Ceritasilat Novel Online

Bunga Di Batu Karang 15

Bunga Di Batu Karang Karya Sh Mintardja Bagian 15


"O, begitu. Sayang sekali. Seharusnya Pangeran tidak usah menakut-nakuti mereka dengan kedudukan Pangeran. Mungkin salah seorang dari mereka akan dapat mengalahkan Pangeran. Tetapi sudah barang tentu mereka akan segan me lakukannya, karena mereka takut akan akibatnya. Apalagi Pangeran Hargasemi adalah seorang Pangeran yang bersedia duduk di bawah atas kaki orang-orang asing itu, sehingga dengan demikian Pangeran akan segera mendapat bantuan mereka apabila diperlukan. Bahkan menghadapi Pangeran Ranakusuma seka lipun, meskipun Pangeran Ranakusuma juga seorang Pangeran yang bersedia bekerja bersama dengan kumpeni. Maksudku, Pangeran Ranakusuma. Bukan Raden Juwiring" Pangeran Hargasemi benar-benar menjadi bingung menghadapi persoalan itu. Seakan-akan orang yang duduk di atas rakit itu telah mengena l mereka seorang de mi seorang. Karena itu, maka hatinya menjadi se makin terbakar. Katanya "Jangan banyak bicara. Jika kau ingin ikut serta dalam permainan ini, cepat, turun dari rakit mu" Orang itupun tiba-tiba berdiri. Sekali loncat ia sudah berada di atas pasir. Dikibaskannya kainnya yang se mula diselubungkannya di atas punggungnya. Namun orang itu masih saja mengenakan tudung-kepala ba mbunya yang dianyam runcing. "Gila, kau akan me lawan seorang Pangeran" Meskipun kau me mpunyai nyawa rangkap tujuh, tetapi kau akan menyesal" geram Pangeran Hargasemi. "Jangankan seorang Pangeran. Seorang Rajapun wajib dilawan jika ia berbuat sa lah dan apalagi sewenang-wenang" "Persetan. Aku akan me mbunuhmu dan me le mparkan mayatmu ke dala m bengawan" "Aku hidup di bengawan, dan mencari penghidupan dibengawan itu pula. Aku adalah tukang satang yang
mendapat upah karena menyeberangkan orang lain yang ingin me lintasi bengawan. Jika aku ke mudian mati dibengawan itu pula, artinya aku sudah bersatu dengan bengawan itu" "Persetan" bentak Pangeran Hargase mi "bersiaplah" "Baik Pangeran. Aku sudah siap" Pangeran Hargasemi yang marah sa ma sekali tidak dapat mengenda likan dirinya lagi. Sebagai seorang anak muda yang berilmu, maka iapun t idak ragu-ragu lagi menghadapi lawannya, seorang tukang satang. Karena itu, maka iapun segera meloncat menyerang tukang satang yang telah berani mengganggunya itu. Namun Pangeran Hargase mi itu terkejut bukan buatan. Serangan yang dila mbari dengan ke marahan yang meluap itu sama sekali tidak berhasil menyentuh lawannya. Bahkan hampir tanpa diketahuinya, lawannya telah beringsut di sisinya sambil berkata "Ilmu Pangeran me mang dahsyat sekali. Pantas Pangeran berani menantang anak-anak itu untuk me lawan bertiga" "Tutup mulut mu" Pangeran Hargasemi berteriak. Tetapi orang itu justru tertawa sambil berkata "Jangan marah. Aku berkata sebenarnya. Kau memang me miliki ke ma mpuan yang luar biasa dibanding dengan usia Pangeran yang muda itu" Pangeran Hargasemi tidak menjawab. Tetapi ia menyerang semakin dahsyat. Namun serangannya itu bagaikan sia-sia saja. Mala m yang gelap itu seakan-a kan menjadi se ma kin gelap, sehingga kadang-kadang ia telah kehilangan lawannya. Dan tiba-tiba saja lawannya itu telah berada di belakangnya atau di sampingnya sambil tertawa pendek.
Sikap itu benar menyakitkan hatinya. Kemarahan yang me lonjak-lonjak di dadanya me mbuat Pangeran Hargase mi semakin kehilangan pengendalian diri. Namun de mikian, ia sama sekali tidak berdaya menghadapi lawannya. Seorang tukang satang. Para bangsawan yang memperhatikan perkelahian itu menjadi termangu-mangu. Merekapun menyadari, bahwa Pangeran Hargasemi tidak ma mpu mengimbangi lawnnya. Sekali-seka li mereka terpaksa menahan nafas jika mereka me lihat Pangeran Hargasemi kehilangan lawannya. Namun dengan sangat terperanjat meloncat me mutar tubuhnya ketika ia sadar bahwa lawannya sudah berada di belakangnya. Semakin la ma sema kin ternyata bahwa Pangeran Hargasemi bukan lawan orang yang menyebut dirinya tukang satang itu. Nafas Pangeran muda itu menjadi terengah-engah dan bahkan rasa-rasanya telah terputus di kerongkongan. Sedang orang yang menyebut dirinya tukang satang itu masih tetap segar dan sekali-sekali masih terdengar suara tertawanya. "Nah" katanya kemudian "Apakah Pangeran masih akan bermain lebih la ma lagi?" "Persetan" geram Pangeran Hargasemi disela-sela nafasnya yang hampir terputus. "Aku rasa permainan kita sudah cukup la ma. Karena itu, sebaiknya kita mengakhirinya saja" berkata tukang satang itu ke mudian "Tetapi dengan syarat. Jangan ganggu anak-anak Jati Aking itu. Kedua anak padesan yang kau anggap tidak berharga, bahkan dapat dihinakan seperti yang sudah kau lakukan, dan yang seorang adalah kemanakanmu sendiri. Raden Juwiring. Jika kau berjanji, aku tidak akan berbuat apaapa" "Gila, itu urusanku" "Berjanjilah dengan janji jantan"
"Itu urusanku" "Bukankah kau telah berjanji akan berlaku sebagai seorang laki-laki" Seorang laki-laki a kan mengakui kenyataan yang dihadapinya. Jika ia kalah, ia akan me ngaku kalah" "Bukan aku yang berjanji" "Baik" gera m tukang satang "Jika de mikian, kau akan aku singkirkan dari tepian ini. Aku akan mengikat mu di atas rakit dan menghanyutkannya. Aku tidak tahu, apakah kau akan terbawa oleh arus bengawan itu sa mpai ke laut" "Gila" "Berjanjilah" "Aku tida k peduli" Dan sebelum mulutnya terkatup rapat, maka tiba-tiba saja rasa-rasanya tangannya akan patah terpilin. Sambil menyeringai Pangeran Hargasemi mencoba untuk melepaskan diri. Na mun rasa-rasanya himpitan tangan itu justru menjadi semakin kuat, bagaikan akan mere mukkan tulang. "Pangeran, berjanjilah bahwa Pangeran mengganggu anak-anak Jati Aking itu" "Siapapun a ku, tetapi berjanjilah" "Katakan, siapa kau" suaranya terputus oleh himpitan rasa sakit. "Sudah aku katakan, siapa aku tidak penting. Yang penting harus berjanji" Pangeran Hargasemi tidak dapat menahan rasa sakit di tangannya. Karena itu, maka betapapun beratnya ia akhirnya berkata "Karena kegilaanmu saja maka aku terpaksa me menuhinya" tidak akan
"Siapa kau" Siapa kau he?" bertanya Pangeran Hargasemi.
"Terima kasih. Apapun alasannya. Aku percaya bahwa katakata yang Pangeran ucapkan ini adalah kata-kata seorang lakilaki. Terlebih-lebih lagi kata-kata seorang kesatria" Perlahan-lahan tangan yang terpilin itupun dilepaskannya. Dan sambil menyeringai Pangeran Hargasemi me mijit tangannya yang kesakitan itu. Namun tiba-tiba ia berkata "He tukang satang. Apakah kau sangka bahwa kau dapat melawan ka mi se muanya?" Tukang satang itu terkejut. Dengan heran ia bertanya "Apakah maksud Pangeran?" "Aku dapat me merintahkan mengepung dan menangkapmu" "Itu tidak mungkin. Itu tidak jantan" "Aku tidak peduli. Tetapi kau harus ditangkap karena kau berani melawan seorang Pangeran yang berkuasa di Surakarta ini" Tukang satang itu termangu-mangu sejenak. Lalu "Jadi, maksud Pangeran, Pangeran akan ingkar janji" "Jika perlu. Untuk menegakkan keda maian di Surakarta" Sejenak tukang satang itu berdia m diri. Namun ke mudian "Suatu masa yang suram benar-benar telah melanda Surakarta. Seorang bangsawan tertinggi di Surakarta sudah tidak me menuhi janjinya. Ini adalah pertanda yang buruk bagi kerajaan yang sudah rapuh ini. Sebentar lagi pasar akan kehilangan ge manya, dan telaga akan kehilangan mata airnya. Surakarta akan menjadi suatu kerajaan yang miskin. Bukan miskin harta benda karena justru a kan datang berlimpah, tetapi miskin harga diri, terutama harga diri sebagai suatu bangsa" ke manakanku untuk
Kata-kata itu terasa menyentuh hati para bangsawan itu. Sejenak mereka termangu-ma ngu. Na mun yang sejenak itu telah me mbuat setiap dada rasa-rasanya menggelepar. Tetapi ternyata bahwa Pangeran Hargasemi sa ma sekali tidak mau mendengar kata-kata di sudut hatinya yang paling dalam. Bahkan ia berteriak "Aku akan menyeretmu menghadap kumpeni yang akan menyuapimu dengan peluru. Meskipun kau me mpunyai aji tameng waja-sekalipun, kau tidak akan dapat menghindarkan diri dari maut " Tetapi tukang patang itu menggeleng. Katanya "Tidak. Peluru bagiku tidak lebih berbahaya dari sebilah keris yang baik. Ujung peluru t idak akan ma mpu melubangi tudung kepalaku yang terbuat dari ba mbu ini. Tetapi keris yang baik, atau tombak Kiai Baru misalnya, akan dapat menyobek kulitku" Pangeran Hargasemi termangu-mangu sejenak. Dan tukang satang itu berkata lagi "Pangeran. Aku menjadi heran. Pangeran adalah seorang yang berilmu. Seharusnya Pangeran mengetahui, bahwa kita tida k perlu merasa diri kita kecil menghadapi peluru. Seharusnya Pangeran mengetahui bahwa kita dapat melindungi diri kita terhadap keganasan peluru itu" Sejenak Pangeran Hargasemi terdia m. Sekilas terbayang kekuatan-kekuatan gaib yang pernah dimiliki oleh para bangsawan di Surakarta. Para prajurit dan penghuni-penghuni padepokan yang tersebar. Meskipun mereka tidak kebal sekalipun, na mun mereka me mpunyai ke ma mpuan untuk me lawan peluru. Kecepatan tangan mereka melontarkan pisau-pisau kecil dan ketepatan bidik mereka, sama seka li tidak ka lah dari ketangkasan pe luru kumpeni. Tetapi ketika ia menyadari, bahwa ia berdiri di antara para bangsawan muda, dan ketika ia menyadari ke kalahannya me lawan tukang satang itu, kemarahannya telah membakar jantungnya kembali. Dan seka li lagi ia berteriak "Tangkap tukang satang itu"
Para bangsawan muda itu menjadi ragu-ragu. Mereka menyadari bahwa tukang satang itu me miliki ilmu yang luar biasa, sehingga untuk menangkapnya bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Namun terdengar sekali lagi perintah Pangeran Hargasemi "Tangkap orang itu. Aku akan me lumpuhkannya, sementara kalian mengepung agar ia tida k dapat lari. Kalian dapat menyerang dari segala arah, dan ke mudian menangkap dan menyeretnya, agar tidak menjadi kebiasaan tukang satang untuk menentang para bangsawan" Sekilas ta mpak tukang satang itu berdiri seakan-akan me mbe ku. Namun ke mudian ia berkata "Jangan memaksa aku me lakukan perlawanan. Kalian harus menyadari, bahwa kalian adalah anak-anak ingusan yang merasa dirinya ma mpu me langkahi gunung Ke lut. Jika aku terpaksa berkelahi me lawan kalian, maka anak-anak Jati Aking itu tentu akan berpihak kepadaku. Ka mi bere mpat akan me mbuat kalian tidak dapat bangkit lagi sampa i matahari terbit besok dan me mbiarkan kalian terbaring di tepian ini" "Kalian akan digantung karena perbuatan itu" desis seorang bangsawan yang bertubuh kecil. "Kalian tida k akan dapat mene mukan aku" "Ka mi akan me nangkap se mua tukang satang di Sura karta" Tukang satang itu tertawa. Katanya "Kalian tentu tidak akan dapat mene mukan aku. Mungkin rakitku. Tetapi sesudah ini untuk beberapa la manya aku tidak akan turun ke bengawan. Aku akan menghindari penangkapan yang me mang mungkin saja ka lian lakukan" "Gila. Kau mengorbankan keselamatanmu" kawan-kawanmu untuk
"Bukan maksudku. Tetapi jika de mikian, kalianlah yang bertindak sewenang-wenang"
Pangeran Hargasemi termenung sejenak. Na mun ke mudian katanya "Dan kau akan mati kelaparan karena kau tidak mendapatkan nafkah untuk waktu yang panjang, karena setiap kali ka mi a kan mencarimu" "Ada beberapa alasan. Pangeran tidak mengenal aku dengan baik. Ada berpuluh-puluh orang tukang satang yang berpakaian seperti aku. Ke mudian, aku tidak akan ke laparan meskipun aku tidak turun ke bengawan untuk waktu yang la ma, karena aku juga seorang petani yang dapat hidup dari hasil sawahku. Apakah dengan demikian Pangeran juga akan menangkap semua petani di Surakarta" Atau barangkali di daerah yang lebih se mpit, aku adalah petani dari Sukawati" Pengakuan itu bagaikan guruh yang meledak di atas tepian. Anak-anak dari Jati Aking itu terkejut bukan buatan. Mereka sudah pernah mengenal petani dari Sukawati. Tetapi tiba-tiba saja di ma la m hari mereka sa ma sekali t idak dapat mengenalnya. Karena itu maka merekapun segera mencoba untuk menga matinya di dala m gelapnya mala m. Tetapi, rasa-rasanya orang yang menyebut dirinya petani dari Sukawati ini me mang agak lain. Orang ini agaknya lebih pendek sedikit dari orang yang dikenalnya bernama petani dari Sukawati itu. "Tudung kepa lanya yang tinggi itulah barangkali yang me mbuat ia agak lain. Biasanya ia me makai caping yang rendah" berkata Juwiring di da la m hatinya. Namun dala m pada itu bukan saja ketiga anak-anak Jati Aking itu yang terkejut mendengar pengakuan tukang satang yang menyebut dirinya juga sebagai petani dari Sukawati. Beberapa orang di antara mereka pernah mendengar nama itu. Pernah mendengar seseorang menyebut dirinya petani dari Sukawati tanpa menyebut na ma sebenarnya. Rudira yang pertama-tama menjumpainya pernah berceritera kepada saudara-saudaranya tentang orang yang menyebut dirinya petani dari Sukawati itu.
Karena itu, maka dada mereka menjadi se makin berdebaran. Pangeran Hargasemi yang merasa dirinya paling tua di antara para bangsawan kemanakannya itupun berdiri termangu-mangu untuk beberapa la manya. "Nah Pangeran" berkata petani dari Sukawati "Pangeran dapat menangkap se mua petani dari Sukawati. Tetapi ka mi adalah rakyat yang tinggal di dalam daerah kalenggahan Pangeran Mangkubumi. Karena itulah maka setiap tindakan terhadap kami, para petani dari Sukawati, Pangeran harus me mpersoalkannya lebih dahulu dengan Pangeran Mangkubumi" Pangeran Hargasemi masih tetap berdiam diri. Ia menjadi bingung menghadapi keadaan yang tidak terduga-duga itu. Karena itu, ma ka untuk beberapa la manya ia berdiri saja seperti patung. Dala m pada itu, terdengar tukang satang yang juga menyebut dirinya petani dari Sukawati itu berkata "Sudahlah Pangeran. Kita hentikan persoalan ini sa mpa i di sini. Biarlah anak-anak Jati Aking itu pergi tanpa diganggu dan tanpa mengganggu Pangeran dan para bangsawan-bangsawan muda yang lain. Akupun akan minta diri. Mudah-mudahan Pangeran tidak me mbuka persoalan dengan kakanda Pangeran, yang me mpunyai ka lenggahan di daerah Sukawati itu. Jika Pangeran berurusan dengan Pangeran Mangkubumi, maka Pangeran agaknya akan menyesal, karena Pangeran sudah mengetahui sikap dan pendirian Pangeran Mangkubumi" Pangeran Hargasemi sama sekali tidak menjawab. Dan orang itu berkata kepada Juwiring "Nah Raden Juwiring. Bawalah kedua anak itu ke mba li. Udara mala m di pinggir bengawan ini agaknya kurang ba ik bagi mereka dan bagi Raden Juwiring sendiri" Juwiring me njadi ragu-ragu sejenak. Na mun orang itu berkata "Silahkan. Akupun akan pergi dari tempat ini. Mungkin
ma la m ini a ku masih mene mukan satu dua orang ke mala man yang akan menyeberang" Juwiring yang termangu-mangu menjawab "Terima kasih" itupun ke mudian
Orang itu tertawa. Katanya "Selamat ma la m" Lalu kepada Pangeran Hargasemi ia berkata "Ingat, jangan ganggu lagi anak-anak itu. Sela mat ma la m" Tukang satang itupun ke mudian melangkah surut beberapa langkah. Ke mudian iapun me loncat dan berlari di tepian yang basah kembali kerakitnya. Namun beberapa langkah ke mudian ia berhenti sebelum ia me loncat ke atas rakitnya. Sejenak ia termangu-mangu. Lalu sambil berpaling ke dalam kege lapan ia berkata "He, kenapa kau berada di situ?" Semua orang yang melihatnya berpaling pula kearah pandangan mata tukang satang itu. Tetapi mereka tidak me lihat sesuatu. "Baiklah" berkata tukang-satang itu "Aku akan pergi lebih dahulu" Tukang satang yang juga menyebut dirinya petani dari Sukawati itupun ke mudian meloncat ke atas rakit. Demikian lincahnya, sehingga rakit yang berada di atas air itu seakanakan sama sekali tidak terguncang oleh loncatannya. Bahkan la mpu minyak yang berada di atas rakit itupun masih tetap menyala berkeredipan di dala m ge lap. Sepercik cahayanya yang jatuh di atas air bengawan yang berwarna lumpur itu me mantul ke ke merah-merahan. Dala m pada itu, ketika tukang satang itu sudah berada di atas rakitnya, Pangeran Hargasemipun mengumpat sambil bergeremang "Gila. Orang gila" Lalu tiba-tiba katanya kepada Juwiring "Kau sangka aku akan me lepaskan kalian pergi. Meskipun tukang satang itu akan ke mbali, namun ka mi akan menangkap kalian bertiga. Aku akan menyelesaikannya dengan kamas Ranakusuma. Agaknya kau merasa bahwa
Senapati perang seperti kamas Ranakusuma itu akan dapat me mbebaskan kau dari kesalahanmu kali ini" Raden Juwiring termangu-mangu. Tanpa sesadarnya ia me mandang tukang satang yang masih ada di atas getek di tepi bengawan. "Kau mengharap bantuannya" Aku tida k peduli siapakah petani dari Sukawati itu. Namanya sesaat dapat me mpesona kami. Tetapi jika ia turun lagi ke tepian, kami akan menangkapnya juga" "Gila" berkata Juwiring di dala m hatinya Hargasemi me mang licik seka li" "Pamanda
"Nah, daripada kau harus mengala mi nasib yang jele k. Menyerahlah" Tetapi Juwiring, Buntal dan Arum justru me mpersiapkan dirinya menghadapi ke mungkinan yang dapat terjadi. Dala m pada itu, terdengar suara tukang satang dari. atas rakitnya "Jadi kalian tidak mau mendengar kata-kataku?" "Persetan" Tukang satang itu masih berdiri tegak di dekat la mpu minyak yang berkeredipan disentuh angin. Na mun sebelum ia berkata sesuatu, sekali lagi para bangsawan itu terkejut. Mereka melihat seseorang me langkah me ndekat. di dala m gelap, mereka hanya melihat sebuah bayangan yang kehitamhitaman. "Kalian benar-benar licik dan pengecut" berkata bayangan itu. "Siapa lagi kau?" bertanya Pangeran Hargasemi "ternyata kalian datang bukan seorang diri. Dan kalianpun akan digantung di alun-alun. Se muanya. He, apakah masih ada yang bersembunyi?" "Tida k pa manda. Tidak ada yang bersembunyi"
"O, siapa kau?" Bayangan itu mende kat. Beberapa langkah di hadapan Pangeran Hargasemi ia berhenti dan berkata "Apakah pamanda tidak mengenal aku lagi?" Sejenak Pangeran Hargasemi me mandang orang itu dengan saksama. Tetapi mala m menjadi bertambah gelap. Karena itu ia tidak segera mengenalnya. "Seharusnya pamanda tidak lupa kepadaku. Bukankah belum terlalu la ma aku meninggalkan Surakarta. Barangkali adimas Juwiring lebih la ma berada di Jati Aking daripada aku" "Siapa kau, siapa?" "Said. Apakah pa manda mengena l na ma itu" "He" jantung Pangeran Hargase mi seakan-akan berhenti berdetak. Lamat-lamat ia mendengar tukang satang itu tertawa. Tetapi kini hatinya dicengka m oleh orang yang berdiri dihadapannya itu. "Apakah pa manda mengenal aku" "Said, Said" suara itu terdengar bergetar. Dan tiba-tiba saja ia menjadi pucat, seperti bangsawan-bangsawan yang lain.
"Maaf pamanda, bahwa aku tiba-tiba saja telah mengganggu. Adalah kebetulan saja a ku berada di te mpat ini" Pangeran Hargasemi tida k segera menjawab. Dipandanginya bayangan itu dengan saksama. Dan sebenarnyalah bahwa yang berdiri di hadapannya adalah Raden Mas Said. "Pamanda " berkata Raden Mas Said "permainan pa manda benar-benar mengerikan. Apalagi pamanda sudah mendapat peringatan dari pa manda. eh, maksudku tukang satang itu" "Kau kenal tukang Hargasemi. satang itu?" bertanya Pangeran
"Tida k pa manda. Tetapi siapapun orang itu, namun ia bersikap jantan. Dan pa manda harus menghargainya" "Tetapi, tetapi apa sangkut pautmu dengan permainanku ini?" "Perma inan yang menyangkut na ma baik kita semua. Sikap pamanda tida k mencerminkan sikap seorang bangsawan yang baik. Karena itu, seharusnya pa manda tidak mela kukannya" Pangeran Hargasemi menggera m. Katanya "Said, kau ternyata telah berkhianat terhadap Surakarta. Jika kehadiranmu di sini diketahui oleh kumpeni, maka kau akan ditemba k mati tanpa a mpun" "Jika mereka dapat me lakukan, tentu sudah mereka lakukan" "Kau licik sekali. Tetapi bukankah kau sudah berjanji kepada kamas Pangeran Mangkubumi untuk tidak me mbuat kerusuhan lagi?" "Ya. Aku sudah menyatakan kepada pamanda Pangeran Mangkubumi. Pamanda Pangeran Mangkubumi adalah orang yang sempurna bagiku. Ia seorang yang menjunjung tinggi perike manusiaan. Dari sudut itulah terutama pandangan
Pangeran Mangkubumi, kenapa ia menghentikan pemberontakanku. Pangeran Mangkubumi melihat korban semakin berjatuhan di kedua belah pihak, sedang tujuanku rasa-rasanya masih sangat jauh. Tetapi sudah barang tentu bukan maksud pa manda Mangkubumi menentang cita-citaku. Dan itu aku paha mi, karena sebenarnya Pangeran Mangkubumi juga me mpunyai pendirian yang sa ma. Tetapi karena kematangannya berpikir, maka perhitungannya jauh lebih cermat dari padaku. Dan itu aku akui" Raden Mas Said berhenti sejenak, lalu "Tetapi jika aku berjanji kepada pamanda Pangeran untuk menghentikan gerakanku untuk sementara, bukan berarti aku harus me mbiarkan pamanda Pangeran Hargasemi untuk berbuat sewenang-wenang, karena aku tahu, bahwa pamanda Pangeran Mangkubumipun me mbenci tingkah laku yang de mikian" "Bohong. Jika ka mas Pangeran Mangkubumi melihat kau ada di sini, maka kau akan ditangkapnya. Kau tidak akan dapat menghindari tangannya yang bagaikan me miliki ke ma mpuan seribu pasang tangan" "Dan pamanda me miliki aji pame ling dan penggenda m. Jika pamanda menghendaki, pa manda dapat menangkap aku sekarang. Tetapi tidak. Dan aku yakin, pamanda Pangeran Mangkubumi mengetahui, bahwa aku ada di sini. Nah, sekarang sebaiknya pamanda Pangeran Hargase mi me mbiarkan adimas Juwiring dan kedua ana k-anak muda Jati Aking itu meninggalkan arena permainan pamanda yang me mua kkan ini. Berbeda dengan pa manda Pangeran Mangkubumi, aku adalah seorang yang kasar dan barangkali pamanda Pangeran Hargasemi a kan menyebutku liar. Tetapi tidak apa. Pamanda Pangeran Mangkubumi a kan berbuat dengan bijaksana. Tetapi mungkin a ku akan berbuat lain. Aku akan me matahkan lengan pa manda Hargase mi dan barangka li me le mparkan salah seorang dari kamas atau dimas yang ada di sini ke da la m bengawan"
Ancaman itu benar-benar telah mendebarkan jantung. Pangeran Hargasemi yang merasa dirinya mumpuni itupun tiba-tiba telah menjadi ge metar. Raden Mas Said memang dapat berbuat apa saja seperti yang dikatakan. Apalagi apabila di dala m gelapnya mala m, di balik pepohonan di pinggir bengawan itu bersembunyi orang-orangnya. Meskipun menurut penglihatan sehari-hari Raden Mas Said sudah tidak berbuat apa-apa lagi, tetapi ternyata pada suatu saat ia masih mungkin me lakukan suatu tinda kan yang berbahaya. "Pamanda Pangeran" berkata Raden Mas Said "Aku tahu benar, siapakah pamanda ini. Pamanda adalah sahabat kumpeni yang paling baik. Karena itu, sebenarnya bagi aku, adalah cukup alasan untuk mele mparkan pa manda ke dala m bengawan. Tetapi sebaiknya aku me ngingat pesan pa manda Mangkubumi, bahwa masih dicari jalan yang lebih baik untuk mengungkat harga diri kita sebagai bangsa di mata orang asing itu. Dan a ku sebaiknya tidak berbuat sesuatu yang merugikan usaha pa manda Pangeran Mangkubumi. Tetapi jika usaha itu gagal, Pangeran Mangkubumi yang berwatak air dan api itu, akan dapat bertindak dengan dahsyat sekali. Air adalah kebutuhan yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, demikian juga api. Tetapi jika air itu datang bagaikan banjir bandang, dan api menya mbar bagaikan lidah langit yang menyala, maka manusia adalah mahluk yang sangat le mah menghadapinya" Kata-kata itu benar-benar telah melumpuhkan hati bangsawan-bangsawan muda yang ada di pinggir bengawan itu. Bahkan Pangeran Hargasemipun sa ma sekali tidak berdaya menghadapi ancaman itu. Maka iapun ke mudian menundukkan kepa lanya dengan lesu. "Sudahlah pa man" berkata Raden Mas Said "aku tidak dapat terlalu lama bersada di sini. Tetapi biarlah aku menyaksikan adimas Juwiring meninggalkan tempat ini bersama kedua anak-anak muda dari Jati Aking itu" lalu
katanya kepada Juwiring "tinggalkan tempat ini adimas. Bawalah Buntal dan Arum bersa ma mu" Juwiring mengerutkan keningnya. Ternyata Raden Mas Said itu mengenal na ma Buntal dan Arum. Tetapi Juwiring tidak sempat bertanya. Karena Said berkata "Cepat, sebelum ada sikap yang dapat me mba kar dadaku, dan me mbuat aku kehilangan ke kang atas diriku sendiri menghadapi bangsawanbangsawan cengeng itu" Juwiring menarik nafas dala m-dala m. Lalu katanya "Terima kasih ka mas. Aku minta diri" "Ke mbalilah kepada pamanda Ranakusuma. Katakan kepada pamanda Ranakusuma, apa yang kau lihat di sini. Bukan maksudku menentang pa manda Ranakusuma, Senapati yang sulit dicari tandingnya di peperangan. Tetapi sekedar mohon agar pamanda Ranakusuma menjadi lebih mengerti menghadapi pengkhianat-pengkhianat seperti aku ini" Juwiring menjadi berdebar-debar. "Pergilah adimas. Mudah-mudahan kau menjadi sumber kesadaran pamanda Ranakusuma, bahwa sebenarnyalah ia sebangsa dengan aku dan dengan pa manda Pangeran Mangkubumi. Meskipun ia seorang Senapati yang pilih tanding, tetapi aku masih berharap bahwa pada suatu saat pamanda Ranakusuma menyadari kediriannya" Juwiring mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya "Aku akan mencoba ka mas" "Nah, pergilah" Juwiringpun ke mudian berpaling kepada Buntal dan Arum yang menghayati peristiwa itu dengan hati yang tersentaksentak. "Marilah kita pergi"
Buntal dan Arum tida k menyahut. Namun ha mpir di luar sadarnya mereka berpaling me mandang ketepi bengawan. Ternyata rakit yang semula berada di situ dengan sebuah la mpu minyak dan tukang satang yang menyebut dirinya petani dari Sukawati itu sudah t idak ada di tempatnya. "Rakit itu sudah t idak ada" desis Arum. "Ya" jawab Buntal sa mbil me loncat ke punggung kudanya. Sejenak kemudian ketiga ekor kuda itupun berderap meninggalkan tepian yang basah itu dengan kesan yang aneh di hati ketiga anak-ana k muda itu. "Ternyata di perut kota Surakarta ini tersimpan berbagai maca m isi" desis Arum. "Kau baru melihat sebagian" sahut Juwiring. "Apalagi yang penting?" "Andrawina, kembul dahar dan semacamnya di samping ke melaratan dan ketakutan. Tetapi juga perjuangan dan usaha yang tidak henti-hentinya seperti yang baru saja kita lihat" "Ya. Aku telah salah duga terhadap Surakarta" berkata Arum "ternyata Surakarta bukan sebuah, lumbung orangorang yang pasrah, pengecut dan tamak. Ternyata di sini ada anak-anak muda yang terjaga seperti Raden Mas Said" "Dengan de mikian kita masih me mpunyai harapan. Juga terhadap petani dari Sukawati itu" "Petani yang aneh" desis Buntal "Apakah keadaan se maca m itulah yang dapat disebut seseorang mampu mencela putra manda la puteri?" "Mungkin. Tetapi petani dari Sukawati menyimpan seribu ke mungkinan" itu me mang
Buntal mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia masih berdesis "Apa yang kita lihat sekarang atas petani dari Sukawati itu ternyata berlainan dengan yang pernah kita lihat sebelumnya, dan mungkin se kali akan berbeda dengan yang akan kita lihat ke mudian" "Tetapi orang-orang yang me miliki ketajaman pandangan akan dapat mengenalnya. Tentu ka mas Said dapat mengenalnya pula" "Agaknya me mang de mikian. Tetapi apakah Pangeran Hargasemi tidak dapat mengenalnya?" "Mungkin ia sama sekali tidak menduga, sehingga ia tidak menghubungkan petani dari Sukawati, yang datang sebagai tukang satang itu dengan pa manda Pangeran Mangkubumi" Buntal mengangguk-angguk. Ke kagumannya kepada para pemimpin yang sebenarnya masih tetap bersikap, menjadi semakin besar. Meskipun agaknya untuk beberapa langkah di permulaan itu petani dari Sukawati dan Raden Mas Said tidak sejalan, tetapi agaknya mereka me mpunyai arah yang sama. Dan seperti dikatakan oleh Raden Mas Said sendiri, Pangeran Mangkubumi me mpunyai pertimbangan yang lebih matang dari pertimbangan seorang anak muda. Demikianlah merekapun ke mudian saling berdia m diri dalam cengka man angan-angan masing-masing, se mentara kuda-kuda mereka berlari-lari kecil di jalan kota yang mulai sepi. Lampu-la mpu minyak berkeredipan di sudut-sudut jalan menerangi kota yang menjadi sura m. Sementara itu, di tepi bengawan, Pangeran Hargasemi dan para bangsawan yang lainpun segera bersiap-siap meninggalkan tempat itu. Mereka dengan hati yang berdebardebar me lihat Raden Mas Said meninggalkan mereka. "Tukang satang itu sudah pergi" katanya sambil berpaling "Tetapi jangan sangka bahwa kau dapat melepaskan diri dari pengawasannya. Petani dari Sukawati itu adalah orang yang
dapat melihat apa yang ingin dilihatnya. Ia tidak terkekang oleh batas dan te mpat" Dada Pangeran Hargasemi dan ke manakan-ke manakannya menjadi sema kin berdebaran. Tetapi mereka sama sekali tidak menyahut. Baru ketika Raden Mas Said hilang dari tatapan mata mereka, maka Pangeran Hargasemipun segera pergi ke kudanya yang diikat agak jauh dari te mpat itu. Para bangsawan yang lainpun setelah menga mbil kuda masingmasing segera mengikutinya. "Aku tidak tahu, siapakah yang curang" geram Pangeran Hargasemi untuk melontarkan kekecilan diri "Said atau ka mas Mangkubumi. Menurut keterangan kamas Mangkubumi, Said dan pengikut-pengikutnya sudah tidak akan mengganggu Surakarta lagi" Salah seorang bangsawan muda yang mengikut i Pangeran Hargasemi itu berdesis "Apakah petani dari Sukawati itu dapat diserahkan saja kepada pa manda Pangeran Mangkubumi?" "Bodoh kau" bentak Pangeran Hargasemi yang sedang kecewa itu "Ka mas Pangeran tentu akan melindunginya seandainya ia tahu, siapakah orang yang menyebut dirinya tukang satang itu dan kemudian mengaku pula sebagai petani dari Sukawati. Dan hal yang serupa ini me mang harus dilaporkan kepada kumpeni. Agaknya Sukawati me miliki orang-orang yang sudah terlatih dengan baik untuk menghadapi keadaan yang se makin gawat. Dan agaknya kamas Pangeran Mangkubumi tidak sekedar berma in-main" Bangsawan-bangsawan muda yang lain tidak menyahut. Ketika Pangeran Hargasemi ke mudian meloncat ke punggung kuda, ma ka anak-anak muda itupun segera berpacu meninggalkan tepi bengawan yang menjadi senyap dan gelap.
