01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja Bagian 32
"Kami sudah menyangka, bahwa kau malam ini akan turun
lagi, Ngger." Wuranta mengangguk, "Ya, Kiai, aku mendapat tugas untuk
melihat perkembangan tiga orang prajurlt berkuda yang
kemarin aku beritahukan kepada Sidanti."
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"Perkembangannya berlangsung terlampau cepat. Hari ini
pasukan Untara telah berada di Jati Anom."
"He?" Wuranta mengerutkan alisnya, "sudah datang?" seakanakan
ia tidak percaya. "Ya, pasukan itu sudah datang meskipun tidak sekuat pasukan
Widura di Sangkal Putung."
Wuranta tidak tahu kekuatan Widura di Sangkal Putung,
sehingga karena itu ia berkata, "Bagaimanakah imbangan
kekuatan itu menurut perhitungan Kiai."
"Aku ingin mendengar keteranganmu. Selain orang-orang
Jipang, apakah Sidanti mempunyai pasukan tersendiri di
padepokannya?" "Ya. Menurut penglihatanku dan menurut keterangan yang
tidak jelas dari Alap-alap Jalatunda, di padepokan itu ada dua
jenis pasukan. Pasukan Sidanti dan pasukan Alap-alap
Jalatunda." "Pemimpin dari orang-orang Jipang adalah Sanakeling."
"He?" Wuranta menarik keningnya."Jadi bukan Alap alap
Jalatunda?" "Bukan. Apakah kau belum melihat Sanakeling?"
"Aku melihatnya, tetapi aku tidak banyak berbicara dengan
orang yang mengerikan itu."
Ki Tanu Metir tersenyum. Lalu sambungnya, "Apakah kau
dapat memberikain gambaran tentang imbangan kekuatan
mereka, antara orang-orang Sidanti dan orang-orang
Sanakeling?" "Apakah mereka tidak sejalan?"
"Bukan begitu. Maksudku, dengan demikian akan dapat
digambarkan kekuatan seluruhnya dari padepokan Sidanti itu.
Kami ingin memperbandingkan dengan kekuatan Tohpati di
Sangkal Putung." "Aku tidak tahu pasti. Tetapi orang-orang yang agaknya bukan
orang-orang Jipang itu pun cukup banyak. Setiap laki-laki di
padepokan Tambak Wedi menyandang senjata. Setiap
penghuni dan setiap cantrik."
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya."Angger
Untara harus segera mendengar. Agaknya kekuatan di
padepokan itu agak lebih besar dari kekuatannya. Bahkan
mungkin lebih besar dari kekuatan Tohpati. Sedang pasukan
Pajang di Jati Anom tidak sekuat pasukan Angger Widura,
apalagi tanpa anak-anak muda Sangkal Putung."
Wuranta ikut mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi ia
tidak menyahut. Yang terdengar adalah suara Ki Tanu Metir
itu masih saja bergumam seperti kepada diri sendiri, "Aku kira
kemungkinan yang dapat dilakukan oleb Angger Untara
adalah menarik sebagian pasukan Angger Widura. Baginya
tidak ada kesempatan untuk menyusun kekuatan anak-anak
muda Jati Anom seperti Sangkal Putung dalam menghadapi
orang-orang Jipang. Tetapi apabila ada gerakan Sidanti ke
Sangkal Putung, Angger Wuranta harus segera
menyampaikan kabar itu kemari."
Wuranta masih mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi
tiba-tiba terkejut ketika Swandaru memotong, "Kiai, Kiai hanya
mengatakan tentang pasukan Jipang dan pasukan Pajang.
Tetapi Kiai tidak minta keterangan tentang Sekar Mirah.
Bukankah kedatangan kami sebenarnya berkepentingan
dengan Sekar Mirah?"
"Oh," Ki Tanu Metir berpaling memandangi muridnya yang
gemuk itu. Katanya, "Ya, ya. Kau benar. Kita berkepentingan
dengan Sekar Mirah. Tetapi kita berkepentingan pula dengan
pasukan Pajang itu."
"Itu adalah persoalan kedua bagi kita Kiai," Agung Sedayu
menyahut. "Sekarang bagaimana kita menyelamatkan Sekar
Mirah?" "Hem," Ki Tanu Metir menarik nafas dalam-dalam, "baiklah.
Aku akan berbicara tentang Sekar Mirah. Tetapi ingat, kita
tidak dapat berbicara tentang Sekar Mirah tanpa berbicara
tentang Sidanti. Dan kita tidak dapat berbicara tentang Sidanti
tanpa berbicara tentang Untara."
"Tak ada gunanya kita mendahului pasukan kakang Untara
kalau kita masih harus menunggu mereka. Menunggu prajuritprajurit
Pajang itu siap menghadapi Sidanti."
"Kedua persoalan itu tidak dapat dipisahkan."
"Keduanya mempunyai sifat yang berbeda," sahut Swandaru.
"Sekar Mirah tidak dapat dibiarkan seperti daerah Tambak
Wedi itu sendiri. Seribu tahun lagi Sidanti berada di Tambak
Wedi, maka Tambak Wedi tidak akan mengalami noda
apapun seperti Tambak Wedi yang sudah berbentuk seperti
sekarang ini.Tetapi Sekar Mirah tidak. Setiap satu hari
bertambah panjang, maka noda itu pun menjadi semakin
dekat padanya. Dan apabila noda itu sudah melekat padanya,
maka seumur hidupnya ia akan tersiksa."
Ki Tanu Metir tidak segera menjawab. Ditatapnya wajah
muridnya itu. Ia tahu benar, dorongan apakah yang telah
membuat Swandaru menjadi terlampau keras. Tetapi ia tidak
ingin terlampau memanjakan murid-muridnya, sehingga
karena itu ia menjawab. "Jadi bagaimana Anakmas Swandaru.
Apakah kau telah cukup menyusun rencana yang harus aku
kerjakan" Kalau demikian, marilah. Aku akan melakukan
segala ketentuan yang telah kau buat."
Jawaban itu telah membentur dada Swandaru seperti tujuh
kali sekeras bunyi cambuk Kiai Gringsing itu. Karena itu maka
wajahnya pun menjadi tertunduk lemah. Perlahan-lahan
terdengar ia berdesah, "Maaf Kiai. Aku terlampau bingung."
Ki Tanu Metir menjadi beriba hati setelah ia melihat muridnya
menjadi menyesal. Tetapi wajahnya hampir-hampir tidak
menunjukkan perasaannya itu.
Sedang Wuranta yang melihat mereka menjadi heran. Begitu
besar pengaruh Ki Tanu Metir atas Swandaru. Maka besarlah
dugaannya bahwa Ki Tanu Metir adalah guru kedua anak
muda itu. Setelah mereka sejenak berdiam diri maka berkatalah Ki Tanu
Metir, "Anakmas Wuranta. Sekarang aku ingin tahu,
bagaimanakah dengan seorang gadis yang bernama Sekar
Mirah" Apakah kau telah melihatnya?"
"Ya Kiai, aku telah bertemu dengan Sekar Mirah."
Agung Sedayu dan Swandaru tersentak mendengar jawaban
itu sehingga tanpa mereka sadari mereka bergeser maju.
Tetapi mereka tidak segera berani bertanya.
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya Kemudian
dilanjutkannnya pertanyaannya. "Bagaimanakah dengan
Sekar Mirah. Apakah ia selamat?"
"Menurut pengamatanku, ia baik-baik saja, Kiai."
"Tidak ada sesuatu apapun dengan dia?"
Kening Wuranta menjadi berkerut-merut. Ia tahu maksud
pertanyaan itu. Tiba-tiba ia menjadi ragu-ragu. Dan
pertanyaan itu bergema kembali di dalam hatinya, "Tidak ada
sesuatu apapun dengan dia?"
Karena Wuranta tidak segera menjawab maka Agung Sedayu
yang didorong oleh berbagai macam perasaan di dalam
dadanya mendesaknya, "Bagaimana kakang Wuranta"
Apakah tidak ada sesuatu yang terjadi?"
*** Dalam keragu-raguan Wuranta menjawab, "Tidak. Aku kira
tidak." Tetapi Wuranta sendiri tidak dapat meyakini kebenaran
jawabannya. Namun menilik kata-kata Alap-alap Jalatunda
yang menyebut Sidanti sebagai seorang pengecut terhadap
wanita, maka Sekar Mirah masih belum disentuhnya.
Agung Sadayu itu pun menarik nafas dalam-dalam. Tetapi
gelora di dalam dadanya seakan-akan hendak meledakkan
dadanya. la ingin segera berangkat ke lereng Merapi, ke
padepokan Tambak Wedi. Ia ingin segera melihat apa yang
sebenarnya terjadi atas Sekar Mirah.
Dalam pada itu terdengar Ki Tanu Metir bertanya pula, "Di
manakah kau jumpai gadis itu?"
"Di sungai Kiai."
"He," ketiga orang yang mendengar jawaban itu terkejut. "Di
sungai," hampir berbareng mereka mengulang.
"Ya." Ki Tanu Metiur beringsut maju. Sambil mengerutkan dahinya
ia berkata, "Angger Wuranta. Keteranganmu mengenai Sekar
Mirah sangat menarik perhatian. Apakah benar kau jumpai
Sekar Mirah itu sedang berada di sungai?"
"Ya Kiai. Gadis itu sedang mencuci."
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian
Katanya, "Anakmas, cobalah ceriterakan apakah yang Angger
ketahui tentang Sekar Mirah dan tentang padepokan itu?"
Wuranta pun kemudian dengan singkat menceriterakan apa
yang telah dilihatnya, dan apakah yang telah didengarnya.
Dikatakannya tentang Sekar Mirah yang sedang mencuci
pakaiannya, tentang urung-urung dan tentang dinding yang
mengelilingi padepokan itu. Tentang sikap Alap-alap Jalatunda
dan sikap orang-orang yang dijumpainya. Tetapi ada satu
yang tidak diceriterakannya, adalah sikap Sekar Mirah
kepadanya dan kepada Alap-alap Jalatunda. Wuranta masih
ingin mengetahui latar belakang daripada sikap itu. Sebab ia
yakin bahwa Sekar Mirah tidak akan berbuat demikian tanpa
sesuatu maksud tertentu. Belum lagi Wuranta selesai berceritera, telah terdengar
gemeretak gigi Swandaru Geni. Dengan gemetar ia berdesis,
"Kalau aku tidak dapat mengambil kembali Sekar Mirah, maka
lebih baik aku tidak kembali ke Sangkal Putung. Adalah aib
yang tidak dapat dihapuskan dari keningku, dari kening
Kademangan Sangkal Putung, bahwa Padepokan Tambak
Wedi berhasil mencuri Sekar Mirah dari lingkungannya."
Ki Tanu Metir menarik nafas dalam-dalam mendengar katakata
Swandaru. Tetapi kali ini dibiarkan anak itu melontarkan
kemarahan yang bergolak di dalam dadanya.
Namun Agung Sedayu berkata pula, "Kalau terjadi sesuatu
dengan Sekar Mirah, maka padepokan itu harus dijadikan
karang abang." "Bagus," tiba-tiba Swandaru menyahut, "ternyata itu lebih baik.
Setiap anak muda Sangkal Putung pun akan sependapat.
Pasukan Paman Widura, pasukan Kakang Untara dan anakanak
muda Jati Anom akan menghancur-lumatkan setiap
hidup di atas padepokan Tambak Wedi."
Ki Tanu Metir masih saja berdiam diri. Dibiarkannya anakanak
muda itu melepaskan perasaannya. Dibiarkannya
mereka mengurangi nyeri-nyeri yang seakan-akan meremasremas
jantung. Baru ketika kedua anak-anak muda itu menjadi agak tenang,
maka Ki Tanu Metir mulai berbicara lagi, "Bagaimanakah
dengan dinding padepokan itu?"
"Dinding itu cukup tinggi Kiai. Bahkan hampir merupakan
sebuah benteng. Di dalam maupun di luar dinding itu cukup
banyak orang-orang Sidanti maupun orang-orang Jipang yang
berkeliaran siang dan malam."
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Tampaklah
kerut-merut di dahinya menjadi semakin dalam. Orang tua itu
pun kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya sambil
berkata, "Angger Wuranta, bukankah malam ini Angger
kembali ke padepokan Tambak Wedi" Meskipun sebenarnya
ada juga dua orang yang mencoba mengawasi Angger malam
ini, tetapi mereka hampir tidak berarti. Jarak itu terlampau
jauh, dan mereka segera kembali setelah Angger mendekati
rumah ini. Dua orang itu sama sekali tidak usah
diperhitungkan. Laporkan kepada Sidanti, bahwa Angger
Untara sudah berada di Jati Anom. Pasukannya segelar
sepapan lengkap dengan pasukan berkuda."
Ketiga anak-anak muda yang mendengar penjelasan Ki Tanu
Metir itu menjadi heran. Agung Sedayu mengangkat wajahnya
seakan-akan ia hendak berbicara, tetapi mulutnya tidak
mengucapkan sesuatu. "Angger Wuranta," berkata Ki Tana Metir kemudian, "tugas
Angger pun akan segera sampai kepada puncak yang
berbahaya. Tetapi agaknya Angger mampu bermain sebaikbaiknya
sehingga aku sama sekali tidak mengkhawatirkan
Angger." "Mudah-mudahan, Kiai," Wuranta bergumam seperti kepada
diri sendiri. "Tetapi bagaimana dengan keterangan tentang
pasukan segelar sepapan. Apakah hal itu tidak seharusnya
malah dirahasiakan sama sekali?"
"Tidak ada gunanya, Angger. Orang-orang Sidanti pasti akan
segera mengetahui pula. Kalau mereka mengetahui hal itu
sebelum Angger melaporkannya, maka kepercayaan mereka
akan turun. Sedang kehadiran Angger di lereng Merapi, di
padepokan Tambak Wedi, sangat diperlukan."
"Baiklah, Kiai," sahut Wuranta.
Dan tiba-tiba Agung Sedayu memotong pembicaraan itu, "Lalu
bagaimana dengan Sekar Mirah, Kiai?"
"Kita akan membicarakannya. Segera kita harus mengambil
sikap. Tetapi sikap itu harus tepat. Kita tidak dapat berbuat
sesuatu dengan tergesa-gesa, sebab akibat dari perbuatan itu
justru sebaliknya dari yang kita harapkan."
Agung Sedayu terdiam. Meskipun gelora di dalam dadanya
belum juga surut. Sesaat kemudian, setelah minum dan makan beberapa
potong makanan yang disediakan oleh keluarga Wuranta,
maka Wuranta itu pun meninggalkan Kademangan Jati Anom
kembali ke padepokan Tambak Wedi, sementara itu Ki Tanu
Metir dan kedua muridnya pergi menemui Untara.
Untara dan sebagian dari pasukannya berada di rumahnya
sendirian dan sebagian lagi berada di kademangan. Ki
Demang Jati Anom yang selama ini menyingkir untuk
menghindari orang-orang dari padepokan Tambak Wedi, kini
telah berada di rumahnya. Sebenarnya ia bukan seorang
penakut, tetapi ia sama sekali belum siap untuk berbuat
sesuatu. Apalagi diketahuinya, bahwa kekuatan Sidanti dan
Sanakeling benar-benar berada di luar kemampuannya untuk
menahannya. Malam itu Untara masih duduk dengan beberapa orang
pemimpin pasukannya bersama Ki Demang Jati Anom.
Mereka sedang berbincang mengenai beberapa persoalan.
01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ketika mereka melihat Ki Tanu Metir bersama kedua
muridnya, maka mereka bertiga segera dipersilahkannya
masuk. Belum lagi Untara bertanya sesuatu, maka Agung Sedayu lah
yang pertama-tama berkata, "Kami belum dapat berbuat
sesuatu, Kakang." "Duduklah," Untara mempersilahkan. "Marilah, Kiai."
Ki Tanu Metir menganggukkan kepalanya. Ditatapnya wajah
Untara sejenak tetapi Ki Tanu Metir itu tidak segera berkata
sesuatu. Mereka pun kemudian duduk di antara para pemimpin
pasukan Pajang dan Ki Demang Jati Anom. Mereka pun
kemudian ikut pula mendengarkan pembicaraan mereka.
Tetapi Untara sendiri tidak segera bertanya tentang
kepentingan Agung Sedayu dan Swandaru. Untara tidak
segera bertanya bagaimanakah nasib gadis itu, dan
bagaimanakah cara untuk membebaskannya. Untara itu
hanya berbicara tentang letak, kekuatan dan persoalanpersoalan
keprajuritan yang lain sehingga Agung Sedayu dan
Swandaru menjadi gelisah. Mereka merasa bahwa
kepentingan mereka sama sekali tidak mendapat perhatian
dari Untara. Ki Tanu Metir agaknya dapat menangkap perasaan kedua
anak-anak muda itu. Orang tua itu melihat betapa wajah
keduanya dibasahi oleh keringat yang dingin. Bagaimana
mereka duduk dengan gelisah. Tetapi mereka tidak segera
dapat mengemukakan perasaan mereka.
Namun Ki Tanu Metir pun dapat mengerti, bahwa perhitungan
Untara harus bertaut pada setiap persoalan. Ia memandang
keseluruhan persoalan yang dihadapinya, bukan sepotongpotong
seperti yang selalu digelisahkan oleh Agung Sedayu
dan Swandaru Geni. Tetapi tiba-tiba mereka terkejut ketika mereka mendengar Ki
Demang Jati Anom berkata, "Tetapi saying, Anakmas Untara,
sekian banyak anak-anak muda di Jati Anom yang aku
percaya, justru yang paling banyak memberikan harapan
kepadaku sebelumnya, bahwa ia akan mampu membimbing
kawan-kawannya, setidak-tidaknya membantu Angger,
ternyata kini telah berkhianat."
"Siapa?" bertanya Untara. "Aku mengenal setiap pemuda di
Jati Anom." "Tentu. Angger tentu mengenalnya. Namanya dikenal oleh
setiap orang. Bahkan setiap anak-anak muda di Jati Anom
menaruh harap kepadanya. Tetapi suatu hari beberapa orang
melihatnya berjalan bersama-sama dengan orang-orang
Jipang dan orang-orang padepokan Tambak Wedi. Bukan
sebagai seorang tawanan, tetapi sebagai seorang yang
bebas. Bahkan orang itu menduga bahwa anak itu telah
membantu orang-orang dari lereng Merapi itu."
"Ya, tetapi siapakah namanya?"
"Wuranta." "He," betapa terkejutnya Untara mendengar nama itu. Ia same
sekali tidak menyangka bahwa Wuranta kini berbalik berada di
pihak orang-orang Ki Tambak Wedi.
Tetapi tidak kalah terkejut pula Agung Sedayu dan Swandaru.
Mereka tahu benar bahwa Wuranta sama sekali tidak
berkhianat. Tanpa mereka sadari, bersama-sama mereka
berpaling memandangi wajah Ki Tanu Metir yang berkerut
merut. Kalau ada salah paham di antara orang-orang Jati
Anom sendiri, itu adalah tanggung jawab Ki Tanu Metir.
Bahkan hal ini telah pernah dikemukakan oleh Wuranta
sendiri. Data kini ternyata hal itu benar-benar terjadi. Demang
Jati Anom yang pasti mendengar dari beberapa orang yang
melihat peristiwa beberapa hari yang lalu, ketika Wuranta
berpura-pura dikejar-kejar oleh Agung Sedayu lalu menemui
Sidanti dan kawan-kawannya.
*** Agung Sedayu dan Swandaru menjadi gelisah ketika Ki Tanu
Metir tidak segera mengatakan keadaan Wuranta yang
sebenarnya. Malahan orang tua itu berkata, "Adalah wajar
sekali Ki Demang. Telur sepetarangan, ada yang menetas
hitam dan ada yang menetas putih."
Agung Sedayu dan Swandaru saling berpandangan sejenak.
Tetapi mereka tidak berkata sepatah katapun meskipun di
dalam dada mereka berdesakan pertanyaan tentang kata-kata
gurunya itu. Dalam pada itu Ki Damangpun mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dengan menyesal ia berkata pula, "Wuranta
adalah anak yang paling memberi kebanggaan kepadaku
beberapa saat yang lampau. Aku tidak tahu, apa yang telah
menyeretnya masuk ke dalam perangkap hantu-hantu dari
lereng Merapi." Orang-orang yang berada di dalam ruangan itu menganggukanggukkan
kepalanya. Tetapi sejenak mereka berdiam diri,
sehingga ruangan itu pun menjadi sepi.
Di luar beberapa orang prajurit berjalan hilir mudik. Ada yang
sedang bertugas, tetapi ada juga yang duduk sambil minum
air hangat. Ada pula yang berjalan-jalan saja tanpa tujuan di
sekitar halaman. Mencoba mengenali beberapa macam
bentuk pepohonan dan rumah-rumah penduduk.
Ketika malam telah jauh melampaui pertengahannya, maka
pertemuan itu pun berakhir. Mereka masing-masing segera
pergi beristirahat di tempat yang baru hari ini mereka tempati.
Ki Demang pun kemudian kembali ke kademangan dengan
hati yang tenang. Sebab di rumahnya kini berada sebagian
dari prajurit-prajurit Untara.
Ruangan pertemuan itu kini menjadi semakin sepi. Yang
berada di dalamnya hanyalah Untara, Agung Sedayu,
Swandaru dan Ki Tanu Metir.
Agung Sedayu yang sejak tadi selalu menahan pertanyaannya
di dalam hati, kini anak muda itu tidak dapat lagi
menyimpannya, sehingga terloncatlah pertanyaannya, "Kiai,
bagaimana dengan Wuranta?"
Dengan serta-merta Untara menyahut, "Ya, aku menyesal
sekali mendengar keterangan Ki Demang, bahwa Wuranta kini
telah berkhianat." Ketika Ki Tanu Metir tidak segera menyahut, maka
kegelisahan Agung Sedayu dan Swandarupun menjadi
semakin memuncak. Hampir-hampir saja mereka tidak dapat
menahan dirinya lagi, dan langsung mamberi penjelasan
tentang anak muda itu. Tetapi sebelum mereka mengatakannya, maka berkatalah Kiai
Gringsing, "Angger Untara, agaknya Angger tidak mengetahui
keadaan Wuranta sebaik-baiknya. Tetapi itu bukan salah
Angger. Bukankah Ki Demang yang mengatakan hal itu
kepadamu?" Untara mengerutkan keningnya. Kemudian ia bertanya,
"Bagaimana maksud Kiai sebenarnya?"
"Aku ingin menjelaskan tentang Wuranta."
"Apakah Kiai mengenalnya?"
"Aku mengenalnya," jawab Kiai Gringsing. "Tetapi Ngger,
apakah Angger tidak pernah menerima laporan dari tiga orang
prajurit yang mendahului Angger datang kemari?"
"Ya, ya. Mereka telah mendahului aku. Perintahku kepada
mereka mengatakan bahwa mereka harus melihat keadaan
Jati Anom. Kalau tempat itu berbahaya mereka harus memberi
keterangan kepadaku. Kalau tidak, maka mereka pun harus
menyatakan, bahwa mereka telah kembali dan tidak terdapat
hal-hal yang menghalangi keberangkatan kami. Dan mereka
kemudian telah kembali. Malahan mereka bertemu dengan
Agung Sedayu, Swandaru, dan Kiai di sini."
"Tidak di rumah ini."
"O," Untara mengerutkan keningnya, "laporan itu tidak
terperinci." "Apakah mereka tidak mengatakan tentang seorang anak
muda yang lain, yang malam itu pergi ke lereng Merapi?"
"Ya, ya." Wajah Untara menjadi agak tegang. "Aku
mendengarnya. Aku memang sudah merencanakan untuk
menanyakan hal itu kepada Kiai langsung. Keterangan orangorangku
tentang anak muda itu tidak begitu jelas. Aku ingin
tahu, apakah menurut pertimbangan Kiai anak itu tidak
berbahaya bagi kita di sini?"
"Anak itu banyak membantu kami. Akulah yang
menempatkannya sehingga anak itu mendapat kepercayaan
dari Sidanti." "Dari Sidanti" Bagaimanakah sebenarnya persoalan yang Kiai
katakan itu?" "Ah. Tidak aneh. Angger juga mempunyai suatu kelompok
prajurit sandi." Untara mengerutkan keningnya.
"Anak itu agaknya berhasil masuk kedalam lingkungan mereka
untuk kepentingan kita."
Untara kini mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil
meraba-raba janggutnya yang tumbuh tidak teratur ia
bertanya, "Apakah Kiai meyakininya?"
"Aku melihat sejak ia mulai, "Sahut Kiai Gringsing. Lalu
diceriterakannya serba sedikit tentang keadaan Wuranta.
Sehingga justru dari anak muda itu ia mendapat banyak
keterangan mengenai padepokan Tambak Wadi dan
mengenai Sekar Mirah. "O," Untara menarik nafas dalam-dalam, "begitulah
ceriteranya. Jadi anak muda itu adalah Wuranta."
"Ya, Wuranta. Aku kira ketika orang-orangmu mendengar juga
nama itu." "Aku belum sempat mendengar laporannya dengan lengkap.
Mereka datang ketika pasukan sudah siap untuk berangkat,"
Untara berhenti sejenak, lalu katanya, "Tetapi kenapa Kiai
tidak mengatakannya kepada Ki Demang Jati Anom supaya
mereka tidak mencurigai anak muda itu?"
"Ki Tambak Wedi mempunyai seribu pasang telinga. Telingatelinga
itu berada di pepohonan, di dinding-dinding halaman,
di regol-regol dan tersebar di mana saja. Sedang kita di sini
masing-masing mempunyai seribu mulut yang akan
mengatakan setiap rahasia dari mulut yang satu ke mulut yang
lain. Aku belum tahu benar tentang diri Ki Demang Jati Anom."
Untara mengerutkan keningnya. Sejenak wajahnya menjadi
berkerut-merut, namun sejenak kemudian ia pun tersenyum.
Katanya, "Kiai cukup hati-hati. Seharusnya aku sudah
mengerti akan hal itu. Terima kasih Kiai. Mungkin aku
terpengaruh oleh pengertian yang lebih banyak tentang Ki
Demang itu. Sudah lama aku mengenalnya. Dan aku percaya
kepadanya." "Ya, mungkin demikian bagi Angger Untara, tetapi aku tidak.
Aku baru saja melihat dan mengenalnya."
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya, "Baik Kiai. Sikap
Kiai akan membantu sekali. Mudah-mudahan Wuranta dapat
melakukan tugasnya dengan baik. Dan mudah-mudahan
sesudah ia menyelesaikannya, namanya tidak akan tetap
dibenci oleh orang-orang Jati Anom. Tetapi justru sebaliknya."
"Itu adalah tanggung jawab kita bersama, Ngger. Kita harus
menyelamatkannya dan menyelamatkan namanya."
"Ya, ya Kiai. Dan kita tidak akan mengingkarinya."
"Anak muda itu bukan saja dapat memberikan banyak
keterangan mengenai padepokan Tambak Wedi karena ia
berhasil masuk ke dalamnya, tetapi juga tentang Sekar Mirah."
"Oh," Untara mengerutkan keningnya, "ya, tentang Sekar
Mirah. Bagaimana dengan gadis itu?"
"Seorang penjabat saja tidak akan dapat mengetahui tempat
dan kebiasaan gadis itu apabila ia berada di luar padepokan.
Tetapi Wuranta berhasil menemukannya, bahkan anak muda
itu telah berhasil bercakap-cakap dengan Sekar Mirah."
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian
katanya, "Apakah Kiai telah menemukan hubungan tindakan
yang sebaik baiknya untuk segala kepentingan?"
"Itu adalah keputusan yang harus Angger ambil."
"Tetapi aku memerlukan pertimbangan dan pendapat Kiai"
Ki Tanu Metir mengangguk-angguk pula. Kemudian
diceriterakannya apa yang didengar dan dilihat oleh Wuranta.
Hubungan antara Sidanti dan Sanakeling. Dinding-dinding
batu yang tinggi. Ujung-ujund senjata di balik batu-batu besar
di lereng Merapi, dan kesulitan-kesulitan yang lain yang harus
mendapat banyak perhatian. Akhirnya orang tua itu berkata,
"Kekuatan mereka tidak kurang dari kekuatan Tohpati selagi
masih utuh." Untara mengerutkan keningnya. Wajahnya yang tegang
terhunjam pada nyala api dlupak yang terletak di tengahtengah
lingkaran duduk mereka. Kemudian perlahan-lahan ia
berkata, "Begitukah keadaan yang sebenarnya?"
"Menurut Wuranta."
"Kiai percaya kepada laporan itu?"
"Aku percaya." "Kalau demikian, laporan itu akan menjadi dasar
perhitunganku. Aku membawa pasukan tidak sekuat paman
Widura di Sangkal Putung. Aku sangka kekuatan padepokan
Tambak Wedi tidak sebesar pasukan Jipang yang menyerah."
"Kau harus berusaha memperkuat pasukanmu, Ngger.
Sebelum orang-orang Tambak Wedi mengetahui. Kalau
mereka mengambil sikap, mendahului menyerang Jati Anom
sebelum Angger bersiap, maka keadaan Angger akan menjadi
sulit." "Ya, Kiai. Yang mula-mula akan membantu aku adalah anakanak
muda Jati Anom. Mereka adalah kawan-kawan bermain
di masa kanak-kanak. Tetapi kekuatan itu tidak seberapa."
"Orang-orang yang tinggal di padepokan Tambak Wedi serupa
benar dengan orang-orang Sangkal Putung. Setiap lelaki
adalah seorang prajurit."
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia harus
mempertimbangkan keadaan itu sebaik-baiknya. Kalau
Tambak Wedi mendahului memukul Jati Anom, maka ia pasti
benar-benar berada dalam kesulitan. Mungkin pasukannya
akan mampu mengundurkan diri dengan korban yang sekecilkecilnya,
tetapi bagaimana dengan kademangan Jati Anom ini
sendiri" Mungkin orang-orang Tambak Wedi akan menetap di
kademangan ini atau menghancurkan isi dan bentuknya. Yang
kedua itulah yang paling mungkin dilakukan. Sebab bagi
orang-orang Tambak Wedi dan sisa-sisa pengikut Tohpati itu
lebih merasa aman bertahan di padepokan Tambak Wedi.
"Aku harus mengambil sikap segera," desis Untara, "satusatunya
jalan yang segera dapat aku lakukan adalah menarik
sebagian pasukan Pajang di Sangkal Putung. Tetapi itu pasti
01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengandung bahaya, seandainya orang-orang Sanakeling
dan Sidanti langsung menyerang Sangkal Putung. Mungkin
aku dapat menempatkan beberapa orang pengawas, tetapi
kemungkinan yang paling pahit harus menjadi
pertimbanganku." Ki Tanu Metir tidak menjawab. Pikirannyapun berkata
demikian dan ia pun menjadi cemas seperti Untara, apabila
Tambak Wedi langsung menusuk ke Sangkal Patung.
Sejenak mereka terdiam. Untara sibuk berpikir tentang
masalah yang sedang dihadapinya. Masalah yang segera
harus mendapat pemecahan. Dan ia berterima kasih kepada
Kiai Gringsing dan kepada Wuranta yang telah memungkinkan
ia melihat perimbangan kekuatan antara pasukannya dan
pasukan lawannya. Namun dalam pada itu Agung Sedayu dan Swandaru masih
saja dirisaukan oleh sikap Untara. Meskipun guru mereka
telah menyinggung-nyinggung tentang Sekar Mirah, tetapi
Untara seakan-akan menanggapinya dengan acuh tidak acuh.
Sehingga karena dadanya yang pepat, maka diberanikannya
dirinya bertanya, "Kakang, lalu bagaimana dengan Sekar
Mirah?" Untara mengangkat wajahnya. Perlahan-lahan ia menarik
nafas dalam-dalam. Kemudian katanya kepada Kiai Gringsing,
"Bagaimanakah dengan gadis itu Kiai" Apakah yang telah Kiai
lakukan dengan mendahului keberangkatan kami?"
"Yang baru kami lakukan adalah menemukan Angger
Wuranta," sahut Kiai Gringsing.
"Kalau kita dapat menyelesaikan persoalan Ki Tambak Wedi,
merebut kedudukan mereka, bukankah persoalan Sekar Mirah
itu akan selesai dengan sendirinya."
Agung Sedayu dan Swandaru tersentak di tempatnya. Bahkan
setapak mereka bergeser maju. Wajah-wajah mereka menjadi
tegang dan bahkan terdengar Swandaru berdesis dalam nada
yang tinggi, "Tidak. Tidak semudah itu."
Untara mengerutkan keningnya. Ditatapnya wajah Swandaru
yang gemuk bulat itu, tetapi Swandaru pun menatap wajah
Untara dengan tajamnya. "Setiap hari aku berkelahi dengan gadis itu, tetapi ia adalah
adikku. Aku adalah saudaranya laki-laki. Karena itu
keselamatannya adalah menjadi tanggung jawabku."
Wajah Untara pun kemudian menjadi tegang, "Bagaimanakah
maksudmu?" ia bertanya.
"Sekar Mirah harus mendapat perhatian yang khusus. Ia harus
mendapat penyelesaian lebih dahulu justru sebelum pasukan
Pajang menyerang padepokan Tambak Wedi. Sebab apabila
demikian, maka Sekar Mirah akan menjadi banten. Ia akan
menjadi tempat untuk melepaskan kemarahan orang-orang
Tambak Wedi. Seperti seekor kambing di antara kawanan
serigala yang lapar dan buas."
Dahi Untara pun kemudian menjadi berkerut-merut, "Lalu apa
yang harus aku kerjakan?"
Swandaru terdiam, namun sorot matanya masih
memancarkan suatu tuntutan perasaannya yang tidak
terucapkan. Yang menjawab pertanyaan Untara itu adalah
Agung Sedayu, "Kakang, setiap tindakan atas padepokan itu
harus dipertimbangkan pula keselamatan Sekar Mirah.
Kakang tidak akan dapat bertindak hanya berdasarkan
kepentingan pasukan saja."
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya, jawabnya, "Ya,
aku memang memperhatikan keduanya. Aku
mempertimbangkan untung rugi setiap tindakan. Itulah
sebabnya aku tidak dapat dengan tergesa-gesa mengambil
sikap apapun tentang Sekar Mirah. Sejak aku masih berada di
Sangkal Putung, bukankah pendirian itu sudah kau mengerti"
Tanggung jawabku adalah tanggung jawab keperajuritan. Aku
bertanggung jawab terbadap Panglima Wira Tamtama. Tidak
kepada orang lain. Karena itu maka setiap tindakanku pun
berdasarkan atas pertanggungan jawab itu."
Agung Sedayu dan Swandaru sama sekali tidak puas
mendengar jawaban itu. Hampir saja mereka berbareng
menyatakan perasaannya. Tetapi Kiai Gringsing, orang tua
yang telah kenyang makan pahit manis kehidupan, segera
memotongnya, "Nah, apalagi yang masih akan dipersoalkan"
Semuanya sudah jelas. Semuanya berpijak pada pendirian
yang serupa. Mungkin ada perbedaan landasan untuk
berbuat, tetapi unsur-unsur yang harus dipertimbangkan tidak
berbeda. Adalah wajar bahwa sudut pandangan Angger
Swandaru dan Agung Sedayu berbeda dengan Angger
Untara. Tetapi kalian masing-masing tidak akan dapat berbuat
sendiri-sendiri. Apalagi dalam keadaan sekarang, di mana
Angger Untara masih harus memikirkan jumlah dan
kekuatannya. Bukankah begitu Angger?"
Untara menarik nafas dalam-dalam. Meskipun ia tidak
sependapat sepenuhnya, tetapi kalimat Ki Tanu Metir yang
terakhir merupakan tekanan yang tidak dapat dihindarinya. Ia
dihadapkan pada kenyataan, bahwa pasukan Pajang tidak
akan dapat berdiri sendiri tanpa orang-orang itu. Meskipun
Untara tidak lagi secara langsung memerlukan anak-anak
muda Sangkal Putung, tetapi hal itu tidak akan dapat
dihindarinya. Setiap ia menginginkan sebagian dari pasukan
Widura, maka setiap kali ia harus mempertimbangkan anakanak
muda kademangan itu. Dan Swandaru adalah pemimpin
langsung dari anak-anak muda Sangkal Putung.
Apalagi kalau diingatnya, bahwa Ki Tanu Metir lah yang
mengatakan pertimbangan itu. Tak ada orang lain yang dapat
mengimbangi kekuatan dan kemampuan Ki Tambak Wedi
selain Ki Tanu Metir. Pertimbangan-pertimbangan itulah yang
membuat Untara mengangguk-anggukkan kepalanya sambil
bergumam dalam nada yang datar, "Ya, Kiai benar. Aku tidak
dapat berbuat lain lepas dari pertimbangan itu. Aku tahu benar
maksud Kiai. Dan aku tidak dapat melangkahinya."
"Jangan begitu, Ngger," berkata Kiai Gringsing. "Aku sama
sekali tidak meletakkan pepalang di hadapan Angger sebagai
pertanda, kapan dan bagaimana Angger harus berbuat.
Bukankah kenyataan yang Angger hadapipun memaksa
Angger untuk diam di kademangan ini untuk sementara dan
merahasiakan kekuatan Angger yang sebenarnya" Bukankah
Angger Untara tidak akan dapat segera memukul padepokan
Tambak Wedi karena jumlah pasukan Angger kurang
mencukupi?" Untara menarik nafas dalam-dalam, "Ya, Kiai benar." Namun
terasa sesuatu seakan-akan menyentuh jantungnya.
"Angger Untara," berkata Ki Tanu Metir, "ketahuilah, bahwa
Angger Wuranta malam ini datang ke kademangan ini."
Untara mengangkat wajahnya sambil bertanya, "Dimana ia
sekarang?" "Ia telah kembali."
"Aku ingin bertemu."
"Jangan sekarang, Ngger. Masih ada satu dua orang yang
bertugas mengawasinya. Karena itu ia harus dijaga benarbenar
agar tidak dicurigai oleh orang-orang lereng Merapi itu.
Malam ini Angger Wuranta membawa berita bahwa siang tadi
Angger Untara telah datang di Jati Anom."
"Kenapa berita itu justru dibawa oleh Wuranta?"
"Adalah lebih baik demikian, sebab mereka pasti akan segera
tahu pula. Bahkan apabila Angger Wuranta belum
memberitahukan kepada mereka, maka kepercayaan mereka
kepada Angger Wuranta akan surut. Setidak-tidaknya mereka
menganggap bahwa Angger Wuranta kurang cakap
melakukan tugasnya. Tetapi yang perlu Angger ketahui
adalah, bahwa Angger Wuranta akan melaporkan kepada
Sidanti, bahwa Angger datang segelar sepapan lengkap
dengan prajurit-prajurit berkuda."
"Kenapa demikian?"
"Sidanti akan ragu-ragu untuk mendahului menyerang Angger.
Karena itu Angger pun harus pasang gelar sandi. Setiap hari
Angger harus membuat kesan seakan-akan Kademangan
penuh dengan prajurit. Setiap hari semua prajurit harus keluar,
berjalan dalam kelompok-kelompok dan meronda berkeliling.
Beberapa orang berkuda harus selalu hilir mudik pula di
segenap sudut kademangan."
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebagai seorang
Senapati segera ia menangkap maksud Kiai Gringsing. Ia
harus berusaha mengelabuhi petugas-petugas sandi dari
Tambak Wedi yang pasti akan dipasang oleh Sidanti. Bahkan
mungkin di antara petugas-petugas sandi itu nanti adalah
Wuranta sendiri. Meskipun Untara merasa singgungan-singgungan langsung
pada perasaannya, oleh kata-kata Kiai Gringsing, apalagi
kedua muridnya, yang seakan-akan kepentingan mereka
harus mendapat perhatian terlampau banyak dari
kepentingan-kepentingan yang lain, namun ia mengucapkan
terima kasih pula di dalam hatinya kepada orang tua yang
aneh ini. Orang itu telah mendahuluinya berbuat sesuatu. Dan
apa yang dilakukannya ternyata sangat barguna, tidak saja
bagi orang tua itu serta murid-muridnya sendiri, tetapi sangat
berguna pula bagi seluruh pasukan Pajang di Jati Anom.
Untara seakan-akan tersedar ketika ia mendengar Kiai
Gringsing bertanya, "Bagaimana pertimbangan Angger?"
"Ya, ya Kiai," sahut Untara terbata-bata, "aku sependapat
dengan Kiai. Mulai besok aku akan pasang gelar sandi untuk
mengelabuhi perhitungan lawan, supaya mereka tidak
mengambil keuntungan dari keadaan ini dengan mendahului
menyerang Jati Anom."
"Bagus," desis Kiai Gringsing.
"Sementara itu, aku akan dapat mengumpulkan anak-anak
muda Jati Anom, teman-temanku bermain, di masa kanakkanak.
Meskipun jumlah mereka dan ketrampilan mereka
belum seperti anak-anak muda Sangkal Putung, namun aku
mengharap mereka akan membantu."
"Tentu." "Kalau demikian, maka malam ini aku akan memberikan
beberapa perintah kepada para pemimpin prajurit Pajang di
sini," berkata Untara, "supaya sejak pagi, mereka telah
melakukan gelar sandi yang kita maksudkan."
"Baiklah," berkata Kiai Gringsing kemudian, "kami pun akan
segera beristirahat. Mungkin kami masih akan banyak berbuat di samping Angger
Untara. Meskipun demikian, sebelumnya kami minta maaf
seandainya kami tidak berada dan berbuat di dalam
lingkungan Angger, sebab kami bukan prajurit Pajang.
Meskipun demikian kami berjanji, bahwa kami tidak akan
mengganggu setiap rencana Angger. Kami akan selalu
bertanya apa yang akan Angger lakukan dan kami selalu akan
melaporkan apa yang akan kami perbuat, supaya kami tidak
menjadi saling tunjang."
Untara menarik nafas dalam-dalam. Seandainya yang
berbicara itu bukan seorang Kiai Gringsing, maka ia akan
menyawab, "Dalam keadaan serupa ini, maka perintah
seorang Senapati perang berlaku bagi setiap orang di dalam
wilayah kekuasaannya untuk kepentingan gerakan pasukan."
Tetapi Untara tidak dapat berkata demikian terhadap orang
tua itu. Ia merasa ada sesuatu perbawa yang tidak mampu
dilampauinya. Ia tahu bahwa ia hanya bertanggung jawab
terhadap Ki Gede Pemanahan. Namun orang tua ini pun
sangat mempengaruhi sikap dan jalan pikirannya. Kadangkadang
ia merasa, sebagai seorang Senapati, ia adalah orang
yang harus mengambil sikap dan keputusan. Tetapi ia tidak
dapat mengingkari kenyataan tentang orang tua yang
bernama Ki Tanu Metir dan sering menyebut dirinya dengan
sebutan Kiai Gringsing itu.
"Nah, selamat malam, Ngger," desis Kiai Gringsing itu
kemudian, "kami, aku dan anak-anak ini akan beristirahat.
Mudah-mudahan usaha Angger berhasil dan usaha kamipun
akan berhasil." "Baik, Kiai," sahut Untara, "terima kasih." Namun hatinya
sekali lagi merasakan sebuah sentuhan kata-kata orang tua itu
yang telah membuat garis pemisah atas kerja yang akan
mereka lakukan masing-masing. Tetapi Untara tidak ingin
bertanya. Kiai Gringsing dan kedua muridnya pun segera meninggalkan
rumah itu. Mereka pergi ke rumah Wuranta. Menurut pendapat
Kiai Gringsing, kedua muridnya dan dirinya sendiri lebih baik
berada di tempai itu. Setiap saat mereka dapat bertemu
dengan Wuranta apabila anak itu pulang, tanpa dicurigai oleh
orang-orang yang mungkin masih saja mengawasinya.
Dalam pada itu, Wuranta telah menjadi semakin dekat dengan
padepokan Tambak Wedi. Kali ini ia tidak kesiangan. Bahkan
sebelum bayangan fajar mewarnai langit di ujung Timur,
Wuranta telah memasuki daerah padepokan Tambak Wedi.
"Justru dengan demikian ia merasakan betapa ketatnya
penjagaan. Tanpa disadarinya, tiba tiba dua ujung tombak
telah mengarah ke lambungnya. Terdengar suara berdesis,
"Siapa?" Wuranta berpaling. Dilihatnya dari sisi sebuah batu besar dua
orang pengawal telah mengancamnya dengan tombak,
sedang dua orang lain berdiri beberapa langkah dengan
pedang di tangan. "Mereka sangat berhati-hati," desisnya di dalam hati.
"Siapa?" terdengar pertanyaan itu diulang.
"Wuranta," jawab Wuranta pendek.
Para penjaga itu terdiam sejenak. Tampaknya mereka sedang
berpikir. "Dari mana?" salah seorang dari mereka bertanya pula.
"Jati Anom." Kedua ujung tombak itu pun kemudian terangkat kembali.
Tanpa mengucapkan kata-kata mereka melepaskan Wuranta
begitu saja. Bahkan keempat orang itu pun segera
meninggalkannya. Wuranta menjadi agak heran melihat sikap itu, tetapi ia tidak
bertanya. Ia langsung melangkahkan kakinya, meneruskan
perjalanannya. Tetapi tiba-tiba ia tertegun ketika lamat-lamat
ia mendengar suara berdesis, "Ia datang ke mari dibawa oleh
Ki Lurah Sidanti. Tetapi ia sekarang menjadi sahabat Alapalap
kerdil itu." Terasa dada Wuranta berdesir. Kenapa orang-orang di
padepokan ini berkata demikian" Agaknya mereka telah
membedakan antara Sidanti dan Alap-alap Jalatunda.
Sambil merenung Wuranta berjalan terus. Berkali-kali ia
membelok menyusup antara batu-batu besar. Dan ia tahu,
01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bahwa di setiap sisi batu-batu itu, tidak mustahil akan terjulur
ujung-ujung pedang yang akan menghentikan langkahnya.
Tetapi beberapa orang penjaga yang telah mengenalnya,
membiarkannya lewat tanpa menyapa sepatah kata pun.
Bahkan ada yang dengan malas memalingkan mukanya.
Tetapi ada pula yang mendebarkan dada Wuranta. Lamatlamat
ia mendengar sekelompok penjaga menyapanya, "He,
apakah Tuanku baru datang dari bertamasya?"
Wuranta tidak tahu maksud pertanyaan itu. Karena itu ia tidak
segera menjawab. "Tentu Tuanku belum mengenal kami," sambung yang lain.
Wuranta masih berdiam diri.
"Kenapa Tuanku menjadi terheran-heran seperti seekor kera
kena sumpit?" Wajah Wuranta menjadi merah. Kini ia tahu benar, bahwa
sekelompok penjaga itu sedang mempermainkannya.
"Apakah maksud kalian dengan pertanyaan itu?" desis
Wuranta. "Jangan marah Tuan. Semalam kami berburu kelinci, tetapi
tak satu pun yang aku dapatkan. Jangan Tuan membiarkan
diri Tuan menjadi kelinci buruan kami. Tuan akan kami kuliti
dan kami bakar seperti kami membakar kelinci."
Alangkah marahnya anak muda Jati Anom itu. Tetapi ia masih
mencoba menahan dirinya. Ia tidak tahu ujung pangkal dari
persoalannya. Karena itu, ia masih belum menanggapinya.
"Pergilah. Laporlah kepada Yang Dipertuan Sidanti.
Katakanlah, bahwa kami prajurit-prajurit dari kadipaten Jipang,
pengikut setia Senapati Agung kami Arya Penangsang dan
Senapati muda Tohpati yang bergelar Macan Kepatihan telah
menghinamu?" Belum lagi suara itu berhenti, terdengar mereka tertawa
bersama. Meledak seolah-olah tawa itu telah tertahan-tahan
bertahun-tahun di dalam dada mereka.
"Kenapa terjadi demikian?" gumam Wuranta di dalam hatinya.
Kini ia mendapat kesimpulan, bahwa kedua golongan di dalam
padepokan itu agaknya tidak dapat luluh menjadi satu
keluarga. Agaknya mereka masing-masing merasa, bahwa
hubungan yang terjadi itu hanyalah bersifat sementara.
Kini tahulah Wuranta, kenapa beberapa orang yang
ditemuinya baru-baru saja bersikap aneh terhadapnya.
Tahulah ia kenapa orang-orang itu berkata, bahwa
kedatangannya kemari karena ia dibawa oleh Sidanti, tetapi ia
kini telah menjadi sahabat Alap-alap yang kerdil.
Wuranta menarik nafas. Ia tidak ingin menanggapi orangorang
itu. Dengan demikian ia akan hanyut dalam
pertentangan orang-orang padepokan itu sendiri tanpa dapat
menyelesaikan pekerjaan yang dibebankan kepadanya.
Tetapi sebelum ia melangkahkan kakinya, dadanya berdesir
sekali lagi. Tiba-tiba ia melihat bayangan seseorang berdiri di
atas sebuah batu yang besar sambil bertolak pinggang.
Terdengarlah suaranya lantang, "Ayo, siapa yang ingin
bertemu dengan Sidanti. Inilah Sidanti. Jangan hanya
berteriak-teriak di belakang punggung."
Tiba-tiba setiap suara dan orang-orang yang menyebut dirinya
prajurit Jipang itu terdiam. Tak seorang pun yang berani
bergerak dari tempatnya. Mulut mereka pun seoIah-olah
terkunci. Bahkan beberapa orang menjadi saling
berpandangan. Dalam keadaan yang demikian, terasa betapa besar perbawa
Sidanti. Prajurit-prajurit Jipang itu pun dapat dipengaruhinya
seperti kena sihir. Laki-laki yang tegap dan kokoh, dengan
berbagai macam senjata di tangan mereka, berdiri diam
seperti patung oleh kehadiran Sidanti itu.
"Ayo," berkata Sidanti, "siapa yang ingin mencoba, bagaimana
Sidanti berbuat terhadap orang-orang yang ingin
menghinanya. Padepokan ini adalah padepokan guruku.
Kalian berada di tempat ini karena belas kasian guruku, Ki
Tambak Wedi. Kalau kalian merasa bahwa kalian tidak
kerasan di sini, kenapa kalian tidak pergi saja?"
Tak seorang pun yang berani menjawab.
"Siapa?" sekali lagi Sidanti bertanya, "kalau aku tidak
mengingat kepentingan yang sama di antara kita, maka kalian
akan menjadi bangkai malam ini juga. Sidanti bukan hanya
pandai berbicara, tetapi pedangnya mampu juga memenggal
lehermu." Belum lagi debar jantung Wuranta berhenti, sekali lagi
dadanya digetarkan oleh peristiwa yang menyusul. Dari dalam
kegelapan terdengar sebuah suara nyaring menjawab katakata
Sidanti, "Ah, jangan terlampau sombong Sidanti. Kalau
kita sudah meletakkan dasar kerja sama yang baik, maka
setiap persoalan harus diselesaikan dengan baik pula. Tidak
dengan caramu itu. Kau dapat menghubungi aku, dan aku lah
yang akan bertindak atas anak-anakku yang kau anggap
kurang sopan. Tidak dengan menjajakan keberanian dan
kesaktian," "Orang-orang Jipang itulah yang keterlaluan," bantah Sidanti,
"mereka sengaja menghinaku."
"Tetapi caramu tidak menyenangkan aku."
"Aku tidak perduli, apakah kau senang atau tidak senang."
"Kalau demikian, apa maumu?"
Dari dalam kegelapan, Wuranta melihat sebuah bayangan
meluncur langsung berteNgger di atas sebuah batu yang lain
tepat di hadapan Sidanti. Orang itu adalah Sanakeling.
Kini keduanya telah berhadapan dengan wajah-wajah yang
tegang. Meskipun mereka belum mencabut pedang masingmasing,
tetapi di tangan kiri mereka telah tergenggam senjatasenjata
rangkapan, justru senjata-senjata mereka yang
berbahaya. Tangan kiri Sidanti menggenggam nanggalnya
yang runcing di kedua ujungnya, sedang tangan kiri
Sanakeling menggenggam sebuah bindi.
Dalam ketegangan itu, tiba-tiba mereka telah dikejutkan oleh
sebuah ledakan di samping mereka. Sebuah batu yang besar
terpukul sehingga percikan pecahannya berserakan ke segala
penjuru. Kemudian berdentang sebuah gelang-gelang besi di
bawah batu-batu tempat Sidanti dan Sanakeling berdiri.
Sidanti dan Sanakeling menyeringai berama sama. Bahkan
orang-orang Jipang pun terdengar mengaduh. Ternyata
pecahan-pecahan batu itu telah melukai tubuh-tubuh mereda
sehingga berdarah. Yang dapat berbuat sedahsyat itu, dengan senjata semacam
itu tidak ada duanya. Pasti Ki Tambak Wedi.
Dan sejenak kemudian KiTambak Wedi telah berdiri di antara
mereka. Di antara Sidanti dan Sanakeling. Dengan wajah
yang merah padam, maka ditunjuknya hidung Sanakeling dan
Sidanti berganti-ganti."Gila. Kalian anak-anak gila. Apakah
kalian sadari apa yang kalian lakukan itu" Alangkah
bodohnya. Alangkah gobloknya. Kalian akan menghancurkan
diri sendiri di hadapan hidung orang-orang Pajang. Apakah
kalian buta dan tuli" Lihat dan dengar. Sekarang pasukan
Pajang telah berada di Jati Anom."
Sidanti, Sanakeling, dan orang-orang Jipang yang lain terkejut
untuk kedua kalinya. Kini jantung mereka bergetar dan
seakan-akan mereka disentakkan pada sebuah mimpi yang
mengerikan. Bahwa orang Pajang akan datang ke Jati Anom
adalah suatu hal yang telah mereka duga, tetapi demikian
cepatnya itu cepatlah di luar perhitungan mereka.
Karena itu dengan serta-merta Sidanti bertanya, "Apakah
mereka orang-orang Pajang yang berada di Sangkal Putung?"
"Aku tidak tahu," sahut Ki Tambak Wedi. Kemudian ia
melanjutkan."Dari Sangkal Pulung atau bukan, tetapi kalau
kalian berkelahi sesama kalian, maka membunuh kalian akan
sama mudahnya mencekik katak kekeringan."
Sanakeling dan Sidanti terdiam. Keduanya menundukkan
kepala masing-masing. Namun mereka merasa beruntung,
bahwa belum terjadi sesuatu di antara mereka. Kalau mereka
bertempur, maka anak buah mereka pun pasti tidak akan
tinggal diam. Dan kini mereka tidak akan dapat lagi saling
menyembunyikan diri, bahwa sebenarnya di dalam padepokan
itu telah terjadi keretakan yang semakin lama menjadi
semakin parah. Hanya karena Ki Tambak Wedi lah maka
mereka tetap berada di pihak masing-masing sambil
mengendalikan diri sekuat-kuat hati. Namun Ki Tambak Wedi
pun yang tampaknya berdiri di tengah-tengah itu, sebenarnya
tidak berpijak di tempatnya dengan jujur. Ia tetap memelihara
ikatan di antara mereka, karena mereka mempunyai
kepentingan yang bersamaan. Tetapi apabila kepentingan
bersama itu telah lampau, maka dengan hati dan darah yang
dingin, Ki Tambak Wedi akan dengan mudah membinasakan
orang-orang Jipang yang kini berada di pihaknya.
Kesepian itu tiba-tiba pecah, ketika dengan serta-merta pula
Sidanti berkata, "He Wuranta. Bukankah kau datang dari Jati
Anom?" Wuranta tersentak. Dengan terbata-bata ia menjawab, "Ya
Tuan." Tetapi hatinya menjadi kecut ketika ia mendengar Ki
Tambak Wedi telah mengatakannya lebih dahulu, bahwa
orang-orang Pajang telah berada di Jati Anom.
"Guru telah mengatakan bahwa orang-orang Pajang sudah
berada di Jati Anom. Lalu apa kerjamu sehingga kau belum
mengetahuinya?" "Aku sudah mengetahuinya, Tuan."
"Tetapi kau tidak mengatakan. Dari mana aku tahu, bahwa
kau telah mengetahuinya."
Dada Wuranta berdebar-debar mendengar pertanyaan itu.
Dicobanya untuk tetap tenang dan menjawabnya, "Tuan.
Bukankah aku baru saja datang" Aku melihat Tuan berdiri di
atas batu itu dengan wajah merah padam. Bagaimana aku
berani berbuat sesuatu?"
Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian
katanya, "Apakah baru sekarang kau ketahui?"
"Pasukan Untara datang siang kemarin. Baru sore tadi aku
berangkat." Sekali lagi Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya,
"Sekarang katakan, apa yang kau lihat?"
"Pasukan Untara segelar sepapan telah berada di Jati Anom.
Lengkap dengan pasukan berkuda." Meskipun kata-katanya
lancar, tetapi terasa juga sebuah getaran yang meragukan.
Kini ia berhadapan dengan orang yang bernama Ki Tambak
Wedi yang telah mengetahui pula, bahwa pasukan Untara
berada di Jati Anom. Apakah Ki Tambak Wedi itu tahu pula
tentang dirinya" Kalau demikian, maka akan selesailah
tugasnya oleh sebuah tali gantungan.
"Siapakah anak itu?" terdengar Ki Tambak Wedi meNggeram.
"Aku ketemukan anak ini di Jati Anom, Guru."
"Apakah ia dapat kau percaya?"
"Sampai saat ini, Guru," jawab Sidanti ragu-ragu. Sebenarnya
ia tidak ingin menunjukkan kepercayaan itu langsung di muka
Wuranta. Dan Sidanti itu menjadi semakin sulit ketika gurunya
bertanya, "Apakah dua orang yang aku jumpai malam tadi
mengikutinya dan mengawasinya?"
Sidanti menggigit bibirnya. Tetapi ia menjawab, "Aku masih
perlu meyakinkannya, Guru."
Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya. Sedang
Wuranta menundukkan wajahnya, untuk menyembunyikan
berbagai kesan yang bergolak di dalam dirinya. Ia senang
mendengar kepercayaan Sidanti, dan ia tersenyum di dalam
hati mendengar pertanyaan Ki Tambak Wedi yang terlampau
berterus terang itu. Tetapi tiba-tiba lehernya berkerut merut,
"Apakah Ki Tambak Wedi sedang mencoba menilai tanggapan
Sidanti tentang diriku yang salah, yang justru sebenarnya
telah diketahui oleh Ki Tambak Wedi?"
Tetapi ternyata tidak demikian. Tiba-tiba Ki Tambak Wedi itu
pun meloncat pergi sambil bergumam, "Kalau kalian masih
juga bertengkar, maka kalian berdua akan aku bunuh
bersama-sama. Tak ada gunanya kalian berdua di padepokan
ini. Kau jangan merasa, bahwa justru kau muridku Sidanti.
Tetapi kebodohanmu hampir tak dapat dimaafkan."
Sidanti tidak menjawab. Kepalanya tiba-tiba menunduk. Dan
tanpa bertanya sepatah pun dibiarkannya gurunya pergi.
Sepeninggal Ki Tambak Wedi, maka Sidanti pun segera
meloncat turun mendapatkan Wuranta. Dilanjutkannya
pertanyaannya, "Jadi pasukan Pajang telah berada di Jati
Anom?" "Ya, seperti yang telah dikatakan oleh Ki Tambak Wedi. Dari
manakah diketahuinya tentang hal ini?"
"Guru adalah orang aneh. Tetapi bagaimana dengan pasukan
Untara itu?" Wuranta tidak segera menjawab. Sekali lagi ia mengatur
perasaannya yang sebenarnya bergejolak. Sekali ia menarik
nafas dalam-dalam. Tetapi tiba-tiba Sidanti mendesaknya,
"Bagaimana" Kenapa dengan pasukan itu"
"Pasukan Untara datang segelar sepapan, Tuan"
"Bagaimana dengan pasukan Untara itu dibandingkan dengan
pasukan Widura?" Hampir saja terloncat jawaban dari mulutnya, tetapi untunglah
ia menjadi sadar, bahwa ia belum pernah melihat pasukan
Widura. Maka jawabnya, "Pasukan Widura yang manakah
yang Tuan maksud?" "Oh ," Sidanti menelan ludahnya, "kau belum pernah
melihatnya. Pasukan itu berada di Sangkal Putung."
Wuranta mengangguk-anggukkan kepalanya. Untunglah ia
tidak terlanjur menjawab karena terlampau bernafsu.
"Tetapi bagaimana aku mendapat gambaran tentang kekuatan
pasukan Untara itu?"
"Sulit Tuan. Adalah sulit bagiku untuk mengatakan seberapa
banyak orang di dalam pasukan itu."
"Baik, Baik. Guru pasti akan melihatnya sendiri. Kalau tidak,
aku akan mengirim seseorang yang cukup berpengalaman
melihat kekuatan pasukan."
"Silahkanlah Tuan," gumam Wuranta, "aku tidak banyak
mengetahui keadaan dan susunan keprajuritan."
"Kau perlu pengetahuan mengenai hal itu Wuranta, apabila
kau akan menjadi seorang prajurit yang baik kelak."
"Aku tidak begitu bernafsu untuk menjadi seorang prajurit,
Tuan. Aku ingin menjadi seorang Demang."
Sidanti tersenyum. Katanya, "Baik. Kau akan menjadi Demang
Jati Anom. Aku akan membunuh Demang yang sekarang ini
berkuasa. Bukankah begitu maksudmu?"
Tiba-tiba dada Wuranta berdesir. Telinganya masih terasa
ngeri mendengar kata-kata Sidanti itu. Ia sama sekali tidak
ingin melihat demangnya terbunuh. Tetapi ia tidak menjawab
01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lain daripada mengangguk dan berkata, "Demikianlah Tuan."
"Jangen takut," tetapi hati Sidanti mengumpat habis-habisan.
Katanya di dalam hatinya, "Persetan kau. Baru saja kau mulai,
kau sudah membayangkan pangkat yang menyenangkan itu.
Aku yang sudah lama berada di dalam perjuangan ini sama
sekali belum mendapat apa-apa. Membayangkan saja aku
belum sempat. Sepantasnya kau aku cekik sampai mati,
begitu kami berhasil menduduki Jati Anom dan mengusir
pasukan Pajang itu. Dengan demikian, maka pemberontakan
Tambak Wedi akan menjadi jelas. Dan Pajang yang baru akan
tegak berdiri dan sedang menghadapi Adipati-adipati di pesisir
Lor dan Bang Wetan itu akan menjadi semakin sulit
kedudukannya. Sementara itu Ki Tambak Wedi akan terus
menghimpun kekuatan ke Selatan dan Timur Gunung Merapi."
Keduanya kemudian terdiam. Langkah mereka seakan-akan
menjadi semakin cepat. Dan agak jauh di belakang mereka,
berjalan Sanakeling menjinjing bindinya.
Para pemimpin padepokan Tambak Wedi dan orang-orang
Jipang yang berada di padepokan itu pun segera mengadakan
pertemuan. Kali ini dipimpin sendiri oleh Ki Tambak Wedi.
Agaknya kehadiran Untara di Jati Amom telah menumbuhkan
persoalan yang harus mendapat perhatian yang cukup.
Tetapi sayang, bahwa Wuranta tidak diperkenankan ikut serta
di dalam pembicaraan itu. Hanya orang-orang penting dan
mendapat kepercayaan sajalah yang boleh ikut di dalam
pembicaraan itu. "Beristirahatlah," berkata Sidanti kepada Wuranta, "mungkin
kau akan mendapat pekerjaan baru yang lebih penting dari
kerjamu yang dahulu."
"Baik, Tuan," sahut Wuranta.
Tetapi ketika ia melangkah keluar dari ruangan itu, ia tertegun.
Alap-alap Jalatunda menggamitnya sambil berbisik, "Jangan
kau ganggu gadis itu."
"Ah," Wuranta tersenyum, "apakah aku tidak boleh
melihatnya?" "Aku cekik kau sampai mati. Sekarang kau jangan lagi
bersandar kepada kekuatan Sidanti. Nama itu semakin lama
menjadi semakin jelek di mata prajurit-prajurit Jipang. Salah
sendiri. Sikapnya terlampau sombong. Ia bukan Tohpati yang
bergelar Macan Kepatihan. Tetapi ia bersikap seolah-olah
berkuasa melampaui Tohpati itu."
"Ki Sanakeling hampir berkelahi melawan anak muda itu."
"He" Begitu?"
"Ya." "Aku belum sempat menemuinya. Aku harap demikian. Kalau
tidak, maka akulah yang akan berkelahi kelak."
"Perkara gadis itu?"
"Mungkin. Mungkin juga karena kesombongannya. Aku tidak
dapat lagi diperintahnya seperti hari-hari yang lampau."
"Tetapi pasukan Untara telah datang. Apakah kalian akan
sibuk dengan pertentangan pribadi?"
Alap-alap Jalatunda terdiam. Tetapi kerut-merut di keningnya
tampak semakin dalam. "Kau dapat bertemu dengan gadis
itu?" tiba-tiba Alap-alap Jalatunda bertanya.
"Kenapa?" "Tetapi apakah kau berpihak kepada Sidanti?"
"Aku selalu mementingkan kepentingan bersama."
"Persetan. Kau mau apa tidak membawa pesanku kepada
gadis itu?" "Baiklah. Itu tidak ada sangkut pautnya dengan pasukan
Untara." "Katakan aku menginginkannya. Kalau ia bersedia, maka aku
akan mengorbankan segala-galanya untuknya."
"Baik, Tuan. Pesan itu akan sampai segera. Siang ini."
Wuranta pun kemudian meninggalkan rumah itu. Ketika ia
berpaling, ia melihat para pemimpin agaknya telah semakin
banyak hadir. Bahkan ia melihat beberapa orang penjaga
telah siap pula di muka rumah itu. Menilik perbedaan sikap
dan pakaian maka yang berjaga-jaga di luar itu datang dari
kedua belah pihak. Dan kini Wuranta telah mendapatkan suatu kepastian, bahwa
di dalam padepokan itu pun telah terjadi keretakan yang
gawat. Suatu hal yang menguntungkan bagi pasukan Untara.
Tetapi bagaimana dapat memanfaatkan keretakan itulah yang
harus dicari saat dan kesempatan yang tepat.
Meskipun Wuranta merasa juga agak lelah dan kantuk, namun
ia tidak ingin tidur. Ia ingin tetap bangun dan berjaga-jaga.
Kalau-kalau ada sesuatu keputusan mengenai dirinya, maka
ia tidak akan diseret selagi ia sedang tidur.
Tetapi tiba-tiba Wuranta teringat akan pesan Alap-alap
Jalatunda untuk menemui Sekar Mirah dan menyampaikan
pesannya. Pesan yang gila.
"Hem," Wuranta menarik nafas dalam-dalam, "apakah aku
akan menyampaikan pesan itu?"
Sementara itu matahari yang telah mulai memanjat langit di
ujung Timur, telah memancarkan sinarnya yang kekuningTiraikasih
website - http://kangzusi.com/
kuningan. Dedaunan menjadi cerah dan segar. Tetes-tetes
embun yang masih menyangkut di rerumputan memantulkan
kilatan cahaya matahari yang binar.
Wuranta masih saja duduk di muka pondokan yang
diperuntukkannya. Pondokan pada sebuah rumah yang
didiami oleh seorang laki-laki dan perempuan tua. Suami isteri
yang agaknya telah terlampau lama menghuni padepokan ini.
"Apakah Angger tidak ingin tidur?" bertanya kakek penghuni
rumah itu, "Ke manakah Angger semalam tadi pergi?"
"Jalan-jalan saja, Kek," sahut Wuranta.
"Huh, tak ada seorang anak muda dari padepokan ini yang
sempat berjalan-jalan. Tetapi agaknya Angger bukan anak
muda dari padepokan ini."
"Aku anak Jati Anom."
"O, pantas, pantas. Aku baru melihat Angger setelah Angger
ditempatkan di rumah ini."
"Ya, Kek." "Bagus. Angger telah memilih pihak yang benar. Ki Tambak
Wedi adalah seorang yang tidak dapat ditakar
kemampuannya, ia mampu menangkap angin taufan, seperti
Ki Ageng Sela. mampu menangkap petir. Meskipun aku sudah
tua, tetapi aku masih bersedia mengangkat, senjata seperti
anak-anak muda apabila orang-orang Pajang benar-benar
akan menahancurkan padepokan ini. Bukankah orang-orang
Pajang telah merencanakannya demikian hanya karena
Adipati Pajang menjadi iri hati atas kesaktian Ki Tambak
Wedi." Wuranta mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi ia tidak
menjawab. "Ah, agaknya Angger mengantuk dan payah. Silahkanlah
beristirahat. Di amben dalam telah disediakan oleh nenek, ubi
rebus. Tidak sekedar ubi rebus, tetapi ubi yang direbus
dengan legen. Manis, Ngger."
"Terima kasih, Kek," Wuranta pun segera bangkit. Perutnya
memang merasa lapar. Dan ubi badek adalah makanan yang
sangat digemarinya. Namun meskipun kemudian mulutnya
mengunyah ubi, pikirannya masih juga dikalutkan oleh
berbagai macam persoalan. Pesan AJap-alap Jalatunda,
pembicaraan para pemimpin padepokan ini dan orang-orang
Jipang dan berbagai macam yang lain. Disadarinya, bahwa
keadaan akan dapat berkembang dengan cepatnya.
Setelah kenyang, maka Wuranta segera bangkit. Perlahanlahan
ia pergi ke biliknya, berbaring-baring untuk melepaskan
waktu. Namun ia tidak melepaskan pedang dari lambungnya.
"Baiklah, aku penuhi pesan Alap-alap Jalatunda," desisnya.
"Aku mengharap bahwa perkembangan daripadanya tidak
akan berbahaya bagi Sekar Mirah, tetapi dapat mempertajam
keretakan antara Sidanti dan Alap-alap yang buas itu."
Akhirnya Wuranta pun berketetapan hati untuk menemui gadis
itu di pinggir sungai, menyampaikan pesan Alap-alap
Jalatunda dan melihat kemungkinan yang dapat terjadi. Kini ia
akan berjalan seorang diri. Tidak dalam pengawasan Alapalap
Jalatunda, karena anak muda itu sedang mengadakan
pembicaraan dengan pimpinan-pimpinan yang lain.
Wuranta itu kemudian menjadi gelisah, ia tidak lagi dapat
berbaring di dalam biliknya. Perlahan-lahan ia bangkit dan
melangkah ke luar. Di halaman dilihatnya kakek penghuni
rumah itu sedang menyiangi tanamannya.
"Kau tidak tidur, Ngger?"
"Tidak, Kek." "Dua malam Angger berada di sini. Dua malam Angger tidak
tidur di pondokan." Wuranta tersenyum. Tetapi ia merasa aneh dengan badannya
sendiri. Ia tidak merasa terlampau lelah dan terlampau kantuk.
"Aku akan berjalan-jalan, Kek. Aku akan menikmati cerahnya
pagi di padepokan ini."
"Heh," kakek itu tersenyum, "silahkan. Seumurku ini pun
agaknya aku tidak sempat menikmati cerahnya pagi."
Kalau begitu, Kakek banyak kehilangan pada usia-usia muda
Kakek." "Mungkin. Mungkin aku banyak kehilangan. Tetapi aku banyak
pula menemukan. Aku kehilangan cerahnya pagi, tetapi aku
dapat menyadap ilmu Ki Tambak Wedi sebanyak-banyaknya.
Ilmu kasampurnan lahir dan batin."
"Ilmu macam apakah itu?"
"Ilmu kasunyatan. Persoalan kita adalah persoalan yang
nyata. Kita manfaatkan apa yang dapat kita lihat dan kita raba
dan kita rasakan." "Maknanya?" bertanya Wuranta.
"Kemampuan berpikir menguasai alam. Memecahkan teka-teki
yang memenuhi keadaan di sekitar kita. Dengan demikian
maka kita akan menjadi rajin bekerja dan mencari. Menguasai
dan memanfaatkan alam. Menghisap sari-patinya."
"Itu saja?" "Apa lagi?" "Itulah sebabnya Kakek banyak kehilangan. Kakek tidak dapat
menikmati cerahnya pagi. Apalagi menikmati kurnia Pencipta
pagi yang cerah. Yang memiliki rahasia yang tak akan
terpecahkan, sehingga sia-sialah Kakek menghabiskan umur."
Laki-laki itu terkejut mendengar jawaban Wuranta, sehingga ia
terhenyak beberapa saat. Ditatapnya wajah anak muda yang
tersenyum-senyum itu. Tiba-tiba orang tua itu berkata, "Agaknya Angger mempunyai
pengetahuan yang berbeda?"
"O, aku sama sekali tidak berpengetahuan, Kakek. Apalagi
berilmu. Tetapi aku hanya sekedar mencoba mengerti tentang
diri sendiri. Siapa dan apakah aku ini?"
"Kasian," orang tua itu seakan-akan mengeluh, "kasian benar
kau, Ngger. Lihat, betapa Ki Tambak Wedi mampu
menjadikan dirinya seorang yang maha sakti karena ia mampu
memecahkan teka-teki alam di sekitarnya."
"Dari manakah Ki Tambak Wedi menemukan kekuatannya
dan kemampuannya yang luar biasa itu?"
"Justru ia menguasai dan memanfaatkan kekuatan alam di
sekitarnya." Wuranta tersenyum. Ia tidak akan dapat berbantah dengan
orang tua itu. Bertahun-tahun orang tua itu mengunyah dan
menelan saja pandangan hidup yang didengarnya dari Ki
Tambak Wedi. Meskipun demikian, Wuranta itu bertanya,
"Dan apakah yang sudah Kakek dapatkan setelah Kakek
menyadap ilmu Ki Tambak Wedi sebanyak-banyaknya" Ilmu
yang dapat Kakek pergunakan menangkap taufan atau
menangkap asap atau menangkap petir seperti Ki Ageng
Sela?" Orang tua itu terkejut mendengar pertanyaan Wuranta. Tibatiba
ia terdiam. Sejenak ia menjadi bingung.
Wuranta masih saja tersenyum. Tiba-tiba ia berkata,
"Sudahlah Kakek, bekerjalah. Aku akan berjalan-jalan. Aku
tidak pernah berusaha menghisap kekuatan yang diberikan
oleh alam seperti cara yang ditempuh oleh Ki Tambak Wedi.
Tetapi aku ingin menikmati cerahnya pagi. Mengucap syukur
kepada Pencipta pagi yang cerah dan memohon kekuatan
kepada-Nya untuk menghadapi tiap kesulitan."
"Kepada siapa?" orang tua itu bertanya.
"Tidak kepada benda-benda yang memiliki segala macam
kekuatan, tidak berusaha mencari dan memanfaatkan dan
menguasai rahasia kekuatan dari pepohonan dan sudut-sudut
yang gelap, tetapi kepada Pencipta setiap benda, setiap
pepohonan dan setiap sudut-sudut yang gelap dan terang."
Orang tua itu masih saja menjadi bingung. Bahkan wajahnya
kini menjadi berkerut-merut. Tetapi Wuranta sudah
melangkahkan kakinya sambil berkata, "Lain kali kita
bercakap-cakap, Kakek. Sekarang aku akan berjalan-jalan."
"Silahkan, Ngger, silahkan," jawab orang tua itu. Namun
kepalanya masih dilingkari oleh kata-kata Wuranta yang
terdengar aneh di telinganya.
Dalam pada itu Wuranta telah meninggalkan halaman rumah
kakek tua itu. Namun tiba-tiba ia menjadi cemas. Kalau orang
tua itu mengatakan pendiriannya kepada kawan-kawannya,
maka setidak-tidaknya ia akan mendapat perhatian khusus.
Tetapi Wuranta akhirnya dapat melupakan pembicaraan itu.
Kakek tua itu pasti tidak akan mempersoalkannya, karena
orang tua itu tidak segera memahami kata-katanya dan katakatanya
sendiri. Langkah Wuranta itu kemudian membawanya ke jalan
padepokan yang kemarin dilewatinya bersama Alap-alap
Jalatunda. Menyelusuri tebing sungai. Sepanjang jalan
Wuranta selalu mereka-reka, bagaimana ia akan
menyampaikan pesan Alap-alap Jalatunda kepada Sekar
Mirah. "Mudah-mudahan ia tidak salah mengerti," desis Wuranta
seorang diri. "Mudah-mudahan ia sadar akan persoalan yang
dihadapinya dan dapat memanfaatkannya."
Tetapi alangkah kecewa Wuranta ketika ia sampai kebelik
sungai itu. Ia tidak melihat Sekar Mirah mencuci pakaiannya
seperti kemarin. "Hem," desahnya, "agaknya tidak setiap hari ia pergi ke sungai
mencuci pakaian. Mungkin hari ini pakaiannya tidak ada lagi
yang dicucinya. Bagaimana aku dapat menemuinya?"
Wuranta itu menjadi agak bimbang. Apakah ia dapat menemui
gadis itu di pemondokannya" Wuranta tidak berani menerima
akibat dari perbuatannya itu. Kalau para penjaga dan
pengawas melihatnya, maka akibatnya adalah kegagalan
01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seluruh tugasnya. "Apa yang harus aku lakukan?" gumamnya.
Tetapi tanpa disadarinya langkahnya telah menyelusuri jalan
menuju ke pondokan Sekar Mirah. Sekali dua kali di
jumpainya juga beberapa orang laskar yang sedang meronda.
Tetapi para peronda itu seakan-akan tidak menghiraukannya.
Mereka telah mengenal Wuranta, karena Wuranta sering
berjalan bersama Sidanti, Alap-alap Jalatunda, dan pemimpin
yang lain. Tetapi tanpa diduga-duganya langkahnya terhenti. Di lorong
sempit yang menuju ke sungai ia melihat Sekar Mirah berjalan
di depannya dalam arah yang berlawanan. Tiba-tiba saja
hatinya menjadi berdebar-debar. Dan tiba-tiba saja
keringatnya mengalir membasahi punggungnya.
"Aku hanya sekedar membawa pesan," desisnya di dalam hati
untuk menenangkan perasaannya sendiri. "Mudah-mudahan
ia tidak salah terima."
Dadanya menjadi semakin tegang ketika di kejauhan ia
melihat Sekar Mirah itu tersenyum kepadanya. Senyum yang
cerah, secerah sinar pagi yang mengusap ujung pepohonan.
Langkah mereka, semakin lama menjadi semakin dekat. Dan
jantung Wuranta seakan-akan berhenti berdenyut ketika ia
mendengar gadis itu menyapanya, "Selamat pagi, Tuan."
"Selamat pagi," jawab Wuranta tergagap. Sikapnya tiba-tiba
berubah. Tidak selincah sikapnya kemarin.
"Dari mana Tuan sepagi ini?"
"E," Wuranta agak kebingungan mencari jawab. Akhirnya
sekenanya ia berkata, "Jalan-jalan, Nini."
"Sepagi ini?" "Justru sepagi ini, Nini. Pagi yang cerah," Wuranta telah
menjadi agak tenang sehingga kata-katanya telah mulai
meluncur agak lancar. Tetapi meskipun demikian hatinya masih saja diliputi oleh
kebimbangan tentang pesan Alap-alap Jalatunda yang harus
disampaikannya. Dalam pada itu terdengar Sekar Mirah bertanya pula, "Kenapa
Tuan hanya seorang diri" Di manakah kawan Tuan yang
seorang kemarin?" "Ia adalah orang yang penting di dalam kedudukannya, Nini.
Pagi ini orang-orang penting sedang mengadakan pertemuan.
Sedang aku adalah seorang yang hampir tak berarti di sini."
Sekar Mirah tersenyum. Katanya, "Tuan terlampau
merendahkan diri." "Aku berkata sebenarnya."
"Tetapi bagaimanakah kedudukan kawan Tuan kemarin di
samping kedudukan Sidanti?"
"Ada bedanya Nini, Sidanti adalah pemimpin padepokan ini,
sedang Alap-alap Jalatunda adalah pemimpin Laskar Jipang."
Sekar Mirah mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia
menyangka bahwa Wuranta adalah anak muda dari
padepokan ini. Kalau Wuranta itu salah seorang laskar Jipang.
maka setidak-tidaknya ia pernah mendengar nama Sekar
Mirah sebagai seorang puteri Demang Sangkal Putung yang
akan dapat membedakan kedudukan Sidanti dan Alap-alap
Jalatunda. Sebab keduanya pernah berada di sekitar Sangkal
Putung, bahkan Sidanti sendiri pernah berada di kademangan
itu. Tetapi hal itu tidak penting bagi Sekar Mirah. Ia tidak pula
bertanya kenapa justru anak itu menjadi sahabat Alap-alap
Jalatunda, meskipun Sekar Mirah tidak tahu, bahwa
persahabatan itu adalah persahabatan yang semu, yang
didorong pula oleh keharusan Alap-alap Jalatunda mengawasi
Wuranta. Dengan sadar Sekar Mirah menghadapi keduanya. Sidanti
dan Alap-alap Jalatunda. Itulah sebabnya ia bertanya, "Jadi
Alap-alap Jalatunda itu benar-benar seorang pemimpin Laskar
Jipang?" "Ya." "Alangkah menarik. Usianya agaknya masih cukup muda.
Tetapi ia telah memangku kedudukan yang cukup berat."
"Ya." "Sayang ia tidak berjalan bersama Tuan pagi ini."
Kening Wuranta berkerut. Debar dadanya menjadi semakin
deras. Ia merasa bahwa ia telah mendapatkan kesempatan.
Tetapi ia masih saja ragu-ragu.
"Apakah sepagi ini para pemimpin padepokan ini sudah mulai
mengadakan pembicaraan?"
"Dalam keadaan khusus, Nini."
"Kenapa?" "Pasukan Untara telah berada di Jati Anom."
"He," tiba-tiba wajah Sekar Mirah itu berubah. Tetapi hanya
sejenak. Gadis itu berusaha untuk menguasai perasaannya.
sekuat-kuatnya. Tetapi sejenak kemudian, ia melangkah
sambil bergumam, "Aku melihat dua orang prajurit berjalan
kejurusan ini. Aku tidak mau mereka mencurigai aku atau
Tuan." "Oh," dada Wuranta menjadi berdebar-debar. Ketika ia
berpaling, ia memang melihat dua orang prajurit berjalan di
kejauhan. Tetapi ia telah menyatakan kesanggupannya
menyampaikan pesan Alap-alap Jalatunda. Karena itu dengan
tergesa-gesa ia berkata, "Nini, sebenarnya aku membawa
pesan dari Alap-alap Jalatunda. Pesan itu mengatakan, bahwa
Alap-alap Jalatunda menginginkan Nini untuknya. Ia sanggup
mengorbankan apa saja untuk kepentingan itu."
Wuranta melihat wajah Sekar Mirah menjadi kemerahmerahan.
Tetapi yang sama sekali tidak diduganya gadis itu
tersenyum sambil menyahut dengan serta-merta, "Aku
menunggunya." "Gila. Gila," desis Wuranta di dalam hati. Bagaimana mungkin
jawaban itu begitu cepatnya tanpa dipikirkannya" Apakah
gadis itu telah mempunyai perhitungannya tersendiri atau
memang semuanya ini telah masuk di dalam rencananya.
Tetapi sebelum Wuranta sempat berkata lagi, Sekar Mirah
telah meneruskan perjalanannya. Kedua orang peronda
berjalan ke arahnya. Perlahan-lahan Wuranta melangkahkan
kakinya pula, namun dadanya masih dipenuhi berbagai
macam persoalan antara Alap-alap Jalatunda dan gadis itu.
Kedua peronda itu kemudian berjalan di sisinya
melampauinya. Keduanya berpaling dan salah seorang
daripadanya bertanya, "Kau sudah kenal gadis itu?"
Wuranta menggeleng sambil tersenyum, "Belum. Apakah ia
adikmu?" "Pantas kau berani mengganggunya."
"Aku tidak mengganggu. Aku hanya mengucapkan selamat
pagi. Sebab aku heran, bahwa padepokan ini telah melahirkan
gadis secerah matahari pagi."
"Dengar," berkata yang seorang lagi, ingat-ngatlah kata-kataku
ini. Supaya lehermu tidak dipancung oleh Sidanti, jangan
mencoba-coba mengganggunya."
"He," Wunanta pura-pura terkejut, "apakah ia adik Sidanti?"
"Setan belang itu tidak bersanak keluarga di sini, selain
gurunya yang hidungnya mancung seperti paruh burung
hantu, dan baru-baru ini datang pamannya yang bernama
Argajaya. Gadis itu adalah gadis simpanannya yang dicurinya
duri Sangkal Putung."
"O," Wuranta mengangguk-anggukkan kepalanya, "maaf. Aku
tidak tahu." "Untunglah bahwa kami yang melihat perbuatanmu. Kalau
orang-orang padepokan ini, mungkin kau segera akan
digantung." "Maafkan aku," desis Wuranta pula.
Kedua orang itu pun segera berlalu. Wuranta sama sekali
sudah tidak memperhatikannya lagi. Tetapi yang
mencemaskannya adalah bagaimanakah jadinya apabila Alapalap
Jalatunda ingin melaksanakan maksudnya" "Itu adalah
tanggung jawabnya," desisnya, "tetapi apakah anak yang liar
itu tidak berbahaya bagi Sekar Mirah?"
Wuranta kemudian berjalan kembali ke pondoknya dengan
penuh kebimbangan dan kecemasan. Tetapi ia harus
menyampaikan jawaban Sekar Mirah, "Aku menunggunya."
"Kalau saja jawaban itu dilandasi oleh kesadaran dan
perhitungan yang cermat," desisnya di dalam hati. "Tetapi
Alap-alap itu bukan seorang anak muda yang dungu."
Ketika Wuranta sampai di halaman pondokannya, ia melihat
kakek yang menghuni rumah itu masih bekerja di halamannya.
Ketika kakek tua itu melihat Wuranta maka segera disapanya,
"Cepat sekali Angger menikmati pagi" Apakah Angger sudah
puas?" Wuranta tersenyum, jawabnya, "Sudah, Kakek. Aku sudah
puas." Kakek tua itu pun tersenyum pula. Katanya kemudian, "Angger
mendapat kepuasan dengan kesejukan dan kesegaran pagi.
Aku mendapat kepuasan dengan kerja ini. Tetapi kerjaku
menghasilkan, sedang selain kepuasan apakah yang Angger
dapat dengan berjalan-jalan itu?"
Wuranta mengerutkan alisnya. Tetapi kemudian ia tersenyum
kembali, jawabnya, "Kau mendapatkan sesuatu yang langsung
dapat kau rasakan, bahkan kau raba, Kek."
"Lalu, apakah ada hal-hal lain daripada ini?"
"Tentu. Berapa umurmu, Kek?"
"Limapuluh tahun."
"He?" Wuranta terkejut mendengar jawaban itu.
"Kenapa kau terkejut, Ngger"
"Kakek terlampau banyak bekerja. Kakek kurang sekali
menikmati keindahan pagi. Itulah sebabnya dalam usia Kakek
yang baru setengah abad itu, Kakek tampaknya telah
terlampau tua. Ayahku adalah seorang petani yang bekerja
setiap hari hampir sehari penuh. Tetapi setiap kali ayahku
menengadahkan wajahnya ke langit. Melihat matahari yang
baru terbit di pagi hari atau melihat bintang gemintang yang
bergayutan di langit di malam hari. Setiap kali ayahku
menyebut nama Penciptanya. Maka hatinya menjadi tenteram
dan damai. Kedamaian hati dan kerja yang tekun itulah
agaknya yang menjadikan ayahku masih kelihatan terlampau
muda meskipun umurnya sudah tujuhpuluh lima tahun."
Kakek tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya, "Benarkah
itu?" "Ya, Kek. Aku tidak berbohong. Kerja keras, tetapi kita
gembira karena kita menyadari arti dari hidup kita. Aku melihat
Kakek terlampau tekun bekerja, tetapi kerja itu menjadi tujuan
hidup Kakek." "Kalau aku tidak bekerja begini keras, aku akan mati
kelaparan, Ngger." "Kerjalah, Kek. Kerja keras. Tetapi hidup bukan sekedar
bekerja." "Kalau aku seorang yang kaya raya, Ngger, maka aku tidak
perlu bekerja begini berat."
Wuranta kini tertawa. Ia mengerti jalan pikiran kakek tua itu.
Sedang kakek tua itu menangkap kata-katanya begitu wantah,
seperti kata-kata yang terucapkan. Tetapi kakek itu tidak dapat
menangkap maksud yang seharusnya diungkapkan dari balik
kata-katanya. Karena itu maka Wuranta berkata, "Maaf,
Kakek. Aku terlampau lelah, aku ingin beristirahat."
"Silahkan, Ngger. Silahkan beristirahat. Angger juga terlampau
keras bekerja, supaya Angger tidak menjadi lekas tua."
Wuranta tertawa semakin keras. Jawabnya, "Ya, ya Kek.
Tetapi aku menyadari arti dari kerja yang aku lakukan. Bukan
karena sekedar takut kelaparan."
"Ah," orang tua itu mengerutkan keningnya, tetapi ia pun
kemudian tertawa. Namun suara tertawanya sama sekali tidak
mengungkapkan pengertiannya atas kata-kata Wuranta.
Tetapi Wuranta tidak menghiraukannya lagi. Ia ingin
beristirahat, menganyam persoalan yang baru saja dihadapi
dan masih harus dipecahkannya.
Tanpa menanggalkan pakaian, dan pedangnya, Wuranta
merebahkan dirinya di sebuah amben bambu di dalam bilik
yang diperuntukkan baginya. Terdengar amben itu berderit,
dan berderit pulalah hati anak muda itu.
"Hem," desisnya, "ternyata pekerjaan ini tidak semudah yang
aku sangka. Mudah-mudahan aku berhasil."
Wuranta yang lelah itu akhirnya sekali dua kali menguap, dan
sejenak kemudian maka ia pun telah tertidur.
Tetapi agaknya anak muda itu tidak cukup lama beristirahat.
Tiba-tiba ia terkejut ketika, ia mendengar pintu berderak.
Cepat ia meloncat bangun dan dilihatnya Alap-alap Jalatunda
berdiri di hadapannya, memandanginya seperti seekor
harimau lapar melihat seekor rusa yang masih muda.
"He Wuranta," desisnya, "kau mampu bangun dari tidur
secepat itu, dan secepat itu siap pula berdiri tegak,
menghadapi setiap kemungkinan?"
Wuranta tidak tahu arah pertanyaan itu, karena itu ia tidak
menjawab. "Hem," desis Alap-alap Jalatunda, "ternyata kau bukan anak
muda sebodoh yang aku sangka. Sejak aku melihat kau
berkelahi di perjalanan ke Jati Anom, aku sudah menyangka,
bahwa kau memiliki bekal cukup untuk bermain-main dengan
pedang." "Apakah yang sebenarnya Tuan maksud?"
"Kau sudah mengganggu Sekar Mirah. Dua orang melihat dan
memberitahukan kepadaku. Ingat, dengan sedikit ramuan
kata-kata, aku dapat menggerakkan Sidanti untuk
memancungmu di perapatan."
"Apakah katanya?"
"Hem, kau agaknya membanggakan kepandaianmu yang
sama sekali tidak berarti itu?"
"Kapankah Tuan lihat aku berkelahi dengan seorang laki-laki
di perjalanan ke Jati Anom?"
Tiba-tiba Alap-alap Jalatunda terbungkam. Tanpa disadari ia
telah terlanjur mengatakan apa yang sudah dilihatnya ketika ia
dengan diam-diam mengikuti Wuranta. Sebenarnya Wuranta
sama sekali tidak terkejut mendengarnya, tetapi ia harus
berpura-pura tidak tahu. "Tuan, aku tidak tahu kata-kata Tuan semuanya. Aku sama
sekali tidak mengganggu Sekar Mirah. Aku sama sekali tidak
berkelahi dengan siapa pun juga. Memang aku bertemu, dan
ditegur oleh dua orang laskar Tuan. Tetapi apakah aku harus
menjawab bahwa aku sedang menyampaikan pesan Alap-alap
Jalatunda kepada Sekar Mirah" Bukankah lebih baik bagi
Tuan jika aku mengiakan dan pura-pura saja tidak tahu
siapakah gadis itu?"
01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Alap-alap Jalatunda mengangguk-anggukkan kepalanya
mendengar jawaban Wuranta. Bahkan kemudian ia tertawa
sambil berkata, "Ternyata kau memang tidak terlampau
bodoh, Wuranta. Terima kasih. Agaknya kau berbuat sesuatu
yang menyenangkan." "Apakah yang menyenangkan?" Wuranta masih pura-pura
bertanya. "Kau, kau telah berbuat sesuatu yang menyenangkan aku.
Kau telah menghindarkan aku dari kecurigaan kedua orang
prajurit itu, meskipun ia adalah prajuritku sendiri, tetapi
seandainya kau tidak menerima teguran itu dan mengatakan
bahwa akulah yang menyuruhmu, maka orang itu pasti akan
mengatakannya kepada kawan-kawannya, meskipun tidak
bermaksud jahat. Tetapi hal yang demikian itu berbahaya,
sebab mungkin orang-orang Sidanti akan mendengarnya
pula." "Bagaimana kalau Sidanti mendengarnya?"
Alap-alap Jalatunda mengerutkan keningnya. Tiba-tiba
wajahnya menjadi semburat merah dan giginya gemeretak,
"Persetan, dengan orang itu! Aku kini tidak takut lagi. Tetapi
untuk berhadapan dengan Sidanti aku harus tahu benar,
bahwa aku tidak sedang berebut tulang kering. Bagaimana
pesan itu?" "Sudah aku katakana, Tuan."
"Bagaimanakah jawabnya?"
Wuranta menjadi ragu-ragu.
"Jangan membisu. Kau tinggal menirukan jawabannya.
Menirukan saja. Bukan kau yang harus menjawab."
Wuranta menarik nafas panjang. Kemudian ia menjawab, "Ia
menanti Tuan." "He," mata Alap-alap itu terbelalak, "ia menanti aku?"
"Demikianlah jawabnya."
"Hanya itu?" "Ya, hanya itu. Sebab kedua laskar Tuan yang keparat itu
segera datang dan Sekar Mirah pun meninggalkan aku."
"O, setan betul kedua prajurit itu. Tetapi, tetapi Sekar Mirah
berkata demikian?" "Ya, Tuan. Tuan dapat percaya atau tidak. Tetapi demikianlah
pendengaran telingaku."
"Baik. Baik. Aku percaya kepadamu. Nanti malam aku akan
datang kepadanya." "He," kini Wuranta-lah yang terkejut, "nanti malam Tuan akan
datang?" "Ya, bagaimana?"
"Bagaimana Tuan akan datang kepada Sekar Mirah di dalam
padepokan ini" Apakah dengan demikian Tuan tidak akan
langsung berhadapan dengan Sidanti?"
"Bodoh kau. Aku akan datang dengan diam-diam. Kalau Sekar
Mirah memang menerima aku, maka aku tidak akan menemui
kesulitan apa-apa." "Apakah Sekar Mirah akan Tuan bawa pergi?"
"Kemana aku harus pergi" Oh, kau ternyata terlampau bodoh.
Apakah perlunya aku pergi. Aku dapat datang ke pondoknya
setiap saat dengan diam-diam. Kenapa harus pergi?"
"Bagaimana mungkin Tuan" Bagaimana mungkin Tuan
berbuat demikian" "Itu urusanku. Jangan ributkan lagi hubungan kami
seterusnya. Aku akan datang setiap saat aku anggap aman.
Tak akan ada kesulitan apa-apa. Orang-orangku akan dapat
membantu aku mengawasi keadaan selagi aku berada di
rumah itu." "Tuan," nafas Wuranta menjadi tersengal-sengal, "apakah
Tuan tidak bermaksud membawanya pergi dan kemudian
kawin?" "Kawin?" sahut Alap-alap Jalatunda hampir berteriak karena
terkejut mendengar pertanyaan itu. Tetapi kemudian suara
tertawanyapun meledak. Demikian kerasnya sampai tubuhnya
berguncang-guncang. Jawabnya, "Oh anak yang malang.
Kenapa kau berpikir bahwa aku akan kawin" Apakah saat
seperti ini adalah saat yang baik untuk kawin. Tidak Wuranta.
Aku tidak mau kawin sebelum aku memenangkan peperangan
ini. Aku cemas kalau malam ini aku kawin, besok aku
ditangkap Untara." "Lalu apa yang akan Tuan lakukan?"
"Tidak apa-apa. Hubungan kami tidak perlu diikat dengan
perkawinan atau ikatan macam apapun. Sekar Mirah akan
dapat kawin dengan siapa saja kelak. Dengan Sidanti atau
dengan orang lain." "Oh," keringat dingin kini memenuhi tubuh Wuranta. Ini adalah
perbuatan yang liar dan bahkan biadab. Seandainya Sekar
Mirah menyadari perbuatannya sebagai suatu usaha untuk
melepaskan diri dari lingkungan padepokan ini, maka ia akan
kecewa. Bahkan mungkin ia akan kecewa sepanjang hidupnya
menghadapi Alap-alap yang buas ini.
"Kenapa kau menjadi bingung?" bertanya Alap-alap Jalatunda.
"Tidak. Aku tidak bingung. Aku hanya sedikit kurang mengerti.
Kenapa Tuan tidak saja mengambilnya sebagai isteri.
Bukankah dengan demikian hubungan Tuan dengan gadis itu
tidak akan pernah merasa tenteram" Bukankah Tuan telah
mengatakan akan mengorbankan apa saja untuk kepentingan
itu. Aku kira juga kedudukan Tuan dan cita-cita Tuan. Tuan
akan dapat meninggalkan padepokan ini dan hidup di tempat
yang jauh bersama gadis itu selelah Tuan melamarnya
kepada ayahnya." **** Sekali lagi Alap-alap Jalatunda itu tertawa terbahak-bahak.
"Tidak, tidak demikian Wuranta. Tetapi kau jangan
menghiraukan persoalan ini. Kau sudah cukup berjasa bagiku.
Kau telah mengikat hubungan yang tak berhasil aku sambung
sendiri. Aku dapat berhubungan dengan perempuanperempuan
yang cukup dewasa menghadapi keadaan, tetapi
menghadapi gadis-gadis yang masih terlampau hijau aku
menjadi canggung. Dan bahkan aku menjadi bingung."
"Itu adalah pertanda bahwa sebenarnya Tuan merasa bahwa,
tubuh Tuan tidak lagi sesuai untuk gadis-gadis seperti Sekar
Mirah." "Apa?" tiba-tiba wajah Alap-alap Jalatunda menyadi merah.
"Kau maksudkan bahwa aku tidak pantas berhubungan
dengan Sekar Mirah?"
Wuranta terkejut melihat sikap Alap-alap Jalatunda itu.
Agaknya kata-katanya terdorong terlampau tajam, sehingga
Alap-alap itu menjadi marah kepadanya.
Karena itu, maka seterusnya ia mencoba mengendalikan
dirinya dan mencoba mempergunakan pikirannya untuk
menguasai perasaannya. Ketika kemudian dilihatnya Alapalap
Jalatunda benar-benar marah, maka Wuranta menahan
dirinya sekuatnya untuk tidak berkata terlampau lancang.
"Wuranta," geram Alap-alap Jalatunda dengan mata yang
menjadi kemerah-merahan, "ternyata kau benar-benar gila
dan ingin mati di padepokan ini. Kau mencoba mencampuri
persoalanku dengan Sekar Mirah. Kau mencoba
mempengaruhi perasaanku supaya aku menjauhkan diri dari
gadis yang menurut katamu justru telah bersedia
menungguku." Wuranta menarik nafas dalam-dalam. Katanya dengan sangat
hati-hati, "Tuan agaknya salah paham."
Alap-alap Jalatunda mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak
segera menyawab. "Aku berkata bahwa Tuan merasa tubuh Tuan tidak sesuai lagi
untuk gadis-gadis seperti Sekar Mirah. Aku tidak mengatakan
bahwa sebenarnya demikian. Tuan, kata-kataku belum
selesai. Lanjutannya adalah, seharusnya Tuan jangan merasa
demikian. Supaya Tuan tidak menjadi canggung apalagi
bingung." Alap-alap Jalatunda menggigit bibirnya. Tetapi ia menggeram,
"Wuranta, aku tahu bahwa kau mencoba mempermainkan
kata-kata. Tetapi aku tahu benar maksud kata-katamu. Aku
bukan anak-anak yang dapat kau kelabui dengan kalimatkalimat
yang kau susun jungkir balik. Kau memang berkata
seperti yang ingin kau katakan. Aku tidak salah paham. Tetapi
yang tidak jelas bagiku adalah maksud kata-katamu itu.
Apakah kau sebenarnya ingin mempengaruhi aku agar
menjauhkan diri dari Sekar Mirah dan memberi kesempatan
kepadamu, ataukah karena kau sekedar terdorong oleh
perasaanmu sehingga kau mengucapkan kata-kata itu."
Wajah Wuranta segera menadi semburat merah. Alap-alap
Jalatunda sebenarnya memang bukan anak-anak. Ternyata ia
menangkap usahanya untuk memperbaiki kesalahannya.
Tetapi hatinya menjadi lega ketika Alap-alap itu berkata,
"Wuranta, kali ini kau aku maafkan, sebab aku mengira bahwa
kau hanya terlanjur saja menuruti perasaan. Ternyata kau
menyampaikan pesan itu kepada Sekar Mirah. Malam nanti
aku akan datang kepadanya. Kalau kau tidak sebenarnya
menyampaikan pesan itu, maka kau akan aku gantung di
prapatan di muka regol padepokan dengan seribu macam
alasan yang pasti akan diterima oleh setiap orang yang tinggal
di padepokan ini. Apalagi keadaan kini menjadi semakin
tegang karena kedatangan Untara. Ki Tambak Wedi sendiri
akan melihat, apakah benar pasukan Untara itu segelar
sepapan seperti yang kau katakan. Agaknya Ki Tambak Wedi
kurang percaya dan ia mempunyai perhitungan tersendiri.
Justru karena itu aku harus segera mendapatkan Sekar Mirah
sebelum besok atau lusa aku harus bertempur melawan
orang-orang Pajang di Jati Anom. Mungkin Ki Tambak Wadi
tidak akan menunggu mereka kemari, tetapi kitalah yang akan
datang ke sana." Dada Wuranta menjadi berdebar-debar mendengar kata-kata
Alap alap Jalatunda itu. Bukan saja karena Alap-alap
Jalatunda itu tahu tepat perasaannya mengenai Sekar Mirah,
tetapi juga tentang sikap Ki Tambak Wedi. Ternyata Ki
Tambak Wedi benar-benar seorang yang mempunyal
pandangan yang cermat nenghadapi pasukan Pajang. Ia tidak
lekas percaya dan mempunyai daya pengamatan yang jauh.
Dalam pada itu Alap-alap Jalatunda berkata seterusnya, "Nah,
sekarang beristirahatlah. Jangan mencoba mengkhianati aku
dengan segala macam fitnah yang dapat kau sampaikan
kepada Sidanti, supaya kau selamat di padepokan ini. Jangan
kau sangka bahwa Sidanti mempercayaimu sepenuhnya,
apalagi Ki Tambak Wedi. Hari ini Ki Tambak Wedi akan ke Jati
Anom, sedang kau harus tinggal di padepokan ini sampai
besok. Ki Tambak Wedi akan berbuat menurut
pertimbangannya. Baik atas orang-orang Pajang di Jati Anom,
maupun terhadapmu." Dada Wuranta menjadi semakin berdebar-debar. Terasa sikap
Ki Tambak Wedi itu berbahaya baginya. Dalam keadaan yang
demikian maka Wuranta itu pun teringatlah kepada Ki Tanu
Metir. Menghadapi Ki Tambak Wedi, Ki Tanu Metir mendapat
sikap yang seimbang. Karena itu, maka keadaannya akan
banyak tergantung pada permainan antara kedua orang tuatua
itu. "Tetapi hari ini aku harus tetap berada di padepokan ini,"
katanya di dalam hati. Tetapi Wuranta itu terkejut ketika ia mendengar Alap-alap
Jalatunda berkata, "Beristirahatlah. Tidak hanya hari, tetapi
kau dapat beristirahat sampai besok. Sampai Ki Tambak Wedi
menentukan sikap. Aku mengucapkan terima kasih bahwa kau
telah membantuku apabila katamu benar, bahwa kau telah
menyampaikan pesan itu kepada Sekar Mirah."
Wuranta tidak segera menjawab. Ia masih dikuasai oleh
kegelisahan. Dan ia mendengar Alap-alap Jalatunda itu
berkata, "Aku akan pergi. Maaf bahwa aku tidak dapat berbuat
sesuatu untuk mengusir prajurit-prajurit yang kini di tempatkan
di sekitar rumah ini. Itu bukan atas kehendakku. Bukan pula
kehendak Sidanti. Sidanti hanya berceritera tentang kau,
bagaimana kau diketemukan dan bagaimana kau mendapat
kepercayaan daripadanya. Ki Tambak Wedi ternyata
mempunyai sikap tersendiri kepadamu. Kau harus tetap
tinggal di sini sampai jatuh keputusan lain dari orang tua itu."
Wuranta mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia berusaha
untuk menguasai dirinya dengan baik. Perlahan-lahan ia
bergumam, "Baik. Aku akan tetap tinggal di sini menunggu
keputusan itu. Mudah-mudahan Ki Tambak Wedi berhasil
melihat keadaan sesungguhnya di Jati Anom, sehingga
kecurigaan yang ada itu segera hilang."
Wuranta menjadi curiga ketika ia melihat Alap-alap Jalatunda
tersenyum. Senyum itu terlampau aneh baginya. Tetapi ia
tidak berbicara lagi. Dibiarkannya Alap-alap Jalatunda itu
meninggalkannya. Ia merasa bahwa Alap-alap itu pun sudah
tidak memerlukannya lagi. Ketika ia mengantarkannya sampai
ke muka pintu, maka dilihatnya beberapa orang prajurit
berjalan hilir mudik di luar regol halaman.
Wurantapun segera menyadari keadaannya. Orang-orang
yang berjaga-jaga itu pasti mendapat perintah untuk
mengawasinya. Terasa juga bahwa dadanya menjadi
berdebar-debar. "Hem," gumamnya di dalam hati, "pekerjaan ini memang
penuh dengan bermacam-macam bahaya."
Tetapi semisal seseorang yang menyeberangi sungai,
Wuranta telah berada di tengah-tengah. Maju atau mundur, ia
sudah terIanjur menjadi basah. Maka harapannya kemudian
adalah mudah-mudahan Ki Tanu Metir dapat mengimbangi
permainan Ki Tambak Wedi, sehingga nyawanya tidak segera
berada di ujung tali gantungan.
Wuranta masih melihat orang tua yang menghuni rumah itu
bekerja dengan tekun di halamannya tanpa memperhatikan
keadaan di sekelilingnya. Seakan-akan kerja yang dilakukan
itu adalah pusar dari segenap hidupnya, dan orang tua itu
sendiri telah menjadi budak daripadanya "Sayang," desisnya
di dalam hati. "Seandainya orang tua itu mendengar kata-kata
Alap-alap Jalatunda maka Sidanti pun mungkin akan
mendengar laporannya. Ternyata ia masih saja sibuk dengan
kerjanya." Perlahan-lahan Wuranta melangkah ke halaman. Ia merasa
bahwa beberapa pasang mata sedang mengamatinya. Tetapi
Wuranta pura-pura tidak mengetahuinya. Ketika ia mengamati
pagar dinding halaman itu, maka ia melihat bahwa pagar itu
tidak terlampau tinggi. Tetapi sudah barang tentu ia tidak
dapat berusaha melarikan diri dan melampaui dinding
padepokan Tambak Wadi meskipun ia akan dengan mudah
keluar dari halaman itu.
01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apakah Angger sudah cukup beristirahat?" terdengar orang
tua yang sedang bekerja di halamannya itu bertanya.
"Sudah, Kek," sahut Wuranta, "sudah terlampau cukup."
"Apakah Angger akan berjalan-jalan lagi untuk menikmati
siang yang cerah ini?"
"Di halaman ini pun aku dapat menikmatinya."
Orang tua itu berhenti bekerja. Dipandanginya wajah Wuranta
sambil berkata, "Kenapa di halaman ini" Apakah Angger tidak
dapat menikmati pagi di halaman ini pula?"
Wuranta tersenyum. Katanya, "Teruskan kerjamu, Kek. Aku
tidak akan mengganggu dengan bermacam-macam
percakapan yang tidak akan berarti apa-apa buat kau."
Kakek itu pun tersenyum pula. Dan diteruskannya kerja.
Sejenak kemudian ia berhenti pula sambil memandangi
berkeliling. Ia melihat pula kehadiran dan kepergian Alap-alap
Jalatunda. Kemudian beberapa orang laskar di sekitar
halamannya. Perlahan-lahan ia berkata kepada Wuranta yang
berdiri dekat padanya, "Kalau aku tidak bekerja keras, dan
penghasilanku tidak memenuhi ketentuan yang diberikan oleh
pimpinan padepokan, maka aku bukanlah penghuni
padepokan yang baik. Aku akan dapat bermacam-macam
peringatan dan bahkan apabila hal tersebut berjalan beberapa
kali, aku akan dapat menerima hukuman denda atas hasil dari
seluruh halaman, kebun, sawah dan ladangku yang tidak
seberapa luas. Dengan demikian, maka makan kami
sekeluarga akan menjadi sangat kurang."
Wuranta mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sudah
menduga bahwa ada suatu tekanan yang memaksa orangorang
padepokan ini diperbudak oleh kerja.
Tetapi ia tidak akan sempat lagi memikirkannya. Memikirkan
kakek yang tua itu dan persoalan-persoalan lain yang tidak
banyak diketahuinya. Ia kini harus memikirkan dirinya sendiri.
Bagaimanakah keadaan yang akan dihadapi selanjutnya.
"Aku hanya dapat menunggu," katanya di dalam hati, "aku
tidak dapat berbuat sesuatu."
Dengan demikian, maka Wuranta itu pun kembali masuk ke
dalam biliknya dan dengan hati yang kosong merebahkan
dirinya di atas amben pembaringannya.
Kepalanya kini menjadi semakin pening memikirkan dirinya
sendiri dan Sekar Mirah. Bagaimanakah sikap gadis itu nanti
apabila Alap-alap Jalatunda datang kepadanya.
"Aku tidak sempat memberi peringatan kepada gadis itu,"
gumamnya kepada diri sendiri, "mudah-mudahan ia dapat
membawa dirinya." Semakin jauh matahari bergeser di garis edarnya, hati
Wuranta menjadi semakin tidak tenang. Ketika matahari telah
menjadi condong ke Barat, maka dadanya terasa menjadi
pepat. Makan siang yang dihidangkan oleh nenek penghuni
rumah itu tak dapat ditelannya seperti biasanya. Hanya satu
dua suap saja yang dapat dimakannya, sehingga suami isteri
itu menjadi sangat heran.
"Apakah kau sakit, Ngger?" bertanya laki-laki tua yang makan
bersamanya. "Tidak, Kek, " sahut Wuranta.
"Angger makan terlampau sedikit."
"Aku tidak apa-apa, Kek."
Laki-laki tua itu tidak bertanya lagi. Tetapi sebagai orang
Tambak Wedi ia dapat mengerti. Laskar yang hilir-mudik di
luar halamannya itu pasti berhubungan dengan adanya anak
muda Jati Anom itu di rumahnya.
Demikianlah, maka akhirnya matahari pun menjadi semakin
rendah menggantung di langit sebelah Barat. Sejenak
kemudian, maka ujung Gunung Merapi yang menjulang tinggi
itu pun menjadi kemerah-merahan seperti seonggok bara
raksasa yang memanasi langit yang kemerah-merahan pula.
Ketika terdengar suara burung yang ribut berebut sarang,
maka hati Wuranta pun menjadi semakin kisruh. Kisruh
tentang dirinya sendiri dan tentang nasib Sekar Mirah, adik
Swandaru yang selalu dihantui oleh kegelisahan.
Tetapi Wuranta tidak dapat berbuat apapun, ketika perlahanlahan
malam turun menyelimuti lereng Gunung Merapi.
Semakin lama semakin samar dan gelap. Lampu-lampu
minyak pun segera dinyalakan berkeredipan seperti mata
anak-anak yang cemas ketakutan. Apabila angin yang silir
menyentuhnya, maka lampu-lampu itu pun seakan-akan
terpejam untuk sesaat. Hati Wuranta pun menjadi semakin tidak tenang. Ia tidak
dapat mengetahui apakah yang sudah terjadi di luar pagar
batu halaman rumah itu. Ia tidak tahu apakah yang sedang
dilakukan oleh Ki Tambak Wedi kini. Apakah orang tua itu
sedang berada di Jati Anom, apakah ia sedang merencanakan
untuk memancungnya. Tetapi bayangan yang terkuat
mempengaruhinya adalah bayangan Alap-alap Jalatunda yang
sedang merayap-rayap mendekati pondok Sekar Mirah.
Dengan demikian maka hati Wuranta menjadi semakin cemas.
Kalau Alap-alap Jalatunda itu berhasil dan Ki Tambak Wedi
mengetahui peranan yang sedang dilakukan, maka semua
usahanya itu akan sia-sia. Ia tidak berhasil memberikan
bantuan apa-apa kepada Agung Sedayu, Swandaru, dan Ki
Tanu Metir. Apalagi kepada pasukan Pajang. Bahkan mungkin
namanya pun untuk seterusnya tidak akan dapat
diperbaikinya, sebab orang-orang Jati Anom yang melihatnya
berjalan bersama-sama dengan orang-orang lereng Merapi
pasti sudah menyangkanya bahwa ia berpihak kepada Jipang.
Kematiannya akan tidak berarti sama sekali. Ia akan
merupakan korban yang sia-sia. Namun meskipun demikian,
ia masih juga dapat menghibur dirinya, bahwa usaha itu
dilakukan dengan maksud yang baik, dengan tekad yang
dapat dibanggakan. Adalah wajar, bahwa sesuatu usaha itu
dapat berhasil dan dapat juga gagal.
Akhirnya Wuranta itu pun menjadi agak tenang. Ia pasrah diri
kepada Kekuasaan Tertinggi. Kekuasaan yang jauh lebih
tinggi, dan bahkan sama sekali tidak dapat diperbandingkan
dengan kekuasaan Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Alap-alep
Jalatunda. Hanya di dalam tangan-Nya terletak kepastian
tentang dirinya. Meskipun demikian, Wuranta sama sekali tidak dapat
memejamkan matanya. Ia ingin tidur dan melupakan segalagalanya.
Seandainya sesuatu terjadi, tetapi ia tidak dapat
berbuat apapun, maka hatinya pasti akan bertambah pedih.
Karena itu, ia ingin saja tidur. Tidur. Namun meskipun ia ingin
tidur, ia sama sekali tidak menanggalkan pedangnya, dan
slarak kancing pintu biliknya pun dipasangnya.
Wuranta mengangkat kepalanya sesaat ketika ia mendengar
langkah kaki di muka biliknya. Ia berdesah di dalam hati,
ketika kemudian ia mendengar suara batuk-batuk kakek tua
penghuni rumah itu. Tetapi agaknya kakek tua itu berhenti di muka pintu biliknya
dan perlahan-lahan berkata, "Angger, apakah Angger sedang
sakit?" "Oh, tidak Kek," jawab Wuranta sambil barbaring.
"Apakah Angger tidak makan lebih dahulu" Bukankah ini
masih terlampau sore untuk pergi tidur, Ngger?"
"Aku terlampau lelah, Kek. Dua malam aku hampir tidak tidur
sama sekali. Sekarang aku ingin tidur sepuas-puasnya."
"Tetapi makanlah dahulu."
"Terima kasih, Kek."
"Heh," Wuranta mendengar orang tua itu berdesah, lalu
terdengar langkahnya menjauh. Wuranta memang tidak
mempunyai nafsu sama sekali untuk makan. Perutnya sama
sekali tidak terasa lapar meskipun siang tadi ia pun hanya
makan terlalu sedikit. Rumah itu pun kemudian menjadi sunyi. Sekali-sekali
terdengar suara batuk-batuk kakek tua penghuni rumah itu,
tetapi sebentar kemudian sunyi kembali. Wuranta terkejut
ketika ia mendengar suara cicak dekat sekali di atas
kepalanya, sehingga ia mengumpat di dalam hatinya.
Sementara itu, malam pun menjadi semakin malam. Di
kejauhan terdengar suara burung hantu seperti suara jejaka
yang sedang mengeluh meratapi nasibnya yang malang.
Wuranta masih berbaring di pembaringannya. Terasa olehnya
betapa waktu berjalan terlampau lamban. Serasa sudah
hampir semalam suntuk ia berbaring, tetapi kemudian ia
mendengar suara kentong di kejauhan. Dara muluk.
"He," Wuranta terkejut mendengar suara kentongan itu, "baru
tengah malam." Dan anak muda itu merasa tersiksa di
pembaringannya. Tetapi sekali lagi Wuranta mengangkat kepalanya. Kemudian
ia berusaha untuk mengatur nafasnya, supaya orang di luar
biliknya menyangkanya bahwa ia sudah tidur, karena ia
mendengar desah langkah mendekati biliknya. Namun yang
didengarnya itu bukan hanya langkah seseorang.
"Siapakah mereka?" pertanyaan itu berputus di dalam
dadanya. Sejenak kemudian Wuranta mendengar pintu lereg biliknya
diketuk orang perlahan-lahan. Dan Wuranta itu pun kemudian
mendengar suara di luar, "Angger, Angger Wuranta. Apakah
Angger sudah tidur?"
Wuranta mempertajam pendengarannya. Memang tidak hanya
satu orang yang berdiri di luar pintu biliknya. Dan tanpa
disengaja tangannya meraba hulu pedangnya.
"Hem, apa lagi yang akan terjadi" Apakah Ki Tambak Wedi
sudah mendapat kesimpulan tentang diriku?"
"Angger Wuranta," ia mendengar suara itu lagi.
"Kakek tua itu," desis Wuranta di dalam hatinya. Tetapi
Wuranta tidak segera menjawab.
Sakali lagi terdengar ketokan di pintunya dan suara orang tua
itu terdengar lagi, "Angger, bangunlah. Ada sesuatu yang
barangkali penting bagi Angger?"
Wuranta menggeliat di pembaringannya. Perlahan-lahan ia
menyahut dengan nada yang datar, "Apa Kek?"
"Bangunlah, Ngger. Ada yang penting bagi Angger."
"Apakah yang penting itu?"
"Silahkan Angger keluar sebentar, hanya sebentar."
Hati Wuranta berdesir. Perasaannya seakan-akan
memberitahukan kepadanya, bahwa akan terjadi sesuatu yang
berbahaya baginya. Tetapi ia tidak akan dapat menghindar.
Dan terdengar sekali lagi suara kakek tua itu "Keluarlah
sebentar, Ngger." Wuranta itu pun bangkit dari pembaringannya. Dibenahinya
pakaiannya dan dirabanya hulu pedangnya. Sejenak ia berdiri
termangu-mangu. Tetapi kemudian disadarinya, bahwa ia
tidak akan dapat menghindari apapun yang akan terjadi.
Dengan demikian maka tekadnya menjadi bulat. Dan ia
berkata kepada diri sendiri di dalam hatinya, "Aku bukan
cacing yang menyerahkan dirinya untuk diinjak-injak. Aku
harus berbuat sesuatu meskipun akibatnya sama. Tetapi lebih
baik mati dengan pedang di tangan daripada mati di tiang
gantungan." Dengan demikian maka Wuranta itu tidak menjadi
ragu-ragu lagi. Perlahan-lahan dan hati-hati ia mendekati pintu
biliknya. Perlahan-lahan dan hati-hati pula ia membukanya.
Ketika pintu itu terbuka, alangkah terkejutnya anak muda itu.
Ia melihat kakek tua penghuni rumah itu berdiri tegap di muka
pintunya dengan sehelai pedang di lambungnya.
Wuranta tegak sebagai patung melihat orang tua itu
tersenyum. Sejenak mulutnya seakan-akan terbungkam,
namun dadanya bergelora demikian kerasnya.
"Selamat malam, Ngger," orang tua penghuni rumah itu
menyapanya. Senyum yang masih saja membayang di
wajahnya, terasa oleh Wuranta sebagai suatu ejekan yang
menusuk perasaannya. "Apakah Angger heran melihat aku" Bukankah aku sudah
Angger kenal sejak tiga hari yang lalu?"
"Oh," Wuranta mengumpat di dalam hati, "setan tua itu sempat
juga membuat hatiku menjadi samakin parah."
"Adakah yang aneh padaku, Ngger?"
Dengan nada yang datar Wuranta menjawab, "Tidak ada, Kek.
Tidak ada yang aneh."
"Tetapi tatapan mata Angger Wuranta terasa agak lain dari
biasanya. Apakah dengan bekerja sehari ini aku sudah
bertambah tua lagi?"
Dada Wuranta berdesir. Tetapi ia menjawab, "Tidak Kek.
Kakek tampaknya bertambah muda. Agaknya kakek
menyadari kebenaran kata-kataku. Dan agaknya kakek telah
mencoba menikmati keindahan malam. Nah, apakah Kakek
ingin mengajakku melihat bintang yang bergayutan di langit"
Bukankah dengan demikian Kakek dapat melupakan sejenak
kesulitan dan penderitaan Kakek selama Kakek diperbudak
oleh kerja yang membosankan itu?"
Orang tua itu mengerutkan keningnya, tetapi ia kemudian
tersenyum. Ketika ia berpaling, dilihatnya laki-laki yang datang
bersamanya memandanginya dengan penuh pertanyaan.
"Kau belum mengenalnya," berkata kakek itu kepada
kawannya. "Sudah, Paman" jawab laki-laki yang masih agak muda itu.
"Kau baru mengenal orangnya. Bentuknya dan wajahnya.
Tetapi kau belum mengenal tabiat dan sifat-sifatnya. Anak
muda ini adalah anak muda yang mempunyai perasaan
lembut seperti helai-helai benang kepompong sutra."
"Ah," Wuranta berdesah. Tiba-tiba ia melihat sinar yang aneh
memancar dari sepasang mata orang tua itu, selain
senyumnya yang menyentuh perasaan. Wuranta merasakan
bahwa orang tua itu sengaja menyindirnya dan membuatnya
sakit hati. Apalagi ketika ia melihat laki-laki, kawan orang tua
itu tertawa pendek. "Sekarang, apakah maksud Kakek, dan siapakah Kakek ini
sebenarnya?" Orang tua itu mengerutkan keningnya. Jawabnya,
"Petanyaanmu aneh anak muda. Bukankah Angger telah
mengenal aku selama beberapa hari?"
"Aku mengenal Kakek kemarin berbeda dengan aku melihat
Kakek saat ini. Aku telah mengenal Kakek dengan cangkul di
tangan, tetapi Kakek sekarang membawa pedang di lambung."
"Oh, itukah yang Angger tanyakan" Aku yang kemarin adalah
aku yang sekarang. Setiap laki-laki di padepokan berhak
mengenakan pedang di lambungnya dan berkewajiban
mempertahankan padepokan ini dengan seluruh kemampuan
yang ada. Kini keadaan meningkat dengan cepatnya. Pasukan
Untara telah berada di Jati Anom. Itulah sebabnya aku
mengenakan pedangku."
01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wuranta mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya
kemudian, "Nah, sekarang katakan maksudmu. Katakanlah
kepentingan yang kau sebut-sebut itu?"
Dada Wuranta menjadi bertambah pepat ketika ia masih saja
melihat kakek tua itu tersenyum.
"Katakanlah" desak Wuranta tanpa sesadarnya.
"Sabarlah, Ngger," sahut orang tua itu, "aku akan
mengatakannya perlahan-lahan, supaya aku tidak salah ucap.
Dengarlah baik-baik. Angger Wuranta, aku mendapat perintah
dari Angger Sidanti untuk membawa Angger menghadap."
"Tengah malam begini?"
"He," orang tua itu menjadi heran mendengar jawaban
Wuranta, "apa bedanya tengah malam dan tengah hari"
Bukankah bagi seorang prajurit, apalagi dalam keadaan yang
penting semacam ini, tidak ada perbedaan waktu" Sekarang
Angger harus menghadap. Besok pagi Angger Sidanti sudah
akan mulai dengan sebuah gerakan yang menentukan. Kau
tahu, bahwa apa yang kau katakan kepada Angger Sidanti
ternyata tidak benar" Mungkin kau tidak sengaja berbohong,
tetapi kalau kesalahan tidak dibetulkan, maka akibatnya akan
jauh sekali. Ternyata menurut Ki Tambak Wedi yang baru saja
datang dari Jati Anom, Untara sama sekali tidak datang
dengan pasukan segelar sepapan. Memang ia membuat gelar
sandi dengan menggerakkan orang-orangnya yang
dibawanya. Peronda yang hilir-mudik dan penghubungpenghubung
berkuda. Tetapi Ki Tambak Wedi tak dapat
dikelabuhi. Itulah sebabnya Ki Tambak Wedi memutuskan,
sebentar lagi kita berangkat ke Jati Anom. Begitu matahari
memanjat langit, begitu kita hancurkan pasukan Pajang. Nah,
kau dengar. Itulah sebabnya semua persoalan harus
diselesaikan sekarang. Termasuk persoalanmu."
"Apakah ada persoalan dengan aku?" bertanya Wuranta.
Orang tua itu tertawa. Ketika ia berpaling, maka laki-laki yang
berdiri di sampingnya itu pun tertawa pula.
"Aku tidak tahu pasti, Ngger. Apakah persoalanmu itu. Tetapi
yang aku tangkap, ternyata Ki Tambak Wedi mencurigaimu.
Apalagi ketika Ki Tambak Wedi itu mendengar percakapan di
dalam rumahmu. Percakapan yang mencurigakan. Bukankah
di dalam rumahmu itu bersembunyi anak-anak muda yang
bernama Swandaru dan Agung Sedayu" Apakah dengan
Bagus Sajiwo 10 Wiro Sableng 046 Serikat Setan Merah City Of Crystal 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama