Bunga Di Batu Karang Karya Sh Mintardja Bagian 11
Baru setelah makan, mereka meningga lkan padepokan Kiai Sarpasrana. Mereka berjalan dengan ter-gesa2, agar mereka segera dapat menyampaikan hasil hubungan mereka dengan orang tua itu. Meckipun tidak mendapat pesan2 seperti yang mereka harapkan, namun mereka telah berhasil mene muinya. Dala m pada itu, di Surakarta, para Pangeran sedang sibuk dengan hati mereka masing2. Beberapa orang diantara mereka telah mene mukan keputusan Na mun ada diantara mereka yang terombang-ambing tidak menentu, seperti daun ilalang yang dihe mbus angin pusaran. Bahkan ada yang mencoba berkayuh didua perahu. Sebelah kakinya disebuah perahu dan kaki yang lain berpijak pada perahu yang lain pula. Selama kedua perahu itu masih dapat me luncur searah, maka tidak akan banyak dijumpa i kesulitan, tetapi jika perah/a itu mula i berbeda tujuan, ma ka alangkah sakitnya. Dala m suasana yang panas itu. Kumpeni se-akan2 dengan sengaja memancing persoalan. Para perwira jika berada di Surakarta, menunjukkan ke lakuan yang menyakit kan hati. Mereka mengadakan bujana makan yang ber-lebih2an. Me mbagi barang berharga dan me mikat hati para bangsawan. Sedang terhadap rakyat kecil sikap mere ka menjadi se ma kin angkuh dan sombong. se-akan2 rakyat Surakarta adalah penghuni rimba belantara yang tidak diperhitungkannya. Namun sikap itulah yang me matangkan suasana Rakyat menjadi semakin benci kepada mereka. Tetapi diantara beberapa orang Pangeran justru semakin lekat pada Kumpeni karena terdorong oleh nafsu kepentingan diri mereka sendiri se-mata2. -ooo0dw0ooo(Cersil, Silat Mandarin) http://zheraf.wapamp.com/
Jilid 9 DI ANTARA mereka adalah Pangeran Ranakusuma. Bukan saja karena ia menerima langsung berbagai maca m hadiah, tetapi ia juga ingin mendapat pengaruh lebih banyak lagi di dalam istana Susuhunan. Selain kepentingan langsung itu, isterinyapun telah mendorongnya pula agar ia tidak menjauhkan diri dari lingkungan orang-orang asing yang baik hati, murah hati dan menyenangkan itu. Sejalan dengan perkembangan itu, hati Raden Rudirapun menjadi se makin berke mbang pula. Keinginannya untuk mengetahui, apa saja yang dilakukan ibunya di dala m lingkungan orang-orang asing itu tanpa ayahnya, selalu mendesaknya, sehingga kadang-kadang ia ha mpir tida k dapat mengenda likan dirinya lagi. "Jangan bermain mencegahnya. api Raden" Mandra mencoba
"Aku tida k tahan lagi Mandra. Rasa-rasanya aku selalu digelit ik oleh perasaanku sendiri. Terus-terang aku menjadi curiga"
"Apa yang Raden curigai?" Raden Rudira tidak menjawab. Ia tahu bahwa sebenarnya Mandra sudah mengerti perasaannya. "Jangan tergesa-gesa" berkata Mandra kemudian "meskipun pada akhirnya rencana Raden itu dilakukan, tetapi Raden harus mengingat, bahwa perbuatan itu penuh dengan bahaya. Setiap kali diadakan pertemuan bagi kumpeni di rumah bangsawan yang manapun, penjagaan di sekitar halaman itu diperkuat. Apalagi mereka me mpunyai senjatasenjata yang dapat melontarkan sebutir besi dan yang langsung dapat me mbunuh korbannya" "Aku tida k takut akan senjata api itu" "Me mang kita tida k takut. Tetapi usaha kita gagal dan kita justru terbunuh oleh senjata api itu, maka bukankah dengan demikian tidak ada gunanya, apapun yang pernah kita lakukan?" Raden Rudira mengangguk-angguk. "Jika Raden me mang berkeinginan untuk me lakukannya, sebaiknya Raden me mberitahukan kepadaku. Aku akan menyelidiki dahulu ke mungkinan yang sebaiknya Raden lakukan. Ma la m nanti Raden Ayu mendapat undangan pula dari seorang perwira kumpeni. Bukankah begitu" "Ya, dan ayahanda malam ini tidak dapat pergi mengantarkan ibunda karena ayahanda mendapat undangan tersendiri ke istana Susuhunan" "Tetapi sebaiknya Raden tidak bertindak mala m ini. Undangan se maca m itu masih akan berdatangan. Tentu tidak sampai tiga hari lagi" "Belum tentu Mandra. Mungkin di hari mendatang, ayahanda dapat pergi bersama ibunda. Karena itu, apa salahnya jika mala m ini aku mencoba me lihat apa yang terjadi. Jika aku gagal, barulah aku akan menentukan hari-hari
berikutnya sehingga aku akhirnya yakin apa yang dilakukan ibunda itu. Dengan de mikian hatiku akan menjadi tenteram" Mandra merenung sejenak. Dipandanginya wajah Rudira yang tegang. Namun orang yang bertubuh raksasa seperti Sura itu ke mudian tersenyum "Baiklah Raden. Jika Raden tetap pada pendirian Raden apaboleh buat. Biarlah aku pergi lebih dahulu ketempat bujana itu akan diadakan. Apakah Raden mengetahuinya?" "Ya. Aku mengetahuinya. Di rumah pa manda Surawijaya," Mandra menarik nafas dalam-dala m. Katanya "Aku tahu. Istananya berada di sebelah simpang tiga dengan pohon Kayu Legi yang terjajar tiga di ha la man sa mping?" "Ya" "Baiklah Raden. Jika me mang Raden kehendaki, aku akan pergi ke istana Surawijayan. Aku me mpunyai seorang kawan yang baik mengabdikan diri pada di Surawijayan. Barangkali aku dapat menghubunginya dan mendapatkan kese mpatan untuk me masuki hala man istana itu mala m nanti untuk mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi" "Baiklah. Pergilah. Tetapi hati-hati, jangan sampai rencana ini diketahui oleh siapapun. Jika de mikian ma ka ibunda akan mengurungkan niatnya, atau kumpeni akan me masang penjagaan yang kuat. Tentu orang-orang kita juga yang akan berjaga-jaga di luar istana Surawijayan, sedang kumpeni akan makan minum dengan sepuas-puasnya" Mandra mengangguk-angguk. Katanya "Aku minta diri Raden. Selagi masih jauh waktunya, sehingga orang-orang di istana itu, atau barangkali pengawas-pengawas yang sudah dipersiapkan tidak mencuriga i aku" "Pergilah" Rudirapun ke mudian me mberikan beka l uang kepada Mandra seperti yang biasa dilakukannya apabila ia
me mberikan tugas yang agak menyimpang dari tugasnya sehari-hari. Apalagi tugas ini termasuk tugas yang cukup berbahaya. Sepeninggal Mandra, Rudira selalu duduk merenung. Ia tidak dapat melepaskan diri dari kecurigaan terhadap ibunya. Semakin la ma se makin dala m. Sebagai satu-satunya anak lakilaki yang manja, ia benar-benar tidak mau me lepaskan kasih sayang ibunya dan membaginya dengan orang lain. Bagi Rudira, perkawinan ayah dan ibunya adalah ikatan yang paling luhur di dala m hidup kekeluargaan. Setelah isteri ayahandanya semuanya tersisih dari istana itu, meninggal atau ke mbali ke orang tuanya, maka ibunyalah satu-satunya orang yang berhak sepenuhnya atas istana Ranakusuman di sa mping ayahandanya. Setelah ayahandanya menyisihkan orang-orang yang dapat mengurangi kasih sayangnya kepada isteri yang tinggal satu-satunya, maka ibundanyapun tidak boleh menodai kasih dan cinta itu. Umur Rudira yang menginjak dewasa itu, me mandang cinta antara laki-laki dan perempuan sebagai cinta yang paling suci dan sama sekali tida k boleh dinodai. Dengan de mikian ma ka ke inginannya untuk mengetahui apa saja yang telah dilakukan ibunya itupun me njadi se ma kin besar. Dala m pada itu, sepeninggal Mandra, dari balik dinding yang menyekat ruangan pembicaraan antara Mandra dan Rudira seseorang perlahan-lahan sambil berjingkat, meninggalkan tempatnya setelah ia tanpa sengaja mendengar pembicaraan-pembicaraan itu. Pembicaraan yang sangat mendebarkan jantungnya. Sambil me narik nafas dalam-dala m, ketika ia sudah berada di tempat yang terpisah oleh gandok sebelah kanan, orang itu mengangguk-angguk. Orang itu adalah Dipanala, yang masih saja berada di istana itu dengan berbagai maca m akibat yang dapat terjadi atasnya. Dengan sadar Dipanala melihat ke mungkinanke mungkinan itu. Dari yang paling ringan sa mpa i yang paling pahit baginya, mati. Tetapi ia masih be lum berniat meninggalkan istana Ranakusuman. Ternyata percakapan yang didengarnya tanpa sengaja itu benar-benar telah mendebarkan jantungnya. Bahkan tanpa disadarinya ia berguma m "Raden Rudira tidak tahu bencana apa saja yang dapat menimpanya. Untuk mendekati lingkungan itu adalah sangat berbahaya sekali meskipun Mandra akan berusaha mene mukan ja lan" Tetapi tiba-tiba saja me lonjak perasaan sakit hati di dala m dadanya "Aku tidak peduli. Aku tidak berkepentingan apa-apa. Biar saja apa yang akan terjadi pada keduanya. Justru keduanya pernah mencoba me mbunuh aku. Dan tentu niat itu sampai saat ini masih tersimpan di dala m hati, karena niat itu bersumber dari ibundanya dan barangkali sebentar lagi dari kedua-duanya, dari ibunda dan ayahandanya" Dipanalapun ke mudian mencoba melupakan, apa yang akan dila kukan oleh keduanya. Iapun segera pergi ke belakang, ke kandang kuda. Dibersihkannya beberapa ekor kuda yang ada di dalam kandang itu bersa ma juru pe melihara kuda. Para pekatik dan gamel itu kadang-kadang merasa heran juga, bahwa Ki Dipanala se makin sering bekerja di kandang kuda. Tetapi mereka tidak tahu, bahwa Dipanala di istana Ranakusuman itu seolah-olah sudah tidak me mpunyai kerjaan lain yang pasti, kecuali kadang-kadang ia mendapat perintah dan Pangeran Ranakusuma untuk menyampaikan pesan kepada orang-orang yang dekat dengannya. Namun Dipanala yang keras hati itu tetap tidak meninggalkan istana Ranakusuman. Ia sadar, bahwa jika ia pergi, ma ka umurnyapun tida k akan dapat bertahan, karena baik Pangeran Ranakusuma maupun Raden Ayu Ranakusuma akan me merintahkan orang-orang upahan untuk me mbunuhnya agar ia tida k me mbuka rahasia mereka masing-masing.
Dengan de mikian ma ka ke mungkinan baginya ha mpir t idak ada bedanya. Meninggalkan istana atau tetap tinggal. Na mun yang sedang dipikirkannya adalah bagaimana ia dapat menyingkir bersama keluarganya dan bergabung dala m suatu kelompok ke kuatan yang dapat me lindunginya dan terutama yang me mpunyai sikap yang pasti terhadap orang-orang asing yang semakin la ma menjadi semakin berkuasa di Surakarta, dan dengan demikian mereka semakin leluasa menyebarkan racun perpecahan untuk me mperkuat kedudukan mereka. Bagi Dipanala, tempat yang paling ba ik baginya adalah Padepokan Jati Aking. Na mun di sana ada Raden Juwiring, sehingga hubungan antara istana ini dan padepokan Jati Aking tampaknya masih terla mpau de kat. Tetapi Dipana la tidak begitu terpancang kepada usahanya itu. Sebenarnyalah bahwa ia memang harus berusaha menyela matkan diri. Tetapi jika maut me mang sudah waktunya menje mputnya, ia tidak akan ingkar lagi, dengan suatu permohonan, mudah-mudahan Tuhan Yang Maha Kuasa me lindungi keluarganya dari malapetaka. Namun sehari-harian itu Dipanala sela lu saja digelisahkan oleh rencana Raden Rudira. Setiap kali ia berusaha melupakan rencana itu, karena ia me mang tidak berkepentingan. Ia tidak ingin ikut ca mpur sehingga ia akan tersudut se makin jauh. Semakin banyak rahasia yang diketahuinya, sengaja atau tidak sengaja, maka se makin sulitlah perasaannya dan bahkan semakin se mpit lah ruang yang dapat dihuninya untuk me mpertahankan hidupnya. "Aku tidak ingin menjadi korban dari rahasia orang-orang lain. Biar saja Raden Rudira mengetahui rahasia ibunya. Biar saja Raden Rudira melihat kenyataan bahwa ibunya sama sekali bukan seorang perempuan bangsawan yang terhormat seperti yang diduganya. Juga ayahandanya bukan seorang laki-laki yang baik apa lagi sebagai seorang Pangeran. Bila mana dikehendaki ia dapat menga mbil beberapa orang
isteri, tetapi tidak me loncati pagar ayu, menodai cinta kasih seorang perempuan yang bersuami" berkata Dipanala di dalam hatinya. Tetapi ketika ke mudian ia me lihat sebuah kereta me masuki halaman istana Pangeran Ranakusuma menjelang senja, maka hatinya menjadi semakin berdebar-debar. Ia tahu benar, bahwa Raden Rudirapun sudah menyiapkan kudanya meskipun Mandra masih be lum datang mene muinya. Bagaimanapun juga ia berusaha, namun Ki Dipanala tidak dapat menutup mata, bahwa ia melihat Pangeran Ranakusuma telah berangkat lebih dahulu ke istana Kangjeng Susuhunan Pakubuwana, kemudian disusul oleh Raden Ayu Ranakusuma mengenakan paka ian yang cemerlang, dengan perhiasan yang berkilauan seperti bintang yang ge merlapan di langit. Dipanala yang berada dilongkangan be lakang menarik nafas dalam-dala m. Belum lagi debar jantungnya mereda, dilihatnya Mandra dengan tergesa-gesa menemui Raden Rudira di depan gedogan kuda. "Se muanya sudah beres. Kita dapat berangkat apabila gelap telah menyeluruh" Raden Rudira mengerutkan keningnya. Namun ia bertanya "Apakah kau baru datang?" "Ya Raden" "La ma seka li?" "Aku berusaha menyelesaikan semuanya. Dengan demikian maka kita tidak akan berbuat dua kali" Rudira yang ke mudian melihat Dipanala berhenti sejenak. Meskipun Dipanala ta mpaknya tidak menghiraukannya, namun Rudirapun ke mudian me mbawa Mandra pergi. "Persetan" Dipana la merasa bahwa dirinya dicurigai oleh Kudira "Aku t idak peduli. Aku tidak peduli"
Ingin rasanya Dipanala itu menjerit. Seandainya ia seorang anak-anak yang masih pantas berteriak keras-keras, maka iapun akan berteriak keras-keras pula. Meskipun Dipanala tidak mendengar pembicaraan antara Rudira dan Mandra, namun ia sudah dapat menangkap maksudnya, karena iapun mendengar pembicaraan sebelumnya. "Aku tida k mau tahu" Ki Dipanala menggera m. Rudira yang ke mudian berbicara sa mbil berbisik-bisik dengan Mandrapun telah menetapkan rencana mereka. Mereka benar-benar akan pergi ke istana Pangeran Surawijaya untuk me lihat sendiri, apa yang telah terjadi di dalam bujana makan dan minum yang diselenggarakan oleh beberapa orang perwira Kumpeni. Dipanala yang ke mudian meningga lkan longkangan, karena ia tidak mau me ngetahui rahasia itu lebih banyak, duduk di serambi gandok seorang diri. Ia me lihat beberapa orang penjaga regol yang sedang berganti tugas. Dala m kesibukan para pengawal disenja hari itu, Dipanala justru merasa hatinya terlalu sepi. Ia merasa bahwa tidak ada sesuatu yang dapat dikerjakan. Apapun yang dilakukan rasarasanya tidak akan bermanfaat sama seka li. Bahkan berbuat baikpun agaknya tidak akan menguntungkannya. Seandainya ia mencoba mencegah Rudira, karena yang akan dilakukannya itu benar-benar berbahaya, tentu anak muda itu a kan salah paham. Dan ia akan dianggap sebagai seseorang yang lelah mengetahui rahasianya pula. "Lebih baik aku pulang" berkata Dipanala kepada diri sendiri "Lebih baik bermain-ma in dengan anak-anak. Jika orang-orang di istana ini me merlukan aku, mereka akan me manggil. Apalagi Pangeran Ranakusuma dan Raden Ayu tidak ada di rumah. Tentu tidak akan ada orang yang me merlukan a ku"
Tetapi ketika ia sedang berdiri, ia terkejut mendengar derap dua ekor kuda dari hala man belakang. Ha mpar di luar sadarnya ia melekatkan tubuhnya pada dinding gandok dan bergeser di belakang tiang sehingga terlindung dari cahaya obor yang sudah dinyalakan, karena bayangan tiang itu. Dengan hati yang berdebar-debar ia melihat Raden Rudira dan Mandra yang berada di atas punggung kuda keluar dari halaman istana Ranakusuman. Sejenak Dipanala seakan-akan me mbe ku Di te mpatnya. Keragu-raguan yang dala m telah menghentak-hentak di dadanya. Namun se kali lagi ia menggeram "Aku t idak peduli apa yang akan terjadi. Aku tidak berkepentingan sa ma sekali" Ketika suara derap kaki-kaki kuda itu lenyap, maka Dipanalapun ke mudian meningga lkan te mpatnya. Di halaman samping ia berpapasan dengan seorang pelayan yang baru keluar dari da la m istana. Katanya "Istana rasa-rasanya menjadi sangat sepi" "Tentu" sahut Ki Dipanala "se muanya telah pergi. Pangeran Ranakusuma, Raden Ayu dan Raden Rudira" jawab Ki Dipanala. "Berulang kali hal serupa itu terjadi. Tetapi rasa-rasanya tidak seperti ma la m ini" "Kenapa?" bertanya Ki Dipanala ke mudian. "La mpu di ruang tengah itu seakan-akan tidak mau menyala dengan terang. Meskipun sumbunya telah aku panjangkan, namun nyalanya itu bagaikan pelita yang kehabisan minyak saja" "Tentu minyaknyalah yang kurang bersih" "Minyaknya pergunakan" adalah minyak yang setiap kali aku
"Tentu pada suatu ketika minyak itu habis, dan minyak yang baru itu tida k sebaik minyak yang la ma " "Tida k. Aku sudah me mpergunakan minyak ini se la ma tiga ma la m berturut-turut" Ki Dipanala tidak menjawab lagi. Tetapi ketika ia menengok ruang dala m lewat pintu butulan, rasa-rasanya ruangan itu me mang sepi dan bersuasana lain. "Marilah kita lihat" berkata Ki Dipanala kepada pelayan itu. Keduanyapun kemudian me masuki ruang dala m istana Ranakusuman. Mereka me mang merasakan suasana yamg lain. La mpu minyak yang biasanya terang benderang, rasarasanya memang menjadi sura m. Bukan saja la mpu di ruang tengah. Bahkan ketika keduanya me masuki bilik Raden Ayu Ranakusuma, terasa seakan-akan tengkuk mereka telah dihe mbus perlahan-lahan sehingga seluruh bulu kulit mereka berdiri. Dipanala bukan seorang penakut. Yang terjadi baginya seakan-akan sekedar suatu kebetulan saja. Namun de mikian ia tidak dapat ingkar, bahwa hatinya telah diusik oleh kegelisahan, seakan-akan yang terjadi itu adalah suatu isyarat. Tetapi karena kebodohannya, maka ia tidak dapat mengurai apakah yang sebenarnya akan terjadi. Sekali lagi pelayan itu mencoba menarik sumbu la mpula mpu minyak di ruang da la m, namun cahayanya bagaikan tetap redup. Tiba-tiba saja Dipanala tersenyum sambil berkata "Ada yang kau lupa kan" "Apa Ki Dipanala?" "Lihatlah, lampu di pendapa masih me nyala terlampau terang Agaknya masih belum kau susut sa ma sekali" "Masih terla mpau sore"
"Maksudku, justru karena lampu di pendapa itu terlampau terang, maka la mpu di dala m ruangan ini ta mpaknya sangat redup. Cobalah, susut sedikit la mpu di pendapa itu" "Apakah begitu?" "Cobalah. Nanti dibesarkan lagi" Pelayan itupun ke mudian pergi ke pendapa. Disusutnya la mpu yang menyala terang sekali, sehingga cahayanya menjadi redup. Dengan demikian, ketika ia masuk ke ruang dalam, maka la mpu-la mpu di ruang dala m itu rasa-rasanya menjadi berta mbah terang. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata "Kau benar Ki Dipanala" "Nah, sekarang, tariklah sumbu la mpu di pendapa itu, supaya istana ini t idak kelihatan redup" Pelayan itu ke mbali lagi ke pendapa, dan dibesarkannya nyala lampu yang tergantung di tengah-tengah pendapa yang besar dan dihiasi dengan Barang-barang yang cukup ba ik dan mahal, yang sebagian diterimanya sebagai hadiah dari perwira-perwira kumpeni. Tetapi belum lagi pe layan itu masuk, seorang peronda mende katinya sampai di tangga pendapa sambil bertanya "He. kenapa kau berma in-main dengan la mpu minyak itu?" Pelayan itu hanya menggelengkan kepa lanya saja. Peronda itupun tidak bertanya lagi. Dengan dahi yang berkerut-merut ia melangkah ke mbali ke gardu di regol depan. Namun dala m pada itu, meskipun pelayan itu agaknya mencoba mengerti keterangan Ki Dipanala, bahwa ruanganruangan di dalam istana itu tampaknya redup karena justru la mpu di pendapa terlampau terang, namun bagi Dipanala sendiri ada sesuatu yang masih tetap mengganggu, justru karena ia tahu, ke mana Raden Rudira pergi.
Karena itulah, maka hatinya masih tetap tidak tenang. Apalagi ketika terasa sesuatu yang aneh menyentuh perasaannya ketika ia berada di dalam bilik Raden Ayu Ranakusuma dan Raden Rudira yang terasa sangat sepi, sesepi kuburan. Yang tampak hanyalah alat-alat rumah tangga yang berdiri tegak dan kaku. Geledeg kayu berukir, pembaringan yang bersih dialasi dengan kain yang mengkilap, serta sebuah kaca yang besar, yang diterima juga sebagai hadiah dari orang-orang asing itu, dengan berbagai maca m benda yang lain yang sangat mengagumkan. Namun semuanya itu bagaikan perla mbang dari hati Raden Ayu Ranakusuma yang mati seperti benda-benda itu. Tidak berperasaan. Tetapi Ki Dipanala tidak mengatakan sesuatu kepada pelayan jang masih berdiri di sisinya. Bahkan perlahan-lahan pelayan itu berkata kepadanya "Bilik ini pada suatu saat tentu akan penuh sesak dengan hadiah-hadiah yang setiap saat diterimanya" Ki Dipanala menarik nafas dalam-dala m. Lalu katanya "Marilah. Bukankah kau hanya me mpersoalkan nyala la mpu yang redup itu?" Pelayan itu menganggukkan kepalanya. "Dan bukankah kau sudah mengetahui sebabnya?" Sekali lagi pe layan itu mengangguk. "Jika de mikian, aku akan keluar dan pulang, menengok anak-anak di rumah" "Silahkan Ki Dipanala" berkata pelayan itu. Ki Dipanalapun ke mudian meninggalkan pelayan itu di tangga pintu butulan. Dengan langkah yang la mban, Dipanala berjalan menuju kebutulan dinding ha la man di bela kang, yang langsung menuju ke ha la man rumahnya yang terletak di balik dinding hala man itu.
Namun hatinya masih saja dipengaruhi oleh kepergian Raden Rudira. Setiap kali ia mencoba mengusir perasaannya itu, namun setiap kali pula ia menjadi berdebar-debar. Ketika Dipanala sudah berada di luar hala man, dan sudah menutup pintu itu ke mbali, hatinya menjadi semakin raguragu. Karena itulah ma ka iapun mengurungkan niatnya untuk me masuki rumahnya yang sudah tertutup. Bahkan iapun pergi ke kandang kuda dan dengan hati-hati me mbenahi pakaian kudanya dan menuntunnya keluar perlahan-lahan, agar tidak mengejutkan isi rumahnya. Sejenak ke mudian Ki Dipana lapun sudah berpacu di jalan yang sudah menjadi sepi karena mala m yang se makin la ma rasa-rasanya menjadi se makin gelap, meskipun di langit bintang-bintang bercahaya dengan cerah. Kegelisahan di hati Ki Dipanala ternyata telah mendorongnya untuk berpacu lebih cepat. Iapun tahu benar, bahwa mala m itu Raden Ayu Galihwarit sedang mengadakan bujana makan dan minum tanpa batas di rumah Pangeran Surawijaya. Tetapi ia tidak mau terlibat terlampau jauh. Sebenarnya ia hanya ingin mengetahui, apakah yang akan terjadi di rumah Pangeran itu, jika Raden Rudira mengetahui apa yang dilakukan oleh ibundanya. Karena itu, ia tidak langsung mendekati istana itu. Diikatnya kudanya agak jauh dari istana Pangeran Surawijaya. Kemudian untuk beberapa lamanya ia menunggu di dala m kegelapan sebelum ia pergi mende kati hala man yang luas dan berdinding tinggi. Tetapi pepohonan di luar dinding me mberi kese mpatan kepadanya untuk melihat apa yang ada di dala m, karena dahan-dahannya yang menjulang mela mpaui tinggi dinding halaman itu.
Sejenak Ki Dipanala menunggu. Ia menduga, bahwa Raden Rudirapun pasti sedang menunggu. Tetapi ia tidak tahu, dimana anak muda itu berse mbunyi bersama Mandra. Karena itu maka Ki Dipanala harus berhati-hati. Ia harus menghindarkan diri dari anak muda itu, agar ia tidak mena mbah kesulitan bagi dirinya sendiri karena ia mengetahui pula rahasianya disa mping rahasia ayah dan ibundanya. Betapa dada Ki Dipanala menghentak-hentak ketika ia mendengar gela k tertawa di pendapa istana yang dihiasi dengan lampu yang terang benderang. Gelak tertawa orangorang asing yang diseling dengan suara tertawa dalam nada tinggi. Suara isteri para bangsawan yang keriangan pula di dalam bujana itu. Apalagi mereka masih mengharap bermaca m-maca m hadiah dari orang-orang asing itu. Hadiah yang tidak pernah mereka miliki sebelumnya, karena hadiah itu adalah benda-benda yang mere ka bawa dari negeri mereka. Ki Dipanala yang menunggu di luar dinding menjadi pening. Suara tertawa itu dapat me mbuatnya menjadi gila. Karena itu, maka akan lebih baik baginya untuk melihat apa yang terjadi dari pada sekedar mendengar suaranya. Sebab dengan demikian ia dapat me mbayangkan apa saja menurut anganangannya terjadi di balik dinding itu. Tetapi jika ia melihatnya, maka ia akan segera dibatasi oleh penglihatannya, meskipun yang dilihatnya itu mungkin juga sangat me muakkannya. Seperti anak-anak ingin melihat adu ayam di arena yang penuh, maka Ki Dipana lapun ke mudian me manjat sebatang pohon di luar dinding. Dengan hati yang berdebar-debar ia menjengukkan kepalanya dari balik dedaunan yang rimbun. Dipanala menarik nafas dalam-dala m. Ternyata memang yang dibayangkan jauh lebih menggetarkan dadanya dari yang terjadi. Ternyata mereka hanya sekedar duduk berkeliling pendapa sambil berbicara, meskipun betapa riuhnya. Justru orang-orang asing yang belum menguasai bahasa Jawa, dan
mencoba me mpergunakannya itulah yang dapat menimbulkan gelak yang sangat riuh. Dipanala meraba keningnya. Tetapi ia tetap duduk di atas dahan. Bahkan ke mudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata "Mudah-mudahan tetap seperti itu saja, seperti yang sering dila kukan di rumah Pangeran Ranakusuma. Sekedar ma kan dan minum" Dan ternyata bahwa Ki Dipanala tidak me lihat sesuatu yang dapat menggetarkan hatinya, dan sudah barang tentu hati Raden Rudira. Ia me lihat juga Raden Ayu Galihwarit duduk di antara beberapa orang puteri bangsawan. Dan Raden Ayu Galihwarit yang berpakaian ce merlang itupun tidak berbuat apa-apa selain tertawa dan kadang-kadang sampai terguncang-guncang. Sejenak kemudian orang-orang di pendapa itupun dijamu makan yang bagi Dipanala, mela mpaui setiap batas keinginannya. Bermacam-maca m jenis lauk pauk telah terhidang. Bahkan di antaranya adalah jenis lauk pauk yang belum pernah dilihatnya, yang mungkin disesuaikan dengan cara ma kan orang-orang asing itu. Tetapi acara ma kan itupun tidak menarik perhatiannya. Bahkan Dipanalapun mulai je mu duduk di atas dahan itu. Tetapi ia masih juga ingin tahu kesudahan dari pertemuan yang demikian. "Apakah seperti yang sering terjadi di istana Pangeran Ranakusuma, atau masih ada acara-cara lain yang dapat me mba kar hati Raden Rudira?" bertanya Ki Dipanala di dala m hatinya. Namun sejenak kemudian, ternyata pertemuan itu berakhir. Beberapa orang bangsawan dan orang asing itu minta diri dan meninggalkan istana Surawijayan. Ki Dipanala me narik nafas lega. Jika Raden Ayu Galihwaritpun ke mudian pulang ke istana Ranakusuman, maka
tidak akan timbul persoalan yang dapat mendebarkan jantungnya. Raden Rudira yang tentu juga telah mengintip, pasti akan segera pulang tanpa terjadi sesuatu. Tetapi tiba-tiba a lis Ki Dipanala berkerut. Dilihatnya pendapa itu semakin la ma menjadi se makin sepi. Namun Raden Ayu Galihwarit masih belum minta diri untuk meninggalkan pendapa itu. Dada Ki Dipanala mulai berdebar-debar. Karena itu, maka ia justru me mperhatikan pendapa itu lebih taja m lagi. Hatinya yang semula mulai tenang, kini telah bergejola k ke mbali. Dan rasa-rasanya kegelisahannya tidak lagi dapat ditahankannya di dalam dadanya, ketika bangsawan yang terakhir meninggalkan pendapa itu. "Apakah yang akan terjadi?" Ki Dipanala menjadi se makin berdebar-debar. Namun sekali lagi ia harus menarik nafas dalam-da la m. Ternyata bahwa Raden Ayu Galihwaritpun ke mudian minta diri pula. Seperti biasanya, maka sebuah kereta sudah siap untuk mengantarkannya. "He m" Ki Dipana la berdesah "Aku terla mpau berprasangka. Ternyata Raden Ayu Galihwaritpun segera pula sebelum ma la m menjadi se makin jauh" Karena itu ma ka Dipanalapun segera turun dari dahan di luar dinding hala man. Namun ada sesuatu yang tidak mapan di dala m hatinya. Ia tidak mengerti, kenapa tiba-tiba saja timbul ke inginannya untuk mengikuti kereta Raden Ayu Galihwarit itu. Bagaimanapun juga ia mencoba mencegah keinginannya itu, na mun Ki Dipanala tida k berhasil. Dengan demikian maka iapun dengan tergesa-gesa pergi ke kudanya. Hatinya sendiri telah me maksanya untuk ke mudian dari jarak yang agak jauh mengikuti sebuah kereta yang meninggalkan regol istana Pangeran Surawijaya.
"Agaknya hatiku me mang ditumbuhi ra mbut jagung" berkata Ki Dipanala di da la m hatinya "Akulah yang berpikir jelek" Tetapi Dipanala masih tetap mengikuti kereta itu di dalam keremangan ma la m di jalan raya kota Surakarta. Namun ia harus berhati-hati. Jika Raden Ayu Galihwarit mengetahui bahwa ia mengikutinya, maka nafsunya untuk me mbunuh pasti akan menjadi se makin besar. Sejenak Ki Dipanala hanya melihat kesepian. Kota yang ramai di siang hari itu bagaikan sudah tidur nyenyak. Sinar la mpu minyak masih tampa k berpencaran di beberapa buah rumah di pinggir jalan. Tetapi rumah-rumah yang lain tampaknya sudah menjadi ge lap seperti tida k berpenghuni. Namun terasa dada Ki Dipanala berdesir ketika matanya yang tajam menangkap bayangan sesuatu di pinggir ja lan di hadapannya, bahkan di hadapan kereta Raden Ayu Galihwarit. Bayangan itu adalah bayangan sebuah kereta pula, seperti kereta yang dipergunakan oleh Raden Ayu Galihwarit. Ki Dipanala benar-benar menjadi berdebar-debar. Iapun segera meloncat turun dan mengikat kudanya Di te mpat yang agak jauh dan terlindung. Namun ia tidak segera tahu, apa yang harus dila kukan. Ki Dipanala hanya dapat mengawasi kereta Raden Ayu Galihwarit yang juga berhenti. Dengan hati-hati Dipanala merayap mende kat di luar sadarnya. Seakan-akan ia dengan bernafsu sekali ingin mengetahui apa yang telah terjadi. Terasa dada Ki Dipanala terguncang. Ia melihat seorang perwira berkulit putih turun dari kereta yang semula berhenti, ke mudian meloncat naik ke kereta yang lain, yang ditumpangi oleh Raden Ayu Galihwarit. "Gila, Gila" terasa dada Dipanala bergejolak. Wajahnya menjadi panas dan tangannya bagaikan ingin mere mas kepala
orang asing itu. Juga di luar sadarnya, Ki Dipanala meraba hulu kerisnya. Tetapi tiba-tiba ia menarik nafas dalam-dala m. Dala m sekali. Bahkan ke mudian dengan gera m ia berkata di dala m hatinya "O, apakah aku akan me libatkan diri dala m kesulitan yang lebih da la m" Ketika aku tanpa sengaja menjumpai peristiwa yang hampir sa ma, maka maut sudah mulai meraba tengkukku. Apalagi jika aku sekarang mengulanginya. Maka aku rasa umurku tida k akan bertahan sampai sepekan" Ki Dipanala menahan gejolak di dadanya dengan telapak tangannya. "Aku tidak peduli. Aku tidak peduli. Ternyata yang telah terjadi itu tida k me mbuat Raden Ayu Galihwarit menjadi jera. Kema ksiatan itu masih juga diulanginya, tanpa menghiraukan ke mungkinan yang dapat terjadi " Namun dada Ki Dipanala tiba-tiba berguncang ketika ia teringat kepada Raden Rudira. Jika anak itu mengetahui apa yang terjadi, tentu ia tidak akan dapat menahan hatinya lagi. Apalagi jika Raden Rudira sempat mengikuti ke mana kereta ini akan pergi dan apa yang akan dilakukan oleh Raden Ayu Galihwarit selanjutnya. "Aku tidak peduli. Aku tidak peduli" Ki Dipana la menggera m di dala m dadanya. Karena itu, maka iapun ke mudian me langkah surut, la tidak akan ikut menca mpuri persoalan itu, agar ia tidak se ma kin tersudut di dala m kesulitan. Ia masih me mpunyai keluarga yang harus mendapat perlindungannya. "Jika aku mati karena aku me mpertahankan harga diri tanah ini, apaboleh buat. Tetapi alangkah nistanya mati tanpa arti dibunuh oleh Mandra dan kawan-kawannya" Ki Dipanala menge luh di da la m hati.
Tetapi niatnya diurungkannya ketika ia me ndengar desir di tikungan. Ketika dari celah-celah dedaunan ia melihat di dalam keremangan mala m dua ekor kuda yang perlahan-lahan maju di sebelah lorong kecil menuju ke jalan raya, hatinya bagaikan me lonjak. Kedua orang penunggang kuda itu adalah Raden Rudira dan Mandra. Sejenak Ki Dipanala tidak dapat berpikir apakah yang sebaiknya dila kukan. Na mun dala m pada itu, kereta yang semula ditumpangi oleh orang asing itu sudah mulai bergerak meninggalkan te mpatnya. Sebelum Ki Dipanala berbuat sesuatu, maka ia mendengar Mandra berdesis "Sekarang Raden" Keduanya me lecut kudanya, sehingga kuda itupun segera me loncat berlari me nuju kekereta yang masih brhenti di pinggir jalan Sebuah desir yang tajam bagaikan me mbelah jantung Ki Dipanala. Ia tida k dapat me mbayangkan apa yang akan terjadi ke mudian. Karena itu. di luar sadarnya iapun bergeser menepi, sehingga meskipun dari kejauhan, ia dapat menyaksikan apa yang terjadi dala m kere mangan mala m. "O" Ia berdesah "kuda ku tertambat agak jauh" Dipanala berdiri saja me matung. Dengan de mikian ia me mang tidak akan dapat berbuat apa-apa. Jika ia berlari ke kudanya, maka yang akan terjadi pasti sudah terjadi. Ki Dipanala terkejut ketika sejenak ke mudian ia mendengar seseorang berteriak "Kubunuh kau bule" Tetapi suara itu bukan suara Raden Rudira. Suara itu adalah suara Mandra. Pada saat itu, kereta yang ditumpangi oleh Raden Ayu Galihwarit dan perwira kumpeni itu sudah siap untuk berangkat. Tetapi suara Mandra itu bagaikan me mberi abaaba kepada perwira kumpeni itu untuk bertindak. Dengan
tangkasnya ia menya mbar sesuatu sebelum tangannya mendorong pintu keretanya. Ketika pintu itu terbuka, iapun segera meloncat turun. Sesaat kemudian terdengar sebuah ledakan me meka kkan telinga. Ledakan yang serasa meretakkan dada Ki Dipanala. Ia tahu benar, suara apakah yang telah merobek sepinya mala m itu. Dan ha mpir berbareng dengan itu, seorang dari kedua penunggang kuda yang ingin menyerang perwira kumpeni itupun terle mpar dari kudanya dan jatuh di jalan berbatu-batu. Sementara itu, selagi orang yang terjatuh itu mengge liat, maka kuda yang lainpun berlari kencang sekali dan hilang me mbe lok ke dalam sebuah lorong se mpit Ki Dipanala me ngetahui, bahwa untuk me ledakkan senjata itu untuk kedua kalinya diperlukan waktu. Karena itu ha mpir saja ia me loncat menyerang. Tetapi sekali lagi hatinya telah diterka m oleh keraguraguan. Ia mengetahui bahwa yang terle mpar itu justru adalah Raden Rudira yang berpacu di depan. Selagi Ki Dipana la ragu-ragu, maka terdengar kereta yang ditumpangi oleh perwira kumpeni dan Raden Ayu Galihwarit itu mulai berderak, dan roda-rodanyapun mulai berputar pula. Dala m pada itu, di dalam kereta yang sudah mula i bergerak itu, Raden Ayu Galihwarit menggigil ketakutan mendengar bunyi ledakan senjata perwira kumpeni itu. Namun sa mbil
tersenyum perwira asing itu berkata dala m bahasa yang patah-patah "Tidak ada apa-apa" "Siapakah yang tuan temba k itu?" Perwira itu tertawa "Seorang perampok. Mereka ingin mera mpok aku. Me mang ada orang-orang Surakarta yang tidak senang melihat kehadiran ka mi, betapapun baik maksud dan tujuan ka mi" Raden Ayu Galihwarit menarik nafas dalam-dala m. Tetapi ia masih bertanya "Apakah mereka tidak akan menyerang kita lagi nant i?" "Tentu tidak berani. Yang masih hidup itu tentu akan lari, karena ia tidak akan dapat melawan senjataku. Mereka adalah orang-orang bodoh yang tidak mau ditolong hidupnya untuk mengetahui ke majuan dunia. Pandangan mereka terlampau sempit dan sombong. Jika sekali-se kali mereka melihat negeriku dan negeri-negeri tetangga, barulah mereka sadar, bahwa mereka sudah ketinggalan untuk lebih dari satu abad la manya. Raden Ayu Galihwarit tidak begitu mengerti ma ksud perwira asing itu. Na mun iapun me njadi agak tenteram, karena perwira itu me mang me miliki senjata sedahsyat petir. Dengan de mikian Raden Ayu Galihwarit mencoba untuk me lupakan apa yang baru saja terjadi. Ia harus berbuat sebaik-baiknya terhadap perwira kumpeni itu dan ia akan segera kembali ke istana Ranakusuman sebelum Pangeran Ranakusuma datang dari istana Susuhunan. Selagi kereta itu berderik di sepanjang jalan, maka Ki Dipanala berdiri me mbeku Di tempatnya. Namun ia tidak sampai hati untuk tidak berbuat sesuatu, karena dari kejauhan ia yakin bahwa sebenarnya Raden Rudira masih belum benarbenar terbunuh.
Setelah mela lui pergolakan perasaan yang riuh, akhirnya Ki Dipanala melangkah setapak demi setapak mendekati. Tetapi iapun segera me loncat ke sa mping dan hilang di balik dedaunan ketika ia mendengar seekor kuda berderap mende kat. Dan Ki Dipanala yakin, bahwa orang berkuda itu pasti Mandra. "Ia akan dapat segera menolongnya. Agaknya masih ada harapan bagi Raden Rudira" berkata Ki Dipanala di dala m hati. Sejenak kemudian maka seekor kuda berhenti beberapa langkah di sa mping tubuh Raden Rudira yang tergolek di tanah. Namun setiap kali anak muda itu masih mencoba untuk bangkit, meskipun ternyata ia sudah tida k ma mpu lagi. Ketika ia me lihat Mandra berdiri tegak di sampingnya, maka terdengar suaranya lemah "Mandra. Mandra. Tolong bawa aku pulang. Aku ingin berbicara dengan ayahanda" Tetapi Mandra masih tetap berdiri Di tempatnya. "Mandra. Mandra" nafas Raden Rudira menjadi se makin terengah-engah. Namun yang terdengar adalah suara tertawa yang berkepanjangan. Ternyata suara tertawa itu telah mengejutkan Raden Rudira, sehingga iapun tersentak sejenak. Kepalanya terangkat dan untuk beberapa lamanya ia bersandar pada siku tangannya. Tetapi tidak terlalu la ma, karena kemudian kepalanya itu dengan le mahnya perlahanlahan terkula i lagi di tanah. Namun terdengar suaranya lemah "Kenapa kau tertawa" Aku terluka. Meskipun peluru bangsat itu hanya mengenai pundakku, tetapi aku terbanting dari kuda. Punggungku terasa seakan-akan patah dan darah masih saja mengalir" Suara tertawa Mandra menjadi se makin keras. Na mun sejenak kemudian suara itu mereda "Raden. Aku hanya ingin menimbulkan kesan kepada orang-orang yang tinggal tidak
begitu jauh dari tempat ini. Mereka tentu mendengar ledakan senjata orang asing itu. Mereka tentu menyangka terjadi sesuatu. Tetapi jika mereka mendengar suara tertawa, maka mereka tentu a kan berpikir la in" "O" suara Raden Rudira menjadi se makin le mah "sekarang tolonglah aku, bawa aku pulang. Aku akan berbicara dengan ayahanda. Ayahanda harus tahu apa yang telah terjadi" Tetapi aneh sekali. Ki Dipanala yang mendengar pembicaraan itu dari balik gerumbul di pinggir jalanpun menjadi bingung ketika ia mendengar Mandra tertawa pula. "Mandra" desak Raden Rudira "Jangan tunggu aku mati di sini" Dan yang benar-benar mengejutkan adalah jawaban Mandra "Apakah sa lahnya?" "Mandra" sekali lagi Raden Rudira tersentak kali lagi ia tergolek dengan le mahnya. "Yang terjadi adalah di luar ke kuasaanku Raden" "Tetapi, kau dapat berusaha" "Terla mbat" "Kenapa terla mbat?" Mandra tidak menjawab. Tetapi suara tertawanya masih terdengar. "Mandra, Mandra. Apakah kau sudah gila" desis Rudira. "Tida k, tidak Raden. Aku masih tetap sadar. Dan akupun menyadari kegagalan ini" "Kenapa bisa gagal Mandra" Kau mengatakan semuanya sudah kau atur sebaik-ba iknya. Kau berbicara dengan sais kereta itu. Dan kau katakan orang asing itu tidak akan me mbawa senjata di keretanya, apalagi kereta yang satu itu" bahwa sudah bahwa dalam
Ketika ke mudian Mandra tertawa, Raden Rudira menjadi curiga. Juga Ki Dipanala menjadi curiga. "Raden" berkata Mandra "nasib Raden memang terla mpau jelek. Seharusnya orang itu tidak bersenjata dan seharusnya sais itu menahan keretanya" "Tetapi kenapa tidak" Suara tertawa Mandra semakin me nyakitkan hati. Bahkan ke mudian ia berkata "Sudahlah Raden. Ikhlaskan saja ke matian Raden. Raden me mang bernasib jelek hari ini" "Mandra, kau benar-benar gila" "Aku tida k gila" "Katakan, kenapa kau berbuat seperti orang gila jika kau masih tetap sadar?" "Baiklah Raden. Di saat terakhir sebelum Raden benarbenar mati aku akan mengatakannya" Mandra berhenti sejenak oleh suara tertawanya "Aku tidak dapat mencegah bahwa hal ini harus terjadi. Jika sais kereta itu berbuat sesuatu yang dapat menyelamatkan jiwa penumpangnya, maka hadiahnya terlampau banyak. Terlampau banyak untuk ditolak. Itulah yang menarik perhatianku Raden. Dan aku akan mendapat separo dari hadiah itu" "O" Rudira benar-benar terkejut mendengarnya. Bahkan jantung Dipana lapun bagaikan me lonjak mendengarnya. Hampir saja ia berteriak. Tetapi iapun masih berhasil menahan diri. Bahkan ia tidak dapat menolak ketika sebuah ingatan menya mbar hatinya. "Keduanya telah berusaha me mbunuh a ku. Aku tidak berkepentingan apapun atas keduanya. Jika aku melihat yang terjadi biarlah itu sebagai suatu pengala man saja bagiku" Dala m pada itu ia mendengar Raden Rudira berkata dengan suara bergetar "Pengkhianat. Pengkhianat"
Tetapi Mandra tertawa saja. "Mandra, apakah aku tida k pernah me mberimu sesuatu" Apakah aku tidak pernah me mberimu hadiah dan upah yang cukup?" "Me mang cukup Raden. Menurut ukuran orang berkulit coklat seperti kita. Tetapi ternyata orang-orang berkulit putih itu me mberikan upah terlalu banyak. Apalagi sais yang mencium rencana pembunuhan itu. Ia dapat mengarang ceritera, alasan apakah yang dipergunakan oleh pe mbunuh yang mengintai. Iri, dengki, pemberontak, dan apa saja. Sebelum hal ini terjadi, sais itu sudah mendapat kepercayaan. Apalagi setelah ia berhasil menyela matkan tuannya dan Raden Ayu Galihwarit" "Dia m, dia m" Raden Rudira masih ingin berteriak. Tetapi suaranya sudah sangat lemah. "Anak yang malang. Di saat terakhir kau telah mengala mi bencana ganda. Kau telah dikhianati oleh kepercayaanmu, dan kau harus melihat kenyataan bahwa ibumu bukan orang yang sebersih kapas" "O" Mandra masih tertawa. Katanya "Aku selalu ingat kepada nasib Sura. Seorang penjilat besar. Mungkin lebih besar dari aku. Jika pada suatu saat tidak diperlukan lagi, maka ia akan dile mpar jauh-jauh, bahkan mungkin dibunuh seperti Dipanala. Tetapi agaknya nyawa Dipanala masih cukup liat" Mandra berhenti sejenak, lalu "ingatan itu sela lu menghantui aku. Dan terbayanglah nasibku sendiri jika aku tetap menjadi budak Raden yang setiap hari harus menjilat. Akhirnya aku jemu. Ketika sais sahabatku itu menawarkan pekerjaan yang lebih baik, dan sekaligus upah yang menggelarkan jantung, maka aku menga mbil keputusan untuk berkhianat sekarang, sekaligus menghilangkan jejak. Me mang licik seka li"
Raden Rudira menggeram. Terdengar suaranya bergetar oleh perasaan sakit dan terlebih-lebih sakit lagi adalah hatinya "Kau tidak ubahnya seperti anjing" Mandra justru tertawa. Katanya "Raden benar. Aku me mang tidak ubahnya seperti anjing. Jika ada orang lain yang mele mparkan tulang lebih besar, aku akan lari kepadanya. Bahkan sekaligus aku akan menggigit tuanku yang terdahulu. Jangan menyesal bahwa tuan sudah me melihara anjing. Dan anjing seperti aku dan Sura pasti masih akan berkeliaran" "Gila, gila. Kubunuh kau" Mandra tertawa semakin keras. Katanya kemudian "Sudahlah. Nikmatilah kepedihan hati yang terakhir. Pengkhianatan dan pelanggaran pagar ayu. Sejenak lagi aku harus ke mbali ke Ranakusuman. Berpura-pura mencari kau Raden, dan kemudian menangis sehari-harian karena kau tidak dapat dikete mukan. Sesudah itu, agar aku tidak terlalu bersedih, aku akan meningga lkan Ranakusuma m Di rumah itu aku akan selalu teringat kepada momonganku, karena aku adalah seorang abdi yang setia. Begitu?" "Gila, gila sekali. O" Raden Rudira menjadi se makin le mah. "Tetapi Raden, aku masih akan berbuat baik sekali lagi. Aku akan me mpercepat penderitaan Raden, kemudian me mbuang Raden Di tempat yang terasing, begitu" Dan apakah Raden tahu tempat yang terasing itu" Di ja lan menuju ke Jati Aking. Aku akan mencobek luka peluru itu. sehingga tepat seperti luka pedang" Mandra berhenti sejenak, lalu "setuju?" "O" Raden Rudira sudah kehilangan tenaganya. "Jika mayat Raden diketemukan, maka aku akan menangisinya sekali lagi, dan dengan menyesal meratap kenapa Raden pergi sendiri, tanpa aku. Tentu aku akan menyebar desas-desus bahwa telah terjadi pertengkaran antara Raden dan Raden Juwiring ketika Raden Juwiring akan
me masuki kota. Kemudian ka lian berke lahi dan saling mengejar di luar pengetahuanku karena aku sedang pulang ke rumahku beberapa lama. O, alangkah mudahnya me mbuat ceritera semacam itu. Mungkin ceritera lain yang lebih menarik" Rudira sama sekali tidak menjawab lagi. Tubuhnya sudah menjadi terlalu le mah oleh darah yang menga lir dan hati yang meronta-ronta. Alangkah pedihnya. "Baiklah Raden. Aku kira sudah cukup. Apakah Raden masih akan bertanya lagi?" Rudira sa ma sekali tidak menjawab. "Bagus. Sekarang aku akan me mpercepat ke matian Raden. Sayang, peluru itu hanya mengenai pundak Raden, sehingga Raden tidak segera mati. Jika Raden cepat mati, Raden tidak akan mendengar pengakuanku yang menyakitkan hati dan mendengar kenyataan tentang ibunda yang cantik dan tetap muda itu" Rudira yang menjadi putus-asa itu sa ma sekali tidak menyahut lagi. Dala m saat yang menggetarkan jantung itu masih se mpat diingatnya lamat-la mat, apa saja yang pernah terjadi dan apa saja yang pernah dilakukan. Dala m keremangan mala m yang sepi di jalur jalan kota itu ia masih me lihat bayangan Mandra yang berdiri tegak di sisi tubuhnya yang lemah. Sejenak ke mudian ia melihat Mandra itu menarik pedangnya sambil tertawa. Ki Dipanala masih bersembunyi Di te mpatnya. Ia sudah menga mbil keputusan untuk tidak ikut campur di dala m persoalan antara Mandra dan Raden Rudira. "Aku tidak mau terlibat lagi. Sudah cukup parah bagiku" katanya di dala m hati. Dari te mpatnya ia me lihat Mandra itu menyentuh Raden Rudira dengan kakinya sambil berkata "Bersiaplah untuk mati.
Ini adalah kebaikan hatiku yang terakhir untuk segera mengakhiri penderitaan Raden. Penderitaan lahir dan batin. Mungkin di saat menje lang mati orang-orang berdosa seperti kita me mang akan menga la mi penderitaan lahir dan batin seperti Raden ini. Tetapi jangan menyesal setelah semuanya terlambat" Perlahan-lahan Mandra mengangkat pedangnya siap untuk menusuk dada Raden Rudira yang terbaring dengan le mahnya. "Jangan mengumpat. Dosamu akan bertambah" desis Mandra sa mbil tertawa. Namun ketika pedang Mandra itu perlahan-lahan mulai bergerak, ternyata sesuatu yang tidak dimengerti sama sekali oleh Ki Dipanala, telah mendorongnya tanpa dapat dilawannya. Kata hati nuraninya ternyata jauh lebih kuat dari na larnya, sehingga tiba-tiba saja ia telah meloncat dari gerumbul di pinggir jalan itu. Mandra yang sudah siap untuk me mbunuh itu terkejut bukan buatan. Sejenak ia berdiri me matung, na mun ke mudian dengan cepat ia menginjak dada Rudira sambil mele katkan ujung pedangnya di dada itu pula. Katanya "Kau Dipanala. Apa yang akan kau lakukan?"
Dipanala termangu-mangu sejenak. Pedang itu akan dapat segera menghunja m di dada Raden Rudira. Karena itu, ia tidak boleh berbuat dengan tergesa-gesa. Dala m keadaan yang demikian, tiba-tiba semua ingatan tentang usaha pembunuhan yang dilakukan oleh Raden Rudira itu tersisih oleh kata nuraninya yang sebenarnya. Dengan demikian maka iapun ke mudian berusaha dengan sungguhsungguh untuk menyela matkan anak muda yang malang itu. "Dipana la" gera m Mandra ke mudian "Kenapa kau di sini?" Dipanala termenung sejenak. Lalu jawabnya "Kebetulan saja Mandra. Setiap kali dengan kebetulan aku me lihat rahasia yang besar tentang keluarga Ranakusuman, sehingga ha mpir saja aku terbunuh agar a ku tida k menyebarkan rahasia itu" "Lalu sekarang kau mau apa?" "Tida k apa-apa. Aku hanya ingin me lihat Raden Rudira mati" Mandra menjadi ragu-ragu sejenak. Dipandanginya Dipanala dan Rudira berganti-ganti. Dipanala yang berdiri tegak di dala m kere mangan mala m, sedang Rudira yang menjadi se makin le mah, sudah tidak dapat melawannya sama sekali, se mentara kakinya diletakkannya di dada orang yang selama ini diturutinya setiap patah katanya. "Mandra" berkata Dipanala ke mudian "Aku mengetahui segala rahasia yang tersimpan di Ranakusuman. Aku juga mengerti bahwa kau dan Raden Rudira berusaha me mbunuhku atas persetujuan Raden Ayu Galihwarit karena kebetulan aku mengetahui apa yang pernah terjadi, seperti yang terjadi saat ini" "Gila" gera m Mandra. Tetapi iapun sambil berkata kepada Raden Rudira "Nah Kita me mang telah dipaksa dengan cara untuk me mbunuh Dipanala karena ke mudian tertawa Raden, ketahuilah. yang paling halus Dipanala pernah
mengetahui rahasia ibunda Raden Rudira. Satu lagi bekal menje lang ke matianmu" Raden Rudira me mang sudah terlalu le mah. Tetapi yang paling buruk padanya, adalah perasaan putus-asanya, sehingga seakan-akan ia me mang tidak ma mpu berbuat apapun lagi. "Nah, sekarang aku melihat satu rahasia lagi" berkata Dipanala ke mudian "bahwa Mandra, penjilat besar yang berhasil menyingkirkan Sura, telah berkhianat pula. Me mang agak berbeda dengan Sura. Sura dianggap berkhianat setelah ia se mpat berpikir. Tetapi Mandra berkhianat justru karena ia menjadi penjilat yang lebih besar lagi, yang sama sekali telah kehilangan akal dan pikiran" "Tutup mulut mu" teria k Mandra "J ika kau me mbuka mulut mu sekali lagi, pedangku akan segera terhunjam di dada anak malang ini" "Apa peduliku" jawab Dipanala "Kalian telah berusaha me mbunuh aku. Sekarang kalian akan saling berbunuhan sendiri Silahkan. Silahkan. Denda mku akan terbalas tanpa aku minta. Raden Rudira mati di ujung pedang Mandra, sedang Mandra kela k pasti akan tertangkap karena pe mbunuhan ini" "Tida k seorangpun melihat" gera m Mandra. "Aku. Akulah yang melihat. Aku bersedia untuk menjad saksi di dala m perkara ini" Wajah Mandra menjadi merah pada m Dipandanginya Dipanala yang masih berdiri Di tempatnya dengan wajah yang tegang. "Kau tidak akan mela kukannya Dipanala" "Kenapa tidak" Ini adalah suatu kese mpatan yang paling baik bagiku. Tanpa berbuat sesuatu aku sudah dapat me lepaskan pe mbalasan yang setimpal. Kedua orang yang akan me mbunuh a ku akan mati dengan caranya sendiri.
Raden Rudira dengan cara yang pantas, sedang kau akan menga la minya dengan cara yang lebih mengerikan. Mungkin kau akan digantung di alun-a lun, tetapi mungkin kau akan menjadi pertunjukan pendahuluan pada upacara rampogan macan di alun-alun. Kau akan diadu dengan seekor harimau lapar tanpa senjata sebelum harimau itu dira mpok oleh para prajurit" "Tida k. Tida k" Mandra ha mpir berteriak. "Jangan berteriak. Bukankah ada rumah yang terletak tidak jauh dari te mpat ini?" "Aku tida k peduli" "Jangan menyesal bahwa kela k kau benar-benar akan diadu dengan harimau lapar, karena kau membunuh seorang putera Pangeran. Jika kau terlalu sakti dan me menangkan perkelahian melawan harima u itu, maka kau pasti akan dihukum picis" Namun tiba-tiba Mandra itu tertawa. Katanya "Tidak akan ada saksi hidup yang dapat mengatakan tentang peristiwa ini, kecuali orang asing itu. Ia tentu akan mengatakan bahwa justru aku sudah menyela matkannya" "Me mang kau sudah menyiapkan ceritera panjang tentang usaha pembunuhan itu. Tetapi seperti kau yang dapat mengarang ceritera semaca m itu, bahkan tentang ja lan sepi ke Jati Aking agar kesan ke matian Raden Rudira seakan-akan oleh Raden Juwiring, maka akupun akan dapat mengarang ceritera yang barangkali lebih baik dari ceritera mu" "Tida k" Mandra tertawa semakin keras "karena kaupun akan mati di sini. Kau berdua lah yang akan dikete mukan orang di ja lan sepi ke Jati Aking" "Kenapa aku?" suara Dipana la menjadi ge metar. "Karena kebodohanmulah kau akan mati saat ini. Kenapa kau tidak melihat pe mbunuhan ini sa mbil bersembunyi saja
jika kau me mang ingin menjadi saksi hidup dan melepaskan dendammu kepadaku sa ma sekali" Tetapi sekarang sudah terlambat. Kau akan aku bunuh juga seperti Raden Rudira" "Aku tidak berbuat apa-apa" sahut Dipanala dengan cemasnya "Aku hanya melihat saja" Mandra tertawa semakin keras. Dan tiba-tiba saja ia mengangkat kakinya dari dada Raden Rudira. Baginya Rudira sudah tidak akan berdaya sama sekali. Kapanpun ia akan dapat me mbunuhnya dengan mudah. Karena itu, ma ka perlahan-lahan ia me langkah mendekati Dipanala yang bergeser surut. "Kau ternyata akan mati lebih dahulu dari Raden Rudira. Aku ingin me mbunuhmu sebelum kau se mpat melihat sebagian dendammu terbalas. Kau tidak akan melihat Raden Rudira mati" Mandra tertawa semakin keras "Jangan menyesal bahwa kau terjebak oleh kebodohanmu sendiri" "Jangan, jangan" desis Dipanala sa mbil terus me langkah surut menjauhi tubuh Raden Rudira. "Apakah kau akan lari" "Tetapi jangan bunuh aku" "Persetan. Senang sekali melihat kau ketakutan. Ternyata aku lebih senang melihat kau ketakutan daripada melihat Raden Rudira yang pasrah. Gila, anak itu tidak menjadi ketakutan seperti kau. Dan untunglah kau datang dan me mberikan kepuasan kepadaku" Dipanala masih me langkah surut beberapa langkah. Dan Mandrapun mendekatinya selangkah de mi selangkah seperti seekor kucing yang sedang merunduk seekor tikus. Tetapi tiba-tiba Dipanala berhenti. Ia tidak melangkah surut lagi ketika punggungnya sudah melekat pada pagar batu di pinggir jalan.
"Ha, kemana lagi kau akan lari" Apakah kau akan meloncat masuk ke hala man kosong sebe lah?" "Tida k" Dipanala mengge lengkan kepalanya. "Apakah kau sudah pasrah seperti anak itu" Itu tidak menyenangkan. Lebih baik kau ketakutan dan berteriak minta ampun. Aku berharap bahwa tidak ada orang yang akan mendengarnya karena rumah yang terdekat di ujung lorong ini sudah menutup pintunya dan penghuninya sudah tertidur nyenyak. Seandainya lamat-la mat mendengar suara mu, mereka tida k akan berani ke luar rumah di saat-saat yang gawat seperti ini. Apalagi mereka baru saja mendengar suara letusan senjata orang asing itu" "Tida k" berkata Dipana la "Aku tidak akan berteriak dan tidak akan lari. Aku sedang menga mbil jarak dari Raden Rudira agar kau tidak berbuat licik atasnya karena ia me mang sudah tidak berdaya" Mandra terkejut mendengar jawaban itu, sedang Dipanala masih berbicara terus "Aku me mang mendenda mnya Mandra, tetapi aku sama sekali tidak berhasil me maksa diriku sendiri untuk sekedar menonton saja sebuah pengkhianatan yang paling licik dari yang pernah terjadi. Penjilat-penjilat semaca m kau me mang dapat saja berkhianat setiap saat seperti yang kau katakan sendiri, jika ada orang lain yang mele mparkan tulang lebih ba ik dari tuannya, bahkan jika perlu menggigit tuannya yang terdahulu. Itulah yang sangat menyakitkan hatiku, karena dengan demikian kau sudah merendahkan martabatmu sebagai manusia" Mandra yang heran melihat perubahan sikap yang tiba-tiba itu masih belum sepenuhnya menguasai diri, sehingga ia masih belum menjawab. Dan Dipanala pulalah yang berkata "Nah, sekarang kita akan berhadapan sebagai laki-laki. Aku tidak tahu siapakah yang akan mati di antara kita. Tetapi Setidak-tidaknya kau harus menyadari bahwa perbuatanmu itu
sama sekali tida k disukai oleh siapapun. Bahkan barangka li oleh dirimu sendiri" "Persetan" Mandra itu menggera m "Jadi kau akan mencoba me lawan" "Ya. Setelah kau tidak mungkin lagi berbuat licik dengan mengacukan pedang di atas tubuh anak muda itu, ke mudian me ma ksa aku untuk me mbunuh diri" "Kau benar-benar mengenal Mandra?" gila Dipana la. Apakah kau belum
"Justru karena aku mengenalmu baik-baik. Tetapi agaknya kaulah yang belum mengenal Dipanala. Aku berhasil menyela matkan diriku dari tangan e mpat orang yang diupah oleh Raden Rudira " "Jangan sombong. Seseorang telah menolongmu. Tetapi sekarang jangan mengharap pertolongan orang lain" "Aku tida k akan mengharap pertolongan siapapun. Akupun tidak mau menumbuhkan persoalan karena ada seorang saksi bahwa aku telah me mbunuhmu" "Gila" wajah Mandra menjadi merah padam. Pedang yang di tangannya tiba-tiba saja telah teracu lurus mengarah ke dada Ki Dipanala. Tetapi Ki Dipanalapun sudah siap me nghadapi setiap ke mungkinan. Tiba-tiba saja kerisnyapun telah berada di dalam gengga man. Meskipun senjatanya tidak sepanjang pedang Mandra, tetapi kerisnya me mpunyai kelebihan pula. Setiap goresan ujung keris itu tentu akan berakibat maut jika tidak segera mendapat pengobatan yang baik, karena keris itu dilumuri dengan warangan. yang tajam. Sejenak ke mudian, oleh ke marahan yang me munca k, maka Mandrapun segera meloncat menyerang dengan pedangnya yang mematuk lurus kedepan. Namun Ki Dipanala yang berdiri me lekat dinding batu itu sempat menge lak. Dengan
tangkasnya ia meloncat ke samping dan segera bersiaga menerima serangan berikutnya. Mandra yang gagal mengenai lawannya, berhasil mencegah ujung pedangnya me mbentur batu. Bahkan se kaligus ia berputar sambil menggerakkan pedangnya mendatar setinggi la mbung me nyambar perut Ki Dipanala. Tetapi se kali lagi Ki Dipanala berhasil menghindarinya dengan bergeser sambil menarik bagian tubuhnya yang ha mpir saja tersentuh pedang lawannya. Bahkan masih sambil me mbongkokkan badannya, ia mulai menyerang lawannya. Tepat pada saat pedang Mandra berdesing di depan perutnya ia meloncat maju. Senjata yang pendek itu hampir saja berhasil menggores lengan Mandra yang sedang terayun itu, tetapi ternyata Mandrapun tangkas pula sehingga ia berhasil menghindarkan dirinya. Demikianlah sekejap ke mudian keduanya telah terlibat dalam perke lahian yang sengit. Ternyata Mandra tidak berhasil untuk segera me mbinasakan lawannya. Bahkan se makin la ma orang yang sudah mela mpaui masa pertengahan umurnya itu justru tampak menjadi se makin tangkas. Dala m pada itu, Raden Rudira yang terbaring pasrah, merasakan sesuatu yang asing di dala m dirinya. Ia merasa aneh bahwa tiba-tiba Dipanala telah berkelahi melawan Mandra karena orang itu tidak dapat melihat pe mbunuhan terjadi, meskipun Dipanala sadar bahwa Rudira memang pernah akan me mbunuhnya, namun orang itu masih juga berusaha bahkan me mpertaruhkan jiwanya. Namun sejenak ke mudian timbul pula prasangka di dala m dirinya. Raden Rudira yang lemah itu telah dibayangi oleh dosanya sendiri. "Agaknya Dipanala ingin me mbunuh aku dengan tangannya sendiri. Tidak oleh Mandra " katanya di da la m hati. Dan ternyata pikiran itu benar-benar telah menghantuinya.
Mandra yang sedang bertempur dengan sengitnya menjadi semakin marah karena ternyata Dipanala benar-benar tangkas. Kini Mandra harus me nyadari, bahwa Dipanala me mang ma mpu bertahan untuk beberapa lamanya melawan empat orang pera mpok yang mencegatnya di bulak Jati Sari. "Tetapi aku harus berhasil me mbinasakannya" geram Mandra di dala m hatinya. Raden Rudira yang dicengka m oleh kecemasan itupun berusaha untuk bangkit. Tetapi badannya benar-benar telah menjadi le mah sehingga ia hanya dapat beringsut setapak demi setapak. Harapannya tumbuh sedikit ketika ia me lihat kuda Mandra di pinggir ja lan itu. Tetapi untuk mencapai kuda itu, ia me merlukan waktu yang panjang. "Dipana la tentu ingin me mbunuh Mandra, kemudian baru me mbunuhku. Mungkin ia me mpergunakan cara yang lebih mengerikan lagi karena denda mnya kepadaku, sehingga sepeninggal Mandra ia akan le luasa melakukannya" berkata Raden Rudira di dalam hatinya yang dicengkam oleh prasangka dan kece masan. Tetapi ia t idak dapat berbuat apa-apa lagi. Meskipun ia masih juga berusaha beringsut mendekati kuda itu, na mun hasilnya sangat diragukannya sendiri. Apalagi ketika ia melihat justru Mandralah yang se makin la ma menjadi se ma kin terdesak. "Siapapun yang menang, aku akan menga la mi nasib yang jelek sekali" berkata Rudira pula di dala m hatinya. Sepercik penyesalan merayapi jantungnya. Namun kini agaknya telah terlambat. Dala m pada itu, seperti yang dilihat oleh Raden Rudira, sebenarnyalah Mandra yang juga bertubuh raksasa seperti Sura itu mulai terdesak. Meskipun Ki Dipanala bertubuh lebih kecil dan umurnya lebih tua, tetapi ia ternyata masih cukup
lincah. Dengan penuh kesadaran, Ki Dipanala menghindari setiap benturan senjata. Bukan saja karena senjata Mandra lebih besar dan panjang, namun Ki Dipanalapun sadar, bahwa kekuatan Mandra tentu jauh lebih besar. Sehingga dengan demikian Dipanala me musatkan perlawanannya pada kepercayaan terhadap kecepatannya bergerak. Semakin la ma Mandra yang marah itu justru me njadi semakin terdesak. Ki Dipanala me mbuatnya bingung karena ketangkasannya. Setiap kali Mandra yang garang itu kehilangan lawannya. Namun dengan senjatanya yang lebih panjang, maka ia masih tetap berhasil melindungi dirinya. Bahkan setiap kali senjatanya yang panjang itu masih juga berbahaya bagi Ki Dipanala. Ayunan yang keras dan kuat, kadang-kadang me maksa Ki Dippnala untuk berloncatan menjauh, sehingga Mandra masih juga berhasil mendesaknya. Tetapi sejenak ke mudian keris di tangan Ki Dipanala itu bagaikan berubah menjadi berpuluh-puluh jumlahnya, berdesing di sekitarnya, seperti sekelompok lebah yang berterbangan menyerang bersama. Namun sema kin la ma sema kin nyata, bahwa Ki Dipanala yang tua itu me miliki beberapa kelebihan dari Mandra. Ki Dipanala yang menyadari bahwa perkelahian itu akan me ma kan waktu, maka ia tidak menghabiskan segenap tenaganya sekaligus. Dengan de mikian, ma ka ketika Mandra menjadi se makin terengah-engah diganggu oleh pernafasannya, Ki Dipana la masih tetap bertahan. Dan itulah sebabnya maka Mandra se makin la ma me njadi semakin terdesak. Dan bahkan ha mpir kehabisan tenaga. Dala m keadaan yang demikian, Mandra masih sempat me lihat sekilas tubuh Rudira yang bergeser beberapa jengkal dari tempatnya mendekati kudanya yang ada di tepi jalan. Kuda itu sama seka li tida k menghiraukan, apakah yang sedang terjadi beberapa langkah daripadanya.
Tiba-tiba saja timbullah niatnya yang licik. Karena ia tidak me lihat ke mungkinan lagi untuk menga lahkan Ki Dipanala, maka Raden Rudira akan dapat dipakainya sebagai perisai jika ia berhasil menguasainya. Ia menyesal bahwa ia terpancing oleh sikap Ki Dipanala dan melepaskan Raden Rudira. Kini ternyata bahwa Ki Dipanala itu tidak dapat dikalahkannya. Sambil bertempur, perlahan-lahan Mandra bergeser mende kati Raden Rudira yang terbaring le mah. Dengan menghindari setiap serangan Ki Dipanala, dan bahkan sekalisekali dengan gerak yang melingkar ia bergeser selangkah demi selangkah, sehingga Ki Dipanala tida k menjadi curiga. Ki Dipanala hanya menganggap bahwa Mandra sema kin la ma telah semakin terdesak olehnya, sehingga karena itu, maka Ki Dipanalapun berkata "Mandra. Masih ada kese mpatan bagimu untuk menyerah. Jika kau me lepaskan senjatamu, dan me mberikan kedua tanganku untuk diikat, kau akan tetap hidup. Aku akan menyerahkan kau kepada yang berhak, Pangeran Ranakusuma" Mandra tidak segera menjawab. Tetapi tawaran itu telah me mba kar jantungnya. Ia merasa terhina untuk menyerahkan tangannya dan diikat. Terlebih-lebih lagi, jika ia dihadapkan kepada Pangeran Ranakusuma, maka ia tentu akan mendapat hukuman yang sangat berat. Apalagi jika Raden Rudira itu tidak tertolong lagi jiwanya. Meskipun demikian dengan licik ia bertanya "Apakah jaminanmu bahwa sebaiknya aku menyerah?" "Aku tida k akan me mbunuhmu " "Persetan" Mandra menyerang dengan dahsyatnya. Namun Ki Dipanala berhasil menghindar dan bahkan me mba las serangan itu dengan sengitnya pula. Dan memang itulah yang ditunggu oleh Mandra. Dengan loncatan, panjang ia menghindarinya seakan-akan ia benar-benar terdesak tanpa dapat berbuat apa-apa. Tetapi dengan demikian ia menjadi semakin de kat dengan Raden Rudira.
"Sudah waktunya" katanya di dalam hati "Aku dapat mencapainya dengan beberapa loncatan, dan mengacukan pedang ini di dadanya. Sejenak Mandra masih me ma ncing perhatian Ki Dipanala, namun ketika terbuka kesempatan baginya, maka dengan serta merta ia meloncat meninggalkan gelanggang perkelahian itu langsung ke tempat Raden Rudira terbaring. Ki Dipanala terkejut melihat hal itu. Ia me mang tidak menyangka bahwa Mandra akan berbuat begitu liciknya. Namun bagaimanapun juga itu adalah suatu kelengahan baginya, karena ialah yang telah me mulai me mancing Mandra untuk meninggalkan Raden Rudira. Ternyata kemudian Mandra me mpergunakan cara yang sebaliknya. Dala m waktu yang singkat, Ki Dipana la harus mene mukan cara untuk menyela matkan Rudira. Jika sekali lagi Mandra berhasil mencapai anak muda yang malang itu, maka tentu tidak akan ada kesempatan lagi baginya untuk me mbebaskannya. Karena itu, di dala m kesulitan itu, Ki Dipanala tidak dapat berpikir panjang. Dengan sertamerta ia me le mparkan kerisnya me luncur mengejar Mandra. Sejenak ke mudian Ki Dipanala me ma lingkan wajahnya. Ia mendengar Mandra mengerang tertahan, ketika kerisnya hinggap di punggung orang itu. Tetapi Ki Dipanala tidak
me lihatnya ketika Mandra itu jatuh terguling. Yang didengarnya hanyalah sebuah umpatan pendek. Na mun ke mudian sepi. Sepi sekali. Ki Dipana la menarik nafas dala m-da la m. Kini ia me langkah mende kati Mandra yang sudah menjadi mayat. Dengan dada yang berdebar-debar Ki Dipanala mendekatinya dan mencabut kerisnya dari punggung orang itu. "Aku telah me mbunuh lagi" desis Ki Dipanala perlahanlahan "tanpa aku kehendaki, aku telah me mbunuh beberapa orang tidak di peperangan" Sejenak Ki Dipanala berdiri me matung. Na mun sejenak ke mudian sa mbil menjinjing kerisnya yang berlumuran darah ia berjalan perlahan-lahan mende kati Rudira yang masih saja berusaha beringsut mende kati kuda Mandra yang terikat di pinggir jalan. Dala m keremangan mala m Rudira melihat Ki Dipanala me langkah setapak demi setapak mendekatinya dengan keris telanjang di tangannya. Langkah itu terasa bagaikan hentakan yang dahsyat sekali me mukul dadanya. Setiap langkah rasarasanya sebuah tulang iganya menjadi patah. Sejenak kemudian Ki Dipanala itu berdiri tegak di sisi tubuh Raden Rudira yang terbaring. Rasa-rasanya Ki Dipanala yang tidak sebesar Mandra itu bagaikan seorang raksasa yang berdiri tegak dengan kokohnya. Kakinya yang kuat itu siap menginjak dadanya sehingga tulang belulangnya akan remuk menjadi debu. Sejenak suasana menjadi tegang. Namun sejenak ke mudian, ha mpir di luar dugaannya, Raden Rudira melihat Ki Dipanala itu berjongkok di sa mpingnya setelah menyarungkan kerisnya. Bahkan ketika ia mendengar Ki Dipanala itu berkata, suaranya tidak sekeras guruh yang menyambar telinganya. Kalanya "Luka Raden cukup parah. Sebaiknya Raden segera ke mbali ke Ranakusuman"
Rudira tidak segera percaya kepada pendengarannya. Bahkan kepalanya mula i agak pening dan pandangannya berkunang-kunang. "Apakah aku sudah dipengaruhi oleh khayalan-khayalan yang menyesatkan" katanya di dala m hati. Namun ia mendengar sekali lagi Dipanala berkata "Marilah Raden, aku tolong Raden naik ke punggung kuda Mandra Kuda Raden sendiri agaknya telah berlari aga k jauh ketika Raden terjatuh" Raden Rudira masih termangu-mangu. Na mun Dipanala tidak menunggu darah Raden Rudira sema kin banyak menga lir. Bahkan ke mudian Dipanala itu pulalah yang menyarankan agar Raden Rudira me lepas saja ikat kepalanya untuk menahan darahnya dari luka oleh pe luru perwira kumpeni itu. Dengant tertatih-tatih Raden Rudira dipapah oleh Ki Dipanala dan ditolongnya naik ke punggung kuda Mandra. "Hati-hatilah Raden. Tunggulah di sini sebentar. Aku akan menga mbil kuda ku" Ki Dipanalapun ke mudian menga mbil kudanya yang dise mbunyikannya. Kemudian sambil me mbawa mayat Mandra, Ki Dipana lapun naik bersama dengan Raden Rudira. Sedang mayat Mandra itu diletakkannya menyilang di punggung kudanya sendiri. "Aku akan menjaga Raden" berkata Ki Dipanala. Raden Rudira sendiri tidak mengerti, perasaan apakah yang berkecamuk di da la m dadanya. Bahkan ia masih saja dibayangi oleh prasangka, bahwa tiba-tiba saja Dipanala itu akan menusuk la mbungnya dari be lakang. Tetapi hal itu ternyata tidak terjadi. Dengan tanpa menga la mi gangguan di perjalanan merekapun ke mudian mende kati regol Ranakusuman.
Ketika regol itu terbuka, ma ka para penjaganya menjadi sangat terkejut karenanya. Mereka melihat Raden Rudira yang le mah dilayani oleh Ki Dipana la, sedang di punggung kuda yang lain mere ka melihat mayat Mandra tergantung menyilang. Sejenak para penjaga regol itu menjadi termangu-mangu. Namun sejenak ke mudian pe mimpin peronda itu dengan serta merta mengacukan tombaknya ke dada Ki Dipanala sambil berkata "Ki Dipanala, apakah yang sudah kau lakukan" Apakah kau me mbunuh Mandra dan me luka i Raden Rudira" Sebelum Ki Dipanala menjawab, maka beberapa orang pengawal yang lain telah mengacukan senjata mereka pula menge lilingi Dipanala yang masih duduk di punggung kudanya. Sejenak Ki Dipanala menjadi tegang. Bahkan iapun menjadi cemas. Jika Raden Rudira yang sudah akan me mbunuhnya itu ingkar, dengan sepatah kata saja, anak muda itu akan dapat me mbunuhnya di regol itu dengan me minja m tangan dan senjata para penjaganya. Karena itu, maka dadanyapun segera bergolak. Dipandanginya para penjaga itu seorang demi seorang. Mereka tentu pernah mendengar, bahwa Raden Rudira sangat me mbencinya. Sejenak mereka yang ada di regol itu dicengka m ketegangan. Senjata para penjaga regol itu benar-benar sudah siap mene mbus tubuh Ki Dipana la jika mereka mendengar perintah Raden Rudira, karena para penjaga itu akan dapat menyebut beberapa alasan kenapa mere ka mela kukannya. "Keputusan terakhir dari persoalan ini ada pada Raden Rudira" berkata Ki Dipanala di da la m hatinya. Ia sudah tidak sempat berbuat apa-apa lagi. Mengancam Raden Rudirapun ia sudah tidak dapat melakukannya, karena begitu tangannya
bergerak mencabut kerisnya, maka tomba k para penjaga itu pasti sudah mene mbus tubuhnya. Sejenak Ki Dipanala menunggu dengan tegangnya. Dadanya bagaikan berhenti berdetak ketika ia merasakan gerak Raden Rudira yang perlahan-lahan mengangkat kepalanya yang le mah. "Ka mi menunggu perintah Raden" berkata pemimpin penjaga itu. Nafas Raden Rudira menjadi se makin terengah-engah. Tetapi ia masih mencoba berkata "Minggir, minggir se mua. Jangan menahan kami lebih la ma lagi, supaya aku tidak terlanjur mati sebelum aku bertemu dengan ayahanda" Para penjaga regol itu terkejut. Mereka kurang yakin akan pendengarannya, sehingga karena itulah mereka menjadi ragu-ragu. Namun sekali lagi mereka mendengar suara Raden Rudira yang dalam "Minggir, minggir sebelum aku mat i" Para penjaga regol itupun segera bergeser surut dengan wajah yang tegang. Namun mereka tidak dapat berbuat lain. Mereka harus me mbiarkan Ki Dipanala me masuki hala man rumah itu sa mbil menjaga tubuh Raden Rudira yang le mah, sedang di belakangnya seekor kuda yang terikat pada pelana kuda Dipanala itu mengikut inya sambil me mbawa mayat Mandra. Beberapa langkah dari para penjaga itu Ki Dipanala berdesis "Terima kasih Raden" Rudira menarik nafasnya yang terasa semakin sendat "Kenapa kau yang mengucapkan terima kasih?" Ki Dipana la tidak menyahut. Sejenak merekapun telah sa mpai ke pintu sa mping. Dengan hati-hati Ki Dipanala turun dari kudanya lebih dahulu,
baru kemudian ia mengangkat tubuh Raden Rudira yang semakin le mah. "Buka pintu itu" berkata Ki Dipanala terhadap seorang pelayan yang menjadi termangu-mangu. Pelayan itupun ke mudian dengan gugup me mbuka pintu samping ke mudian mengikuti Ki Dipanala masuk ke dala m dan me mbaringkan Raden Rudira di pe mbaringannya. "Panggil seorang tabib yang sering merawat Pangeran Ranakusuma " berkata Ki Dipanala kepada beberapa orang pelayan dengan berkerumun di luar pintu "Cepat" Para pelayan itu termangu-mangu, namun ke mudian salah seorang meloncat ke punggung kuda yang baru saja dipergunakan oleh Ki Dipanala bersa ma Raden Rudira. Ketika di regol hala man para penjaga menghentikannya, pelayan itu hanya berteriak sambil berpacu "Aku harus segera me manggil seorang dukun yang pa ling pandai di Surakarta" Dala m pada itu, di dala m biliknya Raden Rudira berbaring dengan le mahnya. Ketika Dipanala meneteskan air di mulutnya, Rudira menarik nafas dala m-dala m. "Terima kasih" desisnya. "Sebentar lagi tabib itu akan datang" desis Ki Dipanala. Raden Rudira mengangguk kecil. Dari se la-sela bibirnya terdengar ia bertanya "Apakah ayahanda belum datang?" Ki Dipanala tidak dapat menjawab. Ketika ia berpaling kepada pelayan yang ada di belakangnya, maka pelayan itulah yang menjawab "Belum Raden. Ayahanda dan ibunda masih belum pulang" "Persetan dengan ibunda " tiba-tiba saja Raden Rudira menggera m. Wajahnya yang pucat itu menegang sejenak. Namun ia tidak dapat bangkit dari pe mbaringannya.
Pelayan yang mendengarnya menjadi heran. Kenapa tibatiba saja Raden Rudira nampaknya marah kepada ibundanya, Raden Ayu Galihwarit. "Paman Dipanala" desis Rudira ke mudian "Apakah pa man dapat me merintahkan seseorang menyusul ayahanda di istana. Aku ingin segera bertemu dan mengatakan sesuatu sebelum aku mati." "Tida k. Raden tidak akan mati. Raden akan sembuh karena sebentar lagi tabib itu akan datang" "Panggillah ayahanda" desisnya. Dipanala menjadi ragu-ragu sejenak. Namun ke mudian ia menganggukkan kepalanya sa mbil me njawab "Baiklah Raden" Dipanalapun ke mudian me merintahkan salah seorang abdi untuk pergi menyusul Pangeran Ranakusuma ke istana Kangjeng Susuhunan. "Hati-hati1ah. Sa mpaikan persoalannya dengan sebaikbaiknya. Jangan mengejutkan Pangeran Ranakusuma dan jangan me mbuatnya menjadi bingung" pesan Ki Dipanala kepada abdi yang akan menyusul Pangeran Ranakusuma itu. Dala m pada itu, di luar, kawan-kawan Mandra sedang merubung mayat orang bertubuh raksasa itu. Mereka raguragu untuk me nga mbil mayat itu dari atas punggung kuda. Namun salah seorang dari mereka berkata "Marilah kita bawa masuk ke dala m bilik be lakang" "Tetapi, apakah dengan de mikian ka mi tidak berbuat kesalahan?" Mereka menjadi ragu-ragu sejenak, lalu "Kita bertanya dahulu kepada Ki Dipanala yang me mbawanya pulang" "Masuklah, dan bertanyalah kepadanya. Ia berada di dalam bilik Raden Rudira"
Mereka menjadi ragu-ragu sejenak. Mereka sama sekali tidak dapat me mbayangkan apa yang sebenarnya sudah terjadi. Kawan-kawan Mandra itupun menganggap bahwa Raden Rudira dan Mandra adalah orang yang sangat membenci Ki Dipanala meskipun mereka tidak tahu sebabnya. Dan kini mereka me lihat justru Ki Dipanala me mbawa Raden Rudira yang parah dan mayat Mandra. Pada umumnya mereka me mpunyai dugaan yang sama. Ki Dipanala telah me mbunuh Mandra dan me luka i Raden Rudira. Tetapi mereka masih juga menyangsikannya. Apakah mungkin Ki Dipanala me lawan kedua orang itu sekaligus. "Ki Dipanala ma mpu berkelahi me lawan beberapa orang perampok sekaligus" desis sa lah seorang dari mereka. Kawan-kawan Mandra yang lain mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya "Memang mungkin sekali Ki Dipanala telah me mbunuhnya meskipun barangkali ia berbuat curang. Kemudian melukai Raden Rudira seka ligus" "Jika de mikian buat apa Dipanala me mbawa mereka ke mari" Kenapa keduanya tidak ditinggalkan saja dimanapun juga?" "Dima napun juga akibatnya tidak berbeda. Raden Rudira itu masih dapat menyebut na manya" "Tentu ia akan dibunuhnya sama sekali" Kawan-kawannya tidak menyahut. Keragu-raguan yang tajam telah mencengka m hati mereka. Sementara itu, seorang pelayan melangkah keluar dari pintu samping. Ke mudian pelayan itupun mene mui kawankawan Mandra yang sedang berkerumun.
Sebelum pelayan itu mengatakan sesuatu, kawan-kawan Mandra itupun telah mendahului bertanya "Apakah yang sebelumnya telah terjadi?" Pelayan itu menggelengkan kepalanya. Jawabnya "Tidak seorangpun yang tahu. Raden Rudira masih sangat le mah. Ia tidak mau berbicara tentang apapun juga, selain minta agar Pangeran Ranakusuma dije mput" "Lalu, bagaimana dengan mayat Mandra ini?" bertanya salah seorang kawannya" "Menurut Ki Dipanala, kita dimintanya untuk mengangkat mayat itu dan me mbawanya ke da la m bilik di ruang bela kang" "Kenapa Dipanala, bukan Raden Rudira?" "Raden Rudira ha mpir t idak sadar" "Persetan dengan Dipanala. Apakah bukan Dipanala yang telah berkhianat?" "Ka mi t idak tahu. Ka mi menunggu perintahnya. Tetapi Raden Rudira tidak berkata apapun juga. Bahkan seakan-akan ia hanya mau berbicara dengan Ki Dipana la saja" "Aneh" salah seorang berdesis. Na mun t iba-tiba katanya "Cepat, masuklah. Awasi Dipanala itu. Mungkin dengan dia mdia m ia berusaha me mbunuh Raden Rudira yang luka itu untuk menghilangkan jejak kejahatan dan pengkhianatannya" Abdi itu menjadi termangu-mangu. Namun ke mudian katanya "Baiklah. Aku akan menungguinya" Ketika pelayan itu masuk ke mbali ke dala m, maka kawankawan Mandrapun mengangkat mayat itu dan me mbawanya ke belakang. "Jika benar Dipanala telah me mbunuhnya, maka ia pasti akan mendapat hukuma n yang setimpal. Sebenarnya seisi istana ini sudah me mbencinya. Tetapi aku tidak tahu, bahwa
hanya karena kebaikan hati sajalah maka Pangeran Ranakusuma dan Raden Ayu Galih Warit tidak mengusirnya" "Aku ingin, Dipanala itu diserahkan kepadaku" "Kepada kita" "Ya, kepada kita. Kita akan me ncincangnya sa mpai lumat." "Tida k dicincang. Tetapi kita akan me nghukum picis" "Ya hukum picis. Kita harus mendapatkan jeruk dan gara m" "Disapu dengan rotan. Jika punggungnya sudah babak belur, kita mandikan orang itu dengan air jeruk dan garam. Itu lebih baik dari hukum picis. Dengan hukuman picis ia akan segera mati karena darah yang meleleh, tetapi dengan hukuman ca mbuk dengan rotan, kita akan dapat me me liharanya untuk e mpat atau lima hari" "Se muanya terserah kepada Pangeran berkata salah seorang dari mere ka. Ranakusuma"
Kawan-kawannyapun ke mudian terdia m. Mereka duduk menge lilingi mayat Mandra yang terbujur di atas pembaringan bambu yang besar. "Luka Mandra adalah luka yang mematikan" desis salah seorang dari mereka "Justru di punggung. Tentu suatu kecurangan. Jika Ki Dipanala itu berhadapan muka, maka ia tidak akan dapat me mbunuhnya. Mandra adalah orang yang luar biasa" Yang lain mengangguk-angguk. Na mun tampa klah wajah di dalam, bilik itu dipenuhi oleh pertanyaan yang tidak dapat mereka jawab. "Kenapa Mandra mati dengan luka di punggungnya?" Dala m pada itu, keadaan Raden Rudira menjadi se makin gawat. Meskipun Ki Dipana la sudah berusaha menahan darah yang keluar dari luka dilengannya, na mun Rudira sudah benarbenar lemah. Punggungnya rasa-rasanya telah patah ketika ia terpelanting dari kudanya dan jatuh di jalan yang keras. Kecepatan lari kudanya telah mena mbah lukanya sema kin parah. Dengan gelisah Ki Dipanala me nunggu ana k muda yang terbujur dia m itu. Sekali-seka li terdengar erang tertahan. Namun yang mendengarnya seakan-akan ikut merasakan betapa sakit luka-lukanya. Beberapa orang ikut menungguinya. Beberapa di antara merekapun menaruh curiga kepada Ki Dipana la. Apalagi abdi yang baru saja berbicara dengan kawan-kawan Mandra. Ia berada di paling depan sambil mengawasi Ki Dipanala dengan tanpa berkedip. Ki Dipanalapun merasa betapa sorot mata orang-orang di sekelilingnya itu baga ikan menusuk jantung Na mun ia masih tetap di tempatnya. Ia hanya mengharap agar Raden Rudira masih tetap sadar sehingga ia akan dapat mengatakan apa yang terjadi sebenarnya. Karena itu, maka dengan tekun Ki Dipanala me layaninya. Menitikkan air setetes demi setetes, dan membasahi dahi anak muda yang mula i menjadi panas itu. Dengan gelisah orang-orang di da la m bilik dan yang berkerumun di luar pintu itu menunggu kedatangan seseorang yang akan dapat menyelamatkan Raden Rudira yang nampaknya menjadi se makin parah. Jika Raden Rudira itu tidak tertolong lagi, maka tidak akan ada keterangan yang dapat dipercaya. Karena pertimbangan itu pulalah Ki Dipana lapun masih tetap berdiam diri. Ia merasa bahwa kata-katanya tentu tidak akan dipercaya, sehingga karena itu, iapun menggantungkan diri kepada kejujuran Raden Rudira.
"Mudah-mudahan Raden Rudira bersikap seperti ketika ia berada di regol halaman" berkata Ki Dipanala di dala m hatinya. Namun dala m pada itu, tabib yang ditunggu-tunggu itupun masih juga be lum datang, sehingga rasa-rasanya keadaan Raden Rudira menjadi se makin gawat. Ketika di ha la man terdengar derap seekor kuda, maka semua orang yang berada di dala m bilik itu mengangkat wajahnya. Bahkan salah seorang berdesis "Tentu tabib itu datang" Ki Dipanalapun menjadi berdebar-debar. Tanpa sesadarnya ia bergeser ke pintu. Na mun pelayan yang mendapat pesan dari kawan-kawan Mandra itupun segera bertanya "Kau mau ke mana Ki Dipanala?" Dipanala me mandang pe layan itu sejenak, lalu jawabnya "Aku tida k akan pergi" "Kau harus tetap di sini. Kau harus me mpertanggung jawabkan apa yang telah terjadi di sini " Ki Dipanala mengerutkan keningnya. Dipandanginya pelayan itu dengan tajamnya. Namun ia dapat mengerti, bahwa kecurigaan itu tida k hanya hinggap pada seorang itu saja. Karena itu, untuk tidak menimbulkan persoalanpersoalan baru, Ki Dipanala tidak menjawab. Bahkan ke mudian ia bergeser ke mbali mende kati Raden Rudira. Namun sekali lagi pe layan itu berkata "Jangan sentuh Raden Rudira" Terasa sesuatu berdesir di dada Ki Dipana la. Tetapi seperti tidak mendengar kata-kata itu, Ki Dipanala me langkah mende kati Raden Rudira dan meraba dahinya. "Panas sekali" desisnya. Terdengar Raden Rudira mengerang. Na mun ia masih sempat berdesis "Air, air"
Tanpa menghiraukan kecurigaan orang lain, Ki Dipanala meneteskan setitik air di bibir Raden Rudira Pelayan yang berdiri didekat Raden Rudira terbaring itu sama sekali tida k dapat berbuat apa-apa, karena iapun tahu bahwa Ki Dipanala me mpunyai pengaruh yang kuat pada Pangeran Ranakusuma betapapun orang itu dibencinya. Sesaat kemudian, pelayan yang harus me manggil tabib itupun bergegas masuk. Dengan kata-kata yang memburu di antara nafasnya ia berkata "Tabib itu, tabib itu, sebentar lagi. Sekarang ia sedang merawat seseorang di rumahnya. Seorang yang terjatuh dari pohon kelapa" "Tetapi bukankah kau sudah mengatakan, bahwa yang me merlukannya adalah putera Pangeran Ranakusuma?" bertanya Ki Dipanala. "Ya, tetapi orang yang terjatuh itu sudah ha mpir meninggal, sehingga ia me merlukan perawatan segera" "Seperti juga Raden Rudira" "Ia akan segera datang, jika ia sudah selesai. Ia tidak dapat meninggalkan seseorang yang hampir mati tetapi masih mungkin mendapatkan pertolongan" Ki Dipanala hanya menarik nafat dalam-dala m. Ia tidak akan dapat memaksa tabib itu karena sedang menghadapi orang yang sedang berjuang melawan maut. Yang dapat dilakukannya hanyalah sekedar mengharap kehadirannya segera setelah pekerjaan itu selesai. Ternyata orang-orang yang ada di Ranakusuman itu tidak perlu menunggu terlalu la ma. Sejenak kemudian mereka mendengar derap seekor kuda pula me masuki hala man istana itu. "Lihat, siapakah orang itu" perintah Ki Dipanala tanpa menghiraukan perasaan para abdi Ranakusuman itu terhadapnya.
Seseorang segera berlari-lari ke luar. Dan rasa-rasanya jantungnya yang hampir berhenti itu telah berdegup kembali. Yang datang itu tabib yang ditunggunya. Dengan tergesa-gesa tabib yang masih agak muda itupun segera masuk ke bilik te mpat Raden Rudira dibaringkan. Ketika tabib itu me mbuka ikat kepala Raden Rudira yang di pergunakan untuk menyumbat lukanya, maka tabib itupun terkejut Dengan nada yang datar ia berkata "Luka oleh peluru" "Ya" sahut Ki Dipanala "luka itu oleh peluru" Para pelayanpun terkejut pula karenanya. Mereka sama sekali tidak menyangka, bahwa luka Raden Rudira itu adalah bekas tertusuk peluru. Bukan oleh senjata taja m. "Tetapi" berkata Ki Dipanala ke mudian "yang tidak kalah parahnya adalah punggung Raden Rudira karena ia terjatuh dari kudanya" Tabib itu mengangguk-angguk. Ke mudian dia mbilnya reramuan obat-obatan dari da la m kantong yang dibawanya. "Air" katanya "reramuan itu harus dicairkan dengan air sedikit, ke mudian harus diusahakan agar reramuan ini dapat diminum untuk mena mbah daya tahannya, sementara aku akan mengobati lukanya dan barangkali perlu merawat punggungnya" Seorang abdipun ke mudian menga mbil se mangkok air yang ke mudian dituangkan ke dalam mangkok yang lain untuk menca irkan rera muan obat yang dibawa oleh tabib itu. Untunglah bahwa Raden Rudira masih dapat menelan minuman itu, meskipun dengan agak kesulitan. Kemudian dengan cekatan tabib itu mengobati luka Raden Rudira yang tergores peluru. "Untunglah bahwa pe luru itu t idak mengera m di dala m tubuhnya" desis tabib itu.
Ki Dipanala tidak menyahut. Hanya kepalanya sajalah yang terangguk-angguk. Dala m pada itu, selagi tabib itu dengan telit i mengobati luka-luka Raden Rudira, baik karena peluru maupun karena goresan tanah yang keras, terdengar roda-roda kereta berderap di hala man. Beberapa orang pelayan segera bergeser pergi meninggalkan bilik itu. Yang datang dengan kereta itu tentu salah satu dari kedua orang tua Raden Rudira, sehingga dengan de mikian, jika mereka masih berkumpul di bilik itu, tentu mereka akan mendapat marah. Yang tingga l di dala m bilik itu tinggallah Ki Dipanala, tabib yang sedang mengobati Raden Rudira itu, dan seorang pelayan yang masih saja tetap mencurigai Ki Dipanala meskipun karena luka di tubuh Raden Rudira itu adalah luka peluru, maka kecurigaannya itupun menjadi kabur. Ternyata yang datang dengan tergesa-gesa itu adalah Pangeran Ranakusuma yang sudah mendapat berita tentang puteranya yang terluka. Namun berita yang didengarnya dari seorang abdinya itu masih belum jelas, sehingga justru ia menjadi agak gugup. Dengan tergesa-gesa ia me masuki pintu depan yang masih terbuka langsung masuk ke dala m bilik Raden Rudira. Ketika dilihatnya Ki Dipanala ada di dala m bilik itu, ma ka Pangeran Ranakusumapun me mandanginya dengan tajamnya. Dengan suara yang berat iapun ke mudian berkata "Apa yang terjadi Dipanala. Berkatalah berterus terang" Ki Dipanala menundukkan kepalanya dala m-dala m. Katanya "Jika Raden Rudira sudah agak tenang dan badannya menjadi agak kuat, sebaiknya Raden Rudira sajalah yang me mberikan keterangan dengan singkat. Kemudian aku tinggal menje laskan persoalannya" "Kaukah yang melakukannya?"
"Ampun Pangeran. Sudah ha mba katakan, sebaiknya biarlah Raden Rudira saja yang mengatakannya nanti. Tetapi hamba mohon tida k seorang abdipun yang boleh mendengarnya" Pangeran Ranakusuma mengerutkan keningnya. Namun ke mudian ia me mandang abdi yang masih ada di dala m bilik itu sa mbil berkata "Tinggalkan bilik ini" Pelayan itu menjadi ragu-ragu. Namun iapun me langkah keluar dari bilik itu. Ketika ia berhenti di muka pintu, maka Pangeran Ranakusuma me mbentaknya "Cepat. Jangan ragu-ragu. Jika Dipanala berbuat gila aku dapat me mbunuhnya" Pelayan itupun kemudian dengan tergesa-gesa meninggalkan bilik itu. Sebenarnyalah bahwa Pangeran Ranakusuma adalah seorang prajurit yang baik, sehingga Kangjeng Susuhunan me mberinya anugerah nama Ranakusuma. Bunga di peperangan. "Nah, apa yang terjadi, katakan" Pangeran Ranakusuma Menjadi tidak sabar lagi. Ki Dipanala me mandang tabib itu sejenak, lalu "Apakah Raden Rudira boleh berbicara" "Sekedarnya saja" jawab tabib itu. Ki Dipanalapun ke mudian berlutut di sa mping tubuh Raden Rudira yang terbaring diam. Perlahan-lahan ia berbisik di telinganya "Raden, apakah Raden dapat berbicara beberapa patah kata saja dengan ayahanda" Raden Rudira mendengar dengan je las kata-kata itu. Perlahan-lahan ia me mbuka matanya yang lemah, yang pelupuknya bagaikan telah me lekat. Meskipun agak kabur ia masih dapat melihat, bahwa ayahandanya berdiri di sampingnya.
"Ayahanda" suara Raden Rudira perlahan se kali. "Ya Rudira, di sini ayahandamu" "Ayah" suaranya sangat lemah "dengarkan ayah" "Ya, ya. Aku mendengar Rudira" sahut ayahandanya sambil mende katkan telinganya "Kenapa kau terluka?" "Aku ditemba k, ayahanda" "Dite mbak" Siapakah yang mene mba kmu?" "Mandra telah berkhianat. Biarlah pa man mengatakannya. Percayalah kepadanya ayah" Dipanala
Wajah Pangeran Ranakusuma menjadi tegang. Ketika terpandang wajah tabib yang merawat Raden Rudira itu, tabib itu mengangguk sambil berkata "Ya Pangeran. Lukanya adalah luka pe luru" "Siapakah yang sudah berbuat gila itu?" Tetapi Raden Rudira sudah me mejamkan matanya kembali. Tubuhnya rasa-rasanya menjadi se ma kin le mah. "Bagaimana dengan anak itu?" bertanya Ranakusuma kepada tabib yang merawatnya. "Ha mba sedang berusaha Pangeran" "Tetapi, maksudku, apakah masih ada harapan?" Tabib itu termangu-mangu sejenak. Lalu katanya "Marilah kita bersama-sa ma berdoa. Mudah-mudahan Tuhan Yang Maha Penyayang mengabulkan doa kita" Dada Pangeran Ranakusuma menjadi berdebaran. Jawaban tabib yang masih muda itu benar-benar me mbuatnya gelisah dan ce mas. Ia kenal tabib itu dengan baik, karena setiap ka li ia me merlukan maka dipanggilnya tabib itu bagi seluruh keluarganya. Kini tabib yang dikenalnya sebagai seorang yang pandai itu menjawab dengan penuh keragu-raguan. Pangeran
"Ha mba sudah me mberikan obat yang paling baik yang ada pada hamba Pangeran. Hambapun telah mengobati luka peluru itu dan me mberikan para m pada punggung Raden Rudira yang agaknya cidera ketika ia terjatuh dari kudanya" Raden Rudira mencoba bergeser sedikit, tetapi yang ke mudian terdengar adalah rint ihannya yang tertahan. "Punggung itu sa kit seka li" berkata tabib itu. Pangeran Ranakusuma me mandang Ki Dipanala sejenak, lalu katanya "Kau dapat menceriterakannya?" "Ha mba Pangeran. Jika Pangeran tidak berkeberatan, hamba dapat mengatakan apa yang telah terjadi atas Raden Rudira" Pangeran Ranakusuma terdiam sejenak. Dipandanginya wajah Dipanala yang tampak bersungguh-sungguh dan sejenak kemudian ditatapnya wajah Rudira yang pucat dengan mata yang terpejam. Dengan suara yang dalam, ma ka Pangeran Ranakusumapun ke mudian berkata "Katakanlah Dipanala. Aku kira ka li ini aku harus me mpercayaimu seperti yang dikatakan oleh Rudira " "Terima kasih Pangeran. Hamba akan menceriterakan apa yang hamba ketahui tanpa mengurangi dan tanpa mena mbahinya. Memang sama sekali bukan maksud ha mba untuk selalu berusaha mengetahui segala maca m rahasia yang ada di istana Ranakusuman ini. Tetapi agaknya me mang nasib hamba yang tida k menguntungkan jika pada suatu ketika hamba mengetahui beberapa maca m rahasia tanpa hamba kehendaki sendiri" Pangeran Ranakusuma menarik nafas dalam-dala m. Ketika terpandang olehnya tabib yang menunggu Raden Rudira, maka katanya ke mudian kepada Dipana la "Biarlah kita
berbicara di ruang yang lain, agar tidak mengganggu Rudira yang sedang beristirahat" Ki Dipana la menarik nafas. Ia menyadari bahwa di ruang itu masih ada orang lain. Karena itu maka katanya "Baiklah Pangeran. Hamba menurut saja perintah Pangeran" Merekapun ke mudian keluar dari bilik itu dan pergi ke bilik Pangeran Ranakusuma. Setelah mereka yakin bahwa tidak ada orang lain yang mendengarnya, maka berkatalah Pangeran Ranakusuma "Katakanlah. Apapun yang terjadi. Jangan hiraukan perasaanku. Aku akan mencoba untuk melihat kenyataan dengan hati yang tenang. Karena kenyataanku sendiri seperti yang kau ketahui, bukannya kenyataan yang dapat dibanggakan" Ki Dipana la menundukkan kepalanya dala m-dala m. "Aku tahu, bahwa kau ragu-ragu. Tetapi kali ini seperti aku mencoba untuk me mpercayaimu, kaupun sebaiknya mencoba percaya kepadaku" "Ya Pangeran. Ha mba akan mencobanya" "Nah, katakanlah. Aku tidak akan marah. Aku tidak akan mendenda m dan segala maca m perasaan terhadapmu" "Ampun Pangeran. Yang pernah ha mba a la mi, meskipun hamba sudah me ncoba menyimpan rahasia seseorang sebaikbaiknya, namun nyawa ha mba masih juga terancam" Pangeran Ranakusuma me narik nafas dalam-da la m. Katanya "Apakah kau juga menganggap aku terlibat dala m, usaha me mbunuhmu?" Ki Dipanala menggelengkan kepalanya "Tidak Pangeran, aku tahu bahwa Pangeran tidak terlibat dalam usaha pembunuhan itu" "Nah, sekarang, katakan apa yang kau ketahui"
Ki Dipanala menarik nafas dalam-da la m. Kemudian katanya "Sekali lagi ha mba ingin menjelaskan bahwa ha mba sama sekali t idak berma ksud untuk mengetahui rahasia orang lain sebanyak-banyaknya, apalagi dengan tujuan yang kurang baik. untuk me meras misalnya" "Aku percaya, seperti yang dikatakan oleh Rudira. Karena aku tahu sikap Rudira sebelumnya terhadapmu" "Terima kasih Pangeran. Jika hamba mendapat jaminan bahwa tidak a kan timbul salah paha m, ma ka biarlah ha mba menceriterakannya" Demikianlah ma ka Ki Dipanala mencoba meneeriterakan dengan singkat, apa saja yang diketahuinya. Sejak ia tidak sengaja mendengar rencana Raden Rudira dan Mandra. Kemudian dorongan perasaannya untuk mengikuti keduanya dan menunggui pertemuan Raden Ayu Galihwarit dengan para perwira kumpeni dan beberapa orang bangsawan yang lain. Kemudian diceriterakan pula apa yang sebenarnya sudah dilakukan oleh Raden Ayu Galih Warit, sehingga me maksa Raden Rudira bertindak. Apalagi Mandra yang berkhianat ternyata sudah menyiapkan rencana yang sebaik-baiknya. Tanpa ada yang dilampauinya Ki Dipanala menceriterakannya, sampai pada akhirnya, ia me mbawa Raden Rudira dan mayat Mandra kemba li ke Ranakusuman. Ketika Ki Dipanala mengakhiri ceritanya, dilihatnya Pangeran Ranakusuma dengan hati yang pedih menutup
wajahnya dengan kedua belah tangannya. Seakan-akan ia tidak berani me lihat gambaran yang jelas dari peristiwa yang diceritekan oleh Ki Dipanala tanpa ada yang terla mpaui. Ki Dipanala me mandang Pangeran Ranakusuma itu sejenak, kemudian sa mbil menarik nafas dalam-dala m ia berkata "Kemudian segalanya terserah kepada tuan. Hamba akan melakukan segala perintah" Pangeran Ranakusuma me narik nafas dalam-da la m. Katanya dengan nada yang dalam "Terima kasih Dipanala. Aku percaya semua yang kau katakan. Tetapi dengan de mikian aku justru menjadi yakin, bahwa kau mengetahui rahasia isteriku bukan baru kali ini saja. Itulah sebabnya ia berusaha me mbunuhmu dengan me mpera lat anak La ki-lakinya itu." Ki Dipanala menganggukkan kepalanya "Ampun Pangeran Sebenarnyalah demikian" Pangeran Ranakusuma mengangguk-angguk pula. Katanya "Aku tidak ingin mendengar rahasia yang kau ketahui sebelumnya, karena aku sudah dapat meraba apa yang terjadi. Hal itu tentu hanya akan mena mbah luka di hati saja" Ki Dipana la tidak menjawab. "Terima kasih" desis Pangeran Ranakusuma ke mudian "tinggalkan aku sendiri" Ki Dipanalapun ke mudian mohon diri, keluar dari dala m bilik Pangeran Ranakusuma itu. Sepeninggal Ki Dipanala, ma ka Pangeran Ranakusuma itupun duduk dia m me matung. Seakan-akan terbayang dengan jelas, apa yang sedang terjadi saat itu dengan isterinya. Meskipun sebelumnya me mang sudah ada perasaan curiga, namun ia berusaha untuk mengingkari perasaan" itu. Tetapi tanpa disadarinya iapun telah memperalat Rudira untuk menga mati ibunya, sehingga kini akibat yang dialaminya ternyata menjadi sangat berat.
"Anak itu akan kehilangan kepercayaan kepada orang lain. Jika ia sudah tidak me mpercayai ibunya sendiri, maka tidak akan ada manusia lain yang akan dapat menyejukkan hatinya" Dengan penuh penyesalan Pangeran Ranakusuma me lihat ke dala m dirinya sendiri, ke luarganya dan orang-orang yang pernah bersangkut paut dengan dirinya. Terbayang kembali isterinya yang sudah meningga l dunia. Isterinya yang lain, yang dike mbalikannya kepada orang tuanya. Anaknya yang disingkirkan ke padepokan Jati Aking dan anaknya yang manja, namun yang akhirnya terperosok ke dalam bencana yang tidak disangka-sangka oleh pengkhianatan orang yang selama ini menjilat kakinya. "Alangkah rendahnya martabat manusia" katanya di dala m hati. Tetapi iapun tida k ingkar, bahwa sebenarnya dirinya sendiri tidak akan lebih baik dari Mandra, jika ia menyadari bahwa iapun sedang berusaha menjilat kekuasaan di Surakarta yang mulai kabur. "Akupun dapat seperti Mandra" suara hatinya itu serasa semakin keras bergema di da la m dadanya "Akupun akan dapat berkhianat kepada kumpeni dan kepada Susuhunan" Namun tiba-tiba tumbuh pertanyaan "Apakah selama ini aku tidak berkhianat terhadap Surakarta?" Sekali lagi Pangeran Ranakusuma menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Semuanya menjadi se ma kin je las terbayang. Pangeran Ranakusuma itu terkejut ketika ia mendengar seseorang me manggilnya "Pangeran, Pangeran" Pangeran Ranakusuma mengangkat wajahnya. Dilihatnya Ki Dipanala berdiri terbungkuk-bungkuk di depan pintu. "Ada apa?" "Ampun Pangeran, Raden Rudira menjadi se ma kin le mah"
"He" dengan serta-merta Pangeran Ranakusuma meloncat berdiri. "Raden Rudira me manggil tuan" Dengan tergesa-gesa Pangeran Ranakusuma pergi ke bilik puteranya. Dilihatnya Raden Rudira menjadi gelisah. Kepalanya bergerak-gerak tidak menentu. "Rudira, Rudira" ayahandamu" bisik ayahnya di telinganya "ini
"O" terdengar anak muda itu berdesah. "Tenanglah. Kau akan segera se mbuh" "Ayahanda" suaranya lemah seka li "gelap ayahanda" Dada Pangeran Ranakusuma serasa dihentakkan oleh katakata itu. Namun ia menjawab "Ya, Rudira. Memang hari masih ma la m. Biarlah la mpu dibesarkan" "Gelap. Gelap sekali ayah" Raden Rudira menarik nafas dalam-da la m "panas, panas sekali" Pangeran Ranakusuma menjadi se makin bingung. Dipandanginya tabib yang berdiri di sampingnya. Namun wajah tabib yang masih agak muda itu menjadi tegang. Ki Dipanalapun menjadi sangat cemas. Ia masih berusaha untuk me mbasahi dahi Raden Rudira dengan air jeruk pecel. Tetapi ia t idak berhasil menenangkan kegelisahan ana k muda itu. "Tidurlah Rudira" berkata ayahnya "Cobalah untuk tidur " Tetapi Raden Rudira seakan-akan sudah t idak mendengarnya lagi. Bahkan ia menjadi sema kin gelisah dan berdesis "Panas. Panas sekali. Sa kit ayah" "Ayah ada di sini"
Raden Rudira mengeluh pende k. Na mun suaranya semakin le mah. "Raden" tabib yang mengobatinya tiba-tiba saja berjongkok di sampingnya. Wajahnya menjadi sema kin tegang dan dengan suara yang bergetar ia berkata "Raden Rudira" Rudira menggeliat sekali. Dicobanya untuk me mbuka matanya. Meskipun semakin kabur, ia masih melihat bayangan ayahandanya. Karena itu ia masih mencoba berbicara "Ayahanda, aku mohon maaf" "Rudira?" ayahnya menjadi bingung dan sangat ce mas. "Dima na Dipanala" "Di sini Raden, aku ada di sini" "Aku minta maaf kepadamu Dipanala. Aku pernah berbuat dosa terhadapmu. Aku tidak mengerti waktu itu, bahwa seharusnya aku tidak me lakukannya" "Tida k, Raden tidak bersalah. Tenanglah. Jangan me mbayangi diri Raden dengan persoalan-persoalan yang tidak penting. Yang penting bagi Raden sekarang adalah penyembuhan dari segala maca m kesakitan yang ada pada diri Raden. Untuk itu Raden harus beristirahat. Lahir dan batin. Raden sekarang berada di dalam istana Raden sendiri. Karena itu jangan ge lisah" Rudira mencoba mengangguk. Tetapi tubuhnya menjadi semakin le mah. Sela ma ia belum mendapat pertolongan, darahnya terlampau banyak menga lir. Punggungnya yang bagaikan patah, selalu menyakitinya dan seakan-akan tidak ada sesuatu lagi yang menarik baginya. Ibunya telah mengecewakannya. Mengecewakan sekali, sehingga tidak akan ada kepercayaan lagi yang dapat diberikannya. "Ayah" desis Raden Rudira.
"Rudira" Ayahnya menjadi kehilangan aka l. Lalu katanya kepada tabib itu "berbuatlah sesuatu, berbuatlah sesuatu" Tabib itupun me njadi gelisah. Obat yang paling baik telah diberikannya kepada Raden Rudira. Lukanya justru sudah tidak menga lirkan darah lagi. Namun sebenarnya perawatan baginya me mang agak terla mbat. Bukan karena kedatangannya yang lambat, tetapi darahnya memang sudah terlampau banyak mengalir. Ki Dipanalapun menyadari keadaan itu. Selama ia berke lahi me lawan Mandra dan me mbunuhnya, ia tidak sempat berbuat apa-apa terhadap anak muda yang terluka itu, sehingga darahnya pasti terlampau banyak berceceran. Itulah kesulitan yang dihadapi oleh tabib yang sebenarnya cukup pandai itu. Apalagi hati Raden Rudira sendiri yang telah patah, me mbuatnya kehilangan nafsu untuk bertahan. Keadaan Raden Rudira me mbuat Pangeran Ranakusuma menjadi semakin bingung. Wajah anak muda itu telah menjadi seputih kapas, dan nafasnya seakan-akan tinggal satu-satu tersangkut di kerongkongan. "Berbuatlah sesuatu" suara Pangeran Ranakusuma menjadi bergetar. Tabib yang menunggui Raden Rudira itupun berjongkok disa mpingnya. Ia sudah merasa berbuat sejauh-jauhnya yang dapat dilakukan. Keputusan terakhir ada pada Yang Maha Kuasa. Namun de mikian, ia masih juga berusaha. Diteteskannya air jernih ke bibir Raden Rudira. "Ayah" suara anak muda itu ha mpir tida k terdengar lagi "Apakah Ki Dipanala sudah mengatakan se luruhnya" "Sudah Rudira, sudah"
"Itulah yang penting ayah. Aku sudah tidak berkepentingan lagi dengan hidupku. Ternyata ibuku sangat mengecewakan aku" "Rudira" Rudira me mandang ayahnya sejenak. Tetapi pelupuknya bagaikan me lekat. Namun de mikian, ia masih me lihat sebuah bayangan hitam yang ia yakin itu adalah ayahnya. Sebuah senyum terbayang di bibir anak muda itu. Perlahan sekali ia berkata "Aku masih sempat mohon maaf kepada ayah, kepada Ki Dipanala, kepada kakang Juwiring dan kepada siapapun juga. Karena itu aku merasa bersyukur. Yang utama akupun sempat menyesali dosa-dosaku terhadap Tuhan Yang Maha Penga mpun" "Rudira" Senyum Rudira ta mpak se makin cerah. Sekilas warna merah me mbayang di wajah yang pucat itu, namun ke mudian semuanya itu lenyap seperti asap dihembus angin yang kencang. Sebuah tarikan nafas yang panjang menggerakkan dada Raden Rudira. Tetapi tarikan itu bagaikan terputus di tengah. "Rudira, Rudira" Tetapi Raden Rudira sudah tidak mendengarnya lagi. ia telah mengakhiri hidupnya yang pendek. Ternyata bahwa ia meninggal dala m usia yang masih terlalu muda. Raden Rudira terbaring dia m ketika ayahnya melekatkan mulutnya di telinganya sa mbil berbisik "Rudira, Rudira" Ki Dipanala dan tabib yang mencoba mengobatinya itu saling berpandangan sejenak. Mereka melihat setitik air menga mbang di mata Pangeran Ranakusuma. Seorang Pangeran yang menjadi kebanggaan Surakarta di medan perang.
Tembang Tantangan 12 Lupus Boys Dont Cry Pendekar Bego 14
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama