Bunga Di Batu Karang Karya Sh Mintardja Bagian 3
diala mi. Petani dari Sukawati itu me mang pantas untuk dihukum seberat-beratnya. Tiba-tiba saja Rudira tidak berhasil me nahan perasaannya lagi. Dengan serta-merta ia berteriak "Kita ke mba li ke Ranakusuman. Kita me mbawa beberapa orang lagi. Kita pergi ke Sukawati. Baru setelah itu aku dapat dengan tenang berburu" Sura menjadi termangu-mangu. Tetapi seperti kawankawannya yang lain ia sama sekali tidak berani mencegahnya. Karena itu, ketika Raden Rudira menyiapkan kudanya, yang lainpun berbuat serupa pula. Ternyata mereka meningga lkan daerah perburuan itu. Kuda-kuda itu berpacu secepat-cepatnya kembali ke Surakarta me lalui jalan lain. Mereka tidak mau lagi berjumpa dengan petani dari Sukawati sebelum me mbawa kawan lebih banyak lagi. Atau bertemu dengan Juwiring dan kawan-kawannya di tengah-tengah bulak. Kedatangan mereka di istana Ranakusuman menjelang sore hari telah mengejutkan beberapa orang pe layan. Biasanya Rudira berada di daerah perburuan dua sa mpai tiga hari. Tetapi baru pagi tadi ia berangkat, kini ia telah datang kembali dengan wajah yang bura m. Setelah meloncat dari punggung kudanya, ia langsung berlari-lari masuk ke ruang belakang me ncari ibunya yang sedang duduk dihadap oleh para pe layan. "Ibu" Rudira ha mpir berteriak. Raden Ayu Galihwarit terkejut. Dengan serta-merta ia berdiri me nyongsong puteranya yang manja itu. "Kau sudah ke mba li?" "Ada orang-orang gila yang menghalangi perja lananku"
"Siapa" Ada juga orang yang berani berbuat demikian" Apakah karena mereka tida k tahu bahwa kau adalah putera Pangeran Ranakusuma atau mere ka dengan sengaja ingin menentang ayahandamu?" "Yang kedua. Orang itu tahu benar siapa aku" "Benar begitu" Siapakah orang itu?" "Kakang Juwiring" "Juwiring. Juwiring anak dungu itu?" "Ya bunda " "Dima na kau bertemu dengan Juwiring?" "Di tengah-tengah bulak, la sekarang tidak ubahnya seperti seorang petani biasa. Bekerja di sawah penuh dengan nodanoda lumpur di pakaiannya yang kotor. Tetapi ia masih berani mengha lang-halangi aku" "Apa yang dilakukannya" Apakah ia menghent ikan perjalananmu atau dengan sengaja mengganggumu tanpa sebab?" Rudira terdia m sejenak. Diedarkannya pandangan matanya kesekelilingnya, seakan-akan ada yang sedang dicarinya. "Dima na ayahanda?" Ia bertanya. "Kenapa?" "Apakah ayahanda pergi ke istana menghadap Kangjeng Susuhunan" Ibunya mengge lengkan kepalanya. Ayahandamu ada di rumah" "Aku akan menghadap. Aku me merlukan beberapa orang" "Untuk apa" Apakah kau berselisih dengan Juwiring" Jika demikian bukankah kau sudah me mbawa Sura dan beberapa orang lagi?"
Rudira tidak segera menyahut. "Apakah Sura tidak dapat me matahkan lehernya, kalau anak-itu me mang berani menentangmu Kau bukan anak-anak sederajatnya Derajatmu lebih tinggi, meskipun kau adalah saudara seayah" "Ya. Aku tahu. Yang penting bagiku bukan kakang Juwiring. Tetapi seorang petani dari Sukawati" "Seorang petani?" "Ya. Ialah yang membantu kakang Juwiring sehingga aku. gagal me maksakan kehendakku atasnya" "Seorang petani kau bilang?" "Ya ia seorang petani dari Sukawati. Ia berani melawan aku meskipun aku sudah mengatakan bahwa aku adalah putera Pangeran Ranakusuma. Ia mungkin menganggap, bahwa aku tidak akan dapat mene mukannya. Tetapi aku benar-benar akan mencarinya ke Sukawati. Raden Ayu Galihwarit yang juga disebut Raden Ayu Sontrang termenung sejenak. Tetapi kemudian katanya "Menghadaplah. Ayahandamu ada di ruang dala m" "Ayahanda" desis Rudira. Pangeran Ranakusuma berpaling Dilihatnya Rudira berdiri sambil me nundukkan kepalanya. "Apa?" pertanyaan ayahnya terlampau singkat. "Aku me merlukan sesuatu ayahanda" "Apa" "Perkenankan aku me mbawa lima orang pengawal ayahanda selain Sura dan pengiringku sendiri" Rudira berhenti sejenak, lalu "bahkan apabila ayahanda berkenan, aku akan mengajak kawan ayahanda"
"Kumpeni ma ksudmu?" "Ya. Mereka me mpunyai jenis senjata yang mena kjubkan" "Ada apa sebenarnya" "Seorang petani lelah berani menghina aku, ayahanda. Aku akan mencarinya ke rumahnya. Ia mengaku petani dari Sukawati. Selebihnya aku juga akan me mbuat perhitungan dengan kakang juwiring" Pangeran Ranakusuma mengerutkan keningnya. Ia masih duduk Di te mpatnya. Tatapan matanya sudah kembali menerobos pintu-pintu yang me mbatasi ruangan-ruangan di dalam rumah itu langsung menika m cahaya matahari di halaman. "Kenapa kau sela lu me mbuat keributan Rudira" pertanyaan itu sa ma sekali tidak diduganya, sehingga karena itu, sejenak ia terbungkam. Bahkan dadanya menjadi berdebar-debar dan kakinya bergetar. "Juwiring sudah jauh dari istana ini. Kau masih juga menyusulnya sekedar me mbuat persoalan. Apakah sebenarnya yang kau kehendaki" Dan apalagi dengan seorang petani dari Sukawati. Buat apa kau minta kumpeni me libatkan diri dala m persoalan itu. Mungkin karena merasa tidak dapat menang atas petani itu atau atas Juwiring, maka kau ingin me matahkan lawanmu dengan senjata api itu. Bukankah dengan demikian kau berarti telah me mbunuhnya dengan me minja m tangan orang asing?" Rudira masih berdia m diri. "Katakan apa yang sudah terjadi" Rudira tidak dapat ingkar. Maka diceriterakan apa yang sudah terjadi. Ketika ia tiba-tiba saja tertarik pada seorang gadis desa yang berada di tengah-tengah bulak. Ternyata gadis itu adalah anak Kiai Danatirta.
"Kau yang salah" desis Pangeran Ranakusuma "seharusnya seorang putera Pangeran tidak berla ku de mikian" Sekali lagi Rudira terkejut. Ia banyak mendengar ceritera tentang bangsawan yang manapun yang ia sukai. Ke mudian apabila pere mpuan itu mengandung, maka perempuan itu diberikan saja sebagai triman kepada pelayan-pelayannya atau kepada bebahu padesan. Mereka akan merasa mendapat kehormatan besar menerima triman seorang perempuan yang sudah mengandung. Karena anak yang akan lahir me miliki aliran darah seorang bangsawan. Tetapi ayahnya berkata selanjutnya "Juwiring adalah kakakmu. Bagaimanapun juga ia adalah anakku pula" Rudira tidak menyahut. "Lalu bagaimana dengan petani itu" "Ia telah me mbantu kakang Juwiring meskipun aku sudah mengatakan bahwa aku adalah Putera Pangeran Ranakusuma?" Pangeran Ranakusuma tidak segera menyahut. Ia merenung sejenak, lalu " Biarkan saja mereka. Suatu pelajaran buatmu, agar kau tida k berbuat sewenang-wenang. Sekali lagi aku beritahukan kepada mu, bahwa kaulah yang bersalah. Bukan Juwiring. Sedang petani itu adalah seorang yang ingin berdiri diatas kebenaran. Mungkin ia mengetahui, bahwa kau dan Juwiring adalah kakak beradik. Karena itu ia berani ikut ca mpur"
Rudira menjadi se makin tunduk. Ia t idak lagi berharap bahwa ayahandanya akan me mbantunya menebus malu yang tercoreng di kening. "Ka mas Ranakusuma" tiba-tiba terdengar suara melengking sehingga Pangeran Ranakusuma berpaling. Dilihatnya isterinya yang muda, Raden Ayu Sontrang berdiri di samping anaknya "Kenapa kamas sekarang berpendirian lain" Sebaiknya ka mas me mbesarkan hati Rudira, bukan sebaliknya. Tidak ada alasan bagi kita untuk tidak me mpercayainya. Bersama Rudira beberapa orang pengiring akan dapat me mberikan keterangan" "O" Pangeran kepalanya. Ranakusuma mengangguk-anggukkan
"Kita me mang tida k perlu menghukum Juwiring. Tetapi Setidak-tidaknya Juwiring perlu me ndapat peringatan agar ia tidak selalu mengganggu Rudira" Pangeran Ranakusuma mengangguk "Ya. ya. Ia memang perlu mendapat peringatan" "Dan sudah barang tentu, kita tidak akan dapat tinggal dia m apabila seorang petani telah berani melawan Rudira. Petani dari. Sukawati itu" "Ya. ya. Memang petani itu adalah seorang yang deksura sekali" "Nah, jika de mikian apa yang dapat kita lakukan?" "Jadi. apakah yang diminta oleh Rudira?" "Lima orang pengawal dan apabila mungkin kumpeni. Bukankah begitu?" "Kita tidak akan dapat minta kumpeni untuk kepentingan! serupa ini" "Bukan secara resmi. Kita me mpunyai banyak kawan yang pasti akan bersedia menolong kita secara pribadi"
"Aku kira itu sama sekali tidak perlu. Kalau Rudira inginme mbuat petani itu jera, apakah sekian banyak orang tidak akan ma mpu me lakukannya" Ia akan me mbawa Sura dengan pengiringnya yang lain bersama lima orang pengawal. Apalagi?" "Petani itu me miliki ke ma mpuan yang luar biasa. Dengan sekali hentak Sura sudah menjadi lumpuh" Pangeran Ranakusuma mengerutkan keningnya. Katanya ke mudian "Apakah ada seorang petani yang dapat melawan sepuluh orang lebih sekaligus. Apalagi di antara sepuluh orang itu terdapat Sura dan lima orang pengawal" "Apa salahnya me mbawa seorang kawan. Aku akan minta kepada mereka secara pribadi. Nanti ma la m pasti ada satu dua orang yang datang ke mari" Pangeran Ranakusuma menarik nafas dala m-dala m Ia tidak dapat membantah setiap keinginan isterinya. Isterinya itu baginya, merupakan seorang yang berhak menga mbil keputusan apapun. Juga hubungan dengan orang-orang asing itu, meskipun Pangeran Ranakusuma menaruh juga sedikit kecurigaan terhadap hubungan mereka dengan Raden Ayu Sontrang. Tetapi Pangeran Ranakusuma bagaikan orang yang kena pesona. Karena ketakutannya ditinggalkan oleh isterinya yang cantik itulah, maka seakan-akan ia harus menuruti se mua permintaannya. Meskipun de mikian kali ini karena persoalannya akan menyentuh tanah Sukawati ia masih mencoba me mperingatkan "Ingatlah, kedatangan orang asing itu masih belum dapat diterima sepenuhnya oleh rakyat Surakarta. Apalagi persoalannya akan menyangkut daerah Sukawati. Kita tahu bahwa daerah Sukawati adalah daerah yang berada di bawah perlindungan adimas Pangeran Mangkubumi. Dan kita tahu, bahwa adimas Pangeran Mangkubumi bukanlah orang
yang dapat diajak berbicara dengan baik mengenai orangorang asing itu" "Apa peduli kita dengan Pangeran Mangkubumi" Kalau Pangeran Mangkubumi berani menentang kedatangan orangorang asing itu, berarti ia akan menentang kekuasaan Kangjeng Susuhunan. Dan itu tidak akan mungkin terjadi" "Me mang de mikian. Tetapi alangkah baiknya kalau kita tidak ikut serta me mpertajam pertentangan itu. Biarlah Rudira me mbawa pengawal berapapun yang dibutuhkan. Tetapi ingat, jangan merusakkan daerah Sukawati. Ia hanya dapat menga mbil orang yang diperlukan. Bahkan orang itu sama sekali tida k berasal dari Sukawati, tetapi sengaja menyebut dirinya orang Sukawati" "Aku sudah me mperhitungkannya ayahanda. Tetapi seandainya bukan orang Sukawati, aku akan mencarinya. Aku akan menjelajahi bulak-bulak panjang, karena aku menduga ia me mang seorang petualang" "Kau akan me mbuang-buang waktu" "Tentu tidak setiap hari. Kadang-kadang aku akan me merlukan melewati jalan-jalan padesan. Hatiku benar-benar telah disakiti" Raden Ayu Sontrang menarik nafas dalam-dala m. Na mun ke mudian ia berkata "Begitulah ayahandamu Rudira. Terlalu banyak pertimbangan dan kece masan. Sebagai seorang bangsawan sebenarnya ayahandamupun me mpunyai banyak keleluasaan. Tetapi ayahandamu selalu ragu-ragu" Pangeran Ranakusuma tida k menyahut. Ia hanya menarik nafas saja dalam-dala m. "Baiklah" berkata ibu Rudira "kali ini kau tidak usah me mbawa kumpeni. Pergilah sendiri ke Sukawati. Meskipun Sukawati berada dala m perlindungan Pangeran Mangkubumi, tetapi kau berhak menga mbil seseorang yang telah berbuat
salah kepadamu. Kau dapat mene mui De mang Sukawati dan me mbawanya serta. Ia tidak akan berani me mbantah perintahmu apalagi atas na ma ayahandamu Pangeran Ranakusuma " "Baik ibu. Aku akan pergi besok. Aku harus mengambil petani itu. Aku masih ingat bentuk dan ciri-cirinya. Kalau butan aku, Sura dan para pengiring tentu masih ingat pula. Aku akan menga mbilnya, dan mengadilinya di luar daerah Sukawati" "Hati-hatilah" berkata Pangeran Ranakusuma "Aku segan terlibat dalam suatu persoalan dengan adimas Pangeran Mangkubumi. Meskipun ia lebih muda dari aku, tetapi ia me miliki sesuatu yang tidak dapat aku sebutkan" "Ah, kamas selalu berkecil hati. Apakah lebihnya Pangeran Mangkubumi?" Pangeran Ranakusuma tidak menjawab, tetapi tatapan matanya ke mbali mene mbus langsung kehala man depan. "Pangeran Mangkubumi tida k disukai oleh kalangan istana dan Kumpeni" berkata Raden Ayu Sontrang sambil mengangkat wajahnya "Kalau kita bukan orang-orang yang baik hati, kita dapat me mpercepat dan me matangkan persoalan, sehingga Pangeran Mangkubumi tidak mendapat tempat lagi di istana" "Apakah keuntungan kita dengan berbuat demikian?" bertanya Pangeran Ranakusuma "Baga imanapun juga ia adalah saudaraku" "Tetapi ia keras hati kalau tidak dapat disebut keras kepala. Kenapa ia menjauhi ka mi, yang disebutnya orang-orang yang telah berhubungan dengan orang asing?" "Sudahlah. Itu bukan persoalan kita. Kalau pihak istana akan bertindak atasnya, biarlah mereka bertinda k" Pangeran Ranakusuma menarik nafas, lalu katanya kepada puteranya
