Ceritasilat Novel Online

Api Di Bukit Menoreh 6

01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja Bagian 6


merasakan sesuatu. Dan ia mampu untuk bergerak kembali dengan lincahnya,
selincah burung seriti menangkap mangsanya diudara.
Namun betapa Agung Sedayu berjuang mempertahankan
dirinya, tetapi Widura memiliki pengalaman yang jauh lebih
besar daripadanya. Sehingga lambat laun, terasa juga
tekanan-tekanan Widura menjadi semakin mendesak. Tangan
Widura itu semakin lama menjadi semakin sering menyentuh
tubuhnya. Meskipun tidak ditempat-tempat yang berbahaya,
namun sentuhan-sentuhan itu terasa sakit-sakit juga.
Widura melihat keadaan itu. Justru Karena itu ia
memperkuat serangannya. Ia ingin tahu, batas tertinggi dari
ilmu kemenakannya. Tiba-tiba latihan yang keras itupun terganggu. Dari atas
puntuk kecil itu, Widura dan Agung Sedayu mendengar suara
tertawa dengan nada yang tinggi. Segera mereka mengenal
suara itu, suara Kiai Gringsing. Bahkan kemudian Kiai
Gringsing itu tidak saja tertawa, tetapi ia kini bertepuk tangan
sambil memuji "Bagus Sedayu, ternyata muridmu itu menjadi
bertambah terampil juga akhirnya"
Gerak Widura itupun kemudian terganggu. Karena itu maka
kemudian ia melontar mundur sambil berkata "Sudahlah
Sedayu, kita hentikan dahulu latihan ini"
Mendengar kata-kata pamannya itu, Agung Sedayu
menjadi bergembira. Sebenarnya telah agak lama ia menahan
diri supaya ia tidak mengecewakan pamannya itu.
Dengan demikian latihan yang berlangsung dengan
serunya itu terhenti. Dengan menganggukkan kepalanya
Widura berkata kepada Kiai Gringsing "Selamat malam Kiai"
"Kenapa latihan ini berhenti?" kata Kiai Gringsing tanpa
menghiraukan sapa Widura.
Widura menarik nafas. Jawabnya "Latihan ini telah
berlangsung lama. Kami telah sama-sama lelah"
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.
Gumamnya "Syukurlah kalau kau selalu tekun dengan latihanlatihan
itu Widura. Mudah-mudahan pada suatu saat kau
dapat menandingi Topati"
"Mudah-mudahan Kiai" sahut Widura. Tetapi Widura itu
kemudian terkejut bukan buatan ketika Kiai Gringsing itu
berkata "Ternyata Tohpati itu benar-benar seperti hantu. Baru
saja aku melihat ia berjalan mendekat tikungan disebelah"
"He" bertanya Widura tersentak "Adakah Kiai melihatnya
ditikungan itu?" Kiai Gringsing mengangguk "Ya" jawabnya. "Ia berjalan
bersama dua orang pengawalnya"
"Jadi apakah mereka melihat kita berlatih disini?" bertanya
Widura pula. "Aku kita tidak" sahut Kiai Gringsing "Kalau demikian
barangkali kalian telah menjadi mayat dibawah gunung Gowok
ini" "Hem" Widura menarik nafas dalam-dalam. "Setan itu
benar-benar berbahaya"
Dalam pada itu Widura menjadi gelisah karenanya.
Kedatangan Tohpati benar-benar berbahaya. Ia akan dapat
mendatangi setiap gardu dan membunuh segenap isinya.
Namun apabila demikian, maka pasti telah didengarnya tanda
bahaya. Tetapi agaknya Tohpati itu hanya sekedar lewat, dan
ingin mengetahui keadaan Sangkal Putung. Tiba-tiba ia
menjadi berdebar-debar karenanya. Mungkin Tohpati telah
mendengar tentang perlombaan yang akan diadakan besok
"Gila" Widura mengumpat didalam hatinya. "Aku telah
melakukan hal-hal yang aku sangka baik sekali. Aku hanya
memberi waktu persiapan penyelenggaraan satu hari saja,
supaya kabar ini tidak tersiar jauh. Namun agaknya hantu itu
telah mendengarnya pula". Kembali berbagai persoalan telah
menyesakkan dada Widura. persoalan antara laskarnya
dengan laskar Tohpati, persoalan antara orang-orangnya
sendiri, persoalan Sidanti dan gurunya Ki Tambak Wedi,
hubungan yang menyedihkan antara Sidanti dan Sedayu. Dan
segala macam persoalan itu setiap kali memukul-mukul
otaknya sehingga kepalanya itu akan pecah karenanya. Dan
kini Tohpati itu telah siap untuk menerkamnya.
Dalam kegelisahannya itu Widura hampir tak dapat
menahan diri ketika ia mendengar Sedayu berkata dengan
gemetar "Paman, marilah kita kembali kekademangan"
"Kenapa?" bentak Widura.
Ketika ia berpaling, ia melihat betapa sikap Agung Sedayu
menjadi sangat gelisah. Tetapi Widura itu tahu benar, bahwa
anak itu sama sekali tidak gelisah memikirkan Sangkal Putung
seperti dirinya, namun anak itu menjadi gelisah karena
ketakutan. Widura itu menjadi marah ketika ia mendengar
Agung Sedayu berkata dengan jujur "Paman, apakah yang
akan terjadi dengan kita kalau Macan Kepatihan itu nanti
mengetahui kehadiran kita disini?"
"Persetan dengan Macan Kepatihan" sahut Widura. Namun
kata-kata Widura itu terputus oleh kata-kata Kiai Gringsing
"Widura, jangan terlalu sombong. Gurumu itu tahu benar
tingkatan ilmumu. Kau belum waktunya melawan Tohpati
seorang lawan seorang, kalau kau tidak mau membunuh diri.
Nasehatnya itu harus kau turut. Sikap berhati-hati itulah yang
akan membawamu kejalan keselamatan"
"Aku bukan pengecut" teriak Widura. "Aku akan berkeliling
kademangan sekali lagi. Aku akan memeringatkan setiap
gardu peronda, bahwa bahaya berada diujung hidung mereka"
Dada Sedayu itu menjadi semakin bergetar. Pamannya
akan mengadakan pengamatan sekali lagi atas gardu-gardu
peronda. Bukankah dengan demikian kemungkinannya untuk
bertemu dengan Tohpati itu semakin besar. Disudut-sudut
desa, di prapatan-prapatan ditengah sawah, atau ditikungantikungan
yang sepi. Namun ia melihat bahwa pamannya
menjadi marah kepadanya. Karena itu betapa Agung Sedayu
mengeluh didalam hatinya.
Yang kemudian terdengar adalah kata-kata Kiai Gringsing
sambil tertawa "He kau benar-benar berani Widura, seperti
kau berani menentang maut melawan Ki Tambak Wedi"
Tiba-tiba pandangan mata Widura itupun terbanting diatas
rerumputan liar dibawah kakinya. Teringatlah ia kepada
pertolongan yang pernah diberikan oleh Kiai Gringsing malam
kemarin. Kini orang yang menolongnya itu memeringatkannya,
supaya ia tidak melawan Tohpati itu seorang lawan seorang.
Karena itu ia menyesal atas kekasarannya. Maka katanya ke
sambil menganggukkan kepalanya "Maafkan aku Kiai"
"He" sahut Kiai Gringsing. "Kenapa kepadaku. Seharusnya
kau minta maaf kepada gurumu itu"
Sekali lagi Widura mengumpat didalam hatinya. Namun
katanya "Ya ya. Aku akan minta maaf kepadanya"
"Bagus" berkata Kiai Gringsing. "Kau harus selalu menuruti
nasehat gurumu. Dirumah, gurumu pasti akan memberimu
beberapa petunjuk, mungkin tentang persiapan Tohpati itu.
Mungkin tentang hal yang lain. Namun adalah perlu kau
dengar seandainya gurumu itu memerintahkan kepadamu
untuk mempersiapkan diri. Seluruh pasukan. Bukan seorang
Widura yang sombong. Serangan itu tidak terlalu lama akan
terjadi. Tetapi Tohpati itu tak akan berbuat apa-apa malam ini.
Nah, selamat malam. Aku tidak sempat bermain-main malam
ini. Besok aku akan nonton perlombaan yang kau adakan"
Dada Widura berdesir mendengar kata-kata Kiai Gringsing.
Namun ia tidak mendapat kesempatan lagi untuk menanyakan
sesuatu. Karena Kiai Gringsing itu kemudian melangkah pergi
dengan langkah seenaknya meninggalkan Widura dan Agung
Sedayu yang terpaku ditempatnya.
Tetapi, tergoreslah didalam jantungnya, peristiwa-peristiwa
yang pasti akan menggoncangkan lagi kehidupan Sangkal
Putung. Besok atau lusa Tohpati akan menyerangnya kembali.
Apa yang dikatakan oleh Kiai Gringsing itu tidak lebih dan
tidak kurang dari suatu peringatan kepadanya dan
pemberitahuan tentang persiapan-persiapan yang dilakukan
oleh Tohpati. Namun ia tidak perlu mencemaskan hari besok.
Kata-kata orang bertopeng itu, bahwa besok ia akan
menonton perlombaan yang akan diadakannya, telah agak
memberinya ketenangan, meskipun ia tidak dapat
menggantungkan nasibnya kepada orang itu. Mudah-mudahn
ia masih berhasil menghimpun kekuatan Sangkal Putung,
yang setidak-tidaknya masih seperti pada saat perlawanannya
dahulu ketika Tohpati menyerangnya. Mudah-mudahn tenaga
Sidanti masih dapat dipergunakannya sebaik-baiknya. Tetapi
bagaimana dengan besok lusa, tiga hari, empat hari dan lebihlebih
lima hari lagi" Bagaimanakah nasib Sangkal Putung
apabila Tohpati menyerang tepat pada saat Ki Tambak Wedi
memuntutnya" Widura menggeleng-gelengkan kepalanya
ketika terlintas didalam benaknya, harapan bahwa Kiai
Gringsing akan menolongnya kembali apabila Ki Tambak
Wedi akan membunuhnya. "Tidak" katanya dalam hati. "Aku
tidak akan memperhitungkan setiap pertolongan yang belum
pasti akan datang. Aku harus memperhitungkan kekuatan
sendiri" katanya pula. Bahkan kemudian timbullah didalam
benaknya suatu pikiran untuk mengirimkan utusan ke Pajang.
Keadaan Sangkal Putung benar-benar gawat. Biarlah salah
seorang perwira yang terpercaya akan datang untuk melawan
Tohpati lebih-lebih Ki Tambak Wedi. "Hem" gumamnya
"Apabila besok aku belum menemukan cara lain, biarlah
seseorang mengharap kedatangan Ki Gede Pemanahan
sendiri menyelesaikan persoalan Ki Tambak Wedi, atau bekas
perwira nara manggala Demak, guru loring pasar."
Widura menarik nafas dalam-dalam. Itulah keputusannya
untuk sementara. Ketika ia memandang wajah Sedayu,
timbullah kembali kejengkelannya terhadap anak itu. Apabila
anak itu memiliki keberanian, mereka berdua pasti akan dapat
membunuh Tohpati meskipun dengan perjuangan yang berat.
Sebab ilmu Tohpati itu sendiri tidak terpaut banyak diatas
ilmunya. Namun Sedayu itu hanya pandai mengeluh, gemetar
dan ia pasti akan mati ketakutan sebelum tangannya mampu
menarik pedang dari sarungnya.
Karena itu Widura tidak berkata sepatahpun kepada
kemenakannya itu. Langsung ia memutar tubuhnya dan
melangkah kembali kekademangan.
Sedayupun kemudian cepat-cepat mengikutinya. Namun
kini terasa olehnya bahwa pamannya itu benar-benar marah
kepadanya. Karena itu maka Sedayupun benar-benar menjadi
bersedih hati. Ia tidak berani berkata apapun kepada
pamannya selain berjalan saja dibelakangnya.
Disepanjang jalan itu Widura sempat juga memikirkan
kemenakannya itu. Bagaimana caranya, sehingga ia dapat
menguasai berbagai unsur gerak dan dapat menyusunnya
dalam satu gabungan yang serasi. Anak itu tidak pernah
berbuat sesuatu selain duduk terpekur dan bermain-main
dengan rontal dan pensil. Tak pernah dilihatnya Agung
Sedayu berlatih didalam pringgitan yang tak begitu luas itu.
Dan tak pernah dilihatnya Agung Sedayu meninggalkan
pringgitan selain apabila ia pergi mandi dan sesuci diri. Namun
ia tidak mau menanyakannya. Ia hanya ingin mencari
pemecahan dengan caranya sendiri atas teka teki itu.
Demikian mereka sampai dikademangan, Widura langsung
melepaskan pakaiannya dan merebahkan dirinya
dipembaringannya. Tak sepatah katapun yang diucapkan
kepada Agung Sedayu sehingga Agung Sedayu itupun
menjadi semakin bersedih. Sekali-sekali ia sempat juga untuk
menilai diri. Dan kadang-kadang timbul juga pikiran
dikepalanya untuk besok mengikuti pertandingan memanah.
"Paman marah karena aku tak ikut serta" katanya dalam hati.
"atau karena hal-hal yang lain, atau karena keseluruhannya".
Namun ia kembali menjadi ngeri membayangkan akibat dari
perlombaan itu. "Ah" katanya dalam hati pula "Biarlah paman
marah kepadaku. Ia tidak akan berbuat apa-apa selain
berdiam diri. Tetapi akan berbedalah sikap Sidanti itu"
Sedayupun kemudian mencoba melupakan semua itu.
Karena kelelahan akhirnya iapun tertidur pula dengan
nyenyaknya. Sebenarnya Widura belum juga tertidur. Ia berdiam diri, dan
memang ia munggu kemenakannya tertidur. Ia ingin tahu apa
saja yang ditulis oleh Sedayu dalam rontal-rontalnya. Apakah
ada hubungannya dengan kemajuan ilmunya yang pesat itu.
Perlahan-lahan Widura itu bangun, dan perlahan-lahan pula ia
membuka beberapa pakaian Sedayu yang diberikannya
olehnya. Didalam lipatan-lipatan pakaian itu ditemuinya
beberapa helai rontal yang pernah diminta oleh anak itu
daripadanya. Demikian Widura membuka halaman pertama dari rontal
itu, demikian dadanya bergetar "Inilah sebabnya" gumamnya
seorang diri. Kini ia tahu benar, mengapa Agung Sedayu
dapat maju dengan cepatnya. Otak anak itu ternyata cerdas
pula dalam penelaahan ilmu tata bela diri. Didalam tubuhnya
ternyata tersimpan pula darah ayahnya yang menyalakan
keteguhan dan ketrampilan jasmaniah. Namun, sayang betapa
sayangnya. Hati anak itu belum terbuka. Dinding yang
mencengkam dirinya dalam bilik ketakutan belum dapat
dipecahkannya. Jadi apa yang dilakukan oleh Sedayu selama ini, sama
sekali tidak menulis cerita-cerita atau tembang dan kidung.
Tetapi ia telah melukiskan beberapa unsur gerak.