Ternyata apa yang telah terjadi itu telah menggoncangkan hati beberapa orang bangsawan muda di Surakarta. Meskipun tanggapan mereka berbeda-beda. Yang kemudian menjadi persoalan di dalam hati mereka, justru bukannya Arum dan Buntal yang dengan sengaja telah mereka lupakan. Yang ke mudian selalu terbayang adalah sikap beberapa orang bangsawan yang terpandang di Surakarta. Paman dan ke manakan-ke manakan mereka sendiri. Alangkah jauh bedanya, bagaikan siang dan mala m, dan bagaikan langit dan bumi, jika mereka bertemu dengan saudara sepupu mereka yang bernama Raden Mas Said dan juga Juwiring yang sudah beberapa lama berada di Jati Aking, dibandingkan dengan diri mereka sendiri, atau pamanda para bangsawan-bangsawan muda itu yang lain. Mereka akan tergetar juga hatinya jika mereka menyebut na ma Pangeran Mangkubumi, dan beberapa orang bangsawan yang dengan tegas menentang kekuasaan kumpeni yang se ma kin bertambah-ta mbah. Beberapa di antara mereka menjadi terguncang. Mereka mulai berpikir dan menilai diri sendiri. Apakah yang selama itu sudah dilakukan" Dan dengan susah payah mereka mencoba me mbayangkan sikap Juwiring, meskipun ayahandanya, Pangeran Ranakusuma adalah seorang yang termasuk de kat dengan kumpeni, apalagi ibu tirinya, ibu Raden Rudira. Lebih tajam lagi adalah sikap Raden Mas Said, yang sudah dengan tanpa tedeng aling-aling me mbuka medan peperangan me lawan kumpeni. Dan lebih dari itu semuanya adalah sikap Pangeran Mangkubumi yang bagaikan air bengawan yang sangat dalam. Tegas, dan seakan-akan mengandung kekuatan tersembunyi yang sulit dijajagi, meskipun dila mbari dengan kebijaksanaan yang matang. Namun justru kekuatan yang matang seperti kematangan sikap dan kebijaksanaannya itulah yang sangat berbahaya bagi kedudukan kumpeni di Sura karta. Bukan saja para bangsawan yang bersikap le mah menghadapi kehadiran orang asing itu karena berbagai maca m alasan, mungkin karena harta benda yang melimpah,
mungkin karena didorong oleh nafsu berkuasa dan pangkat, mungkin oleh ke inginan yang lain lagi yang beribu maca m itulah, na mun juga Raden Mas Said kadang-kadang menjadi bingung me nghadapi sikap Pangeran Mangkubumi. Kadangkadang Raden Mas Said yang muda itu tida k telaten menunggu, seakan-akan menunggu turunnya hujan dimusim kering. Ketika pada suatu saat, Raden Mas Said tidak dapat menahan hati lagi, maka ia me merlukan dengan dia m-dia m menghadap pa manda Pangeran Mangkubumi untuk mendapatkan penjelasan tentang sikapnya yang sulit dimengerti itu. "Pamanda, apakah aku masih harus menunggu?" bertanya Raden Mas Said "sela ma ini aku me matuhi perintah pa manda agar untuk sementara aku menyingkir. Tetapi sekarang pamanda masih be lum berbuat apa-apa sehingga kumpeni rasa-rasanya menjadi se makin berpengaruh atas Surakarta" Pangeran Mangkubumi mengangguk-angguk. Katanya "Said. Banyak hal yang masih harus dipertimbangkan. Jika aku menga mbil sikap yang keras sebelum aku matang berpikir, maka yang terjadi adalah sekedar bentrokan tanpa arah. Kita berdua sudah berhasil menghindarkan diri dari benturan dan adu domba, meskipun kau harus banyak berkorban karena kau harus menarik diri dari te mpat yang sudah berhasil kau duduki. Na mun se mentara itu, aku mendapat kese mpatan untuk menyusun ke kuatan. Dan dala m masa yang senggang ini, aku yakin bahwa kaupun mendapat kesempatan serupa. Kau dapat menyegarkan orang-orangmu. Jika perlu pada suatu saat semuanya akan dapat melakukan tugas dengan sebaik-baiknya. Sementara ini kita dapat bersikap seperti keadaan kita selama ini, seolah-olah kita adalah domba aduan yang saling bertengkar. Sokurlah bahwa ada usaha lain yang dapat dilakukan sela in kekerasan" "Tida k mungkin pa manda. Tidak akan ada ja lan lain"
"Said, coba renungkan. Mungkin aku dipengaruhi oleh sikap yang cengeng sehingga aku tidak dapat bertindak seperti kau" Pangeran Mangkubumi terdia m sejenak. Kepalanya tiba-tiba menunduk dala m-da la m, dan suaranya menjadi datar "Aku menjadi ngeri mendengar anca man kumpeni dan anca manmu akhir-akhir ini" "Maksud pa manda?" "Said. Ketika anak buahmu berhasil me mbinasakan enam orang kumpeni di pinggir kota, bukankah kumpeni menge luarkan maklumat, untuk menangkap orang yang me mbunuh kumpeni itu. Jika dala m waktu yang ditentukan pembunuh itu tida k tertangkap, maka kumpeni akan menga mbil sepuluh nyawa sebagai ganti setiap kumpeni yang terbunuh. Dan sepuluh nyawa itu adalah sepuluh nyawa bangsa kita siapapun mereka. Bersalah atau tidak bersalah" "O" Raden Mas Said menganggukkan kepalanya "Aku sudah menjawab pa manda" "Bagaimana jawabmu?" "Jika kumpeni me laksanakan anca man itu, maka setiap orang bangsa kita yang terbunuh, aku akan mengambil sepuluh orang sebagai gantinya" "Kumpeni?" "Ya, atau orang yang berpihak kepada mereka dan apa lagi yang terbukti me mbantu mereka " Pangeran Mangkubumi me narik nafas dalam-da la m. Dengan nada yang berat ia berkata "Said. Aku mengerti caramu berpikir. Mungkin pada suatu saat, kita tidak dapat menghindarkan diri dari t indakan serupa itu. Tetapi sebelum kita kehilangan sepuluh ganda yang tiada akan henti-hentinya, maka aku akan mencoba mene mpuh jalan lain" Raden Mas Said mengerutkan keningnya. Lalu di antara kedua bibirnya ia berdesis "Maksud pa manda?"