"Rudira. Batasi persoalanmu dengan petani yang kau maksud itu saja" "Ya ayah" "Tida k akan ada manfaatnya kau bertindak lebih jauh dari itu. Perselisihan-perselisihan yang timbul sudah cukup me musingkan kepala ku. Jangan me mbuat persoalan baru" "Ka mas Pangeranlah yang sebenarnya terlalu ba ik hati. Tetapi di jaman ini orang yang terlampau baik, pasti justru akan terinjak. Kita harus me ma nfaatkan yang ada di hadapan kita. Termasuk orang asing itu" Pangeran Ranakusuma me mandang wajah isterinya yang tengadah itu sejenak. Isterinya itu me mang seorang yang cantik. Pantas dengan sebutannya. Kulitnya yang halus dan wajahnya bagaikan telaga yang memantulkan cahaya matahari pagi. Tetapi Pangeran Ranakusumapun menyadari, bahwa hubungan isterinya itu dengan kumpeni sangat mencurigakan. Na mun de mikian, Pangeran Ranakusuma sendiri tidak tahu, pengaruh apakah yang sudah mencengka mnya, sehingga seolah-olah isterinya itu adalah orang yang paling berkuasa di dala m ruma h ini. Bahkan ia telah mengantarkan isteri pertamanya ke mbali kepada ayahnya, dan menyingkirkan anaknya yang tua ke padepokan Jati Aking. Pangeran Ranakusuma berpaling ketika Rudira berkata "Besok pagi-pagi benar aku akan berangkat ayah" Pangeran Ranakusuma mengangguk. Jawabnya "Baiklah. Tetapi jika Ramanda mu Pangeran Mangkubumi ada di Sukawati, kau harus mohon ijin kepadanya" "Ya ayahanda. Tetapi aku tidak terlalu dekat dengan Ramanda Mangkubumi. Aku jarang sekali me lihat dimanapun, karena Ramanda Pangeran Mangkubumi jarang seka li berkumpul dengan para Pangeran. Ia seakan-akan seorang Pangeran yang terasing dari lingkungan keluarga besar"
"Tida k" jawab Pangeran Ranakusuma "Adimas Pangeran Mangkubumi bukan orang terasing. Ia dekat sekali dengan para Bangsawan yang sependirian. Terutama menghadapi kedatangan orang-orang asing itu di Sura karta. "Ah. Itu hanyalah sekedar bayangan di dala m kegelapan. Sebentar lagi ia harus menyesuaikan diri dengan keadaan" Sahut Raden Ayu Sontrang. Pangeran Ranakusuma tidak menjawab lagi. Ia ke mbali duduk me ma ndang kekejauhan. "Pergilah" berkata Raden Ayu Sontrang kemudian kepada puteranya "siapkan keperluanmu itu. Tetapi hati-hati1ah. Petani itu pasti bukan petani yang tidak mengerti menanggapi keadaan yang dihadapinya" "Baik ibu" sahut Raden meninggalkan ruang itu. Rudira sa mbil bergeser
Sepeninggal Raden Rudira, Raden Ayu Sontrang maju perlahan-lahan mendekati sua minya dan berdiri di belakangnya. Kemudan sa mbil me mijit punda knya ia berkata "Ka mas terla mpau hati-hati. Sudahlah, jangan dirisaukan lagi adimas Pangeran Mangkubumi" Pangeran Ranakusuma tidak me nyahut. Namun setiap kali, sentuhan tangan isterinya itu seolah-olah telah meluluhkan segala akalnya, sehingga apapun yang dikatakannya tidak dapat dibantahnya lagi. Di hari berikutnya. Raden Rudira sudah siap dengan para pengiringnya. Ia benar-benar akan mencari petani yang sudah me mbuatnya terlampau sakit hati. Jika petani yang demikian itu tidak dihukum, maka akibatnya akan dapat membahayakan kedudukan para Bangsawan. Petani itu akan me mbuat orangorang kecil yang lain berani pula me lawan. "Kalau Ra manda Pangeran Mangkubumi ada, aku akan mohon ijin. Tetapi jika tidak diijinkan, atas nama ayahanda
Pangeran Ranakusuma a ku akan bertindak. Ayahanda Ranakusuma adalah saudara tua Ra manda Mangkubumi, sehingga wewenangnya pasti lebih besar dari yang muda" berkata Raden Rudira di dalam hatinya. Meskipun ia tidak terlalu sering bertemu, tetapi ia pernah beberapa kali bertemu dan bahkan pernah berbicara satu kali di hala man Masjid Agung. "Ramanda Pangeran Mangkubumi mudah dikenal" berkata Rudira di dala m hatinya pula "wajahnya yang agung dan tatapan matanya yang tajam. Ia seorang pendiam dan penuh dengan wibawa" Namun ternyata hatinya tiba-tiba saja berkeriput. Kalau benar Pangeran Mangkubumi ada di Sukawati, apakah ia akan berani berbuat sesuatu". "Tetapi Ramanda Pangeran Mangkubumipun pasti akan me mbantu Petani itu harus dihukum. Ra manda Pangeran Mangkubumipun pasti tidak akan senang mendengar ceritera tentang seorang petani yang berani melawan seorang Bangsawan" Rudira mencoba menentera mkan hatinya sendiri. Demikianlah, setelah semuanya siap, dan setelah minta diri kepada ayah dan ibunya, Raden Rudirapun meninggalkan rumahnya diiringi oleh beberapa orang. Agar perjalanannya tidak menimbulkan pertanyaan, maka merekapun telah me mbawa pula kelengkapan berburu. Seakan-akan mereka adalah iring-iringan beberapa orang yang pergi ke hutan perburuan. Tetapi perjalanan yang mereka tempuh ka li ini adalah perjalanan yang agak jauh. Lewat tengah hari mereka baru akan sampai di tempat yang mereka tuju. Tetapi kadangkadang mereka pasti harus berhenti dan beristirahat. Kalau bukan kuda-kuda mere ka yang haus, maka mere ka sendirilah yang haus di bawah terik matahari sehingga baru di sore hari mereka a kan sa mpai ke daerah Sukawati.
"Ramanda Pangeran Mangkubumi pasti tidak ada disana. Meskipun jarang berada di lingkungan para bangsawan, tetapi Pangeran Mangkubumi pasti berada di kotar Mungkin hanya sebulan sekali atau bahkan t iga bulan sekali, ia pergi ke Sukawati yang sepi itu" Rudira berusaha menenangkan kegelisahannya sendiri. Namun de mikiap kadang-kadang hatinya masih juga menjadi berdebar-debar. Tetapi perjalanan itu sendiri ada lah perjalanan yang menyenangkan. Kadang-kadang mereka masih harus menyusup di antara hutan rindang dan lewat di Padukuhanpadukuhan kecil. Para petani yang melihat iring-iringan itu menjadi ketakutan, dan merekapun segera berjongkok di pinggir jalan, karena mereka tidak dapat segera me mbedakan, apakah yang lewat itu seorang bangsawan dari tingkat pertama, atau tingkat berikutnya. Namun kuda yang tegar, pakaian yang gemerlapan dan pengiring yang banyak, me mbuat para pelani dan orang-orang kecil lainnya berdebardebar. Demikianlah maka perjalanan Rudira tida k menjumpai rintangan apapun di perjalanan. Sekali-sekali mereka berhenti, me mberi kese mpatan kepada kudanya untuk minum seteguk dan beristirahat sejenak Dala m pada itu Rudira se mpat juga me mandang daerah yang terbentang di hadapannya. Daerah yang hijau segar. Sawah yang uas, dibatasi oleh padukuhan dan pategalan. Sungai yang berliku liku menyusup di antara pebukitan padas yang rendah. Tetapi semakin dekat iring-iringan itu dengan Sukawati, maka hati Rudirapun rasa-rasanya menjadi se makin ge lisah. Bukan saja Rudira, tetapi para pengiringnyapun menjadi gelisah pula, meskipun di antara mereka terdapat lima orang pengawal dan beberapa orang pengiring Rudira di bawah pimpinan Sura.
"Apakah orang-orang Sukawati akan me mbiarkan ka mi menga mbil sa lah seorang warga pedukuhan mereka?" pertanyaan itu yang selalu menyelinap di dala m hati "Jika mereka berkeberatan, dan Raden Rudira berkeras hati, maka akibatnya akan dapat menimbulkan pertengkaran. Bahkan mungkin pertumpahan darah. Jika demikian, persoalan ini tidak akan berhenti sampa i sekian. Pasti masih ada persoalanpersoalan berikutnya. Sura menarik nafas dalam-dala m. Ia adalah orang yang paling kasar di antara para pengiring Rudira. Tetapi setiap kali terbayang olehnya, orang-orang berkulit putih itu ikut ca mpur di dala m persoalan orang orang Surakarta, hatinya mengge lonjak. Tetapi apabila persoalan petani dari Sukawati itu akan berkepanjangan, maka mau tidak mau, Raden Rudira lewat ibunya pasti akan menyeret beberapa orang kulit pulih ikut serta di dalam persoalan ini, karena Pangeran Ranakusuma tidak akan dapat menggali kekuatan dari rakyat di Tanah Kelenggahannya. Demikianlah ma ka menjelang sore hari, iring-iringan itu benar-benar telah mendekati Sukawati. Dari kejauhan mereka. sudah melihat padukunan yang hijau subur. Beberapa padukuhan yang terpencar itu terikat di dalam satu wilayah Kademangan di bawah perlindungan Pangeran Margkubumi, karena daerah itu merupa kan Tanah Kalenggahannya. Tanpa sesadarnya, semakin de kat dengan daerah Sukawati, Rudira berpacu se makin la mbat. Bahkan akhirnya iapun berhenti berapa ratus tonggak dari induk padukunan di Sukawati. "Dima nakah rumah De mang di Sukawati?" Ia bertanya. Tidak seorangpun yang segera menjawab. "Dima na" Raden Rudira hampir berteriak "Sura, apakah kau sudah tuli"
"O, maksud Raden, rumah De mang Sukawati?" "Ya, rumah Ki De mang. Apakah kau pernah me lihat" "Pernah Raden. Aku me mang pernah pergi ke Sukawati. Aku pernah singgah di rumah De mang Sukawati" "Kau sudah mengenalnya?" "Sudah. Aku sudah mengenalnya" "Baik. Bawa aku kepadanya. Aku akan bertanya kepadanya tentang petani gila itu" Ia harus dapat mene mukannya dan me mbawa kepadaku" Sura akan berbicara beberapa patah kata. Tetapi katakatanya tersangkut di kerongkongan. sehingga karena itu, ia hanya sekedar menelan ludahnya saja" "Marilah, tunjukkan aku rumah Ki De mang itu" Sura mengangguk-angguk kecil. Jawabnya terbata-bata "Baik, baik Raden" "He, kenapa kau menggigil seperti orang kedinginan" Kau takut he?" "Tida k. Tida k" jawab Sura. Namun de mikian Sura sendiri me lihat, wajah Raden Rudira menjadi pucat. Baik Rudira maupun Sura dan para pengiring yang la in, tidak tahu, apakah sebabnya sehingga mereka merasa ce mas dan tegang. Bagi mereka, seorang rakyat kecil tidak akan banyak berarti. Apa saja yang dikehendaki atas mereka, biasanya tidak pernah urung. Demikianlah, Raden Rudira dan pengiringnya mencoba menentera mkan hati mere ka yang bergolak ketika mereka sudah berada di mulut lorong tanah Sukawati Para pengawal yang merupakan orang-orang khusus di Dale m Kapangeranan itupun merasa debar jantungnya menjadi se ma kin cepat.
Rasa-rasanya mereka tidak sekedar akan bertinda k terhadap seorang petani betapapun tinggi ke ma mpuan tempurnya. Tidak ada seorang petanipun yang dengan tergesa-gesa berjongkok apalagi sa mbil menyembah. Mereka tetap pada pekerjaan mereka. Satu dua di antara mereka berpaling, na mun ke mudian tida k menghiraukannya lagi. Sura yang ada didekatnya "Gila" Raden Rudira menggeram. Sura yang didekatnya me mang ikut merasakan suasana yang lain di padukuhan Sukawati. "Agaknya kita terpengaruh oleh Ramanda Pangeran Mangkubumi me miliki daerah Sukawati itu" berkata Raden Rudira dengan suara menghentak, seolah-olah ingin me lepaskan tekanan yang terasa memberati dadanya "Tetapi Ramanda Pangeran Mangkubumi pasti tidak akan mencegah kita, karena kita tidak akan mengganggu Tanah Sukawati. Kita hanya akan menga mbil seseorang yang telah berani menentang para bangsawan di Surakarta. Sudah tentu Ramanda Pangeran akan justru me mbantu mene mukan orang itu apabila ia berada di Sukawati. Kalau tida k, kita akan dapat berbuat lebih leluasa" Tidak ada seorangpun yang menyahut. Tetapi setiap orang merasa, betapa getaran suara Raden Rudira mengandung kecemasan yang sangat, seperti kecemasan yang ada di dalam hati mere ka masing-masing. "Begini besar perbawa Pangeran Mangkubumi" desis Sura di dala m hatinya "Pangeran Ranakusuma dengan tanpa raguragu telah menge mbalikan puteri Pangeran Raksanagara. Pangeran yang sebenarnya pernah mempunyai pengaruh yang besar sebelum kedatangan orang asing yang se makin banyak di bumi Sura karta. Tetapi kini, ka mi me njadi menggigil ketakutan sebelum ka mi me masuki wilayah Sukawati untuk menga mbil hanya seorang rakyat yang telah me mberontak. Apakah sebenarnya yang me mbuat Pangeran Mangkubumi rasa-rasanya lebih berwibawa dari Pangeran Raksanagara dan Pangeran yang lain?" Tetapi Sura tidak mengucapkan kegelisahan itu, betapapun hai itu benar-benar telah me mberati perasaannya. Semakin dekat, semakin menekan di dala m dada. Ketika mereka mende kati pintu gerbang padukuhan induk di Sukawati, mereka menjadi se makin berdebar-debar. Mereka masih me lihat beberapa orang petani di sawah masingmasing. Tetapi para petani itu agaknya acuh tidak acuh saja atas kedatangan mereka. Sama sekali tidak seperti para petani di sepanjang ja lan yang mereka lalui. Tidak ada seorang petanipun yang dengan tergesa-gesa berjongkok, apalagi sambil menye mbah. Mereka tetap pada pekerjaan mereka. Satu dua di antara mereka berpaling, namun ke mudian tidak menghiraukannya lagi. "Gila" Raden Rudira menggera m. Sura yang ada di dekatnya memang ikut merasakan suasana yang lain di padukuhan Sukawati. "Kita langsung ke rumah De mang di Tanah Sukawati ini" geram Raden Rudira. "Apakah Raden tidak datang ke pasanggrahan Ra manda Pangeran Mangkubumi?" bertanya Sura dengan suara yang patah-patah. "Tida k" Raden Rudira ha mpir berteriak t idak sesadarnya. Tetapi kemudian ia berkata "Ramanda tidak ada di Sukawati.
Pasti. Dan aku akan me mbawa De mang Sukawati menghadap ke pesanggrahan untuk me mastikannya" Sura tidak bertanya lagi. Diikutinya saja kuda Raden Rudira yang menjadi se makin la mbat. Di belakang Raden Rudira dan Sura, para pengawalpun menjadi berdebar-debar. Tugas mereka kali ini rasanya begitu berat, sehingga dada mereka menjadi tegang. Setiap orang di dala m iring-iringan itu terkejut ketika mereka melihat, di dalam regol di mulut lorong yang me masuki Tanah Sukawati itu, beberapa orang berdiri di sebelah menyebelah jalan. Mereka berdiri saja seakan-akan tidak menghiraukan derap kuda yang sudah berada di gerbang padukuhan mereka. Dengan tangan bersilang di dada mereka me mandang Raden Rudira yang berada di paling depan. Namun mereka sama sekali tida k bertanya apapun. Raden Rudiralah yang kemudian menarik kekang kudanya, sehingga kuda Itu berhenti. Sejenak ia me ma ndang beberapa orang yang berdiri diam seperti patung itu. Wajah-wajah mereka bagaikan wajah-wajah yang kosong tanpa perasaan apapun melihat kehadiran Raden Rudira dan pengiringnya. Sejenak Raden Rudira menjadi bimbang, Orang-orang itu benar-benar membuatnya kebingungan. Menilik pakaian mereka, mereka adalah petani-petani. Tetapi mereka sama sekali tida k bersikap sebagai seorang petani yang melihat hadirnya seorang bangsawan di padukuhan mereka yang terletak agak jauh dari kota. Padukuhan-padukuhan yang jauh ini pada umumnya, menjadi ge mpar apabila seorang bangsawan me masuki wilayahnya. Bahkan ada di antara mereka yang berlari-lari berse mbunyi, ada yang dengan tibatiba saja menjatuhkan diri berlutut di pinggir jalan. Jika bebahu padukuhan itu me lihatnya, maka ia akan menyongsong sa mbil terbungkuk-bungkuk dan ke mudian berjalan sambil berjongkok mendekatinya.
Tetapi petani-petani di Sukawati itu berdiri saja sa mbil menyilangkan tangannya di dada, seakan-akan mereka telah berjanji yang satu dengan yang lain untuk berbuat demikian. Sedang wajah-wajah yang beku itu sa ma seka li tidak me mbayangkan kesan apapun yang ada di da la m hati mereka. "He, bukankah ka lian orang-orang Sukawati?" Raden Rudira berteriak untuk me ngatasi gejola k di dala m dadanya. Petani yang berdiri di paling ujung berpaling me mandanginya. Kemudian iapun menjawab "Benar Raden. Kami ada lah orang-orang Sukawati" "Kenapa ka lian berkumpul disini he?" "Ka mi akan pergi ke sawah. Tetapi ketika kami melihat iring-iringan kuda menuju ke padukuhan ini, ka mipun menunggu sampa i Raden lewat. Silahkanlah kalau Raden akan lewat. Kami akan pergi ke sawah" "Persetan. Apakah kalian tida k tahu siapa aku?" "Ka mi hanya tahu bahwa tuan adalah seorang bangsawan. Tetapi ka mi tida k tahu, siapakah tuan" "Aku adalah Raden Rudira. putera Pangeran Ranakusuma" Tanggapan dari para petani itupun benar-benar mengejutkan. Mereka sa ma sekali tidak tertarik pada nama itu. Meskipun mereka mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi sikap yang beku itu sa ma sekali tidak berubah. "He, apakah kalian dengar, bahwa aku putera Pangeran Ranakusuma?" "Ya, ka mi dengar tuan" "Jadi, begitukah bangsawan?" kalian bersikap terhadap seorang
Para petani itu menjadi heran mendengar pertanyaan Raden Rudira. Petani yang berdiri di paling ujung itupun bertanya "Jadi apakah sikap ka mi ke liru?" "Kalian tidak sopan. Kalian berhadapan dengan putera seorang Pangeran. Siapakah yang mengajar kalian bersikap deksura itu he?" "O, jadi ka mi bersikap de ksura?" petani di paling ujung itu terdiam sejenak, lalu "Tetapi maaf Raden. Kami me mang diajar bersikap de mikian" "Ya, aku sudah menduga. Siapa yang mengajarmu?" "Pangeran Mangkubumi" "He?" mata Raden Rudira terbelalak mendengar jawaban itu. Demikian juga para pengiringnya. Namun dengan demikian dada mereka serasa telah berguncang. Sejenak Raden Rudira termangu-mangu. Namun ke mudian dengan suara yang gemetar ia bertanya "Jadi Ramanda Pangeran Mangkubumi mengajarmu bersikap de mikian?" "Ya tuan. Ka mipun sebenarnya tahu, bahwa ka mi harus berjongkok apabila seorang bangsawan lewat di ja lan yang kebetulan ka mi la lui juga. Tetapi hanya bagi para Pangeran. Bukan kepada setiap bangsawan. Biasanya kami hanya mengenal seorang bangsawan pada sikap dan pa kaiannya serta para pengiringnya. Dan kami semuanya menganggap mereka seorang Pangeran, sehingga ka mi langsung berjongkok di pinggir jalan. Tetapi bagi kami, orang-orang di daerah Sukawati mendapat kekhususan dari Pangeran Mangkubumi. Jangankah bangsawan di tingkat berikutnya, sedangkan terhadap Pangeran Mangkubumi sendiri, yang menguasai Tanah Sukawati dan seorang bangsawan tertinggi, kami t idak diharuskan berjongkok" "O, itu salah, salah sekali. Itu akan merusak sendi-sendi tata kesopanan rakyat Surakarta"
"Ka mi berpegangan Mangkubumi" "Persetan. Demangmu" Tunjukkan
kepada kepada perintah kami. Pangeran rumah dimana Sejenak para petani itu termangu-mangu. Sedang Sura yang berada di sebelah Raden Rudira berbisik. "Aku sudah tahu tempat itu Raden" "Aku akan bertanya kepada mereka " sahut Raden Rudira. Sura menarik nafas dalam-dala m. Tanpa sesadarnya ia me mandangi para petani itu seorang demi seorang. Mereka sama sekali tidak beranjak dari tempatnya, sedang tangan mereka masih tetap bersilang di dadanya. "Coba katakan, ke mana aku harus pergi?" "Tuan sudah menga mbil ja lan yang benar. Tuan dapat berjalan terus lewat lorong ini. Sekali tuan berbelok ke kiri di tengah-tengah padukuhan ini, di tikungan di bawah pohon preh yang besar" Raden Rudira mengerut kan keningnya. Sambil berpaling kepada Sura ia bertanya "Benar begitu?" Sura menganggukkan kepalanya. Jawabnya "Ya tuan. Benar begitu" Raden Rudira termenung sejenak. Namun ke mudian ia berkata kepada para pengiringnya "Kita pergi ke rumah Demang di Sukawati" Tanpa minta diri kepada para petani yang masih saja berdiri tegak dengan tangan bersilang itu, Raden Rudira me lanjutkan perjalanannya, menyusuri jalan di tengah-tengah padukuhan, sambil me mperhatikan rumah-rumah yang ada di sebelah menyebelah jalan. Meskipun letak rumah-rumah itu masih cukup jarang, tetapi terasa bahwa Tanah Sukawati akan segera menjadi ramai. Lewat diatas pagar batu di setiap
halaman, Raden Rudira dan pengiringnya melihat rumahrumah yang bersih dan teratur. Halaman yang rapi dan kebun yang penuh dengan tanaman palawija, garut dan ganyong. Beberapa batang ubi dan gadung merambat pada pohon metir, merayap sampa i ke punca knya. Tiba-tiba saja Raden Rudira berkata "Pangeran Mangkubumi telah merusak adat di Surakarta. Sikap itu pasti akan me mpengaruhi sikap para petani kecil di sekitar Tanah Sukawati. La mbat atau cepat" Tidak ada seorangpun yang menjawab. Sura masih saja termangu-mangu sa mbil menundukkan kepa lanya. Sejenak kemudian merekapun telah sampa i di tikungan. Tetapi sekali lagi dada mereka berdesir, ketika mereka melihat beberapa orang laki-la ki yang sedang berdiri pula di sebelah menyebelah jalan t ikungan itu. Seperti orang-orang yang berdiri di mulut lorong, maka orang orang itupun berdiri dengan wajah me mbe ku sa mbil menyilangkan tangannya di dadanya. Melihat sikap yang bagaikan patung-patung batu itu, terasa bulu-bulu tengkuk Raden Rudira mere mang. Tetapi ia harus mengatasi goncangan perasaannya, sehingga karena itu, iapun juga berhenti di hadapan orang-orang itu. Sekali lagi ia bertanya dengan lantang "He, apakah kalian diajari untuk menjadi patung" Atau me mang de mikianlah adat Sukawati untuk menghormat seorang bangsawan?" Orang-orang itu me mandang Raden Rudira hanya dengan sudut matanya. Kemudian orang yang paling pendek di antara mereka menjawab "Ka mi diajari untuk bersikap sopan terhadap siapapun. Juga terhadap para bangsawan" "He" jawaban itu benar-benar mengejutkannya "Coba ulangi"
"Tuan" jawab petani yang pendek itu "Ka mi diajari untuk bersikap sopan kepada siapapun. Juga kepada para bangsawan" "Kenapa juga kepada para bangsawan" Kenapa justru tidak kepada para bangsawan baru kepada yang lain?" Petani pendek itu mengerutkan keningnya. Tetapi wajahnya ke mudian seakan-a kan telah me mbe ku ke mbali. Katanya "Ka mi t idak melihat perbedaan itu. Tetapi kami me mang mengenal tingkat tata penghormatan. Namun pada dasarnya, kami me nghormati siapa saja" "Siapa yang mengajarimu?" "Pangeran Mangkubumi" "Cukup, cukup" Raden Rudira berteriak. Nama itu rasarasanya seperti sebutan hantu yang paling menakutkan baginya. Karena itu tanpa berkata sepatah katapun lagi ia meneruskan perjalanannya menuju ke rumah Ki De mang di Tanah Sukawati. Namun di ja lan yang se makin pende k itu, Raden Rudira dan pengiringnya masih juga menjumpa i satu dua orang yang berdiri acuh tidak acuh saja melihat kehadirannya. Bahkan mereka yang kebetulan berada di halaman pun hanya sekedar berpaling tanpa menghentikan kerjanya. Anak-anak yang sedang berlari-larian berhenti sejenak, lalu berlari lagi masuk ke dala m rumah masing-masing. Perasaan Raden Rudira semakin la ma menjadi se makin terguncang-guncang. Rasa-rasanya ia telah me masuki suatu daerah asing yang belum pernah dijajaginya. Bahkan rasarasanya seperti di daerah mimpi yang mengawang di antara bumi dan langit. "Sura" berkata Raden Rudira kemudian "Apakah me mang begini sikap orang Sukawati" Bukankah kau pernah datang ke mari dahulu?"
"Tida k tuan. Sikap orang-orang Sukawati tidak seganjil ini. Aku tidak mengerti, perubahan apa yang telah terjadi disini" Raden Rudira menjadi se makin berdebar-debar. Setiap kali ia melihat seseorang yang berdiri tegak di pinggir jalan dengan tangan bersilang di dada, jantungnya berdetak semakin cepat, sehingga ha mpir saja ia tida k tahan. "Aku ingin me mukul kepalanya" geramnya. Tetapi dengan mengerahkan keberaniannya Sura mencegahnya, katanya "Maaf tuan. Jangan melakukan ha l itu. Lebih baik kita mene mukan orang yang kita cari tanpa me mbuat persoalan dengan orang lain" Raden Rudira menarik nafas dalam-da la m. Tetapi ia dapat mengerti nasehat Sura itu, sehingga iapun tida k berbuat apapun juga. Namun dengan demikian hatinya serasa semakin la ma menjadi se makin berkeriput kecil sekali. "Raden" berkata Sura ke mudian "gerbang yang ta mpak itu adalah gerbang Kade mangan" Raden Rudira mengerutkan keningnya. Gerbang itu. termasuk sebuah pintu gerbang yang bagus bagi sebuah Kademangan. Na mun dengan de mikian gerbang itupun telah me mbuat detak jantungnya sema kin berdentangan. Tetapi Raden Rudira tidak mau me langkah surut. Ia telah benar-benar merasa terhina karena tindakan petani yang menyebut dirinya berasal dari Sukawati itu. Karena itu maka ia harus berhasil mene mukannya dan menghukumnya, sebagai seorang rakyat kecil yang berani menentang para bangsawan. Karena itu, betapa hatinya berdebaran, Rudira tetap maju mende kati pintu gerbang itu. Ketika kudanya sudah berada di depan pintu, dilihatnya dua orang mendatanginya. Dua orang dalam pakaian yang agak lain dari paka ian para petani.
"Itulah bebahu Kade mangan Sukawati" desis Raden Rudira "Ia harus tahu bahwa rakyatnya telah bertindak tidak sopan. Dan itu tidak dapat dibiarkannya. Tentu bukan Ramanda Pangeran Mangkubumi yang mengajarinya. Tentu orang-orang yang ingin mengeruhkan tata kehidupan Sura karta yang selama ini tenang dan tentera m" Di depan pintu, di dalam hala man, kedua orang itu berhenti sambil menganggukkan kepala mereka. Ternyata mereka me mang lebih hormat dari sikap para petani di sepanjang jalan yang mereka lalui. Dengan sopan salah seorang dari mereka berdua bertanya "Apakah ka mi dapat berbuat sesuatu untuk tuan?" "Aku akan bertemu dengan Demang di Sukawati" sahut Raden Rudira langsung "Apakah ia ada di rumah?" "O" orang itu mengangguk-angguk "ada tuan. Marilah tuan kami persilahkan masuk" Tanpa turun dari kudanya Raden Rudira me masuki hala man Kademangan. Ternyata halaman itu adalah hala man yang luas dan bersih. Beberapa batang pohon tanjung berada di pinggir, sedang sepasang pohon sawo kecik berada tepat di depan pendapa. "Mana Ki De mang?" bertanya Raden Rudira. "Marilah, ka mi persilahkan tuan naik ke pendapa" "Di mana Ki De mang he?" "Nanti ka mi akan me ma nggilnya" "Panggil ia ke mari" "Tuan, ka mi telah me mpersilahkan tuan duduk. Ka mi akan segera me manggilnya" orang itu berhenti sejenak, lalu "Silahkan tuan turun dari kuda "
"Tida k, aku akah menunggu Ki De mang disini. Aku me merlukannya. Ia harus mengantar aku ke pesanggrahan Ramanda Pangeran Mangkubumi apabila Ra manda ada disana" "Tuan, ka mi persilahkan tuan turun" "Aku tida k mau turun. Kau tida k tahu siapa a ku he" Aku adalah Putera Pangeran Ranakusuma" "Tetapi ada semaca m ketentuan, siapapun dipersilahkan turun apabila berada di kuncung pendapa ini. "Aku seorang Putera Pangeran" "Bahkan seorang Pangeranpun bersedia untuk turun dari kudanya apabila ia berada di bawah kuncung ini" "Aku tidak peduli. Tetapi aku tidak mau turun. Hanya seorang Pangeran yang tidak tahu a kan harga dirinya sajalah yang bersedia turun dari kudanya, meskipun di kuncung pendapa sekalipun, justru hanya pendapa seorang De mang" "Tetapi justru ka mi sangat hormat kepadanya" "Siapa?" "Pangeran Mangkubumi" "Pangeran Mangkubumi. Pangeran Mangkubumi. Apapun yang kalian bicarakan kalian menyebut Pangeran Mangkubumi" Rudira ha mpir berteriak. "Kedua bebahu itu me njadi terheran-heran melihat sikap Raden Rudira. Namun ke mudian salah seorang dari mereka berkata "Raden, kami tetap mempersilahkan tuan turun. Kecuali kalau tuan tidak berada di bawah kuncung pendapa, meskipun di hala man" "Aku tidak mau. Aku adalah putera Pangeran Ranakusuma Aku bukan Pangeran Mangkubumi. Ayahanda Pangeran
Ranakusuma pasti tidak akan turun pula meskipun kudanya naik ke pendapa seka lipun" Kedua bebahu Kade mangan itu saling berpandangan sejenak. "Kemudian sa lah seorang berkata "Jika de mikian, kami t idak a kan me manggil Ki De mang" "Apa, kalian tidak akan me manggil Ki De mang?" "Ya. Jika tuan tidak bersedia turun" "Gila. Kau berani menentang aku he" A ku datang untuk mencari seseorang yang berani menentang seorang bangsawan. Kini kau a kan menentang aku pula. Apakah kau tahu akibatnya?" "Ka mi sekali-kali tida k akan menentang tuan. Tetapi ka mi hanya mematuhi ketentuan yang berlaku di Kade mangan ini. Sebenarnyalah bahwa kami takut sekali kepada Raden, apalagi setelah kami tahu bahwa Raden adalah putera Pangeran Ranakusuma. Tetapi apaboleh buat. Ketentuan yang berlaku harus tetap berlaku" "Tida k. Aku tidak mau. Dan kalian harus tetap me manggil Ki De mang di Sukawati. Jika kalian tidak bersedia, maka aku akan menghukum kalian" "Raden" berkata salah seorang dari keduanya "Tanah Sukawati me mpunyai ke khususan. Yang langsung me mbimbing pe merintahan Kade mangan Sukawati adalah Pangeran Mangkubumi sendiri, karena tanah ini adalah tanah kalenggahan" "Aku tidak peduli. Aku yakin bahwa Ramanda Pangeran Mangkubumi akan me mbenarkan sikapku dan berpihak kepadaku. Panggil De mang itu, cepat" "Sebelum tuan turun dari kuda, ka mi tidak akan me manggil. Ka mi tida k berkeberatan atas mereka yang masih tetap berada di punggung kuda di hala man, tetapi tidak di bawah kuncung pendapa"
"Persetan. Apakah aku harus mencarinya sendiri dan me ma ksanya menghadap aku ke mari?" "Jika tuan berkenan di hati, ka mi akan me mpersilahkannya dengan senang hati" "Tuan" jawab salah seorang dari mereka sa mbil berpaling "ka mi t idak bertanggung jawab lagi apa yang dapat terjadi dengan tuan, karena tuan tidak me matuhi peraturan yang berlaku di Kade mangan Sukawati" "Kalian sudah gila. Aku adalah putera seorang Pangeran. Dengar perintahku. Seperti kau lihat, aku sudah me mbawa beberapa orang pengiring" "Tuan akan berburu. Tuan me mbawa kelengkapan sekelompok pe mburu yang akan berburu rusa di hutan rindang" "Ka mi sudah me la mpaui beberapa daerah perburuan. Tetapi ka mi me mang akan pergi ke Sukawati. Karena itu jangan mengganggu ka mi sehingga dapat menimbulkan ke marahan ka mi" Hampir berbareng keduanya mengangguk dala m-da la m. Salah seorang di antaranya berkata "Baiklah. Ka mi tida k akan berbuat apa-apa" Dan tiba-tiba saja keduanya me langkah surut. Ke mudian di luar kuncung, di depan tangga terakhir yang mengelilingi pendapa Kademangan keduanya berdiri sa mbil menyilangkan tangannya di dada. Sikap merekapun telah berubah, mirip dengan orang-orang yang dite muinya di sepanjang jalan. Ternyata sikap itu telah me mbuat seluruh tubuh Raden Rudira mere mang. Bahkan pengiringnyapun menjadi ge lisah, sehingga untuk sesaat mereka bagaikan telah terpukau oleh sikap itu, sehingga mereka sa ma sekali tida k bergerak.
Untuk mengatasi hatinya yang kecut, maka Raden Paidira itupun telah me ma ksa dirinya untuk berkata lantang "He, apakah kalian telah me njadi patung?" "Tuan" jawab salah seorang dari mereka sambil berpaling "Ka mi tidak bertanggung jawab lagi apa yang dapat terjadi dengan tuan karena tuan tidak me matuhi peraturan yang berlaku di Kade mangan Sukawati" ia berhenti sejenak, lalu "Dan Ki Demangpun tidak akan bersedia mengantar tuan pergi ke pasanggrahan Pangeran Mangkubumi. Me mang tuan dapat me ma ksanya dengar kekerasan. Tetapi kami kira tuan tidak akan berhasil. Bukan karena Ki Demang me mpunyai sepasukan pengawal yang dapat melindunginya. Tetapi karena kekerasan halinya, ia akan memilih akibat yang bagaimanapun beratnya dari pada ia melihat peraturan yang dibuatnya tidak ditaati" "Gila, permainan apa kah sebenarnya yang telah kalian lakukan" Apakah ka lian sedang dia muk oleh suatu kepercayaan tahyul yang membuat kalian, orang-orang Sukawati menjadi seperti orang-orang gila" "Tuan keliru" jawab salah seorang dari kedua pengawal "sikap ka mi adalah sikap yang mewujudkan kedia man ka mi menghadapi keadaan dewasa ini, dimana kita merasa berdiri di atas bara justru di ka mpung hala man sendiri"
Jawaban itu benar-benar tidak diduga, sehingga Raden Rudira terdia m untuk beberapa saat. Namun wajahnya yang tegang menjadi se makin tegang. Tetapi ternyata Raden Rudira tidak mau surut. Meskipun hatinya bergejolak dahsyat sekali, namun ia mencoba mengatasinya dengan berteriak sekali lagi "Panggil Ki De mang di Sukawati" Betapapun ia berteriak, tetapi kedua bebahu Kademangan Sukawati itu sa ma sekali t idak beranjak dari tempatnya. Kemarahan Raden Rudira ha mpir tidak terke kang lagi, Namun ketika dadanya bagaikan akan meleda k, Sura, pengiringnya yang selama ini paling dibanggakan itu telah me loncat turun dari kudanya. Perlahan-lahan ia mendekatinya. Dengan suara bergetar ia berkata "Raden, kami persilahkan Raden turun dari kuda. Bukan suatu sikap merendahkan diri, tetapi barangkali de mikianlah yang dikehendaki oleh Ramanda Pangeran Mangkubumi" "Persetan" Raden Rudira berteriak "Kau juga sudah menjadi pengecut?" "Bukan Raden. Bukan soalnya, berani menentang ketentuan itu atau tidak. Tetapi kita ingin mendapat bantuan dari Ki De mang di Sukawati. Bukankah tujuan kita untuk mendapatkan petani yang telah menghina Raden di tengah bulak itu?" Karena itu, sebaiknya kita tidak me mbuat persoalan-persoalan baru disini" Darah Raden Rudira bagaikan mendidih karenanya. Namun perlahan-lahan ia mulai menyadari kata-kata Sura. Kalau ia bertindak kasar, maka ia hanya akan mena mbah kesulitan diri sendiri tanpa mendapatkan Hasil apapun dari kepergiannya ke Sukawati. Dan lebih daripada itu, sebenarnyalah di dala m sudut hatinya tersirat kecemasan yang sangat melihat sikap orang-orang Sukawati itu.
Namun sudah barang tentu Raden Rudira tidak me mbiarkan dirinya terlempar surut tanpa pe mbelaan. Dengan lantang ia berkata kepada kedua bebahu itu "Baiklah. Aku akan turun. Bukan karena aku takut menghadapi sikap kalian yang gila itu. Tetapi aku secepatnya ingin menangkap petani yang telah berani menghinakan aku di tengah bulak" Raden Rudirapun segera meloncat dari punggung kudanya sambil berteriak "Aku sudah turun. Panggil Ki De mang di Sukawati" Tetapi Raden Rudira terkejut, ketika sebelum kedua orang itu beranjak, telah terdengar suara dari balik pintu pringgitan di pendapa "Aku sudah disini tuan" Darah Raden Rudira tersirap. Di tengah-tengah pintu yang ke mudian terbuka ia melihat seorang laki-laki yang bertubuh sedang, berkumis tipis, yang ke mudian berjalan melintas pendapa mende katinya. "Kau disitu seja k tadi?" "Ya. Aku sudah berada di balik pintu sejak tuan datang. Tetapi aku menunggu tuan turun dari kuda. Maaf. Itu sudah menjadi ketentuan kami. Sekali ka mi me langgar ketentuan itu, maka untuk selanjutnya ketentuan itu tidak akan berarti, karena pelanggaran yang serupa akan terjadi lagi. Sekali lagi dan sekali lagi, sehingga ketentuan itu tida k berarti apa-apa lagi. Baik bagi ka mi maupun bagi setiap orang yang datang ke padukuhan ini" "Persetan" jawab Raden Rudira sesorahmu. Aku me merlukan kau" "Aku tidak perlu
"O" Ki De mang yang ke mudian turun dari pendapa rumahnya mengangguk hormat "Ka mi akan me mbantu tuan. Apakah yang harus ka mi la kukan?" Raden Rudira me mandang De mang Sukawati itu dengan herannya. Ia tidak mengerti, apakah yang sebenarnya tersirat
di dala m hatinya. Setelah ia me maksanya turun dari kudanya, maka iapun ke mudian bersikap sopan dan ra mah. Tetapi Raden Rudira tidak me mpedulikannya lagi. Dengan kasar ia berkata "A ku sedang mencari seseorang" "O. Siapa?" "Aku tidak tahu namanya. Ia menyebut dirinya petani dari Sukawati" Tampak Ki De mang mengerutkan keningnya sejenak. Tetapi iapun ke mudian berusaha untuk melenyapkan kesan itu. Bahkan kemudian ia bertanya "Kenapa Raden mencarinya" Apakah petani dari Sukawati itu telah menjual sesuatu kepada Raden dan Raden akan me mbayarnya sekarang, atau persoalan apapun yang pernah terjadi dengan petani itu?" "Ia menghina aku di tengah-tengah bulak Jati Sari" "O" Ki De mang dari Sukawati terkejut "di Jati Sari?" "Ya" "Begitu jauh dari Sukawati" "Ya. Orang itu mengaku petani dari Sukawati. Ia tentu seorang petualang. Nah, tunjukkan kepadaku, siapakah yang sering bertualang disini" Ki De mang tida k segera menjawab. Dengan sudut matanya ia me mandang kedua pembantunya yang kini berdiri termangu-mangu pula. "He, apakah kau tidak dapat mengenal orang-orangmu?" "Maaf tuan. Aku tidak dapat mengingat se mua orang di Kademangan Sukawati. Mungkin aku mengena l mereka, tetapi tentu tidak akan dapat mengerti kebiasaan mereka sehari-hari dengan pasti"
"Tetapi bertualang bukan kebiasaan yang wajar bagi seorang petani. Karena itu, seharusnya kau dapat segera mengetahui orang yang aku maksudkan" Tetapi Ki De mang itu menggeleng-ge lengkan kepa lanya. Katanya "Maaf. Aku tidak dapat segera mengatakan, siapakah yang Raden maksud itu" "Kalau begitu, antarkan aku menjelajahi Kade mangan ini. Aku akan mencarinya sendiri" "Tuan a kan menjelajahi Kade mangan Sukawati?" "Ya" Ki De mang menjadi termangu-ma ngu. Sekali lagi ia me mandang kedua kawan-kawannya. Kini keduanyapun menunjukkan kege lisahannya. "Tuan" berkata Ki De mang "tanah Sukawati adalah tanah kalenggahan" "Aku mengerti" Rudira me motong "maksudmu, kau akan menyebut na ma Ra manda Pangeran Mangkubumi?" "Ya tuan" "Antarkan aku ke pasanggrahan Ramanda Pangeran Mangkubumi. Aku akan menghadap dan mohon ijinnya. Tentu Ramanda akan me mberikan ijin itu. bahkan akan me mbantuku mencari orang-orang yang deksura dan berani me nentang para bangsawan" Ki De mang di Sukawati mengangguk-angguk. Tetapi ke mudian ia berkata "Tetapi Pangeran Mangkubumi tidak sedang berada di Sukawati. Apakah Raden tidak menjumpainya di istana Kapangeranan di kota?" Sesuatu terasa bergetar di dalam dada Rudira. Seolah-olah ia terlepas dari tekanan kece masan yang menghimpit dadanya, sehingga tanpa sesadarnya ia menarik nafas dalamdalam.
"Jadi Ra manda Pangeran tida k ada di Sukawati?" Ki De mang menggelengkan kepalanya "Tida k tuan. Tidak" Tetapi tiba-tiba saja Rudira membentak "Bohong. Kalian pasti mencoba berbohong, karena kalian, orang-orang Sukawati adalah orang-orang yang deksura. Kalian takut juga bahwa aku akan mengatakan kepada Ramanda Pangeran Mangkubumi tentang kalian. Tentang petani-petani yang berdiri me mbeku di regol padukuhan dan mereka yang seperti patung mati di tikungan. He, kenapa orang-orangmu kau ajari deksura terhadap para bangsawan" Dan se karang kau takut me mbawa a ku menghadap Ra manda Pangeran" Ki De mang menundukkan kepa lanya dalam-da la m. Katanya "Aku minta maaf tuan. Orang-orangku adalah orang-orang padesan yang jauh dari kota. Kami sa ma sekali tidak berniat untuk berla ku kurang baik dan apalagi t idak sopan. Tetapi kami, orang-orang padesan me mang kurang mengerti tatakrama. Kadang-kadang ka mi kehilangan aka l, apa yang harus kami lakukan untuk menunjukkan hormat ka mi. Demikian juga para petani di Sukawati, dan barangkali juga petani yang tuan sebut, berjumpa dengan tuan di bula k Jati Sari" "Tida k. Ia tidak se kedar kurang tata-kra ma. Tetapi ia benar-menentang aku" Rudira berhenti sejenak, lalu "antarkan aku ke pasanggrahan Ramanda Pangeran" Ki De mang menarik nafas. Lalu "Baiklah. Marilah Raden aku antarkan ke pesanggrahan itu. Tetapi aku sudah me ngatakan bahwa Pangeran Mangkubumi tida k ada di pesanggrahan itu" Rudira seolah-olah tidak menghiraukannya Meskipun hal itu baginya adalah suatu kebetulan. Na mun di hadapan Ki Demang ia bersikap seakan-akan ia kecewa bahwa Pangeran Mangkubumi t idak ada dipasanggrahannya. Tanpa menunggu lebih la ma lagi, maka Raden Rudirapun segera meloncat ke punggung kudanya. Dengan tatapan mata aneh Ki De mang me mandanginya. Tetapi Raden Rudira tidak
menghiraukannya. Ia duduk diatas punggung kudanya, meskipun kudanya masih berada di kuncung pendapa Kademangan. "Berjalanlah di depan" berkata Rudira ke mudian "Aku akan mengikut imu" Ki De mang termangu-mangu sejenak. Ke mudian bertanya "Apakah kami harus berjalan kaki saja?" ia
"Ya. Kalian berjalan kaki saja. Kalian tidak perlu berkuda seperti ka mi" "Tetapi pesanggrahan itu terletak di padukuhan lain, meskipun t idak begitu jauh. Nanti perjalanan ini akan me ma kan waktu apabila ka mi hanya sekedar berjalan kaki" "Aku tidak peduli Adalah pantas sekali, kalau kau berjalan kaki, dan kami naik diatas punggung kuda. Dengan demikian perbedaan derajad kita akan ta mpak dengan je las" Wajah Ki De mang berkerut sejenak. Tetapi iapun kemudian tersenyum dan berkata "Baiklah tuan. Ka mi akan mengantarkan Raden ke pesanggrahan itu dengan berjalan kaki. Tetapi sudah ka mi katakan, bahwa perjalanan ini akan me ma kan waktu. Sebentar lagi ma la m akan segera turun. Apalagi Pangeran Mangkubumi t idak ada di pesanggrahan" "Aku tida k peduli" "Tetapi bagaimana kalau tuan ke ma la man?" "Aku akan bermala m di pasanggrahan?" "Di pesanggrahan" Selagi Pangeran Mangkubumi tidak ada?" Rudira mengerutkan keningnya. Ia berpaling kepada Sura yaug masih berdiri di sa mping kudanya. Tetapi Sura mengge leng kecil tanpa sesadarnya.
"Sekarang, jangan banyak bicara" bentak Rudira ke mudian "berjalanlah. Kita harus segera sa mpai ke pesanggrahan itu" "Baiklah tuan" jawab Ki De mang. Dengan isyarat, maka kedua kawannya itupun diajaknya, sehingga mereka berjalan bertiga di depan kuda Raden Rudira. Sedang Sura masih menuntun kudanya sejenak. Baru ketika mereka sudah ke luar dari ha la man, maka iapun segera me loncat naik. De mikian pula para pengiring yang lain, yang telah turun pula dari kudanya. Perlahan-lahan iring-iringan itu berja lan meninggalkan regol Kademangan. Na mun betapa hati Raden Rudira dan para pengiringnya menjadi berdebar-debar. Tanpa mereka ketahui darimana datangnya, mereka melihat beberapa orang anakanak muda yang berdiri di sebelah menyebelah jalan di luar regol dengan sikap yang mendebarkan itu. Mereka berdiri tegak sambil menyilangkan tangan di dadanya. Sekali-seka li Raden Rudira me mandang wajah-wajah itu. Wajah-wajah yang seakan-akan me mbeku. Mereka sama sekali tidak me ma ndang orang-orang yang lewat. Mereka seakan-akan berdiri asal saja berdiri di pinggir ja lan. Namun Ki De manglah yang ke mudian menegur salah seorang dari mereka "Kalian sudah pulang dari sawah?" Seorang anak muda yang tinggi kekurus-kurusanlah yang menjawab mewakili kawan-kawannya "Sudah Ki De mang" "Baiklah. Dan sekarang ketahuilah, yang berkuda di paling depan ini adalah Raden Rudira, putera Pangeran Ranakusuma di Sura karta" "O" hanya itulah yang terloncat dari mulut anak muda itu. Tidak ada bayangan kekaguman, heran atau takut sedikkpun juga. Ia masih tetap berdiri seperti sediakala dengan menyilangkan tangannya di dadanya. "Persetan" Rudira berguma m di dala m dadanya.
Ketika mereka sudah me la mpaui anak-anak muda yang berdiri di sebelah menyebelah jalan itu, Raden Rudira yang marah segera bertanya kepada Ki De mang "Ki De mang, kenapa anak-anak muda mu tidak kau ajari sopan santun" "Maksud Raden?" bertanya Ki De mang. "Mereka harus tahu, bagaimana caranya menghormati seorang bangsawan. Seorang putera Pangeran" "Apakah sikap mereka sa lah?" "Tentu. Mereka sama se kali tidak sopan. Mereka harus berjongkok atau me mbungkukkan kepala mere ka dala mdalam" "O" Ki De mang mengangguk-angguk "begitukah yang benar?" "Ya" "Kalau begitu sela ma ini ka mi telah me mbuat kesalahan Kami tidak pernah berbuat begitu. Itulah agaknya tuan tidak senang terhadap rakyat kami. Tetapi sekali lagi agar tuan ketahui, rakyat kami adalah rakyat yang jauh dari kehidupan para bangsawan sehingga barangkali ka mi tida k mengenal keharusan yang berlaku di kota, untuk menghormat para bangsawan. Sebenarnyalah bahwa di padukuhan yang terpencil ini ka mi hanya mengenal seorang bangsawan, Daripadanyalah kami mengenal tata-krama. Tetapi agaknya tata-krama yang kami anggap sudah cukup baik itu masih kurang dala m pandangan tuan" "Tentu. Dan siapakah yang telah mengajar kalian cengan cara yang salah itu?" 0oo0dw0oo0
(Cersil, Silat Mandarin) http://zheraf.wapamp.com/
Jilid 03 TETAPI selagi Ki De mang a kan menjawab, Rudira me motongnya dengan lantang "Aku sudah tahu. Aku sudah tahu" Ki De mang menarik nafas dalam-dala m. Na ma yang sudah ada di ujung lidahnya seakan-akan ditelannya ke mba li. Demikianlah maka mere ka berjalan me nyelusuri jalan-jalan padukuhan yang semakin la ma menjadi semakin se mpit. Mereka berbelok beberapa kali pada t ikungan-t ikungan yang suram, karena matahari telah tenggelam. Padukuhan Sukawati itu sema kin la ma menjadi se makin gelap, sedang jalan di bawah kaki kuda merekapun menjadi se makin je lek. "He, apakah kau menunjukkan jalan yang benar?" bertanya Rudira yang menjadi je mu berja lan di jalan se mpit yang ge lap. "Ya tuan, jalan inilah yang menuju ke pesanggrahan Pangeran Mangkubumi" Raden Rudira mengerutkan keningnya. Sesaat, ia berpaling kepada Sura yang dianggapnya sudah mengetahui jalan-jalan
di daerah Sukawati. Tetapi Sura menganggukkan kepalanya tanpa mengucapkan sepatah katapun. Namun di dala m. harl, Sura merasakan sesuatu yang lain dari anggukan kepalanya. Ia memang mengetahui jalan-jalan di daerah Sukawati meskipun tidak kenal benar. Dan ia kenal jalan lain yang lebih baik dari jalan yang ditempuhnya sekarang ke pesanggrahan Pangeran Mangkubumi. "Ki De mang agaknya telah tersinggung" berkata Sura didala m hatinya "Kalau Raden Rudira tidak melarangnya naik kuda, ma ka kita tidak akan me lewati jalan ini, dan barangka li kita jauh lebih cepat sa mpai" Tetapi Sura tetap berdiam diri, meskipun ke mudian ia yakin, bahwa me mang de mikianlah agaknya. Jalan yang mereka la lui adalah ja lan yang sempit dan sangat gelap karena tidak ada seorangpun yang me masang la mpu di regolregolnya yang kecil. "Kita seperti berjalan di dala m goa" desis Raden Rudira. "Inilah kehidupan di daerah padesan tuan" sahut Ki Demang "Tetapi ka mi sudah biasa hidup di dala m keadaan seperti ini, sehingga ka mi tidak merasa canggung lagi. Mungkin agak berbeda atau bahkan jauh berbeda, seperti bumi dan langit dengan kehidupan di kota-kota yang ra mai. Apalagi di Negari Ageng seperti Surakarta" Raden Rudira tidak menyahut, meskipun hatinya terasa mengge lepar. Namun akhirnya iring-iringan itupun mendekati pesanggrahan. Dari kejauhan telah nampa k cahaya obor yang terang di regol. Dan bahkan lampu-la mpu minyak yang me lontarkan cahayanya di pendapa. "Itukah pesanggrahan Ra manda Pangeran Mangkubumi?" bertanya Raden Rudira.
"Ya, itulah pesanggrahan Pangeran Mangkubumi" sahut Ki Demang di Sukawati. Dada Raden Rudira menjadi berdebar-debar. Menurut Ki Demang, Pangeran Mangkubumi saat itu tidak berada di pesanggrahannya. Karena itulah pesanggrahan itu tampaknya sangat lengang. Ketika mereka sampai di regol pesanggrahan itu, dua orang pengawal telah me mbuka pintu. Sambil me mbungkukkan kepalanya dalam-dala m salah seorang dari mereka bertanya "Siapakah yang kau antar ke mari Ki De mang?" "Putera Pangeran Ranakusuma " jawab Ki De mang di Sukawati. "O" desis salah seorang dari keduanya itu pula "Aku sudah menyangka. Tentu seorang bangsawan dari kota meskipun tidak me mbawa songsong. Agaknya Raden akan pergi berburu" "Aku akan menghadap Ra manda Pangeran Mangkubumi" berkata Rudira. Namun terasa bahwa suaranya bergetar karena hatinya yang bergetar pula. "O. Maaf tuan. Pangeran Mangkubumi tida k ada di pesanggrahan" Raden Rudira mengerutkan keningnya, dan Ki De mang di Sukawati itu menyahut "Aku sudah me mberitahukan bahwa Pangeran Mangkubumi tidak ada di pesanggrahan" Kedua pengawal itu mengangguk-angguk. Namun de mikian Raden Rudira berkata "He, apakah ka mi tidak kau persilaihkan masuk?" "Kalau tuan menghendaki, silahkan. Tetapi supaya tuan tidak kecewa, ka mi telah me mberitahukan bahwa Pangeran Mangkubumi t idak ada di pesanggrahan"
"Aku akan masuk pesanggrahan Ra manda Pangeran. Meskipun Ra manda tida k ada, tetapi aku sudah berusaha menghadap" "Tetapi apakah yang akan tuan dapatkan di pesanggrahan ini jika Pangeran tida k ada?" Raden Rudira mengerutkan keningnya. Ternyata kedua pengawal yang tampaknya sangat hormat itu me mbuatnya jengkel juga. Seharusnya mereka me mpersilahkannya masuk dan duduk di pendapa pesanggrahan. Bahkan me mpersilahkannya berma la m di pesanggrahan itu juga. Tetapi agaknya kedua pengawal itu memang tidak me mpunyai kesopanan sama sekali. Ia hanya sekedar diajari untuk me mbungkuk dan menghormat. Seterusnya, ia tidak mengenal sopan santun sama sekali. "Aku akan masuk" berkata Raden Rudira ke mudian. "O, silahkan. Mungkin tuan belum pernah pesanggrahan Ramanda Pangeran Mangkubumi" melihat
"Aku tida k sekedar ingin me lihat. Tetapi aku adalah ke manakannya" "O Baiklah. Silahkanlah" Kedua pengawal itupun ke mudian me mbuka regol pesanggrahan itu sema kin lebar. Keduanya berdiri dengan hormatnya di sebelah menyebelah pintu. Tetapi ketika Raden Rudira mulai me lintasi regol hala man, maka kedua pengawal itupun maju bersa ma-sa ma sambil berkata "Maaf tuan. Kami harap tuan turun dari kuda" "He" Raden Rudira terkejut "Aku harus turun dari kuda?" "Ya tuan" "Kalian menghina a ku. Kalau rakyat kecil me masuki halaman pesanggrahan ini me mang harus turun dari
kendaraannya. Tetapi aku tidak. Aku adalah Raden Rudira Putera Pangeran Ranakusuma " "Maaf tuan. Hanya seorang yang diperkenankan naik kuda di hala man ini. Pangeran Mangkubumi. Selain Pangeran Mangkubumi, siapapun harus turun. Bahkan pengiringpengiring Pangeran Mangkubumipun harus turun dari kudanya meskipun mereka datang bersama dan mengiringi Pangeran Mangkubumi sendiri" "Bohong. Kau sangka aku tidak mengetahui peraturan yang berlaku" Seorang putera Pangeran pasti diperkenankan me masuki hala man Kapangeranan diatas punggung kuda, meskipun ia harus turun sebelum sa mpa i di depan pendapa, dan ke mudian mengikatkan kudanya di depan gandok" "O" "Peraturan itu berlaku dima napun. Dan sekarangpun aku tidak perlu turun dari kuda" "Maaf tuan. Aku adalah seorang pedesan. Meskipun aku bekerja pada Pangeran Mangkubumi, tetapi aku berasal dari Sukawati ini. sehingga aku t idak mengetahui peraturan yang seharusnya berlaku. Tetapi di pesanggrahan ini, tuan harus turun dari kuda apabila tuan me masuki regol ini" "Tida k. Aku tida k akan turun" "Tuan" berkata pengawal itu "Aku hanyalah seorang abdi. Aku tidak, dapat menolak perintah tuanku. Karena itu, jika tuan kasihan kepada ka mi, agar ka mi tidak berbuat salah dan yang mungkin me mpunyai akibat yang luas bagi ka mi berdua dan keluarga ka mi, ka mi persilahkan tuan turun" Sebelum Rudira menjawab, Ki De mang di Sukawati telah mendahului "Tuan, ka mi berharap bahwa tuan berusaha menyesuaikan diri dengan keadaan ini. Tanah Sukawati adalah tanah kalenggahan. Karena itu semua peraturan yang berlaku disini bersumber kepada Pangeran Mangkubumi. Me mang
mungkin dengan demikian ada beberapa perbedaan dengan peraturan yang berlaku di tempat lain, bahkan di Negari Ageng sekalipun. Tetapi de mikianlah yang dikehendaki oleh Pangeran Mangkubumi" Raden Rudira menggera m. Dengan mata yang menyala ia berkata lantang "Apakah hal ini bukan sekedar poka l ka lian" Sejak aku me masuki padukuhan ini aku sudah melihat sikap orang-orang Sukawati yang mencurigakan, seperti sikap petani yang aku jumpai di bulak Jati Sari. Dengan de mikian aku menjadi se makin yakin, bahwa orang itu me mang berkata sebenarnya. Agaknya memang menjadi ciri orang-orang Sukawati yang suka menentang perintah orang-orang yang seharusnya dihormati" Ki De mang menarik nafas dalam-da la m. Katanya "Apakah keuntungan ka mi dengan berbuat de mikian" Ka mi se kedar menja lankan tugas ka mi seperti yang dikatakan oleh para pengawal pesanggrahan ini" Raden Rudira menggeretakkan giginya. Tanpa disadarinya ia berpaling kepada Sura. Tetapi Sura telah mendahului me loncat dari punggung kudanya diikut i oleh para pengiringnya yang lain serta ke lima pengawal Ranakusuma. Raden Rudira tidak dapat berbuat lain daripada me menuhi. Tetapi betapa hatinya menjadi sakit. Dua ka li ia dipaksa turun dari kudanya. "Kalau aku tahu, bahwa kali ini aku harus turun untuk kedua kalinya, aku tidak akan turun tadi di hala man Kademangan" Ia me nggerutu di dala m hatinya. Setelah me loncat turun, ma ka iapun segera menyerahkan kudanya kepada pengiringnya. Sambil menjinjing wiron kain panjangnya ia berjalan menuju ke pendapa pesanggrahan Pangeran Mangkubumi. Sejenak ia berdiri termangu-mangu di muka pendapa. Ada hasratnya untuk menunjukkan kebesaran dirinya dengan
me langkahi tangga naik ke pendapa. Tetapi hatinya tiba-tiba menjadi ragu-ragu. Pendapa yang sepi lengang itu terasa terlampau agung baginya. Pendapa yang sama se kali tidak berisi peralatan apapun juga itu, rasa-rasanya mengandung pengaruh yang tidak terkatakan. "Apakah tuan akan naik?" bertanya para pengawal. Rudira menjadi ragu-ragu. Tetapi untuk mengatasi keraguraguan itu ia bertanya "Kaulah yang seharusnya me mpersilahkan aku naik. Aku adalah ta mu disini" "Jika de mikian, ma ka baiklah aku beritahukan bahwa tuan rumah tida k berada di rumahnya. Apakah tuan akan menunggu atau tuan akan ke mba li?" Pertanyaan itu benar-benar telah menggetarkan dada Raden Rudira. Ia tidak menyangka sa ma sekali bahwa orangorang Sukawati itu adalah orang-orang yang sama sekali tidak mengenal sopan santun dan tata hubungan dengan para bangsawan. Karena itu, rasa-rasanya darahnya telah mendidih di dala m jantungnya. Tetapi ia harus tetap menahan diri, agar ia tidak melakukan tindakan yang dapat menimbulkan persoalan dengan para pengawal pesanggrahan itu dan para bebahu Kademangan. Justru karena itulah maka dadanya menjadi sesak karenanya. Dengan de mikian maka sejenak suasana menjadi tegang. Raden Rudira berdiri dengan tubuh gemetar. Sedang Sura dan para pengiring yang lain menjadi termangu-mangu, menunggu perintah Raden Rudira selanjutnya Namun agaknya Raden Rudira masih berusaha untuk me mpertahankan harga dirinya. Karena itu maka iapun ke mudian berkata kepada para pengawal "Aku adalah keluarga Ramanda Pangeran Mangkugumi. Hubunganku dengan Ramanda Pangeran adalah jauh lebih dekat dari hubungan kalian yang hanya sekedar sebagai seorang abdi
dengan tuannya. Karena itu, kalianpun harus menghormati aku sebagai keluarga dekat dari tuanmu" "Tentu tuan. Kami akan tetap menghormati tuan dalam batas-batas yang diijinkan" "Aku akan pengiringku" bermala m di pesanggrahan ini bersama
Para pengawal itu terkejut mendengar kata-kata itu. Sejenak mereka saling berpandangan. Salah seorang dari merekapun ke mudian berkata "Tuan, saat ini Pangeran Mangkubumi tida k ada di pesanggrahan ini. Karena itu, kami tidak dapat menentukan, apakah ka mi dibenarkan menerima tuan berma la m di pesanggrahan ini" "Pesanggrahan ini adalah pesanggrahan Ra manda Pangeran. Pesanggrahan pamanku sendiri. Kenapa kalian me mbuat pertimbangan yang terlalu berbelit-be lit" "Bukan maksud ka mi. Tetapi ka mi tidak berani menentukan" pengawal itu menyahut "Tetapi jika tuan me mang menghendaki, tuan ka mi persilahkan bermala m di gandok sebelah kanan" "Di gandok" Jadi aku, Raden Rudira, Putera Pangeran Ranakusuma harus bermala m di gandok?" "Bukan maksud ka mi merendahkan tuan. Apalagi tuan adalah putera Pangeran Ranakusuma. Tetapi ka mi tidak berani menerima tuan bermala m di Dale m Agung dari pesanggrahan ini, karena ka mi tidak mendapat wewenang untuk itu" "Bodoh seka li. Kalian tida k lebih dari seekor kuda penarik pedati. Kalau kendali ditarik ke kiri, baru kau berbelok ke kiri. Kalau kendali ditarik kekanan baru kau berbelok kekanan" "Maaf tuan. Demikianlah keadaan seorang abdi yang sebenarnya. Kami me mang tidak lebih dari seekor kuda pedati. Karena itu ka mi t idak berani menerima tuan di Dale m
Agung" pengawal itu berhenti sejenak, lalu "Tetapi di gandokpun tersedia perlengkapan yang cukup Tuan akan dapat berbaring dengan tenang dan beristirahat secukupnya" Dada Raden Rudira rasa-rasanya akan me ledak. Timbul juga menyesalannya bahwa ia telah sampai ke padukuhan Sukawati. Ternyata orang-orang Sukawati. adalah orang-orang yang memang keras kepala. Seperti juga petani yang pernah ditemuinya di bulak Jati Sari. Karena itu, maka untuk sejenak Raden Rudira menggera m. Hampir saja ia me ma ksa para pengawal itu. Persoalan yang dapat timbul ke mudian dapat diserahkan kepada ayahnya, seandainya Ramanda Pangeran Mangkubumi menjadi marah. Kalau perlu ayahandanya dapat minta bantuan kepada Kumpeni. Kalau Pangeran Ranakusuma berkeberatan, maka ibunya pasti akan bersedia mengusahakannya, sehingga Pangeran Mangkubumi tida k akan dapat bertindak apapun juga atasnya. Tetapi ketika ia melihat dua orang pengawal, Ki Demang Sukawati, dan dua orang bebahu Kade mangan yang menyertainya, hatinya serasa bergetar. Satu dari para petani di Sukawati sudah dikenal ke ma mpuannya. Apalagi kini ia berhadapan dengan lima orang, bukan saja petani biasa. Tetapi seorang dari mereka adalah Demang Sukawati, yang lain bebahunya dan dua orang pengawa l pesanggrahan. Tanpa disadarinya ia me mandang para pengiringnya. Tetapi ia menjadi ragu-ragu. Apakah para pengiringnya termasuk lima orang pengawal yang paling ba ik dari Ranakusuman itu ma mpu me nghadapi orang-orang Sukawati. Tetapi ketika terbayang olehnya orang-orang yang berdiri di sebelah menyebelah jalan sambil menyilangkan tangannya di dada, ia merasa ngeri sendiri. Orang-orang itu me mang tidak ubahnya seperti kuda pedati. Mereka tidak a kan ma mpu berpikir. Jika atasannya me merintahkannya untuk berkelahi, maka merekapun akan berke lahi, siapapun yang akan menjadi
lawannya. Jika ternyata mereka me mpunyai ke ma mpuan seperti petani yang ditemuinya di bulak Jati Sari itu. maka seluruh rombongannya akan mengala mi bencana. Dan ternyata betapapun Raden Rudira me mbusungkan dadanya, ia memang bukan seorang yang berjiwa besar. Karena itu, ia tidak me milih meninggalkan pesanggrahan itu meskipun harus berma la m di tengah hutan. Ternyata betapa dadanya menggelegak, ia berkata "Hanya karena aku tidak mau berselisih dengan ke luarga Ra manda Pangeran Mangkubumi sajalah aku bersedia menginap di gandok. Jika aku me maksa, maka akan dapat menimbulkan salah paiha m di antara kami dan Ra manda Pangeran Mangkubumi, meskipun seandainya Ramanda Pangeran Mangkubumi mengetahui persoalan yang sebenarnya, tentu kalianlah yang akan menga la mi bencana. Baik bagi kalian sendiri, maupun bagi keluarga ka lian" Tidak soorangpun yang menjawab. Seolah-olah mereka me mbiarkan saja apa yang akan dikatakan oleh Raden Rudira. Namun ia dengan terpaksa telah bersedia menginap di gandok bersama para pengiringnya. "Nah tuan" berkata Ki De mang ke mudian "Tuan telah mendapat- tempat yang baik untuk menginap. Karena itu, kami minta diri untuk ke mba li ke Kade mangan" "Tetapi aku me merlukan kau. Besok sejak pagi-pagi kau harus mengantarkan aku, menge lilingi padukuhanmu untuk mencari petani yang telah menghinakan ka mi" "Baik tuan. Di pagi-pagi hari aku sudah ada di hala man pesanggrahan ini" Rudira tidak menyahut lagi. Dipandanginya saja De mang Sukawati yang kemudian minta diri kepada kedua pengawal pesanggrahan itu. Demikianlah, maka Raden Rudira mala m itu bersama para pengiringnya Di tempatkan di gandok sebelah kanan. Betapa
sakit hati putera Pangeran Ranakusuma, tetapi ia tidak dapat me ma ksa untuk tinggal di Da le m Ageng pesanggrahan itu. Ketika di mala m hari Raden Rudira me mbentak-bentak Sura, yang baginya terasa sama sekari tidak dapat me mbantunya, maka seorang pelayan telah mendatanginya. Dengan hormatnya ia bertanya kepada Raden Rudira "Apakah yang telah terjadi tuan" Agaknya tuan marah sekali kepada pengiring tuan itu" "Jangan turut campur. Itu adalah persoalanku" "Ka mi, para abdi di pesanggrahan ini terkejut dan bahkan ada yang menjadi ketakutan" "Apa pedulimu" "Sebaiknya tuan tida k me mbentak-bentak" "Kau, kau me merintah aku ya" Aku adalah putera seorang Pangeran" "Apalagi putera seorang Pangeran, sedang seorang Pangeranpun tidak berlaku seperti tuan. Pangeran Mangkubumi t idak pernah me mbentak-bentak seperti tuan" "Aku tida k peduli" "Pangeran Mangkubumi adalah seorang yang tenang. Sikapnya matang sebagai sikap seorang Pangeran. Tetapi ia adalah seorang yang ramah tidak dibuat-buat. Kalau ada di antara kami yang berbuat salah, maka Pangeran Mangkubumi me mberikan nasehat kepada ka mi, agar ka mi tidak mengulangi kesalahan itu" "Aku tida k peduli. Aku tidak peduli" Tetapi abdi pesanggrahan itu sa ma sekali t idak menghiraukannya. Ia berkata terus "Na mun dengan de mikian sikapnya me miliki perbawa. Pandangannya tajam dan setiap katanya bernilai buat kami" ia berhenti sejenak, lalu "Tuan. sebenarnya Pangeran Mangkubumipun selalu berada di
gandok. Tetapi gandok sebelah kiri. Jarang sekali Pangeran Mangkubumi berada di Dale m Agung, yang dengan demikian seakan-akan terpisah dari lingkungannya. Kami adalah sahabat-sahabat yang sangat dekat dengan Pangeran Mangkubumi meskipun ka mi adalah abdinya. Seakan-akan tidak ada batas di antara kami. orang-orang kecil yang sama sekak tidak me mpunyai setitikpun darah keturunan dari kraton, dengan Pangeran Mangkubumi, keturunan pertama dari seorang raja, karena bagi Pangeran Mangkubumi, di antara kami me mang tidak ada batasnya" "Bohong, bohong. Kau berbohong" "Aku berkata sebenarnya tuan Itulah Pangeran Mangkubumi. Meskipun tuan adalah kemana kannya, tetapi ternyata bahwa kami lebih dekat dengan Pangeran itu daripada tuan. Bukan saja dekat dalam pengertian lahiriah, tetapi hati ka mipun terla lu dekat pula" "Bohong, bohong" ternyata Raden Rudira telah berteriak pula Abdi pesanggrahan itu terkejut mendengar bentakanbentakan yang semakin keras itu. Tetapi iapun ke mudian berusaha menguasai dirinya dan berkata lebih lanjut "Apakah tuan akan mengenal Ramanda tuan itu lebih dekat?" "Apa maksudmu?" "Agar tuan tidak menyangka aku berbohong, maka marilah tuan melihat-melihat apa yang ada di dalam bilik Pangeran Mangkubumi di gandok sebelah kiri. Bukan di Dale m Ageng. Karena di Dale m Ageng tuan akan menjumpai kelengkapan pesanggrahan seorang Pangeran. Sebuah batu hitam beralaskan kulit harimau tempat duduk Pangeran Mangkubumi. Sebuah songsong bertangkai panjang. Beberapa buah tombak pusaka, meskipun bukan pusaka Pangeran Mangkubumi yang pa ling bertuah, dan beberapa kelengkapan yang lain. Tetapi berbeda sekali dengan isi gandok, yang
justru merupa kan te mpat tinggal Pangeran Mangkubumi yang sebenarnya apabila ia berada di Pesanggrahan ini" Sejenak Raden Rudira me njadi ragu-ragu. Ditatapnya wajah Sura yang kosong. Ke mudian beberapa orang pengiringnya. "Apakah tuan ragu-ragu?" tiba-tiba pe layan itu bertanya. "Ya" jawab Raden Rudira "Apakah ada manfaatnya?" "Tentu ada Raden. Agar tuan dapat mengenal Ramanda tuan dengan baik. Sebagai seorang ke manakan, tuan akan dapat lebih mendekat lagi kepadanya" Raden Rudira masih tetap ragu-ragu. Meskipun sebenarnya ia me mang ke mena kannya, tetapi rasa-rasanya jarak antara Ranakusuman dan Mangkubume n me mang terla mpau jauh. Tetapi ternyata abdi pesanggrahan itu mendesaknya "Tuan. marilah. Tuan akan me lihat Ra manda Pangeran Mangkubumi seutuhnya" Dada Raden Rudira menjadi berdebar-debar. Tetapi ada juga keinginannya untuk me lihat, apakah yang dimaksud oleh pelayan itu. Sehingga karena itu, maka iapun ke mudian menjawab "Baik. Aku akan melihat gandok sebelah kiri" Lalu katanya kepada Sura "Sura, ikuti a ku" Keduanya itupun ke mudian diantar oleh abdi pesanggrahan itu pergi ke gandok sebelah kiri Dengan ragu-ragu Raden Rudira mengikuti langkah pelayan itu. Ada juga timbul kecurigaannya menilik sikap dan sifat-sifat orang Sukawati yang seolah-olah disaput oleh rahasia yang baur. Ketika mereka me masuki ruang depan dari gandok itu, dilihatnya perlengkapan yang sederhana. Lebih sederhana dari perlengkapan yang ada di gandok kanan. Di ruang itu terdapat sebuah amben ba mbu yang besar. "Sebuah bancik la mpu dan geledeg ba mbu. Buat apa a mben sebesar ini?" bertanya Raden Rudira.
"Ini adalah kehendak Pangeran Mangkubumi sendiri. Jika Pangeran Mangkubumi mengunjungi rumah-rumah orang miskin, maka, selalu ditemukannya sebuah amben sebesar ini, atau katakanlah satu-satunya kelengkapan rumah ra kyat kecil adalah amben se maca m ini. Ada juga yang me miliki geledeg bambu dan bancik dlupa k minyak kelapa seperti ini" "Huh" tiba-tiba Raden Rudira berdesah "Apakah sebenarnya gunanya Ramanda Pangeran me mbuat suasana pesanggrahan serupa ini?" "Pangeran Mangkubumi ternyata merasa tenteram berada di dalam suasana ini. Jauh lebih tenteram daripada berada di Dale m Ageng dala m suasana yang penuh ketegangan. Disini Pangeran Mangkubumi dapat duduk selonjor bersandar tiang atau dinding sambil minum air panas dan makan jagung rebus. Tetapi tidak di Da le m Ageng. Jika Pangeran Mangkubumi duduk dialas batu yang beralaskan kulit harimau itu dan dihadap oleh para bebahu Kade mangan, suasananya me mang menjadi ka ku dan tegang. Karena itu Pangeran Mangkubumi lebih senang menerima De mang di Sukawati di ruangan ini sa mbil duduk seenaknya" Raden Rudira tiba-tiba merasa dadanyalah yang menjadi tegang Tingkah la ku Pangeran Mangkubumi itu sa ma sekali tidak disukainya. Dengan demikian Pangeran itu telah merendahkan derajadnya sendiri. Derajad yang sebenarnya harus dipertahankan, Seandainya Raden Rudira itu juga seorang Pangeran, maka ia pasti a kan berbuat sesuatu untuk menghentikan solah Pangeran Mangkubumi itu. "Akibatnya dapat dilihat langsung" Ia berkata di dala m hatinya "ternyata orang-orang Sukawati tidak menaruh hormat lagi kepada para bangsawan. Mereka menganggap aku ini sederajad saja dengan mereka " Dala m pada itu, maka pelayan pesanggrahan itupun berkata "Marilah tuan, silahkan tuan masuk ke ruang dala m. Ke bilik Pangeran Mangkubumi"
Raden Rudira menjadi ragu-ragu, sehingga pelayan itu berkata "Ramanda tuan tidak akan marah. Tempat ini seperti banjar Kademangan saja. Semua orang boleh masuk. Tetapi tidak di Dale m Ageng. Hanya orang-orang tertentu dan dalam keadaan tertentu saja orang boleh me masuki Pale m Ageng" Raden Rudira mengerutkan keningnya. Tetapi iapun ke mudian mengikut i pelayan itu me masuki sebuah bilik di ruang dala m gandok sebelah kiri itu. Tiba-tiba dada Raden Rudira merasa berdentangan ketika ia melihat beberapa potong pakaian tergantung di dinding. Dengan serta merta ia bertanya "Pakaian siapakah itu?" "Pangeran Mangkubumi" jawab pelayan itu. "Bodoh kau, yang aku maksud ada lah pakaian yang tergantung itu. Bukankah pakaian itu paka ian seorang petani. Tutup kepa la yang besar dan ikat pinggang kulit kasar itu?" "Ya. Itu adalah pakaian Pangeran Mangkubumi jika Pangeran ada disini" "Bohong. Bohong" sekali lagi Rudira berteriak "pa kaian itu adalah pakaian seorang petani" Pelayan itu menjadi heran. Jawabnya "Ya, pakaian itu me mang paka ian seorang petani" ia berhenti sejenak, lalu "Tetapi kenapa tuan harus berteriak-teriak. Para abdi
pesanggrahan ini tidak biasa mendengar seseorang me mbentak-bentak seperti tuan. Kenapa seseorang harus me mbentak-bentak" Dan kenapa orang lain harus dibentakbentak?" "Dia m, dia m kau. Kau jangan me mbuat aku marah" "Baiklah. Tetapi aku tida k biasa melayani seseorang seperti tuan. Jika tuan je mu menyaksikan ruangan Ramanda Pangeran, tuan aku persilahkan ke mba li ke bilik tuan di gandok sebelah kanan" Rudira berdiri tegak seperti patung. Jawaban itu menyakit kan hatinya. Tetapi yang lebih mendebarkan jantungnya adalah pakaian yang tergantung di dinding itu. "Apakah benar pakaian itu. pakaian Ra manda Pangeran?" pertanyaan itu telah mengetuk dinding jantungnya. Serasa semakin la ma se makin keras. Namun tiba-tiba sekali lagi ia berkata keras-keras "Bohong sekali. Tentu tidak benar bahwa pakaian itu adalah pakaian Ramanda Pangeran" Tetapi pelayan itu menyahut "Terserahlah kepada tuan, apakah tuan mempercayainya atau tidak. Tetapi pakaian itu sebenarnyalah pakaian Pangeran Mangkubumi" "Tetapi kenapa pakaian itu sekarang tidak dipa kainya?" "Tentu Pangeran Mangkubumi tidak hanya me mpunyai pakaian sepengadeg itu" Terasa sesuatu telah menggetarkan dada Raden Rudira. Seakan-akan ia pernah melihat pakaian seperti pakaian yang tergantung di dinding itu. Karena itu. untuk melepaskan ketegangan yang tiba-tiba telah mencengka m dadanya, Raden Rudira berkata lantang "Cukup. Aku sudah cukup me lihat-melihat gandok ini. Aku tidak percaya bahwa Ramanda Pangeran Mangkubumi selalu
berada di gandok ini. Pakaian ini pasti pakaian ka lian, abdiabdi pesanggrahan yang deksura dan tidak mengenal sopan santun. Kalau Ramanda Pangeran mengetahui, bahwa ka lian telah berani berada di gandok ini seperti berada di rumah kakek dan nenekmu sendiri, maka Ramanda Pangeran pasti akan menjadi marah sekali. Kalian akan dipecat dan bahkan kalian akan mendapat hukuman" "Tuan" sahut abdi itu "Kalau Pangeran Mangkubumi t idak berkenan di hatinya. apakah mungkin, ka mi para abdi berani me masukkan a mben sebesar itu ke dala m gandok ini meskipun Pangeran tidak ada di pesanggrahan?" "Dia m, dia m. Jangan me mbual lagi, Aku tidak mau mendengarnya. Aku akan ke mba li ke gandok kanan. Ternyata pesanggrahan ini diliputi oleh suasana yang tidak menyenangkan apabila Ra manda sedang t idak berada disini. Kalian merasa, seolah-olah pesanggrahan ini adalah milikmu sendiri" Abdi itu menarik nafas dalam-da la m. Lalu katanya "Baiklah jika tuan tida k percaya Marilah, aku persilahka in tuan ke mba li ke gandok sebelah kanan. Tetapi aku telah berkata sebenarnya, Terserahlah atas penilaian tuan" Kemarahan Raden Rudira rasa-rasanya tidak lagi dapat ditahan. Hampir saja ia berbuat sesuatu yang dapat merugikan dirinya sendiri. Untunglah, selagi ia berjuang menahan perasaannya, Sura telah mengga mitnya. Dan sentuhan tangan Sura itu seakan-akan me mbuat Raden Rudira semakin menyadari keadaannya. Demikianlah, maka Raden Rudira itupun diantar ke mbali ke gandok sebelah kanan. Namun sepatah katapun Raden Rudira tidak berbicara lagi dengan pe layan pesanggrahan itu" Tetapi dala m pada itu, di kepalanya sedang berkecamuk persoalan yang hampir tidak masuk akalnya. Pakaian yang
tergantung itu, menurut keterangan pelayan pesanggrahan adalah pakaian Ra manda Pangeran Mangkubumi. "Bohong. Orang itu mencoba me mbohongi aku" Dan terasalah olehnya, bahwa pesanggrahan itu agaknya telah diliputi oleh suatu rahasia. Seperti di da la m kabut di waktu pagi, maka yang dapat dilihatnya itu adalah sekedar bentuk yang samar-sa mar. Ketika ia sudah duduk ke mbali di dala m bilik di gandok sebelah kanan, maka iapun mulai mengumpat-umpat tidak habis-habisnya. Para pengiringnya yang berada di luar bilik itupun mendengar langkah kakinya yang gelisah. Kadangkadang Raden Rudira me mbanting dirinya, duduk di pembaringan. Namun kadang-kadang dengan tergesa-gesa ia me loncat berdiri dan berja lan hilir-mudik. Akhirnya, dada Raden Rudira serasa tidak tahan lagi merenda m perasaannya. Dengan serta-merta dipanggilnya Sura yang berada di luar biliknya Dengan tergesa-gesa Sura melangkah terbungkuk-bungkuk mende kati Raden Rudira yang berdiri di sudut biliknya. "Sura" berkata Raden Rudira "Apakah kau percaya kepada abdi pesanggrahan ini?" Sura termangu-mangu sejenak. Terasa berat sekali untuk mengatakan yang sebenarnya tersirat di da la m hatinya. "Apakah kau percaya he?" "Maaf Raden" berkata Sura "sebenarnyalah bahwa aku percaya kepada abdi pesanggrahan itu" "Kau percaya he" Kau me mpercayainya?" Sura menundukkan kepalanya. Tetapi ia menjawab dengan suara bergetar "Ya tuan. Aku me mpercayainya"
"Jadi kau percaya juga bahwa pakaian itu pakaian Ramanda Pangeran?" "Ya Raden " "Gila. Kau juga sudah gila" Raden Rudira berhenti sejenak, lalu "Aku merasa pernah melihat pakaian serupa itu. Tetapi tentu ada lebih dari seribu rakyat kecil yang mengenakan pakaian serupa itu. Kain lurik kasar, tutup kepala lebar dan baju lurik bergaris tebal" "Tuan benar. Tuan me mang pernah melihatnya?" "Ya, dan sudah a ku katakan, ada seribu orang yang mengenakan pakaian serupa itu. Tentu para abdi di pesanggrahan inipun sering mengenakan pakaian serupa itu" "Apakah tuan ingat, dimana tuan melihat pakaian serupa itu yang terakhir kali?" Meskipun Rudira t idak senang mendengar pertanyaan itu, tetapi ia mencoba mengingat-ingat. Namun ia menggelengkan kepalanya "Tida k. Aku tidak me mpunyai kese mpatan mengingat-ingat pakaian petani kecil" "Tetapi petani yang seorang ini agak lain Raden" sahut Sura ke mudian. "Maksudmu?" "Apakah tuan ingat pada petani yang tuan cari?" "Ya" "Pakaiannya?" Rudira mengingat-ingat sejenak. Lalu tiba-tiba ia berkata lantang "Ya. Itulah yang kita cari. Orang yang mengenakan pakaian itu. Tentu ia orang Sukawati. Kita akan segera
mene mukannya. Bahkan mungkin ia orang pesanggrahan ini pula" "Raden" berkata Sura kemudian "Jika tuan menghubungkan pakaian itu dengan petani dari Sukawati yang tuan cari, dan ceritera tentang pakaian itu oleh abdi pesanggrahan ini, tuan pasti akan dapat menga mbil kesimpulan" "He?" tiba-tiba wajah Rudira menjadi pucat. "Dan apakah tuan dapat me mbayangkan ke mbali bentuk petani dari Sukawati itu" "Tida k. Tidak" tiba-tiba Rudira berteriak. Namun ke mudian tubuhnya menjadi ge metar. Terbayang kembali petani yang dijumpainya di bulak Jati Sari. Petani yang bertubuh tegap kekar, dan mengenakan pakaian serupa yang tergantung di dinding itu. Atau bahkan pakaian itulah yang memang dipakainya. "Orang itu bertubuh tinggi, besar, bermata tajam. Ia me miliki ke ma mpuan yang ha mpir t idak terkatakan. Ia menguasai olah kanuragan yang se mpurna. Aku merasakan langsung sentuhan tangannya yang membuat aku ha mpir kehilangan se mua kekuatan" desis Sura. "Cukup, cukup" "Raden. Bayangkan wajah yang kotor oleh debu itu. Apakah Raden tidak mengena lnya" Aku tida k dapat segera mengenal waktu itu, tetapi setelah aku merenung justru sekarang aku mengetahui dan yakin . . . . . . . . . . . . . . " Kata-kata Sura terputus, karena tiba-tiba saja Rudira telah mena mpar mulutnya, sambil berteriak "Dia m, dia m kau" Sura hanya terdorong selangkah surut. Meskipun tangan Rudira itu terasa sakit di pipinya, namun ia meneruskan "Orang yang tuan cari se karang itulah Pangeran Mangkubumi"
"Dia m. dia m, dia m" Rudira berteriak-teria k, sehingga para pengiringnya mengerutkan keningnya. Tetapi mereka mendengar percakapan di dala m bilik itu. Dan merekapun menjadi berdebar pula karenanya. Surapun ke mudian terdia m. tetapi rasa-rasanya dadanya sudah menjadi lapang. Yang tidak pernah berani dilakukan, telah dilakukannya. Selagi Rudira me mbentak-bentak, bahkan telah mena mpar pipinya, ia masih juga berbicara terus dan berhasil mengucapkan na ma itu, Pangeran Mangkubumi. Ternyata nama itu telah me mpengaruhi setiap dada dari para pengiring Raden Rudira. Jika yang dikatakan Sura itu benar, apakah mungkin mereka akan meneruskan usaha mereka untuk mene mukan petani yang deksura di bula k Jati Sari itu". Suasana yang tegang sejenak telah mencengka m se mua orang di dala m iring-iringan Putera Pangeran Ranakusuma yang sedang dicengkam oleh kebimbangan. Kadang-kadang ia berusaha juga membayangkan wajah Petani yang dijumpainya di Jati Sari. Na mun t iba-tiba ia menggeleng sa mbil menggeretakkan giginya, seolah-olah ia ingin menghalau pengakuan kenyataan yang di hadapinya. "Tida k mungkin, tidak mungkin" tiba-tiba ia me nggeram. Sura tidak menyahut. Ia mengerti bahwa yang dimaksud oleh Raden Rudira adalah petani yang dijumpainya di Jati Sari itu. Namun Sura sama sekali tidak berbuat sesuatu. Tidak berkata apapun juga dan t idak bergerak dari te mpatnya. Dan tiba-tiba saja Raden Rudira me mbentaknya "Kau berbohong Sura. Kau sudah menjadi pengecut, Karena kau me lihat sikap orang-orang Sukawati, kau telah me mbuat bayangan khayal itu, agar aku mengurungkan niatku mencarinya dengan menjelajahi seluruh wilayah Sukawati. Sura tidak me njawab. Kepalanya tertunduk dala m-da la m,
"Aku tidak percaya. Besok kita meneruskan usaha ini. Aku harus mene mukannya dan me mbawanya ke istana Ranakusuman" geram Raden Rudira. Meskipun de mikian terasa betapa ia sedang berusaha mengatasi gejolak di dala m hatinya sendiri. Dala m pada itu Sura masih tetap dia m. Ia masih saja menundukkan kepalanya. Ia sudah mengatakan apa yang tersirat di hatinya. Dan ia sudah puas karenanya, Apapun yang akan terjadi atas Raden Rudira dan pengiringnya termasuk dirinya sendiri tergantung sekali kepada sikap dan tanggapan Raden Rudira. Sura terkejut ketika tiba-tiba saja Raden Rudira berteriak "Pergi, pergi kau pengecut" Sura me mbungkukkan badannya dala m-dala m. Ke mudian iapun melangkah surut sambil terbungkuk-bungkuk pula meninggalkan bilik Raden Rudira itu. Di luar Sura segera dikerumuni oleh kawan-kawannya dan pengawal khusus dari Ranakusuman itu. Sambil berbisik-bisik mereka minta agar Sura menjelaskan, kenapa ia menyebutnyebut nama Pangeran Mangkubumi. "Itulah Pangeran Mangkubumi" berkata Sura ke mudian "Tida k seorangpun yang dapat menatap tajam pandangan matanya. Kekuatan yang ada di dalam dirinya bagaikan kekuatan seratus banteng ketaton, dan ilmu kanuragan yang dikuasainya, meliputi segala maca m ke mungkinan yang ada. Namun ternyata hatinya bersih sebersih mata air di lereng pegunungan" "He, apakah kau sedang bermimpi?" bertanya salah seorang kawannya yang tahu benar tentang keadaan Sura selama ini. di "Aku sadar, bahwa aku adalah penjilat yang paling rendah dala m Ranakusuman. Tetapi menghadapi Pangeran
Mangkubumi aku me mpunyai kesan tersendiri di antara para Pangeran yang. ada di Surakarta" Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepa lanya. Salah seorang dari mereka mendesak "Jadi menurut dugaanmu, petani yang kita jumpai di bulak Jati Sari itulah Pangeran Mangkubumi itu sendiri" "Ya. Dan ini bukan sekedar bayangan ketakutan karena aku berada di tengah-tengah rakyat Sukawati yang aneh, yang diliputi oleh rahasia ini. Tetapi ketika aku melihat pakaian yang tergantung di gandok sebelah kiri, dan abdi pasanggrahan ini menyebut bahwa pakaian itu adalah pakaian Pangeran Mangkubumi. maka aku mulai merenungi wajah itu lagi. Wajah yang waktu itu kotor oleh keringat dan debu. Tetapi kalau kita berhasil me mbayangkan ke mbali sorot matanya, ialah Pangeran Mangkubumi itu" "Ah" berkata salah seorang pengawa l "mungkin kau keliru. Apakah Pangeran Mangkubumi merendahkan dirinya berpakaian sebagai seorang petani dan berjalan menyusuri bulak Jati Sari" "Me mang ha mpir mustahil. Tetapi aku meyakininya" "Aku kenal betul wajah Pangeran Mangkubumi" berkata salah seorang pengawal "Jika kita berhasil menjumpainya, aku akan dapat mengenal" "Tetapi dala m pakaian seorang petani yang kotor dan kumal, serta wajah yang basah oleh keringat dan noda-noda debu, wajah itu me mang berubah, sehingga aku tidak segera dapat mengenalnya. Tetapi sekarang aku yakin. Yakin sekali" suara Sura menjadi se ma kin mantap. Tidak seorangpun yang ke mudian menyahut. Tetapi mereka mencoba me mbayangkan ke mba li wajah petani itu, kecuali para-pengawal yang saat itu tidak ikut bersama mereka.
"Seperti kita me lihat bintang Bima Sakti" tiba-tiba salah seorang berdesis. "Maksudmu?" bertanya Sura. Semakin taja m kita berangan-angan maka bentuk itu menjadi sema kin je las, seolah ada gambar Bima yang cemerlang di langit yang terjadi dari taburan bintang-bintang yang gemerlapan. Tetapi itui adalah ga mbaran kita sendiri. Kitalah yang me mbuat gambar Bima itu. Tidak di langit, tetapi di dala m angan-angan kita" "O, jadi ma ksudmu de mikian juga dengan petani dari Jati Sari itu?" sahut Sura "Kita sendirilah yang me mbuat gambaran seolah-olah orang itu Pangeran Mangkubumi" Ga mbaran kitalah yang menyesuaikan bentuk orang itu dengan Pangeran Mangkubumi?" "Itulah yang benar" tiba-tiba mereka terkejut. Ternyata Rudira mendengarkan percakapan mereka, dan tiba-tiba saja ia menyahut ketika ia sudah berdiri di a mbang pintu biliknya. Selangkah de mi selangkah Raden Rudira berjalan mende kati para pengiringnya. Satu-satu dipandanginya wajahwajah yang kemudiar tertunduk. Lebih-lebih lagi Sura. Ia merasa bahwa kepercayaan Rudira kepadanya semakin menurun. Namun ada sesuatu yang melonjak di dala m hatinya. Kekaguman yang luar biasa kepada sikap Pangeran Mangkubumi. Di dala m angan-angannya terbayang kebesaran Pangeran itu Seakan-akan seisi Kade mangan Sukawati ini berada di dala m gengga mannya. Setiap orang mengarahkan kiblat pandangan hidupnya kepada Pangeran Mangkubumi. Setiap kali na ma itu selalu diucapkan oleh siapapun juga di dalam Kade mangan ini. Tetapi jiwa Sura yang kerdil tidak cukup kuat untuk mengungkapkan perasaannya itu. Bagaimanapun juga telah hidup untuk bertahun-tahun la manya sebagai seorang penjilat di dala m istana Pangeran Ranakusuma. sehingga untuk
me lepaskan diri dari jalan hidup yang sudah terlalu la ma dihayatinya itu terlampau sulit baginya. Dengan demikian, ketika Raden Rudira berdiri di hadapannya, kepalanya menjadi se makin tunduk. Ia sendiri tidak dapat mengatakannya, kekuatan apakah yang telah mendorongnya untuk mcnyatakan keyakinannya, bahwa orang itu adalah Pangeran Mangkubumi. Tetapi kini ia sa ma seka li tidak me mpunyai keberanian untuk me mpertahankan keyakinannya itti. "Sura" berkata Raden Rudira ke mudian "Aku tida k tahu, kenapa tiba-tiba kau sudah berubah. Sudah bertahun-tahun kau berada di Ranakusuman. Selama ini kau adalah abdi yang paling setia dan kau me mang me miliki kelebihan dari kawankawanmu. Tetapi tiba-tiba kini kau berkerut menjadi seorang pengecut" Sura tidak menjawab, tetapi kepalanya menjadi se makin tunduk "Hanya karena kau sudah la ma berada di Ranakusuman, maka aku tetap me mbiarkan kau pada kedudukanmu yang sekarang. Tetapi jika kau benar-benar sudah tidak bermanfaat lagi bagi kami, kau akan segera tersisih, karena orang lain cukup banyak yang memiliki syaratsyarat seperti yang kau miliki sekarang" Sura masih tetap me mbeku. Dala m keadaan ymg de mikian rasa-rasanya ia sama se kali tidak me mpunyai kese mpatan apapun juga melain menundukkan kepalanya. Sura dalam keadaan yang demikian, sama sekali tidak mencerminkan kekasaran yang keganasannya seperti apabila ia sedang berkelahi. Berkelahi untuk kepentingan tuannya yang selama ini telah melimpahkan pe mberian kepadanya dan kepada keluarganya. Tetapi adalah aneh sekali, bahwa di saat ia harus menunduk se makin dalam, ada perasaan lain yang menyelinap di dala m hatinya. Setiap kali perasaannya itu selalu
dipengaruhi oleh na ma yang bagaikan berge ma tidak ada henti-hentinya di se luruh Kade mangan Sukawati. "Alangkah bedanya" katanya di dalam hati "Aku dan orangorang Sukawati. Aku seorang abdi dan orang-orang Sukawati itu juga seorang abdi seperti abdi pesanggrahan itu, tetapi rasa-rasanya mereka tidak harus selalu menundukkan kepalanya" Bahkan terbayang di rongga mata Sura itu. bahwa abdi Mangkubumen kadang-kadang sempat juga berkelakar dengan Pangeran Mangkubumi, me mberikan pendapat dan pertimbangan, bahkan sa mpa i pada persoalan-persoalan yang penting dan pribadi. "Ah tentu tidak" Sura berkata kepada dirinya sendiri "itu pasti hanya gambaranku saja. Seperti aku menciptakan bentuk Bima Sakti di langit karena angan-anganku" Sura terkejut ketika Rudira berkata "Sura. Kau harus mencoba me mperbaiki kesalahan-kesalahan yang le lah kau perbuat untuk. mengembalikan kepercayaanku dan ayahanda Pangeran Ranakusuma kepada mu. Kalau kau tidak berhasil, maka nasibmu akan menjadi sangat jelek" Tanpa disadarinya Sura mengangguk perlahan sa mbil menjawab Ya tuan. Aku akan mencoba me mperbaikinya" Namun suasana itu tiba-tiba telah dipecahkan oleh suara tertawa perlahan. Hampir berbareng setiap orang berpaling kearah suara itu. Ternyata salah seorang pengawal yang ikut serta di dalam iring-iringan itu menutup mulutnya dengan telapak tangannya. "Kenapa kau tertawa?" bertanya Raden Rudira. "Pengecut itu" jawabnya sambil menunjuk Sura. Wajah Sura menjadi merah pada m. Tetapi ia tidak sempat menjawab ketika Rudira berkata "Teruskan. Kau tentu me mpunyai alasan untuk menyebutnya sebagai pengecut"
"Ia menjadi ketakutan me lihat sepotong pakaian tergantung di dinding seperti ceriteranya sendiri" "Kau benar" berkata Raden Rudira. Ketika ia berpaling me mandang wajah Sura, dilihatnya orang itu menggertakkan giginya "Jangan marah. Ia berkata sebenarnya. Aku me mang sudah berpikir untuk me mberikan kese mpatan kepada orang lain. Tetapi sudah aku katakan, bahwa karena kau sudah terlalu lama berada di Ranakusuman, maka kau masih mendapat kesempatan jika kau berhasil me mulihkan kepercayaanku kepadamu. Terutama selagi kita berada di dalam keadaan yang gawat sekarang ini" Sura tidak me nyahut. Sekali-sekali ia masih me mandang pengawal itu dengan sudut matanya. Tetapi pengawal itu seolah-olah acuh t idak acuh saja. Tanpa disadarinya Sura mulai menilai pengawal itu. Sudah la ma ia me ngenalnya. Tetapi ia tidak menduga sa ma sekali, bahwa pada suatu saat ia akan berbuat de mikian. Tubuhnya yang tinggi kekar dan dijalari oleh otot-otot yang kuat, membayangkan keadaan orang itu. Tidak jauh badannya dengan dirinya sendiri. Orang itupun dapat juga disebut raksasa di Ranakusuman. Dan agaknya orang itu sengaja me mancing persoalan di dala m saat yang menguntungkan itu
baginya. Arahnya dapat jelas dilihat oleh Sura, bahwa orang itu ingin menggantikan kedudukannya. Tetapi di dala m hal yang demikian, Sura adalah orang yang kasar, dan bahkan hampir liar. Karena itulah maka jantungnya segera dibakar oleh denda m yang menyala di dadanya. "Kalau ada kese mpatan, aku akan menyelesaikan masalah ini" katanya di dalam hati. Tetapi Surapun sadar, bahwa orang itu pasti tahu juga akibat yang bakal dihadapinya. Dan agaknya urang itupun sama sekali tida k takut. "Me mang salah seorang dari ka mi harus pergi" berkata Sura di dala m hatinya. Tetapi se mentara itu, pengawal yang bertubuh ra ksasa seperti Sura itupun berkata di da la m hatinya "Kau sudah terlalu la ma berkecimpung dala m genangan pe mberian yang berlimpah-limpah dari Pangeran Ranakusuma dan Raden Rudira hanya karena kau me mbasahi tanganmu dengan darah. Akupun dapat berbuat seperti kau, dan salah seorang di antara kita me mang harus pergi dari Ranakusuman. Di Ranakusuman cukup ada seorang raksasa saja, dan yang seorang harus pergi" Tetapi keduanya menyimpan masalah itu di da la m hati mereka. Kini mereka harus mendengarkan Rudira berkata "Besok kita teruskan usaha ini. Kita tidak menghiraukan kicau abdi pesangerahan ini tentang pakaian yang tergantung di dinding gandok kiri itu" "Kita sudah siap" berkata pengawal yang bertubuh raksasa itu, sementara Sura hanya menganggukkan kepalanya saja. "Sekarang ka lian boleh beristirahat" Ketika Rudira masuk ke dala m bilik yang disediakan olehnya, Sura dan pengawal yang bertubuh raksasa itu saling me mandang untuk, beberapa saat. Namun mereka sama sekali t idak berbicara apa-apa, karena beberapa orang yang
mengerti akan keadaan itu Segeja berusaha mengalihkan perhatian mereka berdua. Sura yang hatinya sedang dibelit oleh berbagai persoalan itu sama sekali tidak menghiraukan lagi kawan-kawannya. Ia langsung me mbaringkan dirinya diatas tikar disudirt ruangan. Sedang beberapa orang yang lain masih juga duduk sa mbil berbicara. "Suasana menjadi panas" berkata salah seorang pengiring Rudira "pengawal itu terlampau bernafsu. Sebenarnya ia dapat mencari kese mpatan lain" "Akibatnya tentu tidak menyenangkan bagi keduainya" sahut yang lain. Tetapi suara mereka seakan-akan hanya dapat mereka dengar sendiri. Mereka menganggap bahwa para pengawal pasti berada di pihak raksasa itu. Tetapi ternyata bahwa kawani pengawal yang bertubuh raksasa itupun kecewa terhadap sikap itu. Namun de mikian mereka tidak berniat untuk menca mpurinya. Meskipun pada umumnya mereka adalah orang-orang yang me miliki ke ma mpuan mela mpaui orang kebanyakan, namun mereka segan untuk bertengkar dengan kawan sendiri di pihak manapun mereka akan berdiri. Demikianlah maka ma la m itu mereka me mbaringkan diri masing masing dengan ketegangan yang menyesak di dala m dada. Bukan saja karena kawan-kawan mereka bertengkar, tetapi juga karena petani yang mengandung rahasia itu. Dengan de mikian, maka ha mpir t idak seorangpun yang dapat tidur nyenyak. Sura yang tampaknya berbaring dia m di sudut ruangan ternyata hatinya bergolak semakin dahsyat. Semakin tenang keadaan ruangan itu, terasa hatinya menjadi semakin sakit mengingat sikap pengawal yang bertubuh raksasa itu. "Mandra me mang sudah gila" katanya di dala m hati "Aku tidak menyangka bahwa ia begitu bernafsu dan tanpa malu Pedang Pembunuh Naga 17 Prabarini Karya Putu Praba Darana Golok Naga Kembar 4
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama