Ceritasilat Novel Online

Api Di Bukit Menoreh 31

01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja Bagian 31


Tiba-tiba kening Alap-alap itu menjadi berkerut-merut.
Tumbuhlah pertanyaan di dalam hatinya, "Apakah orang itu
Agung Sedayu?" Menurut pendengaran Alap-alap Jalatunda
dari Sidanti, bahwa Wuranta pagi tadi sedang dikejar-kejar
oleh Agung Sedayu ketika dijumpainya. Tetapi Sidanti
meragukan kebenaran peristiwa itu. Bahkan Sidanti
meragukan sikap Agung Sedayu sendiri yang
meninggalkannya berlari. Tetapi kalau hal itu benar terjadi
karena Wuranta ingin mencuri milik Agung Sedayu, maka
adalah suatu kemungkinan bahwa Agung Sedayu
mendendamnya. Tetapi Alap-alap Jalatunda tidak melihatnya dengan jelas.
Dari jarak itu, apalagi di malam yang gelap Alap-alap
Jalatunda tidak mudah untuk mencoba mengenali unsur-unsur
gerak dari lawan Wuranta itu.
"Apakah aku akan mendekatinya?" Tetapi Alap-alap Jalatunda
menjadi ragu-ragu. Kemungkinan yang tidak diharapkan cepat
terjadi. Kalau Wuranta melihatnya, maka gagallah tugasnya.
Apalagi kalau orang yang menyerang Wuranta itu ternyata
Agung Sedayu, maka ia harus berkelahi melawannya. Dan ia
tidak yakin, apakah ia pada saat itu dapat mengimbangi adik
senapati Pajang yang bertugas di sekitar Gunung Merapi ini.
Seandainya demikian, maka tugasnya pun akan gagal pula
karenanya. Sekali lagi Alap-alap Jalatunda menggeram. Ia benar-benar
menjadi bingung dan tidak segera tahu apa yang sebaiknya
dikerjakan. Dalam pada itu perkelahian itu pun menjadi semakin lama
semakin sengit. Wuranta berusaha melawan dengan. pedang
di tangan. Dikerahkannya segenap kemampuan yang ada
padanya. Namun meskipun orang yang menyerangnya itu
tidak bersenjata, tetapi kelincahannya telah memaksa
Wuranta untuk memeras keringatnya. Orang itu meloncatTiraikasih
website - http://kangzusi.com/
loncat berputaran mengelilingi Wuranta untuk menghindari
sambaran pedangnya. Sekali-sekali ia meloncat menjauh,
namun tiba-tiba serangannya datang menyambar dengan
cepatnya. Seperti pusaran serangannya membelit dari segala
arah. Dengan sepenuh tenaga Wuranta melawannya. Namun
keragu-raguan di hatinya kadang-kadang telah mengekang
sambaran-sambaran pedangnya. Betapa dadanya dilanda
oleh beberapa pertanyaan tentang orang yang tiba-tiba
menyerangnya. "Siapa dan mengapa?"
Tetapi serangan orang itu semakin lama menjadi semakin
cepat. Bahkan hampir-hampir tak tertahankan lagi. Meskipun
Wuranta belum merasa dikenai di bagian tubuhnya yang
berbahaya, tetapi ia merasa, apabila perkelahian itu
diteruskan, ia pasti akan kehabisan tenaga.
**** Anak muda itu merasa beruntung bahwa ia telah
mendapatkan sepucuk senjata yang dapat menolongnya
memperpanjang perlawanannya. Tetapi sudah sekian lama ia
berkelahi, namun senjatanya seakan-akan hampir tidak
berguna. Meskipun demikian Wuranta tidak segera menjadi berputus
asa. Selama ia masih mampu menggerakkan pedangnya,
maka ia akan melawannya terus. Apapun yang terjadi. Namun
dalam pada itu, terbersit suatu penyesalan di dalam hatinya.
Kalau ia gagal menghindarkan diri dari orang yang
menyerangnya itu, maka tugasnya pun menjadi gagal pula
karenanya. Gagal bukan karena kesalahannya, tetapi justru
karena sebab-sebab yang tidak diketahuinya.
Karena itu maka tiba-tiba timbullah keinginannya untuk
bertanya. Meskipun tangannya sibuk menggerakkan pedang,
namun dengan tersengal-sengal ia bertanya, "He, siapakah
kau dan apakah sebabnya kau menyerangku?"
Alap-alap Jalatunda lamat-lamat mendengar pula pertanyaan
itu. Dengan demikian ia mengambil kesimpulan bahwa orang
yang menyerang itu sama sekali bukan Aguug Sedayu. Kalau
demikian siapakah ia" Apakah orang itu salah seorang yang
sengaja ditugaskan oleh Sidanti" Tetapi seandainya demikian,
maka Alap-alap Jalatunda pasti segera dapat mengenalnya.
Tetapi penyerang itu sama sekali belum pernah dikenalnya,
baik orangnya maupun tata geraknya. Dengan demikian maka
Alap-alap Jalatunda itu menjadi semakin bingung. Karena itu,
maka ia pun ingin sekali mendengar jawab orang yang
menyerang Wuranta itu. Tetapi orang itu tidak segera menyahut. Mereka masih saja
berkelahi dengan serunya. Bahkan kemudian titik perkelahian
itu sudah berkisar ke sana ke mari.
Sekali lagi Wuranta yang sudah mulai kelelahan itu bertanya,
"Siapakah kau, dan apakah sebabnya kau menyerang aku?"
Sejenak masih belum terdengar jawaban. Dengan berdebardebar
Wuranta menunggu, bahkan Alap-alap Jalatunda pun
menjadi bcrdebar-debar pula.
Tetapi sejenak kemudian Wuranta itu pun terkejut bukan main.
Hampir saja ia meloncat surut ketika ia mendengar lawannya
itu berbisik, "Jangan terlampau keras. Suaramu didengar oleh
orang lain." Kini Wuranta-lah yang terdiam. Ketika perlawanannya menjadi
kendor karena keheranan yang menghinggapi perasaannya,
terdengar lawannya berkata, "Lawanlah terus. Sepasang mata
Alap-alap sedang mengintaimu."
"Siapa kau?" Wuranta tidak tahan lagi, sehingga sekali lagi ia
bertanya keras-keras. "Jangan terlampau keras," jawab suara itu pula. Wuranta
menjadi semakin heran. Tetapi jawaban itu benar-benar
mempengaruhinya, sehingga tanpa sesadarnya ia berbisik,
"Siapa kau?" Wuranta mendengar orang itu tertawa perlahan sekali.
Meskipun demikian serangannya sama sekali tidak berkurang.
Sesaat kemudian didengarnya orang itu menjawab, "Jangan
lengah supaya pedangmu tidak terlempar jatuh." Orang itu
terdiam sejenak. Lalu terdengar suaranya kembali, "Kenapa
kau berjalan ke Jati Anom malam ini?"
"Siapa kau?" bertanya Wuranta kemudian.
"Apakah kau tidak dapat mengenali aku?"
"Siapa?" Kembali ia mendengar suara tertawa, "Aneh, meskipun kau
pandai juga bermain pedang, tetapi ingatanmu ternyata
kurang baik. Kau baru saja melihatku pagi tadi bersama
Agung Sedayu." "He?" Wuranta menjadi semakin heran. Tetapi ketika ia
meloncat surut, serangan orang tua itu menjadi semakin
garang. Sekali lagi ia mendengar peringatan, "Berkelahilah
terus. Seseorang mengikutimu."
"Siapa?" Wuranta berhenti bertanya lalu katanya, "Maksudku
siapa kau?" "Tanu Metir," jawab suara itu pendek.
"He?" sekali lagi Wuranta menjadi heran. Ia mengenal dukun
itu. Tetapi ia tidak menyangka bahwa orang tua itu mampu
bergerak sedemikian lincahnya. Meskipun ia telah menduga
bahwa Ki Tanu Metir memiliki beberapa kelebihan, tetapi
bukan kelebihan jasmaniah. Namun ternyata bahwa orang tua
itu mampu berkelahi melampaui anak-anak muda yang pernah
dilihatnya. "Apakah benar kau dukun tua yang datang bersama Agung
Sedayu?" "Kenapa aku berbohong" Bukankah kau masih dapat
mengenali aku, setidak-tidaknya suaraku?"
Wuranta terdiam. Tetapi ia berkelahi terus seperti permintaan
lawannya yang mengaku bernama Ki Tanu Metir.
"Ya. Ya. Aku mengenalmu."
"Nah, ketahuilah bahwa seseorang mengikutimu, Alap-alap
Jalatunda" "He?" "Jangan terlampau keras."
"Kenapa ia mengikuti aku?"
"Aku tidak tahu. Tetapi apakah maksudmu datang kembali ke
Jati Anom malam ini" Apakah hal itu tidak menimbulkan
kecurigaan mereka" Bahkan Alap-alap Jalatunda telah
mengikutimu sampai di sini?"
Wuranta masih berkelahi terus. Perlahan-lahan ia menjawab,
"Aku harus pergi ke Jati Anom atas perintah Sidanti. Aku
harus melihat apa yang terjadi di kademangan itu dan apakah
Agung Sedayu masih ada di Jati Anom?"
Ki Tanu Metir terdiam sesaat. Sekali ia meloncat ke samping
namun kemudian kakinya berputar hampir menyentuh
lambung Wuranta. Wuranta mengumpat di dalam hati. Orang tua itu benar-benar
di luar dugaannya. Apalagi serangannya seakan-akan
bersungguh-sungguh sehingga apabila Wuranta lengah
sesaat, maka tubuhnya pasti akan dikenai oleh serangan Ki
Tanu Metir itu. Tetapi justru Wuranta mengetahui bahwa lawanya adalah Ki
Tanu Metir, maka tendangannya pun menjadi ragu-ragu.
Pedangnya tidak terayun-ayun dengan garangnya. Bahkan
setiap kali ia menahan ayunan senjatannya itu.
"Jangan ragu-ragu," berkata Ki Tanu Metir. "Kalau kau raguragu,
maka mata Alap-alap yang tajam itu pasti akan
mengetahuinya." "Dimanakan ia sekarang?"
"Tidak terlampau jauh. Karena itu jangan terlalu keras. Kita
bisa berkisar ke tempat yang lebih lapang supaya ia tidak
dapat mendekat." Demikian perkelahian itu berkisar ke tempat yang agak
lapang. Kesempatan Alap-alap Jalatunda untuk mendekati
perkelahian itu menjadi semakin kecil. Karena itu, maka di
kejauhan Alap-alap Jalatunda hanya dapat mengumpat di
dalam hatinya yang semakin kisruh. Sekali-sekali ia melihat
Wuranta terdesak. Dalam keadaan yang demikian ia benarbenar
menjadi bingung. Apakah ia akan membantunya atau
tidak" Tetapi lawan Wuranta itu sudah jelas bukan Agung
Sedayu dan bukan pula orang yang dikirim Sidanti.
Sekali-sekali Alap-alap Jalatunda itu menggertakkan giginya.
Ingin ia meloncat dan ikut serta berkelahi di pihak manapun.
Tetapi tugasnya telah mencegahnya berbuat demikian. Ia
hanya dapat menilai dengan tegang kedua orang yang sedang
berkelahi itu. "Tetapi Wuranta itu terdesak," desisnya. "Mereka berkisar
semakin jauh." Lalu gumamnya, "Bagaimanakah kalau
Wuranta itu terbunuh. Apakah aku akan membiarkannya"
Sidanti pasti menyangka bahwa aku yang membunuhnya.
Tetapi kalau aku membantunya, maka tugasku pun akan
gagal sama sekali." Dalam kebingungan itu Alap-alap Jalatunda berdiri saja seperti
patung. Sekali-sekali dirabanya hulu pedangnya namun
kemudian tangannya itu terkulai dengan lemahnya, tergantung
di sisi tubuhnya yang bersandar sebatang pohon tempatnya
berlindung. Sementara itu Wuranta masih juga berkelahi melawan Ki Tanu
Metir. Perlahan-lahan Wuranta mendengar Ki Tanu Metir
berkata, "Kau ternyata sedang dalam pengawasan. Mungkin
Sidanti ingin membuktikan, apakah kau bukan sekedar
seorang yang memancing kepercayaan seperti yang
sebenarnya kau lakukan. Karena itu berhati-hatilah. Ternyata
lereng Merapi itupun berisi rang-orang yang berotak terang
meskipun kadang-kadang licik."
"Jadi apa yang harus aku lakukan?" bertanya Wuranta
"Pulanglah ke rumahmu. Aku, Agung Sedayu, dan Swandaru
berada di sana. Tetapi jangan terlampau cepat. Berilah kami
kesempatan masuk ke rumah itu. Apakah Agung Sedayu
sudah mengenal keluargamu sehingga ia dapat masuk
dengan aman?" "Aku kira sudah. Yang ada dirumah hanyalah orang-orang tua.
Tak ada orang lain lagi. Dan mereka pasti mengenalnya.
Mungkin mereka lupa, tetapi mereka akan segera ingat
kembali apabila Agung Sedayu menyebut dirinya."
"Baik. Kami akan kesana. Kami akan menemuimu di rumahmu
sehingga tidak menimbulkan kecurigaan bagi orang yang
mengikutinya." "Terima kasih atas peringatan itu Kiai. Kalau aku tidak
mengetahui bahwa seseorang mengikuti aku, maka besok
mungkin aku sudah digantung di pinggir jurang."
"Suatu peringatan bagimu. Hati-hatilah untuk seterusnya."
"Baik, Kiai." "Sekarang bertempurlah sesungguhnya. Aku akan
menghindar dan meninggalkan perkelahian ini. Ingat, jangan
terlampau cepat, supaya aku mendapat waktu masuk lebih
dahulu ke rumahmu bersama Agung Sedayu"
"Baik, Kiai." "Mulailah." Wuranta pun segera memutar pedangnya lebih cepat. Tetapi
tenaganya telah benar-benar hampir habis. Ia harus
mengerahkan sisa-sisa tenaga yang ada padanya untuk dapat
bergerak lebih cepat. Alap-alap Jalatunda yang melihat perkelahian itu dari
kejauhan menjadi semakin cemas. Ia tidak dapat melihat
dengan jelas apa yang terjadi. Ketika perkelahian itu berkisar
ke tempat yang agak lapang, maka bayangan keduanya
menjadi tidak jelas. Tetapi dari jarak yang agak jauh itu, AIapalap
Jalatunda hanya sekedar melihat dua buah bayangan
yang melontar ke sana ke mari. Sekali-sekali tampak sekilas
sinar gemerlapnya pedang Wuranta memantulkan cahaya
bintang gemintang di langit. Tetapi setelah itu maka kedua
bayangan itu pun seakan-akan menjadi lebur tak terpisahkan.
Setiap kali Alap-alap Jalatunda merasa bahwa Wuranta
terdesak, hatinya menjadi berdebar-debar. Ia berdiri pada
keadaan yang sulit. Tetapi ia melihat suatu perubahan pada perkelahian itu. Ia
melihat salah seorang daripadanya terdorong beberapa
langkah surut bahkan kemudian berguling beberapa kali untuk
menghindari lawannya. Dalam pada itu, lawannya berusaha
mengejarnya terus. Sebuah pedang terjulur lurus-lurus ke
depan sedang lawannya terus-menerus menghindarinya.
Alap-alap Jalatunda menarik napas dalam-dalam. "Hem,"
desahnya "ternyata Wuranta berhasil mengatasi kesulitan.
Agaknya anak itu cakap juga bermain pedang."


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pertempuran itu memang hampir sampai pada akhirnya.
Wuranta dengan sisa-sisa tenaganya ingin menunjukkan
bahwa ia benar-benar sempat memenangkan perkelahian itu,
dan Ki Tanu Metir pun mampu pula bermain dengan baiknya.
Kali ini ia beperan sebagai seorang yang sedang didesak oleh
lawannya. Sebagai seorang yang mencoba mengerahkan
sisa-sisa kekuatannya untuk menyelamatkan diri dari
sambaran pedang. Melihat saat-saat terakhir dari perkelahian itu Alap-alap
Jalatunda menahan nafasnya. Setiap kali Wuranta mendesak
lawannya, Alap-alap Jalatunda itu mengepalkan tinjunya.
Seolah-olah ia ingin meloncat dan membantu menerkam
lawan Wuranta itu. Tetapi hanya giginya sajalah yang
terdengar gemeretak. Alap-alap Jalatunda itu bersorak di dalam hatinya ketika
melihat lawan Wuranta itu meloncat surut beberapa langkah,
kemudian dengan tergesa-gesa membalikkan tubuhnya dan
berlari meninggalkan anak muda Jati Anom itu.
"Jangan lari!" Alap-alap Jalatunda mendengar lamat-lamat
suara Wuranta. "Jangan sombong," jawab orang yang lari itu, "aku belum
kalah." "Tunggu dan kita teruskan perkelahian ini."
"Belum waktunya."
"Pengecut!" "Kau pembual yang besar kepala."
"Siapakah kau he?" bertanya Wuranta
Yang terdengar hanyalah suara tertawa. Lawan Wuranta itu
tertawa dalam nada yang tinggi. Demikian tajamnya nada
suara itu sehingga dada Alap-alap Jalatunda serasa tertusuk
beribu jarum. Apalagi Wuranta, kali ini ia benar-benar
menderita di dalam dadanya, bukan sekedar sebuah
permainan. Untunglah bahwa suara tertawa itu tidak terlampau lama.
Suara tertawa yang aneh itu segera berhenti.
Wuranta tidak mampu lagi berlari mengejar lawannya itu. Kini
ia berdiri bersandar sebatang pohon di pinggir jalan.
Tenaganya benar-benar terkuras habis, apalagi isi dadanya
serasa hancur tersayat-sayat oleh suara tertawa yang bernada
tinggi dan tajam itu. "Hem," desahnya, "siapakah sebenarnya orang yang bernama
Ki Tanu Metir itu" Tanpa tenaganya ia dapat membunuh aku
hanya dengan nada suaranya."
Di tempat lain Alap-alap Jalatunda pun berdiri pula bersandar
sebatang pohon sambil menahan dadanya dengan telapak
tangannya. "Gila," geramnya. Tetapi ia tidak sepayah Wuranta.
Tenaganya masih cukup kuat untuk menahan dirinya
meskipun suara tertawa itu benar-benar seperti meremas ulu
hati. "Hampir aku tidak percaya bahwa orang yang memiliki
kekuatan seperti orang itu dapat dikalahkan oleh Wuranta.
Suara tertawanya seakan-akan mempu merontokkan tulangtulang
iga. Aneh. Mungkin ia mempunyai kekuatan batin yang
tinggi, tetapi kekuatan jasmaniahnya yang sangat kurang.
Tetapi kenapa ia tidak berusaha mengalahkannya lawannya
itu dengan kelebihannya itu?"
Orang itu bagi Alap-alap Jalatunda telah menimbulkan
pertanyaan yang sulit untuk dijawabnya. Tetapi dengan
demikian ia mengenal bahwa di lereng Merapi ini ada
seseorang yang aneh. Yang selama ini tidak pernah
diperhitungkan. Orang itu bukan Agung Sedayu, bukan
Untara, bukan Widura, bukan Sidanti, dan bukan Ki Tambak
Wedi. Ketika Alap-alap Jalatunda telah terasa segar kembali, maka
dijulurkannya kepalanya melihat apakah Wuranta sudah
meneruskan perjalanannya. Tetapi anak muda Jati Anom itu
ternyata kini malahan duduk di atas rerumputan kering
bersandar pohon di sisi jalan. Tampaklah ia terlalu payah
setelah berkelahi sekian lama melawan orang yang tidak
dikenalnya. "O, anak itu hampir mati," gumam Alap-alap Jalatunda di
dalam hatinya. "Mudah-mudahan ia tidak mati karena
jantungnya rontok. Apabila demikian Sidanti akan marah
kepadaku. Akulah yang disangkanya membunuh anak itu.
Tetapi kalau ia masih saja duduk di situ, maka perkerjaan ini
pasti akan tertunda. Kalau anak itu sampai ke Jati Anom
setelah terang, maka aku tidak akan dapat mengikutinya
terus." Namun Alap-alap Jalatunda masih mencoba menyabarkan
diri. "Biarlah ia sekedar bernafas."
Wuranta yang duduk bersandar sebatang pohon itu
sebenarnya memang sedang berusaha untuk memulihkan
nafasnya yang tersengal-sengal. Tetapi ia juga sengaja
beristirahat agak lama seperti pesan Ki Tanu Metir. Meskipun
kemudian nafasnya telah agak teratur, tetapi ia masih saja
duduk dengan tenangnya. "Mampuslah tikus cengeng," geram Alap-alap Jalatunda yang
hampir kehabisan kesabaran. Alangkah senangnya apabila ia
diijinkan meloncati anak muda itu dan kemudian mencekik
lehernya. Tetapi akhirnya Wuranta itu berdiri juga. Sekali ia menggeliat,
kemudian memijit punggungnya dengan kedua tangannya.
"Pemalas," Alap-alap Jalatunda masih saja mengumpat-umpat
seorang diri. Wuranta itu akhirnya melangkahkan kakinya juga. Perlahanlahan.
Bukan saja karena ia sengaja memperlambat
perjalanannya, tetapi sebenarnyalah bahwa ia sendiri sedang
kelelahan. Ketika menurut perhitungan Wuranta waktu yang diberikan
kapada Agung Sedayu, Swandaru, dan Ki Tanu Metir telah
cukup, maka barulah ia mempercepat langkahnya. Pedangnya
kini telah menggantung di lambungnya.
Namun dalam pada itu ia dapat juga berbangga kepada diri
sendiri. Ternyata ia dapat juga bermain pedang, meskipun
tidak terlampau baik. Langkah Wuranta itu pun semakin lama menjadi semakin
cepat. Angin yang silir telah menyegarkan tubuhnya.
Selembar-selembar daun yang kuning berguguran di atas
tanah yang basah oleh embun.
Alap-alap Jalatunda mengikutinya dengan berdebar-debar.
Semakin dekat dengan Jati Anom hatinya menjadi semakin
tegang. Alap-alap Jalatunda sendiri tidak berusaha menyadari
apakah sebabnya maka ia diganggu oleh kecemasan. Kalau
sekali-sekali timbul gambaran Agung Sedayu di dalam
benaknya, maka cepat-cepat ia menggeram, "Persetan
dengan anak itu. Bahkan aku ingin berjumpa langsung dengan
Agung Sedayu supaya aku sempat membunuhnya dalam
perang tanding sebagai laki-laki."
Tetapi Alap-alap Jalatunda tidak meyakini angan-angan itu.
Agung Sedayu yang dibencinya itu masih merupakan seorang
yang disegani. "Tetapi suatu kali dendamku akan aku lepaskan," Alap-alap
Jalatunda menggeram lagi.
Perjalanan itu pun semakin lama menjadi semakin dekat. Jati
Anom kini telah berada di hadapan hidung mereka.
Kini Alap-alap Jalatunda tidak lagi dapat lengah barang
sekejap. Ia tidak boleh kehilangan Wuranta. Pekerjaan untuk
mengikutinya bukanlah pekerjaan yang mudah. Tetapi Alapalap
Jalatunda itu cukup berpengalaman, sehingga ia tidak
banyak menemui kesulitan. Apalagi Wuranta sendiri dengan
sengaja membiarkan dirinya diawasi. Karena itulah pekerjaan
Alap-alap Jalatunda itu menjadi terasa lebih mudah.
Alap-alap Jalatunda menjadi berdebar-debar ketika Wuranta
berjalan dengan perlahan-lahan langsung menuju ke rumah
Agung Sedayu. Bahkan mulai timbullah kecurigaannya, bahwa
anak itu bukanlah anak yang dapat dipercaya. Kalau demikian
maka prasangka Sidanti atasnya benar-benar beralasan.
"O, umurmu tidak lebih sampai besok," berkata Alap-alap
Jalatunda itu di dalam hatinya. Meskipun demikian ia tidak
mau melepaskannya. Dengan hati-hati ia mengikuti anak itu
sampai ke depan regol rumah Agung Sedayu.
"Bukankah rumah itu rumah Agung Sedayu," berkata Alapalap
Jalatunda di dalam hatinya. Alap-alap itu pernah satu kali
memasuki rumah itu bersama dengan Sidanti sebelumnya.
Di muka regol, Alap-alap Jalatunda melihat Wuranta itu
berhenti. Ketika Wuranta itu kemudian dengan hati-hati
menjengukkan kepalanya di regol halaman, maka ia mulai
menjadi ragu-ragu. "Kalau anak itu sengaja dikirim oleh Agung Sedayu, ia pasti
tidak akan ragu-ragu lagi masuk ke dalam halaman," desisnya
kepada diri sendiri. Tetapi Wuranta itu tidak segera langsung
masuk ke dalam halaman. Karena itu maka keinginannya
untuk melihat apa yang akan dilakukan oleh Wuranta itu
menjadi semakin besar. Kini ia tidak dapat memastikan
apakah Wuranta itu termasuk orangnya Agung Sedayu seperti
yang disangka oleh Sidanti.
Ketika Wuranta masuk, maka Alap-alap Jalatunda segera
mendesak maju. Ia tidak mau kehilangan anak muda Jati
Anom itu. Dengan hati-hati pula diikutinya saja ke mana anak
muda itu pergi. Dengan berdebar-debar Alap-alap Jalatunda melihat Wuranta
pergi ke belakang. Dengan penuh perhatian dilihatnya
Wuranta pergi ke sebuah bilik di bagian balakang rumah
Agung Sedayu. Alap-alap Jalatunda itu berhenti dan segera bersembunyi di
balik rumpun pisang ketika ia melihat Wuranta pun berhenti.
Anak muda itu segera melepas ikat kepalanya dan dengan
ikat kepala itu ia menutup wajahnya. Dilepasnya pula bajunya
dan diikatkannya di lambungnya.
"Apakah yang akan dilakukannya?" bertanya Alap-alap
Jalatunda kepada diri sendiri. Tingkah laku Wuranta itu benarbenar
menimbulkan keheranan di hatinya.
Alap-alap Jalatunda itu berkisar semakin dekat ketika ia
melihat Wuranta perlahan-lahan mengetuk pintu bilik belakang
rumah itu. "Siapa?" terdengar seorang perempuan bertanya.
"Aku bibi." "Siapa?" "Aku" Perlahan-lahan terdengar amben bambu bergerit, disusul oleh
langkah seorang perempuan mendekati pintu. Sejenak
kemudian pintu itu pun bergerit terbuka.
Alangkah terkejutnya perempuan itu ketika tiba-tiba ia melihat
ujung pedang tepat mengarah ke dadanya. Hampir-hampir ia
memekik, tetapi segera Wuranta membentak, "Jangan
membuat gaduh! Kalau kau berteriak, maka perutmu akan
berlubang." Perempuan itu terdiam. Ia berdiri gemetar di muka pintu.
"Jawab pertanyaanku!" berkata Wuranta. "Apakah Agung
Sedayu masih ada di sini?"
Dengan tergagap perempuan itu menjawab, "Aku tidak tahu,
Tuan." "Jangan bohong! Aku melihatnya sore tadi. Ayo katakan,
apakah ia di rumah ini. Kalau tidak, maka kepala anakmu itu
akan aku penggal." "Jangan, Tuan. Kalau Tuan ingin membunuh, bunuh aku saja."
"Itu adalah urusanku, apakah aku akan membunuhmu atau
akan menggantung anakmu."
"Anakku tidak bersalah apapun, Tuan," perempuan itu mulai
menangis. "Kalau kau ingin anakmu selamat, jawab apakah siang ini
Agung Sedayu masih di sini?"
Perempuan itu ragu-ragu sejenak. Tetapi ujung pedang
Wuranta menjadi semakin dekat dengan dadanya. "Ayo
katakana! Atau kepala anakmu akan menggelinding di
halaman ini?" "Jangan, Tuan."
"Katakan sebelum aku kehabisan kesabaran!"
"Ya, siang tadi Angger Agung Sedayu ada di rumah ini."
"Apakah sekarang ia ada di rumah ini juga?"
Perempuan itu terdiam. Kembali ia mejadi ragu-ragu untuk
mejawab pertanyaan itu. Tetapi pedang itu hampir menyentuh
dadanya. "Bagaimana" Apakah kau tidak dapat berbicara lebih cepat?"
"Aku tidak tahu, Tuan. Aku tidak tahu."
"Bohong! Jangan mencoba berbohong ya. Aku tidak banyak
mempunyai waktu untuk bercakap-cakap tanpa arti. Atau kau
menunggu aku marah dan kehilangan kesabaran sehingga
anakmu mati?" "Tidak, Tuan. Tetapi sebenarnyalah aku tidak tahu apa-apa."
Wuranta tidak menjawab. Tetapi tiba-tiba ia melangkah maju
sambil berkata, "Minggir, aku akan mengambil anakmu yang
sedang tidur itu." "Jangan, Tuan. Jangan"
Mata Wuranta yang menyembul di atas ikat kepala yang
menutupi wajahnya memancarkan sorot yang mengerikan.
Terdengar ia menggeram sambil beringsut maju. "Minggir,
minggir, atau kalian berdua aku bunuh bersama-sama."
"Jangan, Tuan," rintih perempuan itu. "Kalau tuan ingin
membunuh aku, bunuhlah, tetapi jangan anakku itu."
"Persetan!" sahut Wuranta. "Aku hanya akan menghidupimu
kalau kau berkata sebenarnya. Ayo jawab di mana Agung
Sedayu sekarang?" Perempuan itu terdiam. "Cepat katakan, apakah ia masih berada di sini?"
Tubuh perempuan itu bergetar. Dengan suara parau ia
menjawab penuh keragu-raguan. "Ya, Tuan. Angger Agung
Sedayu masih berada di sini."
Wuranta menarik nafas dalam-dalam. "Bagus!" katanya.
"Ternyata kau menjawab sebenarnya. Di mana ia sekarang"
Apakah ia berada di dalam rumah, atau bersembunyi di atas
kandang?" "Angger Agung Sedayu baru pergi, Tuan."
"Cukup," potong Wuranta. Ia tidak mau mendengar
perempuan itu menjelaskan kemana Agung Sedayu pergi atau
bahkan mengatakan dengan siapa ia pergi.
"Keteranganmu sudah cukup. Aku hanya ingin tahu apakah
Agung Sedayu masih berada di Jati Anom. Ternyata anak itu
benar-benar anak yang sombong. Siang tadi ia telah dilihat


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

oleh kawan-kawanku dari lereng Merapi, tetapi ia merasa
bahwa ia tidak perlu melarikan dirinya."
Perempuan itu hanya berdiam diri.
"Jangan kau katakan kepada Agung Sedayu, bahwa aku
malam ini datang kemari. Kalau besok Agung Sedayu
mendengar kedatanganku dan anak itu lari, maka anakmulah
yang akan aku penggal lehernya."
"Tuan," perempuan itu hampir menjerit, "bagaimanakah kalau
Angger Agung Sedayu itu dengan kehendaknya sendiri ingin
pergi dari rumah ini meskipun aku tidak mengatakan sesuatu
kepadanya?" "Mustahil! Kalau ia ingin pergi, maka ia akan pergi siang tadi.
Tetapi sampai malam ini ia masih berada di rumah ini."
"Tetapi anak muda itu sekarang ternyata telah pergi.
Bagaimanakah kalau ia tidak kembali?"
"Cukup, cukup! Sekarang masuklah. Tutup pintu ini. Aku akan
melihat pintumu sepanjang malam."
Perempuan itu masih saja menggigil di muka pintu rumahnya,
sehingga sekali lagi Wuranta membentaknya, "Masuk, cepat!"
Perempuan itu tidak dapat berbuat lain daripada menurut saja
perintah itu. Dengan tubuh yang gemetar ia surut selangkah,
dan dengan perlahan-lahan ia menutup pintu rumahnya.
"Jangan kau buka lagi pintu rumahmu sampai besok, supaya
kau tidak aku bunuh bersama anakmu"
Tak terdengar jawab. Tetapi Wuranta mendengar suara
perempuan itu menangis. Dan tangis perempuan itu telah
menyentuh hati anak muda itu. Ia kenal benar siapakah
perempuan penunggu rumah Agung Sedayu itu. Dan ia dapat
merasakan betapa ketakutan telah melanda hatinya. Tetapi ia
tidak dapat berbuat lain. Ia sendiri sedang dalam keadaan
yang mengkhawatirkan. Sesaat kemudian, dengan hati yang trenyuh Wuranta
melangkahkan kakinya meninggalkan pintu bilik di belakang
rumah itu sambil membetulkan baju dan ikat kepalanya.
Sementara itu ia bergumam di dalam hatinya, "Maafkan aku
bibi. Aku telah membuat kau ketakutan."
Wuranta tahu benar bahwa Alap-alap Jalatunda pasti sedang
mengawasinya. Karena itu, maka iapun harus tetap berhatihati.
Kini ia akan menuju ke rumahnya sendiri. Seperti pesan
Kiai Gringsing yang dikenalnya dengan nama Ki Tanu Metir,
maka Agung Sedayu, Swandaru, dan Ki Tanu Metir akan
berada di rumah itu. Wuranta pun kemudian dengan hati yang berdebar-debar
meniggalkan halaman rumah Agung Sedayu. Ketika ia
menginjakkan kakinya di atas jalan yang membelah
pedukuhannya, maka sekali ia berpaling. Halaman rumah itu
tampak gelap. Dan ia tidak melihat seorang pun di dalamnya.
Tetapi ia yakin bahwa Alap-alap Jalatunda sedang
mengintainya. Perlahan-lahan ia melangkahkan kakinya di atas jalan yang
berbatu-batu. Selangkah demi selangkah. Suara gemerisik
kakinya terdengar beruntun di tengah-tengah sepinya malam.
Sekali-sakali angin yang kencang bertiup menggerakkan
daun-daunan yang hijau. Tetapi sejenak kemudian sepi
kembali. Akhirnya Wuranta itu sampai pula ke muka rumahnya.
Sejenak ia ragu-ragu. Apakah Alap-alap Jalatunda tidak akan
mengintai rumahnya itu pula" Tetapi mudah-mudahan orang
itu tidak berhasil melihat ruangan-ruangan di dalam rumahnya
dari celah-celah dinding.
Perlahan-lahan ia melangkah masuk ke dalam halaman.
Hatinya yang berdebar-debar selalu saja mengusik
perasaannya. Tetapi ia melangkah terus.
Wuranta tidak menuju ke pintu depan rumahnya. Anak muda
itu berjalan di sisi pendapa dan membelok lewat di samping
gandok. Kemudian perlahan-lahan ia mengetuk pintu
belakang. "Siapa?" ia mendengar seseorang menyapa.
"Wuranta," jawabnya.
Sejenak kemudian pintu itupun terbuka dan anak muda itu
hilang ditelan ke dalamnya.
Alap-alap Jalatunda yang selalu mengintainya menarik nafas
dalam-dalam. Ia merasa seolah-olah tugasnya telah selesai. Ia
hanya mendapat kewajiban untuk melihat apakah Wuranta
menemui Agung Sedayu atau tidak. Ternyata apa yang
dilihatnya sama sekali tidak menumbuhkan kecurigaannya
atas anak muda Jati Anom itu. Bahkan ia senang melihat cara
anak muda itu mengetahui Agung Sedayu masih berada di
rumahnya atau tidak. Karena itu, maka Alap-alap Jalatunda
merasa bahwa tidak ada lagi gunanya ia terlalu lama berada di
Jati Anom. "Aku akan mendahuluinya," katanya di dalam hati. "Besok
kalau Wuranta sampai padepokan Ki Tambak Wedi, aku harus
sudah berada di sana supaya aku tidak mendapat kesan,
bahwa malam ini aku telah mengikutinya. Mungkin ia masih
akan singgah ke rumahnya sendiri. Biarlah, itu tidak penting
bagi tugasku." Alap-alap Jalatunda itu pun segera melangkah dengan hatihati
untuk meninggalkan Jati Anom. Ia tidak memperhatikan
apa yang terjadi seterusnya di rumah Wuranta. Dan ia sama
sekali tidak tahu, bahwa Agung Sedayu dan kawan-kawannya
telah menunggu Wuranta di dalam rumahnya untuk
mendapatkan beberapa macam ceritera tentang lereng
Gunung Merapi. "Tidak banyak yang dapat aku lihat sehari ini," berkata
Wuranta. "Waktumu hanya sedikit," sahut Ki Tanu Metir, "tetapi tidak
berarti bahwa kau telah gagal. Bukankah kau besok akan
kembali lagi?" "Tidak besok Kiai," jawab Wuranta, "malam ini."
Ki Tanu Metir, Agung Sedayu dan Swandaru menganggukanggukkan
kepalanya. Kemudian terdengar Agung Sedayu bertanya, "Apakah kita
akan pergi bersama Wuranta malam ini Kiai?"
"Jangan," jawab Ki Tanu Metir. "Kita sama sekali belum
mendapat gambaran bagaimana kita harus mendekati rumah
tempat Sidanti menyembunyikan Sekar Mirah. Bagaimana
cara kita memasuki padepokan Ki Tambak Wedi dan bahkan
Wuranta belum melihat dimanakah rumah tempat Sekar Mirah
itu berada." "Apakah kita masih harus menunggu lagi?" sahut Swandaru.
"Ya," jawab Kiai Gringsing, "kita harus lebih banyak mendapat
petunjuk." "Kita menunggu sampai Sekar Mirah mengalami nasib yang
paling buruk dalam hidupnya?" bertanya Agung Sedayu.
Ki Tanu Metir menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Tentu
tidak. Tetapi kitapun tidak akan mempercepat nasib yang
paling buruk itu menimpanya. Bukankah begitu" Kalau kita
dengan tergesa-gesa melakukan usaha ini, dan akhirnya
usaha kita dapat diketahui oleh mereka, bukankah itu hanya
berarti mempercepat bencana yang menimpa Sekar Mirah?"
"Waktu itu tidak dapat kita perkirakan. Mungkin hari ini Sekar
Mirah telah kehilangan segala-galanya"
"Tidak," tiba-tiba Wuranta menyela.
"Apakah kau tahu?" bertanya Swandaru
"Menurut Alap-alap Jalantunda, Sidanti adalah seorang
pengecut di hadapan gadis-gadis, sehingga Sidanti
membiarkan saja Sekar Mirah sampai sekarang di dalam
penyimpanan. Bahkan apabila ada kesempatan Alap-alap
Jalatunda itu sendirilah yang berbahaya bagi Sekar Mirah.
Tetapi menurut keadaan yang aku lihat, Alap-alap Jalatunda
tidak akan dengan begitu saja berani menembus pengawasan
Sidanti." Mereka kemudian terdiam sejenak. Persoalan yang mereka
hadapi adalah persoalan yang benar-benar mendebarkan
jantung. Bencana yang setiap saat dapat menimpa Sekar
Mirah adalah bencana pula buat kedua anak-anak muda murid
Kiai Gringsing itu. Tetapi mereka tidak dapat mengingkari kenyataan yang
mereka hadapi, bahwa Sekar Mirah kini berada di dalam
lingkungan yang penuh dengan bahaya. Seolah-olah gadis itu
berada di dalam suatu rumah yang dipagari dengan ujung
tombak dan pedang. "Kita tidak boleh menuruti perasaan saja tanpa pertimbangan
nalar, Ngger," berkata Ki Tanu Metir kemudian. "Dengan
demikian kita akan dapat terjerumus ke dalam suatu keadaan
yang tidak kita kehendaki, sedang dengan demikian Sekar
Mirah pun tidak akan dapat kita selamatkan."
Agung Sedayu dan Swandaru tidak menjawab. Mereka
melihat segala macam kesulitan dan bahaya dengan darah
yang mendidih. Tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa.
Yang terdengar kemudian adalah gemeretak gigi Swandaru
dan Agung Sedayu menggeram.
"Angger Wuranta," berkata Ki Tanu Metir, "Angger telah
mendapatkan suatu kesempatan yang baik. Mudah-mudahan
kesempatan itu akan berkembang sehingga Angger segera
dapat melihat tempat Sekar Mirah disembunyikan dan jalan
yang akan dapat kita lalui. Ternyata Angger dapat melakukan
tugas Angger sebaik-baiknya sehingga tidak anehlah bagi
Angger untuk mendapat kepercayaan yang lebih banyak lagi,
Tetapi jangam kehilangan kewaspadaan. Untuk waktu yang
agak lama maka Angger pasti selalu di dalam pengawasan
Sidanti. Karena itu jangan sekali-sekali datang kembali ke
rumah Agung Sedayu. Kalau Angger mendapat kesempatan
pulang ke Jati Anom, datang sajalah ke rumah Angger dan
meninggalkan pesan di sini."
Wuranta mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia menyadari
bahaya yang timbul apabila kali ini Ki Tanu Mtetir tidak
memperingatkannya bahwa Alap-alap Jalatunda sedang
mengikutinya. Dalam pada itu Alap-alap Jalatunda telah bersiap untuk
meninggalkan Jati Anom. Ia melangkah perlahan-lahan
menyusuri jalan kademangan. Diamat-amatinya regol demi
regol seperti belum pernah dilihat sebelumnya. Dengan
langkah yang ringan ia melintasi tikungan demi tikungan.
Alap-alap Jalatunda itu kemudian berhenti sejenak di simpang
empat induk kademangan. Diawasi jalan yang lurus di
hadapannya silang menyilang. Satu arah jalan itu akan sampai
kerumah Agung Sedayu, sedang ketiga arah yang lain akan
menebar ke segala bagian kademangan. Pada jalan itu
kemudian bercabang-cabang jalan-jalan yang lebih kecil
menyusup ke segenap sudut.
Sejenak Alap-alap itu berdiri diam disudut perapataa itu.
Disandarkannya tubuhnya pada dinding batu hampir setinggi
dedeg dan pengawenya. Tetapi tiba-tiba Alap-alap itu dikejutkan oleh derap kaki
beberapa ekor kuda. Dengan sigapnya ia meloncat ke atas
dinding batu dan bersembunyi di antara daun-daun
pepohonan yang rimbun. Dengan hati yang berdebar-debar ia
menunggu, derap kaki kuda siapakah yang bergemeretak di
sepanjang jalan kademangan di larut malam ini.
Tetapi Alap-alap Jalatunda menjadi kecewa. Suara kaki-kaki
kuda itu seakan-akan patah di tengah-tengah. Hilang dan tidak
berderap di bawah tempatnya berlindung.
"Setan," Alap-alap itu mengumpat, "siapakah yang berkuda di
malam begini?" Tetapi suara derap kuda itu seakan-akan lenyap begitu saja.
Yang didengar oleh Alap-alap Jalatunda kemudian adalah
desir angin malam terhempas di dedaunan dan dindingdinding
batu. Di kejauhan suara cengkerik bersahut-sahutan
dengan derik bilalang. "Apakah aku mendengar derap kaki hantu ataukah telingaku
yang telah menjadi rusak," gumam Alap-alap Jalatunda itu
seorang diri. Tetapi ia yakin bahwa ia telah mendengar derap kaki kuda.
Bahkan menurut perhitungannya tidak hanya seekor kuda,
tetapi paling sedikit tiga.
Hati Alap-alap Jalatunda menjadi tidak tenteram. Ia tidak
dapat melupakan suara derap kaki-kaki kuda itu. Karena itu,
maka hatinya mendesak semakin kuat untuk mencari, di
manakah kuda-kuda itu berhenti.
Dengan hati-hati Alap-alap itu pun kemudian meloncat turun
ke dalam halaman rumah di sisi jalan. Halama yang gelap oleh
tanaman yang liar. Di sana-sini masih terdapat gerumbulgerumbul
dan rumpun-rumpun bambu. Alap-alap Jalatunda itu pun segera menyelusup di antara
rumpun-rumpun bambu dan gerumbul-gerumbul di halaman.
Terbungkuk-bungkuk ia berjalan ke arah suara kaki-kaki kuda
itu menghilang. Tiba-tiba ia teringat bahwa arah itu adalah
arah rumah Untara. "Setan," desisnya, "apakah mereka itu Agung Sedayu dengan
kawan-kawannya atau bahkan Untara sendiri."
Keinginannya menjadi semakin mendesak. Dan ia menyuruk
semakin cepat ke arah rumah Agung Sedayu. Seakan-akan ia
mendapat kepastian bahwa kuda-kuda itu telah masuk ke
dalam halaman rumah itu. Ketika ia sampai di halaman di samping halaman Agung
Sedayu, maka ia pun menjadi semakin hati-hati. Beberapa
saat ia berdiri saja di bawah dinding di halaman seberang.
Diperhatikan keadaan dengan saksama.
Tiba-tiba dadanya berdesir ketika ia mendengar suara ringkik
kuda di halaman rumah Agung Sedayu. Kemudian ia
mendengar suara orang yang sedang bercakap-cakap di
dalam rumah. Tetapi ia tidak dapat menangkap kata-kata yang
diucapkan. "Demit itu agaknya," Alap-alap itu mengumpat di dalam hati.
"Agung Sedayu atau bukan, tetapi mereka ternyata lebih dari
seorang. Kalau mereka bukan Agung Sedayu, maka sedikitdikitnya
rumah itu bcrisi empat orang bersama Agung
Sedayu." Alap-alap Jalatunda itu kemudian tidak menunggu lebih lama
lagi. Segera ia beringsut meninggalkan halaman itu untuk
kembali ke lereng Gunung Merapi. Setidak-tidaknya ia telah
menyelesaikan tugasnya mengawasi Wuranta. Dan kini tanpa
disengaja ia telah melihat beberapa ekor kuda masuk ke
dalam halaman rumah Agung Sedayu. Dengan demikian
apabila mereka turun dari lereng Merapi, mereka harus
memperhitungkan keadaan itu. Mereka tidak dapat turun
seenaknya, berdua, bertiga atau bahkan seorang diri.
Dengan sedikit keterangan itu, Alap-alap Jalatunda


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meninggalkan Jati Anom. Bahkan ia ingin tahu, apakah besok
Wuranta dapat juga membuat laporan tentang kuda-kuda itu.
Karena itu maka Alap-alap Jalatunda tidak sempat melihat apa
yang terjadi sesudah itu di Jati Anom.
Ternyata ketiga orang berkuda itu adalah utusan Untara.
Mereka harus mendahului pasukannya yang segera akan
sampai pula di Jiati Anom besok. Mereka harus mengetahui
apakah Jati Anom sudah siap menerima mereka. Apakah di
Jati Anom tidak ada bahaya yang dapat mencelakakan
pasukannya. Ketiga orang berkuda itu kemudian diterima oleh perempuan
yang menunggui rumah Agung Sedayu. Diceriterakannya apa
saja yang baru saja dialaminya. Diceriterakannya tentang
seorang laki-laki yang wajahnya tertutup oleh ikat kepala
tanpa baju dan mengancamnya dengan pedang.
"Apakah orang itu kini mencari Agung Sedayu," bertanya salah
seorang dari orang-orang berkuda itu.
"Aku tidak tahu," jawab perempuan itu. "Tetapi aku tidak
mengatakan kemana Agung Sedayu pergi, dan orang itu tidak
menanyakannya pula."
"Tetapi kau mengatakan bahwa Agung Sedayu hari ini masih
di kademangan ini?" bertanya orang berkuda itu.
"Aku kehilangan akal ketika orang itu mengancam akan
membunuh anakku." Orang-orang berkuda itu terdiam. Sejenak kemudian salah
seorang dari mereka bertanya, "Di manakah Agung Sedayu
sekarang?" Perempuan itu ragu-ragu sejenak. Ia sama sekali belum
mengenal laki-laki berkuda itu. Karena itu, maka ia tidak
segera menjawab. "Kau mencurigai kami pula?" bertanya salah seorang dari
mereka. Perempuan itu masih juga berdiam diri.
"Adalah sewajarnya kau mencurigai kami. Tetapi biarlah kami
mencoba mendapatkan kepercayaan darimu. Aku tahu dari Ki
Untara tentang rumah ini. Bahwa ada seorang perempuan
yang menunggui rumah ini. Aku mengetahui dari Ki Untara
pula, bahwa Agung Sedayu datang ke rumah ini dengan
kedua orang kawannya. Seorang bertubuh gemuk bernama
Swandaru dan seorang lagi telah agak lanjut usia. Bukankah
begitu?" Perempuan itu menganggukkan kepalanya.
"Apakah kau masih ragu-ragu. Kalau kau mengenal
kelengkapan prajurit, maka melihat pakaianku kau akan
segera mengenal bahwa aku seorang prajurit."
*** Perempuan yang tidak banyak mengetahui seluk-beluk
keprajuritan itu sama sekali tidak dapat segera membedakan
pakaian seorang prajurit dan bukan. Tetapi keterangan orang
itu tentang Agung Sedayu memberinya sedikit kepercayaan.
Dalam tanggapannya, ia melihat beberapa perbedaan yang
tidak dapat dikatakannya, antara orang-orang ini dan orangorang
lereng Merapi yang satu dua pernah dilihatnya
berkeliaran di Jati Anom.
"Jadi apakah Tuan-tuan ini prajurit Pajang?"
"Ya, aku adalah prajurit Pajang yang datang dari Sangkal
Putung." Sejenak perempuan itu mematung. Diawasinya prajurit-prajurit
Pajang itu dengan seksama seolah-olah hendak meyakinkan
diri bahwa ia berhadapan dengan orang-orang yang tidak
berbahaya. Para prajurit Pajang itu pun sengaja berdiam diri. Dibiarkannya
perempuan itu menilai diri mereka.
Akhirnya perempuan itu berkata, "Aku sendiri tidak tahu
kemana Angger Agung Sedayu pergi."
Prajurit-prajurit itu mengerutkan keningnya. Sejenak mereka
saling berpandangan. Tetapi perempuan itu masih memberi
keterangan "Angger Agung Sedayu hanya meninggalkan sekeping papan,
yang hanya boleh aku tunjukkan kepada orang-orang yang
tidak mencurigakan."
"He?" ketiga prajurit itu menjadi heran. Apakah arti papan itu
bagi mereka" Mereka menjadi bertanya-tanya didalam hati ketika
perempuan itu pergi dan mengambil sepotong papan bekas
sebuah peti yang rusak. Di atas papan itu terlukis beberapa
buah coretan dengan enjet, perlengkapan makan sirih.
Tiba-tiba wajah para prajurit itu menjadi cerah. Adalah menjadi
kebiasaan mereka untuk memberikan beberapa tanda arah
apabila mereka sedang bepergian. Orang-orang yang berjalan
kemudian akan mengenal kemana orang-orang yang
terdahulu pergi. Tanda-tanda demikian hanyalah dikenal oleh
kelompok-kelompok atau prajurit-prajurit dari satu lingkungan
tertentu menurut perjanjian mereka masing-masing.
Dan tanda yang dilukis dengan enjet itu jelas bagi mereka,
arah yang ditempuh oleh Agung Sedayu.
"Hem," desis salah seorang prajurit itu, "ternyata Adi Agung
Sedayu cukup berhati-hati. Tanda itu tidak akan dapat dikenal
selain oleh prajurit Pajang khsusus yang berada di Sangkal
Putung." Perempuan itu hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Baiklah," berkata prajurit-prajurit itu, "kami akan menyusulnya.
Mungkin ada sesuatu yang penting yang dapat kami
perbincangkan dengan mereka."
"Silahkan," berkata perempuan itu.
Sejenak kemudian para prajurit itu pun segera meninggalkan
rumah Agung Sedayu mengikuti petunjuk pada lukisan enjet
itu. Mereka menuju ke barat dan pada tempat yang ditentukan
mereka membelok ke kiri. Beberapa langkah sekali lagi
mereka membelok ke kiri dan sampailah mereka pada suatu
regol tiga halaman dari ujung jalan. Regol itu adalah regol
halaman rumah Wuranta. Mereka yang berada dalam rumah itu terkejut ketika mereka
mendengar derap kaki kuda memasuki halaman. Dengan hatihati
Wuranta turun ke halaman belakang. Dari celah dedaunan
dilihatnya tiga bayangan turun dari kuda-kuda mereka.
Wuranta segera masuk kembali ke dalam rumahnya dan
memberitahukan apa yang dilihatnya. Tiga orang berkuda kini
berada di halaman depan. Sejenak Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Kemudian
katanya, "Akulah yang akan melihatnya. Seandainya Alap-alap
Jalatunda berada di halaman dan mengintai rumah ini maka ia
tidak akan mengenal aku. Kalau ketiga orang yang datang itu
justru atas petunjuk Alap-alap Jalatunda, maka kita harus
mengubah setiap rencana. Orang itu tidak akan kita lepaskan
dan kita akan menghadapi jumlah yang lebih besar besuk."
Agung Sedayu dan Swandaru tidak menjawab. Tetapi mereka
berdiri tegang di muka pintu ketika Ki Tanu Metir dengan hatihati
keluar lewat pintu belakang.
Orang tua itu adalah seorang yang memiliki beberapa
kelebihan dari orang kebanyakan. Itulah sebabnya, maka ia
berhasil mendekati ketiga penunggang kuda itu tanpa mereka
ketahui. Dengan penuh perhatian Ki Tanu Metir melihat ketiganya
mendekati pendapa.Perlahan-lahan mereka naik dan
perlahan-lahan pula mereka mengetuk pintu.
Tiba-tiba Kiai Gringsing menarik napas dalam-dalam. Menurut
pengamatannya, ketiga orang itu adalah prajurit-prajurit dari
Sangkal Putung. Karena itu, orang tua itu pun segera
mendekatinya. Kini, ketiga prajurit itulah yang terkejut, karena tiba-tiba saja
mereka melihat sesosok tubuh telah berdiri diujung pendapa.
Dengan serta-merta mereka meraba hulu pedang masingmasing.
Terdengar salah seorang bertanya, "Siapa?"
"Akulah yang bertanya," sahut Ki Tanu Metir, "siapakah kalian
bertiga?" Ketiga prajurit yang mendengar sapa itu menarik napas
dalam-dalam. Suara itu pernah dikenalnya. Suara Ki Tanu
Metir. "Oh," desis salah seorang dari mereka, "adakah itu Ki Tanu
Metir?" "Ya." "Kami adalah prajurit-prajurit yang datang dari Sangkal
Putung." "Pakaianmu telah memperkenalkan dirimu. Marilah masuk
lewat pintu belakang," berkata Ki Tanu Metir perlahan-lahan.
"Kenapa lewat pintu belakang?"
"Rumah ini mungkin mendapat pengawasan dari orang-orang
lereng Merapi. Tetapi menurut perhitunganku, orang-orang itu
telah meninggalkan halaman ini. Masuklah, dan berbicaralah
dengan Agung Sedayu. Aku mempunyai pekerjaan di sini. Aku
harus meyakinkan diri, bahwa tak seorangpun yang melihat
kehadiranmu di rumah ini supaya Wuranta menjadi korban
kesalahan yang telah aku buat."
"Apakah yang telah Kiai lakukan?"
"Masuklah lewat pintu belakang."
Ketiganya pun kemudian berjalan lewat pintu belakang masuk
ke dalam rumah. Sementara itu Kiai Gringsing tinggal di luar
dan dengan kemampuan yang ada padanya, diselidikinya
seluruh halaman rumah itu. Tetapi telinganya sama sekali
tidak menangkap suara apapun. Ia tidak mendengar nafas
seseorang, dan ia tidak melihat gerak-gerak yang
mencurigakan. "Kalau Alap-alap itu masih berada di sini, ia tidak akan luput
dari pengawasanku," desis orang tua itu di dalam hatinya.
Meskipun demikian, ia tidak puas dengan pengamatannya di
halaman itu. Dengan gerak yang lincah secepat tatit ia
meloncat ke luar halaman dan melihat setiap kemungkinan
dengan penuh perhatian. Kiai Gringsing tidak mau menduga-duga, apakah Alap-alap
Jalatunda masih berada di tempat itu atau tidak. Ia harus
dapat meyakinkan dirinya. Ia tidak mau mengorbankan
Wuranta yang dengan tulus telah bersedia membantu mereka.
Karena itu maka usahanya untuk meyakinkan diri itu pun tidak
terbatas di sekitar halaman rumah Wuranta, tetapi ia berjalan
cepat-cepat menyusur jalan menuju lereng Merapi.
Akhirnya yang dicari oleh Ki Tanu Metir itu diketemukannya
juga. Samar-samar ia melihat sebuah bayangan meninggalkan
Jati Anom. Orang itu adalah Alap-alap Jalatunda.
"Hem," desah Ki Tanu Metir di dalam hatinya. "Menilik jarak
yang telah ditempuh, agaknya orang ini telah pergi tanpa
melihat kehadiran ketiga prajurit dari Pajang. Seandainya ia
melihat juga, tetapi ia tidak tahu bahwa ketiganya telah masuk
ke halaman rumah Wuranta."
Dengan demikian hati Ki Tanu Metir itu pun menjadi tenteram.
Ia tidak mencemaskan lagi nasib Wuranta besok apabila ia
kembali ke lereng Merapi. Sebab apabila Alap-alap Jalatunda
melihat ketiga prajurit Pajang itu menemui Agung Sedayu di
rumah Wuranta, maka mereka pasti tidak akan mempercayai
lagi anak muda Jati Anom itu. Dengan demikian maka nasib
Wuranta pun akan tersangkut di ujung pedang.
Ketika Ki Tanu Metir itu kembali ke rumah Wuranta, maka
dilihatnya ketiga prajurit Pajang itu sedang berbincang dengan
asyiknya. Mereka agaknya sedang membicarakan masalah
tentang Jati Anom. "Marilah Kiai," Agung Sedayu mempersilahkan. Dan duduklah
Ki Tanu Metir kini di antara mereka.
"Ki Untara minta aku melihat kademangan ini Kiai," berkata
salah seorang prajurit-prajurit itu. Ia akan masuk besok
bersama pasukannya. Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian
kepada Wuranta ia berkata, "Angger harus dapat
menyesuaikan diri. Sebenarnya kami ingin segera mengetahui
tempat Sekar Mirah disembunyikan, supaya kami dapat
menempuh suatu cara yang cepat pula untuk
membebaskannya. Kami ingin membebaskan gadis itu
sebelum angger Untara memukul lereng Merapi dengan
pasukannya." Wuranta mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Selain daripada itu," berkata Ki Tanu Metir, "kita tidak boleh
menunggu Sidanti menghubungi daerah asalnya. Kedatangan
Argajaya akan dapat memberikan cara baru baginya dalam
usahanya menentang Pajang. Argajaya akan dapat memberi
nasihat kepada Sidanti untuk menghubungi ayahnya. Dan
ayahnya pasti tidak akan keberatan mengirimkan sepasukan
segelar sepapan untuk kepentingan anaknya."
Wuranta masih mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi
usaha yang harus dilakukan bukanlah usaha yang mudah. Ia
tidak akan dapat langsung bertanya di mana Sekar Mirah.
Tetapi ia akan dapat berbuat demikian lewat Alap-alap
Jalatunda yang sudah menceriterakan lebih dulu tentang gadis
itu. Meskipun demikian ia tidak boleh tergesa-gesa melakukan
pekerjaannya. Melihat wajah Wuranta yang tegang agaknya Ki Tanu Metir
dapat meraba perasaannya, sehingga kemudian katanya,
"Angger, memang pekerjaan itu bukanlah pekerjaan yang
mudah. Pekerjaan itu adalah pekerjaan yang sukar dan harus
dilakukan dengan sangat hati-hati. Mudah-mudahan Angger
dapat melakukannya dengan baik."
Wuranta mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian
katanya, "Aku akan coba Kiai. Tetapi sekarang aku tidak
banyak mempunyai waktu lagi. Aku harus segera kembali ke
lereng Merapi. Aku harus sampai pada saat fajar menyingsing.
Tetapi agaknya aku akan terlambat. Mudah-mudahan
keterlambatan sedikit itu tidak menjadi soal bagi pekerjaanku."
"Mudah-mudahan, Ngger," sahut Kiai Gringsing. "Tetapi
Angger jangan kehilangan kewaspadaan. Katakan saja apa
yang Angger lihat di sini. Angger melihat ketiga prajurit datang
ke Jati Anom. Bahkan mereka datang ke rumah Angger.
Mungkin atas petunjuk Agung Sedayu. Untunglah Angger
dapat melarikan diri. Tetapi prajurit itu segera pergi."
Wuranta mengangguk-anggukkkan kepalanya. Tetapi ia
bertanya, "Kenapa aku harus mengatakan kehadiran ketiga
prajurit ini?" "Kalau laporanmu sama atau setidak-tidaknya mirip dengan
laporan Alap-alap jalatunda, maka kau pasti akan dapat
kepercayaan lebih banyak."
"Tetapi apakah dengan demikian tidak akan merugikan ketiga
prajurit ini Kiai?"

01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apakah kerugiannya" Besok pasukan Untara datang. Berita
itu pasti didengar oleh Sidanti. Ia pasti mempunyai orangorang
yang bertugas untuk mengawasi keadaan. Seperti kau,
tetapi satu sama lain tidak saling diperkenalkan."
Wuranta mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Kemudian
iapun minta diri untuk segera kembali ke lereng Merapi. Ia
akan berusaha datang tepat pada waktunya, ataupun kalau
terlambat, maka kelambatannya tidak akan terlampau
panjang. Kiai Gringsing dan kawan-kawanya pun kemudian
melepaskan Wuranta itu pergi dengan berbagai pesan. Dada
Kiai Gringsing pun kadang-kadang berdesir melihat langkah
Wuranta meninggalkan halaman rumahnya. Ia menyadari
betapa besar bahayanya pekerjaan yang kini sedang
dilakukan oleh Wuranta itu.
"Mudah-mudahan Tuhan melindunginya," desisnya di dalam
hati. Dengan tergesa-gesa kemudian Wuranta berjalan
meninggalkan Jati Anom. Ia ingin sampai ke padepokan Ki
Tambak Wedi sebelum fajar. Tetapi menilik waktu yang
seolah-olah berlari terlampau cepat, maka Wuranta itu pun
merasa bahwa kedatangannya pasti akan terlambat.
"Tetapi keterlambatanku pasti tidak akan terlampau banyak,"
anak muda itu mencoba menenteramkan hatinya sendiri.
Tanpa disengaja maka langkahnya pun menjadi kian cepat.
Angin pegunungan yang bertiup perlahan-lahan telah
memberinya kesegaran. Beberapa lama Wuranta diperjalanan, tidak dirasakannya.
Tetapi tiba-tiba saja dilihatnya remang-remang pepohonan di
sisi jalan. Ketika ia berpaling, maka dilihatnya langit di sebelah
timur telah diwarnai oleh cahaya fajar yang kemerah-merahan.
"Hem," desah Wuranta, "hampir fajar. Tetapi apabila benar
kata Ki Tanu Metir bahwa Alap-alap Jalatunda mengikutiku,
maka ia akan dapat banyak berceritera. Ia akan dapat
mengatakan bahwa aku telah berkelahi melawan seseorang.
Kemudian ia akan dapat berceritera pula tentang tiga ekor
kuda." Perjalanan Wuranta menjadi kian mendaki. Ia telah sampai di
lereng-lereng Gunung Merapi. Beberapa pedukuhan yang sepi
telah dilampaui, dan kini ia telah melampaui hutan-hutan yang
tidak begitu lebat. Meskipun demikian di dalam hutan itu masih
juga berkeliaran harimau dan babi hutan. Tetapi yang paling
mengerikan adalah gerombolan anjing-anjing liar yang
jumlahnya tidak terhitung lagi.
Sejenak kemudian maka ujung-ujung pepohonan telah
menjadi kemerah-merahan pula. Disusul oleh warna kuning
yang cerah. "Hari telah pagi," berkata Wuranta kepada diri sendiri.
Namun dengan demikian ia dapat melihat dengan jelas segala
sudut-sudut jalan menuju ke padepokan Tambak Wedi.
Ketika ia menjadi semakin dekat, kembali dilihatnya beberapa
pucuk senjata di belakang batu-batu besar, di tikungantikungan,
dan di sisi-sisi jalan. Penjagaan yang ketat
memagari padepokan itu. Penajagaan itu bukan saja untuk
menjaga setiap kemungkinan, tetapi dengan demikian maka Ki
Tambak Wedi tetap memelihara suasana dan keadaan
perang. Penjagaan itu memberi pekerjaan bagi orang-orang
Jipang dan orang-orang Tambak Wedi yang berkeliaran dalam
jumlah yang cukup besar. Tanpa penjagaan itu, maka mereka
akan mempunyai terlampau banyak kesempatan untuk duduk
termenung. Kesempatan untuk memikirkan diri sendiri dan
kesempatan untuk bertengkar satu dengan yang lain. Tetapi
kesiap-siagaan yang selalu dibangun oleh Ki Tambak Wedi
dapat mencengkam seluruh perhatian mereka. Seolah-olah
Untara dan prajurit-prajurit Pajang telah berada dimuka hidung
mereka. Dengan demikian mereka tidak mendapat kesempatan untuk
berpikir tentang diri sendiri, tentang kesulitan-kesulitan yang
mereka alami dan tentang hari depan mereka yang gelap.
Mereka tidak mendapat kesempatan untuk bertengkar satu
dengan yang lain berebut berbagai macam persoalan.
Setiap orang yang berada dalam dipenjagaan itu memandangi
Wuranta dengan curiga. Tetapi kemudian mereka
membiarkannya lewat. Anak muda Jati Anom itu adalah anak
muda yang kemarin dibawa oleh Sidanti, dan kemudian
berjalan meninggalkan padepokan ini bersama Alap-alap
Jalatunda. Matahari di atas cakrawala pun merayap semakin tinggi.
Cahayanya yang menyangkut di ujung gunung merapi seakanakan
telah membakar puncak itu sehingga berwarna merah
membara. Dalam pada itu maka padepokan Tambak Wedi itu
pun menjadi semakin dekat.
Setelah melampaui beberapa lapis penjagaan maka akhirnya
Wuranta sampai kejantung padepokan Tambak Wedi.
Anak muda itu langsung menuju ke rumah yang kemarin
pertama-tama dimasuki bersama Sidanti dan Alap-alap
Jalatunda. Dada Wuranta berdesir melihat Alap-alap yang masih sangat
muda itu. Matanya benar-benar seperti mata burung Alapalap.
Anak itu tampaknya telah rapi benar. Agaknya ia telah
sempat mandi dan membenahi pakaiannya. Tidak ada tandatanda
bahwa semalam ia pergi mengikutinya ke Jati Anom.
"Hem, kau Wuranta," sapa Sidanti.
Sekali lagi dada Wuranta berdesir. Ia tidak tahu tanggapan
Sidanti yang sebenarnya kepadanya pagi ini. Apakah murid Ki
Tambak Wedi itu akan menerimanya dengan baik, atau telah
disiapkannya tali gantungan untuknya.
"Duduklah," berkata Sidanti itu pula mempersilakan Wuranta
duduk bersamanya di atas sebuah tikar pandan yang putih.
"Kau datang terlampau siang," berkata Sidanti.
"Ya, Tuan," sahut Wuranta. "Ada beberapa sebab yang
menghambat kedatanganku."
"Minumlah, kemudian ceriterakanlah apa yang kau lihat di Jati
Anom." Wuranta menelan ludahnya. Seakan-akan ia sedang duduk di
hadapan seorang jaksa yang sedang memeriksa perkaranya.
Ia tidak tahu hukuman apakah yang kemudian akan dijatuhkan
atasnya. Seteguk ia minum air hangat yang sudah terhidang
dihadapannya. Diraihnya segumpa gula kelapa. Ia mencoba
untuk menenangkan hatinya, tetapi ketika air hangat itu
diangkatnya, maka ia merasa beberapa tetes tertumpah
menyiram kakinya. Ternyata lengannya masih juga gemetar.
Tetapi ketika lehernya telah menjadi basah, maka ia menjadi
agak tenang. "Apakah perjalananmu menyenangkan" Berkata Sidanti tibatiba.
Wuranta menggeser duduknya, membetulkan pedangnya
yang mencuat ke belakang. Sekali ia menarik nafas dalamdalam,
lalu jawabnya, "Ya, tuan. Perjalanan kali ini benarbenar
menyenangkan." "Ceriterakanlah apa yang kau lihat dan apa yang kau dengar?"
"Aku tidak hanya sekedar melihat dan mendengar, Tuan"
jawab Wuranta, "tetapi aku hampir mati di perjalanan."
"Kenapa?" Sidanti terkejut.
Tetapi Wuranta melihat bahwa sebenarnya Sidanti hanya
berpura-pura saja. "Alap-alap itu pasti sudah berceritera
tentang Ki Tanu Metir yang sudah mencegat perjalananku,"
katanya di dalam hati. Wuranta itu pun kemudian berceritera tentang apa saja yang
dilakukannya. Berkelahi dengan seseorang laki-laki yang tidak
dikenalnya yang mencegat perjalanannya. Kemudian
menggertak perempuan tua yang menunggui rumah Agung
Sedayu dan yang terakhir tentang tiga orang penunggang
kuda yang datang ke Jati Anom.
Sidanti dan Alap-alap Jalatunda mendengarkan dengan penuh
minat. Seakan-akan apa yang didengarnya itu belum pernah
diketahuinya lebih dahulu. Kadang-kadang wajah mereka
berkerut-merut, kadang-kadang menjadi tegang.
"Setan," desis Wuranta di dalam hatinya, "mereka benar-benar
licik." Tetapi tiba-tiba ia menyadari keadaan dirinya sendiri.
"Dan akupun harus berbuat licik seperti mereka pula."
Ketika Wuranta selesai berceritera maka Sidanti pun
kemudian mengangguk-anggukan kepalanya. Dipandanginya
Alap-alap Jalatunda sekilas, lalu katanya, "Kau benar-benar
hebat. Siapakah kira-kira laki-laki yang menyerangmu?"
Wuranta tidak segera menjawab. Ia pun memandangi Alapalap
Jalatunda sekilas. Baru kemudian ia menjawab sambil
menggeleng, "Aku tidak tahu, Tuan. Sebenarnya aku ingin
bertanya kepada Tuan, siapakah yang telah mencegat aku di
perjalanan itu?" Sidanti mengerutkan keningnya. Tetapi tiba-tiba ia tersenyum,
"Kau menyangka bahwa aku telah memasang seseorang
untuk mencegatmu" Apakah gunanya" Kalau aku ingin
membunuhmu, sekarang aku dapat melakukannya."
Wuranta mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak
menjawab. "Jadi, kau benar-benar tidak mengetahuinya?"
"Benar, Tuan," jawab Wuranta. "Maaf bahwa aku memang
menyangka bahwa Tuan ingin mengetahui sedikit tentang
diriku dengan mengirimkan seseorang mencegat
perjalananku, meskipun Tuan tidak benar-benar ingin
membunuhku." "Memang masuk akal," sahut Sidanti, "tetapi aku tidak
melakukannya." Wuranta mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak
segera mengucapkan sesuatu.
Yang bertanya kemudian adalah Alap-alap Jalatunda, "Lalu
bagaimana dengan tiga orang berkuda itu?"
"Mereka hampir membunuhku," sahut Wuranta.
"Bohong!" desis Alap-alap Jalatunda. "Apakah kau seorang
anak muda yang pilih tanding dan dapat mengalahkan tiga
orang prajurit Pajang?"
Dada Wuranta berdesir mendengar pertanyaan itu.
Sebenarnyalah bahwa ia tidak akan dapat melepaskan diri
dari tiga orang prajurit Pajang seandainya mereka benarbenar
ingin membunuhnya. Tetapi ceriteranya telah
diucapkannya, bahwa ia melapaskan diri dari ketiganya.
Tetapi tiba-tiba Wuranta itu pun tersenyum. Wajahnya yang
tegang menjadi kemerah-merahan. Beruntung bahwa ia
segera dapat menguasai perasaannya.
"Bagaimana?" desak Alap-alap Jalatunda.
"Aku memang dapat melepaskan diri dari mereka.
Sebagaimana Tuan lihat, aku selamat sampai di sini."
"Apakah kau mampu melawan mereka bertiga?" bertanya
Sidanti. Wuranta menggeleng. Senyumnya masih saja melekat di
bibirnya. "Lalu bagaimana?" Alap-alap Jalatunda hampir mebentak.
Wuranta berusaha sekuat-kuatnya menguasai perasaannya.
Sambil tersenyum ia menjawab, "Sudah aku katakan, aku
melepaskan diri dari mereka"
"Sesudah kau bertempur melawan mereka, atau sesudah kau
membunuh ketiganya?"
Wuranta masih tersenyum. Perlahan-lahan ia menjawab,
"Justru sebelum mereka melihat aku."
"Gila!" Alap-alap Jalatunda berteriak. Tetapi terdengar Sidanti
tertawa terbahak-bahak. "Kau memang seorang pengecut. Seorang pengecut yang
suka sekali membual."
Wuranta tidak segera menjawab. Tetapi ia menjadi berlega
hati ketika Sidanti mentertawakannya. Alap-alap Jalatunda itu
pun tertawa pula sambil berkata, "Sebenarnya kau cukup
mampu untuk berkelahi. Kau dapat mengusir laki-laki yang
menyerangmu. Tetapi kau benar-benar seorang pengecut."
Wuranta mengerutkan keningnya. Dengan serta-merta ia
bertanya, "Darimana Tuan tahu bahwa aku mampu
berkelahi?" Kini Alap-alap Jalatunda yang terbungkam. Sejenak ia menjadi
bingung. Tetapi sejenak kemudian iapun menjawab,
"Bukankah kau sendiri mengatakannya bahwa kau mampu
mengusir laki-laki yang tak kau kenal itu?"
Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, Wuranta
bergumam, "Apakah aku tadi berkata begitu?"
"Ya, kau mengatakannya."
"Dan Tuan tidak menganggap bahwa kali ini aku pun hanya
membual saja?" Sekali lagi Sidanti tertawa. Katanya, "Aku memerlukan
seseorang seperti kau. Pengecut sekaligus pembual."
Wuranta pun tersenyum. Ia melihat beberapa orang kemudian
masuk ke dalam ruang itu pula. Wajah mereka diliputi oleh
berbagai pertanyaan. Mereka melihat Sidanti tertawa
berkepanjangan dan Alap-alap Jalatunda pun tertawa-tawa
pula. "Apa yang kalian tertawakan?" bertanya Sanakeling.
"Pengecut ini," jawab Sidanti. Kemudian ia berkata kepada
Wuranta, "Pergilah, kau boleh beristirahat. Kau akan
mempunyai pekerjaan yang serupa untuk saat-saat
mendatang. Tetapi apakah kau masih berani datang ke Jati
Anom apalagi apabila ketiga prajurit itu mengetahui
rumahmu?" "Sejak lama Agung Sedayu melihat rumahku. Mungkin ketiga
prajurit itu adalah sraya Agung Sedayu untuk menangkapku."
"Jangan membual lagi," potong Sidanti. "Agung Sedayu tidak
memerlukan orang lain untuk memenggal lehermu."
"Tetapi ternyata ia tidak berani datang ke rumahku?"
"Anak muda Jati Anom. Adik Untara itu segan mengotori
tangannya dengan darah kelinci."
Wajah Wuranta sesaat menjadi kemerah-merahan.
Bagaimanapun juga sebagai seorang anak muda, ia merasa
tersinggung oleh berbagai hinaan yang diucapkan oleh Sidanti
berturut-turut. Tetapi segera ia menyadari kewajibannya,
sehingga sekali lagi ia terpaksa menekan perasaannya.
Wuranta terkejut ketika ia mendengar Sidanti bertanya,
"Apakah kau marah?"
Wuranta memaksa dirinya untuk tersenyum. "Tidak, Tuan.
Tetapi aku ingin suatu ketika dapat mengalahkan Agung
Sedayu." Sidanti tertawa. Kemudian katanya, "Pergilah. Kalau kau lelah,
beristirahatlah." "Baik, Tuan" sahut Wuranta, "tetapi aku ingin menjelaskan


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepada Tuan, bahwa untuk seterusnya, meskipun pasukan
Untara telah berada di sekitar Jati Anom, aku tidak takut untuk
turun. Jati Anom adalah kampung halamanku. Kenapa aku
menjadi takut pulang" Aku mengenal semua jalan-jalan dan
lorong-lorong. Aku kenal segenap sudut-sudutnya, rumpunrumpun
bambu yang lebat dan tempat-tempat yang lain untuk
bersembunyi." "Aku sudah menyangka," potong Sidanti
"Apa yang sudah Tuan sangka?"
"Ceriteramu pasti hanya berkisar pada tempat persembunyian,
tempat untuk melarikan diri dan sebagainya. Kau tidak akan
berceritera tentang kemungkinan yang lain, misalnya
membinasakan mereka, mencegat mereka atau perbuatanperbuatan
serupa." Wuranta tersenyum, betapapun hatinya menjadi kecut.
"Pergilah," berkata Sidanti, "kau mendapat kesempatan untuk
beristirahat, melihat-lihat tempat ini bersama Alap-alap
Jalatunda." Wuranta menganggukkan kepalanya. Ia melihat kewaspadaan
pada sikap dan kata-kata Sidanti. Iapun menyadari bahwa
Alap-alap Jalatunda pasti mendapat tugas untuk
mengawasinya selama ia berada di padepokan Tambak Wedi.
Wuranta kemudian meninggalkan tempat itu. Di halaman ia
sejenak menunggu Alap-alap Jalatunda yang masih berada di
dalam. "Bagaimana menurut pertimbanganmu, Alap-alap Jalatunda?"
bertanya Sidanti. "Ia berkata sebenarnya."
"Ya, aku juga percaya kepadanya. Bodoh, berterus-terang
tetapi licik dan pembual."
"Orang yang demikian dapat kita pergunakan untuk
sementara. Tetapi sifat pembualnya adalah sifat yang
berbahaya," sahut Sanakeling.
"Ya, kita pergunakan untuk waktu yang tertentu. Akan datang
saatnya, anak itu kita lemparkan ke dalam jurang. Tetapi
sekarang ia akan bermanfaat. Nanti malam ia harus turun
kembali ke Jati Anom melihat perkembangan daerah itu.
Bagaimanakah dengan ketiga orang berkuda yang semalam
datang ke kademangan itu," berkata Sidanti.
Alap-alap Jalatunda mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tetapi sambil bersungut-sungut ia bertanya, "Apakah aku
mendapat tugas untuk mengikutinya lagi?"
Sidanti tertawa sambil menggelengkan kepalanya. "Tidak.
Tidak. Nanti malam kau dapat tidur nyenyak di gubugmu."
Alap-alap Jalatunda tidak berkata sepatah kata pun lagi.
Ditinggalkannya ruangan itu langsung turun ke halaman.
Ditemuinya Wuranta yang telah agak lama menunggunya.
"Apakah kau mau tidur?" bertanya Alap-alap Jalatunda.
Wuranta menggelengkan kepalanya, "Tidak, aku harus
berprihatin supaya niatku dapat terlaksana."
"Apakah niat itu?"
"Sederhana," jawab Wuranta "menjadi demang dan beristri
cantik." Tiba-tiba Alap-alap Jalatunda itu tertawa terbahak-bahak. "O,
dapurmu," katanya. "Seorang Demang harus orang yang
berani." "Kelak aku akan menjadi orang yang berani juga."
"Mudah-mudahan kau akan dapat menjadi seorang Demang,"
gumam Alap-alap Jalatunda.
"Dan beristri cantik, supaya aku dapat juga beranak seorang
gadis yang cantik, seperti yang kau katakana."
"Anak Demang Sangkal Putung itu?"
"Kalau aku menjadi seorang Demang, maka pantaslah aku
menjadi menantu seorang demang pula."
"Huh!" tiba-tiba Alap-alap Jalatunda meludah. "Sebelum kau
mimpi mendapatkan gadis itu, lehermu telah patah."
"Kenapa?" "Kau berani melawan aku?"
Wuranta tersenyum. "Jangan marah, Tuan. Aku belum pernah
melihat gadis itu. Bagaimana aku dapat jatuh cinta
kepadanya" Bukankah bukan hanya Demang Sangkal Putung
saja yang beranak seorang gadis?"
Alap-alap Jalatunda menelan ludahnya.
"Tuan," tiba-tiba Wuranta berbisik, seakan-akan ia takut
suaranya didengar orang lain, "apakah gadis itu cantik?"
Alap-alap Jalatunda berpaling. Ditatapnya wajah Wuranta
dengan tajamnya. Dengan nada yang datar ia menggeram,
"Kau benar menginginkannya?"
"Ah, aku tidak gila, Tuan. Gadis itu adalah milik Sidanti.
Bagaimana aku berani berangan-angan?"
"Omong kosong. Tak seorang pun yang memilikinya di sini.
Siapa yang dahulu mendapatkannya, ialah yang memiliki,
meskipun hanya sesaat, dan meskipun sesudah itu digantung,
tetapi puaslah rasanya."
Dada Wuranta berdesir mendengar kata-kata Alap-alap
Jalatunda itu, tetapi ia tidak menyahut.
Tiba-tiba Alap-alap itu berkata, "Apakah kau ingin
melihatnya?" "Bagaimana aku bisa meilhat tuan" Bukankah ia berada di
dalam ruangan tertutup" Apakah aku dapat masuk ke
dalamnya?" Alap-alap Jalatunda tertawa mendengar pertanyaan Wuranta.
Katanya, "Kau memang bodoh. Apakah seorang gadis yang
disembunyikan itu siang malam berada di dalam biliknya"
Apakah sekali-sekali ia tidak memerlukan air?"
"Air untuk minum maksud Tuan?" bertanya Wuranta.
"O," tertawa Alap-alap Jalatunda semakin menjadi. "Seorang
perempuan yang sudah dewasa tidak dapat berpisah dengan
air. Tidak saja untuk minum, tetapi untuk mencuci misalnya."
"O, ya, ya," cepat-cepat Wuranta menyahut.
"Demikian juga Sekar Mirah. Ia tidak harus berada di dalam
biliknya setiap saat. Gadis itu diperbolehkan keluar asalkan
tidak terlampau jauh. Ke sumur atau ke "kali" misalnya, lalu
kemudian masuk kembali ke rumah yang khusus
dipergunakan untuk menyimpannya. Tetapi ia tidak pernah
terlepas dari pengawasan. Dan seandainya gadis itu mencoba
untuk lari, maka meskipun ia berhasil meninggalkan halaman
itu, maka ia tidak dapat keluar dari padepokan ini."
Wuranta mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian
katanya, "Jadi, bagaimanakah aku dapat melihatnya?"
"Hampir setiap pagi ia mencuci pakaian yang ada padanya.
Pakaian yang hanya selembar dua lembar itu, setelah ia
mendapat pinjaman dari perempuan-perempuan di padepokan
ini." "Kenapa setiap hari dicucinya?"
"Aku rasa bukan karena pakaian itu menjadi kotor. Tetapi
gadis itulah yang ingin keluar dari dalam bilik yang sempit itu.
Mencuci baginya adalah alasan yang paling baik. Mungkin
juga ke pakiwan atau bahkan ke sungai."
"Siapakah yang harus mengawasi gadis apabila ia pergi ke
sungai?" "Tentu saja para penjaga"
Wuranta mengerutkan keningnya. Bagaimana mungkin
seseorang dapat hidup dalam keadaan demikian. Tetapi
keadaan itu adalah keadaan yang dipaksakan atas gadis itu,
sehingga betapapun juga, maka ia tidak akan dapat
menolaknya. "Baiklah, Tuan," berkata Wuranta kemudian, "kalau aku
mendapat kesempatan, maka aku pun ingin melihatnya."
"Marilah," sahut Alap-alap Jalatunda. Tetapi ia kemudian
mengerutkan keningnya sambil berkata, "Kau ingin mencoba
bermain api?" "Oh," kini Wuranta-lah yang tertawa, "aku hanya ingin
melihatnya karena Tuan mengajak. Percayalah bahwa aku
tidak akan berani berbuat apapun selain memandanginya dari
kejauhan. Betapapun cantiknya gadis itu, tetapi aku hanya
akan mendapat kesempatan untuk memandanginya."
Sejenak Alap-alap Jalatunda terdiam. Sekali ia berpaling
memandangi wajah Wuranta dengan penuh kecurigaan.
Tetapi kemudian ia berkata, "Jangan mencoba berbuat gila.
Nyawamu berada di ujung rambutmu. Pedepokan ini bukan
tanah nenek-moyangmu, dan kau belum menjadi seorang
demang di Jati Anom."
Sekali lagi Wuranta tertawa. Katanya, "Tuan benar-benar
seorang pencemburu. Kelak kalau Tuan sudah beristri, maka
tak seorang pun yang boleh memandangi istri Tuan."
Kening Alap-alap Jalatunda itu pun menjadi semakin berkerutmerut.
Sejenak ia terbungkam, tetapi kemudian ia pun
tersenyum dan berkata, "Mungkin kau benar Wuranta. Aku
pun tersenyum juga akhirnya mendengar kata-katamu itu."
Keduanya pun kemudian terdiam. Mereka berjalan menyusur
jalan padepokan yang tidak telampau lebar. Sekali-sekali
mereka berpapasan dengan beberapa laki-laki bersenjata.
Laki-laki yang berwajah keras dan kasar, berkumis tebal,
berjambang dan berjanggut. Rambut mereka kadang-kadang
tidak tersusun rapi, bahkan kadang-kadang begitu saja
berjuntai di bawah ikat kepala.
Bulu kuduk Wuranta kadang-kadang menjadi meremang. Lakilaki
itu adalah laki-laki yang selama ini hidup dalam
pengembaraan. Mereka seakan-akan tidak pernah mengecap
kenikmatan hidup berumah tangga. Bahkan sampai saat ini
dan sampai kapan hal itu masih berlangsung terus.
"Prajurit-prajurit Pajang di Sangkal Putung dan yang akan
datang di Jati Anom pun seakan-akan hidup dalam
pengembaraan," gumam Wuranto dalam hatinya. "Tetapi
mereka memiliki kebanggaan. Mereka memiliki harapan bagi
masa depan yang jauh. Seandainya tidak untuk dirinya sendiri,
tetapi untuk anak keturunan mereka."
Wuranta menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia terperanjat
ketika Alap-alap Jalatunda menyapanya, "He, kenapa kau?"
Wuranta mencoba tersenyum, "Tidak apa-apa," jawabnya.
"Apakah kau masih memikirkan gadis itu?"
"Apakah Tuan menyangka begitu?"
Alap-alap Jalatunda pun tersenyum pula. Bahkan kemudian ia
pun mengumpat, "Gila, kau."
Kembali mereka berdua saling berdiam diri. Langkah mereka
satu-satu di atas jalan berbatu menumbuhkan suara gemerisik
perlahan-lahan. Tiba-tiba Alap-alap Jalatunda berhenti. Digamitnya Wuranta
sambil berbisik, "He, apakah kau melihat seseorang berjalan
lewat jalan samping itu?"
Wuranta pun segera berpaling memandang ke arah pandang
Alap-alap Jalatunda. Tiba-tiba dilihatnya seorang gadis
berjalan seorang diri menyelusur lorong sempit itu.
"Itukah dia?" bertanya Wuranta.
Alap-alap Jalatunda mengangguk. "Ya, itulah Sekar Mirah."
"Kemana dia?" "Jalan itu menuju ke sungai"
"Apakah gadis itu dapat pergi dengan bebas ke sungai"
Apakah dengan demikian ia tidak berusaha melarikan diri?"
"Apakah gadis itu kau sangka dapat meloncat dinding
padepokan ini" Seandainya ia dapat maka para penjaga di
sekitar padepokan ini akan menangkapnya. Jangan pula
dilupakan bahwa beberapa orang akan selalu mengawasinya."
"Di mana para pengawas itu?"
"Mereka tidak semata-mata mengawasinya. Dan pengawasan
itu pun tidak akan terlampau ketat seperti seandainya yang
ditahan itu Agung Sedayu."
Wuranta mengangguk-anggukkan kepalanya. Apa yang
dikatakan oleh Alap-alap Jalatunda itu dapat dimengertinya.
Memang agaknya bagi seorang gadis, pasti akan amat sulit
mencoba keluar dari dinding padepokan yang cukup tinggi
seperti sebuah benteng yang sangat rapat. Bahkan di sanasini
di dalam dinding itu tumbuh rumpun-rumpun bambu ori
yang rapat. Apalagi sungai itu mengalir membelah padepokan. Sehingga
sungai itu pun berada dalam lingkungan dinding-dinding
padepokan itu pula. Meskipun demikian, ada sesuatu yang ingin diketahuinya,
sehingga Wuranta itu pun bertanya, "Tuan, jika Sekar Mirah itu
pergi ke sungai, apakah ia tidak akan mendapat kesempatan
untuk melarikan diri?"
"Sungai itu berada di padepokan."
"Tetapi bukankah ia dapat menyusur aliran sungai itu, ke hulu
atau ke udik, kemudian keluar dari dinding yang mengelilingi
padepokan ini?" Alap-alap Jalatunda menggeleng, katanya, "Aku tidak tahu
siapakah yang membuat padepokan ini. Tapi apa yang kau
tanyakan itu agaknya telah dipikirkan pula oleh orang-orang
yang membuatnya." "Bagaimana?" bertanya Wuranta.
"Di perbatasan sungai ini masuk dan keluar padepokan,
dinding padepokan ini telah dibuat terlampau rendah
kemudian digalinya dasar sungai seperti sebuah terowongan.
Dengan demikian maka air akan menutup seluruh lubang
masuk dan keluar dari padepokan ini. Tak ada selubang
jarumpun berada di atas permukaan air. Apabila seseorang
akan berusaha keluar atau masuk lewat sungai ini, maka ia
harus menyelam untuk waktu yang cukup lama. Nah, apakah
hal yang demikian itu akan dapat dilakukan oleh Sekar Mirah"
Seorang yang cakap berenang dan menyelam pun akan raguragu
untuk melakukannya, sedandainya ia belum mengenal
betul keadaan padepokan ini. Mereka pasti menyangka bahwa
genangan air itu akan masuk kedalam pusaran."
Wuranta mengangguk-anggukan kepalanya. Sebenarnya ingin
benar ia melihat ujung sungai itu pada sisi-sisi padepokan.
Tetapi ia tidak dapat langsung mengutarakannya.
Tiba-tiba Wuranta itu terperanjat ketika sekali lagi Alap-alap
Jalatunda menggamitnya sambil bertanya, "He, gadis itu
sudah hampir tidak tampak lagi."
"Lalu bagaimana maksud Tuan?"
"Aku selalu menunggunya di muka rumah yang diperuntukkan
baginya pada saat-saat begini, apabila aku tidak sedang
bertugas." "Apakah Tuan sudah mengenalnya?"
Alap-alap Jalatunda menggelengkan kepalanya. "Aku tidak
berani menegurnya." "Takut kepada Sidanti?"
"Persetan anak iblis itu. Kenapa aku takut kepadanya?"
"Jadi, kepada siapa Tuan takut?"


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku tidak pernah merasa takut kepada Sidanti kini. Mungkin
beberapa saat berselang aku ketakutan mendengar namanya.
Tetapi aku sudah mencoba untuk mempersiapkan diri
melawannya. Meskipun aku tidak berguru lagi kepada
seseorang. Tetapi cara-cara yang pernah dipesankan
kepadaku aku lakukan dengan baik dan teratur. Apalagi kini,
aku mempunyai waktu yang cukup untuk meningkatkan
ilmuku. Sedang Sidanti tidak pernah melakukannya."
"Jadi, bagaimana?"
~~~ *** ~~~ Buku 22 "AKU tidak pernah mempunyai keberanian yang cukup untuk
menegurnya, meskipun aku sering berpapasan dengan gadis
itu." Wuranta tertawa, ditatapnya wajah Alap-alap yang keras dan
bermata seperti mata burung alap-alap itu. Katanya, "Tuan
adalah seorang anak muda yang perkasa. Semuda umur
Tuan, Tuan telah memiliki banyak kelebihan dari anak-anak
muda sebaya Tuan, bahkan yang lebih tua dari Tuan. Tetapi
kenapa Tuan tidak memiliki keberanian untuk menegur
seorang gadis yang justru telah berada di dalam lingkungan
Tuan sendiri?" Alap-alap Jalatunda menggeleng-gelengkan kepalanya.
Desisnya, "Aku tidak tahu."
"Baiklah," gumam Wuranta, "akulah yang nanti akan
menegurnya apabila kita berpapasan."
"Gila," tiba-tiba mata Alap-alap Jalatunda menjadi merah,
"meskipun kau kini membawa pedang di lambungmu, ayo, kita
lihat siapakah yang lebih berhak disebut jantan."
Wuranta tertegun sejenak, tetapi kemudian ia tersenyum,
"Apakah Tuan salah sangka" Maksudku, aku akan menegur
untuk kemudian memberi jalan kepada Tuan supaya Tuan
dapat berbicara lebih lancar."
"He," mata Alap-alap Jalatunda yang menyala itu pun sedikit
demi sedikit menjadi suram kembali.
"Apakah Tuan sependapat?"
Alap-alap Jalatunda tidak segera menjawab.
"Tetapi kalau Tuan tidak sependapat, baiklah. Aku akan
menutup mulut." "Tetapi," desis Alap-alap Jalatunda, "kalau kau ingin
membantu aku, aku kira aku tidak akan berkeberatan."
"Begitu?" Alap-alap Jalatunda menganggukkan kepalanya, tetapi ia tidak
menyahut. Keduanya pun kemudian berjalan kembali menyusul Sekar
Mirah lewat lorong kecil yang telah dilalui oleh gadis itu.
"Apakah kita menyusul di belakangnya?" bertanya Wuranta.
"Ya, kenapa?" "Kita laki-laki muda mengikuti seorang gadis?"
"Jadi bagaimana?" bertanya Alap-alap Jalatunda dengan
herannya. "Kita mencari jalan lain yang akan sampai ke sungai itu pula.
Seolah-olah kita tidak sengaja mengikutinya. Kita selusuri
sungai ini. Kalau perlu dari salah salah ujung. Bukankah kita
sedang nganglang dan tidak sengaja menjumpainya di
sungai?" Alap-alap Jalatunda mengerutkan dahinya. Sejenak ia
berdiam diri. Mulutnya berkumat-kamit, tetapi sama sekali
tidak terdengar kata-katanya.
"Tuan," berkata Wuranta kemudian, "ada beberapa alasan
yang harus Tuan pertimbangkan. Selain supaya gadis itu tidak
menjadi takut dan kemudian menghindar, maka tidaklah
pantas anak-anak muda mengikuti seorang gadis yang akan
pergi ke sungai. Seandainya ia tidak menghindar, maka gadis
itu pasti akan mengurungkan niatnya. Untuk mandi misalnya,
atau mencuci pakaian. Tetapi yang lebih penting bagi Tuan,
maka apa yang Tuan lakukan tidak akan menimbulkan
kecurigaan bagi para pengawas."
"He, kenapa para pengawas" Seandainya mereka
berkeberatan, maka leher mereka akan aku penggal di
hadapan gadis itu." "Bukan begitu Tuan," Wuranta diam sejenak, kemudian
diteruskannya, "Siapakah yanq harus mengawasi gadis itu"
Orang-orang Jipang atau orang-orang padepokan ini?"
"Bergantian. Semua orang yang telah memiliki senjata di
tangannya tidak terkecuali. Gadis itu termasuk salah satu hal
yang harus mendapat pengawasan seperti jalan masuk,
dinding-dinding padepokan, rumah-rumah penting dan lainlain."
"Nah, bukankah kadang-kadang Tuan akan menemui
seseorang yang tidak senang terhadap Tuan."
"Aku tidak perduli. Orang itu akan dapat aku bunuh seketika."
"Tetapi ingat. Sidanti mempunyai kepentingan pula atas gadis
itu. Bukan aku menganggap Tuan tidak berani, tetapi dalam
keadaan seperti sekarang, jangan dulu timbul curigamencurigai
di kalangan sendiri."
Wajah Alap-alap Jalatunda menjadi tegang. Wuranta yang
dianggapnya terlampau bodoh itu dapat memberinya petunjuk
yang dapat dimengertinya. Karena itu, maka tiba-tiba ia
mengangguk-angguk sambil tersenyum, "Baik, aku menuruti
nasehatmu. Jadi bagaimana dengan kita" Gadis itu telah
hilang di balik tikungan. Kalau kita terlambat, ia pasti sudah
selesai mandi atau mencuci. Dengan demikian, maka kau
tidak akan mendapat kesempatan melihatnya."
"Bukankah kesempatan itu tidak hanya sehari ini" Seandainya
sekarang aku terlambat, besok masih juga ada hari."
Alap-alap Jalatunda tersenyum. Sekali lagi ia menganggukangguk
sambil berkata, "Bagus, bagus. Kau benar. Agaknya
akulah yang takut terlambat."
Keduanya kemudian memutar langkahnya. Mereka tidak
menempuh jalan yang telah dilalui Sekar Mirah.
"Kemana kita?" bertanya Alap-alap Jalatunda.
"Aku tidak tahu. Tuan-lah yang lebih tahu dari aku. Atau
barangkali Tuan akan menyelusuri sungai ini dari ujung
sampai ke ujung yang lain" Bukankah dengan demikian tak
seorangpun akan mencurigai Tuan."
"Baiklah," sahut Alap-alap Jalalunda, "marilah kita pergi ke
ujung sungai ini memasuki padepokan. Kita berjalan
menyelusur tepian sampai ke ujung yang lain."
"Marilah, Tuan. Sikap berhati-hati adalah sikap yang paling
baik dalam segala hal."
Keduanya pun kemudian berjalan dengan tergesa-gesa.
Setelah beberapa kali mereka membelok, akhirnya mereka
sampai pada dinding padepokan yang cukup tinggi. Dinding
batu yang agaknya umurnya sudah cukup tua.
"Beberapa puluh langkah lagi kita akan sampai ke sungai,"
gumam Alap-alap Jalatunda.
Wuranta tidak menyahut. Ia berjalan saja di samping Alap-alap
Jalatunda. Dan benarlah katanya, segera mereka sampai ke
sebuah lereng yang dangkal. Ketika mereka menuruni lereng
itu, maka oleh Wuranta tampak seakan-akan sebuah mata air
yang besar tersumbul dari dalam tanah.
"Hem," katanya di dalam hati, "inilah agaknya sebuah urungurung
air yang cukup besar."
Dalam pada itu terdengar AIap-alap Jalatunda berkata, "Inilah
ujung sungai itu. Air memasuki daerah padepokan lewat di
bawah dinding yang rendah."
"Bukan main," sahut Wuranta, "bagaimana urung-urung itu
dapat dibuat?" "Aku tidak tahu. Tetapi urung-urung itu terbuat dari batu pula,
bagian atasnya lengkung supaya urung-urung ini tahan
desakan air, meski banjir sekali pun."
Wuranta mengangguk-anggukkan kepalanya. Tanpa
disadarinya ia mengamat-amati urung-urung itu. "Tidak
terlampau tebal," desisnya di dalam hati.
"Kau menaruh perhatian?" bertanya Alap-alap Jalatunda.
"Aku mengagumi pembuatnya," desisnya, "urung-urung ini
agaknya tidak terlampau tebal."
"Memang tidak. Dua atau tiga kali lipat dari tebal dinding itu."
Wuranta mengangguk-anggukkan kepalanya. Hatinya menjadi
puas melihat urung-urung air itu. Urung-urung itu akan sangat
berguna baginya. Tetapi ia berkata dengan tiba-tiba, "Mari kita
berjalan. Kita akan terlambat."
Alap-alap Jalatunda tersenyum. Jawabnya, "Bukankah besok
masih juga ada hari?"
Wuranta tersenyum pula, tetapi ia mulai melangkahkan
kakinya menyelusuri tepian.
"Apakah tempat untuk mandi dan mencuci itu jauh dari ujung
ini?" "O, tidak. Bukankah kita juga tidak terlampau jauh berjalan. Di
belakang tikungan itu ada sebuah belik. Di situlah ia biasa
mandi. Beberapa orang perempuan padepokan ini pun mandi
dan mencuci di situ pula."
"Tuan agaknya mengetahui terlalu banyak tentang gadis itu."
"Hus," desis Alap-alap Jalatunda.
Mereka pun terdiam sejenak. Hanya langkah mereka di atas
pasir tepian terdengar gemerisik lembut.
Di samping mereka, air sungai yang jernih mengalir segar.
Sepercik-sepercik buih berloncatan, apabila sepotong dahan
yang kering jatuh ke dalamnya.
Di kejauhan burung-burung bertengger di atas cabang-cabang
pepohonan meneriakkan dendang yang riang. Mereka sama
sekali tidak menyadari apa artinya pedang di lambung orangorang
yang berjalan di lorong-lorong padukuhan itu. Tidak
banyak terjadi permusuhan di antara mereka. Tidak banyak
timbul persoalan selain berebut makan.
Tidak seperti manusia yang mempunyai nalar dan budi yang
menyadari seribu satu macam kepentingan. Dan setiap
sentuhan kepentingan, dapat saja berakhir di ujung pedang.
Mereka lebih banyak berbicara dengan bahasa pedang
daripada bahasa cinta kasih di antara mereka.
Wuranta terkejut ketika tiba-tiba Alap-alap Jalatunda menepuk
bahunya. Terdengar ia berbisik lirih, "Wuranta, lihatlah. Gadis
itu lagi mencuci bajunya."
"He," Wuranta menarik keningnya, seakan-akan ingin
membuat matanya menjadi lebih lebar.
"Di mana?" ia bertanya.
"Di belik itu."
"O," Wuranta menarik nafas dalam-dalam. Dilihatnya Sekar
Mirah sedang berjongkok membelakangi mereka di tepi belik.
Agaknya ia memang sedang mencuci bajunya.
Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya Wuranta berkata,
"Marilah kita berjalan. Kenapa berhenti?"
Alap-alap Jalatunda menggeleng, "Tidak. Aku di sini saja."
"Lalu bagaimana dengan aku?"
"Kau juga di sini saja."
"Kenapa?" "Jangan banyak bertanya."
"Adakah setiap kali Tuan berbuat demikian. Memandang
keindahan gadis itu dari kejauhan?"
Alap-alap Jalatunda tidak menjawab.
Tetapi Wuranta menjadi berdebar-debar karenanya.
Perbuatan Alap-alap Jalatunda itu justru berbahaya bagi
Sekar Mirah. Anak muda itu akan selalu berangan-angan.
Karena ia tidak berani berkenalan dengan gadis-gadis, maka
angan-angannya akan dapat menjadi terlampau liar dan buas.
Karena itu, maka Wuranta itu pun berkata, "Marilah Tuan.
Lewat di sampingnya bersama aku. Mungkin Tuan sekali dua
kali akan dapat bercakap-cakap dengannya. Kecuali kalau
Tuan berkeberatan karena memperhitungkan pengawasan
orang-orang Sidanti."
"Setan. Jangan kau sebut lagi monyet-monyet itu. Aku tidak
takut. Dan mereka tidak akan menyangka, bahwa aku sengaja
mengikuti gadis itu seperti katamu tadi. Sebab aku datang dari
arah yang sangat berbeda."
"Karena itu marilah."
Alap-alap Jalatunda ragu-ragu sejenak. Tetapi Wuranta
menarik tangannya sambil berkata, "Marilah. Gadis itu tidak
akan menggigit." Alap-alap Jalatunda masih ragu-ragu. Tetapi kemudian ia pun
melangkah kakinya. Dengan kepala tunduk Alap-alap Jalatunda berjalan, di tepian,
di atas tanggul bersama Wuranta. Sekali-sekali ia hanya
berani melemparkan sudut pandangannya.
Sekar Mirah yang sedang mencuci bajunya terkejut
mendengar langkah di atas tanggul sungai. Cepat-cepat ia
meletakkan cuciannya dan membetulkan kain pinjungnya.
Ketika ia perpaling, dilihatnya dua orang berjalan dengan
pedang di lambung masing-masing.
Tanpa diduganya, maka Wuranta menganggukkan kepalanya
sambi berkata, "Maaf. Kami tidak tahu bahwa Nini sedang
mencuci pakaian. Karena itu kami tidak sengaja telah lewat di
tanggul ini." Wuranta melihat kerut-merut di kening Sekar Mirah. Tetapi
tiba-tiba dadanya berdesir. Ia melihat Sekar Mirah tersenyum.
Dengan manisnya ia menjawab, "Oh, tidak apa Tuan. Tanggul
ini memang sering dilalui orang. Akulah yang bersalah,
mencuci pakaian di belik di bawah tanggul ini."
Sejenak Wuranta justru terbungkam. Ia tidak menyangka
bahwa Sekar Mirah akan menjawabnya sambil tersenyum.
Bahkan kemudian Sekar Mirah itu berkata, "Bahkan aku
menjadi sangat senang, bahwa seseorang sudi menegur aku.
Selama ini orang-orang di padepokan ini acuh tak acuh saja
kepadaku, justru karena aku bukan orang padepokan ini."
Wuranta masih saja terbungkam. Apalagi Alap-alap Jalatunda.
Tetapi Wuranta menjadi berdebar-debar bukan karena
senyum Sekar Mirah yang telah menggoncangkan hatinya.
Sama sekali tidak. Ia tetap menyadari dirinya. Ia sedang
bermain-main dengan Alap-alap Jalatunda. Tetapi ia tidak
menyangka, bahwa Sekar Mirah akan semudah itu tersenyum
kepada laki-laki yang belum dikenalnya.
"Apakah benar gadis ini Sekar Mirah yang dikatakan oleh
Agung Sedayu." Wuranta justru menjadi ragu-ragu. Alangkah
murahnya senyum gadis itu.
Tetapi tiba-tiba ia terhenyak dalam suatu sikap seperti ia
sendiri. Ia tidak tahu apakah sebenarnya yang tersimpan di
dalam hati Sekar Mirah. Kenapa dirinya sendiri bersikap baik
juga terhadap Alap-alap Jalatunda" Apakah demikian juga
agaknya Sekar Mirah yang sedang berusaha untuk
menemukan jalan keluar dan kesulitannya.
Wuranta seakan-akan terbangun ketika ia mendengar Sekar


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mirah berkata, "Kenapa Tuan menjadi bingung" Apakah Tuan
juga akan mandi?" "O, tidak. Tidak," Wuranta tergagap. "Kami hanya kebetulan
saja lewat." "Apakah Tuan seorang prajurit?" bertanya Sekar Mirah.
"Aku bukan," sahut Wuranta, "tetapi Tuan ini adalah seorang
pemimpin prajurit Jipang. Ia bernama Alap-alap Jalatunda."
Dada Sekar Mirah berdesir mendengar nama itu. Nama yang
pernah didengarnya sejak di Sangkal Putung dahulu. Dan kini
ia melihat seorang anak muda yang berwajah keras dan
bermata tajam, setajam mata burung alap-alap.
Sejenak Sekar Mirah terpaku diam. Dipandanginya Alap-alap
Jalatunda dengan tajamnya seperti hendak dilihatnya sesuatu
di dalam dada anak muda itu. Dengan demikian, maka Alapalap
Jalatunda itu pun menjadi semakin tunduk. Ia tidak dapat
menentang mata Sekar Mirah yang seperti api menjilat
wajahnya. Wuranta bukan seorang anak muda pemalu. Ia dapat bergaul
dengan gadis-gadis di padukuhannya, meskipun ia tahu batasbatas
yang tak dapat di lewatinya. Namun di hadapan Sekar
Mirah, Wuranta merasa dadanya seperti berdentang
terlampau cepat. Dalam pada itu terdengar suara Sekar Mirah, "Aku tidak
menyangka bahwa suatu kali aku akan dapat bertemu dengan
seorang anak muda yang namanya jauh menjangkau di luar
lingkungannya. Aku pernah mendengar nama Alap-alap
Jalatunda. Hampir setiap prajurit Pajang membicarakannya."
Wuranta yang berdiri di samping Alap-alap Jalatunda semakin
lama menjadi semakin dapat menguasai dirinya kembali. Ia
kini telah menjadi agak tenang, sehingga ia sempat
menjawab, "Apakah yang mereka katakan tentang dirinya?"
"Ia adalah salah seorang yang paling disegani dari pihak
Jipang, di samping nama-nama Sanakeling dan Sidanti."
"Sidanti bukan seorang prajurit Jipang," tiba-tiba Alap-alap
Jalatunda bergumam perlahan, seolah-olah hanya ditujukan
kepada dirinya sendiri. "Apa yang Tuan katakan?" Sekar Mirah bertanya.
Alap-alap Jalatunda menjadi semakin tunduk. Mulutnya
bagaikan terkunci, sehingga ia tidak dapat menjawab
pertanyaan Sekar Mirah itu.
"Tuan," Wuranta-lah yang kemudian bertanya, "Nini Sekar
Mirah ingin Tuan mengulangi kata-kata Tuan yang tidak begitu
jelas baginya." Wajah Alap-alap Jalatunda menjadi merah, seperti seorang
jejaka kecil bertemu dengar seorang gadis yang memikat
hatinya. "Apakah Tuan mengatakan bahwa Sidanti bukan salah
seorang prajurit Jipang?"
Alap-alap Jalatunda menganggukkan kepalanya.
"Demikianlah Nini, Sidanti bukan seorang prajurit Jipang."
"O," Sekar Mirah menyahut, "ya, aku tahu. Justru Sidanti
pernah berada di Sangkal Putung. Ia adalah bekas seorang
prajurit Pajang." Sekar Mirah berhenti sebentar, lalu
diteruskannya, "Apakah Tuan sekarang berada di padepokan
ini juga?" Alap-alap Jalatunda tidak segera menjawab. Sehingga
Wuranta terpaksa mendesaknya.
"Tuan, Tuan harus menjawab pertanyaan itu."
Perlahan-lahan Alap-alap Jalatunda mengangkat wajahnya.
Hatinya seakan-akan pecah seperti belanga yang terbanting di
atas batu hitam ketika ia sepintas memandang Sekar Mirah
yang hanya berkain pinjung yang telah basah, berdiri
menatapnya. Tatapan mata gadis itu seperti tusukan anak
panah yang langsung melubangi dinding jantungnya.
Sekali lagi wajah Alap-alap Jalatunda terbanting di atas pasir
tepian jang basah. Tanpa dikehendakinya sendiri, tangannya
bergerak-gerak meraba bulu pedangnya. Dengan gelisah ia
berdiri saja membisu. "Bagaimana jawab Tuan?" bertanya Wuranta.
"Tuan tidak sudi berbicara dengan aku?" suara Sekar Mirah
seperti meremas hatinya menjadi lebu.
"Tidak, bukan begitu," jawab Wuranta. "Ia terlampau sopan.
Itulah sebabnya, maka setiap kata-katanya pasti diatur sebaikbaiknya
supaya tidak menimbulkan salah sangka. Agak
berbeda dengan aku yang kasar ini."
"Apakah Tuan bukan seorang prajurit?" bertanya Sekar Mirah
kepada Wuranta. "Bukan. Aku hanya sekedar seorang gembala yang kebetulan
mendapat pinjaman sehelai pedang."
Kening Sekar Mirah tampak berkerut-merut. Ia melihat
pancaran mata yang jauh lebih tajam dari seorang gembala
biasa. Karena itu, maka ia mendesaknya, "Aku tidak percaya
bahwa Tuan hanya sekedar seorang gembala. Wajah Tuan
tidak meyakinkan kata-kata Tuan."
Hati Wuranta menjadi berdebar-debar. Jangan-jangan pujian
itu dapat menumbuhkan kemarahan Alap-alap Jalatunda.
Karena itu, maka dengan serta-merta ia menjawab, "Nini salah
lihat. Tetapi sebaiknya Nini mendengarkan jawabannya."
Kemudian kepada Alap-alap Jalatunda ia berbisik, "Berkatalah
Tuan." Alap-alap Jalatunda mencoba memaksa dirinya sendiri untuk
mengucapkan kata-kata. Maka dengan terbata-bata ia
berkata, "Ya, aku sekarang berada di padepokan ini."
"Bersama Sidanti?" bertanya Sekar Mirah pula.
"Ya, bersama Sidanti," jawab Alap-alap Jalatunda. Sekar
Mirah tiba-tiba mencibirkan bibirnya. Tetapi sejenak kemudian
ia tersenyum, "Dari manakah Tuan berdua ini?"
Alap-alap Jalatunda menjadi kebingungan. Sekenanya saja ia
menjawab, "Berjalan-jalan."
"Berjalan-jalan. Dalam keadaan serupa ini Tuan masih sempat
berjalan-jalan. "Berjalan-jalan menurut pengertian seorang prajurit," Wurantalah
yang menyahut. "Aku kira Nini tahu pula maksudnya,
seperti barangkali prajurit-prajurit Pajang pernah berkata
demikian pula." "Apakah artinya?"
"Nganglang, melihat keadaan. Supaya tak ada bahaya yang
dapat dengan diam-diam melanda padepokan ini."
"Dan supaya aku tidak dapat melarikan diri, begitu?" potong
Sekar Mirah. "Apakah Nini akan berbuat begitu seandainya mungkin?"
"Aku pernah berangan-angan untuk melepaskan diri dari
neraka ini. Tetapi ternyata aku akan mengurungkan niatku
setelah aku melihat bahwa di dalam neraka pun aku bertemu
dengan anak-anak muda yang lain daripada Sidanti."
Wajah Alap-alap Jalatunda menjadi semakin merah. Kini
muIutnya benar-benar menjadi terbungkam. Bahkan terasa
seakan-akan dentang jantungnya akan memecahkan
dadanya. Tetapi Wuranta menjadi semakin tenang. Sambil tersenyum ia
menjawab, "Tetapi neraka ini adalah milik Sidanti, Semua
isinya adalah miliknya pula."
"Bohong," tiba-tiba Alap-alap Jalatunda memotong.
"Aku sependapat dengan anak muda yang bergelar Alap-alap
Jalatunda itu." sahut Sekar Mirah. Dan kata-katanya itu
membuat dada Alap-alap Jalatunda menjadi semakin
bergelora. "O, jadi demikian?" berkala Wuranta. "Kalau begitu aku salah
menilai keadaan di padepokan ini."
"Kau orang kemarin sore di padepokan ini," geram Alap-alap
Jalatunda. "Mudah-mudahan kalian benar," gumam Wuranta seperti
kepada diri sendiri. "Nah, apakah Tuan juga akan mencuci pakaian seperti aku?"
bertanya Sekar Mirah sambil tersenyum.
"Tidak, " sahut Wuranta, "kami sedang nganglang."
Kemudian kepada Alap-alap Jalatunda ia berkata, "Bagaimana
Tuan" Apakah kita akan meneruskan perjalanan?"
Alap-alap Jalatunda mengangguk, "Marilah."
"Kenapa Tuan begitu tergesa-gesa?" bertanya Sekar Mirah.
"Kami tidak sedang berjalan-jalan di bawah terangnya bulan
purnama," jawab Wuranta. "Mudah-mudahan kesempatan itu
suatu ketika datang padaku. Berjalan-jalan sambil berdendang
lagu Asmaradana." "Aku akan berdoa untukmu," sahut Sekar Mirah.
Wuranta tidak sempat menjawab, ketika Alap-alap Jalatunda
menggamitnya sambil berkata, "Ayolah. Kau masih saja
berbicara." "O," desis Wuranta, "marilah."
"Kalian benar-benar tidak mau tinggal lebih lama lagi?"
"Bukan aku yang menentukan," sahut Wuranta.
"Aku bertanya kepada yang berhak menentukan."
"Jawablah Tuan," berkata Wuranta.
"Ah," Alap-alap Jalatunda berdesah. Namun ia berkata, "Lain
kali aku akan datang."
"Aku menunggu kedatangan Tuan," jawab Sekar Mirah.
Alap-alap Jalatunda hampir tidak dapat menahan gelora di
dalam dadanya. Karena itu maka dengan tergesa-gesa ia
melangkah pergi meninggalkan tepian itu. Wuranta pun
kemudian terloncat-loncat mengikutinya. Sekali ia berpaling
dan dilihatnya. Sekar Mirah melambaikan tangannya. Betapa
beratnya, namun Wuranta terpaksa mengangkat tangannya
pula. Sementara itu di kepalanya berkecamuk berbagai pertanyaan
tentang gadis itu. Gambarannya tentang Sekar Mirah sebelum
ia melihatnya, adalah jauh berbeda dari kenyataan yang
dihadapinya. Meskipun sikap itu agak mirip dengan sikap Swandaru Geni,
namun apa yang dilihatnya telah membuatnya termenung
untuk beberapa lama. Wuranta itu terkejut ketika, ia mendengar Alap-alap Jalatunda
mengumpat, "Setan kau Wuranta. Kau berbicara tak ada
habis-habisanya." Wuranta tertawa, jawabnya, "Jangan marah, Tuan. Aku
memberi kesempatan kepada Tuan, tetapi Tuan hanya
berdiam diri saja." "Aku tidak biasa bergurau dengan wanita."
"Sekali-sekali Tuan perlu berbuat demikian, supaya kita tidak
menjadi lekas tua." Alap-alap Jalatunda terdiam. Ia berjalan semakin cepat seperti
takut terlambat. Sehingga Wuranta perlu memperingatkannya,
"Kenapa Tuan berjalan semakin lama semakin cepat. Gadis
itu tidak akan mengejar Tuan."
"O," Alap-alap Jalatunda seakan-akan tersadar dari sebuah
angan-angan yang dahsyat. Ia memperlambat jalannya.
Kemudian ditunggunya Wuranta berjalan di sampingnya.
Katanya, "Gadis itu agaknya tertarik kepadamu. Tetapi awas,
lehermu akan dapat terpenggal sebelum kau menjadi Demang
Jati Anom." "Aku tidak berminat, Tuan," jawab Wuranta.
"Kenapa?" "Bukan karena gadis itu kurang cantik. Tetapi aku tidak pantas
untuk menempatkan diri dalam sayembara pilih maupun
sayembara tanding di samping Tuan dan Sidanti."
"Jangan kau sebut lagi iblis itu!" tiba-tiba Alap-alap Jalatunda
membentak. Matanya menjadi merah seperti bara.
Wuranta menjadi berdebar-debar. Tetapi kemudian ia
tersenyum. Ia tidak mau kehilangan akal menghadapi Alapalap
yang buas ini. Katanya, "Kenapa Tuan marah" Apakah
aku kurang memberi kesempatan kepada Tuan?"
"Kalau sekali lagi kau sebut-sebut nama Sidanti dalam
hubungannya dengan gadis itu, aku sobek mulutmu. Kau tadi
sudah menyebut namanya di hadapan Sekar Mirah, seakanakan
Sidanti-lah yang paling berkuasa di sini."
"Maaf," jawab Wuranta, "ternyata aku keliru."
Alap-alap Jalatunda tidak berkata-kata lagi. Segera ia
memutar tubuhnya dan berjalan cepat-cepat kembali ke
pondoknya. Tetapi ia tertegun ketika Wuranta berkata,
"Apakah kita akan berpacu lagi?"
"O," Alap-alap Jalatunda memperlambat langkahnya.
"Tuan," berkata Wuranta kemudian, "aku sudah melihat gadis
itu, tetapi di manakah ia tinggal?"
"Kau akan mencurinya?"
"Tidak Tuan," Wuranta tampak bersungguh-sungguh,
"percayalah. Aku hanya ingin tahu. Aku sendiri sama sekali
tidak berpikir lagi tentang gadis itu."
"Kenapa kau tanyakan pondoknya?"
"Ah, Aku kira bukan terdorong oleh suatu keinginan apapun.
Adalah suatu kelajiman saja bagiku mengetahui rumah orangorang
yang sudah aku kenal."
"Tetapi jangan berbuat gila, supaya kau tidak mati muda."
Senyum Wuranta di mulutnya menjadi semakin lebar. Dengan
lucu ia mengangguk dan menjawab, "Tuan, aku lebih baik
memilih menjadi Demang Jati Anom tanpa gadis itu daripada
mendapat gadis itu tetapi harus hidup tanpa kepala."
"Persetan," geram Alap-alap Jalatunda, "kau memang lahir
hanya untuk menjadi seorang badut yang tidak berarti."
"O, Tuan salah," jawab Wuranta. "Orang yang banyak tertawa
umurnya akan menjadi lebih panjang."
Alap-alap Jalatunda tidak menjawab, tetapi tanpa sesadarnya
ia berjalan lewat rumah tempat tinggal Sekat Mirah.
Dengan berbagai macam akal, bahkan dengan akal seorang
badut sekalipun akhirnya Wuranta berhasil mengetahui tempat
tinggal Sekar Mirah dan ujung sungai yang berupa urungurung.
Kedua penemuan itu baginya sangat berarti. Itulah
sebabnya, maka setelah ia berhasil, maka ia tidak lagi banyak
bertingkah. Bahkan ia menjadi semakin hati-hati, meskipun ia
tidak ingin merubah kesan Alap-alap Jalatunda terhadapnya.
Seorang badut yang tidak berarti. Tetapi yang dibicarakannya
kemudian hanyalah soaI-soal yang benar-benar tidak berarti
dan tidak ada hubungannya dengan padepokan Tambak
Wedi, Sidanti dan Sekar Mirah.
Siang itu Wuranta dapat beristirahat sepuas-puasnya. Ia ingin
tidur sepanjang siang hari. Tetapi bahkan kepalanya menjadi
pening karena selama ia berbaring, matanya tidak juga mau
dipejamkannya. Berbagai persoalan hilir mudik di kepalanya.
Sekar Mirah, urung-urung sungai dan rumah tempat gadis itu
tinggal. Tetapi tidak kalah menggelisahkan adalah sikap Alap-alap
Jalatunda terhadap Sekar Mirah. Sinar matanya yang buas


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan liar telah mencemaskannya. Namun yang
mengherankannya adalah sikap Sekar Mirah sendiri. Apakah
gadis itu tidak melihat sorot mata Alap-alap Jalatunda yang
seakan-akan akan membakar gadis itu, meskipun hanya
sekilas. Bagi Wuranta, sikap Sekar Mirah sendiri adalah sikap
yang sangat berbahaya. Wuranta menarik nafas dalam-dalam ketika ia mendapat
perintah sekali lagi, malam itu ia harus turun ke Jati Anom. Ia
harus melihat perkembangan keadaan. Ia harus melihat,
apakah yang terjadi kemudian di Jati Anom"
Senja itu Wuranta berangkat dengan dada yang berdebardebar.
Apakah ada seseorang lagi yang akan mengintainya"
Apakah Alap-alap Jalatunda masih juga mengikutinya" Tetapi
Wuranta tidak lagi menjadi cemas. Ia akan pulang saja ke
rumahnya. Kalau Agung Sedayu atau salah seorang dari
ketiganya tidak ada di rumahnya, ia dapat meninggalkan
pesan supaya pagi harinya disampaikan ke rumah Agung
Sedayu oleh salah seorang keluarganya.
Akhirnya malam yang kelampun turun menyelimuti lereng
Merapi. Perjalanan Wuranta menjadi semakin lama semakin
dekat dengan Kademangan Jati Anom. Dua hari ia telah
berada di padepokan Tambak Wedi, tetapi ia sendiri belum
berkesempatan untuk melihat seluruh bagian dari terapat itu.
Meskipun demikian bagian-bagian terpenting telah dilihatnya.
Seandainya keadaan memaksa, maka ia telah dapat memberi
beberapa petunjuk kepada Agung Sedayu dan Swandaru.
Dengan hati yang berdebar-debar Wuranta melangkah terus.
Sekali dua kali ia berpaling, tetapi ia tidak melihat seorangpun.
Ia masih belum tahu benar, apakah perjalanannya itu diikuti
oleh seseorang atau tidak. Tetapi agaknya Sidanti masih
belum juga mempercayainya bulat-bulat.
Ketika ia memasuki halaman rumahnya, maka ia tidak segera
melintasi halaman masuk ke dalam rumahnya. Sejenak ia
berdiri di balik regol halaman di dalam tempat yang terlindung.
Ia mencoba memperhatikan, kalau-kalau seseorang
mengikutinya. Tetapi beberapa lama ia berdiri, ia tidak
mendengar sesuatu. Karena itu maka ia pun segera masuk ke
dalam rumahnya lewat pintu butulan di belakang.
Ketika pintu terbuka, ia mendengar suara Agung Sedayu dan
Swandaru berdesis, "Hampir aku tidak sabar menunggumu."
"Hem," Wuranta menarik nafas dalam-dalam. Ternyata kedua
anak muda itu telah menunggunya. Ketika kedua kakinya telah
melampaui tlundak pintu, maka segera pintu itu akan
ditutupnya. Tetapi Wuranta terkejut ketika ia mendengar suara
lirih di belakangnya, "Jangan ditutup dahulu."
Wuranta mencoba memandangi arah suara itu di dalam gelap.
la sudah berusaha untuk melihat dan mendengar seluruh isi
halamannya. Tetapi ia tidak dapat melihat orang itu.
"Aku, Ngger," berkata suara itu.
"Ki Tanu Metir?" bertanya Wuranta.
"Ya," jawab orang yang ternyata Ki Tanu Metir, "aku
menunggu Angger di ujung kademangan ini. Seperti Angger
Agung Sedayu dan Angger Swandaru, aku pun hampir tidak
sabar. Alangkah banyaknya nyamuk di kademangan ini.
Ketika aku hampir kehabisan kesabaran, barulah aku
melihatmu berjalan tertatih-tatih di dalam malam yang semakin
gelap." "Oh," Wuranta tersenyum. Baru kemudian ia melihat Ki Tanu
Metir berdiri di bawah sebatang pohon kemuning yang rimbun.
Keduanya pun kemudian masuk dan menutup pintu rumah itu
rapat-rapat. "Aneh," desis Wuranta.
"Apa yang aneh?" bertanya Agung Sedayu.
"Ternyata Ki Tanu Metir mengikuti aku sejak dari ujung
kademangan ini. Ketika aku memasuki regol halaman, aku
telah berlindung sejenak, menunggu apabila seseorang
mengikuti aku. Tetapi aku tidak melihat seorang pun. Namun
ternyata orang yang mengikuti aku berhasil masuk tidak
setahuku." "O," sahut Ki Tanu Metir, "itu mudah sekali dilakukan."
"Bagaimana?" "Aku mendahului Angger masuk ke dalam halaman ini. Sebab
aku tahu pasti bahwa Angger akan memasuki halaman rumah
ini." "Oh," Wuranta tersenyum. Tampaknya sederhana sekali.
Tetapi anak muda itu menjadi semakin mengagumi orang tua
yang bernama Ki Tanu Metir itu.
Sejenak mereka terdiam, seakan-akan sesuatu telah
membungkam mereka. Hanya wajah-wajah merekalah yang
membersitkan berbagai macam perasaan yang bergolak di
dalam hati. Di kejauhan terdengar angkup nangka seakan-akan sedang
mengeluh. Seperti anak-anak yang rindu menunggu ibunya
ngrena di tempat yang sangat jauh.
Dalam keheningan itu terdengar suara Ki Tanu Metir perlahan,
Crash Into You 2 Joko Sableng 13 Titah Dari Liang Lahat Pedang Langit Dan Golok Naga 23

Cari Blog Ini