Ceritasilat Novel Online

Api Di Bukit Menoreh 29

02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja Bagian 29


berkata, "Kami sudah mulai menyusun barisan kami. Pada
saatnya kami akan menghadap dan memberitahukan bahwa
kami akan segera berangkat."
"Baik, Paman. Aku akan menyampaikannya kepada ayah."
Maka Pandan Wangi pun kemudian meninggalkan pertemuan
itu bersama gembala tua, yang sedang merawat Ki Argapati.
Dengan cermat gembala tua itu kemudian memeriksa lukaluka
di dada Argapati kemudian membubuhinya obat yang baru
sebelum mereka berangkat ke medan perang. Sementara
Pandan Wangi menceriterakan tentang para pengawal yang
dengan setia akan ikut di dalam barisan merebut kembali
kekuasaan atas padukuhan induk sebagai lambang kekuasaan
atas Tanah Perdikan Menoreh.
Setelah selesai dengan perawatannya atas luka Ki Argapati,
maka gembala tua itu pun minta diri, untuk menemui kedua
anak-anaknya yang harus diberitahu pula, apakah tugas mereka
di dalam peperangan yang akan datang.
"Mudah-mudahan mereka berhasil, Kiai," berkata Ki Argapati.
"Anak-anakmu masih sangat muda. Yang gemuk itu agaknya
lebih bebas menggerakkan senjatanya daripada kakaknya."
Gembala tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ki
Argapati pasti sudah mendengar laporan tentang kedua gembala
itu. Memang Gupala lebih memberi kesempatan perasaan
berbicara. Juga di medan perang, sehingga ia pasti menelan
korban jauh lebih banyak dari Gupita. Orang yang tidak
menyaksikan cara mereka bertempur akan menganggap bahwa
Gupala mempunyai beberapa kelebihan dari Gupita. Kelebihan
itu adalah, Gupala hampir tidak pernah ragu-ragu membelah
dada lawan. Tetapi Gupita mempunyai pembawaan yang lain. Ragu-ragu
dan bimbang. Bahkan kadang-kadang ia membayangkan hal-hal
yang dapat me-ngurungkan niatnya untuk membinasakan
lawannya. "Di medan yang hiruk-pikuk, keragu-raguannya itu dapat
membahayakan jiwanya," berkata orang tua itu di dalam hati,
"tetapi bukan seharusnya ia membunuh lawannya seperti
menebas batang-batang ilalang."
Gembala tua itu menemukan Gupala dan Gupita duduk di
atas setumpuk jerami di dekat gardu bersama beberapa orang
anak-anak muda. Agaknya mereka pun sedang menunggu
penjelasan untuk diri mereka masing-masing.
"Itu ayah datang," desis Gupita. "Aku harus menemuinya.
Mungkin aku harus mengikutinya."
"Ya, mungkin kau harus mengikuti ayahmu mengambil seekor
atau dua ekor kambing. Setelah kita merebut kembali padukuhan
induk itu, kita akan bersembunyi," berkata salah seorang dari
mereka. "Kenapa?" "Daging panggang."
"Uh," Gupala bersungut-sungut, "kau sangka di padukuhan
induk itu kekurangan kambing, bahkan sapi atau kerbau" Aku
justru akan mengambil lima atau sepuluh ekor kambing. Aku
akan menjadi seorang gembala yang kaya."
"Aku tangkap kau. Bukankah aku pengawal tanah perdikan
ini." "Tetapi kau tidak akan dapat melihat."
Anak muda itu tidak sempat menjawab, karena Gupala
segera menutup kedua telinganya sambil berlarlari
mendapatkan gurunya. Gupita yang tersenyum melihatnya
masih mendengar anak-anak muda itu tertawa dan salah
seorang berteriak, "Pengecut. Jangan lari."
Meskipun Gupala mendengarnya, tetapi ia tidak berpaling.
Tangannya masih menyumbat kedua telinganya meskipun tidak
terlampau rapat. "Apa saja yang kalian bicarakan?" bertanya gembala tua itu
sambil mengerutkan keningnya.
Gupala menggeleng, "Tidak apa-apa. Sekedar berkelakar."
Gurunya mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara, itu
Gupita pun telah berdiri di samping anak muda yang gemuk itu.
"Sebentar lagi kita akan berangkat," desis gurunya.
"Ya, aku sudah mendengar," sahut Gupita. "Anak-anak muda
itu telah mendapat penjelasan dari para pemimpin kelompok
masing-masing. Kini mereka telah bersiap. Sebentar lagi mereka
harus berkumpul di kelompok masing-masing."
"Ya, begitulah. Kalian pun harus segera menyiapkan diri pula.
Tidak ada waktu lagi untuk bermalas-malas."
Kedua anak-anak muda itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. "Kita tidak akan berada di dalam barisan. Kita mendapat
keleluasaan untuk menemukan lawan-lawan kita. Seperti juga Ki
Hanggapati dan Ki Dipasanga."
Kedua anak-anak muda itu mengangguk-angguk.
"Kau berdua harus mencari Ki Peda Sura," berkata gembala
tua itu kemudian, "sedang Ki Hanggapati dan Ki Dipasanga
harus berhadapan sekali lagi dengan Sidanti dan Argajaya.
Karena keduanya mempunyai kemampuan yang hampir
seimbang, maka keduanya dapat bertukar tempat, siapa saja
yang dapat mereka temui."
Gupita dan Gupala menundukkan kepalanya. Terbayang di
wajah mereka kekecewaan bahwa mereka tidak mendapat
kesempatan untuk bertemu dengan Sidanti atau Argajaya.
"Kau tidak dapat memilih," berkata orang tua itu, "kau tinggal
menerima perintah. Di sini kekuasaan tertinggi berada di tangan
Ki Argapati. Dari siapa pun pendapat itu, namun apabila Ki
Argapati telah mengiakan, maka keputusan itu sudah menjadi
keputusannya." Gupita menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia menjawab,
"Baiklah. Aku akan melakukannya." Gupita berhenti sejenak,
kemudian, "Lalu bagaimana dengan Guru?"
"Aku harus menghadapi Ki Tambak Wedi," jawab gurunya.
"Sebenarnyalah aku memang berkepentingan. Selama Ki
Tambak Wedi itu masih berkesempatan untuk mengganggu, ia
akan tetap mengganggu kalian. Seandainya Sidanti sudah tidak
ada lagi, ia pasti akan mencari orang lain yang dapat
diprgunakannya untuk memuaskan hatinya. Kini tanpa kita dugaduga
sebelumnya, kita mendapatkan sepasukan pengawal yang
dapat membantu kita, yang menurut sudut pandangan Ki
Argapati beruntunglah ia mendapat bantuan kita. Dengan
demikian, kita sudah saling membantu."
Gupala mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Namun ia
berdesah, "Tetapi kami semua sama sekali tidak mempunyai
kepentingan apa pun dengan Ki Peda Sura."
"Kepentingan itu akan saling berkait. Apabila kita sudah
berada dalam satu kesatuan, kita harus memandang seutuhnya.
Jangan sepotong-sepotong seperti itu."
Gupala menarik nafas dalam-dalam. Sekilas dipandanginya
wajah kakak seperguruannya. Namun Gupita masih saja
mengangguk-angguk kecil. "Nah, bersiaplah. Kita tidak akan selalu bersama-sama di
peperangan. Tetapi ingat, kalian harus berhathati melawan Ki
Peda Sura. Orang itu tidak kalah licik dari orang-orang mereka
yang lain. Mungkin kau berdua harus menghadapinya bersamasama
sekelompok anak buahnya. Apabila demikian, kau harus
masuk ke dalam garis pertahanan pasukan Menoreh, supaya
kau mendapat perlindungan dari orang-orang yang tidak dapat
kau lawan satu demi satu. Mereka pasti akan dihadang oleh para
pengawal, sedang kau dapat menempatkan dirimu kembali
melawan Ki Peda Sura."
Gupita yang masih mengangguk-anggukkan kepalanya
bertanya, "Apakah kami masih harus bersenjata pedang?"
Gurunya menggeleng. "Tidak. Kita sudah menyatakan diri kita
di dalam peperangan ini. Meskipun bagi kalian jenis senjata apa
pun tidak akan terlampau berpengaruh, namun yang mana yang
dapat memberi kemantapan kepada kalian, pergunakanlah."
Gupala mengangkat alisnya, "Aku akan mempergunakan
keduanya." Gupita mengerutkan keningnya. Sekilas dipandanginya wajah
adik seperguruannya itu, kemudaan ditatapnya wajah gurunya
yang tersenyum. Orang tua itu berkata, "Tidak selalu senjata
rangkap itu menguntungkan. Pandan Wangi memang memiliki
kemampuan khusus mempergunakan sepasang pedangnya. Ki
Peda Sura pun mempergunakan sepasang bindi, meskipun
kadang-kadang ia mempergunakan jenis-jenis senjata yang lain."
"Aku akan memegang cambuk di tangan kanan dan pedang
di tangan kiri," berkata Gupala.
"Asal salah satu di antaranya justru tidak akan mengganggu."
Gupala menggeleng, "Aku sudah berlatih mempergunakan
keduanya." Gurunya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia percaya
bahwa Gupala selalu mencoba-coba mempergunakan apa saja.
"Terserahlah kepadamu. Tetapi kalian harus tetap berhathati
melawan orang itu. Ia dapat berbuat apa saja."
Kedua muridnya mengangguk-anggukkan kepalanya, "Kami
akan selalu mengingat-ingat hal itu," desis Gupita kemudian,
lalu, "tetapi di mana kami harus berada di dalam lingkungan
seluruh pasukan." "Kau berada di induk pasukan bersama aku. Tetapi di
peperangan, kau harus mencari lawanmu," jawab gurunya.
"Ingat, Ki Peda Sura tidak segan-segan melarikan diri dan
bersembunyi di dalam hiruk-pikuk peperangan. Memang sulit
untuk mencari seseorang yang dengan sengaja bersembunyi di
dalam keributan yang demikian."
Kedua muridnya mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Kalau kalian berhasil menguasainya, usahakan jangan
sampai orang itu berhasil melarikan dirinya."
"Baik, Guru," jawab kedua anak-anak muda itu hampir
bersamaan. "Ki Peda Sura akan menjadi hantu yang mengerikan bagi
tanah ini apabila ia berhasil melepaskan dirinya. Apalagi apabila
Ki Argapati masih belum sembuh benar dan belum dapat
langsung memimpin pemerintahan di Tanah Perdikan ini."
Kedua anak-anak muda itu mengangguk-anggukkan kepala
mereka. "Nah, sekarang bersiaplah sambil menunggu perintah lebih
lanjut." "Baik, Guru," jawab mereka bersamaan.
Keduanya pun kemudian kembali ketempat mereka semula.
Sambil bersungut-sungut Gupala berkata, "Nah, kalian dengar.
Ayahku marah-marah ketika ia mendengar teriakan kalian.
Disangkanya aku benar-benar sudah menjadi pengecut dan lari."
Kawan-kawannya tertawa. Salah seorang dari mereka
berkata, "Tampangmu memang tampang seorang pengecut."
Gupala memberengut, namun kemudian ia tertawa.
Sejenak kemudian maka beberapa orang petugas telah
membagikan makan bagi setiap orang yang akan ikut pergi ke
medan perang. Bagaimanapun juga, mereka harus membekali
diri masing-masing dengan kemungkinan yang sejauh-jauhnya.
"He," berkata salah seorang yang bertubuh kurus, "nikmatilah
makan ini sebaik-baiknya. Siapa tahu, bahwa nasi yang kita
makan ini adalah butiran-butiran nasi yang terakhir kita kenyam."
"Hus," desis kawannya, "mimpi apakah kau tadi malam?"
"Tidak. Aku tidak bermimpi," jawabnya.
Demikianlah maka para pengawal itu pun kemudian sibuk
dengan makan masing-masing. Gupala dan Gupita pun makan
pula bersama dengan mereka.
Beberapa saat setelah mereka makan, maka terdengarlah
kemudian aba-aba dari beberapa orang pemimpin kelompok.
Mereka sengaja tidak mempergunakan tanda-tanda yang biasa
diperdengarkan untuk kepentingan serupa, supaya tanda-tanda
itu tidak ditangkap oleh orang-orang yang tidak berkepentingan,
apalagi petugas-petugas sandi lawan."
Aba-aba itu pun segera merambat dan setiap orang
menyebar ke seluruh padukuhan. Meskipun tanpa tanda apa pun
juga, namun tidak seorang pun yang kelampauan.
Demikianlah maka Menoreh telah menyiapkan barisannya.
Sementara matahari menjadi semakin dalam bersembunyi di
balik bukit. Para pemimpin Menoreh pun kemudian sibuk menyiapkan
pasukan mereka. Pasukan yang telah dibekali oleh pengertian
yang mantap, untuk apa mereka pergi berperang.
(***) Buku 45 DENGAN darah yang bergelora mereka telah bertekad untuk
merebut padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Mereka
harus merebut kembali pusat pemerintahan yang selama ini
telah diduduki oleh Ki Tambak Wedi. Bagaimanapun juga,
agaknya tempat itu berpengaruh pula bagi rakyat Menoreh yang
berada agak jauh dari padukuhan induk itu.
Ki Argapati ternyata benar-benar ingin ikut pula di dalam
barisan, meskipun ia harus berada di atas punggung kuda. Pada
saat terakhir ia menolak untuk duduk di atas sebuah tandu.
"Aku sudah menjadi semakin baik," katanya. "Adalah lebih
baik bagiku berada di atas punggung kuda daripada di atas
tandu seperti seorang perempuan."
"Tetapi bagi luka Ayah, aku kira lebih baik Ayah berada di
dalam tandu," berkata Pandan Wangi.
Ki Argapati menggeleng, "Aku akan duduk di atas punggung
kuda. Tetapi aku minta satu dua orang memegang kendali
kudaku, supaya aku tidak bernafsu untuk memacunya."
Gembala tua yang mengobati luka-lukanya pun tidak dapat
merubah pendiriannya, sehingga karena itu, maka ia berpesan,
"Tetapi hathatilah, Ki Gede. Luka itu pernah kambuh dan
bahkan agak parah. Jangan sampai luka itu kambuh kembali. Ki
Gede harus selalu ingat akan hal itu."
"Ya, ya. Aku akan selalu ingat."
Demikanlah ketika gelap malam mulai meraba Tanah
Perdikan Menoreh, maka mulailah ujung dari pasukan Menoreh
keluar dari regol induk, didahului oleh beberapa orang petugas
sandi yang harus mengamat-amati jalan.
Maka merayaplah sebuah pasukan seperti seekor ular
raksasa yang keluar dari lubang persembunyiannya, menjalar di
sepanjang jalan menuju ke padukuhan induk.
Setiap hati dari setiap orang yang berada di dalam pasukan
itu telah bertekad untuk memilih satu di antara dua. Merebut
kembali padukuhan induk itu atau mati di peperangan. Bagi
mereka sudah tidak akan ada pilihan lain. Kalau mereka gagal
merebut padukuhan induk, maka kekalahan itu akan
mencerminkan kehancuran yang bakal mereka alami di saatsaat
mendatang. Seandainya mereka terpaksa mundur dan


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bertahan di belakang pring ori itu pula, maka pada saatnya Ki
Tambak Wedi pun akan menjadikan padukuhan itu perapian
raksasa yang akan membakar mereka.
Karena itu, maka pertempuran kali ini adalah pertempuran
yang menentukan. Kekalahan yang terjadi pasti akan semakin
menghapus kepercayaan rakyat Menoreh terhadap kemampuan
para pengawalnya. Dengan demikian maka harhari yang
mendatang sama sekali tidak akan berarti apa-apa lagi.
Namun demikian, masih juga ada di antara mereka yang
sempat berkelakar meskipun sambil berbisik. Tetapi ada juga di
antara mereka yang memandang setiap bayangan di sekitarnya
dengan wajah yang tegang.
"Paman," berkata Wrahasta kepada Kerti, "supaya pasukan
ini tidak segera diketahui lawan, maka sebaiknya beberapa
orang harus mendahului di samping petugas-petugas sandi.
Mereka harus membungkam setiap gardu perondan di
sepanjang jalan menuju ke padukuhan induk itu."
"Ya, pasukan itu memang sudah tersedia. Samekta juga telah
memerintahkan beberapa orang mempersiapkan diri."
"Kapan mereka akan kita lepaskan?"
"Kalau kita telah melampaui bulak di depan kita itu."
"Aku sendiri akan memimpin mereka."
"Kenapa kau?" "Pekerjaan ini adalah pekerjaan yang berat. Aku kurang
percaya kepada anak-anak itu. Kalau tugas ini gagal, maka
pasukan lawan akan mendapat kesempatan untuk
mempersiapkan diri mereka. Dengan demikian maka korban
akan menjadi semakin banyak berjatuhan."
"Sebaiknya bukan kau, Wrahasta."
"Perang kali ini harus menentukan. Kita pun harus berbuat
dengan sesungguh hati. Apakah artinya segala usaha yang
pernah kita lakukan kalau pada saat terakhir kita akan gagal?"
Kerti mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia menyadari
pentingnya tugas itu. Tetapi kenapa Wrahasta sendiri yang harus
pergi mendahului" "Bagaimana, Paman?" desak Wrahasta.
"Kau sudah cukup banyak berbuat."
"Belum, Paman. Aku harus menunjukkan bahwa kehadiranku
di atas Tanah ini ada gunanya. Bukan sekedar hanya
memperbanyak jumlah jiwa saja."
"Tugas kita masih banyak."
"Aku sangsi, apakah aku akan dapat ikut seterusnya."
"He?" Kerti terbelalak. "Jangan berkata begitu."
Tetapi Wrahasta justru tersenyum. Katanya, "Ah, sebaiknya
kita tidak berbicara tentang hal-hal yang kita ketahui. Yang pasti,
para peronda itu jangan mendapat kesempatan memberikan
tanda apa pun juga. Aku akan membawa kelompok yang sudah
tersusun itu." Kerti menggelengkan kepalanya. Tetapi ia berkata,
"Berkatalah kepada Samekta. Samekta yang dapat mengambil
keputusan." "Ya," sahut Wrahasta sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya. "Aku akan menemuinya. Aku ingin menunjukkan
sesuatu kepada Tanah ini. Aku adalah putera Tanah Perdikan
Menoreh." Wrahasta pun kemudian meninggalkan Kerti. Beberapa
langkah ia mendahului sekelompok pengawal, kemudian
ditemuinya Samekta sedang berjalan bersama gembala tua itu.
"Aku akan mendahului pasukan," berkata Wrahasta.
"He?" Samekta mengerutkan keningnya.
"Aku akan memimpin langsung kelompok yang sudah
tersusun untuk membungkam setiap gardu perondan yang akan
kita lalui." "Ah," desah Samekta, "bukan kau. Kau masih nnempunyai
tugas-tugas lain yang lebih penting."
"Aku tahu, tetapi sebelum sampai saatnya pasukan ini
menebar dalam gelar, aku akan sudah berada kembali di
tempatku." "Tetapi itu terlampau berbahaya bagimu."
"Aku tidak mau gagal. Aku minta ijin."
Samekta mengerutkan keningnya. Agaknya Wrahasta
berkeras untuk melakukan tugas itu. Sehingga karena itu,
Samekta tidak dapat mencegahnya lagi.
"Tetapi kau harus berhathati."
"Tentu, tetapi apabila maut memang sudah merabaku, apa
boleh buat." "Hus," desis Samekta. "Jangan mengigau."
Wrahasta tertawa. Adalah sesuatu yang jarang dilakukannya.
Tetapi kali ini memang benar-benar tertawa.
"Aku akan pergi. Berapa orang yang sudah siap di dalam
kelompok itu?" "Sepuluh," jawab Samekta.
"Bagus, berapa orang petugas sandi jang menyertai kami?"
"Tiga." "Terima kasih. Di ujung bulak itu kita akan berpisah. Aku akan
mendahului, menengok setiap gardu yang mungkin ada di
sepanjang jalan ini."
Wrahasta tidak menunggu jawaban Samekta. Langsung ia
meninggalkannya, menemui sekelompok pengawal pilihan yang
akan mendahului pasukan ini, bersama beberapa orang petugas
sandi. "Kemana raksasa itu?" bertanya Gupala sambil berbisik
kepada Gupita. Gupita mengerutkan keningnya. Ia mendengar serba sedikit
pembicaraan Wrahasta dengan Samekta yang berjalan
beberapa langkah di depannya bersama gurunya.
"Ke gardu-gardu. Supaya pasukan ini sama sekali tidak
diketahui oleh induk pasukan Ki Tambak Wedi."
"Sulit. Aku yakin bahwa salah seorang dari mereka akan
sempat menyentuh tanda bahaya. Apa pun caranya. Dengan
demikian kita malah memberitahukan kehadiran kita
sebelumnya." Gupita tidak segera menyahut. Sekilas dilihatnya Wrahasta
yang seakan-akan terbenam ke dalam gelapnya. Hilang.
Gupita tiba-tiba saja menjadi berdebar-debar. Wrahasta
termasuk salah seorang pemimpin dari pasukan pengawal
Menoreh. Sebaiknya ia tidak usah pergi melakukan tugas yang
berbahaya itu. Ia dapat menugaskan seseorang yang
mempunyai kelebihan dan orang lain, namun tidak perlu seorang
pemimpin. "Gupala," berkata Gupita, "Wrahasta seharusnya tetap berada
di dekat Samekta dan Kerti sebelum gelar ini menebar di muka
padukuhan induk itu. Karena itu, biarlah orang lain saja yang
melakukan tugasnya sekarang, mendahului menyergap gardugardu
peronda. Gupala mengerutkan keningnya, "Biarlah mereka
mengurusinya." "Hus," desis Gupita, "kita ikut bertanggung jawab atas
keselamatan seluruh pasukan."
"Lalu, apakah kita akan melarangnya?"
"Bukan begitu maksudku. Sebaiknya kita berdua sajalah yang
pergi." "Malas." "He?" Gupita membelalakkan matanya. "Kenapa malas"
Kalau kau malas berbuat sesuatu, tidur saja di gardu itu."
Gupala menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya gelap
malam yang membayang di hadapannya. Wrahasta telah tidak
tampak lagi, hilang ditelan malam, di antara bayangan-bayangan
hitam yang bergerak-gerak di sepanjang jalan.
"Bagaimana dengan guru?" berkata Gupala.
"Kita akan minta ijin."
"Baiklah," jawab Gupala kemudian. "Biarlah kita orang-orang
buangan ini sajalah yang diumpankan kepada para peronda itu."
"Jangan mengingau."
Gupala tidak menjawab. Keduanya pun kemudian mendekati
gurunya. Dengan berbisik Gupita kemudian menyatakan
maksudnya, menyusul Wrahasta. Mereka berdualah yang akan
menggantikan pekerjaannya mendahului pasukan ini bersama
beberapa orang untuk menyergap gardu-gardu peronda.
Gurunya menarik nafas dalam-dalam. Sambil menganggukanggukkan
kepalanya ia menjawab, "Kalau pimpinan pasukan
pengawal tidak berkeberatan dan mempercayai kalian, aku pun
tidak berkeberatan. Tetapi hathatilah. Tidak saja dalam tugas
itu, tetapi juga caramu menyampaikan maksud itu kepada
Wrahasta." "Guru sajalah yang mengatakannya kepada Ki Samekta."
Gurunya mengerutkan keningnya. Kemudian katanya,
"Baiklah." Gembala tua itu pun kemudian bergeser beberapa langkah
mendekati Samekta dan menyampaikan maksud kedua anakanaknya.
"Aku berterima kasih," berkata Samekta, "tetapi kalian kurang
mengenal daerah ini. Tugas yang dilakukan oleh kelompok ini
adalah tugas yang berat, yang harus didasari atas pengenalan
yang sempurna atas daerah yang akan dilaluinya. Mereka akan
menyusup lewat jalan-jalan yang bukan seharusnya."
"Tetapi bukankah anak-anak itu tidak sendiri?"
"Dalam keadaan yang memaksa, mungkin mereka harus
menebar." "Tetapi anak-anakku adalah gembala yang sudah terlampau
sering menyusur tempat-tempat yang tersembunyi. Apalagi
kedua anak-anakku tidak terikat di dalam pasukan dan apalagi
pimpinan." Samekta mengerutkan keningnya. Kemudian katanya,
"Baiklah. Tetapi hathatilah." Ia berhenti sejenak, lalu, "Tetapi
mungkin sekali Wrahasta tidak mau menarik dirinya. Jika
demikian biarlah ia pergi. Agaknya hatinya sedang dirisaukan
oleh sesuatu. Karena itu sebaiknya ia tidak diganggu. Namun
kedua anak-anakmu harus berusaha memperingatkannya,
bahwa apabila gelar telah dibuka, ia harus sudah berada di
dalam barisan." Gembala tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Meskipun di dalam hati ia bertanya, "Bagaimana kalau Wrahasta
tidak berhasil?" Tetapi gembala itu tidak mengucapkannya.
"Nah, suruhlah anak-anakmu itu pergi bersama Wrahasta.
Tetapi jangan berselisih di depan medan. Aku titip anak muda
itu. Aku tahu, bahwa anak-anakmu jauh lebih baik dari raksasa
yang sedang kecewa itu."
Gembala tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun
ia bertanya, "Kenapa Angger Wrahasta kecewa?"
"Tidak. Tidak apa-apa," jawab Samekta dengan serta-merta.
Orang tua itu pun tidak bertanya lagi. Gupala yang
mendekatinya sudah mendengar sebagian terbesar dari
pembicaraan itu, sehingga ketika gurunya mendekatinya ia
berkata, "Jadi, kami diperkenankan menyusul pasukan itu?"
"Pergilah. Tetapi hathatilah. Jangan membuat keributan
yang dapat menghancurkan seluruh pasukan ini. Kesalahan
yang kecil dari kalian mungkin akan dapat membunuh puluhan
jiwa manusia. Dan kau harus mempertimbangkannya. Bukan
hanya jiwamu sendiri."
Gupala mengerutkan keningnya. Ia mengerti apa yang
dimaksud oleh gurunya. Ketika kemudian ia berpaling kepada
Gupita, maka anak muda itu pun sedang menatapnya.
"Huh, Kakang Gupita menyalahkan aku pula agaknya,"
desisnya di dalam hati. "Pergilah dan ingat, hathatilah dalam menghadapi setiap
persoalan," pesan gurunya.
"Baik, Guru," jawab keduanya hampir bersamaan.
Maka keduanya pun kemudian melangkah di sisi barisan yang
masih juga berjalan maju itu untuk menyusul Wrahasta. Mereka
sadar, bahwa tugas itu termasuk tugas yang sulit. Kalau mereka
tidak dapat melakukannya dengan baik, sehingga satu atau dua
orang dari para peronda itu sempat lolos, atau menyentuh alatalat
yang dapat memberikan tanda apa pun, maka justru yang
terjadi akan sebaliknya. Kehadiran mereka akan segera
diketahui oleh lawan. Beberapa saat kemudian mereka telah berhasil menemukan
Wrahasta di antara kelompok yang memang sudah tersusun.
Sepuluh orang dengan tiga orang petugas sandi.
"Wrahasta," berkata Gupita ketika mereka telah berhadapan,
"aku mendapat pesan dari Ki Samekta, bahwa aku berdua
ditugaskan untuk membantu kelompok ini."
Wrahasta mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak segera
mjenjawab. Ditatapnya wajah kedua anak-anak muda itu bergantganti,
seakan-akan ingin melihat langsung ke dalam pusat jantung
mereka. Gupala dan Gupita pun menjadi berdebar-debar pula.
Mereka menduga-duga bagaimakah tanggapan anak muda yang
bertubuh raksasa itu. Dan sejenak kemudian mereka mendengar Wrahasta
bertanya, "Kenapa Paman Samekta mengirimkan kalian
kemari?" Gupita menarik nafas dalam-dalam. Kemudian jawabnya,
"Perintah yang sebenarnya adalah menggantikan kau di dalam
tugas kelompok ini, karena menurut pertimbangannya, kau
sangat diperlukan di dalam saat-saat terakhir. Kau harus
memegang pimpinan langsung. Sedang tugas ini dapat
dilakukan oleh orang lain yang tidak begitu diperlukan."
"O," tiba-tiba Wrahasta tertawa, "jadi kau sangka bahwa orang
yang berada di dalam kelompok ini harus mati" Dan kau
menganggap bahwa aku pun pasti akan mati pula?"
Gupita menjadi ragu-ragu sejenak. Kemudian jawabnya,
"Bukan begitu. Tetapi kemungkinan untuk itu memang ada.
Kemungkinan untuk hidup dan kemungkinan untuk mati sama
besarnya." "Aku sudah tahu. Dan aku pun tidak akan ingkar meskipun
aku akan mati sekalipun. Mati untuk Tanah ini."
"Memang mati di dalam perjuangan dapat memberikan
kebanggaan. Tetapi kau diperlukan."
"Kembalilah kepada Ki Samekta. Katakan bahwa aku akan
tetap berada di dalam kelompok ini. Sebentar lagi kita akan
melampaui bulak ini, dan aku akan segera memisahkan diri,
mendahului perjalanan kalian."
Gupita terdiam sejenak. Ia memang tidak melihat
kemungkinan bahwa Wrahasta akan bersedia meninggalkan
kelompok itu dan kembali kepada Samekta. Karena itu maka
akan sia-sialah apabila ia berusaha memaksanya. Maka Gupita
itu pun kemudian berkata, "Kami hanya dapat menyampaikan
pesan itu. Selebihnya kami tidak mempunyai wewenang apa
pun. Meskipun demikian, Ki Samekta telah menugaskan kami
untuk berada di dalam kelompok ini."


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku tahu, aku tahu. Ki Samekta memang lebih percaya
kepada kalian dari pada kepadaku. Soalnya bukan karena aku
diperlukan di dalam gelar yang akan kita pergunakan, tetapi
karena Ki Samekta menganggap bahwa kalian akan lebih
berhasil di dalam tugas ini."
Gupala yang selama itu berusaha membatasi dirinya, untuk
tidak berkata sepatah pun juga supaya ia tidak salah ucap,
menarik nafas dalam-dalam. Sekilas ia memandang wajah anak
muda yang bertubuh raksasa itu, namun kemudian
dilontarkannya pandangan matanya ke dalam gelapnya malam.
Gupita tidak segera dapat menjawab. Ia memang harus
berhathati. Ternyata anak muda yang bertubuh raksasa ini
sangat perasa. Dan karena kedua anak-anak muda itu tidak menjawab,
Wrahasta berkata selanjutnya, "Kemudian terserahlah kepada
kalian. Aku tetap memimpin kelompok ini. Kalau kalian ingin ikut
serta, maka kalian akan berada di bawah perintahku. Kalau
tidak, kembalilah kepada Ki Samekta. Katakan bahwa aku tetap
berada di sini." Gupala mengerutkan keningnya. Baginya sikap Wrahasta itu
sudah merupakan pembangkangan. Seandainya ia menjadi
pemimpin yang lebih tinggi, maka ia pasti akan mengambil
tindakan. "Apakah dengan demikian aku akan disebut kurang
bijaksana?" bertanya Gupala di dalam hatinya.
Gupala mengerutkan keningnya ketika ia mendengar Gupita
berkata, "Kami berdua akan tetap berada di dalam kelompok ini.
Kami memang ditugaskan demikian sambil menyampaikan
pesan. Apakah pesan itu akan kau lakukan atau tidak,
terserahlah kepadamu."
Wrahasta mengerutkan keningnya. Namun kernudian ia
mengangguk-anggukkan kepalanya, "Baik. Kau berada di dalam
pasukan kecil ini. Aku tahu, bahwa kalian mempunyai ilmu yang
cukup baik. Dan itu akan sangat berguna bagi tugas ini. Kami
harus melakukan penyergapan dengan tiba-tiba dan
membinasakan para peronda."
"Ya. Kami akan tetap berada di dalam pasukan ini. Tetapi
kami kira, kami tidak perlu berbuat terlampau kasar. Yang
penting adalah melumpuhkan dan membungkam mereka. Bukan
membinasakan." "Persetan istilah yang kau pergunakan."
"Bukan sekedar istilah. Maksudku, mereka tidak perlu
dibunuh." "He?" Wrahasta mengerutkan keningnya, "Jadi bagaimana?"
Gupita menarik nafas dalam-dalam. Tanpa dikehendakinya ia
sudah terlibat dalam suatu pembicaraan tentang pelaksanaan
tugas kelompok kecil itu.
"Maksudku, mereka dapat diikat tanpa membunuhnya."
Wrahasta tertawa berkepanjangan, sehingga tubuhnya
berguncang-guncang. "O, kau adalah manusia yang paling baik
di dunia. Kau telah menjunjung tinggi perikemanusiaan di atas
kepalamu. Berbahagialah kau dan adikmu yang gemuk itu."
Gupita dan Gupala saling berpandangan sejenak. Bahkan
orang-orang lain di dalam kelompok itu pun menjadi heran
melihat tingkah laku Wrahasta. Meskipun mereka juga
berkeberatan mendengar pendapat Gupita, namun mereka juga
merasa aneh terhadap Wrahasta. Mereka belum pernah melihat
raksasa itu berbuat demikian.
"He, Gupita," bertanya Wrahasta, "apakah kau belum pernah
perang sebelum kau berada di atas Tanah Perdikan ini?"
Gupita heran mendengar pertanyaan itu. Tanpa sesadarnya
ia menjawab, "Sudah."
"O, apakah kau tidak pernah melihat, bahwa di dalam
peperangan kadang-kadang kita harus membunuh lawan?"
Gupita tidak menjawab. Sekilas dipandanginya wajah Gupala.
Wajah itu terasa aneh baginya. Dan bahkan Gupala itu berbisik,
"Kaulah yang aneh Kakang."
Gupita menarik nafas. Tetapi ia tidak menjawab.
"Akulah pimpinan kelompok ini. Setiap orang harus tunduk
kepada perintahku. Kalian harus menyergap setiap gardu
perondan dan membinasakan semua isinya. Begitu tiba-tiba
sehingga mereka tidak mendapat kesempatan." Wrahasta
berhenti sejenak, lalu, "Nah, kita sudah sampai di ujung bulak.
Bersiaplah. Kita akan segera memisahkan diri, mendahului
pasukan ini dan melihat gardu di depan kita yang terdekat,
sambil mengamati kemungkinan petugas-petugas sandi lawan di
sepanjang jalan." Gupala dan Gupita saling berpandangan sejenak. Namun
mereka tidak dapat berbuat lain. Kalau mereka tetap akan
berada di dalam pasukan itu, mereka memang harus tunduk
kepada perintah Wrahasta.
Sementara itu orang-orang lain dalam kelompok kecil itu pun
telah bersiap pula. Mereka telah sampai di ujung sebuah bulak.
Sebentar lagi mereka akan memasuki sebuah pategalan. Di
seberang pategalan yang tidak begitu luas itu terdapat sebuah
padesan kecil. "Di pategalan itu terdapat gardu pengawasan," berkata
Wrahasta, "karena itu pasukan ini harus berhenti sejenak. Kita
akan melihat apakah yang ada di dalamnya."
Wrahasta kemudian memerintahkan pasukan itu berhenti
sambil mengirimkan seorang penghubung kepada Samekta,
memberitahukan bahwa ia telah melepaskan diri mendahului
seluruh pasukan. Gupala dan Gupita akhirnya turut juga bersama pasukan kecil
itu. Mereka mengharap bahwa mereka berdua dapat membantu
anak muda yang bertubuh raksasa itu apabila diperlukan.
Kelompok itu kemudian berjalan dengan hathati menuju ke
ujung pategalan. Menurut pengenalan mereka, di pategalan itu
terdapat sebuah gardu kecil. Tetapi biasanya orang-orang Ki
Tambak Wedi tidak mempergunakannya. Mereka berada di
dalam gardu yang lebih besar, di seberang pategalan itu.
Diantarai oleh beberapa kotak sawah yang sempit, di mulut
sebuah padesan kecil. Meskipun demikian, mereka memerlukan melihat gardu kecil
itu, apabila secara kebetulan ditunggui oleh dua atau tiga orang
setelah pasukan Ki Tambak Wedi menderita kekalahan.
Pasukan kecil itu berhenti beberapa langkah dari gardu itu, di
balik gerumbul-gerumbul dan semak-semak pategalan. Seorang
petugas sandi dengan sangat hathati merayap maju.
Namun ternyata gardu kecil itu memang kosong. Agaknya Ki
Tambak Wedi atau orang-orangnya, memang tidak
memperhitungkan bahwa pasukan Menoreh akan menyusul
mereka. Sebab menurut Ki Tambak Wedi, luka Ki Argapati
menjadi agak parah. Tanpa Ki Argapati, pasukan Menoreh tidak
akan mampu berbuat banyak.
"Tetapi di gardu di depan pasti ada beberapa orang petugas,"
desis Wrahasta. "Pasti," jawab salah seorang petugas sandi.
"Mari kita lihat." Kemudian katanya kepada salah seorang
petugas sandi itu pula., "Suruh pasukan Ki Samekta maju
perlahan-lahan. Tetapi mereka tidak boleh keluar dari pategalan
ini, supaya tidak dapat dilihat oleh seseorang yang seandainya
kebetulan berada di sawah di depan pategalan ini."
Petugas itu pun kemudian meninggalkan Wrahasta kembali
ke induk pasukan, sementara kelompok kecil itu merayap
semakin maju. Mereka tidak berjalan di atas jalan yang
membelah beberapa kotak sawah di antara pategalan dan
padesan di depan. Tetapi mereka turun ke dalam parit dan
sambil membungkuk-bungkuk menyusur maju mendekati
padesan. Di belakang tanggul mereka kemudian berhenti, untuk
mengawasi keadaan. Mereka sudah melihat lamat-lamat
beberapa berkas sinar lampu yang menerobos dari dindingdinding
rumah menyentuh dedaunan.
Dan tiba-tiba saja Wrahasta menggeram, "Persetan dengan
penduduk padesan itu. Mereka pun merupakan bahaya bagi
pasukan ini. Dan mereka pun memang termasuk orang-orang
yang sama sekali tidak kita perlukan lagi."
"Kenapa?" tanpa sesadarnya Gupita bertanya.
"Mereka sama sekali tidak mempedulikan perjuangan kami.
Selagi kami berprihatin di dalam sarang-sarang tikus, mereka
tetap saja tinggal dengan nyamannya di rumah masing-masing
dikawal oleh pasukan Sidanti. Sungguh menyakitkan hati."
Wrahasta berhenti sejenak, kemudian, "Apakah tidak sepatasnya
kalau mereka dibinasakan pula?"
"Berlebih-lebihan," sahut Gupita. "Sebenarnya mereka pun
telah membantu kita. Bukankah di antara mereka telah
menyerahkan bahan-bahan makanan dan barang-barang lain
yang kita perlukan?"
"Hanya satu dua orang saja. Tetapi sebagian besar dari
mereka adalah pengkhianat-pengkhianat."
"Jangan dinilai begitu. Kehadiran mereka telah memberikan
perlindungan kepada orang-orang yang bersedia membantu kita.
Mereka merupakan tabir yang dapat dipergunakan oleh mereka
yang membantu kita sebagai tempat persembunyian. Dengan
mereka, maka orang-orang yang membantu kita tidak akan
segera dikenal. Tetapi tanpa mereka, maka tidak ada seorang
pun yang berani memberikan apa saja yang kita perlukan."
Wrahasta mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menjawab.
Namun kemudian diperintahkannya seseorang untuk mengintai
gardu di ujung lorong. Seorang petugas sandi pun kemudian merangkak dengan
hathati mendekati padesan itu. Kemudian menyusur dinding
batu yang ditumbuhi lumut, mendekati gardu di mulut desa,
langsung merupakan regol masuk.
Ternyata mereka pun kurang berwaspada karena mereka
sama sekali tidak akan menduga, bahwa pasukan lawan telah
merayap semakin dekat. Meskipun mereka masih juga bangun,
namun mereka tidak banyak menaruh perhatian terhadap
keadaan di sekeliling mereka. Mereka saling berbicara dan
berkelakar. Tetapi, petugas sandi itu masih melihat, seorang dari
mereka berjalan hilir-mudik di muka regol.
Sejenak ia mencoba melihat keadaan. Dari mana kelompok
kecil itu harus mendekat. Dari mana mereka akan menyergap
dan bagaimana mereka dapat segera membungkam para
petugas itu. Meskipun petugas sandi itu tidak dapat melihat
orang-orang yang berada di dalam gardu, namun ia dapat
menduga, bahwa orang-orang itu tidak lebih dari enam atau
tujuh orang. Setelah ia menemukan kesimpulan, maka segera ia pun
kembali ke kelompok kecil itu dan dengan beberapa petunjuk,
dibawanya kelompoknya maju mendekat dengan hathati sekali.
Kelompok itu akhirnya berhasil berada beberapa langkah saja
di samping regol yang sekaligus merupakan gardu penjaga.
Pintunya masih terbuka lebar, dan seorang dari mereka masih
juga berjalan hilir-mudik dengan senjata telanjang di tangan.
Wrahasta mengerutkan keningnya. Ia tampak sedang
memikirkan cara yang paling baik berdasarkan pengamatan
petugas sandi itu. Lamat-lamat mereka masih mendengar orang-orang di dalam
regol itu bergurau. Seseorang di antara mereka telah
mengumpat-umpat di sela-sela suara tertawanya.
"Mereka harus dibungkam untuk selama-lamanya," geram
Wrahasta yang berjongkok melekat dinding batu.
"He, kemarilah," desis Wrahasta memanggil Gupala.
Gupala memandang wajah Gupita sejenak. Ketika ia melihat
Gupita menganggukkan kepalanya, maka ia pun merayap
mendekat. "Tugasmu adalah menyergap orang yang berjalan hilir-mudik
itu. Kami akan segera menyerbu ke dalam regol. Sebagian akan
masuk meloncat dinding batu ini dan menyerang dari dalam,
supaya tidak seorang pun sempat melarikan diri."
Sekali lagi Gupala memandangi wajah Gupita, dan sekali lagi
Gupita menganggukkan kepalanya.
"Baiklah," jawab Gupala kemudian.
"Nah kau," berkata Wrahasta kepada Gupita, "bersama lima
orang, kalian meloncat dinding ini, dan menyergap dari dalam."
"Ya," jawab Gupita.
"Aku akan berada di luar bersama Gupala. Aku akan
memberikan tanda. Kalau kalian mendengar suara cengkerik
berderik dua kali berturut-turut, kalian harus siap. Kemudian
kalian akan mendengar aba-abaku untuk menyergap serentak."
Gupita menganggukkan kepalanya.
"Cepatlah, bersama lima orang."
Gupita tidak menjawab lagi. Tetapi ia berdesis, "Ayo,
siapakah di antara kalian yang akan mengikuti aku meloncati
dinding batu ini?" Beberapa orang kemudian bergerak serentak, bergeser
mendekatinya. Tetapi justru hampir semuanya.
"Yang lain tinggal di sini," perintah Wrahasta.
Akhirnya Gupita mendapatkan kawan-kawannya. Dengan
hathati mereka satu demi satu meloncati pagar batu yang
cukup tinggi. Tetapi ternyata mereka adalah anak-anak muda
yang berkemauan dan bertekad baja. Meskipun mereka
mengalami sedikit kesulitan, bahkan ada di antaranya yang
bagian dadanya terluka dan berdarah, namun mereka berhasil
memasuki padukuhan itu. "Sakit?" bertanya Gupita kepada kawannya yang terluka di
dadanya. "Ah tidak apa-apa. Hanya lecet sedikit ketika kakiku terlepas
dari injakan." Gupita mengangguk-angguk. Kemudian katanya, "Kita harus
mendekat, supaya kita tidak terlambat."
Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepala mereka.
Dan mereka pun kemudian mengikuti Gupita yang merangkak
maju mendekati regol. Semakin dekat, suara mereka menjadi semakin jelas.
Agaknya mereka mencoba mengusir kantuk mereka dengan
berbicara, berbantah dan bergurau. Bahkan di bagian dalam
regol itu, tampak sebuah perapian dan sebuah belanga di
atasnya. Agaknya mereka merebus makanan atau menanak nasi
untuk makan mereka di malam nanti, supaya mereka tidak
kehabisan tenaga dan tertidur.
Gupita yang merangkak semakin dekat, menjadi semakin
berhathati karenanya. Kini ia tidak dapat memberi aba-aba lagi,
sehingga karena itu ia hanya dapat memberikan tanda-tanda
dengan tangannya. Di luar dinding batu, Wrahasta pun berbuat serupa. Ia
merangkak semakin dekat diikuti oleh para pengawal. Sedang
Gupala merayap mendahului mereka. Dengan hathati ia
berusaha untuk mencapai jarak sedekat-dekatnya, supaya


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

apabila Wrahasta memberikan perintah, ia langsung dapat
menyergap orang itu tanpa memerlukan waktu terlampau
panjang. Sejenak kemudian terdengar suara cengkerik berderik dua
kali berturut-turut. Tetapi ternyata suara cengkerik itu agak terlampau keras
sehingga menumbuhkan kecurigaan pada penjaga yang sedang
berjalan hilir-mudik di muka regol sehingga langkahnya terhenti.
Dengan dahi yang berkerut-merut dipandanginya arah suara
cengkerik yang aneh terdengar di telinganya itu.
Wrahasta pun melihat sikap pengawal yang mendebarkan
jantung itu. Apalagi ketika pengawal itu justru beberapa langkah
mendekat. Gupala benar-benar berusaha menahan nafasnya.
Penjaga itu hanya beberapa langkah saja berdiri di depannya
dengan termangu-mangu. Sedang kawan-kawannya yang
berada di dalam regol masih saja berkelakar dan berbantah
tanpa ujung dan pangkal. Dalam ketegangan itulah tiba-tiba Wrahasta berdesis,
"Sekarang, Gupala."
Orang yang berdiri termangu-mangu itu mendengar juga
desis Wrahasta. Tetapi ia tidak sempat berpikir tentang suara itu.
