Ceritasilat Novel Online

Api Di Bukit Menoreh 22

01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja Bagian 22


menjadi sibuk pula. Dengan tergesa-gesa mereka menyiapkan
kuda-kuda itu di muka pendapa.
Setelah kuda yang sepuluh itu siap, maka segera Widura
memerintahkan memanggil Hudaya dan beberapa orang untuk
ikut serta bersama Untara ke tempat pertempuran itu terjadi.
Agung Sedayu yang datang kemudianpun menjadi terheranheran.
la melihat betapa wajah kakaknya menjadi tegang dan
sepuluh ekor kuda telah siap di halaman.
Dengan hati-hati ia kemudian bertanya kepada gurunya,
"Apakah yang telah terjadi Kiai?"
Dengan singkat Kiai Gringsing mencoba menjelaskan apa
yang sebenarnya telah terjadi. Dan apa yang didengarnya itu
telah menggetarkan dadanya pula. Karena itu ketika tiba-tiba
ia mendengar suara kakaknya memanggil, dengan tergopohgopoh
ia mendekatinya. "Kau ikut bersamaku," perintah kakaknya.
"Baik Kakang," sahut, Agung Sedayu. Karena Agung Sedayu
telah mendengar apa yang terjadi maka segera iapun
menyiapkan pedangnya dan membenahi pakaiannya.
Sesaat kemudian berkumpulah sepuluh orang di halaman.
Wajah mereka memancarkan berbagai pertanyaan yang
tersimpan di dalam hati mereka.
Di antara mereka itu adalah Hudaya yang dipanggil dari alunalun
di muka banjar desa itu. Dengan singkat dan tergesa-gesa Untara berkata kepada
mereka, "Kalian ikut dengan aku. Bawa senjatamu. Mungkin
kita akan berhadapan dengan bahaya."
Hudaya mengerutkan keningnya. Tetapi sebelum ia sempat
bertanya, Untara berkata pula, "Tak ada kesempatan untuk
membicarakan masalah ini. Siap di atas punggung kuda. Kita
berangkat. Hanya ada sepuluh ekor kuda. Dua di antaranya
untuk aku dan Agung Sedayu."
Para prajurit Pajang itu benar-benar tidak mendapat
kesempatan untuk bertanya. Untara segera meloncat ke atas
punggung kudanya diikuti oleh Agung Sedayu. Meskipun
berbagai pertanyaan bergelut di dalam hati masing-masing,
namun kedelapan ekor kuda yang lainpun segera
berpenumpang di punggungnya.
"Aku akan berangkat sekarang Paman. Aku serahkan segala
kebijaksanaan di sini kepada Paman dan Kiai Gringsing,"
berkata Untara. "Mudah-mudahan Ki Tambak Wedi tak akan
dapat melampaui kesaktian Ki Gede. Kalau demikian, mungkin
salah seorang dari kami akan datang kembali menjemput
Kiai." "Baik," jawab Widura singkat.
Untara tidak berkata apapun lagi. Segera ia menggerakkan
kendali kudanya, dan kuda itupun segera meloncat diikuti oleh
kuda-kuda yang lain. Meskipun demikian, perkataan Untara
yang terakhir itupun menambah pertanyaan yang meIingkarlingkar
di dalam hati para prajurit Pajang yang lain.
Kesepuluh ekor kuda itupun kemudian berpacu seperti angin
meninggalkan halaman banjar desa, menghambur-hamburkan
debu yang putih mengepul tinggi ke udara.
Kembali para prajurit Pajang dan anak-anak muda Sangkal
Putung bertambah heran. Bahkan Ki Demang dan Swandaru
yang kemudian berada di antara anak-anak muda Sangkal
Putung di lapangan di muka banjar desa itupun melihat kuda
yang berpacu itu sambil bersungut-sungut. Tetapi mereka
tidak ingin menanyakannya kepada Widura. Sebab terasa
bahwa ada sesuatu yang memang dirahasiakan. Sehingga
apa yang terjadi itupun mereka sangka, adalah rangkaian dari
persoalan-persoalan yang memang dirahasiakan dan telah
direncanakan. Tetapi Untara sendiri berpacu dengan hati yang gelisah.
Kudanya serasa berlari terlampau lamban. Kalau ia terlambat
sampai di tempat pertempuran itu, dan para prajurit Wira
Tamtama yang dipimpin sendiri oleh Gede Pemanahan
mengalami bencana, maka lehernya akan menjadi taruhan,
bukan soal yang menyedihkannya, tetapi seluruh Wira
Tamtama akan kehilangan panglimanya karena kesalahannya.
Memang dalam laporan yang disampaikan ke Pajang, seakanakan
Sangkal Putung telah menjadi aman. Ternyata yang
terjadi adalah benar-benar memalukannya. Karena itu, maka
dipacunya kudanya secepat-cepatnya, supaya ia dan kawankawannya
tidak terlampau lambat sampai.
Hudaya dan kawan-kawannya berpacu sambil saling
berpandangan. Namun firasat keprajuritan mereka telah
mengatakan, bahwa mereka sedang berhadapan dengan
bahaya. Ternyata Untara tidak membiarkan mereka berteka-teki
sepanjang jalan. Ketika kuda-kuda itu telah meninggalkan
induk kademangan, maka berkatalah Untara tanpa berpaling,
"Kita akan bertempur melawan pecahan orang Jipang yang
hari ini tidak ingin melihat kawan-kawannya kami terima
dengan baik." Hudaya mengerutkan keningnya. Tetapi ia bertanya, "Kenapa
kita hanya bersepuluh?"
"Orang-orang Jipang itu tidak terlampau banyak. Mereka telah
terlibat dalam pertempuran melawan prajurit-prajurit Pajang
yang hari ini datang ke Sangkal Putung untuk mengawal Ki
Gede Pemanahan." "Ki Gede Pemanahan?" Hudaya mengulangi.
"Ya." Hati para prajurit itu berdesir. Ki Gede Pemanahan adalah
panglima mereka, meskipun satu dua di antara mereka ada
yang belum pernah melihatnya. Namun namanya telah
menjadi buah bibir segenap prajurit Wira Tamtama.
Kuda mereka berpacu terus. Sementara itu Hudaya berkata,
"Aku sudah menyangka, orang orang Jipang tidak dapat
dipercaya. Mereka membiarkan sebagian dari mereka untuk
berpura-pura menyerah. Kemudian mereka menyerang pada
hari yang sebenarnya ditentukan untuk menerima mereka.
Namun orang-orang Jipang yang lain akan berdatangan pula,
tidak untuk menyerah, tetapi untuk menjadikan Sangkal
Putung ini karang abang."
"Marilah kita Iihat apa yang sebenarnya terjadi," berkata
Untara kemudian. "Tetapi jangan terlampau terburu nafsu."
Hudaya tidak menjawab. Tetapi kebenciannya kepada orangorang
Jipang semakin melonjak. Karena itulah maka tiba-tiba
ia menggeretakkan giginya. Dan tanpa sadarnya tangan
kirinya membelai hulu pedangnya.
Kini mereka menyusup ke dalam sebuah desa kecil. Mereka
melihat sebuah gardu di pinggir jalan. Beberapa orang
penjaganya telah turun dan berdiri di sisi jalan. Namun Untara
tidak memperlambat kudanya. Tetapi sekali ia berteriak
lantang, "Hati-hati, awasi keadaan baik-baik."
Para penjaga di gardu itu melihat kuda-kuda itu berpacu
dengan mulut ternganga. Belum lama berselang ia melihat
Sonya yang luka berpacu ke arah yang berlawanan.
Sebelumnya, di pagi pagi buta Sonya menempuh jalan ini pula
berlima. Para penjaga itu merasa bahwa ada sesuatu yang
tidak wajar telah terjadi.
Ketika mereka memandangi kuda-kuda yang berpacu maka
yang tampak kemudian adalah debu yang putih mengepul
tinggi ke udara. Kuda-kuda itu masih harus berlari melampaui
sebuah desa lagi, barulah kemudian mereka sampai ke bulak
yang agak panjang. Di bulak itulah pertempuran antara orangorang
Jipang dan para prajurit Pajang terjadi.
Di ujung desa itupun ada sebuah gardu pula. Tetapi yang
berada di dalamnya tinggal dua orang. Yang lain telah
mendahului membantu para prajurit Pajang yang bertempur di
tengah-tengah bulak itu. Berkali-kali Untara mencoba mempercepat Iari kudanya, yang
seakan-akan terlampau malas. Di belakangnya berurutan
sembilan orang yang lain. Di antaranya Agung Sedayu.
Dengan dahi yang berkerut-kerut Agung Sedayu sekali-sekali
mengusap debu yang melekat di wajahnya yang berkeringat,
meskipun matahari belum terlampau tinggi.
Di tengah-tengah bulak itu pertempuran, kian lama menjadi
kian seru. Kedua belah pihak telah mengerahkan tenaga
sejauh-jauh mungkin. Pakaian mereka telah basah oleh
keringat, dan wajah-wajah mereka telah menjadi merah hitam.
Di antara mereka, para prajurit Pajang dan orang-orang
Jipang itu telah menjadi waringuten. Tetapi karena jumlah
orang-orang Jipang itu terlampau banyak bagi para prajurit
Pajang, maka betapapun juga, ternyata para prajurit Pajang
mengalami beberapa kesulitan.
Mas Ngabehi Loring Pasar, yang harus bertempur melawan
Sidanti berdua dengan Alap-alap Jalatunda ternyata mampu
mengimbanginya. Meskipun anak yang masih sangat muda itu
sekali-sekali mengalami kesulitan, tetapi kelincahannya telah
melepaskannya dari setiap usaha lawannya untuk
membinasakannya. Namun dengan demikian berkali-kali
Sutawijaya harus bergeser mundur. Berkali-kali ia harus
meloncat menghindar jauh-jauh untuk mendapat jarak yang
wajar dari kedua lawannya. Meskipun Alap-alap Jalatunda
tidak dapat berbuat selincah Sidanti, tetapi beberapa kali Alapalap
yang muda itu berhasil menjebaknya untuk memberi
kesempatan pada Sidanti menyerangnya dengan seranganserangan
maut. Anak muda yang mengagumkan itupun telah bermandi
keringat. Berkali-kali terdengar ia menggeram. Betapa
kemarahannya membakar darahnya, tetapi ia masih
bertempur dengan segenap perhitungan. Apalagi menghadapi
sepasang anak-anak muda yang cukup memiliki bekal untuk
melawannya. Sementara itu Ki Gede Pemanahan pun kini telah bertempur
dengan sengitnya melawan Ki Tambak Wedi. Kalau semula Ki
Gede Pemanahan masih mencoba bertahan sambil
memperhatikan setiap prajuritnya, maka kini ia berpendirian
lain. Ia harus segera mengalahkan lawannya. Kemudian ia
akan banyak mendapat kesempatan, meskipun ia tidak akan
melepaskan sama sekali perhatiannya terhadap pertempuran
itu dalam keseluruhannya. Dengan demikian, maka
pertempuran antara keduanya, antara ki Gede Pemanahan
dan Ki Tambak Wedi menjadi semakin seru. Masing-masing
adalah orang-orang sakti pilih tanding.
Namun, bagaimanapun juga Ki Gede Pemanahan tidak dapat
melepaskan pengaruh keadaan di sekitarnya. Untunglah
bahwa ia masih tetap di atas punggung kudanya, sehingga
kesempatan masih lebih banyak baginya daripada lawannya.
Demikianlah peperangan itu menjadi bertambah seru. Namun
ternyata bahwa para prajurit Pajang kini telah benar-benar
terdesak. Beberapa kali mereka terpaksa berkisar mendekati
Sangkal Putung, sedang kawan-kawan mereka yang masih
berada di atas punggung kuda mencoba melindungi mereka.
Sekali-sekali kuda-kuda yang menyambar-nyambar itupun
masih juga mampu untuk membuat orang-orang Jipang
menjadi bingung. Ki Gede Pemanahan dan Ki Tambak Wedi menyadari
keadaan itu. Karena itu Ki Tambak Wedi sempat tertawa
sambil berkata, "Jangan menyesal Ki Gede Pemanahan,
perwira tertinggi Wira Tamtama. Aku sudah kehilangan
kesabaran, sehingga kesempatan yang aku berikan telah aku
cabut kembali. Yang akan terjadi adalah, Untara akan datang
dan akan menemukan mayatmu dan mayat orang-orangmu.
Sedang anakmu akan aku bawa ke padepokanku akan aku
jadikan tontonan bagi para prajurit Jipang. Inilah orangnya
yang langsung menghujamkan tombak ke lambung Arya
Penangsang dengan akal yang sangat curang."
Tetapi alangkah kecewanya Ki Tambak Wedi. Ia mengharap
Ki Gede Pamanahan menjadi tegang dan mengumpat-umpat.
Tetapi ternyata Ki Gede Pemanahan itu tersenyum sambil
menjawab, "Aku akan mengucapkan selamat Ki Tambak Wedi
seandainya kau mampu berbuat begitu."
"Kau masih mencoba mengingkari kenyataan ini?" Ki Tambak
Wedi-lah yang membentak-bentak. Sementara itu kuda Ki
Gede Pemanahan menyambarnya. Ujung Keris Kiai Naga
Kemala hampir-hampir saja menyentuh tengkuknya.
"Setan!" teriaknya.
Ki Gede Pemanahan tertawa. Katanya, "Kenapa kau
mengumpat Ki Tambak Wedi. Apakah anak buahmu hampir
binasa?" Ki Tambak Wedi meloncat maju menyerang Ki Gede
Pemanahan. Tetapi Ki Gede Pemanahan benar-benar
tangkas, sehingga usahanya sia-sia. Ki Tambak Wedi benarbenar
menjadi sangat marah menghadapi panglima Wira
Tamtama ini. Ia benar-benar hampir tak berdaya. Apalagi Ki
Gede Pemanahan masih saja berada di punggung kudanya,
sehingga tiba-tiba hantu lereng Merapi itu berteriak, "Ayo,
kalau kau jantan, turun dari kudamu!"
"Ki Tambak Wedi," sahut Pemanahan, "apakah kau juga akan
bersikap jantan?" "Tentu!" teriak Ki Tambak Wedi.
"Apakah kau bersedia menjadi penentu dari pertempuran ini
bersama aku. Ayo, aku akan turun dari kuda, dan aku akan
tetap mempergunakan kerisku ini untuk melawanmu. Tetapi
akibat dari perkelahian itu akan menentukan keadaan kita
semuanya. Meskipun kemudian Untara datang, tetapi keadaan
tidak akan berubah, kau dan aku, pertempuran itu akan
barlangsung sampai tuntas. Salah seorang dari kita akan mati,
atau menyerah. Kau setuju?"
"Kau benar-benar licik seperti anak demit. Ketika kau melihat
anak buahmu akan binasa, kau mengajukan syarat itu," sahut
Ki Tambak Wedi, "Kita bertemu dalam keadaan ini. Aku
dengan orang-orangku dan kau dengan orang-orangmu.
Biarlah kita semuanya yang menentukan keadaan ini."
"Bagus. Kita bertemu dalam keadaan ini. Kau di atas kedua
kakimu, aku di atas punggung kuda. Biarlah keadaan ini
menentukan akhir dari pertempuran."
Ki Tambak Wedi menggeram sambil mengumpat habishabisan.
Namun betapa ia mengerahkan tenaganya, tetapi Ki
Gede Pemanahan, Panglima Wira Tamtama itu, bukanlah
Widura, Untara, atau Agung Sedayu yang dapat dipijitnya
semudah memijit ranti. Bahkan terasa bahwa semakin lama
tandang Ki Gede Pemanahan itupun menjadi semakin garang.
Namun keseluruhan dari pertempuran itu benar-benar tidak
menguntungkannya. Berkali-kali anak panglima itu, Sutawijaja,
terpaksa berloncatan surut. Orang-orang Jipang yang datang


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seakan-akan sengaja mengurungnya dan menahan setiap
prajurit Pajang yang datang di atas punggung kuda. Tetapi
Mas Ngabehi Loring Pasar, betapa kemarahan mencengkam
dirinya, ia masih tetap mempergunakan perhitungan yang baik
dalam melawan sepasang musuhnya itu.
Namun keadaan para prajurit yang lain ternyata agak lebih
sulit. Mereka bertempur dalam kelompok-kelompok untuk
menghindarkan diri dari sergapan dari arah yang tak
dikehendaki. Namun lawan mereka telah mencoba menekan
mereka sekuat-kuatnya. Kedua pihak adalah prajurit-prajurit
pilihan dari dua kadipaten yang saling bermusuhan, sehingga
dendam dan kebencian ikut pula berbicara dalam pertempuran
itu. Matahari di langit merayap semakin tinggi. Sinarnya yang
cerah memancar berserakan di atas wajah bumi. Di atas
dedaunan dan batang-batang jagung muda. Namun di sekitar
pertempuran itu batang jagung telah rusak ditebas oleh kakikaki
kuda dan kaki-kaki para prajurit yang sedang bertempur.
Semakin lama semakin luas, berkisar dari satu titik ke titik
yang lain. Sedang kuda-kuda para prajurit Pajang kadangkadang
berlari-lari melingkari daerah yang lebih luas lagi untuk
mengambil ancang-ancang. Kuda-kuda itu seolah-olah burung
rajawali yang melayang di udara, yang kemudian menukik
dengan garangnya menyambar mangsanya. Tetapi orangorang
Jipang menyongsongnya dengan pedang di tangan.
Dalam pertempuran yang hiruk-pikuk itu, Ki Tambak Wedi
telah mencoba untuk mempercepat penyelesaian. Berkali-kali
ia berteriak memberikan aba-aba kepada Sanakeling dan
orang-orang lain supaya mempercepat pekerjaan mereka.
Tetapi pekerjaan itu bukan pekerjaan yang dapat ditentukan
oleh sepihak, sehingga Ki Tambak Wedi itu seolah-olah tidak
lagi dapat bersabar menunggu. Namun demikian
pekerjaannya sendiri tidak dapat juga segera dapat
diselesaikan. Demikianlah, pertempuran itu berjalan terus. Bagaimanapun
juga Ki Gede Pamanahan tidak dapat mengingkari kenyataan.
Keadaan anak buahnya memang terlampau sulit. Bahkan ada
di antaranya yang telah terluka dan jatuh menjadi korban.
Dalam keadaan yang demikian itulah Untara memacu
kudanya bersama beberapa orang prajurit Pajang yang
berada di Sangkal Putung. Setiap kali Untara selalu melecut
kudanya, supaya berlari lebih cepat. Kini ia telah memasuki
bulak jagung. Sebentar lagi ia akan sampai di tempat yang
ditunjuk oleh Sonya. Tetapi kudanya serasa berlari terlampau
lamban, seolah-olah sengaja memperlambat agar ia tidak
datang tepat pada waktunya. Karena itu kegelisahan di dada
Untara semakin lama menjadi semakin menyala.
Seolah-olah ia ingin meloncat mendahului derap kaki kudanya.
Tetapi hal itu sudah tentu tidak dapat dilakukannya. Ia harus
bersabar dan tetap di atas punggung kuda yang dirasanya
sangat malas itu. Meskipun demikian, meskipun kudanya dirasanya terlampau
lamban, namun akhirnya Untara itu melihat debu yang
berhamburan di balik pohon-pohon jagung muda. Ketika jalan
yang ditempuhnya sedikit menanjak, maka dadanya seolaholah
berdentangan. Kini ia melihat, meskipun tidak seluruhnya karena tertutup oleh
batang-batang jagung, betapa riuhnya pertempuran yang telah
terjadi antara para prajurit Pajang yang dipimpin sendiri oleh
Ki Gede Pemanahan dan orang-orang Jipang yang dipimpin
oleh ki Tambak Wedi. Tanpa sesadarnya, Untara mencambuk kudanya sejadijadinya.
Kuda itupun terkejut dan meloncat sambil meringkik
kecil. Larinya menjadi semakin bertambah cepat sehingga
Untara meninggalkan kawan-kawannya beberapa langkah di
belakang. Agung Sedayu pun mencambuk kudanya pula. Demikian juga
kawan-kawannya. Mereka seolah-olah menjadi tidak bersabar
lagi menunggu langkah kaki-kaki kuda itu. Demikian
bernafsunya Untara sehingga sebelum mencapai tempat
pertempuran itu, tangannya telah menggenggam pedang.
Diacung-acungkannya pedangnya seperti sedang menghalau
burung di sawah. Ki Tambak Wadi yang bertempur dengan serunya melawan Ki
Gede Pemanahan terkejut melihat kilatan pedang di kejauhan.
Kemudian tampak sebuah kepala muncul di atas batangbatang
jagung. Disusul oleh yang lain, yang lain lagi seperti
berkejar kejaran. Dada orang tua itu berdesir. Orang yang datang itu tidak
terlampau banyak. Tetapi yang tidak terlampau banyak itu
pasti segera akan merubah keseimbangan. Karena itu tibaTiraikasih
website - http://kangzusi.com/
tiba ia menggeram. Betapa kemarahan membakar dadanya.
Orang-orang Jipang benar-benar tidak memberinya kepuasan.
Mereka bertempur seperti mengejar-ngejar tupai saja, tidak
cekatan dan tidak bertenaga. Ketika musuh-musuh mereka
masih terlampau lemah mereka tidak segera dapat
mengalahkan dan membinasakan. Apalagi kini datang lagi
beberapa orang berkuda. Maka keadaan orang-orang Jipang
pasti tidak akan sebaik semula.
Kemarahan Ki Tambak Wedi itu semakin memuncak ketika ia
mendengar Ki Gede Pemanahan tertawa sambil berkata, "Kau
sedang menghitung pedang yang datang itu, bukan, Ki
Tambak Wedi?" "Persetan!" geram Ki Tambak Wedi. "Kalau aku menjadi
Hadiwijaya dari Pajang, aku malu mempunyai Panglima
semacam kau ini. Panglima yang hanya dapat mengharap
orang lain datang memberi bantuan. Kenapa kau tidak
berusaha memenangkan pertempuran dengan kekuatan yang
ada padamu" Kenapa kau menggantungkan dirimu dari
bantuan yang bakal datang dengan memperpanjang waktu?"
Ki Gede Pemanahan mengerutkan keningnya. Ia benar-benar
tersinggung mendengar kata-kata itu, sehingga sekali lagi ia
mengulangi tantangannya, "Ki Tambak Wadi, kalau kau tidak
mau melihat prajurit-prajurit Pajang yang jumlahnya jauh lebih
kecil dari orang-orangmu ini mendapatkan kemenangan, maka
marilah, kita berhadapan langsung di dalam arena. Biarlah aku
layani seandainya kau ingin melihat Pemanahan lepas dari
kedudukannya, yang dapat memanggil tidak saja prajuritprajurit
Pajang di Sangkal Putung, tetapi seluruh Prajurit di
segenap sudut Pajang untuk menangkap dan
menggantungmu di alun-alun Pajang. Kalau kau ingin melihat
Pemanahan sendiri yang terpisah dari prajurit-prajuritnya,
marilah, biarlah para prajurit dari kedua belah pihak melihat,
siapa di antara kita orang tua-tua ini yang masih cukup
mampu bermain loncat-loncatan."
Sekali lagi Ki Tambak Wedi menggeram, tantangan itu benarbenar
menusuk pusat jantungnya. Betapa ia ingin
melayaninya seandainya ia tidak sedang dalam keadaan yang
sulit. Ia harus cepat melihat keadaan dalam keseluruhannya.
Karena itu maka, tiba-tiba ia bersuit panjang. Sebelum Untara
sampai ke tempat pertempuran itu, anak buahnya harus sudah
mengundurkan diri dan mencoba menghilang di antara
tanaman-tanaman jagung muda. Se-terusnya mereka akan
menyusup ke dalam sebuah tegalan dan segera mereka akan
sampai ke rumpun-rumpun bambu liar.
Ki Gede Pemanahan, meskipun tidak tahu arti daripada siutan
itu menurut persetujuan orang-orang Jipang, tetapi ia sudah
dapat menduga. Ada dua kemungkiman yang bakal terjadi. Ki
Tambak Wedi memanggil pasukan cadangannya, atau orangorangnya
yang telah bertempur di arena itu harus
mengundurkan diri. Namun dalam pada itu terdengar Ki Tambak Wedi berkata
lantang, "Tunggu sampai matahari mencapai puncaknya,
Sangkal Putung akan dilanda arus induk pasukan Jipang yang
akan datang dari Barat. Mereka akan dipimpin oleh Adi
Sumangkar, saudara muda seperguruan Patih Mantahun.
Bukankah kau telah mengenalnya pula Pemanahan" Aku
akan datang kembali bersama-sama dengan mereka."
Belum lagi kata-kata itu habis diucapkannya, maka Ki Gede
Pemanahan telah melihat orang-orang Jipang itu berkisar
surut begitu cepat, sehingga ia tidak mendapat kesempatan
untuk memberikan perintah lain. Orang-orang Jipang itu
bertempur sambil mengambil ancang-ancang. Namun dalam
pada itu, seperti jengkerik yang lenyap ke dalam liangnya,
mereka menyusup satu-satu ke dalam lindungan batangbatang
jagung. Orang-orang Pajang yang telah melihat
kehadiran sepasukan kecil dari Sangkal Putung menjadi
berbesar hati, sehingga dengan demikian mencoba mengejar
orang-orang Jipang itu. Namun orang-orang Jipang berlari
berpencaran. Kadang-kadang satu dua di antara mereka
masih juga menyergap dengan tiba-tiba di dalam rimbunnya
daun jagung yang hijau, namun kemudian mereka kembali
menghilang. Sehingga dengan demikian amat sulitlah untuk
dapat mengejar mereka dengan sebaik-baiknya. Sehingga
karena itu, maka akhirnya mereka terpaksa melepaskan
orang-orang Jipang itu menghilang.
Untara datang terlambat. Pertempuran di bulak jagung itu
telah selesai. Yang dilihatnya tinggalah bekas-bekasnya.
Darah dan beberapa sosok mayat dari kedua belah pihak.
Darah Untara serasa membeku ketika ia melihat Ki Gede
Pemanahan duduk di atas punggung kudanya. Tangannya
masih menggenggam keris Kiai Naga Kemala, sedang
peluhnya seperti terperas dari tubuh membasahi segenap
pakaiannya. Apalagi ketika kemudian dilihat oleh Untara,
seorang anak muda yang menggenggam tombak di
tangannya. Tombak yang sama sekali masih belum
membekas darah, tetapi pakaian anak muda itu sendiri telah
diwarnai oleh darahnya sendiri. Ternyata lengan Sutawijaya
telah terluka justru oleh Alap-alap Jalatunda, bukan oleh
Sidanti. Pedang Alap-alap muda itu berhasil menyentuh
lengan Mas Ngabehi Loring Pasar. Agaknya perhatian
Sutawijaya lebih banyak ditujukan kepada Sidanti, sehingga
Alap-alap Jalatunda mendapat kesempatan lebih banyak,
tetapi anak muda itu tersenyum dan menyapa, "Kau baru
datang Kakang Untara, kami baru saja bujana andrawina.
Sayang, kau tidak dapat ikut serta."
Untara tidak menjawab, tetapi segera ia meloncat dari
kudanya dan menghadap ki Gede Pemanahan sambil
membungkuk dalam-dalam. "Aku mohon maaf Ki Gede."
Ki Gede Pemanahan tersenyum. Senyum yang kecut sekali.
Dilihatnya kawan-kawan Untara yang kemudian berloncatan
pula dari punggung kudanya dan yang kemudian
menyarungkan pedang masing-masing, tetapi Untara sendiri
baru menyarungkan pedang ketika ia dikejutkan oleh suara Ki
Gede Pemanahan, "Sarungkan pedangmu Untara. Tak ada
lagi yang akan kau ajak bermain pedang."
Untara menggigit bibirnya. Sambil menundukkan kepalanya ia
menyarungkan pedangnya. Tetapi ketika ia sempat
memandang tangan Ki Gede Pemanahan dengan sudut
matanya, maka dilihatnya Ki Gede pun telah menyarungkan
kerisnya Kiai Naga Kemala.
"Sambutan yang cukup hangat Untara," desis Ki Gede
Pemanahan. "Selama aku menjadi Panglima Wira Tamtama
ternyata sambutan Sangkal Putung atas kedatangan
peninjauanku adalah yang paling hangat yang pernah aku
alami." Kepala Untara menjadi semakin tunduk. Hudaya, Agung
Sedayu dan kawan-kawannyapun menundukkan wajah-wajah
mereka pula. Namun di dalam hati, Hudaya mengumpati
orang-orang Jipang itu tidak habis-habisnya. Kalau ia
mendapat kesempatan, maka ia pasti akan menumpahkan
segenap kemarahan, kebencian dan dendam kepada mereka.
"Aku sudah menyangka bahwa mereka pasti, akan berbuat
curang," katanya di dalam hati. "Penyerahan itu hanyalah
sekedar cara untuk membuat kita menjadi lengah."
"Aku mohon maaf Ki Gede," desis Untara kemudian. "Mungkin
ada sesuatu yang tidak berkenan di hati Ki Gede
Pemanahan." Ki Gede Pemanahan tersenyum. Senyumnya masih
sebuah senyuman yang kecut.
Jawabnya, "Untunglah aku
masih hidup sehingga aku masih mendapat kesempatan
untuk memberi maaf kepadamu. Kalau aku sudah
dipenggal kepalaku oleh Ki
Tambak Wedi, mungkin kau akan menyesal. Bukan karena
kematianku, tetapi karena aku tidak dapat memberi maaf lagi
kepadamu." Untara tidak menjawab. Terasa tubuhnya bergetar. la merasa
memanggul kesalahan di atas pundaknya. Dan Ki Gede
Pemanahan telah langsung menunjuk kesalahan itu.
Ki Gede itu kemudian berkata pula, "Berapa orang yang kau
bawa itu?" "Sepuluh orang Ki Gede, selain yang delapan orang telah
mendahului," jawab Untara.
Ki Gede Pemanahan kemudian memandangi kesepuluh orang
itu satu persatu, tetapi ia tidak melihat Widura. Beberapa
orang di antaranya sama sekali belum dikenalnya.
Dalam pada itu, kembali mereka mendengar suara kaki kuda
berderap. Dari kejauhan mereka melihat bermunculan
beberapa buah kepala di atas batang-batang jagung muda.
Dan sejenak kemudian tujuh orang yang sedang berpacu
sampai pula di antara mereka. Ketujuh orang itupuh dengan
serta merta menghentikan kuda-kuda mereka dan segera
berloncatan turun. "Berapa orang yang akan datang lagi?" bertanya Ki Gede
Pemanahan. "Semuanya paling sedikit duapuluh lima orang ki Gede?"
jawab Untara. Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukan kepalanya.
Jumlah yang disebutkan Untara itu telah mengurangi
kekecewaannya. Ternyata perhitungan Untara cukup baik. Ia
tidak mempercayakan diri dengan jumlah yang hanya sepuluh
orang itu. Dengan duapuluh lima orang Untara dapat menarik
suatu kepastian, bukan sekedar untung-untungan. Dalam
peperangan maka diperlukan suatu perhitungan yang mantap
meskipun kadang-kadang keadaan yang khusus dan tiba-tiba


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dapat merubah keadaan yang telah diperhitungkan itu, namun
itu adalah akibat dari kekhususannya.
Ternyata apa yang dikatakan Untara bukanlah sekedar untuk
mengurangi kesalahannya. Kembali dari arah yang sama
datang orang-orang berkuda. Kali ini serombongan kecil
sebanyak lima orang. Meskipun jumlah mereka seluruhnya
belum mencapai duapuluh lima orang, namun jumlah itu telah
mendekati, dan bahkan melampaui apabila yang delapan
orang diperhitungkan pula.
"Jumlah orang-orangmu cukup untuk menyambut
kedatanganku Untara," berkata Ki Gede Pemanahan.
"Ternyata kau cukup berprihatin mendengar laporan Sonya.
Bukan begitu?" Untara mengangguk. "Ya Ki Gede."
"Kenapa hal ini dapat terjadi?"
Untara menunduk semakin dalam. Ki Gede Pemanahan
agaknya benar-benar menjadi kecewa atas kejadian ini. Dan
Untara tidak akan mengingkari, bahwa di pundaknyalah
terletak segala kesalahan.
"Aku percaya pada setiap laporanmu. Aku percaya sebab
menurut penglihatanku, pada saat-saat lampau kau hampir
tidak pernah berbuat kesalahan. Apalagi kesalahan sebodoh
kali ini. Namun ternyata kau hampir-hampir saja menyeret aku
ke dalam suatu kesulitan."
Untara tidak menjawab. la berdiri tegak seperti patung dengan
kepala menunduk. Bukan saja Untara yang merasa hatinya bergetar, tetapi
semua prajurit Pajang yang berada di tempat itu. Mereka
mengenal Untara sebagai seorang senapati yang baik. Tetapi
betapapun baiknya, seseorang suatu ketika memang dapat
membuat kesalahan. Sesaat kemudian berkata Ki Gede Pemanahan itu pula,
"Untara. Aku datang kemari karena aku memenuhi
undanganmu. Aku sependapat dengan semua usulmu.
Sekarang, terserah kepadamu, apa yang harus aku lakukan."
Dada Untara menjadi semakin berdebar-debar. Apa yang
harus dilakukan dalam keadaan seperti sekarang ini" Apalagi
ketika Ki Gede Pemanahan kemudian berkata, "Menurut Ki
Tambak Wedi, segera akan datang induk pasukan dari arah
Barat yang dipimpin oleh Sumangkar. Tetapi sesuai dengan
laporanmu, bahwa Sanakeling dan Sumangkar berbeda
pendirian, maka ada beberapa kemungkinan yang bakal
terjadi. Kalau Sumangkar barhasil mengelabui kau Untara,
maka perbedaan pendirian itu adalah semata-mata suatu cara
untuk menjebakmu. Tetapi kalau Sumangkar benar-benar
akan menyerah, maka Ki Tambak Wedi-lah yang licin seperti
belut. Darimana Ki Tambak Wedi tahu bahwa aku akan
datang?" Dengan hati-hati Untara menjawab, "Tak seorangpun yang
tahu, bahwa Ki Gede akan datang kecuali beberapa orang
penghubung, beberapa orang pemimpin kelompok dan Paman
Widura sendiri. Sebagian besar dari orang-orang yang datang
inipun baru tahu bahwa Ki Gede berada dalam, perjalanan
setelah kami berangkat dari halaman Banjar Desa Sangkal
Putung." Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tetapi pikirannya masih juga meraba-raba, apakah
sebenarnya yang akan dihadapi oleh Sangkal Putung.
Sejenak suasana menjadi sunyi. Masing-masing mencoba
untuk mencari jalan yang sebaik-baiknya menghadapi
keadaan yang sulit itu. Dalam pada itu tiba-tiba terdengar Mas Ngabehi Loring Pasar
berkata, "Mari kita teruskan perjalanan ini ayah. Aku ingin
melihat Sangkal Putung."
Ki Gede Pemanahan mengerutkan keningnya. la melihat
darah yang membasahi pakaian anaknya. Tetapi anaknya
seolah-olah tidak merasakan sesuatu pada lengannya yang
terluka itu. "Coba, tahanlah darah yang mengalir itu dengan sepotong
kain, Jebeng," perintah ayahnya.
Sutawijaya berpaling. Dipandanginya kudanya. Namun ia
berkata, "Tidak apa-apa Ayah."
"Tetapi jangan terlampau banyak darah mengalir."
Sutawijaya menarik lengan bajunya dan mencoba mengusap
lukanya dengan lengan baju itu. Tetapi darahnya masih juga
menetes satu-satu. Karena itu, maka terpaksa ia memegangi
lukanya dengan tangan kanannya, sedang tangan yang luka
itu menggenggam landean tombaknya. Tetapi luka itu seolaholah
memang tidak terasa. Bahkan ia berkata, "Kakang
Untara, besok aku akan meneruskan perjaIanan ke Barat. Aku
ingin melihat hutan Mentaok yang menurut ayah, apabila
Ramanda Hadiwijaya berkenan, akan dirampas menjadi
sebuah perkampungan."
"Ah," potong ayahnya, "sekarang kita sedang berbicara
tentang Sangkal Putung dan orang-orang Jipang. Kau
berbicara menurut seleramu sendiri."
Sutawijaya tersenyum. Katanya, "Bukankah yang lain-lain
dapat juga dibicarakan di Sangkal Putung" Tidak di tengahTiraikasih
website - http://kangzusi.com/
tengah bulak ini. Dengan demikian, orang-orang yang
terlukapun segera dapat ditolong dengan cara yang lebih
baik." Ki Gede Pemanahan menganggukkan kepalanya. Jawabnya,
"Pendapatmu baik." Kepada Untara Ki Gede Pemanahan
berkata, "Untara. Aku akan berjalan terus ke Sangkal Putung.
Kalau benar ada orang-orang Jipang yang berada di banjar
desa, maka sebaiknya apa yang terjadi ini sementara
dirahasiakan supaya keadaan Banjar Desa Sangkal Putung
tidak menjadi tegang karena prajurit-prajurit Pajang yang
terbakar perasaannya karena peristiwa ini."
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia
menyahut, "Ya Ki Gede, ada beberapa orang-orang Jipang
yang luka-luka di sana."
"Apakah persiapanmu untuk menyambut orang-orang Jipang
cukup baik" Menyerah atau seandainya mereka menyerang?"
bertanya Ki Gede Pemanahan.
"Menurut perhitungan kami di Sangkal Putung, persiapan itu
cukup baik Ki Gede."
"Aku masih cukup percaya kepadamu. Peristiwa yang terjadi
ini mungkin sama sekali di luar dugaanmu."
Untara tidak menjawab. Tetapi ia hanya menundukkan
kepalanya. "Suruh orang-orangmu melayani orang-orang yang terluka dan
membawa para korban. Bagaimana menurut pertimbanganmu
supaya para korban dan mereka yang terluka tidak
menggemparkan banjar desa?"
Untara berpikir sejenak, kemudian jawabnya, "Mereka akan
kami tinggalkan di pedukuhan sebelah Ki Gede. Beberapa
orang akan mengawalnya. Apabila terjadi sesuatu, mereka
harus membunyikan tanda bahaya."
Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"Baik. Kita akan berangkat."
Ki Gede Pemanahanpun kemudian meneruskan
perjalanannya. Kuda-kuda yang masih berkeliaran segera
ditangkap kembali. Dan mereka yang sudah kehilangan
kudanya segera naik bersama-sama dua orang di atas satu
punggung kuda. Sedang para peronda yang datang berjalan
kaki harus kembali ke gardunya sambil membawa orangorang
yang terluka dan beberapa mayat korban pertempuran
itu, dibantu oleh beberapa orang prajurit berkuda yang datang
dari Sangkal Putung. Di sepanjang perjalanan yang sudah tidak terlampau jauh itu,
hampir-hampir tidak ada yang mengucapkan sepatah katapun.
Semuanya terdiam oleh angan-angan mereka yang
berputaran. Baru ketika mereka hampir memasuki induk kademangan,
Untara berkata "Apakah beberapa orang dari kami
diperkenankan mendahului, Ki Gede. Kami ingin membuat
beberapa persiapan."
Ki Gede menganggukkan kepalanya sambil berkata,
"Pergilah." Kemudian kepada seorang perwira pengiringnya Ki Gede
berkata, "Kibarkan panji-panji. Pakailah tombak sebagai
tunggulnya." Sebelum Untara mendahului rombongan itu bersama
beberapa orang untuk mengatur penyambutan, maka ia masih
sempat melihat Panji-panji Wira Tamtama berkibar pada
sebuah landean tombak. Panji-panji Wira Tamtama yang
mengatakan bahwa dalam rombongan itu ada seorang perwira
tertinggi dari kesatuan Wira Tamtama.
Kepada Untara dan orang-orangnya sekali lagi Ki Gede
Pemanahan berpesan, "Untara, kalau kau masih mengharap
bahwa Sumangkar benar-benar akan menyerah, maka sekali
lagi aku pesankan rahasiakan dahulu apa yang telah terjadi."
Untara mengangguk sambil menjawab, "Ya Ki Gede. Akan
kami lakukan." Untara itupun kemudian mendorong kudanya berjalan lebih
cepat untuk mendahului rombongan Ki Gede Pemanahan.
Baberapa saat kemudian mereka berpacu memasuki loronglorong
di dalam induk Kademangan Sangkal Putung menuju
ke banjar desa. Beberapa orang melihat Untara dengan berbagai pertanyaan
di dalam hati. Para prajurit yang berada di alun-alun, beserta
anak-anak muda Sangkal Putung, memalingkan kepala
mereka sejenak. Tetapi ketika yang mereka lihat Untara
sedang berpacu, maka kembali mereka bercakap-cakap di
antara mereka. Orang-orang yang berada di alun-alun itu
sama sekali tidak tahu apa sebenarnya yang telah terjadi.
Mereka menyangka bahwa Untara memang sedang bermainmain
sendiri. Permainan yang masih dirahasiakan bagi
mereka. Melihat kedatangan Untara tanpa Ki Gede Pemanahan hati
Widura berdesir. Apakah Untara telah terlambat sehingga Ki
Gede Pemanahan menemui bencana"
Dengan tergesa-gesa ia segera menyongsong kedatangan
Untara. Demikian Untara meloncat dari punggung kudanya di
muka pendapa banjar desa, terdengar Widura bertanya
perlahan-lahan, "Apakah kau terlambat Untara?"
Untara mengerutkan keningnya. Jawabnya dengan nada
rendah, "Ya Paman."
"He?" darah Widura serasa membeku, "lalu bagaimana
dengan Ki Gede Pemanahan?"
"Sebentar lagi Ki Gede akan datang."
"Oh," Widura menghela nafas. "Jadi Ki Gede Pemanahan tidak
apa-apa?" Baru Untara kini menyadari, bahwa jawabannya telah
mengejutkan Widura. Maka katanya, "Tidak Paman, Ki Gede
Pemanahan tidak mengalami cidera. Tetapi aku sebenarnya
datang terlambat. Orang-orang Jipang telah terusir."
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Terasa dadanya
menjadi lapang. Dengan mengelus dada ia berkata, "Dadaku
selama ini serasa akan meledak. Sukurlah kalau Ki Gede
Pemanahan tidak mendapat cidera apapun. Apakah Ki Gede
akan segera memasuki banjar desa?"
"Ya. Ki Gede akan memasuki banjar desa. Ki Gede
menghendaki apa yang terjadi tetap dirahasiakan," sahut
Untara sambil memandang berkeliling kepada para petugas
yang berdiri agak jauh dari padanya yang memancarkan
pertanyaan lewat sorot mata mereka. Tetapi mereka tidak
mendengar percakapan itu.
Akhirnya Untara itupun berkata, "Kita sekarang harus segera
menyiapkan penyambutan Paman."
Widura menyadari bahwa waktu telah menjadi sangat sempit.
Karena itu, maka kemudian ia memanggil salah seorang dari
para petugas yang berdiri di muka pendapa itu. Ketika orang
itu telah menghadap di depannya maka katanya, "Bunyikan
tanda bagi para prajurit di alun-alun."
Orang itu memandang Widura dengan herannya. Tanda
apakah yang harus dibunyikan" Karena itu maka ia bertanya,
"Ki W"dura, tanda apakah yang harus aku bunyikan. Tanda
untuk berperang" Atau tanda untuk bubar dan kembali ke
pondok masing-masing."
Widura mengerutkan keningnya. Kemudian baru disadarinya
bahwa perintahnya kurang lengkap. "Tanda bahwa akan
datang tamu agung di banjar desa ini."
"Tamu agung?" "Ya." "Siapa?" "Cepat, kau akan melihat nanti."
Orang itu tidak bertanya lagi. Segera ia berlari-lari kecil ke sisi
halaman di samping gandok. Dengan serta merta diraihnya
pemukul kentongan sebesar lengannya. Dan dengan sekuatkuat
tenaganya dipukulnya kentongan itu dalam irama tigadua.
Para prajurit yang berada di alun-alun beserta para anak-anak
muda Sangkal Putung dan setiap orang yang berdiri mengitari
alun-alun itu terkejut. Mereka telah mengenal tanda itu. Tanda
bahwa akan ada tamu yang datang di kademangan mereka.
Sesaat mereka saling berpandangan. Kemudian terdengar
bisik di antara mereka, "Siapakah yang bakal datang?"
Semua orang saling menggelengkan kepala mereka. Mereka
sama sekali belum mendengar siapa yang bakal datang ke
kademangan itu. Hanya satu dua orang kepala kelompok yang
sudah mendengar berita kedatangan Ki Pemanahan, namun
mereka pun berpura-pura menggelengkan kepala mereka
pula. Namun tanda itu masih bergema terus. Karena itu, maka
segera para prajurit dan anak-anak muda Sangkal Putung
mengatur diri dalam barisan yang teratur menurut susunan
masing-masing, sedang orang-orang yang berdiri menonton di
sekitar alun-alun itupun segera mendesak maju.
Untara dan Widura beserta beberapa orang pun kini telah
berada di regol halaman. Mereka menanti kedatangan Ki
Gede Pemanahan beserta rombongannya dengan berdebardebar.
Apalagi Untara, yang mengetahui bahwa rombongan
yang datang dari Pajang itu telah tidak utuh seperti semula.
Ada di antara mereka yang kini terpaksa ditinggalkan karena
luka-luka mereka, bahkan ada di antara mereka yang
terbunuh. Bukan hanya itu yang menggelisahkan Untara. Ketika ia
menengadahkan wajahnya, maka dilihatnya matahari telah


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terlampau tinggi. Kalau matahari itu mencapai puncaknya,
maka Sumangkar dan sebagian orang-orang Jipang harus
diterimanya. Tetapi sudah tentu Untara tidak dapat meninggalkan halaman
itu sebelum Ki Gede Pemanahan datang. Ia hanya dapat
mengharap mudah-mudahan Ki Gede Pemanahan segera
datang dan orang-orang Jipang tidak mendahului waktu yang
telah ditentukan. Apalagi kalau orang-orang Jipang itu curang
dan seperti apa yang dikatakan oleh Ki Tambak Wedi, mereka
datang untuk menghancurkan Sangkal Putung, tidak untuk
menyerah. Orang-orang di gardu-gardu akan dapat
dikelabuhinya. Mereka datang untuk berpura-pura menyerah
sebelum mereka mencekik leher para peronda, sehingga
mereka tidak sempat memukul tanda bahaya.
Untara itu seakan-akan berdiri di atas bara api. Sekali ia
melangkah ke tengah-tengah jalan melihat apakah Ki Gede
Pemanahan telah tampak, sekali ia melangkah ke regol
halaman sambil berkomat-kamit. Ia beserta pasukannya harus
segera ke Benda. Melihat kehadiran orang-orang Jipang
dengan senjata di tangan. Menyaksikan mereka
mengumpulkan senjata-senjata mereka dan kemudian
menerima mereka secara resmi yang seharusnya disaksikan
oleh Ki Gede Pemanahan. Kemudian orang-orang Pajang
harus menyingkirkan senjata-senjata itu. Selanjutnya orangorang
Jipang itu besuk atau lusa harus pergi ke Pajang
dengan sebuah pengawalan yang kuat bersama-sama Ki
Gede Pemanahan. Tetapi melihat perkembangan terakhir,
maka rencana itupun harus mendapat perubahan. Ternyata Ki
Tambak Wedi sudah mulai bergerak terlampau cepat dari
dugaan Untara, sehingga pada saat-saat orang Jipang nanti
selama dalam perjalanan ke Demak pun harus diperhitungkan
setiap kemungkinan yang dapat dilakukan oleh Ki Tambak
Wedi. Waktu yang pendek itu terasa betapa panjangnya. Untara
hampir-hampir menjadi tidak bersabar lagi dan hampir-hampir
ia memerintahkan menyediakan kudanya untuk kembali
menyongsong Ki Gede Pemanahan.
Dalam pada itu, para prajurit Pajang dan orang-orang Sangkal
Putung yang berada di alun-alun kecil di muka banjar desa
itupun mulai menebak-nebak. Siapakah tamu agung yang
bakal datang" Dalam keragu-raguan itu terdengar seseorang
berbisik, "Apakah orang-orang Jipang yang menyerah itu kita
terima sebagai tamu agung?"
Kawannya berbicara mengerinyitkan alisnya. Gumamnya,
"Tentu tidak." "Siapa tahu. Anak-anak yang selama ini menjadi liar dan gila
itu, kini mendapatkan perlakuan yang berlebih-lebihan,
mereka dimanjakan dan dihormati seperti tamu agung."
"Kalau demikian, aku akan memaki mereka di depan orang
banyak ini," sahut orang yang diajak berbicara.
"Tidak hanya memaki," sela yang lain, yang mendengar
pembicaraan itu. "Aku akan melempar mereka dengan
tombakku ini." Pembicaran itu segera terhenti, ketika mereka mendengar
sebuah teriakan melengking dari salah seorang pemimpin
penghubung, "Tamu kita telah datang."
"Setan," desis salah seorang prajurit.
"Apakah benar mereka orang-orang Jipang."
"Tetapi mereka datang dari arah yang lain. Lihat, para
pemimpin kita menyongsong para tamu yang datang dari arah
Timur." Merekapun kemudian terdiam. Tetapi beberapa orang yang
sudah melihat kedatangan serombongan prajurit Pajang
dengan sebuah panji-panji yang telah mereka kenal menjadi
terkejut bukan kepalang. Rombongam yang semakin lama
menjadi semakin dekat itu ternyata membawa panji-panji
kehormatan Wira Tamtama, bukan sekedar panji-panji
pasukan Wira Tamtama. Panji-panji yang mengabarkan
bahwa di dalam rombongan itu ikut serta Panglima Wira
Tamtama, Ki Gede Pemanahan.
Tiba-tiba dengan serta-merta mereka pun bersorak. Semakin
lama menjadi semakin keras. Orang-orang yang berdiri di
belakang yang tidak dapat melihat arah kedatangan para
tamu, karena terhalang pepohonan di samping lapangan itu,
semakin ingin tahu, siapakah sebenarnya yang datang.
Orang-orang yang berdiri di muka, yang dapat melihat agak
jauh sepanjang jalan, di muka banjar desa itupun berteriak, "Ki
Gede Pemanahan, Ki Gede Pemanahan."
"Kau dengar kata-kata itu?" bertanya salah seorang prajurit
yang berdiri di belakang. "Apakah betul mereka menyebut
nama Ki Gede Pemanahan?"
Mereka pun terdiam. Kembali mereka mendengar sorak itu,
sehingga akhirnya orang-orang yang berdiri di belakang tidak
dapat mengendalikan diri lagi. Segera mereka mendesak
maju, sementara rombongan dari Pajang pun sudah semakin
dekat. Yang pertama-tama mereka lihat adalah panji-panji itu.
Dan dengan serta-merta pula mulut mereka berdesis, "Panjipanji
itu adalah panji-panji kehormatan, bukan panji-panji
pasukan Wira Tamtama. Yang datang bukanlah sepasukan
prajurit dalam siaga tempur, yang datang adalah Panglima
Wira Tamtama." Sejenak para prajurit itu terpesona. Mereka sama sekali tidak
menyangka bahwa panglima mereka yang namanya selalu
tergores di dalam dada mereka, setiap prajurit Wira Tamtama,
datang mengunjungi desa terpencil ini. Karena itu, maka hati
mereka pun menjadi menggelegak oleh suatu kebanggaan.
"Tetapi kenapa kedatangan Ki Gede Pemanahan tidak dalam
suatu sikap kebesaran" Dengan pengawal segelar sepapan
dan segala macam tanda-tanda yang lain?"
Kawannya menggelengkan kepalanya. Namun tiba-tiba ketika
Ki Gede Pemanahan sudah semakin dekat, tanpa mereka
sengaja, mulut-mulut mereka itu pun telah berteriak, "Ki Gede
Pemanahan." Ki Gede Pemanahan tersenyum di atas punggung kudanya.
Ditatapnya gairah yang menyala dalam penyambutan yang
sederhana itu. Justru karena kedatangannya tidak didugaduga,
maka sambutan para prajurit Pajang dan orang-orang
Sangkal Putung meledak seperti ledakan gunung berapi.
Mereka berteriak-teriak mbata rubuh. Mereka melambaikan
tangan-tangan mereka, bahkan senjata-senjata mereka.
Ki Demang Sangkal Putung bahkan menjadi seolah-olah
membeku. Kedatangan Panglima Wira Tamtama di Sangkal
Putung, adalah suatu kehormatan yang tidak terkira.
Karena itu, karena kebanggaan orang-orang Sangkal Putung
dan para prajurit Pajang atas kunjungan Ki Gede Pemanahan,
Panglima Wira Tamtama, maka sambutan mereka pun
meledak tanpa terkendali. Sorak yang gemuruh, pekik yang
seolah-olah memecahkan selaput kuping.
Sejenak kemudian maka banjar desa itu pun segera menjadi
ribut. Para petugas menjadi terlampau sulit untuk menahan
arus orang-orang Sangkal Putung yang akan menerobos
masuk ke halaman. Bahkan kemudian para prajurit Pajang
terpaksa berdiri berjajar rapat di pintu regol untuk mencegah
orang-orang yang tanpa terkendali memasuki halaman yang
tidak terlampau luas. Tetapi dalam pada itu, Ki Demang Sangkal Putung
mempunyai kesibukan yang lain. Ia belum siap sama sekali,
bagaimana ia nanti akan memberikan hidangan yang pantas
kepada Panglima Wira Tamtama itu, sehingga dengan agak
kisruh ia dengan tergesa-gesa bertanya kepada Widura, "Adi
Widura, apakah yang harus kami hidangkan nanti kepada
tamu agung kita?" Widura mengerutkan keningnya, kemudian jawabnya, "Ki
Gede Pemanahan adalah orang yang tidak banyak
memperhatikan masalah-masalah yang demikian. Hidangkan
saja apa yang akan Kakang Demang hidangkan kepada kita
hari ini. Nasi seperti biasa kita makan, dan minum seperti yang
biasa kita minum." "Ah," desah Ki demang, "itu terlampau sederhana bagi
seseorang Panglima Wira Tamtama."
"Ki Gede Pemanahan adalah seorang prajurit," sahut Widura.
"Ia bukan prajurit di dalam bilik perang di Pajang untuk
mengatur gerak prajuritnya sambil duduk memintal kumis. Ki
Gede Pemanahan adalah seorang prajurit medan. Karena itu,
maka Ki Gede Pemanahan tidak akan pernah menilai
hidangan yang dihidangkan kepadanya."
Ki Demang Sangkal Putung mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun demikian, namun keningnya kemudian dibasahi oleh keringat dingin yang mengalir tak henti-hentinja. Dengan serta merta dipanggilnya Swandaru sambil berkata, "Swandaru, pulanglah ke
kademangan sejenak. Berkatalah kepada ibumu dan adikmu Sekar Mirah. Buatlah hidangan yang agak pantas untuk Ki Gede Pemanahan dengan rombongan
dari Pajang." "Hidangan apa ayah?"
"Makanan, makan siang dan minuman"
"Rujak degan." "Jangan mengigau. Itu hanya kesukaanmu sendiri"
Ki Demang terkejut bukan buatan ketika seorang anak muda
yang ternyata memisahkan diri dari rombongannya dan
berjalan di halaman itu menyahut, "Ayah senang sekali rujak
degan." Ki Demang memandangi anak muda itu dengan mata hampir
tak berkedip. Ia melihat lengan baju anak muda itu membekas
darah dan bahkan kainnya pun terkena percikannya pula.
Tetapi wajahnya masih juga memancarkan sebuah senyuman
yang segar. Ketika dengan ragu-ragu Ki Demang ingin menanyakan
siapakah anak muda itu, maka terdengar pula suara yang lain
di belakangnya. "Ki Demang, anak muda inilah yang bernama Sutawijaya dan
bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar."
"Oh," Ki Demang itu berdiri sejenak dengan mulut ternganga.
Inilah anak muda yang telah herhasil menyobek perut
Pengeran Arya Penangsang, Adipati Jipang.
Swandaru yang mendengar nama itu, dadanya bergetar. Tibatiba
ia meloncat maju sambil menganggukkan kepalanya
dalam-dalam. Dengan hormatnya ia berkata, "Aku mengagumi
Tuan melampaui segala-galanya."
"Ah," anak muda itu berdesah. Katanya kemudian,
"Bagaimana dengan rujak degan itu?"
Swandaru menjadi tersipu-sipu. Tetapi ternyata Sutawijaya
mendesaknya, "Kami terlampau haus. Apakah di sini ada
kelapa muda" Aku juga bisa memanjat untuk memetiknya."
"Jangan, jangan," cegah Swandaru. "Aku anak kademangan
ini. Aku sudah terlalu biasa memanjat batang kelapa."
Swandaru tidak berkata-kata lagi. Segera ia berlari-lari ke
halaman belakang banjar desa. Kepada beberapa orang
dimintanya untuk segera menurunkan beberapa kelapa muda
seperti yang diminta oleh Sutawijaya.
Dalam pada itu, Sutawijaya yang masih berada di halaman,
memandangi anak muda yang telah memperkenalkannya
kepada Ki Demang Sangkal Putung. Anak muda itu dilihatnya
datang bersama-sama dengan Untara ke bulak tempat
mereka bertempur melawan orang-orang Jipang. Tetapi anak
muda itu belum dikenalnya, dan anak muda itu tidak
berpakaian atau bertanda apapun sebagai seorang prajurit.
Karena itu, maka dengan serta-merta ia bertanya, "Bukankah
kau yang datang bersama Kakang Untara?"
Anak muda itu menganggukkan kepalanya. "Ya, Tuan."
"Siapakah namamu?"
"Agung Sedayu."
"Apakah kau bukan seorang prajurit meskipun di lambungmu
tergantung sehelai pedang?"
"Ya, Tuan. Aku bukan seorang prajurit Wira Tamtama."
"Apakah kau termasuk laskar Sangkal Putung?"
"Ya, Tuan, meskipun aku bukan anak Sangkal Putung."
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian
kembali ia bertanya, "Dari manakah kau?"
"Jati Anom." "Oh, jadi apakah kau mempunyai hubungan khusus dengau
Kakang Untara?" "Aku adiknya." Sutawijaya tertawa. "Pantas," katanya.
Tetapi ia tidak meneruskannya. Ternyata Agung Sedayu
menarik perhatiannya. Kecuali umurnya yang sebaya, juga
ketangkasannya. Sutawijaya melihat anak muda itu meloncat
dari punggung kudanya, langkahnya dan pedang di
lambungnya. Tetapi anak muda ini tampaknya agak berbeda dengan orangorang
yang berada di halaman itu. Bahkan dengan Untara dan
Widura sekali pun. Agung Sedayu bersikap lain dari pada para
prajurit. Anak muda itu tidak sekeras kakaknya. Sikapnya agak
lebih lunak meskipun dari sepasang matanya memancar pula
sifat-sifat yang membayangkan betapa anak muda itu
memandang hari depan dengan penuh gairah.
"Apakah kau sudah lama berada di tempat ini?" bertanya
Sutawijaya. "Belum, Tuan." "Sejak Paman Widura di sini?"
Agung Sedayu menggelengkan kepalanya. "Tidak. Belum
lama. Aku datang bersama-sama dengan Kakang Untara."
"Oh," Sutawijaya mengerutkan keningnya. "Ya!" serunya. Tibatiba
putera Panglima Wira Tamtama itu teringat sesuatu.
Katanya, "Aku pernah mendengar laporan yang disampaikan
oleh seorang penghubung tentang dirimu. Tentang Agung
Sedayu. Bukankah kau yang menyampaikan berita pertama
kali ke Sangkal Putung tentang gerakan Tohpati?"
Wajah Agung Sedayu menjadi tertunduk karenanya.
"Bukankah begitu?"
Agung Sedayu menggigit bibirnya. Yang menjawab kemudian


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

adalah pamannya yang masih berdiri di sampingnya, "Ya,
Angger Agung Sedayu-lah yang telah membawa berita itu.
Berita yang seolah-olah telah melepaskan kami dari bencana."
"Luar biasa. Kau benar-benar mengagumkan."
Tetapi Agung Sedayu menjadi semakin rikuh. Terasa
wajahnya menjadi tebal, seakan-akan kulit di mukanya
menjadi bengkak. Yang mengucapkan pujian itu adalah anak
muda sebayanya yang pernah bertempur melawan Arya
Penangsang, apa lagi kalau dikenangnya apa yang
sebenarnya terjadi pada waktu itu.
Tetapi pembicaraan itupun segera terhenti. Widura dengan
tergesa-gesa harus naik ke pendapa. Para tamu dan para
pemimpin prajurit Pajang di Sangkal Putung telah duduk di
pendapa bandjar desa. Ki Demang pun segera dipanggil pula
duduk di antara mereka. Alangkah tegang sikap Demang Sangkal Putung itu.
Menghadap seorang Panglima Wira Tamtama adalah
kesempatan yang baru pertama kali ini didapatnya. Dahulu,
seorang tumenggung dari Demak pernah datang pula ke
kademangan ini. Pada saat itu, ia dan para pamong
kademangan harus duduk beberapa langkah dari para tamu
itu sambil menundukkan wajah mereka dalam-dalam. Dengan
sikap yang garang tumenggung itu memberikan beberapa
perintah dan petuah. Tetapi hampir tak seorangpun yang
mendapat kesempatan untuk mengucapkan sepatah
pertanyaan pun, dan bahkan hampir tak ada kesempatan
untuk menatap wajah tumenggung yang dikawal oleh
beberapa orang prajurit dengan segala macam tanda-tanda
kebesaran. Tetapi kini, yang datang adalah orang tertinggi dari kesatuan
Wira Tamtama, justru begitu sederhana dan ramah. Semua
orang mendapat kesempatan duduk dalam lingkaran
bersama-sama, berbicara dengan ramah dan berbincang
dengan terbuka. Namun dengan demikian, maka Ki Demang
itu menjadi semakin hormat kepada Panglima yang sederhana
ini. Namun dalam pada itu, Untara-lah yang seolah-olah dibakar
oleh kegelisahannya. Meskipun Ki Gede Pemanahan selalu
mendengarkan pendapat orang lain, namun ia tidak berani
mengemukakan persoalan orang-orang Jipang itu terlampau
segera. Ki Gede Pemanahan baru saja duduk di pendapa itu.
Belum lagi minuman dihidangkan, setelah Ki Gede dan para
prajurit yang mengawalnya bertempur dengan orang-orang
Jipang yang dipimpin oleh Ki Tambak Wedi. Sekali-kali Untara
itu memandangi Ki Demang Sangkal Putung dan Widura
berganti-ganti. Seakan-akan terpancarlah pertanyaan dari
sorot matanya, "Apakah tidak segera dihidangkan minumam
untuk para tamu yang pasti kehausan setelah bertempur ini?"
Tetapi pertanyaan itu dijawabnya sendiri, "Salahmu. Kau tidak
memberitahukan bahwa akan datang tamu agung dari Pajang
dan tidak kau katakan bahwa mereka habis bertempur di
ladang jagung." Untara menarik nafas dalam-dalam.
Tetapi ia terkejut ketika kemudian beberapa orang naik ke
pendapa untuk menghidangkan minuman yang tidak
disangka-sangkanya. Rujak degan.
Untara mengerutkan keningnya. Tetapi ia menarik nafas
dalam ketika Widura berkata, "Ki Gede, Puteranda
mengatakan bahwa Ki Gede sangat gemar minum rujak
degan." Ki Gede Pemanahan tersenyum. Sambil menganggukanggukkan
kepalanya ia menjawab, "Sutawijaya berkata
sebenarnya." Maka beredarlah mangkuk-mangkuk berisi rujak degan yang
digulai dengan cairan legen mentah. Alangkah segarnya.
Namun Untara sama sekali tidak merasakan kasegaran itu.
Sekali-kali ia memandang bayangan matahari yang memanjat
semakin tinggi. Apakah jadinya kalau orang-orang Jipang itu
datang dengan tiba-tiba menyergap beberapa gardu
perondan. Meskipun ia yakin bahwa penjagaan induk
kademangan Sangkal Putung ini tidak akan dapat dengan
mudah ditembus. Namun kesempatan mereka mendekati
induk kademangan adalah kesempatan yang amat merugikan
bagi Sangkal Putung. Sifat dan sikap Sanakeling agak
berbeda dengan Macan Kepatihan. Apalagi kini di antara
mereka ada orang-orang seperti Tambak Wedi dan Sidanti
yang tamak. Dalam pada itu, Sutawijaya masih saja berada di halaman.
Sehingga karena itu Agung Sedayu bertanya, "Apakah Tuan
tidak duduk di antara para tamu dan pemimpin-pemimpin
Sangkal Putung?" "Terlampau panas. Lebih sejuk di halaman ini," sahut
Sutawijaya. "Kenapa kau juga tidak naik?"
Agung Sedayu tersenyum, katanya, "Aku bukan salah seorang
dari para pemimpin."
Sutawijaya tertawa mendengar jawaban itu. Bahkan segera ia
berkata, "Apakah bedanya, pemimpin dan bukan pemimpin?"
Agung Sedayu tidak dapat segera menjawab pertanyaan itu.
Tetapi justru karena itu, maka ia pun tertawa pula.
Beberapa orang yang mendengar mereka tertawa,
mengernyitkan alisnya. Tetapi mereka kemudian bertanyatanya
di dalam hati kenapa putera Ki Gede Pemanahan itu
tidak duduk di antara para tamu yang datang dari Pajang.
Dalam pada itu, agaknya Agung Sedayu telah menemukan
jawaban atas pertanyaan Sutawijaya. Katanya, "Tuan apabila
pemimpin dan bukan pemimpin tidak dibedakan, maka
pendapa itu pasti tidak akan muat."
"Ya, bedanya apa?" desak Sutawijaya.
"Bedanya, pemimpin boleh memilih. Duduk di atas atau
berjalan di halaman. Sedang yang bukan pemimpin hanya ada
satu pilihan. Tidak ada pilihan ke dua. Karena itu, aku tetap di
sini." Sekali lagi Sutawijaya tertawa. Bahkan kali ini lebih keras,
sehingga orang-orang yang berada di pendapa pun berpaling
kepadanya. Tetapi suara tertawa itu telah memberikan isyarat tanpa
disengaja kepada Ki Gede Pemanahan. Tiba-tiba Panglima
Wira Tamtama itu melihat bahwa bayangan matahari telah
hampir tegak di bawah kaki. Karena itu, maka Ki Gede
Pemanahan itu pun segera berpaling kepada Untara.
Panglima Wira Tamtama itu menarik nafas dalam-dalam.
Ternyata dahi Untara telah dibasahi oleh keringat dinginnya.
Dari wajahnya membayang kegelisahan yang amat sangat.
Ki Gede Pemanahan tersenyum. Ia menangkap apa yang
bergolak di dalam dada anak muda itu. Katanya, "Apakah kau
gelisah karena matahari telah cukup tinggi?"
Untara membungkukkan badannya dalam-dalam. "Ya, Ki
Gede." Namun pertanyaan itu terasa seperti embun yang menetes di
jantungnya yang seakan-akan terbakar.
"Maaf Untara," berkata Ki Gede Pemanahan itu pula. "Mungkin
aku datang terlampau siang. Aku terlambat dari waktu yang
telah aku tetapkan sendiri."
Jantung Untara terasa berdentang keras sekali. Sekali lagi ia
merasa betapa ia telah berbuat bodoh sekali. Laporannya
ternyata jauh meleset dari apa yang terjadi. Sangkal Putung
sama sekali belum menjadi aman seperti yang
disampaikannya kepada Panglima Wira Tamtama itu.
Sejenak Untara terbungkam. Ia tidak dapat menjawab sama
sekali, selain hanya menundukkan kepalanya saja.
Karena Untara tidak menjawab maka Ki Cede Pemanahan
berkata pula, "Untara, kalau kau masih mempunyai kuwajiban
yang lain lakukanlah. Kalau aku akan kau bawa pula, marilah
aku sudah bersedia."
Untara mengigit bibirnya. Tapi ia tidak dapat menjawab lain
dari pada, "Ya Ki Gede. Saat penyerahan hampir tiba."
"Baik. Siapkan orang-orangmu. Aku akan pergi bersamamu."
Untara pun kemudian berdiri dan turun dari pendapa.
Diberikanya beberapa perintah kepada Widura menyiapkan
pasukan yang segera akan pergi ke Benda. Beberapa orang
berkuda akan lebih dahulu pergi. Melihat apa yang terjadi di
desa kecil itu. Mereka harus membawa alat-alat tanda bahaya
apabila keadaan memaksa. Namun dalam pada itu, Untara menjadi heran sejak ia kembali
dari bulak tegalan jagung, ia belum melihat Ki Tanu Metir.
Sehingga karena itu maka ia bertanya kepada Widura,
"Paman, di manakah Kiai Gringsing ?"
Widura mengerutkan keningnya. Demikian sibuknya ia
mengurusi berbagai soal sehingga tidak diingatnya Kiai
Gringsing itu lagi. Karena itu maka jawabnya, "Aku tidak
melihatnya Untara." Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Kiai Gringsing
adalah orang yang aneh. Orang yang hanya menuruti
kehendak sendiri, meskipun kadang-kadang bahkan sering
menguntungkannya. Karena itu Untara tidak lagi mencarinya.
Widura yang kemudian pergi ke lapangan di muka banjar desa
itu pun segera mempersiapkan orang-orangnya. Kepada
beberapa orang pemimpin kelompok diperintahkannya
menyiapkan para prajurit Panjang dan anak-anak muda
Sangkal Putung dalam kesiagaan penuh. Mereka akan
menerima orang-orang Jipang yang akan menyerah. Namun
segala kemungkinan dapat terjadi.
"Kami tidak percaya kepada mereka" Tiba-tiba terdengar
Hudaya yang sudah berdiri di belakangnya berkata.
Widura berpaling. Ditatapnya wajah Hudaya yang tegang
"Jangan merusak rencana Hudaya. Rencana ini sudah
menjadi masak." "Apakah yang terjadi di bulak tegalan jagung itu tidak
mendapat pertimbangan" Aku mendengar dari para tamu, apa
yang dikatakan oleh Ki Tambak Wedi."
"Kau harus tahu, bahwa Ki Tambak Wedi dan Sumangkar
tidak sependapat." "Bukankah mereka dapat berpura-pura berbuat begitu?"
"Karena itu marilah kita berada dalam kesiap siagaan yang
penuh." "Belum cukup. Kalau kita biarkan mereka mendekati barisan
kita, sedang kita hanya menunggu saja di Padukuhan Benda,
maka kita akan kehilangan kesempatan. Harus kita
perhitungkan pula orang-orang Tambak Wedi yang dapat saja
datang dari jurusan yang berbeda-beda. Kalau kita sedang
terlibat dalam bentrokan yang kacau, kemudian kita dengar
tanda bahaya dari sudut lain, maka kita akan kehilangan
waktu dan perhitungan."
"Jangan terlampau berprasangka. Marilah kita lakukan
perintah yang telah disetujui oleh Panglima Wira Tamtama
dengan tidak meninggalkan kewaspadaan."
Hudaya tidak dapat membantah lagi. Perintah ini, harus
dijalankan, apalagi telah disetujui oleh Panglima Wira
Tamtama. Tetapi tiba-tiba kembali mereka menjadi tegang ketika
seorang kepala kelompok yang lain bertanya, "Apakah yang
kau katakan itu ada hubungannya dengan luka Kakang Sonya
yang baru saja mengigau tentang orang-orang Jipang di bulak
jagung?" Dada Widura berdesir mendengar pertanyaan itu, sehingga
iapun bertanya pula, "Apa kata Sonya?"
"Pertempuran di tegal jagung. Menurut Sonya, orang-orang
Jipang telah mencegat Ki Gede Pemanahan beserta
rombongannya," sahut orang itu.
Kini dada Widura benar-benar menjadi berdebar-debar. Ia
telah minta agar Sonya merahasiakan peristiwa itu untuk
menjaga ketenteraman hati para prajurit Pajang dan orangorang
Sangkal Putung. Tetapi agaknya seseorang bahkan
lebih telah mendengar peristiwa itu.
"Apakah Sonya telah menceriterakan kepadamu apa yang
terjadi?" bertanya Widura.
Orang itu menjadi ragu-ragu. Ditatapnya wajah Hudaya
seakan-akan ia ingin mendapat penjelasan, apa yang sedang
dipercakapkannya dengan Widura. Tetapi karena Hudaya
seolah-olah membisu, maka iapun menjawab, "Sonya telah
terluka. Mula-mula ia tidak mau mengatakan apa sebabnya ia
terluka. Bahkan orang yang memapahnya dari pendapa ke
gandok pun tidak diberitakukannya. Tetapi tiba-tiba tubuhnya
menjadi sangat panas, sehingga ia mengigau. Dalam
igauannya itulah ia mengatakan bahwa ia telah bertemu
dengan orang-orang Jipang. Bahkan sekali-sekali ia berteriakteriak
memanggil nama Untara."
Widura mengerutkan keningnya. la tidak mendapat laporan
tentang keadaan Sonya itu. Bahkan oleh beberapa kesibukan
yang lain, ia tidak sempat menunggui orang yang terluka itu.
"Apakah Ki Tanu Metir tidak memberinya obat?"
"Ya," sahut orang itu, "tetapi kemudian orang tua itu pergi
sampai sekarang tidak kembali lagi."
Debar di dada Widura menjadi semakin keras. Sekali-sekali
ditatapnya wajah Hudaya yang seolah-olah memancarkan
tuntutan kepadanya. Namun Widura itu kemudian menjawab, "Sonya hanya
mengigau. Mungkin telah terjadi sesuatu dengan
perjalanannya, tetapi sebaiknya kita mendengarkan
laporannya besok apabila ia sudah tidak mengigau lagi,
sehingga kata-katanya dapat dipertanggung-jawabkan."
Pemimpin kelompok itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tetapi ia menjadi curiga ketika ia melihat Hudaya tersenyum.
Senyum yang aneh. Dan senyum itu sama sekali tidak
menyenangkan hati Widura. Katanya kemudian, "Sekarang,
lakukan perintah yang diberikan oleh Untara dan telah
disetujui oleh Ki Gede Pemanahan. Bersiaplah. Sebentar lagi
kita akan pergi ke Padukuhan Benda. Mudah-mudahan kita
datang lebih dahulu daripada orang-orang Jipang, sehingga
kita dapat membangun pertahanan-pertahanan yang perlu
apabila keadaan berkembang tidak seperti yang diharapkan."
Hudaya menggeleng lemah. Desisnya, "Aku tidak dapat
mengerti apa yang harus aku lakukan. Tetapi perintah ini akan
aku jalankan. Mudah-mudahan kita tidak masuk ke dalam api
neraka." Widura memandang Hudaya dengan penuh curiga. Tetapi
dibiarkannya Hudaya berjalan ke kelompoknya. Di
belakangnya berjalan para pemimpin kelompok yang lain.
Tetapi Hudaya itu tertegun dan berpaling ketika ia mendengar
Widura memanggilnya, "Hudaya. Aku minta bantuanmu."


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hudaya mengerti sepenuhnya arti kata-kata itu. Widura minta
kepadanya supaya ia tetap merahasiakan apa yang
diketahuinya di tegal jagung. Tetapi apabila kemudian berita
tentang tegal jagung itu tersebar, adalah bukan salahnya. la
patuh pada perintah itu, betapa hatinya sendiri meronta.
Maka jawabnya, "Aku telah mencoba. Tetapi aku tidak dapat
mencegah Sonya mengigau terus."
Widura menarik nafas panjang. Ia pun tau sepenuhnya bahwa
bukan Hudaya sumber dari ceritera tentang tegal jagung itu
seandainya ceritera itu menjalar. Karena Sonya telah
mengigau, maka peristiwa itu tentu akan menjadi bahan
pembicaraan. Sebagian dari prajurit Pajang pasti percaya
pada igauan itu. Bahkan mungkin telah membakar hati mereka
pula. Apalagi apabila laskar Sangkal Putung sampai
mendengarnya. Tetapi Widura tidak dapat berbuat apa-apa. Satu dua orang
telah terlanjur mendengar Sonya mengigau. Agaknya satu dua
orang itu telah berceritera kepada orang-orang lain lagi,
sehingga dalam saat yang pendek, ceritera itu pasti sudah
akan tersebar di seluruh Sangkal Putung.
Sudah tentu ceritera itu menggelisahkan para pemimpin
Sangkal Putung. Ketika Widura melaporkan kesiagaan para
prajurit Pajang dan laskar Sangkal Putung, maka kemudian
ceritera tentang sonya itu dibisikkannya kepada Untara.
"Celaka," Untara berdesis, "bagaimana dugaan Paman?"
"Mereka dibakar oleh dendam yang meluap-luap. Ceritera itu
seperti minyak yang disiramkan ke dalam api."
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi kepalanya
benar-benar menjadi pening. Kalau benar orang-orang Jipang
itu curang, maka sekali lagi ia akan dibebani oleh sebuah
kesalahan yang besar setelah kebodohannya yang hampirhampir
menyiderai Ki Gede Pemanahan. Tetapi apabila laskar
Sangkal Putung dan para prajurit Pajang yang mendahului
menyergap orang-orang Jipang yang datang untuk menyerah,
maka iapun akan membuat kesalahan yang lain. Ternyata
prajurit Pajang di Sangkal Putung telah kehilangan ikatan
kepemimpinan sehingga mereka dapat berbuat sesuka
hatinya. Tetapi Untara belum mendapat kesempatan untuk
memecahkan persoalan yang telah membuat kepalanya
seperti berputar-putar. Kini ia terpaksa mendampingi Ki Gede
Pemanahan turun dari pendapa dan berjalan ke halaman.
Namun ia sempat berbisik kepada pamannya, "Paman, kita
harus berusaha sebaik-baiknya."
Pamannya mengangguk. la terpaksa memisahkan diri untuk
mengawasi langsung keadaan para prajurit dan laskar
Sangkal Putung. Sementara itu, Sutawijaya yang masih saja duduk bersama
Agung Sedayu berkata, "Aku akan ikut ayah melihat orangorang
Jipang yang menyerah. Apakah kau tidak akan ikut?"
"Ya. Aku akan ikut pula," sahut Agung Sedayu.
Sutawijaya tersenyum. la senang pergi bersama-sama dengan
kawan yang sebaya umurnya. Apalagi kemudian Swandaru
datang kepada mereka. Dan menyatakan keinginannya untuk
pergi bersama pula. "Bagaimana dengan anak-anak muda Sangkal Putung?"
bertanya Agung Sedayu. "Ayah akan memimpin mereka," sahut Swandaru.
"Marilah kita pergi bersama-sama," ajak Sutawijaya.
Tetapi Agung Sedayu menjadi ragu-ragu. Apakah kakaknya
akan mengijinkannya, bahkan seandainya ia harus pergi
sekalipun, mungkin telah disediakan tugas khusus kepadanya.
Tetapi Sutawijaya itu berkata, "Biarlah aku mintakan ijinmu
kepada Kakang Untara."
Agung Sedayu membiarkannya pergi kepada Untara sambil
berkata, "Kakang Untara, apakah adikmu Agung Sedayu akan
kau bawa?" "Tidak, Tuan," jawab Untara.
"Kenapa?" "Aku dan Paman Widura harus pergi ke Padukuhan Benda.
Agung Sedayu biarlah tinggal di banjar desa ini untuk
mengawasi orang-orang yang terluka, terutama orang-orang
Jipang supaya tidak terjadi sesuatu pada mereka."
"Serahkan pekerjaan itu kepada seorang prajurit Pajang,
bukankah Agung Sedayu bukan seorang prajurit?"
Untara menjadi ragu-ragu. Ia tidak tahu maksud Sutawijaya.
Bahkan Ki Gede Pemanahan bertanya, "Apakah maksudmu
Sutawijaya" Meskipun Agung Sedayu bukan seorang prajurit,
tetapi kalau Untara telah memberinya kepercayaan?"
"Agung Sedayu dan Swandaru akan aku ajak pergi bersamasama
melihat orang-orang Jipang itu Ayah."
Ki Gede Pemanahan mengerutkan keningnya. Namun
kemudian ia berkata, "Kau hanya memikirkan kesenanganmu
sendiri. Agung Sedayu mempunyai tugas di sini, tidak ada
kesempatan bagi setiap orang di Sangkal Putung yang
jumlahnya sedikit untuk melihat-lihat seperti kau."
"Tetapi Agung Sedayu dan Swandaru akan aku bawa serta."
Ki Gede pemanahan menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
dipandanginya wajah Untara yang dipenuhi oleh
kebimbangan. la tidak tahu, apakah sebaiknya adiknya
diijinkannya seperti yang dikehendaki oleh Sutawijaya atau
justru harus tetap diberinya tugas seperti yang disebut-sebut
oleh Ki Gede Pemanahan. Agung Sedayu sendiri menjadi sangat kecewa mendengar
tugas yang akan diserahkan kepadanya. Menunggui orang
sakit dan mungkin harus bertengkar dengan orang-orang
Pajang atau Sangkal Putung sendiri, karena mereka akan
berbuat sesuatu atas orang-orang Jipang itu. Tetapi ia menjadi
senang sekali ketika ia mendengar Ki Gede Pemanahan
berkata, "Biarlah Agung Sedayu dan kawannya itu pergi pula.
Serahkan pekerjaan itu kepada orang lain."
Untara menganggukkan kepalanya sambil berkata, "Baik Ki
Gede." Demikianlah akhirnya Agung Sedayu dan Swandaru ikut pula
pergi ke Benda, untuk menerima orang-orang Jipang yang
akan menyerah. "Kita pergi berkuda," ajak Sutawijaya.
"Tetapi yang lain berjalan kaki," sahut Agung Sedayu.
"Biar sajalah, kita pergi berkuda."
Agung Sedayu tidak membantah. Tetapi sekali lagi ia menjadi
ragu-ragu, apakah kakaknya akan mengijinkannya" Katanya,
"Aku akan minta ijin Kakang Untara."
"O," desah Sutawijaya, "kau selalu saja ragu-ragu. Biar
sajalah. Kakang Untara tidak akan marah."
"Ayolah," desak Swandaru pula. Anak itupun sama sekali tidak
membuat pertimbangan lagi. Bahkan ia menjadi sangat
bergembira pergi bersama dengan Sutawijaya, apalagi
berkuda. Agung Sedayu masih saja ragu-ragu. Sehingga Sutawijaya itu
berkata, "Baiklah, mintalah ijin Kakang Untara."
Sekali lagi Agung Sedayu menemui Untara untuk minta ijin
kepadanya, bahwa ia akan pergi bersama Sutawijaya
berkuda. Untara menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat
melarang adiknya. Meskipun demikian ia berpesan, "Agung
Sedayu. Seandainya kau pergi dahulu, jangan berbuat
sesuatu yang dapat merusak rencana kita. Meskipun Adi
Sutawijaya sekalipun yang akan berbuat, tetapi kalau menurut
pertimbanganmu akan dapat merusak suasana, maka kaupun
wajib memperingatkannya."
"Baik, Kakang," sahut Agung Sedayu, yang kemudian
menyiapkan kudanya untuk pergi bersama dengan Sutawijaya
dan Swandaru Geni. Sementara itu, pasukan yang berada di alun-alun pun telah
siap sepenuhnya. Setelah Ki Gede Pemanahan dan Untara
selesai dengan semua persiapan, maka merekapun segera
keluar dari halaman dan sekali lagi sambutan yang gemuruh
telah menyongsongnya. Ki Gede Pemanahan melambaikan tangannya kepada para
prajurit Pajang, orang-orang Sangkal Putung yang berada
dalam barisan dan kepada rakyat yang berada di sekitarnya.
Kepada Untara, Ki Gede Pemanahan minta agar para
pemimpin kelompok dikumpulkannya. Ki Gede Pemanahan
sendiri ingin bercakap-cakap langsung dengan mereka.
"Baik Ki Gede," sahut Untara. Namun keringat dinginnya
masih saja mengalir. Sekali-sekali ia menengadahkan
wajahnya memandang matahari yang seolah-olah terlampau
cepat menanjak ke puncak langit.
"Hanya sebentar," desis Ki Gede Pemanahan.
Untara menggigit bibirnya. Ternyata Ki Gede Pemamahan
dapat membaca hatinya. Setelah para pemimpin kelompok dari seluruh pasukan
berkumpul maka Ki Gede Pemanahan pun memberi mereka
beberapa petuah dan petunjuk. Kepada mereka akhirnya Ki
Gede Pemanahan berkata, "Kalian tidak berbuat untuk
kepentingan kalian masing-masing sesuai dengan
kesenangan kalian. Tetapi kalian berbuat untuk Pajang dalam
satu rangkuman dengan segenap perbuatan yang dilakukan
oleh orang-orang lain untuk kepentingan yang serupa."
Kata-kata Ki Gede Pemanahan itu meresap satu-satu,
seakan-akan langsung menghunjam ke pusat jantung. Para
pemimpin kelompok itu menyadari, apakah yanq telah
dikatakan oleh Panglimanya itu dengan sebaik-baiknya.
Hubungan langsung dengan berhadapan wajah dengan wajah
telah menumbuhkan kecintaan dan keseganan yang
bertambah-tambah atas panglimanya.
"Nah," berkata Ki Gede Pemanahan, "sekarang kita berangkat.
Kita harus merasa bahwa Wira Tamtama seluruhnya seakanakan
memiliki satu otak, sehingga apa yang kita lakukan akan
merupaKan sebagian dari anggota badan. Seperti juga kaki
dan tangan. Meskipun melakukan gerak yang berbeda-beda
tetapi keduanya dalam satu pusat kehendak. Bukan
sebaliknya apabila kaki kita berlari menjauhi sesuatu tetapi
tangan kita berpegang sesuatu yang hendak kita jauhi."
Sekali lagi para pemimpin kelompok itu menganggukkan
kepala mereka. Kesadaran kesatuan di antara mereka
meresap semakin dalam. Sejenak kemudian, maka segala sesuatu telah diserahkan
kembali oleh Ki Gede Pemanahan kepada Untara sambil
berkata, "Untara, sebelum dadamu meledak karena
kegelisahan, maka aku serahkan kembali pimpinan ini. Marilah
kita berangkat." Untara menganggukkan kepalanya. la masih melihat Ki Gede
menahan tersenyum. Sesaat kemudian, maka seluruh pasukan yang berada di
halaman dan di lapangan kecil di muka banjar desa itupun
telah bergerak menuju ke Desa Benda. Dengan hati yang
berdebar-debar Untara memimpin pasukannya menyongsong
laskar Jipang yang akan menyerah. Namun betapa para
pemimpin kelompok menyadari, bahwa mereka tidak
sewajarnya melakukan perbuatan menurut kehendak sendiri,
tetapi mereka akan berhasil mengendalikan kemarahan yang
tersimpan di dalam hati para prajuritnya dan laskar Sangkal
Putung. Laskar Sangkal Putung-lah yang justru akan lebih sulit
dikendalikan. "Mudah-mudahan kehadiran Ki Gede Pemanahan mempunyai
banyak pengaruh atas mereka."
Namun sekali lagi Widura mendengar percakapan di antara
prajurit Pajang, tentang Sonya yang terluka. lgauan Sonya
ternyata telah menjalar dari mulut ke mulut, sehingga seluruh
pasukan telah mendengarnya. Baik para prajurit Pajang
maupun laskar Sangkal Putung.
"Kenapa kita masih juga percaya kepada orang-orang Jipang
itu?" desis salah seorang prajurit Pajang.
Pemimpin kelompoknya yang mendengar segera berkata,
"Jangan membuat tafsiran sendiri-sendiri tentang peristiwa
yang telah dan bakal terjadi. Ki Gede Pemanahan akan
menentukan segala macam sikap yang harus dilakukan oleh
semua prajurit Wira Tamtama."
"Tetapi Ki Gede tidak menghadapinya sehari-hari. Mungkin
pengetahuannya tentang orang-orang Jipang tidak terlampau
banyak. Ternyata orang-orang Jipang berhasil mencegatnya di
tegal jagung pagi tadi."
"Ki Gede Pemanahan bukannya seorang malaekat yang tahu
apa yang akan terjadi. Juga kita semua. Karena itu, kita
jangan membuat tafsiran sendiri-sendiri. Kita lihat apa yang
akan terjadi. Kemudian kita serahkan semuanya pada
kebijaksanaan pimpinan kita. Apalagi pimpinan tertinggi kita
ada di sini." Prajurit itu terdiam. Tetapi pemimpin kelompoknya tahu benar
bahwa kediaman itu, bukanlah suatu pernyataan bahwa apa
yang dilakukan itu benar-benar diyakininya.
Widura yang mendengar percakapan itu tanpa diketahui oleh
prajurit yang berkepentingan, menarik nafas dalam-dalam.
Bukan hanya satu dua orang prajurit yang berpendapat seperti
itu, seolah-olah apa yang dilakukan kini adalah perbuatan
yang sangat bodoh, setelah mereka mendengar ceritera
tentang Sonya. Luka-luka Sonya yang berat, seakan-akan
meyakinkan mereka, betapa orang-orang Jipang benar-benar
telah berusaha membunuhnya.
Ketika kemudian Widura membisikkan apa yang didengarnya
itu kepada Untara, maka Untara pun mengerutkan keningnya.
Di wajahnya telah membayang kecemasan hatinya.
"Kalau mereka melihat orang-orang Jipang datang dengan
senjata masih di tangan mereka maka perasaan orang-orang
kita pun akan menjadi sangat sulit dikendalikan. Satu langkah
saja di antara kita, apakah orang-orang Pajang, apakah orangorang
Jipang, berbuat hal-hal di luar dugaan dan
mencurigakan, maka akibatnya akan dapat menyulitkan
sekali," sahut Untara.
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya, "Bagaimana
pertimbanganmu Untara."
"Padahal, menurut pembicaraan kita, orang-orang Jipang itu
akan datang dengan senjata masing-masing, kemudian baru
setelah mereka sampai di Benda, mereka akan
mengumpulkan senjata-senjata mereka untuk diserahkan.
Sudah tentu mereka harus merasa diri mereka aman. Mereka
setidak-tidaknya harus melihat kita berada diantara pasukan
Pajang dan laskar Sangkal Putung dengan penuh
pertanggungan jawab."


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Saat yang paling berbahaya adalah saat dimana orang-orang
Jipang itu memasuki daerah pedesaan Benda. Pada saat-saat
kedua pasukan berhadapan hampir tanpa jarak. Padahal di
tangan masing-masing masih tergenggam senjata-senjata
mereka. Sedang di dalam dada masing-masing berkobar
dendam dan kebencian. Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. la harus benarbenar
dapat menguasai keadaan. Karena itu maka katanya,
"Kami harus berada di tempat yang terpisah-pisah sehingga
kami dapat menguasai seluruh keadaan."
"Kita hanya berdua," desah Widura.
Untara menarik nafas. Agung Sedayu dilihatnya duduk di atas
punggung kuda, jauh di belakang pasukan yang berjalan
seperti ular menyusur jalan ke Benda.
"Hem," Untara menarik nafas, "biarlah kita coba. Kalau perlu
kita akan bersikap keras terhadap orang-orang kita sendiri.
Kami akan mengharap pengaruh Ki Gede Pemanahan pula
apabila terpaksa." Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia masih
belum yakin bahwa pasukannya akan dapat dikendalikan.
Meskipun demikian ia harus berusaha.
Dengan dahi yang berkerut-kerut ia berkata, "Untara. Peristiwa
Sidanti, merupakan arang yang tercoreng di wajahku.
Ternyata aku tidak dapat menguasai anak itu sebagai anak
buahku. Bahkan ia telah mencoba membunuhmu. Aku
menyadari, bahwa seandainya senapati Pajang yang
ditempatkan di lereng Merapi ini bukan kemenakanku, apakah
kira-kira laporan yang telah dikirim kepada Ki Gede
Pemanahan tentang aku dan wibawaku di daerah
kekuasaanku" Meskipun kau telah mencoba
menyembunyikan beberapa hal mengenai Sidanti, namun
terasa juga terutama pada diriku sendiri, kekurangan yang
telah terjadi pada pimpinan di Sangkal Putung ini. Sekarang
aku dihadapkan lagi pada suatu keadaan yang mendebarkan.
Kalau kali ini aku gagal menguasai anak buahku, maka adalah
tidak wajar aku tetap dalam kedudukanku sakarang."
"Tetapi rencana dari pada peristiwa ini akulah yang
menyusunnya Paman. Setiap kesalahan tidak akan dapat
dibebankan pada Paman sendiri."
"Aku adalah pimpinan langsung bagi pasukan di Sangkal
Putung. Adalah kebetulan bahwa kau kemenakanku yang
tidak dapat melepaskan hubungan keluarga di antara kita,
sehingga banyak hal yang seharusnya tidak kau tangani
sendiri terpaksa kau kerjakan. Pekerjaan yang seharusnya
tinggal kau ucapkan dan akulah yang harus melakukannya."
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak
ingin melihat pamannya menjadi cemas. Pamannya yang
tetap tenang menghadapi laskar Jipang yang betapapun
kuatnya melanda Sangkal Putung, namun dicemaskan oleh
goyahnya keteguhan ikatan anak buahnya sendiri karena
dendam, benci dan segala macam perasaan yang bercampur
baur. "Paman jangan terlalu cemas. Para pemimpin kelompok telah
menyadari apa yang sedang mereka hadapi. Mudah-mudaan
mereka tidak mudah menjadi goyah. Dengan demikian kita
berdua tidak berdiri sendiri."
"Mudah-mudahan," sahut Widura kosong.
Dalam pada itu iring-iringan itu berjalan terus. Semakin lama
menjadi semakin jauh dari induk kademangan, dan semakin
dekat dengan desa yang seolah-olah agak terpencil di ujung
kademangan itu. Pedesaan Benda yang sepi, penduduknya
telah diungsikan ke desa yang lain, untuk memberi
kesempatan nanti malam kepada orang-orang Jipang untuk
bermalam, sebelum mereka dibawa ke Pajang menerima
keputusan tentang diri mereka.
Setiap kali Untara selalu menengadahkan wajahnya menatap
langit. Setiap kali hatinya menjadi berdebar-debar. Matahari
merayap terlampau cepat. Tetapi ketika pedesaan Benda lamat-lamat tampak di hadapan
wajahnya ia bergumam, "Mudah-mudahan kita tidak terlambat.
Mudah-mudahan di desa itu tidak bersembunyi orang-orang
Jipang yang telah siap menyergap kita apabila kita
memasukinya." Widura mendengar gumam itu, tetapi tidak jelas, sehingga
terpaksa ia bertanya, "Apa yang kau katakan?"
Untara menggeleng, "Tidak apa-apa Paman. Aku hanya
menyebut nama desa itu. Bukankah desa seberang bulak itu
Desa Benda?" "Ya," Widura mengangguk.
Kemudian merekapun terdiam. Namun hati mereka menjadi
berdebar-debar. Dihadapan mereka berjalan Ki Gede
Pemanahan dengan beberapa orang pengawalnya. Tetapi
ketika mereka menjadi semakin dekat, maka Untara dan
Widura pun berjalan pula disisi mereka. Tanpa mereka
kehendaki. Tangan-tangan mereka telah meraba-raba hulu
pedang mereka, apabila setiap saat diperlukan.
"Desa itukah yang kau maksud dengan Desa Benda?"
bertanya Ki Gede Pemanahan.
"Ya, Ki Gede," jawab Untara singkat.
Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba ia
berpaling memandangi barisan yang berjalan di belakangnya.
Menjalar sepanjang jalan, seperti seekor ular raksasa yang
merayap-rayap. Terasa oleh Untara dan Widura, bahwa sikap itupun adalah
suatu sikap berhati-hati setelah hampir saja Ki Gede
Pemanahan dijebak oleh orang-orang Jipang. Namun Ki Gede
itu berjalan terus. Wajahnya masih saja tenang, seakan-akan
tidak ada suatupun yang mencemaskannya.
Tetapi Untara-lah yang kemudian menjadi cemas. Ia harus
yakin, bahwa kedatangan Ki Gede di Benda tidak akan
mendapat bencana. Karena itu, sebelum mereka memasuki
desa maka dua orang penghubung harus mendahului dan
melihat keadaan. Namun hati Untara itupun kemudian berdesir ketika ia melihat
Sutawijaya, Agung Sedayu, dan Swandaru mempercepat
derap kudanya mendahului pasukan yang berjalan di
sepanjang jalan persawahan.
Demikian kuda-kuda itu sampai di sisinya terdengar Sutawijaia
berkata, "Kakang Untara, kami bertiga akan mendahului kalian
melihat-lihat desa di hadapan kita."
Dada Untara sekali lagi berdesir. Segera ia menyahut ,
"Jangan. Biarlah dua atau tiga orang penghubung melihat
pedesaan itu dahulu sebelum kita memasukinya."
Sutawijaya tertawa, katanya, "Apakah Kakang Untara
mencemaskan kami" Percayalah bahwa Tambak Wedi hanya
membual. Seandainya benar orang-orang Jipang
merencanakan penyerangan, maka kegagalan Tambak Wedi
pasti akan membawa perubahan. Mereka tidak akan berani
menjebak kami di desa itu."
"Belum tentu Adi," sanggah Untara, "segala kemungkinan
akan dapat terjadi."
Tetapi Sutawijaya tertawa terus. Katanya, "Bukankah orangorang
Jipang itu sekedar akan menyerahkan diri?"
Untara tersentak mendengar pertanyaan itu. Sejenak ia
terbungkam. Setelah menarik nafas dalam-dalam ia
menjawab, "Ya. Mereka hanya sekedar akan menyerah."
"Karena itu, Kakang Untara tidak perlu mencemaskan aku,
Agung sedayu dan Swandaru."
Sekali lagi Untara tidak dapat mengatasinya. Tetapi batinnya
masih tetap dikuasai oleh kegelisahan dan kecemasan.
Sehingga tanpa disadarinya Untara itu memandangi Ki Gede
Pemanahan, seolah-olah minta kepadanya, supaya ia
melarang anaknya pergi mendahului barisan.
Tetapi Ki Gede Pemanahan tidak menangkap maksudnya,
bahkan ia sama sekali tidak memperhatikan percakapan itu.
Panglima Wira Tamtama itu berjalan dengan tenangnya di
antara beberapa orang perwira pengawalnya.
Akhirnya Untara tidak kuasa lagi mencegah Sutawijaya ketika
sambil mempercepat jalan kudanya anak muda itu berkata,
"Kami akan berhat-hati Kakang." Kemudian kepada ayahnya
ia berkata, "Ayah, aku ingin mendahului untuk melihat-lihat
daerah Sangkal Putung yang subur ini."
Sekali lagi Untara menarik nafas dalam-dalam ketika ia
melihat Ki Gede Pemanahan menganggukkan kepalanya
sambil menjawab, "Hati-hatilah Sutawijaya. Kau tidak sedang
bertamasya sekarang ini."
Sekejap kemudian mereka melihat kuda anak muda itu
berpacu disusul oleh kuda Swandaru. Namun Agung Sedayu
masih sekali lagi berkata kepada kakaknya, "Aku mendahului
Kakang." "Hati-hatilah," sahut Untara. Ia pun tidak dapat mencegah
adiknya itu, karena Sutawijaya dan Swandaru telah
mendahuluinya. Agung Sedayu pun kemudian memacu kudanya. Ia
membungkukkan badannya dalam-dalam hampir melekat
punggung kuda ketika ia mendahului Ki Gede Pemanahan
yang berjalan hampir di ujung barisan, di belakang tiga orang
prajurit yang membawa panji-panji kebesaran, melekat pada
landean tombak larakan yang panjang, beserta pengawalnya.
Yang tampak kemudian hanyalah kepulan-kepulan debu yang
putih, yang dilemparkan oleh kaki-kaki kuda yang berpacu
seperti angin. Sutawijaya yang membawa sebatang tombak
pendek bernama Kiai Pasir Sewukir menjadi gembira sekali.
Kudanya berlari dengan tegarnya, berderap di atas tanah
berdebu. Di belakang berpacu Swandaru Geni yang gemuk.
Ketika tampak olehnya juntai yang kuning berkilauan pada
tombak Sutawijaya, maka tanpa disengajanya ia meraba hulu
pedangnya. Dalam hati ia berkata, "Besok aku akan mencari
tampar yang kuning emas seperti juntai pada tombak itu.
Pedangku akan menjadi bertambah bagus. Hulunya terbuat
dari gading gajah dengan juntai yang berwarna kuning emas.
Alangkah bagusnya." Swandaru itupun tersenyum sendiri. Namun ketika sebutir
debu masuk ke matanya, ia mengumpat-umpat.
Ketika ia berpaling, dilihatnya kuda Agung Sedayu agak jauh
di belakang. Tetapi kuda itu meluncur seperti anak panah.
Sehingga jarak di antara mereka menjadi bertambah pendek.
Swandaru itu melambaikan tangannya. Ia menjadi gembira
sekali seperti juga Sutawijaya. Seolah-olah mereka mendapat
kesempatan untuk berpacu kuda. Sehingga dengan demikian,
ketika kuda Agung Sedayu menjadi semakin dekat, Swandaru
melecut kudanya. la tidak mau jarak itu menjadi bertambah
pendek bahkan kalau mungkin menjadi semakin jauh. Tetapi
Swandaru tidak dapat mendahului Sutawijaya. Anak muda itu
ternyata tidak mempercepat kudanya bahkan ketika sekali ia
berpaling maka agaknya ia menunggu kedua kawankawannya
itu. Sesaat kemudian ketiga ekor kuda itu telah berlari berbareng.
Tiga orang anak-anak muda yang sebaya. Yang seorang
menggenggam tombak di tangan. Sedang di lambung kedua
orang yang lain tergantung pedang.
Bulak itu memang merupakan bulak yang agak panjang.
Tetapi karena ketika anak-anak muda itu berkuda, maka
segera mereka menjadi semakin dekat. Beberapa saat lagi,
mereka telah melihat mulut lorong yang dilaluinya itu
memasuki Desa Benda. Ternyata sutawijaya yang jauh lebih berpengalaman dari
kedua kawan-kawannya yang lain, melihat mulut lorong itu
dengan sikap yang cukup masak. Dengan isyarat ia minta
kedua kawan-kawannya memperlambat kuda-kuda mereka.
Demikianlah semakin dekat mereka dengan desa Benda,
semakin lambat pula lari kuda-kuda mereka. Bahkan kudakuda
itu kemudian berjalan tidak lebih cepat dari langkah kaki.
"Mulut lorong itu seperti mulut ular yang menganga menanti
kita masuk ke dalamnya," gurau Sutawijaya.
Agung Sedayu dan Swandaru tersenyum. "Tetapi ular itu, ular
mati," sahut Swandaru.
Sutawijaya pun tertawa. Tetapi kemudian ia bertanya, "Apakah
tidak ada penjagaan di desa ini?"
"Ada," sahut Swandaru, "di ujung lorong yang lain menghadap
ke bulak sebelah." "Di ujung ini?"
Swandaru menggeleng, "Tidak," jawabnya.
Sutawijaya mengerutkan keningnya. "Aneh," katanya,
"seharusnya ada gardu peronda di kedua sisi. Apa kalian
menyangka bahwa apabila musuh datang tidak dapat
mengambil jalan ini" Mereka hanya cukup menambah
beberapa langkah dengan melingkar desa ini, kemudian
masuk melalui mulut lorong tanpa diketahui oleh para penjaga.
Bukankah dengan damikian hampir tak ada gunanya di ujung
lain diberi gardu peronda?"
"Desa ini adalah desa yang hampir tak berpenghuni. Desa ini
memang sengaja dilepaskan. Justru karena itu maka orangorang
Jipang sering mendatangi desa ini. Mereka kadangkadang
mengambil beberapa macam perbekalan sebelum
mereka menghilang. Namun dengan demikian, banyak
keterangan yang kita dapatkan dari penghuni-penghuninya.
Penghuni-penghuni asli dan penghuni-penghuni yang sengaja
kita tanam di sini," sahut Agung Sedayu.
Sutawijaya tersenyum sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya mendengar keterangan Agung Sedayu mengenai
desa itu. Ia senang mendengar sikap Untara dan Widura yang
cerdik. Namun kemudian ia bertanya, "Tetapi dengan demikian,
bagaimana dengan para penjaga itu" Apakah mereka tidak
sekedar menjadi umpan hidup bagi orang-orang Jipang itu?"
"Penjagaan itu baru diadakan sejak pagi ini menjelang saatsaat
penyerahan orang-orang Jipang. Mereka harus
mengawasi gerak-gerik orang-orang Jipang itu."
Kembali Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kemudian katanya, "Mari, kita temui para penjaga itu."
"Marilah," sahut Agung Sedayu.
Kini mereka bertiga telah sampai dimulut lorong yang
memasuki desa Benda. Desa itu tampak terlampau sepi,
seperti sebuah kuburan yang besar. Hampir tidak terasa
bahwa desa itu adalah desa yang hidup dan berpenghuni.
Sebelah-menyebelah lorong adalah sebuah pagar batu yang
agak tinggi. Regol-regol yang sempit dan kurang terpelihara.
Halaman-halaman yang tidak terlampau bersih dan di sanasini
masih terdapat tumbuh-tumbuhan yang liar di antara


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rumpun-rumpun bambu yang lebat.
"Desa ini memang sepi," gumam Sutawijaya, "apakah dalam
kehidupan sehari-hari desa ini juga sesepi ini?"
"Tidak jauh berbeda," sahut Agung Sedayu, "hanya kadangkadang
kita mendengar suara derit senggot apabila seseorang
mengambil air, atau suara pekik anak-anak yang sedang
bermain-main. Tetapi suara itu terlampau jarang. Anak-anak
lebih senang tinggal di dalam rumah masing-masing."
"Kehidupan yang tertekan," gumam Sutawijaya.
"Bukan hanya desa ini. Bukan saja Benda, tetapi banyak desa
lain, yang tersebar berserak-serak antara kademangan ini
dengan kademangan-kademangan di sekitarnya. Tetapi
agaknya Sangkal Putung-lah yang paling menarik perhatian
bagi orang-orang Jipang."
"Kenapa Sangkal Putung?"
"Sangkal Putung adalah kademangan yang kaya raya sejak
lama. Bukankah begitu Adi Swandaru" Putera Ki Demang ini
tahu benar kekayaan yang tersimpan di dalam
kademangannya. Penduduknya yang rajin dan tahu
menghargai kerja, maka mereka telah berhasil membangun
kademangannya menjadi kademangan yang banyak
menyimpan kekayaan di dalamnya. Contohnya, pedang Adi
Swandaru itu. Hulunya terbuat dari gading yang mahal."
Sutawijaya tersenyum tetapi ia berpaling juga melihat hulu
pedang Swandaru yang benar-benar terbuat daripada gading.
"Ya," desis Sutawijaya, "bagus benar hulu pedang itu."
"Lebih bagus lagi apabila pada hulu ini diberi juntai tampar
yang berwarna kuning emas seperti pada tombak Tuan."
Sutawijaya mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia bertanya,
"Kau senang pada tali ini?"
"Ya, Tuan." Kembali Sutawijaya mengerutkan keningnya. Hati Swandaru
berdebar-debar ketika ia melihat Sutawijaya mengurai tali
kuningnya, "Kau ingin ini?" ia bertanya.
Mata Swandaru menjadi berkilat-kilat. Sambil tersenyum ia
menjawab agak segan-segan, "Ya Tuan."
"Pakailah. Aku masih mempunyai tali semacam ini banyak
sekali di rumah." Swandaru menjadi gembira sekali menerima tali yang
berwarna kuning emas itu. Tali yang akan menjadikan
pedangnya bertambah cantik.
Tetapi wajahnya yang gembira itu tiba-tiba menjadi tegang
ketika ia melihat asap yang mengepul. Semakin lama semakin
besar. Asap itu menjilat ke udara dari balik rumpun bambu
agak jauh dari lorong itu.
Sutawijaya dan Agung Sedayu melihat asap itu pula, sehingga
wajah mereka menjadi tegang pula.
"Asap apakah itu?" desis Sutawjaya.
Agung Sedayu menggeleng, "Entahlah."
"Marilah kita menemui para penjaga. Mungkin mereka tahu
asap apakah yang mengepul semakin besar itu?"
"Marilah," sahut Agung Sedayu dan Swandaru hampir
berbareng. Sesaat kemudian mereka telah mempercepat kuda-kuda
mereka menuju ke gardu penjagaan di ujung lorong.
Para penjaga di gardu itu terkejut ketika mereka mendengar
derap kuda mendekati. Tetapi mereka menyangka, bahwa
yang datang itu adalah para penghubung. Karena itu, maka
mereka tidak segera menyongsongnya.
Tetapi ternyata yang datang adalah Agung Sedayu,
Swandaru, dan seorang anak muda yang belum mereka
kenal. Pemimpin penjaga di gardu itu tersenyum sambil menyambut
kedatangan mereka. "Marilah anak-anak muda. Aku kira
beberapa penghubung datang untuk menanyakan keadaan di
sini. Ternyata kalian bertiga. Apakah ada persoalan yang
kalian bawa?" "Tidak, Paman," sahut Agung Sedayu.
Orang itu mengerutkan keningnya. Sekali lagi ia bertanya,
"Jadi kenapa Angger kemari mendahului barisan?"
Agung Sedayu tidak segera menjawab. Ia sendiri tidak tahu,
bagaimana ia harus menjawab. Yang menjawab kemudian
adalah Sutawijaya. "Kami hanya bermain-main Paman."
Orang itu menjadi heran. Jawaban itu hampir tak masuk di
akalnya. Bermain-main di daerah yang demikian gawatnya.
Sehingga karena itu maka wajah orang itu menjadi semakin
berkerut-kerut. Agaknya jawaban itu tidak menyenangkan
hatinya. Agung Sedayu melihat kesan yang tergores pada kerut-merut
wajah pemimpin gardu itu. Karena itu maka segera ia ingin
memperbaiki suasana dengan serta-merta ia berkata, "Paman,
mungkin Paman belum mengenal anak muda ini. la adalah
putera Ki Gede Pemanahan yang bernama Sutawijaya
bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar."
Wajah yang berkerut-kerut itu tiba-tiba menjadi tegang.
Pemimpin penjaga itu benar-benar terkejut mendengar nama
itu. Nama yang selama ini menjadi kebanggaan prajurit
Pajang. Nama yang ternyata telah berhasil mengalahkan
Pangeran Arya Penangsang.
Bukan saja pemimpin penjaga itu yang menjadi tegang. Para
prajurit yang lainpun tidak kalah terkejutnya. Hampir
bersamaan mereka membungkukkan badan mereka dalamdalam
sambil berkata, "Maafkan kami Tuan. Kami ternyata
terlampau bodoh sehingga kami tidak mengenal Tuan."
Sutawijaya tertawa. Tetapi ia berkata, "Jangan membongkokbongkok.
Nanti kau tidak melihat asap yang mengepul itu."
"Asap?" desis penjaga itu.
"Jadi kalian belum melihat asap itu?" berkata Sutawijaya
sambil menunjuk ke arah asap yang kini menjadi semakin
besar. "He?" teriak kepala penjaga itu. la menjadi sangat terkejut.
"Asap apakah itu?"
Para penjaga yang lain menjadi terkejut pula. Sejenak mereka
saling berpandangan, tetapi tak seorangpun dari mereka yang
tahu apa yang telah terjadi.
"Lihat, asap apakah itu," perintah kepala penjaga. Ketika
seseorang telah siap untuk meloncat berlari ke arah asap itu,
maka Sutawijaya yang cerdas dalam menanggapi setiap
persoalan itu mencegahnya, "Jangan."
"Kenapa Tuan?" "Mungkin Bahu Reksa Benda sedang marah, atau ada hantu
yang buas berkeliaran di desa ini. Tinggallah di sini biarlah
kami yang melihatnya."
"Kenapa Tuan?" bertanya penjaga itu. Sutawijaya tidak menjawab. Segera ia meloncat dari punggung kudanya diikuti oleh Swandaru dan Agung Sedayu. "Apakah kalian menyediakan kuda pula?" "Ada dua ekor kuda di
sini. Apabila keadaan memaksa, dua dari kami harus segera melapor." "Kentongan raksasa itu?"
"Kalau perlu kami harus memukul tanda-tanda."
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlengkapan
gardu itu cukup baik. Sambil menyerahkan kendali kudanya ia
berkata, "Biarlah kuda-kuda ini kami tinggalkan di sini. Kami
akan melihat apa yang terjadi."
"Baik Tuan," sahut para penjaga sambil menerima kuda-kuda
itu. Sesaat kemudian Sutawijaya, Agung Sedayu, dan Swandaru
telah melangkah meninggalkan gardu itu. Asap yang
mengepul kehitam-hitaman itupun menjadi semakin besar.
Bahkan kemudian mereka melihat lidah api menjilat ke udara.
"Api," desis Sutawijaya. Anak muda itu kini tidak tersenyum
lagi. "Kita ambil jalan memintas," katanya sambil meloncati
dinding halaman di hadapannya. Agung Sedayu dan
Swandaru pun segera mengikutinya pula meloncati dinding
halaman. Tetapi sebelum mereka berlari melintasi halaman itu menuju
ke arah asap yang semakin tinggi, tiba-tiba Sutawijaya teringat
sesuatu. Sekali ia menjengukkan kepalanya sambil berkata,
"Jangan berbuat apapun lebih dahulu sebelum aku tahu pasti
apa yang terjadi." Para penjaga masih berada di tempatnya. Pemimpin penjaga
itu membungkukkan kepalanya sambil menyahut, "Ya tuan."
Namun Sutawijaya itupun kemudian tertegun ketika
mendengar di kejauhan suara tertawa terbahak-bahak.
Bahkan kemudian terdengar sapa di antara derai tertawa itu,
"He, siapa yang berada di gardu peronda?"
Para penjaga itu tidak segera menjawab. Merekapun terkejut
bukan kepalang. Ketika mereka berpaling ke arah suara itu,
mereka melihat tiga orang muncul dari tikungan.
"Siapakah itu?" desis Swandaru.
Sutawijaya kini telah merendahkan dirinya dan menempelkan
tubuhnya pada dinding halaman bagian dalam. Sambil
meletakkan jari telunjuknya pada bibirnya ia berdesis.
Swandaru dan Agung Sedayupun terdiam. Kini merekapun
berbuat seperti Sutawijaya pula. Dengan hati-hati mereka
menunggu apa yang akan terjadi, dan mencoba mengetahui
suara siapakah yang menggeletar di desa Benda yang kecil
ini. Sekali lagi mereka mendengar sebuah pertanyaan, "Siapakah
yang berada di gardu ronda?"
Sesaat tidak terdengar jawaban. Namun wajah para penjaga
itupun menjadi tegang ketika mereka mengenal orang-orang
yang mendekati mereka dengan senjata telanjang di tangan
mereka. "Bukankah kau Wira Lele?" terdengar kembali suara itu.
Swandaru hampir tidak sabar lagi. Tetapi sekali lagi
Sutawijaya memberinya isyarat.
Tetapi mereka bertiga yang berada di dalam halaman itupun
terkejut pula ketika mereka mendengar kepala penjaga itu
berdesis, "Kau, Sidanti?"
"Ya, aku sudah rindu untuk menemuimu, Wira Lele. Aku rindu
melihat kumismu benar-benar seperti kumis seekor lele
kurus." Wira Lele, kepala penjaga itu menggeram. Tiba-tiba terdengar
gemerincing pedang. Ternyata Wira Lele dan kawankawannya
telah menghunus pedang-pedang mereka pula.
"Ha, kau mau bergurau?" bertanya Sidanti. "Berapa orang
semuanya?" Wira-lele tidak menjawab.
Yang terdengar adalah suara Sidanti semakin dekat. "Satu,
dua, tiga, empat, lima. Lima orang. Masih ada yang di dalam
gardu" Takaran kami bertiga adalah tiga puluh orang sejenis
kalian ini." Wira Lele membelalakkan matanya yang memancarkan
kemarahan. Tanpa dikehendakinya ia berpaling memandangi
kentongannya. Tetapi kembali terdengar suara Sidanti,
"Jangan mencoba menyentuh kentongan itu."
Dada Wira Lele menjadi berdebar-debar. Nafasnya serasa
semakin cepat mengalir. Betapa kemarahan membakar
jantungnya, tetapi ia menyadari siapakah yang berdiri di
hadapannya. Ia menyadari kekuatan Sidanti.
Apalagi ketika kemudian Sidanti itu berkata, "Wira Lele,
mungkin kau pernah melihat sahabatku ini. Kalau belum,
namanya pasti pernah kau dengar. Yang satu, yang kuning
langsat ini adalah Alap-alap Jalatunda, sedang yang lain, yang
seperti arang ini adalah Sanakeling."
Jantung Wira Lele seakan-akan menjadi berhenti berdenyut.
Yang datang ternyata benar-benar orang-orang seperti kata
Sidanti, mempunyai takaran masing-masing sepuluh.
Namun terdengar Sanakeling menggeram, "Jangan menghina
Sidanti. Meskipun kulitku hitam, tetapi lebih dari dua puluh
lima gadis tergila-gila kepadaku. Nah, bagaimama dengan
kau" Bagaimana dengan gadis anak Ki Demang Sangkal
Putung itu?" Sidanti tertawa, tetapi ia tidak menaruh perhatian akan dua
puluh lima gadis yang jatuh cinta kepada Sanakeling. Yang
terdengar adalah suaranya yang menggelegar, "He, Wira Lele.
Sebenarnya pekerjaanku sudah selesai. Membakar rumahrumah
itu. Kau tahu maksudnya" Kalau tidak, baiklah aku
beritahukan. Aku sedang memberi aba-aba kepada induk
pasukan Jipang untuk menyergap. Dari jurusan induk
Kademangan Sangkal Putung, telah terlihat barisan orangorang
Pajang dan orang-orang Sangkal Putung. Tanda itu
adalah sebuah perintah. Nah, apa katamu?"
Sekali lagi terdengar Wira Lele menggeram. Tanpa disengaja
maka iapun beringsut mendekati kentongannya. Namun sekali
lagi terdengar Sidanti tertawa sambli berkata, "Kentongan itu
tak akan berarti. Tangan kami lebih cepat dari langan-lengan
kalian yang akan memukul kentongan itu." Sidanti berhenti
sebentar, kemudian katanya lebih lanjut, "Nah, aku ternyata
memerlukan singgah di gardumu, untuk memberitahukan
kepadamu apakah yang akan terjadi di Benda ini. Kau sangka
orang-orang Jipang itu akan menyerah" Tidak, mereka akan
menyergap kalian, orang-orang Pajang dan Sangkal Putung.
Kalian boleh saja mendengar rencana ini, sebab sebentar lagi
kalian akan mati. Begitu?"
Wira Lele tidak menjawab. Mulutnya serasa menjadi bisu. Ia
berdiri saja seperti tonggak kayu.
"Kenapa kau berdiam diri?" bertanya Sidanti. "Kau harus
marah. MengambiI sikap dan marilah kita bertempur. Waktuku
hanya sedikit. Sebentar lagi orang-orang Pajang telah
memasuki pedukuhan ini."
Tetapi Wira-lele tidak bergerak.
"Bunuh saja mereka," terdengar desis Sanakeling dalam nada
yang berat. "Buat apa mereka dibiarkan hldup" Orang-orang
Pajang telah membunuh orang-orang Jipang yang
dijumpainya. Adalah omong kosong kalau orang-orang Pajang
akan bersedia menerima kami manyerah. Dan ternyata kami
bukan orang-orang bodoh yang dapat mereka bujuk dengan


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akal yang licik seperti demit."
Wira Lele masih membeku. Namun digenggamnya hulu
pedangnya erat-erat. Sementara itu Sanakeling berkata lagi,
"Aku menyesal lewat di jalan ini. Aku terpaksa mengotori
pedangku dengan darah kelinci."
"Aku tidak sabar menunggu kalian berbicara berkepanjangan.
Sementara itu orang-orang Pajang menjadi semakin dekat,"
sela Alap-alap Jalatunda.
"Pengecut," desis Sanakeling.
"Kenapa?" "Kau takut kalau orang-orang Pajang itu akan melihat
hidungmu." Alap-alap Jalatunda mengerutkan keningnya. Jawabnya,
"Mungkin. Mungkin demikian, mungkin aku akan menjadi
ketakutan. Apakah kalian tidak akan lari terbirit-birit apabila Ki
Gede Pemanahan dan anaknya itu datang kemari?"
"Persetan!" desis Sanakeling.
"Nah, karena itu marilah kita selesaikan pekerjaan kita.
Pekerjaan ini adalah pekerjaan tambahan yang hanya akan
mengotori tangan-tangan kita."
Alap-alap Jalatunda tidak menunnggu Sanakeling atau Sidanti
menyahut. Segera ia melangkah maju sambil mengayunayunkan
pedangnya, "Ayo, siapa yang terdahulu" Kalau masih
ada orang di dalam gardu itu, marilah, kita bermain bersamasama."
Tetapi di dalam gardu sudah tidak ada orang lagi. Yang
mereka hadapi hanyalah lima orang itu. karena itu maka Alapalap
Jalatunda berkata, "Serahkan kelima-limanya ini
kepadaku." "Jangan sombong," potong Sanakeling. "Ambilah tiga. Beri
kami masing-masing seorang sekedar supaya pedang-pedang
kami tidak berkarat."
Yang terdengar adalah geram Wira Lele. Kini ia sudah siaga
menghadapi setiap kemungkinan. Tetapi ia menyesal, bahwa
ia tidak dapat memberi tanda kepada para prajurit Pajang.
Bukan untuk mendapatkan pertolongan, tetapi supaya mereka
menjadi lebih barhati-hati.
Tetapi ketika Alap-alap Jalatanda maju semakin dekat, maka
tiba-tiba langkahnya tertegun. Dari balik dinding batu di tepi
jalan itu ia mendengar suara. "Siapa lagi yang masih berada di
dalam gardu?" Bukan saja Alap-alap Jalatunda, tetapi Sanakeling dan Sidanti
pun terkejut. Mereka mendengar suara itu sedemikian
jelasnya. Karena itu, telinga Sidanti yang tajam segera
mengetahui bahwa suara itu berasal dari balik dinding batu di
samping jalan itu. "Hem," Sidanti menggeram. "Ternyata yang lain tidak berada
di dalam gardu, tetapi mereka bersembunyi di balik dinding
halaman." Terdengar suara dari balik dinding itu menyahut, "Ya, kami
bersembunyi di sini. Tiga puluh orang semuanya, sebagai
takaran yang pantas untuk melawan kalian bertiga. Alap-alap
cengeng, perwira Jipang yang hitam kelam, dan anak muda
yang gagal dalam bercinta menurut istilah Sanakeling."
Suara dari balik dinding itu ternyata telah menggetarkan
jantung Sidanti dan kedua kawannya. Bahkan para penjaga
gardu itupun terkejut pula. Orang yang berada di balik dinding
itu menganggap Sidanti, Sanakeling, dan Alap-alap Jalatunda
Warisan Agung 1 Serba Hijau Serial Oey Eng Si Burung Kenari Karya Xiao Ping Duri Bunga Ju 8

Cari Blog Ini