Ceritasilat Novel Online

Api Di Bukit Menoreh 37

01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja Bagian 37


dan Untara. Aku akan berusaha menyelesaikan kedua orang
tua itu." Wuranta itu kemudian telah membulatkan hatinya. Ia berhasil
melepaskan tekanan perasaan tentang diri sendiri. Ia tidak
dapat mengelakkan perasaannya tentang kedua suami isteri
tua yang kini sedang disentuh oleh ketakutan dan kecemasan,
apalagi atas tekanan jari-jari maut.
Dengan mengatupkan giginya rapat-rapat, Wuranta meloncati
dinding halaman belakang banjar padepokan Tambak Wedi.
Kemudian dengan tergesa-gesa ia melangkah menuju ke
banjar. Ketika seseorang prajurit menegurnya, Wuranta sama
sekali tidak mau berhenti.
"He tunggu," berkata prajurit itu.
Wuranta mempercepat langkahnya. Sinar pelita dari pendapa
banjar telah dilihatnya. "Berhenti!" tegur prajurit itu.
Wuranta berjalan terus. Beberapa langkah lagi ia akan sampai
ke sisi banjar. Tetapi tiba-tiba langkahnya terhenti ketika
prajurit yang lain tiba-tiba saja seolah-olah jatuh dari langit,
telah berdiri di hadapannya. Dengan pedang telanjang prajurit
itu berkata, "Kau tidak menurut perintah prajurit yang sedang
berjaga-jaga di halaman belakang. Siapakah kau?"
Sebelum Wuranta menjawab, ia sempat melihat prajurit yang
menegumya telah berdiri di sampingnya. Dengan muka merah
prajurit itu membentak, "Apakah aku perlu menghentikanmu
dengan kekerasan he?"
"Kalau itu yang kau anggap baik, maka lakukanlah," sahut
Wuranta. Terdengar gigi prajurit itu beradu. "Siapa kau?" bentaknya.
Hati Wuranta yang sedang kalut itu menjadi terbakar kembali
oleh perasaannya yang sudah hampir padam. Perasaan
kecewa, marah, rendah diri dan bermacam-macam lagi, yang
tersalur dalam ujud yang lain. Justru karena itu maka ia
menjawab sambil menengadahkan wajahnya, "Bertanyalah
kepada Untara, siapakah aku."
Sejenak kedua prajurit yang menghentikannya itu saling
berpandangan. Jawaban itu ternyata telah mempengaruhi
perasaan mereka. Namun demikian mereka sedang berada di
dalam kewajiban, sehingga salah seorang dari mereka
berkata, "Aku bertanya kepadamu. Tidak kepada Ki Untara.
Siapakah kau?" Dada Wuranta menjadi pepat. Serasa dada itu akan meledak.
Niroun Ya tidak dapat berbuat lain dari meniebut namanya
"Aku Wuranta, anak Jati Anom, Nah, kau dengar?"
Prajurit-prajurit Pajang itu mengerutkan kening mereka.
Sejenak mereka saling berpandangan. Ternyata meskipun
mereka termasuk di antara prajurit-prajurit Pajang yang belum
pernah melihat Wuranta, namun mereka telah mendengar
nama itu. Nama yang saat itu sering disebut-sebut oleh prajurit
Pajang. Mereka mengenal Wuranta sebagai seorang anak Jati
Anom yang dengan suka-rela membantu mereka, mengetahui
keadaan padepokan Tambak Wedi.
Meskipun demikian sikap anak muda itu sama sekali tidak
menyenangkan kedua prajurit itu. Bagaimanapun juga
pentingnya kedudukan seseorang, namun mereka harus
menyatakan diri sejelas-jelasnya kepada setiap petugas.
Sehingga sikap Wturanta itu telah menimbulkan kebimbangan
para prajurit itu. "Nah, apakah kalian telah mendengar namaku?" tiba-tiba
Wuranta berkata, "Sekarang aku akan bertemu Untara."
"Ah," salah seorang prajurit itu hampir-hampir tidak dapat
mengendalikan dirinya, dan yang seorang menyambung, "Ki
Sanak, siapa pun juga kau, bahkan Ki Untara sendiri, harus
berhenti apabila seorang petugas menghentikannya di tempat
semacam ini. Bahkan seandainya yang lewat ini Panglima
Wira Tamtama sekalipun. Aku yakin bahwa mereka mengerti
apa yang sedang kami lakukan dan apa yang harus mereka
lakukan. Tetapi jangan menganggap kami tidak berarti. Kami
tahu, bahwa kami tidak sepantasnya menyejajarkan diri
dengan kau, Ki Sanak. Kami telah mendengar nama Wuranta
dari Jati Anom, meskipun baru sekarang kami melihat wajah
Ki Sanak. Namun sikap Ki Sanak dapat menumbuhkan
kekecewaan di hati kami."
"Terserahlah kepada kalian. Pandangan kalian terhadap aku
sama sekali tidak merubah sikapku, sifatku dan watakku.
Inilah Wuranta. Baik atau jelek, inilah keadaannya."
Kedua prajurit itu sekali lagi saling berpandangan. Seandainya
yang berdiri di depan mereka itu bukan Wuranta, anak Jati
Anom yang mereka anggap telah membantu mereka
menyelesaikan pekerjaan yang berat ini, maka sikap mereka
akan lain. Mereka menyesal bahwa mereka telah lebih dahulu
mendengar tentang Wuranta. Seandainya belum, maka
tindakan yang mereka lakukan atas anak yang mereka
anggap sombong itu tidak akan dapat disalahkan oleh siapa
pun. Bahkan kedua pradiurit itu mengharap, mudah-mudahan
Wuranta bertemu dengan orang-orang yang belum
mengenalinya dan belum mendengar namanya.
Kedua prajurit itu sama sekali tidak menegurnya lagi. Bahkan
ketika Wuranta berkata kepada mereka, "Aku akan berjalan
terus. Tak ada kepentinganku dengan kalian," kedua pradiurit
itu bersikap acuh tak acuh sadia. Mereka memalingkan wajahwajah
mereka dan berjalan menjauhinya tanpa menjawab
sepatah kata pun. Melihat sikap keduanya justru Wuranta-lah yang tertegun
sejenak. Tetapi ketika teringat olehnya laki-laki tua dan
isterinya yang menunggunya, maka kemarahannya
ditahankannya. Namun di dalam hati ia berkata, "Oh, kedua
pradiurit itu belum mengenal Wuranta. Tanpa Wuranta mereka
tidak berarti apa-apa lagi."
Kemudian dengan tergesa-gesa Wuranta meninggalkan kedua
pradiurit itu dengan wajah bersungut-sungut. "Aku tidak
memerlukan kalian. Aku memerlukan Ki Tanu Metir."
Tetapi ketika hatinya berdesis tentang orang tua itu, tentang
dukun yang baik itu, maka kesadarannya kembali merayapi
dadanya. Kesadaran tentang diri sendiri dan kesadaran
tentang keadaan seluruhnya di dalam padepokan ini."
"Oh," desahnya. Tanpa dikehendakinya ia berpaling ke arah
kedua prajurit itu. Di dalam dadanya menjalarlah perasaan
sesal dan bahkan malu atas sikapnya sendiri. Namun kedua
prajurit itu sudah tidak dilihatnya. Mereka telah hilang di dalam
gelap. Wuranta menarik nafas dalam-dalam. Terasa kepedihan yang
sangat menyentuh dadanya.
Ketika ia menjadi semakin dekat dengan pendapa banjar
padepokan maka hatinya menjadi kian berdebar-debar. Kini ia
merasakan sekali lagi pertentangan di dalam dirinya. Apakah
ia akan berjalan terus, atau mengurungkan niatnya. Betapa ia
mencoba mempergunakan nalarnya, tetapi ia berniat untuk
sama sekali tidak ingin bertemu dengan Agung Sedayu dan
Sekar Mirah. "O," Wuranta mengeluh "alangkah kacaunya perasaanku. Aku
akan dapat menjadi gila karenanya."
Meskipun demikian ia melangkah maju. Kalau-kalau ia melihat
seseorang. Kalau-kalau ia melihat Ki Tanu Metir.
Di muka pendapa banjar itu beberapa orang prajurit dan
perwira Pajang masih sibuk dengan tugas masing-masing.
Beberapa orang berjalan hilir-mudik. Yang lain berdiri
berbicara di antara mereka.
Sedang di muka regol Wuranta melihat prajurit-prajurit yang
sedang berjaga-jaga. Kalau mereka melihatanya, maka
mereka pasti akan menanyakan kepadanya tentang dirinya
seperti prajurit yang lain. "Aku harus bersikap baik," desisnya.
"Prajurit-prajurit itu tidak tahu-menahu tentang aku dan
kesulitanku." Beberapa saat Wuranta masih berdiri di kegelapan. Ketika ia
melihat orang yang sibuk memisahkan orang-orang yang
terluka berat dan yang agak ringan digandok sebelah pendapa
itu, maka dilihatnya orang tua yang dicarinya. Ternyata Ki
Tanu Metir sebagai seorang dukun tidak dapat duduk diam di
dalam pringgitan. Sebagai seorang dukun ia terdorong oleh
panggilan hatinya untuk ikut serta meringankan penderitaan
orang-orang yang terluka.
Demikian melihat Ki Tanu Metir, maka hati Wuranta sudah
tidak tertahankan lagi. Dengan serta-merta ia berjalan
mendekatinya. Beberapa orang prajurit dan perwira yang
melihatnya sejenak tertegun diam. Namun kemudian seorang
daripadanya bergerak untuk menyusulnya. Tetapi seorang
perwira berkata, "Biarkan. Itu adalah Wuranta, anak Jati
Anom." *** Prajurit itu berhenti, dan dibiarkannya Wuranta mendekati Ki
Tanu Metir yang sedang sibuk.
Ki Tanu Metir berpaling ketika ia merasa pundaknya digamit
oleh seseorang. Ternyata yang berdiri di belakangnya adalah
Wuranta, sehingga dengan serta-merta orang tua itu berkata,
"He, kaukah itu, Ngger" Aku senang sekali melihat kau
merubah pendirianmu. Ternyata kau mau datang ke banjar ini.
Marilah, Swandaru dan Agung Sedayu berada di dalam
banjar." "Maaf, Kiai," sahut Wuranta, "aku tidak akan menemui siapa
pun di sini kecuali Kiai."
"Aku?" "Ya." Ki Tanu Metir mengerutkan keningnya. Wajahnya
memancarkan pertanyaan yang bergelut di dalam hatinya.
"Aku memerlukan Kiai."
"O, barangkali Angger ingin mendapatkan obat bagi luka
Angger itu" Apakah luka itu berdarah lagi?"
"Lukaku sudah sembuh, Kiai. Aku sudah tidak merasakan
sakit sama sekali. Tetapi aku memerlukan Kiai untuk seorang
kakek yang terluka."
"Siapakah orang itu?"
"Seorang laki-laki tua dari Tambak Wedi ini."
"Kenapa?" "Orang itu terluka di lambungnya, Kiai. Lukanya cukup berat.
Aku ingin minta Kiai mengobatinya."
Ki Tanu Metir menarik nafas dalam-dalam. Sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, "Aku juga
sedang mengobati luka-luka, Ngger. Orang Pajang, orang
Jipang, dan orang Tambak Wedi."
"Luka itu terlampau berat Kiai. Luka itu sangat membabayakan
jiwanya. Jiwa orang tua itu."
"Ya," Ki Tanu Metir berdesah "di sini pun orang-orang yang
terluka itu segera memerlukan pertolongan. Jiwa mereka juga
terancam. Karena itu, Ngger, mari silahkan duduk di dalam.
Angger Untara aku kira sudah berada di dalam pula bersama
Swandaru dan Agung Sedayu. Nanti sesudah aku menolong
orang-orang di sini bersama beberapa orang yang bertugas,
aku akan pergi bersama Angger."
"Tidak, Kiai. Aku harap Kiai pergi sekarang. Di sini telah
banyak orang yang merawat orang-orang yang terluka.
Apabila Kiai telah meninggalkan obat bagi mereka, maka Kiai
akan dapat meninggalkan mereka."
"Aku belum memberikan obat apa-apa, Ngger. Aku masih
belum sempat membuat. Yang ada adalah obat persediaan
dari pasukan Pajang sendiri. Yang dibuat oleh para dukun di
Pajang itulah yang kami pergunakan sekarang. Di tempatTiraikasih
website - http://kangzusi.com/
tempat lain, obat-obat semacam ini pula yang dipergunakan,
sehingga laki-laki tua yang Angger maksud itu pasti akan
mendapat perawatan yang serupa oleh petugas-petugas di
tempat itu, meskipun ia seorang dari Tambak Wedi."
"Tidak, Kiai. Ia sama sekali belum mendapat perawatan.
Lukanya parah. Mungkin orang itu kehabisan darah. Aku telah
mencoba mengobati lukanya dengan sisa obat yang Kiai
berikan kepadaku. Tetapi obat itu tinggal sedikit, sehingga
tidak begitu bermanfaat lagi bagi lukanya."
"Maaf, Ngger, nanti aku akan datang. Di sini orang-orang yang
terluka parah, dan segera harus mendapat pertolongan
terlampau, banyak. Aku akan menolong mereka, dan
kemudian aku akan pergi kepada laki-laki tua yang Angger
maksud." "Kiai," Wuranta mulai menjadi cemas, "kalau Kiai tidak segera
datang, laki-laki tua itu pasti akan mati. Laki-laki itu adalah
laki-laki yang lelah menolongku. Sebenarnya aku sama sekali
tidak ingin menginjakkan kakiku di banjar ini, bertemu dengan
para prajurit yang selalu marah-marah dan merendahkan aku.
Aku tidak ingin bercermin atas kekerdilanku. Tetapi aku
terpaksa, Kiai, karena aku memikirkan orang itu. Aku
korbankan perasaan tentang diriku sendiri, karena aku tidak
sampai hati melihat orang tua itu menderita. Kiai, apabila lakilaki
itu tidak memberi kesempatan aku lari dari tahanan
Sidanti, maka akhir dari peperangan ini pun akan berbeda,
sebab aku tidak akan sempat memberitahukan kepada Kiai
apa yang telah terjadi. Dan aku tidak akan dapat memenuhi
perintah Kiai untuk pergi ke Jati Anom. Mungkin aku pernah
menceriterakannya kepada Kiai, bahwa seorang kakek yang
pernah memberikan tempat kepadaku tinggal di padepokan
ini, dan kemudian mendapat perintah untuk menangkap aku,
tetapi kemudian memberi jalan kepadaku untuk melarikan diri."
"Ya, ya Ngger, kau pernah mengatakannya."
"Nah laki-laki tua itulah yang kini terluka. Bahkan keadaannya
telah menjadi terlampau gawat. Aku mencegah ketika
beberapa orang akan mengambilnya dan mengumpulkannya
dengan orang-orang yang lain, sebab aku berpengharapan
bahwa aku akan dapat berusaha untuk setidak-tidaknya
membalas budi, memanggil Kiai kepadanya. Sebab aku
sendiri memang terlampau dungu untuk berbuat sesuatu."
Ki Tanu Metir menarik nafas. Alisnya yang telah satu-dua
ditumbuhi rambut-rambut yang berwarna putih tampak
bergerak-gerak. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia
kemudian berkata, "Apakah Angger ingin aku datang
kepadanya sekarang?"
"Ya." Ki Tanu Melir terdiam sesaat. Ia dapat membayangkan
perasaan Wuranta. Anak muda itu sama sekali sudah tidak
ingin datang ke banjar ini karena perasaannya yang tidak
menemukan keseimbangan. Sikapnya sebagai seorang anak
muda yang masih terlampau banyak dipengaruhi oleh darah


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mudanya. Tetapi perasaan itu telah dikorbankan karena
seorang laki-laki tua yang terluka.
Namun orang tua yang terluka itu ternyata telah menolong jiwa
Wuranta, dan memungkinkan Wuranta melakukan tugas-tugas
terakhirnya menjelang benturan antara orang-orang Jipang
dan orang-orang Tambak Wedi.
Karena itu, maka Ki Tanu Metir itu kemudian menjawab,
"Baiklah, Ngger, aku pergi bersamamu. Tetapi apakah angger,
tidak ingin singgah sebentar di banjar ini untuk bertemu
dengan Angger Untara, Swandaru, dan Agung Sedayu"
Mungkin ada sesuatu yang ingin mereka katakan kepadamu?"
Tetapi Wuranta itu menggeleng sambil berkata, "Tidak, Kiai.
Orang yang luka itu segera memerlukan pertolongan."
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian
diselesaikannya pekerjaannya atas seorang yang terluka,
yang sudah terlanjur dimulainya. Kemudian kepada salah
seorang prajurit Pajang yang bertugas menolong para korban
itu Ki Tanu Metir berkata, "Angger, aku akan pergi sebentar.
Ada orang terluka yang sangat memerlukan aku."
Orang itu mengerutkan keningnya. Di sekitarnya terbaring
banyak sekali orang-orang yang terluka. Tetapi seseorang
yang terluka telah menunggu orang tua itu.
Agaknya Ki Tanu Metir dapat meraba apa yang tersirat di
dalam hati prajurit itu. Maka ia menjelaskannya, "Angger,
agaknya orang-orang yang terbaring di sini akan segera
mendapat perawatan dari para prajurit yang bertugas untuk
itu, sedang orang yang dikatakan oleh Angger Wuranta ini
adalah seorang yang terbaring di halaman, yang tidak akan
segera ditolong oleh para petugas. Maka aku akan mencoba
menolongnya apabila mungkin."
"Kenapa orang itu tidak dibawa kemari, atau dikumpulkan di
tempat terdekat" Dengan demikian maka ia pun akan
mendapat pertolongan serupa dengan yang lain."
Sebelum Ki Tanu Metir menjawab, maka Wuranta telah
mendahului, "Apa pedulimu" Orang yang terluka itu sama
sekali bukan urusanmu. Sedang pekerjaan ini adalah
pekerjaanmu, bukan pekerjaan Ki Tanu Metir."
Prajurit itu mengerutkan keningnya. Tiba-tiba wajahnya
menjadi merah. Dengan dada yang bergelora ia berkata,
"Siapa kau?" Sebelum Wuranta menjawab, Ki Tanu Metir telah mendahului,
"Angger Wuranta. Namanya Angger Wuranta. Bukankah
begitu?" Ketika Wuranta memandangi wajah Ki Tanu Metir yang dalam
namun penuh dengan ketenangan yang serasa menghunjam
jantungnya, tiba-tiba Wuranta menundukkan kepalanya.
Perlahan-lahan ia berkata, "Maaf, maaf."
Prajurit itu mendengar suara Wuranta yang lambat itu.
Tumbuhlah keheranan di dadanya. Apakah gerangan yang
telah terjadi atas anak muda yang bernama Wuranta itu"
Tetapi prajurit yang sehari-hari memang bertugas mengurusi
orang-orang yang terluka itu mencoba untuk memahami sikap,
sifat, dan keadaan orang-orang di dalam peperangan. Mereka
kadang-kadang menjadi seorang yang aneh. Pemarah, kasar,
dan kadang-kadang tidak dapat dipahami.
"Nah," berkata Ki Tanu Metir kemudian, "maaf, Ngger. Aku
akan pergi bersama Angger Wuranta sejenak. Aku akan
segera kembali dan membantu Angger menolong orang-orang
yang terluka. Apabila aku tidak segera datang, maka aku telah
melakukannya pula di tempat yang lain. Bagiku sama saja, di
sini, di rumah sebelah, di halaman dan di mana saja aku
menjumpai orang-orang yang terluka."
"Baiklah, Kiai," sahut prajurit itu. Tetapi sekali lagi ia mencoba
memandangi wajah Wuranta yang tunduk. Wajah itu
membawa seribu macam kesan yang campur-baur. Dan
prajurit yang bertugas menolong orang-orang yang terluka itu
tidak dapat menebak, apakah yang sedang bergulat di dalam
dada Wuranta sebenarnya. Sesaat kemudian Ki Tanu Metir itu pun telah mengikuti
Wuranta turun ke halaman. Para prajurit dan perwira yang
masih berada di halaman dan yang berjalan hilir mudik di
pendapa, melihat mereka berdua berjalan melintasi halaman
banjar. "Mereka sama sekali tidak singgah untuk menemui
Untara atau Swandaru atau Agung Sedayu. Bahkan mereka
berjalan tergesa-gesa seperti takut kemalaman."
Wuranta membawa Ki Tanu Metir berjalan lewat jalan yang
dilalumya. Melintasi kebun dan halaman-halaman di belakang.
Sekali mereka berpapasan dengan prajurit yang
menghentikan Wuranta ketika ia pergi kebanjar. Prajurit itu
segera memalingkan wajahnya dan berjalan menjauh.
Tampaklah dalam sikapnya, betapa ia merasa tersinggung
atas kata-kata Wuranta. Semakin dekat dengan tempat kakek yang terbaring luka,
Wuranta menjadi semakin berdebar-debar. Senja kini telah
menjadi semakin malam. Di sana-sini tampak sinar obor yang
dipasang oleh para prajurit Pajang. Tidak saja di rumah-rumah
yang dipergunakan, tetapi juga di halaman-halaman.
Di dalam keremangan cahaya obor, Wuranta tidak dapat
segera melihat, apakah laki-laki tua yang ditinggalkannya
masih terbaring di tempatnya.
Ketika ditemui prajurit yang berjalan hilir-mudik mengawal
halaman itu, terbata-bata Wuranta bertanya, "Apakah kakek
masih di tempatnya?"
"Masih. Tetapi tidak seorang pun yang merawatnya, sebab ia
tidak berada di tempat yang telah disediakan. Aku mencegah
para petugas yang akan mengambil mereka seperti yang kau
pesankan." "Terima kasih," desis Wuranta sambil meloncat ke emper
tempat laki-laki tua itu terbaring. Ketika ia berdiri beberapa
langkah lagi, maka ia masih melihat bayangan kehitamhitaman
di dalam cahaya yang terlampau lemah dari obor di
kejauhan. "Kakek," Wuranta tidak sabar sampai ia berdiri di dekat orang
yang terbaring itu. "Kakek," Wuranta mengulang, tetapi tidak ada jawaban.
Akhirnya Wuranta berdua bersama Ki Tanu Metir telah berdiri
di samping kedua tubuh itu. Wuranta masih melihat nenek itu
memeluk suaminya dan meletakkan kepalanya di dada lakilaki
yang terbaring itu. "Kakek," panggil Wuranta perlahan-lahan. Tak ada jawaban.
"Nenek," panggilnya pula. Tidak juga ada jawaban. Hati
Wuranta menjadi berdebar-debar. Sejenak ia berpaling
kepada Ki Tanu Metir yang berdiri di sampingnya.
"Inilah, Kiai, suami isteri yang aku katakan. Kakek terluka di
lambungnya." Perlahan-lahan Ki Tanu Metir berjongkok di samping kedua
orang itu. Orang yang telah cukup berpengalaman itu sama
sekali tidak menyentuhnya. Perlahan-lahan ia menggelengkan
kepalanya sambil berdesis dalam sekali, "Kita telah terlambat,
Ngger." Kata-kata Ki Tanu Metir itu terdengar seperti ledakan petir
yang menyambar tengkuk Wuranta. Sejenak ia berdiri
mematung, sedang mulutnya terkatup rapat-rapat. Tanpa
berkedip ia memandang Ki Tanu Metir dengan sorot mata
yang aneh. Ki Tanu Metir menarik nafas dalam-dalam. "Keduanya telah
meninggal, Ngger." "Kiai," hanya itu yang terlontar dari mulut Wuranta.
"Ya," Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sejenak Wuranta masih mematung. Namun tiba-tiba ia
berjongkok di samping mayat kedua suami isteri itu. Seperti
orang yang kehilangan akal Wuranta. Menggoncanggoncangnya
dan memanggil-manggilnya, "Kakek, Kakek."
Tetapi kakek tua itu sama sekali tidak menjawab. Bahkan
bergerak pun tidak. Wuranta masih juga tidak percaya pada penglihatannya. Kini
ia menggoncang nenek tua yang seolah-olah sedang
menangisi suaminya dengan meletakkan kepalanya di dada
laki-laki itu. "Nenek, Nenek," panggil Wuranta. Nenek tua itu pun tidak
menjawab. Terasa dada Wurantu seakan-akan menjadi pecah karenanya.
Nafasnya terengah-engah dan urat-urat di keningnya
menegang. "Kiai, apakah mereka berdua telah benar-benar meninggal?"
"Ya, Ngger, keduanya telah meninggal."
"Oh, apakah Kiai tidak dapat berbuat apa-apa. Kenapa Kiai
hanya diam saja?" "Apakah yang harus aku lakukan" Terhadap mereka aku tidak
kuasa berbuat apa-apa."
"Tidak, Kiai. Mereka belum meninggal. Aku meninggalkan
mereka di sini belum begitu lama. Mereka berdua masih hidup
dan mereka masih bercakap-cakap."
"Mungkin, Ngger, tetapi sekarang mereka telah meninggal."
"Berbuatlah sesuatu, Kiai, berbuatlah sesuatu."
Ki Tanu Metir menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada yang
berat ia menjawab, "Sayang, tidak ada seorang manusia pun
yang mampu berbuat sesuatu atas mereka."
"Oh, bohong, bohong. Kiai tidak mau menolongnya karena ia
bukan prajurit Pajang, bukan orang Sangkal Putung dan
bukan pula pembantu Untara. Orang itu adalah orang Tambak
Wedi." "Anakmas Wuranta," desis Ki Tanu Metir "aku tidak pernah
membedakan orang mana pun juga dan dalam keadaan apa
pun juga. Apabila orang itu terluka, apalagi dalam keadaan
parah, maka aku wajib menolongnya. Tetapi aku, dan siapa
pun juga, tidak akan dapat berbuat sesuatu atas orang ini.
Mereka telah meninggal dunia."
"Oh," kata-kata Wuranta terputus. Dan tanpa disangka-sangka
oleh Ki Tanu Metir maka Wuranta itu pun terisak. Anak muda
itu menangis. Ia merasa kehilangan seorang yang telah
menolongnya. Seorang yang baik, yang paling baik yang
pernah dikenalnya. Yang tidak merendahkannya, baik dengan
kata-kata mau pun dengan perbuatan. Wuranta yang merasa
dirinya tidak berharga di mata orang-orang Pajang setelah
pertempuran berakhir, sama sekali merasa tidak merapunyai
seorang kawan pun di padepokan Tambak Wedi. Kakek tua itu
pasti akan menjadi orang yang baik untuk mengawaninya.
Terhadap kakek tua dari Tambak Wedi yang telah dikalahkan
itu, Wuranta sama sekali tidak merasa dirinya terlampau
rendah. Tetapi kakek tua itu kini telah mati.
Ki Tanu Metir kini berdiri termangu-mangu melihat sikap
Wuranta. Ia menangisi laki-laki tua dari Tambak Wedi itu. Ki
Tanu Metir pun merasa iba dan terharu melihat suami isteri
yang meninggal bersama-sama. Ia dapat menduga, bahwa
isterinya menjadi sangat terkejut melihat suaminya meninggal,
kemudian karena kejutan perasaan itu, kejutan yang tidak
tertahankan oleh jantungnya yang lemah, maka ia pun
meninggal juga. Tetapi bahwa Wuranta sampai menangis, ternyata benarbenar
telah menyentuh perasaannya.
"Mungkin Angger Wuranta merasa berhutang budi
kepadanya," berkata Ki Tanu Metir di dalam hatinya. "Laki-laki
tua itu adalah orang yang telah menolongnya,
membebaskannya dari tangan Sidanti. Mungkin, ya mungkin.
Anak mas Wuranta belum sempat membalas budi itu, dan lakilaki
itu telah meninggal bersama isterinya."
Ki Tanu Metir itu terperanjat ketika ia melihat tiba-tiba Wuranta
berdiri. Dengan gigi gemeretak ia menggeram, "Kiai, lihat.
Inilah salah satu wajah dari tindakan prajurit Pajang atas
Tambak Wedi. Suami isteri yang telah lanjut, mati bersamasama.
Alangkah mengerikan."
Ki Tanu Metir tidak segera menjawab. Hanya keningnya
sajalah yang berkerut. "Apakah Kiai tidak terharu melihatnya" Mungkin Kiai telah
terlalu sering melihat kematian. Justru Kiai adalah seorang
dukun. Seperti seorang pande besi menghadapi sepotong besi
merah saja agaknya. Kiai menghadapi orang-orang sakit.
Kalau Kiai berhasil demikianlah yang Kiai kehendaki, seperti
pande sedang membuat pedang. Kalau pedang itu gagal,
maka Kiai tidak begitu menyesal karenanya. Bagi Kiai
kegagalan itu adalah suatu keadaan yang wajar dan
terlampau biasa. Tetapi sepotong besi akan dapat dibakar
untuk kedua kalinya, meskipun untuk alat-alat yang lain.
Sedang kematian adalah jauh berbeda daripadanya. Kiai
harus menyesal sekali, Kiai harus terharu dan berduka cita.
Apakah hati Kiai telah membeku karena terlampau sering
melihat kematian" Dan kegagalan yang demikian adalah
suatu peristiwa yang wajar tanpa suatu kesan apa pun di hati
Kiai?" Ki Tanu Metir tidak segera menjawab. Dibiarkannya saja
anggapan anak muda itu atas dirinya. Kalau ia membantah,
maka hati anak muda itu akan menjadi semakin terbakar.
Meskipun demikian ia terpaksa bertanya kepada Wuranta,
"Apakah prajurit Pajang yang telah membunuhnya?"
Pertanyaan itu membuat Wuranta terdiam sesaat. Dahinya
yang mengkilat oleh keringat tampak berkerut-merut.
Ditatapnya wajah Ki Tanu Metir dengan tajamnya. Namun
ketika pandangan mata mereka bertemu, cepat-cepat Wuranta
berpaling. Tetapi untuk menutupi kekecilan diri segera ia berkata lantang,
"Apakah bedanya" Siapapun yang telah membunuh kakek tua
ini, namun ini adalah akibat dari peperangan."
"Ya, peperangan memang selalu berakibat buruk. Tetapi
siapakah yang telah membunuhnya" Prajurit Pajang?"
Akhirnya Wuranta terpaksa menggeleng lemah, "Tidak, Kiai.
Kakek dibunuh oleh orang-orang Jipang dalam perselisihan
yang terjadi sebelum prajurit Pajang datang."
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. "Jadi yang
membunuh laki-laki tua itu sama sekali bukan prajurit Pajang?"
"Apa bedanya?" tiba-tiba nada suara Wuranta meninggi. "Apa
bedanya Kiai" Di halaman ini, di halaman banjar dan
sekitarnya, bertebaran mayat orang-orang Tambak Wedi.
Mereka sebagian mati karena ujung senjata orang-orang
Pajang. Meskipun orang-orang Pajang tidak membunuh kakek
tua ini, tetapi orang-orang lain dibunuhnya. Orang-orang lain
yang beranak dan beristeri pula. Mereka mati meninggalkan
anak dan isterinya dalam penderitaan dan kesedihan."
Wuranta berhenti sejenak. Wajahnya tampak semerah


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tembaga dalam keremangan cahaya obor di kejauhan. "Kiai,
aku menyesali bahwa aku telah melakukan pekerjaan yang
Kiai rencanakan. Pekerjaan itu hampir membunuhku. Ketika
aku terlepas dari maut maka akibat dari pekerjaaaku adalah
ini," Wuranta menunjuk laki-laki tua itu beserta isterinya.
"Bukan saja sepasang suami isteri, tetapi berpuluh-puluh.
Sebaiknya aku tidak melakukannya, dan pepati ini pasti akan
terhindar. Aku tidak usah turut campur segala macam
persoalan di dalam padepokan ini. Seandainya aku diam saja,
tidak memberitahukan kepada orang-orang Sidanti, bahwa
Alap-alap Jalatunda memasuki rumah tempat Sidanti
menyimpan Sekar Mirah, maka orang-orang Jipang tidak akan
saling membunuh dengan orang-orang Tambak Wedi."
Ki Tanu Metir menarik nafas dalam-dalam, "Lalu Angger akan
membiarkan saja tingkah laku Alap-alap Jalatunda itu?"
"Apa peduliku. Korban dari peristiwa itu hanyalah seorang
gadis saja. Sekar Mirah. Tetapi sekarang" Korban berjatuhan
tidak terbilang." "Tidak akan jauh berbeda, Ngger. Sekar Mirah akan
mengatakan kepada Sidanti apa yang terjadi. Dan
pertempuran antara mereka tidak akan terhindar."
"Belum pasti. Kalau Alap-alap Jalatunda membunuh Sekar
Mirah, maka rahasia itu akan tetap tidak terbuka."
Dada Ki Tanu Metir berdesir mendengar kata-kata Wuranta,
bahkan seluruh bulu-bulunya meremang. Sejenak orang tua
itu terdiam. Sesuatu bergelora di dalam hatinya. Dahsyat
sekali. Tetapi wajah orang tua itu sama sekali tidak
membayangkan perasaannya. Dengan susah payah, Ki Tanu
Metir mencoba untuk menyembunyikan getar jantungnya.
Apalagi ketika Wuranta berkata, "Kiai, ternyata apa yang telah
aku lakukan dengan hampir saja mengorbankan nyawaku, dan
sekarang ternyata lelah menelan berpuluh jiwa di dalam
peperangan ini hanyalah sekedar menyenangkan hati Agung
Sedayu." "Ah," terloncat suatu desah yang serta-merta dari mulut Ki
Tanu Metir. Tetapi orang itu kemudian mencoba untuk diam.
"Lalu, apakah yang sebenarnya terjadi?" bertanya Wuranta.
"Apakah Kiai dapat mengatakan lain daripada itu?"
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. "Ya, ya
Ngger. Angger benar. Peperangan ini telah membunuh
berpuluh-puluh korban dari segala pihak. Terutama orangorang
Jipang dan orang-orang Tambak Wedi. Ya, seandainya
Sekar Mirah dikorbankan, maka keadaannya akan lain sekali,
Ngger. Orang-orang Jipang dan orang-orang Tambak Wedi
tidak akan mengalami nasib sepahit ini."
"Nah, bukankah Kiai mengakui?"
"Ya, ya Ngger. Aku sependapat," Ki Tanu Metir terdiam
sejenak, lalu ia meneruskan, "Tetapi, bagaimanakah kalau
yang menjadi korban itu orang-orang Jati Anom" Apakah kirakira
akan menjadi lebih baik?"
Wuranta terkejut mendengar pertanyaan itu sehingga hampirhampir
ia terlonjak. Dengan sorot mata yang aneh ditatapnya
wajah Ki Tanu Metir. Namun sekali lagi Wuranta melontarkan
pandangan matanya jauh-jauh ketika pandangan mata mereka
beradu. "Angger Wuranta," berkata Ki Tanu Metir, "peristiwa seperti
yang dialami oleh Sekar Mirah akan dapat saja terjadi atas
gadis-gadis Jati Anom. Seandainya benar terjadi demikian,
dan gadis itu adalah adik Angger Wuranta, maka Angger pasti
akan berpendapat lain. Tetapi adalah kebetulan sekali bahwa
Angger Wuranta, anak Jati Anom, dapat membantu kami.
Persoalannya tidak hanya sekedar Sekar Mirah, tetapi,
bagaimanakah kalau kemudian orang-orang Jipang dan
Tambak Wedi menjadi semakin kuat, dan dengan serta-merta
sebagian dari mereka menduduki Jati Anom" Selama ini
mereka hanya sekedar mendatangi kademangan itu, karena
mereka tidak cukup kuat untuk mendudukinya dengan
membagi pasukan. Tetapi suatu ketika maka sebadian dari
mereka akan mengalir ke Timur, seperti bendungan yang
penuh dan melimpah, menggenangi kademangan Jati Anom.
Apabila anak-anak muda dan setiap laki-laki Jati Anom
kemudian melakukan perlawanan setelah menghimpun diri,
maka apa yang kita lihat sekarang adalah gambaran dari apa
yang terjadi. Tetapi yang bergelimpangan di halaman, di jalanjalan
dan bahkan kakek-kakek tua dan nenek-nenek tua yang
menjadi korban, adalah orang-orang Jati Anom. Orang-orang
Tambak Wedi dan orang Jipang akan berada di pendapa
kademangan, bertolak pinggang sambil memanggil setiap
perempuan dan gadis-gadis cantik untuk memenuhi panggilan
nafsu mereka beserta pasukan mereka. Begitu" Semua itu
akan dapat terjadi. Dan aku sengaja tidak menyebut-nyebut
nama Untara, Senapati Pajang yang mencoba dengan
caranya membebaskan Sangkal Pulung dan kini Jati Anom
dari bahaya orang-orang Jipang dan orang-orang Tambak
Wedi yang tamak." Wuranta berdiri tegak seperti patung batu. Setiap kata yang
diucapkan oleh Ki Tanu Metir terasa bagaikan jarum yang
langsung menusuk jantungnya. Pedih, namun Wuranta tidak
dapa menghindarkan diri dari pengakuan atas kebenaran dari
kata-kata itu. Bahkan sekali lagi hatinya yang gelap dan
kehilangan keseimbangan itu dapat terbuka. Ia melihat di
dalam angan-angannya. peristiwa yang mengerikan itu terjadi
atas Jati Anom. Kepala Wuranta itu pun kemudian tertunduk dalam-dalam.
Pedih hatinya menjadi semakin pedih. Tetapi ia merasakan
kebenaran dari kata-kata itu.
Wuranta melihat betapa besar kesalahan yang telah
dilakukan. Namun yang tidak diharapkan oleh Ki Tanu Metir,
Wuranta yang kecil itu ternyata merasa semakin kecil.
Dengan kata-kata yang hampir tidak sempat meloncat dari
mulutnya Wuranta berkata, "Ya, Kiai. Aku merasakan
kebenaran kata-kata Kiai. Kini semakin nyata bagiku,
alangkah cupet budiku. Alangkah kerdilnya jiwaku. Aku tidak
pantas berada di antara murid-murid Kiai, di antara orangorang
Pajang, bahkan di antara anak-anak muda Jati Anom
sendiri. Meskipun baru terbatas pada angan-angan, namun
aku telah berkhianat kepada murid-murid Kiai, kepada para
prajurit Pajang dan kepada kampung halaman. Karena itu,
maka aku tidak pantas lagi berada di antara mereka."
"Angger Wuranta," Ki Tanu Metir memotong kata-kata itu,
"apakah maksud Angger?"
"Kesalahanku tidak dapat dimaafkan Kiai. Karena itu lebih baik
bagiku untuk meninggalkan mereka yang telah aku khianati di
dalam angan-angan. Kalau angan-angan itu terwujud dalam
tindakan, alangkah mudahnya. Aku dapat segera dihukum
mati. Tetapi pengkhianatan yang aku lakukan, baru aku
sendirilah yang melihatnya, sehingga aku sajalah yang dapat
menghukumnya." "Apakah yang akan Angger lakukan?"
"Pergi, Kiai. Kesalahanku telah bertimbun-timbun. Bahkan aku
pula yang telah menyebabkan kematian kakek tua ini.
Seandainya aku tidak menahannya karena aku ingin
memanggil Kiai dan berbuat jasa kepada orang tua itu, maka
aku kira pertolongan baginya tidak akan begitu lambat."
"Ah," Ki Tanu Metir berdesah "Angger terlampau perasa.
Suatu goncangan telah mengejutkan perasaan Angger,
sehingga Angger kehilangan keseimbangan. Dengarlah,
Ngger, beberapa kali aku katakan, Angger kehilangan
keseimbangan. Dalam keadaan demikian, janganlah Angger
mencoba mengambil keputusan mengenai masalah yang
penting." "Tidak, Kiai, aku tidak kehilangan keseimbangan. Mungkin
sebelum aku mendengar keterangan Kiai tentang persoalan
yang sedang aku hadapi. Tetapi sekarang aku telah mendapat
keyakinan tentang diriku. Supaya aku tidak kehilangan
keseimbangan lagi di antara orang-orang Sangkal Putung,
para prajurit Pajang dan bahkan orang-orang Jati Anom
sendiri, maka sebaiknya aku meninggalkan mereka."
"Hem," Ki Tanu Metir menarik nafas dalam-dalam. Ia menjadi
semakin mengenal anak muda yang sedang dihadapinya.
Anak muda yang sedang kehilangan kepercayaan kepada diri
sendiri. Anak muda yang sedang mengalami goncangan jiwa
yang dahsyat. "Anakmas Wuranta," berkata Ki Tanu Metir mencoba untuk
menggugah kebanggaan atas diri sendiri, "memang kita harus
menghargai setiap sumbangan bagi terbebasnya padepokan
ini dari tangan orang-orang Jipang dan Ki Tambak Wedi,
Sidanti dan Argajaya. Tetapi dari sekian banyak kebanggaan
ini, maka Angger Wuranta-lah yang seharusnya paling
berbangga atas segala hasil usaha dan perjuangannya."
"Kiai mengulangi lagi hal itu" Kiai, hatiku telah berkeriput
menjadi semenir. Apakah aku harus berkata dalam kegilaan
seperti yang pernah aku ucapkan bahwa tanpa Wuranta
padepokan ini tidak akan dapat dilepaskan dari tangan
mereka." "Tidak, Ngger, juga bukan itu maksudku. Sekarang aku akan
berkata wajar, seperti juga Angger sekarang memerlukan
kewajaran. Memang Angger bukan satu-satunya pahlawan
yang dapat merebut padepokan. Semuanya mempunyai
sumbangan yang serupa, dan semuanya telah
mempertaruhkan nyawa masing-masing. Bukankah begitu"
Tetapi Angger masih mempunyai kebanggaan yang tidak
dipunyai oleh orang lain, atau setidak-tidaknya lebih besar dari
orang lain. Agung Sedayu mempertaruhkan nyawanya karena
ia mempunyai pamrih yang jelas. Ia akan mendapatkan
sesuatu setelah padepokan ini bedah. Seperti juga Swandaru
berbuat demikian, karena ia ingin membebaskan adiknya.
Sedang Angger Untara membawa pasukannya, bahkan para
prajurit Pajang, bertempur dan mempertaruhkan nyawa
mereka karena kewajiban. Kewajiban seorang satria. Nah, di
sinilah kelebihan Angger. Angger dengan sukarela melakukan
perjuangan ini. Angger tidak berkepentingan langsung dengan
orang-seorang di dalam padepokan ini. Angger tidak
mempunyai seorang adik atau saudara yang lain di dalam
padepokan ini. Dan Angger bukan seorang prajurit. Inilah
kelebihan Angger. Dan Angger harus berbangga karenanya.
Angger tidak perlu merasa diri Angger terlampau kecil. Dalam
bidang yang Angger lakukan, maka Angger adalah seorang
yang besar, seperti Untara di dalam bidangnya. Ternyata tidak
seorang pun dari pasukan sandi yang berhasil masuk.
Pasukan sandi yang disusun oleh Untara, dan terlatih pula.
Mereka hanya berbasil mendekati dan melihat padepokan ini
dari luar. Tetapi Angger dapat masuk ke dalamnya, meskipun
harus bertaruh nyawa. Nah, Angger harus melihat semuanya
ini dengan wajar. Angger tidak boleh berkecil hati. Dan Angger
tidak perlu merasa diri Angger terlampau kecil. Apalagi apabila
Angger mengambil keputusan untuk meninggalkan Jati
Anom." Ki Tanu Metir berhenti sejenak. Dibiarkannya katakatanya
mengendap di dalam hati anak muda itu.
Karena Wuranta tidak segera menjawab, maka Ki Tanu Metir
meneruskan, "Nah, lihatlah ke depan, ke hari depan yang
terang bagimu dan bagi Jati Anom."
Wuranta tidak menjawab. Tetapi terasa sesuatu bergetar di
dalam dadanya. Masa depannya dan masa depan Jati Anom
memang masih cukup panjang Selama ini ia sudah mulai
menginjakkan kakinya bagi pembinaan masa depan itu. Masa
depannya dan masa depan Jati Anom. Bahkan sebelum
padepokan Tambak Wedi menyatakan dirinya lepas dari
kekuasaan Pajang, maka Wuranta telah mencbba untuk
membentuk Jati Anom siap mesyongsong masa depannya.
Tetapi yang terjadi terlampau cepat. Sebelum Jati Anom
sempat berbuat sesuatu mereka telah dihadapkan pada suatu
keadaan yang tidak mungkin ditanggulangi. Sidanti,
Sanakeling, Alap-alap Jalatunda, bahkan kemudian Argajaya
dan Ki Tambak Wedi sendiri, selalu menakut-nakuti
kademangan yang belum berhasil menyusun diri itu, sehingga
sebagian dari mereka terpaksa menyingkir dan menghimpun
kekuatan di luar kademangan mereka. Anak muda Jati Anom
yang dapat dibanggakan, Untara, ternyata memikul tugas
terlampau berat untuk dapat membagi dirinya. Namun kini
Untara itu berada di dalam lingkungannya kembali. Jati Anom
dan anak-anak muda kawan bermain semasa kanak-anak.
Tetapi kedudukan Untara telah membuat jarak antara anakanak
mada kawannya bermain semasa kanak-anak dengan
dirinya. Jarak yang sebenamya tidak dikehendakinya sendiri.
Namun kesadaran, itu telah berhasil mencegah Wuranta
semakin dalam terseret arus perasaannya. Terbayang kembali
segalanya yang pernah dilakukannya. Terbayang kembali
bagaimana Ki Tanu Metir mendorongnya untuk masuk ke
dalam padepokan ini. Anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Namun terbersit
kata-kata di dalam hatinya, "Melarikan diri temyata memang
bukan suatu penyelesaian. Apakah yang akan aku lakukan di
pelarian itu" Tetapi untuk terus-menerus menyiksa diri adalah
terlampau sakit." Angin malam berhembus menyapu lereng Merapi. Terasa
digin mulai menyusup tulang. Di kejauhan terdengar anjinganjing
liar menggonggong bersahut-sahutan. Seolah-olah
mereka telah mencium bau darah yang sedang mengalir di
padepokan Tambak Wedi. Lamat-lamat suara burung hantu mengetuk hati. Sayu, seperti
rintihan mereka yang sedang terluka.
Dalam kesepian itu Wuranta mampu melihat ke dalam dirinya
sendiri. Meskipun ia menjadi ngeri melihat kenyataan itu,
tetapi yang tampak padanya adalah terlampau jelas. Adalah
terlalu dibuat-buat apabila ia merasa seolah-olah orang-orang
Pajang kini mengesampingkannya bahkan merendahkan dan
mengabaikannya setelah semuanya rampung dengan baik.
Adalah terlalu dicari-cari apabila ia mengatakan bahwa Umara
kini merasa dirinya terlampau besar sehingga tidak sempat
lagi menemuinya. Wuranta memejamkan matanya ketika mau tidak mau ia harus
menghadapi pengakuan diri, bahwa alasan sebenarnya
adalah hatinya yang pecah karena hubungan yang dilihatnya
telah terjalin antara Agung Sedayu dan Sekar Mirah, hatinya
yang semakin parah ketika ia melihat kenyataan betapa
jauhnya jarak antara dirinya dengan Agung Sedayu. Ia tidak
akan dapat menyamainya dalam pacuan di segenap bidang.
Berpacu merebut hati Sekar Mirah dan berpacu sebagai anak
muda Jati Anom dihadapkan pada lawan-lawannya, meskipun


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ia tidak pernah berhasil melupakan, bahwa di masa kanakkanak
mereka, Agung Sedayu adalah seorang penakut yang
cengeng. Wuranta terkejut ketika tiba-tiba ia mendengar Ki Tanu Metir
berkata, "Bagaimana, Ngger" Kenapa Angger diam saja?"
"Oh," Wuranta kini mengangkat wajahnya. Dalam keremangan
cahaya obor yang kemerah-merahan, dilihatnya wajah Ki Tanu
Metir yang sareh lunak. Betapa dalam dan lapangnya hati
orang tua itu. Kesabarannya hampir tidak terbatas, seperti
luasnya lautan tanpa tepi. Justru karena itu, maka kembali
wajah Wuranta tertunduk. Tetapi kini ia menjawab, "Aku dapat
mengerti, Kiai. Sekali lagi aku merasakan kekerdilan diri."
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini ia
mendengar kata-kata tiu diucapkan dengan wajar. Meskipun
kata-kata itu searti, tetapi tidak senada.
"Jadi, apakah Angger tetap pada keputusan Angger itu?"
Wuranta ragu-ragu sejenak. Tetapi kemudian ia
menggelengkan kepalanya, "Tidak Kiai. Aku tidak akan
melarikan diri dari kepahitan ini."
"Bagus," dengan serta-merta Ki Tanu Metir menyahut sambil
menepuk bahu anak muda itu. "Ternyata Angger Wuranta
benar-benar berhati jantan."
"Jangan memuji, Kiai. Hatiku telah luluh menjadi debu."
"Tetapi aku masih melihat bara yang menyala di dalam dada
Angger Wuranta, bukan sekedar debu. Nah, karena itu,
marilah kita pergi ke banjar padepokan. Di sana Angger akan
bertemu dengan Untara, Agung Sedayu, dan Swandaru dalam
keadaan yang wajar."
"Terima kasih, Kiai. Aku tidak akan lari, tetapi aku tidak akan
pergi ke banjar." Sekali lagi dahi Ki Tanu Metir berkerut-merut. Tetapi ia
merasakan perbedaan arti yaag tersirat dalam kalimat itu.
Karena itu maka ia segera mengerti, betapapun juga Wuranta
masih belum dapat melepaskan perasaannya. Tetapi itu pun
masih dapat dianggapnya wajar.
"Kiai," berkata Wuranta seterusnya, "aku masih harus
menunggu jenazah kedua suami isteri ini."
"Oh," sahut KiTanu Metir, "bukankah jenazah ini dapat
diserahkan kepada mereka yang berkewajiban."
Ki Tanu Metir terkejut ketika wajah Wuranta itu tiba-tiba saja
menegang. Namun hanya sebentar. Kali ini anak muda itu
berhasil menguasai dirinya dan tidak lagi terseret oleh
perasaannya tanpa pertimbangan. Katanya, "Kiai, aku tidak
dapat menganggap suami isteri ini seperti orang-orang lain di
padepokan ini. Pada laki-laki tua ini terdapat kekhususan.
Setidak-tidaknya ia tidak dapat dianggap bersalah sebesar
orang-orang Tambak Wedi yang lain. Tanpa orang tua ini,
maka segalanya akan menjadi berbeda."
"O, baik, baiklah," Ki Tanu Metir cepat-cepat memotongnya.
"Aku minta maaf atas kealpaan ini. Aku kira Untara pun tidak
akan berkeberatan sama sekali."
Wuranta menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa segala
sesuatu yang dilakukan di sini harus mendapat ijin dahulu dari
Untara atau orang yang dikuasakannya. Dalam hal laki-laki tua
itu pun, ia tidak akan dapat berbuat sekehendak hatinya.
Pengkhususan pemakaman orang itu pun harus mendapat ijin
dahulu. Tetapi hatinya pasti tidak akan rela, apabila laki-laki tua itu
akan dianggap sama saja dengan orang-orang Tambak Wedi
yang lain. Orang tua itu setidak-tidaknya harus mendapat
kehormatan seperti para prajurit Pajang yang gugur di
peperangan ini. Karena itu maka Wuranta itu pun kemudian berkata, "Kiai, aku
harap Kiai akan menyampaikan kepada Kakang Untara,
bahwa aku minta laki-laki tua ini mendapat perhatian khusus,
sesuai dengan jasa semasa hidupnya atas Pajang, meskipun
seandainya ia tidak sengaja berbuat demikian."
"Kita dapat pergi bersama, Ngger," jawab Kiai Gringsing.
"Angger Untara akan menjadi lebih banyak memperhatikan
pendapat Angger sendiri daripada pendapatku."
"Terima kasih, Kiai," sahut Wuranta. "Malam ini aku akan
menunggui mayat suami isteri ini di sini."
"Bukankah sudah ada orang yang berkewajiban."
"Biarlah, Kiai, aku akan menemaninya."
Ki Tanu Metir tidak akan dapat memaksanya. Namun terasa
bahwa Wuranta telah mulai menemukan kesadaran tentang
dirinya, meskipun ia masih tetap merasa rendah diri. Tetapi ia
tidak menjadi liar dan meledak-ledak mencari saluran untuk
menyembunyikan kekecilannya.
"Jadi Angger akan tetap di sini?"
"Ya, Kiai, aku akan berkata kepada prajurit yang bertugas itu,
bahwa aku akan menunggui mayat ini sampai besok. Sampai
dikuburkan." Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia
tidak mencemaskan Wuranta lagi, kalau-kalau ia akan pergi
tanpa pamit. Ia merasa menipunyai kewajiban atas laki-laki tua
itu suami isteri. Dan kewajiban itu pasti akan mengikatnya.
"Baiklah, Anakmas," berkata Ki Tanu Metir kemudian, "aku
akan mencoba menyampaikannya kepada Angger Untara.
Mudah-mudahan Angger Untara dapat mengerti."
"Terima kasih, Kiai."
Ki Tanu Metir itu pun kemudian meninggalkan Wuranta
seorang diri menunggui mayat suami isteri itu. Anak muda itu
tidak sampai hati untuk mengangkat nenek tua yang masih
saja membeku di dada suaminya. Ketika terlihat oleh Wuranta
prajurit yang mengawal tempat itu lewat beberapa langkah
dari regol halaman, maka Wuranta pun mendekatinya.
"Bagaimana?" bertanya prajurit itu "Apakah dukun itu dapat
mengobatinya?" "Terlambat. Keduanya sudah meninggal."
"Keduanya?" prajurit itu terkejut.
"Ya keduanya," sahut Wuranta.
"Kenapa perempuan itu mati juga?"
"Aku tidak tahu. Mungkin ia terkejut atau terlalu sedih ketika ia
melihat suaminya menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Tetapi perempuan itu memang sudah sakit-sakitan saja.
Dadanya sering menjadi berdebar-debar dan tubuhnya
seolah-olah menjadi lumpuh. Agaknya kejutan yang
dialaminya kali ini tidak tertahankan lagi. Dan ia meninggal
pula bersama suaminya."
Prajurit itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia
berdesah, "Aku tidak mendekatinya. Kau melarang setiap
orang untuk berbuat sesuatu. Seandainya kau biarkan saja
kakek tua itu, maka ia pasti sudah mendapat pertolongan
sementara. Mungkin ia akan mati juga, tetapi usaha untuk
menolongnya sempat dilakukan. Tidak terlambat. Agaknya
kau tidak percaya kepada para prajurit yang bertugas untuk
itu, atau mungkin kau menyangka bahwa karena laki-laki itu
orang dari padepokan Tambak Wedi, maka prajurit Pajang
akan mencekiknya." Belum lagi Wuranta menjawab, maka datanglah dua orang
prajurit yang sedang bertugas berkeliling. Ternyata kedua
prajurit itu adalah prajurit yang telah bertengkar dengan
Wuranta. Dengan nada yang tinggi salah seorang dari mereka
bertanya, "Ada apa dengan anak Jati Anom itu" Apakah kau
sedang diperintahkanya memanggil Untara?"
Prajurit yang sedang mengawal tempat itu menjawab, "Tidak.
Tetapi ia tidak percaya kepada para prajurit Pajang. Laki-laki
yang terluka itu dibiarkannya tanpa pertolongan apa pun
sampai ia mati." "Kenapa?" "Anak muda ini ingin memanggil dukun pribadinya."
Kedua prajurit yang baru datang itu tertawa dengan
pandangan yang menyakitkan hati. Mereka menatap wajah
Wuranta yang kemerah-merahan oleh sinar obor di kejauhan.
Terasa dada Wuranta itu bergolak. Hampir-hampir saja ia
menjadi kambuh dan mengangkat wajahnya sambil menepuk
dada, "Inilah pahlawan yang telah memecah pertahanan
Tambak Wedi. Tetapi kali ini tidak, Wuranta tidak berteriak
menyebut namanya. Namun perlahan-lahan ia berkata,
"Maafkan aku Ki Sanak. Aku telah kehilangan keseimbangan.
Mungkin aku telah menyakitkan hati kalian. Mungkin ada katakataku
atau sikapku yang kasar."
Prajurit-prajurit itu justru terkejut mendengar pengakuan itu.
Terasa keikhlasan memancar dalam kata-kata anak muda itu.
Terasa bahwa penyesalan itu mendalam sampai ke tulang
sungsumnya. Sejenak para prajurit itu terdiam. Ketika sekali lagi mereka
mencoba menatap wajah Wuranta, maka anak muda itu telah
menundukkan wajahnya. Keempat orang itu kemudian berdiri saja seperti patung.
Mereka merasakan kebekuan sikap di antara mereka. Tidak
seorang pun yang segera dapat mulai berbuat sesuatu.
********* 26 Miss Pesimis 1 Jaka Sembung 4 Raja Rampok Dari Lereng Ciremai That Summer Breeze 2

Cari Blog Ini