Ia tidak menyangka, bahwa justru dari muka hidungnya,
seseorang meloncat menerkam lehernya.
Penjaga itu memang tidak sempat berteriak. Tetapi sebuah
dengus perlahan telah terdengar dari dalam regol, disusul oleh
hentakan-hentakan kaki. Hanya sebentar, kemudian terdiam.
Wrahasta menjadi tegang melihat sergapan yang hanya
beberapa kejapan mata itu. Betapa pun juga ia terpaksa
mengakui, bahwa Gupala memang seorang yang mempunyai
kekuatan luar biasa. Namun sejenak kemudian ia menyadari keadaannya.
Ternyata beberapa orang di dalam regol itu telah mendengar
sesuatu. Suara mereka yang riuh tiba-tiba terputus dan dengan
tergesa-gesa beberapa orang berloncatan sambil menggenggam
senjata masing-masing. "Hampir terlambat," desis Gupala di dalam hatinya. Tetapi ia
masih menunggu perintah Wrahasta.
Dan perintah itu pun menyusul beberapa saat kemudian.
Wrahasta pun kemudian memberikan aba-aba untuk menyergap
orang-orang yang sedang keluar dari dalam regol itu.
Orang-orang itu pun terkejut bukan kepalang. Mereka tidak
mendapat kesempatan untuk mempersiapkan diri mereka. Tibatiba
saja mereka telah diserang dari dalam dan dari luar regol
bersama-sama. Apalagi di antara para penyerang itu terdapat
Gupala dan Gupita. Wrahasta memang tidak memerlukan waktu terlampau
banyak. Orang-orangnya segera menguasai keadaan. Orangorang
yang sesaat yang lalu masih berkelakar, kini terbaring
diam tanpa bergerak sama sekali.
Gupita melihat mayat-mayat yang terbujur lintang di tanah itu
dengan hati yang berdebar-debar. Semua orang yang berada di
dalam regol itu memang telah terbunuh mati. Agaknya Wrahasta
dan orang-orangnya sama sekali tidak bermaksud untuk
membiarkan mereka hidup. Ketika Gupita memandang adik seperguruannya, tampaklah
anak yang gemuk itu tersenyum lucu kepadanya.
Gupita menarik nafas dalam-dalam. Orang-orang yang
dipukulnya sehingga pingsan itu pun ternyata telah mati pula. Ia
tidak tahu siapakah yang teah menusuk dadanya dengan sebilah
pedang. Gupita mengangkat kepalanya ketika ia mendengar suara
Wrahasta datar, "Terima kasih. Kalian telah melakukan tugas
kalian sebaik-baiknya. Kini kita akan maju lagi. Di ujung lorong
ini, di mulut padukuhan, pasti ada juga beberapa orang penjaga.
Mereka pun harus kita binasakan pula."
Sekali lagi Gupita menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak
kuasa untuk mencegahnya. Meskipun hal itu tidak sesuai
dengan keinginannya, namun ia harus membiarkannya terjadi.
Bahkan adik seperguruannya itu pun telah melakukannya
dengan senang hati. Sementara itu seorang penghubung telah dikirimnya pula
untuk memberitahukan apa yang telah terjadi. Kemudian
bersama yang seorang lagi, yang telah dikirimnya lebih dahulu,
harus menggabungkan dirinya di gardu di mulut lorong yang lain.
Demikianlah mereka pun kemudian merayap maju. Di dalam
gelapnya bayangan pepohonan yang rapat di jalan padukuhan,
mereka mendekati gardu penjagaan di ujung lorong itu.
Seorang petugas sandi yang berjalan di paling depan tiba-tiba
terhenti. Beberapa langkah ia mundur mendekati Wrahasta.
Kemudian dengan isyarat diberitahukannya bahwa di hadapan
mereka ada seseorang yang berjalan ke arah mereka.
Wrahasta pun kemudian memberikan isyarat kepada orangorangnya
untuk berhenti dan melekat dinding batu di sebelahmenyebelah
jalan. Meskipun ada kemungkinan bahwa orang
yang berjalan itu dapat melihat mereka, namun orang itu tidak
boleh mendapat kesempatan untuk berbuat sesuatu.
Agaknya orang itu memang tidak bercuriga apa pun. Ia
berjalan saja sambil berlenggang.
Namun tiba-tiba ia membelalakkan matanya ketika seseorang
tanpa diketahui dari mana datangnya meloncat dan
menerkamnya. Ia menyadari keadaannya ketika sudah
terlambat. Sepasang tangan bagaikan jarjari besi telah
mencekik lehernya. Sejenak kemudian gelap malam pun menjadi
semakin kelam, dan nafasnya pun putus karenanya.
Wrahasta menarik nafas dalam-dalam sambil mengibaskan
tangannya. Demikian tangannya terlepas, orang itu pun
kemudian terjatuh seperti sebatang kayu.
"Lemparkan ke balik pagar batu," perintah Wrahasta kepada
salah seorang anak buahnya.
Gupita yang melihat mayat itu menahan gejolak di dalam
dadanya. Orang itu adalah seorang tua yang sudah tidak
bertenaga dan sama sekali tidak bersenjata.
Sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata di dalam
hatinya, "Ini adalah salah satu wajah peperangan. Orang ini
sama sekali tidak mengerti apa yang telah terjadi atas dirinya.
Dan kematiannya pun sama sekali tidak berarti apa-apa."
Namun yang lebih pahit lagi baginya adalah, bahwa Wrahasta
sama sekali tidak menunjukkan penyesalan atas peristiwa itu.
Dengan jantung yang berdenyut semakin cepat, Gupita
menyaksikan mayat itu diangkat dan dilemparkan begitu saja ke
balik pagar batu di pinggir jalan.
"Kita melanjutkan perjalanan ini. Hathati. Mungkin kita akan
bertemu dengan seseorang lagi," berkata Wrahasta kemudian.
Tanpa dapat menahan diri lagi Gupita menyahut, "Tetapi
orang-orang semacam ini sama sekali tidak berbahaya."
Wrahasta memandang wajah Gupita dengan tajamnya.
Kemudian jawabnya, "Kau sangka orang-orang semacam ini
tidak mempunyai mulut?"
"Aku menyadari. Tetapi orang setua itu tidak akan banyak
dapat berbuat. Apakah tidak ada jalan lain daripada
membunuhnya?" "Ah, kau." geram Wrahasta. "Aku tidak sempat berpikir di
dalam keadaan serupa ini. Kalau setiap prajurit dan pengawal
berbuat seperti kau, maka peperangan yang mana pun tidak
akan dapat diselesaikan."
Gupita tidak menjawab lagi. Sementara itu Gupala
mendekatinya sambil berbisik, "Memang kau benar-benar aneh,
Kakang." Gupita menggigit bibirnya. Namun ia tidak dapat ingkar dari
dera perasaannya. Meskipun demikian ia tidak menjawab lagi.
"Cepat, kita maju ke gardu di depan. Tanpa keragu-raguan
dan pertimbangan-pertimbangan yang cengeng," perintah
Wrahasta selanjutnya. Maka pasukan kecil itu pun kemudian maju lagi. Lebih cepat
dari semula. Semakin lama menjadi semakin dekat dengan
gardu di mulut lorong. "Lihat, apakah yang ada di dalam gardu itu," perintah
Wrahasta kepada salah seorang anak buahnya.
Orang itu pun kemudian mendekati gardu dengan sangat hatihati.
Di dalam gardu itu ada beberapa orang, tetapi berbeda
dengan gardu yang pertama. Orang-orang di dalam gardu itu
lebih tidak berhathati. Mereka menganggap bahwa penjagaan
di gardu pertama cukup kuat, dan mereka sama sekali tidak
bermimpi bahwa beberapa orang telah berhasil mendekat,
meskipun sebagian dari mereka benar-benar telah tertidur.
"Tidak lebih dari lima orang," berkata orang itu kepada
Wrahasta. "Apalagi sebagian dari mereka telah tertidur."
Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya. "Cepat.
Mereka harus kita selesaikan pula."
Kelompok kecil itu pun semakin mendekat. Dan tiba-tiba saja
Wrahasta membawa anak-anak muda di dalam kelompok itu
dengan serta-merta menyergap. Tidak seorang pun yang sempat
turun dari gardunya. Bahkan yang sedang tertidur pun tidak
sempat bangun untuk selama-lamanya.
Wrahasta menarik nafas panjang. Pedangnya yang basah
oleh darah disarungkannya. Kemudian dengan nada rendah ia
berkata, "Kita menunggu mereka yang sedang menghubungi
induk pasukan. Kemudian kita akan semakin dekat dengan
padukuhan induk." *** Kelompok kecil itu pun sejenak mendapat kesempatan untuk
beristirahat. Mereka sama sekali tidak menaruh perhatian atas
mayat-mayat yang masih terbaring di dalam gardu.
Sesaat kemudian maka para petugas yang menghubungi
induk pasukan telah menggabungkan diri kembali. Dengan
demikian maka kelompok kecil itu segera meneruskan tugas
mereka mendahului untuk merambas jalan.
"Pasukan induk telah maju," lapor petugas itu.
Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya. "Bagus,"
katanya, "semakin cepat kita mulai akan menjadi semakin baik.
Tetapi setiap kali pasukan induk itu harus menunggu isyarat
kita." "Ya." Wrahasta kemudian terdiam sejenak. Mereka akan segera
melalui sebuah padesan lagi. Wrahasta tahu benar, bahwa di
padesan itu pasti terdapat tidak hanya dua buah gardu
perondan, karena desa itu agak lebih besar.
"Ada tiga jalan memasuki desa itu," berkata salah seorang
petugas sandi. "Ketiganya pasti diisi oleh pengawal-pengawal yang lebih baik
dari pengawal di gardu kedua. Setidak-tidaknya mereka adalah
pengawal-pengawal setingkat dengan pengawal-pengawal di
gardu pertama, sehingga kita tidak akan dapat mengharapkan
mereka tertidur nyenyak."
"Sebenarnya mereka tidak berbeda. Tetapi para peronda di
gardu kedua agak kurang berhathati. Itulah kesalahannya.
Bukan karena kemampuan mereka lebih rendah dari gardu
pertama. Demikian juga agaknya orang-orang di gardu depan
nanti." Petugas itu berhenti sejenak. "Tetapi kita dapat
mengharap bahwa mereka pun lengah."
Kelompok kecil itu merayap semakin dekat. Seperti yang
sudah mereka lakukan, maka petugas sandilah yang lebih
dahulu mendekati mulut lorong. Orang itu sudah cukup banyak
mengenal daerah ini dan bahkan di sekitarnya. Sebagai anak
Menoreh, ia sudah terlalu sering bermain-main di tempat ini.
"Memang mereka tidak sedang tidur," bisik petugas sandi itu
kepada Wrahasta, "tetapi mereka tidak lebih dari lima orang."
Wrahasta menganggukkan kepalanya. Dengan isyarat
dibawanya pasukannya mendekat. Kemudian seperti seekor
kucing menerkam tikus mereka menyergap orang-orang di
dalam gardu itu. Ternyata perhitungan Wrahasta tepat. Orang-orang ini lebih
sigap dari orang-orang yang berada di gardu-gardu yang
terdahulu. Tetapi karena jumlah mereka tidak lebih dari lima
orang, maka mereka tidak berhasil menghindarkan diri dari
terkaman maut. Apalagi sergapan itu datang begitu tiba-tiba
tanpa mereka duga-duga lebih dahulu.
Tanpa melepaskan korban, kelompok itu telah berhasil
membinasakan tiga kelompok peronda. Dan kini mereka
merayap maju lagi. Seperti seekor harimau yang sedang
mengintai sarang kelinci. Berapa kali saja harimau itu
menangkap kelinci, namun harimau itu tidak akan menjadi
kenyang sama sekali. Ternyata di desa itu terdapat tiga gardu peronda. Dan isi dari
ketiga gardu itu pun mengalami nasib serupa, meskipun di gardu
ketiga, salah seorang anggota kelompok yang dipimpin oleh
Wrahasta itu terluka di pundaknya.
"Jalan telah terbuka," geram Wrahasta. "Kita tinggal melintasi
bulak panjang dan sebuah desa. Kemudian sebuah bulak
pendek yang tidak berarti. Di bulak pendek itulah kita akan
menyusun gelar." "Terlampau dekat," tiba-tiba salah seorang pengawal
menyahut. Wrahasta menggeleng, "Tidak. Tidak terlampau dekat."
"Selama kita menyusun gelar di bulak pendek itu, ada
kemungkinan, bahwa kedatangan kita diketahui oleh pengawas."
"Tetapi kita akan segera siap untuk menyerang mereka."
"Bukankah lebih baik, apabila dengan tiba-tiba saja kita
menyergap seperti gardu-gardu perondan ini?"
Wrahasta menggelengkan kepalanya. Sambil
menengadahkan dadanya ia berkata, "Kita mempunyai banyak
kelebihan dari lawan."
Dada Gupita berdesir mendengar jawaban itu. Agaknya
kemenangan-kemenangan kecil di sepanjang jalan ini membuat
Wrahasta terlampau berbangga. Karena itu, ia menjadi cemas
pula. Gupala yang tidak pernah membuat terlampau banyak
pertimbangan itu pun merasakan, bahwa Wrahasta merasa
dirinya terlampau cakap untuk memimpin pasukan. Namun
Gupala tidak mencoba berbuat apa pun. Kalau terjadi
perselisihan di antara mereka, maka keadaan pasti akan menjadi
kalut. Dan gurunya hanya dapat menyalahkannya.
"Marilah kita lintasi bulak ini dengan mengangkat kepala. Kita
telah membinasakan lima kelompok peronda, dalam waktu yang
singkat," berkata Wrahasta kemudian.
Raksasa itu tidak menunggu jawaban siapa pun. Segera ia
melangkah menyusur jalan yang terbentang di tengah-tengah
tanah persawahan yang luas.
Gupita yang melihat tingkah laku Wrahasta merasa wajib
untuk mempringatkannya demi keselamatan seluruh pasukan,


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak hanya sekedar kelompok kecil ini. Maka dengan hathati ia
berkata, "Kita harus tetap memperhitungkan kemungkinan
pengawasan di tengah-tengah bulak ini."
Wrahasta berpaling. Jawabnya, "Aku sudah tahu. Aku
mempunyai pengalaman yang cukup. Aku kira jauh lebih banyak
dari seorang gembala, karena aku adalah pemimpin pengawal
Tanah Perdikan." Jawaban itu sama sekali tidak disangka-sangka. Karena itu,
terasa sesuatu bergetar di dalam dada Gupita dan apalagi
Gupala. Namun keduanya tidak menyahut. Mereka berjalan saja
di belakang Wrahasta. Gupita menjadi berprihatin karenanya.
Namun Gupala menjadi acuh tidak acuh. Suara Wrahasta
dianggapnya seperti desau angin malam yang lewat menyentuh
telinganya. "Kalau aku mendengarkannya, maka aku berniat untuk
menjawabnya," berkata Gupala di dalam hatinya. "Dan mulut ini
rasa-rasanya sudah terlampau gatal. Karena itu, lebih baik aku
tidak mengerti apa yang dikatakannya."
Dan kelompok itu pun merayap maju terus di antara tanah
persawahan. Semakin lama semakin jauh ke tengah bulak yang
panjang. Mereka dengan penuh tekad menyerahkan segenap
hidup mereka kepada kewajiban yang sedang mereka lakukan.
Namun dengan demikian, bukan berarti bahwa mereka sedang
membunuh diri. Namun agaknya Ki Tambak Wedi dan Sidanti memang tidak
memperhitungkan kemungkinan itu. Meskipun mereka tidak
menjadi lengah, dan menempatkan para peronda di tempatnya,
tetapi agaknya orang-orang yang bertugas itu tidak mendapat
peringatan keras, bahwa kemungkinan itu akan dapat terjadi.
Menurut perhitungan Ki Tambak Wedi, Ki Argapati pasti
masih belum dapat bangkit dari pembaringannya. Meskipun Ki
Tambak Wedi sudah mengambil keputusan untuk secepatnya
menggempur benteng pring ori itu dan menjadikannya karang
abang, namun ternyata para pemimpin pengawal Tanah
Perdikan Menoreh berbuat lebih cepat lagi. Mendahului hari
yang telah ditentukan oleh Ki Tambak Wedi.
Samekta, pemimpin tertinggi yang kali ini diserahi pasukan di
samping Ki Argapati sendiri yang sedang terluka itu, tidak dapat
membayangkan, apalagi memperhitungkan dengan tepat,
berapakah kekuatan lawan. Sebagai gambaran
dipergunakannya kekuatan Ki Tambak Wedi yang dibawa
langsung menyerang pemusatan pasukannya yang terakhir.
"Mudah-mudahan Ki Tambak Wedi belum dapat menghimpun
orang Menoreh yang masih bertebaran di padukuhan-padukuhan
kecil. Dengan janjjanji yang membubung setinggi awan, mereka
yang ragu-ragu akan menjadi mudah terpikat. Apalagi ternyata
selama ini Ki Gede Menoreh hanya bersembunyi saja di balik
pagar pring ori itu," berkata Samekta di dalam haitinya. "Jika
demikian, maka jumlah pasukan Ki Tambak Wedi akan segera
bertambah. Meskipun mereka bukan orang-orang yang terlatih
baik, namun pada umumnya setiap laklaki di Menoreh, mampu
menggenggam senjata."
Samekta mengerutkan keningnya. Apa yang dilihatnya di
sepanjang jalan adalah permulaan yang baik bagi pasukannya.
Kelompok yang dikirimkannya mendahului induk pasukan
ternyata telah melakukan tugasnya dengan sebaik-baiknya.
"Meskipun jumlah pasukan Ki Tambak Wedi menjadi berlipat,
namun sergapan yang tiba-tiba akan membuat mereka bingung,"
desis Samekta. "Mudah-mudahan kita akan segera berhasil."
Sekilas dipandanginya gembala tua yang berjalan beberapa
langkah di sampingnya. Sekalkali tumbuh keragu-raguan di
dalam hatinya. "Apakah orang ini benar-benar dapat dipercaya
untuk, melawan Ki Tambak Wedi?"
Sementara itu induk pasukan Menoreh itu pun maju terus
melintasi jalan berdebu. Langit yang kehitam-hitaman ditaburi
oleh bintang-bintang yang gemerlapan.
Namun tiba-tiba terasa betapa Tanah Perdikan ini telah
benar-benar terbakar dalam suatu pertentangan di antara
keluarga sendiri. Samekta menarik nafas dalam-dalam.
Namun dalam pada itu, Wrahasta tersenyum sambil
menengadahkan kepalanya. Dengan garangnya ia berkata,
"Para peronda di desa itu pun akan segera binasa."
"Hathatilah," desis Gupita dengan serta-merta.
"Aku sudah cukup mengerti," bentak Wrahasta, "kau tidak
perlu setiap kali menggurui aku."
"Tetapi kita sudah terlampau dekat dengan padesan di depan
kita. Para peronda di dalam gardu itu akan melihat bayangan kita
di hadapan layar kebiruan langit yang terang," sahut Gupita.
"Persetan," jawab Wrahasta, "kalau kau menjadi ketakutan,
kembalilah." Gupita adalah seseorang yang selama ini selalu berusaha
menahan dirinya. Demikian juga pada saat itu. Betapa dadanya
menjadi bergetar, namun ia tidak menanggapinya dengan
perasaan. "Kita akan langsung menyergap gardu di mulut lorong itu,"
geram Wrahasta. Gupita menahan geletar jantungnya. Namun agaknya sikap
Wrahasta itu telah menumbuhkan keheranan, tidak saja pada
Gupita dan Gupala, namun akhirnya para pengawal Menoreh
sendiri pun menjadi heran. Seorang petugas sandi yang berada
di dalam kelompok kecil itu segera berkata, "Tetapi dengan
demikian kita telah kehilangan kewaspadaan. Sebaiknya kita
melakukannya dengan hathati seperti yang baru saja terjadi.
Bukankah kita berhasil dengan baik" Cara itu ternyata adalah
cara yang sebaik-baiknya."
"Kita bukan pengecut," jawab Wrahasta, "pengecut yang
hanya berani menyergap lawan tanpa beradu dada."
"Bukan. Bukan sikap pengecut," jawab petugas sandi itu.
"Tetapi kita memang seharusnya berhathati di peperangan."
"Aku akan maju terus lewat jalan ini. Kemudian kita akan
bertempur dengan orang-orang yang ada di dalam gardu itu. Kita
baru akan dapat dikatakan berhasil dengan baik apabila dengan
beradu dada kita dapat membinasakan mereka."
Gupita mengerutkan keningnya. Dan ia melihat Wrahasta
menengadahkan kepalanya sambil berdesis, "Lihatlah bintangbintang
yang gemerlapan di langit. Mereka akan menjadi saksi,
bahwa malam ini seorang pemimpin pasukan pengawal Tanah
Perdikan Menoreh yang bernama Wrahasta telah berhasil
menunaikan tugasnya dengan sempurna. Tugas seorang lelaki
jantan. Bukan seorang pegecut. Dengan demikian apabila kita
berhasil maka kita baru dapat disebut sebenarnya pahlawan."
Wrahasta berhenti sejenak. Namun tiba-tiba semua orang
menahan nafasnya ketika Wrahasta itu seolah-olah berbicara
kepada bintang-bintang di langit, "He, bintang gemintang.
Apabila kita tidak bertemu lagi besok malam, maka kalian akan
mengenangkan jasaku atas tanah perdikan ini. Kalian akan
melihat bahwa aku bukan pengecut. Bukan orang yang sama
sekali tidak berharga seperti yang kalian sangka selama ini."
Orang-orang yang berada di dalam kelompok itu saling
berpandangan sejenak. Tetapi tidak seorang pun yang
berbicara. Sementara itu Wrahasta sambil tertawa kecil berkata
kepada mereka, "Nah, kita akan menyergap dari depan. Ingat.
Kita adalah laklaki."
Gupala yang terheran-heran pula mendekati Gupita sambil
berbisik, "He, apakah Wrahasta menjadi gila?"
"Hus," desis Gupita. "Tetapi cara ini memang sangat
berbahaya." "Tetapi menyenangkan," desis Gupala. "Aku sependapat."
"Ah, kau pun telah menjadi gila pula."
Gupita menjadi jengkel melihat Gupala malahan tersenyum.
Dipandanginya wajah Gupita yang berkerut merut. Namun
Gupala tidak berkata sesuatu.
Tetapi Gupita pun menyadari, bahwa ada perbedaan
tanggapan atas sikap Wrahasta dan Gupala, meskipun
keduanya ingin mempergunakan cara yang sama. Wrahasta
yang dimabukkan oleh kemenangan-kemenangan kecil itu
merasa dirinya menjadi terlampau cakap untuk melakukan
tugasnya. Sedang Gupala hanya sekedar terdorong oleh jiwanya
yang kadang-kadang menggeletak tanpa dapat dikendalikan. Ia
memang selalu ingin mengalami sesuatu yang dahsyat. Gupala
sama sekali tidak puas melakukan penyergapan atas orangorang
yang sedang tidur atau setengah tidur. Mengejutkan
mereka, dan sebelum mereka berbuat sesuatu, orang-orang di
dalam pasukannya telah berebutan menghunjamkan pedangnya.
"Apakah menariknya perkelahian serupa itu?" katanya di
dalam hati. Gupita menarik nafas. Tetapi ia tidak dapat mencegah
kelompok ini berjalan terus semakin mendekati mulut padesan di
depan mereka. "Wrahasta," berkata Gupita kemudian, "bukan berarti bahwa
kita takut menghadapi mereka beradu dada, tetapi apabila tibatiba
mereka membunyikan tanda bahaya, maka seluruh tugas
kita akan gagal." Wrahasta mengerutkan keningnya.
"Yang pengecut sama sekali bukan kita. Tetapi kalau orangorang
di dalam gardu itulah yang pengecut, akibatnya kitalah
yang akan mengalaminya. Pimpinan tertinggi pasukan menoreh
akan menganggap bahwa kita tidak mampu melakukan tugas
kita." Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan tiba-tiba
ia menggeram, "Itulah susahnya kalau kita tidak yakin bahwa kita
akan berhadapan dengan laklaki jantan."
"Dan pengecut yang demikian akan lari sebelum kita bertemu
pandang. Sebagian dari mereka akan segera memukul tandatanda
bahaya sebelum melihat jumlah lawan yang mereka
hadapi." "Bagus," jawab Wrahasta yang dengan demikan dapat
mendengar keterangan Gupita, "sebagian dari kalian harus
berlindung. Kalian akan berjalan di sepanjang parit, dan yang
sebagian akan menyusup di antara batang-batang jagung. Aku
akan berjalan di atas jalan ini seorang diri."
"Kenapa?" bertanya Gupita.
"Aku akan datang dari depan. Dan aku kira mereka tidak akan
segera memukul tanda-tanda apabila mereka hanya melihat aku
seorang diri." Gupita menarik nafas dalam-dalam. Tetapi itu akan jauh lebih
baik dari rencana Wrahasta semula.
Demikianlah ketika mereka telah menjadi semakin dekat
maka Wrahasta segera memerintahkan pasukannya untuk
memecah. Katanya kemudian, "Aku akan mulai dengan
perkelahian. Kalian harus segera menyergap dari arah masingmasing.
Jangan diberi kesempatan sama sekali untuk
memberikan tanda apa pun. Kentongan atau panah api atau
panah sendaren." Para pengawal di dalam kelompok kecil itu menganggukanggukkan
kepalanya. Namun para petugas sandi saling
berpandangan sejenak. Tetapi mereka kemudian menganggukanggukkan
kepala mereka pula. Meskipun demikian salah seorang dari mereka bertanya,
"Apakah tidak sebaiknya aku melihat lebih dahulu, apa saja yang
terdapat di dalam gardu?"
"Tidak perlu. Seandainya ada sepuluh atau lima belas orang,
apakah kalian takut?"
"Bukan takut." "Nah, kalau begitu, kita akan melakukannya dengan caraku.
Seandainya di dalam gardu itu ada sepuluh orang, kita masih
mempunyai beberapa kelebihan. Bukanah kita semuanya lebih
dari sepuluh orang. Seandainya jumlah mereka lebih banyak,
bukankah kalian juga tidak akan takut seandainya satu-dua di
antara kalian harus melawan lebih dari seorang?"
Jawaban Wrahasta itu sama sekali bukan yang dimaksud
oleh petugas sandi itu. Karena itu ia mencoba menjelaskan,
"Bukan soal takut atau berani. Tetapi setiap kali kita akan
kembali kepada persoalan tanda-tanda seperti yang dikatakan
Gupita tadi. Kalau satu saja di antara mereka sempat
membunyikan tanda-tanda itu, maka gagallah seluruh tugas
kita." "Itu akan tergantung kepada kemampuan kita," sahut
Wrahasta. "Seandainya ada di antara mereka yang sempat
membunyikan atau memberikan tanda apa pun juga, itu berarti
kalau kita memang tidak mampu. Dan jika demikian jangan
mengharap, bahwa kalian akan disebut pahlawan."
Petugas itu sama sekali tidak puas dengan jawaban
Wrahasta, seperti juga Gupita. Tetapi Wrahasta tiba-tiba sudah
menjadi seorang yang keras kepala. Agaknya ia ingin benarbenar
menjadi seorang pahlawan. Ia ingin menutup kekurangankekurangan
yang pernah terjadi pada dirinya. Ia harus dapat
merebut perhatian Pandan Wangi, bahwa ia adalah seorang
pahlawan. Bukan seorang yang sama sekali tidak berdaya
melawan anak muda yang gemuk itu.
Karena itu, maka tidak ada yang lebih baik dilakukan oleh
para pengawal itu selain mematuhi perintah Wrahasta. Sebagian
segera turun ke parit di sebelah jalan itu, parit yang mengairi
tanah persawahan. Sambil terbungkuk-bungkuk mereka berjalan
maju, di balik batang-batang ilalang dan pagar jarak yang
tumbuh di pinggir parit. Sedang yang lain segera menyusup di
antara batang-batang jagung di seberang jalan. Sedang
Wrahasta, seperti yang direncanakannya sendiri, berjalan
dengan dada tengadah di sepanjang jalan menuju ke mulut desa
di depan. Anak muda yang bertubuh raksasa itu berjalan dengan
tegapnya. Sekalkali ditatapnya langit yang digayuti oleh
bintang-bintang yang gemerlapan. Dipandanginya bauran
bintang di langit itu dengan seksama, seolah-olah tidak akan
pernah berjumpa lagi untuk selama-lamanya.
Wrahasta menarik nafas dalam-dalam. Sekalkali ia
mendengar gemerisik di sebelah-menyebelah jalan. Ia sadar,
bahwa ia sedang berjalan menuju ke tempat yang berbahaya.
Tetapi ia sudah siap, dan dengan dada terbuka akan
menghadapinya. Sementara itu, di gardu di regol desa, beberapa orang
penjaga sedang bercakap-cakap. Untuk mengisi waktu, mereka
bercakap-cakap hilir-mudik tidak berketentuan. Dua orang di
antara mereka berada di dalam regol sambil duduk di muka
perapian memanasi tubuh mereka. Dingin malam menjadi
semakin terasa menggigit tulang.
Namun di antara mereka itu terdapat seorang yang selalu
siap di depan regol, menyandang pedangnya yang telah
telanjang. Ia berjalan setapak-setapak menghilangkan kejemuan


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan udara dingin yang menyusup ke dalam tubuhnya. Meskipun
demikian setiap kali ia menyapu keremangan malam di
depannya dengan tatapan matanya yang tajam.
Tiba-tiba dadanya berdesir. Beberapa langkah di hadapannya
sesosok bayangan berjalan mendekatinya. Seakan-akan begitu
saja muncul dari dalam gelap.
Orang itu menggosok matanya, seolah-olah ia belum percaya
kepada penglihatannya. Namun bayangan itu semakin lama
menjadi semakin jelas berjalan mendekatinya.
Ketika bayangan itu tinggal beberapa langkah saja dari
padanya, penjaga itu merundukkan pedangnya sambil bertanya,
"Siapa kau, he?"
Tidak segera terdengar jawaban.
"Berhenti di situ!" penjaga itu mulai curiga. "Siapa kau?"
Masih belum terdengar jawaban, sedang bayangan itu masih
melangkah maju. Orang-orang yang berada di dalam gardu mendengar sapa
itu, sehingga beberapa orang meloncat turun sambil bertanya,
"Kau berbicara dengan siapa?"
Penjaga itu tidak menjawab, namun orang-orang yang turun
dari gardu itu pun segera melihat, bahwa seseorang melangkah
mendekati gardu mereka. Karena itu, maka serentak mereka
maju. Tangan-tangan mereka telah meraba hulu pedang di
lambung masing-masing. "Siapa kau?" pertanyaan itu terdengar kembali membelah
sepinya malam. Kini bayangan itu berhenti. Bayangan seorang anak muda
yang bertubuh raksasa. "Berapa orang kalian?" bertanya Wrahasta yang kini berdiri
sambil bersilang tangan di dada.
"Siapa kau" Jawab pertanyaanku!" bentak penjaga itu. Kini
orang itulah yang melangkah setapak maju.
Ketika jarak kedua orang itu menjadi semakin dekat, tiba-tiba
penjaga itu berdesis, "Kau Wrahasta?"
Mendengar desis itu, maka kawan-kawannya pun segera
maju pula. Mereka mengenal Wrahasta, sebagai seorang
pemimpin pengawal tanah perdikan yang tetap setia kepada Ki
Argapati. Karena itu, maka serentak para penjaga itu menarik
senjata masing-masing, berdiri berjajar dengan wajah-wajah
yang tegang. Namun Wrahasta masih tetap berdiri sambil
bersilang tangan. "Hem," Wrahasta menggeram, "Tanda, Nala, Dipa, dan siapa
lagi yang lain" Kemarilah kalian. Kau, kau dan kau" Aku
mengenal kalian meskipun nama-nama kalian agaknya aku telah
lupa, karena kalian adalah kelinckelinci yang tidak patut diingat
sama sekali." Beberapa orang segera mendesak maju. Sejenak mereka
terpukau oleh sikap Wrahasta yang begitu tenang dan yakin
akan dirinya sendiri. "Apa kerjamu di sini Wrahasta?" bertanya orang yang disebut
Nala. "Kau masih bertanya juga?" jawab Wrahasta. "Seharusnya
kau sudah tahu, bahwa aku pasti sedang mengemban tugas
Kepala Tanah Perdikan Menoreh melihat-lihat pengawalnya
yang telah berkhianat."
Nala mengerutkan keningnya. Namun terasa darahnya
mengalir semakin cepat. Katanya, "Kau jangan asal membuka
mulutmu saja Wrahasta. Kau harus menyadari, dengan siapa
kau sekarang berhadapan. Meskipun kau pernah menjadi
pemimpinku ketika aku masih ada di dalam pasukanmu, tetapi
sekarang kau adalah orang lain. Kau tidak berhak memerintah
aku lagi dengan cara apa pun juga."
"Aku memang tidak akan memerintahkan kau untuk berbuat
apa pun karena kau seorang pengkhianat," sahut Wrahasta.
"Diam!" bentak Nala, "Aku telah mengenal kau. Kau bukan
raksasa yang perlu ditakuti. Apakah yang telah mendorongmu
untuk datang seorang diri kemari" Apakah kau sekarang telah
mendapat seorang guru baru yang dapat membuat kulitmu
kebal?" "Jangan banyak bicara, Nala. Kumpulkan kawan-kawanmu.
Aku terpaksa membunuh kalian meskipun kita sudah lama saling
mengenal. Ini bukan persoalan kawan atau bukan kawan. Ini
adalah persoalan pokok bagi tegaknya Tanah Perdikan
Menoreh." "Wrahasta, ada dua kemungkinan yang terjadi atasmu
sekarang. Kau sudah menjadi kebal melampaui Ki Argapati, atau
kau sudah menjadi gila. Kalau kau masih waras, kau tidak akan
berbuat demikian. Kau melihat kami di sini. Beberapa orang
pengawal yang barangkali memang pernah kau kenal, ditambah
oleh beberapa orang yang melihat kebenaran perjuangan kami
yang berdiri di pihak Sidanti."
Wrahasta tertawa pendek. "Berapa orang seluruhnya."
"Tiga belas orang," jawab Nala, "kau dengar" Tiga belas
orang." Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia kini
terpaksa berpikir. Tiga belas orang. Cukup banyak.
"Tetapi orang-orangku berjumlah lebih dari tiga belas orang
termasuk Gupala dan Gupita," berkata Wrahasta di dalam
hatinya. "Nah, kau dengar jumlah itu," berkata Nala kemudian.
"Apakah kau mempunyai ajaji Bala Srewu atau Pancasona atau
Narantaka?" Tetapi Wrahasta justru tertawa. Jawabnya, "Jangan
berbangga karena jumlah kalian yang banyak itu. Sebentar lagi
kalian akan segera kami bunuh. Benar-benar menurut arti kata
itu, kami bunuh." "Persetan. Menyerahlah."
Wrahasta mengerutkan keningnya. Nala telah melangkah
maju dengan senjata di tangan. "Kepung raksasa yang sedang
bingung ini." Beberapa orang segera bergerak. Mereka bermaksud
mengepung Wrahasta. Tetapi Wrahasta tidak berdiri saja di
tempatnya. Ia pun kemudian melangkah beberapa langkah surut.
Dengan demikian maka orang-orang yang akan
mengepungnya meloncat-loncat semakin cepat dan menebar
semakin jauh, sehingga akhirnya mereka menjadi seleret garis
lengkung yang sedang memburu Wrahasta yang melangkah
surut. Gupita menarik nafas dalam-dalam menyaksikan hal itu.
Semakin jauh mereka dari gardu, maka tugas para pengawal itu
pun menjadi semakin sulit, karena sebagian dari para penjaga itu
masih tetap berada di depan regol.
"Hathati," teriak Nala kemudian, "aku belum mengatakan
kemungkinan ketiga. Justru kemungkinan yang paling dekat.
Wrahasta tidak saja menjadi kebal atau gila, tetapi ia dapat
membawa sepasukan pengawal yang dungu bersamanya."
Mendengar kata-kata Nala itu Wrahasta menjadi berdebardebar.
Sedang para penjaga itu kini telah benar-benar
melingkarinya. Karena itu, seperti pesannya kepada para
pengawal, begitu ia memberikan isyarat, mereka harus segera
menyergap. Dan Wrahasta yang sudah hampir terkepung rapat
itu merasa, bahwa waktunya telah tiba.
Dengan demikian maka tiba-tiba saja terdengar suaranya
menggeletar, "Sekarang. Hancurkan seisi regol ini."
Suara itu segera disambut oleh Nala, "Benar kataku. Hathati.
Mereka akan segera muncul dari persembunyian."
Para pengawal yang memang sudah siap itu pun segera
berloncatan dari balik pohon-pohon jarak dan batang-batang
jagung, langsung menyerang para peronda itu, yang telah siap
menyongsong mereka. Kali ini para pegawal benar-benar harus bertempur. Mereka
tidak hanya sekedar menghunjamkan senjata-senjata mereka ke
dada orang-orang yang sedang tidur.
"Gila kau, Wrahasta," geram Nala.
Terdengar suara tertawa Wrahasta. Kemudian jawabnya,
"Sudah aku katakan, aku akan membunuh kalian satu demi
satu." Pertempuran pun segera berkobar. Setiap orang mendapat
lawan masing-masing. Namun ternyata bahwa jumlah orangorang
yang dibawa oleh Wrahasta, termasuk para petugas
sandi, masih lebih banyak dari tiga belas orang yang berada di
regol itu. Apalagi yang datang bersama Wrahasta terdapat
Gupita dan Gupala. Meskipun Gupita masih tetap berusaha mengekang dirinya,
namun Gupalalah yang seakan-akan mendapat sejumlah
permainan yang menyenangkan. Karena itu, maka seperti orang
yang sedang menari ia berloncatan mempermainkan pedangnya.
Dan adegan-adegan maut dari tarian anak muda yang gemuk itu
benar-benar telah mencemaskan lawan-lawannya.
Para penjaga regol itu segera merasa, bahwa mereka tidak
akan dapat melawan kekuatan Wrahasta bersama kawankawannya.
Karena itu salah seorang dari mereka, segera
merayap di dalam kegelapan, mendekati tanda bahaya yang
tergantung di emper regolnya. Dengan tangan gemetar diraihnya
pemukul kentongan yang berada di sudut regol.
Wrahasta yang melihat orang itu menjadi berdebar-debar
karenanya. Dengan serta-merta ia berteriak, " He, orang itu.
Orang itu." Tetapi jarak mereka tidak cukup dekat dengan kentongan itu.
Dalam keremangan api perapian yang masih menyala di dalam
regol, tampaklah orang itu telah berhasil menggenggam pemukul
kentongan dan dengan serta-merta meloncat siap untuk
membunyikan tanda. "Tahan orang itu!" terak Wrahasta.
Tidak akan ada seorang pun yang mampu meloncat sejauh
itu. Sehingga dengan demikian tidak akan ada seorang pun yang
dapat menghalanginya mengangkat tangannya untuk
mengayunkan pemukul itu. Namun tiba-tiba orang itu menyeringai kesakitan. Pemukul itu
terlepas dari tangannya ketika terasa sesuatu menyengat lengan
dan sekejap kemudian pergelangan tangannya. Belum lagi ia
mengerti apa yang terjadi, maka terasa tengkuknya telah dikenai
oleh sebongkah batu, sehingga ia terhuyung-huyung beberapa
langkah dan jatuh tertelungkup.
Sejenak kemudian matanya menjadi semakin gelap, sehingga
akhirnya ia pun jatuh pingsan.
Ternyata Gupita yang menjadi cemas pula melihat orang yang
hampir berhasil membunyikan tanda bahaya itu bertindak cepat.
Diraihnya beberapa butir batu. Dengan kecakapannya membidik
yang luar biasa ia berhasil menggagalkan usaha orang itu untuk
menyentuh kentongannya. Melihat kawannya jatuh terjerembab, Nala menggeram. Tibatiba
saja pedangnya telah terayun ke arah lambung Wrahasta.
Namun raksasa itu cukup cepat menghindar, sehingga ujung
senjata itu tidak menyentuhnya.
Dalam pada itu perkelahian pun berkobar terus semakin lama
semakin dahsyat. Para penjaga yang kemudian seakan-akan
menjadi berputus asa, telah berkelahi membabi buta.
Namun satu-satu mereka jatuh di tanah untuk tidak bangkit
lagi, sehingga pada suatu saat orang yang terakhir, Nala, tidak
dapat lagi menghindarkan diri dari ujung senjata Wrahasta,
disaksikan oleh para pengawal. Nala masih sempat mendengar
salah seorang pengawal yang pernah dikenalnya berkata
kepadanya, "Hukuman yang pantas bagi seorang pengkhianat."
Nala menggeliat. Dengan nanar ia mencoba menatap para
pengawal, bekas kawan-kawannya itu mengerumuninya. Namun
kemudian serasa tulang-tulangnya terlepas dari tubuhnya.
Matanya pun menjadi gelap, dan sebuah tarikan nafas yang
patah telah menandai kematiannya.
Wrahasta berdiri dekat di samping tubuh Nala yang terbujur di
tanah. Ia masih sempat tertawa sambil menimang-nimang
pedangnya. Namun suara tertawanya itu terputus ketika seorang
pengawal mengangkat sesosok tubuh dan meletakkannya di
muka Wrahasta. "He, kenapa dia?"
"Ia terbunuh dalam pertempuran ini."
Wrahasta mengerutkan keningnya, "Jadi, ada juga yang mati
di antara kita?" Pengawal itu mengangguk. "Gila, siapa yang membunuh?"
"Salah satu dari mayat-mayat yang bergelimpangan ini."
"Gila. Sungguh-sungguh gila. Beberapa gardu sudah kita
lampaui tanpa korban seorang pun. Tetapi di sini kami
kehilangan seorang kawan."
"Dan tiga orang telah terluka."
Wrahasta seakan-akan membeku di tempatnya. Tangannya
menggenggam pedangnya erat-erat. Terdengar giginya
gemeretak dan wajahnya menjadi semerah soga.
"Kita berjumlah lebih banyak. Sepuluh orang, ditambah
dengan para petugas sandi, aku sendiri dan dua gembala itu.
Kenapa kita harus menyerahkan korban di dalam tugas ini?"
geram Wrahasta. Tidak seorang pun merasa wajib untuk menjawab. Karena itu
maka para pengawal itu pun terdiam.
"Kita harus menukar nyawa ini dengan sepuluh nyawa lawan."
Para pengawal itu masih belum juga menjawab. Namun di
dalam kesepian yang mencekam terdengar suara Gupala, "Lebih
dari sepuluh." Wrahasta berpaling ke arah suara itu, dan ia melihat anak
yang gemuk itu berdiri sambil meraba-aba perutnya, "Berapa
orang yang telah kita bunuh bersama-sama" Lebih dari sepuluh,
dan kita masih harus membunuh pula. Kita akan merayap ke
gardu-gardu yang lain di dalam desa ini yang tentu akan di jaga
oleh orang-orang Ki Tambak Wedi seperti gardu ini. Dan kita
harus membinasakan mereka pula, apabila kita tidak ingin
diketahui oleh lawan sebelum kita memasuki padukuhan induk
itu." Wrahasta mengerutkan keningnya. Kemudian menganggukanggukkan
kepalanya, "Ya, lebih dari sepuluh."
"Tetapi akan lebih baik kalau kita tidak kehilangan seorang
pun." Kemudian terdengar suara Gupita, "Setidak-tidaknya kita
jangan menambah korban lagi, setelah kami kehilangan seorang
kawan dan beberapa orang yang lain terluka. Kecuali korban itu
menjadi terasa terlampau mahal, kita juga kehilangan sejumlah
tenaga dalam pertempuran-pertempuran yang mendatang
apabila kita menyelesaikan para penjaga di gardu-gardu."
"Tentu. Kita tidak akan menjadi gila dengan menyerahkan
korban-korban dengan sengaja. Apa yang terjadi adalah di luar
kemampuan kita. Tidak seorang pun dapat disalahkan," jawab
Wrahasta.

02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Benar. Namun kita harus berusaha. Kita harus mengurangi
hal-hal yang sama sekali tidak perlu. Kita harus menghemat
tenaga." "Aku tidak mengerti maksudmu."
"Kita tidak perlu bersikap sebagai seorang pahlawan. Kita
akan kehilangan waktu. Lebih baik kita mempergunakan cara
yang terdahulu. Terbukti dengan demikian kita tidak kehilangan
apa pun. Meskipun keadaan kita sekarang sudah berbeda. Kita
menjadi semakin sedikit, sedang lawan yang kita hadapi akan
menjadi semakin banyak. Aku yakin bahwa gardu-gardu di
padesan ini, padesan yang menghadap ke padukuhan induk,
akan mendapat penjagaan yang semakin kuat. Gardu yang
berada di ujung lain dari lorong ini pasti berisi lebih dari tiga
belas orang." Wrahasta mengerutkan keningnya. Ia menyadari
kesalahannya, bahwa ia telah terdorong oleh suatu kebanggaan
yang tidak dapat dikendalikannya. Tetapi semuanya sudah
terlanjur, sehingga karena itu ia bertanya, "Lalu, bagaimana
sebaiknya?" "Kita berjalan terus. Tetapi kita harus menjadi lebih berhatihati.
Kita akan mempergunakan cara-cara yang paling aman,
dengan mengendapkan perasaan yang meledak-ledak."
Wrahasta tidak segera menjawab.
"Kita akan mendekati setiap gardu dengan diam-diam."
"Kemudian berkelahi melawan orang-orang yang sedang
tidur," sahut Gupala.
Gupita mengerutkan keningnya. Jawabnya, "Memang kita
tidak perlu membunuhnya. Kita dapat membuat mereka pingsan.
Mereka tidak akan banyak berarti lagi. Sebentar lagi kita sudah
akan berada di dalam gelar, dan bertempur beradu dada.
Seandainya mereka kemudian sadar, mereka tidak akan dapat
berbuat apa-apa lagi."
"Bodoh. Terlalu bodoh," bantah Wrahasta. "Aku sependapat
dengan kau tentang cara yang akan kita pakai untuk
membungkam setiap gardu di depan kita. Tetapi tidak begitu
cengeng seperti yang kau maksudkan."
Gupita tidak menjawab. Tetapi sekali lagi ia mendengar
Gupala berbisik di telinganya, "Kau memang aneh, Kakang."
Gupita menarik nafas dalam-dalam. Tidak hanya satu-dua kali
adik seperguruannya itu membisikkan kalimat-kalimat itu.
"Baiklah, kita akan maju lagi. Semua orang ikut bersama
kami. Setelah tugas kami di dalam padesan ini selesai, barulah
kita akan memberi laporan terakhir kepada pasukan induk."
Setelah meletakkan mayat seorang kawannya di dalam
gardu, maka pasukan kecil itu berjalan lagi. Tiga orang yang
terluka telah mendapat pertolongan sementara. Tetapi ternyata
bahwa luka itu tidak terlampau berat, sehingga mereka masih
mungkin untuk bertempur. Demikianlah ketika mereka mendekati gardu kedua di dalam
padesan itu, mereka tidak lagi membiarkan Wrahasta tenggelam
di dalam arus kebanggaannya yang berlebih-lebihan. Kelompok
itu pun kemudian merayap dengan hathati mendekat. Seorang
petugas sandi harus berusaha mengetahui dan mencoba untuk
menilai kekuatan lawan. "Paling sedikit mereka berjumlah lima belas orang," seorang
petugas sandi menyampaikan hasil pengamatannya kepada
Wrahasta. Wrahasta mengerutkan keningnya. Jumlah mereka kini sudah
berkurang pula karena sudah ada beberapa orang yang terluka.
"Tetapi tugas ini harus kita laksanakan," geramnya.
"Kita harus menyergap dengan tiba-tiba," desis Gupala, "Kali
ini kita tidak boleh bermain-main."
Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya, "Marilah, kita
mendekat." Dengan sangat hathati kelompok itu pun maju mendekat.
Sebagian dari para penjaga itu justru berada di luar regol.
Mereka duduk-duduk di atas batu yang berserakan di tikungan
jalan. "Jangan beri kesempatan mereka mencabut senjata mereka,"
desis Wrahasta. Gupita mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini keningnya
pun telah mulai berkerut-merut. Ia tidak akan dapat terlampau
banyak berpikir lagi untuk menghindari kemungkinan, bahwa
senjatanya pun akan terhunjam di dada lawan. Apalagi kini
ternyata bahwa jumlah lawan agak lebih banyak, meskipun tidak
berselisih terlalu jauh. Sejenak kemudian Wrahasta diam dalam ketegangan.
Seakan-akan memberi kesempatan kepada orang-orangnya
untuk membuat ancang-ancang. Sekali ia menarik nafas dalamdalam,
kemudian ia mengangkat tangannya perlahan-lahan.
Setiap orang di dalam kelompok kecil itu memperhatikan
tangan itu dengan seksama. Apabila tangan itu kemudian tegak,
maka setiap orang segera mempersiapkan dirinya.
Wrahasta tidak menunggu lebih lama lagi. Sebelum salah
seorang penjaga di gardu itu melihat tangannya, maka
tangannya tiba-tiba telah diayunkannya.
Demikian tangan itu bergerak, maka seperti digerakkan oleh
satu tenaga gaib, orang-orang di dalam kelompok kecil itu
meloncat dari persembunyian mereka. Satu-dua orang yang
tidak dapat menahan ketegangan di dalam dadanya, tanpa
disadari telah menggeram sambil menghentakkan dirinya.
Orang-orang yang sedang duduk di tikungan, yang sedang
berada di dalam gardu dan yang sedang berjalan hilir-mudik di
muka regol, terkejut bukan kepalang. Namun mereka adalah
orang-orang yang terlatih seperti para pengawal itu. Bahkan ada
di antara mereka yang dahulu memang seorang pengawal,
ditambah dengan orang-orang yang cukup berpengalaman
dalam petualangan bersenjata.
Karena itu, maka dengan gerak naluriah, mereka pun
berloncatan sambil mencabut senjata-senjata mereka.
Hanya Gupala dan Gupita sajalah yang sempat mencapai
lawannya sebelum lawannya menarik senjata mereka. Gupala
dengan serta-merta telah membelah dada lawannya, sedang
pedang Gupita melukai pundak kanan. Orang itu terdorong surut,
namun kemudian sebuah pukulan mengenai punggungnya.
Meskipun ia menyadari bahwa lawannya hanya bersenjata
pedang, namun ia tidak merasa punggungnya menganga
karenanya. Ternyata Gupita telah memukul punggung orang yang terluka
itu dengan punggung pedangnya. Ia melihat lawannya itu
terhuyung-huyung, kemudian jatuh terjerembab. Sejenak orang
itu mencoba merangkak, namun kemudian perasaan sakit yang
tidak tertahankan lagi telah menjalari tulang-tulangnya. Bintang
di langit yang bertaburan itu serasa menjadi berputaran. Dan
sesaat kemudian maka ia pun terjatuh kembali. Pingsan.
Barulah sekejap kemudian kawan-kawannya menyusul.
Mereka menyerbu seperti badai melanda tebing. Tetapi lawanlawan
mereka pun bukan sebuah patung kayu. Untuk mendapat
kesempatan mencabut senjata, mereka berloncatan mundur
beberapa langkah. Kemudian dengan senjata di tangan, mereka
menyongsong lawan-lawan mereka.
Sejenak kemudian terjadilah pertempuran yang seru. Gupala
dan Gupita segera menempatkan diri mereka di sekitar gardu,
agar tidak seorang pun dari lawan yang sempat memukul tanda
bahaya. Pemimpin penjaga itu marah bukan buatan. Serangan yang
tiba-tiba itu benar-benar telah mengejutkan mereka. Dua orang
di antara mereka telah jatuh tanpa perlawanan sama sekali.
Karena itu, maka yang masih hidup merasa wajib untuk
menuntut balas. Dengan demikian, maka tandang mereka pun menjadi
garang. Bahkan ada beberapa orang di antara mereka menjadi
buas dan liar. Ternyata pekerjaan kelompok kecil itu kini terasa terlampau
berat. Mereka tidak sekedar menusuk perut dan lambung orang
yang sedang tidur dan setengah tidur. Kini mereka harus
bertempur, melawan orang-orang yang cukup kuat dan tangguh.
Bahkan dalam pertempuran yang singkat, segera tampak,
bahwa ada beberapa orang pengawal yang mengalami kesulitan
melawan orang-orang yang menjadi buas dan kasar.
Gupita dan Gupala segera melihat kesulitan yang dialami oleh
pasukan kecil itu. Di dalam hati Gupala bersyukur, bahwa
pasukan ini tidak lagi datang dengan cara yang baru saja
mereka pergunakan. Jika demikan, maka perlawanan ini akan
menjadi terlampau berat bagi Wrahasta dan pasukannya.
Kini tidak ada pilihan lain bagi keduanya untuk bertempur
dengan sepenuh tenaga. Mereka harus mengurangi lawan
secepat-cepat dapat mereka lakukan. Jika mereka terlambat,
maka korban akan berjatuhan di pihaknya.
*** Dengan demikian, maka mereka tidak dapat lagi
menempatkan diri mereka seperti para pengawal yang lain.
Mereka harus berbuat sejauh-jauh dapat mereka lakukan,
meskipun dalam ungkapan terdapat beberapa perbedaan antara
keduanya. Gupala dengan garangnya kemudian memutar pedangnya.
Setiap sentuhan dengan pedangnya itu, berarti bahwa lawannya
telah kehilangan senjatanya. Akibat berikutnya tidak akan dapat
mereka hindari lagi. Pedang Gupala segera menembus dada.
Di bagian lain dari pertempuran itu, Gupita telah
melumpuhkan lawan-lawannya. Tidak dapat lagi ia menghindari
kemungkinan yang paling parah bagi lawannya apabila
pedangnya terpaksa menyentuh leher dan dada.
Pertempuran kali ini telah benar-benar menitikkan keringat
dan darah. Dengan nafas terengah-engah Wrahasta berhasil
menyelesaikan lawannya. Kemudian ia melihat orang terakhir
yang mencoba melarikan dirinya telah terbunuh oleh Gupala.
Namun ia tidak dapat menahan kemarahan yang meluap-luap
sehingga terdengar giginya gemeretak. Setelah pertempuran itu
selesai, maka segera Wrahasta mengetahui, bahwa tiga orang
kawannya telah terbunuh. "Gila. Benar-benar gila. Tiga orang lagi telah terbunuh,
sehingga korban dari tugas ini menjadi terlampau banyak. Empat
orang mati dan sejumlah yang lain luka-luka."
"Dan kita masih belum selesai," desis Gupala.
Wrahasta menarik nafas dalam-dalam. Kini ia tidak dapat
mengingkari kenyataan. Kedua anak-anak muda itulah yang
sebenarnya telah mengambil peranan. Bukan dirinya. Tanpa
kedua anak-anak muda yang mengaku diri mereka gembala itu,
Wrahasta tidak dapat menyebutkan, apa yang telah terjadi
dengan pasukan kecilnya ini.
"Jadi," kini Wrahastalah yang bertanya, "apakah kita akan
melanjutkan tugas ini?"
Gupita terdiam sejenak. Dipandanginya setiap orang di dalam
kelompok itu. Tiga orang lagi kini terbujur diam, sedang
beberapa orang yang lain telah terluka. Bahkan ada yang tidak
akan mampu lagi bertempur sewajarnya.
"Tinggal tujuh orang yang masih utuh," desis Gupita di dalam
hatinya. Gupala yang berdiri beberapa langkah daripadanya pun
menjadi ragu-ragu pula. Meskipun anak muda itu jarang sekali
membuat pertimbangan-pertimbangan, tetapi kali ini ia melihat
suatu kenyataan bahwa pasukan kecil ini sudah tidak memiliki
kemampuan seperti yang diharapkan.
"Tetapi tanpa perambas jalan, maka korban di induk pasukan
akan berlipat-lipat," desis Gupala di dalam hatinya.
Sejenak kemudian Gupita menarik nafas. Katanya, "Terserah
pertimbanganmu Wrahasta. Kekuatan kita tinggal tujuh orang.
Beberapa orang yang terluka masih mungkin untuk sekedar
membantu. Tetapi bagi mereka yang hampir tidak lagi mampu
menggerakkan tangannya, sudah tentu, sebaiknya mereka tidak
ikut bertempur, supaya mereka tidak menjadi korban di gardu
berikutnya." Wrahasta memandang anak buahnya dengan tajamnya.
Kemudian dengan nada berat ia bertanya, "Nah, bagaimana
pendapat kalian. Kalau kita meneruskan tugas ini, kalian harus
menyadari bahwa sebagian dari kita tidak akan keluar lagi dari
pertempuran itu. Kita tidak tahu siapakah yang akan menjadi
korban berikutnya. Namun setiap kalian masing-masing
mendapat kemungkinan yang sama."
Tidak seorang pun yang menjawab.
"Kita sebaiknya melanjutkan tugas ini," desis Gupala.
Wrahasta mengangguk. "Ya, itu adalah tindakan yang paling
tepat. Siapa yang menyadari kemungkinan akan dirinya, ikut
aku. Aku akan berjalan terus. Siapa yang berkeberatan, lebih
baik kembali bersama induk pasukan."
Orang-orang itu masih mematung.
"Nah, siapakah yang berkeberatan?"
Tidak seorang pun yang menjawab.
"Terima kasih," geram Wrahasta, "semua akan pergi
bersamaku. Meskipun demikian, mereka yang terluka aku
persilahkan menghubungi pasukan induk. Sampaikan kepada Ki
Samekta semua kemungkinan. Kalau kami gagal di gardu
terakhir, mereka harus segera maju secepat-cepatnya. Kalau
kami tidak berhasil membinasakan orang-orang di dalam gardu
itu, maka tanda bahaya akan segera berbunyi. Dengan demikian
berarti, bahwa pasukan Ki Tambak Wedi masih mempunyai
kesempatan untuk mempersiapkan diri, meskipun kesempatan
itu teramat pendek, karena pasukan induk kini pasti sudah
menjadi semakin dekat pula. Tetapi agaknya akan lebih baik,
apabila mereka sama sekali tidak menyadari bahwa pasukan
Menoreh telah berada di dalam lingkungan mereka."
Meskipun demikian di antara yang terluka itu ada yang
menjawab, "Aku akan ikut bertempur."
Wrahasta menarik nafas. Jawabnya, "Terima kasih. Tetapi
yang cukup parah, aku terpaksa melarang. Kalian harus kembali
ke induk pasukan. Kalian harus memberitahukan bahwa mereka
harus maju lebih cepat untuk menjaga segala kemungkinan."
Mereka yang memang sudah tidak mungkin lagi untuk maju,
menganggukkan kepala mereka. Meskipun mereka telah terluka,
tetapi mereka memang tidak seharusnya membunuh diri. Karena
itu, maka setelah mendapat perawatan sementara, mereka pun
segera mundur ke induk pasukan.
Kini tujuh orang yang masih utuh dan dua orang yang telah
terluka ringan, meneruskan perjalanan mereka. Masih ada
sebuah gardu lagi sebelum mereka sampai ke bulak pendek di
seberang padesan itu. Di bulak pendek itulah nanti, pasukan
Menoreh akan memasang gelar untuk memasuki padukuhan
induk. Dan gelar itu pun akan segera berubah bentuknya,
apabila pasukan Ki Tambak Wedi tidak menyongsong mereka di


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

luar padukuhan. Dengan sangat hathati, mereka merayap mendekati gardu
terakhir. Mereka sudah menduga bahwa gardu ini pun pasti
dijaga dengan baik oleh orang-orang Ki Tambak Wedi.
Dugaan mereka ternyata tidak meleset. Seorang petugas di
antara mereka yang berhasil mendekat melaporkan kepada
Wrahasta. "Mereka kira-kira berjumlah dua belas atau tiga belas
orang." Wrahasta menarik nafas dalam-dalam. Orangnya kini tinggal
berjumlah sembilan orang, termasuk dirinya sendiri.
Dengan penuh kebimbangan Wrahasta memandang Gupita
dan Gupala bergantganti. Sejenak kemudian ia bertanya,
"Bagaimanakah pertimbangan kalian?"
Yang menjawab adalah Gupala, "Kita sudah berada di muka
hidung mereka. Kenapa kau masih ragu-ragu."
Wrahasta mengerutkan keningnya. Ditatapnya wajah Gupala
sejenak. Kemudian beralih kepada Gupita.
"Baiklah kita selesaikan tugas kita," desis Gupita pula. "Kita
harus berjuang matmatian. Mungkin di dalam gardu itu masih
ada satu dua orang yang lepas dari pengamatan. Itu pun harus
kita perhitungkan, sehingga sedikitnya setiap orang dari kita
harus menghadapi dua orang sekaligus. Karena itu kita harus
lebih berhathati. Kita akan merayap sedekat mungkin sehingga
kita akan dapat menerkam mereka dengan tiba-tiba tanpa
memberi kesempatan sama sekali."
Wrahasta menganggukkan kepalanya.
Demikianlah maka kesembilan orang itu segera merayap. Kini
mereka memencar menjadi tiga kelompok. Sekelompok dipimpin
langsung oleh Wrahasta, sekelompok Gupita, dan sekelompok
yang lain dipimpin oleh Gupala.
Kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari masing-masing tiga
orang itu merayap semakin dekat. Mereka memilih arah yang
berbeda untuk membangkitkan kebingungan di pihak lawan yang
jumlahnya agak lebih banyak. Wrahasta dan Gupala harus
mendahului menyerang, sedang dalam kegugupan, Gupita akan
memanfaatkan keadaan masing-masing bersama kedua kawankawan
mereka di setiap kelompok kecil itu.
Semakin dekat kelompok-kelompok kecil itu ke depan para
penjaga, dada mereka menjadi semakin berdebar-debar. Tugas
ini adalah tugas yang sangat berat bagi mereka.
Beberapa langkah di hadapan gardu itu, Wrahasta dan
kelompok-kelompok yang lain pun berhenti. Mereka
bersembunyi di balik gerumbu1-gerumbul liar dan tanamantanaman
di sawah. Gupita yang menyusur dinding batu segera
membawa kedua kawannya meloncat masuk.
Kini para pengawal itu dapat melihat para penjaga yang
duduk dengan tenangnya di dalam dan di sisi gardu. Mereka
tidak terkantuk-kantuk, tidak bergurau dan berbantah. Tetapi
terasa bahwa orang-orang di dalam gardu itu sedang merenungi
masing-masing dengan penuh tanggung jawab.
Setiap orang yang berada di dalam kelompok-kelompok kecil
itu menjadi berdebar-debar. Tugas mereka benar-benar berat.
Mereka harus berhadapan dengan sepasukan penjaga yang
tangguh. Bahkan jumlahnya pun agak lebih banyak dari
sembilan orang, sedang yang dua di antaranya telah terluka
meskipun tidak terlampau parah.
Wrahasta mencoba mengatur pernafasannya. Dipandanginya
arah Gupala bersembunyi bersama kedua kawannya, kemudian
ditatapnya mulut lorong itu tajam-tajam.
Sejenak kemudian Wrahasta itu menyiapkan dirinya.
Diberinya kedua kawan-kawannya itu isyarat, agar mereka siap
untuk meloncat. Dan sejenak kemudian terdengar suara raksasa
itu membelah langit. "Sekarang. Binasakan mereka."
Setiap orang di dalam gardu itu terkejut. Dengan gerak
naluriah mereka berloncatan menghadapi ketiga orang yang
tiba-tiba saja telah menyerang mereka.
Tetapi Wrahasta kini sama sekali tidak berkesempatan untuk
menusukkan senjatanya begitu saja. Seorang penjaga yang
sedang bertugas benar-benar telah siap menghadapi segala
kemungkinan. Karena itu ketika dilihatnya ketiga orang yang
berloncatan itu, tombaknya segera merunduk dan
menyongsongnya. Wrahasta segera menyerang orang yang bersenjata tombak
itu dengan garangnya, sedang kedua orang kawannya yang lain
dengan serta-merta menyerbu orang itu pula. Kesempatan yang
hanya sekedjap itu ternyata dapat mereka pergunakan sebaikbaiknya.
Sebelum para penjaga yang lain sempat mencapai
penjaga yang sedang bertugas itu, Wrahasta dengan kedua
kawan-kawannya telah berhasil menembus lambungnya dengan
pedang. Para penjaga yang lain pun berteriak marah sekali. Dengan
penuh kemarahan mereka berlari menyerang Wrahasta dengan
kedua kawannya. Tetapi tanpa mereka duga-duga, Gupala meloncat seperti tatit
menyerang salah seorang dari mereka. Begitu tiba-tiba,
sehingga kedua kawannya yang meloncat bersamanya tertinggal
beberapa langkah. Beberapa orang tertegun melihat kedatangan ketiga orang
dari arah yang lain ini. Tetapi mereka tidak mendapat
kesempatan. Agaknya dalam keadaan yang gawat, Gupala tidak
lagi menggenggam pedang di tangan kanannya. Seperti yang
dikatakannya, pedang itu dipegangnya dengan tangan kiri, dan
tangan kanannya memegang senjata ciri perguruannya. Sebuah
cambuk panjang. "Orang-orang di seberang bulak itu tidak akan mendengar
suara cambuk ini asal aku tidak meledakkannya dengan
sepenuh kekuatan tanpa sasaran," berkata Gupala di dalam
hatinya. "Apabila ujung-ujung cambuk ini menyentuh seseorang,
maka suaranya tidak akan mengganggu."
Dan ternyata serangan cambuk Gupala itu telah mengejutkan
lawannya. Dengan gerakan sendal pancing, maka pada
serangan pertama Gupala telah berhasil melemparkan seorang
lawan. Namun kali ini anak yang gemuk itu tidak sempat
memperhatikannya, apakah lawannya itu dengan demikian telah
terbunuh. Dengan segera Gupala telah menyerang orang kedua yang
dengan susah payah mencoba menghindarinya. Namun
bagaimanapun juga punggungnya serasa disengat oleh puluhan
lebah. Terdengar ia berdesis menahan sakit. Namun dengan
demikian, matanya segera menjadi merah karena kemarahan
yang tidak ada taranya. Dalam kekisruhan itulah Gupita hadir bersama kedua kawankawannya
justru dari dalam regol, sehingga untuk sejenak, para
penjaga regol itu menjadi bingung. Namun karena pengalaman
mereka, maka mereka pun segera berhasil memperbaiki
keadaan mereka dan mengatur diri dalam perlawanan yang
teratur. Meskipun di saat-saat permulaan itu, beberapa orang telah
terbunuh, namun ternyata jumlah mereka masih lebih banyak
dari jumlah pasukan kecil yang tinggal sembilan orang itu.
Namun ternyata bahwa senjata Gupala yang lentur dan agak
panjang itu, sangat membantunya untuk menghadapi dua tiga
orang sekaligus, meskipun setiap sentuhan senjata itu akibatnya
agak berbeda dengan akibat sentuhan ujung pedang. Tetapi
dengan demikian, maka senjata itu segera dapat mengurangi
kemampuan lawan. Gupita agaknya sependapat pula dengan adik
seperguruannya. Maka setelah mengambil ancang-ancang
sejenak, ia pun segera mengurai senjatanya yang dibelitkannya
di lambung, di bawah bajunya.
Dengan demikian, maka sepasang cambuk panjang itu telah
sangat membingungkan lawan-lawannya. Tanpa mereka
sangka-sangka, tiba-tiba saja leher mereka telah disengat oleh
ujung cambuk yang mampu menyayat kulit.
Sejenak kemudian, maka perkelahian itu menjadi semakin
seru dan kasar. Dengan pedangnya Wrahasta mengamuk
seperti harimau luka. Kawan-kawannya pun berusaha sekuatkuat
tenaga untuk melawan jumlah yang lebih banyak itu.
Namun agaknya Gupita dan Gupala-lah yang sangat menarik
perhatian lawan-lawan mereka, sehingga dengan demikan maka
sebagian dari mereka telah berkerumun di sekitar kedua anakanak
muda itu untuk menahan agar keduanya tidak
menimbulkan korban yang semakin banyak.
Untuk menghadapi mereka, Gupita dan Gupala tidak lagi
sempat bermain-main. Kini mereka bertempur, sebenarnya
bertempur. Namun keduanya memang memiliki banyak kelebihan dari
anak-anak muda kebanyakan. Meskipun tiga orang melawannya
sekaligus, namun kedua anak-anak muda itu tdak terlampau
banyak mengalami kesulitan. Dengan mengerahkan kemampuan
mereka, maka mereka segera berhasil mengatasi lawanlawannya.
Yang harus mereka lakukan adalah segera
membinasakan lawan. Secepat-cepatnya supaya mereka masih
mempunyai waktu untuk menolong kawan-kawannya.
Demikianlah maka pertempuran kecil itu segera mencapai
puncaknya. Adalah menguntungkan sekali bahwa para penjaga
itu telah memusatkan perhatian mereka kepada Gupita dan
Gupala. Dengan demikian maka kawan-kawannya yang lain
mendapat kesempatan untuk menghadapi lawan seorang
dengan seorang. Meskipun demikian ternyata bahwa penjaga itu bukan orangorang
yang dapat dengan mudah mereka kuasai. Bahkan ada di
antara mereka yang segera dapat mendesak para pengawal.
Lawan Wrahasta pun ternyata bukan seorang yang dapat
diremehkan. Raksasa itu terpaksa memeras segenap
kemampuannya untuk melawan. Meskipun mereka teah
bertempur beberapa lama, namun belum ada tanda-tanda
bahwa Wrahasta segera dapat menguasainya.
Yang sealu mendapat perhatian dari para pengawal,
bagaimanapun juga mereka dalam kesibukan mempertahankan
diri, adalah kemungkinan para penjaga itu membunyikan tandatanda.
Karena itu maka para pengawal termasuk Gupita dan
Gupala selalu berusaha, agar tidak seorang pun yang
berkesempatan menyentuh kentongan atau tanda-tanda yang
lain. Ternyata Gupita dan Gupala memang anak-anak muda yang
pilih tanding. Sejenak kemudian lawan-lawan mereka sama
sekali sudah tidak berdaya. Ketika ujung cambuk Gupala
menyambar leher seorang lawan, maka dengan sekuat tenaga
cambuk itu dihentakkannya, sehingga orang itu terdorong ke
depan. Belum lagi ia dapat menguasai keseimbangannya, maka
pedang di tangan kiri Gupala telah membenam di perutnya.
Ketika Gupala menarik pedangnya, maka orang itu pun segera
terjerambab. Mati. Kawan-kawan orang yang mati itu tertegun sejenak. Mereka
benar-benar menjadi ngeri melihat ujung cambuk Gupala yang
seolah-olah mempunyai mata. Meskipun di antara mereka
terdapat orang-orang liar, namun mereka belum pernah melihat
seseorang yang mampu berkelahi dengan cara itu.
Di bagian lain, Gupita pun segera menguasai lawanlawannya.
Setiap kali salah seorang lawannya terlempar dari
gelanggang sambil menyeringai kesakitan. Dan setiap mereka
berusaha untuk bangkit dan mendekat, maka ujung cambuk itu
pun telah menyengatnya pula.
Ternyata ujung-ujung cambuk itu mempunyai kemampuan
yang luar biasa. Ketika Gupita menghentakkan cambuknya,
terasa cambuk itu seperti remasan besi pada lengan seorang
lawannya. Tanpa dapat bertahan lagi, maka tangan itu menjadi
lumpuh dan senjata di dalam genggamannya pun kemudian
terjatuh di tanah. Ketika cambuk itu disentakkan, maka seakanakan
tangan itu telah ditarik oleh kekuatan yang tidak terlawan,
sehingga orang itu terpelanting dan jatuh terbanting di tanah.
Sebuah batu yang menyentuh bagian belakang kepalanya telah
membuatnya terpejam untuk waktu yang tidak dapat
diperhitungkan. Demikianlah kedua anak-anak muda itu telah berhasil
menjatuhkan lawannya seorang demi seorang. Dengan
demikian, ketika lawan-lawan mereka telah habis, mereka pun
segera berusaha membantu kawan-kawannya yang masih
bertempur dengan gigihnya.
Meskipun tugas kelompok kecil itu menjadi semakin berat di
dalam pertempuran di gardu terakhir ini, namun karena Gupita
dan Gupala telah mempergunakan hampir segenap
kekuatannya, maka tugas mereka terasa agak lebih cepat
selesai. Para penjaga itu seorang demi seorang berjatuhan di tanah.
Dan tidak seorang pun di antara mereka yang berhasil untuk
bangkit kembali. Meskipun demikian Wrahasta terpaksa
menundukkan kepalanya dalam-dalam. Dari sembilan orang
yang terakhir itu telah pula jatuh tiga orang gugur, dan hampir
semuanya, selain Gupita dan Gupala, terluka. Bahkan Wrahasta
sendiri juga terluka di pahanya, ketika tombak lawannya yang
mengarah ke dada berhasil disentuh dengan pedangnya. Namun
ternyata ujung tombak itu masih juga mengenainya.
"Ternyata kita telah menyelesaikan tugas kita dengan korban
yang terlampau banyak," desis Wrahasta.
Gupita dan Gupala menarik nafas dalam-dalam. Sejenak
mereka merenungi ketiga orang yang telah jatuh sebagai banten.
"Tetapi pengorbanan mereka tidak akan sia-sia," Wrahasta
meneruskan. "Adalah wajar setiap orang yang memasuki
pertempuran mendapat kemungkinan serupa itu. Aku pun juga."
Gupita dan Gupala masih tetap berdiam dri.
"Nah, siapakah di antara kalian yang masih sanggup untuk
menghubungi pasukan induk?" bertanya Wrahasta. Ia tidak
sampai hati untuk memberikan perintah begitu saja kepada
orang-orangnya yang telah terluka itu.
Dan tiba-tiba saja Gupita menyahut, "Biarlah aku pergi ke
induk pasukan." "Bukan, bukan kau," jawab Wrahasta dengan serta-merta.
"Aku tidak berwenang memerintah kau. Kau adalah orang-orang
yang dengan sukarela telah membantu kami."
"Aku akan pergi dengan suka rela pula"
Wrahasta menarik nafas dalam-dalam. Dipandangnya Gupita
dengan seksama. Pandangannya terhadap anak muda itu kini
berubah sama sekali. Namun dengan demikan, maka seakanakan
ia telah kehilangan harapan untuk bersaing dengan salah
seorang dari kedua gembala yang penuh dengan teka-teki itu.
Bersaing untuk mendapatkan Pandan Wangi.
"Apakah keberatanmu kalau aku melakukannya?" bertanya
Gupita.

02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku tidak mempunyai keberatan apa pun. Tetapi kau sudah
cukup banyak memberikan jasa kepada kami."
Gupita menarik nafas dalam-dalam. Kemudian kepada
Gupala ia berkata, "Kau tetap di sini. Aku akan menghubungi
pasukan induk agar mereka mempercepat perjalanan. Pintu
sudah terbuka, dan kita akan segera memasang gelar di
hadapan hidung Ki Tambak Wedi."
Gupala mengangguk. Jawabnya, "Baiklah. Aku akan
menunggu di sini." Gupita pun kemudian meninggalkan kelompok yang sudah
menjadi semakin kecil itu menghubungi induk pasukan untuk
melaporkan apa yang telah terjadi.
Dengan tergesa-gesa ia berjalan melalui jalan yang baru saja
dilewatinya, dengan arah yang berlawanan. Ia ingin segera
sampai, dengan demikian pasukan induk itu akan maju semakin
cepat. Agaknya malam telah menjadi semakin dalam, dan
kemungkinan-kemungkinan lain yang dapat timbul dengan tibatiba.
Namun setiap kali Gupita menjadi berdebar-debar. Apalagi
apabila ia sedang melalui gardu yang pernah dihancurkannya. Ia
masih melihat beberapa sosok mayat yang berserakan.
"Korban masih akan berjatuhan," desisnya, "dan mayat pun
akan bertambah-tambah. Besok tanah perdikan ini akan
meratap, karena anak-anaknya yang terbaik telah saling
membunuh di peperangan."
Tetapi Gupita tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa
selama manusia masih dikendalikan oleh nafsunya, maka
benturan kepentingan di antara mereka pasti masih akan terjadi.
Betapa pendeknya nalar manusia. Apabila mereka menemui
Pedang Pelangi 22 Shugyosa Samurai Pengembara 7 Misteri Kelompok Penyihir 2

Cari Blog Ini