02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja Bagian 13
yang memaksanya. Kemudian memaksamu untuk menyerah."
"Aku hanya menyerah terhadap maut," tantang Pandan
Wangi. "Bagus," jawab orang itu, "tetapi aku mempunyai cara untuk
memaksamu menyerah sebelum kau mati. Aku mempunyai ilmu
yang barangkali sama sekali tidak dapat kau bayangkan. Aku
dapat menyentuh bagian-bagian tubuhmu, sehingga kau menjadi
lemas dan tidak berdaya. Nah, apakah kau akan melawan dalam
keadaan yang demikian" Membunuh diri pun kau tidak akan
mampu." Tetapi orang itu menjadi heran. Pandan Wangi sama sekali
tidak terkejut dan heran mendengar kemampuan ilmunya.
Bahkan Pandan Wangi menyahut, "Aku tidak peduli. Tetapi
sebelum kau berhasil menyentuh tubuhku, kau atau aku pasti
sudah mati." "Hem, kau benar-benar keras kepala," orang itu menggeram.
"Kau yang biadab," potong Pandan Wangi.
Orang itu sudah tidak bersabar lagi. Kecuali kecantikan
Pandan Wangi yang telah membakar jantungnya, ia merasa
terhina pula. Karena itu maka ia pun segera bersiap. Selangkah
ia maju lagi. Kedua tangannya terjulur kedepan, sedang
tubuhnya merendah pada lututnya. Katanya, "Aku ingin
meminjam pedangmu, Nak."
Pandan Wangi tidak menjawab. Tetapi ia pun telah berada
dalam kesiagaan tertinggi. Ternyata laklaki itu tidak membawa
kawannya untuk ikut bertempur. Laklaki itu merasa dirinya
terlampau kuat untuk melawan seorang gadis kecil.
Meskipun Pandan Wangi telah memegang sepasang
senjatanya namun laklaki berkumis itu sama sekali tidak
merasa perlu untuk mempergunakan goloknya. Ia ingin
merampas pedang Pan"dan Wangi dengan tangannya,
kemudian menyentuh punggungnya dan membuatnya tidak
berdaya. Apabila demikian, maka ia akan dapat berbuat
sekehendak hatinya. Apapun yang akan dilakukanoleh gadis itu
kemudian, sama sekali bukan tanggung-jawabnya. Biar sajalah
gadis itu membunuh dirinya atau apa pun yang ingin dilakukan.
Karena itu maka sekejap kemudian, laklaki itu melenting
seperti belalang di padang rerumputan. Cepat seperti kilat dan
hampir-hampir tidak dapat dilihat dengan mata. Kawankawannya
berdiri saja tegak di tempatnya dengan mulut
ternganga. Tetapi mereka memang sudah mengetahui kelebihan
orang yang berkumis itu. Ka"rena itu, tanpa mereka angkat, lakiTiraikasih
Website - http://kangzusi.com/
laki berkumis itu menganggap dirinya pemimpin dari laklaki
yang lain. Dan laklaki yang lain pun tidak pernah menolak
anggapan itu. Kali ini pun mereka mengharap mudah-mudahan usaha lakilaki
berkumis itu segera berhasil. Dengan demikian maka
mereka pun akan dapat berbuat serupa. Apalagi sebelumnya
usaha laklaki itu memang tidak pernah gagal. Dengan demikian
ketika mereka melihat bahwa laklaki berkumis itu sudah siap
dan bahkan kemudian segera meloncat seperti tatit, hati mereka
pun menjadi berdebar-debar pula.
Pandan Wangi melihat orang berkumis itu meloncat dengan
kecepatan yang tinggi. Tetapi ia adalah murid dan sekaligus
puteri Kepala Tanah Perdikan Menoreh yang baru saja
menyelesaikan ilmunya sampai pada tingkat tertinggi. Karena itu,
Pandan Wangi sama sekali tidak heran melihat loncatan laklaki
berkumis itu. Bahkan demikian kemarahan merayapi dadanya,
sehingga ia tidak terlampau banyak memberi kesempatan
kepada lawannya. Kedua tangan laklaki berkumis itu dengan cepatnya
menerkam kedua pergelangan tangannya. Seandainya, yang
menggenggam pe"dang itu bukan Pandan Wangi atau
seseorang yang mempunyai ilmu yang cukup, maka
pergelangan tangannya pasti akan segera disentakkan, dan
pedang di dalam genggaman itu akan terjatuh.
Tetapi ternyata yang terjadi sama sekali tidak demikian.
Meskipun pada mulanya Pandan Wangi tampaknya berdiri saja
seperti patung dan tidak sempat berbuat apa-apa, namun pada
saat terakhir, Pandan Wangi menarik kedua tangannya
bersama-sama. Hanya sejengkal. Dan ternyata, yang sejengkal
itu telah membuat lawannya berteriak mengumpat-umpat.
Ternyata tangan laklaki itu tidak menerkam pergelangan tangan
Pandan Wangi, tetapi tepat pada saat terkaman itu mencengkam
sasarannya, pada saat itulah Pandan Wangi menarik kedua
tangannya, sehingga kedua tangan laklaki berkumis itu tepat
mencengkam tajam pangkal pedang Pandan Wangi.
Kawan-kawan laklaki itu melihat bahwa Pandan Wangi
masih tetap berdiri di tempatnya. Tetapi terhalang oleh tubuh
laklaki berkumis itu sendiri, mereka tidak melihat apa yang
sebenarnya telah terjadi. Yang mereka lihat kemudian adalah
laklaki berkumis itu meloncat mundur sambil berteriak
kesakitan, sedang dari kedua telapak tangannya mengalir darah
yang segar. Betapa hati di setiap dada laklaki yang berada di tempat itu
bergetar dahsyat sekali. Mereka sama sekali tidak menyangka
bahwa hal itu dapat terjadi. Mereka tidak melihat, bagaimana
mungkin kedua tangan laklaki berkumis itu terluka bersamasama.
Karena itu, maka sejenak justru mereka terdiam seperti
patung dengan mulut yang ternganga-nganga.
Mereka terkejut ketika mereka mendengar suara laklaki itu
mengguntur, "He, apakah kalian buta. Cepat, kepung perempuan
gila ini. Ia harus ditangkap hidup-hidup. Ia harus menerima
hukuman yang paling keji dari kita sekalian."
Suara itu telah membangunkan orang-orang yang sedang
membeku. Segera mereka berloncatan sambil menarik senjata
masing-masing mengepung Pandan Wangi di segala arah. Dada
Pandan Wangi menjadi semakin berdebar-debar. Kini ia benarbenar
harus bertempur melawan laklaki itu semua. Enam
orang. Sedang seorang dari mereka, yang berkumis dan
berjambang itu, telah berhasil dilukainya tanpa menyerang sama
sekali. Namun, menghadapi enam orang laklaki yang buas dan
liar itu sekaligus, bagi Pandan Wangi bukannya suatu pekerjaan
yang mudah. "He, kenapa kalian masih menunggu?" teriak laklaki yang
terluka itu sambil menyeringai menahan sakit. Kedua telapak
tangannya yang terluka dikatupkannya dan kadang-kadang
ditiup-tiupnya untuk mengurangi pedih.
Kini setiap laklaki yang berada di seputar Pandan Wangi
telah bersiap. Satu-satu mereka melangkah maju. Sedang
Pandan Wangi masih tegak berdiri di tempatnya dengan
sepasang pedangnya yang telah diwarnai oleh darah lawannya.
"Tangkap hidup-hidup!" teriak laklaki berkumis itu. "Ia harus
merasakan hukumannya. Ia harus tahu, betapa kami dapat
berbuat di luar dugaannya."
Ketika laklaki di sekitarnya mulai bergerak, maka Pandan
Wangi pun tidak menunggunya lagi. Seperti kijang ia
berloncatan. Begitu tiba-tiba, sehingga benar-benar telah
mengejutkan lawannya. Ketika mereka sadar, maka sebilah
pedang telah terlempar dan seorang dari antara mereka dengan
wajah tegang menggenggam pergelangan tangannya yang
terluka. Tetapi hai itu, ternyata telah mengobarkan kemarahan kawankawannya.
Mereka segera merasa terhina. Dalam saat yang
demikian pendek, gadis itu telah berhasil melukai dua orang lakilaki
dari enam orang yang biasa melakukan petualangan tanpa
dapat dihalangi. Di sini, di sekitar bukit padas, seorang
perempuan telah berhasil menitikkan darah mereka.
Dengan demikian maka mereka pun serentak menyerang
bersama-sama dari segala penjuru. Serangan itu datang seperti
pusaran air yang melibat Pandan Wangi di tengah-tengahnya.
Untunglah bahwa Pandan Wangi telah berhasil menguasai
ilmu ayahnya hampir sempurna. Karena itu maka ia masih juga
dapat memberikan perlawanan yang cukup baik. Apalagi ia
sudah bertekad bahwa ia tidak akan dapat ditangkap hiduphidup.
Orang-orang itu baru akan dapat menjamahnya apabila ia
sudah menjadi mayat. Dengan demikian, maka Pandan Wangi pun segera
mengerahkan segenap kemampuannya. Seperti sikatan. Ia
menyambar-nyambar dengan sepasang pedang tipisnya. Sekali
mematuk, kemudian sebuah sabetan mendatar menyentuh kulit
lawan-lawannya. Laklaki yang bertempur bersama-sama Pandan Wangi itu
telah dicengkam oleh keheranan, bahwa di daerah ini ada
seorang perempuan yang mampu bertempur sedemikian
dahsyatnya. Adalah tidak lazim sama sekali, bahwa seorang
perempuan menggenggam senjata, apalagi bertempur dalam
unsur gerak perkelahian yang mapan dan bahkan begitu
dahsyatnya. Namun sejenak kemudian luapan kemarahan
mereka pun segera mereka tumpahkan. Mereka berkelahi
dengan segenap kekuatan yang ada pada mereka. Mereka
menyerang beruntun seperti ombak lautan. Susul-menyusul dari
arah yang berbeda-beda. Pertempuran itu pun segera meningkat semakin seru.
Masing-masing telah mempergunakan setiap kemungkinan yang
ada di dalam diri mereka. Segala kemampuan dan segala
macam ilmu Ternyata laklaki yang bertempur bersama-sama melawan
Pandan Wangi itu pun bukanlah orang-orang kebanyakan.
Ternyata mereka memiliki bekal yang cukup sehingga mereka
mendapat kehormatan memenuhi panggilan Sidanti.
Dengan demikian, ketika Pandan Wangi telah berhasil
menjajagi kemampuan lawan-lawannya, terasa debar jantungnya
menjadi semakin cepat. Terasa olehnya, bahwa kemampuan
mereka bersama-sama benar-benar berbahaya baginya. Pandan
Wangi tidak akan tergetar serambut pun apabila ia harus
melawan seorang demi seorang. Tetapi kini ia harus
menghadapi mereka bersama-sama. Enam orang meskipun
yang dua telah terluka. Tetapi luka itu tidak melumpuhkannya.
Yang seorang masih dapat menggenggam pedang dengan
tangan kirinya, sedang yang seorang lagi, masih mampu
mempergunakan tangannya yang terluka itu, meskipun tanpa
senjata. Tetapi kelincahan dan kecepatannya bergerak, benarbenar
telah mengganggu ketenangan Pandan Wangi.
Tetapi Pandan Wangi telah bertekad untuk bertempur sampai
kemungkinan terakhir. Ia sudah tidak dapat mundur lagi. Apalagi
menyerah. Menyerah baginya akan berakibat dahsyat sekali.
Dan ia yakin bahwa akhirnya ia pun akan mati. Mati dengan cara
yang paling mengerikan. Itulah sebabnya ia telah memeras
segala kemampuan yang ada padanya. Bagaikan gumpalan
asap, pedangnya berputaran melindungi dirinya, dan yang
dengan tiba-tiba saja telah menyerang melibat lawan-lawannya.
Demikianyah, maka perkelahian itu semakin lama menjadi
semakin meningkat. Ketika tubuh-tubuh mereka telah basah oleh
keringat, maka tandang mereka pun menjadi semakin dahsyat.
Sekalsekali orang-orang yang bertempur bersama-sama itu
berhasil mengepung Pandan Wangi di dalam suatu lingkaran
yang rapat. Tetapi sesaat kemudian beberapa orang harus
berloncatan menyibak karena serangan Pandan Wangi datang
bagaikan prahara. Dengan demikian maka kepungan itu pun
pecah, sehingga mereka harus berhadapan dengan Pandan
Wangi dari satu arah. Sekalsekali terdengar laklaki yang kedua tangannya telah
terluka karena sikapnya sendiri itu menggeram. Ia menyesal
bahwa ia kurang berhathati. Seandainya pada saat itu ia masih
dapat menggenggam goloknya, maka perkelahian ini pun pasti
akan lebih cepat selesai. Tetapi kini perempuan itu berhasil
mempertahankan dirinya agak lebih lama. Namun setiap laklaki
itu pasti bahwa akhirnya Pandan Wangi yang lincah itu akan
jatuh ke tangan mereka. Tetapi Pandan Wangi benar-benar tidak akan menyerah.
Betapa dahsyatnya serangan-angan datang beruntun, selalu
dilawannya. Kadang-kadang ia harus membenturkan senjata
karena ia tidak sempat lagi menghindar. Namun di dalam
benturan-benturan yang terjadi, laklaki yang garang itu pun
menjadi heran. Kekuatan Pandan Wangi benar-benar
mengagumkan, meskipun ia seorang gadis. Bagi mereka yang
agak lemah, terasa getaran pada telapak tangannya, sehingga
telapak tangannya itu menjadi pedih. Bahkan ada diantara
mereka yang hampir-hampir saja kehilangan senjatanya,
seandainya kawannya tidak menolong menyelamatkannya.
Pandan Wangi ternyata telah membuat setiap laklaki yang
melawannya itu menjadi heran dan kagum. Tetapi juga
kemarahan mereka menjalar sampai ke ujung kepalanya.
Bahkan kemarahan itu kemudian telah berubah pula menjadi
dendam. Dan mereka mengharap bahwa mereka akan dapat
melepaskan dendam mereka dengan cara mereka.
Namun betapapun juga Pandan Wangi mencoba memeras
tenaganya tetapi yang dilawannya adalah enam ekor serigala
yang kelaparan. Bagaimanapun juga, akhirnya Pandan Wangi
merasa bahwa ia tidak akan mampu mengimbangi kekuatan
mereka bersama-sama. Ternyata mereka pun bukan sekedar
orang-orang kebanyakan yang hanya dengan kebetulan sajalah
membawa pedang di lambungnya. Ternyata enam orang itu pun
adalah orang-orang yang terlatih baik. Mungkin oleh guru-guru
mereka, dan mungkin pula oleh pengalaman petualangan
mereka yang penuh dengan kekerasan yang buas dan liar.
Demikianyah maka semakin lama semakin nampak jelas,
bahwa Pandan Wangi menjadi terdesak semakin parah. Bahkan
sekalsekali ia harus meloncat jauh-jauh mengambil jarak yang
cukup untuk melawan keenam orang yang segera memburunya,
dengan senjata yang ter-acu-acu kepadanya.
Tetapi Pandan Wangi lebih berani menatap ujung-ujung
senjata itu daripada harus memandang setiap wajah dari laklaki
yang buas dan liar itu. Ia lebih senang disentuh oleh ujung-ujung
senjata itu, meskipun melubangi dadanya sama sekali. Tetapi
tidak disentuh oleh tangan-tangan mereka yang penuh dengan
noda dan dosa. Karena itu, betapa tenaganya menjadi jauh susut, Pandan
Wangi masih tetap melakukan perlawanan. Ketika ia melihat
beberapa orang lawannya menitikkan darah, maka seolah-olah
tenaganya menjadi tumbuh kembali. Namun hanya sesaat.
Sesaat berikutnya ia merasa tenaganya seolah-olah telah
terperas habis. Dada Pandan Wangi semakin lama menjadi semakin
berdebar-debar. Apakah pada suatu saat ia benar-benar akan
jatuh ke tangan orang-orang itu"
"Tidak," Pandan Wangi menggeram, "apabila aku tidak
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mampu melawan mereka, maka tusukan yang terakhir dari ujung
pedangku adalah menghunjam ke dalam dadaku sendiri. Biarlah
aku menjadi tumbal. Mudah-mudahan mayatku akan. menjadi
peringatan bagi Kakang Sidanti, bahwa seharusnya Tanah ini
dan segala isinya tidak dikorbankannya untuk kepuasan pribadi."
Pandan Wangi tersentak ketika terasa sebuah sengatan pada
pundaknya. Sengatan ujung senjata lawannya. Dengan gerak
naluriah ia meloncat mundur. Pedangnya segera bergetar
melindungi dirinya. Tetapi ternyata darahnya pun kemudian
menitik dari segarit luka yang tergores di pundaknya itu.
Dada Pandan Wangi berdesir tajam. Hatinya terasa men"jadi
pedih jauh lebih pedih dari luka itu sendiri. Tetapi terlebih pedih
lagi ketika ia mendengar laklaki yang kedua tangannya terluka
itu berkata lantang, "Jangan kau bunuh dia. Gadis itu harus
ditangkap hidup-hidup."
Gelora di dada Pandan Wangi telah mendorongnya untuk
bertempur matmatian dengan sisa-sisa tenaganya. Tiba-tiba ia
menjadi semakin garang dan pedangnya pun menjadi semakin
cepat berputaran. Sekali ia meloncat maju dengan tiba-tiba di
antara ujung-ujung senjata. Dengan serangan yang rendah ia
mematukkan senjatanya, dan ketika ia meloncat mundur
terdengar salah seorang dari keenam laklaki itu berdesis,
kemudian mengaduh pendek.
"Gila," Laklaki itu menggeram, "ia melukai lambungku. Aku
harus membalasnya." "Jangan bunuh dia," teriak laklaki yang berkumis.
"Seandainya aku tidak membunuhnya, tetapi aku harus
membalas hinaan ini dengan penghinaan yang paling
memalukan. " "Terserah kepadamu. Tetapi ia harus tertangkap hidup-hidup."
Pembicaraan itu terdengar berputar-putar di telinga Pandan
Wangi. Pengaruhnya jauh lebih berat dari dentang senjatasenjata
yang sedang beradu. Kengerian yang luar biasa telah
mencengkam jantung dan hatinya, sehingga sekali lagi ia
mengambil keputusan apabila memang sudah tidak mungkin lagi
ia menghindar dari kekalahan, maka ia akan menikamkan
senjata untuk yang terakhir kalinya pada dadanya sendiri
langsung menghunjam jantung.
Sementara itu, di lorong yang memanjat di dalam pedukuhan
itu, Sidanti, Ki Tambak Wedi, dan Argajaya sedang berkuda
perlahan-lahan menyelusur jalan. Tidak ada tujuan yang ingin
didatanginya. Mereka hanya ingin melihat perkembangan
suasana di saat-saat terakhir. Mereka ingin melihat imbangan
kekuatan yang ada di antara mereka. Sidanti dan Argapati.
Karena itu, maka perjalanan itu sama sekali tidak dipengaruhi
oleh matahari yang semakin lama semakin meninggi hampir
sampai ke puncak langit. Namun tiba-tiba mereka terperanjat. Di hadapan mereka
tampak sebuah lingkaran perkelahian. Beberapa orang telah
terlibat di dalamnya. "Siapakah mereka itu ?" desis Sidanti. Argajaya tidak segera
menyahut. Tetapi di antara pepohonan yang jarang-jarang di
pategalan dan kebun-kebun kosong, Argajaya melihat beberapa
orang yang bentuknya pernah dikenalnya.
"Mereka adalah beberapa orang dari antara orang-orang yang
kita harap bantuannya, Sidanti."
Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia
bertanya pula, "Tetapi dengan siapa mereka berkelahi?"
"Entahlah," Argajaya menggelengkan kepalanya, "tidak begitu
jelas bagiku. Tetapi pasti seorang yang pilih tanding yang
mampu berkelahi melawan orang-orang itu. Tidak sekedar
seorang lawan seorang, tetapi agaknya beberapa orang telah
terlibat di dalamnya."
"Setan," Sidanti bergumam. "Apakah Argapati sudan mulai"
Marilah kita lihat, siapakah yang telah mencoba
menyombongkan dirinya melawan orang-orang kita. Mudahmudahan
orang-orang kita tidak mengalami apa pun juga."
Sidanti segera melecut kudanya, sehingga kuda itu meloncat
dan berlari kencang mendekati lingkaran perkelahian yang masih
berlangsung dengan sengitnya. Tetapi tenaga Pandan Wangi
sudah semakin lama menjadi semakin lemah, meskipun lawanlawannya
juga demikian. Namun karena lawannya berjumlah
enam orang, maka kemungkinan baginya untuk dapat
melepaskan diri dari tangan laklaki yang buas itu menjadi
semakin sempit. Betapapun mereka sedang dibelit oleh perkelahian yang seru,
namun mereka masih sempat mendengar derap beberapa ekor
kuda mendekati mereka. Semakin lama menjadi semakin dekat.
Ternyata derap kakkaki kuda itu cukup berpengaruh kepada
mereka yang sedang bertempur. Salah seorang laklaki yang
sedang melawan Pandan Wangi itu berdesis, "Derap kakkaki
kuda." Pandan Wangi pun mendengarnya pula. Tetapi ia masih
belum sempat berpaling untuk melihat siapakah yang datang. Ia
masih sibuk memperhatikan ujung-ujung senjata yang bertubitubi
menyerangnya. "Meraka datang," teriak salah seorang dari
mereka. "Ha," sahut yang lain, "kini sampailah akhir dari
perlawananmu anak manis. Meskipun agaknya kita pun
terganggu pula sedikit, tetapi akhirnya maksud kami pun akan
sampai pula. Mereka tidak akan dapat berbuat lain daripada
membantu kami menangkapmu."
Dada Pandan Wangi menjadi semakin berdebar-debar. Derap
kakkaki kuda itu menjadi semakin dekat. Tidak hanya seekor
kuda. Timbullah kengerian yang tajam di dalam dadanya.
Bagaimanakah seandainya ia benar-benar jatuh ke tangan lakilaki
yang liar itu. Apalagi mereka akan mendapat kawan, orangorang
yang datang berkuda itu meskipun Pandan Wangi masih
belum sempat melihat orang-orang yang baru datang itu.
Dalam kepepatan hati, maka Pandan Wangi sampai kepada
keputusannya. Ia harus mati. Kalau ujung-ujung senjata
lawannya tidak mampu membunuhnya, maka ia akan
membunuh dirinya sendiri.
Karena itu, maka tiba-tiba Pandan Wangi itu berdiri tegak
sambil merentangkan tangannya yang masih menggenggam
pedangnya. Ia berharap bahwa serangan yang datang beruntun
dengan tiba-tiba akan sempat menusuk dadanya.
Tetapi ternyata sikapnya itu benar-benar mengejutkan.
Sebelum ujung-ujung senjata menyentuh tubuhnya, tiba-tiba lakilaki
yang kedua tangannya telah terluka berteriak, "Berhenti!
Berhenti! Jangan lukai dia."
Setiap laklaki yang sudah siap menjulurkan pedangnya tibatiba
tertegun. Mereka berdiri seperti patung, meskipun pedang
mereka masih terjulur lurus-lurus ke depan.
"Sudah aku katakan, tangkap ia hidup-hidup. Agaknya anak
manis ini telah menyerah."
Kata-kata itu menyengat hati Pandan Wangi melampaui
sengatan ujung pedang. Ternyata usahanya untuk
menyelesaikan pertempuran itu dengan lubang di dadanya tidak
berhasil. Karena itu, maka tiba-tiba ia meloncat mundur sambil
berkata lantang, "Jangan mengharap kalian dapat menyentuh
tubuhku selagi aku masih hidup."
Laklaki berkumis itu mengerutkan keningnya. Katanya, "Kau
mau apa, Pandan Wangi?"
"Kalian hanya akan mendapatkan mayatku," sahut Pandan
Wangi tegas. Sementara itu ia telah mengangkat pedangnya
siap untuk menembus dadanya.
Tetapi tiba-tiba mereka terkejut, ketika terdengar suara
menggelagar, "Pandan Wangi. Apakah yang akan kau lakukan?"
Dengan gerak naluriah Pandan Wangi berpaling. Dilihatnya di
atas punggung kuda kakaknya duduk dengan cemasnya.
Sejenak kemudian Sidanti itu segera meloncat dan berlari
mendapatkan adiknya. "Pandan Wangi, kenapa kau?"
Pandan Wangi memandangi kakaknya dengan sorot mata
yang dipenuhi oleh keragu-raguan. Bahkan kemudian ia
melangkah surut sambil berkata, "Jangan dekati aku."
Sidanti tertegun sejenak. Ditatapnya wajah Pandan Wangi
yang pucat. Keringat yang membasahi pakaiannya dan yang
kemu"dian dilihatnya adalah titik darah yang menetes dari
lukanya. "Kenapa kau, Wangi?" sekali lagi terloncat pertanyaan itu dari
mulut Sidanti. Pandan Wangi terdiam sejenak. Ditatapnya wajah kakaknya
yang kecemasan. Tetapi ia masih dipengaruhi oleh kengerian
yang sangat, sehingga ketika kakaknya maju selangkah, ia pun
mundur selangkah. "Kau biarkan orang-orangmu menghina aku. Bukan saja
sebagai seorang puteri Kepala Tanah Perdikan, tetapi lebih-lebih
lagi aku sebagai seorang gadis."
Dada Sidanti berdentangan mendengar kata-kata itu. Sekilas
hatinya dipengaruhi oleh kepentinganya atas orang-orang yang
kebetulan telah mencegat Pandan Wangi. Mereka adalah orangorang
yang diperlakukannya dalam tujuan yang dianggapnya
penting. Tetapi tiba-tiba terbayang di wajah Pandan Wangi yang
pucat itu wajahnya semasa kanak-kanak. Dilihatnya wajah itu
sebagai wajah Pandan Wangi pada saat ia masih kecil.
Menangis dan merajuk. Anak itu selalu minta perlindungannya.
Pada saat-saat kawan-kawannya nakal, maka gadis kecil itu
selalu berlari kepadanya sambil menangis, "Kakang, Kakang
Sidanti. Aku dinakali."
Setiap saat ia menjadi marah. Setiap kali ia selalu berkata,
"Bermainlah di sini. Siapa yang nakal, nanti aku pukul
punggungnya." Dan setiap kali Pandan Wangi akan terdiam. Ia
akan bermain di sampingnya dengan tenteram.
Tiba-tiba Sidanti itu menggeram. Tiba-tiba saja ia memutar
tubuhnya menghadap laklaki yang liar yang masih
menggenggam pedang di tangan mereka. Tanpa diduga-duga,
maka Sidanti itu segera mencabut pedangnya sambil berteriak.
"Hai cucurut-cucurut hina. Kalian hanya berani melawan seorang
gadis kecil. Ayo inilah Sidanti. Kalau kalian benar-benar jantan,
lawanlah Sidanti. Berkelahilah bersama-sama. Enam orang, atau
panggil sepuluh orang kawanmu lagi."
Perlahan-lahan Sidanti melangkah maju. Matanya
memancarkan api kemarahan tiada terhingga. Pedangnya
terjulur lurus ke depan. "Ayo, siapakah yang lebih dahulu?"
Sikapnya itu sama sekali tidak terduga-duga. Laklaki liar itu
sama sekali tidak menyangka, bahwa Sidanti akan bersikap
demikian, justru kepada mereka.
Karena itu maka sejenak mereka berdiri saja mematung.
Kemudian mereka saling berpandangan. Namun tidak seorang
pun dari mereka yang mengerti, apakah yang seharusnya
mereka kerjakan. Sedang di atas punggung kuda masingmasing,
Argajaya dan Ki Tambak Wedi pun masih juga duduk
termangu-mangu. Dalam pada itu masih terdengar suara Sidanti, "Ayo, ayo,
siapa yang paling jantan di antara kalian?"
Belum ada seorang pun yang beranjak dari tempatnya. Tetapi
laklaki yang berkumis dan berjambang tampak mengerutkan
keningnya. Wajahnya kemudian semakin menegang, sedang
kedua telapak tangannya masih ditelakupkannya.
Namun sejenak kemudian ia melangkah maju sambil berkata
dengan suara yang gemetar, "Apakah maksudmu, Sidanti?"
"Jelas, membunuh kalian bersama-sama."
Laklaki itu menjadi semakin tegang. Katanya, "Jadi kau
undang aku kemari sekedar untuk berkelahi?"
Sidanti terdiam sejenak. Terasa sesuatu bergelora di dalam
dadanya. Tetapi kemudian ia menjawab, "Aku memang
memerlukan kalian. Tetapi tidak untuk menghina gadis-gadis."
"Siapakah perempuan ini?"
"Adikku," sahut Sidanti pendek.
Laklaki berkumis itu menjadi semakin tegang. Kini dahinya
menjadi berkerut-merut. Desisnya, "Kami tidak tahu bahwa gadis
ini adikmu." "Sekarang kalian sudah tahu. Ayo, bersiaplah. Kita akan
mempertahankan nama kita masing-masing."
"Tetapi kau memerlukan kami untuk suatu kepentingan yang
lain." "Aku tidak peduli. Tetapi penghinaan bagi gadis-gadis apalagi
adikku sama sekali tidak dapat dimaafkan."
Wajah laklaki itu menjadi semakin berkerut-merut. Tetapi
sejenak kemudian ia berkata, "Aku tidak tahu bahwa perempuan
ini adalah adikmu. Semuanya sudah terlanjur terjadi. Sekarang
terserah kepadamu. Kalau benar-benar kau memutuskan untuk
membersihkan nama kita masing-masing, marilah. Aku sudah
datang ke tempat ini. Aku memang sudah membuat perhitungan.
Kemungkinan yang dapat terjadi adalah, aku tidak akan keluar
lagi dari lingkungan ini."
"Bagus, bersiaplah."
"Tetapi Sidanti, jangan kau memakai alasan serupa itu.
Jangan kau pergunakan kesempatan ini sekedar untuk
mengobarkan nafsumu berkelahi. Jangan kau katakan, bahwa
tidak dapat dimaafkan lagi karena kami mengganggu gadisgadis,
atau menghinakannya. Sebutlah alasan yang lain, dan
kami akan melayaninya."
Itulah alasan yang sebenarnya. "Kalian ternyata adalah
orang-orang yang paling terkutuk."
"Karena kami menghina dan mengganggu gadis-gadis?"
"Ya." "Omong kosong," tiba-tiba orang yang berkumis dan terluka
kedua telapak tangannya itu tertawa. Katanya pula kemudian,
"Apakah kau kira kami belum pernah mendengar apa yang
pernah kau lakukan di Sangkal Putung" Apakah kau sangka
bahwa kami tidak tahu, apa yang kau perbuat atas Sekar
Mirah?" Wajah Sidanti tiba-tiba menyala semerah api. Sejenak ia
justru mematung di tempatnya. Mulutnya bergetar seperti
getaran jantungnya yang semakin cepat. Tetapi tidak sepatah
kata pun yang dapat diucapkan.
Dan laklaki berkumis itu masih tertawa, "Nah, apa katamu
tentang Sekar Mirah itu."
Terdengar gigi Sidanti bergemeretak. Sesaat kemudian ia
menjawab dengan suara gemetar, "Kebodohanmu adalah bahwa
kau tidak dapat melihat perbedaan di antara sikapmu dan
sikapku. Aku mencintainya. Aku mengambilnya dengan suatu
cita-cita, bahwa suatu ketika aku akan hidup bersamanya dalam
lingkungan kekeluargaan yang aku junjung tinggi. Mungkin aku
termasuk seorang yang buas di dalam lingkaran pertempuran.
Aku pernah membunuh dan mencincang musuhku. Tetapi aku
menghormati hubungan yang tinggi di antara manusia di dalam
hubungan kekeluargaan."
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Laklaki berkumis itu mengerutkan keningnya. Namun ia
tertawa pula, "Aku tidak melihat bedanya. Kau juga tidak
menghormatinya, menghormati perasaannya. Kau berbicara
tentang cita-cita dan keluarga, tetapi kau tidak berbicara tentang
perasaan orang lain. Nah, bukankah tidak ada bedanya" Aku
juga tidak berbicara tentang orang lain. Akupun hanya sekedar
menuruti keinginanku. Yang berbeda di antara kita hanyalah
keinginan kita. Kau inginkan dan kau paksa gadis itu untuk
menjadi isterimu apabila berhasil, tetapi aku hanya
menginginkannya sekarang."
Kemarahan Sidanti benar-benar telah sampai ke puncak
ubun-ubunnya. Ia benar-benar terhina karenanya. Namun justru
karena itu sekali lagi ia terbungkam. Hanya ujung pedangnya sajalah yang
bergetar semakin cepat. "Nah apa katamu?" berkata laklaki berkumis itu. "Kalau ingin
berkelahi, marilah kita berkelahi. Tetapi jangan halangi aku
meskipun gadis itu adikmu. Aku sudah terlanjur mulai. Atau
barangkali kau berbaik hati, meyerahkannya kepada kami
supaya kami bersedia membantumu."
"Cukup, cukup!" suara itu benar-benar mengejutkan. Bukan
suara Sidanti, karena mulut Sidanti justru terkunci oleh
kemarahan yang menyumbat dadanya.
Ketika mereka serentak berpaling, maka mereka melihat
Arga"jaya meloncat turun dari kudanya dengan wajah yang
merah padam. Digenggamnya tombaknya erat-erat. Terdengar
suaranya bergetar, "Gadis itu adalah kemanakanku pula. Marilah
kita bertempur. Aku yakin bahwa kalian sebentar lagi akan
menjadi bangkai." Sekali lagi setiap laklaki yang berwajah liar dan buas itu
menjadi heran. Keadaan ternyata berkembang tanpa dapat
dikekang lagi. Namun mereka pun tidak ingin merendahkan
nama mereka. Sehingga dengan garangnya, laklaki yang telah
terluka tangannya itu menggeram, "Baik, baik. Kami tidak
berkeberatan. Marilah. Enam orang di pihak kami meskipun di
antaranya telah terluka dan empat orang di pihakmu, bersamasama
dengan gadis itu. Kita akan bertempur. Tetapi kami minta,
taruhannya adalah seorang gadis cantik yang bernama Pandan
Wangi. Setuju?" Sidanti sudah tidak dapat menahan hatinya lagi. Penghinaan
itu sudah berlebih-lebihan. Apalagi ketika ia sadar, bahwa
pamannya telah menjadi marah pula. Keenam orang itu tidak
segera dapat mengalahkan Pandan Wangi seorang diri. Apalagi
apabila mereka harus bertempur melawan dirinya dan pamannya
bersama-sama. Sudah tentu Pandan Wangi sendiri akan serta.
Terlbih-lebih lagi apabila gurunya membantunya pula. Maka
membunuh keenam orang itu tidak akan memerlukan waktu
sepenginang. Tetapi sebelum Sidanti meloncat terdengar suara gurunya,
"Sidanti. Tunggu."
Sidanti tertegun sejenak. Bersamaan dengan pamannya ia
berpaling. "Jangan terburu nafsu," berkata Ki Tambak Wedi kemudian.
"Mereka menghina aku, Guru," berkata Sidanti.
"Ya. Tetapi jangan tergesa-gesa mengambil tindakan. Kita
harus memperhitungkan setiap kemungkinan dengan saksama.
Aku sependapat dengan kau dan pamanmu Argajaya. Tetapi aku
tidak sependapat bahwa kalian harus bertempur di sini."
"Di mana kami harus bertempur?" bertanya Argajaya.
"Bukan di mana. Tetapi perkelahian di antara kita memang
harus dicegah. Kita sudah terlalu kenyang dihantam oleh
pengalaman. Kita selalu dihancurkan karena kita selalu
bertengkar dengan diri sendiri."
"Tetapi penghinaan itu sudah melampaui batas."
Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Dipandanginya
wajah Pandan Wangi yang masih pucat. Lamat-lamat dilihatnya
bayangan wajah Rara Wulan pada wajah gadis itu. Dan setitik
keringat telah membasahi keningnya.
"Hem," Ki Tambak Wedi menarik nafas dalam-dalam.
"Persoalan itu selalu kembali pada setiap keadaan." desisnya di
dalam hati, "persoalan perempuan. Sejak masa itu, sejak jauh
sebelum Sidanti dilahirkan, maka persoalan perempuan selalu
saja melibatkan diri. Kemudian kegagalan Sidanti di Sangkal
Putung, di Tam"bak Wedi dan kini di Menoreh, persoalan itu
selalu saja ditemuinya kembali."
Tetapi sebelum Ki Tambak Wedi menentukan sikapnya, maka
sekali lagi mereka telah dikejutkan oleh derap kakkaki kuda.
Seje"nak mereka terdiam. Dan suasana pun menjadi hening
sepi. Yang terdengar adalah silirnya angin pegunungan
menyentuh dedaunan dan suara derap kaki kuda yang semakin
lama semakin menjadi jelas.
"Hanya seekor kuda," desis Ki Tambak Wedi, sehingga
karena itu maka ia pun tidak menjadi cemas karenanya. Ketika
tanpa dikehendakinya ia menengadahkan wajahnya, maka
dilihatnya matahari telah melampaui titik puncaknya di pusat
langit. Sejenak kemudian dari balik dedaunan, mereka melihat
seekor kuda seakan-akan terbang di jalan pedukuhan. Namun
sejenak kemudian langkah kuda itu pun diperlambat. Agaknya
penunggangnya telah melihat, beberapa orang yang berada di
tempat itu. Tetapi kuda itu tidak berhenti. Semakin lama semakin
dekat dan dekat. Ketika terlihat oleh mereka, penunggang kuda itu, maka
ter"dengar Pandan Wangi berteriak memanggil "Paman. Paman
Samekta." Orang berkuda, yang bernama Samekta itu, menghentikan
kudanya. Dengan herannya ia memandang Pandan Wangi yang
masih menggenggam sepasang pedangnya. Kemudian
dipandanginya Sidanti, Argajaya, Ki Tambak Wedi, dan
beberapa orang laklaki yang kasar dan liar itu.
"Angger Pandan Wangi," terdengar suaranya tertahan-tahan,
"apakah yang telah terjadi?"
Pandan Wangi masih berdiri di tempatnya. Sejenak ia menjadi
ragu-ragu. Karena itu, sebelum ia menjawab, maka ia pun
bertanya, "Kemanakah Paman akan pergi?"
Samekta tidak segera menjawab. Sekali lagi dipandanginya
Sidanti dan Argajaya bergantganti. Baru sejenak kemudian ia
berkata, "Aku mendapat tugas dari Ki Gede Menoreh untuk
menjemputmu. Ki Gede mencemaskan kau dan memerintahkan
aku untuk mencarimu apabila tengah hari kau belum kembali.
Apakah yang telah terjadi di sini" "
Pandan Wangi memandangi wajah Sidanti yang kini menjadi
ragu-ragu. "Apakah kalian telah berkelahi?" terdengar lagi suara
Samekta. Pandan Wangi mengangguk. "Ya, Paman."
Tiba-tiba wajah Samekta menjadi tegang. Perlahan-lahan ia
turun dari kudanya dan berkata, "Kenapa kau berkelahi, Ngger.
Apakah terjadi sesuatu atasmu" "
Pandan Wangi tidak menjawab. Tetapi tanpa disadarinya
tangannya meraba lukanya. Setitik darah telah memerah di
telapak tangannya. "Kau terluka," suara Samekta meninggi. Wajahnya kian
menegang. Pandan Wangi mengangguk. "Siapakah yang telah melukaimu, Ngger?"
Pandan Wangi tidak segera menyahut. Tetapi dipandanginya
beberapa orang laklaki liar yang masih tegak berdiri di
tempatnya. Sejenak mereka dilontarkan dalam kediaman masing-masing.
Tetapi mata Pandan Wangi telah berbicara, yang melukainya
adalah satu dari antara laklaki liar yang sedang dipandanginya
itu. Sehingga meskipun Pandan Wangi tidak mengucapkan katakata,
namun pemimpin pengawal tanah Perdikan Menoreh itu
segera mengetahuainya bahwa salah seorang dari laklaki itulah
yang melukainya. Karena itu maka tiba-tiba ia menggeram. Ia
tahu pasti babwa laklaki itu adalah termasuk sebagian dari
orang-orang yang tak dikenal di Tanah Perdikan ini yang datang
atas permintaan Sidanti dan Argajaya. Karena itu maka dengan
sorot mata yang menyala dipandanginya Sidanti dan Argajaya
bergantganti. Dan tanpa disadarinya tangan Samekta telah
melekat di hulu pedangnya.
Namun agaknya Pandan Wangi menangkap getar hati
Sa"mekta. Sehingga ia berkata pula, "Untunglah, bahwa Kakang
Sidanti dan Paman Argajaya segera datang dan menolong aku.
Kalau tidak, maka Paman akan tinggal mengenang namaku."
"He?" Samekta terkejut mendengar keterangan itu. Sejenak ia
berdiri keheranan. Bahkan seolah-olah ia tidak yakin akan
pendengarannya, bahwa Sidanti dan Argajaya-lah yang telah
menolongnya. Tetapi perasaan itu disimpannya di dalam hatinya.
Ia terpaksa mempertimbangkan keadaan untuk menyatakan
suatu sikap saat itu. Ia merasa berdiri di tempat yang tidak
diketahui de"ngan pasti. Menilik keadaan dan arah sikap
masing-masing, Samekta percaya kepada keterangan Pandan
Wangi. Tetapi beberapa persoalan masih terasa kabur di dalam
kepalanya. Sesaat mereka hanya saling memandang dengan perasaan
masing-masing. Samekta yang keheranan, Argajaya dan Sidanti
yang marah, Pandan Wangi yang masih pucat dan laklaki liar
itu pun bertambah liar. Sedang Ki Tambak Wedi yang duduk di
atas punggung kudanya masih juga duduk sambil mengerutkan
keningnya. Tiba-tiba kesenyapan itu dipecahkan oleh Ki Tambak Wedi,
"Apakah maksudmu datang kemari?"
Samekta berpaling kepada Ki Tambak Wedi. Jawabnya, "Aku
menjemput Pandan Wangi."
"Pandan Wangi berada bersama kakaknya," berkata Ki
Tambak Wedi pula. "Tinggalkan dia."
Samekta heran mendengar kata-kata itu. Tetapi ia mendengar
Pandan Wangi menyahut, "Tidak. Jangan kau tinggalkan aku,
Paman Samekta. Tunggulah, kita pulang bersama-sama."
Ki Tambak Wedi mengerutkan dahinya. Dipandanginya wajah
Pandan Wangi yang masih pucat. Sejenak kemudian
dipandanginya wajah Sidanti dan Argajaya yang masih merah.
Yang terdengar kemudian adalah kata-kata Samekta, "Aku
memang mendapat perintah dari Ki Argapati untuk menjemput
Angger Pandan Wangi. Ki Argapati mencemaskannya, apabila
terjadi sesuatu di sepanjang jalan, seperti yang ternyata
sekarang. Untunglah Angger Sidanti dan Ki Argajaya
menolongnya. Untuk itu, mendahului Ki Argapati aku
mengucapkan diperbanyak terima kasih."
Dada Sidanti menjadi berdebar-debar karenanya. Ia sadar
bahwa yang diucapkan Samekta itu hanyalah sekedar tata
kesopanan. Tetapi apakah Argapati akan benar-benar berterima
kasih kepadanya" Mungkin untuk persoalan ini saja. Persoalan
Pandan Wangi. Tetapi untuk seterusnya, Argapati pasti akan
memusuhinya. Karena itu, maka jawabnya, "Kau tidak usah
mengucapkan terima kasih kepadaku. Juga Argapati. Aku
berbuat atas kehendakku dan tanggung jawabku sendiri. Aku
telah menolong adikku. Aku tidak peduli, apakah hubungannya
semua persoalan ini dengan Argapati, yang sama sekali tidak
bertanggung jawab terhadap anak-anaknya. Terhadapku dan
ternyata pula kini terhadap Pandan Wangi. Seandainya aku tidak
ada, apakah yang terjadi dengan gadis ini."
"Kakang," terdengar suara Pandan Wangi, "Kakang jangan
berkata demikian. Adalah wajar bahwa ayah mengucapkan
terima kasih kepadamu dan kepada Paman Argajaya. Jangan
dikaitkan persoalan ini dengan persoalan-persoalan lain yang
masih terlampau gelap. Justru aku saat ini ingin menemuimu
untuk kepentingan itu."
Sidanti menarik nafas dalam-dalam. Tetapi kemudian ia
berkata, "Aku adalah kakakmu Pandan Wangi. Lepas dari setiap
persoalan yang kini sedang membakar Tanah Perdikan ini."
"Dan lepas dari setiap persoalan itu pula Ki Gede Menoreh
akan mengucapkan terima kasih kepada kalian."
"Tidak perlu. Aku tidak memerlukan terima kasih dari orang
lain. Aku menolong adikku. Itu adalah kuwajibanku. Aku tidak
memerlukan terima kasih itu."
Tanpa diduga-duga Argajaya berkata, "Tetapi, Kakang
Argapati adalah ayahnya, Sidanti. Ia mempunyai kuwajiban pula
untuk menyatakan terima kasih kepada mereka yang menolong
puterinya. Siapa pun orangnya."
Dada Sidanti berdesir mendengar kata-kata Argajaya itu.
Tetapi sesaat kemudian disadarinya bahwa Argajaya itu adalah
adik Ar"gapati. Hampir-hampir saja ia berteriak memaki. Tetapi
sebelum mulutnya bergerak terdengar suara Ki Tambak Wedi
tertawa pendek. Katanya, "Kalian adalah anak-anak cengeng.
Kalian mempersoalkan suatu masalah yang sama sekali tidak
berarti. Biar sajalah, apakah Argapati akan mengucapkan terima
kasih atau tidak." Sidanti sejenak terbungkam di tempatnya. Hatinya bergolak
tidak menentu. Ia tidak tahu kini, kepada siapa sebenarnya
marah. Kepada laklaki liar yang mengganggu Pandan Wangi
itu, kepada Samekta atau justru kepada Argajaya" Karena itu,
maka dadanya menjadi pepat dan terdengar giginya gemeretak.
"Kalian benar-benar telah kehilangan akal." berkata Ki
Tambak Wedi. "Sekarang lepaskan semua persoalan. Biar
sajalah Pandan Wangi menentukan sikapnya. Apakah ia akan
kembali ke rumah ayahnya atau ia akan pergi kepada paman
dan kakaknya." Namun mereka terkejut ketika mereka mendengar isak
Pandan Wangi yang ditahannya kuat-kuat. Gadis itu masih
menggenggam sepasang pedang. Ia tidak menangis ketika ia
berhadapan dengan enam laklaki liar dan bahkan sampai
kemungkinan bahwa ia akan mati terbunuh atau membunuh diri.
Tetapi kini ketika perasaannya sebagai seorang gadis tersentuh
pada hubungan keluarganya yang kisruh maka hatinya menjadi
terlampau pedih. Sehingga ia tidak dapat lagi menahan air
matanya. Ia kini berdiri sebagai seorang gadis. Seorang gadis
yang seakan-akan berada di persimpangan jalan. Ia berdiri tegak
di antara ayahnya dan kakaknya. Tetapi ayah dan kakaknya itu
sama sekali tidak mempunyai sangkutan darah sama sekali. Dan
persoalan itulah yang agaknya ikut menjadi sebab menyalanya
api yang akan membakar Tanah Perdikan ini.
Keenam laklaki liar yang telah bertempur melawan Pandan
Wa"ngi itupun menjadi heran. Gadis itu tidak gentar melihat
mereka dan ujung-ujung pedang mereka. Tetapi kini, ketika ia
sudah selamat dan tidak lagi berada di dalam bahaya, justru ia
menangis. "Dalam keadaan itu, terdengar Samekta berkata, "Sudahlah,
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ngger. Marilah kita kembali."
Tangis Pandan Wangi belum mereda. Tetapi ia mencoba
menahannya sekuat hati, sehingga dadanya menjadi pepat, dan
seakan-akan hendak meledak.
"Pulanglah, Wangi," terdengar suara Argajaya. Betapapun
juga gadis itu adalah kemanakannya. Seperti Sidanti, Argajaya
telah dilibat oleh kenangan di masa gadis itu masih kecil. Gadis
kecil itu sering didukungnya, dibawanya bermain-main ke
rumahnya sebelum ia sendiri mempunyai anak perempuan.
Meskipun kini anaknya sendiri telah hampir sebesar Pandan
Wangi, namun kenangan itu masih jelas di dalam ingatannya.
Pandan Wangi mengangkat wajahnya, ia memang ingin
pulang kepada ayahnya. Namun sebelum ia melangkah,
terdengar ia berkata di antara isak tangisnya, "Kakang Sidanti.
Kau akan melihat persoalan yang lebih buruk lagi di saat-saat
mendatang, apabila kau masih tetap di dalam pendirianmu.
Itulah yang akan aku, katakan, Kakang."
Dada Sidanti berdesir mendengar kata-kata adiknya. Sejenak
ia terdiam. Sekilas terasa kebenaran kata-kata Pandan Wangi.
Sebelum persoalan ini meluas, maka ia telah menjumpai
peristiwa yang disesalkannya, justru menimpa adiknya sendiri.
Lalu apakah yang akan terjadi seandainya pergolakan yang
kemelut ini menjadi semakin memburuk"
Kekisruhan pasti akan terjadi di mana-mana. Orang-orang
yang ingin meneguk di air yang keruh akan mendapat
kesempatan seluas-luasnya. Kini ia telah dihadapkan pada suatu
contoh yang baik. Dalam pada itu terdengar suara Pandan Wangi, "Kakang, apa
pun yang pernah terjadi atasmu, kau adalah anak dari Tanah ini.
Tanah Perdikan Menoreh. Apakah dengan demikian kau sampai
hati melihat Tanah ini menjadi ajang keributan dan kekisruhan"
Apakah kau sampai hati melihat orang-orang tak dikenal seperti
orang-orang liar ini, berbuat sekehendak hatinya di sini.
Membunuh, merampok, dan memperkosa, justru kitalah yang
mengundang mereka dan memberikan tempat terhormat kepada
orang-orang itu. Mempersilahkan mereka merampas kekayaan
di rumah kita sendiri dan sekaligus membakar rumah kita ini?"
Sidanti tegak sebagai karang. Terasa tusukan-tusukan yang
tajam di jantungnya. Ia melihat kebenaran kata-kata Pandan
Wangi. Betapa pertentangan terjadi di dalam rumah tangga
sendiri, bukan seharusnya kita membawa tetangga-tetangga
kita, betapapun baiknya. Apalagi seliar laklaki yang telah
mengganggu Pandan Wangi itu, untuk ikut serta mengeruhkan
suasana. Ternyata bukan saja Sidanti yang langsung tertusuk oleh
kata-kata itu, tetapi juga Argajaya sebagai putera Tanah
Perdikan Menoreh. Sudah tampak di depan matanya, pepucuk
dari segala macam bencana yang akan menimpa Tanah ini.
Tanah Perdikan yang kini dipimpin oleh kakaknya sendiri.
Tetapi berbeda tanggapan Ki Tambak Wedi yang masih saja
berada di atas punggung kudanya. Ia melihat gelagat pada
wajah-wajah Sidanti dan Argajaya. Terasa darahnya meluap
karenanya. Ia sadar bahwa kata-kata Pandan Wangi itu
langsung mengenai sasarannya. Tetapi ia tidak dapat
membiarkannya. Persoalan ini sudah terlanjur sampai pada
suatu tingkatan yang cukup parah. Sudah tentu bahwa ia tidak
akan dapat melangkah surut, apa pun yang terjadi. Karena itu
maka, ia harus segera berbuat sesuatu. Membungkam Pandan
Wangi sebelum ia berkata terlampau banyak dan berhasil
melemahkan hati kakak dan pamannya. Apabila demikian, maka
ia akan berdiri sendiri dan bahkan mungkin ia akan berhadapan
dengan orang-orang yang selama ini berada di pihaknya. Dan
yang paling menyakitkan hati apabila anaknya laklaki, Sidanti,
terpengaruh pula oleh kata-kata adiknya itu.
Hampir saja Ki Tambak Wedi memilih jalan yang paling
berbahaya baginya tanpa mengenal unggah-ungguh. Hampir
saja ia berbuat kasar terhadap Pandan Wangi. Mengusirnya dan
berteriak keras-keras membantah kata-kata itu dengan seribu
macam alasan. Tetapi ternyata ia pun tidak sampai hati berbuat
demikian. Justru karena wajah Rara Wulan membayang di wajah
gadis itu. Wajah seorang perempuan yang telah ikut menentukan
jalan hidupnya. Perempuan yang telah mendorongnya untuk
berperang tanding dan mempertaruhkan nyawa dan
kehormatann di bawah Pucang Kembar beberapa puluh tahun
lampau. Bayangan itulah yang telah mengekangnya. Dan karena itu
yang dilakukan kemudian adalah, mencari jalan untuk segera
mengusir Pandan Wangi itu dengan cara yang lain.
Maka berkata orang tua itu, "Pandan Wangi. Ayahmu telah
memerintahkan bawahannya untuk menjemputmu. Pulanglah,
supaya ayahmu tidak menjadi cemas."
"Ya, Kiai," jawab Pandan Wangi, "aku akan segera pulang.
Aku telah puas dapat bertemu dengan Kakang Sidanti, dapat
mengatakan meskipun hanya sebagian kecil dari persoalanpersoalan
yang tersimpan di dalam hatiku."
"Kami berterima kasih atas peringatanmu itu. Tetapi kami
mempunyai pertimbangan-pertimbangan tersendiri. Baiklah, aku
kira saat ini yang harus kau lakukan adalah memenuhi panggilan
ayahmu. Aku tahu, betapa gelisah hati orang tua menunggu
anaknya pulang. Apalagi dalam keadaan serupa ini."
Ternyata usaha Ki Tambak Wedi itu berhasil. Pandan Wangi
segera merasa ingin untuk dapat bertemu secepatnya dengan
ayahnya. Katanya di dalam hati, "Ayah pasti menjadi gelisah
karenanya." Karena itu maka kemudian disarungkannya sepasang
pedangnya dan berkata kepada kakaknya, "Aku minta diri,
Kakang. Ingat-ingatlah peristiwa ini."
Sidanti tidak menyahut. Dipandanginya wajah adiknya yang
pucat dan basah oleh keringat dan air mata. Kemudian ia
mengangguk kecil. "Aku minta diri, Paman," berkata Pandan Wangi pula.
"Hathatilah, Wangi. Apakah kau hanya berjalan kaki saja?"
*** "Hathatilah, Wangi. Apakah kau hanya berjalan kaki saja?"
Pandan Wangi menggeleng, "Tidak, Paman. Aku berkuda.
Tetapi kudaku telah lari."
"Kenapa?" Pandan Wangi tidak menjawab. Tetapi dipandanginya
beberapa orang laklaki liar yang masih berdiri di tempatnya
masing-masing. Argajaya menggeram. Ia tahu, bahwa orang-orang itulah yang
telah sengaja melepaskan kuda Pandan Wangi. Karena itu maka
kemudian katanya, "Pandan Wangi, pakailah kudaku. Aku masih
mempunyai beberapa ekor di rumah."
Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Ternyata hubungan
antara paman dan kemanakannya tidak dapat segera diputuskan
oleh persoalan yang tumbuh kini. Meskipun demikian Ki Tambak
Wedi tidak berkeberatan. Dengan demikian maka Pandan Wangi
itu akan segera pergi. Maka sejenak kemudian, setelah menyarungkan sepasang
pedangnya, Pandan Wangi itu pun sekali lagi minta diri kepada
paman dan kakaknya, kemudian kepada Ki Tambak Wedi. Ia
masih ingin berpesan sesuatu, tetapi Ki Tambak Wedi
mendahuluinya, "Selamat jalan, Anak manis. Hathatilah di
jalan." Lalu kepada Samekta ia berpesan, "Jagalah gadis itu
baik-baik. Mungkin banyak bahaya di sepanjang jalan. Ayahnya
pasti sudah menunggunya."
"Baik, Kiai," sahut Samekta, meskipun hatinya meugumpat
orang tua yang licik itu.
Sesaat kemudian maka kedua ekor kuda itu pun segera
berderap meninggalkan mereka yang masih berdiri mematung di
tempatnya. Sejenak mereka yang ditinggalkan itu pun masih tegak sambil
berdiam diri. Mereka seolah masih belum dapat melepaskan diri
dari peristiwa yang baru saja terjadi. Di tangan mereka masih
tergenggam senjata-senjata masing-masing. Golok, pedang, dan
tombak pendek di tangan Argajaya. Bahkan ketegangan yang
mencengkam mereka sama sekali masih belum mereda.
Dalam keadaan demikian itu terdengar suara Ki Tambak Wedi
tertawa, "Jangan bermain-main lagi."
Semua orang berpaling kepadanya, dan ia berkata
seterusnya, "Kadang-kadang kita memang perlu memanaskan
diri, supaya apabila terjadi persoalan yang sebenarnya kita
benar-benar sudah bersiap. Tetapi sebaiknya pemanasan itu
tidak terjadi dalam kesalah-pahaman. Sebaiknya memanaskan
diri itu harus terjadi secara sadar."
Tidak seorang pun yang menyahut. Sekian banyak laklaki itu
seolah-olah masih membeku.
"Sekarang sarungkanlah pedang kalian?" berkata Ki
Tambak Wedi seterusnya. Ketika masih belum ada yang melakukannya, maka ia berkata
kepada Sidanti, "Sidanti. Jangan dipengaruhi oleh perasaan
yang kekanak-kanakan itu. Berpikirlah dewasa, seperti orang
yang lain pun harus berpikir dewasa."
Laklaki yang berkumis dan berjambang itu tiba-tiba
menyadari dirinya. Dan tiba-tiba pula ia berkata, "Aku bukan
barang mainan di sini. Aku datang atas undangan kalian. Tetapi
di sini aku sekedar akan dihinakan. Aku tidak mau. Aku harus
berbuat sesuatu untuk menebus hinaan ini. Jangan kau sangka
aku berdiri sendiri. Di sini ada beberapa puluh orang yang
datang atas undangan kalian. Seperti aku. Apabila terjadi
sesuatu atasku, maka mereka pasti akan berpikir tentang nasib
mereka pula. Apalagi kalau aku berbicara tentang orang-orangku
sendiri di tempatku. Mereka tidak akan tinggal diam. Kalian
harus tahu akibat yang akan melanda Tanah ini."
Wajah Sidanti yang masih tegang menjadi kian menegang.
Dengan serta-merta ia menjawab, "Tetapi, kami tidak
mengundang kalian untuk menghinakan gadis-gadis kami di sini.
Apalagi Pandan Wangi adalah adikku."
Laklaki berkumis itu mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia
bertanya, "Apakah gadis itu adikmu?"
"Ya." Laklaki berkumis itu mengangguk-anggukkan kepalanya,
gumamnya, "Aneh sekali. Kau telah bertekad untuk melawan
Ayahmu. Ayahmu. Tetapi kau sangat terikat kepada adikmu.
Kenapa adikmu ti"dak kau bawa bersamamu" Menilik
pengamatanku, adikmu agaknya berpihak kepada Ayahmu.
Padahal meskipun ia seorang gadis, ternyata ia seorang gadis
yang luar biasa. Lihat, tanganku telah terluka karenanya.
Beberapa orang kawanku pun terluka pula,"
"Salahmu sendiri. Untunglah adikku mampu menyelamatkan
dirinya sendiri. Kalau tidak, maka kalian pun akan menjadi mayat
di sini." "He," Laklaki itu membelalakkan matanya. "Jadi kau benarbenar
menghendaki pertengkaran" Ayo, kami ternyata tidak
akan berkeberatan." Hampir saja Sidanti berteriak menjawab tantangan itu, tetapi
gurunya mendahuluinya, "Sudah aku katakan. Apabila kalian
ingin memanaskan diri jangan dalam suasana salah paham.
Sarungkan senjata kalian. Yang terluka harus segera diobati.
Setiap saat kalian akan diterkam oleh bahaya. Apalagi sejak
Pandan Wa"ngi mengalami perlakuan ini."
"Jadi kalau terjadi benturan antara kalian dengan Argapati,
kalian ingin menyalahkan kami karena kami mencegat Pandan
Wangi?" "Bukan itu soalnya. Maksudku, peristiwa ini akan dapat
menjadi penyebab, meledaknya kemelut yang selama ini seolaholah,
tersekap dalam dekapan yang rapat."
"Lalu bagaimana maksudmu" Apakah kami harus menunda
perhitungan ini sampai persoalan kalian dengan Argapati
selesai?" "Tidak. Aku sama sekali tidak menghendaki persoalan ini
berlarut-larut. Seharusnya Sidanti menyadari kedudukannya, dan
tidak membuat persoalan-persoalan baru dengan pihak lain,"
Sidanti terkejut mendengar kata-kata gurunya, sehingga
dengan serta-merta ia berpaling. "Apakah maksud Guru?"
Ki Tambak Wedi menarik nafas dalam-dalam. Terasa
mulutnya terlampau berat untuk mengucapkannya. Bahkan
perasaannya pun seakan-akan telah mengekangnya. Tetapi ia
mencoba mempergunakan pikirannya. Ia harus
memperhitungkan setiap keadaan dengan nalar, tidak dengan
perasaan. Meskipun wajah Rara Wulan seolah-olah terbayang di
wajah Pandan Wangi, namun ketika gadis itu sudah tidak berada
di hadapannya, diusahakannya untuk mengusir bayangan itu
dengan pikirannya. "Apakah yang harus aku kerjakan guru?" bertanya Sidanti.
Ki Tambak Wedi tidak segera menyahut. Di pandanginya
wa"jah Argajaya yang menegang pula. Kemudian wajah-wajah
dari beberapa laklaki liar yang sedang dilanda oleh kemarahan
itu. "Maksudku," berkata Ki Tambak Wedi, "jangan terjadi
persoalan di antara kalian. Aku mengharap kalian yang kami
undang pun dapat menempatkan diri kalian sebagai tamu yang
terhormat, tetapi aku mengharap pula bahwa Sidanti dan
pamannya dapat menjadi Tuan rumah yang baik. Dengan
demikian kalian tidak akan terlibat dalam persoalan-persoalan
yang tidak perlu." "Tetapi semuanya telah terjadi," potong laklaki berkumis itu.
"Kami telah merasakan hinaan atas diri kami. Baik dari
perempuan yang bernama Pandan Wangi maupun dari Sidanti."
"Itulah yang ingin aku selesaikan sekarang," berkata Ki
Tambak Wedi. "Persoalan kalian dengan Sidanti harus kalian
anggap tidak pernah terjadi. Sidanti dan Argajaya harus
beranggapan demikian pula,"
"Tetapi mereka telah menghina adikku," Sidantlah yang
kemudian memotong kata-kata gurunya.
"Persoalan mereka dengan Pandan Wangi bukanlah
persoal"an kita, Sidanti."
"He," hampir bersamaan Argajaya, dan Sidanti bertanya
lantang, "kenapa" Kenapa bukan persoalan kita?"
Sekali lagi Tambak Wedi menarik nafas dalam-dalam. Tetapi
ia tidak segera mengucapkan jawabnya.
Tetapi Sidanti, dan Argajaya menjadi semakin lama semakin
tegang. Mereka ingin mendengar penjelasan dari orang tua yang
masih saja tenang-tenang duduk di atas punggung kudanya.
"Guru," berkata Sidanti, "kenapa persoalan Pandan Wangi
bukan persoalan kita?"
"Sidanti," berkata Ki Tambak Wedi, "kau sudah berbuat tepat
saat ini. Sebagai seorang kakak, kau sudah melakukan
kuwajibanmu. Tetapi kau juga mempunyai kuwajiban-kuwajiban
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang lain, yang juga harus kau lakukan, dan kau pertanggung
jawabkan, sehingga kuwajiban yang satu, dan yang lain harus
menjadi seimbang." Wajah Sidanti menjadi semakin tegang, dan ia mendengar Ki
Tambak Wedi berkata pula, "Maksudku begini Sidanti. Kau
memang bertanggung jawab terhadap adikmu itu apabila kau
melihatnya. Seandainya peristiwa ini terjadi, dan kau melihatnya,
maka tidak seorang pun yang dapat menyalahkan kau."
"Melihat atau tidak melihat, Guru, tetapi peristiwa ini benarbenar
peristiwa yang memalukan."
"Tetapi kehadiran orang-orang itu sama sekali bukan
peristiwa yang memalukan, sebab didorong oleh suatu cita-cita
yang jauh lebih bernilai dari persoalan-persoalan harga diri
seorang gadis. Persoalan yang kita tangani, dan yang
mendorong kita mengundang mereka adalah persoalan Tanah
Perdikan. Persoalan yang menyangkut hidup, dan mati seluruh
rakyat di Tanah Perdikan ini. Sedang Pandan Wangi adalah
hanya satu dari antaranya, dari antara rakyat Tanah Perdikan
Menoreh ini. Seperti halnya kita sendiri. Jangankan kehormatan,
tetapi jiwa, dan raga kita, kita pertaruhkan."
"Guru. Betapapun tinggi nilai dari perjuangan kita, tetapi
bukankah hal-hal serupa ini tidak perlu terjadi" Hal-hal yang
menyangkut harga diri, dan kehormatan seorang gadis" Guru,
keduanya sama sekali tidak ada sangkut pautnya. Perjuangan itu
dapat berjalan, dan berlangsung terus, tetapi perampasan
kehormatan serupa ini harus dihentikan."
"Kau berada di dalam suatu dunia angan-angan yang hanya
dapat terjadi di dalam mimpi, Sidanti. Kehadiran orang-orang itu
di sini, sama sekali tidak dapat dibatasi menurut keinginan kita.
Mereka hadir dengan segala keadaan mereka. Dengan segala
sifat, dan watak mereka. Sehingga hal-hal yang akan terjadi
sesuai dengan sikap, dan watak mereka seharusnya sudah kita
perhitungkan sejak semula. Itulah sebabnya aku tidak terkejut
apabila terjadi hal-hal serupa ini. Tetapi hal serupa ini harus
terjadi di luar pengetahuan kita, di luar tanggung jawab kita.
Dengan demikian, kita tidak akan tersangkut dengan perbuatanTiraikasih
Website - http://kangzusi.com/
perbuatan mereka, tetapi kita juga tidak akan membuat
persoalan dengan mereka yang datang atas undangan kita."
"Ah," Sidanti berdesah.
Tetapi sebelum ia berkata gurunya mendahului, "Adalah
kebetulan bahwa yang menjadi korban pertama-tama adalah
adikmu, Sidanti. Tetapi apa boleh buat. Perjuangan yang besar
memang memerlukan pengorbanan."
"Kiai," Argajaya tiba-tiba menyahut, "Kiai dapat berkata begitu
karena Kiai tidak mempunyai sangkut paut dengan gadis itu.
Tetapi ia adalah kemanakanku. Bagaimana mungkin aku dapat
membiarkan hal itu terjadi?"
Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian ia
tersenyum. "Kau memang aneh. Kau sudah menentukan sikap.
Kau telah memilih pihak di dalam pertentangan ini. Kalau kau
masih terikat kepada hubungan keluarga, maka kau harus
mempertimbangkannya sepuluh kali lagi. Argapati adalah
kakakmu. Bukan sekedar kemanakanmu. Kau telah berada di
dalam suatu rencana bersama dengan kami. Argapati harus
disingkirkan. Apakah kau juga masih bertanya, bagaimana kau
dapat membiarkan hal itu terjadi?"
Terasa desir yang tajam tergores di jantung Argajaya.
Jawaban Tambak Wedi tepat mengenai sasarannya, sehingga
sejenak ia terbungkam. Betapa dahsyatnya gejolak di dalam
dadanya, tetapi ia tidak dapat menemukan jawaban yang tepat
atas kata-kata Ki Tambak Wedi itu.
Sekilas dipandanginya Sidanti. Ia sadar, bahwa Ki Tambak
Wedi tidak akan dapat mengemukakan persoalan serupa itu
kepada Sidanti, karena Argapati bukanlah Ayahnya.
Suasana yang hening, sejenak mencengkam setiap hati lakilaki
yang ada di tempat itu. Hanya mata-mata mereka sajalah
yang bergerak-gerak hinggap dari satu orang ke orang yang lain.
Dalam keheningan itulah kemudian mereka mendengar suara
Ki Tambak Wedi, "Nah, seharusnya kita pun saling memelihara
setiap hubungan baik yang telah ada. Orang-orang itu kini sudah
tahu bahwa Pandan Wangi adalah adik Sidanti, sehingga
mereka tidak akan dapat berbuat sesuatu atasnya di hadapan
Sidanti, dan Argajaya."
Urat-urat darah Sidanti, dan Argajaya serasa akan pecah.
Teta"pi mereka tidak dapat menjawab. Mereka tahu tujuan katakata
gurunya, dan mereka pun sadar bahwa Ki Tambak Wedi
hendak mengorbankan apa saja untuk kepentingan rencananya.
Apalagi perempuan. Perempuan yang sama sekali tidak
mendapat tempat yang baik di hatinya, sejak ia terlibat dalam
persoalan yang rumit sampai di hari Tuanya. Rara Wulan.
Dan Ki Tambak Wedi itu berkata seterusnya, "Nah aku tetap
pada pendirianku. Kalian harus melupakan apa yang telah terjadi
supaya tidak ada retak betapapun kecilnya yang akan da"pat
mengganggu kekuatan kita. Tetapi itu tidak berarti bahwa ki"ta
masing-masing boleh berbuat sekehendak diri kita. Kita harus
tetap dalam satu ikatan. Yang satu berusaha untuk tidak
menyinggung perasaan yang lain. Kita harus dapat saling
membatasi diri masing-masing,"
Ketika Sidanti akan berbicara, Ki Tambak Wedi mendahului.
"Sidanti, kalau masih ada persoalan di dalam dirimu atau di
dalam diri pamanmu, marilah kita bicarakan di rumah. Tetapi
bagaimanakah tanggapan kita bersama atas peristiwa ini seperti
yang aku maksudkan?" Lalu kepada setiap laklaki yang masih
berdiri mematung di sekitarnya Ki Tambak Wedi berkata,
"Apakah kalian dapat mengerti" Tetapi ingat, Tanah ini bukan
padang rumput yang hijau bagi kawanan kambing yang bodoh.
Tetapi Tanah ini harus bersama-sama kita perjuangkan, kita
semai, dan kita pihara bersama-sama, supaya kita kelak dapat
memetik hasilnya. Bukan sebaliknya, menjadi arena
persengketaan tanpa ujung dan pangkal."
Sejenak mereka saling berpandangan. Tetapi tidak seorang
pun dari mereka yang segera menjawab.
Sekali lagi mereka terdampar ke dalam suatu suasana yang
hening. Namun terasa bahwa sorot-sorot mata mereka
memancakan pergolakan di dalam dada masing-masing.
Ki Tambak Wedi yang masih duduk di atas punggung
kudanya memandang wajah-wajah yang tegang itu satu demi
satu, seakan-akan ingin melihat perasaan apakah yang
tersembunyi di dalam hati mereka. Pengamatannya yang tajam
mengatakan kepadanya bahwa dentang jantung orang-orang
yang telah berkelahi bersama Pandan Wangi itu agak mereda.
Sehingga tanpa sesadar mereka, senjata-senjata mereka pun
telah terkulai menunduk dalam-dalam. Maka ketika mereka
mendengar Ki Tambak Wedi berkata kepada mereka, seakanakan
mereka telah digerakkan oleh tenaga yang tidak mereka
mengerti untuk memenuhinya.
"Sarungkanlah senjata-senjata kalian."
Orang-orang liar itu pun segera menyarungkan senjatasenajata
mereka. Sidanti, betapapun kebimbangan masih
melanda dadanya, namun senjatanya pun telah disarungkannya
pula. "Marilah kita kembali, Sidanti," berkata Ki Tambak Wedi
kemudian. "Kita akan berbicara terlampau panjang di sini.
Marilah, Ngger Argajaya."
Sejenak Sidanti dan Argajaya saling berpandangan.
Meskipun mereka mempunyai persamaan sikap tentang Pandan
Wangi, namun ternyata bahwa di dalam hati mereka tumbuh
pertentangan yang tidak mereka sadari. Betapapun juga
Argajaya tidak dapat melepaskan kesadaran tentang dirinya,
bahwa ia paman Pandan Wangi, adik ayah gadis itu, dan sama
sekali tidak mempunyai sangkut-paut apapun dengan Sidanti,
kakak Pandan Wangi. Sedang Sidanti pun menyadari hal itu
pula. Kesadaran itu merupakan bibit yang tertanam di dalam hati
masing-masing yang mungkin dapat tumbuh. Mungkin pula
dapat menjadi subur, dan berbuah.
Tetapi Ki Tambak Wedi yang mempunyai pengamatan yang
tajam itu pun menyadari keadaan itu pula. Ia menyadari bahwa
benih itu dapat tumbuh dengan subur, dan menghasilkan buah
yang lebat tetapi beracun. Karena itu, maka ia harus menjaga
agar benih itu menjadi kering, dan mati sebelum sempat tumbuh
ngrembaka. Dan agaknya Ki Tambak Wedi mempunyai keahlian di dalam
hal itu. Sejenak kemudian, Sidanti, dan Argajaya yang masih tegak
berdiri di tempatnya, mendengar Ki Tambak Wedi itu berkata
pula kepada mereka, "Marilah kita pulang. Dapatkah kuda itu
kalian pakai berdua" Kalau tidak, pakailah kudaku. Aku akan
berjalan kaki saja."
Sidanti dan Argajaya sekilas saling berpandangan. Namun
kemudian Sidanti berkata, "Kudaku cukup kuat, Paman. Marilah
silahkan." Argajaya tidak menjawab. Tetapi ia melangkah mendekati
kuda Sidanti. Maka kemudian mereka mempergunakan kuda itu
berdua, bersama Ki Tambak Wedi kembali ke rumah Argajaya.
Tetapi keduanya masih sekali lagi berpaling memandang wajahwajah
yang liar, yang masih berdiri termangu-mangu di
tempatnya. Namun Sidanti segera mengekang kendali kudanya ketika ia
mendengar salah seorang dari orang-orang liar itu berkata,
"Persoalan kami dengan Pandan Wangi bukanlah persoalan
kalian." Hampir saja Sidanti meloncat dari kudanya apabila gurunya
tidak berkata, "Jangan bodoh, Sidanti. Aku perlu memberi
penjelasan kepadamu di rumah. Kau harus sadar sejak semula,
bahwa korban yang harus diberikan kadang-kadang terlampau
memberati perasaan. Tetapi dalam perjuangan ini kalian jangan
terlampau dikuasai oleh perasaan. Tetapi kalian harus
mempergunakan pikiran, supaya perhitungan kalian tidak
terombang-ambing." "Maksud guru?" "Sudah aku katakan, jangan mengurusi soal-soal yang tidak
bersangkut paut dengan perjuanganmu. Salahnya sendiri,
apabila Pandan Wangi bertemu dengan orang-orang liar itu.
Biarlah ia mempertanggung-jawabkan dirinya sendiri. Bukankah
Argapati lebih banyak mempunyai tanggung jawab atasnya
daripada kau?" Terasa dada Sidanti, dan Argajaya bergetar. Tetapi mereka
masih mendengar Ki Tambak Wedi berkata, "Betapa aku akan
hancur didera oleh peraaanku, apabila aku membiarkan
perasaan itu berbicara. Aku sama sekali tidak dapat melepaskan
ingatanku apabila aku melihat wajah Pandan Wangi. Wajah itu
adalah bayangan wajah Rara Wulan. Aku berkata berterus
terang kepadamu, Sidanti, karena Rara Wulan adalah ibumu.
Tetapi untuk kepentingan yang lebih besar, aku paksa diriku
sendiri untuk melepaskan angan-angan, dan bayangan itu,
supaya orang-orang liar itu tidak menusuk kita dari belakang."
Sidanti dan Argajaya tidak menyahut. Mereka kini mengerti
sepenuhnya maksud Ki Tambak Wedi. Namun demikian terasa
dada mereka masih berdentangan.
"Kita bukan manusia-manusia cengeng yang hanya dikuasai
oleh perasaan. Kita harus mempunyai perhitungan yang pasti.
Kita harus mampu membuat perimbangan, apakah yang kita
korbankan dan apakah yang dihasilkan karenanya."
Sidanti dan Argajaya masih tetap berdiam diri. Tetapi kini
terjadi percikan-percikan persoalan di dalam dada mereka. KataTiraikasih
Website - http://kangzusi.com/
kata Ki Tambak Wedi itu ternyata seperti ujung jarum yang
menusuk jantung mereka, dan meninggalkan bintik-bintik luka
beracun. Sementara itu, Pandan Wangi dan Samekta sedang
mengendarai kuda mereka meninggalkan tempat terkutuk itu.
Tetapi karena tubuh Pandan Wangi yang lelah, maka ia tidak
berpacu terlampau cepat. Kuda pamannya itu pun masih belum
begitu dikenalnya, sehingga kadang-kadang ia masih harus
berusaha menyesuaikan diri.
Tiba-tiba mereka terpaksa mengekang kuda-kuda mereka
ketika serombongan kambing berlarlarian memotong jalan.
Agak jauh di belakang mereka seorang gembala berlarlari pula,
mengejarnya de"ngan sebuah cambuk di tangan.
Pandan Wangi menarik nafas. Namun tiba-tiba ia
mengerutkan keningnya dan bergumam, "Sejak beberapa lama,
baru kali ini aku melihat seorang gembala menggembalakan
kambing-kambingnya di ladang terbuka. Apakah gembala itu
tidak takut, bahwa kambing-kambingnya akan dirampas orang
atau apa pun, yang dapat berbahaya bagi kambing-kambingnya,
dan bahkan bagi dirinya sendiri?"
Samekta tidak menjawab. Matanya terikat kepada gembala
yang berlarlarian di belakang kawanan kambingnya yang
memotong jalan. Gembala yang bermandi peluh dan kelelahan.
Ketika gembala itu mencoba meloncati parit di pinggir jalan,
ternyata satu kakinya tergelincir dan gembala itu jatuh terguling
ke dalam air. Tertatih-tatih ia mencoba berdiri, sedang tubuhnya
telah menjadi basah kuyup. Bukan karena keringat, tetapi karena
air yang agak keruh. Gembala itu mencoba mengusap mukanya
yang kotor. Kemudian sambil bersungut ia berjalan perlahanlahan
dekat di depan Samekta dan Pandan Wangi,
menyeberangi jalan. Sesaat Pandan Wangi melupakan keadaan diri sendiri. Ia
tersenyum melihat gembala yang basah kuyup itu. Gembala itu
ternyata sudah bukan kanak-kanak lagi. Tetapi ia adalah
seorang anak muda yang telah dewasa.
Ketika gembala itu sampai di pinggir jalan seberang, ia
membungkuk memungut serulingnya yang tiba-tiba saja terjatuh.
Diusapnya seruling itu dengan ujung kainnya yang telah basah
pula. "Hathatilah lain kali," tanpa sesadarnya Pandan Wangi
berkata. Gembala itu berpaling. Kemudian membungkuk hormat
sekali. "Aku tergesa-gesa sehingga aku tergelincir."
"Kenapa kau tergesa-gesa?" bertanya Pandan Wangi pula.
"Menurut orang-orang tua, keadaan daerah ini agak kurang
baik sekarang." "Tetapi kenapa kau pergi menggembala juga?"
"Aku kasihan melihat kambing-kambingku. Sekalsekali aku
bawa juga ke luar meskipun hanya sebentar."
"Kalau dalam waktu yang sebentar itu kambingmu dirampas
orang, bagaimana dengan kau" Apakah kambing-kambing itu
kambingmu sendiri?" "Ya, kambing-kambing ini adalah kambing-kambing ayahku
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sendiri. Aku memeliharanya dengan baik, supaya kambingkambing
itu dapat berkembang biak dengan baik pula. Kepada
kambing-kambing itulah kami meletakkan harapan kami. Sawah
kami terlampau sempit, dan pekerjaan-pekerjaan lain terlampau
sulit didapatkan. Mudah-mudahan kambingku cepat menjadi
banyak." Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kemudian tiba-tiba saja ia bertanya, "Kenapa keadaan di daerah
ini agak kurang baik" Siapakah yang berkata demikian, dan
apakah sebabnya?" "Ah, apakah aku mengerti persoalan itu" Aku tidak tahu.
Menurut orang-orang tua dan anak-anak muda yang ikut
bersiap-siap, keadaan semakin hari menjadi semakin buruk. Ki
Gede Menoreh sedang berselisih dengan puteranya sendiri.
Benarkah begitu" Akulah yang bertanya, sebab bukankah kau
puteri Ki Gede Menoreh pula?"
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Ia tidak menjadi
heran bahwa seseorang segera dapat mengenalnya sebagai
putri satu-satunya dari Kepala Tanah Perdikan ini, meskipun ia
sendiri tidak mengenal gembala itu. Tetapi sudah tentu bahwa ia
tidak dapat berceritera banyak kepada gembala itu, sehingga
jawabnya, "Nah, sekarang pulanglah. Hathatilah. Memang
keadaan kini agak kurang baik. Tetapi mudah-mudahan segera
dapat diselesaikan."
Gembala itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"Mudah-mudahan. Kami akan menjadi senang, karena kami
dapat menggembalakan kambing-kambing kami dengan leluasa
dan tidak terganggu oleh rasa takut, dan cemas. Kami pun akan
dapat mengerjakan sawah kami dengan tenang. Bukankah
begitu" Kami tidak meng"harap terlampau banyak."
Pandan Wangi mengernyitkan alisnya. Ketika ia berpaling
kepada Samekta dilihatnya wajah pimpinan pengawal Tanah
Perdikan itu sedang berkerut.
Harapan gembala itu memang sederhana, dan terlalu wajar.
Mereka tidak mengharap terlampau banyak. Ketenangan untuk
bekerja, tanpa dihantui oleh bermacam-macam persoalan yang
menakutkan. "Siapakah namamu?" tiba-tiba, Samekta bertanya.
"Gupita," jawab gembala itu dengan serta merta.
"He," Samekta menyahut, "nama itu terlampau baik buat
seorang gembala. Nama itu baik sekali lebih baik dari namaku
sendiri. Gupita." "Siapakah nama Tuan?" tiba-tiba gembala itu bertanya.
Wajahnya memancarkan kejujuran hatinya. Ia memang ingin
tahu nama yang kurang baik dari namanya itu. Dan ia bertanya.
Wajar sekali baginya. Samekta mengerutkan keningnya. Tetapi ia tersenyum dan
menjawab, "Samekta. Namaku, Samekta. Bukankah namamu
lebih baik dari namaku?"
Tanpa disangka-sangka gembala itu mengangguk, "Ya.
Memang namaku agak lebih baik. Tetapi tidak terpaut banyak.
Samekta juga nama yang baik meskipun tidak sebaik Gupita.
Bukankah begitu?" Mau tidak mau Samekta dan Pandan Wangi terpaksa tertawa.
Sejenak mereka melupakan persoalan-persoalan yang sedang
kemelut di Tanah Perdikan ini. Dan dengan demikian mereka
mendapat gambaran, bahwa sebenarnya para gembala, para
petani, para penarik pedati, tidak terlampau banyak mengharap
untuk kepentingan mereka. Ketenangan. Ketenangan bekerja.
Tidak ada ketakutan dan ancaman. Hidup damai dalam
lingkungan keluarga yang damai. Mereka sama sekali tidak
membayangkan atau mimpi untuk memiliki sepuluh ekor kuda
tunggangan yang paling baik. Tidak ingin memiliki limabelas
pasang lembu yang besar-besar, dan tidak mimpi untuk
mempunyai rumah joglo gandeng tujuh. Tidak. Mereka hanya
memerlukan ketenangan, dan kedamaian hati.
Samekta yang masih tertawa itu kemudian menganggukanggukkan
kepalanya. Ia melihat mata gembala itu. Terasa
sesuatu berdesir di dalam dadanya. Mata itu seolah-olah
memercikkan sesuatu. "Harapan," desisnya di dalam hati. "Mungkin ia terlampau
mengharap ketenangan, dan kedamaian hati. Mudah-mudahan
segera akan terpenuhi."
Sejenak kemudian maka Pandan Wangi dan Samekta itu
segera menyadari keadaannya. Mungkin ayahnya kini sudah
menjadi terlampau gelisah. Karena itu, maka Pandan Wangi pun
berkata, "Marilah, Paman, ayah menungguku, dan lukaku
memerlukan pengobatan pula, meskipun tidak seberapa dalam."
"Oh, marilah. Kita hampir-hampir lupa waktu karena gembala
yang aneh ini." "Apakah aku menghambat perjalanan Tuan?" bertanya
gembala itu. Samekta menggeleng, "Tidak. Kami sendirilah yang
menghentikan perjalanan kami."
Gembala itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian
ia ber"tanya sambil menunjuk di kejauhan, "Apakah orang-orang
itu kawan Tuan?" Samekta dan Pandan Wangi serentak berpaling. Sebuah
goncangan telah memukul dada mereka. Orang-orang itu adalah
orang-orang liar yang telah mencegat Pandan Wangi, sedang
berjalan tergesa-gesa ke arah mereka.
Sekilas Pandan Wangi dan Samekta saling berpandangan.
Terasa tangan mereka gemetar, dan tanpa sesadar mereka,
mereka telah meraba hulu pedang masing-masing.
Gupita yang berdiri di pinggir jalan memandangi mereka
dengan mulut ternganga-nganga. Sesaat ia berpaling kepada
orang-orang yang berjalan tergesa-gesa itu, dan sesaat ia
memandangi Pandan Wangi dan Samekta.
"Apakah mereka bukan kawan-kawan Tuan?" Gupita bertanya
sekali lagi. Samekta menggeleng. Tetapi tidak menjawab. Bahkan ia
berkata kepada Pandan Wangi, "Mereka benar-benar orang
yang buas." Meskipun Pandan Wangi bukan seorang penakut, tetapi
terasa bulu-bulunya meremang. Ia tidak takut seandainya ia
harus bertempur di antara hidup, dan mati. Tetapi kerakusan
orang-orang itulah yang telah membuatnya terlampau ngeri.
"Untung Angger Sidanti telah menyelamatkanmu," desis
Samekta. Pandan Wangi mengangguk. Katanya, "Aku sudah sampai
kepada keputusan untuk membunuh diri. Tetapi berdua dengan
Paman Samekta aku mengharap dapat membinasakan mereka."
Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi
kemudian ia berkata, "Tetapi Ki Gede Menoreh akan menjadi
terlampau gelisah. Ki Gede telah menunggumu."
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Tetapi terasa
tangannya terlampau gatal. Kemarahan, dan kebencian telah
membakar jantungnya. Meskipun demikian ia berkata, "Apakah
yang sebaiknya kita lakukan, Paman?"
"Kembali. Kembali dahulu kepada ayahmu. Kemudian
terserah, apa yang akan kau lakukan. Seandainya aku harus ikut
bersamamu, aku pun tidak akan berkeberatan."
Pandan Wangi tidak menyahut. Orang-orang itu semakin
lama menjadi semakin dekat. Tetapi mereka pasti tidak akan
dapat mengejarnya seandainya Samekta dan Pandan Wangi
melarikan kuda mereka, meskipun tidak usah dipacu. Karena itu
Samekta dan Pandan Wangi tidak menjadi tergesa-gesa.
Bahkan Pandan Wangi masih dapat berkata kepada Gupita,
"Gupita. Apakah kau tidak berusaha untuk menyingkirkan
kambing-kambingmu?" "Kenapa ?" "Mudah-mudahan orang-orang itu tidak tertarik kepada
kambing-kambingmu yang gemuk itu. Tetapi kalau kau sempat,
singkirkanlah. Apabila mereka tiba-tiba saja ingin daging
kambing maka kau pasti akan kehilangan. Mereka akan
mengambil begitu saja tanpa banyak persoalan. Karena itu, lebih
baik bagimu untuk menyingkir."
Gupita mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia sama
sekali tidak berbuat demikian. Ia tidak berlari dengan tergesagesa
menggiring kambing-kambingnya. Tetapi ia masih berdiri
sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, meskipun kini ia
berdiri memandang ke arah orang-orang itu dengan tajamnya.
"Enam orang," desisnya.
"Ya, enam orang," ulang Samekta.
Dan Pandan Wangi menyahut, "Karena itu singkirkan
kambing-kambingmu." Samekta berpaling ke arah beberapa ekor kambing yang
sedang makan rumput dengan asyiknya dipinggir-pinggir
pategalan. Sejenak kemudian matanya berkisar kepada orangorang
yang baru datang itu. Dan tiba-tiba saja ia bergumam, "Enam orang. Bukankah
mereka berenam" Dua di depan, dan empat di belakang.
Bukankah begitu?" "Ya. Mereka memang berenam. Kenapa?"
"Seandainya mereka ingin makan daging kambing, mereka
tidak akan dapat menghabiskan seekor yang tidak terlampau
besar." "Tetapi mereka tidak akan puas dengan demikian. Mungkin
mereka akan mengambil tiga empat ekor. Atau bahkan seorang
satu. Mereka bawa kambing-kambing itu ke pondok mereka.
Setiap hari mereka menyembelih seekor daripadanya. Apabila
kambing itu telah habis, mereka akan mencarimu atau mencari
kandang-kandang kambing yang lain di padukuhan-padukuhan
itu. Gupita mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia masih
belum beranjak pergi. Bahkan kemudian ia berdesis, "Aku akan
mempertahankan milikku. Kambingku tidak lebih dari tujuh ekor
selain anak-anaknya. Aku akan mempertahankan milik
keluargaku itu." Samekta dan Pandan Wangi terperanjat. Hampir bersamaan
mereka berkata, "Jangan. Jangan kau coba, Gupita. Mereka
adalah orang-orang yang paling buas yang pernah aku temui.
Karena itu, menyingkirlah. Kau tidak akan dapat melawan
mereka. Seorang daripadanya pun kau tidak akan dapat
mengalahkannya, apa lagi mereka berenam."
Gupita mengerutkan keningnya. Katanya, "Mereka tidak
berhak berbuat demikian. Kambing itu adalah kambing keluarga
kami. Kalau mereka minta dengan baik-baik, mungkin aku akan
memberinya seekor. Kalau tidak, maka aku akan bertahan.
Mereka akan dapat dihukum dengan melakukan perampasan
itu." "Siapakah yang akan menghukum mereka?"
"Ki Gede Menoreh. Ki Gede Menoreh harus melindungi kami."
Pandan Wangi dan Samekta terkejut mendengar jawaban itu.
Sejenak mereka terdiam, dan saling berpandangan. Tetapi katakata
itu sama sekali tidak salah.
"Apakah kami harus membiarkan diri dirampas hak-hak kami"
Itu tidak adil." Samekta menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia mencoba
untuk menasehati. "Jangan berbicara tentang hak dan keadilan
pada saat-saat seperti ini, Gupita. Aku hargai keberanianmu,
tetapi kau harus mencoba menyesuaikan dirimu."
"Kenapa?" bertanya gembala itu.
"Kini baru terjadi benturan kekuatan di atas Tanah ini.
Benturan kekuatan yang kadang-kadang melanggar segala
macam nilanilai yang selama ini kita junjung tinggi. Hak dan
keadilan, bahkan kebenaran sedang berada di dalam ujian.
Mudah-mudahan Ki Gede Menoreh mampu menegakkannya
dengan melenyapkan kekuatan-kekuatan yang akan
menodainya." Gembala itu meggeleng lemah, "Aku tidak mengerti. Tetapi
kambing itu kambingku. Tak ada orang lain yang berhak
atasnya. Juga orang-orang itu. Bahkan kalian pun tidak berhak
pula merampasnya." Samekta dan Pandan Wangi menjadi berdebar-debar. Orangorang
itu kini sudah menjadi semakin dekat. Karena itu maka
Pandan Wangi berkata pula, "Menyingkirlah. Aku pun akan
menyingkir karena Ayah menungguku. Apabila tidak, maka aku
akan membantumu. Tetapi kesempatan yang paling baik saat ini
bagimu adalah menyingkir cepat-cepat bersama kambingkambing
itu. Cobalah, berusahalah meskipun mereka telah
semakin dekat." Gembala itu memandang Pandan Wangi dengan mata yang
hampir tidak berkedip. Namun sesaat kemudian pandangannya
beralih kepada Samekta, dan sesaat pula kepada orang-orang
yang berjalan semakin dekat. Tetapi ia bertanya, "Apakah orangorang
yang merampas hak orang lain itu tidak akan dihukum?"
Samekta menarik nafas dalam-dalam. Amat sulitlah agaknya
memberi penjelasan kepada gembala itu. Meskipun demikian ia
menjawab, "Seharusnya ia dihukum. Tetapi kalau ia berpedang
di lambungnya, maka untuk menghukumnya diperlukan kekuatan
yang dapat melampaui kekuatan pedang orang-orang itu."
Gembala itu masih belum mengerti menilik pandangannya
yang termangu-mangu. Tetapi Pandan Wangi dan Samekta
sudah tidak mempunyai kesempatan lagi. Orang-orang liar itu
kini telah menjadi semakin dekat.
"Pergilah, lain kali kita berbicara. Di mana rumahmu?"
bertanya Samekta. "Di Randu Putung."
"Randu Putung" Padukuhan itu dekat dengan Pucang
Kembar, he?" Gembala itu menganggukkan kepalanya, "Ya, di sebelah
Utara." "Kenapa kau menggembala sampai ke tempat ini" Bukankah
jarak ini terlampau jauh, apalagi dalam keadaan seperti ini?"
Gembala itu mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian ia
menjawab, "Aku mengikuti saja ke mana kambing-kambingku
pergi." Sejenak Samekta dan Pandan Wangi saling berpandangan.
Tetapi sebelum mereka berkata sesuatu, mereka berpaling.
Terdengar salah seorang dari laklaki yang datang itu berteriak,
"He, Pandan Wangi, apakah kau menunggu aku, he?"
Pandan Wangi tidak menjawab. Tetapi ia berkata kepada
gembala itu, "Pergilah. Aku pun akan segera pergi."
"Tunggulah. Aku segera datang," terdengar yang lain
berteriak pula. Langkah mereka ternyata menjadi semakin cepat,
pergi ke arah mereka. Bahkan orang yang berjalan di paling
belakang berlarlari kecil menyusul kawan-kawannya yang
sudah lebih dahulu daripadanya.
Pandan Wangi mengerutkan dahinya. Lalu ia bergumam,
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Marilah, Paman. Sebelum mereka terlalu dekat. Aku tidak yakin
bahwa aku dapat menahan kebencianku kepada mereka.
Sehingga lupa diri dan berusaha berbicara dengan pedangku."
"Marilah, Ngger," sahut Samekta, meskipun tangannya pun
melekat di hulu pedangnya. Agaknya kebenciannya pun meluap
sampai di ujung ubun-ubunnya. Bahkan ia menggeram,
"Seandainya Ki Gede tidak menunggu."
Keduanya kemudian menggerakkan kuda mereka perlahanlahan.
Mereka masih mencoba meyakinkan gembala itu supaya
pergi. Tetapi mereka tidak mau menunggu orang-orang liar itu
supaya mereka tidak tertahan-tahan lagi.
"He, ke mana kau, Pandan Wangi" Bukankah kau menunggu
aku?" Pandan Wangi sama sekali tidak menghiraukannya.
Perlahan-lahan kudanya mulai melangkah meninggalkan
gembala yang masih berdiri termangu-mangu.
"Pergilah, pergilah. Jangan menarik perhatiannya," desis
Samekta. Tetapi Samekta menggeleng-gelengkan kepalanya ketika
gembala itu sama sekali tidak beranjak dari tempatnya.
"Apa boleh buat," desis Pandan Wangi. "Kami sudah
mencoba memperingatkannya. Gembala itu jujur. Tetapi agak
dungu." Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara
kudanya berjalan meninggalkan Gupita yang masih berdiri di
tempatnya. Mereka masih mendengar orang-orang yang berjalan
ke arah mereka berteriak. "Tunggu, tunggu, Pandan Wangi. Aku
ingin berbicara. Sedikit saja."
Tetapi Pandan Wangi dan Samekta tidak menghiraukannya
lagi. Semakin lama langkah-langkah kuda mereka justru menjadi
se"makin cepat, meskipun kadang-kadang mereka masih
berpaling. Mereka masih melihat orang-orang itu melambaikan
tangan mereka dan berkata lantang, "Aku ingin berbicara sedikit
kepadamu, Wangi. Aku tidak akan mengganggumu lagi."
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Tetapi Samekta
ber"kata, "Jangan hiraukan mereka. Mereka adalah orang-orang
yang licik dan tidak mengenal tata kehidupan yang baik
sebagaimana seharusnya."
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Kudanya
ber"jalan semakin cepat. Lambat laun kuda itu pun berlari.
Derap kakinya terdengar semakin lama semakin cepat, dan
keras memukul-mukul jalan berbatu padas. Ketika mereka
berdua berpaling, mereka melihat laklaki itu berdiri berjajar di
tengah-tengah jalan tanpa menghiraukan Gupita sama sekali.
"Mudah-mudahan anak itu tidak diganggu," desis Pandan
Wangi. "Mudah-mudahan," sahut Samekta. "Aku melihat sesuatu
yang aneh pada gembala itu. Aku semula menganggapnya jujur
tetapi bodoh seperti sangkamu. Tetapi aku melihat sesuatu yang
lain pada sorot matanya."
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia berdesis,
"Ya, aku melihat juga sinar matanya yang berkilat-kilat. Tetapi
mungkin ia memang seorang gembala yang jujur tetapi bodoh,
namun ia memiliki sesuatu yang lain di dalam dirinya. Ah, tetapi
ia ter-lampau mengharapkan sesuatu di hari mendatang.
Pancaran harapannya itulah yang agaknya membuat matanya
bersinar-sinar." Samekta tidak menjawab. Ketika ia sekali lagi berpaling, ia
melihat gembala itu berdiri di antara orang-orang liar itu. Tetapi
mereka telah agak jauh, sehingga mereka tidak dapat melihat
dengan jelas apakah yang kemudian dapat terjadi.
"Mudah-mudahan anak itu selamat. Mudah-mudahan ia tidak
berkeras kepala mempertahankan haknya, supaya kepalanya
tidak dipenggal." Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang
gembala itu sangat menarik perhatian. Ada berapa ratus
gembala yang pernah dilihatnya dan bahkan dikenalnya. Tetapi
gembala yang satu ini ternyata agak lain. Sikapnya, katakatanya,
walaupun sederhana, dan sorot matanya.
Sepeninggal Pandan Wangi dan Samekta, orang-orang liar itu
ternyata tertarik akan kehadiran gembala yang masih tegak di
tempatnya. Salah seorang daripadanya segera menghampirinya,
dan bertanya, "Apa kerjamu di sini" Menggembalakan kambingkambing
itu?" Gembala itu berpaling kepada kambing-kambingnya.
Perlahan-lahan ia menjawab, "Ya, aku sedang menggembalakan
kambingku itu." Laklaki itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tidak
menaruh perhatian sama sekali. Tetapi tiba-tiba salah seorang
dari mereka berkata, "Kita tebus kegagalan kita dengan daging
kambing." Agaknya pendapat itu memang menarik perhatian kawankawannya.
Tanpa berjanji, mereka serentak berpaling ke arah
sekumpulan kambing yang sedang makan dengan asyiknya.
Kambing itu tampak gemuk dan segar, sehingga hampir
serentak orang-orang itu menyahut, "Ya, kita tebus kegagalan
kita dengan daging kambing."
Gupita mengerutkan keningnya. Tetapi ia masih tetap
berdiam diri. Ketika ia berpaling, maka Samekta dan Pandan
Wangi sudah tidak dilihatnya lagi. Perlahan-lahan ia menarik
nafas dan tiba-tiba ia tersenyum.
"He, apakah kambing-kambing itu milikmu?" bertanya salah
seorang daripada orang-orang yang berwajah seram itu sambil
memilin kumisnya. "Ya," Gupita menganggukkan kepalanya, "punyaku."
"Aku memerlukannya. Kau tinggalkan sajalah kambingkambing
itu di sini. Biarlah kami yang memeliharanya. Kau harus
menyumbang kepada perjuangan yang sedang kami lakukan ini,
untuk kepentingan putera Kepala Tanah Perdikan Menoreh yang
akan membuat kalian terlepas dari kekuasaan Argapati yang
buas itu. Apakah kau mengerti?"
Tiba-tiba saja Gupita menggeleng. "Aku tidak mengerti,"
jawabnya. Orang-orang itu mengerutkan kening mereka. Sejenak
mereka saling berpandangan. Dan sejenak kemudian mereka
tertawa. Salah seorang dari mereka berkata, "Pantas kalau kau
tidak mengerti. Kau tidak perlu mengerti, gembala dungu.
Sekarang, pulanglah. Tempat ini sungguh-sungguh berbahaya.
Untung kedua orang berkuda itu tidak memenggal kepalamu
sehingga kau masih tetap hidup. Nah, pergilah. Kalau kedua
orang itu kembali maka kau pasti tidak akan dapat pulang ke
rumahmu selain namamu. Mereka pergi karena mereka takut
akan kedatangan kami, sehingga kamilah sebenarnya yang telah
menolong nyawamu. Karena itu tinggalkanlah kambingkambingmu
untuk kami. Kami akan berterima kasih atas
sumbanganmu itu. Kau sudah ikut serta membantu perjuangan
kami." Gembala itu memandang laklaki itu satu demi satu. Dan tibatiba
pula jawabnya mengejutkan, "Tidak. Aku tidak dapat
memberikan kambing-kambing itu kepada kalian. Kambingkambing
itu adalah milik kami yang paling berharga."
"He," laklaki berkumis dan berjambang, yang kedua
tangannya telah terluka membelalakkan matanya, "kau
membantah?" "Kambing-kambing itu adalah hakku. Kalau kau memaksa kau
akan dihukum." "He, siapakah yang akan menghukum kami?"
"Argapati. Ki Gede Menoreh yang kini memimpin Tanah
Perdikan ini." Orang-orang itu hampir serentak tertawa. Salah seorang dari
mereka berkata, "Ki Gede Menoreh sebentar lagi akan mati,
yang kemudian akan memimpin Tanah ini adalah puteranya.
Sidanti. Kau dengar?"
"Itu bukan urusanku. Tetapi kini yang berkuasa adalah
Argapati. Bukan Sidanti. Justru Sidanti kini sedang melawan
kekuasaan ayahnya sendiri, yang sejak kecil memberinya makan
dan minum. Memberinya tempat berteduh, memberinya pakaian,
dan memberinya segala-galanya yang diperlukan. Ternyata
Sidanti itu kini melawannya. Ia tidak puas dengan segala macam
pemberian itu, bahkan janji untuk memegang kekuasaan kelak.
Ia ingin terlampau cepat dan karena keinginan yang membara di
dadanya itulah maka ia telah sampai hati untuk melawan
ayahnya sendiri. Mungkin pengaruh gurunyalah yang
memaksanya berbuat demikian. Dan kau adalah alat-alatnya
yang paling memuakkan. Kau cegat Pandan Wangi dengan
caramu yang paling kasar. Untunglah bahwa Sidanti masih
merasakan ikatan kekeluargaan yang tidak dapat dilupakan
dengan tiba-tiba." "He," Orang-orang itu terperanjat, "kau melihat hal itu?"
"Aku melihatnya. Aku menggembala tidak jauh dari tempat itu
ketika hal itu terjadi. Aku bersembunyi di balik gerumbulgerumbul,
dan dinding batu. Ketika Sidanti datang dan ternyata
berpihak kepada Pandan Wangi, aku diam-diam pergi. Aku
merasa bahwa gadis itu dapat diselamatkan seperti yang
ternyata kemudian. Kini, kau akan menebus kegagalan itu
dengan merampas kambing-kambingku. Aku tidak boleh. Itu
adalah hakku. Kalau kau minta, aku dapat memberimu seekor
menurut pilihanku, karena aku kasihan melihat kalian kelaparan."
Wajah-wajah yang buas itu tiba-tiba menjadi merah padam.
Mereka tidak menyangka, bahwa mereka akan bertemu dengan
seorang gembala yang gila, yang berani mengusik mereka, dan
bahkan seolah-olah menantang mereka. Karena itu, maka salah
seorang dari mereka yang tidak dapat menahan diri lagi maju
beberapa langkah. Ditamparnya pipi Gupita sehingga gembala
itu terhuyung-huyung beberapa langkah. Hampir saja ia terjatuh,
tetapi segera ia berusaha untuk memperbaiki keseimbangannya.
"Kau tahu akibat dari penolakanmu itu, he, gembala gila?"
teriak laklaki yang menampar pipinya itu.
Gupita mengerutkan keningnya. Dengan mantap ia
menjawab, "Ya."
"Akibat itu adalah akibat yang paling buruk dapat terjadi
atasmu. Kau dengar?"
"Ya. Mungkin kalian akan membunuh aku, sebab kalian lebih
menghargai kambing-kambing itu daripada nyawa seseorang.
Bukankah begitu?" "Setan!" bentak laklaki yang lain. Orang itu tidak sekedar
menampar pipi Gupita, tetapi dipukulnya pelipis anak itu,
sehingga sekali lagi gembala itu terhuyung-huyung beberapa
langkah surut. Tetapi ia tidak juga jatuh terbanting di tanah.
"Jagalah mulutmu," geram laklaki itu, "aku akan
menyobeknya atau menyumbatnya dengan ujung pedang.
Dengar, kau harus segera pergi. Tinggalkan kambingkambingmu
di sini. Kalau kau tidak rela, laporkanlah kepada
pelindungmu, Argapati. Aku tidak takut meskipun seandainya ia
akan datang kemari, dan akan mencoba menangkap kami. Kami
sudah siap." Gupita menggelengkan kepalanya. Jawabnya, "Tidak. Aku
tidak akan melaporkan hal ini kepada siapa pun. Kalau di daerah
ini masih berlaku wewenang peraturan-peraturan yang diakui,
aku memang akan melaporkannya. Tetapi agaknya kalian sudah
menjadi terlampau liar, sehingga kalian sudah tidak menghargai
setiap peraturan yang ada. Kalian agaknya membanggakan diri
kalian karena kalian berpedang di lambung. Kalau demikian,
baiklah. Aku akan mempergunakan cara serupa untuk
mempertahankan hakku. Aku tidak perlu menurut peraturan yang
berlaku pula. Aku akan bertindak sendiri, karena kalian adalah
orang-orang liar yang berdiri di luar peraturan yang manapun
juga." Jawaban itu benar-benar tidak disangka-sangka oleh orangorang
liar itu. Karena itu, maka darah mereka pun segera
mendidih. Laklaki yang kekurus-kurusan agaknya benar-benar
tidak dapat menahan diri lagi. Tiba-tiba saja ia mencabut
pedangnya. Dengan sekuat tenaganya diayunkannya pedangnya
sambil berteriak, "Matilah kau, gembala gila."
Tetapi ternyata gembala itu tidak dengan suka-rela
menyerahkan lehernya. Bagaimanapun juga ia berusaha untuk
melepaskan dirinya dari sentuhan maut. Karena itu ketika ia
melihat seseorang mengayunkan pedangnya, ia pun berusaha
untuk menghindar. Tetapi ketika ia mencoba melangkah surut,
tiba-tiba kakinya terperosok, sehingga ia jatuh berguling. Tetapi
ternyata bahwa dengan demikian ia terlepas dari ujung pedang
itu, karena begitu ia terpelanting, maka pedang itu terbang
secengkang dari atas kepalanya.
"Setan alas!" teriak laklaki yang kekurus-kurusan itu. Ia
terseret dua langkah oleh kekuatannya sendiri.
Gupita yang terjatuh itu segera merangkak-rangkak untuk
berdiri. Ketika ia tegak di seberang parit yang dangkal, ia melihat
orang-orang liar itu memandangnya dengan mata merah.
Apalagi yang kekurus-kurusan, yang telah gagal menebaskan
pedangnya. "Kau tidak akan dapat lari," geram laklaki yang kekuruskurusan
itu. "Kau pasti akan mati. Bangkaimu akan menjadi
makanan burung-burung gagak yang berkeliaran di langit itu."
Gupita masih berdiri di tempatnya. Dipandanginya wajahwajah
yang buas itu satu demi satu. Kemudian ia berkata,
"Sebelum terlambat, lebih baik kalian mengurungkan niat kalian.
Pergilah. Kembalilah kepada Sidanti dan Argajaya. Berkatalah
kepada mereka dan kepada Ki Tambak Wedi, bahwa perbuatan
mereka benar-benar tidak dapat dimengerti oleh orang-orang
Menoreh yang berpikiran bening. Apalagi tindakan kalian yang
liar melampaui keliaran perampok-perampok di waktu malam,
sebab kalian merampok di siang hari tanpa berusaha
menyembunyikan diri kalian dari kekuasaan Tanah Perdikan
Menoreh." "Tutup mulutmu!" bentak orang yang berkumis dan
berjambang. "Sadarilah dengan siapa kau berhadapan."
"Aku sadar sesadar-sadarnya. Kau pun harus sadar dengan
siapa kau berhadapan. Kau orang yang tidak dikenal di sini, dan
ternyata kau pun belum mengenal Tanah ini. Kau tidak dapat
mengalahkan Pandan Wangi seorang diri meskipun ia hanya
seorang gadis. Aku sengaja mengintai perkelahian itu. Dan
kalian tidak usah ingkar sebab aku melihat sendiri. Sekarang kau
berhadapan dengan salah seorang gembala yang paling dungu
di atas Tanah Perdikan ini. Dengar, aku yakin bahwa kau akan
dapat menilai, betapa kekuatan yang tersimpan di Tanah ini.
Apakah gunanya kalian berusaha untuk membantu Sidanti kalau
kalian sama sekali tidak berarti di hadapan orang-orang
Menoreh." Darah yang telah mendidih, menjadi semakin mendidih,
sehingga wajah-wajah orang-orang liar itu terasa menjadi
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
semakin panas. Tiba-tiba salah seorang dari mereka meloncati
parit itu pula dengan pedang di tangan. "Aku akan
membunuhmu. Tetapi aku tidak akan berbuat curang. Aku beri
kesempatan kau melawan. Cepat, bersiaplah. Kawan-kawanku
akan menjadi saksi."
"Apakah sikapmu itu sudah kau pikirkan masak-masak?"
jawab gembala itu. "Kau pasti akan menyesal. Karena itu,
berkelahilah berbareng."
"Cepat! Aku hampir tidak dapat menahan diri lagi. Jangan
berbicara lagi, supaya aku tidak segera ingin menyobek
mulutmu." "Kau juga hanya berbicara saja. Cepat, lakukanlah."
Panas hati laklaki itu bukan buatan. Selangkah ia maju
perlahan-lahan sambil menjulurkan pedangnya tepat ke wajah
gembala yang dianggapnya gila itu sambil berkata, "Lihat,
mulutmu akan benar-benar aku sobek dengan pedang ini."
Laklaki itu tidak segera ingin menusukkan pedangnya
dengan bersungguh-sungguh. Ia hanya ingin supaya Gupita
segera melawannya. Karena itu, maka pedangnya terjulur
perlahan-lahan meskipun benar-benar mengarah ke mulutnya.
Tetapi ternyata laklaki itu tidak menyangka bahwa Gupita
benar-benar berbuat gila. Tanpa di sangka-sangka anak muda
itu merendahkan dirinya, dan benar-benar seperti orang gila ia
melecut tangan laklaki itu dengan sekuat-kuat tenaganya.
Ketika ujung cambuknya membelit pergelangan tangan
lawannya, maka dengan sekuat tenaganya cambuk itu
disentakkannya. Perbuatan itu benar-benar perbuatan yang tidak diduga oleh
siapa pun. Namun ternyata hentakan cambuknya yang tiba-tiba
serta dengan sekuat tenaga itu, membuat pedang lawannya
benar-benar terlepas dan jatuh di tanah.
Laklaki itu menyeringai menahan sakit di pergelangan
tangannya. Ujung cambuk yang membelit tangannya, serta
tarikan yang menyentak itu telah meninggalkan jalur-jalur merah
pada pergelangan tangannya.
Terdengar laklaki itu menggeram. Matanya benar-benar
menjadi semerah darah. Segera ia meloncat untuk memungut
pedangnya. Tetapi sekali lagi, tanpa diduga-duga, Gupita
meloncat dan menginjak hulu pedang itu dengan kakinya,
sementara tangannya dengan membabi buta mengayunkan
cambuknya. Anak itu benar-benar seperti kerasukan setan.
Lecutan-lecutan yang menghentak-hentak langsung memukul
laklaki yang sedang membungkuk untuk memungut pedangnya,
tetapi yang karena injakan kaki Gupita maka ia tidak segera
dapat mengambilnya. Sementara itu, tiba-tiba saja terasa
tubuhnya seolah-olah telah dirajang dengan ujung cambuk tanpa
hitungan. Yang terdengar kemudian adalah sebuah jeritan yang seram
bercampur-baur, dengan gemeretak gigi. Laklaki itu berusaha
untuk menghindar. Secepat-cepatnya ia meloncat mundur.
Tetapi sementara ujung cambuk Gupita masih juga berhasil
menyambar wajah, dan lehernya beberapa kali.
Peristiwa itu benar-benar tidak dapat dibayangkan
sebelumnya. Seorang gembala yang menjadi gila dan membabi
buta mempertahankan haknya dengan cara yang tersendiri. Ia
tidak berkelahi dengan ilmu tata bela diri yang teratur dari
perguruan manapun, apalagi yang namanya sudah dikenal.
Tetapi ia mempergunakan cara seperti seorang yang kerasukan
setan. Kawan-kawannya yang melihat berdiri ternganga, tanpa
berbuat sesuatu. Mereka seolah-olah terpukau oleh peristiwa
yang belum pernah disaksikannya, sehingga justru karena itu,
mereka tidak segera dapat berbuat sesuatu. Baru setelah
mereka mendengar kawannya mengerang sambil mengumpatumpat,
mereka sadar apa yang telah terjadi. Salah seorang dari
mereka telah menjadi sedemikian lemahnya oleh lecutan yang
tidak terkendali sama sekali.
Dengan demikian maka sejenak kemudian terdengar setiap
mulut menggeram dengan sorot mata yang seolah-olah
memancarkan api. Tetapi mata gembala itu pun seolah-olah telah menyala pula.
Giginya pun menjadi gemeretak. Sejenak dipandanginya setiap
wajah yang berdiri berjajar di hadapannya. Satu demi Satu.
Sedang dikeningnya mengalir titik-titik keringat membasahi
wajah. Laklaki yang kekurus-kurusan, yang pendek berwajah
mengerikan, yang bertubuh sedang dan berdahi seperti
lapangan, yang berkumis dan berjambang lebat, dan yang lainlainnya,
masih terpukau di tempatnya. Namun tangan mereka
menjadi gemetar seperti jantung di dada mereka yang serasa
akan meledak. Tetapi, sekali lagi orang-orang liar itu dicengkam oleh
keadaan yang tidak di sangka-sangkanya. Tiba-tiba saja
gembala itu meloncat dan berlari secepat dapat dilakukan
meninggalkan lawan-lawannya. Yang terdengar kemudian
adalah suaranya melengking, "Aku tidak sempat melayani kalian
lebih lama lagi. Lain kali kita akan bertemu. Agaknya ayahku
telah berhasil menyembunyikan kambing-kambingku. Kalian
tidak akan dapat menemukannya, sebab perhatian kalian terikat
kepadaku." Namun orang-orang itu segera menyadari keadaan. Tanpa
berjanji segera mereka berloncatan, berlari mengejar Gupita.
Tetapi agaknya langkah Gupita cukup cepat, sehingga jarak
mereka semakin lama tidak menjadi semakin dekat, tetapi justru
menjadi semakin jauh. "Kau tidak akan lepas dari tangan kami," teriak laklaki yang
agak pendek. Tetapi ia sendiri tidak yakin bahwa hal itu dapat
mereka lakukan. Sebab ternyata Gupita kini menjadi kian jauh.
Anak itu ternyata cukup berpengalaman, berlarlari di atas
pematang yang basah dan licin.
"Setan alas!" yang kekurus-kurusan mengumpat. Nafasnya
men"jadi tersengal-sengal. "Anak itu benar-benar anak setan."
Akhirnya orang-orang itu berhenti mengejar. Di antara mereka
mengumpat tidak habis-habisnya. Dan bahkan yang berkelahi
melawan Gupita dan tubuhnya telah dirajang dengan ujung
cambuk berkata, "Anak itu harus mati. Sayang aku menjadi
lengah karena aku tidak menyangka bahwa ia akan menjadi gila
seperti itu." Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi
yang berkumis dan berjambang berkata, "Tidak. Jangan
disangka ini suatu kebetulan. Aku tidak percaya bahwa gembala
itu adalah seorang gembala yang dungu. Aku tidak percaya
bahwa karena tingkahnya yang membabi buta itu ia mampu
melakukan ini semua. Merampas pedang dan kemudian
menjelajahi tubuh itu dengan ujung cambuknya. Dua kali kita
telah tertipu selama kita berada di Menoreh. Aku telah tertipu
oleh gadis yang bernama Pandan Wangi itu sehingga pada
gerak yang pertama, kedua tanganku telah terluka. Sekarang
salah seorang dan kita telah terkelabuhi pula oleh anak muda
yang mengaku dirinya seorang gembala itu. Tidak. Aku tidak
percaya bahwa ia sekedar seorang gembala yang dungu. Lihat,
apakah kita berhasil mengejarnya" Lihat apakah kita akan dapat
menemukan kambing-kambingnya lagi yang katanya telah
disingkirkan oleh ayahnya" Siapakah ayahnya itu, dan kenapa
kita sama sekali tidak melihat bagaimana caranya menyingkirkan
kambing-kambingnya?"
*** Kawan-kawannya tertegun mendengar keterangan itu.
Barulah kini mereka berpikir, bahwa gembala itu pasti bukan
hanya sekedar seorang gembala, pasti bukan. Meskipun ia
berkelahi dengan cara yang liar, namun saat-saat yang
menentukan yang diambilnya, benar-benar hasil dari perhitungan
yang matang. Orang berkumis itu berkata pula, "Apakah kau sangka suatu
kebetulan pula bahwa ia terjatuh ketika kepalanya hampir
tersentuh pedang yang terayun demikian derasnya" Pasti tidak."
Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Hampir berbareng mereka bergumam, "Ya, pasti tidak."
"Karena itu, kita harus menemukannya. Betapa cepat larinya,
ia pasti tidak akan pergi terlampau jauh dari kawanan kambingkambing
itu. Dan betapa cepat lari kawanan kambing-kambing
itu, pasti masih belum terlampau jauh. Dan kambing-kambing itu
pasti tidak akan secerdik gembalanya, untuk bersembunyi sambil
menenggang nafasnya. Seandainya kita hanya menemukan
kambing-kambingnya dan tidak menemukan orangnya, biarlah
kita pakai sebagai penawar kejengkelan di dalam hati."
Kawan-kawannya mengerutkan keningnya. Tetapi mereka
pun bersetuju. Kalau terpaksa mereka tidak dapat menemukan
Gupita, maka cukuplah kiranya mereka menangkap kambingkambingnya
saja. Demikianlah, maka segera mereka berjalan kembali.
Diikutinya lah jejak kawanan kambing-kambing yang telah tidak
tampak lagi, lari ke balik rerumputan. Tetapi jejak-jejaknya masih
dapat dilihat dengan jelas, jejak kambing itu berbondongbondong
menyeberangi jalan. Ternyata bahwa dugaan mereka
benar. Kambing-kambing itu memang tidak secerdik orangnya.
Kambing-kambing itu tidak dapat berusaha untuk menghilangkan
atau menyembunyikan jejaknya.
Tetapi yang mengejutkan mereka adalah, bahwa di belakang
sekelompok jejak kambing itu terdapat jejak seseorang.
"Orang inilah yang disebut ayahnya, yang berusaha
menyembunyikan kambing-kambing itu," desis salah seorang
dari mereka. "Ya," jawab yang lain.
"Tetapi hathatilah. Orang itu bukan orang kebanyakan.
Seandainya benar ia seorang gembala, maka ia adalah gembala
yang memiliki kekhususan. Ia adalah seorang gembala yang
tangguh." Kawan-kawannya tidak menjawab. Mereka berusaha berjalan
semakin cepat. Mereka mengharap bahwa mereka akan dapat
menemukan, setidak-tidaknya beberapa ekor kambing. Sehingga
dengan demikian, maka sakit hati mereka agak dapat diobati.
Ternyata kambing-kambing itu sama sekali tidak menyadari
apa yang sedang terjadi. Mereka tidak tahu, bahwa orang yang
menggembalakannya sedang melakukan sebuah permainan
yang berbahaya. Karena itulah, maka mereka pun tidak
berusaha untuk berdiam diri. Beberapa ekor di antaranya, tanpa
prasangka apa pun telah mengembik sahut-menyahut.
"Sst, sst," seorang gembala tua mencoba menenteramkan
kambing-kambing itu. Tetapi ternyata tidak berhasil. Mereka
masih saja mengembik-embik dan bahkan berkejar-kejaran.
"Sst, sst," gembala tua itu menjadi berdebar-debar. Ia
memang mempunyai dugaan, bahwa langkahnya akan diikuti
oleh orang-orang yang tadi berkelahi melawan Gupita.
Tetapi kambing-kambing itu sama sekali tidak
menghiraukannya. Be"berapa ekor kambing yang masih sangat
muda, berteriak-teriak memanggil induknya, dan induknya pun
menyahut tidak kalah kerasnya.
"Sst, sst," gembala tua itu masih mencoba. Tetapi ia sama
sekali tidak berhasil membungkam kambing-kambingnya yang
masih saja berbuat sekehendak mereka sendiri.
Tiba-tiba gembala tua itu terkejut. Ketika ia berpaling,
dilihatnya beberapa wajah yang keras dan kasar menjenguk dari
balik dedaunan. "Nah, ke mana kau akan lari?" terdengar salah seorang dari
mereka menggeram. Gembala tua itu berdiri dengan lutut gemetar. Dipandanginya
saja wajah-wajah yang kasar dan keras itu, tanpa dapat
mengucapkan sepatah kata pun.
"Di mana Gupita?" bentak yang lain, yang kekurus-kurusan.
Gembala tua itu tidak segera menyahut. Wajahnya
memancarkan kecemasan dan ketakutan yang tidak terhingga.
Tampak bibirnya bergerak-gerak, seperti orang kedinginan,
tetapi tidak sepatah kata pun meloncat dari mulutnya.
"Di mana Gupita?" bentak yang agak pendek.
Perlahan-lahan orang tua itu menggelengkan kepalanya.
Dengan suara bergetar ia menjawab, "Aku tidak tahu, Tuan.
Bukankah tadi, Gupita ada bersama Tuan. Aku hanya sekedar
bersembunyi bersama-sama dengan kambing-kambing ini."
"Bohong! Kau pasti tahu, di mana Gupita bersembunyi."
"Apakah ia bersembunyi?" gembala tua itu justru bertanya.
"Ya, ia lari dan bersembunyi."
"Di mana ia bersembunyi, Tuan?"
"Ia berlari ke sana, ke arah pohon cangkring di sudut
padesan, di sebelah. Kami kehilangan jejaknya, dan kami
mencoba mencari saja kambing-kambingnya."
"Ternyata Tuan lebih tahu daripada aku. Kenapa Tuan
bertanya kepadaku tentang anak bengal itu?"
Sejenak orang-orang itu terbungkam. Ternyata mereka tidak
dapat menjawab pertanyaan itu. Yang dapat mereka lakukan
hanyalah saling berpandangan sesaat.
"Bohong!" tiba-tiba yang berdahi lebar membantah. "Kau pasti
tahu ke mana anak itu pergi. Bukankah anak itu kawanmu
menggembala" Bahkan anak itu menyebutmu ayah" Apakah ia
anakmu?" "Ya, Tuan. Anak itu adalah anakku. Tetapi aku benar-benar
tidak tahu ke mana ia berlari. Kami sama sekali tidak berjanji apa
pun untuk menghadapi persoalan yang tiba-tiba saja kami jumpai
ini, sehingga aku tidak tahu apakah yang dikerjakan oleh anak
dungu itu. Aku hanya melihat ia berada di antara Tuan,
Misteri Desa Siluman 1 Tamu Aneh Bingkisan Unik Karya Qing Hong Sengatan Satu Titik 7
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama