Bunga Di Batu Karang Karya Sh Mintardja Bagian 25
Prajurit Surakarta itu tidak menjawab. Tetapi kepalanya sajalah yang terangguk-angguk. Seperti yang dikatakan oleh kumpeni itu, maka Buntalpun menjadi se makin dekat meskipun ia tida k langsung me nusuk ke dala m barisan lawan, na mun jarak itu me mang menjadi semakin pende k. "Nah, bukankah ana k itu menjadi se makin de kat?" desis kumpeni. "Tetapi ia tidak sendiri. Lima orang" Kumpeni itu tertawa. Katanya "Kami akan mene mbak mereka. Di antara mereka akan mati. Apa yang dapat dilakukan oleh sisanya itu" Merekapun akan segera mati" "Tetapi mereka bukan hanya berlima. di hutan itu pasti masih ada beberapa orang kawannya. Jika mereka tidak merasa kuat untuk melawan kita, mereka akan tetap bersembunyi" Kumpeni itu masih saja tertawa. Jawabnya "Tentu aku tahu. Tetapi biarlah yang lima ini kita selesaikan. Mereka tentu sekedar me mancing peluruku. Karena itu peluruku harus mengenai sasarannya" Pemimpin prajurit Surakarta itu mengangguk-angguk lagi. Ia dapat mengerti sikap kumpeni itu. Namun dala m pada itu, Buntal menjadi se makin dekat. Ia menjadi heran, bahwa kumpeni tidak berbuat sesuatu. Tetapi Buntal bukan anak yang dungu. Ia sadar, bahwa kumpenipun me mpunyai perhitungan tersendiri. Karena itu, maka iapun menjadi se makin berhati-hati. Tetapi jika ia berpacu terus, ma ka ia a kan mela mpaui pasukan Surakarta itu tanpa mendekatinya. Karena itu, maka Buntalpun harus me nga mbil sikap. Ia tidak dapat menunggu perintah lagi. Ia sudah terlepas dari ikatan pasukannya sehingga dala m keadaan de mikian, ia harus ma mpu
mene mukan cara keadaan. yang sebaik-baiknya untuk mengatasi Selagi Buntal mencoba berpikir, kumpeni di da la m pasukan Surakarta masih saja tertawa. Katanya "Biar ia berkuda terus. Ia akan menjadi se ma kin jauh lagi meninggalkan kita. Kita anggap saja sebuah tontonan yang menarik" Sebenarnyalah Buntal berpacu terus. Da la m jarak yang agak jauh ia justru me la mpaui pasukan dari Surakarta itu. Tetapi Buntal bukan seorang badut yang hanya pantas ditertawakan, karena tiba-tiba saja Buntal menarik kekang kudanya sehingga kudanya berhenti dengan t iba-tiba. Ketika kawan-kawannya ke mudian menyusulnya tanpa mengerti apa yang harus dilakukan, maka Buntalpun berkata kepada mereka "Marilah kita langsung menyerang. Kita harus saling menyilang agar mereka tida k dengan mudah me mbidik. Mudah-mudahan kawan kita yang ada di seberang dapat menyesuaikan diri" Buntal tidak usah mengulang. Kee mpat kuda itupun ke mudian me lingkar dan dengan tiba-tiba mereka berpacu langsung menuju kebarisan lawan. Tetapi keempat kuda itu berlari saling menyilang seperti sebuah pertunjukan keahlian menunggang kuda. Na mun ternyata keempatnya benar-benar telah menguasai kuda masing-masing dengan ba iknya. Hal itu telah mendebarkan hati setiap prajurit Surakarta. Tetapi juga laskar Pangeran Mangkubumi yang ada di dala m hutan. Pemimpin pasukan yang berjanggut putih itu tergetar hatinya. Ternyata Buntal, anak Jati Aking itu me miliki ke ma mpuan berpikir yang baik. Dala m keadaan yang menentukan, ia se mpat menga mbil sikap yang menguntungkan. Kumpeni yang ada di antara prajurit-prajurit Surakarta itu terkejut. Ia tidak mengira bahwa seorang anak muda pribumi yang tidak berada di dalam lingkungan keprajuritan, dapat
menga mbil sikap yang de mikian. Bagi kumpeni masih berlaku anggapan, bahwa rakyat pedesan di daerah Mataram adalah rakyat yang sederhana dan hanya ma mpu mela kukan kekerasan tanpa me mpergunakan otaknya. Namun kini mereka melihat seorang anak muda yang mampu menga mbil sikap yang mengagumkan menghadapi senjata api yang belum banyak dikena l sifat dan wataknya "Siapakah anak itu sebenarnya?" kumpeni itu berdesis. Pemimpin prajurit Surakarta itu menggelengkan kepalanya sambil me njawab "Aku belum pernah mengenalnya" "Baik" desis kumpeni itu "Ka mi akan mene mbak mereka. Awasilah yang seorang, yang datang dari sisi lain. Kami akan me mbunuh orang-orang berkuda itu. Meskipun mereka berlari saling menyilang, tetapi mereka tidak akan dapat lepas dari peluruku" Pemimpin prajurit Surakarta itu mengerutkan keningnya. Ia me mang harus me mperhitungkan, bahwa tentu bukan hanya lima orang itu sajalah yang akan segera menyerang. Sambil me mbidikkan senjatanya kumpeni itupun berkata "Bersiaplah. Tentu kita akan menghadapi orang lebih banyak lagi" Dala m pada itu pe mimpin laskar Pangeran Mangkubumi yang berjanggut putih itupun harus segera mengambil sikap. Ia tidak dapat membiarkan perhatian kumpeni sepenuhnya tertumpah kepada Buntal dan kawan-kawannya. Karena itu. sejenak ke mudian maka iapun segera me mberikan isyarat. Hanya sekejap kemudian beberapa orang yang sudah siap dengan anak panah di ujung hutan itupun segera mulai bertindak. Kuda merekapun segera berloncatan. Bukan saja derap kuda-kuda itulah yang kemudian terdengar, tetapi mereka yang berpacu sambil menyerang itupun telah berteriak dengan kerasnya.
Teriakan-teriakan itu benar-benar telah mengejutkan para prajurit Surakarta. Perhatian mereka benar-benar telah terpecah. Bahkan kumpeni yang mencoba me musatkan perhatian mereka kepada Buntal dan kawan-kawannyapun telah terganggu pula. Namun merekapun cukup berpengalaman menghadapi kejutan-kejutan seperti itu, sehingga sesaat kemudian mereka telah berhasil menguasai diri mere ka ke mba li. Tanpa menghiraukan orang-orang yang berteriak-teriak sambil me nyerang, kumpeni-kumpeni itu telah me mbidikkan senjatanya. Tetapi yang dibidik bukannya seekor kerbau yang berdiri tenang sambil makan rerumputan yang hijau segar. Yang dibidik oleh kumpeni-kumpeni itu adalah empat orang yang berpacu bersilangan. Tetapi dalam pada itu, pemimpin prajurit Surakarta itupun tidak tinggal dia m. Ia tidak dapat menunggu kumpeni itu mene mba kkan pelurunya. Orang-orang yang menyerang sambil berteriak itu telah me mpengaruhi ketenangan para prajuritnya. Karena itu, maka pe mimpin prajurit Surakarta itupun segera me mberikan isyarat. Prajurit Surakarta itupun mulai bergeser. Sementara itu kumpeni yang sedang me mbidik itupun merasa sema kin terganggu karenanya. Sehingga ketika sebuah letusan terdengar, peluru itu berdesing menyambar tubuh Buntal. Tetapi karena Buntal sela lu bergerak, ma ka yang tersentuh hanyalah ujung bajunya saja. Meskipun demikian Buntal menggera m. Bajunya yang tersayat sedikit itu me mbuat hatinya menjadi panas. Namun ia masih tetap sadar, bahwa yang didengarnya baru sebuah ledakan. Ledakan-ledakan berikutnya juga sasarannya. Bahkan menyentuhpun tidak. tidak mengenai
Tetapi ledakan yang la in telah berhasil menyambar pundak kawan Buntal yang laki. Terdengar orang itu menggera m.
Namun agaknya luka itu tida k terla mpau parah, sehingga ia sama seka li tidak menghentikan kudanya. -ooo0dw0oooKarya SH MINTARDJA Jilid 18 TIDAK ada kese mpatan lagi bagi kumpeni itu untuk me mperguna kan senjatanya karena keadaan medan. Keempat orang lawannya telah menjadi terlampau dekat. Sejenak ke mudian yang beradu adalah senjata di tangan kee mpat orang itu dengan senjata para prajurit dari Surakarta, sementara yang seorang dari sisi yang lainpun telah terlibat pula dala m pertempuran. Namun para prajurit Surakarta itu tidak se mpat me mbinasakan kelima orang itu bera mai-ra mai karena prajurit-prajurit itu harus segera bersiaga menghadapi lontaran anak panah dari laskar berkuda yang la in. yang menyerang mereka langsung sa mbil berpacu dengan anak panah mereka. Kekalutan segera terjadi. Pertempuran seperti yang diduga tidak dapat dihindarkan. Dala m pada itu, maka serangan gelombang perta mapun telah meluncur dari balik pepohonan. Beberapa orang berkuda dengan lajunya memacu kuda mereka langsung menyerang para prajurit Surakarta yang me mang telah menyiapkan diri. Tetapi laskar Pangeran Mangkubumi itu bertempur dengan rencana tertentu. Betapapun mereka dicengka m oleh luapan
ke marahan, namun mereka tidak dapat meninggalkan rencana yang telah mereka susun dengan ba ik, apalagi sesuai dengan perintah yang telah diberikan oleh Pangeran Mangkubumi. Karena itu, maka pasukan Pangeran Mangkubumi itu tidak langsung menusuk prajurit Surakarta itu sa mpai ke jantung barisan. Mereka seakan-akan hanya berputaran mengepung prajurit-prajurit Surakarta itu. Dengan de mikian maka pertempuran yang terjadipun seakan-akan selalu bergeser dan bergerak. Tetapi putaran pasukan Pangeran Mangkubumi itu dapat me mbingungkan lawannya. Mereka harus berusaha menyesuaikan diri. Dengan demikian mereka tidak segera dapat menyusun ge lar tertentu untuk menghadapi perang yang berputaran. Apalagi pasukan Pangeran Mangkubumi bertempur sa mbil berteriak-teriak tida k menentu. Kadangkadang mereka bersorak, tetapi kadang-kadang mengumpatmengumpat dengan kasarnya. Beberapa orang kumpeni yang ada di dala m pasukan Surakarta itu tidak terkejut menghadapi peperangan yang agak liar itu. Penjelajahannya kebenua yang lainpun me mberikan ga mbaran yang serupa. Orang-orang yang masih terbelakang, di dalam olah keprajuritan, biasanya memang berteriak-teriak sa mbil berlari-lari tidak menentu. "Agaknya hanya orang-orang yang tinggal di kota dan yang sudah bergaul dengan kami sajalah yang telah menjadi beradab dan mengenal cara-cara yang baik di peperangan" berkata kumpeni itu di dala m hati. Meskipun mereka tidak dapat ingkar bahwa mereka telah menyaksikan seorang anak muda yang ma mpu me mpergunakan otaknya, bukan saja tenaga jasmaniahnya. Demikianlah ma ka pertempuran itu sema kin la ma menjadi semakin seru. Na mun agaknya putaran laskar Pangeran Mangkubumi se makin la ma justru menjadi se makin luas. Bahkan ke mudian, prajurit-prajurit Surakarta berhasil
mendesak mereka se makin jauh dari pusat lingkaran yang telah mereka buat itu. Beberapa orang kumpeni yang ada di dala m pasukan Surakarta itupun bertempur dengan gigihnya. Ternyata mereka benar-benar cakap berte mpur dengan pedang di atas punggung kuda. Karena itu, maka setiap sambaran pedang dari laskar yang berputaran itu sa ma sekali tidak dapat mengenai mereka. Dengan tangkasnya mereka menangkis setiap serangan. Bahkan dengan garang mereka menyerang ke mbali. Pedangnya yang bergerak seakan dalam bidangbidang yang mendatar, tetapi tiba-tiba saja langsung me matuk dada, adalah gerak yang sangat berbahaya. Tetapi beberapa orang kumpeni itu tidak pernah mendapatkan lawan yang mapan. Setiap kali lawannya meninggalkannya, kemudian datang lawan yang lain menyerang sa mbil berteriak. Dala m pada itu, selagi laskar Pangeran Mangkubumi terdesak sehingga kepungannya menjadi se makin longgar dan bahwa hampir pecah, langitpun menjadi sema kin sura m. Matahari menjadi se makin rendah dan ke mudian hilang di balik cakrawala. Untuk beberapa saat lamanya, cahaya merah masih bergayutan di bibir mega yang berarak di langit. Namun warna itupun segera menjadi kelabu. Ketika gelap mulai menyelubung, di padepokan Jati Aking, Kiai Danatirta duduk di pendapa rumahnya menghadapi mangkuk berisi minuman panas dan beberapa potong makanan. Sa mbil me mandang ke da la m kegelapan ia mulai me mbayangkan, bahwa agaknya pertempuran sedang berlangsung. Buntal dan kawan-kawannya tentu sedang dengan gigihnya bertempur me lawan prajurit-prajurit Surakarta. Meskipun pasukan Pangeran Mangkubumi itu me mbawa pesan agar jangan sampai jatuh terla mpau banyak korban di kedua belah pihak, tetapi di dala m pertempuran agaknya terlampau sulit untuk melaksanakannya.
Selagi Kiai Danatirta menikmati minuman hangat dan makanan yang dihidangkan oleh Arum, meskipun dengan hati yang berdebar-debar, tiba-tiba saja ia telah dikejutkan oleh derap seekor kuda yang berlari kencang di ha la man. Dengan sigapnya Kiai Danatirta me loncat berdiri dan berlari turun dari tangga pendapa. Tetapi kuda itu sudah berderap me lintas. Namun de mikian terdengar suara Kia i Danatirta me manggil "Arum, Arum" Tetapi kuda itu tidak berhenti. Arum, yang lada di punggung kuda itu berpacu terus meninggalkan hala man rumahnya. Untuk beberapa saat lamanya Kiai Danatirta masih berdiri termangu-mangu. Ditatapnya kegelapan mala m yang terbentang di hadapannya. Ia tersadar ketika beberapa orang penghuni padepokan itu mende katinya. Seorang yang sudah agak lanjut usia bertanya "Siapakah yang berkuda begitu cepatnya Kiai?" Kiai Danatirta menarik nafas dala m-dala m "Apakah ada seseorang yang telah mengambil kuda kita tanpa me mberitahukan lebih dahulu?" Kiai Danatirta mengge leng. Dan yang lain lagi berkata "Tetapi, apakah aku mendengar Kiai me manggil na ma Arum?" Kiai Danatirta berpaling. Tetapi ke mudian kepalanyapun tertunduk. Katanya dalam nada yang datar "Sudahlah. Biarlah kuda itu pergi" "Tetapi siapakah yang me mbawanya?" Kiai Danatirta tidak menjawab. "Apakah Arum?"
Kiai Danatirta masih tetap berdiam diri. Tetapi ia berjalan, ke pendapa dan tanpa menjawab pertanyaan itu. iapun segera naik. Beberapa orang masih termangu-ma ngu sejenak. Na mun merekapun ke mudian segera ke mbali ke te mpat masingmasing. Meskipun de mikian masih saja ada yang berbicara di antara mereka "Dahulu a ku sudah me mperingatkan, bahwa tidak baik seorang gadis be lajar menunggang kuda. Beberapa tahun yang lalu. Tetapi agaknya Kiai Danatirta tidak begitu berkeberatan" "Ya meskipun hanya diperkenankan berlatih di mala m hari atau di tempat yang sepi di padang ilalang di balik bukit-bukit kecil itu" "Akibatnya, ada kerinduan gadis itu untuk me nunggang kuda. Agaknya sudah la ma ia tidak diperkenankan lagi berlatih, sehingga tiba-tiba saja ia me ma ksa untuk naik tanpa ijin ayahnya" Keduanya mengangguk-angguk. Tetapi ketika mereka berpaling ke pendapa, mereka tidak me lihat lagi Kia i Danatirta duduk me nghadapi ma ngkuknya. "Ke mana Kiai itu?" "Apakah ia akan me mbiarkan anak gadisnya berkuda di ma la m hari dala m keadaan seperti ini" Selagi Surakarta dicengka m oleh udara yang panas dan baru siang tadi di bulak itu beberapa orang prajurit Surakarta Merampas senjata setiap orang yang lewat?" Kedua terdiam sejenak. Ternyata yang mereka duga adalah benar. Sejenak kemudian mereka melihat Kia i Danatirta sudah di punggung kudanya sambil berkata kepada penghunipenghuni padepokan yang dijumpainya di halaman "Jagalah rumah ini ba ik-baik. Mungkin ma la m hari aku baru ke mbali" "Ke mana Kiai akan pergi?"
"Mencari Arum yang nakal itu. Jika keadaan Surakarta tidak sepanas ini, maka a ku kira, aku tidak perlu me ncarinya" "Tetapi ke mana Kiai a kan mencari?" "Entahlah. Tetapi aku dapat mengikuti jejak kaki kuda itu" "Di mala m hari?" "Aku harus berhenti di setiap tikungan dan mencari arah jejak kaki-ka ki kuda itu" "Dan kuda itu menjadi se makin jauh" "Pada saatnya ia akan berhenti" sahut Kiai Danatirta. Demikianlah maka Kiai Danatirtapun segera me macu kudanya. Sebenarnya ia tahu pasti arah kuda Arum. Gadis itu tentu pergi ke tempat yang disebut oleh Buntal. Setelah hari mulai gelap, ma ka dia m-dia m iapun pergi ke kandang kuda dan berpacu tanpa minta ijin lebih dahulu, karena Arum tahu bahwa ia tentu tidak akan diijinkan oleh ayahnya. "Jika pertempuran itu sudah berakhir saat Arum sampai di sana, alangkah baiknya" berkata Kiai Danatirta kepada diri sendiri sa mbil berpacu. Tetapi agaknya pertempuran itu tentu masih berlangsung. Prajurit-prajurit Surakarta adalah prajurit pilihan. Dan laskar Pangeran Mangkubumipun cukup terlatih dan dipersiapkan. Karena itu, pertempuran itu tentu akan menjadi sangat seru. Apalagi di ma la m hari. "Jika gelap ma la m dapat menahan perte mpuran itu serba sedikit alangkah baiknya. di dala m gelap, tentu mereka menjadi sangat hati-hati agar mereka tida k mengenai kawankawan sendiri" Kiai Danatirtapun ke mudian berpacu lebih cepat lagi. Ia tidak mau terla mbat terla mpau la ma. Jika Arum dengan serta merta ikut berte mpur, ma ka persoalannya akan menjadi sangat gawat baginya.
Dala m pada itu, sebenarnyalah Arum me ma ng berpacu menuju ke hutan perburuan. Ia tahu bahwa di hutan itu tentu sedang berlangsung perte mpuran yang sengit Ketika Buntal meningga lkan padepokannya, ia sudah menjadi bimbang, apakah ia akan mengikutinya. Tetapi ia tidak berani me lakukannya, karena hal itu tentu akan mengha mbat perjalanan Buntal yang akan me ma ksanya untuk ke mbali. Waktu yang pendek sela ma Buntal harus bertegang hati me ma ksanya pulang ke padepokan itu, akan sangat berharga bagi pasukan yang ditinggalkan. Dan akan sangat berharga bagi setiap nyawa di dalam pasukan itu Keterlambatan Buntal akan me mpunyai akibat yang sangat luas bagi pasukan Pangeran Mangkubumi itu. Karena itu ia menyabarkan diri, menunggu hari me njadi gelap. Baru kemudian dengan dia m-dia m ia pergi meninggalkan ha la man rumahnya. Sebenarnya Arumpun mengetahui akibat yang gawat jika ia tidak dapat mengendalikan dirinya dan ikut bertempur begitu saja. Karena itu, yang akan dilakukannya hanyalah sekedar me lihat. Mungkin dengan me lihat pertempuran yang sebenarnya dari dua pasukan da la m jumlah yang cukup banyak, ia akan mendapatkan penga la man. Dengan de mikian ma ka kaki kuda Arum itupun berderap di atas jalan berbatu padas. Rambutnya yang disanggulnya tinggi, diusap oleh angin mala m yang basah sehingga ujung tali-talinya menggapai-gapai di wajahnya. Sekali-seka li Arum me ma ndang tanah persawahan disebelaK menyebelah jalan. Dilihatnya kunang-kunang yang berkeredipan dala m kelompok-kelompok yang besar. Arum menarik nafas dalam-da la m. Seakan-akan udara ma la m yang sejuk itu akan dihisapnya sampa i tuntas, sementara kaki kudanya masih tetap berderap terus.
Namun de mikian, sema kin de kat dengan hutan perburuan yang tidak terlampau lebat itu, Arumpun menjadi sema kin berdebar-debar. Jika ia berjumpa dengan seseorang yang sama seka li t idak dikena lnya, apakah ia. petugas sandi atau penghubung dari mereka yang bertempur di sebelah hutan itu, maka ia tida k akan dapat mengetahui, apakah orang itu prajurit Surakarta, atau laskar Pangeran Mangkubumi. "Prajurit-prajurit Sura karta me mpunyai pakaian yang khusus. Aku akan segera dapat mengenalnya" berkata Arum di dalam hatinya. Namun ke mudian "Tetapi petugas-tugas sandi biasanya tidak me mpergunakan pakaian khusus itu, agar penyamarannya tidak dengan mudah dapat dikenal" Arum menjadi bimbang. Na mun ia tidak berhenti. Ia masih berpacu terus mende kati hutan perburuan itu. Dala m pada itu, mala m yang gelappun me njadi se makin gelap. di langit bintang na mpak bergayutan dari ujung cakrawala sampai ke ujung yang lain. Dan angin yang dingin berhembus mene mbus dedaunan di hutan rindang. Ternyata Arum menyadari bahwa derap kaki kudanya dapat menarik perhatian orang-orang yang sedang bertempur Itu, atau pengawas-pengawas yang bertugas di luar medan. Karena itu, ketika ia menjadi se makin dekat dengan hutan perburuan itu, maka iapun segera menghentikan kudanya, dan me loncat turun. Ditambatkannya kudanya pada sebatang pohon perdu di ba lik gerumbul yang agak rimbun. Sejenak Arum termangu-mangu, di la mbungnya tergantung sehelai pedang tipis dan dua batang pisau be lati di la mbung yang lain. Dan hampir di luar sadarnya Arum meraba pisau belatinya sambil berkata di dala m hati "Jika aku berte mu dengan kumpeni itu, aku dapat memperguna kan pisau ini. Pisauku dapat menyambar dadanya seperti peluru di senjata apinya. "
Agaknya Arum me mang percaya kepada kemampuannya me lontarkan pisau. Ia sengaja me mpe lajarinya sebaik-baiknya sejak la mendengar bahwa kumpeni me mpunyai senjata yang dapat menyerang dari jarak yang cukup jauh. Meskipun iapun sadar bahwa jarak lontarannya tentu tidak akan dapat sejauh jarak lontaran peluru senjata kumpeni itu, tetapi dengan demikian ia masih akan mendapat kesempatan untuk melawan jika tiba-tiba saja ia menjumpa inya. Sejenak ke mudian, setelah mengatur diri sebaik-baiknya maka Arumpuh segera mendekati hutan perburuan itu dengan hati-hati. Ia berjalan di antara gerumbul-gerumbul perdu mende kati hutan itu dari arah yang lain dari jalan yang diikutinya dari pedukuhannya. Ternyata, sebelum ia dapat melihat sesuatu, telinganyalah yang telah lebih dahulu me ndengar hiruk pikuk pertempuran itu, la mendengar beberapa orang berteriak-teriak tidak menentu. Arum menjadi Heran. Dan iapun bertanya kepada diri sendiri "Apakah de mikian cara prajurit Surakarta bertempur" Atau barangkali kumpeni-kumpeni itu?" Na mun ke mudian "Tetapi juga mungkin pasukan Pangeran Mangkubumi itulah yang berteriak-teriak" Seakan-akan ada sesuatu yang mendorongnya untuk merayap semakin dekat. Dan Arum itu bergeser dari gerumbul yang satu ke gerumbul yang lain di sisi parit yang me mbujur di tepi jalan sempit. Arum bersembunyi di balik pohon-pohon jarak yang rimbun bahkan kadang-kadang berjongkok di balik tanggul parit, la tidak ingin dilihat lebih dahulu oleh siapapun juga sebelum ia melihat pertempuran yang sedang berlangsung itu. Di dala m ge lapnya mala m, Arumpun la mat-la mat mulai me lihat bayang mereka yang bertempur. Tidak begitu jelas, namun Arum segera mengerti bahwa mereka yang bertempur masih tetap berada di punggung kudanya meskipun ada juga
satu dua orang yang ternyata telah terjatuh dan bertempur di atas tanah. Keinginan Arum untuk menyaksikan pertempuran itupun menjadi semakin besar. Karena itu, maka iapun merayap semakin de kat. Akhirnya Arum benar-benar mendapat kesempatan untuk me lihat pertempuran itu, meskipun tida k terla mpau dekat. Pertempuran berkuda itu ternyata memerlukan te mpat yang luas. Beberapa orang yang bertempur di atas tanah harus menepi agar mereka tidak terinjak oleh kaki kuda yang berlarilarian itu. "Adalah mustahil dapat mengena l kawan sendiri sebaikbaiknya di dala m pertempuran seperti ini" berkata Arum di dalam hatinya "Apalagi jika seseorang masih belum me maha mi benar-benar siapakah kawan-kawan mereka di peperangan" Dan karena itulah maka ia dapat mengerti, kenapa Buntal telah me larangnya untuk mengikutinya. di dala m perang yang demikian, dengan mudah dapat terjadi salah paha m di antara kawan sendiri jika mere ka belum mengena l dengan ba ik. Karena itu, Arum me merlukan waktu yang lama untuk dapat menilai perte mpuran itu. Ia ke mudian dapat me lihat, sebagian dari mereka yang bertempur itu, masih saja selalu bergerak dalam lingkaran meskipun se makin la ma sema kin la mbat dan putaran itupun menjadi se makin longgar, sehingga akhirnya tidak lagi merupakan sebuah kepungan yang bergerak, karena di beberapa bagian kepungan yang semula berputar itu tetah hampir pecah. "Tentu laskar Pangeran Mangkubumi yang ada di luar" desis Arum. Namun dengan demikian ia menjadi ce mas melihat kepungan yang hampir patah dan bahkan pasukan Pangeran Mangkubumi itu terdesak semakin jauh. Bahkan mereka sudah
mulai berte mpur di dala m batasan pe matang-pematang tanah persawahan. Dan seperti yang dicemaskan oleh para pengawas, maka batang-batang padipun ke mudian telah terinjak-injak oleh kaki-ka ki kuda. Namun perte mpuran di tanah lumpur itu na mpaknya menjadi la mban, tetapi justru menjadi lebih berbahaya. Jika kaki kudanya terperosok, maka seseorang menjadi terpecah perhatiannya. Sebagian pada kudanya dan sebagian pada senjata lawannya. "Ada beberapa orang kumpeni di dala m perte mpuran itu" berkata Arum di dalam hati. Dan adalah di luar sadarnya, bahwa tiba-tiba saja timbul niatnya untuk melihat kumpenikumpeni itu. atau bahkan ia berkata kepada, diri sendiri "Jika ada di antara mereka yang memisahkan diri. aku ingin mencoba ke ma mpuannya. Apakah benar bahwa mereka me miliki ke lebihan dari prajurit Surakarta, dan karena pengembaraannya yang panjang dari tanah kelahiran mereka sampai ke tanah ini, penjelajahan yang luas, maka mereka adalah prajurit-prajurit yang tidak terkalahkan. "Tetapi mereka ada di da la m pertempuran yang riuh" berkata Arum di da la m hatinya pula. Demikianlah ma ka pertempuran itu sema kin la ma semakin menjadi seru. Lingkaran yang se mula seakan-akan mengepung prajurit Surakarta itu menjadi semakin kendor dan bahkan ha mpir pecah sa ma se kali. Arumpun ke mudian menjadi berdebar-debar ketika ia me lihat lingkaran yang sudah terputus-putus itu bagaikan awan ditiup angin. Pecah berserakan didesak oleh prajuritprajurit Surakarta yang bertempur dengan gigihnya. Tetapi pada saat itu, dari dalam hutan perburuan itu muncul beberapa kelompok kecil laskar berkuda. Kehadiran mereka benar-benar telah mengejut kan prajurit-prajurit Surakarta. Apalagi ketika mere ka melihat pasukan yang meskipun tidak begitu banyak, tetapi masih cukup segar itu langsung menusuk ke pusat perte mpuran itu.
Sejenak pertempuran itu me njadi kisruh. Na mun ketika para prajurit Surakarta berhasil menguasai diri masing-masing, maka laskar yang sudah berada dipusat pertempuran itupun mulai menyerang. Karena itulah ma ka pertempuran itupun bagaikan mekar semakin luas. Prajurit-prajurit Surakarta terdesak melebar, dan agaknya laskar Pangeran Mangkubumi yang ada di luar, sengaja membiarkan prajurit-prajurit Surakarta berserakan. Bahkan merekapun ke mudian me mbantu kawan-kawannya yang menyerang prajurit-prajurit Surakarta itu dari pusat pertempuran setelah mereka berhasil menyusup ke dala mnya. Ternyata bahwa bukannya laskar Pangeran Mangkubumilah yang sebenarnya pecah. Tetapi adalah prajurit-prajurit Surakarta yang agak kebingungan menghadapi keadaan yang tidak diduga. Apalagi ternyata bahwa jumlah laskar Pangeran Mangkubumi itu banyaknya me la mpaui prajurit-prajurit Surakarta yang sudah mulai kehilangan keseimbangan. Arum hati. Ia yang pasukan hampir bahwa akan terpecah bercerai-berai. Sebenarnya itulah yang diharapkan oleh pimpinan pasukan Pangeran Mangkubumi yang sudah berjanggut putih. Ia hanya ingin me mecah pasukan itu dan me mbubarkannya. Pasukan bersorak di dala m melihat ke mungkinan berbalik. Dengan yang baru, maka dapat dipastikan pasukan Surakarta
yang pecah bercerai-berai adalah pertanda bahwa pasukan itu benar-benar dikalahkan. Arum yang kegirangan itu agaknya itelah menjadi lengah. Sambil menghentak-hentakkan tangannya ia kadang-kadang lupa akan dirinya dan melonjak berdiri. Pada saat itulah ia terkejut mendengar langkah yang kasar di bela kangnya. Dengan serta-merta ia me loncat dan berba lik. Sesaat Arum tertegun. Dilihatnya seseorang yang bertubuh tinggi besar berdiri di hadapannya. Dala m sekejap Arumpun segera mengetahui menilik ujud dan pakaiannya, bahwa yang dihadapinya itu adalah salah seorang dari beberapa orang kumpeni yang ada di dala m pasukan Surakarta itu. Sejenak Arum termangu-mangu. Ia merasa sesuatu bergejolak di hatinya. Seakan-akan tiba-tiba saja keinginannya terpenuhi. Namun dala m pada itu, iapun menjadi berdebardebar. Perkelahian di dekat perte mpuran yang seru itu akan berbahaya baginya. Jika orang-orang di medan itu me lihat, maka perhatian mereka akan tertarik. Mungkin satu dua orang akan datang untuk melihat apa yang terjadi. Tetapi kumpeni itu kini sudah ada di hadapannya, dengan pedang yang teracu ia bertanya dengan bahasa yang patahpatah. "Siapa kau" Kau juga pe mberontak?" Arum termangu-mangu sejenak. "Siapa" Sebe lum a ku me mbunuhmu" Arum masih saja termangu-mangu. Na mun ke mudian iapun menjawab "Aku bukan dari kedua pasukan yang sedang bertempur" Kumpeni itu terkejut. La lu "Kau pere mpuan" Suara mu suara perempuan, tetapi pakaianmu laki-laki"
"Ya. Aku pere mpuan" "Kenapa kau ada di sini?" Arum terdia m, la masih ragu-ragu untuk mula i dengan sebuah perkelahian betapapun ia ingin. Ia tidak mau me mancing perhatian salah satu pihak yang sedang bertempur itu. Karena itu, maka tiba-tiba saja Arum me loncat berlari menyusur parit yang rendah, sehingga tidak begitu nampak dari kejauhan, apalagi di da la m gelapnya ma la m dan seka lisekali tertutup oleh pohon-pohon jarak yang tumbuh ditanggul parit. Kumpeni itu tidak me mbiarkan pere mpuan itu lari. Karena itu maka iapun segera mengejarnya tanpa menghiraukan apapun juga. Sementara itu pedangnyapun teracu-acu sambi berkata lantang "Jangan lari. Jangan lari" Arum tidak menghiraukannya. Tetapi ia berlari terus, la tidak takut kumpeni itu menyerangnya dengan senjata api. Jika kumpeni itu masih me mpunyai kese mpatan me mperguna kan senjata apinya yang berlaras pendek, maka senjata itu tentu sudah teracu sejak kumpeni itu mende katinya. "Senjata itu sudah kehabisan peluru" berkata Arum di dalam hatinya "Atau kumpeni itu tidak se mpat mengisinya lagi di dala m peperangan yang riuh itu, sehingga senjata itu tidak berguna lagi baginya" Meskipun de mikian sekali-sekali Arum berpaling juga. Namun yang nampak di tangan kumpeni itu adalah pedangnya yang besar dan panjang. "Berhenti, berhenti" kumpeni itu masih saja berteriak. Arum sama sekali tidak menghiraukannya. Ia berusaha mencapai tikungan. Di tikungan itu tumbuh gerumbul-gerumbul liar dan
pohon-pohon jarak yang rimbun. Jika ia harus berkelahi, maka m akan berkelahi di balik gerumbul-gerumbul itu. Ternyata kumpeni yang mengejar Arum itu menjadi heran. Meskipun yang dikejarnya itu seorang pere mpuan, na mun perempuan itu dapat berlari cepat sekali. Dan terlebih-lebih lagi ketika dilihatnya sehelai pedang tergantung di la mbungnya. "Orang ini tentu satu di antara pemberontak-pemberontak itu" berkata kumpeni di dala m hatinya "Tetapi kenapa ia seorang perempuan dan me misahkan diri dari pasukannya?" Kumpeni itu ke mudian mengira bahwa Arum adalah salah seorang pengawas saja dari pasukan yang telah mencegat prajurit Surakarta di pinggir hutan itu. Seperti yang diinginkan, ternyata Arum sempat mencapai tikungan. Dengan serta-merta iapun ke mudian me loncat berbalik dengan cepatnya. Hampir di luar ke ma mpuan tatapan mata kumpeni itu, maka Arumpun telah menggengga m pedang di tangannya. Kumpeni itu terkejut. Iapun kemudian berhenti termangumangu sejenak. Dipandanginya saja Arum yang ke mudian berdiri tegak dengan pedang di tangannya. "Kau tentu juga pe mberontak" geram kumpeni itu ternyata perempuan-pere mpuan turut me mberontak" Arum me mandang orang yang bertubuh t inggi besar itu dengan dada yang berdebar-debar. Ia sudah sering melihat kumpeni. Tetapi baru kini ia berdiri berhadap-hadapan pada jarak yang pendek. Ternyata bahwa orang-orang asing itu jauh lebih tinggi dari dirinya. "Tangannya tentu cukup panjang" berkata Arum di dala m hatinya "Tetapi ia hanya me mpergunakan tangannya, ia. tidak banyak me manfaatkan kakinya seperti yang dikatakan Juwiring"
Dan Arumpun pernah mendengar bahwa Pangeran Ranakusumapun pernah berhasil me mbunuh seorang kumpeni di dala m perang tanding. "Meskipun aku bukan Pangeran Ranakusuma yang me miliki ilmu yang ha mpir se mpurna, tetapi aku juga sudah me mpe lajari ilmu pedang dengan saksama. Dan tentu kumpeni inipun bukan seorang perwira seperti yang pernah berperang tanding dengan Pangeran Ranakusuma, sehingga ilmunya pun tentu tidak setinggi perwira yang sudah terbunuh itu" berkata Arum di dala m hatinya. Karena Arum masih belum menjawab, maka kumpeni itu mendesaknya lagi "Siapa kau sebenarnya he" Pemberontak atau perampok atau apa?" "Na maku Arum" jawab Arum. "Kau pe mberontak juga?" "Sudah aku katakan, bahwa aku tidak berdiri di pihak manapun juga" "Bohong. Jika de mikian kenapa kau berada di de kat peperangan itu?" "Aku sedang meronda padesan ketika aku mendengar hiruk pikuk. Ternyata pertempuran itu sedang berlangsung dengan serunya. Dan aku senang menonton prajurit-prajurit Surakarta di kejar-kejar oleh pasukan Pangeran Mangkubumi" "Darimana kau tahu bahwa pasukan itu pasukan Pangeran Mangkubumi, bukan pasukan Raden Mas Said?" bertanya kumpeni lagi. Arum terdiam sejenak. Ia tidak menyangka bahwa ia akan dapat pertanyaan serupa itu. "Darimana kau tahu" desak kumpeni itu, lalu "Jika kau bukan salah seorang dari mereka kau tentu tidak akan dapat mengetahui dengan pasti"
Arum tidak dapat mengela k lagi. Maka katanya kemudi an "Aku bukan dari golongan mereka, tetapi aku tahu pasti" "Persetan" kumpeni itu menggera m. Perlahan-lahan ia lelangkah maju mendekat dengan pedang siap di tangan. Tetapi Arumpun telah siap pula ke mungkinan yang ba kal terjadi. menghadapi setiap
"Kau harus menyerah. Kau perempuan. Mungkin kau akan mendapat perlakuan yang lain dari laki-laki" berkata kumpeni itu. "Aku tidak akan me nyerah. Aku akan bertempur. Bukankah kau lari dari pertempuran itu dan secara kebetulan melihat aku?" tebak Arum Wajah kumpeni itu menjadi merah. Katanya "Apa pedulimu perang dengan orang-orang liar tidak ada gunanya. Sekarang, aku akan me nangkapmu, dan me mbawa mu ke Sura karta" "Tida k ada gunanya. Kau akan dicari dan akan dibantai bersama orang kawan-kawanmu" Kumpeni itu terdia m sejenak. Katanya di dala m hati "Apakah tidak lebih baik bagiku untuk lari saja menjauhi pertempuran itu dan me ncapai Surakarta" dan ia mengumpat di dala m hati. "Nah, kau sajalah yang menyerah" desis Arum. Kumpeni itu benar-benar merasa terhina. Ia adalah seorang prajurit Kerajaan yang besar dan pernah menjelajahi benua dan samodra. Kini seorang perempuan mengacukan pedangnya sambil menganca mnya agar ia menyerah. Bagi kumpeni itu, menghindar dari peperangan untuk mencari hidup, masih jauh lebih baik daripada dianca m oleh seorang perempuan untuk me nyerah. Karena itu, maka iapun menggera m marah "Kau gila. Aku dapat me mbunuhmu"
"Akupun dapat me mbunuhmu" sahut Arum meskipun dadanya terasa agak berdebar-debar. Orang asing itu tentu me mpunyai ilmu yang asing pula. Ternyata bahwa jawaban Arum itu benar-benar telah me mba kar jantung kumpeni itu. Bagaimanapun juga ia me mpunyai harga diri yang cukup. Karena itulah maka iapun menggera m "Kau me mang tidak dapat dimaafkan. Aku mencoba untuk berbuat baik terhadapmu. Tetapi kau keras kepala. Jangan menyesal bahwa kau benar-benar a kan mati" Arum tidak menjawab, tetapi ia sudah bersiaga sepenuhnya. Bahkan iapun ke mudian maju se langkah sa mbil mengacukan pedangnya. Sekali-se kali digerakkannya pula untuk me mancing gerakan lawannya. Seperti yang dikatakan oleh Juwiring, bahwa kumpeni itupun segera me miringkan tubuhnya, mengacukan pedangnya hampir sepanjang lengannya. "Begitulah caranya bertempur dengan pedang" berkata Arum. Sejenak Arum melihat sikap itu. Namun ke mudian ia tidak dapat berdiam diri sambil menga mati lawannya, karena kumpeni itupun segera menyerangnya Pedangnya yang besar dan panjang itupun segera terjulur turus ke depan menusuk langsung kearah dada. Tetapi Arum sudah bersiap. Iapun segera mengelak. Ia tidak menangkis serangan lawannya, tetapi ia justru menyerang dengan ayunan mendatar. Kumpeni itu cukup lincah pula. Ia me loncat surut dan pedangnya menyambar pedang Arum. Dengan sengaja Arum me mbenturkan pedangnya, sehingga terdengar kedua pedang itu beradu. Sepercik bunga api me loncat dari benturan itu.
Arum me loncat mundur. Kumpeni itu me miliki tenaga yang cukup kuat. Tetapi tenaganya benar-benar tenaga jasmaniah saja. Meskipun demikian Arum tidak dapat mengabaikan kekuatan itu. Sehingga dengan demikian, ia harus berusaha setiap kali menghindari benturan-benturan yang dapat terjadi. Karena itulah Arum mulai dengan serangan-serangannya. ia tidak hanya memperguna kan tangannya dan geseran kaki selangkah-selangkah. Tetapi Arum mula i berloncatan berputar-putar. Seperti kumpeni-kumpeni yang lain, mereka pernah mendapat petunjuk bagaimana orang-orang pribumi di Surakarta bertempur. Dari para prajurit, kumpeni-kumpeni itu sudah me mpe lajarinya serba sedikit tata gerak orang-orang Surakarta me mpermainkan pedangnya, sehingga karena itu, kumpeni itu tidak terkejut me lihat Arum berloncatan. Dengan sigapnya kumpeni itu bergeser setapak demi setapak. Berputar pada sebelah tumitnya dan ke mudian sebuah loncatan yang panjang sambil menjulurkan pedangnya luruslurus. Tetapi gadis lawannya itu bertempur selincah tupai. Bahkan ke mudian kakinya bagaikan tidak lagi menyentuh tanah. Kumpeni itu mengumpat di da la m hatinya. Pedangnya seakan-akan tidak pernah berarti sama sekali di dala m perkelahian itu. Arum hampir tidak pernah me mbiarkan senjatanya membentur senjata lawannya secara langsung. "Ia akan segera kehabisan tenaga" berkata kumpeni itu di dalam hatinya. Dan iapun me mbiarkannya Arum berloncatan menge lilinginya. Tetapi sema kin la ma kumpeni itu menjadi se makin bingung. Ia tida k dapat sekedar menangkis dan me nghindar sambil menunggu Arum kelelahan. Tetapi ia harus berbuat sesuatu untuk menghentikan usaha Arum me nyerangnya seolah-olah dari segala jurusan.
Dengan demikian, kumpeni itupun mulai mengerahkan segenap kema mpuannya. Tangannya memang dapat bergerak cepat sekali. Serangan Arum yang mengarah kebagian tubuh lawannya, selalu menyentuh pedang kumpeni itu yang menangkisnya dengan ce katan. "Pertahanan kumpeni itu benar-benar rapat" desis Arum. Namun Arum masih berharap, bahwa kumpeni itu pada suatu saat akan menjadi sema kin la mban dan me mberikan kesempatan kepadanya untuk menyusupkan pedangnya. Tetapi kumpeni itupun mengharap, bahwa cara berkelahi yang dipergunakan oleh Arum akan segera me mbuat gadis itu kelelahan dan pere mpuan itu akan segera kehabisan tenaga. Dala m pada itu, di ujung hutan itupun perte mpuran semakin la ma menjadi se makin seru. Ternyata bahwa laskar Pangeran Mangkubumi telah berhasil me mecah pasukan Surakarta. Mereka menjadi terpisah-pisah dibelah oleh laskar Pangeran Mangkubumi yang dengan sengaja melakukan gerakan-gerakan menyilang. Beberapa orang dari prajurit-prajurit Surakarta yang telah kehilangan kudanya, tidak ma mpu berbuat apa-apa lagi selain menyingkir dari perte mpuran seperti yang dilakukan oleh kumpeni yang sedang bertempur dengan Arum itu. Bahkan ada di antara mereka yang berlari secepat-cepatnya menjauhi pertempuran itu untuk menyela matkan nyawanya, karena baginya pertempuran itu seolah-olah sudah t idak me mberikan tempat lagi baginya. Kumpeni-kumpeni yang ada di pertempuran itupun sudah terpisah yang seorang meninggalkan medan dan me lihat Arum yang sedang merunduk. Kemudian terlibat dala m perkelahian me lawannya. Yang lain masih berada di atas punggung kudanya dengan pedang di tangannya. Dengan gigih ia me lawan orang-orang pribumi yang dianggapnya masih terlampau liar. Sedang seorang di antara mereka harus bertempur melawan seorang anak muda yang me miliki
kecepatan bergerak di luar dugaan. Anak muda itu adalah Buntal. Anak muda yang me mbenci kumpeni sa mpai ke ujung ubun-ubun. Ternyata kumpeni yang me miliki pengala man yang luas itu, menjadi bingung pula melawan Buntal yang me miliki kecepatan bergerak yang luar biasa. Bagi kumpeni, orang-orang Surakarta agaknya tidak sebodoh yang diduganya. Orang-orang Surakarta telah me mpunyai dasar-dasar yang kuat di dalam olah kanuragan, meskipun berbeda dengan ilmu yang mereka pelajari dinegeri mereka. Dan kumpeni itu tidak dapat mengatakan bahwa ilmunya jauh lebih ba ik dari ilmu orang-orang pribumi. Semula mereka menyangka bahwa para prajurit Surakarta me miliki ke ma mpuan berperang dan bermain senjata karena kumpeni telah me mberikan beberapa petunjuk kepada mereka. Tetapi di dalam pertempuran yang sesungguhnya, orang-orang yang tidak pernah me mpe lajari ilmu yang dibawanya itupun ternyata terlampau sulit dikalahkan. Dan kini salah seorang dari kumpeni itu merasakan, betapa beratnya melawan seorang anak muda yang berna ma Buntal. Namun se mentara itu, pertempuran di padang ilalang yang tidak terla mpau luas itu menjadi kisruh. Para prajurit Surakarta tidak lagi dapat bertahan lebih lama. Mereka mulai terpencar dan menyebar sampai ke tanah persawahan. Bahkan sebagian dari mereka telah menjadi tercerai berai. Laskar Pangeran Mangkubumi dengan sekuat tenaga menekan lawannya dan berusaha segera memecah sa mpai lumat Kadang-kadang mereka menggera m jika setiap kali pasukan Pangeran Mangkubumi itu harus selalu dikekang oleh pesan-pesan pemimpinnya yang berjanggut putih, bahwa jangan ada korban yang jatuh jika tidak terpaksa sekali, karena prajurit-prajurit Surakarta itu sebenarnya adalah masih keluarga sendiri pula.
"Tetapi mereka me mbunuh pula kawan-kawan ka mi" hampir setiap orang di dala m pasukan Pangeran Mangkubumi itu menggerutu di dala m hati. Sehingga dengan demikian, maka ada pula di antara mereka yang tidak dapat mengenda likan dirinya, dan ada juga prajurit-prajurit Surakarta yang menjadi korban. Ketika seorang laskar Pangeran Mangkubumi berhasil menghentikan seorang prajurit yang melarikan diri dan terluka di bahunya, maka laskar itupun berkata "Kau akan lari ke mana?" Prajurit Surakarta itu tidak menjawab, la sadar bahwa lukanya cukup parah, sehingga jika ia harus bertempur, maka ia tidak akan dapat bertahan terlalu lama. Tetapi karena ia berada di medan perang, maka ia tida k dapat berbuat apapun juga. "Ke mana?" laskar itu me mbentak. Tetapi prajurit itu masih tetap diam. Meskipun de mikian, prajurit yang terluka itu masih tetap menggengga m senjata di tangannya, "Apakah kau ingin mat i?" bertanya laskar itu. Prajurit itu me mandangnya dengan tegang. Namun ke mudian jawabnya "Ke matian bagi seorang prajurit di medan adalah wajar. Tetapi aku masih menggengga m padang" Terasa sepercik api me manasi telinga laskar itu. Tetapi setiap kali pula ia tertahan oleh pesan pemimpinnya. Bahkan ke mudian di hati laskar Pangeran Mangkubumi itu tumbuh semaca m ke inginan untuk menunjukkan harga dirinya sebagai seorang yang berada di dalam lingkungan yang disebut pemberontak. Karena itu ma ka iapun ke mudian berkata sambil tertawa "Jangan lekas berputus asa. Me mang bagi seorang prajurit ke matian adalah wajar. Tetapi sekarang aku ingin
menunjukkan bahwa kau berada dalam keadaan yang tidak wajar, karena kau tidak akan mati. Pergilah. Dan sampaikan kepada kawan-kawanmu di Surakarta, bahwa laskar Pangeran Mangkubumi bukan pe mbunuh yang tidak berperike manusiaan Jika kau berbicara tentang sifat kesatria, maka aku tidak akan me mbunuhmu karena kau sudah terluka parah dan tidak ma mpu lagi me lawan dengan baik. Jika kau berbicara tentang warna kulit kita yang serupa, maka kita adalah saudara di dalam keluarga besar. Musuhku yang terutama adalah kumpeni-kumpeni itu, yang sebentar lagi akan mati di medan ini. Tetapi jika kau ingin berbicara tentang keluhuran budi, demikianlah agaknya Pangeran Mangkubumi yang berpesan mewanti-wanti, bahwa kami tidak diperkenankan me mbunuh prajurit-prajurit Surakarta jika bukan karena terpaksa harus mempertahankan hidup sendiri" laskar Pangeran Mangkubumi itu berhenti sejenak, lalu "sekarang pergilah. Sampa ikan sala mku kepada prajuritprajurit Surakarta yang lain. Mereka bukan musuh ka mi dala m arti yang sebenarnya" Prajurit itu termangu-mangu sejenak. Terasa sebuah sentuhan yang pedih tergores di dinding jantungnya Namun ke mudian harga dirinyapun melonjak pula. Katanya "Jangan menjadi pengecut. Apakah kau melihat bahwa meskipun aku terluka, aku masih cukup kuat untuk me mbunuhmu" Laskar Pangeran Mangkubumi itu terkejut mendengar jawaban itu. Tetapi iapun ke mudian me nyadari bahwa prajurit itu tidak mau dihinakan. Maka katanya "Jangan merajuk. Pergilah sebelum kau menyesal" Laskar Pangeran Mangkubumi itu tidak menungguinya lebih la ma lagi. Iapun segera meninggalkan prajurit Surakarta yang terluka itu untuk segera terjun kemba li ke dala m pertempuran yang riuh, tetapi yang sudah tidak lagi merupakan benturan yang dahsyat dari dua kekuatan yang seimbang, karena
sebagian besar prajurit Surakarta telah benar-benar tercerai berai. Sejenak prajurit Surakarta itu termangu-mangu. Ia t idak menyangka akan mengala mi perlakuan yang demikian. Menurut pendengarannya, Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said telah menghimpun kekuatan dengan mengumpulkan para penjahat besar dan kecil. Orang kasar dan bodoh. Anakanak muda yang tidak me mpunyai hari depan sa ma sekali, sehingga dengan mudah dapat dihasut untuk mela kukan kekerasan dan bahkan kejahatan sekalipun. Tetapi yang dijumpainya ternyata me mberikan kesan yang berbeda sekali. Dala m keragu-raguan prajurit itu se mpat melihat arena yang kacau. Tetapi iapun melihat yang sebenarnya telah terjadi, prajurit Surakarta telah tercerai berai sa ma se kali. Karena itu, tidak ada gunanya ia berbuat apapun juga selain meninggalkan medan dan ke mbali ke Surakarta. Dan prajurit itupun ke mudian melangkah pergi dengan tergesagesa sambil me nahan sakit pada lukanya. "Mudah-mudahan aku dapat mencapa i Surakarta dengan keadaan seperti ini" Dala m pada itu pertempuran di ujung hutan itu sudah tidak terlalu riuh. Prajurit-prajurit Surakarta sudah tidak bertahan lebih la ma lagi. Dan agaknya laskar Pangeran Mangkubumipun me mbiarkan mere ka lari meninggalkan ge langgang. Beberapa orang saja di antara laskar Pangeran Mangkubumi itu yang mengejar mereka sambil berteriak-teriak. Meskipun de mikian mereka tidak bermaksud benar-benar me mburu dan ke mudian me mbunuh. Yang mereka la kukan adalah se kedar me mberikan tekanan atas kekalahan pasukan Sura karta itu. Tetapi laskar Pangeran Mangkubumi itu sa ma seka li t idak me mberi kese mpatan kepada kumpeni yang ada di medan itu untuk lari. Sepeninggal prajurit-prajurit Surakarta, maka
perhatian mereka benar-benar hanya tertuju kepada kumpeni yang masih ada di medan. Pada saat laskar Pangeran Mangkubumi yang lain menyadari bahwa kumpeni itu masih ada di antara mereka, karena mereka sa ma sekali tidak me mberinya kese mpatan untuk meninggalkan medan, maka kumpeni itu dengan ce mas sedang berjuang untuk me mpertahankan hidupnya. Tetapi malang bagi yang seorang di antara mereka. Betapapun kumpeni itu cakap me mpergunakan pedangnya, tetapi menghadapi lawan yang tidak menentu, iapun akhirnya menjadi bingung. Seakan-akan ia me ndapat serangan dari segala arah oleh laskah berkuda yang berputaran. Dengan bahasa yang kasar kumpeni itu mengumpat-umpat ketika ia melihat prajurit-prajurit Surakarta meninggalkan medan. Sedang ia sendiri, bagaikan terperosok ke dalam sebuah lingkaran yang tidak tertembus. Namun ternyata bahwa kumpeni itu benar-benar seorang prajurit. Ia pernah mengarungi sa modra yang ha mpir tidak berbatas. Pengembaraannnya selama itu telah me mbentuknya menjadi seorang prajurit berhati baja. Itulah sebabnya maka ia sama seka li tida k menjadi gentar meskipun ma ut telah me mbayang. Ia melihat seolah-olah di dala m gelapnya mala m, sorot mata laskar Pangeran Mangkubumi bagaikan api yang me mancarkan kebencian dan denda m. Tetapi kumpeni itu tidak mau mati dibantai seperti seekor le mbu. Seperti kepercayaan yang telah berakar di dalam liatinya, seorang prajurit harus mati dengan pedang di tangan. Dan sebenarnyalah demikian yang terjadi. Akhirnya kumpeni itu tidak dapat bertahan melawan luapan kemarahan, kebencian dan denda m laskar Pangeran Mangkubumi, sehingga sejenak kemudian ma ka terdengar kumpeni itu mengaduh tertahan. Ia masih sempat meneria kkan kata-kata
yang tidak dimengerti oleh laskar Pangeran Mangkubumi. Namun ke mudian iapun mulai kehilangan keseimbangan. Ketika sebilah ujung pedang menyambar pundaknya, maka iapun tidak lagi dapat bertahan, berpegangan pada kendali kudanya. Sesaat kumpeni itu masih berusaha mengangkat pedangnya. Namun tangannya sudah terlampau le mah, sehingga yang dapat dilakukannya adalah menggengga m pedang itu erat-erat. Ketika kudanya me lonjak oleh kejutan sentuhan senjata seorang laskar Pangeran Mangkubumi, ma ka kumpeni itu sudah tidak ma mpu bertahan lagi, dan iapun terle mpar dari punggung kudanya jatuh ke atas bumi. Bumi yang hendak dira mpasnya dari tangan putra-putranya yang setia. Akhirnya kumpeni itu harus menebus keserakahannya dengan nyawanya. Di te mpat yang lain, Buntal masih berte mpur dengan gigihnya. Beberapa orang kawannya yang me lihat pertempuran itu, segera melingkarinya. Mereka seakan-akan ingin me lihat, apakah Buntal ma mpu menga lahkan kumpeni itu. Dengan demikian, mereka me mbiarkan Buntal bertempur seorang melawan seorang di atas punggung kuda masing-masing. Sebenarnyalah bahwa Buntal me mang tidak ingin diganggu oleh kawan-kawannya. Ia benar-benar ingin mengukur ke ma mpuannya dengan kumpeni itu. Kema mpuan bermain
pedang, dan kema mpuan bermain-ma in dengan kuda. Meskipun kuda kumpeni itu aga k lebih tegar dari kudanya, namun ternyata bahwa kuda Buntalpun cukup lincah pula. Dala m pada itu, di tempat lain, Arum masih bertempur dengan gigihnya melawan seorang dari kumpeni-kumpeni itu. Dala m keadaan berikutnya, ternyata Arum menjadi berbesar hati. Meskipun kumpeni itu bertubuh tinggi tegap, namun kecepatan geraknya dapat dila mpauinya. Arum merasa bahwa dengan ilmunya ia akan dapat mene mbus pertahanan lawannya yang nampa knya masih cukup rapat. Setiap kali Arum berkata kepada diri sendiri "Benar juga. Kaki orang asing itu seperti diberati timah" Dan Arum dapat berloncatan semakin cepat seperti kijang di padang rerumputan. Tetapi ternyata bahwa Arum pertahanan lawannya seperti kumpeni itu nampaknya hanya namun ia seakan-akan dapat darimanapun ia menyerang. tidak dapat seger menembus yang diharapkan. Meskipun bergeser setapak dua tapak, menghadap kesegala arah
"Gila" desis Arum "Ia hanya berputar-putar saja di tempatnya" Tetapi Arum tidak menjadi bingung. Bahkan serangannya semakin la ma menjadi se makin cepat dan seolah-olah telah mengurung kumpeni itu di dala m lingkaran pedang. Meskipun demikian kumpeni itu masih tetap pada sikapnya. Sekali-seka li kumpeni itu bergeser selangkah maju, ke mudian surut dan berputar pada sebelah kakinya. Dala m pada itu, prajurit Surakarta telah tercerai berai ke segala arah di antara mereka ada pula yang berlari me nyusur parit dan ketika tiba-tiba saja prajurit itu muncul di tikungan, dilihatnya di ba lik gerumbul dua orang yang sedang bertempur dengan sengitnya.
Akhirnya prajurit itupun mengenal bahwa yang berkelahi itu adalah seorang kumpeni me lawan orang yang tidak dikenalnya. "Tentu salah seorang pe mberontak kumpeni itu" berpikir prajurit itu. telah mengejar
Karena itu, selagi tidak ada orang lain, maka iapun berkata di dala m hatinya "Aku harus menyelamatkan kumpeni itu sebelum orang-orang yang liar itu mengejar ka mi" Dengan de mikian ma ka perlahan-lahan prajurit itupun mencoba untuk merunduk dengan senjata di tangan. Baru beberapa langkah di sebelah perke lahian itu ia me loncat sambil berkata "Tahankan tuan. Aku akan me mbantu tuan" Kumpeni itu se mpat berpaling. Dilihatnya seorang prajurit Surakarta telah berdiri di belakangnya. "Bunuh saja pere mpuan ini" desis kumpeni itu. "Perempuan kata tuan" "Ya. Perempuan" Prajurit Surakarta itu termangu-mangu sejenak. Namun iapun ke mudian segera maju mende kati Arum dengan pedang terjulur. Arum menjadi berdebar-debar. la tidak segera dapat menga lahkan kumpeni yang bertempur dengan ilmunya yang lain dengan kebiasaan orang-orang Surakarta. Tetapi dengan ilmu itu kumpeni itupun tida k dapat berbuat banyak melawan Arum yang lincah selain me mpertahankan diri. Tetapi tiba-tiba Arum kini dihadapkan kepada dua orang lawan sekaligus. Namun bagaimanapun juga, Arum sudah sengaja datang ke medan peperangan. Itulah sebabnya maka Arumpun telah me mbulatkan tekadnya menghadap segala akibat.
Karena itu, maka iapun segera me mpersiapkan diri untuk me lawan kedua orang itu. Sejenak ke mudian perkelahian itupun telah berke mbang. Arum me musatkan perhatiannya kepada prajurit Surakarta yang bertempur dengan cara yang lain dari kumpeni itu. Prajurit Surakarta itu bertempur dengan me manfaatkan segenap tubuhnya seperti Arum sendiri. Ia tidak sekedar bergeser selangkah maju ke mudian surut. Tetapi prajurit itupun berloncatan dengan cepat dan cekatan. Tetapi dengan kehadiran prajurit itu, ternyata bahwa kumpeni yang semula hanya bertahan saja mulai bergerak lebih banyak. Meskipun ia tidak dapat bertempur seperti Arum dan prajurit Surakarta itu, namun dengan caranya sendiri ia telah menyerang Arum pula. Terasa kemudian oleh Arum, bahwa melawan dua orang yang me miliki ilmu yang berbeda itu aga k sulit pula. Kumpeni yang gerakannya sebagian besar adalah gerakan yang datar, seperti sekedar maju dan mundur itu dibarengi dengan serangan-serangan yang lincah dari prajurit Surakarta, merupakan perlawanan yang sangat berat. Namun Arum tidak menjadi berputus-asa. Ia bertempur terus dengan sekuat tenaganya. Tetapi bahwa kemudian yang melihat perkelahian itu tidak hanya seorang prajurit saja, me mbuat Arum menjadi berdebat. Sejenak kemudian telah datang pula seorang prajurit yang berlari-lari. Tetapi prajurit itupun berhenti pula setelah ia me lihat seorang kawannya dan seorang kumpeni bertempur me lawan seorang yang tidak dikenal. Seperti kawannya dan kumpeni itu, prajurit yang datang ke mudian itupun menganggap bahwa orang itu tentu salah seorang dari laskar Pangeran Mangkubumi. Karena itulah, maka iapun segera melibatkan diri pula di dalam pertempuran itu.
Arum yang mendapat lawan lagi, akhirnya merasa bahwa ia tentu akan mendapat kesulitan. Ia merasa bahwa terlampau berat, baginya untuk mengatasi ketiga lawannya itu se kaligus. Meskipun demikian, ia sudah dengan sengaja berada di medan. Dan akibat yang manapun juga a kan diterima dengan dada tengadah. Tetapi selagi perte mpuran itu menjadi se makin berat sebelah terdengarlah derap kaki kuda mendekat Ternyata ke mudian na mpa k seorang penunggang kuda di dala m keremangan ma la m. Sejenak penunggang kuda itu termangumangu. Na mun iapun ke mudian dapat menilai keadaan. Seorang yang tidak dikenal sedang bertempur melawan seorang kumpeni dan dua orang prajurit. Karena itu, maka penunggang kuda itupun segera meloncat turun. Dengan hati-hati ia mendekati arena perkelahian itu dengan heran. Ia justru tidak mengenal orang yang sedang bertempur me lawan kumpeni dan dua orang prajurit itu. Namun de mikian, karena kebenciannya kepada kumpeni telah mencengka m jantungnya, dan ia telah kehilangan buruannya di gerumbul-gerumbul perdu, ma ka orang itupun segera mendekat sa mbil berkata kepada Arum "Aku tidak mengenalmu, tetapi karena kau bertempur me lawan kumpeni, biarlah aku me mbantumu" "Lawanlah yang bukan kumpeni" berkata Arum Orang itu terkejut. Desisnya "Kau seorang perempuan?" Tetapi Arum tida k menjawab. Sejenak orang itu termangu-mangu. Na mun ia tidak dapat menunggu lebih la ma lagi, karena ketiga orang lawan perempuan itu agaknya berte mpur se makin sengit Karena itu, maka iapun segera menerjunkan diri di dala m perkelahian itu. Ia tidak tahu siapakah pere mpuan yang
ma mpu bertahan melawan tiga orang meskipun na mpa knya ia sudah sangat terdesak. Kehadiran orang itu telah me mperingan tugas Arum. Tetapi agaknya orang yang baru datang itu tidak lebih baik dari seorang prajurit Surakarta, sehingga karena itu ma ka Arum masih harus me lawan dua orang sekaligus. Tetapi perkelahian yang demikian itu tidak berlangsung lebih la ma lagi. di arena di ujung hutan, pertempuran telah hampir selesai seluruhnya. Bahkan laskar Pangeran Mangkubumi itupun ke mudian me lihat lawan Buntal terle mpar dari kudanya dan tidak akan dapat bangun lagi untuk sela mala manya. Dadanya telah dikoyak oleh senjata Buntal sehingga darah telah me mencar dengan derasnya. Sesaat mereka menjadi termangu-mangu. Na mun ke mudian merekapun berpencaran pula sambil menggertak prajurit-prajurit Surakarta yang berlari-larian karena kehilangan kuda mereka. Namun seperti yang dipesankan oleh pemimpinnya, mereka tidak berusaha me mbunuh lawan sebanyak-banyaknya. Dala m pada itu beberapa orang laskar Pangeran Mangkubumi yang juga berpencaran itu sudah mulai berkumpul ke mbali di ujung hutan. Namun tiba-tiba seseorang datang berkuda dengan tergesa-gesa dan me mberikan laporan kepada pemimpinnya "Seorang pere mpuan sedang bertempur me lawan kumpeni yang lari dari gelanggang. Beberapa orang kumpeni terbunuh di arena. Sedang yang seorang, yang me larikan diri, kini sedang berkelahi dengan seorang perempuan yang t idak kita kenal itu" Buntal yang mendengar laporan itu terkejut bukan buatan. Ia segera menduga, bahwa perempuan itu tentu Arum. Karena itu, maka tanpa menunggu perintah, iapun bertanya "Dima na?" "Di tikungan, di tepi parit itu"
Buntal segera me macu kudanya. Beberapa saat kemudian iapun telah melihat beberapa orang kawannya sedang me lingkari sebuah arena pertempuran. Buntalpun ke mudian berhenti di antara kawan-kawannya. Sambil menarik nafas dalam-dala m ia melihat Arum bertempur me lawan seorang kumpeni. "Bagaimana mungkin ha l ini terjadi?" bertanya Buntal kepada kawannya. "Se mula perempuan itu bertempur melawan tiga orang" "He?" Buntal terkejut. "Ketika ka mi datang, seorang kawan kami telah menga mbil seorang lawannya, sehingga ia tinggal berkelahi melawan seorang kumpeni dan seorang prajurit. Tetapi prajurit-prajurit Surakarta itu keduanya sudah ka mi tangkap, sedang kumpeni itu kita usahakan agar tida k dapat meninggalkan gelanggang" "Maksudmu, kalian me mbiarkan kumpeni itu bertempur seorang me lawan seorang dengan pere mpuan itu?" "Ya" "Gila. Apakah kalian menyangka bahwa kalian sedang menyabung aya m?" "Bukan ka mi yang menyabung mereka. Ketika seorang kawan ka mi datang, mere ka sudah bertempur. Bahkan perempuan itu berke lahi melawan tiga orang. Dua orang prajurit dan seorang kumpeni" "Seharusnya Seluruhnya " kalian me nga mbil alih lawan-lawan itu.
"Perempuan itu tidak mau me lepaskan kumpeni itu" Buntal menggera m. Bukan saja karena ia melihat Arum berada di daerah pertempuran itu, tetapi juga karena kawankawannya yang melihat perkelahian itu seperti melihat sabung ayam. Dala m pada itu, Arum sendiri tidak se mpat me mperhatikan, siapa saja yang ada di sekitar arena. Dendamnya kepada kumpeni telah menutup segenap pertimbangannya. Rasarasanya ia ingin melumat kan kumpeni itu dengan tangannya. "Belum tentu aku akan mendapat kesempatan serupa ini setahun dua tahun lagi" berkata Arum di dala m hatinya. Tetapi agaknya Buntal tidak dapat membiarkan hal serupa itu berlangsung lebih la ma lagi. Karena itu, tanpa menunggu perintah pemimpinnya, ia meloncat turun dari kudanya dan menyerahkan kendalinya kepada kawannya. "Pegang kuda ku" "Kau mau apa?" Buntal tidak menjawab. Tetapi iapun ke mudian berjalan mende kati arena. "Tida k seorangpun boleh mende kat" seorang kawannya yang lain menegurnya. Tetapi Buntal t idak berhenti. Beberapa langkah dari arena Buntal berkata "Arum, Kenapa kau la kukan hal ini?" Arum terkejut mendengar suara Buntal. Tetapi ia t idak dapat segera menanggapinya karena ia harus menghadapi serangan kumpeni itu. "Arum" berkata Buntal ke mudian "tinggalkan lawanmu. Biarlah aku me nyelesaikan" "Huh" tiba-tiba Arum berdesis "Aku sudah melukainya. Sebentar lagi ia akan mat i di tanganku. Jangan ikut ca mpur" "Arum, apakah kau t idak mau mendengarkan aku?" "Tinggalkan a ku sendiri. Bawalah prajurit-prajurit Surakarta itu. Tetapi jangan yang seorang ini"
Buntal menarik nafas dalam-da la m. Ia me mang me lihat bahwa kumpeni itu sudah menjadi se makin le mah. Dipunda knya tergores luka yang meskipun tida k begitu dala m, tetapi semakin banyak darah yang mengalir, maka kumpeni itu menjadi se makin le mah. "Arum" Buntal masih me ncoba mencegah "daerah ini adalah daerah pertempuran" Arum masih bertempur terus. Bahkan ia menjadi se makin garang. Ia sama sekali tida k menghiraukan beberapa pasang mata yang me mperhatikannya dengan berbagai maca m tanggapan. "Arum" seka li lagi Buntal me manggil. "Buntal" seorang kawannya yang menyaksikan perkelahian itu berkata "Kenapa kau menjadi ribut seperti cacing tersentuh api. Kita me mang sedang menyaksikan perkelahian yang aneh. Ternyata bahwa di Surakarta ada juga seorang perempuan yang ma mpu bertempur melawan kumpeni. Lihat, kumpeni itu ha mpir mati" Buntal tidak menghiraukannya. Ia mendesak maju se makin dekat. "Hentikan Arum" Buntal masih mencegah. Tetapi seorang kawannya mendekatinya sa mbil menarik bahunya "Biarkan saja. Aku ingin me lihat kumpeni itu jatuh tersungkur. Jangan cemaskan nasib perempuan itu. Ia tentu akan menang" "Tetapi aku tidak dapat me mbiarkannya menjadi tontonan seperti ini" "Siapakah pere mpuan itu" Isterimu?" pertanyaan itu me mbuat wajah Buntal menjadi merah. Tetapi iapun ke mudian menjawab "Ia adalah adikku" "Adikmu?" bertanya beberapa orang bersama-sama.
"Ya. Dan aku berhak melarangnya" Beberapa orang saling berpandangan. Kemudian salah seorang dari mereka berdesis "Mengagumkan. Jika de mikian maka anak itu hidup dala m keluarga yang dibayangi oleh ke ma mpuan olah kanuragan. Betapa tinggi ke ma mpuan orang tua mereka" "Belum tentu" sahut yang la in "mungkin orang tua mereka hanya menyerahkan keduanya pada seorang guru" Yang lain tidak me nyahut lagi. Kini mereka me mperhatikan apa yang akan dilakukan oleh Buntal. "Arum" berkata Buntal "Apakah kau benar-benar tidak mau berhenti?" "Nyawanya sudah ada di ujung pedangku. Jika sekali lagi aku mengibaskannya, maka nyawanya akan terlempar" "Serahkan kepadaku" "Tida k" Arum ha mpir berteriak "Aku akan me lakukannya sendiri" "Dan menjadi tontonan seperti sabungan ayam?" Kata-kata Buntal yang terakhir me mbuat Arum meloncat surut. Ia sempat me mperhatikan beberapa orang yang berdiri me lingkarinya. Dala m pada itu, kumpeni yang terluka itu sudah berputus asa. Ia tidak me lihat jalan keluar dari maut di sekitarnya berdiri beberapa orang laskar pe mberontak yang me mang sedang mencarinya. Namun justru karena itu, ma ka kumpeni itu telah kehilangan aka l. Ia tidak lagi dapat berpikir, selain jika ia harus mati, maka ia harus tetap menggenggam senjata di tangan. Dan apabila mungkin, maka ia harus me mbawa lawannya serta.
Karena itu, selagi Arum sedang termangu-mangu me mperhatikan beberapa orang yang mengitarinya, maka kumpeni itupun meloncat menyerang dengan sisa-sisa tenaga yang ada padanya. Tetapi ternyata bahwa Arum masih tetap berwaspada. Ketika serangan yang dilontarkan dengan sisa tenaga itu terjulur ke dadanya, maka Arumpun se mpat me loncat ke samping. Ke mudian dengan se kuat tenaganya, Arum telah me mukul pedang kumpeni itu sehingga pedang itu terlepas dari tangannya yang me mang sudah menjadi se makin le mah. Kumpeni itu terkejut. Tetapi ia sudab tidak se mpat berbuat apa-apa. Ketika ia berusaha untuk menga mbil senjatanya, maka Arum telah me loncat maju dan me lekatkan pedangnya di dada lawannya. "Kau Arum. harus mati" teriak
Kumpeni itu me njadi gemetar. Ia ingin dapat menggengga m senjatanya ke mbali meskipun ia harus mati. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Ujung senjata lawannya telah menyentuh kulitnya. Namun dala m pada itu, Buntal yang gelisah masih berdiri di tepi arena. Dengan lantang ia masih mencoba menahan pedang Arum "Tunggu Arum. Ada sesuatu yang akan aku katakan" "Aku akan me mbunuhnya" berkata Arum.
Buntal termangu-mangu. Tetapi ia merasa bahwa ia tidak dapat berbuat apa-apa. Arum tentu tidak akan menghiraukannya lagi. Apa lagi karena ujung pedangnya me mang sudah melekat di dada kumpeni yang sangat dibencinya itu. Namun beberapa saat lamanya Arum masih berdiri me matung Terasa sesuatu bergejolak di dadanya. Kebenciannya, me mang telah mendorongnya untuk menghunja mkan pedangnya di tubuh lawannya. Namun demikian ada sesuatu yang rasa-rasanya telah me mberatinya. "Me mbunuh di peperangan bukannya suatu dosa" Ia mencoba me nguatkan hatinya agar tangannya dapat digerakkannya, menusukkan pedangnya. Sekilas ia melihat lawannya yang tinggi besar dan berkulit putih itu berdiri tegak dengan tegangnya. Namun tiba-tiba terdengar suara yang seolah-olah menjawab kata-kata di hatinya itu "Jangan kau bunuh orang itu" Semua orang yang mendengar suara itu berpaling. Arumpun berpaling juga sekilas. Dilihatnya seseorang yang berjanggut putih berdiri di pinggir arena di sebelah Buntal. "Jangan kau bunuh orang itu" Orang berjanggut putih itu mengulangi. "Itu adalah urusanku" jawab Arum "Aku telah berperang tanding dengan kumpeni ini. Penyelesaiannya terserah kepadaku" Orang berjanggut putih itu termangu-mangu sejenak. Yang terdengar kemudian adalah suara Buntal "Arum. Dengarlah perintahnya" "Tida k ada orang yang me merintah aku" "Tetapi ia adalah pemimpin laskar Pangeran Mangkubumi di daerah pertempuran ini"
"Aku bukan anak buahnya" "Karena ia diangkat oleh Pangeran Mangkubumi, maka perintahnya sama nilainya dengan perintah Pangeran Mangkubumi sendiri di peperangan ini" Mendengar kata-kata Buntal itu Arum menjadi termangumangu sejenak. Ke mudian ha mpir di luar sadarnya ia me langkah surut sehingga ujung pedangnya tidak lagi mele kat di tubuh orang yang tinggi besar dan berkulit putih itu. "Dengarlah" berkata orang berjanggut putih. "Na manya Arum" potong Buntal. "Dengarlah Arum" pe mimpin itu me lanjutkan "Aku tidak akan menca mpuri persoalanmu. Kau me mang sudah me lakukan perang tanding di luar lingkungan pasukanku. Jika kau berkeras untuk me menuhi ke inginan perasaanmu saja, aku tidak dapat mencegahmu" ia berhenti sejenak, lalu "Tetapi sifat seorang kesatria di Surakarta harus kau ketahui. Apabila lawan telah menguncupkan tangannya dan tidak ma mpu lagi berbuat apapun juga, maka seorang yang bersifat kesatria tidak akan me mbunuhnya" "Ambil pedangmu" t iba-tiba Arum berteriak kumpeni yang sudah kehabisan tenaga itu. kepada
"Tida k ada gunanya" sahut pe mimpin laskar Pangeran Mangkubumi itu "kumpeni itu sudah terlampau le mah. Ia tidak akan dapat melawan lagi" "Jadi bagaimana" ia tetap melawan. Ia tidak mau menyerah. Karena itu aku berhak me mbunuhnya" "Ya. Tetapi seperti yang aku katakan, ia sudah t idak berdaya lagi" pemimpin itu berhenti sejenak. Dipandanginya Arum yang berdiri termangu-ma ngu. "Arum" Orang itu melanjut kan "aku ingin mengusulkan kepadamu agar kau bersikap seperti seorang kesatria. Aku
kagum bahwa kau benar-benar seorang perempuan yang luar biasa. Tetapi aku juga kagum bahwa kau sebenarnya adalah seorang yang bersifat kesatria. Ternyata kau tidak langsung menusuk jantung orang itu. Kau menjadi ragu-ragu ketika ujung pedangmu sudah me lekat di dadanya. Sifat itulah yang harus kau ke mbangkan di dala m diri sebagai kesatria di Surakarta. Dan ka mi akan berbangga karenanya" "Jadi apa yang harus aku la kukan" "Biarkan orang itu pergi meninggalkan gelanggang" "Apakah kumpeni itu a kan dibiarkan hidup?" "Ya" Arum me ma ndang pe mimpin laskar Pangeran Mangkubumi itu dengan heran. Bahkan sebenarnya bukan saja Arum, tetapi setiap orang yang mendengar keputusan itu menjadi heran. Jika kumpeni itu berada di arena pertempuran di ujung hutan itu, meskipun ia berada dalam keadaan yang sama, apakah ia akan dapat disela matkan" Tetapi ke mudian masih terdengar pe mimpin itu berkata "Nah, apa katamu Arum" "Tetapi ia adalah kumpeni" jawab Arum "Ia datang dari suatu kerajaan yang jauh dan ingin menguasai kerajaan Surakarta. Apakah kita akan me mbiarkannya hidup?" "Dala m keadaan seperti itu aku ingin me mbiarkannya hidup. Akupun yakin, jika disini ada Pangeran Mangkubumi, maka Pangeran itupun akan me mbiarkannya hidup" Arum termangu-ma ngu sejenak. Kemudian dipandanginya Buntal seakan-akan ia ingin mendapat pertimbangan daripadanya. Tetapi Buntalpun me njadi bingung menanggapi keputusan itu. Jika ia mencegah Arum, maka ia hanya ingin menyingkirkan Arum dari arena, yang seakan-akan seperti
ayam sabungan yang digelanggang sabungan.
dikerumuni oleh penontonnya "Nah. jika kau sependapat, sarungkan pedangmu, Kita akan me mbiarkan kumpeni itu pergi" Arum menjadi termangu-mangu sejenak. Tetapi karena orang itu telah menyebut sikap Pangeran Mangkubumi jika ia berada di tempat itu. maka Arumpun menjadi bimbang. Apalagi agaknya Buntal sama sekali tidak dapat me mbantunya me mberikan pendapatnya. Dengan hati yang berat Arumpun ke mudian me langkah surut. Perlahan-lahan iapun menyarungkan pedangnya sa mbil berkata "Jika me mang de mikian yang dikehendaki oleh Pangeran Mangkubumi, maka akupun akan me ntaatinya" Pemimpin yang berjanggut putih itu menarik nafas dalamdalam. Ke kaguman di hatinya kian bertambah. Ternyata gadis itu me miliki rasa pengabdian pula kepada Pangeran Mangkubumi meskipun gadis itu tida k me mpunyai hubungan apapun pada bentuk lahiriahnya. "Terima kasih Arum" berkata orang berjanggut putih itu ke mudian "ternyata bahwa sikapmu yang terakhir itu menunjukkan bahwa meskipun kau berbuat atas namamu sendiri, tetapi kau merasa dirimu satu dengan perjuangan Pangeran Mangkubumi. Dan sekarang kau telah melepaskan lawanmu yang tidak berdaya itu" pemimpin itu terdia m sejenak, lalu katanya kepada kumpeni itu "Pergilah" Kumpeni itu masih berdiri me matung. Tubuhnya terasa menjadi se makin le mah. "Pergilah" sekali lagi pe mimpin laskar Pangeran Mangkubumi itu berkata "Kau ka mi bebaskan. Kawankawanmu telah mat i terbunuh di peperangan" Kumpeni itu me mandang pe mimpin berjanggut putih itu dengan heran.
"Jangan bingung. Pergilah" Kumpeni itu masih berdiri di tempatnya. "Pergilah" pe mimpin berjanggut putih itu ke mudian me mbentaknya "sela matkan dirimu. Jika kau dapat mencapai perbatasan malam ini, maka kau akan selamat dan hidup. Tetapi bahwa kami telah menunjukkan sikap kesatria, kau sudah mengetahuinya" "Gila" t iba-tiba kumpeni itu mengumpat "Kalian akan menyesal karena kalian tidak me mbunuhku sekarang. Besok atau lusa, akulah yang akan me mbunuhmu" Tetapi pe mimpin laskar Pangeran Mangkubumi itu tertawa. Katanya "Ternyata kau juga seorang prajurit jantan, Aku me mang sudah mendengar bahwa meskipun kau datang dari kerajaan kerdil di benua mu, tetapi kalian adalah prajuritprajurit pilihan. Sayang bahwa di sa mping kejantanan ka lian secara pribadi, sikap kumpeni adalah sangat licik. Mengadu domba, menghasut dan kadang-kadang menipu" "Itu adalah akibat kebodohanmu sendiri" kumpeni itu masih menjawab "dan bangsa yang bodoh seperti kalian me mang tidak lebih baik dari domba aduan" "Aku juga kagum kepadamu" berkata orang berjanggut putih "Tidak sia-sia kau datang dari benua yang jauh, dari arah matahari terbena m. Tetapi sebaiknya kau pergi. Sampa ikan sala mku kepada kawan-kawanmu jika kau dapat bertahan sampai ke kota" Kumpeni itu menggera m. Namun pe mimpin pasukan Pangeran Mangkubumi itu tidak menghiraukannya lagi. Katanya kepada anak buahnya "Kita tinggalkan kumpeni ini. Buang senjatanya agar ia tidak mengganggu penduduk di sepanjang perjalanannya ke mbali ke kota" Meskipun anak buahnya menjadi ragu-ragu sejenak, namun akhirnya merekapun mula i bergerak meningga lkan tempat itu.
Tetapi Buntal mendekati pe mimpinnya sambil berdesis "Aku minta ijin untuk mengantarkan adikku ke mbali ke padepokan. Sebelum fajar aku sudah berada di antara kawan-kawan semuanya" Pemimpinnya mengerutkan keningnya. Katanya "Ia adalah seorang perempuan yang mengagumkan. Apakah ia tidak berani pulang sendiri?" "Bukan tidak berani pulang sendiri" jawab Buntal, lalu suaranya menjadi semakin perlahan "Tetapi ia akan berkeliaran dan barangkali mencari kumpeni yang kita lepaskan itu" Orang berjanggut putih itu tersenyum. Katanya "Adikmu me mang luar biasa. Baiklah. Antarkan ia pulang dan serahkan kepada orang tuamu. Kemudian kau segera menyusul kami. Kami akan me laporkan hasil tugas ka mi, bersama dengan kelompok-kelompok di tempat-tempat lain" Buntal menarik nafas. Ternyata pemimpinnya dapat mengerti dan me mberikan ijin kepadanya untuk mengurus Arum lebih dahulu sebelum ia ke mbali kepada kawankawannya. Namun pemimpinnya itu masih bertanya "Apakah tidak sebaiknya kau me mbawa satu dua orang kawan" Dala m keadaan seperti ini kau me merlukan kawan. Mungkin kau bertemu dengan peronda kumpeni di perjalanan, atau prajuritprajurit Surakarta. Mungkin juga kau bertemu dengan laskar Raden Mas Said yang tidak saling mengenal dan yang mungkin dapat terjadi sa lah paha m" Buntal merenung sejenak. Tetapi ia tida k dapat menola k. Me mang hal yang serupa itu dapat terjadi. "Baiklah" berkata Buntal ke mudian "Aku a kan me mbawa seorang kawan"
Pemimpin berjanggut putih itupun ke mudian me manggil dua orang kawan Buntal dan berkata "Bawalah keduanya bersama mu" "Ke mana?" bertanya salah seorang dari mereka. "Ikutlah Buntal" Keduanya tidak menjawab lagi. Ketika pe mimpinnya ke mudian meninggalkan te mpat itu, maka keduanyapun tinggal bersa ma Buntal. Arum masih berdiri termangu-mangu. Ia sempat melihat kumpeni yang sudah tidak bersenjata lagi itu tertatih-tatih meninggalkan arena sambil mengumpat dengan bahasa yang tidak dimengerti. Namun menilik nada dan tekanan katakatanya, kumpeni itu merasa sangat terhina dan marah tidak habis-habisnya. Namun de mikian, iapun meninggalkan arena itu dan hilang di dala m gelap. Arum mengerutkan keningnya ketika ia melihat laskar Pangeran Mangkubumi itu ke mudian meninggalkan arena. Tetapi agaknya Buntal akan tetap tingga l mengawaninya. Tetapi ternyata bersama Buntal masih ada dua orang yang lain yang tidak segera pergi sehingga tiba-tiba saja Arum mende kat mereka sambil bertanya "Kalian tidak pergi bersama kawan ka lian?" "Arum" sahut Buntal "Aku akan mengantarkan kau ke mbali ke padepokan" "Kenapa kau akan mengantar aku" Apa kau sangka aku tidak berani pergi sendiri?" "Bukan begitu, tetapi dalam keadaan serupa ini, kita tidak tahu apa yang akan terjadi di sepanjang jalan. Kau tentu masih ingat orang-orang yang me mbawa kalung merjan itu. Merekapun prajurit-prajurit sandi yang berkeliaran. Ada banyak sekali prajurit-prajurit sandi seperti itu. Dan bahkan mungkin kita akan bertemu dengan laskar Raden Mas. Jika
kita saling me mpercayai tidak akan timbul sesuatu. Tetapi jika timbul salah paham, dan kita saling berprasangka, maka akan dapat timbul persoalan. Kita masing-masing tidak akan dapat me mbedakan, yang manakah laskar Pangeran Mangkubumi, yang manakah laskar Raden Mas Said, dan yang manakah prajurit-prajurit Surakarta dala m tugas sandi" Arum mengerutkan keningnya. Namun katanya sambil me mandang kedua kawan Buntal "Kenapa mere ka tingga l juga bersama mu?" "Seperti yang aku katakan. Kita tidak dapat berjalan seorang diri dala m keadaan ini" "Kau takut?" Buntal menarik nafas dalam-da la m. Jawabnya kemudian "Bukan takut Arum. Ada bedanya antara ketakutan dan berhati-hati" Arum me mandang kedua kawan Buntal berganti-ganti. Nampa k kekecewaan me mbersit di hatinya. Dalam tanggapan perasaan Buntal yang telah terisi oleh sikap tertentu terhadap Arum, seakan-akan Arum me njadi kecewa bahwa ada orang lain yang a kan pergi bersama mereka berdua. Tetapi Buntal yang menyadari keadaan, tidak me mbiarkan dirinya hanyut dalam arus perasaannya saja. Karena itu. maka katanya kemudian "Marilah Arum. Apakah kau hanya berjalan kaki saja?" "Aku me mbawa kuda. Aku se mbunyikan kudaku di balik semak-se mak itu" "Marilah. Secepatnya aku harus ke mba li kepasukanku" "Kenapa tidak sekarang saja?" Buntal yang mengetahui sifat Arum hanya dapat menarik nafas. Sedang kedua kawannya mempunyai tanggapan yang, aneh terhadap adik Buntal itu. Tetapi bagi mere ka sifat gadis
itu me mang sangat menarik. Keduanya tidak pernah menjumpai gadis yang me mpunyai sifat dan sikap seperti Arum. Dan apalagi ma mpu bertempur melawan tiga orang sekaligus meskipun ia terdesak dan bahkan me mbahayakan jiwanya seandainya tidak ada orang lain yang melihatnya. Dala m pada itu, maka Buntalpun berkata pula "Marilah Arum. Dimana kuda mu. Jangan me mpersulit keadaanku" Buntal tidak menyahut. Sambil menuntun kudanya yang telah diserahkan kepadanya ia berjalan mendekat sa mbil berkata "Nah, ka mi akan menga mbil kuda mu lebih dahulu. Kemudian aku a kan mengantarkan kau sa mpai ke padepokan" Arum tidak menyahut. Iapun kemudian me langkah meninggalkan tempatnya. di belakangnya Buntal dan kedua kawannya berjalan menuntun kuda masing-masing. Kedua kawan Buntal yang sempat melihat pakaian Arum di dalam kere mangan ma la m, melihat kelengkapan yang dibawa oleh gadis itu. Selain pedang, ternyata diikat pinggangnya terselip pisau-pisau belati. Dengan de mikian, kedua kawan Buntal itu dapat menduga, bahwa gadis itu benar-benar seorang gadis yang siap bertempur menghadapi segala ke mungkinan. Tetapi sayang, bahwa ia me lakukannya sendiri, tanpa ikatan dengan pasukan yang telah ada sehingga memang mungkin sekali dapat timbul salah paha m. Tetapi keduanya tidak berkata apapun juga. Dalam waktu yang singkat keduanya dapat menangkap serba sedikit sikap dan sifat gadis itu. Demikianlah maka merekapun ke mudian menyusup ke balik gerumbul untuk menga mbil kuda Arum, yang ditinggalkannya ketika ia merayap mendekati hutan. Tetapi Arum terkejut bukan buatan ketika ia tida k melihat lagi kudanya di tempat ia mena mbatkannya.
"Di sini a ku mena mbatkan kuda ku" Arum ha mpir berteriak. "Apakah kuda itu lari dan terlepas?" "Tentu tidak" jawab Arum "Jika kuda itu melepaskan diri dengan paksa, ma ka tentu akan na mpak bekas-bekasnya. Ranting-ranting itu akan berpatahan, atau daun-daunan akan rontok oleh sentuhan kendali yang aku tambatkan dengan cukup kuat" "Jadi menurut dugaanmu, kuda mu dia mbil orang" "Ya" dan tiba-tiba saja Arum menggera m "Tentu kumpeni itu. Ia menyusup gerumbul-gerumbul liar dan mene mukan kuda itu. Gila. Kenapa a ku tida k me mbunuhnya" "Ia tidak berjalan kearah ini. Ia menuju kearah kota. Tentu kumpeni itu tidak akan sa mpai ke tempat ini" "Siapa tahu ia mencari jalan me lingkar karena ia masih tetap curiga. Atau barangkali ia me mang tersesat, dan tanpa sengaja mene mukan kudaku" Buntal mengerutkan keningnya, lalu katanya "Pakailah kudaku" "Tida k mau" "Kenapa?" "Aku tida k mau berkuda berdua " "Bukan begitu. Maksudku, kau pakai kudaku. Aku akan berdua dengan salah seorang kawanku" Arum mengerutkan keningnya. Sejenak ia merenung. Kemudian iapun mengangguk kecil. Katanya "Baiklah" Kedua kawan Buntal tidak dapat menahan senyumnya. Gadis ini agak manja juga. Tetapi ternyata ia tidak sekedar bermanja-manja. Justru gadis itu me miliki ke ma mpuan yang me la mpaui kebanyakan gadis-gadis sebayanya. Bahkan tidak banyak anak muda yang ma mpu berbuat seperti gadis itu.
Namun dala m pada itu, selagi Buntal akan menyerahkan kudanya kepada Arum, terdengar gemerisik dedaunan di belakang mereka, sehingga dengan gerak naluriah, maka mereka yang ada di tempat itupun segera me mpersiapkan diri. Serentak mereka bersikap, menghadap kearah dedaunan yang mulai menyibak, dan sebuah bayangan nampak tersembul dari balik gerumbul-gerumbul yang rimbun itu. Semakin la ma semakin jelas bagi mereka yang berdiri dengan tegang menantikannya. Dan hampir di luar sadar pula, tangan-tangan merekapun telah mele kat dihulu senjata masingmasing. Tetapi yang terdengar kemudian ada lah suara tertawa perlahan-lahan. Dan disela-sela suara tertawa itu terdengar orang yang baru saja tersembul dari gerumbul itu berkata "Apakah kau mencari seekor kuda yang tertambat di sini" "Ayah" Arum hampar berteriak "Tentu ayah yang sedang me mperma inkan aku" Ternyata orang yang baru datang itu adalah Kiai Danatirta. Buntalpun ke mudian menarik nafas dala m-dala m sa mbil berkata "Ayah mengejutkan ka mi" Kiai Danatirta masih tertawa. Katanya "Ya. Akulah yang menye mbunyikan kuda mu"
"Ayah selalu mengganggu aku" desis Arum. "Tida k. Tetapi aku benar-benar menyembunyikan kuda itu. Prajurit Surakarta yang berlari bercerai-berai itu ternyata ada yang sampai ke tempat ini pula. Jika aku tidak menye mbunyikan kuda mu, ma ka kuda mu itu tentu sudah hilang pula " Arum termangu-mangu sejenak. Lalu tiba-tiba saja ia bertanya "Tetapi kenapa ayah tiba-tiba saja sudah ada di sini?" "Kenapa kau berada di sini pula?" Justru ayahnya ganti bertanya. Arum tidak menyahut, tetapi kepalanya sajalah yang tertunduk dalam-dala m. Tanpa disadarinya tangannya telah me mperma inkan hulu kedua pisau belati yang tidak dipergunakannya. "Arum telah me lakukan sesuatu yang sangat berbahaya ayah" berkata Buntal. "Tumba k cucukan" desis Arum "Kenapa kau melaporkannya kepada ayah seperti kanak-kanak saja " Buntal justru tertawa. Katanya "Jadi maksudmu agat ayah tidak mengetahui bahwa kau telah melakukan itu" Baiklah. Aku tidak a kan mengatakan kepada ayah bahwa kau telah mencegat kumpeni itu dan ke mudian berte mpur melawan dua bahkan tiga orang sekaligus" "Tida k" Arum ha mpir berteriak "kumpeni itulah yang merunduk aku dan ke mudian menyerang. Dan aku tidak berkelahi melawan tiga orang. Kawan kakang Buntallah yang ke mudian berkelahi itu" "Jadi kau tidak?" bertanya Buntal. "Tida k" "Apakah aku dapat bertanya kedua kawanku ini"
"Tentu mereka a kan me mihakmu" Sebelum Buntal menjawab, ayahnyalah yang mendahuluinya "Aku melihat semuanya. Aku melihat Arum me lonjak-lonjak kegirangan melihat prajurit Surakarta terdesak yang karena itu ia menjadi lengah sehingga kumpeni itu melihatnya Kemudian a kupun me lihat kumpeni itu bertempur tanpa senjata api berlaras pendek. Kemudian datang seorang dan seorang lagi. Berturut-turut aku menungguinya" "O" Buntal mengangguk-angguk menundukkan kepa lanya. sedang Arum
Dala m pada itu kedua kawan Buntal benar-benar menjadi heran. Ia yakin bahwa ayah gadis itu tentu bukan orang kebanyakan, menilik sikap dan tingkah la kunya. Namun ia me mbiarkan anak gadisnya bertempur me lawan tiga orang, justru demikian berbahaya bagi jiwanya "Tetap agaknya ia yakin tentang anak gadisnya" berkata yang seorang di dalam hatinya, sedang yang lain berkata kepada diri sendiri "Tentu ayahnya sudah siap menyela matkannya apabila keadaan menjadi se makin gawat" Dala m pada itu, Kia i Danatirtapun ke mudian berkata "Arum, marilah kita pulang. Biarlah Buntal dan kedua kawannya ke mbali ke induk pasukannya. Mereka masih harus me laporkan hasil dari tugas mereka " "Tetapi dimana kudaku itu ayah?" "Jangan takut. Kudamu sela mat. Prajurit-prajurit Surakarta yang tercerai berai itu tida k menjumpai kuda mu" Arum me ngangguk kecil. "Nah Buntal, sekarang kembali sajalah kepada induk pasukanmu. Biarlah aku yang me mbawa Arum ke mbali"
"Baiklah ayah" jawab Buntal datar. Tetapi sepercik kekecewaan telah menyentuh hatinya. Ada semacam keinginan untuk pergi bersa ma Arum, meskipun dengan dua orang kawannya. Apalagi apabila ada kesempatan baginya untuk pergi berdua saja. Bagaimanapun juga sebagai seorang anak muda Buntal masih dibayangi oleh perke mbangan jiwa mudanya. Namun de mikian Buntal sadar sepenuhnya, bahwa ia berada dalam suasana yang khusus. Suasana yang diliputi oleh perjuangan untuk menega kkan hak dan harga diri. Bukan secara pribadi, tetapi hak dan harga diri bangsanya yang dianca m oleh ke kuasaan orang-orang asing. Karena itu, maka ia harus menekan perasaan sendiri. Perasaannya sebagai seorang yang meningkat dewasa terhadap seorang gadis yang me miliki ke khususan baginya. Bukan karena Arum seorang gadis yang ma mpu bermain pedang, tetapi sentuhan-sentuhan halus yang terasa me mbe lati hatinya. Dala m pada itu, maka Buntal bersa ma kedua orang kawannyapun segera minta diri untuk ke mbali ke induk pasukannya. Namun terasa hati Buntal tergetar ketika ia me lihat sorot mata Arum yang asing. Meskipun di dala m keremangan mala m, seakan-akan ia me lihat sorot mata yang sekejap menyala, namun ke mudian wajah itu berpa ling. Tetapi tiba-tiba saja terbayang sebuah wajah yang lain. Wajah seorang putera bangsawan yang tampan dan berwibawa Juwiring. Raden Juwiring, putera Pangeran Ranakusuma. "Persetan" Ia menggera m di dala m hati "ia telah mengkhianati tanah kelahirannya. Ia telah mengkhianati gurunya dan ia telah berkhianat pula kepada dirinya sendiri, kepada cita-cita dan pendiriannya. Pada suatu saat aku akan menghadapinya di medan perang. Meskipun ia me miliki ilmu rangkap, dari perguruan Jati Aking dan dari ayahandanya
sendiri, akupun me mpunyai ilmu rangkap pula. Selain ilmu dari Jati Aking, akupun telah me mpelajari ilmu khusus dari Kiai Sarpasrana yang tidak kalah dahsyatnya dari Pangeran Rana kusuma" Demikianlah maka Buntalpun ke mudian berpisah dengan Arum yang dibawa serta oleh ayahnya, dan kembali ke induk pasukannya bersama dengan kedua orang kawannya. "Adikmu lucu seka li" tiba-tiba salah seorang kawannya berdesis. "Kenapa?" bertanya Buntal. "la seorang gadis yang perkasa, tetapi sekaligus manja. Ia dapat menjadi seorang kawan yang bagus sekali di dalam kesulitan, tetapi juga seorang kawan yang manis di dala m kehidupan yang sewajarnya. Namun demikian, jika ia marah ia dapat menjadi berbahaya. Jika kelak sua minya bukan seorang yang ma mpu mengatasinya Setidak-tidaknya dari satu segi, jika bukan dala m olah kanuragan, mungkin dari segi kejiwaan maka ia ada lah seorang isteri yang sulit dikendalikan" "De mikianlah" desis Buntal. Dan tiba-tiba saja kawannya yang lain berkata sambil tertawa "Sebenarnya aku ingin mela marnya Buntal. Tetapi aku menjadi ce mas jika tiba-tiba ia menarik pedangnya dala m perselisihan yang dapat saja terjadi di dala m lingkungan rumah tangga. Mungkin ia kecewa oleh kayu bakar yang basah di dapur, maka ia menjadi marah kepadaku dan menantang untuk berperang tanding. Atau barangkali aku terlambat bangun dan jambangan belum terisi ketika ia ingin mandi, maka aku dapat didorongnya dengan ujung pedang ke bibir sumur" Kawannya yang lain tertawa. Buntal sendiri tersenyum betapa masamnya. Hal yang serupa itu memang sudah terbayang diangan-angannya. Tetapi justru karena ia benarbenar me mpertimbangkan ha l itu, ma ka ia tida k mau mengatakannya kepada siapapun juga" "Tetapi ke manapun kita pergi di ma la m hari, rumah kita tidak akan dimasuki pencuri" desis kawannya yang la in. "Benar. Tetapi ada keberatan lain. Jika kita pulang terlampau ma la m, maka kita harus berhadapan dala m perang tanding" Mereka itupun tertawa. Buntalpun tertawa pula. "Sudahlah" berkata Buntal ke mudian "Jangan me mpercakapkan anak nakal yang manja itu. Aku me mpunya permintaan kepada kalian, agar kalian tidak menyebar luaskan ceritera tentang gadis yang suka menuruti kehendaknya sendiri. Hal itu akan dapat me mbahayakan padepokanku jika kelak terdengar oleh petugas-tugas sandi" "Tetapi kumpeni itu tentu mendengar na ma adikmu disebut" "Ia tidak akan dapat mengucapkan na ma itu dengan baik, atau barangkali ia sudah lupa sa ma sekali. Seandainya ia ingat, iapun tida k akan dapat menunjukkannya" Demikianlah ma ka mereka bertiga itupun ke mudian berpacu menyusul kawan-kawan mere ka ke induk pasukan. Mereka sudah tahu benar, kemana mereka harus pergi setelah tugas itu selesai. Dala m pada itu, Arumpun sudah berpacu pula bersama ayahnya kembali ke padepokannya. di sepanjang jalan, mereka ha mpir tida k berbicara sama sekali, sampai pada saatnya Arum bertanya "Kenapa ayah berada di daerah pertempuran?" "Karena kau ada di sana pula Arum. Aku melihat kau berangkat. Kau sama sekali tidak berpaling ketika aku me manggilmu. Karena itu, maka akupun segera menyusulmu"
"Jika ayah melihat aku bertempur melawan tiga orang, dan bahkan aku sudah me njadi sangat terdesak, kenapa ayah dia m saja?" gadis itu seakan-akan menuntut. Kiai Danatirta justru tersenyum. Katenya "Aku me mang ingin me lihat kau mengerahkan segenap kema mpuanmu sampai tuntas. Aku kecewa bahwa ada orang lain yang ikut campur di dala m perkelahian itu" "Apakah ayah menunggu dadaku sobek?" Kiai Danatirta justru tertawa karenanya. Katanya "Jika kau benar-benar sudah sampai pada punca k kesulitan, tentu kau berusaha dengan segenap ke ma mpuanmu untuk mencari jalan keluar. Jika kau merasa tidak ma mpu lagi melawan ketiga orang itu bersama-sa ma, ma ka aku menunggu kau me mperguna kan senjatamu yang masih tetap berada di sarungnya" "O" tanpa disadarinya Arum meraba pisau be latinya yang masih tetap terselip di pinggangnya. Dengan nada yang tinggi ia berkata "Jika. aku ingat, maka dua orang prajurit Surakarta itu tentu sudah te mbus oleh pisau-pisau ini" "Untunglah bahwa kau terlupa karenanya, sehingga kau tidak perlu me mbunuh sesa ma mu" "Tetapi bukankah di peperangan me mbunuh bukannya pantangan ayah" Jika seseorang tidak mau me mbunuh di peperangan, maka mungkin darinya sendirilah yang akan terbunuh" "Benar. Tetapi peperangan bukan tempat orang yang sekedar ingin melepaskan denda m hatinya dan me mbunuh sebanyak-banyaknya. Justru di dalam peperangan kita diuji, apakah kita akan tenggela m dala m ketidak sadaran atas diri sendiri, atau kita tetap berada di dalam kepribadian yang utuh. Jika peperangan dapat dimenangkan tanpa menitikkan darah setetespun itu tentu jauh lebih baik dari suatu
kebanggaan, bahwa di peperangan kita sudah me mbunuh beratus-ratus orang" Arum me ngerutkan keningnya. Terngiang ke mba li kata-kata orang berjanggut putih, yang disebut pemimpin oleh laskar Pangeran Mangkubumi termasuk Buntal. Jika lawan telah mengucapkan tangannya, maka tida k sepantasnya kita me mbunuhnya, meskipun kita masih harus tetap berwaspada. Arum yang sedang merenungi kata-kata itu, untuk beberapa saat lamanya tidak berbicara. Kiai Danatirtapun masih berdia m diri sambil me mandang jauh ke depan. Ke dalam kegelapan mala m yang menjadi se makin dala m. Semakin la ma merekapun menjadi se makin dekat dengan padepokan Jati Aking. Yang baru saja terjadi, bagi Arum merupakan suatu pengala man baru yang mungkin tidak akan terulang kemba li. Kese mpatan untuk bertempur seorang lawan seorang dengan kumpeni merupakan penga la man yang sangat berharga baginya. Sebagai seorang anak Surakarta, maka Arum menjadi se makin percaya kepada diri sendiri, bahwa orang asing itu bukan orang-orang yang mempunyai martabat yang lebih tinggi daripadanya. Ternyata bahwa seorang laki-laki asing yang bertubuh tinggi tegap dan kekar, tidak ma mpu mengalahkannya di dala m perang tanding. "Apakah sebenarnya kelebihan mereka?" bertanya Arum kepada diri sendiri. Dan akhirnya Arum me mpunyai kesimpulan bahwa kelebihan mereka adalah kecakapan mereka me mpergunakan dan me manfaatkan sifat-sifat sebagian anak-anak Surakarta sendiri. Tamak dan dungu. Benar-benar seperti seekor domba yang dengan mudahnya diadu yang satu dengan yang lain. Tetapi Arum, seorang gadis dari padepokan kecil di daerah Jati Sari, tidak akan dapat berbuat apapun juga, selain me mandang akibat dari pertentangan yang ditimbulkan di dalam diri sendiri. Gemerlapnya istana para Pangeran me mancing kebencian yang. diharapkan oleh orang-orang
asing itu. Dan merekapun berusaha me mperluas jarak antara para bangsawan yang kaya raya dan rakyat Surakarta kebanyakan. Namun pada suatu saat telah me ledak perasaan kebencian rakyat Surakarta kepada kumpeni itu jauh di luar dugaan. Raden Mas Said dan Pangeran Mangkubumi ternyata ma mpu menggoncangkan kedudukan orang-orang asing itu di Surakarta Yang terjadi di ujung hutan itu adalah salah satu kenyataan dari perjuangan Pangeran Mangkubumi. Pada mala m itu juga para pemimpin ke lompok yang mendapat tugas yang bersamaan di te mpat-tempat yang berbeda telah me mberikan laporan masing-masing. Ternyata bahwa tidak se mua ke lompok yang dikirim oleh Pangeran Mangkubumi dapat berhasil sebaik-baiknya. Ada di antara sekian banyak kelompok-ke lompok itu yang hampir gagal sama sekali. Justru karena pesan dari para pemimpinnya, agar mereka t idak me njatuhkan korban sejauh dapat dihindari. "Ternyata beberapa orang kita sendiri menjadi korban" berkata seorang pemimpin ke lompok yang terpaksa mundur sebelum berhasil me me cah pasukan Surakarta yang dicegatnya. Namun dala m pada itu, ternyata yang telah terjadi merupakan goncangan yang telah menggetarkan Sura karta. Beberapa kelompok prajurit Surakarta yang mendapat tugas untuk mera mpas segala jenis senjata telah mendapat serangan serentak. Meskipun tidak dapat diketahui dengan pasti, tetapi prajurit-prajurit Surakarta itu dapat menebak, bahwa yang bergerak adalah pasukan Pangeran Mangkubumi Para pemimpin Surakarta dan kumpeni, sebenarnyalah dengan sengaja memancing leda kan itu. Tetapi mereka tidak menduga sa ma sekali, bahwa Pangeran Mangkubumi telah benar-benar bersiap menghadapi ke mungkinan yang tiba-tiba.
Jika kumpeni menghendaki agar Pangeran Mangkubumi menjadi marah karena para prajurit Surakarta dan kumpeni dengar sengaja mela kukan perampasan senjata atas rakyat Surakarta, ternyata mereka telah dikejutkan oleh tindakan yang serta-merta dari Pangeran Mangkubumi. Tetapi dala m tindakan yang serta-merta itu pasukan Pangeran Mangkubumi bukan sekedar merupa kan laskar dari segerombolan orang liar yang dengan kasar dan buas menyerang para prajurit Surakarta dan kumpeni yang menyertainya. Dan agaknya tindakan serta-merta tetapi yang sudah dipersiapkan dengan masak itu benar-benar telah mengejutkan paru pe mimpin prajurit Surakarta dan kumpeni. Mereka tidak lagi mengharap Pangeran Mangkubumi menjadi marah dan ke mudian me mpersiapkan orang-orangnya untuk me lakukan serangan-serangan kecil. Tetapi yang terjadi adalah sebenarnya sebuah peperangan besar yang merata di sekitar Surakarta. Dala m pada itu, selagi para pe mimpin Surakarta mengadakan pe mbicaraan di antara mereka sebelum mereka dengan resmi me laporkan keadaan itu kepada Kangjeng Susuhunan. maka para prajurit yang perlahan-lahan mulai terkumpul lagi setelah mereka terpecah bercerai berai, mulai berbicara di antara mereka. Semula mereka ragu-ragu untuk menyatakan pengala man masing-masing. Na mun seorang prajurit yang terluka di pundaknya berkata "Aku menjadi bingung menghadapi sikap laskar Pangeran Mangkubumi" "Kenapa?" bertanya kawannya. "Ketika salah seorang berhasil melukai a ku, ma ka dala m keadaan yang tidak berdaya aku hanya dapat menunggu ujung pedangnya mengakhiri hidupku. Tetapi hal itu tidak dilakukannya, la membiarkan aku hidup dan ke mbali seperti yang kau lihat sekarang" prajurit itu berhenti sejenak, lalu-jika pada saat-saat yang mendebarkan itu aku hanya dapat me mbayangkan isteriku dan anak-ana kku yang masih
terlampau kecil untuk menjadi seorang anak yang tidak berbapa, maka agaknya aku masih a kan mendapat kesempatan untuk benar-benar bertemu dengan mereka, bukan sekedar di da la m angan-angan" Ternyata kemudian bukan hanya satu dua orang sajalah yang berceritera tentang hal yang serupa. Dan bukan saja mereka yang berada di da la m satu medan. "Agaknya Pangeran Mangkubumi me ma ng me mbekali laskarnya dengan sikap itu" berkata seorang prajurit yang sudah lebih tua dari kawan-kawannya "dan sebenarnyalah sikapnya itu sikap seorang kesatria sejati. Kesatria Mataram yang sebenarnya" Para prajurit yang lain mengangguk-angguk. Mereka tidak dapat me lepaskan diri dari kesan yang de mikian. Dala m pada itu, kumpeni yang telah dilepaskan oleh pasukan Pangeran Mangkubumi, telah berhasil pula sampai ke Surakarta. Sebagai seorang prajurit yang memiliki pengalaman yang luas, ia tidak menyerah kepada keadaannya. Meskipun ia terluka, tetapi dengan segenap sisa ke ma mpuannya kumpeni itu seolah-olah merangka k me masuki kota. Namun ia tida k berputus asa. Apalagi ia dibebani oleh perasaan dendam yang tiada taranya terhadap peristiwa yang baru saja diala mi.
Ternyata ia adalah salah satu dari dua orang kumpeni yang masih tetap hidup. Yang lain, yang ikut serta di dala m pasukan Surakarta yang tersebar untuk dengan sengaja me mancing agar Pangeran Mangkubumi melepaskan laskarnya, telah tewas dalam pertempuran yang terjadi di beberapa tempat itu. "Aku mengenal setidak-tidaknya satu na ma" desis kumpeni yang kemudian berbaring di pe mbaringan di bawah perawatan seorang tabib. "Beristirahatlah. Kau tidak boleh terlampau banyak berbicara. Jika kau sudah agak tenang, maka kau dapat me laporkan se mua yang kau alami. Dan na ma itu mungkin akan sangat penting artinya" berkata tabib yang merawatnya. Kumpeni itu seakan-akan tida k sabar lagi. Tetapi ia t idak dapat bangkit dari pe mbaringannya karena tubuhnya menjadi sangat lemah. Tetapi ia masih mencoba minta kepada tabib itu "Apakah kau dapat menghubungi komandanku?" "Tentu. Tetapi tidak sekarang. Nanti pada saatnya ia akan datang kemari, atau utusannya" Kumpeni itu menggera m. Terbayang seorang perempuan yang dengan wajah mengejek me luka i tubuhnya dengan pedang. Kemudian beberapa orang laki-laki yang menangkap dua orang prajurit Surakarta mengerumuninya seperti melihat sabungan ayam yang banyak terdapat di pinggir kota Surakarta. "Kenapa mereka tida k me mbunuh a ku "Ia menggera m "itu suatu penghinaan. Akulah kelak yang akan datang me mbunuh mereka. Dan mereka akan menyesali kesombongannya. Tatapi penyesalan itu tidak akan ada artinya. " Dengan de mikian ia berharap untuk segera dapat bertemu dengan siapapun juga. Ia harus me ngatakan bahwa ia mengenal na ma salah seorang dari pemberontak-pemberontak itu.
"Arum" desisnya "na manya Arum" Namun ke mudian "Tetapi jika na ma itu na ma yang banyak dipakai oleh pere mpuan-pere mpuan pribumi, maka akan sulit untuk dapat mene mukannya" Tetapi kumpeni itu ke mudian teringat, bahwa ia mengenal seorang Senopati dari pasukan berkuda yang menurut pendengarannya pernah tinggal disuatu padepokan. "Padepokan itu terletak di de kat ka mi bertugas" Ia menggera m "beberapa orang prajurit Surakarta menunjuk sebuah desa kecil dan mengatakan bahwa Raden Juwiring pernah berada di padukuhan itu untuk beberapa lamanya. Tentu ia akan dapat me mbantu mene mukan perempuan yang bernama Arum itu" Kumpeni yang terbaring itu tersenyum sendiri. Seakan-akan ia sudah berada di punggung kuda bersama beberapa orang kawannya dan sepasukan prajurit Surakarta mencari perempuan yang berna ma Arum itu. "Jika aku t idak me mbunuhnya, aku dapat berbuat apa saja atasnya jika ia sudah tertangkap. Meskipun ia lincah me mperguna kan pedang, tetapi tanpa senjata ia tentu tidak berdaya" Kumpeni itu tersenyum sendiri. Namun tiba-tiba iapun menyeringai ketika lukanya terasa pedih. "Aku tidak akan mengatakan nama itu kepada siapapun, kecuali kepada komandan dan kepada Raden Juwiring, Senapati pasukan berkuda putera Pangeran Ranakusuma" Sehari-harian kumpeni itu masih saja dipengaruhi oleh bayangan-bayangan yang peristiwa yang dialaminya itu. Apalagi masih belum ada orang yang dapat menengoknya, sebelum ia menjadi tenang menurut penilaian tabib yang merawatnya.
"Aku sudah tenang. Aku tidak apa-apa" katanya kepada diri sendiri. Na mun ia masih harus tetap berbaring. Dengan de mikian, tidak ada yang dapat dilakukan se lain berangan-angan. Tentang dirinya sendiri, tentang perempuan yang meluka inya dan tentang orang-orang yang mengerumuninya. Kumpeni itu tiba-tiba mengerutkan keningnya. Terbayang pedang gadis yang sudah me lekat di dadanya itu. Tetapi nampak jelas padanya, keragu-raguan yang sangat telah menahan tangannya. "Kenapa ia ragu-ragu" Kenapa?" kumpeni itu menggera m "itu suatu kesombongan yang tiada taranya" Namun tiba-tiba na mpak padanya suatu segi yang lain dari keragu-raguan perempuan yang berna ma Arum itu. Betapa kebencian telah mencengka m jantung pere mpuan itu, sehingga ia tidak mau me mbiarkan orang lain me lawannya. Tetapi pada saat yang menentukan, pedangnya tidak segera menghunja m di dadanya. Dan menilik sikap dan tatapan matanya, perempuan itu telah terpengaruh oleh suatu perasaan yang me mercik di hatinya. "Na mpaknya bukan karena kesombongannya" tiba-tiba saja di luar sadarnya kumpeni itu berdesis. Dan bahkan meskipun tidak begitu jelas, tetapi ia mengerti bahwa niat untuk me mbunuhnya tetap menyala di hati gadis itu, karena kebencian yang tidak ada taranya. Tetapi ia tidak me lalaikannya. Perempuan itu tidak me mbunuhnya, meskipun seandainya tidak ada orang lain yang melarangnya. "Kenapa ia tidak mela kukannya?" sebuah pertanyaan telah me mbe lit hatinya. Kumpeni itu me meja mkan matanya. Ia tidak dapat menolak ketika seakan-akan di depan wajahnya dihadapkan sebuah cermin. Perempuan pribumi yang dianggapnya masih terbelakang di dala m pengena lan ilmu lahir dan batin itu
Runner Up Girl 2 Sekali Lagi Si Paling Badung The Naughtiest Girl Again Karya Enid Blyton Romantic Story About Serena 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama