Ceritasilat Novel Online

Bunga Di Batu Karang 37

Bunga Di Batu Karang Karya Sh Mintardja Bagian 37


Ketika pasukan berkuda yang berada di ujung pasukan itu sampai ditebing, maka kapten Kenoppun me merintahkan pasukannya berhenti sejenak. Dipandanginya obor-obor dihadapannya merayap menjauhi tebing diseberang sungai. Tetapi jarak mereka justru menjadi se makin de kat. Tetapi dala m pada itu, fajar masih belum menyingsing, meskipun bintang-bintang sudah jauh bergeser ke Barat. Namun agaknya dini hari sudah terla lu dekat sehingga kapten Kenop merasa perlu untuk me mperingatkan pasukannya. Baru sesaat ke mudian, maka kuda yang perta mapun menuruni tebing yang curam, tetapi yang ternyata memang ada jalur jalan yang tidak terlalu sulit untuk dilalui. Namun seperti yang diperingatkan oleh kapten Kenop, mereka yang me mbawa meria m me mang harus berhati-hati sekali, agar roda-roda meria m itu tida k tergelincir sehingga meria m-meria m kecil itu akan jatuh terlentang. Agaknya beberapa orang harus ikut menahan pada saat kuda-kuda yang menarik meria m itu menuruni tebing. Demikianlah pasukan berkuda yang dipimpin kapten Kenop itulah yang pertama-tama menyeberang. Kemudian induk pasukannya yang berjalan beriringan dibela kang diba-wah pimpinan Pangeran Yudakusuma dan Mayor Bilman. "Kita sudah berjalan cukup jauh dari Gebang" berkata Mayor Bilman. "Ya" jawab Pangeran Yudakusuma "tetapi Sukawati-pun masih cukup jauh. Sebentar lagi langit akan dibayangi oleh fajar, dan kitapun akan cepat bergerak me nghancurkan pasukan itu." "Kita a kan melumatkannya" gera m Mayor Bilman. "Tetapi ingat, jika diantara mereka terdapat keluarga yang tidak bersalah. Perempuan dan anak-anak, maka mereka
bukannya sasaran me mperingatkan.
kita." Pangeran Yudakusuma Mayor Bilman tida k menjawab. Tetapi sebenarnyalah didala m hatinya terbersit pikiran seperti juga kapten Kenop, bahwa tanggung jawab akan terletak kepada Pangeran Mangkubumi yang justru me mpergunakan perempuan dan anak-anak sebagai perisa inya. Namun ternyata terjadilah hal yang sama seka li t idak diduga-duga. Kapten Kenop yang me mimpin pasukan berkuda masih tetap menganggap bahwa jarak mereka dengan pasukan Pangeran Mangkubumi yang diikut inya masih tetap cukup jauh, meskipun ia akan dapat menyergapnya dengan tiba-tiba. Ketika pasukan berkuda itu naik keatas tebing diseberang, mereka masih tetap melihat obor-obor itu dihadapan mereka. Demikian langit mulai terang, maka pasukan berkuda itu akan segera berpacu menghantam pasukan itu dari arah sebagaimana di kehendakinya. Tetapi yang terjadi benar-benar diluar perhitungan kapten Kenop dan para Senapati dalam pasukan kumpeni dan prajurit Surakarta itu. De mikian pasukan itu naik ke atas tebing, tibatiba telah datang serangan yang mengejut dari arah depan. Ternyata pasukan Pangeran Mangkubumi yang sebenarnya bukannya iring-iringan yang me mbawa obor itu. Tetapi pasukan itu telah menunggu mereka diatas tebing. Serangan yang tiba-tiba itupun sangat mengejutkan. Beberapa orang kumpeni dari pasukan berkuda itu tidak sempat me lawan. Demikian orang-orang yang bersembunyi dibalik tanggul, gerumbul-gerumbul dan bebatuan itu me loncat menyergap sambil berteriak nyaring, maka beberapa orang kumpeni telah terle mpar dari punggung kuda mereka. Betapa kemarahan telah menghentak didada kapten Kenop. Sebagai seorang perwira yang me miliki penga la man yang luas dan yang pernah menjelajahi sa modra dan benua, maka iapun
cepat menga mbil sikap. Dengan pedang teracu, maka iapun telah meneriakkan aba-aba bagi pasukannya. Beberapa orang dari pasukan berkuda itu berusaha na ik keatas tebing untuk mendapatkan pancatan perlawanan seperti yang dikehendaki oleh kapten Kenop. Ia sendiri sudah berada diatas. Dengan pedang ditangan iapun segera menga muk seperti singa kelaparan Se mentara itu beberapa orang anak buahnyapun berhasil naik keatas tebing dan bertempur bersa manya. Tetapi lawan terlalu banyak. Pasukan Pangeran Mangkubumi masih bermunculan dari balik batang-batang perdu dan pandan. Bahkan ada diantara mereka yang me lontarkan le m-bing-le mbing ba mbu berbedor besi yang runcing. Mayor Bilman yang me lihat keadaan itupun segera menga mbil sikap. Diperintahkannya pasukannya untuk cepat mengatasi kekalutan yang terjadi. Di atas tebing ternyata telah menunggu pasukan Pangeran Mangkubumi yang kuat "Kita sudah dikelabui oleh obor-obor itu" teriak Mayor Bilman "kita harus cepat mengatasi keka lutan dan menarik garis berlawanan yang je las." Sementara itu, prajurit Sura kartapun telah menga mbil jarak. Mereka menebar sepanjang sungai. Mereka harus mendaki tebing pada tebaran yang agak luas, agar mereka tidak dihancurkan justru dimedan yang terlalu se mpit. . Dengan de mikian, maka pasukan Surakarta itu me mencar sebelah menyebelah di bawah tebing. Baru ke mudian mereka me manjat naik. Mereka me mperhitungkan, bahwa pasukan Pangeran Mangkubumi berkumpul di hadapan kumpeni yang naik di jalur jalan menyeberang. Jika mereka berhasil, maka mereka justru akan dapat mejyerang pasukan Pangeran Mangkubumi yang menunggu diseberangi itu dari arah la mbung.
Tetapi perhitungan mereka itupun ternyata me leset. Ketika prajurit Surakarta itu menebar, maka tiba-tiba saja telah datang pula serangan dari dua arah. Dari balik gerumbul di pinggir kali di bawah tebing, dan dari balik bebatuan, telah muncul pula para pengikut Pangeran Mangkubumi dengan senjata telanjang. Bahkan ada diantara mereka yang lebih senang me mbawa sepotong bambu wuhing yang diruncingkan, menjadi tombak yang justru mengerikan. Ujung bambu yang rucing itu telah di basahi dengan minyak, ke mudian di panggang di panasnya api sehingga menjadi kehita m-hita man. Sebelum dipergunakan maka ujung ba mbu yang diruncingkan itu digosok dahulu dengan pasir dan dihunja mkan kepada tanah tujuh ka li. Dengan demikian seandainya mereka bertemu dengan lawan yang kebal atau me mpunyai aji le mbu sekilan, maka kekebalan a kan dapat dite mbus. Kehadiran pasukan dari sebelah menyebelah itu telah mena mbah kebingungan pasukan Sura karta. Mereka tidak sempat me manjat tebing, karena segera mereka terlibat dalam pertempuran diatas bebatuan. Mereka berloncatan dan saling menyerang dalam keadaan yang kisruh. Kedua belah pihak tida k se mpat me masang gelar, sehingga yang terjadi ke mudian ada lah perang brubuh. Pangeran Yudakusuma ternyata masih tetap ma mpu berpikir dengan tenang. Iapun ke mudian me merintahkan menarik sebagian dari pasukannya yang masih belum turun tebing. Pasukan itulah yang akan me mbentuk ge lar, dan yang ke mudian akan maju dengan teratur. Tetapi sekali lagi rencana itu tidak dapat dilakukannya. Selagi kekuatan terjadi, maka dari bela kang, pasukan yang kuat telah menerka m pasukan Pangeran Yudakusuma. Ternyata pasukan kumpeni dan prajurit Sura karta itu telah dikepung rapat. Dihadapan mereka adalah pasukan yang datang dari Sukawati. Kemudian dari sebelah menyebelah dan
yang kemudian menghantam mere ka dari belakang adalah pasukan yang se mula berada di Gebang. Berita yang dibawa olah Rara Warih telah sempat dipergunakan sebaik-ba iknya, sehingga dengan persiapan yang mapan, maka pasukan Pangeran Mangkubumi telah berhasil menjebak kumpeni dan para prajurit dari Surakarta. Pertempuranpun ke mudian berlangsung dengan sengitnya. Sementara itu, ketika terdengar ledakan-ledakan senjata api mulai me mbelah hiruk pikuk pertempuran, maka obor-obor yang semula diikut i oleh kumpeni itupun segera pada m. "Gila" kapten Kenop mengumpat" mereka telah menjebak kita dengan licik," Sementara itu, orang-orang yang semula me mbawa obor itupun telah berkumpul. Mereka adalah orang-orang yang sengaja telah me mencar dengan obor pada jarak yang jauh. agar dengan demikian, dari kejauhan dan didala m kegelapan, nampak seolah-olah satu iring-iringan yang panjang dari sekumpulan orang yang cukup banyak. Namun sebenarnya jumlah mereka tidak terlalu banyak. Bahkan hanya beberapa puluh orang saja. Diantara mereka justru wanita yang bersedia berbuat sebagaimana kewajiban mereka di peperangan. Pada suatu saat mereka harus menyediakan ma kan dan minum bagi para prajurit dimanapun mereka berhenti. Juga diantara mereka terdapat orang-orang yang akan dapat me mbantu melakukan pengobatan atas mereka yang terluka. Ketika mereka menyadari bahwa perte mpuran telah berkobar di sunga i sebagaimana me mang telah direncanakan, maka seke lompok orang itu telah bersiap-siap dan justru bergerak mendekat, meskipun t idak terjun kearena karena mereka me mpunyai tugas tersendiri. Pada mereka terdapat bukan saja makanan yang siap dibagikan, tetapi juga bahanbahan yang perlu mereka a mankan dari Gebang.
Didala m kelompok itu terdapat Rara Warih yang datang ke Gebang untuk menya mpaikan pesan ibunya. Selain Warih, Arumpun telah mengawaninya pula. Na mun diantara kelompok itu terdapat pula beberapa orang yang siap bertempur apabila diperlukan. "Agaknya pertempuran itu telah menjadi dahsyat sekali" desis Rara Warih. "Ya puteri. Tetapi kita yakin, bahwa pasukan Pangeran Mangkubumi yang kuat akan menang. Puteri ternyata telah menyeia matkan ka mi dari kehancuran mut lak. Melihat kekuatan kumpeni dan pasukan dari Surakarta, kita tidak akan dapat melawannya apabila kita harus berhadapan dala m garis perang. Tetapi dalam sergapan yang tiba-tiba demikian, kesempatan bagi kumpeni tidak terlalu banyak. Merekapun tidak akan dapat me mpergunakan meria m-meria m mereka, karena perang yang terjadi adalah perang brubuh." jawab Arum. Rara Warih mengangguk-angguk. Iapun telah mendengar bahwa bukan saja pasukan yang berada di Gebang yang telah dikerahkan. Tetapi juga pasukan yang berada di Sukawati dan padukuhan-padukuhan di sekitarnya. Sebenarnyalah bahwa pertempuran yang terjadi adalah dahsyat sekali. Pasukan Pangeran Mangkubumi ternyata merupakan pasukan yang kuat tangguh. Bahkan sebagian dari mereka telah berada dimedan sebagaimana sebagian dari kumpeni dan pasukan berkuda. Dipimpin oleh Raden Juwiring maka pasukan yang terlatih telah bersiap me lawan kumpeni dan prajurit Sura karta dari pasukan berkuda. Da la m ke kalut an perang itu, Juwiring yang berada disebuah padukuhan terdekat dari jebakan itu telah mucul bersama pasukannya. Sementara itu, sebagian dari kumpeni yang marah, berusaha melepaskan diri. Mereka mendenda m terhadap orang-orang yang semula me mbawa obor dan me mancing mereka mengikuti sehingga mere ka sa mpai ketempat jebakan.
Karena itu, maka sebagian dari kumpeni dan prajurit Surakarta dari pasukan berkuda, telah menerobos pasukan Pangeran Mangkubumi. Dengan ke marahannya yang menghentak-hentak jantung mereka berusaha me mburu orang-orang yang membawa obor. yang kemudian mereka sadari tentu tidak sebanyak yang mereka duga. Namun dala m pada itu, orang-orang yang ada didalam kelompok kecil itupun telah bersiap pula. Mereka melihat sekelompok kecil itupun telah bersiap pula. Mereka melihat sekelompok orang-orang berkuda berpacu kearah mere ka. "Minggirlah" Arumlah yang ke mudian mengatur perempuan-pere mpuan yang ada diantara mereka "kalian tentu tidak akan ma mpu me lawan pasukan berkuda itu. Biarlah para pengawal me nyelesaikan." Perempuan-pere muan itupun ke mudian segera menepi. Bahkan merekapun telah menyeberangi parit dipinggir jalan dan berdiri di belakang tanggul. Se mentara itu, beberapa orang pengawal yang ada diantara mereka telah bersiap dengan senjata masing-masing. Tetapi dala m pada itu, ternyata Juwiring me libat ke licikan pasukan berkuda itu. Karena itu, bersama beberapa orang kawannya iapun telah me mburunya. Sejenak kemudian, maka telah terjadi pula pertempuran antara dua kelompok pasukan berkuda. Juwiring, Buntal dan kawannya telah bertempur dengan pasukan berkuda yang dikejarnya dan kawan-kawannya. Pertempuran, berkuda itupun telah terjadi dengan sengitnya. Ternyata yang memburu kumpeni dan pasukan berkuda Surakarta itu diantaranya adalah bekas anak buah Juwiring ketika ia masih menjadi salah seorang Senapati muda dalam lingkungan pasukan berkuda di Surakarta.
Karena itu, maka pertempuran itupun telah terjadi dengan sengitnya. Masing-masing me miliki kelebihan sesuai dengan perkembangan setiap pribadi didala m pasukan itu. Dala m perte mpuran yang sema kin sengit, ma ka beberapa ekor kuda telah tejun ke sawah yang basah, tetapi ada juga diantara mereka yang bertempur di sawah yang kering. Namun tanaman jagungpun telah menjadi rusak dan berserakan. Ketika seorang kumpeni terle mpar dari kudanya yang terperosok kedala m parit, maka dengan serta merta, iapun segera bangkit berdiri. Tetapi ternyata ia tidak berlari mengejar lawannya yang berkuda. Dendam dan ke marahannya tidak terkendali lagi, sehingga ketika ia melihat beberapa orang perempuan, maka tiba-tiba saja ia berteriak "Tentu kalianlah yang telah mengelabui ka mi dengan oborobor itu." Perempuan-pere mpuan itu menjadi sangat ngeri. Ketika kumpeni itu ke mudian mendekati mereka dengan pedang teracu, maka merekapun menjadi saling berdesakan. Sementara itu, pertempuran menjadi se ma kin dahsyat. Di sungai yang bertebing curam itu, telah terjadi pertempuran yang dahsyat antara pasukan Pangeran Mangkubumi yang besar menghadapi kumpeni dan prajurit Surakarta segelar sepapan. Namun agaknya sergapan pertama dari pasukan Pangeran Mangkubumi ikut pula menentukan. Kecuali yang bertempur di antara tebing yang curam itu. terjadi juga pertempuran berkuda yang sengit. Kuda-kuda berlarian dan meringkik keras-keras. Para penunggangnya telah bertempur dengan ilmu masing-masing yang berbeda watak dan tabiat. Namun kedua belah pihak adalah pasukan terpilih yang me mpunyai kelebihan dari para prajurit yang lain. Ketika langit menjadi terang, ma ka pertempuran itupun menjadi se makin jelas. Sungai yang bertebing cura m itu
bagaikan menga lirkan darah. Airnya menjadi merah dan pasir te-piannyapun telah ditaburi dengan tubuh yang terbujur lintang. Di tepian Mayor Bilman bertempur dengan garangnya Pedangnya terayun-ayun mengerikan. Beberapa orang pengawalnya yang terpilih bertempur disekitarnya menghadapi pasukan Pangeran Mangkubumi yang sedang marah. Sementara itu. Pangeran Yudakusuma pun berte mpur dengan dahsyatnya pula. Seperti badai ia menga muk, sehingga dengan demikian maka senjatanya telah menjadi merah karena darah. Diantas tebing, kapten Kenop memimpin pasukan berkuda me lawan pasukan Pangeran Mangkubumi yang datang dari Sukawati. Betapapun garangnya kapten yang di segani oleh bajak laut yang paling buas sekalipun itu, ternyata mengala mi kesulitan. Pasukan Pangeran Mangkubumi menyerangnya dari segala arah. Mereka tidak menghiraukan kaki-kaki kuda yang akan dapat menginja k mereka sampai lumat. Ketika langit menjadi se makin terang, maka Arum berdiri tegak di paling depan dari perempuan-pere mpuan yang merasa ngeri melihat seorang kumpeni yang seakan-akan terlepas dari medan dan me ndekati mereka. Senjatanya teracu-acu, sementara mulutnya mengumpat-umpat. Matanya yang merah dan liar me mbuat wajah yang kemerah-merahan itu menjadi se makin mengerikan. "Aku akan me mbunuh kalian" gera m kumpeni itu "ka lian telah menjebak ka mi, sehingga banyak kawan-kawan ka mi yang mati." Tetapi Arum tidak menjadi gemetar. Sambil berdiri tegak dihadapan perempuan-pere mpuan itu, ia berkata "Jangan licik. Seharusnya kau tidak melawan pere mpuan-pere mpuan. Kenapa kau tidak mencari lawan diantara prajurit berkuda itu,"
"Aku nanti akan me mbunuh mereka. Tetapi sekarang aku akan me mbunuh kalian, karena kalian sama jahatnya dengan laki-laki pengkhianat yang manapun juga" jawab kumpeni itu. "Ka mi tidak akan menyerahkan leher ka mi" bentak Arum, Ditangan Arumpun telah tergengga m sehela i pedang pula. "Kau akan melawan aku ?" kumpeni itu menjadi heran. "Bukan sekedar melawan. Tetapi aku akan me mbunuhmu" Kumpeni itu menjadi ragu-ragu sejenak. Ketika ia berpaling, dilihatnya pertempuran menjadi se makin dahsyat di-manamana. Bahkan ke mudian itidak ada lagi batas antara kedua belah pihak yang bertempur dala m perang brubuh, dan bercampur-baur. Tetapi kumpeni itupun ke mudian berkata "Tidak ada gunanya kau melawan. Ke matianmu akan me njadi se ma kin sendat. Jika kalian menyerah, kalian akan cepat mati dengan tanpa merasakan sakit sa ma sekali, karena pedangku adalah pedang yang sangat tajam." Arum tidak menjawab. Tetapi iapun telah mengacukan pedangnya. Ketika seorang penunggang kuda berlari didekatnya sambil me mburu lawannya yang menghindar, Arum me mandanginya sejenak, sementara penunggang kuda itupun berpaling pula kepadanya. Namun agaknya penunggang kuda itu se mpat berteriak "Selesaikan saja orang itu Arum." Arum menarik nafas dalam-dala m. Dilihatnya Buntal itupun ke mudian telah terlibat pula dala m pertempuran berkuda yang sengit. Dala m pada itu, kumpeni itupun mengumpat sejadi-jadinya. Dengan senjata teracu ia mendekati Arum sa mbil berkata "Jika me mang itu yang kau kehendaki, baiklah. Kita akan bertempur."
Arum masih tetap diam. Tetapi ia mulai bergeser maju untuk menga mbil jarak dari pere mpuan-pere mpuan yang semakin berdesakan. "Mundurlah" berkata Arum kepada "biarlah aku me nyelesaikan orang ini." kawan-kawannya
Kemarahan kumpeni itu sudah tidak tertahankan lagi. Tibatiba saja ia telah meloncat sambil menjulurkan pedangnya lurus kearah dada Arum. Namun Arum sempat menangkis serangan itu. Bahkan iapun ke mudian me loncat selangkah kesa mping. Ke mudian sambil meloncat maju ia menyerang lawannya dengan ayunan yang cepat. Seperti yang pernah terjadi, ilmu pedang kedua orang itu berbeda pada dasarnya. Namun ketika dua jenis ilmu itu berbenturan, maka perte mpuran itupun menjadi seru se kali, Sebagai biasanya Arum bertempur sambil berloncatan. Sementara lawannya lebih banyak me nggerakkan kakinya yang setengah langkah berada didepan dengan lutut merendah. Na mun pada saat-saat yang tiba-tiba, lawannya itupun ma mpu pula berloncatan bukan saja maju dan mundur, tetapi juga kesa mping. Arum sa ma sekali tidak terkejut me lihat jenis ilmu kumpeni itu. Ia sudah pernah bertempur melawan ilmu seperti itu. dan ia ma mpu mengatasinya. Namun Arum se lalu ingat pesan ayahnya, kakak seperguruannya dan orang-orang yang lebih berpengalaman, bahwa orang asing itu lebih banyak me mperguna kan otaknya daripada tenaganya. Karena itu. maka Arum pun harus mengimbanginya. Ia harus benar-benar me mperhitungkan setiap ke mungkinan. Ia tidak dapat dengan serta merta berusaha mengalahkan lawannya dengan kekuatannya saja. dan mungkin kecepatannya bergerak saja. Rara warih yang berada diantara perempuan-perempuan yang menjadi ngeri itu pernah mendengar, bahwa Arumpun
ma mpu bertempur. Ia sudah melihat, bagaimana dengan pisau pisau kecilnya Arum me mbunuh seorang kumpeni dirumah-nya, sementara seorang yang lain telah dibunuh oleh Buntal. Namun kini ia melihat, bagaimana Arum itu bertempur dengan pedang ditangan melawan seorang kumpeni dala m kesempatan yang sa ma. Karena itulah, maka jantungnya menjadi semakin berdebardebar. Setiap kali Arum terdesak, darahnya serasa telah berhenti mengalir. Namun jantungnya serasa mengembang jika ia me lihat Arum itulah yang berhasil mendesak lawannya. Ternyata bertempuran yang terjadi seakan-akan terpisah dari pertempuran dala m keseluruhan itu telah mendebarkan hati perempuan-pere mpuan yang ke mudian bergeser menjauh. Jika ke mudian dapat dikalahkan, maka nasib mereka akan menjadi sangat buruk. Sementara itu pertempuran diantara pasukan berkuda itupun masih terjadi dengan sengitnya, sehingga rasa-rasanya tidak akan ada seorangpun yang akan sempat menolongnya. Di pinggir sungai, diantara tebing yang cura m meria mmeria m kecil berserakkan tanpa arti sa ma sekali. Senjata itu sama sekali tidak dapat dipergunakan oleh kumpeni. Bahkan senjata-senjata apipun kemudian tidak lagi terdengar me ledak. Mereka telah me masang sangkur dan bertempur pada jarak yang pendek. Tetapi senjata dengan sangkur itu tidak dapat dipergunakannya dengan tra mpil. Karena itu, maka mereka lebih setang melepaskan senjata mereka, dan ke mudian mencabut pedang yang ada dila mbung mereka. Dengan de mikian ma ka pertempuranpun me njadi se makin dahsyat. Kemampuan secara pribadi sangat diperlukan dalam perang brubuh yang me mbingungkan. Namun karena matahari telah me manjat naik, maka mereka telah dapat me mbedakan kawan dan lawan dengan je las.
Dala m pada itu, ternyata bahwa induk pasukan Pangeran Mangkubumi yang hampir lengkap karena kehadiran pasukannya di Sukawati'itupun ma mpu mengimbangi ke ma mpuan lawannya. Dengan hentakkan-hentakkan, mereka berusaha mengejutkan kumpeni dan pasukan Surakarta. Bahkan pasukan berkuda yang ma mpu mengimbangi pasukan berkuda Surakarta didalam ketra mpilannya itu, benar-benar tidak diduga. Meskipun jumlah pasukan berkuda Pangeran Mangkubumi tidak sebanyak kumpeni berkuda dan prajurit Surakarta dari pasukan berkuda, na mun kehadiran Juwiring dan kawan-kawannya itu telah me mbuat pasukan Surakarta menjadi agak bingung. Dala m pada itu, Juwiring, Buntal dan beberapa orang kawannya, ternyata berhasil menguasai lawan mereka yang marah kepada orang-orang yang me mbawa obor untuk menjebak mereka, yang jumlahnya juga tidak begitu banyak. Beberapa orang kumpeni telah terle mpar dari kudanya dan tidak sanggup lagi untuk bangkit. Karena itu, maka yang tersisa merasa tidak perlu lagi untuk bertahan terpisah dari pasukannya. Meskipun mereka menjadi kecewa bahwa mereka t idak dapat melepaskan denda m mereka, bahkan justru beberapa orang kawan mereka telah menjadi korban lagi. Dengan de mikian ma ka akhirnya Juwiring telah mendesak sebagian kumpeni dan prajurit Surakarta dari pasukan berkuda itu ke induk pasukannya, sehingga medan pertempuranpun ke mudian seolah-olah telah menyatu meskipun dala m tebaran yang luas. Namun kumpeni yang masih berte mpur me lawan Arum tidak segera dapat meningga lkan lawannya. Karena itu, maka ia mengumpat semakin kasar. Seolah-olah ia telah ditinggalkan sendiri oleh kawan-kawannya. Karena itu, ma ka iapun berusaha untuk segera dapat mengakhiri pertempuran itu. Tetapi Arumpun tida k mudah
untuk dipaksa menyerah. Ketika kumpeni itu meningkatkan serang-serangannya, maka Arumpun mengerahkan segenap ke ma mpuannya. Namun sejenak ke mudian, ketika orang-orang berkuda yang semula mendenda m dan ingin menghancurkan orangorang yang menjebak mereka dengan obor itu telah berhasil didesak ke mbali ke induk pasukannya, maka beberapa orang pengawal yang semula bersama dengan pere mpuanperempuan itupun telah mendekati mereka pula. Ketika mereka me lihat Arum berte mpur me lawan kumpeni, maka merekapun segera bergerak mengepungnya. Namun tiba-tiba saja seorang yang tertua diantara mereka me mberikan isyarat, agar mereka tidak me ngganggu. Tetapi kedatangan mereka ternyata telah membingungkan kumpeni itu. Selagi kepungan itu be lum rapat, ma ka kumpeni yang kehilangan akal itu tiba-tiba meloncat berlari untuk menyela matkan diri, karena ia mengira, bahwa orang-orang dari pasukan Pangeran Mangkubumi itu akan bersama-sama mencincangnya. Namun tinda kannya itulah yang justru telah menjerumuskannya kedalam keadaan yang sangat buruk. Orang-orang yang mendekat dengan senjata yang masih telanjang itu, telah dengan serta merta berusaha mencegahnya. Bukan saja dengan teriakan-teriakan. Tetapi senjata-senjata mereka telah terjulur, sehingga akhirnya kumpeni itu terkapar ditanah. Beberapa orang perempuan me mekik kecil. Rara Warih-pun ke mudian me malingkan wajahnya. Ia sudah beberapa kali me lihat orang yang terbunuh. Bahkan ia sendiri pernah me mbunuh seseorang diluar sadarnya. Namun setiap kali, ke matian me mbuat jantungnya serasa berhenti menga lir. Dala m pada itu. pertempuran na mpa knya masih akan ber langsung la ma. Dengan demikian, maka pimpinan kelompok itupun telah menga mbil satu kebijaksanaan. Ditugaskannya
beberapa orang pengawal untuk mengantar perempuanperempuan itu melanjutkan perjalanan ke padukuhan terdekat yang berada dibawah pengaruh Pangeran Mangkubumi. "Aku akan me laporkannya kepada Ki Wandawa" berkata pemimpin kelompok itu" di te mpat itu, kalian sebaiknya berusaha dapat menyediakan makan dan minum lebih banyak lagi. Se mentara itu kalian berada dite mpat yang lebih tenang." Sejenak pemimpin kelompok itu telah me ngatur untuk menyingkirkan perempuan-perempuan itu dari medan. Dalam keadaan yang cepat berkembang, maka kehadiran mereka di medan akan sangat berbahaya. Mungkin pasukan Pangeran Mangkubumi harus menghindar. Mungkin pula a kan ada sikap yang lain yang akan diambil oleh pimpinan tertinggi pasukan Pangeran Mangkubumi itu. Meskipun agak kecewa, Arum terpaksa me menuhi perintah untuk bersa ma-sama dengan pere mpuan itu menyingkir dari medan. Ia termasuk seseorang yang ikut mengawal untuk me lindungi pere mpuan-pere mpuan itu meskipun ia sendiri juga seorang perempuan. Demikian pere mpuan-pere mpuan itu meningga lkan medan maka pimpinan kelompok itupun telah mencari hubungan dengan Ki Wandawa di medan perang yang seru. Ternyata bahwa medan perang itupun telah berke mbang. Pasukan Pangeran Mangkubumi tidak berhasil me mbatasi pertempuran itu hanya di antara tebing yang curam dan ke mudian menutup arah sebelah menyebelah dengan pasukan yang kuat. Namun ternyata bahwa beberapa kelompok kumpeni dan prajurit Surakarta berhasil mene mbus pasukan Pangeran Mangkubumi, sehingga me mperluas medan. Namun de mikian, usaha kumpeni dan prajurit Surakarta itu tidak banyak me mberikan kesempatan kepada mereka. Pukulan perta ma pasukan Pangeran Mangkubumi terasa
sangat berat bagi mereka, sehingga kekuatan merekapun telah susut dengan cepat, Diantara pemimpin pasukan berkuda, kapten Kenop benarbenar seorang perwira yang luar biasa. Dengan memegang kendali di tangan kiri dan pedang ditangan kanan, maka ia menga muk bukan kepalang Kudanya berlari-larian seakanakan mengetahui setiap keinginan penunggangnya. Pedang kapten Kenop yang telah menjadi merah oleh darah itupun masih terayun-ayun mengerikan. Namun dala m pada itu, ketika pedangnya terayun kearah seorang anak muda yang me masuki arena dan langsung berusaha menghadapinya, ternyata pedang itu telah me mbentur ke kuatan yang mengejutkan. Anak muda dipunggung kuda itu ma mpu mengimbangi kekuatan kapten Kenop, seorang perwira yang me miliki pengala man yang sangat luas. "Persetan" dilumatkan." kapten itu menggeram "anak ini harus
Namun anak muda itu cukup cekatan. Kudanya dapat mengimbangi ke ma mpuan kuda kapten Kenop. Ketika kuda kapten Kenop berputar, maka kuda anak muda itu menya mbarnya diarah kiri, sehingga kapten Kenop harus secara khusus menangkis serangan ana k muda itu. Ternyata anak muda yang berada dipunggung kuda itupun bertempur dengan perhitungan nalarnya. Ia tidak sekedar dihentak oleh perasaan marah dan kebencian. Tetapi dengan hati-hati dan dengan perhitungan yang cermat ia menghadapi perwira yang telah menjelajahi sa modra dan benua itu. "Kau masih terla lu muda untuk mati" gera m kapten Kenop "siapa na ma mu he ?" "Juwiring" jawab anak muda itu.
Kapten Kenop me nggeram. Ia pernah mendengar namanya. Ia pernah mendengar nama seorang Pangeran yang berkhianat, justru seorang Senapati Agung. Dan iapun mendengar bahwa Juwiring yang ikut serta dalam pengkhianatan itu adalah anaknya. "Kalau kau yang bernama Juwiring" berkata kapten Kenop "maka kau me mang harus dibunuh." Juwiring tida k menjawab. Tetapi serangan kapten Kenop benar-benar menjadi se makin sengit. Tetapi Juwiring yang pernah mendapat latihan-latihan yang berat dalam pasukan berkuda di Surakarta, dan latihan-latihan kanuragan di padepokan Jati Aking. telah berusaha mengimbangi ke marahan kapten yang. menga muk seperti seekor singa itu. Dengan de mikian, diantara pertempuran berkuda itu. kapten Kenop telah bertempur melawan Juwiring. Kapten Kenop yang lebih tua dan lebih luas pengala mannya, harus berhadapan dengan seorang anak muda yang jiwanya bergelora oleh tuntutan kebebasan bagi nusa dan bangsanya. Gelora perjuangan yang bergejolak didala m dada Juwiring yang semula kurang diperhitungkan oleh kapten Kenop itu ternyata telah me mbuatnya berdebar-debar. Jika semula kapten Kenop hanya me mperhitungkan ke matangan anak muda itu bermain kuda dan pedang, sehingga ia merasa akan dapat dengan cepat menguasainya, maka ia telah salah hitung. Disa mping ke ma mpuan, ketrampilan dan kecepatan eerak. maka Juwiring telah digelorakan pula oleh jiwa pengabdiannya yang bagaikan me mbakar jantung. Gelora itulah yang ke mudian harus diperhitungkan pula oleh kapten Kenop. Sebab dengan gelora jiwa yang bagaikan mendidih didala m dada itu, Juwiring seolah-olah sa ma sekali tidak dipengaruhi oleh perasaan letih dan lelah.
Karena itu, meskipun keduanya telah bertempur untuk waktu yang la ma, Juwiring masih saja me miliki ketangkasannya seperti saat mereka baru bertemu. Kapten Kenop me ngumpat didala m hatinya, la adalah orang yang sudah matang dalam ilmu pedang menurut jenisnya. Pengalamannya pun merupakan pengala man yang sangat luas bukan saja dibumi Surakarta, tetapi di negeri-negeri lain yang berserakan di dunia ini. Na mun menghadapi ana k muda ini. kapten itu merasa betapa sulitnya untuk menundukkannya. Bahkan mungkin ia akan menga la mi kesulitan jika ia tidak segera dapat mene mukan cara untuk me mbunuhnya. Tetapi bukan hanya Kapten Kenop sajalah yang mengala mi kesulitan me lawan anak-anak muda Surakarta yang sudah bertekad untuk mengusir orang-orang asing yang perlahanlahan na mun dengan pasti akan menguasai Sura karta. Beberapa orang kumpeni yang berpengala man lainnyapun kadang-kadang telah menjadi bingung. Bahkan ada diantara mereka yang kehilangan kese mpatan sama se kali untuk meneruskan perte mpuran karena jiwanya telah direnggut pleh ujung tombak pengikut Pangeran Mangkubumi. Dala m pada itu Mayor Bilmanpun bertempur dengan garangnya diantara para pengawalnya. Satu demi satu Mayor yang matang dala m ilmu perang itu berhasil menyapu lawanlawannya. Seorang Senapati dari pasukan Pangeran Mangkubumi telah terlempar dengan dada terkoyak. Sementara yang lain telah terluka dan terpaksa menjauhinya. Sementara itu, di bagian la in dari arena pertempuran itu. Pangeran Yudakusuma, yang dikenal sebagai Senapati Agung dari Surakarta yang telah ditunjuk sebagai Panglima itupun bertempur dengan garangnya. Agak sulit bagi para pengikut Pangeran Mangkubumi untuk mengimbangi ke ma mpuan serta ilmunya. Seolah-olah Pangeran Yuda kusuma itu dipeperangan telah menggengga m sepuluh pedang dengan sepuluh tangannya.
Dengan demikian, maka perte mpuran itu se makin siang menjadi se makin riuh. Ketika keringat telah me mbasahi seluruh tubuh, ma ka para prajurit Surakarta, kumpeni dan pasukan Pangeran Mangkubumipun rasa-rasanya menjadi se makin panas. Kawan kawan mereka yang terluka dan bahkan yang terbunuh, me mbuat darah mereka bagaikan mendidih. Mereka mengenang saat-saat mereka masih bersendau gurau dan berkelakar menje lang fajar sambil menunggu saat-saat yang menegangkan itu. Namun yang ke mudian sudah terkapar tidak bernyawa tagi. Pertempuran yang dahsyat itu menjadi sema kin dahsyat. Di atas tebing yang curam. Di tepian dan justru di sungai itu sendiri me mbujur sebelah menyebelah. Ke mudian di atas tebing diseberang. Kuda-kuda berlarian, sambar menyambar dan bahkan kadang-kadang saling mendesak dan saling berbenturan. Dala m pada itu, Juwiring masih bertempur melawan kapten Kenop yang garang. Keduanya me miliki ke ma mpuan yang tinggi. Baik dala m mengendalikan kudanya, maupun dalam permainan senjata. Ketika langit menjadi se makin panas oleh matahari yang menjadi sema kin tinggi mendekati puncak langit, pertempuran itupun rasa-rasanya menjadi semakin mengerikan bagaikan amukan isi neraka. Darah, erang kesakitan, dentang senjata dan mayat yang terbujur lintang telah mewarna i arena pertempuran itu. Namun sebenarnyalah, baik kumpeni yang terlatih dan berpengalaman luas, prajurit Surakarta dan pasukan Pangeran Mangkubumi yang digelora kan oleh jiwa pengabdian, me mpunyai daya tahan yang luar biasa. Mereka tidak merasa betapa matahari bahkan telah me lalui punca k langit.
Dala m pada itu, ternyata bahwa kapten Kenop me mang me miliki pengala man yang lebih luas dan matang dari Raden Juwiring. Betapapun Raden Juwiring di la mbari dengan gejolak perjuangannya, namun sulit baginya untuk dapat mengimbangi ketra mpilan kapten yang garang itu. Bahkan agaknya kapten Kenop telah memperguna kan segala cara untuk dapat me menangkan perte mpuran itu. Karena itulah, maka kadang-kadang terasa betapa kapten itu lebih banyak me mperguna kan aka lnya. Dalam saat-saat yang hampir menentukan, kapten Kenop me macu kudanya meninggalkan lawannya. Namun tiba-tiba kuda itu berputar menyusup diantara pertempuran yang ge muruh. Usaha kapten Kenop untuk me mbakar hati anak muda ku akhirnya berhasil. Ke marahan Raden Juwiring perlahan-lahan telah me mbuat akalnya menjadi bura m. Seka li-seka li terdengar giginya gemeretak sambil berdesis "Pengecut. Jangan lari." Namun tiba-tiba saja Raden Juwiring terkejut, ketika kuda lawannya berputar dan pedangnya menyambar ha mpir mengenai kening. Kemarahan Raden Juwiring itulah yang menjadi salah satu sebab kegagalannya melawan kapten yang disegani itu. Dalam hentakkan perasaan, maka Juwiring kurang me mperhatikan para pengawal khusus kapten Kenop yang kadang-kadang ikut menjebaknya. Bahkan ke marahan Raden Juwiring telah hampir me mada mkan akalnya sama sekali, sehingga pada putaran berikutnya. Raden Juwiring telah me mburu kapten Kenop sambil me nghentak-hentakkan senjatanya. Tetapi pasukan berkuda yang melingkari Gebang terkejut. Mereka me lihat belum begitu jauh, pasukan Pangeran Mangkubumi meningga lkan Gebang. Sebagian dari mereka justru me mbawa obor untuk menerangi jalan yang mereka lalui.
Ia sama se kati tidak se mpat me mbuat perhitungan lagi, apakah yang kemudian akan dilakukan oleh kapten yang cerdik itu. Sebenarnyalah kagten Kenop telah merencanakan segalanya. Dengan tiba-tiba ia me mutar kudangnya, sehingga kudanya itu meringkik sa mbil melonja k berdiri. Na mun tepat pada saatnya, kapten Kenop telah berhasil menghadap serangan Raden Juwiring yang terkejut melihat sikap lawannya. Meskipun de mikian, Raden Juwiring masih se mpat menarik kendali kudanya, sehingga kudanya itu bergeser arah. Namun kapten Kenop masih ma mpu menjangkau Juwiring dengan pedangnya. Geseran yang tiba-tiba tanpa direncanakannya lebih dahulu, me mbuat Juwiring harus bertahan pada keseimbangannya. Karena itu, ia menjadi kurang dapat menanggapi serangan pedang lawannya. Meskipun ia berusaha menangkis serangan itu, tetapi ternyata bahwa pedang lawannya masih dapat merryusup pertahanannya, sehingga segores luka telah me nyobek pundaknya. Terdengar Juwiring mengeluh tertahan. Darahpun mulai menga lir me mbasahi paka iannya. Sementara itu perasaan sakit telah menyengat di tempat lukanya itu menganga. Bahkan tangan kanannya itupun rasa-rasanya menjadi bagaikan lumpuh oleh lukanya itu. Tetapi Raden Juwiring t idak mudah menyerah kepada keadaannya. Ia masih berusaha untuk me lawan. Namun ternyata tangannya memang sudah terlalu le mah. Sebelum ia sempat me mperbaiki keadaannya, kapten Kenop tida k mau me lepaskan korbannya. Dengan tangkasnya ia me mburu sambil mengayunkan pedangnya sekali lagi dari arah yang berlainan. Permainan senjata Juwiring me mang menjadi kabur. Ia tidak banyak dapat berbuat. Karena itu, meskipun ia berusaha menghindari sa mbil bergeser diatas kudanya, namun sekali
lagi pedang kapten Kenop dila mbung sebelah kiri.
ma mpu melukainya, justru Juwiring menggeretakkan giginya. Kemudaannyalah yang sebagian besar membuatnya kurang berhati-hati. Lukanya itu ternyata benar-benar telah menghisap sebagian dari ke ma mpuannya dan ketrampilannya bermain kuda dan bermain pedang. Yang terdengar kemudian adalah kapten Kenop tertawa pendek. Ia sudah siap menghentakkan pedangnya untuk yang terakhir dan mengakhiri pertempuran berkuda yang sangat me lelahkan itu. Namun tiba-tiba saja ia terkejut ketika seekor kuda menya mbarnya. Hampir saja pedang penunggang kuda itu mencabik dadanya. Namun kapten yang berpengala man itu masih se mpat menarik tubuhnya, sehingga hanya angin sambarannya sajalah yang telah menyentuh bajunya. "Gila" gera m kapten Itu. Ketika ia berpaling dilihatnya seekor kuda sedang berputar. Seorang anak muda telah siap untuk menyerangnya. "Kau juga ingin mati" geram kapten Kenop. Anak muda itu tidak menghiraukannya. Ia sudah siap untuk menyerang dengan pedang teracu. Namun sebelum anak muda itu me macu kudanya, tiba-tiba saja seorang penunggang kuda berbaju kutungan sepanjang siku berwarna wulung mengga mitnya sambil berkata "Ia bukan lawanmu. Raden Juwiring yang lebih berpengalaman itu menga la mi kesulitan melawan perwira yang berpengala man sangat luas itu." "Aku akan me mbunuhnya atau biarlah ia me mbunuh aku" jawab Buntal.
Tetapi orang itu tersenyum. Jawabnya "Biarlah yang tua ini sajalah yang menghadapinya." Buntal itldak se mpat menjawab lagi. Orang berbaju kurungan yang bersenjata tombak itupun telah menggerakkan kendali kudanya. Sejenak kemudian kudanya telah berlari menyerang kapten Kenop yang me mandanginya dengan heran "Orang gila mana pula yang datang ini" gera m kapten Kenop didala m hatinya. Tetapi ia t idak se mpat me mbuat pertimbanganpertimbangan. Orang berbaju kutungan itu telah menyerangnya. Ujung tombaknya ha mpir saja me matuk dadanya. Namun kapten Kenop berhasil menangkisnya. Meskipun demikian, kapten itu terkejut bukan buatan. Tenaga orang itu bukan saja dapat mengimbangi tenaga anak muda yang telah dilukainya itu, tetapi sentuhan itu benar-benar telah me mbuat tangannya menjadi bergetar. "Iblis tua" gera mnya "ma mpuslah kau" Kapten Kenop menjadi sangat marah. Dengan serta merta, iapun telah me mutar kudanya menyusul orang berbaju kurungan itu. Na mun orang itu telah me mutar kudanya dan menghadapinya* Demikianlah ma ka kapten Kenop itu telah mendapat lawannya yang baru. Seorang yang sudah setengah umur, berbaju kutungan berwarna wulung dan bersenjata tombak. Pakaian orang itu sama sekali tidak meyakinkan. Tetapi ketika tombaknya mulai berputaran dan menya mbar-nyambar maka kapten Kenop harus me nghadapi kenyataan, bahwa orang separo baya itu adalah seorang yang me miliki ilmu yang sangat tinggi. Dengan segenap kema mpuannya kapten Kenop telah berusaha untuk me mbunuh lawannya itu pula. Ia yang kecewa
karena Juwiring terlepas dari tangannya, ingin mendapat sasaran baru untuk me lepaskan ke kecewaannya. Tetapi ternyata bahwa orang itu justru memiliki banyak kelebihan dari Juwiring. Dala m ke kalutan pertempuran itu. kapten Kenop benar-benar mengala mi kesulitan. Kuda orang itu bagaikan terus-menerus me mburunya. Bagaimanapun juga ia mengenda likan kudanya sendiri, namun kuda lawannya itu seakan-akan dengan tiba-tiba saja telah menyergapnya lebih dahulu. Kapten Kenop mengumpat-umpat. Tetapi ia ternyata tidak mendapat banyak kese mpatan. Matahari yang mulai beredar dibelahan langit sebelah Barat, rasa-rasanya semakin me mba kar arena pertempuran itu. Pada saat-saat yang gawat, tiba-tiba saja terdengar kapten Kenop itu mengaduh. Ujung tombak lawannya telah berhasil menggores didadanya. Me mang tidak terlalu dala m, tetapi luka itu benar-benar mendebarkan. Kapten Kenop yang berpengala man itu tahu, bahwa orang-orang pribumi kadang-kadang me mberi racun Warangan pada ujung senjatanya. Sejenak ia masih me ncoba bertahan. Tetapi kemudian badannya serasa menjadi ge metar. Dan iapun tahu. bahwa ia telah benar-benar terkena racun. Karena itulah, maka ketika orang berbaju kutung itu siap untuk menyerangnya, maka kapten Kenop telah me mutar kudanya, menyusup keda la m lingkungan para pengawalnya. Orang berbaju kutungan itu me mandangi lawannya yang berusaha melepaskan diri daripadanya. Namun orang itu tidak me mburunya, karena iapun harus me mperhitungkan keadaan. Sejenak ke mudian, ma ka karena tida k ada lawan lagi yang dianggapnya berbahaya, maka iapun telah me mutar kudanya dan hilang dibalik ge muruhnya peperangan.
Dala m pada itu Buntalpun telah mende kati Juwiring yang terluka, bahkan agak parah. Dengan hati-hati ma ka iapun me mbawanya menepi. Sementara dua orang kawan yang lainpun telah mende katinya pula. "Peperangan belum berakhir" berkata Juwiring "jangan hiraukan a ku.-- "Tetapi luka mu parah" desis Buntal. "Aku akan mengurus diriku sendiri. Aku me mbawa obat yang untuk sementara, akan dapat me ma mpatkan luka-luka Ini." berkata Juwiring. Buntal termangu-mangu sejenak. Juwiring mendesak "Tinggalkan aku." Namun sekali lagi
Buntal mengangguk. Katanya "Aku akan kembali ke-medan. Tetapi biarlah seorang kawan me mbantumu mengobati luka mu. Baru ke mudian biarlah ia ke mbali pula ke medan." Ternyata Juwiring tidak berkeberatan. Buntal dan seorang kawannya segera meloncat ke mbali kepunggung kudanya dan ke mbali me masuki arena pertempuran, sedang seorang kawannya yang lain me mbantu Juwiring mengobati lukalukanya dan menyadarkannya pada sebatang pohon yang rindang. "Na mpaknya luka-luka mu yang la ma baru saja sembuh" berkata kawannya. Juwiring menarik nafas dalam-dala m. Ia me mang baru saja sembuh dari luka-lukanya yang lama. Bahkan tenaganya belum la ma terasa pulih ke mbali setelah ia ha mpir saja menjadi korban keris milik Tumenggung Sindura yang harus ditabuhnya di Gunung Lawu. Sementara itu Buntal dan kawannya telah terjun kembali ke medan, karena dalam pertempuran yang seimbang, setiap orang diperlukan untuk me mpertahankan keseimbangan.
Sementara ku kapten Kenop telah berada dilingkungan para prajuritnya pula. Dengan tergesa-gesa ia minta di bawa kepada tabib pasukan yang ada diantara prajurit-prajuritnya. "Racun" berkata kapten ke mudian merawatnya. Kenop kepada tabib yang
Tabib itupun me miliki pengetahuan yang cukup mengenai segala maca m luka. Karena itu, maka iapun segera berusaha mengobati luka kapten Kenop yang disebabkan oleh racun warangan yang sangat kuat, setelah kapten itu dibawa ketempat yang tidak terlalu kisruh oleh perte mpuran. Untunglah bahwa tabib itu se mpat bertinda k cepat, karena kapten Kenop sendiri me mpunyai pengala man dan pengetahuan serba sedikit tentang jenis-jenis senjata orang pribumi. Jika ia terla mbat barang sepenginang, maka nyawanya tentu tidak akan dapat disela matkan lagi. Namun de mikian, tenaga kapten itu bagaikan dihisap oleh racun dilukanya, yang justru telah digores dengan pisau sehingga berdarah, sementara ia harus minum obat lewat mulutnya dan ke mudian obat yang ditaburkan pada luka barunya oleh goresan pisau itu. Karena itulah, maka kapten Kenop itu hanya dapat menggera m me nahan ke marahannya karena ia sendiri harus berbaring dibawah pengawalan yang kuat. Laporan tentang keadaan kapten Kenop telah didengar oleh Mayor Bilman. Kemarahannyapun telah me mbakar jantungnya. Ia tidak dapat menahan diri untuk bertempur di tepian. Karena itu, maka iapun telah berusaha untuk naik keatas tebing, bertempur diantara pasukan berkuda menggantikan kepe mimpinan kapten Kenop yang luka parah itu. "Pertempuran di tepian t idak seberat perang berkuda itu" berkata Mayor Bilman didala m hatinya. Karena itu ia dapat me mpercayakannya kepada perwiranya yang lain, sementara
di tepian itu ada juga beberapa orang Senapati Sura karta. Namun Pangeran Yudakusuma sendiri ternyata kemudian berada diatas tebing berseberangan dengan Mayor Bilman. Dengan garangnya Mayor Bilman pun ke mudian me nyapu para pengikut Pangeran Mangkubumi yang berusaha menyerangnya. Buntal yang melihat kehadiran Mayor itu tidak dapat menahan diri lagi. Karena itu, ma ka iapun segera menyerang dengan garangnya. Mayor itu terkejut. Baru kemudian ia sadar, bahwa orangorang berkuda diantara pasukan Pangeran Mangkubumi itupun merupakan orang-orang yang benar-benar me miliki ke ma mpuan berkuda dan ilmu pedang. Tetapi seperti juga kapten Kenop, Mayor itu justru memiliki kelebihan. Itulah sebabnya, ma ka Buntalpun segera menga la mi kesulitan. Kecuali ketrampilannya, ternyata tenaga Mayor itu bagaikan tenaga seekor gajah. Hampir saja pada benturan yang terjadi, pedang Buntal terlempar dari tangannya. Namun sebelum Buntal ma mpu me mperbaiki keadaannya, maka tubuhnyalah yang hampir terle mpar dari punggung kudanya. Ternyata Mayor Bilman yang cekatan itu berhasil menggoreskan senjatanya pada punggung Buntal. Namun Bilman tidak sempat me mbunuhnya. Seorang anak muda yang lain telah menyerangnya. Anak muda yang pernah bersama-sama dengan Juwiring berada didala m lingkungan pasukan berkuda. Bilman harus me mperhitungkan keadaan itu. Karena itu maka serangannya yang akan dapat me matikan. Buntal terpaksa tertunda. Namun dala m pada itu, sekali lagi terjadi, seperti yang telah terjadi pada Buntal. Seorang berbaju kutung berwarna wulung telah mengga mit anak muda itu sa mbil berkata "
Orang ini lebih berbahaya dari kapten yang terluka itu. Karena itu, minggirlah. Biarlah a ku saja yang me lawannya." Mayor Bilman yang me libat orang berbaju kurungan itu menjadi sangat marai. Ia mengerti ma ksud orang itu. Orang itulah yang ke mudian akan me lawannya dengan tombak. Karena itu. Mayor Bilman tida k menunggu lebih la ma lagi. Ialah yang ke mudian menyerang orang berbaju kuningan itu. Sejenak ke mudian telah terjadi pertempuran yang dahsyat. Mayor Bdlman benar-benar seorang pe mimpin yang tangguh dan berani. Karena itu maka untuk beberapa saat ia dapat me mbuat orang berbaju kutungan itu menjadi gelisah. Namun di saat terakhir, ternyata bahwa Mayor itupun tidak ma mpu me lawan kecepatan ujung tombak orang itu. Ketika Mayor itu sedang sibuk me mutar kudanya, maka orang berbaju kutungan itu se mpat menyerangnya dari sa mping. Mayor Bilman berusaha untuk menge lak. Tetapi kuda orang berbaju kutungan itu telah menya mbar kuda Mayor Bilman, sehingga kuda itu tergeser. Maka orang berbaju kutungan itu cepat bertindak. Kudanya telah diputarnya mendesak kuda Mayor Bilman. Pada jarak yang pendek itu orang berbaju kutungan itu telah berhasil menggoreskan ujung tombaknya pada lengan Mayor Bilma n. Betapa kemarahan Mayor itu menghentak-hentak didadanya. Seperti kapten Kenop, maka iapun mengerti, bahwa ujung tomba k itu tentu beracun. Namun karena ke marahan yang meluap, maka ia justru berusaha me mburunya dan menyerang dengan pedangnya. Sambaran pedang Mayor itu me mang dahsyat sekali. Yang menyapu wajah orang berbaju kutungan itu adalah sambaran anginnya. Tetapi senjata Mayor itu sendiri sa ma seka li tidak menyentuhnya.
Namun orang berbaju kutungan itu me miliki perhitungan yang cermat. Ia masih me mancing Mayor itu untuk menyerang. Dengan me miringkan tubuhnya, seolah-olah keseimbangannya sedang terganggu ia mengharap bahwa Mayor Bilman me mburunya. Sebenarnyalah Mayor itu me mburunya. Namun be lum lagi Mayor itu berhasil mencapai orang berbaju kutungan itu, maka racun di tubuhnya telah mulai bekerja dengan ganasnya Tubuh Mayor itu menggigil. Baru ia sadar, bahwa ia tidak akan ma mpu melawan kekuatan racun warangan pada senjata-senjata tajam orang pribumi. Karena itu. maka Mayor itupun berusaha mencari perlindungan kedala m pertempuran, dibela kang kumpeni yang semakin la ma menjadi se makin susut. Dijaga oleh pengawalnya, maka Mayor itupun telah dibawa kepada tabib yang sedang mengobati kapten Kenop. "Mayor" sapa kapten Kenop. Tetapi wajah Mayor itu sudah me njadi ke merah-merahan. "Mayor kena senjata beracun " " bertanya kapten Kenop, 0dw0
Jilid 28 MAYOR BILMAN menggera m. Tetapi tubuhnya menjadi semaian le mah. Sementara itu itabib dari pasukan Mayor Bilman telah bekerja keras. Seperti yang dilakukan atas Kapten Kenop maka luka Mayor Bilman itupun telah digoresnya dengan pisau. Tetapi tabib itu menjadi sangat gelisah, justru Mayor Bilman tidak lagi mengaduh ketika lengannya itu tergores pisau. "Bagaimana ?" bertanya kapten Kenop dengan ge lisah pula. Tabib itu tidak melihat lagi kesempatan untuk berbuat sesuatu. Keadaan Mayor Bilman jauh lebih gawat dari keadaan Kapten Kenop justru karena Mayor Bilman diguncang oleh ke marahannya dan tidak segera berusaha untuk me ne mui tabib itu. Tetapi karena keadaan kapten Kenop sendiri yang parah, maka ia t idak dapat berbuat apa-apa. Kepada seorang pengawal ia berkata "Panggil letnan Rapis atau letnan Morman."
Pengawal itupun segera meningga lkan tempat itu me masuki arena untuk mene mui salah seorang dari kedua orang yang disebut na manya oleh 'kapten Kenop Itu. Namun dala m pada itu, keadaan Mayor Bilman sudah menjadi sema kin parah. Kesadarannya telah menjadi, sema kin kabur. Namun dala m pada itu, tabib yang merawatnya masih mendengar Mayor itu berkata "Tentu ada pengkhianait diantara kita," "Apakah Mayor me mpunyai dugaan atau justru dengan yakin?" bertanya tabib itu. Tetapi Mayor yang se makin le mah itu menggeleng. Sebenarnyalah jantung Mayor yang dalam keadaan yang sulit itu sedang bergejolak. Ia sadar, bahwa tentu ada sesuatu yang tidak wajar, justru karena kedatangan pasukannya dan pasukan Surakarta itu telah diketahui oleh Pangeran Mangkubumi. Sepercik tuduhan me mang telah terlontar kepada seorang perempuan yang telah mengisi kekosongan hatinya selama ia berada di Surakarta. Teringat oleh Mayor itu, bahwa ia me mang pernah mengatakan, bahwa ia akan berhadapan langsung dengan pasukan Pangeran Mangkubumi sehingga ia sendiri harus berangkat ke medan. Tetapi mulutnya terasa sangat berat untuk menyebut nama Raden Ayu Galihwarit. Perempuan itu benar-benar telah berhasil merebut hatinya di saat-saat ia jauh dari ke luarganya. "Jika aku menyebut na manya, maka ia tentu akan digantung di alun-a lun atau dihadapkan kepada seregu prajurit yang akan mene mbaknya sampai mati." berkata Mayor itu di dala m hatinya "tetapi jika aku keliru, dan aku tidak se mpat me mperba iki kesalahan ini. maka aku sudah me mbunuh seseorang yang tidak berdosa, justru seseorang yang telah memberikan isi pada hidupku yang kosong diseberang lautan ini."
Justru dalam keragu-raguan itulah racun tomba k orang berbaju kutung itu se makin meresap kedala m jantungnya, me mbe kukan darahnya. Segala usaha dan obat yang diberikan oleh tabibnya yang pandai itu ternyata tidak banyak menolongnya, karena kela mbatannya sendiri. "Jika saja Mayor cepat menghubungi aku" desis tabib itu. Nampa k keringat me mbasah di keningnya. Namun sebenarnyalah hahwa usahanya sia-sia. Sejenak kemudian, telah timbul noda-noda hitam dan ke merah-merahan ditubuh Mayor Bilma n. Karena itu, maka segala usaha sudah sia-sia. Sejenak ke mudian Mayor yang berani itu seakan-akan telah membe ku. Penjelajahannya diantara benua dan sa modrapun telah diselesaikannya di Surakarta. "Bagaimana keadaannya ?" bertanya kapten Kenop. Tabib itu menggeleng. "Gila" geram kapten itu. Na mun ketika ia a kan bangkit, tabib lalu me larangnya. Katanya "kapten harus menga mbil keadaan Mayor Bilman sebagai pengala man. Kelambatannya yang hanya beberapa saat saja telah me mbuat kehilangan kesempatan. Ia telah meninggal" "Jika de mikian, pasukan kumpeni ini menjadi tanggung jawabku" gera m kapten Kenop. "Tetapi keadaan kapten sendiri tida k menguntungkan" jawab tabib itu. La lu "Kapten dapat me mberikan perintah lewat letnan Rapis atau letnan Morman." Kapten Kenop menggeretakkan giginya. Tetapi ia harus mengikut i petunjuk tabib itu. Disampingnya Mayor Bilman terbujur dia m untuk se la ma-la manya. Sejenak kemudian pengawal yang diperintahkan untuk me manggil letnan Rapis atau letnan Morman itupun telah
datang. Bersama orang itu adalah seorang letnan yang berkumis lebat, panjang. Setelah me mberikan hormat, berjongkok disa mping kapten Kenop. "Ya kapten" jawab letnan itu. "Dan kau lihat keadaanku ?" bertanya kapten Kenop pula. "Ya kapten" jawab letnan itu pula. "Aku perintahkan kau me mimpin pasukan kumpeni. Hubungi Pangeran Yudakusuma dan laporkan apa yang terjadi." perintah kapten Kenop. Lalu "beritahukan hal ini kepada letnan Rapis." "Letnan Rapis berada disebelah sunga i bersama Pangeran Yudakusuma" jawab letnan itu. "Cari hubungan dengan letnan Rapis dan Pangeran Yudakusuma. Cepat. Keadaan medan se makin gawat" berkata kapten yang terluka itu. "Bukan saja gawat kapten" jawab letnan itu "tetapi parah. Tetapi keadaan lawanpun tida k berbeda." "Hancurkan mereka. Usahakan menangkap orang berbaju warna ungu gelap, dengan lengan baju sampai kesiku." perintah kapten itu pula. Letnan itupun bangkit. Setelah me mberi hormat iapun meninggalkan kapten yang terluka itu dengan yang bagaikan mendidih. Dua orang perwira tertinggi pasukannya telah lumpuh. Bahkan Mayor Bilman terbunuh dipertempuran itu. Satu korban yang sangat harganya maka darah dala m telah mahal maka letnan itupun
"Kau Iihat keadaan Mayor ?" bertanya kapten Kenop.
Dengan wajah yang geram ma ka iapun me merintahkan seorang sersan kumpcni untuk menghubungi letnan Rapis
yang bertempur Yudakusuma.
berdampingan dengan Pangeran Sementara itu, maka iapun telah me mperguna kan seekor kuda untuk me masuki arena pertempuran di seberang sungai. Dengan ke marahan yang menyala ia berjanji kepada diri sendiri untuk me mbunuh orang berbaju ungu gelap dengan lengan baju sa mpa i kesiku. Sementara itu, di arena pertempuran berkuda, Juwiring dan Buntalpun telah tersisih pula karena luka-luka mereka. Namun dalam pada itu, perlawanan pasukan berkuda dari lingkungan Pangeran Mangkubumi masih juga me mbakar arena. Mereka yang tidak me mpergunakan kudapun telah melibatkan diri me lawan kumpeni dan pasukan berkuda dari Sura karta. Dengan tombak dan le mbing-le mbing taja m mere ka berusaha untuk menyerang lawan mereka yang berada di punggung kuda. Tetapi dala m pada itu, letnan Morman itu sa ma sekali tidak bertemu dengan orang berbaju kutung. Meskipun demikian, ia tidak dengan mudah dapat menghalau lawan-lawannya, meskipun letnan itupun me miliki ke ma mpuan yang tinggi Namun se mentara itu; sersan yang diperintahkannya mencari hubungan dengan letnan Rapis telah menyusulnya. Dengan wajah tegang sersan itu berkata "Letnan Rapis tertuka parah." "He " Terluka ?" bertanya letnan Morman.
"Ya letnan. Terluka oleh orang berbaju ungu gelap dengan lengan baju sepanjang sikunya." jawab sersan itu. "Gila, Dimana orang itu sekarang?" bertanya Morman. "Orang itu me nghilang dimedan" jawab sersan itu. "Aku cari orang itu disini. Bukankah di arena ini Mayor Bilman terbunuh dan kapten Kenop terluka. Tetapi tiba-tiba saja ia sudah berada diseberang. Aku berharap bahwa orang itu berani menghadapi a ku dimedan ini" letnan Mor-njan yang marah itu berteriak. Tetapi suaranya tenggelam dala m hiruk pikuk perte mpuran. Sementara itu sersan itupun berkata "Aku sudah me mbuat hubungan dengan Pangeran Yudakusuma." "Apa perintahnya?" bertanya letnan itu. "Keadaan menjadi gawat. Pangeran minta pertimbangan letnan. Agaknya tidak ada gunanya pertempuran dilanjut kan." jawab sersan itu, Letnan itu mengerutkan keningnya. Ketika ia melayangkan pandangannya kemedan, maka na mpak kedua belah pihak menjadi sangat letih. Sementara matahari telah condong ke Barat Seperti juga pasukan kedua belah pihak yang sedang bertempur, matahari itupun dengan letih pula bergantung dilangit. Se makin la ma se makin rendah. Namun sebenarnyalah pasukan Pangeran Mangkubumi yang kuat yang menurunkan Senapati-senapati terpentingnya, diantaranya beberapa orang bangsawan Surakarta, telah berusaha untuk menghadapkan kekuatannya sebagian besar kepada kumpeni, meskipun mere kapun harus bertahan terhadap pasukan Surakarta. Sementara itu ketika seorang Pangeran yang bertempur dimedan dengan sebatang tombak pendek mendekati Pangeran Yudakusuma, maka terdengar Pangeran
Yudakusuma me nggera m "Marilah adimas. Kita menentukan, siapa kah Senapati terbaik diantara kita."
akan Tetapi jawaban Pangeran di pihak Pangeran Mangkubumi itu mengejutkan seka l. Katanya "Tentu kakangmas Yudakusuma. Tidak ada yang dapat mengimbangi keperwiraan kakangmas Pangeran. Na mun sayang, bahwa keperwiraan itu ternyata berada di piha k yang salah." "Aku bukan kanak-kanak yang tidak tahu mana yang baik dan mana yang buruk" jawab Pangeran Yudakusuma "dipeperangan kita akan me mperbandingkan taja mnya ujung senjata kita." "Aku sama sekali tidak akan berani melawan kakangmas." jawab Pangeran yang berdiri di pihak Pangeran Mangkubumi itu "karena itu, aku akan mencari lawan yang sebenarnya lawan. Kumpeni. Biarlah para pengawal menahan ke marahan kakangmas," Pangeran Yudakusuma menggera m Tetapi Pangeran itu meninggalkannya, seolah-olah tidak menghiraukannya sama sekali. Tetapi ketika ia berusaha me mburunya, maka ia harus me lawan orang-orang yang bagaikan mengepungnya. Para pengikut Pangeran Mangkubumi itu tahu benar, bahwa Pangeran Yudakusuma, Senapati Agung dari Surakarta itu harus di hadapi da la m sebuah kelompok. Tetapi yang terjadi itu telah terulang ke mbali, Seorang Pangeran yang lainpun me mperlakukannya seperti Pangeran yang terdahulu. Bahkan Pangeran yang ke mudian itu berkata "Jika kakangmas ingin melihat rakyat Surakarta menjadi bagaikan tebangan ilalang, maka kakangmas akan dapat me lakukannya. Mungkin ka kangmas Pangeran Mangkubumi akan dapat menahan ke marahan ka kangmas Yuda kusuma. Tetapi kakangmas Pangeran Mangkubumi lebih tertarik me mbunuh para perwira kumpeni. Dan itu sudah dilakukannya."
Jantung Pangeran Yudakusuma menjadi berdebaran. Keadaan pertempuran itu sama sekali tida k menguntungkan pasukannya dan pasukan kumpeni. apalagi sepeningga l Mayor Bilman seperti yang telah dilaporkannya kepadanya. Sikap para Pangeran dan Senapati dalam pasukan Pangeran Mangkubumi itupun telah menyakitkan hatinya. Tetapi sementara itu, iapun se mpat melihat apa yang sebenarnya dihadapinya. Jika ia me mbunuh sebanyakbanyaknya, maka yang dibunuhnya itu adalah rakyat Surakarta sendiri. Sementara Pangeran Mangkubumi telah me milih lawan. Bukan orang Surakarta. Yang terjadi itu ternyata telah me mbuat isi dadanya bergejolak Karena itu, ia hampir tidak sabar menunggu pendapat letnan Morman yang untuk se mentara harus me megang tanggung jawab, karena Mayor Bilman terbunuh dan kapten Kenop telah terluka. Dala m pada itu, pertempuranpun masih berlangsung dengan sengitnya. Panas matahari di langit seolah-olah telah mena mbah ke marahan disetiap hati, sehingga karena itu, maka pedang dan tomba kpun telah berdentang semakin keras. Tetapi hati Pangeran Yudakusuma telah terguncang oleh sikap para Senapati pasukan lawan. Nampaknya me mang sudah diatur, bahwa ia harus berhadapan dengan sekelompok pengikut Pangeran Mangkubumi. Tentu sekelompok orang yang memiliki ke ma mpuan untuk me lawannya, namun mereka bukan orang-orang yang menentukan. Se mentara itu para Senapati telah berusaha untuk berhadapan langsung dengan para perwira kumpeni. Pangeran Yudakusuma itupun telah mendengar laporan tentang perwira-perwira yang terluka. Dala m pada itu, dala m kegelisahannya, seorang penghubung telah datang kepadanya, untuk melaporkan,
bahwa letnan Morman sedang berhubungan dengan kapten Kenop yang terluka i. "Aku me merlukan pendapatnya Pangeran Yudakusuma. secepatnya" berkata
Sementara itu letnan Morman me mang telah menghadap kapten Kenop untuk melaporkan keadaan medan dala m keseluruhan. Iapun telah melaporkan bahwa Rapis telah terluka oleh orang yang disebut berbaju warna ungu gelap dan lengan bajunya hanya sepanjang siku. "Aku mencarinya di medan yang kapten sebutkan" berkata Morman" tetapi tiba-tiba ia sudah melukai letnan Rapis di seberang sungai itu," "Orang itu-me mang Iblis" geram kapten Kenop. "Bagaimana pertimbangan kapten?" bertanya Morman. Kapten Kenop menarik nafas dalam-dala m. Kemudian katanya "Aku sependapat dengan letnan. Pasukan kita me mang harus ditarik sebelum keadaan menjadi se ma kin parah." Sejenak ke mudian letnan Morman sendiri telah mene mui Pangeran Yudakusuma. Keduanyapun. ke mudian sepakat untuk menarik pasukan Surakarta yang telah menjadi jauh susut. Meskipun lawanpun menjadi parah pula. Sebentar kemudian telah terdengar suara terompet. Dua orang kumpeni telah meniupkan aba-aba bagi pasukannya. Mereka tidak lagi akan bertahan terlalu lama dala m pertempuran yang menggila itu. Perintah itu cukup tegas. Sejenak kemudian setiap orang didala m pasukan Surakarta itupun telah me mbenahi diri. Beberapa orang masih berusaha untuk me mbawa kawankawan mereka yang terluka dengan perlindungan kawankawannya yang lain.
Sementara itu, ternyata dari pihak pasukan Pangeran Mangkubumipun telah terdengar isyarat pula. Tiga buah panah sendaren naik ke udara. Pertanda bahwa pasukan Pangeran Mangkubumipun berusaha untuk menghentikan pertempuran sebelum waktunya. Sebenarnyalah, pasukan Pangeran Mangkubumi sa ma sekali t idak berusaha mengejar pasukan lawan yang bergeser surut. Karena kema mpuan yang mapan, maka kumpeni dan pasukan Surakarta itu tidak terpecah dan berlari tercerai berai. Mereka mundur dengan teratur meskipun agak tergesa-gesa, sehingga ada saja diantara mereka yang terluka tertinggal, dan senjata yang tidak terbawa. Bahkan beberapa meriam kecil telah mereka tinggalkan di pinggir sunga i yang berlereng agak terjal itu. Pangeran Mangkubumi me mang me merintahkan agar pasukannya tetap tinggal. Menilik ke kuatan yang tidak terpaut terlalu banyak maka pasukan Pangeran Mangkubumi itu tidak akan berhasil menghancurkan kumpeni dan pasukan Surakarta yang mengundurkan diri. Na mun da la m benturan itu ternyata bahwa korban yang terbesar justru adalah kumpeni. Karena itu, maka pasukan Mangkubumi telah melepaskan lawannya menarik diri ke mbali ke Surakarta dala m keadaan yang parah. Diantara mereka terdapat tubuh Mayor Bilman yang terbunuh. Kapten Kenop dan letnan Rapis yang terluka berat. Beberapa orang bintara dan prajurit yang sempat mereka a mbil dari antara tubuh yang terkapar diarena. Namun korban di pihak Pangeran Mangkubumipun tidak sedikit. Beberapa Senapati telah terluka. Sementara itu diantara pasukan berkuda, Juwiring dan Buntalpun telah terluka pula. Meskipun de mikian, para pemimpin didala m lingkungan pasukan Pangeran Mangkubumi itupun mengucap sukur bahwa mereka berhasil menahan kekuatan kumpeni dan pasukan Surakarta. Tanpa perlindungan dari yang Maha
Agung, dengan lantaran Raden Ayu Galihwarit yang sempat menya mpaikan berita rencana serangan kumpeni itu lewat Rara Warih, maka pasukan Mangkubumi tentu akan menga la mi keadaan yang sangat pahit. Mereka tidak akan sempat menyusun rencana jebakan. Bahkan mereka lah yang akan terjebak dida la m kepungan tanpa se mpat me mberi tahu pasukan yang berada di Surakawati. Jika terjadi de mikian, ma ka ke kuatan pokok pasukan Pangeran Mangkubumi benar-benar akan patah, karena pasukan Surakarta itu benar-benar dihimpun untuk maksud menghancurkan sa mpa i tuntas pasukan Pangeran Mangkubumi. Dengan persiapan yang tergesa-gesa, namun pasukan Pangeran Mangkubumi berhasil di selamatkan, meskipun korban me mang harus jatuh. Tetapi korban itu tidak me matahkan kekuatan pokok Pangeran Mangkubumi. Dala m pada itu, pasukan kumpeni dan prajurit Surakarta yang menarik diri telah meningga lkan medan dengan lesu. Ketika mereka mela lui bulak panjang, tiba-tiba saja mereka terkejut ketika mereka melihat di jalur jalan se mpit yang sejajar dengan jalan itu, seorang penunggang kuda dengan baju berwarna ungu gelap dan dengan lengan baju sa mpai ke siku. "Anak iblis" gera m letnan Morman yang me lihatnya "orang itulah yang telah melukai kapten Kenop dan me mbunuh Mayor Bilman." "Apakah kami harus menangkapnya letnan ?" bertanya seorang sersan pengawal. Letnan Morman ragu-ragu. Sementara itu seorang Senapati Surakarta berdesis "Tidak ada gunanya. Kau tidak a kan dapat mengejarnya."
"Kita akan mene mbaknya" gera m letnan Morman, yang ke mudian me merintahkan beberapa orang prajuritnya siap dengan senapan mereka. "Tida k ada gunanya" sekali lagi Senapati Surakarta itu seolah-olah berguma m bagi diri sendiri. Letnan Morman mengerutkan keningnya. Tetapi ia tetap pada pendiriannya. Katanya "Orang itu berada dala m jarak jangkau tembakan senapan." Senapati yang berguma m itu menarik nafas dalamdalam. Tetapi ia tida k mengatakan sesuatu. Sejenak ke mudian, beberapa orang kumpeni telah siap dengan senapan mereka. Letnan Morman me merintahkan mereka berjajar dipinggir jalan. Orang berbaju kutung itu berkuda perlahan-lahan, sebagaimana pasukan Surakarta yang lesu itu, berjarak kotakkotak sawah yang mengantarai dua jalur jalan yang sejajar. Tiba-tiba saja letnan Morman itupun me me kikkan aba-aba. Sesaat kemudian, beberapa pucuk senapan telah meledak bersama-sama. Letnan Morman melihat kuda orang berbaju kutung itu bergeser dan melonjak. Tetapi sesaat kemudian orang berbaju kutung itu sudah menguasai kudanya ke mbali. Pangeran Yudakusuma yang berada dipaling depan mendengar di be lakang, ledakan temba kan itu. Ia hanya sekedar berpaling. Tetapi ia tidak menghiraukannya lebih
lanjut. Seperti Senapati-senapati Surakarta, ia tahu bahwa tembakan itu tida k akan ada gunanya sama seka l. Bahkan Pangeran Yudakusumapun menjadi berdebar-debar melihat orang berbaju kutung itu. Iapun mendengar bahwa ada orang berbaju kutung dimedan. Beberapa orang perwira kumpeni telah terbunuh. Tetapi orang berbaju kutung itu tidak pernah dapat dikalahkan. Dan sekarang ia melibat orang berbaju kutung itu. "Meskipun se mua senapan akan meledak, tetapi orang itu tidak akan dapat dikenainya" berkata Pangeran Yudakusuma ke mudian "kecuali jaraknya tidak cukup dekat, kumpeni yang lelah itu tidak akan ma mpu mengangkat laras senapannya dan me mbidik dengan tepat" Namun sebenarnyalah didalam hati Pangeran Yudakusuma berkata "Orang itu adalah Pangeran Mangkubumi sendiri. Ternyata Pangeran Mangkubumi telah benar-benar marah dengan gerakan pasukan ini. Kecua li ia sendiri langsung menyusup di medan dengan pa kaian yang aneh itu, ditangannya telah tergenggam tombak Kangjeng Kiai Pleret itu sendiri." Pangeran Yudakusuma menarik nafas dalam-da la m. Sementara itu letnan Morman mengumpat dengan kasarnya. Tidak sebutir pe lurupun yang na mpaknya menyentuh orang berbaju kutung itu. "Ka mi akan mengejarnya" minta seorang sersan dari pasukan berkuda "ka mi seberangi sawah yang se mpit ini. Kami a kan mene mbaknya dengan pestol dari jarak yang lebih pendek." Seorang Senapati Surakarta yang mendengarnya tersenyum. Katanya "Jangan bermimpi melawan orang itu. Yang dapat membunuhnya bukan senjata-senjata semacam itu." "Apa?" bertanya Morman.
"Seperti Pangeran Ranakusuma, diperlukan sepucuk pusaka yang ma mpu mengatasi kekebalan kulitnya." jawab Senapati. "Omong kosong" gera m Morman "ka lau aku mende katinya dengan senjata api ditangan, ia tentu melarikan diri. Orang pribumi me mang me mpunyai kepercayaan yang aneh-aneh." Tetapi Senapati itu me nyahut "Kau lihat. Peluru-pelurumu tidak mengenainya." "Jarak ini me mang terlalu jauh untuk dapat me mbidik dengan tepat" jawab Morman. "Tetapi jika kau yang berdiri di jalan itu, maka pelurupeluru itu akan me ne mbus kulit mu "berkata Senapati itu. "Aku tida k percaya" jawab Morman marah. "Terserah kepadamu. Jika kau ingin mengejarnya, ajak sepuluh orang prajurit kumpeni untuk melakukannya. Aku me mang percaya bahwa orang berbaju kutung itu akan me larikan diri. Tetapi tembakan-te mbakanmu tidak akan mengenainya sama se kali." berkata Senapati itu pula. Morman menggeram. Tetapi ia tidak me merintahkan kumpeni untuk mengejarnya. Bukan karena ia takut bahwa orang berbaju kutung itu tida k akan te mbus peluru. Tetapi selama kumpeni itu menyeberangi sawah beberapa kotak dan bergumul dengan lumpur, orang itu tentu sudah se mpat me larikan kudanya jauh-jauh. Karena itu maka Morman tida k menghiraukannya lagi. Demikian orang-orang lain dala m pasukan itu. Akhirnya orang berbaju kutung itu tida k mengikut inya untuk selanjutnya. Ketika orang itu sa mpai kesebuah tikungan, maka iapun berbelok menjauhi iring-iringan pasukan kumpeni. Selanjutnya orang itu menghilang didala m sebuah padukuhan kecil dinadapannya.
Para Senapati prajurit Surakarta menarik nafas dalamdalam. Seolah-olah mereka telah terlepas dari pengawasan seseorang yang sangat mendebarkan jantungnya. Pangeran Mangkubumi sendiri. Sebenarnyalah, bahwa Pangeran Mangkubumi telah me merintahkan kepada pasukannya untuk t idak mundur lagi ke Sukawati atau ke Gebang. Sebagian saja pasukannya agar pergi ke Sukawati. Namun yang lain diperintahkannya pergi ke Gunung Garigal. Sebuah bukit kecil yang menurut pengamatan Pangeran Mangkubumi me miliki ke mungkinan pertahanan yang lebih baik dari Gebang. Ternyata bahwa kumpeni dan pasukan Surakarta akan dapat menyerangnya dengan tibatiba. Sementara di bukit Gariga l, mereka akan dapat mengawasi keadaan lebih baik dari tempat yang agak tinggi dan untuk mencapai bukit itu diperlukan perjalanan yang agak sulit Pada saat-saat Pangeran Mangkubumi mengawasi langsung pasukan kumpeni dan prajurit Surakarta yang menarik diri, maka pasukannyapun telah bersiap-siap. Karena Pangeran Mangkubumi tidak me mberikan tanda apa-apa, maka pasukannya berpendapat, bahwa pasukan lawan bukan hanya sekedar me mbuat gelar menarik diri untuk datang kemba li dengan pukulan yang lebih berat karena mereka se mpat mengatur diri. Tetapi pasukan lawan itu benar-benar telah ke mbali ke Surakarta. Karena itu, ma ka pasukan Pangeran Mangkubumi itupun sempat me mbenahi diri. Mengurusi mereka yang gugur dipeperangan. Bukan saja dari pasukannya sendiri, tetapi juga para prajurit dari Surakarta dan kumpeni. Mereka se mpat mengenali beberapa orang prajurit Surakarta yang terpaksa saling me mbunuh dengan orang-orang Surakarta sendiri. Sementara itu, beberapa orang telah mendahului meninggalkan medan sa mbil me mbawa mereka yang terluka ke Sukawati. Beberapa orang pere mpuan dan anak-anakpun
ikut pula ke Sukawati sebelum mereka dapat menyesuaikan diri dengan perke mbangan baru. Ketika Arum mengetahui bahwa kedua kakak angkatnya telah terluka, maka iapun menjadi gelisah. Dengan tergesagesa ia mendapatkan Juwiring dan Buntal, bersama Rara Warih. Tetapi keduanya telah mendapat pengobatan untuk sementara, sehingga darah mereka sudah tidak lagi menga lir dari luka. "Kau baru saja se mbuh kakangmas" berkata Warih kepada Juwiring "sekarang kau terluka lagi." Juwiring tersenyum. Jawabnya "Aku tidak apa-apa Warih. Sebentar lagi lukaku ini akan se mbuh." "Bagaimana dengan ka kang Buntal" bertanya Arum pula. Ternyata keadaan Buntal masih lebih baik. Jawabnya "Lukaku lebih ringan dari luka kakang Juwiring. Orang berbaju kutungan berwarna wulung itu telah menolong ka mi." "Pamanda Mangkubumi" desis Juwiring. "Aku sudah menduga, tetapi aku tidak sempat me mperhatikannya lebih la ma karena keadaan medan" jawab Buntal. Dala m pada itu, maka Buntal dan Juwiringpun termasuk diantara mereka yang harus berada di Sukawati untuk Pangeran
beberapa saat. Arum dan Rara Warib akan mengikutinya bersama beberapa orang yang lain. Ketika mala m turun, beberapa puluh orang dari pasukan Pangeran Mangkubumi masih sibuk untuk me mbenahi medan. Sebagian dari mereka telah meningga lkan medan untuk mengatur te mpat yang baru bagi mereka. Ternyata dari pertempuran itu pasukan Mangkubumi telah mendapat beberapa pucuk senjata. Bahkan meria m-meria m kecil yang akan dapat mereka tempatkan di lereng bukit Garigal, meskipun mereka hanya mendapat beberapa butir pe luru. Namun para pengikut Pangeran Mangkubumi itu a kan dapat berusaha mendapatkan pe luru lebih banyak lagi, dengan cara sebagaimana pernah mere ka lakukan, karena diantara para pelayan dan pengikut kumpeni dite mpatkan beberapa orang pengikut setia Pangeran Mangkubumi. Hampir se mala m suntuk kumpeni dan prajurit Surakarta mene mpuh perjalanan kemba li ke Surakarta. Karena keadaan pasukan itu, ma ka setiap kali pasukan itu berhenti. Orangorang yang luka parah me merlukan perawatan khusus, sementara yang letihpun menjatuhkan dirinya ditepi jalan apabila oasukan itu beristirahat. Bahkan diantara mereka ada yang berbaring saja direrumputan. Dala m pada itu. para pemimpin pasukan Surakarta dan kumpeni itu yakin, bahwa seorang pengkhianat telah me mberitahukan kepada petugas-petugas sandi Pangeran Mangkubumi bahwa pasukan kumpeni yang kuat akan menyerang Gebang. "Tida k terduga sa ma sekali" berkata seorang Senapati "meskipun rencana ini disusun dala m lingkungan yang sangat terbatas, tetapi telinga petugas sandi Pangeran Mangkubumi sempat juga me ndengarnya. "Tentu seorang pengkhianat" gera m seorang perwira kumpeni.
Senapati itu tidak me mbantah, lapun sependapat, tentu ada seorang pengkhianat. Tetapi siapa " Teka-teki itu me mang harus dijawab. Ketika kumpeni dan prajurit Surakarta gagal mengepung dan me nghancurkan pasukan Raden Mas Said, merekapun sependapat. Ada seorang pengkhianat. Tetapi pengkhianat diantara mereka masih belum dapat diketemukan. Ketika ke mudian Surakarta merencanakan menyerang Gebang dengan rencana yang sangat dirahasiakan, bahkan sampai saat pasukan itu berangkat tidak banyak yang mengetahuinya selain para pemimpin tertinggi, na mun rencana itu dapat juga diketahui oleh Pangeran Mangkubumi. Dengan demikian, maka setiap pemimpin Surakarta dan kumpeni telah sependapat, bahwa persoalan pengkhianatan itulah yang harus diselesaikan lebih dahulu. Baru ke mudian mereka akan dapat merencanakan tindakan-tinda kan lebih lanjut. Karena itu, ketika pasukan Surakarta yang marah me masuki kota menjelang dini hari, ma ka para pe mimpin Surakarta menya mbutnya dengan penuh keprihatinan. "Ha mpir tidak mungkin" berkata seorang Tumenggung. "Siapa tahu, Pangeran Mangkubumi me mpunyai aji lelimunan. Ia dapat melenyapkan diri dan hadir da la m setiap pembicaraan" sahut yang lain. "Aku percaya kalau Pangeran Mangkubumi me miliki sekumpulan ilmu dan aji-aji. Tetapi aku kira tidak aji lelimunan." sahut Tumenggung yang pertama. "Menurut pendapatku, tentu ada pengkhianatan diantara para pemimpin tertinggi. Aku sendiri tidak tahu, bahwa sepasukan yang besar telah menuju ke Gebang. Baru kemudian aku mengetahuinya setelah pasukan itu berangkat. Tentu beberapa orangpun seperti halnya dengan aku. Jika ada pengkhianatan, apakah mungkin penghubungnya sempat menya mpaikan rencana itu
dan me mberikan ke mungkinan pasukan Pangeran Mangkubumi menyiapkan jebakan yang de mikian se mpurna, meskipun masih juga ada kele mahan-ke le mahannya, jika pengkhianatnya bukan justru para pe mimpin?" Kawannya mengangguk-angguk. Na mun bagaimanapun juga adalah satu kenyataan bahwa rencana kumpeni itu dapat dicium oleh hidung petugas sandi Pangeran Mangkubumi. Pada hari berikutnya, rasa-rasanya para pemimpin Surakarta menjadi berkabung. Mereka yang terluka parah, ternyata ada yang tidak sempat ditolong lagi. Namun mereka masih beruntung bahwa mereka sempat melihat Surakarta lagi kipun dala m gelapnya pagi hari. Karena itu, ma ka telah terjadi kesibukan yang menarik perhatian rakyat Surakarta. Bahkan akhirnya para prajurit tidak lagi dapat menye mbunyikan kegagalan mereka, sehingga berita itupun tersebar secepat tumbuhnya matahari di langit. Orang-orang yang pergi kepasarpun segera mendengar, bahwa pasukan Surakarta telah mengala mi kegagalan. Bahkan menga la mi kerugian yang parah. Mayor Bihnan telah terbunuh dipeperangan. Dala m pada itu, di istana Sinduratan, Raden Ayu Galuhwarit masih selalu dicengka m oleh kegelisahan. Kepergian Rara Warih ke Gebang me mbuatnya selalu gelisah. Apakah gadisnya itu sa mpai ketujuan. Karena itu, sejak Rara Warih meningga lkan Sinduratan diantar oleh seorang pengawal, Raden Ayu Galihwarit menjadi selalu gelisah. Rasa-rasanya ia tidak dapat duduk tenang dan tidak dapat tidur nyenyak ketika ma la m t iba. Bahkan bukan saja karena Rara Warih yang belum pernah menge mban tugas-tugas seperti yang dilakukannya itu, tetapi Raden Ayu Galihwarit juga me mikirkan keadaan pasukan Pangeran Mangkubumi. Jika Warih terlambat atau tersesat dan tidak berhasil mencapai Gebang, maka keadaan pasukan
Pangeran Mangkubumi tentu akan parah. Meskipun seandainya Rara Warih tersesat, namun kemudian ia berhasil pulang ke mbali keistana Sinduratan dengan selamat, namun kela mbatan pemberitahuan pada pasukan Pangeran Mangkubumi itu tida k akan dapat diperbaikinya lagi. Jika ma la m itu pasukan Pangeran Mangkubumi dihancurkan, maka pasukan itu akan lumpuh. Jika Pangeran Mangkubumi sendiri berhasil lolos, ma ka untuk menyusun kekuatan kemba li diperlukan waktu dan barangkali juga menyusun ke mba li kepercayaan orang-orang Surakarta atas kema mpuannya. Menjelang pagi, jantung Raden Ayu Galihwarit bagaikan berdentang semakin cepat. Raden Ayu sadar, bahwa saat-saat menje lang fajar itulah Bilman dan pasukannya akan mengepung dan menghancurkan pasukan Pangeran Mangkubumi yang berada di Gebang. Karena kegelisahannya itulah, maka Raden Ayu Galihwarit yang hampir tidak t idur se mala m suntuk itupun berjalan mondar-mandir di sera mbi biliknya. Semakin terang langit di sebelah Timur, rasa-rasanya jantungnya menjadi se ma kin cepat berdenyut. Jika terjadi perang besar, maka perang itu tentu sudah pecah. Seperti kemarin, sehari itupun Raden Ayu Galihwarit dicengka m oleh kegelisahan yang se makin dala m. Tidak ada seorangpun yang dapat me mbantunya me mikul beban di hatinya. Ia tidak sampai hati me mbuat ayahandanya menjadi gelisah pula seperti dirinya. Dalam keadaan yang pelik, kadang-kadang ayahandanya justru tidak dapat berpikir lagi jika penyakitnya menjadi ka mbuh. Hari itu adalah hari yang menyiksa bagi Raden Ayu Galihwarit. Rasa-rasanya panas matahari telah me mbakar seisi istana. Dimana-mana terasa panas, sementara jantungnya menjadi se makin berdebaran. "Apakah Warih me mang tidak se mpat pulang" katanya didala m hati "atau justru karena peristiwa ini, ia benar-benar
meninggalkan aku sendiri sebagaimana dimintanya setiap kali."Na mun kadang-kadang hatinya meronta "Akulah yang bodoh, yang memberinya satu beban yang terlalu berat baginya. Jika Warih gagal, dan mengala mi kesulitan bagi dirinya sendiri serta kehancuran bagi pasukan Pangeran Mangkubumi. maka tanggung jawabnya adalah pada pundakku. Kenapa aku t idak berangkat sendiri." Tetapi sekilas terbayang orang-orang yang mendapat tugas mengawasi istana Sinduratan itu. Jika Raden Ayu sendiri yang keluar meskipun dari pintu butulan, tentu akan lebih cepat dikenal oleh para pengawas yang ditempatkan disekitar istana itu. "Mereka sudah mulai curiga kepadaku" berkata Raden Ayu itu kepada diri sendiri. Namun dala m pada itu, Raden Ayu Galihwarit masih teiap berusaha menye mbunyikan kegelisahannya kepada ayahandanya. Apalagi ayahandanya masih tetap murung didala m biliknya karena kepalanya yang terasa sangat pening di hari-hari terakhir. Sejak peristiwa ke matian dua orang perwira kumpeni di istananya, Pangeran Sindurata memang sering merenung. Tetapi Raden Ayu Galihwarit yang sibuk dengan persoalannya sendiri tidak sempat untuk menga mati keadaan ayahandanya, bahkan ia justru berusaha menye mbunyikan persoalannya sendiri agar tidak mena mbah beban hati ayahandanya Mala m kedua terasa siksaan itu menjadi semakin berat. Semala m suntuk Raden Ayu Galihwarit tidak tidur sama sekali. Bahkan rasa-rasanya udara didalam biliknya terlalu panas seperti didala m tungku. Karena itu, seperti mala m sebelumnya. Raden Ayu itu berjalan mondar-mandir di serambi. Bahkan kadang-kadang ia duduk dengan gelisah. Ketika pengawal istana itu mengelilingi hala man dan kebun, maka setelah me mbungkuk hormat, pengawal itu bertanya "Kenapa Raden Ayu berada diluar bilik di ma la m begini ?"
"Udara panas sekali" jawab Raden Ayu singkat. Pengawal itu menarik nafas dalam-dala m. Namun ke mudian iapun mohon diri untuk melanjutkan tugasnya. Meskipun pengawal Itu me mbungkuk hormat namun didala m hati ia berkata "Perempuan itu kesepian. Agaknya tidak ada perwira yang sempat menje mputnya kesebuah bujana dua ma la m berturut-turut ini." Bahkan pengawa l itu sebagaimana juga para pelayan di istana itu menganggap bahwa puteri itu telah menyingkirkan anak gadisnya. Mungkin untuk me nga mankan anak gadisnya dari kebuasan orang-orang asing. Tetapi mungkin juga karena Rara Warih yang meningkat dewasa dan tumbuh menjadi seorang gadis yang sangat cantik itu akan dapat menyaingi kecantikannya dimata orang-orang pendatang dari seberang yang disebut kumpeni itu. Karena itulah, maka sebenarnyalah para pelayan itu sama sekali t idak me naruh hormat kepada Raden Ayu itu didala m hati, meskipun yangf terungkap dala m sikap dan tingkah laku mereka setiap hari aga k berbeda. Demikianlah, kege lisahan itu mencengka m Raden Ayu tanpa dapat dihindarinya. Karena itulah, ketika ia mendengar seorang pelayannya didapur yang baru saja kembali dari pasar di pagi harinya, berbicara tentang pasukan Surakarta, dengan serta merta maka pe layan itu telah dipanggilnya. "Apa yang kau dengar di pasar pagi ini?" bertanya Raden Ayu Galihwarit "Ampun Raden Ayu" jawab pelayannya itu "orang-orang dipasar berbicara tentang kumpeni dan pasukan Surakarta yang kemba li dari medan." "Medan mana?" bertanya Raden Ayu. "Ha mba tidak tabu Raden Ayu" jawab pelayan itu "tetapi mereka menyebut-nyebut pasukan Pangeran Mangkubumi."
"Coba katakan, apa yang telah kau dengar sebagaimana kau dengar. Jangan ditambah dan jangan dikurangi. Aku ingin mendengar apa yang telah terjadi." Pelayan itu beringsut setapak. Kemudian katanya "Raden Ayu, orang-orang dipasar itu mengatakan, bahwa pagi ini pasukan Surakarta yang terdiri dari kumpeni dan prajuritprajurit Surakarta yang dipimpin oleh Pangeran Yudakusuma dan Mayor Bilman telah me masuki kota dalam keadaan yang parah." "Parah bagaimana ?" bertanya Raden Ayu itu tidak sabar. "Menurut ceritera yang hamba dengar, pasukan itu menga la mi kegagalan, karena perlawanan pasukan Pangeran Mangkubumi. Seorang dapat mengatakan seolah-olah me lihatnya sendiri, bahwa pasukan itu telah terjebak." Raden Ayu Galihwarit menarik nafas dala m-dala m. Ternyata pasukan Pangeran Mangkubumi itu berhasil mengatasi kedatangan kumpeni dan para prajurit Sura karta. Meskipun Raden Ayu Galihwarit tidak mengaba ikan ke mungkinan, bahwa berita tentang sergapan yang tiba-tiba itu didengar oleh Pangeran Mangkubumi dari petugas-petugas sandinya yang lain, na mun bahwa pasukan Pangeran Mangkubumi tidak justru terjebak itu, me mbuatnya sedikit berlega hati. "Raden Ayu" pelayannya itu melanjutkan "me mang kasihan sekali. Ketika ha mba berangkat kepasar, hamba me mang me lihat kesibukan para prajurit. Kemudian ha mba mendengar, bahwa banyak kumpeni dan prajurit yang gugur, dan terluka parah." Raden Ayu Galihwarit menarik nafas dalam-dala m. Na mun iapun ke mudian terkejut ketika ia mendengar pelayannya itu berkata "Diantara mereka yang gugur terdapat Mayor Bilman, dan yang terluka parah diantaranya adalah kapten Kenop dan letnan Rapis."
"Mayor Bilman gugur ?" Raden Ayu mengulang. Pelayannya mengerutkan keningnya. Pelayan itu tahu bahwa Mayor Bilman adalah salah seorang dari kawan Raden Ayu yang dekat. Tetapi ia sudah terlanjur menyebutkannya. Karena itu, maka jawabnya "Itu hanya yang hamba dengar Raden Ayu. Tetapi hamba tidak tahu. apa yang sebenarnya telah terjadi." Raden Ayu mengangguk-angguk. "Terima kasih. Pergilah kedapur." Ke mudian katanya
Pelayan itupun ke mudian meningga lkan Raden Ayu itu seorang diri. Kegelisahannya tiba-tiba saja telah justru meningkat. Ia kemudian berpikir tentang Rara Warih. Apakah yang kemudian terjadi atasnya. Namun akhirnya Raden Ayu Galihwarit itu tida k dapat ingkar. Kematian Mayor Bilman me mang berkesan sekali. Lakilaki asing itu me mpunyai kedudukan yang khusus didala m hatinya. Meskipun ia tetap menganggap orang asing, serta hubungannya di saat-saat terakhir adalah justru karena usahanya memperbaiki kesalahannya dan menebus segala dosanya dengan caranya, yang justru melahirkan dosa-dosa baru, namun Bilman ada lah lain dari para perwira kumpeni yang lain. Karena itu, berita ke matiannya telah me mbekas pula dihatinya. Sejak itu, maka ia tidak akan dapat bertemu lagi dengan Mayor yang kadang-kadang le mbut, tetapi kadangkadang kasar sesuai dengan sifatnya sebagai seorang prajurit yang telah menjelajahi benua dan samodra, namun yang tidak dapat berbuat banyak menghadapi Pangeran Mangkubumi dari Surakarta, Baru ke mudian, setelah Raden Ayu Galihwarit sempat menilai perasaannya, maka ia mulai menyisihkan ke matian Mayor Bilman dari hatinya. Pada saat-saat ia sudah bertekad untuk menunjukkan pengabdiannya kepada keluarganya yang
telah dinodainya, kepada Surakarta dan kepada bangsanya, maka sentuhan perasaan terhadap Mayor Bilman itu harus disingkirkan. Jika ia benar-benar merasa hadirnya sesuatu ikatan, maka ia justru telah menoda i lagi kesetiaannya kepada Pangeran Ranakusuma. Bukan saja dengan tingkah laku lahiriah karena ia menginginkan sesuatu yang tidak pernah dipunyainya sebelumnya, tetapi justru makna dari kesetiaannya itu sendiri, "Jika aku berhubungan dengan Bilma n, dengan siapa-pun juga diantara para perwira kumpeni, justru karena aku ingin menghancurkan mereka '" perasaan Raden Ayu itupun menghentak didala m dadanya untuk mengatasi getar hatinya karena ke matian Mayor Bilman. Dengan demikian, maka Raden Ayu itupun menjadi semakin tenang. Kematian Mayor Bilman adalah pertanda bahwa Pangeran Mangkubumi benar-benar berhasil mengatasi kehadiran pasukan kumpeni dan para prajurit Surakarta yang tiba-tiba.. Yang ke mudian masih dipikirkannya adalah Rara Warih. Tetapi iapun dapat berharap, bahwa Rara Warih telah benarbenar sampai ke daerah Gebang. "Rasa-rasanya tidak ada orang la in yang mengetahui rahasia yang dipegang sangat rapat oleh kumpeni dan para perwira tinggi di Surakarta. Karena itu, tentu Rara Warih telah sampai dengan sela mat ke padukuhan Gebang." Raden Ayu Galihwarit mencoba menenangkan hatinya sendiri. Sementara itu, rakyat Surakarta di hari berikutnya benarbenar menyaksikan keparahan kumpeni dan prajurit Surakarta. Mayor Bilman dimaka mkan dengan upacara kebesaran menurut tataran keprajuritan. Namun ternyata disa mping Mayor Bilma n terdapat beberapa korban yang la in. Mereka yang semula terluka parah, na mun ternyata nyawa mereka t idak se mpat disela matkan. Diantara mereka terdapat letnan Rapis,
Sementara itu, dengan upacara keprajuritan pula, beberapa orang prajurit Surakarta yang terbunuh dipeperanganpun dimaka mkan pula. Na mpaknya me mang tidak terlalu banyak seperti juga korban dipihak kumpeni. Tetapi ternyata bahwa sebagian dari mereka yang terbunuh di peperangan itu tidak sempat terbawa pada saat pasukan kumpeni dan prajurit Surakarta mengundurkan diri. Rasa-rasanya Surakarta memang berkabung. Rakyat Surakarta yang ingin melibat iring-iringan itu telah berdiri berjajar di pinggir jalan. Berbagai tanggap telah hinggap di hati rakyat Surakarta. Sebagian dari mereka menyesali sikap Pangeran Mangkuhuml Tetapi yang lain menganggap bahwa korban itu adalah wajar sekali, justru karena perjuangan Pangeran Mangkubumi untuk merebut ke mbali martabat Surakarta dihadapan orang-orang asing itu. Dala m pada itu, diantara rakyat Surakarta yang menyaksikan pe maka man para prajurit termasuk kumpeni dengan upacaranya masing-masing, terdapat seorang petani yang berwajah murung. Tidak seorangpun yang menghiraukan kehadirannya diantara mereka, karena orang itu sa ma seka li tidak menarik perhatian. Dengan pakaian dan sikap kewajaran seorang petani ia berdiri termangu-mangu. Na mun karena iring-iringan korban yang akan dimaka mkan masih juga belum lewat, orang itupun meninggalkan tempatnya, bergeser dibelakang jajaran rakyat yang berdiri di pinggir ja lan. Ketika seseorang berpaling, ma ka orang itu berkata didala m hatinya "Orang itu tentu tidak se mpat menunggu lebih la ma lagi, karena ia harus ke mba li kerumahnya yang jauh." Yang lain mengira bahwa orang itu tentu baru saja pergi ke pasar menjua l hasil sawahnya. Namun ternyata orang itu membawa sebuah kurungan berisi seekor burung menco yang masih muda.
Sebenarnyalah orang itupun beringsut semakin la ma semakin jauh. Kemudian ia telah .berbelok kesebuah lorong kecil dan hilang dari antara orang-orang yang menunggu iringiringan korban yang a kan dima ka mkan. Sebagaimana se mula, tidak ada orang yang menghiraukan petani yang me mbawa sebuah kurungan berisi seekor burung menco muda itu. Dala m pada itu, petani yang me mbawa kurungan itu telah pergi ke istana Sinduratan. Sementara itu, orang-orang yang bertugas mengawasi istana itu na mpaknya juga tertarik untuk menyaksikan pema ka man korban perang melawan pasukan Pangeran Mangkubumi itu. Sehingga karena itu, tidak seorang-pun yang me mperhatikan petani itu ke mudian me masuki istana. Bahkan seandainya orang yang mengawasi istana itu melihatnya, maka mereka tidak akan menghiraukan seseorang yang akan menawarkan seekor burung menco kepada Pangeran Sindurata. Sebenarnyalah pada saat itu Pangeran Sindurata tidak berada diistananya. Sebagaimana para Pangeran yang lain maka ia telah datang dala m upacara pe maka man korbankorban yang jatuh' di peperangan itu. Dala m pada itu, Raden Ayu Galihwarit yang masih saja digelisahkan oleh tugas yang diberikannya kepada Rara Warih, tiba-tiba saja terkejut ketika ia melihat seorang petani yang me mbawa sebuah kurungan dan seekor burung didala mnya berdiri di pintu se ketheng. Dengan serta-merta maka Raden Ayu Galihwarit itupun ke mudian berkata "Ayahanda tidak ada dirumah. Aku tidak mengerti apakah ayahanda masih me merlukan seekor burung." Orang itu tidak segera menjawab. Tetapi ia tida k beringsut dari tempatnya. Sehingga karena itu, maka Raden Ayu-pun menjadi berdebar-debar.
Sekali lagi ia berkata "Ayahanda tidak ada dirumah, Aku tidak mendapat pesan apapun tentang seekor burung." Tetapi orang yang me mbawa seekor burung menco dala m kurungan itu masih tetap berdiri di tempatnya, sehingga karena itu Raden Ayu Galihwaritpun menjadi berdebar-debar. Hampir saja ia berteriak memanggil seorang pengawal yang kebetulan ada di bela kang. "Apakah Raden Ayu tidak mengenal aku lagi ?" bertanya orang yang me mbawa kurungan dan me ma kai pakaian petani itu. Raden Ayu Galihwarit mengerutkan keningnya. Wajah-nya menjadi tegang. Namun ke mudian dengan tergesa-gesa ia berlari menyongsongnya. "Pangeran Mangkubumi" desis Raden Ayu Galihwarit. "Ya" jawab petani itu "aku datang khusus untuk mene muii Raden Ayu." "Marilah Pangeran. me mpersalahkan. Silahkan duduk" Raden Ayu
"Terima kasih. Jika aku duduk diserambi, maka para pelayan di istana ini akan menjadi heran, bahwa Raden Ayu telah menerima ta mu seorang petani." "Aku selalu menerima Juwiring, Buntal dan Arum di serambi ini" jawab Raden Ayu "mereka datang sebagai penjual reramuan perawatan tubuh. Mangir dan lulur." "Terima kasih. Waktuku juga tidak terlalu banyak. Aku me mbawa seekor burung me nco. Aku kira pa manda Pangeran Sindurata akan senang sekali, karena burung menco ini benarbenar seekor burung a kan sangat bagus." berkata Pangeran Mangkubumi. "Terima kasih Pangeran. Aku akan menyampaikannya kepada ayahanda" jawab Raden Ayu Galihwarit.
"Tetapi ada sesuatu yang penting ingin aku sa mpa ikan kepada Raden Ayu. Kami, sepasukan, ingin mengucapkan terima kasih atas pesan Raden Ayu yang dibawa Warih kepada kami." berkata Pangeran Mangkubumi selanjutnya. "Ah" desis Raden Ayu Galihwarit "aku hanya melakukan kewajibanku sebagai rakyat yang mulai me nyadari keadaan diri." "Sebenarnyalah apa yang telah Raden Ayu lakukan itu sangat menguntungkan pasukan ka mi. Jika Warih tidak datang tepat pada waktunya, maka akhir dari pertempuran itu akan sangat berlainan dengan yang ternyata kemudian terjadi. Mungkin ka mi akan kehilangan sebagian besar kekuatan kami" berkata Pangeran Mangkubumi ke mudian. "Hanya itulah yang dapait kami lakukan Pangeran" sahut Raden Ayu Galihwarit sambil menundukkan kepalanya. Namun ke mudian tiba-tiba saja ia bertanya "Jadi, Warih telah berada di Gebang ?" "Ia telah sa mpai ke Gebang pada wa ktunya dengan selamat." jawab Pangeran Mangkubumi. Meskipun Pangeran Mangkubumi me ndengar juga laporan tentang perlakuan pengawal Rara Warih yang kemudian justru terbunuh, tetapi Pangeran Manglkubumi sa ma sekali tidak mengatakannya. Karena hal itu akan dapat mengguncangkan perasaan Raden Ayu Galihwairit "Sokurlah" desis Raden Ayu "dua hari dua mala m aku menjadi gelisah. Bukan saja karena Warih, tetapi jika ia gagal mencapai Gebang, maka mungkin akan t imbul akibat yang kurang baik bagi pasukan Pangeran." "Karena itu aku sengaja datang untuk mengucapkan terima kasih" sahut Pangeran Mangkubumi" na mun lebih dari itu, aku ingin me mberikan satu peringatan kepada mu."
Wajah Raden Ayu Galihwarit menegang. Dengan ragu-ragu ia bertanya "Peringatan apa Pangeran " Apakah aku telah me mbuat kesalahan ?" "Tida k Sama sekali tidak." jawab Pangeran Mangkubumi dengan serta merta "tetapi satu peringatan bagi keselamatan Raden Ayu untuk seterusnya." Raden Ayu Galihwarit termangu-mangu. Sementara itu Pangeran Mangkubumi berkata selanjutnya "Raden Ayu. Kegagalan kumpeni yang terakhir ini benar-benar me mbuat mereka marah. Karena itu, mala mereka akan dengan sungguh-sungguh mencari, siapakah sebenarnya yang telah berkhianat menurut anggapan mereka." "Ya Pangeran" berkata Raden Ayu "agaknya mereka me mang mula i mencurigai aku. Di depan rumah ini ada dua atau tiga orang pengawas yang mengawasi pintu-pintu regol." "Mereka tidak ada ditempat sekarang" jawab Pangeran Mangkubumi" mungkin mereka ingin juga melihat iring-iringan korban yang akan dimaka mkan." "O" Raden Ayu mengangguk-angguk. "Na mun Raden Ayu, justru karena itu, sebenarnya Raden Ayu masih me mpunyai kese mpatan. Menurut laporan yang aku terima, kecurigaan itu me mang sudah terlalu mengarah. Menurut beberapa orang perwira, orang yang terakhir berhubungan dengan Mayor Bilman selain para perwira dan Senapati terpenting di Surakarta adalah Raden Ayu Galihwarit." berkata Pangeran Mangkubumi selanjutnya "karena itu tidak mustahil, bahwa pada satu saat yang dekat, mereka a kan benar-benar melakukan satu tinda kan yang mengejutkan bagi Raden Ayu." "Tetapi apakah aku masih akan dapat menge lak?" bertanya Raden Ayu.
"Karena itu, aku ingin menunjukkan satu jalan" jawab Pangeran Mangkubumi. "Jalan yang mana Pangeran ?" bertanya Raden Ayu itu pula. "Raden Ayu meningga lkan kota Surakarta" jawab Pangeran Mangkubumi. "Meninggalkan kota ?" ulang Raden Ayu dengan kening yang berkerut. "Ya. Satu-satunya jalan. Raden Ayu tidak akan dapat bersembunyi didala m kota. Kemanapun juga, agaknya Raden Ayu akan dapat diketahui oleh kumpeni." jawab Pangeran Mangkubumi "karena itu, jika Raden Ayu sependapat, sekarang adalah saatnya. Orang-orang Surakarta menjadi lengah karena mereka ingin melihat korban-korban itu dimaka mkan dengan upacara keprajuritan." "Sekarang ?" wajah Raden Ayu menjadi se makin tegang. "Tida k ada kesempatan lain. Sebentar lagi kumpeni akan datang keistana ini dan mencari keterangan dengan teliti, apakah Raden Ayu tidak terlibat dalam tindak yang mereka anggap pengkhianatan itu." berkata Pangeran Mangkubumi. "Lalu, menurut Pangeran, aku harus kemana ?" bertanya Raden Ayu. "Menyusul anak gadismu. Rara Warih tentu akan senang sekali menerima kedatanganmu di Sukawati atau ditempat lain yang kemudian akan dite mpatinya. Mungkin Gunung Garigal atau padukuhan-padukuhan disekitarnya." Wajah Raden Ayu Galihwarit menegang sejenak. Na mun ke mudian ia menarik nafas dalam-dala m. Katanya "Apakah hal itu perlu sekali aku la kukan Pangeran ?" "Aku kira perlu sekali Raden Ayu" berkata Pangeran Mangkubumi "Raden Ayu telah banyak sekali me mberikan jasa
dalam perjuangan ka mi. Aku kira segalanya yang pernah Raden Ayu lakukan telah lebih dari cukup. Karena itu, sudah sampai wa ktunya Raden Ayu memikirkan kesela matan Raden Ayu selama ini." Namun tiba-tiba saja Raden Ayu Galihwarit mengge leng. Katanya "Pangeran. Aku sudah berjanji kepada diriku sendiri bahwa aku akan me nebus segala dosa dan kesalahanku terhadap Pangeran Ranakusuma. Mungkin yang aku la kukan selama ini me mang bukan satu perjuangan yang murni, karena sebenarnyalah tujuanku bukannya murni. Jika seandainya aku tidak merasa bersalah terhadap keluargaku, mungkin aku t idak akan me lakukan seperti apa yang aku lakukan sekaraing ini, karena sebenarnyalah bahwa aku termasuk salah seorang yang dekat dengan kumpeni pada mulanya." "Jangan berkata begitu Raden Ayu" jawab Pangeran Mangkubumi "apa yang Raden Ayu lakukan adalah satu perjuangan yang besar bagi negeri yang sedang mengala mi keruntuhan ini. Raden Ayu harus menyadari, jika kumpeni berhasil mendapatkan bukt i atau saksi bahwa Raden Ayu pernah me mberikan keterangan kepadaku, lewat siapapun juga. maka Raden Ayu akan mengala mi nasib yang sangat buruk. Karena itu, aku minta Raden Ayu untuk meninggalkan kota bersama a ku sekarang. Tulislah surat kepada pa manda Sindu rata dan tingga lkan surat itu sebagai permohonan diri bahwa Raden Ayu akan pergi ketempat yang tidak Raden Ayu ketahui." Sejenak wajah Raden Ayu Galihwarit menjadi se makin tegang. Namun akhirnya sekali lagi ia menggeleng sa mbil tersenyum "Pangeran. Aku titipkan Warih kepada Pangeran. Aku akan tetap berada ditempat ini apapun yang akan terjadi. Mudah-mudahan aku masih dapat berbuat sesuatu bagi Pangeran sebagai salah satu cara untuk mengurangi beban perasaanku"
"Itu berbahaya sekali" Pangeran Mangkubumi mendesak "aku sudah mendapat keterangan. Nama Raden Ayu sudah disebut-sebut. Percayalah." "Pangeran. Aku tidak pernah tida k me mpercayai Pangeran. Aku mengucapkan beribu terima kasih. Tetapi aku mohon perkenan Pangeran untuk tetap tinggal disini. Mudahmudahan aku masih me mpunyai arti" jawab Raden Ayu. "Sekali lagi a ku katakan dengan jujur. Perjuanganmu telah me la mpaui setiap orang didala m pasukanku."jawab Pangeran Mangkubumi "karena itu. kau sudah berhak untuk mendapat kehormatan tertinggi, meskipun kau tidak lagi mela kukan perjuangan seperti yang pernah kau lakukan sebelumnya" Tatapan mata Raden Ayu Galihwarit menjadi bura m Na mun ia masih mencoba tersenyum. Meskipun de mikian Pangeran Mangkubumi me lihat titik a ir di pelupuk mata Raden Ayu Galihwarit yang pernah dikenal dengan sebutan Raden Ayu Sontnang itu. "Aku, mohon a mpun Pangeran. Aku tidak sa mpai hati meninggalkan ayahanda yang tua dan sakit-sakitan itu. Jika aku tidak ada dirumah ini, maka tentu ayahandalah yang akan menjadi sasaran ke marahan kumpeni. Na mun de mikian, aku masih mengharap, bahwa kumpeni tida k akan berbuat apaapa terhadap keluarga kami." berkata Raden Ayu itu tersendat. "Aku yakin, mereka akan datang kerumah ini" jawab Pangeran Mangkubumi. "Segalanya akan aku hadapi dengan penuh tanggung jawab" desis Raden Ayu ita sambil menunduk dala m-dala m. Dengan sehelai sapu tangan Raden Ayu itu mengusap matanya yang basah. Katanya kemudian "Aku tahu maksud baik Pangeran yang ingin menyela matkan aku dari ke mungkinan yang paling buruk. Tetapi aku mohon a mpun,
bahwa aku akan tinggal. Aku mengucapkan beribu-ribu terima kasih atas perhatian Pangeran terhadap kesela matanku." Pangeran Mangkubumipun menarik nafas dalam-da la m. Dari kejauhan terdengar senapan meledak. Karena itu, katanya "Upacara pemakaman korban dari pihak kumpeni itu sudah dimula i. Aku sudah mendengar tembakan kehormatannya. Karena itu. sebentar lagi upacara itu akan selesai. Raden Ayu. masih ada kesempatan. Raden Ayu dapat berganti pakaian dengan pakaian pelayan. Kita akan pergi." Tetapi Raden Ayu Galihwarit tetap menggeleng, meskipun air matanya menjadi se makin deras. Katanya "Sela mat jalan Pangeran. Aku mohon tit ip anakku Warih, anakku Juwiring dan yang sudah aku anggap sebagai anak-anakku pula Buntal dan Arum." Pangeran Mangkubumi tidak dapat me maksanya lagi. Karena itu maka katanya "Jika Raden Ayu berkeras. apaboleh buat. Aku datang untuk mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga. Namun akupun berdoa, mudah-mudahan Tuhan akan sela lu melindungi Raden Ayu." "Kita akan saling berdoa, Pangeran" jawab Raden Ayu Galihwarit "Jika de mikian, perkenankan aku mohon diri. Aku akan meningga lkan burung ini. Burung ini tentu akan tumbuh me njadi burung dewasa yang sangat bagus. Mudah-mudahan pa manda Pangeran Sindurata akan berkenan di hati."
The Devil In Black Jeans 3 Bentrok Rimba Persilatan Karya Khu Lung Lembah Nirmala 23

Cari Blog Ini