"Said. Baik sepuluh orang untuk menukar jiwa seorang kumpeni, maupun ke mudian sepuluh orang dari setiap orang yang terbunuh oleh kumpeni itu, adalah darah. daging kita. Mungkin mere ka adalah pengkhianat-pengkhianat. Mungkin mereka me nodai perjuangan kita untuk menegakkan kebebasan kita. Tetapi bagiku Said, rasa-rasanya masih terlampau pedih me lihat mereka menjadi sasaran ke marahan kita dan juga sasaran ke marahan kumpeni" "Jadi maksud pa manda, agar kita bertindak lebih lunak lagi sehingga se makin banyak orang yang akan berpihak kepada orang asing itu?" "Tida k Said. Hanya caranya sajalah yang harus kita pertimbangkan baik-ba ik. Jika kita dapat memberikan kesadaran kepada rakyat kita tanpa ke kerasan, sehingga mereka merasa bertanggung jawab terhadap hari depan kita sendiri, maka kita akan berbesar hati" "Pamanda. Setiap cita-cita harus dila mbari kesediaan untuk berkorban. Memang mungkin akan ada korban yang jatuh. Jika kita hanya sekedar inginkan cita-cita tanpa berani mengatasi kesulitan, maka tidak ada yang akan dapat kita capai, karena setiap cita-cita tentu akan mene lan bebanten. Dala m keadaan yang sema kin gawat ini, tentu kita tidak dapat sekedar menunggu. Dan aku minta ijin untuk me mulai ke mba li perjuangan yang panjang ini pa man"
"Said. Aku me ngerti. Jiwa mu yang muda dan bergolak bagaikan api di kawah Gunung Merapi itu merupakan penggerak yang utama bagi kita. Tetapi aku minta waktu sedikit lagi. Mudah-mudahan a ku berhasil, atau jika t idak, maka persiapan kitapun akan me njadi se ma kin matang. Jika ke mudian terpaksa harus jatuh korban, apaboleh buat" Raden Mas Said menarik nafas dalam-dala m. Ia sebenarnya tidak sabar lagi menunggu. Tetapi Pangeran Mangkubumi adalah satu-satunya orang yang disegani di Sura karta Karena itu, betapa hati menggelegak, na mun ia masih tetap menahan diri. Ia masih harus berse mbunyi dan menurut nasehat pamannya, agar ia tidak berbuat sesuatu. Setiap kali terngiang di telinganya "Said, Jika aku berhasil me mada mkan api yang kau nyalakan, maka aku akan mendapat banyak kesempatan me mpersiapkan Sukawati. Kecurigaan terhadapku akan berkurang, dan aku dapat menuntut hak resmi atas tanah Sukawati itu. Bukan karena keta makanku, bahwa aku mengorbankan cita-cita mu sekedar untuk mendapat tanah kalenggahan yang luas. Tidak. Tetapi yang penting bahwa aku dan kau akan mendapat kesempatan mene mpa diri, itulah yang penting. Dengan persetujuan itu aku mendapat banyak kesempatan untuk berbuat sesuatu di Sukawati, dan kau sekarang tidak lagi mendapatkan banyak pengawasan. Karena kau menghentikan kegiatanmu, maka kumpeni agaknya menganggap bahwa apimu telah ha mpir pada m" Raden Mas Said hanya menundukkan kepalanya saja. "Marilah untuk se mentara kita tetap dalam sikap kita. Kau pergunakan kesempatan ini untuk me mpersiapkan pasukanmu yang tersebar. Sedang aku akan me mpersiapkan orangorangku. Jika kumpeni tidak mau menyadari keadaan, kita akan bergerak dengan kekerasan. Dan apaboleh buat. Namun sementara ini, aku adalah orang yang berhasil menghentikan kegiatanmu. Dan aku minta kau menerimanya dengan re la"
Raden Mas Said tidak pernah dapat menolak sikap pamannya itu. Pamannya me mang seorang yang me mpertimbangkan perjuangan dari segala segi. Dan pamannya tidak sampa i hati me lihat korban berjatuhan dari hari kehari dan se ma kin la ma se ma kin berganda. Namun, setelah hal itu berlaku beberapa saat, ternyata kumpeni tidak juga merubah sikapnya. Setiap kali kumpeni justru menunjukkan sikap angkuhnya dan seakan-akan bahwa bangsa yang berkulit putih itu me mpunyai martabat yang lebih tinggi dari bangsa yang berkulit sawo. Dala m pada itu Pangeran Mangkubumipun sadar, bahwa Raden Mas Said tentu akan semakin bersakit hati terhadap kumpeni, na mun da la m pada itu, Pangeran Mangkubumi yang me lihat ke mungkinan yang tipis untuk merubah keadaan tanpa kekerasanpun telah me mpersiapkan diri sebaik-ba iknya. Meskipun de mikian, setiap kali Pangeran Mangkubumi masih diragukan O leh hubungan ka kak beradik dengan Kangjeng Susuhunan Pakubuwana. Sebagai dua orang bersaudara, Pangeran Mangkubumi adalah adik yang dekat dari Kangjeng Susuhunan Pakubuwana. Tetapi dari sikap dan pandangan hidup, mereka semakin la ma seakan-akan me njadi sema kin jauh. Raden Mas Said melihat persoalan yang rumit di dala m diri Pangeran Mangkubumi itu. Darah mudanyalah yang setiap kali mendorongnya untuk me nghadap pa manda dengan dia mdia m. Dan setiap kali ia selalu me mpersoalkan keadaan yang menurut pertimbangannya menjadi se makin sura m. "Aku mengerti Sa id" jawaban itu sela lu didengar oleh Raden Mas Said yang muda. "Kapan kita akan berbuat sesuatu pamanda. Bukan sekedar pengertian atas segalanya yang terjadi"
"Ya, ya. Kita akan berbuat sesuatu. Tetapi jika kau me mperhatikan keadaan, maka sedikit de mi sedikit, aku berhasil me mpengaruhi Kangjeng Susuhunan. Beberapa perkem bangan sikap terasa sangat mengge mbira kan" "Tetapi sikap itu tidak terasa sampai ke lapisan yang paling rendah dari rakyat kita pa man" Pangeran Mangkubumi mengangguk-angguk. Lalu katanya "Said. Aku ingin seka li waktu kau datang ke Sukawati" Demikianlah dala m waktu yang sudah ditentukan, Pangeran Mangkubumi menunggu kehadiran Raden Mas Said. Pangeran Mangkubumi tersenyum melihat Raden Mas Said itu datang sebagai seorang yang berambut putih dan me mbawa beberapa bilah keris. "Ke marilah Kiai" berkata Pangeran Mangkubumi "Aku me mang me merlukan sebilah keris dapur Mendarang" Raden Mas Said itupun tersenyum. Tetapi ia berbisik "Kumpeni menje lajahi padukuhan di sebelah Timur bengawan" Pangeran bengawan?" Mangkubumi terkejut "Sebelah Timur
"Ya paman. Tetapi karena aku telah terlanjur berjanji untuk datang, akupun datang pula dengan cara ini" Namun sikap kumpeni itu me mbuat dada Pangeran Mangkubumi menjadi bergejolak. Kumpeni sudah menjelajahi daerah-daerah yang sebelumnya tidak pernah tersinggung. "Mereka mulai curiga terhadap kediamanku sela ma ini" desis Raden Mas Sa id. "Baiklah Sa id. Tinggallah di sini beberapa saat" Dan yang beberapa saat itu dipergunakan oleh Raden Mas Said sebaik-baiknya. Baru ke mudian setelah mengenal serba sedikit atas tanah Sukawati, ia mengangguk-angguk sambil berkata "Agaknya paman me mang me miliki
perhitungan yang jauh lebih matang. Kini aku tahu, bahwa sebenarnyalah pamanda tidak sedang tertidur di atas Tanah Sukawati. Maaf pamanda, sebenarnyalah sebelumnya ada dugaanku, bahwa paman mula i terlena di atas kehijauan sawah Sukawati yang subur ini" Pangeran Mangkubumi tersenyum. Katanya "Nah, sejak saat ini, kita me mang sudah didesak untuk se ma kin matang menghadapi keadaan. Jika kita harus mempergunakan kekerasan, kitapun akan me mpergunakannya. Namun kita harus menyadari, bahwa kita berbuat sesuatu untuk ke manusiaan aan dilandasi oleh ke manusiaan, sehingga akibat perang yang terlampau ganas dan mengerikan harus kita hindari sejauh-jauh dapat kita lakukan" Raden Mas Said meningga lkan Sukawati dengan hati yang berdebar-debar. Bahkan ia melihat, bukan saja Sukawati yang telah berhasil dibentuk oleh Pangeran Mangkubumi, na mun rakyat di sekitarnyapun mulai dijalari oleh sikap yang serupa. Sehingga karena itulah, maka Raden Mas Sa id justru menjadi semakin mapan menilai pa mandanya, Pangeran Mangkubumi. Dan bahwa sebenarnyalah pamannya telah menyiapkan diri seperti yang dikatakannya. "Dengan persiapan yang lebih baik, kita tidak terperosok ke dalam sikap yang bodoh, seperti serangga terbang ke dalam api" berkata Raden Mas Said di dala m hatinya. Demikianlah Surakarta benar-benar bagaikan gunung berapi yang tampaknya tenang dan Agung. Terapi sebenarnyalah didalamnya bergolak api yang tiada tara panasnya. Dala m pada itu di dala m ke melutnya keadaan, Pangeran Ranakusuma sebagai seorang Senapati yang berpengaruh di Surakarta, mendapat banyak keterangan-angan dan laporanlaporan mengenai keadaan yang buram. Namun sebenarnyalah Pangeran Ranakusuma sedang menghadapi
keadaan yang buram di dala m dirinya sendiri, di dala m keluarganya. Ternyata bahwa Rara Warih benar-benar tidak segera dapat dilunakkan hatinya. Bahkan ia sudah menganca m untuk meninggalkan rumah ayahnya dari pergi ke rumah eyangnya, jika Juwiring tidak segera pergi me ningga lkan rumah itu. "Warih" berkata ayahandanya "Kau tidak boleh berkeras hati seperti itu" "Aku akan tinggal bersa ma ibunda" jawab Warih "barangkali hal itu akan lebih baik bagiku" dan tiba-tiba saja ia bertanya "Kenapa maka ibunda tidak segera kembali ke rumah ini ayah. Kamas Rudira sudah dipanggil ke mbali oleh Tuhan. Dan tentu saja kita tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi. Ibunda tentu sudah mulai tenang dan menerima kenyataan ini dengan hati yang lapang" "Sudahlah Warih. Biarlah ibumu berada di rumah eyangmu untuk se mentara. Jika ia sudah merasa tidak terganggu lagi ketenangannya, maka ia a kan ke mbali dengan sendirinya" "Ah, bukan begitu ayah. Tentu ayahanda yang harus menje mput. Bukan ibunda yang datang dengan sendirinya" Pangeran Ranakusuma mengerutkan keningnya. Lalu "Sudahlah. Sebaiknya kau tidak mengganggu ketenangan ibumu. Kau harus mencoba bersikap dewasa, Warih. Kau adalah satu-satunya anak gadisku. Karena itu, kau sangat aku perlukan di sini. Tanpa kau, maka rumah ini bagaikan hala man yang tidak me miliki sebatang pohon bungapun. Gersang" "Tetapi ayah harus menyingkirkan anak padesan itu" "Ia kakakmu Warih. Tidak ada bedanya dengan Rudira. Jika kau mendekatkan hatimu, maka kau a kan merasakan bahwa ia benar-benar kaka kmu" "Tida k. Aku tida k dapat sederajat dengan ibuku" menerimanya. Ibunya tidak
Pangeran Ranakusuma menarik nafas dalam-dala m. Ia tidak dapat mengatakan sesuatu yang menggelepar di dala m hatinya, bahwa derajat seseorang tidak menentukan kelurusan hatinya. Bahwa Raden Ayu Galih Warit yang lebih tinggi derajatnya dari ibu Juwiring tida k menja min bahwa hatinya lebih putih. "Apakah anak itu harus mengetahui keadaan ibunya?" Ia bertanya kepada diri sendiri "biarlah ia mengetahui dengan sendiri. Aku tidak sa mpai hati mengatakannya. Jika ia me ma ksa untuk pergi ke istana eyangnya, mungkin ada juga baiknya" Ternyata pikiran itu telah mengganggu perasaan Pangeran Ranakusuma. Bahkan ia telah dicengka m oleh keragu-raguan yang dalam. Bagi Juwiring, sikap adiknya itu selalu menggelitiknya. Justru seakan-akan merupa kan tantangan yang harus dijawabnya. Karena itu, ketika ayahnya sekali lagi bertanya kepadanya, maka Juwiringpun menjawab "Ayahanda. Aku akan pergi ke Jati Aking bersama kedua saudara angkatku. Aku akan me mbicarakannya dengan Kiai Danatirta, apakah sebaiknya aku berada di Jati Aking atau di Sura karta" "Juwiring" berkata Pangeran Ranakusuma "Jika. tidak ada sebab sebelumnya, jawabmu tidak akan dapat aku terima. Aku adalah ayahmu. Akulah yang menentukan, sehingga kau tidak perlu bertanya dan me mbicarakan dengan siapapun juga. Tetapi aku tidak dapat ingkar, bahwa selama ini aku bukannya seorang ayah yang baik bagimu, sehingga akupun tidak berani me larangmu. Pergilah dan sa mpaikan sala mku kepada Kiai Danatirta. Aku akan minta kau dengan resmi seperti aku pernah menyerahkan kau kepadanya lewat Ki Dipanala. Karena itu biarlah Ki Dipanala menyertaimu" Demikianlah ma ka Juwiringpun segera me mpersiapkan dirinya, Agaknya Buntal dan Arumpun sudah merindukan padepokannya setelah untuk beberapa hari mereka berada di
kota. Setelah mereka me lihat betapa keruhnya udara di atas kota yang tampaknya se makin ge merlapan itu. Diiringi oleh Ki Dipanala merekapun mohon diri kepada Pangeran Ranakusuma untuk meninggalkan kota dan ke mba li ke padepokan mere ka yang terasa tenteram dan da mai. "Sekali-sekali kalian Pangeran Ranakusuma. harus, datang kemari" berkata
"Terima kasih Pangeran jika hamba diijinkan untuk sekalisekali datang ke mari. Agaknya hamba berdua pada suatu saat tentu akan merindukan kota yang ra mai ini dengan segala maca m isinya" "Baiklah. Kalian dapat me mbawa bekal yang sudah disiapkan oleh Ki Dipana la dan sekedar oleh-oleh buat Kiai Danatirta. Aku mengharap dalam waktu yang dekat Ki Dipanala ke mbali dengan me mbawa Juwiring serta, meskipun ia seterusnya akan mondar-mandir antara kota ini dan padepokan Jati Aking seperti yang aku harapkan, kalianpun berbuat demikian pula" Dengan me mbawa beberapa maca m pe mberian dari Pangeran Ranakusuma, ma ka anak-anak Jati Aking itupun segera memacu kudanya, kembali ke padepokan yang rasarasanya sudah terlalu lama mereka tinggalkan. Apalagi Arum, yang hampir tidak pernah berpisah dengan ayahnya untuk waktu yang agak panjang, sehingga ketika kudanya sudah berlari di luar regol kota, rasa-rasanya ia segera ingin bertemu dengan ayahnya itu. "Sela ma ini tentu ayah pergi ke sawah seorang diri" katanya. "Tentu tidak me mbantunya" Arum. Beberapa orang cantrik dapat
"Mereka kadang-kadang masih be lum dapat dipercaya me lakukan pe kerjaan penting, sehingga tentu ayah sendiri
yang melakukannya. Mereka bekerja tanpa berpikir selain me mperguna kan tenaganya saja" Buntal mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menyahut lagi. Rasa-rasanya perjalanan kembali ke padepokan Jati Aking itu terlampau la ma lagi Arum. Namun kesegaran udara padesan me mbuatnya segar setelah untuk beberapa lama, rasa-rasanya nafasnya tercekik oleh kehidupan kota. Se mula Arum berpendapat, bahwa orang-orang kota, terutama para bangsawan adalah orang-orang yang hidup dengan ikatanikatan yang membatasi gerak dan tingkah laku mereka, sehingga mereka adalah orang-orang yang sopan, lembut dan bahkan hampir tidak berbuat sesuatu jika tidak perlu. Juwiring merupakan contoh ga mbaran tentang para bangsawan. Menurut Arum, Juwiring adalah bangsawan yang tersisih dan sudah la ma hidup di padesan sehingga bangsawan yang tinggal di kota tentu lebih lembut dan beradab dari padanya. Namun ternyata ia keliru. Kota yang kaya itu adalah kota yang dipenuhi dengan nafas yang kotor dan kasar. Beberapa bangsawan yang dijumpainya di pinggir bengawan ternyata me mpunyai sifat dan watak yang jauh lebih kasar dari para petani. Para petani betapapun kasarnya, namun pada umumnya me miliki kejujuran. Tetapi tidak bagi mereka yang ada di pinggir bengawan itu. Namun betapapun la mbatnya menurut perasaan Arum, kuda-kuda itupun se ma kin la ma menjadi se makin de kat dengan Jati Aking. Sekali-sekali mereka me mang perlu beristirahat dan me mberi kesempatan kepada kuda-kuda mereka yang berpacu itu untuk meneguk air bening di parit yang mengalir di pinggir jalan, dan makan rerumputan hijau yang segar. Dala m pada itu, ternyata Rara Warih di Surakarta, tidak dapat dicegah lagi oleh ayahandanya. Dengan keras ia me ma ksa untuk pergi ke rumah ka keknya.
txt oleh http://www.mardias.mywapblog.com
"Sebaiknya kau berpikir lebih jernih lagi Warih" berkata ayahnya "Kau jangan me mbuat ibunda mu sema kin bersedih" "Bukan aku. Tetapi ayahanda" "Kenapa aku Warih" "Ayahanda menyuruh anak Jati Aking itu untuk kembali lagi ke mari. Bahkan ayahanda menyertakan Ki Dipanala untuk menya mpaikannya kepada gurunya agar ia diperkenankan ke mbali. Sudah aku katakan ayahanda, bahwa aku tidak dapat menerima nya di rumah ini seperti yang pernah dikatakan oleh ibunda. Apalagi sepeninggal ka mas Rudira. Anak itu tentu merasa menjadi raja di ruma h ini, dan aku adalah sekedar inang pengasuhnya" "Jangan berprasangka Warih. Juwiring sudah biasa berprihatin sejak kecil. ia tidak akan berbuat seperti itu" "Aku harus mendengar pendapat ibunda dahulu ayahanda" Pangeran Ranakusuma menarik nafas dala m-dala m Dan karena ia tidak dapat mencegah lagi, maka diperintahkannya menyiapkan kereta untuk mengantarkan Warih ke rumah kakeknya. Kedatangan Warih seorang diri telah mengejutkan eyangnya, Pangeran Sindurata, sehingga dengan tergesa-gesa ia menyongsong cucunya yang dikasihinya itu. "Warih, kau sendiri?" bertanya Pangeran Sindurata. Warih merendah sedikit sa mbil menjawab "Ya eyang"
"Dima na ayahmu?" "Ayah ada di rumah, eyang" "Jadi ia sampai hati melepaskan kau sendiri?" "Sebenarnya ayahanda berkeberatan aku datang ke mari. Tetapi aku telah me maksa. Dan ayahanda tidak mengantarkan aku selain me merintahkan menyiapkan kereta dan saisnya" "O" Pangeran Sindurata menarik nafas dalam-dala m, lalu "Marilah masuklah" Warihpun ke mudian mengikuti Pangeran Sindurata masuk ke dala m. Sejenak ia termangu-mangu, lalu iapun bertanya seolah-olah di luar sadarnya "Dimanakah ibunda?" Pangeran Sindurata menarik nafas dala m-dala m. Lalu "Duduklah dahulu. Bibimu ada di sini" "Bibi?" "Ya" sahut eyangnya. Dan sebelum ia meninggalkan Warih seorang perempuan bangsawan telah muncul dari balik pintu. Ia adalah adik kandung Raden Ayu Galihwarit yang me mpunyai hubungan gelap dengan Pangeran Ranakusuma. "Kau Warih " sapanya sambil tersenyum. Warihpun tertawa sambil menyahut "Ya bibi. Sudah lama bibi datang?" "Sudah tiga hari aku berada di sini. Aku mengawani ibumu Warih" "O" Ia berdesis "Apakah ibunda masih belum se mbuh dari kejutan itu" Bibinya tidak segera menyahut. Tetapi iapun kemudian duduk di sisi Warih sambil berkata "Duduklah dahulu. Biarlah para pelayan menghidangkan minuman. Kau tentu haus"
"Ya, duduklah dahulu Warih" berkata Pangeran Sindurata "Aku akan ke pendapa" Pangeran Sinduratapun kemudian pergi ke pendapa dengan hati yang berdebar-debar. Jika Warih berkeras untuk menjumpai ibundanya, maka gadis itu akan menjumpai kekecewaan. Meskipun kadang-kadang Raden Ayu Galih Warit sudah cukup sadar, namun kejutan yang kecil saja dapat me mbuatnya ka mbuh ke mba li dan mengigau tanpa terkendali. Jika ia me lihat Warih, ma ka ke mungkinan itu a kan dapat terjadi, karena Warih akan menuntun kenangannya atas Raden Rudira, yang mati di hadapan hidungnya tanpa diketahuinya. Bahkan di dala m saat-saat tertentu Galih Warit telah merasa bersalah, seolah-olah ia sendirilah yang telah me mbunuhnya. Dengan kepala tunduk Pangeran Sindurata itu berjalan di sepanjang tangga pendapa. Hatinya yang gelisah me mbuatnya bimbang, seakan-akan hari-harinya telah menjadi gelap. Pangeran Sindurata terkejut ketika t iba-tiba saja ia me lihat seseorang berjongkok di bawah tangga. Sambil menyembah orang itu berkata terbata-bata "Ampun Pangeran. Apakah hamba harus menunggu cucunda atau hamba sudah diperkenankan mendahului ke mbali ke Ranakusuman?" Pangeran Sindurata mengerutkan keningnya. Dipandanginya sais itu sejenak, lalu iapun bertanya "Siapa kau?" "Ha mba adalah sais kereta Pangeran Ranakusuma yang mengantarkan puteri ke mari?" "O, kau yang mengantarkan Warih?" "Ha mba Pangeran" "Pergilah. Biarlah Warih di sini. Jika ia me maksa ke mbali, biarlah keretaku diperguna kannya"
"Ha mba Pangeran. Jika demikian maka ha mba akan mohon diri" Pangeran Ranakusuma tidak menjawab, la berjalan lagi hilir mudik. Tetapi ketika ia melihat kereta itu bergerak, maka timbullah pikirannya yang lain, sehingga tiba-tiba saja ia bertepuk tangan keras-keras sambil berteriak "Berhenti, he, berhenti" Seorang juru taman yang mendengarnya dan mengerti maksudnya segera berlari-lari menghentikan kereta yang sudah bergerak maju. Pangeran Sinduratapun ke mudian me la mbaikan tangannya me manggil sais yang dengan tergesa-gesa meloncat turun dari keretanya dan menghadap Pangeran Ranakusuma Dengan kepala tunduk iapun ke mudian berjongkok dihuwah tangga pendapa. "Jangan pergi dahulu. Mungkin Warih tidak akan terlalu la ma tinggal di sini. Taruhlah kereta itu di tempat yang terlindung oleh terik matahari, dan barangkali kau dapat me mberi minum dan makan kuda-kuda mu lebih dahulu. Dan jika kau sendiri haus, pergilah ke be lakang" Sais itu termangu-mangu ke mudian "Ha mba Pangeran" sejenak. Namun katanya
Pangeran Sindurata tidak menghiraukannya lagi. lapun berjalan pula hilir mudik di tangga pendapa. "Mudah-mudahan Warih dapat dibujuk oleh bibinya" berkata Pangeran Sindurata itu di dala m hatinya. Namun agaknya Warih yang keras hati itu ingin bertemu dengan ibunya betapapun bibinya me mbujuknya. "Aku akan me mbicarakan dengan ibunda. Anak Jati Aking itu kini merasa dirinya terlalu berkuasa di istana Ranakusuman" katanya dengan suara yang dalam. "Apa yang sudah dikerjakan" Apakah ia pernah berbuat kasar terhadapmu, Warih?"
Rara Warih termangu-mangu sejenak, la mencoba mencari jawab. Tetapi ia menjadi bingung sendiri, karena ia tidak mene mukan sesuatu yang dapat disebutnya sebagai jawaban. Juwiring me mang be lum pernah berbuat apa-apa. Karena itu untuk beberapa saat Rara Warih justru terdiam sambil me nundukkan kepalanya. "Warih" berkata bibinya "Sudahlah. Jika anak itu me mang tidak berbuat apa-apa, biarlah untuk se mentara ia tinggal di sana jika me mang ayahandamu menghenda ki. Tetapi jika ibunda mu sudah baik sa ma sekali, biarlah ia berusaha mengusirnya seperti yang pernah dilakukannya" "Tida k bibi. Orang itu harus segera pergi" Bibinya menarik nafas dalam-dala m. Lalu katanya "Sudahlah, tenanglah. Segala sesuatunya akan dapat diselesaikan dengan sebaik-baiknya. Percayalah" Warih menjadi ge lisah. Ia tahu bahwa Juwiring a kan minta diri kepada gurunya di Jati Aking dan ke mudian akan t inggal di istana Ranakusuman. Dan itulah yang me mbuatnya terlampau gelisah. Jika ibunya dapat diaja knya berbicara, maka ibunya tentu akan menentangnya. Biasanya ayahandanya tidak pernah menentang jika ibundanya sudah bersikap agak keras. Tetapi ibunya kini sedang dala m keadaan yang lain. Sejenak Rara Warih duduk bersama bibinya. Seorang pelayan menghidangkan se mangkuk minuman panas dan beberapa potong ma kanan. Rara Warih sudah terbiasa makan jenis makanan yang lain dari makanan yang dijumpainya di Surakarta. Makanan yang dihidangkan itupun sejenis makanan yang datang oleh pengaruh kumpeni. Tetapi ketika Rara Warih sudah minum seteguk dan makan sepotong ma kanan, iapun mendesak lagi kepada bibinya untuk bertemu dengan ibunya.
"Warih. cobalah mengerti. Apakah kau tidak kasihan kepada ibumu" Pertanyaanmu dapat menimbulkan persoalan baru di dala m dirinya. Jika kau me mang tidak mau t inggal bersama anak yang kau sebut berasal dari Jati Aking itu, tinggallah untuk beberapa saat di rumahku" Rara Warih mengerutkan keningnya. Ia merasa aneh atas tawaran itu. Biasanya ia berada di ruma h eyangnya, dan bahkan beberapa orang sepupunyapun berada di rumah ini. Tetapi kini bibinya menawarkan agar ia tinggal diminatinya. "Pikirkan baik-baik Warih" berkata bibinya. "Bibi" bertanya Warih ke mudian "Jika aku t idak ingin tinggal di rumahku sendiri, kenapa aku t idak t inggal pada eyang di sini?" Bibinya tersenyum. ketenangan Warih" Katanya "Ibumu me merlukan
Rara Warih menarik nafas dala m-dala m. Na mun keinginannya untuk bertemu dengan ibunya justru menjadi semakin mendesak. Meskipun de mikian, ia mencoba menahan diri. Na mun de mikian di luar sadarnya ia berkata "Pintu bilik ibunda bibi. Apakah ibunda tidak terganggu oleh angin. Apakah tidak sebaiknya pintu itu ditutup?" Bibinya menjadi termangu-mangu. Ia mendapat kesulitan untuk menjawab, karena sebenarnya Raden Ayu Galih Warit tidak berada di dalam bilik yang terbuka itu. Meskipun demikian, bibinya itupun berdiri dan melangkah menutup daun pintu yang terbuka itu. "Ibunda mu sedang tidur nyenyak" berkata bibinya. "Apakah aku dapat menengoknya" Bukankah selagi tidur ibunda tida k me lihat aku" "Duduklah" bibinya mencegah, lalu "Warih. apakah kau pernah menjumpa i makanan jenis ini" Ka mi mendapatkan dari
seorang perwira kumpeni. Makanan ini disimpan dalam te mpat tertutup yang rapat" Tetapi Warih mengangguk. Katanya "Ayahanda mempunyai banyak jenis ma kanan se maca m ini" "O" bibinya mengangguk-angguk. Namun ia menjadi gelisah karena na mpaknya Warihpun menjadi gelisah. Dala m pada itu, ma ka Pangeran Sinduratapun ke mudian ikut duduk bersa ma dengan mereka. Dicobanya untuk me mbicarakan berbagai masa lah yang tidak menyangkut Raden Ayu Galihwarit. Namun setiap kali Rara Warihlah yang selalu menyebut-nyebut nama ibundanya. Dengan de mikian, ma ka baik Pangeran Sindurata. maupun bibi Warih itu menjadi ce mas. Apakah jika Rara Warih berada di istana itu sehari penuh, mereka akan tetap dapat me ma ksanya untuk duduk di tempatnya tanpa mendapatkan ibundanya sama sekali" Dala m pada itu. kelika Rara Warih sedang pergi ke pakiwan, bibinyapun berkata "Ayahanda, sebenarnya Warihpun sudah dewasa" Ayahnya, Pangeran Sindurata tidak segera menjawab. Direnunginya wajah anak perempuannya itu. Namun ia tidak tahu pasti, apakah yang sebenarnya bergolak di dalam hati anaknya itu. Sebenarnyalah, bahwa di dalam hati perempuan bangsawan itu justru dijalari oleh pikiran yang aneh. Sejak Raden Ayu Galihwarit tidak lagi mungkin diterima di istana Ranakusuman sebelum ia sembuh benar-benar, ia merasa seakan-akan mendapat kebebasan yang lebih luas untuk berhubungan dengan Pangeran Ranakusuma. Karena itu, kadang-kadang ia harus berjuang untuk menindas godaan itu. Meskipun demikian, sepercik kabut yang kelam telah meliputi hatinya. Apakah salahnya jika Warih mengetahui keadaan ibunya dan ke mudian karena itu ia menjadi sa kit hati dan kehilangan
segala gairah hidupnya" Bukankah dengan de mikian berarti bahwa Pangeran Ranakusuma menjadi se makin bebas untuk berbuat apa saja" Sedangkan anak la ki-lakinya yang pernah berada di Jati Aking itu tentu tidak akan banyak menca mpuri persoalan ayahandanya, karena bahwa ia diijinkan ke mbali ke istana itupun agaknya telah me mbuatnya berterima kasih sampai keujung ubun-ubun. "Tetapi bagaimana jika Warih justru me nggantungkan dirinya sepenuhnya kepada ayahandanya setelah ia dikecewakan oleh ibunya?" pertanyaan itu timbul juga di dalam hati bibi Warih itu. Tetapi lalu dijawabnya "Pangeran Ranakusuma adalah seorang Senapati, la tentu terlampau sering meninggalkan rumahnya dan anak-anaknya dengan alasan apapun. Dan Warih tidak akan dapat mencegahnya meskipun di saat". Pangeran Ranakusuma ada di rumahnya, gadis itu menjadi sangat manja" Karena itu, maka selagi Pangeran Sindurata masih termenung, iapun berkata selanjutnya "Ayahanda, lambat atau cepat, akhirnya Warihpun akan mengetahuinya pula " Pangeran Sindurata mengangguk-angguk. Tetapi ia ke mudian berkata "Tetapi tidak sekarang. Hatinya masih terlalu getas. Justru karena Juwiring ada di istananya pula, Biarlah aku menyuruhnya kemba li saja. Aku telah menahan keretanya agar menunggu" "Tetapi alasan apakah yang harus kita katakan kepadanya ayahanda?" "Katakan, bahwa ibundanya masih be lum dapat mene mui siapapun. "Aku sudah terlanjur mengatakan bahwa ibunya sedang tidur nyenyak. Dan sudah barang tentu ia menunggu sa mpai ibunya terbangun" Pangeran Sindurata menjadi bingung, sehingga ia t idak sempat berpikir apapun lagi. Apalagi ketika kepalanya mulai
pening, ma ka katanya "Kepalaku mulai sakit. Tengkukku rasarasanya menjadi tegang. Penyakitku akan ka mbuh ke mbali jika aku harus me mecahkan persoalan yang sangat rumit ini bagiku. Karena itu, terserah saja kepadamu. Tetapi kau harus sadar, bahwa jika Warih mengetahui keadaan ibunya, ia akan menga la mi kejutan yang tidak ka lah dahsyatnya seperti saat Rudira meninggal. Dan kau harus bersiap menghadapi persoalan itu. Jika terjadi apa-apa dengan Warih di sini, maka persoalan kita dengan Pangeran Ranakusuma akan menjadi semakin berta mbah-tambah. Kebenciannya kepadaku akan menjadi berganda. Tetapi akupun akan menjadi muak me lihatnya" Anak perempuannya itu mengerutkan keningnya. Na mun iapun ke mudian menjawab "Mudah-mudahan Warih cukup tabah. Persoalan itu akan datang juga akhirnya. Bukankah ayahanda dapat menduga bahwa Pangeran Ranakusuma tidak berkeberatan melepaskan Warih dengan kemungkinan serupa itu" Ternyata Warih diperkenankan datang sendiri. Bahkan kareta itu diberikannya untuk mengantarkan Warih. Apakah hal ini bukan suatu isyarat, bahwa ayahandanya tidak berkeberatan jika Warih mengetahui persoalan yang sebenarnya, justru karena ia sudah dewasa?" Pangeran Sindurata me mijit tengkuknya yang mulai sakit. Katanya "Terserah kepadamu. Aku akan berbaring. Aku akan minum perahan daun selederi itu, agar kepalaku tidak terlanjur sakit" Ketika ke mudian Rara Warih kembali dari Pakiwan, maka Pangeran Sindurata telah tidak ada di ruangan tengah. Pangeran tua itu telah berada di dalam biliknya dan berbaring sambil me meja mkan matanya. Sejenak Rara Warih termangu-mangu. Tetapi ia tidak bertanya tentang eyangnya yang tidak tampak duduk di antara mereka.
"Warih" berkata bibinya kemudian "sebenarnya sangat berat bagiku dan eyangmu, untuk me mpertemukan kau dengan ibunda mu. Karena agaknya kejutan itu masih me mpengaruhinya sela ma ini" "Tetapi bibi, aku kira aku harus bertemu dengan ibunda segera sebelum ka mas Juwiring itu ke mbali ke istana Ranakusuman. Jika ibunda se mpat me mbicarakan dengan ayahanda, maka tentu ayahanda sempat mengirimkan utusan untuk mencegah kedatangan anak Jati Aking itu" Sejenak bibi Warih itu dilanda oleh kebimbangan. Sekalisekali ia masih mencoba me mpertahankan dirinya dari godaan perasaan dan nafsunya. Namun ternyata bahwa ia tidak dapat me lawannya lagi sehingga akhirnya ia berkata "Terserahlah kepadamu Warih. Tetapi aku dan eyangmu telah mencoba mencegahmu. Jika terjadi sesuatu dengan ibumu, itu adalah kesalahanmu" "Ah" desah Rara Warih "Kenapa bibi berkata de mikian?" "Aku tahu bahwa ibunda mu belum se mbuh sa ma seka li" Rara Warih termangu-ma ngu sejenak. Na mun ke mudian ia berkata "Aku akan berhati-hati. Aku hanya ingin me mohon agar ibunda sudi mengurungkan niat ayahanda memanggil kamas Juwiring. Jika ibunda masih akan beristirahat di sini, aku hanya ingin ibunda menulis surat kepada ayahanda, bahwa ibunda tida k sependapat jika anak Jati Aking itu ke mbali lagi ke istana. Jika ayahanda masih me mikirkan kesehatan ibunda untuk seterusnya, maka tentu ayahanda akan mengabulkannya. Sebab jika tida k maka ibunda tidak akan segera mendapatkan ketenangannya ke mbali" Bibinya menarik nafas dalam-dala m. Lalu kepadamu Warih. Jika kau ingin berte mu, marilah" "Terserah iapun
Rara Warih menjadi berdebar-debar. Tetapi ke mudian berdiri ketika bibinyapun berdiri pula.
"Ibunda mu ada di bilik be lakang Warih" "O" Rara Warih terkejut "Apakah ibunda tidak ada di dala m bilik itu?" "Di sini agaknya terlalu ribut me merlukan ketenangan" bagi ibunda mu yang
Rara Warih tidak menyahut lagi. Ia mencoba mengerti keterangan bibinya itu. Dan iapun ke mudian me langkah mengikut i bibinya ke bilik belakang, meskipun masih ada di dalam lingkungan istana dala m. Sejenak Warih berpaling me mandangi pintu yang tertutup. Ia mengira bahwa ibunya ada di dala m ketika pintu itu terbuka. Ternyata ibundanya tidak ada di dala m bilik itu. Dengan langkah yang bimbang Rara Warih mengikuti bibinya. di depan pintu bilik yang tertutup mereka berhenti sejenak. Bibinya masih se mpat berkata "Jangan membuatnya terkejut dan bersedih Warih" Warih mengangguk "Ya bibi" Perlahan-lahan bibinya me mbuka kan pintu bilik itu. Sejenak ia berdiri termangu-ma ngu. Namun sejenak ke mudian iapun tersenyum sambil berkata "Apakah kau menjadi sema kin baik?" Terdengar sebuah tarikan nafas yang dalam. "Masuklah" "Aku datang mengantarkan Warih" "Warih. Warih ada di sini?" bertanya Raden Ayu Galih Warit yang berbaring di pe mbaringannya. Warih yang menahan kerinduannya tidak dapat bersabar lagi. Tiba-tiba saja ia berlari dan me me luk ibunya yang masih tetap berbaring. "Ibunda" desisnya "ibunda sudah se mbuh sa ma se kali?"
Sambil me mbela i ra mbut anaknya Raden Ayu Galih Warit berkata "Aku sudah menjadi se makin baik Warih" Setitik air mata jatuh dari pelupuk Rara Warih. Katanya dengan suara serak "Aku sudah sangat rindu. Dan aku menunggu ibunda setiap saat" Ibunya tersenyum. Katanya "Jika ibunda sudah baik sa ma sekali, ibunda akan segera ke mbali" "Tentu ibunda. Jika sekiranya ibunda sudah sanggup, sebaiknya ibunda segera ke mbali. Nanti aku akan me layani semua kebutuhan ibunda" Raden Ayu Galih Warit menarik nafas dalam-dala m. Tetapi ketika hatinya akan tergelincir ke dala m kepedihan, dengan sekuat tenaganya ia bertahan, dan mencoba menyingkirkan segala perasaannya, justru karena anak gadisnya ada di dalam bilik itu. Ternyata Raden Ayu Galih Warit berhasil. di dala m hatinya Raden Ayu Galih Warit itu berkata "Aku tidak boleh kehilangan kesadaran selagi Warih ada di sini. Aku harus tetap menyadari setiap kata yang aku ucapkan. Dan aku harus bertahan dari deraan perasaan yang hampir tidak tertanggungkan lagi" Dengan pemusatan segenap akal budi, maka untuk beberapa saat Raden Ayu Galih Warit ternyata ma mpu bertahan. Ketika kenangannya hampir saja menyentuh Rudira, dengan cepat ia menekannya dan mencoba me musatkan segenap perhatiannya kepada Rara Warih. "Warih" katanya sambil me ngusap ra mbut anaknya "kau datang pada saat yang baik" "Ya ibu. Aku mengharap agar mengganggu ketenangan ibunda" kedatanganku tidak
"Tida k Warih. Kau justru me mbuat aku menjadi ge mbira"
Warih menekankan kepalanya ke dada ibunya. Rasarasanya seperti kehangatan di masa kana k-kanaknya tidur bersama ibunya di mala m yang sepi. Bibinya yang masih berdiri di muka pintu menjadi tertegun me lihatnya. Agaknya kehadiran Warih me mbuat hati ibunya semakin cerah. "Tetapi jika Warih mula i me mbicarakan persoalannya, maka yang akan terjadi agaknya berbeda sekali" katanya di dala m hati. Tetapi untuk beberapa saat Warih tidak mengatakan apaapa. "Duduklah" terdengar suara Raden Ayu Galih Warit kepada adiknya. Perlahan-lahan ia me langkah maju dan duduk di atas sebuah tempat duduk dari kayu yang beralaskan beludru. "Ibunda" berkata Warih ke mudian sa mbil mengangkat wajahnya dan bahkan kemudian bangkit dan duduk di sisi ibundanya "Aku berharap agar ibunda segera sembuh dan ke mbali ke rumah. Rumah kita menjadi sepi dan rasa-rasanya kering" Raden Ayu Galih Warit tersenyum. Hampir saja ia terlempar ke dalam kenangan yang dapat menyuramkan kesadarannya. Namun ia ke mudian berkata "Jika aku sudah se mbuh Warih, aku akan datang" Rara Warih mengangguk-anggukkan kepa lanya. Terlintas di dalam bayangan angan-angannya, Juwiring mulai berkuasa di istana Ranakusuman dan me merintah para abdi dan pelayan. Karena itu. ia tidak lagi dapat mengendalikan diri lagi. Rasarasanya semua yang tersimpan di da la m hatinya, akan ditumpahkannya kepada ibundanya tanpa mengingat keadaannya.
Tetapi sebelum ia megucapkan sesuatu, maka sa mbil tersenyum Raden Ayu Galih Warit berkata "Warih. Aku tahu, bahwa banyak sekali persoalan yang akan kau katakan kepadaku. Tetapi aku minta, kau menahankannya di dala m hatimu. Aku masih terlalu le mah, Warih. Bukan saja badani, tetapi juga rohani. Setiap kejutan, setiap persoalan yang berat, masih dapat me mbuat aku kehilangan kesadaran. Ketahuilah, bahwa saat ini aku sedang berjuang untuk me mpertahankan kesadaranku. Agaknya aku berhasil. Tentu saja dengan kerelaanmu me nahan hati" "O" Rara Warih berdesah. Tetapi ketika ia melihat wajah ibunya yang meskipun dibayangi oleh sebuah senyuman di bibirnya, namun wajah itu terla mpau pucat, ia tidak dapat menolaknya. Kacanya "Me mang ada yang akan aku katakan ibunda. Tetapi jika ibunda tida k dapat mendengarkannya sekarang, barangkali di saat la in" "Terima kasih Warih" "Meskipun de mikian ibunda " berkata Rara Warih kemudian "Apakah aku diperkenankan menyebut sebuah saja dari persoalan yang paling cepat harus diselesaikan?" Raden Ayu Galih Warit mengerutkan keningnya. Namun ia mengge lengkan kepalanya sa mbil berkata "Jangan Warih, jangan sekarang" Sebuah kekecewaan me mercik di wajah Warih. Ia ingin mengatakan persoalan Juwiring, agar ibunyapun dapat menga mbil sikap segera. Tetapi ia menjadi ragu-ragu melihat keadaan ibunya. Yang menjadi kecewa ternyata bukan saja Warih. Tetapi bibinyapun menjadi kecewa. Ia ingin me lihat Warih terkejut dan kemudian kehilangan segala gairah hidupnya apabila ia mendengar ibunya mengigau tentang dirinya sendiri, sambil menyebut beberapa na ma laki-laki. Dan laki-laki itu adalah kumpeni.
Tetapi yang didengarnya adalah suara Rara Warih "Baiklah, ibu. Jika ibu me mang tida k berkenan, biarlah aku kemba li besok atau lusa. Tetapi secepat-cepatnya" Raden Ayu Galih Warit menarik nafas dalam-da la m. Sekali lagi ia harus me musatkan segenap pikiran dan perasaannya untuk melawan gangguan pada pusat syarafnya. Dengan sepenuh ke mauan ia me malingkan perasaannya. Bahkan Raden Ayu Galih Warit itu tersenyum "Kau me mang sangat bijaksana Warih. Kau adalah anakku yang paling baik. Sekarang, tolong ibunda akan minum" "O" Rara Warihpun ke mudian berdiri. Sejenak ia me mandang bibinya, seakan-akan ia ingin bertanya dimanakah letak. mangkuk minuman ibundanya. Tetapi sebelum ia mengatakan sesuatu, ia mengatakan sesuatu, ia sudah melihat sebuah mangkuk di atas na mpan. Beberapa maca m buah-buahan dan makanan. Dengan cekatan Rara Warih menga mbil ma ngkuk itu dan menyerahkannya kepada ibunya. Setelah minum seteguk, maka Raden Ayu Galih Warit tersenyum pula sambil berkata "Terima kasih Warih. Aku merasa segar hari ini. Aku akan mencoba untuk tidur sejenak. Apakah kau akan bermala m di sini?" Rara Warih ragu-ragu. Tetapi ibunya meneruskan "Ke mbali sajalah ke ayahmu. Ayahmu sendiri. Barangkah kau diperlukannya" "Akulah yang selalu sendiri ibunda. Ayah terlampau sering menghadap ke istana" Ibunya mengerutkan keningnya. Namun katanya "Baiklah. Tetapi lebih baik bagimu ada di rumah. Supaya ada yang disegani oleh para abdi dan pe layan" Rara Warih mengangguk-anggukkan kepa lanya.
"Aku me mbawa kereta ayahanda" berkata Rara Warih "dan kereta itu me mang masih me nunggu di hala man" Ibunya tertawa "Baiklah. Agaknya kau me mang akan segera kemba li" Rara Warihpun kemudian minta diri. Betapapun ia merasa kecewa, tetapi ia harus menahan diri agar ibundanya tidak mendapat kejutan lagi. Rara Warihpun ke mudian meninggalkan bilik itu betapapun ia merasa kecewa, seperti juga bibinya yang kecewa meskipun alasannya berlainan. "Jika tida k sekarang, pada saatnya Warih akan mengetahui" katanya di dalam hati "Jika ibundanya telah sembuh, maka akan timbul persoalan pada keluarga itu. Apakah ka mas Ranakusuma dapat menerimanya ke mba li" Namun belum lagi mereka meningga lkan pintu bilik itu terlalu jauh, langkah mereka tiba-tiba tertegun. Mereka mendengar suara isak di dala m bilik itu. Sepeninggal Rara Warih agaknya ibundanya tidak dapat bertahan lebih la ma lagi. Tiba saja tangisnya meledak. Seperti biasanya ia mula i dilanda oleh penyesalan yang tiada taranya. Sejenak Rara Warih dan bibinya tertegun. Namun ketika Rara Warih akan berlari mendapatkan ibunya yang sedang menangis maka lengannya ditarik oleh bibinya dengan gerak naluriah sa mbil berkata "Jangan Warih" "Tetapi ibunda menangis" "Jangan" Rara Warih mengibaskan tangan bibinya. Ke mudian iapun berlari masuk ke dala m bilik itu. Ketika pintu bergetar, maka tiba-tiba saja tangis Raden Ayu Galih Warit terputus. Ditatapnya anak gadisnya yang berlari me masuki ruangan itu. Namun ternyata syarafnya sudah mulai
terganggu. Ketika ia melihat Rara Warih mendekatinya, tibatiba saja ia justru tertawa sambil berkata "He, kenapa kau datang berlari-lari. Aku tidak akan pergi sebelum kau me mberikan senjata itu" Rara Warih terkejut bukan buatan. Wajah ibunya sudah berubah sama sekali, sehingga Rara Warih justru me langkah surut. Suara tertawa ibunya menjadi semakin keras. Namun tiba-tiba suara tertawa itu terputus. Sejenak ia me mandang Rara Warih. Namun ke mudian iapun menelungkup sa mbil menye mbunyikan wajahnya di bawah kedua telapak tangannya. "Bukan aku yang me mbunuh. Bukan. Bukan" "Bibi" Warihpun menjadi gemetar. Dan tiba-tiba saja ia berlari me me luk bibinya. "Tenanglah Warih" "Bibi. Apakah yang telah terjadi dengan ibunda?" "Tida k apa-apa Warih. Tetapi itu adalah sisa-sisa dari kejutan yang tidak terhindarkan lagi" "Tetapi, tetapi ibunda menangis" Bibinya tidak menyahut. Dan tanpa dapat dike kang lagi, maka mula ilah Raden Ayu Galih Warit mengigau sepatahsepatah.
"Warih" berkata bibinya "biarlah aku me manggil e mban yang sudah biasa melayani ibunda mu" "Aku takut bibi. Aku takut" Bibinya termenung sejenak, la lu "Marilah. Ikutlah" Rara Warihpun ke mudian mengikuti bibinya me manggil e mban yang sudah biasa melayani Raden Ayu Galih Warit jika gangguan syarafnya kambuh ke mbali. Namun dala m pada itu, meskipun hanya sekilas, Warihpun sempat mendengar igauan ibunya. Sepatah-patah yang didengarnya me mbuat hatinya berdebar-debar. Seakan-akan ia mendengar suara baru yang menge mandang dari dunia yang asing baginya. Mula-mula Warih tidak tahu arti dari igauan yang sepotongsepotong itu. Namun sebagai seorang gadis yang meningkat dewasa, terasa sentuhan-sentuhan pada dinding hatinya. Semakin la ma terasa sema kin dala m dan pedih. "Bibi" Wajah Rara Warih menjadi pucat. Melihat wajah yang seputih kapas itu, bibinyapun terkejut pula. Keringat dingin yang me mbasahi wajah itu, seolah-olah Warih baru saja selesai mandi. Sepercik kekecewaan meloncat di hati bibinya. Tetapi semuanya sudah terjadi. Dan Warih sudah mendengar sebagian besar dari rahasia ibunya yang selama ini tersembunyi baginya Warih yang sama sekali tida k siap mengala mi kejutan semaca m itu, bahkan bermimpipun ia tidak berani me mbayangkannya, tiba-tiba ia telah terbentur pada kenyataan itu. Karena itu, maka nadinya bagaikan tidak berdaya lagi. Sesaat ia mencoba bertahan. Namun ke mudian matanya menjadi ge lap dan gadis itupun me njadi pingsan. Ketika Warih sadar, ia sudah berbaring di dala m bilik depan. Dilihatnya bibinya duduk di sebelahnya sambil
mengusap a ir mata. Ia benar-benar menyesal me lihat akibat yang terkesan di hati gadis itu. Di sebelah pe mbaringan itu, Pangeran Sindurata duduk dengan tegangnya. Kepalanya dibalut dengan ikat kepalanya untuk menahan pening yang bagaikan menyengat tengkuk. "Eyang" Warih mulai me nangis "Apakah yang sebenarnya sudah terjadi atas ibunda?" "Sudahlah Warih" berkata Pangeran Sindurata "Jangan hiraukan" "Tetapi aku mendengar ibunda terputus. Dan tangisnyapun me ledak. mengigau" suaranya
Beberapa saat lamanya Rara Warih tenggelam di dala m isak tangisnya. Tetapi perlahan-lahan tangis itupun mereda pula. "Warih" berkata bibinya yang pelupuknya masih basah "Kau sudah cukup dewasa. Kau wajib menghadapi kenyataan ini dengan hati yang tabah. Lambat atau cepat, kau pasti akan mengetahuinya juga. Karena itu, agar kau tidak selalu dicengka m oleh rahasia yang menyelubungi ibunda mu, maka sebaiknya kau segera mengetahuinya" "Tetapi kenyataan itu terlampau keja m bagiku bibi. Tetapi apakah aku benar-benar mendengar igauan ibunda?" "Kau harus tabah. Kematian ka masmu Rudira itulah yang benar-benar telah mengguncangkan hati ibunda mu, sehingga penyesalan yang tiada taranya telah membuatnya kehilangan kesadarannya" "Tetapi apakah benar seperti apa yang dikatakan ibunda di dalam ketida k sadarannya tentang ibunda itu sendiri bibi?" "Kita se muanya tidak mengetahuinya Warih"
"Sela ma ini aku me nganggap bahwa tidak ada noda sehitam itu di dala m keluarga ka mi" suara Warih terputus oleh isaknya yang ke mbali mulai menyesak. Bibinya menundukkan kepa lanya. dihadapkan pada suatu pengakuan. Tiba-tiba iapun
"Bagaimana jika pada saatnya Warih mengetahui keadaan ayahnya" Warih menganggap ayahnya kini sebagai satusatunya tempat bergantung. Meskipun mula-mula Warih kecewa, bahwa ayahnya me mpunyai isteri lebih dari seorang, namun apabila gadis itu mengetahui bahwa disa mping isteriisterinya itu masih ada pere mpuan lain, dan pere mpuan lain itu adalah bibinya sendiri, maka hatinya tentu akan menjadi semakin parah" berkata bibinya itu di dala m hatinya. Sejalan dengan penyesalan yang mula i mencengka m dadanya. Bukan saja karena ia telah seakan-akan dengan sengaja me le mparkan Rara Warih ke dala m keadaan yang pahit, namun juga karena hubungannya dengan Pangeran Ranakusuma. Apalagi kedua-duanya adalah orang yang telah berumah tangga. Karena itulah ma ka bukan saja Rara Warih, tetapi di pelupuk mata bibinya itupun, titik-titik air rasa-rasanya menjadi se makin banyak menga mbang. Pangeran Sindurata yang tua, yang kepalanya sering diganggu oleh perasaan sakit dan pening itupun menjadi semakin pening. Tetapi ia sempat juga mencoba melunakkan hati Rara Warih, sehingga akhirnya ia berkata "Sudahlah Warih. Sekarang kau tahu, kenapa aku dan bibimu berusaha untuk mencegahmu me ne mui ibunda mu. Tetapi agaknya semuanya telah terjadi. Kau harus bersikap dewasa. Dan agar hatimu tidak menjadi se makin pedih, sebaiknya kau ke mba li kepada ayahmu. Kau dapat berbicara dengan ayahmu dengan cara orang dewasa. Kau bukan anak-anak lagi. Terlebih-lebih lagi karena keadaan ibunda mu itu. Sekarang kau harus percaya kepada dirimu sendiri, bahwa kau ma mpu mengatasi
setiap keadaan yang bertentangan dengan keinginan dan bayangan di dala m angan-anganmu. Kau harus berani menghadapi kenyataan betapapun pahitnya" Rara Warih mencoba menganggukkan kepalanya. Tetapi ia sendiri tidak yakin bahwa ia akan dapat me lakukannya Namun demikian, ia berkata "Baiklah eyang. Sebaiknya aku kembali pula. Aku akan mengatakannya kepada ayahanda, apa yang aku jumpai di sini. Agaknya ayahandapun me mang me mbiarkan aku mendengar sendiri apa yang telah terjadi. Ternyata ayah telah me mbiarkan aku me mpergunakan kereta itu" Pangeran Sindurata mengangguk-angguk. Perlahan-lahan ia berdesis "Agaknya kami dan juga ayahandamu menganggap bahwa kau benar-benar telah dewasa" Rara Warih yang masih menit ikkan air mata mengangguk le mah. Rasa-rasanya hatinya bagaikan menga mbang di awang-awang tanpa alas. Namun ia berusaha untuk mendengarkan setiap nasehat dari kakek dan bibinya. Demikianlah, sejenak ke mudian tanpa menengok ibundanya lagi, karena Warih tidak sa mpai hati, iapun ke mba li kerumahnya. di sepanjang jalan tangannya sibuk mengusap matanya yang basah. Di be lakang keretanya berderap seekor kuda yang me mbawa seorang pengawal yang mendapat perintah dari Pangeran Sindurata untuk mengantarkan Warih sa mpa i ke istana Ranakusuman. Ketika ia naik ke pendapa rumahnya, terasa rumah itu terlampau sepi. Sepi seka li. Meskipun di regol ada juga para pengawal dan para abdi yang sibuk di kebun dan halaman, tetapi rasa-rasanya rumah itu adalah rumah yang tidak berpenghuni.
Perlahan-lahan Rara Warih melintasi pendapa. Ia tertegun sejenak ketika ia melihat pintu bergerak. Dan hatinya tiba-tiba terguncang ketika ia me lihat ayahnya berdiri di depan pintu. Rara Warih sesaat bagaikan me matung. Na mun ke mudian iapun berlari me meluk ayahnya sambil berdesah me me las "Ayah. Ayah. Aku tidak beribu lagi" Pangeran Ranakusuma adalah seorang Panglima yang pilih tanding di peperangan. Tetapi menghadapi pengakuan anaknya itu rasa-rasanya matanya menjadi panas dan lehernya bagaikan tersumbat. "Ayahanda" desis Rara Warih disela-sela tangisnya "Kenapa ayahanda tidak mengatakan kepadaku sebelumnya" Pangeran Ranakusuma me mbe lai ra mbut anak gadisnya. Setelah ia berhasil mengatur perasaannya, maka katanya "Masuklah Warih" Rara Warih mencoba menahan isaknya. Perlahan-lahan, dibimbing oleh ayahandanya ia masuk ke ruang da la m. Na mun tiba-tiba saja gadis itu berlari masuk ke dala m biliknya dan menangis tersedu-sedu sa mbil mene lungkup. Pangeran Ranakusuma berdiri sejenak di pintu yang terbuka. Dibiarkannya saja anaknya memeras air matanya. Dengan de mikian, maka beban dihalinya akan menjadi bertambah ringan, seolah-olah sebagian telah ditumpahkan bersama air matanya. Pangeran Ranakusuma ke mudian meninggalkan bilik itu dan duduk di hadapan pintu yang masih terbuka. Rasarasanya ia tidak sampai hati meninggalkan anak gadisnya, yang oleh kelelahan haii dan tubuhnya, telah tertidur sambil menelungkup. Seperti perasaan Warih, sebenarnyalah Pangeran Ranakusuma merasa betapa sepi istananya itu. Sekilas ia terkenang kepada isterinya yang telah diserahkannya ke mba li
kepada orang tuanya juga kepada isterinya yang sudah meninggal dan meninggalkan seorang anak laki-laki bernama Juwiring, bahkan sekilas terbayang wajah adik kandung Raden Ayu Galih Warit. Namun bayangan-bayangan itu ditekankannya dala mi di da la m dadanya. Sebagai seorang Senapati perang, maka ia harus dapat me mpergunakan akalnya sebaik-baiknya untuk me mecahkan setiap persoalan. Bukan sekedar perasaan. Dan persoalan pribadinya itupun dicobanya direnunginya dengan pertimbangan nalar. "Kedua anak-anak itu harus mene mukan suatu cara untuk dapat berkumpul di da la m rumah ini sebagai anak-anakku" katanya di dala m hati. Ketika ke mudian Rara Warih terbangun, maka agaknya ia sudah menjadi agak tenang. Ia tidak lagi menangis meskipun tampak betapa luka di hatinya terasa sangat pedih. Seolaholah di dala m waktu yang pende k, ia sudah kehilangan dua orang yang paling dikasihinya. Kakaknya, Raden Rudira dan kini ibunya, yang meskipun masih hidup, tetapi pengakuan di luar sadarnya itu bagaikan sebuah benteng yang tebal dan tinggi, yang me mbatasi ikatan di antara dirinya dengan ibunya. Setelah me mbersihkan dirinya dipakiwan. ma ka Rara Warih mencoba untuk menyesuaikan dirinya dengan keadaan yang rasa-rasanya baru sama sekali di dala m rumahnya itu. Tidak ada lagi yang akan memanjakannya dengan berlebih-lebihan. Ayahnya, karena tugasnya sebagai seorang Senapati, terlampau sering meninggalkan istananya. Pangeran Ranakusuma me mbiarkan anak gadisnya berbuat apa saja. Tetapi hari itu, ia sa ma sekali t idak sa mpa i hati meninggalkannya seorang diri di rumah. Sementara itu, Ki Dipana la yang menyertai Juwiring dan kedua adik seperguruannya, telah menghadapi Kiai Danatirta di Jati Aking. Banyak persoalan yang dikatakannya. Namun akhirnya sampai juga ia kepada persoalan pokok dari
kehadirannya, menyampaikan pesan Pangeran Ranakusuma untuk minta agar Kiai Danatirta mengijinkan Juwiring ke mba li ke istana Ranakusuman, meskipun itu bukan berarti bahwa ia harus meningga lkan Jati Aking. "Jarak antara Surakarta dan Jati. Aking tidak terlampau jauh" berkata Ki Dipanala ke mudian. Lalu "Kakang, jika aku diperbolehkan me mberikan pertimbangan, aku tidak berkeberatan jika Raden Juwiring ada di istana Ranakusuman. Dala m saat ini, Pangeran Ranakusuma seolah-olah sedang terlempar ke dala m dunia yang kosong. Jika Raden Juwiring berhasil menembus dinding hatinya yang kosong itu, tentu ia akan mendapat tempat. Bukan untuk kepentingan pribadi seperti Raden Rudira, tetapi untuk kepentingan yang jauh lebih luas dari kepentingan pribadi itu" Kiai Danatirta segera mengerti ma ksud Ki Dipanala. Sebenarnya iapun sependapat, bahwa Pangeran Ranakusuma perlu dibangunkan dari tidurnya yang nyenyak. Bahkan kadang-kadang dengan mimpi yang indah yang dapat me mbuatnya me mbenci dirinya sendiri. Ke luarganya dan bangsanya. Tetapi rasa-rasanya, sangat berat baginya untuk me lepaskan Juwiring. Sudah la ma anak muda itu tingga l di padepokannya. Bahkan rasa-rasanya Juwiring sudah seperti anaknya sendiri. Meskipun setiap saat Juwiring akan dapat datang ke padepokan ini, tetapi anak itu tidak akan ta mpak lagi mondar mandir di ha la man, bekerja di sawah dan pategalan, serta berada di bangsal latihan. "Apakah tidak ada jalan lain yang dapat dite mpuh" Orang tua itu bertanya kepada Ki Dipanala. "Aku tahu kakang. Sangat berat rasanya melepaskan Raden Juwiring. Tetapi aku berharap, agar kakang memberikan kesempatan yang luas kepadanya untuk me mbentuk masa depannya dengan semua kesempatan dan ke mungkinan yang
ada padanya, selain harapan-harapan yang jauh lebih berharga dari itu" "Aku mengerti. Dan aku seharusnya tidak boleh berkeberatan. Tetapi aku tidak dapat melepaskan diri dari berbicara tentang kepentingan diriku pula. Tentang perasaan seorang tua, dan tentang ketergantungan perasaanku tanpa keseimbangan nalar. Aku mengerti, seperti kesadaran seorang yang menangisi dan berteriak me manggil na ma seseorang yang telah mati. di dalam keadaan yang wajar, ia tentu mengerti, bahwa suaranya tidak akan dapat didengar, dan yang mati tidak akan ke mba li. Tetapi di dala m saat tertentu, kesadaran itu menjadi pudar jika kita mengala minya" Ki Dipanala hanya dapat menarik nafas dala m-dala m. Kiai Danatirta adalah orang yang mumpuni, sehingga ia menyadari pergolakan di da la m dirinya sendiri. Menyadari kebura man kesadarannya. Menyadari kepincangan pertimbangan nalarnya. Namun setelah merenung sejenak, Kiai Danatirta itu berkata "Agaknya me mang tidak ada yang dapat aku la kukan dari pada mengiakannya" orang tua itu berhenti sejenak, lalu "Bukan karena aku seseorang yang me miliki ke ma mpuan untuk mengatasi kesulitan perasaan sendiri. Tetapi yang lebih dari pada itu, aku mengerti bahwa aku tidak a kan dapat me lawan kehendak Pangeran Ranakusuma. Selain ia seorang Pangeran, ia juga ayah dari Raden Juwiring itu. Sebagai seorang ayah, ia me mpunyai wewenang mut lak untuk itu" Sekali lagi Ki Dipanala menarik nafas dalam-da la m. Me mang tidak akan ada keputusan la in yang dapat diambil oleh Kiai Danatirta. Ia tentu tidak akan me manggil Raden Juwiring dan bertanya kepadanya, apakah ia bersedia atau tidak, karena menurut pertimbangannya, Raden Juwiring tidak me mpunyai pilihan selain me lakukan perintah ayahandanya seperti pada saat ia harus meninggal istana itu. Demikianlah maka ia sekarang harus ke mbali ke dala mnya, meskipun
Raden Juwiring pernah bersikap untuk tida k mengaitkan dirinya lagi dengan istana dan keluarganya. Tetapi kini agaknya ada pertimbangan lain. Namun sebenarnyalah. Juwiring dicengka m oleh kebimbangan. Meskipun ia tidak berada di antara gurunya dan Ki Dipanala, namun ia duduk sendiri di dala m biliknya sambil merenungi dirinya sendiri, ke luarganya dan Surakarta. "Kelebihan harta benda tidak menja min kebahagiaan sebuah keluarga" katanya di dalam hati "meskipun jika aku harus me milih, apakah aku lebih senang menjadi seorang yang kaya atau seorang yang miskin, aku akan me milih untuk menjadi seorang yang kaya. Namun aku tidak akan dapat ingkar, bahwa kekayaan bukan satu-satunya sumber kebahagiaan" Dan Juwiring melihat ke da la m dirinya sendiri, keluarganya yang kisruh meskipun bergelimang kekayaan dibanding dengan keluarga yang tampak tenang dan damai dipadepokan Jati Aking ini. Jika fajar mulai me merah di Timur, dan angin pagi yang segar bertiup di antara dedaunan, kemudian bayangan matahari yang menguning di wajah air jernih yang mengalir di parit-parit, disusul dengan kerja dipanasnya pagi, terasa betapa hidup ini teramat segar dan tenang. Suara seruling yang dilontarkan oleh anak-anak yang mengge mbalakan kambing ditebing kali, dentang palu pandai besi di perapian, dan rengek anak-anak me njelang minum susu ibunya di antara lenguh le mbu dan kerbau, adalah suasana dama i yang tidak akan dite mukan di da la m kota Surakarta yang sibuk oleh derap kehidupan yang terasa terlampau cepat dan tergesagesa. "Aku adalah sa lah seorang dari masa yang akan segera tertinggal oleh derap ja man" desis Juwiring di dala m hatinya
"Tetapi aku senang menikmati hidup yang damai"Tetapi ke mudian "Na mun aku tidak dapat menge lakkan jalan hidup yang terbentang di hadapanku. Jalan yang menjadi se ma kin ramai dan riuh. Dan apakah aku akan me mbiarkan diriku semakin jauh ketinggalan, selagi ada kese mpatan untuk mene mukan penghidupan baru yang barangka li a kan dapat menjadi pancadan untuk menge mbangkan hidup di padesan ini tanpa meninggalkan ciri-ciri kedama ian dan bentuk kekeluargaan yang rapat?" Pertanyaan itupun ikut bergulat di dala m hati Juwiring. Namun iapun sadar, bahwa apapun keputusannya, jika ayahnya me maksakan kehendaknya, ia tidak akan dapat menge lak. Dan itulah sebabnya ia ke mudian berkata kepada diri sendiri. "Aku harus me mbentuk jalanku sendiri, bukan sekedar terseret oleh arus betapapun derasnya, jika arus itu tidak sesuai dengan nuraniku" Dengan sandaran itulah Juwiring ke mudian me mutuskan di dalam hatinya, ia akan pergi ke Kota dan mencoba hidupi di dalam istana yang megah sebagai putera seorang Pangeran yang menjabat Senapati yang berpengaruh di Surakarta. Tanpa me mbicarakannya lebih dahulu, Kia i Danatirta dan Juwiring me mang me mpunyai kesimpulan yang sama, apapun alasannya. Juwiring akan meninggalkan padepokan Jati Aking. Ketika akhirnya keputusan itu saling disepakati dengan, beberapa pesan dari Kiai Danatirta, maka rasa-rasanya padepokan itu akan menjadi sepi bagi penghuninya yang tinggal. Kiai Danatirta yang kemudian me manggil anak-anak angkatnya itupun menjelaskan bahwa tida k ada jalan yang lebih baik bagi Raden Juwiring daripada meninggalkan padepokan ini. Tetapi bukan berarti bahwa tida k akan ada hubungan lagi di antara mereka, karena Juwiring akan selalu mondar mandir antara Surakarta dan Jati Aking.
"Apakah tidak lebih ba ik kau tetap ada di sini ka kang" berkata Buntal ke mudian "Tetapi kau sering menengok keluarga mu yang ada di Kota" "Keluarganya me merlukannya" berkata Kiai Danatirta "betapapun beratnya, aku harus melepaskannya. Tetapi seperti yang aku pesankan kepadanya, bahwa Raden Juwiring bukan saja sekedar mengisi kesepian hati ayahandanya, tetapi ia wajib me mberikan arah kepada keluarganya di dalam masamasa yang sura m bagi Surakarta ini. Dan karena itulah maka waktunya akan lebih banyak diperlukan di istananya. Namun demikian, ia masih harus menye mpurnakan ilmunya. Dan aku berharap sepekan sekali Raden Juwiring a kan datang" "Ya ayah" jawab Juwiring "Aku akan selalu datang. Aku menyadari bahwa ilmuku masih jauh dari mencukupi. Apalagi ketika aku berada di lingkungan para bangsawan. Terlebihi lagi ketika aku bertemu dengan Ka mas Said di pinggir bengawan. Maka aku merasa diriku masih terla mpau kecil" "Tentu" Kia i Danatirta mengangguk-anggukkan kepalanya "Me mang masih diperlukan waktu yang jauh untuk mende kati ke ma mpuan Raden Mas Said, Meskipun kau tidak berhasil menyama inya, tetapi Setidak-tidaknya kau dapat me mperguna kan ke ma mpuan yang sedikit ada pada mu untuk kepentingan yang baik. Baik bagi sesama dan terlebih-lebih bagi Surakarta, dan baik dala m pandangan Yang Maha Pencipta" Raden Juwiring menundukkan kepalanya, la sadar, bahwa kepergiannya dari Jati Aking ke mbali ke Surakarta, bukannya akhir dari hidup keprihatinannya. Justru ia baru mulai dengan pengabdian yang nyata meskipun baru akan dimulai dari lingkungan kecil, istana Ranakusuman. Akhirnya, datanglah saatnya Juwiring benar-benar meninggalkan Jati Aking bersa ma Ki Dipanala. Terasa setiap hati menjadi berat. Buntal yang hampir setiap saat selalu
bersamanya di dala m kerja, tidur dan bergurau, merasakan betapa ngela-ngutnya perpisahan itu. Buntal menarik nafas dala m-dala m. Ia merasakan pergolakan yang aneh di dalam hatinya. Air mata Arum itu bagaikan ujung-ujung duri yang menyentuh jantungnya. Terasa juga pedihnya. "Arum menangis karena kakang Juwiring meninggalkan padepokan ini" katanya di da la m hati. pergi
Namun ke mudian dengan segenap kema mpuan kesadarannya, ia mencoba menekan perasaan itu. Katanya kepada diri sendiri "Itu adalah wajar sekali Ia sudah berkumpul la ma sebagai saudara di dala m satu rumah. Kepergian Juwiring tentu akan me mpengaruhi perasaannya. Jangankan Arum seorang gadis betapapun ia me miliki ke ma mpuan ilmu kanuragan. Sedangkan aku, seorang la kilakipun, rasa-rasanya terlampau berat untuk berpisah dengan orang yang sudah lama t inggal bersa ma dan menga la mi persoalan dari nasib yang serupa" Meskipun demikina, setiap kali ia melihat tetesan air mata Arum, rasa-rasanya jantungnya masih tersentuh pula. "Aku bukannya pergi untuk sela ma-la manya" berkata Juwiring ketika mereka sudah berada di regol padepokan "Aku akan datang setiap kali. Kita masih akan selalu bertemu dan berlatih bersa ma. Mungkin aku akan ketinggalan karena aku hanya sempat berlatih sepekan sekali, sedangkan kalian akan me lakukannya setiap hari. Namun aku sadar, bahwa aku masih harus me ningkatkan ilmuku. Dan Jati Aking adalah sumber ilmu itu" Arum menganggukkan kepa lanya. Tetapi tidak sepatah katapun yang dapat keluar dari mulutnya. "Ka mi di sini a kan selalu menunggu jika saatnya kau datang" berkata Buntal kemudian "mudah-mudahan kau berhasil berdiri sebagai batu karang yang teguh di tengah arus
banjir bandang. Kau akan dapat menjadi pegangan, bukan justru kau akan hanyut di dala mnya" "Kau akan selalu berdoa untukku" sahut Juwiring "Aku sadar betapa lemahnya manusia. Karena itu, aku me merlukan sandaran, kekuatan hati yang datang dari Maha Kuasa" "Kau akan selalu mendapatkannya anakku" berkata Kiai Danatirta ke mudian "Tetapi jangan lupa menja lankan se mua perintah-perintahNya, yang terutama perintah lima waktu, dan berdoalah me mohon kepadaNya. Siang dan ma la m" "Ya ayah. Jika aku tidak menjalankannya, berarti aku sudah menjauhinya. Dan itu pertanda kegagalanku" "Tuhan akan dekat, kalau kita mende katkan diri kita kepadaNya" Juwiring menundukkan kepalanya. menyentuh hatinya dala m-da la m. Pesan itu terasa
"Aku titipkan anak ini kepada mu" berkata Kiai Danatirta kepada Ki Dipanala. "Aku akan berbuat sebaik-baiknya kakang. Dan aku akan menyerahkannya kepada ayahandanya. Selanjutnya, bukan Raden Juwiringlah yang kau titipkan kepadaku, tetapi kami, seisi istana Ranakusuman mengharapkannya, dan menitipkan diri sendiri kepada anak muda ini" "Ah" Raden Juwiring berdesah. Demikianlah maka datanglah saatnya perpisahan itu. Raden Juwiring dan Ki Dipanalapun segera meloncat ke punggung kudanya dan meninggalkan padepokan Jati Aking dengan hati yang berat, meskipun ia masih a kan selalu datang setiap pekan. Karena itu pulalah, maka se mua Barang-barangnya, pakaiannya dan apa saja, tidak dibawanya, agar setiap saat ia me merlukan jika ia datang ke padepokan itu, tidak harus me mbawanya lagi dari kota.
Untuk beberapa la ma, keduanya sa ma seka li t idak berbicara. Ki Dipanala mengerti, bahwa Juwiring masih berusaha mengendapkan perasaannya. Agaknya iapun merasakan sesuatu yang hilang ditinggalkan di padepokan Jati Aking. Hubungan yang rapat dengan Buntal dan Arum sebagai saudara sekandung saja. Sikap yang lembut dari Kiai Danatirta, dan suasana yang nyaman dan da mai. Namun ke mudian di sela-sela derap suara kudanya, Juwiring berkata "Pa man, rasa-rasanya aku akan pergi ke daerah yang asing bagiku meskipun aku sebenarnya pulang ke rumah orang tuaku" "Tetapi keasingan itu tidak akan terasa lama. Raden" jawab Ki Dipana la. "Aku tidak tahu, terhadapku. Tetapi menghiraukannya" bagaimana sikap aku bertekad diajeng untuk Warih tidak
"Sebaiknya untuk sementara Raden menjauhinya, la berhati keras seperti ayahanda dan tinggi hati seperti ibundanya" Juwiring mengangguk-angguk. Warih baginya adalah tantangan pertama di da la m rumahnya itu. Ke mudian para pengawal yang semula berada di bawah pengaruh Raden Rudira dan bahkan telah me musuhinya dan juga me musuhi Ki Dipanala. Tetapi bagi Juwiring, mereka tidak a kan banyak me mberikan kesulitan, karena apapun yang akan mereka lakukan, mereka tidak akan berani menerima akibat untuk dilepas dari pekerjaannya, atau bahkan menerima hukuman dari ayahandanya. Tetapi jika keadaan me ma ksa, maka Juwiring sendiri akan dapat menghadapinya jika mereka me mperguna kan kekerasan akibat kebencian yang sudah dipupuk bertahun-tahun oleh Rudira. "Yang paling sulit bagiku justru ada lah diajeng Warih sendiri. Tetapi justru sikap Warih itulah ma ka rasa-rasanya aku harus menjawab tantangannya"
Di da la m perjalanan berikutnya, mereka masih berbicara lagi tentang banyak hal. Kadang-kadang Juwiring tidak dapat menye mbunyikan keragu-raguannya. Namun Dipanala agaknya telah memantapkan keputusannya untuk ke mba li ke istana ayahandanya. Di padepokan Jati Aking, Ki Danatirta masih harus me mberikan penje lasan kepada Arum untuk mengendapkan hatinya yang melonja k karena kepergian Juwiring yang sudah dianggapnya sebagai saudara kandungnya sendiri. Sedang Buntal didera oleh persoalannnya sendiri. Perpisahan itu me mang me mbuatnya mura m. Tetapi tangis Arumpun telah menimbulkan persoalan yang betapapun disingkirkannya, masih saja sela lu mengge litiknya. Demikianlah, maka dahari berikutnya, Juwiring telah mulai dengan tata kehidupannya yang baru. Ia kini tidak berada di rumah ayahandanya sekedar sebagai seorang tamu. Tetapi ia kini adalah putera Pangeran Ranakusuma. Bagi para pelayan dan abdi di istana itu, timbullah berbagai maca m dugaan tentang putera Pangeran Ranakusuma yang seorang ini. Beberapa orang menganggapnya sebagai musuh yang berbahaya. Juwiring tentu akan mempergunakan kesempatan untuk me mbalas denda m, karena mereka merasa pernah me lakukan tindakan kekerasan di masa la mpau, baik selagi mereka masih dipimpin oleh Sura maupun ke mudian oleh Mandra. Sedang beberapa orang yang lain, menganggap pribadi Juwiring jauh berbeda dari Rudira, sehingga mereka menganggap bahwa kedatangannya yang tidak se kedar sebagal tamu itu, akan me mbawa angin baru di istana Ranakusuman. Tetapi yang pertama-tama harus di atasi oleh Juwiring adalah perasaan rendah diri yang sela ma ini me mbayanginya. Terutama terhadap keluarga ayahandanya dan keluarga ibu Rara Warih yang masih sering berkunjung karena mereka mengerti kegelapan yang sedang menyelubungi istana itu.
Di hari-hari yang pertama, Rara Warih masih tetap orang asing baginya. Namun se kilas, Juwiring me lihat perbedaan sikap dan tanggapan pada adik perempuannya itu. Rara Warih tidak lagi me mandangnya sebagai seorang budak yang hina, meskipun ia masih dibayangi oleh perasaan segan dan ma lu. Tetapi pada hari-hari berikutnya, ayahnya dengan telaten mencoba me mperte mukan kedua saudara seayah iitu. Dan adalah di luar dugaan Raden Juwiring, bahwa sikap Warih selanjutnya adalah sikap yang ramah dan ba ik. "De mikian cepatnya perubahan itu terjadi" bertanya Juwiring di dala m hatinya "Agaknya ayahanda berhasil menje laskan se mua persoalan yang menyangkut aku dan diajeng Rara Warih" Namun sebenarnyalah Raden Juwiring tidak mengetaliui, bahwa Rara Warih yang merasa dirinya seakan-akan berdiri di atas menara gading karena ayahandanya seorang Pangeran dan ibundanya seorang bangsawan yang lebih tinggi dari ibu Juwiring itu harus me lihat kenyataan, betapa rendahnya martabat ibundanya sebagai manusia. Dengan de mikian, Rara Warih yang meningkat dewasa itu ma mpu me ne mukan arti dari martabat seseorang. Bukan karena ia seorang putera Pangeran, bahkan putera seorang Raja sekalipun. Tetapi martabat seseorang ditentukan oleh tingkah laku dan perbuatan yang dilandasi oleh hati yang bersih dan jujur. Itulah sebabnya, maka ia tidak berani lagi mengagungkan diri karena tingkat kebangsawanannya yang lebih tinggi dari Juwiring. Tingkah laku dan perbuatan ibundanya me mbuat Rara Warih menjadi rendah diri pula. Seakan-akan ia tidak lebih dari anak seorang yang tidak me mpunyai harga sama sekali. Bahkan setiap kali ia bertanya kepada diri sendiri "Apakah kamas Juwiring juga mengetahui persoalan ibunda?" Tetapi di hari-hari berikutnya, Juwiring yang mencoba menyesuaikan dirinya dengan kehidupan di istana yang sudah
Son Of Neptune 4 Kitab Ilmu Silat Kupu Kupu Hitam Naga Bumi 3 Karya Seno Gumira Pedang Kilat Buana 2

Cari Blog Ini