempermainkan hulu keris kakeknya.
"Jangan dicabut ngger" desis kakeknya. Tetapi cucunya
melengking-lengking ingin melihat benda itu.
"Hem" desis kakeknya. "Mintalah yang lain"
Cucunya terdiam ketika seorang perempuan yang lain
memberinya sepotong jenang a lot kepadanya.
Pendapa, pringgitan, bahkan ruangan dalam dan gandok
kademangan itu benar-benar telah penuh sesak. Tak ada
setapak tempatpun yang masih kosong. Anak panah yang
malang mujur terbaring, dan ibu-ibu mereka yang duduk
bersimpuh diantara mereka. Mereka sama sekali tidak
memperhatikan lagi pakaian mereka yang basah kuyup.
Sedang dibawah pendapat itu, diteritisan gandok dan
dibelakang kademangan, sebagian anak-anak muda berdiri
berjajar-jajar dengan sebagian laki-laki Sangkal Putung dalam
kesiagaan. Hujan yang lebat terasa menjengkelkan selaki.
Tetapi mereka sama sekali tidak kehilangan kewaspadaan.
Setiap saat tangan-tangan mereka siap mengangkat senjata
mereka. Sedang diregol halaman beberapa prajurit Pajangpun
selalu berada dalam kesiagaan penuh.
01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Prajurit-prajurit yang lain, laki-laki Sangkal Putung dan
anak-anak muda mereka, yang besok mendapat tugas
menyongsong musuh, berjalan dalam iring-iringan kebanjar
desa. Beberapa orang diantara mereka terutama anak-anak
mudanya, berjalan langsung menuju kebanjar itu dari rumah
masing-masing. Sedangkan ayah-ayah mereka terpaksa
mengantar istri-istri mereka, dan anak-anak mereka yang
masih kecil lebih dahulu kekademangan.
Demikianlah maka bajar desa dan lapangan dimukanya
telah menjadi pusat persiapan untuk menghadapi lawan-lawan
mereka besok. Demikianlah maka semakin jauh malam memanjat
kepuncaknya, maka Sangkal Putung menjadi semakin sibuk.
Persiapan-persiapan menjadi semakin ketat, dan setiap dada
menjadi semakin berdebar-debar. Bagi laskar Sangkal Putung,
adalah untuk pertama kalinya mereka akan menghadapi
lawan-lawan mereka dengan gelar yang sempurna. Namun
Widura berkata kepada mereka "Apa yang akan kalian alami
tidak akan jauh berbeda dari setiap pertempuran yang pernah
terjadi. Kalian hanya lebih terikat pada kerjasama dalam gelar
yang telah ditentukan. Namun untuk selanjutnya apabila kalian
selalu ingat kepada segala petunjuk yang pernah diberikan
kepada kalian, maka kalian tidak akan menemui kesulitan apaapa.
Satu kelompok prajurit Pajang akan menuntun kalian,
apa yang harus kalian lakukan"
Laskar Sangkal Putung itu menjadi berbesar hati. Tetapi
mereka tidak cukup terlatih seperti prajurit Pajang dan para
prajurit Jipang yang mampu bertempur sehari penuh. Mulai
pada saat matahari terbit, dan baru berhenti pada saat
matahari terbenam. Mereka telah cukup dapat mengatur diri
mereka untuk menyesuaikan dengan keadaan itu. Sedangkan
laskar Sangkal Putung masih belum pernah melakukannya.
Peperangan yang pernah terjadi tidak sampai melampaui
tengah hari. Dan pertemuran malampun tidak sampai separo
malam. Kini apabila kedua pihak telah bertekad untuk
melakukan peperangan dalam tingkat terakhir maka mereka
harus berani menghadapi kemungkinan itu.
Untuk menghadapi keadaan ini Untara dan Widura
mempunyai cara mengatasinya.
"Kita harus menyediakan tenaga cadangan" berkata Untara
"Ya" Widura membenarkan "Sebagian dari mereka harus
tetap segar. Kalau kawan-kawan mereka sesudah tengah hari
akan mengalami kekendoran dan kelelahan, maka mereka
harus turun kegaris perang. Bukankah begitu?"
"Ya paman" jawab Untara "Aku kira jumlah kita bersama
dengan laskar Sangkal Putung melampaui jumlah prajurit
Jipang. Karena itu maka kita akan dapat menyimpan tenaga
cadangan disamping mereka yang bertugas dikademangan
dan digardu-gardu. Apabila kita ternyata terdesak oleh
kekuatan mereka, maka sebagian laskar cadangan itu dapat
kita turunkan kemedan, berangsur-angsur. Dan apabila perlu,
maka sebagaimana peronda digardu-gardu dapat ditarik
seluruhnya. Digardu-gardu itu kita tempatkan dua orang
pengawas saja, yang apabila keadaan memaksa mereka
hanya bertugas untuk melaporkan keadaan"
"Ya, semua tenaga dapat penyaluran sewajarnya menurut
keadaan dan kekuatan lawan. Pengawal di kademanganpun
kalau perlu dapat dikurangi" sahut Widura.
Kesepakatan pendapat itulah yang kemudian mereka
pergunakan untuk mengatur laskar Sangkal Putung dan
prajurit Pajang. Sekali lagi segenap pemimpin kelompok
bertemu. Dan sekali lagi Untara memberi penjelasan, apa
yang harus dilakukan dan apa yang harus diperhatikan.
Setelah itu maka segala persiapan telah selesai. Saat yang
pendek itu dapat mereka pergunakan untuk beristirahat.
Beberapa orang dibelakang merebus air sambil
menghangatkan tubuhnya. Sedang beberapa orang yang
masih sakit, yang ditempatkan dibanjar desa itu menjadi
kecewa, bahwa mereka tidak dapat ikut serta kali ini
menyongsong pula kedatangan Macan Kepatihan.
Ketika malam telah melampaui pusatnya, maka Untara
telah mengirim dua orang berkuda untuk menghubungi para
pengawas digardu terdepa. Namun mereka belum melihat
sesuatu dan bahkan para pengawas yang langsung berada
dilingkungan lawanpun belum memberikan laporan apa-apa
Tetapi Untara dan Widura idak melemahkan kesiagaan.
Mereka tetap dalam kesiapan. Setiap saat laskar di banjar
desa itu dapat digerakkan.
Namun demikian, masih ada yang selalu membayangi
perasaan Untara, Widura dan bahkan beberapa orang
Sangkal Putung yang lain. Ki Tanu Metir masih belum tampak
diantara mereka. Sehingga semakin dekat fajar menyingsing,
harapan mereka untuk mengikutsertakan Ki Tanu Metir
menjadi semakin tipis. Apalagi ketika kemudian telah datang beberapa orang dari
kademangan membawa makan pagi bagi laskar Sangkal
Putung dan prajurit Pajang di banjar desa itu. Maka mereka
tidak akan memerhitungkan kekuatan Ki Tanu Metir lagi.
Kepada laskarnya Widura berkata "Makanlah. Makanlah
sekenyang-kenyangnya. Mungkin sehari nanti kalian tidak
mendapat kesempatan untuk makan. Apalagi makan,
minumpun belum tentu. Apabila kekuatan kita melampaui
kekuatan lawan atau sebaliknya, maka pertempuran itu akan
lekas selesai. Kalian akan menang atau akan kalah. Tetapi
kalau kekuatan kita seimbang, maka belum mengalami
kekalahan salah satu pihak harus berjuang dahulu sehari
penuh. Nah, mudah-mudahan kekalahan itu tidak dipihak kita.
Makanlah dan kemudian siapkan dirimu. Kalian besok harus
berusaha sekuat-kuat tenagamu. Tetapi kalian tidak boleh
melupakan, bahwa segala sesuatu tergantung kepada Yang
Maha Pengasih. Karena itu berdoalah, semoga kalian dapat
menyelesaikan tugas-tugas kalian"
Sejenak kemudian mereka telah tenggelam dalam
kesibukan menyuapi mulut-mulut mereka. Citra Gati yang
duduk didekat Sendawa berguman "Alangkah nikmatya makan
pagi kali ini" "Hus" desis Sendawa "Apakah makanan ini merupakan
makanan terakhir yang dapat kau makan?"
"Jangan berkata begitu" sahut Citra Gati "Tetapi masakan
kali ini memang lain daripada yang lain. Mungkin juga nasi
hangat dan sambal lombok goreng ini benar-benar sesuai
dengan suasanan yang dingin beku ini"
Keduanya tertawa. Dan keduanya menyuapi mulut-mulut
mereka tanpa henti-hentinya.
Tidak terlalu jauh dari Sangkal Putung. Ditengah-tengah
hutan yang tidak terlalu lebat, Tohpati duduk termenung
membelai tongkat baja putihnya. Ia masih mendengar hiruk
pikuk prajuritnya yang sedang menyusun diri.
Berbagai perasaan berkecamuk didalam kepala Macan
yang garang itu. Baru saja ia menjatuhkan perintah terakhir.
Siap untuk berangkat. Namun demikian, meskipun perintah itu
diucapkannya dengan tegas, tetapi ia tidak dapat mengelabui
dirinya sendiri. Hatinya selama ini selalu dibayangi oleh
keragu-raguan. Peristiwa-peristiwa yang susul-menyusul
disaat-saat terakhir benar-benar sangat mempengaruhinya. Ia
mendengar berbagai tanggapan atas peperangan yang masih
saja dilanjutkannya. Mula-mula ia merasa bahwa ia harus
berbangga, ia dapat bertahan sampai sekian lama
sepeninggal Arya Penangsang. Bahkan laskar Jipang yang
berserakan masih juga mengakuinya sebagai pimpinan
mereka, sehingga kepadanyalah ketergantungan itu
dipercayakan. Tetapi Tohpati bukanlah seorang yang berhati batu
berjantung kayu. Setiap kali ia melihat darah menggelimang
diujung tongkatnya, setiap kali ia melihat mayat terbujur
lintang. Bukan saja mayat-mayat prajurit yang bertempur
dimedan-medan perang, tetapi ia pernah juga melihat mayatmayat
perempuan dan anak-anak yang terbunuh dalam
kerusuhan-kerusuhan. Bahkan ia pernah melihat mayat
seorang perempuan dan bayinya masih dalam pelukan. Tetapi
mayat itu sudah menjadi arang.
Macan Kepatihan itu menarik nafas dalam-dalam. Tanpa
disadarinya diamatinya tangannya. Besar dan kasar. Bulubulunya
tumbuh hampir sampai ketelapak tangannya.
"Hem" geram Macan yang garang itu. Bulu-bulunya serasa
tegak berdiri ketika tiba-tiba dikenangnya bahwa tangan itu
pernah menampar pipi seorang perempuan muda. Demikian
kerasnya sehingga perempuan itu pingsan. Dan tiga hari
kemudian didengarnya bahwa perempuan itu mati.
Perempuan itu datang kepadanya sambil mengumpatumpatinya.
Dituding-tudingnya wajahnya sambil mengucapkan
sumpah serapah yang paling menyakitkan hati.
"Tohpati" berkata perempuan itu "Kau bunuh suamiku itu"
Tohpati menggeleng-gelengkan kepala. Seakan-akan
perempuan itu berdiri dimukanya kini. Suaminya, yang baru
saja mengawininya, terbunuh dimedan perang. Dan
perempuan itu menyalahkannya.
"Ketamakanmu atas kekuasaan telah membunuh suamiku"
berkata perempuan itu "Kaulah yang kelak akan menjadi
adipati menggantikan Adipati Jipang, tetapi suamiku yang kau
korbankan" Pada saat itu Tohpati tidak mau mendengar perempuan itu
berteriak-teriak sehingga tanpa disadarinya, terbakar oleh
kemarahan yang memuncak, perempuan itu ditamparnya.
Tetapi sama sekali ia tidak bermaksud membunuhnya.
"Perempuan itu bukan satu-satunya" desisnya "Ada
sepuluh, seratus bahkan ribuan perempuan yang menangisi
kematian suaminya. Tetapi perempuan-perempuan Pajang,
perempuan-perempuan Sangkal Putung menangisi kematian
suaminya dengan kebanggan didalam hati. Meskipun mereka
menangis, tetapi mereka dapat berkata "Kematianmu adalah
tawur bagi sawah ladang, kampung halaman. Kematianmu
akan dikenang seumur negeri ini"
Tohpati mengangkat wajahnya ketika ia mendengar
Sanakeling berteriak memberikan aba-aba. Sesaat kemudian
terdengar suara Alap-alap Jalatunda menyahut, dan kemudian
yang lain-lainpun terdengar meneruskan perintah Sanakeling
itu. Tohpati menarik nafas dalam-dalam. Perintah itu adalah
perintah mempersiapkan diri untuk segera berangkat ke
Sangkal Putung. Tetapi Tohpati seakan-akan masih saja
terpaku diambennya. Ia masih duduk termenung sambil
membelai tongkat berkepala tengkorak kuningnya. Ia masih
tenggelam dalam seribu macam kenangan. Bahkan sejak ia
menjadi prajurit dalam kadipaten Jipang. Pada masa Demak
masih mengumandang namanya, kemudian datanglah
bencana itu. Perang saudara antara Jipang dan Pajang ketika
tahta Demak kosong sepeninggal Sultan Trenggana yang
gugur. Dan kini ia tinggal didalam barak ilalang dengan orangorang
sekasar Sanakeling, selicik Alap-alap Jalatunda dan
setamak dirinya sendiri. Kembali Tohpati terkejut ketika ia mendengar seseorang
memasuki gubug itu. Ketika ia berpaling dilihatnya Sanakeling
berdiri diambang pintu dengan wajah berseri-seri.
"Semuanya sudah siap kakang Tohpati. Kita menunggu
perintah untuk berangkat"
Tohpatipun kemudian tegak berdiri. Sekali ia menarik nafas
pula sedalam-dalamnya. Kemudian terdengar ia
menggertakkan giginya. Ia ingin menindas setiap perasaan
yang dapat mengganggunya. Karena itu sebelum ia bertempur
melawan orang-orang Pajang dan Sangkal Putung, ia harus
memenangkan perasaannya lebih dahulu.
Tetapi alangkah sulitnya. Ia tidak dapat mempergunakan
senjatanya yang mengerikan itu dalam pertempurannya
melawan perasaanya sendiri.
Namun tiba-tiba Tohpati itu berteriak keras-keras sehingga
Sanakeling terkejut "Siapkan mereka!. Aku segera akan
datang!" "Baik kakang!" sahut Sanakeling yang tiba-tiba berteriak
pula tanpa disengajanya. Ketika Sanakeling kemudian lenyap didalam kelam diluar
barak itu, maka Tohpatipun kemudian melangkah perlahanlahan.
Sampai diambang pintu ia berhenti sesaat. Ia tidak tahu
kenapa ia berpaling. Kenapa tiba-tiba ia ingin memandangi
segenap isi ruangan itu. Lampu minyak. Tiang-tiang bambu.
Sebuah gelodog bambu disudut dan sebuah gendi diatasnya.
Amben bambu tempatnya berbaring tidur. Itu saja.
Baru Tohpati itu melangkah keluar.
Hatinya berdesir ketika didalam cahaya obor ia melihat
berbagai macam umbul-umbul, rontek dan tunggul-tunggul.
Terasa sesuatu yang aneh merayap didalam hatinya. Ia sama
sekali tidak memerintahkan untuk membawa segala
perlengkapan upacara perang itu. Tetapi agaknya perintahnya
untuk membuat gelar yang sempurna telah menumbuhkan
perintah pula untuk membawa segala macam tanda-tanda
kebesaran Jipang, meskipun umbul-umbul dan rontek itu
sudah menjadi kumal karena tidak terpelihara. Namun bahwa
barang-barang itu dapat diselamatkan telah membesarkan
hatinya pula. "Itu adalah jasa paman Sumangkar" gumamnya didalam
hati. Sementara itu Tohpati diam mematung. Diamat-amatinya
seluruh pasukannya yang telah siap menunggu perintahnya.
Tiba-tiba hatinya merasa tersentuh oleh kesetiaan laskatnya
itu. Meskipun keadaan mereka telah jauh terperosok dalam
kesulitan yang sangat, namun dibawah panji-panji kebesaran
Jipang, terasa seakan-akan ia benar masih seorang senapati
perang yang berwibawa. Sebenarnya bahwa Macan Kepatihan itu masih memiliki
kewibawaab diantara anak buahnya, sehingga apapun yang
diperintahkannya akan dilakukan. Dan kali ini pasukan itu
menunggu untuk berangkat menggempur laskar Sangkal
Putung yang dipimpin oleh seorang senapati muda bernama
Untara. Dimuka pasukannya itu telah berdiri Sanakeling. Dilambung
kirinya tergantung sebilah pedang dalam wrangka putih
mengkilat, dan dilambung kanannya, pada ikat pinggangnya
tergantung sebuah bindi dari kayu berlian berlapis besi
berjalur-jalur. Bindi itu ditangan kiri Sanakeling kadang-kadang
dipakainya sebagai perisai untuk menangkis serangan lawan
01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
namun apabila bindi itu menyentuh tubuh lawannya, maka
akibatnya tidak kalah berbahaya dari pedang ditangan
kanannya. Agak jauh dibelakang dilihatnya belahan pasukannya
dibawah pimpinan seorang anak muda yang bermata tajam
setajam mata burung alap-alap. Sebenarnya anak muda itu
berbangga apabila orang menyebutnya Alap-alap Jalatunda.
Dengan penuh dendam ia mengharap dapat bertemu lagi
dengan Agung Sedayu. Kali ini ia mengharap bahwa ia akan
dapat menebus kekalahannya. Setelah dengan tekun ia
melatih dirinya sendiri hampir siang dan malam, maka sudah
tentu ia memiliki kemampuan yang bertambah-tambah.
*** Ketika Tohpati memandang wajah Sanakeling yang samarsamar
diterangi oleh cahaya obor yang kemerah-merahan,
dilihatnya wajah yang keras kasar itu hampir tidak sabar lagi
menunggu perintahnya. Karena itu maka sambil
menganggukkan kepalanya, Tohpati melambaikan tongkat
baja putihnya yang mengerikan itu.
Sanakeling tersenyum melihat lambaian tongkat Macan
Kepatihan. Dengan serta-merta ia menarik pedangnya.
Diangkatnya pedangnya itu tinggi-tinggi seolah-olah hendak
menusuk langit. Dan kemudian dari sela-sela bibirnya yang
tebal, terdengarlaj ia meneriakkan aba-aba.
Dalam waktu sekejap, hampir setiap pemimpin kelompok
telah mengulangi aba-aba itu. Terdengarlah kemudian
seseorang membunyikan sebuah bende. Suaranya
menggema melingkar-lingkar didalam hutan itu.
Ketika Sanakeling mengangkat tangannya untuk kedua
kalinya, maka sekali lagi bende itu bergema, suaranya
memukul-mukul batang-batang kayu dan dedaunan. Hampir
setiap tubuh didalam pasukan itu bergerak. Tangan-tangan
mereka sekali lagi meraba-raba pakaian mereka, senjata
mereka dan perlengkapan-perlengkapan mereka yang lain.
Mereka tidak boleh menjadi korban karena kealpaan mereka
atas persiapan mereka sendiri.
Sesaat kemudian Sanakeling mengangkat pedangnya
untuk yang ketiga kalinya. Pedang itu melingkar satu kali,
disambut oleh bunyi bende untuk yang ketiga kalinya. Bunyi
itu terasa seakan-akan menyentuh sudut hati mereka yang
berdiri didalam barisan itu. Sudah lama mereka tidak
mendengar bunyi aba-aba dengan cara yang demikian. Sudah
lama mereka hanya mendengar aba-aba dari pemimpinpemimpin
mereka yang berteriak-teriak tidak menentu.
Kadang-kadang bahkan bunyi aba-aba itu terasa sesuka hati
yang mengucapkannya. Namun kali ini mereka mendengar
aba-aba seperti yang selalu didengarnya pada saat Jipang
masih tegak. Pada saat mereka masih bernama seorang
prajurit Wiratamtama Jipang, dibawah pimpinan adipati yang
mereka segani, Arya Penangsang. Seorang adipati muda
yang perkasa, dengan seekor kuda bernama Gagak Rimang
dan sebilah keris ditangannya. Keris yang sakti tiada taranya,
yang dinamainya Setan Kober. Sedemikian saktinya keris itu,
sehingga orang menganggapnya, bahwa karena sentuhan
keris itu gunung akan runtuh dan lautan akan menjadi kering.
Meskipun kali ini mereka tidak bersama dengan adipati itu
lagi, namun Macan Kepatihan masih tetap memberi mereka
kebanggaan. Macan Kepatihan yang kali ini tidak berada
diatas punggung kudanya, kuda segagah Gagak Rimang yang
dinamainya Maruta. Kuda yang dapat berlari sekencang angin.
Namun meskipun demikian, ketika setiap orang dalam
pasukan itu melihat tongkat putihnya yang berkilat-kilat, maka
hati mereka menjadi bangga. Seolah-olah merekalah yang
menggenggam senjata yang mengerikan itu.
Beberapa orang dari mereka tidak dapat melupakan
kenyataan, bahwa Tohpati itu beberapa waktu yang lampau
dapat dilukai oleh senapati Pajang yang ditempatkan di
Sangkal Putung, dan bernama Untara. Tetapi mereka
menganggap peristiwa itu sebagai sebuah kecelakaan.
Tohpati pasti tidak dapat dikalahkan oleh siapapun. Mungkin
Ki Gede Pemanahan, Ki Penjawi, atau Ki Juru Mertani. Tetapi
tidak oleh orang lain. Apalagi Untara. Tohpati pada waktu itu
pasti baru melindungi seseorang atau lebih, sehingga dirinya
sendiri dikorbankannya. Apalagi kini, dibawah umbul-umbul, rontek dan tunggultunggul
kebesaran Jipang, dibelakang senapati mereka,
Macan Kepatihan, maka laskar Jipang itu merasa, bahwa
mereka adalah pasukan yang paling kuat yang pernah
terbentuk sejak Jipang runtuh.
Demikianlah, maka setelah bende yang ketiga kalinya itu,
pasukan Jipang mulai bergerak dengan sigapnya. Setiap
orang didalam pasukan itu tampak berwajah cerah, seakanakan
mereka telah menggengam kemenangan ditangannya.
Dibawah cahaya obor-obor yang menyala hampir disetiap
ujung dan pangkal kelompok, pasukan itu bergerak. Mereka
tidak takut lagi apabila lawan-lawan mereka dapat melihat
cahaya obor-obor itu dari kejauhan. Kini mereka datang
dengan dada tengadah, tanpa berusaha mencari kelengahan
lawan. Kini mereka datang beradu muka. Mereka datang
dalam gelar yang sempurna. Dari Sanakeling mereka telah
mendengar perintah, apabila mereka telah sampai didaerah
yang luas, maka mereka segera akan membuat gelar yang
cukup tanggon, Dirada Meta.
Laskar Jipang itu kemudian menjalar bagaikan seekor ular
raksasa yang merayap diantara pohon-pohon liar. Seekor ular
naga yang bersisik api. Obor-obor diantara mereka benarbenar
seperti sisik yang gemerlapan.
Semua orang didalam pasukan itu tiba-tiba
menengadahkan wajahnya ketika mereka melihat kilat
menyambar diudara. Sekali-sekali mereka mendengar guntur
menggelegar dilangit. Ketika mereka memandang kearah
timur, tampaklah langit gelap pekat.
Seorang didalam barisan itu bergumam lirih "Diarah timur
aku kira hujan turun dengan lebatnya"
Kawannya yang berjalan disampingnya mengangguk.
Sebelum ia menjawab, ditengadahkannya tangannya, katanya
"Disinipun hujan sebentar lagi akan turun. Lihat, titik-titik air
telah satu-satu berjatuhan"
"Tetapi angin bertiup kearah timur. Awan yang basah itu
akan dihalau pergi" Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia
tidak menjawab. Perlahan-lahan ular raksasa itu maju terus. Semakin lama
menjadi semakin dekat dengan tepi hutan. Dan sesaat
kemudian ujung dari barisan itu telah muncul dari sela-sela
belukar dan batang-batang pohon liar. Kini mereka berjalan
diatas padang perdu yang tidak terlalu luas, diselingi oleh
gerumbul-gerumbul dan pepohonan yang semakin jarang.
Macan Kepatihan yang berjalan diujung pasukan itu
berdesir. Didekat tempat inilah ia bersama Sumangkar
bertemu dengan Ki Tambak Wedi dan Sidanti. Bahkan
kemudian datang pula Kiai Gringsing dan kedua orang yang
mungkin sekali adalah murid-muridnya.
Macan Kepatihan itu tiba-tiba menundukkan wajahnya.
seolah-olah ia ingin melihat setiap langkah yang dilampaui
oleh kaki-kakinya itu. Dijinjingnya tongkatnya dengan tangan
kanannya, terbuai oleh ayunan lenggangnya. Sekali-sekali
tongkat itu tampak gemerlapan karena cahaya obor yang
dipantulkannya. Agak jauh dihadapan mereka, dua orang bersembunyi
dengan rapatnya dibalik dedaunan. Ketika mereka melihat
iring-iringan itu, hati mereka menjadi berdebar-debar. Apalagi
ketika mereka melihat umbul-umbul, rontek dan tunggultunggul
lengkap dibagian depan pasukan Jipang.
"Gila" desis salah seorang dari mereka "Mereka benarbenar
datang dalam kelengkapan yang sempurna"
Yang lain tidak menjawab. Ketika mulutnya hampir terbuka,
tiba-tiba didengarnya lamat-lamat suara aba-aba dari laskar
Jipang itu. Dengan sigapnya setiap orang didalam barisan itu
bergerak. Dan terbentuklah gelar Dirada Meta yang sempurna.
Macan Kepatihan, senapati yang disegani itu, berdiri diujung
gelar itu. Agak jauh disisinya, kedua senapati pengapitnya,
siap membayangi setiap perkembangan keadaan. Mereka
adalah Sanakeling dan Alap-alap Jalatunda. Tepatlah tebakan
Untara atas gelar yang akan dilakukan oleh Macan Kepatihan
itu. Namun sebaliknya. Macan Kepatihanpun dapat
memperhitungkan dengan tepat, bahwa Pajang akan
mempergunakan gelar yang lebih luas. Sesuai dengan
keadaan laskarnya yang bercampur baur dengan laskar
Sangkal Putung, maka mereka memerlukan medan yang lebih
lebar, supaya tidak terjadi desak-mendesak diatara mereka.
Laskar Sangkal Putung itu pasti belum mampu untuk
menghadapi keadaan yang serba tiba-tiba seperti lasakar
Pajang sendiri. Namun keberanian dan tekad dari orang-orang
Sangkal Putung benar-benar memusingkan kepala Tohpati.
Mereka mengamuk seperti orang mabuk, apalagi
disampingnya selalu dibayangi oleh kemahiran bertempur
orang-orang Pajang, sehingga gabungan diantara mereka,
keberanian, tekad yang meluap-luap dan pengalaman serta
kemahiran merupakan kekuatan yang benar-benar ngedabedabi.
Kedua orang yang bersembunyi itu adalah orang-orang
Pajang yang dipasang oleh Untara. Karena itu maka segera
mereka menyelinap dan berlari terbongkok-bongkok kearah
kuda-kuda mereka didalam semak-semak. Sesaat kemudian
mereka itupun telah meloncat keatas punggung kuda masingmasing
dan dengan hati-hati mereka berusaha untuk mencari
tempat-tempat yang terlindung. Baru setelah agak jauh
mereka memacu kuda-kuda mereka dengan cepatnya menuju
ke Sangkal Putung Tohpati dan beberapa pemimpin pasukan Jipang melihat
kedua orang berkuda itu. Namun mereka sama sekali tidak
berkeberatan seandainya kedatangan mereka kali ini
disongsong oleh laskar Sangkal Putung dan pasukan Pajang.
Pasukan Jipang yang terhimpun dari orang-orang mereka
yang betebaran itu merupakan kekuatan yang cukup besar
untuk menggulung kademangan Sangkal Putung.
Kedua pengawas dari Sangkal Putung itu memacu kudanya
seperti angin. Mereka harus segera sampai Sangkal Putung
dan melaporkan apa yang mereka lihat.
Ketika mereka menjadi semakin dekat dengan Sangkal
Putung, terasa titik-titik hujan semakin deras berjatuhan diatas
tubuh-tubuh mereka. Namun ketika kemudian mereka melihat
air yang tergenang disana-sini, maka gumam salah seorang
adri mereka "Agaknya hujan lebat didaerah ini"
Yang lain menganggukkan kepalanya sambil berkata "Ya,
lebat sekali. Bahkan anginpun agaknya terlalu kencang"
Keduanya tidak berbicara lagi. Kuda mereka berlari
semakin kencang. Sekali-sekali menyeberangi genangangenangan
air dijalan yang mereka lalui. Dan ternyata hujanpun
belum teduh sama sekali, sehingga sebelum mereka
memasuki Sangkal Putung mereka telah menjadi basah kuyup
pula. Tetapi hujan sudah jauh berkurang. Air tidak lagi seakanakan
tertumpah dari langit yang retak.
Kedua ekor kuda itu berpacu langsung kekademangan.
Tetapi mereka menjadi kecewa ketika para penjaga regol
kademangan berkata bahwa Untara telah berangkat kebanjar
desa. "Hem" desah salah seorang dari mereka "Marilah kita lekas
kebanjar desa itu" Dan kembali keduanya berpacu. Derap langkah kuda-kuda
mereka itu terdengar memecah kesepian jalan-jalan di
Sangkal Putung. Sekali-sekali genangan air memercik
membasahi kaki penunggang-penunggang kuda itu. Mereka
harus segera menemui Untara atau Widura.
Dibanjar desa derap kuda itu disambut dengan hati yang
berdebar-debar. Kedua orang itu segera dibawa menghadap
Untara dan Widura untuk menyampaikan laporannya tentang
laskar Tohpati itu. Dengan tergesa-gesa kedua orang itu menceritakan apa
yang telah dilihatnya tentang laskar Jipang yang datang
benar-benar dengan gelar dan kelengkapan gelar yang
sempurna. "Hem" Untara menarik nafas dalam-dalam. "Mereka
mempergunakan tanda-tanda kebesaran kadipaten Jipang?"
"Ya tuan" jawab kedua orang itu.
Untara terdiam sejenak. Meskipun yang dikatakan oleh
kedua pengawasnya itu adalah barang-barang mati, umbulumbul,
rontek dan sebagainya, namun benda-benda itu
langsung atau tidak langsung akan mempunyai pengaruh
pada jiwa setiap orang didalam pasukan itu. Tanda-tanda itu
akan memberi semangat dan nafsu berjuang. Tanda-tanda itu
dapat memperbesar hati setiap prajuritnya. Tanda-tanda itu
dapat menjadi lambang tekad dari segenap prajurit didalam
barisan itu. Widurapun agaknya mempunyai pendapat yang sama.
Karena itu ketika ia melihat Untara termenung, maka
gumamnya "Apa kita juga memerlukannya, Untara?"
"Ya paman. Alangkah baiknya kalau kita memiliki bendabenda
semacam itu. Kalau tidak, maka sesaat pasukan kita
bertemu dengan pasukan Jipang itu, maka akan terasa
seolah-olah pasukan Jipang itu mempunyai kebesaran
melampaui pasukan kita, sehingga mau tidak mau, perasaan
yang demikian akan mempengaruhi setiap prajurit didalam
pasukan kita. Sedang sebaliknya, pasukan Jipang akan lebih
berbesar hati dengan kebesarannya"
"Lalu apakah kita akan memasang umbul-umbul?" bertanya
Widura. "Berapa banyak umbul-umbul yang ada disini?"
"Terlalu sedikit. Dan tidak lebih dari tanda-tanda
pasukanku. Sama sekali bukan umbul-umbul kebesaran
Pajang, apalagi Demak" sahut Widura "Dan itupun terlalu kecil
hampir tidak akan berarti"
Untara kembali termenung. Dan tiba-tiba ia berkata "Tidak
apa-apa, yang kecil itu akan merupakan panji-panji
kebanggaan pasukan paman Widura. Tetapi adalah paman
mempunyai panji-panji Gula Kelapa?"
"GulaKelapa" Mengapa?"
"Panji-panji itu adalah lambang kebesaran Demak. Dan
tentu akan merupakan lambang kebesaran Pajang pula"
"Tentu. Didalam pasukanku ada panji-panji itu"
01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Untara mengangguk-angguk. Kepada Ki Demang Sangkal
Putung iapun bertanya "Ada berapa panji-panji Gula Kelapa
diseluruh kademangan Sangkal Putung?"
Ki Demang ragu-ragu sejenak. Dengan ragu-ragu pula ia
menjawab "Aku tidak tahu ngger. Apakah di Sangkal Putung
ada panji-panji semacam itu"
"Tentu paman" jawab Untara "Bukankah Sangkal Putung
dahulu mengakui kebesaran Demak, kemudian mengakui
Pajang dan bukan Jipang?"
Ki Demang itu kembali termangu-mangu. Tiba-tiba ia
tersentak, seakan-akan sebuah ingatan telah menyentak
kepalanya. Katanya "Ya, ya. Aku ingat sekarang. Di
kademangan ini ada sebuah pepunden. Panji-panji Gula
Kelapa yang besar. Panji-panji yang kita namai Kiai Unggul.
Tetapi panji-panji itu adalah pepunden kademangan ini, yang
kami keluarkan dari penyimpanan setahun sekali, setiap bulan
pertama untuk dibersihkan"
Untara mengerutkan keningnya. Kemudian katanya "Itulah.
Saat ini adalah waktunya untuk mengeluarkan Kiai Unggul dari
simpanannya" "Ya, bahkan ada pula panji-panji yang lain. Milik seorang
bekas prajurit Demak. Lengkap dengan tunggulnya. Panjipanji
itu didapatnya pada saat ia ikut berperang melawan
orang-orang Portugis diujung Melayu bersama pangeran
Sebrang Lor" "Orang itu sudah tua sekali?"
"Ya, panji-panji itu dinamainya Kiai Jetayu"
"Nama seekor burung Garuda" desis Agung Sedayu
"Ya, panji-panji itupun cukup besar. Hampir sebesar Kiai
Unggul" berkata Ki Demang.
Wajah Untara menjadi cerah. Tiba-tiba ia berkata lantang
"Waktu sudah mendesak. Siapkan pasukan dan siapkan Kiai
Tunggul dan Kiai Jetayu", kemudian kepada Ki Demang ia
berkata "Suruhlah seseorang menjemput kedua panji-panji itu.
Berkuda sekarang juga, dan bersama dengan itu ambillah
semua tanda-tanda kebesaran pasukan Pajang
dikademangan" Untara tidak perlu mengulangi perintahnya. Widura segera
berdiri dan berjalan kehalaman. Kepada bawahannya segera
ia memerintahkan untuk menyiapkan pasukan. Sedan kepada
beberapa orang lain diperintahkannya mengambil beberapa
tanda kebesaran di kademangan. Didalam gelodog,
dipringgitan. Sedang beberapa orang yang lain mendapat
perintah dari Ki Demang untuk mengambil panji-panji Kiai
Unggul dan Kiai Jetayu beserta tunggulnya masing-masing.
Sesaat kemudian dilapangan dimuka banjar desa itu,
pasukan Pajang dan laskar Sangkal Putung telah
mempersiapkan dirinya. Mereka menunggu beberapa orang
menyiapkan tanda-tanda kebesaran mereka. Beberapa buah
tunggul dengan ujung berbentuk garuda dan bunga berdaun
lima. Itu adalah tanda kebesaran dari pasukan Widura di
Sangkal Putung. Panji-panji yang besar berwarna emas
dengan gambar seekor Garuda yang sedang
mengembangkan sayap-sayapnya. Kemudian beberapa
umbul-umbul kecil dan rontek-rontek yang tidak semegah
umbul-umbul pasukan Jipang. Namun ketika kemudian dujung
pasukan itu berkibar tiga buah panji-panji yang besar
berwarna Gula Kelapa, maka kebesaran pasukan Pajang
bersama dengan laskar Sangkal Putung itu menjadi
bercahaya. Ketiga panji-panji itu adl Kiai Unggul, Kiai Jetayu dan panjipanji
pasukan Widura sendiri. Panji-panji Gula Kelapa dari
pasukan Wiratamtama dibawah kekuasaan Pajang, disamping
panji-panji pasukannya. Ketika pasukan Pajang beserta laskar Sangkal Putung itu
melihat ketiga panji-panji Gula Kelapa diujung pasukannya
maka hati mereka serentak bersorak. Kiai Unggul bagi rakyat
Sangkal Putung mempunyai arti tersendiri. Kiai Jetayu itupun
telah mereka kenal pula sebagai selembar panji-panji pusaka
yang bertuah. Dari kedua orang pengawasnya, Untara mengetahui bahwa
pasukan Jipang sudah berangkat menuju ke Sangkal Putung.
Karena itu maka ia tidak menunggu lebih lama lagi.
Dipersiapkannya seluruh pasukannya untuk segera berangkat
menyongsong pasukan Jipang.
Sesaat kemudian terdengar dipendapa banjar desa itu,
kentongan dalam nada Dara-muluk. Nada yang tidak biasa
diperdengarkan dalam keadaan bahaya seperti saat itu.
Namun setiap orang di Sangkal Putung kali ini mengetahui,
bahwa bunyi kentong itu adalah pertanda bahwa pasukan
Pajang beserta laskar Sangkal Putung telah siap untuk
berangkat. Beberapa orang yang karena suatu sebab, belum berada
dilapangan itu, segera berlari-lari sambil menjinjing
senjatanya, menuju ke banjar desa. Ketika mereka melihat
laskar Sangkal Putung telah bersiap segera mereka memasuki
kelompok masing-masing. Setelah para pemimpin kelompok menghitung anak buah
masing-masing serta segala persiapan telah lengkap, maka
terdengarlah suara Widura memecah gelap malam.
Mengumandang memenuhi lapangan.
Aba-aba itu adalah aba-aba yang pertama. Aba-aba yang
disambut dengan debar disetiap dada. Sehingga lapangan itu
kemudian terhenyak kedalam kesepian. Seakan-akan tak
seorangpun yang berada disanan.
Aba-aba itu adalah aba-aba yang pertama. Aba-aba yang
disambut sesaat kemudian, setelah Widura yakin bahwa
segala sesuatunya telah siap, maka terdengarlah aba-abanya
yang terakhir. Aba-aba itu disambut oleh pemimpin-pemimpin
kelompok, yang mengulanginya dengan cepat seperti apa
yang diucapkan oleh Widura.
Maka mulailah pasukan itu bergerak. Seperti pasukan
Jipang, maka pasukan Widura inipun dilengkapi dengan oborobor,
sehingga lapangan dimuka banjar desa itu menjadi
terang benderang. Hujan kini sudah tidak lebat lagi. Titik-titik air satu-satu
masih berjatuhan. Namun sudah tidak mampu lagi
memadamkan nyala-nyala obor yang seolah-olah melonjaklonjak
kegirangan. Untara dan Widura berjalan diujung pasukan itu. Kemudian
Agung Sedayu, Swandaru dan Ki Demang Sangkal Putung.
Hudaya dan Sonya masih berada didalam kelompoknya
masing-masing sebelum mereka kemudian harus
mempersiapkan diri bersama-sama dengan Agung Sedayu
dan Swandaru menghadapi kemungkinan yang paling berat.
Melawan seorang yang bernama Sumangkar.
Dibelakang induk pasukan berjalanlah sebagian dari laskar
Sangkal Putung. Mereka berjalan dengan penuh semangat.
Mereka merasa bahwa dipundak mereka terletak tanggungjawab
atas Sangkal Putung. Pasukan Pajang yang berada
dikademangan itu adalah sekedar tenaga yang memberi
bantuan kepada mereka. Merekalah yang harus melindungi
kademangan itu. Dan merekalah yang harus bertempur matimatian
melawan orang-orang Jipang.
Dibelakang laskar Sangkal Putung itu Citra Gati berjalan
sambil menundukkan wajahnya. Ia merasa badannya aneh
kali ini. Kepada seseorang yang berjalan dibelakangnya, Citra
Gati itu bertanya "Kau lihat Hudaya?"
Orang yang mendapat pertanyaan itu menjawab "Kakang
Hudaya masih berada didalam kelompoknya"
"Panggil ia sebentar kemari" katanya.
Orang itupun segera keluar dari barisannya. Sesaat ia
berhenti menunggu Hudaya yang berada agak jauh
dibelakang mereka. Hudaya heran mendengar bahwa Citra Gati memanggilnya.
Karena itu dengan tergesa-gesa ia berjalan mendahului
berisannya kekelompok Citra Gati. Kelompok yang nanti akan
memimpin pasukan Pajang disayap kanan.
Ketika Hudaya telah berjalan didekat Citra Gati, maka
dengan serta-merta ia bertanya "Apakah ada sesuatu yang
penting ?" Citra Gati berpaling. Dilihatnya Hudaya memandanginya
dengan tegang. Citra Gati itu tersenyum. Ia hanya ingin melepaskan
perasaannya yang aneh. Maka katanya "Apakah kumis dan
janggutmu sempat kau bersihkan?"
Hudaya mengerutkan keningnya. "Belum. Kau juga belum"
jawabnya "Biarkan saja kumis dan janggut itu. Tetapi apakah
yang penting?" Citra Gati menggeleng "Tidak ada" jawabnya "Aku hanya
merasa sepi. Seakan-akan aku berjalan seorang diri disayap
ini" "Uh, bukan main" keluh Hudaya sambil mengerutkan
keningnya "Aku sangka ada hal-hal yang sangat penting"
Citra Gati tersenyum. Tetapi senyumnya tampak hambar.
Katanya "Jangan marah. Rambut diwajahmu benar-benar
menarik perhatianku. Aku cemas kalau kau tidak sempat
membersihkannya lagi"
Hudayalah yang kini tersenyum, katanya "Aku belum
pernah melihat seseorang yang bernama Sumangkar.
Mungkin ia ganas, seganas Macan Kepatihan. Tetapi mungkin
ia lunak, selunak jenang alot"
"Jangan mengigau" potong Citra Gati "Sekarang kembalilah
kekelompokmu" Hudaya menarik nafas dalam-dalam. Gumamnya "Aku
sangka kau sempat membawa jenang alot itu kakang. Dan
kau ingin memberi aku sepotong. Kalau tahu demikian, aku
tidak akan datang" Citra Gati tidak menjawab. Sekali lagi ia tersenyum,
senyum yang hambar. Hudaya kembali kekelompoknya. Namun ia merasa aneh.
Citra Gati tidak pernah merasakan hal-hal yang aneh didalam
setiap pertempuran. Ia tidak pernah merasa keganjilan dalam
setiap tugas yang diserahkan kepadanya. Tetapi Hudaya tidak
mau dipengaruhi oleh keadaan itu. Dipusatkannya
perhatiannya kepada saat-saat yang akan datang.
Sesaat kemudian mereka telah meninggalkan induk
padesan Sangkal Putung. Dihadapan mereka terbentang
beberapa desa kecil. Lepas padesan itu nanti, segera mereka
akan sampai ketempat terbuka. Tanah persawahan yang
menghadap langsung kepadang rumput dan perdu dipinggir
hutan. Untara segera memerintahkan untuk mempercepat
perjalanan, supaya mereka tidak terlambat. Apabila laskar
Tohpati sudah memasuki padesan Sangkal Putung, maka
pertempuran akan menjadi bertambah sulit. Apabila mungkin
maka mereka harus sudah melampaui tanah-tanah
persawahan dan bertempur dipadang rumput. Supaya
tanaman mereka tidak terinjak-injak.
Disepanjang perjalanan itu meskipun Untara, Widura,
Agung Sedayu dan Swandaru seakan-akan telah
membulatkan hatinya untuk bertempur tanpa Kiai Gringsing,
namun disudut hati mereka masih juga menyimpan harapan,
mudah-mudahan Kiai Gringsing tiba-tiba saja muncul diantara
mereka. Tetapi semakin jauh mereka berjalan, harapan itu semakin
tipis. Semula mereka masih juga mengharap, bahwa Kiai
Gringsing hanya sedang berteduh karena hujan yang lebat.
Namun setelah hujan menjadi jauh berkurang, dan Kiai
Gringsing tidak juga muncul, maka harapan merekapun
menjadi semakin tipis pula.
Dengan langkah yang tetap setiap orang didalam pasukan
itu berjalan menuju keujung kademangan. Satu dua desa kecil
telah mereka lampaui. Dan akhirnya mereka menembus jalan
ditengah-tengah desa terakhir. Semakin dekat mereka dengan
ujung jalan itu, hati mereka menjadi semakin berdebar-debar.
Demikian mereka keluar dari mulut lorong itu, demikian
dada mereka bergetar. Ternyata agak jauh dihadapan mereka,
mereka melihat sea untaian obor-obor beriringan.
Terdengarlah hampir setiap mulut bergumam "Itulah mereka"
Tanpa disengaja setiap tangan segera meraba senjata
masing-masing. Beberapa bagian dari mereka, yang
bersenjata pasangan pedang dan perisai, segera memasang
perisai-perisai mereka ditangan kiri. Sedang mereka yang
bersenjata tombak, maka tombak-tombak itu sudah tidak
mereka panggul diatas pundak mereka. Namun tombaktombak
itu telah merunduk, seolah-olah mereka tidak sabar
lagi untuk meloncat menerkam dada lawan-lawan mereka.
Untara semakin mempercepat perjalanan itu. Ternyata
laskar Jipang telah lebih dahulu sampai dipadang rumpur.
Namun apabila mereka berjalan cepat, maka mereka masih
belum terlambat. Mereka masih akan mencapai sisi padang
itu, sebelum laskar Jipang lepas meninggalkannya.
Kening Untara berkerut ketika ia melihat iring-iringan laskar
Jipang itu. Meskipun Untara belum dapat melihat dengan
jelas, namun sebagai seorang prajurit yang berpengalaman ia
segera dapat menebak, bahwa laskar Jipang telah berjalan
dalam gelar. **** Buku 11 Bagian 1 Di kejauhan kemudian Tundun melihat dua anak buahnya
yang bertugas di sisi Utara berdiri tegang menatap ke
balakang gerumbul. "Ayo, kemarilah," berkata salah seorang penjaga itu, "apakah
kau bernyawa rangkap?"
Tiba-tiba sekali lagi terdengar suara tertawa itu. Dan tiba-tiba
muncullah dari balik gerumbul seorang anak muda yang lincah
sekali. Sambil tertawa ia berdiri bertolak pinggang. Kemuadian
katanya, "He, apakah laskar Tohpati tidak berangkat
seluruhnya?" Tundun terkejut bukan buatan melihat anak muda itu. Anak
muda itu pernah dilihatnya di medan peperangan ketika ia ikut
mencoba merebut Sangkal Putung. Tetapi ia kurang yakin.
Karena itu maka tubuhnya segera menjadi gemetar. Gemetar
karena marah. Namun juga gemetar karena cemas.
Sekali lagi Tundun melihat orang itu tertawa sambil bertolak
pinggang. Sambil mennjuk kepadanya ia berkata, "Ha. Itu
datang satu lagi. Ayo. Kumpulkan semua kawan-kawanmu
yang tinggal. Lima puluh atau sepuluh orang?"
01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tundun memandang kedua kawannya yang lebih dahulu
melihat orang yang bertolak pinggang itu. Kemudia ia
berpaling, dan dilihatnya di belakangnya. Punggungnya terasa
berdesir, sebab Bajang masih menggenggem pisau dapur
yang tajam berkilat-kilat. Tetapi Tundun itu berlega hati ketika
ternyata Bajang pun kemudian berdiri di sampingnya sambil
memandang anak muda yang tertawa menjengkelkan.
"Kau siapa?" yang bertanya mula-mula sekali adalah Bajang.
Yang ditanya masih juga tertawa.
Bajang menjadi marah. Sekali ia membentak. "He. Diam!
Jangan seperti orang mabuk."
Suara tertawa itu terputus. Dipandangnya Bajang dari ujung
kaki ke ujung kepalanya. "Kau belum mengenal aku?"
"Apakah namamu cukup bernilai untuk dikenal oleh setiap
orang?" Anak muda itu mengerutkan keningnya. Jawaban Bajang
benar-benar menyakitkan hatinya. Namun selain menyakitkan
hati anak muda itu, juga menyakitkan hati Tundun. Seakanakan
Bajang itu lebih berani daripadanya. Karena itu Tundun
itupun berteriak, "Jangan merasa dirimu dikenal setiap orang.
Andaikata aku mengenalmu sekalipun aku tidak akan terkejut
melihat tampangmu di sini."
Anak muda itu menggeram. Namun sekali lagi ia tertawa.
Katanya, "Hem. Empat orang. Apakah masih ada yang lain?"
Untuk apa kau cari yang lain" Agaknya kau anak yang terlalu
sombong." "Terserahlah kau menilai diriku. Tetapi kalian berempat ini
bagiku hampir tak berarti sama sekali. Aku datang karena aku
ingin melihat kekuatan perkemahanmu. Aku ingin menghitung
ada berapa gubug yang kau dirikan di sini, dan ada berapa
luas tanah yang kau perlukan."
"Cukup!" teriak Tundun. Tetapi terasa suaranya ragu-ragu,
sebab ia pernah mengenal akan muda itu di medan
pertempuran. Namun ia menjadi heran. Kenapa kali ini anak
muda itu tidak berada di medan" Apakah ia mendapat tugas
khusus dari Untara untuk mendatangi perkemahan ini"
Tetapi anak muda itu masih tertawa. Suaranya semakin
menyakitkan hati. Bahkan suara tertawa itu menjadi semakin
dibuat-buat agar yang mendengar menjadi marah.
"Jangan membentak-bentak. Aku ingin berjalan berkeliling
kemah ini. Kau dengar. Kalau kau berani, halangi aku.
Berempat, atau panggil kawan-kawanmu yang lain. Kalau
tidak, biarkan aku berjalan-jalan di sini."
Bajang masih heran melihat Tundun, pemarah itu, masih
berdiri saja di tempatnya. Biasanya, dalam keadaan yang
demikian, ia pasti sudah berlari menyerbu dengan garangnya.
Tetapi kini Tundun itu masih tegak seperti patung meskipun
terdengar giginya gemeretak. Bahkan sekali lagi ia
memandang berkeliling. Dua orang anak buahnya, dan
Bajang. Kemudian berempat dengan dirinya sendiri. Meskipun
baru saja ia bertengkar dengan Bajang, namun ia mengharap
Bajang tidak mengkhianatinya. Meskipun demikian, kalau
perlu ia dapat memanggil orang-orangnya yang lain dengan
sebuah tanda yang telah mereka tentukan. Empat atau lima
orang akan datang bersama-sama. Tetapi apabila langsung
mereka terlibat dalam perkelahian, setidak-tidaknya mereka
berempat lebih dahulu yang harus bertahan. Mungkin berlima
dengan Sumangkar. Tetapi Sumangkar itu tidak dilihatnya.
Dan Sumangkar bagi Tundun adalah seorang tua pemalas
yang sama sekali tidak berguna. Namun dalam pada itu sekali
lagi terdengar Bajang menggeram, "Kau belum menjawab
pertanyaanku, siapakah kau itu?"
Anak muda itu memandangnya dengan nyala
ketidaksenangan di matanya. Kemudian kepada Tundun ia
berkata, "Apakah kau juga belum mengenal aku?"
Tundun menggeleng. Pura-pura ia belum mengenalnya pula.
Katanya pula, "Yang aku kenal hanyalah orang-orang yang
penting di daerah ini. Tohpati, Widura, Untara, Tambak Wedi.
Sedang tampangmu sama sekali tidak berarti bagiku. Apalagi
sebentar lagi kau akan mati terkubur di sini."
Anak muda itu mengerutkan keningnya. Katanya, "Bagus.
Mungkin kalian akan mencincang aku. Tetapi baiklah aku
perkenalkan diriku. Kalian pernah mendengar nama Tambak
Wedi." "Jangan menyebut nama itu. Apakah kau bermaksud
menempatkan dirimu di sisi nama itu?"
Anak muda itu tertawa. "Tidak. Itu tidak mungkin, sebab aku
adalah muridnya." Yang mendengar jawaban itu terkejut bukan kepalang. Mereka
pernah mendengar ceritera tentang murid Tambak Wedi yang
bernama Sidanti. Seorang yang kini berhasil menempatkan
dirinya di samping Macan Kepatihan. Karena itu maka dada
mereka menjadi semakin berdebar-debar. Tundun memang
pernah melihat kegarangan anak muda itu, yang pernah
berhasil membunuh Plasa Ireng. Mengerikan. Bulu kuduk
Tundun itu meremang. Ia kini menjadi yakin. Siapakah yang
kini berdiri di mukanya. Mayat Plasa Ireng yang hampir tidak
berbentuk itu terbayang di wajahnya. Gila. Anak muda itu
adalah anak muda yang sangat buas. "Pantas, ia tidak berada
di medan. Aku pernah mendengar, bahwa ada perselisihan
antara Sidanti dan Widura. Hem. Aku pernah melihat
tampangnya, dan aku pernah mendengar nama Sidanti. Tetapi
baru sekarang aku pasti, bahwa yang bernama Sidanti itu
adalah anak yang membunuh Plasa Ireng itu pula." Tundun
yang bergumam di dalam hatinya itu kemudian mencoba
mengingat-ingat kembali pada saat Plasa Ireng terbunuh.
Pada saat itu ia hampir tidak mempedulikannya, siapakah
yang membunuh. Baginya orang-orang Pajang sama saja
semuanya. Semuanya harus dibinasakan.
Namun dengan demikian ia menjadi ragu-ragu. Apalagi kedua
kawan-kawannya yang lain. Mereka berdiri membeku di
tempatnya. Kalau benar Sidanti itu telah menjadi sejajar
dengan Tohpati, maka akan binasahlah mereka semuanya.
Tetapi tiba-tiba timbul pikiran yang memberi harapan bagi
Tundun. Apabila Sidanti itu benar-benar berselisih dengan
Widura dan Untara, maka apakah kedatangannya itu dapat
dianggap sebagai kawan" Karena itu maka segera Tundun
bertanya, "Sidanti, kenapa kau tidak berada di medan.
Bukankah hari ini berkobar perang yang terbesar yang pernah
terjadi di Sangkal Putung?"
Sidanti mengerutkan keningnya. Ia menjajagi pertanyaan itu.
Katnaya, "Kenapa kau bertanya tentang hal itu"
"Ya kenapa" Bukankah kau prajurit Pajang?"
Sidanti tertawa. Jawabnya, "Aku dapat berbuat sekehendakku.
Apakah aku ingin berperang, apakah aku ingin melihat-lihat
hutan ini. Tak seorangpun pula yang dapat mencegah
kehendakku." Dada Tundun menjadi berdebar-debar. Namun dipaksanya
juga mulutnya berkata, "Hem, aku dengar kau tidak lagi
berada dalam lingkungan keprajuritan Pajang."
Tundun terkejut mendengar jawaban Sidanti. "Apa
perdulimu?" Sesaat Tundun terdiam. Tetapi kemudian ia bertanya pula,
"Lalu apa maksudmu kemari?"
"Sudah aku katakan. Aku ingin melihat, berapa kemah yang
ada dan berapa luas tanah yang diperlukan. Aku ingin
mengira-ngirakan kekuatan Tohpati."
"Untuk apa?" "Sekehendakku."
Tiba-tiba Tundun bertanya, "Apakah kau tidak bermaksud
bekerja bersama dengan Macan Kepatihan?"
Sidanti tertawa. Benar-benar menyakitkan telinga, katanya,
"Kau sudah gila agaknya. Apa arti Tohpati bagiku, dan apakah
arti seluruh kekuatannya?"
Sekali lagi dada Tundun berdesir. Betapapun juga ia adalah
seorang prajurit. Karena itu, maka meskipun ia telah
mendengar bahwa Sidanti itu mempunyai kesaktian yang
hampir setingkat dengan Macan Kepatihan, namun adalah
kewajibannya untuk menunaikan tugasnya. Karena itu maka
katanya, "Sidanti. Aku hormat kepadamu. Aku pernah
mendengar bahwa kau memang seorang anak muda yang
pilih tanding. Tetapi kali ini perkemahan ini menjadi tanggung
jawabku. Maka jangan mencoba berbuat hal-hal yang dapat
membahayakan keselamatannmu."
Kini Sidanti itu tertawa terbahak-bahak. Di antara tertawanya
terdengar ia berkata, "O, prajurit yang malang. Kenapa kau
berani berkata demikian padaku" Sudah aku katakan, tak
seorangpun dapat memerintah aku, dan tak seorangpun dapat
menghalangi kemauanku. Kali ini aku ingin berjalan-jalan
mengelilingi perkemahan ini. Jangan mencoba mencegahnya."
Hati Tundun adalah hati yang mudah terbakar. Kali inipun
betapa bara menyaka di dadanya. Namun terhadap Sidanti ia
harus berhati-hati. Sekali lagi ia memandang kedua kawannya
yang seolah-olah telah membeku. Di sampingnya berdiri
Bajang seperti patung pula. Namun tampak bahwa wajah
orang yang bertubuh kecil ini sama sekali tidak menunjukkan
kecemasan di hatinya. Bajang masih juga berdiri dengan
wajah menyala. Bahkan kemudian ia menggeram. "Sidanti.
Jangan menganggap kami di sini sebagai anak-anak yang
takut mendengar anjing menggonggong."
Sidanti terkejut mendengar kata-kata itu. Benar-benar
menyakitkan hati. Karena itu maka tiba-tiba warna merah
menjalar di wajahnya. Katanya, "Siapa kau?"
Api di Bukit Menoreh Bagian 2 Sumangkar mengerutkan keningnya, tetapi ia mendengar
orang yang bertubuh kekar itu meneruskan, "Ayo, kaupun
harus bekerja seperti kami. Kau jangan berjalan saja mondarmandir."
Sumangkar memandang orang itu. Orang yang bertubuh
kekar itu. Ia melihat beberapa cacat tubuhnya. Jari-jari tangan
kirinya tidak lagi genap. Tiga di antaranya terpotong dalam
pertempuran. Sebuah goresan melintang menghias dadanya,
dan di pelipisnya tampak bekas luka pula.
"Aku bukan lagi mondar-mandir saja Tundun. Tetapi aku lagi
menanak nasi di belanga itu."
Tundun, orang yang besar kekar itu mengerutkan keningnya,
jawabnya, "Tetapi menanak nasi tidak terus-menerus harus
kau tunggui. Bukankah kau dapat melakukan pekerjaan yang
lain sambil menunggu nasi itu masak."
"Ah," desah Sumangkar. "Biarlah kita mengerjakan pekerjaan
ini di antara kita."
"Aku mendapat tugas untuk mengawasi dan menjaga
perkemahan ini," jawabnya lantang.
Sumangkar masih berdiri di tempatnya. Dilihatnya kemudian
Tundun menghampirinya dengan mata yang memandanginya
tajam-tajam. "Ayo lakukan!" bentaknya.
"Jangan takut bahwa kami akan terlambat," sahut Sumangkar.
Tetapi orang itu membentak sekali lagi. "Jangan membantah.
Kalau tak kau lakukan perintahku, aku robek mulutmu, tua
Bangka." Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Ditatapnya sekali lagi
mata orang itu. Mata itu menjadi semakin tajam
memandanginya. Sumangkar tersenyum di dalam hati. Tetapi
ia menundukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia berjalan
kembali ke tempat kawan-kawannya bekerja.
Ketika ia kemudian membungkukkan badannya meraba tubuh
rusa yang menggeletak di samping perapian, maka terdengar
kawannya yang pertama-tama bertanya kepadanya itu
berbisik, "Sudahlah. Biarlah nanti aku kerjakan."
Sumangkar berpaling. Dilihatnya kawannya itu. Seorang yang
bertubuh kecil. Jawabnya, "Biarlah, biarlah aku lakukan
perintah Tundun itu."
"Kau sudah terlalu tua untuk bekerja terlalu banyak," katanya.
"Aku menyesal menanyakannya kepadamu, sehingga Tundun
membentak-bentakmu."
Sumangkar menepuk bahu orang yang bertubuh kecil itu. Kini
ia benar-benar tersenyum. "Biarlah Bajang, biarlah aku
mengerjakannya." Orang bertubuh kecil dan mendapat panggilan Bajang itu
masih juga berkata, "Sudahlah Sumangkar. Duduk sajalah di
samping rusa itu. Tundun akan menyangka bahwa kau sudah
bekerja untuk melakukan perintahnya. Nanti kalau aku sudah
selesai dengan pekerjaan ini, biarlah aku mengerjakannya."
Tetapi Sumangkar menyentuh tubuh rusa itu, dan kemudian
mengerjakannya dengan cekatan. Memang orang tua itu
mempunyai keahlian sebagai juru masak yang baik. Tetapi
beberapa orang menganggapnya, meskipun ia juru masak
yang baik, namun ia agak terlalu malas. Tetapi Bajang
menganggap lain. Sumangkar sudah terlalu tua. Bukan
semata-mata karena malas.
Dalam mengerjakan pekerjaan itu, pkiran Sumangkar tidak
dapat lepas dari murid saudara tua seperguruannya. Tohpati,
yang hari ini terasa sangat aneh. Ia melihat betapa persiapan
Tohpati itu melampaui kebiasaan yang dilakukannya. Kali ini
Macan Kepatihan itu terlalu teliti. Perintahnya menentukan
semuanya, dan Sumangkar melihat perintah itu sedemikian
rapinya, sehingga ia seakan-akan melihat gelar Dirada Meta
yang perkasa benar-benar akan melanda Sangkal Putung.
Tetapi Sumangkar menyadari pula, bahwa di Sangkal Putung
ada Untara dan Widura. Kedua orang itu benar-benar telah
mengagumkannya pula. Tetapi yang terlebih aneh lagi bagi Sumangkar adalah
percakapannya sendiri dengan Macan Kepatihan itu. Ketika
pasukan Tohpati itu telah benar-benar dipersiapkan, maka
tiba-tiba Sumangkar ingin melihat, apakah yang akan terjadi di
medan pertempuran. Ia melihat perbedaan-perbedaan pada
sikap dan perbuatan Tohpati menjelang keberangkatan
laskarnya. Tetapi Tohpati itu berkata, "Tidak Paman. Paman tinggal di
perkemahan ini. Paman sudah cukup lama mengalami masamasa
yang pahit. Sekarang biarlah Paman beristirahat. Biarlah
pekerjaan ini dilakukan oleh yang muda-muda."
Tohpati benar-benar berbeda dari kebiasaannya. Ketika
Macan Kepatihan itu kemudian bermohon diri kepadanya
maka katanya, "Paman, kali ini bagiku adalah kali yang
terakhir. Hanya ada dua kemungkinan bagiku kali ini. Menang
atau kalah. Supaya peperangan ini tidak menjadi semakin
berlarut-larut." "Apakah maksudmu Raden," Sumangkar mencoba bertanya.
Tohpati menggelengkan kepalanya. Dan Sumangkar
01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ditinggalkannya. Beberapa langkah kemudian Tohpati itu
berpaling, seolah-olah ia ingin mengatakan seseuatu, tetapi
tidak jadi. "Apakah ada yang akan Angger katakan," Sumangkar
mencoba bertanya. "Tidak Paman. Tidak ada yang akan aku katakan."
Tohpati kemudian pergi. Pergi ke gubugnya. Sampai
kemudian pasukannya berangkat. Sumangkar tidak bercakapcakap
lagi dengan Macan Kepatihan itu. Ia hanya melihat
Tohpati berdiri di muka pasukannya dengan tanda-tanda
kebesaran sepenuhnya. Bukan sekedar tanda-tanda
kebesaran dari suatu susunan kesatuan, tetapi benar-benar
tanda-tanda kebesaran Jipang selengkapnya.
Kali ini Sumangkar melepaskan Tohpati dengan hati yang
risau. Aneh. Seperti melepaskan anak-anak menyeberangi
sungai yang lagi banjir. Tetapi Sumangkar itu terkejut ketika tiba-tiba ia merasa
punggungnya didorong seseorang. Karena Sumangkar itu
sama sekali tidak menyangka, maka hampir-hampir ia jatuh
terjerambab. Ketika ia berpaling, dilihatnya Tundun berdiri di
belakangnya. "Jangan termenung. Aku bilang kerjakan rusa
itu." "Ya. Ya Tundun," jawab Sumangkar cepat-cepat.
"Tetapi kalau aku pergi, kembali kau duduk saja termenung.
Kau benar-benar malas. Kalau Macan Kepatihan mengetahui
kemalasannmu lehermu itu pasti akan dipatahkannya."
"Ya, Tundun maksudku ?""
"Diam!" bentak Tundun. "Aku mau kau bekerja, tidak
menjawab setiap kata-kataku."
Sumangkar tidak menjawab. Ternyata ketika kenangannya
terbang mengikuti Tohpati, tangannya berhenti bekerja.
"Sudahlah Tundun," tiba-tiba Bajang menyahut, "biarlah orang
tua itu bekerja menurut kekuatan tenaganya. Jangan dipaksa.
Ia telah terlalu lemah."
Tndun berpaling. Dipandanginya Bajang dengan matanya
yang tajam. Kemudian terdengar ia membentak, "Jangan turut
campur Bajang. Aku tahu apa yang harus aku kerjakan."
Api di Bukit Menoreh Bagian 3 "Tetapi keu terlalu kasar, Tundun."
"He!" teriak Tundun. "Kau berani membantah, dan
mengatakan aku terlalu kasar?"
"Aku mengatakan sebenarnya."
"Gila kau Bajang, apa aku harus menampar mulutmu?"
"Aku tidak mau kau perlakukan kasar."
Tundun benar-benar menjadi marah. Tiba-tiba kakinya terayun
deras sekali ke arah Bajang berjongkok di samping
Sumangkar. Tetapi ternyata Bajang pun cekatan. Segera ia
meloncat menghindari kaki Tundun. Bahkan kemudian Bajang
telah berdiri tegak. Di tangannya masih tergenggam sebilah
pisau yang tajam berkilat-kilat.
"Kau berani melawan aku Bajang?" suara Tundun gemetar
karena marahnya. "Kau sangka bahwa karena tubuhmu yang cacat karena ciriciri
peperangan itu keu ditakuti orang, Tundun. Bajang adalah
seorang prajurit pula. Aku menyesal telah dilemparkan di
dapur yang kotor dan memuakkan ini. Ayo, kalu kau ingin
melihat, apakah Bajang juga mampu berkelahi."
Tundun hampir-hampir tidak mampu menahan diri lagi. Tetapi
ketika mereka hampir bertempur, maka segera Sumangkar
berkata, "Jangan bertengkar. Kalau kalian bertengkar, maka
kalian akan mempercepat kebinasaan kita sendiri."
Tetapi Tundun dan Bajang tidak mendengarnya. Masingmasing
kemudian setapak maju lagi. Namun tiba-tiba mereka
terkejut ketika di kejauhan mereka mendengar suara ribut.
"Siapa itu he, siapa itu?" Disusul dengan suara tawa nyaring.
Kemudian terdengar teriakan di kejauhan. "Aku datang
dengan dada terbuka. Ayo. Siapa yang berada di perkemahan
ini?" "Jangan membunuh diri," terdengar jawaban.
Tundun dan Bajang terpaksa menghentikan permusuhan yang
hampir-hampir meledak itu. Dengan marahnya Tundun
menggeram, "Tunggu Bajang, akan datang saatnya kepalamu
terkelupas." Bajang pun tidak kalah marahnya. Meskipun ia bertubuh kecil
tetapi ternyata ia lincah bukan kepalang. Dengan beraninya ia
menjawab, "Asal kau datang dari depan saja,Tundun. Jangan
memperkecil arti Bajang yang kecil ini."
Kemarahan Tundun tiba-tiba terungkat semakin tajam. Tetapi
di kejauhan terdengar pula suara nyaring. "Ayo. Siapa yang
bertugas menunggu kemah ini."
Dada Tundun tergetar mendengar suara itu. Suara itupun
seakan-akan menantangnya. Sebab ialah yang bertugas
memimpin beberapa orang untuk menunggui kemah ini.
Karena itu, maka segera Tundun berlari ke arah suara itu.
Sesaat ia melupakan Bajang dan Sumangkar. Namun Bajang
pun mendengar pula suara di kejauhan. Dan iapun ingin
melihat siapakah yang dengan beraninya mendatangi
perkemahannya. Perlahan-lahan iapun melangkah ke arah
Tundun menghilang di belakang belukar, dan Sumangkar pun
menyusul pula di belakang mereka.
Api di Bukit Menoreh Bagian 4 Di kejauhan kemudian Tundun melihat dua anak buahnya
yang bertugas di sisi Utara berdiri tegang menatap ke
balakang gerumbul. "Ayo, kemarilah," berkata salah seorang penjaga itu, "apakah
kau bernyawa rangkap?"
Tiba-tiba sekali lagi terdengar suara tertawa itu. Dan tiba-tiba
muncullah dari balik gerumbul seorang anak muda yang lincah
sekali. Sambil tertawa ia berdiri bertolak pinggang. Kemuadian
katanya, "He, apakah laskar Tohpati tidak berangkat
seluruhnya?" Tundun terkejut bukan buatan melihat anak muda itu. Anak
muda itu pernah dilihatnya di medan peperangan ketika ia ikut
mencoba merebut Sangkal Putung. Tetapi ia kurang yakin.
Karena itu maka tubuhnya segera menjadi gemetar. Gemetar
karena marah. Namun juga gemetar karena cemas.
Sekali lagi Tundun melihat orang itu tertawa sambil bertolak
pinggang. Sambil mennjuk kepadanya ia berkata, "Ha. Itu
datang satu lagi. Ayo. Kumpulkan semua kawan-kawanmu
yang tinggal. Lima puluh atau sepuluh orang?"
Tundun memandang kedua kawannya yang lebih dahulu
melihat orang yang bertolak pinggang itu. Kemudia ia
berpaling, dan dilihatnya di belakangnya. Punggungnya terasa
berdesir, sebab Bajang masih menggenggem pisau dapur
yang tajam berkilat-kilat. Tetapi Tundun itu berlega hati ketika
ternyata Bajang pun kemudian berdiri di sampingnya sambil
memandang anak muda yang tertawa menjengkelkan.
"Kau siapa?" yang bertanya mula-mula sekali adalah Bajang.
Yang ditanya masih juga tertawa.
Bajang menjadi marah. Sekali ia membentak. "He. Diam!
Jangan seperti orang mabuk."
Suara tertawa itu terputus. Dipandangnya Bajang dari ujung
kaki ke ujung kepalanya. "Kau belum mengenal aku?"
"Apakah namamu cukup bernilai untuk dikenal oleh setiap
orang?" Anak muda itu mengerutkan keningnya. Jawaban Bajang
benar-benar menyakitkan hatinya. Namun selain menyakitkan
hati anak muda itu, juga menyakitkan hati Tundun. Seakanakan
Bajang itu lebih berani daripadanya. Karena itu Tundun
itupun berteriak, "Jangan merasa dirimu dikenal setiap orang.
Andaikata aku mengenalmu sekalipun aku tidak akan terkejut
melihat tampangmu di sini."
Anak muda itu menggeram. Namun sekali lagi ia tertawa.
Katanya, "Hem. Empat orang. Apakah masih ada yang lain?"
Untuk apa kau cari yang lain" Agaknya kau anak yang terlalu
sombong." "Terserahlah kau menilai diriku. Tetapi kalian berempat ini
bagiku hampir tak berarti sama sekali. Aku datang karena aku
ingin melihat kekuatan perkemahanmu. Aku ingin menghitung
ada berapa gubug yang kau dirikan di sini, dan ada berapa
luas tanah yang kau perlukan."
"Cukup!" teriak Tundun. Tetapi terasa suaranya ragu-ragu,
sebab ia pernah mengenal akan muda itu di medan
pertempuran. Namun ia menjadi heran. Kenapa kali ini anak
muda itu tidak berada di medan" Apakah ia mendapat tugas
khusus dari Untara untuk mendatangi perkemahan ini"
Tetapi anak muda itu masih tertawa. Suaranya semakin
menyakitkan hati. Bahkan suara tertawa itu menjadi semakin
dibuat-buat agar yang mendengar menjadi marah.
"Jangan membentak-bentak. Aku ingin berjalan berkeliling
kemah ini. Kau dengar. Kalau kau berani, halangi aku.
Berempat, atau panggil kawan-kawanmu yang lain. Kalau
tidak, biarkan aku berjalan-jalan di sini."
Bajang masih heran melihat Tundun, pemarah itu, masih
berdiri saja di tempatnya. Biasanya, dalam keadaan yang
demikian, ia pasti sudah berlari menyerbu dengan garangnya.
Tetapi kini Tundun itu masih tegak seperti patung meskipun
terdengar giginya gemeretak. Bahkan sekali lagi ia
memandang berkeliling. Dua orang anak buahnya, dan
Bajang. Kemudian berempat dengan dirinya sendiri. Meskipun
baru saja ia bertengkar dengan Bajang, namun ia mengharap
Bajang tidak mengkhianatinya. Meskipun demikian, kalau
perlu ia dapat memanggil orang-orangnya yang lain dengan
sebuah tanda yang telah mereka tentukan. Empat atau lima
orang akan datang bersama-sama. Tetapi apabila langsung
mereka terlibat dalam perkelahian, setidak-tidaknya mereka
berempat lebih dahulu yang harus bertahan. Mungkin berlima
dengan Sumangkar. Tetapi Sumangkar itu tidak dilihatnya.
Dan Sumangkar bagi Tundun adalah seorang tua pemalas
yang sama sekali tidak berguna. Namun dalam pada itu sekali
lagi terdengar Bajang menggeram, "Kau belum menjawab
pertanyaanku, siapakah kau itu?"
Anak muda itu memandangnya dengan nyala
ketidaksenangan di matanya. Kemudian kepada Tundun ia
berkata, "Apakah kau juga belum mengenal aku?"
Tundun menggeleng. Pura-pura ia belum mengenalnya pula.
Katanya pula, "Yang aku kenal hanyalah orang-orang yang
penting di daerah ini. Tohpati, Widura, Untara, Tambak Wedi.
Sedang tampangmu sama sekali tidak berarti bagiku. Apalagi
sebentar lagi kau akan mati terkubur di sini."
Anak muda itu mengerutkan keningnya. Katanya, "Bagus.
Mungkin kalian akan mencincang aku. Tetapi baiklah aku
perkenalkan diriku. Kalian pernah mendengar nama Tambak
Wedi." "Jangan menyebut nama itu. Apakah kau bermaksud
menempatkan dirimu di sisi nama itu?"
Anak muda itu tertawa. "Tidak. Itu tidak mungkin, sebab aku
adalah muridnya." Yang mendengar jawaban itu terkejut bukan kepalang. Mereka
pernah mendengar ceritera tentang murid Tambak Wedi yang
bernama Sidanti. Seorang yang kini berhasil menempatkan
dirinya di samping Macan Kepatihan. Karena itu maka dada
mereka menjadi semakin berdebar-debar. Tundun memang
pernah melihat kegarangan anak muda itu, yang pernah
berhasil membunuh Plasa Ireng. Mengerikan. Bulu kuduk
Tundun itu meremang. Ia kini menjadi yakin. Siapakah yang
kini berdiri di mukanya. Mayat Plasa Ireng yang hampir tidak
berbentuk itu terbayang di wajahnya. Gila. Anak muda itu
adalah anak muda yang sangat buas. "Pantas, ia tidak berada
di medan. Aku pernah mendengar, bahwa ada perselisihan
antara Sidanti dan Widura. Hem. Aku pernah melihat
tampangnya, dan aku pernah mendengar nama Sidanti. Tetapi
baru sekarang aku pasti, bahwa yang bernama Sidanti itu
adalah anak yang membunuh Plasa Ireng itu pula." Tundun
yang bergumam di dalam hatinya itu kemudian mencoba
mengingat-ingat kembali pada saat Plasa Ireng terbunuh.
Pada saat itu ia hampir tidak mempedulikannya, siapakah
yang membunuh. Baginya orang-orang Pajang sama saja
semuanya. Semuanya harus dibinasakan.
Namun dengan demikian ia menjadi ragu-ragu. Apalagi kedua
kawan-kawannya yang lain. Mereka berdiri membeku di
tempatnya. Kalau benar Sidanti itu telah menjadi sejajar
dengan Tohpati, maka akan binasahlah mereka semuanya.
Tetapi tiba-tiba timbul pikiran yang memberi harapan bagi
Tundun. Apabila Sidanti itu benar-benar berselisih dengan
Widura dan Untara, maka apakah kedatangannya itu dapat
dianggap sebagai kawan" Karena itu maka segera Tundun
bertanya, "Sidanti, kenapa kau tidak berada di medan.
Bukankah hari ini berkobar perang yang terbesar yang pernah
terjadi di Sangkal Putung?"
Sidanti mengerutkan keningnya. Ia menjajagi pertanyaan itu.
Katnaya, "Kenapa kau bertanya tentang hal itu"
"Ya kenapa" Bukankah kau prajurit Pajang?"
Sidanti tertawa. Jawabnya, "Aku dapat berbuat sekehendakku.
Apakah aku ingin berperang, apakah aku ingin melihat-lihat
hutan ini. Tak seorangpun pula yang dapat mencegah
kehendakku." Dada Tundun menjadi berdebar-debar. Namun dipaksanya
juga mulutnya berkata, "Hem, aku dengar kau tidak lagi
berada dalam lingkungan keprajuritan Pajang."
Tundun terkejut mendengar jawaban Sidanti. "Apa
perdulimu?" Sesaat Tundun terdiam. Tetapi kemudian ia bertanya pula,
"Lalu apa maksudmu kemari?"
"Sudah aku katakan. Aku ingin melihat, berapa kemah yang
ada dan berapa luas tanah yang diperlukan. Aku ingin
mengira-ngirakan kekuatan Tohpati."
"Untuk apa?" "Sekehendakku."
Tiba-tiba Tundun bertanya, "Apakah kau tidak bermaksud
bekerja bersama dengan Macan Kepatihan?"
Sidanti tertawa. Benar-benar menyakitkan telinga, katanya,
"Kau sudah gila agaknya. Apa arti Tohpati bagiku, dan apakah
arti seluruh kekuatannya?"
Sekali lagi dada Tundun berdesir. Betapapun juga ia adalah
seorang prajurit. Karena itu, maka meskipun ia telah
mendengar bahwa Sidanti itu mempunyai kesaktian yang
hampir setingkat dengan Macan Kepatihan, namun adalah
01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kewajibannya untuk menunaikan tugasnya. Karena itu maka
katanya, "Sidanti. Aku hormat kepadamu. Aku pernah
mendengar bahwa kau memang seorang anak muda yang
pilih tanding. Tetapi kali ini perkemahan ini menjadi tanggung
jawabku. Maka jangan mencoba berbuat hal-hal yang dapat
membahayakan keselamatannmu."
Kini Sidanti itu tertawa terbahak-bahak. Di antara tertawanya
terdengar ia berkata, "O, prajurit yang malang. Kenapa kau
berani berkata demikian padaku" Sudah aku katakan, tak
seorangpun dapat memerintah aku, dan tak seorangpun dapat
menghalangi kemauanku. Kali ini aku ingin berjalan-jalan
mengelilingi perkemahan ini. Jangan mencoba mencegahnya."
Hati Tundun adalah hati yang mudah terbakar. Kali inipun
betapa bara menyaka di dadanya. Namun terhadap Sidanti ia
harus berhati-hati. Sekali lagi ia memandang kedua kawannya
yang seolah-olah telah membeku. Di sampingnya berdiri
Bajang seperti patung pula. Namun tampak bahwa wajah
orang yang bertubuh kecil ini sama sekali tidak menunjukkan
kecemasan di hatinya. Bajang masih juga berdiri dengan
Hina Kelana 16 Nurseta Satria Karang Tirta Karya Kho Ping Hoo Ratu Pilihan 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama