Crash Into You Karya Aliazalea Bagian 2
jasad pasien dan membawa jasad itu keluar dari ruang otopsi agar anggota keluarga bisa melihatnya.
"Nadia." Kudengar bisikan suara mamaku dan aku langsung menyerangnya dengan pelukan yang cukup
ganas. Mamaku hampir saja jatuh karena serangan itu.
"Mama hiks" aku minta maaf, Ma?" ucapku di antara isak tangisku.
Tiba-tiba kudengar suara Kak Viktor menuduh Kak Mikhel. "Kel, lo apain si Nadia sampai jadi begitu?"
"Mana gue tahu. Dia tahu-tahu saja nangis nggak ada sebab. Cewek tuh memang aneh," balas Kak
Mikhel sambil tertawa yang disusul oleh Kak Viktor.
"Sssttt," ucap mamaku dan kedua kakakku langsung terdiam dan meninggalkan aku dengan Mama
sendiri. Ternyata Papa benar, Kak Mikhel dan Kak Viktor memang tidak punya hati. Bagaimana mungkin mereka
masih bisa tertawa" Papa mereka baru meninggal. Oh Papa" meskipun sering membuatku stress, tetapi
dia tetap papaku dan aku cinta dia. Pada saat itu aku teringat akan semua hal yang pernah Papa lakukan
untukku. Papa yang mengantarkanku ke sekolah pada hari pertamaku masuk SD, Papa yang
mengantarku ke rumah sakit ketika kepalaku berdarah karena jatuh dari ayunan, Papa membawaku ke
Dunia Fantasi sewaktu aku berumuran dua belas tahun dan harus membersihkan bajuku dari muntahan
setelah turun dari Ontang-Anting, dan Papa yang menghadiri wisuda S1-ku di Melbourne, meskipun dia
tidak suka travel. "Nadia," ucap mamaku dengan lembut. "Kenapa nangis, sayang?"
Sepertinya situasi menangisku cukup parah karena Mama hanya akan menggunakan kata "Sayang"
untuk anak-anaknya dalam situasi superdarurat saja.
"Papa, Ma" hiks" Papa sudah" sudah hiks hiks" nggak ada." Dengan susah payah aku berusaha
mengucapkan kata-kata itu.
Mamaku melepaskan pelukannya dan menatap wajahku. Dia kelihatan bingung. Wajahnya sudah bersih
dari air mata, meskipun matanya masih terlihat agak bengkak. Lalu tiba-tiba tangannya sudah melayang
ke keningku, suatu hal yang biasa dilakukan olehnya untuk memeriksa apakah aku sakit.
"Nggak panas," gumam Mama.
"Aku hiks" nggak sakit, Ma," jelasku dan berusaha menyingkirkan tangan Mama dari keningku.
"Habis kamu ngomongnya ngaco. Mama jadi khawatir," ucap Mama.
"Ngaco" hiks" gimana?" aku berusaha mencari tisu dari dalam tasku. Ketika menemukannya aku
langsung mengusap mataku.
"Kamu bilang Papa sudah nggak ada." Mendengar Mama mengucapkan kata-kata itu dengan enteng
membuatku jadi marah. "Tapi Papa memang hiks hiks" sudah nggak ada, kan, hiks" Ma?" ucapku sambil bertolak pinggang. Apa
Mama sama-sama tidak punya hati seperti kedua Kakak laki-lakiku itu" Mama sudah menikah dengan
Papa selama hampir empat puluh tahun, setidak-tidaknya dia bisa menunjukkan sedikit belas kasihan"
Tiba-tiba Mama tertawa terbahak-bahak. Dia bahkan harus menyandarkan tubuh ke dinding dan
membungkuk sambil memegangi dada. Pada saat itu aku betul-betul khawatir Mama tiba-tiba jadi gila
karena terlalu stress. Aku tidak pernah bertemu wanita mana yang akan tertawa terbahak-bahak setelah
suaminya meninggal, minus Anna Nicole Smith tentunya. Mantan bintang Playboy itu mungkin bahkan
langsung mengadakan pesta besar-besaran setelah suaminya yang umurnya delapan puluh tahun itu
masuk liang kubur, meninggalkan Anna Nicole sebagai pewaris hartanya yang berjumlah miliaran dolar.
Aku baru saja akan mengatakan pada Mama apa yang ada di pikiranku ketika tiba-tiba kulihat Kafka
berjalan ke arah kami dengan langkah pasti. Langkah yang hanya dimiliki oleh laki-laki yang betul-betul
merasa nyaman dengan dirinya sendiri. Entah kenapa, tapi tiba-tiba aku mengalami masalah bernapas.
Dia hanya mengenakan kaus polo berwarna abu-abu, celana panjang khaki, dan sepatu gaya moccasins.
Aku harus akui bahwa sobat-sobatku benar. Kafka memang "HOT", seperti roti yang baru keluar dari
pemanggangan. Selama lebih dari dua decade ini aku hanya mengingat semua tingkah laku isengnya
padaku sehingga sama sekali tidak pernah memperhatikan wajahnya. Rambutnya yang ikal dibiarkan
tumbuh agak panjang sehingga sedikit menutupi kening. Dia sebetulnya lebih terlihat seperti seorang
mahasiswa kedokteran, bukan dokter. Yang jelas dia kelihatan jauh lebih muda daripada umurnya. Aku
jadi curiga apakah wajah awet mudanya itu memang berkah dari Tuhan atau karena bantuan jarum dan
pisau. Kafka langsung tersenyum ketika melihatku dan di balik matanya yang kini aku sadari kelihatan-apa kata
yang lebih tepat untuk menggambarkan matanya" "teduh", itulah kata yang tepat- dia kelihatan agak
khawatir. Aku bisa tenggelam di mata itu, pikirku dan harus menggeleng ketika menyadari kata-kata
yang baru saja terlintas di dalam pikiranku. Kata-kata itu lebih tepat untuk diucapkan oleh wanita-wanita
pemimpin yang membayangkan diri mereka sebagai seorang putri yang suatu hari akan dibangunkan
dari tidur panjang dengan satu ciuman dari seorang pangeran. Lalu mereka akan hidup bahagia selamalamanya. Bullshit.
Buru-buru kusapu sisa-sisa air mata pada wajahku dan menelan sisa-sisa kesedihanku. Aku tidak mau dia
melihatku menangis lagi. Setelah yakin bahwa wajahku sudah kering, bukannya membalas senyumannya,
aku memilih mengerutkan dahi dan memasang muka cemberut. Ngapain pula setan satu ini ada di sini"
Omelku dalam hati. Aku sebetulnya ingin menghindar, tetapi tidak tahu ke mana aku harus pergi. Aku
bahkan tidak tahu ke mana kedua kakakku menghilang.
"Selamat malam, Tante," ucap Kafka pada mamaku yang langsung berhenti tertawa dan menegakkan
tubuh. Aku baru menyadari beberapa detik kemudian bahwa Mama terlihat tersipu-sipu. Oh my
Goooddd, aku bisa merasakan muntah mendesak di tenggorokanku. Sejak kapan orang dewasa bisa
tahan, bahkan memuja Kafka" Seingatku tidak ada satu guru pun yang bisa tetap menjaga kesabaran
mereka kalau dihadapkan dengan Kafka, tapi sejak kapan juga jantungku jadi berdebar-debar seperti ini
setiap kali melihatnya" Oke, aku mengaku kalah.
"Saya datang secepat mungkin setelah ditelepon rumah sakit. Maaf, kalau agak terlambat," lanjut Kafka.
"Oh" Dokter Kafka memang tinggalnya di mana?"
Aku sudah siap mencekik Mama. Penting nggak sih dia menanyakan hal itu" Lagian juga sebagai dokter,
Kafka tidak mungkin akan"
"Saya tinggal nggak jauh dari sini, Tante," ucap Kafka sambil mengeluarkan kartu nama dan memberikan
satu pada Mama dan satu padaku. Dia melanjutkan penjelasannya tentang lokasi rumahnya dengan
sangat detail. Oke, mungkin aku salah, Kafka kelihatan tidak peduli sama sekali kalau pasiennya tahu di
mana dia tinggal. Aku sedang melirik kartu nama yang ada di tanganku ketika Kafka menariknya dari genggamanku dan
menuliskan sesuatu di baliknya sebelum mengembalikannya padaku. Seperti juga ketika waktu dia
mengembalikan clutch-ku di Bali, dia menggenggam tanganku sebelum menjatuhkan kartu nama itu di
atas telapak tanganku. Sekali lagi kusadari betapa kecilnya tanganku di bandingkan dengan tangannya.
"Itu nomor HP-ku. Jadi kamu bisa telepon aku langsung kalau ada emergency lagi sama papa kamu,"
ucap Kafka pelan. Kualihkan perhatianku dari tanganku ke wajahnya. Emergency lagi" Apa aku tidak salah dengar" Tidak
akan pernah ada emergency lain yang akan menyangkut Papa yang pada detik ini tubuhnya sudah
semakin mendingin, dan aku belum sempat melihatnya sama sekali.
"Kafka kamu nggak lucu," desisku sambil menatap Kafka tajam.
Aku tidak menyangka bahwa setelah hampir dua puluh tahun kosakata bahasa Indonesia-ku tidak
berkembang banyak, karena aku masih menggunakan kata-kata yang sama ketika aku SD. Kafka
kelihatan terkejut dengan kata-kataku. Kutarik tanganku dari genggamannya dengan paksa, tapi Kafka
malah justru mengeratkan genggamannya.
"Nad, maksud kamu apa?" suara Kafka terdengar berat dan ia menyipitkan matanya ketika menanyakan
ini. Aku berusaha untuk mundur selangkah, bukan hal yang gampang mengingat betapa eratnya
genggaman Kafka pada tanganku.
Aku mencoba menelan tangisku dan menahan diri agar tidak tersedak. "Bisa-bisanya kamu Tanya ke aku
maksud aku apa." Kutarik napasku dalam-dalam sebelum melanjutkan. "Papaku sudah meninggal, Kaf.
Aku nggak pernah dan nggak akan pernah telepon kamu kalau ada emergency lagi, karena nggak pernah
akan ada emergency lagi." Dan untuk yang kedua kalinya malam itu dalam selang waktu kurang dari tiga
puluh menit, aku menangis lagi.
"Nad." Kafka mencoba menarikku ke dalam pelukannya. Aku berusaha mendorongnya agar menjauh,
suatu usaha yang sia-sia karena aku seperti sedang berusaha mendorong dinding beton. Akhirnya aku
menyerah dan membiarkannya memelukku, mengusap-usap punggungku, bahkan mencium rambutku.
Setelah sekitar sepuluh menit dan tangisku sudah agak reda, Kafka berkata, "Nadia, Papa kamu baik-baik
saja." Aku hanya menggeleng tidak percaya. "Sumpah aku nggak bohong," lanjut Kafka dan mengeratkan
pelukannya. Mendengar nada Kafka yang penuh dengan kepastian, aku pun mencoba melepaskan diri dari
pelukannya supaya bisa menatap wajahnya. Ketika tatapanku jatuh pada Kafka yang kemudian
mengangguk, untuk pertama kalinya secercah harapan muncul di benakku.
"Apa" Tapi mamaku" maksudku.. Kak Mikhel" tapi?" aku tergagap menjelaskan kebingunganku.
Kutarik napas dalam sebelum berbicara lagi, "Kamu yakin?" tanyaku masih ragu.
Kafka mengangguk. "Aku minta papa kamu masuk kamar rawat inap, karena jantungnya masih perlu
dimonitor untuk beberapa hari ini. Aku belum tahu kenapa tiba-tiba kok serangan jantungnya jadi akut,
tapi begitu aku tahu sebabnya, kamu dan keluarga kamu akan tahu juga," lanjutnya
Aku masih tidak bisa memercayai kata-katanya. Aku menoleh kepada Mama yang sedang menatap kami
dengan mata terbelalak. "Ma?" tanyaku padanya yang disambut dengan anggukan pasti darinya
Dan darah mulai mengalir kembali ke sekujur tubuhku. Kuembuskan napas lega. Kemudian kurasakan
dua tangan besar pada sisi kiri dan kanan wajahku, memintaku menatap pemiliknya.
"Jangan nangis lagi, ya. Aku nggak bisa kalau lihat kamu nangis." Ucap Kafka dengan nada yang kalau
tidak diucapkan oleh Kafka mungkin bisa aku kategorikan sebagai lembut. Tetapi aku tahu bahwa
kata "lembut" dan "Kafka" tidak akan mungkin ditemukan dalam satu kalimat. Tetapi sekali lagi aku
salah, karena Kafka kemudian menggunakan ibu jarinya untuk mengusap air mata yang membasahi
pipiku dan membelai untaian rambutku yang sudah terlepas dari ikatan kuncir kudanya dan kini terjuntai
layu pada keningku. Tiba-tiba aku teringat akan pengalaman SD-ku ketika Kafka mengucapkan kata-kata seperti itu juga
sebelum kemudian menyebarkan gosip tentangku. Entah kenapa, tapi kali ini aku percaya bahwa dia
tidak akan mengulang kelakuan kekanak-kanakannya itu. Aku tidak tahu apa yang telah terjadi di antara
SD kelas 6 hingga pertemuanku dengan Kafka di Bali dan malam ini. Apa aku bahkan menatap laki-laki
yang sama" Atau ternyata tanpa sepengetahuanku Kafka memiliki saudara kembar yang mirip sekali
dengannya tetapi memiliki sifat yang bertolak belakang" Atau mungkin klon yang superbaik" Tidak aneh
kalau mengingat bahwa Kafka adalah seorang dokter dan zaman sekarang ilmu kedokteran sudah cukup
canggih untuk bisa melakukan hal ini. Pada intinya, segala tindakan Kafka membuatku bingung.
Aku tersadar kembali ke realita ketika mendengar ada orang sedang terbatuk-batuk. Kafka kelihatan
belum rela melepaskan wajahku, tetapi melihat wajah sangar Kak Viktor, dia terpaksa melakukannya
kalau tidak mau dikenal sebagai Dokter Kafka yang matanya bengkak dan berwarna biru selama
beberapa hari ke depan. "Papa mau ketemu kita semua," ucap Kak Viktor sambil menyipitkan matanya pada Kafka yang kelihatan
tidak terpengaruh sama sekali oleh ancaman kepalan tinju kakakku yang siap melayang sebentar lagi.
Aku lalu meninggalkan sisi Kafka untuk menggandeng Mama dan mengikuti Kak Viktor menuju kamar
Papa yang ternyata berada di ujung lorong itu. Ketika aku menoleh, kulihat Kafka sedang berbicara
dengan seorang suster, tetapi dia menoleh untuk melambaikan tangannya padaku sambil tersenyum.
*** Selama Papa menginap di rumah sakit, Kafka selalu datang untuk memeriksa keadaan pasiennya itu
tepat jam tiga sore, setelah dia selesai dengan jam praktiknya. Dan hari ini pun tidak ada pengecualian.
Kali ini Kafka mengenakan celana panjang berwarna hitam dengan sedikit garis-garis tipis berwarna biru.
Kemeja putihnya yang superputih itu dihiasi dasi berwarna biru tua dengan bercak-bercak hitam.
Sejujurnya dia lebih kelihatan seperti seorang model yang baru selesai pemotretan majalah fashion
daripada seorang dokter yang baru selesai praktik.
Papaku yang sudah bangun dari tidur siangnya kelihatan semakin membaik, dan Kafka memberitahukan
bahwa dia sudah diperbolehkan pulang besok. Aku sangat bersyukur dengan berita ini karena tingkat
kesabaranku dengan Papa sudah hampir habis. Selama beberapa hari ini Papa bertingkah laku seperti
balita yang superbawel. Dia tidak suka makanan yang diberikan rumah sakit dan minta dibelikan
makanan-makanan yang jelas-jelas dilarang oleh dokter. Dia juga minta dibawakan bantal, guling, dan
selimut dari tempat tidurnya di rumah. Sebetulnya kalau tidak dengan campur tangan Kak Viktor, Papa
sudah mewek minta dibawakan tempat tidur dan kasurnya sekalian. Dan satu hal yang hampir
membuatku tertawa meskipun kesal adalah ketika Papa minta kamarnya disemprot Old Spice, kolonye
yang biasa digunakannya, karena menurutnya kamar itu baunya seperti rumah sakit. Kulihat Kak Mikhel
sudah siap nyeletuk bahwa Papa memang sekarang sedang berada di rumah sakit, buru-buru aku
mengerling padanya dan Kak Mikhel pun dengan susah payah mencoba menahan diri.
"Kalau begitu saya tinggal dulu ya, Oom, Tante. Tolong saya ditelepon saja kalau memang ada hal yang
perlu ditanyakan. Nadia punya nomor HP saya."
Kulihat Mama menatap Kafka seperti laki-laki satu ini adalaha malaikat penyelamat yang baru turun dari
surga. Kuputar bola mataku dan mengalihkan perhatian pada TV yang sedang menayangkan sinetron
dengan jalan cerita yang sangat tidak bermutu, tetapi sinetron itu pun akan kelihatan menarik kalau
dengan menumpukan perhatianku padanya berarti bahwa aku bisa menghindari Kafka. Setiap kali Kafka
datang untuk menemui Papa, dia selalu berusaha mendekatiku dan menanyakan kabarku, yang selalu
aku balas dengan sopan tapi dingin. Dia memang mulai kelihatan kesal dengan tingkah lakuku, tapi
selama ini dia tidak berani memojokkanku di depan orangtuaku, sehingga selama beberapa hari ini aku
cukup aman. "Nad, bisa kita bicara sebentar di luar?"
Pertanyaan Kafka membuatku terkejut, sepertinya dia sudah tidak lagi peduli bahwa orangtuaku ada di
situ dan kini sedang menatap kami berdua dengan pandangan ingin tahu. Karena tidak mau membuat
keadaan jadi semakin tidak enak, aku memutuskan mengabulkan permintaan Kafka dan melangkah
keluar dari kamar Papa. Kafka mengikutiku dan menutup pintu dengan perlahan sebelum kemudian
menghadapku. Bab 6 1 Oktober Kenapa juga Mama kok kayaknya cinta mati sama dia sih" Apa Mama nggak bisa lihat tuh anak
keturunan iblis" Oke" oke" gue tahu gue nggak boleh ngatain ortunya, karena gue yakin dia jadi iblis
bukan gara-gara keturunan tapi karena dia sendiri. Apa bisa ya kayak gitu" Idihhh" kok jadi mikirin dia
gini sih" *** "Ada apa, Kaf?" tanyaku datar dengan kedua tangan bersedekap. Bahasa tubuhku sangat menunjukkan
betapa malasnya aku berbicara padanya.
Kafka tersenyum sebelum bertanya, "Kamu gimana kabarnya?"
Mendengar nada Kafka yang sepertinya memang betul-betul khawatir dengan keadaanku, aku langsung
jadi merasa bersalah karena menghindarinya beberapa hari ini.
Kuturunkan tanganku dan membiarkannya jatuh ke bawah. "Biasa saja," jawabku
"Kamu kelihatan capek. Kamu nggak lupa makan sama tidur, kan?"
Aku tergelak. "Papaku lagi di rumah sakit, Kaf. Aku nggak bisa tidur selama beberapa hari ini karena tidur
di sofa sampai badanku pegal semua, aku terlalu sibuk antara kerja dan mastiin supaya papa dan
mamaku baik-baik saja sampai kadang-kadang aku baru ingat aku lupa makan setelah tiba-tiba kepalaku
pusing. Oh ya" satu lagi. Aku juga harus cari akal supaya bisa menghindar dari kamu, tapi jangan terlalu
kelihatan sampai orangtuaku curiga. Apa itu ngejawab pertanyaan kamu?"
Kafka menatapku sambil menahan senyum yang membuatku jadi ikut tersenyum, tapi senyuman itu
sirna ketika mendengar pertanyaan Kafka selanjutnya.
"Kamu kenapa menghindar dari aku?"
Aku harus menggerakkan rahang bawahku dan berusaha menutup mulutku kembali. Kafka masih
menunggu jawabanku, yang membuatku tiba-tiba jadi panic. Apa dia perlu menanyakan hal itu" Dia
jelas-jelas tahu kenapa aku menghindarinya. Bukan hanya karena kejadian di Bali, tapi juga karena
kejadian tempo hari ketika dia melihatku menangis. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri bahwa Kafka
tidak pernah lagi melihatku melakukan suatu hal yang menunjukkan kelemahanku, seperti menangis,
semenjak insiden hampir dua puluh tahun yang lalu itu.
"Aku" jadi" waktu itu" tempo hari" pada dasarnya?" aku betul-betul tidak bisa membentuk satu
kalimat yang jelas. Bukannya membantuku, Kafka malah menatapku dengan wajah sepertinya dia siap
menciumku yang membuatku jadi mundur selangkah untuk meluruskan pikiran.
Kuatur jalan pikiranku selama beberapa detik. "Kaf?" ucapku pelan. Aku ingin menanyakan apakah kami
memang bercinta sewaktu di Bali, tetapi aku tidak tahu bagaimana menanyakannya tanpa terdengar
seperti orang bego. Setelah pulang dari sana aku masih belum sempat ke dokter untuk memeriksa
kesehatan, sehingga tidak tahu apakah aku masih bersih atau sudah terjangkit STD, meskipun aku sudah
dapat memastikan bahwa aku tidak hamil karena siklus haidku berjalan seperti biasa.
"Ya?" balas Kafka sambil mengambil langkah maju sebelum kemudian mencengkeram pergelangan
tanganku, menghentikan rencanaku untuk mundur beberapa langkah lagi. Untung kemudian ada
seorang suster yang datang dan meminta Kafka untuk memeriksa sesuatu, sehingga mau tidak mau
Kafka harus melepaskanku. Dan aku bisa menarik napas lagi. Tanpa kusadari, aku menahan napas
bersamaan dengan sentuhan Kafka itu. Suster yang sekarang sedang menunggu hingga Kafka selesai
memeriksa laporan yang ada di hadapannya kelihatan masih muda dan jelas-jelas cinta mati sama Kafka.
Tiba-tiba aku merasa bahwa aku harus pergi dari hadapan Kafka. Aku tidak bisa berada dalam satu
ruangan dengannya, menghirup udara yang sama dengannya. Aku baru memutar tubuhku untuk
kembali menuju kamar papaku ketika kudengar Kafka berkata, "Jangan ke mana-mana dulu, Nad. Kita
belum selesai bicara."
Langkahku pun terhenti dan kuputar tubuhku untuk menatap Kafka yang perhatiannya ternyata masih
terpaku pada laporan yang tadi juga. Kini suster muda itu menatapku dengan sedikit curiga campur
cemburu. Entah kenapa, tapi tiba-tiba aku merasa kurang pe-de. Meskipun aku cukup bersyukur dengan
penampilanku, tetapi aku jauh dari kata "cantik". Menurutku satu-satunya hal yang menarik dari diriku
adalah rambutku yang lurus, hitam, dan panjang. Lain dengan Dara yang tinggi semampai, tinggiku
hanya 150 senitmeter lebih sedikit. Lain dengan Jana yang bisa membuat laki-laki mana pun menoleh,
kebanyakan orang tidak bisa mengingat wajahku. Dan lain dengan Adri yang kulitnya mulus meskipun
agak gelap, aku harus melaser kulit wajahku agar bebas dari jerawat. Intinya aku ini biasa-biasa saja dan
aku tahu bahwa suster itu tahu bahwa aku tahu bahwa aku tidak sekelas dengan Kafka (Wow" banyak
sekali kata "bahwa" dalam satu kalimat). Aku jaaauuuhhh di bawahnya.
Beberapa menit kemudian Kafka selesai mengevaluasi laporan itu dan mendiktekan beberapa hal yang
harus dilakukan oleh suster tersebut. Meskipun Kafka sudah selesai bicara, suster itu tetap berdiri di
hadapannya. Sepertinya dia menunggu kalau saja Kafka memerlukan bantuan untuk mencuci mobilnya
atau mengambil cuciannya dari Laundrette. Aku hampir saja terkikik ketika Kafka bertanya apakah suster
itu perlu apa-apa lagi darinya dan suster itu menggeleng dengan wajah memerah. Aku jadi bertanyatanya pada diriku sendiri, apa jangan-jangan Kafka dan suster ini punya hubungan lain selain dokter dan
suster itu di luar rumah sakit" Oh" kenapa juga aku jadi mikirin itu" Siapa juga yang peduli kalau Kafka
ada affair sama susternya, sudah punya pacar kek, atau sudah menikah dan punya sepuluh anak"
Tiba-tiba mataku jatuh kepada jari-jari Kafka untuk mencari cincin yang mungkin melingkar di sana.
Nggak, nggak ada cincinnya. Phewww". Kuembuskan napas lega. Setidak-tidaknya kalau aku memang
tidur sama Kafka, aku tidak tidur dengan pacar, tunangan, apalagi suami orang. Kecuali" uh-oh" janganjangan Kafka adalah tipe laki-laki yang sudah menikah tapi tidak mau mengenakan cincin, atau mungkin
cincinnya dikalungkan di leher bukannya melingkar di jarinya" atau,.. aku ini sudah paranoid.
Kubuang jauh-jauh semua pikiran itu ketika kulihat suster tersebut melangkah pergi dengan wajah
kecewa. "Sori ya, Nad," ucap Kafka yang kini sedang menumpahkan perhatian penuhnya padaku.
"It"s okay," jawabku.
"Tadi kamu mau ngomong apa sama aku?"
"Ooohhh" nggak. Cuma?" kulirik mataku ke kiri dan ke kanan untuk memastikan bahwa tidak ada
Crash Into You Karya Aliazalea di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
siapa-siapa yang bisa mendengar percakapan ini. Aku lalu mendekatkan kepalaku kepada Kafka yang
menunduk agar bisa mendengar bisikanku.
"Kita tidur bareng nggak sih di Bali?" Nah" akhirnya keluar juga tuh pertanyaan. Ternyata nggak sesusah
yang aku bayangkan. "Kalau iya memangnya kenapa?" Tanya Kafka dengan nada sedikit tersinggung. Bisa-bisanya dia merasa
tersinggung. Laki-laki gila mana yang mau tidur sama perempuan yang tidak seratus persen sadar"
Seharusnya aku yang berteriak "DATERAPE."
"Kalau gitu aku perlu Tanya beberapa pertanyaan ke kamu."
Kafka tidak mengatakan apa-apa, sehingga aku melanjutkan, "Pertama, apa kita pakai kondom" Kedua,
apa aku perlu cek untuk STD?"
"Menurut kamu gimana?"
Aggghhh" aku rasanya mau menampar Kafka saat itu juga. Kenapa dia membalas semua pertanyaanku
dengan pertanyaan lagi" Apa belum puas dia menyiksaku selama ini" Kenapa setiap kali aku berhadapan
dengan laki-laki satu ini aku selalu naik darah" Aku ini orang yang ramah, tapi Kafka memang tidak
berhak mendapatkan keramahanku.
"Aku nggak tahu, Kaf, itu sebabnya aku nanya kamu. Apa kamu pikir gampang buat aku untuk nanya
pertanyaan-pertanyaan ini ke kamu?"
Tanpa kusangka-sangka Kafka mencengkeram pergelangan tanganku dan menarikku dengan paksa ke
salah satu kamar pasien yang kosong. Dia menutup pintu tepat dibelakangnya sebelum kemudian
mengahadapku lagi. Aku harus mengedipkan mata berkali-kali untuk menyesuaikan diri dengan
kegelapan yang menyelimutiku. Hanya ada sedikit cahaya lampu yang masuk dari sela-sela di bawah
pintu. Meskipun di luar masih terang, tetapi gorden beludru berwarna biru yang menutupi jendela,
mampu mencegah sinar matahari untuk masuk.
"Kamu betul-betul nggak ingat sama sekali?" kudengar Kafka bertanya. Suaranya terdengar berat.
Perlahan-lahan aku bisa melihat bayangan tubuhnya. Setelah beberapa detik aku bisa melihat wajahnya
dengan dahi yang berkerut. Sejujurnya dia kelihatan marah.
Kugelengkan kepala sambil menggigit mulutku bagian dalam, senewen. Aku tidak tahu kenapa aku
merasa bersalah, seperti aku sudah tertangkap mengambil mangga milik tetangga sebelah.
"Mmmhhh" sayang. Aku baru tahu kamu ternyata kelihatan lebih menarik kalau nggak pakai baju."
Ucap Kafka sambil melangkah mendekatiku. Hanya dalam hitungan detik, nada Kafka sudah berubah.
Kini, dia kelihatan seperti binatang buas yang sudah siap menerkam mangsa yang tidak berdaya, yaitu
aku. Mataku langsung terbelalak, bukan hanya karena kata-katanya, tetapi juga tindakannya. Bagaimana bisa
sih laki-laki ini gonta-ganti emosi lebih cepat daripada aku bisa menekan tombol ON dan OFF lampu"
Aku mencoba memperkirakan jarak ke pintu, tetapi tahu bahwa aku akan kalah cepat dengannya kalau
memutuskan untuk melarikan diri. Apalagi karena dia sudah semakin mendekat dan menutupi satusatunya jalan bagiku untuk kabur. Akhirnya aku memutuskan mengambil langkah mundur setiap kali dia
mengambil langkah maju. "Kamu belajar striptease dari mana" Lanjutnya dan mengambil satu langkah maju.
"Striptease?" aku mengambil dua langkah mundur. Dia kelihatan agak terkejut melihat tindakanku, tapi
kemudian ada senyum simpul yang muncul di sudut bibirnya. Senyum itu mengingatkanku akan film-film
horor yang pernah kutonton, ketika karekater antagonis menikmati tatapan ketakutan pada wajah calon
korbannya sebelum membunuhnya.
"Aku nggak keberatan kalau bisa ngelihat kamu naked lagi." Dia mengambil dua langkah, yang
membuatku hampir tersandung kakiku sendiri saat mencoba mengambil beberapa langkah mundur
tanpa melepaskan tatapanku pada matanya yang kini berbinar geli melihat keteledoranku.
Suara tawa Kafka menyuntikkan dosis keberanian dalam diriku. "Aku nggak takut sama kamu, Kaf,"
ucapku tegas. Meskipun kata-kata itu jadi tidak berarti karena aku sekali lagi melangkah mundur.
"Oh ya?" Kafka terdengar sinis ketika mengucapkan dua kata ini.
Aku menggeleng dan pinggangku bertabrakan dengan tempat tidur besi yang ada di kamar itu. Untuk
beberapa detik tatapanku beralih dari matanya, dalam usaha menyisiri satu sisi tempat tidur itu.
"Jadi kenapa napas kamu kelihatan kayak orang ketakutan?"
Aku berhasil mencapai kepala tempat tidur itu dan melangkah menuju sofa yang bersandar pada dinding
dekat pintu masuk. Sekali lagi kucoba memperhitungkan jarak ke satu-satunya jalan keluarku dan kali ini
aku yakin bahwa kalau aku lari, maka aku akan bisa keluar dari kamar ini sebelum Kafka bisa
menghentikanku. Aku mencoba untuk menarik napas dalam-dalam dan mengambil ancang-ancang
untuk aksi "Wonder Woman"-ku itu. Satu" dua"ti"
Ummpphh" semua udara di sekitarku tiba-tiba hilang dan kutemukan diriku terduduk di sofa dengan
wajah Kafka berada kurang dari sepuluh sentimeter di hadapanlu. Aku bisa merasakan dan mencium
napasnya yang beraroma seperti cengkeh. Terakhir kali aku diserang oleh laki-laki seperti ini dan justru
merasa level libidoku semakin naik adalah" uhm" sebetulnya kayaknya hal itu tidak pernah terjadi
padaku sebelum ini. Tubuhku jadi kaku dan saluran pernapasanku seperti tersumbat karena terlalu
kaget ketika menyadari hal ini. Aku tidak bisa mengalihkan perhatianku dari wajah Kafka yang dengan
sengaja menggunakan kedua tangannya untuk mengurung tubuhku. Aku masih takut pada Kafka, tapi
selain itu aku juga merasa" merasa" ya ampuuu".nnn, aku tidak percaya bahwa aku menginginkan ini!
Aku ingin menarik kepala Kafka dan menciumnya hingga kami sama-sama kehabisan napas.
"Boleh aku cium kamu?" bisaik Kafka.
IYA BOLEHHHH!! Teriakku dalam hati. Tetapi tubuhku tidak mengikuti pikiranku karena aku merasakan
kepalaku menggeleng cepat.
Kepala Kafka semakin mendekat dan aku bisa merasakan napasnya membelai bibirku. "Yakin?" tanyanya
lagi dan bukannya mengangguk aku justru menggeleng.
Dan detik selanjutnya berlalu dengan agak kabur. Kurasakan bibir Kafka menyerang bibirku dengan
ganas. Satu tangannya sudah meremas kuncir kudaku dan memaksaku untuk mengangkat wajahku ke
arahnya agar dia bisa punya akses lebih muda diletakkan pada lengan sofa untuk menopang tubuhnya
agar bisa tetap membungkuk di hadapanku. Aku baru akan membuka mulutku untuk protes ketika Kafka
menggunakan kesempatan ini untuk menyerang lebih ganas lagi.
"Kaf," ucapku ketika Kafka melepaskanku untuk satu detik. Aku mencoba meyakinkan diriku bahwa lakilaki yang sedang mengobrak-abrik bibirku saat ini adalah Kafka, mimpi burukku, yang telah aku coba
hindari selama beberapa hari ini. Aku tidak menyadari bahwa aku telah mengucapkan namanya dengan
nada seperti pertanyaan ketika kudengar Kafka menjawab, "Ehm?" di antara ciumannya.
Pada saat itu juga bel peringatan berbunyi didalam kepalaku. Kuangkat kedua tanganku ke atas dadanya
supaya bisa mendorongnya agar menjauhiku, tapi ketika telapak tanganku menyentuh dadanya yang
oh" tegap sekali, aku justru menarik dasinya sehingga dia kehilangan keseimbangannya dan jatuh di
atas pangkuanku. Stop! Apa aku sudah gila" Teriakku dalam hati. Aku seharusnya sudah menendang laki-laki ini pada area
di antara kedua pahanya, bukan justru mencoba untuk memutar tubuhku tanpa melepaskan bibirnya
dan merapatkan tubuhku pada tubuhnya. Puas dengan posisiku, aku menyerang Kafka dengan lebih
antusias. "Ahhh?" desah Kafka yang memberikan reaksi positif atas tindakanku.
Pada detik itu aku menyadari bahwa Adri pasti gila karena bisa tetap single. Apa dia tidak pernah
merindukan sentuhan laki-laki pada tubuhnya" Tapi itu tidak adil. Mungkin Adri memang tidak pernah
merasakan sentuhan laki-laki seperti ini, itu sebabnya dia tidak pernah merindukannya.
"Mmmhh"," ucapku sambil menyisirkan jari-jariku pada rambutnya yang ternyata sehalus rambut bayi.
Sepertinya Kafka memiliki gaya sendiri untuk men-style rambutnya. Lain dengan kebanyakan laki-laki
zaman sekarang yang memakai gel rambut sampai sekilo banyaknya dan menyebabkan rambut mereka
jadi sekeras batu, Kafka lebih memilih gaya natural. Alhasil, selain halus, rambut itu juga hanya berbau
sampo khusus untuk laki-laki yang segar. Yang jelas Kafka aromanya lebih harum daripada bayi yang
baru saja dimandikan. Aku menarik napas dalam-dalam dan menghirup aroma kulitnya, embusan
napasnya, dan parfumnya. Ketika aku melepaskan bibir Kafka untuk mengambil napas, kurasakan Kafka sedang mencoba untuk
menarik legging-ku ke bawah tapi tidak berhasil karena terhalang sabuk di luar kemejaku. Dari tatapan
matanya aku tahu bahwa hanya ada satu hal yang ada di dalam pikirannya itu. Aku tahu saat laki-laki
sudah melewati batas kemampuan mereka untuk berhenti. Apa aku akan melakukannya dengan Kafka"
Lagi" Di dalam kamar rumah sakit" Aku akui bahwa memang kamar itu tidak sedang digunakan dan
gelap gulita sehingga tidak akan ada orang yang bisa melihat apa yang terjadi di dalamnya, tetapi tetap
saja" seseorang bisa tiba-tiba masuk dan menemukan kami dalam posisi yang aku yakin bisa membuat
Kafka dipecat. Belum lagi ini akan membuatku dan keluargaku malu setengah mati.
Tapi sepertinya akal sehatku sedang mengambil cuti pada detik itu dan tanpa kusadari, dengan tangan
yang sedikit gemetar aku mulai meraba dada Kafka. Tanpa menganggalkan dasinya kubuka kancing
kemejanya satu persatu lalu kubiarkan tanganku menyentuh kaus putihnya. Kurasakan otot-ototnya
bereaksi di bawah sentuhanku. Tidak ada satu bagian tubuhnya yang tertinggal dari sentuhanku. Bahu,
dada, tulang rusuk, pinggang, dan berakhir di kepala sabuknya. Aku ragu sesaat. Mata Kafka
menantangku untuk melakukan satu-satunya hal yang dia tahu akan kulakukan tetapi ragu
melakukannya. Aku yakin bahwa aku sudah gila ketika aku mulai melonggarkan sabuk itu dari ikatannya.
"Oh no," desah Kafka yang membuatku menghentikan apa yang sedang aku lakukan.
"Kamu nggak mau?" aku belum selesai mengatakan apa yang ingin aku kataka ketika Kafka
menggenggam kepalaku di antara kedua tangannya dan menyerang bibirku lagi. Kafka membawa
bibirnya pelan-pelan mencium cekungan pada dasar leherku. Dan akal sehatku hilang ketika kurasakan
lidahnya bersentuhan dengan kulitku. Aku hanya bisa mendesah sambil menopang tubuhku pada bahu
Kafka agar tidak meleleh saat itu juga.
"Sweet. Just as I thought," bisik Kafka.
Kusembunyikan wajah di lehernya. Aku tidak mau dia melihat bahwa mataku sudah mulai berkaca-kaca
karena ekstasi yang kurasakan.
Kurasakan bibir Kafka mencium pelipisku, kemudian dia berbisik, "I want to take you right here right
now." Kutarik wajahku dari leher Kafka dan kucium bibirnya untuk mencegahnya berbicara lagi. Kehangatan
menyambutku. Tidak rela bahwa hanya dia yang bisa menyiksaku, aku pun mulai mengeksplorasi
lehernya. Ternyata kulit Kafka tidak hanya sewangi kulit bayi. Tapi juga sehalus kulit bayi.
Kafka berhenti menciumku untuk beberapa detik untuk berkata, "God that feels good." Pada detik itu
aku menyadari kekuasaan yang dimiliki oleh seorang wanita untuk memuaskan laki-laki hanya dengan
ciumannya. Aku memiliki dua pilihan, aku bisa berhenti menciumi lehernya atau"
Tanpa kusangka-sangka Kafka mencengkeram kedua bahuku dan menjauhkan bibirku dari kulitnya. Aku
mencoba kembali melanjutkan aktivitasku, tetapi cengkeraman Kafka membuatku terhenti. Kutatap
wajahnya yang kini sedang menatapku sambil mengernyitkan dahi. Seakan-akan dia tidak mengenaliku.
Aku bingung sesaat ketika melihat kelakuannya, tapi kemudian dia mendekatkan wajahku pada bibirnya
sebelum memberikan satu kecupan lembut di sudut bibirku. Kafka kemudian membawa kepalaku ke
lekungan lehernya lalu memelukku dengan erat. Aku betul-betul bingung dengan kelakuan aneh bin
ajaib Kafka, tetapi aku merasa terlalu nyaman untuk mempertanyakan ini semua. Perlahan-lahan aku
mencoba mengatur napasku kembali. Leher Kafka terasa hangat di samping pipiku. Aku bisa merasakan
detak jantungnya di depan dadaku. Dap dap" dap dap" dap dap" mungkin ini hanya perasaanku saja,
tetapi sepertinya detak jantung itu lebih cepat daripada normal.
"Kamu nggak apa-apa?" bisik Kafka.
Pertanyaan Kafka membangunkanku yang hampir saja terlena di dalam pelukan Kafka. Aku mengangguk
menjawab pertanyaanya. "Aku harus berhenti sebelum semuanya kelewatan, " lanjutnya.
Mungkin kata-kata ini tidak akan masuk akal kalau dikatakan dalam konteks lain, tapi pada saat itu, aku
memahami apa yang dia katakana. Diam-diam aku tersenyum. Aku tidak menyangka bahwa Kafka bisa
berkelakuan manis juga. Tanpa kusangka-sangka Kafka mencium keningku dan aku meleleh.
"Sori, aku nggak maksud untuk maksa kamu," ucapnya.
Aku mengangguk. Kubiarkan diriku tenggelam di dalam pelukan Kafka. Kuhirup aromanya dalam-dalam
dan berpikir. What the hell just happened" Dan apa yang akan kami lakukan setelah ini"
"Nad?" "Ehm?" jawabku tanpa mengangkat kepala
"Kamu ternyata jauh lebih liar daripada yang kupikir selama ini." Ucapnya sambil tertawa dan membelai
rambutku. Aku ikut tertawa dengannya. "Is that good or bad?" lanjutku setelah tawaku reda.
"It"s fantastic. You"re fantastic," bisik Kafka
Aku tersenyum ketika mendengar komentarnya. Kami lalu berdiam diri lagi selama beberapa menit di
dalam keheningan dan menikmati rasa damai yang tiba-tiba menyelimuti kami berdua. Kurapatkan
tubuhku pada tubuhnya dan perlahan-lahan mengembuskan napas. Ketika merasa bahwa kakiku mulai
akan kram, kuangkat kepalaku untuk menatap wajahnya. Kafka ternyata sedang menutup mata. Ketika
dia membuka mata itu dan tersenyum, suatu lampu merah yang terlewatkan olehku selama satu jam
terakhir ini muncul kembali. Senyum itu" senyum yang benar-benar Kafka. Senyum yang selalu
diberikannya padaku sebelum kemudian dia melakukan sesuatu yang akan membuatku sangat marah
padanya sampai aku tidak bisa berkata-kata. Dan dalam waktu kurang dari satu detik aku langsung
melompat berdiri dari pangkuannya dan hampir saja jatuh kalau tidak buru-buru mendapatkan
keseimbanganku kembali. Bab 7 15 Oktober Pokoknya gue nggak peduli kalau sampai semua orang tahu gue cewe gampangan. Kayaknya itu rahasia
yang paling nggak penting daripada ngaku gue pernah "tidur" sama tuh orang.
*** "NAD?" ucap Kafka dengan nada agak bingung.
Tubuhku gemetaran. "Apa kamu ngerencanain ini semua, Kaf?"
"What?" Kafka mencoba berdiri sambil memasang sabuknya kembali. Untuk beberapa detik aku hanya
bisa terdiam sambil menikmati pemandangan itu. Aku tidak pernah tahu bahwa ada sesuatu yang seksi
ketika melihat laki-laki memasang sabuk mereka. Atau mungkin hal itu kelihatan seksi karena Kafka yang
melakukannya" Aduuuhhh"
"Shit," geramku. Apa aku hanya hiburannya untuk hari ini" (Oke, oke". Aku harus adil. Aku juga merasa
cukup terhibur sore ini). Apa dia akan menceritakan hal ini kepada teman-temannya"
(Bugger it" this is NOT good) apa dia akan menyebarkan gosip bahwa aku ini cewek gampangan"
(Meskipun pada detik ini, harus kuakui bahwa aku memang cewek gampangan. Cewek baik-baik mana
yang akan memperbolehkan seorang laki-laki yang bukan pacarnya menciuminya sampai bibirnya terasa
agak bengkak") apa Kafka sering melakukannya" (Menyerang dan diserang oleh anak pasiennya yang
haus belaian laki-laki setelah baru putus dari pacarnya selama" kapan sih aku putus dari Fendi" Poodle
on toast, aku bahkan tidak bisa ingat). Kualihkan perhatianku pada sekelilingku, mencari tanda-tanda
kalau-kalau ada kamera tersembunyi yang merekam apa yang baru saja terjadi. Menyadari bahwa aku
tidak bisa melihat apa-apa di dalam kegelapan, aku mencoba untuk mencari tombol lampu.
"Nad, kamu ngapain sih?" Kafka terdengar semakin bingung dan tidak sabar
"Aku nggak bisa ngomong sama kamu sambil gelap-gelapan. Aku perlu lampu," balasku.
Aku harus menyipitkan dan mengedipkan mataku beberapa kali ketika tiba-tiba sinar terang menyerang
mataku. Kafka ternyata telah menyingkapkan gorden dan sinar matahari sore masuk menyinari kamar
itu. Aku menunggu hingga mataku bisa betul-betul focus pada wajahnya sebelum berbicara. Dan apa
yang kulihat hampir membuatku membatalkan niatku untuk melakukan percakapan ini sekarang.
Rambutnya yang ikal acak-acakan, kemeja putihnya kelihatan agak kusut dan beberapa kancingnya
terlepas, dasinya tidak berbentuk dan ada garis-garis merah pada lehernya yang menyerupai bentuk
telapak tangan. Telapak tanganku, lebih tepatnya. Penampilannya itu membuat darahku mendidih,
bukan karena marah tapi karena aku tiba-tiba ingin mendorongnya ke tempat tidur rumah sakit dan
bercinta dengannya si situ saat itu juga, tidak peduli apa akibatnya.
Tiba-tiba kami berdua mendengar bunyi PRAAANG" dengan volume maksimum, yang diikuti langkah
yang terburu-buru dan percakapan antara dua orang yang agak teredam. Keterkejutanku
membangunkanku dari fantasi seksual itu dan mengembalikanku kea lam sadar dan kemarahanku.
"Apa kita memang tidur bareng waktu di Bali?" tanyaku dengan suara yang tidak stabil
"Kenapa kita balik lagi ke situ sih?" Tanya Kafka yang kini sedang bertolak pinggang
"Aku Tanya ke kamu sekali lagi. Apa kita benar-benar tidur bareng waktu di Bali?" nadaku terdengar
lebih tajam daripada yang kuinginkan
"Nad"," Kafka mencoba menenangkanku
"Jawab aku, Kaf," teriakku
"Apa kamu pikir aku masih bakalan mau makan appetizer kalau aku sudah makan menu utamanya?"
balasnya dengan berteriak juga
"Hah?" aku jadi bingung. "Jawab iya atau nggak sudah cukup buatku," lanjutku mencoba untuk
menutupi kebingunganku "Ya kamu pikir sendirilah. Kalau aku sudah tidur sama kamu apa kamu pikir aku bakalan nyiumin kamu
kayak barusan?" Oke, pacarku memang bisa dihitung dengan jari, tapi aku bukan seorang idiot yang tidak akan mengerti
kata-kata sejelas ini. Kudengar Kafka mengembuskan napasnya dengan tidak sabaran. "Jawabannya
nggak, Nad. Kita nggak HAVE SEX di Bali," ucapnya dengan cukup keras.
"Sssttt!" ucapku sambil dengan cepat berjalan mendekati Kafka. "Jangan kencang-kencang bisa nggak
sih?" lanjutku sambil berbisik
"Kamu takut orangtua kamu dengar kalau anak emas mereka ternyata senang mainin laki-laki?" Kafka
terdengar meledek. "Aku nggak pernah mainin laki-laki. Enak saja kamu ngomong. Kamu nggak kenal aku," omelku
"Nah, di situ kamu salah. Aku yakin aku cukup kenal bibir kamu."
Aku hanya bisa membuka dan menutup mulutku berkali-kali tanpa mengeluarkan suara. Kafka
menatapku penuh kemenangan ketika melihat wajah merahku. Kuletakkan tanganku di depan dada
untuk menenangkan jantungku. Aku tidak bisa mengaku kalah dengan Kafka. So what gitu lho, kalau dia
adalah satu-satunya laki-laki yang betul-betul bisa menarik perhatianku setelah aku putus dari Fendi"
Tanpa menghiraukan komentar Kafka yang terakhir, aku pun menyerang balik dengan meminta
penjelasannya tentang kejadian di Bali.
"Kalau misalnya kita memang nggak tidur di Bali, terus kenapa aku bangun Cuma pakai Underwear?"
Kafka mengangkat bahu. "Aku nggak tahu juga. Aku lagi nonton TV, tahu-tahu kamu bangun dan
langsung ngelepasin jins sama kaus kamu. Terus kam
u tidur lagi." "Serius?" aku curiga bahwa Kafka berbohong lagi hanya untuk mencegahku agar tidak histeris
"Serius," "Jadi kamu kenapa mesti bilang "Thanks for last night" segala ke aku?" seperti seekor anjing yang sudah
menemukan sepotong daging, aku masih belum reda melepaskan topic ini. Aku harus tahu persis duduk
perkaranya kalau aku ingin tidur nyenyak untuk pertama kali selama enam minggu belkangan ini.
"Memangnya kau ngomong begitu?"
"Jangan pura-pura nggak tahu deh, " omelku
Kafka malah justru mulai cekikikan mendengar omelanku. Tetapi dia berhenti ketika melihat wajah
garangku. "Oke" sori. Aku ngomong gitu Cuma buat gangguin kamu saja. Itu satu hal yang nggak
berubah tentang kamu dari SD, kamu masih gampang banget buat digangguin."
Sebetulnya aku merasa sangat tersinggung dengan komentar ini, karena sejujurnya selama dua puluh
tahun ini aku sudah berusaha untuk menjadi orang yang lain sama sekali dari diriku sewaktu SD. Tapi aku
sudah terlalu lega ketika mendengar penjelasan ini, sehingga yang keluar dari mulutku adalah,
"Sumpah?" "Sumpah." Perlahan-lahan kuembuskan napas lega. "Oke, tapi kalau sampai aku tahu kamu bohong sama aku, aku
sumpahin kamu impoten." Dan aku langsung melarikan diri dari kamar itu.
*** Dua hari kemudian aku masih tidak bisa memercayai diriku yang pada dasarnya sudah berkelakuan
Crash Into You Karya Aliazalea di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seperti anak SD daripada seorang wanita dewasa yang sebentar lagi akan menginjak usia kepala tiga.
"Kalau sampai aku tahu kamu bohong sama aku, aku sumpahin kamu impoten," kenapa juga aku harus
menggunakan kata-kata itu" Aku rasanya mau mati saja. Belum lagi karena dalam dua hari itu pula aku
tidak bisa menghapuskan Kafka dari pikiranku. Tapi kurasa yang membuatku semakin tidak bisa tidur
selama dua hari ini adalah karena aku sedang menunggu telepon dari Kafka yang tidak juga kunjung
datang. Bagaimana bisa dia tidak meneleponku setelah apa yang dia telah lakukan padaku" Koreksi"
apa yang telah "kami" lakukan bersama-sama" Aku harus berhenti menyalahkan ini semua pada Kafka.
Toh orang tidak akan bisa menari Tango sendirian.
Setelah melarikan diri dari hadapannya, aku pada dasarnya menolak bertemu dengannya lagi. Aku
bahkan memohon kepada Kak Mikhel agar mengurus kepulangan Papa dari rumah sakit sementara aku
bersembunyi dengan alasan pekerjaan. Harus kuakui bahwa aku telah melanggar janji yang telah
kuucapkan pada diriku sendiri menyangkut Papa, juga bahwa kelakuanku itu menggambarkan seorang
pengecut, tapi aku tidak tahu alternative lain yang bisa kulakukan. Tanpa kusadari aku sudah
menggeram. Kepala Gita muncul dari balik kubikel.
"Lo kenapa, Nad?" tanyanya sambil mengistirahatkan dagunya di atas dinding kubikel.
Aku hampir saja berteriak terkejut ketika mendengar suara Gita. "Git, bisa nggak sih lo nggak suka tibatiba nongol di atas kubikel?"
Gita kelihatan bingung. "Memangnya kenapa kalau gue begitu?"
"Ngagetin gue, tahu," omelku
Bukannya menutup topic pembicaraan itu, Gita justru muncul di samping mejaku. "Lo lagi ngerjain
website-nya siapa sih?" tanyanya. Tatapannya jatuh pada kedua layar monitor 24 inci iMax-ku.
Aku mengangkat tanganku dari atas mouse mendengar nada Gita. " Memangnya kenapa?" tanyaku
curiga "Warnanya" nggak tahu deh,.. terlalu" apa ya" trlalu funky kalau menurut gue."
Aku mengembuskan napasku dengan sedikit putus asa. Aku harus setuju seratus persen dengannya.
Percampuran warna fuchsia, kuning terang, dan oranye itu benar-benar norak senorak-noraknya
kombinasi warna. Tapi itulah warna yang di minta oleh salah satu owner sebuah dance club cukup
bergengsi yang baru saja dibuka di selatan Jakarta. Selama ini aku selalu menyangka bahwa mungkin
karena usia maka aku tidak bisa lagi melihat warna-warna yang selalu terang, tetapi sepertinya usia
bukanlah factor untuk tiba-tiba merasa silau kalau melihat website ini, karena Gita baru menginjak usia
22 tahun. "Jangan Tanya sama gue deh," ucapku sambil mengusap kedua mataku yang kubiarkan menutup
beberapa detik. "Mereka maunya website ini warnanya match sama cat dinding kelab mereka. Gue
Cuma ikutin saja mereka maunya gimana. Susah memang kalau urusan sama anak-anak orang kaya.
Sekama itu bukan duit gue atau kelab gue, bodo amat deh,"
Aku hanya pernah bertemu dengan salah satu dari tiga pegawai kelab ini. Dan menurutku Karin
menggambarkan segala sesuatunya tentang kehidupan anak orang kaya yang kebetulan juga memiliki
tampang cantik, tubuh seperti supermodel, dan berpikir bahwa mereka bisa menginvestasikan uang
mereka ke tempat mereka akan menghabiskan setidak-tidaknya lima malam dalam satu minggu di
dalamnya. Kuakui bahwa ide itu jenius juga. Pertama karena mereka tidak pernah perlu membayar
cover charge; kedua, mereka bisa minum alcohol sepuasnya dengan harga diskon atau bahkan gratis;
dan ketiga, "entrepreneur" tentunya akan kelihatan lebih valid untuk ditulis di CV sebagai pengalaman
kerja daripada halaman kosong. Pada intinya, Karin dan kedua partnernya yang sepertinya selalu
"missing in action" kalau kami mengadakan meeting, adalah Janis orang yang paling aku benci di dunia
ini. "Lho, ini website buat klub yang baru itu?"
Aku mengangguk. "Tapi bukannya kelab mereka itu harusnya untuk eksekutif muda?" Tanya Gita dengan
sedikit bingung. Sekali lagi aku mengangguk. Sebelum setuju untuk mendesain website mereka, aku sempat
mengunjungi kelab itu dan hampir mengalami serangan jantung. Hal pertama yang muncul di kepalaku
ketika melihatnya adalah bahwa kelab itu lebih kelihatan seperti sebuah dance club. Aku bukannya jenis
perempuan yang sering pergi ke kelab, tapi aku cukup tahu bahwa biasanya warna yang dipilih adalah
warna gelap seperti abu-abu atau cokelat mahoni yang dicampur dengan perak atau emas. Paling
maksimum mereka akan memilih warna maroon atau biru. Aku semakin terkejut ketika mendengar
target pasar mereka, tapi sepertinya aku memang tidak berbakat di dunia hiburan, karena ternyata
dengan warna noraknya itulah Empire bisa membedakan dirinya dengan dance club lainnya, alhasil jadi
kelab paling Hot di Jakarta sekarang.
Hanya dengan memikirkan kata HOT, tiba-tiba saja aku merasa gerah. Aku langsung berdiri dari kursiku.
Aku harus keluar dari kantorku.
"Lo mau ke mana, Nad?" Tanya Gita bingung ketika melihatku mulai mematikan computer dan
membereskan barang-barangku.
"Pulang," jawabku singkat dan meninggalkan Gita dengan wajah yang masih bingung dan agak sakit hati
karena mungkin dia menyangka bahwa aku merasa iri dengan pertanyaan-pertanyaannya. Biasanya,
sebagai seorang peramah, aku akan menyempatkan diri untuk menjelaskan situasi yang sebenarnya ke
Gita, tapi tidak hari ini, pikiran, hati, dan tubuhku sudah cukup galau tanpa perlu ada satu orang lagi
yang akan membuatnya lebih parah.
Dalam perjalanan menuju lift aku menyempatkan diri untuk melongokkan kepalaku ke ruangan bosku
untuk mengabarkan bahwa aku akan menyelesaikan pekerjaanku di rumah dan hasilnya aku akan kirim
melalui e-mail besok pagi. Bosku yang sudah terbiasa dengan cara kerjaku hanya mengangguk dan
membiarkan aku pergi tanpa bertanya-tanya lagi.
*** Kafka baru meneleponku pada hari keempat. Aku sedang di kamar mandi ketika telepon itu berbunyi,
sehingga tidak berbicara langsung dengannya. Tapi begitu aku mendengar voicemail yang
ditinggalkannya, aku bersyukur bahwa aku tidak sempat mengangkat telepon itu.
"Hei, Nad-Nad, kok nggak diangkat sih teleponnya" Naaa".ddd-Naaa"ddd. Heeellloooo". Oke,
kayaknya kamu nge-screen teleponku deh. Aku Cuma mau bilang kalau aku suka kamisol renda-renda
kamu. Omong-omong kapan-kapan kamu pakai warna hitam ya kalau ketemu aku. Aku suka ngelihat
perempuan pakai underwear warna hitam.
Mukaku langsung memerah ketika mendengar pesan itu. Kenapa aku tidak terkejut bahwa Kafka bisa
tahu apa itu kamisol dan tidak menyebutkan sebagai singlet seperti kebanyakan mantan pacarku.
Perasaanku bercampur antara ingin menangis dan berlari untuk memeriksa apakah aku memang
memiliki kamisol berwarna hitam. Aku tidak langsung membalas telepon dari Kafka tersebut, aku akan
membiarkannya menunggu selama setidak-tidaknya empat hari sebelum meneleponnya balik. Biar tahu
rasa" Tapi baru menginjak hari ketiga, tanganku sudah gatal ingin meneleponnya. Akhirnya aku memutuskan
untuk mengirimkan SMS saja. Dengan sangat menyesal aku mengakui bahwa nomor HP Kafka sudah
tercatat di dalam address book HP-ku, tetapi aku mencoba menebus dosaku itu dengan mengatakan
bahwa aku hanya melakukannya agar bisa langsung menghindar dari menggunakan nomor Unknown,
tapi hanya ada SATU orang yang menggunakan nomornya Kafka
Kafka, kamu ngabis-ngabisin pulsa aja deh telepon aku Cuma untuk ngomong begituan.
Merasa puas dengan SMS itu, aku langsung menekan SEND.
Tanpa kusangka-sangka, balasan dari Kafka datang hanya dalam beberapa detik. Dan selama sepuluh
menit kami mengirimkan SMS bolak-balik hingga kedua ibu jari tanganku sakit.
Kafka: Kalo SMS gak ngabisin pulsa, kan" Aku belum pernah coba SMS-sex, tapi there"s always a first
time for everything. Kamu hari ini pakai komisol warna apa"
Nadia: Sapa juga ya mo ngomongin seks sama kamu" Kayak gak ada kerjaan aja. Jawaban utk soal yang
satu lagi: MYOB. Kafka: iya emang gak ada gunanya kalo Cuma ngomongin doing. Aku available kalo kamu mo coba
langsung. BTW, setelah yang kemaren" I can make your underwear my business if you let me.
Nadia: ke laut aja, Kaf. Kafka: hahaha" Aku berhenti mengirimkan SMS ketika menyadari bahwa aku sebetulnya menikmati debatku dengan
Kafka ini. Jelas-jelas aku memang sudah tidak waras lagi. Perempuan mana yang bisa merasa terhibur
ketika pada dasarnya mereka sedang di-sexually harass melalui SMS oleh seorang laki-laki yang tidak
disukainya" *** Sepanjang minggu setelah SMS terakhirnya yang tidak sopan itu, Kafka tidak menggangguku sama sekali.
Tapi kemudian ketika aku sedang mencoba untuk menyelesaikan pekerjaanku di kantor, HP-ku bergetar
dengan cukup lama dan di layar tertuliskan "Kafka". Aku membiarkannya tidak terangkat. Kemudian HPku bergetar sebentar yang menandakan bahwa ada SMS baru.
Kafka: Hei, kenapa gak angkat telepon"
Nadia: aku lagi kerja Kafka: oh ya" jangan lupa anter papa kamu minggu depan utk ketemu aku
Nadia: minggu depan gilirannya kakakku
Kafka: giliran kamu kapan"
Nadia: bisa gak sih kamu gak gangguin aku"
Kafka: kamu keberatan"
Nadia: banget Kafka: sayang" Aku langsung terhenti ketika melihat kata itu dilayar HP-ku. "Sayang titik"titik"titik?" apa maksudnya
meninggalkan kata itu menggantung" Laki-laki satu ini bikin aku gila.
Selama satu bulan aku tidak menemani papaku pergi cek rutin jantung semakin gencar pula SMS dari
Kafka yang semakin hari semakin membuatku gerah, terutama SMS yang dikirimnya seminggu lalu yang
membuatku bertanya-tanya tentang selera hubungan intimku selama ini. Seperti ketika aku SD, Kafka
selalu tahu cara yang paling ampuh untuk memancing reaksiku. Dia tahu bahwa aku tidak akan bisa
tinggal diam kalau dia terus menggangguku.
Kafka: kamu utang ongkos jahit kancing sama aku
Nadia: kancing apaan"
Kafka: kancing kemeja yang lepas waktu kamu devour aku di sofa rmh sakit
Nadia: aku gk devour kamu, yang ada juga kebalikannya
Kafka: and you enjoy every minute of it
Nadia: no, I didn"t Kafka: yes, you did. Ngaku aja, gak usah malu-malu
Nadia: NO, I DID NOT ENJOY IT, OKAY!
Kafka: well, I did, okay". Dan mungkin kalo org tau kunci dari great relationship itu menyangkut nyiumin
orang sampe bibirnya bengkak, mungkin orang bakal lebih terbuka sama S&M.
Nadia: Relationship gak ada hubungannya sama yang kemaren. Sok ngomongin S&M lagi, emangnya
kamu tau S&M itu apa"
Kafka: knp tanya2 soal S&M" mo coba"
Nadia: gak, makasih Kafka: yakin" Seru lho.
Dan aku menyalahkan Kafka sepenuhnya dengan apa yang terjadi padaku malam itu ketika aku
terbangun dari tidurku pada tengah malam buta dengan napas yang terengah-engah, jantung berdebardebar, berkeringat, dan basah. Aku mencoba mengusir mimpi yang telah membangunkanku, mimpi yang
membuatku waswas untuk tidur lagi karena takut memimpikan hal yang sama. Selama ini aku selalu
berpikir bahwa hanya laki-laki saja yang bisa mimpi basah dan bahwa itu adalah sesuatu yang lucu dan
patut ditertawakan. Tapi kini aku tahu bahwa tidak ada yang lucu sama sekali dengan mimpi basah
ketika aku, sebagai seorang wanita dewasa, baru mengalaminya untuk pertama kali. Terutama jika
pemeran utama dari mimpi tersebut adalah seseorang yang tidak seharusnya punya urusan untuk
berada di dalam mimpi tersebut, dan ini bukan hanya mimpi biasa, tapi mimpi yang melibatkan orang itu
mengikat kedua pergelangan tanganku pada tiang tempat tidur dengan borgol yang dilapisi bulu-bulu
pink dan kedua kakiku dengan scarf Hermes. Tapi bukan posisi itu saja yang mengejutkanku, tetapi juga
bahwa tubuhku tidak ditutupi oleh sehelai kain pun.
Bab 8 30 Oktober Normal nggak sih berfantasi tentang laki-laki yang kita bahkan nggak suka" Gue benar-benar nggak suka
sama dia, tapi kenapa dia selalu ada di pikiran gue" Kayaknya gue mesti pergi ke neurology untuk cek
apa jangan-jangan ada yang salah sama fungsi otak gue
*** Beberapa hari setelah mimpiku itu aku tidak bisa tidur dengan nyenyak karena setiap kali mulai
memasuki siklus REM, aku langsung terbangun, takut mimpiku akan terulang lagi. Tapi Kafka tidak hanya
menghantui waktu tidurku, dia juga selalu ada di pikiranku ketika aku dalam keadaan terbangun dan
sadar seratus persen. Sepertinya Kafka tidak puas dengan hanya menyiksa fisikku, dia juga harus
mengganggu kesehatan mentalku. Untuk betul-betul menghapuskannya dari pikiranku aku sampai rela
mengikuti satu sesi kelas yoga yang seharusnya bisa menenangkan pikiranku dan mengeluarkan unsureunsur Kafka dari dalam diriku. Tapi sekali lagi sepertinya Kafka tidak rela melepaskanku, karena dia
masih tetap mengirimkan SMS-SMS yang tidak senonoh padaku. Bodohnya lagi adalah meskipun
memiliki kebebasan untuk tidak menghiraukan SMS itu, aku tidak bisa. Setiap kali dia mengirimkan SMS,
aku harus membalasnya, sehingga akhirnya aku tenggelam dengan rasa bahwa aku memerlukan SMSSMS itu di dalam hidupku.
Aku tidak tahu bagaimana ini bisa terjadi, tapi sepertinya aku mulai terobsesi dengan SMS Kafka, atau
mungkin hanya dengan Kafka-nya. Kenyataan itu aku sadari ketika aku mulai mengharapkan SMS dari
Kafka untuk mengisi hari-hariku. Aku mulai memperlakukan SMS itu seperti dosis insulin yang perlu
diambil oleh para pengidap penyakit diabetes mellitus. Aku tidak pernah terobsesi dengan laki-laki
manapun sepanjang hidupku, bahkan dengan pacar-pacarku, aku selalu memastikan bahwa akulah
orang yang diobsesikan bukan yang terobsesi. Jadi kenapa hal itu harus beda dengan Kafka" Satusatunya penjelasan adalah karena Kafka jauh lebih HOT dibandingkan dengan pcar-pacarku. Bahkan
kalaupun mereka semua digabungkan, hasilnya masih tetap kalah dengan Kafka.
Parahnya lagi, aku mulai memikirkan apakah aku dan Kafka bisa betul-betul cocok. Kalau saja aku tahu
tanggal lahirnya, aku mungkin sudah berkutat untuk melakukan riset kecocokan zodiac kami. Seminggu
kemudian keadaan juga tidak membaik karena aku mulai bertanya-tanya pada diriku sendiri, "Apa yang
Kafka mau dariku?" di satu sisi aku rasa dia menyukaiku karena laki-laki mana yang akan mencumbu
seorang perempuan dan mengirimkan SMS-SMS dengan kata-kata yang aku yakin akan kena sensor oleh
Lembaga Sensor Film, kalau dia tidak betul-betul menyukai perempuan itu" Tapi di sisi lain, aku khawatir
Kafka hanya menggunakanku sebagai sasaran keisengannya saja. Aku tidak terbiasa dengan situasi yang
tidak pasti seperti ini dan tidak tahu bagaimana menghadapinya.
Mungkin itu sebabnya kenapa selama ini aku selalu menghindar dari laki-laki seperti Kafka. Tipe laki-laki
yang terlalu HOT untukku dan jauh diluar ligaku. Tipe yang menghiasi fantasi dan mimpiku tetapi tidak
dunia nyataku. Aku selalu menghindari mereka karena tahu bahwa mereka hanya bisa membawa patah
hati, bukan kasih sayang. Well" mungkin mereka bisa memberikan kasih sayang. Tetapi bukan untuk
perempuan sepertiku. Tapi tingkah laku Kafka selama sebulan ini telah membuatku berani bermimpi.
Dia telah memberiku harapan bahwa ternyata pendapatku mengenai laki-laki sepertinya salah, bahwa
ternyata aku cukup menarik untuk mendapatkan perhatian dari laki-laki sepertinya. Mulai merasa panic
dengan harapan yang terlalu meluap-luap dan kemungkinan besar akan tumpah kemana-mana sebelum
aku bisa mematikan api yang menyebabkan apa pun yang ada di dalam panci itu menjadi tidak tenang,
aku menelepon ketiga sobatku untuk pertemuan darurat.
"Apaan sih yang darurat banget sampai nggak bisa nunggu" Albert ngamuk sama gue nih jadinya," ucap
Jana yang datang sendiri tanpa calon suami ataupun anak kembarnya.
Mendengar nama Albert disebut-sebut aku langsung teringat akan wajah wedding planner Jana itu. Dia
laki-laki paling gay dan nyentrik yang pernah kutemui. Albert selalu memanggil semua orang "Darling".
Pertama kali bertemu dengannya aku tidak menyadari bahwa itu memang kepribadiannya dan tidak ada
apa pun yang dapat kulakukan untuk mengubahnya.
"Lho" memang apa urusannya Albert ngamuk sama elo?" Tanya Dara sambil menghirup cappuccino.
"Gue perlu fitting kebaya resepsi gue lagi, soalnya kayaknya gue nambah berat badan. Dia harus buruburu ngerjainnya karena gue harus ketemu elo," Jana akan menikah seminggu lagi dan aku merasa agak
sedikit bersalah karena tidak bisa membantu banyak dalam mempersiapkan pesta pernikahannya itu.
Meskipun Jana memaafkan situasiku setelah tahu keadaan papaku.
"Mmmhhh," ucap Adri. Dan hanya dengan desahan itu kamu bertiga langsung menatapnya.
"Kenapa lo "mmmhhh", Dri?" tanyaku
"Memangnya nggak boleh gue "mmmhhh?"" balas Adri cuek sambil mencoba memancing sebongkah es
dari gelas raspberry ice chocolate-nya dengan dua sedotan.
Aku dan kedua sobatku yang lain menatap Adri curiga. Tapi kali ini sepertinya memang Adri tidak
bermaksud apa-apa ketika mengucapkan kata itu. Kami yang sudah terbiasa dengan sifat Adri yang
diam-diam tetapi sebetulnya lebih tahu dan mengerti apa yang sedang terjadi di sekitarnya selalu
waswas kalau saja dia akan mempraktikkan kemampuannya untuk menganalisis orang dengan
sempurna kepada kami bertiga
Adri yang masih sibuk dengan esnya baru menyadari tatapan kami dan berkata, "Kenapa pada ngelihatin
gue kayak gitu sih?" tapi tidak ada satu pun dari kami yang memberikan penjelasan
"So emergency-nya menyangkut "siapa" atau "apa?"" lanjut Adri sebelum kemudian mengisap bongkahan
es yang sudah berhasil masuk ke mulutnya
Tiba-tiba aku menjadi ragu untuk menceritakan masalahku. Aku bahkan tidak tahu apakah ini bisa
dikategorikan sebagai keadaan darurat. Tentu saja fitting kebaya Jana kelihatan lebih penting
dibandingkan dengan hubunganku dengan Kafka, kalau itu bisa dikategorikan sebagai hubungan.
Aku sudah memutar otakku untuk memikirkan suatu cara agar bisa membicarakan masalahku dengan
Kafka tanpa terdengar desperate, tapi tidak satu ide pun keluar. "Gue cewek gampangan," ucapku
sebelum aku bisa menghentikan lidahku. Dan sepertinya kata-kata itu kuucapkan dengan cukup keras
karena beberapa pelanggan Starbucks menatapku sambil nyengir. Oh great" tuhan sepertinya memang
ingin menyiksaku karena sudah beberapa bulan ini tidak pernah menyempatkan diri untuk
mengucapkan kata syukur pada-nya.
"Hah?" teriak Jana dengan mata terbelalak. "Okay, I need to drink something," dan tanpa meminta izin
terlebih dahulu langsung ngembat gelas kopiku. Sepertinya karma memang sedang berpihak padaku
karena Jana baru saja minum satu teguk sebelum dia terbatuk-batuk. "Yuck, apaan nih?" tanyanya
sambil membuka tutup gelas dan mengintip black coffe-ku.
"Bagusss" gue jadi ada temannya," ucap Dara sambil bertepuk tangan gembira. Sedangkan Adri hanya
tertawa terkekeh-kekeh sambil menggeleng-geleng. Aku kurang tahu apakah dia bereaksi seperti itu
karena mendengar pengakanku atau karena melihat kelakuan Jana yang kini sedang mendorong gelas
kopiku kembali ke arahku dengan jari kelingkingnya bagaikan kopiku itu racun tikus.
"Kenapa lo pikir lo cewek gampangan?" lanjut Jana
"Karen ague sudah ngebolehin cowok yang bukan pacar gue nyiumin gue sampai bibir gue bengkak,"
bisikku cepat sebelum aku kehilangan keberanian
Jana hanya mengangkat bahu masih dengan wajah sedikit terkesima, sepertinya dia belum bisa
menerima kenyataan bahwa aku menganggap diriku sebagai cewek gampangan.
Adri melambaikan tangan untuk memintaku melanjutkan ceritaku. Dan dengan hati-hati dan suara
berbisik aku pun menceritakan aktivitasku baru-baru ini. Aku mencoba merangkumnya agar lebih
terdengar seperti film dengan rate PG daripada film untuk delapan belas tahun ke atas. Meskipun begitu,
aku masih membuat mereka bertiga terpekik-pekik. Kulihat wajah Dara memerah, sedangkan Jana
berkata, "Humph" sofa, kreatif juga dia."
Mau tidak mau nama Kafka keluar juga, karena tentunya mereka ingin tahu siapakah laki-laki yang sudah
membuatku "terobsesi". Ceritaku memakan waktu agak lama karena aku harus mengikutsertakan halhal penting yang terjadi antara aku dan Kafka ketika kami SD.
"Tunggu" tunggu" jadi pada dasarnya cowok super HOT itu dokter bokap lo oh ya omong-omong papa
lo gimana kabarnya?" ucap Jana tanpa titik dan koma.
"Sudah baikan sih. Tapi mesti rutin cek jantungnya," jawabku. Ketika ketiga sobatku tidak mengeluarkan
kata-kata lagi, aku pun mendesak, "Jadi apa menurut lo pada dia Cuma iseng saja sama gue?"
"Nad, sori" betulin ya kalau gue salah, tapi gue ada rasa kok kayaknya ada sesuatu yang lo nggak mau
bilang ke kami tentang Kafka deh," ucap Adri
Tuh kan. Aku yakin Adri bukan hanya seorang psikolog, tapi dia juga dukun. Bagaimana dia bisa tahu sih
bahwa aku memang menyembunyikan sesuatu dari mereka"
Crash Into You Karya Aliazalea di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Uhm" oke" gue Cuma bingung saja. Apa yang laki-laki kayak Kafka mau dari gue," jelasku. Ketika
melihat kebingungan di mata ketiga sobatku, aku harus menjelaskan panjang-lebar mengenai
pendapatku tentang laki-laki seperti Kafka. Mereka mendengarkanku dengan seksama dan bisa kulihat
mata Dara yang mulai terbelalak ketika aku mengatakan bahwa adalah mustahil bagi Kafka untuk bisa
menyukaiku. "Gue mau Tanya deh. Apa elo memang mau punya hubungan serius sama dia atau lo hanya terobsesi
tentang perasaan dia ke elo karena lo Cuma mau buktiin ke diri lo sendiri bahwa lo nggak akan bisa
ngedapatin laki-laki kayak dia?" pertanyaan Dara ini membuatku terdiam karena aku tidak tahu
jawabannya. Seumur hidupku aku tidak pernah menyangka bahwa pertanyaan seperti ini akan keluar dari mulut Dara.
Adri-lah yang biasanya berperan sebagai filsuf di dalam lingkaran persahabatan kami.
"Atau mungkin lo berharap bahwa dia betul-betul ada rasa sama elo dan dengan begitu bisa ngebuktiin
bahwa teori lo tentang laki-laki kayak dia itu salah?" lanjut Dara
Whoa" Dara semakin membuatku bingung. Seharusnya aku tidak kaget bahwa Dara bisa langsung
melihat dilemma yang kuhadapi, karena di antara kami semua Dara-lah yang paling berpengalaman
didekati oleh laki-laki sejenis Kafka. Meskipun aku yakin bahwa Dara tidak pernah memiliki dilemma
seperti yang kini kuhadapi. Dia kelihatan seperti supermodel, bukan seperti wanita biasa sepertiku,
maka orang yang melihatnya jalan dengan laki-laki seperti Kafka pasti tidak akan bingung. Tetapi, kalau
sampai ada yang melihatku jalan dengan Kafka, maka dia pasti akan menyangka bahwa aku
menggunakan pellet untuk mendapatkannya.
"Nad, meskipun Kafka itu mungkin superhot dan menurut lo bukan tipe laki-laki yang biasa lo date atau
yang biasa kelihatan tertarik sama elo, tapi satu hal yang elo mesti ingat adalah bahwa pada dasarnya
Kafka itu laki-laki. Dan kebanyakan laki-laki suka sama perempuan yang tahu cara ngejaga diri sendiri,
seperti elo ini," sambung Dara.
"Jadi dengan begitu, kita bisa menyimpulkan bahwa Kafka bukan Cuma iseng doang sama elo," ucap Adri
sambil tersenyum. "Tapi satu hal yang elo mesti tahu adalah bahwa flirting gila-gilaan tidak menjamin bahwa dia mau serius
sama elo, kadang-kadang malah sebaliknya. Laki-laki itu bisa serius sama satu perempuan tapi masih flirt
sama perempuan lain," sambung Jana yang langsung menerima tatapan siap dibunuh oleh Adri
"Nggak usah melototin gue kayak gitu deh, Dri. Itu memang apa adanya, kan" Nadia harus tahu itu,"
Jana mencoba membela diri.
Aku tahu kata-kata Jana benar. Aku tidak bisa menyalahkan Jana yang membentangkan fakta agar aku
bisa melihat keadaan ini dengan lebih realistis. Selama ini aku dan Kafka memang belum memiliki
percakapan yang normal sekali pun. Setiap percakapan kami meskipun tidak dimulai tapi selalu berakhir
dengan flirting. "Oke, itu semua asumsi saja. Meskipun gue berharap bahwa asumsi gue dan Dara lebih benar daripada
asumsi Jana," suara Adri membangunkanku dari lamunan. "Tapi mungkin ada baiknya kalau lo Tanya
langsung ke orangnya," lanjutnya.
Mendengar usul dari Adri mataku langsung terbelalak. Aku lebih memilih bunuh diri daripada harus
"menembak" laki-laki lebih dulu, apalagi laki-laki seperti Kafka yang kemungkinan besar akan
menertawakanku sebelum kemudian menolakku.
Melihat reaksiku, Adri langsung menambahkan, "Biar jelas dan nggak ada salah paham. Mungkin dia
juga lagi nunggu sinyal dari elo untuk ngasih dia tanda "Oke" untuk jadi lebih serius sama elo."
"Memangnya lo mau serius sama dia?" Jana nyeletuk.
Saat itu aku baru tahu jawaban dari dilemaku. Aku mengangguk. "Gue nggak tahu apa kami memang
cocok, tapi gue setidak-tidaknya mau coba untuk kenal dia lebih jauh," jelasku.
Kulihat ketiga sobatku mengangguk sambil tersenyum. "Kalau gitu lo ada tiga pilihan untuk nyelesaiin
masalah ini." Aku langsung membuka telingaku lebar-lebar dan menunggu apa yang akan Adri katakana
selanjutnya. "Pertama, lo bisa sabar dan kasih Kafka waktu sampai dia berani untuk mutusin apa dia
sudah siap untuk serius atau dia masih dalam tahap penjajakan,"
Aku menggeleng untuk menandakan bahwa aku tidak bisa menerima solusi ini. Jantungku tidak akan
bisa tahan dengan sesuatu yang tidak pasti seperti ini lagi.
"Kedua, lo bisa Tanya ke dia tentang perasaan dia ke elo," Adri mengedipkan mata kanannya ketika
mengatakan ini, "dan lo pasrah saja sama reaksi dia. Ini memang risikonya tinggi karena dia bisa nginjaknginjak harga diri dan hati lo, tapi" ada kemungkinan dia bakalan bilang dia sudah cinta mati sama elo
dari SD." "Menurut lo dia sudah cinta sama gue dari SD?" tanyaku penuh harap.
"Definitely," jawab Adri yakin
"Itu sebabnya mungkin kenapa dia suka gangguin elo terus," sambung Jana.
"Kalau dia ketemu sama elonya waktu SMA mungkin dia sudah nembak elo, tapi berhubung ini SD gitu
lho," lanjut Dara. Pada saat itulah aku mengerti kenapa tiga perempuan ini adalah sobatku, mereka lebih percaya pada
diriku daripada aku sendiri. Aku langsung membayangkan sisi positif dari skenario kedua ini dan
memutuskan bahwa ini pilihan yang bisa kupertimbangkan. Aku mengharapkan bahwa Adri bisa
mengeluarkan ide yang lebih baik lagi dengan pilihan yang ketiga.
"Yang ketiga apa?" tanyaku antusias.
"Ketiga, lo bisa telepon dia dan bilang betapa lo mau coba aktivitas yang kemarin lo lakuin sama dia di
sofa- di atas tempat tidur." Kata-kata ini keluar dari Jana yang langsung disambut tawa kami semua.
"Oke" itu memang lucu, tapi serius ini. Apa pilihan gue yang ketiga, Dri?" tanyaku setelah tawa kami
agak reda. "Lo telepon dia?"
"Yeee" lo bakalan ngulang apa yang Jana omongin lagi," omelku memotong omongan Adri
"Eh" nggak semua orang ya pikirannya sekotor ibu satu itu," balas Adri sambil tertawa dan mengerling
pada Jana Setelah yakin bahwa tidak ada yang akan memotong kata-katanya lagi, Adri melanjutkan, "Seperti yang
tadi gue sudah bilang. Lo telepon dia"," kutegakkan punggungku menunggu kata-kata selanjutnya, "dan
bilang bahwa lo mau nikahin dia besok supaya lo bisa nyiumin dia kapan saja dan di mana saja lo mau,
punya anak sebanyak-banyaknya dari dia, dan hidup bahagia selama-lamanya."
Pertama-tama kamu semua menyangka bahwa Adri serius, tapi ketika melihat wajahnya yang merah
karena tidak bisa menahan tawanya lagi, kami semua langung tertawa bersama-sama.
"Sialan lo," ucapku. Aku sebetulnya mau meneriakkan makian itu, tetapi aku tidak mau menjadi pusat
perhatian para pelanggan Starbucks lagi.
*** Seminggu kemudian, ketika aku sedang berada diresepsi pernikahan Jana (yang lebih tepat untuk
disebut sebagai pertunjukan fashion karena penuh dengan orang-orang paling cantik dan ganteng
dengan pakaian paling glamor yang pernah kulihat sepanjang hidupku), dan menemukan diriku sama
sekali tidak tertarik pada semua laki-laki single yang ada karena yang ada di pikiranku hanya Kafka,
kusadari bahwa aku harus mengumpulkan cukup keberanian untuk berbicara dengan Kafka setelah
pulang dari acara itu. Aku akan mengambil resiko dan mengikuti saran Adri yang kedua, yaitu untuk
menanyakan perasaan Kafka padaku dan siap menerima apa pun konsekuensinya. Bayangan bahwa
Kafka mungkin sudah menyukaiku semenjak SD membuatku bersemangat untuk berbicara dengannya.
Aku pun sudah siap untuk melakukan harakiri kalau Kafka menolakku.
Kupikir karena itu adalah hari Minggu sore, maka kemungkinan besar aku tidak akan mengganggu
pekerjaannya. Aku tidak tahu apa yang bisa dilakukan oleh seorang dokter pada hari Minggu sore, tapi
aku berharap mereka aka nada di rumah dengan keluarga mereka dan mempersiapkan diri untuk hari
Senin. Pada saat itu aku baru sadar bahwa meskipun kami bertengkar setiap hari selama hampir dua
tahun semasa SD, tetapi aku sama sekali tidak mengenal Kafka. Aku tidak tahu apakah dia punya
keluarga. Apakah dia memiliki kakak atau adik, atau apakah dia anak tunggal" Apa keluarganya tinggal di
Jakarta" Apa orangtuanya merasa bangga karena dia sudah menjadi dokter" Oh my God" apa yang
sudah terjadi padaku" Sejak kapan aku memikirkan tentang keluarga seorang laki-laki yang bahkan
bukan pacarku" Sepertinya akhir-akhir ini di dalam pikiranku banyak terlintas hal-hal yang tidak pernah
kupikirkan sebelumnya. Sebelum aku bertemu dengan Kafka lagi.
Aku berjalan bolak-balik di kamar kosku untuk mengatur napas agar bisa berbicara dengan nada normal
dan tidak terdengar panic. Setelah yakin bahwa aku tidak akan tiba-tiba muntah begitu mendengar
suaranya, aku pun menekan nomor HP Kafka. Aku harus menunggu agak lama sebelum kudengar suara
Kafka di ujung saluran telepon.
"Nadia?" Kafka terdengar ragu.
Hatiku langsung berbunga-bunga ketika mendengarnya menyebut namaku. Itu berarti bahwa nomor HPku sudah tercatat di dalam address book-nya sehingga dia sudah tahu bahwa akulah yang menelepon
sebelum mendengar suaraku, "Hei, Kaf," balasku, mencoba terdengar tenang tapi tidak berhasil karena
suaraku terdengar terlalu ceria.
"Oom nggak apa-apa, kan?" aku merasa agak jengkel ketika menyadari bahwa dia jelas-jelas menyangka
bahwa aku tidak akan meneleponnya kalau bukan karena papaku.
"Oh iya" Papa baik-baik saja," balasku, mencoba terdengar semanis mungkin
"Jadi kenapa kamu telepon aku?" mungkin ini hanya perasaanku saja, tapi Kafka terdengar seperti
sedang kehabisan napas. "Eh" kamu kok kedengarannya kayak orang habis jogging gitu sih" Kamu lagi di gym, ya?"
"Nggak aku lagi di rumah." Meskipun Kafka terdengar ramah, tetapi cara dia bicara terdengar terlalu
formal. Lain sekali dengan cara dia mengirimkan SMS padaku, dan tiba-tiba saja aku kehilangan
keberanianku. "Nad?" kudengar Kafka memanggilku
"Ya?" jawabku otomatis
"Kamu kenapa telepon aku?"
"Oh ya" aku telepon soalnya" aku Cuma" aku mau". Aku mau Tanya sesuatu ke kamu," akhirnya aku
bisa juga mengeluarkan kata-kata itu .
"Oke," ucap Kafka. Firasatku mengatakan untuk mengakhiri pembicaraan itu sampai di situ, tapi
terlambat. "Aku mau Tanya kenapa kamu?"
Kata-kataku terhenti ketika kudengar suara seseorang wanita bertanya, "Who"s that?"
"A friend of mine," balas Kafka. Aku merasa seperti baru saja ditampar olehnya dan mataku mulai terasa
panas. Ternyata Kafka tidak menganggapku lebih dari sekadar teman. Kalau Kafka memperlakukan
semua temannya seperti dia memperlakukanku, dengan mengirimkan SMS-SMS sensual dan menciumku
sampai aku kehabisan napas, maka aku bertanya-tanya bagaimanakah dia memperlakukan orang yang
special untuknya. "Well, can you please tell your friend to call back later and come back to bed," ucap wanita itu lagi dan
disusul dengan bunyi yang hanya bisa digambarkan sebagai ciuman.
Bed" Apa aku tidak salah dengar" Sekarang sudah jam empat sore, kenapa Kafka masih berada di
tempat tidur" Dengan seorang wanita, lagi. Tiba-tiba bayangan dia tubuh manusia yang tidak
mengenakan satu helai pakaian pun di atas tempat tidur dengan seprei yang sudah kusut terlintas di
kepalaku. Oh my Goooddd! Betapa bodohnya aku yang selama ini menyangka bahwa Kafka bukan hanya
iseng denganku. Sekarang sudah terbukti, di MEMANG hanya iseng denganku.
"In a minute," kudengar Kafka berkata samar-samar dan disusul dengan, "Nad, kamu tadi mau Tanya
apa?" kini suaranya lebih jelas.
Aku langsung terbangun dari shock-ku. "Nggak" nggak ada," ucapku dan tanpa menunggu jawaban dari
Kafka aku langsung menutup telepon itu.
Meskipun mataku sudah semakin memanas dan tenggorokanku sesak, tetapi aku tidak bisa menangis.
Aku tidak bisa menangisi kesalahan yang disebabkan kebodohanku sendiri. Bagaimana mungkin aku bisa
menyangka bahwa laki-laki seperti Kafka bisa tertarik padaku" Aku terlalu plain untuknya. Aku tidak
cantik dan tubuhku tidak seperti supermodel. Pada detik itu aku kembali menyadari semua
kekuranganku. Sudah selama bertahun-tahun belakangan ini aku tidak pernah lagi peduli tentang
pendapat orang mengenai penampilanku seperti ketika aku SD sampai SMA, tapi sekarang memori
tentang Kafka yang tidak mau mengakui bahwa dia sudah menciumku waktu SD, kembali. Apakah Kafka
masih melihatku sebagai anak perempuan itu" Anak perempuan yang tidak menarik sama sekali dan
membosankan. Tanpa kusadari tetesan air mata sudah mengalir dan membasahi pipiku.
Bab 9 16 November Memang dia pikir dia siapa" Berani-beraninya ngelawan gue, kalau memang mau kuat-kuatan, hayo deh.
Nanti lihat saja siapa yang menang
*** Aku memang sudah dikenal sebagai seseorang yang tidak bisa mengambil keputusan dengan cepat, aku
memerlukan waktu untuk mempertimbangkan segala sesuatunya sebelum suatu keputusan bisa diambil.
Tapi biasanya kalau aku sudah memutuskan sesuatu maka aku akan memastikan bahwa aku akan
mengikuti dan berpegang teguh pada keputusan itu. Prinsip itu pun kuterapkan pada masalahku dengan
Kafka. Setelah puas menangis dan membuat mataku bengkak, aku mulai berpikir dan akhirnya
memutuskan untuk membalas keisengan Kafka padaku, dan aku tidak akan berhenti hingga kami impas.
Biar dia tahu rasa. Giliranku untuk mengantar Papa ke rumah sakit pun tiba.
Untuk pertama kalinya setelah hampir dua bulan aku akan bertatap muka lagi dengannya. Ketika
kudengar nama papaku di panggil oleh suster, aku pun mengambil napas dalam-dalam dan
mempersiapkan diriku untuk memasuki medan perang. Kulihat Kafka tersenyum ketika melihat
orangtuaku, dan senyumannya semakin lebar ketika melihatku. Kutampilkan senyuman semanis
mungkin dan menganggukkan kepalaku kepadanya. Kali ini aku memilih untuk duduk di samping
mamaku yang kebetulan memang duduk persis di hadapan Kafka yang tidak menunjukkan rasa bersalah
sama sekali karena sudah tertangkap basah olehku tidur dengan wanita lain sementara dia flirt habishabisan denganku. Mmmhhh" aku akui dia memang pro, tapi aku menolak untuk mengaku kalah
sebelum perang betul-betul di mulai.
Tanpa kusangka-sangka pertemuan itu dimulai dengan Kafka yang menyodorkan sebuah kartu nama
kepada mamaku. "Tante, seperti yang sudah saya janjikan, ini kartu nama pengacara keluarga saya,"
Awalnya aku hanya bisa menatap Kafka bingung, sebelum kemudian mengalihkan perhatian kepada
kartu nama yang kini dipegang mama. Aku, yang tidak pernah berhubungan dengan hukum tidak tahumenahu tentang kebonafidan kantor pengacara yang tertera pada kartu nama itu, tetapi aku berjanji
untuk segera mencari informasi mengenainya setelah pulang dari pertemuan ini. Puas dengan
keputusan ini, kini beberapa pertanyaan mulai muncul di dalam pikiranku. Untuk apa orangtuaku pelu
pengacara" Dan kalaupun mereka memang memerlukan jasa ini, kenapa mereka tidak minta tolong
kepada aku atau kedua kakakku, sebagai anak-anak mereka untuk mendapat informasi ini" Yang jelas
aku bertanya-tanya kenapa mereka justru harus minta tolong kepada Kafka"
Tapi sebelum aku bisa menyuarakan protesku, Kafka melanjutkan, "Oom Bram ini salah satu partner di
sana dan kalau nanti buat janji untuk konsultasi, sebut saja nama saya, jadi Oom Bram tahu bahwa Oom
dan Tante-lah orang yang saya maksud. Saya sudah kasih sedikit rangkuman tentang masalah yang Oom
dan Tante hadapi dengan bursa HongKong, Oom Bram bilang dia akan coba bantu,"
Pada saat itu aku menyadari apa yang sedang terjadi. Tanpa sepengetahuanku, ternyata Mama sudah
meminta pendapat Kafka untuk menyelesaikan masalah sahamnya yang amblas di bursa saham
HongKong itu. Hal ini membuatku bertanya-tanya apakah kedua kakakku tahu-menahu tantang hal ini.
"Oh. Makasih sekali ya, Dok," ucap Mama sambil tersenyum
Kafka hanya mengangguk sambil tersenyum mendengar ucapan terima kasih dari Mama, yang kelihatan
semakin memuja Kafka. Sedangkan aku tidak tahu apakah aku harus merasa berterima kasih atas
bantuan Kafka atau merasa tersinggung karena dia telah mencampuri urusan keluargaku. Aku rasanya
sudah siap mencekik mama. Untuk apa dia menceritakan masalah sensitive itu kepada orang asing
seperti Kafka " kusadari bahwa kini aku sedang mencoba memutuskan siapakah penyebab utama
kejengkelanku. Mama yang sudah membeberkan masalah ini atau Kafka yang sudah mencoba untuk
membantu" Sebelum aku bisa memutuskan, pembicaraan kami sudah berlanjut untuk membahas kesehatan Papa.
Pertemuan itu pun berakhir dengan Kafka memberitahukan bahwa sepertinya kondisi jantung papa
sudah jauh lebih baik dan bahwa papa hanya perlu bertemu dengannya lagi bulan januari tahun depan.
Kafka hanya pesan kepada Mama supaya selalu memonitor tekanan darah papa agar tidak terlalu tinggi
"Jantung, seperti juga bagian tubuh yang lain, kalau sudah sekali diserang, maka akan lebih rentan untuk
terkena serangan lagi. Tanpa sadar kadang mereka sebetulnya mengundang serangan itu," jelas Kafka
sambil melirik padaku. Mungkin aku hanya paranoid, tapi apa Kafka memang betul-betul sedang membicarakan tentang
jantung papa" "Jadi harus dijaga betul-betul ya, dok?" Tanya mama dengan wajah khawatir.
"Iya. Untuk sementara ini jantung Oom memang kelihatan membaik dan bisa bertahan, tapi kita nggak
pernah tahu kapan dia tiba-tiba memutuskan untuk give up. Pokoknya makanan harus di jaga supaya
tekanan darahnya nggak melonjak-lonjak. Memang saya tahu ini agak sulit, karena kadang kita mau apa
yang kita mau," lanjut Kafka
Kali ini dia betul-betul menatapku ketika mengatakannya.
"Betul, Dok. Oom ini suka sekali makan gorengan," mama melaporkan dengan antusias dan langsung
mendapatkan kerlingan mata dari papa.
Kafka tertawa dan berkata, "Itu memang sudah sifat manusia. Semakin kita nggak boleh dapat, semakin
kita mau hal itu." Oke, aku kini yakin seratus persen bahwa Kafka sedang membicarakan hubunganku
dengannya, bukan tentang kesehatan papa.
"Begini saja. Kalau memang Oom suka makan gorengan dan sulit untuk berhenti, gimana kalau kita
mulai dengan dibatasi dulu" Misalnya hanya satu potong seminggu sekali setiap hari Minggu?"
Aku menolak untuk melepaskan tatapanku pada wajah Kafka meskipun wajahku sudah merah seperti
tomat dan jantungku sudah melonjak-lonjak tidak karuan. Rasa kesalku karena campur tangan Kafka di
dalam menyelesaikan masalah saham keluargaku di HongKong terlupakan sejenak. Sejak kapan
pembicaraan mengenai pisang goreng bisa membuatku bereaksi seperti ini" Kucoba mengembuskan
napas dari sela-sela gigi agar tidak mendengus. Sepertinya Kafka memang berniat untuk menyabotase
segala usahaku untuk membencinya. Oke, aku harus mengubah cara mainku sedikit dan
menyesuaikannya dengan Kafka. Aku tidak boleh kalah. Aku harus menang. MENANG" MENANG"
Aku merasa cukup bangga dengan diriku karena bisa melalui pertemuan itu tanpa mempermalukan diri
sendiri dengan memicu kemarahan yang ditujukan kepada Kafka di dalam diriku. Caranya adalah dengan
memikirkan tentang semua keisengan yang telah dilakukannya padaku sewaktu SD dan ketika aku
kehabisan memori mengenai pengalaman buruk masa SD-ku itu, aku mulai membayangkan Kafka
sedang bercinta dengan wanita lain. Ternyata dua hal itu betul-betul membantuku untuk tetap
mengobarkan api kemarahanku.
*** Dalam waktu kurang dari enam jam aku sudah bisa meluruskan cerita mengenai bantuan dari Kafka itu,
yang ternyata diketahui oleh Kak Mikhel, tetapi tidak oleh Kak Viktor. Seperti juga aku, Kak Viktor
langsung mengamuk begitu mengetahui tentang urusan pengacara itu. Akhirnya papa harus tangan
dengan mengatakan bahwa daripada bertengkar mengenai perkara ini, kami sebaiknya mengatur jadwal
pertemuan dengan pengacara Kafka untuk mengetahui apakah dia memang bisa membantu. Tanggung
jawab itu kami jatuhkan kepada Kak Mikhel yang langsung mengiyakan setelah menerima ancaman akan
diasingkan oleh aku dan Kak Viktor. Kak Mikhel-lah yang telah meminta bantuan Kafka, maka dialah
yang harus berurusan dengan masalah ini.
Setelah satu masalah itu bisa teratasi, aku bisa memfokuskan pikiranku pada hal penting lainnya, yaitu
membuat Kafka bertekuk lutut di hadapanku. Sesuai dengan rencanaku untuk menyesuaikan cara
mainku dengan Kafka, flirting melalu SMS kami pun berlanjut. Kadang aku menang, kadang aku langsung.
Ronde I " Satu poin untuk Kafka
Kafka: kamu kenapa pake scarf waktu nganter papa kamu tempo hari" Lagi sakit"
Nadia: gak. Aku Cuma gak mau bikin kamu kaget sama cupang yang ada di leherku.
Kafka: mau aku tambahin di paha kamu"
Nadia: grow up
Crash Into You Karya Aliazalea di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kafka: ooohhh" aku rasa kamu tahu waktu kamu duduk di pangkuan aku kalau aku udah grow up
Nadia: eeewww". Ronde II " Satu sama
Kafka: aku gak pernah ngerti kenapa orang mo coba 3some. Terlalu rame & pasti ada satu org yang
akhirnya gak kebagian Nadia: kamu pasti yang gak kebagian ya, makannya ngomel"
Kafka: kok tau" Ada pengalaman pribadi"
Nadia: please deh. 3some Cuma buat org yang gak pede sama performanya. Siapa yang perlu 3 some
kalo udah ada Viagra"
Ronde III " Satu poin lagi untuk Kafka
Nadia: biasanya cowok senengnya apa sih buat hadiah ultah ke 40"
Kafka: tergantung orangnya
Nadia: ini buat bosku. Kalo buku gimana"
Kafka: pastiin itu fiksi dan banyak gambarnya
Nadia: ada saran judul"
Kafka: favoritku Penthouse atau Playboy
Nadia: you need to get laid, mate.
Kafka: I"m game if you are, doll. Tempatku" Malam ini, jam 8"
Nadia: sori, udah fully book
Kafka: kamu bakal lebih puas kalo sama aku
Ronde IV " Di-drop karena salah satu pemain membawa-bawa nama ortu
Kafka: hadiah apa yang bagus buat perempuan ya"
Nadia: kamu seneng S&M, kan" Gimana kalo cambuk sama borgol" Tipe "cewek" yang kamu suka pasti
langsung nyembah2 kamu. Kafka: thanks buat idenya, tapi kayaknya mamaku bakalan langsung kena serangan jantung kalo aku
kasih begituan Dan terkadang SMS darinya membuatku bingung antara ingin melemparkan sepatuku padanya dan
memeluknya Bagian 1 Kafka: how"s your day"
Nadia: sibuk bgt Kafka: jgn lupa makan. Minum air putih yg banyak + vitamin C & B-kompleks. Jkt lagi panas bgt soalnya.
Nadia: OK Kafka: aku serius lho. Jangan pingsan di jalan
Nadia: iya, Pak Dokter. Bagian 2 Kafka: Nad, masih bangun"
Nadia: Gak, udah tidur Kafka: Mau ditemenin"
Nadia: Gak makasih Kafka: Kalo tadi dah tidur kok masih jwb SMS-ku"
Nadia: SMS kamu ngebangunin aku
Kafka: Bilang aja kamu nungguin SMS aku
Nadia: Terserah deh Kafka: Nad" Nadia: Ya" Kafka: G"nite Nadia: Nite. Kafka: Nad" Nadia: Apaan lagi sih"!
Kafka: Sweet dreams Nadia: kamu garing banget deh!
Kafka: garingnya kayak apa"
Nadia: Kaf, ini jam 3 pagi. Ngobrolnya besok aja ya
Bagian 3 Kafka: Nad, bilang happy b"day
Nadia: Happy maaf b"day. Kamu ultah"
Kafka: Yep Nadia: Serius" Kafka: Gak sih. Gak serius
Nadia: ?"" Kafka: Cuma iseng. Gak ada topic
Nadia: Aggghhh" kamu kurang kerjaan
Kafka: Sori" Bagian 4 Kafka: kamu kok diem aja dah beberapa hari. Gak ada cerita"
Nadia: Aku baru beli sepatu baru
Kafka: oh ya" Bentuk" Warna"
Nadia: Black stilettos Kafka:platform" Nadia: emangnya aku stripper"
Kafka: Ha 3x. kapan aku bisa liat sepatunya"
Nadia: gak akan Kafka: knp" Nadia: soalnya aku kelihatan kayak stripper kalo pake sepatu itu
Kafka: strippers are good
Nadia: they are NOT Kafka: yes they are Nadia: NO THEY ARE NOT Kafka: well, I"m sure you look good in any shoes. Stripper looking or not
*** Aku tahu bahwa aku harus mengakui kekalahanku di dalam permainan yang sudah aku desain sendiri
pada Minggu ketiga bulan November. Bagaimana aku bisa terus merasa jengkel setelah mendengar
kabar bahwa ternyata Oom Bram, pengacara Kafka, memang betul-betul serius untuk membantu
orangtuaku" Terlebih lagi ketika tahu bahwa dia, bekerja sama dengan beberapa pengacara di
HongKong tidak akan meminta bayaran, kecuali kalau mereka bisa memenangkan kasus ini. Tetapi
mereka mengingatkan bahwa prose situ akan melelahkan untuk kami karena mungkin akan memakan
waktu mulai dari lima hingga sepuluh tahun. Orangtuaku yang sudah merelakan uang itu sebagai uang
hilang langsung setuju dengan perjanjian itu yang pada dasarnya tidak ada ruginya untuk dicoba dan
siap untuk melalui proses ini dengan hati terbuka.
Selain itu, bagaimana aku masih bisa marah dan ingin balas dendam pada Kafka setelah satu seri SMS
paling menyebalkan tapi juga paling manis yang pernah aku terima dari siapa pun"
Kafka: Nad" Nadia: Yep" Kafka: Lagi sibuk" Nadia: Gak, knp" Kafka: Aku mo minta maaf Nadia: soal" Kafka: semua keisenganku ke kamu waktu SD
Nadia: besok kiamat ya"
Kafka: setau aku gak. Emangnya knp"
Nadia: kalo gitu kamu abis kesambet setan apa sampe ngomongnya tiba2 jadi aneh
Kafka: aku serius nih! Nadia: knp sekarang"
Kafka: maksud kamu" Nadia: knp kamu baru minta maaf sekarang, knp gak dari dulu2"
Kafka: aku baru ketemu kamu lagi
Nadia: knp gak dari waktu kita pertama ketemu lagi"
Kafka: baru berani minya maaf sekarang
Nadia: oh" Kafka: kamu masih marah ya sama aku soal waktu kita SD"
Nadia: soal yang mana persisnya" Waktu kamu bilang aku pipis di celana" Waktu kamu jambak rambut
aku" Waktu kamu ngatain NKOTB banci" Atau waktu kamu bilang ke semua orang aku yg maksa kamu
utk cium aku" Kafka: WOW, ternyata kamu masih marah
Nadia: aku gak marah. Aku Cuma gk tau knp kamu kok jahat bgt sama aku. Memangnya aku pernah ada
salah ya sama kamu sampe kamu sebegitu dendamnya sama aku"
Kafka: gak kamu gak salah apa2 kok
Nadia: jadi knp" Kafka: aku juga gk tau, tapi setiap kali liat kamu keisenganku selalu timbul
Nadia: jadi kamu nyalahin aku"
Kafka: Noooo! Nadia: jadi" Kafka: waktu kamu nyebut2 soal itu di Bali, aku jadi mulai mikirin hal itu lagi, tapi sampe sekarang aku
tetep gak tau alasan persisnya knp aku iseng bgt sama kamu
Nadia: kamu perlu kasih aku alasan yang lebih jelas dari itu
Kafka: memangnya kamu bener2 nangis ya habis denger berita kalo kamu yang maksa aku utk cium
kamu" Nadia: tersedu2 selama berhari2
Kafka: serius" Nadia: superserius Kafka: kalo gitu maafin aku ya
Nadia: enak aja kamu minta maaf. Kamu udah bikin masa SD-ku sengsara, tau gak"
Kafka: lho, katanya tadi gak marah soal itu"
Nadia: I lied, okay"!
Kafka: Nad" Nadia: go away! Kafka: Nad-Nad" Nadia: don"t call me that
Kafka: knp" Nadia: just don"t Bab 10 25 November Gue nggak bisa marah sama dia. Terserah apa itu yang dia sudah kerjain yang bikin gue jengkel sama dia
sebelumnya. Gue nggak bisa ingat satu pun juga. Aneh .
*** Dan dengan begitu seri pertama dari proses permintaan maaf Kafka yang tiada ujung, berakhir. Setelah
menunggu selama hampir dua puluh tahun untuk mendengar kata maaf darinya yang tidak juga kunjung
datang, aku memang sudah merelakan itu semua dan mencoba melupakannya. Bahkan terkadang kalau
mood-ku sedang baik, aku bisa melihat humor dari pengalaman itu dan memaafkannya. Tetapi ternyata
aku salah, karena seperti usahaku yang sia-sia untuk melupakan kejadian itu, aku juga masih belum bisa
memaafkannya. Kata maaf itu seperti membuka kembali luka yang sudah hampir sembuh. Rasa kesal
dan marah yang tidak terlampiaskan dan rasa malu yang harus aku tanggung pada masa-masa sebelum
Ebtanas SD itu kembali membanjiri pikiranku. Kini kusadari bahwa kemarahanku padanya karena aku
mendapatinya dengan perempuan lain, tidak ada bandingannya dengan kemarahan yang aku rasakan
sekarang. Ini jauh lebih parah.
"Bagaimana mungkin dia nggak tahu alasannya?" teriakku dalam hati dengan frustasi.
Dan aku masih tidak mendapatkan jawaban atas pertanyaanku ketika Kafka mengirimkan SMS lainnya
enam jam kemudian. Kafka: Dah kelar marahnya"
Nadia: Blom Kafka: Ayolah, Nad. Kamu kan gak bisa selamanya marah soal itu. Aku kan udah minta maaf. Lagian juga
itu udah lama banget. Just let it go
Nadia: Itu mungkin udah lama buat kamu, tapi gak buat aku dan aku gk bisa "let it go". Okay"!
Kafka: Why r u being so difficult about this"
Nadia: Pake nannya, lagi Kafka: Ooops. Sori. Aku mesti ngapain supaya kamu maafin aku"
Nadia: Just leave me alone
Ketika aku merasa yakin bahwa Kafka untuk pertama kalinya benar-benar mendengarkan permintaanku,
aku menerima SMS permintaan maaf ketiga darinya tepat 24 jam kemudian.
I know you told me to leave you alone, tapi aku gak bisa. Aku bener2 minta maaf untuk semuanya, Nad.
Sms itu aku diamkan tidak terjawab selama dua hari dan aku baru saja bisa mengembuskan napas lega
ketika tiba-tiba HP-ku mulai sering bordering dengan nama Kafka pada layarnya. Lagi-lagi kubiarkan
telepon-telepon itu tidak terangkat. Tapi ketika mailbox-ku mulai penuh dengan pesan-pesan
permohonan maaf darinya dengan berbagai variasi, mulai dari penuh canda dan humor, penuh
kelembutan yang disambung dengan kemarahan dan ancaman akan mendatangi rumahku ketika aku
masih juga menolak untuk menjawab teleponnya, hingga beberapa permohonan maaf yang paling tulus
yang pernah aku dengar sehingga membuat mataku berkaca-kaca.
Entail bagaimana atau kapan hal itu terjadi, tetapi kini hatiku tidak lagi penuh dengan kemarahan
padanya, yang tersisa hanyalah setitik kejengkelan. Iya, aku mungkin sudah memaafkannya, tapi bukan
berarti bahwa Kafka harus tahu tentang itu. Aku berniat untuk betul-betul membuatnya menyesal
tentang apa yang telah dilakukannya padaku dan aku baru akan berhenti setelah merasa puas dengan
aksi mogok untuk berhubungan dengannya itu. Dan aku mungkin masih akan tetap bersikeras dengan
rencanaku itu kalau saja tidak ada SMS Kafka selanjutnya yang datang sekitar tiga hari kemudian.
Kafka: Nadia, kalo kamu masih gak mo ngomong juga sama aku, aku bakalan telepon ortu kamu dan
bilang ke mereka apa yang kamu kerjain di Bali
Nadia: Bilang aja. Paling mereka Cuma ketawa
Kafka: Tapi mereka gak akan ketawa kan kalo aku bilangin soal yang di rumah sakit"
Nadia: Dasar teroris. Bisanya ngancem aja!
Kafka: Ha 3x Nadia: Malah ketawa, lagi. Itu bukan pujian.
Kafka: Aku ketawa soalnya akhirnya kamu mo ngomong juga sama aku
Nadia: Terpaksa Kafka: C"mon SUMPAH MATI AKU MINTA MAAF!
Nadia: Kafka: I promise I won"t do any of it ever again
Nadia: Kafka: Sweetheart. Please
Nadia: Gak usah pake sweetheart2an deh
Kafka: Pumpkin" Nadia: NO! Kafka: Bunny" Nadia: Kafka, stop it Kafka: I love it when u say my name
Nadia: Ini SMS. Aku Cuma ketik nama kamu, bukan nyebut nama kamu
Kafka: Aku bisa telepon kamu supaya kamu bisa ngomong langsung. Gmn"
Nadia: Ya ampuuuunnn" okay, fine
Kafka: Fine, what" Nadia: Fine. Kamu aku maafin asal kamu berhenti Menuhin mailbox aku sama pesen2 kamu
Kafka: Yakin" Nadia: Yakin Kafka: Jadi kamu udh gk marah lagi sama aku"
Nadia: Masih sedikit, tapi nanti juga pergi
Kafka: Perlu aku sodorin kelingking sbg tanda kalo kita udah baikan"
Nadia: Don"t push it
Bagaimana aku bisa jengkel apalagi marah dengan orang seperti Kafka" Hanya dalam waktu kurang dari
empat bulan, dia sudah bisa meruntuhkan dinding kebencian yang telah aku bangun selama hampir dua
puluh tahun ini khusus untuk menjaga diriku agar tidak lagi disakiti olehnya. Selama ini di dalam setiap
hubungan jangka panjangku, aku tidak pernah merasa lebih terhibur daripada tiga minggu belakangan
ini dengan kehadirannya. So what kalau dia misalnya memang tidur dengan perempuan atau mungkin
beberapa perempuan lain, toh dia selalu menyempatkan diri untuk mengirimkan SMS padaku. Dan so
what juga kalau dia adalah sumber kejengkelanku sewaktu aku SD, toh dia sudah minta maaf dengan
berbagai kosakata yang bisa diucapkan oleh manusia untuk minta maaf. Itu menunjukkan bahwa dia
setidak-tidaknya memedulikanku, kan"
Pada dasarnya, hari itu aku akhirnya bisa menidurkan isu masa kecilku. Dan meskipun aku masih belum
mendapatkan jawaban yang pasti, aku menolak untuk merasa terganggu dengan kenyataan bahwa
walaupun Kafka sudah bertingkah laku supersweet, tapi dia tidak pernah mengutarakan niatnya untuk
membawa hubungan kami ke level yang lebih serius. It"s okay, kami selalu bisa jadi teman dulu, kan"
*** "Kamu mau ke mana Tahun Baru?" Tanya Kak Mikhel padaku ketika kami sepakat untuk mengunjungi
orangtuaku pada Hari Natal saat kami semua dapat libur. Kami ngobrol di halaman belakang sambil
menunggu hingga papaku bangun dari tidur siangnya dan Mama selesai membuat brownies.
Seperti aku, kedua Kakakku sudah tidak tinggal dengan orangtuaku ketika mereka mulai bekerja. Setelah
lama menyewa, tahun lalu akhirnya Kak Mikhel mampu membeli rumah sendiri, sedangkan Kak Viktor,
meskipun dia juga masih mengontrak, aku yakin dia akan mencontoh Kak Mikhel sebentar lagi. Kalau
saja gajiku sebesar mereka berdua yang kini sama-sama bekerja di perusahaan minyak milik Inggris dan
Amerika, mungkin aku akan memilih untuk beli rumah juga daripada harus kos. Papaku selalu bilang
bahwa rumah itu terhitung sebagai investasi jangka panjang, meskipun belinya pakai kredit dari bank
dan bunganya cukup besar, tapi setidak-tidaknya uang yang sudah kita keluarkan tidak akan terbuang
percuma tanpa hasil seperti halnya kalau kita kos atau mengontrak.
"Nggak tahu, lagi. Kantorku dapat undangan dari Empire, mungkin kita mau pergi ke sana," jelasku.
Beberapa hari yang lalu aku menerima undangan dari Karin,klienku yang berumur 23 tahun, untuk
merayakan Tahun Baru bersama-sama di kelabnya. Bosku mengatakan bahwa aku harus pergi sekalian
untuk networking dengan teman-teman Karin yang pasti juga anak orang kaya dan mungkin
membutuhkan jasa web design. Aku rasanya sudah mau mementung kepala bosku ketika dia
mengatakan itu. Meskipun aku tidak keberatan merayakan Tahun Baru di kelab yang paling "IN" di
Jakarta itu, tapi aku sama sekali tidak tertarik bertemu dengan Karin di luar konteks kerja. Aku tidak
yakin bahwa aku bisa tahan dengan gayanya yang seperti Paris Hilton minus rambut pirangnya, tanpa
ingin mencekiknya. No" no" no" aku sudah cukup merasa tidak percaya diri dengan hanya berhadapan
dengan satu Karin, maka aku yakin bahwa kepercayaan diriku akan rontok menjadi abu kalau
Crash Into You Karya Aliazalea di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dihadapkan dengan sepuluh Karin.
"Oh ya" Gue ikutan dong," pinta Kak Viktor
Aku sebetulnya ingin langsung menolak permintaan itu karena sejujurnya aku tidak mau berada dekatdekat dengan kakakku kalau aku sedang ingin hangout dengan teman-temanku, bisa dijamin bahwa
Tahun Baru-ku akan runyam kalau Kak Viktor ikut. Dia lebih parah daripada polisi razia. Aku bisa
membayangkan beberapa peraturan yang akan keluar dari mulutnya kalau dia ikut ke Empire: jangan
pakai baju yang terlalu minim, jangan minum alcohol, jangan nge-dance terlalu heboh, jangan dekatdekat sama laki-laki tak dikenal, dan jangan pergi ke toilet sendiri takutnya nanti diculik orang. Selain itu,
Kak Viktor memiliki penyakit yang cukup parah dan tidak bisa disembuhkan, yaitu dia cenderung
menyukai perempuan yang jauh di luar jangkauannya, contohnya perempuan seperti Karin. Karena
seperti juga aku, kedua kakakku bertampang biasa-biasa saja, aku tidak mau dia langsung jatuh cinta
pada Karin yang aku yakin hanya akan menginjak-injak hati kakakku saja.
"Nanti aku Tanya dulu ya apa masih ada ekstra undangan," ucapku akhirnya karena tidak tega melihat
wajah Kak Viktor yang sudah seperti anjing kecil yang tidak tahu jalan pulang. Ketika aku mengatakan hal
tersebut, tiba-tiba ada SMS masuk. Aku tidak perlu melirik layar untuk tahu bahwa itu dari Kafka. Aku
memutuskan membiarkannya.
"SMS-nya nggak mau di baca?" Tanya Kak Mikhel sambil menatapku dengan sedikit curiga.
"Nggak. Nanti saja. Kalau penting pasti mereka telepon kok," balasku
"Dari Dokter K, ya?" pertanyaan Kak Viktor itu membuat mataku langsung terbelalak. Dari mana mereka
tahu" Aku jelas-jelas tidak pernah bercerita apa-apa kepada mereka.
"Oke" pertama, itu bukan urusan siapa-siapa kecuali aku. Kedua, kenapa juga sih semua jadi ikutan
Mama manggil Kafka "Dokter K?""
Pertama kali aku mendengar Kafka dipanggil "Dokter K" (diucapkan "Key" seperti pengucapan huruf "K"
dalam bahasa Inggris, bukan "Ka" seperti pengucapannya dalam bahasa Indonesia) adalah oleh mamaku
seminggu setelah kepulangan papa dari rumah sakit. Awalnya aku sempat bingung siapakah orang yang
dimaksud oleh mama, tetapi setelah agak lama, nama panggilan itu menempel juga di kepalaku. Dan
ternyata ada untungnya juga untuk menyebut Kafka sebagai "Dokter K", karena dengan cara ini
kepalaku bisa membedakan Kafka sebagai anak laki-laki yang aku kenal sewaktu SD dengan Kafka
sebagai dokter papa-ku. Meskipun mama sudah menggunakan nama panggilan ini selama hampir tiga
bulan, tetapi aku tidak pernah mendengar kedua kakakku menggunakannya, sehingga mendengarnya
diucapkan oleh Kak Viktor untuk pertama kali membuatku sedikit terkejut
Bukannya menghiraukan protesku, kedua kakakku malah justru mulai berspekulasi sendiri. Sumpah deh,
laki-laki itu sama bilang gosipnya kayak perempuan, terkadang bahkan lebih parah. Mungkin inilah
sebabnya kenapa kedua kakakku masih belum menikah di umur mereka yang sudah melewati tiga puluh,
atau mungkin mereka jadi suka menggosip karena mereka belum menikah" Mmmmmhhhh". Aku harus
menanyakan fenomena ini kepada Adri, mungkin dia akan tahu jawabannya.
"Tuh kan bener kata gue, nih anak ada hubungan sama "Dokter K?"
"Jangan-jangan omongan Mama benar, lagi. Lo inget kan apa yang dia bilang?"
"Yang masalah "Dokter K" mau ngomong sama Nadia di luar?"
"Dan mereka pergi lama banget.."
"Tahu-tahu pas balik Nadia bajunya agak kusut, rambutnya berantakan, dan mukanya merah?"
Aku menarik napas terkejut. Apa aku memang kelihatan seperti itu sewaktu kembali ke kamar papa"
Seingatku mama hanya menatapku dengan ekspresi ingin tahu tapi tidak mengatakan apa-apa. Pada
saat itu aku sangat mensyukuri bahwa untuk pertama kalinya mama tidak langsung menginterogasiku,
tapi kalau aku tahu bahwa dia akan menceritakan semua ini ke kedua kakakku, aku jauh lebih memilih
dia membicarakan hal ini denganku terlebih dahulu sebelum mulai berspekulasi.
"Bisa nggak sih nggak ngomongin aku kayak aku lagi nggak ada di sini dan bisa dengar semua yang
diomongin?" omelku tanpa berusaha menutupi kekesalanku.
"Memangnya kamu ngapain sih sama dia sampai?"
"Kami nggak ngapa-ngapain," teriakku
Tiba-tiba kudengar suara mama dari dalam rumah berteriak, "Eee" hhh jangan berisik! Papa kalian lagi
tidur." Aku dan kedua kakakku langsung terdiam dan saling tatap. Tidak ada seorang pun dari kami yang berani
mengatakan bahwa Mama juga sedang berteriak, maka akan sama salahnya dengan kami kalau sampai
Papa terbangun, kalau tidak mau habis diceramahi oleh Mama karena melawan orangtua. Pada saat itu
aku menemukan satu lagi alasan kenapa kedua kakakku masih belum juga menikah. Mungkin mereka
memiliki "Mommy"s" skirt syndrome", yaitu suatu efek yang biasanya dimiliki oleh anak laki-laki yang
takut setengah mati pada ibu mereka, sehingga tidak pernah bisa betul-betul menjadi dewasa, karena
mereka tidak bisa melepaskan pegangan mereka pada "rok" sang ibu.
"Nad, tapi kalau memang kamu ngapa-ngapain sama dia, kamu bakal bilang ke kita, kan?" bisik Kak
Viktor "Lho, kok ngomongnya gitu?" teriakku sambil mengerutkan dahi.
"Sssttt?" ucap kedua kakakku berbarengan. Setelah yakin bahwa aku tidak akan berteriak lagi dan
berisiko untuk di omeli oleh Mama, Kak Mikhel menawarkan penjelasan
"Viktor gak suka saja cara dia ngelihatin kamu," katanya sambil memutar bola matanya seakan-akan dia
sendiri menganggap reaksi Kak Viktor itu berlebihan
"Cara dia?" aku menelan ludah sebelum melanjutkan kata-kataku, "Memangnya dia ngelihatin aku
kayak apa?" tanyaku sambil menatap kakak keduaku yang sedang memperhatikanku dengan wajah
serius "Kayak kamu es kelapa muda pas bulan puasa." Jawab Kak Viktor yang disambut tawa menggelegar Kak
Mikhel disusul aku yang mengatakan, "Husss," sambil menajamkan telinga untuk mendengar teguran
Mama lagi. Tapi sepertinya Mama sudah kembali sibuk dengan brownies-nya
"Kenapa lo ketawa, Kel" Gue serius," Kak Viktor menegaskan
"Oke" oke" sori. Bukan maksud gue untuk ngetawain elo, Cuma kadang-kadang bahasa yang lo pakai
suka kedengaran kayak lirik lagu dangdut."
Dari wajahnya aku tahu bahwa Kak Viktor sama sekali tidak menghargai komentar itu, tapi dia berhasil
menahan diri agar tidak mencekik atau melayangkan kepalan tinjunya ke wajah Kak Mikhel. Mungkin itu
adalah pilihan yang bijak karena Kak Viktor dengan tubuh kurus kering kerontangnya tidak akan pernah
bisa menang adu fisik dengan Kak Mikhel.
"Kalau dia bukan dokter Papa dan ngenalin kita sama Oom Bram yang sudah nolongin kita, mungkin dari
kemarin-kemarin udah gue hajar tuh anak," komentar Kak Viktor sebelum kemudian mengempaskan
tubuh ke sandaran kursi. "Eh, jangan, Kak," tanpa kusadari aku sudah membongkar rahasiaku sendiri. Aku baru menyadarinya
ketika kedua kakakku menatapku dengan mata terbelalak
"Kamu bilang kamu sama dia nggak ngapa-ngapain, tapi kok?" Kak Mikhel memulai serangannya.
Mulutku hanya mega-megap mencoba mengeluarkan kata-kata yang bisa menyelamatku dari situasi ini,
tapi tidak ada satu patah kata pun yang terlintas.
"Siapa mau brownies?" seumur hidupku aku tidak pernah selega itu melihat mama. Aku langsung
melompat berdiri untuk mengambil nampan yang penuh dengan brownies, es krim vanilla Haagen-Dasz,
beberapa mangkuk serta sendok kecil dari tangannya.
Kak Mikhel menatapku tajam, dan aku tahu berarti bahwa dia akan mencari kesempatan untuk
berbicara denganku lagi sebelum aku pulang, sementara Kak Viktor sudah siap mencekikku dalam usaha
mendapatkan fakta hubunganku dengan Kafka. Sedangkan aku" Aku hanya berpura-pura sibuk dengan
brownies Mama sambil memikirkan cara untuk melarikan diri secepat mungkin dari rumah orangtuaku
tanpa sepengetahuan kedua kakakku.
*** Akhirnya malam Tahun Baru tiba dan aku berada di Empire bersama teman-teman kerjaku. Aku berhasil
Perguruan Sejati 4 Perintah Kesebelas The Eleventh Commandment Karya Jeffrey Archer Sengketa Tiga Potong Peta 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama