Ceritasilat Novel Online

Bunga Di Batu Karang 29

Bunga Di Batu Karang Karya Sh Mintardja Bagian 29


Dala m pada itu, Kiai Danatirta yang ingin menyela matkan Rara Warih tiba-tiba saja berkata "Baiklah. Baiklah ka mi berdua menghadap ke Surakarta. Tetapi biarlah aku berke mas dahulu" Pemimpin pasukan berkuda itu tidak menyahut. Namun demikian Kiai Danatirta masuk ke ruang dalam, pe mimpin prajurit berkuda itu menjatuhkan perintah "Kepung ruma h ini. Jangan seorangpun boleh meninggalkan padepokan" Kiai Danatirta yang sudah berada di ruang dala m masih mendengar perintah itu. Karena itu, sesaat ia menjadi ragu-ragu. Namun de mikian ia mene mui juga Rara Warih untuk me mberikan sedikit penjelasan tentang keadaan di padepokan itu. "Jadi, apa yang harus aku la kukan Kia i?" bertanya Rara Warih dengan ce mas. "Carilah kese mpatan puteri. Aku akan me lawan mereka bersama Ki Dipana la" jawab Kiai Danatirta. "Kia i hanya berdua" desis Rara Wilis. "Biarlah. Agaknya jalan itu harus dite mpuh. Dengan demikian, puteri akan me mpunyai kese mpatan untuk menyelinap. Terserahlah, cara dan kesempatan yang akan puteri peroleh dari peristiwa yang bakal terjadi. Nampaknya aku tidak a kan dapat me mberikan jalan yang lebih baik dari me mancing mere ka dala m satu perkelahian" desis Kiai Danatirta "Aku mohon maaf atas peristiwa yang menyulitkan
puteri sekarang ini. Berhati-hatilah. Mudah-mudahan Tuhan me lindungi puteri" Rara Warih tidak dapat menjawab. Debar jantungnya terasa semakin cepat. Namun, ketika ia teringat akan ayahandanya dan kakaknya, yang kedua-duanya adalah prajurit dan bahkan Senapati terpilih, maka timbullah ketabahan di dalam hatinya. Meskipun ia seorang gadis, tetapi ia adalah keturunan prajurit linuwih" Karena itu, maka katanya kemudian "Kiai, terserahlah apa yang akan Kiai la kukan. Aku akan mencoba menga mbil kesempatan" Kiai Danatirta mengerutkan keningnya. Na mun iapun ke mudian tersenyum. Seolah-olah ia me lihat gejolak di dala m hati gadis itu. Maka katanya "Darah ayahanda Pangeran Ranakusuma tentu mengalir di dala m diri puteri. Meskipun puteri seorang gadis, tetapi puteri akan dapat berbuat sesuatu sesuai dengan darah prajurit yang menga lir di da la m diri puteri. Karena itu, aku yakin bahwa puteri akan dapat bertindak dengan sikap seorang prajurit" Rara Warih tidak menjawab. Dipandanginya Kiai Danatirta yang kemudian melangkah masuk ke dala m biliknya sambil berguma m "Bersiap-siaplah puteri. Segalanya akan segera mulai. Dan agaknya rumah ini sudah dikepung. Karena itu, aku akan berusaha me mancing mereka dala m satu arena perkelahian, sehingga puteri akan mendapat kese mpatan untuk me loloskan diri dari padepokan ini" Rara Warih masih tetap berdiri. Ia melihat Kiai Danatirta yang hilang di dala m biliknya, namun tanpa menutup pintunya. Sesaat kemudian, ia sudah me lihat orang tua itu keluar lagi dari biliknya sambil menjinjing dua bilah pedang yang sudah tidak berada di dala m sarungnya. Sementara sebilah keris sudah terselip di la mbungnya. Meskipun masih dala m
wrangkanya, tetapi hulu keris itu diletakkannya di bagian depan badannya. Sekilas Kiai Danatirta me mandang Rara Warih. Na mun ke mudian tanpa berkata sepatah kata pun ia melangkah menuju ke pintu depan. Rara Warih sadar akan dirinya ketika ia mendengar pintu berderit. Iapun segera meningga lkan ruang dalam menuju ke pintu butulan. Ia me nunggu kese mpatan untuk meninggalkan padepokan itu jika perkelahian terjadi antara para prajurit dengan Kiai Danatirta yang hanya berdua saja dengan Ki Dipanala. Dala m pada itu, demikian Kiai Danatirta muncul di muka pintu, iapun berteriak "Ki Dipana la, apakah kita akan meninggalkan sifat kita sebagai seorang cantrik padepokan yang setia?" Ki Dipanala berpa ling. Ia melihat Kiai Danatirta menggengga m pedang dikedua tangannya. Karena itu, iapun segera tanggap, apa yang harus dilakukannya. Dengan loncatan panjang Ki Dipanala naik ke pendapa. Diterimanya sebilah pedang telanjang dari Kiai Danatirta. Dengan dada tengadah iapun kemudian melangkah satu-satu me lintasi pendapa dan ke mudian menuruni tangga ke halaman. "Aku adalah abdi di istana Kapangeranan. Aku terikat kesetiaan kepada Pangeran tempat aku mengabdi lebih dari segala-galanya. Juga lebih dari pengabdian orang-orang Surakarta yang sudah terbius manisnya bujukan kumpeni" geram Ki Dinapala sa mbil menyilangkan pedangnya di dada. "He, apaklah kalian berdua sudah gila" geram pe mimpin pasukan berkuda "ka lian tahu siapa ka mi?" "Ya" jawab Kia i Danatirta "Aku mengetahui bahwa Ki Sanak semuanya adalah prajurit dari pasukan berkuda"
"Apakah kalian akan melawan?" bertanya pemimpin prajurit itu dengan heran "abdi Ranakusuma ini masih dapat dimengerti jika ia menggengga m pedang di tangannya. Tetapi Kiai Danatirta yang sudah ubanan inipun akan mencoba-coba bermain dengan pedang" "Ki Sanak" berkata Kiai Danatirta aku sejak kecil berada di padepokan sebagai seorang prajurit yang tekun menyadap ilmu kajiwan dan kanuragan. Meskipun tidak setinggi ilmu kanuragan seorang prajurit, tetapi aku akan berusaha mencoba me mpertahankan padepokan ini dengan segala daya dan segala cara" Pemimpin pasukan berkuda itu masih termangu-mangu. Nampa knya ia tidak percaya bahwa Kiai Danatirta benar-benar akan melawannya. Apalagi da hanya berdua saja dengan Ki Dipanala, sementara ia me mbawa sembilan orang dan sepuluh dengan dirinya sendiri yang sudah siap menghadapi lawan yang betapapun beratnya dalam tataran ke ma mpuan seorang prajurit. "Kia i" berkata pemimpin prajurit itu "jika kau menjadi putus asa. janganlah mencoba untuk me mbunuh diri. Lebih baik kau menyerah dan bersama ka mi pergi menghadap para perwira di Surakarta yang barangkali me mpunyai beberapa pertanyaan saja kepadamu. Jika kau menjawab se mua pertanyaan itu dengan baik, maka tidak akan terjadi sesuatu atasmu dan atas orang yang bernama Ki Dipanala. Bahkan mungkin aku akan menga mbil satu sikap untuk me mbebaskan semua cantrik yang ada di padepokan ini, tanpa me mbawa mereka seorangpun" "Tida k ada seorang cantrikpun di padepokan ini. Yang ada hanya aku dan Ki Dipanala, karena aku sudah me merintahkan para cantrik untuk meninggalkan padepokan ini sejak ke marin saat fajar menyingsing" "Jadi, agaknya kau sudah tahu apa yang kira-kira ba kal terjadi di padepokan ini Kiai?" bertanya pemimpin prajurit itu.
"Begitulah kira-kira. Dan karena itu, maka aku t idak terkejut me lihat kedatangan kalian" jawab Kiai Danatirta. Pemimpin prajurit itu menggera m. Katanya "Jika de mikian, agaknya kau me mang sudah bersiap untuk me lawan segala perintah yang turun dari para pe mimpin di Sura karta. Baiklah Kiai, dengan demikian kau sudah me libatkan diri dala m pemberontakan Pangeran Mangkubumi, langsung atau tidak langsung. Karena itulah, maka aku harus menangkapmu dan me mbawa mu menghadap ke Sura karta. Hidup atau mati" Kiai Danatirta yang sudah berdiri di sebelah Ki Dipanalapun segera bersiap menghadapi segala ke mungkinan. Beberapa orang prajurit berkuda telah me langkah me ndekatinya. "Tangkap orang tua itu " perintah pe mimpin pasukan berkuda itu. Empat orang telah mendekatinya dengan pedang terhunus. Sambil mengacukan pedangnya, orang yang bertubuh tinggi, yang telah mengenalnya sebagai abdi Ranakusuma n itu berkata "Jangan menganggap bahwa yang kalian lakukan itu akan berarti" Ki Dipanala lah yang menjawab "Berarti atau tidak berarti, biarlah ka mi mengangkat senjata daripada menguncupkan tangan di hadapan kumpeni" "Ternyata pengkhianatan tuanmu telah berkembang di seluruh istana Ranakusuman" berkata orang itu pula. Lalu "Baiklah. Kau sudah mendengar perintah itu. Kami harus menangkapmu. Hidup atau mati" Ki Dipanala tidak menjawab lagi. Tetapi iapun sudah siap menghadapi segala ke mungkinan. Sejenak kemudian maka kee mpat orang itupun berpencar. Usaha mereka me maksa Kiai Danatirta dan Ki Dipanala menyerah tanpa perlawanan tidak berhasil. Karena itu, maka merekapun mulai me nggerakkan senjata mereka.
Ki Dipanala dan Kiai Danatirtapun segera mene mpatkan diri. Ketika salah seorang dari kee mpat orang prajurit itu menyerang langsung kearah Kia i Danatirta, maka orang tua itu ternyata masih se mpat mengelak. "Kau masih dapat juga bermain loncat-loncatan" desis salah seorang dari kee mpat orang prajurit itu. Kiai Danatirta tidak menjawab. Namun di luar dugaan setiap prajurit, bahwa tiba-tiba saja Kiai Danatirtalah yang telah menjulurkan pedangnya me matuk dada prajurit itu. Prajurit itu terkejut bukan buatan. Ketika ia meloncat dengan tergesa-gesa, maka terasa dadanya telah tersentuh oleh ujung pedang Kiai Danatirta. Meskipun lukanya hanya seujung duri, tetapi darah mulai menge mbun dari luka yang tidak berarti itu. Meskipun de mikian, tetapi prajurit yang tersentuh ujung pedang Kiai Danatirta itu mengumpat dengan katakata kasar. Dengan tangannya ia mengusap titik darah di dadanya. Namun dengan de mikian, ternyata prajurit itu menjadi semakin garang. Ia berusaha untuk menebus kelengahannya dengan serangan-serangan yang datang beruntun bagaikan badai. Tetapi ternyata kedua orang di dala m kepungan itu masih dapat mengelak. Bahkan sekali-sekali mere ka masih juga se mpat menyerang.
Untuk beberapa saat, pertempuran itu berlangsung. Pemimpin prajurit berkuda itupun masih se mpat me merintahkan prajurit-prajuritnya untuk me mperketat kepungan. Ia tidak percaya bahwa padepokan dtu benarbenar telah kosong, meskipun nampaknya me mang lengang sekali. Dala m pada itu, Kiai Danatirtapun mula i berpikir keras. Ia tidak akan dapat me mancing para prajurit untuk hadir di pertempuran itu jika ia tidak menunjukkan sesuatu yang mengejutkan. Karena itu, maka iapun telah menghentakkan kekuatannya. Ia ingin menjatuhkan lawannya untuk me mbuat para prajurit itu marah dan dala m keseluruhan akan mengepungnya. Demikian cepat gerak pedang Kiai Danatirta maka seorang dari lawannya tidak se mpat lagi me ngelak. Ujung pedang Kiai Danatirta tidak saja menyentuh tubuhnya seujung duri, tetapi pedang yang terayun itu benar-benar telah tergores melintang di dada lawannya. Terdengar prajurit yang terluka itu mengaduh. Se mentara itu. Ki Dipana lapun me mpergunakan kesempatan ini sebaikbaiknya. Dengan serta meria, selagi sebagian dari perhatian lawan-lawannya tertuju kepada kawannya yang terluka, maka dengan tangkasnya Ki Dipana la telah meloncat menyerang. Pedangnya me matuk dengan cepatnya mengarah ke jantung. Namun dala m pada itu, lawannya masih se mpat mengela k, meskipun ia tidak berhasil me mbebaskan diri sepenuhnya dari ujung senjata Ki Dipanala. Namun ujung senjata itu tidak mene mbus jantungnya, dan sekaligus merenggut nyawanya. Meskipun de mikian ujung pedang itu masih tetap me lukainya, mengoyak kulit di pundaknya. Yang terjadi itu benar-benar mengejutkan pe mimpin prajurit berkuda yang se mula tidak begitu menghiraukan pertempuran itu, karena ia yakin, bahwa keempat prajuritnya akan berhasil menangkap kedua orang itu, hidup atau mati.
Tetapi ternyata bahwa dua di antara empat orang itu sudah terluka, namun seorang di antara mereka, masih dapat meneruskan pertempuran meskipun darahnya telah meleleh. Karena itu, maka pe mimpin prajurit berkuda itu segera menga mbil sikap. Iapun segera memerintahkan lima orang prajurit untuk bersama-sa ma dengan dua orang kawannya yang masih berhadapan dengan kedua orang-orang tua itu untuk menangkap mereka. Seperti perintah yang telah diberikan sebelumnya, hidup atau mati. Tujuh orang telah siap untuk menangkap Ki Dipanala dan Kiai Danatirta, sementara dua orang lainnya diperintahkannya untuk menga mati keadaan di bela kang padepokan itu. "Gila" berkata Kiai Danatirta di dala m hatinya "Kenapa tidak semua prajuritnya dipanggil untuk menangkap aku dan Dipanala" Namun de mikian, ternyata ketujuh orang itupun segera mengepung kedua orang tua itu. Beruntun mereka menyerang susul menyusul, sehingga segera terasa, bahwa tekanan dari lawan-lawannya itu benar-benar sulit untuk diatasi. Sebenarnyalah bahwa Kiai Danatirta adalah seorang yang me miliki ilmu yang tinggi. Murid-muridnya telah mengejutkan anak anak muda sebayanya. Bahkan putera Pangeran Ranakusuma Senapati besar di Surakarta, pernah belajar padanya dalam olah kanuragan. Karena itulah, bahwa sebenarnya ilmu Kiai Danatirta tidak terpaut banyak dari ilmu yang dimiliki oleh Pangeran Ranakusuma sendiri. Bahkan mungkin dala m tingkat yang sama, na mun da la m kedudukan yang berbeda. Karena itulah, maka meskipun ia menghadapi tujuh orang hanya berdua saja dengan Ki Dipanala, maka ternyata tidak terlalu mudah untuk menundukkannya. Apalagi Dipanalapun me miliki penga la man yang luas di dala m olah senjata.
Sementara pertempuran itu berlangsung semakin sengit, maka pe mimpin sekelompok prajurit berkuda itu telah mengobati orang-orangnya yang terluka. Yang tidak terlalu parah, karena goresan yang tidak dalam dipundaknya, segera bersiap kembali untuk me masuki arena pertempuran. Namun yang dadanya tergores menyilang, terpaksa beristirahat di bawah sebatang pohon yang rindang, meskipun pada luka itu telah ditaburkan obat untuk mencegah mengalirnya darah terlalu banyak. Demikianlah perke lahian itu se makin la ma menjadi se makin sengit. Namun pe mimpin se kelompok prajurit berkuda itu segera melihat, bahwa orang-orangnya akan segera dapat menguasai keadaan. Nampa knya kedua orang tua itu telah sampai ke puncak ilmunya, meskipun pe mimpin pasukan berkuda itu harus menggelengkan kepalanya, melihat betapa ke ma mpuan kedua orang tua itu jauh berada di atas ke ma mpuan prajurit kebanyakan. "Tujuh orang prajurit tidak segera dapat menga lahkan mereka" desis pe mimnin prajurit berkuda itu. Namun dala m pada itu, dua orang prajurit yang lain masih tetap berada di halaman belakang. Ketika Rara Warih mengintip dari ce lah-celah pintu butulan, ia masih melihat seseorang yang melintas. Karena itu maka iapun telah menunda niatnya untuk mengha mbur ke hala man samping dan menyusup ke kebun di bela kang padepokan itu dan berusaha me larikan diri. Sementara itu kegelisahan yang sangat telah mencengka m jantung Rara Warih yang sekali-sekali mendengar teriakanteriakan menghentak di hala man. Prajurit Surakarta yang marah, karena mereka tidak segera dapat menguasai kedua orang itu, kadang kadang menyerangnya sambil berteriak mengumpat. Dala m pada itu. Kiai Danatirtapun merasa, bahwa ia tidak akan dapat bertahan terlalu lama. Nafasnya mula i terasa
mengganggu. Berhadapan dengan tujuh orang yang kemudian turun ke medan sepenuhnya meskipun seorang di antaranya sudah terluka, ternyata telah dengan cepat menghisap tenaganya. Apalagi di antara mereka terdapat pemimpin dari pasukan berkuda itu sendiri. "Aku harus menga mbil Sikap, agar Rara Warih mendapat kesempatan untuk meninggalkan padepokan ini" berkata Kiai Danatirta di da la m hatinya. Karena itu, dalam satu kesempatan, ia berbisik "Kita meninggalkan ha la man dan berte mpur di luar padepokan" Ki Dipanala segera menangkap maksudnya. Karena itulah maka ketika Kiai Danatirta me mberikan isyarat, maka kedua orang itupun segera menyerang dengan menghentak. Demikian mengejutkan, sehingga beberapa orang bergeser menjauh. Kesempatan itulah yang dipergunakan oleh keduanya untuk me loncat dan berlari meninggalkan arena. "Jangan lari" teriak pemimpin pasukan berkuda itu "tidak ada gunanya" Tetapi Kiai Danatirta dan Ki Dipanala tidak menghiraukannya. Keduanya berlari me loncati dinding padepokan dan me masuki tanah persawahan yang basah. Namun dala m pada itu, ketujuh orang itupun t idak me lepaskannya. Enam orang prajurit telah mengejarnya, sementara pe mimpin prajurit berkuda itu masih se mpat berteriak kepada kedua orangnya yang tertinggal "Cari di seluruh padepokan, tangkap setiap orang yang ada" Perintah itu benar-benar menggelisahkan. Na mun Kiai Danatirta menganggap bahwa dua orang itu tidak a kan dapat mengawasi seluruh hala man dan kebun di padepokan itu.
Dala m pada itu, setelah meneriakkan aba-aba, maka pemimpin prajurit berkuda itupun telah menyusul kawankawannya, mengejar Kiai Danatirta dan Ki Dipanala. Sebenarnyalah bahwa Kiai Danatirta dan Ki Dipanala tidak dapat melarikan diri terlalu jauh, karena lawan-lawannya telah menyusulnya. Kedua orang tua itu benar-benar telah kehabisan nafas, setelah keduanya mengerahkan tenaganya untuk melawan ketujuh orang prajurit berkuda yang me miliki pengalaman yang cukup pula. Dala m pada itu, pe mimpin prajurit berkuda itu sekali lagi me mperingatkannya "Kiai Danatirta dan Ki Dipanala. Perlawanan kalian tidak akan ada gunanya selain me mperberat kesalahan ka lian. Menyerahlah dan ikut ka mi ke Surakarta" Kiai Danatirta tidak menjawab. Tetapi dengan sisa tenaganya, ia telah menyerang pemimpin pasukan berkuda itu dengan cepatnya. Namun lawannya yang lain berhasil me motong serangan itu, sehingga Kia i Danatirta tidak berhasil menyentuh pe mimpin pasukan berkuda itu dengan pedangnya. Dala m pada itu, dalam keadaan yang paling sulit dari kedua orang tua yang harus bertempur menghadapi tujuh orang prajurit berkuda itu, terdengar tiga ekor kuda berderap dengan kecepatan seperti angin menuju ke padepokan Jati Aking. Tanpa menghiraukan perhatian orang yang kebetulan berada di sawah, ma ka ketiganya berusaha untuk secepatnya sampai ke padepokan yang menurut dugaan mere ka, akan dapat menjadi sasaran dendam prajurit Surakarta yang merasa dikhianati oleh Pangeran Ranakusuma dan Raden Juwiring. Namun dala m pada itu, ketiga orang anak muda yang berpacu itu terkejut ketika mereka melihat di tengah sawah, di sebelah padepokan yang telah menjadi se makin dekat, telah
terjadi pertempuran. Karena itulah, ma ka debar jantung mereka menjadi sema kin cepat Kuda yang telah berlari sepenuh kecepatan itu, rasarasanya masih saja terlalu la mban. Na mun jarak itu tidak terlalu panjang lagi. Bahkan akhirnya mereka sampa i juga ke dekat arena perkelahian itu. Kedatangan mereka bertiga me mang menarik perhatian. Setiap orang yang terlibat ke dala m pertempuran itu telah berpaling. Ha mpir berbareng, Kia i Danatirta dan pe mimpin pasukan berkuda itu berguma m dengan nada yang berbeda "Raden Juwiring" Sebenarnyalah Juwiring, Buntal dan Arumlah yang ke mudian berloncatan turun dari kuda mereka. Merekapun segera melihat, bahwa Kiai Danatirta dan Ki Dipanala sedang bertempur me lawan tujuh orang prajurit prajurit berkuda dari Surakarta. Karena itulah, ma ka Raden Juwiring segera meloncat mende kat sambil berkata "He, bukankah kalian dari pasukan berkuda di Surakarta" Aku mengenal satu dua orang di antara kalian, karena akupun berasal dari pasukan berkuda. Tetapi kenapa kalian tidak mengenakan pakaian kebesaran dan kebanggaan dari pasukan berkuda di Surakarta, dan kenapa kalian telah bertempur dengan licik melawan dua orang tua itu?" "Kenapa?" bertanya Juwiring. "Untuk menangkap Raden, tentu disediakan hadiah yang sangat menarik. Karena itu, jika Raden bersedia me mbantu aku, agar aku dapat menerima hadiah itu, menyerah sajalah" berkata pemimpin pasukan berkuda itu. "Kau na mpaknya me mang sudah gila" jawab Raden Juwiring "meskipun aku belum tahu pasti sebabnya, tetapi aku mengharap agar kalian tidak mengganggu kedua orang tua
itu. Seorang adalah sahabatku dari istana ayahanda Ranakusuma, dan yang seorang adalah ayah angkatku" "Ka mi tida k akan mengganggu mereka, jika Raden bersedia menyerah" berkata pe mimpin pasukan berkuda itu. Dala m pada itu, pertempuran di antara Kiai Danatirta dan Ki Dipanala me lawan para prajurit itu seolah-olah telah berhenti dengan sendirinya. Mereka telah terpukau oleh kehadiran Raden Juwiring bersa ma dua orang anak muda lainnya yang belum mereka kenal. "Ki Sanak" berkata Raden Juwiring "da la m keadaan seperti sekarang ini, ma ka keyakinan akan sikap dan pendirian yang teguh sangat diperlukan. Karena itu, agaknya kita me mang tidak akan dapat mene mukan kesepakatan. Aku tahu bahwa pimpinan prajurit Surakarta dan Kumpeni di Surakarta tentu sudah mengetahui apa yang terjadi. Karena itu, baiklah aku tidak usah berbicara panjang lebar. Na mpaknya kita me mang berdiri berseberangan. Aku berdiri di piha k bangsaku dan kau berdiri di pihak bangsa asing itu" "Jangan me makai istilah yang salah Raden" jawab pemimpin sekelompok pasukan berkuda itu "yang benar adalah, bahwa Raden berdiri di piha k pe mberontak dan aku berdiri di pihak Kangjeng Susuhunan Pa kubuwana di Surakarta" Raden Juwiring menarik nafas dala m-dala m. Katanya "Setiap orang akan dapat me mutar balikkan kenyataan dengan istilah yang menguntungkan diri sendiri, sekedar untuk me mantapkan sikap dan keyakinannya, seolah-olah berlandaskan kebenaran. Baiklah. Agaknya kita me mang harus bertempur" Raden Juwiring tidak berbicara lebih banyak lagi. Iapun ke mudian meloncat menghadapi pe mimpin sekelompok pasukan berkuda itu, sementara ia berkata kepada Buntal dan
Arum "Jangan biarkan ayah bertempur melawan orang yang terlalu banyak" Buntal dan Arum mengerti maksud Raden Juwiring. Merekapun ke mudian berloncatan mende kati Ki Dipana la dan Kiai Danatirta yang masih berada di dala m kepungan. Pemimpin sekelompok pasukan berkuda itu mengerutkan keningnya. Ia sadar, bahwa Raden Juwiring adalah putera seorang Senapati Besar di Surakarta, dan bahkan Raden Juwiringpun termasuk seorang perwira muda da la m pasukan berkuda. Namun pe mimpin pasukan berkuda itu yakin a kan dirinya sendiri. Bahwa ia akan dapat mengalahkan Raden Juwiring. Demikianlah, maka sejenak ke mudian, pe mimpin sekelompok pasukan berkuda itu mula i menggerakkan senjatanya sambil berkata "Selesaikan kedua orang itua dan kedua anak ingusan itu. Aku akan menangkap Raden Juwiring hidup-hidup. Ia harus me mpertanggung jawabkan segala perbuatannya. Mati di sini, adalah terlalu menyenangkan baginya sebelum ia dihadapkan kepada pengadilan para pemimpin keprajuritan di Surakarta" "Barangkali Kumpeni ma ksudmu?" potong Raden Juwiring. Pemimpin sekelompok pasukan berkuda itu menarik nafas dalam-da la m. Na mun ke mudian jawabnya "Ya. Kumpeni" Raden Juwuingpun telah siap pula dengan senjatanya. Sementara itu Arumlah yang tidak sabar lagi. Ialah yang justru mulai me nyerang para prajurit yang mengepung ayahnya dan Ki Dipana la. Sejenak kemudian, maka pertempuran telah berkobar lagi. Namun keseimbangannyapun menjadi jauh berbeda. Enam orang prajurit berkuda yang bertempur melawan a mpat orang padepokan Jati Aking itu ternyata segera merasakan, betapa beratnya tekanan dari keempat orang padepokan itu.
Bertujuh mereka tidak segera dapat mengalahkan kedua orang tua itu. Apalagi bersa ma kedua orang tua itu telah ikut me libatkan diri dua orang anak muda yang ternyata me miliki ke ma mpuan yang tinggi pula. Dala m pada itu, seorang dari ketujuh orang prajurit berkuda itu tengah menghadapi Raden Juwiring. Keduanya adalah prajurit pilihan yang me miliki be kal ilmu kanuragan. Karena itu, maka perte mpuran di antara keduanyapun segera menjadi sema kin seru. Pemimpin sekelompok pasukan berkuda itu ma mpu bergerak dengan tangkas. Senjatanya berputaran dengan cepat, seperti putaran angin pusaran. Namun Raden Juwiring sa ma sekali tida k menjadi bingung. Ia me miliki dasar ilmu dari padepokan Jati Aking. Namun iapun me miliki ilmu yang diturunkan ayahandanya kepadanya. Bahkan ia tidak me merlukan waktu terlalu la ma. Beberapa saat ia menjajagi ilmu lawannya dengan sekedar bertahan dan menghindar. Namun ke mudian, datanglah gilirannya, bahwa Raden Juwiringlah yang menyerang seperti angin prahara. Dala m pada itu, di lingkaran pertempuran yang lainpun keadaannya adalah serupa. Kiai Danatirta dan Ki Dipanala yang hampir kehabisan nafas itupun sempat menghirup udara, setelah Buntal dan Arum hadir di arena. Ternyata kedua anak muda itu ma mpu me ngimbangi lawan-lawannya. Bahkan ternyata bahwa Buntal dan Arum secara pribadi me miliki kelebihan dari prajurit-prajurit berkuda itu. Karena itu, maka seluruh arenapun segera dikuasai oleh para penghuni padepokan Jati Aking itu. Sehingga dalam waktu yang tidak terlalu la ma, maka pertempuran itu akan dapat diselesaikan. Namun dala m pada itu, Kia i Danatirtapun segera teringat kepada Rara Warih. Gadis itu,masih berada di padepokan. Bahkan mungkin gadis itu sudah diketahui oleh kedua prajurit yang tinggal di padepokan. Karena itu, maka katanya kepada
Buntal "Gantikan Raden Juwiring, dan biarlah Raden Juwiring me lihat adiknya yang berada di padepokan" "Warih ada di padepokan, Kiai" terdengar suara Juwiring dalam nada tinggi "Ya. Hati-hatilah. di padepokan ada dua orang prajurit berkuda yang tinggal untuk me ngawasi keadaan" jawab Kiai Danatirta. Juwiring menggera m. Ternyata ia tidak menyerahkan lawannya kepada Buntal. Berita tentang adik perempuannya telah menyalakan gejolak ke marahan yang tidak terbendung lagi. Karena itu, maka seolah-olah di luar sadarnya, Raden Juwiring telah menyerang lawannya dengan sepenuh ke ma mpuannya. Ternyata pemimpin sekelompok prajurit berkuda itu tidak setangkas Raden Juwiring. Ketika ke marahan Raden Juwiring sampai ke puncak, dan serangannya datang me mbadai, maka pe mimpin sekelompok prajurit berkuda itu tidak se mpat mengelak. Yang terdengar ke mudian adalah gera m ke marahan Raden Juwiring disusul oleh keluhan yang tertahan. Segores luka telah menganga di la mbung pe mimpin sekelompok prajurit berkuda itu. Sejenak Raden Juwiring me mandanginya. Namun sejenak ke mudian, Raden Juwiring itupun segera berlari kearah padepokan dengan meninggalkan lawannya yang masih tetap
berdiri. Namun darahnya telah tertumpah dari lukanya. Bahkan sejenak kemudian orang itupun terhuyung-huyung dan jatuh di tanah sambil mengerang. Na mun Raden Juwiring, sama seka li tidak berpaling lagi. Keterangan Kiai Danatirta tentang Rara Warih itu bukan saja menggelisahkan Juwiring. Tetapi Buntal dan Arumpun menjadi gelisah pula. Karena itu, maka pada saat-saat yang menentukan dala m lingkaran pertempuran antara Raden Juwiring dan pemimpin pasukan berkuda itu, Buntalpun telah me mperguna kan kese mpatan. Pada saat pemimpin sekelompok pasukan berkuda itu tergores senjata Raden Juwiring, ma ka Buntalpun telah menghentakkan" kekuatannya justru ketika prajurit-prajurit dari pasukan berkuda itu mence maskan nasib pe mimpinnya. Dengan serangan yang cepat, Buntal telah mengejutkan beberapa orang lawannya. Namun ternyata Arumlah yang telah berhasil me motong loncatan seorang lawan yang terdesak oleh serangan Buntal yang me mbadai. Orang itu terkejut. Tetapi ia tidak sempat mengela k. Segores luka telah mengoyak lengannya. Dala m pada itu, Buntal yang mence maskan keadaan Rara Warih dan Raden Juwiring justru karena di padepokan itu ada dua orang prajurit berkuda yang belum diketahui ke ma mpuannya, maka iapun ke mudian berdesis "Ayah, apakah aku diijinkan untuk menyusul Raden Juwiring?" Kiai Danatirta yang melihat kekuatan lawannya sudah jauh berkurang, sementara di antara mereka masih ada Arum, maka jawabnya "Ba iklah. Tetapi kaupun harus berhati-hati" Buntal tida k menunggu lagi, Iapun segera meloncat berlari menyusul Raden Juwiring yang telah me loncati dinding me masuki padepokan. Buntalpun tidak se mpat melingkar me masuki hala man padepokan itu lewat pintu gerbang. Iapun meloncat seperti
yang dilakukan oleh Raden Juwiring. Namun, demikian ia berada dihaila man, ia sama sekali sudah tidak melihat anak muda yang pernah menjadi perwira di lingkungan pasukan berkuda itu. Sejenak Buntal menjadi berdebar-debar. Namun iapun ke mudian me loncat mengha mbur naik ke pendapa dan me masuki pintu pringgitan. Namun ia tetap berhati-hati, karena menurut Kiai Danatirta, ada dua orang prajurit berkuda di padepokan itu. Dengan pedang teracu ia memasuki ruang dala m. Dengan hati-hati ia melihat segala bilik di dala m rumah induk di padepokan itu. Na mun ia t idak me njumpai seorangpun. Bahkan Raden Juwiringpun tida k. Demikian ia selesai me meriksa ruangan demi ruangan, maka Buntalpun segera berlari turun ke ha la man samping lewat pintu butulan. Namun de mikian ia turun, dilihatnya Raden Juwiring yang berlari keluar dari Sanggar lewat pintu belakang. "Kau ketemukan Rara Warih" bertanya Buntal. "Belum" jawab Juwiring "dua orang prajurit berkuda itupun tidak aku jumpa i " Keduanya menjadi se makin berdebar-debar. Sekali lagi keduanya berlari kearah yang berbeda. Bahkan ke mudian keduanya telah berlari-lari mengitari seluruh padepokan. Namun mereka tidak mene mukan seorangpun juga. Rara Warih tidak, dan dua orang prajurit itupun tida k. Ketika sekali lagi keduanya bertemu di longkangan belakang, maka dengan ge lisah Raden Juwiring berkata "Bagaimana mungkin mereka lenyap saja seperti asap" Wajah Buntalpun menegang. Sa mbil giginya ia berkata "Kita cari sekali lagi" menggeretakkan
Sekali lagi keduanya berlari-lari mengelilingi padepokan itu. Mereka tidak lagi menga mbil arah yang berbeda, tetapi mereka berdua berlari-lari bersama-sa ma. Tetapi seperti seorangpun. se mula, mereka t idak mene mukan
"Kita lihat di depan. Mungkin kita dapat menghitung jumlah kuda mereka. Apakah sudah ada diantara mereka yang meninggalkan padepokan ini" gera m Juwiring. "Kita tidak tahu pasti, berapa jumlah mere ka" desis Buntal "Dapat dihitung" sahut Juwiring. Tetapi mereka tidak menunggu Keduanyapun kemudian berlari-lari ke hala man. Di ha la man masih terikat beberapa ekor kuda. Tentu kuda prajurit-prajurit berkuda yang masih bertempur di luar padepokan itu. Namun ketika mereka mencoba muka menghitung, mereka me lihat seseorang yang bersandar pada sebatang pohon dengan luka yang menyilang di dada. Hampir berbareng Raden Juwiring dan Buntal meloncat mende kati orang yang tergolek dia m itu. Namun ternyata bahwa orang itu tidak pingsan. Bahkan dilukanya telah terdapat hamburan obat yang dapat mengurangi arus darahnya yang keluar. sa mbil menghitung.
"Dima na kawan-kawanmu" bentak Juwiring yang tanpa bertanya tahu pasti bahwa orang itupun tentu dari pasukan berkuda. Orang itu me mandang Juwiring sejenak. Iapun mengena l, bahwa yang bertanya kepadanya itu adalah Raden Juwiring. Seorang perwira dari pasukan berkuda yang telah me mberontak. Na mun bagaimanapun juga, ia dala m keadaan yang parah, sehingga ia tidak akan dapat berbuat apa-apa. "Cepat katakan, dimana kedua orang kawanmu yang berada di padepokan ini" desak Raden Juwiring. Orang itu tidak menjawab. Dipandanginya Raden Juwiring dengan penuh kebencian. Juwiring yang gelisah ternyata tidak terlalu lunak menghadapi orang yang terluka itu. Dengan garangnya ia hampir berteriak "Katakan, dimana kedua orang kawanmu dan adik pere mpuanku" Ketika orang itu masih tetap dia m, maka tiba-tiba saja Raden Juwiring menggera m "Buntal. Pergilah ke dapur. Ambillah garam dan air asam. Aku ingin melihat, apakah orang ini akan tetap diam saja jika kita taburkan garam dan kita sira mkan air asam pada lukanya" "Jangan" tiba-tiba saja orang itu berusaha me ncegah. "Tida k ada jalan lain" jawab Juwiring "Kau me mbuat hatiku sakit dan ge lisah, karena kau sa ma seka li tidak mau menjawab pertanyaanku. Sekarang akupun dapat me mbuat kau sakit dengan cara ini" "Jangan lakukan. Itu sa ma berperike manusiaan" desis orang itu. sekali t idak
"Tetapi sebut, dimana kedua orang kawanmu dan adikku, Warih" Raden Juwiring me mbentak pula. Orang itu termangu-mangu sejenak. Na mun menilik sikap Raden Juwiring, ia bukannya sekedar menakut-nakutinya
untuk menaburkan gara m dan a ir asa m pada tubuhnya, karena kegelisahannya. "Cepat" tiba-tiba saja Raden Juwiring yang marah itu telah merenggut leher bajunya yang terbelah diarah luka yang menyilang di dada "Jika kau tidak segera berbicara, aku dapat berbuat apa saja yang barangkali tida k pernah kau duga. Aku tidak peduli seandainya seseorang mengatakan bahwa aku tidak berperike manusiaan" Orang itu terkejut. Hentakkan tangan Raden Juwiring me mbuat lukanya bertambah sakit. Apalagi ketika ke mudian Raden Juwiring mengguncang-guncangnya dengan kasar. "Cepat, katakan" bentak Raden Juwiring. Orang itu tidak dapat bertahan lagi. Guncangan tangan Raden Juwiring rasa-rasanya membuat dadanya bagaikan pecah. Karena itu, maka katanya kemudian "Lepaskan Raden. Aku akan mengatakannya" "Tida k" geram Juwiring "katakan lebih dahulu" Orang itu menarik nafas dala m-da la m. Ke mudian katanya "Puteri Ranakusuman itu telah dibawa oleh kedua orang kawanku. Mereka telah melarikan diri langsung menuju ke Surakarta" "Gila. Diajeng Warih telah mereka bawa?" suara Raden Juwiring meninggi. "Ya. Puteri itu telah dibawa. Kedua orang kawanku mene mukannya di dala m rumah itu" jawab prajurit yang terluka itu dengan ge metar. Raden Juwiringpun menjadi ge metar pula. Sejenak ia me mandang Buntal. Namun ke mudian iapun segera berlari kearah kuda-kuda yang terikat. "Ke mana?" bertanya Buntal. "Aku harus me nyusulnya" jawab Juwiring sa mbil berlari-lari.
"Tunggu. Kau akan menyusulnya ke mana?" teriak Buntal. "Ke Surakarta. Aku harus mengambilnya atau aku akan mati untuk me mbelanya" jawab Juwiring. "Tunggu. Jangan kehilangan a kal" Buntal berteriak sa mbil berlari mende kati Juwiring yang sudah melepas tali seekor kuda. "Kakang Juwiring. Tunggu. Jangan mela kukan hal itu" cegah Buntal. "Aku akan mengejar mereka" teriaknya. "Tida k mungkin. Mereka telah jauh. Dan kita tidak akan dapat mengejarnya langsung masuk ke dala m kota. Ingat, kota tentu dijaga ketat sekarang ini" Buntal masih mencoba untuk me mberinya peringatan. Juwiring seolah-olah tida k mendengarnya. Namun ketika ia me loncat naik, Buntal justru me megang kendali kuda itu sambil berkata keras-keras "Jangan. Jangan kehilangan a kal. Kau tidak a kan dapat menyusulnya. Nampaknya mereka telah agak la ma pergi. Sementara itu, kehadiranmu di kota akan sangat berbahaya bagimu" "Lepaskan" teriak Juwiring. "Jangan. Jangan kehilangan a kal" ulang Buntal. "Lepaskan, atau aku akan me maksa mu me lepaskan kendali itu" teriak Juwiring se ma kin keras. Namun dala m pada itu, ternyata Buntal berpikir bening. Ia mencoba menjelaskan "Kakang Juwiring. Jika terjadi sesuatu atasmu, maka harapan untuk me mbebaskan adikmu itu sudah lenyap sama sekali. Ia akan mengala mi nasib yang paling buruk. Lebih buruk dari nasibmu sendiri. Mungkin kau akan dibunuh di alun-alun, dan kepala mu akan ditanjir di regol Kapangeranan. Tetapi kau tidak akan mengetahui apa yang terjadi. Dan di antara mereka i yang berjuang bagi tanah ini
akan tetap menganggapmu sebagai seorang pejuang yang gugur dala m keperwiraan. Tetapi bayangkan apa yang terjadi atas adikmu itu. Atas Rara Warih yang jatuh di tangan para perwira kumpeni yang jauh dari keluarga mereka sendiri. Yang jauh dari lingkungan hidup mereka " Juwiring mengerutkan keningnya. Ditatapnya wajah Buntal sejenak. Lalu katanya "Jadi, bagaimana menurut pertimbanganmu, Buntal" "Kita me mpunyai cara lain yang harus kita pikirkan masakmasak" jawab Buntal. Raden Juwiring menarik nafas dala m-dala m. Ke mudian katanya dengan nada rendah "Apakah jika a ku mengejarnya sekarang, aku tidak akan berhasil me mburunya sebelum mereka me masuki kota" "Sulit" jawab Buntal "Kita tidak tahu arah mereka sehingga kita harus menga mati jejak. Mungkin kita akan mendapat arah yang benar, tetapi sementara itu, mereka sudah berada di dalam satu lingkungan prajurit berkuda " Juwiring termangu-mangu sejenak. Namun iapun ke mudian berdesis "Kau benar Buntal. Aku kira, aku tidak akan berhasil mengejar Diajeng Warih" "Karena itu, marilah kita selesaikan orang-orang yang tertinggal" berkata Buntal ke mudian. Juwiring mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba wajahnya telah menegang lagi. Dengan lantang ia berkata "Mereka me mang harus diselesaikan" Raden Juwiring me loncat turun dari kudanya. Kemudian iapun telah berlari ke mbali ke arena pertempuran di sebelah padepokan. Seperti saat ia me masuki padepokan, ma ka iapun telah meloncati dinding. Buntalpun menyusulnya di bela kang. Ia sadar bahwa Juwiring masih diliput i oleh kegoncangan perasaan, sehingga
karena itu ia mengejutkan.
akan dapat melakukan sesuatu yang Ketika Raden Juwiring sa mpai ke arena pertempuran, maka keadaannya benar-benar telah tidak seimbang. Lima orang yang tersisa, bertempur me lawan tiga orang yang me miliki ke ma mpuan jauh di atas ke ma mpuan mere ka. Dengan demikian, maka kelima orang itu sama sekali sudah tidak berpengharapan untuk dapat menyela matkan diri. Dala m pada itu, terdengar suara Kia i Danatirta "Sudahlah Ki Sanak. Menyerah sajalah. Kita akan dapat berbicara dengan baik" Namun agaknya Juwiring me ndengar tawaran Kiai Danatirta itu. Karena itu maka iapun berteriak "Tidak. Semua orang harus mati" "Juwiring" desis Kia i Danatirta yang kecemasan "bagaimana dengan adikmu" "Kedua setan itu dengan licik telah me mbawa Diajeng Warih. Aku tidak tahu, bagaimana nasibnya. Karena itu, yang tinggal di antara prajurit berkuda itu harus mati" gera m Juwiring yang telah berdiri beberapa langkah dari arena pertempuran. Sejenak ke mudian, Buntalpun telah berdiri di bela kangnya dengan jantung yang berdebar-debar. Dala m pada itu Raden Juwiring sudah siap untuk meloncat menyerang dan me mbunuh orang-orang yang tersisa. Namun di belakangnya Buntal berdesis "Ka kang Juwiring. Ingatlah bahwa kau adalah seorang yang berdarah kesatria. Kau harus me mpunyai wawasan yang luas terhadap mereka yang sudah tidak berdaya. di dalam perang, me mbunuh atau dibunuh merupakan pilihan yang sangat wajar. Tetapi di dala m peperangan kita dapat menunjukkan, bahwa kita masih tetap menjunjung t inggi nilai-nila i ke manusiaan"
"Apa maksudmu?" bertanya Juwiring. "Ayah sudah menawarkan kepada orang-orang itu agar mereka menyerah. Dengan demikian, maka tidak diperlukan cara penyelesaian yang lain" jawab Buntal. Juwiring yang masih diliput i oleh kegelapan hati menyahut lantang "Tida k. Aku akan me mbunuhnya karena merekapun licik seperti liciknya Kumpeni. Aku tidak merasa berhadapan dengan prajurit-prajurit yang pantas diperlakukan sebagai prajurit. Tetapi aku merasa berhadapan dengan penjahatpenjahat yang tidak mungkin lagi dia mpuni karena tidak akan pernah terjadi penyesalan di dala m hati mereka?" "Disinilah letak kebesaran jiwa seseorang, Juwiring" Kiai Danatirtalah yang menjawab "se kali lagi a ku ingin menawarkan kepada prajurit-prajurit berkuda ini, agar mereka menyerah saja" "Itu tidak adil" Juwiring me mbawa Diajeng Warih" ha mpir berteriak "mereka
"Kita dapat me mperhitungkan ke mudian" jawab Kiai Danatirta "tetapi jika mereka akan menyerah, biarlah mereka menyerah" Prajurit berkuda yang sudah tidak me mpunyai harapan sama sekali itu me mang tidak me mpunyai pilihan lain. Tetapi kehadiran Juwiring yang sangat marah itu rasa-rasanya me mbuat hati mereka se ma kin ce mas. Na mun de mikian, mereka masih berharap bahwa di antara orang-orang padepokan itu masih ada yang berkepala dingin dan tidak berbuat sewenang-wenang. Dala m pada itu, Buntal selalu berdiri di sebelah Juwiring. Ia masih saja merasa cemas, bahwa Juwiring akan kehilangan pengamatan diri dan mela kukan tinda kan yang tidak bijaksana terhadap lawan-lawannya yang justru akan bertentangan pula dengan perintah Pangeran Mangkubumi sendiri.
"Ya, perintah Pangeran Mangkubumi" ingatan itu telah mendorongnya untuk berbisik "Kakang Juwiring. Bukankah kita termasuk pasukan Pangeran Mangkubumi" "Ya, kenapa?" bertanya Juwiring. "Kita harus sela lu ingat pesannya lewat siapapun juga. Lewat Ki Wandawa, lewat Ki Sarpasrana, lewat para Tumenggung yang berpihak kepadanya dan lewat setiap prajurit yang berdiri di sisi Pangeran Mangkubumi itu" desis Buntal. "Ya, apa pesannya" Juwiring yang marah itu ha mpir berteriak. "Jangan bertindak terlalu kasar terhadap sanak kita sendiri. Terhadap orang-orang berkulit sawo seperti kita" lanjut Buntal. Kata-kata Buntal itu ternyata telah menyentuh hatinya. Iapun pernah mendengar pesan Pangeran Mangkubumi seperti itu. Dan karena itulah, maka hatinya menjadi agak tenang, sehingga ia dapat me mandang prajurit-prajurit berkuda yang sudah tidak berdaya itu sebagaimana sikap seorang kesatria dari Surakarta. Karena itu, maka katanya kemudian "Baiklah ayah. Jika mereka me mang bersedia menyerah, segala sesuatunya terserah kepada ayah" Kiai Danatirta masih bertempur meskipun sudah tidak lagi harus me meras tenaganya, karena selain lawannya sudah jauh berkurang, merekapun na mpaknya sudah tidak berpengharapan lagi. Bahkan nampaknya Arumpun dapat mengerti ma ksud ayahnya, bahwa orang-orang itu sebaiknya tidak meneruskan perlawanannya, karena me mang t idak akan ada gunanya lagi.
Dengan sikap Juwiring yang menjadi lebih lunak itu, maka Kiai Danatirta sekali lagi berkata kepada prajurit-prajurit berkuda itu "Sekarang, menyerahlah Ki Sanak. Kalian tidak akan me mpunyai kese mpatan lagi" Kelima orang yang masih bertempur dengan setengah hati itupun tidak lagi dapat menahan hati untuk menyerah. Karena itu. maka salah seorang dari merekapun berkata "Ka mi menyerah" Kiai Danatirtapun ke mudian me mberi isyarat kepada Ki Dipanala dan Arum. agar mereka surut beberapa langkah untuk me mberi kese mpatan kepada kelima orang itu me letakkan senjatanya. Demikianlah, maka kelima orang itupun segera me lontarkan senjata masing-masing. Meskipun masih na mpak kekhawatiran mereka terhadap sikap Juwiring, na mun menyerah adalah ke mungkinan yang pa ling baik yang dapat mereka lakukan. Ki Danatirta menarik nafas dala m-dala m. Sebenarnyalah bahwa nafasnya memang sudah mulai be kejaran. Meskipun sejak kehadiran anak-anak angkatnya pekerjaannya sudah menjadi se makin ringan. Kelima orang prajurit berkuda itupun ke mudian berdiri berjajar. Sementara Juwiring dan Buntal me langkah maju mende kati Kia i Danatirta yang me mandangi orang-orang itu seorang demi seorang. Namun tiba-tiba katanya "Lihatlah kawan-kawanmu yang terluka itu. Bawalah mereka ke pendapa padepokan. Mungkin aku se mpat mengobatinya" Kelima orang prajurit itu termangu-mangu, sementara Kiai Danatirta mengulangi "Cepat, sebelum terla mbat" Kelima orang itupun ke mudian mengha mpiri pe mimpin mereka yang terluka parah, se mentara di sebe lahnya duduk kawannya yang lengannya tersobek oleh senjata Arum pada
saat ia menghindari serangan Buntal. Meskipun luka itu hanya pada lengannya, tetapi lengan itu bagaikan terkoyak sa mpai ke tulang, sehingga orang itu hampir menjadi pingsan karenanya. "Bawalah mere ka ke pendapa" berkata Kiai Danatirta. Kelima orang itupun ke mudian me mapah seorang yang terluka dilengannya, dan mengusung pemimpinnya yang sudah tidak sadarkan diri karena luka-lukanya. Dengan tergesa-gesa mereka telah me mbawa kawan-kawan mereka yang terluka itu ke pendapa padepokan, sementara kawannya yang seorang lagi, telah dipapah oleh Buntal dari bawah sebatang pohon di hala man. Meskipun lukanya telah ditaburi obat, namun na mpa knya orang itu kian menjadi le mah. Dala m pada itu, agaknya Kia i Danatirta tidak sa mpai hati me mbiarkan orang-orang itu terluka tanpa perawatan. Meskipun orang-orang itu telah berusaha untuk menangkapnya hidup atau mati, tetapi setelah mereka menyerah, maka terasa getar belas kasihan di hati orang tua itu. Apalagi Kiai Danatirtapun mendengar, bahwa Pangeran Mangkubumi sendiri telah berpesan, bahwa lawan yang sesungguhnya bukannya prajurit-prajurit Surakarta, tetapi Kumpeni. Hanya dalam keadaan terpaksa sajalah, maka para pengikut Pangeran Mangkubumi harus berte mpur dan barangkali tidak dapat dihindari lagi, akan jatuhnya korban di antara sanak dan kadang sendiri. Selain mereka yang terluka parah, maka di antara mereka yang masih bertempur beberapa lama ke mudian itupun ada yang telah tergores senjata pula. Tetapi luka-lukanya tidak berbahaya dan tidak mengurangi ke ma mpuan mereka. Meskipun de mikian orang-orang itupun harus mendapat perawatan. Namun dala m pada itu, Kia i Danatirtapun menyadari, bahwa dua orang yang melarikan Rara Warih ke kota, bukan saja akan menyerahkan Rara Warih, tetapi mereka tentu akan
menceriterakan apa yang lelah terjadi di padepokan. Apalagi jika mereka telah mengetahui bahwa Juwiring ada pula di padepokan Jati Aking. Karena itu, setelah Kiai Danatirta selesai dengan mengobati orang-orang itu, maka iapun mengajak anak-anak angkatnya dan Ki Dipanala masuk ke ruang dala m. "Bagaimana dengan orang-orang itu?" bertanya Juwiring. "Biarlah mereka berada di pendapa " jawab Kia i Danatirta. "Apakah mereka tida k akan lari?" bertanya Buntal pula. "Untuk se mentara tida k" jawab Kiai Danatirta pula. "Tetapi kita tidak boleh terlalu percaya kepada orang-orang itu" desis Arum pula. "Percayalah" jawab Kiai Danatirta "Mereka tidak akan lari" Ketiga anak-anak muda itu tidak me maksa Kia i Danatirta untuk menga mbil sikap tertentu kepada ketiga orang itu. Meskipun ada juga semaca m ke khawatiran, tetapi mereka mencoba untuk me mpercayai Kiai Danatirta. Dala m pada itu, setelah mereka berada di ruang da la m, maka Kiai Danatirtapun berkata kepada Raden Juwiring "Angger Juwiring. Hilangnya Rara Warih merupakan masalah khusus bagi kita, terutama angger Juwiring dan Ki Dipana la" "Ya Kiai" desis. Ki Dipanala "bagaimana aku harus me mpertanggung jawabkan hilangnya puteri itu jika pada suatu saat aku bertemu dengan Pangeran Ranakusuma " Kiai Danatirta mengangguk-angguk. Tetapi sebelum ia menyahut, Juwiring telah mendahuluinya "Aku belum se mpat menceriterakan, apa yang terjadi di perte mpuran besar itu" "Ya. Kau me mang belum mengatakan sesuatu" desis Kiai Danatirta.
Juwiring me narik nafas dalam-dala m. Dipandanginya Kiai Danatirta dan Ki Dipanala berganti-ganti. Ke mudian katanya "Yang terjadi, benar-benar merupakan satu bebanten yang tiada taranya bagi perjuangan Surakarta untuk mengusir orang-orang asing yang se makin dala m mencengkeram tanah ini" Wajah Kiai Danatirta dan Ki Dipanala menegang. Dengan nada rendah Kia i Danatirta bertanya "Apa yang telah terjadi?" Juwiringpun me nceriterakan apa yang telah terjadi di peperangan dengan singkat. Beberapa orang Senapati terpilih di Surakarta telah gugur dan terluka, di pihak manapun mereka berdiri. Ki Dipana la menarik nafas dala m-dala m. Wajahnya menunduk se mentara suaranya menjadi parau "Jadi Pangeran Ranakusuma telah gugur?" "Ya" jawab Juwiring "Aku melihat saat-saat ayahanda menghe mbuskan nafasnya yang terakhir. Tetapi aku mencoba untuk berbangga. Justru ayahanda yang sebelumnya mene mpuh jalan yang salah, pada saat terakhirnya, ia telah berdiri di pihak yang benar" Ki Dipana la mengangguk-angguk kecil. Na mun ke mudian desisnya "Aku telah mengabdi di kapangeranan untuk waktu yang lama. Meskipun aku termasuk orang yang dibenci, tetapi aku merasa bahwa Ranakusuman adalah rumahku sendiri. Aku sudah menyaksikan yang manis, tetapi juga yang paling pahit di Ranakusuman. Dan di saat-saat terakhir segalanya harus terjadi. Pangeran Ranakusuma gugur di peperangan, sementara Raden Ayu mengalami kejutan jiwa. Dan kini, kita semuanya menghadapi satu masalah yang tidak kalah beratnya. Rara Warih jatuh ke tangan orang-orang yang me musuhi Pangeran Ranakusuma dan Raden Juwiring"
"Yang terjadi, sudah terjadi" desis Kiai Danatirta "marilah kita berbuat sesuatu dengan landasan kenyataan ini untuk mendapatkan hasil yang sebaik-baiknya" Juwiring menarik nafas dala m-dala m, se mentara Ki Dipanala berkata "Me mang sulit untuk mendera perasaan sendiri. Tetapi aku ingin mencoba untuk me mpergunakan nalar sebaik-ba iknya" "Marilah kita mencobanya" berkata Kiai Danatirta "sekarang kita harus mulai menila i keadaan dengan kenyataan yang kita hadapi. Padepokan ini tida k akan dapat me mberikan ketenangan lagi" "Ya" desis Ki Dipana la "Kita me mang harus pergi. Tetapi bagaimana dengan Rara Warih" "Aku belum dapat mengatakan sesuatu" jawab Kiai Danatirta "tetapi kita akan berusaha. Sementara itu kita harus me mbuat satu keadaan dimana kita masih dapat berusaha" "Aku mengerti maksud ayah" sahut Juwiring "Kita lebih dahulu me mikirkan ke mungkinan untuk menyela matkan diri" "Ya" sahut Kiai Danatirta "Kita harus segera meningga lkan padepokan ini. Sebentar lagi padepokan ini tentu akan dikepung oleh kekuatan yang lebih besar. Kedua prajurit yang me mbawa Rara Warih itu akan mengatakan segala-galanya. Bahkan mungkin yang tidak pernah terjadipun akan dikatakannya" "Baiklah ayah" jawab Juwiring "tetapi bagaimana dengan orang-orang itu" "Biarlah Danatirta. mereka kita tinggalkan di sini" jawab Kiai
"He" Raden Juwiring terkejut "Apakah maksud ayah, mereka a kan kita lepaskan begitu saja?"
"Ya. Kita tidak me mpunyai cara lain. Kita tidak akan dapat menawan mereka dan me mbawa ke mana kita pergi" jawab Kiai Danatirta "dan sebaliknya kita t idak a kan dapat me mbunuh mere ka se muanya" Wajah Juwiring me njadi tegang. Tetapi ia tidak segera dapat mengatakan, apa yang sebaiknya harus dilakukannya. Me mang benar seperti yang dikatakan oleh Kiai Danatirta, bahwa mereka tidak a kan dapat me mbawa orang-orang itu ke mana mereka pergi. Sebaliknya, merekapun t idak akan dapat me mbunuh mereka yang telah menyerah itu. Dala m pada itu, Buntal dan Arumpun termangu-mangu. Merekapun merasa bahwa tidak adil untuk melepaskan orangorang itu begitu saja. Tetapi juga tidak akan dapat melakukan yang lain seperti dikatakan oleh Kia i Danatirta. Dala m pada itu. Kiai Danatirtapun berkata "Dala m keadaan yang wajar, kita akan dapat melakukan sesuatu yang lebih baik dan masuk akal. Jika kita menangkap satu dua orang penjahat, maka kita akan dapat menyerahkannya kepada yang berkewajiban. Tetapi dala m keadaan seperti ini, tidak. Dan kitapun tidak berniat untuk mengha kimi dan menghukum mereka sendiri" Ketiga anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Bahkan Ki Dipanalapun ikut mengangguk-angguk pula. Sebenarnyalah ia me mpunyai perasaan seperti ketiga anak-ana k muda itu. Apalagi iapun merasa, bahwa hampir saja nyawanya direnggut oleh orang-orang itu, seandainya Juwiring, Buntal dan Arum tidak segera datang. Bahkan dua di antara mereka telah menga mbil Rara Warih. Puteri Pangeran Ranakusuma yang dengan susah payah telah dibawa menyingkir dari istana Ranakusuman. Na mun de mikian, Ki Dipanala tida k akan dapat me mbantah keputusan Kiai Danatirta. Apalagi keputusan itu me mang dapat dimengerti. Seandainya ia menolak, ma ka ia harus dapat menunjukkan cara yang lebih baik.
Namun dala m pada itu, mereka akhirnya menga mbil keputusan seperti yang dimaksud oleh Kia i Danatirta. Mereka akan segera meningga lkan padepokan itu, sementara para prajurit dari pasukan berkuda yang telah mereka kalahkan itu akan mereka tinggalkan di padepokan. Tetapi agar orang-orang itu tidak me lakukan hal-hal yang tidak diinginkan, misalnya mengikuti jejak mereka yang akan dapat menjadi petunjuk bagi orang-orang berikutnya yang akan mencari mereka, ma ka Kiai Danatirta tidak berkeberatan, jika kuda-kuda dari prajurit-prajurit berkuda itu dilepaskan dan justru di singkirkan dari padepokan itu. Demikianlah, ketika keputusan itu sudah bulat, ma ka Kiai Danatirtapun ke mudian bangkit dan keluar ke pendapa diikuti oleh Ki Dipanala dan ketiga anak-anak muda yang telah bergabung dengan pasukan Pangeran Mangkubumi itu. Ketika mereka keluar dari pintu yang menyekat ruang dalam dan pringgitan, maka mereka me lihat orang-orang yang telah menyerah itu masih tetap berada di te mpatnya. Raden Juwiring menarik nafas dala m-dala m. Seperti yang dikatakan oleh Kia i Danatirta, tidak seorangpun yang me larikan diri meskipun kese mpatan terbuka. Bahkan tandatanda untuk itupun sama sekali tidak nampa k. Seolah-olah mereka adalah cantrik-cantrik padepokan yang patuh menunggu Kiai Danatirta keluar dari Sanggar untuk me mberikan petunjuk-petunjuk tentang ilmu kanuragan dan ilmu kajiwan. Dala m pada itu, Kiai Danatirta dan Ki Dipanala serta ketiga anak-anak muda itupun duduk di antara orang-orang yang telah menyerah itu dengan sikap wajar, seolah-olah tidak ada batas di antara mereka. Namun justru karena itu, maka para prajurit dari pasukan berkuda itu telah menundukkan kepalanya.
"Bagaimana keadaan kawan-kawan kalian yang terluka?" bertanya Kiai Danatirta. Seorang yang tertua di antara mereka menjawab meskipun dengan ragu-ragu "Na mpaknya mereka menjadi lebih tenang Kiai" "Yang paling parah adalah yang terluka me lintang di dada" berkata Kiai Danatirta "Yang na mpa knya adalah pe mimpin kalian" "Ya. Ia adalah pe mimpin ka mi" jawab prajurit itu. Kiai Danatirta mengangguk-angguk. Namun iapun ke mudian beringsut mende kati orang yang terbaring di pendapa itu. Juwiring me nahan nafasnya Ialah yang telah menggoreskan pedangnya di dada orang itu. Na mun dala m keadaan yang khusus, maka ha l itu dapat saja terjadi. Jika ia tidak berbuat demikian, maka mungkin ia sendirilah yang akan menga la mi luka parah seperti itu. Namun na mpaknya obat yang diberikan oleh Kiai Danatirta me mpunyai pengaruh pula atas orang itu. Darahnya telah ma mpat, dan bahkan ke mudian orang itu telah me mbuka matanya. "Tenanglah" berkata Kiai Danatirta "Jangan bergerak, agar luka mu tidak berdarah lagi" Orang itu mengedipkan matanya. Semakin la ma se makin jelas, bahwa orang yang duduk di sebelahnya adalah Kiai Danatirta. Namun nampaknya Kiai Danatirta itu tidak berbuat apa-apa atasnya. "Tidurlah jika mungkin" berkata Kiai Danatirta "beristirahat adalah satu satu obat yang baik bagimu Ki Sanak"
Orang itu tidak menjawab. Tetapi matanya sajalah yang berkeredipan. Namun dala m pada itu, nampak betapa pertanyaan yang kisruh telah beraduk di dala m dadanya. Sementara itu, Kia i Danatirtapun ke mudian berkata kepada para prajurit itu "Ki Sanak. Tidak sebaiknya aku tetap berada di padepokan ini. Sudah aku katakan, bahwa para cantrik telah meninggalkan padepokan ini. Yang tinggal hanyalah aku berdua dengan Ki Dipanala. Sebenarnya ada orang ketiga, Rara Warih yang telah dibawa oleh kedua orang kawanmu yang telah melarikan diri lebih dahulu. Sebenarnya nyawa Rara Warih lebih berharga dari nyawa kalian semuanya. Tetapi kami tidak dapat me mbunuh kalian. Hendaknya kalian menjadi saksi. Bahwa sikap ini adalah sikap prajurit Pangeran Mangkubumi" Orang tertua di antara prajurit itu bertanya "Jadi Kiai akan pergi ke mana?" Kiai Danatirta tersenyum. Jawabnya "Kami me mang tidak dapat Biarlah me mpercayai kalian sepenuhnya. Karena itu, kami t idak a kan dapat menjawab, ke mana ka mi akan pergi" Orang itu mengangguk-angguk. Katanya "Maaf Kiai. Ka mi mengerti, bahwa kami me mang pantas untuk dicurigai. Karena itu terserahlah kepada Kiai" "Baiklah. Ka mi mohon diri. Ka mi titipkan padepokan ini kepada Kalian. Aku yakin, bahwa sebentar lagi akan datang kawan-kawan ka lian, setelah kedua orang yang me mbawa Rara Warih itu sa mpa i ke kota" berkata Kia i Danatirta. Prajurit-prajurit itu terheran-heran. Salah seorang dari mereka bertanya "Kenapa Kiai menitipkan padepokan ini kepada ka mi" Ka mi terikat dengan tugas ka mi, sehingga ka mi harus ke mbali ke Surakarta" Kiai Danatirta tertawa. Katanya "Jika kalian harus pergi, pergilah. Tetapi barangkali ada satu pekerjaan yang dapat kalian lakukan. Sebutlah, bahwa aku minta tolong kepada
kalian, untuk me mbagi ternak dan se mua binatang peliharaan di padepokan ini kepada orang-orang di sekitar padepokan ini. Kami tidak dapat atau katakan tidak sempat me lakukannya. Kami ce mas, bahwa tidak la ma lagi kawan-kawan kalian akan datang dan berma ksud menangkap ka mi seperti yang ka lian lakukan. Hidup atau mati. Sehingga dengan de mikian ka mi akan terpaksa bertempur lagi. Ka mi terpaksa untuk me mpertahankan diri. yang barangkali agar tida k dibunuh maka ka mi akan me mbunuh saudara-saudara kami yang berkulit sawo" Para prajurit itu tidak menjawab. Tetapi sebagian dari mereka telah tersentuh hatinya meskipun mereka tidak mengatakan sesuatu. "Nah" berkata Kia i Danatirta "waktunya telah tiba. Sebelum kawan-kawanmu datang, kami akan menanggalkan padepokan ini" Para prajurit itu hanya dapat mengangguk-angguk saja sementara Kiai Danatirta berkata selanjutnya "Tetapi maaf Ki Sanak. Ka mi terpaksa untuk menghalau kuda-kuda kalian, karena pertimbangan-pertimbangan tertentu yang barangkali tidak masuk akal" Para prajurit itu terkejut. Tetapi sebagian dari mereka menyadari bahwa mereka tida k akan dapat berbuat apa-apa, sehingga karena itu, maka merekapun hanya berdia m diri saja. Namun ternyata salah seorang dari mereka berkata "Kudakuda itu milik ka mi Kiai. Kiai tidak wenang untuk me lakukannya" "Ka mi hanya menjaga kesela matan diri ka mi" jawab Kiai Danatirta. "Itu berarti bahwa Kiai hanya me mentingkan diri sendiri. Jika Kiai mau pergi, pergilah. Tetapi jangan mengganggu milik kami. Apalagi hal itu semata-mata karena Kiai hanya
mengenal kepentingan diri sendiri saja" berkata prajurit itu pula. "Tutup mulutmu" Arumlah yang me mbentak "Kau kira apa yang kau katakan itu berarti bagi ka mi" Prajurit itu benar-benar merasa terhina. Apalagi ternyata bahwa anak muda itu seorang gadis. Namun sebelum ia berkata sesuatu Arum mendahului "Ingat. Kami dapat me mbunuh ka lian jika kalian mengatakan bahwa ka mi hanya mengenal kepentingan diri sendiri" Para prajurit itu termangu-mangu. Namun prajurit itu masih me mbantah "Lalu apakah keuntungan kalian dengan mengha lau kuda-kuda ka mi" "Tida k seorangpun di antara kalian akan dapat mengikuti kami atau Setidak-t idaknya mengetahui arah kepergian ka mi setelah ka mi keluar dari padepokan ini" jawab Kia i Danatirta "Tetapi bagaimana dengan ka mi. Ka mi bukan penghuni padepokan ini. Kami harus kemba li ke Surakarta" desis prajurit itu pula. "Berjailan kaki" bentak Arum yang marah "atau bunuh diri saja di sini setelah kalian gagal me mbunuh ka mi. Ingat, kalian akan me mbunuh ka mi. Dan ka mi hanya mengha lau kuda-kuda kalian. Atau kau me ma ng minta dibunuh saja?" Prajurit itu benar-benar tersinggung. Tetapi ia menyadari keadaannya, sehingga karena itu, maka wajahnya sajalah yang menjadi merah padam. Na mun dala m pada itu, terdengar desis perlahan "Dengar perintahku" Prajurit itu berpaling. Yang lainpun berpaling pula. Ternyata pemimpinnya yang terluka itu telah me mbuka matanya dan berbicara betapapun lirihnya. Seorang di antara para prajurit dari pasukan berkuda itu mende kat. Dan pemimpinnya yang terluka itu berkata "Dengar perintahku" ulangnya "Apapun yang akan dilakukan oleh Kiai
Danatirta, kalian tidak wenang lagi me mbantah, karena kita semuanya adalah tawanannya" Prajurit-prajurit itu termangu-mangu sejenak. Namun ke mudian prajurit yang tersinggung oleh sikap Arum itupun dengan hati yang sangat berat, harus menerima perintah itu. Apalagi iapun menyadari, bahwa ia tidak akan dapat berbuat apa-apa betapapun hatinya bergejolak. Dala m pada itu, sebenarnyalah Arum benar-benar menjadi marah kepada prajurit yang seorang itu. Tetapi iapun harus menahan hati. Seandainya ia tidak terikat oleh perintah ayahnya, maka ia tentu sudah bertindak atas prajurit yang saru Sebenarnyalah, bahwa Kiai Danatirtapun ke mudian berkata "Sudanlah, ka mi a kan berangkat. Sekali lagi a ku minta tolong agar segala binatang peliharaan di padepokan ini dapat diserahkan, atau biarlah orang-orang di sekitar padepokan ini datang sendiri untuk menga mbilnya, meskipun dengan demikian diperlukan pengawasan agar mereka tidak saling berebutan" "Baiklah Kiai" jawab prajurit yang tertua "ka mi akan mencoba me lakukannya" Betapapun terasa suasana yang ganjil di hati anak-anak muda Jati Aking itu, namun merekapun tidak berbuat sesuatu, karena mereka me mang tidak dapat menunjukkan penyelesaian yang lebih baik, seperti juga Ki Dipanala.
Karena itu, maka merekapun segera berkemas. Sejenak ke mudian mereka telah berada di ha la man dengan kuda masing-masing. Se mentara itu, Buntal dan Juwiring telah me lepaskan se mua kuda dari ikatannya. Sejenak ke mudian, Juwiring dan Buntalpun telah menghentakkan ca mbuk mereka. Kuda-kuda itupun terkejut dan berlarikan ke luar hala man. Apalagi karena Buntal dan Juwiring berusaha untuk menyentuh kuda-kuda itu dengan ujung ca mbuknya sehingga kuda-kuda itu berlari lebih cepat lagi menjauhi padepokan Jati Aking. Demikian kuda-kuda itu hilang dari hala man, maka Kiai Danatirta dan Ki Dipana la serta ketiga anak-anak muda itupun me loncat naik ke punggung kuda masing-masing. Ketika kuda mereka mula i bergerak, maka Kiai Danatirta masih berkata "Sela mat tinggal. Jagalah kawan-kawanmu yang terluka dengan baik Sebentar lagi akan datang orang-orang Surakarta yang akan me mbawa tabib yang pala ba ik yang akan dapat mengobati luka-luka itu dengan lebih se mpurna. Salamku bagi saudara-saudara kita dari Surakarta. Mudah-mudahan mereka cepat menyadari keadaan Tanah ini yang sebenarnya sehingga mereka tidak akan tersesat semakin jauh. Jika mungkin kalianpun dapat merenungi diri kalian, apakah juga termasuk kalian sendiri" Para prajurit itu tidak menjawab. Mereka me mandangi saja orang-orang yang meninggalkan padepokan itu. Namun dala m pada itu, salah seorang dari para prajurit itu berguma m "Mereka adalah orang-orang gila yang sombong. Mereka mengira bahwa dengan me mbiarkan kita tetap hidup, mereka dapat disebut sebagai pahlawan kemanusiaan. Tetapi pada suatu saat, jika kita bertemu lagi dengan mere ka, maka mereka a kan menyesal" Kawan-kawannya me mandanginya dengan sorot mata yang aneh. Orang tertua di antara mereka berkata "Kau selalu mengumpat-umpat saja. Kita sudah tidak berhak untuk
menentukan apapun juga. Jika mereka menghalau kuda-kuda itu, itu adalah hak mereka. Kau tidak dapat menyatakan keberatan sama sekali" "Kalian tida k me mbantu a ku" desis prajurit itu. "Kau yang keliru. Untunglah ada orang-orang tua yang dapat menguasai anak-anak muda itu. Jika tidak, kita semua sudah menjadi mayat dan terkapar di tengah sawah itu" jawab kawannya. "Itu lebih ba ik bagiku" jawab prajurit itu. "Kau keras kepala" jawab orang tertua "tetapi kenapa tidak kau lakukan. Ketika ka mi menyerah, kau ikut pula menyerah. Kenapa kau tidak ingin disebut sebagai pahlawan pula, yang gugur di medan perte mpuran me lawan para pe mberontak" Orang itu menggeretakkan giginya. Katanya "Kalian terlalu le mah sehingga kalian dapat diperma inkan oleh orang-orang padepokan itu. Meskipun kita sudah menyerah, tetapi jika kita bersikap agak keras, mere ka tentu akan mendengarkan" "Bagaimana jika yang terjadi sebaliknya. Anak muda yang ternyata seorang gadis itu nampaknya pendiriannya keras sekali, sementara Raden Juwiring yang kehilangan adiknya itu akan dapat kehilangan pengamatan diri pula" jawab orang tertua "dan adalah satu kenyataan, bahwa kita tetap hidup. Pemimpin kita mendapat pengobatan bersama kawan-kawan kita yang terluka " "Kau sudah terpengaruh" gera m prajurit yang marah. "Mungkin de mikian. Tetapi mereka ternyata bersikap ba ik terhadap prajurit Surakarta yang terdiri dari orang-orang berkulit sawo matang seperti kita, karena sebagaimana pesan Pangeran Mangkubumi, para pengikutnya tidak dibenarkan untuk bertindak sewenang-wenang terhadap bangsa sendiri, dimanapun kita berdiri"
Kawannya yang marah itu tidak menjawab. Tetapi masih terdengar ia menggera mang. Namun de mikian lawannya tidak menghiraukannya lagi. Dala m pada itu, kuda-kuda mereka telah dihalau pergi oleh Juwiring dan Buntal. Karena itu, maka mere ka tidak dapat dengan segera kembali ke Surakarta. Tetapi seperti yang dikatakan oleh Kiai Danatirta, merekapun berharap bahwa sepasukan prajurit dari pasukan berkuda yang kuat akan datang ke padepokan itu, sehingga karena itu. maka mereka sebaiknya me mang menunggu. "Se mentara kita menunggu, kita dapat mela kukan pesan Kiai Danatirta" berkata prajurit tertua di antara mereka. "Aku tida k sudi me lakukan" desis prajurit yang marah itu. Prajurit tertua itu menarik nafas dalam-dala m. Katanya "Apa salahnya kita berbuat baik bagi orang-orang di sekitar padepokan ini. Jika kita me mbagi ternak yang ada di padepokan ini, maka mereka tentu mengira, bahwa kitalah yang berbaik hati kepada mereka" "Tetapi apakah kita tidak me mperhitungkan satu ke mungkinan, bahwa orang tua itu dengan sengaja me mbuat kita untuk tinggal di sini lebih la ma lagi, sementara itu ia me manggil orang-orangnya lebih, banyak lagi untuk bera mairamai me mbantai kita di sini" jawab prajurit yang marah. "Kau sudah kehilangan nalar" jawab kawannya yang Jain "jika ia ingin me mbunuh, hal itu sudah dapat dilakukannya. Ia tidak perlu menawarkan agar kita menyerah. Mereka dengan mudah akan dapat me mbunuh kita seorang demi seorang. Tetapi hal itu tidak dila kukannya. Ia minta kita menyerah. Dan kita sudah diperla kukan dengan baik" "Omong kosong" jawab kawannya yang marah "tetapi aku tidak mau berbuat apa-apa"
"Biarlah ia tidak berbuat apa-apa" jawab kawannya yang lain "Kita dapat me mbagi se mua binatang peliharaan di padepokan ini atas nama kita sendiri. Orang-orang padukuhan akan berterima kasih kepada kita" "Yang penting" berkata orang tertua "binatang peliharaan itu tidak mati kelaparan. Se mentara orang-orang padukuhan akan mendapatkan tambahan binatang peliharaan. Marilah, siapa yang ingin ikut bersama aku me manggil beberapa orang padukuhan terdekat dan menyerahkan binatang-binatang yang ada kepada mereka" "Tetapi kita belum tahu, binatang apa saja yang ada di padepokan ini" desis seorang prajurit "Kita a kan dapat melihatnya" jawab orang tertua itu. Demikianlah orang tertua itu telah menghubungi pemimpinnya yang terluka. Namun agaknya obat Kiai Danatirta telah banyak menolongnya. Meskipun ia masih sangat lemah, tetapi ia sudah dapat memberikan pertimbangan. Katanya lirih "Lakukanlah. Sambil menunggu kawan-kawan kita yang tentu akan datang. Lambat atau cepat" Kedatangan para prajurit yang tidak mengenakan ciri-ciri keprajuritan di padukuhan terdekat dan mengaku orang kebanyakan itu telah memanggil beberapa penghuni padukuhan itu, "Kia i Danatirta telah pergi" berkata para prajurit itu "ka milah yang diserahi padepokan itu. Tetapi ka mi tida k akan dapat berbuat banyak. Karena itu, kami menga mbil kebijaksanaan untuk me mbagi saja ternak yang ada di padepokan ini bagi kalian dengan ma ksud dapat dipelihara sebaik-baiknya" Orang-orang padukuhan itupun berterima kasih kepada prajurit-prajurit itu. Na mun masih ada juga yang bertanya
"Apakah Kiai Danatirta tidak akan marah a kan hal ini?" "Tida k. Segalanya kami lakukan atas ijinnya. Bahkan pesannya sebelum ia pergi" jawab prajurit tertua itu. Demikianlah, terjadi seperti yang dikehendaki oleh Kiai Danatirta. Namun prajurit yang marah itu masih saja berkata "Itukah yang kalian lakukan atas na ma kalian sendiri" Orangorang itu masih bertanya juga tentang Kia i Danatirta. Bahkan mereka langsung atau tidak langsung menuduh kalian telah me la mpaui hak orang tua itu" Tetapi kawan-kawannya tidak menghiraukannya. Mereka me lakukannya seperti yang dimaksud oleh orang tua itu. Dala m pada itu, maka dua orang prajurit berkuda yang me mbawa Rara Warih telah me masuki kota. Mereka sama sekali tidak menghiraukan, beberapa orang me mperhatikan mereka dengan curiga. Apalagi karena mereka tidak mengenakan pa kaian keprajuritan. Namun orang yang sekuda dengan Rara Warih telah menganca m gadis itu untuk berbuat lebih jauh jika gadis itu melakukan sesuatu yang dapat menarik perhatian orang banyak. "Jika seseorang bertanya, aku akan mengatakan bahwa aku me mbawa seorang gadis yang sakit" berkata penunggang kuda itu. Rara Warih me mang tidak dapat berbuat apa-apa. Ia sadar bahwa prajurit itu dapat membunuhnya atau dapat berbuat apa saja sehingga akan mence lakainya lebih dari mati. Na mun demikian, iapun sadar bahwa di Surakarta ia akan menghadapi persoalan yang gawat. Meskipun ia tidak tahu pasti, na mun ia mengerti, bahwa ayah dan kakaknya me mpunyai satu sikap yang khusus terhadap kumpeni. Agaknya karena itulah maka para prajurit itu telah me mburunya sampai ke padepokan Jati Aking" Namun Rara Warih yang sadar bahwa ia adalah puteri seorang Senapati, telah berusaha mene mpa dirinya sendiri,
sehingga ia harus tabah menghadapi segalanya. Ia tidak boleh kehilangan aka l dan merengek-rengek. Tetapi pada suatu saat ia harus menunjukkan sikap sebagaimana sikap seorang puteri Senapati besar dari Sura karta. "Aku bukan lagi gadis ingusan yang kehilangan golek ma inan" berkata Rara Warih di dala m hatinya "tetapi aku adalah seorang yang telah dewasa dan harus menghadapi semua persoalan dengan dewasa pula. Termasuk menghadapi ke matian" Rara Warih sama sekali tida k berbuat apapun juga. Karena itu, maka prajurit-prajurit itupun tida k berbuat lebih kasar lagi kepadanya. Meskipun demikian ketika kedua orang prajurit itu berkuda di jalan-jalan kota, beberapa orang telah memandang mereka dengan penuh pertanyaan. "Gadis apakah yang telah dibawa oleh kedua orang itu "desis salah seorang di antara mereka. Namun ketika seseorang meludah di pinggir jalan ketika mereka me lihat seorang gadis berkuda bersa ma seorang la kilaki, maka prajurit yang berkuda bersa ma Rara Warih itu berteriak "Adikku sedang sakit parah. Ia harus dibawa keseorang dukun yang pandai" "O" orang yang me ludah itupun berteriak "maaf, aku tidak tahu" Demikianlah kedua orang prajurit itu telah membawa Rara Warih ke baraknya, ke barak pasukan berkuda. Kedatangan mereka benar-benar telah mengejutkan beberapa orang. Gadis itu sangat cantik, sehingga beberapa orang telah mengerumuninya dengan serta merta. Namun kedua prajurit yang me mbawanya itu telah me mberikan keterangan singkat, sehingga dengan demikian kawankawannya segera beringsut meninggalkannya "Gadis ini puteri Pangeran Ranakusuma. Ka mi berhasil menangkapnya di padepokan Jati Aking"
Hanya beberapa orang sajalah yang kemudian berdiri di sebelah menyebelah kedua orang prajurit yang datang dari Jati Aking itu. Salah seorang perwira muda bertanya "Kau me mang luar biasa. Kau telah berhasil melakukan satu tugas yang besar. Sebaiknya gadis itu kau hadapkan kepada Panglima pasukan berkuda" "Ya" jawab kedua prajurit itu "aku me ma ng akan menyerahkannya. Mungkin para pe mimpin pasukan berkuda akan dapat menga mbil satu sikap tertentu" Perwira muda itu me mandang Rara Warih sejenak Na mun perwira itu menjadi heran dan ke mudian kagum Pada wajah gadis itu sama sekali tidak terlintas perasaan cemas dan takut. Gadis itu berdiri tegak dengan sorot mata yang tajam me mandangi setiap orang yang berada di sekitarnya. "Marilah puteri" berkata prajurit berkuda itu "Kita akan menghadap para pe mimpin pasukan berkuda" Rara Warih tidak menjawab. Tetapi ia melangkah dengan langkah tetap mengikut i prajurit berkuda yang me mbawanya dari Jati Aking, sementara seorang yang lain berjalan di belakangnya. Beberapa orang pimpinan tertinggi pasukan berkuda yang ke mudian diberitahu bahwa dua orang prajurit akan menghadap dengan me mbawa puteri Pangeran Ranakusuma, telah me merintahkan me manggil mereka dan me mbawa puteri itu bersa ma mereka. Seperti saat-saat kemudian Rara Warih me masuki ruang para pemimpin pasukan berkuda dengan wajah tengadah. Bahkan ternyata di antara mereka telah dikenalnya sebagai kawan dekat ka kandanya, Raden Juwiring. "Marilah diajeng" seorang perwira muda me mpersilahkan. Rara Warih me mandang perwira muda itu yang ternyata juga seorang kawan Raden Juwiring.
Rara Warih termangu-mangu sejenak. Na mun iapun ke mudian duduk diisebuah te mpat duduk kayu yang dialasi dengan kain beludru berwarna ungu. Seperti kain beludru yang banyak terdapat di istana Pangeran Ranakusuma. "Diajeng" berkata perwira muda itu "adimas Juwiring sempat me mbuat ka mi se muanya menjadi kacau di medan perang" Rara Warih sama sekali tida k menjawab. Tetapi ia t idak menundukkan kepa lanya. "Adalah satu hal yang barangkali baik bagi diajeng sendiri, bahwa dua orang prajurit telah membawa diajeng ke mari" berkata perwira muda itu "dengan demikian diajeng dapat disela matkan dari segala maca m noda perjuangan yang ada di Surakarta dalam menegakkan wibawa Kangjeng Susuhunan" Rara Warih masih tetap diam. Se mentara itu, perwira yang lain telah me mbawa dua orang prajurit yang berhasil menangkap Rara Warih itu ke sebuah bilik yang lain. "Bagaimana cara mu menangkap gadis seorang perwira pimpinan pasukan berkuda. itu?" bertanya
Kedua prajurit itupun menceriterakan apa yang telah terjadi. Tetapi ternyata bahwa kedua prajurit itu belum tahu bahwa Raden Juwiring telah datang ke padepokan Jati Aking. "Ka mi tida k menunggu pertempuran di padepokan itu selesai. Kami me lihat orang-orang tua yang bertempur me lawan kawan-kawan ka mi sudah tidak berdaya. Karena itu, agar segalanya dapat berlangsung dengan sebaik-baiknya, maka ka mi berdua telah mendahului kawan-kawan ka mi" "Tetapi kawan-kawan ka lian itu belum datang" desis perwira itu. "Ya. Tetapi tidak la ma lagi mere ka akan datang. Kiai Danatirta dan Ki Dipanala tidak akan dapat bertahan lama. Mereka sudah bertempur sambil berlari-lari ketika aku
meninggalkan padepokan" jawab salah seorang dari kedua prajurit itu. "Yang kalian lakukan ternyata memberikan ke mungkinan yang baik untuk menangkap Raden Juwiring. Panglima dari pasukan berkuda tentu akan berterima kasih kepada mu. Bahkan mungkin Panglima Besar yang diangkat khusus untuk menghadapi Pangeran Mangkubumi, Pangeran Yudakusuma akan me mberikan perhatian khusus kepadamu. Meskipun Pangeran Yudakusuma terluka cukup gawat karena senjata Pangeran Ranakusuma yang me miliki ke kuatan khusus itu, namun ternyata seorang tabib berhasil mengobatinya dan menyela matkan jiwanya. Mungkin Pangeran Yudakusuma dalam waktu dekat akan bertindak lebih jauh lagi bersama Kumpeni yang mendenda m Pangeran Mangkubumi karena kekalahannya. Dan kau tahu, bahwa sebab terbesar dari kekalahan itu adalah justru pengkhianatan Pangeran Ranakusuma dan puteranya, Raden Juwiring" Prajurit itu mengangguk-angguk. kebanggaan mekar di hatinya. Namun terasa
"Tinggalkan Rara Warih. Kami akan me manggilmu dala m keadaan yang khusus. Ka mi para perwira pimpinan pasukan berkuda mengucapkan selamat atas hasil yang kau peroleh. Dengan Rara Warih sebagai umpan, maka tidak akan terlalu sulit untuk menangkap Raden Juwiring. Ia saat ini termasuk buruan yang penting bagi Surakarta dan Kumpeni" Kedua prajurit yang berbangga itu mengangguk-angguk. Terbayang di angan-angan mereka, hadiah yang besar yang akan mereka terima dari pimpinan pasukan berkuda, atau dari Pangeran Yudakusuma sendiri dengan kena ikan pangkat dan jabatan, atau gemerincingnya uang dari Kumpeni. "Sekali-sekali aku ingin juga duduk di atas tempat duduk beludru di rumah, dan me mberikan kain sutera yang halus kepada isteriku" berkata prajurit itu di dala m hatinya.
Dala m pada itu, di ruang lain, seorang perwira yang sudah berambut putih telah me manggil Rara Warih menghadap seorang diri. Demikian Rara Warih me masuki ruangan itu, maka perwira bera mbut putih itupun dengan tergesa-gesa berdiri dan menyorongkan te mpat duduk kepada Rara Warih. "Marilah, marilah ngger" perwira itu me mpersilahkan. "Paman Tumenggung" desis Rara Warih yang sudah mengenal perwira berambut putih itu. Tumenggung yang berambut putih yang terkenal dengan sebutan Tumenggung Watang itu tersenyum sambil menjawab "Ya ngger. Tentu angger mengenal aku dengan baik. Aku adalah salah seorang prajurit yang pernah berada di bawah pimpinan ayahanda puteri, Pangeran Rnakusuma. Aku kagum akan kema mpuan ayahanda puteri itu. Sehingga sebenarnyalah di peperangan Pangeran Ranakusuma adalah guruku" Rara Warih tidak menjawab. Tetapi seperti saat ia memasuki barak itu, ia sama seka li t idak menundukkan kepa lanya. "Tetapi puteri, pada saat terakhir, telah terjadi perubahan sikap Pangeran Ranakusuma dan juga Raden Juwiring. Nampa knya pengaruh persoalan pribadi pada Pangeran Ranakusuma itu demikian besarnya sehingga Pangeran Ranakusuma menga mbil satu keputusan yang sangat mence maskan bagi seluruh Surakarta" berkata
Tumenggung yang lebih dikenal dengan na ma Tumenggung Watang. Rara Warih masih tetap berdia m diri. Na mun dala m pada itu, sejenak Tumenggung Watang itupun terdia m. Dipandanginya gadis yang duduk di hadapannya dengan wajah tengadah. Sama sekali tidak me nunjukkan kece masan meskipun ia sudah berada di dalam satu lingkungan yang berbahaya baginya. Namun dala m pada itu, ternyata Tumenggung Watang menge mban satu tugas yang sangat berat baginya. Menurut pertimbangan para perwira pasukan berkuda, Rara Warih nampaknya belum tahu apa yang telah terjadi di peperangan. Berita gugurnya Pangeran Ranakusuma yang sudah sa mpai pada pimpinan pasukan berkuda dan seluruh prajurit Surakarta, agaknya masih belum diketahui oleh puterinya. Dan tugas untuk me mberitahukan hal itu telah diserahkan kepada seorang perwira yang usianya sudah mela mpaui pertengahan abad. "Apakah benar Rara Warih masih belum me ngetahui, bahwa ayahandanya telah gugur?" bertanya Tumenggung Watang itu di dala m hatinya. Namun bagaimanapun juga puteri itu harus diberi tahu. Kemudian ia akan tetap berada di dala m kekuasaan para prajurit meskipun dala m keadaan yang barangkali harus dipertimbangkan sesuai dengan keadaannya. Karena gadis itu akan dapat dipergunakan untuk me ma nggil Raden Juwiring yang merupakan buruan bagi Surakarta. Baru sejenak ke mudian. Tumenggung Watang itu berkata "Angger, bahwa angger telah bersedia ke mbali ke Surakarta agaknya telah me mbuat ka mi menjadi lebih tenang. Sebenarnyalah kami kewatir, bahwa angger akan menga la mi keadaan yang sangat pahit, karena angger telah meninggalkan Surakarta. Mungkin angger telah dibujuk oleh pemomong angger yang bernama Ki Dipanala itu. Na mun
sebenarnyalah hal itu tidak akan menguntungkan bagi angger. Apalagi bagi masa depan angger. Bukankah masih ada ibunda yang akan dapat mengasuh puteri dengan kasih seorang ibu" Rara Warih me mandang wajah Tumenggung itu sejenak. Namun sama sekali tidak nampa k kesan khusus di wajahnya. Sehingga dengan de mikian maka Tumenggung Watang itupun menganggap bahwa Rara Warih me mang masih belum mengetahui bahwa ayahandanya telah gugur. "Karena itu puteri" berkata Tumenggung Watang "untuk sementara puteri akan mendapat pengawalan khusus bagi keselamatan puteri, karena mungkin seka li para abdi di Ranakusuman a kan mendenda m puteri yang mereka anggap telah berkhianat terhadap ayahanda. Tetapi jangan cemas. Baru kemudian setelah keadaan menjadi semakin baik, puteri akan ka mi serahkan ke mbali kepada ibunda, karena saat ini, ibunda angger itu adalah satu-satunya orang tua yang masih ada" Rara Warih mengerutkan keningnya. Tetapi ternyata ia tidak bertanya tentang keterangan Tumenggung Watang bahwa ibundanya adalah satu-satunya orang tuanya, yang menurut tangkapan Rara Warih karena ayahandanya tidak lagi berada di kota. Tetapi yang dikatakan ke mudian oleh Rara Warih telah me mbuat Tumenggung Watang menggelenggelengkan kepalanya, "Paman Tumenggung" berkata Rara Warih "Kenapa pa man tidak berkata berterus terang. Aku akan menjadi tawanan karena ayahanda dianggap berkhianat bersama kakanda Juwiring. Mungkin aku akan dapat diperguna kan untuk me mancing dan ke mudian menangkap ayahanda dan kakanda Juwiring. Dengan menganca m akan me mbunuh aku atau me mperlakukan aku dengan kasar, maka pa man dan barangkali juga Senapati yang lain mengharap ayahanda atau kakanda Juwiring bersedia untuk datang menghadap"
Tumenggung Watang me mandang Rara Warih dengan tatapan mata yang redup. Namun ke kaguman telah merayap di dadanya. Rara Warih telah mencerminkan ketajaman perasaan seperti juga ayahandanya. "Jangan beprasangka terlalu buruk, ngger" jawab Ki Tumenggung. "Tida k pa man. Yang aku katakan bukan se kedar prasangka. Aku tahu pasti paman dan para Senapati akan berbuat demikian, karena aku bukan lagi anak-anak yang sama sekali tidak tahu menahu apa yang pernah dilakukan oleh para prajurit. Tetapi paman" berkata Rara Warih lebih lanjut "pa man tidak akan berhasil berbuat de mikian. Ayahanda dan kakanda Juwiringpun berjiwa prajurit. Jangankan aku anaknya yang tidak berarti apa-apa, sedangkan dirinya sendiripun jika perlu akan dikorbankan. Karena itu. jangan berharap bahwa aku akan dapat dipergunakan untuk me mancing mereka agar mereka menyerah. Ayahanda dan kakanda Juwiring akan me mpunyai pertimbangan seorang prajurit. Bukan pertimbangan seorang ayah dan seorang kakak yang cengeng" Tumenggung Watang menarik nafas dalam-da la m. Katanya seolah-olah berguma m kepada diri sendiri "Aku sudah menduga, bahwa sikap angger mencerminkan sikap ayahanda puteri" Rara Warih mengerutkan keningnya. Namun ketika ia me mandang wajah Ki Tumenggung Watang, justru Rara Warihlah yang menjadi heran. Tatapan mata Tumenggung yang berambut putih itu na mpaknya menjadi bura m. Bahkan ia masih saja berguma m "Angger Warih, bagaimanapun juga aku tetap menganggap bahwa Pangeran Ranakusuma adalah guruku di peperangan. Pangeran Ranakusumalah yang mengusulkan untuk mengangkat aku menjadi Tumenggung sebelum aku dipindahkan untuk menjadi orang terpenting dalam pasukan berkuda di Surakarta sekarang ini"
Rara Warih tidak menjawab. Sementara Tumenggung Watang berkata seterusnya "Karena itu ngger, duka yang terjadi di Ranakusuman adalah duka ku, lepas dari apa yang pernah dilakukan oleh Pangeran Ranakusuma pada saat terakhir" Rara Warih mengerutkan keningnya. Tetapi terasa hatinya berdesir le mbut "Apa yang sebenarnya ingin pa man katakan?" "Maaf ngger, bahwa aku telah mengetahui sejauh-jauhnya, apa yang telah terjadi di dalam lingkungan keluarga angger, justru karena sikap ayahanda angger itu sendiri" desis Ki Tumenggung. Rara Warih termangu-mangu sejenak. Se mentara Tumenggung Watang berkata selanjutnya "Maaf ngger. Bukan maksudku me nca mpuri persoalan ke luarga Ranakusuman. Bukan pula karena aku didorong oleh sifat ingin tahu. Tetapi keterangan yang aku cari dalam waktu singkat ini justru untuk dapat mengambil satu kesimpulan yang benar, tentang apa yang telah terjadi. Aku telah menghubungi beberapa orang termasuk beberapa perwira kumpeni yang mengetahui latar bala kang sikap ayahda angger terhadap kumpeni itu. "Cukup" potong Warih "pa man ingin mengungkap rahasia keluargaku untuk mele mahkan hatiku. Pa man tida k akan dapat me meras aku. Jika paman menghendaki sesuatu dari padaku dengan me mpergunakan rahasia itu untuk me meras, maka pa man tidak a kan berhasil Silahkan mengumumkan apa yang telah paman ketahui. Aku, ayahanda Ranakusuma dan kakanda Juwiring tidak akan berkeberatan. Bahkan ibunda juga tidak akan berkeberatan sama seka li, karena jika benar paman mengetahui keadaan keluargaku sebaik-baiknya, ibunda telah kehilangan kesadarannya" "Tida k puteri. Bukan begitu" sahut Tumenggung Watang "sudah aku katakan ngger. Duka di istana Ranakusuman adalah dukaku seke luarga. Apakah angger tidak ingat lagi anak gadisku yang sebaya dengan angger, yang bahkan
menurut penglihatanku, angger telah mengenal anak itu itu dengan baik. Bahkan angger bersikap terla lu baik ia terhadapnya" "Apa hubungannya dengan anak gadis pa man" bertanya Warih. "Tida k ada ngger" jawab Tumenggung Watang "tetapi sebagai seorang ayah yang me mpunyai seorang anak gadis yang sebaya dengan angger, maka aku tidak akan pernah dapat melepaskan ingatanku terhadap anak gadisku pada saat-saat seperti ini. Bahkan aku me mbayangkan, seandainya yang terjadi atas angger ini terjadi atas anak gadisku, maka anak itu tentu sudah pingsan, dan barangkali ia akan mati me mbe ku" Rara Warih me mandang Ki Tumenggung dengan tenang. Namun ia masih menunggu Tume nggung Watang meneruskan kata-katanya "Puteri, betapa beratnya untuk mengatakan kepada puteri, bahwa duka itu datang bagaikan datangnya gelombang laut. Susul menyusul tidak henti-hentinya. Aku tahu, betapa berat duka yang akan angger tanggungkan, namun aku me mang harus mengatakannya. Tetapi aku yakin, bahwa angger adalah seorang puteri Senapati Besar yang darahnya mengalir di tubuh angger meskipun angger seorang puteri" Denyut jantung Rara Warih berta mbah cepat berdetak. Sementara Ki Tumenggung berkata "Puteri, aku berkata dengan sebenarnya sebagaimana aku berhadapan dengan, anakku sendiri. Sebenarnyalah bahwa ayahanda puteri, tidak akan dapat puteri jumpai lagi unluk se la ma-la manya" "Paman" wajah Warih me negang sejenak. "Terima lah kabar ini sebagaimana puteri tabah menghadapi keadaan puteri sendiri" desis Tume nggung Watang" Ayahanda puteri, Pangeran Ranakusuma sudah gugur di peperangan"
Wajah Rara Warih menjadi se makin tegang. Tiba-tiba saja ia menutup wajahnya dengan kedua be lah tangannya. Betapapun puteri itu tabah menghadapi kenyataan hidupnya, namun ketika ia mendengar, bahwa ayahandanya telah gugur di pertempuran, hatinya bagaikan runtuh di dalam dadanya. Rara Warih tidak berhasil menahan air matanya yang mengalir se ma kin deras dari sepasang matanya. Tumenggung Watang menarik nafas dalam-dala m. Ketika ia me lihat Rara Warih menangis, ma ka matanyapun menjadi panas. Ia adalah seorang Senapati pilihan seperti beberapa orang Senapati lainnya di Surakarta. Tetapi seperti yang dikatakannya, setiap kali, ia teringat akan anak gadisnya yang sebaya dengan Rara Warih. Jika anak gadisnya itulah yang harus mengala mi keadaan seperti yang dialami Rara Warih. mungkin jiwanya akan sudah terganggu. "Puteri" berkata Ki Tumenggung ke mudian "Puteri adalah seorang gadis yang sangat tabah, karena ketabahan hati ayahanda puteri mengalir pula di dala m diri puteri. Ayahanda adalah seorang Senapati yang justru akan mendapat kehormatan apabila ia gugur di pertempuran. Selebihnya, segalanya memang harus diserahkan kepada Tuhan Yang Maha Mengetahui segala sesuatu, Yang Maha Pengasih dan Yang Maha Penyayang. Jika ayahanda memang sudah saatnya dipanggil, maka dima napun juga ia berada, maka akan datang pula saat untuk menghadap itu" Rara Warih mencoba mengusap air matanya. Namun tibatiba ia mengangkat wajahnya. Dengan sorot mata yang menyala ia berkata lantang "Pa man bohong. Ayah tidak gugur di pertempuran itu. Paman ingin berbuat sesuatu atasku. Mungkin pa man ingin me ndengar keterangan apapun juga yang paman sangka a ku sudah me ngetahuinya. Semula paman ingin me meras aku dengan rahasia keluargaku. Tetapi karena paman tidak berhasil, sekarang paman mencoba untuk
me mpengaruhi perasaanku dengan mengabarkan ceritera bohong itu" Tumenggung Watang menarik nafas dalam-dala m. Sikap Rara Warih itu membuatnya semakin prihatin. Meskipun ia mengerti, bahwa Rara Warih tidak akan me mpercayai siapapun juga yang dianggapnya berdiri berseberangan dengan ayahanda dan kakandanya, namun jika dala m hal ini Rara Warih tidak mempercayainya, maka pada suatu saat, kenyataan itu akan dapat me mbenturnya lebih parah lagi. Karena itu, ma ka Tumenggung itupun ke mudian berkata sareh "Angger. Apakah keuntunganku dengan berbohong kepada angger tentang hal yang satu ini" "Paman ingin me ma ksa aku untuk mengikuti segala perintah paman. Dengan berita bohong itu paman berharap bahwa aku akan menjadi putus asa dan tidak lagi me mpunyai hasrat apapun juga. Dengan demikian apa yang paman inginkan, mungkin keterangan, mungkin sikap tertentu, akan selalu aku la kukan" sahut Rara Warih. "Tida k ngger" berkata Tumenggung itu lebih lanjut "meskipun angger dapat saja menganggap bahwa aku tidak berpihak kepada Pangeran Ranakusuma, tetapi masih ada perasaanku untuk tidak berbohong dalam hal yang satu ini. Prajurit Surakarta sudah meyakinkan, bahwa ayahanda puteri telah gugur, sampyuh dengan Tumenggung Sindura dan Pangeran Yudakusuma yang bertempur bersama-sa ma. Namun jiwa Pangeran Yuda kusuma ternyata masih dapat tertolong. Rara Warih termangu-ma ngu sejenak. Se mentara itu Tumenggung Watang berkata pula "Angger terlalu berprasangka. Mungkin angger dapat menganggap aku sebagai musuh karena dala m satu dan dua hal aku tidak sejalan dengan Pangeran Ranakusuma dan Raden Juwiring. Tetapi dala m pada itu, dala m hal ini dihadapan angger Warih aku adalah orang tua yang barangkali masih dapat dipercaya"
Rara Warih me mandang Tumenggung itu dengan mata. yang basah. Namun melihat sikap dan pandangan mata orang tua itu, akhirnya Rara Warih me mpercayainya, bahwa ayahandanya me mang sudah gugur di peperangan. Air mata gadis itu menga lir sema kin deras di pipinya. Dala m pada itu terdengar di antara isaknya pertanyaan "Apakah paman me ngetahui nasib ka kanda Juwiring" Tumenggung Watang mengge leng le mah. Katanya "Aku tidak mengetahui nasibnya ngger. Tetapi tidak seorangpun yang melaporkan bahwa Raden Juwiring mengala mi cidera. Mungkin Raden Juwiring berhasil bergabung dengan pasukan Pangeran Mangkubumi yang pada saat itu telah hadir pula di medan pertempuran. Lepas dari setuju atau tidak setuju, namun aku kagum a kan kerapian rencana Pangeran Ranakusuma dan Raden Juwiring" "Dan pa man tidak setuju?" tiba-tiba saja Rara Warih bertanya. Pertanyaan yang tidak diduga sama sekali oleh Tumenggung Watang justru pada saat Rara Warih dihadapkan pada suatu kenyataan bahwa ayahandanya telah gugur. Tumenggung Watang menarik nafas dala m-dala m. Lalu katanya "Kadang-kadang kita me mang me mpunyai pilihan yang berbeda ngger. Tetapi perbedaan itu wajar sekali. Mungkin karena atas tempat kita masing-masing berdiri sudah berbeda. Tetapi mungkin pula karena gambaran kita masingmasing tentang masa depanlah yang berbeda" Ki Tumenggung berhenti sejenak lalu "Tetapi sudahlah. Rasarasanya dadaku tidak lagi pepat. Aku sudah berhasil menya mpaikan berita itu kepadamu ngger, betapapun beratnya. Bagiku kau tetap aku anggap sebagai anakku sendiri. Bahkan aku merasa iri melihat sikap dan ketabahan hati angger yang jauh berbeda dengan anak gadisku sendiri yang sebaya dengan angger" "Lalu, apakah yang akan pa man lakukan atasku" Menahan aku atau menyerahkan aku kepada kumpeni yang akan
me merintahkan me masang wara-wara di sepanjang jalan, bahwa Warih, anak gadis Pangeran Ranakusuma sudah tertangkap. Karena itu maka Kumpeni me merintahkan Raden Juwiring untuk datang dan menyerah. Kalau tidak Warih akan di pancung di alun-a lun dan kepalanya akan ditanjir di regol Ranakusuman, begitu?" gera m Rara Warih sa mbil mengusap matanya yang basah. "Jangan begitu ngger" jawab Tumenggung Watang "ka mi me mang harus melindungi puteri segala dendam mereka yang merasa dikhianati oleh Pangeran Ranakusuma dan Raden Juwiring" "Paman me maka i istilah yang salah. Bukan dilindungi, tetapi ditahan untuk kepentingan tertentu" potong Warih. Tumenggung Watang mengangguk-angguk. Katanya "Baiklah ngger. Aku akan mema kai istilah itu. Angger untuk sementara me mang harus ditahan. Tetapi percayalah, bahwa aku merasa angger sebagai anakku sendiri" Rara Warih me mandang wajah Tumenggung Watang sejenak. Namun ke mudian katanya "Paman akan menganggap aku sebagai puteri paman. Tetapi sudah tentu pamanpun akan bersikap sebagai seorang prajurit" "Bagaimana dengan sikap seorang prajurit?" bertanya Tumenggung Watang. "Paman akan me mperlakukan se mua orang sesuai dengan ketentuan yang berlaku menurut angger-angger keprajuritan. Meskipun akan mengenai anak sendiri seka lipun" jawab Warih "dan pa manpun akan mengetrapkannya kepadaku yang paman perlakukan sebagai ana k sendiri" Tumenggung Watang mengangguk-angguk. Katanya "Puteri sudah dila mbari dengan prasangka buruk terhadap semua orang yang tidak berpihak kepada Pangeran Mangkubumi, atau yang tidak sejalan dengan Pangeran Ranakusuma dan Raden Juwiring. Tetapi hal itu memang
dapat aku mengerti Meskipun de mikian sikapku tidak akan berubah" Rara Warih tidak menjawab. Na mun setiap kali ia me mandang wajah Tumenggung Watang, maka terbersit di dalam hatinya, sebenarnyalah Tumenggung itu berkata dengan tulus kepadanya. "Puteri" berkata Tumenggung itu ke mudian "sekarang, apa boleh buat. Jika puteri lebih senang me mpergunakan istilah ditahan. Maka puteri akan aku tahan di dalam tahanan khusus yang akan dijaga sebaik-baiknya. Puteri akan diperlakukan sebagaimana seharusnya dan tidak akan mengala mi tindakantindakan yang tidak sepantasnya" Rara Warih tidak menjawab. Sejenak ke mudian. Tumenggung Watang itupun bertepuk tangan. Dua orang perwira muda me masuki bilik itu dan berdiri tegak menunggu perintah. "Rara Warih harus mendapat perlakuan yang baik" berkata Tumenggung Watang "meskipun ia harus ditahan dan barangkali Pangeran Yudakusuma sendiri akan bertemu dengan puteri itu, namun segalanya harus dapat dipertanggung jawabkan. Aku akan me lihatnya setiap saat" "Baik Ki Tume nggung" jawab salah seorang dari perwira muda itu. Demikianlah ma ka Rara Warih dibawa keluar dari bilik itu. di ruang yang lebih luas Rara Warih hanya melintas saja tanpa berhenti. Beberapa orang perwira yang berada di ruang itu me mandanginya dengan sorot mata yang menyala. Kecuali kecantikan wajah Rara Warih, perwira-perwira itupun mengetahui, bahwa gadis itu adalah adik Raden Juwiring, salah seorang perwira yang disegani dari pasukan berkuda, namun yang ternyata telah berkhianat terhadap pasukannya. Demikian Rara Warih keluar pintu dan turun tangga, maka sebuah kereta telah menunggunya.
"Silahkan puteri" perwira itu me mpersilahkan "ka mi harus mengantar puteri" "Ke mana?" bertanya Rara Warih. "Pada saatnya puteri akan mengetahuinya" jawab perwira itu. Rara Warih tidak bertanya lagi. Iapun kemudian masuk ke dalam kereta itu diikut i oleh kedua orang perwira muda yang duduk di sebelah me nyebelah. Sementara itu, seorang sais sudah siap untuk me mbawa kereta itu ke tujuan" Sejenak ke mudian kereta itupun mulai berderap. Rara Warih sama seka li tida k bertanya lagi. Ketika kereta itu keluar dari halaman barak pasukan berkuda, Rara Warih mulai mengenal jalan-ja lan kota yang sering dilaluinya. Rara Warih sa ma sekali tidak dilarang untuk melihat ke luar. Melihat jalan yang dilaluinya. Karena itulah maka Rara Warih tahu pasti arah perja lanan kereta itu. Semakin la ma ia berkereta ia menjadi semakin berdebardebar. ia kenal dengan pasti arah yang dilaluinya. Meskipun demikian, ia sa ma seka li tidak bertanya. Ia tetap berteka-teki di dala m hatinya sendiri. Namun akhirnya Rara Warih tidak dapat menahan diri lagi. Ketika kereta ia berbelok me masuki sebuah regol istana yang berhalaman luas, maka iapun berdesis "Ranakusuman" "Ya puteri. Ini ada lah istana Ranakusuman" jawab salah seorang dari kedua orang perwira itu. "Untuk apa aku dibawa ke mari?" bertanya gadis itu. "Untuk se mentara puteri dimohon untuk t inggal di sini" jawab salah seorang dari perwira muda itu. Wajah Rara Warih menjadi tegang. Ketika kereta itu ke mudian berhenti di hala man, maka jantung gadis itu menjadi berdentangan.
"Na mpaknya istana ini sudah dipergunakan untuk satu keperluan" berkata Rara Warih di dala m hatinya. Namun ia tidak perlu bertanya tentang hal itu. Perwira muda yang duduk di sa mpingnya itupun berkata "Puteri. Istana Ranakusuman sekarang dipergunakan untuk kepentingan pasukan berkuda. Pimpinan tertinggi pasukan berkuda itu berada di sini" "Siapakah pe mimpin tertinggi itu?" bertanya Rara Warih. "Pimpinan itu sekarang dijabat oleh Tumenggung Watang. Bahkan ia sudah berniat untuk tinggal di istana ini. Tidak untuk me milikinya, dan sudah barang tentu tidak di Dale m Ageng. Tumenggung Watang mengatakan kepada ka mi agar kami me mbersihkan gandok sebelah kiri, yang akan dipergunakannya bersama keluarganya yang kecil, agar dengan demikian ia akan dapat menjalankan tugasnya setiap saat. Justru dalam keadaan yang gawat ini" Rara Warih menarik nafas dala m-dala m. Ha mpir di luar sadarnya ia bertanya "Apakah Tumenggung Watang sudah berada di istana ini?" "Belum puteri. Sebagaimana puteri tahu, ia masih berada di barak bersama ka mi. Istana ini baru ka mi bukan pagi ini. Dan semuanya itu baru rencana. Juga rencana Tumenggung Watang tinggal di sini. Itupun jika ada ijin dari Kangjeng Susuhunan dan Panglima yang sekarang sedang me mimpin perlawanan terhadap Pangeran Mangkubumi." Rara Warih mengangguk-angguk. Segalanya telah berubah. Tentu baru se mala m atau menjelang pagi hari ayahandanya gugur, karena ia tahu ayahandanya dan kakandanya, berada dalam pasukan yang akan mengge mpur Pangeran Mangkubumi. Se mentara itu ayahandanya dan kakandanya Juwiring me mang bertekad untuk berbalik me lawan kumpeni jika mere ka sudah berada di medan.
Dala m pada itu, di tangga istana Ranakusuman, dua orang prajurit turun menyongsong. Agaknya mereka sudah diberi tahu, apa yang harus mereka lakukan. Demikian Rara Warih turun dari kereta, maka dua orang prajurit itu me ngangguk hormat. Perwira muda yang me mbawa Rara Warih dengan kereta itupun ke mudian menyerahkan gadis itu kepada kedua prajurit yang sudah menunggunya. "Puteri" berkata salah seorang perwira muda itu "untuk sementara puteri dipersilahkan tinggal di istana puteri sendiri" Rara Warih tidak menyahut. Ia sadar, bahwa ia telah ditahan di bekas rumahnya sendiri. Dan ia tidak tahu apa yang akan terjadi atas dirinya ke mudian. Kedua prajurit itu telah me mpersilahkan Rara Warih masuk ke ruang di sebelah gandok kanan, di dala m seketheng. Dan sadarlah Rara Warih bahwa tempat itu akan me njadi bangsal tahanan baginya untuk sementara. Ia kenal benar dengan ruangan itu. Dan iapun tahu, bahwa ruangan itu hanya me mpunyai satu pintu, sehingga bagi pengawasnya, akan selalu dapat me mperhatikan siapa saja yang, keluar masuk bilik itu. Ketika Rara Warih me masuki bilik itu. dilihatnya bilik itu tetap bersih seperti saat ditinggalkannya kemarin. Namun Rara Warihpun kagum melihat kecepatan gerak pasukan Surakarta. Seolah-olah segalanya telah terjadi dan direncanakan berhari-hari sebelumnya. Sementara itu Rara Warihpun mengetahui, bahwa yang terjadi itu tentu dila kukan dengan tiba-tiba. Beberapa saat Rara Warih menga mati Barang-barang yang ada di dalam bilik itu. Tidak ada yang hilang. bahkan tidak ada yang bergeser dari tempatnya.
Rara Warih terkejut ketika ia mendengar, pintu berderit. Seorang emban me masuki ruangan itu dan langsung duduk di sebelah pintu. Sambil menunduk hormat e mban itu berkata "Puteri. Ampun bahwa aku berada di Ranakusuman baru mulai hari ini dengan perintah untuk melayani puteri. Ampun puteri, jika berkenan di hati puteri, segala perintah akan aku junjung" "Siapa kau?" bertanya Rara Warih" "Aku adalah seorang emban dari katumenggungan, Aku adalah seorang abdi Tumenggung Watang yang mendapat perintah untuk melayani puteri" jawab e mban itu. Tetapi Rara Warih menarik nafas dalam-dala m sa mbil berkata "Baiklah, Mungkin aku me merlukanmu. Tetapi bukan kebiasaan seorang emban di istana ini untuk me mbawa patrem seperti yang kau lakukan. Aku tidak tahu, apakah kebiasaan itu ada di istana paman Tumenggung Watang, atau kau adalah seorang prajurit perempuan yang harus mengawasi aku di sini" Atau setiap pere mpuan di Surakarta sekarang me mang telah bersedia patrem agar jika pasukan paman Mangkubumi me masuki Surakarta kita semuanya akan me mbunuh diri" Emban itu me narik nafas dalam-dala m. Baru ke mudian ia dapat menjawab "Ampun puteri. Dala m keadaan yang gawat ini sega lanya me mang dapat terjadi, Dan karena itu agaknya, kami para emban diperintahkan untuk me mbawa patrem yang aku sendiri tida k tahu gunanya" Rara Warih mengangguk-angguk. Katanya "Baiklah e mban. Aku percaya kepadamu. Mungkin aku me merlukan banyak pertolonganmu, karena aku adalah seorang tahanan di rumah ini. Bukan lagi sebagai seorang gadis yang tinggal di rumahnya sendiri" "Sebaiknya puteri t idak merasa de mikian. Agar puteri tidak menga la mi tekanan batin, anggaplah puteri berada di istana sendiri seperti hari-hari ke marin. Apa yang puteri perlukan
akulah yang akan melayaninya" jawab emban itu "sebentar lagi akan aku bawa pakaian puteri yang berada di ruang dalam. Paka ian yang tidak sempat puteri bawa ketika puteri meninggalkan istana ini" "Nah, apakah dengan cara itu aku akan dapat merasa di rumah sendiri?" bertanya Rara Warih. "Bukankah ada aku, yang akan dapat puteri perintahkan apa saja?" e mban itu menjadi heran. "Jika benar aku harus merasa di rumah sendiri, biarlah aku menga mbil sendiri apa yang aku perlukan seperti yang selalu aku la kukan sebelumnya" berkata Rara Warih. "Itu tidak perlu puteri. Karena sekarang ada aku. Puteri dapat memerintah apa saja yang puteri kehendaki?" sahut emban itu. Rara Warih tertawa betapapun pahitnya. Katanya "Karena itu, jangan kelabui aku seperti kanak-kanak e mban. Katakan sajalah bahwa aku harus menurut sega la ketentuan yang dibuat oleh orang-orang yang berkuasa di sini, dan kau adalah seorang prajurit perempuan yang harus mengawasi aku. Tetapi aku berterima kasih bahwa kau sudah bersedia berlaku seperti seorang emban yang akan melayani aku. Sebelumnya aku minta maaf, bahwa aku akan berbuat terlalu kasar pada suatu saat, sebagaimana aku berbuat terhadap emban yang sebenarnya" Emban itu menarik nafas panjang. Dipandanginya Rara Warih sejenak. Ke mudian katanya "Puteri me mpunyai tanggapan yang sangat tajam. Tetapi puteri sangat menyenangkan. Puteri mengatakan apa yang tersirat di hati puteri. Dengan de mikian maka keterbukaan hati puteri akan me mpermudah pelayananku terhadap puteri" "Aku terbiasa dengan sikap ini" desis Rara Warih.
Imbauan Pendekar 4 Petualangan Manusia Harimau Seri Manusia Harimau Karya S B Chandra Badai Laut Selatan 17

Cari Blog Ini