01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja Bagian 5
akan dapat memberi mereka kegembiraan.
"Baiklah" berkata ki Demang itu kemudian "Biarlah anakanak
membicarakannya. Kini aku ingin beristirahat"
Ki Demang itupun kemudian berdiri dan berjalan keluar.
Widura yang mengantarkannya sampai kepintu, melihat anakanaknya
sudah berbaring ditempat masing-masing. Tetapi
ketika pandangan matanya hinggap disudut pendapa, tempat
Sidanti, hatinya menjadi berdebar-debar. Tempat itu ternyata
kosong. "Anak itu belum berada ditempatnya" gumamnya. Namun ia
tidak berkata sepatah katapun.
Ketika ki Demang telah turun kehalaman, segera Widura
masuk kembali kepringgitan. Dibenahinya pakaiannya,
dikeraskannya ikat pinggangnya dan kemudian
disangkutkannya pedangnya dilambungnya. Ia kini sudah
benar-benar siap, apapun yang akan terjadi atasnya malam
nanti dalam kedudukannya sebagai pimpinan pasukan Pajang
di Sangkal Putung. Ia masih akan berusaha menguasai
Sidanti seorang diri. Janjinya untuk bertemu Sidanti tanpa
diketahui oleh siapapun benar-benar akan dipenuhi.
Demikianlah ketika Widura telah siap benar, berkatalah ia
kepada Agung Sedayu "Kau tinggal dirumah kali ini Sedayu.
Aku akan pergi seorang diri"
Dada Agung Sedayu berdebar-debar. Justru baru siang tadi
terjadi peristiwa yang mengusutkan hatinya. Karena itu ia
bertanya "Kenapa aku tidak ikut serta paman?"
"Tidak apa-apa. Kau tinggal dirumah" Widura tidak
menunggu jawaban Agung Sedayu. Segera ia melangkah
keluar. Katanya dalam hati "Biarlah anak itu aku tunggu
diregol halaman" Demikian Widura meninggalkan pringgitan, demikian hati
Agung Sedayu kembali keriput. Tiba-tiba saja terasa dadanya
menjadi sesak oleh kecemasan yang menghentak-hentak.
"Apakah paman sengaja membiarkan Sidanti membunuhku?"
katanya didalam hati. Dan tiba-tiba saja timbullah keinginan
yang aneh "Ah, apabila demikian, biarlah lebih baik aku ikut
saja kepada Kiai Gringsing". Namun kembali timbul ragunya
"Jangan-jangan Kiai Gringsing benar-benar menganggapnya
seorang yang sakti. Dengan demikian pada suatu kali ia harus
berhadapan pula dengan seorang lawan apapun alasannya"
Tiba-tiba Sedayu hampir pingsan ketika didengarnya pintu
berderit dan dilihatnya kepala Sidanti terjulur masuk. Tetapi
anak muda itu tidak meloncat masuk dan memukulnya.
Dengan tersenyum ia bertanya "Dimanakah kakang Widura?"
"Diluar" jawabnya singkat, tetapi terdengar suaranya
bergetar. Tiba-tiba pandangan mata Sidanti itu menjadi aneh.
Ditatapnya tiap sudut ruangan. Dan kembali ia bertanya
"Kakang Widura tidak disini?"
Sedayu menggeleng, dan dadanya menjadi semakin
bergetar. Sidanti masih saja menjulurkan kepalanya sambil
tersenyum. Kemudian tiba-tiba saja ia melangkah masuk.
Ditatapnya wajah Agung Sedayu dengan nyala dendam
dimatanya. Kemudian terdengarlah Sidanti berkata "Sayang,
kakang Widura tidak mengijinkan kita menyelesaikan masalah
kita sendiri" Betapapun dada Sedayu bergetar, namun dengan sekuat
tenaga masih dicobanya untuk tidak berkesan diwajahnya.
Dengan tergagap ia menjawab "Demikianlah"
"Tetapi bukankah kita bisa menempuh jalan lain?" berkata
Sidanti pula "Kita tidak usah minta ijin kepada kakang Widura"
Tetapi Sidanti terkejut ketika tiba-tiba ia mendengar suara
Widura diluar pintu "Sidanti, aku menunggumu disini"
"Oh" sahut Sidanti "Aku sedang mencari kakang"
"Marilah Sidanti, biarkan Sedayu ditempatnya. Jangan
mencoba melanggar perintahku"
Sidanti menarik alisnya. Tampaklah wajahnya menjadi tidak
senang. Namun ia tidak menjawab. Dengan tergesa-gesa ia
melangkah keluar sambil menggeram "Baik kakang Widura".
Tetapi kemarahannya kepada Widura semakan membakar
dadanya. "Aku akan memenuhi permintaanmu" berkata Widura
kemudian. Sidanti tersenyum "Terima kasih" sahutnya.
"Kita pergi sekarang" Widura meneruskan. "Aku masih akan
melihat gardu-gardu peronda lebih dahulu"
Sidanti tidak menjawab. Namun ia melangkah kesudut
pendapa. Dari dinding diatas pembaringannya diraihnya
senjatanya yang menyeramkan itu. Kemudian katanya kepada
Widura "Marilah kakang"
Widura tidak menjawab. Langsung ia melangkah menuruni
pendapa, sedang Sidanti berjalan dibelakangnya. Diregol
halaman Widura berhenti sejenak. Kepada salah seorang
penjaga ia berkata "Aku akan nganglang kademangan.
Lakukan tugasmu baik-baik"
"Baik tuan" jawab penjaga itu. Namun matanya
memancarkan keheranannya. Biasanya Widura pergi hampir
setiap malam dengan Agung Sedayu, namun kini ia pergi
bersama Sidanti. Mereka mencoba meraba-raba apakah sebabnya. Tetapi
tak seorangpun diantara mereka yang berani bertanya.
Sepeninggal Widura dan Sidanti, perlahan-lahan Hudaya
berjalan keregol itu pula. Gumamnya "Aneh"
"Apa yang aneh kakang?" bertanya salah seorang penjaga.
"Aku tidak bisa mengerti, apakah sebenarnya yang
memukau kakang Widura. Anak muda yang sombong itu
seakan-akan tak pernah berbuat salah dihadapan kakang
Widura. Kalau aku menjadi kakang Widura, aku biarkan
kemenakannya, angger Agung Sedayu sekali-sekali
menghajarnya. Namun agaknya angger Sedayulah yang
dianggap bermasalah. Lihat, kini anak yang sombong itulah
yang dibawanya" "Akupun tak mengerti" sahut Sendawa yang berada
ditempat itu pula. "Siang tadi aku melihat Sidanti bercakapcakap
dihalaman dengan kakang Widura. Aku tidak tahu,
apakah Sidanti itu sedang minta maaf kepada kakang Widura.
Tetapi dengan tidak dibawanya Sedayu kali ini benar-benar
mengherankan. Tetapi aku mempunyai beberapa prasangka"
Semua orang berpaling kepadanya "apakah prasangka
itu?" bertanya Hudaya
"Terlalu kabur" jawab Sendawa "Tetapi prasangka yang
jelek" Semua yang mendengar kata-katanya itu menjadi semakin
terpaku. Dan terdengar orang yang bertubuh raksasa itu
meneruskan "Kakang Widura agaknya segan juga terhadap
Sidanti" "Janganlah berkata begitu" sahut salah seorang diataranya.
"Bukankah ki Widura itu telah berkata, menurut kakang Citra
Gati, bahwa tenaga Sidanti itu sangat diperlukan disini" Ialah
satu-satunya orang disamping ki Widura, yang setidaktidaknya
dapat menahan arus kemarahan Macan Kepatihan
diantara kita" Sendawa terdiam. Namun didalam hatinya, ia
membenarkan pula pendapat itu. Tetapi sikap Sidanti benarbenar
telah memuakkan pula. Sedemikian muaknya sehingga
tanpa disengajanya ia bergumam "Anak muda itu benar-benar
anak setan" "Siapa?" bertanya Hudaya.
"Sidanti, siapa lagi?"
"Kenapa tidak kau tantang saja berkelahi?" bertanya salah
seorang sambil tersenyum.
"Tak ada sebabnya" jawab Sendawa
"Gampang. Kalau sekali-sekali kau tangkap gadis anak Ki
Demang itu, kau pasti akan berkelahi dengan Sidanti"
"Belum tentu. Aku dapat juga berhadapan dengan ki
Demang atau anaknya yang gemuk bulat itu"
"Kau bersetuju dulu dengan mereka"
"Bagus" Sendawa berhenti sebentar "Tetapi aku tidak
berani berkelahi melawan anak kecil itu"
Yang mendengar pengakuan itupun tersenyum geli.
Sendawa sendiri tersenyum. namun hatinya mengumpat tak
habis-habisnya. Seandainya ia mampu, maka Sidanti pasti
sudah dihajarnya. Regol halaman itu kemudian menjadi sepi. Hudaya
kemudian melangkah kembali kependapa diikuti oleh
Sendawa sambil menyeret kelewangnya yang besar dan tebal
seperti tubuhnya. Hampir semua orang telah tertidur. Citra
Gati tidur dengan gelisahnya. Sedang Patra dengan
nyenyaknya mendengkur disamping Sonya.
Widura dan Sidanti masih berjalan menyusur jalan-jalan
desa, singgah dari satu gardu kemudian gardu yang lain
seperti setiap malam dilakukan oleh Widura. Namun kali ini
nampaknya ia sangat tergesa-gesa. Beberapa orang pun
menjadi heran, hampir tidak pernah mereka melihat Sidanti
meronda bersama Widura. Tetapi seperti orang-orang diregol
halaman, mereka pun tidak bertanya pula. Digardu anak-anak
muda Sangkal Putung Swandaru berdiri bertolak pinggang
sambil menguap dimuka pintu. Tetapi cepat-cepat mulutnya
terkatub ketika ia melihat Widura datang kegardu itu bersamasama
Sidanti. Tetapi Swandarupun tidak bertanya sesuatu.
Hanya matanya sajalah yang memancarkan dendam yang
tersimpan dihatinya terhadap anak muda yang perkasa, murid
Kiai Tambak Wedi yang namanya menakutkan segenap
daerah-daerah disekitar gunung Merapi.
Baru setelah semuanya itu selesai, berkatalah Widura "Aku
sudah selesai dengan pekerjaanku Sidanti, sekarang kau
mendapat giliran" Mendengar kata-kata Widura itu, Sidanti pun menjadi
berdebar-debar pula. Meskipun demikian ia menyimpan juga
kegembiraan didalam dadanya. Jawabnya "Baik kakang.
Kemana kita akan pergi?"
"Terserah kepadamu" jawab Widura.
"Kita pergi ke tegal" ajak Sidanti.
Widura tidak menjawab. Tetapi ketika mereka sampai
disimpang tiga diluar desa induk Sangkal Putung, Widura
membelok kekanan, ke tegal. Sidanti yang berjalan
disampingnya, mencoba untuk menenangkan dirinya.
Meskipun gurunya sendiri telah memberitahukannya, bahwa
Widura tidak lebih daripadanya, namun wibawa orang itu telah
menjadikannya gelisah. Beberapa saat mereka pun sampai kepategalan yang luas.
Diantara tanaman-tanaman buah-buahan, terdapatlah
beberapa bagian tanah yang kosong. Meskipun Widura tidak
bertanya sesuatu, namun timbullah dugaan dalam hati, bahwa
didaerah sekitar inilah Sidanti mendapat tempaan dari
gurunya. Bahkan mungkin kali inipun gurunya ada disekitar
tempat ini. Meskipun demikian Widura sama sekali tidak
gentar. Sebagai seorang pemimpin ia akan tetap pada
pendiriannya. Apapun yang akan dihadapi.
Dibawah sebatang pohon jambu mete yang besar Sidanti
berhenti. Katanya "Kita berhenti disini kakang"
Widura pun berhenti pula. Ditebarkannya pandangan
matanya berkeliling. Dalam keremangan malam, yang
dilihatnya hanyalah batang-batang pohon buah-buahan yang
tegak disekitarnya. Batang-batang yang seakan-akan berwana
hitam kelam. Kemudian dengan suara yang berat Widura
berkata "Nah, apakah yang akan kau lakukan Sidanti?"
Dada Sidanti berdesir mendengar pertanyaan itu.
Bagaimanapun juga Widura memiliki cukup pengaruh atas
dirinya. Namun dengan sekuat tenaga ia berusaha
melepaskan diri dari pengaruh itu. Maka jawabnya "Aku ingin
minta ijin itu kakang"
"Ijin untuk berkelahi dengan Sedayu?"
"Ya" "Sudah aku jawab"
Sidanti menarik nafas. Jawabnya "Kakang tidak berhak
melarang" "Sidanti" berkata Widura. Sebagai seorang yang lebih tua
maka segera iapun tahu maksud Sidanti yang sebenarnya.
Karena itu ia meneruskan "Kau tidak usah melingkar-lingkar.
Katakan bahwa kau tidak puas dengan keputusan itu. Namun
jangan mimpi aku akan merubah keputusan itu"
"Nah" sahut Sidanti "Sekarang aku tahu, bahwa Sedayu
sebenarnya sama sekali bukan seorang pahlawan. Bukan
seorang jantan. Apabila demikian, ia pasti sudah berbuat
sesuatu. Tetapi ia lebih senang bersembunyi dibalik punggung
kakang Widura. Bukankah demikian?"
Widura memandang wajah Sidanti dengan sinar mata yang
menyala. Jawabnya "Terserah atas penilaiannmu Sidanti"
"Apakah bukan sebenarnya demikian?"
Widura tidak menjawab. Tetapi ia masih menatap wajah
Sidanti dengan tajamnya. Sehingga kemudian terdengar
Sidanti mengulangi "Bukankah sebenarnya demikian?"
Widura masih tetap berdiam diri. Dan pandangannyapun
masih tetap menghunjam kedalam biji mata Sidanti. Dengan
demikian Sidanti menjadi semakin gelisah. Untuk menutupi
kegelisahannya tiba-tiba saja ia berkata lantang "Kakang
Widura, kalau tak kau ijinkan Sedayu bertempur, siapakah
yang akan mewakilinya?"
Widura sudah menyangka bahwa akhirnya Sidanti akan
sampai pada saatnya, menantangnya berkelahi. Widura pun
sadar bahwa Sidanti merasa bahwa ia tidak akan dapat
dikalahkannya. Karena itu maka terdengar Widura menjawab
"Sidanti, katakan sajalah apa yang tersimpan didalam
dadamu. Kau tidak puas dengan keputusanku. Sedang kau
merasa sebagai orang yang tak terkalahkan di Sangkal
Putung. Sekarang kau sedang mencoba memaksakan
kehendakmu. Nah, dengarlah. Aku tetap pada pendirianku"
Widura berhenti sejenak kemudian terdengar ia meneruskan
"Tetapi, itu bukan satu-satunya alasan yang ada didalam
hatimu. Kau juga ingin mengatakan kepadaku, bahwa kau tak
akan dapat aku kalahkan, sehingga setiap persoalan aku
harus mengingat kepentinganmu. Bahkan tersimpan pula
didalam otakmu, keinginan untuk memegang pimpinan,
setidak-tidaknya apabila aku berhalangan"
"Bohong" potong Sidanti tiba-tiba. Tetapi ia terdiam pula
ketika Widura bertanya "Apakah aku salah duga?"
Sidanti menjadi seakan-akan terbungkam. Kegelisahannya
kini benar-benar sangat mengganggunya. Meskipun
01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kemarahannya telah memuncak namun ia masih berdiri
terpaku tanpa sepatah katapun yang dapat diucapkannya.
Sehingga ia terkejut ketika Widura mendesaknya "Jawab"
"Ya" kata itu meloncat begitu saja dari mulutnya. Namun
sesaat kemudian barulah ia menyadari keadaannya.
Menyadari jawaban yang sudah terlanjur meloncat dari
mulutnya. Karena itu Sidanti sudah tidak akan menelannya
kembali. Apalagi ketika ia mendengar Widura berkata "Bagus.
Kau memiliki kejujuran juga. Namun kau seharusnya sudah
memperhitungkan jawabannya. Aku tidak dapat dipaksa oleh
siapapun juga. Juga olehmu. Nah, sekarang apa katamu?"
Kembali Sidanti terdiam untuk sesaat. Namun kemudian
dipaksanya juga dirinya untuk mengambil sikap. Karena itu
maka tiba-tiba ditengadahkannya dadanya sambil berkata
"Kakang Widura, kau harus merubah pendirianmu itu. Aku
bukan anak-anak lagi. Tak ada orang lain yang dapat berbuat
seperti yang aku lakukan. Nah, siapakah yang sudah
menahan kemarahan Macan Kepatihan" Apakah yang kirakira
terjadi seandainya tidak ada Sidanti?"
"Aku akui kau berjasa kepada Sangkal Putung khususnya.
Namun aku tidak dapat membenarkan, kau berbuat
sekehendakmu. Betapapun besarnya jasamu, namun kau
adalah satu diantara kita yang telah menjalin diri dalam
kehidupan bersama untuk kepentingan bersama"
Tiba-tiba mata Sidanti itupun menjadi liar. Kemarahannya
kini benar-benar telah membakar dadanya. Katanya "Aku akan
memaksakan kehendakku"
"Aku sudah menyangka" jawab Widura, "Dan aku sudah
siap" Tetapi Sidanti masih saja berdiri ditempatnya. Hanya bola
matanya sajalah yang seakan-akan meloncat dari kelopaknya.
Widura yang sudah siap itupun menunggu apa saja yang akan
dilakukan oleh anak muda yang sombong itu. Bahkan Widura
masih juga berkata "Kalau aku memberimu kesempatan kali
ini Sidanti, maka kesempatan yang serupa akan berulang dan
berulang kembali. Sekali aku membiarkan perintahku
dilanggar maka pelanggaran itupun akan selalu terjadi"
Sidanti benar-benar telah dibakar oleh kemarahannya.
Namun ia masih berdiri saja, seolah-olah sebuah tonggak
yang mati. Sehingga dengan demikian tegal itupun menjadi
sepi. Kesepian yang tegang.
Sesaat kemudian, kesepian itu dipecahkan oleh bunyi
bilalang diatas dahan-dahan kayu. Dalam kesepian, terdengar
suara bilalang itu demikian kerasnya sehingga Widura menjadi
terkejut karena suara itu, namun Widura terkejut, karena
kedewasaannya berpikir sebagai seorang prajurit. Demikian
telinganya mendengar bunyi bilalang itu, demikian Widura
menjadi pasti, Ki Tambak Wedi ada disekitar tempat itu.
Demikian suara bilalang itu berhenti, terdengar Sidanti
berkata "Apakah kakang Widura tetap pada pendirianmu?"
Widura tidak menjawab, tetapi ia mengangguk.
"Bagus" berkata Sidanti lantang "Kita lihat, apakah Sidanti
tidak berhak menyamai kakang Widura di Sangkal Putung"
"Hak itu hanya dapat kau terima dari panglima tamtama
Pajang, Ki Gede Pemanahan" sahut Widura.
"Omong kosong!" bentak Sidanti
Sekali lagi Widura membiarkan anak itu membentakbentak.
Tetapi dalam pada itu kegelisahan Sidanti pun tidak
juga berkurang. Maka kemudian ia berkata "Sekarang
bersiaplah kakang, aku akan memaksakan kehendakku
dengan nilai-nilai seorang jantan"
"Silakan. Meskipun penilaianmu atas kejantanan terlalu
kerdil" sahut Widura.
Sidanti sudah tidak dapat berbicara apa-apa lagi. Dengan
gemetar ia berjalan kesebatang pohon perdu, menyangkutkan
senjatanya, untuk kemudian dengan gemetar pula ia putar
tubuhnya menghadapi Widura tanpa senjata ditangan.
Widura heran melihat kelakuan Sidanti. Namun
kedewasaannya segera menolongnya untuk memecahkan
teka-teki itu. Sidanti adalah seorang pelaku. Dibalakangnya
berdiri Ki Tambak Wedi. Apa yang dilakukan oleh Sidanti itu,
agaknya telah diatur oleh gurunya. Dan kali ini gurunya
memerintahkannya untuk berkelahi tanpa senjata.
Widura kemudian melepaskan ikat pinggangnya. Dengan
demikian pedangnyapun terlepas pula. Seperti Sidanti, Widura
pun menyangkutkan pedangnya pula didahan perdu.
Kini mereka berdua telah tegak berhadap-hadapan tanpa
senjata. Sidanti agaknya sudah tidak dapat bersabar lagi.
Dengan serta-merta ia berkata "Aku akan mulai kakang"
Sebelum Widura menjawab Sidanti telah meloncat dengan
garangnya. Kedua tangannya terjulur lurus kedepan mengarah
satu keleher Widura dengan ibu jarinya, sedang yang lain
menghantam dada dengan keempat ujung-ujung jarinya.
Namun Widura tidak sedang tidur. Karena itu, dengan
tangkasnya ia berputar setengah lingkaran sambil
merendahkan dirinya. Sehingga serangan Sidanti itu terbang
beberapa jengkal dari tubuhnya. Bahkan demikian serangan
Sidanti itu lewat, segera Widura membalasnya dengan sebuah
serangan pula. Sebuah serangan mendatar pada lambung
Sidanti. Tetapi Sidanti itu benar-benar tangkas. Meskipun tubuhnya
masih melambung karena tekanan serangannya, ia berhasil
menggeliat dan menghindari serangan Widura.
"Hem" Widura menggeram. Katanya dalam hati "murid Kiai
Tambak Wedi ini benar-benar lincah"
*** Sebenarnyalah Sidanti dapat bergerak selincah burung
walet yang menari-nari diudara pada senja hari diatas pantai.
Geraknya cepat dan cekatan. Sekali-sekali ia mampu
menyambar seperti burung elang, namun kadang-kadang ia
menukik seperti merpati jantan.
Tetapi Widura sendiri mirip seekor burung rajawali yang
tangguh. Dengan kedua tangannya yang kokoh kuat, sekuat
sayap-sayap rajawali, ia selalu berhasil melindungi tubuhnya
dari sergapan yang tiba-tiba. Bahkan sepasang kakinya itupun
sangat mendebarkan jantung. Dengan putaran-putaran yang
berbahaya kaki Widura itu merupakan sebuah perlawanan
tersendiri disamping gerak tangannya yang cepat cekatan.
Sehingga Widura itu seakan-akan memiliki sepasang otak
yang masing-masing dapat mengatur kaki dan tangan dalam
gerak pasangan yang tersendiri.
Demikianlah perkelahian itu menjadi semakin lama semakin
seru. Sidanti yang lincah menjadi semakin lincah, dan Widura
yang kokoh itupun menjadi semakin tangguh.
Kini mereka seakan-akan telah luluh dalam satu lingkaran
yang berputar-putar. Bayangan mereka melontar-lontar
seakan-akan tak terjendali lagi. Saling menyerang dan saling
melibat dalam gerakan-gerakan yang aneh dan
membingungkan. Tetapi Sidanti dan Widura tidak menjadi
bingung karenanya. Mereka memiliki daya pengamatan yang
cukup kuat. Meskipun tangan Sidanti yang cepat itu bisa
berubah menjadi berpasang-pasang dan menyerang dari
segenap penjuru, namun kaki Widura itupun seolah-olah
menjadi berpuluh-puluh jumlahnya, melontar-lontarkan
tubuhnya dari satu titik ketitik yang lain. Sekali-sekali terjadi
benturan antara keduanya. Namun ternyata bahwa kekuatan
mereka pun berimbang. Sekali-sekali Widura terdorong surut, namun kali yang lain
Sidanti terlempar beberapa langkah. Kalau mereka dalam
kesiagaan yang sama, maka setiap benturan akan memaksa
keduanya surut beberapa langkah mundur.
Ketika peluh telah membasahi tubuh-tubuh mereka, maka
perkelahian itupun menjadi bertambah sengit. Sekali-sekali
Sidanti harus merasakan, betapa wajahnya menjadi panas
oleh sengatan tangan Widura yang berat dan mantap. Sekali
ia terdorong surut, dan sebelum
ia berhasil memperbaiki keseimbangannya, tangan Widura telah menyusulnya.
Kembali wajah Sidanti terangkat.
Namun ketika sekali lagi tangan
Widura menyambar wajah itu,
Sidanti berhasil mengelakkannya.
Kali ini, Widura sendiri terseret
oleh tenaga tangannya sehingga
hampir-hampir saja ia tidak
mampu melepaskan diri dari serangan Sidanti yang tiba-tiba.
Untunglah kemampuan Widura cukup tinggi, sehingga ketika
sebuah pukulan mengarah kepelipisnya, Widura sempat
merendahkan dirinya. Tetapi ternyata Sidantipun cukup lincah.
Ketika disadarinya bahwa serangan tak menyentuh tubuh
Widura, cepat-cepat ia menggerakkan kakinya langsung
menyerang dada. Widura yang sedang merendahkan dirinya
itu terkejut. Ia tidak sempat mengelak, yang dapat
dilakukannya adalah, memukul kaki Sidanti dengan kedua sisi
telapak tangannya. Benturan kekuatan itupun telah mendorong mereka
masing-masing beberapa langkah surut. Dan sesaat kemudian
mereka telah berloncatan kembali, saling menyerang dan
saling bertahan. Sidanti yang lebih muda dari lawannya memiliki nafsu dan
tenaga yang lebih baik dari lawannya, namun Widura memiliki
ketenangan dan pengalaman melampaui Sidanti . Karena itu ,
maka dengan pengalamannya itu, Widura selalu dapat
menempatkan dirinya, sehingga meskipun Sidanti lebih
banyak menyerangnya, namun keadaan Widura tidak
mencemaskan. Yang menjadi cemas kemudian adalah Sidanti . Menurut
gurunya, Widura itu pasti akan dapat dikalahkan setelah ia
mendapat tempaan yang khusus untuk kepentingan itu.
Namun ternyata setelah ia berkelahi beberapa lama, Widura
itu masih dapat melawannya dengan baik, sebaik pada saat
mereka baru mulai. Meskipun Sidanti yakin, bahwa Widura
itupun tak akan dapat memenangkan perkelahian itu, tetapi ia
menjadi gelisah, apabila ia tak pula dapat menang
daripadanya. Bahkan Widura sendiri kadang-kadang menjadi kagum
pada geraknya sendiri. Tiba-tiba saja ia berhasil melepaskan
serangan yang seolah-olah dengan sendirinya meluncur dari
kedua tangan dan kaki-kakinya. Sebagai seorang yang cukup
mempunyai pengalaman dalam pertempuran bersama dan
seorang-seorang, maka Widura merasakan, bahwa ada
sisipan ilmu pada ilmunya yang telah dimilikinya dari kakak
iparnya, Ki Sadewa. Namun ilmu itu terasa sama sekali tidak
mengganggunya, bahkan terasa keserasian dan nafas yang
sama pula dengan ilmunya. Tiba-tiba teringatlah ia kepada
seorang aneh yang selalu datang melihat latihan-latihan
Agung Sedayu di gunung Gowok. Orang yang memakai ciri
kain gringsing dan juga menamakan dirinya Kiai Gringsing.
"Hem" gumam Widura dalam hati. "Agaknya ilmu orang
aneh itupun telah menyusup masuk kedalam perbendaharaan
ilmu yang telah aku miliki. Dan ternyata sikapnya yang anehaneh
itu menolong aku pula kali ini"
Dan teringatlah oeh Widura kata-katanya orang bertopeng
itu "Sidantipun selalu melatih diri bersama gurunya"
Tangkapannya atas kata-kata itu ternyata benar. Pada
suatu saat ia harus bertempur melawan anak muda yang
sombong itu. Dan hal itu kini telah terjadi.
Demikianlah dengan nafsu yang bergejolak didalam
dadanya, Sidanti berusaha untuk dapat mengalahkan Widura,
dan memaksakan kehendak-kehendaknya atas pimpinannya
itu. Tidak saja dalam persoalannya dengan Agung Sedayu,
tetapi jauh dari itu. Ia ingin memaksakan kehendaknya dalam
setiap persoalan. Tetapi ternyata bahwa ia tidak segera dapat
menundukkann Widura. Betapapun ia telah berjuang.
Diperasnya segenap kemampuan yang telah diterimanya dari
gurunya, namun Widura itu masih saja dengan gigihnya
melakukan perlawanan. Tetapi, baik Sidanti sendiri maupun Ki
Tambak Wedi, sama sekali tidak mengetahuinya, bahwa
hampir setiap malam, seperti juga Sidanti yang mendapat
tempaan terus-menerus, Widura pun selalu berkelahi melawan
orang aneh yang menamakan dirinya Kiai Gringsing. Bahkan
orang aneh itu berkelahi tidak saja dengan tangan dan
kakinya, tetapi dengan mulutnya juga. Orang itu ternyata
sempat melihat kekurangan Widura dan bahkan kesalahankesalahan
kecil sekalipun. Perkelahian yang sengit itu masih berlangsung lama.
Mereka sudah hampir menumpahkan segenap tenaga
mereka. Karena itu maka tenaga masing-masing semakin
lama menjadi semakin susut. Bintang-bintang dilangit telah
melampaui pertengahannya. Karena itulah maka Sidanti
menjadi semakin gelisah karenanya. Kalau ia gagal
mengalahkan Widura, maka nasibnya bukan menjadi
bertambah baik, tetapi Widura pasti akan semakin bersikap
keras kepadanya. Tiba-tiba Sidanti dan Widura kembali mendengar suara
bilalang. Seperti suara yang semula mereka dengar. Karena
itu Widura pun menjadi semakin berwaspada. Ia yakin, bahwa
suara itu adalah suatu aba-aba yang harus dilakukan oleh
Sidanti . Ternyata dugaan Widura itupun benar. Demikian Sidanti
mendengar suara bilalang itu, tiba-tiba saja ia meloncat surut.
Kemudian sambil berdiri tegak diatas kedua kakinya yang
kokoh, ia berkata lantang "Kakang, perkelahian kita tidak akan
ada akhirnya" Widura tidak segera menyerangnya. Iapun kemudian berdiri
beberapa langkah dari Sidanti , katanya "Apakah yang kau
inginkan kemudian?" "Bukankah kita membawa senjata masing-masing?"
Widura menarik nafas dalam-dalam, ditatapnya wajah anak
muda itu dengan seksama. Namun dalam malam yang kelam
itu tak dilihatnya kesan apapun pada wajah itu, selain kesan
kemarahan yang membakar jantung Sidanti. Dalam pada itu
terdengar Widura berkata "Apakah kau menyadari
perkataanmu itu Sidanti?"
"Tentu" jawab Sidanti "Bukankah maksud kakang Widura
mengatakan, bahwa dengan senjata-senjata itu, dada kita
masing-masing akan mungkin terbelah karenanya?"
"Ya"
01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku menyadari kemungkinan itu. Namun bukan maksudku
membunuh kakang Widura. Kalau kakang bersedia memenuhi
setiap permintaanku, baik dalam hubunganku dengan Sedayu,
maupun kedudukanku di Sangkal Putung dan seterusnya
sebagai prajurit Pajang, maka aku tak akan menyentuh
senjataku dalam perkelahian ini"
Sekali lagi Widura menarik nafas dalam-dalam. Yang
terloncat dari mulutnya adalah "Sidanti, aku telah siap
mempertahankan keputusanku"
"Bagus" teriak Sidanti sambil meloncat meraih pusakanya.
Sesaat Widura masih tegak ditempatnya. Tetapi ketika ia
melihat Sidanti telah menggenggam senjatanya, maka
perlahan-lahan Widura itupun berjalan mengambil senjatanya.
Pedang yang tidak begitu tajam, namun ujungnya runcing
melampaui ujung jarum. "Kita akan bertempur sebagai laki-laki, kakang" berkata
Sidanti . "Tentu" sahut Widura.
"Kita tidak ingin saling membunuh, namun siapa yang mulamula
mengalirkan darah dari lukanya, ialah yang kalah"
"Bagus" sahut Widura.
"Yang kalah harus tunduk pada setiap keputusan dari yang
menang" Tiba-tiba Widura menggeleng "Tidak" katanya segera.
"Kekalahan kita masing-masing disini tidak mempengaruhi
kedudukan kita. Akulah pimpinan laskar Pajang di Sangkal
Putung" Dada Sidanti serasa menggelegar karenanya. Tiba-tiba ia
berteriak "Lalu apakah gunanya kita bertempur disini?"
"Aku tidak tahu. Aku hanya memenuhi permintaanmu.
Sebab bagaimanapun, kau tidak akan dapat mempersoalkan
atas Sangkal Putung dan kekuasaan yang ada ditanganku.
Aku akan mengambil keputusan menurut keyakinanku,
menurut kebenaran yang aku yakini. Tidak dapat seorangpun
yang akan mempengaruhi keputusan itu"
"Gila. Apakah kau sangka aku tidak dapat membunuhmu
kakang" teriak Sidanti pula.
"Kalau aku mati, maka aku akan mati sebagai seorang
pemimpin yang bertanggung jawab. Bukan sebagai kelinci
yang sedang melarikan diri dari terkaman anjing hutan"
Tubuh Sidanti tiba-tiba bergetar karena kemarahannya.
Matanya yang bulat itu sesaat menjadi redup. Kemudian
ditariknya keningnya kesisi, namun kemudian meledaklah
kata-katanya "Apakah kau ingin kita bertempur sampai mati?"
"Tidak" sahut Widura. "Aku tidak mempunyai keinginan
untuk berkelahi dengan kekuatan dalam lingkunganku sendiri.
Apalagi sampai mati. Tetapi aku juga tidak ingin melihat
kewibawaanku dikurangi. Sebab aku bertanggung jawab
kepada panglima Tamtama di Pajang. Tidak kepadamu dan
tidak kepada Agung Sedayu. Sedang panglima di Pajang itu
menyalurkan perintah adipati Pajang yang sedang
menegakkan kewibawaan Demak. Nah, kewibawaanku adalah
sebagian dari kewibawaan adipati pajang itu"
"Persetan" potong Sidanti hampir hangus dibakar
kemarahannya "Bersiaplah"
Widura kini benar-benar tak dapat menghindarkan diri dari
perkelahian bersenjata. Tiba-tiba saja Sidanti telah meloncat
menyerang dengan garangnya. Senjatanya yang tajam
diujung dan pangkalnya itu berputar seperti baling-baling,
kemudian melontar seperti jarum pemintalan. Sekali-sekali
menyambar dengan ujungnya namun kemudian mematuk
dengan pangkalnya. Widura menggigit bibirnya. Dengan tangkasnya ia
meloncat-loncat menghindari serangan itu. Pedangnyapun
kemudian bergerak-gerak datar, kadang-kadang menyilang
dan tiba-tiba saja terjulur lurus kedada lawannya.
Kali inipun Sidanti merasakan, bahwa olah pedang Widura
itu cukup mampu untuk melawan senjatanya. Namun ia masih
akan mencoba menggunakan kelincahannya dan
kecepatannya untuk menembus dinding baja dari putaran
pedang lawannya. Perkelahian diantara keduanya kini menjadi bertambah
mengerikan. Senjata Sidanti benar-benar merupakan senjata
yang berbahaya. Setiap sentuhan dari tajam diujung dan
pangkal senjata itu akan menyobek tubuh lawam. Tetapi
pedang Widura itupun setiap saat dapat membelah dada
lawannya. Dengan kekuatan yang mengagumkan pedang itu
menyambar-nyambar seoerti alap-alap diudara.
Tetapi perkelahian inipun tak akan berujung pangkal.
Karena kepandaian mereka mempergunakan senjata masingmasing.
Maka yang terjadi hanyalah benturan-benturan
diantara senjata mereka. Demikian besar kekuatan mereka
berdua, maka dalam setiap sentuhan diantara senjata-senjata
itu, terperciklah bunga api yang seakan-akan berloncatan dari
kedua senjata itu. Sidantipun telah berjuang memeras segenap ilmunya, dan
Widura pun tak kalah sengitnya mempergunakan segenap
tenaganya. Demikian dahsyatnya perkelahian itu, sehingga
seakan-akan tenaga merekapun segera terhisap habis. Baik
Sidanti maupun Widura telah mempergunakan pula setiap
tenaga cadangan didalam tubuh mereka. Kekuatan-kekuatan
yang dilambari dengan ketekunan latihan-latihan dimasa-masa
lampau telah mereka kerahkan. Namun keadan mereka maih
tetap berimbang. Bahkan setelah tenaga mereka semakin
susutpun, mereka tak dapat melampaui satu dari yang lain.
Kini serangan-serangan mereka sudah tidak secermat pada
saa mereka mulai. Kadang-kadang mereka terseret beberapa
langkah karena tarikan senjata mereka sendiri. Namun dalam
saat yang demikian, lawannyapun tidak segera sempat
menyerang. Dengan lemahnya, mereka terpaksa melangkah
terhuyung-huyung maju. Bahkan kadang-kadang, karena sentuhan batu-batu kecil
pada kaki mereka, mereka telah kehilangan keseimbangan.
Demikianlah pertempuran itu menjadi aneh. Ketika Sidanti
mencoba menembus pertahanan Widura dengan sebuah
tusukan pada lambungnya, maka Widura pun berusaha untuk
menghindarinya. Ketika ia meloncat kesamping, tiba-tiba
kakinya terperosok oleh lubang-lubang yang telah terjadi
selama perkelahian itu. Widura yang kelelahan itupun tidak
dapat menahan diri, sehingga ia terhuyung-huyung hampir
jatuh. Sidanti ingin mempergunakan kesempatan itu, tetapi
ketika serangannya gagal, bahkan ia terseret beberapa
langkah oleh senjatanya. Dalam keadaan yang demikian,
masing-masing ingin mencoba mempergunakan kelemahankelemahan
lawannya, namun mereka sendiri seakan-akan
telah tidak mampu lagi menggerakkan tangan dan kaki
mereka. Sehingga dengan demikian, tidak ada keseimbangan
antara kehendak dan perhitungan mereka dalam tata
perkelahian itu, dengan tenaga-tenaga mereka yang seakanakan
telah terperas habis. Namun tak seorangpun diatara
mereka yang mendahului mengakhiri perkelahian yang aneh
itu. Malam semakin lama menjadi semakin dalam, dan bintangbintangpun
menjadi semakin bergeser kebarat. Langit yang
biru gelap tersaput leoh mega yang selembar-selembar
mengalir dihanyutkan oleh angin yang lembut.
Namun yang berkelahi masih berkelahi juga. Tetapi
perkelahian itu kini sama sekali sudah tidak berbahaya lagi
bagi kedua belah pihak. Meskipun sekali-sekali Sidanti masih
menusukkan senjatanya, namun senjata itu tak akan sampai
menyentuh tubh lawannya. Sedang apabila Widura mencoba
mengayunkan pedangnya dengan kedua tangannya, maka ia
sendirilah yang akan terpelanting jatuh.
Nafas mereka berdua kini satu-satu tersangkut didalam
kerongkongan. Peluh mereka mengalir seperti mereka sedang
bertempur didalam hujan yang pekat. Bahkan apabila sekalisekali
terjadi juga benturan diantara senjata-senjata mereka,
maka mereka berdua itupun terdorong surut dn kemudian
terbanting jatuh ditanah. Dengan susah payah mereka berebut
dahulu untuk bangkit, dan apabila mungkin menyerang
sebelum lawannya menguasai diri sepenuhnya. Namun usaha
itu tak akan pernah berhasil. Sebab lutut-lutut mereka seakanakan
sudah tidak berpaut lagi.
Meskipun tenaganya sudah hampir habis terperas, namun
Sidanti masih mengumpat-umpat dalam hati. Bahkan ia
menjadi heran, bahwa Widura mampu melawan dengan
baiknya. Pada saat mereka berdua bertempur melawan
Tohpati berganti-ganti, Widura itu ternyata tidak lebih baik
daripadanya. Kini ia telah mendapat tempaan yang padat dari
gurunya, dan bahkan gurunya itupun berkata, bahwa ilmunya
pasti akan lebih baik meskipun hanya selapis tipin dari Widura.
Namun ternyata kini, bahwa ilmunya benar-benar tidak
melampaui ilmu Widura itu sendiri. Apakah tempaan selama
ini, dihampir setiap malam dengan ilmu-ilmu gurunya yang
hampir sempurna itu sama sekali tak berpengaruh atasnya"
Sedang Widura pun benar-benar kagum kepada anak
muda murid Kiai Tambak Wedi itu. Namun didalam lekuklekuk
hatinya, terasa juga bahwa ia sedang mengagumi
dirinya sendiri. Ternyata bahwa merah biru diwajah-wajah
kulitnya, hampir setiap malam apabila ia berkelahi melawan
Kiai Gringsing yang memegang cemetinya ditengah-tengah itu
ada juga manfaatnya baginya. Kini ia benar-benar
menghadapi senjata Sidanti bukan sekedar cemeti kuda.
Apabila senjata yang mengerikan itu benar-benar dapat
menyentuhnya, maka akibatnya tidak saja sekedar merah biru
diwajah-wajah kulitnya, tetapi luka-luka yang pedih akan
menganga. Karena itu pun Widura bersyukur dalam hati.
Siapakah sebenarnya orang aneh yang menamakan dri Kiai
Gringsing itu" Tetapi Widura tidak sempat berangan-angan. Kini mereka
berdua berhadap-hadapan dengan tubuh gemetar. Bukan
karena marah yang membakar dada mereka, namun karena
tenaga nr telah terkuras habis.
Sidanti yang dengan susah payah masih mencoba tegak
diatas kedua kakinya, menggeram dengan suara parau yang
gemetar. Katanya "Mampus kau kakang Widura"
Keadaan Widura pun tidak lebih naik dari keadaan Sidanti .
namun otaknyalah yan glebih baik. Meskipun nafasnya telah
hampir putus ditenggorokan, namun ia berkata diantara engah
nafasnya "Sidanti, apakah hasil yang kita dapatkan dari
perkelahian ini?" Terdengar Sidanti menggeram. Matanya msih menyalakan
kemarahannya yang meluap-luap. Bahkan ia menjadi semakin
marah, ketika ia menyadari keadaannya. Ternyata Widura tak
dapat ditundukkannya. Apalagi ketika ia mendengar
pertanyaan Widura itu. Namun sesaat kemudian pertanyaan
itu benar-benar membingungkannya. "Ya, apakah yang sudah
didapatnya dari perkelahian itu?"
Namun yang terlontar dari mulutnya adalah sebuah makian
yang kasar. "Setan. Bukankah dengan demikian kau tahu
bahwa kau bukan orang yang aneh di Sangkal Putung. Bahwa
Widura pun manusia juga yang tidak lebih dari Sidanti?"
"Tentu" sahut Widura. "Apakah aku pernah berkata bahwa
aku keturunan malaikat?"
"Tetapi kau merasa, seakan-akan dirimu tak terkena salah.
Semua orang harus tunduk atas kehendakmu"
"Itu bukan karena aku Widura. Tetapi itu karena wewenang
yang aku terima" "Omong kosong" bentak Sidanti, "Sejak sekarang kau harus
merubah sikap itu" Widura menggeleng "Tidak" jawabnya tegas.
Dada Sidanti benar-benar akan meledak karenanya.
Namun ketika ia ingin menyerang lawannya kembali, ia
terhuyung-huyung. Dengan susah payah ia mencoba untuk
menemukan keseimbangannya kembali. "Gila" anak itu
mengumpat lagi. Tetapi kali ini tak ditujukannya kepada
siapapun. Sedang Widura masih tegak ditempatnya. Namun
seandainya sebuah angin kencang menyentuhnya maka
Widura itupun pasti akan roboh. Karena itu, ia tidak ingin
berbuat sesuatu. Otaknya yang telah dipenuhi dengan
berpuluh-puluh ribu macam persoalan ternyata masih tetap
baik, betapapun tenaganya telah terhisap oleh embun malam.
Kini ia yakin bahwa Sidanti itu sama sekali sudah tak berdaya
seperti dirinya sendiri. Dalam pada itu, tiba-tiba mereka berdua terkejut. Namun
Sidanti hanya sesaat. Tetapi Widuralah kemudian teruncang
dadanya. Meskipun telah disangkanya lebih dahulu, namun
kehadiran yang tiba-tiba diantara mereka, benar-benar
mengejutkan. Dan dengan wajah cerah Sidanti berkata
kepada orang yang baru datang itu "Selamat datang guru"
Kiai Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya.
Wajahnya yang panjang runcing serta sepasang matanya
yang tajam, setajam mata burung hantu merupakan pertanda,
bahwa Kiai Tambak Wedi adalah seorang yang tidak dapat
mengenal puas atas segenap usaha yang pernah dicapainya.
Widura pun kemudian mengangguk pula. Seperti Sidanti,
iapun mencoba memberi salam kepada orang sakti itu
"Selamat datang Kiai"
Kiai Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Dipandanginya
wajah Widura dengan tajamnya, seperti akan ditelannya
hidup-hidup. Kemudian sambil mengangguk kecil ia menjawab
"Hem, selamat Widura"
Widura pun mencoba untuk mengenal wajah orang yang
namanya terkenal didaerah sebelah timur gunung Merapi itu.
Semakin jelas ia mengenal wajah itu, hatinya menjadi semakin
berdebar-debar. Diantara sepasang matanya yang tajam itu,
tampaklah hidung Kiai Tambak Wedi besar dan melengkung
seperti paruh burung. Sayang, malam yang pekat itu tak
memberi kesempatan kepada Widura untuk melihat setiap
garis yang tergores diwajah itu.
"Widura" berkata Kiai Tambak Wedi itu kemudian.
Suaranya besat dan seakan-akan bergetar saja didalam
dadanya "Ternyata kau mampu menyamai muridku"
Widura mangguk kecil. Jawabnya "Aku hanya mecoba
melayani adi Sidanti bermain-main Kiai"
"Jangan sombong" sahut Kiai Tambak Wedi. "Meskipun kau
berhasil mempertahankan namamu, tapi jangan berkeras
kepala. Aku tidak senang melihat sikapmu"
Widura tidak segera menjawab. Sekali lagi ia mencoba
01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menatap wajah Kiai Tambak Wedi yang sedemikian saktinya,
sehingga orang mengatakan bahwa ia mampu menangkap
angin. "Widura" berkata Kiai Tambak Wedi kemudian. "Aku heran,
bahwa kau mampu bertempur dalam tataranmu sekarang. Aku
sangka kau tidak akan dapat menyamai muridku. Namun
agaknya ilmumupun bertambah. Aku sangka, setelah Sidanti
menambah ilmunya akhir-akhir ini kau akan menjadi
ketinggalan karenanya"
Kali inipun Widura tidak menjawab. Ia masih tegak seperti
patung. Patung yang kurang seimbang, sehingga setiap
sentuhan akan dapat merobohkannya.
"Tetapi" berkata Kiai Tambak Wedi itu pula, "Sangkaanku
itu keliru" Kiai Tambak Wedi diam untuk sesaat. Kemudian
katanya "Meskipun demikian itu bukan berarti bahwa setiap
tuntutan Sidanti sudah dilepaskan"
Widura menjadi semakin berdebar-debar. Guru Sidanti itu
kini ternyata telah secara langsung turut dalam setiap
persoalan di Sangkal Putung. Meskipun demikian
dibiarkannya Kiai Tambak Wedi itu berkata "Widura,
sebenarnya aku tidak ingin mencampuri persoalanmu sebagai
pimpinana laskar Pajan di Sangkal Putung. Apabila kau tidak
berbuat banyak kesalahan. Aku bermaksud membiarkan
Sidanti melakukannya sendiri, tetapi ternyata karena Sidanti
tak dapat mengalahkanmu, maka kau pasti masih akan
berkeras kepala. Kini biarlah aku meneruskan permintaan
Sidanti itu. Terus terang, tanpa berbelit-belit . Widura, kau
harus menyingkirkan Agung Sedayu. Kedua, setiap kau
berhalangan maka Sidanti lah pemimpin laskar Pajang di
Sangkal Putung. Kemudian kau harus menyampaikan
kemenangan Sidanti atas Tohpati. Seterusnya kau harus
mengusulkan kepada atasanmu, panglima wiratamtama.
Untuk kedudukan yang lebih baik bagi Sidanti, ingat, masa
depan Sidanti harus berbeda dari masa depanmu. Kau sudah
puas dengan kedudukanmu sekarang. Tetapi Sidanti tidak.
Sidanti melihat jauh kemasa depan. Dengarlah Widura,
bukankah dengan menyingkirkan Jipang, maka adipati Pajang
sekarang ini, adalah pewaris satu-satunya kerajaan Demak.
Aku kira sultan Cirebon, manantu Trenggana pula, tidak akan
mempunyai tuntutan apa-apa. nah, apa pula yang kelak akan
terjadi dengan janji tanah Mentaok dan Pati bagi mereka yang
dapat membunuh adipati Jipang" Bukankah dengan demikian
hari depan Pajang sendiri masih akan berbelit-belit. Dalam
keadaan yang demikian Sidanti harus tampil kedepan. Kau
dengar" Kalau kemudian Sidanti telah menemukan
kedudukan yang pantas baginya, kau adalah salah seorang
dari panglimanya. Begitu?"
Widura masih berdiam diri. Namun tiba-tiba ia menjadi
muak mendengar semua kata-katanya Kiai Tambak Wedi.
Tetapi ia harus menjaga dirinya. Kiai Tambak Wedi adalah
seorang yang sakti. Bahkan ia terkejut ketika Kiai Tambak
Wedi itu berkata "Kau adalah anak tangga yang pertama bagi
Sidanti , Widura. Bagaimana?"
Tiba-tiba Widura itupun menggeleng. Kini ia menjawab
dengan ketegasan yang sama seperti jawabannya kepada
Sidanti. "Sayang Kiai, aku tidak dapat memberikan apa-apa
kepada Sidanti" Kiai Tambak Wedi menarik alisnya. Kemudian ia
tersenyum. Katanya "Jangan berkeras kepala Widura. Ingat,
nasibmu akan dapat menjadi kurang baik"
Sekali lagi Widura menggeleng. "Kiai, mungkin aku dapat
menjanjikannya disini karena aku takut kepada Kiai. Namun
aku tidak akan dapat melaksanakannya kelak. Bukankah
dengan demikian aku sekedar menipu Kiai. Karena itu lebih
baik berkata terus terang"
Sidanti yang mendengar percakapan itupun, wajahnya
menjadi semakin membara. Bahkan kemudian ia menggeram
"Bukankah guru dapat memaksanya?"
"Tentu Sidanti" sahut Kiai Tambak Wedi. "Aku akan bisa
memaksanya. Menangkapnya sekarang dan mengikatnya
dibatang jambu mete ini. Kemudian dengan kukuku ini aku
dapat menggores kulitnya sehingga terkelupas. Tetapi Widura
tidak akan membiarkannya aku berbuat demikian, bukankah
begitu?" Dada Widura pun menjadi semakin berdebar-debar.
Meskipun demikian ia menjawab "Benar Kiai, aku mengharap
Kiai tidak akan berbuat demikian. Tetapi permintaan Kiai
itupun tak akan dapat aku penuhi"
Kiai Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kemudian katanya "Jangan begitu Widura. Nasibmu, hidup
matimu kini ada ditanganku"
"Terserahlah kepada Kiai"
Kiai Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Jawaban itu
benar-benar tidak menyenangkan. Katanya "Widura, jangan
membuat aku marah. Aku bisa membunuhmu sekarang"
"Terserah kepada Kiai. Aku harus tetap pada perintahku.
Hidup atau mati adalah akibat yang sudah aku ketahui sejak
aku masuk menjadi seorang prajurit. Adalah sudah
seharusnya aku mati sambil menggenggam kewajiban. Bukan
mengingkari"Kiai Tambak Wedi, seorang yang sudah kenyang
mengenyam pahit manisnya kehidupan itu, menganggukanggukkan
kepalanya mendengar jawaban Widura. Ia kagum
pada kejantanannya. Kagum pada tanggung-jawabnya.
Meskipun demikian, ia sama sekali tidak senang mendengar
jawaban itu. Dengan demikian seakan-akan Widura itu sama
sekali tidak takut kepadanya. Ia ingin agar setiap orang
menjadi gemetar dan menggigil ketakutan mendengar
namanya. *** Buku 04 Apalagi apabila mereka berhadapan. Namun agaknya
Widura sama sekali tidak bersikap demikian. Karena itu, maka
sekali lagi Ki Tambak Wedi itu berkata "Widura, orang-orang
seperti kau ini benar-benar merupakan mutiara-mutiara yang
tersimpan dalam perbendaharaan keprajuritan Pajang. Aku
ingin agar mutiara-mutiara demikian itu tidak akan hilang
tertimbun oleh lumpur. Karena itu Widura, aku minta kau
membantu Sidanti dalam usahanya mendapatkan tempat yang
baik dalam hidupnya yang penuh dengan cita-cita itu. Aku
sendiri pasti akan merupakan kekuatan yang mengalasinya"
Sekali lagi Widura menjadi muak. Bahkan ia menjadi muak
melihat wajah yang panjang bermata seperti mata burung
hantu dan berhidung terlalu runcing itu. Meskipun demikian,
tak ada suatupun yang dapat dilakukannya. Dan ia masih
mendengar Ki Tambak Wedi meneruskan "Apabila kelak
Sidanti akan sampai ditempat itu, maka kaupun akan ikut serta
mukti pula bersamanya"
Widura menggeleng tegas. Jawabnya "Biarlah aku
ditempatku. Apapun yang akan aku alami"
Dada Ki Tambak Wedi itupun sudah mulai dirayapi oleh
kemarahan yang semakin lama semakin menyala. Agaknya
Widura sudah tidak mungkin dapat dibujuknya. Karena itu
katanya "Widura, apakah kau benar-benar menunggu aku
marah?" Widura yang berdiri seperti pucang kanginan itu menjawab
"Sudah aku katakan Kiai. Namun aku tetap pemimpin laskar
Pajang di Sangkal Putung. Bukan orang lain"
"Widura" sahut Ki Tambak Wedi yang mulai tidak dapat
mengendalikan kemarahannya. "Kau tetap pemimpin laskar di
Sangkal Putung. Tetapi kau harus menurut perintah-perintah
Sidanti yang akan diberikan erus menerus kepadamu.
Perintah-perintahmu hanyalah saluran dari perintahperintahnya.
Tetapi dimata par prajurit itu, kau tetap seorang
pemimpin yang berwibawa. Bersedia?"
Sekali lagi Widura menggeleng tegas "Tidak" jawabnya.
Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya "Aku sudah menduga bahwa kau akan tetap pada
pendirianmu. Nah, bagaimanakah kalau aku membunuhmu
sekarang?" Widura menyadari keadaannya. Ia tidak lebih dari seorang
yang kecil dihadapan Ki Tambak Wedi. Tetapi ia tidak mau
mengorbankan kewibawaan, saluran kewajiban prajurit.
Sedang orang seperti Ki Tambak Wedi itu pasti akan dapat
melakukan apa saja yang dikatakannya. Meskipun demikian
Widura menjawab "Kiai pasti akan mampu melakukannya.
Terserahlah kepada Kiai. Tetapi Kiai harus menyadari
keadaan Sidanti . Anak itu keluar bersama aku. Apakah kata
mereka kalau anak itu kembali seorang diri, dan besok
mayatku diketemukan disini?"
Mendengar jawaban itu Ki Tambak Wedi tiba-tiba tertawa
terbahak-bahak. Katanya diantara derai tawanya "He Widura,
ternyata kau tidak sejantan yang aku sangka. Ternyata kau
mulai ketakutan dan mencari jalan untuk menolong dirimu
sendiri" Mendengar suara tertawa dan kata-kata Ki Tambak Wedi
itu, telinga Widura seperti terjilat api. Sehingga ia lupa, dengan
siapa ia berhadapan. hampir berteriak ia membentak "Cukup!"
Ki Tambak Wedi terkejut mendengar bentakan itu,
sehingga dengan serta-merta derai tertawanya itu terputus.
Dengan tajamnya ia memandang wajah Widura yang masih
berkata terus "Apakah kau sangka bahwa setiap mahluk akan
menyerahkan hidupnya demikian saja tanpa usaha untuk
menyelamatkan diri. Bukankah hak setiap hidup untuk
mempertahankan hidupnya?"
"Tetapi caramu adalah cara yang licik" sahut Ki Tambak
Wedi. "Tidak" bantah Widura. "Tetapi aku hanya ingin
mengatakan, kalau kau bunuh aku, maka pekerjaanmu itu
tidak akan bermanfaat. Setiap orang dapat segera mengambil
kesimpulan apa yang sudah terjadi"
"Seandainya mereka mengetahui sekalipun, apa yang akan
mereka lakukan terhadap Sidanti" Apakah mereka berani
melakukan tindakan apapun terhadap anak itu?"
"Tentu" "Aku akan dapat membunuh mereka semua"
"Mereka adalah prajurit-prajurit. Kalau mereka tak dapat
mengatasi seseorang, maka atasannyalah yang akan
melakukan. Bagaimana anggapan Kiai tentang seorang
perwira tamtama yang bernama Pemanahan" Juru Mertani
atau adipati Pajang sendiri?"
Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Jawabnya
"Persetan dengan mereka. Tetapi aku tidak sebodoh yang kau
sangka. Aku sudah bersedia alat untuk membunuhmu. Semua
orang mengenal bahwa senjata Sidanti adalah senjata tajam.
Sekarang aku akan membunuhmu dengan senjata pemukul"
Dada Widura menjadi berdebar-debar karenanya. Apalagi
ketika tiba-tiba ia melihat, Ki Tambak Wedi itu menarik sebuah
tongkat besi dari pinggangnya dibawah kain panjangnya. Besi
itu tidak terlalu panjang. Hanya dua jengkal, sebesar ibu jari
kaki. Diamat-amatinya senjata sambil bergumam seolah-olah
ditujukan kepada diri sendiri "Hem, bukankah orang yang
bersenjata pemukul itu seorang senapati Jipang yang
bernama Tohpati" Dan bukankah mulut Sidanti juga dapat
berkata demikian kepada kawan-kawannya" Lihatlah wajah
Sidanti itu sendiri, dan hampir diseluruh tubuhnya menjadi
merah biru. Itu akan bagus sekali untuk melengkapi ceritanya.
Kau berdua berjumpa dengan Tohpati dan beberapa
orangnya. Kalian bertempur mati-matian, dan kau terbunuh
dalam perkelahian itu"
Getar didalam dada Widura menjadi semakin cepat. Kini ia
benar-benar berhadapan dengan maut. Dan ia tidak akan
dapat menemukan jalan untuk menyelamatkan diri. Meskipun
demikian sama sekali tak terlintas didalam otaknya untuk
memenuhi permintaan Sidanti, menebus nyawanya dengan
menjual kewibawaan Pajang.
Demikianlah maka sesaat mereka berada dalam keadaan
yang tegang. Widura, Sidanti dan Ki Tambak Wedi seperti
tonggak-tonggak yang kaku. Yang mula-mula menyobek
kesepian adalah Ki Tambak Wedi. katanya "Bagaimana
Widura. Apakah kau masih ingin bertahan pada pendirianmu"
Memang keadaanmu masih cukup baik. Kalau kau mati, maka
kau akan dihormati sebagai pahlawan. Namun bukankah lebih
baik apabila kita dapat melihat dan merasakan dalam hidup
kita ini kehormatan itu daripada sesudah kita mati?"
Widura tidak menjawab sepatah katapun. Ia sedang
mempersiapkan dirinya menghadapi maut.
"Bagaimana Widura?" bentak Ki Tambak Wedi yang sudah
mulai kehilangan kesabaran. "Kalau kau mati, aku akan
berusaha Sidanti lah yang akan mengganti kedudukanmu. Aku
akan pancing Tohpati, aku akan bunuh pula dia atas nama
Sidanti" Widura menggeram mendengar rencana gila-gilaan itu.
Namun kali inipun ia ti menjawab. baginya, sudah tidak ada
gunanya lagi untuk berbicara apapun. Maka yang dapat
dilakukan adalah menunggu apa saja yang akan terjadi.
Ki Tambak Wedi ternyata benar-benar telah kehilangan
kesabaran. Dengan sepotong besi itu ia berjalan mendekati
Widura sambil berkata "Aku tidak biasa mempergunakan
senjata semacam ini. Tetapi untuk kepentingan Sidanti, aku
akan memecah batok kepalamu, sehingga orang benar-benar
menyangka kau mati karena pukulan tongkat baja putih milik
Tohpati itu" Sekali lagi Widura menggeram. Tanpa disengaja ia
mengangkat pedangnya. Melihat gerak pedang itu Ki Tambak
Wedi tertawa terbahak-bahak. Katanya "Gila. Apakah kau
akan melawan aku" Dengan satu sentuhan dari anak kecil,
kau pasti sudah akan roboh. Jangan gila. Kau hanya tinggal
mempersiapkan kepalamu saja. Manakah yang sebaiknya aku
pukul supaya kau segera mati. Dengan demikian aku sudah
bermurah hati kepadamu"
Mulut Widura benar-benar telah terkunci. Sesaat ia ingat
kepada kemenakannya, Sedayu. Namun ia tidak
menyalahkannya. Saat yang lain dikenangnya kemenakannya
yang satu lagi, Untara. Katanya dalam hati "mudah-mudahan
anak itu masih hidup, dan mudah-mudahan suatu ketika
dijumpainya adiknya itu dan diselamatkannya dari kerakusan
Sidanti yang gila ini"
Widura kini melihat Ki Tambak Wedi itu semakin lama
semakin dekat. Suara tertawanya masih saja terdengar
berkepanjangan.
01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tetapi tiba-tiba suara tertawa itupun terputus. Mereka
semua terkejut bukan buatan. Apalagi Widura dan Sidanti .
Dalam sepi malam itu terdengar tiba-tiba sebuah ledakan
dahsyat. Sehingga getarannya telah menggerakkan daundaun
pepohonan dan menggugurkan daun-daun kuning yang
tidak mampu berpegangan dahan-dahannya lagi. Bahkan
ledakan itu telah menggetarkan dada mereka yang
mendengarnya. Lebih-lebih Widura dan Sidanti .
Ki Tambak Wedi itu kini tegak seperti patung. Namun
tampaklah ia memusatkan perhatiannya memandang segenap
arah. Matanya yang tajam setajam mata burung hantu itupun
menjadi liar. Dalam ketegangan itupun sekali lagi terdengar suara
ledakan itu. Lebih keras dan getarannya semakin dalam
menusuk dada. Widura dan Sidanti terpaksa memejamkan
mata mereka dan memusatkan perlawanan mereka dengan
kekuatan batin melawan getaran yang aneh itu.
Mata Ki Tambak Wedi itupun menjadi semakin liar. Bahkan
tiba-tiba ia berteriak "Dahsyat. Kekuatan orang itu pasti sama
dengan kekuatan raksasa. Tetapi jangan seperti seorang
pengecut. Mari, datanglah kemari. Aku bersedia
menyambutmu" Namun tak ada jawaban. Yang terdengar sekali lagi suara
ledakan itu. Lebih keras pula dari yang terdahulu.
Ki Tambak Wedi itupun kemudian menjadi marah bukan
kepalang. Seperti orang gila ia berteriak-teriak "Ayo,
kemarilah. Jangan bersembunyi. Inilah Tambak Wedi"
Tetapi kemudian tegal itu menjadi sepi. Suara ledakan
itupun tak terdengar lagi. Mengerutkan keningnya Ki Tambak
Wedi itu masih tegak seperti patung. Ia masih mencoba
mengetahui dari manakah arah suara ledakan-ledakan itu.
Namun suara itu tak terdengar lagi.
Dalam pada itu, tumbuhlah suatu persoalan didalam
dirinya. Dalam diri Ki Tambak Wedi yang perkasa itu. Ia tidak
akan takut berhadapan dengan seitap orang bagaimanapun
saktinya. Ki Tambak Wedi itu merasa, bahwa dirinya pasti
akan mampu menghadapi siapa saja dalam pertempuran
seorang lawan seorang. Biarpun orang itu Adiwijaya, yang
terkenal memiliki aji Lembu sekilan, Rog-rog Asem, Sapu
Angin sejak masa kanak-kanaknya, sejak ia masih bernama
Mas Karebet. Setidak-tidaknya ia pasti akan dapat
menyelamatkan dirinya dari lawannya. Namun orang yang
meledakkan lecutan-lecutan itupun bukan orang kebanyakan,
sehingga apabila ia mengejarnya, maka ada kemungkinan
orang itu berhasil melarikan diri.
Yang kemudian mengganggunya adalah, apabila Widura itu
dibunuhnya, maka ternyata akan hadir sedikit-dikitnya seorang
saksi. Orang yan menyuarakan lecutan-lecutan dahsyat itu.
Dengan demikian maka cerita Sidanti lambat atau cepat, pasti
akan diketahui kebohongannya. Karena itu, tiba-tiba Ki
Tambak Wedi itupun mengumpat tak habis-habisnya. Katanya
"Setan itu ternyata berhasil menolong memperpanjang
nyawamu Widura. Ia akan merupakan saksi yang
mengganggu jalan Sidanti . meskipun demikian, ingatlah,
Sidanti tak akan pernah melepaskan tuntutannya. Abiarlah kali
ini lau tetap hidup. Aku beri waktu kau sepasar. Kalau dalam
sepasar kau tidak merubah pendirianmu, dalam setiap
kesempatan aku akan dengan mudah membunuhmu. Mungkin
dengan cara-cara yang sangat mengerikan"
Widura masih berdiam diri. Apalagi kini, dadanya masih
dipengaruhi oleh getaran-getaran leacutan yang dahsyat itu.
Karena itu ia sama sekali tidak menjawab kata-kata Ki
Tambak Wedi. "Pulanglah berdua. Jangan membuat persoalan supaya aku
mempunyai pertimbangan- pertimbangan lain"
Widura masih tetap tegak seperti tiang-tiang yang beku. Ia
mendengar kata-kata Ki Tambak Wedi itu, namun seakanakan
ia tidak mengerti maknanya. Setelah ia kehilangan
harapan untuk dapat menyelesaikan tugasnya, membersihkan
sisa-sisa laskar Jipang, karena keinginan Sidanti yang
melonjak-lonjak, maka tiba-tiba dadanya digetarkan oleh suara
lecutan yang hampir menggugurkan isi dadanya, kini ia
mendengar Ki Tambak Wedi itu mengurungkan niatnya.
Untuk sesaat Sidanti pun menjadi seolah-olah kehilangan
kesadarannya. Namun seperti orang yang tersentak bangun
dari tidurnya ia mendengar gurunya itu berkata, bahwa Widura
akan dibebaskannya. Karena itu, maka timbullah berbagai
pertanyaan didalam dirinya. Keadaan itu sudah terlanjur
sedemikian buruknya. Apabila Widura itu masih tetap hidup,
apakah keadaannya tidak menjadi semakin sulit.
Maka dengan terbata-bata terdengarlah Sidanti itu bertanya
"Guru, apakah guru akan memaafkan kakang Widura?"
"Tidak" sahut gurunya. "Aku hanya memberinya waktu
sepasar" "Kenapa guru masih memberinya waktu?"
"ada bermacam-macam pertimbangan. Aku masih
berusaha untuk mencari jalan yang baik bagimu. Kecuali
apabila dalam sepasar Widura masih tetap keras kepala.
Selain yang sudah akua katakan, setan yang
memperdengarkan suara lecutan itupun dapat mengganggu
jalanmu Sidanti " "Kenapa guru tidak menangkapnya saja, dan
membunuhnya pula?" "Kau dengar suara lecutannya?" bertanya gurunya. "Kau
merasakan getaran didadamu" Nah, itu pertanda bahwa
orang itupun bukan orang kebanyakan. Mungkin ia dapat
melepaskan diri dari tanganku meskipun ia tidak berani
langsung melawan aku dalam satu perkelahian"
Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun masih
tampak diwajahnya, bahwa ia menyesal akan keadaan itu.
Seandainya Widura itu terbunuh dan orang mempercayainya,
bahwa yang membunuh Widura itu Tohpati, menilik dari
bekasnya, maka tak seorangpun yang berani menyatakan
dirinya, mengganti kedudukan Widura. Semua orang di
Sangkal Putung menyadari, bahwa tak seorangpun yang
dapat melampaui Sidanti. kecuali kalau Pajang menunjuk
orang lain yang dikirim langsung dari Pajang. Namun siapapun
orang itu, nasibnya tidak akan lebih baik dari Widura.
Kemudian terdengarlah kembali suara Ki Tambak Wedi,
kali ini kepada Widura. "Nah Widura. Aku masih akan
membiarkan kau hidup sepasar lagi. Kembalilah kalian
berdua. Sekali lagi aku memperingatkan kau Widura. Jangan
membuat persoalan atas Sidanti , supaya aku tidak datang
kepadamu bersama-sama dengan Tohpati, untuk memengal
lehermu dan seluruh laskarmu"
Kini Widura telah menyadari keadaannya seluruhnya. Ia
mendengar semua kata-kata Ki Tambak Wedi. ternyata orang
itu sama sekali tidak mempunyai pendirian berpihak antara
Pajang dan Jipang. Ia dapat berada dimana saja yang dapat
memberinya keuntunga. Dengan demikian maka Ki Tambak
Wedi maupun Sidanti adalah benar-benar orang yang sangat
berbahaya. Yang terdengar kemudian adalah suara Ki Tambak Wedi
pula "Nah Sidanti. Jangan cemas, aku akan terus menerus
mengawasi keadaan. Kau dengar pula itu, Widura?"
Sebelum Widura berkata sepatah katapun, dan sebelum
Sidanti menjawab terdengarlah Ki Tambak Wedi itu
menggeram. Kemudian dengan serta-merta dilemparkan
potongan besi yang masih digenggamnya kearah kaki Widura.
Kemudian dengan satu loncatan yang cepat, Ki Tambak Wedi
itu menghilang dibalik pepohonan. Ia masih akan mencoba
mencari, siapakah yang telah memperdengarkan suara
lecutan yang dahsyat, yang telah mengganggu pekerjaannya.
Namun karena suara itu sudah tidak terdengar lagi, serta Ki
Tambak Wedi menyadari, bahwa belum pasti ia kan dapat
menangkapnya, akhirnya Ki Tambak Wedi itupun melepaskan
maksudnya. Sidanti dan Widura masih tegak ditempat masing-masing.
Ketika tanpa sesadarnya Widura memandang potongan besi
yang tergeletak beberapa jengkal dimuka kakinya ia terkejut
bukan buatan. Besi itu kini melengkung sehingga kedua ujungujungnya
hampir bertemu. Adalah kekuatan yang luar biasa
yang dapat melakukannya. Sepotong besi sebesar ibu jari
kaki, yang panjangnya tidak lebih dari dua jengkal itu dapat
dilengkungkannya sedemikian, sehingga hanpir menjadi
sebuah lingkaran. Widura menarik nafas dalam-dalam. Ki Tambak Wedi
benar-benar luar biasa. Namanya yang menakutkan itu, tidak
saja karena kesombongannya, namun ia benar-benar memiliki
kekuatan yang tidak ada taranya.
Sidanti yang melihat wajah Widura dalam keremangan
malam, serta sikapnya yang gelisah, dan kemudian dengan
serta-merta memungut besi yang hampir menjadi lingkaran itu,
tertawa pendek. Desisnya "Apa kau heran kakang, bahwa Ki
Tambak Wedi dapat melakukannya" Melengkungkan besi
sebesar itu dengan tangannya?"
"Tidak" jawab Widura. "Orang yang sakti seperti Ki Tambak
Wedi itu pasti akan dapat berbuat lebih banyak dari permainan
ini, meskipun permainan ini telah menggoncangkan dadaku"
Sekali lagi Sidanti tertawa. Dengan bibir yang ditarik kesisi
ia berkata "Sejak saat ini kau jangan terlalu sombong dan
berkeras kepala supaya umurmu tidak hanya terbatas pada
lima hari ini saja" Widura menggeleng. Sahutnya "Aku tidak senang orang
lain mencampuri persoalan dalam tata kelaskaran Pajang.
Sudah aku katakan, hidup matiku akan aku pertaruhkan untuk
kewibawaan Pajang" Sidanti mengangkat alisnya. Namun kemudian ia tertawa
pula. Katanya "Marilah kita pulang. Setelah kakang Widura
beristirahatn mungkin kakang mempunyai pertimbangan lain"
"Pulanglah dahulu" sahu Widura "Aku masih mempunyai
pekerjaan" Sidanti menjadi heran. Apakah yang akan dilakukan oleh
Widura itu. Tetapi Sidanti yang sombong itu tak mau merajuk.
Karena itu ia menjawab "Baiklah aku pulang dahulu"
Sidanti kemudian tidak menungu jawaban Widura. Segera
ia melangkah meninggalkan tempat itu, kembali ke
kademangan Sangkal Putung. Kini ia merasa dapat berbuat
sekehendaknya. Sedang Widura pasti tak akan berani
menghalanginya lagi. "Widura itu hanya malu-malu saja mengakui kekuasaanku
sekarang" katanya dalam hati. "Namun aku yakin bahwa ia
tidak akan berani mengganggu aku lagi"
Sidanti itu tersenyum sendiri. Akan datang gilirannya
Sedayu ditundukkannya. Kalau ia tak mampu melakukan
sendiri, maka cara yang sama seperti yang dilakukan atas
Widura itu akan ditempuhnya "Anak itu akan jauh lebih mudah
diselesaikan". Katanya pula "Kalau ia terbunuh, tak akan ada
yang mempersoalkannya selain Widura. Dan aku yakin
Widura pun kini akan berdiam diri"
Sidanti itu kemudian berjalan dengan wajah yang terang,
seakan-akan Sangkal Putung itu benar-benar telah
dikuasainya. Seluruhnya. Dan terbayanglah diwajahnya,
seorang gadis yang manis dan lincah, yang pernah
mengaguminya pula, Sekar Mirah. Dengan modal pimpinan
atas Sangkal Putung dan kemudian apabila ia berhasil
membinasakan Tohpati atas namanya, maka pasti ia akan
cepat menanjak. Seterusnya, ia harus pandai memanfaatkan
setiap kesempatan. Widura yang masih tegak ditempatnya, memandang Sidanti
itu sampai hilang dalam gelapnya malam. Ia tersadar ketika
kemudian didengarnya ayam hutan berkokok dikejauhan.
Ternyata malam telah jauh melampaui pusatnya. Dan
sebentar lagi akan terdengar kokok ayam jantan yang terakhir
kalinya menjelang fajar. Perlahan-lahan Widura itupun menyarungkan pedangnya.
Pikirannya masih dipenuhi oleh berbagai persoalan yang
menekan. Ternyata tugasnya menjadi sangat berat dan
berbahaya. Tidak saja Tohpati dan sisa-sisa laskar Jipang
yang lain yang memusingkan kepalanya, namun Sidanti,
bagian dari tubuh sendiri, itupun benar-benar hampir
mencabut nyawanya. Berturut-turut beterbanganlah anganangannya
atas pekerjaannya yang berat itu. Tohpati, Sidanti,
Ki Tambak Wedi, Agung Sedayu, dan tak dapat diabaikan
pula, usaha untuk menemukan Untara.
Widura menarik nafas dalam-dalam. Kemudian terdengar ia
bergumam "Aku tidak dapat menghindarkan diri dari
kewajiban-kewajiban itu. Meskipun tubuhku akan menjadi
lumat karenanya." Perlahan-lahan Widura itupun melangkahkan kakinya. Tibatiba
saja ia merasa muak untuk berjalan bersama-sama
dengan Sidanti . Karena itu dibiarkannya anak muda itu
berjalan dahulu. Dan kini iapun berjalan meninggalkan tegal
yang sepi, sesepi taman pekuburan. Ketika sekali ia menoleh,
dilihatnya pohon jambu mete itu seperti hantu raksasa yang
mengembangkan tangan-tangannya yang banyak sekali
jumlahnya untuk menyergapnya. Namun Widura bukan
seorang penakut. Karena itu ia sama sekali tidak menjadi
ngeri melihatnya. Dan ia masih tetap berjalan perlahan-lahan
sambil menghirup udara malam yang segar.
Meskipun tubuhnya menjadi bertambah segar, namun
hatinya tidak dapat menjadi sesegar tubuhnya. Berbagai-bagai
persoalan, satu demi satu membelit dihatinya. Dan ia tidak
mempunyai seorang kawanpun yang dapat diajaknya untuk
membicarakan kelusitan-kesulitannya. Ki Demang Sangkal
Putung pun tidak. Sebab dengan demikian demang Sangkal
Putung itu akan mempunyai pandangan-pandangan yang
berbeda arah penelaahannya. Hudaya, Citra Gati dan orang
lainpun pasti akan menuruti perasaannya saja, tanpa
mempertimbangkan dengan pikiran, serta tanpa memandang
kepentingan yang lebih besar dan jauh. Karena itu pikiran
Widura itupun menjadi suram. Namun betapapun juga,
dicobanya untuk mengatasi kesulitan itu dengan sebaikbaiknya.
Ketika Widura telah keluar dari daerah pategalan itu, tibatiba
saja ia membelok kekiri. Ia terkejut sendiri atas
langkahnya "Hem" gumamnya "Akan kemanakah aku ini?"
Tetapi ia meneruskan langkahnya. Tiba-tiba saja timbul
keinginannya untuk pergi ke gunung Gowok. Ia tidak
menyadari sepenuhnya, apakah kepergiannya itu akan
bermanfaat baginya. Namun, karena pikiran yang suram itu,
01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
inginlah ia berbuat sesuatu. Kiai Gringsing yang hampir setiap
malam ditemuinya di gunung Gowok, kemudian ternyata
mendapat tempat tersendiri didalam hatinya. Orang yang
berbuat dan berbicara seenaknya, seakan-akan hidup ini
hanyalah sebuah permainan yang menyenangkan saja.
"Apakah aku dapat berbicara dengan orang itu?"
gumamnya. Tetapi kemudian iapun sadar, bahwa ia pasti akan
menjadi kecewa karenanya. Orang bertopeng itu pasti akan
mentertawakannya, ,dan menyuruhnya supaya membicarakan
dengan orang yang disebutnya gurunya, Sedayu. Karena itu
pulalah Widura itu sering mengumpat didalam hati. Namun kali
ini ia benar-benar ingin menemuinya.
