Ceritasilat Novel Online

Api Di Bukit Menoreh 23

01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja Bagian 23


sebagai orang-orang yang sama sekali tidak berarti. Bahkan
mereka dengan sengaja telah menghinanya pula.
Sidanti menggeram seperti seekor harimau kelaparan.
Wajahnya tiba-tiba menjadi merah membara. Sedang
Sanakeling dan Alap-alap Jalatunda untuk sesaat justru berdiri
saja seperti patung. Mereka sama sekali tidak menyangka
bahwa ada orang yang berani menghinanya sedemikian
menyakitkan hati. Tiba-tiba terdengar Sidanti membentak, "He, siapa kau?"
"Kami adalah satu di antara kelinci-kelinci penjaga gardu,"
jawab suara itu pula. "Gila!" teriak Sidanti. "Jangan bersembunyi. Ayo keluar kalau
kau benar-benar jantan."
Kini yang terdengar adalah suara tertawa. Di antara derai
tertawa itu terdengar kata-kata, "Jangan marah. Siapakah
yang marah itu" Apakah kau yang bernama Sanakeling,
Sidanti, atau Alap-alap Jalatunda?"
"Persetan!" teriak Sidanti. "Keluar dari persembunyian itu."
"Tidak sekarang."
"Kapan?" "Nanti, kalau para prajurit Pajang sudah datang. Sekarang
mereka pasti sudah hampir sampai ujung bulak. Sesaat lagi
mereka akan memasuki Sangkal Putung. Bukankah kalian tadi
yang mencegat mereka di bulak jagung?"
"He?" pertanyaan itu benar-benar mengejutkan Sidanti. Orang
yang bersembunyi di belakang dinding itu mengetahuinya apa
yang telah dikerjakannya pagi tadi. Karena itu, Sidanti tidak
sabar lagi. Tetapi ketika ia hampir meloncat, terdengar
Sanakeling yang lebih tua daripadanya mencegah, "Jangan
Sidanti. Mungkin di balik dinding itu, ujung-ujung tombak siap
menyobek perutmu, seperti pada saat Pengeran Arya
Penangsang menyeberangi sungai. Bukankah saat itu Arya
Penangsang dibakar oleh kemarahan dan kehilangan
kewaspadaan?" "Hem," kembali Sidanti menggeram. "Tetapi mereka tidak mau
keluar dari persembunyiannya."
"Marilah kita tunggu."
"Sehari, sebulan atau sampai orang-orang Pajang datang?"
Tiba-tiba Sanakeling berkata, "Biarkan mereka. Marilah para
penjaga ini kita bunuh satu persatu. Kemudian kita akan
mendapat beberapa ekor kuda. Kau setuju?"
Sidanti menganggukanggukkan
kepalanya. Sambil tersenyum ia berkata, "Kau cerdik
Sanakeling. Mari, kalau orang-orang di balik dinding
itu tidak mau keluar juga
dari persembunyiannya kita
cincang saja para penjaga
ini." Tiba-tiba terdengar suara
dari balik dinding, "Hem,
kalian memang cerdik. Agaknya kalian cukup berpengalaman mencari cengkerik. Kalau kau tak berhasil menggalinya, maka cukup kau siram dengan air,
maka cengkerik itu akan keluar sendiri dari lubangnya."
Kemarahan telah menghentak-hentak dada Sidanti dan
kawan-kawannya. Dengan tegang mereka menunggu,
siapakah yang akan keluar dari persembunyiannya itu. Tetapi
setelah sejenak mereka menunggu, orang-orang dari balik
dinding itu sama sekali belum menampakkan dirinya.
"Hem," kini Alap-alap Jalatunda-lah yang menggeram.
"Mereka sengaja mempermainkan kita Kakang. Mungkin
benar juga kata mereka, supaya para prajurit Pajang itu
datang sebelum kita meninggalkan tempat ini karena terikat
oleh permainan yang gila ini."
Sanakeling tidak menjawab. Tetapi matanya benar-benar
memancarkan kemarahan yang meluap-luap. Namun ia cukup
hati-hati. la tidak mau meloncati pagar itu dan diterima oleh
ujung tombak atau pedang pada lambung atau perutnya.
Maka cara yang paling baik adalah cara yang telah
dikatakannya, sehingga sekali lagi ia berteriak, "Jangan
hiraukan orang-orang gila di belakang dinding itu. Bunuh para
penjaga ini lebih dahulu."
Tetapi tanpa disangka-sangka, mereka kini dikejutkan oleh
suara lantang, "Aku akan keluar dari persembunyian," disusul
oleh sesosok tubuh yang dengan lincahnya melayang
melangkahi dinding halaman itu. Namun demikian tubuh itu
tegak di atas tanah, maka tiba-tiba orang itu menggeliat sambil
menguap. "Hem. Aku menunggu kalian terlampau lama
sehingga aku menjadi terkantuk-kantuk karenanya."
Mata Sidanti, Sanakeling, dan Alap-alap Jalatunda terbelalak
melihat orang itu. Seorang anak muda dengan sebatang
tombak di tangannya. Apalagi kemudian mereka melihat
seorang anak muda yang lain yang telah mereka kenal pula.
Agung Sedayu meloncat dinding itu pula, disusul oleh seorang
lagi, seorang anak muda yang gemuk, sedang memanjat
dinding. Kemudian tubuhnya yang bulat itupun terjun pula dari
atas dinding halaman. "Agak hati-hati sedikit Swandaru," berkata Sutawijaya.
"Tubuhmu akan dapat menimbulkan gempa."
Swandaru tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab kata-kata
Sutawijaya. Dengan lucu dipandanginya Sidanti yang
memandangnya pula dengan sinar kemarahan.
"Jangan kau tampar aku kali ini Sidanti," desis Swandaru.
Swandaru menggeram. Kalau tidak ada Sutawijaya di
hadapannya ia pasti sudah meloncat dan menampar mulut
yang gembung itu. "Kau sudah mengenalnya?" bertanya Sutawijaya kepada
Swandaru. "Aku sudah kenal terlampau rapat Tuan," jawab Swandaru.
"Kalau demikian, siapakah yang disebut Sanakeling, gadis
anak Demang Sangkal Putung" Bukankah kau anak Demang
Sangkal Putung itu?"
Wajah Swandaru menjadi kemerah-merahan. Tetapi tidak
semerah wajah Sidanti yang benar-benar menjadi semerah
darah. Bukan saja mereka, bahkan Agung Sedayu pun merasa
wajahnya menjadi panas. Tetapi ia tidak berkata sepatah kata
pun. Ketika kemudian Swandaru berpaling kepadanya sambil
tersenyum, maka Agung Sedayu itupun segera menundukkan
wajahnya. Mendengar senda gurau itu darah Sidanti benar-benar telah
mendidih. la merasa bahwa seakan-akan anak-anak muda itu
sengaja mempermainkannya. Apalagi Sanakeling yang
garang. Betapa kemarahannya telah merayap sampai ke
ubun-ubun. Dengan kasarnya berteriak, "He kau anak-anak
gila. Jangan bertingkah. Apakah kalian tidak menyadari
dengan siapa kalian berhadapan?" Tetapi tiba-tiba
Sanakeling-lah yang menyadari dirinya sendiri dari katakatanya.
Anak muda itu adalah anak muda yang dilihatnya tadi
datang bersama-sama dengan Ki Gede Pemanahan. Anak itu
adalah anak Panglima Wira Tamtama Pajang.
Yang menjawab pertanyaan itu adalah Sutawijaya, "Tentu
Sanakeling. Aku menyadari sepenuhnya, dengan siapa aku
berhadapan. Yang kuning langsat ini adalah Alap-alap
Jalatunda, yang hitam seperti arang adalah Sanakeling dan
yang jatuh cinta kepada adik atau kakak perempuanmu, he
Swandaru," berkata Sutawijaya sambil berpaling ke arah
Swandaru, "adalah anak muda murid Ki Tambak Wedi yang
garang itu." Karena kemarahan yang telah memuncak, maka mulut
Sidanti, seakan-akan justru terkunci. la berdiri saja mematung
dengan kaki bergetar. Yang terdengar hanyalah gemeretak
giginya beradu. Sutawijaya masih saja tersenyum. Setelah ia melihat siapakah
yang membuat keonaran, membakar rumah-rumah di desa
Benda, maka justru hatinya menjadi tenang. Sidanti,
Sanakeling, dan Alap-alap Jalatunda pasti tidak puas dengan
pertempuran yang terjadi di buIak jagung pagi tadi. Mereka
masih selalu berusaha memancing kekeruhan, sehingga
karena itu, maka apa yang terjadi kini sama sekali bukanlah
suatu perkembangan baru dari peristiwa orang-orang Jipang
yang akan menyerah, tetapi. peristiwa ini adalah kelanjutan
saja dari peristiwa pagi tadi. Karena.itu, tanpa menghiraukan
Sidanti, Sanakeling, dan Alap-alap Jalatunda, Sutawijaya
berkata, "Paman Wira Lele, bukankah Sidanti menyebutmu
Wira Lele?" bertanya Sutawijaya.
Tanpa sesadarnya Wira Lele mengangguk, "Ya Tuan."
"Nah, ambilah kudamu. Pergilah menemui barisan yang
mendatang. Mereka sekarang pasti hampir memasuki desa
ini. Tetapi mereka pasti terhenti di bulak sebelah karena
mereka melihat asap dan api." Sutawijaya berhenti sejenak,
kemudian ia meneruskan, "Kau harus menemui Kakang
Untara. Beritahukan kepadanya bahwa di desa ini tidak terjadi
apa-apa. Katakan bahwa karena Sutawijaya bermain-main
api, maka apinya telah menjilat gardu sehingga gardumu dan
setumpuk alang-alang terbakar. Mereka harus berjalan terus,
supaya orang-orang Jipang yang sungguh-sungguh berhasrat
kembali, tidak mendahului mereka dan terjadi persoalanpersoalan
di luar kehendak kedua belah pihak karena pokal
Sidanti." Kata-kata itu bagi Sidanti dan kawan-kawannya terdengar
seperti gunung Merapi meledak dan runtuh menimpa dada
mereka. Sidanti yang terbungkam, menjadi semakin tegang.
Namun gemeretak giginya menjadi semakin keras. Yang
terdengar kemudian adalah geram Sanakeling, "Wira Lele,
kalau kau bergeser setapak saja dari tempatmu, maka saat itu
adalah saat kematianmu."
Wira Lele tidak beranjak. Namun ia menjadi ragu-ragu. Ia ingin
melakukan perintah Sutawijaya, tetapi ancaman Sanakeling
telah mencegahnya. "Jangan takut Wira Lele," berkata Sutawijaya. "Serahkan
ketiganya ini kepadaku." Kemudian kepada Sanakeling ia
berkata, "Sanakeling, jangan terlampau sombong. Hitunglah
orang-orang yang berada di sini. Dari pihakmu hanya ada tiga
orang, sedang dari pihak paman Wira Lele ada sedikitnya
delapan orang. Dan sebentar lagi pasukan Pajang yang lain
akan segera datang pula."
Kata-kata itu, meskipun diucapkan dengan serta-merta,
seakan-akan sama sekali tidak dipertimbangkan sebelumnya,
namun pengaruhnya sangat dalam menghunjam ke pusat
jantung Sidanti dan kawan-kawannya. Meskipun Sutawijaya
menyebut jumlah dari kedua belah pihak, seolah-olah ia
memerlukan kedelapan orang itu untuk melawan sidanti
bertiga, namun kata-kata itu adalah peringatan yang tajam
bagi mereka. Lebih tajam dari sebuah tantangan untuk
bertempur dalam perang tanding. Sebab Sidanti harus
mengakui, bahwa berdua dengan Alap-alap Jalatunda ia tidak
segera dapat mengalahkan Sutawijaya. Apalagi kini
Sutawijaya itu berkawan tujuh orang, sedang dirinya sendiri
hanya berkawan dua orang.
Dalam keragu-raguan itu terdengar Sutawijaya berkata pula,
"Cepat paman Wira Lele, sebelum Kakang Untara mengambil
sikap yang dapat merusak rencana penerimaan orang-orang
Jipang yang menyadari kedudukannya."
"Baik Tuan," jawab Wira Lele. Tetapi matanya memandangi
Sanakeling yang membelakanginya.
"Jangan mengganggu Sanakeling," desis Sutawijaya sambil
melangkah maju mendekati Wira Lele. Kemudian tanpa
berkata apapun dibimbingnya orang itu ke sisi jalan di
samping gardu. Di situlah kuda-kuda mereka diikat. Sedang
kuda Swandaru masih belum sempat diikat di sisi gardu itu.
Seseorang masih tetap memegangi kendalinya.
"Pakai kudaku," teriak Swandaru dari sisi yang lain.
Sutawijaya berpaling, kemudian katanya, "Ya, pakai kuda itu
supaya lebih cepat."
Wira Lele pun kemudian menerima kendali kuda Swandaru.
Ketika ia meloncat naik, kembali terdengar Sanakeling
menggeram, "Jangan kau teruskan rencanamu. Kau akan
bertemu dengan orang-orang Jipang di ujung lorong ini.
Orang-orang Jipang yang telah siap menerkam pasukan
Pajang yang mendatang."
Kembali Wira Lele menjadi ragu-ragu. Ditatapnya wajah
Sutawijaya, seolah-olah ia ingin mendapat ketegasan daripada
anak muda itu. Sutawijaya menjadi jengkel melihat kebimbangan yang
mencengkam hati Wira Lele. Namun ia masih tersenyum
sambil berkata, "Jangan mau diperbodoh oleh Sanakeling itu
Paman. Kalau benar orang-orang Jipang akan menjebak
prajurit Pajang di desa ini, maka mereka pasti tidak akan
sebodoh Sanakeling. Mereka tidak perlu membakar satu atau
dua rumah. Sebab dengan demikian para prajurit Pajang pasti
segera akan bersiaga. Karena itu, cepat, pergilah. Sampaikan
kepada Kakang Untara seperti pesanku."
Wira Lele yang ragu-ragu itu tidak segera menggerakkan
kudanya, sehingga Sutawijaya yang menjadi semakin jengkel
tiba-tiba memukul lambung kuda itu. Kuda itupun terkejut dan
meloncat berlari. Wira Lele yang berada di punggungnyapun
terkejut pula. Hampir saja ia terjatuh. Untunglah bahwa segera
ia mendapatkan keseimbangannya.
"Hati-hati Paman," teriak Sutawijaya. "Berpeganglah kuat-kuat.
Kuda itu cukup jinak."
Kuda itu berlari terus. Derap kakinya menghentak-hentak
tanah berbatu-batu seperti derap di dalam dada Wira Lele
yang menderu karena kejutan loncatan kudanya. Tetapi ketika
kuda itu menjadi semakin jauh, maka iapun menjadi semakin
tenang. "Anak-anak itu bukan main," desisnya. "Mereka menghadapi
keadaan yang demikian gawatnya seperti sedang bermainmain
saja. Tetapi untunglah mereka datang. Kalau tidak, maka
leherku pasti sudah dipenggal oleh Sidanti yang gila itu."
Sambil berkumat-kumit mengucap sukur atas
keselamatannya, Wira Lele memacu kudanya. la harus segera
menyampaikan berita itu kepada Untara, meskipun semula ia
ragu-ragu. Berita apakah yang harus dikatakannya" Apakah ia


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

harus berkata sebenarnya, apakah ia harus berkata menurut
pesan Sutawijaya" "Aku harus berkata sebenarnya," desisnya kemudian. "Supaya
Angger Untara dapat mengambil tindakan yang tepat sesuai
dengan keadaan." Dalam pada itu, Sanakeltng yang berdiri terpaku di tempatnya
mengumpat-umpat tidak habis-habisnya. lngin ia meloncat
menghalang-halangi Wira Lele, tetapi dilihatnya ujung tombak
Sutawijaya yang tergetar seolah-olah menunjuk ke
jantungnya. Karena itu, maka sagenap perhatiannya
ditumpahkannya kepada ujung tumbak anak muda itu.
"Nah, apa katamu sekarang?" tiba-tiba terdengar Sutawijaya
itu bertanya. Sanakeling menggeram. Tetapi ia tidak tahu, jawaban apakah
yang sebaiknya diucapkan.
Sejenak mereka terpukau dalam kesenyapan. Meskipun
demikian masing-masing telah berada dalam puncak
kesiagaan. Sidanti, Alap-alap Jalatunda dan Sanakeling
benar-benar telah dibakar oleh kemarahan dan kegelisahan,
bahwa orang-orang Pajang akan segera datang. Mereka
bertiga adalah orang-orang yang cukup berpengalam dalam
medan-medan peperangan maupun perang tanding, sehingga
betapapun kemarahan membakar dada mereka, namun di
dalam kepala mereka telah merayap segala macam
kemungkinan yang dapat terjadi atas mereka. Secara naluriah
mereka telah membuat perhitungan-perhitungan, bahwa tidak
seharusnya mereka membiarkan diri mereka terjebak dan
terkurung oleh prajurit-prajurit Pajang. Anak-anak muda yang
mereka hadapi, yang seolah-olah baru mengenal bermain
kucing-kucingan itu adalah anak-anak muda yang tidak dapat
mereka rendahkan, bahkan Sidanti telah mengenal mereka
dengan baik. la yakin, bahwa Agung Sedayu kini pasti akan
dapat menghadapinya seorang lawan seorang. Tidak seperti
pada saat mereka berkelahi di samping kandang kuda di
kademangan, di mana ia mendapat kesempatan memungut
sepotong kayu. Kini di tangan mereka sama-sama
tergenggam senjata. Sedang seorang lagi, lebih-lebih
membuat hatinya kecut. Sutawijaya mempunyai takaran
mereka berdua, Sidanti dan Alap-alap Jalatunda.
Selagi mereka diam menimbang-nimbang terdengarkah
Sutawijaya berkata, "Nah, sekarang apa lagi yang akan kalian
lakukan?" Sidanti tidak segera menjawab. Juga Sanakeling terbungkam.
Sedang Alap-alap Jalatunda menjadi semakin gelisah, karena
menurut perhitungannya para prajurit Pajang sudah menjadi
semakin dekat. "Sekarang, anggaplah keempat penjaga gardu itu tidak ada,"
berkata Sutawijaya sambil tersenyum-senyum. "Kita
berhadapan tanpa kita sengaja, dalam jumlah yang sama.
Tiga lawan tiga." Kemudian kepada para penjaga gardu itu
Sutawijaya berkata, "Jangan ganggu kami. Kami akan
mencoba bermain-main tanpa orang lain turut campur di
dalamnya. Bahkan seandainya kepalaku terpenggal, jangan
kalian ributkan. Seandainya kemudian orang-orang Jipang dan
murid Tambak Wedi ini akan mencincang Agung Sedayu atau
Swandaru, jangan kalian mencoba mencegahnya."
Para penjaga gardu itu terpaku diam. Mereka tidak tahu
bagaimana menanggapi perintah itu, sehingga mereka berdiri
saja dengan mulut ternganga.
"Ayo, berbuatlah sesuatu," berkata Sutawijaya. "Jangan kalian
biarkan aku berbicara terus sampai mulutku meniren. Ayo,
Agung Sedayu dan Swandaru. Kalian boleh memilih, manakah
yang paling kalian sukai di antara mereka. Mungkin Swandaru
memilih yang kuning langsat, dan Agung Sedayu memilih
yang hitam gelap, begitu?"
Yang terdengar adalah gemeretak gigi Sanakeling.
Bagaimana ia mampu membiarkan penghinaan itu. Karena itu
tiba-tiba ia berteriak, "Ayo, siapkan pedangmu, Kita segera
akan mulai." Agung Sedayu pun kemudian bergeser mendekatinya,
sementara Swandaru menarik pedangnya yang berhulu
gading. "lnikah Alap-alap Jalatunda itu?" desisnya sambil
menunjuk Alap-alap itu dengan ujung pedangnya. Hati Alapalap
muda itu menjadi sangat panas, sehingga dengan sertamerta
ia memukul pedang Swandaru dengan pedangnya.
Ketika kedua pedang itu berdentang, alangkah terkejut
mereka masing-masing. Terasa pada tangan-tangan mereka,
tenaga yang kuat beradu pada tajam kedua pedang itu.
Dentang kedua pedang itupun seakan-akan merupakan
pertanda bahwa perkelahian segera akan mulai.
Sejenak Sutawijaya dan Agung Sedayu sempat menyaksikan
Swandaru memutar pedangnya. Dengan langkah yang
tangguh ia menggeser tubuhnya semakin dekat. Ayunan
pedangnya terasa menyalurkan kekuatan yang dahsyat.
Namun Alap-alap Jalatunda adalah anak muda yang cukup
lincah. Sekali ia meloncat surut, tetapi kemudian pedangnya
terjulur lurus-lurus mematuk dada Swandaru. Dengan
tangkasnya, murid Kiai Gringsing itu menggerakkan
pedangnya. Sekali lagi kedua pedang itu beradu. Tetapi kini
pedang Swandaru-lah yang terayun memukul pedang Alapalap
Jalatunda. Dalam dentang kedua pedang itu, Alap-alap
Jalatunda merasakan kedahsyatan kekuatan Swandaru,
sehingga Alap-alap yang lincah itu berkata di dalam hatinya,
"Hem gajah kerdil ini memang benar-benar memiliki kekuatan
luar biasa." Kini Alap-alap Jalatunda mengetahui bahwa tangan Swandaru
yang bulat pendek itu melampaui kekuatan tangannya. la tidak
boleh setiap kali beradu kekuatan. Ia harus memanfaatkan
kelincahannya untuk melawan gajah kecil yang gemuk ini.
Demikianlah perkelahaian mereka menjadi bertambah seru.
Bukan saja Alap-alap Jalatunda yang menyadari kekuatan dan
kelemahan diri, namun Swandaru pun mengetahui pula,
bahwa anak muda lawannya itu dapat bergerak selincah
burung Alap-alap di udara. Sekali menukik menyambar,
namun kemudian terbang melesat menjauhinya. Karena itu,
maka Swandaru harus menghemat tenaganya. la tidak pernah
dengan tergesa-gesa mengejar lawannya apabila Alap-alap itu
meloncat beberapa langkah ke samping atau sengaja surut ke
belakang. Ia tahu Alap-alap Jalatunda memancingnya dalam
perkelahian yang kisruh. Tetapi Swandaru cukup waspada.
Dibiarkannya lawannya berloncat-loncatan. Bahkan wajahnya
yang lucu masih sempat tersenyum. Kalau Alap-alap itu
melontar agak jauh, maka satu tangannya yang
menggenggam pedang bersilang di hadapan perutnya yang
besar, sedang tangannya yang lain bertolak pinggang.
Alap-alap Jalatunda menggeram melihat sikap Swandaru yang
tenang. Ia tahu, bahwa lawannya yang gemuk itupun
menyadari dirinya, sehingga mempunyai caranya sendiri untuk
menghadapinya. Sidanti dan Sanakeling masih sempat menilai lawannya.
Mereka menganggap bahwa melawan Agung Sedayu masih
lebih baik daripada melawan Sutawijaya. Tetapi mereka malu
untuk berebut musuh. Bukan memilih yang paling kuat, tetapi
memilih yang lebih ringan. Karena itu, betapapun juga, Sidanti
masih sempat mencoba menyelubungi kekecilan hatinya, "Ajo,
siapakah lawanku" Yang membawa tombak atau kawan
lamaku yang bernama Agung Sedayu?"
Tetapi Agung Sedayu telah berdiri hampir berhadapan dengan
Sanakeling, sehingga Sutawijaya berkata, "Biarlah ia melawan
kawanmu yang hitam-hitam manis itu, dan kau tetap di situ
untuk melawan aku. Meskipun yang menggores tanganku tadi
pagi adalah pedang Alap-alap yang jinak itu, tetapi kaulah
yang sebenarnya telah melukai aku. Sekarang aku ingin
menebus kekalahan itu. Sedikit-dikitnya aku harus mampu
melukai tanganmu atau kakimu. Aku akan mencoba untuk
tidak menyentuh wajahmu yang tampan itu dengan ujung
tombakku." Kata-kata itu terasa sepanas api yang menyentuh jantung.
Sidanti kemudian tidak menunggu lebih lama lagi. Pedang di
tangan kanan dan nenggalanya di tangan kiri. Sekali ia
meloncat maju sambil mengajunkan pedangnya. Ketika ia
melihat Iawannya, menghindarinya sambil merendahkan diri,
secepat ilu pula ujung nenggalanya menyambar seperti tatit.
Dalam satu putaran, kedua ujung senjata itu seperti
berguIung-gulung melanda Sutawijaya.
Terdengar Sutawijaya memekik kecil. la benar-benar terkejut
melihat cara Sidanti mempergunakan senjatanya. Sidanti yang
mengerahkan segenap kemampuannya pada saat-saat
permulaan dari perkelahiannya.
Sutawijaya terpaksa meloncat beberapa langkah surut Sambil
tersenyum ia berkata, "Dahsyat. Alangkah dahsyatnya murid
Ki Tambak Wedi yang menurut ceritera mampu menangkap
angin. Mari anak muda yang perkasa, marilah kita mulai
permainan kita yang menarik ini."
Sidanti tidak membiarkan lawannya. Begitu ia melihat
lawannya meloncat mundur, maka dengan serta merta ia
mengejarnya. Namun kini Sidanti-lah yang terkejut, ketika tibatiba
saja ujung tombak Sutawijaya terjulur hampir menyentuh
hidungnya. "Gila!" teriaknya. Pedangnya dengan tangkas menyambar
tombak itu. Tetapi tombak itu telah meluncur surut, sehingga
pedang Sidanti tidak sempat menyentuhnya.
Perkelahian antara Sidanti dan Sutawijaya itupun segera
menjadi bertambah sengit. Sidanti dengan darah yang
mendidih dibakar oleh kemarahannya, telah mencoba
bertempur sebaik-baiknya meskipun ia berhadapan dengan
Sutawijaya yang telah dianggap mampu melawan Arya
Penangsang dengan cara yang khusus. Namun sejenak
kemudian ia terpaksa mengakui, bahwa Sutawijaja, meskipun
umurnya masih lebih muda daripada dirinya, tetapi
kecepatannya bergerak dan kemahirannya mempergunakan
senjata telah benar-benar menggetarkan hati murid Ki Tambak
Wadi itu. Sanakeling yang melihat kedua kawannya telah terlibat dalam
perkelahian, sudah tentu tidak akan tinggal menonton seperti
nonton adu cengkerik. Ketika ia melihat Agung Sedayu telah
menggenggam pedang, maka segera iapun meloncat maju
sambil berkata, "Kita bertemu kembali dalam kesempatan
yang luas. Kita masing-masing tidak akan terganggu lagi oleh
hiruk-pikuk perkelahian tikus-tikus di sekitar kita. Kini kita
harus menentukan diri sendiri dalam takaran yang wajar."
Agung Sedayu tersenyum. Ternyata Sanakeling yang
dijumpainya dalam peperangan yang terakhir, saat Tohpati
terbunuh, kini menghadapinya dengan dendam di hatinya.
Hati Sanakeling itu menjadi membara melihat senyum Agung
Sedayu. Seolah-olah anak itu sama sekali tidak menghargai
kemampuannya. Karena itu, maka tiba-tiba ia meloncat sambil
memekik tinggi. Agung Sedayu terkejut, bukan karena kecepatan gerak
Sanakeling, tetapi justru karena pekiknya yang keras itu.
"Hem," desisnya. "Suaramu mirip gemuruhnya petir di langit."
Sanakeling tidak menyahut. Geraknya menjadi semakin
garang. Serangannya datang membadai. Tak henti-hentinya.
Namun Agung Sedayu telah bersiap sepenuhnya. Karena itu
ia sama sekali tidak menjadi bingung. Dengan lincahnya ia
menghindari setiap serangan. Bahkan kemudian hampir setiap
serangan Sanakeling telah dibalas dengan serangan pula oleh
Agung Sedayu. Demikianlah maka ketiga anak-anak muda itu masing-masing
telah menemukan lawannya. Swandaru Geni melawan Alapalap
Jalatunda, Agung Sedayu melawan Sanakeling dan
Sutawijaya berhadapan dengan Sidanti.
Betapa murid Tambak Wedi itu berjuang, namun lawannya
benar-benar gesit seperti burung sriti. Tombaknya mematukmatuk
dari segenap arah. Sekali-sekali tombak itu menyentuh
pedang dan nenggala Sidanti, dan dalam setiap sentuhan itu
terasa, betapa tenaga anak muda itu telah menggetarkan
tangan murid dari lereng Merapi yang selama ini menghantui
anak-anak muda sebayanya.
Hati Sidanti benar-benar menjadi panas, ketika dalam
perkelahian yang semakin seru itu masih saja dilihatnya
Sutawijaya selalu tersenyum-senyum. Bahkan kemudian
terdengar ia berkata, "Sidanti, aku sudah berjanji untuk
menagih hutangmu. Kau telah meneteskan darah dari
tubuhku, maka akupun harus berbuat serupa. Meskipun
sementara ini aku belum mempunyai keinginan untuk
membunuhmu. Entah nanti, apabila keringatku telah
membasahi landean tombakku dan kau masih saja berkeras
kepala mungkin aku mengambil keputusan lain."
Yang terdengar adalah geram Sidanti. Telinganya seperti
disentuh api mendengar kata-kata Sutawijaya yang
menganggapnya terlampau remeh. Dengan sepenuh tenaga
ia menyerang dengan pedangnya, terayun ke lambung lawan.
Namun Sutawijaya selalu mampu menghindarinya. Bahkan
Sutawijaya itupun kemudiani benar-benar ingin melakukan
apa yang dikatakannya, sehingga serangan-serangannyapun
semakin lama menjadi semakin cepat dan membingungkan.
Sidanti yang pernah bertempur melawan Tohpati dan tidak
dapat mengalahkan Macan yang garang itu, merasa bahwa
sebenarnya Sutawijaya masih berada selapis di atas Tohpati.
Karena itu, maka terbersit pula di dalam hatinya, pengakuan
bahwa tidaklah mungkin baginya untuk mengalahkan
Sutawijaya. Sedang kedua kawannya yang lainpun ternyata
telah menemukan lawan yang seimbang. Betapa banyak
pengalaman Sanakeling dalam petualangannya, namun
menghadapi Agung Sedayu yang masih muda itu, ternyata
masih harus memeras segenap kemampuannya untuk tetap
dapat bertahan menghadapi serangan-serangan anak muda
itu. Sedang di sisi yang lain, Swandaru bertempur dengan
serunya pula melawan Alap-alap Jalatunda. Murid Kiai
Gringsing itu ternyata telah mendapat kemajuan yang jauh
sekali, dibandingkan dengan apa yang pernah dimilikinya
pada saat pertama kali ia menerima pelajarannya di pinggir
kali. Betapa saat itu ia mengumpat-umpat karena ia merasa
bahwa waktunya hanya terbuang sia-sia. Apalagi ketika ia
mendengar Kiai Gringsing mengajaknya bermain loncatloncatan
di atas batu. Kini Swandaru telah cukup lincah memainkan pedangnya.
Meskipun tubuhnya gemuk, namun ia mampu menghadapi


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kelincahan Alap-alap Jalatunda dengan gerakan-gerakan yang
mantap. Meskipun Swandaru yang gemuk itu selalu
menghemat tenaganya, namun kemana Alap-alap Jalatunda
meloncat, maka Swandaru telah menghadapinya dengan
pedang terjulur. Dalam pada itu, di luar desa Benda yang kecil, Ki Tambak
Wedi menunggu muridnya dengan hati berdebar-debar. la
telah melihat asap mengepul dan kemudian disusul dengan
api yang menjilat tinggi seolah-olah akan menggapai awan
yang terbang rendah dihanyutkan angin dari Selatan. Tetapi
Sidanti sama sekali tidak segera dilihatnya.
Dengan gelisah Ki Tambak Wedi itu duduk di pematang.
Matanya seakan-akan tergantung di pagar batu desa Benda
yang tidak seberapa jauh.
"Setan kecil itu apa lagi yang dilakukannya," gumamnya.
"Mungkin anak itu sempat mengambil beberapa macam
barang atau barangkali ditemuinya seorang gadis."
Namun Ki Tambak Wedi tidak dapat menyembunyikan
kegelisahannya dengan berbagai-bagai dugaan.
Sekali ia berdiri, berjalan mondar-mandir dan kemudian
berjongkok lagi. Ia menyesal menyuruh muridnya pergi ke
desa itu. "Lebih baik aku kerjakan sendiri," gerutunya. Ia
menyuruh muridnya membakar beberapa rumah dengan
pertimbangan, bahwa di desa itu pasti tidak akan ditemuinya
prajurit yang mampu melawan muridnya itu bersama-sama
kedua kawannya, sedang dirinya sendiri cukup mengawasi
mereka dari kejauhan sambil mengawasi para prajurit Pajang
yang pasti segera akan datang.
Tambak Wadi itupun menggeram. la telah menyuruh orangorangnya
yang lain menyingkir. Juga penghubungnya yang
terakhir, yang dari kejauhan mengintai prajurit Pajang yang
telah meninggalkan induk kademangan. Berlari-lari
penghubung itu memberitahukan kepadanya, sehingga
dengan tergesa-gesa disuruhnya Sidanti melakukan pekerjaan
itu. Tetapi agaknya Sidanti terlalu lama berada di Desa Benda
yang kecil. "Anak gila," geram Tambak Wedi. Menurut perhitungannya,
maka prajurit Pajang sudah menjadi semakin dekat. Sebentar
lagi prajurit-prajurit itu pasti sudah akan tampak di tengahtengah
bulak yang agak panjang itu.
(***) Buku 16 DALAM kegelisahannya, Ki Tambak Wedi itu kemudian
berjalan mendekati desa Benda. Di sepanjang langkahnya, tak
habis-habisnya ia mengumpat-umpat. "Akhirnya aku harus
pergi juga ke desa itu. Lebih baik sejak semula aku kerjakan
sendiri pekerjaan ini."
Setelah meloncati beberapa buah parit dan menyibak
beberapa macam tanaman di sawah-sawah, akhirnya Ki
Tambak Wedi berdiri di luar dinding desa itu. Dari tempatnya
berdiri Ki Tambak Wedi dapat melihat jalan yang membujur di
tengah-tenga bulak memasuki desa kecil itu. Tetapi Ki
Tambak Wedi tidak mau masuk desa lewat jalan yang
dilihatnya. Lebih baik baginya untuk meloncati dinding batu
desa itu. Ketika Ki Tambak Wedi menjejakkan kakinya di dalam
lingkungan dinding batu, orang tua itu menggeram. Api yang
dilihatnya sudah menjadi semakin besar. Dengan hati-hati ia
berjalan ke arah api itu. Tetapi, di sekitar api itu tampaknya
terlampau sepi. la tidak melihat Sidanti, Sanakeling dan Alapalap
Jalatunda. "Hem," geramnya berulang kali. "Anak-anak
gila itu pergi ke mana saja. Mereka sama sekali tidak mau
memperhitungkan keadaan. Mereka menuruti saja
perasaannya." Tiba-tiba Ki Tambak Wedi teringat, bahwa di desa itu pasti ada
prajurit Pajang yang sedang mengawasi keadaan menjeIang
saat penyerahan orang-orang Jipang. Gumamnya, "Hem,
mungkin Sidanti sedang melihat-lihat, apakah di desa ini ada
orang-orang Pajang. kalau benar diketemukannya beberapa
orang prajurit, maka anak itu pasti sedang melepaskan
kemarahannya." Sejenak Ki Tambak Wedi menjadi berbimbang hati. Tetapi
kemudian kembali ia bergumam, "Biarlah aku melihatnya pula.
Orang-orang Pajang pasti berada di ujung jalan itu."
Akhirnya Ki Tambak Wedi pun segera dengan tergesa-gesa
menyusup rimbunnya dedaunan, meloncati dinding-dinding
halaman, pergi ke ujung jalan.
Dalam pada itu Wira Lele masih berpacu dengan kudanya.
Beruntunglah ia bahwa ketika Ki Tambak Wedi berjalan
mendekati jalan yang dilaluinya, ia telah lampau. Kalau hantu
lereng Merapi itu melihatnya, maka sudah pasti bahwa tubuh
Wira Lele akan terbanting dari punggung kudanya, karena Ki
Tambak Wedi akan melempar dengan gelang-gelang besinya.
Kuda Swandaru adalah kuda yang cukup baik, sehingga
lajunya benar-benar seperti anak panah meluncur dari
busurnya. la harus segera menemui Untara, mengabarkan
apa yang telah terjadi, sehingga rencana yang telah disusun
rapi oleh pimpinannya itu tidak pecah berserakan.
Akhirnya Wira Lele melihat juga sebuah barisan yang berhenti
di tengah-tengah bulak. Barisan itu adalah barisan Pajang dan
anak-anak muda Sangkal Putung.
Ketika Untara melihat api yang menjilat ke udara, maka
hatinya menjadi berdebar-debar. Dengan ragu-ragu ia berkata
kepada Ki Gede Pemanahan, "Ki Gede, aku melihat ketidakwajaran
dari desa Benda itu."
Ki Gede mengerutkan keningnya. Ketika ia berpaling,
memandangi wajah Untara, dilihatnya pada wajah itu beberap
titik keringat. Kali ini Ki Gede benar-benar menjadi kecewa. Ternyata
persiapan Untara masih belum terlampau masak, sehingga di
saat-saat yang ditentukan masih juga terjadi peristiwaperistiwa
yang menegangkan dan bahkan mungkin dapat
membahayakan. Tetapi Ki Gede puas dengan persiapan pasukan Pajang dan
anak-anak muda Sangkal Putung yang berbaris di
belakangnya. Bahwa seandainya orang-orang Jipang itu
berkhianat atas persetujuan yang telah dibuatnya, atau
sengaja menjebak para prajurit Pajang, maka pasukan itu
sudah benar-benar dalam kesiagaan tempur.
"Bagaimana pertimbanganmu Untara?" bertanya Ki Gede
Pemanahan. "Beberapa orang harus menyaksikan keadaan desa itu dari
dekat." Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kemudian katanya, "Di desa itu tak akan kau jumpai bahaya
yang besar. Kalau orang-orang Jipang ingin menjebakmu di
sana, maka tidak akan terjadi pembakaran itu."
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi
bagaimanapun juga api itu telah mencemaskannya. Maka
katanya, "Ya Ki Gede, demikianlah kiranya. Tetapi api itu
sendiri dapat menimbulkan berbagai pertanyaan. Mungkin
tanpa disengaja para penjaga telah membakar sebuah
timbunan jerami atau alang-alang. Tetapi mungkin juga karena
sebab-sebab lain." "Kita tidak mendengar tanda bahaya," sela Widura yang berdiri
di belakang Untara. Ki Gede Pemanahan masih mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sejenak panglima itu berdiam diri dan berpikir.
Kemudian katanya, "Baik juga kau mengirimkan beberapa
penghubung untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya."
Untara mengangguk. Di belakang barisan itu ada tiga orang
penghubung dengan kuda-kuda mereka yang siap untuk
melakukan tugas itu. Tetapi Untara itu kemudian tertegun diam. Dari kejauhan,
mereka melihat seekor kuda muncul di tikungan, dari balik
tanaman-tanaman jagung dan gerumbul jarak liar yang
berserakan di pinggir-pinggir jalan. Kuda itu berpacu semakin
dekat. Debu yang dilemparkan oleh kaki-kakinya mengepul
tinggi ke udara. "Siapa?" desis Ki Gede Pemanahan.
Untara tidak segera menyahut. Tetapi kemudian setelah orang
berkuda itu menjadi semakin dekat ia menjawab, "Wira Lele,
Ki Gede, pemimpin pengawas yang aku tempatkan di Benda."
Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya.
Wajahnya sama sekali tidak membayangkan kegelisahan dan
kecemasan. Wajah Panglima Wira Tamtama itu selalu
membayangkan ketenangan hatinya, sehingga orang-orang
lainpun menjadi tenang pula karenanya.
Semakin lama Wira Lele itupun menjadi semakin dekat,
sementara itu wajah Untara dan Widura menjadi semakin
tegang. Mereka merasa tidak sabar lagi menunggu kuda yang
berlari kencang seperti angin itu.
Demikian Wira Lele sampai di hadapan mereka, maka segera
Untara dan Widura menyongsongnya sambil bertanya, "Apa
yang terjadi?" Untara dan Widura menjadi semakin berdebar-debar ketika
mereka melihat wajah Wira Lele yang pucat dan keringatnya
yang membasahi seluruh tubuhnya.
"Apa yang terjadi?" Untara mengulangi pertanyaannya.
Dengan serta-merta Wira Lele itu turun dari kudanya,
menganggukkan kepalanya dalam-dalam, kemudian
menjawab, "Di Benda telah terjadi kebakaran."
"Kenapa?" bertanya Widura singkat.
Sejenak Wira Lele menjadi ragu-ragu kembali. Apakah ia
harus mengatakan seperti pesan Sutawijaya, atau ia harus
mengatakan sebenarnya. "Kenapa?" desak Widura.
"Oh," Wira Lele tergagap. Akhirnya ia memutuskan untuk
mengatakan keadaan yang sebenarnya. Dengan terbata-bata
dan seolah-olah tidak berurutan, kata-katanya berebut dahulu
meloncat dari mulutnya. "Beberapa gubug telah dibakar
Sidanti." Mendengar kalimat yang pendek itu dada Untara dan Widura
bergetar. Hampir bersamaan mereka mengulangi nama itu,
"Sidanti?" "Ya." Ki Gede Pemanahan pun melangkah maju sambil bertanya,
"Apakah Sidanti memasuki desa kecil itu?"
Wira Lele menganggukkan kepalanya dalam-dalam ketika ia
melihat Panglima itu bertanya kepadanya, "Ya tuan, Sidanti,
Sanakeling dan Alap-alap Jalatunda."
"Bertiga?" bertanya Ki Gede Pemanahan.
"Ya Ki Gede, mereka bertiga."
Sejenak Untara dan Widura saling berpandangan. Sekilas
teringat olehnya Agung Sedayu, Swandaru dan Sutawijaya
yang mendahului mereka. Apakah mereka tidak terjebak oleh
Sidanti dan kedua kawan-kawannya. Bahkan tiada disengaja
terloncat pertanyaan dari mulut Untara, "Bagaimana dengan
anak-anak muda yang datang berkuda. Apakah kau bertemu
dengan mereka?" "Ya," sahut Wira Lele. "Kini mereka saling berhadapan. Kuda
yang aku pakai adalah kuda Angger Swandaru."
Untara dan Widura memandangi kuda itu. Kuda itu memang
kuda Swandaru. "Kini mereka pasti sedang bertempur," sambung Wira Lele.
"Tetapi kau lihat Sidanti hanya bertiga?" sela Widura.
"Ya." Widura menarik nafas. Sementara itu Untara berkata, "Mudahmudahan
anak-anak itu tidak mengalami kesulitan."
"Kalau mereka benar-benar hanya bertiga," tiba-tiba terdengar
Ki Gede Pemanahan berkata. "Maka aku mengharap anakTiraikasih
website - http://kangzusi.com/
anak itu akan dapat mengatasinya." Ki Gede itu diam sesaat.
Kemudian ia berpaling kepada Untara. "Apakah adikmu dapat
melawan Sanakeling?"
Untara itu mengangguk. "Aku harap demikian Ki Gede.
Mereka berdua pernah bertemu di garis perang, pada saat
terakhir." "Kalau begitu, mereka tidak akan menemui kesulitan." Ki Gede
itu terdiam sesaat. Tetapi sejenak kemudian tampak wajahnya
yang tenang itu berkerut. Tiba-tiba kata-katanya mengejutkan
Untara, "Wira Lele, bukankah namamu Wira Lele?"
"Ya Ki Gede," sahut Wira Lele sambil menganggukkan
kepalanya. "Kau benar-benar hanya melihat tiga orang dari mereka?"
"Ya Ki Gede. Hanya tiga orang. Di perjalanan kemaripun aku
tidak melihat orang-orang lain."
"Tetapi di antara mereka bertiga itu ada Sidanti," gumam Ki
Gede Pemanahan. "Kalau begitu," katanya, "berikan kudamu
kepadaku." "Ki Gede," potong Untara, "apakah yang akan Ki Gede
lakukan sekarang?" "Sidanti adalah murid Tambak Wedi. Hantu itu mungkin
berada di sana pula."
"Ki Gede, aku dan paman Widura yang bertanggung jawab
atas semua peristiwa ini. Karena itu, biarlah aku pergj
mendahului." "Apakah kau dapat berbuat sesuatu kalau tiba-tiba muncul di
arena perkelahian itu Ki Tambak Wedi?"
Untara terbungkam. Tetapi ia melangkah maju ketika ia
melihat Ki Gede Pemanahan merenggut kendali kuda Wira
Lele. "Jangan Ki Gede," minta Untara. "Ki Gede adalah Pamglima
Wira Tamtama. Keselamalan Ki Gede jauh lebih berharga dari
keselamatan kita semuanya."
"Ah," desah Ki Gede yang tiba-tiba telah meloncat ke atas
punggung kuda itu. "Aku sedang mencemaskan keselamatan
anakku. Aku akan mendahului kalian, cepat susul aku. Kalau
terjadi sesuatu bukanlah salahmu, tetapi salah anakku yang
nakal itu." "Ki Gede," Untara masih ingin mencegah, tetapi ia tidak tahu
kata-kata apakah yang akan diucapkan.
"Aku menyadari maksudmu Untara," sahut Ki Gede
Pemanahan, "tetapi pada masa-masa mudaku, aku senakal
anakku itu pula. Karena itu jangan cemaskan aku."
Untara tidak dapat berbuat sesuatu lagi. Ia hanya dapat
melihat Ki Gede memutar kudanya. Yang terdengar kemudian
adalah kata-kata salah seorang perwira pengawalnya, "Ki
Gede, apakah Ki Gede tidak menunggu kami?"
Ki Gede tersenyum, katanya, "Lindungilah panji-panji itu.


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Biarlah panji-panji itu tetap berkibar."
Tak seorangpun sempat mencegahnya. Kuda itu segera
meloncat dan berlari sekencang badai. Gemeretak di atas
tanah berbatu-batu. Semakin lama semakin jauh.
Untara itupun kemudian tersentak. Tiba-tiba mulutnya
berteriak, "He, berikan kuda penghubung itu. Kenapa kalian
diam saja sejak tadi?"
Para penghubung yang memegang kendali kuda di bagian
belakang dari barisan itu terkejut mendengar teriakan Untara.
Karena itu, maka dengan segera mereka meloncat naik ke
punggung-pungung kuda dan membawa kuda-kuda mereka
maju mendekati Untara. "Berikan satu kepadaku," teriak Untara itu pula.
Para penghubung itu sama sekali tidak tahu maksud Untara.
Tetapi merekapun segera berloncatan turun dan salah
seorang dari pada mereka menyerahkan kendali kudanya
kepada Untara. "Kau akan pergi juga?" bertanya Widura.
"Ya." "Sendiri?" Untara ragu-ragu sejenak. Sehingga Widura berkata pula,
"Apakah aku akan menyertaimu?"
Untara menggeleng, "Tidak. Paman memimpin pasukan ini."
Untara berhenti sejenak kemudian dipandanginya beberapa
orang perwira dan pengawal Ki Gede Pemanahan yang lain.
Rupa-rupanya orang-orang itupun tahu maksudnya, sehingga
salah seorang dari mereka berkata, "Aku akan pergi
bersamamu Adi Untara."
"Marilah," sahut Untara.
"Aku juga, bukankah ada tiga ekor kuda," berkata seorang
yang lain. Maka sejenak kemudian mereka bertiga telah berada di
punggung kuda. Dengan sentuhan pada lambung-lambung
kuda itu, maka ketiganya meloncat dan berlari seperti dikejar
hantu. Tiga ekor kuda itu berpacu dengan cepatnya, berderak-derak
di atas jalan yang menuju ke desa kecil di hadapan mereka,
Benda. Di desa Benda, pada saat itu sedang berlangsung suatu
perkelahian yang semakin lama menjadi semakin seru. Sidanti
yang melawan Sutawijaya benar-benar telah berusaha
memeras segenap kemampuannya. Namun ia harus melihat
kenyataan pula, bahwa Sutawijaya benar-benar memiliki
kelincahan dan ketangguhan yang suIit ditandinginya.
Dengan senyum yang selalu membayang di bibirnya,
Sutawijaya pun berusaha untuk menebus kekalahannya.
Bahkan tiba-tiba lukanya itu seolah-olah menjadi terasa pedih
kembali. "Hem," geramnya, "sedikitnya sebuah goresan di tubuhmu,
Sidanti." Sidanti tidak menyahut. Tetapi bekerja lebih keras lagi. la
sama sekali tidak dapat mengharapkan bantuan siapapun juga
dalam perkelahian ini, sebab kedua kawannya telah terlibat
pula dalam perkelahian yang seru. Meskipun Alap-alap
Jalatunda tidak mengalami tekanan yang berat, bahkan sekalisekali
ia berhasil mendesak Swandaru yang gemuk, namun
belum menunjukkan suatu kepastian bahwa ia akan dapat
mengalahkan lawannya. Kekuatan Swandaru ternyata benarbenar
merupakan kekuatan raksasa.
Sedang Sanakeling, hampir tidak pernah mendapat
kesempatan untuk menarik nafas. Ternyata Agung Sedayu
cukup cepat menghadapinya. Keduanya adalah orang-orang
pilihan dari pihak yang berlawanan, yang pernah bertemu di
garis perang, sehingga dengan demikian, maka kini mereka
telah berusaha sekuat-kuat tenaga masing-masing untuk
segera menguasai lawannya.
Tiba-tiba Sanakeling, Agung Sedayu, Alap-alap Jalatunda dan
Swandaru terkejut ketika mereka mendengar suara Sidanti
mengumpat keras-keras, "Setan. Jangan berbangga dengan
sentuhan senjatamu itu."
Yang terdengar kemudian adalah suara tertawa Sutawijaya.
Katanya, "Jangan mengumpat-umpat. Aku hanya menagih
hutangmu, tidak lebih. Dan aku masih belum menuntut
bunganya." "Mampus kau!" teriak Sidanti pula sambil menyerang
Sutawijaya sejadi-jadinya. Wajahnya menjadi merah padam
dan matanya seakan-akan menyala. Dari lengan kirinya
menetes darah yang merah segar.
Agung Sedayu pun tersenyum pula melihat luka Sidanti,
bahkan Swandaru dengan serta-merta berteriak pula, "He,
apakah murid Ki Tambak Wedi itu dapat dilukai?"
"Tunggu, aku akan menjobek mulutmu Swandaru," sahut
Sidanti lantang. Tetapi Swandaru menjawab pula, "Lenganmu sudah terluka.
Apakah kau masih dapat menyombongkn dirimu lagi?"
Kata-kata Swandaru terputus. la masih akan berkata lagi,
tetapi ketika ia baru saja membuka mulutnya, ujung pedang
Alap-alap Jalatunda hampir saja masuk ke dalam mulutnya itu.
"Gila kau," anak yang gemuk itu mengumpat. Dengan
cepatnya ia meloncat mundur. Tetapi Alap-alap Jalatunda
mengejarnya dan dengan pedangnya ia menyerang lambung.
Swandaru memutar tubuhnya setengah lingkaran. la tidak mau
menghindar lagi. Dengan sekuat tenaganya, pedang Alap-alap
Jalatunda itu ditangkisnya dengan pedangnya pula. Terdengar
suara berdentang. Dari sentuhan kedua tajam pedang itu
memercik bunga api. Namun sekali lagi terasa oleh Alap-alap
Jalatunda, betapa kuatnya tangan Swandaru, meskipun
Swandaru terpaksa mengakui pula kecepatan bergerak Alapalap
Jalatunda. Hampir saja lambungnya tersobek oleh
pedangnya. Sementara itu, Ki Tambak Wedi berjalan dengan tergesa-gesa
menyusup rimbunnya dedaunan di kebun-kebun dan
meloncati pagar-pagar halaman, menuju ke ujung desa itu. Ia
menyangka bahwa di sana pasti ada gardu pengawas.
"Mungkin Sidanti dan kawan-kawannya sedang berpesta,"
gumamnya. "Tetapi itu adalah perbuatan yang bodoh.
Meskipun seandainya mereka berhasil membunuh lima atau
enam orang, tetapi mereka hampir-hampir tidak lagi dapat
berpikir tentang kemungkinan-kemungkinan lain. Mungkin
Sidanti demikian bernafsu dan mencincang korbannya.
Mungkin Sanakeling dan Alap-alap Jalatunda berbuat
serupa.Tetapi kalau mareka tertangkap oleh orang-orang
Pajang, maka mereka pasti akan mengalami perlakuan yang
sama." Sambil bersungut-sungut Ki Tambak Wedi itu berjalan
semakin cepat mendekati gardu perondan di ujung jalan.
Ketika Ki Tambak Wedi sudah menjadi semakin dekat, maka
mulailah ia mendengar gemerincing senjata beradu, namun
karena rimbunnya pepohonan dan dinding-dinding halaman,
maka orang tua itu masih belum dapat melihat apa yang
terjadi di gardu peronda itu.
"Hem," gumamnya sambil melangkah lebih cepat, "siapakah
yang berada di gardu itu sehingga Sidanti, Sanakeling dan
Alap-alap Jalatunda memerlukan waktu yang cukup lama
untuk membinasakannya?"
Demikian ketika ia sampai di halaman terakhir, di tepi jalan di
muka gardu itu, maka lewat di atas dinding halaman ia melihat
beberapa buah kepala tersembul. Kepala yang bergerak-gerak
bergeser dan kadang-kadang berputaran.
"ltulah mereka," desisnya.
Tiba-tiba Ki Tambak Wedi itu menjadi semakin tergesa-gesa.
Langkahnya menjadi semakin panjang, dan kemudian dengan
serta merta ia menjengukkan kepalanya dari atas dinding itu.
Demikian kepalanya tersembul di atas dinding halaman,
demikian darahnya serasa membeku. la melihat muridnya
bertempur melawan Sutawijaya. Bukan itu saja, tetapi dari
tubuh muridnya telah menetes darah. Di lingkaran yang lain, ia
melihat Sanakeling bertempur melawan Agung Sedayu, dan
Alap-alap Jalatunda melawan Swandaru Geni. Sedang di
muka gardu ia masih melihat beberapa prajurit Pajang berdiri
dengan mulut ternganga, seperti sedang menonton adu jago.
Tanpa disengaja Ki Tambak Wedi itupun menggeram. Ketika
ia sekali mengayunkan kakinya, maka kini ia telah duduk
bertengger di atas dinding batu itu.
Anak-anak muda yang sedang bertempur itu terkejut. Seakanakan
tiba-tiba saja tanpa sangkan-paran mereka melihat
seseorang duduk di atas dinding. Apalagi ketika mereka
melihat wajah yang keras, hidung yang melengkung seperti
paruh burung betet, dan kumis yang tebal, maka terasa dada
mereka berdesir. Lebih-lebih Sutawijaya, Agung Sedayu dan
Swandaru. Dengan segera mereka me-ngenal, bahwa orang
itu adalah Ki Tambak Wedi.
"Hem," kembali terdengar Ki Tambak Wedi menggeram,
"ternyata kalian sedang bermain-main."
"Ya, guru," sahut Sidanti. Hatinya yang sudah mulai berkeriput
tiba-tiba kini mekar kembali ketika ia melihat gurunya, "Aku
ingin membawa mereka, setidak-tidaknya kepala mereka ke
lereng Gunung Merapi."
Meskipun debar jantung Sutawijaya belum mereda oleh
kehadiran Ki Tambak Wedi, namun mendengar bualan Sidanti
sempat juga ia tertawa. Katanya, "He, apakah kau ingin
memenggal leherku?" "Tentu," sahut Sidanti lantang.
"Baik," jawab Sutawijaya, "mari perkelahian ini kita lanjutkan.
Gurumu menjadi saksi. Sutawijaya atau Sidanti yang hanya
pandai membual tetapi tidak mampu mempermainkan
senjatanya?" Terdengar gigi Sidanti gemeretak. Tantangan itu benar-benar
menyakitkan hatinya, tetapi ia menyadari keadaan yang
dihadapi. Dengan demikian Sidanti itu terbungkam. Yang
terdengar hanyalah gemeretak giginya.
Bukan saja Sidanti yang menjadi sakit hati mendengar
tantangan itu, tetapi Ki Tambak Wedi pun menjadi marah pula. Dengan suara parau ia berkata, "Sutawijaya,
bagaimanapun juga kau menyombongkan dirimu, tetapi ketahuilah, bahwa hari
ini adalah hari akhir hidupmu."
Terasa sesuatu berdesir di
dalam dada Sutawijaya. Tetapi ia bukan seorang pengecut. Sekilas ia memandang kawankawannya yang masih saja bertempur. Namun wajahwajah
itupun sama sekali tidak menunjukkan ketakutan.
Agung Sedayu dan Swandaru menyadari keadaan yang di
hadapinya pula. Kehadiran Ki Tambak Wedi berarti bahaya
yang tak akan dapat mereka hindari. Tetapi mereka tidak akan
bersimpuh dan menyembah mohon ampun di bawah kaki
hantu lereng Merapi itu. Bahkan hati mereka bergetar ketika
mereka mendengar Sutawijaya menjawab sambil tertawa,
"Bagus Ki Tambak Wedi. Kau pasti akan mampu membunuh
aku. Dan akupun akan melawanmu dengan sikap jantan. Aku
dan kawan-kawanku tidak akan lari meninggalkan
gelanggang. Tetapi sebelum mati, aku minta kepadamu, untuk
sedikit mendorong muridmu supaya iapun dapat bersikap
jantan. Nah Ki Tambak Wedi, apabila demikian, maka aku
akan menyelesaikan perkelahian ini sebagai perkelahian di
antara dua orang laki-laki. Bukan perkelahian anak-anak yang
masih harus merengek-rengek minta pertolongan kepada
ayah atau gurunya." Sekali lagi terdengar gigi Sidanti gemeretak. Ia benar-benar
dihadapkan pada suatu keadaan yang sulit. Sebagai seorang
laki-laki, maka ia tidak mungkin menghindari tantangan itu.
Namun kenyataan mengatakan kepadanya, bahwa ia benar
tidak mampu melawan Sutawijaya. Apalagi ketika Swandaru
menyahut lantang, "Nah, sekarang baru akan tampak,
siapakah yang jantan dan siapakah yang hanya berani
menampar mulut orang yang pasti tak akan mampu melawan."
"Tutup mulutmu!" bentak Sidanti. Kemarahannya seakan-akan
hampir meledakkan dadanya.
Tetapi Swandaru tertawa. Meskipun suara tertawanya agak
sumbang. Suara tertawa sebagai pelepas perasaannya.
Sebab ia tahu benar, bahwa sebentar lagi apabila Ki Tambak
Wedi itu meloncat turun dari atas dinding batu itu, maka
nyawanya akan melayang. Ki Tambak Wedi pun merasa dihadapkan pada suatu
persoalan yang rumit. Tetapi ia pasti akan lebih menghargai
nyawa muridnya dari pada sekedar harga diri. Karena itu,
maka segera ia berkata, "Jangan mencoba menipu aku anak
cengeng. Kau pasti mencoba menunggu orang-orang Pajang
datang kemari. Tetapi aku tidak sebodoh itu. Apapun yang
akan kau katakan tentang muridku, tentang perguruanku, aku
tidak peduli. Sebab umurmu tidak akan lebih dari sesilir
bawang." Dada Sutawijaya berdesir mendengar jawaban Tambak Wedi
itu. Bukan karena ia takut terbunuh, tetapi ia menghadapi
keadaan yang menurut penilaiannya tidak adil. Demikian juga
agaknya perasaan Agung Sedayu dan Swandaru Geni.
Tetapi sudah pasti mereka tidak dapat ingkar. Betapapun
hatinya memberontak. Mereka ingin diberi kesempatan
menyelesaikan perkelahian itu lebih dahulu. Tetapi apa boleh
buat, Tambak Wedi bukanlah seorang yang sekedar akan
menjadi saksi dari perkelahian itu, tetapi ia adalah salah satu
dari musuh-musuhnya. Ketika kemudian mereka melihat Ki Tambak Wedi itu meloncat
turun, maka hampir bersamaan Sutawijaya, Agung Sedayu
dan Swandaru Geni menggeram. Pada saat terakhir itu
mereka mencoba berbuat sebaik-baiknya, mencoba menekan
lawan dengan segenap kekuatan terakhir.
Swandaru dengan sepenuh tenaga menghantam lawannya
dengan pedangnya yang berhulu gading. la tidak perduli,
apakah musuhnya akan melawan serangannya itu dengan
sebuah tangkisan atau akan menghindar. Tetapi ia seolaholah
menjadi bermata gelap. Seperti badai pedangnya
melanda Alap-alap Jalatunda.
Alap-alap itu terkejut, justru pada saat yang sama sekali tak


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

disangka-sangkanya. la menyangka Swandaru akan mencoba
menyelamatkan dirinya dari Ki Tambak Wedi atau setidaktidaknya
perkelahiannya itu akan menjadi lemah karena putus
asa. Namun ternyata bentuk keputus-asaan yang terungkap
dalam diri Swandaru adalah berbeda dari yang dibayangkan
oleh Alap-alap Jalatunda. Dalam keputus-asaan, Swandaru
masih mencoba membinasakan lawannya, sama sekali bukan
ingin melarikan diri sementara Ki Tambak Wedi akan
membunuh Sutawijaya. Karena itu, maka Alap-alap Jalatunda terpaksa melayani saatsaat
terakhir dari perkelahian itu. Ketika ia mencoba
menangkis serangan Swandaru, maka terasa tangannya
menjadi nyeri. Hampir-hampir senjatanya itu terlepas.
Untunglah bahwa dengan sisa kekuatan tangannya ia mampu
mempertahankan senjatanya. Meskipun demikian, sementara
nyeri tangannya masih menyengat-nyengat, Alap-alap itu
terpaksa berloncatan surut menghindari serangan-serangan
Swadaru berikutnya. Demikian pula agaknya Agung Sedayu. Dengan sepenuh
tenaga ia berjuang. Dipergunakannya saat-saat terakhir yang
pendek untuk mencoba mendahului tangan Ki Tambak Wedi
atas dirinya. Tetapi Sanakeling pun mampu menghindari
setiap serangannya meskipun ia harus berloncatan surut dan
mengumpat-umpat tak habis-habisnya.
Ki Tambak Wedi melihat kedua anak muda itu sambil
menggeram. Tiba-tiba ia berkata dengan nada parau, "Hem,
kalian telah mulai sekarat." Kemudian kepada Sanakeling dan
Alap-alap Jalatunda, hantu lereng Merapi itu berkata,
"Tahanlah musuh-musuhmu itu sesaat. Jangan sampai
mereka melarikan diri. Yang pertama-tama akan aku bunuh
adalah Sutawijaya, kemudian Agung Sedayu dan yang
terakhir, anak yang gemuk itu, biarlah Sidanti yang
menyelesaikan." Tetapi kata-kata Ki Tambak Wedi itu
terputus. Bahkan yang lainpun terkejut pula ketika tiba-tiba
mereka mendengar Sidanti memekik kecil, sehingga semua
perhatian telah terpukau karenanya.
Ki Tambak Wedi itupun menjadi terkejut pula. la melihat darah
yang merah mengalir dari dada Sidanti.
"Setan!" Sidanti itu mengumpat sambil meloncat jauh-jauh ke
belakang. Tetapi Sutawijaya benar-benar seperti orang
kesurupan. la tidak mempedulikannya lagi. Dengan cepatnya
ia mengejar lawannya. Sekali lagi tombaknya terjulur, kali ini
mengarah leher Sidanti yang sudah kehilangan
keseimbangan. Saat-saat itu adalah saat yang sangat
berbahaya bagi Sidanti. Seolah-olah ia telah kehilangan
kesempatan untuk menyelamatkan dirinya. Meskipun
demikian anak muda itu masih juga mampu menghindar
dengan jalan satu-satunya. Dengan serta-merta ia
menjatuhkan dirinya dan berguling ke samping.
Usaha itu hanya berguna sementara bagi Sidanti. Sebab
Sutawijaya pun segera meloncat pula menerkam Sidanti yang
masih berguling di tanah dengan tombaknya.
Darah Sanakeling dan Alap-alap Jalatunda serasa berhenti
melihat peristiwa itu. Mereka melihat tombak itu terangkat dan
apabila kemudian tombak itu mematuk ke bawah, maka
nyawa Sidanti pun pasti akan melayang.
Tetapi beruntunglah bagi Sidanti, bahwa saat itu gurunya
berada di tempat itu pula. Sudah tentu Ki Tambak Wedi tidak
akan membiarkan muridnya dibunuh di hadapan hidungnya.
Karena itu segera ia meloncat seperti tatit menyambar di
langit. Dengan sebuah sentuhan yang tergesa-gesa pada
lambung Sutawijaya, maka anak muda itulah yang kemudian
terlempar beberapa langkah. Yang terdengar kemudian
adalah suara tubuh Sutawijaya itu terbanting jatuh.
Kini nafas Agung Sedayu dan Swandaru Geni-lah yang
tertahan di kerongkongan. Mereka melihat Sutawijaya itu
terbanting dan berguling beberapa kali. Namun alangkah
kuatnya tubuh anak muda itu. Demikian ia berguling beberapa
kali, maka segera ia meloncat bangkit. Tombaknya, Kiai Pasir
Sewukir, masih dalam genggamannya.
Tetapi demikian ia berhasil berdiri, maka anak muda itupun
menyeringai menahan sakit pada lambung dan punggungnya.
"Tambak Wedi," anak muda itu menggeram. Tampaklah kini
matanya seakan-akan menyala karena kemarahannya.
"Ternyata kau pengecut seperti muridmu. Aku sangka
perguruan lereng Merapi adalah perguruan yang menempa
kejantanan dan kejujuran. Tetapi ternyata kau telah mengajari
muridmu dengan perbuatan yang licik."
"Tutup mulutmu!" bentak Ki Tambak Wedi lebih, "baik kau
mengucapkan pesan-pesanmu. Aku benar-benar akan
membunuhmu kini." Gigi Sutawijaya gemeretak. Sejenak ia terpaku diam karena
kemarahannya yang memuncak. Terasa detak jantungnya
menjadi semakin keras memuku-mukul rongga dadanya.
Tetapi Sutawijaya itu kemudian mengangkat wajahnya. Yang
berderap itu bukanlah suara jantungnya saja, tetapi suara itu
adalah derap kaki-kaki kuda, namun kuda itu masih terlampau
jauh. Bukan saja Sutawijaya yang mendengar derap suara kaki-kaki
kuda di kejauhan, tetapi Ki Tambak Wedi dan semuanya yang
ada di tempat itupun mendengarnya pula.
"Gila," Ki Tambak Wedi itupun mengumpat. Sejenak ia
menjadi bimbang. Suara kaki-kaki kuda itu sekilas terasa memberi harapan bagi
Sutawijaya dan kawan-kawannya, tetapi kening Sutawijaya
itupun kemudian berkerut. Katanya di dalam hati, "Hem,
kenapa mereka datang berkuda" Derap kaki kuda itu hanya
akan mempercepat kematianku. Seandainya mereka datang
sambil berjalan kaki dapat mendekati tempat ini sebelum aku
dicekiknya, maka aku masih dapat mengharap pertolongannya
seperti Sidanti mendapat pertolongan gurunya."
Tetapi yang terjadi adalah, mereka datang berkuda. Derap
kaki-kaki kuda itu telah memberitahukan kehadiran mereka
selagi mereka masih jauh. "Bukan saja mempercepat
kematianku," desis Sutawijaya pula di dalam hatinya, "tetapi
itupun akan sangat berhahaya bagi mereka sendiri.
Seandainya Ki Tambak Wedi tidak sendiri dan orang-orang
yang lain inipun tidak sedang terikat oleh lawan masingmasing,
maka mereka akan dengan mudahnya disergap dari
balik-balik dinding halaman."
Namun kata-kata di hati Sutawijaya itupun terputus, geram ki
Tambak Wedi, "Alangkah bodohnya orang-orang Pajang.
Kehadiran mereka hanya mempercepat kematianmu. Sayang
aku tidak mendapat kesempatan bermain-main dengan
penunggang-penungang kuda yang bodoh itu."
Sutawijaya tidak menjawab. Pikiran itu dapat dimengertinya.
Ketika kemudian ia berpaling ke arah kedua kawannya,
mereka pun telah berhenti berkelahi.
"Sidanti," berkata Ki Tambak Wedi, "sebentar lagi beberapa
orang dari Pajang akan datang. Aku kira bukan seluruh
pasukan, mereka hanyalah orang-orang yang mendahului
pasukan itu." "Wira Lele telah lepas dari tangan kami guru. la sempat
memberitahukan peristiwa ini kepada orang-orang Pajang itu,"
sahut Sidanti. "Tidak apa," berkata gurunya, "sekarang tinggalkan tempat ini
cepat-cepat. Pilihlah arah yang tepat seperti yang kita
rencanakan supaya kau tidak dilihat oleh orang-orang berkuda
itu." Sidanti tidak segera menyahut. Terasa harga dirinya
tersentuh. Tetapi terdengar gurunya membentak, "Cepat!
Tinggalkan tempat ini, bersama Sanakeling dan Alap-alap
Jalatunda. Biarlah aku menyelesaikan ketiga-tiganya."
Ketiganya tidak lagi menunggu Ki Tambak Wedi mengulangi.
Derap kaki kuda itu sudah semakin dekat. Namun tiba-tiba
derap itu berhenti. Ki Tambak Wedi mengangkat wajahnya. Tetapi ia tidak lagi
mendapat banyak kesempatan. la tidak iagi mempedulikan
suara-suara kaki yang hilang itu. Sidanti dan kedua kawankawannya
pun tidak. Ketiganya segera meloncat berlari
meninggalkan tempat itu. Agung Sedayu dan Swandaru masih
mencoba untuk mencegah mereka, tetapi ketika mereka
melihat Ki Tambak Wedi menimang gelang-gelang besinya
maka maksud itupun diurungkannya. Usahanya pasti akan
sia-sia dan mereka pasti hanya akan mati tanpa arti. Lebih
baik bagi mereka untuk mempersiapkan diri melawan hantu
lereng Merapi itu bersama-sama.
Derap kuda itu masih juga belum terdengar Iagi. Mereka
sudah tidak begitu jauh. Tetapi mereka pasti berhenti. Kalau
tidak, maka mereka pasti sudah tampak di tikungan sebelah.
"Aku tidak peduli Iagi, apa yang akan kalian katakan," geram
Tambak Wedi. "Sekarang kalian akan aku bunuh dengan
caraku. Kalau kuda-kuda itu tampak di tikungan, maka kalian
akan menggelepar di tanah. Kalian tidak akan segera mati,
tetapi kalian tidak akan dapat disembuhkan. Aku akan
meremas tulang-tulang iga kalian."
Ki Tambak Wedi itupun maju selangkah mendekati
Sutawijaya. Anak itulah yang paling dibencinya. Sesudah itu
Agung Sedayu. "Setidak-tidaknya kau," desisnya.
Sutawidjaja itupun melangkah surut. Ia melihat Agung Sedayu
dan Swandaru justru neloncat mendekatinya. Senjata-senjata
mereka telah siap terjulur lurus ke dada Tambak Wadi.
"Jangan terlampau banyak sekarat," geramnya pula. "Aku
menunggu kuda itu muncul di tikungan, supaya
penunggangnya melihat bagaimana kalian bertiga mati."
Tetapi kuda-kuda itu belum juga muncul. Bahkan suara
derapnyapun belum terdengar. Agung Sedayu dan Swandaru
agaknya tidak dapat bersabar Iagi. Merekalah yang tiba-tiba
mendahului menyerang Ki Tambak Wedi.
Namun bagi Ki Tambak Wedi, serangan-serangan itu tidak
banyak berarti. Meskipun kemudian Sutawijaya ikut pula
bertempur. Dengan loncatan-loncatan pendek serta mempergunakan
gelang-gelang besinya,Ki Tambak Wedi selalu berhasil
menghindari dan menangkis serangan-serangan anak-anak
muda itu. "Gila, kenapa kuda-kuda itu tidak juga muncul. Kalau mereka
meloncat turun, dan mencoba mendatangi tempat ini sambil
bersembunyi, maka aku akan sangat kecewa. Sebab aku pasti
akan membunuh kalian dengan tergesa-gesa. Tetapi apa
boleh buat. Lebih baik aku berbuat cepat dari pada terlambat.
Aku tidak akan menunggu kuda-kuda itu."
Tetapi tiba-tiba kembali terdengar kuda berderap. Ki Tambak
Wedi itupun kemudian tersenyum. Katanya, "Ha, aku
mempunyai kesempatan yang baik. Tunggu sampai kuda itu
muncul di tikungan supaya mereka melihat kalian
menggelepar kesakitan seperti ayam disembelih. Aku
mengharap ayahmulah yang datang, Sutawijaya."
Ketiga anak muda itu sama sekali tidak menjawab. Mereka
memperketat serangan-serangan mereka. Meskipun mereka
tahu, bahwa mereka sama sekali tidak berarti bagi Ki Tambak
Wedi, namun mereka ingin mati sebagaimana seorang lakilaki
mati di dalam peperangan. Bukan seperti seekor cucurut
yang mati ketakutan melihat seekor kucing candramawa.
Tetapi Ki Tambak Wedi menjadi semakin bergembira
meIayani anak-anak muda itu, meskipun sebenarnya ia telah
hampir sampai pada puncak permainannya. Ia hanya
menunggu kuda-kuda itu muncut di tikungan. Kemudian
dengan gerakan yang pasti tak akan dapat dihindari oleh
ketiga anak-anak muda itu, Ki Tambak Wedi akan
menyelesaikan pertempuran. Ia mengharap bahwa orangorang
berkuda itu masih sempat melihat ketiga anak-anak
muda itu menjelang saat matinya dengan penuh penderitaan.
"Ha," teriak Ki Tambak Wedi kemudian, "itulah mereka."
Dada Sutawijaya, Agung Sedayu dan Swandaru berdesir. Kini
mereka tinggal menunggu saat yang sama sekali tidak
menyenangkan itu. Ki Tambak Wedi pasti akan melakukan
seperti yang dikatakannya. Meremas tulang-tulang iga
mereka. Namun tiba-tiba sekali lagi mereka terkejut. Yang mereka
dengar lebih jelas bukanlah langkah kuda-kuda itu, tetapi
derap langkah orang berlari.
Sesaat gerak Ki Tambak Wedi terganggu. Tetapi segera ia
mengetahui bahwa di antara mereka yang berkuda, pasti ada
seseorang yang dengan bersembunyi-sembunyi mendekati
perkelahian itu. Karena itu wajahnya menjadi tegang.
Tetapi apa yang akan dilakukan Ki Tambak Wedi, masih
belum dapat mendahului langkah itu. Sebelum Ki Tambak
Wedi berbuat sesuatu, maka tiba-tiba mereka melihat sebuah
bayangan melayang hinggap di atas dinding halaman di
sebelah yang lain dari arah kedatangan Ki Tambak Wedi.
Darah hantu lereng Merapi itu terasa seolah-olah berhenti
mengalir dengan tiba-tiba. Ia tidak menyangka, bahwa salah
seorang dari mereka mampu datang secepat itu. Dan ternyata
yang bertengger di atas dinding halaman itu adalah Ki Gede
Pemanahan. Ki Tambak Wedi melihat, bahwa sekali lagi ia mengalami
kegagalan. Otaknya yang telah dipenuhi oleh berbagai
pengalaman segera mengatakan, bahwa tak akan ada
gunanya lagi baginya berbuat sesuatu atas ketiga anak-anak
muda itu. Ia menyesal bukan kepalang, bahwa ia menunggu
kuda-kuda itu muncul di tikungan, sehingga ia terlambat
karenanya. Ia tidak menyangka sama sekali, bahwa
seseorang mampu bergerak secepat Ki Gede Pemanahan.
Seandainya salah seorang yang berkuda itu tadi meloncat
turun pada saat kuda-kuda itu berhenti, maka betapapun tinggi
kemampuannya berlari, tetapi orang itu pasti belum sampai di
tempat ini. Namun ternyata Ki Gede Pemanahan mampu
melakukannya. Karena itu, maka segera Ki Tambak Wedi merubah
rencananya. Setapak la meloncat mundur, dan tiba-tiba ketika
tangannya bergerak sebuah gelang telah lepas seperti anak
panah meloncat dari busurnya.
Untunglah bahwa yang dibidiknya adalah Ki Gede
Pemanahan, secepat gelang-gelang itu pula, Ki Gede
Pemanahan menjatuhkan dirinya dari alas dinding itu. Seperti
seekor kucing ia meloncat turun, dan secepatnya tegak di atas
kedua kakinya yang kokoh kuat bagaikan sepasang tonggak
baja. Sedang di tangan Ki Gede itu telah tergenggam


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pusakanya, Kiai Naga Kemala.
Terdengar Ki Tambak Wedi itu menggeram. Tiba-tiba di
tangannya telah tergenggam pula sebuah gelang-gelang yang
lain. Tetapi apa yang dilakukannya adalah di luar dugaan
mereka yang melihatnya. Cepat seperti kilat, Ki Tambak Wedi
meloncat surut, kemudian dengan kecepatan yang sama, ia
meloncat lebih jauh lagi, melampaui dinding halaman dari arah
ia datang. Ki Gede Pernanahan segera berlari ke dinding itu pula. Tetapi
ketika ia sudah bersiap untuk meloncat, tiba-tiba ia tertegun.
Sekali dilayangkan pandangan matanya, tetapi regol halaman
ternyata berada agak jauh daripadanya.
"Tidak ada gunanya," desisnya.
"Ayah tidak mengejarnya?" dengan serta merta Sutawijaya
bertanya. "Sudah terlampau jauh," sahut Ki Gede Pemanahan.
"Ayah tidak meloncati dinding itu?" berkata anaknya, "kalau
ayah meloncat pula, maka setan itu pasti belum terlampau
jauh." Ki Gede Pemanahan menggelengkan kepalanya sambil
tersenyum, "Aku masih sayang akan dahiku. Kalau kepalaku
muncul dari batik dinding maka sebuah gelang-gelang pasti
akan menyambarnya. Aku tidak tahu, apakah aku dapat
menghindarinya, karena arahnya belum aku ketahui dengan
pasti." "O," Sutawijaya menarik nafas sambil menganggukanggukkan
kepalanya. "Ya, itu akan dapat terjadi," gumamnya.
Kemudian katanya, "Untunglah bahwa lingkaran yang pertama
tidak dilemparkan kepalaku. Kalau ia berbuat demikian, maka
aku tidak lagi dapat melihat orang-orang Jipang yang
menyerah itu." Ki Gede Pemanahan menggeleng, "la tidak akan berbuat
demikiam selagi ia masih ingin melepaskan diri. Kalau ia
membunuhmu dengan lingkaran itu, maka keris ini akan
menancap di dadanya. Ia tidak akan sempat menghindar
selagi ia berusaha melihat hasil gelang-gelangnya atasmu. Ki
Tambak Wedi pun tahu pasti, bahwa aku dapat juga
melemparkan kerisku ini ke arahnya. Karena itu ia mendahului
aku sebelum aku sempat mengayunkan tanganku."
Dalam pada itu, maka ketiga ekor kuda beserta para
penunggangnya kini sudah menjadi semakin dekat. Demikian
mereka menghentikan kuda-kuda mereka, demikian para
penunggang itu berloncatan turun.
"Ternyata Ki Gede telah berada di tempat ini?" bertanya
Untara sambil mengangguk dalam-dalam.
"Kenapa?" bertanya Ki Gede, "bukankah memang aku pergi
lebih dahulu dari padamu?"
"Aku menjadi cemas ketika aku melihat seekor kuda di
halaman di sebelah tikungan, di mulut lorong ini."
"Itu memang kudaku."
"Lalu, apakah kuda itu Ki Gede tinggalkan?"
"Ya. Aku mencoba untuk berhati-hati. Sebelum aku mendekati
desa ini, kudaku telah aku perlambat dan kemudian aku turun
dan menuntun kuda itu memasuki desa ini. Bahkan kuda itu
kemudian aku tinggalkan di sana."
Untara dan kedua perwira pengawal Ki Gede Pemanahan itu
saling berpandangan. Mereka ternyata demikian tergesa-gesa
sehingga mereka tidak sempat untuk memikirkan bahaya yang
dapat bersembunyi di balik setiap helai daun di desa ini.
Seandainya Sidanti membawa beberapa kawan yang Iain,
maka mereka pasti sudah terjebak di atas punggung kuda
mereka masing-masing. Untara yang masih belum menghapus keringat di keningnya
itu kemudian berkata, "Kami ternyata terlampau tergesa-gesa.
Untunglah bahwa kami tidak mendapat serangan dari tempattempat
berhenti sesaat, karena ketergesa-gesaan kami itu."
Untara berhenti sesaat, dipandanginya anak muda yang masih
tegak di tempatnya masing-masing dengan senjata di tangantangan
mereka. Kemudian katanya pula, "Untunglah bahwa Ki
Gede telah sampai di tempat ini. Sekali lagi aku terlambat
beberapa saat. Kami berhenti sejenak di ujung desa karena
kami melihat kuda Swandaru yang Ki Gede pakai. Kami
bertanya-tanya di dalam hati kami, namun kami tidak
menemukan jawabnya. Akhirnya kami meneruskan
perjalanan. Sampai di tikungan kami melihat apa jang terjadi di
sini." "Kalau aku tidak mendahului kalian dan kalian tidak melihat
kudaku sehingga kalian tidak berhenti, apakah yang kira-kira
akan kalian lakukan?" bertanya Ki Gede Pemanahan.
Pertanyaan itu telah memukul dada Untara sehingga anak
muda itu menundukkan kepalanya. "Ya, apakah yang akan
aku lakukan seandainya aku justru datang lebih dahulu dari Ki
Gede Pemanahan" Apakah aku akan melawan Ki Tambak
Wedi?" Karena itulah maka Untara mendjawab lirih, "Tak ada
yang dapat kami lakukan Ki Gede. Mungkin kami adalah
korban yang berikutnya."
Ki Gede tersenyum. Sambil menyarungkan kerisnya ia
berkata, "Sudahlah, jangan kau pikirkan lagi Tambak Wedi itu.
Semuanya sudah lalu." Kemudian ki Gede itu berpaling
kepada puteranya, "Sutawijaya, jadikanlah peristiwa ini
peringatan bagimu. Jangan terlampau menuruti keinginan.
Akupun hampir terlambat. Untung aku mendengar Ki Tambak
Wedi mengancam dengan marahnya, sehingga suaranya
terdengar dari balik dinding-dinding halaman ini. Mula-mula
aku memang tidak segera menemukan tempat ini. Dan aku
datang tepat pada waktunya."
Sutawijaya menundukkan kepalanya. Ia tidak menjawab
sepatah katapun. Apalagi ketika kemudian terasa lambungnya
menjadi sakit. Lambung yang terkena sentuhan Ki Tambak
Wedi, sehingga ia terbanting jatuh pada saat ia hampir
berhasiI membunuh Sidanti.
Ketika ia menyeringai menahan nyeri sambil meraba-raba
lambungnya itu, Ki Gede Pemanahan memandanginya
dengan cemas. "Kenapa lambungmu?" bertanya orang tua.
"Sakit," sahut Sutawijaya.
"Ya kenapa?" Sutawijaya ragu-ragu. Tetapi kemudian ia berkata, "Tak apaapa.
Mungkin sedikit terkilir."
Tetapi jawaban itu tidak meyakinkan Ki Gede Pemanahan
sehingga sekali lagi ia bertanya, "Kenapa lambung itu?"
Namun Sutawijaya yang nakal itu memandangi wajah Agung
Sedayu dan Swandaru berganti-ganti sambil tersenyum kecut.
"Kenapa?" desak ayahnya.
Yang menjawab kemudian adalah Swandaru, "Putera Ki Gede
telah terkena sentuhan Ki Tambak Wedi dan terbanting jatuh."
Ki Gede Pemanahan mengerutkan keningnya. Perlahan-lahan
ia mendekati anaknya sambil bertanya, "Benarkah begitu?"
Sutawijaya mengangguk. "Hem," desis Ki Gede Pemanahan, "untunglah bahwa tulangtulangmu
tidak patah." "Ki Tambak Wedi terlampau tergesa-gesa," sahut Sutawjaya.
"Ia berada dalam jarak yang cukup jauh. Hampir tak masuk di
akal, bahwa kemudian dengan satu kali loncatan, aku
terpelanting." "Kenapa ia berbuat demikian. Bukankah ia akan membunuh
kalian bertiga" Kenapa tidak langsung saja kau dicekiknya?"
"Ya. Tetapi saat itu ia sedang berusaha menyelamatkan
Sidanti yang kehilangan kesempatan untuk mengelak, sedang
Ki Tambak Wedi ingin membunuhku dengan cara yang
dianggap sangat menyenangkan hatinya."
Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya.
Terbayang di dalam angan-angannya, bagaimana anaknya
dan kedua kawannya bertempur. Namun ia mengucap syukur
di dalam hatinya, bahwa ia datang tidak terlambat seperti
Untara dan kedua kawan-kawannya, sehingga ia sempat
menyelamatkan anaknya. Bukan saja suatu hal yang sangat
memggembirakan dirinya sendiri, tetapi juga
menghindarkannya dari murka Adipati Pajang. Sebab
Sutawijaya itu telah diangkat sebagai putera Adipati Pajang,
dan keselamatannya telah dititipkan kepadanya. Seandainya
saat itu Sutawijaya mengalami cidera atau bahkan terbunuh
oleh Ki Tambak Wedi, maka ia akan mengalami bencana dua
kali lipat. la akan kehilangan anak laki-lakinya dan mungkin ia
akan kehilangan jabatannya pula karena murka Adipati Pajang
yang merasa kehilangan anaknya pula.
Dalam pada itu, maka sekali lagi terasa betapa kecewa hati
Panglima Wira Tamtama itu atas hasil kerja Untara. Sangkal
Putung yang disangkanya sudah tidak akan diganggu lagi oleh
orang-orang Jipang seperti laporan yang disampaikan oleh
Untara, ternyata masih menyimpan bahaya yang hampir saja
menelan keselamatannya dan keselamatan anaknya.
Namun Ki Gede Pemanahan berusaha untuk menyimpan
penyesalan itu di dalam hatinya. Bagaimanapun juga, ia masih
mencoba mengerti bahwa Untara di hadapkan pada suatu
keadaaa yang tidak dapat diperhitungkannya lebih dahulu.
Unsur Ki Tambak Wedi agaknya adalah sumber dari
kekacauan persiapan dan perhitungannya. Kalau tidak ada
hantu lereng Merapi itu, maka Sangkal Putung benar-benar
tidak akan terganggu lagi.
Kini yang mereka tunggu adalah parkembangan keadaan
yang tumbuh pada orang-orang Jipang yang akan menyerah
itu. Mereka pasti melihat api itu pula dan bagaimanakah
tanggapan mereka atas api itu sama sekali tidak diketahui
oleh Untara dan para prajurit Pajang yang lain.
Sementara itu Widura membawa pasukannya dengan tergesagesa
ke desa kecil itu. Kalau terjadi sesuatu, maka iapun ikut
bertanggung jawab pula bersama dengan Untara. Karena itu
maka ia ingin segera sampai dan melihat apa yang telah
terjadi. Dengan hati-hati pasukan itupun kemudian memasuki desa
Benda. Namun desa itu masih saja sepi seperti tidak terjadi
apa-apa, kecuali api yang kini semakin lama menjadi semakin
surut. Untunglah bahwa jarak dari rumah yang satu ke rumah
yang lain cukup jauh sehingga api itu tidak menjalar ke rumahrumah
yang lain. Widura menjadi berlega hati ketika kemudian dilihatnya di
ujung lorong itu ki Gede Pemanahan, Untara, Sutawijaya dan
yang lain-lain masih berdiri di muka gardu. Bahkan para
penjaga pun masih juga tegak seperti patung.
Hati Widura menjadi semakin tenteram ketika dilihatnya orangorang
yang berdiri di ujung jalan itu memandangi pasukannya
sambil tersenyum. Namun ketika ia menjadi semakin dekat,
hatinya menjadi sedikit berdebar-debar kembali, karena
dilihatnya ujung tombak Sutawijaya menjadi semburat merah
oleh warna darah. Widura itupun kemudian menganggukkan kepalanya dalamdalam
sambil bertanya, "Apakah yang sudah terjadi ki Gede" Bukankah angger Sutawijaya, putera Ki Gede tidak mengalami cidera?" "Itulah orangnya," sahut
Ki Gede sambil menunjuk puteranya. "Hampir saja ia mati
dicekik hantu lereng Merapi." "Oh," Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekilas ia
mampu membayangkan bahwa agaknya kedatangan Ki Gede
Pemanahan telah menyelamatkannya.
Kini Widura telah berada di Benda bersama seluruh
pasukannya. Prajurit Pajang dan laskar Sangkal Putung.
Karena itu, maka kewajibannya adalah menunggu perintah,
apa yang harus dilakukannya menjelang kehadiran orangorang
Jipang yang akan menyerah. Kalau mereka
mengingkari janji, maka yang akan terjadi adalah
pertempuran. Bahkan mungkin mereka harus berlari-lari
kembali ke induk kademangan apabila para pengawas melihat
orang-orang Jipang mengambil jalan melingkar dan
bermaksud langsung menusuk ke jantung kademangan.
Tetapi meskipun demikian, maka pasukan cadangan yang
ditinggalkan akan mampu menahan orang-orang Jipang itu
sampai sebagian dari pasukan ini datang kembali. Tetapi
apabila terjadi demikian, maka pasti tak akan ada ampun lagi
bagi orang-orang Jipang itu.
Matahari yang merambat semakin tinggi kini telah hampir
mencapai puncak langit. Beberapa saat lagi, maka saat yang
dijanjikan akan tiba. Karena itu, maka seluruh pasukan itupun
berjaga-jaga. Beberapa orang pemimpin kelompok telah
mengatur anak buah masing-masing dan menempatkan
mereka terpisah-pisah. Di sawah-sawah yang tidak ditanami di
hadapan desa Benda itulah nanti orang-orang Jipang
berkumpuI. Mereka akan mengumpulkan senjata-senjata
mereka dan membiarkan orang-orang Pajang mengambilnya.
Itu adalah suatu upacara penyerahan yang telah disepakati.
Ki Gede Pemanahan, Untara dan para pemimpin prajurin
Pajang dan Sangkal Putung kini berdiri berjajar di muka gardu
di ujung lorong. Pandangan mereka seolah-olah melekat pada
gerumbul-gerumbul di hadapan mereka.
Di hadapan mereka kini terbentang sebidang tanah
persawahan yang seakan-akan hampir tidak pernah mendapat
perawatan. Para petani menjadi agak ketakutan sejak orangorang
Jipang saling berkeliaran di sekitar desa itu. Apalagi
tanah yang terbentang agak jauh dari padesan. Gerumbulgerumbul
liar dan ilalang telah tumbuh semakin tinggi. Tanah
itu sama sekali telah tidak lagi digarap oleh pemiliknya. Dari
balik-balik gerumbul-gerumbul itulah nanti akan datang orangorang
Jipang yang telah menyatakan diri menjerah bersama
senjata-senjata mereka. Mereka akan menyeberangi padang
rumput yang tidak terlampau luas dan berjalan lewat tanah
persawahan yang kini telah menjadi liar itu.
Para pemimpin prajurit Pajang itu sekali-sekali
menengadahkan wajah-wajah mereka memandangi matahari
yang sudah semakin tegak di atas kepala. Matahari itu kini
telah mencapai titik terlinggi tepat di puncak langit.
"Saatnya telah tiba," gumam Ki Gede Pemanahan.
Hati Untara menjadi berdebar-debar. Mudah-mudahan tidak
terjadi malapelaka bagi Sangkal Putung. Mudah-mudahan


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rencana ini dapat berjalan sesuai dengan rencana. Tiba-tiba ia
menyesal atas ketergesa-gesaannya. Ia telah memberanikan
diri menyatakan bahwa persoalan orang-orang Jipang segera
akan selesai sepeninggal Macan Kepatihan. Bahkan ia telah
memberanikan menyatakan bahwa Sangkal Putung kini telah
aman tenteram dan mengharap kehadiran Ki Gede
Pemanahan untuk menerima penyerahan sisa-sisa terakhir
dari orang-orang Jipang itu. Sedang beberapa orang yang
tidak sependapat dengan mereka yang menyerah itu, sama
sekali tidak akan berarti apa-apa. Bahkan mereka akan dapat
diabaikan untuk sementara.
Namun ternyata kehadiran Ki Gede Pemanahan telah
disambut oleh Ki Tambak Wadi di tegal jagung. Bahkan
kemudian putera ki Gede Pemanahan pun hampir-hampir
menjadi korban pula. Tetapi kini semuanya itu telah terjadi. Kalau sekali lagi terjadi
sesuatu, maka kepercayaan Ki Gede Pemanahan kepadanya
pasti akan surut terlampau jauh.
Dalam pada itu kembali terdengar Ki Gede Pemanalan
berkata, "Bukankah matahari telah berada tepat di atas
kepala." "Ya, Ki Gede," sahut Untara ragu-ragu.
"Apakah saat ini yang teIah mereka janjikan?"
"Ya, Ki Gede," kembali terdengar suara Untara datar. Dalam
pada itu kembali Untara teringat kepada Kiai Gringsing yang
seakan-akan menghilang. Namun ia sama sekali tidak dapat
menuntutnya untuk sesuatu kewajiban tertentu. Sebab Kiai
Gringsing bukan prajurit Pajang dan bukan anak buahnya.
"Kita tunggu sejenak," gumam Ki Gede Pemanahan. "Kalau
sepemakan sirih mereka tidak nampak, maka aku akan
langsung memberikan perintah lain."
Meskipun Ki Gede Pemanahan bergumam sambil tersenyum,
tetapi jelas bagi Untara, bahwa perasaan Ki Gede Pemanahan
menjadi tidak begitu senang melihat peristiwa-peristiwa yang
terjadi di Sangkal Putung itu. Peristiwa-peristiwa yang sejak
kedatangannya telah menunjukkan bahwa Sangkal Putung
tidak sebaik seperti laporan Untara.
Kini mereka berdiri dengan tegangnya, memandangi sawah
yang ditumbuhi rumput-rumput liar dan batang-batang jarak
yang menjadi lebat. Di belakang gerumbul-gerumbul itu dapat
bersembunyi orang-orang Jipang. Bahkan mereka dapat
bertebaran jauh dari Selatan ke Utara. Mungkin pula mereka
menyusup ke Sangkal Putung lewat di belakang gerumbulgerumbul
itu langsung mendekati induk kademangan dan
menyerang dari samping. Hampir tak seorang pun yang bercakap-cakap. Mereka
bersiaga sepenuhnya menghadapi setiap kemungkinan yang
akan terjadi. Para prajurit Pajang dan laskar Sangkal Putung
yang menebar itu pun memandangi gerumbul di hadapan
mereka dengan mata yang hampir tidak berkedip.
Semakin lama dada Untara seakan-akan menjadi semakin
bergolak. Dada itu akan dapat meledak apabila laskar Jipang
tidak segera tampak. Apalagi Ki Gede Pemanahan segera
akan menjatuhkan perintah lain. Perintah yang belum
diketahui akan bagaimana bunyinya.
Dalam ketegangan itu, tiba-tiba mereka melihat sesuatu yang
bergerak-gerak dari dalam gerumbul di hadapan mereka.
Mereka melihat seseorang menyeruak batang-batang perdu
dan kemudian muncul di atas rumput-rumput liar yang tumbuh
subur di atas tanah persawahan yang tidak ditanami itu.
Untara melihat orang itu dengan dada berdebar-debar.
Selangkah ia maju sambil bergumam, "Itukah mereka?"
"Hanya satu orang," sahut Ki Gede Pemanahan.
Tapi ternyata yang kemudian menyeruak dari dalam
gerumbul-gerumbul itu tidak hanya satu orang. Sesaat
kemudian kembali mereka melihat seorang yang lain. Disusul
orang yang ketiga dan keempat. Namun yang datang dari
balik gerumbul itu sama sekali tidak seperti yang diharapkan
oleh Untara dan para pemimpin Sangkal Putung. Mereka
ternyata tidak lebih dari dua puluh orang.
"Hanya itu?" terdengar Ki Gede Pemanahan bertanya.
Untara tidak segera dapat menjawab. Tetapi keringat
dinginnya telah melelehi di segenap permukaan kulitnya.
"Dua puluh atau dua puluh lima orang,," berkata Ki Gede
Pemanahan pula. "Dua puluh orang Jipang telah mampu
menggerakkan Panglima Wira Tamtama untuk menyambut
kedatangannya." "
Dada Untara kini benar-benar dipenuhi oleh kegelisahan yang
melonjak-lonjak. Kalau yang datang hanya dua puluh lima
orang itu, alangkah malunya. Ki Gede Pemanahan, Panglima
Wira Tamtama itu pun pasti akan menjadi sangat marah
kepadanya, seolah-olah duapuluh lima orang Jipang itu cukup
bernilai untuk memaksa Ki Gede Pemanahan datang ke
daerah terpencil ini. Tetapi ketika kemudian mereka melihat dengan seksama
maka mereka melihat sesuatu yang tidak begitu wajar pada
orang-orang Jipang itu. Mereka melihat orang-orang Jipang itu
memanggul sesuatu yang agaknya cukup berat.
"Apakah yang mereka bawa?" tanya Ki Gede bertanya
kembali. "Aku tidak tahu Ki Gede,"," sahut Untara.
Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya.
Namun kemudian matanya yang tajam melihat benda yang
dipanggul oleh orang-orang Jipang itu. Terdengar ia
bergumam, "Senjata. Mereka memanggul senjata di atas
pundak-pundak mereka. Kau lihat ujung-ujung dari senjatasenjata
itu" Mereka memanggul tidak hanya sepucuk senjata
di atas pundak masing-masing, tetapi seikat senjata.
Hati Untara menjadi semakin tegang. Ia tidak tahu kenapa
orang-orang Jipang itu memanggul senjata-senjata mereka
yang telah mereka ikat menjadi dua puluh ikat dan mereka
bawa mendahului orang-orang mereka. Untara tidak tahu,
apakah yang seterusnya akan dilakukan oleh orang-orang
Jipang itu. Dalam persetujuan mereka, sama sekali mereka
tidak pernah menyatakan bahwa mereka bersedia berbuat
demikian. Namun Untara tidak dapat berbuat lain daripada menunggu
orang-orang itu menjadi semakin dekat. Untara harus
mendapat keterangan dari mereka, apakah yang seterusnya
akan dilakukan oleh orang-orang Jipang itu.
Semakin lama orang-orang yang memanggul bongkokan
senjata itu pun menjadi semakin dekat. Dengan demikian,
maka semakin jelas pula tampak, bahwa senjata yang mereka
bawa itu adalah segala macam jenis senjata. Tombak,
pedang, bindi dan sebagainya.
Ketika orang-orang itu menjadi semakin dekat, maka Untara
pun segera melihat, siapakah yang berdiri di paling depan dari
orang-orang Jipang itu. Orang yang justru tidak membawa
sesuatu. Tetapi ialah yang menentukan segala sesuatu atas
orang-orang Jipang itu. Orang itu adalah Sumangkar.
Dengan kepala tunduk ia berjalan. Langkahnya satu-satu
seperti orang kehilangan gairah untuk menghadapi hidupnya
di masa-masa mendatang. Melihat orang itu Ki Gede Pemanahan menarik keningnya
tinggi. Tanpa dikehendakinya sendiri ia melangkah maju
sambil berdesis, "Kakang Sumangkar."
Sumangkar yang kemudian mengangkat wajahnya melihat Ki
Gede Pemanahan itu berjalan ke arahnya, seolah-olah hendak
menyongsongnya. Karena itu maka ia pun segera berhenti
sambil membungkukkan badannya dalam-dalam.
"Kakangmu yang tidak berharga telah menghadap Ki Gede
Pemanahan." Ki Gede Pemanahan menarik nafas dalam-dalam. Sumangkar
adalah lawan yang cukup tangguh sepeninggal Patih
Mantahun. Ki Gede Pemanahan tahu benar kemampuan yang
tersimpan pada orang tua itu. Tak ubahnya seperti
kemampuan Patih Mantahun sendiri.
Dari Untara Ki Gede Pemanahan sudah mendengar bahwa
Sumangkar kini berada bersama-sama dengan laskar Jipang
yang dipimpin oleh Tohpati. Sumangkar-lah orang yang telah
berusaha untuk menghentikan perlawanan sepeninggal
Macan Kepatihan. Namun menitik perkembangan keadaan,
maka Ki Gede Pemanahan memang harus berhati-hati.
Apakah Sumangkar tidak sedang menjebaknya bersamasama
dengan Ki Tambak Wedi. Ketika Sumangkar melihat Ki Gede Pemanahan, maka orang
itu seakan-akan tidak merasa terkejut. Apakah ia menganggap
bahwa kehadiran Ki Gede Pemanahan menyambutnya itu
adalah sesuatu yang sewajarnya, atau memang ia sudah
mendengar dari Ki Tambak Wedi"
Namun dalam keadaan yang bagaimanapun juga. Ki Gede
Pemanahan harus menghadapinya dengan penuh
kewaspadaan. Ia tidak akan kehilangan kewaspadaan hanya
karena beberapa bongkok senjata yang dibawa oleh orangorang
Jipang itu. Ki Gede Pemanahan itu pun kemudian berhenti beberapa
langkah di muka Sumangkar. Untara dan Widura pun
kemudian berdiri di kedua sisinya. Di belakang mereka
berderet beberapa orang perwira pengawal Ki Gede
Pemanahan. Sejenak Ki Gede Pemanahan memandangi orang tua itu.
Wajahnya yang suram dan matanya yang cekung
menunjukkan bahwa orang itu telah mengalami keadaan yang
tidak menyenangkan hatinya.
"Kau nampak kurus dan lekas bertambah tua Kakang
Sumangkar," sapa Ki Gede Pemanahan.
Sumangkar membungkuk hormat sambil menganggukanggukkan
kepalanya ia menjawab, "Ya Ki Gede, aku bukan
saja cepat menjadi tua, tetapi sebenarnya aku telah tua."
Ki Gede tersenyum. Katanya pula, "Sebenarnya Kakang
belum terlampau tua. Bukankah umur Kakang tidak terpaut
banyak dengan umurku. Bahkan mungkin kita sebaya?"
"Ya, ya," Sumangkar masih mengangguk-anggukkan
kepalanya, "mungkin kita memang sebaya. Tetapi Ki Gede
adalah Panglima Wira Tamtama. Ki Gede hidup dalam
lingkungan yang baik sedang aku hidup di hutan-hutan seperti
seekor ayam alas yang terbang dari satu sarang, hinggap ke
sarang yang lain menghindari seekor musang yang selalu
memburunya" Ki Gede Pemanahan tertawa. "Apakah Kakang sudah jemu?"
Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, "Aku
sendiri sebenarnya tidak pernah merasakan itu sebagai suatu
keadaan yang menjemukan Ki Gede. Aku telah membiasakan
diri hidup dalam kesulitan dan penderitaan sejak aku berguru
di Kedung Jati bersama Kakang Mantahun. Juga ketika
Kakang Mantahun menjadi Patih Jipang aku tidak menjadi
seorang tumenggung atau senapati perang. Aku waktu itu
adalah seorang abdi kepatihan."
Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya,
katanya, "Lalu apakah yang mendorong Kakang mengambil
keputusan seperti ini?"
Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Sekali ia berpaling.
Dilihatnya orang-orang Jipang yang memanggul senjatasenjata
mereka, masih berdiri di belakangnya.
"Letakkanlah senjata-senjata itu," berkata Sumangkar kepada
orang-orang Jipang. Namun kemudian kepada Ki Gede
Pemanahan ia berkata, "Bukankah demikian Ki Gede" Apakah
senjata-senjata ini boleh kami letakkan di sini?"
Ki Gede berpikir sejenak, kemudian jawabnya, "Letakkanlah."
Orang-orang Jipang itu segera meletakkan senjata-senjata
yang terikat dalam ikatan-ikatan yang cukup besar.
"Itulah sebagian besar dari senjata-senjata kami, Ki Gede,"
berkata Sumangkar kemudian kepada Untara ia berkata,
"Kami telah melakukan sesuatu di luar persetujuan Angger
Untara. Tetapi kami yakin, bahwa dengan demikian, kami
telah menegaskan kami untuk menghentikan perlawanan
kami." Untara tidak segera menjawab. Ditatapnya wajah Ki Gede
Pemanahan sejenak. Seolah-olah ia menyerahkan segala
persoalan kepada Panglima Wira Tamtama itu.
"Hanya inikah senjata-senjata kalian seluruhnya?" bertanya Ki
Gede Pemanahan. "Ini sebagian terbesar dari seluruh senjata-senjata kami Ki
Gede," sahut Sumangkar.
"Kenapa tidak seluruhnya?"
"Kami masih memerlukan beberapa pucuk senjata di tangan
kami," sahut Sumangkar.
"Kakang tidak percaya kepada kami?"
"Bukan Ki Gede, bukan," jawab orang tua itu cepat-cepat.
"Tetapi kami masih harus melindungi diri kami dari kebuasan
serigala-serigala sesarang kami sendiri."
Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya
pula. Namun tiba-tiba ia bertanya kembali, "Kakang, Kakang
belum menjawab pertanyaanku. Apakah yang mendorong
Kakang Sumangkar mengambil keputusan ini" Bukankah
Kakang tidak pernah mengalami kejemuan dengan keadaan
Kakang selama ini. Hidup di hutan-hutan dan menurut istilah
Kakang sendiri, terbang dari satu sa-rang hinggap ke sarang
yang lain menghindari musang yang memburunya?"
Sekali lagi Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
dengan hati-hati ia menyahut, "Sebenarnya alasan itu tidak
penting bagi Ki Gede. Apapun yang mendorong kami untuk
menyerahkan diri adalah persoalan kami. Namun meskipun
demikian, secara pribadi aku akan menjawab, sebab Ki Gede
sudah bertanya secara pribadi pula."
"Benar," potong Ki Gede, "tetapi Sumangkar dalam segala
keadaan akan dapat menentukan sikap orang-orang Jipang
itu. Bukankah kakang berkata bahwa kakang sendiri, kakang
pribadi tidak pernah merasakan kejemuan karena keadaan
itu" Apakah dengan demikian berarti bahwa Sumangkar
menyerah hanya karena kawan-kawannya menyerah tanpa
sesuatu keyakinan apapun" Atau bahkan dengan suatu
keyakinan yang lain?"
Sumangkar menggelengkan kepalanya. Namun terasa hatinya
berdesir mendengar pertanyaan Ki Gede Pemanahan itu.
Dengan hati-hati pula ia menjawab, "Tidak Ki Gede. Aku
cukup mempunyai keyakinan tentang sikap yang telah aku
ambil ini. Dan sikap itu sama sekali tidak atas landasan
kejemuan tentang diriku sendiri. Bukan karena aku sudah
jemu hidup di-hutan-hutan dan selalu dikejar-kejar oleh


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Angger Untara dan Angger Widura, bukan karena aku sudah
jemu karena digigit nyamuk sebesar kelingking di paya-paya.
Tidak Ki Gede. Kalau demikian maka justru aku menyerah
karena putus asa dan tanpa suatu keyakinan apa-apa, selain
keputus-asaan itu. Tetapi aku datang bukan karena itu. Aku
memang menyerah karena jemu. Tetapi aku jemu melihat
peperangan. Jemu melihat pertumpahan darah yang tidak ada
henti-hentinya tanpa ujung dan pangkal. Karena kejemuan
itulah maka aku membawa beberapa orang Jipang untuk
menyerahkan dirinya kepada Angger Untara. Ternyata di sini
bukan saja ada Angger Untara, namun ada Ki Gede
Pemanahan, Panglima Wira Tamtama."
"Kalau benar demikian alangkah menyenangkan," sahut Ki
Gede Pemanahan. "Tetapi bagaimana dengan api yang telah
membakar beberapa rumah ini" Dan bagaimanakah dengan
orang orangmu di bulak jagung?"
"Pertanyaan Ki Gede adalah wajar," berkata Sumangkar
dalam nada yang datar. "Ki Gede pasti akan terpengaruh oleh
api yang menyala di desa ini, seperti kami menjadi bertanyatanya
di dalam hati kami pula. Kenapa di desa Benda terjadi
kebakaran" Tetapi Angger Untara dan Angger Widura tahu
pasti bahwa Sa-nakeling tidak sependapat dengan
penyerahan ini. Apalagi Sidanti, murid Ki Tambak Wedi.
Karena itu maka mereka telah membuat keributan di desa
kecil ini dan bahkan telah berhasil mencegat Ki Gede di bulak
jagung. Tetapi Ki Gede harus dapat membedakan, bahwa
yang melakukannya sama sekali bukanlah orang-orang Jipang
yang telah berjanji untuk menyerah. Mereka adalah orangorang
Jipang yang berpihak kepada Sanakeling dan Ki
Tambak Wedi." Tampaklah wajah Ki Gede Pemanahan berkerut-kerut. Wajah
itu tiba-tiba menjadi tegang. Ketika ia berpaling kepada Untara
dan kemudian kepada Widura, maka dilihatnya wajah kedua
pemimpin Prajurit Pajang di Sangkal Putung itu pun menjadi
tegang pula. "Kakang Sumangkar," berkata Ki Gede Pemanahan kemudian,
"apakah Kakang Sumangkar atau setidak-tidaknya orangorang
Kakang tidak melakukan perbuatan itu?"
"Tidak Ki Gede, tidak," jawab Sumangkar.
"Jangan berbohong, Kakang."
"Kenapa aku berbohong" Sekarang Ki Gede dapat melihat,
aku telah menepati janjiku. Datang ke desa kecil ini, bahkan
tanpa senjata untuk meyakinkan kesungguhan kami di
hadapan Ki Gede Pemanahan dan Angger Untara dan
Widura. Sebab sebenarnya kami pun dapat mengerti, setelah
terjadi peristiwa itu, maka para pemimpin Pajang akan dapat
menjadi ragu-ragu." Tiba-tiba serentak mereka berpaling ketika dari belakang para
pengawal Ki Gede Pemanahan terdengar seseorang berkata,
"Aneh. Bukankah itu aneh sekali ayah?"
Yang berkata itu adalah Sutawijaya. Beberapa langkah ia
mendesak maju sehingga kemudian ia berdiri di samping
Untara, menghadap ke arah Sumangkar itu pula.
Dada Sumangkar berdesir melihat anak muda itu. Anak muda
itulah yang telah berhasil menyobek perut Arya Penangsang
sehingga ususnya mencuat keluar. Bulu-bulu Sumangkar tibatiba
terasa meremang mengenang peperangan itu. Arya
Penangsang benar-benar orang yang keras hati. Meskipun
ususnya telah keluar itu telah disangkutkan pada keris
dilambungnya. Kini anak muda itu berdiri di mukanya dengan sebatang
tombak pendek, bukan tombak berlandasan panjang seperti
yang dipakainya bertempur melawan Arya Penangsang.
Sambil membungkukkan badannya Sumangkar berkata, "Kau
Angger yang perkasa. Berbahagialah ayahanda mempunyai
seorang putera seperti Angger, dan berbahagialah Adipati
Pajang mempunyai prajurit setangkas Tuan."
"Terima kasih Paman Sumangkar," sahut Sutawijaya. Namun
sekali lagi ia bertanya kepada ayahnya, "Apakah ayah
merasakan keanehan itu?"
Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya, "Ya, aku merasakan kejanggalan jawaban Kakang
Sumangkar. Untara dan Widura pasti merasakannya pula.,"
Kemudian kepada Sumangkar Ki Gede Pemanahan bertanya,
"Nah, Kakang. Anakku pun merasakan suatu kejanggalan
pada jawaban-jawaban yang Kakang ucapkan."
Sumangkar menarik alisnya tinggi-tinggi, sehingga alis yang
sudah mulai berwarna putih itu pun bergerak-gerak. Sekali
dipandanginya Sutawijaya. Kemudian Untara dan Widura.
Sekali-sekali ia berpaling memandangi beberapa bagian dari
para prajurit Pajang yang dapat dilihatnya di bawah pohonpohon
yang rindang sepanjang dinding desa. Dan sekali-sekali
ia berpaling juga kepada orang-orangnya yang berdiri tegang
di samping ikatan-ikatan senjata yang mereka bawa. Matahari
yang kini telah melampaui titik pusat itu sama sekali tidak
terasa membakar tubuh-tubuh mereka dan memeras keringat
mereka. "Apakah yang terasa janggal itu Ki Gede?" bertanya
Sumangkar. "Kakang Sumangkar, jangan Kakang menganggap bahwa aku
terlampau berprasangka," berkata Ki Gede Pemanahan. "Di
dalam peperangan segala macam siasat dan cara dapat
terjadi. Mudah-mudahan Kakang Sumangkar tidak
mempergunakan cara yang licik itu. Bahkan terbayang pun
jangan pada angan-angan Kakang sumangkar." Ki Gede
Pemanahan berhenti sejenak, namun kemu-dian diteruskanya,
"Tetapi Kakang, kenapa Kakang tidak terkejut dan heran
melihat kehadiranku di sini" Apakah itu bukan hal yang aneh
bagi Kakang" Apakah Kakang telah mengetahuinya lebih
dulu?" Sumangkar mengerutkan keningnya. Bahkan matanya
kemudian menyorotkan berbagai macam pertanyaan. Bukan
saja Ki Gede Pemanahan yang heran melihat sikap
Sumangkar menilai kehadirannya, tetapi sumangkar pun
heran mendengar pertanyaan Ki Gede Pemanahan itu.
"Ki Gede," berkata Sumangkar kemudian, "adakah
mengherankan, dan apakah seharusnya aku menjadi terkejut
dan heran melihat seorang Senapati Agung, seorang
Panglima Prajurit Wira Tamtama berada di garis peperangan"
Kalau seorang prajurit berada di garis perang merupakan
suatu keanehan, maka alangkah piciknya pengetahuanku kini
tentang peperangan."
Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya
mendengar jawaban Sumangkar itu. Katanya, "Kau benar
Kakang. Tetapi apakah sudah selayaknya, bahwa Panglima
Wira Tamtama harus berada di garis perang pada saat-saat
seperti ini" Kalau Kakang menganggap itu wajar, baiklah.
Tetapi kenapa Kakang tidak terkejut medengar bahwa di desa
ini telah terjadi kebakaran" Mungkin Kakang telah melihat
asap yang mengepul tinggi dan api yang menjilat ke udara.
Tetapi dari mana Kakang tahu bahwa yang melakukan
pembakaran itu Sidanti, Sanakeling dan kawan-kawannya"
Dari mana pula Kakang tahu, bahwa telah terjadi pencegatan
di bulak jagung yang dilakukan oleh Ki Tambak Wedi"
Maafkan Kakang, aku menjadi bercuriga mendengar
semuanya itu. Aku menjadi berprasangka, bahwa semuanya
telah diatur sebaik-baiknya. Suatu pembagian tugas yang rapi
antara Ki Tambak Wedi dan Sumangkar."
Sumangkar mendengarkan kata-kata itu dengan seksama.
Baru kini ia justru menjadi terkejut. Tampak orang itu
mengerutkan alisnya, kemudian wajahnya menegang sesaat.
Tetapi ternyata hatinya telah benar-benar semeleh. Orang tua
itu telah benar-benar meletakkan suatu tekad, bahwa ia
sampai sedemikian jauh telah berbuat sebaik-baiknya dalam
kemauan yang sebaik-baiknya pula. Karena itu maka sejenak
kemudian ia menjadi tenang kembali.
"Pertanyaan Ki Gede Pemanahan adalah pertanyaan yang
sewajarnya," berkata Sumangkar itu kemudian. "Kecurigaan
dan prasangka Ki Gede pun beralasan. Tetapi
perkenankanlah aku mencoba menjelaskan"
"Ki Gede, ketika aku melihat api yang menyala di desa ini, aku
menjadi bercuriga. Bukan saja aku sendiri, tetapi hampir
seluruh orang-orang Jipang menjadi bimbang. Apakah
sebenarnya yang telah terjadi. Apakah api itu suatu pertanda
bahwa Pajang membatalkan perjanjian. Maksudku, Pajang
membatalkan niatnya untuk menerima kami kembali" karena
itulah maka aku mencoba untuk mengetahui apa yang telah
terjadi. Ternyata dari balik gerumbul-gerumbul itu aku melihat
Sidanti, Sanakeling dan Alap-alap Jalatunda berlari-lari
meninggalkan desa ini. Bukankah dengan demikian menjadi
jelas, bahwa yang melakukan pembakaran ini pasti Sidanti
dan orang-orangnya" Seterusnya aku menyangka, bahwa di
belakang Sidanti pasti ada Tambak Wedi. Dan apakah dugaan
itu meleset?" "Tentang bulak jagung Ki Gede, memang aku telah
mendengarnya lebih dahulu sebelum aku bertemu dengan Ki
Gede." "Dari siapa Kakang mendengar?" bertanya Ki Gede
Pemanahan "Kiai Gringsing."
Ki Gede Pemanahan mengerutkan keningnya. Nama itu masih
asing baginya. Meskipun ia pernah mendengarnya sekali dua
kali disebut-sebut oleh Untara, namun nama itu sama sekali
tidak mendapat perhatian yang khusus dari padanya. Tetapi
Untara, Widura apalagi Agung Sedayu dan Swandaru terkejut
mendengar nama itu disebut oleh Sumangkar. Bahkan dengan
serta merta Untara bertanya, "Apakah Kiai Gringsing sekarang
berada di sana?" "Ya," sahut Sumangkar, "Kiai Gringsing berada di antara
orang-orang Jipang yang akan menyerah."
"Siapakah orang itu?" bertanya Ki Gede Pemanahan.
"Kiai Gringsing Ki Gede. Seorang dukun dari dukuh Pakuwon.
Nama yang dipergunakannya sehari-hari adalah Ki Tanu
Metir," sahut Untara.
Wajah Ki Gede Pemanahan masih berkerut-kerut. Nama Tanu
Metir itu pun tak dikenalnya. Tetapi adalah menarik perhatian
bahwa orang yang bernama Ki Tanu Metir itu dapat berada di
kedua belah pihak. Maka kembali ia bertanya, "Untara, apakah
dukun yang bernama Ki Tanu Metir itu sering berada di
Sangkal Putung dan sering berada di dalam laskar orangorang
Jipang?" "Tidak Ki Gede," jawab Untara. "Dukun tua itu selalu berada di
Sangkal Putung. Dukun itu pulalah yang telah menyembuhkan
lukaku sampai dua kali. Namun dalam persoalan ini, persoalan
penyerahan orang-orang Jipang ini. Ki Tanu Metir-lah yang
seolah-olah menjadi perantara. Aku minta orang tua itu
membuka jalan antara orang-orang Jipang itu dan Sangkal
Putung." "Apakah orang itu dapat dipercaya?" bertanya Pemanahan
pula. "Sepengetahuanku Ki Gede, dan menurut tanggapanku maka
aku mempercayainya," jawab Untara.
"Tetapi kenapa ia sekarang berada di sana?"
Untara tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Ia memang
mencari orang tua itu sejak ia kembali dari bulak jagung, tetapi
ia tidak sempat menemukannya. Ternyata Ki Tanu Metir itu
telah berada di antara orang-orang Jipang.
"Ki Gede," Sumangkar-lah yang kemudian menjawab
pertanyaan Ki Gede Pemanahan itu, "Kiai Gringsing datang
dengan membawa pertanyaan seperti yang tersimpan di
dalam hati Ki Gede. Kiai Gringsing bertanya, kenapa kami
telah berbuat curang, mencegat Ki Gede di bulak jagung.
Namun kecurigaan Kiai Gringnsing dapat segera terhapus
setelah ia melihat persiapan kami. Apalagi Kiai Gringsing
sendiri melihat pertentangan pendapat antara aku dan
Sanakeling pada saat kami menentukan sikap ini. Dengan
demikian maka Kiai Gringsing segera memaklumi, bahwa
pasti Ki Tambak Wedi-lah yang telah berbuat onar itu dengan
maksud-maksud tertentu tanpa sepengetahuanku."
Kembali wajah Ki Gede menjadi berkerut-kerut. Dicobanya
untuk dapat mengerti penjelasan Sumangkar itu. Tetapi
karena Ki Gede Pemanahan belum tahu benar tentang orang
yang bernama Kiai Gringsing, maka kepada Untara ia
bertanya, "Untara, bagaimanakah tanggapanmu tentang Kiai
Gringsing itu" Apakah keterangan Sumangkar tentang orang
yang bernama Kiai Gringsing itu dapat kau benarkan, setidaktidaknya
menurut anggapanmu hal itu dapat terjadi atasnya?"
Untara menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi ia harus
mengatakan tanggapannya tentang Kiai Gringsing menurut
penilaiannya. Maka jawabnya, "Menurut keadaan yang pernah
aku saksikan Ki Gede, maka Kiai Gringsing itu memang
mungkin dapat berbuat demikian."
Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kemudian katanya, "Kalau kau dapat menganggap bahwa Kiai
Gringsing memang dapat berbuat demikian, dan apabila kau
percaya kepada Kiai Gringsing, maka aku dapat mempercayai
sebagian besar dari ceritera Kakang Sumangkar."
Sumangkar menarik nafas dalam-dalam, seolah-olah ia kini
telah di-bebaskan dari sebuah hukuman yang mengerikan.
Namun dalam pada itu kembali ia mendengar Ki Gede
Pemanahan bertanya pula kepadanya, "Tetapi apakah kau
benar-benar dapat melihat Sidanti dan Sanakeling berlari-lari
dari gerumbul sejauh itu?"
"Tidak Ki Gede," jawab Sumangkar. "Aku tidak melihat dari
jarak itu. Tetapi aku menyelinap ke gerumbul-gerumbul yang
lebih dekat di sebelah desa ini," Sumangkar berhenti sejenak,
kemudian dilanjutkannya, "Kiai Gringsing juga ikut serta
melihatnya, dan Kiai Gringsing membenarkan penglihatanku
bahwa orang yang berlari-lari dari desa ini adalah Sidanti."
Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kemudian kepada Untara dan Widura ia bertanya, "Untara dan
Widura yang memegang tanggung jawab sepenuhnya atas
Sangkal Putung, bagaimana pertimbanganmu?"
Kembali dada Untara dan Widura dilanda oleh ke ragu-raguan.
Tetapi kembali mereka berkata seperti kata hati mereka, "Ki
Gede, kami dapat mempercayainya sampai sekian."
Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian
katanya kepada Sumangkar, "Mana orang-orangmu yang lain"
Apakah kau hanya akan menyerah dengan duapuluh lima
orang ini?"

01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak Ki Gede," sahut sumangkar. "Berdasarkan berbagai
pertimbangan, menurut Kiai Gringsing, yang ternyata aku
temui, yaitu kecurigaan para pemimpin Pajang atas diri kami,
maka aku mengambil sikap seperti yang dikehendaki oleh Kiai
Gringsing, untuk meyakinkan para pemimpin Pajang atas
kehendak baik kami. Kami datang bersama-sama senjatasenjata
kami. Sesudah itu, maka segera akan menyusul
orang-orang kami apabila segala kesalahpahaman sudah
diatasi." Sekali lagi Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kini ia tertarik benar kepada orang yang menyebut
dirinya Kiai Gringsing. Ia ingin bertemu dan berbincang
tentang beberapa hal dengan orang itu. Apa yang didengarnya
dari Sumangkar dan Untara seolah-olah telah memberikan
kepadanya gambaran tentang seorang dukun tua yang
memiliki beberapa kelebihan dalam menanggapi berbagai
persoalan. Bahkan orang tua itu telah dengan cepat dapat
mengambil sikap untuk menyelamatkan rencana penyerahan
yang akan dilakukan oleh orang-orang Jipang.
"Kakang Sumangkar," berkata Ki Gede Pemanahan itu pula.
"Telah sampai saatnya Kakang membawa orang-orang
Kakang itu kemari. Apakah Kiai Gringsing akan kembali ke
Sangkal Putung bersama dengan orang-orang Jipang"."
Jodoh Rajawali 2 Jaka Sembung 7 Lagu Rindu Dari Puncak Ciremai Pena Wasiat 23

Cari Blog Ini