Ceritasilat Novel Online

Api Di Bukit Menoreh 27

02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja Bagian 27


lehernya, taring celeng jantan, keyong buntet, dan segala
macam bebatuan dan kayu-kayuan, sama sekali tidak
menolongnya. Gupala pun agaknya adalah seorang yang terlampau sulit
untuk mengendalikan dirinya. Ketika ia melihat Ki Muni
mengamuk dalam keputus-asaannya, maka Gupala pun menjadi
marah. Apalagi ketika pedang lengkung Ki Muni berhasil
menyentuh talinya yang berwarna kekuning-kuningan sehingga
terputus beberapa jari di ujungnya. Dan selagi ia sibuk dengan
tali itu, pedang lengkung yang tajam bukan kepalang itu, telah
menyentuh tubuhnya sehingga menitikkan darah.
Kemarahan Gupala meluap sampai ke ujung rambutnya.
Pedang yang tajam bukan buatan, itu benar-benar telah
melukainya. Sentuhan yang tidak disangka-sangka itu ternyata
telah membakar jantungnya. Untunglah, bahwa luka itu tidak
berbahaya dan tidak terlampau dalam.
Namun demikian, luka itu telah cukup membuatnya
kehilangan pertimbangan. Sejenak kemudian, sambil menggeram, Gupala meloncat
maju. Kini serangannya membadai tanpa dapat ditahan lagi oleh
lawannya. Beberapa orang yang mencoba membantu Ki Muni,
setelah ternyata, bahwa Ki Muni tidak dapat melawannya sendiri
telah terpelanting jatuh dengan dada terbelah, atau kening yang
berlumuran darah. Ki Muni menjadi semakin berdebar-debar melihat lawannya
seolah-olah menjadi semakin garang. Dengan demikian ia
menjadi semakin berputus asa. Tidak ada seorang pun lagi yang
akan mampu menolongnya. Mantra-mantra dan jampjampinya
pun tidak. Tetapi Ki Muni masih juga mencoba melawan. Pedangnya
masih berputar, terayun-ayun dengan cepatnya. Namun ia
sendiri sudah tidak berhasil melakukan pengamatan atas gerakgeraknya
sendiri. Gupala yang marah pun menyerangnya semakin cepat.
Sehingga akhirnya, Ki Muni tidak dapat menghindar lagi. Ketika
Gupala menjulurkan pedangnya, Ki Muni masih mencoba
menghindarkan diri sambil memukul pedang itu. Tetapi pedang
itu sama sekali tidak berkisar, bahkan kemudian terayun
mengarah ke lambungnya. Dengan gugup Ki Muni masih
berusaha untuk menyilangkan pedangnya, namun ternyata
kekuatan lawannya terlalu besar, sehingga ia justru terdorong
beberapa langkah surut. Belum lagi ia sempat memperbaiki
keseimbangannya, ternyata Gupala telah meloncat sambil
berteriak untuk mengakhiri perkelahian itu.
Dada Ki Muni berdesir. Tetapi hanya sejenak. Kemudian
serasa tubuhnya terdorong beberapa langkah, dan selanjutnya ia
tidak tahu apalagi yang terjadi atas dirinya.
Gupala menarik pedangnya. Dilihatnya Ki Muni kemudian
roboh dengan darah menyembur dari luka di dadanya.
Kematian Ki Muni benar-benar telah berpengaruh pada anak
buah yang dipimpinnya. Tiba-tiba mereka merasa ngeri melihat
anak muda yang gemuk berjambang lebat itu. Tanpa mereka
kehendaki, mereka pun berusaha bergeser menjauhinya. Namun
mereka tidak dapat menghindar dari pertempuran itu. Di manamana
mereka bertemu dengan lawan, karena para pengawal
Tanah Perdikan Menoreh pun telah menyebar di segala medan.
Bukan saja para pengawal yang masih muda, tetapi hampir
setiap laklaki yang setia kepada Ki Argapati mengangkat
senjata. Mereka yang telah menyimpan senjata-senjata mereka,
karena umur mereka telah merambat semakin tua pun, ternyata
telah menarik senjata-senjata itu dari wrangkanya. Bahkan
mereka yang hampir tidak pernah memegang senjata pun telah
bangkit dan ikut di dalam peperangan yang hiruk-pikuk itu.
Di ujung lain dari peperangan itu, Gupita masih bertempur
melawan Ki Wasi. Tetapi ternyata Gupita lebih banyak sesorah
daripada mempergunakan ujung pedangnya. Sedang lawannya
pun semakin dipengaruhi oleh perasaan heran, kenapa anak
muda itu masih belum berusaha dengan sungguh-sungguh
menyelesaikan pertempuran itu.
Apalagi ketika tiba-tiba saja Gupita itu berkata, "Masih ada
waktu, Ki Wasi. Apakah kau dapat mempergunakan?"
Ki Wasi tidak menjawab. Tetapi sikap anak muda itu telah
mengendorkan nafsu perlawanannya. Dan tiba-tiba ia melihat,
bahwa peperangan ini telah menjadi semakin buas. Setiap kali ia
mendengar teriakan kemarahan dan pekik kesakitan.
"Apakah memang hal serupa ini yang aku kehendaki?"
pertanyaan itu telah mengganggunya.
Sebagai seorang dukun yang baik, Ki Wasi menjadi berdebat
setiap ia melihat orang-orang yang terluka, merintih dan
mengaduh. "Inilah permulaan dari tingkah laku Sidanti," terdengar Gupita
berkata. "Lalu apa yang kira-kira akan dilakukan apabila ia nanti
berkuasa?" Ki Wasi tidak menjawab. Sepasang trisulanya masih
berputaran, meskipun ia sadar, bahwa hal itu tidak akan banyak
gunanya. "Ki Wasi," desis Gupita, "apakah kau tahu benar, kenapa Ki
Argapati tidak mau melindungi anak laklakinya?"
Ki Wasi tidak menjawab. "Bukankah kau hanya mendengar dari Ki Tambak Wedi atau
Sidanti sendiri" Bukankah kau belum mendengarnya dari Ki
Argapati?" Ki Wasi masih tetap berdiam diri. Namun perlawanannya
semakin lama menjadi semakin lemah. Apalagi karena ia
menyadari, bahwa lawannya sama sekali tidak ingin
membunuhnya. Meskipun Gupita melukai juga satu dua orang
yang berusaha membantu Ki Wasi, tetapi ternyata Ki Wasi sama
sekali tidak disentuh oleh ujung senjatanya.
Meskipun demikian, tetapi setiap kata Gupita serasa lebih
tajam dari ujung senjata yang di genggamnya. Kini ia melihat
akibat dari pembangkangan Sidanti.
"Pasti ada suatu alasan, kenapa Argapati tidak mau
melindungi Sidanti saat itu," pikiran itu seakan-akan baru saja
tumbuh di kepala Ki Wasi. "Atau mungkin Sidanti dan Ki Tambak
Wedi memang ingin mempercepat penyerahan kekuasaan tanah
perdikan ini, supaya mereka dapat berbuat sekehendak hati?"
Karena itu, maka Ki Wasi pun menjadi ragu-ragu.
Perlawanannya menjadi semakin tidak berarti, sehingga Gupita
ternyata lebih banyak melayani lawan-lawannya yang lain
daripada Ki Wasi sendiri.
Meskipun demikian, peperangan di sekitar Gupita masih saja
berlangsung dengan serunya. Di antara pasukan Ki Tambak
Wedi, maka orang-orang yang bukan berasal dari Menoreh
sendiri, mempunyai cara yang mengerikan untuk menekan
keberanian lawan. Seperti di sudut-sudut peperangan yang lain,
mereka berbuat di luar batas. Dan merekalah yang lebih menarik
perhatian Gupita daripada Ki Wasi yang seakan-akan telah
kehilangan tenaganya sama sekali.
Namun adalah di luar dugaan sama sekali, ketika tiba-tiba
saja terdengar orang itu mengaduh. Gupita yang sedang
menyelesaikan seseorang yang berkelahi dengan ganasnya
terkejut. Ketika ia berpaling, dilihatnya Ki Wasi terhuyunghuyung.
Hampir di luar sadarnya ketika tiba-tiba saja Gupita meloncat
mendekati Ki Wasi. Dengan serta-merta tangannya menyambar
orang tua itu sehingga ia tidak jatuh terjerembab.
Namun tiba-tiba dadanya berdesir. Tangannya itu merasakan
sesuatu yang hangat meleleh dari punggung Ki Wasi. Luka.
"Bunuh pengkhianat itu," terdengar seseorang berteriak.
Kini menjadi jelas bagi Gupita, bahwa agaknya seseorang di
antara anak buah Ki Wasi sendiri telah berusaha membunuhnya,
karena ia dianggap berkhianat.
Dan belum lagi Gupita menyadari keadaan sepenuhnya,
maka seseorang telah meloncat dan berusaha menusuk
punggung Ki Wasi sekali lagi. Tetapi usaha orang itu kini tidak
berhasil, karena pedangnya membentur pedang Gupita. Dan
bahkan pedang orang itulah yang terlempar jatuh dari
genggamannya. "Jangan hiraukan aku anak muda," desis Ki Wasi, "biarlah aku
menerima hukuman apa saja. Aku ternyata telah berkhianat dua
kali lipat. Aku telah mengkhianati Ki Argapati dan kini aku
sedang berpikir untuk mengkhianati Sidanti karena sikapmu."
"Masih ada kesempatan," jawab Gupita, "kali ini Ki Wasi tidak
sedang berkhianat. Tetapi Ki Wasi sedang berusaha
memperbaiki kesalahan Ki Wasi itu."
Ki Wasi menggeleng lemah, "Tidak ada gunanya. Lukaku
parah." "Bukankah Ki Wasi seorang dukun" Apakah Ki Wasi tidak
membawa obat apapun?"
Ki Wasi ragu-ragu sejenak, kemudian katanya, "Aku memang
membawa. Tetapi tidak untuk luka separah ini."
Hiruk-pikuk peperangan menjadi semakin seru. Sementara
tubuh Ki Wasi pun menjadi semakin lemah. Gupita masih
mencoba menahan tubuh yang lemah itu. Tetapi seperti yang
dikatakannya sendiri, Ki Wasi sudah tidak mempunyai harapan.
Gupita menarik nafas dalam sambil memegangi tubuh itu
dengan tangan kirinya. Sedang tangan kanannya masih
menggenggam pedangnya erat-erat.
"Serahkan pengkhianat itu kepada kami," teriak salah seorang
lawannya, "biarlah kami menyelesaikannya."
"Kenapa kau anggap dia berkhianat?"
"Ia tidak melawan kau dengan sungguh-sungguh. Jangan kau
sangka, bahwa tidak ada seorang pun di antara kami yang
mendengar percakapan kalian, meskipun sepotong-sepotong.
Kau mencoba mempengaruhinya, dan dukun gila itu agaknya
sedang dirambati oleh racun perkataan-perkataanmu itu. Nah,
jangan kau kira, bahwa kau pun akan dapat hidup. Justru setelah
pengkhianat itu mati, kau pun akan segera diselesaikan."
Betapa mengendapnya hati Gupita, namun darah mudanya
dapat juga menjadi panas. Tetapi ia masih belum melepaskan Ki
Wasi yang menjadi semakin lemah.
"Biarkan aku," desis Ki Wasi, "aku pasti akan mati. Tidak ada
kesempatan untuk mengobati aku. Tetapi biarlah, aku merasa
bahwa di saat-saat terakhir aku sudah menyadari kesalahanku.
Aku masih sempat untuk berpesan kepadamu. Sampaikan
permohonan maafku kepada Ki Argapati."
Gupita tidak segera dapat menjawab. Ia melihat penyesalan
yang dalam di mata Ki Wasi, sehingga ia menjadi semakin iba
karenanya. Tetapi agaknya Ki Wasi memang sudah tidak akan
dapat tertolong lagi. Sejenak kemudian orang tua itu menjadi
semakin parah. Nafasnya seakan-akan saling berkejaran, dan
sejenak kemudian terdengar ia berdesis, "Tinggalkan aku."
Gupita tidak sempat menjawab lagi. Orang itu
menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Gupita pun menarik nafas. Diletakkannya orang itu perlahanlahan
di atas tanah. Lidah api yang menjilat ke langit, menerangi
wajah yang menjadi seputih kapas itu dengan cahayanya yang
kemerah-merahan. Pada saat Gupita sedang merenungi Ki Wasi itu, hampir saja
ia menjadi lengah, ketika salah seorang lawannya berhasil
melepaskan diri dari para pengawal tanah perdikan, sehingga
dengan sebuah loncatan yang panjang, ia berusaha menusuk
lambung Gupita. Untunglah, Gupita menyadari keadaannya,
tepat pada saatnya, ketika ia mendengar salah seorang
pengawal berteriak, "He, Gupita. Awas orang itu."
Gupita masih sempat berguling sekali, kemudian melenting
berdiri beberapa langkah dari lawannya.
Lawannya yang merasa kehilangan sasaran menggeram.
Sekali lagi ia meloncat menyerang Gupita dengan garangnya.
Namun kali ini Gupita telah siap menerimanya. Malang bagi
orang itu. Gupita yang pikirannya masih dipengaruhi kematian Ki
Wasi di ujung jalannya kembali itu, tidak dapat mengatur
perasaannya. Ketika ujung senjata lawannya terjulur ke
dadanya, ia bergeser ke samping. Kemudian digerakkannya
ujung pedangnya, menyambar orang yang terseret oleh
kekuatannya sendiri, meluncur di hadapannya.
Terdengar keluh tertahan. Kemudian orang itu terbanting
jatuh di tanah. Sejenak ia menggeliat, namun kemudian ia tidak
akan bergerak-gerak lagi.
Gupita menarik nafas. Kini tidak ada lagi orang yang disegani
di daerah itu. Apalagi ketika ia melihat pasukannya berhasil
menguasai keadaan. Sepeninggal Ki Wasi, maka orang-orang Ki
Tambak Wedi itu seakan-akan telah kehilangan pimpinan.
Seorang yang membunuh Ki Wasi, mencoba untuk memegang
pimpinan di kelompok itu. Namun agaknya orang itu pun tidak
berumur lebih panjang lagi, ketika pundaknya seakan-akan
terbelah oleh senjata seorang pengawal tanah perdikan.
Gupita yang melihat keadaan orang-orangnya telah mantap,
tiba-tiba saja ingin menemui gurunya. Ada sesuatu yang
mendesak. Kematian Ki Wasi yang tidak wajar itu serasa
mengganggu perasaannya saja. Ia ingin melepaskannya dengan
menceriterakannya kepada gurunya. Hanya sebentar, dan ia
akan segera kembali ke tempatnya.
Karena itu, maka setelah memberitahukan maksudnya
kepada seorang pengawal, Gupita pun meninggalkan tempat itu
untuk menemui gurunya sebentar.
Sejenak Gupita berputar-putar. Namun kemudian ia tertarik
pada suatu lingkaran pertempuran yang seru. Dengan hati yang
berdebar-debar ia mendekatinya, mungkin gurunya sedang
bertempur melawan Ki Peda Sura.
Ternyata dugaannya tidak salah. Ia melihat gurunya
bertempur. Tetapi tidak hanya melawan Ki Peda Sura, tetapi
melawan empat orang yang tangguh dan beberapa orang lain.
Ternyata Ki Peda Sura tidak hanya memberi isyarat kepada tiga
orang kawannya. Beberapa orang yang lain pun datang susulmenyusul
dari sela-sela peperangan.
"Hem," Gupita menarik nafas dalam-dalam, gurunya memang
orang yang luar biasa. Meskipun ia harus melawan sekian
banyak orang, namun sama sekali tidak tampak gugup atau
bingung. Dengan mantap ia menggerakkan senjatanya,
menyambar-nyambar. Ki Peda Sura-lah yang justru menjadi bingung. Sudah sekian
lama ia bertempur bersama beberapa orang tetapi mereka
belum berhasil mengalahkan gembala tua itu. Bahkan satu demi
satu orang-orangnya terlempar dari arena.
"Ayo, cepat, kita selesaikan saja kakek ini," teriak Ki Peda
Sura. "Jangan beri ia kesempatan!"
Kawan-kawannya menjadi semakin bernafsu. Tetapi
terlampau sulit bagi mereka untuk dapat menembus putaran
pedang kakek tua berkumis lebat itu.


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gupita yang melihat gurunya bertempur melawan sekian
banyak orang segera mendekatinya. Beberapa langkah dari
arena itu, ia berhenti sejenak. Sekalsekali ia harus menghindar
apabila ujung-ujung senjata meluncur di seputarnya.
Agaknya gurunya melihat kehadirannya. Karena itu maka
terdengar orang tua itu bertanya, "He, Gupita. Kenapa kau
berada di situ?" "Aku ingin menemui Guru sebentar. Tetapi agaknya Guru
baru sibuk." "Apakah ada kesulitan?"
"Tidak, Guru," Gupita berhenti sejenak. Namun tiba-tiba
timbullah keinginannya untuk mempengaruhi lawan-lawannya
dengan berita kematian Ki Wasi. Karena itu maka katanya, "Aku
hanya akan memberitahukan, bahwa Ki Wasi telah terbunuh."
"He?" "Ki Wasi telah terbunuh."
Berita itu agaknya telah mengejutkan Ki Peda Sura, sehingga
dengan serta-merta ia berteriak, "Bohong! Siapakah yang
mampu membunuh Ki Wasi?"
"Aku," jawab Gupita tanpa disangka-sangka.
"Bohong! Bohong! Anak kelinci macam kau."
"Terserahlah kepadamu. Tetapi aku memberitahukan kepada
Guru, bahwa Ki Wasi telah mati."
"Kau bunuh dia?" bertanya gurunya sambil melayani lawanlawannya.
Sedang pertempuran pun masih berlangsung dengan
hiruk-pikuk. Beberapa orang pengawal mencoba untuk
membantu orang tua yang harus melawan sekian banyak orang.
Tetapi orang-orang Ki Peda Sura pun semakin banyak pula yang
datang membantunya, sehingga seperti juga orang-orang
Menoreh mempersiapkan diri mereka melawan pemimpinTiraikasih
Website - http://kangzusi.com/
pemimpin pasukan Ki Tambak Wedi, dengan sekelompok kecil,
agaknya demikian pulalah yang dilakukan oleh Ki Peda Sura.
Dalam pada itu terdengar Gupita menjawab pertanyaan
gurunya, "Tidak, Guru. Aku tidak membunuhnya."
"Nah," teriak Ki Peda Sura, "bukankah kau sudah membual.
Ki Wasi tidak mungkin mati."
"Benarkah begitu?" bertanya gurunya.
"Tidak. Ki Wasi memang sudah mati. Tetapi memang bukan
aku yang membunuhnya. Ia telah dibunuh oleh anak buahnya
sendiri." "Gila!" teriak Ki Peda Sura.
"Ya. Sebenarnyalah begitu."
Ki Peda Sura terdiam sejenak. Sepasang senjatanya dengan
dahsyatnya berputaran melanda lawannya. Tetapi lawannya
benar-benar seorang yang tangguh. Meskipun demikian, betapa
tangguhnya seseorang, namun untuk melawan sejumlah orang
yang berilmu pula, agaknya memerlukan terlampau banyak
tenaga dan pemusatan pikiran.
"Guru," tiba-tiba Gupita berkata, "apakah aku boleh ikut di
dalam permanan ini?"
"Bagaimanakah dengan tugasmu?"
"Tidak ada hal yang menarik sepeninggal Ki Wasi."
"Bohong, bohong!" Ki Peda Sura berteriak-teriak. Namun
Gupita sama sekali tidak menghiraukannya.
"Baiklah," jawab gurunya, "tetapi berhathatilah. Lawan kita
adalah orang-orang yang buas dan liar."
"Persetan!" geram Ki Peda Sura. "Kau berdua adalah orangorang
yang paling licik. Kalian mencoba mempengaruhi
perasaan kami dengan ceritera yang mentertawakan itu."
Gupita masih belum menanggapinya. Kini ia maju semakin
dekat. Kemudian ia meloncat masuk ke dalam arena. Yang
mula-mula ditanganinya adalah mereka yang sedang bertempur
melawan para pengawal yang mencoba membantu orang tua
yang berkumis itu. Namun kemudian, ia merambat semakin
dekat, sehingga akhirnya, ia sudah berada di ujung lingkaran
pertempuran yang seakan-akan terpisah ini.
"Setan alas, kau ingin mati lebih dahulu," geram salah
seorang pembantu kepercayaan Ki Peda Sura.
Tetapi Gupita tidak memperhatikannya sama sekali. Bahkan
kemudian perhatiannya tertarik kepada dua orang yang
sekaligus terluka, ketika gurunya mengayunkan pedangnya.
"Guru memang bukan seorang pembunuh," desisnya. Dan
ternyata meskipun tidak mati, namun kedua orang itu sama
sekali sudah tidak mampu lagi untuk melawan karena lukalukanya.
Bersama Gupita, gurunya bertempur melawan orang-orang Ki
Peda Sura. Namun orang-orang itu sama sekali tidak menarik
perhatiannya, yang penting baginya, adalah memotong
induknya, Ki Peda Sura sendiri.
Dengan hadirnya Gupita di dalam pertempuran itu, maka
gurunya kini lebih banyak mendapat kesempatan untuk
memusatkan perhatiannya kepada Ki Peda Sura. Ia sudah tidak
lagi terlalu banyak diganggu oleh senjata-senjata yang
berkeliaran di sekitarnya, karena sebagian dari mereka harus
melayani Gupita yang bertempur seperti burung sikatan.
Tekanan yang semakin lama semakin berat, ternyata tidak
dapat lagi dielakkan oleh Ki Peda Sura, sehingga karena itu,
maka ia harus lebih banyak mengerahkan segenap kemampuan
yang ada padanya. Diperasnya segenap tenaganya untuk dapat
bertahan terus di antara beberapa orang-orangnya yang
terpenting. Namun gembala tua itu dapat bergerak secepat tatit. Kemana
ia pergi, ujung senjatanya selalu saja mengikutinya, seolah-olah
ujung senjata itu mempunyai mata yang dapat melihatnya.
"Persetan," ia menggeram. Dan tiba-tiba saja ia bersuit
beberapa kali dalam nada yang khusus.
"Apa lagi yang akan dilakukan iblis ini?" pikir gembala tua itu.
Dan ternyata ia tidak perlu menunggu lebih lama. Tiba-tiba
seperti laron mengerumuni nyala api, beberapa orang anak buah
Ki Peda Sura menyerang gembala tua itu sejadjadinya dari
segala pihak. Orang tua itu adalah orang yang cukup
berpengalaman. Ia pernah bertempur melawan berbagai macam
kelompok dan gerombolan. Ia pernah bertempur melawan laskar
yang teratur, melawan prajurit, melawan penjahat dan melawan
gerombolan-gerombolan liar. Dan ia pun mengenal watak dari
para pemimpin gerombolan-gerombolan liar seperti Ki Peda Sura
itu. Juga sikapnya kali ini. Dengan demikian, maka gembala tua
itu segera dapat mengambil kesimpulan, bahwa Ki Peda Sura
telah berusaha mempergunakan orang-orangnya menjadi
perisai, sementara ia akan melarikan dirinya.
Namun ternyata orang-orang Ki Peda Sura berbuat terlalu
cepat. Sebelum orang tua itu menyadari keadaannya, ia sudah
terkepung rapat sekali. Tidak hanya satu sap, tetapi dua sap.
"Bukan main," ia bergumam, "begitu taatnya mereka terhadap
pemimpinnya." Namun dengan demikian, orang tua itu menyadari, bahwa ia
memerlukan waktu untuk memecah kepungan itu. Dan waktu itu
agaknya akan dipergunakan oleh Ki Peda Sura untuk
melepaskan dirinya dari tangannya. Orang itu sama sekali tidak
akan merasa bertanggung jawab atas akibat dari perbuatannya
itu. Ia tidak akan mempedulikan lagi, apakah yang akan terjadi
dengan peperangan ini. Apabila Ki Peda Sura sendiri telah
berhasil melepaskan dirinya, maka orang-orangnya pun pasti
akan segera berusaha lari sejauh-jauh mungkin dapat mereka
lakukan. Karena itu, maka gembala tua itu pun hanya dapat
menggeram. Kini ia harus berusaha secepat-cepatnya
memecahkan kepungan itu. Namun harapan untuk tetap
menguasai Ki Peda Sura menjadi semakin kecil.
Yang didengarnya hanyalah suara tertawa Ki Peda Sura.
Berkepanjangan di antara dentang senjata beradu. Tetapi tibatiba
suara tertawa itu terputus. Sambil meloncat menghindar Ki
Peda Sura mengumpat. Ketika diperhatikannya, maka seorang
anak muda yang tiba-tiba menyerangnya, adalah seorang anak
muda yang gemuk. "He, siapa kau" Apakah kau sudah jemu hidup he?"
"Mau lari kemana kau, Kiai?" bertanya anak yang gemuk itu.
Sebelum Ki Peda Sura menjawab, terdengar gembala tua di
tengah-tengah kepungan orang-orang Ki Peda Sura bertanya,
"He, kenapa kau berada di situ?"
Anak yang gemuk itu belum sempat menjawab. Serangan Ki
Peda Sura tiba-tiba datang membadai.
"Bukan main," desahnya di dalam hati. "Serangan ini berbau
maut," berkata anak yang gemuk itu di dalam hatinya.
Namun ia segera menarik nafas dalam-dalam, ketika seorang
anak muda yang lain datang membantunya, "Hathatilah
menghadapi iblis berbindi rangkap ini."
"Persetan iblis-iblis kecil," geram Ki Peda Sura.
Kini Ki Peda Sura harus bertempur melawan Gupala dan
Gupita sekaligus. Sementara itu guru mereka yang masih
sedang berusaha memecahkan kepungan yang rapat itu
mengulangi pertanyaannya, "Gupala, kenapa kau berada di
situ?" "Aku kehilangan lawanku," teriak Gupala.
"Kemana?" "Ke neraka." "He," orang tua itu mengerutkan keningnya. Namun
pedangnya masih saja berputar melindungi dirinya, "apakah Ki
Muni sudah terbunuh?"
"Ya." "Siapa yang membunuhnya?"
"Aku. Aku telah membunuhnya dengan pedang ini setelah ia
melukai aku." "He, kau terluka."
"Ya, meskipun hanya sedikit."
Dan tiba-tiba terdengar Ki Peda Sura memotong, "Bohong!
Kalian agaknya sedang berusaha mengecilkan hati kami dengan
ceritera-ceritera semacam itu."
"Aku sudah menduga bahwa kau tidak akan percaya," jawab
Gupala sambil bertempur. "Sebenarnya aku ingin membawa
kepalanya, agar kau dapat melihatnya sendiri. Tetapi niat itu aku
batalkan, karena aku masih berperikemanusiaan."
"Persetan!" Ki Peda Sura menjadi semakin garang, dan kedua
anak-anak muda itu pun bertempur semakin dahsyat pula.
"Kita bertukar lawan," mereka terperanjat, ketika mereka
mendengar suara itu selangkah di belakangnya. Ternyata
gurunya telah berhasil memecah kepungan lawan-lawannya, dan
kini telah siap menghadapi Ki Peda Sura. Katanya kemudian,
"Tahanlah orang-orang itu supaya aku mendapat kesempatan
melanjutkan permainanku dengan Ki Peda Sura." Lalu katanya
kepada Ki Peda Sura, "Ayo, Kiai. Jangan bubar. Aku masih
belum jemu dengan permainan yang mengasyikkan ini."
Wajah Ki Peda Sura menjadi merah membara. Ia tahu arti
dari kata-kata gembala tua itu. Agaknya orang itu sama sekali
tidak ingin melepaskannya, sehingga bagaimanapun juga, ia
akan selalu mengejarnya. Kemarahan Ki Peda Sura sudah sampai di puncak kepalanya.
Tetapi ia bukannya orang yang tidak melihat kenyataan, bahwa
lawannya sama sekali tidak akan dapat dilawannya. Tetapi ia
belum menemukan jalan apa pun untuk menghindarinya.
Sejenak kemudian, maka Ki Peda Sura harus bertempur lagi
melawan gembala tua itu. Beberapa orang kepercayaannya
segera membantunya pula, sedang beberapa orang lagi di
antara mereka masih harus melawan Gupala dan Gupita,
sementara para pengawal Menoreh pun telah mencoba
mengurangi jumlah lawan mereka.
Tetapi betapa liciknya Ki Peda Sura. Dengan cara yang sama,
mengorbankan orang-orangnya, ia masih berusaha untuk
melarikan dirinya. Beberapa orang kepercayaannya dengan
membabi buta telah menyerang gembala tua dan yang lain
kedua murid-muridnya. Sementara itu Ki Peda Sura
mempergunakan kesempatan untuk melenyapkan dirinya di
dalam hiruk-pikuk peperangan. Namun kali ini ia tidak berani
mengangkat dadanya sambil melepaskan suara tertawanya.
"Licik," geram gembala tua itu. Ki Peda Sura adalah seorang
yang memiliki ilmu cukup tinggi. Tidak jauh di bawahi gembala
tua itu. Tidak jauh pada dari Ki Tambak Wedi sendiri. Karena itu,
ketika ia berusaha melarikan diri, menyusup di dalam hirukpikuknya
peperangan, ia tidak terlampau banyak mengalami
kesulitan. Betapapun gembala tua itu menahan hatinya, tetapi pada
suatu saat kemarahannya pun terungkat pula. Ia sudah berada
di peperangan setelah terlalu lama ia tidak mengalaminya. Dan
di dalam peperangan yang bersungguh-sungguh ini, ia telah
kehilangan lawannya. Karena itu, maka dengan terpaksa sekali,
ia berusaha menyingkirkan orang-orang yang telah mengurung
dengan rapatnya. Ketika satu dua orang dari mereka terlempar sambil
mengaduh, bahkan ada yang tidak sempat mengeluh, karena
pedang orang tua itu langsung menembus jantung, terdengar
orang tua itu bergumam, "Bukan maksudku. Bukan maksudku
membunuh orang-orang yang tidak ikut menentukan sikap itu."
Namun orang tua itu tidak dapat menghindarinya, karena
mereka berkelahi seperti orang kesurupan iblis. Sedang di
bagian yang lain, Gupita dan Gupala pun mengalami persoalan
yang serupa. Ketika orang tua itu sudah berada di luar kepungan, karena
tidak ada seorang pun lagi yang dapat melakukannya, maka Ki
Peda Sura seakan-akan telah hilang ditelan oleh api
pertempuran yang semakin seru itu.
"Aku kehilangan lawan," desis orang tua itu. "Adalah
terlampau sukar untuk mencari seseorang yang sengaja
bersembunyi di antara ributnya peperangan itu. Pada permulaan
peperangan ini, mencari Ki Peda Sura tidak akan terlalu sulit. Ia
pasti berada di salah satu ujung bagian dari seluruh gelar. Selain
daripada itu, ia pasti menjadi pusat dari sekelompok lawan,
karena ia mempunyai banyak kelebihan. Tetapi untuk mencari Ki
Peda Sura yang berlindung pada sekian keributan memang tidak
akan mudah." Meskipun demikian, gembala tua itu tidak berputus asa.
Sekilas ia melihat dua orang muridnya bertempur. Tetapi ia tidak
mencemaskan nasib keduanya. Karena itu maka katanya,
"Tinggallah di sini, aku akan mencari iblis yang licik itu."
"Tetapi aku berjanji untuk kembali ke tempatku semula,"
jawab Gupita. "Kembalilah. Di sini dan di tempatmu itu tidak akan banyak
bedanya sekarang. Lawanmu telah menjadi patah kemauan.
Mereka tinggal mendorongnya pergi dari tempat ini."
"Bohong!" teriak salah seorang dari mereka. "Aku akan
membunuh kalian."

02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi kata-katanya terputus ketika Gupala meloncat sambil
berkata lantang, "Tutup mulutmu. Jangan membual."
Orang itu terkejut bukan buatan. Tetapi terlambat. Ia tidak
mampu menghindari pedang Gupala yang menjulur lurus ke
dadanya. Sehingga yang terdengar kemudian adalah keluhan
tertahan. Namun orang yang hampir sampai di batas ajalnya itu
tiba-tiba berteriak, "Aku bunuh kalian. Aku bunuh kalian."
Begitu suaranya hilang di dalam hiruk-pikuknya dentang
senjata, tubuhnya pun jatuh terbanting di tanah.
Gembala tua itu melihat sambil menarik nafas dalam-dalam.
Ketika ia berpaling ke arah Gupita, dilihatnya muridnya yang tua
itu menggigit bibirnya. "Anak itu harus diajar untuk sedikit menahan diri," berkata
gembala tua itu di dalam hatinya. "Adalah wajar membunuh di
peperangan. Tetapi nafsunyalah yang terlampau membakar
dadanya. Membunuh, meskipun di peperangan, bukanlah
permainan yang dapat dilakukan sekehendak hati."
Namun ketika tiba-tiba teringat olehnya Ki Peda Sura, maka
gembala tua itu pun sekali lagi berkata, "Berhathatilah. Aku
akan pergi." "Silahkan, Guru," jawab Gupita. "Aku pun akan bergeser ke
tempatku pula." Sejenak kemudian gembala tua itu pun segera meloncat di
antara hiruk-pikuknya ujung senjata. Sekalsekali langkahnya
tertahan, namun kemudian dengan tergesa-gesa ia pun
melanjutkannya. Sementara itu, Gupita pun sedang berusaha menghindarkan
diri dari kekisruhan di tempatnya. Beberapa orang pengawal
Tanah Perdikan Menoreh telah berada di sekitarnya pula.
Betapa kekaguman mereka melihat bagaimana gembala itu
menyelesaikan lawan-lawannya. Bagaimana ia menggerakkan
pedangnya, dan bagaimana ia berloncatan seperti burung
sikatan. Bahkan gembala yang gemuk itu pun mampu bergerak
dengan lincahnya tanpa dibebani oleh dagingnya yang seolaholah
berlebihan. "Gupala," berkata Gupita, "aku akan kembali ke tempatku.
Apakah kau akan tinggal di sini?"
"Aku sudah tidak mempunyai lawan."
"Aku pun tidak. Tetapi aku sudah berjanji."
Gupala tidak segera menjawab. Tetapi senjatanyalah yang
sedang berbicara. Dan Gupita hanya dapat mengangkat
bahunya ketika ia melihat darah menyembur dari luka di
lambung lawan Gupala itu.
Sejenak ia masih melihat Gupala bertempur. Kemudian
ditinggalkannya anak muda yang gemuk itu, yang kini berada di
antara para Pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Bagi para
pengawal, Gupala terasa lebih menarik dan mengagumkan dari
anak muda yang seorang lagi, karena Gupala terasa lebih
banyak berjasa di dalam peperangan ini.
Gupita pun kemudian kembali ke tempatnya semula. Ke
tempat Ki Wasi terbunuh oleh kawan-kawannya sendiri.
Ternyata, bahwa para pengawal tanah perdikan masih belum
dapat menguasai keadaan sepenuhnya. Meskipun Ki Wasi
sudah tidak ada lagi, namun mereka masih harus bekerja keras
untuk menahan arus lawan. Seorang yang berbadan pendek,
berdada lebar, agaknya telah berusaha memimpin kelompok itu.
Orang itu agaknya memiliki kemampuan yang lebih baik dari
kawannya. Namun ia tidak terpaut terlampau banyak, sehingga
orang yang pendek itu pun tidak dapat banyak berbuat.
Kedatangan Gupita segera dapat merubah keseimbangan.
Meskipun ia tidak segarang Gupala, namun orang yang pendek
itu pun segera dapat dilumpuhkannya.
*** Dengan demikian, maka orang-orang Ki Tambak Wedi itu pun
kemudian berperang tanpa ikatan. Sebagian mereka, yang justru
terdiri dari orang-orang yang berasal dari luar Menoreh, yang
dibawa oleh Ki Peda Sura dan oleh beberapa orang yang
sekedar ingin mengail di air yang keruh, ternyata telah biasa
bertempur tanpa pimpinan. Mereka justru mcnjadi bertambah liar
dan buas. Di ujung peperangan, Ki Tambak Wedi masih harus memeras
tenaganya melawan Ki Argapati dan puterinya Pandan Wangi. Ki
Argapati yang masih belum sembuh benar itu, agaknya telah
terpaksa memeras tenaganya. Bahkan ia telah berbuat
melampaui batas-batas yang dapat mengganggu dadanya yang
terluka. Tetapi melawan Ki Tambak Wedi, ia tidak dapat membatasi
diri, kalau ia tidak ingin luka di dadanya itu bertambah lagi
dengan sebuah tusukan nenggala. Karena itu, maka ia telah
memeras segenap kemampuannya untuk melawan iblis yang
mengerikan itu. Namun betapapun juga luka di dadanya itu telah membatasi
kemampuannya. Ia tidak dapat sampai ke puncak ilmunya.
Untunglah, bahwa di sampingnya ada puterinya, Pandan Wangi,
yang dapat mengisi setiap kekurangan, sehingga Ki Tambak
Wedi pun tidak segera berhasil membinasakan lawannya.
Tetapi sebenarnya kehadiran Pandan Wangi itu telah
membuat Ki Argapati selalu berdebar-debar pula. Ia sama sekali
tidak mencemaskan nasibnya sendiri. Adalah wajar baginya
sebagai seorang kepala tanah perdikan, seandainya ia harus
mengorbankan apa pun yang dimilikinya. Bahkan nyawanya.
Tetapi ia sama sekali tidak rela, apabila Pandan Wangi pun akan
mati terbunuh pula. Pandan Wangi adalah satu-satunya anaknya
yang akan dapat menyambung keturunan. Trah Argapati. Kalau
Pandan Wangi terbunuh pula, maka Sidantlah yang akan
menyebut dirinya trah Argapati, dan berhak mewarisi pimpinan
tanah perdikan ini, tanpa ada orang yang mengganggu gugat.
Karena itulah, maka betapa lukanya menganggunya, tetapi
Argapati telah memeras segenap tenaga dan kemampuannya. Ia
harus bertahan. Apa pun yang akan terjadi.
Meskipun demikian, namun tenaganya memang menjadi
terbatas. Apalagi ketika tangannya meraba pembalut luka itu.
Terasa sesuatu menghangati tangannya. Darah. Darah yang
telah merembes dari lukanya yang belum sembuh benar.
Dalam pemusatan tenaga, agaknya luka itu telah menitikkan
darah. Gerak yang terlampau banyak dan geseran-geseran
pembalutnya, telah memperderas tetesan darah itu.
Dengan demikian, maka Ki Gede Menoreh itu pun menjadi
semakin berdebar-debar. Telah berapa puluh kali ia harus
berhadapan dengan lawan. Seorang lawan seorang, atau di
peperangan. Tetapi ia belum pernah mengalami kegelisahan
seperti kali ini. Kegelisahan yang terbesar justru karena ia
memikirkan nasib puterinya.
Namun karena itulah, maka Argapati sama sekali tidak
menghiraukan dirinya sendiri. Dengan kemampuan yang ada
padanya, ia bertempur matmatian. Tombak pendeknya
menyambar-nyambar dengan dahsyatnya, seakan-akan ia tidak
sedang diganggu oleh luka di dadanya.
Tetapi Ki Tambak Wedi yang pernah bertempur melawan Ki
Argapati merasakan, bahwa tenaga Ki Argapati tidak sepenuh
kemampuannya, apabila ia tidak diganggu oleh luka itu. Itulah
sebabnya maka ia berpengharapan, pada saatnya Ki Argapati
akan kehabisan tenaga dan dengan mudah menyelesaikanya.
Tanpa Ki Argapati, Pandan Wangi sama sekali bukan apa-apa
lagi baginya. Ki Tambak Wedi yang licik itu tersenyum di dalam hati.
Hampir pasti, bahwa kali ini Ki Argapati tidak akan dapat
menghindari ujung senjatanya. Dua kali ia berkelahi melawan Ki
Argapati dalam perang tanding. Seorang lawan seorang, ia telah
gagal mengalahkanya. Kemudian dengan akal yang licik dan
curang pun ia tidak berhasil. Kini agaknya kesempatan telah
terbuka baginya. "Tanpa Ki Argapati, pasukan pengawal Menoreh ini akan
segera dapat disapu seperti asap dihembus angin," katanya di
dalam hati. "Apalagi tidak seorang pun yang akan mampu
memimpin pasukan pengawal ini. Yang paling bernilai dari setiap
orang di tanah perdikan ini adalah Pandan Wangi. Dan betapa
mudahnya menyelesaikan anak ini. Kalau aku tidak sampai hati
untuk melakukannya, karena wajahnya yang mirip dengan wajah
ibunya itu, biarlah Peda Sura menangkapnya, hidup atau mati.
Terserah, apakah yang akan dilakukannya. Kalau Sidanti dan
Argajaya berkeberatan, maka lebih baik anak itu dibunuh saja,
seperti yang sudah diputuskan."
Dengan demikian, maka tandang Ki Tambak Wedi pun
menjadi semakin garang. Ia melihat setiap kali Argapati terpaksa
melontar surut, menahan dadanya dan barulah ia mengerahkan
kemampuannya untuk menyerang kembali.
Bahkan Ki Tambak Wedi itu tidak dapat lagi menahan
perasaannya, sehingga terdengar ia berdesis, "Apakah lukamu
kambuh lagi, Argapati?"
Dada Ki Argapati berdesir mendengar pertanyaan itu.
Agaknya Ki Tambak Wedi telah melihat kelemahannya, sehingga
dengan demikian, Ki Tambak Wedi akan dapat
memperhitungkan dengan tepat apa yang bakal terjadi dalam
peperangan ini. Namun meskipun demikian, Ki Argapati masih juga
tersenyum, "Nah, bukankah kau hanya sekedar menunggu" Kau
tidak dapat mengambil peranan apa-apa dalam perkelahian ini Ki
Tambak Wedi, sehingga dengan demikian, kau hanya dapat
mengharap mudah-mudahan aku terganggu oleh bekas lukaku."
"Persetan," Ki Tambak Wedi menggeram. Kemarahannya
telah benar-benar membakar seluruh isi dadanya. "Kau harus
segera selesai Argapati. Kemudian memusnahkan seluruh anak
buahmu termasuk anak gadismu itu."
Ki Argapati tidak menjawab. Tetapi ia tidak dapat mengingkari
kenyataan, bahwa kekuatannya pasti terbatas. Darah yang
mengalir semakin deras itu, pasti akan segera mempengaruhi
daya tahannya. Di bagian-bagian yang lain, tidak ada kekhususan yang
menarik dari peperangan itu. Ternyata Sidanti dan Argajaya
mendapat lawan yang tangguh. Mereka tidak menyangka,
bahwa tiba-tiba saja di atas Bukit Menoreh itu hadir orang-orang
yang dapat mengimbangi kemampuannya, meskipun masih
harus mendapat bantuan dari orang-orang di sekitarnya.
Tetapi akhirnya, kedua orang pengawal Sutawijaya itu tidak
dapat bertahan terlampau lama dengan senjata cambuknya.
Senjata yang tidak biasa dipergunakannya. Karena itu, maka
akhirnya mereka telah memindahkan cambuk-cambuk itu ke
tangan kiri. Dan mereka pun segera bertempur dengan
pedangnya. Dengan demikian keadaan mereka menjadi semakin
mantap. Yang paling mencemaskan di seluruh medan adalah justru Ki
Argapati sendiri. Tekanan Ki Tambak Wedi semakin lama
menjadi semakin berat, sehingga Ki Argapati telah mulai
terdesak beberapa kali. Sekalsekali tangan kirinya ditelekankan
ke dadanya yang terasa mulai pedih.
"Ha," Ki Tambak Wedi tertawa, "nyawamu telah berada di
mulut lukamu itu. Sebentar lagi kau akan menjadi lemas, dan
tanpa kau kehendaki kau akan terbaring di tanah. Betapa
mudahnya membunuhmu saat itu."
"Tutup mulutmu," Pandan Wangi membentak sambil
menyerang sejadjadi, sehingga terdengar ayahnya
menahannya, "Wangi."
Tetapi Pandan Wangi tidak menghiraukannya. Tiba-tiba gadis
itu telah dibakar oleh kemarahan yang meluap-luap, sehingga ia
tidak lagi dapat mengendalikan dirinya. Ia tidak
memperhitungkan lagi, dengan siapa ia berhadapan.
"He, apakah kau gila anak manis," teriak Ki Tambak Wedi.
Pandan Wangi tidak menjawab. Penglihatannya tentang
keadaan ayahnya hampir membuatnya berputus asa. Karena itu,
sebelum ia melihat ayahnya dikalahkan oleh Ki Tambak Wedi,
maka lebih baik ia menentukan akhir dari perkelahiannya. Kalau
ia berhasil bersama ayahnya mengalahkan Ki Tambak Wedi,
biarlah itu segera terjadi, sebelum ayahnya kehabisan darah.
Tetapi kalau ia harus mati, biarlah ia mendahului ayahnya.
"Pandan Wangi," sekali lagi ia mendengar suara ayahnya.
Tetapi Pandan Wangi tidak menghiraukannya. Sepasang
pedangnya berputaran seperti sepasang angin pusaran yang
libat-melibat. Namun demikian, untuk dapat mengalahkan Ki
Tambak Wedi dalam keadaan serupa itu, meskipun ia bersama
ayahnya, adalah sama dengan menunggu tumbuhnya jamur di
musim kemarau. Ayahnya telah menjadi semakin lemah, dan
dirinya sendiri pasti tidak cukup kekuatan untuk melawan iblis
yang telah menodai nama ibunya.
"Pandan Wangi," teriak Ki Tambak Wedi, "jangan gila."
Tetapi Pandan Wangi sudah tidak menghiraukan lagi.
Kelembutan di wajahnya telah lenyap disaput gelapnya hati.
Rambutnya tiba-tiba telah terurai dan matanya pun telah
menyorotkan sinar keputus asaan.
"Wangi, Wangi," ayahnya masih mencoba mencegahnya.
Tetapi ia seakan-akan sudah tidak mendengar apa pun lagi.
Namun ternyata, betapa hitamnya hati Ki Tambak Wedi, ia
masih juga dapat dipengaruhi oleh perasaannya. Pandan Wangi
yang berurai rambut, sorot mata keputus-asaan, dan gemeretak
gigi itu, sekali lagi telah membayangkan kenangan yang ingin
dilupakan oleh Ki Tambak Wedi. Kini seolah-olah ia melihat Rara
Wulan yang menyusulnya ke Pucang Kembar pada saat ia
sedang berkelahi dengan Arya Teja. Pandan Wangi yang putus
asa itu seolah-olah berteriak kepadanya, "Inilah dadaku. Di
sinilah kau menghunjamkan senjatamu itu."
Ki Argapati menjadi heran melihat Ki Tambak Wedi beberapa
kali meloncat surut. Namun dengan tiba-tiba telah
menyerangnya dengan garangnya. Tetapi seolah-olah orang itu
selalu menghindari benturan dengan senjata Pandan Wangi.
Ki Argapati tidak mengerti apa yang tersirat di dalam hati
lawannya. Karena itu ia masih selalu dicemaskan oleh sikap
puterinya itu. Meskipun kadang-kadang ia masih mampu
melindunginya, namun gerak Pandan Wangi yang tidak
terkendali itu kadang-kadang telah menempatkannya pada jarak
yang terlampau jauh dari padanya.
"Pandan Wangi," desis Ki Tambak Wedi, "kau jangan berbuat
gila. Lebih baik kau pergi dari arena ini."
"Itu akan lebih gila lagi," sahut Pandan Wangi. "Aku akan
membunuhmu atau kau membunuhku."
"Anak setan," geram Ki Tambak Wedi, "aku ingin membunuh
ayahmu." "Dan setiap orang di sini," sambung Pandan Wangi. "Nah,
kalau begitu bunuh aku lebih dahulu."
"Wangi," potong ayahnya, "jangan kehilangan akal. Pakai
otakmu di dalam setiap peperangan."


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi Pandan Wangi seakan-akan tidak mendengar lagi
kata-kata ayahnya. Dengan demikian, maka ia masih saja
berkelahi tanpa terkendali. Dengan sepasang pedang yang
terayun-ayun dengan cepatnya ia berloncatan menyerang Ki
Tambak Wedi. Ki Argapati yang merasa semakin lemah, terpaksa
menyesuaikan dirinya dengan tata gerak anaknya, supaya
Pandan Wangi tidak terlepas sama sekali dari perlindungannya
apabila keadaan sangat mendesak. Karena itu, maka ia sama
sekali tidak mendapat kesempatan untuk menghemat
tenaganya. Namun dengan demikian, Ki Tambak Wedi pun
menjadi sibuk untuk melayani ayah beranak itu.
"Anak setan," ia menggeram di dalam hatinya. Dicobanya
untuk menemukan kekuatan, agar ia tidak selalu dibayangi oleh
perasaannya. Dan ketika ia terdesak beberapa langkah, maka ia
menggeretakkan giginya sambil berkata, "Aku tidak peduli. Aku
tidak peduli siapa dia."
Maka terdengar orang tua itu menggeram. Dan tiba-tiba saja
ia berteriak nyaring, "Persetan kalian berdua. Kalian harus
segera mati. Dan padukuhan ini harus menjadi abu sebelum
fajar." Ketika Ki Tambak Wedi kemudian melepaskan segala macam
keragu-raguannya, maka tenaga Ki Argapati pun menjadi
semakin terperas karenanya. Dan ia sendiri menyadari, bahwa ia
tidak akan dapat bertahan sampai fajar.
Para pengawal yang mampu melihat keseimbangan yang
sedang condong dengan perlahan-lahan itu pun mencoba untuk
mendapatkan kesempatan membantu kepala tanah perdikannya,
agar Ki Argapati mendapat kesempatan untuk menahan diri.
Samekta pun kemudian melihat kelemahan kepala tanah
perdikannya, sehingga hatinya menjadi berdebar-debar. Ia tahu
benar, bahwa luka di dada Ki Argapati pasti telah
mengganggunya. Tetapi apa yang dapat dilakukan adalah tidak terlampau
banyak berarti. Namun bersama dengan setiap orang yang ada
di sekitar pertarungan itu, Samekta berusaha untuk
memperpanjang daya perlawanan Ki Argapati dan Pandan
Wangi. Namun setiap kali Samekta selalu digelisahkan oleh
kemungkinan yang dapat terjadi di tempat-tempat lain. Ia masih
belum mendapat gambaran dari seluruh peperangan. Pada saat
terakhir ia memang sedang menunggu beberapa orang yang
dikirimkannya ke beberapa bagian dari gelarnya untuk melihat
keadaan. Dengan tergesa-gesa ia berusaha menemui penghubungnya
yang pertama-tama datang mendekatinya, "Bagaimana?" ia
bertanya. "Ki Muni telah terbunuh," desis penghubung itu.
"He." "Ki Muni." "Benar begitu?"
"Ya." "Lalu bagaimana keadaan medan di tempat itu."
"Anak yang gemuk itu telah meninggalkan arena, masuk ke
daerah peperangan yang lebih dalam."
"Apakah yang dilakukannya?"
"Aku mencoba mencari hubungan. Ternyata Ki Peda Sura
sudah melarikan diri. Tetapi gembala tua itu pun tidak ada di
tempatnya. Yang ada justru anak yang gemuk itu. Ketika aku
berhasil mendekatinya, ia mengatakan bahwa ayahnya sedang
mencari Peda Sura." Samekta menarik nafas dalam-dalam. Harapannya yang
menjadi pudar ketika ia melihat Ki Argapati selalu terdesak, kini
menjadi cerah kembali. Dengan demikian, maka keadaan
pasukan di kedua belah pihak pun pasti akan terpengaruh oleh
keadaan itu. Apalagi ketika kemudian ia mendengar dari
penghubungnya yang lain, bahwa Ki Wasi telah mati, dibunuh
oleh anak buahnya sendiri.
"Kenapa?" bertanya Samekta.
Penghubung itu menggelengkan kepalanya, "Entahlah."
Memang hal itu agak kurang penting bagi keadaan seluruh
peperangan ini. "Dimana anak gembala yang bernama Gupita itu?"
"Ia masih berada di tempatnya. Kehadirannya di tempat itu
ternyata mempunyai pengaruh yang sangat besar, apalagi
sepeninggal Ki Wasi."
Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia dapat
membuat perhitungan dalam sekilas, bahwa pengaruh dari
keadaan itu, pasti akan terasa sampai ke induk pasukan ini.
Beberapa orang anggauta pasukan di induk ini pasti akan
terpaksa mengalir, membantu ke tempat-tempat yang akan
menjadi semakin lemah. "Beberapa orang akan mendapat kesempatan membantu Ki
Argapati," desisnya, namun kemudian. "Tetapi untuk melawan Ki
Tambak Wedi, apakah akan banyak dapat membantu?"
Pertanyaan serupa itulah yang selalu mengganggunya. Dan
kini ia melihat Ki Argapati menjadi semakin lemah. Bahkan
Pandan Wangi pun menjadi semakin mencemaskannya.
Kadang-kadang ujung senjata Ki Tambak Wedi hampir saja
berhasil menyentuh tubuhnya. Dalam keadaan yang demikian, Ki
Argapati telah memaksa dirinya untuk meloncat melindunginya,
betapa ia memeras tenaganya yang terasa menghentak-hentak
lukanya. Samekta memang tidak dapat menunggu dan membiarkan
terlampau lama. Kemudian beberapa orang yang dianggapnya
mempunyai beberapa kelebihan dari kawan-kawannya, telah
ditariknya untuk mencoba mengganggu Ki Tambak Wedi.
Cara itu telah membuat darah Ki Tambak Wedi semakin
mendidih, sehingga ia sudah tidak menghiraukan apapun lagi.
Senjatanya segera berputaran, dan setiap kali ia melemparkan
seorang lawannya dari arena.
Iblis dari lereng Merapi itu benar-benar telah bertempur
dengan dahsyatnya. Senjatanya menjadi semakin mengerikan,
dan patrapnya pun telah membuat setiap tengkuk meremang.
Ki Argapati yang melihat lawannya menjadi semakin buas
menjadi gemetar menahan marahnya. Tetapi ia tidak dapat
ingkar dari kenyataan, bahwa lukanya sangat mengganggunya.
Namun Ki Argapati kini berdiri di dalam keadaan tanpa
pilihan. Satu-satunya yang harus dilakukan adalah bertempur
tanpa memikirkan bagaimana akhir dari pertempuran itu bagi diri
sendiri, meskipun hal itu telah dapat diperhitungkannya.
Tetapi usaha Samekta dengan beberapa orang anggauta
pengawal pilihan ternyata berpengaruh juga. Setiap kali Ki
Tambak Wedi harus mengumpat-umpat sambil menghindarkan
diri dari patukan senjata-senjata yang seolah-olah
mengerumuninya. Di bagian belakang dari gelar Gajah Meta yang sudah
menjadi semakin lebar itu, ternyata telah terjadi perubahan
keseimbangan. Tempat-tempat yang ditinggalkan oleh Ki Wasi
dan Ki Muni, telah berubah sama sekali. Para pengawal Tanah
Perdikan Menoreh telah hampir-hampir dapat menguasai seluruh
keadaan. Apalagi setelah Ki Peda Sura meninggalkan arena
tanpa memberikan pesan dan petunjuk apa pun kepada anak
buahnya. Kemunduran pasukan Ki Tambak Wedi di tempat-tempat itu
ternyata sangat mempengaruhi keadaan di sekitarnya. Beberapa
orang di dalam kelompok-kelompok yang lain, terpaksa harus
bergeser membantu tempat-tempat yang menjadi semakin
lemah. Beberapa orang yang berada di dalam pimpinan Sidanti
dan di bagian lain dipimpin oleh Argapati, tidak dapat
membiarkan gelar yang bulat itu akan terpecah.
Sehingga sejenak kemudian, di belahan belakang dari gelar
Gajah Meta yang harus menghadapi kepungan para pengawal
Tanah Perdikan Menoreh yang semakin mendesak itu, menjadi
semakin berbahaya. Apalagi karena Gupala hampir-hampir tidak
mau mengekang dirinya, sehingga lingkaran arena di seputarnya
menjadi semakin ribut. Lawan-lawannya harus menghadapi
dalam kelompok-kelompok kecil, meskipun mereka tidak dapat
menahan putaran pedangnya yang seakan-akan melanda
pasukan Ki Tambak Wedi yang sudah menjadi semakin kisruh.
Apalagi para pengawal yang ada di sekitarnnya, memanfaatkan
pula keadaan itu dan bertempur sejauh-jauh kemampuan
mereka. Sidanti dan Argajaya yang kemudian mendengar dari seorang
penghubung tentang keadaan itu menggeram seperti seekor
harimau lapar. Tetapi mereka tidak dapat berbuat terlampau
banyak, karena mereka ternyata menemukan lawan yang pilih
tanding. Wrahasta dan Kerti di tempat masing-masing cukup
memberikan pengaruh pula pada pertempuran di sekitar
lingkaran perkelahian yang dahsyat antara Sidanti, Argajaya dan
lawan-lawannya. Setelah lawan-lawan Sidanti dan Argajaya bertempur dengan
senjata mereka sendiri, maka segera tampak, bahwa Dipasanga
dan Hanggapati adalah seorang prajurit. Meskipun pada
dasarnya mereka memiliki ilmu masing-masing, namun
pengaruh lingkungan keprajuritan segera tampak. Apalagi
prajurit-prajurit yang telah mengalami berbagai macam
persoalan seperti keduanya.
Karena itulah, maka Sidanti dan Argajaya menjadi berdebardebar.
Apakah persoalan Tanah Perdikan Menoreh telah
menjadi persoalan di dalam istana, sekaligus untuk mencari
jejaknya dan gurunya. Dengan demikian, maka Sidanti dan Argajaya menjadi
semakin lama semakin gelisah. Namun mereka tidak dapat
segera mengambil sikap. Mereka hanya dapat menunggu, apa
yang akan diperintahkan oleh Ki Tambak Wedi.
Di arena pertempuran yang lain, Ki Tambak Wedi masih
belum terlampau merasakan tekanan-tekanan di bagian-bagian
gelarnya. Ia masih memusatkan segenap perhatiannya untuk
menyelesaikan Argapati yang semakin lama menjadi semakin
lemah. Pandan Wangi yang berusaha bertempur sekuat
tenaganya dan justru hampir-hampir menjadi putus asa itu,
menjadi semakin cemas melihat keadaan ayahnya.
Namun agaknya beberapa orang yang berusaha membantu
Ki Argapati dan Pandan Wangi, dapat memperingan tekanantekanan
yang diberikan oleh Ki Tambak Wedi.
Betapa Ki Tambak Wedi mengumpat-umpat di dalam hati,
setiap kali ia harus menghindari ujung tombak yang dilontarkan
ke arahnya, kemudian ayunan pedang yang menyambar dari
belakang. Sebuah pisau yang menyambar dari arah yang tidak
terduga-duga dari antara sekian banyak lawan-lawannya.
"Setan," ia mengumpat, dan iblis tua itu menjadi semakin
marah. Bukan saja kepada lawan-lawannya, tetapi juga kepada
orang-orangnya sendiri. Mereka sama sekali tidak berhasil
menghalau para pengawal yang seakan-akan mengepungnya
dalam suatu lingkaran yang terpisah dari seluruh peperangan.
"Kemana orang-orang gila ini?" ia menggeram. Setiap kali ia
berusaha melihat pasukannya. Dan setiap kali ia melihat
kesibukan yang luar biasa. Agaknya pertempuran di sekitarnya
pun menjadi semakin dahsyat pula.
"Meskipun demikian," ia berkata d idalam hatinya, "adalah
terlampau bodoh untuk membiarkan tikus-tikus ini mengerumuni
aku, sehingga usahaku menjadi selalu terganggu."
Akhirnya Ki Tambak Wedi menjadi tidak sabar lagi. Terdengar
ia bersuit nyaring, dua kali ganda.
Setiap orang di dalam pasukannya mengetahuinya, bahwa
dengan demikian, Ki Tambak Wedi memerlukan beberapa orang
untuk membantunya. Melihat keadaan medan di sekitamya,
maka Ki Tambak Wedi pasti memerlukan orang-orang untuk
menghalau para pengawal yang mengitarinya.
Tetapi betapa sulitnya untuk menghindarkan diri dari lawan
masing-masing yang terasa semakin lama menjadi semakin
banyak. Bahkan seolah-olah setiap orang harus melawan bukan
saja seorang lawan saja, tetapi di dalam hiruk-pikuk peperangan,
lawan-lawan mereka serasa selalu bergeser, dari yang seorang
ke orang yang lain. Mereka menjadi terkejut, ketika tiba-tiba di
hadapan mereka telah berdiri seorang tua yang berkumis lebat,
menyambar senjata mereka sehingga senjata itu terpelanting,
kemudian meloncat dan hilang di dalam peperangan itu, untuk
muncul di tempat lain, dan berbuat serupa pula. Dalam keadaan
yang demikian, maka orang-orang di dalam pasukan Ki Tambak
Wedi menjadi bingung dan kadang-kadang ada di antara mereka
yang kehilangan akal, karena tiba-tiba senjatanya telah terlepas.
Tanpa senjata di peperangan yang seru terasa benar-benar
mengerikan. Tetapi orang tua berkumis itu sendiri. Seakan-akan tidak
mempedulikan lagi lawan-lawannya yang telah kehilangan
senjata. Ia pergi tanpa berbuat sesuatu. Namun meskipun
demikian, para pengawal Tanah Perdikan Menoreh-lah yang
selalu mempergunakan kesempatan, selagi orang-orang yang
kehilangan senjata itu masih belum berhasil memungut
senjatanya itu kembali. Dengan demikian, maka keadaan hampir di seluruh medan
segera berubah. Meskipun tidak seganas Gupala, namun Gupita
telah mulai dijauhi pula oleh lawan-lawannya. Sidanti dan
Argajaya seakan-akan terikat oleh lawan masing-masing,
meskipun lawan-lawan mereka tidak lebih unggul dari mereka
masing-masing. Namun kesempatan yang ada pada Wrahasta
dan Kerti telah dipergunakan sebaik-baiknya.
Ki Tambak Wedi pun kemudian menyadari keganjilan yang
ada di dalam pasukannya dan pasukan lawan. Ternyata
perhitungannya telah meleset dari kenyataan yang di hadapinya.
Ia sama sekali tidak menyangka, bahwa selain Argapati dan
Pandan Wangi, di dalam lingkungan dinding pring ori itu terdapat
orang-orang yang dapat mengimbangi pemimpin di dalam
pasukannya, entah darimana mereka datang.
Betapa kemarahan telah membakar dadanya, tetapi ia harus
menghadapi kenyataan yang ada di medan yang seru itu. Iblis itu
pun menyadari, bahwa pasti ada suatu sebab, bahwa orangorangnya
tidak dapat memenuhi panggilannya, atau hanya
sebagian saja dari mereka yang dapat mendekatinya dan
membantunya mengusir para pengawal yang mengerumuninya.
Meskipun demikian, ia masih belum leluasa untuk melakukan
tekanan atas Argapati dan Pandan Wangi.
Betapa lemahnya Argapati, namun ia masih jauh berada di
atas kemampuan orang-orangnya dan bahkan masih mampu
membuatnya berdebar-debar dengan ujung tombak pendeknya.
Ki Tambak Wedi yang marah itu menggeram. Terasa
dadanya seakan-akan meledak. Harapannya untuk membuat


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

padukuhan ini menjadi karang abang sebelum fajar, agaknya
sama sekali tidak akan dapat dilakukan.
Dengan susah payah, seorang penghubungnya telah berhasil
mendekatinya, dan memberitahukan apa yang telah terjadi di
medan. Dengan demikian, maka serasa jantung Ki Tambak Wedi
itu terbakar di dalam dadanya.
Tetapi Ki Tambak Wedi masih cukup sadar, bahwa ia tidak
dapat membiarkan dirinya hanyut dalam arus perasaannya. Ia
harus mampu mencari kemungkinan yang paling baik di saatsaat
mendatang. Dengan demikian, maka tekanan ia terhadap Ki Argapati yang
semakin lemah dan atas Pandan Wangi pun mengendor pula.
Senjata-senjata yang berterbangan menyambarnya serasa
semakin banyak. Pisau-pisau belati dan bahkan tombak-tombak
pendek. Ia sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk
melihat, siapakah yang telah melontar-lontarkan senjata-senjata
itu, sehingga setiap kali ia harus berloncatan menghindarinya.
Yang dapat dilihatnya adalah orang-orang Menoreh yang
memandanginya dengan sorot mata yang menyala. Sekilas
dilihatnya seorang berkumis yang kemudian seakan-akan lenyap
ditelan oleh para pengawal yang lain. Tetapi orang-orang itu
satu-persatu tidak menarik perhatiannya sama sekali.
Yang menjadi pusat perhatiannya adalah keadaan
keseluruhan dari peperangan ini.
Sejenak kemudian, Ki Tambak Wedi berada di dalam
kebimbangan. Apakah ia dapat meneruskan pertempuran"
Ketika terkilas di matanya Argapati yang semakin lemah. Pandan
Wangi yang kini sudah hampir kehilangan akal, maka tumbuhlah
keinginannya untuk menyelesaikan saja sama sekali keduanya.
Tetapi bagaimana dengan orang-orangnya yang lain" Apakah
mereka tidak menjadi semakin berkecil hati dan kehilangan
keberanian untuk bertindak di saat lain"
Apalagi apabila disadarinya, bahwa para pengawal Tanah
Perdikan Menoreh yang mengerumuninya menjadi semakin lama
semakin banyak. Agaknya mereka telah mendapat kesempatan
untuk meninggalkan medan mereka masing-masing untuk
membantu Kepala Tanah Perdikannya. Lemparan-lemparan
senjata ke arahnya menjadi semakin deras, dan bahkan kadangkadang
terasa berbahaya. Karena itu, Ki Tambak Wedi yang gelisah itu harus segera
mengambil suatu keputusan. Melangkah maju untuk
membinasakan Argapati dan Pandan Wangi, tetapi membiarkan
anak buahnya menjadi semakin kalang kabut, atau menarik diri,
dan mencoba menghimpun kekuatan untuk melakukan serangan
yang lebih baik di saat lain.
Tetapi agaknya Ki Tambak Wedi tidak banyak mendapat
kesempatan. Setiap kali ia mendengar sorak sorai yang seakanakan
membelah langit yang justru telah menjadi semburat
merah. "Hem," iblis itu menggeram, "aku tidak dapat membiarkan
keadaan ini sampai pagi. Kalau kemudian matahari terbit dan
medan ini menjadi terang, maka pasukanku pasti akan menjadi
semakin parah." Karena itu, betapapun beratnya, akhirnya Ki Tambak Wedi
mengambil keputusan, selagi kekuatannya masih cukup besar,
ia harus menarik diri. Betapa pahitnya. Tetapi tidak ada jalan lain
untuk menyelamatkan kekuatannya.
"Lain kali aku masih akan dapat menghubungi orang-orang di
luar tanah perdikan ini. Aku mengharap Ki Peda Sura masih ada
di dalam barisan, meskipun ia bersembunyi. Ia akan dapat
menjadi penghubung yang baik dengan kekuatan-kekuatan di
luar tanah ini," Ki Tambak Wedi berkata di dalam hatinya, namun
kemudian ia menggeram, "Setan Argapati itu masih juga mampu
bertahan sampai menjelang fajar. Meskipun tampaknya
nafasnya telah hampir putus, dan darahnya telah membasahi
lagi di dadanya, ia masih juga dapat menggerakkan pedangnya
dengan sempurna." Akhirnya, memang tidak ada jalan lain bagi Ki Tambak Wedi.
Dengan hati yang tersayat, ia memberikan isyarat, agar
pasukannya mulai menyusun diri dalam garis surut.
Sidanti dan Argajaya terkejut mendengar isyarat itu. Meskipun
ia tidak dapat segera menguasai kedua lawannya, namun
mereka tidak berada di bawah kedua prajurit Pajang itu. Nafsu
mereka yang meluap-luap di dada mereka, telah membatasi
pengamatan mereka atas seluruh medan.
Karena itu, isyarat Ki Tambak Wedi itu sama sekali tidak
mereka sangka-sangka. Namun di bagian-bagian lain, isyarat itu merupakan harapan
bagi orang-orang Ki Tambak Wedi untuk tetap hidup. Karena itu,
ketika isyarat yang dibawa oleh arus angin dan kemudian
mengalir dari seorang pemimpin kelompok ke pemimpin
kelompok yang lain, segera menumbuhkan gejolak di setiap
dada. Memang bagi mereka mundur saat itu adalah satusatunya
cara untuk menyelamatkan sisa-sisa pasukan yang ada.
Mereka yang mengalami tekanan-tekanan yang luar biasa
segera mengerti, bahwa Ki Tambak Wedi ingin menyelamatkan
sisa pasukan ini. Dan mereka pun mengerti, bahwa di saat-saat
mendatang, mereka masih harus menyusun diri lebih baik lagi
untuk merebut padukuhan ini dari tangan Argapati dan
membinasakannya sama sekali.
Beberapa orang dari mereka pun masih juga bertanya-tanya
di dalam hati, bagaimana akhir dari peperangan antara Ki
Tambak Wedi dan Argapati yang sedang terluka itu.
"Tetapi di dalam pasukan Argapati terdapat kekuatankekuatan
yang sama sekali tidak terduga-duga," desis mereka.
Dengan demikian, maka para pemimpin kelompok-kelompok
kecil di dalam pasukan Tambak Wedi itu segera menyusun diri
untuk melakukan gerakan surut. Ternyata untuk menarik diri dari
peperangan yang seru ini pun sama sekali bukan pekerjaan
yang mudah. Selangkah demi selangkah Ki Tambak Wedi membawa
orang-orangnya mundur. Sambil bertempur ia memberikan
isyarat-isyarat terus-menerus kepada penghubung-penghubung
yang harus menyampaikan isyarat-isyarat ke seluruh pasukan
dengan tanda-tanda bunyi, dan gerak.
Ki Argapati yang sudah menjadi semakin lemah, melihat
gerakan yang dilakukan oleh Ki Tambak Wedi. Sejenak ia
merenungi keadaan itu, keadaannya sendiri, dan seluruh
pasukannya. Betapa besar nafsunya untuk tetap mengejar Ki Tambak Wedi
dan tidak membiarkannya terlepas dari tangannya. Tetapi luka di
dadanya terasa semakin lama menjadi semakin pedih. Ketika ia
memaksa diri, maju mengejar Ki Tambak Wedi yang mencoba
melindungi orang-orangnya, terasa dadanya seakan-akan
menjadi pecah, sehingga langkahnya pun tertegun karenanya.
Kini ia tidak dapat ingkar lagi. Tenaganya benar-benar telah
habis terperas. Dan ia mengucapkan sukur di dalam hatinya
kepada Tuhan, yang masih menyelamatkannya tepat pada
saatnya. Tepat pada saat ia kehilangan segala kemampuannya.
Tiba-tiba pertempuran itu serasa berputar. Pandangan
matanya semakin lama menjadi semakin gelap. Api yang masih
menyala di beberapa tempat pun tampaknya menjadi semakin
suram. Ki Argapati masih melihat Ki Tambak Wedi yang menjadi
semakin jauh. Ketika Pandan Wangi meloncat ingin
mengejarnya, terdengar Ki Argapati menghentakkan
kekuatannya yang terakhir, memanggil puterinya, "Pandan
Wangi ?"?" Pandan Wangi terkejut. Ketika ia berpaling dilihatnya ayahnya
terhuyung-huyung bertelekan pada landaian tombaknya.
"Ayah," dengan tangkasnya Pandan Wangi meloncat
mendekati ayahnya. Hampir saja ayahnya terjatuh kalau ia tidak
segera ditolong oleh Pandan Wangi. Demikian tergesa-gesa,
sehingga ia tidak sempat menyarungkan pedangnya dan begitu
saja dilelakkannya di tanah. Pedang yang seolah-olah tidak
pernah terpisah dari dirinya itu, seakan-akan dilupakannya ketika
ia melihat keadaan ayahnya yang parah.
Sejenak kemudian, Samekta pun telah berdiri di sampingnya.
Dengan tangan gemetar, ia pun mencoba menahan tubuh Ki
Argapati. Tetapi ternyata tubuh itu telah menjadi sedemikian
lemahnya, sehingga Samekta terpaksa membaringkannya di
tanah. "Ayah, Ayah," pekik Pandan Wangi. Meskipun ia mampu
bertempur di peperangan, namun ketika ia melihat keadaan
ayahnya, maka sifat-sifat kegadisannya tidak lagi dapat
disimpannya. "Tenanglah, Pandan Wangi," desis Samekta. "Ki Argapati
telah pingsan." "Ayah, Ayah," Pandan Wangi tidak dapat menahan titik-titik air
matanya yang membasahi pipinya. Apalagi ketika ia melihat
darah yang memerahi pembalut luka Ki Argapati.
Ki Tambak Wedi yang menjadi semakin jauh melihat
bagaimana Argapati kehilangan kesadaran dirinya. Karena itu ia
mengumpat di dalam hatinya, "Kalau aku bertahan beberapa
kejap lagi." Meskipun demikian, masih tumbuhlah keragu-raguannya,
apakah ia akan berlari beberapa langkah maju dan membunuh
Argapati itu sama sekali, atau ia harus tetap melindungi orangorangnya
yang sedang bergerak mundur.
Sejenak Ki Tambak Wedi memeras pikirannya. Tetapi
pengawal Tanah Perdikan Menoreh menyerang orang-orangnya
yang sedang mundur itu seperti air bah. Dengan demikian, maka
Ki Tambak Wedi tidak dapat membiarkan orang-orangnya itu
binasa dan korban akan berjatuhan terlampau banyak.
"Sayang," desis Ki Tambak Wedi, "aku kehilangan waktu yang
sekejap ini. Tetapi biarlah. Besok atau lusa apabila aku kembali,
maka tidak seorang pun yang dapat memimpin pasukan
Argapati, karena Argapati sendiri pasti memerlukan waktu
beberapa hari untuk dapat sembuh, atau bahkan mungkin ia
akan mati karena luka-luka itu. Seandainya ia tidak mati, maka
untuk maju ke medan perang, ia harus membuat banyak sekali
pertimbangan-pertimbangan."
Dengan demikian, maka Ki Tambak Wedi terus berusaha
menarik diri dengan hathati. Para pemimpin pengawal tanah
perdikan, sebagian telah terpaku di samping Ki Argapati.
Demikian juga seorang gembala tua yang kemudian telah
melepaskan kumisnya. "Tolonglah Kiai, tolonglah," tangis Pandan Wangi.
Gembala tua itu mengerutkan keningnya. Dirabanya
pergelangan tangan Ki Argapati. Ternyata pemimpin tertinggi
Tanah Perdikan Menoreh itu telah terlampau banyak
mengeluarkan tenaga selagi lukanya masih sangat
mengganggunya. Akhirnya ia benar-benar kehilangan
kekuatannya sama sekali. "Untunglah ia mampu bertahan tepat sampai Tambak Wedi
menarik diri," desis Samekta.
"Ia telah memeras segenap kekuatan yang tersisa, agar ia
tetap berdiri tegak, selagi Ki Tambak Wedi masih berada di
hadapannya," jawab gembala tua itu.
Semua orang yang mengitarinya menundukkan kepalanya.
Samekta, Pandan Wangi, dan gembala itu kini berlutut di
sampingnya. Dengan cemas mereka melihat Ki Argapati yang
pucat seperti kapas. Ternyata keadaan itu telah menarik banyak perhatian para
pemimpin Menoreh yang lain. Mereka tidak dapat melepaskan
diri tanpa menghiraukan kepala tanah perdikan mereka,
sehingga keadaan itu telah sangat mempengaruhi seluruh
medan. Peluang itulah yang agaknya memberi banyak kesempatan
kepada Ki Tambak Wedi untuk menarik pasukannya.
"Ki Samekta," desis gembala itu, "awasilah pasukanmu.
Serahkan Ki Argapati kepadaku. Mungkin di dalam gerakan yang
terakhir Ki Tambak Wedi membuat perangkap-perangkap yang
berbahaya." Samekta seperti terbangun dari tidurnya yang diganggu oleh
mimpi yang buruk. Tiba-tiba ia menyadari, bahwa keadaan
pasukannya masih belum terlepas sama sekali dari bahaya yang
dapat dengan mendadak menjeratnya. Karena itu, maka ia pun
segera berdiri sambil berkata, "Baiklah. Biarlah aku pergi ke
pasukan yang sedang mencoba mendesak pasukan lawan."
"Tahanlah mereka, agar mereka tidak dikendalikan oleh
perasaan. Ki Tambak Wedi bukan sekedar seorang pemimpin
yang mumpuni. Tetapi ia dapat mempergunakan segala cara
untuk melakukan rencananya. Sebaiknya pasukanmu tidak
keluar dari lingkungan ini. Kita masih belum tahu tepat, apa yang
berada di padang rerumputan di luar, meskipun kita mempunyai
kesempatan yang baik kali ini."
"Aku sependapat Kiai. Terserahlah, aku percayakan Ki
Argapati kepadamu." Samekta pun kemudian berlarlari bersama dua orang
pengawal yang lain mendekati garis surut pasukan Ki Tambak
Wedi. Setelah berhasil menghubungi beberapa orang
penghubung, Samekta segera memerintahkan, supaya
pasukannya tidak mengejar lawan sampai ke luar lingkungan
pring ori. "Kenapa?" bertanya penghubung itu.
"Beberapa orang di antara kita yang mampu mengendalikan
orang-orang terpenting di pasukan lawan sedang sibuk dengan
Ki Argapati. Perhitungkan hal itu. Ki Tambak Wedi bukan
sahabat yang dapat diajak bergurau."
Penghubung-penghubung itu pun mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian menghilang di dalam hiruk-pikuknya kedua
pasukan yang sedang bergeser itu.
Namun memang ternyata, betapa Ki Tambak Wedi mencoba
melindungi pasukannya. Ia benar-benar seperti iblis yang
menyebar maut di antara mereka yang berani mendekatinya.
Dengan demikian, maka usaha pasukannya menarik diri,
semakin lama menjadi semakin lancar.
Gupala dan Gupita masih selalu mengingat-ingat pesan
gurunya, bahwa mereka masih belum saatnya memperlihatkan
diri kepada Sidanti, Argajaya, atau Ki Tambak Wedi sendiri.
Sehingga dengan demikian, maka gerak mereka pun menjadi
sangat terbatas. Ketika ia mendengar pesan Samekta, bahwa mereka tidak
sebaiknya mengejar sampai ke luar regol, mereka pun segera
dapat mengerti. Apalagi ketika penghubung itu mengatakan
tentang keadaan Ki Argapati.
"Guru pasti sedang menolong Ki Argapati," berkata mereka di
dalam hati, "sehingga Ki tambak Wedi yang kehilangan lawan itu
akan menjadi burung elang di kandang ayam."


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ternyata betapa gejolak membakar dada setiap pengawal
Tanah Petdikan Menoreh yang sedang mendapat kesempatan
baik itu, namun mereka dengan penuh pengertian, mematuhi
perintah pemimpin mereka. Karena sebenarnya mereka pun
ngeri melihat tandang Ki Tambak Wedi. Setiap sentuhan
senjatanya akan berarti maut.
Demikianlah, maka ketika orang-orang di dalam pasukan Ki
Tambak Wedi itu telah berhasil keluar dari regol padesan itu,
maka dengan susah payah para pengawal telah menahan
dirinya untuk tidak terseret oleh arus perasaannya. Mereka
memang tidak dapat melihat, apa saja yang ada di balik setiap
helai daun ilalang di dalam gelap. Meskipun langit telah menjadi
semburat merah, namun padang ilalang liar di hadapan padesan
itu masih tetap dibayangi oleh gelapnya malam.
Di luar regol, Ki Tambak Wedi masih saja sibuk mengatur
pasukannya. Namun ia melihat, bahwa orang-orang Menoreh
tidak mengejarnya terus. Karena itu, maka ia dapat menarik
nafas sejenak, melepaskan kepepatan di dalam dadanya.
Belum lagi Ki Tambak Wedi mengusap keringatnya yang
membasahi keningnya, dengan tergopoh-gopoh Sidanti datang
kepadanya sambil bergumam, "Kenapa kita harus menarik diri?"
Ki Tambak Wedi berpaling. Dipandanginya Sidanti sejenak.
Kemudian ditengadahkannya wajahnya, memandangi langit
yang sudah menjadi semakin merah.
"Sebentar lagi fajar akan menyingsing."
"Dan kita akan melihat orang-orang itu binasa."
"Kau salah hitung, Sidanti. Di belakang pring ori itu ternyata
terdapat banyak orang-orang yang tidak pernah kita
perhitungkan, entah mereka datang dari mana. Tetapi adalah
suatu kenyataan, bahwa kau dan Argajaya mendapat lawanTiraikasih
Website - http://kangzusi.com/
lawan yang tidak kau duga-duga sebelumnya. Ki Muni dan Ki
Wasi telah terbunuh, Ki Peda Sura terdesak dan terpaksa
menyembunyikan diri di dalam medan."
"Dan Guru tidak berhasil membunuh Argapati?"
Ki Tambak Wedi menggeleng, "Kali ini tidak. Karena itu, kita
harus menyusun diri. Lebih baik dari yang sudah. Kita sudah
tahu kekuatan yang sebenarnya ada di belakang pring ori itu."
Sidanti menggeretakkan giginya, sementara mereka menjadi
semakin lama semakin jauh dari regol yang mereka tinggalkan.
"Tetapi aku masih berhasil melihat Argapati roboh," berkata Ki
Tambak Wedi seterusnya. "Mati?" "Aku tidak tahu. Tetapi lukanya menjadi bertambah parah. Ia
terpaksa memeras seluruh tenaganya dalam peperangan ini.
Argapati bertempur berpasangan dengan Pandan Wangi. Dan
aku masih saja dipengaruhi oleh perasaan itu."
"Perasaan apa Guru?"
Ki Tambak Wedi tergagap mendengar pertanyaan Sidanti.
Sejenak ia terdiam, namun sejenak kemudian ia menjawab,
"Tidak. Tidak apa-apa. Tetapi aku tidak berhasil membunuhnya.
Beberapa orang pengawal kepercayaan Argapati selalu
mengganggu aku. Sedang orang-orangku sendiri tidak
membantu aku, mengusir orang-orang itu."
"Kenapa?" "Aku tidak tahu, tetapi agaknya tekanan pasukan pengawal
Menoreh memang terlampau ketat, sehingga mereka kehilangan
waktu dan kesempatan. Hal inilah yang harus aku ketahui nanti.
Pengalaman ini harus diperhitungkan di saat-saat mendatang."
Ki Tambak Wedi berhenti sejenak, lalu, "Lemparan-lemparan
senjata para pengawal itu benar-benar terasa mengganggu
setiap usahaku untuk membunuh ayah beranak itu. Setiap kali
aku tertegun dan menghindar." Tetapi Ki Tambak Wedi tidak
tahu, bahwa di antara para pengawal kepercayaan Argapati itu
terdapat seorang tua yang mengenakan kumis palsu. Meskipun
sepintas Ki Tambak Wedi melihatnya juga, tetapi ia sama sekali
tidak sempat memperhatikannya, karena ia sama sekali tidak
menyangka, bahwa seseorang telah memasang kumis palsu itu
orang yang ikut menentukan jalannya peperangan.
Dalam pada itu, gembala tua yang telah melepas kumisnya itu
berjongkok di samping Ki Argapati, dengan wajah yang tegang.
Ia adalah seorang dukun yang berpengalaman, yang setiap saat
selalu bersedia mengobati siapa pun juga.
Namun kali ini dadanya berdebar-debar melihat keadaan Ki
Argapati. Agaknya luka yang dideritanya itu benar-benar
berbahaya bagi keselamatannya.
"Bagaimana Kiai" Bagaimana?" bertanya Pandan Wangi
dengan cemasnya. "Aku akan berusaha, Ngger," jawab gembala tua itu.
"Sebaiknya, biarlah Ki Argapati ini dibawa ke pondok dahulu."
"Tetapi kenapa Kiai belum berbuat sesuatu" Jarak itu
terlampau jauh, Kiai."
"Aku telah memperhitungkan. Kini aku akan menaburkan obat
yang dapat mengurangi arus darahnya lebih dahulu."
Orang-orang di sekitar Ki Argapati berbaring itu terdiam
sambil menahan nafasnya, ketika mereka melihat dukun tua itu
melepas pembalut Ki Argapati. Jantung mereka serasa tergores
pula, ketika mereka melihat luka yang berdarah itu. Di
peperangan mereka sudah terlampau biasa melihat luka. Tetapi
luka itu luka yang sudah agak lama dan kambuh kembali,
sehingga pengaruhnya pun agak berbeda.
Apalagi ketika mereka melihat darah yang sudah menjadi
kehitam-hitaman. Perlahan-lahan gembala itu menaburkan reramuan obat di
atas luka itu. Kemudian sejenak ia menungguinya sambil
menghembus-hembusnya. (***) Buku 44 "CARILAH ALAT untuk mengangkat Ki Argapati," desis orang
tua itu. "Ia harus segera berada di dalam rumah. Aku harus
mencuci lukanya dan memberikan obat baru lagi."
Seorang dari antara mereka yang melingkarinya segera pergi
mencari sebuah ekrak bambu. Dilambari dengan jerami kering,
maka Ki Argapati pun kemudian dibaringkannya di atas ekrak itu
dan diangkat oleh empat orang untuk segera dibawa ke
pondoknya. Ternyata obat yang sekedar untuk menolong sementara itu
pun bermanfaat. Darah yang mengalir dari luka itu pun semakin
lama menjadi semakin mampat.
Dengan tergesa-gesa Ki Argapati itu pun dibawa ke
pondoknya. Disampingnya, Pandan Wangi berjalan sambil
menjinjing pedangnya, sehingga seseorang terpaksa
memperingatkannya, "Sarungkan pedangmu, Pandan Wangi."
"Oh," pedang itu pun kemudian disarungkannya, tanpa
sempat membersihkan dahulu debu yang melekat ketika pedang
itu begitu saja diletakkan di tanah.
Ki Argapati masih belum sadarkan diri ketika perlahan-lahan
ia dibaringkan di pembaringan. Dengan wajah yang tegang
gembala tua itu menitikkan air ke bibirnya.
Ia menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat bibir yang
pucat itu bergerak-gerak.
"Pandan Wangi," berkata orang tua itu, "berilah aku air
hangat. Air yang sudah mendidih, jangan didinginkan dengan
campuran air tawar."
Pandan Wangi pun mengangguk. Kemudian dengan tergesagesa
ia pergi ke dapur. Adalah kebetulan sekali di dalam periuk
masih terdapat sisa air masak. Tetapi karena air itu sudah
dingin, maka Pandan Wangi dengan tergesa-gesa membuat api
untuk menghangatkannya. Dengan hathati gembala tua itu kemudian membersihkan
luka Ki Argapati dengan air hangat itu. Kemudian diambilnya
reramuan obat-obatan dari sebuah bumbung kecil yang selalu
dibawanya. Beberapa macam reramuan dicampurnya menjadi
satu. Kemudian dengan hathati reramuan itu ditaburkannya di
atas luka. Sejenak orang-orang di dalam ruangan itu memperhatikan
wajah Ki Gede yang putih seperti kapas. Mereka melihat wajah
itu menegang. Namun kemudian kesan itu pun lenyap pula.
Kembali wajah itu menjadi beku.
Yang menegang adalah wajah gembala tua itu. Sejenak ia
menahan nafasnya. Namun kemudian diraba-rabanya dada Ki
Argapati, di sekitar luka-lukanya. Perlahan-lahan tangannya
bergerak-gerak menyelusur otot-otot di sekitar leher, kemudian
ke tengkuk. "Aku minta yang kurang berkepentingan meninggalkan
ruangan ini," berkata gembala tua itu. "Udara menjadi terlampau
panas, sehingga pengaruhnya tidak menguntungkan bagi Ki
Argapati." Orang-orang itu pun segera meninggalkan ruangan itu. Yang
tinggal kemudian adalah Pandan Wangi.
Dengan hati berdebar-debar ia melihat, bagaimana orang tua
itu mencoba mengobati luka yang kambuh kembali itu. Setiap
kali ia melihat gembala itu mengusap keringat di keningnya.
Kemudian menekuni luka itu kembali.
Setelah air pembersih luka itu menjadi kering, maka luka itu
pun kemudian diobatinya dengan obat yang lain lagi.
Ditaburkannya obat itu dengan hathati.
Tetapi Ki Argapati masih berbaring sambil memejamkan
matanya. Agaknya ia masih belum sadar dari pingsannya.
Setelah menaburkan obat di atas luka itu, maka orang tua itu
pun kemudian meramu obat yang lain di dalam mangkuk. Obat
yang kemudian dengan hathati dan susah payah, diteteskan
masuk ke dalam mulut Ki Argapati. Setetes demi setetes.
Pandan Wangi masih tegak berdiri di tempat dengan wajah
yang semakin tegang. Dan tiba-tiba saja ia melangkah maju
ketika ia melihat ayahnya bergerak.
"Jangan mengejutkannya," desis gembala tua itu.
Pandan Wangi tertegun. Namun dahinya semakin berkerutmerut.
Sejenak kemudian kedua orang yang berada di dalam bilik itu
berpaling ketika mereka mendengar langkah memasuki ruangan
itu. Ternyata Samekta-lah yang datang dengan nafas terengahengah.
"Bagaimana Kiai?" dengan serta-merta ia bertanya.
"Mudah-mudahan," jawab orang tua itu perlahan-lahan.
Samekta pun kemudian berdiri termangu-mangu. Tetapi ia
tidak bertanya apa pun lagi. Kini ia melihat Ki Argapati telah
menjadi tidak terlampau pucat. Perlahan-lahan Ki Argapati telah
mulai bergerak-gerak. Dengan hathati pula gembala tua itu mengangkat tangan Ki
Argapati. Seandainya ia tidak luka di dadanya, maka tangan itu
harus digerak-gerakkannya supaya pernafasannya menjadi
segera lancar. Tetapi kali ini orang tua itu tidak dapat berbuat
demikian, justru dada Ki Argapati sedang terluka.
Namun titik-titik obat yang diteteskan ke dalam mulut itu
agaknya berpengaruh juga. Karena dengan demikian Ki Argapati
telah mulai menyadari keadaanya.
Ketika Ki Argapati mulai membuka matanya, Pandan Wangi
menarik nafas dalam-dalam. Hampir saja ia berlari memeluk
ayahnya, seandainya ia tidak digamit oleh gembala tua itu.
"Jangan kau kejutkan dia," desis gembala tua itu.
Pandan Wangi tertegun. Tetapi ia tidak dapat menahan
perasaannya yang bergolak, sehingga terasa sesuatu menyekat
tenggorokannya. Titik-titik air mata telah mengembun pula di
matanya yang buram. "Jangan menangis," berkata Samekta perlahan-lahan, "kita
berada di medan peperangan. Kau adalah seorang prajurit
dengan sepasang pedang di lambungmu."
Dengan susah payah Pandan Wangi menahan dirinya. Tetapi
bagaimanapun juga ia adalah seorang gadis yang sedang
menyaksikan ayahnya dalam keadaan yang gawat. Karena itu,
maka ia tidak berhasil mencegah air matanya meleleh di pipinya.
Namun demikian Pandan Wangi tidak terisak.
"Masa yang paling gawat telah lewat," desis gembala tua itu
ketika ia melihat Ki Argapati mencoba menarik nafas. Tetapi
terasa betapa, sakit dadanya, sehingga wajahnya tampak
menegang sejenak. Tetapi Ki Argapati kini telah menyadari dirinya. Perlahanlahan
sekali kepalanya bergerak-gerak. Dan perlahan-lahan
sekali ia berdesis, "Di mana aku sekarang?"
"Ki Gede berada di pondok."
Ki Gede mengerutkan alisnya, "Di mana Pandan Wangi?"
"Ayah," desis Pandan Wangi, "aku di sini."
"Kemarilah, Ngger," panggil gembala tua itu. Pandan Wangi
pun segera mendekat dan berjongkok di samping pembaringan.
Dengan susah payah Ki Argapati mencoba menggerakkan
tangannya membelai kepala puterinya. Perlahan-lahan terdengar
Ki Gede bertanya, "Bagaimana dengan pertempuran itu?"
"Pasukan Ki Tambak Wedi telah menarik diri, Ayah," jawab
Pandan Wangi. Ki Argapati mengerutkan keningnya. Dicobanya untuk
mengingat-ingat apa yang terakhir dilihatnya.
Perlahan-lahan kepalanya terangguk-angguk. Katanya, "Ya.
Mereka telah menarik diri. Apakah yang kita lakukan kemudian?"
"Membiarkan mereka meninggalkan pedukuhan ini,"
Ki Argapati masih mengangguk-angguk, dan sekali lagi ia
bergumam, "Ya. Aku memang tidak dapat membawa kalian
mengejar mereka, karena lukaku kambuh kembali."
"Mereka meninggalkan pedukuhan ini dalam keadaan yang
parah," sambung Samekta.
Ki Argapati berdesis-desis perlahan-lahan, "Ya, ya."
"Untuk sementara kita dapat menenangkan diri Ki Gede,"
berkata gembala tua itu kemudian. "Aku kira Ki Tambak Wedi
memerlukan waktu untuk menyembuhkan luka-luka
pasukannya." "Ya, ya." "Nah, sekarang tenangkan hati Ki Gede. Beristirahatlah."
Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun
kemudian seisi ruangan itu berpaling ketika mereka mendengar
langkah-langkah masuk. Sejenak kemudian Kerti, Wrahasta, Dipasanga, dan
Hanggapati telah memasuki ruangan itu.
"Kemarilah," desis Ki Argapati.
Mereka pun segera mendekat.
"Bagaimana dengan kalian?"
"Baik, Ki Gede," Wrahasta-lah yang menjawab. "Mereka telah
terusir." "Apakah pekerjaan kalian telah selesai?"
"Sudah, Ki Gede. Medan telah sepi Beberapa petugas
sedang mencoba menolong orang-orang yang terluka dari kedua
belah pihak." Namun kening Wrahasta berkerut ketika Ki Gede bertanya,


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Di mana Gupita dan Gupala?"
Wrahasta tidak segera menjawab. Dipandanginya setiap
wajah yang ada di dalam ruangan itu. Kemudian ditatapnya pula
kerut-merut di kening gembala tua itu.
"Apakah kau tidak melihatnya?" bertanya Ki Argapati
kemudian. Wrahasta menggelengkan kepalanya, "Tidak. Aku tidak
melihatnya. Tetapi kenapa Ki Gede mencari kedua gembala itu?"
"Aku akan mengucapkan terima kasih kepada mereka dan
kepada Ki Dipasanga dan Ki Hanggapati yang telah lebih dahulu
ada di sini." Dada Wrahasta menjadi berdebar-debar. Dan jawabnya, "Ki
Gede memang harus berterima kasih kepada Ki Dipasanga dan
Ki Hanggapati. Mereka berdua telah berhasil menahan Sidanti
dan Ki Argajaya. Tetapi apakah yang telah dilakukan oleh kedua
gembala itu?" "Keduanya telah bertempur," jawab Argapati.
"Tidak hanya mereka berdua yang bertempur. Setiap orang
ikut bertempur," Wrahasta berhenti sejenak. Kemudian,
"Sebaiknya dalam kesempatan yang lain Ki Gede mengucapkan
terima kasih kepada semua orang yang berdiri di pihak kita
tanpa membeda-bedakan."
Ki Argapati mengerutkan keningnya. Kemudian ia
menyeringai menahan pedih di dadanya.
"Wrahasta," berkata Ki Argapati, "kau benar. Tetapi keduanya
adalah orang lain. Bukan keluarga kita sendiri. Karena itu,
seperti kepada Ki Hanggapati dan Ki Dipasanga, aku akan
mengucapkan terima kasih yang khusus."
"Itu terlampau berlebih-lebihan Ki Gede."
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Namun ketika ia akan
berbicara lagi terdengar gembala tua itu menahannya,
"Sebaiknya Ki Gede beristirahat. Ki Gede memang dapat
menyimpan ucapan terima kasih itu untuk lain kali. Sekarang
sebaiknya Ki Gede memperhatikan keadaan Ki Gede ini lebih
dahulu." Perlahan-lahan Ki Argapati berdesah.
"Kalau mungkin, sebaiknya Ki Gede tidur meskipun hanya
sejenak. Ki Gede akan dapat beristirahat mutlak untuk sesaat."
"Ya, ya," jawab Ki Gede, "aku akan mencoba untuk tidur." Ki
Gede berhenti sejenak. Namun kemudian, "Tetapi sebaiknya
setiap orang yang turun ke medan diteliti seorang demi seorang.
Siapakah yang terluka, hilang atau gugur. Juga kedua gembalagembala
itu." Wajah Wrahasta menjadi tegang. Tetapi ia tidak segera
menjawab. "Kalau kau ketemu dengan anak-anak itu, panggillah mereka
kemari," berkata Ki Argapati seterusnya.
Bagaimanapun juga Wrahasta terpaksa menganggukkan
kepalanya, "Ya, Ki Gede."
"Sekarang aku akan mencoba beristirahat. Mudah-mudahan
aku dapat meletakkan semua persoalan, sehingga aku dapat
tidur meskipun hanya sekejap."
Orang-orang di dalam bilik itu pun kemudian minta diri, dan
mereka tinggalkan Ki Argapati terbaring ditunggui oleh puterinya,
Pandan Wangi. Namun Pandan Wangi pun tidak terlampau lama
tinggal di dalam bilik itu. Sejenak kemudian ia pun minta diri,
meninggalkan ayahnya, agar ayahnya mendapat kesempatan
untuk tidur barang sejenak.
Dari bilik ayahnya, Pandan Wangi langsung pergi ke
belakang. Sebagaimana biasanya, ia selalu membantu
mengerjakan pekerjaan dapur. Bahkan kadang-kadang
mengambil air, memasak, serta menanak nasi.
Namun langkahnya tertegun ketika ia berjalan menuju ke
pintu dapur. Dari celah-celah lubang pintu ia melihat dua orang
anak-anak muda sedang duduk di bawah pohon jambu.
Keduanya ternyata Gupita dan Gupala.
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Tanpa
sesadarnya ia melangkah ke samping dan berdiri di bibir pintu.
Karena tidak seorang pun berada di dalam ruangan yang
menghadap langsung ke pintu dapur yang tembus ke halaman
belakang itu, maka, ia merasa tidak terganggu.
Gupita dan Gupala yang tidak merasa bahwa sepasang mata
sedang memandanginya, duduk saja seenaknya. Bahkan tibatiba
Gupala meloncat berdiri. Dipandanginya sedompol jambu
yang merah seperti soga. "Hee, kau lihat itu?" desisnya.
"Ya." "Aku memerlukannya."
"Seperti anak-anak. Kau pasti akan dimarahi oleh pemilik
rumah ini." "Huh, dijaman peperangan ini tidak ada orang yang
memikirkan hak milik atas sedompol jambu."
Gupala tidak menunggu Gupita menyahut. Tiba-tiba diraihnya
sebutir batu. "Tetapi terlampau tinggi," desisnya.
Gupita masih saja duduk di tempatnya, seolah-olah acuh tidak
acuh saja atas kelakuan adik seperguruannya. Ia hanya
berpaling ketika ia mendengar gemeresak batu yang dilontarkan
oleh Gupala. "Meleset," desisnya.
"Huh," sahut Gupita, "jambu itu tidak dapat berkisar dari
tempat. Dan kau tidak dapat mengenainya. Bagaimana kalau
yang kau lempar itu dapat menghindar."
"Kalau jambu itu dapat menghindar, aku tidak akan
melemparnya sekali lagi. Tetapi aku tantang ia supaya turun."
Gupita tersenyum. Tetapi ia tidak beranjak dari tempatnya.
"Tolong, Kakang," desis Gupala, "bukankah kau juara
memanah di Sangkal Putung. Kau adalah pembidik yang paling
baik di seluruh Pajang."
"Ah, Bagaimana dengan bidikan gelang-gelang besi Ki
Tambak Wedi?" Gupala menggeleng, "Entahlah. Tetapi tolong, aku kepingin
jambu itu." Akhirnya Gupita berdiri juga. Diambilnya sebutir batu, dan
perlahan-lahan ditengadahkan wajahnya. Sementara Pandan
Wangi memandanginya dengan berdebar-debar.
Sedompol jambu yang telah semerah soga itu itu tergantung
pada sebuah cabang yang agak tinggi. Gupala sendiri telah
gagal melemparnya dengan sebutir batu. Dan kini Gupita-lah
yang akan mencobanya. Pandan Wangi terpaku di tempatnya ketika ia melihat Gupita
bergeser mencari arah, supaya batu yang dilemparkannya tidak
jatuh di sembarangan tempat.
Ketika Gupita mulai menggerakkan tangannya, Pandan
Wangi ikut menahan nafasnya. Bahkan tanpa sadarnya ia pun
telah bergeser ke tengah pintu.
Batu yang meluncur dari tangan Gupita itu seolah-olah
mempunyai mata. Dengan tepat batu itu mengenai tangkai
sedompol jambu yang merah segar itu, sehingga sesaat
kemudian telah menghambur berjatuhan.
Dengan tangkasnya Gupita dan Gupala menangkap masingmasing
dua buah di kedua tangan.
"Bukan main," tanpa dikehendakinya Pandan Wangi berdesis.
Namun ternyata suaranya itu dapat didengar oleh Gupita dan
Gupala sehingga keduanya terkejut dan berpaling.
"Maaf," berkata Gupita, "aku mengambil jambu tanpa minta
ijin lebih dahulu." Pandan Wangi menjadi tersipu-sipu karenanya. Tetapi ia tidak
dapat masuk kembali tanpa menjawab kata-kata itu.
"Tidak apa-apa. Aku mengagumi kecakapanmu membidik.
Sekali lempar kau dapat mengenai sedompol jambu itu."
"Itu belum apa-apa," tiba-tiba saja Gupala menyahut, "Kakang
Gupita dapat mengenai batu yang dilemparkan orang lain ke
udara. Nah, apakah kau tidak percaya. Marilah kita coba."
"Ah," desis Gupita, "kau mengada-ada saja Gupala."
"Jangan bertingkah. Ayo, kita bermain-main."
Gupita mengerutkan keningmya. Gupala berbuat sekehendak
sendiri dimana pun dan kapan pun, sehingga Pandan Wangi
menjadi semakin terdiam karenanya.
Karena Pandan Wangi tidak segera menyahut, maka Gupala
mendekatinya sambil mengulanginya, "Mari. Kau melemparkan
batu ke udara dan Kakang Gupita akan dapat menyentuhnya
dengan batu yang lain."
"Tidak sekarang, Gupala," berkata Gupita.
"Oh," Gupala mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba ia
menyadari keadaannya sehingga perlahan-lahan ia bergumam,
"Maaf." Namun kemudian dilanjutkannya, "Bagaimana dengan Ki
Argapati?" Pandan Wangi menarik nafas, jawabnya, "Ayah sudah
berangsur baik. Obat ayahmu benar-benar membantunya."
"Tentu," sahut Gupala, "ayahku adalah seorang dukun yang
tidak ada duanya. Ia dapat mengobati segala penyakit kecuali
satu." "Sakit apa itu?" bertanya Pandan Wangi.
"Lapar," jawab Gupala sambil tertawa.
"Hus," desis Gupita.
"O, apakah kalian belum makan pagi?"
Gupala tertawa, ketika ia mendengar Gupita berkata, "Anak
itu terlampau dikuasai oleh perutnya. Tetapi ia tidak akan mau
kelaparan." "Tetapi seandainya kalian belum makan pagi, marilah."
"Semua juga belum," jawab Gupita. "Terima kasih. Nanti kami
akan berada bersama-sama dengan pengawal yang lain."
Gupala masih saja tertawa. Bahkan di sela-sela suara
tertawanya ia berkata, "Bukan saja belum makan pagi, sejak
kemarin aku belum makan malam."
"Benar begitu?" desak Pandan Wangi.
"Jangan hiraukan. Terima kasih."
"Marilah. Aku akan menjamu kalian berdua."
"Terima kasih," jawab Gupita. "Kami bukan orang-orang yang
harus mendapat perlakukan khusus."
"Jangan berpura-pura," potong Gupala, "yang penting bagiku
sama sekali bukan makan pagi atau sore atau malam. Tetapi
aku berbangga bahwa aku akan menjadi tamu kehormatan puteri
Kepala Tanah Perdikan Menoreh."
"Ah," Gupita berdesah dan Pandan Wangi menundukkan
kepalanya. Tetapi tanpa dapat ditahannya lagi ia tersenyum.
Ia mendapat kesan tersendiri atas anak muda yang gemuk
itu. Kesan yang berbeda dengan kakaknya, Gupita. Kakaknya
nampak lebih bersunguh-sungguh menanggapi persoalan,
meskipun kadang-kadang ia mau bergurau juga. Namun apabila
gembala itu telah bermain dengan serulingnya, terasa bahwa
hidup baginya bukan sekedar sebuah permainan. Terasa bahwa
jangkauannya dan tanggapannya tentang masalah-masalah
yang dihadapinya agak lebih dalam dan bersungguh-sungguh.
Tiba-tiba saja ia mendapat kegembiraan bersama kedua
anak-anak muda itu. Selama ini ia merasa hidup di dalam
kungkungan kemuraman. Ia tidak pernah melihat wajah-wajah
yang gembira dan cerah seperti wajah anak muda yang gemuk
itu. Wajah yang kekanak-kanakan.
"Sebenarnya Ayah pun menungu kalian," berkata Pandan
Wangi tanpa disadarinya, "tetapi kalian tidak datang ke biliknya
bersama pemimpin-pemimpin pengawal yang lain."
"Kami bukan pemimpin pengawal," sahut Gupala, "kami tidak
pantas untuk berada di dalam bilik itu bersama-sama dengan
para pemimpin yang lain."
"Ah, kau," desis Pandan Wangi. "Tetapi kalian adalah tamutamu
kami. Marilah. Ayah sekarang sedang tidur. Nanti kalau
Ayah sudah bangun, kalian harus segera menghadap. Sekarang,
marilah aku jamu kalian dengan makan."
"Sekaligus makan malamku kemarin," potong Gupala.
Pandan Wangi tersenyum pula. Senyumnya menjadi semakin
cerah. Sudah agak lama ia tidak pernah tersenyum dan apalagi
tertawa, karena keadaan di sekitarnya. Dan kini ia merasakan
dorongan di dalam hatinya untuk tersenyum.
"Baik," jawabnya, "makan pagi, malam, dan siang sama
sekali." Gupala tertawa. Suara tertawanya lepas tidak tertahan-tahan
meskipun tidak terlampau keras, sedang Gupita ikut tersenyum
pula karenanya. Agaknya Gupala memang tidak dapat meninggalkan
kebiasaannya. Setiap kali ia selalu masuk ke dapur. Memungut
apa saja yang dapat dimasukkan ke dalam mulutnya. Daging
lembu, kambing, paha ayam dan bahkan apa saja. Secukil
kelapa pun boleh juga. "Marilah," ajak Pandan Wangi pula.
"Jangan menolak rejeki," katanya kepada Gupita, "sudah aku
katakan, bahwa yang penting bukan makanan yang akan kami
terima, tetapi kesempatan untuk menjadi seorang tamu."
"Ah," desah Pandan Wangi.
Gupita menarik nafas dalam-dalam, Sambil menggelenggelengkan
ke-palanya, ia tidak dapat tinggal sendiri di halaman
belakang. Karena itu ia pun melangkah masuk ke dalam dapur
bersama Gupala mengikuti Pandan Wangi.
"Duduklah. Tetapi tempat ini agak kotor."
"Akulah yang lebih kotor lagi."
"Aku buatkan minum untuk kalian, kemudian makan pagi.
Tetapi aku hanya dapat menghidangkan apa yang ada saja,
karena bibi di rumah ini agaknya belum masak. Mungkin Bibi
sedang mencuci pakaian atau keluar sebentar untuk sesuatu
keperluan." "Terima kasih. Jangan merepotkan. Kami pun masih belum
mandi. Kami akan minum saja. Nanti sesudah mandi, barulah
kami akan makan," jawab Gupita.
"Tetapi adikmu sudah sangat lapar."
"Biarlah ia membiasakan diri menahan lapar dan haus. Tetapi
ia pun harus mandi dulu. Membersihkan darah yang masih
belum pampat benar."
"Darah?" bertanya Pandan Wangi.
"Lihat, pundakku terluka meskipun tidak begitu dalam," jawab
Gupala sambil memperlihatkan noda-noda darah di bajunya
yang kotor dan sobek. "Tidakkah luka itu diobati?"
"Ayahku seorang dukun. Aku sudah dibekali dengan obatobat
yang dapat menolong luka-luka yang ringan seperti lukaku
ini." Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil
menyiapkan minuman kedua anak-anak muda itu ia berkata,
"Sudah agak dingin. Tetapi cukuplah untuk menghangatkan
perut."

02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Terima kasih."
Pandan Wangi pun kemudian meletakkan mangkuk-mangkuk
minuman itu di amben bambu. Air sere dengan gula kelapa.
Bahkan disertai beberapa potong makanan.
"Terima kasih, terima kasih," Gupala mengangguk-anggukkan
kepalanya. "Aku ambilkan kalian makan kalau masih ada, meskipun sisa
makan kemarin sore."
"Kami akan mandi dahulu," jawab Gupita, "biarlah kami
makan bersama para pengawal yang lain. Minum dan makanan
ini sudah lebih dari cukup."
"Ya, jangan terlampau sibuk. Duduklah. Itulah yang penting,"
sahut Gupala. "Ah," sekali lagi Pandan Wangi berdesah. Wajahnya menjadi
ke merah-merahan seperti jambu yang menjelang tua.
Betapa inginnya Pandan Wangi duduk bersama mereka,
berbicara dan bergurau, namun ia tidak dapat melakukannya.
Sebagai seorang gadis, ia masih selalu dibayangi oleh perasaan
malu. Karena itu, ditemuinya keduanya sambil mengerjakan
pekerjaan apa saja. Membuat api, merebus air dan pekerjaanpekerjaan
dapur yang lain. "Duduklah," berkata Gupala, sehingga Gupita terpaksa
menggamitnya. "Kenapa?" Gupala malah bertanya. "Bukankah tidak apa-apa
aku mempersilahkannya duduk?"
"Sst," desis Gupita.
"Kenapa?" Gupita menggeleng-gelengkan kepalanya, sedang wajah
Pandan Wangi menjadi semakin merah, sehingga tangannya
menjadi gemetar. Namun dalam pada itu, terkilas di dalam kenangannya, masamasa
kecilnya. Terasa sepercik kesegaran menyusup ke dalam
dadanya. Seperti pada masa kanak-kanak, kakaknya Sidanti,
setiap kali berada di rumah, selalu membawanya bermain-main.
Tertawa, bergurau, dan bahkan berkejar-kejaran.
"Betapa segarnya masa kanak-kanak itu," katanya di dalam
hati. Namun justru karena kenangan itu, maka wajahnya pun
menjadi suram. Apalagi kini ia dihadapkan pada suatu
kenyataan, bahwa kakaknya, Sidanti telah memusuhi ayahnya,
dan bahkan telah membakar seluruh Tanah Perdikan ini menjadi
abu. Tetapi Pandan Wangi berusaha menyembunyikan
perasaannya terhadap kedua anak-anak muda itu. Ia tidak mau
menyeret mereka ke dalam kemuramannya. Keduanya adalah
anak-anak muda yang gembira, apalagi yang gemuk itu, seakanakan
sama sekali tidak pernah mengalami kesulitan di dalam
hidupnya, seperti di masa kanak-kanak.
Untuk mengurangi ketegangan di hatinya, Pandan Wangi
yang sedang membersihkan paga bambu itu berkata, "Nanti
kalau Ayah bangun, kalian harus segera menghadap. Ayah
memerlukan kalian." Gupala menarik nafas, "Kau aneh. Kau belum
mempersilahkan aku makan makananmu, kau sudah akan
mengusir aku." Mau tidak mau Pandan Wangi harus tersenyum. Tetapi ia
senang bahwa ia dapat tersenyum, bukan sekedar senyum yang
dibuat-buat. "Maaf. Aku lupa mempersilahkan. Minumlah dan
makanlah. Di dalam geledeg itu masih ada persediaan makanan.
Kalau makanan itu habis, nanti biarlah aku tambah lagi."
Gupala tertawa mendengarnya. "Terima kasih."
"Terlalu kau," gumam Gupita.
Tetapi Gupala tidak mempedulikannya. Ia mengambil tidak
hanya sepotong makanan, tetapi dua sekaligus. Dengan
sepenuh gairah, disuapkannya makanan itu ke dalam mulutnya.
Sikap itu justru terasa menyenangkan sekali. Kalau Gupala itu
mempunyai pintu di dadanya, seakan-akan pintu terbuka,
sehingga apa yang tersimpan di dalam dadanya, dapat dilihat
tanpa selubung apa pun. "Silahkan," tanpa sesadarnya ia berkata, sehingga Gupala
berpaling karenanya. Sambil tersenyum ia menyahut "Ketahuan
juga agaknya." Pandan Wangi pun tertawa. Tetapi suara tertawanya segera
terputus, ketika ia melihat seseorang yang bertubuh raksasa
berdiri di muka pintu. Sejenak Pandan Wangi seakan-akan membeku di tempatnya.
Sorot mata Wrahasta membayangkan hatinya yang kurang
senang melihat keadaan di dalam dapur itu. Sekalsekali
Wrahasta memandangi kedua anak-anak muda itu bergantiganti,
kemudian memandangi Pandan Wangi dengan tajamnya.
Gupita yang melihat kehadirannya pun menjadi berdebardebar.
Anak yang bertubuh raksasa itu tidak begitu senang
kepadanya. Karena itu untuk tidak menimbulkan hal-hal yang
tidak dikehendaki, maka ia selalu menghindari benturan
pandangan. Tetapi Gupala mempunyai tanggapan lain. Ia belum begitu
mengenal Wrahasta, meskipun ia sudah mendengar serba
sedikit tentang raksasa itu, namun Gupala sama sekali tidak
mempedulikannya. Karena itu maka tanpa mengacuhkan gelagat
di wajah Wrahasta, Gupala berkata, "Ha, kau datang juga.
Kemarilah. Makanan sudah tersedia."
Wrahasta mengerutkan keningnya. Wajahnya tiba-tiba
menegang. Ia sama sekali tidak senang melihat sikap dan
tingkah laku Gupala, namun dengan demikian justru ia terdiam
sesaat. "Kemarilah, jangan malu-malu. Tidak ada orang lain. Adalah
kebetulan bahwa di geledeg ada sisa makanan," berkata Gupala
selanjutnya. "Gupala," bisik Gupita, "jagalah dirimu sedikit."
Gupala mengerutkan keningnya. Hampir saja ia menjawab
peringatan Gupita kalau Gupita tidak mendahuluinya, "Jangan
berteriak. Orang ini mempunyai beberapa kelainan."
Gupala mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini ia mulai
memperhatikan wajah itu. Wajah raksasa yang kaku.
"Agaknya ia tidak pernah tertawa."
"Sst." Wrahasta kemudian melangkah masuk ke dalam dapur.
Dipandanginya Pandan Wangi dengan tajamnya. Sejenak
kemudian terdengar suaranya, "Apa kerja anak-anak ini di sini?"
Pandan Wangi masih selalu mencoba menahan dirinya.
Karena itu maka jawabnya, "Mereka belum makan sejak
kemarin. Aku kasihan kepada mereka, dan aku memberikan
makanan untuk sekedar mengisi perut."
"Hampir semua orang belum makan sejak kemarin malam.
Baru sebagian kecil saja dari mereka yang sempat makan lebih
dahulu. Pagi ini mereka masih juga belum makan. Aku baru
melihat nasi diantar ke gardu-gardu dan ke tempat-tempat
peristirahatan para pengawal. Dan di sini orang-orang asing ini
mendapat perlakuan khusus yang berlebih-lebihan. Itu tidak adil.
Biar saja mereka pergi ke tempat para pengawal untuk
menerima makan mereka. Kenapa harus di sini?"
Dada Pandan Wangi menjadi berdebar-debar. Ia menyadari
betapa penting kedudukan Wrahasta di kalangan para pengawal.
Tetapi kata-kata itu sangat menyakitkan hatinya. Ia sudah
terlanjur menerima keduanya sebagai tamunya. Tiba-tiba
Wrahasta datang memakmaki.
"Nah, biarkan mereka keluar," sambung naksasa itu.
"Wrahasta," berkata Pandan Wangi, "aku sengaja membawa
mereka kemari, supaya aku tidak kehilangan mereka lagi.
Bukankah kau mendengar juga, bahwa Ayah memanggil
keduanya untuk menghadap?"
"Itu hanya sekedar sopan santun. Dan aku pun akan
membawa mereka menghadap. Tetapi tidak di dapur seperti ini.
Kalau Ki Gede sudah bangun, biarlah keduanya datang ke
dalam biliknya." "Kalau aku ikat mereka di sini, mereka tidak akan pergi lagi,
dan kita tidak usah mencarinya."
"Nah, itulah kepandaian puteri Kepala Tanah Perdikan ini,"
sahut Gupala. "Kalau kepada kami berdua ini disediakan
makanan, minuman, apalagi ingkung ayam, maka sehari penuh
kami tidak akan beranjak dari amben ini."
Gupita menyarik nafas dalam-dalam, sedang Pandan Wangi
menggigit bibirnya, sementara Gupala berkata terus, "Marilah Ki
Sanak. Minuman hangat dan makanan yang agak wayu sedikit,
justru membuat tubuh menjadi segar-bugar, meskipun belum
mandi." Wajah Wrahasta justru menjadi semakin tegang. Dengan
suara yang datar ia berkata, "Tetapi tidak sepantasnya kalian
mendapat perlakuan yang khusus. Para pengawal Tanah ini pun
tidak mendapat perlakuan seperti kalian, bahkan para
pemimpinnya, Paman Samekta, Paman Kerti, dan aku sendiri."
"Itulah bedanya," jawab Gupala, "aku adalah seorang tamu di
Tanah ini. Tamu memang harus mendapat perlakuan yang lain."
"Hanya tamu yang tidak sopanlah yang tidak menurut
ketentuan dari tuan rumahnya. Ayo, jangan banyak bicara. Aku
adalah tuan rumah di atas Tanah Perdikan ini."
"Wrahasta," potong Pandan Wangi, "tidak seorang pun yang
akan menyangkal. Tetapi siapakah aku ini" Siapakah Ki
Argapati" Apakah mereka bukan tuan rumah" Aku telah
mempersilahkan tamu-tamuku masuk sekedar ke dalam dapur.
Aku minta kau mengerti. Bukankah karena Ayah dari keduanya
itu, luka-luka Ayah tidak merenggut nyawanya?"
Sesaat Wrahasta terdiam. Ia memang tidak dapat
menyangkal, bahwa demikianlah yang telah terjadi. Tetapi ia pun
tidak dapat mengelak lagi dari api kecemburuannya yang
semakin berkobar di dadanya. Perasaan yang demikian bagi
anak-anak muda dapat menjadikan pendorong untuk berbuat
sesuatu, namun dapat juga menjadi racun yang berbahaya.
Dan Wrahasta justru menjadi semakin bermata gelap.
Dengan suara yang gemetar ia berkata, "Pandan Wangi.
Persilahkan tamumu meninggalkan ruangan ini. Biarlah berada
di ruang sebagai tamu yang terhormat, yang telah
menyelamatkan nyawa Ki Gede. Biarlah Paman Samekta,
Paman Kerti dan para pemimpin yang lain menemuinya. Bukan
kau. Kau adalah seorang gadis. Apakah kau telah berlaku
sepantasnya bagi seorang gadis?"
Dada Pandan Wangi berdesir mendengar kata-kata
Wrahasta. Agaknya Wrahasta sudah tidak dapat menahan hati
lagi, sehingga Pandan Wangi itu menjadi semakin meyakini latar
belakang dari sikap anak muda yang bertubuh raksasa itu.
Namun justru dengan demikian, runtuhlah perasaan iba di
hati gadis itu. Kemarahan yang telah merayapi jantungnya, tibatiba
menjadi lilih. Pandan Wangi mengenal kemampuan Gupita
dan menurut penilaiannya, tentu juga Gupala tidak akan jauh
berbeda daripadanya. Karena itu, maka perselisihan di antara mereka harus
dihindari. Menilik sifat kedua anak-anak muda itu, maka Gupala
mempunyai cara yang lain dalam menanggapi raksasa itu. Kalau
Gupita masih selalu berusaha menahan dirinya, namun agaknya
Gupala akan berbuat lain. Karena itu maka Pandan Wangi harus
menjaga, agar di antara mereka tidak timbul salah paham.
Apabila demikian, maka Gupala pasti akan bertindak dengan
sungguh-sungguh. Sudah barang tentu bahwa Wrahasta pasti
tidak akan dapat melawannya. Dan kekalahan Wrahasta akan
berakibat kurang baik bagi tanah perdikan ini.
Karena pertimbangan-pertimbangan itulah maka Pandan
Wangi kemudan mengambil suatu sikap yang kurang
dimengerti oleh Gupala, tetapi sama sekali tidak mengherankan
Gupita. "Baiklah," berkata Pandan Wangi kemudian, "aku memang
ingin mempersilahkan kalian duduk di ruang depan bersama
ayah kalian, Paman Samekta, Paman Kerti dan yang lain-lain.
Tentu saja setelah kalian makan makanan itu."
Gupala tercenung sejenak. Dipandanginya wajah Pandan
Wangi dan Wrahasta bergantganti.
"Oh," Pandan Wangi berkata pula, "atau barangkali kalian
akan mandi dahulu?" Namun Gupala menggelengkan kepalanya. "Tidak. Aku tidak
perlu mandi. Aku dapat makan tanpa mandi sepuluh hari sepuluh
malam. Apalagi di peperangan."
Dada Pandan Wangi berdesir. Ia merasa bahwa tamunya
yang gemuk itu merasa tersinggung. Itulah yang dicemaskannya.
Tetapi kalau anak itu tetap berada di dapur, maka perselisihan
yang lebih tajam mungkin akan terjadi. Justru dengan Wrahasta.
"Maaf," jawab Pandan Wangi kemudian, "di ruang depan telah
tersedia makan dan minum. Sama sekali makan malam kemarin
dan mungkin masih ada yang lain lagi."
Gupala menarik nafas dalam-dalam. Tetapi tanpa disangkasangka
ia menjawab, "Yang penting bukan makanannya. Aku
berbangga bahwa aku suatu ketika menjadi tamu puteri Kepala
Tanah Perdikan Menoreh."
Dada Pandan Wangi berdesir. Ternyata anak muda yang
gemuk itu sama sekali tidak mengacuhkan celerat di wajah
Wrahasta. Dan ketika Pandan Wangi menyambar sorot mata
raksasa itu, hatinya menjadi kian berdebar-debar.
Namun tiba-tiba Gupita turun dari amben sambil berkata,
"Terima kasih. Itulah yang kami harapkan. Di sini kami telah
menerima makanan dan minuman, di ruang depan kami akan
menerimanya untuk yang kedua kalinya. Baiklah kami akan pergi
ke ruang depan supaya kami tidak kehabisan."
Gupala mengerutkan keningnya. Tetapi sebelum ia berkata
sesuatu, sekali lagi Gupita mendahului, "Kalau kau mau,
makanan itu dapat kita bawa. Bukankah begitu?"
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya, meskipun
terasa menjadi kaku. "Apakah kalian memerlukannya?"
Namun Gupita menggeleng, "Terima kasih. Kami memang
ingin mandi lebih dahulu." Lalu kepada Gupala ia berkata,
"Marilah." Sekali lagi Gupala menarik nafas dalam-dalam. Tetapi
dengan malasnya ia pun berdri dan berkata, "Aku sebenarnya
lebih senang duduk di sini. Kalau bukan yang mempersilahkan
aku masuk itulah yang mempersilahkan aku keluar, aku akan
tetap tinggal di dalam dapur."
"Bukan maksudku mempersilahkan kau keluar," sahut Pandan
Wangi, "namun memang sepantasnya seorang tamu berada di
ruang depan. Aku justru minta maaf bahwa aku telah
mempersilahkan kalian duduk di dapur."
"Kau tidak perlu memakai terlampau banyak alasan Pandan
Wangi," sahut Wrahasta tiba-tiba. "Sebaiknya kau memang
berterus terang mengusir mereka. Apakah salahnya" Kau
adalah puteri Ki Gede Menoreh. Jangankan menyuruh mereka


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keluar dari dapur ini. Bahkan kau dapat mengusirnya dari tlatah
Menoreh." Sebersit warna merah membayang di wajah Gupala. Berbeda
dengan Gupita, maka tiba-tiba ia bertolak pinggang.
Pandan Wangi menjadi bingung. Maksudnya adalah untuk
mencegah perselisihan. Namun justru mereka seakan-akan
mendapat jalan untuk berbantah.
"Sudahlah," Pandan Wangi hampir berteriak, "kalian bukan
anak-anak lagi. Di ruang dalam ayah sedang terbaring karena
lukanya dan berusaha untuk beristirahat. Di sini kalian
bertengkar tanpa ujung dan pangkal."
Gupala masih akan menjawab karena ia melihat Wrahasta
memandanginya dengan sorot mata kebencian. Tetapi ia tidak
dapat membantah lagi ketika tangannya ditarik oleh Gupita.
"Kau mempunyai kebiasaan yang kurang baik, Gupala," desis
Gupita. "Kalau kau sedang lapar, maka nalarmu menjadi
Pembalasan Rikma Rembyak 2 Pendekar Naga Putih 74 Misteri Di Bukit Ular Emas Nurseta Satria Karang Tirta 7

Cari Blog Ini