Mencobanya menggabungkan unsur yang satu dengan yang
lain, dan mencoba melukiskan pula cara-cara untuk
mempertahankan diri dan mengelak dari serangan-serangan
yang keras. Didalam rontal-rotal itu Widura melihat beberapa gambar
dengan garis-garis arah dari setiap gerakan. Digambarnya
beberapa macam unsur gerak, kemudian digambarnya
dibelakang gambar-gambar itu, sebuah gambar yang lain
dengan garis-garis arah untuk menggabungkan gambargambar
yang terdahulu. "Hem" Widura menarik nafas dalam-dalam "Ternyata anak
ini melatih diri dengan angan-angannya selain latihan-latihan
yang kami adakan di gunung Gowok. Itulah sebabnya aku
sering melihat unsur-unsur gerak yang tak aku ketahui
darimana dipelajarinya"
Dan Widura itu tak jemu-jemunya melihat gambar-gambar
yang dibuat oleh Agung Sedayu. Suatu cara memperdalam
ilmu yang jarang ditemuinya. Namun ternyata Agung Sedayu
pandai juga menggambar. Gambar-gambar yang dibuatnya


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ternyata sedemikian jelas. Sikap, gerak dan tujuan-tujuan dari
setiap gerakan sekaligus cara-cara untuk menghindarkannya.
Tetapi suatu hal yang tak dapat dilakukan oleh Agung
Sedayu. Yaitu melatih untuk percaya pada kekuatan dan
ilmunya. Betapapun Agung Sedayu mengalami kemajuan
yang pesat, namun ilmu itu seakan-akan pohon yang subur
namun tak berbuah. Tiba-tiba timbullah pikiran didalam benak Widura. katanya
dalam hati "Ah, biarlah pada suatu kali, anak ini mengalami
pertentangan yang tak dapat dihindari dengan Sidanti. Aku
ingin melihat apa yang akan dilakukan. Tetapi apabila sekali
Agung Sedayu sempat mengayunkan tangan atau kakinya,
maka untuk melawan Sidanti itupun Agung Sedayu akan
dapat bertahan beberapa lama sampai saatnya aku
memisahkannya. Namun dengan demikian, setidak-tidaknya
perkelahian itu akan berkesan bahwa keduanya memiliki ilmu
yang seimbang. Ternyata gerak dan cara bertahan anak ini
mengagumkan juga. Apabila demikian, seterusnya Agung
Sedayu akan menjadi seorang yang jantan dan berani"
Kemudian dengan hati-hati pula rontal-rontal itu
dimasukkannya kembali ketempatnya. Dan dengan hati-hati
pula Widura itu berdiri dan berjalan kepembaringannya, dan
sesaat kemudian pemimpin laskar Pajang yang sedang
kebingungan itu tertidur pula.
Malam yang tinggal sepotong itu berjalan dengan
tenangnya. Tohpati yang benar-benar telah menyusup
kedalam dinding perondan laskar Pajang, sebenarnyalah tidak
berbuat sesuatu selain keinginannya untuk mengetahui
keadaan. Namun Macan Kepatihan itupun mengumpat di
dalam hatinya seperti Widura mengumpatinya. Katanya
kepada kedua pengawalnya "Paman Widura benar-benar
seperti setan. Dalam keadaan apapun peronda-perondanya
tak pernah berlengah hati. Apakah mereka tidak terpengaruh
oleh perlombaan yang akan diadakan besok" Sayang, aku
baru mendengar rencana perlombaan itu senja tadi, sehingga
aku tak sempat menyiapkan anak buahku. Seandainya aku
mendapat waktu dua tiga hari saja, maka pada saat-saat
perlombaan itu aku akan dapat menggulungnya lumat-lumat.
Kedua pengawalnya tak dapat menjawab lain daripada
menganggukkan kepala mereka. Sebab dengan mata kepala
mereka sendiri melihat dari kejauhan kesiagaan laskar Pajang
yang sedang bertugas di gardu-gardu peronda. Mereka
melihat beberapa orang dari mereka berjalan hilir mudik
dimuka gardu sambil memegang tombak atau pedang-pedang
mereka yang sudah telanjang.
"Tetapi" berkata Tohpati kemudian kepada pengawalnya
"mudah-mudahan setelah perlombaan itu berakhir, laskar
Sangkal Putung masih tenggelam dalam suasana itu,
sehingga meskipun sedikit mereka melupakan tugas-tugas
mereka sehari-hari. Mudah-mudahan mereka tidak mencium
gerakanku kali ini seperti beberapa waktu yang lalu sehingga
aku menjumpai kegagalan yang menyedihkan.
"Persiapan kita akan sangat mudah sekali diketahui orang,
sehingga petugas-petugas sandi Pajang segera menciumnya"
berkata salah seorang pengawalnya.
"Kita akan meninggalkan cara-cara yang pernah kita
lakukan " jawab Tohpati "aku akan membawa kalian dan
orang-orang kita masuk ke dalam hutan. Semua kekuatan
yang terpencar harus kita tarik. Semuanya akan berkumpul di
dalam hutan yang akan aku tentukan. Dari sana kita akan
bergerak. Mudah-mudahan tak seorangpun yang
mengetahuinya, kecuali diantara kita ada pengkhianat atau
justru orang-orang dari petugas-petugas sandi Pajang yang
berhasil masuk kedalam lingkungan kita."
"Kemungkinan itu kecil sekali" sahut pengawalnya.
"Kau benar" berkata Tohpati pula. "Alu mengenal anak
buahku satu per satu dengan baiknya. Nah, kalau demikian,
aku akan berbuat seperti paman Widura. Secepat-cepatnya
sebelum laskarnya terpencar kesegenap penjuru"
"Kapan kita adakan sergapan itu?" bertanya pengawalnya.
"Secepatnya" sahut Tohpati.
Kemudian mereka tidak bercakap-cakap lagi. Dengan hatihati
mereka berjalan didaerah perondan laskar Pajang.
Bahkan kadang-kadang mereka berhasil menyusup halamanhalaman
yang gelap dan mendekati tempat-tempat yang
penting serta gardu-gardu perondan. Dengan otak yang
cemerlang, Tohpati dapat mengingat-ingat daerah-daerah
yang sepi, yang dapat dilaluinya untuk langsung mencapai
jantung Sangkal Putung, meskipun masih diragukan apabila
Tohpati berjalan bersama dengan orang-orangnya dalam
jumlah yang besar. Namun Tohpati itu selalu mengulang-ulang
rencananya. Dan ini adalah kesalahan yang terbesar yang
dibuatnya. *** Sejak ia menginjakkan kakinya didaerah Sangkal Putung,
rencana itu telah diucapkannya. Dan ia sama sekali tidak tahu,
bahwa seseorang yang sakti, dengan diam-diam
mengikutinya. Dan orang itu telah berhasil mendengar
sebagian dari rencananya. Orang itu adalah Kiai Gringsing.
Karena itulah maka Kiai Gringsing segera pergi kemudian
gunung Gowok. Ia takut apabila Widura dan Sedayu berada
disana, dan kemudian Tohpati itupun berjalan kesana pula.
Untunglah mereka tidak saling berpapasan. Apabila demikian
maka pertempuran tak dapat dihindarkan. Sedangkan Kiai
Gringsing tahu benar bahwa Widura pasti harus bekerja
sendiri melawan tiga orang yang jauh berada diatas
kemampuannya. Dan semuanya itu telah berlalu. Widura telah tertidur
nyenyak dikademangan Sangkal Putung, dan Tohpatipun
telah meningggalkan daerah yang akan dijadikan buruannya.
Menjelang fajar, Sangkal Putung telah menjadi riuh. Anakanak
telah bangun. Kebih-lebih lagi, mereka yang akan ikut
serta dalam perlombaan-perlombaan. Mereka mengenakan
pakaian mereka yang sebaik-baiknya. Menghias senjatasenjata
mereka, dengan warna-warna yang beraneka. Bagi
mereka yang akan mengikuti sodoran, tidak saja pakaian
mereka sendiri yang mereka hias dengan berbagai keoncerkeloncer
kain beraneka warna, namun kuda-kuda merekapun
mereka hias sebaik-baiknya. Ujung-ujung tombak mereka
yang terbuat dari bola-bola kayu itupun mereka hiasi dengan
pita-pita berwarna. Ada pula diantara mereka yang membuat
kalung-kalung dari rangkaian-rangkaian bunga. Melati, menur
dan sebagainya. Mereka kalungkan rangkaian bunga itu
dilehernya, dileher kuda-kuda mereka dan pada senjatasenjata
mereka. Demikianlah hari itu Sangkal Putung ditandai dengan
kesipbukan yang luar biasa. Hampir segenap penduduk
Sangkal Putung tumplak blak, mengunjungi lapangan dimuka
banjar desa. Mereka ingin menyaksikan anak-anak mereka,
adik-adik mereka atau suami-suami mereka yang ikut serta
dalam perlombaan-perlombaan itu. Ternyata hari itu
merupakan hari yang sangat menggembirakan. Namun
apabila ada diantara mereka yang mendengar bahwa
semalam Macan Kepatihan telah mengunjungi kademangan
itu, mungkin suasananya akan jauh berbeda.
Tetapi ternyata Widura mengetahuinya. Karena itu, justru ia
telah memperkuat setiap sudut kademangan. Dilengkapinya
gardu-gardu peronda itu dengan
kuda-kuda yang kuat dan diperintahkannya untuk mengadakan
perondaan keliling dengan kuda-kuda
itu. "Jangan seorang atau dua orang"
pesannya kepada anak buahnya.
"Pergilah berempat. Pergunakan
kuda yang sebaik-baiknya dan
bawalah tanda-tanda bahaya yang
dapat kau bunyikan setiap saat dan
disetiap tempat" Perintah itu agak mengherankan
bagi anak buahnya. Namun mereka
hanya menyangka bahwa karena
didaerah Sangkal Putung sedang
ada keramaian, maka penjagaanpun
harus diperkuatnya. Demikianlah maka lapangan
dimuka banjar desa itupun menjadi penuh dengan manusia.
Beberapa anak-anak muda telah menaiki kuda masing-masing
dan berjalan melingkar-lingkar ditengah-tengah lapangan.
Beberapa orang diantaranya telah mencoba memacu kudanya
dari satu sudut ke sudut yang lain dengan tombak-tombak
mereka ditangan. Dan sekali-sekali telah terdengar pula sorak
sorai penonton, apabila mereka melihat seorang anak muda
yang tampan bermain dengan manisnya diatas punggung
kudanya. Tepuk tangan penonton itupun seakan-akan
meledak ketika mereka melihat Swandaru masuk kelapangan
dengan tombak ditangan, bumbung panah dilambung kudanya
dan sebuah busur yang besar menyilang dipunggungnya.
Demikian ia memasuki lapangan, disendalnya kendali kuda
putihnya, dan kuda itupun segera nyirig. Berjalan miring
dengan manisnya. Memang Swandaru itu benar-benar dapat
menguasai kudanya. Sekali lagi ia menarik kekang kudanya
sambil menyentuh perut kuda itu, dan kuda itupun segera
nyongklang, berlari keliling lapangan.
Laskar Widura yang akan mengikuti perlombaan itu telah
hadir pula. Namun bagi mereka perlombaan yang boleh diikuti
hanyalah perlombaan memanah. Meskipun demikian, untuk
melepaskan kejemuan mereka, banyak juga diantara mereka
yang mengikutinya. Widurapun kemudian hadir pula dilapangan itu bersamasama
dengan Ki Demang Sangkal Putung. Dibelakang mereka
berjalan Sedayu dengan kepala tunduk. Ketika para penonton
melihat kehadiran mereka, kembali tepuk tangan dan sorak
mbata rubuh bergetar dilapangan itu. Namun perlahan-lahan
mereka dirayapi oleh berbagai pertanyaan didalam hati
mereka. Mereka tidak melihat Widura dan Agung Sedayu
membawa busur dan anak panah, sehingga kemudian mereka
menjadi kecewa. Terdengar salah seorang penonton berbisik
"Apakah pahlawan itu tidak akan turut serta dalam perlombaan
ini?" Kawannya itu sebenarnya menjadi kecewa juga. Namun
untuk menghibur hatinya sendiri ia menjawab "Tak
sepantasnya ia ikut dalam perlombaan yang sekecil ini.
Mungkin ia akan ikut serta apabila perlombaan semacam ini
diadakan dialun-alun Pajang"
Kawannya yang bertanya itupun mengangguk-anggukkan
kepalanya. Jawaban yang memang masuk diakalnya.
Sesaat kemudian, Widura dan Ki Demang Sangkal Putung
beserta Agung Sedayu telah duduk ditempat yang telah
disediakan. Pada saat matahari mulai memanjat langit, maka
Widura segera membuka perlombaan itu. Dengan sebuah
kapak diputusnya tali yang mengikat pemukul bende disudut
lapangan. Kemudian seseorang yang telah ditentukan
memungut pemukul bende itu, dan dengan bunyi yang
berdengung-dengung bende itu bergema. Sekali, dua kali dan
kemudian tiga kali. Dengan diiringi oleh tepuk tangan yang seakan-akan
memecahkan selaput telinga, maka perlombaan segera
dimulai. Beberapa orang anak buah Widura berjalan ketengah
lapangan, memimpin perlombaan-perlombaan bagi anak-anak
muda Sangkal Putung. Perlombaan yang pertama adalah
perlombaan ketangkasan bermain pedang. Namun bukan
sebenarnya pedang yang dipergunakan. Tetapi mereka
mempergunakan rotan dan perisai anyaman bambu.
Permainan ini benar-benar mengasyikkan dan
menegangkan. Beberapa anak-anak muda yang gagah telah
turut serta mengambil bagian. Berganti-ganti. Satu dua telah
terpaksa keluar dari lapangan dengan kepala tunduk.
Punggung dan dada mereka dilukisi oleh jalur-jalur merah biru.
Namun bagi mereka yang menang, jalur-jalur itu sama sekali
tidak terasa pedihnya. Sejalan dengan terik matahari yang semakin menyengatnyengat
tubuh mereka, maka permainan itupun menjadi
semakin sengit. Bahkan kemudian mencapai puncaknya
ketika diarena itu tinggal dua orang yang berhadapan untuk
menentukan, siapakah diantara anak-anak muda Sangkal
Putung yang akan menjadi pemenang pertama dalam
perlombaan itu. Mereka adalah Swandaru Geni dan seorang
anak muda yang gagah, bertubuh tinggi besar, bernama
Wisuda. Sejenak kedua anak muda itu, Swandaru dan Wisuda
saling berhadapan, maka tepuk tangan dan sorak sorai
membahana diudara Sangkal Putung.
Tiga orang anak buah Widura, Hudaya, Citra Gati dan
Sonya telah memimpin pertarungan yang sengit itu. Dengan
seksama mereka memperhatikan setiap gerak, setiap sabetan
rotan dan setiap sentuhan rotan itu ditubuh mereka. Pukulanpukulan
yang mendapat hitungan adalah pukulan-pukulan
yang mengenai tubuh dibagian atas perut tetapi dibagian
bawah leher. Demikian pertarungan itu berjalan dengan serunya. Wisuda
bertubuh tinggi dan besar, sedang Swandaru lebih pendek
dan bulat. Meskipun demikian ternyata tenaga Swandaru jauh
lebih kuat dari tenaga lawannya. Apabila rotan-rotan mereka
berbenturan, tampaklah bahwa tenaga Swandaru selalu
berhasil mendorong tenaga lawannya.
Ketika bende berbunyi, maka pertarungan itupun
berhentilah. Suasana menjadi tegang ketika para penonton
menunggu Citra Gati mengumumkan pemenangnya. Dan
demikian Citra Gati maju selangkah, maka lapangan yang
penuh dengan manusia itu seakan-akan sama sekali tak
berpenghuni. Setelah mencocokkan hitungan masing-masing
maka berkatalah Citra Gati "Ternyata yang akan menjadi
pahlawan dalam permainan ini adalah anak muda yang bulat
pendek, bernama Swandaru"
Langit seakan-akan runtuh diatas mereka karena sorak
para penonton. Namun Swandaru tidak puas dengan sebutan
itu. Katanya membetulkan namanya "Sebutlah selengkapnya
paman, Swandaru Geni"
Citra Gati tersenyum. ketika ia mengulang nama itu, tak
seorangpun yang mendengarnya, karena suara riuh dari pada


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penonton itu sendiri. Sidanti yang melihat sambutan yang sedemikian hangatnya
atas pahlawan anak-anak muda Sangkal Putung itu
mencibirkan bibirnya. Katanya dalam hati "Swandaru itu pasti
akan menjadi bertambah sombong. Aku ingin sekali lagi
mengajarnya untuk merasakan bahwa apa yang dicapainya itu
belum semenir dibanding dengan ilmuku. Sayang tak ada
kesepatan bagi anak buah laskar Pajang untuk
melakukannya" Perlombaan yang berikut adalah sodoran. Dengan duduk
dipunggung kuda mereka mempertunjukkan ketrampilam
mereka bermain tombak yang ujungnya dibuat dari bola-bola
kayu. Permainan ini tak kalah menariknya. Diantara sorak
kekaguman ada pula yang terpaksa menerima ejekan-ejekan
para penonton, karena sebelum mereka sempat
mempertunjukkan keahlian mereka, ternyata mereka telah
jatuh terpelanting dair kuda-kuda mereka.
Dalam perlombaan ini sekali lagi Swandaru merajai
lapangan dimuka banjar desa itu. Kuda putihnya seakan-akan
tahu benar apa yang harus dilakukan untuk membantu
tuannya. Dan karena itulah maka sekali lagi para penonton
menyorakinya sebagai pahlawan yang lengkap dari anak-anak
muda Sangkal Putung. Ki Demang yang duduk disamping Widura itupun
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia berbangga atas hasil
yang dicapai anaknya. Usahanya melatih dan menempa
anaknya tidaklah sia-sia. Mudah-mudahan untuk seterusnya
anaknya mendapat bimbingan dan latihan yang lebih baik
daripada apa yang pernah dicapainya.
Widurapun tampak tersenyum-senyum diantara sorak para
penonton. Namun sekali-sekali ia mengedarkan
pandangannya kesegenap sudut. Diantara perhatiannya atas
permainan-permainan itu, diam-diam ia berusaha untuk
melihat, apakah Kiai Gringsing berada diantara para penonton
yang sekian banyaknya. Tetapi Widura itu kemudian menjadi
kecewa. Adalah mustahil untuk menemukan seorang diantara
sekian banyak orang, apalagi orang itu belum dikenalnya.
Sudah tentu Kiai Gringsing tidak akan mengenakan
topengnya, dan sudah tentu pula ia tidak akan memakai kain
gringsingnya. Seandainya dapat dijumpainya seseorang
memakai kain gringsing, bukanlah jaminan bahwa orang itu
adalah Kiai Gringsing, sebab kain gringsing memang banyak
digemari orang. Permainan yang terakhir adalah permainan yang paling
menggemparkan. Panahan. Dan panahan ini diikuti pula oleh
anak buah Widura. bahkan seorang anak muda yang sudah
lama dikagumi di Sangkal Putung turut pula mengambil
bagian. Sidanti. Namun para penonton itu menjadi kecewa
ketika mereka benar-benar melihat, bahwa Agung Sedayu
tidak ikut serta dalam perlombaan. Apa yang mereka nantikan,
dan juga sebenarnya dinantikan oleh anak buah Widura
sendiri, adalah pertandingan yang akan berlangsung seru
antara Sidanti dan Agung Sedayu. Namun mereka benarbenar
menjadi kecewa. Bahkan ada diantara mereka yang
mulai dirayapi oleh berbagai pertanyaan tentang Agung
Sedayu. Apakah sebenarnya anak muda itu mampu berbuat
sesuatu" Swandaru dan Sekar Mirahpun menjadi kecewa pula
karenanya. Dengan wajah bersunguut-sungut Swandaru
menyelinap diantara mereka dan menggamit Agung Sedayu
pada lengannya. Katanya berbisik "Apakah tuan tidak ikut
serta?" Dada Agung Sedayu berdesir. Namun kemudian dengan
lemahnya ia menggeleng. Katanya "Tidak Swandaru"
Widura mendengar pertanyaan itu. Namun sengaja
berpalingpun tidak. Sebenarnya Widura sendiri menjadi
sangat kecewa bahwa Agung Sedayu tidak mau ikut serta
dalam pertandingan ini. Sesaat kemudian berjajarlah mereka yang akan mengambil
bagian dalam perlombaan ini. Tidak terkecuali, anak buah
Widura. diantaranya Sidanti yang dengan tersenyum-senyum
memasuki lapangan. Betapa kecewa anak muda itu,
melampaui semuanya setelah ia mengetahui pula bahwa
Agung Sedayu tidak ada diantara para pengikut perlombaan.
Dihadapan mereka tergantung lesan yang harus mereka
kenai. Sasaran itu dibuat dari sabut kelapa yang dibalut
dengan kain. Dan dibagi menjadi empat bagian. Kepala,
sekecil telur angsa, leher, yang agak cukup panjang, badan
lebih besar dan panjang dari leher dan yang terakhir bandul
sebesar jeruk bali. Sasaran yang berupa orang-orangan kecil itulah yang akan
menentukan siapakah diantara para pengikut yang paling
pandai membidikkan panahnya.
Ketika bende berbunyi, maka perlombaan itupun
dimulailah. Setiap pengikut memiliki lima buah anak panah.
Dan oleh kelima buah anak panah itu maka akan diambil nilai
tertinggi diantara mereka. Apabila anak panah mereka
mengenai kepala, maka berarti mereka akan mendapat lima
buah nilai. Leher tiga nilai dan badan dua nilai. Sedangkan
apabila pana mereka mengenai bandul, maka apabila mereka
telah mendapat nilai, maka nilai itu akan gugur tiga nilai.
Sesaat kemudian meluncurlah anak panah yang pertama
diikuti oleh sorak para penonton. Namun sayang, panah itu
sama sekali tidak mengenai sasarannya. Disusul dengan anak
panah yang kedua, ketiga. Namun ketiga anak panah itu
menyentuh sasaranpun tidak. Penonton bersorak-sorak
kembali ketiga anak panah yang keempat kemudian tepat
mengeni leher sasaran. Tiga nilai.
Maka penontonpun berteriak-teriak pula "Tiga, tiga"
Penonton mejadi tegang ketika meluncur anak panah yang
kelima. Dan meledaklah sorak para penonton. Bukan karena
mereka menjadi kagum anak panah itu, mereka tertawa geli,
karena anak panah itu mengenai bandul.
"Habis, habis" teriak mereka. Dan tiga nilai yang didapatnya
dari panah keempat itupun menjadi habis karena dengan
mengenai bandul itu, maka berarti tiga nilai digugurkan.
Orang yang pertama itu sambil menundukkan kepalanya
terpaksa berjalan keluar lapangan. Namun iapun menjadi geli
juga. karena itu, sempat juga ia tersenyum-senyum sendiri.
Maka kemudian majulah orang kedua, ketiga, keempat.
Namun tak seorangpun yang dapat menggemparkan
penonton karena bidikan-bidikannya yang tepat. Sekali dua
kali ada juga diantara mereka yang mengenai sasaran.
Namun diantara lima anak panah itu, maka paling banyak dua
diantaranya yang dapat mengenai sasarannya.
Ketika kemudian sampai pada giliran Swandaru maju
dengan anak panahnya, maka penontonpun menjadi gempar
pula. Swandaru telah dapat merampas hati penonton dengan
dua kemenangan berturut-turut didalam arena pertandingan
itu. karena itu, maka diantara penonton itupun mengharap
pula, agar kali ini, Swandaru akan dapat setidak-tidaknya tidak
mengecewakan mereka. Sebenarnyalah, maka anak panah yang pertama yang
dilepaskan oleh Swandaru benar-benar telah menggemparkan
penonton. Meskipun tidak mengenai kepala, namun sekali
bidik Swandaru telah mengguncangkan sasaran dengan
mengenai bagian badannya. Kegemparan penonton menjadi
semakin riuh, ketika panah Swandaru yang kedua dapat
mengenai leher. Ketika Swandaru menarik tali busurnya yang
ketiga kalinya, maka terdengarlah suara riuh disekitar arena
"Naik sedikit Swandaru, naik sedikit"
Dan meledaklah sorak para penonton seakan-akan
memecahkan selaput telinga ketika anak panah Swandaru itu
benar-benar mengenai kepala sasaran.
Swandaru itupun kemudian berhenti sesaat. Setelah
menarik nafas dalam-dalam, maka sekali lagi lapangan itu
diguncangkan oleh tepuk sorak yang gemuruh. Sekali lagi
anak panah Swandaru mengenai kepala. Namun para
penonton itu menjadi kecewa ketika anak panah Swandaru
yang kelima yang terbang dari busurnya dengan kecepatan
penuh, hanya menyentuh saja kepala sasaran, namun tidak
hinggap padanya, sehingga dengan demikian, anak panah itu
dianggap tidak mengenai sasarannya.
Swandaru itu memandangi anak panah yang kelima
dengan penuh penyesalan. Katanya sambil bertolak pinggang
"He, kenapa kau tidak mau berpaling sejari saja. Kalau kau
berpaling sedikit saja, maka anak panah itu akan hinggap
dikepalamu" Namun kemudian telah terdengar bende untuk pengikut
berikutnya. Kini mulailah anak buah Widura dengan
perlombaan itu. Namun ada pula diantaranya yang tidak lebih
tepat dari anak-anak muda Sangkal Putung. Sendawa
misalnya. Betapa pandai ia mengayun-ayunkan kelewangnya,
namun ternyata ia bukan pembidik yang tepat, ia dapat
mengenai perut lawannya dimedan-medan pertempuran.
Namun perut orang jauh lebih besar dari seluruh tubuh orangorangan
yang harus dikenainya sebagai sasaran.
Tetapi ternyata Hudaya ada pemanah yang baik. Sejak ia
melepaskan anak panahnya yang pertama, maka ia telah
menggemparkan lapangan itu. Anak panahnya yang pertama
ternyata langsung mengenai kepala sasaran. Demikianlah
anak panahnya yang kedua. Ketika ia merik busurnya untuk
yang ketiga kalinya dengan berdebar-debar penonton
menanti. Dan sekali lagi meledaklah sorak yang gemuruh.
Panah ketiga itupun mengenai kepala sasaran pula.
Demikianlah para penonton menjadi semakin tegang. Sekali
lagi para penonton berteriak-teriak sekuat-kuatnya ketika anak
panah yang keempatnya hinggap dikepala. Dengan demikian
ketegangan diarena itu menjadi semakin memuncak. Keempat
anak panah yang telah memenuhi kepala orang-orangan
itupun dicabutlah untuk memberi tempat seandainya anak
panah yang kelima inipun akan mengenainya pula. Dan
lapangan itu seakan-akan menjadi benar-benar runtuh ketika
penonton menyaksikan anak panah kelima yang lepas dari
busur Hudaya. Anak panah itupun tepat pula mengenai kepala
orang-orangan itu. Sehingga dengan demikian pemanah
itupun telah menunjukkan kesempurnaan bidikannya.
Bukanlah karena kebetulan ia dapat mengenai kepala
sasaran. Namun sebenarnyalah memang Hudaya adalah
pembidik yang baik. Ketika kemudian terdengar bende berbunyi, masuklah Citra
Gati ketengah-tengah lingkaran. Dengan tersenyum-senyum
ia memberi ucapan selamat kepada Hudaya, katanya
"Hudaya, ternyata kau tidak memberi aku tempat. Apa yang
dapat kau kerjakan" Tak ada yang dapat berbuat lebih baik
daripadamu" Hudaya itupun tersenyum pula. Namun ia tidak menjawab.
ketika ia bergeser dari tempatnya, ia terkejut ketika ia melihat
mata Sidanti menyala-nyala.
Ternyata Sidanti tidak rela melihat kecakapan Hudaya
membidikkan anak panahya. Sambutan rakyat Sangkal
Putung atas kemenangannya itupun tak menyenangkannya.
Tetapi ternyata Hudaya itu tak menghiraukannya. Ia langsung
berjalan kembali ketempatnya. Berdiri dalam jajaran para
peserta untuk melihat bagaimana hasil bidikan kawankawannya
yang lain. Dan ternyata Citra Gati itupun tidak mengecewakan.
Dengan tersenyum ia menarik busurnya untuk yang pertama
kalinya. Ketika anak panahnya terlepas, maka dengan
tegangnya ia mengikutinya dengan pandangan matanya. Ia
tersenyum pula ketika didengarnya sorak penonton. Anak
panah itupun hinggap dikepala. Demikianlah anak panahnya
yang kedua, ketiga dan keempat. Lapangan itu benar-benar
menjadi gempar. Ketika ia memasang anak panahnya yang
kelima, Citra Gati berpaling kepada Hudaya. Dilihatnya
Hudaya tertawa dan berkata "Ayo panahmu tinggal satu.
Nilaimu tak akan melampaui nilaiku. Tak mungkin kau dapat
membidik kepala orang-orangan itu hingga enam kali"
"Berilah aku anak panah satu lagi" sahut Citra Gati.
Hudaya tidak menjawab. Hanya telunjuknyalah yang
menunjuk ke orang-orangan diujung lapangan.
Citra Gati menarik nafas dalam-dalam. Panah-panahnya
yang lain telah dicabut pula. Dan kini ia membidikkan anak
panahnya yang kelima. Sekali lagi lapangan itu menjadi gempar. Tidak saja sorak
yang membahana, namun beberapa orang yang todal dapat
mengendalikan perasaannya telah melemparkan bermacammacam
benda keudara. Tutup kepala, tongkat-tongkat dan
bahkan kain yang dipakainya. Anak panah Citra Gati yang
kelimapun tepat mengenai sasara. Kepala.
Hudayapun kemudian berlari-lari mendapatkan sahabatnya
itu. Sambil memberi salam ia berkata "Terlalu. Kau tak mau
kalah satu nilaipun daripadaku"
Citra Gati tidak menjawab. perlahan-lahan ia bergeser dari
lingkaran pembidik. Kini sampailah giliran yang terakhir. Demikian anak muda
itu berjalan ketengah-tengah lingkaran, maka para
penontonpun telah menyorakinya. Dengan tersenyum anak
muda itu melambaikan tangannya. Namun senyum itu tidak
begitu cerah seperti senyumnya semalam, pada saat ia
mengenangkan kemenangan yang bakal dicapainya. Anak
muda itu adalah Sidanti. Ia sama sekali tidak mencemaskan dirinya. Ia yakin bahwa
kelima anak panahnya akan tepat mengenai sasaran. Namun
betapapun demikian, maka Hudaya dan Citra Gati itupun
dapat berbuat seperti apa yang akan dilakukan. Sehingga hal
itu pasti akan mengurangi kebesaran namanya. Meskipun
demikian, ia tidak dapat berbuat apa-apa. Hudaya dan Citra
Gati telah melakukannya. Dan apa yang diyakini itu benar-benar terjadilah. Sidanti
tidak memerlukan waktu terlalu lama seperti Hudaya dan Citra
Gati. Itulah kemenangannya yang dapat ditunjukkan kepada
orang-orang Sangkal Putung. Ia hanya memerlukan saat yang
pendek. Memasang, menarik sanbil mengangkat busur,
kemudian seakan-akan tanpa membidik, maka anak panah
itupun meluncur menuju sasaran. Dan adalah mentakjubkan
sekali. Anak panah itu seolah-olah mempunyai mata, sehingga
dengan langsung hinggap dikepala orang-orangan.
Orang-orang Sangkal Putung itu benar-benar tak dapat
menahan diri lagi. Mereka berloncat-loncatan dan seperti


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang yang kehilangan akal kesadaran menari-nari sambil
berteriak-teriak keras-keras.
Dengan sebuah senyuman yang kecil Sidanti mengambil
anak panahnya yang kedua. Anak panah inipun
menggemparkan para penonton pula. Sekali Sidanti
mengerling kearah Sekar Mirah yang duduk tidak jauh dari Ki
Demang Sangkal Putung. Dilihatnya wajah gadis itu menjadi
tegang. Namun tiba-tiba ketika ia melihat anak panah Sidanti
hinggap disasarannya, dengan serta-merta iapun bertepuk
tangan sekeras-kerasnya. Namun ketika ia memandang wajah Agung Sedayu, Sidanti
menjadi agak kecewa. Anak muda itu memandang anak
panahnya dengan pandangan yang kosong. Ia bertepuk
tnagan karena orang-orang lain bertepuk tangan. Tetapi tak
ada kesan kekaguman memancar diwajahnya.
"Persetan dengan anak itu" gerutunya didalam hati.
"Namun adalah suatu kenyataan ia tidak berani turun kearena"
Sidanti puas dengan kata-kata diangan-angannya. Kembali
ia memandang sasarannya, dan kembali anak panahnya
mematuk kepala. Demikianlah maka kegemparan meledak
sejadi-jadinya dilapangan itu ketika panah Sidanti yang kelima
hinggap tepat dikepala orang-orangan itu pula.
Ketika sorak sorai orang-orang Sangkal Putung itu telah
mereda, maka Widura tampak berdiri dan melangkah maju
kearena. Betapapun isi dadanya, namun ia memberikan
ucapan selamat pula kepada Hudaya, Citra Gati dan Sidanti.
Kemudian dengan nyaring ia berkata "Kita masih harus
memilih satu diantara ketiga-tiganya. Kini lepaskanlah sasaran
itu. Gantungkan dengan tali yang agak panjang. Terbalik.
Kepalanya dibawah. Dan apabila tanda berbunyi, ayunkan
orang-orangan itu. Nah, ketiga-tiganya mendapat kesempatan
yang sama. Membidikkan anak panahnya pada waktu yang
bersamaan. Masing-masing dengan tiga buah anak panah,
dalam hitungan sampai angka kelima belas"
Hudaya dan Citra Gati tertawa masam. Terdengar Hudaya
berbisik "Sekarang aku harus mengaku kalah. Kalau ada satu
saja anak panahku yang hinggap, ambillah nilainya"
"Kita tidak sedang membagi makan. Ambillah angkamu
untukmu. Atau barangkali dapat kau simpan untuk perlombaan
yang akan datang" sahut Citra Gati.
Keduanya kemudian terdiam. Mereka melihat beberapa
orang sedang menggantungkan sasaran dengan tali yang
cukup panjang. Kemudian mereka menerima tiga anak panah
masing-masing. Dan ketika bende berbunyi, mereka harus
sudah siap berdiri pada satu baris lurus menghadap orangorangan
yang telah siap untuk diayunkan.
Sesaat kemudian sasaran itupun telah dilepaskan.
Terayun-ayun seperti buaian tertiup angin yang kencang.
Hudaya, Citra Gati dan Sidanti berdiri dengan tegangnya.
Sedang Sidanti tampak tersenyum-senyum kecil. Kali ini ia
yakin, bahwa ia akan memenangkan pertandingan ini.
Penonton benar-benar menjadi tegang ketika terdengar
Widura mulai dengan hitungannya "Satu, dua, tiga, ?"".."
Panah yang pertama lepas adalah anak panah Sidanti.
Anak panah itu benar-benar seperti mempunyai mata.
Meskipun sasarannya masih juga terayun-ayun, namun anak
panah Sidanti tepat mengenai kepala. Dan lapangan itupun
menjadi semakin gemuruh pula.
"Uh" geram Hudaya, ketika ia melihat ayunan orangorangan
itu dan menjadi goyah karena anak panah Sidanti.
"Makin sulit" gerutunya. Citra Gati tidak menyahut. Ia
membidik dengan cermatnya, dan anak panahnya yang
pertama terbang seperti dikejar setan. Dan sorak dilapangan
itupun membahana pula. Kali ini Citra Gatipun tepat mengenai
kepala sasaran. Belum lagi sorak itu berhenti, maka seolah-olah disusul
pula dengan ledakan tepuk tangan yang tak kalah kerasnya.
Panah Hudayapun menyusul kedua anak panah yang
mendahuluinya. Kepala. Citra Gati menyeringai. "Setan kau Hudaya" gumamnya.
Namun Hudaya hanya tersenyum saja. Tetapi segera
senyumnya lenyap ketika terdengar para penonton berteriakteriak
seperti orang mabuk. Panah kedua Sidanti tepat
mengenai sasarannya pula.
Kini sasaran itu terayun berputaran tidak menentu. karena
itu, para pemanah itu menjadi semakin sulit. Hudaya masih
membidkkan anak panahnya. Namun anak panah Citra Gati
lah yang terbang lebih dulu. Yang terdengar adalah pekik
penyesalan. Anak panah Citra Gati itu hanya menyentuh
kepala sasaran, namun karena kepala sasaran itu goyah, dan
padanya telah melekat beberapa anak panah, maka anak
panah Citra Gati itu meloncat dan jatuh beberapa langkah dari
orang-orangan itu. "Gila" teriak Citra Gati diluar sadarnya. Dan ia mengumpat
kembali ketika ia mendengar sorak gemuruh para penonton
seperti akan meruntuhkan gunung Merapi. Anak panah Sidanti
yang ketiga telah hinggap
dikepala orang-orangan itu
pula.Hudaya menggeram. Ia
belum melepaskan anak panahnya yang kedua. Dengan
memgigit bibirnya, anak panah
itu berlari kencang sekali.
Namun sekali lagi penonton
menyesal karenanya. *** Anak panah itu mengenai anak panah yang lain pula, yang
telah lebih dahulu hinggap pada
sasaran itu. Anak panah itupun
tak dapat hinggap pula dan jatuh terpelanting beberapa
langkah jauhnya. Pada saat itu Citra Gati telah mengangkat busurnya.
Namun sasaran itu bergerak-gerak tak keruan. Kini tak ada
lagi harapan baginya untuk mengenai kepala, sebab kepala
sasaran itu seolah-olah telah penuh dengan anak panah yang
bergoyang-goyang pula. hana pembidik-pembidik yang luar
biasa sajalah yang akan dapat mengenainya. Karena itu Citra
Gati membidikkan anak panahnya keleher sasaran. Namun
tiba-tiba betapa ia menjadi kecewa. Hudayapun kecewa bukan
buatan. Belum lagi mereka sempat melepaskan anak panah
mereka yang ketiga terdengar Widura mengucapkan hitungan
yang terakhir "Lima belas?"" dan terdengarlah bende
berbunyi dengan nyaringnya.
Hitungan yang terakhir itupun disambut dengan pekik sorak
dari para penonton. Mereka berteriak-teriak menyebut nama
Sidanti. Dan Sidanti itupun kemudian melangkah maju
ketengah-tengah lapangan sambil melambaikan tangannya.
Anak muda itu menjadi semakin bergembira ketika ia
melihat Sekar Mirah seperti anak-anak yang melonjak-lonjak
sambil mengacungkan ibu jari kepadanya.
"Nah, lihatlah" kata Sidanti dalam hatinya "Apa yang dapat
dilakukan oleh Sedayu itu. Ternyata tidak lebih dari seorang
perempuan cengeng yang hanya dapat bersembunyi
dipunggung pamannya"
Hudaya masih berdiri ditempatnya, dan Citra Gatipun masih
berada disampingnya pula. terdengar kemudian Hudaya
berkata "Aku benar-benar tidak membutuhkan nilai itu.
Ambillah. Kau akan menjadi pemenang kedua"
Citra Gati tersenyum. ia tidak menjawab kata-kata Hudaya.
Namun katanya "Lihatlah betapa sombongnya anak muda itu"
"Biarkanlah ia berbuat demikian" sahut Hudaya. "Coba kau
mau apa" bukankah kau dapat dikalahkan dengan jujur?"
"Aku tidak mau apa-apa" jawab Citra Gati "Aku benar-benar
kalah. Tetapi bagaimana dengan Agung Sedayu?"
Hudaya menarik nafas dalam-dalam. Katanya "aku menjadi
agak kecewa. Mungkin ia mempunyai perhitungannya sendiri.
Kalau ia menang maka tak ada kekaguman apapun padanya.
Adalah lumrah ia dapat memenangkan pertandingan sekecil
ini. Tetapi kalau ia dikalahkan Sidanti, maka namanya akan
menjadi surut" Citra Gati mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika ia
memandang berkeliling, ternyata sebagian dari para penonton
telah meninggalkan lapangan itu. Tak ada hadiah yang akan
diberikan, namun Ki Demang Sangkal Putung akan
menyiapkan pesta dengan memotong beberapa ekor lembu
bagi kemenangan anaknya dan kemenangan Sidanti.
Citra Gati itu mengerutkan keningnya ketika ia melihat
Sidanti dan Sekar Mirah sedang bercakap-cakap dengan
asiknya. Ketika sekali ia memandang Agung Sedayu,
dilihatnya anak muda itu menundukkan wajahnya.
Sesaat kemudian Widura dengan resmi menutup
pertandingan itu. Disebutnya para pemenangnya yang
disambut dengan sorak yang gemuruh. Swandaru bagi anakanak
muda Sangkal Putung ternyata merupakan pemenang
dalam segala lapangan. Sedangkan bagi anak buah Widura
sendiri, Sidantilah yang menjuarainya.
Namun dalam pada itu, kekecewaan dihatinya terhadap
Agung Sedayu kini benar-benar telah sampai kepuncaknya. Ia
melihat kekecewaan pada beberapa orang lain. Dan ki
Demang itupun telah bertanya kepadanya, kenapa Agung
Sedayu tidak bersedia turut serta meramaikannya. karena itu,
demikian ia selesai dengan kata penutupnya, ia sama sekali
tidak berkata apapun kepada Sedayu. Langsung ia pergi
meninggalkan lapangan itu dengan kepala tunduk.
Beberapa anak buahnya segera mengikutinya dibelakang.
Ki Demangpun berjalan pula disampingnya. Katanya
"Dimanakah angger Sedayu?"
"Masih dibelakang kakang " sahut Widura kosong.
Ki Demang itupun berpaling. Dilihatnya Sidanti berjalan
bersama Sekar Mirah dan dilihatnya Sedayu masih berada
ditempatnya bersama Swandaru.
Tetapi Ki Demang itu tidak bertanya lagi. Betapapun juga
dirasakannya sesuatu berdesir didadanya. Sebagai seorang
ayah, Ki Demang prihatin atas pilihan anak gadisnya. Karena
sikap Sekar Mirah itu, maka pada suatu saat dapat terjadi halhal
yang tak diinginkan. Sebagai seorang yang telah cukup
usianya, ia tahu benar apa yang tersembunyi didalam hati
Agung Sedayu dan Sidanti. Tetapi ia belum dapat berbuat
sesuatu. Dan memang sedang dipikirkannya, bagaimana ia
dapat mengendalikan gadis itu.
Agung Sedayu melihat arus manusia itu dengan berdebardebar
pula. lapangan itu seakan-akan sebuah telaga yang
mengalir kesegenap penjuru, semakin lama menjadi semakin
kering, sehingga akhirnya tinggallah beberapa orang saja
yang masih hilir mudik dilapangan itu.
"apakah tuan akan kembali?" bertanya Swandaru kepada
Sedayu. Sedayu mengangguk "Ya"jawabnya singkat. Tetapi ia masih
duduk ditempatnya. "Marilah" ajak Swandaru.
Agung Sedayu memandang berkeliling untuk sesaat.
Kemudian iapun berdiri. Katanya "Sebentar Swandaru, apakah
kau tergesa-gesa?" "Tidak" jawab Swandaru. "Tetapi apakah ada sesuatu yang
penting dilapangan ini?"
Sekali lagi Swandaru memandang berkeliling. Orang-orang
yang bertugas membersihkan lapangan itupun telah hampir
selesai dengan pekerjaannya. Dan sesaat kemudian lapangan
itupun benar-benar telah sepi.
Tiba-tiba terdengarlah Swandaru itu bertanya "Tuan,
kenapa tuan tidak ikut dalam perlombaan ini?"
Sedayu menggeleng lemah "Tidak Swandaru"
"Aku muak melihat kesombongan Sidanti. Dan aku muak
pula melihat Sidanti," berkata Swandaru pula. "Biarlah nanti
dirumah aku hajar perempuan itu"
"Jangan Swandaru" cegah Sedayu. "Tak ada gunanya.
Biarlah ia berbuat apa saja yang disukainya"
Swandaru terdiam. Namun ia menjadi heran. Sedayu masih
belum beranjak dari tempatnya "Apakah yang tuan tunggu?" ia
bertanya. Sekali lagi Sedayu memandang berkeliling. Lapangan oi
telah benar-benar menjadi sepi. Hanya satu dua orang saja
yang masih sibuk melipat tikar dan beberapa perlengkapan.
"Swandaru" berkata Agung Sedayu lirih. Namun kemudian
kata-katanya terputus, dan ia menjadi ragu-ragu.
Swandaru memperhatikan wajah Agung Sedayu dengan
seksama. Setelah beberapa lama Agung Sedayu berdiam diri,
maka bertanyalah Swandaru "Apakah yang akan tuan
katakan?" Sekali lagi pandangan mata Agung Sedayu beredar.
Kemudian katanya "apakah aku dapat meminjam panahmu
itu?" "Apakah yang akan tuan lakukan?" bertanya Swandaru.
"Aku ingin berlatih memanah, supaya lain kali aku dapat
ikut serta dalamplb-perlombaan seperti ini"
"Sekarang?" "Ya" "Apakah tuan belum pandai memanah?"
Agung Sedayu menggeleng. "Belum Swandaru"
Swandaru menarik nafas. Ia benar-benar kecewa
mendengar pengakuan itu. karena itu ia bertanya "Apakah
tuan berkata sebenarnya?"
"Apakah kau sangka aku pandai memanah?" bertanya
Agung Sedayu. "Tuan adalah anak muda yang kami kagun=mi. ataukah
mengkin tuan hanya pandai bertempur dalam jarak yang
pendek" Dengan pedang dan tombak?"
"Entahlah Swandaru. Cobalah lihat, bagaimanakah
penilaianmu atas diriku"
Swandaru tidak menjawab. dengan tergesa-gesa ia
melepaskan busur yang menyilang dipunggungnya/ dan
diambilnya anak panahnya dari bumbung dilambung kuda
putihnya. "Inilah tuan" katanya. "Namun berlatih memanah
bukanlah dapat dilakukan sehari dua hari"
"Itulah sebabnya kau mulai dari sekarang"
Swandaru tidak menjawab. ia menjadi tegang ketika ia
melihat Sedayu memegang busur dan anak panahnya.
"Swandaru" berkata Sedayu "Aku akan mencoba mengenai
sasaran yang masih bergantung itu. Tolong, ayunkanlah


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seperti pada saat perlombaan tadi"
Swandaru menjadi heran. Kalau Agung Sedayu masih ingin
belajar, mengapa sasaran itu harus diayunkannya" Tetapi ia
tidak menjawab. Ia berjalan saja kearah sasaran yang masih
tergantung terbalik itu. Ditariknya orang-orangan itu dan
kemudian dilepaskannya seperti pada saat perlombaan kedua
antara Hudaya, Citra Gati dan Sidanti.
Tetapi Swandaru menjadi bertambah heran ketika ia
melihat Agung Sedayu menggelengkan kepalanya. Dengan
tangan Agung Sedayu memberi isyarat, supaya Swandaru
mempercepat ayunan orang-orangan itu.
"Aneh?" pikir Swandaru "Apakah yang akan dilakukannya?"
Kini Swandaru itupun tidak bertanya. Ditariknya orangorangan
itu semakin jauh, dan kemudian sasaran itu tidak saja
dilepaskan namun didorongnya sehingga ayunannya menjadi
bertambah cepat. Tetapi kemudian Swandaru itu melihat Agung Sedayu
melambaikan tangannya memanggil. Berlari-lari kecil
Swandaru pergi mendekati Agung Sedayu, katanya setelah ia
berdiri disamping anak muda itu "Nah, sekarang apakah yang
akan tuan lakukan?" "Swandaru" berkata Agung Sedayu "Apakah yang harus
aku kenai?" "Terserahlah kepada tuan" jawab Swandaru. "namun dalam
perlombaan-perlombaan, kepalanyalah yang diangap
mempunyai nilai tertinggi"
Sedayu tidak menjawab lagi. Perlahan-lahan ia
mengangkat busurnya, sedang Swandaru memandanginya
dengan wajah yang tegang.
"Aku akan mengenainya dari atas berturut-turut" berkata
Agung Sedayu. "Mulai dari bandul, kemudian badan, leher dan
yang terakhir kepala"
Swandaru tidak menjawab. Meskipun untuk mengenai
kepala sasaran itu cukup sulit, namun mengenai semua
bagian berturut-turut menurut rencana itupun bukan pekerjaan
yang mudah. Apalagi ia belum pernah melihat, apakah
Sedayu itu benar-benar dpat membidikkan panahnya.
Tetapi kemudian Swandaru itupun terpaku melihat anak
panah Sedayu. Anak panah yang pertama itu laju dengan
cepatnya, dan seperti apa yang dikatakan oleh Agung Sedayu,
anak panah itu mengenai bandulnya tepat ditengah-tengah.
"Tuan" berkata Swandaru dengan serta-merta. "Ternyata
tuan tidak sedang belajar memanah. Tuan dapatmengenai
sasaran yang tuan bidik dengan tepat"
"Aku akan mencoba mengenai badannya" sahut Sedayu.
Namun ia meneruskan kata-katanya "Tetapi kau harus
berjanji" "Apakah yang harus aku janjikan?"
"Jangan berkata kepada siapapun tentang apa yang akan
kau lihat" Swandaru mengerutkan keningnya. Ia benar-benar tidak
mengerti sikap Agung Sedayu. Apakah ia sedang
merahasiakan sesuatu" Seandainya ia mempunyai cara yang
khusus, supaya cara itu tidak dapat ditiru oleh orang lain,
apakah salahnya kalau ia mengatakan hasilnya saja"
Meskipun demikian, namun Swandaru itu mengguk kosong
sambil menjawab "Baiklah tuan"
"Kau berjanji?"
"Ya" "Bagus" sahut Sedayu. Dalam pada itu ia telah mengangkat
busurnya kembali. Dan panahnya yang kedua itupun benarbenar
mengenai bagian badan dari orang-orangan yang masih
saja terayun-ayun itu. "Luar biasa" desis Swandaru. "Tuan benar-benar
mengherankan. Tuan membidik bandul, anak panah tuan
hinggap dibandul. Tuan membidik badan dan anak panah tuan
hinggap dibadan. Sekarang tuan akan mengenai lehernya,
bukan begitu?" "Aku akan coba" jawab Sedayu. Namun demikian ia selesai
mengucapkan kata-katanya, demikian anak panahnya terbang
menuju sasarannya, leher.
"Bukan main tuan" berkata Swandaru. "Sekarang bukankah
tuan akan mengenai kepala orang-orangan itu?"
Sedayu mengangguk. "Seharusnya, tuan mengenainya tiga kali. Dengan demikian
aku akan yakin, bahwa tuan lebih pandai dari anak muda yang
sombong itu" "Jangan membanding-bandingkan Swandaru" sahut
Sedayu. "Aku tidak sedang berlomba. Perlombaan itu sudah
selesai dan Sidantilah yang mendapatkan kedudukan tertinggi.
Sedang kini aku hanya bermain-main saja. Tak ada hubungan
apapun dengan perlombaan yang baru saja selesai."
Sekali lagi Swandaru mengerutkan keningnya. Tetapi ia
tidak berkata apapun. Diamatinya anak panah dibusur Sedayu
dengan seksama. Sambil membungkuk-bungkuk ia
memerhatikan setiap gerak jari Agung Sedayu. Dan sesaat
kemudian lepaslah anak panah yang keempat itu.
Sekali lagi Swandaru berteriak "Bukan main, bukan main.
Tuan telah mengenainya pula"
Sedayu tertawa kecil. Ia senang pula melihat seseorang
mengaguminya. Apabila demikian, sebenarnya timbul pula
keinginannya agar semua prang mengetahuinya pula, bahwa
sebenarnya iapun dapat berbuat saperti apa yang dilakukan
oleh orang lain. Namun kembali ia menjadi cemas, apabila
dibayangkannya akibat dari kelebihannya itu. Ia cemas kalau
ada orang yang mendendamnya. Dan kini yang hadir di
lapangan itu tinggal seorang saja. Swandaru. Dan Swandaru
telah berjanji kepadanya, untuk tidak mengatakan apapun dan
kepada siapapun tentang apa yang dilihatnya. Karena itu,
sebagai imbangan dari ketakutannya, maka meledaklah
keinginannya untuk menunjukkan setiap kemampuan yang
ada pada dirinya, meskipun hanya terhadap seorang saja dan
kepada dirinya sendiri. Maka katanya "Swandaru, berapakah anak panahmu
seluruhnya?" "Sepuluh tuan" jawab Swandaru.
"Marilah, berilah aku dua lagi, supaya aku dapat mengenai
kepala sasaran itu tiga kali"
Swandaru yang menjadi gembira melihat permainan Agung
Sedayu itupun berlari-lari kekudanya. Diambilnya seluruh anak
panahnya dan diserahkannya kepada Agung Sedayu "Inilah
tuan" Agung Sedayu menerima anak panah itu. Kemudian
dengan cepatnya ia melepaskan dua anak panah berturuturut.
Dan keduanya itupun hinggap dikepala sasaran pula.
Swandaru itupun bertepuk tangan sambil berteriak-teriak
"Mengagumkan, mengagumkan". Namun kemudian ia terdiam
ketika Agung Sedayu berdesis "Jangan ribut Swandaru, aku
tidak mau bermain-main lagi"
"Ternyata tuan melampaui setiap orang yang ikut dalam
perlombaan itu. Kenapa tuan sendiri tidak ikut serta?"
Sekali lagi Agung Sedayu membantah, katanya "Tidak, tak
ada hubungannya dengan perlombaan yang baru saja
berakhir" "Ya" sahut Swandaru. "Memang tak ada hubungannya.
Tetapi tuan benar-benar telah mengagumkan aku. Seandainya
tuan melakukannya selagi masih banyak orang dilapangan ini,
maka lapangan ini pasti akan meledak karena sorak mereka
yang gemuruh" "Sudahlah. Lupakan perlombaan itu" potong Agung
Sedayu. "Apakah kita masih akan bermain-main?"
"Tentu" jawab Swandaru. "Apakah tuan masih mempunyai
permainan yang lebih baik lagi?"
"Swandaru" berkata Agung Sedayu kemudian. "Apakah
yang lebih kecil dari kepala sasaran itu?"
Swandaru mengerutkan keningnya.jnya "Tak ada tuan"
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Ditatapnya sasaran yang bergerak-gerak terayun kian kemari
meskipun sudah semakin lambat. Dan kemudian terdengar ia
bertanya "Swandaru, bahan apakah yang dibuat untuk tali
pengikat orang-orangan itu?"
Swandaru menjadi heran. Ia tidak tahu maksud pertanyaan
Agung Sedayu. Meskipun demikian ia menjawab juga "Serat
tuan, serat nanas yangdipilin menjadi tali yang kuat"
"Apakah bukan jangat?"
"Oh, bukan tuan. Jangat kulit terlalu kaku"
"Marilah kita buktikan"
Sekali lagi Swandaru menjadi keheran-heranan. Apakah
hubungannya antara panah-panah dan serat nanas itu"
karena itu maka ia bertanya "Bagaimanakah tuan akan
membuktikan" Dan apakah gunanya?"
Agung Sedayu tidak menjawab. namun dipasangnya
sebatang anak panah dibusurnya. Perlahan-lahan busur
itupun diangkatnya. Kini ia membidikkan anak panah itu.
Swandaru yang masih belum tahu maksud Agung Sedayu
memperhatikannya dengan berbagai pertanyaan memenuhi
dadanya. Kali ini Agung Sedayu menarik tali busur
sepenuhnya, sehingga busur itu seakan-akan hampir menjadi
patah. Dengan hati yang berdebar-debar Swandaru
memandangi busurnya. Namun tiba-tiba Agung Sedayu
melepaskan anak panah itu, dan anak panah itu terbang
secepat angin. Betapa Swandaru menjadi terkejut menyaksikan hasil
bidikan Agung Sedayu. Sehingga untuk beberapa saat ia
tegak seperti patung. Dengan mulut ternganga ia menyaksikan
anak panah yang lepas dari busutnya dengan laju yang tinggi
itu telah memutus tali penggantung orang-orangan yang
terayun-ayun. Demikian cepatnya dan demikian kerasnya.
Barulah ia tahu maksud pertanyaan Agung Sedayu, tentang
bahan pembuat tali itu. Swandarupun pernah juga melihat tali penggantung
sasaran itu terputus karena anak panah. Namun justru karena
sama sekali tak disengaja. Justru karena anak panah yang
condong dari arah bidikan. Tetapi kini Agung Sedayu telah
dengan sengaja membidik tali itu. Tali yang jauh lebih kecil
dari sasaran itu sendiri. Dan Agung Sedayu ternyata tepat
mengenainya. Karena itu, ketika ia menyadari tentang apa yang dilihatnya
maka dengan serta-merta ia meloncat maju. Dengan
gairahnya ia mengguncang-guncang bahu Agung Sedayu
sambil berkata terbata-bata "Tuan. Ternyata dugaanku benar.
Tuan ternyata benar-benar melampaui setiap orang yang
pernah aku lihat. Bukankah dengan mengenai tali itu terbukti
tuan tak mungkin dikalahkan oleh siapapun juga. Tali itu jauh
lebih kecil dari kepala sasaran itu. Dan tali itu sedang
bergerak-gerak. Ternyata tuan dapat mengenainya. Tidak saja
tepat, namun tuan sudah berhasil memutuskannya. Bukankah
dengan demikian berarti bahwa tuan mengenainya tepat
ditengah-tengah?" Agung Sedayu yang terguncang-guncang itupun
melepaskan dirinya. Sambil tertawa ia berkata "Jangan
Swandaru. Nanti tubuhku rontok karena guncanganmu.
Ternyata tenagamu luar biasa pula, sehingga tulang-tulangku
hampir remuk karenanya"
Swandaru menarik nafas. Dengan penuh kekaguman sekali
lagi ia memandangi ujung tali yang terputus oleh anak panah
Agung Sedayu. Sambil menggeleng-gelengkan kepala ia
bergumam "Apakah tuan dapat menaruh biji-biji mata diujungujung
anak panah itu?" Agung Sedayu tidak menjawab. namun ia tertawa. Kini
iapun menjadi bergembira pula seperti Swandaru. Bahkan ia
menjadi semakin berbangga. Timbullah keinginannya untuk
menunjukkan berbagai macam permainan, yang dapat
menunjukkan kelebihan-kelebihan yang dimilikinya dari orang
lain sebagai pencurahan hatinya yang selalu terkekang oleh
kekerdilan jiwanya. "Swandaru" berkata Agung Sedayu kemudian "Didalam
pertempuran orang tidak saja terikat kepada sasaran tertentu.
Mungkin ia harus membidik lawan yang sedang berlari
kencang bahkan diatas punggung kuda. Mungkin ia harus
membidik tubuh lawannya yang hanya nampak sebagian kecil
karena bersembunyi dibalik pepohonan. Nah, maukah kau
membantu aku bermain-main dengan anak panah?"
"Tentu tuan" jawab Swandaru.
"Tetapi kau harus tatag. Jangan cemas, apabila kau melihat
anak panah yang mendatang"
"Apakah yang harus aku lakukan?"
"Bawalah orang-orangan itu sambil berpacu dipunggung
kuda. Aku akan mencoba mengenainya"
"Ah, bukankah itu berbahaya?"
Agung Sedayu berpikir sejenak. Kemudian jawabnya
"Baiklah. Aku mempunyai cara lain. Lepaskanlah kepala
sasaran itu. Lemparkan keudara. Biarlah aku mengenainya
dengan anak panah" "Bagus. Permainan yang mengasyikan" sahut Swandaru
yang kemudian berlari-lari mengambil sasaran yang telah
terjatuh ditanah. Dilepasnya bagian kepalanya dan dengan
isyarat ia menunjukkan kepala orang-orangan itu kepada
Agung Sedayu. Agung Sedayu kemudian bersiap. Dengan isyarat pula ia
memberi tanda kepada Swandaru untuk melemparkan
sasaran itu keudara. Kedua anak muda itu benar-benar menjadi bergembira,
seperti sepasang anak-anak yang sedang bermain-main.
Dalam kegembiraan itu maka Agung Sedayu telah melupakan
segalanya. Melupakan kecemasannya dan melupakan
kemungkinan-kemungkinan yang dapat menyeretnya kedalam
persoalan-persoalan yang tidak dikehendakinya.
Swandaru yang berdiri beberapa puluh langkah dari Agung
Sedayu itupun kemudian melemparkan sasarannya kearah
Agung Sedayu. Ternyata betapa besarnya tenaga Swandaru.
Meskipun sasatan itu hempir tak memiliki berat, namun
Swandaru berhasil melemparkan melambung melampaui
tempat Agung Sedayu berada.
Tetapi sasaran itu tidak sempat melampauinya. Ketika
benda itu hampir sampai diatas kepalanya, maka meluncurlah
anak panah Agung Sedayu dengan kecepatan tinggi.
Apa yang dilihat oleh Swandaru benar-benar
mentakjubkannya. Kini ia bertepuk sejadi-jadinya. Ia melihat
anak panah itu menyambar sasarannya dan bahkan sasaran


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itupun ikut serta melambung keatas dibawa oleh arus anak
panah Agung Sedayu, hampir tegak lurus keudara.
Tetapi tepuk tangan Swandaru itupun kemudian terhenti. Ia
melihat Agung Sedayu melangkah beberapa langkah maju.
Dengan tegangnya ia menunggu, apalagi yang akan dilakukan
oleh Agung Sedayu itu, yang kini berdiri tepat dibawah
sasarannya yang hampir mencapai puncak ketinggian. Dan
ternyatalah sesaat kemudian sasaran itupun seolah-olah
terhenti diudara, dan sesaat pula sasaran itu menukik turun
dengan cepatnya. Namun kembali Swandaru terkejut. Ia melihat Agung
Sedayu menarik busurnya dan sebuah anak panah terbang
secepat tatit menyambar sasaran yang sedang meluncur turun
itu. Sesaat kemudian kedua benda itupun seolah-olah beradu.
Anak panah Agung Sedayu yang kesembilan telah berhasil
mematuk sasarannya pula, sehingga benda itupun kemudian
berputar seperti baling-baling diudara. Dua batang anak panah
yang saling bertentangan itu seolah-olah sengaja dipasang
sebagai jari-jari dari sebuah baling-baling. Swandaru kini tak
dapat menguasai diri lagi. Dengan cepatnya ia berlari
mendekati Agung Sedayu sambil berteriak-teriak "Gila,
bagaimana tuan dapat melakukan itu?"
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia melingkar
beberapa langkah surut. Sasaran yang dikenainya melambung
pula keatas, namun tidak setinggi semula. Karena itu, kini
Agung Sedayu siap melakukan permainannya yang terakhir.
Panahnya tinggal sebatang, dan panah itu akan
dihabiskannya. Dengan cepatnya ia memasang anak panah
itu dan sebelum sasarannya jatuh menyentuh tanah, maka
Agung Sedayu masih sempat menyambarnya dengan anak
panahnya yang kesepuluh. Sasaran itu terlempar beberapa langkah, dan kemudian
terjatuh ditanah. Namun seakan-akan sasaran itu terseret oleh
kekuatan anak panah Sedayu beberapa langkah lagi.
Apa yang dilihat oleh Swandaru itu hampir-hampir tak
masuk diakalnya. Tiga anak panah hinggap pada satu sasaran
yang sedang melambung diudara.
Seperti orang yang benar-benar kehilangan kesadaran
Swandaru berteriak-teriak kegirangan. Bahkan kemudian anak
itu telah kehilangan keseimbangan berpikir. Dengan sertamerta
ia berteriak "Tuan. Setiap orang Sangkal Putung harus
tahu apa yang telah tuan lakukan. ternyata Sidanti tidak
sepantasnya untuk menamakan dirinya pemanah terbaik dari
Sangkal Putung. Sebab tuan dapat memanah jauh lebih baik
daripadanya" Agung Sedayu terkejut mendengar kata-kata Swandaru itu.
Dengan cemasnya ia berkata "Jangan Swandaru, bukankah
kau telah berjanji?"
"Tuan terlalu merendahkan diri" sahut Swandaru. "Tetapi
sekali lagi anak yang sombong itu harus menyadari
keadaannya, ia bukan manusia yang tak ada bendingnya.
Bahkan Sidanti itu pasti tak akan dapat melakukan seperti apa
yang tuan lakukan itu"
"Jangan Swandaru" cegah Agung Sedayu.
Namun Swandaru solah-olah sudha tidak mendengar lagi
kata-kata Agung Sedayu itu. Dengan cepatnya ia berlari
kearah kuda putihnya. Dan sebelum Agung Sedayu sempat
berbuat sesuatu, Swandaru telah meloncat kepunggung
kudanya itu dan seperti sedang berpacu dengan hantu kuda
itu lari kencang-kencang.
Agung Sedayu menjadi bingung. Untunglah bahwa dalam
endongnya sudah tidak terselip lagi sebatang anak panahpun.
Seandainya, ya seandainya demikian, maka sudah pasti kuda
Swandaru itu tak akan dapat pulang kekandang.
Tetapi yang terjadi, Agung Sedayu itu berdiri dengan kaki
gemetar melihat kuda Swandaru itu terbang meninggalkan
lapangan. Sekilas berterbangan pulalah didalam benaknya,
apakah kira-kira yang akan dilakukan oleh Swandaru itu.
Terbayanglah kemudian, Sidanti akan datang dengan wajah
yang merah membara karena kemarahannya.
Didalam hati Agung Sedayu itu, timbullah suatu
penyesalan. Betapa dengan sombongnya ia telah
menunjukkan beberapa permainan yang akan dapat
membawa kesulitan kepadanya. Apalagi kini pamannya
sedang marah pula kepadanya.Namun ia sudah tidak dapat
berbuat sesuatu. Swandaru itu kini telah hilang dibalik
rimbunnya dedaunan. *** Yang tinggal adalah sebuah kepulan debu yang putih,
semakin lama semakin tipis dan akhirnya lenyap ditiup angin
yang sepoi-sepoi. karena itu, maka keringat yang dingin
segera mengalir membasahi segenap tubuh Agung Sedayu.
Swandaru itupun memacu kudanya menyusul Sidanti yang
sedang berjalan perlahan-lahan kembali kekademangan.
Dengan asyiknya ia bercakap-cakap dengan beberapa orang
yang sedang mengaguminya. Bahkan Sekar Mirah yang
kemudian berjalan disamping ayahnya itupun berkali-kali
berpaling dan sekali-sekali dipujinya anak muda itu dihadapan
ayahnya. Ki Demang Sangkal Putung hanya kadang-kadang saja
menanggapi pujian-pujian itu. Namun didalam hatinya, orang
tua itu benar-benar mengeluh. Gadisnya harus benar-benar
dikuasainya. karena itu, maka Ki Demang Sangkal Putung itu,
bahkan bertekad untuk bersikap lebih keras lagi terhadap
Sekar Mirah. Ia menyesal bahwa anak gadisnya satu-satunya
itu terlalu dimanjakannya. Baik oleh dirinya sendiri maupun
oleh ibunya, sehingga Sekar Mirah itu mempunyai sifat yang
sukar dikendalikan. Ia berbuat seenaknya seperti yang
dikehendakinya. Perasaannya terlalu tampil kedepan, jauh
kedepan dari pikiran wajarnya.
Widura berjalan saja tanpa menghiraukan apapun. Hanya
kadang-kadang saja ia memandang orang-orang yang lalu
lalang disekitarnya. Ditatapnya wajah-wajah yang dengan
gembira pulang dari lapangan menyaksikan perlombaanperlombaan
yang sangat menarik hati. Perlombaanperlombaan
yang jarang terjadi di kademangan yang subur itu.
Tetapi langkah Widura itupun kemudian terhenti, ketika ia
melihat dua orang berkuda menuju kearahnya. Dua orang
yang dikenal baik oleh Widura, sebagai laskarnya yang patuh.
Bahkan kedatangan dua orang berkuda itupun sangat menarik
perhatian orang-orang yang sedang berjalan pulang dari
lapangan itu. Sehingga ada diantaranya yang ikut berhenti
pula, menanti kalau-kalau ada sesuatu yang penting bagi
Sangkal Putung. Tetapi kedua orang itu ternyata sama sekali
tidak menunjukkan tanda-tanda yang mencemaskan, dengan
tersenyum-senyum ia kemudian turun dari kudanya dan
kemudian mengangguk hormat kepada Widura.
Widurapun mengangguk pula. dilihatnya juga kedua orang
itu hanya tersenyum-senyum, namun bagi Widura, senyum
mereka adalah senyum yang tak begitu wajar. Meskipun
demikian Widura tahu benar maksud kedua orang itu. Mereka
tidak mau merampas kegembiraan orang-orang Sangkal
Putung dengan sikap-sikap yang tegang dan tergesa-gesa.
Widurapun kemudian tidak bertanya langsung apa
keperluan mereka. Tetapi ia yakin pasti ada sesuatu. Kedua
orang itu adalah or yang sedang bertugas berjaga-jaga
diujung kademangan. "Perlombaan sudah selesai" berkata Widura kepada
mereka. "Marilah kita ke kademangan"
Kedua orang itupun mengangguk-anggukkan kepalanya,
dan dengan menuntun kuda mereka, mereka berjalan
disamping Widura ke kademangan.
Sidantipun melihat kedua orang itu pula, demikian juga
Hudaya dan Citra Gati. Bahkan Sonya yang berjalan jauh-jauh
dibelakang bersama Sendawa mempercepat langkah mereka.
Tetapi mereka menjadi kecewa ketika ternyata kedua orang itu
tak berkata apa-apa. Orang-orang Sangkal Putung yang berhenti karena
kedatangan orang-orang berkuda itupun kemudian
meneruskan langkah mereka. Ternyata dalam tanggapan
mereka, kedua orang berkuda itupun agaknya hanya ingin
menyaksikan perlombaan dilapangan, namun mereka sudah
terlambat. Namun Widura yang segera ingin tahu apa yang sudah
terjadi itu, ternyata tidak sabar menunggu sampai mereka tiba
dikademangan. karena itu maka perlahan-lahan hampir
berbisik ia berkata "Ada sesuatu?"
Salah seorang dari kedua orang berkuda itu mengangkat
wajahnya. sesaat ia memandang orang-orang berjalan
disekitarnya namun kemudian dengan berbisik pula ia berkata
"Tak begitu penting, meskipun harus mendapat perhatian"
"Apakah itu?" "Diantara beberapa orang yang lewat dimuka gardu
penjagaan kami, kami melihat seorang yang menarik
perhatian kami" Widura mengerutkan keningnya. Kemudian katanya
"Siapa?" "Seorang yang barangkali hadir juga menyaksikan
perlombaan dilapangan. Meskipun pakaiannya kumal dan
kotor, namun tongkatnya telah meyakinkan kami"
"Tongkat baja putih?"
Orang itu mengangguk. "Berkelapa kuning berbentuk tengkorak?"
Sekali lagi orang itu mengangguk.
Widura itupun menggeram "Macan yang gila itu sempat
menyaksikan perlombaan itu pula"
"Aku sangka demikian. Namun kami tidak berani
menangkapnya. Sebab kami tahu pasti kekuatan yang
tersimpan pada dirinya"
"Kalian telah berbuat benar" sahut Widura. "Juga kalian tak
dapat menghitung, berapa orang yang dibawanya"
Prajurit berkuda itu mengangguk. Katanya "Kami berenam
didalam gardu kami. Seandainya kami harus bertempur,
belum pasti kami berenam sempat melaporkan kehadirannya.
Yang dapat kami lakukan hanyalah memukul tanda bahaya.
Dan orang-orang itupun segera akan lenyap. Sedang
sebagian besar dari kami, pasti sudah mati"
"Benar" sahut Widura pula, kemudian katanya "Apakah
mereka sudah meninggalkan Sangkal Putung?"
"Kami menyangka demikian" jawab orang itu.
"Aku juga menyangka demikian" berkata Widura. "Orang itu
hanya ingin tahu, apakah yang terjadi disini, dan sekaligus ia
dapat mengetahui pula, gambaran kekuatan laskar kita disini.
Untunglah bahwa perlombaan pedang dan sodoran hanya aku
peruntukkan anak-anak muda Sangkal Putung, sehingga
Tohpati itu tidak dapat mengukur kekuatan prajurit Pajang di
Sangkal Putung" Orang itupun mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan
kemudian mereka itupun saling berdiam diri. Namun apa yang
didengar oleh Widura dari penjaga-penjaganya itu, semakin
meyakinkannya, bahwa apa yang dikatakan Kiai Gringsing
semalam benar-benar akan dilakukan oleh Tohpati. Sekali lagi
menyergap Sangkal Putung.
Namun tiba-tiba mereka dikejutkan oleh derap kaki kuda
yang berdentang-dentang dijalan berbatu-batu dibelakang
mereka. Semakin lama menjadi semakin keras, sehingga
setiap orang yang mendengarnya menjadi cemas karenanya.
Bahkan kedua prajurit berkuda itupun menjadi cemas pula.
karena itu, maka semua mata, berpuluh-puluh pasang,
seakan-akan melekat ditikungan jalan dibelakang mereka.
Sesaat kemudian muncullah kuda itu, seekor kuda putih
dengan penunggangnya yang gemuk bulat. Swandaru.
"Oh" hampir semua mulut berdesah, ketika mereka melihat
anak muda itu. Sedang Swandaru itupun menjadi terkejut pula
ketika dilihatnya beberapa orang berhenti dijalan seakan-akan
sedang menunggunya. Sehingga tanpa sesadarnya ia
bertanya sambil menarik kekang kudanya. "Apakah yang
kalian tunggu?" Kuda Swandaru itu berhenti beberapa langkah dari Sidanti.
Namun Sidanti itu kemudian sama sekali tak
memperhatikannya. Dengan langkah yang tetap Sidanti
meneruskan perjalanannya kembali kekademangan.
Ki Demang Sangkal Putung, yang masih agak jauh dari
padanya menjawab pertanyaan anaknya "Kau mengejutkan
kami, Swandaru" "Ah" sahut Swandaru. "Betapa ayah mudah menjadi
terkejut, sedang kakang Sidantipun sama sekali tidak terkejut
mendengar derap kudaku"
Langkah Sidantipun terhenti. Dengan wajah yang asam ia
berpaling kearah Swandaru. Namun hanya sebentar, dan
kembali ia tidak memperhatikan anak muda itu lagi, seakanakan
kehadirannya sama sekali tak berarti baginya.
Swandaru melihat kemasaman wajah itu. karena itu maka
hatinyapun menjadi semakin panas. Tiba-tiba timbullah
keinginannya untuk memanaskan hati Sidanti pula. maka
katanya lantang "Kakang Sidanti, berhentilah sebentar"
Sekali lagi Sidanti berpaling, kali ini ia memandang
Swandaru dengan tajam, katanya "Jangan ribut Swandaru"
"Aku tidak sedang ribut "Jawabnya. "Tetapi aku ingin
memberitahukan kepadamu, bahwa sebenarnya bukan kaulah
pemanah terbaik di Sangkal Putung"
Kali ini Sidanti benar-benar berhenti. Ia tidak saja berpaling,
namun dengan sigapnya ia memutar tubuhnya. Ditatapnya
wajah Swandaru dengan tajamnya. Dan bertanyalah anak
muda itu dengan suara yang bergetar "Apa katamu
Swandaru?" Ki Demang Sangkal Putung dan Widurapun tertarik pula
pada kata-kata Swandaru itu. Namun mereka menjadi cemas,
dan berkatalah Ki Demang Sangkal Putung "Swandaru, hatihatilah
dengan kata-katamu" Swandaru tidak menghiraukan kata-kata ayahnya. Dengan
masih tetap diatas punggung kudanya ia berkata "Aku berkata
sebenarnya, bahwa kakang Sidanti bukan pemanah terbaik
diantara kita" Sidanti itupun menjadi heran mendengar kata-kata
Swandaru yang tiba-tiba itu. karena itu beberapa langkah ia
maju mendekati Swandaru. katanya "Ulangi Swandaru. dan
apa alasannya?" "Baik" jawab Swandaru. "Aku ulangi. Kau bukan pemanah
terbaik di Sangkal Putung. Alasanku, dilapangan masih ada


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seorang pemanah yang pasti melampaui kecakapanmu"
Dada Sidanti menjadi bergelora. Betapa hatinya menjadi
panas. Seandainya pada saat itu tidak ada Widura, Ki
Demang Sangkal Putung, Hudaya, Citra Gati, Sekar Mirah
maka mulut Swandaru itu pasti sudah ditamparnya untuk
ketiga kalinya. Tetapi kini ia masih mencoba menahan dirinya. Sedang
beberapa orang lainpun melangkah mendekati mereka.
Widura, Ki Demang Sangkal Putung, Hudaya, Citra Gati,
Sekar Mirah dan beberapa orang lainnya.
Sekali lagi Ki Demang Sangkal Putung mencoba mencegah
anaknya yang kurang dapat menempatkan diri itu, katanya
"Swandaru, sudahlah, jangan membual. Apapun yang terjadi
dilapangan menurut katamu, namun perlombaan sudah
selesai. Dan angger Sidantilah yang kami anggap sebagai
pemenangnya" Swandaru tertawa. Jawabnya "Ternyata anggapan itu salah
ayah" "Tidak bisa" sahut ayahnya. "Kami semuanya menjadi
saksi" Swandaru masih tertawa. Dipandangnya kemudian wajahwajah
yang tegang disekitarnya. Dilihatnya beberapa orang
memandangnya dengan penuh pertanyaan pada sinar
matanya. kKarena itu, maka Swandaru itupun berkata pula
"Baiklah. Katakanlah dalam perlombaan itu kakang Sidanti
ternyata menjadi pemenang. Namun aku katakan bahwa ia
bukanlah pemanah terbaik di Sangkal Putung"
Widura masih tetap berdiam diri. Dengan cepatnya ia
memaklumi maksud Swandaru. ketika tak dilihatnya Agung
Sedayu diantara mereka, maka pasti Agung Sedayulah yang
dimaksud oleh Swandaru itu.dan dengan cepat pula Widura
dapat mengira-irakan apakah yang telah dilakukan oleh Agung
Sedayu. Agaknya ia telah melakukan beberapa permainan
bersama Swandaru. Namun Widura menjadi heran, bahwa
Swandaru telah menyusul Sidanti dna mengatakan apa yang
dilihatnya. Apakah maksud Swandaru itu telah disetujui Agung
Sedayu" Sidanti telah hampir tak dapat menahan dirinya lagi.
Dengan lantang ia berteriak "Jangan banyak bicara Swandaru.
katakan siapa orangnya!"
Swandaru meredupkan matanya. Dipandangnya Sidanti
baik-baik. Apakah yang akan terjadi kalau ia menyebutkan
nama orang yang telah mengagumkannya itu" Dan dengan
las-lasan disebutnya nama itu, katanya "Kau ingin tahu
namanya" Namanya Agung Sedayu"
Sidanti mendengar nama itu, seperti suara guruh yang
meledak diatas kepalanya. Sesaat wajahnya menjadi tegang,
namun sesaat kemudian tubuhnya menjadi gemetar. Tiba-tiba
semua orangpun menjadi tegang pula ketika mereka melihat
Sidanti itu, tanpa sepatah katapun, melangkah dengan
tergesa-gesa menyibak semua orang yang berdiri
disekitarnya. Dengan dada yang bergelora ia berjalan kembali
kepalangan sambil menjinjing busurnya. Namun demikian
masih juga ia bergumam "Bagus. Kita buktikan, siapakah
diantara kita yang akan menjadi pemanah terbaik di Sangkal
Putung" Beberapa orang yang kemudian tersadar akan keadaan itu,
segera berjalan pula kembali kelapangan. Mereka ingin
menyaksikan apakah gerangan yang akan terjadi.
Widura memandang si dengan hati yang berdebar-debar
pula. sesaat ia menjadi ragu-ragu. Namun sesaat kemudian
disadarinya, bahwa ia harus hadir pula dilapangan.
Seandainya terjadi sesuatu dengan Sidanti dan Agung
Sedayu, maka iapun harus dengan cepat dapat mengatasinya.
Meskipun demikian, Widura itu tak dapat melupakan
kehadiran Tohpati di Sangkal Putung. karena itu sebelum ia
pergi menyusul Sidanti, dipesannya dua orang berkuda itu
untuk segera kembali kegardunya, katanya "Kembalilah
kegardumu. Beritahukan kemudian gardu-gardu yang lain.
Dan selalu siapkanlah tanda bahaya. Jangan terlambat"
Kedua orang itu mengangguk, jawabnya "Baik. Akan
segera kami lakukan"
Demikian kedua orang berkuda itu pergi, maka berkatalah
Widura kepada ki Demang yang masih saja berdiri
kebingungan "Marilah kita saksikan, apakah yang terjadi"
"Baik, baik" jawab Ki Demang. Dan kepada Swandaru ia
berkata "Swandaru, kau selalu saja bikin perkara. Bukankah
dengan demikian kau telah memanaskan hati Sidanti" Apalagi
kalau ternyata kata-katamu benar. Lalu bagaimanakah dengan
hasil perlombaan itu?"
"Kalau mereka ingin bertanding, apa salahnya ayah" jawab
Swandaru. "Bukankah dengan demikian kita akan mendapat
penilaian yang jujur atas semua orang di Sangkal Putung?"
"Kalau ada yang ketinggalan dalam perlombaan, itu adalah
karena keinginannya sendiri" jawab Ki Demang. Namun ia
tidak dapat berkata apapun seterusnya, ketika diingatnya
bahwa Agung Sedayu adalah kemenakan Widura.
Tetapi Widuralah yang meneruskan "Apa yang terjadi
kemudian tidak akan mempengaruhi hasil perlombaan. Adalah
salah Agung Sedayu sendiri kenapa ia tidak ikut serta dalam
perlombaan itu. Betapapun pandainya ia membidikkan anak
panah, namun apabila itu dilakukan setelah perlombaan, maka
tak ada sebuah nilaipun yang dapat diberikan padanya"
Swandaru kini jadi terdiam. Ia sama sekali tak berani
menjawab kata-kata Widura. Namun orang lainlah yang
kemudian berkata "Biarlah kakang. Biarlah anak muda yang
sombong itu dapat menilai dirinya. Seandainya seseorang
dapat melampauinya, meskipun kelebihan itu tak dapat
mempengaruhi hasil perlombaan, namun kita semua akan
mengetahuinya, bahwa ada orang lain yang sebenarnya lebih
berhak atas kemenangan itu daripada Sidanti"
Widura berpaling kearah suara itu. Dilihatnya
dibelakangnya Hudaya mengangguk-anggukkan kepalanya,
sambil berkata "Kau benar kakang Citra Gati"
Widura menarik nafas dalam-dalam. Meskipun demikian ia
menjawab "Aku harus ada diantara mereka. Pertandingan
yang kemudian inipun tak boleh lebih dari pertandingan
memanah" Hudaya tersenyum masam. Sahutnya "Apa salahnya"
Bukankah semuanya ini terjadi diluar arena yang seharusnya"
Kalau kali ini kakang masih mencegahnya, maka itu hanya
aka nberarti menunda-nunda penyelesaian"
Didalam hatinya Widurapun membenarkan kata-katanya
Hudaya itu. Namun segera terlintas didalam kepalanya,
bayangan-bayangan yang mencemaskannya. Tohpati. Kalau
orang-orangnya sibuk dengan bentrokan-bentrokan antara
sesama, apakah jadinya kalau Tohpati itu tiba-tiba saja
menerkam Sangkal Putung," Kalau terjadi sesuatu, maka hal
itu pasti akan didengar oleh Macan Kepatihan itu. Sebab siapa
tahu bahwa seorang dua orang dari laskar Jipang masih ada
diantara mereka dan menyaksikan perselisihan itu.
Hal inilah yang tak terpikirkan oleh Hudaya, Citra Gati dan
orang-orang lain. Mereka hanya menuruti perasaan mereka
saja. Kebenciannya kepada kesombongan Sidanti agaknya
telah benar-benar memuncak. Dan mereka mengharap Agung
Sedayu akan memberi beberapa peringatan kepada Sidanti.
Namun ada hal lain lagi yang tak mereka ketahui. Agung
Sedayu tidak lebih dari seorang penakut.
karena itu, kali inipun Widura menjadi pening karenanya.
Meskipun demikian, maka Widura berkata tegas "Tak akan
ada perkelahian diantara kita"
Hudaya dan Citra Gati tidak berkata-kata lagi. Namun
wajahnya membayangkan kekecewaan hatinya. Sesaat
mereka saling berpandangan. Hudaya itu, kemudian
tersenyum hambar ketika ia melihat Citra Gati mengangkat
bahunya. Ketika mereka melihat Widura melangkah kembali
kelapangan, mereka itupun mengikutinya pula. sedang Ki
Demang Sangkal Putung dengan wajah yang masam berkata
kepada anaknya "Swandaru, segera kau akan melihat akibat
pokalmu itu" Swandaru menundukkan wajahnya. kini baru disadarinya,
mengapa Agung Sedayu mencegahnya untuk tidak
menyampaikan cerita tentang dirinya itu kepada siapapun
juga. Barulah kini ia dapat menilai perbuatannya itu. Namun
semuanya sudah terjadi. Dan sebenarnya hatinyapun terbersit
harapan seperti yang diucapkan oleh Hudaya dan Citra Gati
itu. Namun ia tidak membantah ayahnya lagi. Bahkan iapun
kemudian turun dari kudanya dan dituntunnya kuda itu
berjalan dibelakang ayahnya. Sedang Sekar Mirah ternyata
berjalan jauh mendahului. Dengan tergesa-gesa ia berjalan
dibelakang Sidanti diantara beberapa orang lain yang ingin
juga menyaksikan pertandingan yang kedua, yang pasti tidak
kalah menggemparkan dari pertandingan yang baru saja
selesai. Bahkan beberapa orang sudah mulai menilai-nilai kedua
anak muda yang mereka anggap sebagai pahlawan-pahlawan
yang mengagumkan. Mereka berdua adalah anak muda yang
namanya menjadi buah bibir orang-orang Sangkal Putung.
Sidanti ternyata terkenal sebagai seorang yang gagah berani
yang dengan kesaktiannya mampu bertahan melawan Macan
Kepatihan. Sedang Agung Sedayu bagi mereka merupakan
seorang pahlawan penyelamat padukuhan Sangkal Putung.
Keduanya kini akan berhadapan dalam satu pertandingan
memanah. Alangkah mengasyikkan.
Sidanti sendiri yang berjalan paling depan dari iring-iringan
yang semakin lama menjadi semakin panjang itu, dadanya
benar-benar bergelora karena hatinya yang panas. Sejak
semula ia berharap agar ia dapat bertanding dalam
kesempatan apapun dengan Agung Sedayu. Namun ia
menjadi kecewa ketika Agung Sedayu tidak ikut serta dalam
perlombaan itu. Namun tiba-tiba dibelakangnya, Agung
Sedayu telah membuatnya menjadi bersakit hati. Kini biarlah
dibuktikan siapa diantara mereka berdua yang berhak
menamakan dirinya pemanah terbaik di Sangkal Putung.
Kabar itu, kabar tentang Agung Sedayu, segera menjalar
seperti api yang membakar kademangan Sangkal Putung.
Setiap mulut dan setiap telinga telah dirayapi oleh berita itu.
Beberapa orang berlari-lari pulang, untuk memanggil kakakkakak
mereka, adik-adik mereka dan keluarga-keluarga
mereka yang telah terlanjur sampai dirumah, untuk
menyaksikan pertandingan yang pasti akan menggembirakan
hati mereka, melampaui pertandingan yang baru saja selesai.
Beberapa saat kemudian Sidanti itupun menjadi semakin
dekat dengan lapangan dimuka banjar desa, sejalan dengan
hatinya yang menjadi semakin bergelora oleh kemarahan.
Maka iapun semakin mempercepat langkahnya, seakan-akan
ia ingin meloncat dengan satu loncatan yang akan dapat
mencapai sisa jarak yang sudah tidak terlalu jauh itu.
Dilapangan, Agung Sedayu berdiri dengan dada yang
berdebar-debar. Berbagai perasaan berkecamuk didalam
dadanya. Cemas, kecewa, meyesal bercampur baur.
Sehingga lututnyapun menjadi gemetar. Ternyata Swandaru
tidak menepati janjinya, sehingga akibatnya benar-benar tak
seperti yang diharapkan. karena itu, dalam kebingungan
Agung Sedayu itu berjalan hilir mudik tak menentu. Sekalisekali
ingin ia pergi meninggalkan lapangan. Tetapi kemudian
ia menjadi ragu-ragu. Sehingga akhirnya dadanya itupun
serasa berdnentangan, ketika ia mendengar suara orangorang
yang ribut semakin lama menjadi semakin dekat. Dan
ternyatalah kemudian apa yang ditakutkannya. Dari balik
rimbunnya daun-daun, dari balik dinding-dinding batu,
muncullah orang-orang itu. Berbondong-bondong dan
kemudian pecah berlarian mengelilingi lapangan.
Darah Agung Sedayu itupun hampir berhenti mengalir
ketika dilihatnya, diujung iring-iringan itu berjalan seorang
yang sanga menakutkan baginya. Sidanti.
Dan Sidanti itu langsung berjalan kearah Agung Sedayu.
Dengan langkah yang tetap namun tergesa-gesa, seakanakan
ia takut terlambat, meskipun hanya sekejap.
Tetapi hati Agung Sedayu itupun kemudian menjadi agak
tenteram ketika kemudian dilihatnya, pamannya datang pula
kelapangan. Ki Demang Sangkal Putung dan beberapa orang
lagi. Dengan demikian ia hanya dapat berdoa mudahmudahan
tidak terjadi sesuatu atas dirinya.
Sidanti itupun kemudian berhenti hanya beberapa langkah
saja dimuka Agung Sedayu. Dengan wajah tegang
dipandanginya wajah Agung Sedayu.
Agung Sedayu masih saja berdiri ditempatnya. Betapapun
dadanya berguncang, namun dicobanya juga menguasau
dirinya. Bahkan kemudian dilihatnya juga Sekar Mirah yang
memandangnya dengan penuh teka-teki. Akhirnya pamannya
dan Ki Demang Sangkal Putungpun berdiri dilingkaran itu
pula. hanya Swandarulah yang berdiri agak jauh, namun
wajahnya masih sasa tampak memancarkan kebanggaannya
atas Agung Sedayu. Sekali-sekali disambarnya wajah Sidanti
dengan tatapan matanya. Ditariknya bibirnya kesamping dan
kemudian ia tersenyum. Betapa menyesal Agung Sedayu melihat anak muda itu.
Namun kini semuanya telah terlanjur. Dan dirinyalah kini yang
menjadi pusat perhatian segenap penduduk Sangkal Putung
yang semakin lama menjadi semakin banyak.
Seperti guruh menggelegar dilangit, Agung Sedayu itu
mendengar Sidanti berkata parau "Adi Agung Sedayu. Aku
telah mendengar apa yang baru saja kau lakukan"
Agung Sedayu menggigit bibirnya. Dengan sudut matanya
memandang wajah Swandaru. namun ia pengumpat didalam
hati ketika dilihatnya Swandaru itu tersenyum sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian Agung
Sedayu itu menjawab "Aku tidak berbuat apa-apa kakang
Sidanti" Sidanti mengerutkan keningnya. Kemudian anak muda itu
tersenyum masam "Jangan menghina aku. Kenapa kau tidak
turut saja berlomba?"
"Aku tidak berhasrat" sahut Agung Sedayu.
"Tetapi kenapa kau membuat kericuhan setelah
pertandingan selesai?"
"Apakah yang aku lakukan?"
Mata Sidanti menjadi semakin menyala. Dan hati Agung
Sedayu menjadi semakin kecut karenanya. Namun dicobanya


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

juga untuk tetap menatap wajah Sidanti dengan wajah
tengadah. Tetapi lutunyalah yang terasa bergetaran. Meskipun
demikian Agung Sedayu tidak dapat menghindarkan diri dari
pertanggungan jawabnya atas semua perbuatannya. Katakatanya
dan anggapan orang-orang Sangkal Putung bahwa ia
adalah seorang pahlawan. Dan anggapan-anggapan itu belum
pernah dibantahnya. Apalagi ketika dilihatnya disampingnya
Sekar Mirah berdiri dengan wajah yang cerah. Kepada gadis
itupun telah banyak diceritakannya tentang perjalanannya ke
Sangkal Putung bersama kakaknya dahulu. Dan
diceritakannya betapa ia berdua bertempur melawan Alapalap
Jalatunda dan pande besi dari Sendang Gabus. Betapa
dengan dahsyatnya ia berdua berhasil membunuh tiga orang
diantaranya dan cerita-cerita lain yang dibuatnya untuk
menutupi kekerdilan jiwanya.
Kini ia dihadapkan pada satu pembuktian. Ia tidak dapat
berbuat apapun, selain berbuat sesuatu untuk menyelamatkan
namanya. Tetapi, betapa ia memaksa dirinya, namun lututnya
yang gemetar dan hatinya yang berdebar-debar itu sangat
menyulitkannya. Dan kemudian terdengar Sidanti berkata pula dengan suara
yang lantang "Kau telah menyuruh Swandaru berteriak-teriak
sepanjang jalan, bahwa pemenang dalam perlombaan itu
bukan pemanah terbaik di Sangkal Putung"
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Sekali lagi
dipandanginya wajah Swandaru. dan Agung Sedayu itupun
menjadi semakin menyesali sikap Swandaru itu. Dengan
tertawa Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya.
Namun Agung Sedayu itu kemudian menggelengkan
kepalanya. Jawabnya "Aku tidak menyuruhnya. Dan aku tidak
berbuat apa-apa" Semua orang yang mendengar jawaban Agung Sedayu itu
menjadi heran. Tanpa berjanji, maka semua orang berpaling
kearah anak muda yang gemuk itu, seolah-olah mereka
bertanya kepadanya, apakah yang dikatakannya itu benarbenar
bukan sebuah dongengan. Swandarupun merasakan pertanyaan-pertanyaan yang
memancar dari wajah-wajah itu. Sesaat ia menjadi bingung.
Kenapa Agung Sedayu idak saja mengakuinya dan kalau
perlu membuktikan dihadapan orang-orang itu" Kenapa masih
saja ia merendahkan dirinya sedemikian" Namun tiba-tiba
Swandaru itupun mundur beberapa langkah, keluar dari
lingkaran orang yang berjejal-jejal. Dengan nanar ia
memandang berkeliling lapangan. Akhirnya ia berlari-lari untuk
memungut sesuatu yang tergolek dilapangan itu.
"Inilah" teriaknya "Aku akan dapat memberikan bukti
kepada kalian. Lihatlah sasaran ini. Panah-panahku masih
tertancap disini. Sasaran ini aku lemparkan keudara, dan anak
muda itu telah mengenainya tiga kali diudara. Ya tiga kali
diudara" Semua mata memandangi bekas kepala orang-orangan itu.
Mereka melihatnya tiga anak panah masih melekat pada
benda itu. Dan mereka mendengar pula kata-kata Swandaru
itu. Tiga anak panah mengenai satu sasaran yang terbang
diudara. Mereka tidak tahu, bagaimana cara Agung Sedayu
mengenainya. Namun dengan serta-merta mereka bertepuk
tangan gemuruh. Tepuk tangan yang gemuruh itu benar-benar telah
menyalakan bara didada Sidanti. Selangkah ia maju, dan
terdengarlah ia berkata lantang "Bohong, adakah kalian
melihat, bagaimana caranya ia mengenainya?"
Suara yang gemuruh itupun berangsur diam. Dan akhirnya
sama sekali ketika mereka melihat Widura melangkah maju
memasuki lingkaran. Dengan tenangnya ia memandang
Sidanti dan Agung Sedayu berganti-ganti. Kemudian
dipandangnya semua wajah yang berdiri mengitari mereka itu.
Betapapun juga, Widura itupun berusaha untuk mengasai
keadaan. Sebagai seorang pemimpin maka ia harus berbuat
sesuatu. karena itu maka katanya "Tak ada pengaruh apapun
atas perlombaan yang sudah berjalan. Kita sudah menetapkan
pemenangnya. Namun permainan-permainan yang lain masih
akan dapat dilakukan. Tetapi bukan untuk merubah dan
mempengaruhi perlombaan itu."
*** Buku 05 Kembali terdengar tepuk tangan yang gemuruh. Orangorang
yang berdiri berkeliling itu tak akan mau dikecewakan.
Mereka benar-benar ingin menyaksikan pertandingan yang
pasti akan menyenangkan sekali.
Orang-orang itupun kemudian diam kembali ketika Widura
berkata pula "Nah, aku sangka Sidanti ingin mengulangi
permainan panah seperti yang telah dilakukannya, bersamasama
Agung Sedayu" "Ya kakang" sahut Sidanti.
Kini Widura memandangi wajah Agung Sedayu. Dilihatnya
beberapa titik keringat membasahi keningnya. Namun kali ini
Widura sengaja ingin memaksa Agung Sedayu agar berbuat
sesuatu yang dapat mendorong dirinya untuk lebih percaya
kepada kemampuan diri. karena itu maka katanya "Agung
Sedayu, biarlah kau melakukannya. Tak ada persoalan
apapun. Permainan ini hanya sekedar kelanjutan dari
keinginan orang-orang Sangkal Putung mengenalmu.
Sedangkan Sidanti ingin pula memperkenalkan dirinya lebih
banyak lagi. Bukankah dengan kawan bermain yang lebih
baik, akan lebih banyak permainan-permainan yang dapat
dipertunjukkan" Bukan hanya sekedar menyamai atau
melampaui sedikit kemampuan-kemampuan Hudaya atau
Citra Gati" Hudaya dan Citra Gati yang berdiri dibelakang Widurapun
tersenyum masam. Namun mereka tidak marah. Bahkan
mereka menjadi bersenang hati, bahwa Widura memberi
kesempatan kepada kemenakannya untuk melakukan
pertandingan meskipun hanya memanah saja.
Kata-kata pamannya itu terasa sedikit dapat menyejukkan
hati Agung Sedayu. Bukankah dengan demikian, pamannya
akan menjaminnya untuk seterusnya, apabila ada akibat dari
permainan ini" Seandaiknya ia melampaui Sidanti, sedang
Sidanti itu kemudian marah kepadanya, bukankah itu menjadi
tanggung jawab pamannya" karena itu, terdorong pula oleh
keadaan yang telah menyudutkannya, maka Agung Sedayu
tidak dapat berbuat lain. Dengan ragu-ragu ia menganggukkan
kepalanya. Katanya lirih "Baiklah paman. Kalau paman
menghendaki" Widura tersenyum. Baru kali ini sejak beberapa hari
pamannya itu tersenyum kepadanya. karena itu hati Agung
Sedayu itupun menjadi bertambah besar pula.
"Nah, baiklah kita berikatn tempat kepada mereka berdua"
berkata Widura. Maka orang-orang yang melingkari mereka itupun
kemudian berlari-larian menyibak. Sedang Swandaru menjadi
bergembira pula. segera iapun berlari-lari pula berkeliling
lapangan untuk memungut panah-panahnya yang berserakan
disekitar orang-orangan yang telah dilepas kepalanya.
Tetapi kemudian Widura menjadi sulit menentukan
sasaran. Tidak menarik lagi apabila mereka berdua harus
mengenai orang-orangan itu, walaupun diayunkannya sekali.
Mereka pasti akan dengan mudah dapat mengenainya. Dalam
pada itu tiba-tiba berkatalah Swandaru "Paman Widura,
pertandingan ini baru dapat dimulai, seandainya kakang
Sidanti mampu berbuat seperti yang dilakukan oleh anak
muda itu. Mengenai sasaran tiga kali berturut-turut diudara"
Widura mengerutkan keningnya. Kata-katanya itu benar
juga, tetapi belum seorangpun yang melihat, Agung Sedayu
melakukannya selain Swandaru.
karena itu Widura ingin berbuat adil. Kedua-duanya harus
mulai dengan sasaran dan kesempatan yang sama. Maka
katanya "Swandaru, apakah sasaran orang-orangan itu masih
ada?" "Masih paman" jawab
Swandaru. "Nah, ambillah bandulnya.
Ikatlah bandul itu dengan tali
yang agak panjang" Swandaru belum tahu benar maksud Widura. meskipun demikian ia berjalan
juga mengambil vandul orangorangan
yang masih terletak diujung lapangan. Kemudian
diambilnya sisa-sisa tali yang
masih terserak-serak disanaTiraikasih
website - http://kangzusi.com/
sini. Dengan tali itu maka bandul itupun diikatnya.
"Sudahkah bandul itu kau ikat dengan tali?" bertanya
Sonya. Swandaru mangangguk. Jawabnya "Bagaimanakah
maksud paman Widura dengan bandul ini?"
"Peganglah ujung talinya dan putarlah bandul itu diatas
kepalamu" Sahut Sonya. "Ah" jawab Swandaru perlahan-lahan. "Jangan aku. Sidanti
itu dapat membidikkan panahnya kearah perutku"
Sonya tersenyum. Katanya "Mereka adalah pemanahpemanah
yang baik. Mereka pasti tidak akan mengenaimu"
Swandaru menggeleng. "Peganglah" jawabnya "Kalau
mereka membidik sasaran itu, maka sasaran itulah yang akan
dikenainya. Tetapi kalau Sidanti itu membidik perutnku?"
"Marilah" jawab Sonya "Berikanlah bandul itu, biarlah
perutku yang dibidiknya"
Maka kini Sonyalah yang memegang sasaran itu.
Dipegangnya ujung tali yang lain, dan diputarnya bandul itu
diatas kepalanya dalam lingkaran yang berjari-jari sepanjang
tali yang lebih dari sedepa panjangnya, mendatar.
Swandaru itupun kemudian berlari-lari menepi, bahkan
kemudian didekatinya Agung Sedayu yang telah memegang
busurnya dan beberapa anak panah didalam endongnya.
"Masing-masing mendapat kesempatantiga kali" berkata
Widura ketika mereka sudah hampir mulai "Sampai hitungan
kelima belas" Sidantipun telah mempersiapkan busurna pula. dengan
wajah tegang ia mengikuti bandul yang berputar diatas kepala
Sonya. Ketika Widura mulai dengan hitungan pertama, maka
Sidantilah yang lebih dahulu mengangkat busurnya. Sesaat
kemudian terbanglah anak panahnya yang pertama, dismbut
dengan sorak sorai penonton disekitar lapangan. Anak panah
itu tepat mengenai sasarannya langsung ikut berputar pula
dengan bandul itu. Dengan sudut matanya Sidanti melihat
tangan Agung Sedayu. Dan tangan itupun telah bergerak pua.
Dan meluncurlah anak panah Agung Sedayu. Kali inipun para
penonton bersorak bergemuruh. Anak panah Agung
Sedayupun hinggap pula pada sasarannya.
Sidanti itupun menarik nafas panjang. Ia mengumpat
didalam hatinya "Setan itu mampu juga mengenainya"
Tetapi hitungan Widura sudah sampai yang keenam.
karena itu maka Sidanti itupun sekali lagi mengangkat
busurnya, dan sekali lagi anak panahnya meloncat dari
busurnya. Kali inipun anak panah Sidanti itu tepat mengenai
sasarannya, dan karena itu maka para penontonpun menjadi
semakin riuh, bersorak dan bertepuk tangan. Dan sorak sorai
itu menjadi semakin membahana ketika anak panah Agung
Sedayu seakan-akan tanpa mereka lihat, demikian saja telah
melekat pada sasaran itu pula. agaknya ketika mereka dang
asyik dengan anak panah Sidanti, Agung Sedayupun telah
melepaskan anak panahnya yang kedua.
Sekali lagi Sidanti mengumpat pula. Katanya dalam hati
"Aku harus mengenai untuk yang ketiga kalinya. Kalau anak
itu mampu pula mengenai tiga kali, maka harus ditempuh cara
yang lain untuk menentukan siapakah diantara kita yang akan
menjadi pemanah terbaik"
Tetapi Sidanti itu menjadi terkejut. Tiba-tiba meledaklah
sorak para penonton seperti akan meruntuhkan langit. Ketika
ia mengangkat wajahnya, dilihatnya sebuah anak panah lagi
telah ikut serta dalam putaran bandul diatas kepala Sonya.
Agaknya dengan cepat Agung Sedayu telah melepaskan anak
panahnya yang ketiga. "Gila" desisnya. Ketika itu ia mendengar Widura sudah
mencapai hitungan yang kesebelas.
Dengan hati-hati Sidanti mengangkat busurnya. Kali ini ia
harus benar-benar dapat mengenainya dengan tepat. Kalau
tidak, maka Sedayu sudah akan menyisihkannya pada babak
yang pertama. Namun ternyata Sidanti adalah pembidik yang
baik. Panahnya yang terbang secepat kilat itupun kemudian
mengenai sasarannya pula, disambut oleh sorak yang
semakin bergelora. Lapangan dimuka banjar desa itu benarbenar
seperti akan meledak. Agung Sedayu masih berdiri ditempatnya sambil
mengamat-amati sasaran yang kini sudah tidak diputar lagi.
Dengan kedua tangannya Sonya mengacung-acungkan
bandul itu sambil berteriak "Enam panah!"
Widura itupun mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya
"Kalian ternyata mempunyai kecakapan yang sama. karena
itu, biarlah kita adakan permainan yang lain. Namun aku
belum tahu, apakah sasaran yang lebih baik dapat kita
gunakan" Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya, namun iapun
belum tahu sasaran apakah yang sebaiknya dipergunakan.
Sedang Agung Sedayu lagi sibuk emdnegarkan orang
menyebt-nyebut namanya. Ia menjadi berbangga juga
karenanya. Bahkan kemudian timbul juga keinginannya untuk
mendapat pujian yang lebih besar dari para penonton itu.
Untuk sesaat ia melupakan pula akibat-akibat yang bisa
terjadi. Sebab ia telah membebankan seluruh tanggung jawab
kepada pamannya. Terasa sesuatu menjalar didalam dada Agung Sedayu.
Belum pernah ia sepanjang umurnya mendapat pujian
semeriah ini. Pada masa-masa kecilnya, ibunya selalu
memujinya. Namun bukan karena ia berbuat sesuatu. Ibunya
memuji untuk menyenangkannya saja.
Apapun yang dlakukannya maka ibunya tidak pernah
mencelanya. Sedang ayahnya sekali-sekali sering memujinya


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pula apabila ia berhasil berbuat sesuatu menurut kehendak
ayahnya. Tetapi ayahnya lebih sering kecewa terhadapnya
dari pada memujinya. Bahkan sering ia harus menangis kalau
yahnya menyuruhnya mengulang dan mengulang suatu
perbuatan yang tak dapat dilakukannya. Betapa sulitnya
latihan-latihan yang diberikan ayahnya dahulu kepadanya.
Memanah, bandil dan bermacam-macam ketangkasan
membidik. Namun ayahnya selalu mengatakan kepadanya
"Kau mampu Sedayu, kau pasti mampu melakukannya" Dan
akhrinya ternyata, setelah ayahnya memberinya contoh
berkali-kali, akhirnya ia mampu juga melakukannya. Berkalikali
ia diajak ayahnya berdiri dipematang dengan busur
ditangan. Ia harus mendapatkan tiga ekor burung dengan tiga
batang anak panah. Burung yang tidak boleh dikenainya
diatas tanah atau dahan-dahan kayu. Burung itu seakan-akan
harus dipetiknya dari udara. Namun akhirnya ia berhasil juga.
Kalau ia menangis karenanya, ayahnya berkata kepadanya
"Agung Sedayu, apakah kira-kira yang akan dapat kau
lakukan" Kau tidak berani memegang tangkai pedang, apakah
kau juga tidak mampu memegang busur?"
Kalau ibunya mendengar pertanyaan itu, maka ibunya
selalu menjawab "Apakah dalam hidup ini tidak ada pekerjaan
yang lebih baik dari berkelahi?"
Dan ayahnya menjawab "Tentu, tentu ada. Dan anakanakku
Misteri Kapal Layar Pancawarna 18 Animorphs - 18 Petualangan Di Planet Leera Pendekar Pedang Dari Bu Tong 5

Cari Blog Ini