Tetapi Widura itu menjadi ragu-ragu. Apakah Kiai Gringsing
masih berada disana" Hampir setiap malam ia datang
bersama Sedayu, tetapi sebelum tengah malam. Dan kali ini
tengah malam itu telah jauh lampau. Meskipun demikian
Widura itu berjalan terus.
Diperjalanan itu, kadang-kadang pikirannya diganggu juga
oleh suara lecutan yang dahsyat yang telah
menyelamatkannya. Bahkan kemudian timbul juga berbagai
pertanyaan didalam dirinya, siapakah orang yang telah
berbuat itu" Apakah ada orang aneh lagi selain Kiai
Gringsing" Apakah mungkin Kiai Gringsing pula yang
melakukannya" Widura menjadi ragu-ragu. Ia mengagumi kesaktian Kiai
Gringsing, namun apakah orang itu mampu menggetarkan
dadanya dengan suara lecutan itu, dan memaksa Ki Tambak
Wedi merubah rencananya"
Gunung Gowok itu kini sudah tidak jauh lagi berada
dihadapannya. Dalam keremangan malam, telah dilihatnya
pohon kelapa sawit tegak diatas puntuk kecil itu. Namun
sebelum ia meloncati parit dan berjalan diatas pematang, tibatiba
Widura itu terkejut bukan kepalang, sehingga ia terlonjak
karenanya. Dekat dibelakangnya, didengarnya sebuah letusan
yang dahsyat, yang hampir saja menggugurkan isi dadanya.
Secepat-cepatnya Widura berusaha untuk memutar
tubuhnya. Dan dengan gerak naluriah tangannya meraba hulu
pedangnya. Namun tenaganya yang memang belum pulih itu,
seakan-akan tidak mampu untuk melakukan sesuatu. Apalagi
getaran didalam dadanya masih terasa memukul-mukul tak
henti-hentinya. Namun Widura tak melihat seorangpun. Dengan sekuatkuat
tenaganya ia memusatkan kekuatan batinnya melawan
getaran-getaran yang masih saja melanda jantungnya.
Sehingga lambat laun ia berhasil pula menenangkan dirinya.
Tetapi ia masih belum melihat seorangpun disekitarnya.
Karena itu Widura menjadi gelisah. Tangan kanannya masih
melekat dihulu oedangnya. Dan bahkan setelah getarangetaran
didialam dadanya mereda, Widura itupun telah siap
untuk menghadapi setiap kemungkinan yang bakal terjadi,
meskipun ia sadar, bahwa tenaganya masih belum separo
pulih kembali. Tetapi sekali lagi Widura terkejut. Bukan oleh suara lecutan
yang dahsyat. Tetapi kali ini terdengarlah suara tertawa. Suara
yang bernada tinggi dan nyaring.
Dengan serta-merta Widura itupun berpaling. Hampir ia
mengumpat ketika dilihatnya seseorang duduk diatas
pematang diantara batang-batang padi muda. Dan Widura
itupun segera mengenalnya. Orang itulah yang dicarinya, Kiai
Gringsing. "Ah" desis Widura. "Kiai benar-benar mengejutkan aku"
"Oh" sahut Kiai Gringsing "Maafkan aku. Aku kira kau
senang mendengar lecutan-lecutan itu. Coba Widura apakah
kau bisa berbuat seperti aku?"
Sebelum Widura menjawab, Kiai Gringsing itu sudah berdiri
dan diberikannya kepada Widura sebuah cambuk lembu yang
sederhana. Bertangkai bambu cendani dan ujungnyapun
dibuatnya dari anyaman bambu siladan pula.
Dada Widura bergetar karena itu. Ternyata orang yang
membunyikan lecutan-lecutan itu adalah Kiai Gringsing
dengan cambuk bambu yang sangat sederhana pula. Karena
itu, maka betapa kagumnya pemimpin laskar Pajang itu.
Bahkan dengan serta-merta terloncatlah pertanyaannya "Jadi
adakah Kiai tadi yang membunyikan cambuk itu berturut-turut
tiga kali?" Kiai Gringsing itu tertawa. Jawabnya "Aku sedang bermainmain"
"Tetapi perbuatan Kiai itu ternyata telah menolong jiwaku"
sahut Widura. "He" Kiai Gringsing terkejut. Katanya "Bagaimana itu terjadi.
Apa hubungannya bunyi lecutan itu dengan jiwamu?"
Widura telah mengenal Kiai Gringsing beberapa lama.
Karena itu maka iapun telah dapat mengerti seba sedikit
tentang sifat orang bertopeng itu. Maka jawabnya "Suara
lecutan itu telah menakut-nakuti orang yang akan
membunuhku" "Kau akan dibunuh orang?" bertanya Kiai Gringsing itu.
Widura kini benar-benar mengumpat didalam hati. Ia tahu
benar bahwa Kiai Gringsing telah berbuat dengan sadar untuk
menolongnya. Namun terpaksa ia menjawab pula "Ya Kiai"
"Apakah persoalannya, sehingga seseorang berbuat
demikian jahatnya?" orang bertopeng itu bertanya
Widura menjadi ragu-ragu sejenak. Ingin ia mengutarakan
semua persoalan-persoalan yang menyumbat dadanya,
namun setelah ia bertemu dengan orang aneh itu, ia menjadi
ragu-ragu. Karena itu ia ingin menjajaginya, apakah pintu
terbuka baginya untuk menyatakan kesulitan-kesulitannya.
"Kiai" katanya "Aku ternyata mempunyai banyak persoalanpersoalan
disini. Persoalan didalam lingkungan sendiri dan
persoalan yang aku hadapi atas sisa-sisa laskar Jipang"
*** Widura benar-benar menjadi kecewa ketika tiba-tiba Kiai
Gringsing itu tertawa. Katanya "Kau benar bodoh Widura.
Bukankah di Sangkal Putung ada gurumu. Nah katakan
kepadanya kesulitan-kesulitanmu itu. Jangan kau katakan
kepadaku" "Tetapi bukankah Kiai bertanya?" potong Widura.
"Marilah kita tidak mempersoalkan lagi tentang hal-hal yang
mengerikan. Aku takut mendengar perkara-perkara
pembunuhan. Sekarang coba, apakah kau dapat
membunyikan cambuk itu"
Sekali lagi Widura menarik nafas panjang. Panjang sekali.
Ditatapnya wajah yang bersembunyi dibalik topeng itu. Namun
yang tampak baginya tidak lebih dari wajah mayat dari kayu
yang menyelubungi wajah Kiai Gringsing itu.
Widura mengangkat alisnya ketika iapun mendengar orang
bertopeng itu menarik nafas dalam-dalam. Namun hanya
sesaat. Yang kemudian terdengar adalah kata-kata orang
bertopeng itu pula "Nah, cobalah"
Widura tidak dapat berbuat lain daripada mencoba
membunyikan cambuk itu. Dengan satu gerakan menyentak
sendal pancing ia mencobanya. Dan terdengarlah sebuah
lecutan yang keras, namun
hanya sekeras para penggembala membunyikan pecut-pecut mereka. "Ternyata kau tidak sepandai aku" berkata Kiai
Gringsing "Berikan cambuk itu"
mintanya. Dengan hati yang kosong Widura menyerahkan cambuk
bambu itu. Dan tiba-tiba sekali
lagi menggeletar suara cambuk yang dahsyat. Dan sekali lagi getaran yang dahsyat pula menghantam dada Widura. Untunglah ia
segera berhasil memusatkan kekuatan batinnya, sehingga
dadanya tidak meledak karenanya. Dengan penuh ketekunan
Widura kemudian mencoba menenangkan hatinya. Mencoba
meredakan getaran-getaran yang menghentak-hentak
jantungnya. Ketika ia hampir berhasil terdengarlah suara Kiai Gringsing
tertawa. Katanya "Jangan marah Widura. Aku hanya bermainmain.
Agaknya kau terkejut karenanya".
Widura yang menjadi jengkel itu tiba-tiba teringat pada besi
yang dibawanya. Besi yang hampir menjadi sebuah lingkaran.
Karena itu tiba-tiba ia berkata "Kiai, aku juga mempunyai
permainan. Apakah Kiai pernah bermain-main dengan
lingkaran ini?" Suara tertawa Kiai Gringsing itupun terputus.
Diperhatikannya potongan besi ditangan Widura itu dengan
seksama. Dilihatnya sepotong besi yang melengkung, sehingga
kedua ujung dan pangkalnya hampir bertemu.
"Permainan apakah ini?" bertanya Kiai Gringsing.
Widura kemudian memberikan potongan besi itu kepada
Kiai Gringsing sambil berkata "Permainan yang dibawa oleh Ki
Tambak Wedi" Kiai Gringsing menerima sepotong besi itu sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia bertanya
"Permainan aneh. Bagaimanakah Ki Tambak Wedi itu
bermain" Dilemparkan atau diguling-gulingkan?"
Sekali lagi Widura mengumpat didalam hati. Namun Widura
pun menyadari, bahwa ada sesuatu yang tersembunyi dibalik
sikap Kiai Gringsing yang dibuat-buat itu. Meskipun demikian,
ia menjawab "Tidakkah Kiai pernah bermain-main dengan
benda-benda yang demikian" Aku sangka orang-orang tua
suka bermain-main dengan potongan-potongan besi demikian
seperti Ki Tambak Wedi. aku sendiri tidak tahu, apakah yang
menyenangkan Ki Tambak Wedi namun ia membuat
lingkaran-lingkaran semacam itu"
Kiai Gringsing itupun menggeleng. Jawabnya "Aku tidak
pernah bermain-main dengan benda-benda semacam itu.
Inilah" Sekali lagi Widura menjadi kecewa. Ia ingin mengatakan
kepada Kiai Gringsing bahwa kekuatan Ki Tambak Wedi itu
telah berhasil melengkungkan besi itu. Namun sebelum ia
berkata apaun, dilihatnya Kiai Gringsing melemparkan besi itu
kearahnya sambil berkata "Terimalah"
Dengan gerak naluriah Widura melangkah kesamping.
Potongan besi itu tepat mengarah kemata kakinya. Karena itu
ia harus menghindarinya. Namun ketika kemudian ditatapnya
potongan besi yang kini tergeletak disampingnya, kembali
dadanya bergoncang dahsyat sekali. Ia menjadi lebih terkejut
lagi dari pada saat ia melihat besi melengkung itu dilemparkan
dibawah kakinya, oleh Ki Tambak Wedi. dengan dada yang
bergolak, tanpa sesadarnya Widura memungut potongan besi
itu. Dan dengan tangan gemetar ia memeganginya. Namun
potongan besi itu kini telah lurus kembali. "Alangkah
dahsyatnya!" katanya didalam hati. "Meluruskan potongan besi
ini dengan tangan jauh lebih sulit daripada
melengkungkannya. Tetapi orang bertopeng itu telah
melakukannya" Sebelum getaran didalam dadanya itu mereda,
terdengarlah Kiai Gringsing itu berkata "Nah Widura, kalau kau
bertemu sekali lagi dengan Ki Tambak Wedi, tanyakanlah
kepadanya. Apakah yang menarik hatinya untuk bermain-main
dengan besi-besi semacam itu. Apakah besi-besi semacam itu
pulalah yang dipakainya sebagai gelang ditangan atau
kakinya" Aku sendiri tidak senang bergelang dan berbinggel
dikaki. Apakah bergelang akar atau besi sekalipun"
Kini Widura telah berhasil menenangkan dirinya dari
ketakjubannya. Meskipun demikian, kekagumannya kepada
orang bertopeng itu menjadi bertambah-tambah. Katanya
"Kiai, ternyata Kiai lebih pandai bermain dengan potonganpotongan
besi daripada Ki Tambak Wedi"
"He?" orang bertopeng itu terkejut "Apakah aku bermainmain
dengan besi itu?" "Kiai telah berhasil meluruskannya "sahut Widura. "Aku
menjadi takjub ketika aku melihat Ki Tambak Wedi dengan
tangannya berhasil melengkungkan potongan besi itu. Aku
kagum akan kekuatan yang tersimpan didalam tangannya.
Tetapi kini, ternyata Kiai dapat pula berbuat demikian. bahkan
lebih mentakjubkan lagi. Bukankah meluruskan besi itu lebih
sulit dari melengkungkannya?"
Terdengarlah kemudian Kiai Gringsing itu tertawa terkekehkekeh.
Diantara derai tawanya itu terdengar ia berkata "Kau
memuji aku Widura. Aku menjadi senang sekali karenanya.
Apakah kau sudah kawin?"
Pertanyaan itu benar-benar tak diduganya. Karena itu
Widura menjadi bingung, sehingga Kiai Gringsing itu
mendesaknya "He Widura, apakah kau sudah kawin?"
"Sudah Kiai" jawab Widura.
"Sudah punya anak?"
"Sudah Kiai, seorang"
"Sayang" berkata orang bertopeng itu masih dalam derai
tertawanya "Kalau belum, kau akan aku ambil untuk menantu
meskipun aku tidak punya anak perempuan"
Kembali Widura menarik nafas dalam-dalam sambil
mengumpat didalam hati. Namun ia berdiam diri. Dibiarkannya
Kiai Gringsing berkata sekehendak hatinya. Namun ia masih
dicengkam oleh kekaguman pada orang itu. Orang yang
dengan suara lecutan yang dahsyat telah memperpanjang
umurnya, dan dengan kedua tangannya, tanpa dilihatnya telah
berhasil meluruskan besi yang melengkung itu. "Kalau
demikian" katanya dalam hati, "Apakah dugaan Ki Tambak
Wedi tidak keliru" Ki Tambak Wedi menanggap bahwa tidak
ada orang sakti selain dirinya didaerah ini. Bagaimanakah
dengan orang bertopeng ini" Orang yang namanya sama
sekali tak dikenal selain olehku dan Agung Sedayu"
Tetapi Widura kemudian terkejut ketika dikejauhan
terdengar suara ayam jantan berkokok bersahut-sahutan.
Ketika ia memandang ketimur, membayanglah warna-warna
semburat merah diatas garis cakrawala.
"Hampir fajar" desisnya.
Kiai Gringsing itupun menengadahkan wajahnya. kemudian
katanya "Ya, hampir fajar. Aku harus segera kembali sebelum
terang tanah. Orang akan menyangka aku sebagai penari
topeng yang kesiangan"
01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kenapa Kiai pakai topeng?" tiba-tiba saja terluncur
pertanyaan itu dari mulut Widura.
Kiai Gringsing tiba-tiba terpaku pula ditempatnya.
Diawasinya wajah Widura dengan tajamnya. Namun tanpa
menjawab pertanyaan itu, Kiai Gringsing melangkah
meninggalkan Widura seorang diri.
Widura mengawasi langkah Kiai Gringsing dengan hati
yang berdebar-debar. Tiba-tiba saja keinginannya untuk
mengetahui siapakah sebenarnya orang bertopeng itu
melonjak-lonjak didalam dadanya. Sehingga tiba-tiba ia
meloncat sambil berteriak "Kiai, berhentilah"
Kiai Gringsing itupun berhenti. Ketika ia berpaling,
dilihatnya Widura meloncati parit dan berlari kearahnya "Aku
ingin tahu, siapakah Kiai sebenarnya"
"Jangan" jawab Kiai Gringsing. "Kelak akan sampai
saatnya, kau tahu siapakah aku, sekarang belum"
"Tidak" jawab Widura. "Aku ingin tahu sekarang"
"Jangan" berkata Kiai Gringsing seperti orang yang
ketakutan. Ketika ia melihat Widura menjadi semakin dekat,
tiba-tiba Kiai Gringsing itupun berlari pula, sambil berkata
"Jangan Widura. Kenapa kau masih saja akan menangkap
aku?" Namun Widura tidak memperdulikannya. Bahkan ia
semakin mempercepat larinya. Ia benar-benar berusaha untuk
dapat menangkap Kiai Gringsing.
Demikianlah maka mereka berdua berlari berkejar-kejaran.
Kiai Gringsing itu berlari-lari disepanjang pematang, melingkari
gunung Gowok dan berputar-putar. Meskipun demikian,
Widura belum berhasil menangkapnya. Bahkan jarak mereka
semakin lama menjadi semakin jauh.
Akhirnya, Widura itupun tertegun sendiri. Kiai Gringsing itu
seakan-akan lenyap begitu saja, seperti asap dihembus angin.
Widura yang terengah-engah itu berdiri tegak seperti patung
diatas pematang yang basah. Ketika kemudian disapukannya
pandangan matanya berkeliling, dilihatnya dikejauhan, Kiai
Gringsing melambaikan cambuknya. Hanya lamat-lamat
terdengar suaranya "Besok kita bermain-main lagi digunung
kecil itu Widura" Widura menarik nafas. Tiba-tiba saja ia menjadi geli sendiri
atas kelakuannya. Bahkan ia menjadi malu pula. Gumamnya
"Gila. Apakah aku telah kejangkitan penyakit Kiai Gringsing itu
pula" Untunglah tak seorangpun yang melihatnya"
Widura yang kemudian menyadari keadaannya itu, kini
melangkah diatas pematang menuju jalan kembali
kekademangan Sangkal Putung. Kadang-kadang ia tersenyum
sendiri. Dan berkali-kali iam merasa, bahwa hampir-hampir
saja ia kejangkitan penyakit Kiai Gringsing yang aneh itu.
Widura itupun kemudian mempercepat langkahnya. Ia tidak
mau kesiangan sampai dikademangan.
Warna-warna merah diujung timur semakin lama menjadi
semakin tegas. Ketika Widura menjadi semakin dekat dengan
induk desa Sangkal Putung, semakin riuhlah suara kokok
ayam jantan yang seakan-akan menyambutnya. Namun
Sangkal Putung tampaknya masih lelap dibalik kabut malam
yang seakan-akan awan yang keabu-abuan menyelimuti
raksasa yang kedinginan. Widura itupun mempercepat langkahnya. Ia masih harus
sembahyang subuh, sebelum melakukan pekerjaannya yang
lain. Karena itu, ia harus sampai dikademangan sebelum hari
menjadi terang. Ketika Widura itu hampir sampai diregol halaman
kademangan, ia menjadi terkejut. Dalam keremangan embun
menjelang fajar, dilihatnya beberapa orang bergerombol
dimuka regol itu, lebih banyak dari yang seharusnya.
Dan Widura menjadi berdebar-debar pula, ketika tiba-tiba ia
mendengar salah seorang yang melihatnya berteriak "Itulah Ki
Widura telah datang"
Widura itupun berjalan semakin cepat pula. Dimuka regol
itu dilihatnya Hudaya, Citra Gati, Sonya, Sendawa dan
beberapa orang lainnya. Hampir semua dari mereka itu,
memegang senjata mereka masing-masing.
"Apa yang terjadi?" bertanya Widura serta-merta.
Citra Gati ituppun kemudian melangkah maju. Sambil
menarik nafas dalam-dalam ia menjawab "Ternyata kami
hanya berprasangka" "Tentang apa" bertanya Widura pula.
Citra Gati berpaling kearah Hudaya. Seakan-akan ia minta
pertimbangan sahabatnya itu. Namun Hudaya segera
memalingkan wajah kearah lain.
Tampaklah mulut Citra Gati berkumat kamit mengumpati
Hudaya. Namun yang kemudian dikatakannya adalah "Kami
berprasangka atas Sidanti "
"Kenapa dengan Sidanti?" bertanya Widura pula
Sekali lagi Citra Gati berpaling kearah Hudaya, namun
Hudaya masih memandang ke bintang-bintang yang masih
bergemerlapan dilangit. Karena itu ia menjawab sendiri "Kami
mengetahui bahwa kakang pergi bersama Sidanti, namun
kemudian Sidanti itu kembali seorang diri. Ketika ada diantara
kami yang menanyakan kepadanya, ia menjawab namun
sangat meragukan kami"
Widura itupun menarik nafas dalam-dalam. Dadanya benarbenar
berguncang mendengar kata-kata Citra Gati. Ia menjadi
berbangga bahwa anak buahnya itu demikian setia
kepadanya. Namun ia melihat bahaya yang besar pula yang
ada diantara mereka. Bahaya yang setiap saat dapat meledak.
Ternyata kawan-kawan Sidanti sudah demikian muaknya
kepada anak muda yang sombong itu, sehingga setiap
kesempatan, benturan-benturan diantara mereka agaknya
sulit untuk dihindarkan. Namun betapapun juga Widura harus
memperhitungkan kekuatan dibelakang Sidanti. Ki Tambak
Wedi. Kalau sampau terjadi sesuatu atas muridnya itu, maka
tidak mustahil Ki Tambak Wedi akan melakukan pembalasan
dendam yang mengerikan. Bahkan tidak mustahil bahwa Ki
Tambak Wedi dapat meminjam tangan Tohpati untuk
melakukannya. Kalau Ki Tambak Wedi kehilangan Sidanti,
maka Tohpati dapat diambilnya menjadi gantinya. Dan
keadaannya akan menjadi semakin kalut. Karena itu, selagi ia
belum menemukan cara penyelesaian yang sebaik-baiknya,
maka ia harus menghindarkan setiap bentrokan yang mungkin
terjadi. Hudaya, Citra Gati dan beberapa orang kawan-kawannya
itu masih berdiri diseputar Widura. Sehingga dengan demikian
Widura itu terpaksa membubarkannya "Nah, kembalilah kalian
ketempat kalian masing-masing. Kalian jangan terlalu
berprasangka kepada seseorang. Untunglah belum terjadi
sesuatu atas kalian. Ternyata aku sekarang aku kembali utuh".
Namun didalam hatinya Widura itu berkata "Hampir saja aku
tidak kembali. Kalau terjadi demikian, maka apakah kira-kira
yang dapat timbul dikademangan ini" Apakah anak-anak ini
percaya bahwa aku terbunuh oleh Tohpati"
Tetapi Widura itu tidak berkata apa-apa lagi. Ia langsung
berjalan menyibak orang-orang yang berdiri dimuka regol itu
masuk kepringgitan. Demikian ia membuka pintu pringgitan, ia melihat Agung
Sedayu masih duduk terpekur. Anak muda itu terkejut ketika
mendengar pintu bergerit, dan ketika berpaling, dan dilihatnya
pamannya kembali, tiba-tiba wajahnya menjadi cerah. Dan
tiba-tiba saja Agung Sedayu itu menarik nafas dalam-dalam.
Widura itupun segera pergi kepembaringannya,
melepaskan ikat pinggangnya dan meletakkan pedangnya.
"Apakah kau sudah bersembahyang?" terdengar ia
bertanya. "Sudah paman" jawab Agung Sedayu.
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Tanpa berkata
sepatahpun ia melangkah keluar kembali, pergi ke perigi.
Ketika sekali lagi ia menengadahkan wajahnya kelangit,
terdengar ia bergumam "Hampir fajar"
Baru setelah Widura itu selesai bersembahyang, maka
iapun segera duduk pula bersama-sama Sedayu. Widura itu
menggigit bibirnya ketika dilihatnya Sekar Mirah membawa
minuman hangat untuk mereka. Bukanlah kebiasaannya
uantuk menyuguhkan makan dan minum itu dahulu. Tetapi
sejak Agung Sedayu berada di kademangan itu, pekerjaan
yang biasanya dilakukan oleh pembantu-pembantunya, kini
telah diambil alih olehnya.
"Marilah paman" katanya "Mumpung masih hangat"
"Terima kasih Mirah" sahut Widura.
"Apakah kakang Sedayu tidak ingin berjalan-jalan?"
terdengar gadis itu bertanya pula kepada Agung Sedayu.
Agung Sedayu menggeleng lemah. Jawabnya singkat
"Tidak, Mirah" "Ah, hari cerah. Apakah kakang dapat mengantarkan aku
kewarung sebentar?" ajak gadis itu.
Sekali lagi Sedayu menggeleng.meskipun sebenarnya ingin
juga ia pergi, namun ia tidak berani melakukannya. Karena itu
jawabnya "Tidak Mirah. Aku sedang sibuk disini"
Sekar Mirah menjadi kecewa. Ditatapnya wadah Widura
seakan-akan ia minta ijin untuk Sedayu. Namun Widura itu
menundukkan wajahnya, merenungi air jahe panas
dihadapannya. Meskipun demikian Sekar Mirah itu masih
mencoba memaksanya, katanya "Aku harus berbelanja untuk
kalian, namun aku takut seandainya aku bertemu dengan
Sidanti dijalan" Widura kini mengangkat wajahnya. Dilihatnya Agung
Sedayu menjadi bingung untuk menjawab pertanyaan Sekar
Mirah itu. Maka Widura itupun berkata "Mirah, jangan takut
kepada Sidanti. Anak itu bukanlah anak yang jahat. Namun
kadang-kadang ia menjadi kecewa karena sikap Sedayu. Nah,
pergilah tanpa Sedayu. Aku menjadi jaminan, bahwa tak akan
terjadi sesuatu. Apabila kau pergi bersama Sedayu, maka
anak muda itu akan bertambah kecewa, dan ia akan dapat
berbuat aneh-aneh di Sangkal Putung ini."
Wajah Sekar Mirah itu menjadi merah. Betapa ia menjadi
sangat kecewa mendengar kata-katanya Widura itu. Ternyata
menurut penilaiannya, Widura berpihak kepada Sidanti.
"Aneh" katanya dalam hati. "Bukankah Sedayu itu
kemenakannya sendiri?" Meskipun demikian ia tidak berkata
apapun lagi. Ketika sekali ia memandang wajah Sedayu,
dilihatnya wajah itu menunduk dalam-dalam. "Anak muda itu
menjadi kecewa pula" pikir gadis itu.
Perlahan-lahan Sekar Mirah pergi meninggalkan pringgitan.
Sekali-sekali ia berpaling. Namun baik Widura maupun Agung
Sedayu tidak lagi memandanginya. Meskipun demikian, Sekar
Mirah itu masih dapat menghibur dirinya "Sedayu tidak marah
kepadaku" katanya dalam hati. "Ia hanya takut kepada
pamannya" Pagi itu, Sekar Mirah pergi kewarung seorang diri.
Sebenarnya iapun sama sekali tidak takut seandainya Sidanti
berbuat sesuatu atasnya. Apalagi hari telah berangsur terang,
dan disepanjang jalan telah menjadi riuh oleh orang-orang
yang pergi datang kewarung diujung desa.
Widura dan Agung Sedayu yang duduk dipringgitan itu
terkejut ketika mereka mendengar gerit pintu terbuka. Mereka
menggeser duduk mereka, ketika dari pintu itu muncul Ki
Demang Sangkal Putung. Wajahnya yang sudah mulai
ditumbuhi oleh garis-garis umur itu tampak tersenyum. sambil
duduk disamping Widura terdengar ia berkata "Hampir
semalam suntuk adi berkeliling malam ini"
Widura tersenyum sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya "Ya kakang"
"Bukankah tidak ada sesuatu yang mencurigakan?"
bertanya ki Demang itu pula.
Widura menggeleng "Tidak kakang"
Ki Demang Sangkal Putung itupun kini menganggukanggukkan
kepalanya. Kemudian katanya "Anak-anak sudah
siap untuk mengadakan perlombaan-perlombaan yang dapat
menarik hati mereka dan menghilangkan kejemuan. Apakah
anak-anak adi Widura berminat pula?"
"Ya" sahut Widura "Aku senang dengan rencana itu"
"Kita dapat segera menyelenggarakannya" berkata Ki
Demang itu pula. Widura itupun tiba-tiba termenung. Apakah perlombaanperlombaan
itu akan dapat menggembirakan anak buahnya
dalam keadaan seperti kini. Ia pasti bahwa perlombaan
apapun Sidantilah yang akan memenangkannya. Namun
akhirnya ia menjawab "Baiklah kakang, meskipun kami
semuanya sudah tahu, siapakah yang akan menjadi
pemenangnya. Namun akan menyenangkan pula bagi mereka
yang akan menjadi pemenang kedua, ketiga dan seterusnya"
Mendengar keputusan Widura itu, Ki Demang
mengangguk-anggukkan kepalanya. Peristiwa itu pasti akan
menyenangkan anak-anak muda Sangkal Putung.
Perlombaan-perlombaan yang demikian akan menghilangkan
kejemuan, dan mereka merasa bahwa dengan perlombaanperlombaan
itu, mereka mendapatkan beberapa kebanggaan.
"Kapan perlombaan itu akan kita adakan?" bertanya ki
Demang. Widura mengerutkan keningnya. Tiba-tiba terngiang
ditelinganya kata-katanya Ki Tambak Wedi bahwa waktu yang
diberikan kepadanya hanyalah sepasar. Karena itu, maka
apapun yang akan dilakukan harus mempertimbangkan
kemungkinan-kemungkinannya dengan ancaman itu. Widura
percaya bahwa orang semacam Ki Tambak Wedi itu pasti
akan mampu melakukan apa saja yang dikatakannya.
Karena itu maka katanya "Adakah anak-anak Sangkal
Putung telah bersiap untuk melakukan perlombaan ini?"
"Sudah lama mereka mempersiapkan diri" jawab Ki
Demang. "Mereka telah berlatih menggunakan panah, tombak
dan bermacam-macam alat untuk berlomba. Sodoran diatas
kuda dan bermacam-macam lagi"
"Bagus" sahut Widura. namun kemudian terlintas didalam
angan-angannya setiap sikap dan prasangka pada anak
buahnya. Apakah perlombaan-perlombaan yang demikian
tidak akan menimbulkan persoalan baru" Pedang, tombak dan
semacam itu akan sangat berbahaya bagi anak buahnya yang
sedang dibakar oleh ketidak puasan atas sikap satu dengan
yang lain. Karena itu, maka kemudian jawabnya "Kakang. Kita
memilih segi-segi yang paling tidak berbahaya dalam
perlombaan ini. Terutama bagi anak buahku sendiri. Mereka
adalah prajurit-prajurit yang telah mengalami pertempuran,
01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebenarnya pertempuran, beberapa puluh kali. Karena itu
perlombaan-perlombaan dengan pedang dan tombak tidak
akan menyenangkan mereka. Sekali pedang dan tombak
mereka terayun, maka tujuan mereka adalah melepaskan
nyawa lawan-lawan mereka. Sehingga dengan demikian
pedang-pedang rotan dan tombak yang berujung bola hanya
akan menimbulkan kekecewaan saja. Meskipun demikian,
biarlah mereka diberi kesempatan untuk bermain-main. Yang
paling baik adalah lomba mempergunakan panah. Sedang
bagi anak-anak Sangkal Putung biarlah mereka mendapat
kesempatan untuk mempergunakan segala macam senjata"
Ki Demang Sangkal Putung itupun menganggukanggukkan
kepalanya. Meskipun ia tidak langsung menangani
anak-anak Widura, namun terasa pula olehnya, sikap-sikap
yang amat menyulitkan bagi Widura untuk mengatasinya.
Karena itu maka jawabnya "Baiklah adi. Aku sependapat. Jadi
kapan kita adakan perlombaan ini?"
Sekali lagi Widura merenung. Harus sebelum waktu yang
sepasar itu tiba. Maka jawabnya "Secepatnya kakang"
"Besok?" bertanya Ki Demang.
"Apakah hal itu mungkin?" sahut Widura.
"Mungkin sekali bagi anak-anak Sangkal Putung" jawab Ki
Demang. "Tetapi bagaimana dengan anak buah adi?"
"Anak buahku bersiap setiap saat" sahut Widura,
"Jangankan perlombaan, bertempurpun siap"
Ki Demang tersenyum mendengar jawaban Widura.
katanya "Tentu. Hampir aku lupa, bahwa mereka adalah
prajurit-prajurit" Widura pun kemudian tersenyum pula.
Ketika kemudian Ki Demang itu keluar dari pringgitan,
Swandaru telah berdiri tegak bertolak pinggang di pendapa.
Terdengar ia tertawa riuh sambil berkata "He paman Hudaya,
kenapa paman tidur disitu?"
Hudaya yang terkantuk-kantuk bersandar pohon sawo
terkejut mendengar sapa Swandaru. Kemudian sambil
menggeleng-gelengkan kepala seakan-akan hendak mengusir
kantuknya ia menjawab "Hem, semalam aku hampir tidak tidur
sekejappun" "Kenapa" Apa paman sedang bertugas?"
Hudaya menggeleng "Tidak. Tetapi aku bermimpi buruk"
Swandaru tertawa pula "Mimpi apa?"
"Aku mimpi kau digigit anjing" jawab Hudaya.
Sekali lagi Swandaru tertawa terkekeh-kekeh. Tubuhnya
yang bulat itu terguncang-guncang. Beberapa orang yang
mendengar suara tertawanya berpaling kearahnya. Ketika
mereka melihat Swandaru, maka mereka tidak
memperdulikannya lagi. Anak itu selalu saja tertawa, seakanakan
ia tidak mempunyai pekerjaan lain, selain tertawa. Tetapi
sekali lagi orang-orang itu berpaling ketika suara Swandaru itu
tiba-tiba saja terputus. Dan orang-orang itulah yang kemudian
tertawa didalam hatinya. Menggelikan sekali. Swandaru itu
tiba-tiba saja menjadi tegang ketika melihat Sidanti lewat
dimukanya. Namun Sidanti itu berpalingpun tidak.
"Apa kerjamu disini Swandaru?" terdengar Ki Demang
bertanya. Swandaru mengerutkan keningnya. Dengan lantang ia
menjawab seakan-akan sengaja supaya Sidanti
mendengarnya "Apapun yang aku lakukan, bukankah aku
berada dirumahku sendiri?"
"Hus" bentak ayahnya. "Jangan ngelindur. Pergi ke kawankawanmu.
Katakan, perlombaan diadakan besok ditanah
lapang dimuka bajar desa"
"He" Swandaru menjadi sangat gembira "Besok ayah?"
"Ya" Swandaru itupun segera berlari menghambur. Langsung ia
berlari kebanjar desa dimana kawan-kawannya sering
berkumpul. Tetapi selain Swandaru, anak buah Widurapun mendengar
kata-kata ki Demang itu. Mereka sudah mendengar pula
sebelumnya bahwa akan diadakan perlombaan bagi mereka.
Meskipun mereka senang juga menyelenggarakannya, namun
mereka tidak segembira anak-anak muda Sangkal Putung itu.
Sidantipun mendengar kabar itu. Disudut pendapa,
ditempatnya, ia tersenyum. Katanya dalam hati "Hem, siapa
yang akan mencoba melawan Sidanti" Dengan rotanpun aku
akan mampu membunuh, setidak-tidaknya melumpuhkan
orang-orang macam Hudaya, Citra Gati dan tikus-tikus bodoh
itu. Apalagi dengan tombak berujung bola. Atau barangkali
anak muda yang bernama Agung Sedayu itu?"
Hari itu Sangkal Putung benar-benar menjadi sibuk.
Seakan-akan di Sangkal Putung akan diselenggarakan suatu
peralatan yang maha besar. Anak-anak muda berjalan hilir
mudik simpang siur dengan tergesa-gesa.
Hudaya, Citra Gati dan beberapa orang lagi terpaksa ikut
sibuk dengan anak-anak muda itu. Mereka terpaksa memberi
mereka beberapa petunjuk tentang penyelenggaraan
perlombaan besok dimuka banjar kademangan.
*** Diberinya anak-anak muda itu petunjuk-petunjuk
bagaimana mereka harus membuat lingkaran-lingkaran
dengan kapur ditengah-tengah lapangan kecil itu. Bagaimana
mereka membuat garis batas bagi sodoran yang akan
diselenggarakan pula. Semuanya dibuat dengan tergesa-gesa. Namun justru
karena itu anak-anak muda Sangkal Putung menjadi sangat
gembira. Sehari-harian mereka bekerja tampa mengenal lelah.
Apalagi mereka yang besok akan ikut bertanding. Tetapi justru
karena itu pula beberapa anak buah Widura yang ditugaskan
membantu penyelenggaraan itu mengumpat tak habishabisnya.
Mereka lebih senang bertempur daripada
merentang-rentang tali dipanas yang terik, membuat pagar
dan garis-garis batas, membuat orang-orangan untuk lomba
memanah. Dan masih terlalu banyak yang harus mereka
kerjakan. Namun betapa sibuknya mereka, Sidanti sama sekali tidak
mau turun dari pendapa. Apalagi membantu mereka. Bahkan
hampir sehari-harian ia berbaring. Kadang-kadang ia
tersenyum- senyum sendiri sambil bergumam "Alangkah
bodohnya orang-orang itu. Mereka bekerja keras
mempersiapkan arena. Besok akulah yang akan mendapat
tepuk sorak dari penonton"
Meskipun demikian, Sidanti menjadi agak kecewa pula.
Setelah ia mendengar bahwa bagi mereka hanya diadakan
satu macam perlombaan saja. Memanah. Yang lain tidak.
"Biarlah" katanya dalam hati. "Akupun jemu pada
permainan anak-anak itu. Tetapi memanah adalah permainan
yang mengasyikkan" Demikianlah hari itu telah dilampaui oleh anak-anak
Sangkal Putung dengan penuh kesibukan. Bahkan sampai
pada malam harinyapun mereka hampir tidak dapat tidur.
Mereka sibuk dengan berbagai persoalan didalam anganangannya.
Sedangkan mereka yang besok akan turun
kearena, masih mencoba untk menambah ketrampilannya.
Meskipun demikian, Widura tidak kehilangan kewaspadaan.
Dibiarkannya anak-anak Sangkal Putung sibuk dengan
persoalannya. Namun Widura tetap menempatkan orangorangnya
disegenap penjuru. Ia tidak mau dengan tiba-tiba
ditelan begitu saja oleh laskar Tohpati. Karena itu, setiap saat
ia tetap pada kesiapsiagaan yang sebenarnya. Bukan sekedar
bersiap untuk mengadakan perlombaan-perlombaan
semacam itu. Karena itu, maka malam itupun Widura telah
bersiap untk berkeliling kademangan. Kali ini ia tidak berjalan
bersama Sidanti, tetapi kembali ia pergi dengan Agung
Sedayu. Agung Sedayu tidak pernah mengetahui apa yang telah
terjadi dengan pamannya. Dan ia tidak tahu pula, mengapa
semalam pamannya membawa Sidanti serta, dan kini ia harus
ikut pula kembali seperti malam-malam sebelumnya.
Seperti biasanya, setelah mereka berkeliling disemua
gardu-gardu perondan, maka mereka berdua pergi ketempat
mereka berlatih, gunung Gowok. Disepanjang perjalanan itu,
hampir tak ada yang mereka percakapkan. Widura tidak
memberitahukan apa saya yang pernah terjadi, dan Sedayu
tidak mau menyatakan pertanyaan-pertanyaan yang bergelut
didalam dadanya. Namun kemudian, ketika mereka hampir sampai kepuntuk
kecil itu, terdengar Widura berkata "Sedayu, apakah kau tidak
ingin ikut serta berlomba?"
Agung Sedayu tidak segera menjawab. terjadilah suatu
kesibukan didalam dadanya. Ia merasa, bahwa iapun mampu
untuk melepaskan panah hampir dalam keadaan yang tak
mungkin dilakukan oleh orang lain. Namun, sekali lagi Sedayu
terpaksa menggigit bibirnya. Ia belum berhasil melampaui
dinding yan memagari jiwanya. Alangkah kerdilnya. Ia takut,
kalau ia tidak dapat melakukan dengan pantas, sehingga
orang-orang di Sangkal Putung akan kecewa terhadapnya. Ia
takut bahwa orang-orang itu akhirnya mengetahui tentang
dirinya. Bahwa ia tidak lebih dari seorang pengecut. Karena
kebimbangan dan kecemasan yang bercampur baur didalam
dadanya, Sedayu masih tetap berdiam diri.
"Sedayu" akhirnya terdengar pamannya berkata "Aku telah
mencegah dilakukannya perlombaan-perlombaan segala
macam jenis. Aku mencoba untuk menghindarkan setiap
persoalan yang akan mempertajam ketegangan dan
prasangka diantara anak buahku. Selain itu, aku telah
menghindarkan kemungkinan, bahwa orang-orang Sangkal
Putung dan anak buahku mengharap suatu pertandingan yang
dahsyat antara Sidanti dan adik Untara yang mereka banggabanggakan."
Widura terdiam sesaat. Ketika ia berpaling,
dilihatnya Agung Sedayu berjalan sambil menekurkan
kepalanya. Kata-kata pamannya itu benar-benar telah
menampar jantungnya. Kalau benar-benar terjadi,
bagaimanakah sikap yang akan diambilnya. Apakah ia akan
melawan Sidanti" Alangkah mengerikan. Sidanti adalah
seorang anak muda yang perkasa, yang telah mampu
melawan Tohpati meskipun tidak sempurna. Karena itu,
meskipun dengan rotan sebesar ibu jari kaku, atau dengan
tongkat berujung bola rotan, Sidanti itu akan dapat
membunuhnya. Dan ia akan mati terkapar ditengah arena,
diiringi dengan teriakan dan umpatan-umpatan penuh
kekecewaan atas dirinya. Tiba-tiba bulu kuduk Sedayu berdiri. Dan tiba-tiba pula ia
menjawab "aku tidak ikut dalam perlombaan apapun paman"
Widuralah yang kini terdiam. Kalau Agung Sedayu itu sama
sekali tidak turut, maka akan timbullah berbagai pertanyaan
diantara anak buahnya. Karena itu ia berkata "Sedayu,
bukankah kau masih pandai melepaskan panah?"
Mendengar pertanyaan pamannya itu sekali lagi Agung
Sedayu terdiam. Sehingga terdengar Widura mendesaknya
"Sedayu, bukankah kau masih pandai memanah" Mungkin
kau dapat ikut dalam perlombaan itu sehingga kau akan dapat
memenangkannya" Berbagai persoalan kini saling mendesak didalam dada
Agung Sedayu. Apakah sebenarnya yang ditakutinya dalam
perlombaan memanah" Kalah atau menang, maka ia tak akan
menderita sakit karenanya. Namun tiba-tiba Agung Sedayu itu
menjadi ngeri membayangkan akibat dari perlombaan itu.
Kalau ia kalah, maka orang akan sangat kecewa kepadanya,
namun apabila ia memenangkan perlombaan itu dan
mengalahkan Sidanti, maka jangan-jangan anak muda yang
perkasa itu mendendamnya.
Karena itu akhirnya Agung Sedayu menjawab "Aku tidak
ikut paman" "He" Widura menjadi semakin tidak mengerti. "Perlombaan
memanahpun kau tidak berani?"
"Aku sedang berpikir tentang akibatnya. Kalau aku menang
atas Sidanti, maka jangan-jangan Sidanti menjadi semakin
bersakit hati" jawab Sedayu.
"Hem" terdengar Widura menggeram. Hampir ia tidak dapat
menahan kejengkelannya. Seandainya ia tidak mengingat
bahwa anak itu adalah anak kakaknya perempuan, maka
Sedayu pasti sudah dipukulnya dan dipaksanya untuk berbuat
sesuatu. Atau malahan sudah dipaksanya untuk bertempur
melawan Sidanti. Atau anak itu telah lama diusirnya dari
Sangkal Putung. Tetapi apa boleh buat. Namun anak itu
benar-benar telah memusingkan kepalanya, meskipun kali ini
alasannya bisa juga dimengerti.
Akhirnya mereka sampai juga digunung Gowok. Dengan
penuh kejengkelan Widura membawa Agung Sedayu dalam
satu latihan. Karena itu maka apa yang dilakukan Widura,
hampir merupakan pertempuran yang sebenarnya.
Tetapi alangkah bodohnya Sedayu. Ia tidak dapat mengerti
hati pamannya, sehingga ia tidak menyangka bahwa
pamannya kali ini ingin mencobanya, supaya sekali-sekali ia
mengalami suatu keadaan seperti yang harus dialami oleh
setiap laki-laki. Sedayu hanya menganggap bahwa pamannya
telah menuntunnya dalam suatu tingkatan yang lebih maju dari
yang biasa dilakukannya. Maka karena ia takut bahwa
pamannya akan marah kepadanya, seandainya ilmunya tidak
maju-maju juga, maka Agung Sedayu itupun kemudian
mencoba melayani pamannya dengan sepenuh tenaga pula.
Demikianlah maka Widura melepaskan kejengkelan hatinya
pada latihan itu. Serangannya datang bertubi-tubi. Ia ingin
melihat apa yang dilakukan Agung Sedayu, apabila tubuhnya
benar-benar terkena oleh serangannya.
Tetapi sekali lagi Widura itu mengumpat tak habis-habisnya
didalam hatinya. Demikian ia memperketat serangannya,
maka pertahanan Agung Sedayupun mejadi semakin rapat.
Bahkan untuk menyenangkan hati pamannya, sekali-sekali
Sedayu berhasil menyerangnya pula dengan seranganserangan
yang kadang-kadang membingungkannya. Dalam
keadaan yang demikian itu, maka Agung Sedayupun telah
memeras hampir segenap kemampuannya. Kemampuan yang
pernah dipelajarinya dari kakaknya, dari ayahnya dan dari
pamannya itu. Sebenarnyalah Agung Sedayu bukanlah
seorang anak yang kerdil dalam ilmunya, seperti kekerdilan
jiwanya. Semakin keras serangan-serangan yang dilancarkan
oleh pamannya itu, semakin heranlah dada Widura dibuatnya.
Betapa serasinya Agung Sedayu memadukan unsur-unsur
gerak yang diwarisi dari Ki Sadewa lewat kakaknya, lewat
01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ayahnya itu sendiri atau lewat dirinya dengan unsur-unsur
gerak yang pernah dilihatnya dan dihayatinya dalam latihanlatihan
melawan Kiai Gringsing di gunung Gowok itu.
"Aneh" berkata Widura didalam hatinya. "Kalau hati anak ini
sebesar hati kakaknya, bukankah ilmunya tidak terpaut
banyak dari ilmu yang aku miliki?"
Namun Widura itu tidak berkata apapun. Dipercepatnya
setiap geraknya dan bahkan kini Widura telah sampai kepada
puncak ilmunya. Namun Sedayu itu masih melawannya
dengan gigih. Bahkan kadang-kadang anak muda itu mampu
melakukan hal-hal yang tak pernah dimengertinya
sebelumnya. Selain dari geraknya yang cepat dan cekatan, ternyata
tenaga Agung Sedayupun cukup kuat pula. Apabila sekalisekali
terjadi benturan diantaranya, maka terasa juga tubuh
pamannya itu bergetar. Bahkan apabila serangan-serangan
Widura itu berhasil mengenainya, maka Sedayu itupun hanya
berdesis, namun kemudian seakan-akan anak muda itu tak
Pedang Golok Yang Menggetarkan 20 Winter In Tokyo Karya Ilana Tan Bandit Penyulam 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama